02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 35
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum sempat menyahut, Risang telah mendahuluinya, "Karena itu Ki Tumenggung, jika Ki Tumenggung menilai sikapku sebagai Kepala Tanah Perdikan akhir-akhir ini, sama sekali bukan karena persoalan yang menyangkut anak, Ki Rangga Dipayuda itu."
"O," Ki Tumenggung mengangguk-angguk. "Jadi?"
"Sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan, aku melihat kepincangan dalam tatanan kepemimpinan prajurit di Pajang. Karena itu, aku merasa berkewajiban untuk membantu para pemimpin di Pajang, menilai tatanan kepemimpinan, tugas dan wewenang prajurit Pajang. Lebih-lebih lagi dalam hubungannya dengan Tanah Perdikan."
Ki Tumenggung terkejut. Namun pengalaman jiwanya mampu mengendalikan sikapnya, sehingga tidak segera nampak gejolak di hatinya.
Sesaat Ki Tumenggung itu justru berdiam diri.
Namun kemudian pertanyaan yang dicemaskan Risang sejak ia berangkat benar-benar didengarnya, "Risang, jika kau dapat mengatakan bahwa tatanan kepemimpinan, tugas dan wewenangnya kurang mapan, katakanlah, di mana letak kesalahan itu. Atau barangkali kau mempunyai gagasan yang mungkin dapat ditrapkan, sehingga jika gagasan itu diterima oleh Kangjeng Adipati, maka kau akan menjadi salah seorang di antara pemimpin pemerintahan yang akan tetap dikenang oleh Pajang. Kau bukan saja akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang dihormati karena kebesaran Tanah Perdikanmu, tetapi lebih dari itu, justru karena, gagasanmu itu. Bahkan jika gagasanmu itu ternyata dianggap sangat baik, maka tidak mustahil bahwa Mataram akan mengetrapkan pula. Para Adipati yang termasuk dalam kesatuan Mataram akan diperintahkan untuk mengetrapkannya."
Keringat dingin mengalir di punggung Risang. Ia menjadi gelisah oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Namun seperti yang pernah tersirat di kepalanya, maka iapun menjawab, "Ki Tumenggung, aku bukan salah seorang pemimpin pemerintahan di Pajang. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada para pemimpin di Pajang. Bagi kami, orang-orang yang berdiri di luar, hanya dapat menilai keadaan yang ada, sesuai dengan sikap dan pandangan kami."
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Ia mulai melihat betapa kerasnya sikap Risang. Perasaan kecewa yang sangat mendalam telah membuat hatinya membatu.
Tetapi sikap Ki Tumenggung masih tidak berubah. Katanya dengan nada rendah, "Aku mengerti Risang. Tetapi seandainya kau dapat menunjukkan jalan keluar, tunjukkanlah, tugas dan wewenang yang manakah yang tidak sesuai menurut sikap dan pandanganmu. Jika kau mau menunjukkan, kami akan dapat mempelajarinya dan mencari jalan pemecahannya. Kami akan sangat berterima kasih jika kau langsung dapat memberikan gagasan-gagasan untuk mengatasi persoalan ini."
"Tidak Ki Tumenggung," jawab Risang. "Aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi aku merasakan tugas dan wewenang Pajang atas Tanah Perdikan yang tidak sesuai dengan kepentingan kami."
"Risang," berkata Ki Tumenggung, "kami memang lebih banyak memandang kepentingan bersama. Jika untuk kepentingan bersama itu, kepentingan Tanah Perdikan Sembojan telah dilanggar, maka seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi. Nah, sekarang tunjukkan kepadaku, dimana letak pelanggaran kepentingan Tanah Perdikan khususnya Tanah Perdikan Sembojan."
Keringat di punggung Risang terasa semakin membasahi pakaiannya. Namun Risang masih saja menjawab, "Kami justru minta Pajang menilai kembali sikapnya, kenapa kami, di Tanah Perdikan Sembojan merasa bahwa tugas dan wewenang prajurit Pajang terasa menghimpit dada."
"Risang," desis Ki Tumenggung Jayayuda, "aku minta hatimu sedikit longgar Risang. Maaf, bahwa aku mempunyai sebuah pertanyaan. Bahwa kau merasa kecewa terhadap tugas dan wewenang prajurit Pajang itu dapat aku terjemahkan dengan kekecewaanmu terhadap Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda?"
Wajah Risang menjadi merah. Terasa jantungnya berdebar semakin cepat. Tetapi pertanyaan Ki Tumenggung itu terasa langsung menusuk sampai ke ulu hati.
Untuk beberapa saat, Risang tidak menjawab. Sepercik pengakuan memancar di dalam dadanya. Tetapi secepat itu pula kekerasan hatinya, harga diri serta perasaan kecewanya telah memadamkan kembali percikan pengakuan itu, sehingga iapun berkata, "Ki Tumenggung. Aku bukan orang yang berpandangan terlalu sempit dan picik. Aku dapat memandang cakrawala seluas batasan bumi. Karena itu Ki Tumenggung, Ki Tumenggung telah membuat penilaian yang keliru terhadap diriku."
Ki Tumenggung Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa kehilangan jalur yang dapat ditempuhnya untuk mengatasi sikap keras anak muda itu. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Risang, jalan yang aku tempuh sekarang ini adalah jalan yang menurut pendapatku adalah jalan yang terbaik. Aku sudah melepaskan baju katumenggunganku. Aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada anak muda secara terbuka. Tetapi ternyata sangat sulit bagiku untuk menemukan jalan yang dapat menembus perasaanmu. Pada kesempatan lain, jika aku berbicara sebagai seorang Tumenggung, sikap dan kata-kata yang aku pergunakan tentu akan berbeda. Karena itu Risang, aku harap kau terbuka. Jika kau kecewa secara pribadi, katakan. Kau kecewa terhadap Ki Rangga Dipayuda dan barangkali Ki Lurah Kasadha. Kau bukan kecewa terhadap tugas dan wewenang prajurit Pajang atas Tanah Perdikan Sembojan."
Namun Risang itupun menjawab, "Tidak. Sama sekali tidak. Apa artinya Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha bagiku" Bagi Tanah Perdikan Sembojan" Tidak Ki Tumenggung. Aku sama sekali sudah tidak menghiraukan mereka lagi. Tetapi aku benar-benar tidak dapat menerima tugas dan kewenangan prajurit Pajang atas Tanah Perdikan Sembojan. Aku mohon para pemimpin Pajang dapat mengurai sikapku ini, yang pada suatu saat, para pemimpin di Pajang akan berterima kasih kepadaku, karena dengan demikian Tanah Perdikan yang ada di lingkungan kesatuan Pajang dan Mataram dan bahkan mungkin Kademangan-kademangan yang besar dan berpengaruh tidak lagi akan menentang kekuasaan Pajang."
Terasa tusukan yang tajam terhunjam di dada Ki Tumenggung. Kata-kata Risang tidak menyenangkan perasaan Ki Tumenggung. Tetapi justru karena Risang waktu itu adalah tamunya yang diundang, maka Ki Tumenggung masih menahan diri. Bahkan katanya kemudian, "Baiklah Risang. Nampaknya hatimu kurang terbuka. Tetapi aku masih berharap bahwa sepanjang perjalananmu kembali ke Tanah Perdikan, kau akan sempat memikirkannya."
Risang mengangguk dalam-dalam. Di dasar hatinya terdengar nuraninya memekik tinggi. Ia mengakui semua yang dikatakan oleh Ki Tumenggung itu. Namun ia tidak mempunyai keberanian untuk mengakuinya. Harga dirinya serta kemarahannya kepada Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha ternyata telah menimbun pengakuan di dasar hatinya itu.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung menjadi sangat kecewa terhadap Risang, sebagai seorang tuan rumah yang baik ia masih juga berkata dengan ramah, "Risang. Mungkin kita dapat menganggap pembicaraan kita sudah selesai, meskipun kita tidak menemukan satu kesimpulan yang berarti bagi kita. Tetapi meskipun demikian, aku masih ingin menawarkan, apakah kau akan bermalam lagi di rumahku. Nampaknya hari sudah terlalu tinggi. Jika kau berangkat juga, maka kau akan kemalaman di perjalanan."
Tetapi Risang menggeleng. Katanya, "Terima kasih Ki Tumenggung. Aku mohon diri. Aku harus segera kembali, agar ibu dan para bebahu tidak menjadi sangat gelisah."
"Baiklah. Sekali lagi aku minta kau merenungi kata-kataku di sepanjang jalan, Jika kau berubah pikiran, maka kau perintahkan saja bebahu Tanah Perdikanmu datang dengan membawa surat pernyataanmu. Kau tidak usah membuat surat kepada Kangjeng Adipati. Surat itu cukup surat pribadi saja. Biarlah aku yang menyelesaikan disini."
Ki Tumenggung itu berhenti sejenak. Namun karena Risang tidak menjawab, maka Ki Tumenggung itu melanjutkannya, "Tetapi jika kau tidak membuat surat itu kepadaku, maka akulah yang akan memberikan surat itu kepadamu. Tentu bukan sekedar surat pribadi lagi."
Jantung Risang berdebar semakin cepat, ia sadar bahwa Ki Tumenggung mulai mengancam akan mempergunakan kedudukannya. Tetapi Risang tidak berubah sikap.
Demikianlah, maka Risangpun segera minta diri. Ki Tumenggung itu sama sekali tidak merubah sikapnya. Ia masih tetap ramah. Bahkan Ki Tumenggung itu sendiri telah memerintahkan abdinya untuk menyiapkan kuda Risang. Sementara kedua orang kemenakannya telah turun pula ke halaman untuk ikut melepas Risang meninggalkan rumah Ki Tumenggung.
"Kedua kemenakanku ini sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti pendadaran," berkata Ki Tumenggung. "Mereka tinggal agak jauh dari Pajang. Karena keduanya ingin menjadi prajurit, maka mereka untuk sementara, sampai saat pendadaran, tinggal disini."
"O," Risang mengangguk-angguk. Meskipun hatinya pepat, tetapi ia tersenyum juga sambil berkata, "Mudah-mudahan kalian berhasil. Tetapi kalian berdua sama sekali tidak mengatakan hal itu kepadaku."
Seorang di antara mereka menjawab, "Kami belum tentu dapat diterima. Karena itu, untuk sementara kami memang tidak mengatakannya kepada siapapun. Tetapi agaknya paman telah menceriterakannya."
"Kalian tentu diterima," berkata Risang. "Apalagi paman kalian adalah seorang Tumenggung."
Namun Ki Tumenggung itu menyahut, "Aku ingin mereka diterima karena kemampuan mereka. Bukan karena mereka kemenakanku. Kemenakan seorang Tumenggung."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ingin menjawab, bahwa banyak orang yang memanfaatkan kedudukan sanak kadangnya untuk kepentingan tertentu. Tetapi niatnya itu diurungkannya.
Demikianlah, maka Risangpun telah menuntun kudanya menuju ke regol halaman. Ki Tumenggung sendiri bersama kedua orang kemenakannya mengantar mereka sampai ke regol.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Derap kaki kuda yang berlari cepat terdengar mendekat. Bahkan kemudian, tiba-tiba saja di regol itu muncul seorang menunggang kuda tanpa turun dari punggung kudanya. Hampir saja kuda itu melanggar Risang yang meloncat bergeser ke samping.
Namun penunggang kuda itu cukup tangkas. Dengan cepat ia menarik kendali kudanya, sehingga kudanyalah yang terkejut. Sambil meringkik kuda itu berdiri tegak bertumpu pada kaki belakangnya. Kemudian bergeser dan berputar-putar.
Namun dengan terampil penunggang kuda itu menguasai kudanya sehingga kemudian menjadi tenang kembali.
Sekali lagi Risang terkejut. Penunggang kuda itu ternyata adalah seorang perempuan muda.
Masih di atas punggung kudanya perempuan muda itu berkata, "Maaf Ki Sanak, aku tidak tahu bahwa ada orang di belakang regol."
"Sudah aku peringatkan, kau harus turun di depan regol atau memperlambat lari kudamu. Untunglah bahwa Risang sempat menghindar, jika tidak" Atau katakan seorang perempuan atau anak-anak yang berada di belakang pintu regol itu."
"Maaf ayah, aku lupa," jawab perempuan itu. Namun perempuan muda itu tidak menunggu lagi.
Kedua kakinya telah menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itu berlari lagi melingkari halaman langsung menghilang di sudut gandok. Derapnya masih kedengaran sehingga kuda itu sampai ke depan kandangnya.
"Anak itu memang nakal sekali," desis Ki Tumenggung.
"Siapakah perempuan itu?" di luar sadarnya Risang bertanya.
"Anakku. Aku hanya mempunyai seorang anak. Tetapi meskipun perempuan, nakalnya melampaui laki-laki."
Risang mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian berkata, "Sudahlah Ki Tumenggung. Aku mohon diri."
"Baiklah Risang. Mudah-mudahan kau selamat di perjalanan," berkata Ki Tumenggung.
Ketika kemudian Risang meloncat ke punggung kudanya di luar regol, maka kedua orang kemenakan Ki Tumenggung itu sempat melambaikan tangannya.
Namun Risang sempat menggeram, "Hampir saja kepalaku terinjak kaki kuda. Jika saja ia bukan anak Ki Tumenggung Jayayuda, aku akan memberinya sedikit peringatan agar ia menjadi lebih berhati-hati."
Sekilas terbayang kembali wajah gadis yang terkejut itu. Tetapi Risang merasa heran atas ketenangannya. Dalam keadaan yang tiba-tiba, gadis itu sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan gelisah. Kedua tangannya yang terampil menguasai kendali kudanya yang melonjak dan berputar melingkar-lingkar sehingga menjadi tenang kembali.
"Seorang gadis yang mempunyai kelainan sifat dari gadis-gadis kebanyakan," berkata Risang di dalam hatinya.
Risangpun kemudian teringat derap kaki kuda yang didengarnya dari bilik di gandok rumah Ki Tumenggung.
"Tentu gadis bengal itu," desis Risang kepada diri sendiri.
Namun Risangpun tiba-tiba membayangkan ibunya dan ibu Kasadha di saat-saat mereka masih gadis. Risang tidak begitu memahami masa-masa dimana ia belum dilahirkan. Ia membayangkan ibunya dan ibu Kasadha semasa gadisnya juga seperti gadis anak Ki Tumenggung yang lincah itu. Risang kurang dapat membayangkan kenyataan bahwa ibunya mulai mempelajari oleh kanuragan sehingga memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain justru setelah ia mengalami tekanan perasaan karena kehadiran orang ketiga.
"Apa peduliku," geram Risang sambil memacu kudanya kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. ia memperkirakan akan sampai ke Tanah Perdikan larut malam.
Di sepanjang jalan Risang memang selalu digelitik oleh pesan Ki Tumenggung untuk merenungi kembali sikapnya. Tetapi Risang benar-benar sudah terlanjur basah. Rasa-rasanya malu untuk kembali dan urung menyeberang. Sementara kemarahannya kepada Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda masih saja membakar jantung.
Di sepanjang perjalanan, Risang harus beristirahat beberapa kali. Perjalanan yang panjang itu sangat melelahkan. Demikian pula kudanya.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan, Nyi Wiradana mulai menjadi gelisah. Jika Ki Tumenggung Jayayuda ingkar janji, atau mungkin terjadi selisih pendapat sehingga tidak teratasi, Risang memang dapat ditangkap.
"Tidak," gumam Nyi Wiradana menenangkan dirinya sendiri. "Ki Tumenggung Jayayuda tidak akan berbuat selicik itu"
Namun yang terbayang kemudian adalah sikap Risang sendiri yang berkelebihan, sehingga para prajurit pengawal Ki Tumenggung mengambil tindakan yang keras terhadap Risang.
Bukan hanya ibu Risang yang menjadi cemas. Tetapi juga Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan orang-orang yang dekat dan mengetahui sikap dan perasaan Risang sehari-hari di saat-saat terakhir.
Karena itu, ketika malam kemudian turun, dalam kegelisahan Nyi Wiradana tidak dapat segera tidur. Bahkan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, Nyi Wiradana sudah berpesan, jika besok Risang belum datang, maka berdua mereka harus pergi ke Pajang untuk mencari keterangan tentang Kepala Tanah Perdikan itu.
Nyi Wiradana masih duduk di ruang dalam ketika terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk di tengah malam. Kegelisahannya justru semakin memuncak.
Di luar, Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan beberapa orang masih berkeliaran. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian duduk di serambi gandok, sementara Gandar pergi ke gardu untuk mengurangi kegelisahannya.
Ketika Nyi Wiradana menjadi sangat letih oleh kegelisahan, maka Nyi Wiradana berniat untuk berbaring di dalam biliknya. Namun demikian Nyi Wiradana berdiri, didengarnya derap kaki kuda memasuki regol halaman rumahnya.
Nyi Wiradana yang sudah berdiri itu segera membuka pintu pringgitan. Ketika ia melangkah keluar, maka dilihatnya Risang meloncat dari punggung kudanya. Diserahkannya kudanya kepada seorang pembantunya yang berlari-lari mendekatinya.
Risang yang juga merasa sangat letih itu mengibaskan wiron kain panjangnya. Kemudian melangkah naik ke pendapa.
"Kau selamat di perjalanan Ngger?" bertanya ibunya dengan suara parau.
"Sebagaimana ibu lihat, aku pulang dengan selamat," jawab Risang.
"Syukurlah, marilah," ajak ibunya.
"Biarlah aku duduk disini sebentar ibu untuk mengeringkan keringat. Udara terasa sangat panas. Nanti aku akan mandi sebelum duduk-duduk di dalam."
Risangpun kemudian duduk di pendapa. Gandar yang berada di gardu dan melihat Risang lewat, telah dengan tergesa-gesa mengikutinya. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menyusul pula naik ke pendapa.
Namun nampaknya Risang masih belum berniat untuk berbicara dengan mereka. Ketika ibunya menanyakan hasil pertemuannya dengan Ki Tumenggung, maka Risang itupun menjawab, "Aku masih sangat letih ibu. Aku ingin beristirahat."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Karena itu, maka ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Nyi Wiradana itu hanya mempersilahkan anaknya minum ketika minuman telah dihidangkan.
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandarpun membatalkan niatnya untuk bertanya serba sedikit tentang perjalanan Risang.
Dengan demikian suasana menjadi beku. Orang-orang yang menunggu dengan gelisah itu, telah menjadi gelisah pula, karena mereka harus duduk berdiam diri di pendapa.
Tetapi Risang tidak terlalu lama duduk. Setelah minum beberapa teguk, maka iapun berkata, "Aku akan mandi dahulu."
"Kau tentu belum makan Risang," berkata ibunya. "Selama kau mandi, biarlah makan disiapkan."
Risang tidak menjawab. Iapun segera bangkit dan melangkah masuk langsung ke dalam biliknya.
Sejenak kemudian, maka Risangpun telah berada di pakiwan untuk mandi. Agaknya tubuhnya telah basah oleh keringat dan kemudian debupun telah menempel di kulitnya.
Nyi Wiradana, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar yang berada di pendapa nampaknya tidak banyak berpengharapan.
"Menilik sikapnya, nampaknya pembicaraannya dengan Ki Tumenggung tidak mendapatkan kesimpulan yang memuaskan," berkata Nyi Wiradana.
"Agaknya memang demikian Nyi," desis Sambi Wulung.
"Pertanda yang suram bagi Tanah Perdikan ini," berkata Gandar yang kecewa. Risang yang menjadi momongannya sejak kanak-kanak itu memang membuatnya kecewa sebagaimana Nyi Wiradana yang kecewa.
"Sudahlah," berkata Nyi Wiradana. "Biarlah aku saja yang berbicara dengan anak itu di saat ia makan atau sesudahnya. Jika ia menolak, aku juga tidak akan dapat memaksanya."
Sambi Wulung dan Jati Wulung kemudian telah kembali duduk di serambi. Tetapi Gandar tidak kembali ke gardu. Ia tentu akan dibingungkan oleh pertanyaan anak-anak muda yang berada di gardu tentang Risang yang baru saja pulang dari Pajang.
Sementara Risang mandi, maka oleh seorang pembantunya telah disiapkan makan. Nyi Wiradana sendiri ikut membantu mengatur mangkuk makanan dan tenong yang berisi cething nasi serta mangkuk berisi sayur dan lauk-pauknya.
Risang memang merasa lapar. Karena itu, maka iapun kemudian tidak menolak untuk makan.
Sementara sambil makan, Nyi Wiradana memang memancing keterangan tentang perjalanan Risang menghadap Ki Tumenggung Jayayuda di Pajang.
Tetapi keterangan Risang memang tidak memuaskan. Ia tidak mengatakan keseluruhan dari pembicaraannya dengan Ki Tumenggung. Namun dengan demikian, Nyi Wiradana telah dapat mengambil kesimpulan bahwa pembicaraan Risang dengan Ki Tumenggung tidak membawa hasil sebagaimana diharapkannya.
Karena itu, maka Nyi Wiradana telah mengusap dadanya sambil berdesah. Tetapi sepanjang Risang makan, Nyi Wiradana tidak ingin menghilangkan selera makan anaknya.
Baru setelah Risang selesai makan, Nyi Wiradana itupun berkata, "Jika demikian Risang, bukankah kau tidak mendapat kesepakatan dengan Ki Tumenggung Jayayuda?"
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "tidak. Memang tidak. Aku tidak mau dipaksa untuk menelan kembali gagasan-gagasanku."
"Jika ibu boleh mengetahui, gagasan apakah yang telah kau sampaikan kepada Ki Tumenggung?"
Risang tertegun sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku mengatakan terus-terang bahwa aku, Kepala Tanah Perdikan Sembojan menjadi kecewa atas susunan kepemimpinan prajurit di Pajang. Aku kecewa atas tugas dan wewenang para prajurit yang berlebihan atas Tanah Perdikan, setidak-tidaknya Tanah Perdikan Sembojan."
"Lalu, gagasan apa yang kau lontarkan untuk memecahkan persoalan itu" Merombak susunan kepemimpinan keprajuritan" Merubah paugeran mengenai tugas dan wewenang para prajurit, khususnya atas Tanah Perdikan Sembojan atau apa?"
"Itu urusan mereka. Aku tidak perlu mengajukan gagasan apapun."
"Jadi, gagasan apa yang kau bawa kepada Ki Tumenggung" Sekedar mencela tanpa menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh untuk mengatasinya?"
"Aku tidak mau mempersulit diri, ibu. Aku tidak mau memeras otak bagi kepentingan Pajang. Aku sudah beberapa kali mempertahankan nyawaku bagi Pajang" Akhirnya, apa yang aku dapat dari Pajang" Sekarang, aku juga tidak merasa perlu berpikir terlalu rumit bagi Pajang. Gagasan apapun tentu akan mereka telan dan bahkan mengaku dan merampas gagasan itu sebagaimana gagasan orang-orang tertentu di Pajang."
Nyi Wiradana menarik nafas panjang. Ia sudah menduga, itulah hasil kepergian Risang menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Namun bahwa Risang tidak ditangkap dan kemudian dipenjarakan telah menunjukkan kelapangan dada Ki Tumenggung Jayayuda. Namun Nyi Wiradana sudah menduga pula, apa yang akan terjadi kemudian atas Tanah Perdikan Sembojan.
Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Jayayuda menjadi sangat kecewa terhadap sikap yang keras dari Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Penalaran Risang seakan-akan telah berhenti sama sekali. Kekecewaannya menjalar ke sisi-sisi kehidupan yang lain. Risang nampaknya benar-benar telah kehilangan pegangan sehingga pandangan matanya yang kabur telah memandang tugas dan wewenang prajurit Pajang di Tanah Perdikannya sebagai satu kenyataan yang sangat buruk sehingga harus dibongkar dan diganti. Tetapi Risang sama sekali tidak dapat menunjukkan atau bahkan ia sendiri tidak melihat, jalan keluar yang terbaik.
Karena itu, maka Ki Tumenggung Jayayuda sudah tidak melihat jalan lain, kecuali langkah-langkah pasti seorang prajurit, Iapun kemudian telah menempatkan dirinya sebagai seorang Tumenggung.
Ketika kemudian Ki Tumenggung bertemu dengan Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Tumenggungpun telah menceriterakan sikap Risang yang keras dan tidak terbuka.
Ki Rangga Dipayuda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tidak mengira bahwa akibat kekecewaan hati Risang menjadi sedemikian jauhnya, sehingga mengguncang kedudukan Tanah Perdikannya. Jika Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu dinilai telah melawan kekuasaan Pajang, maka kekancingan atas keberadaan Tanah Perdikan itu akan dapat dicabut, sehingga dengan demikian, maka Tanah Perdikan Sembojan itu akan lenyap untuk selama-lamanya.
Jika terjadi hal seperti itu, maka anak cucu orang-orang Tanah Perdikan akan mencatat peristiwa, Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda, bernama Risang telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan, sehingga Tanah Perdikan mereka telah lenyap. Risang akan dikenang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang terakhir yang jatuh tersuruk karena kakinya terjerat selendang seorang gadis. Gadis itu adalah anak Ki Rangga Dipayuda.
Ceritera tentang gadis itu akan dapat berkepanjangan, sehingga di kemudian hari akan tersebar ceritera bahwa gadis itu telah ingkar janji dan menikah dengan orang lain, sehingga Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang terakhir itu kehilangan pegangan.
Bermacam-macam gambaran lewat di angan-angan Ki Rangga Dipayuda, sehingga Ki Rangga itu-telah memejamkan matanya, seakan-akan ingin mengusir gambaran-gambaran yang buram itu dari kepalanya yang pening.
Namun Ki Rangga itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tumenggung itu berkata, "Aku tidak mempunyai pilihan lain, Ki Rangga. Aku akan melaporkan persoalan ini dan kemudian akan diambil tindakan sampai tuntas. Apapun dan alasannya, kita harus menegakkan wibawa Pajang atas semua Tanah Perdikan."
Ki Rangga mengangguk sambil berdesis, "Ya, Ki Tumenggung."
"Besok aku akan menghadap, menyampaikan persoalan ini. Aku masih berharap bahwa aku akan mendapat perintah untuk menangani Tanah Perdikan Sembojan, sehingga serba sedikit aku masih dapat mengekang kekerasan yang akan dipaksakan kepada Kepala Tanah Perdikan itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan serta Kepala Tanah Perdikan itu, jika yang mendapat perintah menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan Sembojan jatuh ke tangan orang lain."
Ki Rangga Dipayuda terkejut. Namun kemudian dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah mungkin perintah untuk menertibkan Tanah Perdikan itu diberikan kepada orang lain?"
"Kenapa tidak," jawab Ki Tumenggung. "Karena itu, maka aku akan membuat laporanku terperinci sehingga aku dapat memancing perhatian, agar akulah yang mendapat perintah itu."
Ki Rangga Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Sejak Nyi Wiradana menjadi Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, Tanah Perdikan itu sudah mengalami beberapa kali perang yang bagi Tanah Perdikan terhitung besar. Tanah Perdikan itu pernah berperang melawan Jipang, tetapi pernah berperang melawan Pajang dan dibantu oleh prajurit Jipang. Pernah bertempur dengan kelompok-kelompok orang yang digerakkan oleh padepokan-padepokan yang besar, pernah bertempur melawan orang-orang yang bernafsu untuk memakai Tanah Perdikan itu batu loncatan. Terakhir Tanah Perdikan Sembojan di bawah kepemimpinan Risang harus berhadapan dengan pedagang-pedagang gelap yang bersandar pada kekuatan beberapa kelompok prajurit Madiun.
"Segala sesuatunya aku serahkan pada kebijaksanaan Ki Tumenggung yang sudah mengetahui semua persoalan yang terjadi dan berkembang di Tanah Perdikan itu," desis Ki Rangga pasrah.
"Ki Rangga?" bertanya Ki Tumenggung. "Apakah anak gadismu itu tahu, bahwa kesediaannya menjadi isteri Kasadha telah menimbulkan persoalan yang rumit di Tanah Perdikan Sembojan?"
"Tidak Ki Tumenggung. Sampai saat ini Riris tidak mengetahui persoalan ini."
"Menurut dugaanmu, apa yang akan dilakukannya, seandainya anak gadismu itu mengetahuinya."
"Aku tidak dapat membayangkannya, Ki Tumenggung."
"Baiklah. Terserah kepada Ki Rangga, apakah anak gadis Ki Rangga itu akan diberitahu atau tidak. Tetapi aku kira sikap Pajang telah pasti. Kita harus menegakkan paugeran terhadap siapapun juga."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, Ki Tumenggung."
"Nah. Aku minta Ki Rangga mempersiapkan diri, apakah yang harus kita lakukan kemudian. Hampir pasti, bahwa tugas untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikan Sembojan itu akan dibebankan kepada kita. Setidak-tidaknya kita berharap demikian agar keadaannya tidak menjadi semakin parah."
"Ya Ki Tumenggung. Kita berharap. Bagaimanapun juga kita dapat mengetahui latar belakang dari gejolak yang terjadi di Tanah Perdikan itu."
"Biarlah besok aku akan memberikan laporan agar bukan orang lain yang lebih dahulu mempersoalkan Tanah Perdikan Sembojan ini, karena sikap Risang terhadap para prajurit yang pernah datang menemuinya menyampaikan surat sebelum aku memerintahkan dua orangku menyampaikan surat pribadiku," berkata Ki Tumenggung kemudian. Namun dengan nada rendah Ki Tumenggung itupun melanjutkan, "Aku juga tidak mau dianggap sekedar menakut-nakuti oleh Risang. Tetapi selanjutnya tidak berbuat apa-apa."
Dengan penuh pengertian, maka Ki Ranggapun minta diri setelah pembicaraan mereka selesai. Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak perempuannya itu pada suatu saat telah membuat bukan saja kepalanya pening, tetapi juga rasa-rasanya dadanya bagaikan terhimpit batu sebesar gardu.
Tetapi Ki Rangga masih belum membicarakan hal itu dengan Kasadha. Kasadha yang muda itu, darahnya akan cepat mendidih pula. Menurut pengamatannya, maka baik Kasadha maupun Risang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Karena itu, jika keduanya kehilangan kendali, akan dapat timbul persoalan pribadi yang sangat mencemaskan.
Di hari berikutnya, ketika Ki Tumenggung menghadap di paseban, telah memohon waktu khusus untuk menghadap langsung Kangjeng Adipati.
Ternyata Kangjeng Adipati bersedia menerima Ki Tumenggung setelah acara di paseban selesai.
Ketika Ki Tumenggung menghadap dalam waktu yang khusus diberikan kepadanya itu, Ki Tumenggung telah memberikan laporan sepenuhnya kepada Kangjeng Adipati dengan harapan, bahwa Kangjeng Adipati dapat mengerti persoalan yang seutuhnya.
"Jika hal ini hamba sampaikan di Paseban, hamba cemas, bahwa ada di antara para pemimpin di Pajang yang tidak mau mendengar alasan-alasan yang hamba sampaikan, karena masalah yang sangat pribadi. Hamba cemas, bahwa para pemimpin langsung menjatuhkan keputusan untuk menghukum Kepala Tanah Perdikan Sembojan tanpa mempertimbangkan latar belakang dari goncangan jiwanya."
Kangjeng Adipati ternyata bersedia mendengarkan alasan-alasan Ki Tumenggung Jayayuda. Meskipun demikian, Kangjeng Adipati itu berkata, "Aku mengerti, Ki Tumenggung. Tetapi wibawa Pajang harus tetap ditegakkan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini. Madiun tentu akan mengintip sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu dan memanfaatkannya sebaik-baiknya."
"Hamba Kangjeng Adipati. Hamba akan menegakkan wibawa Pajang di Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana seharusnya. Namun cara yang hamba tempuh mempunyai kesan agak lamban. Tetapi hamba bertekad untuk dapat menangkap ikannya, kalau mungkin tidak usah membuat airnya menjadi keruh. Tetapi jika usaha-usaha hamba itu tidak berhasil, maka hamba akan menempuh cara yang seharusnya hamba lakukan sebagai seorang prajurit."
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah, Ki Tumenggung. Aku akan memberikan perintah itu kepada Ki Tumenggung."
"Terima kasih, Kangjeng. Hamba akan melakukan dengan sebaik-baiknya."
"Aku percaya kepadamu, Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung jangan memberikan kesan, bahwa Pajang tidak dapat bertindak tegas atas Tanah Perdikan Sembojan. Kesan itu akan mengendorkan keterikatan Tanah Perdikan Sembojan dalam lingkungan kesatuan Pajang. Di hari-hari mendatang, sikap Kepala Tanah Perdikan itu akan dapat goyah lagi oleh satu sentuhan secara pribadi sekalipun atas Kepala Tanah Perdikan itu."
"Hamba akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya, Kangjeng," sahut Ki Tumenggung Jayayuda.
Demikianlah, maka Ki Tumenggungpun mohon diri. Besok ia akan mendapat surat perintah untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di Tanah Perdikan Sembojan, serta surat perintah kepada Kepala Tanah Perdikan untuk menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Tetapi surat itu bukan lagi surat pribadi. Tetapi surat yang dapat dipakai sebagai alas bertindak atas Tanah Perdikan Sembojan, jika Kepala Tanah Perdikan itu tetap menolak untuk melakukannya.
Di barak, Ki Tumenggungpun telah berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda. Ki Tumenggung menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Kangjeng Adipati di Pajang.
"Kesabaran memang ada batasnya, Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung.
"Aku mengerti, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga.
"Besok aku akan memerintahkan lagi dua orang perwira untuk pergi ke Tanah Perdikan dalam tugas keprajuritan. Keduanya akan menyampaikan surat perintah dan sekaligus menunggu jawaban Risang. Lesan atau tulisan."
Ki Rangga mengangguk-angguk betapapun hatinya menjadi gelisah. Ia melihat kemungkinan buruk itu terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi pada akhirnya Ki Ranggapun tidak mau menanggung beban terlalu berat di atas pundaknya. Dalam keadaan yang mulai menghimpit perasaan itu, Ki Rangga mencoba untuk mengelak.
"Alangkah rapuhnya hati Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu. Kemanjaannya di masa anak-anak membuat jiwanya tidak menjadi liat. Tetapi apakah hidup anak gadisku tergantung kepadanya" Jika Riris memang memilih orang lain, ia berhak melakukannya."
Ki Ranggapun kemudian justru telah mencari pijakan untuk menegakkan sikap yang pernah diambilnya. Bahkan kemudian ia berkata di dalam hatinya, "Aku harus melindungi anakku, termasuk pilihannya dan masa depannya."
Ketika malam kemudian menyelimuti Pajang maka Ki Tumenggung telah menerima surat yang harus disampaikan kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan surat perintah bagi dirinya sendiri. Nampaknya Kangjeng Adipati langsung memerintahkan para petugas di istana untuk menyiapkan surat itu.
Karena itu, maka Ki Tumenggungpun telah memanggil dua orang perwiranya. Keduanya telah diperintahkannya untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan menyampaikan surat dari istana Pajang.
"Kalian menunggu jawaban Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu. Lesan atau tulisan. Selanjutnya kalian tidak mendapat wewenang untuk mengambil tindakan lain. Kecuali melindungi diri sendiri jika perlu."
Kedua orang perwira itu mengangguk-angguk kecil. Namun perintah itu membuat mereka berdebar-debar. Justru karena peringatan Ki Tumenggung bahwa mereka dapat melindungi diri sendiri.
Namun kemudian keduanya telah mendengar ceritera dari dua orang perwira yang pernah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan sebelumnya. Mereka telah menceriterakan sikap kepala Tanah Perdikan yang masih kanak-kanak itu. Jauh berbeda dengan sikap ibunya yang pernah memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu sebelumnya.
"Tetapi kami tidak perlu harus melindungi diri sendiri dalam pengertian kewadagan. Meskipun harga diri kami memang agak tersinggung," berkata salah seorang dari para perwira yang pernah datang ke Tanah Perdikan Sembojan itu.
Malam itu Ki Tumenggung telah pulang ke rumahnya. Ia ingin mendapatkan suasana yang berbeda dari suasana yang muram di ruang khususnya di barak. Ia ingin melupakan wajah Ki Rangga Dipayuda yang muram serta melupakan sejenak persoalan Tanah Perdikan Sembojan.
Setelah makan malam, Ki Tumenggung sempat duduk di pringgitan bersama keluarganya. Nyi Tumenggung, anak perempuannya dan kedua orang kemenakannya yang ingin ikut dalam pendadaran untuk menjadi prajurit.
Bersama keluarganya, Ki Tumenggung dapat melupakan sejenak, ketegangan-ketegangan yang dialaminya dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung terkejut ketika anak gadisnya yang nakal itu bertanya, "Ayah, siapakah orang yang hampir saja terinjak kaki kudaku itu?"
Dahi Ki Tumenggung berkerut. Sementara salah seorang kemenakan Ki Tumenggung itu menyahut, "O, anak muda yang tampan itu."
"Aku tidak peduli tampan atau tidak tampan," jawab anak gadis Ki Tumenggung.
Kedua sepupunya tertawa. Namun mereka segera beringsut ke belakang Ki Tumenggung ketika gadis itu mengulurkan tangannya.
"Paman, tolong paman," desis salah seorang dari mereka.
Ki Tumenggung tersenyum. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar karena pertanyaan anak gadisnya itu.
"Aku hanya ingin tahu saja," sambung gadis itu sambil mendekatkan dirinya pada ibunya.
Tetapi tiba-tiba gadis itu berdesis kepada kedua sepupunya, "Awas jika kalian menjawab."
Keduanya tertawa. Sementara ibunya berkata, "Sudahlah. Beri kesempatan ayah menjawab."
Ki Tumenggung masih tersenyum. Dengan nada berat ia menjawab, "Anak muda itu adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Masih begitu muda?" bertanya gadis itu di luar sadarnya. "Biasanya jika aku mendengar Kepala Tanah Perdikan, Demang atau Bekel atau seorang Rangga dan Tumenggung adalah orang-orang setua ayah."
Ayahnya tertawa. Katanya, "Mungkin kau benar bahwa seorang Rangga dan Tumenggung biasanya sudah setua ayah, karena kedudukan itu tidak dapat digapainya dengan serta-merta. Seseorang harus memanjat dari tataran ke tataran, baru kemudian menjadi seorang Rangga dan Tumenggung. Tetapi berbeda dengan kedudukan seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia menerima jabatan sebagai warisan yang dapat diterimanya langsung. Ia tidak harus mulai dari tataran yang lebih rendah dahulu."
Anak gadis Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ingin memberikan kesan bahwa ia telah memperhatikan anak muda yang hampir terinjak kaki kudanya itu. Karena itu, anak gadis Ki Tumenggung itu tidak bertanya lagi.
Untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih duduk bersama keluarganya. Di hadapan mereka terhidang minuman hangat. Sekali-sekali Ki Tumenggung menghirup minumannya sambil tersenyum-senyum. Rasa-rasanya ia benar-benar terbebas dari segala macam ketegangan didalami baraknya.
Namun ketika udara malam menjadi semakin dingin, maka merekapun telah beringsut pindah ke ruang dalam. Namun kedua kemenakan Ki Tumenggung dan anak gadisnya itupun sudah mulai mengantuk, sementara esok pagi-pagi Ki Tumenggungpun harus sudah berada di baraknya kembali, sehingga karena itu, maka merekapun telah masuk ke dalam biliknya masing-masing.
Namun masih terbersit pertanyaan di hati Ki Tumenggung, "Kenapa anak itu telah menanyakan secara khusus anak muda yang hampir saja dilanggar oleh kudanya itu?"
Namun kemudian Ki Tumenggung itu berkata pula kepada diri sendiri, "Mudah-mudahan hanya sekedar ingin tahu. Bukan karena anak muda itu menarik perhatiannya."
Ki Tumenggung justru menjadi berdebar-debar. Dengan sedikit menyesal ia berkata di dalam hatinya, "Seharusnya aku tidak mengundang anak itu ke rumah ini."
Tetapi Ki Tumenggungpun kemudian berusaha untuk tidak menghiraukannya lagi. Ia menganggap bahwa anak gadisnya hanya sekedar ingin tahu saja, justru karena kudanya yang terkejut dan melonjak-lonjak itu.
Menjelang fajar, Ki Tumenggung sudah bersiap untuk berangkat ke baraknya. Namun ketika ia sedang minum minuman hangat di ruang dalam, dua orang prajurit menuntun kudanya memasuki halaman rumahnya. Keduanya adalah prajurit yang diperintahkannya pergi ke Tanah Perdikan.
Kedua orang prajurit itu datang untuk melapor bahwa mereka sudah siap untuk berangkat.
"Baiklah," berkata Ki Tumenggung. "Mumpung hari masih pagi. Sampaikan salamku kepada Risang. Mudah-mudahan hatinya terbuka."
Kedua orang perwira itu saling berpandangan sejenak. Sengaja atau tidak, Ki Tumenggung telah memberikan isyarat tentang Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
Dihubungkan dengan keterangan para prajurit yang pernah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan dan menemui Kepala Tanah Perdikan itu, maka keduanya dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka akan berhadapan dengan seorang yang keras hati.
Demikianlah, setelah minum barang seteguk, kedua orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung, berpacu ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Mereka pergi menemui orang yang hampir terinjak kudaku itu ayah?" bertanya anak gadis Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung Jayayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian anaknya bertanya pula, "Apakah Tanah Perdikan Sembojan itu jauh sekali?"
"Kenapa?" bertanya ayahnya.
"Kedua orang prajurit itu berangkat pagi-pagi sekali" Kapan mereka sampai?"
"Tanah Perdikan Sembojan memang jauh." Namun gadis itu kemudian berkata, "Kudaku masih lebih baik dari kuda kedua orang prajurit itu."
"Kedua ekor kuda itu adalah kuda yang sangat baik. Mungkin ujudnya sajalah yang kalah dari kudamu."
Gadis itu mengerutkan dahinya. Tetapi ternyata ia bertahan, "Tidak ayah. Aku sanggup berpacu melawan mereka."
"Sudahlah. Aku harus segera pergi ke barak."
"Masih terlalu pagi, ayah. Para prajurit di barak itu tentu masih belum bangun."
"Tentu sudah. Mereka tentu sudah siap menerima perintah untuk menjalankan tugas."
Anak gadisnya" tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian masuk ke ruang dalam. Makan pagi telah tersedia bagi Ki Tumenggung yang akan menjalankan tugas di baraknya, sehingga dengan demikian, Ki Tumenggung akan segera kembali ke dalam suasana tugas-tugas keprajuritan.
Dalam pada itu, dua orang perwira tengah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Satu perjalanan yang memang terhitung panjang. Namun keduanya memiliki ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga keduanya dapat menempuh perjalanan mereka dengan cepat. Meskipun sekali-sekali mereka harus berhenti untuk memberi kesempatan bagi kuda-kuda mereka untuk beristirahat, namun perjalanan mereka tidak berkepanjangan.
Ketika mereka sampai di Tanah Perdikan Sembojan, maka keduanya telah dipersilahkan naik ke pendapa. Kedua orang itu sudah mempunyai bekal sikap terhadap Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Yang justru menerima mereka lebih dahulu adalah Nyi Wiradana. Seorang perempuan yang ramah, namun yang menilik sikap dan kata-katanya, perempuan itu memiliki kelebihan dari perempuan yang pernah dikenalnya.
Merekapun segera mengetahui, bahwa perempuan itulah Nyi Wiradana, ibu Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Namun ketika Risang kemudian duduk di antara mereka, kedua orang prajurit itu segera mengerti, kenapa Ki Tumenggung Jayayuda berpesan mewanti-wanti kepada mereka, agar tidak mengambil tindakan apapun juga terhadap Kepala Tanah Perdikan yang masih muda itu.
"Sudah berapa kali Pajang mengirimkan perintah-perintah kepadaku," berkata Risang kepada kedua orang utusan itu. "Seharusnya Pajang sudah tahu sikapku. Aku juga sudah bertemu dan berbicara langsung kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Karena itu, seharusnya Ki Tumenggung sudah tidak merasa perlu untuk mengirimkan kalian kemari."
"Pajang masih mengharapkan perkembangan sikapmu. Mungkin dalam waktu terakhir, kau berubah pendirian," desis ibunya yang menjadi semakin gelisah karena sikap anaknya itu.
Tetapi wajah Risang justru menjadi semakin gelap. Ia menjadi sangat kecewa terhadap ibunya. Seharusnya ibunya tidak berkata demikian di hadapan kedua orang prajurit Pajang itu, karena dengan demikian, maka kedua orang prajurit tahu, bahwa sikapnya itu adalah sikap pribadinya. Bukan sikap Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun demikian Risang tidak menanggapi kata-kata ibunya kepada kedua orang prajurit itu ia berkata, "Aku tidak perlu menjawab lagi. Ki Tumenggung Jayayuda sudah tahu jawabku."
"Ki Tumenggung masih menunggu jawaban terakhir Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata salah seorang dari kedua orang perwira itu, "jawaban terakhir inilah yang akan menentukan sikap Ki Tumenggung."
"Jawabku sama seperti yang pernah aku ucapkan," jawab Risang dengan wajah tegang.
"Baik," berkata perwira prajurit Pajang itu. "Jelas bagi kami, apa yang harus kami lakukan. Kami adalah utusan terakhir. Setelah aku kembali dan memberikan laporan kepada Ki Tumenggung, maka Pajang akan mengambil sikap yang menentukan pula."
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku sudah dapat memperhitungkan sikap itu."
"Kami akan mengatakannya. Itu kewajiban kami. Kau tidak dapat mencegah kami menjalankan tugas kami, karena kami tidak berada di bawah perintahmu." Sikap perwira itu memang agak lain dengan sikap mereka yang pernah datang lebih dahulu ke Tanah Perdikan Sembojan.
Wajah Risang menjadi merah. Sementara perwira itu masih berkata selanjutnya, "Atas nama Pajang, aku perintahkan kau mendengarkan perintah yang kami sampaikan ini baik-baik."
"Tidak," bentak Risang. "Ini rumahku. Ini Tanah Perdikanku. Tidak ada orang yang dapat memerintah aku disini."
"Tanah Perdikan ini disahkan oleh Pajang. Kekancingan atas Tanah Perdikan ini diberikan oleh Pajang, sehingga ada keterikatan antara Tanah Perdikan ini dengan Pajang. Semua bentuk perlawanan, oleh Pajang akan dapat diartikan sebagai pemberontakan. Dan kau, Kepala Tanah Perdikan Sembojan tentu tahu, tindakan apa yang akan diambil oleh Pajang terhadap pemberontak."
"Cukup," bentak Risang yang menjadi marah.
Namun Nyi Wiradanalah yang menengahi, "Baik. Baik. Pembicaraan ini sudah berakhir. Kedua belah pihak sudah memahami sikap masing-masing. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
Risang termangu-mangu sejenak. Sementara ibunya berkata kepada dua orang tamunya, "Ki Sanak. Kalian sudah menjalankan tugas kalian dengan baik. Kalian akan dapat memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Jika kalian harus menunggu jawaban lesan atau tertulis, maka Kepala Tanah Perdikan Sembojan sudah menjawab. Jawaban itu justru sudah diucapkan langsung kepada Ki Tumenggung Jayayuda sendiri."
Kedua orang perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun keduanya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Baik, Nyi. Kami mengerti."
"Jika demikian, maka sebaiknya kita tidak berbicara lagi tentang persoalan Tanah Perdikan ini. Kami ingin mempersilahkan Ki Sanak berdua untuk beristirahat. Kami berharap bahwa Ki Sanak bersedia bermalam di rumah ini. Apapun yang kita bicarakan, maka hubungan kita sebagai sesama tidak harus terpengaruh karenanya."
Jawaban salah seorang di antara mereka memang mengejutkan. Sambil mengangguk hormat kepada Nyi Wira-dana ia berkata, "Baiklah Nyi. Aku akan bermalam disini."
Wajah Risang berkerut. Utusan Ki Jayayuda yang terdahulu, kecuali kedua orang abdinya, tidak bersedia bermalam, justru karena mereka merasa tersinggung. Tetapi kedua orang ini agaknya memang lain.
Namun dalam pada itu, Risangpun berkata, "Baiklah. Jika pembicaraan sudah selesai, maka aku akan meneruskan tugas-tugasku. Aku tidak dapat duduk disini terkantuk-kantuk, sementara tugasku terbengkalai."
Risangpun kemudian meninggalkan kedua orang tamunya. Nyi Wiradanalah yang kemudian menemui mereka. Mengantar kedua tamunya minum dan makan sebelum mempersilahkan tamunya ke gandok untuk beristirahat.
Kepada seorang pembantu di rumah itu, Nyi Wira-dana memerintahkan agar melayani secara khusus kedua orang tamu itu dan menunjukkan dimana letaknya pakiwan. Sementara itu, yang lain telah merawat kedua ekor kuda milik kedua orang prajurit itu.
Di dalam bilik mereka, keduanya sempat menilai sikap yang berbeda antara ibu dan anaknya. Mereka tidak mendapat penjelasan dari Ki Tumenggung, kenapa hati Risang menjadi batu. Bahkan sikapnya kepada Pajang telah berubah.
Karena itu, bagi kedua orang prajurit itu, maka sikap Risang adalah satu pemberontakan yang harus diselesaikan dengan segera dengan sikap seorang prajurit.
Meskipun demikian, keduanya telah mendapat pelayanan yang baik di Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi keduanya tahu, bahwa ibu Kepala Tanah Perdikan itulah yang telah mengaturnya.
"Nampaknya ada perbedaan pendapat antara ibu dan anaknya," berkata salah seorang dari antara kedua orang prajurit itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Dengan agak ragu ia menjawab, "Pengalaman dan kematangan berpikir Nyi Wiradana lebih mendasari sikapnya daripada kemudaan anaknya, sehingga justru terjadi jarak yang nampaknya semakin lama semakin lebar."
Di hari berikutnya, pagi-pagi benar keduanya telah bersiap. Ternyata Nyi Wiradana telah menyiapkan makan pagi buat mereka. Sampai saatnya keduanya minta diri, sikap Nyi Wiradana tetap ramah meskipun selalu menunjukkan bahwa ia memiliki ketajaman nalar dan budi.
Wajah Risang masih saja masam ketika ia harus melepas kedua orang perwira itu. Sebelum matahari terbit, maka keduanya telah berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.
Sepeninggal kedua orang perwira itu, tanpa mengatakan sesuatu, Nyi Wiradana langsung masuk ke dalam biliknya, sementara Risang duduk di pringgitan. Beberapa saat Risang sempat merenungi sikapnya. Namun setiap kali nuraninya melihat sepercik cahaya terang di hatinya, maka iapun langsung memadamkannya dengan hentakan-hentakan kekecewaannya. Namun kemudian yang lebih mencuat di permukaan adalah keterlanjurannya. Risang tidak mau lagi melangkah surut. Bahkan Risang masih saja dihinggapi anggapan, bahwa dalam keadaan gawat, Pajang tidak akan dapat banyak berbuat sesuatu, karena kekuatannya seluruhnya ditujukan ke arah perlawanannya terhadap Madiun yang memiliki jumlah pasukan yang sangat besar.
Namun tiba-tiba saja Risang terkejut. Ia melihat ibunya keluar dari pintu pringgitan dengan pakaian khususnya. Di kedua lambungnya tergantung pedang.
Di depan pintu pringgitan itu ibunya berdiri sambil bertolak pinggang. Katanya dengan suara lantang, "Risang, perintahkan menyiapkan kudaku."
"Ibu, ibu akan pergi kemana. Dan apa yang akan ibu lakukan sepagi ini?"
"Cepat. Lakukan. Kau anakku. Apapun jabatanmu, aku berhak memerintah anakku."
*** JILID 67 RISANG menjadi bingung sesaat. Ia tidak mengerti maksud ibunya. Apalagi ketika ia melihat sorot mata ibunya yang menghunjam langsung ke jantungnya, sementara dari pelupuknya nampak titik-titik air yang meleleh di pipinya.
"Ibu," desis Risang.
Namun sekali lagi Nyi Wiradana itu berkata, "Perintahkan sediakan kudaku. Cepat."
"Tetapi ibu akan kemana?" bertanya Risang.
"Aku akan melihat Tanah Perdikan ini sebelum Tanah Perdikan ini lebur menjadi debu. Aku akan melihat hijaunya hutan lereng pegunungan. Melihat gemerciknya air yang mengalir di sungai dan parit yang membelah tanah persawahan. Aku akan melihat anak-anak bermain di padang rumput sambil menggembalakan kambingnya."
"Tetapi tidak dalam keadaan seperti ini," minta Risang.
"Lebih dari itu, aku akan melihat kesiagaan para pengawal. Apakah mereka sudah bersiap bertempur melawan Pajang. Aku akan melihat kademangan-kademangan dan padukuhan-padukuhan. Apakah mereka sudah mempersiapkan para pengawal terbaiknya sebelum pasukan Pajang datang menggilas Tanah Perdikan ini. Aku akan menjadi Senapati Agung menghadapi Pajang. Aku akan menantang Pangeran Gagak Baning untuk berperang tanding."
"Ibu, jangan pergi," minta Risang.
"Cepat, perintahkan menyiapkan kudaku, atau aku harus mengambil sendiri serta memasang pelananya di kandang."
Risang memang menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Risang telah memerintahkan menyiapkan kuda. Bukan hanya untuk ibunya, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Namun ketika ibunya mengetahuinya, maka iapun berkata, "Dengar Risang. Aku akan pergi sendiri. Aku tidak mengajakmu pergi bersamaku."
Risang menjadi sangat gelisah. Ketika seseorang membawa dua ekor kuda ke halaman, maka Nyi Wiradana itu dengan langkah yang cepat dan ringan menuruni tangga. Dengan tangkasnya ia meloncat ke punggung kudanya sambil berkata, "Sekali lagi aku peringatkan, aku akan pergi sendiri."
Tiba-tiba saja Nyi Wiradana itu menghentakkan kendali kudanya, sehingga kuda itu terkejut. Sambil meringkik kuda itu melonjak mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Tetapi Nyi Wiradana dengan pengalamannya berkuda, mampu mengatasinya, sehingga kuda itu benar-benar telah dikuasainya kembali.
Sejenak kemudian, maka kuda itupun telah berlari dengan cepat meninggalkan halaman rumah menyusup regol halaman dan hilang turun ke jalan.
Jantung Risang berdenyut semakin cepat. Di luar sadarnya, terbayang kembali seorang gadis yang memasuki halaman rumah Ki Tumenggung Jayayuda tanpa mengurangi kecepatannya. Kuda itu hampir saja menginjaknya. Namun dengan tangkas gadis itu berhasil menguasai kudanya dan. menenangkannya.
Ternyata gadis itu adalah anak Ki Tumenggung Jayayuda.
Namun kemudian Risang kembali menyadari, bahwa ibunya telah berpacu di atas punggung kudanya tanpa diketahui dengan pasti, tujuannya.
Tetapi Risang memang tidak berani menyusulnya. Jika ibunya sudah mengatakan bahwa ia ingin sendiri, maka ia harus sendiri. Apalagi ibunya nampaknya benar-benar sedang marah. Ia tidak pernah melihat sorot mata ibunya yang demikian tajamnya memandangnya. Namun dengan berkaca-kaca.
Dengan wajah yang tegang, Risangpun telah terduduk di tangga pendapa. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Berbagai macam perasaan telah bergulat di dalam hatinya.
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar melihat Nyi Wiradana melarikan kudanya keluar dari halaman itu. Tetapi mereka bertiga tidak berani menegur dan menanyakannya kepada Risang yang duduk di tangga pendapa.
Di halaman seseorang masih berdiri termangu-mangu sambil memegangi kendali seekor kuda. Tetapi Risang tidak segera menerima kuda itu. Bahkan dibiarkannya orang itu berdiri kebingungan.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru ketika kuda itu meringkik, Risang seolah-olah tersadar. Sambil mengangkat wajahnya ia berkata, "Bawa kuda itu kembali ke kandang."
Orang itupun tidak bertanya. Ia tahu, bahwa hati Risang sedang buram.
Demikian orang itu membawa kudanya kembali ke kandang, maka Risangpun bangkit berdiri dan melangkah masuk ke ruang dalam.
Di serambi gandok, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar hanya dapat menyatakan kecemasan mereka melihat perkembangan Tanah Perdikan Sembojan. Bukan kemunduran kesejahteraan rakyatnya. Tetapi justru sikap para pemimpinnya.
Tetapi untuk sementara Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar masih belum dapat mengambil sikap apapun juga. Mereka masih berharap agar Nyi Wiradana dapat menyelesaikan persoalan yang timbul karena gejolak perasaan Risang.
"Seharusnya Risang dapat membatasi dirinya. Persoalan pribadinya angan sampai menghancurkan Tanah Perdikan ini," desis Sambi Wulung.
Wajah Gandar menjadi sangat muram. Ia melihat apa yang terjadi sebelum Risang dilahirkan. Ia melihat kemudian, betapa ibu Risang berjuang untuk mempertahankan haknya. Gandar melihat betapa Tanah Perdikan ini dilanda oleh pasang dan surut. Perang yang datang berulang-ulang dengan musuh yang silih berganti.
Dengan melalui jalan yang berbatu-batu tajam, akhirnya Nyi Wiradana berhasil membawa Risang kepada kedudukannya yang sekarang. Namun pada saat-saat Tanah Perdikan ini menggapai satu masa yang terbaik, Risang kehilangan kendali dirinya.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tidak kalah kecewanya. Demikian pula orang-orang terdekat Risang.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka yang sudah menjadi semakin tuapun menjadi sangat berprihatin.
Dalam pada itu, Nyi Wiradana memacu kudanya kelereng pegunungan. Ia sama sekali tidak melarikan kudanya mengelilingi Tanah Perdikan. Tidak melihat apakah para pengawal sudah bersiap menghadapi perang. Atau menemui para Demang dan Bekel yang berada di lingkungan Tanah Perdikan. Tetapi Nyi Wiradana telah memacu kudanya memanjat lereng bukit.
Ketika kudanya mencapai lambung bukit yang tidak terlalu tinggi, Nyi Wiradanapun berhenti. Sejenak ia masih tetap duduk di punggung kudanya. Namun kemudian Nyi Wiradana itu meloncat turun.
Dari tempatnya berdiri dipandanginya dataran yang luas terhampar menelusuri batas kaki pebukitan sampai ke garis cakrawala.
Sejenak kemudian, maka Nyi Wiradana itupun terduduk di atas tanah berbatu padas. Betapa jantungnya dihentak oleh perasaan kecewa atas sikap anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan akan dapat membina dan membangun Tanah Perdikan Sembojan menjadi satu Tanah Perdikan yang besar.
Tetapi bayangan itu menjadi buram.
Nyi Wiradana mengusap matanya yang basah. Tetapi ia berhadapan dengan satu kenyataan betapapun pahitnya.
"Apa yang harus aku lakukan?" terdengar suaranya menjadi parau.
Ketika angin semilir menyentuh wajahnya, maka terasa air matanya yang hangat meleleh di pipinya. Tubuh Nyi Wiradana tidak lagi sesegar saat ia mulai memegang pimpinan Tanah Perdikan itu. Ketika ia mengusap pipinya, terasa bahwa kerut-kerut kulitnya menjadi semakin dalam.
Meskipun demikian, namun Nyi Wiradana itu masih merasa tetap berada dalam puncak kemampuannya. Ilmu Janget Kinatelon yang dikuasainya sama sekali tidak menyusut sejalan dengan meningkatnya umur.
Tiba-tiba saja Nyi Wiradana itu meloncat berdiri. Dengan tangkasnya ia berlari menghadap tebing batu padas yang curam di lambung bukit itu. Dengan memusatkan nalar budinya, Nyi Wiradana telah membangunkan ilmunya, Janget Kinatelon sampai ke puncaknya. Dengan tangkasnya Nyi Wiradanapun meloncat sambil mengayunkan tangannya menghadap tebing batu padas itu.
Sejenak kemudian terdengar suara gemuruh. Tebing itupun telah terpecah. Gumpalan batu padas runtuh dengan suara gemuruh.
Nyi Wiradana meloncat surut. Wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Nyi Wiradana masih melihat puncak keperkasaannya.
Namun kemudian Nyi Wiradana itu terduduk kembali dengan lemahnya. Dengan suara yang bergetar ia bergumam, "Tetapi apakah aku harus mempergunakan kemampuanku ini untuk melawan Pajang" Apakah aku benar-benar harus berdiri berhadapan dengan para Tumenggung yang mengemban tugas untuk memaksa Tanah Perdikan ini tunduk. Namun jika hal seperti itu terjadi, maka Tanah Perdikan ini tentu akan lenyap. Kekancingan hadirnya Tanah Perdikan Sembojan di bumi Pajang akan dicabut. Sebagai satu daerah yang telah memberontak, maka Tanah Perdikan ini akan dihapuskan, tanpa mengingat lagi sejarah panjang tentang Tanah Perdikan ini."
Nyi Wiradana menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Tiba-tiba saja perempuan yang membawa sepasang pedang di kedua lambungnya itu menangis.
Runtuhan-runtuhan kecil masih terjadi di tebing. Angin yang bertiup semakin kencang membawa awan dari Selatan. Sementara matahari memanjat langit semakin tinggi.
Untuk beberapa lama Nyi Wiradana duduk di atas batu padas di lambung bukit. Tidak seorangpun yang melihat kehadirannya di tempat itu. Gerumbul-gerumbul perdu dan batang ilalang yang terguncang-guncang ditiup angin terdengar seperti perempuan yang berdesah panjang.
Dalam pada itu, kedua orang perwira prajurit Pajang yang kembali dari Tanah Perdikan memacu kuda mereka menembus jarak yang panjang. Bulak-bulak persawahan, padukuhan-padukuhan dan pategalan telah mereka lewati. Beberapa buah sungai telah mereka seberangi.
Ketika matahari naik sampai ke puncak langit, maka keduanyapun merasa perlu untuk beristirahat. Kuda-kuda mereka merasa letih, sementara mereka berduapun merasa haus pula.
Ketika mereka berhenti di sebuah kedai, sambil meneguk minuman hangat, mereka sempat membicarakan sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Sayang sekali," berkata salah seorang dari keduanya. "Tanah Perdikan Sembojan tumbuh dengan baik. Kesejahteraan rakyatnya nampaknya cukup tinggi. Tetapi jika sikap Kepala Tanah Perdikannya tidak terkendali, maka Tanah Perdikan itu akan terhapus dari percaturan tata pemerintahan Pajang."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, "Sikap kepala Tanah Perdikan yang masih terlalu muda itu sulit dimengerti. Bahkan agaknya ibunya yang memiliki pengalaman yang luas memerintah Tanah Perdikan itupun sulit untuk mengendalikannya."
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Pengaruh apakah yang telah merasuk di dalam dirinya sehingga ia menjadi kehilangan kiblat."
Tetapi kewenangan kedua orang perwira itu memang sangat terbatas. Mereka hanya dapat melaporkan apa yang telah mereka lakukan serta tanggapan Kepala Tanah Perdikan itu.
Demikianlah, malam itu keduanya langsung menghadap Ki Tumenggung Jayayuda dan ada di barak. Mereka melaporkan segala sesuatunya seperti apa adanya. Tanpa ada yang dikurangi dan tanpa ada yang ditambahi.
Ki Tumenggung Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Terima kasih. Aku akan melaporkan sikap Kepala Tanah Perdikan itu."
Salah seorang perwira yang pergi ke Tanah Perdikan itupun kemudian berkata, "Ki Tumenggung. Rasa-rasanya ada yang tidak sewajarnya terjadi pada Kepala Tanah Perdikan itu. Sejak Ki Tumenggung berpesan, agar kami tidak mengambil tindakan apa-apa selain menampung segala persoalan yang kami hadapi, maka rasa-rasanya ada sesuatu yang tersembunyi pada sikap Kepala Tanah Perdikan itu."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukankah kau ingin mengatakan, bahwa sejak semula ada sesuatu yang kurang wajar?"
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Begitulah, Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk sambil menjawab, "Memang ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih terlalu muda itu."
Kedua orang perwira itu saling berpandangan sekilas. Tetapi keduanya tidak bertanya lebih jauh. Mereka sadar, bahwa pertanyaan mereka tidak akan terjawab.
Ki Tumenggung itupun kemudian mempersilahkan kedua orang perwira itu untuk beristirahat.
"Kalian tentu merasa letih."
Kedua orang perwira itu segera minta diri. Sebenarnyalah mereka memang merasa letih. Bahkan perasaan merekapun merasa letih pula menghadapi sikap Kepala Tanah Perdikan yang menimbulkan sikap mendua. Sebagai perwira prajurit Pajang, maka keduanya menganggap bahwa Pajang harus mengambil sikap tegas. Tetapi keduanya yang umurnya sudah merambat mendekati pertengahan abad melihat sesuatu yang pantas diperhatikan pada Kepala Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayayuda sudah tidak mempunyai pilihan lagi. Pajang memang harus bertindak terhadap Tanah Perdikan Sembojan. Jika Pajang tidak menentukan sikap yang tegas, maka daerah yang lainpun akan berbuat serupa pula. Mereka tentu tidak akan mau mempertimbangkan latar belakang dari sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
Malam itu Ki Tumenggung Jayayuda menjadi gelisah sendiri. Timbul niatnya untuk memanggil Ki Rangga Dipayuda agar ia dapat membagi kegelisahannya. Tetapi niatnya itu diurungkannya.
Namun pagi-pagi sekali Ki Dipayuda sudah dikejutkan oleh kedatangan seorang prajurit yang mengemban perintah Ki Tumenggung Jayayuda, memanggil Ki Rangga Dipayuda untuk menghadap.
Ki Rangga sudah menduga, tentu persoalan yang menyangkut Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Sebenarnyalah, demikian ia menghadap Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Ki Rangga. Kepala Tanah Perdikan Sembojan benar-benar telah mengeraskan hatinya."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, "Apaboleh buat."
"Baiklah, Ki Rangga. Hari ini aku akan memberikan laporan langsung kepada Kangjeng Adipati. Berdasar perkenan Kangjeng Adipati bahwa akulah yang akan menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan, maka aku akan mohon perintah-perintah berikutnya."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk betapapun jantungnya bergejolak.
"Bersiaplah Ki Rangga. Kesiapan jiwani untuk mengambil langkah-langkah tertentu sangat diperlukan."
"Apakah sebaiknya Kasadha mengetahui persoalan ini dalam keseluruhan?" bertanya Ki Rangga.
"Pada saatnya memang perlu. Tetapi tentu tidak tergesa-gesa."
"Baik, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga Dipayuda.
Demikianlah, maka Ki Tumenggungpun segera bersiap. Ia ingin menghadap Kangjeng Adipati sebelum para pemimpin Pajang menghadap di paseban.
Permohonan Ki Tumenggung untuk menghadap mendahului berlangsungnya sidang para pemimpin Pajang di paseban ternyata dikabulkan, sehingga Ki Tumenggung telah datang ke istana lebih pagi dari para pemimpin Pajang yang lain.
Ki Tumenggung kemudian telah melaporkan sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Ki Tumenggung sudah cukup memberikan kesempatan untuk mencairkan hatinya yang beku. Karena itu, sudah waktunya bagi Ki Tumenggung untuk bertindak."
"Yang hamba pertimbangkan adalah justru dalam suasana yang semakin panas sekarang ini. Agaknya hubungan antara Madiun dan Mataram sudah tidak dapat diperbaiki lagi dengan cara apapun juga. Karena itu, jika aku membawa prajurit ke Tanah Perdikan Sembojan, sementara benturan antara Mataram dan Madiun terjadi, apakah hal itu tidak akan mengurangi kekuatan Mataram dan Pajang, sementara di Madiun berkumpul prajurit yang seakan-akan jumlahnya tidak terhitung, sehingga Madiun justru mengalami kesulitan menyediakan pangan mereka."
"Ki Tumenggung," berkata Kangjeng Adipati, "aku beri wewenang kau akan membawa prajurit secukupnya. Tetapi kalian harus siap bergerak dari arah Selatan, jika perang Mataram dan Madiun pecah. Aku akan memberikan perintah lewat penghubung dengan segera demikian ada isyarat dari Mataram."
"Apakah tidak mungkin justru Madiun yang bergerak lebih dahulu ke Barat?" bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.
"Menurut perhitungan dan sesuai dengan laporan para petugas sandi, nampaknya dalam waktu dekat, Madiun tidak akan bergerak ke Barat. Mereka justru membangun benteng pertahanan yang kuat dalam beberapa lapis."
"Baiklah Kangjeng. Hamba akan segera berangkat ke Tanah Perdikan Sembojan dengan pasukan hamba."
"Bawa pasukan lebih banyak dari pasukan Ki Tumenggung. Ki Tumenggung justru harus menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan dengan cepat. Jangan lebih dari sepekan. Karena kemudian perhatian kita sepenuhnya harus tertuju ke Madiun. Menurut perhitungan, perang dengan Madiun jika harus terjadi, juga tidak akan segera terjadi dalam hitungan hari. Tetapi tentu dalam hitungan pekan. Tetapi satu hal yang perlu Ki Tumenggung ketahui. Pasukan Mataram sudah mulai bergerak ke Timur. Tetapi tidak dalam ujud pasukan yang besar dan bergelora. Tetapi sedikit demi sedikit akan berada di Pajang dan sekitarnya."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa ia akan memikul beban tugas yang berat. Bukan saja dalam ujud kewadagan. Tetapi justru karena Ki Tumenggung mengetahui latar belakang sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda itu.
"Ki Tumenggung," berkata Kangjeng Adipati pula, "kau akan mendapat surat perintah untuk melaksanakan tugas ini serta wewenang yang luas untuk mempergunakan kekuatan prajurit Pajang. Tetapi sekali lagi aku minta Ki Tumenggung menyelesaikan tugas ini dalam sepekan, tidak terhitung perjalanan. Jika Tanah Perdikan itu benar-benar mengadakan perlawanan dan harus terjadi pertempuran, segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung yang akan dapat mengambil keputusan sesuai dengan keadaan medan. Tetapi jika terjadi perlawanan bersenjata, maka kita akan dapat mempertimbangkan keberadaan Tanah Perdikan Sembojan untuk selanjutnya, karena dengan demikian Sembojan telah memberontak justru pada saat yang sangat gawat menghadapi kekuatan Madiun. Namun ada satu hal yang sampai sekarang masih belum aku lakukan tentang persoalan Tanah Perdikan Sembojan. Aku sama sekali tidak memberikan laporan kepada Panembahan Senapati. Jika petugas sandi Mataram mempersoalkan keberangkatan pasukan Ki Tumenggung ke Tanah Perdikan, dan menyampaikan laporan ke Mataram, aku tentu akan mendapat pertanyaan tentang hal itu. Baru aku akan mempergunakan kesempatan itu untuk memberikan laporan. Jika Mataram tidak menanyakan gerakan pasukan ini, maka aku akan tetap berdiam diri. Aku berharap bahwa kita disini dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa menggetarkan wibawa Mataram."
"Baiklah Kangjeng. Hamba akan melakukan tugas ini dengan baik."
"Lakukan tugas Ki Tumenggung tanpa memberikan kesan dan apalagi keresahan di Pajang. Biarlah orang-orang Pajang tidak mengetahui, apa yang sebenarnya telah terjadi."
"Hamba Kangjeng. Meskipun hamba tahu, tugas ini sangat berat, tetapi hamba akan melakukannya dengan baik. Hamba mohon waktu untuk mempersiapkan sebuah pasukan yang cukup kuat, karena hamba tahu, bahwa Tanah Perdikan Sembojan adalah Tanah Perdikan yang sudah ditempa oleh pengalaman yang keras, sehingga para pengawalnya memiliki kemampuan prajurit yang terlatih."
"Aku beri wewenang kepada Ki Tumenggung untuk menentukan, seberapa besar pasukan yang akan Ki Tumenggung bawa ke Tanah Perdikan Sembojan serta tindakan apapun yang akan Ki Tumenggung lakukan atas Tanah Perdikan itu."
"Hamba Kangjeng, hamba mohon restu, mudah-mudahan hamba tidak merasa perlu untuk menghapuskan Tanah Perdikan Sembojan dari percaturan pemerintahan di Pajang dalam kesatuan Mataram yang bulat."
Demikianlah, pembicaraan tentang Tanah Perdikan itu justru telah terjadi sebelum sidang di paseban. Dengan demikian, maka persoalan Tanah Perdikan Sembojan tidak terlalu banyak dicampuri oleh para Senapati dan pemimpin pemerintahan di Pajang.
Ketika sidang di paseban kemudian berlangsung, maka Kangjeng Adipati hanya sekedar memberitahukan saja kepada para Senapati dan pemimpin pemerintahan, bahwa Kangjeng Adipati telah memerintahkan Ki Tumenggung Jayayuda untuk menyelesaikan persoalan yang berkembang di Tanah Perdikan Sembojan.
Beberapa orang Senapati justru masih belum tahu apa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi ada di antara mereka yang sudah mendengar, tetapi belum jelas apakah yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan itu.
Namun sebagian besar dari mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap persoalan Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi penyelesaiannya sudah diserahkan kepada Ki Tumenggung Jayayuda.
Demikianlah, maka sejak perintah dari Kanjeng Adipati di Pajang diterima oleh Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggungpun segera melakukan persiapan-persiapan. Memang agak mengejutkan. Terutama beberapa orang yang telah mengenal Risang. Seorang yang telah banyak membantu Ki Lurah Kasadha di dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang berat.
Sementara itu beberapa orang yang lain, pernah ikut pula dalam pasukan yang digerakkan ke Tanah Perdikan Sembojan di saat Pajang dikuasai oleh Kangjeng Adipati dari Demak. Pada saat itu, Tanah Perdikan Sembojan memang tidak tunduk pada sikap Pajang yang tidak murni lagi.
Ternyata bahwa Pajang telah mempersiapkan lagi pasukan yang cukup besar untuk bergerak ke Tanah Perdikan Sembojan.
Persiapan yang dilakukan oleh Ki Tumenggung Jayayuda itu benar-benar telah mengguncang jantung Kasadha. Sebagai seorang Lurah prajurit yang justru berada di bawah kepemimpinan Ki Tumenggung Jayayuda, maka Kasadhapun telah menerima perintah untuk mempersiapkan pasukannya.
Dengan tergesa-gesa Kasadha telah menemui Ki Rangga Dipayuda. Betapa perasaannya tergetar oleh kenyataan yang dihadapinya.
"Segala usaha telah dilakukan untuk meredakan gejolak perasaannya, tetapi sia-sia," berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Tetapi bukankah aku ikut bersalah dalam hal ini Ki Rangga?" bertanya Kasadha.
"Dengan demikian, kau juga akan mengatakan, bahwa akupun bersalah dalam hal ini?"
"Tidak. Tidak, Ki Rangga."
"Karena itu jangan salahkan diri sendiri. Kita adalah prajurit. Kita harus menjalankan tugas kita sebaik-baiknya."
Kasadha menundukkan kepalanya. Tetapi sulit baginya untuk menerima kenyataan itu, bahwa Pajang harus mempersiapkan prajurit segelar sepapan untuk menyerang Tanah Perdikan Sembojan.
Kasadha tahu benar apa yang telah dilakukan Risang, Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk membantu tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh Pajang. Juga apa yang telah dilakukan Risang untuk menegakkan wibawa Pajang di sekitar Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi karena Risang tergelincir oleh persoalan pribadi, apa yang pernah dipersembahkan Risang kepada Pajang itu seakan-akan telah dilupakan.
Kasadha tidak pernah dapat menyisihkan perasaan bersalah, karena ia adalah penyebab dari goncangan-goncangan yang terjadi di dalam diri Risang.
Tetapi Kasadhapun tidak pernah dapat menyisihkan tekadnya untuk mendapatkan Riris sebagai sisihannya menyongsong masa depannya.
Benturan perasaan yang terjadi di dalam diri Kasadha itu rasa-rasanya akan memecahkan jantungnya. Apalagi jika ia mengingat sikap ibunya. Meskipun ibunya bukan seorang yang membentuk sikap dan wataknya, tetapi ia tetap ibunya, yang melahirkannya dengan mempertaruhkan nyawanya.
Rasa-rasanya Kasadha ingin melepaskan sesak di dadanya. Rasa-rasanya ia ingin berteriak sekeras ledakan guntur di langit.
Kasadha mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Rangga Dipayuda berkata, "Sekarang kembalilah ke dalam pasukanmu. Bersiaplah untuk berangkat ke Tanah Perdikan akan datang setiap saat. Mungkin besok, mungkin lusa, tetapi mungkin pula hari ini."
Kasadha tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Baik, Ki Rangga."
Dengan jantung yang berdebaran, Kasadha melangkah kembali ke pasukannya. Apapun yang bergejolak di dadanya, namun Kasadha telah mempersiapkan pasukannya baik-baik.
Tetapi sementara itu, dada Ki Rangga Dipayuda sendiri rasa-rasanya bagaikan akan meledak. Karena itu, maka ia telah minta kepada Ki Tumenggung Jayayuda waktu beberapa lama.
"Apa yang akan Ki Rangga lakukan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Persoalannya langsung atau tidak langsung menyangkut anak gadisku, Ki Tumenggung. Untuk melepaskan atau setidaknya mengurangi tekanan perasaanku, aku akan memberitahukan persoalan ini kepada isteriku."
"Tetapi kita sedang mempersiapkan pasukan Ki Rangga."
"Tengah hari aku sudah berada di barak ini kembali."
Betapa kuatnya pegangan Ki Tumenggung Jayayuda pada alas pijakan seorang prajurit, namun ia tidak dapat menolak permintaan Ki Rangga untuk meninggalkan barak beberapa lama. Karena Ki Tumenggung mengetahui bahwa rumah Ki Rangga tidak terlalu jauh dari barak, maka Ki Tumenggungpun kemudian berkata, "Aku beri waktu sampai tengah hari, Ki Rangga."
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga Dipayuda itu telah berpacu meninggalkan barak, menuju ke rumahnya yang memang tidak terlalu jauh. Namun betapa kegelisahan membalut jantungnya, demikian memasuki regol halaman, Ki Rangga berusaha untuk tersenyum.
Jangkung yang melihat ayahnya datang, segera menyongsongnya. Namun Jangkung tidak melihat kegelisahan di wajah ayahnya. Bahkan sambil tersenyum ayahnya itu bertanya, "He, kau tidak pergi ke sawah?"
"Apa yang aku lakukan di sawah di musim seperti ini" Sawah kita baru saja disiangi. Airpun cukup melimpah dan pupuk sudah cukup," jawab Jangkung Jaladri.
Ayahnya tersenyum. Katanya, "Bagus. Mudah-mudahan hasilnya nanti dapat memadai," sahut ayahnya. Namun kemudian ayahnya itupun bertanya, "He, apakah ibumu pergi ke pasar?"
"Tadi. Tetapi sekarang ibu sudah di dapur."
"Riris?" "Ada. Ia sedang membantu atau justru mengganggu ibu di dapur. Biasanya ibu justru merasa terganggu."
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Kau yang selalu mengganggu mereka. Tambatkan kudanya."
Jangkung menerima kendali kuda ayahnya dan menambatkannya pada patok yang memang sudah disediakan. Tetapi Jangkung itupun bertanya, "Apakah ayah akan segera kembali ke barak atau tidak" Jika tidak, biarlah kuda ini dibawa ke kandang."
"Jangan. Aku akan segera kembali. Aku hanya sebentar," jawab Ki Rangga yang kemudian melangkah naik ke pendapa dan langsung masuk ke ruang dalam.
Nyi Rangga dan Riris yang kemudian mengetahui kehadiran Ki Rangga, telah menemuinya pula di ruang dalam. Keduanya memang agak terkejut mendengar kedatangan Ki Rangga, tetapi setelah mereka melihat Ki Rangga yang tidak menunjukkan kegelisahan dan bahkan tersenyum-senyum, keduanya menjadi tenang kembali.
"Aku hanya memanfaatkan waktu luang," berkata Ki Rangga Dipayuda. "Tiba-tiba saja aku ingin pulang meskipun hanya sebentar."
"Syukurlah jika tidak ada persoalan apa-apa," sahut Nyi Rangga Dipayuda.
Nyi Ranggapun kemudian minta agar Riris membuat minuman bagi ayahnya dan sekedar makanan yang ada. Bagaimanapun juga sebagai seorang isteri, rasa-rasanya tergetar juga hatinya karena kegelisahan suaminya, betapapun suaminya berusaha menyembunyikannya. Karena itu, Nyi Rangga sengaja menyingkirkan Riris, seandainya Ki Rangga ingin mengatakan sesuatu yang tidak perlu diketahui oleh anak-anaknya.
Sebenarnyalah setelah Riris pergi ke dapur, serta Jangkung masih sibuk mengamati kuda ayahnya yang menurut penilaiannya termasuk kuda yang tidak begitu baik, maka Ki Rangga Dipayudapun telah menceriterakan persoalannya kepada Nyi Rangga.
Jantung Nyi Rangga terasa bergetar semakin cepat. Dengan suara-suara yang sendat ia bertanya, "Lalu, apakah yang sebaiknya Ki Rangga lakukan.?"
"Aku memang menjadi bingung, Nyi. Sebagai prajurit aku tidak mempunyai pilihan. Tetapi justru karena sumber persoalannya itu menyangkut keluarga kita, maka aku benar-benar kehilangan akal. Dalam persoalan ini, Ki Tumenggung Jayayuda juga sudah berusaha sejauh dapat dilakukannya dalam batas kuasa dan wewenangnya. Beberapa kali Ki Tumenggung memerintahkan prajuritnya pergi ke Tanah Perdikan. Bahkan secara pribadi Ki Tumenggung pernah memanggil Risang untuk menemuinya. Risang memang datang secara pribadi. Tetapi Risang sama sekali tidak dapat dilunakkan hatinya. Ia tetap berkeras dengan sikapnya yang salah itu."
Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Terbayang betapa hati anak muda itu hancur karena Riris telah menerima lamaran Kasadha.
"Aku tidak dapat berbuat apa-apa, Nyi," berkata Ki Rangga kemudian.
Nyi Rangga harus menahan perasaannya, agar dari matanya tidak menitik air mata.
Sementara itu, Ki Ranggapun kemudian berdesis, "Nyi. Aku tidak tahu, manakah yang lebih baik. Apakah Riris akan kita beritahu persoalan ini atau tidak."
Nyi Rangga mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Memang terlalu rumit Ki Rangga. Rasa-rasanya apa yang kita lakukan serba salah. Sebenarnya sejak Angger Risang minta Riris mendampinginya dalam upacara wisuda, seharusnya kita sudah tahu maksudnya."
"Aku memang merasakan akan hal itu, Nyi. Tetapi pada waktu itu, aku juga sudah merasakan sentuhan getar hati Kasadha. Aku mencoba membayangkan, apakah yang akan dilakukan oleh Kasadha, seandainya Risanglah yang datang melamar dan yang kemudian kita terima."
Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Anak gadisnya yang cantik itu telah membuat kedua orang tuanya menjadi pening.
Tetapi sudah tentu bahwa itu bukan salah Riris. Meskipun demikian, Nyi Rangga itupun berkata, "Seandainya Riris tidak terlalu akrab dengan keduanya."
"Sulit bagi kita untuk membatasi pergaulan mereka. Kita tahu, bahwa kedua-duanya berkenalan dengan Riris dengan cara yang hampir sama pula. Kedua-duanya pernah menolong Riris dari tindak kekerasan."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Namun seperti Ki Rangga, maka iapun merasakan gejolak perasaan yang menghentak-hentak di dadanya.
"Nyi?" bertanya Ki Rangga kemudian, "aku ingin mendengar pendapatmu, apakah hal ini perlu kita beritahukan kepada Riris atau tidak?"
Nyi Rangga memang menjadi bimbang pula. Dengan nada berat ia justru bertanya, "Bagaimana sebaiknya menurut Ki Rangga?"
"Aku bingung Nyi. Seandainya Riris tidak diberi-tahu sekarang, maka jika pada suatu ketika mengetahui sementara keadaan sudah menjadi sangat buruk, maka ia tentu akan sangat menyesal. Tetapi jika ia kita beritahu sekarang, akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk pula."
"Bagaimana dengan Jangkung?" bertanya Nyi Rangga pula.
Ki Rangga menarik nafas panjang. Katanya, "Nampaknya Jangkung merasa dirinya lebih dekat dengan Risang."
"Ya. Tetapi Jangkung tidak pernah mengganggu semua rencana Ki Rangga. Ia patuh melakukan apa yang Ki Rangga katakan kepadanya meskipun ia tidak sependapat."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang harus berterima kasih kepadanya."
"Nyi," berkata Ki Rangga kemudian, "sebaiknya kita memang memberitahukan hal ini kepada kedua orang anak kita. Apapun yang kemudian terjadi, mereka tidak akan meletakkan seluruh kesalahan pada kita."
Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Memang sulit dibayangkan, betapa perasaan Riris akan terluka.
Dalam kebimbangan Nyi Rangga bertanya, "Tetapi keadaan akan semakin buruk, jika Riris kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan kedua-duanya. Risang sudah terlanjur terluka dan Kasadha akan terluka pula."
Ki Rangga mengerti pendapat isterinya. Dengan kerut di dahinya yang semakin dalam ia berkata, "Jika perang terjadi dengan membawa banyak korban yang baru diketahui Riris kemudian, apakah ia tidak merasa sangat berdosa?"
"Baiklah, Ki Rangga," berkata isterinya. "Aku akan memanggil mereka."
Sejenak kemudian, Jangkung dan Riris sudah duduk bersama mereka. Riris telah sekaligus membawa minuman hangat bagi ayahnya dan beberapa potong makanan.
Namun kedua anak Ki Rangga itu memang menjadi berdebar-debar.
Setelah minum beberapa teguk, Ki Rangga itupun berkata dengan suara yang seakan-akan tersangkut di kerongkongan, "Kau Jangkung dan kau Riris. Ayah hari ini memerlukan pulang meskipun hanya sebentar, karena ayah ingin minta diri. Mungkin malam nanti, mungkin besok pagi atau besok siang, ayah akan berada dalam pasukan segelar sepapan yang berangkat melakukan kewajiban."
"Apakah perang antara Mataram dan Madiun sudah pecah?" bertanya Jangkung.
"Tidak, Jangkung. Pasukan yang akan dipimpin oleh Ki Jayayuda sendiri tidak akan menuju ke Madiun. Untuk pergi ke Madiun kita memerlukan pasukan yang beberapa puluh kali lebih kuat."
"Jadi ayah akan bertugas ke mana?"
Ki Rangga Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dengan sangat berhati-hati Ki Rangga menjelaskan, bahwa Pajang telah mengirimkan pasukan yang terhitung kuat ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Tanah Perdikan Sembojan" Ayah, itu tidak mungkin. Kecuali jika Mataram, Pajang dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang memiliki kemampuan prajurit itu akan mendekati Madiun dari sisi Selatan," sahut Jangkung.
Ki Rangga menggelengkan kepalanya. Dengan sangat berhati-hati pula ia menjelaskan, bahwa Pajang terpaksa datang ke Tanah Perdikan Sembojan untuk menegakkan wibawa Pajang.
"Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Aku kenal Kepala Tanah perdikan Sembojan dengan baik. Ia telah banyak sekali berjasa terhadap Pajang."
"Jasa seseorang tidak dapat dipergunakan sebagai perisai untuk melakukan pelanggaran paugeran."
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" desak Jangkung.
Ki Rangga menarik nafas panjang. Ia memang tidak ingin menyembunyikan persoalan yang sedang dihadapi oleh keluarga Ki Rangga itu, sehubungan dengan keretakan hubungan antara Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan.
Kedua anak Ki Rangga itu mendengarkan keterangan Ki Rangga itu dengan sungguh-sungguh. Ketegangan di jantung Ririspun menjadi semakin meningkat sehingga akhirnya dadanya menjadi sesak.
Yang terdengar dari sela-sela bibirnya adalah desis perlahan, "Ibu."
"Riris," Nyi Rangga menjadi sangat cemas melihat Riris yang menjadi sangat pucat. Keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Sedangkan jantungnya berdetak semakin cepat.
Nyi Ranggapun kemudian telah memeluk Riris sambil berdesis, "Minumlah Riris."
Riris masih tetap sadar. Ketika Nyi Rangga melekatkan mangkuk di bibirnya, maka Ririspun telah minum beberapa teguk.
Baru kemudian, Riris itu menangis.
"Riris," berkata Ki Rangga, "aku memang ingin berterus terang kepadamu, supaya kau dapat langsung mendengar persoalannya dari bibirku sendiri. Dengan demikian, maka tidak akan bertambah dan berkurang dari persoalan yang sebenarnya."
"Kenapa hal itu harus terjadi, ayah?" bertanya Riris. "Apakah dengan demikian aku harus menanggung dosanya."
"Riris. Kalau aku berterus-terang kepadamu tentang hal ini, karena aku menjadi cemas jika kau pada suatu saat mengetahuinya dan kau akan menyalahkan dirimu sendiri," sahut ayahnya. Selanjutnya katanya, "Karena itu, maka biarlah aku katakan kepadamu sekarang, bahwa kau, aku dan Kasadha tidak perlu merasa bersalah. Ki Tumenggung juga tidak bersalah. Kami telah memberi banyak kesempatan kepada Risang untuk mengendapkan perasaannya. Tetapi hatinya menjadi sekeras batu. Mungkin ia merasa bahwa ia sudah banyak berjasa kepada Pajang, sehingga ia dapat berbuat apa saja menurut keinginannya sendiri."
Tetapi tiba-tiba Jangkung memotong, "Tidak ayah. Aku kenal Risang dengan baik. Ia bukan jenis seorang yang berbangga atas jasa-jasa yang telah diberikan. Dengan ikhlas ia berbuat sesuatu bagi Pajang. Tetapi yang terjadi, justru karena hatinya benar-benar terguncang. Tetapi bukan maksudku untuk membenarkan sikapnya menentang Pajang."
"Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Aku tidak berpendapat apa-apa. Aku hanya ingin meluruskan anggapan tentang dirinya. Tetapi bahwa ia dianggap bersalah kepada Pajang, aku sama sekali tidak dapat mencampurinya."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Riris yang gemetar. Dengan nada lembut. Ki Rangga berkata, "Riris. Tenangkan hatimu. Kau sudah menentukan langkah menyongsong hari depanmu. Kau tidak perlu ragu-ragu."
Riris tidak menjawab. Tetapi dari pelupuknya masih mengalir air matanya.
"Sudahlah Riris. Seperti kata ayahmu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ayahmu juga tidak menyalahkanmu dan tidak menyalahkan dirinya sendiri pula. Demikian pula Kasadha dan Ki Tumenggung Jayayuda. Biarlah paugeran berjalan menurut yang seharusnya, jika paugeran tidak ditegakkan, maka tidak akan ada ketenangan dan kepastian tatanan."
Riris masih tetap berdiam diri. Tetapi keringatnya mengalir semakin banyak.
Ibunya menjadi cemas. Katanya, "Marilah Riris, berbaringlah di bilikmu."
Tetapi Riris menggelengkan kepalanya.
Ki Rangga Dipayuda menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Waktuku hanya sedikit. Aku minta semuanya menanggapi persoalan ini dengan sikap dewasa, jangan kekanak-kanakan seperti Risang."
Jangkung mengerutkan dahinya. Hampir saja mulutnya menjawab, karena ia tidak sependapat dengan ayahnya. Tetapi niatnya diurungkannya, karena pembicaraan mengenai pribadi Risang atau Kasadha akan dapat membuat perasaan Riris semakin terguncang-guncang.
Ki Rangga tidak sempat menunggu dipersiapkannya makan siang, karena ia harus segera berada di baraknya kembali. Ki Rangga hanya sempat minum dan makan beberapa potong makanan. Kemudian Ki Rangga itupun telah minta diri, "Aku akan kembali ke barak. Sekali lagi aku minta agar kalian bersikap dewasa."
Riris masih saja tidak menjawab. Sementara Jangkungpun berkata, "Baiklah ayah. Kami akan melakukan sebagaimana ayah kehendaki. Nanti atau besok pagi aku akan pergi ke Pajang. Aku ingin tahu, kapan ayah berangkat ke Tanah Perdikan bersama pasukan Pajang itu."
Ki Ranggapun kemudian meninggalkan rumahnya kembali ke barak. Nyi Rangga, Jangkung dan Riris mengantarnya sampai ke regol. Bagaimanapun juga hati mereka merasa berat untuk melepaskan Ki Rangga pergi ke medan perang.
"Seharusnya ayah sudah mengundurkan diri. Waktu ayah diangkat kembali, seharusnya memberikan batas waktu kesediaannya, sehingga tidak berlarut-larut seperti sekarang. Apalagi keadaan menjadi semakin panas, persoalan dengan Madiun menjadi semakin gawat, sementara persoalannya menjadi bertambah rumit karena sikap Tanah Perdikan Sembojan," desis Jangkung.
Riris sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Terdengar isaknya justru menjadi semakin keras.
"Sudahlah," berkata Nyi Rangga, "marilah."
Riris memang langsung berlari ke dalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya di pembaringan. Sambil menelungkup Riris menangis.
"Sudahlah Riris," ibunya duduk di bibir pembaringan. "Sudah aku katakan, sebagaimana ayah katakan, kita harus menanggapi persoalan ini dengan sikap dewasa. Kita jangan menyalahkan-diri sendiri. Kita harus yakin, bahwa apa yang kita lakukan adalah hak kita yang sah. Jika kau memang mencintai Kasadha, adalah hakmu untuk menerimanya sebagai suamimu. Orang lain tidak dapat ikut campur, meskipun orang itu pernah berjasa di dalam perjalanan hidupmu."
Riris masih menangis. Isaknya telah mengguncang-guncang tubuhnya yang menelungkup itu.
"Tidurlah," berkata ibunya. "Kau akan menjadi tenang."
Riris masih tetap berdiam diri. Tetapi tangisnya mulai mereda. Sekali-sekali diusapnya matanya yang basah.
Ketika Riris menjadi semakin tenang, maka Nyi Ranggapun telah meninggalkannya di dalam pembaringannya. Di ruang dalam, Jangkung masih duduk merenungi persoalan yang sedang dihadapi oleh keluarganya.
Ibunya yang kemudian duduk di sebelahnya berdesis, "Aku dan ayahmu memang sudah merasa ragu, apakah kami harus mengatakannya kepada Riris atau tidak."
"Tetapi ayah dan ibu sudah benar. Riris memang harus mengetahui persoalan yang menyangkut dirinya, agar ia tidak menyalahkan siapapun, termasuk dirinya sendiri kelak. Persoalan seperti ini memang sebaiknya diketahuinya sebelumnya. Semakin cepat semakin baik."
"Tetapi nampaknya Riris menyesali dirinya."
"Memang dapat dimengerti, ibu," jawab Jangkung. "Riris merasa, karena pilihannya itu, maka telah terjadi perang yang akan membawa korban jiwa. Ia seakan-akan harus memikul tanggung jawab atas kematian banyak orang di medan pertempuran itu."
"Itu akan menjadi beban sepanjang hidupnya, Jangkung."
"Tetapi ayah dan ibu dapat mengatakan kepadanya, selalu setiap ada kesempatan, bahwa tanggung jawab terbesar ada di pundak Risang. Ia tidak seharusnya mengorbankan banyak orang karena dirinya menjadi kecewa. Meskipun sampai saat ini, jika aku diwenangkan memilih, aku tetap memilih Risang, namun aku sadar, bahwa ia tidak boleh larut dari gejolak perasaannya."
"Akibatnya sangat mengerikan, Jangkung. Pasukan Pajang tentu akan memperlakukan Tanah Perdikan Sembojan dengan keras dan kasar, karena Tanah Perdikan Sembojan dianggap telah memberontak. Sebagai isteri seorang prajurit aku sering mendengar ayahmu berceritera tentang tugas-tugas keprajuritannya. Bagaimana mereka memperlakukan orang yang telah memberontak. Bahkan mungkin sekali hukuman yang diberikan adalah hukuman gantung atau hukuman pancung. Jika hal ini ditrapkan atas Risang, apakah ayahmu akan sampai hati menyaksikannya?"
"Tidak ibu. Pajang tidak akan membabi buta. Semua jasa yang pernah dipersembahkan Risang kepada Pajang, serta alasan pemberontakannya, akan dipertimbangkan di saat keputusan hukuman dijatuhkan."
"Tetapi belum tentu seseorang sempat dihadapkan kepada paugeran yang murni. Ayahmu sering berceritera, bahwa para prajurit yang letih dan marah, kadang-kadang tidak memberi kesempatan seseorang dihadapkan kepada paugeran. Hukuman telah dijalani sebelum ia dihadapkan kepada yang berwenang. Sedangkan hukuman yang harus dijalani itu adalah hukuman sesuai dengan keadaan medan yang basah oleh darah."
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia berdesis, "Kasihan Risang. Ia satu-satunya orang yang berhak atas kedudukan yang dipegangnya sekarang. Ia satu-satunya anak Nyi Wiradana."
"Sudahlah Jangkung. Segala sesuatunya berada di luar jangkauan kemampuan dan kuasa kita."
Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah ibu. Tetapi bagaimanapun juga aku ingin mengetahui, kapan ayah berangkat."
"Untuk apa?" bertanya ibunya.
"Ayah sudah terlalu tua untuk turun ke medan perang."
Ibunya menarik nafas panjang. Katanya, "Sudah berapa kali ayahmu pulang dan memberitahukan kepadaku, bahwa ia akan berangkat ke medan perang. Aku tidak pernah membuat pemusatan perhatiannya terpecah antara tugasnya dan keluarganya. Yang selalu aku lakukan adalah berdoa, agar yang Maha Agung selalu melindunginya siang dan malam." Ibunya berhenti sejenak, lalu katanya, "selama ini Yang Maha Agung itu mendengarkan doa ibu."
Jangkung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Meskipun demikian, menjelang sore, Jangkung telah pergi ke Pajang. Ia singgah di rumah seorang kawannya yang juga seorang pedagang kuda. Sambil lalu ia bertanya tentang gerakan pasukan dari barak yang tidak terlalu jauh dari rumah kawannya itu.
"Bukankah ayahmu ada di dalam barak itu?" bertanya kawannya.
"Ya. Aku hanya ingin tahu, kapan ayah berangkat bertugas. Sebab ketika tadi ayah pulang, ayah sendiri belum tahu, kapan pasukan Pati mulai bergerak?"
"Ke Madiun?" bertanya kawannya.
"Tidak. Tugas yang lain."
"Sebuah persiapan perang?"
"Aku tidak tahu. Ayah tidak pernah mengatakan tugas-tugas yang sedang diembannya. Apalagi bersama sebuah pasukan segelar sepapan."
"Apakah kau terbiasa mengintip keberangkatan ayahmu ke medan tugasnya?" bertanya kawannya.
"Tidak. Tetapi kali ini aku ingin melakukannya."
"Kenapa?" bertanya kawannya.
"Tidak apa-apa," jawab Jangkung.
Kawannya tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencoba bertugas sebagai prajurit sandi."
Jangkungpun tersenyum. Katanya, "Jika kau berhasil dengan baik, maka aku akan memberitahukannya kepada ayahku. Mungkin kau benar-benar akan diangkat menjadi prajurit sandi."
"Aku?" kawannya tertawa. Katanya kemudian, "aku adalah jenis orang yang tidak dapat diikat dengan tatanan. Aku bangun kapan saja aku mau bangun. Mungkin setelah matahari sepenggalah. Mungkin setelah saatnya pasar temawon atau bahkan tengah hari. Jika aku menjadi prajurit, maka aku tidak akan tahan terhadap tatanan ketertibannya."
Jangkung menepuk bahu kawannya sambil tertawa pula. Namun kemudian katanya, "Baiklah, aku minta diri. Jika kau lakukan tugas ini dengan baik, besok kau akan diangkat menjadi lurah. Lurah blantik kuda."
Keduanyapun tertawa. Namun kemudian Jangkungpun telah minta diri. Katanya, "Ibu akan menjadi gelisah jika aku tidak segera pulang."
"Baiklah. Kapan kau akan datang lagi?"
"Besok pagi." Demikianlah, Jangkungpun kemudian meninggalkan Pajang kembali pulang.
Tetapi di rumah Jangkung tidak mengatakan kemana saja ia pergi dan apa saja yang dilakukan. Ketika ibunya bertanya, maka Jangkung itupun menjawab, "Ada seorang saudagar permata yang memerlukan seekor kuda yang baik. Saudagar itu terbiasa menempuh perjalanan jauh. Dan bahkan kadang-kadang harus melarikan diri dari kejaran penjahat jika ia merasa tidak dapat melawannya."
Ibunya tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan Jangkunglah yang bertanya, "Bagaimana dengan Riris?"
"Ia sudah menjadi lebih tenang."
"Syukurlah," desis Jangkung.
Sebenarnyalah bahwa Riris telah duduk di amben panjang di dapur. Dipandanginya lidah api yang menjilat-jilat di perapian. Di atas api itu terdapat sebuah belanga yang berisi air yang sedang mendidih.
Jangkung tidak mengganggunya seperti biasanya. Ketika ia melihat adiknya merenung, maka iapun bertanya, "Kau dapat tidur tadi, Riris?"
Riris menarik nafas panjang. Dipandanginya wajah kakaknya sejenak. Sambil mengangguk kecil ia berdesis, "Ya Kakang."
"Dimana ibu?" bertanya Jangkung kemudian.
"Di dalam," jawab Riris.
"Aku baru saja berbicara dengan ibu di dalam. Aku kira ibu juga pergi ke dapur."
"Ibu tidak kemari," jawab Riris.
Jangkung kembali masuk ke dalam mencari ibunya. Ditemuinya ibunya di dalam biliknya sedang melipati pakaian yang baru kering dan diangkat dari jemuran.
"Jangan biarkan Riris seorang diri ibu. Ia sempat merenung dan mereka-reka persoalan yang barangkali berada di luar jangkauan penalarannya."
Ibunya mengangguk. Katanya, "Baiklah. Biar ia membantu melipat pakaian ini."
Nyi Ranggapun kemudian telah memanggil Riris. Demikian Riris mendatanginya, maka Ki Ranggapun berkata, "Duduklah. Daripada kau merenung, bantulah ibu melipat pakaian."
Ririspun duduk di sebelah ibunya dan membantunya melipat pakaian. Namun Riris tidak banyak berbicara sebagaimana biasanya. Meskipun tangannya sibuk, tetapi pandangan matanya kadang-kadang menerawang ke jagad angan-angannya.
Dalam pada itu, Ki Rangga Dipayuda di baraknya telah bersiap bersama pasukannya. Hampir semua prajurit dari barak itu akan berangkat. Yang tersisa hanyalah sekelompok yang terdiri dari seratus orang yang akan menunggui, mengatur dan memelihara barak itu sebaik-baiknya.
Malam itu juga Ki Tumenggung Jayayuda akan membawa pasukannya berangkat ke Tanah Perdikan Sembojan. Kecuali pasukannya sendiri, Ki Tumenggung akan membawa pasukan cadangan pula yang akan memperkuat pasukannya jika keadaan memaksa. Disamping itu juga pasukan kecil yang akan mengurus perbekalan dan perlengkapan. Menyelenggarakan dapur dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan bagi para prajurit.
Ternyata Ki Tumenggung tidak menunggu lebih lama lagi. Demikian malam turun, maka pasukan itupun mulai bergerak. Di alun-alun telah menunggu pasukan cadangan yang akan berangkat bersama pasukan Ki Jayayuda.
Ki Jayayuda sengaja tidak membunyikan isyarat-isyarat keprajuritan. Tidak pula memasang rontek dan kelebet pada tunggul-tunggulnya, meskipun tunggul-tunggul kebesaran tetap dibawa, sebagai-lambang tatak dari pasukannya.
Meskipun pasukan itu seakan-akan berangkat dengan diam-diam, namun orang-orang Pajang akhirnya mengetahuinya juga, bahwa pasukan segelar sepapan telah meninggalkan gerbang kota menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Namun tidak semua orang tahu, untuk apa pasukan itu pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Tidak semua orang tahu bahwa Sembojan telah menentang perintah Kangjeng Adipati Pajang.
Perjalanan pasukan Pajang itu memang tidak secepat perjalanan para prajurit berkuda yang pernah menjadi utusan Ki Tumenggung Jayayuda ke Tanah Perdikan. Iring-iringan prajurit Pajang itu berjalan sangat lamban.
Tetapi hal itu sudah diperhitungkan oleh Ki Tumenggung. Mereka akan berjalan sampai dini hari. Kemudian pasukan itu akan berhenti untuk beristirahat. Di saat fajar menyingsing pasukan itu akan meneruskan perjalanan sehari penuh. Mereka berharap bahwa mereka akan berada di perbatasan Tanah Perdikan Sembojan menjelang malam. Mereka dapat beristirahat semalam penuh. Meskipun Ki Jayayuda tidak merencanakan untuk segera menyerang di hari berikutnya, namun para prajuritnya harus sempat beristirahat justru seandainya pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan menyerang lebih dahulu di pagi hari berikutnya. Tetapi jika pasukan pengawal Tanah Perdikan tidak menyerang, maka mereka masih mempunyai waktu sehari semalam. Ki Tumenggung masih akan mempergunakan waktu yang sehari semalam itu untuk memberi kesempatan terakhir bagi Tanah Perdikan Sembojan untuk menghindarkan kemungkinan terjadi perang.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itu berderap dengan langkah yang gemuruh melintasi jalan-jalan yang berdebu menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha ada di dalam pasukan itu.
Dengan kepala tunduk dan jantung yang berdebaran, Ki Lurah Kasadha berjalan di antara prajurit-prajuritnya. Setiap derap langkah para prajurit itu terasa bagaikan menghentak-hentak di dalam dadanya, mengguncang jantung. Berbagai macam gejolak perasaan memang tengah mengguncang jiwanya. Kasadha mulai membayangkan bahwa jika perang terjadi, maka akan banyak sekali korban yang berjatuhan. Kasadha tahu benar kemampuan para pengawal Tanah Perdikan. Kasadhapun tahu benar, beberapa orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan tidak akan membiarkan Risang berjuang sendiri. Kasadha tahu betapa tinggi ilmu Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan apalagi Nyi Wiradana di samping Risang sendiri.
Kadang-kadang Kasadha juga merasa bersalah dan bertanggung jawab jika berpuluh orang terbaring diam dengan luka yang menganga di tubuhnya.
Bahkan seiring timbul, pula penyesalan di dalam hatinya, kenapa ia pernah bertemu dan akhirnya hatinya telah terlambat oleh anak Ki Rangga Dipayuda.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika pada suatu saat ia duduk bersanding dengan Riris, maka rasa-rasanya tempat duduknya itu beralaskan tubuh-tubuh yang terbujur diam. Terbayang di rongga matanya, darah yang mengalir membasahi suguhan yang dihidangkan. Jika terdengar bunyi gamelan, rasa-rasanya dibarengi dengan dentang senjata beradu, sedangkan tembang yang mengalun akan terdengar seperti suara tangis yang pilu.
Kasadha menggeretakkan giginya. Tetapi apakah ia harus melangkah surut sementara Risang sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berdiri meskipun ia tahu, bahwa di antara rakyatnya sendiri akan jatuh berpuluh korban pula" Bahkan nama Tanah Perdikan Sembojanpun tentu akan segera berakhir.
Kasadha masih melangkah di antara prajurit-prajuritnya. Tetapi tubuhnya seakan-akan sekedar hanyut di antara pasukannya yang berderap maju itu.
Dalam pada itu, maka rencana perjalanan sebagaimana sudah diatur oleh Ki Tumenggung itupun dilaksanakan dengan tertib. Pasukan itu sama sekali tidak berhenti sepanjang malam sampai menjelang pagi. Baru kemudian Ki Rangga itu memberikan isyarat untuk menghentikan pasukan di sebuah pategalan yang luas. Para prajurit diijinkan untuk beristirahat sampai fajar.
Ternyata kelelahan yang mencengkam telah membuat para prajurit itu segera tertidur dimanapun mereka menjatuhkan tubuhnya. Namun dalam pada itu, sekelompok prajurit ternyata tidak sempat beristirahat. Mereka harus segera mempersiapkan peralatan mereka untuk menjerang air dan menanak nasi. Meskipun hanya dengan dendeng ragi, maka para prajurit harus makan sebelum mereka berangkat.
Kesempatan beristirahat yang sebentar itu membuat tubuh para prajurit menjadi segar kembali. Apalagi ketika kemudian mereka mendapat bagian makan mereka. Nasi hangat dengan dendeng ragi yang memang sudah disiapkan dan dibawa dari Pajang.
Para prajurit itu masih mempunyai waktu sejenak sebelum mereka harus melanjutkan perjalanan, agar perut mereka tidak justru menjadi sakit.
Ketika matahari mulai membayang dengan cahayanya yang kuning kemerah-merahan, maka para prajurit itu sudah diperintahkan untuk bersiap. Mereka akan melanjutkan perjalanan mereka di siang hari.
Kuda-kuda selain beberapa ekor kuda tunggangan untuk Ki Tumenggung dan terutama para penghubung, telah mendapat beban bekal makan bagi para prajurit di perjalanan. Karena sekelompok prajurit yang bertugas mempersiapkan bekal tidak akan menanak nasi di perjalanan.
Perjalanan para prajurit Pajang itu menjadi berat ketika matahari naik semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Keringat mulai mengalir membasahi punggung.
Tetapi mataharipun tidak berhenti. Mataharipun memanjat langit semakin tinggi dan panasnyapun terasa semakin menyengat.
Perjalanan yang berat itu telah membuat para prajurit menjadi semakin garang. Telapak tangan mereka yang basah oleh keringat membuat tangan mereka menjadi gatal. Rasa-rasanya mereka ingin lebih cepat menarik senjata mereka dari wrangkanya.
"Panasnya," desis seorang prajurit sambil mengusap dahinya.
"Aku lebih senang bertempur menghadapi musuh daripada dipanggang di teriknya sinar matahari seperti ini."
"Kita akan mengalami kedua-duanya. Bertempur sambil dipanggang di panasnya sinar matahari seperti ini."
"Tetapi ada sasaran untuk melepaskan gejolak perasaan kita," jawab kawannya.
Memburu Iblis 20 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Cakar Harimau 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama