Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 11

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 11


Karena itu, maka Prastawa sama sekali tidak berkata sesuatu.
Sementara orang-orang itu masih saja mengacu-acukan senjata mereka. Seorang yang lain berteriak, "Jika demikian, biarlah kami, orang padukuhan ini saja yang datang ke perkemahan. Kami akan membunuh orang-orang yang tinggal di perkemahan itu dan membakar gubug-gubug yang ada disana."
"Cukup," bentak Ki Gede, "aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Selama ini aku kerja keras untuk kepentingan kalian. Aku tidak mementingkan diriku sendiri. Memanjakan keluargaku atau orang-orang yang dekat dengan aku. Jika aku tidak segera melakukan sebagaimana kalian inginkan, itu semata-mata juga aku memikirkan keselamatanmu."
Orang-orang itu memang terdiam untuk sesaat. Namun kemudiam ketika di halaman banjar itu datang Glagah Putih dan Sabungsari, maka orang-orang itu berteriak-teriak lagi.
"Mana Agung Sedayu. Mana Agung Sedayu," teriakan itu seakan-akan hendak meledakkan banjar padukuhan itu.
Glagah Putih dan Sabungsari yang melihat suasana itu segera menyadari bahwa mereka harus berhati-hati menghadapi orang-orang yang agaknya sedang marah karena peristiwa yang mereka rasakan sangat menusuk perasaan.
Dengan nada rendah Glagah Putih menjawab, "Kakang Agung Sedayu tidak ada di rumah. Ketika seorang pengawal datang memberitahukan hal itu kepada kami, kakang Agung Sedayu masih ada di baraknya. Ia belum pulang. Karena itu, maka kami datang untuk melihat suasana padukuhan ini."
"Jadi kalian datang hanya untuk melihat?" seseorang tiba-tiba berteriak pula, "kau anggap yang terjadi itu sebagai tontonan saja?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tetap sadar, bahwa ia harus mengendalikan diri dan berbuat sebaik-baiknya menghadapi orang-orang yang sedang marah.
"Sebaiknya kita tinggalkan saja mereka yang menghalangi penyerangan ini. Kami mohon Ki Gede memimpin kami menyerang perkemahan itu. Seandainya kita masih harus menunggu sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, biarlah Agung Sedayu sendiri yang menunggu."
Ki Gede terkejut. Glagah Putih dan Sabungsari-pun terkejut pula. Orang-orang itu seakan-akan telah melemparkan kesalahan kepada Agung Sedayu yang dianggapnya menghambat penyerangan mereka atas perkemahan itu.
Prastawalah yang kemudian menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak bermaksud memburukkan nama Agung Sedayu. Tetapi jika hatinya merasa sangat kesal, maka kadang-kadang dengan tidak sengaja meluncur pula keluhannya bahwa Agung Sedayu masih berniat menunda setiap usaha untuk menyerang perkemahan itu.
Namun dalam pada itu Ki Gede-pun berkata, "Saudara-saudaraku. Jika Agung Sedayu berniat menunda, itu semata-mata karena perhitungannya yang matang. Selain ia seorang yang memiliki pengalaman yang luas, ia juga seorang Lurah prajurit yang memiliki pandangan yang tajam terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam pertempuran yang bakal terjadi."
"Tetapi kita tidak sabar lagi," teriak seorang yang lain. Bahkan yang lain lagi berteriak, "Apa artinya seorang saja diantara seisi Tanah Perdikan" Jika ia tidak mau bersama kami karena takut akan dihancurkan oleh orang-orang perkemahan, maka biarlah ia tidak ikut. Atau katakanlah, biarlah seisi rumahnya tidak ikut serta bersama kami. Kami tidak berkeberatan."
Suara itu ternyata disahut oleh banyak orang, "Kita tinggalkan saja satu dua orang yang memang tidak berani ikut bersama kita. Jumlah kita masih terlalu banyak."
"Cukup.Cukup," Ki Gede menjadi marah, "kau ingin tahu artinya seseorang" Jika seseorang itu aku, atau kau, atau kau, atau kau, maka itu tidak berarti apa-apa. Tetapi jika yang seorang itu Agung Sedayu, maka artinya akan besar sekali. Aku yakin kalian tentu mengenal Agung Sedayu, Glagah Putih adik sepupunya dan angger Sabungsari serta orang lain yang ada di rumahnya, Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kalian tentu tahu apa yang mereka dapat lakukan. Dengan ilmu mereka, mereka akan dapat berbuat jauh lebih baik daripada kalian sepadukuhan ini. Jika tidak percaya, biarlah Glagah Putih, yang sekarang ada, melontarkan ilmunya kearah kalian. Maka kalian yang berkumpul ini tidak akan sempat menghitung berapa sosok mayat yang akan terbaring disini."
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka terpengaruh oleh kata-kata Ki Gede itu. Namun tiba-tiba diluar dugaan seseorang berkata, "Jika demikian. Marilah bersama Agung Sedayu, Glagah Putih dan yang lain-lain itu kita pergi keseberang bukit. Mereka akan dapat membunuh orang-orang yang tinggal di lereng bukit itu. Kenapa dengan demikian kita masih harus menunggu lagi" Dengan sapuan ilmu mereka, maka dalam sekejap pekerjaan itu akan selesai."
Kemarahan Ki Gede manjadi semakin membakar jantungnya. Tetapi sebagai seorang pemimpin, maka ia harus mengekang diri. Meski-pun demikian maka dengan lantang Ki Gede itu menjawab, "Nah, sekarang dengar penjelasanku. Kita memang mempunyai beberapa orang yang berilmu sangat tinggi. Yang kalian tidak mampu membayangkannya. Tetapi dengar, bahwa di perkemahan itu juga ada orang-orang yang berilmu sangat tinggi sebagaimana Agung Sedayu, Glagah Putih dan yang lainnnya lagi. Karena itulah maka Agung Sedayu menjadi sangat berhati-hati. Jika kita bertempur melawan orang-orang di seberang bukit, mungkin Agung Sedayu sendiri, Glagah Putih dan orang-orang yang berilmu tinggi itu akan dapat luput dari ilmu orang-orang yang berilmu tinggi di seberang bukit. Tetapi bagaimana dengan kalian" Bagaimana dengan para pengawal yang masih muda" Bagaimana dengan orang-orang lain yang dengan marah sambil mengacu-acukan senjatanya menyerang perkemahan itu" Agung Sedayu sudah membayangkan jika demikian yang terjadi, maka korban akan bertebaran sebagaimana menyabit batang ilalang. Nah, dengarkan baik-baik. Jika agung Sedayu mengusulkan beberapa kali agar kita berhati-hati menghadap orang itu, maka landasan berpikirnya adalah menyelamatkan kalian. Bukan Agung Sedayu mencemaskan dirinya sendiri."
Orang-orang yang mendengar suara Ki Gede yang keras itu benar-benar terdiam. Mereka mulai sempat memikirkan apa sebabnya Ki Gede masih merasa belum waktunya menyerang perkemahan itu.
Ketika orang-orang yang berada di halaman banjar itu mulai merenung, maka Ki Gede-pun berkata, "Sekarang sebaiknya kalian kembali ke rumah masing-masing. Biarlah para pengawal melakukah tugas mereka sebaik-baiknya. Namun pada saatnya, jika diperlukan maka kalian harus hadir di halaman banjar dengan senjata di tangan sebagaimana kalian lakukan hari ini. Karena hal itu tentu akan terjadi. Kita hanya menunggu waktu yang menurut penilaian kami waktu yang terbaik."
Orang-orang yang berada di halaman itu termangu-mangu. Sementara Ki Gede berkata lagi, "Apa yang kalian tunggu" Pulanglah dan bersiap-siaplah. Aku merasa bangga atas sikap kalian yang serta merta. Ternyata kalian adalah orang-orang yang menjunjung tinggi derajad kemanusiaan kalian. Sikap orang-orang perkemahan itu atau siapa-pun juga yang melakukannya adalah bukan sikap orang beradab. Karena itu wajar jika kalian berniat menghukum mereka, karena orang-orang yang melakukan perbuatan yang demikian memang harus dihukum berat."
Orang-orang itu tidak menjawab. Sementara itu, satu demi satu orang-orang itu-pun meningggalkan halaman banjar pulang ke rumah masing-masing.
Namun setelah mereka sempat merenungi sikap mereka, maka mereka memang menjadi berdebar-debar. Mereka baru menyadari, bahwa jantung mereka telah terbakar oleh peristiwa yang sangat menyakitkan itu.
Bahkan beberapa orang sempat bergumam di dalam hati, "Untunglah Ki Gede sempat mencegah kami."
Ketika banjar itu sudah menjadi lengang, sehingga hanya ada beberapa pengawal saja, maka Ki Gede telah berbicara dengan Glagah Putih, Sabungsari dan Prastawa. Dengan nada dalam Ki Gede berkata, "Persoalannnya memang sudah sangat mendesak."
Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Meski-pun agak ragu namun Glagah Putih mencoba untuk memberikan penjelasan, "Ki Gede. Saat ini orang yang bernama Resi Belahan telah berada di perkemahan itu. Kita tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu Resi Belahan itu. Selain Resi Belahan masih ada Ki Tempuyung Putih dan sudah tentu beberapa orang lain yang berilmu tinggi. Karena itu, maka kakang Agung Sedayu agaknya menjadi sangat berhati-hati."
"Kami mengerti ngger. Tetapi jika api sudah menyala di dada orang-orang padukuhan seperti ini, maka pada suatu saat kita tentu akan benar-benar tidak mampu mengendalikan lagi. Jika mereka dengan liar menyerang perkemahan itu, maka dapat dibayangkan, bahwa mereka akan disapu habis oleh orang-orang perkemahan yang garang itu."
Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu Prastawa-pun berkata, "Para pengawal-pun rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Mereka menganggap perkemahan itu seperti duri dalam daging. Setiap ada gerak, maka terasa betapa pedihnya."
"Baiklah," berkata Glagah Putih, "aku akan meyampaikannya kepada kakang Agung Sedayu."
"Ya ngger," berkata Ki Gede kemudian, "kita akan segera membicarakan lagi persoalan ini. Secepatnya, sebelum Tanah Perdikan ini meledak."
Demikianlah, maka Ki Gede-pun kemudian telah kembali ke padukuhan induk bersama dengan Prastawa, Glagah Putih dan Sabungsari. Sementara itu, Ki Gede minta agar para pengawal semakin waspada. Mungkin ada orang yang ingin membalas dendam atas kematian kawam mereka.
Tetapi orang yang melarikan diri dan sudah terluka ketika bertempur melawan para pengawal setelah ia gagal menyeret seorang gadis dari padukuhan, ternyata sama sekali tidak melaporkan kepada pemimpinnya di perkemahan. Ketika ia dikalahkan oleh para pengawal dan melarikan diri, ia langsung bersembunyi di baraknya. Seorang kawannya memang bertanya kepadanya, apa yang terjadi, namun orang itu menggeleng sambil berkata, "Tidak ada apa-apa."
"Tetapi aku melihat darah di tubuhmu," berkata kawannya.
"O," orang itu mengusap tubuhnya yang bukan saja berdarah, tetapi juga kotor, "aku terjatuh dari sebatang pohon manggis. Bukan terjatuh, tergelincir."
Kawannya tidak bertanya lagi. Sementara orang itu kemudian merasa perlu untuk mandi dan membersihkan diri, menghilangkan jejak dari tubuhnya."
Namun ternyata, dua orang petugas perkemahan di Tanah Perdikan Menoreh sempat melihat tentang keributan yang terjadi itu. Ketika mereka melaporkan hal itu kepada Ki Tempuyung Putih maka Ki Tempuyung Putih telah memerintahkan orang itu menghubungi dua orang petugas yang lain, yang lebih bersungguh-sungguh dan bahkan telah menyebarkan uang di Tanah Perdikan.
"Aku akan melaporkannya kepada Ki Tempuyung Putih," berkata salah seorang dari kedua orang itu.
Malam itu juga keduanya minta diri kepada Ki Makerti untuk pergi ke perkemahan.
"Besok aku sudah kembali," berkata orang itu yang pada saat-saat terakhir berada di rumah Ki Makerti untuk dapat melihat perkembangan Tanah Perdikan dari dekat.
Kedua orang itulah yang telah memberikan laporan terperinci dari apa yang didengarnya telah terjadi di pedukuhan di dekat lereng pebukitan itu.
Kemarahan Ki Tempuyung Putih telah menjalar sampai keubun-ubunnya. Bukan karena ia menjunjung tinggi nilai-nilai tata kehidupan. Tetapi tindakan kedua orang itu akan membakar kemarahan orang-orang Tanah Perdikan.
Karena itu, maka Ki Tempuyung Putih itu segera memerintahkan mencari orang yang telah melakukan hal itu.
Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan orang itu. Kawan-kawannya yang pernah melihat orang itu terluka telah memberikan laporan tentang keadaannya.
Ternyata Ki Tempuyung Putih tidak tanggung-tanggung memberikan hukuman kepada orang itu. Ketika orang itu dipanggil dan diminta keterangan apa yang telah dilakukannya, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Dua orang petugas di Tanah Perdikan serta dua orang lainnya yang memang berada di Tanah Perdikan telah memberikan kesaksian tentang perbuatannya itu.
"Padukuhan itu menjadi gempar. Hampir saja mereka beramai-ramai menyerang perkemahan ini. Tetapi Ki Gede sempat mencegahnya." berkata salah seorang yang bertugas untuk mengamati Tanah Perdikan itu. Bahkan ia-pun berkata, "Aku sudah berusaha memanasi orang-orang yang sempat berbicara dengan aku di halaman banjar. Tetapi Ki Gede mempunyai wibawa yang sangat tinggi. Jika saja mereka, sekelompok orang dari pedukuhan itu tidak terkendali dan menyerang, maka mereka akan dapat kita binasakan. Tetapi justru karena wibawa Ki Gede, maka pada saatnya akan datang serangan yang besar sambil memanfaatkan kemarahan orang-orang Tanah Perdikan karena tingkah laku satu dua orang kita."
Sementara itu salah seorang yang untuk sementara tinggal di rumah Ki Makerti berkata, "Tingkah laku itu sangat merugikan kita, justru pada saat aku sedang berusaha mencari bahan untuk melengkapi laporan yang sudah hampir siap. Aku sudah mempunyai hubungan dengan beberapa orang penting di Tanah Perdikan. Aku-pun dalam waktu dekat tentu dapat berbicara tentang kekuatan Tanah Perdikan dan bahkan tentang Bajang Bertangan Baja."
Tempuyung Putih tidak berpikir terlalu panjang. Dengan lantang ia berteriak, "Orang itu harus dihukum mati."
Orang itu terkejut. Namun apa yang dilakukan kemudian tidak berarti apa-apa bagi Ki Tempuyung Putih. Orang itu-pun kemudian diseret keluar dan hukuman mati-pun dilakukan saat itu juga.
Ternyata Resi Belahan sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi. Ketika ia mengetahui persoalan itu, maka ia tidak memberikan tanggapan apapun. Yang kemudian menjadi perhatiannya adalah dua orang yang ditugaskan untuk mencari hubungan di Tanah Perdikan dan yang untuk sementara di rumah Ki Makerti.
"Waktu kita sudah hampir habis. Dalam waktu sepekan jika kau belum memberikan laporan terperinci tentang kekuatan Tanah Perdikan dan Bajang Bertangan Baja, maka tugasku akan ditinjau lagi," berkata Resi Belahan.
Kedua orang itu mengerti, apa artinya peninjauan kembali atas tugas mereka. Resi Belahan-pun tidak pernah ragu-ragu menjatuhkan hukuman mati. Bahkan mungkin Ki Tempuyung Putihlah yang bertindak lebih dahulu.
Karena itu, maka mereka berusaha untuk dengan segenap kemampuan mereka mencari beberapa keterangan tentang kekuatan yang ada di Tanah Perdikan.
Orang-orang itu sudah mengetahui nama-nama Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh sendiri. Mereka-pun tahu bahwa mereka adalah orang-orang berilmu tinggi sehingga Ki Manuhara dan beberapa orang berilmu tinggi yang lain, justru telah dihancurkan ketika mereka menyerang rumah Agung Sedayu.
Mereka merasa seakan-akan mereka mendapat satu anugerah ketika ternyata Ki Marbudi telah minta Ki Makerti datang kepadanya untuk membicarakan kemungkinan untuk meminjam uang lebih banyak lagi.
Dengan serta-merta maka Ki Makerti dan kedua orang yang diaku sebagai saudaranya itu-pun segera datang. Mereka telah mempersiapkan uang berapa-pun yang diinginkan oleh Ki Marbudi dalam batas kewajaran.
"Kita tidak dapat memberikan uang sepedati," berkata salah seorang dari kedua orang petugas dari perkemahan itu. "Jika kita melakukan hal itu, maka Ki Marbudi justru akan menjadi curiga, sehingga ia akan membatalkan niatnya," berkata orang yang disebut Ki Suramuka itu lebih lanjut.
Ki Makerti termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Tetapi bukankah ia memperlakukan uang. Semakin banyak kita menyediakan uang, maka tentu semakin mudah pula ia membuka rahasia."
"Kita akan mencoba untuk menjajaginya," berkata Ki Prasanta.
Kedatangan mereka memang disambut oleh Ki Marbudi dengan gembira. Demikian pula isterinya. Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Ki Marbudi itu berkata, "Ki Sanak bertiga, ternyata anakku sudah sembuh. Aku ingin mengadakan semacam pernyataan sukur dengan mengundang beberapa orang sanak kadang terdekat."
"Sokurlah," berkata Ki Makerti, "kami ikut bergembira. Nah, jika Ki Marbudi menyelenggarakan sokuran, jangan lupa, aku dan kedua saudaraku ini diberitahu. Kami dengan senang hati akan datang untuk ikut meramaikan sokuran itu."
"Tentu. Tentu," jawab Ki Marbudi dengan serta merta. "namun untuk itu aku masih belum mempunyai beaya."
Ki Makerti dan kedua orang yang datang bersama itu serentak tertawa berkepanjangan. Katanya, "Ah, mana mungkin Ki Marbudi tidak mempunyai beaya untuk menyelenggarakan sokuran. Ki Marbudi termasuk seorang bebahu yang berpengaruh. Pelungguhnya tentu cukup luas. Sementara itu Nyi Marbudi yang berdagang di pasar, semakin lama semakin berkembang."
"Tetapi aku berkata sebenarnya Ki Makerti," berkata Ki Marbudi kemudian, "itulah sebabnya, aku berharap Ki Makerti datang kemari."
"Ah, hanya untuk itu" Baiklah Ki Marbudi, jika hanya untuk itu, Ki Marbudi tidak usah meminjam uang kami. Kami akan menyumbang seberapa besar yang dibutuhkan Ki Marbudi. Selama ini Nyi Marbudi telah memberikan banyak bunga kepada kami. Tentu tidak akan berkurang nilainya jika sebagian dari bunga yang telah kami terima itu kami kembalikan untuk mensukuri anak Ki Marbudi yang sudah sembuh itu."
"Ah, tentu aku tidak mengharapkan demikian," berkata Ki Marbudi, "aku tidak ingin mengganggu orang lain. Aku benar-benar ingin mendapat pinjaman."
"Jangan segan Ki Marbudi. Kami berkata sebenarnya. Kedua saudaraku ini tentu juga sependapat," berkata Ki Makerti.
"Terima kasih Ki Makerti. Tetapi kebutuhanku tidak hanya sekedar untuk mensukuri anakku yang sembuh. Tetapi juga seperti yang Ki Makerti tawarkan, memperbaiki rumahku yang hampir menjadi condong ini," berkata Ki Marbudi.
"Ah," desali Ki Makerti, "rumah ini adalah rumah yang paling kokoh di Tanah Perdikan. Tetapi kami memang sanggup menyediakan uang untuk memugar rumah ini. Mungkin Ki Marbudi ingin tiang pendapa rumah ini diganti dengan tiang ukir-ukiran dan disungging sekali."
"Ah, tentu tidak. Aku tidak berani membuat rumah lebih baik dari rumah Ki Gede," jawab Ki Marbudi.
Ki Makerti tertawa. Namun kemudian mereka-pun telah membicarakan rencana Ki Marbudi untuk meminjam uang. Untuk sokuran, memperbaiki rumah dan memperluas usaha dagang Nyi Marbudi.
"Nanti malam aku datang mengantarkan uang yang Ki Marbudi butuhkan," berkata Ki Makerti, "Meski-pun kadang-kadang terjadi kekisruhan di Tanah Perdikan ini, tetapi nampaknya para pengawal berjaga-jaga dengan ketat, sehingga aku tidak perlu cemas bahwa akan ada bahaya di perjalanan."
"Tetapi bagaimana-pun juga Ki Makerti harus berhati-hati," pesan Ki Marbudi.
"Untuk apa pengawal yang sekian banyaknya?" bertanya Ki Makerti.
"Nampaknya saja terlalu banyak. Tetapi sebenarnya pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu banyak," jawab Ki Marbudi, "Soalnya angger Prastawa yang dibantu oleh beberapa orang muda berilmu tinggi itu memiliki kemampuan untuk mengatur, sehingga nampaknya seakan-akan pengawal di Tanah Perdikan ini cukup kuat. Tetapi sebenarnya banyak lubang-lubang kelemahan yang terdapat dalam pertahanan para pengawal Tanah Perdikan."
"Ah, tidak Ki Marbudi. Pengalaman mengatakan kepadaku, juga kepada rakyat Tanah Perdikan, bahwa Tanah Perdikan ini cukup kuat untuk menghadapi kekuatan dari luar. Ternyata orang-orang yang berkemah di sebelah bukit juga tidak berani berbuat apa-apa atas Tanah Perdikan ini."
"Beberapa kari mereka telah melakukan penyerangan dan pengacauan," jawab ki Marbudi.
"Tetapi usaha mereka tidak pernah berhasil," jawab Ki Makerti bersungguh-sungguh.
"Itu karena mereka tidak tahu letak kelemahan Tanah Perdikan ini. Dan itu merupakan satu keberuntungan bagi kita."
Kedua orang perkemahan itu termangu-mangu sejenak. Mereka saling berpandangan. Nampaknya mereka mendapat kesempatan untuk memenuhi perintah Resi Belahan. Meski-pun mereka sadar bahwa mereka tidak boleh tergesa-gesa dan serta merta.
Namun Ki Makerti masih berkata, "Aku masih percaya kepada Ki Gede Menoreh. Ia seorang yang berilmu tinggi dan berwibawa."
Ki Makerti termangu-mangu sejenak. Dengan nada heran ia bertanya, "Ki Marbudi. Nampaknya Ki Marbudi tidak begitu yakin. Bukankah selama ini kita melihat dan mengalami, bahwa Tanah Perdikan ini menjadi besar dibawah kepemimpinan Ki Gede."
"Aku percaya. Aku tidak pemah menolak pendapat itu. Aku adalah salah seorang pembantunya. Tetapi justru karena itu aku tahu bahwa tanpa orang-orang seperti Agung Sedayu maka Tanah Perdikan ini tidak berarti apa-apa," jawab Ki Marbudi.
Kedua orang yang mengaku saudara Ki Makerti itu mengangguk-angguk diluar sadar mereka. Sementara itu Ki Marbudi-pun berkata, "Sudahlah. Aku adalah salah seorang bebahu. Jika aku terlepas kata, maka persoalannya akan menjadi lain. Apalagi jika didengar oleh orang-orang perkemahan. He, dengan mudah kalian dapat mengukur kekuatan sebenarnya dari Tanah Perdikan ini. Seandainya kekuatan Tanah Perdikan ini cukup tangguh, kenapa Ki Gede tidak berani menyerang perkemahan itu?"
Ki Makerti mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu tidak akan didengar orang-orang perkemahan. Bagaimana mungkin keterangan Ki Marbudi dapat merambat sampai kesana. Seandainya sampai juga, maka Ki Marbudi tentu pernah berbicara dengan orang lain pula."
"Tidak," jawab Ki Marbudi, "Aku tidak pernah mengatakannya kepada siapa-pun juga. Kecuali ada bebahu lain yang mempunyai wawasan sama seperti aku."
Ki Makerti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, "Sudahlah Ki Marbudi. Aku mohon diri. Nanti malam aku akan datang lagi dengan membawa uang yang Ki Marbudi butuhkan. Juga bagi Nyi Marbudi untuk memperluas perdagangan."
"Terima kasih," jawab Ki Marbudi, "sebenarnya aku tidak terlalu tergesa-gesa. Apalagi keadaan nampaknya masih belum menentu sekarang ini."
"Tidak apa-apa Ki Marbudi, nanti malam aku benar-benar kembali. Bukan saja untuk menyerahkan uang. Tetapi ceritera Ki Marbudi tentang Tanah Perdikan ini sangat menarik. Sebagai orang Tanah Perdikan ini, aku juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya digelar diatas Tanah Perdikan ini" Main-main, kepura-puraan atau aku yang tertinggal tanpa dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya," berkata Ki Makerti.
"Sudahlah," berkata Ki Marbudi, "aku tidak dapat berbicara panjang tentang para pengawal di Tanah Perdikan ini serta celah-celah kekuatan yang hanya terpampang di permukaan."
Ki Makerti tertawa. Katanya, "Baiklah. Kami minta diri." Demikian Ki Makerti dan kedua orang kawahnya meninggalkan rumah Ki Marbudi, maka Nyi Marbudi dengan wajah tegang bertanya, "Kakang, kenapa kau menyinggung tentang kelemahan di Tanah Prdikan ini" Untunglah kakang belum terlanjur membuka rahasia. Siapa tahu, apa yang kakang katakan diceriterakan oleh Ki Makerti kepada orang lain sehingga menjalar sampai ke telinga orang-orang yang berada di seberang bukit."
"Aku tidak peduli," jawab Ki Marbudi, "aku memang sudah jemu dengan keadaan yang berlarut-larut seperti ini. Meski-pun nampaknya Ki Gede yang memegang kendali kepemimpinan di Tanah Perdikan ini, namun sebenarnyalah bahwa Ki Gede tidak, berkuasa apa-apa. Segala sesuatunya berada di tangan Agung Sedayu. Seolah-olah ia adalah penguasa tertinggi di Tanah Perdikan ini. Sebenarnya seandainya Ki Gede tidak melaksanakan tugasnya, bukankah ada angger Swandaru, menantu Ki Gede itu yang dapat berkuasa dan memerintah Tanah Perdikan ini. Coba, kau lihat, apa kuasaku di Tanah Perdikan ini meski-pun aku seorang bebahu yang dekat dengan Ki Gede. Duduk, mendengarkan Agunag Sedayu sesorah dan bahkan mengambil keputusan."
"Tetapi kakang tidak perlu mengatakan kepada orang yang tidak begitu kakang kenal," berkata Nyai Marbudi.
"Tetapi ia orang baik. Nanti malam ia akan datang membawa uang. Nah, apalagi yang aku inginkan sekarang selain uang setelah aku yakin bahwa aku tidak mempunyai kekuasaan sama sekali di Tanah Perdikan ini?" desis Ki Marbudi. Lalu katanya, "Aku tidak peduli apa yang akan terjadi dengan Tanah Perdikan ini. Aku akan membangun rumah yang baik. Kau akan menjadi seorang pedagang yang besar. Aku tidak peduli apakah aku punya kuasa atau tidak. Namun aku mempunyai pelungguh sawah yang luas."
"Kakang, bukankah uang pinjaman itu pada suatu saat harus dikembalikan," bertanya isterinya.
"Tentu. Tetapi bukankah Ki Makerti tidak mensyaratkan kapan aku harus mengembalikan" Ia orang baik. Aku dapat mengangsur beberapa-pun yang dapat aku sisihkan setiap pekan. Ia tidak akan banyak menuntut. Dan aku tidak ingin menggelapkan uang itu. Nah, hubungan kita dengan mereka akan dapat berlangsung dengan baik. Agaknya kita dan mereka memang saling membutuhkan," berkata Ki Marbudi.
Nyi Marbudi hanya termangu-mangu saja. Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian setelah Ki Marbudi membenahi pakaiannya, ia-pun berkata kepada isterinya, "Aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Meski-pun aku tidak tahu untuk apa aku ke sana, tetapi meski-pun hanya sebentar aku akan menampakkan diri. Orang-orang Tanah Perdikan ini tentu akan terkejut kelak, jika rumahku menjadi bertambah megah meski-pun tidak melampaui rumah Ki Gede."
"Tetapi apakah hal itu tidak akan menimbulkan persoalan, kakang," bertanya Nyi Marbudi.
"Bukankah orang-orang Tanah Perdikan tahu bahwa usahamu berhasil" Daganganmu menjadi semakin banyak dan kau tentu mendapat uang lebih banyak pula. Pelungguh sawahku-pun luas. Sedangkan sawah dan pategalan peninggalan orang tuaku-pun luas pula. Nah, apalagi. Lebih dari itu, aku tidak peduli apa kata orang tentang keluarga kita."
Nyi Marbudi hanya dapat berdiri termangu-mangu. Sementara itu Ki Marbudi-pun kemudian meninggalkan rumahnya untuk pergi ke rumah Ki Gede.
Di rumah Ki Gede, Ki Marbudi mendengar bahwa persiapan untuk mengambil langkah-langkah tertentu telah ditingkatkan. Namun Ki Marbudi-pun mendengar dari antara para pemimpin pengawal bahwa apa yang mereka lakukan itu sama sekali tidak berarti. Perintah ameningkatkan persiapan telah dilakukan sejak beberapa pekan sebelumnya. Namun yang mereka lakukan tidak lebih dari persiapan dan persiapan saja.
Ki Marbudi memang tidak ikut mencampuri kegiatan para pengawal. Tetapi ia sempat mendengar betapa para pengawal hampir kehabisan kesabaran. Apalagi setelah peristiwa yang terjadi di padukuhan dekat pebukitan. Hampir saja seorang gadis telah diperlakukan dekat pebukitan. Hampir saja seorang gadis telah diperlakukan dengan biadab oleh orang-orang dari perkemahan itu.
Ketika Ki Marbudi kemudian pulang, serta isterinya menanyakan apakah ada persoalan penting di rumah Ki Gede, maka dengan acuh Ki Marbudi berkata, "Masih seperti biasa. Bersiap-siap. Meningkatkan persiapan. Kewaspadaan tertinggi dan kata-kata yang sejenis dengan itu."
Nyi Marbudi menarik nafas panjang. Ia mendapat kesan betapa kecewanya suaminya terhadap sikap Ki Gede yang menurut suaminya dikendalikan oleh Agung Sedayu.
Hari itu Ki Marbudi tidak berbuat apa-apa selain mengamati rumahnya. Pendapa, pringgitan, ruang dalam dan bagian-bagian rumahnya lain. Nampaknya ia sedang merencanakan bagian yang manakah yang akan dirubah, diganti atau dipugar. Sekali-sekali tangannya mengusap tiang-tiang yang berdiri tegak dengan kokohnya di ruang dalam. Ditepuknya saka guru di sudut tenggara sambil berdesis, "Kau tidak akan diganti."
Ketika malam mulai turun, maka Ki Marbudi itu-pun berkata kepada isterinya, "Nyi. Sebentar lagi Ki Makerti dan saudara-saudaranya akan datang kemari. Kita akan segera mempunyai banyak uang. Kau akan menjadi pedagang besar dan rumah kita akan menjadi rumah yang dikagumi oleh banyak orang di Tanah Perdikan ini."
"Ya, kakang," jawab Nyi Marbudi. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku minta kau berhati-hati berbicara dengan Ki Makerti dan kedua orang saudaranya itu. Kita sudah mengenal Ki Makerti dengan baik. Tetapi kita belum mengenal kedua orang saudaranya itu."
Ki Marbudi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku akan berhati-hati."
Seperti yang mereka harapkan, maka malam itu Ki Makerti telah benar-benar datang bersama kedua orang saudaranya. Seperti yang mereka janjikan, maka Ki Makerti memang membawa uang cukup banyak untuk mengadakan sukuran, memperbaiki rumah dan memperbesar perdagangan Nyi Marbudi. Apalagi bagi Ki Makerti dan kedua orang yang diaku saudaranya itu, Nyi Marbudi memang telah memberikan bunga yang terhitung cukup banyak dari pinjaman yang telah diterimanya.
Namun ternyata kedatangan Ki Makerti dan kedua orang itu tidak sekedar menyerahkan uang. Tetapi mereka telah memancing agar Ki Marbudi berceritera serba sedikit tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh.
"Ternyata seperti yang aku katakan siang tadi, aku merasa aman berjalan di Tanah Perdikan meski-pun malam hari. Jalan-jalan padukuhan nampak ramai. Gardu-gardu terisi para pengawal yang siap menghadapi segala kemungkinan," berkata Ki Makerti.
Ki Marbudi yang akan menerima uang cukup banyak itu tertawa. Katanya, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa kekuatan Tanah Perdikan ini tidak lebih dari seorang gadis yang memulas wajahnya dengan bedak yang tebal."
"Maksud Ki Marbudi," desak Prasanta.
"Kekuatan yang sebenarnya dari Tanah Perdikan ini hanya sekedar yang nampak itu saja. Lebih dari itu tidak. Jika ada kekuatan cadangan, maka mereka telah tersebar di padukuhan-padukuhan terutama yang berhadapan dengan perbukitan itu. Untunglah bahwa padukuhan induk ini terletak agak jauh dari perbukitan."
"Tetapi itu sangat berbahaya bagi padukuhan induk ini," berkata Ki Makerti, "bukankah orang-orang di perkemahan itu jika mau akan dapat langsung menyerang ke padukuhan induk?"
"Mereka juga tidak akan melakukan itu," berkata Ki Marbudi, "jika mereka kuat, mereka tentu sudah melakukannya."
"Mungkin mereka juga berhati-hati seperti Agung Sedayu," berkata Ki Makerti.
"Mungkin," jawab Ki Marbudi, "mungkin mereka tidak memiliki orang-orang seperti Agung Sedayu, Glagah Putih dan yang lain selain mereka mengira bahwa kekuatan Tanah Perdikan ini padat."
Ki Makerti mengangguk-angguk. Sementara itu Saramuka-pun menyahut, "Mungkin mereka memang mengira bahwa kekuatan yang tersimpan di setiap padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh ini terlalu besar sebagaimana yang mereka lihat di gardu-gardu peronda di sepanjang jalan."
"Seperti aku katakan, para pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini memiliki kepandaian mengatur, sehingga seakan-akan Tanah Perdikan ini penuh dengan pengawal. Tetapi coba lihat dengan baik. Orangnya tentu hanya itu-itu saja. Orang-orang laki-laki yang bukan pengawal lebih senang berada di balik pintu rumahnya setelah pulang dari sawah. Bahkan anak-anak muda yang tidak terhitung sebagai pengawal, lebih senang berkumpul di tempat-tempat tertentu bermain dadu. Nah, lihat, tidak semua kelompok-kelompok anak muda bersiaga. Mungkin mereka sedang bermain dadu atau permainan lain. Bukan sekedar permainan, tetapi mereka berjudi. Bahkan kelompok-kelompok pengawal di gardu-gardu sering juga melakukan perjudian dengan alasan untuk mencegah kantuk."
Ki Makerti dan kedua orang yang datang bersamanya mengangguk-angguk. Sementara Ki Marbudi berkata, "Untunglah di perkemahan itu juga tidak ada orang berilmu tinggi. Menurut pendengaranku yang ada disana tidak lebih dari Resi Belahan saja."
"Tidiak Ki Marbudi," berkata Prasanta, "selain resi Belahan, menurut para pengawal di perkemahan itu ada Ki Tempuyung Putih, Ki Sembada, Putut Permati dan Ki Carang Ampel."
"Tetapi mereka tidak memiliki kemampuan sebagaimana Resi Belahan."
"Tentu," jawab Prasanta, "Ki Tempuyung Putih adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Demikian pula yang lain-lain. Bahkan tataran ilmu mereka hampir bersamaan. Putut Permati meski-pun masih muda, tetapi ia disebut juga Pembunuh Raksasa. Ia dapat berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan orang lain. Hanya karena umurnya yang masih muda, maka ia tidak memiliki kedudukan yang menentukan sebagaimana Ki Tempuyung Putih."
Ki Marbudi tidak begitu menghiraukan keterangan itu. Tetapi ia berkata, "Mungkin Resi Belahan masih belum yakin, bahwa orang-orangnya itu akan mampu menghdapi Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang memang berilmu sangat tinggi."
Prasanta masih akan menjawab. Tetapi niatnya diurungkan. Yang dikatakan kemudian adalah, "Tetapi agaknya orang-orang perkemahan itu memang mengira bahwa kekuatan Tanah Perdikan ini sangat padat."
"Itu omong-kosong. Kau dapat melihat sendiri di padukuhan induk. Selain di gardu-gardu, apakah ada kekuatan lain yang siap untuk berbuat sesuatu justru saat para pemimpinnya berteriak-teriak untuk meningkatkan kesiagaan, untuk kewaspadaan tertinggi dan untuk apa saja. Nah, jika pertahanan di padukuhan induk itu saja lapuk, apalagi di padukuhan-padukuhan yang lain kecuali di beberapa padukuhan di dekat lereng pebukitan yang di seberangnya terdapat perkemahan orang-orang biadab itu."
"Orang-orang biadab?" Saramuka itu bertanya dengan nada tinggi.
"Ya. Coba gambarkan apa yang telah mereka lakukan. Menculik gadis, merampok dan apa lagi?"
Saramuka mengangguk-anggauk. Namun ia-pun bergumam, "Sayang. Tanah Perdikan sebesar ini, namun pertahanannya rapuh."
"Tetapi masih ada yang diandalkan. Beberapa orang berilmu sangat tinggi," berkata Ki Marbudi, "mereka adalah inti kekuatan Tanah Perdikan ini."
Ki Makerti menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua orang yang diakuinya sebagai saudaranya. Namun keduanya tidak berkata apa-pun juga.
"Baiklah," berkata Ki Makerti kemudian, "ternyata kita terlalu banyak berbincang tentang hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan kita. Sebaiknya kita berbicara saja tentang keperluan kita sendiri."
"Bagus," berkata Ki Marbudi, "aku sependapat." Pembicaraan mereka selanjutnya berkisar pada kepentingan Ki Marbudi. Kebutuhannya akan uang untuk memperbaiki rumah, sokuran dan memperluas perdagangan Nyi Marbudi.
Nyi Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Sejak pembicaraan berkisar dari persoalan pertahanan Tanah Perdikan, dadanya terasa sedikit lapang. Tetapi keringat dingin telah terlanjur membasahi seluruh tubuhnya. Ia benar-benar cemas mendengar keterangan suaminya tentang kerapuhan pertahanan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Jika hal itu didengar oleh orang-orang perkemahan, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan.
Tetapi kemudian yang dibicarakan oleh Ki Marbudi tidak lagi bergeser dari rencananya membangun rumahnya. Wajah Ki Marbudi menjadi cerah ketika ia benar-benar menerima uang dari Ki Makerti sebagaimana diminta.
"Terima kasih, terima kasih," berkata Ki Marbudi berulang kali, "Aku akan segera mulai membangun rumahku. Besok aku akan mencari tukang yang paling baik di Tanah Perdikan ini."
Namun tiba-tiba Prasanta berkata, "Jangan tergesa-gesa Ki Marbudi. Jika Ki Marbudi percaya kepadaku, maka aku akan membuat hitungan tentang saat yang paling baik untuk membangun rumah."
"Ki Prasanta dapat melakukannya?" berkata Ki Marbudi.
"Tentu. Ayahku adalah seorang yang memiliki kemampuan tembus pandang atas waktu, ruang dan bahkan batin seseorang. Meski-pun aku tidak mewarisinya, tetapi ada sebagian kecil yang dapat aku lakukan."
Ki Marbudi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Prasanta. Aku menunggu keterangan Ki Prasanta. Hitungan hari itu tentu akan berakibat baik bagi kerja yang akan aku lakukan."
"Terima kasih atas kepercayaan Ki Marbudi. Besok lusa aku akan datang memberitahukan hari yang terbaik bagi Ki Marbudi. Tetapi maaf, apakah Ki Marbudi tidak berkeberatan jika aku mengetahui hari lahir Ki Marbudi?"
Ki Marbudi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, "Tentu. Apa salahnya" Aku lahir pada hari Selasa dan hari pasaran Pon. Selasa Pon."
Ki Prasanta mengangguk-angguk. Katanya, "Lusa aku datang lagi dengan membawa hari terbaik bagi kerja besar Ki Marbudi."
"Terima kasih. Kalian terlalu baik kepada keluarga kami. Aku tidak tahu bagaimana aku dapat membalas budi," berkata Ki Marbudi kemudian.
"Ah, bukan apa-apa," jawab Ki Prasanta.
Demikianlah, maka Ki Makerti dan kedua orang yang diakunya sebagai saudaranya itu minta diri. Dalam perjalanan Ki Makerti sempat bertanya, "Apakah kau bersungguh-sungguh dengan hari yang baik itu?"
"Jadi untuk apa kau minta kerja Ki Marbudi itu harus ditunda sampai kau menetapkan hari terbaik?" bertanya Ki Makerti.
Ki Prasanta tertawa. Katanya, "Baiklah. Kau sudah menjadi bagian dari kerja kami. Aku malam ini juga akan menemui para pemimpin di perkemahan. Aku akan memberikan laporan sesuai dengan keterangan Ki Marbudi. Aku akan berusaha untuk mengetahui kapan Resi Belahan akan menghancurkan Tanah Perdikan ini.. Aku harap bahwa uang itu masih utuh sampai Tanah Perdikan ini jatuh ketangan kami. Aku akan datang ke rumah itu untuk mengambil uang itu kembali."
"Tetapi bukankah uang yang sudah terlepas dari tanganmu tidak akan diharapkan kembali?" bertanya Ki Makerti.
"Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih tidak akan mempertanyakan lagi jika laporanku memberikan kepuasan kepada mereka. Namun jika uang itu akan kami ambil kembali, maka uang itu akan menjadi milik kami pribadi. Berdua. Atau bertiga dengan Ki Makerti. Demikian pula uang yang lain yang aku pinjamkan. Sebagian akan menjadi milik kita dan sebagian yang lain akan aku kembalikan agar aku mendapat pujian dan penghargaan."
Ki Makerti mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bergumam, "Kau memang cerdik. Seperti ular berkepala dua. Kau menggigit dua sasaran."
"Kau akan ikut beruntung karenanya," desis Ki Prasanta. Sementara itu Suramuka-pun berkata, "Otakmu memang otak iblis. Aku tidak akan pernah berpikir sampai sejauh itu."
"Bukankah dengan demikian, kelak, setelah perang selesai, kita akan menjadi orang yang kaya raya" Jika kita kemudian tinggal di Tanah ini, maka kita akan menjadi orang yang sangat berpengaruh," berkata Prasanta.
"Kau benar. Sementara itu aku hanya berpikir, apakah tidak sebaiknya jika Resi Belahan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan," berkata Saramuka.
"Itu dapat saja terjadi. Tetapi semuanya tergantung Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih. Tugas kita nampaknya berhasil. Memadai dengan uang yang kita keluarkan. Dari mulut Ki Marbudi, seorang bebahu yang berpengaruh di Tanah Perdikan Menoreh, kita mendengar betapa rapuhnya pertahanan di padukuhan induk. Sementara itu para pemimpin yang berilmu tinggi berkumpul dalam satu rumah. Nah, bukankah mudah sekali" Para pemimpin kita dan kelompok-kelompok terpilih akan mengepung dan menghancurkan rumah Agung Sedayu seisinya. Nah, bukankah yang lain sama lunaknya dengan memijit buah rami masak?" desis Ki Prasanta.
Saramuka dan Ki Makerti mengangguk-angguk. Prasanta memang berotak setajam duri kemarung.
Dalam pada itu di rumah Ki Marbudi, isterinya berkali-kali berkata, "Kau kadang-kadang berkata tanpa kendali kakang."
"Kau dengar jawabku, aku tidak peduli. Berapa kali sudah jawaban seperti itu aku ucapkan. Bahkan aku-pun berdoa agar padukuhan induk Tanah Perdikan ini dihancurkan Ki Makerti dan kedua orang saudaranya itu mati terbunuh. Mereka tidak akan dapat menagih hutang mereka lagi."
"Jangan begitu kakang. Bukankah kita berniat mengembalikan uang yang kita pinjam?"
"Jika orang-orang yang meminjamkan uang itu mati dalam perang, bukankah itu bukan salahku," jawab Ki Marbudi.
Isterinya tidak menyahut lagi. Ia tahu suaminya agaknya memang sedang dicengkam oleh kekecewaan yang sangat. Tetapi sebenarnya ia tidak perlu mengatakan beberapa hal yang sifatnya rahasia.
Sebenarnyalah, malam itu juga, orang yang mengaku bernama Saramuka dan Prasanta itu telah memanjat lereng pebukitan dengan sangat berhati-hati. Waktu sepekan yang diberikan oleh Resi Belahan masih tersisa.
Malam itu juga keduanya berhasil menghadap Ki Tempuyung Putih. Bahkan Ki Tempuyung Putih-pun telah membawa kedua orang itu langsung menghadap Resi Belahan yang sudah bersiap-siap untuk beristirahat.
Dengan kening yang berkerut Resi Belahan yang memang sudah mengantuk itu menerima orang yang mengaku bernama Prasanta dan Saramuka itu.
"Cepat katakan, sebelum aku tertidur disini," berkata Resi Belahan.
Prasanta-pun kemudian telah melaporkan hasil pengamatannya atas Tanah Perdikan Menoreh yang antara lain berdasarkan keterangan salah seorang yapg termasuk berpengaruh di Tanah Perdikan Menoreh.
"Kau percaya begitu saja seandainya ia sedang mengigau?" bertanya Resi Belahan.
"Orang itu tidak mengenal kami berdua. Kami berhubungan dengan orang itu dengan perantara Ki Makerti seorang penghuni Tanah Perdikan itu yang pekerjaannya semula meminjamkan uang dengan bunga."
"Kau pernah mengatakannya. Yang aku tanyakan, apakah kau yakin bahwa yang kau dengar itu benar?" bertanya Ki Tempuyung Putih.
"Aku juga melakukan pengamatan sendiri meski-pun juga berdasarkan atas keterangan Ki Marbudi, bebahu itu. Aku yakin bahwa keterangannya benar. Tanah Perdikan Menoreh memang rapuh di dalam meski-pun ujud luarnya nampak garang. Sebagian kekuatannya justru berada di padukuhan-padukuhan terdekat," berkata Prasanta.
"Dan kau yakin bahwa orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu tinggal dalam satu rumah?" bertanya Resi Belahan.
"Aku yakin. Semua orang Tanah Perdikan mengetahui hal itu. Agung Sedayu, adik sepupunya yang bernama Glagah Putih, Ki Jayaraga dan seorang tamu yang sebenarnya bukan keluarga mereka. Namanya Sabungsari. Sedangkan Sekar Mirah, isteri Agung Sedayu dan seorang gadis yang bernama Rara Wulan memiliki kemampuan pula. Tetapi mereka bukan termasuk orang-orang yang berilmu tinggi," berkata Prasanta pula.
"Bagaimana-pun dengan Ki Gede Menoreh sendiri dan kemenakannya yang bernama Prastawa?" bertanya Ki Tempuyung Putih.
Prasanta mengerutkan dahinya. Ternyata Ki Tempuyung Putih telah mendapat laporan pula dari orang lain. Karena itu, maka Prasanta menjadi semakin berhati-hati. Katanya, "Ki Gede memang berilmu tinggi. Tetapi tida setinggi Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga. Mereka bertiga adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Menurut keterangan, Sabungsari juga berilmu sangat tinggi dan harus diperhitungkan."
Resi Belahan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan membuat perhitungan. Aku akan mencocokkan laporanmu dengan laporan lain. Jika sesuai, maka aku terima laporanmu."
"Sampai kapan kami harus menunggu?" bertanya Prasanta, "menurut pengamatan kami sekaranglah saatnya untuk menghancurkan Tanah Perdikan Menoreh. Sekelompok orang berilmu tinggi akan menyerang rumah Agung Sedayu, sedangkan kekuatan yang dikerahkan dari perkemahan ini akan menyerang padukuhan induk, menduduki dan menghancurkannya sejalan dengan hancurnya orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh."
"Apakah orang-orang berilmu tinggi itu tidak pernah keluar dari rumahnya dan berada, diantara para pengawal?" bertanya Resi Belahan.
Buku 284 "YA. Kadang-kadang mereka memang berada diantara para pengawal. Tetapi di pagi hari mereka biasanya ada di rumah. Seandainya mereka ikut meronda, maka lewat tengah malam mereka pulang," jawab Prasanta.
"Baiklah. Tunggulah sampai esok pagi. Kau akan mendengar keputusanku," berkata Resi Belahan.
Malam itu juga Resi Belahan telah memanggil orang-orang terpenting di antara orang-orang yang berada di perkemahan itu. Kepada mereka Resi Belahan memberitahukan laporan tentang Tanah Perdikan Menoreh. Karena pada umumnya para pemimpin di perkemahan itu pernah mencari keterangan lewat kepercayaan mereka masing-masing tentang Tanah Perdikan Menoreh.
Pada umumnya para pemimpin di perkemahan itu tidak berkeberatan atas laporan Prastawa. Mereka juga menganggap bahwa kekuatan Tanah Perdikan Menoreh diletakkan di padukuhan-padukuhan terutama di padukuhan yang menghadap langsung perkemahan di seberang perbukitan itu.
Sedangkan para pemimpin itu-pun berpendapat bahwa rumah Agung Sedayu itu memang harus mendapat perhatian khusus.
"Nah, jika demikian, apalagi yang kita tunggu" Besok, sepekan lagi atau kapanpun, akhirnya benturan kekuatan memang tidak dapat dielakkan," berkata Resi Belahan, "karena itu, maka sebaiknya kita lakukan dalan waktu yang dekat. Kita harus mempelajari kekalahan yang dialami oleh Ki Manuhara yang juga menyerang rumah Agung Sedayu itu."
"Ki Manuhara memang memusatkan serangannya pada rumah itu. Tetapi mereka tidak mempersiapkan serangan yang seimbang atas kekuatan yang ada di padukuhan induk. Karena itu, maka kekuatan Ki Manuhara dan beberapa orang berilmu tinggi itu tidak didukung oleh kekuatan pasukan yang cukup," berkata salah seorang diantara para pemimpin di perkemahan itu yang telah mempelajari kekalahan Ki Manuhara, "karena itu, maka para pengawal Tanah Perdikan sempat menyelamatkan mereka yang ada di rumah Agung Sedayu. Bagaimana-pun juga, kehadiran mereka ikut berpengaruh atas pertempuran yang terjadi antara orang-orang berilmu tinggi itu."
RESI Belahan mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Tempuyung Putih kemudian berkata, "Jika demikian maka orang orang berilmu tinggi yang akan menyerang rumah Agung Sedayu itu harus didukung oleh pasukan yang kuat, sehingga para pengawal Tanah Perdikan tidak dapat membantu orang-orang berilmu tinggi itu. Menurut perhitungan, Ki Gede tentu akan berada bersama para pengawal sebagaimana Prastawa dan para pemimpin pengawal yang lain."
"Ya," Resi Belahan mengangguk-angguk, "kita akan memancing perhatian kekuatan di padukuhan-padukuhan di seberang pebukitan ini. Kita siapkan pasukan-pasukan kecil. Dua atau tiga padukuhan akan kita kacaukan. Kemudian satu lagi pasukan yang tidak terlalu kecil akan menyerang barak prajurit Pasukan Khusus. Agung Sedayu adalah lurah prajurit pada Pasukan Khusus itu. Ia akan dapat mempergunakan prajuritnya untuk melindungi Tanah Perdikan. Karena itu, maka barak itu harus diikat dengan satu pertempuran agar para prajuritnya tidak keluar dari baraknya."
Para pemimpin perkemahan itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Untunglah bahwa kita telah membawa orang-orang dungu itu beserta kita. Mereka akan dapat kita umpankan di padukuhan-padukuhan kecil itu serta di barak prajurit dari Pasukan Khusus. Karena akhirnya mereka harus kita singkirkan juga."
"Jaga mulutmu," bentak Ki Tempuyung Putih.
"Mereka tidak mendengar. Seandainya mereka mendengar, mereka tidak akan tahu maksudnya," jawab orang itu.
"Kau jangan takabur seperti itu," berkata Ki Tempuyung Putih dengan nada keras. Sementara Resi Belahan berkata, "Jangan memaksa aku mengoyak mulutmu."
Orang itu terdiam. Tetapi ia yakin bahwa orang-orang dungu itu benar-benar tidak dapat berpikir. Mereka akan dapat digerakkan untuk kepentingan apa-pun tanpa dapat memperhitungkan untung ruginya."
Malam itu juga para pemimpin di perkemahan itu mulai menyusun rencana terperinci sebelum dapat mereka buat, tetapi mereka telah meletakkan landasan dasarnya.
Sementara itu Ki Tempuyung Putih telah memerintahkan Prasanta dan Saramuka untuk kembali ke Tanah Perdikan mengamati keadaan sampai saatnya mereka menyerang.
"Beri isyarat jika jalan menjadi berbahaya," berkata Ki Tempuyung Putih, "pada hari ketiga setelah hari ini, kita akan menyerang dengan rencana yang matang. Kita akan menyerang padukuhan induk menjelang fajar yang menurut perkiraan, seisi rumah Agung Sedayu ada di rumah itu."
Prasanta dan Saramuka mengangguk-angguk. Mereka memang menduga bahwa menjelang fajar, keluarga Agung Sedayu lengkap berada di rumahnya.
Pagi-pagi Prasanta dan Saramuka telah berada di rumah Ki Makerti kembali. Dengan wajah yang cerah Prasanta berkata, "Aku akan menyarankan agar Ki Makerti menunda rencananya lewat tiga hari. Dengan demikian maka ketika padukuhan induk itu dihancurkan, uang Ki Marbudi masih utuh. Uang itu akan dapat kita ambil lagi. Bahkan bukan hanya uang itu, tetapi semua kekayaan Ki Marbudi, termasuk emas intan yang dimilikinya."
"Kalau ia mempertahankan ?" bertanya Ki Makerti.
Prasanta tertawa. Katanya, "Siapa akan mempertanyakan seseorang yang terbunuh dalam keadaan yang kacau. Jika Ki Marbudi mati, maka ia adalah salah seorang dari korban pertempuran."
Saramuka-pun tertawa pula. Katanya, "Selain itu, maka Prasanta masih dapat menghitung uang yang dipinjamkan dengan bunga atas nama Ki Makerti."
"Bukan hanya untuk aku sendiri. Tetapi juga bagi kalian," berkata Prasanta.
Hari itu mereka bertiga merencanakan untuk menemui Ki Marbudi. Prasanta dan Saramuka tidak merasakan keletihan dan kantuk. Dengan nada berat Prasanta berkata, "Kita selesaikan pekejaan kita sama sekali. Nanti kita akan tidur sehari penuh tanpa terganggu."
Ketika kemudian mereka pergi ke rumah Ki Marbudi, ternyata bahwa Ki Marbudi masih berada di rumahnya. Prasanta, Saramuka dan Ki Makerti diterima dengan baik oleh Ki Marbudi sebagaimana biasanya.
"Aku telah memperhitungkan hari terbaik bagi rencana Ki Marbudi untuk membangun kembali rumah ini."
"Jadi kapan aku dapat mulai menurut perhitungan Ki Prasanta agar dapat aku selesaikan dengan baik dan selamat."
"Ternyata menurut hari kelahiran Ki Marbudi, tidak ada hari yang menjadi pantangan. Tetapi menurut petunjuk itu, Ki Marbudi harus dapat mulai membangun rumah ini setelah lewat tiga hari setelah Ki Marbudi memastikan akan mulai dengan pembangunan itu. Menurut perhitunganku, kepastian Ki Marbudi itu adalah saat kami menyerahkan uang yang Ki Marbudi butuhkan. Sehingga dengan demikian maka baru selelah tiga hari kemudian, Ki Marhudi dapat memulainya."
"Tetapi bukankah sejak sekarang aku lelah dibenarkan untuk melakukan persiapan ?" bertanya Ki Maibudi.
"Apakah yang Ki Marbudi maksudkan dengan persiapan " Jika hal itu sekedar menemui orang-orang yang akan mengerjakan pembangunan rumah ini, agaknya bukan soal. Tetapi Ki Marbudi tidak dibenarkan untuk mengeluarkan uang sekeping-pun sebelum lewat liga hari itu."
Ki Marbudi mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, "Bagaimana jika aku arus membayar bahan-bahan yang aku beli sebelum lewat tiga hari ?"
Prasanta menggelengkan. Katanya, "Lebih baik jangan Ki Marbudi. Lebih baik agak terlambat mulai daripada harus berhenti di tengah-tengah kerja yang besar itu."
Ki Marbudi tersenyum. Katanya, "Tentu Ki Prasanta. Aku memang tidak tergesa-gesa. Apalagi hanya sebatas tiga hari."
Ki Makerti yang kemudian tertawa itu-pun berkata, "Apa artinya yang tiga hari itu dibandingkan dengan masa pemakaian rumah yang akan dibangun " Dengan kayu jati yang tua dan terpilih, maka rumah yang akan dibangun itu akan mampu bertahan ratusan tahun."
"Ya. Ya," Ki Marbudi mengangguk-angguk.
"Nah," berkata Prasanta, "aku mengucapkan selamat kepada Ki Marbudi. Ingat, jika Ki Marbudi mengadakan sokuran, hendaknya kami diundang untuk ikut bergembira bersama keluarga Ki Marbudi disini."
"Aku akan mengadakan sokuran sekaligus selamatan untuk memulai dengan pembangunan rumah ini," berkata Ki Marbudi, "tentu jika lewat tiga hari setelah hari ini."
"Mudah-mudahan semua dapat berlangsung dengan lancar, baik dan selamat," berkata Ki Makerti kemudian.
Namun dalam pada itu Ki Marbudi bertanya, "Tetapi Ki Makerti, belum pernah membicarakan, bagaimana aku harus mengembalikan uang itu."
Ki Makerti mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, "Aku tidak membantu Ki Marbudi. Aku percaya bahwa Ki Marbudi dapat mempertimbangkan sendiri, kapan Ki Marbudi akan mengembalikan uang itu. Mungkin setiap bulan Ki Marbudi akan mencicil sehingga akhirnya akan lunas. Aku-pun tidak menentukan berapa bunga yang harus Ki Marbudi bayar atas hutang Ki Marbudi itu. Ki Marbudi tentu sudah sering berbincang dengan Nyi Marbudi sehingga Ki Marbudi mengetahui ancar-ancar pembayaran bunga atas uang itu."
"Terima kasih Ki Makerti," jawab Ki Marbudi, "Ternyata Ki Makerti dan kedua orang saudara Ki Makerti itu benar-benar terlalu baik terhadap keluargaku. Aku tidak akan dapat membalas kebaikan itu, selain berdoa agar kalian mendapat gantinya yang jauh lebih banyak."
"Sudahlah," berkata Ki Makerti, "sebenarnya aku sama sekali tidak berbuat kebaikan apapun, karena aku-pun akan mendapat keuntungan daripadanya."
Demikianlah maka Ki Makerti dan kedua orang yang diakunya sebagai saudaranya itu-pun minta diri. Mereka sudah yakin bahwa tiga hari lagi mereka akan dapat mengambil uang mereka kembali. Dan bahkan apa saja yang ada di rumah itu, termasuk Nyi Marbudi, karena Saramuka telah pernah mengatakan kepada Prasanta dan Ki Makerti, bahwa Nyi Marbudi itu adalah seorang perempuan yang sangat cantik menurut penglihatannya.
Ketika tiga orang itu turun dari pendapa, maka Ki Marbudi-pun berkata kepada mereka, "Aku juga akan segera pergi ke rumah Ki Gede. Ada pertemuan disana. Pertemuan orang-orang yang tidak pernah mempunyai ketegasan sikap dan selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Ki Gede tidak lagi dapat mengambil keputusan karena selalu dibayangi oleh sikap Agung Sedayu."
Ki Makerti-pun menyahut, "Salamku buat saudara-saudara kita di pertemuan itu."
Ki Marbudi mengangguk sambil menyahut, "Baiklah. Aku akan menceriterakan kebaikan hati Ki Makerti kepada para bebahu yang pada umumnya menjadi sangat gelisah seperti aku."
"Jangan Ki Marbudi. Aku saat ini tidak memberikan apa-apa lagi kepada orang lain karena uangku masih beredar. Jika mereka berduyun-duyun datang ke rumahku, maka aku akan menjadi kebingungan. Jika aku berhubungan dengan Ki Marbudi itu karena lebih dahulu aku sudah berhubungan dengan Nyi Marbudi. Dari hubungan itu aku tahu, bahwa keluarga Ki Marbudi adalah keluarga yang jujur, yang tidak akan mengingkari janji dan kesanggupannya. Juga tentang pinjam-meminjam ini."
Ki Marbudi tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku akan diam saja lebih dahulu."
Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Marbudi. Sepeninggal Ki Makerti, Prasanta dan Saramuka, maka Ki Marbudi-pun telah pergi ke rumah Ki Gede, sementara Nyi Marbudi berada di pasar. Tetapi beberapa orang pembantu rumah itu sudah terbiasa ditinggal oleh suami istri itu sesuai dengan kewajibannya masing-maing. Merekalah yang mengawasi dan mengasuh anak Ki Marbudi selama ayah dan ibunya tidak ada di rumah.
Ternyata di rumah Ki Gede justru sedang agak lengang. Tidak terlalu banyak orang yang ada disana. Dengan demikian maka Ki Marbudi-pun tidak terlalu lama berada di pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun Ki Marbudi mengetahui bahwa malam nanti, beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan itu akan berkumpul.
Bagi Ki Marbudi, siang itu rasa-rasanya terlalu panjang. Tidak bisa dilakukannya sebelumnya, hari itu Ki Marbudi membawa kegelisahannya ke pasar untuk melihat istrinya yang sedang berdagang. Ki Marbudi memang melihat bahwa dagangan istrinya menjadi semakin banyak karena modalnya-pun semakin besar. Nampaknya apa yang diperjual belikan dapat perhatian yang cukup banyak dari orang-orang yang ada di pasar itu.
Bahkan Ki Marbudi berada di pasar sampai waktunya istrinya menutup dagangannya.
"Kau nampak gelisah kakang," bertanya Nyi Marbudi.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," jawab Ki Marbudi, "apakah kau melihat sesuatu yang lain padaku ?"
Nyi Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jarang sekali kakang datang ke pasar. Apalagi sampai waktunya aku pulang di hari pasaran yang cukup ramai seperti sekarang ini."
Ki Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sekali lagi ia menggeleng sambil berdesis, "Aku tidak apa-apa Nyi."
Nyi Marbudi tidak mendesak lagi. Tetapi sampai senja turun, ia melihat bahwa suaminya masih saja gelisah.
Ketika kemudian malam turun, maka Ki Marbudi itu-pun memberitahukan kepada istrinya bahwa ia akan pergi ke rumah Ki Gede.
"Apakah kakang dipanggil oleh Ki Gede ?" bertanya istrinya.
"Ada pertemuan malam ini. Pertemuan yang menjemukan," jawab Ki Marbudi.
Sebenarnyalah bahwa Nyi Marbudi ikut menjadi gelisah meski-pun ia tidak tahu sebabnya kenapa suaminya gelisah. Karena itu, sepeninggal Ki Marbudi maka Nyi Marbudi tidak segera masuk ke dalam biliknya. Untuk beberapa saat ia menunggui anaknya menjelang tidur. Namun kemudian Nyi Marbudi itu-pun duduk di ruang dalam menunggui suaminya pulang.
Di rumah Ki Gede telah berkumpul beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan. Tetapi tampaknya memang sangat terbatas. Yang tampak adalah Ki Gede, Prastawa, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Seorang bebahu yang sudah menjelang hari-hari tuanya, namun terdakwa seorang yang menjadi kepercayaan dari Ki Gede dan kemudian telah hadir pula Ki Marbudi.
Ternyata Ki Gede tidak memanggil orang lain lagi.
"Marilah Ki Marbudi," berkata Ki Gede mempersilahkan. Ki Marbudi bergeser selangkah maju. Ia masih saja nampak gelisah. Namun Ki Marbudi berusaha untuk menenangkan hatinya.
"Kami ingin mendengar keteranganmu," berkata kemudian Ki Gede dengan nada rendah.
Ki Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah berusaha Ki Gede. Mudah-mudahan orang-orang perkemahan itu mendapat gambaran yang dapat membuat mereka keliru menilai kekuatan Tanah Perdikan ini. Sampai saat ini menurut pengertianku, mereka menganggap bahwa pertahanan di padukuhan induk ini lemah. Mereka percaya bahwa pertahanan di padukuhan induk ini rapuh. Kekuatan yang sebenarnya ada tidak lebih dari yang nampak di gardu-gardu itu saja. Sementara kekuatan yang lain berada di padukuhan-padukuhan kecil yang ada di dekat perbukitan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian ia-pun bertanya, "Apa saja yang mereka ingin ketahui tentang Tanah Perdikan ini selain pertahanan di padukuhan induk yang dinilainya rapuh."
"Mereka ingin mayakinkan siapa saja yang tinggal di rumah angger Agung Sedayu," jawab Ki Marbudi.
"Kau sebut semuanya ?"bertanya Ki Gede pula.
"Ya. Mereka sebelumnya memang sudah mengetahui nama-nama itu. Adi Agung Sedayu, adi Glagah Putih, seorang tamunya yang bernama Sabungsari dan adi Sekar Mirah serta adi Rara Wulan. Mereka-pun mengetahui bahwa di rumah itu juga tinggal Ki Jayaraga. Karena itu, aku tidak dapat membohonginya."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu bertanya, "Apakah mereka pernah menyebut orang-orang berilmu tinggi di perkemahan itu ?"
"Ya. Suatu saat terloncat nama-nama itu meski-pun mereka mengatakan bahwa nama-nama itu justru mereka dapat dari para pengawal di Tanah Perdikan. Agaknya yang dimaksud adalah para pengawal dalam tugas sandi."
"Siapa saja yang pernah disebutnya ?"
"Mereka menyebut nama selain Resi Belahan adalah Ki Tempuyung Putih, Ki Sembada, Putut Permati dan Ki Carang Ampel."
"Mungkin masih ada satu dua orang lagi," desis Ki Gede.
"Memang mungkin. Tetapi orang-orang yang disebut itu tentu orang-orang terbaik diantara mereka," desis Agung Sedayu.
"Lalu apa lagi yang dapat kau tangkap dari sikap mereka ?" bertanya Ki Gede pula.
"Mereka minta agar aku tidak tergesa-gesa memperbaki rumah meski-pun uang itu telah mereka berikan kepadaku. Mereka minta secepatnya tiga hari setelah hari ini, baru aku dibenarkan untuk mempergunakan uang itu. Sebelumnya sekeping-pun tidak boleh berkurang." jawab ki Marbudi.
"Batas yang diberikan itu tentu mempunyai arti," desis Agung Sedayu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Orang-orang itu tidak akan menyebutkan bilangan tiga tanpa ada maksudnya."
"Agaknya hari itu adalah hari yang penting bagi mereka," tiba-tiba saja Glagah putih menyela, "agaknya pada hari ketiga akan terjadi sesuatu, sehingga mereka berharap bahwa kerja Ki Marbudi tidak terganggu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Hampir kepada diri sendiri ia bergumam, "Agaknya mereka akan datang pada hari ketiga dengan pengertian bahwa pertahanan di Tanah Perdikan ini rapuh sebagaimana dikesankan oleh Ki Marbudi kepada mereka."
"Mereka-pun tentu mencoba meyakinkannya. Mereka tentu tidak akan begitu saja percaya," desis Ki Marbudi, "namun kesan terakhir yang aku dapatkan, agaknya mereka sependapat."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya, "Aku yakin bahwa Prastawa berhasil mengatur para pengawal sehingga kesannya memang demikian. Khususnya di padukuhan induk ini."
Prastawa yang kemudian mengerti mengapa ia harus bersabar berkata, "Mudah-mudahan. Jika kita berhasil, maka kita akan memancing kekuatan di perkemahan itu untuk menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan ini."
"Kita harus memperhatikan apa yang mereka maksudkan dengan lewat tiga hari. Mungkin mereka ingin agar pembangun rumah Ki Marbudi tidak terganggu atau yang sudah terlanjur dibangun selama tiga hari itu rusak jika terjadi pertempuran besar di padukuhan induk ini," berkata Agung Sedayu kemudian.
Sementara itu Glagah Putih-pun berkata, "Atau orang-orang itu berharap bahwa uang mereka yang berada di rumah Ki Marbudi masih tetap utuh."
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Dengan demikian mereka akan dapat mengambilnya kembali jika terjadi pertempuran di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu merenung sejenak. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang mungkin."
"Ya," desis Ki Gede. "aku sependapat dengan Galagah Putih."
"Jika demikian kita bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan pada hari yang ketiga," berkata Agung Sedayu, "sementara itu, kami akan mengamati perkemahan itu, apakah ada tanda-tanda bahwa mereka akan menyerang."
"Terima kasih ngger," berkata Ki Gede, "mudah-mudahan kita tidak akan tenggelam. Beberapa kali kita mengalami goncangan-goncangan yang berakibat buruk atas Tanah Perdikan ini. Tetapi nampaknya kali ini kita akan mendapatkan goncangan yang lebih besar menilik kekuatan yang mereka persiapkan di perkemahan mereka."
Dengan demikian maka beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan itu telah mengatur dan membagi tugas masing-masing. Agung Sedayu dalam tugasnya untuk mengamat-amati perkemahan itu dari dekat. Sementara Prastawa akan mengatur pengawalan Tanah Perdikan itu sebaik-baiknya.
Hampir tengah malam, maka pertemuan itu-pun dianggap telah cukup. Namun mereka masih akan selalu mengadakan pembicaraan diantara mereka menghadapi perkembangan keadaan. Khususnya menjelang hari ketiga.
Setelah Ki Gede menutup pertemuan itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu-pun telah memohon diri meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh.
Demikian pula Ki Marbudi. Ia-pun segera meninggalkan halaman rumah Ki Gede menelusuri jalan padukuhan.
Namun Ki Marbudi itu terkejut ketika di sebuah tikungan yang gelap ia melihat seorang berdiri bersandar di dinding halaman di sebelah jalan itu. Ketika Ki Marbudi kemudian berhenti dua langkah di hadapan orang itu, maka Ki Marbudi-pun berdesis, "Ki Makerti. Malam-malam kau disini ?"
"Udara terasa panas sekali Ki Marbudi. Aku berjalan-jalan saja tanpa tujuan. Ternyata aku melihati Ki Marbudi lewat, sehingga aku menunggu di tikungan."
Ki Marbudi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera melihat Ki Makerti sebelum menjadi begitu dekat.
Meski-pun demikian Ki Marbudi tidak mengatakannya. Namuri ia bertanya, "Sekarang Ki Makerti akan pergi kemana " "
"Pulang," jawab Ki Makerti, "aku tidak lagi merasa di panggang oleh panasnya udara. Udara malam di luar membuat tubuh menjadi sejuk. Aku mulai mengantuk."
"Kalau begitu, kita akan berjalan bersama-sama sampai kesimpang ampat itu," berkata Ki Marbudi.
Ki Makerti tidak menjawab. Tetapi ai melangkah di sebelah Ki Marbudi.
Dalam pada itu, sambil berjalan Ki Makerti berkata, "apakah Ki Marbudi baru saja pulang dari rumah Ki Gede."
"Ya. Di rumah Ki Gede telah diselenggarakan sebuah pertemuan khusus."
"Pertemuan apa?" bertanya Ki Makerti, "apakah ada hal-hal penting yang dibicarakan."
"Tetang perkemahan itu," jawab Ki Marbudi.
"Apakah ada perkembangan pembicaraan ?" bertanya Ki Makerti pula.
"Aku tidak tahu apakah alasan Agung Sedayu untuk selalu menunda persoalan ini. Tetapi Agung Sedayu mengusulkan untuk menyerang saja perkemahan itu. Tetapi sekali lagi sikapnya sangat menjemukan. Ia minta waktu sepekan untuk menentukan kekuatan yang akan dibawanya."
"Sepekan ?" bertanya Ki Makerti sambil tertawa pendek, "Seisi Tanah Perdikan ini akan mengutuknya jika akhirnya Tanah Perdikan ini menjadi karang abang."
"Aku tidak peduli," jawab Ki Marbudi, "yang penting rumahku akan aku kerjakan tepat pada hari setelah pada hari ketiga itu lewat. Aku sudah berbicara dan lima orang tukang terbaik. Mereka tentu akan mengajak beberapa orang pembantu masing-masing."
Ki Makerti mengangguk-angguk kecil, sementara Ki Marbudi berkata, "aku pikir para pemimpin di Tanah Perdikan ini sama dungunya, sama pengecutnya dengan orang-orang yang ada di perkemahan. Mereka tahu bahwa akhirnya mereka harus bertempur. Tetapi mereka sama-sama menunda-nunda persoalan."
Ki Makerti mengerutkan dahinya. Diluar dugaan ia berkata, "Tetapi agaknya orang-orang di perkemahan itu masih lebih tangkas berpikir dari pada Agung Sedayu."
"Siapa yang mengatakan seperti itu " Kau lihat sampai sekarang orang-orang di perkemahan itu juga tidak bergerak sama sekali. Bahkan begitu biadabnya mereka berusaha untuk menculik seorang gadis " Tetapi mereka tidak berani menyerang Tanah Perdikan yang rapuh ini." Ki Marbudi berhenti sejenak. Dengan ragu ia berkata, "Tetapi sudahlah. Jika orang-orang di perkemahan itu mendengar betapa rapuhnya pertahanan di padukuhan induk, mereka akan dengan beraninya menyerang."
"Jika demikian yang terjadi, bukankah itu bukan salahmu ?" berkata Ki Makerti.
"Tentu bukan. Segala sesuatunya harus dipertanggungjawabkan oleh Agung Sedayu," sahut Ki Marbudi.
"Nampaknya kau tidak senang dengan Agung Sedayu ?" bertanya Ki Makerti.
"Bukan tidak senang. Tetapi sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di Tanah Perdikan, aku merasa memiliki tanah ini. Tapi aku kira Agung Sedayu tidak."
"Ya," Ki Makerti mengangguk-angguk, "mendengar ceritamu, aku juga menjadi kecewa sekali. Tetapi aku bukan orang penting di Tanah Perdikan ini."
"Sudahlah. Aku memang tidak peduli lagi apa yang terjadi," Ki Marbudi terdiam. Ketika mereka lewat di sebuah gardu, maka mereka memang melihat anak-anak muda di gardu itu bermain dadu.
"Nah kau lihat," berkata Ki Marbudi, "bukankah mereka tidak melihat kita lewat disini."
Tetapi ternyata ada juga dua orang yang tidak ikut bermain dadu sempat mengagguk kecil. Seorang diantara mereka bertanya, "Baru pulang Ki Marbudi dan Ki Makerti ?"
"Ya," jawab Ki Marbudi, "aku baru pulang dari rumah Ki Gede."
"Apakah ada pertemuan disana ?" bertanya anak muda itu.
"Tidak," jawab Ki Marbudi, "sekedar mendengarkan orang berbicara kesana kemari tidak ada juntrungnya."
Ki Makerti menggamit Ki Marbudi sambil berbisik, "Anak-anak itu dapat melaporkan kepada Agung Sedayu."
"Biar saja. Aku memang ingin Agung Sedayu itu mendengarkan kekecewaan orang Tanah Perdikan ini."
Ki Makerti mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya pula ia berkata, "Akhirnya agung Sedayu akan menyesali dirinya sendiri."
"Kenapa ?" bertanya Ki Marbudi.
"Ia akan melihat Tanah Perdikan ini hancur sebagimana kehancuran keluarganya," desis Ki Makerti.
Tetapi Ki Marbudi tertawa kecut. Katanya, "Tidak. Agung Sedayu memang ingin melihat Tanah Perdikan ini hancur. Sementara itu, ia dapat bertahan dengan seluruh keluarganya karena keluarganya terdiri dari orang-orang berilmu tinggi. Ia akan tertawa melihat kehancuran itu, karena ia akan bangkit dan berdiri di atas timbunan bangkai-bangkai orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan orang-orang perkemahan yang dungu itu, serta menyebut dirinya sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Makerti justru termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih bertanya, "Bukankah masih ada orang lain lagi yang berhak untuk menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan ini " Bukankah masih ada Pandan Wangi yang menjadi istri Swandaru Geni dari Sangkal Patung " Mereka akan dapat datang dan mengambil alih pimpinan."
"Bukankah itu baru akan terjadi kemudian ?" bertanya Ki Marbudi, "mungkin sebulan lagi. Mungkin setahun dan bahkan mungkin Swandaru yang akan memegang kepemimpinan sebuah Kademangan yang besar seperti Sangkal Putung itu tidak lagi memperdulikan Tanah Perdikan ini."
Ki Makerti mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, "Tetapi itu tidak akan terjadi."
"Kenapa ?" bertanya Ki Marbudi.
"Jika Tanah Perdikan ini hancur, maka seisi rumah Agung Sedayu itu juga akan lebur menjadi debu," desis Ki Makerti.
"Apakah kau belum pernah mendengar bahwa seisi rumah itu berilmu tinggi " Bukankah kau tahu juga akibat perbuatan Ki Manuhara beberapa waktu yang lalu ?"
"Aku tahu," jawab Ki Makerti, "tetapi orang-orang perkemahan itu tentu juga dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi itu tentu akan mengarahkan sasaran serangannya atas keluarga Agung Sedayu sedangkan yang lain akan menghancurkan seisi Tanah Perdikan, terutama padukuhan induk ini. Karena itu justru keluarga Agung Sedayu yang akan lebih dahulu dihancurkan."
"Memang terlalu mudah untuk mengatakannya. Tetapi aku tidak yakin orang-orang perkemahan itu mempunyai penalaran sedemikian jauh," sahut Ki Marbudi.
"Kenapa tidak ?" bertanya ki Makerti.
"Mereka dungu, tidak beradab dan juga barangkali pengecut," jawab Ki Marbudi.
"Kau telah mendapat gambaran yang salah tentang orang-orang perkemahan," berkata Ki Makerti.
Ki Marbudi masih akan menjawab. Tetapi mereka sudah sampai di persimpangan jalan. Mereka akan menempuh jalan mereka masing-masing untuk pulang.
Demikian mereka berpisah, maka Ki Makerti-pun segera ditemui oleh kedua orang dari perkemahan. Prasanta dengan hati-hati bertanya, "Apa yang dikatakannya kepadamu ?"
"Tidak apa-apa selain kesalahannya kepada Agung Sedayu. Nampaknya Agung Sedayu masih belum menemukan jalan terbaik untuk memecahkan masalah orang-orang perkemahan itu."
"Betapa dungunya orang itu meski-pun mereka berilmu tinggi," desis Saramuka sambil tertawa kecil, "orang-orang Tanah Perdikan temu akan menyesal karena kelambanan mereka. Tiga hari lagi Tanah Perdikan ini akan menjadi debu."
"Tidak genap tiga hari," sahut Prasanta, "saat matahari terbit pada hari ketiga setelah hari yang kita lalui, Tanah Perdikan ini akan digilas oleh kekuatan yang tidak terbendung. Sementara padukuhan-padukuhan kecil itu akan menjadi sasaran semu. Namun bukan berarti bahwa padukuhan-padukuhan itu tidak akan dihancurkan pula. Setidak-tidaknya pertahanannya."
"Aku masih meragukan kemampuan sekelompok orang yang akan mengikat pertempuran dengan prajurit dari barak Pasukan Khusus itu," desis Saramuka.
"Itu tidak penting. Orang-orang dungu itu akan melakukan perintah dengan tanpa berpikir. Mereka akan dapat mengikat para prajurit itu tidak akan keluar dari baraknya," jawab Prasanta.
Saramuka mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu lagi.
Demikianlah, maka ketiga orang itu-pun menelusuri jalan padukuhan di tengah malam. Namun Makerti berusaha untuk menghindari gardu-gardu yang terisi oleh para peronda. Tetapi seperti pernah dikatakan oleh Ki Marbudi bahwa bagian dari mereka tidak lebih dari kesibukan mereka bermain dadu atau permainan yang lain. Bahkan permainan macanan-pun nampaknya dapat mereka jadikan permainan dengan taruhan.
Sementara itu Ki Marbudi berjalan sendiri pula ke rumahnya. Ketika ia mengetuk pintu, maka dengan serta-merta Nyi Marbudi-pun telah membukakannya.
"Kau belum tidur Nyi ?" bertanya Ki Marbudi.
"Aku tidak dapat tidur kakang. Aku menjadi gelisah, karena kau tidak segera pulang," jawab istrinya.
"Bukankah aku sudah terbiasa berada di rumah Ki Gede sampai malam jika ada kepentingan ?" jawab suaminya.
"Tetapi kakang hari ini tampak gelisah. Sikap kakang terhadap Agung Sedayu menimbulkan berbagai macam kemungkinan sehingga aku menjadi gelisah pula karenanya," jawab istrinya.
"Sudahlah Nyi. Sebaiknya kau tidak usah memikirkan persoalanku. Aku akan menjaga diriku sebaik-baiknya," berkata Ki Marbudi kemudian.
"Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas diri kakang jika kakang benar-benar berselisih dengan Agung Sedayu yang menurut pendengaranku berilmu sangat tinggi itu," desah istrinya.
"Aku tidak berdiri sendiri. Bahkan Prastawa-pun tidak sabar menunggu keputusan Agung Sedayu. Sayangnya, Ki Gede lebih mendengarkan suaranya dari suara Prastawa, kemenakannya itu."
Nyi Marbudi memang tidak bertanya lagi. Betapa-pun gelisah hatinya namun malam itu Ki Marbudi telah pulang.
Sementara itu Ki Makerti dan kedua orang dari perkemahan itu, "-pun telah berada di rumahnya pula. Namun mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa dua orang telah mengikuti mereka. Gelapnya malam telah melindungi Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mengawasi perjalanan Ki Marbudi, karena mereka mencemaskan keselamatannya jika saja orang-orang yang meghubunginya menjadi curiga. Namun mereka justru tertarik untuk mengikuti Ki Makerti yang telah menjumpai Ki Marbudi, apalagi setelah berpisah Ki Makerti itu telah ditemui oleh dua orang yang diakunya sebagai saudaranya itu.
Kelebihan Agung Sedayu dan Glagah Putih atas orang-orang itu memungkinkannya untuk mengikutinya tanpa disadari oleh ketiga orang yang diikutinya itu. Bahkan keduanya sempat mendengarkan beberapa bagian dari pembicaraan mereka.
Dengan demikian maka baik Agung Sedayu ma-pun Glagah Putih telah mendapatkan kepastian apa yang aka terjadi di Tanah Perdikan itu. Bahkan di barak Pasukan Khusus.
Sambil berjalan pulang maka Agung Sedayu berkata, "Aku harus mengawasi perkemahan itu."
"Malam ini ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Besok malam."
"Apakah aku dapat ikut serta ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Baiklah. Kau dan Ki Jayaraga akan ikut bersamaku. Biarlah Sabungsari dan Wacana menemani Bajang Bertangan Baja di rumah."
"Tetapi agaknya apa yang kita dengar itu benar-benar akan terjadi," berkata Glagah Putih.
"Nampaknya memang begitu. Hari ketiga setelah hari yang lewat. Menjelang matahari terbit mereka akan melakukan serangan. Sasarannya agaknya bukan hanya padukuhan induk."
Glagah pulih mengangguk kecil. Katanya, "Perang akan terjadi di lingkungan yang laus. Sebagian besar Tanah Perdikan akan dilibat perang."
"Kita harus menyesuaikan diri menghadapi keadaan itu," desis Agung Sedayu.
Dengan demikian maka rasa-rasanya bahan pengamatan Agung Sedayu atas orang-orang perkemahan itu menjadi semakin lengkap. Karena itu, maka Agung Sedayu akan dapat membuat persiapan-persiapan yang lebih mengarah.
Malam itu Agung Sedayu dan seisi rumahnya termasuk Bajang Bertangan Baja sempat berbincang panjang. Bahkan Bajang Bertangan Baja itu berkata, "Aku berharap bahwa mereka benar-benar datang ke rumah ini. Seandainya akan mendapat kesempatan untuk melarikan dai rumah ini sekalipun, aku tidak akan melakukanya. Aku ingin bertemu dan mengukur kemampuan dengan Ki Tempuyung Putih yang telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang saat tubuhku diikat, dijaga oleh beberapa orang berilmu tinggi sehingga aku tidak berdaya sama sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berkata sesuatu Bajang Bertangan Baja telah menyambungnya, "Mungkin hal seperti ini tidak sesuai dengan landasan perjuanganmu Agung Sedayu. Kau tentu menilai bahwa aku melakukan hal ini hanya didorong oleh dendam semata-mata. Aku sadari bahwa kau sulit mempercayaiku bahwa aku lakukan bukannya sekedar didorong oleh dendam setelah aku diperlakukan sewenang-wenang. Tetapi aku juga berharap bahwa orang lain tidak akan mengalami perlakuan sebagaimana aku alami. Apalagi mereka, orang-orang yang tidak seburuk itu. Orang-orang yang tidak pernah terjerumus ke dalam perilaku yang tercela."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku tentu akan mengucapkan terimakasih jika kau bersedia membantu Tanah Perdikan ini menghadapi orang-orang yang ingin mengacaukan Tanah Perdikan ini dan tentu saja arahnya untuk mengguncang ketahanan Mataram."
"Mudah-mudahan aku dapat sedikit mengurangi beban perasaanku atas noda-noda hidupku di masa lampauku.," desis Bajang itu.
Setalah mendapat beberapa kesepakatan, maka mereka-pun telah masuk ke dalam bilik mereka masing-masing. Mereka mencoba untuk dapat mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat.
Sedikit lewat saat matahari terbit, maka Agung Sedayu telah pergi ke barak. Ia telah memanggil beberapa orang pemimpin di barak itu. Ia-pun berbicara pula dengan Ki Lurah Branjangan yang sedang berada di barak itu tentang rencana orang-orang di perkemahan.
"Mereka memang merencanakan untuk menyerang barak ini," berkata Agung Sedayu, "tetapi itu sekedar usaha mereka untuk mencegah agar para prajurit di barak ini tidak turun ke medan pertempuran di Tanah Perdikan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian kita akan mengatur diri. Sebagian pasukan akan berada di luar barak pada hari yang sudah ditentukan itu. Menurut perhitungan, maka serangan kebarak ini tentu akan dilakukan lebih dahulu dari serangan mereka atas Tanah Perdikan. Sebagaimana serangan-serangan mereka pada padukuhan-padukuhan kecil yang mereka perkirakan justru mendapat pengawalan yang kuat."
Untuk beberapa lama Agung Sedayu telah memberikan perintah-perintah kepada para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Namun karena mereka telah ditempa untuk menghadapi berbagai macam tantangan, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu selalu diperhitungkan di setiap medan pertempuran.
Dengan bahan-bahan yang dibawanya dari Pasukan Khususnya maka di sore hari, setelah ia kembali dari barak, maka ia-pun telah mempersiapkan sebuah rancana yang sebaiknya dilakukan oleh Tanah Perdikan bersama-sama dengan para prajurit dari Pasukan Khusus untuk menghadapi orang-orang yang berada di perkemahan yang jumlahnya cukup banyak.
Sore itu juga, di rumah Ki Gede, Agung Sedayu yang datang bersama dengan Glagah Putih telah mempelajari rencana yang dibuat oleh Agung Sedayu itu bersama-sama dengan Ki Gede dan Prastawa.
"Rencana yang baik Agung Sedayu," berkata Ki Gede. Kepada Prastawa Ki Gede bertanya, "Apakah rencana itu menurut pendapatmu dapat dilaksanakan ?"
"Dapat paman," jawab Prastawa, "aku akan segera mengumpulkan semua pemimpin kelompok. Tetapi tidak disini, agar terlepas dari penglihatan Ki Makerti dan orang-orang yang disebutnya sebagai saudaranya itu."
Ki Gede sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu maka katanya, "Aku percaya kepada kalian, karena sebenarnyalah aku memang harus mempercayakan Tanah Perdikan ini kepada anak-anak muda seperti kalian. Namun aku memerlukan laporan secepatnya jika kalian telah mendapatkan keputusan-keputusan."
Malam itu, Prastawa telah menyelenggarakan pertemuan di padukuhan yang terhitung dekat dengan perbukitan di seberang perkemahan. Mereka memperhitungkan bahwa pertemuan itu akan dapat dilihat oleh satu dua orang yang ditugaskan oleh orang-orang di perkemahan untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan, karena mereka tidak dapat mempercayakan sepenuhnya kepada Prasanta dan Saramuka. Tetapi jika demikian, maka kesan yang mereka dapatkan tentu akan memperkuat laporan kedua orang yang tinggal di rumah Ki Marbudi itu bahwa terdapat timbunan kekuatan di padukuhan-padukuhan kecil di sebelah pebukitan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih bahkan bersama Ki Jayaraga telah hadir pula dalam pertemuan itu.
Namun pertemuan itu sendiri telah benar-benar mendapat penjagaan yang ketat. Tidak setiap orang boleh mendekat dan apalagi mendengarkan pembicaraan antara pemimpin pengawal itu. Dalam pertemuan itu Prastawa dan Agung Sedayu menjelaskan apa yang harus mereka lakukan dalam waktu dua hari mendatang. Prastawa telah memerintahkan untuk menyembunyikan kesiagaan itu. Terutama di padukuhan induk, karena Tanah Perdikan itu memang dengan sengaja memancing kekuatan terbesar dari orang-orang perkemahan itu untuk menyerang padukuhan induk.
"Kita dalam menyusun barisan pendem," berkata Prastawa, "mudah-mudahan kita mampu menjaga dan melindungi kampung halaman kita sendiri. Apa-pun yang terjadi, bumi kita harus kita pertahankan sampai batas kemampuan kita yang terakhir. Kita tahu bahwa kekuatan yang ada di sebelah pebukitan itu adalah kekuatan yang besar itu."
"Bagaimana dengan Kademangan sebelah-menyebelah ?" bertanya salah sekarang pemimpin pengawal, "apakah kita tidak dapat bekerja bersama dengan mereka?"
"Kita memang selalu berhubungan dengan mereka. Tetapi kita harus tetap menjaga jarak. Kita tidak tahu, apakah rahasia yang sampai ketelinga mereka tidak akan tembus sampai ketelinga para pemimpin di perkemahan itu. Seandainya bukan Ki Marbudi, mungkin orang-orang perkemahan itu sudah sempat membuat lubang-lubang untuk menempelkan telinga mereka. Untunglah, bahwa Ki Marbudi adalah seorang yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bumi kelahirannya, sehingga keping-keping uang itu tidak menggoyahkan kesetiannya. Bahkan dengan cerdik Ki Marbudi mampu menyadap beberapa hal yang penting dari mulut orang-orang yang justru ingin menyadap keterangan dari mulut Ki Marbudi yang dianggap salah seorang bebahu penting di Tanah Perdikan ini."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk, sementara Prastawa berkata selanjutnya, "Apakah yang dapat kami lakukan adalah berusaha menyelesaikan orang-orang di perkemahan itu sendiri meski-pun kita sudah selalu memperingatkan agar para Demang bersiap menghadapi segala kemungkinan."
Para pemimpin pengawal itu-pun mengerti bahwa Kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan itu-pun tentu tidak terlepas dari pengamatan orang-orang perkemahan itu. Namun yang terpenting bagi mereka tentu Tanah Perdikan Menoreh sebagai kekuatan terbesar di sebelah Barat Kali Praga.
Malam itu Agung Sedayu-pun telah memberikan petunjuk-petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para pengawal jika pertempuran terjadi di daerah yang luas. Agung Sedayu-pun memberikan pertimbangan bagaimana sebaiknya menempatkan para pengungsi, karena jika terjadi perang maka perempuan dan anak-anak harus ditempatkan di tempat yang paling aman.
"Menurut perhitungan kami, maka yang harus mendapatkan perhatian terbesar adalah padukuhan induk," berkata Agung Sedayu, "Selain padukuhan itu terhitung padukuhan yang besar dan luas, penghuninya-pun terhitung paling padat dan paling banyak. Karena itu, maka sebaiknya dibentuk petugas khusus yang akan mengurus perempuan dan anak-anak, termasuk melindungi mereka."
Demikianlah, malam itu para pemimpin pengawal itu telah mendapatkan gambaran yang jelas, apa yang mungkin terjadi dan apa yang harus mereka lakukan. Baik di padukuhan induk, mau-pun di padukuhan-padukuhan yang lain terutama yang terdekat dengan pebukitan di sisi Barat Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika kemudian pembicaraan itu kemudian berakhir, maka Prastawa-pun berpesan, "Kita harus menjaga rahasia pembicaraan ini sebaik-baiknya. Jika rahasia ini sampai ketelinga siapa-pun juga yang tidak berhak, maka sia-sialah perjuangan Ki Marbudi. Bahkan mungkin nyawanya akan terancam, karena orang-orang perkemahan itu tidak segan-segan berbuat apa saja. Tetapi selain nasib buruk Ki Marbudi, maka mereka tentu akan berubah semua rencana yang telah mereka susun, sehingga kita harus mulai segala- segalanya dari permulaan lagi. Jika sampai saat ini kalian sudah hampir kehilangan kesabaran, maka tentu kalian akan merasa semakin menjemukan lagi jika kita harus mulai dari permulaan sekali."
Demikianlah, maka pertemuan itu-pun sekali sedikit lewat tengah malam. Namun segala-galanya telah menjadi jelas bagi para pengawal. Mercka-pun petunjuk untuk dapat dengan cepat mengambil langkah-langkah yang penting jika hal-hal yang tidak sesuai bahkan berlawanan sekali dengan perhitungan mereka. Sementara itu setiap pedukuhan harus dipersiapkan selain kentongan, juga panah sendaren dan panah api untuk memberikan isyarat pada malam hari.
Dalam pada itu, setelah selesai dengan pertemuan itu, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga tidak segera kembali ke padukuhan induk. Mereka bertiga sesuai dengan rencana mereka langsung mendaki bukit dan berusaha mendekat perkemahan itu, tetapi jurusan Barat. Mereka berjalan melingkar agak jauh. Namun dengan demikian mereka berharap untuk dapat melihat keadaan perkemahan itu dengan baik.
Sebenarnyalah bahwa keliga orang itu telah berhasil mendekati perkemahan sebagaimana pernah dilakukan oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Bajang Bertangan Baja.
Ketiga orang itu memperhatikan keadaan perkemahan itu dengan seksama. Ternyata mereka melihat peningkatan kegiatan di perkemahan itu. Di malam yang telah larut itu mereka melihat orang-orang perkemahan itu masih saja hilir mudik. Nampaknya mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk mengadakan penyerangan atas Tanah Perdikan Menoreh. Jika benar yang dikatakan oleh Prasanta dan Saramuka, maka tinggal tersisa dua malam lagi serangan akan dilakukan atas Tanah Perdikan Menoreh. Malam itu dan malam berikutnya. Karena itu, maka nampaknya persiapan-persiapan telah dilakukan dengan sebaik-baiknya.
"Besok kita harus melihat sekali lagi perkemahan ini," berkata Agung Sedayu.
"Ya," jawab Jayaraga. "aku justru yakin, bahwa serangan atas Tanah Perdikan Menoreh akan dilakukan dua hari lagi sebagaimana kita perhitungkan berdasarkan pendengaranmu atas pembicaraan dua orang yang disebut sebagai saudara Ki Makerti itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melihat lebih dekat lagi. Mungkin kita akan dapat bagian-bagian dari kekuatan mereka."
Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser menyusuri perkemahan itu. Mereka memang melihat seakan-akan ada sekat-sekat diantara para penghuni gubug-gubug yang ada di perkemahan itu. Agaknya penghuni perkemahan itu-pun terbagi dalam beberapa kelompok yang berasal dari lingkungan yang berbeda."
Namun kemudian semuanya berada di bawah pimpinan Resi Belahan yang keras dibantu oleh Ki Tempuyung Putih yang tidak kalah kerasnya. Mereka-pun orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan disegani oleh semua pihak yang ada di perkemahan itu.
Dalam pada itu, ketiga orang itu terkejut ketika mereka mendengar keributan yang datang dari arah luar perkemahan. Karena itu, maka ketiga orang itu-pun dengan cepat telah berusaha berlindung di balik dedaunan dan di sela-sela pohon perdu.
Beberapa saat kemudian mereka dua orang yang digiring ke perkemahan. Kedua orang itu sama sekali sudah tidak berdaya. Sekali-sekali mereka jatuh tertelungkup. Namun mereka telah dipukul, ditendang atau bahkan dicambuk untuk bangkit dan berjalan terus ke perkemahan.
Glagah Putih yang melihat hal itu hampir saja meloncat dari sembunyiannya. Namun dengan cepat Agung Sedayu menggamitnya.
Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak berani bertanya apa-pun juga karena suaranya akan dapat didengar oleh orang-orang yang menyeret dan memaksa kedua orang itu berjalan.
Baru setelah orang-orang itu menjauh beberapa langkah Glagah Putih bertanya, "Apakah kita tidak akan menolongnya kakang ?"
Satu pergolakan yang sengit dalam diri Agung Sedayu. Karena itu, maka ia tidak segera menjawab. Keringat dingin mulai mengembun di dahi dan keningnya.
Bersambung Balas On 30 Juni 2009 at 10:36 raharga Said:
Buku 284 bagian II Agung Sedayu benar-benar berdiri di simpang jalan. Jika ia menolong orang yang diseret itu berarti bahwa ada orang lain yang berhasil mendekati perkemahan dan melihat kesiagaan mereka. Tetapi jika ia tidak berbuat apa-apa, nasib orang itu akan menjadi sangat buruk.
Ternyata bukan saja Agung Sedayu yang menjadi gelisah dan bimbang. Tetapi Ki Jayaraga-pun berdesis, "Apa yang sebaiknya kita lakukan ?"
Glagah Putih kemudian juga menyadari kebimbangan yang mencekam jantung Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Bahkan ia sendiri akhirnya menjadi bimbang.
Namun akhirnya Agung Sedayu tidak dapat menahan dirinya. Dengan meski-pun masih terkesan kebimbangannya, tetapi ia berkata, "Kita selamatkan orang itu. Tetapi orang-orang perkemahan itu-pun harus hilang dari lingkungannya."
Ternyata Ki Jayaraga dan Glagah Putih-pun tanggap. Dengan tangkas mereka meloncat menyusuri orang-orang yang menyeret dua orang itu. Mereka hanya memerlukan waktu sekejab untuk melumpuhkan lima orang yang menyeret dua orang yang sudah tidak berdaya itu. Lima orang itu-pun telah menjadi pingsan.
Kedua orang yang telah dibebaskan itu-pun berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Agng Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
"Kita tidak sempat berbicara sekarang," berkata Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, "Kita harus menjauhkan orang-orang yang pingsan itu dari lingkungan ini."
"Apa yang akan kita lakukan ?" bertanya Glagah Putih.
"Kita bawa mereka menyingkir. Nanti kita bicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan."
"Bagaimana kita membawa mereka ?" bertanya Glagah Putih kemudian.
"Kita terpaksa menyeretnya," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya dipandanginya orang yang telah medapatkan siksaan yang menyakitkan itu.
Ternyata orang-orang itu tanggap. Seorang diantara mereka berkata, "Kami akan mencoba ikut meyeret mereka menjauhi tempat ini. Mudah-mudahan masih ada tenaga yang tersisa."
Demikianlah, meski-pun masih dengan agak bersusah payah dan lambat mereka telah menyeret orang yang pingsan itu menjauhi perkemahan.
Kedua orang yang sebelumnya telah mengalami nasib buruk itu telah kehabisan tenaga mereka, sehingga mereka tidak dapat menyeret orang-orang yang pingsan itu lebih jauh lagi. Tetapi Agung Sedayu-pun kemudian berkata, "Kita sudah cukup jauh dari perkemahan. Kita menunggu orang-orang itu sadar dari pingsan."
"Untuk apa ?" bertanya salah seorang dari orang-orang yang telah mengalami siksaan yang hampir saja membuat mereka tidak sempat melihat matahari terbit esok pagi.
"Jika mereka menjadi sadar, maka kita tidak perlu menyeret mereka. Kita dapat memaksa mereka untuk berjalan sendiri," jawab Agung Sedayu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, "Kita siram saja mereka dengan air agar mereka dapat menjadi sadar."
Agung Sedayu tidak berkeberatan. Karena itu, maka mereka-pun telah mengambil air parit dengan daun lumbu yang cukup lebar yang tumbuh di tepi parit itu.
Dengan menuang air kewajah-wajah mereka yang pingsan, maka kelima orang itu-pun perlahan-lahan menjadi sadar.
Mula-mula orang-orang itu memang berniat untuk melawan. Tetapi mereka kemudian menyadari bahwa senjata-senjata mereka telah berada di tangan kelima orang yang menungguinya. Dua orang diantaranya adalah orang yang telah mereka seret ke perkemahan.
"Kau tidak akan dapat melawan kami," desis Agung Sedayu.
Orang-orang itu-pun termangu-mangu sejenak. Namun mereka menyadari bahwa dalam waktu yang sangat pendek, mereka telah menjadi pingsan menghadapi tiga orang yang berloncatan dari kegelapan. Apalagi kemudian mereka berhadapan dengan lima orang. Meski-pun dua orang diantara mereka sudah hampir saja mereka hancurkan di perkemahan.
Kini dua orang itu telah berdiri di sisi ketiga orang yang lain sambil bertolak pinggang. Bahkan seorang diantara mereka berkata, "Kini datang gilirannya, kalian akan mengalami nasib sebagimana aku alami."
Kelima orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi diantara mereka masih saja merasakan kepalanya pening. Sementara itu kelima orang berdiri di sekitar mereka telah mengacukan senjata mereka.
"Ikut kami. Jangan membuat sesuatu yang dapat memisahkan nyawamu dari tubuhmu," ancam Agung Sedayu.
Kelima orang itu masih berdiri termangu-mangu. Namun Agung Sedayu telah mendorong seorang diantara mereka sambil berkata, "Marilah. Berjalanlah."
"Kemana ?" bertanya orang itu.
"Aku akan memberikan perintah-perintah kepada kalian."
Kelima orang itu tidak dapat berbuat lain. Mereka harus mengikuti perintah Agung Sedayu yang berjalan di belakang mereka dengan golok yang dirampasnya dari salah seorang diantara kelima orang itu teracu kepada mereka. Demikian pula Glagah Putih, Ki Jayaraga dan kedua orang itu masih saja nampak terlalu lemah.
Namun kemudian Agung Sedayu dan salah seorang diantara kedua orang yang hampir kehabisan tenaganya itu berjalan agak kebelakang. Agung Sedayu ingin mendapat keterangan tentang kedua orang yang sebelumnya belum dikenalnya itu.
"Kami adalah orang-orang Kademangan Kleringan," desis salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kepada orang yang berjalan di sebelahnya itu ia bertanya, "Kenapa kalian justru telah diseret oleh kelima orang itu ?"
"Kami mencoba mendekati perkemahan. Kami ingin menemukan kembali dua orang perempuan yang hilang dari Kademangan kami," jawab orang itu. Lalu katanya, "Tetapi nasib kami berdua ternyata tidak baik. Kami terjebak ke dalam pengawasan mereka yang segera menangkap kami. Kami berdua tidak mampu melawan kelima orang itu," orang itu berhenti sejenak, lalu ia-pun bertanya, "Tetapi sipakah kalian bertiga ?"
"Kami kebetulan saja lewat daerah ini," Agung Sedayu mencoba mengelak. Ia masih merasa cemas, bahwa di Kleringan terdapat pula orang-orang yang menyadap rahasia sebagaimana dilakukan oleh kedua orang yang tinggal di rumah Ki Makerti.
Orang itu ternyata tidak mendesaknya. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh dari perkemahan.
Namun dalam pada itu, jantung Agung Sedayu-pun berdebar semakin keras. Dua orang perempuan telah hilang di perkemahan. Nasib mereka tentu jauh lebih buruk dari nasib kedua orang yang telah diseret oleh kelima orang pengawas di perkemahan itu.
Ketika mereka sampai di persimpangan, maka Agung Sedayu-pun telah mempersilahkan kedua orang itu segera kembali ke Kademangan. Beruntunglah ternyata kedua orang itu tidak terlalu banyak mengenal Tanah Perdikan dan penghuninya, sehingga kedua orang itu masih belum mengenal Agung Sedayu. Nampaknya perbukitan yang membujur ke Utara itu memang memperlebar jarak antara Kademangan Kleringan dan Tanah Perdikan Menoreh meski-pun para pemimpinnya selalu berhubungann yang satu dengan yang lain.
Kedua orang itu memang lalu memisahkan diri, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Galagah Putih yang menggiring kelima orang tawanan mereka melingkari jalan yang agak panjang, naik kepebukitan dan kemudian turun ke tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
"Apakah kita menuju ke Tanah Perdikan Menoreh ?" bertanya salah seorang dari kelima orang yang tertawan itu.
Yang menjawab adalah Glagah Putih, "Ya. Di hadapanmu adalah Tanah Perdikan Menoreh."
"Apakah kalian orang Tanah Perdikan Menoreh ?" bertanya orang itu lagi.
"Ya," jawab Glagah Putih singkat.
Orang itu terdiam. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar. Mereka tahu bahwa mereka tentu tidak akan dapat melepaskan diri. Sementara itu para pemimpin mereka telah mempersiapkan serangan besar-besaran atas Tanah Perdikan Menoreh.
Namun mereka justru berharap dalam serangan besar-besaran itu mereka akan dapat dibebaskan oleh kawan-kawannya. Meski-pun demikian mereka merasa cemas juga bahwa mungkin umur mereka akan dihabisi saat itu juga.
Dalam pada itu Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah membawa kelima orang itu dengan sangat berhati-hati. Tidak ada seorang-pun yang boleh mengetahuinya, karena jika berita tentang penangkapan itun didengar oleh seseorang, maka tidak mustahil berita itu akan sampai ketelinga Ki Makerti dan orang-orang yang ada di rumahnya.
Karena itu, maka Agung Sedayu yang pulang ke rumahnya itu seakan-akan menjadi orang asing yang akan menyusup ke Tanah Perdikan itu. Dengan sangat berhati-hati mereka menempuh jalan-jalan yang sepi dan tidak banyak disentuh orang. Demikian pula ketika mereka memasuki padukuhan induk.
Namun karena Agung Sedayu telah mengenali lingkungannya sebagaimana ia mengenali sudut-sudut rumahnya, maka ia-pun berhasil membawa kelima orang itu sampai di rumahnya tanpa dilihat oleh seorangpun. Para peronda di gardu-gardu dan mereka yang beronda keliling padukuhan induk, tidak sempat melihat mereka meski-pun mereka berjalan beriringan delapan orang.
Agung Sedayu telah memutuskan bahwa di hari yang tersisa kelima orang itu tidak boleh kelura dari rumahnya. Orang-orang yang ada di rumahnya cukup kuat untuk menjaga kelima orang yang kemudian dimasukkan ke dalam satu bilik di gandok. Memang agak terlalu sempit. Tetapi tidak ada ruang lain yang dapat mereka berikan kepada kelima orang itu.
Ketika kemudian Bajang Bertangan Baja memasuki ruangan mereka bersama Glagah Putih, maka orang-orang itu-pun tencejut. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang pernah ditangkap dan hampir saja mati di perkemahan.
Bajang Bertangan Baja yang melihat wajah-wajah mereka yang tegang berkata, "Nah, agaknya kalian telah mengenal aku. Setidak-tidaknya kalian pernah melihat aku diikat di sebatang pohon di perkemahanmu."
Tidak seorang-pun diantara kelima orang itu menjawab. Tetapi mereka memang pernah melihat Bajang Bertangan Baja itu. Justru karena bentuk tubuhnya yang agak lain dari kebanyakan orang itulah, maka Bajang Bertangan Baja itu menarik perhatian orang, sehingga orang yang pernah melihatnya tidak mudah melupakannya.
"Nah Ki Sanak," berkata Bajang itu pula, "pada suatu saat aku ingin bertemu dengan Ki Tempuyung Putih dalam keadaan berbeda dari keadaanku waktu itu. Aku tahu Ki Tempuyung Putih adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak gentar menghadapinya."
Kelima orang itu masih berdiam diri. Sementara Bajang Bertangan Baja itu berkata selanjutnya, "Sekarang yang ada disini adalah kalian. Dengan mudah aku dapat membunuh kalian. Atau lebih memuaskan lagi menyakiti kalian sebagaimana aku disakiti."
Wajah-wajah kelima orang itu menjadi tegang. Namun Bajang itu berkata, "Tetapi tidak sekarang. Sekarang aku hanya ingin bertanya kapan kawan-kawanmu akan menyerang Tanah Perdikan ini. Aku ingin mendengar kalian menjawab dengan jujur, karena sebenarnya kami disini sudah tahu jawabanya. Jika jawaban kalian tidak sama dengan rencana kalian yang sebenarnya, maka kalian akan menyesal."
Kelima orang itu menjadi semakin tegang. Sementara Bajang Bertangan Baja berkata, "Nah aku ingin mendengar jawab kalian. Kapan kawan-kawan kalian akan datang kemari."
Seorang diantara kelima orang itu dengan ragu-ragu menjawab, "Kami tidak tahu, itu adalah rahasia para pemimpin kami."
Tetapi Bajang Bertangan Baja tertawa. Katanya, "Jika waktunya masih lama, maka hal itu memang mungkin. Tetapi karena waktunya sudah terlalu dekat, maka kalian tentu sudah mengetahuinya. Apalagi perkemahan itu sudah melakukan persiapan-persiapan yang masak. Dengan demikian maka tidak mungkin jika kalian menjawab bahwa kalian tidak tahu. Memang mungkin orang-orang dungu dan kasar yang ada di perkemahan kalian itu tidak mengetahuinya. Yang mereka tahu adalah makan dan janji serta harapan-harapan dalam kedunguan mereka. Tetapi kalian tidak."
Kelima orang itu menjadi semakin bedebar-debar. Ia sadar, bahwa mata Bajang Bertangan Baja itu telah memancarkan dendam yang tiada taranya, sehingga ia akan dapat berbuat apa saja atas mereka yang sudah tidak berdaya itu.
Ketika Bajang Bertangan Baja itu menangkap tangan salah seorang diantara mereka, maka rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi remuk seketika.
Orang itu mengaduh kesakitan. Namun Bajang itu berkata, "aku belum benar-benar meremukkan tanganmu. Kau tentu tahu aku disebut Bajang Bertangan Baja. Tetapi juga Bajang Bertangan Embun. Aku dapat meremukkan tulang-tulangmu dalam sekejap, tetapi aku dapat memulihkannya dalam sekejap juga."
Wajah orang itu menjadi pucat. Apalagi ketika Bajang itu meraba kepalanya. Orang itu memang percaya bahwa tangan Bajang itu akan meremukkan tulang-tulang kepalanya pula.
Karena itu. ketika Bajang itu membentaknya dan bertanya kapan orang-orang perkemahan akan bergerak, orang itu terpaksa menjawab, "Dua hari lagi."
"Bagus," jawab Bajang itu, "kau tidak berbohong. Kami sudah tahu bahwa dua hari lagi kalian akan menyerang. Pasukan kalian yang terbesar akan menyerang padukuhan induk. Tetapi kalian juga akan menyerang padukuhan-padukuhan kecil di dekat perbukitan yang berseberangan dengan perkemahan kalian."
Orang-orang yang tertawan itu tidak dapat berkata apapun. Ternyata orang-orang Tanah Perdikan telah mengetahui segala rencana yang telah disusun oleh para pemimpin perkemahan.
"Nah," berkata Bajang Bertangan Baja, "aku telah menunggu Ki Tempuyung Putih. Aku harap ia dan beberapa orang terpilih akan datang kemari. Kami sudah siap menunggu kedatangan mereka."
Orang-orang itu masih terdiam. Sementara Bajang Bertangan Baja itu berkata, "Baiklah. Untuk sementara kalian terpaksa tidur di tempat yang barangkali agak terlalu sempit bagi kalian berlima. Tetapi di rumah ini tidak ada tempat yang lebih pantas bagi kalian. Ingat, siapa-pun diantara kalian yang mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang tidak kami kehendaki, maka aku tidak akan segan-segan memilin lehernya sampai patah. Kalian harus percaya bahwa aku dapat melakukannya, karena kalau kalian tidak percaya maka aku akan mengambil salah seorang dari kalian untuk kami jadikan contoh."
Kelima orang itu masih berdiam diri. Meraka memang tidak dapat menjawab, karena mereka benar-benar dalam kedudukan yang sangat lemah.
Ketika Bajang Bertangan Baja dan Glagah Putih keluar dari ruangan itu, maka kelima orang itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka-pun kemudian merebahkan diri di pembaringan. Tetapi kerena pembaringan itu terlalu sempit untuk berlima, maka dua diantara mereka akan tidur di lantai.
"Yang tidur di amben tidak memerlukan tikar," berkata mereka yang tidur di lantai.
Kawan-kawannya yang tidur di pembaringan memang tidak mencegah ketika kawan-kawan mereka yang tidur di lantai menarik tikar di pembaringan.
Kelima orang itu mencoba melupakan kegelisahan mereka di sisa malam yang pendek itu. Namun agaknya mereka selalu saja dibayangi kegelisahan sehingga mata mereka tidak dapat terpejam.
Sementara itu, maka penghuni rumah itu-pun bergantian menunggui orang-orang yang tertawan. Wacana-pun mendapat bagian pula. Ia yang sempat tidur di ujung malam harus menunggu kelima orang yang ada di gandok. Sementara itu Sabungsari harus mengawasi Bajang Bertangan Baja. Meski-pun Agung Sedayu yakin bahwa Bajang Bertangan Baja itu tidak akan melarikan diri, namun ia masih juga berhati-hati menghadapi Bajang yang sebelumnya dikenal Berotak Ular itu.
Dalam pada itu, di perkemahan, penghuninya memang merasa kehilangan. Lima orang diantara mereka tidak kembali setelah di malam hari mereka meronda di sisi Barat perkemahan.
"Apakah mereka ditangkap oleh orang-orang Kleringan ?" bertanya pemimpin-pemimpin kelompok yang merasa kehilangan itu.
"Aku tidak yakin," jawab seorang kawannya.
"Jadi, apakah mereka melarikan diri ?"
"Bagaimana dengan orang-orang Tanah Perdikan ?" bertanya yang lain.
"Mereka tidak bertugas kelingkungan yang berhadapan dengan Tanah Perdikan. Mereka tidak mendaki pebukitan. Tetapi mereka meronda di sisi barat, di tanah dataran yang menghadap Kademangan Kleringan."
"Selan orang-orang Kleringan," geram seorang diantara mereka, "Jika kami datang dengan kelompok kecil saja, maka seluruh Kademangan itu sudah tergilas."
"Agaknya orang-orang Kleringan menjadi marah karena mereka telah kehilangan gadis-gadisnya."
"Tetapi mereka tidak berhak menangkap dan barangkali menghukum kelima orang itu." jawab seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, "kita akan dapat menyapu Kademangan itu menjadi debu."
"Kita harus menahan diri. Kekuatan kita diperlukan seluruhnya untuk menghancurkan Tanah Perdikan Menoreh. Setelah itu, maka apa-pun yang akan kita lakukan akan dapat kita lakukan. Bukan hanya Kademangan Kleringan, tetapi Kademangan-kademangan yang lain akan segera dapat kita kuasai. Kademangan-kademangan yang subur itu serta Tanah Perdikan Menoreh sendri akan dapat menjadi landasan persediaan bahan makan untuk gerakan selanjutnya."
Mentari Senja 9 Detektif Ilmiah Einstein Anderson Karya Seymour Simon Kambing Jantan 2

Cari Blog Ini