01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 36
Keduanyapun kemudian telah keluar dari ruang dalam, menemui ketiga orang tamu mereka yang datang dari Pajang.
Ternyata ketiga orang itu cukup ramah. Mereka berbicara dengan unggah-ungguh yang genap. Nampaknya mereka sama sekali tidak merendahkan kedudukan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi ketiga orang tamu itu bukan orang-orang yang sebelumnya pernah datang ke Sembojan untuk berbicara tentang tanah Perdikan itu.
"Kami sekedar melanjutkan pembicaraan yang pernah dilakukan oleh beberapa orang petugas dari Pajang," berkata salah seorang dari ketiga orang itu.
"Terima kasih atas kunjungan ini Ki Sanak," sahut Iswari yang berdebar-debar.
"Menurut pengamatan kami, setelah diadakan beberapa pembicaraan di Pajang, maka kesimpulannya adalah bahwa Tanah Perdikan Sembojan sedang mengalami kegoncangan," berkata salah seorang dari mereka.
"Tidak Ki Sanak," jawab Iswari, "Tanah Perdikan ini mampu meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya. Kehidupan sehari-hari berjalan tenang dan damai. Kekeluargaan yang akrab dan serasi."
"Ditilik dari keadaan lahiriah, kami percaya. Tetapi sebuah Tanah Perdikan bukan sekedar bentuk lahiriahnya saja. Tetapi jiwa Tanah Perdikan ini terasa timpang. Pada kehadiran beberapa petugas yang terdahulu, ternyata bahwa Tanah Perdikan ini sekarang tidak mempunyai pimpinan yang memadai," berkata salah seorang dari utusan itu.
"Segala sesuatunya memang sudah kami sampaikan kepada utusan yang datang beberapa saat yang lalu," jawab Iswari, "tetapi itu bukan berarti bahwa Tanah Perdikan ini tidak mempunyai pimpinan. Aku adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan. Ini, Risang, adalah anakku, anak dari orang yang sebenarnya berhak atas jabatan Kepala Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka ia adalah satu-satunya orang yang berhak atas Tanah Perdikan ini."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka bertanya, "Bagaimana dengan cucu Ki Gede Sembojan yang seorang lagi, yang lahir dari ibu yang berbeda dari anak muda ini?"
"Orang itu sudah tidak ada di Tanah Perdikan ini lagi. Seandainya anak itu ada disini, maka ia lahir kemudian dari Risang," jawab Iswari.
"Tetapi bukankah anak itu berniat untuk memimpin Tanah Perdikan ini?" berkata salah seorang dari mereka, "bahkan pernah terjadi benturan kekerasan antara para pengikut dari kedua cucu Ki Gede Sembojan itu."
Wajah Iswari menjadi tegang. Namun kemudian katanya, "Sebenarnya persoalannya sudah selesai. Cucu Ki Gede yang seorang lagi sudah tidak pernah menampakkan diri."
"Bagaimana jika pada suatu hari anak muda itu datang dan menuntut?" bertanya seorang dari ketiga petugas itu.
"Bukankah ada paugeran yang berlaku, bahwa anak yang sulunglah yang akan menggantikan kedudukan orang tuanya dalam jabatan Kepala Tanah Perdikan" Anak sulung laki-laki yang tidak cacat rohani dan jasmani. Bahkan cacat jasmanipun masih dengan keterangan apabila cacat itu akan dapat mengganggu tugasnya. Nah, cucu yang sulung dari Ki Gede Sembojan tidak cacat jiwanya dan tidak cacat pula tubuhnya," berkata Iswari.
"Cucu yang lain juga dapat berkata seperti itu. Anak sulung, tidak cacat rohani dan tidak cacat tubuhnya," berkata salah utusan itu.
"Itu tidak mungkin Ki Sanak. Suamiku kawin lagi dengan isterinya yang kedua setelah aku mengandung. Sedang perempuan yang dikawininya saat itu masih belum mengandung. Anakku lahir wajar, artinya, sembilan bulan dalam kandungan. Seandainya anak isteri kedua suamiku itu melahirkan tujuh bulan, itupun anakku sudah lahir lebih dahulu," jawab Iswari yang jantungnya mulai digelitik oleh pertanyaan-pertanyaan yang kurang sesuai dengan perasaannya dan itu sangat menjengkelkannya.
Risang duduk sambil menundukkan kepalanya. Namun ia masih berusaha menahan diri.
Sementara itu, salah seorang yang tertua di antara mereka akhirnya berkata, "Nyi. Sebenarnyalah sulit bagiku untuk mengatakan. Tetapi aku hanya mengemban tugas. Betapapun aku melingkar-lingkar, namun akhirnya aku harus mengatakan tugas kami yang sebenarnya. Kami mohon maaf, karena apa yang akan kami katakan ini bukannya kehendak kami sendiri."
Iswari dan Risang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi mereka menunggu dengan tegang, apa yang akan dikatakan oleh ketiga orang itu atau salah seorang daripadanya.
Yang tertua di antara ketiga orang itupun kemudian berkata, "Nyi. Setelah dua kali utusan dari Pajang datang kemari, serta setelah para petugas mengumpulkan bahan-bahan yang menyangkut Tanah Perdikan ini, maka pimpinan pemerintahan di Pajang memutuskan untuk menilai kembali kekancingan tentang Tanah Perdikan ini. Seandainya kekancingan ini mengikat segala pihak, maka kuasa Pajang sekarang setingkat dengan kuasa yang memberikan kekancingan itu."
"Tegasnya, Tanah Perdikan Sembojan akan ditiadakan?" bertanya Risang yang tidak sabar lagi.
"Bukan begitu anak muda," jawab yang tertua, "segala sesuatunya akan dapat ditinjau kembali. Mungkin kekancingan itu akan diperbaharui."
Iswari dan Risang memang menjadi agak bimbang. Namun orang tertua itupun berkata, "Baiklah aku berterus terang. Sebagaimana kalian ketahui, bahwa Pajang harus mulai mengembangkan diri kembali setelah perang berakhir. Nah, untuk itu, maka Pajang memerlukan dana cukup besar."
"Dengan demikian Tanah Perdikan ini akan dapat disahkan keberadaannya jika Tanah Perdikan ini bersedia memberikan upeti yang dapat membantu Pajang mengembangkan diri," potong Iswari yang pernah dihubungi oleh utusan dari Tanah Perdikan Gemantar.
Ketiga orang utusan dari Pajang itulah yang termangu-mangu. Namun yang tertuapun kemudian berkata, "Ya. Setiap bulan Tanah Perdikan ini diwajibkan menyerahkan upeti seekor lembu dan sepedati hasil bumi apapun juga. Tetapi harus ada di antaranya padi."
Wajah Risang menjadi merah. Tetapi Iswari masih sempat bertanya, "Kepada siapa kami harus menyerahkan upeti itu?"
"Kalian tidak perlu datang ke Pajang untuk menyerahkan upeti itu. Akan datang utusan dari Pajang untuk mengambilnya," jawab orang yang tertua di antara mereka.
Risang beringsut setapak maju. Tetapi ibunya menggamitnya sambil berkata, "Ki Sanak. Kami sudah menerima pemberitahuan lesan ini. Kami akan membicarakannya dengan para pemimpin dan tetua Tanah Perdikan ini."
Yang tertua di antara mereka mengangguk-angguk. Tetapi orang itu berkata, "Sekali lagi aku minta maaf. Yang kami sampaikan sama sekali bukan gagasan kami. Tetapi kami hanyalah petugas-petugas saja. Sebenarnya kami ingin mendengar jawaban kalian sekarang, sehingga aku akan dapat melaporkannya kepada pimpinan kami."
Risang yang menahan diri, dadanya justru menjadi sakit. Tetapi ibunyalah yang menjawab, "Maaf Ki Sanak. Kami masih harus membicarakannya lebih dahulu."
"Baiklah," berkata yang tertua, "tetapi yang kami sampaikan adalah perintah. Apakah sepantasnya perintah masih harus dibicarakan?"
"Bukan perintahnya, tetapi mungkin pelaksanaannya," jawab Iswari.
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Yang tertua di antara merekapun kemudian berkata, "Baiklah. Kami minta diri. Dalam waktu tiga hari sampai sepekan kami akan datang lagi. Pajang bukan jarak yang pendek. Jika kami harus hilir mudik, maka kami akan kehabisan waktu dan tenaga. Karena itu, jika kami harus hilir mudik, maka biarlah prajurit Pajang yang sudah terbiasa melakukannya yang akan datang kemudian. Tetapi sebagaimana kalian tahu, berbicara dengan para prajurit tentu agak lain dengan berbicara dengan kami."
Iswari mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi terdengar juga ia berdesis, "Kalian mengancam?"
"Tidak," jawab yang tertua, "kami tidak pernah mengancam siapapun. Apalagi kami hanya sekedar melakukan tugas."
Iswari tidak menjawab lagi. Ia mulai dijangkiti oleh gejolak perasaannya. Jika ia terlalu banyak berbicara, maka bicaranya akan menjadi semakin keras.
Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun segera minta diri. Di regol mereka masih berpesan, "Dalam waktu tiga hari, selambat-lambatnya sepekan, kami akan datang."
Risang menggeram. Tetapi ia masih tetap menahan diri meskipun rasa-rasanya dadanya dihimpit batu.
Demikian derap kaki kuda orang-orang itu hilang, maka Risangpun berkata, "Nah, bukankah pasukan pengawal Tanah Perdikan harus disiapkan?"
"Tunggu dulu Risang," berkata ibunya, "kita masih harus membicarakannya. Mungkin ada jalan lain yang lebih pantas. Apakah kau akan pergi ke Pajang" Mungkin satu dua orang dapat kau hubungi. Apakah memang benar Pajang memungut upeti justru setiap bulan."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Besok aku akan pergi ke Pajang."
Tetapi ketika hal itu dibicarakan dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan, maka mereka berpendapat lain. Kiai Badrapun berkata, "Iswari. Risang tidak usah tergesa-gesa pergi ke Pajang. Aku kira orang-orang itu hanya sekedar mengancam. Karena itu, maka jika mereka kembali lagi, maka kau dapat menjawab saja, bahwa Tanah Perdikan ini akan menjalankan semua perintah. Kekancingan Tanah Perdikan ini akan diserahkan jika sudah ada kekancingan baru, sehingga segala sesuatunya menjadi pasti. Nah, aku kira mereka tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan. Sementara itu, dengan tidak usah tergesa-gesa, Risang dapat mencari hubungan dengan para pemimpin di Pajang. Bahkan mungkin Risang tidak akan perlu ke Pajang, karena perintah tentang pembatalan kekancingan yang lama itu tidak akan pernah ada."
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 33 ISWARI menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti jalan pikiran Kiai Badra. Tetapi iapun mengerti bahwa sikap itu justru sikap yang keras. Sembojan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan seandainya yang datang kemudian ke Tanah Perdikan Sembojan adalah utusan yang terdiri dari prajurit segelar sepapan.
Sementara itu Kiai Badrapun telah berkata, "Tanah Perdikan Sembojan memang berbeda dari Tanah Perdikan Gemantar yang kecil. Pajang, atau katakanlah orang-orang yang kebetulan mempunyai wewenang di Pajang, dapat berbuat apa saja atas Gemantar. Tetapi mereka akan berpikir ulang untuk ditrapkan di Sembojan."
Iswari mengangguk-angguk. Sementara Risang berkata, "Jadi menurut kakek, kita tidak akan berbuat sesuatu selain bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan" Jika orang-orang Pajang itu datang, kita akan mengatakan bersedia menjalankan semua perintah, tetapi perintah itu tidak akan pernah kita jalankan dengan sungguh-sungguh."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita akan menunggu, apakah orang-orang itu sekedar mengancam, atau mereka akan benar-benar melaksanakan."
"Jika mereka benar-benar akan bertindak atas Tanah Perdikan ini?" bertanya Iswari.
"Ada dua cara," jawab Kiai Badra, "Risang pergi ke Pajang, atau kita kibarkan panji-panji Tanah Perdikan ini tinggi-tinggi. Pajang bukan satu-satunya pimpinan yang dapat kita jadikan pegangan sekarang ini. Kita belum tahu tataran pemerintahan yang tentu bakal tersusun antara Pajang, Jipang dan Mataram."
"Bukankah sudah ditentukan bahwa Adipati Demak berkuasa di Pajang dengan warisan kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya?" desis Iswari.
Dengan nada rendah Kiai Badra berkata, "Ketika Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, telah bangkit kekuasaan di Mataram yang justru kemudian mengalahkan Pajang. Pangeran Benawa yang dianggap Pangeran Pati di Pajang belum berkuasa di Jipang seperti sekarang ini."
Iswari mengangguk-angguk. Sementara Risang yang muda itu berkata dengan kepala tengadah, "Aku mengerti sekarang. Kita harus menunjukkan keberadaan kita. Juga kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati menentukan sikap. Risang, kau jangan mengambil langkah sendiri. Setiap keputusan yang akan kau ambil harus kau bicarakan lebih dahulu dengan ibu."
Risang termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya ibu."
Kiai Badralah yang justru tersenyum. Ia dapat menangkap getar perasaan Iswari. Karena itu, maka iapun berkata, "Bagaimanapun juga pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah ibumu Risang. Beban pertanggung-jawaban memang ada di pundaknya."
Risang tidak menjawab. Sementara ibunyapun kemudian berkata, "Baiklah. Kita akan menunggu kehadiran orang-orang Pajang itu."
Demikianlah, maka Risangpun kemudian minta diri untuk melihat-lihat keadaan. Namun perhatian utama Risang adalah justru para pengawal Tanah Perdikan.
Sepeninggal Risang, Iswari sempat berdesis, "Kakek justru telah membakar perasaan anak itu."
Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Sebenarnyalah aku tidak mengerti sikap Pajang sekarang ini. Karena menurut pendapatku, setiap orang mempunyai paugerannya sendiri-sendiri. Sudah tentu yang dapat menguntungkan mereka masing-masing. Karena itu, harus ada sengatan sedikit agar para pemimpin Pajang sempat membicarakannya bersama-sama. Mengambil langkah yang wajar tetapi pasti yang diketahui oleh para pemimpinnya."
Iswari mengerti maksud kakeknya. Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak dapat bertindak terlalu jauh. Meskipun menurut perhitungannya setiap langkah dengan mempergunakan kekuatan prajurit Pajang, masih harus dipertimbangkan baik-baik oleh para pemimpin Pajang sebagaimana dikatakan oleh Kiai Badra.
Sementara itu, Risang yang mendapat kesempatan menemui para pemimpin kelompok pengawal justru telah memerintahkan, agar para pengawal lebih mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
"Waktuku masih terlalu banyak berada di Sanggar," berkata Risang, "Aku harus secara ajeg dan teratur meningkatkan ilmuku agar aku tidak perlu setiap kali mengulanginya sehingga waktunya akan menjadi semakin panjang."
"Apakah yang kira-kira akan terjadi?" bertanya seorang pemimpin kelompok.
"Kita adalah pengawal sebuah Tanah Perdikan yang secara sah ada. Ada surat kekancingan dan kita sudah menunjukkan keberadaan kita untuk waktu yang cukup lama," jawab Risang.
Para pemimpin kelompok itupun telah mengetahui maksud Risang itu. Dan merekapun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Pada saat-saat terakhir mereka telah meningkatkan latihan-latihan meskipun hanya di antara kelompok-kelompok. Setiap sore mereka telah mencari tempat di lereng-lereng bukit dan di padang-padang perdu. Meskipun sehari-harian mereka bekerja di sawah dan ladang, tetapi meskipun hanya sebentar mereka memerlukan untuk melakukan latihan-latihan mempergunakan senjata serta mempertinggi daya tahan tubuh mereka.
Dengan berdebar-debar Iswari menunggu kedatangan utusan dari Pajang itu. Mereka akan datang antara tiga hari sampai sepekan untuk mendengar jawaban dari pimpinan Tanah Perdikan Sembojan tentang ketentuan yang pernah dinyatakan dengan lesan oleh para utusan dari Pajang itu.
Namun dalam pada itu, Risang lebih banyak berusaha meningkatkan kemampuan para pengawal di samping tugas-tugasnya sendiri yang diberikan oleh guru-gurunya.
Ternyata dengan pesat kemampuan Risang memang telah meningkat pada satu tataran yang mapan. Ketiga gurunya tinggal mengeraskan alas yang akan dipakainya untuk meletakkan ilmu Janget Kinatelon. Sementara Risang telah mempersiapkan pula para pengawal Tanah Perdikan Sembojan untuk menghadapi akibat yang paling buruk sekalipun menghadapi Pajang yang menurut penilaian Risang telah berubah karena tingkah laku dan sikap para pemimpinnya.
Pada hari yang keempat, maka yang mereka tunggu telah datang. Tiga orang utusan dari Pajang yang telah datang sebelumnya, disertai dengan seorang yang nampaknya mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Iswari telah mempersilahkan empat orang itu duduk di pendapa. Bersama Risang, Iswari telah menemui mereka.
Tiga orang yang pernah datang sebelumnya masih seperti sikapnya beberapa hari yang lalu. Ramah dan dengan unggah-ungguh yang mapan. Tetapi seorang yang menyertainya itu bersikap agak lain. Agaknya ia merasa bahwa dirinya adalah seorang pemimpin.
Seorang di antara ketiga orang itupun kemudian telah memperkenalkan orang yang keempat itu, "Ini adalah Ki Rangga Larasgati. Seorang yang memang bertugas membenahi keberadaan Tanah Perdikan di Pajang."
Iswari mengangguk hormat. Katanya, "Maaf Ki Rangga. Baru kali ini kami mengenal Ki Rangga."
Ki Rangga tidak menanggapinya. Namun iapun kemudian berkata dengan tegas, "Aku akan berbicara langsung pada persoalannya."
Iswari mengerutkan keningnya. Sementara Ki Rangga itu berkata selanjutnya, "Aku datang untuk mendengarkan keterangan kalian atas persoalan yang telah disampaikan sebelum ini. Seharusnya kalian tidak perlu menunggu sampai tiga empat hari. Kalian tinggal melaksanakan perintah yang sudah diberikan, karena kalian memang tidak berwenang menilai perintah itu. Kalianpun tidak dapat membicarakan pelaksanaan dari perintah itu sehingga harus menunda kesediaan kalian. Bagaimanapun juga perintah itu harus dilaksanakan. Kalian dapat saja membicarakannya. Tetapi itu tidak perlu ditunggu oleh utusan dari Pajang yang telah datang. Perintah itu akan aku ulangi, kalian harus menyediakan seekor lembu yang besar dan satu pedati hasil bumi termasuk beras atau padi kering. Tidak ada pertanyaan bersedia atau tidak. Tidak ada pula pertimbangan tentang pelaksanaannya. Yang dapat aku katakan lagi, jika kalian menganggap bahwa kalian tidak akan dapat memenuhinya, maka Tanah Perdikan ini akan dicabut kekancingannya. Cukup."
Iswari mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Namun sebelum Iswari menjawab, ternyata Risang sudah mendahuluinya, "Jika demikian, apa yang ingin Ki Rangga dengar dari kami."
"Pilihan kalian," jawab Ki Rangga dengan nada keras, "menyerahkan upeti setiap bulan atau dicabut kekancingan Tanah Perdikan ini."
"Jika kami memilih menyerahkan upeti, kepada siapa kami harus menyerahkan" Kepada seorang Tumenggung, kepada seorang pejabat yang ditunjuk atau kepada siapa?" bertanya Risang.
"Kami akan datang mengambilnya," jawab Ki Rangga Larasgati.
"Dari mana kami tahu, bahwa upeti yang diambil langsung dari Tanah Perdikan kami diserahkan kepada para petugas yang memang wajib menerimanya?" bertanya Risang.
Wajah Ki Rangga Larasgati menjadi merah. Giginya gemeretak oleh kemarahan yang bagaikan membakar jantung. Iswari tidak mencoba mencegah pertanyaan anaknya. Ia sendiri ingin mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Jadi kalian tidak percaya bahwa kami utusan dari Pajang?" geram Ki Rangga.
"Kami percaya," jawab Risang, "yang kami ragukan adalah bahwa upeti kami benar-benar akan berarti bagi perkembangan Pajang. Bukan akan terhenti dan bahkan terputus di jalan."
"Setan kau," geram Ki Rangga, "jadi tegasnya kalian menolak perintah ini?"
"Kami harus mendapat keyakinan bahwa yang kami lakukan berarti bagi Pajang," jawab Risang.
"Apakah kau sudah memperhitungkan, bahwa kami dapat mencabut kekancingan dari Tanah Perdikan ini?" ancam Ki Rangga.
"Bagaimana kau akan melakukannya" Apakah kau akan membawa kekancingan yang ada di Tanah Perdikan ini atau kau akan membawa kekancingan baru untuk membatalkan kekancingan yang sudah ada?" bertanya Risang.
Orang itu menggeram. Dengan wajah yang tegang ia berkata, "Aku cabut kekancingan yang ada."
"Kau kira kami akan menyerahkan kekancingan itu sebelum ada kekancingan yang baru?" bertanya Risang.
"Persetan," geram orang itu, "kau menantang" Kau kira aku tidak dapat mengirim pasukan segelar sepapan untuk memaksakan kehendakku?"
"Kau kira aku tidak dapat berhubungan dengan para pemimpin di Pajang untuk membuktikan kebenaran kata-katamu" Kau dapat memberikan laporan apa saja sehingga para pemimpin di Pajang memerintahkan sepasukan prajurit untuk datang ke Tanah Perdikan ini. Tetapi akupun dapat memberikan laporan langsung kepada para pemimpin di Pajang atas tingkah lakumu disini. Tanah Perdikan ini sepanjang umurnya tidak pernah memberikan upeti setiap bulan sebagaimana kau katakan. Setiap tahunpun Tanah Perdikan ini tidak diharuskan memberikan upeti dalam arti yang sebenarnya selain pertanda bahwa Tanah Perdikan ini bernaung di bawah kuasa Pajang"
Tetapi kata-kata Risang terputus. Orang Pajang itu membentak hampir berteriak, "Cukup. Kenapa kau sesorah" Kau kira aku terlalu dungu untuk mengerti apa yang terjadi sebelumnya dan apa yang harus kalian lakukan sekarang" Dengar. Aku akan datang untuk mengambil kekancingan Tanah Perdikan ini sehingga Tanah Perdikan ini akan terhapus dari bumi Pajang. Kami sudah melakukannya atas Gemantar. Dan beberapa saat lagi akan terjadi pula atas Tanah Perdikan ini."
"Jadi kalian telah melakukan kekerasan atas Gemantar?" bertanya Iswari tiba-tiba.
"Apaboleh buat," jawab orang itu, "kami tidak sedang bermain-main. Kami benar-benar ingin membenahi Tanah Perdikan yang berserakan sekarang ini. Banyak yang sudah tidak layak lagi untuk dapat disebut sebagai Tanah Perdikan itu telah terjadi permusuhan, rebutan warisan di Tanah Perdikan itu telah terjadi permusuhan, rebutan warisan dan pertikaian ke dalam yang tidak ada putus-putusnya. Sebagaimana Tanah Perdikan Sembojan yang sebenarnya sudah tidak pantas lagi keberadaannya."
"Tidak," tiba-tiba saja Iswari memotong, "tidak ada perebutan warisan atas hak kepemimpinan disini. Jika hal itu dipakai sebagai alasan penilaian atas Tanah Perdikan ini, maka alasan itu adalah alasan yang dicari-cari"
"Ada," sahut orang itu tegas, "kami sudah mendapat keterangan lengkap. Jangan mencoba membohongi kami."
"Seandainya ada, itu adalah persoalan kami. Kami sudah mengatasinya dan sekarang, tidak ada apa-apa lagi disini," berkata Iswari tidak kalah tegasnya.
"Aku tidak percaya," orang itu menggeram, "kau jangan memperbodoh kami."
"Kau dapat melihat apa yang terjadi disini. Kau dapat berbicara dengan setiap orang. Kau dapat mencari keterangan di pasar-pasar atau di gardu-gardu perondan di malam hari," berkata Iswari.
"Tidak perlu," jawab orang itu, "aku sudah mempunyai cukup keterangan. Apa yang dapat aku dengar sekarang, tentu keterangan yang sudah tidak jujur lagi," berkata orang itu.
Namun Risang dengan cepat menyahut, "Aku tidak memerlukan tanggapanmu atas Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan ini adalah Tanah Perdikan yang sah. Persoalannya akan dibicarakan di dalam tataran pembicaraan tinggi di Pajang. Tidak sekedar diputuskan oleh orang-orang seperti kau. He, kau siapa sebenarnya?"
"Setan kau," geram orang itu, "kau akan menyesal. Aku Ki Rangga Larasgati, kau dengar."
"Kau dapat menyebut kedudukanmu sebagai Rangga, atau Tumenggung atau apa saja. Tetapi tunjukkan kepada kami, bahwa kau memang mendapat tugas untuk kepentingan ini. Apakah kau membawa pertanda limpahan wewenang itu?" bertanya Risang.
Wajah orang itu menjadi merah. Jantungnya bagaikan meledak. Tetapi ia menyadari bahwa ia hanya berempat. Sementara itu, nampaknya pimpinan Tanah Perdikan itupun telah mengeraskan hati mereka untuk menolak tawarannya.
Ancaman Risang untuk datang ke Pajang telah menyentuh hatinya pula. Bagaimanapun juga, ancaman itu harus mereka pertimbangkan.
Namun orang-orang itupun tidak mau dihina oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, maka dengan serta-merta, orang-orang itupun segera bangkit berdiri. Mereka tanpa minta diri telah turun dari pendapa dan selanjutnya meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Iswari dan Risang memang juga bangkit berdiri. Tetapi mereka tidak turun dari pendapa. Mereka memandangi orang-orang itu berlalu dan mengambil kuda-kuda mereka.
Iswari dan Risang berpaling ketika ia mendengar beberapa orang keluar dari ruang dalam. Kiai Badra, Kiai Soka, Nyai Soka dan Bibi telah berdiri di pendapa itu pula.
Merekapun kemudian telah duduk tanpa menghiraukan orang-orang yang mengaku utusan dari Pajang itu.
Apalagi ketika derap kudanya yang menjauh dan tidak terdengar lagi di telinga mereka.
"Aku telah mendengar pembicaraan kalian," berkata Kiai Badra ketika derap kaki kuda itu sudah tidak terdengar lagi.
"Bagaimana pendapat kakek?" bertanya Iswari.
"Aku sependapat dengan keterangan kalian tentang Tanah Perdikan ini. Aku juga sependapat dengan sikap Risang. Risang telah menyinggung kemungkinan untuk pergi ke Pajang. Orang-orang yang datang itu tentu ingin menyalahgunakan kedudukan mereka, sehingga niat Risang untuk pergi ke Pajang tentu akan berpengaruh atas mereka. Mereka akan menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka mereka tentu akan berpikir ulang untuk mengambil langkah-langkah," berkata Kiai Badra.
Namun Risang berkata, "Tetapi tatanan pemerintahan di Pajang memang sedang kurang mapan. Geseran kekuasaan dari Demak itu benar-benar membuat Pajang menjadi terguncang. Justru karena itu, maka mungkin orang yang mengaku bernama Ki Rangga Larasgati itu mempunyai hubungan dengan para Senapati di Pajang atau Demak yang berada di Pajang yang memang mempunyai wewenang untuk menggerakkan sepasukan prajurit yang ada di bawah perintahnya."
"Aku mengerti," berkata Kiai Badra, "tetapi kita dapat menunggu beberapa saat."
"Menurut orang yang mengaku bernama Ki Rangga Larasgati itu, Tanah Perdikan Gemantar telah ditindak dengan kekerasan," berkata Iswari.
"Gemantar adalah sebuah Tanah Perdikan yang kecil," berkata Kiai Soka, "meskipun demikian, ada baiknya kita bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Tetapi aku kira, kau tidak perlu pergi ke Pajang. Jika kau terjebak ke tangan orang-orang yang berniat buruk, maka keadaan akan menjadi semakin rumit. Ada kemungkinan terburuk terjadi atasmu. Orang-orang yang matanya sudah tertutup oleh ketamakan hatinya, kadang-kadang kehilangan pertimbangan-pertimbangan wajar atas sikap dan tingkah-lakunya. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan pembunuhan dan bahkan telah merencanakan pembunuhan untuk mendapatkan jalan yang lurus bagi rencananya. Mungkin pula untuk menghilangkan jejak atau hadirnya hambatan-hambatan yang dianggapnya akan memotong niat tamaknya itu."
Iswari mengangguk-angguk. Ia mengerti kecemasan di hati Kiai Soka. Mungkin orang-orang yang mengira Risang benar-benar akan ke Pajang itu telah membuat perangkap. Mungkin di Pajang, mungkin di jalan sebelum sampai ke Pajang.
Sementara itu Kiai Badra telah berkata pula, "Aku sependapat dengan Kiai Soka, Iswari. Karena itu, kita akan menunggu beberapa hari. Aku kira kita tidak akan terlambat. Aku tidak yakin bahwa orang yang datang kemari itu benar-benar akan bertindak. Ia tentu bukan petugas resmi yang harus menentukan kedudukan Tanah Perdikan ini atau orang yang telah dengan sengaja ingin menyalahgunakan kedudukannya."
Tetapi Risang berkata, "Tetapi keadaan di Pajang sudah demikian parahnya, sehingga hampir setiap orang telah menyalahgunakan kedudukannya."
"Bagaimanapun juga tentu ada keseganan yang satu dengan yang lain," berkata Kiai Badra, "namun naluriku masih belum melihat bahaya yang dekat di hidung kita."
Iswari mengangguk-angguk. Tetapi Risang berkata, "Kakek agaknya masih terlalu percaya kepada orang lain. Tetapi baiklah. Aku masih belum akan ke Pajang. Namun persiapan Tanah Perdikan ini harus ditingkatkan."
Kiai Badra mengangguk-angguk kecil. Sementara Iswari masih juga berkata, "Kita sudah terlanjur bersikap keras. Tetapi apaboleh buat."
"Bagaimanapun juga yang kau katakan, sama sekali tidak mencerminkan satu pemberontakan terhadap Pajang," berkata Kiai Badra, "kau sudah benar. Kau tanyakan pertanda kuasa dan wewenang yang diberikan oleh pimpinan pemerintahan Pajang. Biasanya limpahan wewenang akan nampak pada sebuah tunggul kerajaan. Masalah kekancingan Tanah Perdikan adalah masalah yang besar. Kekancingan itu diberikan oleh seorang yang memimpin pemerintahan. Kekancingan itu hanya dapat diambil oleh kekuasaan yang sedikitnya sama atau sederajat yang menggantikannya dengan kekancingan pula. Dengan demikian kau masih tetap mengakui kuasa Pajang. Yang kau lakukan adalah menolak dan tidak percaya kepada salah seorang petugas yang datang tanpa pertanda apapun."
Iswari mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia masih berusaha untuk tidak melakukan pemberontakan terhadap Pajang. Tetapi iapun tidak mau disudutkan ke dalam kesulitan yang berkepanjangan.
Demikianlah, Tanah Perdikan Sembojan telah diselimuti oleh mendung yang semakin lama terasa semakin menggantung. Setiap saat hujan dan badai dapat turun. Namun Tanah Perdikan Sembojan telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu.
Di hari berikutnya Risang masih tetap berada di dalam sanggar. Sementara itu, para pengawalpun telah melakukan latihan di tempat-tempat yang jauh. Di lereng-lereng bukit atau di padang-padang perdu.
Dalam pada itu, telah terjadi lagi goncangan perasaan atas para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan. Dua orang Gemantar telah datang dan memberitahukan, bahwa prajurit Pajang telah berada di Gemantar.
"Jadi benar Gemantar telah diduduki?" bertanya Risang dengan wajah yang tegang.
Ki Badra yang ikut menemui kedua orang Gemantar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Orang Pajang benar-benar sudah kehilangan akal. Ternyata mereka telah melakukan tindak kekerasan atas Gemantar."
"Nah," berkata Risang, "bukankah semua orang Pajang telah menyalahgunakan kekuasaan" Karena Gemantar tidak mau memberikan upeti langsung kepada seorang Tumenggung, maka Tumenggung itu telah dapat menggerakkan sepasukan prajurit untuk menduduki Gemantar."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata panggraitaku telah menjadi tumpul sekarang."
"Tetapi kenyataan itu memang aneh," berkata Kiai Soka, "hampir tidak masuk akal. Namun satu kenyataan, bahwa hal itu sudah terjadi."
Kepada orang Gemantar Risang bertanya, "Apakah telah terjadi pertempuran?"
"Untunglah, bahwa pemimpin prajurit yang datang itu adalah prajurit Pajang. Bukan prajurit Demak yang bertugas di Pajang. Karena itu, maka sikapnya cukup baik. Tanpa membawa pasukannya pemimpin prajurit itu menemui Ki Gede Gemantar. Ia mencoba menjelaskan tugasnya. Pemimpin prajurit Pajang itupun mencoba mengerti kesulitan Ki Gede Gemantar," berkata salah seorang Gemantar itu.
"Tetapi ia menduduki Gemantar," potong Risang.
"Pemimpin prajurit itu akan segera menarik prajuritnya. Tetapi pemimpin prajurit itu tidak merampas kekancingan Tanah Perdikan Gemantar. Bahkan ia berjanji untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang yang mengaku berhak menerima upeti itu," jawab orang Gemantar itu.
"Apakah pasukan itu masih berada di Gemantar sekarang?" bertanya Iswari.
"Ya. Tetapi mereka bersikap sebagaimana seorang prajurit," jawab orang Gemantar itu.
"Maksudmu?" bertanya Risang.
"Tidak ada tingkah laku mereka yang menyulitkan orang-orang Gemantar. Tidak ada pemerasan dan tidak ada usaha untuk menakut-nakuti. Orang-orang Gemantar justru menjadi sedikit akrab dengan para prajurit itu."
"Siapakah pemimpin prajurit itu?" bertanya Risang.
"Ki Lurah Kasadha. Masih muda sekali," jawab orang itu.
Risang terkejut sekali. Ia kenal Kasadha dengan baik. Bahkan sudah seperti saudaranya sendiri. Dalam perang yang gawat mereka saling menolong. Mereka mengalami nasib yang hampir sama ketika mereka dihadapkan pada pendadaran ulang. Bahkan ilmu merekapun seakan-akan setingkat.
Namun Risangpun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Gemantar ternyata masih beruntung, bahwa yang datang adalah pasukan Kasadha.
Orang Gemantar itupun kemudian berkata, "Seandainya yang datang ke Gemantar bukan anak muda yang bernama Kasadha itu, mungkin keadaannya akan jauh berbeda. Kami pernah mendengar bahwa ada satu dua orang prajurit yang justru telah memeras dan merampas milik orang-orang kecil."
Risang mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Lalu apa yang dilakukan oleh prajurit Pajang selama mereka berada di Gemantar."
"Tidak apa-apa," jawab orang itu, "nampaknya mereka sekedar menjalankan tugas. Sampai saat ini jalur kehidupan rakyat Gemantar masih tidak banyak berubah. Tetapi yang kami cemaskan adalah bahwa kemungkinan lain dapat terjadi. Pimpinan prajurit di Pajang akan dapat mengganti sekelompok prajurit yang ada di Gemantar dengan kelompok yang lain yang akan berbeda sekali sifat dan wataknya. Terutama pimpinannya."
Dengan nada rendah Iswari bertanya, "Jika hal itu terjadi, apa yang akan dilakukan oleh Gemantar?"
"Kami sudah bertekad untuk tidak menyerahkan surat kekancingan itu," jawab orang Gemantar itu.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kami mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan ini. Seorang pemimpin prajurit yang sebaik pemimpin prajurit yang datang ke Gemantar itu agaknya kini sulit dicari sepuluh di seluruh Pajang. Karena itu, jika hal itu terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan, mungkin keadaannya akan berbeda. Mungkin yang datang ke Tanah Perdikan ini seorang pemimpin prajurit yang keras dan bahkan kasar."
Orang-orang Gemantar itu mengangguk kecil. Sementara itu Risang masih belum mengatakan, bahwa ia mengenal Kasadha dan bahkan berada dalam satu pasukan.
Demikianlah beberapa saat lamanya orang-orang Gemantar itu berada di Tanah Perdikan Sembojan. Banyak hal yang dapat mereka ceriterakan tentang usaha Pajang untuk memeras Gemantar.
"Bukan Pajang," berkata orang itu kemudian, "tetapi beberapa orang tertentu sebagaimana terjadi di Tanah Perdikan Sembojan."
Orang-orang Gemantar itu bermalam satu malam di Sembojan. Di pagi hari berikutnya mereka minta diri untuk kembali ke Gemantar. Mereka harus berada di antara saudara-saudaranya yang sedang mengalami ketegangan.
"Mudah-mudahan prajurit Pajang yang ada di Gemantar tidak justru ditarik segera, karena dengan demikian maka yang akan datang mungkin orang-orang yang lebih jelek dari yang telah ada," berkata Iswari kemudian.
Sepeninggal orang-orang Gemantar, maka Sembojan benar-benar merasa bahwa Tanah Perdikan itu telah terancam kekerasan yang setiap saat akan datang. Mungkin dengan cara yang jauh lebih kasar dari cara yang ditempuh Kasadha.
Dalam keadaan yang demikian, maka Risang telah mendesak Kiai Badra dan Kiai Soka, agar ia diperkenankan untuk pergi ke Pajang.
"Aku masih mencemaskan adanya jebakan bagimu. Orang-orang yang akan memeras Tanah Perdikan ini tentu tidak akan ragu-ragu menyingkirkan orang yang dianggapnya akan merintangi usaha mereka. Tanpa Risang, alasan terjadi kekisruhan disini akan menjadi semakin kuat," berkata Kiai Badra yang masih tetap ragu-ragu.
"Beri waktu satu dua hari untuk berpikir," berkata Kiai Soka.
"Tetapi dalam waktu satu dua hari itu, prajurit Pajang mungkin telah berada disini," desis Risang.
Orang-orang tua itu mengerti kegelisahan Risang. Sementara itu Iswari bagaikan berdiri disimpang jalan.
Dalam kegelisahan itu, ternyata Risang kurang dapat memusatkan perhatiannya pada latihan-latihannya. Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka yang mengerti gejolak perasaan anak muda itupun tidak memaksanya untuk berbuat lebih banyak dari yang dapat dilakukan oleh anak muda itu. Tetapi ketiganya tidak memberikan waktu kepada Risang untuk membatalkan latihan.
Sementara itu, ketika Risang mendapat kesempatan untuk berada di antara para pemimpin kelompok pengawal, maka iapun telah memberikan perintah-perintah yang lebih keras. Risang memerintahkan kepada para pemimpin kelompok pengawal untuk mulai mengadakan pengawasan. Setiap saat prajurit Pajang akan datang. Kita tidak boleh kehilangan waktu sama sekali untuk bersiaga menyongsong mereka.
"Karena itu, jika kalian pergi ke sawah, jangan ditinggalkan senjata kalian di rumah," berkata Risang, "setiap ada isyarat yang kalian dengar, maka kalian harus segera berada di tempat yang telah ditentukan."
Perintah itupun segera menjalar kepada setiap pengawal. Bahkan setiap laki-laki yang merasa dirinya masih mampu untuk memegang senjata. Mereka yang sudah berambut dengan warna rangkap, namun yang sepuluh tahun yang lalu masih berada di lingkungan para pengawal.
Dua hari telah lewat. Tetapi masih belum ada langkah-langkah yang diambil oleh prajurit Pajang. Meskipun demikian, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah melihat orang-orang yang menarik perhatian berkeliaran di Tanah Perdikan itu.
"Mungkin mereka sedang meyakinkan diri apakah Sembojan benar-benar telah bersiap. Atau mungkin mereka ingin melihat seberapa kekuatan Sembojan yang sebenarnya," berkata Risang yang telah mendapat laporan tentang orang-orang yang mereka curigai.
Sebenarnyalah sulit bagi Risang untuk mengharap Kasadhalah yang akan datang ke Sembojan karena Kasadha telah berada di Gemantar. Namun hal itu tidak mustahil terjadi. Jika Kasadha ditarik dari Gemantar karena sesuatu hal, maka mungkin sekali Kasadha akan dilemparkan ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Jika Kasadha yang datang, aku dapat berbicara dengannya," berkata Risang kepada diri sendiri.
Tetapi pada hari berikutnya, para pemimpin Tanah Perdikan telah dikejutkan oleh kehadiran orang-orang yang tidak diduganya sama sekali. Tiga orang berkuda yang semula dikiranya para perwira dari Pajang.
Namun kemudian, ketika mereka sudah berada di pendapa dan duduk ditemani oleh Iswari dan Risang, ternyata bahwa mereka bukan tiga orang utusan dari Pajang.
"Kami adalah tiga orang prajurit dari Jipang," berkata seorang di antara mereka.
"Dari Jipang," Iswari dan Risang memang terkejut.
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka telah menunjukkan sebuah cincin kerajaan sambil berkata, "Aku adalah utusan Pangeran Benawa yang kini menjadi Adipati Jipang. Aku adalah Tumenggung Reksapuri. Kedua orang kawanku ini adalah Ki Rangga Pawirayuda dan Ki Rangga Kartayuda."
"Kami mohon maaf Ki Tumenggung serta Ki Rangga berdua, karena kami tidak tahu bahwa yang datang adalah para perwira dari Jipang," berkata Iswari. Lalu katanya, "Perkenankanlah kami mengucapkan selamat datang."
"Terima kasih," sahut Ki Tumenggung. Katanya kemudian, "Kami sedang dalam perjalanan ke Mataram."
"Ke Mataram?" bertanya Iswari, "tetapi apakah Ki Tumenggung tidak salah jalan?"
Ki Tumenggung tertawa. Katanya, "Aku memang dengan sengaja memilih jalan ini. Kami memang ingin singgah di Tanah Perdikan Sembojan ini."
Iswari mengangguk-angguk. Ia menyesal dengan pertanyaannya. Orang-orang itu tentu sudah mengenal jalan-jalan yang harus mereka tempuh dengan baik.
Sejenak kemudian, maka Iswaripun telah minta orang-orang tua di Tanah Perdikan ikut menemui tamu dari Jipang itu. Tentu ada sesuatu yang penting yang akan mereka sampaikan kepada para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan, karena mereka telah menempuh jalan melingkar dan singgah di Sembojan sebelum mereka pergi ke Mataram.
"Kami sudah mengetahui apa yang terjadi di beberapa Tanah Perdikan," berkata Ki Tumenggung Reksapuri, "termasuk Tanah Perdikan Gemantar dan Tanah Perdikan Sembojan. Kami terlambat menangani Tanah Perdikan Gemantar, sehingga Tanah Perdikan itu kini telah diduduki."
"Ya," desis Iswari, "ada dua orang utusan dari Gemantar yang memberitahukan bahwa Tanah Perdikan Gemantar memang sudah diduduki. Tetapi untunglah bahwa pimpinan prajurit yang berada di Gemantar termasuk orang yang baik. Prajurit Pajang yang tahu diri."
"Ya. Menurut pengertian kami, prajurit Pajang yang dianggap baik itu sudah ditarik. Sejak dua hari yang lalu, sekelompok prajurit yang lain yang berada di Gemantar. Hari-hari terakhir telah timbul beberapa tindak kekerasan di Gemantar. Korban telah mulai jatuh. Ki Gede Gemantar telah ditangkap. Namun Surat Kekancingan yang dikehendaki oleh para prajurit itu telah diselamatkan," berkata Ki Tumenggung Reksapuri.
"Itukah yang telah terjadi?" desis Iswari.
"Prajurit Pajang yang sebelumnya dikirim ke Gemantar kini telah dipersiapkan untuk tugas berikutnya, namun dengan ancaman-ancaman agar mereka bertindak tegas," berkata Ki Tumenggung, "bagaimanapun juga orang-orang Pajang masih sering memberikan keterangan-keterangan yang kami perlukan. Masih banyak di antara mereka yang menyatakan kesetiaannya kepada Pangeran Benawa."
"Kenapa tidak dikirim pasukan yang lain, yang tidak meragukan Pajang?" bertanya Risang tiba-tiba.
"Pajang sedang mengalami tekanan dari luar," jawab Ki Tumenggung, "Pajang melihat kesiagaan Jipang dan Mataram. Sementara itu, Pajang membutuhkan pasukan yang dianggapnya setia sepenuhnya untuk bertahan jika benar terjadi tekanan kekuatan itu. Sedangkan pasukan yang akan dikirim untuk Tanah Perdikan yang mulai bergejolak dianggap tidak terlalu penting, karena hal itu sekedar memenuhi permintaan beberapa orang pemimpin saja. Bukan kebutuhan mutlak Pajang."
"Bukankah kesatuan yang ada di Gemantar termasuk kesatuan yang baik di bawah pimpinan seorang perwira muda yang baik pula?" bertanya Risang pula.
"Tetapi kesetiaannya kepada Pajang diragukan," jawab Ki Tumenggung, "menurut penyelidikan para petugas sandi kami, pimpinan prajurit Pajang di Gemantar yang ditarik itu adalah Kasadha. Seorang anak muda yang baik dan berdiri tegak dalam kedudukannya sebagai seorang prajurit. Kasadha telah menolak untuk merampas kekancingan Tanah Perdikan Gemantar. Karena itu maka pasukannya ditarik. Kasadha mendapat peringatan keras. Tetapi ada kemungkinan pasukannya dikirim ke Tanah Perdikan ini."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mengharap agar Kasadhalah yang datang. Dengan demi kian, maka ia akan dapat berbicara berterus terang kepada anak muda yang pernah dianggapnya sebagai saudaranya itu. Bahkan mungkin Kasadha akan dapat mengerti dan bersedia bersama-sama bertemu dengan beberapa orang pejabat di Pajang.
Tetapi persoalan baru yang timbul di Pajang merupakan persoalan yang harus mendapat perhatian mereka. Nampaknya Jipang dan Mataram telah mulai menaruh perhatian yang besar terhadap goncangan-goncangan yang terjadi di Pajang.
Dalam pada itu, maka Iswaripun kemudian bertanya kepada Ki Tumenggung Reksapuri, "Ki Tumenggung. Ki Tumenggung nampaknya sudah lama mengikuti gejolak yang terjadi di beberapa Tanah Perdikan. Sementara Ki Tumenggung mengatakan bahwa Jipang telah terlambat menanggapi Tanah Perdikan Gemantar. Sebenarnya kami ingin tahu, barangkali Ki Tumenggung akan memberikan beberapa petunjuk untuk mencari jalan keluar dari persoalan ini. Jika Tanah Perdikan Gemantar terlambat ditangani Jipang, maka agaknya tidak demikian dengan Tanah Perdikan Sembojan."
"Itulah yang akan aku sampaikan kepada kalian," berkata Ki Tumenggung, "menurut pendapat kami di Jipang, Pajang telah menyimpang dari garis kewajibannya. Bahkan beberapa orang pemimpin di Pajang telah menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi. Aku tidak menyebutkan apakah mereka itu para pemimpin Pajang yang datang dari Demak atau memang orang Pajang sendiri. Namun jika hal ini dibiarkan terus-menerus, tentu yang terjadi kemudian akan sangat merugikan bukan saja bagi Pajang sendiri, tetapi sudah tentu bagi bebrayan Agung di Tanah ini."
Para pemimpin dan tetua di Tanah Perdikan Sembojan itupun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Tumenggung berkata selanjutnya, "Sebenarnyalah kami merintis jalan untuk mempersiapkan pertemuan Panembahan Senapati dengan Pangeran Benawa. Namun telah dibebankan pula tugas kepada kami untuk singgah di Tanah Perdikan ini. Untuk selanjutnya besok kami akan meneruskan perjalanan kami melalui Pegunungan Kidul menuju ke Mataram."
"Begitu melingkar-lingkar?" bertanya Iswari dengan serta-merta.
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Itu adalah persoalan para pemimpin tertinggi dari Jipang dan Mataram."
Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Jadi perintah apakah yang akan diberikan kepada Tanah Perdikan Sembojan?"
"Kami ingin minta agar Tanah Perdikan Sembojan jangan menyerahkan surat kekancingan. Yang penting bukan surat kekancingan itu sendiri. Tetapi bahwa surat kekancingan adalah landasan hadirnya sebuah Tanah Perdikan serta nilai dari kuasa yang memberikan surat kekancingan itu. Hari ini juga akan datang seorang Tumenggung dengan sekitar sepuluh orang pengawal terpilihnya untuk berada di Tanah Perdikan ini. Jika utusan dari Pajang itu datang, biarlah Ki Tumenggung itu ikut menemuinya jika para pemimpin Tanah Perdikan ini tidak berkeberatan. Dengan demikian maka orang-orang Pajang itu tentu akan berpikir ulang. Jika mereka benar-benar akan melakukan kekerasan," berkata Ki Tumenggung Reksapuri.
Iswari mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Risang, maka dilihatnya Risang sedang berpikir. Namun Kiai Badralah yang kemudian bertanya, "Apakah Jipang dan Mataram telah merencanakan untuk memberikan tekanan kepada Pajang?"
"Kita semuanya menginginkan pemerintahan berjalan wajar," berkata Ki Tumenggung Reksapuri. Lalu katanya pula, "Kita akan memilih jalan yang terbaik. Kecuali jika semua cara sudah tertutup, kita akan dapat mempergunakan cara yang lebih keras. Mungkin sekali dengan kekuatan. Tetapi sudah tentu itu adalah pilihan terakhir. Kita tahu bahwa yang memegang pimpinan di Pajang, Mataram dan Jipang adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga, meskipun Panembahan Senapati tidak lebih dari saudara angkat Pangeran Benawa. Namun hubungan mereka benar-benar sudah seperti saudara kandung."
Para pemimpin dan tetua di Tanah Perdikan Sembojan itupun kemudian menjadi agak tenang justru karena kehadiran beberapa orang prajurit Jipang. Mereka bukan datang atas kehendak mereka sendiri, tetapi mereka membawa pertanda kekuasaan Adipati Jipang.
Sejenak kemudian, setelah disuguhkan kepada mereka minuman dan makanan, maka para prajurit dari Jipang itu telah dipersilahkan untuk beristirahat di gandok.
Seperti yang direncanakan, maka menjelang sore hari telah datang pula seorang perwira prajurit Jipang dengan dikawal oleh sepuluh orang prajurit pilihan. Mereka telah diterima pula oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan di pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan.
Sementara itu, karena sebelumnya Iswari sudah mengetahui akan kehadiran mereka, maka iapun telah siap dengan hidangan yang telah disediakan sebelumnya.
Yang datang kemudian adalah Ki Tumenggung Jaladara. Seorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis yang lebat melintang.
Tetapi ketika ia mulai berbicara, maka ternyata suaranya terdengar terlalu kecil dengan nada yang tinggi. Namun, setiap kali Ki Tumenggung itu tertawa ramah. Ujudnya yang garang itu ternyata tidak sejalan dengan sikap dan kata-katanya.
Malam itu, Ki Tumenggung Reksapuri yang kedudukannya lebih tua dari Ki Tumenggung Jaladara telah memberikan keterangan terperinci. Ki Tumenggung Jaladara akan berada di Tanah Perdikan Sembojan. Tanah Perdikan Sembojan harus bertahan. Peristiwa yang terjadi di Gemantar jangan sampai terulang kembali.
"Tetapi keadaan Tanah Perdikan ini memang berbeda dari Tanah Perdikan Gemantar. Tanah Perdikan Sembojan memiliki kelebihan dari Gemantar. Bukan saja daerahnya yang jauh lebih luas, tetapi Tanah Perdikan ini memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri jauh lebih besar dari Gemantar," berkata Ki Tumenggung Reksapuri.
Ki Tumenggung Jaladara yang kemudian akan tinggal di Tanah Perdikan Sembojan telah mendapat perintah untuk membantu agar Tanah Perdikan Sembojan tetap dapat berdiri tegak.
"Tanah Perdikan ini akan dapat banyak membantu kita kemudian," berkata Ki Tumenggung Reksapuri.
Malam itu, Risang telah memberikan beberapa keterangan tentang para pengawal yang ada di Tanah Perdikan Semboyan. Namun Risang masih belum mengatakan bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan itu sudah benar-benar bersiap.
"Besok aku ingin melihat sekelompok di antara mereka," berkata Ki Tumenggung Jaladara.
Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, maka para tamu dari Jipang itu telah dipersilahkan untuk beristirahat. Ternyata rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan cukup besar untuk dapat menampung mereka di gandok kiri dan kanan.
Di keesokan harinya, Ki Tumenggung Reksapuri bersama kedua orang Rangga yang menyertainya telah berangkat meneruskan perjalanan mereka sebagaimana mereka rencanakan.
Sementara itu, Ki Tumenggung Jaladara telah mempergunakan waktunya untuk bertemu dengan para pemimpin kelompok dari para pengawal Tanah Perdikan. Banyak persoalan yang mereka bicarakan. Ki Tumenggung telah memberikan beberapa petunjuk bagi para pemimpin kelompok untuk membantu tugas-tugas mereka. Bahkan di sore hari, Ki Tumenggung telah hadir pula pada satu latihan yang dilakukan oleh sekelompok pengawal di lereng sebuah bukit kecil.
"Bukan main," desis Ki Tumenggung, "kemampuan para pengawal di Tanah Perdikan ini jauh melampaui perhitungan kami. Dengan demikian maka kami yakin, bahwa Pajang tidak akan bertindak terlalu kasar terhadap Tanah Perdikan ini."
Namun, ternyata di hari berikutnya, seorang pengawas telah melaporkan, bahwa sepasukan prajurit dari Pajang telah menyusuri jalan menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Risang terkejut mendengar laporan itu. Dengan cepat ia memerintahkan memanggil setiap pemimpin kelompok Tanah Perdikan dengan isyarat.
"Aku tidak berkeberatan jika prajurit-prajurit itu mendengar suara isyarat kami," berkata Risang.
Sejenak kemudian memang telah terdengar isyarat lewat bunyi kentongan. Namun bunyi kentongan itu terlalu khusus yang hanya diketahui oleh para pengawal. Karena itu, maka suara kentongan itu tidak mengacaukan tata kehidupan di Tanah Perdikan.
Sementara itu Risang telah memerintahkan untuk mengawasi gerak pasukan Pajang itu. Jika mereka bersungguh-sungguh dan mulai melakukan gerakan keprajuritan, maka harus disampaikan isyarat kepada para pemimpin Tanah Perdikan di rumah Kepala Tanah Perdikan.
Pertemuan para pemimpin Tanah Perdikan, beberapa orang bebahu dan bekel dari padukuhan-padukuhan yang juga datang bersama para pemimpin kelompok, para tetua di Tanah Perdikan dan orang-orang terpenting telah mendengarkan keterangan Ki Tumenggung Jaladara yang menasehatkan agar Tanah Perdikan itu bertahan.
"Pajang yang sekarang tidak dapat menarik kekancingan itu," berkata Ki Tumenggung, "selain hal ini harus diputuskan dan dilakukan atas dasar kekancingan yang baru, maka hal ini ada sangkut pautnya dengan usaha pemerasan. Aku kira mereka tidak akan melakukan gerakan keprajuritan hari ini. Tetapi orang-orang Pajang itu hanya sekedar menakut-nakuti Tanah Perdikan ini dengan prajuritnya yang akan berkemah di luar atau di perbatasan Tanah Perdikan. Sementara utusan-utusan dari orang-orang yang akan memeras Tanah Perdikan ini akan datang lagi untuk berbicara."
Iswari mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Tumenggung Jaladara. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Kita akan menunggu kedatangan utusan itu. Namun kitapun akan mempersiapkan diri jika prajurit itu benar-benar bergerak."
Ki Tumenggungpun mengangguk-angguk pula. Sementara itu Kiai Badrapun berkata, "Persoalannya akan menjadi luas. Jika benar Jipang dan Mataram mengadakan tekanan kekuatan, maka kita akan dapat berharap bahwa Pajang tidak akan menghambur-hamburkan tenaganya disini, sekedar untuk memenuhi keinginan beberapa orang pemimpin di Pajang yang ingin memeras Tanah Perdikan yang ada di daerah Pajang."
Dengan demikian maka telah diambil keputusan dengan membagi tugas. Risang harus mempersiapkan seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan. Sepuluh orang prajurit pilihan dari Jipang akan membantunya.
Bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung, Risang segera bergerak untuk menyiapkan pasukan yang akan menghentikan gerak pasukan Pajang.
Seperti yang diperhitungkan Ki Tumenggung Jaladara, maka para prajurit Pajang memang tidak langsung memasuki Tanah Perdikan itu. Tetapi mereka telah menempatkan diri di perbatasan. Sambil membangun semacam perkemahan yang dilengkapi dengan pertanda kebesaran dari pasukan yang datang itu dengan rontek, umbul-umbul, kelebet dan bahkan tunggul-tunggulnya, maka Pajang telah mengutus tiga orang senapatinya menuju ke rumah Kepala Tanah Perdikan.
Seorang di antara mereka adalah orang yang pernah datang ke Tanah Perdikan itu. Ki Rangga, Larasgati. Ia akan mengatakan kepada para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan bahwa ia telah datang dengan prajurit-prajurit.
Tetapi ketika Ki Rangga Larasgati dengan kedua orang Senapati itu menelusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Sembojan, ia memang terkejut. Tanah Perdikan itu telah melakukan persiapan terbuka untuk menyambut kedatangan para prajurit dari Pajang. Di banjar padukuhan yang ada di perbatasan, Ki Rangga Larasgati melihat beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah bersiap.
Ia memang menganggap bahwa pengawal yang ada di banjar itu terlalu kecil jika ia benar-benar harus mempergunakan kekerasan dengan prajurit yang dibawanya.
Pemimpin pengawal yang ada di padukuhan yang ada di perbatasan itu memang telah menghentikannya. Sambil membentak-bentak Ki Rangga itu berkata, "Kalian lihat, kami adalah perwira dari Pajang yang mendapat perintah untuk menemui pimpinan Tanah Perdikan ini."
"Kami belum pernah mengenal Ki Sanak," jawab pemimpin kelompok itu, "Ki Sanak begitu saja memasuki padukuhan ini tanpa pemberitahuan. Dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, sudah sepantasnya kami menghentikan Ki Sanak dan minta beberapa keterangan tentang orang-orang yang kami anggap belum kami kenal."
"Tutup mulutmu," Ki Rangga membentak, "kati lihat pakaianku" Kau lihat prajurit yang ada di perbatasan" Dan sebelumnya aku pernah datang ke Tanah Perdikan ini."
"Kami adalah orang-orang pegunungan yang jauh dari kota, sehingga kami tidak dapat segera mengenali pakaian kalian," jawab pemimpin kelompok itu.
"Cukup," Ki Rangga Larasgati hampir berteriak, "jika kau berbicara lagi, aku bunuh kau."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemimpin kelompok itu tersinggung sekali. Tetapi ia sadar, jika terjadi sesuatu atas utusan dari Pajang itu, maka persoalannya akan berbeda.
Karena itu, betapa jantungnya akan meledak, pemimpin kelompok itu harus membiarkan Ki Rangga meneruskan perjalanannya menuju ke rumah Kepala Tanah Perdikan.
Beberapa kali Ki Rangga memang telah dihentikan oleh para pengawal yang tersebar di padukuhan-padukuhan. Dan beberapa kali Ki Rangga harus membentak-bentak.
Tetapi dengan demikian Ki Rangga melihat, bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan tidak hanya yang berada di perbatasan. Tetapi di jalan-jalan Tanah Perdikan itu ia telah berpapasan pula dengan para pengawal. Dalam kelompok-kelompok kecil mereka bergerak ke perbatasan dan bergantung dengan kawan-kawan mereka yang telah lebih dahulu berada di banjar padukuhan yang ada di perbatasan.
"Setan, orang-orang Sembojan," geram Ki Rangga Larasgati, "aku cenderung untuk menghukum Tanah Perdikan ini lebih berat dari Gemantar."
"Prajurit yang kita bawapun berlipat," berkata salah seorang dari pengiringnya itu.
"Tanah Perdikan ini harus dihajar sampai benar-benar mau tunduk," geram Ki Rangga Larasgati.
Kedua pengikutnya mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, "Jika hal itu diperintahkan, maka ka mi akan sanggup melakukannya."
Tetapi seorang yang lain berkata, "Tentu kami sanggup melakukannya. Tetapi apakah kami tidak akan memperhitungkan korban yang akan jatuh?"
"Apakah kalian masih menghitung-hitung, berapa korban yang akan jatuh" Kau dan orang-orangmu adalah prajurit. Kalian harus bertindak tegas terhadap semua orang tanpa pandang pangkat dan derajat, apabila mereka menentang perintah," geram Ki Rangga Larasgati.
"Perintah Kangjeng Adipati?" bertanya orang itu.
"Tutup mulut kau. Jika kau bertanya lagi, maka mulutmu akan aku bungkam. Kau tahu siapa aku. Tanpa landasan kepangkatan aku telah memiliki kemampuan yang tinggi. Kau tahu bahwa aku akan dapat menggilas para pemimpin Tanah Perdikan ini sampai lumat" Sebagai seorang Rangga atau Larasgati itu sendiri," geram Ki Rangga.
Orang yang telah menanyakan tentang kemungkinan jatuhnya beberapa korban itu terdiam. Ia memang menyadari, bahwa Ki Rangga adalah seorang yang berilmu tinggi.
Setelah melalui beberapa padukuhan dan bulak-bulak panjang, serta setelah beberapa kali Ki Rangga Larasgati marah-marah kepada para pengawal yang menghentikannya, maka akhirnya Ki Rangga itu telah memasuki padukuhan induk.
Di padukuhan induk, justru Ki Rangga tidak banyak mengalami hambatan. Orang-orang di padukuhan induk telah mendapat perintah untuk membiarkan saja jika ada utusan dari Pajang yang ingin bertemu dengan pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.
Ki Rangga Larasgati yang memasuki halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan tanpa turun dari kudanya itu, memang telah disambut oleh Iswari sendiri. Baru kemudian, setelah sampai di depan tangga, Ki Rangga Larasgati itu meloncat turun dari kudanya.
Ki Rangga terkejut ketika ia mendengar suara seseorang yang menyapanya, yang sejak semula duduk membelakanginya dan bahkan seakan-akan tidak menghiraukan akan kedatangannya.
"Selamat datang Ki Rangga Larasgati."
Ki Rangga yang sudah berada di tangga pendapa itu termangu-mangu sejenak. Tetapi orang itu masih tetap duduk di tempatnya.
Karena itu dengan lantang ia bertanya kepada Iswari, "Nyi. Siapakah orang itu?"
Ternyata orang itupun kemudian bangkit dan memutar diri. Bahkan kemudian sambil melangkah mendekat ia menjawab, "Bukankah kau mengenal aku?"
Ki Rangga Larasgati memang terkejut. Ia tidak mengira bahwa orang itu berada di Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu hampir di luar sadarnya ia berdesis, "Ki Tumenggung Jaladara."
Ki Tumenggung tertawa. Katanya, "Marilah. Silahkan. Bukankah Ki Rangga Larasgati utusan resmi dari Pajang yang akan bertemu dan berbicara dengan pimpinan Tanah Perdikan Sembojan" Aku orang lain disini yang kebetulan lewat dan singgah di Tanah Perdikan ini."
"Tetapi Ki Tumenggung adalah prajurit dari Jipang," desis Ki Rangga Larasgati.
"Ya. Karena itu, aku adalah orang lain disini," jawab Ki Tumenggung.
Ki Rangga masih akan menjawab. Tetapi Ki Tumenggung berkata, "Marilah. Naiklah dahulu ke pendapa."
Iswari yang menyambutnyapun telah mempersilahkannya pula.
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga Larasgati beserta kedua pengiringnya telah berada di pendapa itu pula. Namun sikap Ki Ranggapun telah berubah. Bagaimanapun juga ia masih tetap menghormati Ki Tumenggung Jaladara yang memang sudah dikenal sebelumnya.
"Aku akan mempersilahkan kalian untuk berbicara," berkata Ki Tumenggung Jaladara, "atau barangkali aku harus menyingkir dahulu?"
"Ah, tentu tidak," sahut Ki Rangga Larasgati. Lalu katanya pula, "pembicaraan kami bukan pembicaraan yang bersifat rahasia. Seandainya pembicaraan kami bersifat rahasia, aku kira para pemimpin dari Tanah Perdikan inipun telah menyampaikannya kepada Ki Tumenggung pula."
"Mereka tidak merasa berkewajiban untuk menyampaikannya kepadaku," berkata Ki Tumenggung.
"Bukan soal kewajiban atau tidak berkewajiban," jawab Ki Rangga, "barangkali sekedar keterangan atau pemberitahuan saja," Ki Rangga itu berhenti sejenak, lalu, "Kedatangan kami hanya sekedar untuk menegaskan sikap kami."
"Seperti yang terjadi di Gemantar?" bertanya Ki Tumenggung Jaladara.
Wajah Ki Rangga menegang. Sementara itu Ki Tumenggung berkata pula, "Jika saja Gemantar memenuhi permintaan Pajang. Maka Tanah Perdikan itu tidak akan mengalami nasib buruk."
Ki Rangga Larasgati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Ki Tumenggung nampaknya berprasangka buruk."
"Tentang apa?" bertanya Ki Tumenggung, "bukankah sewajarnya jika Gemantar memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pajang, maka kekancingan Tanah Perdikan itu tidak akan dicabut."
Wajah Ki Rangga menjadi merah. Dengan geram ia berkata, "Baiklah. Aku akan berbicara dengan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Tidak kepada orang lain."
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Silahkan. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku orang lain disini?"
Ki Rangga Larasgati kemudian berpaling kepada Iswari sambil bertanya, "Apakah kau telah berhubungan dengan Jipang dan minta bantuannya?"
Iswari menjawab singkat, "Tidak."
"Tetapi ada perwira Jipang disini sekarang," berkata Ki Rangga.
"Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakannya. Jika kurang jelas, bertanyalah sendiri. Orangnya masih ada disini," jawab Iswari.
Jantung Ki Rangga Larasgati menjadi semakin bergejolak. Nampaknya ia memang harus mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka iapun berkata, "Aku tidak peduli. Tetapi apa jawabmu atas perintah Pajang yang pernah aku sampaikan beberapa hari yang lalu."
"Aku akan mentaati segala perintah resmi dari Pajang. Jika Ki Rangga Larasgati dapat menunjukkan pertanda limpahan kuasa dari Pajang, maka aku akan menentukan sikap," jawab Iswari.
"Ternyata kau adalah perempuan yang dungu," geram Ki Rangga, "kau tahu bahwa aku membawa pasukan yang cukup untuk merampas kekancingan itu?"
"Kau tidak tahu dimana kekancingan itu berada sekarang," berkata Iswari, "kau tidak akan dapat menemukannya. Kekancingan itu adalah jiwa Tanah Perdikan ini."
"Kau tahu bahwa hal yang demikian dapat berakibat kematianmu," geram Ki Rangga Larasgati.
"Jiwaku sama sekali tidak berarti dibanding dengan jiwa Tanah Perdikan ini," jawab Iswari.
"Kau seorang perempuan," geram Ki Rangga, "seharusnya kau menyadari kelemahanmu."
"Ya aku seorang perempuan," jawab Iswari, "tetapi justru karena aku perempuan, aku berbangga dengan kemampuanku."
"Baik. Sediakan kekancingan itu. Aku akan memasuki Tanah Perdikan ini dengan pasukanku. Atau sediakan keranda bagi pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan," geram Ki Rangga.
Risang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu tiba-tiba membentak, "Tinggalkan tempat ini segera. Atau untuk selamanya kau tidak akan pernah keluar dari tempat ini."
"Iblis kau," Ki Rangga hampir berteriak, "kau akan mati untuk yang terdahulu."
Tetapi Risangpun berteriak, "Cepat pergi sebelum darahku mendidih."
Ki Rangga Larasgati benar-benar merasa terhina. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat banyak selain membentak-bentak. Karena itu, maka iapun segera meninggalkan halaman rumah itu sambil mengancam, "Besok aku akan memasuki halaman rumah ini kembali. Besok aku akan menangkapmu, kecuali jika secara pengecut kau melarikan diri. Apapun yang dapat kau banggakan, tetapi di tangan kami, kau tentu akan menunjukkan dimana kekancingan itu kau sembunyikan."
Tidak seorangpun yang menjawab. Ki Tumenggung Jaladarapun hanya tersenyum saja mendengar ancaman itu. Namun Risang telah menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri, "Kita tidak akan menyerah."
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itupun telah berderap meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Tidak ada lagi yang menyapa mereka ketika mereka melewati padukuhan-padukuhan yang lain.
Namun dalam pada itu, Risangpun telah bersiap untuk menemui para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan.
"Aku ikut bersamamu," berkata Iswari.
Ternyata yang kemudian keluar dari regol halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah Risang, Iswari, diikuti oleh Ki Tumenggung Jaladara, Sambi Wulung. Jati Wulung dan beberapa orang pengawal terpilih.
Sementara para prajurit Pajang justru tetap berada di rumah itu.
Ki Tumenggung Jaladara memang kagum melihat kesigapan Risang dan para pengawal Tanah Perdikan. Risang menunjukkan kemampuannya mengatur pasukannya sebagaimana seorang prajurit.
Sebenarnyalah Risang memang bersikap sebagai seorang prajurit terhadap para pengawal Tanah Perdikan dalam keadaan yang gawat itu. Para pengawalpun menyadari, justru mereka tahu bahwa Risang memang pernah menjadi seorang prajurit.
Dalam waktu yang singkat, maka pertahanan Tanah Perdikan Sembojanpun telah tersusun rapi. Para pengawal telah menyusun pertahanan pada padukuhan yang pertama di hadapan perkemahan prajurit Pajang. Untuk mengimbangi getaran dan gejolak perasaan yang terpengaruh oleh pertanda kebesaran kesatuan prajurit Pajang yang berkemah di perbatasan, maka di padukuhan pertama, di garis pertahanan pertama pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan, telah dipasang pula tanda-tanda kebesaran Tanah Perdikan Sembojan. Juga tunggul dan panji-panji, rontek dan kelebet.
Sementara itu, Ki Rangga Larasgatipun telah memerintahkan seluruh prajurit di dalam pasukannya untu
Pendekar Sakti Suling Pualam 12 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Pedang Penakluk Iblis 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama