Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 22

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 22


Dalam pada itu, anak itu masih saja bergeramang sambil menggiring ikan, "Seharusnya kau biarkan aku berkelahi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kakaknya tentu akan turut campur."
"Kau cegah kakaknya turut campur. Aku akan menyelesaikan adiknya."
"Sudahlah. Jangan terlalu bergairah untuk berkelahi," berkata Glagah Putih.
"Aku mempertahankan diri," jawab anak itu.
"Karena itu, aku biarkan kau berkelahi sampai kau mendapatkan satu isyarat bahwa kau menang. Bukankah itu sudah cukup ?"
"Tetapi kau tidak menunjukkan bahwa kau menang melawan kakaknya," berkata anak itu.
"Ah, itu tidak perlu bagiku. Aku justru menghindari perkelahian itu. Bukankah lebih baik begitu daripada harus berkelahi malam-malam di tepian " Pakaianku akan menjadi kotor dan bahkan mungkin aku akan tercebur kedalam air lengkap dengan celana, kain, baju dan bahkan ikat kepalaku."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah selesai menggiring ikan sehingga ikan yang terperangkap didalam pliridan itu sudah masuk kedalam icir.
Dengan demikian, maka Glagah Putih telah mengambil icir yang dipasangnya dan dibawanya ke tepian berpasir.
Ketika icir itu dibuka, ternyata mereka mendapat cukup ikan dan udang sungai.
Nampaknya ikan itu dapat mengurangi kekesalan hari anak itu. Karena itu, ketika ia berjalan pulang, maka ia sudah tidak bersungut-sungut lagi.
Meskipun demikian, anak yang pulang sambil menjinjing kepis berisi ikan itu masih juga bertanya, "Kenapa kau sama sekali tidak membalas ketika Wasis itu memukulmu ?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Tidak ada gunanya."
"Apakah kau tidak merasa sakit ?" bertanya anak itu pula.
"Tentu saja sakit. Tetapi perasaan sakit itu masih berada pada batas yang dapat diatasi," jawab diagah Putih pula.
Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian justru berjalan semakin cepat.
Glagah Putih yang berjalan sambil membawa icir yang basah mengikutinya saja dibelakang.
Namun menjelang fajar anak itu tidak akan turun lagi kesungai karena ia memang tidak membuka lagi pliridannya. Karena Wikan yang gemuk itu, maka ia telah kehilangan waktu dan kehilangan kesempatan menutup pliridannya untuk kedua kalinya di malam itu.
Di sisa malam itu, Glagah Putih masih sempat beristirahat setelah membersihkan dirinya di pakiwan.
Seperti biasanya pagi-pagi Glagah Putih sudah menimba air mengisi jambangan, sedangkan anak yang semalam berkelahi itu sibuk membersihkan ikannya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang benar-benar telah pulih kembali, sedang sibuk menyapu halaman depan, sementara Wacana yang sudah merasa menjadi bertambah baik telah mencoba pula untuk berbuat sesuatu. Meskipun dengan perlahan, Wacana ikut membersihkan halaman samping rumah Agung Sedayu itu.
"Jangan memaksa diri, ngger," berkata Ki Jayaraga yang kemudian mendekatinya.
Wacana tersenyum. Katanya, "Aku sudah sehat Ki Jayaraga. Tenagaku sudah pulih kembali."
"Tetapi angger masih harus berhati-hati. Jangan terlalu letih," berkata Ki Jayaraga.
Wacana mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Tetapi Wacana memang sudah menjadi semakin baik.
Dalam pada itu, setelah selesai mengisi jambangan, Glagah Putihpun telah pergi ke dapur. Rara Wulan yang sibuk membantu Sekar Mirah menyiapkan minuman panas, tiba-tiba saja telah bertanya, "Kapan kita pergi ke Kleringan."
Glagah Putih itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Bukankah kita sudah sepakat bahwa setelah tiga hari sebagaimana kita bicarakan dengan Ki Jayaraga waktu itu ?"
"Bukankah hari ini sudah hari ketiga ?" bertanya Rara Wulan.
"Tetapi kita bersepakat untuk pergi setelah hari ketiga," jawab Glagah Putih.
Sementaraitu, sambil menyurukkan kayu bakar lebih dalam di perapian, Sekar Mirah berkata, "Bukankah kita tidak perlu terlalu tergesa-gesa Rara."
"Tetapi rasa-rasanya aku ingin segera bertemu dengan Kanthi. Aku membayangkan gadis itu sepi sendiri di dalam biliknya. Tidak ada orang yang menyapanya. Sementara itu ia tidak lagi berani keluar halaman rumahnya," desis Rara Wulan.
"Tentu tidak, Rara. Ayah, ibunya dan saudara perempuannya itu mengasihinya," jawab Sekar Mirah.
"Ketika Kanthi dalam bahaya, mereka memang melindunginya. Tetapi setelah semuanya itu berlalu, maka sikap keluarganya akan berbeda," berkata Rara Wulan pula.
"Menurut pendapatku, tidak Rara," sahut Glagah Putih, "keluarganya akan membantunya bangkit kembali."
Rara Wulan mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, "Besok kita benar-benar pergi ke Kleringan."
"Aku akan mengingatkan Ki Jayaraga," jawab Glagah Putih kemudian.
Rara Wulan mengangguk pula. Namun kemudian Rara Wulan itupun terdiam. Tangannyalah yang kemudian sibuk menyiapkan mangkuk-mangkuk tempat minuman.
Seperti yang dikatakan, maka Glagah Putihpun kemudian telah menemui Ki Jayaraga yang duduk ditangga pendapa bersama Wacana.
Sambil mengusap keringat keningnya dengan lengan bajunya, maka iapun berkata, "Pagi-pagi Rara Wulan sudah memperingatkan, besok kita pergi ke Kleringan."
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "Baiklah. Besok kita pergi ke Kleringan."
Namun Wacana itu dengan ragu-ragu berkata, "Bagaimana jika aku ikut bersama kalian?"
Ki Jayaragalah yang menjawab, "Jangan besok ngger. Seperti yang sudah aku katakan, angger masih perlu beristirahat."
"Bukankah Kleringan tidak terlalu jauh ?" bertanya Wacana.
"Sebaiknya lain kali sajalah Wacana. Mungkin kau memang ingin berjalan-jalan keluar halaman karena kau sudah menjadi jenuh melihat dinding yang kusam itu. Tetapi pada kesempatan lain kita akan keluar untuk menyegarkan pikiran," sahut Glagah Putih.
Wacana memang tidak dapat memaksa. Sebenarnyalah bahwa tenaganya memang belum pulih seutuhnya.
Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang telah mendorongnya untuk ikut pergi ke Kademangan Kleringan.
Meskipun demikian, Wacana masih berusaha untuk mengerti alasan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, kenapa mereka menahan agar Wacana tidak usah pergi Ke Kleringan sebelum keadaannya benar-benar menjadi baik.
Ketika kemudian langit mulai memantulkan cahaya matahari yang terbit dari balik cakrawala, maka merekapun bergantian pergi ke pakiwan.
Setelah berbenah diri, maka merekapun duduk diruang dalam untuk minum-minuman hangat yang dihidangkan oleh Rara Wulan. Sementara itu Agung Sedayu sudah bersiap untuk pergi kebarak Pasukan Khusus.
Namun sebelum Agung Sedayu berangkat, Prastawa telah datang untuk menemuinya dan menemui pula Ki Jayaraga.
"Maaf Ki Jayaraga, agaknya masih terlalu pagi untuk mengganggu Ki Jayaraga dan barangkali juga Ki Lurah Agung Sedayu yang sudah bersiap untuk berangkat ke barak," berkata Prastawa setelah ia duduk di ruang dalam pula.
"Apakah ada hal yang sangat penting, ngger ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Tidak terlalu penting, Ki jayaraga. Justru aku yang mementingkan diri sendiri. Aku sengaja datang pagi-pagi sebelum Ki Lurah Agung Sedayu berangkat."
Ki Jayarata mengangguk-angguk. Tetapi ia menunggu saja Prastawa menyampaikan persoalannya.
"Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku datang diutus oleh paman Argapati. Atas persetujuan paman Argapati dan ayah, Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu berdua diminta untuk bersedia sekali lagi menjadi wakil ayah dan paman Argapati untuk menyampaikan lamaran."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, "Jadi maksudnya kami harus pergi melamar seorang gadis bagi angger Prastawa, begitu ?"
Prastawa mengangguk sambil menjawab, "Ya, Ki Jayaraga."
"Kapan kami harus pergi melamar " Tentunya suasananya akan sangat berbeda dengan saat kami menjadi utusan pergi ke Kademangan Kleringan."
"Agaknya memang demikian," jawab Prastawa. Lalu katanya kemudian, "ayah dan paman Argapati serta kakang Swandaru semalam sepakat untuk pergi melamar sore nanti."
"Nanti " Hari ini maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya, Ki Lurah," jawab Prastawa.
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil bertanya, "Begitu cepat " Apakah kau sudah membicarakannya dengan gadis itu sebelumnya ?"
"Ya," jawab Prastawa, "bahkan aku sudah menyampaikan kepada kedua orang tuanya, bahwa ayah akan mengirimkan utusan untuk dengan resmi melamar gadis itu," jawab Prastawa.
"Apakah kau sudah menyampaikan kepada mereka bahwa utusan itu akan datang hari ini ?" bertanya Agung Sedayu.
"Nanti aku akan menemuinya," jawab Prastawa.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Ki Jayaraga berkata, "Baiklah. Jika Ki Gede dan Ki Argajaya sudah menetapkan bahkan utusan itu akan pergi sore nanti, aku tidak mempunyai keberatan apapun. Mungkin angger Agung Sedayu juga tidak berkeberatan."
"Tentu," jawab Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu itupun kemudian bertanya, "Siapa saja yang akan berangkat ?"
"Ki Jayaraga, Ki Lurah Agung Sedayu berdua dan kakang Swandaru berdua," jawab Prastawa.
"Baiklah," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "aku akan pulang lebih awal. Kami akan pergi kerumah Ki Gede. Agaknya kita akang berangkat bersama-sama dari sana."
"Terima kasih Ki Lurah," berkata Prastawa kemudian. "Aku akan menyampaikannya kepada paman Argapati dan kakang Swandaru berdua."
Demikianlah, maka Prastawapun segera minta diri setelah beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada Ki Jayaraga dan kepada Agung Sedayu.
Sepeninggal Prastawa, Agung Sedayupun segera berangkat menuju ke barak Pasukan Khusus. Seperti yang dijanjikan kepada Prastawa ia berniat untuk pulang lebih awal.
Dalam pada itu, ketika Glagah Putih berada di halaman belakang, Rara Wulanpun mendekatinya sambil berdesis, "Sore nanti keluarga Prastawa akan pergi melamar."
"Ya. Ki Jayaraga dan kakang Agung Sedayu diminta untuk ikut pergi bersama kakang Swandaru," jawab Glagah Putih.
"Persoalannya dengan gadis Kleringan itu sudah selesai bagi Prastawa," desis Rara Wulan.
"Ya. Baginya memang sudah tidak ada persoalan lagi," jawab Glagah Putih.
Namun Rara Wulan itu berkata, "Tetapi persoalan yang menyangkut Kanthi itu, masih tetap menggelisahkan gadis itu."
"Prastawa yang disandang Kanthi dan Prastawa memang berbeda," jawab Glagah Putih.
"Aku mengerti. Tetapi aku hanya sekedar mengatakan, keadaan yang mereka sandang masing-masing sekarang ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun Rara Wulan itupun berkata, "Kita besok akan tetap berangkat, dengan atau tidak dengan Ki Jayaraga."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Ki Jayaraga sudah mengatakan, bahwa besok Ki Jayaraga siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan."
Tetapi mungkin ia berubah. Siapapun tentu akan lebih senang pergi melamar seorang gadis daripada pergi menjumpai seorang perempuan yang sedang terjerat oleh malapetaka. Apalagi persoalan yang sebenarnya dengan gadis yang akan dilamar itu sudah jelas sehingga tidak akan ada hambatan lagi."
"Tetapi bukanlah waktunya tidak bersamaan " Sore nanti Ki Jayaraga akan pergi melamar. Memang sebaiknya ada orang yang dituakan dalam sekelompok utusan itu. Nah, baru besok Ki Jayaraga akan pergi bersama kita ke Kademangan Kleringan."
Rara Wulan mengangguk kecil. Katanya, "Dua suasana yang tentu akan sangat berbeda."
Glagah Putih hanya mengangguk kecil pula.
Hari itu Rara Wulan memang nampak gelisah. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Gadis itu justru banyak menyibukkan diri dengan kerja. Ketika matahari kemudian hampir menggapai puncak langit, maka Rara Wulanpun telah berada didalam sanggar, sedangkan Glagah Putih telah pergi ke banjar untuk bertemu dengan para pemimpin pengawal.
Seperti yang dijanjikan, maka Agung Sedayu telah kembali dari barak lebih awal dari biasanya. Menjelang sore hari, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah serta Ki Jayaraga telah bersiap. Mereka akan pergi ke rumah Ki Gede lebih dahulu sebelum bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi memenuhi permintaan Ki Argajaya dan Ki Gede untuk pergi melamar seorang gadis yang akan menjadi isteri Prastawa.
Berbeda dengan saat mereka pergi ke Kademangan Kleringan, maka wajah-wajah mereka sore itu nampak cerah. Prastawa yang juga berada di rumah Ki Gede nampak tersenyum-senyum. Dua orang pengawal yang ada dirumah Ki Gede selalu mengganggunya. Tetapi Prastawa justru nampak semakin ceria.
Ketika matahari menjadi semakin rendah disisi Barat, maka Ki Gede dan Ki Argajayapun telah mempersilahkan Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri untuk berangkat.
"Segala sesuatunya terserah kepada Ki Jayaraga. Menurut Prastawa, agaknya tidak akan ada hambatan lagi. Kedua orang tua gadis itu sudah menyatakan persetujuannya. Merekapun sudah diberitahu oleh Prastawa bahwa utusan keluarga Prastawa akan datang sore ini," berkata Ki Gede.
Demikianlah maka sejenak kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajayapun telah berangkat dari rumah Ki Gede.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang sudah berada dirumahnya, duduk diserambi. Sinar matahari yang menjadi semakin lemah masih nampak menembus dedaunan di halaman. Didapur Rara Wulan menjadi sibuk karena Sekar Mirah tidak ada. Tetapi karena ia sudah terbiasa melakukannya sehari-hari bersama Sekar Mirah, maka tangannyapun sudah menjadi trampil. Ketika ia sudah selesai menuang minuman hangat, maka Rara Wulanpun telah menghidangkannya kepada Wacana yang duduk di pringgitan seorang diri. Dibiarkannya angan-angannya menerawang jauh melampaui cakrawala.
"Minumlah," desis Rara Wulan, "selagi masih hangat."
"Terima kasih," sahut Wacana. Namun kemudian iapun bertanya, "Kapan kalian akan pergi ke Kademangan Kleringan ?"
"Besok," jawab Rara Wulan, "jika yang lain berhalangan apapun sebabnya, aku akan pergi sendiri."
Wacana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jika benar Rara Wulan pergi sendiri, meskipun ia sudah pulih sekalipun, ia tentu tidak akan pantas untuk menawarkan dirinya menyertai gadis itu.
Ketika kemudian Rara Wulan meninggalkannya, kembali Wacana duduk merenung seorang diri.
Sementara itu, anak yang tinggal dirumah Agung Sedayu yang melihat Glagah Putih duduk sendiri telah mendekatinya. Sambil duduk disebelahnya ia berkata, "Seharusnya kau mengajar aku ilmu bela diri."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia berkata, "Bagus. Kau sudah dapat menyebutnya dengan ilmu bela diri. Bukan cara berkelahi."
"Ya. Aku mulai mengerti bedanya," jawab anak itu.
Glagah Putih tersenyum sambil menepuk bahunya. Katanya, "Aku akan mengajarimu ilmu bela diri. Tetapi sudah tentu tidak setiap hari."
Anak itu mengangguk. Katanya, "Kapanpun, asal aku dapat sekedar melindungi diriku sendiri serta kawan-kawanku yang memerlukan perlindungan itu."
"Baik. Kita akan melakukannya malam hari setiap dua hari sekali. Sudah tentu jika aku tidak sedang bertugas."
"Lalu bagaimana dengan pliridan itu ?" bertanya anak itu.
"Pada hari-hari kau berlatih, maka kau akan menutup sekali saja. Didini hari. Atau bahkan tidak sama sekali."
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Jika perlu, biarlah pliridan itu ditutup sekali saja atau jika terlalu letih, tidak sama sekali."
"Nah, jika kau memang benar-benar ingin berlatih ilmu bela diri, maka kau tidak boleh cepat merasa jemu atau cepat merasa mampu. Kau harus berlatih dan belajar dengan telaten dan tekun. Bersungguh-sungguh dan dilandasi dengan niat yang baik."
Anak itu mengangguk-angguk. Dengan sungguh-sungguh ia menjawab, "Aku akan belajar dengan tekun dan telaten."
"Bagus. Tetapi ada yang lebih penting. Dilandasi dengan niat yang baik," berkata Glagah Putih.
"Ya. Aku akan melandasinya dengan niat baik," jawab anak itu.
Glagah putih memang merasakan sesuatu yang agak lain pada anak itu. Mungkin karena umurnya yang semakin bertambah, sementara itu, peristiwa yang terjadi semalam telah menghentakkannya ke dalam satu kesadaran tentang dirinya yang umurnya semakin bertambah itu. Yang mendorongnya untuk menanggapi kehidupan dengan lebih bersungguh-sungguh pula.
Karena itulah, maka Glagah Putihpun menjadi bersungguh-sungguh pula. Meskipun yang terlintas dihatinya adalah sekedar memberikan bekal kepada anak itu untuk dapat melindungi dirinya sendiri, karena Glagah Putih mengerti bahwa anak itu sulit untuk mengendalikan diri jika rasa keadilannya tersinggung.
Namun Glagah Putihpun menyadari, bahwa selain mengajarinya ilmu bela diri, iapun harus sedikit demi sedikit mengarahkan sikap anak itu agar benar-benar berniat baik dengan dasar ilmu bela diri itu.
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "Kita akan mulai malam nanti. Bersiaplah."
"Apa yang harus aku persiapkan ?" bertanya anak itu.
"Ketetapan hati," jawab Glagah Putih, "karena jika kau belajar ilmu bela diri padaku, kau harus menurut segala petunjukku terutama dalam hubungannya dengan ilmu bela diri. Tetapi sebelumnya kau harus tahu bahwa ilmuku masih terbatas sekali, sehingga apa yang akan aku berikan kepadamu, tidak lebih dari dasar-dasarnya saja."
"Seperti yang sudah kau ajarkan selama ini ?" bertanya anak itu.
"Tentu lebih dari itu. Tetapi jangan bermimpi bahwa kau akan menjadi seorang yang berilmu tinggi."
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya sambil memandang ke kejauhan, "Aku tidak menginginkan terlalu banyak. Tetapi aku ingin tidak ada lagi orang yang merendahkan martabat anak-anak Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih tersenyum sambil menepuk bahu anak itu pula, "Bagus. Aku setuju. Tentu saja dalam batas-batas kewajaran."
Tetapi anak itu mengerutkan dahinya. Dengan nada ragu ia bertanya. "Apakah batas kewajaran itu dapat diurai dengan jelas sehingga aku dapat melihat batas itu ?"
"Tidak. Tetapi kendali nuranimu akan memberikan isyarat kepadamu."
Anak itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia bertanya, "Bagaimana aku dapat mengetahuinya ?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Sekarang kau masih belum mampu menangkap sepenuhnya suatu nuranimu. Tetapi pada sualu saat kau akan dapat melakukannya tanpa ada orang lain yang menunjukkannya."
Anak itu mengangguk-angguk meskipun yang dikatakan oleh Glagah Putih itu masih belum cukup jelas baginya.
Dalam pada itu, maka langit-pun terasa menjadi semakin teduh. Anak itupun kemudian bangkit dan melangkah menggapai sapu lidi yang bersandar di sudut.
Sejenak kemudian maka anak itupun telah mulai menyapu halaman, sementara Glagah Putih pergi ke pakiwan untuk mengisi jambangan sekaligus mengisi gentong yang ada didapur.
Wacana yang duduk sendiri di pringgitan itupun telah bangkit pula. Iapun tidak mau duduk berdiam diri. Karena itu, maka iapun telah ikut pula menyapu halaman sampai setelah menyingkirkan mangkuk minumannya ke ruang dalam.
Sementara itu, Ki Jayaraga yang menemui kedua orang tua Angreni yang didampingi pula tiga orang tetangganya yang dituakan telah menyampaikan lamaran Ki Argajaya atas Angreni yang akan diperisteri oleh anaknya, Prastawa. Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Meskipun demikian, seorang yang dituakan yang mewakili kedua orang tua Angreni meskipun kedua orang tuanya juga hadir, telah menjawab lamaran yang disampaikan oleh Ki Jayaraga atas nama Ki Argajaya, "Kami dengan ucapan terima-kasih telah menerima lamaran Ki Argajaya yang disampaikan oleh Ki Jayaraga. Namun karena yang akan menjalani adalah angger Angreni, maka biarlah ayah dan ibunya membicarakannya dengan gadis itu. Kami mohon waktu sepekan. Selanjutnya kami akan datang menghadap Ki Argajaya."
Jawaban itu adalah jawaban yang seakan-akan sudah mempola bagi keluarga yang menerima lamaran, justru yang biasanya akan menerima lamaran itu. Karena itu, maka Ki Jayaraga sama sekali tidak berkeberatan untuk menunggu sepekan lagi.
Demikianlah, setelah mendapat hidangan minuman dan makanan, maka utusan Ki Argajaya itupun segera mohon diri.
Berlima mereka langsung pergi ke rumah Ki Gede, karena Ki Argajaya memang akan menunggu dirumah Ki Gede sampai utusan itu datang kembali.
Suasana dirumah Ki Gede itupun menjadi cerah. Sambil memberikan laporan tentang tugasnya, sekali-kali Ki Jayaraga sempat mengganggu Prastawa. Suara tertawapun setiap kali terdengar dari sela-sela bibir mereka.
Namun kemudian Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun telah minta diri meninggalkan suasana yang ceria itu. Mereka minta diri untuk kembali setelah mereka makan malam bersama.
Pada malam harinya, ketika mereka sudah berada di rumah Agung Sedayu, sekali-sekali mereka masih membicarakan hubungan antara Prastawa dan Angreni yang nampaknya akan menjadi lancar. Sementara itu Sekar Mirahpun menganggap bahwa Angreni memang pantas untuk menjadi istri Prastawa.
Namun ketika kemudian Sekar Mirah berada di dapur untuk membuat minuman hangat, Rara Wulan mendekatinya sambil bertanya, "Apakah Angreni cantik, mbokayu ?"
"Ya," jawab Sekar Mirah, "gadis itu memang cantik."
"Siapa yang lebih cantik, Angreni atau Kanthi ?" bertanya Rara Wulan pula.
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun Sekar Mirahpun menyadari bahwa perhatian Rara Wulan masih terikat kepada Kanthi. Karena itu, maka ia-pun menjawab, "Keduanya sama-sama cantik. Aku hanya sempat melihat Angreni sepintas saat ia menghidangkan minuman. Namun nampaknya wajah gadis itu cukup cerah."
"Tentu," jawab Rara Wulan, "wajah Angreni tentu nampak cerah karena ia sedang menerima lamaran dari seseorang yang memang diharapkannya. Tetapi Kanthi tidak akan pernah mengalami masa-masa seperti itu."
"Kenapa ?" bertanya Sekar Mirah.
"Bukankah kita mengetahui keadaannya " Jika saja Kanthi tidak mengalami bencana itu, wajahnya tentu juga akan cerah. Iapun akan nampak sebagai seorang gadis yang cantik dan gembira. Tetapi keadaan telah menyingkirkannya dari kemungkinan itu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa Rara Wulan sedang dibayangi oleh keadaan Kanthi yang muram. Dalam keadaan demikian, jika ia menyatakan pendapatnya yang berbeda, maka Rara Wulan tentu akan menjadi sangat kecewa.
Justru karena Sekar Mirah terdiam, maka Rara Wulan mulai menyadari sikapnya. Ia mulai merasa bahwa ia lelah terdorong oleh perasaannya, sehingga Sekar Mirah merasa lebih baik untuk diam saja.
Karena itu, maka iapun kemudian berdiri dibelakang Sekar Mirah yang baru menuang minuman didalain mangkuk sambil berdesis, "mBokayu. Aku mohon maaf."
Sekar Mirahpun kemudian berpaling. Dipandanginya wajah Rara Wulan yang menunduk. Dengan lembut ia bertanya, "Kenapa ?"
"Aku telah menyinggung perasaan mbokayu," desis Rara Wulan.
Sekar Mirah tersenyum. Ditepuknya pundak Rara Wulan sambil berkata lembut, "Tidak Rara. Aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Aku justru melihat warna hatimu yang welas-asih. Meskipun Kanthi bukan sanak-kadangmu, tetapi kau merasa betapa tidak seimbangnya suasana hati yang meliputi dua orang gadis yang namanya sama-sama dihubungkan dengan Prastawa."
Rara Wulan mengangguk. Tetapi suaranya tidak dapat melewati kerongkongannya yang terasa menjadi serak.
"Sudahlah," berkata Sekar Mirah, "sekarang hidangkan mangkuk-mangkuk minuman hangat itu untuk menyegarkan mereka yang duduk di ruang dalam itu sebelum mereka pergi ke pembaringan."
Rara Wulan mengangguk pula. Sementara itu Sekar Mirahpun berkata, "Bukanklah kau besok akan pergi ke kademangan Kleringan ?"
"Ya, mbokayu," jawab Rara Wulan.
"Baiklah. Setelah menghidangkan minuman itu, pergilah beristirahat," berkata Sekar Mirah kemudian.
Rara Wulan mengangguk sambil mengangkat setelah menghidangkan minuman itu, Rara Wulan memang segera pergi ke pembaringanya. Namun gadis itu memang tidak segera dapat tidur lelap.
Diruang dalam, Sekar Mirah yang kemudian ikut duduk berbincang minta agar mereka tidak lagi berbicara tentang Prastawa dan Angreni.
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Rara Wulan masih saja dibayangi oleh getirnya perasaan Kanthi. Sehingga keceriaan Angreni bagi Rara Wulan menjadi terasa tidak adil," sahut Sekar Mirah.
"Tetapi ia harus dapat memilahkan persoalannya," berkata Ki Jayaraga.
"Aku akan mengatakannya besok sebelum ia berangkat ke Kademangan Kleringan. Angreni memang tidak harus ikut hanyut dalam persoalan yang telah menjerat Kanthi, Kesalahan Angreni justru diluar sadar dan kehendaknya sendiri, adalah bahwa Praslawa telah memilihnya meskipun ia tetap bersikap baik terhadap Kanthi," berkata Sekar Mirah kemudian. Namun kemudian ia berdesah pula, "Tetapi jika hal itu dianggap sebagai kesalahan."
"Bukan satu kesalahan," berkata Ki Jayanya, "tetapi baiklah. Kita tidak akan membicarakannya lebih jauh."
Sekar Mirah menarik nafas panjang, ia sendirilah yang minta untuk berbicara tentang Angreni.
Demikianlah, sambil meneguk minuman hangat, maka mereka mulai berbicara tentang beberapa hal yang lain. Tentang kehidupan di Tanah Perdikan yang telah menjadi wajar kembali. Namun juga tentang mendung yang mengalir dihembus angin utara. Hubungan yang buram antara Mataram dan Pati.
Agung Sedayu yang juga seorang pemimpin prajurit dari pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh itupun berkata, "Isyarat untuk bersiaga sepenuhnya bagi Pasukan Khusus masih berlaku. Usaha untuk merintis jalan yang lebih lunak dari peperangan masih terus dilakukan. Namun nampaknya hasilnya tidak seperti diharapkan."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Orang-orang yang tidak bertanggung jawab nampaknya berusaha untuk membakar hati Kangjeng Adipati di Pati. Orang-orang berilmu tinggi yang ada di sekitar Kangjeng Adipati nampaknya menjadi silau oleh kekuatan yang dapat mereka himpun. Bahkan diamaninya terdapat orang-orang yang merasa berhak untuk mendahului langkah Kangjeng Adipati sebagaimana Ki Manuhara dan Resi Belahan."
"Tetapi Panembahan Senapati yang merasa lebih tua masih berusaha untuk mencari jalan yang lebih baik. Meskipun demikian, Panembahan Senapati memang tidak dapat menghindari kesiapan untuk perang," berkata Agung Sedayu kemudian.
Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kemudian Agung Sedayu itupun berkata, "Sudahlah, Ki Jayaraga. Hari telah larut. Besok Ki Jayaraga akan pergi ke Kleringan bersama Glagah Putih dan Rara Wulan."
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku memang sudah berjanji bahwa besok aku akan pergi ke Kademangan Kleringan bersama angger Rara Wulan dan Glagah Putih."
Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri ternyata masih berada di belakang kandang. Glagah Putih masih sibuk mengajari anak yang tinggal dirumah itu dasar-dasar ilmu bela diri. Glagah Putih menjanjikan untuk belajar di sanggar, jika ia melihat kemajuan dan kesungguhan anak itu.
Tetapi beberapa saat kemudian Glagah Putihpun mengakhirinya sambil berkata, "Malam ini aku kira sudah cukup. Lusa kita akan melanjutkan lagi."
Anak itu menjadi heran. Dipandanginya Glagah Putih sambil bertanya, "hanya begini ?"
Glagah Putih memandang anak itu dengan tajamnya. Katanya, "Bukankah kita sudah cukup lama berlatih ?"
"Bukankah kita baru saja mulai," jawab anak itu.
"Jangan memaksa diri. Itu justru kurang baik. Kita harus belajar sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya kau dapat menguasai dasar ilmu bela diri itu dengan baik."
"Tetapi berapa puluh tahun aku akan dapat menguasai dasar ilmu itu jika kita hanya melakukannya sekejap demi sekejap seperti ini."
Dahi Glagah Putih berkerut. Ia menjadi jengkel juga kepada anak itu. Karena itu, maka pada langkah awal Glagah Putih akan membuatnya jera. Ia harus menyadari kedudukannya, sehingga untuk selanjutnya, anak itu tidak boleh bersikap demikian.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "Baiklah. Jika kau berniat untuk meneruskan latihan awal ini. Tetapi dengan janji, bahwa kau tidak boleh berhenti setengah-setengah."
"Itu tentu lebih baik," jawab anak itu.
Demikianlah, maka Glagah Putihpun telah mengajak anak itu ke sanggar. Bagi latihan awal, maka latihan yang lama, memang lebih baik dilakukan tidak diudara terbuka.
Demikianlah mereka berada didalam sanggar, maka Glagah Putihpun berkata, "Kita akan berlatih untuk waktu yang lama. Bukankah begitu " Nah, persiapkan dirimu baik-baik."
"Aku sudah bersiap sejak semula," jawab anak itu.
"Pada latihan awal ini, kau harus menirukan apa yang aku lakukan. Ingat, apa saja yang aku lakukan."
Anak itu mengangguk. Demikianlah, maka Glagah Putilipun lelah mulai dengan gerak-gerak yang paling mendasar. Seperti yang telah dilakukan dibelakang kandang itu. Kemudian Glagah Putih telah melakukan unsur-unsur gerak berikutnya. Diulanginya beberapa kali, sementara anak itu telah menirukannya. Sambil melakukan gerak-gerak yang mula-mula perlahan-lahan, Glagah Putih menjelaskan arti dan maksud dari gerakan-gerakan itu.
Dengan sungguh-sungguh anak itu menirukan dan mencoba memahami penjelasan Glagah Putih, untuk apa dan kenapa gerakan-gerakan itu dilakukan.
Namun semakin lama Glagah Putih-pun bergerak semakin cepat. Diulanginya gerakan-gerakan itu beberapa kali sehingga anak itu benar-benar mampu melakukannya dengan baik.
Tetapi ketika malam menjadi semakin larut, muka nafas anak itu mulai terengah-engah. Meskipun ia masih tetap bergerak dengan tangkas dan irama yang setiap kali menjadi semakin cepat sebagimana dilakukan oleh Glagah Putih, namun tenaga anak itu telah menjadi semakin susut
Glagah Putih melihat keadaan itu. Tetapi ia berpura-pura tidak mengetahuinya. Glagah Putih masih saja melakukan gerakan-gerakan yang keras dan cepat sambil memberikan beberapa petunjuk tentang gerakan-gerakan yang dilakukan.
Anak itu masih berusaha memaksa dirinya. Tetapi keseimbangannya mulai guncang. Setiap kali ia menjadi terhuyung-huyung dan bahkan hampir terjatuh karenanya.
Glagah Putih masih saja pura-pura tidak mengetahuinya. Sementara Glagah Putih sendiri masih saja segar dan tegar.
Ketika Glagah Putih kemudian melakukan loncatan kecil dalam unsur-unsur gerak dasar yang baru, maka anak itu tidak lagi mampu melakukannya. Keringatnya bagaikan telah terperas hingga kering, sementara wajahnya menjadi pucat, dan nafasnya tersengal-sengal. Bahkan perutnya terasa menjadi mual, sehingga rasa-rasanya akan muntah.
Ketika anak itu kemudian tersandar pada dinding sanggar, maka Glagah Putihpun bertanya, "He, kenapa kau berhenti. Marilah kita berlatih terus."
Nafas anak itu rasa-rasanya akan menjadi putus. Dengan kata-kata yang sendat ia berkata, "Aku sudah tidak kuat lagi."
Glagah Putih kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, "Jika kita berlatih dalam sekejap, kau sudah kelelahan, berapa puluh tahun kau akan dapat menguasai dasar ilmu bela diri itu ?"
Wajah anak yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Namun Glagah Putihpun menjadi kasihan melihat keadaannya. Karena itu, maka dibimbingnya anak itu kesebuah lincak bambu.
"Duduklah," berkata Glagah Putih.
Anak itupun kemudian menjatuhkan dirinya diatas lincak bambu itu. Wajahnya masih saja nampak pucat, sementara tubuhnya masih basah oleh keringatnya.
"Duduk sajalah disitu, "Glagah Putih. Ia masih ingin sekaligus meyakinkan anak itu, apa sebenarnya ilmu bela diri yang harus dipelajarinya itu. Karena itu, maka katanya pula, "Lihatlah. Apa yang harus kau pelajari jika kau ingin menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Ingat, baru dasar-dasarnya saja. Jika kau kemudian merambah ke ilmu kanuragan yang lebih rumit, maka kau harus menjadi lebih bersungguh-sungguh dan mengerti dimana kau sedang berdiri. Jika kau memanjat lereng pegunungan. Maka kau harus memanjat setapak demi setapak dengan susah payah. Kau harus mengatur ketahanan dan kemampuan tubuhmu, sehingga kau tidak dapat memaksa dirimu untuk menggapai puncaknya dengan satu loncatan betapapun panjangnya."
Meskipun anak itu tidak menjawab, tetapi ia menyadari kesalahannya, sehingga Glagah Putih telah langsung menunjuk kelemahannya.
Namun dalam pada itu, perhatiannya mulai tertarik pada unsur-unsur gerak yang dipertunjukkan oleh Glagah Putih. Mula-mula Glagah Putih mulai dari unsur yang tadi dipelajarinya dibelakang kandang. Kemudian unsur-unsur berikutnya dan berikutnya. Semakin lama menjadi semakin rumit dan gerak Glagah Putihpun menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian Glagah Putihpun mulai merambah pada unsur-unsur gerak yang bersentuhan dengan alat-alat yang ada di sanggar itu. Glagah Putih mulai berloncatan diatas palang-palang bambu dan tonggak-tonggak batang kelapa.
Anak itu memang sudah tahu bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Tetapi ketika ia menyaksikan Glagah Putih menunjukkan unsur-unsur gerak yang disebutkan sebagai dasar ilmu bela diri, maka jantungnya menjadi berdebar-debar.
Tetapi Glagah Putih tidak terlalu lama bermain-main disanggar itu. Beberapa saat kemudian, setelah menurut perhitungannya, anak itu menyadari seberapa beratnya ia harus menjalani laku untuk menguasai dasar-dasar ilmu bela diri, maka Glagah Putihpun kemudian berhenti.
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak nampak menjadi letih. Meskipun pakaian Glagah Putih juga menjadi basah oleh keringat, namun tenaganya masih tetap segar sebagaimana saat ia mulai berlatih dibelakang kandang.
Ketika Glagah Puutih kemudian duduk disebelahnya, nafasnya-pun tidak terdenggar terengah-engah. Apalagi menjadi tersengal-sengal. Nafasnya masih saja berjalan lancar dan teratur.
"Nah," berkata Glagah Putih, "kau sudah melihat, apa yang harus kau pelajari untuk menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Kau tentu dapat membayangkan jalan yang panjang yang harus kau lalui. Karena itu, jika kau tergesa-gesa dan ingin berlari kencang saat kau berangkat, maka kau justru akan jatuh tersungkur ditengah jalan. Kau akan kelelahan dan sama sekali tidak akan sempat mencapai tujuan."
Anak itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja menunduk. Anak itu tidak berani menatap wajah Glagah Putih. Jika disaat-saat sebelumnya ia menganggap Glagah Putih itu seperti kawannya bermain dan bahkan sekali-sekali ia berani menegur dan bahkan mencelanya, tiba-tiba merasa menjadi sangat kecil dan tidak berarti apa-apa.
"Sudahlah," berkata Glagah Putih, "kita akan beristirahat. Besok aku harus pergi ke Kademangan Kleringan. Sekarang kau pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Kemudian kau pergi tidur."
Anak itu mengangguk. Tetapi ia masih belum berani menatap wajah Glagah Putih.
Glagah Putih tersenyum. Ia memang harus menunjukkan wibawanya jika ia akan mengajari anak itu dasar-dasar ilmu bela diri.
Anak itupun kemudian memang pergi ke pakiwan. Nafasnya sudah menjadi teratur kembali. Saat-saat dengan tegang ia menyaksikan Glagah Putih memainkan unsur-unsur gerak dasar, anak itu memang melupakan keadaan dirinya sendiri.
Meskipun kemudian anak itu merasa sangat kecil dihadapan Glagah Putih, tetapi keinginannya untuk dengan sungguh-sungguh mempelajari dasar-dasar ilmu bela diri justru menjadi semakin menyala di dalam hadnya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Glagah Putih. Namun untuk selanjutnya, ia tidak akan berani lagi berkata kasar sebagaimana sering diucapkannya sebelumnya, karena ia menganggap Glagah Putih itu sebagai kawannya bermain saja.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih telah membersihkan dirinya pula di pakiwan, iapun harus segera beristirahat. Besok pagi-pagi, Rara Wulan tentu sudah ribut menagih janjinya untuk pergi ke Kademangan Kleringan.
Sebenarnyalah, ketika pagi-pagi Glagah Putih bangun dan mengisi jambangan pakiwan, Rara Wulan ternyata sudah lebih dahulu mandi. Sambil berdiri di tepi plataran sumur, ia berkata, "Lebih baik kita berangkat pagi. Udara tentu masih segar dan panas matahari belum menggatalkan kulit."
"Tetapi tentu tidak terlalu pagi. Rara," jawab Glagah Putih, "biarlah kakang Agung Sedayu berangkat ke baraknya lebih dahulu. Baru kemudian kita berangkat."
"Kenapa harus menunggu ?" bertanya Rara Wulan.
"Aku merasa segan terhadap mbokayu Sekar Mirah. Ia tentu sedang sibuk melayani kakang Agung Sedayu. Sementara itu, kita tidak terlalu terikat oleh waktu. Jika kita berangkat terlalu pagi, maka mbokayu Sekar Mirah akan menjadi sangat sibuk," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya ia dapat mengerti. Karena itu maka iapun kemudian mengangguk kecil. Tetapi Rara Wulan itupun masih berkata. "Baiklah. Tetapi begitu kakang Agung Sedayu berangkat, kitapun akan segera berangkat."
Glagah Putihpun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kita akan segera berangkat setelah kakang Agung Sedayu berangkat."
Ketika kemudian Rara Wulan meninggalkan Glagah Putih yang masih menimba air, Ki Jayaragapun mendekatinya. Sambil tersenyum Ki Jayaraga bertanya, "Apakah Rara Wulan mendesakmu untuk berangkat pagi-pagi."
"Ya," jawab Glagah Putih, "Tetapi aku minta kita berangkat setelah kakang Agung Sedayu lebih dahulu berangkat."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Akupun sudah bersiap pagi-pagi. Aku sudah mengira bahwa Rara Wulan akan mendesakmu untuk berangkat sebelum matahari terbit. Aku sudah bangun pagi-pagi sekali, menyapu halaman bersama Wacana, mandi dan kemudian bersiap-siap."
"Ki Jayaraga sudah mandi ?" bertanya Glagah Putih.
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Iapun-justru ganti bertanya, "Apakah aku masih nampak kotor dan kantuk ?"
"Tidak, tidak," jawab Glagah Putih dengan serta-merta.
"Atau karena aku sudah tua sehingga mandi atau tidak mandi sama saja " Jika demikian, agaknya lebih baik aku tidak mandi saja," berkata Ki Jayaraga. Namun kemudian iapun tertawa, sehingga Glagah Putih pun tertawa pula.
"Bukan begitu Ki Jayaraga," jawab Glagah Putih, "Ki Jayaraga selalu nampak bersih dan rapi. Sebelum atau sesudah mandi. Sanggul kadal menek itu memang sudah nampak halus dan licin."
Ki Jayaraga tertawa semakin panjang. Namun kemudian katanya, "Cepatlah mandi. Begitu angger Agung Sedayu berangkat, maka Rara Wulan tentu akan menjadi ribut."
Ki Jayaragapun kemudian meninggalkan Glagah Putih yang segera mandi pula.
Demikianlah setelah makan pagi, maka Agung Sedayupun segera bersiap untuk berangkat ke barak Pasukan Khusus, ia masih memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih jika kemudian ia akan pergi ke Kademangan Kleringan bersama Ki Jayaraga dan Rara Wulan. Kepada Rara Wulanpun Agung Sedayupun berpesan pula, "hati-hati Rara. Jangan mudah terpancing oleh keadaan apapun juga."
Rara Wulan mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baik kakang. Aku akan berhati- hati."
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah berpacu meninggalkan rumahnya menuju ke barak Pasukan Khusus.
Seperti yang diduga oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih, Demikian Agung Sedayu berangkat, maka Kara Wulanpun segera bertanya kepada Glagah Putih, "Kapan kita berangkat ?"
Glagah-Putih memang tidak mempunyai alasan untuk menunda keberangkatan mereka. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Kitapun segera berangkat."
Setelah Glagah Putih menghubungi Ki Jayaraga, maka mereka bertigapun segera bersiap-siap untuk berangkat.
Seperti Agung Sedayu, maka Sekar Mirahpun telah berpesan kepada Rara Wulan, agar ia berhati-hati dan selalu berusaha mengekang diri.
Sesaat kemudian, bertiga mereka telah berangkat menuju ke Kademangan Kleringan.
Memang tidak ada hambatan di perjalanan. Demikian pula ketika mereka memasuki Kademangan Kleringan di seberang bukit. Mereka sama sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Sementara itu kehidupan di Kademangan Kleringan ternyata wajar-wajar saja.
"Kanthi memang bukan orang penting," berkata Rara Wulan tiba-tiba.
"Kenapa ?" bertanya Glagah Putih dengan heran.
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi yang berkerut ia meandangi orang-orang yang bekerja disawah. Orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar. Beberapa orang bepergian untuk satu keperluan.
Glagah Putih masih menunggu jawab Rara Wulan sambil berjalan sebelahnya. Sementara itu Ki Jayaraga meskipun berjalan didepan, tetapi iapun berusaha untuk mendengar apa yang dikatakan oleh Rara Wulan.
Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan berkata, "Kanthi memang tidak perlu mendapat perhatian khusus orang-orang Kademangan Kleringan. Biar saja Kanthi menyelesaikan kesulitannya sendiri. Tidak seorangpun yang mempedulikannya. Mereka merasa lebih baik untuk menyelesaikan tugas mereka masing-masing, karena memperhatikan nasib Kanthi tidak akan memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Glagah Putihpun menjawab, "Rara. Aku kira apa yang terjadi adalah wajar sekali. Tidak semua orang Kademangan Kleringan mengetahui apa yang terjadi atas diri Kanthi. Sementara itu, putaran peristiwa di Kademangan Kleringan memang tidak boleh berhenti karena persoalan yang menimpa kanthi. Betapapun orang-orang Kleringan yang mengetahui persoalan yang menjerat Kanthi, namun ada keterbatasan mereka untuk melibatkan diri mereka."
"Mereka sudah terjebak kedalam ketidak-pedulian dengan keadaan disekitar mereka. Hidup dan kehidupan hanya terjadi diseputar diri sendiri," berkata Rara Wulan.
"Tidak Rara. Tetapi dalam persoalan yang terjadi atas Kanthi, justru keluarga Kanthi sendirilah yang membatasinya agar tidak banyak diketahui orang. Bukankah begitu " Bukankah semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka orang yang tercoreng dikening itu akan semakin banyak dilihat orang ?" sahut Glagah Putih.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab.
Demikianlah, maka merekapun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mereka memasuki padukuhan, maka jantung Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar. Sekilas Rara Wulan justru membayangkan wajah seorang gadis yang bernama Angreni, yang cerah ceria menerima lamaran Prastawa. Sementara disisi lain ia melihat seorang gadis yang menelungkup dan menangis terisak-isak. Kanthi telah mengalami kegagalan ganda.
"Kenapa hal itu telah dilakukannya betapapun ia dicengkam oleh perasaan kecewa," berkata Rara Wulan didalam hatinya.
Jantung Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melewati tikungan dan memasuki jalan yang langsung melewati depan regol halaman rumah kanthi.
Langkah Rara Wulan itupun menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Rara Wulan ingin meloncat dan segera sampai kerumah gadis yang sedang mengalami tekanan batin oleh kelalaiannya sendiri itu.
Ketika ketiganya sampai dedepan regol halaman rumah Ki Suracala itu, maka mereka termangu-mangu sejenak. Regol itu tertutup, tetapi tidak terlalu rapat. Karena itu, ketika Ki Jayaraga menyentuhnya, maka pintu itupun terdorong sejengkal.
Karena itu, maka Ki Jayaragapun telah mendorong pintu itu, sehingga pintu itupun terbuka.
Ketiga orang yang berdiri dipintu regol itu terkejut. Mereka melihat beberapa orang berada dipendapa. Nampaknya mereka memang sedang gelisah. Satu dua orang nampak sibuk hilir udik di pringgitan.
"Apa yang terjadi ?" desis Rara Wulan.
Karena itu, maka Rara Wulanpun menjadi tidak sabar lagi menunggu. Iapun segera melangkah ke tangga pendapa.
Glagah Putih dan Ki Jayaragapun segera mengikutinya pula.
Ternyata beberapa orang yang ada di pendapa itu belum mengenal Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga. Karena, dua orang yang menyongsong mereka telah mempersiapkan Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga dengan ragu-ragu.
"Apakah Kanthi ada dirumah ?" pertanyaan itulah yang mula-mula terlontar dari mulut Rara Wulan.
"Siapakah kalian Ki Sanak ?" bertanya salah seorang dari orang-orang yang menyongsongnya.
Ki Jayaragalah yang kemudian menjawab, "Kami datang untuk menengok keselamatan keluarga Ki Suracala. Kami adalah sahabatnya yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh."
"O," orang itu mengangguk, "marilah, silahkan duduk. Biarlah kami beritahukan kepada Ki Suracala. Ia sudah menjadi tenang kembali."
"Apa yang terjadi ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Nanti saja. Biarlah Ki Suracala sendiri menjelaskan," jawab orang itu.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. namun orang yang menyongsongnya itupun kemudian telah mempersilahkan ketiga orang tamu itu untuk naik dan duduk dipendapa.
Namun demikian mereka duduk dipendapa, terasa suasana yang tegang meliputi orang-orang yang sudah berada lebih dahulu dipendapa itu. Namun tidak seorangpun yang menyapa mereka dan apalagi menceritakan apa yang terjadi dirumah itu.
Dengan demikian maka Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk termangu-mangu saja dipendapa. Mereka tidak berbicara dan berbuat apapun selain menunggu Ki Suracala.
Rara Wulan hampir tidak sabar menunggu. Tetapi setiap kali ia bergeser, maka Glagah Putih selalu menggamitnya untuk menahan agar Rara Wulan tidak beranjak dari tempatnya.
Baru beberapa saat kemudian, ketika Rara Wulan hampir kehabisan kesabaran, Ki Suracalapun keluar dari ruang dalam, di bimbing oleh seorang laki-laki yang sebaya umurnya.
"Apa yang telah terjadi ?" desis Rara Wulan.
"Kita akan mendapat keterangan dari Ki Suracala ngger," desis Ki Jayaraga.
Ketika kemudian Ki Suracala melihat Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah, maka iapun segera mendekati mereka dan duduk bersama mereka.
"Apa yang terjadi, Ki Suracala," Rara Wulan tidak sabar lagi.
Ki Suracala mengusap matanya yang basah. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengatur pernafasannya.
Ketika ia kemudian memandang Rara Wulan, maka Rara Wulan-pun bertanya sekali lagi, "Apa yang terjadi, Ki Suracala ?"
Suara Ki Suracala yang serak bagaikan tertahan di kerongkongan, "Kanthi ngger."
"Kenapa dengan Kanthi ?" bertanya Rara Wulan dengan serta merta. Wajahnya menjadi merah.
"Ia berada dibiliknya," desis Ki Suracala.
Rara Wulan tidak menunggu lebih lama lagi. Gadis itupun segera bangkit dan berlari keruang dalam.
Rara Wulan sudah mengetahui letak bilik Kanthi. Karena itu, maka iapun segera berlari menuju kepintu bilik itu.
Demikian ia menyingkap tirai pintu bilik itu, maka dilihatnya Kanthi berbaring di pembaringannya. Tiga orang perempuan termasuk ibu dan kakak perempuannya menungguinya. Seorang lagi adalah seorang yang sudah lebih tua dari ibu Kanthi itu sendiri.
Sejenak Rara Wulan berdiri dipiniu. Namun kemudian iapun telah melangkah masuk.
Ketika ibu Kanthi berpaling, maka Rara Wulan itupun berdesis, "Apakah Kanthi sakit ?"
Ibu Kanthi itu memandang Rara Wulan dengan mata yang basah. Isaknya tiba-tiba telah timbul kembali meskipun ia berusaha untuk menahannya.
Kanthi yang terbaring lemah itu tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Ketika ia memandang Rara Wulan, maka Rara Wulanpun sedang memandanginya.
Tiba-tiba saja Kanthi itu menjerit. Semua orang yang ada didalam bilik itu terkejut. Namun yang terjadi cepat sekali ketika kemudian Kanthi yang lemah itu bangkit dan meloncat memeluk Rara Wulan.
Rara Wulanpun memeluknya pula. Apalagi ketika Kanthi kemudian menangis sejadi-jadinya.
"Kanthi. Kanthi. Apa yang terjadi ?" bertanya Rara Wulan, "apakah ada orang yang mengganggumu lagi " Atau Ki Suratapa atau Ki Wreksadana ?"
Sambil menangis Kanthi menggeleng.
"Jadi, apa yang telah terjadi," desak Rara Wulan. Kanthi tidak menyahut. Tetapi tangisnya justru semakin menjadi-jadi.
Betapa keras hati Rara Wulan, namun iapun seorang perempuan.
Karena itu, betapapun ia bertahan, namun air matanyapun akhirnya mengalir juga dipipinya.
Ketiga orang perempuan yang berada dibilik itupun telah mendekat pula. Ibunya yang sudah mulai menangis itupun lelah menjadi terisak.
"Tenanglah Kanthi, tenanglah," berkata Rara Wulan sambil berusaha menenangkan Kanthi.
Tangis Kanthi memang mulai mereda. Rara Wulanpun kemudian membimbing Kanthi untuk duduk di pembaringannya.
"Kenapa kau menangis " Apakah ada seseorang yang menyakitimu atau mengancammu atau tindak kekerasan lain ?" bertanya Rara Wulan.
Kanthi menggeleng. Sehingga Rara Wulanpun bertanya mendesak, "Jadi kenapa kau menangis " Apakah kau sakit ?"
Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk lemah.
Rara Wulanpun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Jika demikian berbaringlah. Apakah kau sudah mendapat obatnya ?" Kanthi tidak menyahut.
Rara Wulanpun kemudian berkata pula. "Sudahlah. Berbaringlah. Kau harus banyak beristirahat."
"Kau jangan pergi," desis Kanthi.
"Tidak, aku tidak akan pergi," jawab Rara Wulan.
Kanthi ternyata mau membaringkan dirinya. Tetapi tangannya tetap berpegangan tangan Rara Wulan.
Dalam pada itu, dipendapa, Ki Suracala yang masih terengah-engah itu berkata hampir berbisik kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Kanthi telah kehilangan akal. Ia telah mencoba membunuh diri."
Betapa Ki Jayaraga dan Glagah Putih terkejut sehingga mereka bergeser setapak mendekati Ki Suracala.
Dengan kening yang berkerut Ki Jayaraga itupun bertanya, "Apakah ada tekanan-tekanan lagi atas gadis itu sehingga ia mengambil keputusan untuk membunuh diri ?"
Ki Suracala menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Jayaraga. Tetapi penyesalan itulah yang semakin lama semakin menekan perasaannya, sehingga anak itu telah mengambil keputusan yang salah."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam. Tetapi ia hanya bergumam saja di dalam hatinya, "Sekali Kanthi melakukan kesalahan, jika ia tidak mampu bangkit lagi, maka ia akan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya. Sehingga dengan demikian maka kesalahan-kesalahan itu justru akan bersusun."
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bertanya, "Apakah masih saja ada orang yang menyudutkannya dalam kesalahannya ?"
"Sepengetahuanku tidak," jawab Ki Suracala, "kakaknya yang pernah marah-marah kepadanya justru sebelum terjadi peristiwa yang menggetarkan di rumah ini, telah berusaha untuk membantunya menemukan kembali jalan ke masa depannya. Bahkan kakak perempuannya telah menyatakan kesediaannya untuk memungut anak Kanthi nanti jika anak itu lahir dan mengakunya sebagai anaknya sendiri. Demikian ibunya dan orang-orang yang berhubungan dengan Kanthi telah berusaha untuk membangkitkan lagi kemauannya untuk tetap hidup. Namun Kanthi masih juga memilih jalan sesat. Untunglah bahwa niatnya itu dapat diketahui, sehingga dapat digagalkan. Tetapi sudah terlanjur tergantung pada belandar di biliknya ketika kakak perempuannya itu masuk dan langsung berteriak-teriak minta tolong."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Keributan itulah agaknya yang telah memanggil beberapa orang tetangga Ki Suracala sehingga mereka datang ke rumah ini.
Dalam pada itu, ditunggui oleh Rara Wulan, Kanthi menjadi sedikit tenang. Kelelahan, kebingungan dan perasaan yang bercampur baur membuatnya menjadi sangat letih. Demikian ia merasakan ketenangan itu, maka Kanthi itu sempat tertidur, meskipun masih saja nampak gelisah.
Baru ketika Kanthi tidur, ibu Kanthi itu memberitahukan kepada Rara Wulan apa yang terjadi.
Rara Wulanpun menjadi sangat terkejut pula. Tetapi ketika ia hampir menjerit, maka iapun segera teringat, bahwa Kanthi sedang tertidur.
Karena itu, ditahankannya gejolak perasaannya yang mengguncang dada. Namun demikian, maka wajah Rara Wulan itu nampak menjadi pucat. Keringatnya mengalir bagaikan diperas, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup.
"Kenapa hal itu dilakukannya ?" bertanya Rara Wulan dengan menahan isaknya yang menyesakkan dadanya.
Perempuan itu telah menjawab sebagaimana jawaban yang diberikan oleh Ki Suracala kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih di pendapa.
Rara Wulan mengangguk kecil. Dengan susah payah ia menenangkan jantungnya yang terasa berdegup semakin keras. Bagaimanapun juga Kanthi masih tetap selamat, sehingga masih banyak kemungkinan yang dapat ditunjukkan kepadanya agar Kanthi dapat bangkit kembali untuk menatap masa depannya.
Untuk beberapa lamanya, Rara Wulan duduk dan berbincang dengan ketiga orang perempuan yang menunggui Kanthi yang meskipun tertidur, tetapi terasa betapa kegelisahan masih tetap mencengkam jantungnya.
Namun sejenak kemudian, Kanthi itu terbangun. Ia nampak terkejut dan gelisah. Namun Rara Wulan segera duduk dibibir pembaringannya sambil mengusap dahinya, "Tenanglah Kanthi. Aku masih disini."
Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Rara Wulan yang pernah bertempur untuk melindunginya, benar-benar membuat perasaannya menjadi tenang. Gadis itu seakan-akan masih saja tetap melindunginya dari segala macam ancaman dan bahkan dari dirinya sendiri.
Rara Wulan yang sudah mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya atas Kanthi itu. berusaha untuk dapat membuat gadis itu mulai menyadari bahwa ia tidak boleh kalah dan menyerah. Kanthi harus tetap tegar dan berpengharapan.
Tetapi Rara Wulan masih saja tidak berani menunjuk apa yang sebenarnya telah terjadi atas Kanthi. Sehingga apa yang dikatakannya dengan had-hati tidak langsung ke sasaran. Rara Wulan berusaha untuk sangat berhati-hati berbicara dengan Kanthi yang hatinya sedang terluka parah.
"Kau harus selalu berdoa Kanthi," berkata Rara Wulan, "jika hatimu menatap dengan mantap, maka Yang Maha Agung akan mendengarkan doamu. Kau akan segera sembuh. Baik sakit yang kau derita pada sisi kewadaganmu, maupun sakit yang kau derita pada sisi kejiwaanmu. Yang Maha Agung tidak akan mengecewakan justru jika kau tetap berpengharapan."
Kanthi mengangguk kecil. Sementara Rara Wulan berkata, "Sekarang kau harus benar-benar meletakkan segala beban perasaanmu. Serahkan semua persoalanmu kepada Yang Maha Agung. Kau harus memohon dan memohon petunjuk dengan lambaran kepercayaan yang bulat."
Kanthi mengangguk lagi. Sementara ibunya berdesis lirih, "Kau dengar itu Genduk ?"
Kanthi mengangguk lagi. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Wajah Kanthi yang pucat serta matanya yang lembab membayangkan betapa hatinya terkoyak-koyak.
Ketika Rara Wulan beringsut, dengan cepat Kanthi menangkap tangannya sambil berkata dengan nada tinggi, "Jangan tinggalkan aku. Aku takut."
"Tidak Kanthi. Aku tidak akan pergi," jawab Rara Wulan. Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan berpikir bahwa tentu sulit baginya nanti untuk meninggalkan rumah itu jika sikap Kanthi tidak berubah.
Sementara itu, di pendapa Ki Suracala masih berceritera tentang anak perempuannya itu. Dari hari ke hari, ia menjadi semakin murung. Ia merasa tidak akan dapat menyembunyikan cela yang melekat ditubuhnya, sehingga akhirnya Kanthi telah kehilangan akal.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya dengan nada berat, "Ki Suracala memang harus bersabar, tabah dan pasrah kepada Yang Maha Agung. Dengan kesabaran dan ketabahan, serta doa yang tidak berkeputusan, maka beban yang disandang oleh Kanthi akan terasa menjadi lebih ringan."
Ki Suracala mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Aku mohon Ki Jayaraga dan angger Glagah Putih ikut berdoa pula agar Kanthi mendapat pikiran yang terang."
"Tentu," jawab Ki Jayaraga, "kami di Tanah Perdikan, bukan saja aku dan angger Glagah Putih, tetapi juga yang lain selalu berdoa agar Kanthi dapat segera bangkit kembali menyongsong masa depannya."
"Terima Kasih," gumam Ki Suracala. Namun kemudian suaranya seakan-akan tertelan kembali, "tetapi bagaimana dengan anak yang akan lahir itu."
"Ada seribu jalan yang tiba-tiba saja terbentang dihadapan Kanthi. Jika Yang Maha Agung menghendaki," jawab Ki Jayaraga.
Ki Suracala mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang selalu memohon tanpa berkeputusan. Dimalam hari, lewat tengah malam aku selalu turun ke halaman, memandang bintang-bintang dilangit. Kemudian memohon dan memohon. Mohon ampun dan mohon petunjuk."
"Yang Maha Agung akan mendengarkan permohonan Ki Suracala," desis Ki Jayaraga.
Ki Suracalapun terdiam sejenak. Namun kemudian seperti orang tersadar dari mimpinya, iapun mempersilahkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih untuk bergeser, duduk diantara beberapa orang tetangga Ki Suracala yang berdatangan ketika mereka mendengar keributan dirumah itu. Kepada tetangga-tetangganya Ki Suracala memperkenalkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih sebagai tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh.
"Mereka adalah sebagian dari keluarga Ki Argajaya yang telah menyelamatkan aku dan keluargaku beberapa waktu yang lalu," berkata Ki Suracala.
Tetangga-tetangga Ki Suracala itu mengangguk hormat. Mereka mengerti bahwa beberapa waktu yang lalu telah terjadi peristiwa berdarah di rumah itu, sehingga ada diantara mereka yang melaporkan kepada Ki Demang, sehingga Ki Demang telah datang kerumah itu bersama beberapa orang bebahu Kademangan dan padukuhan itu.
Demikianlah, beberapa saat lamanya mereka duduk dipendapa. Namun kemudian tetangga-tetangga Ki Suracala itu satu demi satu telah minta diri ketika mereka tahu, bahwa keadaan telah menjadi tenang. Hanya beberapa orang perempuan sajalah yang masih tinggal.
Sebagian duduk diruang dalam dan sebagian lagi ada didapur, membantu menyiapkan minuman dan makanan, karena Nyi Suracala dan keluarganya tidak sempat memikirkannya.
Dipendapa Ki Jayaraga dan Glagah Putih duduk beberapa lama dengan Ki Suracala. Minuman dan makanan yang dihidangkan telah mereka minum dan mereka makan beberapa potong. Sementara itu, Rara Wulan masih saja berada diruang dalam.
Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan tidak dapat beringsut dari pembaringan Kanthi. Setiap kali Kanthi justru memegangi tangannya dengan erat seakan-akan tidak akan pernah dilepaskan lagi.
Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan sendiri mulai menjadi gelisah. Ia sadar bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih menunggunya di pendapa. Sementara itu ia tidak dapat meninggalkan Kanthi sama sekali.
Ketika Rara Wulan mengatakan bahwa ia akan menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih sebentar saja di pendapa, Kanthi sama sekali tidak mau melepaskannya.
"Sebentar saja ngger," berkata ibunya, "angger Rara Wulan akan berbicara sebentar saja dengan angger Glagah Putih yang menunggunya di pendapa."
"Tidak. Tidak," Kanthi memegang tangan Rara Wulan semakin erat.
"Sudahlah bibi," desis Rara Wulan kemudian, "biarlah aku disini untuk beberapa saat."
"Tidak hanya untuk beberapa menit. Kau tidak boleh pergi," sahut Kanthi.
Sambil menarik nafas panjang. Katanya, "Baik, baik, Kanthi. Aku akan menungguimu disini."
Dalam pada itu, Nyi Suracalalah yang kemudian pergi ke pendapa menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
"Kanthi sama sekali tidak mau melepaskan Rara Wulan," berkata Nyi Suracala.
Ki Jayaraga dan Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnyalah mereka menjadi gelisah. Jika Rara Wulan tidak dapat meninggalkan Kanthi, apakah merekapun harus tinggal di Kademangan Kleringan sampai jiwa Kanthi menjadi tenang "
Agaknya Ki Suracala dapat membaca perasaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, karena itu, maka ialah yang bertanya kepada Nyi Suracala, "Jika demikian apakah berarti angger Rara Wulan harus tetap berada didalam biliknya ?"
"Setiap angger Rara Wulan beringsut, Kanthi selalu memegangi tangannya erat-erat. Ia hanya mengatakan bahwa angger Rara Wulan tidak boleh meninggalkannya," jawab Nyi Suracala.
"Sampai kapan angger Rara Wulan harus menungguinya ?" bertanya Ki Suracala.
"Sudahlah," potong Ki Jayaraga, "kita akan menunggu, nanti perasaan Kanthi akan menjadi tenang. Agaknya Rara Wulan dianggapnya dapat memberikan perlindungan bagi Kanthi dari tekanan-tekanan atas perasaannya, bahkan yang datang dari dirinya sendiri, karena Rara Wulan memang pernah menyelamatkannya pada saat-saat yang sangat gawat itu."
Ki Suracalapun mengangguk-angguk. Namun katanya kepada Nyi Suracala, "Dengan perlahan-lahan usahakanlah Nyi, agar angger Rara Wulan nanti dapat keluar dari bilik Kanthi. Tetapi alangkah terima kasih kita jika angger Rara Wulan bersedia bermalam barang semalam disini."
Nyi Suracala tidak menjawab. Tetapi diluar sadarnya ia memandang Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
Namun baik Ki Jayaraga maupun Glagah Putih tidak memberikan tanggapan apapun juga.
Sebenarnyalah bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih belum tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan jika benar Rara Wulan tidak dapat meninggalkan bilik Kanthi itu.
Meskipun demikian, Nyi Suracala masih juga berkata, "Tetapi baiklah kami usahakan agar angger Rara Wulan dapat meninggalkan Kanthi nanti pada saatnya. Mudah-mudahan Kanthi menjadi semakin tenang sehingga ia tidak lagi memegangi tangan angger Rara Wulan tanpa mau melepaskannya sama sekali.
Dengan demikian, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih harus menunggu. Mereka tidak segera dapat mengajak Rara Wulan pulang.
Karena itu, maka setelah makan siang, Ki Suracala telah mempersilahkan keduanya beristirahat. Bagi mereka disediakan sebuah bilik di gandok kanan.
Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putih kemudian hanya duduk-duduk saja di serambi gandok sambil memandangi halaman rumah Ki Suracala yang nampak sejuk oleh pepohonan yang tumbuh dihalaman depan. Bahkan terdapat pula beberapa jenis tanaman pajangan. Pohon soka, ceplok piring dan disudut pendapa terdapat rumpun-rumpun kembang melati yang sedang berbunga.
Sementara itu, didalam biliknya Kanthi tetap tidak mau melepaskan tangan Rara Wulan. Ketika ibu dan kakaknya berusaha untuk menenangkannya dan menjelaskan kepadanya bahwa Rara Wulan harus kembali ke Tanah Perdikan. Kanthi tidak mau mendengarkannya lagi.
"Kanthi," berkata ibunya, "tentu saja angger Rara Wulan tidak dapat tinggal disini terus. Ia harus pulang ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika tidak, maka keluarganya tentu akan menjadi cemas dan gelisah. Apalagi beberapa waktu yang lalu, telah terjadi perselisihan disini."
"Apapun sebabnya, Rara Wulan tidak boleh pergi," jawab Kanthi.
"Rara Wulan sendiri mungkin dapat mengerti keadaanmu, Kanthi. Tetapi keluarganya di Tanah Perdikan Menoreh ?" bertanya ibunya.
"Tidak. Tidak," Kanthi mulai menangis.
"Besok aku datang lagi kemari Kanthi," desis Rara Wulan.
"Tidak Rara. Jika kau harus pulang ke Tanah Perdikan Menoreh, aku akan ikut. Aku akan bersedia untuk menjadi pembantu dirumahmu. Aku bersedia mencuci pakaian, mengambil air, masak dan semua kerja apapun."
Rara Wulan terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, maka Kanthi sudah mendahuluinya, "Jika kau tidak membiarkan aku ikut, maka kau tidak boleh pergi. Jika kau memaksa, maka aku akan memilih mau daripada selalu disiksa oleh kegelisahan dan perasaan berdosa."
Rara Wulan memang menjadi bingung. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. Kedua kemungkinan itu akan sama-sama beratnya. Ia tentu tidak dapat tinggal di rumah Kanthi untuk satu dua hari sekalipun. Apalagi jika hal itu diketahui oleh orang-orang yang mendendam. Iapun tidak mungkin minta Glagah Putih menemaninya di Kademangan Kleringan. Tentu akan dapat menimbulkan prasangka buruk. Justru karena ia mempunyai hubungan khusus dengan Glagah Putih,
Sementara itu, Kanthi masih saja tetap berpegangan pada tangan Rara Wulan.
Untuk beberapa saat, Rara Wulan memang tidak memberikan jawaban. Ia masih saja duduk di pembaringan Kanthi. Bahkan makan siangpun dilakukannya didalam bilik Kanthi, karena dengan demikian serba sedikit Kanthi juga mau makan.
Namun akhirnya Rara Wulan mendapat akal agar ia dapat berbicara dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Kepada Kanthi, Rara Wulan itupun berkata, "Kanthi, aku minta agar kau memberi kesempatan kepadaku untuk pergi ke pakiwan."
"Tidak," jawab Kanthi.
"Tentu sulit bagiku untuk menahan diri tidak pergi ke pakiwan. Kau tahu, aku sudah lama berada disini. Karena itu, aku hanya minta waktu sedikit saja. Aku tidak akan pergi. Aku tahu, bahwa aku tidak boleh melakukannya dengan mengelabuimu. Akibatnya tentu akan aku sesali untuk waktu yang sangat lama."
Sebelum Kanthi menjawab, ibunya berkata, "Kanthi kau jangan menyiksa Rara Wulan. Setiap orang tentu memerlukan waktu untuk pergi ke pakiwan. Kau dapat saja merasa tenang karena kau mendapat perlindungan. Tetapi ketenanganmu itu akan dapat membuat angger Rara Wulan gelisah."
Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Tetapi jangan terlalu lama, Rara. Dan kau harus kembali ke bilik ini. Sudah aku katakan, bahwa jika kau tidak bersedia tinggal disini, biarlah aku ikut kau kerumahmu dimanapun kau tinggal. Aku bersedia untuk menjadi pembantu dirumahmu. Mencuci, menyapu halaman, menimba air dan apa saja."
"Aku akan kembali Kanthi. Aku berjanji," jawab Rara Wulan. Demikianlah, maka akhirnya Rara Wulan dapat keluar dari bilik itu. Ia memang benar-benar pergi ke pakiwan. Tetapi kemudian Rara Wulan telah mencari dan menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih, untuk memberitahukan permintaan Kanthi. Apakah Rara Wulan tinggal di rumah itu, atau Kanthi ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Pilihan yang sulit," berkata Glagah Putih, "jika kau tinggal di sini, Rara, kau tentu dalam keadaan bahaya. Mungkin orang-orang yang mendendam itu masih juga mendendammu jika mereka tahu kau ada disini."
"Jadi, apakah kau harus menemaninya. Glagah Putih, "berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun Rara Wulan berkata, "Sebaiknya tidak. Ki Jayaraga. Bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang tidak mengetahui dengan pasti apa yang terjadi disini akan dapat menimbulkan rerasan yang kurang baik."
"Ya," Ki Jayaraga mengangguk-angguk, "aku mengerti. Orang-orang yang tidak senang akan membuat ceritera yang bermacam-macam tentang kalian berdua. Tetapi untuk membawanya ke Tanah Perdikan Menoreh ada Prastawa. Jika Kanthi masih sempat melihat Prastawa, maka hatinya yang terluka itu, akan terasa pedih kembali."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, "Ya. Satu persoalan yang perlu mendapat perhatian, Rara."
"Tetapi kita harus memilih. Aku tinggal disini atau Kanthi ikut bersama kita," berkata Rara Wulan, diluar dua kemungkinan itu, Kanthi sudah mengatakan, bahwa ia memilih mati."
Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru merenung. Dua pilihan yang mempunyai keberatannya masing-masing.
Namun akhirnya Glagah Putih berkata, "Biarlah Kanthi ikut bersama Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan dapat berbicara dengan Prastawa. Kita memerlukan pengertiannya untuk tidak datang keramah kita atau bahkan jika mungkin mengambil jalan lain, jangan lewat didepan rumah kita."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Meskipun ragu-ragu, tetapi ia berkata, "Bagaimana jika Rara berterus terang kepada Kanthi ?"
"Aku tidak sampai hati, Ki Jayaraga," jawab Rara Wulan.
Ki Jayaraga itupun mengangguk-angguk. Jika demikian, biarlah kita mengajaknya pulang. Tetapi tentu setelah senja, agar tidak banyak orang yang melihat dan menyapanya. Meskipun kehamilannya masih belum nampak bagi mereka yang tidak sangat memperhatikan, tetapi jika keberulan satu dua orang yang pernah mendengar persoalan Prastawa mengetahui kehadirannya di Tanah Perdikan, maka akan dapat menimbulkan persoalan baru."
"Aku kira di Tanah Perdikan Menoreh belum ada seorangpun yang mendengarnya," sahut Rara Wulan.
"Tidak Rara. Menurut Prastawa, justru Angreni dan keluarganya sudah mengetahui," desis Ki Jayaraga.
"Jadi keluarga Angreni sudah tahu ?" Rara Wulan terkejut, "betapa gadis itu merasa semakin menang."
"Tidak," Ki Jayaraga menggeleng, "Angreni bukan jenis yang demikian. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Ia dapat mengerti perasaan seorang gadis lain yang sakit karena angan-angannya yang lepas. Juga tentang Prastawa. Untunglah bahwa gadis itu tidak mengalami kesulitan yang parah seperti Kanthi. Ia segera dapat bangkit kembali dan berusaha melupakannya."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi dengan demikian penilaiannya terhadap Angreni yang belum pernah dikenalinya itu menjadi agak berubah. Dalam pada itu, sebelum pembicaraan itu tuntas, maka seorang perempuan berlari-lari mencari Rara Wulan. Dengan gelisah ia berkata, "Kanthi mencarimu, ngger. Kanthi mulai menangis dan gelisah lagi."
"Baik. Baik," jawab Rara Wulan, "aku akan segera datang." Rara Wulanpun yang tergesa-gesa pergi untuk menemui Kanthi masih sempat bertanya kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih, "Jadi kita condong membawa Kanthi ke Tanah Perdikan daripada aku harus tinggal disini ?"
"Ya," jawab Ki Jayaraga, "untuk sementara." Rara Wulanpun segera berlari kebilik Kanthi.
"Kenapa lama sekali ?" bertanya Kanthi yang langsung berpegangan tangan Rara Wulan. "Kau akan meninggalkan aku ?"
"Tidak. Aku baru ke pakiwan dan berbicara sedikit dengan Ki Jayaraga dan kakang Glagah Putih," jawab Rara Wulan.
"Apakah mereka tidak mengijinkan kau tinggal disini atau aku ikut kerumahmu ?" bertanya Kanthi.
"Mereka sama sekali tidak berkeberatan Kanthi," jawab Rara Wulan. Dan bahkan Rara Wulan itupun kemudian sekaligus berkata kepada ibu Kanthi, "Nyi Suracala, biarlah Kanthi bersamaku untuk sementara dirumahku. Mudah-mudahan ia menemukan cahaya dihatinya sehingga hatinya menjadi terang kembali."
Nyi Suracala termangu-mangu sejenak. Namun Kanthi berkata, "Biarlah aku menyingkir dari rumah ini, ibu. Bagi ibu aku adalah anak yang durhaka."
"Tidak. Tidak Kanthi. Apapun yang terjadi atas dirimu, kau tetap anakku. Aku dan ayahmu tidak akan dapat mencuci tangan dan apalagi mengibaskan kau karena kau tengah tergelincir."
Dalam pada itu, maka kakak perempuannyapun berkata, "Kanthi, ayah, ibu, aku dan seluruh keluarga ini justru berusaha membantumu. Bukan berarti kami menganggap kau tidak bersalah. Tetapi setelah kau sendiri mengakuinya bersalah, maka harus diketemukan jalan menuju ke masa depanmu."
Kanti tercenung. Tetapi ia tidak menjawdb. Meskipun demikian ia masih tetap berpegang tangan Rara Wulan.
Sementara itu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah dipersilahkan lagi duduk dipendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan telah dihidangkan.
Pada kesempatan itu, Ki Jayaraga juga menyampaikan keinginan Kanthi dan sekaligus untuk mohon pertimbangannya.
"Jika itu yang diinginkan Kanthi, aku tidak dapat menahannya. Namun masih juga tergantung angger Rara Wulan, apakah ia bersedia membawa Kanthi," desis Ki Suracala dengan nada rendah.
"Rara Wulan sudah menyatakan tidak berkeberatan jika ayah dan ibu Kanthi mengijinkan," jawab Ki Jayaraga.
Ki Suracala hanya dapat mengangguk-angguk. Nalarnya seakan-akan menjadi pepat menghadapi persoalan anak perempuannya itu. Tetapi seperti juga Nyi Suracala, Ki Suracala sama sekali tidak ingin melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Apapun yang terjadi atasanaknya, maka hubungan darah itu tidak akan pernah dapat diputuskan dengan cara apapun juga.
Dalam pembicaraan selanjutnya antara Kanthi, orang tua Kanthi, serta para tamu dari Tanah Perdikan Menoreli itu diputuskan bahwa Kanthi akan ikut bersama Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh.
Merekapun sepakat untuk meninggalkan rumah Ki Suracala itu setelah lewat senja, agar tidak banyak orang yang melihatnya.
Demikianlah, maka ketika gelap malam mulai membayang, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mohon diri. Bersama mereka telah pergi pula Kanthi. Nyi Suracala sempat memeluk anaknya sambil menahan tangisnya yang menyesakkan dadanya.
"Kau tidak boleh terlalu lama pergi Kanthi," berkata ibunya disela isaknya.
Kanthi tidak segera menjawab. Dipandanginya lampu minyak yang sudah menyala dipendapa rumahnya. Kemudian bayangan pepohonan yang mulai menjadi kehitaman. Rumah, halaman dan pepohonan itu adalah bagian dari hidup Kanthi sehari-hari. Namun ia tidak dapat tinggal lebih lama dirumah yang serasa seakan-akan selalu menyiksanya itu.
Kanthi memang juga menitikkan air mata ketika ia minta diri. Tetapi Kanthi merasa lebih baik pergi dari kenangan yang pahit itu. Bahkan jika tidak ada tujuannyapun ia merasa lebih baik pergi kemanapun juga.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka merekapun telah meninggalkan rumah Ki Suracala. Sementara itu gelap mulai menyelimuti perbukitan.
Kanthi yang tidak pernah pergi kemanapun itu merasa betapa jantungnya berdegup keras. Rumah, halaman, pohon soka dan ceplok piring di halaman, harus ditinggalkannya. Kanthi mengerutkan keningnya kelfika ia teringat akan kucing putihnya. Kucing yang banyak menemaninya disaat-saat hatinya gelisah dan bahkan akhirnya menjadi pepat dan gelap.
Kanthilah yang setiap pagi, siang dan sore memberi makan kucing itu.
Tetapi hatinya telah bulat untuk meninggalkan segala-galanya yang ada di dalam rumah itu, termasuk kenangan pahitnya.
Kanthi yang tidak terbiasa berjalan dalam gelap itu telah dibimbing oleh Rara Wulan. Rara Wulan sendiri telah melatih penglihatan dan pendengarannya dengan baik. Iapun telah membiasakan diri untuk berjalan di dalam gelap dan bahkan bertempur dikegelapan. Sehingga karena itu, maka berjalan di dalam gelap itu Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan sebagaimana ia berjalan di siang hari.
Meskipun Kanthi mengalami kesulitan diperjalanan, tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah bertekad untuk meninggalkan rumah dan seisinya. Apapun yang akan dialami diperjalanan dan bahkan di tempat yang dituju, Kanthi tidak mau memikirkannya.
Jalan-jalan di Kademangan Kleringan sudah sepi. Sementara gardu-gardu masih belum terisi. Meskipun demikian di beberapa gardu telah dipasangi lampu minyak, sementara di regol-regol padu-kuhan oncorpun telah menyala.
Namun keempat orang itu tidak dapat berjalan cepat. Rara Wulan yang membimbing Kanthi berusaha untuk mengikuti saja kemampuan langkah Kanthi yang apalagi sedang mengandung muda. Meskipun Rara Wulan belum mengalami, tetapi ia sudah mengetahui bahwa dalam keadaan mengandung muda, seseorang harus sangat berhati-hati.
Beberapa saat kemudian, terasa jalan mulai menanjak. Mereka akan melintasi punggung pegunungan, yang jarang didiami orang. Pepohonan menjadi semakin rapat dan bahkan mereka akan melintasi hutan pegunungan. Meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih juga dihuni oleh binatang buas.
Namun Ki Jayaraga, Glagah Putih, bahkan Rara Wulan mengetahui bahwa jarang sekali seseorang mengalami gangguan binatang buas. Hanya binatang buas yang sudah terlalu tua sehingga tidak mampu lagi memburu kijang sajalah yang merupakan bahaya bagi seseorang.
Namun Rara Wulan yang berjalan di muka sambil membimbing Kanthi termangu-mangu melihat oncor yang menyala di sudut sebuah padukuhan. Ia melihat bayangan beberapa orang yang berkumpul di dekat oncor itu. Bahkan kemudian Rara Wulan mulai mendengar suara tertawa dan bahkan suara ribut diantara mereka.
Kanthi yang kemudian juga melihat mereka ternyata menjadi ketakutan. Dengan eratnya ia berpegangan Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu berdesis, "Jangan takut Kanthi. Mereka tidak apa-apa. Mereka tentu anak-anak muda yang sedang bersiap-siap untuk meronda, bahkan diantara mereka terdapat anak-anak muda yang tidak sedang bertugas, namun mereka ikut berkumpul disudut padukuhan.
"Rara itu padukuhan Cerma," desis Kanthi.
"O," Rara Wulan memang belum mengetahui namun padukuhan itu.
"Aku takut," desis Kanthi.
"Kenapa ?" bertanya Rara Wulan.
"Aku lupa mengatakannya, bahwa padukuhan itu banyak dihindari oleh gadis-gadis," jawab Kanthi. Namun kemudian katanya, "Meskipun aku bukan gadis lagi, tetapi aku takut. Apakah kita dapat kembali dan memilih jalan lain ?"
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya orang-orang yang berkumpul didekat oncor itu sudah melihat mereka. Karena itu, Rara Wulan berkata, "Mereka sudah melihat kita. Tidak ada gunanya kita memilih jalan lain. Jika mereka memang ingin mengganggu, maka mereka tentu akan mengejar kita! Karena itu, sebaiknya kita berjalan terus. Mungkin mereka sama sekali tidak berniat buruk. Hanya prasangka kita sajalah yang justru telah membayangi kita."
"Tidak Rara. Anak-anak padukuhan Cerma memang sering mengganggu gadis-gadis, bahkan perempuan-perempuan yang telah berkeluarga pula. Semua orang Kleringan mengetahui hal itu," desis Kanthi yang justru telah berhenti.
Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang berjalan dibelakang telah berhenti pula. Namun seperti Rara Wulan, Glagah Putih berdesis, "Tidak apa-apa Kanthi. Kita akan menyapa mereka dengan baik. Mereka tentu dapat membedakan apakah seseorang dapat diganggu atau tidak."
Mereka tidak dapat berbicara lebih lanjut. Bahkan Kanthi justru telah bergeser, berdiri dibelakang Rara Wulan sambil berpegangan kedua lengannya, "Aku takut."
Ternyata seperti yang diduga oleh Rara Wulan, anak-anak muda yang duduk disebelah oncor itu telah melihat keempat orang yang sedang dalam perjalanan menuju keseberang bukit. Ketika keempat orang itu berhenti, maka seorang anak muda telah berkata lantang, "He, kenapa kalian berhenti " Apakah kalian mengira bahwa kami sekelompok penyamun yang menghadang perjalanan kalian."
Rara Wulanlah yang berdesis, "Nah, kau dengar itu. Mereka agaknya justru telah tersinggung, karena kita berhenti disini."
Kanthi masih saja termangu-mangu. Namun suara yang lain berkata, "Apakah kami harus menjemput kalian dan kemudian mengantar kalian sampai kebukit ?"
Rara Wulanpun berdesis pula, "Marilah, jangan takut."
Kanthi masih saja ragu-ragu. Namun Ki Jayaragapun berkata pula, "Marilah. Kita berjalan terus."
Keempat orang itu kembali melangkah melanjutkan perjalanan. Kanthi berjalan dibelakang Rara Wulan sambil berpegangan erat-erat. Namun Rara Wulan seperti berjalan saja tanpa ragu-ragu sama sekali.
Namun sebenarnyalah Rara Wulan memang menjadi curiga. Ia justru condong untuk mempercayai kata-kata Kanthi.
Ketika keempat orang itu semakin mendekat, maka orang-orang yang berkerumun disekita oncor itu sama sekali tidak mau menyibak.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang kemudian berjalan didepan berdesis, "Maaf Ki Sanak. Kami akan lewat."
Orang-orang yang berkerumun disekitar obor itu semuanya berpaling kearah Glagah Putih. Mereka semua adalah anak-anak muda sebaya dengan Glagah Putih itu. Disebelah mereka berserakkan bumbung-bumbung kecil yang berbau tuak. Mulut-mulut anak-anak muda itupun berbau tuak pula.
Seorang diantara mereka melangkah mendekati Glagah Putih. Namun ia berhenti beberapa langkah daripadanya. Dari keseimbangannya yang gontai nampak bahwa anak muda itu sedikit mabuk oleh tuak.
Sambil memandang Glagah Putih dengan tajamnya anak muda itu bertanya, "He, kau akan membawa perempuan-perempuan itu ke mana ?"
"Mereka adalah saudara-saudaraku," jawab Glarah Putih, "aku sedang.dalarn perjalanan pulang."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Jangan berbohong. Perempuan itu tentu kau ambil dari rumah Nyi Sunthi. He, akan kau bawa ke mana mereka itu ?"
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "aku bukan orang Kademangan ini. Aku tidak mengenal Nyi Sunthi. Kedua perempuan ini adalah adikku yang akan aku ajak pulang. Kami baru saja berkunjung kerumah saudaraku pula."
Beberapa orang anak muda itu justru tertawa serentak. Seorang diantara mereka berkata, "Kebetulan sekali jika perempuan-perempuan itu tidak kau ambil dari rumah Nyi Sunthi. Tinggalkan mereka disini. Kami memerlukan keduanya. Jika kau masih mempunyai adik perempuan lagi, ambillah dan bawa pula kemari. Dua atau tiga atau empat. Kami semua disini berjumlah sebelas orang."
Kanthi berpegangan Rara Wulan semakin erat. Tubuhnya menggigil dan keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Ada penyesalan tumbuh dihatinya. Jika ia tidak pergi dari rumahnya, maka ia tidak akan bertemu dengan anak-anak muda yang sedang mabuk itu. Anak-anak muda yang akan dapat semakin menghancurkan hidup dan masa depannya.
Tetapi nampaknya Rara Wulan sama sekali tidak menjadi ketakutan. Ia masih saja berdiri dengan tegar memandang anak-anak muda itu dengan wajah tengadah.
Yang kemudian menjawab adalah Glagah Putih, "Ki Sanak. Jangan merendahkan martabat saudara-saudaraku. Itu akan dapat berakibat kurang baik."
"Persetan kau," geram seorang anak muda yang sejak semula duduk berdiam diri. Seorang anak muda yang bertubuh tinggi besar. Wajahnya nampak keras seperti batu padas. Namun dari mulutnya juga menghambur bau tuak, "pergi kau anak iblis. Bawa orang tua itu. Apakah ia ayahmu ?"
"Ya," jawab Glagah Putih, "Kami memang sekeluarga."
"Nah, sebelum kami kehilangan kesabaran, maka pergilah. Tinggal kedua perempuan itu disini. Nanti, lewat tengah malam ambil keduanya. Aku akan membiarkan mereka pergi."
Kanthi menjadi semakin ketakutan. Tetapi Rara Wulan menjadi sangat marah. Apalagi ketika anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya sambil berkata, "Bawa oncor itu kemari."
Seorang anak muda telah mengambil oncor itu dan membawa mendekat Rara Wulan dan Kanthi yang berpegangan erat-erat.
"Aku ingin melihat wajah mereka dengan jelas," berkata anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Namun Kanthi berusaha menyembunyikan wajahnya dibelakang kepala Rara Wulan. Ia merasa bahwa diantara anak-anak muda itu tentu sudah adayang mengenalnya dan bahkan mungkin mengetahui apa yang telah terjadi atasnya. Jika demikian, maka persoalannya mungkin akan menjadi semakin rumit baginya. Anak-anak muda itu tentu menganggapnya sebagai perempuan yang tidak berharga dan dapat diperlakukan apa saja."
Namun anak muda yang membawa oncor itu terhenti ketika Glagah Putih melangkah dan berdiri selangkah dihadapannya.
"Jangan ganggu adik-adikku," berkata Glagah Putih.
"Gila kau," anak muda yang bertubuh raksasa itu mengumpat, "apakah kau ingin mengalami nasib paling buruk ?"
Tetapi Glagah Putih tidak bergeser. Katanya, "Setiap orang berhak membela diri dari serangan orang lain. Apakah serangan itu dalam ujud kewadagan kami atau serangan yang menyakiti hati kami."
"He, kau mau apa kelinci kecil " Kau tentu dapat menghitung jumlah kami. Sebelas orang, kami dapat membunuhmu disini sekarang juga bersama ayahmu. Baru kemudian besok pagi kami bunuh kedua perempuan itu. Atau jika tidak, kami simpan perempuan-perempuan itu barang tiga atau lima hari. Baru kemudian kami lemparkan kedalam jurang."
"Penghinaan itu sudah cukup," berkata Glagah Putih, "pergilah. Beri kami jalan."
Anak muda yang bertubuh raksalsa itu tidak menghiraukan kata-kata Glagah Putih. Iapun kemudian menyambar oncor ditangan kawannya dan melangkah mendekati Rara Wulan dan Kanthi yang ketakutan. Tetapi sekali lagi Glagah Putih menghalangi langkahnya.
Dengan marah anak muda bertubuh raksasa itu mendorong Glagah Putih kesamping. Namun anak muda itu terkejut. Ia sendiri justru terdorong selangkah dan hampir saja jatuh terguling. Sementara itu Glagah Putih masih berdiri tegak ditempatnya.
Anak muda bertubuh raksasa itu kemudian berdiri termangu-mangu sambil memandang Glagah Putih yang tegak dengan kedua kakinya yang bagaikan menghunjam sampai ke pusat bumi.
Anak muda bertubuh raksasa itu agaknya tidak mau melihat kenyataan yang baru saja terjadi. Ia menganggapnya sebagai satu kebetulan atau bahkan sesuatu yang tidak pernah terjadi.
Beberapa orang kawannyapun sempat mengerutkan dahi mereka. Tetapi dibawah pengaruh tuak yang mengeruhkan otak mereka, maka merekapun tidak mau tahu kenyataan itu.
Bahkan mereka yang masih belum dicengkam oleh pengaruh tuakpun menganggap bahwa yang terjadi itu adalah satu kebetulan, bahkan satu kecelakaan kecil.
Karena itu, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu kemudian menggeram sambil berkata, "Iblis kecil. Sekali lagi aku peringatkan, jangan membantah. Aku tidak mau mendengar seseorang menentang kehendakku. Karena itu, minggirlah. Ajak setan tua itu pergi. Nanti setelah lewat tengah malam, atau besok pagi-pagi, datanglah kemari. Kedua perempuan itu sudah menunggumu disini."
Glagah Putih yang sudah kehabisan kesabaran itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya telah melayang menampar mulut anak muda itu. Tamparan yang cukup keras sehingga bibir anak muda itu terasa menjadi pedih. Darah yang merah telah mengalir dari bibirnya yang pecah.
Anak muda itu menyeringai. Bukan saja menahan sakit, tetapi juga karena kemarahan yang membakar ubun-ubunnya.
Karena itu, maka tanpa berbicara lagi, maka tiba-tiba saja anak itu menyerang Glagah Putih. Dengan derasnya tangannya terayun mengarah ke kening Glagah Putih.
Glagah Putih sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia menangkis serangan itu dengan tangannya pula.
Ketika benturan terjadi, maka tulang anak muda bertubuh raksasa itu terasa seakan-akan menjadi retak. Kemudian belum lagi ia sempat mengatasi perasaan sakit, maka tangan Glagah Putih telah memukul perutnya. Meskipun Glagah Putih tidak menghentakkan seluruh tenaganya, namun pukulan itu membuat perutnya menjadi sangat sakit dan mual. Anak muda bertubuh raksasa itu terbungkuk sejenak. Namun kemudian lutut Glagah Putih menghantam dahinya, sehingga anak muda itu terdorong dengan derasnya beberapa langkah surut dan terbanting jatuh terlentang ditanah.
Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga tidak seorang-pun diantara anak-anak muda itu yang sempat membantu. Baru kemudian anak-anak muda itu menyadari, apa yang telah terjadi dihadapan hidung mereka.
Dengan susah payah anak muda bertubi\h raksasa itu berusaha bangkit. Ketika seorang kawannya berusaha membantunya, maka tangannya segera dikibaskannya sambil menggeram, "Lepaskan. Aku tidak apa-apa. Aku dapat bangkit sendiri."
Kawannya memang segera melepaskannya. Tetapi anak muda itu justru hampir terjatuh lagi. Namun kemudian ia mampu untuk berdiri diatas kedua kakinya meskipun masih goyah.
Perasaan sakit menjalar diseluruh tubuhnya. Bibirnya yang pecah. Tangannya yang terasa retak. Perutnya yang mual dan nafasnya yang menjadi sesak. Tetapi juga dahinya yang membentur lutut lawannya itu.
Dengan wajah yang merah padam anak muda itu melangkah maju. Kemudian dengan lantang ia berkata, "Tangkap mereka. Kita akan menunjukkan kepada kedua laki-laki itu, apa yang akan kita lakukan terhadap perempuan-perempuan mereka."
Perintah itu memang tidak perlu diulangi. Anak-anak muda itu benar-benar merasa terhina oleh perlakuan Glagah Putih terhadap kawannya yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, beberapa orang anak muda segera berloncatan maju menghadapi Glagah Putih.
Seorang diantara anak-anak muda itu telah memungut oncor yang terlempar, namun yang masih tetap menyala itu. Ia berniat mempergunakan oncor itu sebagai senjata. Karena itu, demikian anak muda bertubuh raksasa itu memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerang, anak muda yang membawa oncor telah menjulurkan apinya kearah tubuh Glagah Putih.
Tetapi ia terkejut sekali ketika tanpa diketahui apa yang telah terjadi, oncor itu telah berpindah ditangan Glagah Putih.
Bahkan Glagah Putihlah yang kemudian menjulurkan oncor itu kearah,beberapa orang anak muda yang siap menyerangnya.
Tetapi tidak semua anak muda itu menyerang Glagah putih. Dua orang diantaranya berusaha untuk menangkap Ki Jayaraga yang berdiri saja mematung.
Ketika keduanya mendekati Ki Jayaraga, maka Ki Jayaragapun berkata, "Anak-anak muda. Bukankah aku tidak melibatkan diri sama sekali. Kenapa kalian juga akan menyerang aku?"


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin menangkapmu kakek tua. Kemudian mengikatmu agar kau sempat menyaksikan apa yang akan terjadi kemudian."
Ki Jayaraga tidak menjawab. Namun demikian kedua anak muda itu mendekat dan berusaha menangkapnya, maka keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh.
Karena keduanya sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi, maka keduanya telah berteriak karena terkejut dan kesakitan.
Tetapi dengan cepat keduanyapun bangkit berdiri meskipun punggung mereka masih terasa nyeri.
Dalam pada itu, Glagah Putih masih berkelahi melawan beberapa orang anak muda yang kemudian mengepungnya. Tetapi tidak seo-rangpun yang segera berani mendekatinya, karena Glagah Putih memegang oncor yang masih menyala.
Tetapi karena itu, maka beberapa orang anak muda justru mempunyai perhitungan lain. Termasuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Anak muda yang bertubuh raksasa itu justru tidak lagi berusaha untuk menyerang Glagah Putih bersama beberapa orang kawannya. Kecuali tulang-tulangnya dan bahkan bibirnya dan dahinya masih terasa sakit, maka iapurr memperhitungkan jika ia menguasai kedua orang perempuan itu, maka mereka akan dengan mudah dapat menghentikan perlawanan kedua orang laki-laki yang menyertai kedua orang perempuan itu dan yang mengaku keluarganya.
Kanthi yang ketakutan menjadi semakin ketakutan. Namun Rara Wulan itupun berkata, "Kanthi, jangan berpegangan aku. Minggirlah, biar aku mencegah mereka menyentuhmu."
Kanthi sudah mengetahui bahwa Rara Wulan memiliki kemampuan untuk berkelahi. Tetapi saat itu lawannya tidak hanya seorang.
"Minggirlah Kanthi. Jangan berpegangan lagi. Tenanglah," berkata Rara Wulan.
Tetapi Kanthi tidak segera melepaskannya. Karena itu, Rara Wulan itu berkata lagi, "Jika kau tidak melepaskan aku, maka aku tidak akan sempat melawan mereka."
Meskipun dengan ketakutan, tetapi Kanthi melepaskan Rara Wulan.
Tiga orang anak muda telah mendekatinya termasuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun ketiganya terkejut ketika Rara Wulan menyingsingkan kain panjangnya.
Ketika ketiganya sedang termangu-mangu, maka Rara Wulanpun telah bersiap untuk melawan mereka.
Tetapi seorang diantara anak-anak muda itu justru bertanya, "He, apa yang sedang kau lakukan?"
"Nah, sekarang apa yang kau maui?" bertanya Rara Wulan.
Ketika anak muda itu menjadi terheran-heran. Mereka tidak terbiasa melihat pakaian yang dikenakan dibawah kain panjang Rara Wulan. Sementara itu Rara Wulan berkata, "Ayo, apa yang kalian inginkan dari aku?"
Laki-laki yang bertubuh raksasa itulah yang kemudian menjawab, "Aku inginkan kau. Menyerahlah."
Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya ketika anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya.
"Anak muda yang mengaku kakakmu itu akan mati. Orang tua itupun akan mati pula. Tetapi jika kalian berdua menuruti keinginan kami, maka keduanya akan selamat."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah anak muda yang bertubuh raksasa itu berteriak kesakitan, "Iblis betina. Kau akan menyesal dengan tingkah lakumu."
Rara Wulan tidak menjawab. Dipandanginya anak muda yang mengusap bibirnya. Bibirnya yang pecah itu masih terasa pedih. Namun ternyata Rara Wulan tetap menamparnya sekali lagi, sehingga darah yang mulai berhenti mengalir itu telah mengembun lagi.
Kepada kedua kawannya, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu memberi isyarat untuk menangkap Rara Wulan. Karena itu, maka bertiga mereka maju bersama-sama.
Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan dirinya ditangkap. Dengan cepat iapun meloncat menyerang. Mula-mula kakinya menyambar seorang anak muda yang kekurus-kurusan yang menjulurkan tangannya untuk menangkap Rara Wulan. Demikian kaki itu menyambar dada, maka anak muda itupun telah terlempar dan jatuh terlentang. Demikian ia berusaha untuk bangkit, maka kawannya yang seorang lagi telah mengaduh kesakitan. Tangan Rara Wulan melayang menampar keningnya, sehingga matanya menjadi berkunang-kunang. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka tangan Rara Wulan yang lain telah menghantam lambungnya.
Sementara itu, anak muda yang bertubuh raksasa itulah yang kemudian menyerangnya. Ia tidak lagi menahan dirinya. Kakinya terjulur kearah perut Rara Wulan.
Tetapi Rara Wulan cukup tangkas. Ditebaskannya kaki lawannya kesamping. Demikian anak muda bertubuh raksasa itu terputar oleh kakinya sendiri yang terdorong menyamping, maka Rara Wulanpun melenting dengan satu putaran. Kakinya melayang mendatar menghantam dadanya.
Anak muda yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak jatuh terlentang.
Sementara itu, sebelas orang anak muda itupun telah bergerak seluruhnya. Yang terjatuh telah berusaha bangkit. Yang kesakitan berusaha menyembunyikan perasaan sakitnya.
"Kepung mereka," teriak anak muda yang bertubuh raksasa yang agaknya mempunyai pengaruh terbesar diantara kawan-kawannya.
Sebelas anak muda itupun segera membuat lingkaran untuk mengepung mereka. Beberapa orang terpaksa berdiri diatas tanggul diseberang parit dipinggir jalan itu.
Anak muda yang bertubuh raksasa itupun kemudian menggeram, "Kami akan bersungguh-sungguh. Tidak seorangpun dari kalian yang akan dapat lolos. Kami akan memperlakukan kalian lebih buruk dari yang kami inginkan semula. Tetapi itu adalah akibat dari kesombongan kalian sendiri."
Glagah Putih masih berdiri membawa oncor ditangannya. Rara Wulan bersiap disisi yang lain, membelakangi Kanthi yang gemetar. Sedangkan Ki Jayaraga termangu-mangu memandangi anak-anak muda yang sedang marah itu.
Ketika anak-anak itu mulai bergeser mendekat sehingga kepungan mereka menjadi menyempit, Ki Jayaraga masih sempat berkhayal, "Anak-anak muda. Sebaiknya kalian berpikir sekali lagi sebelum mengambil langkah berikutnya. Bertanyalah kepada diri kalian sendiri, apakah sebenarnya yang sedang kalian lakukan ini" Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai tatanan hidup di padukuhan kalian" Atau hal ini kalian lakukan tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku atau dengan tindakan seperti ini kalian merasa menjadi laki-laki jantan yang berani menentang nilai-nilai yang berlaku didalam pergaulan sesama?"
Pertanyaan itu memang sempat singgah dibenak anak-anak muda itu. Ada diantara mereka yang memang bertanya kepada diri sendiri, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu.
Bahkan jika mendapat kesempatan, mereka masing-masing akan dapat menilai, apakah yang mereka lakukan itu baik atau buruk.
Tetapi dalam kelompok yang terhitung besar itu, mereka seakan-akan telah kehilangan pribadi mereka masing-masing. Mereka dikendalikan oleh sikap kebersamaan yang gelap.
Yang kemudian menjawab adalah anak muda yang bertubuh raksasa, "Aku tidak peduli apakah yang kau katakan. Aku juga tidak peduli anggapan orang lain. Tetapi kami tidak mau dihinakan dengan cara apapun juga."
"Apakah kami telah menghinakan kalian?" bertanya Ki Jayaraga, "bukankah kami tidak berbuat apa-apa?"
"Iblis tua," geram anak muda bertubuh raksasa itu, "kalian telah menghina kami karena kalian tidak mau tunduk kepada kami. Kalian berani menentang keinginan kami. Selanjutnya kalian telah mencoba untuk melawan kami dengan kekerasan."
"Tetapi apakah jawab kalian" Siapakah yang memaksa kami untuk berbuat demikian?" bertanya Ki Jayaraga.
"Aku tidak peduli. Tetapi kalian harus mendapat hukuman yang paling berat yang pernah kami berikan kepada orang-orang yang bersalah terhadap kami."
"Apakah kalian berhak memberikan hukuman?" bertanya Glagah Putih.
"Kenapa tidak. Jika kami kuasa melakukannya, maka adalah hak kami untuk melakukannya," jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu.
"Itukah landasan jalan pikiranmu" Siapa yang kuat, ia dapat memperlakukan apa saja terhadap yang lemah?" bertanya Glagah Putih pula.
"Ya," jawab anak muda itu.
"Bagus," desis Glagah Putih, "aku akan melakukan menurut jalan pikiranmu."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya anak muda bertubuh raksasa itu.
"Menghukum kalian, karena diantara kelompokku dan kelompokmu, kelompokkulah yang terkuat," jawab Glagah Putih.
Wajah anak muda itu menjadi merah. Karena itu, maka iapun segera meneriakkan perintah, "Tangkap semuanya. Aku tidak berkeberatan kalian terpaksa membual mereka tidak berdaya sama sekali. Bukankah kita berhak menghukum mereka?"
Sebelas orang itu bergerak bersama-sama. Namun demikian mereka melangkah, maka mereka terkejut Glagah Putih justru telah memadamkan oncor itu dengan menyurukkannya ke tanah.
Malanipun menjadi gelap. Sesaat mereka tidak melihat sesuatu. Kanthi menjerit. Namun Rara Wulan segera mendekapnya sambil berdesis, "Aku disini. Tidak apa-apa."
Dalam waktu yang singkat, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan kemudian Rara Wulan segera dapat menyesuaikan diri. Penglihatan mereka yang terlatih tidak banyak mengalami kesulitan meskipun malam menjadi gelap.
Kepada Kanthi, Rara Wulan berkata, "Kau berdiri saja disitu Kanthi. Jangan bergeser kemana-mana. Kami bertiga melindungimu."
"Jangan takut. Mereka tidak berbahaya bagi kita," Glagah Putih juga berdesis.
Kanthi mengangguk. Tetapi tubuhnya masih gemetar.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih mulai berloncatan. Demikian pula Rara Wulan dan bahkan juga Ki Jayaraga.
Perkelahian pun segera terjadi. Anak-anak muda itu berkelahi sambil berteriak-teriak. Tetapi gelap malam memang terasa mengganggu bagi mereka karena ketajaman penglihatan mereka tidak dapat menyamai ketajaman penglihatan Glagah Putih, Rara Wulan dan apalagi Ki Jayaraga.
Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung terlalu lama. Setiap kali terdengar seorang berteriak kesakitan. Kemudian yang lain memekik tinggi. Tetapi kemudian mengumpat-umpat kasar.
Ternyata keributan itu telah didengar oleh orang-orang padukuhan itu. Orang yang mendengar teriakan-teriakan dan pekik tinggi mula-mula berusaha untuk tidak menghiraukan. Mungkin anak-anak muda yang sering berkumpul disidut padukuhan itu sedang bergurau. Tetapi kemudian karena teriakan-teriakan itu semakin keras, mereka mengira bahwa anak-anak itu telah mencegat orang dan memperlakukannya tidak sewajarnya sebagaimana sering mereka lakukan tanpa dapat dihalangi.
Namun kemudian orang itu tidak tahan lagi. Ia bangkit dan dengan hati-hati pergi keluar meskipun isterinya melarangnya.
"Kau tidak akan dapat menghalangi kemauan anak-anak itu," berkata isterinya.
Tetapi laki-laki itu tetap saja keluar sambil berkata, "Aku akan mengajak beberapa orang untuk melihat, apa yang terjadi."
Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang tidak dapat menahan hati telah pergi ke sudut desa. Peristiwa yang sering terjadi di padukuhan mereka telah membuat nama padukuhan mereka semakin lama menjadi semakin buruk.
Dalam keadaan yang semakin memuncak, maka orang-orang tua mereka perlu untuk mencampuri persoalan anak-anak muda itu, karena mereka yakin bahwa yang sering mengganggu orang-orang lewat tidak sedap anak muda di padukuhan itu.
Dalam pada itu, maka beberapa orang dan bahkan juga beberapa orang anak muda telah bergerak kesudut padukuhan. Dua orang diantara mereka telah memanggil Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Mereka terpanggil untuk melindungi nama padukuhan mereka setelah untuk waktu yang cukup lama dicaci orang.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang itu telah sampai ke sudut padukuhan. Mereka tertegun melihat apa yang terjadi. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan berdiri tegak, sementara beberapa orang anak muda duduk ditanah dihadapan mereka sambil menunduk.
Melihat beberapa orang datang, maka Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Rara Wulan telah bersiap pula. Sementara Kanthi telah berpegangan Rara Wulan lagi dengan eratnya.
Beberapa saat orang-orang yang datang itu berdiri termangu-mangu. Seorang yang tertua diantara merekapun melangkah maju dengan ragu-ragu. Kemudian orang itupun bertanya, "Apa yang telah terjadi disini?"
Glagah Putih yang curiga bahwa orang-orang itu datang untuk membantu anak-anak muda yang telah mereka tundukkan itu menjawab, "Ki Sanak, bertanyalah kepada mereka. Aku harap mereka tidak berbohong."
Orang tertua diantara mereka itu termangu-mangu. Namun kemudian orang-orang itu menyibak ketika Ki Bekel dan Ki Jagabaya datang.
"Ki Bekel," desis seseorang.
Dari gemeremang orang-orang padukuhan itu, Glagah Putih mengetahui bahwa yang datang itu adalah Ki Bekel dan Ki Jagabaya.
Ketika Ki Bekel bertanya, maka Glagah Putih telah mengulangi jawabannya, "bertanyalah kepada mereka."
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia memang bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
Anak-anak muda itu tidak segera menjawab. Sehingga Ki Bekel telah mengulanginya lagi, "Apa yang telah terjadi, he?"
Anak-anak muda itu masih berdiam diri. Sehingga Ki Bekel mulai menjadi jengkel, "He, apa yang terjadi?"
Karena anak-anak muda itu masih berdiam diri sambil duduk menunduk, maka Ki Bekel telah melangkah mendekati anak muda yang bertubuh raksasa itu sambil berkata, "Nah, kau lagi. Apa yang terjadi?"
Ki Bekel telah mencengkam tengkuk orang itu dan mengguncangnya, "Apa yang terjadi" He, apakah kau mulai menjadi bisu?"
Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak dapat ingkar lagi. Meskipun demikian ia mencoba untuk mengurangi beban kesalahannya, "Ki Bekel. Kami hanya menanyakan keempat orang yang berjalan malam hari lewat padukuhan ini, dari mana dan ke mana. Tetapi terjadi salah paham."
Ki Bekel tiba-tiba mengangkat wajah anak muda ini sambil bertanya, "Kau mabuk lagi?"
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ketika Ki Bekel melepaskan tangannya yang mendorong dahi anak itu sehingga wajah anak itu menengadah berkata, "Kau mabuk lagi. Dan kau tentu berbohong. Diantara keempat orang lewat itu terdapat dua orang perempuan. Nah, apa yang terjadi?"
Anak muda itu menunduk saja. Sehingga Ki Bekelpun kemudian menghadap kearah Glagah Putih sambil bertanya, "Apa yang terjadi" Katakan agar segera jelas bagiku."
Sebelum Glagah Putih menjawab, Ki Jayaragalah yang mendahuluinya, karena ia masih saja cemas, bahwa jawaban Glagah Putih tidak memuaskan Ki Bekel sehingga akan benar-benar dapat terjadi salah paham.
"Ki Bekel," berkata Ki Jayaraga, "sebenarnyalah bahwa kami berempat akan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh lewat jalan ini. Tetapi anak-anak muda itu mengganggu kami. Mereka agaknya sebagian sedang mabuk tuak. Mereka merendahkan martabat perempuan bukan saja yang berjalan bersama kami. Karena itu, kami terpaksa membela diri dan memaksa mereka untuk menghentikan perlawanan mereka."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Berempat mereka telah mengalahkan sebelas orang anak muda yang termasuk disegani di padukuhan itu.
Tetapi karena Ki Jayaraga menyebut dirinya akan menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Bekel itupun bertanya, "Apakah Ki Sanak termasuk keluarga dari Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya Ki Bekel. Anak muda ini adalah Glagah Putih saudara sepupu Agung Sedayu."
"Saudara sepupu Ki Lurah Agung Sedayu?" ulang Ki Bekel.
"Ki Bekel mengenal Agung Sedayu?" bertanya Ki Jayaraga.
Ki Bekel itu memandang Ki Jayaraga dengan bimbang. Namun kemudian iapun menjawab, "Secara pribadi aku memang belum mengenal, Ki Sanak. Tetapi aku tahu, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain."
"Ya. Ia memang pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh," jawab Ki Jayaraga.
"Jika demikian, kami harus mohon maaf jika terjadi salah paham di padukuhan ini," berkata Ki Bekel.
"Sama sekali bukan salah paham Ki Bekel," berkata Glagah Putih.
"Maksud angger?" bertanya Ki Bekel.
"Kami memang tidak salah paham. Kami tahu pasti bahwa anak-anak muda ini ingin mengganggu kedua orang adik kami. Mereka minta kami meninggalkan adik perempuan kami disini dan mengambil besok pagi. Jika kami tidak mau memenuhi perintahnya, mereka akan memperlakukan kami dengan cara yang sangat buruk. Ki Jayaraga diancam akan diikat untuk menyesali keberaniannya menentang perintah anak-anak muda ini. Nah, jika karena itu kami mempertahankan kehormatan dan harga diri kami, apakah itu salah paham?"
"O," wajah Ki Bekel menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menarik rambut anak muda yang bertubuh raksasa itu sehingga wajahnya menengadah, "Katakan, apakah itu sekedar salah paham" He?"
Ketika Ki Bekel menghentakkan rambat anak muda itu, maka anak muda itu menyeringai kesakilan. Sementara Ki Jagabaya berdiri disebelahnya sambil menggeram, "jawab. Apakah itu salah paham?"
"Tidak, Bukan salah paham," jawab anak muda itu.
"Berapa kali aku memperingatkanmu. Tetapi kau masih saja melakukannya. Setiap kali aku bertindak lebih keras, maka kau, kawan-kawanmu dan bahkan orang yang tidak tahu menahu selalu menyalahkan aku. Mereka selalu menganggap bahwa aku telah berbuat sewenang-wenang. Tetapi apa yang terjadi sekarang" Lihat, angger sepupu Ki Lurah Agung Sedayu itu juga masih muda. Semuda kalian semuanya. Tetapi aku tidak yakin, bahwa anak muda itu berbuat sebagaimana yang kau lakukan itu." bentak Ki Jagabaya.
The Hunger Games 4 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Tiga Paderi Pemetik Bunga 1

Cari Blog Ini