Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 28

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 28


sebagai seorang ibu, ia menjadi sangat sedih melihat keadaan pu-teraya. Apalagi puteraya itu telah ditetapkan untuk menggantikan kedudukan Panembahan Senapati, memimpin Mataram yang di harapkan akan menjadi semakin besar.
Namun yang lebih menyedihkan lagi, Pangeran Adipati Anom telah dilukai oleh pamannya sendiri, Kangjeng Adipati Pragola dari Pati.
Panembahan Senapati nampaknya memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali turun kemedan pertempuran sendiri. Meskipun Panembahan Senapati menyadari, siapa yang akan dihadapinya, tetapi ia
tidak dapat berbuat lain. Sebagai pemimpin tertinggi Mataram, ia harus memegang tongkat kepemimpinannya jika ia tidak ingin kehilangan wibawanya, dan tidak menginginkan Mataram kehilangan gemanya sehingga akhirnya setiap Adipati akan memalingkan wajahnya.
Itulah sebabnya, maka Panembaan Senapati memutuskan untuk berangkat ke medan perang.
- Terserah kepada kakanda " berkata ibu Pangeran Adiapti Anom sambil mengusap matanya yang basah " adikku itu benar-benar sudah tidak lagi mengingat siapakah yang dihadapinya. Demikianlah, dikeesokan harinya, Panembahan Senapati sendiri telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Prambanan. Segala macam pertanda kebesaran serta isyarat perang telah disiapkan. Panembahan Senapati sendiri akan pergi ke Prambanan dengan prajurit terbaik dari pasukan berkuda.
- Aku bawa pasukan pengawal dan pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Siapkan Kuda, hanya bagi mereka yang terbaik akan pergi bersamaku. Tidak semuanya. Pasukan Mataram yang ada di Prambanan sudah cukup kuat menghadapi pasukan Pati. Demikian, maka perintahpun segera disampaikan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Ia akan membawa dua kelompok prajurit terbaiknya bersama dengan pasukan pengawal dan pasukan berkuda.
Sementara itu Ki Tumenggung Wirayuda masih mendapat tugas untuk menjaga agar tidak ada prajurit Pati yang menyusup memasuki kota.
Ketika segala keperluan telah dipersiapkan, maka Panembahan Senapati telah menentukan, berangkat dikeesokan harinya ke perkemahan di Prambanan.
Malam sebelumnya, dua orang penghubung telah mendahului untuk menyampaikan pemberitahuan akan kedatangan Panembahan Senapati sendiri, sehingga di perkemahanpun telah dilakukan persiapan penyambutan serta pengamanan seperlunya tanpa menarik perhatian para petugas sandi dari Pati.
Disaat yang telah direncanakan, menjelang fajar, maka Panembahan Senapati serta para pengawalnya, sepasukan prajurit berkuda
telah meninggalkan kotaraja menuju ke Prambanan.
Derap kaki kudapun menggetarkan udara disepanjang perjalanan mereka. Debu yang terhambur dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang.
Disepanjang perjalanan, seakan-akan tidak sepatah katapun terucapkan. Baik oleh Panembahan Senapati sendiri maupun oleh prajurit-prajuritnya. Bahkan seorang kepercayaan Panembahan Senapati yang kuat bersamanya, Ki Patih Mandaraka.
Meskipun usia Ki Patih yang sudah menjadi semakin tua, namun ternyata Ki Patih Mandaraka masih tangkas duduk dipunggung kudanya yang berlari kencang.
Kedatangan Panembahan Senapati di Prambanan membuat jantung para prjurit bagaikan menyala. Ketika Pangeran Adipati Anom dibawa kembali ke Mataram karena keadaannya, maka jantung para prajurit itu seraya menjadi kedinginan. Rasa-rasanya mereka dilepas di padang perburuan yang garang tanpa bimbingan tangan yang kuat dan bertenaga.
Demikian Panembahan Senapati itu hadir diperkemahan, maka para Senapatipun segera memerintahkan memasang segala pertanda kebesaran. Dengan terbuka para Senapati menyatakan bahwa Panembahan Senapati dari Mataram telah berada di perkemahan itu.
Bersamaan dengan itu, maka pengamananpun menjadi semakin rapat Pasukan Untara, khususnya yang berada dibawah pimpinan Sa-bungsari masih bergerak seperti seekor burung alap-alap, sehingga prajurit Pati memang mengalami kesulitan dengan persediaan bahan pangan mereka.
Namun kesulitan bahan pangan itu telah memaksa Kangjeng Adipati Pragola dari Pati untuk mempercepat gerak pasukannya. Kangjeng Adipati Pragola yang merasa yakin akan dapat mengalahkan pasukan Mataram dan kemudian memasuki pintu gerbang kota, bukan saja tidak akan kekurangan bahan pangan lagi, tetapi Kangjeng Adipati Pati akan memegang kekuasaan tertinggi Di Mataram dan segala wilayah yang mengakui kuasanya.
Kehadiran Panembahan Senapati di Prambanan memang diharapkannya. Dengan demikian ia akan memaksa pasukan Mataram menyerah sebelum pasukan Pati memasuki pintu gerbang kota.
Karena itu, maka demikian Kangjeng Adipati Pragola mengetahui bahwa Panembahan Senapati sudah berada di Prambanan, maka iapun segera memerintahkan para Senapatinya untuk mengatur pasukannya sebaik-baiknya.
" Yang kita hadapi sekarang adalah Panembahan Senapati itu sendiri. Seorang yang licik dan banyak akal. Bukan lagi anaknya yang baru belajar berjalan itu lagi. " berkata Kangjeng Adipati Pragola dari Pati " karena itu, Kita tidak boleh tertipu. Apapun yang akan ditawarkannya, aku tidak akan menerimanya kecuali prajurit Mataram harus meletakkan senjatanya dan menjadi tawanan perang. Kami akan mengikat tangan mereka dan menggiring mereka ke sebuah barak di-bwah ancaman ujung tombak. Demikainlah, maka para Senapati Pati telah memberikan perintah-perintah langsung kepada para pemimpin kelompoknya. Para prajurit Pati harus meyakinkan bahwa mereka akan memenangkan perang. Menguasai Mataram dan kemudian mengendalikan pemerintahan.
Di hari berikutnya, kedua belah pihak masih belum bersiap untuk turun ke medan. Panembahan Senapati masih ingin melihat kekuatan pasukannya serta mendengarkan laporan selengkapnya tentang kekuatan pasukan Pati. Sementara itu Kangjeng Adipati Pati yang mengetahui bahwa Mataram masih belum akan bergerak, juga masih belum mempersiapkan serangan.
Namun Kangjeng Adipati Pati itu berkata kepada para Senapatinya ~ Jika besok Mataram masih belum bergerak, kita akan datang menyerang mereka. Kita hancurkan perkemahannya dan kita akan menangkap Panembahan Senapati hidup atau mati. "
Dengan perintah itu, maka para Senapati Pati telah benar-benar mempersiapkan diri. Berdasarkan atas pengalaman mereka bertempur melawan prajurit Mataram, maka para Senapati Pati telah menata kembali susunan prajurit mereka. Mereka membagi tataran prajurit Pati menjadi tiga. Tataran tertinggi adalah prajurit yang memang prajurit yang telah mendapat latihan-latihan yang berat dan teratur. Tataran kedua adalah prajurit yang dipersiapkan dalam keadaan yang khusus. Sedangkan tataran ketiga adalah mereka yang dipanggil dan dikumpulkan untuk menghadapi keadaan yang paling gawat.
Meskipun pada dasarnya para prajurit Mataram juga terdiri dari tataran-tataran yang sama, namun ada beberapa golongan dari tataran ketiga yang memiliki kemampuan prajurit, sebagaimana para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan sekitarnya.
Dengan tatanan dan susunan baru, maka kangjeng Adipati Pati semakin yakin, bahwa pasukannya akan dapat dengan cepat mengalahkan prajurit Mataram sebelum mereka memasuki dinding kota.
Namun pada hari itu juga, Panembahan Senapati telah menemui para Senapati Mataram dan bahkan para pemimpin kesatuan dan kelompok. Panembahan Senapati menyempatkan diri berbicara dengan para prajurit di tempat mereka bertugas.
Sikap Panembahan Senapati Membuat hati para prajurit Mataram itu mekar. Mereka semakin teguh pada sikap mereka untuk mendorong Kangjeng Adipati Pati kesebelah Utara pagunungan Kendeng.
Pada hari itu pula Panembahan Senapati memerintahkan pasukan Mataram mempersiapkan diri. " Besok kita akan turun ke medan. Menilik isyarat yang dilihat oleh para petugas sandi, maka pasukan Pati-pun telah mempersiapkan diri. Sebaiknya kita tidak sekedar bertahan diperkemahan. Kita juga akan menggerakkan pasukan dengan gelar yang palig baik utuk menghadapi prajurit Pati. "
Demikianlah pada hari itu, segala sesuatu telah dipersiapka. Bahkan Utara telah mendapat perintah untuk menarik bagian dari pasukannya yang dipimpin oleh Sabungsari untuk menarik bagian dari pasukannya yang dipimpin oleh Sabungsari untuk berada di dalam gelar, sehingga semua kekuatan yang sebelumnya berada di Jati Anom akan berada didalam gelar pasukan Mataram.
Swandaru dan pasukan pengawalnya yang dinilai memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit, akan berada di gelar itu pula.
Malam itu, menjelang saat-saat kedua pasukan besar dari Pati dan Mataram bertemu di medan, Swandaru sempat menemui Agung Se-dayu yang berada diantara Prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kepada Agung Sedayu, Swandaru sempat memberikan beberapa pesan jika dikeesokan harinya
Agung Sedayu akan berada di medan pula.
- Prajurit Pati adalah prajurit yang berkemampuan tinggi " berkata Swandaru yang sempat menceriterakan peranan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung sejak menjelang pertempuran yang terjadi di sebelah Barat Kali Dengkeng.
Agung Sedayu mendengarkannya sambil mengangguk-angguk. Sementara Swandaru masih menceriterakan keberhasilannya dibebe-rapa medan pertempuran.
- Karena itu, kakang harus berhati-hati menghadapi lawan esok pagi. Kangjeng Adipati Pragola yang mengetahui bahwa Panembahan Senapati sendiri turun kemedan dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada, maka Patipun tentu akan mengerahkan segenap kemampuannya pula. Orang-orang yang berilmu tinggi akan ditebarkan di medan. "
- Mudah-mudahan pasukanku dapat menyesuaikan dengan medan yang nampaknya garang sekali. " berkata Agung Sedayu .
- Ya. Pertempuran yang akan terjadi tentu akan menjadi seperti neraka. " berkata Swandaru.
- Tetapi aku yakin, bahwa di pihak Matarampun tentu banyak terdapat orang-orang berilmu tinggi. Ki Patih Mandaraka ada diantara Kita. Beberapa orang Pangeran dan Senapati yang namanya banyak dikenal di Mataram. "
- Ya. Aku juga yakin. Tetapi yang perlu kita persiapkan bagi diri kita sendiri, apa yang dapat kita lakukan jika tiba-tiba saja orang-orang berilmu tinggi dari Pati itu ada dihadapan kita ~ sahut Swandaru.
- Aku mempunyai kelompok-kelompok kecil yang meyakinkan " jawab Agung Sedayu " dua atau tiga orang prajurit dari Pasukan Khususku akan berkelompok untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari Pati itu. - Kau akan menyesal kakang " berkata Swandaru " dua orang prajurit tidak akan mampu mengalahkan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bayangkan. Apakah dua atau tiga orang prajuritmu, meskipun mereka dari pasukan khusus dapat melawan aku meskipun aku seorang diri " Dalam waktu yang pendek, cambukku akan memenggal leher ketiga orang prajuritmu itu. "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas panjang ia berkata kepada dirinya sendiri " Untung tidak ada Glagah Putih. Kemudaannya membuatnya mudah tersinggung mendengar ce-ritera Swandaru yang kadang-kadang memang agak kurang terkendali sehingga dapat menggelitik telinga. ~
Tetapi Agung Sedayu sendiri mampu menjaga perasaannya. Ia tidak menunjukkan sikap apapun mendengarkan kata-kata Swandaru itu. Bahkan Agung Sedayu itu mengangguk-angguk kecil.
" Jadi bagaimana sebaiknya menurut pendapatmu " ~ bertanya Agung Sedayu.
" Kau harus mulai dari diri kakang sendiri"jawab Swandaru.
" Maksudmu, aku harus meningkatkan ilmuku " " bertanya Agung Sedayu.
" Ya. Tentu saja tidak untuk waktu yang pendek sekarang ini. Apapun yang kakang usahakan tentu sudah terlambat. Tetapi jika kakang dapat keluar dari pertempuran ini dengan selamat, maka kakang harus dengan bersungguh-sunggung mempelajari isi kitab guru. Kakang meskipun bertugas di barak Pasukan Khusus, harus menyisihkan waktu untuk kepentingan kakang sendiri. Jika ilmu kakang menjadi semakin tinggi, maka kedudukan kakang dilingkungan Pasukan Khusus itu juga akan menjadi semakin kuat. Mungkin pada suatu saat, kakang tidak hanya sekedar menjadi seorang Lurah Prajurit yang memimpin satu kesatuan Pasukan Khusus. Tetapi kakang akan menjabat kedudukan yang lebih tinggi dalam jajaran Pasukan Khusus itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Namun katanya kemudian. " Tetapi apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang ini menghadapi pasukan Pati " "
" Malam ini kakang harus menyiapkan kelompok-kelompok yang lebih besar. Jangan hanya terdiri dari dua atau tiga orang prajurit meskipun dari Pasukan Khusus. Tetapi sedikit-sedikitnya lima orang. Itupun mereka akan mengalami kesulitan jika mereka benar-benar bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi diantara prajurit Pati. ~
" Tetapi dalam pertempuran gelar, kadang-kadang kita tidak-banyak mendapat kesempatan untuk mengerahkan ilmu andalan kita. Kita terlalu sibuk menghadapi lawan disekitar kita, sehingga waktu untuk melepaskan ilmu kita menjadi sangat sempit. ~
" Itu pertanda bahwa kakang masih belum sampai pada tataran
yang tinggi dari ilmu perguruan Orang Bercambuk. Jika kakang sudah sampai pada tataran yang tinggi, maka waktu yang diperlukan untuk melepaskan ilmu tidak lebih dari hadirnya niat itu sendiri. " jawab Swandaru. " Jika para pemimpin dari Pati itu mencapai tataran yang tinggi bahkan tataran tertinggi dari ilmunya, maka kakang akan terkejut, bahwa tiba-tiba saja ilmu pundak mereka sudah mereka trapkan. ~
Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dikatakan oleh Swandaru. Bahkan bagi Agung Sedayu, hal itu sama sekali sudah tidak asing lagi, karena ia sudah terbiasa melakukannya.
Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Swandarupun berkata " Nah, kakang. Kita masih mempunyai waktu untuk beristirahat. Kita akan saling mendoakan, mudah-mudahan kita dapat keluar dari pertempuran dengan selamat. Aku minta kakang berhati-hati. Jika kakang tidak sempat menyusun kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima orang, maka setidak-tidaknya kelompok khusus yang akan dapat melindungi kakang sendiri. Akupun telah melakukan hal yang sama. Aku telah menunjuk orang-orang tertentu untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi sebelum aku sendiri sempat menanganinya. - Aku masih mempunyai kesempatan untuk itu " jawab Agung Sedayu " setidak-tidaknya dua atau liga kelompok. "
- Baiklah kakang " berkata Swandaru kemudian " aku akan kembali ke pasukanku. Aku juga ingin segera beristirahat. Besok di dini hari kita harus sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jika kita sudah turun ke medan, maka kita tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga kecuali bertempur. - Yang Maha Agung akan melindungi kita " desis Agung Sedayu.
Demikianlah, Swandarupun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu. Bahkan kemudian sambil menarik nafas panjang, Agung Sedayu itu berdesah. Tetapi ia sudah tahu benar sifat dan tabiat adik seperguruannya yang kebetulan juga menjadi kakak iparnya itu.
Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu masih sempat menemui
para pemimpin kelompoknya. Iapun kemudian minta agar mereka beristirahat sebaik-baiknya karena tenaga mereka akan diperas besok di pertempuran. "
Malam itu juga Panembahan Senapati telah memerintahkan para Senapati untuk siap dalam gelar Garuda Nglayang. Panembahan Sana-patipun telah menunjuk pasukan yang akan berada dikepala dan paruh gelarnya. Yang berada di pangkal lehernya dan pasukan yang akan berada di sayap, badan dan ekor gelar. Panembahan Senapatipun telah menentukan pasukan-pasukan cadangan yang berada ditubuh dan ekor gelar untuk mengambil alih pertempuran jika keadaan menjadi gawat karena susurnya jumlah prajurit atau karena tarik matahari membuat para prajurit kelelahan, haus dan lapar, sehingga mereka sempat untuk beristirahat beberapa saat, berlindung dibalik sayap gelar yang diisi oleh para prajurit dari pasukan cadangan.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka perkemahan prajurit Mataram itupun menjadi sepi. Para Senapati dan para prajurit telah lelap dalam istirahat mereka. Sedikit lewat tengah malam mereka harus sudah bangun dan bersiap-siap untuk memasuki gelar dan turun ke medan.
Hanya para prajurit yang bertugas saja yang masih berjaga-jaga di tempat-tempat tertentu untuk mengawasi keadaan jika ada gerakan yang mencurigakan. Selain itu secara khusus Panembahan Senapatipun mendapat pengawalan dari para prajurit pilihan.
Disebelah Timur Kali Dengkeng, Kangjeng Adipati Pragolapun telah mempersiapkan pasukannya pula. Kangjeng Adipati tidak berniat untuk merubah gelar perangnya. Yang berubah hanyalah susunan prajurit sesuai dengan tatarannya.
Kepada para Senapatinya Adipati Pragola mengatakan bahwa Mataram tentu tidak akan mempergunakan gelar sebagaimana dipilih oleh Pangeran Adipati Anom.
- Aku kira Mataram akan mempergunakan gelar Garuda Nglayang " berkata Kangjeng Adipati Pragola.
Para Senapati sependapat, bahwa Mataram memang tidak akan mempergunakan lagi gelar Wukir Jaladri yang lebih bersifat untung-untungan itu.
Jika pada pertempuran yang pernah terjadi, pasukan Pati yang mempergunakan gelar Supit Urang justru terguncang oleh gelar Wukir Jaladri pasukan Mataram, karena pasukan Pati sama sekali tidak mengira bahwa gelar itu akan dipergunakan oleh Mataram. Seandainya sejak semula Pati bersiap menghadapinya, maka gelar Wukir Jaladri itu akan dapat dihimpit dan bahkan mungkin dapat dipecahkannya.
Seperti Panembahan Senapati, maka Kangjeng Adipati Pati itupun telah menentukan letak pasukan dengan perhitungan dan tatanan setelah para Senapati memperhatikan tataran kemampuan para prajurit. Para Senapatipun telah menempatkan para prajurit Pati yang telah ditarik dari sisi Utara Mataram didalam gelarnya.
Demikianlah, sebelum tengah malam kedua perkemahan itu menjadi hening. Para petugas dengan sungguh-sungguh memperhatikan keadaan disekitar perkemahan. Sementara para petugas sandi dari kedua disekitar perkemahan. Sementara para petugas sandi dari kedua belah pihak, saling mengamati kedudukan lawan.
Namun para petugas sandi itu tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian dikedua belah pihak. Namun mereka mengambil kesimpulan, bahwa justru karena itu, esok pagi kedua pasukan yang besar akan bertemu dengan bertempur di medan. Pertempuran yang tentu merupakan pertempuran yang sangat seru, karena kedua belah pihak akan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada.
Hening malam di kedua perkemahan itu mulai terusik ketika tengah malam tiba. Mereka yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit mulai sibuk di dapur. Api diperapian mulai menyala, sementara asap membubung tinggi dilangit yang hitam.
Sebelum turun ke medan, maka para prajurit harus sudah makan dan minum secukupnya. Bahkan beberapa orang prajurit yang bertugas khusus akan menyediakan bekal selama perang terjadi. Dalam keadaan yang mendesak, maka para prajurit ada yang memerlukan minuman dan bahkan makanan di medan.
Didini hari, maka para prajuritnya mulai bangkit dari pembaringan. Mereka mulai mempersiapkan diri mereka. Meneliti senjata mereka serta kelengkapan yang akan mereka bawa ke medan perang.
Menjelang fajar, maka semuanya telah bersiap. Setiap kesatuan , sudah berada di tempatnya masing-masing siap untuk memasuki gelar. Dalam kesiagaan itu, Swandaru masih sempat menemui Agung Sedayu dan bertanya " Kau berada di mana " "
- Aku mendapat perintah untuk berada di pangkal leher gelar. -jawab Agung Sedayu.
- Tidak. aku berada dibawah perintah Ki Tumenggung Yudapamungkas yang akan selalu berhubungan dengan Senapati pendamping. Tetapi masih ada seorang lagi yang akan selalu berada disisi Panembahan Senapati. - Siapa " - - Ki Patih Mandaraka. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian " Aku berada disayap kiri bersama-sama dengan pasukan kakang Untara. "
- Tugasmu berat " desis Agung Sedayu.
- Sebenarnya aku lebih Senang berada ditempatmu. Sayang, aku tidak mendapat perintah untuk berada diinduk pasukan. Para Senapati terpenting dari Pati tentu akan berada di induk pasukan dalam gelar mereka. Agung Sedayu mengangguk-anguk. Namun katanya " Tetapi sayap gelar akan dapat menentukan, apakah gelar dalam keseluruhan harus maju atau mundur. - Bukan hanya sayap-sayapnya. Seluruh bagian gelar akan dapat menentukan " jawab Swandaru.
- Ya " desis Agung Sedayu kemudian " keutuhan gelar merupakan satu kesatuan. - Nah, sudahlah " berkata Swandaru " aku harus siap ditengah-tengah pasukanku. Nampaknya sebentar lagi, kita akan bergerak memasuki gelar. Disaat matahari terbit, kita akan terlibat dalam pertempuran benar melawan Pati. ~
- Ya ~ jawab Agung Sedayu " kita akan bertempur disilaunya cahaya matahari. Karena kita akan menghadap ke arah matahari terbit.
- Satu keuntungan bagi Pati " sahut Swandaru.
Namun pembicaraan merekapun segera terhenti. Kesibukan di perkemahan itupun meningkat. Panembahan Senapati telah berada di luar kemah khususnya pula.
Sejenak kemudian, semua prajurit telah berada ditempatnya. Meskipun siap memasuki gelar Garuda Nglayang. Gelar yang akan dipergunakan oleh pasukan Mataram untuk melawan gelar Supit Urang yang akan dipergunakan oleh pasukan dari Pati.
Pada saat terakhir Panembahan Senapan telah memerintahkan agar para Senapati berusaha disaat pasukan berbenturan, untuk menarik sayap kiri surut beberapa langkah kebelakang, sehingga garis benturan akan menjadi sedikit condong. Dengan demikian, maka para prajurit Mataram tidak akan tepat menghadapi kearah matahari terbit.
Kecermatan Panembahan Senapati membuat para Senapati menjadi lebih berbangga terhadap kepemimpinannya. Mereka semakin percaya, bahwa dibawah pimpinan Panembahan Senapati sendiri, maka Matahari tentu akan dengan cepat berhasil mendesak pasukan Pati dan kemudian memaksanya mundur kesebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Demikianlah, maka ketika saatnya tiba, maka Panembahan Sena-patipun telah memanggil semua Senapati. kemudiJn memberikan perintah dan pesan-pesan terakhirnya sebelum pasukannya mulai bergerak.
Pada saat itu, datang laporan dari petugas sandi, bahwa prajurit Pati sudah mulai bergerak. Mereka berusaha untuk berada disebelah Barat Kali Dengkeng jika benturan terjadi. Prajurit Pati tidak mau mengulangi kesalahan prajurit Jipang dibawah pimpinan Adipati Arya Penangsang yang pasukannya dihancurkan saat mereka menyeberangi Bengawan Solo karena Adipati Jipang yang darahnya panas itu sulit mengekang perasaannya.
Nampaknya Panembahan Senapati memaklumi maksud Kangjeng Adipati Pragola. Namun Panembahan Senapati tidak terpengaruh oleh gerakan pasukan Pati itu. Panembahan Senapati memang tidak merencanakan untuk menjebak pasukan Pati saat mereka menyeberang Kali Dengkeng. Karena jika kedua pasukan itu bertemu disebelah-menyebelah Kali Dengkeng, maka mungkin kedua mengerti akibat buruk yang dapat terjadi. Sebagaimana Pati yang mengakui
kebesaran pasukan Mataram, maka Matarampun mengakui kebesaran lawan.
Ketika langit menjadi semakin cerah, maka pasukan Matarampun mulai bergerak. Sebuah gelar perang telah tersusun rapi. Gelar Garuda Nglayang.
Para prajurit Mataram tidak lagi sempat menghiraukan, kaki-kaki mereka yang menginjak-injak tanaman yang jauh disawah. Mereka tidak lagi sempat mengingat, apakah kakinya menginjak lumpur atau pematang atau mengoyak batang kacang panjang yang berambat pada lanjarnya yang memagari kotak-kotak sawah di pematangnya atau tanggul-tanggul parit dengan gemercik airnya yang jernih.
Gelar Garuda Nglayang yang melebar itu bergerak serempak me-nyongsong gerak gelar Supit Urang dari pasukan Pati yang tidak kalah besarnya.
Ketika kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka para prajurit Pati yang berada di supit gelarpun mulai membuat gerakan-gerakan ancang-ancang. Namun sayap pasukan Matarampun telah malai bergetar pula. Epak sayap garuda raksasa itu akan menimbulkan gelar udara menghentak gelar pasukan lawan.
Kangjeng Adipati Pragola dari Pati yang memimpin pasukan Senapati berada di kepala gelarnya pula.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka kedua Panglima tertinggi dari kedua pasukan itu telah menjatuhkan perinlah kepada pasukannya intuk dengan cepat membentur lawan mereka.
Hampir bersamaan pasukan Mataram dan pasukan Pati itu bersorak gemuruh seakan-akan meruntuhkan langit. Getar teriakan kedua belah pihak itu bagaikan mengguncang mega-mega sehingga langit-pun menguak disebelah Timur. Dan mataharipun kemudian mulai melemparkan sinarnya ke lembar-lembar awan yang tipis di udara dan dedaunan pada pepohonan yang menancap di bumi.
Pada saat yang demikian, maka kedua belah pasukan yang besar itu mulai berbenturan.
Namun para prajurit Matarampun segera teringat akan perintah Panembahan Senapati, bahwa benturan kedua gelar itu harus dibuai condong sehingga para prajurit Mataram tidak menjadi silau karenanya.
Mula-mula Supit Gelar pasukan Pati disisi kanan menduga bahwa benturan kedua pasukan itu telah menggetarkan ketahanan gelar pasukan Mataram. Namun gerak mundur sayap kiri gelar pasukan Mataram itu demikian masnisnya dalam tataran keutuhan seluruh gelarnya, sehingga akhirnya garis benturan kedua gelar itu menjadi condong dilihat dari arah matahari terbit.
Beberapa orang Senapati Patipun kemudian menyadari kecerdikan para prajurit Mataram. Untuk menghindari silaunya cahaya matahari, dengan sengaja telah membuat garis benturan kedua pasukan itu berubah dengan menarik sayap kiri gelarnya.
Namun gelar Supit Urang dari Pati itu tidak mempunyai kesempatan untuk menggeser kembali garis benturan itu, karena para prajurit Mataram dari ujung sayap kiri sampai keujung sayap kanan menyadari sepenuhnya, bahwa mereka harus mempertahankan garis benturan itu jika mereka tidak ingin diganggu oleh silaunya sinar matahari pagi.
Demikianlah, sejak benturan terjadi, maka pertempuranpun telah menyala dengan sengitnya. Seharusnya kedua belah pihak menyadari sepenuhnya bahwa mereka harus menyesuaikan dengan kemungkinan bahwa perang akan terjadi dalam waktu yang panjang, sehingga mereka harus menghemat tenaga. Tetapi mereka tidak dapat melakukannya karena suasana pertempuran yang panas itu telah membakar jantung setiap prajurit yang sedang bertempur.
Supit gelar pasukan Pad mulai menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya sebagai prajurit yang benar-benar menguasai perang gelar. Supit gelar yangbesar itu mulai bergerak, menganga dan siap menjepit sayap gelar pasukan Mataram.
Tetapi para prajurit Matarampun terdiri dari prajurit terlatih pula. Sayap garuda raksasa itupun kemudian telah mengepak dan memukul supit gelar lawannya ang menganga itu.
Perangpun benar-benar telah membakar dataran persawahan di-sebelah barat Kali Dengkeng itu.
Untuk sementara Panembahan Senapati masih belum terjun langsung dipertempuran. Sebagai Panglima tertinggi ia berusaha untuk mengendalikan pertempuran dari ujung sayap sampai keujung sayap yang lain. Setiap kali ia menerima laporan dari penghubung yang membawa laporan dari para Senapati. Tetapi juga memerintahkan para penghubung untuk menyampaikan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk kepada para Senapati.
Demikianlah ketika matahari naik semakin tinggi, maka pertem-puranpun menjadi semakin garang. Kedua belah pihak seakan-akan menjadi semakin panas dibakar oleh kemarahan diset lap dada. Senjata merekapun terayun-ayun mendebarkan jantung. Benturan-benturan yang keras telah terjadi. Teriakan-teriakan kemarahan, umpatan-umpatan, tetapi juga jerit kesakitan berbaur dengan dentang senjata yang beradu, membuat medan itu menjadi, semakin kalut.
Pertempuran di induk pasukanpun terjadi tidak kalah garangnya dengan pertempuran di ujung-ujung sayap pasukan. Bukan saja keringat yang mulai menitik, tetapi juga darah yang mengalir dari luka.
Prajurit dan pengawal dari kedua belah pihak telah mulai ada yang tergores ujung-ujung senjata. Semakin tinggi matahari, maka ujung-ujung tombak, pedang dan jenis-jenis senjata yang lain seakan-akan semakin haus pula.
Disayap kiri yang semula sedikit harus bergeser mundur untuk menghindari sinar matahari yang silau, ternyata menjadi sangat sulit untuk diguncang oleh supit gelar lawannya. Para prajurit Mataram yang berada di sayap sebelah kiri, serta ara pengawal Kademangan Sangkal Putung dan sekitarnya, memiliki kemampuan yang tinggi untuk tetap bertahan.
Sekelompok prajurit Pati yang berada di supit gelar lawannya melihat kesatuan yang berada di sayap kiri tidak mengenakan pakaian keprajuritan yang berada disayap kiri tidak mengenakan pakaian keprajuritan Mataram, mereka melihat satu noda kelemahan pada sayap kiri gelar Garuda Nglayang itu. Karena itu, maka Senapati yang memimpin supit kanan pasukan Pati itu telah memerintahkan seorang Senapati bawahannya, untuk memanfaatkan noda yang dianggap sebagai kelemahan itu.
Senapati yang mendapat perintah itupun dengan cepat tanggap. Karena itu, maka ia berusaha untuk menghunjamkan tajamnya supit gelar menusuk ke noda yang dianggapnya sebagai kelemahan itu.
Senapati itu bersama beberapa prajurit pilihan berusaha untuk memecahkan noda kelemahan itu dan kemudian memanfaatkan lubangnya untuk menusuk masuk dan menghancurkan sayap kiri itu dari dalam gelar Garuda Nglayang itu sendiri.
Namun Senapati itu memang terkejut. Kesatuan yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan Mataram itu ternyata adalah pasukan pengawal Sangkal Pulung dan sekitarnya. Meskipun memang ada diantara mereka yang kemampuannya berada dibawah rata-rata prajurit Pati, tetapi sebagian terbesar para pengawal Kademangan Sangkal Putung memiliki kemampuan prajurit pula.
Bahkan ketika Senapati yang memimpin kelompok prajurit itu berusaha untuk menjadi ujung tombak yang akan menusuk di tempat berusaha untuk menjadi ujung tombak yang akan menusuk di tempat yang dianggapnya lemah ilu, ia terkejut. Seorang pengawal yang sedikit gemuk dengan senjata cambuk ditangan telah menyongsongnya. Cambuknya dihentakkannya sehingga ledakan cambuk itu seakan-akan lelah mengoyakkan selaput telinga.
Senapati ilu melangkah mundur. Diperhatikannya orang yang sedikit kegemuk-gemukan itu. Nampaknya ia adalah pemimpin pasukan pengawal yang dihadapinya.
Sekali lagi suara cambuk Swandaru meledak. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
Namun Senapati yang nampaknya memiliki kemampuan yang memadai itu tertawa. Katanya " He, disini bukan tempat orang menggembala kerbau. Pergilah ke pinggir Kali Dengkeng sambil memandikan kerbaumu. "
Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi sekali lagi cambuknya meledak.
Tetapi Senapati ilu tertawa pula.
Dengan demikian Swandaru mengetahui bahwa lawannya tentu juga berilmu tinggi, sehingga orang itu dapat mengetahui bahwa ledakan cambuknya sama sekali tidak bertenaga selain sebuah hentakkan yang dapat menimbulkan gelegar yang memekakkan telinga.
Namun ketika kemudian hentakkan cambuk Swandaru itu tidak lagi meledak, maka orang itu justru terkejut sekali lagi.
- Setan ~ geramnya ~ orang-orang ini datang dari mana " -Swandaru mendengar geremang itu. Karena itu, iapun kemudian
menjawab " Aku pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung. Kebetulan aku adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. "
- Darimana kau hisap ilmu iblismu itu " - Kenapa ilmu iblis " " bertanya Swandaru.
- Kau memiliki kemampuan ilmu cambuk yang tinggi. "
- Kau siapa " " tiba-tiba Swandaru bertanya " tidak banyak prajurit yang mengenali tataran kemampuanku hanya dengan mengenali bunyi cambukku. "
- Bersiaplah untuk mati " geram Senapati itu.
Tetapi Swandaru masih berkata " Aku tidak yakin bahwa kemampuanmu mengenali tataran ilmuku itu kau dapatkan selama kau menjadi seorang prajurit. Seorang prajurit, yang tentu juga berlaku di Pati, hanya mampu bertempur dalam perang gelar seperti ini. Perang dalam satu kelompok raksasa. Lawan bertabur dimana-mana tanpa mengandalkan kemampuan pribadi masing-masing."
- Penglihatan mata ilmumu memang tajam. Pengetahuanmupun meyakinkan bahwa kau mempunyai landasan ilmu yang tinggi. Bersiaplah. Kita akan bertempur dengan cara kita " tantang Senapati itu.
Darah Swandaru yang cepat menjadi panas itupun segera menggelegak, sambil bertolak pinggang ia menjawab " Bagus. Itu barulah seorang prajurit laki-laki.
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi senjatanya sebilah luwuk yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang seperti berkedip dibawah cahaya matahari, mulai berputar.
Swandaru menjadi sangat berhati-hati. Ia percayakan lingkungannya kepada para pengawal Tanah Perdikan yang tahu apa yang harus mereka lakukan jika Swandaru ingin bertempur seorang melawan seorang.
Dengan demikian, maka Swandarupun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit.
Seperti yang diduga oleh Swandaru, maka lawannya memang memiliki kemampuan melampaui kemampuan kebanyakan prajurit Senapati itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Serangan-serangannya datang beruntun seperti badai mengguncang dedaunan. Namun Swandaru yang memiliki ilmu yang tinggi itu mampu mengimbangi kemampuan lawannya. Dalam hentakkan kemampuan Senapati itu, maka Swandaru tetap tegak diatas sepasang kakinya yang kokoh, bagaikan menghunjam sampai ke pusat bumi.
Sementara itu cambuk Swandaru berputar seperti baling-baling. Sekali-sekali menghentak dengan deras, namun kemudian menggeliat menebas dengan cepatnya.
Pertempuran yang menjadi semakin sengit itu seakan-akan telah menyibak para prajurit Pati dan para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah memberikan tempat yang cukup untuk melakukan perang tanding diantara riuhnya pertempuran gelar antara kedua pasukan yang besar itu.
Sementara itu, para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, yang dipimpin langsung oleh Untara benar-benar telah menggetarkan garis pertempuran. Untara dengan kemampuan, perang gelarnya telah bertempur dengan kekuatan yang mengehentak hentak. Lapisan-lapisan prajuritnya menyerang susul-menyusul, seperti ombak dibibir Samodra menghentak tebing.
Sayap yang lain dari Gelar Garuda Nglayang itupun telah beberapa kali mengguncang supit gelar lawannya. Namun pasukan Pati yang kuat itu masih juga mampu bertahan. Prajurit-prajurit yang berpengalaman yang berada dilapis pertama dengan pengalaman mereka yang luas, setiap kali mampu menutup lubang-lubang yang timbul karena luka-luka selama pertempuran terjadi. Para prajurit Pati dengan sigapnya hadir dihadapan setiap prajurit Mataram yang mencoba untuk menyusup memasuki garis benturan kedua gelar perang itu.
Diinduk pasukan, pertempuranpun berlangsung dengan sengitnya pula. Panembahan Senapati sendiri masih belum turun di garis pertempuran. Ia masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar Garuda Nglayang.
Demikian pula Kangjeng Adipati Pati. Kangjeng Adipati juga masih berada di kepala gelar Supit Urangnya. Nampaknya kedua-duanya masih belum menganggap sangat penting untuk turun ke medan, sementara para Senapatinya masih mampu mengendalikan dan mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di medan.
Semakin tinggi matahari, maka pertempuran menjadi semakin sengit. Ketika matahari melamapui puncak langit, maka kedua belah pihakpun mulai menunjukkan kemampuan serta pengalaman mereka. Para Prajurit yang mulai lelah, berusaha untuk tetap tegar di teriknya panas matahari. Keringat dan darah telah menitik di bumi yang semakin membara.
Dalam keadaan yang demikian, maka gelombang-belombang mulai bergejolak di kedua gelar itu. Prajurit dan pengawal yang semula berada di tubuh gelar telah mulai mengambil alih medan.
Prajurit-prajurit yang berada di tubuh gelar, bergerak maju, merembes disela sela para prajurit yang sedang bertempur, langsung menjulurkan senjata mereka. Sementara para prajurit yang letih mendapat kesempatan untuk beristirahat meskipun masih tetap harus bersiaga sepenuhnya untuk seuap saat terjun ke gelanggang. Lapis pertama benturan gelar dapat saja menjadi lentur oleh hentakan-hentakan dari pertempuran itu sendiri.
Dengan demikian, maka nyala api pertempuran tidak menjadi surut meskipun matahari mulai condong. Para prajurit yang bertugas merawat mereka yang terluka dan membawa kebelakang garis pertempu-ranpun telah bekerja tanpa sempat beristirahat. Sedangkan kelompok-kelompok yang lain telah mempersiapkan minuman dan makanan ketegaran para prajurit dan pengawal.
*** PADA hari pertama, kedua pasukan yang besar dari Mataram dan Pati seakan-akan masih tetap dalam keseimbangan. Kedua Senapati Agung dari kedua pasukan itu masih belum langsung turun ke medan. Keduanya masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar mereka masing-masing.
Meskipun korban telah berjatuhan di kedua belah pihak, tetapi kekuatan kedua pasukan itu rasa-rasanya masih belum menjadi surut Sampai saatnya matahari turun, maka pertempuran masih bergelora dengan garangnya.
Namun kedua belah pihak terikat oleh kesadaran untuk menepati tatanan perang yang berlaku, ketika matahari kemudian turun kebalik pegunungan, maka kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk menghentikan pertempuran. Mereka tidak dapat dengan serta merta menundukkan senjata mereka. Bagaimanapun juga, mereka masih harus tetap berhati-hati. Betapapun jantannya hati seorang prajurit, namun mereka mungkin saja sulit mengekang diri pada saat-saat yang paling menentukan, meskipun sangkakala sudah mengumandang menggetarkan udara medan pertempuran.
Namun akhirnya Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur dari garis benturan yang seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya sejak pertempuran itu terjadi.
Namun pada saat-saat terakhir, ternyata ujung cambuk Swandaru masih mampu menggapai lengan lawannya sesaat sebelum sangkakala mengumandang diatas medan. Lengan itu telah terkoyak dan darahpun mengalir dengan derasnya.
Swandaru memang menjadi sangat kecewa, bahwa ia tidak mempunyai lebih banyak kesempatan. Demikian lawannya terdorong surut dan terhuyung-huyung, maka dua orang prajurit Pati telah menangkap tubuh itu dan membawanya hilang tertelan oleh gelombang para prajurit yang bertaut seperti air yang disibakkan oleh badan biduk yang meluncur diwajah air itu.
Tetapi Swandaru tidak sempat memburu dengan menembus lapisan prajurit yang menakup dihadapan Senapati yang terluka itu, sementara pertempuran seakan-akan telah terhenti. Kedua pasukan bergerak mundur kearah yang berlawanan.
- Jika saja sangkakala itu tidak menyelamatkan nyawanya " geram Swandaru.
Ketika malam turun, maka seperti yang terjadi disebelah Utara Mataram, disebelah Timur Kali Code, maka beberapa kelompok prajurit dari kedua belah pihak telah menelusuri bekas medan pertempuran. Kelompok-kelompok prajurit dan pengawal yang mencari korban yang telah jatuh selama pertempuran berlangsung.
Seperti juga disebelah Utara Mataram, maka kelompok-kelompok prajurit yang berpihak Mataram dan Pati sama sekali tidak saling mengganggu. Mereka justru saling membantu menemukan korban dari kedua belah pihak.
Ketika malam menjadi semakin dalam dan pekerjaan mereka sudah hampir selesai, maka Agung Sedayu yang ikut berada di bekas medan itu sempat duduk berbincang dengan seorang Lurah Prajurit dari Pati.
- Anakku semuanya sebelas orang dan masih kecil-kecil ~ kata Lurah Prajurit dari Pati itu. Hampir diluar sadarnya ia bertanya kepada Agung Sedayu " berapakah anak Ki Sanak " Ki Sanak adalah seorang Lurah Prajurit yang terhitung masih muda. "
Agung Sedayu menggeleng. Katanya dengan nada berat " Aku belum mempunyai seorang anakpun " "
- O, apakah Ki Sanak belum berkeluarga " " bertanya orang itu.
- Sudah. Sudah agak lama. Adikku sudah mempunyai seorang anak yang manis. Yang tumbuh dengan suburnya dan nampaknya akan menjadi anak yang kokoh. Adikku juga ada di barisan Mataram sekarang ini " jawab Agung Sedayu.
Orang itu menarik nafas panjang. Katanya " Jika besok kita bertamu di medan, dan aku berhasil membunuhmu, maka yang menangisimu hanya seorang isteri saja. Tetapi jika kau yang berhasil membunuhku, maka seorang isteri dan sebelas orang anak akan menangisi aku. Bukan sekedar menangisi, tetapi bayangan masa depan mereka akan buram. Dua belas buah mulut yang selama ini aku suapi, akan kehilangan sumbernya. Meskipun orang-orang di bumi Pati akan menaburkan setumpuk kembang dialas makamku sekalipun, namun anak-anakku akan menjadi seperti sebelas ekor anak burung yang menetas dari telurnya, tetapi induknya yang pergi mencari makan tidak sempat pulang. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya " Jadi apakah hanya sedangkal itu landasan Ki Sanak untuk turun ke medan perang " "
Orang itu tertawa. Katanya " Tidak. Tentu tidak. Ada landasan cita-cita yang besar dan luhur. Perjuangan mencari satu tatanan baru diatas bumi Pati dan Mataram. Bumi yang pernah diberikan kepada dua orang saudara seperguruan dari Kangjeng Sultan Pajang. Namun yang hubungannya kemudian menjadi pincang karena ketamakan Panembahan Senapati. " Orang itu mengangkat tangannya sambil, berkata " jangan membantah lebih dahulu. Aku tahu bahwa sudut pandanganmu sebagai prajurit Mataram tentu berbeda. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa Panembahan Senapati adalah seorang yang tamak. Tetapi kau tentu akan mengatakan bahwa Kangjeng Adipati Pragolalah yang tamak dan tidak tahu diri dihadapan saudaranya yang lebih tua.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menelan kembali kata-katanya yang siap dilontarkanya.
- Namun bagaimanapun juga, Ki Sanak. Ada dua dunia yang terpisah. Aku sebagai seorang pejuang atas suatu cita-cita bersama dan aku sebagai pilar satu kehidupan keluarga. " ia terdiam sejenak, lalu, " Mungkin aku pahlawan dari satu sisi dari kedua duniaku itu, tetapi justru sampah pada sisi yang lain. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak membantah kata-kata prajurit Pati itu.
Sementara itu, maka agaknya tugas kelompok-kelompok yang mencari korban yang jatuh disepanjang bekas medan pertempuran itu sudah selesai. Karena itu, maka Lurah Prajurit Pati itupun berkata -Selamat malam Ki Sanak. Aku besok akan turun ke medan sebagai seorang prajurit sejati. Ingat. Aku dapat saja membunuhmu atau sebaliknya kau membunuhku. Kita akan menjadi seorang pahlawan dari satu perjuangan atas satu cita-cita. Satu tatanan baru bagi dalam hubungan keluarga besar Pati dan keluarga besar Mataram. - Apakah tatanan baru itu tentu menjadi lebih baik " " bertanya Agung Sedayu.
- Menurut sisi pandang kita masing-masing " jawab orang itu tetapi jika kita masih tetap berdiri pada cita-cita semula, maka tatanan baru dihadapkan akan menjadi lebih baik menurut penilaian kewajaran. "
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Aku hargai sikapmu. Ternyata kau tidak duduk dibawah tempurung yang menelungkup.
Prajurit Pati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun tersenyum sambil mengeluarkan tangannya. Agung Sedayu menyambut tangan itu sambil berkata " Selamat malam. - Selamat malam " jawab Lurah Prajurit dari Pati itu " meskipun aku seorang prajurit, tetapi lebih senang jika perang tidak terjadi. Agung Sedayu mengangguk. Katanya " Mudah-mudahan anak cucu kita kelak akan menemukan satu jaman dimana perang akan tidak dikenal lagi. "
- Satu mimpi yang indah " desis prajurit Pati itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Tetapi bukankah kita berharap bahwa mimpi itu menjadi Daradasih. - Mudah-mudahan " Lurah Prajurit Pad itu tersenyum " anak cucu kita tidak mengalami perang seperti yang kita alami sekarang. Pengalaman yang sangat pedih. Menang atau kalah. Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu terbanting kedalam masalah pribadinya " Ya, anak cucumu. "
Prajurit Pati itu menepuk bahu Agung Sedayu " Pada saatnya kau akan mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah seperti kau. Kita akan berdoa bersama-sama, agar anak-anak kita tidak akan pernah bertemu di medan perang. - Bukankah kita bermimpi bahwa di masa depan akan datang jaman dimana perang tidak dikenal lagi " Keduanya tertawa. Dua orang Lurah prajurit dari pasukan yang saling bermusuhan. Namun betapa asamanya tawa itu sendiri.
Demikianlah, keduanya berpisah kembali ke perkemahan masing-masing. Namun keduanya berharap, bahwa mereka besok tidak bertemu di medan perang yang akan membakar dataran di sebelah Barat Kali Dengkeng itu.
Ketika Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka ia telah mendapat perintah-perintah apa yang harus dilakukannya esok pagi. Panembahan Senapati telah mengambil keputusan bahwa besok pasukan Mataram akan turun kembali ke medan tanpa menghiraukan, apakah Pati akan memasang gelarnya lagi atau tidak.
- Jika Pati tidak keluar dari bentengnya, maka kita akan memasuki benteng itu. Tetapi pada saat yang sama Pati juga memutuskan untuk melepas pasukannya dalam gelar yang sama. Tetapi apa yang terjadi dalam dua kali benturan kekuatan, menjadi bahan penyusunan kekuatan dihari yang akan datang.
- Kita jangan memberi kesempatan kepada pasukan Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya matahari pagi " perintah Kangjeng Adipati Pad " meskipun seandainya garis perang bertahan cahaya matahari menjelang senja. Tetapi perubahan-perubahan akan dapat terjadi selama pertempuran berlangsung. "
Para Senapati Pati mengangguk-angguk. Mereka menyadari, meskipun nampaknya tidak terlalu penting, tetapi silaunya cahaya matahari pagi akan sangat berpengaruh atas ketajaman penglihatan prajurit Mataram. Jika pada benturan pertama prajurit Mataram akan mengalami kesulitan, maka untuk seterusnya, para prajurit Mataram akan mengalami goncangan-goncangan.
Malam itu, para prajurit Pati dan Mataram yang akan turun ke medan berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Agung Se-dayupun telah beristirahat pula. Swandaru yang mengetahui bahwa Agung Sedayu bertugas di bekas medan pertempuran, maka ia tidak datang mencarinya. Tetapi Swandaru yang kecewa karena tidak sempal menyelesaikan pertempuran, telah berbaring sejak malam turun. Ia menugaskan beberapa orang pengawal untuk mencari para pengawal Sangkal Putung yang mengalami cidera dan gugur dalam pertempuran.
Didini hari, maka para prajurit Mataram dan Patipun telah mulai mempersiapkan diri. Ketika asap di dapur mulai mengepul, para prajurit mulai berbenah diri pula. Mereka melihat kembali senjata senjata mereka. Yang senjatanya rusak atau patah, telah mendapatkan yang baru.
Agung Sedayu telah mulai bersiap-siap pula. la sempat menilik prajurit-prajuritnya kelompok. Agung Sedayu sempat memberikan peringatan-peringatan dan pesan-pesan yang bukan saja membesarkan hati para prajuritnya, tetapi juga memberikan beberapa pilihan yang dapat mereka lakukan di medan pertempuran.
Beberapa saat sebelum keseluruhan pasukan Mataram itu dipersiapkan dalam gelar, maka Swandaru sempat mengunjungi Agung Sedayu. Seperti biasanya ia memberikan beberapa pesan kepada kakak seperguruannya itu sambil menceriterakan kekecewaannya, karena ia tidak sempat menyelesaikan lawannya sampai tuntas.
Orang itu tidak akan berani menemui aku lagi di mesan " berkata Swandaru " jika besok pagi ia muncul lagi, maka aku yakin, ia tidak akan sempat keluar lagi dari medan pertempuran. "
Agung Sedayu hanya mengagguk-angguk saja. Tetapi ia percaya bahwa adik seperguruannya itu mempunyai kelebihan dari seorang Senapati Pati.
Tetapi Swandaru tidak terlalu lama berbicara dengan Agung Sedayu, karena pasukan Mataram segera dipersiapkan langsung dalam gelar sebelum pasukan itu mulai bergerak.
Hari itu, baik Mataram maupun Pati tidak merubah gelar yang telah dipergunakan. Mataram dengan gelar Garuda Nglayang sementara Pati menggunakan gelar Supit Urang.
Beberapa saat kemudian, maka Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada para Panglima pasukannya untuk bersiaga sepenuhnya. Isyarat yang pertama, maka pasukan harus sudah berada didalam barisan dari kesatuan masing-masing dan siap memasuki gelar sesuai dengan tempat yang di tentukan bagi mereka.
Ketika kemudian oleh petugas penghubung diberikan isyarat yang kedua, maka setiap kesatuan segera berada didalam gelar dan siap untuk bergerak. Isyarat yang ketiga pertanda bahwa gelar Garuda Nglayang dari pasukan Mataram itu mulai bergerak ke medan pertempuran.
Sebagaimana pasukan Mataram, maka pasukan Patipun telah bergerak pula. Gelar SupitUrang yang nampak garang itu merayap dalam keremangan cahaya fajar, menyeberangi Kali Dengkeng seperti kemarin.
Menjelang fajar menyingsing, maka kedua pasukan itu sudah berhadap-hadapan. Sementara itu supit kanan dari gelar Supit Urang dari Pati telah mendapat perintah khusus, jika pasukan sayap kiri gelar Garuda Nglayang dari Mataram bergerak mundur, maka supit sebelah kanan jangan merasa mampu mendengar lawan, karena gerak mundur itu hanyalah cara orang-orang Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya cahaya matahari.
Demikianlah, maka ketika fajar menyingsing, maka kedua pasukan itupun segera bertemu. Dua gelar perang yang melebar, menebar diatas kotak-kotak sawah tanpa menghiraukan tanaman yang tumbuh diatasnya. Apalagi tanaman itu memang sudah rusak sejak pecah perang gelar sebelumnya.
Ketika malam menjelang pertempuran itu Kangjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa persedian bahan pangan sudah menjadi semakin tipis, sementara para prajurit yang bertugas untuk menambah persediaan bahan pangan itu mengalami itu lebih cepat selesai. Jika Pati dapat memecahkan gelar perang pasukan Mataram, maka pasukan Pati akan dengan cepat meluncur langsung menuju ke Mataram.
- Kita akan memasuki dinding Kota Mataram. Kita tidak akan kekurangan apa-apa lagi. " berkata Kangjeng Adipati Pati.
Para Panglimanya memang sependapat. Jika mereka memasuki dinding kota Mataram, memang tidak akan kekurangan apa-apa lagi. Tetapi untuk memasuki dinding kota itu diperlukan hentakan kekuatan yang sangat besar. Namun merekapun sependapat, jika pertahanan gelar Mataram dalam pertempuran di sebelah Kali Dengkeng itu dapat dipatahkan, maka pertahanan jiwani pasukan Mataram tentu sudah ter-koyakkan pula. Sehingga mereka tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipati Pati itupun berkata pula " Hari ini aku akan langsung turun kedalam pertempuran. Aku tidak perlu menunggu lagi, apakah Panembahan Senapati sendiri akan melibatkan diri atau tidak. Para Panglima prajurit Pati itu memang sudah menduga, bahwa Kangjeng Adipati yang ingin menyelesaikan perang dengan cepat itu, akan segera turun sendiri ke gelanggang.
Meskipun demikian, mereka menjadi berdebar-debar pula. Keputusan Kangjeng Adipati untuk langsung ikut serta bertempur itu, seolah-olah memang merupakan keputusan hukuman mati bagi pasukan Mataram, meskipun seandainya Panembahan Senapati sendiri turun ke medan.
Karena itu, ketika pasukan Pati mulai bergerak, maka Kangjeng Adipati telah menempatkan seorang Panglimanya yang sangat berpengalaman untuk mengendalikan gelar Supit Urang itu jika Kangjeng Adipati sendiri telah terlibat langsung di garis benturan kedua kekuatan yang besar itu.
Gemuruh pasukan telah menggetarkan udara. Beberapa langkah menjelang benturan, maka kedua pasukan telah mengambil ancang-ancang, sementara supit sebelah kanan pasukan Pati tidak akan terpancing jika sayap kiri gelar lawan memancing mereka untuk membuat garis benturan tidak tepat menyilang sinar matahari.
Sesaat kemudian, maka benturan kedua kekuatan itupun telah terjadi. Benturan dua kekuatan yang bukan saja besar, tetapi juga kemampuan tinggi.
Panembahan Senapati masih memperingatkan agar pasukannya berusaha untuk tidak menentang bahaya matahari yang sedang terbit. Tetapi Panembahan Senapatipun memperingatkan, bahwa cara yang pernah ditempuh sebelumnya tidak akan dapat dipergunakannya lagi, karena pasukan Mataram adalah sekedar satu cara yang telah direncanakan. Bukan karena pasukan Mataram itu tidak mampu bertahan pada benturan pertama.
Karena itu, maka jalan yang ditempuh oleh pasukan Mataram justru menghentak di sayap kanannya.
Adalah diluar dugaan pasukan Pati, maka dalam benturan yang terjadi, sayap sebelah kanan dari Gelar Garuda Nglayang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan para prajurit yang seharusnya berada dibelakang garis benturan.
Pasukan Pati memang terkejut. Karena itu. supit sebelah kirinya justru telah terguncang dan terpaksa bergerak surut Namun dengan cepat supit sebelah kiri itu memperbaiki kedudukan mereka.
Para Senapati prajurit Pati memang cukup berpengalaman. Karena itu, dalam waktu singkat maka supit sebelah kiri itu telah mapan kembali, sehingga keseimbanganpun segera dicapai.
Tetapi pada saat itu pula para Senapati Pati menyadari, bahwa hentakan kekuatan disayap kanan gelar perang prajurit Mataram adalah sekedar pendahuluan untuk menghindari silauannya cayaha matahari pagi yang tajam.
Namun hal itu telah terjadi. Sementara prajurit Mataram tetap berusaha bertahan pada kedudukan itu.
Yang terjadi kedudukan adalah pertempuran yang sengit Hentakkan-hentakkan kemampuan para prajurit mewarnai medan pertempuran. Para prajurit tidak saja mengandalkan kemampuan mereka dalam perang gelar. Tetapi kemampuan mereka secara pribadi ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.
Di sayap kiri Swandaru memang menjadi kecewa, bahwa ia tidak bertemu lagi dengan Senapati yang telah dilukainya. Yang kemudian berdiri dihadapannya adalah seorang prajurit yang bagi Swandaru terasa agak aneh. Prajurit yang dihadapinya itu seakan-akan terlepas dari ikatan gelar disekitarnya. Agaknya ia hadir dipertempuran sengaja ingin bertemu denan anak Demang Sangkal Putung yang bernama Swandaru.
Ketika orang itu berhasil berhadapan dengan Swandaru, orang itu berkata " Kaukah yang bernama Swandaru " Seorang pengawal Kade-mangan yang bersenjata cambuk " - Ya " jawab Swandaru " kau siapa " Kau tidak pantas disebut seorang prajurit Meskipun kau memakai pakaian prajurit tetapi kau tidak mengenakannya dengan mapan. ~
Orang itu tertawa. Katanya " Penglihatanmu memang tajam. Aku sebenarnya bukan seorang prajurit. Tetapi aku ditempatkan di antara para prajurit. Aku mendengar bagaimana kau melukai seorang Senapati dengan senjata cambukmu. Karena itu, aku ingin melihat, siapakah sebenarnya anak Demang yang bersenjata cambuk itu.
~ Siapa namamu dan kedudukanmu yang sebenarnya " "
- Sebenarnya aku adalah salah seorang yang bertugas memelihara pusaka-pusaka Kangjeng Adipadi Pati. Tetapi rasa-rasanya tidak pantas aku duduk bertopang dagu di istana Pati, sementara Kangjeng Adipati berada di medan pertempuran. Karena itu, aku mohon untuk diperkenankan ikut dalam gelar ini. "
- Siapa namamu " " bertanya Swandaru.
Orang itu tertawa. Katanya " Baiklah. Di duniamu yang baru kau akan dapat mengingat namaku. Orang memanggilku Ki Ajar Terepan Nah, sekarang bersiaplah untuk mati. Kau sudah mengetahui namaku, pekerjaanku dan niatku untuk dengan sengaja menemuimu. ~ Bagus ~ sahut Swandaru ~ bersiaplah Ki Ajar. Kita akan membual satu perbandingan ilmu. "
Ki Ajar Terepan itu mengerutkan dahinya. Katanya " Kau memang seorang yang berani. Kau sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang betapapun tinggi ilmunya. "
- O " Swandaru tersenyum " apakah kau berilmu tinggi. - Aku sudah mendengar tentang ilmu cambukmu dari Senapati yang kau lukai kemarin. Karena itu, kau tentu dapat menduga, bahwa tanpa ilmu yang tinggi, aku tidak akan datang menemuimu sekarang ini. "
Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan cambuknya.
Lawannya, Ki Ajar Terepan menggenggam sebuah tombak pendek. Ketika tombak itu mulai bergetar, maka mata tombak yang kehitam-hitaman itu seakan-akan berkeredipan.
Swandaru melihat pertanda itu. Iapun sadar, bahwa lawannya itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Tetapi Swandaru justru menjadi semakin bergairah. Ia memang ingin menunjukkan bahwa ia mampu menandingi orang-orang berilmu tinggi.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit Ujung tombak Ki Ajar Terepan berputar dengan cepat Bergerak mendatar namun kemudian mematuk dengan cepatnya kea-rah dada. Namun serangan itu urung karena cambuk Swandaru telah menggeliat menyambar kearah leher lawannya.
Ki Ajar meloncat surut ketika ia mendengar cambuk Swandaru meledak seakan-akan memecahkan daun telinga. Namun kemudian Ki Ajar itupun berkata"Kau tidak usah bermain kuda-kudaan lagi Ki Sanak. Aku sudah mendengar dari Senapati yang kau lukai, bahwa kau memiliki ilmu cambuk yang tinggi.
Swandaru tidak menjawab. Namun cambuknyalah yang menghentak dengan cepat


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sama sekali tidak terdengar hentakkan yang memekakkan telinga. Bahkan cambuk itu seolah-olah tidak menggelepar sama sekali. Yang terdengar tidak lebih dari sebuah gesekan halus yang lemah.
Namun Ki Ajar Terepan itu melenting sekali lagi surut Sambil mengangguk-angguk ia berkata " Ternyata Senapati itu tidak bermimpi. Kau benar-benar memiliki ilmu cambuk yang dahsyat sekali He, dari siapa kau mewarisi ilmu cambukmu itu " "
- Tentu saja dari guruku " jawab Swandaru.
- Siapa gurumu itu " " bertanya Ki Ajar Terepan pula.
- Orang menyebutnya, Orang Bercambuk " jawab Swandaru.
- Setan kau " geram orang itu " tentu orang bercambuk. Siapa namanya "
Swandaru mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mendengar orang itu mengumpat Dengan garangnya ia berkata " Kau tidak berhak membentak dan mengumpati aku. Kau boleh bertanya siapakah guruku, tetapi dengan cara yang lebih baik. - Persetan dengan gurumu " berkata Ki Ajar Terepan " siapapun gurumu, kau akan mati hari ini. "
Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknyalah yang menggeliat menggapainya.
Tetapi Ki Ajar Terepan memang tangkas pula. Ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuh kulitnya. Bahkan dengan cepat pula orang itu melenting. Tombaknya menggelapar disatu tangannya yang menebas mendatar menyambar kearah lambung.
Namun Swandarupun sempat meloncat menghindar pula, sehingga serangan itu tidak mengenainya.
Demikianlah, pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Para Senapati yang sering bertemu dan berhadapan telah bertempur dengan sengitnya.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipati yang sudah berniat untuk langsung terjun ke pertempuran telah memanggil Panglimanya yang memang sudah ditunjuk untuk menggantikannya memegang kendali pertempuran.
- Sudah waktunya aku turun ke medan. Aku berhadap bahwa Panembahan Senapati berani bersikap jantan dengan menyongsong kehadiranku. Di medan pertempuran seperti ini akan menjadi arena yang paling wajar untuk menguji, siapakah yang lebih baik diantara aku dan Panembahan Senapati. Dengan demikian, maka akan ditentukan pula siapakah yang paling berhak untuk memerintah sepeninggal Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Panembahan Senapati di Mataram atau Adipati Pragola di Pati. "
Demikianlah, maka Kangjeng Adipati bersama dua orang Senapati pengapitnya telah bergerak langsung ke garis benturan perang kedua gelar yang besar itu.
Ketika pertempuran antara kedua belah pihak menjadi semakin sengit disaat matahari naik semakin tinggi, maka Kangjeng Adipati Pragola telah menghentak medan perang. Kehadirannya memang sudah direncanakan, sehingga para prajurit Pati telah mengetahui sebelumnya, bahwa Kangjeng Adipati akan langsung terjun ke gelanggang.
Meskipun demikian, setiap jantung prajurit Pati masih juga berdebar-debar menyaksikan pemimpin tertinggi mereka langsung bertempur di medan yang sangat keras itu.
Bagi prajurit Mataram, kehadiran Kangjeng Adipati Pragola memang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati Pati itu memang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati Pati itu terlalu cepat turun langsung kelidah api pertempuran.
Tetapi itu sudah terjadi. Para Senapati yang berfungsi diujung paruh gelar Garuda Ngalayang, langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati Pati.
Para Senapati itu memang menjadi berdebar-debar. Sebagian dari mereka melihat, bagaimana Kangjeng Adipati itu melumpuhkan Pangeran Adipati Anom sehingga menjadi pingsan. Untunglah bahwa pada waktu itu, para Senapati bertindak cepat, sehingga Pangeran Adipati Anom sempat diselamatkan.
Namun kini yang memimpin pasukan Mataram bukan Pangeran Adipati Anom. Tetapi Panembahan Senapati sendiri. Seorang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak dapat dijajagi.
Namun para Senapati Mataram masih belum dengan serta merta menyerahkan perlawanan terhadap Kangjeng Adipati Pati itu kepada Panembahan Senapati. Dua orang Senapati yang berada di ujung paruh gelar Garuda Nglayang mencoba untuk menahan gerak maju Kangjeng Adipati Pragola, sementara beberapa orang prajurit telah berusaha untuk menahan para Senapati pengapitnya.
Tetapi usaha itu akan sia-sia. Kangjeng Adipati Pragola yang garang itu telah bertempur dengan kemampuan yang sangat tinggi, sehingga sulit untuk dapat menahannya.
Seorang Senapati yang dengan berani menyerang dengan ujung tombak, terkejut Ia menduga bahhwa Kangjeng Adipati Pragola yang sibuk menghadapi beberapa orang prajurit itu tidak sempat menghindari serangan tombaknya, karena Kangjeng Adipati tidak menghindar dan tidak menangkis serangannya itu. Namun tiba-tiba terasa tubuhnya terpelanting. Tombaknya terlepas dari tangannya.
Barulah ia sadar, bahwa Kangjeng Adipati Pragola telah menjepit ujung tombaknya itu diantara tangan dan tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kangjeng Adipati memutar tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kangjeng Adipati memutar tubuhnya, sehingga Senapati yang memegang tombak itu terlempar.
Ketika orang itu berusaha untuk bangkit maka ia sudah menghadapi serangan seorang prajurit Pati yang garang. I lampir saja pedang prajurit Pati itu menebas lehernya. Namun Senapati Mataram itu sempat menjatahkan diri lagi dan berguling mengambil jarak.
Beruntunglah bahwa tangannya sempat menggapai sehelai pedang yang tergeletak didekatnya, sehingga ketika ia kemudian meloncat bangkit, maka ia telah menggenggam senjata ditangannya.
Namuan dalam pada itu, seorang Senapati yang lain telah mengaduh tertahan. Sebuah goresan luka telah mengoyak pundaknya, sehingga Senapati itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut
Kehadiran Kangjeng Adipati Pragola bersama dua orang Senapati pengapitnya ternyata telah mengguncang ketahanan ujung paruh gelar Garuda Nylayang dari Mataram.
Akhirnya para Senapati Mataram tidak dapat membiarkan keadaan itu terlalu lama. Ketika seorang Senapati lagi terbanting jatuh dan harus diangkat kebelakang garis perang dalam keadaan yang membahayakan, sementara seorang prajurit yang berusaha menolongnya justru terluka parah pula, maka kehadiran Kangjeng Adipati Pati bersama dua orang Senapati pengapitnya itu telah dilaporkan kepada Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati yang memang melihat goncangan di paruh gelarnya, menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Kangjeng Adipati Pragola benar-benar telah menantangnya.
Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun segera mempersiapkan diri untuk turun langsung ke medan pertempuran.
Kepada penghubung yang memberikan laporan tentang kehadiran Kangjeng Adipati Pragola, Panembahan Senapati telah menanyakan tentang kedua orang Senapati pengapitnya.
" Seorang berjanggut keputih-putihan. Sedikit gemuk bersenjata tongkat berwarna perunggu bersisik putih. Sedangkan seorang lagi bertubuh raksasa bergelang kayu berwarna hitam dan bersenjata tombak pendek berkait ~ jawab penghubung itu.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Patih Mandaraka iapun bertanya " Bukankah keduanya guru adimas Adipati Pati " Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi " " Ya. Aku yakin bahwa kedua orang itu memang Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. " jawab Ki Patih Mandaraka.
" Siapakah yang pantas untuk menahan keduanya sementara aku berhadapan dengan adimas Adipati Pragola " Mangkubumi atau siapa menurut paman " " Para Pangeran itu berada didalam tugas mereka masing-masing yang tentu sulit untuk ditinggalkan. "
- Jadi " - - Aku akan menemui orang tua yang tidak tahu diri itu. Biarlah aku mencoba untuk membujuk Naga Sisik Salaka. "
- Ki Gede Candra Bumi " - Aku mohon, Panembahan memanggil Agung Sedayu. "
- Ki Lurah Agung Sedayu " " bertanya Panembahan Senapati. " ia masih terlalu muda untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi. Ingat, Ki Gede Candra Bumi itu adalah guru adimas Adipati Pragola dari Pati. - Tetapi kemampuan Kangjeng Adipati Pragola itu dihimpunnya dari beberapa orang gurunya sehingga seandainya sekarang ini Kangjeng Adipati Pragola harus bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi, maka Ki Gede tentu akan mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki Ki Gede Candra Bumi dan kemudian diluangkan kepada Kangjeng Adipati Pragola, hanya merupakan sebagian saja dari perbendaharaan d-munya. Sementara itu, Anak mas Panembahan mengetahui sendiri, ke-dalam ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu.
Ilmunya yang masak yang diwarisinya dari orang Bercambuk, kemudian ilmunya yang disadapnya dari kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita, ilmu yang disadapnya dari getar ketajaman angan-angannya sendiri sendiri benar-benar merupakan ilmu murni yang dihadirkannya dalam dunia kanuragan serta kemampuannya yang justru tidak diketahui darimana datangnya. Ia kebal dan mampu mempengaruhi daya bayang lawannya tentang dirinya sehingga ia mampu membuat dirinya seakan-akan menjadi lebih dari seorang. Selebihnya ia tawar dari segala macam racun dan bisa. "
Panembahan Senapati yang mengenal Agung Sedayu sejak lama, bahkan telah pernah melakukan petualangan bersama, mengenal Agung Sedayu dengan baik. Tetapi umurnya yang lebih muda dari Panembahan Senapati sendiri, memberikan kesan kurang meyakinkan untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi.
Tetapi keterangan Ki Patih Mandaraka membuat Panembahan Senapati menjadi mantap. Karena itu, maka katanya"Baik. Aku akan turun ke medan bersama dua orang Senapati pengapit Paman Patih Mandaraka dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku akan langsung berada di paruh gelar Garuda Nglayang untuk menghadapi adimas Adipati Pragola yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. "
" Tetapi ilmu Panembahan rasa-rasanya tidak terbatas. "
" Apakah ada seseorang dilingkup langit ini yang memiliki kemampuan tidak terbatas " "
" Memang tidak ada Panembahan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa ilmu yang Panembahan miliki tidak kalah tingginya dari ilmu yang dimiliki oleh Kangjeng Adipati Pragola. ~
Dalam pada itu, maka seorang penghubung telah mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah Agung Sedayu. Ia harus menyerahkan pimpinan Pasukan Khususnya kepada Senapati yang dipercayanya, karena Ki Lurah Agung Sedayu akan menjadi salah seorang Senapati Pengapit dari Panembahan Senapati.
Tugas itu merupakan satu kehormatan yang besar bagi Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayupun menyadari, bahaya yang dapat menerpanya. Senapati pengapit Kangjeng Adipati Pragola tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Ia akan turun ke medan untuk menjawab tantangan adik iparnya, Kangjeng Adipati Pragola dari Pati.
Langit yang cerahh jernih itu tiba-tiba telah disaput awan. Matahari yang memanjat kepuncak langit menjadi pudar. Seakan-akan ingin berlindung dibalik mega-mega kelabu karena menjadi silau oleh kehadiran Panembahan Senapati dan Adipati Pragola itu.
Para prajurit Matarampun segera menyibak ketika mereka melihat Panembahan Senapati bersama dua orang Senapati pengapitnya turun ke medan. Bahkan beberapa orang tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya, setelah beberapa saat mereka menyaksikan, betapa Kangjeng Adipati dengan dua orang Senapati pengapitnya telah mengguncang paruh gelar perang pasukan Mataram.
Kedatangan Panembahan Senapati itupun langsung disambut oleh Kangjeng Adipati Pragola. Dengan suara yang bergetar Kangjeng
Adipati Pragola dari Pati itupun berkata " Selamat datang di medan kakangmas. Sayang aku tidak dapat memberikan sambutan lebih baik dari ini. "
Panembahan Senapati tersenyum. Dipandanginya adik iparnya itu sejenak. Kemudian dipandanginya kedua Senapati pengapit Kangjeng Adipati itu. Untuk sesaat pertempuran disekitar kedua orang pemimpin tertinggi Mataram dan Pati itu seakan-akan terhenti meskipun dibagian yang lain, pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya.
" Terima kasih atas sambutanmu itu dimas. Kau tidak perlu menyambut kedatanganku dengan berlebihan. " Sudah sejak beberapa hari aku menunggu " berkata Kangjeng Adipati Pati.
" Aku sudah mengirimkan Pangeran Adipati Anom untuk mewakili aku. Ia telah menemui adimas dan menyampaikan pesanku jawab Panembahan Senapati.
Tetapi Kangjeng Adipati Pragola tertawa. Katanya " Anak itu terlalu sombong. Ia tidak tahu diri dengan siapa ia berhadapan. " Aku minta maaf bagi anak itu, adimas. " berkata Panembahan Senapati kemudian.
"Tidak apa-apa kakangmas. Tidak apa-apa. Aku juga tahu watak anak-anak muda, karena akupun pernah muda pula. "
" Terima kasih adimas " desis Panembahan Senapati.
Namun Kata-kata Panembahan Senapati terputus oleh suara Ki Naga Sisik Salaka yang seakan-akan bergulung-gulung diperutnya -Baktiku bagi Panembahan Senapati yang Agung. "
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya " Terima kasih paman Naga Sisik Salaka. " Juga kepada Ki Juru Martani yang bergelar Adipati Mandaraka, pepatih Mataram yang bijaksana.
Ki Patih Mandaraka tertawa pendek. Katanya " Kau masih saja suka bergurau Ki Naga Sisik Salaka. Orang yang disebut Naga Sisik Salaka itu tertawa, sementara Ki Candra Bumipun berkata " Aku mengenal Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka dengan baik. Tetapi aku belum mengenal orang muda ini. "
Panembahan Senapati berpaling kepada Ki Candra Bumi yang memang lebih senang berbicara langsung daripada dengan basa-basi yang baginya tidak ada artinya sama sekali itu.
Dengan nada rendah Panembahan Senapati berkata " Ia adalah salah seorang Senapati pengapitku, Ki Candra Bumi. Aku sudah mendapat laporan, bahwa Kangjeng Adipati Pati hadir di medan bersama dua orang Senapati Pengapitnya diantara para prajurit pilihan. Nah, karena itu aku juga datang bertiga. Aku, Ki Patih Mandaraka yang tua dan orang muda itu. Ia adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khususku. "
- Wah ~ Ki Candra Bumi mengangguk-angguk"demikian tinggikah ilmunya " sehingga anak ingusan itu harus tampil di medan sebagai seorang Senapati Pengapit Panembahan Senapati dari Mataram " Apakah karena Mataram memang sudah kehabisan orang berilmu tinggi sehingga Ki Juru Martani yang pikun dan anak yang baru mampu berdiri tegak itu harus menjadi Senapati pengapit " "
- Ki Mandarakan memang ingin bermain-main lagi dengan Ki Naga Sisik Salaka. Kedua-duanya memang sudah pikun. Aku juga ingin melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh orang-orang pikun. Sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu adalah kawan bermainku sejak mudanya. "
Wajah Ki Candra Bumi berkerut Namun kemudian ia berkata -Bagus. Bagus. Jika aku mendapat lawan orang-orang muda, maka aku-pun akan menjadi tegar dan muda kembali. "
- Nah, kakangmas " berkata Kangjeng Adipati Pragola " kita sudah bertemu. Apakah Pangeran Adipati Anom sudah menyampaikan jawabanku atas pesan kakangmas " "
- Sudah. Ia sudah menyampaikannya. Iapun mengatakan bahwa ia telah pingsan di medan pertempuran melawan pamannya yang berilmu sangat tinggi. "
- Aku sudah memperingatkannya agar ia meninggalkan medan. Tetapi ia justru mulai menyerang. Tetapi aku masih dapat mengekang diri. Yang mengenainya bukan mata tombakku, tetapi pangkal landean tombakku ini, sehingga kulitnya sama sekali tidak terluka. Mungkin ia pingsan. Tetapi bukankah tidak membahayakan jiwanya " Jika seseorang yang bakal menggantikan kedudukan ayahandanya, memang kuasa di Mataram. "
" Terima kasih adimas, bahwa kau masih ingat kepada kemenakanmu itu. Pangeran Adipati Anom memang cepat kehilangan kendali diri. Ia masih muda seperti yang adimas katakan tadi, " berkata Panembahan Senapati pula. Namun kemudian katanya " Tetapi apakah benar bahwa adimas tidak mau menarik pasukan adimas sampai kesebelan Utara Pegunungan Kendeng " "
- Memang tidak kakangmas. Aku justru ingin pergi ke Mataram " jawab Kangjeng Adipati Pragola dari Pati.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba untuk mengendapkan perasaannya, sementara Kangjeng Adipati Pragola itupun berkata ~ Sudah lama aku ingin mengatakan kepada kakangmas, bahwa biarlah aku saja yang memegang kepemimpinan diatas tanah ini setelah Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang wafat. Sejak semula aku menganggap bahwa cara kakangmas mengambil kekuasaan dari Pajang adalah tidak sah. Tetapi aku masih berharap bahwa kakangmas akan dapat mendudukkan diri sebagai seorang pemimpin yang baik. Karena itu, aku bersedia membantu kakangmas. Bahkan ketika kakangmas menyerang dan menundukkan Panembahan Mas Di Madiun. Namun ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga akhirnya aku berkeputusan untuk mengambil alih kepemimpinan atas Pajang dari kakangmas. Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak, la tidak menolak seseorang menilai tentang dirinya. Apa yang telah dilakukannya dan apa yang akan dilakukannya tidak akan banyak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Bahkan pendapat orang lain tentang dirinya akan dapat dipergunakannya untuk menjadi bahan pertimbangan atas langkah-langkah yang bakal diambilnya. Tetapi bahwa Kangjeng Adipati Pati seakan-akan tanpa merenungi akibatnya demikian mudahnya berkata, bahwa ia akan mengambil alih kepemimpinan atas tanah ini dari tangannya, ternyata telah membuat jantungnya berdetak semakin cepat
Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun kemudian menjawab " Adimas Adipati. Sebenarnya aku tidak pernah menutup pintu bagi sebuah pembicaraan. Namun Kangjeng Adipati Pragola segera menyahut"Kita sudah berada di tengah-tengah medan, kakangmas. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Kita sudah berada di tengah-tengah medan pertempuran. Apa boleh buat. Panembahan Senapati memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Kangjeng Adipati Pragola bergeser surut, maka panembahan Senapatipun telah melangkah surut pula.
Dengan demikian, maka keduanyapun telah bersiap untuk segera bertempur. Nampaknya kedua saudara ipar itu tidak dapat menemukan jalan lain kecuali mengadu tajamnya ujung tombak.
Ki Patih Mandaraka yang tua itupun segera bergeser menjauh. Ki Naga Sisik Salaka yang juga bergeser berkata " Tunggu. Eh, aku tidak dapat lagi berjalan terlalu cepat "
Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya " Kau justru nampak menjadi semakin muda. Marilah, sudah lama kita tidak bergurau dengan cara yang mungkin tidak disenangi oleh anak-anak muda. Ki Naga Sisik Salakapun segera mempersiapkan tongkatnya. Namun ia masih sempat berkata " Dahulu, aku menganggap bahwa tongkatku ini terlalu ringan. Tetapi setelah aku menjadi semakin tua, rasa-rasanya tongkatku menjadi semakin berat "
Ki Patih tertawa. Katanya " Apakah tongkatmu itu masih dapat kau pergunakan untuk membakar sampah seperti dahulu " Jika kau kedinginan didini hari, kau kumpulkan sampah, kemudian kau bakar dengan hidung tongkatmu itu untuk menghangatkan diri " Ki Naga Sisik Salaka tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata " Sekarang sudah tidak lagi. Aku tidak pernah lagi merasa kedinginan, justru karena aku sudah menjadi semakin tua. "
" He, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan sekarang " " bertanya Ki Mandaraka.
Ki Naga Sisik Salaka tiba-tiba berkata dengan sungguh-sungguh " Ki Juru Martani. Kau adalah orang yang sangat aku kagumi. Sampai sekarangpun aku menyadari, bahwa aku tidak akan pernah dapat menandingi ilmumu. Tetapi kali ini aku minta tolong kepadamu agar kau sudahi tugas-tugasku disamping Kangjeng Adipati. Aku tidak tahu kenapa Kangjeng Adipati berubah. Semakin lama ia menjadi semakin jauh dari kakandanya, Panembahan Senapati. Aku sudah berusaha untuk membujuknya. Tetapi aku tidak berhasil. "
- Jadi apa maksudmu " " bertanya Ki Patih Mandaraka.
- Kita akan bertempur. Tetapi mimpiku tiga malam yang lalu telah memberitahukan kepadaku, bahwa tugas-tugasku akan berakhir sekarang. "
- Ah, kau selalu saja bergurau dalam keadaan apapun. Aku tahu, bahwa ilmu yang bertimbun didalam dirimu bertumpuk sampai menyentuh langit " berkata Ki Patih mandaraka kemudian.
- Kaulah yang masih saja bergurau. Cobalah sedikit menunjukkan sedih hatimu sebagai pernyataan kesetia kawananmu, bahwa sebentar lagi, seorang dari sekian banyak sahabatmu akan mati dipertempuran. "
- Jangan berkata begitu " sahut Ki Patih Mandaraka. Namun Ki Naga Sisik Salaka itu segera mengangkat tongkatnya
dan memutarnya. Dengan nada dalam ia berkata " Marilah Ki Juru Martani. Jika kau tidak bersedia mengantar aku kedunia abadiku, maka biarlah aku yang mengantarmu. Ki Juru tidak bertanya lagi. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri menghadapi Ki Naga Sisik Salaka dengan senjata tongkatnya itu.
Dalam pada itu, Ternyata Ki Candra Bumi justru telah lebih dahulu mulai menyerang Agung Sedayu. Tanpa senjata ditangan, Ki Candra Bumi meloncat menyambar kearah kening.
Agung Sedayupun dengan cepat menghindar. Namun karena lawannya masih belum bersenjata, maka Agung Sedayupun belum mengurai cambuknya pula.
Dengan garangnya Ki Gede Candra Bumi berloncatan. Tangannya menyambar-nyambar dengan cepatnya. Namun Agung Sedayupun mampu bergerak secepat serangan-serangan Ki Candra Bumi.
- Ternyata kau bukan sekedar anak bawang, Ki Lurah " geram Ki Gede Candra Bumi.
- Siapapun aku, aku akan menjalankan perintah ini sebaik-baiknya. " jawab Agung Sedayu.
- Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Kau masih terhitung muda. Tetapi perintah Panembahan Senapati kepadamu untuk menjadi Senapati pengapitnya adalah sama saja dengan jatuhnya hukuman mati. He apakah kau belum pernah mengenal namaku " "
- Sebelum aku turun menjadi Senapati pengapit Panembahan Senapati, belum Ki Gede.
Ki Gede Candra Bumi menggeram. Serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin deras. Seperti angin yang bertiup semakin kencang mengguncang pepohonan.
Tetapi pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak terguncang.
Jantung Ki Candra Bumi semakin lama menjadi semakin panas. Lurah prajurit Mataram itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang tinggi. Bahkan dengan geram ia berkata ~ He, Ki Lurah. Apakah kau tahu bahwa aku adalah salah seorang guru Kangjeng Adipati Pati "
- Aku tahu Ki Candra Bumi " jawab Agung Sedayu " Tetapi kadang-kadang seorang murid memang menjadi lebih pandai dari gurunya. Apalagi seorang murid yang memiliki lebih dari dua tiga orang guru. "
- Kau benar. Tetapi aku adalah salah seorang diantara mereka yang membentuk Kangjeng Adipati Pragola menjadi seorang yang ilmunya tidak dapat dijajagi. Ia akan menggilas Panembahan Senapati dan merampas tahta Mataram yang dirampas oleh Panembahan Senapati dari Pajang. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat menyerang.
Ki Gede Candra Bumi melihat serangan itu. Tetapi Ki Gede Candra Bumi sengaja tidak menghindar. Ia ingin menjajagi kekuatan Ki Lurah Agung Sedayu itu. Seorang Lurah Prajurit yang telah dipasang menjadi Senapati Pangapit Panembahan Senapati.
Benturan yang keras telah terjadi Dua kekuatan yang besar telah beradu.
Ternyata Agung Sedayu telah tergetar selangkah surut Tangannya yang membentur pertahanan Ki Gede Candra Bumipun terasa menjadi nyeri. Namun Ki Gede Candra Bumipun telah terdorong surut pula. Iapun merasa nyeri pula sebagai mana Agung Sedayu.
Ki Candra Bumi itupun menjadi yakin, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang memiliki kemampuan yang besar.
Tetapi itu bukan berarti bahwa Senapati pengapit yang masih terhitung muda itu memiliki tataran ilmu yang memadai untuk mengimbangi ilmunya.
Ki Gede Candra Bumipun kemudian telah meningkatkan ilmunya tataran demi tataran. Ia ingin mengukur seberapa tinggi tataran ilmu Senapati muda itu.
Nampaknya Agung Sedayu mengerti maksud lawannya. Sebagaimana sifatnya, maka Agung Sedayu tidak ingin melampaui tataran-tataran Ki Gede Candra Bumi itu. Karena itu, justru Agung Sedayulah yang menyesuaikan diri dengan tataran ilmu lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara Ki Gede Candra Bumi melawan Ki Lurah Agung Sedayu itu menjadi semakin sengit Keduanya menjadi semakin garang, sementara ilmu merekapun merambat semakin tinggi.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah mengerahkan kekuatan prajurit-prajuritnya yang ada di pangkal leher gelar perang dari Mataram itu untuk mendesak lawan. Tetapi lawan telah menyusun gelarnya lebih baik lagi, memang tidak mudah untuk diguncang.
Sementara itu, diujung sayap, Ki Untara yang memiliki kemampuan yang tinggi didalam perang gelar, harus mengakui bahwa pasukan lawanpun memiliki ketahanan yang tinggi pula. Sementara itu, Swandaru yang ada didalam sayap itu pula masih bertempur dengan Ki Ajar Terepan. Seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Sementara itu, semakin seru pertempuran yang terjadi diantara Ki Ajar Terepan melawan Swandaru, maka mata tombak Ki Ajar itu semakin berkilat-kilat Namun cambuk Swandarupun menggelepar dan kemudian berputar dengan cepatnya. Tidak lagi terdengar ledakan-ledakan. Tetapi setiap hentakan yang terasa adalah getarnya yang menyentuh dada.
Disayap yang lain pertempuranpun menjadi semakin sengit Ketika matahari bergerak turun, maka prajurit cadangan yang berada ditabuh gelar perangpun mulai berkeringat. Merekalah yang kemudian bertempur dengan garangnya sementara jumlah kedua belah pihak menjadi semakin susut
Tubuh para prajurit yang terluka banyak yang terbujur lintang di arena. Kawan-kawan mereka berusaha untuk membawa tubuh-tubuh itu keluar dari medan agar mereka tidak terinjak-injak kaki. Namun kadang-kadang kesempatan itu tertutup. Bahkan yang gugurpun harus dibiarkan berada ditempatnya. Para prajurit sibuk bertahan untuk tetap hidup, sementara senjatapun berputaran dimana-mana.
Beberapa orang yang memiliki ilmu yang khusus, mempunyai pengaruh yang kuat disetiap bagian dari gelar perang kedua belah pihak. Para Senapati dan orang-orang tertentu yang terselip dian tara para prajurit secara khusus, baik didalam pasukan Mataram, maupun pasukan Pati.
Ki Demang Rancak yang bergabung dengan para prajurit Mataram yang berasal dari Ganjur, ternyata memiliki kelebihan yang menggetarkan para prajurit Pati. Tetapi di sayap yang lain, Ki Dadap Panutan, seorang pertapa di pesisir Utara harus dihadapi oleh beberapa prajurit Mataram bersama-sama karena kelebihannya.
Sedangkan di pusat gelar perang dari kedua belah pihak, Panembahan Senapati tengah bertempur dengan serunya melawan Kangjeng Adipati Pati. Para prajurit justru telah menyibak. Keduanya memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak terjajagi oleh para prajurit
Disebelah arena di pusat gelar itu, Ki Patih Mandaraka yang tua telah bertempur melawan Ki Sisik Salaka. Keduanya adalah orang-orang tua yang berpijak lebih banyak para ilmunya daripada dukungan kewadagan mereka. Lontaran-lontaran ilmu yang bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dilangit
Sedangkan disisi yang lain, Ki Lurah Agung Sedayu bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi. Ternyata Ki Gede Candra Bumi semakin lama menjadi semakin keras. Tenaganya meningkat berlipat.
Tetapi Agung Sedayupun mengimbanginya. Dikerahkannya tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan tenaga lawannya. Namun untuk mengatasi perasaan nyeri disaat benturan-benturan terjadi maka, Agung Sedayupun mulai mengetrapkan ilmu kebalnya.
Dengan demikian, maka pertempuran diantara kedua orang itu
menjadi semakin dahsyat. Langit masih buram ketika matahari menjadi semakin rendah disisi Barat Ternyata bahwa para prajurit Mataram perlahan-lahan mulai menguasai medan. Pasukan Untara disayap gelar perang pasukan Mataram beberapa kali telah mengguncang supit lawannya. Namun Untara masih belum berhasil memecahkan atau mendesak surut Meskipun demikian, Untara dengan kemampuannya mengatur gelar perang telah memberikan tekanan,-tekanan yang sangat berat bagi lawannya.
Sementara itu, Swandaru yang bertempur dengan Ki Ajar Terepan, semakin lama menjadi semakin sengit pula. Ujung tombak Ki Ajar yang berkeredipan telah mulai menyentuh pakaian Swandaru. Ketika ujung tombak itu sempat mengoyak bajunya, maka Swandaru dengan cepat meloncat mengambil jarak.
Ki Ajar Terepan tidak memburunya. Ia juga ingin melihat apakah ujung tombaknya sempat menggores kulit lawannya yang agak gemuk yang bertempur dengan garang itu.
Tetapi ternyata Swandaru tersenyum sambil berkata"Kau hanya mampu mengoyak pakaianku. Ki ajar Terepan menggeram. Kalanya " Jika ujung tombakku menggores seujung rambut saja, maka tidak ada obat yang dapat menyelamatkan nyawamu. "
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia percaya, bahwa warangan yang tajam, memang sangat berbahaya. Goresan kecil, berani membubuhi racun pada darahnya yang akan dapat memungut nyawanya.
Namun dengan demikian Swandaru semakin berhati-hati. Ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam ilmu cambuk. Karena itu, maka dengan ujung cambuknya ia harus tetap memelihara jarak sehingga ujung tombak lawannya itu tidak tergores pada tubuhnya.
Demikianlah, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit Ujung tombak Ki Ajar Terepan itu nampaknya tidak lagi sekedar berkeredipan. Tetapi nampak kilatan-kilatan cahaya yang menusuk penglihatan Swandaru.
Tetapi Swandaru tidak mau terpengaruhi oleh mata tombak lawannya. Karena itu, maka cambuk Swandaru itu berputar semakin cepat, menggelepar dan menggeliat Ujungnya sekali-sekali mematuk dengan cepat kearah dada lawannya.
Tetapi Ki Ajar Terepanpun dengan cepat pula berloncatan menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru. Sekali tombaknya berputar, kemudian terjulur lurus kearah lambung.
Tetapi Swandaru yang mengerti betapa garangnya racun di ujung tombak iku, tidak membiarkan kulitnya tergores sama sekali.
Dengan demikian, maka kedua orang itupun bergerak semakin cepat Tetapi ujung cambuk Swandaru ternyata lebih tangkas dari ujung tombak lawannya. Karena itu, maka ketika Ki Ajar Terepan gagal menusuk lambung Swandaru dan berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak, maka ujung cambuk Swandaru sempat menyentuh pundaknya.
Ki Ajar Terepan berteriak marah. Sentuhan ujung cambuk Swandaru telah mengoyak pundaknya. Darahpun mulai mengalir dari luka-lukanya itu.
- Setan kau " geram Ki Ajar Terepan. Ternyata bukan hanya Senapati yang kemarin bertempur melawan Swandaru. Tetapi hari itu, pundaknya juga telah terluka.
Dengan kemarahan yang menghentak jantungnya, maka Ki Ajar Terepan berusaha untuk membalasnya. Jika ia berhasil, maka itu berarti bahwa orang yang melukai pundaknya itu akan terbunuh.
Sementara itu, langitpun menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin rendah disisi langit sebelah Barat
Agung Sedayu yang bertempur dengan Ki Gede Candra Bumi menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Serangan-serangan Ki Gede Candra Bumi yang masih saja tidak bersenjata itu, ternyata mampu menggoyahkan ilmu kebal Agung Sedayu. Ketika Ki Gede Candra Bumi menghentakkan serangannya dengan telapak tangannya, Agung Sedayu berusaha menangkisnya dengan tangannya pula. Ketika benturan itu terjadi maka Agung Sedayu merasakan getar yang mengguncang menyusuri urat-urat darahnya sampai ke jantung, menyusup ketahanan ilmu kebalnya.
Agung Sedayu meloncat surut. Ia bersiap untuk menerima serangan berikutnya, betapa jantungnya terasa nyeri.
Namun Ki Gede Chandra Bumi itu tidak memburunya. Wajahnya menjadi tegang. Ternyata benturan itupun membuatnya tergetar. Bahkan ilmu kebal Agung Sedayu dalam tataran yang semakin tinggi, telah memancarkan udara panas pula.
Ki Gede Candra Bumi menggeram. Dengan nada dalam ia berkata " Luar biasa. Lurah yang masih terhitung muda ini. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia sadar, bahwa Ki Candra Bumi tentu akan meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Dengan demikian, maka pertempuran diujung paruh gelar perang Garuda Nglayang itu benar-benar telah menyibak. Para prajurit yang bertempur disekitarnya tidak dapat mengerti dengan jelas apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Panembahan Senapati melawan Kangjeng Adipati Pati itu benar-benar merupakan pertempuran yang tidak dapat dimengerti. Sementara Ki Patih Mandaraka yang bertempur melawan Ki Naga Sisik Salaka yang bersenjata tongkat itu, rasa-rasanya seperti dua orang yang sedang bermain-main. Mereka saling melontarkan ilmu mereka. Sekali-sekali mereka memang bertempur pada jarak jangkau wadagnya, namun kemudian mereka saling bergeser surut dan bertempur dari jarak beberapa langkah. Sedangkan Ki Gede Candra
Bumi telah bertempur pada landasan ilmu mereka yang semakin tinggi
pula. Ki Gede itu menjejak bumi, maka tiba-tiba saja anginpun seakan-akan telah bertiup dari dalam bumi. Berputaran seperti angin pusaran. Semakin lama semakin cepat dan mulai bergerak kearah Agung Sedayu.
Agung Sedayu pernah mengalami serangan seperti itu. Karena itu, maka iapun segera mengurai cambuknya. Dengan tataran tertinggi ilmu cambuknya, maka Agung Sedayu menghadapi serangan yang mengerikan itu.
Kangjeng Adipati Pati sempat melihat Ki Gede Candra Bumi menghentakkan ilmu puncaknya itu. Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati sempat pula memperhitungkan, bahwa Senapati Pengapit Panembahan Senapati yang muda itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi pula, sehingga Ki Gede Candra Bumi terpaksa mempergunakan ilmunya yang menggetarkan jantung itu.
Para prajurit Patipun melihat pusaran angin yang membubung tinggi. Memutar dan meremas, kemudian mengangkat dan membanting ketanah, apa saja yang di sentuhnya.
Agung Sedayu berdiri tegak ditempatnya. Ia tidak ingin meloncat menghindari serangan ilmu lawannya itu. Ia sadar, kemana ia pergi, maka ilmu pusaran angin itu akan memburunya, karena pusaran angin itu seakan-akan memiliki penglihatan.
Para prajurit yang berada di gelar perang kedua belah pihak itupun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak sempat terlalu banyak mempergunakan waktu untuk mengamati pusaran angin itu.
Demikian pusaran angin itu bergulung menyerang Agung Sedayu dan siap untuk meremas dan mengangkatnya dan kemudian membantingnya jatuh kebumi, maka Agung Sedayupun sudah bersiap pada alas tataran tertinggi ilmu cambuknya. Karena itu, ketika angin pusaran itu memasuki batas jangkauan ujung cambuknya, maka Agung Sedayupun telah mengangkat dan menghentakkan cambuknya dengan segenap kemampuan ilmunya.
Ledakan itu sendiri tidak terdengar terlalu keras. Namun akibatnya memang sangat mengejutkan.
Angin pusaran itu telah berguncang dengan dahsyatnya. Kemudian pecah berhamburan. Benda-benda yang telah hanyut berterbangan telah dilemparkan kembali terbaur disekitarnya, termasuk debu dan tanah berpasir.
Ki Gede Candra Bumi terkejut. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa Lurah prajurit yang masih terhitung muda itu mampu mengimbangi kemampuan ilmunya yang mendebarkan itu.
Bahkan Kangjeng Adipati Pragolapun terkejut Ia tahu, bahwa Ki Gede Candra Bumi, salah seorang dari sekian banyak gurunya, memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun salah satu ilmunya telah dipecahkan oleh seorang Lurah prajurit yang masih muda itu.
Namun kemampuan ilmu itu bukan satu-satunya ilmu Ki Gede Candra Bumi. Demikian ia melihat angin pusarannya pecah menebar dan hilang dari udara, maka dengan cepat Ki Gede telah menapak keil-munya yang lain. Ia tidak mau kehilangan waktu, sementara langit sudah menjadi semakin buram. Ia ingin mengakhiri lawannya sebelum
pertanda senja berkumandang, sehingga pertempuran akan berakhir.
Demikian debu terhambur dari udara, maka Ki Gede Candra Bumi telah menakupkan telapak tangannya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya, sambil memusatkan nalar budinya.
Agung Sedayu yang melihat sikap itupun segera tanggap. Iapun segera berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya menggenggam pangkal dan ujung juntai cambuknya.
Sejenak kemudian ia melihat Ki Gede Candra Bumi itu menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka kearah tubuhnya.
Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi itu menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka kearah tubuhnya.
Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi. Sinar yang berwarna kemerah-merahan meluncur dengan cepat kearah dada Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu tidak terlambat. Demikian sinar yang kemerah-merahan itu bergerak, maka sorot mata Agung Sedayupun tiba-tiba bagaikan menyala.
Demikianlah, maka benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua kekuatan ilmu yang sangat tinggi telah saling menghantam. Getar kekuatannya ternyata telah memantul, menggocang bagian dalam tubuh kedua orang itu.
Ki Lurah Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu terpental beberapa langkah surut Tubuhnya jatuh terbanting diatas tanah. Meskipun Agung Sedayu masih menggeliat namun bagian dalam dadanya terasa menjadi sangat nyeri dan sakit. Perisai ilmu kebalnya ternyata tidak mampu menahan getar ilmunya sendiri yang memantul karena benturan yang sangat dahsyat
Sementara itu, Ki Gede Candra Bumipun telah terlempar surut beberapa langkah pula. Seperti Agung Sedayu, maka Ki Gede talah jatuh terlentang. Terdengar ia mengaduh tertahan. Namun suaranya kemudian seakan-akan tersumbat dikerongkongan oleh darahnya yang kemudian mengalir disela-sela bibirnya.
Para prajurit yang melihat keduanya terlempar dan terbanting jatuh itupun untuk sesaat terhenyak kedalam kebingungan. Namun kemudian beberapa orang segera berlari-lari mengambil tubuh itu dan membawanya kebelakang garis pertempuran.
Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pati melihat benturan serta akibatnya. Namun keduanya tidak dapat berbuat sesuatu, karena keduanya masih tetap bertempur dengan sengitnya.
Sementara itu matahari menjadi semakin rendah. Di sayap gelar perang prajurit Mataram, Untara telah mengguncang pertahanan supit lawannya. Beberapa kali supit gelar prajurit Pati itu harus memperbaiki kedudukannya.
Sementara itu, Swandaru yang bertempur melawan Ki Ajar Terepan menjadi semakin sengit pula. Swandaru berusaha untuk sama sekali tidak tersentuh ujung tombak Ki Ajar Terepan. Namun justru karena itu, dalam gejolak pertempuran yang terjadi, Ki Ajar tidak saja bergantung kepada ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghindari ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghindari ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghindari ujung tombak Ki Ajar yang menyambar mematuk kearah dada, maka Swandaru telah meloncat kesamping. Tetapi diluar dugaannya, Ki Ajar yang luput menikam sasaran dengan ujung tombak itu dengan cepat berputar. Kakinya terayun mendatar menyambar kearah dada.
Swandaru yang terkejut berusaha menghindar sekali lagi. Tetapi serangan itu datang demikian cepat, sehingga Swandaru tidak berhasil menghindari sepenuhnya. Kaki lawannya telah menyambar pundaknya, demikian derasnya, sehingga Swandaru itu terputar dan jatuh berguling ditanah.
Ki Ajar Terapan yang melihat lawannya jatuh terguling, dengan cepat berusaha untuk memburunya. Jika ia berhasil menyentuh tubuh lawannya itu dengan ujung tombaknya, maka selesailah pertempuran yang sengit itu.
Namun Swandaru menyadari keadaannya. Ia tidak tergesa-gesa bangkit, karena ia sadar, bahwa serangan lawannya akan segera dalang. Tetapi sambil berbaring, maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya.
Lawannyalah yang terkejut Dengan cepat ia berusaha menghindar dengan meloncat tinggi-tinggi. Tetapi ujung cambuk Swandaru yang diberi berkarah baja itu menggeliat Ujungnya sempat menyentuh betis Ki Ajar Terepan.
Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat kaki Ki Ajar. Dengan serta-merta ia meloncat mundur, sementara Swandaru dengan ceepat meloncat bangkit Swandarulah yang kemudian memburu lawannya dengan ujung cambuknya.
Sekali lagi terdengar Ki Ajar mengaduh. Ujung cambuk itu menyentuh lambungnya. Hanya segores tipis. Tetapi darah telah mengalir pula dari luka dilambungnya itu.
Ki Ajar Terepan benar-benar menjadi gelisah. Keadaannya sudah menjadi semakin sulit Luka-lukanya terasa pedih. Sementara luka dibetisnya terasa mengganggu kecepatan geraknya.
Namun dalam keadaan yang demikian, terdengar pertanda, bahwa matahari telah menyusup dibalik buku. Wajah langit menjadi kemerah-merahan.
Kelompok-kelompok burung bangau terbang melintas di wajah mega-mega yang menggantung dilangit tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi dibawah.
Swandaru menggeram marah. Ia sudah yakin akan dapat membunuh lawannya beberapa saat lagi. Ia sudah melukai lawannya, sehingga tidak lagi mampu bertahan dengan baik. Ujung tombaknya yang beracun tajam, tidak lagi memburunya seperti seekor lalat
Ketika para prajurit dan pengawal mulai bergerak surut swandaru itupun berteriak lantang " Aku tantang kau berperang tanding tanpa menghiraukan kesepakatan perang. Bukankah kita masing-masing bukan prajurit " "
Tetapi suara Swandaru itu bagaikan diterbangkan angin. Tidak seorangpun yang menghiraukannya. Ki Ajar Terepan juga tidak. Isyarat yang masih terdengar seolah-olah justru men tertawakan teriakan Swandaru itu.
Swandaru menggeram marah. Ia hanya dapat memandangi dua orang yang justru sedang membantu Ki Ajar Terepan menarik diri dari medan pertempuran.
Demikianlah, perlahan-lahan kedua gelar perang itu bergeser mundur. Panembahan Senapatipun telah menghentikan pertempurannya melawan Kangjeng Adipati Pati. Keduanya masih nampak segar. Seandainya mereka harus bertempur lagi sehari semalam, nampaknya mereka masih mampu melakukannya.
Meskipun demikian, ketika mereka mundur dari garis pertempuran, nampak Kangjeng Adipati Pad menggeliat sambil memijit lambungnya. Kemudian menghentakkan kedua tangannya berganti-ganti. Meskipun Kangjeng Adipati juga merasa letih.
Yang lebih letih lagi adalah perasaan Kangjeng Adipati Pati. Satu kenyataan harus dihadapinya. Salah seorang gurunya, Ki Gede Candra Bumi, ternyata telah terluka parah dibagian dalam tubuhnya. Keadaannya lemah sekali, dan bahkan suaranya hampir tidak dapat didengar lagi.
- Guru " desis Kangjeng Adipati Pati didekat tubuh yang telah diangkat dengan tandu yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa itu.
Ki Gede Candra Bumi Membuka matanya. Katanya dengan nada suara yang dalam " Anak itu luar biasa. Aku melihat ciri-ciri unsur geraknya yang rumit dan sulit dimengerti. Juga ilmunya yang dua tiga ganda. "
Kangjeng Adipati Pati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Guru akan segera sembuh. "
Ki Gede Candra Bumi mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa sakit, seakan-akan ujung duri kemarung bersarang didalam paru-parunya.
Kangjeng Adipati Pati tidak bertanya lagi. Ia berjalan dengan kepala tunduk disebelah tandu yang membawa ki Gede Candra Bumi. Disebelahnya Ki Naga Sisik Salaka juga berjalan bertelekan tongkatnya. Tetapi Ki Naga Sisik Salaka itu tidak mengatakan sesuatu.
Demikianlah maka beberapa saat kemudian, kedua pasukan itu sudah berada di pasanggrahan mereka masing-masing. Ketika malam turun, maka kedua belah pihak telah mengirimkan kelompok-kelompok untuk mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Yang gugur dan yang terluka.
Di perkemahan Kangjeng Adipati Pati telah mengumpulkan para
panglima dan Senapati perang. Dari mereka Kangjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa pasukan Pati itu telah mengalami luka yang cukup parah.
Ki Naga Sisik Salaka, meskipun tidak terluka menurut ujud lahiriahnya, namun sebenarnyalah Ki Naga Sisik Salaka memerlukan kesempatan untuk beristirahat. Benturan-benturan ilmu yang dilakukan dengan Ki Patih Mandaraka membuat Ki Naga Sisik Salaka menjadi sangat letih. Bahkan beberapa bagian tubuhnya merasa nyeri dan pedih.
Bahkan beberapa Senapati di sayap gelar pasukannya telah mengalami tekanan yang cukup berat dari pasukan Mataram.
Karena itu, maka Kangjeng Adipati Patipun memutuskan untuk tidak turun ke gelanggang perak esok pagi.
" Tetapi kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sekali Panembahan Senapati membawa pasukannya yang sudah terlanjur dipersiapkan menyerang perkemahan kami. "
Namun seorang Senapati Pati berkata " Aku kira Mataram tidak akan mempertaruhkan pasukannya untuk melakukan hal itu. Seandainya Mataram benar-benar melakukannya, alangkah bodohnya orang-orang Mataram itu, karena untuk memecahkan sebuah pertahanan diperlukan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan pertahanan itu sendiri. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya " Besok, kita akan menilai kekuatan dan kemampuan kita. Apakah kita masih mempunyai kekuatan cukup untuk turun dengan gelar perang atau tidak.
- Kita memang memerlukan waktu untuk beristirahat, Kangjeng " berkata seorang Panglimanya " setelah kita beristirahat, maka keadaan kita akan menjadi lebih baik. Besok lusa kita akan turun ke gelanggang dengan kekuatan dan kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sebenarnya kita miliki, Kangjeng. Jika kita beristirahat sehari, maka kita akan mendapat kesempatan untuk mengatur kembali dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk kepada para -Senapati dan bahkan para prajurit. "
Kangjeng Adipati Pragola mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia berkata " Tetapi kemungkinan Panembahan Senapati menyerang perkemahan kita masih tetap ada. Ia seorang yang keras hati dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. "
Sebenarnyalah malam itu. Panembahan Senapati tidak melihat kesulitan yang gawat didalam pasukannya. Meskipun jumlahnya memang semakin susut, namun yang masih ada bagi Panembahan Senapati masih cukup kuat untuk menghadapi pasukan Pati yang tentu juga telah menjadi susut pula.
Yang agak menggelisahkan adalah keadaan Agung Sedayu yang telah berbenturan ilmu dengan Ki Gede Candra Bumi. Bagaimanapun juga, Ki Gede Candra Bumi adalah seorang berilmu tinggi yang memiliki pengalaman lebih banyak dari Agung Sedayu, sehingga pertempurannya melawan Ki Gede merupakan pertempuran yang sangat berat baginya.
Meskipun demikian, ketika benturan ilmu itu harus terjadi, maka Agung Sedayu ternyata mampu mengimbangi kemapanan ilmu Ki Gede Candra Bumi. Meskipun Agung Sedayu tergetar dan terlempar surut, tetapi bagian dalam tubuh Agung Sedayu tidak di hancurkan oleh benturan itu. Ilmu kebalnya meskipun telah tertembus oleh getar balik dari benturan yang dahsyat, namun masih juga dapat menahan sehingga hentakkan pada bagian dalam tubuhnya itu tidak merontokkan jantungnya.
Tetapi Agung Sedayu memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Ia harus mendapatkan kesempatan khusus untuk duduk bersamadi, mengatur pernafasannya serta memusatkan nalar budinya disamping serbuk obat ramuannya berdasarkan pengetahuan obat-obatan yang dipelajarinya dari gurunya langsung atau dari kitab yang ditinggalkannya.
Meskipun demikian, Ki Juru menasehatkan kepada Agung Sedayu, agar dikeesokan harinya, ia tidak ikut turun ke medan.
- Siapakah yang akan menjadi Senapati pengapit " " Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Panembahan Senapati masih belum menyebut. Mungkin Ki Tumenggung Yudapamungkas. Tetapi mungkin juga salah seorang Pangeran yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Itupun masih harus di sertai sekelompok Senapati pilihan yang dapat dipercaya. "
Banjir Darah Bojong Gading 1 Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara Kelabang Ireng 1

Cari Blog Ini