Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 20

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20


"Jangan berputar-putar Ki Jayaraga," berkata Ki Suradipa, "kami tidak mempunyai minat untuk berbicara tentang hal-hal yang lain keculai pernikahan itu sendiri."
"Tetapi bukankah harus dijelaskan, siapa yang akan menikah dengan siapa. Tentu bukan aku."
"Itu sudah jelas. Jangan mengada-ada. Yang menikah adalah Prastawa dengan Kanthi. Mereka harus menikah karena hubungan mereka telah melampaui batas sehingga Kanthi mengandung. Sementara itu hubungan antara keduanya semula sudah direstui oleh orang tuanya. Nah, apa lagi," berkata Ki Suratapa.
"Itulah yang ingin kami cocokkan," jawab Ki Jayaraga, "bukan karena kami tidak mempercayainya, tetapi mungkin ada kekeliruan atau salah paham. Menurut pengakuan Prastawa, ia sama sekali tidak pemah berhubungan dengan Kanthi dalam pengertian yang menyebabkannya mengandung. Prastawa mengaku bahwa ia kenal baik dan akrab dengan Kanthi. Tetapi tidak lebih dari persahabatan biasa. Apalagi sampai melakukan pelanggaran seperti yang dimaksudkan."
"Siapa yang mengatakan itu?" bertanya Ki Suradipa.
"Prastawa sendiri," jawab Ki Jayaraga.
"Kami sudah menduga, bahwa Prastawa yang licik itu tidak akan berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Itulah sebabnya kami harus mempergunakan cara yang khusus untuk memaksa Prastawa berani bertanggung jawab," geram Suradipa.
"Soalnya bukan tidak berani bertanggung jawab, tetapi Prastawa tidak melakukannya," berkata Ki Jayaraga, "hal itu berkali-kali dikatakannya. Baik dihadapan ayahnya, Ki Argajaya, mau-pun dihadapan Ki Gede Menoreh."
"Ia berbohong, apakah kalian akan melindungi seorang pengecut yang berbohong?" bertanya Ki Suratapa.
"Ki Suracala," berkata Ki Jayaraga kepada Ki Suracala, "Ki Suracala adalah ayah gadis yang mengandung itu. Kami mengusulkan, agar Prastawa dan Kanthi dipertemukan dihadapan orang-orang tua yang berpengaruh dari kedua belah pihak. Biarlah keduanya berbicara dengan jujur. Apakah Prastawa memang bersalah."
"Tidak," Ki Suratapa hampir berteriak, "tidak ada gunanya. Prastawa tentu tetap berbohong. Kebohongan yang mantap tentu akan memberikan kesan bersungguh-sungguh. Dan itu akan dapat dilakukan oleh Prastawa."
"Tetapi kita harus berusaha untuk sampai pada satu kebenaran. Jika keduanya berbicara sendiri-sendiri, maka tidak akan pemah dapat dicari kenyataan yang sebenarnya terjadi." berkata Ki Jayaraga.
"Tidak. Aku sudah mengatakan tidak. Aku hanya ingin ketetapan waktu pernikahan itu saja." garam Ki Suratapa.
"Tetapi bukankah ayah Kanthi adalah Ki Suracala?" bertanya Ki Jayaraga.
Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi merah. Sementara itu Ki Suracala menjadi saagat gelisah.
Namun Ki Suratapa itu-pun berkata, "Aku tidak mau banyak berbicara lagi. Waktu yang kami berikan masih tersisa satu hari. Namun karena kalian sudah ada disini sebagai utusan Ki Argajaya, maka kita akan menetapkan saja hari pernikahan itu dengan janji untuk ditepati oleh kedua belah pihak."
"Tetapi kami tidak mendapat wewenang untuk itu," jawab Ki Jayaraga.
"Kalian menyampaikan keputusan ini kepada Ki Argajaya. Biarlah Ki Argajaya mematuhinya."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berpaling kepada Pandan Wangi sambil berkata, "Apakah menurut pendapat angger Pandan Wangi, kita dapat bertindak sebagaimana dikatakan oleh Ki Suratapa?"
Pandan Wangi menggeleng lemah. Sementara itu, Swandaru duduk dengan sangat gelisah, ia sudah mulai tidak telaten dengan pembicaraan yang berkepanjangan itu.
"Tidak, Ki Jayaraga," berkata Pandan Wangi kemudian, "wewenang yang ada pada kami adalah menyampaikan kebenaran itu."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, "Nah, kau dengar" Angger Pandan Wangi adalah anak perempuan Ki Gede. Bahwa angger Pandan Wangi disertakan dalam kelompok utusan ini karena Ki Gede ingin tahu dengan pasti, apakah Prastawa bersalah atau tidak. Jika Prastawa memang bersalah, maka Ki Gede sendiri akan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka Prastawa akan mendapat perlindungan."
"Persoalan ini adalah persoalan Ki Suracala dengan Ki Argajaya. Tentu saja Ki Gede dapat mengerahkan pasukannya untuk memaksakan kehendaknya. Tetapi itu adalah sikap yang sangat licik. Ia telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk melindungi kesalahan kemanakannya."
"Tidak. Ki Gede belum memutuskan untuk melindungi Prastawa. Ki Gede sedang berusaha untuk melihat kebenaran dari persoalan ini. Karena itu, maka aku berpendapat, sebaiknya Prastawa dan Kanthi dipanggil bersama-sama untuk berbicara langsung dengan jujur menyatakan kebenaran itu."
"Tidak. Itu tidak perlu," jawab Ki Suratapa, "dalam keadaan yang demikian, Kanthi akan dapat menjadi ketakutan dan tidak akan berani mengatakan kebenaran itu."
"Bukankah ia akan disertai oleh ayahnya dan barangkali kalian berdua?" jawab Ki Jayaraga.
"Tidak. Kami tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi," berkata Ki Suratapa, "selebihnya, aku ingin menegaskan bahwa persoalannya adalah persoalan antara keluarga Ki Suracala dengan keluarga Ki Argajaya. Kecuali jika seperti Prastawa, Ki Argajaya tidak berani mempertanggung-jawabkan tingkah laku anaknya, sehingga Ki Gede terpaksa ikut campur dan menyalah gunakan kekuasaannya."
"Tidak. Ki Gede tidak akan menyalah gunakan kekuasaannya," potong Swandaru yang tidak sabar, "jika kebenaran itu sudah kami yakini, maka kami akan menyelesaikan persoalan ini tanpa dukungan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Maksudku, pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi tegang. Sejak mereka mengetahui bahwa Ki Gede mengirimkan langsung anak perempuannya, maka mereka sudah menjadi gelisah, karena jika terjadi sesuatu dengan anak perempuannya, maka Ki Gede tentu tidak akan diam saja.
"Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang licik," berkata Ki Suratapa didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu-pun berkata, "Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan melibatkan Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Ki Argajaya telah mengikut sertakan anak perempuan Ki Gede, maka maksudnya tentu sudah jelas. Tetapi dengan demikian, maka kebenaran itu tidak akan pernah ditegakkan."
Adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba saja Rara Wulan memotong, "Apakah yang kau maksud dengan kebenaran dalam persoalan ini" Kenyataan dari kejadian yang telah terjadi atau kenyataan yang terjadi didalam angan-anganmu?"
Agung Sedayu terpaksa menggamitnya sambil berdesis, "Biarlah Ki Jayaraga menegaskannya, Rara."
Tetapi Swandaru justru menyahut, "Aku-pun akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Apa yang dimaksud dengan kebenaran yang harus ditegakkan itu?"
Wajah Ki Suratapa menjadi tegang. Namun Ki Jayaragalah yang kemudian berkata, "Kami menunggu keputusan Ki Suracala. Seperti tadi aku katakan, sebaiknya kita memanggil Prastawa dan Kanthi bersama-sama. Kita minta keduanya berbicara dengan jujur agar persoalan yang sebenarnya dapat kita lihat."
"Jawabannya tidak berbeda dengan jawabanku," Ki Suratapa hampir berteriak.
Namun Ki Jayaraga berkata, "Jika disini tidak ada Ki Suracala, maka aku akan mendengarkan keterangan orang yang mewakilinya. Tetapi disini ada Ki Suracala yang justru lebih banyak berdiam diri."
Sebenarnyalah bahwa perasaan Ki Suracala bagaikan diremas oleh persoalan yang dihadapinya. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan wajahnya menjadi pucat sekali.
"Kalian tidak perlu memaksanya berbicara," geram Ki Suradipa, "ia sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada kami."
Tetapi Ki Jayaraga seolah-olah tidak mendengarnya. Dengan suaranya yang masih saja sareh dan tenang ia bertanya, "Katakanlah, apa yang terbaik menurut Ki Suracala."
Suasana benar-benar telah mencengkam. Jantung Ki Suracala rasa-rasanya akan meledak. Ia tahu bahwa Prastawa tidak bersalah. Bahkan ia telah difitnah. Tetapi ia berada dibawah ancaman kedua sepupunya. Bahkan bayangan kegarangan mertua Wiradadi telah menghantuinya pula.
Dalam keadaan yang kalut, dimana kebenaran tidak dapat diutarakannya, maka tiba-tiba saja Ki Suracala itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya telah menutupi wajahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja menangis.
Suratapa dan Suradipa yang melihat Ki Suracala menangis, hampir bersamaan membentak, "He, kau kenapa?"
Suracala tidak dapat menjawab. Bahkan laki-laki itu terguncang karena menahan tangisnya.
"Setan kau. Kenapa kau menjadi cengeng," Ki Suratapa hampir berteriak, "kau seorang laki-laki, Suracala. Betapa-pun berat beban perasaanmu, kau tidak akan menangis."
Suracala tidak menjawab. Ia masih berjuang untuk mengatasi gejolak perasaannya.
Namun dalam pada itu, Ki Suratapa tidak melihat lagi kemungkinan untuk memaksakan kehendaknya. Ternyata Ki Argajaya mempunyai cara tersendiri untuk memancing agar Ki Gede terlibat kedalamnya dengan menempatkan anak perempuannya menjadi salah satu dari utusannya ke rumah Ki Suracala.
Dengan demikian, maka Ki Suratapa dan Ki Suradipa-pun menjadi mata gelap. Mereka tidak lagi dapat berpikir jauh. Niatnya adalah menangkap tiga orang perempuan yang ada didalam sekelompok utusan Ki Argajaya. Jika Prastawa tidak mau menikahi Kanthi, maka perempuan-perempuan itu tidak akan dilepaskan. Tetapi jika Ki Gede melibatkan diri dengan mengerahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka ketiga perempuan itu akan dibunuh saja.
Ancaman itu harus didengar oleh Ki Argajaya dan Ki Gede. Karena itu, maka jika terjadi benturan kekerasan, tidak semua orang dalam sekelompok utusan itu akan dibunuh.
"Satu dua diantara mereka akan tetap hidup memberitahukan ancaman itu kepada Ki Argajaya dan Ki Gede."
Karena itu, maka Ki Suratapa yang sudah menjadi kehilangan akal itu-pun berkata, "Ki Jayaraga. Jika kau tidak dapat mengatakan kapan pernikahan itu dilakukan, atau kau tidak mau membicarakannya sekarang, maka pembicaraan selanjutnya tidak ada gunanya. Aku minta kalian meninggalkan tempat ini."
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia tidak mengira bahwa akhir dari pembicaraan itu hanya sampai disitu. Ia mengira bahwa akan terjadi benturan kekerasan karena kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah. Namun ternyata saudara-saudara sepupu Ki Suracala itu hanya mengusirnya saja.
Namun sebenarnyalah bahwa pengusiran itu bukan langkah terakhir bagi Suratapa dan Suracala. Mereka masih mempunyai sepuluh orang upahan yang menunggu di bulak. Jika utusan dari Tanah Perdikan itu Lewat di bulak itu, maka mereka akan disergap. Tiga orang perempuan itu akan menjadi tanggungan. Setidak-tidaknya seorang diantara laki-laki dalam kelompok utusan itu harus hidup dan menyampaikan pesan Ki Suratapa kepada Ki Argajaya dan Ki Gede Menoreh.
Karena persoalannya tidak lagi dapat dibicarakan, maka Ki Jayaraga-pun menganggap bahwa tidak ada gunanya untuk berbicara lebih jauh. Ki Jayaraga menganggap bahwa dengan demikian, maka Prastawa telah bebas dari tuntutan mereka. Atau akan ada utusan lagi dari keluarga Ki Suracala yang akan menyampaikan syarat-syarat pembicaraan yang baru.
Namun demikian, penggraita Ki Jayaraga, bahkan semua orang dalam kelompok utusan itu tidak yakin, bahwa Ki Suratapa benar-benar akan melepaskan mereka begitu saja. Apalagi mereka mengetahui bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah dicegat ditengah bulak pula, sehingga peristiwa buruk itu akan dapat terulang.
Meski-pun demikian, maka Ki Jayaraga itu-pun berkata, "Baiklah Ki Suracala. Jika Ki Suracala sama sekali tidak dapat memberikan jawaban, sementara itu Ki Suratapa dan Ki Suradipa menganggap bahwa pembicaraan selanjutnya sudah tidak perlu, maka kami akan minta diri. Langit sudah mulai buram, sehingga malam akan segera turun."
Ki Suracala benar-benar tidak dapat menjawab. Ia tahu benar apa yang akan dilakukan oleh kedua sepupunya atas orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh jika pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu. Namun ia tidak dapat meneriakkan hal itu, karena ia tahu, bahwa persoalannya akan menyangkut keselamatan Kanthi dan keluarganya.
Sementara itu, lampu minyak memang sudah dinyatakan di ruangan-ruangan dan di pendapa bahwa oncor-pun telah dipasang diregol halaman.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga minta diri, maka tiba-tiba tiga orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Suracala tanpa turun dari punggung kudanya.
Kuda-kuda yang tegar itu-pun kemudian telah berhenti di depan pendapa rumah Ki Suracala. Baru kemudian ketiga orang itu meloncat turun dari kuda mereka.
Setelah menambatkan kuda-kuda itu pada patok di sisi tangga pendapa, maka ketiga orang itu-pun segera naik ke pendapa.
Kedatangan ketiga orang itu benar-benar telah mengejutkan Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Orang itu adalah mertuan Wiradadi yang garang. Orang yang mereka takuti karena mertua Wiradadi adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Ketika Ki Suracala, Suratapa dan Suradipa bangkit berdiri menyambut orang yang datang itu, maka Ki Jayaraga dan orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu-pun telah bangkit pula untuk ikut menghormati mereka, meski-pun mereka belum tahu, siapakah yang telah datang itu.
Betapa-pun segannya Swandaru-pun telah ikut berdiri pula. Kepada Glagah Putih ia berbisik, "siapakah mereka itu?"
Glagah Putih menggeleng. Desisnya, "Aku belum tahu."
Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.
"Kami mengucapkan selamat datang," berkata Ki Suratapa.
"Terima kasih, "jawab orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berkumis melintang dan berjambang lebat.
"Aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi disini," geram orang itu, "karena itu aku datang untuk mengambil Kanthi, perempuan liar yang telah merusakkan rumah tangga anakku."
Wajah-wajah mereka yang berdiri di pendapa itu menjadi tegang, termasuk utusan Ki Argajaya.
Sementara itu orang itu-pun berkata selanjutnya, "Aku-pun ingin bertemu dan berbicara dengan Wiradadi. Aku ingin tahu apakah Wiradadi yang bersalah atau Kanthi yang bersalah. Setelah aku tahu dengan pasti, maka aku akan mengambil keputusan. Aku tidak mempunyai belas kasihan kepada siapa-pun yang telah menista kehidupan keluarga anakku."
Ketegangan telah mencengkam pendapat itu. Ki Suratapa yang berusaha membuat penyelesaian sendiri tanpa setahu ayah mertua Wiradadi ternyata tidak berhasil. Ternyata orang itu sudah mengetahui apa yang terjadi.
Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu-pun berkata, "Kakang Wreksadana, disini kami sedang berusaha untuk mencari kebenaran tentang seorang anak muda yang bernama Prastawa."
"Aku sudah tahu. Kalian menduga Kanthi telah mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Tetapi karena Prastawa tidak mau bertanggung jawab, maka Kanthi telah menjebak Wiradadi, sekedar untuk menyandarkan keadaannya yang tidak dapat disembunyikan lagi."
"Ya. kakang," jawab Suratapa, "dengan demikian, maka Prastawalah yang harus bertanggung jawab atas keadaan Kanthi sekarang ini."
"Apa-pun yang terjadi dalam hubungan antara Prastawa dan Kanthi, aku tidak peduli. Tetapi bahwa Wiradadi sudah terjebak itu merupakan persoalan bagi anak perempuanku dan sudah tentu bagiku," jawab orang yang disebut Wreksadana itu.
Ki Suratapa menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang itu-pun berteriak, "Panggil Wiradadi."
Suasana memang menjadi bertambah tegang. Sementara itu Ki Suracala yang justru menjadi tegang melihat keadaan itu berkata, "Ki Wreksadana, silahkan duduk."
"Terima kasih. Aku tidak akan lama. Aku hanya akan berbicara dengan Wiradadi sebentar. Kemudian mengambil Kanthi."
Tidak ada seorang-pun yang berani membantah. Sementara itu utusan Ki Argajaya hanya dapat menunggu, apakah yang akan terjadi kemudian.
Sejenak kemudian, maka Wiradadi-pun telah diajak kependapa itu pula. Ternyata orang itu telah menjadi gemetar. Wajah mertuanya yang menyala itu membuat darahnya serasa telah membeku.
"Wiradadi," berkata Ki Wreksadana, "aku sudah tahu semuanya. Diantara orang-orang yang dikumpulkan oleh ayahmu itu, terdapat beberapa diantaranya adalah orang-orangku pula. Jadi kalian tidak dapat membohongi aku. Kau dan Kanthi telah melakukan hubungan terlarang. Aku tidak peduli, apakah sebelumnya tersangkut nama Prastawa. Yang ingin aku tanyakan, apakah kau atau Kanthi yang mula-mula memancing sehingga terjadi perbuatan yang tidak pantas itu."
Wiradadi memang tergagap. Tetapi otaknya yang licik itu dengan cepat mampu bekerja. Yang kemudian dipikirkan oleh Wiradadi adalah justru keselamatannya sendiri. Ia tidak peduli apa yang akan dialami oleh orang lain. Bahkan penderitaan yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka Wiradadi tidak peduli bahwa keterangannya akan dapat mencekik Kanthi sekalipun.
Karena itu, dengan licin Wiradadi menjawab, "Ayah tentu dapat membayangkan, apa yang terjadi atas diriku disini, di rumah paman, justru saat Kanthi memerlukan jalan keluar. Saat itu aku benar-benar terjebak didalam biliknya sehingga aku tidak mungkin lagi menghindar."
"Jadi, kau dalam hal ini tidak bersalah" Kau hanya menjadi korban keliaran Kanthi?" bertanya Ki Wreksadana.
"Ya. ayah. Aku memang menjadi sangat menyesal bahwa hal itu terjadi, sementara itu aku sangat mencintai isteiku."
"Jika demikian, maka Kanthi yang pantas dihukum. Ia telah merampok suami orang, justru dengan maksud yang sangat buruk. Bukan karena ia mencintai Wiradadi, apalagi cinta yang mendapat tanggapan."
"Tentu ayah. Aku sama sekali tidak tertarik pada Kanthi. Saat itu aku tidak menduga sama sekali bahwa aku telah dijebaknya dalam biliknya, justru karena ia masih saudaraku justru pada garis ketiga. Garis terlarang bagi seseorang untuk berumah tangga seandainya kami saling mencintai sekalipun."
"Bagus. Jika demikian hati isterimu akan menjadi tenteram. Tetapi dengan demikian, bawa Kanthi kemari. Aku akan membawanya, ia harus mendapatkan hukuman langsung dari istri Wiradadi."
"Tidak," tiba-tiba saja Suracala menjadi tegar, "aku akan mempertahankan anakku. Ia tidak bersalah. Ketika Kanthi dalam keadaan putus asa karena isyarat yang diberikan oleh Prastawa, bahwa Prastawa tidak mencintainya, maka Wiradadi itu datang kemari. Ia memanfaatkan kekosongan dihati Kanthi."
"Diam," bentak Wreksadana, "aku tidak bertanya kepadamu."
"Tetapi aku ayah Kanthi," jawab Suracala.
"Aku tidak peduli. Jika kau berkeras mempertahankan anakmu, maka kau-pun akan aku anggap ikut bersalah. Kau tentu telah membantu anakmu, menjebak Wiradadi."
"Bohong," tiba-tiba saja Rara Wulan yang tidak dapat menahan diri berteriak, "Wiradadi bohong. Aku tahu, bahwa wataknya tidak lebih baik dari seekor serigala. Kanthi baginya tidak lebih dari seekor kelinci. Apalagi dalam keadaan putus asa."
"Siapa kau?" bertanya Wreksadana.
"Aku adalah salah seorang antara gadis-gadis yang mengalami perlakuan kasar Wiradadi. Untunglah aku dapat mempertahankan kehormatan dan memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadaku." teriak Rara Wulan.
Wajah Ki Wreksadana menjadi tegang, sementara wajah Wiradadi menjadi merah. Dengan suara lantang Ki Wreksadana berkata, "Gadis gila. Kenapa kau turut campur" Aku tahu, kau tentu salah seorang dari keluarga Prastawa. Kau datang membawa fitnah atas menantuku Wiradadi."
"Tidak. Kaulah yang tidak jujur dalam persoalan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang kau berikan kepada Wiradadi sama sekali tidak berarti. Kau kira orang lain tidak tahu bahwa apa yang kau lakukan tidak lebih dari satu pagelaran lelucon buat memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah. Aku, Ki Suracala, Kanthi, bahkan semua orang tahu, bahwa sebenarnya kau tidak mencari kebenaran. Tetapi kau ingin seakan-akan kau sudah bertindak adil dihadapan banyak orang."
"Tutup mulutmu," bentak Ki Wreksadana.
Tetapi Swandaru telah menyela, "Teruskan Rara. Berkatalah terus. Aku senang mendengarnya."
Sebenarnya Rara Wulan-pun berkata selanjutnya, "Pertanyaan-pertanyaanmu dan jawaban-jawaban Wiradadi juga kau gunakan untuk mengangkat harga diri anak perempuanmu, bahwa seolah-olah suaminya tidak pernah berpaling kepada perempuan lain. Tetapi sebenarnyalah menantumu adalah seorang laki-laki yang lebih ganas dari serigala lapar."
"Kau kira orang lain dapat mempercayai kata-katamu?" teriak Suratapa, "bagaimana mungkin kau dapat membebaskan diri dari Wiradadi seandainya ia benar-benar mengingininya. Apalagi memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadamu."
"Baru tadi siang hal itu terjadi. Ketika aku pulang dari rumah ini. Wiradadi dan dua orang pengikutnya telah mencegat kami di pategalan dan berusaha menyeretku masuk kedalam gubug. Tetapi ternyata kemampuannya tidak lebih dari kemampuan anak-anak yang baru dapat berjalan selangkah-selangkah."
"Gila. Kenapa kau dapat membuat demikian kasarnya dihadapan kami?" teriak Ki Wreksadana.
"Aku tidak membuat. Jika kalian ingin membuktikan, aku tantang sekarang Wiradadi berkelahi di halaman ini. Kalian akan menjadi saksi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah." Rara Wulan-pun berteriak pula.
Wajah Wiradadi menjadi pucat. Untunglah bahwa cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan telah menyaput wajah itu sehingga Ki Suratapa tidak dengan segera melihatnya.
Dalam ketegangan itu, Ki Wreksadana-pun berkata, "Perempuan itu mencoba mengalihkan persoalan yang sebenarnya. Ki Suratapa, aku minta kau selesaikan perempuan ini. Sekarang aku minta agar Kanthi dibawa kemari. Aku memerlukannya. Ia harus datang menemui anak perempuanku, minta ampun dan menerima hukuman apa-pun yang akan diberikan oleh anak prempuanku itu, sehingga untuk selanjutnya Kanthi tidak akan pernah dapat merampok suami orang lain lagi."
"Tidak," jawab Ki Suracala, "Kanthi tidak akan dibawa kemana-mana oleh siapapun."
"Ki Suracala. Kau tidak dapat menolaknya. Anakmu memang harus mendapat hukuman karena kesalahannya."
Rara Wulanlah yang berteriak lebih keras lagi, "Kanthi tidak bersalah, kau dengar. Kanthi tidak bersalah."
Ki Wreksadana akhirnya kehabisan kesabaran. Dengan garangnya ia berkata kepada Ki Suratapa, "Usir perempuan itu. Jika yang lain mencoba menghalanginya, selesaikan saja mereka."
Ki Suratapa memang menjadi bingung. Orang-orangnya tidak ada di halaman rumah itu, tetapi mereka menunggu di bulak.
Ki Wreksadana melihat kebimbangan itu. Dengan lantang ia berkata, "Orang-orangmu ada disini. Aku membawa mereka kemari. Sebagian dari mereka sebenarnya adalah orang-orangku, sehingga aku tahu apa yang terjadi disini. Juga tentang utusan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan mereka. Aku hanya ingin membawa Kanthi. Tetapi jika mereka sengaja melibatkan diri, apa boleh buat."
"Ki Wreksadana," berkata Ki Suracala, "apa yang dikatakan angger Rara Wulan adalah benar. Kau tentu hanya sekedar ingin menyelamatkan perkawinan anakmu dengan Wiradadi. Kau ingin memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah, meski-pun bagimu itu hanya sekedar pura-pura. Aku tidak peduli kepura-puraanmu, Ki Wreksadana. Tetapi kau tidak perlu mengorbankan orang lain. Kau tidak perlu mengorbankan Kanthi yang sudah terlalu banyak menderita itu. Jika aku terlibat dalam kecurangan ini terhadap Ki Argajaya. Karena aku sampai sesaat tadi, masih takut mati. Tetapi sekarang tidak. Aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian itu lagi. Aku sependapat dengan saudara-saudaraku dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kita harus menemukan kebenaran sekarang ini. Bukan fitnah dan bukan kebohongan serta kepura-puraan lagi."
Jantung Ki Wreksadana bagaikan membara. Terdengar ia memberikan isyarat dengan sebuah suitan nyaring. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berada di bulak itu telah berada diluar regol halaman, sehingga sejenak kemudian mereka sudah memasuki halaman.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," geram Ki Wreksadana, "aku akan membawa Kanthi dengan kekerasan. Siapa yang mencoba menghalangi, akan dihancurkan. Jika terjadi kematian, sama sekali bukan tanggung jawab kami, karena kami sudah memperingatkan sebelumnya."
"Jadi tanggung jawab siapa?" bertanya Swandaru.
Namun Ki Suracala justru melangkah maju sambil berkata lantang, "Aku tidak akan menyerahkan Kanthi. Apa-pun yang terjadi, aku akan mempertahankannya. Ia adalah anakku. Karena itu, maka harganya sama dengan nyawaku."
"Setan kau Suracala. Agaknya kau memang ingin mati. Seharusnya kau biarkan anak perempuan yang liar mendapat hukuman. Tetapi kau justru melindunginya."
"Apakah ia liar, apakah ia gila atau apakah ia sampah sekalipun, tetapi ia adalah anakku," jawab Ki Suracala.
Ki Wreksadana tidak sabar lagi. Ia-pun memberi isyarat kepada kedua orangnya dan orang-orang yang baru datang itu sambil berteriak, "Kita selesaikan orang-orang yang mencoba menghalangi rencanaku."
"Premana," tiba-tiba terdengar suara Ki Jayaraga, "sampai rambutmu ubanan, ternyata kau masih liar dan ganas. Jika kau berbicara tentang Kanthi yang kau anggap gadis yang liar, bagaimana dengan dirimu sendiri?"
Ki Wreksadana memandang Ki Jayaraga dengan mata yang tanpa berkedip. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Siapa kau iblis tua?"
"Apakah kau lupa kepadaku" Memang sudah lama kita tidak bertemu. Mula-mula aku lupa kepadamu. Tetapi setelah kau banyak berbicara dan kemudian kau berniat memaksakan kehendakmu, maka aku segera teringat bahwa yang bernama Wreksadana itu adalah Premana yang tampan, berilmu tinggi dan disukai banyak gadis-gadis cantik. Aku kira anak perempuanmu itu juga cantik, Premana. Tetapi sayang, bahwa menantumu mempunyai tabiat yang kurang baik. Kau tentu tahu itu. Tetapi menantumu itu tidak lebih dari sebuah cermin bagimu. Kau dapat melihat wajahmu sendiri didalamnya, sehingga kau dapat melihat cacat-cacat yang melekat pada dirimu."
"Tutup mulutmu. Siapa kau?" teriak Wreksadana.
"Untuk menyenangkan hati anak perempuanmu serta sedikit memulas wajah cerminmu, maka kau melemparkan kesalahan itu kepada Kanthi, anak Ki Suracala. Sebenarnyalah bahwa Kanthi sudah terlalu menderita dengan peristiwa yang menimpa dirinya. Bukan berarti bahwa Kanthi tidak bersalah. Menurut pendapatku, Kanthi tetap bersalah. Tetapi tentu tidak seberat keputusan yang kau jatuhkan. Karena itu, jika kau akan menghukum, hukumlah Wiradadi. Biarlah Ki Suracala menghukum anaknya yang bersalah."
"Siapa kau, siapa kau?" Wreksadana berteriak semakin keras.
"Kau ingat kepada Jayaraga?"
"Jayaraga," Ki Wreksadana mengingat-ingat, "Jayaraga. Jadi kau iblis yang sering berkeliaran di pesisir utara itu?"
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "Ya Premana. Aku memang sering berkeliaran di pesisir Utara. Tetapi aku juga berkeliaran sampai kemana-mana. Gombel, Bawen, Banyu Biru, memutari kaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Juga menelusuri Kali Opak dan Kali Praga. Terakhir aku berkeliaran di Pegunungan Menoreh."
"Lalu kenapa kau sekarang berada disini?" bertanya Ki Wreksadana.
"Aku sedang menjadi utusan Ki Argajaya untuk mencari kebenaran tentang anaknya, Prastawa yang dituduh telah melakukan pelanggaran hubungan dengan Kanthi."
"Bagus. Kau sudah tahu bahwa Prastawa tidak berkaitan dengan persoalan Kanthi dan anak perempuanku. Karena itu, untuk selanjutnya jangan turut campur urusan kami."
"Maaf, Premana. Aku sudah terlanjur mendengar ancamanmu, sementara itu, aku tahu bahwa Kanthi tidak mutlak bersalah. Karena itu, maka aku tidak akan dapat menutup mata dan telinga. Aku harus ikut menegakkan kebenaran disini."
"Setan kau Jayaraga. Sejak kapan kau mengenal kebenaran?"
"Premana. Semua muridku mati sebagai orang-orang jahat. Seandainya ada yang masih hidup-pun ia jahat pula. Kecuali satu. Murid yang aku ketemukan setelah pribadinya terbentuk. Nah, karena itu, maka biarlah aku berusaha untuk membersihkan nama perguruanku dengan perbuatan baik disisa hidupku."
"Jadi kau benar-benar akan melibatkan diri?" bertanya Wreksadana.
"Ya. Sejak semula hubungan kita memang kurang baik. Seandainya hubungan itu menjadi semakin buruk, apaboleh buat."
Ki Jayaraga tidak segera menjawab. Tetapi ia melangkah maju mendekati Ki Wreksadana, "Sudah waktunya tingkah lakumu itu kau hentikan. Wreksadana, coba aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur. Buat apa sebenarnya Kanthi akan kau bawa" Tentu tidak akan kau serahkan kepada anak perempuanmu. Mungkin memang kau bahwa Kanthi kepadanya. Kau paksa ia untuk mohon ampun. Tetapi setelah itu" Kau kira aku tidak tahu tabiatmu?"
"Setan kau Jayaraga. Kau benar-benar iblis yang terkutuk. Kau harus mati sekarang agar kau untuk selanjutnya tidak akan mengganggu aku lagi."
Ki Jayaraga-pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu kedua orang pengiring Ki Wreksadana telah bersiap pula.
"Jangan di pendapa," berkata Ki Jayaraga, "dihalaman kita dapat bermain gobag-sodor, karena halaman itu cukup luas."
Pertemuan antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana yang disebut Premana itu telah mencengkam suasana.
Nampaknya Ki Wreksadana tidak berkeberatan untuk turun dari pendapa. Ketika ia sudah mulai bergeser, maka ia-pun berkata, "Jayaraga. Jadi kau benar-benar ingin ikut campur dalam persoalan ini.?"
"Aku tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang kuat seperti kau memaksakan kehendakmu dengan sewenang-wenang kepada orang-orang yang lemah, maka tatanan kehidupan ini tidak akan lebih dari kehidupan didalam rimba yang buas. Atau katakanlah bahwa kehidupan kita sebagai mahluk yang memiliki akal budi, tidak lebih dari kehidupan binatang di hutan."
"Kau memang iblis. Bersiaplah untuk mati Jayaraga. Aku setuju dengan usulmu. Kita bertempur di halaman."
Ki Jayaraga itu-pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu, Swandaru dan yang lain sambil berdesis, "Berhati-hatilah. Kita sudah mulai. Nampaknya lawan kita cukup kuat."
Swandarulah yang menjawab, "Ternyata yang terjadi berbeda dari yang kita duga. Kita ternyata justru mendapat lawan yang lain."
"Ya," sahut Ki Jayaraga, "tetapi sepuluh orang dihalaman itu tentu juga orang-orang berilmu tinggi."
Swandaru mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan melawan salah seorang dari pengiring Ki Wreksadana itu. Nampaknya ia juga seorang berilmu tinggi."
"Ya. Aku setuju. Ia nampaknya memang berilmu tinggi," jawab Ki Jayaraga.
Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, "Hadapi yang seorang lagi. Aku akan turun ke halaman."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia-pun kemudian melangkah turun ke halaman, mendekati Ki Wreksadana yang sudah menunggu. Swandaru-pun melangkah pula. Namun sekali-sekali ia memandang Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya. Swandaru memang menjadi agak heran, bahwa bukan Agung Sedayu sendiri yang menghadapi salah seorang pengawal Ki Wreksadana yang tentu juga seorang yang berilmu tinggi.
"Apakah anak itu akan dapat mengimbangi lawannya?" bertanya Swandaru didalam hatinya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia masih berusaha menahan diri. Jika hal itu diucapkannya, maka hati anak muda itu akan menyusut, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi kemampuannya.
Sementara itu, Agung Sedayu-pun berkata kepada Rara Wulan, "Masuklah. Cari Kanthi. Lindungi perempuan itu. Mungkin ada orang yang licik yang menyusup masuk keruang dalam. Jika perlu, panggil salah seorang dari kami."
Rara Wulan mengangguk. Ia memang tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya gadis itu telah menyusup lewat pintu pringgitan yang hilang diruang dalam.
Sementara itu, Ki Suratapa yang marah melihat sikap Ki Suracala itu-pun menggeram, "Ternyata kau telah merusak segala pembicaraan yang sebelumnya pernah kita sepakati."
"Aku tidak pernah menyepakati untuk menyerahkan Kanthi kepada Ki Wreksadana," jawab Suracala.
"Tetapi semuanya ini masih tetap dalam bingkai persoalan yang timbul karena Kanthi," bentak ki Suratapa.
"Hanya orang gila yang akan menyerahkan anaknya, betapa-pun besar dosanya sehingga darahnya menjadi hitam sekali-pun kepada orang lain untuk dihukum dengan semena-mena tanpa menimbang kesalahannya dengan saksama" Apalagi Ki Wreksadana tidak berhak menghukum Kanthi."
"Aku yang akan memaksamu menyerahkan Kanthi," berkata Suratapa.
"Aku tidak peduli siapa kau," Ki Suracala-pun membentak, "aku siap melindungi anakku apa-pun yang akan terjadi."
Suratapa tidak dapat menahan diri lagi. Dengan garangnya ia menyerang Suracala yang bergeser ke tangga pendapa. Ternyata Suracala-pun lebih senang bertempur dihalaman daripada di pendapa rumahnya.
Sementara itu Suradipa memang licik. Ia mengetahui, bahwa yang mencoba melindungi Kanthi hanyalah seorang perempuan muda. Karena itu, maka ia-pun segera meloncat masuk lewat pintu pringgitan untuk mencari Kanthi.
Dihalaman Ki Jayaraga sudah siap bertempur melawan Ki Wreksadana. Sedangkan Swandaru menghadapi salah seorang pengawalnya. Demikian pula Glagah Putih. Sedangkan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap bersiap meghadapi sepuluh orang yang semula telah dipersiapkan oleh Ki Suratapa di bulak untuk mencegat utusan dari Tanah Perdikan itu jika mereka kembali.
Namun yang mengejutkan adalah kedatangan dua orang yang memasuki regol halaman. Cahaya lampu minyak yang redup menggapai wajah mereka, sehingga hampir diluar sadarnya Agung Sedayu berkata, "Ki Argajaya."
Ki Argajaya berdiri tegak didepan regol. Disebelahnya Prastawa nampak gelisah.
"Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi," berkata Ki Argajaya, "Karena itu, aku wajib menyusul kemari. Adalah tidak pantas jika aku dan Prastawa duduk sambil minum minuman hangat di rumah, sementara orang-orang yang datang atas namaku harus menyabung nyawanya."
Agung Sedayulah yang menyahut, "Persoalannya telah bergeser dari persoalan semula. Kami sedang berusaha melindungi Kanthi dari tindak sewenang-wenang."
"Apa yang terjadi dengan Kanthi?" bertanya Ki Argajaya.
"Ceriteranya panjang Ki Argajaya," jawab Agung Sedayu.
Ki Argajaya menyadari, bahwa bukan waktu untuk mendengarkan sebuah dongeng yang betapa-pun menariknya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang sudah siap untuk bertempur berkata, "Selamat datang Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh angger Agung Sedayu, kita sedang melindungi Kanthi dari sergapan seekor serigala setelah disergap oleh serigala yang lain."
Ki Wreksadana tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia tidak peduli akan kehadiran Ki Argajaya. Karena itu, maka ia-pun segera menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya.
Ki Jayaraga tidak lengah meski-pun ia sempat berbicara dengan Ki Argajaya. Karena itu ketika serangan itu datang, maka Ki Jayaraga dengan cepat meloncat menghindar.
Sementara itu, Swandaru-pun telah mulai bertempur pula. Demikian pula Glagah Putih yang telah mengambil jarak.
Dalam pada itu, maka Ki Argajaya dan Prastawa-pun segera menempatkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, seorang diantara mereka yang semula siap mencegat utusan Ki Argajaya itu berkata, "Jadi perempuan-perempuan ini juga merasa mampu untuk bertempur?"
Sekar Mirah yang telah menyingsingkan kain panjangnya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja selendangnya telah dikibaskannya dengan cepatnya.
Orang yang berbicara itu terkejut. Semula ia tidak mengira bahkan selendang itu demikian cepatnya mematuk kearahnya. Karena itu, maka dengan serta-merta orang itu meloncat surut.
Namun bandul-bandul timah kecil diujung selendang itu meluncur lebih cepat. Karena itu, maka ujung selendang itu telah sempat menggapai dada orang itu.
Orang itu mengeluh tertahan. Namun kemudian ia-pun segera mengumpat kasar. Terasa dadanya menjadi sakit dan nafasnya-pun seakan-akan telah tersendat.
"Iblis betina," geramnya. Kemarahannya telah menjalar lewat darahnya yang mendidih keseluruh tubuhnya. Namun dadanya itu memang terasa sakit dan panas.
Ternyata sepuluh orang yang marah itu tidak menunggu lebih lama. Mereka-pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Sepuluh ujung senjata telah tejulur kearah lima orang yang berada didalam kepungan.
Ki Argajaya sudah cukup lama tidak memegang tombaknya. Tetapi demikian tangannya mulai tergetar, maka rasa-rasanya tombaknya itu telah bergerak dengan sendirinya.
Meski-pun demikian, ia-pun berdesis, "Aku tidak bermimpi masih akan mengangkat senjata lagi. Tetapi ternyata aku telah disudutkan oleh keadaan, sehingga aku terpaksa menarik tombakku dari plonconnya."
"Bukan salah Ki Argajaya," desis Agung Sedayu.
Ki Argajaya tidak menyahut lagi. Serangan-serangan mulai datang beruntun.
Pandan Wangi yang memang telah menyiapkan dua pisau belati dipinggangnya, telah menggenggamnya pula. meski-pun pisau belati itu hanya pendek saja, tetapi ditangan yang terampil, Maka pisau itu menjadi sangat berbahaya.
Orang yang berkumis lebat yang ikut mencegat utusan Ki Argajaya dibulak itu menggeram, "Ternyata mereka bukan perempuan-perempuan yang pasrah untuk taruhan."
"Baru tahu kau sekarang," desis kawannya.
Orang itu ternyata tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sepasang pisau belati Pandan Wangi telah menjepit senjatanya, sebuah parang yang besar. Untunglah bahwa kawannya yang lain sempat membantunya dengan serangan yang deras menebas kearah leher Pandan Wangi. Sebuah kapak yang besar itu terayun dengan deras sekali.
Tetapi Pandan Wangi cukup tangkas. Meski-pun ia harus melepaskan parang lawannya, namun ia sempat menghindari serangan kapak yang besar itu.
Demikianlah pertempuran itu-pun menjadi semakin sengit. Namun Ki Argajaya ternyata masih sempat melihat Ki Suracala yang bertempur melawan Ki Suratapa. Dua orang sepupu yang harus bermusuhan karena masing-masing membela kepentingan anaknya. Salah atau tidak salah.
"Kenapa Ki Suracala?" bertanya Ki Argajaya kepada Agung Sedayu yang bertempur tidak jauh daripadanya.
"Ia sedang melindungi anaknya. Kita berdiri dipihaknya," jawab Agung Sedayu.
Ki Argajaya tidak bertanya lagi. Lawannya dengan serta-merta menyerangnya. Namun tombak Ki Argajaya sempat berputar dan mulai mematuk dengan cepatnya.
Prastawa sendiri telah mempergunakan pedangnya. Ia memang agak mengalami kesulitan menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata perhatian orang-orang itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar cambuk Agung Sedayu yang meledak dengan kerasnya.
Swandaru terkejut mendengar ledakan Cambuk Agung Sedayu. Bukan karena suara cambuk yang keras itu. Namun ledakan cambuk itu menunjukkan bahwa Agung Sedayu seakan-akan masih belum memanjat sampai tataran yang lebih tinggi lagi.
Tetapi Agung Sedayu Sendiri memang harus menilai ungkapan kemampuannya itu, karena seorang diantara lawan-lawannya justru telah tertawa pula.
Dengan nada lantang orang itu berkata, "He, gembala dungu. Jika kau hanya dapat melecut lembu atau kerbau yang sedang menarik bajak, sebaiknya kau tidak berada di halaman ini."
Justru orang lain yang mendengar kata-kata itu, jantungnya menjadi panas. Bahkan Sekar Mirah rasa-rasanya ingin mendorong suaminya untuk lebih bersungguh-sungguh menghadapi lawan yang jumlahnya terlalu banyak itu.
Namun justru Agung Sedayu sendiri tidak menanggapinya. Ia masih saja melecutkan cambuknya dengan ledakan yang menggetarkan seisi halaman itu.
Dalam pada itu Wreksadana-pun berteriak pula, "Kenapa kalian biarkan sais yang sombong itu masih tetap disitu?"
Orang yang diupah Ki Suratapa untuk memimpin kawan-kawannya itu menggeram, "Aku akan membunuhnya mendahului kawan-kawannya."
Orang itu memang segera menyerang Agung Sedayu. Serangan-serangannya memang mendebarkan. Senjatanya dengan cepat terayun menebas mengarah ke leher Agung Sedayu.
Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindar. Cambuknya berputar sekali. Kemudian satu ledakan yang keras terdengar saat ujung cambuknya menggapai tubuh lawannya itu.
Lawannya bergeser selangkah. Ujung cambuk itu memang mengenai kulitnya. Tetapi hanya sentuhan yang tipis, karena orang itu dengan cepat menghindar. Dengan daya tahannya yang tinggi. Maka orang itu dapat mengabaikannya sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu yang hanya wantah itu.
Namun dengan demikian orang itu menjadi lengah. Ia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu orang yang bersenjata cambuk itu. Karena itu, maka dengan garangnya ia menyerang tanpa kendali lagi. Senjatanya terayun mengerikan memburu Agung Sedayu yang berloncatan.
Namun demikian ia berusaha menggapai dada Agung Sedayu dengan menjulurkan senjatanya, maka Agung Sedayu tidak menghindarinya. Tetapi dengan dilandasi oleh ilmu dan kemampuannya, maka cambuknya telah berputar menjerat senjata orang itu.
Demikian Agung Sedayu menghentikan cambuknya, maka senjata orang itu tidak dapat diselamatkannya lagi.
Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak pernah mengira bahwa lawannya memiliki kemampuan dan kekuatan yang demikian besarnya. Bahkan ketika kemudian sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka ledakan cambuk itu tidak lagi terdengar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuk itu ternyata telah mengoyak lengan lawannya."
Terdengar teriakan tertahan. Lawannya itu-pun dengan serta merta meloncat mengambil jarak. Sementara itu, kawannya yang melihat keadaannya, dengan cepat telah menyerang Agung Sedayu pula.
Agung Sedayu tidak memburu lawannya yang sudah dilukainya. Tetapi ia melihat Prastawa yang mulai terdesak. Namun ia-pun melihat bagaimana Sekar Mirah yang sedang memutar selendangnya telah membuat lawannya terdesak. Tetapi lawannya yang lain-pun segera menyerangnya pula dari arah yang berbeda.
Dalam sekilas Agung Sedayu melihat, bahwa orang-orang di Tanah Perdikan itu akan segera mengalami kesulitan jika jumlah lawannya yang sepuluh orang itu tidak segera berkurang.
Disisi lain Pandan Wangi dengan pisau rangkapnya, berloncatan dengan tangkasnya. Dengan senjata pendeknya, Pandan Wangi tetap merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan tangan kirinya ia menebas serangan lawannya. Kemudian dengan loncatan panjang senjata ditangan kanannya mematuk kearah dada.
Sementara itu, Ki Argajaya yang menurut pengakuannya sendiri tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan tombaknya lagi, namun ternyata ia masih juga Ki Argajaya yang garang. Dengan keras ia mendesak lawan-lawannya. Meski-pun ia mulai nampak menjadi lamban karena Ki Argajaya tidak pernah lagi berlatih mempergunakan tombaknya, tetapi tangannya masih menggetarkan lawan-lawannya.
Ketika Swandaru mendengar, ledakan cambuk Agung Sedayu yang berubah, ia sempat menarik nafas panjang. Bahkan diluar sadarnya ia berkata, "Nah, ternyata kakang Agung Sedayu telah sedikit mengalami kemajuan."
Bahkan sesaat kemudian, Swandaru mendengar lagi hentakkan cambuk Agung Sedayu. Tidak dengan ledakan yang memekakkan telinga. Tetapi getarannya mengguncang udara di halaman itu.
Tetapi Swandaru tidak sempat melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu bertempur bersama-sama dalam satu putaran pertempuran yang kalut. Sementara itu, Swandaru bertempur disisi lain melawan salah seorang pengawal Ki Wreksadana yang ternyata memang berilmu tinggi.
Dilingkaran pertempuran yang lain, Glagah Putih menghadapi pengawal Ki Wreksadana yang seorang lagi. Juga seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali Glagah Putih memang berloncatan surut mengambil jarak agar ia dapat bertempur ditempai yang bebas disudut halaman.
Namun setiap kali Swandaru mengerutkan dahinya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk segera menyelesaikan lawannya agar ia dapat membantu Glagah Pulih karena Swandaru mencemaskan anak muda itu.
Sementara itu Suradipa yang licik itu tengah mencari Kanthi di ruang dalam. Ia memperhitungkan jika ia dapat menguasai Kanthi, maka ia akan dapat memaksa orang-orang yang sedang bertempur itu untuk berhenti, ia dapat memaksa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk meninggalkan tempat itu dengan taruhan Kanthi.
Tetapi ia tidak melihat Kanthi di ruang dalam. Tetapi ia mendengar keributan telah terjadi di serambi samping. Sehingga karena itu, maka ia-pun telah berlari pula keserambi.
Suradipa itu terkejut. Ternyata telah terjadi pertempuran dilongkangan dalam didepan serambi itu. Karena itu, maka ia-pun segera berlari mendorong pintu dan turun kelongkangan.
Suradipa melihat dua orang yang mengerang kesakitan. Dibawah cahaya lampu minyak di seketheng ia melihat Wiradadi duduk bersandar dinding serambi, sementara seorang yang lain masih sedang bertempur melawan seorang perempuan.
Jantung Suradipa menjadi berdebar-debar. Disudut longkangan, bawah sebatang pohon kemuning, dua orang perempuan sedang memeluk Kanthi yang ketakutan. Ibunya dan kakak perempuannya.
Suradipa itu menggeram marah. Ia harus dapat menguasainya. Namun ia belum sempat mendekati perempuan itu ketika laki-laki yang sedang bertempur melawan seorang perempuan itu terdorong beberapa langkah surut dan kemudian kehilangan keseimbangannya.
Meski-pun demikian, orang itu berusaha untuk segera dapat bangkit berdiri.
Tetapi orang itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk tegak. Sementara kawannya yang berusaha untuk bangkit itu-pun tidak berhasil. Demikian ia mencoba menapak, maka ia-pun telah terduduk kembali.
Suradipa mengumpat kasar. Perempuan yang bertempur itu adalah perempuan yang datang lebih dahulu bersama anak muda yang bertempur dihalaman untuk memberitahukan bahwa utusan Ki Argajaya akan datang.
"Anaknya anak itu tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia telah mengalahkan Wiradadi. Kini bahkan perempuan yang masih semuda Kanthi itu telah mengalahkan tiga orang sekaligus, termasuk Wiradadi itu sendiri," berkata orang itu didalam hati.
Namun Suradipa tetap pada niatnya untuk menguasai Kanthi. Ia sadar, bahwa ia harus menyingkirkan perempuan yang garang itu lebih dahulu.
Ketika kemudian Rara Wulan berdiri tegak sambil menggenggam kedua ujung selendangnya, Suradipa itu berkata, "Aku akan menyelamatkan Kanthi. Sebaiknya kau tidak usah turut campur."
Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, "Kau termasuk orang-orang yang ingin mencelakakannya. Karena itu enyahlah. Jangan mencoba untuk menyentuhnya."
"Perempuan liar. Kau dapat mengalahkan Wiradadi dan dua orang kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang dungu itu. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat mencegah aku," berkata Suradipa.
Rara Wulan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia memang menyadari, bahwa Suradipa tentu memiliki kelebihan dari Wiradadi dan kawan-kawannya. Tetapi Rara Wulan tidak akan beringsut dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk melindungi Kanthi dari sewenang-wenang. Apalagi ketika ia mendengar pembicaraan antara Ki Wreksadana dengan Ki Jayaraga.
Karena itu, maka ketika Ki Suradipa bergeser maju, Rara Wulan mulai menggerakkan selendangnya sambil berkata, "Aku sudah mempenngatkanmu, jangan sentuh anak itu."
Ki Suradipa tidak menjawab. Tetapi kemarahannya sudah merambat sampai ke ubun-ubun. Sambil menggeram Ki Suradipa itu mencabut pedangnya dan bergeser semakin dekat.
Kanthi, ibunya dan kakak perempuannya menjadi semakin tegang. Mereka tahu bahwa Suradipa adalah seorang laki-laki yang keras dan bahkan garang. Ki Suracala sendiri merasa tidak dapat menolak kehendaknya serta kehendak Ki Suratapa.
Tetapi ketiga orang perempuan itu sudah melihat sendiri bagaimana gadis itu mengalahkan ketiga orang lawannya.
Ketika kemudian Suradipa mulai menjulurkan pedangnya, maka Rara Wulan-pun telah memutar selendangnya pula.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Suradipa berusaha untuk dengan cepat menyingkirkan perempuan itu agar dengan cepat pula dapat membawa Kanthi ke halaman depan. Orang-orang Tanah Perdikan itu tentu akan menghentikan pertempuran juga ia kemudian mengancam Kanthi.
Namun Rara Wulan yang sadar benar akan nasib Kanthi telah berusaha untuk mempertahankannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya ia melawan Ki Suradipa yang bertempur dengan garangnya. Namun ternyata bahwa Rara Wulan memiliki bekal yang lebih lengkap. Meski-pun terhitung baru pada tataran dasar, tetapi Rara Wulan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk menempa dirinya. Karena itu, maka ternyata Suradipa-pun tidak mudah untuk dapat menundukkannya.
Sementara itu. pertempuran di halaman-pun menjadi semakin sengit. Ki Jayaraga yang berhadapan dengan Ki Wreksadana-pun telah meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Ternyata kedua orang yang memang telah saling mengenal itu masih harus kembali menjajagi kemampuan masing-masing, setelah untuk waktu yang lama mereka tidak bertemu.
Swandaru yang sedang bertempur itu mencoba untuk melihat barang sekilas, pertempuran antara Ki Wreksadana. Tetapi karena Ki Jayaraga agaknya telah mengenalnya, maka Swandaru tidak berusaha untuk menggantikan Ki Jayaraga. Namun sebagaimana ia mencemaskan Glagah Putih, maka Swandaru-pun berharap agar Ki Jayaraga mampu mengimbangi lawannya yang nampaknya sangat yakin akan kemampuannya sendiri.
Namun swandaru sendiri ternyata harus bertempur dengan sengitnya. Lawannya ternyata memang seorang yang berilmu tinggi pula. Bahkan setelah bertempur beberapa saat, Swandaru dapat meraba lewat unsur-unsur gerak lawannya, bahwa lawannya itu memiliki jalur ilmu yang sama dengan Ki Wreksadana. Mungkin muridnya. Tetapi mungkin saudara seperguruannya.
"Jika orang ini sekedar murid Ki Wreksadana, tentu aku tidak perlu melayaninya. Aku lebih senang bertempur melawan sekelompok orang," berkata Swandaru didalam hatinya.
Ternyata ia menganggap bahwa Agung Sedayu cukup cerdik memilih lawan. Dalam pertempuran berkelompok seperti itu, maka sulit untuk memberikan penilaian yang tepat atas kemampuannya. Bahkan seandainya ilmunya masih dibawah tataran yang seharusnya.
Tetapi dengan mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu, maka Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu tidak lagi jauh ketinggalan dari tataran yang diharapkannya.
Dalam pada itu, ketika pertempuran antara Swandaru dan lawannya menjadi semakin sengit, maka Swandaru justru menyempatkan diri untuk bertanya, "Apakah kau murid Ki Wreksadana?"


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan kau. Aku adalah adik seperguruannya," jawab orang itu.
"O," Swandaru meloncat menghindari serangan orang itu. Namun mulutnya sempat berkata, "Aku kira kau muridnya yang paling dungu."
"Kau memang terlalu sombong. Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku," geram orang itu.
Swandaru tertawa. Tetapi dengan cepat ia harus meloncat kesam-ping ketika kaki lawannya terjulur lurus kearah dada.
Demikianlah maka mereka-pun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Namun demikian Swandaru masih sempal berusaha untuk melihat keadaan Glagah Putih.
Tetapi cahaya lampu minyak di pendapa dan diregol ternyata terlalu lemah untuk menggapai lingkaran pertempuran disudut halaman itu.
"Jika lawan Glagah Putih itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana, maka anak itu akan segera mengalami kesulitan," berkata Swandam didalam hatinya.
Namun Swandaru memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin lama semakin tinggi, sehingga Swandaru-pun harus melakukannya pula.
Benturan-benturan kekuatan yang terjadi kemudian, telah memperingatkan kedua belah pihak agar mereka menjadi semakin berhati-hati.
Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri memang harus meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi lawannya. Ternyata tanpa ditanya oleh Glagah Putih, lawannya itu telah bercerita tentang dirinya.
"Kau akan menyesal anak muda, bahwa kau telah mencoba untuk melawan aku."
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia menyerang semakin deras. Meski-pun demikian lawannya masih juga sempat berkata, "Anak muda, kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal. Karena kau telah berhadapan dengan saudara seperguruan Ki Wreksadana."
Glagah Putih bergeser sedikit menjauh. Dengan nada datar ia bertanya, "Jadi kau saudara seperguruan Ki Wreksadana?"
"Ya," jawab orang itu.
"Baiklah," berkata Glagah Putih, "jika demikian aku memang harus berhati-hati."
"Setan kau," geram lawan Glagah Putih itu.
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi saudara seperguruan Ki Wreksadana.
Namun saudara seperguruan Ki Wreksadana itu harus menghadapi kenyataan, bahwa anak yang masih sangat muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Jika semula ia menganggap lawannya itu tidak lebih dari gejolak anak muda yang tidak berperhitungan, namun kemudian ia harus menyadari, bahwa anak muda itu mempunyai bekal yang cukup lengkap untuk turun ke medan menghadapinya.
Karena itu, semakin lama lawan Glagah Putih itu justru semakin dipaksa untuk meningkatkan ilmunya karena anak muda itu selalu mendesaknya. Serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya.
Dalam pada itu, Ki Wreksadana sendiri benar-benar harus membentur ilmu yang sangat tinggi. Wreksadana memang orang yang sangat ditakuti. Tetapi lawannya yang dikenalnya pernah berkeliaran di pesisir Utara itu juga seorang yang disegani.
Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat Ki Wreksadana semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi selapis demi selapis, Ki Jayaraga-pun meningkatkan ilmunya pula.
"Kau masih tetap iblis sebagaimana saat kau menyusun pesisir Utara," geram Ki Wreksadana.
Ki Jayanegara tertawa. Meski-pun kemudian serangan Ki Wreksadana menbadai, namun Ki Jayanegara masih sempat menyahut, "Ya Dan kau masih juga seekor serigala yang rakus, licik dan buas. Tetapi seharusnya kau mualai sadar, Permana. Anakmu juga seorang perempuan. Bukankah anakmu merengek dan bahkan hatinya menjadi pedih ketika ia tahu suaminya selingkuh" Apakah yang terjadi itu merupakan pantulan dari perbuatanmu" Apakah yang pernah kau lakukan terhadap banyak perempuan itu terjadi juga atas anakmu. Di mana-mana kau beristeri, tetapi dimana-mana pula isterimu kau tinggalkan karena kau tertarik perempuan lain. Bedanya, mertuamu bukan seorang yang garang bagaimana kau sendiri, sehingga menantumu jadi sangat ketakutan. Tetapi apa-pun yang terjadi atas menantumu, hati anakmu sudah terlanjur terluka."
Ki Wreksadana yang marah itu berusaha untuk menghentikan Ki Jayaraga. Ia menyerang semakin garang. Namun Ki Jayaraga masih juga dapat bertempur sambil berbicara berkepanjangan.
Namun ketika serangan Ki Wreksadana menjadi semakin sengit, maka Ki Jayaraga memang harus terdiam. Ia harus memusatkan penalarannya kepada serangan-serangan Ki Wreksadana yang berbahaya itu. Bahkan hampir menyentuh kulitnya.
Dengan demikian, maka keduanya telah telibat dalam pertempuran yang semakin panas. Kemarahan Ki Wreksadana yang semakin menyala didalam dadanya, telah meyulut ilmunya pula. Dalam pertempuran yang keras dan garang itu, maka perlahan-lahan tangan Ki Wreksadana seakan-akan semakin lama menjadi semakin menggetarkan. Tidak banyak orang yang melihat, tetapi Ki Jayaraga yang bertempur melawannya, melihat dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa, telapak tangan Ki Wreksadana seakan-akan telah membara.
Ketika tangan itu menyambar tubuhnya, Ki Jayaraga sempat meloncat menghidarinya. Namun terasa panas mengapa kulit tubuhnya itu.
"Kau mulai bersungguh-sungguh, Permana," desis Ki Jayaraga.
"Aku tahu bahwa kau mempunya ilmu yang jarang ada duanya. Kau mampu menyemburkan api dari telapak tanganmu. Tetapi itu tidak berbahaya bagiku. Karena aku sendiri bermain-main dengan api pula, maka aku mempunyai penangkalnya," berkata Ki Wreksadan sambil menyerang.
"Jika demikian, maka kau juga mengetahui bahwa aku-pun dapat menangkal bara apimu?" bertanya Ki Jayaraga
"Tidak. Kau tidak akan dapat menangkal semburan bara apiku. Dasar ilmu kita berbeda. Mungkin kau dapat menangkal serangan api sejenis apimu yang tidak berbahaya. Apimu kau hembuskan melampaui jarak dan menjalar lewat getar udara. Aku dapat arus lidah apimu diudara dan meredam panasnya. Tetapi kau tidak dapat melakukannya atas apiku. Sentuhan telapak tanganku akan langsung menghanguskan kulit dagingmu."
Ternyata Ki Jayaraga menjawab, "Kau benar. Sentuhan tanganmu akan dapat menghanguskan kulit dagingku. Tetapi itu jika kau berhasil menyentuh aku."
Ki Wreksadana mengumpat. Dengan garangnya ia menyerang Ki Jayaraga. Kedua tangannya bergerak bergerak dengan cepat, menggapai tubuh Ki Jayaraga. Ki Wreksadana itu kemudian seakan-akan tidak lagi mempergunakan tangannya untuk menyerang, karena tekanan serangan tidak pada besarnya tenaga dan kekuatan, tetapi pada daya kekuatan bara telapak tangannya
Ki Jayaraga memang harus menjadi semakin hati-hati. Ia harus menghidari sentuhan dengan telapak tangannya. Jika Ki Jayaraga harus mengkis serangan lawannya karena ia tidak sempat lagi menghindari.maka Ki Jayaraga berusaha untuk menebas tangan lawan di pergelangan.
Tetapi Ki Wreksadana menyadari kesulitan Ki Jayaraga. Karena itu, maka Ki Wreksadana menyerang semakin garang.
Sementara itu, Swandaru-pun menjadi semakin gelisah. Bukan semata-mata karena dirinya sendiri, Swandaru juga memikirkan keadaan mendan itu seluruhnya. Ia melihat Ki Jayaraga beberapa kali harus berloncatan surut. Seakan-akan lawannya mempunyai beberapa kelebihan sehingga mampu mendesak orang tua itu. Sementara itu dengan menilai lawannya yang ternyata juga berilmu tinggi, maka ia mencemaskan keadaan Glagah Putih yang lawannya mungkin memiliki kemampuan seimbang dengan lawannya sendiri. Sedangkan di lingkaran pertempuran yang agak jauh diseberang pendapa, isterinya sedang bertempur dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Demikian pula adik perempuannya dan saudara seperguaruannya yang dinilai kurang greget untuk meningkatkan ilmunya, apalagi sepeninggal gurunya.
Namun Swandaru, murid utama untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu ternyata mengalami kesulitan. Lawannya ternyata berilmu tinggi karena ia adalah saudara seperguruan Ki Wreksadana.
Tetapi Swandar, murid utama perguruan Orang Bercambuk itu juga menggelisahkan lawannya. Bagi lawannya Swandaru masih terhitung muda. Tetapi orang yang agak gemuk itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan sangat tinggi.
(Bersambung ke Jilid 291)
API DI BUKIT MENOREH Jilid : 291 ~ 300 Karya S.H. Mintarja ________________________________________
Jilid 291 KETIKA pertempuran menjadi semakin sengit, maka lawan Swandaru itu semakin merasakan betapa kekuatan dan kemampuan orang yang terhitung agak gemuk itu semakin menekannya. Sekali-seklai Swandaru telah berhasil menembus pertahanan lawannya. Serangan-serangannya mulai menyentuh tubuhnya.
Karena itu, maka lawan Swandaru itu telah meningkatkan ilmunya sampai batas kemampuannya yang tertinggi.
Seperti Ki Wreksadana, maka saudara seperguruannya itu mampu pula mengetrapkan ilmunya sehingga perlahan-lahan tangannya-pun telah membara. Meski-pun masih berada dibawah tataran Ki Wreksadana namun telapak tangannya yang menjadi merah itu telah membuat Swandaru menjadi berdebar-debar.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran itu menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka. Swandaru harus berloncatan semakin cepat untuk menghindari sentuhan tangan lawannya, karena Swandaru segera dapat mengenali kekuatan ilmu yang nampak pada telapak tangan lawannya itu.
Namun betapa-pun cepatnya Swandaru bergerak, tetapi dalam pertempuran yang sengit itu, ternyata bahwa telapak tangan lawannya itu sekali telah menyentuh lengan Swandaru.
Terasa betapa panasnya bara telah membakar pakaian dan bahkan kulitnya pada lengannya itu. Karena itu, sambil menyeringai kesakitan, maka Swandaru meloncat mundur mengambil jarak.
Terdengar orang itu tertawa. Katanya, "Kau tidak akan dapat lari Ki Sanak. Nasibmu memang buruk. Jika tanganku ini menyentuh dadamu, maka kau tidak akan dapat berharap untuk tetap hidup. Bukan hanya kulitmu yang terbakar tetapi kekuatan hentakan tanganku akan merontokan isi dadamu."
Swandaru-pun menggeram marah. Ia sadar, bahwa sulit baginya untuk melawan orang yang berilmu tinggi dengan telapak tangan yang membara itu. Jika sekali-sekali ia sempat menyerang, maka lawannya tidak akan mengelak. Tetapi ia akan membentur serangan itu, kemudian berusaha menyerang dengan telapak tangannya.
Meski-pun demikian, Swandaru masih mencoba beberapa saat. Ia telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya.
Ternyata sekali dua kali Swandaru memang mampu menembus penahanan lawannya. Serangannya yang cepat dengan kaki terayun pada putaran tubuhnya sempat mengenai pundak lawannya, sehingga keseimbangan lawannya terguncang. Namun dengan cepat pula lawannya itu telah menggapai kaki Swandaru meski-pun kemudian orang itu harus terhuyung-huyung beberapa saat.
Sekali lagi panas yang sangat telah menyengat pergelangan kakinya. Betapa sakitnya, sehingga kakinya itu telah terganggu oleh perasaan pedih dan nyeri.
Dengan demikian kemarahan Swandaru tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka Swandaru-pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak.
Sekali lagi terdengar orang itu tertawa, justru berkepanjangan. Bahkan sejenak kemudian orang itu meloncat memburu Swandaru.
Tetapi orang itu terkejut. Bahkan orang itu terpaksa surut selangkah. Di tangan lawannya yang masih terhitung muda itu kemudian telah tergenggam sebuah cambuk yang berjuntai panjang.
"Kau juga bersenjata cambuk?" bertanya orang itu.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia menghentakkan cambuknya. Tiba-tiba saja Swandaru tertarik oleh permainan Agung Sedayu. Ledakan cambuknya yang pertama itu terdengar bagaikan meledaknya seisi halaman.
Lawannya mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian ia-pun tertawa sambil berkata, "Buat apa kau pamerkan cambukmu itu jika kau tidak lebih dari penari cambuk jalanan?"
Swandaru tidak menjawab. Tetapi sekali lagi cambuknya menggelepar memekakkan telinga.
"Cukup," bentak orang itu, "suara cambukmu menyakitkan telinga. Tetapi tidak berarti apa-apa."
Swandaru masih tetap berdiam diri. Namun agaknya lawannya pada ledakan-ledakan itu ia tidak merasakan ungkapan ilmu yang tinggi. Tetapi sejak ia mulai bertempur, maka orang itu sudah mengetahui bahwa lawannya yang agak gemuk itu mempunyai ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka orang itu-pun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang yang tidak terlalu panjang. Namun daun pedang itu bagaikan berkeredip disentuh cahaya lampu minyak yang lemah.
Swandaru-pun menyadari, bahwa pedang itu adalah pedang yang sangat baik. Namun Swandaru memang sangat yakin akan senjatanya itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian lawan Swandaru itu mulai menjulurkan pedang di tangan kanannya. Namun telapak tangan kirinya yang terbuka masih juga mendebarkan jantungnya, karena telapak tangan itu masih berwarna bara.
Demikianlah, sejenak kemudian orang itu telah meloncat menyerang Swandaru. Pedangnya bergetar terjulur menggapai dada Swandaru. Namun dengan tangkasnya Swandaru mengelakkan serangan itu sambil menghentakkan cambuknya yang menggelepar memekakkan telinga. Tetapi ujung cambuk itu rasa-rasanya bergerak sangat lamban. Sehingga dengan satu loncatan menyamping, ujung cambuk itu tidak mampu mengejarnya. Bahkan dengan tangkasnya orang itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Hampir saja menyambar dada Swandaru. Namun Swandaru cepat mengelak. Dengan tangkas ia bergeser sambil memiring tubuhnya. Namun ia tidak menduga bahwa demikian cepatnya tangan kiri lawannya terjulur dan berhasil menyentuh pundaknya.
Sekali lagi Swandaru harus menyeringai menahan sakit. Karena itu maka sekali lagi Swandaru mengambil jarak. Namun ia tidak lagi mau bermain-main. Justru setelah pakaiannya terkoyak oleh sentuhan telapak tangan lawannya yang membara itu.
Tetapi lawannya tidak ingin memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia telah memburu Swandaru sambil mengayunkan pedangnya untuk menyambar kening.
Tetapi Swandaru yang menyadari bahaya yang datang itu sudah tidak ingin bermain-main lagi. Luka-luka bakar ditubuhnya sudah cukup membuat darahnya mendidih. Bahkan ia telah menyesal, memberi kesempatan lawannya dengan permainan cambuknya.
Karena itu, demikian lawannya meloncat, maka Swandaru dengan tangkasnya meloncat pula menghindar tanpa menghiraukan pergelangan kakinya yang masih terasa nyeri. Tenaga dalamnya yang besar telah mendukungnya, sehingga Swandaru terlepas dari jangkauan serangan lawannya.
Dengan perhitungan yang mapan, maka ketika lawannya berusaha memburunya, cambuk Swandaru telah menggelepar lagi. Tetapi juntai cambuknya tidak lagi melontarkan ledakan yang menyakitkan telinga. Justru suara cambuk itu tidak terdengar lagi.
Lawan Swandaru itu terkejut. Dengan cepat ia menggeliat untuk mengurungkan serangannya. Tetapi ujung cambuk itu tidak lagi bergerak terlalu lamban sebagaimana sebelumnya. Demikian ia bergeser, ujung cambuk itu seakan-akan telah memburunya.
Ternyata lawan Swandaru itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari ujung cambuk Swandaru. Jika sentuhan sebelumnya hanya mampu membuat seleret garis merah kebiru-biruan dikulitnya, maka ujung cambuk yang justru tidak meledak itu benar-benar telah mengoyak kulit di dalamnya.
Orang itulah yang kemudian meloncat mundur. Namun demikian ia berdiri tegak, maka pedangnya-pun mulai bergetar lagi. Karena Swandaru tidak memburunya, maka orang itulah yang selangkah maju sambil mengacukan pedangnya yang berkeredipan itu.
"Setan kau," geram orang itu, "kau telah menghina aku dengan permainan cambukmu. Kau mengira bahwa ledakan-lekadan cambukmu dapat menggetarkan jantungku sehingga kau merasa tidak perlu bertempur pada tataran puncakmu."
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia sudah memutar cambuknya. Ketika ia menghentakkannya, maka hampir tidak terdengar suaranya sama sekali. Tetapi terasa getarannya menerpa dada lawannya itu.
Dengan demikian, maka lawannya itu segera menyadari, bahwa orang yang agak gemuk itu memang mempunyai ilmu yang tinggi.
Sejenak kemudian, maka pertempuran-pun telah berkobar lagi, ketika orang itu meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya. Namun ia harus cepat menghindar ketika cambuk Swandaru bergetar menyambarnya.
Lawan Swandaru itu-pun kemudian harus mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan dan daya tahannya untuk mengatasi serangan-serangan cambuk Swandaru. Pedangnya yang dibanggakannya itu ternyata tidak mampu memutuskan juntai cambuk lawannya. Bahkan juntai cambuk itu sekali-sekali telah membelit daun pedangnya. Dengan hentakkan yang sangat kuat, hampir saja pedang itu justru terlepas dari tangannya.
Namun orang itu-pun memiliki bekal ilmu yang mapan. Sebagai mana Ki Wreksadana orang itu adalah orang yang sangat garang.
Sementara itu, seorang demi seorang lawan Agung Sedayu telah menyusut. Prastawa yang sekali-sekali terdesak oleh lawannya yang berilmu tinggi, tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa beberapa kali Agung Sedayu sempat menyelamatkannya. Sementara itu, Sekar Mirah memang agak kecewa bahwa ia tidak membawa tongkat baja putihnya. Namun demikian pula Pandan Wangi. Pisaunya yang rangkap benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya meski-pun tidak seberbahaya jika ia memang sepasang pedang.
Disisi lain Ki Argajaya yang sudah mulai lamban bukan saja karena umurnya, tetapi karena ia sudah terlalu lama tidak berlatih, masih tetap mampu membingungkan lawannya. Ujung tombaknya lelah berhasil menyentuh seorang lawannya yang tidak berhasil menghindari serangannya. Meski-pun luka itu tidak menghentikan perlawanannya, tetapi tenaganya semakin lama telah menjadi semakin menyusut karena darahnya yang justru semakin banyak mengalir karena orang itu masih saja terlalu banyak bergerak.
Tetapi Agung Sedayu telah menghentikan perlawanan lawan-lawannya seorang demi seorang. Orang-orang yang merasa berilmu tinggi itu, ternyata sulit untuk melawan ledakan cambuk Agung Sedayu meski-pun Agung Sedayu belum mengerahkan kemampuannya sampai kepuncak. Apalagi disamping Agung Sedayu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi pula, meski-pun sebagian dari mereka adalah perempuan.
Dalam pada itu, ketika jumlah lawannya sudah jauh menyusut, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah teringat kepada Rara Wulan. Karena itu, maka Sekar Mirah itu-pun berkata, "Aku akan melihat Rara yang ada didalam rumah."
"Pergilah," jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak menunggu lebih lama. Ia-pun segera berlari ke pendapa. Disebelah pendapa itu masih melihat Ki Suracala bertempur melawan saudara sepupunya, Ki Suratapa. Dalam sekilas Sekar Mirah menyaksikan, bahwa kemampuan Ki Suracala ternyata tidak berada dibawah kemampuan Ki Suratapa.
Tetapi Sekar Mirah tidak dapat terlalu lama memperhatikan pertempuran itu. Karena menurut perhitungannya, Ki Suracala masih akan dapat bertahan lebih lama lagi, atau bahkan mampu mengatasi saudara sepupunya, maka Sekar Mirah-pun segera berlari keruang dalam.
Namun ternyata pertempuran telah terjadi dilongkangan. Berlari-lari Sekar Mirah memasuki serambi samping dan langsung keluar dan turun dilongkangan.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia melihat Rara Wulan harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya bertempur melawan Ki Suradipa. Sebenarnya menurut penilaian Sekar Mirah, Rara Wulan mampu mengimbangi ilmu Ki Suradipa. Namun nampaknya Rara Wulan sudah menjadi terlalu letih. Sebelumnya ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya melawan tiga orang sekaligus. Kemudian ia harus menghadapi Suradipa yang garang.
Bahkan Sekar Mirah itu melihat, Wiradadi justru mulai berusaha untuk bangkit. Ketika ia mengetahui pamannya ada dilongkangan itu pula dan bahkan sedang bertempur melawan perempuan yang menurut pendapatnya berilmu iblis itu, keberaniannya mulai tumbuh lagi. Keberaniannya telah mendorongnya untuk mengerahkan sisa tenaganya.
Tetapi Wiradadi tidak sempat bangkit berdiri. Demikian ia berusaha berdiri, maka pundaknya telah ditekan oleh kekuatan yang sangat besar, namun terasa sentuhannya adalah sentuhan jari-jari yang lentik.
Ketika Wiradadi berpaling, maka dilihatnya disisinya berdiri seorang diantara tiga orang perempuan yang ikut datang sebagai utusan Ki Argajaya.
"Duduklah," berkata Sekar Mirah, "kau perlu beristirahat. Keadaanmu agaknya menjadi sangat buruk."
Wiradadi tidak menjawab. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. Ia sadar, bahwa perempuan itu tentu juga berilmu iblis seperti perempuan muda yang sedang bertempur itu. Apalagi menilik pakaian perempuan itu mirip dengan pakaian perempuan muda yang sedang bertempur melawan pamannya itu.
Untuk beberapa saat Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih ingin melihat tataran kemampuan Rara Wulan jika ia benar-benar di medan.
Namun Rara Wulan memang memiliki dasar ilmu yang cukup. Sekali-sekali ia justru membuat lawannya harus berloncatan surut.
Tetapi Rara Wulan nampaknya memang sudah mulai letih.
Dengan demikian, maka Suradipa berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu. Ia berusaha untuk memaksa Rara Wulan bergerak terlalu banyak. Serangan-serangannya datang beruntun dengan langkah-langkah panjang. Demikian pula jika Suradipa itu harus menghindari serangan-serangan Rara Wulan.
Ternyata Rara Wulan yang belum memiliki pengalaman yang cukup itu telah terpancing. Rara Wulan justru berusaha untuk selalu memburu lawannya. Namun kemudian menghindari serangan-serangan panjang lawannya dengan loncatan-loncatan panjang pula.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih membiarkan Rara Wulan bertempur terus.
Namun Rara Wulan yang melihat kedatangan Sekar Mirah, tenaganya yang menyusut itu seakan-akan telah mekar kembali. Apalagi karena lawannya menjadi gelisah karenanya.
Meski-pun demikian, namun Suradipa masih tetap berusaha untuk mengalahkan Rara Wulan dan jika kemudian perempuan yang baru datang itu melibatkan diri, maka ia-pun harus dilumpuhkannya pula, agar selanjutnya ia dapat membawa Kanthi kependapa.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Suradipa itu berusaha untuk menghentakkan ilmunya sampai ketataran tinggi, sehingga Rara Wulan justru mulai terdesak, maka Sekar Mirah-pun berkata, "Ki Sanak. Semua yang kau lakukan akan sia-sia. Kawan-kawanmu dan bahkan Ki Wreksadana dan pengawal-pengawalnya akan dihancurkan. Apakah aku masih akan bertempur terus."
Ki Suradipa memang menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih menjawab ketika ia mendapat kesempatan, "Omong kosong. Kawan-kawanmu akan mati terbunuh dihalaman ini. Juga perempuan ini dan kau sendiri."
"Jika aku berbohong, maka aku tidak akan berada disini," berkata Sekar Mirah, "aku sudah kehabisan lawan di halaman depan."
"Jika kau akan bertempur bersama-sama, lakukanlah aku sudah mengira bahwa kelicikan kalian tidak seimbang dengan kesombongan kalian. Meski-pun kalian perempuan, namun dengan sombong kalian sudah berani turun ke medan pertempuran. Namun dalam kesulitan kalian hanya dapat bertempur bersama-sama dan bahkan berkelompok."
Sekar Mirah tertawa. Ia melihat Rara Wulan menyerang lawannya. Masih dengan loncatan-loncatan panjang, sehingga nafas Rara Wulan mengalir semakin deras.
"Cara yang tidak menarik untuk membuat perisai," berkata Sekar Mirah, "dengan menyinggung harga diri kami, maka kalian berusaha untuk mencegah aku memasuki arena pertempuran."
Suradipa tidak segera menjawab karena Rara Wulan tengah meloncat menyerangnya. Bahkan Suradipa itu meloncat untuk menghindari serangan itu sekaligus memancing Rara Wulan untuk bergerak lebih banyak.
Rara Wulan memang masih saja terpancing. Namun kehadiran Sekar Mirah benar-benar mempengaruhi daya tahannya.
Karena itu, maka rasa-rasanya tenaga Rara Wulan justru menjadi semakin segar.
Sekar Mirah masih membiarkan Rara Wulan bertempur sendiri. Gadis itu memang memerlukan pengalaman. Selagi keadaannya tidak sangat berbahaya baginya.
Selendang Rara Wulan masih berputaran. Sementara itu pedang Suradipa bergetar di tangannya yang terjulur. Dengan tangkasnya Suradipa kemudian meloncat menyerang. Pedangnya terayun mendatar menyambar ke arah dada lawannya. Tetapi dengan tangkas pula Rara Wulan menghindar. Selendangnya dengan cepat menyambar. Tetapi Suradipa sempat meloncat mengambil jarak.
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Ia menganggap bahwa kemampuan Rara Wulan cukup memadai dibandingkan dengan waktu yang dijalani selama menempa diri. Bahkan Sekar Mirah sendiri sekali-kali mengerutkan dahinya. Ia sempat melihat bagaimana gadis itu dengan cerdik mengetrapkan unsur-unsur gerak yang sudah dikembangkannya.
Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah menjadi letih. Tenaganya mulai menyusut kembali meski-pun saat kedatangan Sekar Mirah tenaga itu nampak menjadi segar.
Suradipa yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak dari Rara Wulan telah memaksa gadis itu untuk lebih banyak mengerahkan tenaganya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Pedangnya berputar menggapai-gapai. Namun kemudian menebas dan menyambar-nyambar.
Rara Wulan masih berusaha untuk menggetarkan pertahanan lawannya dengan putaran selendangnya. Sekali-sekali Suradipa memang terkejut. Ujung selendang itu nyaring menyambar wajahnya. Namun Rara Wulan harus berloncatan memburu Suradipa yang menghindar dengan loncatan-loncatan panjang.
Rara Wulan yang menjadi semakin letih itu harus mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Namun justru karena itu, maka serangan-serangan lawannya menjadi semakin berbahaya baginya.
Agaknya hal itu disadari sepenuhnya oleh Ki Suradipa. Karena itu, maka ia-pun telah bertempur semakin garang.
Sekar Mirah yang semula menyaksikan pertempuran itu dengan tegang, kemudian justru tertawa. Sambil melangkah mendekati arena ia berkata, "Ki Suradipa memang cerdik. Ia tidak mempunyai kelebihan apa-apa darimu Rara, selain pengalaman dan kelicikan. Ia tahu bahwa kau sudah menjadi lelah sebelumnya karena agaknya kau sudah bertempur melawan ketiga orang yang sudah tidak berdaya itu. Kemudian ia memanfaatkannya untuk menundukkanmu."
Rara Wulan mendengar kata-kata Sekar Mirah itu sebagaimana Ki Suradipa. Gadis itu memang tidak dapat ingkar, bahwa ia memang sudah menjadi letih. Tenaganya sudah menyusut dan nafasnya mengalir semakin cepat. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya.
Sementara itu Suradipa itu-pun menggeram, "Setan kau. Kau tidak usah banyak bicara. Jika kau akan ikut campur, lakukanlah. Aku tidak takut menghadapi kalian berdua."
"Jika saja Rara Wulan sejak pertama turun dipertempuran langsung harus melawanmu, maka kau tidak akan dapat bertahan terlalu lama Ki Suradipa," berkata Sekar Mirah, "tetapi pengalamanmu dan kelicikanmu telah kau pergunakan untuk memeras tenaganya. Loncatan-loncatan panjang dan bahkan caramu menghindari serangan Rara Wulan dengan berlari-lari kecil telah membuat Rara Wulan menjadi semakin letih."
"Itu adalah karena kebodohannya," teriak Suradipa, "itu sama sekali bukan kelicikan."
"Ya. Justru karena Rara Wulan kurang pengalaman," jawab Sekar Mirah.
"Aku tidak peduli. Apakah dalam setiap pertempuran aku harus bertanya, apakah lawanku sudah berpengalaman atau belum" Jika perempuan itu sudah berani turun ke medan, maka segala akibat kebodohannya harus ditanggungnya."
"Baik. Baik. Kau benar," berkata Sekar Mirah yang melangkah semakin dekat. Lalu katanya kepada Rara Wulan, "Beristirahatlah. Atur pernafasanmu dengan baik. Nanti kau akan meneruskan pertempuran ini."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sekar Mirah berkata kepada Ki Suradipa, "Beri kesempatan anak itu beristirahat. Ia belum kalah. Tetapi ia akan kehabisan tenaga."
"Jangan banyak berbicara. Jika kau mau membantunya lakukanlah. Tetapi hanya orang-orang gila yang memberi kesempatan lawannya beristirahat. Kecuali jika ia tidak menghalangi aku membawa dan menyelamatkan Kanthi."
"Tidak. Kau tidak perlu menyelamatkan Kanthi. Ia sudah berada di tangan yang paling tepat. Orang tuanya akan melindunginya."
"Aku tidak peduli. Aku akan membunuh anak ini. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk beristirahat."
Tetapi Sekar Mirah yang sudah berada beberapa langkah dari Rara Wulan itu berkata, "Minggirlah. Atur pernafasanmu dengan baik. Biarlah aku melayaninya sebentar agar ia tidak harus menunggu sambil termangu-mangu."
"Tetapi aku belum kalah, "sahut Rara Wulan.
"Kau memang belum kalah. Tetapi kau kehabisan tenaga," berkata Sekar Mirah selanjutnya.
Rara Wulan tidak dapat membantah lagi. Sekar Mirah itu juga dianggap sebagai gurunya. Karena itu, maka Rara Wulan-pun segera meloncat menjauhi lawannya. Tetapi lawannya tidak sempat memburunya karena Sekar Mirah-pun telah bergeser semakin dekat. Bahkan seperti Rara Wulan, maka Sekar Mirah-pun telah memutar selendangnya pula.
Suradipa mengumpat kasar. Tetapi ia-pun segera memusatkan perhatiannya kepada Sekar Mirah yang juga seorang perempuan, namun yang nampaknya lebih matang dari perempuan yang menjadi lawannya sebelumnya.
Suradipa yang marah itu maksudnya memang tidak ingin memberi kesempatan kepada Sekar Mirah. Dengan ujung pedangnya yang terjulur lurus ia berusaha untuk menggapai tubuh Sekar Mirah. Tetapi dengan tangkasnya Sekar Mirah meloncat menghindar.
Suradipa tidak membiarkannya. Dengan garangnya Suradipa berusaha memburu lawannya dengan senjata yang berputaran, terayun-ayun dan bahkan menebas dengan derasnya.
Namun Sekar Mirah sama sekali tidak terguncang oleh serangan-serangan yang semakin garang itu. Dengan tenaganya ia menghindar bahkan hanya dengan loncatan-loncatan kecil. Namun Suradipa tidak mampu menyentuhnya.
Namun Sekar Mirah sendiri tidak terlalu banyak menyerang lawannya. Sekali-sekali saja menghentakkan selendangnya yang bagaikan ular mematuk sasarannya.
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah memang tidak ingin menundukkan lawannya. Ia tidak mengecewakan Rara Wulan. Ia hanya ingin membuat Suradipa itu memeras tenaga dan kemampuannya sehingga ia juga menjadi letih seperti Rara Wulan. Sementara Rara Wulan itu mampu beristirahat, berusaha membangunkan tenaga dan kemampuannya dengan mengatur pernafasannya.
Sekar Mirah memang tidak lagi merasa diburu oleh waktu. Ia yakin bahwa orang-orang yang ada di halaman depan rumah itu akan dapat menyelesaikan pertempuran pula.
Sebenarnyalah, Agung Sedayu, Pandan Wangi yang kemudian bersama-sama dengan Ki Argajaya dan Prastawa sudah hampir sampai pada akhir dari pertempuran. Satu demi satu lawan-lawan mereka yang semula jauh lebih banyak itu telah terlempar keluar dari arena. Mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bertempur lagi. Rasa-rasanya tulang-tulang mereka telah berparahan dan isi dada mereka seakan-akan telah terlepas dari tangkainya.
Sementara itu, orang yang berkumis lebat yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta yang sejak semula menaruh perhatian terhadap perempuan-perempuan cantik utusan Ki Argajaya itu, masih bertempur melawan Pandan Wangi. Baginya Pandan Wangi adalah seorang yang sangat cantik. Namun ternyata di balik kecantikannya itu, Pandan Wangi juga seorang yang berilmu tinggi.
Dalam pertempuran yang terjadi orang berkumis lebat itu telah mencoba memancing agar Pandan Wangi bergeser menjauhi arena pertempuran yang dibayangi oleh getar cambuk Agung Sedayu itu. Orang itu ingin berusaha untuk menangkap perempuan itu dan menjadikannya perisai untuk melarikan diri. Bukan itu saja, jika ia berhasil membawa Pandan Wangi bersamanya, maka ia akan mendapatkan seorang perempuan yang sangat cantik meski-pun agak garang. Namun orang itu akan dapat menundukkannya dengan caranya sendiri.
Ketika Pandan Wangi kemudian selalu memburunya ketika ia berloncatan menjauh, maka orang itu menjadi berpengharapan. Meski-pun kawan-kawannya menjadi tidak berdaya, tetapi jika saja ia berhasil menangkapnya, maka ia akan selamat dan bahkan akan memiliki seorang perempuan yang cantik.
Tetapi orang itu mulai menjadi gelisah. Perempuan itu dapat bertahan bukan karena perlindungan juntai cambuk Agung Sedayu. Tetapi perempuan itu sendiri memang memiliki kelebihan.
Sebenarnyalah Pandan Wangi menyadari, bahwa lawannya telah memancingnya untuk bergeser keluar dari lingkaran pertempuran yang seakan-akan telah dipenuhi getar cambuk Agung Sedayu. Pandan Wangi memang ingin menunjukkan kepada laki-laki berkumis lebat itu, bahwa ia akan dapat melindungi dirinya sendiri.
Dengan sepasang pisau belatinya Pandan Wangi bertempur melawan laki-laki berkumis lebat yang bersenjata pedang permata rangkap. Tajamnya ada di kedua belah sisinya, sehingga kemana-pun pedang itu terayun, maka tajam mata pedangnya akan dapat mengoyak kulit dan daging.
Tetapi sepasang pisau belati Pandan Wangi yang jauh lebih pendek dari pedang itu ternyata mampu mengimbangi pedang lawannya. Bahkan sekali-kali Pandan Wangi mampu mengejutkan lawannya itu. Dengan pisau di tangan kanannya Pandan Wangi menepis pedang lawannya, namun kemudian dengan tangan kirinya Pandan Wangi menyerang kearah jantung.
Orang berkumis itu memang harus berloncatan menghindari ujung-ujung pisau belati yang ternyata mampu menyusup di celah-celah putaran pedangnya.
Namun karena itu, maka orang berkumis lebat yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi itu tidak mau berlama-lama. Ia-pun segera mengerahkan ilmu puncaknya untuk menundukkan lawannya yang seorang perempuan itu. Bahkan kemudian ia berketetapan had, jika ia tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, maka perempuan itu akan dibunuhnya saja.
Karena itu, maka orang itu-pun menjadi semakin garang. Apalagi ketika ia sadar, bahwa tidak ada harapan lagi bagi kawan-kawannya untuk dapat mempertahankan diri.
Dengan demikian maka kemungkinan satu-satunya untuk tetap hidup adalah melarikan diri. Perempuan yang akan dipergunakannya untuk menjadi perisai itu ternyata tidak segera dapat ditundukkannya.
"Aku akan membunuhnya sebelum aku melarikan diri," berkata orang berkumis tebal itu, meski-pun sebenarnya ia merasa sangat sayang untuk melukainya. Tetapi perempuan itu semakin lama justru menjadi semakin garang terhadapnya.
Ketika orang berkumis itu kemudian menghentakkan ilmunya, maka Pandan Wangi memang harus meloncat surut. Pedang orang itu, tiba-tiba saja seakan-akan telah berubah menjadi beberapa helai. Gerak putaran pedang itu telah meninggalkan bayangan lembaran-lembaran pedang yang membingungkannya. Seakan-akan pedang itu sendirilah yang telah mekar menjadi beberapa lembar pedang.
Untuk beberapa saat Pandan Wangi memang agak menjadi bingung, sehingga berloncatan mundur. Dengan ketajaman penglihatan mata batinnya, Pandan Wangi kemudian melihat dan mengetahui, bahwa kemampuan ilmu lawannyalah yang telah membuatnya menjadi bingung.
Namun kemudian ia dapat melihat kenyataan tentang pedang itu sehingga pedang yang sebenarnya adalah ujud yang terakhir dari serentetan ujud pedang di tangan lawannya itu.
Meski-pun demikian, sekali-kali Pandan Wangi masih juga menjadi ragu-ragu. Ketika pedang itu berputaran dan terayun mendatar, Pandan Wangi masih juga terkecoh oleh bayangan pedang lawannya yang seolah-olah digelar dihadapannya.
Pandan Wangi terlambat menangkis serangan itu, meski-pun ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Namun ujung pedang itu sempat menggapai lengannya dan bukan saja mengoyakkan bajunya, tetapi lelah menggores kulitnya pula. Meski-pun hanya goresan tipis, tetapi darah sudah mengembun sepanjang jalur merah di lengannya itu.
Luka dilengan Pandan Wangi itu telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Pandan Wangi-pun telah memanjat pada kemampuan puncaknya pula.
Dengan demikian, maka lawannyalah yang kemudian menjadi bingung. Pandan Wangi yang mulai memahami kelebihan ilmu lawannya itu telah mengetrapkan kemampuannya, untuk menggapai sasaran melampaui ujung gapaian kewadagan yang kasat mata.
Karena itu, maka lawannya terkejut ketika tiba-tiba saja terasa pedangnya membentur senjata perempuan itu, sementara ia menganggap bahwa masih ada jarak antara senjatanya dan senjata lawannya itu.
Namun sebelum orang berkumis tebal itu memecahkan letak kekuatan ilmu perempuan itu, maka serangan Pandan Wangilah yang kemudian datang dengan cepat dan beruntun.
Orang berkumis tebal itu memang menjadi bingung. Pedangnya telah membentur senjata lawannya sebelum kedua senjata itu bersentuhan menurut penglihatan matanya.
Bahkan kemudian, orang berkumis tebal itu tidak lagi dapat memperhitungkan dengan tepat, kapan ujung senjata lawannya itu menyentuh tubuhnya.
Namun sebenarnyalah, bahwa orang itu harus mengumpat sambil meloncat menjauhi lawannya ketika ia merasa lambung tergores ujung pisau belati Pandan Wangi meski-pun menurut penglihatan matanya ujung pisau itu masih berjarak lebih dari sejengkal dari kulitnya.
Pandan Wangi memang tidak segera memburu lawannya. Sementara itu lawannya masih saja dicengkam oleh perasaan heran dan bahkan gelisah. Luka dilambungnya itu bukan sekedar perasaannya saja. Tetapi ia meraba dengan telapak tangannya, maka terasa cairan yang hangat melekat ditelapak tangannya.
Tanpa disadarinya, orang itu memandang lampu minyak dikejauhan. Ia masih merasa memiliki penglihatan yang tajam. Dalam keremangan cahaya lampu minyak yang berkeredipan itu ia masih merasa mampu melihat helai-helai pisau belati di tangan perempuan itu.
Selangkah demi selangkah Pandan Wangi mendekati orang itu. Pandan Wangi sendiri juga sudah terluka di lengannya. Karena itu, maka jantung Pandan Wangi juga sudah menjadi panas.
Tetapi lawannya itu masih belum yakin apa yang terjadi atas dirinya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, "Mungkin tangan perempuan itu bergerak sangat cepat, sehingga mataku terlambat menangkap gerak tangannya."
Dengan demikian, maka orang itu segera mempersiapkan dirinya. Ketika ia menggerakkan pedangnya, maka lembaran-lembaran pedang nampak berjajar, bahkan seperti kipas. Jika ayunan pedang itu-pun berbalik, maka seakan-akan lembaran-lembaran pedang itu-pun menjadi berlapis. Apalagi jika pedang itu kemudian diputar disekitar.
Namun Pandan Wangi semakin memahami dan kemudian memilahkannya untuk mengetahui letak pedang lawannya itu yang sebenarnya.
Dengan demikian, maka Pandan Wangi mampu memperhitungkan kerapatan pertahanan lawannya itu, sehingga dengan cermat ia dapat memperhitungkan celah-celah pertahanan lawannya itu.
Dengan demikian, maka orang berkumis tebal itu menjadi semakin bingung ketika ujung pisau belati perempuan itu sekali lagi menyambar tubuhnya. Seleret luka telah membujur di pundaknya
Orang yang berkumis tebal yang merasa berilmu tinggi itu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Karena itu, maka ia berusaha untuk dengan sungguh-sungguh menilai kemampuan perempuan yang dimatanya sangat cantik itu.
Namun kemudian orang itu-pun mengerti, bahwa perempuan itu memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Ia baru sadar kemudian, bahwa sentuhan senjata Pandan Wangi dan unsur kewadagannya, ternyata dapat mendahului sentuhan kawadagan itu sendiri.
Dengan demikian, maka orang itu benar-benar menjadi cemas. Apalagi ketika ia menyadari bahwa kawan-kawannya sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan yang berarti.
Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu merasa lebih baik menghindar dari medan.
Demikianlah, maka yang dilakukan oleh orang itu kemudian, bukan lagi berusaha untuk dapat mengatasi ilmu dan kemampuan lawannya, tetapi justru satu kesempatan untuk melarikan diri.
Karena itulah, maka ketika Pandan Wangi harus melompat mundur menghindari ujung senjatanya yang tajam dikedua sisi itu, maka orang berkumis tebal itu telah meloncat dan bahkan kemudian melarikan diri menuju ke regol halaman.
Pandan Wangi tidak mengira bahwa lawannya akan melarikan diri. Karena itu, maka ia telah terlambat sekejap. Ketika ia menyadari bahwa lawannya melarikan diri maka ia-pun berusaha untuk mengejar.
Namun demikian ia keluar dari regol halaman, maka ia merasa kehilangan jejak. Yang dilihatnya hanyalah malam yang gelap. Dinding halaman dan beberapa pohon yang besar yang tumbuh di halaman-halaman dibelakang dinding di seberang jalan.
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak berusaha menyusulnya. Penalarannya masih berjalan dengan wajar, sehingga ia masih dapat mengekang dirinya untuk tidak berlari kedalam kegelapan dibalik dinding halaman itu, karena ia tidak tahu kearah mana lawannya melarikan diri, serta ia tidak mengetahui pula medan yang dihadapinya.
Ketika Pandan Wangi melangkah memasuki kembali halaman rumah Ki Suracala, maka ia-pun sempat melihat orang lain lagi melarikan diri dengan meloncati dinding disisi yang lain.
Ia melihat Prastawa berusaha untuk mengejarnya. Tetapi Agung Sedayu berteriak memanggil, "Jangan kau kejar orang itu."
Prastawa memang berhenti. Sementara yang lain memang tidak mempunyai peluang untuk melakukannya karena mereka masih bertempur tidak lagi mendapat perlawanan yang berarti.
Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Sebaliknya Prastawa memang tidak mengejarnya, karena lawannya itu memiliki ilmu yang lebih tinggi. Namun karena bayangan cambuk Agung Sedayu sajalah, maka orang itu menjadi berputus-asa sehingga merasa lebih baik melarikan diri, meski-pun sebenarnya ia yakin akan dapat mengalahkan Prastawa. Sementara itu lawan Ki Argajaya-pun merasa bahwa kawan-kawannya telah tidak mampu bertahan atau melarikan diri, sehingga perlawanannya tidak akan berarti apa-apa lagi.
Dengan demikian, maka ketika terbuka kesempatan, maka ia-pun telah melarikan dirinya pula.
Karena itu, maka lingkaran pertempuran disatu sisi itu-pun telah berhenti. Lawan Agung Sedayu sendiri sudah tidak berbahaya, sementara ia merasa bahwa tidak akan dapat melarikan diri lagi. Sehingga karena itu, maka ia-pun telah memilih untuk menyerah.
Semetara itu, Swandaru juga telah semakin mendesak lawannya. Luka-luka ditubuhnya telah menderanya untuk mengerahkan kemampuannya.
Ledakan-lekadan cambuk Swandaru memang tidak lagi menggelepar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuknya benar-benar telah mengoyak kulitnya.
Pedang orang itu kemudian seakan-akan sudah tidak berarti lagi. Telapak tangannya yang membara justru telah terluka. Namun panas bara api telapak tangannya itu ternyata tidak mampu membakar ujung juntai cambuk Swandaru yang hanya sekejap menyentuh telapak tangannya itu.
Tetapi saudara seperguruan Ki Wreksadana itu sama sekali tidak berpikir untuk menyerah atau melarikan diri. Sementara Ki Wreksadana masih bertempur, maka ia-pun masih merasa terikat oleh pertempuran itu. Apa-pun yang akan terjadi atas dirinya.
Sementara itu, Swandaru masih juga memikirkan Glagah Putih yang bertempur disudut halaman yang gelap. Jika lawannya itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana yang memiliki ilmu yang setingkat dengan lawan Swandaru, maka keadaan anak itu tentu dalam keadaan bahaya.
Sementara itu, Swandaru sendiri masih harus juga berpikir tentang Pandan Wangi dan bahkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Apalagi Swandaru mengetahui bahwa bekal Prastawa masih kurang untuk menghadapi pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi.
Karena itulah, maka Swandaru tidak menunggu terlalu lama, Ia-pun telah mengerahkan kemampuannya dengan hentakan-hentakan ujung cambuknya.
Lawannya benar-benar mengalami kesulitan. Seleret luka, kemudian seleret luka berikutnya dan berikutnya telah tergores dikulitnya. Bahkan kemudian luka-luka yang lebih besar telah menganga pula.
Sehingga akhirnya, betapa-pun besar gejolak didadanya untuk memberikan perlawanan, namun keadaan wadagnya sudah tidak mendukung lagi.
Sementara itu, juntai cambuk Swandaru masih saja terayun-ayun dan menghentak-hentak.
Akhirnya saudara seperguruan Ki Wreksadana yang memiliki ilmu yang tinggi itu, tidak mampu lagi meneruskan perlawanannya. Keadaan wadagnya sama sekali sudah tidak mampu mendukung gejolak kemarahannya, sehingga orang itu-pun kemudian tidak berdaya lagi. Apalagi ketika juntai cambuk Swandaru sempat membelit senjata orang itu. Dengan satu hentakkan, maka senjata itu telah tercerabut dari tangan orang itu.
Satu lecutan yang dahsyat telah menghentakkan sekali lagi. Orang itu benar-benar tidak berdaya untuk menghindar atau melawan. Sehingga lecutan ujung cambuk itu telah menyambar dan setajam ujung pedang mengoyak dada saudara seperguruan Ki Wreksadana itu.
Terdengar teriakan tertahan. Orang itu menggeliat kesakitan. Namun kemudian orang itu terhuyung-huyung jatuh terhempas ditanah sambil mengerang.
Swandaru berdiri termangu-mangu. Tangannya yang memegang cambuk masih bergetar. Tetapi ketika ia melihat lawannya sudah tidak berdaya, maka Swandaru telah menahan diri untuk tidak mengangkat cambuknya lagi.
Yang teringat olehnya kemudian adalah Glagah Putih. Ketika ia sempat berpaling dan melihat Ki Jayaraga masih bertahan melawan Ki Wreksadana, maka perhatian Swandaru-pun kemudian tertuju kepada Glagah Putih.
Dengan cepat Swandaru meloncat ke sudut halaman. Pada saat-saat terakhir ia tidak sempat melihat bayangan pertempuran antara Glagah Putih dengan lawannya disudut kegelapan.
Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang berdiri termangu-mangu dalam kegelapan, sementara samar-samar ia melihat lawannya terbaring ditanah.
Kecemasan segera mencengkam jantungnya. Agaknya ia datang terlambat untuk menolong Glagah Putih.
"Kakang Agung Sedayu telah melepaskan anak itu bertempur dengan orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripadanya." gumam Swandaru sambil meloncat mendekati bayangan itu. Cambuk yang di tangannya telah berputar pula dengan cepatnya sehingga anginnya telah menggetarkan sudut halaman itu.
Tetapi Swandaru justru terkejut. Yang berdiri termangu-mangu itu adalah Glagah Putih, sementara lawannya menggeliat kesakitan di hadapannya.
"Kau kalahkan lawanmu?" bertanya Swandaru diluar sadarnya.
Glagah Putih yang sudah mengetahui sifat dan watak Swandaru itu-pun menjawab, "Nampaknya orang itu hanya ikut-ikutan saja kakang."
"Apakah ia bukan saudara seperguruan Ki Wreksadana?" bertanya Swandaru.
"Tentu bukan kakang. Ia tidak tahu bagaimana ia harus mempertahankan dirinya," jawab Glagah Putih.
"Sokurlah. Aku sudah mencemaskanmu. Jika lawanmu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana sebagaimana lawanku."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, "Ternyata aku masih beruntung. Jika lawan kita tertukar saat kita akan mulai, maka aku kira, aku tidak akan dapat pulang kembali ke Tanah Perdikan."
Swandaru mengangguk-angguk. Ia sempat mendekati orang yang terbaring diam itu. Namun orang itu memang masih bernafas.
"Agaknya ia tidak mati. Aku memang tidak ingin membunuhnya," berkata Glagah Putih kemudian.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Aku ingin melihat kakang Agung Sedayu."
Tanpa menunggu jawaban, maka Swandaru itu-pun segera meninggalkan Glagah Putih menuju kesisi lain dari halaman itu. Namun ternyata Glagah Putih telah mengikutinya.
Tetapi ternyata pertempuran itu-pun sudah selesai. Orang-oang yang merasa berilmu tinggi itu sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Sebagian dari mereka telah terluka. Yang lain menyerah sedang beberapa orang melarikan diri.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sokurlah jika semuanya telah selesai, selain Ki Jayaraga."
"Ya. Nampaknya memang demikian," jawab agung Sedayu.
Tetapi Glagah Putih yang tidak melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan itu-pun bertanya, "Dimana mbokayu Sekar Mirah?"
"Ia menyusul Rara Wulan didalam," jawab Agung Sedayu, "pergilah keruang dalam untuk melihat mereka."
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia-pun segera berlari untuk mencari Rara Wulan.
Namun disebelah pendapa ia tertegun sejenak. Ia melihat Ki Suratapa yang sedang merangkak menepi sementara Ki Suracala dengan lemahnya duduk bersandar tangga pendapa. Agaknya mereka telah bertempur habis-habisan. Sehingga kedua-duanya telah kehabisan tenaga.
Sementara itu. Ki Jayaraga masih bertempur melawan Ki Wreksadana. Ketika Ki Wreksadana. "Sebaiknya kau menyempatkan diri untuk memperhatikan keseluruhan dari pertempuran ini. Kau tinggal seorang diri. Sementara itu persoalan yang sebenarnya bukan persoalan yang sangat mendasar."
Wajah Ki Wreksadana menjadi merah. Bukan karena ilmunya merambat dari telapak tangannya sampai ke wajahnya. Tetapi karena kemarahan yang membakar kepalanya.
Dengan geram ia menjawab, "Jayaraga. Mungkin bagimu persoalan ini bukan persoalan yang mendasar, karena kau tidak lebih dari orang upahan. Tetapi bagiku persoalan ini adalah persoalan yang langsung menyangkut harga diriku."
"Aku bukan orang upahan Premana. Ki Argajaya sekarang ada disini. Bertanyalah kepadanya, apakah aku datang sebagai orang upahan untuk membebaskan Prastawa dari sebuah fitnah. Tetapi ketika aku berangkat, aku sama sekali tidak akan menduga bahwa aku akan bertemu dengan kau disini."
"Cukup. Sebaiknya kau tidak usah turut campur. Aku memerlukan Kanthi. Ia harus menghadap anak perempuanku, isteri Wiradadi. Ia harus minta maaf karena ia sudah merampok kesetiaan Wiradadi kepada isterinya."
"Apa-pun alasanmu, maka kau tidak akan dapat melakukannya. Kau tahu bahwa disini ada beberapa orang yang berilmu tinggi. Mereka akan dapat dengan mudah menangkapmu."
"Aku tidak peduli. Jika kau dan mereka akan bekerja bersama melawan aku, maka aku sama sekali tidak berkeberatan."
"Dua orang pengawalmu sudah tidak berdaya. Bahkan mungkin mereka telah mati."
"Aku tidak peduli," Ki Wreksadana berteriak.
"Kau harus perduli, karena hal itu akan menyangkut nasibmu sendiri," berkata Ki Jayaraga.
Namun Ki Wreksadana tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan Ki Wreksadana itu telah menghentakkan ilmu puncaknya. Bukan sekedar bara ditelapak tangannya. Tetapi Ki Wreksadana telah memusatkan nalar budaya untuk mengerahkan ilmu tertinggi yang dimilikinya.
"Sudah bertahun-tahun aku mematangkan ilmuku. Tanganku bukan sekedar mampu mengungkapkan panasnya bara api dari perut gunung berapi, tetapi tanganku akan mampu menghancurkan ujud kewadaganmu menjadi debu. Jangankan tubuh tuanmu yang rapuh, tetapi dengan ilmuku Lebur Seketi, maka Gunung-pun akan runtuh dan lautan akan menjadi kering."
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Darimana ka sadap ilmu Lebu Seketi yang nggegirisi itu" Ilmu yang jarang ada duanya. Tetapi untuk menguasai ilmu itu sepenuhnya kau memerlukan waktu puluhan tahun, kecuali orang-orang aneh seperti angger Agung Sedayu jika saja ia mempelajarinya. Tetapi tanpa ilmu Lebur Seketi, maka kemampuannya hampir tidak terjajagi lagi."
Ki Wreksadana tertawa. Katanya, "Kau mulai menjadi ketakutan. Nah, bawa kawan-kawanmu kemari. Aku akan menghancurkan mereka dengan ilmu Lebur Seketi."
"Premana," berkata Ki Jayaraga, "ilmu Lebur Seketi mempunyai watak, ilmu yang mengacu kepada kebenaran. Tanpa dasar kebenaran, maka ilmu Lebur Seketi tidak akan dapat memancar dengan dorongan kekuatannya yang utuh."
"Persetan," geram Ki Wreksadana, "kau tahu apa tentang kebenaran" Juga dalam persoalan yang sedang aku hadapi sekarang dalam hubungannya dengan Kanthi?"
"Aku sudah tahu sepenuhnya. Tetapi justru karena itu, maka aku minta kau tidak perlu sampai pada puncak kemampuanmu. Persoalan yang sebenarnya tidak seimbang dangan ledakan kemarahanmu sehingga merambah pada ilmu puncakmu yang justru berwatak putih. Ilmu itu akan dapat berpaling dan mencelakai dirimu sendiri."
"Aku tidak perlu sesorahmu. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Merski-pun sekarang aku sendiri, tetapi aku akan membunuh orang-orang yang berusaha mencegah aku mengambil Kanthi."
"Premana. Apakah kau menganggap bahwa persoalan yang kau hadapi sekarang ini pantas diperjuangkan sampai mempertahankan nyawa" Persoalan itu dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik dari mempertaruhkan nyawa."
"Persoalannya tidak lagi sekedar Kanthi dan Wiradadi. Tetapi persoalannya sudah merambah ke harga diri dan kehormatan keluargaku dan namaku. Bagiku hal itu memang pantas di pertahankan dengan mempertaruhkan nyawa."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Swan-daru, Agung Sedayu, Ki Argajaya dan yang lain telah mengerumuninya pula. Bahkan kemudian dari ruang dalam lewat pintu pringgitan telan muncul Glagah Putih dan Sekar Mirah. Sementara Rara Wulan masih berada didalam untuk menunggui Kanthi yang masih ketakutan. Bahkan ibu dan saudara perempuannya masih juga dibayangi oleh ketakutan itu. Sedangkan Suradipa masih berada di longkangan. Nafasnya hampir putus saat ia harus menghadapi Sekar Mirah yang lebih banyak memancingnya berloncatan daripada bertempur. Pada saat nafasnya hampir putus, maka Rara Wulan yang sudah beristirahat bangkit untuk menghadapinya.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat yang demikian, Ki Wreksadana benar-benar telah sampai pada keputusannya untuk menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang tertinggi, Lebur Seketi.
Ki Jayaraga memang menjadi heran, bahwa Ki Wreksadana mampu mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu Lebur Seketi. Salah satunya kemungkinan adalah, bahwa orang itu telah menipu gurunya.
Ki Wreksadana dapat saja bersikap seperti seorang yang berhati bersih saat ia menyadap ilmu itu. Atau pada saat Ki Wreksadana memang masih belum terlibat kedalam tingkah laku yang meski-pun bukan tindak kejahatan, tetapi perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan.
Meski-pun demikian Ki Jayaraga tidak mau terjebak karena perhitungannya yang keliru. Jika ia menganggap Premana itu tidak mewarisi ilmu Lebur Seketi dengan tuntas, maka mungkin ia akan menyesal.
Pusaka Tombak Maut 2 Gento Guyon 17 Setan Sableng Pendekar Penyebar Maut 26

Cari Blog Ini