Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 4

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


Beberapa orang diantara mereka yang mengepung itu telah memisahkan diri untuk menghadapi beberapa orang yang baru saja datang memasuki padang rumput didekat tanggul susukan Kali Opak itu. Mereka berharap bahwa orang-orang itu akan dapat ditahan sebelum mendekati arena dan jika mungkin untuk dihalau menjauh. Tetapi anak-anak dari kelompok Gajah Liwung itu justru berpencar. Mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil dan menyerang dari berbagai arah.
Dengan demikian, maka kepungan itupun mulai bergetar. Pertempuran tidak hanya terjadi disatu sisi. Tetapi disemua sisi dari lingkaran itu.
Ternyata orang-orang Ki Manuhara yang rata-rata telah memiliki pengalaman yang luas itu terkejut. Orang-orang yang datang itu meskipun jumlahnya tidak sebanyak mereka, namun ternyata mereka telah mengguncang kepungan yang melingkari arena pertempuran antara para pemimpin dari kelompok-kelompok yang sedang berkelahi itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka pertempuranpun menjadi semakin lama semakin sengit. Raras yang kebingungan tidak segera dapat mengambil skap. Sementara itu Raden Antal yang pingsan mulai membuka matanya.
Namun Raden Antal masih memerlukan beberapa saat untuk menyadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi disekitarnya.
Ketika ia bangkit dan duduk direrumputan, maka ia melihat dalam keremangan malam pertempuran yang sengit telah terjadi disekitamya. Diluar sadarnya, tiba-tiba saja ia telah melihat Raras yang juga telah duduk beberapa langkah dan padanya.
Tiba-tiba saja Raden Antal itu menemukan kesadarannya sepenuhnya. Kenapa ia berada di padang rumput itu dan kenapa Raras juga berada ditempat itu.
Karena itu, maka Raden Antal itupun berusaha untuk mulai bergerak mendekati Raras.
Namun Raden Antal itu terkejut bukan buatan. Sabungsari yang bertempur melawan ayahnya sempat meloncat sambil menjulurkan kakinya. Sekali lagi Raden Antal yang tidak bersiap menghadapi kemungkinan itu telah terlempar beberapa langkah. Tumit Sabungsari telah mendorong punggungnya dengan kerasnya.
Nafas Raden Antalpun terasa menjadi sesak. Sekali lagi matanya menjadi berkunang-kunang. Ia masih mendengar ayahnya berteriak mengumpat. Namun kemudian Raden Antal itu telah menjadi pingsan kembali.
Demikianlah pertempuran antara Sabungsari dan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih itu berlangsung semakin sengit. Meskipun usianya sudah merambat ke hari-hari tuanya, tetapi Ki Tumenggung pernah memegang pimpinan sepasukan prajurit Mataram sebagai seorang Senapati perang. Karena itu, maka kemampuannyapun masih harus diperhitungkan oleh Sabungsari yang juga seorang prajurit Mataram yang tugasnya bahwa prajurit muda itu memiliki kemampuan yang tidak kalah dari Ki Tumenggung Wreda Sela Putih. Apalagi Sabungsari telah memiliki ilmu yang tinggi sejak ia belum menjadi seorang prajurit.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itu tidak dengan mudah dapat menguasai lawannya. Bahkan beberapa kali Ki Tumenggung sempat terdesak mundur.
Sementara itu, anak-anak Gajah Liwung yang dipimpin oleh Ki Ajar Gurawa telah semakin mengacaukan kepungan para pengikut Ki Manuhara. Meskipun setiap orang diantara anak-anak Gajah Liwung itu harus menghadapi lebih dari satu orang, tetapi ternyata bahwa mereka semakin menguasai keadaan.
Namun jumlah yang banyak itupun mempunyai pengaruh pula. Apalagi orang-orang yang mengepung arena itu adalah orang-orang yang hidupnya memang selalu dibayangi oleh kekerasan.
Yang mencemaskan memang keselamatan Raras. Pada suatu saat Raden Antal itu tentu akan sadar lagi. Ia akan dapat menguasai Raras sehingga akan dapat menjadi taruhan dalam pertempuran itu. Sementara itu Sabungsari masih saja bertempur melawan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Dalam pada itu, maka kecemasan Sabungsaripun meningkat ketika tiba-tiba saja ia mendengar Bajang Bertangan Baja itu berteriak, "Kuasai perempuan celaka itu."
Teriakan itu memang menggerakkan hati para pengikut Ki Manuhara. Apalagi jumlah mereka memang lebih banyak, sehingga memungkinkan satu dua orang untuk memisahkan diri dari benturan kekerasan itu dan menguasai Raras.
Namun teriakan Bajang Bertangan Baja itu juga didengar oleh Sabungsari. Karena itu, maka ia memutuskan untuk menghentikan perlawanan Ki Tumenggung. Meskipun Ki Tumenggung pernah menjadi seorang Senapati, namun ternyata bahwa kelebihan Sabungsari kecuali kemudaannya yang mendukung kekuatan wadagnya, juga kemampuan ilmunya yang tinggi. Setelah ia mampu membuka hambatan didalam dirinya atas petunjuk dan tuntunan Agung Sedayu, maka tenaga didalam tubuh Sabungsari yang tersimpan rapat itu mampu mengalir dengan derasnya.
Karena itulah ketika Sabungsari menghentakkan tenaga dalamnya maka iapun dengan serta merta mampu mendesak Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Namun rasa-rasanya keadaan menjadi semakin mendesak. Ia memang mulai melihat satu dua orang mencoba untuk melepaskan diri dari pertempuran. Sekali dua kali anak-anak Gajah Liwung masih mampu menahan mereka. Namun Sabungsari memperhitungkan bahwa pada suatu saat, tentu akan ada satu atau dua orang yang dapat lolos dan mempunyai kesempatan untuk menguasai Raras.
Memang terbersit dihatinya untuk menghentikan perlawanan Ki Tumenggung dengan kemampuan ilmu puncaknya. Sabungsaripun yakin, jika ia mengetrapkan ilmunya lewat sorot matanya, maka Ki Tumenggung tidak akan mampu bertahan. Tetapi Sabungsari masih mempunyai beberapa pertimbangan. Ia tidak ingin membunuh Ki Tumenggung agar persoalannya tidak menjadi berkepanjangan karena bagaimanapun juga Ki Tumenggung adalah salah seorang pemimpin di Mataram. Selain itu ia masih mempunyai pertimbangan bahwa Ki Tumenggung akan dapat melihat kenyataan tentang tingkah laku anak laki-lakinya itu.
Namun Sabungsari tidak dapat memberikan kesempatan lebih lama lagi kepada Ki Tumenggung sehubungan dengan keselamatan Raras karena beberapa orang semakin menaruh perhatian atasnya.
Dengan demikian, maka Sabungsari itu telah mengerahkan segenap kemampuannya dengan dukungan tenaga cadangan didalam dirinya yang telah mampu ditumpahkannya tanpa hambatan.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wreda Sela Putihpun semakin mengalami kesulitan menghadapi Sabungsari yang terasa menjadi semakin garang. Meskipun demikian Ki Tumenggung itu tidak segera dapat dikuasainya. Bahkan sekali-sekali Ki Tumenggung yang memiliki pengalaman yang luas itu, sempat juga membuat Sabungsari terkejut.
Sementara itu, Glagah Putih yang bertempur melawan Bajang Bertangan Baja itupun semakin lama menjadi semakin sengit pula. Sedangkan Ki Manuhara yang mengetahui betapa tinggi ilmu Agung Sedayu harus bertempur dengan sangat berhati-hati.
Ki Manuhara tahu pasti, bahwa Agung Sedayu telah mampu membunuh Ki Samepa yang memiliki landasan ilmu sebagaimana Ki Manuhara sendiri. Namun Ki Manuhara masih merasa memiliki landasan yang lebih kuat dari Ki Samepa itu.
Dalam pada itu, maka Sabungsari ternyata tidak mempunyai pilihan lain. Ketika keadaan Raras menjadi semakin gawat, sementara anak-anak dari kelompok Gajah Liwung masih sibuk melayani lawan yang jumlahnya lebih banyak, maka Sabungsaripun telah mengambil keputusan.
Dengan berat hati Sabungsari harus menghentikan perlawanan Ki Tumenggung yang tidak dapat dikalahkannya dengan kemampuannya saja. Karena itu, maka Sabungsaripun mulai merambah ke ilmu andalannya. Tetapi Sabungsari masih sempat berpikir, bahwa ia tidak ingin membunuh Ki Tumenggung.
Karena itu oleh keadaan yag sangat mendesak, maka Sabungsari telah menyerang Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dengan ilmu yang dipancarkannya lewat sorot matanya. Tetapi Sabungsari tidak langsung menyerang ke arah dada. Dengan mengendalikan dirinya sendiri Sabungsari telah menghantam sasaran sejengkal dihadapan Ki Tumenggung Wreda.
Serangan Sabungsari itu memang sangat mengejutkan. Ki Tumenggung memang tidak mengira bahwa ia dengan tiba-tiba telah mendapat serangan yang demikian dahsyatnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung tidak sempat menghindarkan dirinya. Meskipun serangan itu tidak langsung ketubuhnya, namun tanah berpasir dan kerikil sejengkal dihadapannya itu bagaikan diledakkan. Tanah berbatu kerikil dan berpasir didekat tanggul Kali Opak itu bagaikan dilontarkan menyembur ke arah tubuh Ki Tumenggung.
Sebenarnyalah serangan itu memang telah mengguncangkan pertahanan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Hamburan pasir dan batu-batu kerikil itu telah menyakiti tubuhnya. Bahkan melukai kulitnya. Untunglah bahwa dengan cepat Ki Tumenggung masih sempat memalingkan wajahnya sehingga pasir dan kerikil itu tidak mengenai matanya.
Namun dengan demikian, maka pertahanannya yang terguncang itu telah memberikan kesempatan kepada Sabungsari untuk menyerangnya. Tidak dengan kekuatan ilmunya yang dapat dilontarkannya lewat sorot matanya. Tetapi dengan cepat dan sepenuh tenaganya Sabungsari telah menyerang dengan kakinya menghantam dada Ki Tumenggung. Didorong oleh tenaga dalamnya yang besar, maka serangan Sabungsari itu mampu mengoyak daya tahan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, sehingga Ki Tumenggung itu telah terlempar beberapa langkah surut dan jatuh berguling ditanah. Nafasnya tiba-tiba terasa sesak, sehingga gelap malam itupun seakan-akan menjadi semakin pekat. Ternyata seperti Raden Antal yang masih terbaring diam, maka Ki Tumenggungpun menjadi pingsan, sehingga tubuhnya diam terbujur ditanah.
Pada saat yang demikian, Sabungsari sempat melihat seseorang yang berlari langsung menuju ketempat Raras duduk, sambil mengacukan sebilah tombak pendek. Orang itu hampir berhasil menguasai Raras sementara Sabungsari berdiri agak jauh setelah bertempur melawan Ki Tumenggung Wreda.
Karena itu, maka Sabungsaripun tidak mempunyai cara lain. Ia terpaksa melontarkan serangannya pada jarak yang agak jauh itu lewat sorot matanya.
Serangan yang tergesa-gesa itu telah menyambar tubuh Orang yang membawa tombak pendek itu. Diluar perhitungan orang itu, maka serangan itu telah menghantam dadanya sehingga rasa-rasanya dadanya telah meledak.
Orang itu sama sekali tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ia telah ditelan oleh maut pertama kali di arena pertempuran yang semakin keras itu.
Tetapi disaat-saat berikutnya kematian telah menyusul pula. Anak-anak dari kelompok Gajah Liwung memang tidak mempunyai pilihan lain. Senjata merekapun telah menembus kulit daging lawan-lawannya yang jumlahnya terlalu banyak. Ki Ajar Gurawapun telah melumpuhkan beberapa orang lawan-lawannya, betapapun ia tidak ingin asal saja melakukan pembunuhan. Anak-anak Gajah Liwung yang selalu mendapatkan bimbingan kajiwan itu memang bukan pembunuh yang sewenang-wenang. Namun mereka memang merasa berhak untuk mempertahankan hidup mereka dipertempuran itu. Namun akibatnya mereka telah membunuh pula.
Demikianlah pertempuran di Tegal Wuru itu menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak yang telah terpercik keringat dan darah itu menjadi semakin keras dan kasar.
Dalam pada itu, maka Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara yang telah mengetahui kemampuan lawannya tidak merasa perlu untuk menjajagi lagi kemampuan lawannya. Karena itu, maka mereka agaknya telah langsung meningkatkan kemampuan mereka sampai lapisan tertinggi.
Dengan demikian maka pertempuran diantara Bajang Bertangan Baja melawan Glagah Putih dan Ki Manuhara melawan Agung Sedayu merupakan pertempuran yang sangat seru. Benturan-benturan kekuatan dan kemampuan diantara mereka seakan-akan telah mengguncang Tegal Wuru yang jarang dirambah orang itu.
Sementara itu, Sabungsaripun telah mengerahkan kemampuannya. Ternyata tidak hanya seorang yang bersenjata tombak itu sajalah yang berusaha untuk menguasai Raras. Karena itu maka iapun harus bertempur melawan beberapa orang yang berusaha untuk menguasai Raras yang tidak tahu apa yang harus diperbuat itu.
Bagi para pengikut Ki Manuhara, maka Raras akan dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi Sabungsari adalah orang yang berilmu tinggi. Tidak seorangpun diantara para pengikut Ki Manuhara yang mampu menembus pertahanannya. Setiap kali ada yang berusaha untuk menggapai Raras yang masih terduduk kebingungan itu, maka Sabungsari selalu berhasil menggagalkannya.
Bajang Bertangan Baja yang merasa dirinya memiliki ilmu yang mumpuni berusaha dengan cepat untuk mengakhiri perlawanan Glagah Putih. Perlahan-lahan Bajang Bertangan Baja itupun telah menekan Glagah Putih dengan puncak ilmunya. Sentuhan-sentuhan yang terjadi memang membuat Glagah Putih terkejut. Tangan orang kerdil itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
Namun tenaga Bajang Bertangan Baja yang sangat besar itu tidak membuat Glagah Putih tergetar. Ternyata bahwa Glagah Putihpun telah meningkatkan tenaga dalamnya pula, sehingga kekuatannya justru tetap mengimbangi kekuatan lawannya yang semakin besar.
Bajang Bertangan Baja memang sudah menduga bahwa Glagah Putih akan mampu mengimbangi kekuatan tenaganya. Tetapi satu hal yang harus diperhitungkan kemudian oleh Glagah Putih adalah bahwa tangan Bajang itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin keras. Sentuhan-sentuhan yang terjadi kemudian membuat tubuh Glagah Putih merasa nyeri.
Namun Glagah Putih segera menyadari, agaknya karena itulah maka Bajang itu menyebut dirinya Bajang Bertangan Baja.
Tetapi Glagah Putih masih mampu mengatasinya dengan kecepatan geraknya. Dengan loncatan-loncatan yang cepat, maka Glagah Putih berusaha menghindari sentuhan tangan orang kerdil yang garang itu.
Bahkan sekali-sekali Glagah Putih justru mampu menembus pertahanan orang kerdil itu.
Namun ternyata semakin lama orang kerdil itupun mampu mempercepat geraknya. Bahkan tatanan gerak itu justru menjadi semakin rumit. Kakinya yang pendek bergerak-gerak dengan cekatan melontarkan tubuhnya yang kecil melingkar-lingkar.
Namun Glagah Putih yang masih muda itu ternyata memiliki pengalaman yang cukup. Pengamatannya yang tajam, serta landasan ilmunya yang tinggi. Masa-masa pengembaraannya bersama Raden Rangga memberikan banyak pengalaman kepadanya serta memperluas sudut pandangnya tentang olah kanuragan. Sedangkan Raden Rangga sendiri yang sering berbuat yang aneh-aneh, serta unsur dan tatanan gerak yang dikuasai kadang-kadang diluar kewajaran, membuat Glagah Putih tidak mudah terkejut dan heran melihat unsur dan tatanan gerak yang belum pernah dilihat sebelumnya. Apalagi Raden Rangga pernah mengangkat alas kemampuannya sehingga apa yang ada padanya, segala-galanya seakan-akan telah meningkat dengan sendirinya.
Bajang Bertangan Baja itulah yang kemudian justru menjadi heran menghadapi anak muda itu. Ia memang pemah melihat sepintas di Tanah Perdikan Menoreh apa yang mampu dilakukan oleh anak-anak muda yang diburu oleh Ki Manuhara itu. Namun ternyata yang sekilas itu tidak memberikan gambaran yang lengkap tentang kemampuan Glagah Putih. Di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih masih dapat dilukai dengan sejenis ilmu yang disebut Aji Pacar Wutah meskipun anak muda itu berhasil membunuh lawannya. Namun ketika Bajang Bertangan Embun itu sendiri menghadapinya, maka terasa betapa ilmu anak muda itu memang sangat tinggi.
Bajang Bertangan Baja itu memang masih mampu meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi. Namun lawannya yang muda itu ternyata masih saja mengimbanginya. Jika Bajang itu bergerak dengan kecepatan yang tidak kasat mata, maka Glagah Putih justru mengekang diri untuk tidak terlalu banyak bergerak. Glagah Putih seakan-akan justru berdiri tegak sambil bergeser berputar berporos pada kakinya yang seakan-akan terhunjam dalam-dalam ke pusat bumi.
Namun demikian, jika serangan-serangan Bajang itu datang bergulung-gulung seperti ombak di lautan, maka Glagah Putihpun seakan-akan telah hilang dari tempatnya dan justru serangan-serangan balasannya datang seperti badai.
Disisi lain, Ki Manuhara bertempur dengan sengitnya melawan Agung Sedayu. Dua kekuatan raksasa yang bertemu itu rasa-rasanya telah mengguncang seluruh Tegal Wuru. Bahkan tanggul susukan Kali Opak itupun bagaikan diterpa gempa yang menggetarkan bumi.
Kedua orang yang bertempur itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Sambaran-sambaran serangan Ki Manuhara seakan-akan datang dari segala arah. Namun Agung Sedayu itu mampu menghindar dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan oleh Ki Manuhara. Seakan-akan tubuh Agung Sedayu itu menjadi sama sekali tidak berbobot. Tubuh itu melenting, melingkar, bahkan seakan-akan terbang diatas kepalanya sambil berputaran diudara.
"Ilmu iblis manakah yang ada didalam dirinya," geram Ki Manuhara yang mulai gelisah.
Namun sambaran-sambaran angin Ki Manuhara itu ternyata berpengaruh juga atas pertahanan Agung Sedayu. Semakin lama terasa menjadi semakin deras menerpa tubuh Agung Sedayu meskipun serangan itu sendiri tidak mengenainya.
Tetapi pengaruh sentuhan getar udara itu sendiri tidak banyak mengganggu Agung Sedayu yang memang memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi. Karena itu, maka Ki Manuhara sama sekali masih belum mampu mengatasi lawannya yang masih jauh lebih muda dari Ki Manuhara itu.
Karena itu, maka Ki Manuhara yang tidak ingin kehilangan banyak kesempatan dan waktu itupun segera menyerang Agung Sedayu dengan ilmunya Sapta Prahara. Dengan kencangnya angin telah menyambar Agung Sedayu bagaikan tiupan tujuh kali kekuatan angin prahara. Pada saat-saat Agung Sedayu seakan-akan terbang tanpa bobot, Ki Manuhara berniat menghembus dan melemparkan Agung Sedayu sehingga tubuhnya akan membentur tanggul susukan Kali Opak.
Tetapi niat itu tidak pernah dapat terjadi. Dalam keadaan apapun Agung Sedayu mampu menghindari hembusan angin prahara itu. Sambil menggeliat, berputar diudara dan bergeser kesamping dengan cepatnya, maka angin itu bagaikan berhembus lewat tanpa menyentuhnya. Jika sekali-sekali angin itu dapat mengenainya ternyata tubuh Agung Sedayu bukan hanyut bagaikan kapuk yang tidak mempunyai berat sama sekali. Tetapi tubuh yang mampu melayang-layang dan bagaikan terbang itu, justru tiba-tiba menjadi bagaikan sebongkah batu hitam yang beratnya tidak mampu diguncang oleh prahara yang betapapun dahsyatnya.
Ki Manuhara yang merasa bahwa Sapta Praharanya tidak banyak berpengaruh bagi lawannya, tiba-tiba telah menyerang Agung Sedayu dengan ilmunya yang lain. Tidak banyak ancang-ancang yang diperlukan.
Karena itu, Agung Sedayu benar-benar terkejut ketika ia merasakan dadanya bagaikan dihentak-hentak oleh kekuatan raksasa yang tidak disadari sebelumnya.
Hampir diluar sadarnya, Agung Sedayu telah terdorong surut. Namun getaran yang menghcntak-hentaknya itu seakan-akan telah memburunya kemana ia pergi.
Baru kemudian Agung Sedayu menyadari, bahwa serangan itu adalah serangan ilmu yang jarang ada tandingnya, yang dilepaskan oleh Ki Manuhara. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang olah kanuragan serta memiliki ilmu yang tinggi, maka Agung Sedayupun segera mengenalnya, bahwa ilmu yang dilontarkan oleh Ki Manuhara itu adalah Aji Rog-rog Asem.
Agung Sedayu yang menyadari tingkat kemampuan ilmu lawannya yang sangat tinggi itupun segera mengetrapkan perisai yang sulit untuk ditembus. Dalam waktu yang sekejap, Agung Sedayu telah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Ilmu yang hanya dapat ditembus oleh ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, ilmu Rog-rog Asem yang dilontarkan oleh Ki Manuhara memang masih terasa menyentuh jantung Agung Sedayu. Namun perlindungan ilmu kebalnya membuatnya tidak mengalami kesulitan dengan sentuhan kekuatan ilmu Rog-rog Asem itu. Sehingga dasar daya tahan Agung Sedayu dapat mengatasinya.
Karena itu, maka kemudian. Agung Sedayupun telah bertempur dengan serunya. Ilmu Rog-rog Asem itu seakan-akan tidak terlalu banyak berpengaruh banyak atasnya.
Sementara Ki Manuhara menjadi gelisah karena tingkat kemampuan lawannya, maka Sabungsaripun telah bertempur melawan tiga orang pengikut Ki Manuhara. Ki Tumenggung Wreda Sela Putih masih terbaring diam. Silirnya angin dan sejuknya udara malam belum berhasil membuatnya sadar kembali.
Raden Antallah yang kemudian menggeliat. Perlahan-lahan ia bangkit. Sekali lagi ia melihat Raras yang ketakutan dan duduk bagaikan membeku.
Namun demikian Raden Antal mulai beringsut, Sabungsari yang bertempur melawan tiga orang itupun berkata, "Raden Antal, kenapa kau tidak melihat keadaan ayahmu " Apakah ia masih hidup atau sudah mati ?"
Pertanyaan itu sangat mengejutkan Raden Antal. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya sesosok tubuh yang terbaring diam. Tubuh Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Karena itu, maka perhatiannyapun segera bergeser dari Raras kepada sosok tubuh Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Raden Antalpun seakan-akan telah melupakan Raras serta keadaan sekelilingnya. Dengan serta merta iapun telah berlari kearah tubuh yang terbaring diam itu.
"Ayah, ayah," Raden Antal mengguncang tubuh ayahnya.
Untuk sementara Sabungsari dapat melepaskan Raden Antal. Anak muda itu tentu masih lebih memperhatikan ayahnya daripada Raras. Karena itu, maka Sabungsari masih sempat mengusir lawan-lawannya. Dua orang diantara ketika lawannya ternyata telah terluka di bagian dalam tubuhnya. Sementara itu, yang seorang lagi berusaha untuk melawan Sabungsari dengan sebilah pedang. Namun ternyata Sabungsari memiliki ilmu pedang yang jauh lebih baik dari lawannya, sehingga lawannya itu justru kehilangan kesempatan untuk mempertahankan dirinya. Dadanya telah terkoyak oleh ujung pedang Sabungsari.
Dua orang yang lain telah datang pula membantu. Tetapi kedua-duanya juga tidak mampu bertahan terhadap ilmu pedang Sabungsari sehingga mereka sama sekali tidak berhasil menyentuh Raras. Meskipun seorang diantaranya hampir, saja sempat menyeret Raras. Tetapi pedang Sabungsari demikian cepat menyambarnya, sehingga luka yang kemudian menganga di lambungnya, telah membatalkan niatnya itu.
Disisi lain dari medan yang keras itu, Ki Ajar Gurawa telah membuka lingkaran para pengikut Ki Manuhara. Sulit bagi para pengikut Ki Manuhara itu untuk menahan Ki Ajar Gurawa. Meskipn beberapa orang bersama-sama melawannya, namun usaha mereka tidak berhasil. Apalagi anak-anak Gajah Li wung yang lainpun ternyata sulit untuk ditahan. Mereka bergerak semakin dekat dengan arena pertempuran para pemimpin dari kedua belah pihak.
Sementara itu, Sabungsari yang telah mengusir orang-orang yang berusaha untuk menguasai Raras dengan cepat meloncat mendekatinya ketika Raden Antal mulai memperhatikan Raras lagi, setelah Ki Tumenggung Wreda Sela Putih sadar.
Tetapi ketika Raden Antal beringsut, maka Ki Tumenggung telah menarik lengannya sambil berdesis, "Biarkan saja gadis itu. Kau harus memikirkan keselamatanmu."
"Tetapi aku perlukan gadis itu jika Rara Wulan tidak dapat kita ambil."
"Kau tidak akan mendapatkannya sekarang," berkata ayahnya, "tetapi bukankah kau masih mempunyai hari-hari yang lain ?" sahut ayahnya.
Raden Antal memang menjadi termangu-mangu. Ia melihat pertempuran yang sengit dikeremangan malam. Apalagi ketika ia melihat Sabungsari yang kemudian menarik lengan gadis itu untuk berdiri dan beringsut menjauhi pertempuran antara para pemimpin dari kedua belah pihak yang berilmu tinggi.
Raden Antal menggeretakkan giginya. Ia sudah mulai membayangkan bahwa ia akan gagal menguasai Raras kembali untuk memancing Rara Wulan atau jika tidak, Raras itu sendiri yang akan dimilikinya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Ilmunya tidak cukup tinggi untuk memecahkan perlindungan Sabungsari atas Raras. Bahkan ayahnyapun tidak mampu mengalahkan anak muda itu.
Namun dalam pada itu, Sabungsari yang sedang bergeser menjauhi pertempuran antara para pemimpin kelompok-kelompok yang bermusuhan itu sempat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa ia tidak membunuh Ki Tumenggung yang kemudian telah menjadi sadar kembali.
Raras yang merasa dirinya berada di bawah perlindungan seseorang yang dapat dipercayainya, mulai dapat menilai apa yang telah terjadi. Tetapi bahwa pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, membuat jantungnya masih tetap berdegup keras.
Dalam pada itu, selagi di sebelah tanggul susukan Kali Opak itu masih terjadi pertempuran yang sengit, maka salah seorang pengikut Ki Manuhara tengah berpacu dengan kudanya. Orang itu, Rana Sampar, telah mendapat perintah untuk mengambil Rara Wulan dirumahnya. Namun sebelum ia melakukannya, maka Rana Sampar itu harus menemui orang yang bernama Resi Belahan. Seorang berilmu tinggi yang baru saja datang dari Pati. Seorang sahabat baik dari Ki Manuhara. Bukan sekedar sahabat, tetapi dalam banyak hal mereka mempunyai pandangan dan sikap yang sama.
Ketika Rana Sampar berhasil bertemu dengan Resi Belahan, maka iapun segera menyampaikan maksudnya.
Resi Belahan memang tidak dengan serta menerima pesan Ki Manuhara. Dengan keningnya yang berkerut, ia berkata, "Aku datang menemui Ki Manuhara sama sekali tidak ada hubungannya dengan usahanya untuk menculik seorang gadis. Aku juga tidak berhubungan sama sekali dengan Bajang Bertangan Baja."
"Tetapi Ki Manuhara berada dalam kesulitan sekarang," sahut Rana Sampar.
"Aku justru harus menegurnya. Kenapa ia telah melakukan satu tindakan yang bodoh sebelum ia berhasil melakukan niatnya datang ke Mataram," jawab Resi Belahan.
"Ceritanya panjang," jawab Rana Sampar, "tetapi yang terpenting bahwa Ki Manuhara jiwanya telah diselamatkan oleh Bajang Bertangan Baja ketika Ki Manuhara hampir terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi itu bukan berarti bahwa ia dapat mengorbankan diri dan orang-orangnya untuk kepentingan Bajang Bertangan Baja," jawab Resi Belahan.
"Bukan sekedar itu," jawab Rana Sampar, "tetapi Ki Manuhara juga memerlukan dukungan beaya untuk melakukan rencananya. Dengan membantu Bajang Bertangan Baja, selain membalas budi, Ki Manuharapun mendapatkan uang yang meskipun tidak terlalu banyak tetapi cukup memadai untuk menambah beaya yang tinggal sedikit yang ada padanya sehingga kekuatannya dapat tegak kembali di Mataram ini."
"Sayang, Rana Sampar," jawab Resi Belahan, "aku tidak mau menjual diri seperti Ki Manuhara."
"Tetapi yang dilakukan Ki Manuhara sama sekali tidak bertentangan dengan niat dan rencananya datang ke Mataram, karena Bajang Bertangan Baja itu kemudian akan dapat membantu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya di Mataram."
Tetapi Resi Belahan itu menggeleng. Katanya, "Sayang, aku tidak dapat membantu Rana Sampar. Katakan kepada Ki Manuhara bahwa aku datang dengan niat yang satu. Bukan yang lain-lain. Jika aku terluka atau bahkan mati, maka aku akan menyesal sepanjang jaman."
"Jika kau mati, maka kau tidak akan dapat menyesal lagi," jawab Rana Sampar.
"Nah, jika aku menjadi cacat, maka hidupku yang tersisa akan menjadi siksa yang tidak berkeputusan. Bukankah di Mataram banyak terdapat orang berilmu tinggi ?"
"Ki Manuhara akan merasa kecewa atas sikap Resi," desis Rana Sampar kemudian.
Rana Sampar tidak ingin berbantah lebih lama lagi. Ia harus segera melakukan tugas yang diperintahkan oleh Ki Manuhara kepadanya. Rara Wulan harus segera diambilnya justru selagi pertempuran ditanggul susukan Kali Opak itu belum selesai. Apalagi jika orang-orang yang melindungi Raras itu sempat kembali kerumah Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Demikianlah dengan sekelompok orang seadanya yang mampu dihimpunnya, maka Rana Sampar telah berusaha untuk pergi dengan diam-diam kerumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Mereka berpencar dan merunduk melalui lorong-lorong sempit. Baru kemudian mereka telah berkumpul di luar dinding halaman rumah Ki Tumenggung diarah belakang.
Namun tidak ada diantara orang-orang itu yang memiliki kelebihan. Ki Manuhara yang mengharapkan Resi Belahan untuk memimpin mereka, ternyata telah menolaknya. Sehingga karena itu, maka orang-orang yang datang kerumah Ki Tumenggung adalah orang-orang yang mengandalkan kekerasan, kekasaran dan pengalaman mereka yang sebenarnya tidak terlalu banyak.
Dengan hati-hati Rana Sampar mengatur orang-orang yang dibawanya itu. Mereka harus memasuki halaman rumah Ki Tumenggung dari belakang. Mereka akan meloncati dinding dan meloncat turun ke-dalam kebun yang gelap.
Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka Rana Sampar-pun segera memberikan isyarat. Orang-orang yang dibawanya itupun dengan tangkasnya segera berloncatan memasuki kebun rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Ternyata kebun di bagian belakang rumah Ki Tumenggung itu sangat lengang. Mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak. Namun mereka melihat lampu minyak diserambi belakang dan agaknya didapurpun lampu masih menyala.
Rana Sampar segera memberikan isyarat agar orang-orang memencar. Mereka akan mengepung rumah itu. Rana Sampar sendiri akan mengetuk pintu dari depan bersama dengan ampat orang. Sedangkan yang lain harus siap memasuki rumah itu darimanapun juga jika terjadi perlawanan.
Demikianlah, maka semuapun telah menempatkan diri dengan baik sebagaimana diperintahkan oleh Rana Sampar. Sementara itu, Rana Sampar sendiri bersama ampat orang telah naik ke pendapa dan langsung menuju ke pintu pringgitan.
Beberapa saat kemudian, maka Rana Sampar itupun telah mengetuk pintu rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa yang nampaknya sudah tidur lelap itu.
"Buka pintu," bentak Rana Sampar. Bahkan kemudian iapun hampir berteriak mengulanginya, "Buka pintu."
"Siapa diluar ?"terdengar sebuah pertanyaan dari mang dalam.
"Aku. Buka pintu. Cepat sebelum aku memecahkan pintu ini." jawab Rana Sampar.
"Kau siapa dan apa niatmu malam-malam datang kemari ?" bertanya suara itu.
"Nanti aku jelaskan. Sekarang buka pintunya," suara Rana Sampar menjadi semakin keras.
Tetapi suara di dalam itu menjawab, "Jika kau tak mau menyebut namamu dan keperluanmu, aku tidak akan membuka pintu rumah ini."
"Jika kau tidak mau membuka, maka pintu ini akan aku pecahkan. Rumah ini sudah dikepung. Tidak seorangpun dapat meloloskan diri. Karena itu, kalian tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan semua perintahku."
Suara di dalam rumah itu terdiam. Namun pintu masih belum dibuka, sehingga Rana Sampar terpaksa sekali lagi mengancam, "Aku akan menghitung sampai lima. Jika pintu ini masih belum dibuka, maka pintu ini akan aku pecahkan atau rumah ini akan aku bakar sampai habis."
Karena tidak ada jawaban, maka Rana Sampar itupun mulai menghitung, "Satu, dua, tiga."
Tetapi Rana Samparlah yang terkejut ketika mendengar suara di seketheng, "Jangan rusakkan pintu itu Ki Sanak."
Rana Sampar berpaling. Dilihatnya dua orang perempuan berjalan menuju ke pendapa. Hanya dua orang perempuan berjalan menuju ke pendapa.
Untuk sesaat Rana Sampar itu termangu-mangu. Demikian pula keempat orang kawannya. Sementara itu kedua orang perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan dan apalagi ketakutan.
"Siapa yang kau cari Ki Sanak ?" bertanya salah seorang perempuan itu.
Rana Sampar yang masih keheranan melihat kedua orang perempuan dengan tatag menemuinya itu seakan-akan diluar sadarnya menjawab, "Kami mencari Rara Wulan."
Perempuan itu justru tersenyum sambil bertanya, "Apakah kau sudah mengenal Rara Wulan ?"
Pertanyaan itu memang membingungkan. Rana Sampar memang belum mengenal Rara Wulan. Karena itu, maka jawabnya, "Aku memerlukan Rara Wulan. Jika tidak, maka Raras akan menjadi korban. Kau tahu, ia berada diantara orang-orang yang keras, sehingga nasibnya akan menjadi sangat buruk."
"Bagaimana jika Rara Wulan yang ada diantara mereka ?" bertanya perempuan itu.
"Keadaannya akan lain. Rara Wulan akan kami serahkan kepada Raden Antal. Nasibnya akan jauh lebih baik dari Raras."
Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, "Sama saja. Raras atau Rara Wulan akan berada di tangan Raden Antal. Tetapi apakah kau tahu, dimana Raden Antal sekarang ?"
Sekali lagi Rana Sampar kebingungan menjawab pertanyaan itu. Apalagi ketika perempuan itu berkata, "Bukankah Raden Antal tidak pulang hari ini ?"
Tetapi Rana Sampar itu menjawab, "Aku tidak peduli. Sekarang serahkan Rara Wulan itu."
"Salah seorang diantara kami adalah Rara Wulan," jawab perempuan itu.
Wajah Rana Sampar menegang. Dipandanginya kedua orang perempuan itu. Kedua-duanya cantik dan sikapnya hampir sama. Berani menantang wajah-wajah mereka. Namun akhirnya Rana Sampar menunjuk salah seorang dari mereka sambil berkata, "Yang ini Rara Wulan."
"Atas dasar apa kau menunjuk aku ?" bertanya perempuan yang ditunjuk itu.
"Kau lebih muda dari perempuan yang satu lagi," jawab Rana Sampar dengan sungguh-sungguh.
Tetapi adalah diluar dugaannya bahwa kedua perempuan itu justru tertawa. Perempuan yang seorang lagi berkata, "Kau memang pintar. Tetapi apakah aku sudah terlalu tua ?"
Rana Sampar menggeram. Ada kesan kedua perempuan itu telah merendahkan dirinya, sehingga keduanya justru mentertawakannya. Karena itu, maka Rana Sampar itu tiba-tiba saja membentak, "Cukup. Sekali lagi aku katakan, aku akan membawa Rawa Wulan."
Tetapi perempuan yang seorang lagi berkata, "Tanyakan kepadanya apakah ia bersedia kau bawa atau tidak. Rara Wulan bukan sekedar sebuah golek kayu atau golek kencana sekalipun."
"Mau tidak mau. Aku dapat memaksanya," Rana Sampar hampir berteriak.
"Jangan berteriak-teriak begitu Ki Sanak. Kau kira orang lewat dijalan didepan rumah ini tidak mendengarnya " Jika mereka mendengar dan mereka memberitahukan kepada prajurit yang meronda, maka kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi."
"Cukup," potong Rana Sampar, "sekarang, marilah Kita pergi menemui Raden Antal."
"Nanti dulu Ki Sanak," jawab Rara Wulan, "dimana Raden Antal sekarang ?"
"Jangan terlalu banyak bertanya. Ikut aku. Nanti kau akan mengetahuinya," bentak Rana Sampar.
"Tetapi aku ingin mengetahuinya sekarang," jawab Rara Wulan.
"Tidak," bentak Rana Sampar, "cepat, ikut kami. Aku tidak mempunyai waktu lagi."
Ketika Rara Wulan yang berdiri disebelah Sekar Mirah itu akan menjawab lagi, tiba-tiba salah seorang kawan Rana Sampar berkata, "Jangan layani pembicaraannya. Agaknya keduanya sengaja mengulur waktu."
Rana Sampar baru menyadari bahwa nampaknya kedua orang perempuan itu memang sedang mengulur waktu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Rana Sampar menarik pedangnya sambil membentak, "Cepat Kalian berdua ikut kami. Bukan hanya Rara Wulan. Tetapi juga yang seorang!"
"Tetapi bukankah hanya Rara Wulan yang kau perlukan ?" sahut Sekar Mirah.
"Diam," bentak Rana Sampar. Katanya kemudian kepada orang-orangnya, "Bawa keduanya. Jika keduanya berkeberatan, seret mereka dan kita bawa mereka kepada Raden Antal."
"Kenapa kedua-duanya ?" seorang diantara kawan Rana Sampar itu bertanya.
"Akhirnya yang satupun tentu diperlukan."
Namun orang-orang itu terkejut melihat kedua perempuan itu tertawa. Sama sekali tidak terbayang ketakutan diwajah mereka. Apa yang mereka hadapi seakan-akan tidak lebih dari sebuah permainan yang menarik.
"Cepat," bentak Rana Sampar, "kita tinggalkan tempat ini."
Namun Sekar Mirah kemudian menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Sanak. Kita tidak akan meninggalkan tempat ini. Kami tidak dan Ki Sanakpun tidak."
"Cepat, jangan membuat kami kehilangan kesabaran," bentak Rana Sampar.
"Sayang. Hilang atau tidak hilang kesabaranmu, namun kau dan semua kawan-kawanmu yang memasuki halaman ini tidak akan sempat keluar lagi. Kami memang telah mengulur waktu untuk memberi kesempatan para prajurit yang ada dirumah ini menawan kawan-kawanmu yang memasuki kebun belakang rumah ini."
Wajah Rana Sampar dan kawan-kawannya menjadi tegang. Sementara itu Sekar Mirah sempat memberikan isyarat dengan tepuk tangannya.
Sejenak kemudian, maka dari seketheng sebelah kiri dan kanan kawan-kawan Rana Sampar telah digiring oleh para prajurit Mataram yang memang telah bersiaga ditempat itu. Ketika seorang pengamat melihat kehadiran beberapa orang, maka merekapun telah berusaha menjebaknya. Tanpa seorang pemimpin yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Rana Sampar dan kawan-kawannya dengan mudahnya terjebak di halaman belakang rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika tiba-tiba ujung-ujung senjata telah melekat ditubuh mereka. Prajurit Mataram itu tiba-tiba saja telah bermunculan dari balik pohon-pohon perdu di halaman belakang dan dengan cepat menguasai orang-orang yang tengah mengepung rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa demikain Rana Sampar dan empat orang kawannya naik kependapa rumah Ki Tumenggung itu.
Rana Sampar yang sesaat menjadi kebingungan itu, mulai sempat melihat keadaan. Karena itu, dengan cepat ia berusaha menguasai kedua orang perempuan itu dengan senjatanya.
Tetapi sekali lagi Rana Sampar terkejut. Kedua orang perempuan itu dengan sigapnya telah berloncatan mengambil jarak.
Keempat kawan Rana Samparpun dengan cepat tanggap akan keadaan merekapun segera menarik senjata mereka. Namun beberapa orang prajuritpun telah berloncatan naik kependapa pula, sedang dari pintu pringgitan telah muncul Ki Tumenggung Purbarumeksa, Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan dan Teja Prabawa.
Rana Sampar memang tidak melihat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Karena itu maka ketika Ki Tumenggung Purbarumeksa memerintahkannya untuk meletakkan senjata, maka Rana Samparpun telah meletakkan senjatanya pula.
Dengan demikian maka orang-orang yang memasuki kebun belakang Ki Tumenggung Purbarumeksa itu seluruhnya benar-benar telah dikuasai oleh para prajurit. Namun para prajurit tidak berhenti sampai sekian. Pemimpin sekelompok prajurit itu kemudian telah membawa Rana Sampar ke sebuah bilik digandok untuk diminta keterangannya tentang kawan-kawannya yang ada di Mataram.
Tugas para prajurit di gandok itu ternyata tidak terlalu sulit, Rana Sampar yang mendendam kepada Resi Belahan karena Resi itu tidak mau membantu tugasnya, dengan terus terang menceriterakan dimana Resi Belahan itu berada.
Ki Jayaraga yang ikut mendengar pengakuan Rana Sampar itu terkejut. Dengan kerut dikening, Ki Jayaraga bertanya, "Jadi Resi Belahan itu ada disini sekarang?"
"Ya," jawab prajurit itu.
"Dan bergabung dengan Ki Manuhara dan Bajang Bertangan Baja yang sedang berusaha menguasai Rara Wulan itu?" bertanya Ki Jayaraga pula.
"Ya," jawab Rana Sampar.
Ki Jayaraga memang tidak mempunyai pilihan lain. Dengan cepat ia mengajak beberapa orang prajurit untuk menemukan Resi Belahan.
"Orang itu sama berbahayanya dengan Ki Manuhara dan Bajang Engkrek itu," berkata Ki Jayaraga.
"Hati-hatilah Ki Jayaraga," pesan Ki Lurah Branjangan.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali datang kepadanya. Tetapi aku tentu akan sangat berhati-hati. Jika perlu para prajurit akan memberikan isyarat untuk memanggil para prajurit yang bertugas malam ini di Kotaraja."
Ki Tumenggung Purbarumeksapun berdesis, "Mudah-mudahan Ki Jayaraga berhasil."
Demikianlah Ki Jayaraga diikuti beberapa orang prajurit sambil membawa Rana Sampar mencari Resi Belahan di tempat ia menginap selama berada di Mataram.
Namun ternyata Resi Belahan memang seorang yang memiliki ketajaman perhitungan. Ia sudah mengira bahwa Rana Sampar tidak akan menyelesaikan tugasnya dengan baik, sehingga kemungkinan terbesar bahwa Rana Sampar itu akan tertangkap. Dengan demikian maka Resi Belahan itu telah mendahului meninggalkan tempatnya.
Karena itu, ketika Ki Jayaraga bersama sekelompok prajurit dan Rana Sampar sampai dirumah tempat tinggal Resi Belahan, rumah itu nampak sepi.
Pemilik rumah itu terkejut ketika Ki Jayaraga mengetuk pintu rumah itu. Demikian pemilik rumah itu keluar, maka orang itupun segera menggigil ketakutan.
"Apa yang terjadi?" desis orang itu dengan suara gemetar.
Rana Samparlah yang bertanya dengan nada keras, "Dimana Resi Belahan?"
"Resi Belahan" Siapakah yang Ki Sanak maksudkan?" bertanya pemilik rumah itu.
"Jangan berpura-pura," bentak Rana Sampar, "Resi Belahan yang tinggal disini. Bukankah tadi aku telah datang kemari" Kau juga ikut menemui aku bersama Resi Belahan."
"Ki Sanak," suara orang itu menjadi semakin gemetar, "siapakah Ki Sanak itu?"
"Jangan menjadi gila. Bukankah baru tadi aku datang kemari dan bukankah kita sudah berbicara panjang lebar?" jawab Rana Sampar.
Orang itu menjadi semakin bingung. Dengan gagap ia bertanya, "Apakah yang sebenarnya terjadi atas diriku. Aku tidak pergi kemana-mana sejak sore tadi. Tetapi aku tidak mengetahui bahwa Ki Sanak telah datang. Akupun tidak mengenal orang yang bernama Resi Belahan."
"Orang ini berpura-pura," teriak Rana Sampar yang mulai kebingungan.
"Untuk apa aku berpura-pura," jawab orang itu, "marilah. Silahkan masuk. Aku persilahkan kalian melihat-lihat, apakah ada orang lain dirumahku ini. Aku hanya tinggal berdua saja dengan isteriku. Tetapi tolong, jangan ditakut-takuti isteriku, karena isteriku sedang sakit."
Rana Sampar memang menjadi bingung. Dengan wajah yang tegang ia berkata, "Aku mengatakan sebenarnya. Resi Belahan itu tinggal disini selama berada di Mataram. Aku tahu pasti. Orang ini adalah orang yang telah membantu langkah-langkah yang diambil oleh Ki Manuhara dan Resi Belahan."
"Ki Sanak," suara pemilik rumah itu menjadi semakin memelas, "untuk apa sebenarnya Ki Sanak memfitnah aku. Aku orang miskin yang sudah tua dan sakit-sakitan. Demikian pula isteriku. Apa pula yang Ki Sanak kehendaki dari diri kami?"
Rana Sampar menggeretakkan giginya. Namun, Ki Jayaraga itu-pun berkata, "Apakah Ki Sanak memperbolehkan aku masuk?"
"Silahkan, silahkan. Mungkin dengan demikian kalian akan yakin bahwa aku tidak berbohong. Tetapi sekali lagi aku mohon, jangan takut-takuti isteriku yang sedang sakit," jawab orang itu dengan suara yang bergetar.
Ki Jayaraga, seorang diantara para prajurit dan Rana Sampar telah memasuki rumah itu. Mereka melihat-lihat seluruh ruangan yang ada. Bahkan diruang isteri pemilik rumah yang sedang sakit itu. Namun seperti pesan pemilik rumah itu, mereka sama sekali tidak menakut-nakuti orang sakit. Bahkan Ki Jayaraga mengaku sahabat suaminya yang sedang menengoknya.
Karena mereka tidak menemukan sesuatu dirumah itu, maka Ki Jayaraga dan para prajuritpun telah minta diri. Rana Sampar masih sempat mengumpat-umpat diluar rumah. Namun pemilik rumah itu tidak berbuat sesuatu kecuali ketakutan.
Demikianlah, ketika mereka sampai dirumah Ki Tumenggung kembali, maka Rana Sampar dan orang-orang yang telah tertangkap itupun telah berada ditangan para prajurit. Tetapi para prajurit itu masih belum meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Mereka agaknya masih akan menunggu sampai pagi hari.
Namun dalam pada itu, di ruang dalam Ki Jayaraga sempat berbicara dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Resi Belahan memang ada dirumah itu," berkata Ki Jayaraga, "tetapi ia sempat meninggalkan rumah itu setidak-tidaknya untuk sementara."
"Tetapi bukankah Ki Jayaraga tidak menemukan Resi Belahan dirumah itu" Bagaimana Ki Jayaraga dapat mengatakan bahwa Resi Belahan ada atau pernah ada dirumah itu?"
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya menduga. Dirumah itu terdapat beberapa mangkuk minuman yang masih terisi. Padahal rumah itu hanya berisi dua orang suami isteri. Sementara itu isterinya yang dikatakan sakit itu sama sekali tidak terkejut, atau bertanya atau semacamnya ketika aku mengaku sahabat suaminya yang menengoknya. Padahal perempuan itu belum pernah melihat aku sebelumnya. Bukankah dengan demikian aku dan perempuan itu sama-sama sudah siap untuk berpura-pura?"
Ki tumenggung Purbarumeksapun mengangguk-angguk, sementara Ki Jayaraga berkata, "Tetapi Resi Belahan itu tentu sudah memperhitungkan bahwa Rana Sampar itu akan gagal dan akan membuka rahasia tentang dirinya. Sehingga karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia telah meninggalkan tempatnya."
"Tetapi penghuni rumah itu tetap dibiarkan bebas," desis Teja Prabawa.
"Tentu ada maksudnya," jawab ayahnya, "rumah itu akan menjadi sumber pengamatan selanjutnya."
Teja Prabawa tidak menjawab lagi. Sementara itu Ki Tumenggung berkata, "Kita dapat beristirahat sekarang."
"Kita menunggu berita dari Tegal Wuru disebelah susukan Kali Opak itu." berkata Ki Lurah Branjangan.
Sebenarnyalah di sebelah susukan Kali Opak itu pertempuran telah mencapai puncaknya. Anak-anak Gajah Liwung semakin menguasai keadaan. Para pengikut Ki Manuhara semakin tidak berdaya. Apalagi untuk mengambil kembali Raras, sementara untuk menyelamatkan diri mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun tidak seorangpun diantara mereka yang berani meninggalkan medan sebelum ada perintah. Seandainya mereka berhasil dan selamat, namun mereka masih tetap dalam ancaman pemimpin mereka yang tentu akan membunuhnya kemudian. Bahkan mungkin dengan cara yang lebih buruk dari lawan-lawannya dimedan pertempuran yang sedang berlangsung itu.
Sementara itu, Sabungsari masih tetap melindungi Raras. Bagaimanapun juga kemungkinan buruk masih dapat terjadi pada gadis itu. Jika satu dua orang pengikut Ki Manuhara sempat melepaskan diri dari pertempuran, maka mereka akan sangat berbahaya bagi Raras.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wreda Sela Putih pun sudah sadar sepenuhnya. Demikian pula Raden Antal yang ingin memaksa diri untuk mengambil Raras. Namun ayahnya tetap melarangnya, karena ia sadar sepenuhnya bahwa orang yang melindungi Raras itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga anaknya tidak mungkin akan dapat mengatasinya. Bahkan lebih dari itu, Ki Tumenggung Wreda itu justru menjadi ragu-ragu setelah ia sempat menilai apa yang terjadi. Orang yang melindungi Raras itu sudah dapat membunuhnya seandainya ia mau melakukannya. Lontaran kekuatan ilmunya yang dahsyat tentu dengan sengaja tidak dibenturkan pada dirinya yang akan dapat menimbulkan akibat sangat buruk dan bahkan mungkin ia tidak lagi dapat bertahan hidup. Tetapi orang itu seakan-akan sekedar memberinya peringatan dengan menyerang sejengkal tanah didepan kakinya. Sedangkan serangan berikutnya tidak dilakukannya lagi dengan ilmunya yang jarang ada duanya itu, sehingga serangan itu hanya membuatnya pingsan.
Sementara itu Ki Tumenggung Wreda itu sempat melihat apa yang terjadi di Tegal Wuru itu. Pertempuran yang keras dan garang. Beberapa sosok tubuh telah terbaring diam. Ada yang masih dapat mengerang kesakitan, tetapi ada yang sudah diam membeku.
Dalam pada itu, maka Ki Manuhara yang bertempur melawan Agung Sedayu tidak mau lagi membuang banyak kesempatan. Siapa-pun yang dihadapinya, maka ia telah mempersiapkan untuk memanjatkan ilmunya sampai ketataran puncaknya.
Glagah Putihlah yang sedikit menemui kesulitan melawan Bajang Bertangan Baja. Bukan karena ia tidak mampu mengimbangi ilmu Bajang Bertangan Baja itu. Meskipun tangan orang kerdil itu benar-benar mengeras seperti baja, namun Glagah Putih dengan ilmu dan kemampuannya masih mampu mengimbanginya. Kecepatan geraknya, daya tahan tubuhnya serta tenaga dalamnya yang sangat besar.
Tetapi Bajang itu telah bergeser dan memasuki lingkaran pertempuran yang kisruh diantara para pengikut Ki Manuhara dan anak-anak Gajah Liwung. Beberapa kali, Glagah Putih hampir kehilangan lawannya. Namun disaat-saat ia mampu mendekatinya lagi, Bajang itu telah menyeranagnya dengan garangnya. Tangannya tidak saja menjadi sekeras baja, tetapi ayunan tangannya itu seolah-olah telah menaburkan getar udara yang dingin. Lebih dingin dari embun dini hari dimusim bediding.
Dengan demikian maka Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya memang berilmu sangat tinggi. Namun Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar. Iapun semakin meningkatkan ilmunya pula, sehingga Bajang Bertangan Embun itu menjadi semakin heran. Anak muda itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali oleh ilmunya itu. Kekerasan tangannya yang bagaikan baja, namun juga getaran angin yang timbul bagaikan embun yang membeku.
Bajang Bertangan Embun itu benar-benar menjadi heran dengan tingkat ilmu lawannya. Ketika Glagah Putih itu mampu membunuh lawannya di Tanah Perdikan Menoreh, anak itu dianggapnya wajar karena ilmu lawannya yang kurang memadai. Itupun pundak anak itu telah dilukai dengan ilmu Pacar Wutah.
Namun ketika ia berhadapan langsung dengan Glagah Putih, maka ternyata bahwa ilmu anak muda itu memang sangat tinggi.
Karena itu meskipun Bajang Bertangan Embun itu telah berusaha menyelinap diantara Keributan pertempuran dan dengan tiba-tiba menyerang, namun ia tidak segera berhasil menundukkan lawannya itu. Bahkan semakin lama Glagah Putih yang telah sampai pada puncak ilmu yang diwarisinya dari Ki Jayaraga itu seakan-akan justru menjadi semakin tegar.
Disisi lain Ki Manuhara yang berhadapan dengan Agung Sedayu ternyata juga tidak mampu mengatasinya. Meskipun Agung Sedayu itu lebih muda dari Ki Jayaraga yang pernah dihadapinya di Tanah Perdikan Menoreh, namun ilmunya sudah terlalu mapan. Bahkan serangan-serangan Ki Manuhara tidak banyak mengguncang kedudukan Agung Sedayu. Rog-rog Asem yang meskipun mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu, tetapi seakan-akan larut ditelan oleh daya tahan Agung Sedayu yang memang tinggi sekali.
Namun Ki Manuhara yang licik itu masih juga berteriak, "Kami disini mampu benahan beberapa puluh langkah. Tetapi saat ini Rara Wulan yang kau pertahanan itu tentu sudah jatuh ketangan Resi Belahan. Seorang yang berilmu sangat tinggi yang tentu tidak akan dapat dikalahkan oleh siapapun juga."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Orang yang pernah bertempur melawanmu di Tanah Perdikan Menoreh ada disana."
"Persetan dengan orang itu. Ia tentu akan digilas oleh ilmu Resi Belahan yang tidak terlawan," geram Ki Manuhara.
"Kau sendiri pernah hampir mati dibuatnya," jawab Agung Sedayu pula.
"Omong kosong," geram Ki Manuhara, "ia dengan licik menyerang aku dengan puncak ilmunya tanpa syarat."
"Jangan membual. Kau kira aku tidak melihat apa yang terjadi di Tanah Perdikan itu?" desis Agung Sedayu sambil mengelak dengan loncatan kesamping.
Ki Manuhara memburunya. Dilepaskannya Aji Rog-rog Asem langsung mengarah ke jantung Agung Sedayu. Demikian cepatnya sehingga Agung Sedayu tidak sempat mengelak lagi. Namun Agung Sedayu masih mengetrapkan perisai ilmu kebalnya, sehingga karena itu, maka serangan itu tidak menghancurkannya. Meskipun Agung Sedayu tergetar selangkah surut, namun dengan cepat ia segera bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Ki Manuhara mengumpat. Ia sadar bahwa salah satu ilmunya yang dibanggakannya itu tidak akan mampu mengalahkan lawannya itu. Sebagaimana ilmunya Sapta Prahara, maka Rog-rog Asem tidak dapat membelah perisai ilmu kebal Agung Sedayu yang memiliki daya tahan yang sangat tinggi.
Kekesalan Ki Manuhara ternyata kemudian tidak hanya tertuju kepada Agung Sedayu yang telah menggagalkan usahanya bersama Bajang Bertangan Baja karena Agung Sedayu justru telah mengambil Raden Antal untuk membebaskan Raras. Tetapi kekesalan Ki Manuhara juga tertuju kepada Bajang kerdil itu sendiri. Atas permintaan Bajang itu, maka ia dan bahkan orang-orangnya telah terlibat dalam penculikan Raras untuk mendapatkan Rara Wulan sehingga ia telah meninggalkan kepentingannya sendiri untuk membantu Bajang Bertangan Baja meskipun iapun berharap bahwa Bajang itupun kemudian akan membantunya. Bahkan Bajang itu telah menyelamatkan nyawanya adalah dorongan yang paling kuat baginya untuk bersedia bekerja bersama Bajang kerdil itu.
Namun kemudian ternyata bahwa ia telah menghadapi kesulitan. Di Tegal Wuru itu ia mendapat lawan seorang yang ilmunya jarang ada duanya.
Tetapi ia sudah berada di pusaran pertempuran itu sehingga ia tidak dapat lagi bergerak keluar.
Sementara itu, para pengikutnyapun semakin lama menjadi semakin susut Anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu ternyata memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka meskipun jumlah pengikut Ki Manuhara itu lebih banyak.
Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama semakin bergeser dari tempatnya. Orang-orang Ki Manuhara terdesak semakin jauh, sehingga Bajang Bertangan Baja berusaha untuk hanyut dalam arus mundur para pengikut Ki Manuhara. Bahkan agaknya demikian pula Ki Manuhara sendiri. Sehingga dengan demikian yang kemudian berdiri diarena pertempuran itu tinggal Sabungsari yang melindungi Raras dan beberapa langkah dari padanya, Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan Raden Antal yang sudah bangkit berdiri. Namun mereka ternyata tidak berbuat apa-apa. Dengan cemas mereka menyaksikan pertempuran yang semakin berat sebelah karena para pengikut Ki Manuhara semakin tidak berdaya.
Namun dalam pada itu, agaknya Ki Manuhara sudah tidak mempunyai kesempatan lagi selain mempergunakan ilmu pamungkasnya.
Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri mengetrapkan ilmunya bukan saja Sapta Prahara atau Rog-rog Asem, tetapi Aji Guntur Manunggal sebagai puncak kemampuan Ki Manuhara.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Wreda yang ada di Tegal Wuru bersama Raden Antal yang gelisah terkejut ketika mereka melihat dua orang yang berjalan menuju kearahnya diiringi oleh beberapa orang bersenjata. Sabungsari yang melindungi Raras dan masih berdiri ditempatnyapun segera mempersiapkan diri pula. Jika mereka pengikut Ki Manuhara, maka ia harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun agaknya bukan saja Sabungsari yang menjadi gelisah. Tetapi para anggauta kelompok Gajah Liwungpun melihat kedatangan orang-orang itu. Karena itu, maka dengan cepat Ki Ajar Gurawa melangkah dengan cepat mendekati Sabungsari dan Raras.
"Siapakah mereka," desis Ki Ajar Gurawa dengan ragu-ragu.
Sabungsari menggeleng sambil menjawab, "Aku belum tahu Ki Ajar. Mudah-mudahan bukan pengikut Ki Manuhara atau Bajang kerdil itu."
Ki AjarGurawapun menjadi tegang. Namun menurut penglihatannya sekelompok orang itu melangkah menuju kearah Ki Tumenggung Wreda berdiri dengan anaknya, Raden Antal.
Meskipun demikian Ki Ajar Gurawa masih saja mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Apalagi Ki Ajar Gurawa menganggap bahwa para pengikut Ki Manuhara yang terdahulu tentu akan segera dapat diselesaikan oleh anak-anak Gajah Liwung yang lain, sementara Bajang Bertangan Baja berhadapan dengan Glagah Putih dan Ki Manuhara sendiri berhadapan dengan Agung Sedayu.
Ki ajar Gurawa dan Sabungsari itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat Ki Tumenggung Wreda dan Raden Antal mengangguk dalam-dalam. Dengan sangat hormat mereka menerima orang yang baru saja datang itu.
Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa yang berdiri beberapa puluh langkah dari mereka, didalam gelapnya malam masih belum dapat melihat dengan jelas, siapakah orang-orang yang telah datang itu. Tetapi mereka sudah pasti, bahwa orang-orang itu tentu bukan para pengikut Ki Manuhara.
Karena itu, maka diluar sadarnya, Sabungsari telah membimbing Raras melangkah mendekat, karena Sabungsari masih belum berani melepaskan Raras yang dilindunginya.
Namun Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa itu terkejut ketika mereka mendengar salah seorang diantara orang-orang yang datang itu menyapa mereka.
"Marilah, mendekatlah."
Sabungsari masih ragu-ragu. Namun bersama Ki Ajar Gurawa yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, mereka mendekat pula.
Ketika seorang diantara orang-orang yang datang itu melangkah menyongsong mereka, Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa terkejut Orang itu adalah Ki Wirayuda.
"Ki Wirayuda," desis Sabungsari.
"Ya. Aku datang mengantar Ki Patih Mandaraka pribadi yang ingin menyaksikan apa yang terjadi disini," jawab Ki Wirayuda.
Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka yang mengiringi Ki Patih itu berlari sambil berteriak. "Raras."
Raraspun tanggap. Iapun segera berlari kearah orang yang menyebut namanya itu sambil berteriak, "Ayah."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raraspun memeluk ayahnya erat-erat sambil menangis. Air matanya yang serasa telah kering itu tiba-tiba telah mengalir lagi dengan derasnya. Tangisnya yang tertahan beberapa saat seakan-akan telah mendesak dengan dahsyatnya.
Untuk sesaat Ki Rangga Wibawa terbungkam. Matanyapun menjadi panas. Namun kemudian ia mulai menguasai dirinya dan berkata, "Sudahlah Raras. Kau sudah selamat Kau telah berada ditangan ayahmu lagi."
Sementara itu Ki Patih Mandaraka yang masih berdiam diri tiba-tiba berkata kepada Ki Tumenggung Wreda, "Ki Tumenggung. Lihatlah apa yang telah terjadi di Tegal Wuru ini. Semuanya ini akibat dari sikap Ki Tumenggung terhadap anak Ki Tumenggung. Ki Tumenggung terlalu memanjakannya. Apa yang diinginkannya harus dipenuhi. Sementara itu, Raden Antal telah memanfaatkan kedudukan ayahnya dengan sebaik-baiknya."
"Ampun Ki Patih," desis Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, "hatiku telah tertutup oleh keinginanku memanjakan anakku."
"Kau lihat, berapa korban yang jatuh karena pokal Raden Antal," berkata Ki Patih Mandaraka kemudian.
Ki Tumenggung Wreda Sela Putih hanya dapat menundukkan kepalanya. Demikian pula Raden Antal. Mereka tidak mengira bahwa persoalan itu telah mengungkit Ki Patih sehingga keluar dari istananya di malam yang kelam itu menuju ke Tegal Wuru.
"Marilah, kita lihat dari dekat, apa yang terjadi," berkata Ki Patih.
Ki Tumenggung Wreda tidak menjawab lagi. Ketika Ki Patih melangkah mendekati arena pertempuran, maka Ki Wirayuda telah mengikutinya pula sambil berkata, "Maaf Ki Tumenggung. Kami terpaksa membawa pengawal bersenjata."
Ki Tumenggung Wreda Sela Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak berterus-terang, tetapi Ki Tumenggung mengerti sepenuhnya maksud Ki Wirayuda.
Karena itu, maka Ki Tumenggung dan Raden Antal itupun berjalan sambil menunduk diiringi oleh beberapa orang prajurit bersenjata. Mereka berjalan menuju kelingkaran pertempuran yang sudah bergeser agak menjauh. Sabungsari dan Ki Ajar Gurawapun telah mengikuti mereka pula bersama Ki Rangga Wibawa yang membimbing Raras.
Dalam pada itu, para pengikut Ki Manuhara sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Jumlah merekapun telah jauh menyusut, sehingga perlawanan mereka sudah tidak berarti lagi.
Dalam pada itu Ki Manuhara benar-benar tidak dapat berbuat lain kecuali mengerahkan kemampuan puncaknya. Apalagi ketika ia melihat sekelompok orang yang datang kemudian, yang nampaknya akan berpihak kepada lawannya. Karena itu, maka Ki Manuhara itupun telah siap untuk melepaskan Aji Guntur Manunggal.
Agung Sedayu telah mengenali ancang-ancang pelepasan ilmu Guntur Manunggal itu, karena lawannya di Tanah Perdikan Menoreh juga memiliki ilmu yang sama. Karena itu, maka Agung Sedayupun berusaha mengambil jarak dan dengan cepatnya telah mengurai senjata khusus dari perguruan Orang Bercambuk. Seperti ketika ia melawan Ki Samepa, maka Ki Manuharapun akan dihadapinya dengan ilmu pamungkasnya dari perguruan Orang Bercambuk itu.
Ki Manuhara tidak mempunyai kesempatan berpikir lagi. Ia memang tinggal menghadapi dua kenyataan dengan ilmunya. Membunuh atau dibunuh. Ki Manuhara tidak akan dapat lagi berusaha melarikan diri sebagaimana dilakukan di Tanah Perdikan, apalagi dengan kedatangan sekelompok orang baru itu.
Demikianlah, ketika Ki Manuhara bersiap untuk melepaskan Aji Guntur Manunggalnya, maka Agung Sedayu mulai memutar cambuknya sambil mengerahkan segenap ilmu dan kemampuan puncak dari perguruan Orang Bercambuk.
Ki Patih Mandaraka yang datang mendekat tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak dapat mencegah benturan ilmu yang sangat tinggi itu terjadi. Karena itu, maka Ki Patih Mandaraka dan orang-orang yang datang bersamanya hanya sempat menyaksikan Ki Manuhara itu meloncat mengayunkan tangannya untuk melepaskan kemampuan puncaknya, Aji Guntur Manunggal. Namun bersamaan dengan itu, maka cambuk Agung Sedayupun telah terayun pula. Dalam ayunan ujung cambuknya itu terkandung kemampuan tertinggi dari perguruan Orang Bercmabuk.
Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua kekuatan raksasa telah beradu bagaikan benturan antara petir dan lidah api yang menyambar dilangit.
Arena pertempuran itupun telah bergetar. Tegal Wuru itupun telah terguncang.
Akibat dari benturan itu memang menggetarkan. Agung Sedayu terlempar beberapa langkah surut. Sebagaimana pernah terjadi benturan antara Ki Manuhara dan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Agung Sedayu memiliki kelebihan dari Ki Jayaraga. Selain kewadagannya yang lebih kokoh sehingga mampu mendukung daya tahannya yang sangat tinggi, Agung Sedayupun telah mempergunakan perisai ilmu kebalnya. Meskipun kemampuan ilmu Ki Manuhara itu memiliki tenaga lebih besar dari kemampuan ilmu kebal Agung Sedayu, namun sebagian kekuatan ilmu Ki Manuhara telah membentur kekuatan puncak ilmu perguruan Orang Bercambuk. Dengan demikian meskipun Agung Sedayu terlempar beberapa langkah surut dan kehilangan keseimbangannya, namun sejenak kemudian ia-pun telah mampu untuk berdiri tegak kembali dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu akibat yang dialami oleh Ki Manuhara ternyata lebih parah lagi. Bahkan lebih parah dari benturan yang pernah dialaminya melawan kekuatan ilmu Ki Jayaraga.
Seperti Agung Sedayu, maka Ki Manuharapun telah terlempar beberapa langkah surut. Namun Ki Manuhara tidak mampu bertahan untuk tetap berdiri tegak. Iapun terpelanting jatuh dan berguling beberapa kali di tanah. Sesaat Ki Manuhara memang sempat untuk berusaha bangkit kembali. Namun iapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh kembali terlentang didekat tanggul susukan Kali Opak.
Terdengar Ki Manuhara itu mengerang. Namun hanya untuk beberapa tarikan nafas.
Agung Sedayu yang berdiri termangu-mangu melihat bagaimana Ki Manuhara itu berusaha menggeliat. Namun yang terdengar justru suara erangnya.
Semua perhatian seakan-akan memang terampas pada benturan kekuatan raksasa yang dilepaskan oleh Ki Manuhara dan Agung Sedayu. Saat itulah yang kemudian dipergunakan sebaik-baiknya oleh Bajang Bertangan Embun. Saat yang sekejap itu dipergunakannya untuk meloncat keatas tanggul.
Glagah Putih terkejut melihat lawannya menghindar dari arena pertempuran. Karena ia tidak mau kehilangan, maka dengan cepat Glagah Putih menyiapkan ilmunya. Dilontarkannya serangan untuk memburu Bajang Bertangan Embun itu. Namun serangan Glagah Putih ternyata hanya memecahkan tanggul susukan Kali Opak itu. Batu dan kerikil berhamburan diantara pasir dan debu. Namun Bajang Bertangan Embun itu sempat meloncat masuk kedalam air.
Glagah Putih yang marah itupun segera meloncat memburu. Namun demikian ia meloncat keatas tanggul, maka tubuhnya telah dihempas oleh siraman air susukan Kali Opak.
Siraman itu sendiri tidak menyakiti tubuh Glagah Putih selain sedikit mengganggu pernafasannya. Namun air itupun kemudian menjadi bagaikan membuat tubuhnya membeku kedinginan.
Sejenak Glagah Putih terhenyak kedalam keadaan yang tiba-tiba. Tetapi iapun segera bangkit dan berusaha untuk memecahkan kesulitannya. Dalam keremangan malam ia melihat bayangan yang bergerak didalam air. Bajang kerdil yang telah menyemburkan air sekaligus melontarkan ilmu embunnya, sehingga Glagah Putih rasa-rasanya menjadi beku karenanya.
Namun Glagah Putih tidak menyerah begitu saja dalam kebekuannya. Dengan serta-merta iapun telah membangunkan ilmu yang diwarisinya dari Ki Jayaraga. Tetapi Glagah Putih masih belum mempergunakan ilmunya yang baru saja disadapnya, Sigar Bumi. Yang dipergunakan oleh Glagah Putih adalah kemampuannya untuk menangkap getar panas yang diungkapkannya dengan ilmunya. Karena itulah, maka dalam kebekuannya Glagah Putih masih mampu menggerakkan telapak tangannya mengarah pada bayangan yang nampak didalam air dalam keremangan malam.
Satu hentakan ilmu yang memancarkan panasnya api telah meluncur dengan cepatnya menyambar Bajang Bertangan Embun. Namun ternyata Bajang kerdil itu telah sempat menggeliat dan meluncur menghindari serangan Glagah Putih. Bahkan kemudian seakan-akan menghilang ditelan beriak air di susukan Kali Opak itu.
Yang terjadi kemudian adalah gemuruhnya air yang dihantam oleh kekuatan ilmu Glagah Putih. Ketika seleret cahaya kuning meluncur menghantam riak air susukan, maka terdengar ledakan yang disusul oleh desah yang keras seakan-akan sebongkah bara besi baja yang dicelupkan kedalam air. Bahkan permukaan airpun rasa-rasanya telah mendidih serta menghembuskan asap putih yang naik keudara.
Bersamaan dengan itu, maka rasa-rasanya tubuh Glagah Putih yang bagaikan membeku itu telah menjadi bebas. Tetapi betapa anak muda itu menjadi kecewa bahwa Bajang Bertangan Embun itu sempat melepaskan diri daripadanya. Meskipun untuk beberapa saat lamanya Glagah Putih berusaha menyusuri tanggul, tetapi ia tidak melihat Bajang kerdil itu muncul dari permukaan air.
Sementara itu, pertempuran di Tegal Wuru itu telah padam. Para pengikut Ki Manuhara yang melihat pemimpinnya terbaring diam, tidak lagi berani berbuat sesuatu. Apalagi Bajang Bertangan Baja itupun telah sempat melarikan diri dari arena.
Yang kemudian terkejut adalah Agung Sedayu ketika ia melihat Ki Patih Mandaraka hadir di arena pertempuran itu.
Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, "Selamat malam Ki Patih Mandaraka, yang pada malam-malam seperti ini menyempatkan diri hadir di tepi susukan Kali Opak ini."
Ki Patih Mandaraka tersenyum sambil menjawab, "Aku ingin melihat, apakah yang terjadi disini akibat tingkah laku Ki Tumenggung Wreda Sela Putih yang sangat memanjakan anaknya, seakan-akan apa saja yang dikehendaki anaknya harus terjadi. Yang aku cemaskan bahwa pada suatu saat anaknya, Raden Antal minta agar ia dapat menjadi raja di Mataram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Tumenggung Wreda berkata sambil membungkuk hormat, "Ampun Ki Patih. Kami sekeluarga mohon ampun atas kekhilafan ini."
"Sudah tentu aku tidak dapat menanggapi permohonan ampunmu itu. Karena kau seorang Tumenggung Wreda, maka persoalanmu tentu akan sampai kepada Panembahan Senapati di Mataram." jawab Ki Patih Mandaraka.
Wajah Ki Tumenggung menjadi pucat, sementara Ki Patih berkata, "Sebenarnyalah bahwa kedudukanmu sebagai seorang Tumenggung Wreda tidak akan dapat melepaskanmu dari jerat paugeran yang ada. Karena kesalahan, siapapun yang melakukan harus dihukum."
Ki Tumenggung Wreda Sela Putih hanya menunduk saja. Sementara Raden Antal telah menjadi gemetar. Ia sadar, apa yang kira-kira akan terjadi atas dirinya. Ki Patih Mandaraka sendiri menyaksikan, apa yang telah terjadi di tepi tanggul susukan Kali Opak itu.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian maka orang-orang yang ada di Tegal Wuru itupun telah berkumpul. Para pengikut Ki Manuhara yang masih tersisa menjadi tawanan. Dibawah pengawalan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung mereka harus mengumpulkan kawan-kawannya yang menjadi korban. Ada yang terluka parah, tetapi ada juga yang justru terbunuh.
Sekali lagi Ki Patih Mandaraka yang masih menunggui kerja itu berkata kepada Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, "Lihat Ki Tumenggung, betapa mahalnya harga kemanjaan anakmu itu."
Ki Tumenggung hanya menunduk saja. Sementara Ki Patih berkata, "Seorang yang berilmu sangat tinggi telah terbunuh. Untungnya bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga mampu mengatasinya. Jika tidak, maka apa yang terjadi" Seorang yang sangat berarti bagi Mataram akan terbunuh hanya karena seorang yang bernama Raden Antal, anak Ki Tumenggung Wreda Sela Putih menginginkan seorang gadis yang sama sekali tidak mencintainya."
Ki Tumenggung yang menunduk itu menjadi semakin tunduk. Sedang Raden Antal menjadi semakin gemetar. Tubuhnya basah oleh keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya.
Sambil berpaling kepada Raras, Ki Patih bertanya, "Bagaimana dengan anak gadismu Ki Rangga Wibawa?"
Ki Rangga Wibawa mengangguk hormat. Dengan nada dalam ia menjawab, "Raras ternyata selamat."
"Bagus," desis Ki Patih Mandaraka, "kau wajib mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari dan kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung."
"Ya Ki Patih. Aku memang merasa wajib untuk menyatakannya," jawab Ki Rangga Wibawa. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pada kesempatan lain, kami akan menyatakan lagi bersama dengan seluruh keluarga kami. Karena merekapun tentu merasa sangat berterima kasih bahwa Raras ternyata selamat."
"Baiklah," berkata Ki Patih kemudian, "sebaiknya aku segera kembali. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari dapat kembali bersamaku. Demikian pula Ki Rangga Wibawa dan Raras. Biarlah Ki Wirayuda menyelesaikan segala-galanya bersama para prajurit."
Tetapi Agung Sedayu masih menjawab, "Ki Patih. Satu diantara kedua orang pemimpin dari kelompok yang mengambil Raras belum kami ketemukan. Karena itu, biarlah kami tinggal disini bersama Ki Wirayuda dan kelompok Gajah Liwung. Sementara itu sebagian prajurit akan dapat mengiringi Ki Patih kembali ke Kepatihan."
Ki Patih tertawa pendek. Katanya, "Aku sudah mengira bahwa kalian tidak akan bersedia meninggalkan Ki Wirayuda disini. Aku hanya berbasa-basi. Sebenarnyalah bahwa aku sendiri yang ingin beristirahat. Namun aku ingin menitipkan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan anaknya kepada kalian. Awasi mereka dan besok pagi bawa mereka menghadap aku."
"Baik Ki Patih," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi bagi Ki Rangga Wibawa dan anaknya, aku tidak sekedar berbasa-basi. Aku benar-benar mengajak mereka pulang."
Demikianlah, Ki Patih Mandaraka bersama sekelompok kecil prajurit bersama Ki Rangga Wibawa dan anak gadisnya Raras segera meninggalkan tempat itu. Mereka mengambil kuda-kuda mereka yang mereka tinggalkan beberapa ratus patok dari tempat itu, agar kedatangan mereka tidak lebih dahulu diketahui. Raras yang tidak dapat berkuda sendiri akan berkuda bersama ayahnya meskipun kudanya akan membawa beban yang sangat berat.
Sepeninggal Ki Patih Mandaraka, maka orang-orang yang tinggal di tepi tanggul Kali Opak itu meneruskan tugas mereka. Mengumpulkan korban-korban pertempuran itu. Ternyata meskipun anak-anak kelompok Gajah Liwung tetap utuh, namun beberapa orang diantaranya telah terluka. Karena itu, untuk segera mengatasi arus darah yang mengalir serta kemungkinan buruk yang lain, maka Agung Sedayu telah berusaha mengobati mereka dengan obat-obatan yang dibawanya untuk sekedar mengatasi keadaan agar luka itu tidak menjadi semakin buruk.
Sementara itu Glagah Putih justru berharap agar Bajang Bertangan Embun itu datang lagi ketempat itu. Jika ia mengira bahwa orang-orang yang mampu melawannya tidak ada lagi di tanggul Kali Opak ini, maka ia akan datang Jagi untuk melihat apa yang telah terjadi.
Tetapi ternyata bahwa orang itu tidak datang. Ternyata bahwa Bajang Bertangan Embun itu tidak lagi memikirkan kemungkinan yang terjadi atas Ki Manuhara dan orang-orangnya.
Menjelang pagi, sebelum salah seorang dian tara mereka yang ada di Tegal Wuru itu menghubungi para prajurit sebagaimana direncanakan oleh Ki Wirayuda untuk menyelesaikan pekerjaan mereka atas para korban, terutama yang terbunuh dan terluka parah, ternyata telah datang sepasukan prauirit atas perintah langsung dari Ki Patih Mandaraka. Mereka mendapat tugas untuk menghubungi Ki Wirayuda dan menerima perintah-perintahnya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari serta Ki Wirayuda dan para prajurit yang datang bersama Ki Wirayuda dapat meninggalkan tempat itu. Namun mereka harus membawa Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan Raden Antal yang sengaja ditinggalkan oleh Ki Patih untuk menunggui akibat dari ketamakan Raden Antal dan sikap Ki Tumenggung yang terlalu memanjakan anaknya.
Ternyata bahwa tugas untuk mengawal Ki Tumenggung itu telah diserahkan kepada kelompok Gajah Liwung yang juga akan meninggalkan tempat itu bersama Agung Sedayu.
Berita tentang peristiwa yang terjadi ditempat yang jarang disentuh kaki selain kaki para gembala yang menggembalakan kambing mereka disiang hari itu, ternyata cepat sekali tersebar. Tanpa mengetahui siapakah yang pertama kali menceritakan peristiwa itu, namun diliari itu juga rasa-rasanya penghuni Kotaraja semuanya telah mendengar apa yang terjadi. Dengan demikian maka hampir setiap mulut telah menyebut nama Raden Antal serta Raras. Bahkan mereka juga menyebut-nyebut nama Rara Wulan yang menjadi sasaran utama dari ketamakan Raden Antal.
Banyak orang yang tidak mengira bahwa Raden Antal telah melakukan hal itu. Tetapi seorang perempuan yang pernah menjadi isterinya dan kemudian dicampakkannya, tahu benar, bahwa hal itu memang mungkin sekali terjadi pada Raden Antal.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari yang kemudian berada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa telah mendengar pula apa yang telah terjadi dirumah itu. Namun dengan demikian mereka mengetahui pula bahwa masih ada seorang lagi yang berilmu tinggi yang luput dari tangan mereka kecuali Bajang Bertangan Baja. Orang itu adalah Resi Belahan yang mempunyai kepentingan berbeda dengan Bajang Bertangan Baja itu.
Sementara itu, Ki Wirayuda bersama-sama dengan anggauta Gajah Liwung telah membawa Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan Raden Antal menghadap ke Kepatihan.
Tetapi Ki Patih Mandaraka tidak ingin membuat keputusan apapun tentang mereka. Ki Patih memang berniat untuk membawa persoalan itu kepada Panembahan Senapati.
Kepada kelompok Gajah Liwung yang dimpimpin oleh Ki Ajar Gurawa, Ki Patih Mandaraka mengucapkan terima kasih, bahwa mereka telah membantu mengatasi persoalan yang akan dapat menggetarkan Mataram.
"Nampaknya persoalannya adalah persoalan yang hanya menyangkut beberapa keluarga. Tetapi jika hal ini tidak teratasi, maka persoalannya akan dapat menjadi luas. Kepercayaan rakyat Mataram terhadap perlindungan mereka menjadi susut, seakan-akan para prajurit Mataram tidak mampu melawan kejahatan. Jika Raras tidak berhasil diselamatkan, maka rakyat akan menjadi resah, karena cara yang licik itu akan dapat dilakukan terhadap orang-orang lain dalam persoalan yang lain pula. Sementara para prajurit Mataram menghadapi jalan buntu. Namun untunglah bahwa seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh mampu memecahkan persoalan ini dan menemukan kembali Raras, meskipun harus ada korban yang jatuh," berkata Ki Patih Mandaraka.
Ki Tumenggung Wreda Sela Putih menjadi semakin gelisah. Perasaan bersalah telah mencengkam jantungnya. Namun semuanya telah terjadi. Sebagai seorang laki-laki maka Ki Tumenggung tidak dapat berbuat lain kecuali harus mempertanggung-jawabkannya. Apapun hukuman yang akan ditimpakan kepadanya.
Dengan demikian, setelah Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan anaknya berada di Kepatihan, maka para anggauta Gajah Liwungpun diperkenankan untuk meninggalkan rumah itu.
"Sebaiknya kalian pergi ke rumahku," berkata Ki Wirayuda, "kalian memerlukan pengobatan dan mungkin beberapa pesan. Aku akan tinggal disini untuk beberapa saat. Tetapi akupun akan segera pulang," berkata Ki Wirayuda.
Ki Ajar Gurawa yang mewakili anak-anak Gajah Liwung itupun kemudian minta diri untuk meninggalkan Kepatihan. Mereka akan pergi ke rumah Ki Wirayuda untuk beristirahat dan mungkin diantara mereka masih membutuhkan pengobatan.
"Aku akan memberitahukan kepada Ki Lurah Agung Sedayu, bahwa kalian berada di rumahku," berkata Ki Wirayuda. Namun katanya kemudian, "Tetapi tolong, jangan berjalan bersama-sama, karena hal itu akan dapat menarik perhatian banyak orang."
Ki Ajar Gurawa tersenyum. Katanya, "Baiklah Ki Wirayuda. Kami akan membagi diri. Jika kami terpaksa singgah di kedai maka kamipun akan memasuki beberapa buah kedai yang tidak sama-sama."
Ki Wirayuda dan Ki Patih Mandaraka sempat tersenyum. Bahkan Ki Wirayuda kemudian berkata, "Apakah kau harus minta uang bekal dari Ki Patih."
Ki Ajar Gurawa tertawa. Namun bersama anggauta kelompok Gajah Liwung iapun segera minta diri. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Wirayuda, maka mereka tidak berjalan bersama-sama. Tetapi mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil.
Ki Wirayuda sendiri untuk beberapa saat masih berada di Kepatihan. Tetapi kemudian iapun telah minta diri, sementara Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan anaknya masih tetap berada di Kepatihan. Sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, maka Ki Tumenggung tidak ditahan di sembarang tempat.
Demikianlah, maka Ki Wirayuda telah menemui Agung Sedayu dirumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Diberitahukannya bahwa Ki Tumenggung Wreda Sela Putih berada di Kepatihan bersama Raden Antal. Sedangkan para anggauta Gajah Liwung berada di rumahnya.
"Bukankah diantara mereka ada yang terluka?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya," jawab Ki Wirayuda, "mereka memerlukan obat-obatan. Karena itu, aku minta mereka untuk berada di rumahku, terutama yang terluka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun agaknya Ki Wirayuda sudah mempunyai obat yang baik untuk luka-luka itu. Meskipun demikian Agung Sedayu berkata, "Aku akan segera pergi ke rumah Ki Wirayuda."
"Silahkan. Tetapi aku akan singgah sebentar di rumah Ki Rangga Wibawa. Aku akan melihat keadaan Raras. Bukankah kau juga ingin melihatnya?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita pergi bersama-sama."
Agung Sedayupun kemudian telah mengajak Glagah Putih dan Sabungsari untuk menemui para anggota Gajah Liwung. Tetapi mereka akan singgah sebentar dirumah Ki Rangga Wibawa.
"Jadi kalian akan menemui Raras?" bertanya Teja Prabawa yang mendengar pembicaraan itu.
"Kami akan menemui Ki Rangga Wibawa," jawab Agung Sedayu.
"Bohong," sahut Teja Prabawa, "kalian tentu akan menemui Raras. Jika demikian aku akan ikut bersama kalian."
"Kalau kau akan pergi menemuinya, pergilah. Tetapi kau tidak dapat bersikap seperti itu kepada Ki Lurah Agung Sedayu," bentak ayahnya. Lalu katanya, "Tanpa mereka Raras telah hilang dibawa oleh Raden Antal ketempat yang tentu tidak mudah kita temukan."
Raden Teja Prabawa termangumangu sejenak. Tetapi ia tidak menjawab.
Agung Sedayulah yang kemudian menjawab, "Baiklah. Aku kira tidak ada salahnya jika Raden Teja Prabawa ingin pergi bersama kami untuk melihat Raras. Tetapi yang jelas gadis itu sudah selamat dan dibawa oleh ayahnya pulang kerumahnya. Mereka meninggalkan Tegal Wuru bersama Ki Patih Mandaraka."
Ki Tumenggung Purbarumeksa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika demikian, pergilah. Tetapi ingat, kau tidak boleh berbuat sesuka hatimu. Kau harus bercermin kepada Raden Antal. Seorang yang manja yang semua keinginannya harus dipenuhi. Apa jadinya sekarang " Kau harus belajar melihat kenyataan, bahwa kaupun seorang anak yang terhitung manja. Yang pada saat-saat gawat tidak dapat menyelesaikan persoalannya sendiri."
Raden Teja Prabawa hanya menundukkan kepalanya saja, sementara Ki Lurah Branjangan menepuk bahunya sambil berkata, "Sudahlah, pergilah. Tetapi renungkan kata-kata ayahmu itu agar kau tidak semakin tenggelam dalam sifat dan sikapmu itu. Kau harus bangkit dan bersikap seperti seorang laki-laki. Ketika kau dengan tegar membela adik perempuanmu, aku sudah merasa bahwa kau sudah menemukan dirimu sebagai seorang laki-laki. Namun ternyata pada saat-saat yang rumit, kau kembali kuncup dan merengek seperti seorang gadis cengeng."
Raden Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi kepalanyalah yang semakin tunduk.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah minta diri pula kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan. Mereka-pun telah menitipkan keluarga itu kepada Ki Jayaraga karena masih ada orang-orang berilmu tinggi yang terlepas. Bahkan seorang lagi telah hadir di Mataram dengan tujuan yang belum diketahui dengan jelas.
Berempat bersama Ki Wirayuda mereka berkuda meninggalkan rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Raden Teja Prabawa yang mulai merasa dirinya kecil, berkuda dipaling belakang. Sekali-sekali Sabungsari minta agar Raden Teja Prabawa berkuda didepan. Tetapi anak muda itu selalu menggelengkan kepalanya.
Orang-orang yang melihat iring-iringan itu memang tertarik untuk memperhatikannya. Namun mereka selalu menghubungkan orang-orang yang menarik perhatian mereka dengan peristiwa yang telah mereka dengar di Tegal Wuru, disebelah tanggul susukan Kali Opak.
Apalagi hari itu, orang-orang yang tinggal di Kotaraja melihat prajurit yang meronda agak lebih sering dari hari-hari sebelumnya. Bahkan ada diantara mereka yang melihat Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan Raden Antal berkuda diiringi oleh sekelompok prajurit dan anak-anak muda menuju ke Kepatihan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang berkuda itu, telah memasuki regol halaman rumah Ki Rangga Wibawa.
Dirumah itu ternyata masih ada beberapa prajurit yang bertugas untuk membantu menjaga keselamatan Raras yang masih terancam karena Bajang Bertangan Baja telah luput dari tangan Glagah Putih.
Meskipun dirumah itu ada Ki Rangga Wibawa dan Wacana, anak muda yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi, namun beberapa orang prajurit masih diperlukan.
Kedatangan mereka disambut dengan akrab oleh Ki Rangga Wibawa yang merasa berhutang budi kepada mereka yang datang itu.
Demikian mereka dipersilahkan duduk dipendapa, maka Nyi Ranggapun telah dipanggilnya pula.
Dengan air mata yang mengalir dari pelupuknya betapapun tangannya sibuk mengusapnya, Nyi Rangga mengucapkan terima kasih pula dengan kata-kata yang tersendat-sendat.
"Dimana Raras sekarang ?" bertanya Ki Wirayuda.
"Ia berada dibiliknya ditemani oleh Wacana," jawab Nyi Rangga sambil mengusap air matanya pula.
"Jiwanya telah terguncang," berkata Ki Rangga, "tampaknya ia memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. Ia selalu merasa ketakutan, gelisah dan ketika ia sempat tidur sejenak, maka tiba-tiba ia terbangun sambil berteriak-teriak ketakutan."
"Anak itu belum dapat ditinggalkan sendiri. Ia harus ditunggui didalam biliknya," berkata Nyi Rangga pula.
"Ya, " Ki Rangga Wibawa menyambung, "meskipun ia sudah tahu bahwa dirumah ini ada sekelompok prajurit yang dapat membantu melindunginya. Tetapi ia masih tetap ketakutan."
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah aku diijinkan menemuinya ?"
"Marilah," jawab Ki Rangga, "aku antar Ki Wirayuda ke biliknya. Anak itu sulit untuk dapat tidur."
Ketika Ki Wirayuda bangkit bersama Ki Rangga Wibawa. Teja Prabawapun bangkit pula sambil berkata, "Aku juga ingin bertemu dengan Raras."
Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Namun Agung Sedayulah yang berkata, "Nanti saja Raden. Biarlah Ki Rangga lebih dahulu menemuinya."
Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih berkata, "Tetapi aku adalah orang terdekat bagi Raras."
"Biarlah ia tenang lebih dahulu," jawab Ki Rangga Wibawa, "nanti aku persilahkan angger menemuinya."
"Paman," desis Teja Prabawa.
"Bukankah Raden ingat akan pesan Ki Tumenggung Purbarumeksa sebelum angger berangkat ?"
Wajah Teja Prabawa menegang sejenak. Tetapi kemudian iapun telah duduk kembali ditempatnya.
Demikianlah, maka Ki Wirayuda diantar oleh Ki Rangga Wibawa telah masuk kedalam bilik Raras yang ditunggui oleh Wacana. Demikian pintu bilik itu terbuka, maka Raraspun telah menjerit ketakutan, sehingga Wacana telah bergeser mendekati pembaringannya sambil berkata, "Lihat Raras. Paman Rangga Wibawa."
"O," Raras mengusap keringat dikeningnya, "ayah."
"Ya Raras," jawab ayahnya, "aku datang dengan Ki Wirayuda."
"Siapa ?" bertanya Raras curiga.
"Salah seorang diantara mereka yang telah menolongmu," jawab Ki Rangga. Lalu katanya pula, "Bukankah kau ingat, bahwa Ki Wirayuda pernah datang kemari sebelum peristiwa itu terjadi ?"
Raras termangu-mangu sejenak. Tetapi ingatannya terasa agak kurang baik sejak ia mengalami goncangan jiwa itu.
Namun iapun mengangguk sambil berkata, "Ya ayah. Rasa-rasanya aku ingat."
"Ia datang untuk menengok keadaanmu," berkata Ki Rangga kemudian.
Ki Wirayudapun kemudian mendekat. Namun nampak bahwa Raras masih saja merasa ketakutan. Meskipun demikian, Raras sudah mulai dapat mengekang perasaannya, sehingga ia tidak meloncat meninggalkan pembaringannya dan berlari ke-sudut ruangan.
"Bagaimana keadaanmu ngger ?" bertanya Ki Wirayuda.
"Aku sudah menjadi berangsur baik, Ki Wirayuda," jawab Raras agak ragu.
"Baiklah," berkata Ki Wirayuda, "kau tidak boleh selalu merasa ketakutan. Kau sudah berada di rumahmu lagi. Dirumah ini kau harus merasa aman."
"Tetapi bukankah aku diambil oleh orang itu dari rumah ini pula," desis Raras yang tiba-tiba saja bulu-bulunya mulau meremang lagi.
Tetapi Ki Wirayuda menjawab, "Tetapi waktu itu rumah belum dijaga oleh beberapa orang prajurit. Angger Wacana belum juga berada dirumah ini."
Raras mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia berdesis, "Ya Ki Wirayuda."
"Jika demikian, maka kau dapat beristirahat dengan tenang. Kau dapat tidur nyenyak karena setiap orang yang akan datang mengganggumu akan berhadapan dengan sekelompok prajurit dan tentu saja akan berhadapan dengan ayahmu dan angger Wacana."
Raras mengangguk lagi. Sambil menepuk bahu Raras yang terbaring dipembaringarinya itu Ki Wirayuda berkata. "Tidurlah. Nanti tubuhmu akan segera pulih kembali. Kau tidak akan merasa sangat letih dan pening seperti sekarang ini."
Raras mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mencoba untuk dapat tidur Ki Wirayuda."
"Bagus. Jika kau tidur dengan tenang, maka kau tidak akan selalu dibayangi oleh mimpi buruk. Jika kau tidur dengan tenang maka kau akan dapat tidur dengan nyenyak. Bukan saja baik buatmu tetapi juga buat ayah dan ibumu. Angger Wacana juga tidak selalu gelisah menungguimu disini."
"Tetapi aku tidak mau ditinggal sendiri." minta Raras.
"Ya. Ya. Tentu. Kau tidak akan ditinggal sendiri," sahut Ki Wirayuda.
Dengan demikian Ki Wirayuda telah mendapat kesimpulan bahwa keadaan Raras memang sudah berangsur baik. Karena itu, maka iapun berdesis kepada Ki Rangga Wibawa, "Bagaimana jika angger Teja Prabawa menengoknya " Mungkin akan membuatnya semakin tenang, karena menurut pendengaranku, keduanya nampaknya mulai saling terikat."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya memang demikian meskipun Ki Tumenggung Purbarumeksa masih belum mengatakan hal itu kepada kami."
"Jadi bagaimana menurut Ki Rangga ?" bertanya Ki Wirayuda.
"Baiklah. Tetapi lebih dahulu aku akan minta persetujuan Raras," jawab Ki Rangga Wibawa.
Ki Rangga Wibawa itupun kemudian telah duduk di bibir pembaringan Raras sambil berkata, "Raras. Yang datang bersama Ki Wirayuda adalah beberapa orang yang telah menolongmu. Selain mereka juga datang menengokmu Raden Teja Prabawa. Apakah kau dapat menerimanya ?"
Raras memandang ayahnya sesaat. Katanya kemudian, "Terserah kepada ayah."
Ki Rangga Wibawa memang menjadi agak heran. Sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa nampaknya memang agak berubah. Tetapi Ki Rangga menganggap bahwa hal itu disebabkan karena goncangan jiwa Raras yang masih belum sembuh sepenuhnya.
Namun Ki Rangga Wibawa memang tidak merasa berkeberatan bahwa Raden Teja Prabawa yang sudah akrab dengan Raras itu akan menengoknya barang sebentar.
Karena itu. maka ketika kemudian Ki Rangga Wibawa dan Ki Wirayuda keluar dari bilik itu dan kembali ke pendapa, maka Ki Ranggapun telah mempersilahkan Raden Teja Prabawa untuk melihat Raras diantar oleh Nyi Rangga.
Ketika Teja Prabawa berdiri dengan ragu didepan pintu bilik, maka Wacanapun telah mempersilahkannya.
"Raras masih belum tidur," desis Wacana. Sementara itu Nyi Ranggapun berkata, "Silahkan ngger."
Raden Teja Prabawa telah melangkah masuk dan berdiri termangu-mangu disisi pembaringan Raras.
Raras yang masih berbaring dipembaringannya itu memandang Teja Prabawa sejenak. Namun kemudian kembali ia menatap atap.
"Raras," desis Wacana, "yang datang adalah Raden Teja Prabawa. Bukankah kau dapat mengenalinya?"
"Ya, aku tahu," jawab Raras.
"Kenapa kau tidak mempersilahkannya?" bertanya Wacana.
"Kepalaku masih sangat pening," berkata Raras, "apakah aku harus bangkit dan mempersilahkan duduk."
"Kau dapat mempersilahkannya sambil berbaring," berkata Wacana kemudian.
Raras menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Teja Prabawa yang masih berdiri termangu-mangu. Sementara ibunya sudah duduk di bibir pembaringan Raras.
"Raras," berkata ibunya sambil mengusap dahinya, "Raden Teja Prabawa ingin menengokmu, setelah kau lepas dari bahaya yang hampir saja menelanmu itu."
"Biarlah ia duduk ibu," jawab Raras.
"Raras," desis ibunya lembut, "ia datang untukmu."
Raras mengangguk kecil. Katanya, "Ya ibu. Aku berterima kasih atas kebaikannya. Bahwa Raden Teja Prabawa sudah datang menengokku."
"Karena itu, persilahkan ia duduk," berkata ibunya.
Raras mengangguk kecil. Katanya kemudian, "Marilah Raden, silahkan duduk."
Raden Teja Prabawa sendiri heran melihat sikap Raras. Tetapi ia masih menahan diri untuk tidak bertanya. Yang kemudian justru bertanya adalah Raras, "Kakangmas Teja Prabawa. Kenapa kakangmas tidak ada diantara mereka yang menolong aku" Yang membebaskan aku?"
Pertanyaan itu memang mengejutkan Teja Prabawa. Untuk sesaat ia tidak dapat menjawab. Baru kemudian ia berkata, "Raras. Aku sudah berusaha untuk ikut membebaskanmu. Tetapi orang-orang itu dengan sengaja meninggalkan aku. Aku tidak tahu kenapa mereka berbuat seperti itu."
"Tetapi yang berhasil membebaskan aku bukan kau kakangmas," desis Raras.
"Sudahlah Raras," berkata Nyi Rangga Wibawa, "siapapun yang melakukan, ternyata kau sudah terlepas dari bahaya itu. Karena segala usaha dilakukan, maka secara kebetulan justru orang lain yang langsung dapat membekaskanmu. Tetapai bukan berarti bahwa Raden Teja Prabawa tidak ikut berbuat apa-apa, karena hasil yang didapat itu juga dipengaruhi oleh usaha-usaha lain termasuk usaha Raden Teja Prabawa."
Buku 279 RARAS tidak menjawab. Tetapi dari sorot matanya nampak bahwa ia tidak yakin akan kata-kata Raden Teja Prabawa dan bahkan kata-kata ibunya.
Raden Teja Prabawa sendiri masih saja berdiri termangu-mangu menanggapi sikap Raras. Namun Nyi Ranggalah yang kemudian mempersilahkan duduk.
Raden Teja Prabawapun kemudian duduk disebelah Wacana. Tetapi ia tidak segera dapat menyatakan sesuatu. Suasana menjadi hening dan kaku.
Dalam pada itu, seperti orang yang mengigau Raras berkata perlahan-lahan hampir tidak terdengar, "Waktu itu aku melihat orang-orang yang tidak aku kenal telah merebutku dari tangan orang-orang yang mengambil dan kemudian menyekapku. Aku telah dipertukarkan dengan Raden Antal," Raras mengingat-ingat. Lalu katanya, "Ya. Aku didorongnya supaya aku berjalan dari satu ujung keujung yang lain. Sedangkan Raden Antal dari ujung yang sebaliknya." tiba-tiba Suara Raras bagaikan tertelan. Yang terdengar kemudian adalah isaknya yang tertahan-tahan, "Orang-orang itu telah membebaskan aku. Aku tidak tahu bagaimana terjadinya sehingga akhirnya ayah datang menjemputku setelah terjadi perkelahian-perkelahian yang tidak aku mengerti. Namun seorang diantara mereka telah melindungi aku dan mengusir orang-orang yang masih ingin menangkapku."
"Sudahlah," berkata ibunya, "semua sudah lewat. Kau telah aman dirumah. Rumah ini masih tetap dijaga sekelompok prajurit selain ada ayahmu dan Wacana."
"Tetapi bukankah aku tidak akan dijaga prajurit untuk selama-lamanya" Bukankah itu berarti bahwa aku memerlukan seorang pelindung yang akan dapat melindungi aku tanpa prajurit-prajurit itu ibu?" bertanya Raras.
"Jangan kau pikirkan sekarang, Raras. Kau harus berusaha untuk membuat hatimu sendiri tenang. Kau singkirkan perasaan takut dan cemas. Apalagi kecemasan bagi masa depan yang jauh," berkata ibunya sambil mengusap rambut anak gadisnya.
Raras mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya ibu. Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan itu."
"Nah, biarlah ibu pergi ke dapur Raras. Dipendapa ada beberapa orang tamu. Biarlah Raden Teja Prabawa dan Wacana menemanimu dahulu."
Raras mengangguk kecil, sementara ibunyapun segera bangkit dan meninggalkan bilik itu sambil berkata, "Silahkan ngger, Raras masih belum tenang benar. Jika ia banyak istirahat, maka keadaannya akan segera baik kembali."
"Terima kasih Nyi Rangga," jawab Teja Prabawa ragu-ragu.
Nyi Ranggapun kemudian telah pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman bagi tamu-tamunya. Sementara Teja Prabawa berada di-dalam bilik itu bersama Wacana yang menunggui Raras. Namun Raras ternyata masih saja berdiam diri. Matanya memandang atap diatas pembaringannya.
"Raras," desis Raden Teja Prabawa kemudian, "bukankah kau tidak apa-apa" Maksudku selama kau berada ditangan orang-orang jahat itu?"
Raras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia justru bertanya, "Apakah yang kakangmas maksudkan?"
"Maksudku, kau tidak diapa-apakan oleh mereka," jawab Teja Prabawa.
Wacanalah yang kemudian menjelaskan, "Maksud Raden Teja Pabawa, bukankah kau tidak disakiti?"
"Aku disakiti. Tubuhku dan hatiku," jawab Raras.
"Apa yang telah terjadi atasmu?" desak Raden Teja Prabawa.
"Mereka adalah laki-laki kasar. Tetapi kenapa kakangmas tidak berbuat apa-apa?" desak Raras pula.
"Aku telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh," desis Teja Prabawa, "aku sudah berusaha agar Rara Wulan bersedia menuruti keinginan Raden Antal sehingga kau dibebaskannya. Tetapi Wulan memang keras kepala."
"Itukah yang kau lakukan" Kau sampai hati mencoba untuk mengorbankan adikmu sendiri" Bukankah itu berarti bahwa kau hanya mementingkan dirimu sendiri?"
"Jadi apa maksudmu sebenarnya?" bertanya Teja Prabawa.
"Seandainya Rara Wulan bersedia dan aku dibebaskan karena itu, maka aku akan menyesalinya sepanjang hidupku," desis Raras.
"Jadi, jadi bagaimana?" Teja Prabawa menjadi semakin bingung sehingga wajahnya menjadi tegang.
"Aku ingin kau membebaskan aku sebagaimana beberapa orang laki-laki yang telah melakukannya tanpa mengorbankan orang lain. Meskipun akhirnya mereka harus bertempur, namun mereka sama sekali tidak memilih jalan sebagaimana akan kau lakukan. Mungkin mereka dapat mengambil Rara Wulan dan membawanya ke Tegal Wuru untuk ditukarkan dengan aku. Tetapi itu adalah cara yang licik. Bukan cara seorang laki-laki."
"Tetapi Raras," potong Wacana yang mencoba menengahi, "bukankah hal itu tidak terjadi" Bukankah Rara Wulan tidak dikorbankan untuk membebaskanmu" Sebenarnya Raden Teja Prabawa juga tidak ingin mengorbankan Rara Wulan. Yang dilakukan adalah sekedar penjajagan. Tetapi, karena kehadiran Raden Teja Prabawa di Tanah Perdikan itulah, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah mengambil langkah-langkah."
"Dan kakangmas Teja Prabawa sendiri tidak berbuat apa-apa selain mencoba untuk memaksa Rara Wulan menyerahkan dirinya," sahut Raras.
"Tetapi Raras," potong Raden Teja Prabawa, "sebenarnya Agung Sedayu dan Glagah Putih juga mementingkan diri sendiri. Mereka berusaha untuk membebaskanmu bukan karena mereka ingin kau bebas. Kau tahu bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah sepakat untuk hidup bersama-sama. Karena itu jika Glagah Putih membantu, itu juga karena kepentingannya agar ia tidak kehilangan Rara Wulan."
"Nah, begitulah seharusnya yang kakangmas lakukan. Glagah Putih itu telah mempertaruhkan nyawanya untuk berusaha membebaskan aku yang akibatnya juga menyelamatkan Rara Wulan. Tetapi seandainya ia tidak berbuat apa-apa, tetapi sekedar menunggui Rara Wulan agar tidak hilang, sebenarnya sudah cukup baginya jika ia sekedar mementingkan dirinya sendiri."
"Sudahlah," Wacana kembali berusaha menengahi, "kita wajib bersukur bahwa bencana ini sudah kita lewati. Tidak ada gunanya untuk saling menyalahkan sekarang."
Raras menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya, "Aku akan berusaha untuk dapat tidur."
Wacana mengangguk. Katanya, "baiklah, tidurlah." Raras pun kemudian telah memejamkan matanya tanpa menghiraukan lagi Raden Teja Prabawa yang masih ada didalam biliknya.
Sementara itu Wacanapun berdesis kepada Raden Teja Prabawa, "Biarlah ia beristirahat Raden."
Raden Teja Prabawa mengangguk kecil. Iapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar. Wacana yang mengantarkannya sampai kepintu berkata perlahan-lahan, "Biarlah Raras beristirahat, Raden. Goncangan-goncangan perasaan telah membuatnya sangat gelisah dan dengan demikian maka penalarannyapun seakan-akan agak terganggu. Jika ia menjadi tenang kembali, maka ia akan bersikap lain."
Raden Teja Prabawa mengangguk kecil. Namun iapun kemudian telah kembali ke pendapa. Duduk diantara tamu-tamu Ki Rangga yang lain.
"Sementara itu, Nyi Ranggapun telah menghidangkan sendiri minuman yang baru saja selesai dibuatnya bagi tamu-tamunya.
"Kami telah merepotkan Nyi Rangga," berkata Ki Wirayuda, "kami sebenarnya hanya ingin singgah sebentar."
"Hanya air Ki Wirayuda," jawab Nyi Rangga.
Tetapi justru karena itu, maka para tamu Ki Rangga itu harus duduk lebih lama lagi menunggu minuman mereka menjadi agak dingin.
Dengan demikian maka mereka sempat berbicara tentang peristiwa di Tegal Wuru itu berkepanjangan, sehingga karena itu maka Raden Teja Prabawa itu mendapat gambaran serba sedikit tentang pertempuran yang telah terjadi saat mereka membebaskan Raras.
Ketika kemudian Nyi Rangga mempersilahkan mereka minum, maka tiba-tiba saja diluar dugaan, maka pintu pringgitan rumah Ki Rangga Wibawa itu terbuka. Yang muncul dipintu adalah Raras. Dibelakangnya Wacana menyusulnya sambil berkata, "Sudahlah Raras. Bukankah kau masih pening dan letih. Sebaiknya kau berbaring saja dipembaringan. Jika kau dapat tidur barang sejenak, maka keadaanmu tentu akan menjadi lebih baik. Tubuhmu akan terasa semakin segar sedangkan pikiranmu akan menjadi bening."
"Kau kira pikiranku sekarang sedang kacau?" bertanya Raras.
"Bukan maksudku. Tetapi kau masih terlalu letih," jawab Wacana bimbang,
Namun Raras sama sekali tidak menjawab. Sekilas wajah gadis itu nampak menegang. Diluar sadarnya dipandanginya wajah Sabungsari. Meskipun malam itu gelap, namun Raras dapat mengenal orang yang telah menolongnya itu. Seorang yang telah menarik tangannya, membimbingnya, sekali-sekali mendorongnya dan bahkan memeluknya. Tetapi Raras sadar, bahwa orang itu tidak bermaksud buruk. Tetapi pada getar perasaannya, bahwa laki-laki yang justru kadang-kadang menyakiti lengannya saat ia menariknya itu semata-mata karena ia ingin menyelamatkannya dari orang-orang yang masih saja berusaha menangkapnya. Orang itu sama sekali tidak gentar bertempur menghadapi dua atau tiga orang sekaligus saat ia berusaha melindunginya.
Diluar sadarnya pula Raras memperhatikan orang yang bertubuh gagah pideksa itu. Tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kecil. Tidak terlalu tinggi, tetapi juga seorang yang tidak bertubuh rendah. Dari sorot matanya yang tajam nampak betapa orang itu memiliki ketajaman penalaran.
Namun ketika kemudian Sabungsari yang juga memandanginya itu menatap matanya, maka Raras terkejut. Tiba-tiba pula iapun berbalik dan lari kembali kebiliknya. Wacana yang mengikutinya itupun ikut pula berlari-lari kebilik Raras. Namun ketika ia melihat Raras membanting dirinya dan berbaring menelungkup, Wacana tidak mengganggunya.
Tetapi Wacana itu terkejut, ketika tiba-tiba saja ia mendengar Raras terisak.
"Raras, kenapa kau?" bertanya Wacana.
Raras tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk menahan tangisnya itu.
Wacana memang agak menjadi bingung. Tiba-tiba saja Raras minta untuk keluar. Namun tiba-tiba pula Raras berlari masuk kembali kedalam biliknya.
Tetapi Wacana tidak bertanya lagi. Ia masih saja menganggap bahwa ketakutan yang amat sangat telah membuat Raras menjadi bingung. Mnurut perhitungan Wacana hal itu akan berlangsung untuk beberapa lama.
Dipendapa, Ki Rangga Wirayuda, Nyi Rangga dan tamu-tamunya juga menjadi bingung. Nyi Ranggalah yang kemudian bangkit dan dengan tergesa-gesa menuju ke bilik Raras.
"Ia menangis," desis Wacana.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di bibir pembaringan Raras, Nyi Rangga bertanya, "Ada apa sebenarnya Raras" Sebaiknya kau tidak usah memikirkan apa-apa lebih dahulu. Kau pulihkan saja perasaanmu, penalaranmu dan juga kewadaganmu yang sangat letih."
Raras tidak menjawab. Tetapi isaknya memang mereda.
"Sudahlah, sebaiknya kau memang tidur," berkata ibunya kemudian.
Raras masih belum menjawab. Tetapi tangisnya telah tidak terdengar lagi. Meskipun satu-satu tubuhnya masih digoncang oleh isaknya, namun terasa bahwa gejolak perasaannya telah mereda.
Nyi Ranggapun kemudian meninggalkan bilik itu lagi dan kembali menemui tamu-tamunya. Namun ternyata tamu-tamunya itu telah minta diri untuk meninggalkan rumah Ki Rangga.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Nyi Rangga.
"Kami masih mempunyai tugas yang harus kami selesaikan Nyi," jawab Ki Wirayuda.
"Sekali lagi, kami sekeluarga menyatakan terima kasih yang tidak terhingga. Karena dengan pertolongan kalian semuanya, maka Raras dapat dibebaskan dari tangan orang-orang yang telah menculiknya," berkata Nyi Rangga dengan suara yang bergetar.
"Itu sudah menjadi kewajiban kami Nyi," jawab Ki Wirayuda.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka para tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan rumah itu. Mereka langsung menuju kerumah Ki Wirayuda untuk menemui anak-anak dari kelompok Gajah Liwung yang ada disana.
Namun Raden Teja Prabawa yang melihat arah perjalanan mereka bertanya, "He, akan pergi kemana?"
"Kerumahku," jawab Ki Wirayuda, "bukankah kita memang akan pergi kerumahku" Bukankah kita hanya singah sebentar saja di-rumah Ki Rangga Wibawa sebagaimana kita rencanakan" Bahkan kita sudah terlalu lama berada dirumah Ki Rangga Wibawa untuk menunggu minuman menjadi dingin."
Wajah Raden Teja Prabawa menegang. Dengan lantang ia berkata, "Aku tidak mempunyai kepentingan dirumah Ki Wirayuda."
"Tidak apa-apa Raden," jawab Ki Wirayuda, "bukankah Raden tidak pemah berkunjung kerumahku?"
"Tetapi tidak disaat seperti ini," jawab Raden Teja Prabawa, "aku ingin segera pulang."
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika Raden ingin pulang. Kami ingin meneruskan perjalanan kami."
Dalam pada itu Agung Sedayupun menyambung, "Aku, Glagah Putih dan Sabungsari ingin bertemu dengan kawan-kawan kami yang telah membantu kami membebaskan Raras. Karena itu, jika berkenan ada baiknya Raden bertemu dengan mereka."
Wajah Raden Teja Prabawa semakin menegang. Ia memang merasa terlalu kecil diantara orang-orang yang disebut Raras sendiri sebagai orang-orang yang telah menolong membebaskannya. Tetapi justru karena itu, maka Raden Teja Prabawa merasa perlu menggelembungkan dirinya, agar nampak lebih besar dari perasaannya sendiri. Karena itu maka katanya, "Tidak. Aku akan pulang. Jika orang-orang itu sempat, biarlah mereka singgah dirumah. Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Memang sulit baginya untuk menerima cara berpikir Raden Teja Prabawa. Namun Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa yang dilakukan oleh anak muda itu justru karena ia merasa dirinya terlalu kecil.
Karena itu, maka iapun berkata, "Jika demikian apaboleh buat. Tetapi pernyataan terima kasih itu akan aku sampaikan kepada kawan-kawan kami itu."
Raden Teja Prabawa ternyata masih termangu-mangu sejenak. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Ki Wirayudapun hampir berbareng berkata, "Marilah Raden."
Tetapi demikian mereka bergerak, Raden Teja Prabawa segera bertanya, "Kalian akan pergi kemana?"
Ki Wirayuda yang keheranan menjawab, "Bukankah sudah kami katakan, kami akan pergi kerumahku untuk bertemu dengan beberapa kawan yang sudah ada disana."
Pendekar Seribu Diri 7 Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil Pusaka Negeri Tayli 5

Cari Blog Ini