Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 12

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12


Orang-orang yang marah itu memang harus menahan diri. Mereka memerlukan seluruh kekuatan untuk menyerang Tanah Perdikan.
Sementara itu waktunya sudah merangkak semakin dekat. Mereka tinggal mempunyai waktu sehari, karena besok mereka akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh bersamaan dengan merekahnya fajar.
Karena itu, maka orang-orang perkemahan itu untuk sementara membiarkan kelima orangnya hilang. Mereka menyangka bahwa kelima orang itu telah ditangkap oleh orang-orang Kleringan yang marah karena mereka telah kehilangan gadis-gadis mereka.
Hari itu perkemahan itu-pun menjadi sangat sibuk. Persiapan-persiapan telah mereka lakukan sebaik-baiknya. Kekuatan mereka telah tersusun. Kelompok-kelompok yang akan menyerang dua padukuhan terdekat Kelompok yang akan mengikat barak Pasukan Khusus dalam pertempuran dan pasukan induk yang akan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Menghancurkan rumah-rumah orang-orang berilmu tinggi dan selanjutnya kekuatan Tanah Perdikan itu-pun akan menjadi lumpuh.
Sementara itu, di Tanah Perdikan telah dilakukan persiapan sebaik-baiknya. Tetapi sesuai dengan rencana maka Tanah Perdikan telah membangun beteng pendem sehingga sulit untuk dilihat ujudnya. Hanya di beberapa padukuhan terdekat dengan perbukitan, kesiagaan itu sengaja diperlihatkan.
Hari itu Agung Sedayu yang juga pergi ke barak telah mengatur kekuatan yang ada di barak itu. Sekelompok telah dipersiapkan untuk menahan serangan yang bakal datang. Yang lain telah dipersiapkan sesuai dengan perkembangan keadaan. Namun di barak itu sudah dipersiapkan pula pasukan berkuda meski-pun hanya kecil. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu memiliki kelebihan tertentu.
Hari itu, Ki Makerti dan kedua orang yang diakuinya sebagai saudaranya itu juga pergi ke pasar. Mereka memang tidak menunjukkan sikap yang lain dari sebelumnya. Mereka menemui Nyi Marbudi sebagaimana biasa. Sedangkan sikap Nyi Marbudi-pun sama sekali tidak berubah, karena Nyi Marbudi memang tidak tahu apa-apa dengan tugas-tugas suaminya.
Ketika Ki Makerti bertanya tentang Ki Marbudi, maka ia-pun menjawab, "Tadi Ki Marbudi ada di rumah. Hari ini akan datang tiga orang tukang yang akan melihat-lihat rumah kami. Mana yang harus diperbaiki, yang mana yang harus dirubah dan apakah perlu membuat bagian-bagian yang baru."
"Tetapi bukankah pembangunan itu belum dimulai ?"
"Belum. Tukang-tukang itu baru melihat-lihat keadaan," jawab Nyi Marbudi.
"Jadi demikian, kami akan menemui Ki Marbudi," berkata Ki Makerti.
Seperti yang dikatakan, Ki Makerti, Prasanta dan Saramuka-pun telah pergi ke rumah Ki Marbudi. Seperti yang dikatakan oleh Nyi Marbudi pula maka di rumah Ki Marbudi memang ada tiga orang tukang kayu yang sedang mengamati rumah itu. Mereka sedang mengukur ruangan, pintu dan bagian-bagian lain dari rumah Ki Marbudi.
Kedatangan Ki Makerti bersama dua orang yang diakuinya sebagai saudaranya itu telah disambut baik oleh Ki Marbudi. Ki Marbudi-pun mengatakan kepada mereka tentang ketiga orang yang sedang sibuk itu.
"Tetapi hari ini masih belum lewat hari ketiga Ki Marbudi," Prasanta memperingatkan.
"Ya. Besok baru hari ketiga," jawab Ki Marbudi.
"Bukankah Ki Marbudi belum mempergunakan uang itu barang sekeping-pun ?" bertanya Prasanta hampir berbisik agar tidak didengar oleh tukang-tukang kayu yang sibuk itu.
"Belum. Belum. Tukang-tukang itu baru melihat-lihat keadaan rumah ini. Mereka belum menerima upah untuk itu."
"Sokurlah," Prasanta mengangguk-angguk.
"Besok aku baru menghubungi para pedagang bahan bangunan. Terutama kayu," jawab Ki Marbudi, "dan baru lusa aku mengeluarkan keping-keping uang itu."
Prasanta tertawa. Katanya, "Maafkan Ki Marbudi. Sebenarnya aku tidak perlu mencampuri rencana Ki Marbudi. Setelah kami menyerahkan uang, sebenarnya tugas kami sudah selesai. Jika aku mempersoalkan kapan Ki Marbudi akan mulai, itu semata-mata karena hubungan kita yang sudah sangat baik."
Ki Marbudi mengangguk kecil. Katanya, "Terima kasih. Aku mengerti niat baik kalian."
Untuk beberapa saat Ki Makerti, Prasanta dan Saramuka telah ikut melihat-lihat keadaan rumah Ki Marbudi. Namun kemudian mereka telah minta diri. Sebenarnyalah bahwa Prasanta dan Saramuka ingin melihat-lihal keadaan Tanah Perdikan itu. Apakah Tanah Perdikan itu meningkatkan kesiagaannya atau tidak.
Namun ternyata mereka tidak melihat beteng pendem yang dibangun oleh para pengawal Tanah Perdikan. Apalagi yang ditentukan baru rencana pertahanan tersembunyi itu. Prastawa memang memerintahkan untuk tidak tergesa-gesa memasang kelompok-kelompok kekuatan di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Karena itu, maka Prasanta dan Saramuka tidak melihat peningkatan pertahanan itu. Dengan demikian maka keduanya-pun telah minta diri kepada Ki Makerti untuk memberikan laporan kepada pemimpinnya."
Namun Prasanta dan Saramuka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka selalu diawasi oleh petugas sandi Tanah Perdikan Menoreh. Para petugas sandi-pun tahu bahwa Prasanta dan Saramuka telah pergi ke bukit. Namun menilik sikap mereka, maka mereka tidak membawa persoalan yang tergesa-gesa harus mereka laporkan kepada pemimpin mereka.
Nampaknya Prasanta dan Saramuka berjalan seenaknya. Meski-pun kemudian mereka berusaha untuk diam-diam menyelinap kearah perbukitan dan hilang di hutan lereng pegunungan.
Dua orang petani yang bekerja di sawah tengah mengawasi mereka. Petani yang dalam tugas sandinya itu berusaha agar kedua orang yang diawasinya tidak melihat mereka. Tetapi seandainya mereka melihat, maka yang dilihatnya adalah dua orang yang sedang menyiangi tanaman di sawah, tidak terlalu jauh dari padukuhan terakhir di sebelah lereng.
Sebenarnya bahwa kedua orang itu telah menyampaikan laporan kepada para pemimpin di perkemahan. Mereka memberitahukan bahwa mereka tidak melihat peningkatan kegiatan di Tanah Perdikan selain di padukuhan-padukuhan terdekat dengan kepebukitan.
"Kenapa terjadi peningkatan kesiagaan di padukuhan-padukuhan itu " Apakah orang-orang padukuhan itu mengetahui bahwa padukuhan mereka akan mendapat serangan ?" bertanya Ki Tempuyung Putih dengan jantung berdebaran.
"Tidak Ki Tempuyung Putih," jawab Prasanta, "peningkatan kesiagaan di padukuhan terdekat itu sudah dilakukan setiap kali. Terutama setelah seorang gadis mereka hampir saja diseret naik ke pebukitan."
Ki Tempuyung Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian besok kita hancurkan Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana kita rencanakan. Sekelompok dari antara kita akan mengikat pertempuran dengan Pasukan Khusus. Kita umpankan orang-orang dungu itu di barak harimau lapar itu. Biar mereka ditelan habis. Kita tidak memerlukan mereka lagi. Dengan demikian kita berharap bahwa prajurit dari pasukan khusus itu tidak akan keluar dari baraknya. Apalagi Agung Sedayu akan kita kurung di rumahnya sejak fajar, sehingga ia tidak akan sempat memberikan perintah-perintah bagi prajurit-prajuritnya."
Resi Belahan-pun menyetujuinya pula. Dengan kesungguhan ia berkata, "Orang-orang kita sudah mulai jemu untuk lebih lama tinggal disini. Mereka sudah melakukan tindakan-tindakan di luar kendali. Karena itu, maka kita akan melaksanakan rencana kita esok."
"Lalu bagaimana dengan kami " Apakah kami harus kembali ke Tanah Perdikan atau besok bersama-sama seluruh pasukan memasuki padukuhan induk ?"bertanya Prasanta.
"Kembalilah ke Tanah Perdikan. Kalian tidak usah pergi lagi ke perkemahan ini. Hanya jika ada persoalan yang mendesak sajalah kalian datang memberikan laporan. Tetapi jika tidak ada persoalan apa-apa, maka kau menunggi saja kedatangan kami esok menjelang fajar di padukuhan induk," jawab Resi Belahan.
Prasanta dan Saramuka mengangguk-angguk. Mereka menanggapi perintah itu dengan sangat gembira meski-pun hanya di hati. Mereka akan mendapat kesempatan untuk menjadi orang pertama datang ke rumah Ki Marbudi untuk mengambil uangnya kembali. Sementara itu Saramuka sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk mengambil isi rumahnya yang lain, termasuk Nyi Marbudi.
"Dalam kekacauan tidak akan ada orang yang memperhatikan hilangnya seorang perempuan dari padukuhan di Tanah Perdikan yang akan menjadi debu itu," berkata Saramuka dalam hatinya.
Sebenarnyalah sejak ia meminjamkan uang kepada Nyi Marbudi, maka perempuan itu sudah menarik perhatiannya.
Demikianlah sambil berdendang keduanya melintasi puncak perbukitan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengan hati-hati mereka menuruni lereng bukit. Untuk beberapa saat mereka memperhatikan keadaan di bawah bukit itu. Ketika menurut pendapat mereka jalan itu sepi, maka mereka-pun segera memasuki bulak menuju padukuhan induk.
Ternyata bahwa orang-orang yang mengawasinya dari balik dinding padukuhan terdekat masih saja mengawasinya. Meski-pun kedua orang petani di sawah sudah tidak ada di tempatnya, tetapi ada orang lain yang melihat keduanya menuju ke rumah Ki Makerti.
Ternyata keduanya sama sekali tidak terganggu. Tidak ada orang yang menghiraukan mereka. Tidak pula ada tanda-tanda perubahan apa-pun di padukuhan-padukuhan. Para pengawal-pun tidak nampak berjaga-jaga di tempat-tempat tertentu, sehingga dengan demikian maka Prasanta dan Saramuka menjadi semakin yakin, bahwa Tanah Perdikan itu sama sekali tidak mempersiapkan diri menghadapi serangan terbesar yang pernah dilakukan terhadap Tanah Perdikan itu.
Sampai senja turun, memang tidak nampak kegiatan apa-pun di Tanah Perdikan itu. Ketika Prasanta dan Saramuka bersama Ki Makerti datang lagi ke rumah Ki Marbudi, maka tiga orang tukang yang sedang melihat-lihat rumah Ki Marbudi itu sudah tidak ada lagi. Yang ada di rumah tinggal Ki Marbudi, anaknya dan Nyi Marbudi yang baru saja mandi berbenah diri.
Saramuka yang melihat Nyi Marbudi baru saja mandi, jantungnya berdebar-debar. Rasa-rasanya ia tidak lagi sabar menunggu sampai besok, saat pasukan dari perkemahan menghancurkan seisi Tanah Perdikan itu.
"Besok adalah hari terakhir dari batasan waktu itu Ki Marbudi," berkata Prasanta, "besok lusa, Ki Marbudi sudah dapat mulai membelanjakan uang yang kami serahkan itu."
"Baiklah," jawab ki Marbudi, "besok tukang-tukang itu baru akan membuat perincian apa saja yang harus aku beli. Nah, baru besok lusa aku memesan kebutuhan-kebutuhan itu."
Prasannta tersenyum, sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Dengan demikian aku ikut berharap agar apa yang Ki Marbudi lakukan benar-banar akan menghasilkan kerja yang paling baik."
Sepeninggal Prasanta, maka Ki Marbudi-pun duduk termangu-mangu di pringgitan. Ia memang sudah membayangkan bahwa jika terjadi pergolakan di Tanah Perdikan uang yang dipinjamknya itu tentu akan diambil kembali. Bukan hanya itu. Tetapi juga uang bahakan seluruh harta kekayaannya.
Ki Marbudi-pun melihat betapa buasnya mata Saramuka menatap wajah istrinya, ia sadar tentu istrinya tidak memperhatikan sikap itu. Apalagi bagi istrinya. Ki Makerti dan kedua orang yang disebut saudaranya itu adalah orang-orang yang sangat baik.
Ki Marbudi bergeser setapak ketika istrinya ikut duduk di pringgitan itu pula. Dengan ragu-ragu istrinya bertannya, "Kakang. Apa yang sebenarnya kakang pikirkan " Dalam bebarapa hari ini kakang nampak gelisah saja."
"Tidak apa-apa Nyai. Aku justru sedang mereka-reka bentuk rumah kita nanti. Aku memang tidak mau kalah dari para bebahu yang lain. Rumahku harus lebih baik dari rumah Ki Sana sepuh."
"Ah, itu tidak perlu kakang," desis istrinya.
"Rumah Ki Sana Sepuh masih belum sebesar dan sebaik rumah Ki Gede ?" Ki Marbudi justru bertanya.
"Tetapi biar sajalah rumah Ki Sana Sepuh dianggap rumah yang terbaik selain rumah Ki Gede. Ia adalah bebahu tertua di Tanah Perdikan ini. Apa kata orang jika rumah kita tiba-tiba saja menjadi besar dan baik sebagaimana rumah Ki Sana Sepuh ?" bertanya istrinya.
"Aku sudah mengatakan beberapa kali jangan hiraukan kata orang. Mereka akan dapat mengatakan apa saja tentang kita. Tentu yang jelek-jelek. Karena itu aku tidak peduli lagi," jawab Ki Marbudi.
"Tentu tidak dapat kakang. Kita hidup diantara mereka. Di tengah-tengah mereka. Sehingga kita tidak akan terlepas dari lingkungan kita. Aku senang rumah ini akan diperbaiki bahkan mungkin akan mendapat bentuk, yang lebih baik. Tetapi tidak berlebihan."
Ki Marbudi termenung sejenak. Tetapi ia tidak sampai hati membual istrinya gelisah karena tugas sandi-sandinya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah, jika itu yang kau kehendaki, Nyi. Besok jika tukang-tukang itu kembali, aku akan memberitahukan kapada mereka, bahwa rancana yang sudah dibuat akan dilaksanakan terus tetapi dengan ukuran yang sedikit lebih kecil."
Nyi Marbudilah yang kemudian iba melihat suaminya kecewa. Nyi Marbudi menganggap bahwa suaminya benar-benar sedang terbenam dalam mimpi indah tentang sebuah rumah yang besar, bersih dan bagus buatannya. Dengan saka guru dan uleng susun berukir dan disungging halus.
Hampir saja ia merubah keputusan untuk minta agar rencana suaminya disederhanakan. Ia memang menjadi cemas bahwa suaminya yang kecewa itu akan merenung berkepanjangan. Ia sudah merasa dikecewakan oleh Ki Gede yang seakan-akan tidak menghiraukannya lagi. Kemudian ia akan kecewa pula karena rencananya untuk membuat rumahnya menajadi rumah terbaik di Tanah Perdikan itu urung.
Namun sebelum Nyi Marbudi membatalkan niatnya, maka justru Ki Marbudilah yang berkata, "Ternyata aku sependapat dengan kau, Nyi. Aku akan menyederhanakan bentuk luar dari rumah kita. Tetapi bagian dalam rumah kita harus menjadi rumah rumah terbaik di Tanah Perdikan ini."
Nyi Marbudi tidak menjawab. Ia tidak akan merubah lagi niat suaminya. Apalagi bagian dalam rumahnya tidak akan dapat dilihat oleh banyak orang.
Namun dalam pada itu. Ki Marbudi-pun berkata, "Baiklah Nyi. Besok kita bicarakan lagi tentang rumah kita. Sekarang aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Bagaimana-pun juga aku harus menampakkan diri. Setidak-tidaknya hadir meski-pun sambil terkantuk-kantuk."
"Apalagi yang akan dibicarakan kakang ?" bertanya nyi Marbudi, "hampir setiap malam kakang pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi kemudian kembali dengan kecewa."
"Biarlah mereka berbuat apa saja. Aku akan mengejutkan mereka dengan rumahnku kelak," jawab ki Marbudi.
Namun ketika Ki Marbudi turun ke halaman, terbayang sorot mata Saramuka yang bagaikan srigala yang lapar memandangi istrinya. Karena itu, maka ia-pun berkata, "Sudahlah nyi. Masuklah. Hati-hatilah. Bagaimana-pun juga kita mengerti bahwa di seberang perbukitan ada sebuah perkemahan yang dapat mengancam ketenangan hidup Tanah Perdikan ini."
"Tetapi bukankah selama ini kita tidak merasa terganggu karenanya ?" bertanya Nyi Marbudi.
"Apakah kau belum pernah mendengar, bagaimana orang-orang kasar itu menyeret seorang gadis kelereng perbukitan " Untunglah bahwa gadis itu sempat tertolong. Jika tidak, tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan gadis itu," sahut ki marbudi sungguh-sungguh.
Nyi Marbudi mengangguk kecil. Katanya, "Baik Kakang. Aku akan segera menyelarak pintu."
"Jika terjadi sesuatu panggil Sarju dan Sirat. Jika perlu biarlah mereka memukul kentongan," berkata Ki Marbudi.
"Ya kakang," Nyi Marbudi mengangguk-angguk.
Demikianlah sejenak kemudian, Ki Marbudi itu-pun telah meninggalkan rumahnya pergi ke rumah Ki Gede. Ternyata di rumah itu telah hadir beberapa orang yang lain.
Kecuali Ki Gede dan Prastawa, masih ada bebrapa orang terpenting diantara para pemimpin pengawal. Beberapa orang bebahu terpercaya dan hadir pula Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Malam itu adalah malam terakhir dari segala persiapan yang dapat dilakukan oleh Tanah Perdikan Menoreh. Malam itu baris pendem harus disempurnakan. Menjelang fajar, mereka semua pengawal, anak-anak muda, laki-laki muda dan bahkan semua laki-laki yang masih sanggup ikut serta mempertahankan Tanah Perdikan harus dikerahkan. Semalam itu juga semuanya harus dapat dilaksanakan.
Ketika malam menjadi semaki malam, maka Ki Gede -pun telah mengisyaratkan, pelaksanaan sudah dapat dimulai.
"Bagaimana dengan kedua orang itu ?" bertanya Prastawa.
"bagaimana dengan laporan terakhir tentang mereka ?" bertanya Ki Gede.
"Senja ini mereka datang ke rumahku, Ki Gede," berkata Ki Marbudi, "tetapi aku tidak tahu, kemana mereka kemudian pergi."
"Dua orang yang ditugaskan untuk mengawasi mereka melaporkan bahwa mereka berada di rumah Ki Makerti," sahut Prastawa.
"Jika demikian, maka segalanya sudah dapat dimulai. Awasi kedua orang itu. Jika mereka keluar dari halaman rumah ki Makerti, maka kita harus tahu kemana mereka pergi."
"Sampai sekarang mereka tetap diawasi. Rumah Ki Makerti sudah dikepung. Tidak hanya di bagian depan, tetapi juga samping dan belakang. Tetapi para pengawal itu masih tetap bersembunyi," jawab Prastawa.
"Jika demikian para pemimpin pengawal sudah dapat mulai mengatur pertahanan. Kita tetap mempergunakan baris pendem. Seandainya kedua orang itu lolos dari pengawasan, mereka tidak dengan mudah melihat pertahanan kita," perintah Ki Gede.
Sementara itu Agung Sedayu berkata, "Kami masih ingin melihat perkemahan itu sekali lagi. Jika mereka masih tetap pada rencana mereka untuk menyerang esok pagi, maka malam ini tentu sudah nampak kesibukan mereka. Setidak-tidaknya orang-orang yang bertugas di dapur."
"Baiklah," berkata Ki Gede, "kami menunggu laporan kalian. Dengan demikian pertemuan itu segera berakhir. Masing-masing mulai menjalankan tugas mereka. Agung Sedayu dan Glagah putih akan pergi ke perkemahan tanpa mengajak Ki Jayaraga, karena Ki jaya raga harus tetap berada di rumah. Jika saja orang-orang perkemahan mempunyai rencana khusus atas rumah Agung Sedayu itu.
Sementara itu, Prasanta dan Saramuka memang masih tetap berada di rumah Ki Makerti. Semakin malam, Saramuka menjadi semakin gelisah. Bahkan Saramuka tidak segera pergi kepembaringan.
Prasanta yang melihat Saramuka gelisah sempat bertanya dari pembaringannya, "He, kau kenapa sebenarnya " Apakah kau gelisah menghadapi perang besok ?"
"Tidak. Aku tidak pernah gelisah menghadapi perang yang bagaimana-pun juga," jawab Saramuka.
"Jadi kenapa dengan kau," desak Prasanta.
"Jika besok terjadi perang, bukkankah ada kemungkinan kita atau salah seorang dari kita mati ?" bertanya Saramuka.
"Ya. Kenapa " Bukankah itu biasa dan merupakan akibat yang wajar dari peperangan ?" bertanya Prasanta.
"Sebenarnya aku tidak pernah takut mati," berkata Saramuka, "tetapi rasa-rasanya sekarang aku segan mati dalam perang esok."
"Apa sebenarnya yang kau pikirkan ?" bertanya Prasanta tidak sabar.
"Aku tidak mau mati sebelum aku berhasil mengambil Nyi Marbudi," jawab Saramuka.
"Kau gila," geram Prasanta.
"Aku ingin mengambilnya sekarang. Kau dapat juga mengambil uangmu sekarang. Tidak ada orang tahu. Kita akan membunuh Ki Marbudi. Bukankah waktunya tinggal sedikit " Tidak akan ada orang yang sempat mengetahui bahwa Ki Marbudi mau. Bahkan kau telah mengambil kembali uangmu dan aku mengambil Nyi Marbudi. Bahkan jika kita berhasil membunuh Ki Marbudi, aku tidak akan membawa Nyi Marbudi kemana-mana. Akulah yang akan berada di rumahnya malam ini."
"Kau memang gila," geram Prasanta, "kau tidak dapat melakukannya sekarang. Jika kau tertangkap, dan mereka sempat memeras keterangan dari mulutmu, maka masih ada waktu bagi orang-orang Tanah perdikan untuk mengerahkan orang-orangnya."
"Orang-orang Tanah Perdikan ini tidak akan menghubungkan kematian Ki Marbudi dengan perkemahan itu. Mereka justru mengira bahwa yang terjadi adalah perampokan biasa. Perhatian mereka justru akan tertuju pada rumah Ki Marbudi. Tidak kepada perkemahan kita. Bukankah itu justru menguntungkan. Sedangkan aku tidak peduli seandainya aku akan tertangkap malam ini jika aku gagal membunuh Ki Marbudi."
"Sudahlah jangan menjadi gila seperti itu. Jika kau melakukannya juga, mungkin ada sesuatu yang terjadi diluar dugaan kita. Sedangkan hal ini tidak terjadi jika kita tidak berusaha membunuh Ki Marbudi."
Tetapi aku tidak mau mati sebelum aku berhasil merampas Nyi Marbudi itu," Saramuka menggeram, "malam ini aku akan pergi ke rumah Ki Marbudi, "aku akan membunuhnya dan merampas istrinya. Apa-pun yang terjadi."
"Kau jangan kehilangan akal. kau harus melihat persoalan kita sehubungan dengan rencana besar Resi Belahan."
Ternyata nama Resi Belahan mampu menggetarkan jantung Saramuka yang hampir saja kehilangan kendali. Dengan tetapan mata yang meredup ia berkata, "Apakah dalam persoalan ini aku juga harus tunduk kepada Resi Belahan ?"
"Untunglah kau bahwa hanya aku yang mendengar pertanyaanmu itu," desis Prasanta, "jika keluhanmu itu terdengar orang lain, maka akibatnya akan sangat buruk bagimu."
"Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk mengekang diri. Tetapi aku besok akan mendahului langkah-langkah yang akan diambil oleh Resi Belahan. Jika Resi Belahan akan sampai di padukuhan induk bersamaan dengan lahirnya fajar, maka aku akan membunuh Ki Marbudi pada dini hari. Aku masih mempunyai waktu beberapa saat sebelum perang itu terjadi."
"Setan kau," geram Prasanta.
"Bukankah aku tidak akan mengganggu serangan yang akan dilakukan oleh Resi Belahan?" bertanya Saramuka.
"Apakah kau yakin bahwa kau dapat membunuh Ki Marbudi ?" Prasanta justru bertanya.
"Jika aku yang terbunuh, maka itu adalah akibat dari satu pencapaian keinginan. Aku tidak akan menyesal," jawab Saramuka, "kecuali jika kau mau pergi bersamaku ke rumah Ki Marbudi. Kau akan mendapatkan uangmu kembali dan aku akan mendapatkan Nyi Marbudi."
"Kau tidak memerlukan uang itu sama sekali ?" bertanya Prasanta.
"Terserah kepadamu. Jika kau masih ingat untuk memberi sebagian kepadaku, aku akan berterima kasih. Jika tidak, maka aku tidak akan mendendammu," jawab Saramuka.
"Ternyata hatimu lebih pekat dari hatiku yang kau anggap hati iblis karena aku telah mempermainkan uang Resi Belahan," geram Prasanta.
Saramuka justru tertawa. Katanya, "Kepentinganmu berbeda dengan kepentinganku secara pribadi, meski-pun kita sama-sama diikat dalam satu kesatuan yang dipimpin oleh Resi Belahan."
Prasanta tidak menjawab lagi. Ia mencoba untuk tidak mempedulikan tingkah laku Saramuka yang gelisah. Namun seandainya Saramuka akan pergi ke rumah Ki Marbudi di dini hari, agaknya memang tidak akan banyak mengganggu serangan yang akan dilakukan oleh Resi Belahan ke padukuhan induk. Prasanta juga berpikir seandainya keributan di rumah Ki Marbudi itu terdengar oleh para peronda dan para pengawal, maka keributan itu justru akan sempat mengalihkan perhatian para pengawal dari kesiagaan mereka.
Saramuka kemudian terdiam pula. Ketika kemudian Prasanta berusaha untuk sempat tidur, maka Saramuka masih saja duduk dengan gelisah.
Sementara Saramuka gelisah di rumah Ki Makerti, maka Ki Marbudi-pun menjadi gelisah pula di rumahnya. Sorot mata Saramuka yang seolah-olah ingin menelan istrinya bulat-bulat membuatnya gelisah. Tetapi Ki Marbudi-pun gelisah pula karena ia-pun mengetahui bahwa pada saat fajar menyingsing, perang yang cukup besar akan terjadi. Sementara itu, ia-pun membuat perhitungan tersendiri tentang petunjuk Prasanta agar ia menunda penggunaan uangnya sampai lewat tiga hari sejak ia memberikan uang itu kepadanya.
Kegelisahan itu telah membuatnya bersiaga sepenuhnya. Ia tidak sampai hati untuk minta kepada Prastawa perlindungan atas dirinya karena semua pengawal dan bahkan juga Ki Marbudi sendiri seharusnya ikut menyusun baris pendem di padukuhan induk.
Tetapi Ki Marbudi bukan seorang pengecut. Diluar sadarnya ia melangkah mendekati ploncon tempat ia meletakkan beberapa pucuk senjatanya. Dua batang tombak pendek dan sebuah tombak bertangkai panjang. Di dinding tergantung dua buah pedang yang bersilang masih dalam sarungnya.
Tetapi ternyata ki Marbudi masih belum puas dengan senjata-senjatanya itu. Ia-pun telah mengambil pusakanya yang paling akrab dengan dirinya. Sebilah keris yang disimpan di dalam biliknya.
Nyi Marbudi menjadi semakin gelisah ketika ia melihat malam itu Ki Marbudi mengenakan keris pusakanya itu dan bahkan duduk di sebelah ploncoan senjatanya.
"Kakang. Apa yang akan terjadi," bagaimana-pun juga naluri Nyi Marbudi tidak dapat dibohongi lagi.
Ki Marbudi-pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Nyi. Aku kira kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Karena itu, maka aku tidak akan berpura-pura lagi. Aku minta maaf jika aku membuatmu bertanya-tanya selama ini, justru karena tugasku sebagai bebahu Tanah Perdikan Menoreh."
Wajah Nyi Marbudi membayangkan kegelisahannya. Sementara itu ki Marbudi-pun bercerita kepada istrinya yang kemudian duduk di sebelahnya tentang orang-orang di perkemahan yang akan menyerang padukuhan induk itu di saat fajar datang."
"O," Nyi Marbudi menjadi sangat cemas, "jadi bagaimana dengan rencanamu membangun rumah ini ?"
Ki Marbudi-pun kemudian tidak lagi merahasiakan kedudukannya dalam hubungan dengan tugas sandinya. Dengan nada dalam ia berkata, "Ketahuilah, bahwa Prasanta dan Saramuka adalah bagian dari orang-orang perkemahan itu."
"Jadi kita sudah berhubungan dengan orang-orang perkemahan itu " Bagaimana jika Ki Gede mengatahuinya kakang ?" bertanya istrinya dengan nada ketakutan.
"Ki Gede sudah tahu. Justru itu adalah tugasku," jawab Ki Marbudi.
Nyi Marbudi memang tidak segera menjadi jelas. Namun Ki Marbudi telah memberitahukan dengan gamblang apa yang telah dilakukannya menjelang hari-hari terakhir.
Nyi Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia-pun berkata sendat, "Jadi jelasnya selama ini Ki Marbudi telah membohongi aku."
"Bukan maksudku membohongimu, Nyi," jawab Ki Marbudi.
"Jika demikian kakang tidak percaya kepadaku ?" desak istrinya.
"Bukan begitu. Tetapi aku tidak ingin membebanimu. Jika kau tahu akan tugas-tugasku, sedang kau harus merahasiakannya, bukankah itu berarti kau telah mendapat beban karenanya " Tetapi jika kau memang tidak mengetahuinya, maka perasaanmu tentu berbeda. Kau tidak merasa membawa beban yang sangat berat setiap hari kau berhubungan dengan orang lain. Terutama dengan Prasanta dan Saramuka itu sendiri. Termasuk sudah tentu Ki Makerti," jawab suaminya.
Nyi Marbudi mengangguk-angguk kecil. Namun ia-pun kemudian berdesis, "Dan kau telah membawa beban itu sendiri kakang."
"Tetapi itu memang tugasku Nyi, sebagaimana kau merahasiakan harga beli daganganmu terhadap para pembelimu," desis Ki Marbudi.
Nyi Marbudi mengangguk-angguk kecil. Bahkan kemudian ia menundukkan kepalanya. Ia mulai membayangkan betapa berat tugas suaminya. Sementara itu ia tidak dapat berbagi beban dengan siapa-pun juga, bahkan dengan istrinya sendiri.
"Nah, sekarang kau sudah tahu. Karena itu berhati-hatilah. Menurut rencana, perempuan dan anak-anak akan diungsikan menjelang fajar agar tidak diketahui kesiagaan Tanah Perdikan ini khususnya padukuhan induk. Karena itu, benahi barang-barangmu yang kau anggap penting untuk dibawa."
"Kita akan mengungsi kemana ?" bertanya istrinya.
"Perempuan dan anak-anak akan dikumpulkan di banjar padukuhan induk dan di rumah Ki Gede. Akan diberikan khusus pengawalan atas mereka jika orang-orang perkemahan itu jadi menyerang."
"Bagaimana kita tahu mereka jadi menyerang padukuhan induk ini ?" bertanya istrinya.
"Sekarang Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang melihat perkemahan itu," jawab Ki Marbudi.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah putih tengah mendekati perkemahan dari arah yang berlawanan dari arah Tanah Perdikan. Meski-pun mereka harus melingkar, namun dengan kemampuan mereka yang tinggi, maka keduanya segera dapat sampai ketujuan.
Sebenarnyalah bahwa di perkemahan itu telah dilakukan persiapan. Bahkan nampaknya pasukan yang besar telah siap untuk bergerak. Di barak yang khusus nampak sekelompok orang sedang sibuk. Agung Sedayu dan Glagah Putih segera mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi mereka yang akan bertempur.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat melihat persiapan dalam keseluruhan. Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak melihat perincian dari pasukan yang akan menyerang barak Pasukan Khusus dan padukuhan-padukuhan kecil di seberang bukit.
Namun dengan kepastian itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka harus segera memberikan isyarat kepada Prastawa dan para pemimpin pengawal untuk menyiapkan segala-galanya dalam waktu singkat.
Tetapi karena segala sesuatunya telah diatur dengan baik, maka persiapan itu-pun akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya sehingga saat fajar menyingsing, maka Tanah Perdikan telah benar-benar siap bertempur.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun telah meninggalkan tempat itu. Seperti saat mereka datang, maka saat pergi-pun mereka telah memilih jalan melingkar.
Meski-pun demikian mereka memang masih harus mendaki bukit dan kemudian menuruni lereng. Yang pertama-tama akan didatangi adalah tiga buah padukuhan terdekat dari perbukitan. Padukuhan itu harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika perlu sekali, maka mereka diharapkan untuk membunyikan isyarat khusus sebagaimana sudah disepakati.
Namun ketika mereka menuruni lereng dan meloncat kejalan sempit di bawah bukit, mereka terkejut. Mereka melihat sesosok tubuh yang terbang bagaikan bayangan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih yang yakin bahwa bayangan itu telah melihat mereka, tidak mau melepaskannya. Orang itu akan dapat menjadi sebab kegagalan tugasnya.
Namun bayangan itu benar-benar bagaikan terbang. Agung Sedayu dan Glagah Putih harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengejarnya.
Tetapi beberapa sasat kemudian, ketika keduanya meloncat dengan tangkasnya di atas batu-batu padas di tebing, maka begitu saja mereka melihat seseorang duduk di atas batu padas dengan kaki bersilang.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti selangkah di hadapan orang itu, maka terdengar Agung Sedayu berdesis dengan suara bergetar, "Rudita."
Yang duduk itu memang Rudita. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Bahkan Rudita yang tunduk itu tidak pula mengangkat wajahnya.
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang termangu-mangu berdiri di hadapannya. Dengan nada lembut Agung Sedayu berdesis, "-Rudita. Sudah lama kita tak bertemu."
Rudita memang mengangkat wajahnya, dipandanginya Agung Sedayu berganti-ganti. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Dalam kegelapan malam mereka melihal setitik cahaya memantul dari pelupuk mata Rudita. Tidak hanya setitik. Tetapi cahaya bintang di langit itu telah memantul dari beberapa titik air di mata Rudita. Bahkan kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengar Rudita terisak, betapa-pun Rudita itu mencoba menahannya.
Ketajaman penglihatan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melihal titik-titik air di pelupuk mala Rudila sedangkan ketajaman pendengaran mereka telah mendengar isak yang tertahan itu.
"Rudita," bertanya Agung Sedayu dengan jantung berdebaran, "apa yang telah terjadi " Apakah sesuatu terjadi dengan Ki Waskita ?"
Tetapi Rudita mengeleng. "Lalu apa " Kenapa kau menangis " Kau adalah seorang yang dalam pilihan jalan hidupmu termasuk seorang yang berhati baja. Aku lidak pernah membayangkan bahwa pada suatu kali kau akan menangis," desak Agung Sedayu.
Rudita sama sekali tidak menjawab.
"Kenapa kau diam saja " Bagaimana aku mengetahui persoalan yang bergejolak di dalam hatimu jika kau lidak mengatakannya kepadaku."
Rudita memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan tatapan mata yang sayu. Isaknya memang sudah tidak terdengar. Namun matanya masih tetap basah.
Adalah di luar dugaan bahwa tiba-tiba saja Rudita itu bangkit berdiri. Sesaat ia masih menatap Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun kemudian ia-pun melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
"Rudita, Rudita," panggil Agung Sedayu.
Tetapi Rudita berjalan terus. Ia sama sekali tidak berhenti. Bahkan berpaling-pun tidak.
Ketika Glagah Putih akan menyusulnya, maka Agung Sedayu menahannya sambil berdesis, "Jangan, Kita tidak akan dapat memaksanya untuk berbuat apa-pun tanpa dikehendakinya sendiri."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian Rudita hilang di kegelapan Glagah Putih bertanya, "Kenapa ia menangis kakang ?"
"Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya. Tetapi aku kira Rudita dengan ketajaman penggraitanya mengetahui bahwa akan terjadi perang yang cukup besar esok pagi. Itulah sebabnya ia menangis."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia sudah mengetahui sifat dan watak Rudita. Seorang yang sama sekali tidak ingin melihat kekerasan terjadi. Baginya, kekerasan bukanlah warna yang pantas di dalam kehidupan. Karena sebenarnya kehidupan adalah pancaran dari kasih sayang.
Agung Sedayu masih saja berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Marilah. Kita teruskan rencana kita."
"Bagaimana dengan sikap Rudita ?"
"Aku kagum kepadanya. Ia adalah seorang yang tegak berdiri pada keyakinannya," jawab Agung Sedayu.
"Bagaimana jika Rudita sendiri mengalami kekerasan yang justru akan dapat mengancam jiwanya ?" bertanya Glagah Putih.
"Aku pernah bertanya tentang hal itu kepadanya," sahut Agung Sedayu.
"Apa jawabnya ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Ia hanya menunjukkan bahwa dirinya masih tetap hidup. Bahkan Rudita sempat bertanya, bukankah seseorang menghadapi kekerasan dengan kekerasan untuk mempertahankan hidupnya ?"
"Tidak," Glagah Putih menyahut dengan serta merta, "jika kita melakukan kekerasan sekarang ini bukan semata-mata untuk mempertahankan kelangsungan hidup kita pribadi. Tetapi karena kita merasa berkewajiban untuk melindungi seseorang, sekelompok orang, atau katakan untuk melindungi kelangsungan hidup tanpa menghiraukan kelangsungan hidup kita sendiri."
"Tetapi jika setiap orang bersikap dan berkeyakinan seperti Rudita, maka kita akan benar-banar hidup dalam suasana yang damai lahir batin," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih terdiam, memang terbersit di hatinya bahwa kasih Yang Maha Agung saat manusia diciptakannya sama sekali tidak terpercik warna kekerasan.
"Tetapi ternyata kekerasan, kebencian, kedengkian telah tersebar di seisi bumi," berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Tetapi mereka tidak sempat berbicara terlalu banyak. Dengan cepat mereka menuju ke padukuhan terdekat dengan perbukitan. Satu demi satu, tiga padukuhan telah dipersiapkan untuk menghadapi serangan orang-orang perkemahan sekedar untuk mengalihkan perhatian dari serangan yang sebenarnya, yang mereka tujukan kepada padukuhan induk Tanah Perdikan.
Setelah ketiganya mengerti dengan pasti apa.yang harus dilakukan oleh para pengawalnya dan para penghuninya, maka dengan cepat Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menggerakkan seisi Padukuhan Induk. Semua rencana yang sudah disiapkan telah diterapkan dengan lancar sampai pada pengungsian perempuan dan anak-anak.
Disaat-saat Glagah Putih menyaksikan kesibukan itu, maka sekali lagi sempat merenungi sikap Rudita. Seandainya tidak pernah terjadi kekerasan di bumi, betapa perempuan dan anak-anak itu tidak terganggu dari kedamaian hidupnya, lahir dan batin. Betapa anak-anak dan perempuan bahkan semua orang merasakan ketenangan hidup bersama.
Tetapi yang terjadi itu adalah sebaliknya. Di tengah malam yang kelam, anak-anak dan perempuan harus meninggalkan rumah mereka dan berkumpul di banjar dan rumah Ki Gede untuk mendapatkan perlindungan dari undak kekerasan.
Tetapi menghadapi keadaan yang berkembang saat itu, orang-orang Tanah Perdikan itu tidak dapat berbuat lain.
Dalam pada itu, sesuai dengan perintah yang diberikan kepada para pengawal yang mengatur pengungsian, maka keluarga Ki Makerti sama sekali tidak disentuhnya. Di rumah itu terdapat Prasanta dan Saramuka selain Ki Makerti dan istri serta kedua anaknya yang sudah tumbuh remaja.
Namun Saramuka yang tidak dapat tidur itu akhirnya mendengar keributan di jalan di depan rumah Ki Makerti.
Dengan gelisah ia-pun membangunkan Prasanta sambil bertanya, "He, apa yang terjadi di jalan di depan rumah itu ?"
"Orang dungu kau. Tentu aku tidak tahu. Bukankah aku baru bangun dari tidur " Itu-pun kau pula yang membangunkannya," jawab Prasanta.
"Jika demikian, marilah kita lihat, apa yang terjadi jalan itu." ajak Saramuka.
Mereka berdua-pun kemudian membagunkan Ki Makerti untuk melihat keadaan di jalan di depan rumah Ki Makerti itu.
Mereka-pun terkejut ketika mereka melihat dari balik pintu regol yang sedikit terbuka, perempuan dan anak-anak berjalan beriringan menuju ke banjar.
"Ada apa ?" bertanya Ki Makerti.
"Apakah mereka sedang mengungsi ?" bertanya Prasanta.
"Nampaknya memang demikian," jawab Ki Makerti.
"Cobalah, kau tanyakan kepada mereka," desis Prasanta.
Ki Makertilah yang kemudian turun ke jalan. Dilihatnya dua orang pengawal yang berdiri di seberang jalan mengamati orang-orang yang sedang mengungsi itu. Karena itu, maka ia-pun telah memotong jalan mendekati pengawal itu.
"He, apa yang terjadi disini ?" bertanya Ki Makerti
"Mereka sedang pergi ke banjar, Ki Makerti," jawab salah seorang pengawal itu.
"Kenapa ?" bertanya Ki Makerti.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang lebih tua dari mereka datang mendekatinya. Ki Makerti sama sekali tidak melihat orang itu sebelumnya, sehingga karena itu maka ia-pun terkejut melihat kehadirannya.
Orang yang muncul dari kegelapan itu-pun tersenyum melihat Ki Makerti yang terkejut itu. Katanya, "Selamat malam Ki Makerti."
"Ki Marbudi," desis Ki Makerti.
"Ya, Ki Makerti," jawab Ki Marbudi, "kami, para bebahu dan pengawal Tanah Perdikan sedang sibuk. Kami sedang mengungsikan perempuan dan anak-anak. Pada saat fajar naik, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi ajang perang."
"Perang " Perang apa ?" bertanya Ki Makerti.
Ki Marbudi tertawa. Katanya, "Kau tentu sudah mengerti lebih dahulu dari aku. Bertanyalah kepada Prasanta dan Saramuka."
"Apa yang akan terjadi " Apa ?" Ki Makerti mendesak.
Namun Ki Marbudi masih saja tertawa. Katanya, "Dimana Prasanta dan Saramuka ?"
"Mereka ada di rumah," jawab Ki Makerti.
"Aku ingin bertemu dengan mereka," berkata Ki Marbudi kemudian dengan sungguh-sungguh.
Ki Mekerti termangu-mangu sejenak. Tetapi pengawal yang berdiri di sebelah-menyebelahnya melengkah mendekat. Seorang diantara mereka berdesis, "Marilah Ki Makerti."
Ki Makerti tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Bersama Ki Marbudi dan kedua pengawal itu, Ki Makerti berjalan menuju ke pintu regol.
Prasanta dan Saramuka memperhatikan semua itu dari balik regol. Ketika mereka melihat Ki Marbudi bersama kedua pengawal itu membawa Ki Makerti keregol halaman, maka mereka-pun menduga, bahwa keadaan berkembang kearah yang tidak mereka kehendaki.
Demikian keempat orang itu memasuki regol, maka Prasanta dan Saramuka segera mempersiapkan diri. Segala kemungkinan memang dapat terjadi. Apalagi Saramuka sejak semula memang sudah berniat membunuh Ki Marbudi.
Ki Marbudi yang melihat Prasanta dan Saramuka berdiri di belakang regol-pun segera berhenti. Demikian pula dua orang pengawal yang menyertainya.
"Selamat malam Ki Prasanta dan ki Saramuka," sapa Ki Marbudi sambil tersenyum.
"Apa yang terjadi di padukuhan ini Ki Marbudi ?" bertanya Prasanta.
"Justru akulah yang harus bertanya kepada kalian," jawab Ki Marbudi.
Prasanta dan Saramuka segera tanggap akan keadaan, agaknya orang-orang Tanah Perdikan sudah mengetahui, apa yang akan terjadi nanti saat fajar menyingsing.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Saramuka itu meloncat kepintu regol. Dengan cepat ia menutup pintu regol itu sambil barkata, "Baiklah Ki Marbudi. Agaknya rahasia kami sudah diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan. Agaknya kau-pun telah mengetahuinya pula. Namun bagaimana-pun juga kita pernah berhubungan. Kau telah meminjam banyak uang kepada kami."
Ki Marbudi memandang pintu yang tertutup rapat itu sejenak. Namun kemudian menjawab, "Aku memang harus melakukannya Saramuka. Dengan demikian maka aku mempunyai rambatan untuk mengetahui apa yang kalian lakukan di Tanah Perdikan ini."
"Tetapi kau-pun telah mengkhianati Tanah Perdikanmu dengan keterangan-keterangan yang pernah aku berikan," geram Prasanta.
Ki Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah menjalankan tugasku dengan baik. Aku telah memberikan gambaran yang salah kepadamu atas kekuatan di Tanah Perdikan ini."
"Omong kosong," geram Prasanta, "kau adalah sejenis pisau bermata dua, atau seekor ular berkepala dua. Kau menggigit kekedua arah."
Tetapi Ki Marbudi menggeleng. Katanya, "Tidak Prasanta. Aku telah melaksanakan tugasku dengan baik. Sesuai denan petunjuk Ki Gede dan Agung Sedayu. Itulah sebab yang sebenarnya kenapa Agung Sedayu menunda setiap rencana serangan ke perkemahan. Ia dan Ki Gede memang berharap kalian yang datang menyerang ke Tanah Perdikan dengan membagi kekuatan kalian."
"Setan kau," geram Saramuka. Lalu katanya, "Ki Marbudi, adalah kebetulan sekali kau datang ke rumah ini. Sebenarnya akulah yang akan datang ke rumahmu. Aku memang akan membunuhmu. Aku ingin mengambil istrimu. Jika kau nanti mati disini, maka akulah yang akan memasuki bilikmu."
"Kau kira kau akan dapat membunuhku?" bertanya Ki Marbudi, "sebenarnyalah aku sudah mengira melihat sorot matamu yang bagaikan srigala memandangi istriku. Karena itu aku sengaja datang kepadamu. Selain persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan ini, maka aku ingin membuat penyelesaian sebagai seorang laki-laki. Pandangan matamu atas istriku sudah merupakan penghinaan terhadapku, suaminya. Karena itu aku ingin membuat perhitungan sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki. Biarlah serangan orang-orang perkemahan atas Tanah Perdikan ini diselesaikan oleh para pengawal."
"Iblis kau. Kau kira kau dapat melawan aku ?" geram Saramuka yang segera mempersiapkan diri.
Ki Marbudi bergeser selangkah surut. Ia-pun kemudian berkata kepada kedua orang pengawal yang menyertainya memasuki halaman rumah itu, "Awasi Prasanta dan Ki Makerti. Keduanya tidak boleh melarikan diri."
Tetapi Prasanta justru tertawa. Karena Saramuka telah bergeser dari tempatnya untuk menghadapi Ki Marbudi, maka Prasantalah yang kemudian berdiri di muka pintu sambil berkata, "Kalianlah yang tidak, boleh melarikan diri. Kalian bertiga akan segera mati. Tidak seorang-pun yang akan mampu menangkap kami berdua."
Tetapi kedua pengawal itu-pun segera bersiap. Seorang menghadapi Prasanta dan seorang lagi menghadapi Ki Makerti.
Ki Makerti yang menyadari kedudukannya, memang tidak mempunyai pilihan lain daripada melawan para pengawal. Karena itu, maka ia-pun segera bersiap pula untuk bertempur bersama Prasanta dan Saramuka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Marbudi yang merasa terhina karena sikap Saramuka telah menyerang. Ki Marbudi yang membawa salah satu diantara tombak pendeknya itu menjulurkan tombaknya kearah jantung.
Tetapi Saramuka masih sempat mengelak. Dengan capat ia mencabut pedangnya. Dengan tangkas pula ia memukul landean tombak Ki Marbudi. Namun landean tombak itu telah terangkat.
Saramuka yang marah itu-pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan tangkasnya ia meloncat. Pedangnya yang gagal menyentuh landean tombak Ki Marbudi telah berputar dan terayun menyambar lambung. Tetapi Ki Marbudi ternyata juga cukup tangkas. Dengan cepat ia mengelak sambil merundukkan tombaknya.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Ternyata Saramuka yang dipercaya untuk melakukan tugas sandi di Tanah Perdikan itu adalah seorang yang memiliki bekal ilmu yang cukup matang. Namun sebaliknya, bahwa Ki Marbudi bebahu terpercaya yang harus menghadapi tugas sandi itu dengan laku sandi pula, memang memiliki kemampuan yang memadai.
Namun dalam pada itu, pengawal yang melawan Prasantalah yang dengan cepat mengalami kesulitan. Sementara kawannya yang menghadapi Ki Makerti masih mampu bertahan karena Ki Makerti juga bukan seorang pilihan. Bahkan beberapa saat kemudian, Ki Makertilah yang mulai terdesak oleh pengawal itu.
Sementara itu, pengawal yang bertempur melawan Prasanta benar-benar tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Semakin lama ia menjadi semakin terdesak, sehingga harus berloncatan surut menjahui lawannya. Tetapi Prasanta masih saja memburunya sambil berkata lantang, "Kau akan segera mampus anak dungu. Tetapi itu lebih baik bagimu daripada kau harus melihat Tanah Perdiakn ini menjadi karang abang."
Tetapi Prasanta terkejut. Dua orang pengawal ternyata telah muncul dari kegelapan. Mereka langsung menempatkan diri bersama kawannya yang semakin terdesak itu.
"Licik kau," geram Prasanta.
Tetapi pengawal itu-pun bertanya, "Kenapa ?"
"Kau tidak berani berhadapan sebagaimana seorang laki-laki," jawab Prasanta.
"Kami datang untuk menangkapmu, karena kau petugas sandi dari perkemahan itu," jawab pengawal itu, "Apakah itu licik " Rumah ini memang sudah dikepung. Tidak seorang-pun dapat lolos. Di halaman belakang rumah ini sudah bertebaran para pengawal."
"Setan kau. Kau dan kawan-kawanmu harus mati mendahului Tanah Perdikan ini menjadi debu."
Tetapi Prasanta tidak banyak mendapat kesempatan. Beberapa pengawal segera mengepungnya. Ujung-ujung senjata teracu kearahnya dari segala penjuru.
"Menyerahlah," berkata seorang pengawal, "kau tidak akan mampu melawan kami semua."
Prasanta tidak menjawab. Tetapi dengan cepat ia meloncat memutar senjatanya. Dengan demikian maka pertempuran -pun terjadi pula dengan sengitnya.
Sementara itu beberapa pengawal yang telah muncul, telah mengepung Ki Makerti pula. Ketika beberapa pucuk senjata diarahkan ketubuhnya, maka Ki Makerti itu-pun menjadi ketakutan. Tanpa banyak perlawanan maka Ki Makerti itu-pun telah menyerahkan kedua tangannya untuk diikat.
Ketika beberapa orang pengawal mengepung Saramuka yang bertempur melawan Ki Marbudi, maka Ki Marbudi itu-pun berkata, "Jangan kalian ganggu, aku ingin menyelesaikan persoalanku dahulu dengan srigala ini. Jika ternyata kemudian aku berhasil dibunuh oleh srigala iblis ini, maka terserah, apa yang akan kau lakukan terhadapnya."
"Bagus Marbudi," geram Saramuka, "ternyata kau juga seorang laki-laki."
Sementara Ki Makerti diikat tangannya, maka beberapa orang lelah memasuki rumah itu. Bagaimana-pun juga Nyi Makerti masih tetap harus mendapat perlindungan. Karena itu, maka dua orang pengawal telah mengajak Nyi Makerti kebanjar.
"Bagaimana dengan suamiku," tangis Nyi Makerti.
"Jangan cemas Nyi. Persoalannya akan diselesaikan dengan baik oleh Ki Gede. Kita tidak akan mengambil tindakan-tindakan sendiri," jawab pengawal itu.
Dalam pada itu, Prasanta yang bertempur melawan beberapa orang pengawal benar-benar mengamuk seperti orang kesurupan. Tetapi justru karena itu, maka para pengawal tidak mempunyai pilihan lain. Mereka tidak dapat berusaha menangkap Prasanta hidup-hidup tanpa melukainya.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan tanpa pilihan menghadapi Prasanta yang mengamuk itu, maka ujung-ujung tombak-pun menyentuh kulitnya, sehingga luka-pun mulai menganga.
Tetapi Prasanta sama sekali tidak mau meletakkan senjatanya.
Bahkan seorang pengawal yang gagal menebas lambungnya telah tertusuk oleh ujung pedangnya.
Pengawal itu mengeluh tertahan. Namun kemudian tubuhnya terlempar beberapa langkah surut. Seorang kawannya terpaksa meninggalkan arena untuk menolongnya, memapahnya menjahui lingkaran pertempuran.
Tetapi darah sudah cukup banyak mengalir dari tubuh Prasanta sehingga tenaganya-pun semakin lama semakin susut. Sementara itu, beberapa orang pengawal berdiri termangu-mangu menyaksikan Ki Marbudi yang bertempur melawan Saramuka. Agaknya Ki Marbudi benar-banar tidak mau dicampuri. Ia sudah berniat membuat perhitungan dengan Saramuka sebagai seorang laki-laki.
Saramuka yang sudah dipercaya untuk melakukan tugas sandi itu ternyata memang memiliki kemampuan yang cukup besar. Tetapi Ki Marbudi adalah bebahu terpercaya dari Tanah Perdikan. Ki Marbudi yang pernah menjadi pengawal pula sebelum ia diangkat menjadi bebahu, telah menempanya sehingga ia memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan Saramuka.
Karena itu, maka pertempuran diantara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit.
Saramuka yang melihat Ki Makerti sudah tertangkap, serta Prasanta dalam kesulitan, sementara beberapa orang pengawal telah mengepungnya, menjadi kehilangan harapan, sehingga yang dilakukannya kemudian menjadi semakin kasar dan liar. Ia menjadi berputus asa karena ia ddak mungkin lagi dapat keluar dari halaman itu dengan selamat. Tetapi jika ia harus mati di halaman itu, maka ia akan menyeret Ki Marbudi mati bersamanya.
Tetapi sudah tentu Ki Marbudi tidak merelakan dirinya hanyut ke dalam maut. Ia bertahan dengan sekuat tenaganya. Dan bahkan serangan-serangannya-pun menjadi semakin garang.
Saramuka yang gelisah dan putus asa tidak lagi mampu meguasai dirinya dengan baik. Unsur-unsur gerakkannya menjadi kabur oleh dorongan luapan perasaannya. Sementara Ki Marbudi yang mendendam karena perhatian Saramuka kepada istrinya yang berlebihan, membuat pertempuran antara keduanya itu-pun menjadi semakin keras dan kasar. Keduanya sama sekali tidak berusaha mengekang diri.
Ujung-ujung senjata mereka-pun seakan-akan menjadi semakin haus akan darah lawannya.
Para pengawal tidak dapat berbuat sesuatu. Yang terbayang di angan-angan mereka adalah kematian. Karena itu, maka dua orang pengawal telah berlari-lari mendekati putaran pertempuran Prasanta yang bertempur melawan beberapa orang pengawal.
Kedua orang pengawal itu justru memperingatkan kawan-kawannya agar berusaha untuk dapat menangkap Prasanta itu hidup-hidup meski-pun terluka parah. Ia akan dapat menjadi sumber keterangan lebih lengkap lagi jika hal itu dapat dilakukan.
Tetapi nampaknya Prasanta-pun tidak ingin tertangkap hidup. Agaknya ia akan memilih mati dalam pertempuran itu.
Sementara itu, Ki Marbudi yang bertempur melawan Saramuka menjadi semakin garang. Ujung tombaknya berputar dengan cepat. Mematuk dengan garangnya seperti mulut seekor ular yang berbisa. Namun kemudian menyambar dan cepat dalam ayunan yang deras bagaikan ujung kuku burung alap-alap yang tajam.
Saramuka-pun mengimbangi pula. Ia-pun berloncatan dengan cepat. Sementara ayunan senjatanya-pun dilambarinya dengan tenaga yang kuat, sehingga anginnya berdesir menerpa tubuh lawannya. Tetapi Ki Marbudi bagaikan terbang melenting sambil memutar tombaknya.
Pertempuran yang bukan saja dilambari oleh kemarahan yang memuncak, tetapi juga dendam dan harga diri itu menjadi semakin garang. Ketika ujung senjata Saramuka sempat menyentuh ujung lengan Ki Marbudi, maka Ki Marbudi menggeram marah sambil meloncat mengambil jarak. Sementara itu Saramuka berteriak keras, "Marbudi, tengadahkan wajahmu, pandangilah angkasa untuk yang terakhir kalinya. Besok pagi kau tidak akan sempat melihat matahari terbit di cakrawala."
Ki Marbudi merundukkan tombaknya. Demikian mulut Saramuka terkatub, Ki Marbudi menyerang dengan menjulurkan tombaknya kearah dada.
Tetapi dengan tangkasnya Saramuka menangkis serangan itu. Senjatanya terayun memukul landean tombak Ki Marbudi.
Namun tombak Ki Marbudi itu-pun menggeliat. Dengan satu putaran yang cepat ujung tombak itu menyambar lambung.
Saramuka bergeser selangkah surut. Ujung tombak itu-pun luput dari sasaran. Bahkan Saramuka sempat menepis ujung tombak itu ke samping. Kemudian memutar mengangkatnya. Selagi pedang itu terangkat, dengan cepat Saramuka meloncat sambil mengayunkan senjatanya.
Ki Marbudi mencoba menghindar. Tetapi ujung senjata Saramuka telah menyayat pundaknya.
Sekali lagi Saramuka berteriak, "Kematianmu sudah menjadi semakin dekat. Akulah yang di sisa malam ini akan memasuki bilik istrimu."
Ki Marbudi sudah tidak tahan lagi mendengarnya. Karena itu, maka ia tidak dapat lagi berpikir panjang. Ia tidak menunggu sampai jantungnya meledak.
Demikian mulut Saramuka terkatub, maka Ki Marbudi telah merundukkan tombaknya tepat kearah dada. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka ia-pun meloncat sambil berteriak nyaring menyerang Saramuka.
Saramuka berusaha meloncat kesamping sambil menangkis serangan itu. Karena itu, maka ujung tombak itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan Saramuka sempat mengayunkan senjatanya menebas leher Ki Marbudi.
Ki Marbudi yang sudah terluka itu tidak mau terluka lagi. Ketika ia melihat ayunan senjata mengarah kelehernya, maka ia-pun dengan cepat merendahkan dirinya. Dengan cepat Ki Marbudi berlutut pada satu kakinya.
Ki Marbudi yang marah itu tidak mau melepaskan kesempatan itu. Demikian senjata lawannya terayun di atas kepalanya, maka ia-pun memutar tombaknya.
Sambil sekali lagi berteriak, maka Ki Marbudi mengayunkan ujung tombaknya. Terasa di tangannya ujung tombak itu menyentuh sasaran. Segores luka menyilang di dada Saramuka. Namun Saramuka tidak membiarkan lawannya terlepas. Pedangnyalah yang kemudian menggeliat dan mematuk tubuh Ki Marbudi yang masih berlutut. Ki Marbudi tidak sempat bangkit. Ia justru menjatuhkan dirinya. Tetapi ujung senjata lawannya memang sempat mengenai bahunya. Namun pada saat yang bersamaan Ki Marbudi menusukkan tombaknya ke lambung Saramuka.
Saramuka berteriak. Kesakitan, kemarahan, dendam bercampur baur mewarnai suaranya yang melengking di malam yang kelam.
Namun suaranya-pun kemudian terputus. Saramuka terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Meski-pun ia masih mencoba mengangkat senjatanya, tetapi tangannya sudah tidak mampu lagi melakukannya. Karena itu, maka ketika tubuhnya jatuh terlentang, langannya-pun menjadi lunglai.
Ki Marbudi masih berusaha untuk bangkit. Tetapi luka di lengan, pundak dan bahunya cukup parah. Darah mengalir dengan derasnya.
Seorang pengawal dengan serta merta meloncat menahannya, ketika Ki Marbudi terhuyung-huyung dan hampir saja kehilangan keseimbangannya.
Seorang yang lain-pun dengan suara yang bergetar berkata, "Ki Marbudi harus segera mengobati luka-luka itu. Darah Ki Marbudi terlalu banyak mengalir."
Ki Marbudi termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang lemah ia bertanya, "Bagaimana dengan orang itu."
Para pengawal itu-pun sempat berpaling memandang tubuh Saramuka yang terbaring diam.
Seorang diantara para pengawal itu-pun kemudian mendekati dan berjongkok di sebelahnya. Dirabanya tubuh Saramuka yang diam. Kemudian ketika orang itu meraba dadanya, maka dada itu sama sekali tidak bergerak lagi. Namun darah telah membanjir membasahi halaman rumah Ki Makerti.
Dalam pada itu, Prasanta ternyata tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka di tubuhnya menjadi kian parah. Meski-pun ia sama sekali tidak berniat menyerah, namun tenaganya benar-benar terkuras habis.
Disaat terakhir, Prasanta berniat mempergunakan tenaga yang masih tersisa untuk menghujamkan senjatanya kedadanya sendiri, namun para pengawal sempat mencegahnya.
Prasanta berhasil ditangkap hidup-hidup, namun dalam keadaan yang sangat parah.
Dalam pada itu, selagi di rumah Ki Makerti terjadi pertempuran, maka pengungsian terutama di padukuhan induk itu-pun telah selesai. Semua perempuan dan anak-anak telah berada di banjar dan di rumah Ki Gede Menoreh. Sepasukan pengawal khusus telah dipersiapkan untuk melindungi para pengungsi itu.
Prastawa yang memimpin pengawal di seluruh Tanah Perdikan itu telah menempatkan pembantu-pembantunya di beberapa tempat yang paling rawan. Sementara itu, di sekitar padukuhan induk telah dilakukan baris pendem yang tidak mudah dilihat oleh lawan jika mereka menyerang padukuhan induk itu.
Sementara Perastawa menyiapkan seluruh pasukannya di seluruh Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah bersiap-siap di dalam rumahnya bersama beberapa orang berilmu tinggi.
Agung Sedayu percaya, bahwa orang-orang berilmu tinggi dari perkemahan itu akan datang untuk menghancurkan seisi rumah itu terlebih dahulu sebelum mereka akan menghancurkan seluruh padukuhan induk.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menyongsong kedatangan mereka.
Namun dalam pada itu, selagi segala-galanya telah bersiap, maka beberapa ekor kuda telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh dari arah Kali Progo.
Meski-pun mereka datang dari arah Timur, namun mereka tidak terlepas dari pengamatan para pengawal. Namun sedap kelompok pengawal yang menghentikan mereka, maka tidak terlalu banyak pertanyaan dan apalagi kesulijan, mereka dipersilahkan melanjutkan perjalanan karena ternyata kelompok kecil itu dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.
Tetapi kelompok kecil itu tidak menuju ke banjar atau ke rumah Ki Gede. Kelompok kecil itu langsung menuju ke rumah Agung Sedayu.
Dengan tergesa-gesa seisi rumah Agung Sedayu telah menyongsong mereka. Bahkan mereka langsung dipersilahkan naik bukan saja di pendapa, tetapi langsung masuk keruang dalam.
Sekelompok orang itu adalah orang-orang yang tergabung dalam kelompok Gajah Liwung. Ki Lurah Branjangan atas persetujuan Agung Sedayu dengan diam-diam telah menjemput mereka ke Mataram dan membawanya ke Tanah Perdikan beberapa saat saja sebelum Saat yang ditentukan oleh orang-orang perkemahan menyerang Tanah Perdikan untuk menghindari pengamatan orang-orang perkemahan itu.
"Terima kasih atas kesediaan kalian," berkata Agung Sedayu.
Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu terkejut ketika mereka menyadari bahwa Bajang Bertangan Baja ada pula di rumah itu.
Agung Sedayu-pun kemudian menceriterakan kenapa Bajang Bertangan Baja itu ada di Tanah Perdikan Menoreh, sementara Wacana juga secara kebetulan berkunjung ke Tanah Perdikan itu pula.
"Ki Lurah Branjangan telah mengejutkan kami," berkata Ki Ajar Gurawa. "Baru kemarin siang kami tahu apa yang harus kami lakukan malam ini. Agaknya perjalanan ini memang dirahasiakan."
Agung Sedayu-pun mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum. Katanya, "Kami memang merahasiakan kekuatan kami untuk memancing serangan orang-orang di perkemahan. Kami-pun merahasiakan kekuatan yang ada di rumah ini karena rumah ini-pun akan menjadi sasaran serangan orang-orang berilmu tinggi di perkemahan itu. Karena itu, maka di rumah ini tidak ada seorang pengawal-pun yang berjaga-jaga. Semuanya akan kita lakukan sendiri, karena para pengawal-pun harus mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka untuk mempertahankan padukuhan induk ini."
Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu mengangguk-angguk ketika kemudian Agung Sedayu memberikan penjelasan tentang kewajiban mereka menghadapi orang-orang perkemahan itu.
Baru kemudian Agung Sedayu itu berkata, "Karena itu, maka sebaiknya kuda-kuda kalian itu tidak berada di halaman ini."
"Jadi kemana kami akan menyimpan kuda-kuda kami ?" bertanya Mandira.
Agung Sedayu-pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Selagi masih ada waktu, panggil beberapa orang pengawal di banjar."
Biarlah kuda-kuda itu kita titipkan di banjar, sementara itu jika perlu, kuda-kuda itu dapat dipinjam oleh para pengawal."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Bersama Sabungsari mereka-pun pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Ki Gede dan Prastawa. Mereka melaporkan kedatangan kelompok Gajah Liwung serta minta beberapa orang pengawal untuk mengambil kuda-kuda kelompok Gajah Liwung itu.
"Kuda-kuda itu dapat dipinjam jika diperlukan," berkata Glagah Putih kemudian.
Demikianlah, didini hari, semua persiapan di padukuhan induk itu-pun telah selesai. Baris pendem telah dipasang di sekitar padukuhan induk. Para pengawal, anak-anak muda dan bahkan setiap laki-laki yang masih sanggup turun ke medan, apalagi mereka yang pernah menjadi pengawal Tanah Perdikan itu selagi mereka masih muda, atau bekas prajurit Mataram.
Para petugas yang mempersiapkan makanan bagi para pengawal-pun telah menjadi sibuk pula. Mereka dengan cara yang telah diperhitungkan dengan baik, membagikan makanan bagi para pengawal dan mereka yang bersiap untuk bertempur tanpa kecuali. Para pengawal yang berada di tempat perempuan dan anak-anak diungsikan dan bahkan mereka yang berjaga-jaga di mana-pun di Tanah Perdikan. Dapur yang dipergunakan untuk menyiapkan makanan yang demikian banyakanya itu terbagi justru di padukuhan-padukuhan yang jauh dari perbukitan dan yang menurut perhitungan tidak akan dijamah oleh orang-orang perkemahan itu.
Sementara itu, di sepinya dini hari, perkemahan di lereng perbukitan itu rasa-rasanya sedang bergejolak. Para pemimpin di perkemahan telah selesai menyusun pasukan mereka. Seperti telah direncanakan, maka mereka akan menyerang beberapa tempat sekedar untuk memancing perhatian pasukan pengawal Tanah Perdikan.
Karena sampai saat terakhir, tidak ada laporan dari Prasanta dan Saramuka, serta petugas pengawasan yang lain, maka para pemimpin perkemahan itu memutuskan untuk melaksanakan rencana mereka. Sekelompok pasukan yang terdiri dari orang-orang yang kasar, keras dan berkekuatan rata-rata melampaui kekuatan orang kebanyakan, telah dipersiapkan untuk menyerang barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.
"Hancurkan pasukan yang jumlahnya tidak terlalu banyak itu. Bakar baraknya. Tetapi lebih dahulu ambil apa saja yang ada di barak itu. Kalian akan mendapatkan senjata, kuda dan tentu ada simpanan di barak itu," berkata Ki Tempuyung Putih, "kau kira bahwa prajurit-prajurit itu tidak menimbun harta benda di dalam baraknya " Jika kita kelak berhasil, maka tempat itu akan kalian miliki. Di atas abu reruntuhan barak itu, akan dibangun tempat tinggal yang bagus bagi kalian. Kalian akan mendapat sawah yang luas dan setiap laki-laki akan dapat mengambil istri di Tanah Perdikan, terutama mereka yang belum beristri dan tidak meninggalkan istri mereka di tempat tinggal kalian yang lama. Karena kalian tentu akan menjemput mereka dan mengajak mereka hidup senang di tempat kalian yang baru."
Orang-orang yang merasa mendapat kepercayaan serta janji itu merasa gembira. Mereka semakin bergairah untuk memenangkan perang tanpa mengetahui dengan pasti siapakah lawan mereka itu sebenarnya. Tanpa mengetahui bahwa yang disebut prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu memiliki kelebihan dan kemampuan khusus untuk menghadapi lawan yang bagaimana-pun juga. Mereka-pun tidak tahu bahwa Pasukan Khusus itu sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Agung Sedayu meski-pun Agung Sedayu sendiri tidak ada diantara pasukannya.
Sementara itu dua kelompok pasukan yang lebih kecil dipersiapkan untuk menyerang dua padukuhan yang akan dapat memancing pasukan yang lebih besar ke padukuhan-padukuhan itu.
Demikianlah, ketika segala persiapan sudah selesai, maka pasukan yang besar itu-pun mulai bergerak.
Pasukan yang akan menyerang Pasukan Khusus akan bergerak sebelum fajar. Demikian pula dua pasukan yang akan menyerang dua padukuhan kecil didekat perbukitan. Sedangkan pasukan yang bergerak ke padukuhan induk, akan menyerang tepat saat fajar menyingsing menyongsong terbitnya matahari. Pasukan itu tidak akan menyerang padukuhan induk dari arah Barat. Tetapi mereka akan menyerang dari arah Selatan, agar mereka tidak menjadi silau oleh cahaya matahari yang akan terbit apabila mereka tertahan sebelum memasuki padukuhan induk. Namun dalam pada itu, bersamaan waktunya, Resi Belahan dan beberapa orang berilmu tinggi, sudah harus siap dan memasuki halaman Agung Sedayu.
Ternyata Resi Belahan tidak mau mempercayakan serangan atas rumah Agung Sedayu itu kepada orang lain. Ia berniat untuk melakukannya sendiri dengan perhitungan, bahwa tidak ada orang lain yang akan mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu.
Tetapi Resi Belahan tidak mau mengalami kegagalan lagi sebagaimana terjadi atas Ki Manuhara. Selain orang-orang berilmu tinggi, maka ia-pun telah mempersiapkan orang-orang pilihan yang akan membantu orang-orang berilmu tinggi itu mencegah campur tangan para pengawal sebelum pasukan dari perkemahan itu berhasil menghisap semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan.
Ketika Ki Tcmpuyung Putih mengusulkan agar serangan atas Tanah Perdikan itu dilakukan lebih dahulu untuk menarik semua peng awal turun ke medan, maka Resi Belahan berkata, "jika serangan itu dilakukan, maka Agung Sedayu dan orang-orang yang penting itu tentu sudah keluar dari sarang mereka dan berada di medan. Kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan mereka. Karena Itu, maka biarlah kita berada di halaman rumah itu. Baru serangan atas padukuhan induk itu dilakukan. Dengan demikian, maka kita akan dapat menutup kemungkinan Agunng Sedayu dan orang-orang yang tinggal bersamanya keluar dari halaman rumahnya. Sementara itu, sekelompok orang-orang terpilih akan menghalangi para pengawal mencampuri persoalan di halaman rumah itu. Namun dengan perhitungan yang cermat serangan atas padukuhan induk harus sudah dimulai.
Ternyata Ki Tcmpuyung Putih dapat mengerti perhitungan Resi Belahan. Karena itu, maka orang-orang berilmu tinggi yang sudah dipersiapkan untuk memasuki halaman rumah Agung Sedayu-pun telah mendapat perintah-perintah berikutnya.
Ketika saatnya telah tiba, maka Resi Belahan-pun memberikan perintah terakhir kepada para pemimpin di perkemahan itu. Kemudian dengan lantang ia herkata, "Selamat berjuang saudara-saudaraku. Kita harus berhasil menghancurkan kekuatan Tanah Perdikan. Dengan demikian kita akan mendapatkan apa yang kita cari selama ini. Saudara-saudaraku yang selama ini terbiasa hidup dalam pengembaraan sehingga tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan baku, maka kalian akan segera mendapatkannya. Kalian akan tinggal di atas tanah bekas barak prajurit Mataram yang tidak begitu banyak jumlahnya, namun merampas tanah yang sangat luas itu. Kalian akan dapat menggarap sawah yang akan menjadi milik kalian. Sedangkan yang lain akan mendapatkan landasan perjuangan berikutnya. Karena di seberang Kali Praga itu kekuasaan Mataram mencengkeramkan akar-akar kekuatannya. Memang harus ada pengorbanan yang kita berikan. Tetapi pengorbanan itu tidak akan sia-sia.
Orang-orang di perkemahan itu-pun hatinya menjadi mekar. Mereka merasa diri mereka pahlawan-pahlawan yang pantas mendapat penghormatan setelah memenangkan perang. Sementara perang itu belum terjadi.
Orang-orang yang ditunjuk untuk menyerang Pasukan Khusus itu-pun berbangga pula. Resi Belahan telah mengatakan kepada mereka, bahwa mereka terpilih sebagai orang-orang yang terpercaya. Dengan nada berat penuh gelora Resi Belahan berkata, "Aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kalian. Tidak ada kekuatan yang menyamai kekuatan kalian, baik seorang-seorang mau-pun dalam kelompok. Karena itu harapan kami hanya tertuju kepada kalian."
Pemimpin dari orang-orang yang bertubuh keras dan berwajah kasar itu berteriak, "Serahkan kepada kami."
Bindi-bindi-pun terangkat tinggi-tinggi. Bindi yang memang terlalu besar menurut ukuran kebanyakan orang. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak merasa terganggu oleh bobot senjatanya.
Kebanyakan mereka memang bersenjata bindi. Tetapi ada pula diantara mereka yang bersenjata tombak dan golok-golok besar. Bahkan kapak-kapak yang mendebarkan jantung.
Sejenak kemudian pasukan di perkemahan itu mulai bergerak. Mereka terbagi sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Namun menurut perhitungan, maka pertempuran harus terjadi di barak Pasukan Khusus itu. Kemudian di padukuhan-padukuhan kecil. Baru kemudian di padukuhan induk. Itu-pun didahului dengan sergapan di rumah Agung Sedayu untuk menahan agar isi rumah itu tidak sempat keluar dan ikut dalam pertempuran.
Sementara itu Resi Belahan telah meyakini, bahwa tidak ada persiapan yang khusus untuk menyongsong gerakan pasukan dari perkemahan itu. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu dan seisi rumahnya akan berada di rumah.
Pasukan yang harus disiapkan untuk menyerang Pasukan Khusus itu-pun berjalan dengan cepat, mendaki bukit menuju kebarak. Mereka menyandang senjata mereka dengan penuh kebanggaan. Tidak ada kelompok yang lain yang dipercaya untuk menyerang Pasukan Khusus itu selain kelompok orang-orang kasar dan berwajah keras yang terbiasa hidup dalam pengembaraan. Mereka merasa bahwa kelebihan mereka dari kemampuan pasukan yang lain itu telah diakui oleh Resi Belahan, sehingga Resi Belahan sama sekali tidak menaruh kepercayaan kepada siapa-pun kecuali kepada kelompok itu.
Pemimpin kelompok itu adalah seorang yang tidak begitu tinggi. Tetapi tubuhnya bagaikan terbuat dari batu hitam. Ototnya yang mencuat dari wajah kulitnya yang berwarna sawo agak kehitam-hitaman. Pundaknya sedikit terangkat dengan tulang-tulang yang menonjol. Matanya cekung tetapi tulang pelipisnya agak terlalu, maju.
Ditangannya tergenggam sebuah kapak yang terhitung agak besar, namun diikat pinggang kulit yang lebar tetapi buatannya kasar, terselip sebuah pisau panjang dengan sarung kulit pula.
Dengan bangga ia mengemban tugas yang dibebankan kepadanya oleh Resi Belahan. Bagi pemimpin kelompok pengembara yang kasar dan keras itu, Resi Belahan adalah orang yang paling pantas untuk dituruti perintah-perintahnya di seluruh dunia. Bagi orang itu, Penembahan Senopati sama sekali tidak berarti apa-apa.
Seperti yang diperhitungkan, maka pasukan yang menuju kebarak itulah yang pertama kali sampai kesasaran. Setelah menuruni bukit, maka mereka bergegas menyusup jalan sempit memotong arah. Pemimpin pasukan itu membagi pasukannya menjadi dua kelompok yang akan menyerang barak pasukan khusus dari dua arah.
Sementara itu dua kelompok itu-pun segera berpisah. Masing-masing akan menyerang sebuah padukuhan untuk memancing perhatian pasukan Tanah Perdikan agar mereka menuju ke padukuhan-padukuhan yang sedang mendapat serangan itu.
Dalam pada itu, para pengawas dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun telah melihat kedatangan pasukan yang akan menyerang barak mereka. Karena itu, maka seisi barak itu-pun segera bersiap.
Namun seperti dipesankan oleh Agung Sedayu, maka sebagian dari isi barak itu justru sudah berada di luar barak. Mereka sudah siap untuk pergi kemana-pun yang memerlukan bantuan mereka, termasuk ke padukuhan induk. Meski-pun demikian mereka masih juga menunggu. Jika pasukan yang datang menyerang barak mereka terlalu besar, maka mereka memang tidak akan pergi kemana-pun juga. Mereka harus mempertahankan barak mereka sampai mereka yakin bahwa barak mereka akan selamat.
Para pengawas dari Pasukan Khusus itu juga melihat bahwa pasukan yang menyergap barak itu dibagi menjadi dua bagian.. Karena itu, maka dengan cepat, mereka-pun telah memberitahukan kepada pasukan yang masih ada di barak untuk membagi diri.
Orang-orang yang menyerang barak itu ternyata tidak menyia-nyiakan waktu. Mereka langsung saja berlari menyerang barak itu dari dua arah. Dari Utara dan dari Barat.
Pasukan Khusus yang masih ada di barak yang telah bersiap mempertahankan baraknya, tidak membentur langsung serangan orang-orang perkemahan itu. Meski-pun mereka justru bergerak maju menyongsong, tetapi mereka membuat pasukan mereka lentur.
Ketika benturan terjadi antara orang-orang perkemahan yang mempunyai kekuatan yang besar dan kasar itu, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah bergerak mundur. Namun orang-orang yang menyerang barak itu, yang merasa mampu mendesak Pasukan Khusus yang bergerak mundur itu tidak menyadari bahwa pada gerak maju mereka, satu-satu orang-orang mereka berjatuhan. Demikian Pasukan Khusus itu mendekati dinding barak mereka, maka terdapat celah-celah pada pertahanan mereka. Dengan garangnya maka orang-orang yang menyerang barak itu menembus celah-celah itu. Mereka merasa bahwa mereka dapat menyusup pertahanan lawan dan selanjutnya akan dapat memasuki dinding barak.
Tetapi perhitungan mereka salah. Celah-celah itu ternyata dengan sengaja telah dibuat oleh prajurit dari pasukan khusus itu, sehingga seakan-akan telah menghisap dan menelan sebagian dari lawan-lawan mereka. Sementara itu, lapis kedua pasukan pertahanan itulah yang akan menyelesaikan orang-orang yang merasa berhasil menyususp memasuki pertahanan Pasukan Khusus itu.
Orang-orang yang tidak mengira akan menjumpai jenis gelar yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya itu memang menjadi agak bingung. Namun mereka memang tidak berpegang pada penalaran untuk memenangkan pertempuran. Mereka mengandalkan kekuatan dan kekerasan tenaga mereka.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit, ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak bergerak mundur lagi. Namun ketika pada mereka saling membenturkan kekuatan, maka orang-orang yang menyerang perkemahan itu-pun telah menjadi susut dengan cepat.
Dengan demikian, maka para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di barak itu, sama sekali tidak merasa kesulitan untuk menghadapi serangan orang-orang keras dan kasar yang menyerang perkemahan itu. Namun sebagaimana pesan Agung Sedayu, jika yang datang kebarak itu orang-orang yang kebanyakan bersenjata bindi, maka mereka bukan lawan yang harus dibinasakan. Mereka adalah orang-orang yang ddak mengerti, apa yang mereka lakukan. Karena itu, maka sejauh mungkin para prajurit dari Pasukan Khusus itu harus menghindarkan diri dari pembunuhan. Seandainya mereka harus melumpuhkan orang-orang yang menyerang itu, maka mereka harus mengusahakan, agar mereka tidak mati karena itu.
Memang sulit untuk menghindarkan kematian. Tetapi jika itu harus terjadi, maka kematian itu diusahakan disusut menjadi sekecil-kecilnya.
Dengan demikian, maka prajurit dari Pasukan Khusus yang telah berada di luar barak, akan dapat bergerak kemana mereka diperlukan. Isyarat yang kemudian terdengar dibunyikan di barak itu mengabarkan kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, bahwa prajurit yang ada di barak tidak memerlukan bantuan lagi.
Namun ketika suara ketongan dari barak Pasukan Khusus itu didengar di kejauhan oleh orang-orang dari Perkemahan yang menyerang sasaran yang lain, mereka mengira bahwa para prajurit di barak itu mengalami kesulitan.
Dalam waktu yang pendek, maka para prajurit, yang berada di luar barak itu lelah bergerak ke padukuhan padukuhan yang mungkin akan menjadi sasaran serangan kelompok-kelompok kecil dari orang-orang di perkemahan itu, sebelum mereka bergerak ke padukuhan induk jika diperlukan.
Ketika pertempuran di barak masih berkobar, sementara terdengar suara kentongan yang memecah keheningan malam, maka dua kelompok pasukan dari perkemahan telah menyerang dua padukuhan kecil di hadapan perbukitan. Dalam waktu pendek, pertempuran memang telah terjadi. Para pengawal yang dipersiapkan di padukuhan-padukuhan itu telah menyongsong pasukan lawan di luar dinding padukuhan.
Seperti di barak Pasukan Khusus, maka di padukuhan itu-pun terdengar suara kentongan. Tetapi nada kenlongan itu bukan nada isyarat untuk memanggil bantuan. Apalagi setelah kelompok-kelompok kecil Pasukan Khusus sampai di padukuhan itu.
Dalam pada itu, langit-pun menjadi semakin cerah. Orang-orang perkemahan dalam pasukan induk mereka, mendengar suara kentongan pula. Mereka memperhitungkan bahwa para pengawal justru akan terpancing ke padukuhan-padukuhan kecil yang telah mendapat serangan itu.
Dengan demikian maka pasukan induk dari perkemahan yang akan menyerang padukuhan induk itu meluncur dengan cepat. Pada saat fajar mekar di Timur, maka pasukan itu sudah berada di sebelah Selatan padukuhan induk. Sebagaimana direncanakan, pasukan itu tidak akan menyerang dari arah Barat.
Namun pasukan itu terhenti beberapa saat di sebelah Selatan padukuhan induk. Sementara itu Resi Belahan dengan beberapa orang pilihan serta sekelompok kecil kepercayaannya akan mendahului pasukannya menyerang rumah Agung Sedayu.
"Kami akan melontarkan panah sendaren sebagai isyarat kalian menyerang padukuhan induk," berkata Resi Belahan.
Seorang pulut yang bernama Pulut Rahinaya telah mendapat tugas dari Resi Belahan untuk memimpin pasukan yang akan menghancurkan padukuhan induk tanah Perdikan Menoreh.
Sesaat menjelang matahari terbit, maka dengan cepat Resi Belahan bergerak. Tanpa menghiraukan pengawasan di padukuhan induk, maka Resi Belahan telah memasuki gerbang padukuhan langsung menuju ke rumah Agung Sedayu. Beberapa orang peronda yang masih ada di gardu di depan pintu gerbang sama sekali tidak menghalangi mereka. Para peronda itu justru bergegas berlari meniggalkan gardu dan hilang di halaman sebelah menyebelah jalan yang menuju ke rumah Agung Sedayu.
Resi Belahan dan Ki Tempuyung putih sempat tersenyum. Dengan nada tinggi Resi Belahan berkata, "Inikah pertahanan sebuah Tanah Perdikan yang besar dan disuyuti oleh Kademangan-kademangan di sekitarnya ?"
Ki Tempuyung Putih belum sempat menjawab ketika tiba-tiba Resi Belahan berkata, "Tunggu. Aku mencurigai keadaan di padukuhan induk ini."
"Ya," sahut Ki Tempuyung Putih, "aku mencium adanya baris pendem."
"Setan orang-orang Tanah Perdikan, "geram Resi Belahan, "Cepat, kita harus segera mencapai rumah Agung Sedayu."
Sekelompok orang itu-pun segera berlari menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun Resi Belahan masih bergumam, "Mudah-mudahan baris pendem tanah Perdikan ini tidak banyak berarti bagi pasukan kita. Aku kira sebagian dari mereka harus pergi ke padukuhan-padukuhan yang membunyikan kentongan itu. Sementara prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu sudah terikat dalam pertempuran.
Ki Tempuyung Putih mengangguk kecil. Namun ia-pun menggeram, "Apa kerja Prasanta dan Saramuka " Mereka seharusnya menyongsong kedatangan kita."
"Persetan dengan pengecut itu," geram Resi Belahan, "lepaskan panah sendaren. Di hadapan kita itu pasti rumah Agung Sedayu. Ciri-cirinya dapat kita baca dengan jelas."
"Ya," jawab ki Tempuyung Putih, "nampaknya halaman rumah itu masih sepi."
"Atau ada juga baris pendem di halaman rumah Agung Sedayu," jawab Resi Belahan.
Ki Tempuyung Putih memang tidak menunggu lebih lama lagi. Ia-pun segera memerintahkan seorang pengikutnya untuk melepaskan tiga buah panah sendaren yang diarahkan ke Selatan.
Tetapi panah sendaren itu juga merupakan isyarat kepada para pengawal tanah Peredikan yang membuat baris pendem, barisan yang tidak mudah dilihat. Tetapi para pemimpin pengawal agak salah hitung. Mereka mengira bahwa serangan terberat akan datang dari arah Barat meski-pun ada serangan lain yang datang dari arah yang berbeda.
Namun di sisi Selatan-pun sudah ada sekelompok kecil pengawal yang menunggu kedatangan lawan. Mereka akan dapat bertahan sampai saat pasukan terbesar bergeser ke Selatan pula.
Sementara itu isyarat itu telah memperingatkan seisi rumah Agung Sedayu. Suara sendaren yang bergaung di udara itu bagaikan suara sangkakala yang meneriakkan aba-aba bagi seluruh kekuatan di Tanah Perdikan Menoreh yang sudah bersiap menunggu lawan. Sementara itu, dua orang pengawas yang dipasang oleh para pengawal di Tanah Perdikan itu lelah memberikan laporan selengkapnya kepada Ki Gede. Meraka telah melihat sekelompok orang yang menurut pengamatan mereka berilmu tinggi langsung memasuki gerbang Tanah Perdikan, sementara para peronda yang masih ada di gardu sengaja menyingkir. Sementara itu, dari arah Selatan, pasukan induk dari perkemahan telah datang dengan kekuatan yang sangat besar.
"Prastawa," berkata Ki Gede, "tarik pasukan di sebelah Barat ke Selatan."
Buku 285 YA paman. Jika pertempuran telah terjadi, maka aku akan membawa pasukan terkuat di sisi Barat ke Selatan."
"Jangan terlambat. Kita harus memperhitungkan kemungkinan buruk bagi pasukan yang ada di sisi Selatan," berkata Ki Gede.
"Aku akan menemui pemimpin pengawal di sisi Barat," berkata Prastawa kemudian.
"Jangan lewat jalan didepan rumah Agung Sedayu," pesan Ki Gede.
Sejenak kemudian, maka Prastawa dengan beberapa orang pengawal telah berderap menuju ke sebelah Barat padukuhan. Sementara itu, pasukan induk dari perkemahan demikian mendengar isyarat, mereka-pun telah bergerak, mendekati padukuhan induk. Mereka sama sekali belum melihat bahwa di sela-sela pepohonan dan di belakang setiap bongkahan batu di dinding padukuhan, bersembunyi para pengawal dan laki-laki bersenjata.
Dalam pada itu, Raden Bomantara telah memaksa Ki Pamekas untuk menyusup memasuki rumah Agung Sedayu lewat pintu butulan. Bomantara yakin, bahwa Ki Pamekas yang berilmu tinggi itu akan dapat menembus setiap perlawanan yang menghalangi usaha mereka untuk menemukan Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Namun ketika mereka memasuki seketheng, tiba-tiba saja mereka telah bertemu dengan Wacana yang juga masih berada di rumah itu. Wacana yang juga merasa berkewajiban untuk membantu Agung Sedayu dalam keadaan yang rumit itu, telah meneegah Ki Pamekas.
"Kalian akan kemana Ki Sanak?" bertanya Wacana.
Yang menjawab adalah Raden Bomantara, "Minggirlah. Kami ingin bertemu, berbicara dan kemudian menyelamatkan kedua orang perempuan yang tinggal di rumah ini."
"Siapakah yang kau maksud?" bertanya Wacana.
"Jangan terlalu banyak bertanya. Menurut pengamatanku, di rumah ini hanya ada dua orang perempuan cantik. Dan biarlah kami menyelamatkan mereka. Jika kami tidak menolong mereka, maka mereka akan dapat mati terbunuh disini. Diseluruh halaman rumah ini telah terjadi pertempuran yang sengit. Sementara itu orang-orang berilmu tinggi berniat untuk menghancurkan seluruh isi rumah ini, termasuk kedua orang perempuan itu. Karena itu, berikan kesempatan kepada kami untuk menyelamatkan keduanya."
"Mereka sudah selamat," berkata Wacana, "mereka berdua telah diungsikan ke rumah Ki Gede. Meskipun keduanya juga berilmu, tetapi sebaiknya mereka tidak terlibat dalam pertempuran diantara orang-orang berilmu tinggi."
Wajah Raden Bomantara menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, "Bohong. Kau berbohong."
Tetapi Wacana menyahut, "Jika kau tidak percaya, marilah, aku antar kau melihat seisi rumah. Didalam tinggal ada dua orang kawanku yang menjaga agar bagian dalam rumah ini tidak dirusak orang. Tetapi jika kau ingin sekedar melihat apakah, kedua orang perempuan itu ada atau tidak, aku tidak berkeberatan. Tetapi setelah kau yakin bahwa keduanya tidak ada, maka kau harus keluar lagi. Kita dapat berkelahi di longkangan atau dimana saja. Kecuali jika kau menyerah."
"Setan kau," geram Raden Bomantara, "kau kira aku percaya."
"Karena itu, marilah. Sudah aku katakan, aku antar kau melihat-lihat kedalam.," berkata Wacana.
"Tidak," geram Ki Pamekas, "aku akan membunuhmu lebih dahulu. Baru kemudian aku akan melihat ke dalam."
Tetapi Bomantara memotong, "Tidak. Kita lihat saja ke dalam. Kedua orang itu akan sempat bersembunyi."
Wacana yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan itu-pun menyahut, "Nah, bicarakan dahulu diantara kalian. Apakah kalian akan bertempur dahulu melawan aku atau akan melihat-lihat dahulu kedalam."
"Jangan memperbodoh aku," geram Ki Pamekas, "kau akan menjebak kami didalam rumah itu."
Raden Bomantara yang hampir berteriak mengajak Ki Pamekas memasuki rumah itu justru mulai berpikir. Ia mulai memikirkan kemungkinan bahwa penghuni rumah itu akan menjebaknya.
Tetapi Wacana menjawab, "Ki Sanak. Kami tidak merasa perlu untuk menjebak kalian, karena kami dengan dada tengadah berani menghadapi kalian."
"Omong kosong," jawab Ki Pamekas, "dengan licik Tanah Perdikan ini menyiapkan baris pendem. Demikian pula kalian berusaha menjebak kami di halaman rumah ini. Sekarang kau akan menjebak aku dan momonganku ini."
"Jika demikian, apa yang akan kau lakukan" Aku sudah siap. Kawan-kawanmu sudah terlibat dalam pertempuran di seluruh halaman ini. Kau masih saja berbicara ke sana-kemari. Jika kau tidak segera mulai, maka biarlah aku yang memulainya."
Telinga Ki Pamekas menjadi merah. Karena itu, maka iapun menjawab lantang, "Anak muda. Seandainya kau berilmu rangkap tujuh, tetapi kau yang baru kemarin sore turun dari perguruanmu, kau akan segera terkejut melihat garangnya dunia olah kanuragan."
"Apapun yang akan terjadi, aku sudah siap, Ki Sanak," geram Wacana.
Ki Pamekas tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu Raden Bomantara tidak tinggal diam. Iapun telah menyiapkan diri untuk membantu Ki Pamekas.
Tetapi sebelum mereka terlibat dalam pertempuran, Rumeksa yang ada didalam telah menjenguk keluar lewat pintu butulan. Ketika ia melihat Wacana bersiap melawan dua orang lawan, maka Rumeksa itupun meloncat keluar sambil berkata, "Biarlah aku melawan anak muda itu."
Raden Bomantara menggeram. Katanya, "Jika kau ikut campur, maka lehermu akan menjadi taruhan."
Tetapi Rumeksa itu tertawa. Katanya, "Semua orang yang ada di lingkungan halaman rumah ini akan ikut campur sebagaimana kau juga ikut campur."
"Persetan kau. Jangan menyesali nasibmu yang buruk." desis Raden Bomantara.
Rumeksa tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat menyerang anak muda yang berpakaian rapi itu.
Raden Bomantara dengan tangaksnya mengelak. Bahkan kemudian iapun telah berputar menyerang. Kakinya terayun cepat mengarah ke dada lawan.
Namun Rumeksa sempat bergeser ke samping sehingga serangan Raden Bomantara tidak menyentuhnya.
Ketika keduanya terlibat dalam pertempuran- yang semakin sengit maka Wacana dan Ki Pamekaspun telah mulai bertempur pula. Ki Pamekas yang menganggap Wacana masih terlalu kanak-kanak itu ternyata telah terkejut. Wacana memiliki kematangan ilmu yang harus diperhitungkan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka Ki Pamekas tidak lagi bertempur dengan semena-mena. Apalagi setiap kali Wacana mampu memotong serangan-serangannya. Bahkan dengan serangan-serangan pula.
"Anak ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula," berkata Ki Pamekas didalam hatinya.
Dalam pada itu, semakin tinggi matahari memanjat langit, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Rasa-rasanya seluruh halaman rumah Agung Sedayu itu bagaikan terbakar oleh api pertempuran. Seakan-akan tidak ada sejengkal tanahpun yang luput dari loncatan-loncatan kaki mereka yang sedang mempertaruhkan nyawa mereka dalam pertempuran yang semakin sengit pula.
Namun tidak hanya di halaman rumah Agung Sedayu. Pertempuran di sisi Selatan padukuhan indukpun telah menjalar. Pasukan dari perkemahan yang tidak segera dapat menembus pertahanan yang kuat di sisi Selatan, telah memerintahkan sekelompok diantara mereka untuk menebar ke Timur dan ke Barat. Mereka harus berusaha untuk memasuki padukuhan induk. Bahkan dari arah manapun.
"Kita tidak dapat menunggu orang-orang berilmu tinggi itu membuka pintu untuk kita. Kita harus memecahkan pertahanan para pengawal dan memasuki padukuhan induk ini." teriak Putut Rahinaya.
Kelompok-kelompok yang dianggap akan mampu memecahkan pertahanan para pengawal memang telah menebar. Mereka tidak lagi terikat untuk memasuki padukuhan induk dari sisi Selatan. Apalagi ketika matahari menjadi tinggi. Merekapun tidak lagi menjadi cemas akan menjadi silau sebelum mereka mencapai padukuhan.
Namun ternyata pertahanan pasukan induk Tanah Perdikan berada di dinding padukuhan induk.
Sekelompok orang dari perkemahan yang pergi ke Barat ternyata menemukan satu sudut yang lemah dari pertahanan di padukuhan induk. Dengan tangkasnya orang-orang itu yang sebagian hantamnya terdiri dari orang-orang yang bertubuh keras dan kasar serta bersenjata bindi, namun yang memiliki kekuatan secara pribadi pada umumnya lebih besar dari orang kebanyakan, telah berhasil memecahkan pertahanan para pengawal yang jumlahnya memang tidak begitu banyak. Ketika dua orang penghubung menghubungi pasukan induk yang bertahan di sisi Selatan, maka orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu sudah berhasil meloncati dinding.
Pertempuran memang menjadi sengit. Tetapi sekelompok orang itu sempat menebar didalam lingkungan dinding padukuhan induk.
Dengan demikian pertempuran di dinding padukuhan induk itu sudah menyala. Sementara itu beberapa kelompok yang lain telah mengikuti keberhasilan kawan-kawannya yang terdahlu. Mereka menyusul memasuki padukuhan induk lewat pertahanan yang berhasil mereka tembus itu.
Prastawa yang mendapat laporan itu segera memerintahkan pasukan cadangan untuk mengatasinya. Mereka harus menahan orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu tidak menggapai banjar dan rumah Ki Gede, sebagai tempat pengungsian. Di kedua tempat itu banyak sekali perempuan dan anak-anak. Diantara mereka adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan yang membantu para pengawal mengatur para pengungsi itu.
Dengan cepat para pengawal yang termasuk dalam pasukan cadangan segera menempatkan diri. Merekapun menebar di lorong-lorong utama padukuhan induk. Bahkan di lorong-lorong sempit pula.
Selain para pengawal dan anak-anak muda dari pasukan cadangan, maka orang-orang yang sudah tidak terhitung muda lagi, namun masih tidak mau ketinggalan mempertahankan kampung halamannya telah turun pula bersama-sama para pengawal dan anak-anak muda menahan arus pasukan dari perkemahan yang berhasil memasuki dinding padukuhan induk.
Dengan demikian maka pertempuranpun telah terjadi di mana-mana. Bahkan bukan saja di jalan-jalan utama dan lorong-lorong di padukuhan induk itu. Tetapi juga di halaman dan kebun-kebun.
Dalam pada itu maka para pengawal yang bertugas mengawal para pengungsi di banjar dan di rumah Ki Gede itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Ketika para pengawal di sisi Selatan yang bertahan di dinding padukuhan induk mendapat laporan tentang pecahnya pertahanan di padukuhan induk itu, maka merekapun segera menempatkan diri. Mereka yakin bahwa orang-orang perkemahan yang telah berhasil memasuki padukuhan induk itu akan menyerang para pengawal dari belakang garis pertahanan agar pertahanan di sisi itupun terbuka pula.
Karena itu, maka sebagian dari mereka justru telah bergeser ma suk lebih kedalam di padukuhan induk.
Ternyata perhitungan mereka memang benar. Kelompok-kelompok kecil pasukan dari perkemahan itu memang berusaha untuk menarik perhatian para pengawal yang sedang bertahan.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin menyebar. Kelompok-kelompok kecil saling berhadapan. Bahkan kemudian seorang melawan seorang.
Dalam pada itu, pertempuran di barak prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh itu sudah dapat dianggap selesai. Beberapa orang memang jatuh menjadi korban dari kedua belah pihak. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus telah menahan diri untuk tidak membantai lawan-lawan mereka betapapun mereka menjadi marah karena ada diantara kawan-kawan mereka yang gugur.
Dengan demikian, maka menjelang tengah hari, maka tidak lagi terjadi pertempuran di barak pasukan induk itu. Pertempuran berakhir jauh lebih cepat dari yang diduga oleh orang-orang yang menyerang barak itu. Mereka memang menjadi bingung dan kehilangan pegangan ketika mereka harus bertempur menghadapi gelar yang tidak mereka mengerti.
Sementara itu, maka orang-orang perkemahan yang bertempur di kedua padukuhan kecil itupun telah dapat dikacaukan oleh para pengawal dan beberapa kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang datang membantu. Bahkan beberapa saat kemudian, maka merekapun telah menjadi kehilangan gairah perjuangan mereka, sehingga para pemimpin mereka telah memberikan isyarat, agar orang-orang perkemahan itu mengundurkan diri.
Meskipun tercerai berai, namun orang-orang perkemahan yang melarikan diri itu telah berusaha untuk mencapai lereng pebukitan. Sambil sekali-sekali melakukan perlawanan, mereka memang berhasil mendekati lereng pebukitan itu. Beberapa kelompok diantara mereka memang berhasil melarikan diri, hilang diantara pepohonan hutan lereng pebukitan. Namun sebagian dari mereka telah dapat ditangkap oleh para pengawal dan para prajurit dari Pasukan Khusus.
Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu menangani orang-orang yang telah tertangkap. Mereka terpaksa diikat kaki dan tangan mereka dan menempatkannya di banjar padukuhan. Sementara itu para prajurit dari Pasukan Khusus yang cemas bahwa orang-orang yang melarikan diri itu akan bergabung dengan pasukan induk mereka yang menyerang padukuhan induk, maka pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di kedua padukuhan itupun memerintahkan pasukannya bergerak di padukuhan induk.
Para prajurit itu minta para pengawal di padukuhan-padukuhan itu untuk tetap bersiaga. Bahkan jika perlu mereka diminta untuk membunyikan tanda bahaya.
"Tetapi menurut perhitungan, mereka tidak akan kembali. Tetapi mereka akan bergabung dengan pasukan induk mereka," berkata pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang bertempur di padukuhan itu. Lalu katanya, "Karena itu, kami akan pergi ke padukuhan induk. Mungkin tenaga kami diperlukan. Sementara itu kalian agar tetap berhati-hati."
Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di kedua padukuhan itupun telah pergi ke padukuhan induk. Beberapa orang diantara mereka yang terluka terpaksa tinggal di banjar padukuhan itu.
Di padukuhan induk, pertempuran memang menjadi semakin sengit. Orang-orang perkemahan semakin banyak merembes memasuki dinding padukuhan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran-pun telah menyebar semakin dalam pula.
Seperti yang diperhitungkan oleh para prajurit yang ada di padukuhan kecil yang baru saja berhasil mengusir orang-orang yang menyerang padukuhan itu, maka orang-orang perkemahan yang terusir itu telah berusaha untuk pergi ke padukuhan induk. Mereka bergeser diantara pepohonan di lereng pebukitan. Dengan isyarat yang mereka kenal, mereka berusaha untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang tercerai berai.
Ternyata mereka berhasil mengumpulkan beberapa kelompok yang akan dapat bergabung dengan pasukan induk mereka. Beberapa orang yang terluka cukup parah akan ditinggal di lereng bukit agar mereka berusaha untuk dapat mencapai perkemahan.
Dengan kekuatan seadanya, beberapa kelompok itupun dengan tergesa-gesa pergi ke padukuhan induk. Mereka berharap bahwa mereka akan dapat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Mereka berharap bahwa kehadiran mereka di padukuhan induk, akan dapat mengurangi kesalahan mereka, bahwa mereka dengan mudah dapat didera oleh lawan mereka di padukuhan-padukuhan kecil itu.
Orang-orang perkemahan yang pergi ke padukuhan induk itu sejak turun dari lereng pebukitan, berusaha untuk tidak melalui padukuhan-padukuhan yang menurut perhitungan mereka akan dapat mengganggu dan bahkan mungkin mengurangi kekuatan mereka, karena mereka menduga bahwa di setiap padukuhan tentu terdapat pengawal-pengawal padukuhan yang telah bersiap.
Karena itu, maka beberapa kelompok orang perkemahan itu telah berlari-lari melalui pematang sawah dan pategalan.
Di arah lain, beberapa kelompok prajurit dari Pasukan Khusus juga sedang menuju ke padukuhan induk.
Di padukuhan induk, khususnya di halaman rumah Agung Sedayu, pertempuran berkobar dengan sengitnya. Ki Carang Ampel yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sangat tinggi, tidak banyak menghiraukan pertempuran yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia melangkah saja langsung menuju ke pintu dapur.
Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat seorang tua berdiri menghadangnya. Bahkan orang tua itu sempat mengangguk hormat sambil bertanya, "Kau akan pergi kemana Ki Sanak?"
"Siapa kau" Menyingkirlah. Dihalaman rumah ini sedang terjadi perang," berkata Carang Ampel.
"Aku adalah bagian dari perang itu," jawab orang yang rambutnya sudah mulai memutih.
"Namamu?" bertanya Ki Carang Ampel.
"Namaku Jayaraga," jawab orang tua itu.
"Jayaraga," orang itu mengulang, "nama yang bagus. Namaku Ki Carang Ampel. Apakah kau pernah mendengar?"
Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku belum pernah mendengar," jawab Ki Jayaraga.
"Aku tidak peduli, apakah kau pernah mendengar atau tidak. Sekarang kita bertemu sebagai lawan. Jika benar kau bagian dari perang ini, bersiaplah.," geram Ki Carang Ampel.
"Aku sudah siap," jawab Ki Jayaraga.
Ki Carang Ampel tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera menyerang dengan garangnya. Namun ternyata orang tua itupun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan Ki Jayaraga sambil bertempur telah bertanya, "Apakah kau kenal Ki Manuhara?"
"Manuhara yang tidak setia kepada kewajibannya itu?" Ki Carang Ampel justru bertanya. Namun iapun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya mendatar, hampir saja mengenai pelipis Ki Jayaraga. Namun Ki Jayaraga sempat menarik kepalanya, sehingga tangan Ki Carang Ampel tidak menyentuhnya.
Baru kemudian Ki Jayaraga bertanya, "Aku hampir berhasil membunuhnya. Tetapi ia telah berhasil melarikan diri, sehingga Bajang Bertangan Baja sempat mengobati luka-luka yang hampir merenggut nyawanya itu."
"Tidak ada yang menyesali kematiannya," geram Ki Carang Ampel.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Ia sudah bersiap ketika Ki Carang Ampel bergeser setapak. Kemudian meloncat dengan tangkasnya. Kakinya terjulur lurus sambil memiringkan tubuhnya menggapai lambungnya.
Tetapi Ki Jayaraga dengan cepat pula mengelak. Ketika kaki Ki Carang Ampel terjulur, dengan cepat Ki Jayaraga bergeser ke samping. Dengan cepat ia sempat menebas kaki ini dengan tangannya, sementara kakinyalah yang bergeser menyambar ke arah kening. Tetapi serangan Ki Jayaragapun tidak mengenai sasarannya. Ki Carang Ampel sempat menggeliat mengambil jarak.
Sementara itu Ki Jayaraga berkata, "Ki Carang Ampel. Apakah kau kira langkah yang diambil oleh Resi Belahan sekarang ini akan bermanfaat " Menurut perhitunganku, langkah-langkah yang diambil oleh Resi Belahan kali ini tidak lebih baik dari yang dilakukan oleh Ki Manuhara. Karena itu, maka yang akan terjadi atasmu, atas Resi Belahan dan orang-orang lain yang datang bersama mereka tidak akan lebih baik dari yang pernah terjadi atas Ki Manuhara dan orang-orangnya."
Tetapi Ki Carang Ampel menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tentu tidak. Kita mempunyai perhitungan yang lebih cermat. Jika Ki Manuhara telah gagal, maka kita tentu akan berhasil. Ki Manuhara waktu itu gagal membunuhmu. Sekarang, aku tentu berhasil tanpa mengalami kesulitan. Tetapi aku berjanji, jika kau menyerah, maka aku tidak akan membunuhmu."
"Kenapa bukan aku saja yang berjanji ?" sahut Ki Jayaraga, "jika kau menyerah, maka kaupun tidak akan mati disini."
"Persetan kau," geram Ki Carang Ampel.
Nampaknya Ki Carang Ampel tidak ingin bertempur berkepanjangan. Karena itu, maka iapun segera meningkatkan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi. Namun Ki Jayaragapun telah telah berbuat demikian pula, sehingga karena itu, maka pertempuranpun segera meningkat menjadi semakin sengit.
Disudut yang lain, pertempuran menjadi semikin keras. Anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung telah mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun lawan jumlahnya lebih banyak, tetapi anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu masih mampu menguasai keadaan. Satu-satunya anggauta kelompok Gajah Liwung yang bukan muda lagi, tengah bertempur berhadapan dengan seorang yang bertubuh kekurus-kurusan. Namun yang memiliki ketangkasan dan kemampuan yang tinggi.
Ki Ajar Gurawa yang ada di belakang rumah Agung Sedayu melihat orang bertubuh kekurus-kurusan itu bertempur dengan tangkasnya melawan kedua orang muridnya. Dengan kecepatan yang tinggi, orang itu berloncatan menghindari serangan-serangan lawan-lawannya. Namun demikian dengan cepat pula meluneur serangan-serangan.
Dengan kemampuan pengamatannya, maka Ki Ajar Gurawa segera mengetahui bahwa orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun segera mendekati muridnya dan mengambil alih lawan mereka. Katanya, "Biarlah aku yang menyelesaikan orang ini."
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu justru meloncat surut. Dipandanginya orang tua yang datang memasuki arena pertempuran itu. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jadi kau ikut-ikutan untuk bertempur kakek tua ?"
"He, aku belum tua. Lihat, gigiku masih utuh. Mataku belum rabun dan telingaku masih mendengar kau mengumpat," jawab Ki Ajar Gurawa yang kemudian justru tertawa berkepanjangan.
"Setan kau," geram yang kekurus-kurusan itu, "siapa namamu dan apa kepentinganmu ikut bertempur di Tanah Perdikan ini ?"
"Aku orang Tanah Perdikan ini. Orang memanggilku Ajar Gurawa. Nah, sebut namamu sebelum kau kehilangan kesempatan meninggalkan Tanah Perdikan ini."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Namaku Gemak Cemani. Aku salah seorang dari mereka yang tersinggung oleh solah tingkah Panembahan Senapati. Anak pidak pedarakan yang merasa berhak menjadi raja di bumi ini. Jika Senapati merasa berhak memegang kekuasaan tertinggi kenapa bukan Kangjeng Adipati di Pati. Mereka berdua adalah anak-anak dari dua orang yang berderajat sama serta saudara seperguruan pula."
"Ada bedanya," jawab Ki Ajar Gurawa, "Panembahan Senapati ketika masih kanak-kanak adalah putera angkat Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang dengan gelar Mas Ngabehi Loring Pasar."
"Apa artinya anak angkat Karebet itu ?" bertanya Gemak Cemani.
"Sudahlah. Kita tidak usah membicarakan darah keturunan. He, jika kau berniat mengungkit kedudukan Panembahan Senapati, kenapa kau tidak pergi ke Mataram, tetapi ke Tanah Perdikan ini yang bukan merupakan pusat pemerintahan Panembahan Senapati?" bertanya Ki Ajar Gurawa.
Gemak Cemani itu menggeram, "Dungu kau. Tanah Perdikan ini akan dapat menjadi landasan kekuatan Kangjeng Adipati Pati. Juga akan mampu mendukung persediaan makan bagi pasukannya."
"Apakah Kangjeng Adipati Pati memerintahkan kalian untuk mempersiapkan landasan bagi pasukannya itu ?" bertanya Ki Ajar Gurawa.
"Apakah seorang pejuang harus menunggu perintah " Bukankah kami dapat mengambil langkah mendahului perintah asal dengan keyakinan bahwa yang kita lakukan itu akan memberikan arti," berkata Gemak Cemani.
Tetapi Ki Ajar Gurawa menjawab, "Yang kau lakukan tidak memberikan apa-apa."
Wajah Putut Cemani menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Kenapa" Kenapa kau menganggap bahwa apa yang kami lakukan sekarang tidak berarti apa-apa?"
"Kalian akan gagal. Apa yang terjadi atas Ki Manuhara akan terulang kembali atas kalian. Jika waktu itu kami gagal membunuh Ki Manuhara, maka sekarang kegagalan itu akan dapat ditebus. Bajang Bertangan Baja tidak lagi berpihak kepada kalian sehingga ia tidak akan dapat membantu mengobati orang-orang kalian yang terluka. Apalagi mengobati kau atau Resi Belahan."
"Persetan dengan Bajang kerdil itu. Kami tidak tergantung kepadanya. Jika kali ini ia berhadapan dengan Ki Tempuyung Putih apalagi Resi Belahan, maka ia akan berhadapan dengan maut itu sendiri."
Ajar Gurawa tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser selangkah lebih mendekat. Tetapi Gemak Cemani justru meloncat menyerang dengan garangnya, sehingga Ki Ajar Gurawa harus meloncat surut.
Namun sejenak kemudian, maka pertempuranpun segera terjadi dengan sengitnya. Kedua-duanya tidak lagi membuang waktu. Mereka segera meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi.
Disebelah gandok sebelah kanan Sabungsari berhadapan dengan seorang yang bertubuh raksasa yang mengaku bernama Ki Samekta. Dengan garangnya Ki Samekta melihat Sabungsari dalam pertempuran yang keras dan kasar. Orang bertubuh raksasa itu memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga untuk beberapa saat kemudian Sabungsari telah terdesak. Tetapi Sabungsari memiliki ketangkasan yang sangat tinggi. Ia mampu bergerak dengan cepat. Tubuhnya bagaikan tidak menyentuh tanah. Namun demikian, jika terjadi benturan, dengan mengerahkan tenaga dalam, maka kekuatan Sabungsari masih mampu mengimbangi kekuatan lawannya.
Raja Silat 1 Wiro Sableng 051 Raja Sesat Penyebar Racun Kesatria Baju Putih 17

Cari Blog Ini