13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 11
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak itu mampu memaksa dirinya sendiri untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuatnya, justru karena itu, maka Glagah Putih pun menganggap bahwa Sukra akan mampu menempa dirinya sendiri dengan sedikit dorongan serta petunjuk-petunjuk yang mendasar.
Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Glagah Putih pun berkata, "Kau dapat mengalihkan kegiatanmu dengan pliridanmu itu. Kau dapat berada di sanggar pada saat-saat tertentu. Jika sanggar tertutup itu dipergunakan, kau dapat mempergunakan sanggar terbuka untuk berlatih."
"Sanggar terbuka yang mana?" bertanya Sukra
"Besok kita akan membuatnya. Kakang Agung Sedayu tidak akan berkeberatan. Kita akan memotong bambu, beberapa batang kayu dan sebatang pohon kelapa."
Sukra mengangguk-angguk kecil. Ia sudah terlalu sering berada di dalam sanggar, sehingga ia mengetahui apa saja yang ada di dalamnya.
"Nah, latihanmu besok akan sampai pada tataran memotong bambu dan kayu. Bukankah kau sudah mempunyai bentuk mula dari sanggar di sudut kebun belakang itu" Kita tinggal melengkapinya besok."
"Baru sebuah palang bambu yang ada di sana," berkata Sukra.
"Nah, jika kau setuju, maka hari ini kau dapat menyerahkan pliridanmu kepada salah seorang kawanmu. Anak itu tentu akan senang menerimanya."
"Aku tidak akan memberikannya. Aku hanya akan meminjamkannya untuk waktu yang tidak terbatas."
"Kau memang kikir."
Sukra mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab.
"Nah, sudahlah. Pembicaraan kita sudah selesai," berkata Glagah Putih. Namun kemudian katanya, "Aku akan memberikan beberapa petunjuk awal agar kau tidak terlalu tergantung kepada keberadaanku. Tanpa aku, kau akan dapat berlatih sendiri dengan baik."
Sukra mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa agaknya Gagah Putih bersungguh-sungguh ingin menuntunnya, meskipun Sukra juga menyadari, bahwa setiap saat Glagah Putih itu akan terlibat ke dalam satu persoalan yang akan menghisap seluruh tenaga dan waktunya. Namun mumpung ada kesempatan betapapun kecilnya akan dapat dimanfaatkannya sebaik-baiknya
Hari itu Sukra menemui seorang kawannya yang masih agak lebih kecil dari dirinya. Anak itu menjadi heran mendengar Sukra akan meminjamkan pliridannya kepadanya.
Justru karena itu, maka untuk beberapa saat kawannya itu berdiri saja termangu-mangu.
"Kau kenapa?" bertanya Sukra.
"Maksudmu, aku boleh membuka dan menutup pliridanmu setiap malam?"
"Kenapa kau tidak menutup dan membuka sendiri" Pliridanmu termasuk pliridan yang baik, Sukra. Beberapa kali sungai itu banjir, pliridanmu tidak hanyut. Hanya rusak sedikit yang dengan mudah dapat kau perbaiki."
"Sudahlah, pakailah. Mungkin dua tiga bulan. Mungkin lebih. Tetapi mungkin juga sebelumnya."
"Baik. Terima kasih. Tetapi kau juga harus mengatakannya kepada satu dua orang kawan yang lain agar tidak terjadi salah paham. Mungkin saja mereka menganggap bahwa kau terlantarkan pliridan itu sehingga siapa pun berhak menutup dan membukanya."
"Baik. Aku akan mengatakan kepada kawan-kawan bahwa aku serahkan untuk sementara pliridan itu kepadamu."
"Ya. "Terima kasih, terima kasih."
Dengan demikian sejak hari itu, Sukra sudah tidak turun lagi ke sungai di malam dan di dini hari. Tetapi bersama Glagah Putih, Sukra meningkatkan latihan-latihan kanuragan. Setiap malam Sukra harus melakukan latihan. Bahkan kadang-kadang di siang hari dan kapan saja ada waktu luang.
Nampaknya Glagah Putih juga mulai bersungguh-sungguh. Bersama Sukra, Glagah Putih telah membuat tempat latihan terbuka yang meskipun sederhana, tetapi memenuhi kebutuhan.
Apalagi setelah Rara Wulan kembali melakukan latihan-latihan bersama Sekar Mirah. Maka waktu Glagah Putih menjadi semakin luas.
Seperti yang dikatakan, Glagah Putih tidak saja melakukan latihan bersama. Tetapi Glagah Putih juga memberikan beberapa petunjuk, sehingga setiap saat Sukra dapat berlatih sendiri jika ia mempunyai waktu.
Sementara itu, ketika Sekar Mirah sudah menjadi benar-benar pulih kembali, maka Glagah Putih pun telah sering berada di banjar lagi. Bersama Prastawa, Glagah Putih masih tetap meningkatkan kesiagaan dan kemampuan para pengawal. Meskipun di saat itu keadaan tanah perdikan terasa tenang, namun para pengawal tanah perdikan tidak boleh menjadi lengah.
Dalam pada itu, ketika rumah Agung Sedayu nampak sepi, karena Glagah Putih sedang pergi ke banjar, sementara Rara Wulan pergi berbelanja, dua orang yang pernah datang ke rumah Agung Sedayu itu pun telah datang lagi.
Ketika keduanya sudah duduk di pringgitan, maka Sekar Mirah yang menemui mereka pun langsung berkata, "Bukankah aku mohon kalian datang di saat-saat Kakang Agung Sedayu ada di rumah"
Ki Saba Lintanglah yang menjawab, "Maaf, Nyi Lurah. Sebenarnya kami juga ingin dapat bertemu langsung dengan Ki lurah Agung Sedayu, tetapi ternyata waktu kami sangat sempit, sehingga kami harus mempergunakannya sebaik-baiknya."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia pun kemudian bertanya, "Jadi, apa lagi yang harus kita bicarakan?"
"Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang, "kami masih ingin berbicara tentang pertemuan yang kami anggap sangat penting itu. Pertemuan itu akan sangat berarti bagi satu kebangkitan. Perguruan kita selama ini telah tertidur nyenyak."
"Aku mengerti," jawab Sekar Mirah.
"Jika demikian, maka marilah kita sepakat untuk memutuskan, bahwa pertemuan itu harus berlangsung."
"Maksud Ki Saba Lintang?" bertanya Sekar Mirah.
"Maksudku, marilah kita bertekad dan berjanji, apapun hambatannya, maka pertemuan itu harus dapat dilangsungkan."
"Ki Saba Lintang," sahut Sekar Mirah, ia harus berhati-hati menanggapi persoalan-persoalan yang diajukan oleh Ki Saba Lintang. Karena itu, maka ia pun berkata selanjutnya, "Aku setuju pertemuan itu dilaksanakan. Tetapi bukan berarti bahwa aku harus tunduk kepada kalian apapun syaratnya. Katakan, mengenai tempat misalnya. Juga mengenai waktu."
"Kita belum berbicara tentang tempat dan waktu, Nyi Lurah, kita baru sampai pada landasan pikiran, bahwa pertemuan itu harus berlangsung apapun hambatannya. Kita bertekad untuk mengatasi semua hambatan. Jika perlu kita harus mengorbankan kepentingan pribadi kita masing-masing."
Ternyata Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, "Apakah kita harus memperbaharui pembicaraan kita" Aku sudah mengatakan, bahwa aku tidak akan dapat ikut dalam pertemuan itu jika pertemuan itu diselenggarakan di luar Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Jangan mulai dari sana, Nyi Lurah. Seperti aku katakan, kita mulai dari pembicaraan yang paling mendasar, pertemuan itu harus diselenggarakan."
"Aku yang mau kita mulai dari sana. Menurut pendapatku, kita harus mulai dari pengertian bahwa pertemuan itu harus diselenggarakan. Pertemuan yang pertama akan diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh."
"Nyi Lurah. Jika demikian, Nyi Lurah akan dapat dikira mementingkan diri sendiri."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba dengan nada rendah ia berkata, "Baiklah. Daripada aku menjadi penghambat dari pertemuan ini, maka lupakan saja aku."
Kedua orang tamu Sekar Mirah itu saling berpandangan. Namun kemudian Ki Saba Lintang itu tersenyum sambil berkata, "Maksud kami bukan demikian, Nyi Lurah. Apalagi Nyi Lurah adalah salah seorang dari pemilik ciri khusus perguruan kita. Karena itu, maka Nyi Lurah harus terlibat di dalamnya, bahkan seharusnya Nyi Lurah memegang peranan dalam usaha membangkitkan kembali perguruan kita ini."
"Aku memang harus mengakui bahwa aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. Karena itu, kalian tidak perlu menghiraukan orang yang mementingkan diri sendiri."
"Sama sekali tidak ada niat kami untuk meninggalkan Nyi Lurah, justru karena Nyi Lurah merupakan salah satu pilar dari perguruan kami."
"Jika demikian, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Aku sudah menyatakan sikapku. Apakah sikap itu dapat diterima atau tidak."
"Nyi Lurah " berkata Ki Saba Lintang "baiklah aku memberikan sedikit keterangan untuk membuka jalan pembicaraan kita lebih lanjut. Ternyata sebagian besar dari orang-orang terpenting yang sempat aku temui, memilih ujung Kali Geduwang sebagai tempat pertemuan yang pertama. Mungkin pertemuan berikutnya akan dapat diselenggarakan di tanah perdikan ini."
Sekar Mirah menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Saba Lintang. Aku tetap pada sikapku. Pertemuan itu harus diselenggarakan di tanah perdikan ini, atau jika semuanya berkeberatan, lupakan saja aku. Kalian dapat menyelenggarakan pertemuan di mana saja kalian kehendaki tanpa aku."
"Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang dengan nada rendah, "kami mohon dengan sungguh-sungguh Nyi Lurah berkenan datang ke ujung Kali Geduwang itu."
"Sudah aku katakan, aku tidak bersedia."
"Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang selanjutnya, "yang tinggal di ujung Kali Geduwang adalah salah seorang terpenting di lingkungan kita. Ia juga seorang perempuan sebagaimana Nyi Lurah. Ia juga mengalami kesulitan untuk meninggalkan rumahnya."
"Nah, bukankah tidak hanya aku saja yang tidak terlalu mudah untuk meninggalkan keluarga. Ternyata perempuan itu juga tidak mau pergi dari rumahnya, Nah, kenapa kalian tidak memilih aku" Aku adalah salah seorang pemilik ciri dari pertanda kebesaran perguruan kita."
"Orang itu sangat kami hormati."
"Siapakah perempuan itu?"
"Perempuan itu adalah anak Mpu Wisanata. Namanya Nyi Dwani. Umurnya kira-kira sedikit lebih tua dari Nyi Lurah."
Wajah Sekar Mirah nampak berkerut. Dipandanginya kedua orang itu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi Sekar Mirah itu pun berkata, "Jika kau hormati orang itu lebih dari aku. Pergilah kepadanya. Mintalah orang yang kau sebut Nyi Dwani itu untuk bersamamu memimpin perguruan kita "
"Tetapi Nyi Dwani tidak memiliki pertanda apapun sebagaimana Nyi Lurah Miliki "
"Kenapa bukan orang itu yang memilikinya " kenapa aku ?"
"Tidak seorang pun di antara kita yang dapat menyebutnya. Tetapi jika kita mengadakan pertemuan, serta kita sependapat untuk membangun kembali perguruan yang tertidur ini, maka akan diadakan semacam penilaian kembali, siapakah yang berhak memiliki pertanda pemegang kekuasaan tertinggi dari perguruan kita."
"Maksudmu, keabsahanku memiliki tongkat itu akan dipertanyakan?"
"Maaf Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang, "maksud kami, kami justru akan mengukuhkan kepemimpinan Nyi Lurah. Tentu saja sesudah diadakan semacam pembuktian tentang keabsahan pemilikan tongkat baja pertanda kepemimpinan perguruan itu."
"Sekarang menjadi jelas bagiku," berkata Sekar Mirah, "kalian ingin merampas tongkat itu dari tanganku."
"Tidak. Jangan salah paham. Sudah aku katakan, kami justru ingin mengukuhkan kepemimpinan Nyi Lurah. Jika kelak diadakan semacam pendadaran itu sekedar membuktikan bahwa Nyi Lurah memang berhak atas tongkat itu, sehingga kepemimpinan Nyi Lurah tidak akan diragukan lagi."
"Aku tidak akan datang. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan meragukan pemilikanku atas tongkat itu atau tidak. Aku tidak peduli apakah kepemimpinanku diabsahkan atau tidak. Dikukuhkan atau bahkan diingkari."
"Jangan begitu, Nyi lurah," berkata Ki Saba Lintang, "bukankah kita satu keluarga besar yang saling menghormati. Kita harus terbuka yang satu dengan yang lain."
"Sekali lagi aku tegaskan. Aku minta pertemuan itu dilangsungkan di sini."
"Nyi Lurah?" berkata Ki Welat Wulung yang nampaknya tidak telaten mendengar pembicaraan itu, "sebaiknya Nyi Lurah bersedia untuk melakukan pendadaran. Tongkat itu hanya pantas dimiliki oleh para murid pada tataran tertinggi."
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Dengan lantang ia pun menjawab, "Tidak seorang pun dapat menggelitik aku tentang pemilikanku atas tongkat itu. Ketika aku menerima tongkat itu, aku tidak berurusan dengan kalian. Karena itu, kalian tidak berhak berbicara tentang tongkat itu."
Ternyata Ki Welat Wulung tidak dapat menahan diri lagi. Dengan lantang ia pun berkata, "Nyi Lurah. Jika Nyi Lurah tidak berani memasuki pendadaran untuk membuktikan bahwa Nyi Lurah memang pantas memiliki tongkat kepemimpinan itu, berarti bahwa Nyi Lurah bukan seorang yang bertanggung jawab."
"Ki Welat Wulung. Ketika aku menerima tongkat itu, sama sekali tidak dapat pernyataan dari guru, bahwa seorang yang memilikinya harus mempunyai tataran tertentu. Guru tidak pula mengatakan bahwa aku akan menjadi salah seorang pemimpin dari perguruan ini. Karena itu, maka aku berhak melepaskan diri dari keterikatanku dengan kalian."
"Tidak," sahut Ki Welat Wulung.
Namun Ki Saba Lintang pun segera menggamitnya. Yang kemudian berbicara adalah Ki Saba Lintang, "Sekali lagi aku mohon, Nyi Lurah jangan salah paham. Niat kami mula-mula adalah mengukuhkan kedudukan Nyi Lurah."
"Aku sudah tahu latar belakang dari niat kalian menyelenggarakan pertemuan itu. Karena itu, maka aku tidak akan mengulangi lagi pernyataanku. Jika kalian masih ingin menyertakan aku, pertemuan itu harus diadakan di sini. Tidak akan ada penilaian kembali terhadap pemilikan tongkat ini."
"Baiklah Nyi Lurah. Kami mohon diri. Tetapi kami mohon Nyi Lurah mempersiapkan diri untuk memasuki pendadaran yang mau tidak mau harus Nyi Lurah lakukan. Tidak ada orang lain dari luar perguruan kita yang dapat ikut mencampuri persoalan yang akan kami selenggarakan."
"Tidak ada orang yang dapat memaksa aku untuk melakukan apa yang tidak aku sukai," jawab Sekar Mirah.
Wajah Welat Wulung menjadi tegang. Namun Ki Saba Lintang masih dapat tersenyum sambil berkata, "Nyi. Kami mohon diri. Sekali lagi kami mohon, Nyi Lurah jangan salah mengerti. Kami bermaksud baik. Terutama bagi tegaknya kembali perguruan kita."
"Silakan," jawab Sekar Mirah.
Kedua orang itu pun kemudian bangkit dan melangkah menuruni pendapa. Sekar Mirah tidak mengantar mereka sampai ke regol halaman. Tetapi ia terdiri saja di tangga.
Demikian kedua orang itu keluar dari regol halaman, maka Sekar Mirah pun berpaling. Dilihatnya Sukra berdiri di pintu sekheteng. Seperti yang terdahulu, Sukra siap memukul kentongan jika diperlukan. Glagah Putih mengenal betul suara kentongan di rumah itu, sehingga ia akan segera pulang jika ia mendengarnya. Seandainya Glagah Putih pergi ke padukuhan lain, maka tentu ada yang mendengarnya dan berbuat sesuatu.
Sekar Mirah yang berdiri di tangga pendapa itu memandanginya sambil tersenyum. Katanya, "Kau amati kedua orang tamu itu Sukra?"
"Ya, Nyi," jawab Sukra ragu.
"Terima kasih," desis Sekar Mirah sambil melangkah naik ke pendapa. Lewat pintu pringgitan Sekar Mirah masuk ke ruang dalam. Wajahnya masih nampak buram. Hatinya merasa kesal.
Sejenak Sekar Mirah duduk. Namun kemudian ia pun segera bangkit berdiri dan melangkah ke dapur. Dikerjakannya apa saja yang dapat dikerjakan sambil menunggu Rara Wulan pulang.
Ketika Rara Wulan pulang dan masuk ke dalam dapur, ia melihat kerut di dahi Sekar Mirah yang duduk di depan perapian menanak nasi.
"Ada apa Mbakayu?" bertanya Rara Wulan.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan perasaannya yang terguncang.
"Duduklah," Sekar Mirah pun kemudian duduk di atas amben bambu.
Rara Wulan pun kemudian duduk di amben itu pula. Sekar Mirah yang masih merasa kesal itu pun telah menceritakan kedatangan kedua orang itu.
"Mereka datang lagi?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Niat mereka menjadi semakin jelas. Mereka tidak bermaksud baik. Terutama terhadap aku."
"Apa maksudnya?"
Sekar Mirah pun kemudian telah menceritakan maksud kedatangan kedua orang itu, yang nampak semakin jelas niat buruk mereka.
"Mereka ingin merampas tongkat Mbakayu," desis Rara Wulan.
"Ya. Mereka inginkan tongkat itu. Mereka telah merencanakan cara yang licik. Mereka ingin menjebak aku dalam satu lingkaran pendadaran yang tentu mereka buat terlalu berat sehingga berada di luar kemampuan seseorang."
"Mbakayu jangan melayaninya."
"Aku sudah mengatakan kepada mereka, aku tidak mau hadir dalam pertemuan di manapun juga. Kecuali di tanah perdikan ini."
"Tepat sekali," sahut Rara Wulan, "di sini segala-galanya dapat diawasi."
"Kita akan berbicara dengan kakangmu Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun terbayang di angan-angannya sekelompok orang yang dengan kasar berusaha merenggut tongkat baja milik Sekar Mirah. Namun di dalam hati Rara Wulan itu pun berkata, "Namun Mbakayu Sekar Mirah telah mencapai tataran tertinggi dari ilmunya yang sudah dilengkapi dengan warna-warna lain yang membuat ilmu Mbakayu Sekar Mirah menjadi semakin lengkap dan mempunyai kelebihan dari ilmu dasar perguruannya sendiri, karena dengan demikian ilmunya menjadi semakin lengkap."
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi karena kelicikan orang-orang yang ingin merampas tongkatnya itu.
Bahkan Sekar Mirah menduga, mereka sama sekali bukan orang-orang yang pantas untuk membangkitkan kembali perguruan yang telah lama seakan-akan tidak berbekas lagi itu.
Justru karena itu, maka setiap hari Sekar Mirah telah menyisihkan waktunya untuk selalu mengasah ilmunya. Bahkan setiap kali Sekar Mirah berada di sanggar bersama Rara Wulan, maka ia menyempatkan diri untuk mempertajam penguasaannya atas ilmunya yang sudah dikuasainya sampai ke puncaknya itu.
Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata sependapat dengan Sekar Mirah. Mereka belum pernah bertemu dan apalagi berbicara langsung, tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih mulai menjadi curiga akan niat baik kedua orang itu.
Bahkan Glagah Putih pun berkata, "Agaknya mereka mendapatkan tongkat yang satu lagi itu juga dengan cara yang licik."
"Mungkin sekali," sahut Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, "Tetapi mereka tidak akan pernah mendapatkan tongkatku itu."
Untuk memantapkan tekad Sekar Mirah, Agung Sedayu pun menyempatkan diri untuk sekali-sekali berada di sanggar bersama Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah sudah sampai ke puncak, namun dengan setiap kali mengasahnya, maka kemampuan Sekar Mirah pun menjadi semakin matang. Pengaruh ilmu yang sudah menyatu di dalam dirinya dari perguruan yang lain, telah menjadikan ilmunya semakin bulat utuh.
"Sekar Mirah," berkata Agung Sedayu pada suatu malam setelah mereka selesai berlatih di sanggar, "menurut pendapatku, ada maksud kedua orang yang datang padamu itu untuk menyudutkanmu. Mereka sudah menyebut nama seseorang yang mereka anggap memiliki kedudukan yang tinggi. Bahkan mereka telah memberatkan perempuan itu sehingga mereka ingin menyelenggarakan pertemuan itu di ujung Kali Geduwang. Karena itu, aku menduga bahwa mereka ingin memindahkan tongkat yang kau miliki itu ke tangannya"
"Aku akan mempertahankannya Kakang."
"Aku mengerti. Tetapi menurut perhitunganku, mereka akan memperbandingkan ilmu perempuan yang disebutnya bernama Nyi Dwani itu dengan ilmumu."
"Aku juga sudah menduganya Kakang. Mereka akan membuai semacam arena untuk mempertaruhkan tongkat itu."
"Apa jawabmu jika mereka menawarkan hal itu kepadamu."
"Aku akan menerima tantangan itu. Tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemilikan tongkat itu. Ia dapat membunuhku di arena jika perempuan itu memang menghendaki dan ia berhasil mengalahkan aku. Tetapi aku tidak akan menyerahkan tongkat ini kepadanya. Jika aku harus mati di arena, maka aku mohon Kakang melindungi tongkatku. Lebih baik tongkat itu dimusnahkan daripada harus aku serahkan kepada orang yang tidak aku ketahui dengan pasti, maksud dan tujuannya."
"Bagus, Mirah. Tetapi kau tidak akan dikalahkannya jika mereka menawarkan perbandingan ilmu itu kepadamu. Aku yakin itu. Ilmumu telah meningkat selangkah panjang. Sisipan unsur-unsur ilmu dari perguruan orang bercambuk, dari perguruan Ki Sadewa dan bahkan dengan pengembangannya, telah menyatu luluh di dalam dirimu. Penguasaanmu mengungkapkan tenaga dalammu sangat mengagumkan. Ketahanan tubuhmu ternyata melampaui ketahanan tubuh mereka yang berilmu tinggi sekali pun. Terakhir, dengan ilmumu, kau telah mampu menghancurkan batu padas yang keras itu. Kilatan cahaya dari hentakan ilmumu menandakan, penguasaanmu yang matang atas semuanya yang kau miliki."
"Kakang hanya ingin membesarkan hatiku."
"Tidak. Aku tidak mau menyesatkan perasaanmu. Selebihnya kau juga sudah melatih diri menghadapi jenis-jenis ilmu yang dapat mem-bingungkanmu. Seandainya orang itu memiliki ilmu yang sejenis dengan ilmu yang kesannya mampu menyentuh sasaran di luar jangkauan wadagnya, kau pun telah berlatih untuk mengatasinya. Bahkan jika orang itu memiliki kemampuan untuk menyerang dari jarak jauh pun, kau sudah menguasai cara terbaik untuk melawannya. Kau pun akan mampu mengatasinya jika lawanmu mempergunakan berjenis-jenis senjata rahasia yang paling kecil sekali pun. Kau juga sudah belajar melawan aji pacar wutah yang mengerikan itu."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti Kakang. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan Kakang yang telah memberikan latihan-latihan dengan bersungguh-sungguh."
"Aku tidak kecewa Mirah. Kau pun harus meyakinkan dirimu sendiri. Meskipun demikian, kau harus tetap berserah diri kepada Yang Maha Agung."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Kakang. Seterusnya aku hanya tinggal menunggu, kapan tantangan itu bakal datang. Karena seperti Kakang, aku pun yakin, bahwa hal itu akan terjadi."
"Kau tidak usah menunggu dengan tegang. Mirah. Bahkan lupakan saja persoalan yang menyangkut dengan tongkatmu itu. Jika hal itu benar-benar datang, barulah kita akan menanggapinya."
Sekar Mirah mengerti maksud Agung Sedayu. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku akan berusaha Kakang."
"Yang penting, lakukan yang ingin kau lakukan dengan ilmumu. Jika perlu kita akan pergi ke lereng bukit. Menyenangkan sekali menghirup segarnya udara menjelang senja, namun tempat itu juga merupakan tempat yang baik untuk berlatih."
Mata Sekar Mirah menjadi berkilat-kilat. Ajakan Agung Sedayu itu sangat menyenangkannya. Berjalan-jalan di lereng bukit menjelang senja.
Tetapi yang kemudian benar-benar dilakukan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah bukan sekedar berjalan-jalan di lereng bukit. Tetapi mereka pun kemudian dengan teratur pergi ke lereng bukit setiap tiga hari sekali. Mereka berlari-lari di sela-sela hutan lereng pegunungan. Di atas tanah berbatu padas. Mereka menyusuri jalan setapak yang sempit, rumpil dan naik turun.
Kemudian di atas bukit, di tempat yang luang dan terbuka, mereka melakukan latihan-latihan yang berat. Beberapa kali Agung Sedayu menyaksikan Sekar Mirah yang sudah menguasai puncak ilmunya itu meloncat sambil mengayunkan tongkatnya menghantam batu-batu padas. Sepercik cahaya yang terang memancar disusul ledakan batu-batu padas yang pecah berderai.
Latihan-latihan yang dilakukan itu membuat Agung Sedayu semakin mantap atas kemampuan Sekar Mirah. Bahkan Agung Sedayu yakin, orang-orang lain yang pada dasarnya beralaskan ilmu dari perguruan yang sama dengan Sekar Mirah, akan mengalami kesulitan menghadapinya, justru karena unsur-unsur yang dikuasai oleh Sekar Mirah tidak dapat ditebak lagi. Meskipun masih dapat dilacak ciri pokok dari ilmunya, tetapi ilmu yang sudah berkembang itu menjadi jauh lebih padat dari dasar ilmu Sekar Mirah itu sendiri.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun kadang-kadang telah ikut pula ke perbukitan. Mereka pun ternyata menyenangi kebiasaan itu. Mereka pun menyenangi melakukan latihan-latihan di sela-sela hutan lereng pegunungan serta di tempat terbuka di ujung perbukitan.
Namun dalam pada itu, Prastawa mulai mendapat laporan dari para pengawal, bahwa ada di antara para pengawal yang sempat melihat orang-orang yang tidak dikenal berada di tanah perdikan.
"Mereka tentu berilmu tinggi," berkata salah seorang pengawal, "jika kami berusaha menemui mereka, mereka selalu berhasil menghindar. Sehingga belum seorang pun di antara kami yang sempat menemui mereka."
"Apakah ada laporan tentang pencurian atau perampokan atau tindak kejahatan yang lain?" bertanya Prastawa.
"Tidak," jawab pengawal itu.
Ketika Glagah Putih kemudian mendengar laporan itu pula, maka Glagah Putih mencoba menghubungkannya dengan orang-orang yang pernah disebut oleh Sekar Mirah.
Ternyata bahwa kedua orang yang pernah datang ke rumah Sekar Mirah itu dengan sengaja telah mengganggu ketenangan Sekar Mirah. Selagi Sekar Mirah sendiri di rumah, kedua orang itu telah datang lagi. Yang mereka katakan masih saja tidak berubah. Ki Saba Lintang masih saja tersenyum-senyum. Namun Ki Welat Wulung sekali-sekali kehilangan kendali dan bahkan mulai membentak.
Tetapi Sekar Mirah justru menjadi semakin tenang menghadapi mereka. Meskipun kedua orang itu datang lagi beberapa pekan kemudian, sikap Sekar Mirah tidak goyah sama sekali. Meskipun Ki Saba Lintang sambil tersenyum mencoba untuk memancing agar Sekar Mirah merasa tersinggung harga dirinya, namun Sekar Mirah tidak kehilangan penalarannya. Bahkan ketika Welat Wulung membentaknya, Sekar Mirah tidak menjadi gugup dan marah.
Namun Glagah Putihlah yang kemudian berniat untuk sekali-sekali menemui kedua orang itu. Karena itu, kadang-kadang Glagah Putih hanya pergi sebentar saja dan ketika matahari sepenggalah Glagah Putih telah pulang kembali.
Ternyata usaha Glagah Putih itu berhasil, beberapa saat setelah Agung Sedayu berangkat ke barak, Glagah Putih pun telah meninggalkan regol halaman rumahnya bersama-sama dengan Rara Wulan. Namun arah perjalanan merekalah yang berbeda. Rara Wulan pergi ke pasar, sementara Glagah Putih pergi ke banjar.
Tetapi Glagah Putih hanya sebentar berada di banjar. Seperti yang sudah beberapa kali dilakukannya, Glagah Putih pun meninggalkan banjar untuk melihat, apakah di rumahnya ada tamu.
Agaknya kali ini Glagah Putih berhasil. Beberapa saat setelah ia pergi, dua orang tamu telah datang menemui Sekar Mirah. Seperti biasanya kedua orang itu telah mengganggu ketenangan Sekar Mirah. Mereka masih saja menawarkan satu pertemuan di ujung Kali Geduwang. Beberapa kali keduanya menyebut Nyi Dwani sebagai seorang perempuan yang paling pantas dihormati.
Tetapi Sekar Mirah sudah menjadi semakin kebal. Ia sama sekali tidak terpancing. Bahkan Sekar Mirah pun kemudian menjadi semakin tidak menghiraukan kedua orang tamunya.
Welat Wulung menjadi semakin tidak sabar lagi. Dengan nada tinggi bertanya, "Kenapa kau ketakutan untuk pergi ke ujung Kali Geduwang, Nyi?"
Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi marah. Atas petunjuk Agung Sedayu, maka Sekar Mirah menjadi seenaknya saja, "Aku lebih senang perempuan yang bernama Nyi Dwani itu datang kepadaku. Biarlah perempuan itu yang menempuh perjalanan panjang. Bukan aku."
"Ya, kenapa?" desak Ki Welat Wulung yang menjadi semakin jengkel.
Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjawab seakan-akan tanpa dipikirkan lebih dahulu, "Malas atau takut atau katakan apa saja sekehendakmu. Atau barangkali ada istilah lain yang lebih baik."
Darah Welat Wulung bagaikan mendidih membakar ubun-ubunnya. Dengan wajah tegang ia membentak, "Nyi Lurah tidak dapat berbuat seenaknya. Nyi Lurah berhadapan dengan sebuah perguruan. Perguruan Nyi Lurah sendiri. Sebuah perguruan yang besar."
Tetapi Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, "Kau bermimpi. Perguruan besar yang mana yang kau maksud" Bukankah kita sedang memikirkan cara untuk membangkitkan kembali perguruan yang tertidur?"
"Nyi Lurah telah menghina perguruan Nyi Lurah sendiri."
"Aku adalah seorang yang ingin berpijak pada kenyataan. Bukan mimpi-mimpi indah yang akan lenyap seperti asap jika kita terbangun."
"Cukup!" Welat Wulung memotong dengan suara bergetar.
Tetapi Sekar Mirah tetap saja pada sikapnya. Katanya, "Jangan Marah. Ingat. Kalian berada di rumahku."
Welat Wulung hampir saja kehilangan pengamatan diri. Bahkan Ki Saba Lintang tidak lagi nampak tersenyum. Dahinya berkerut dan matanya mulai menjadi semburat merah.
Pada saat keadaan menjadi semakin tegang itulah Glagah Putih memasuki regol halaman. Ketika pintu berderit, maka orang-orang yang duduk di pendapa itu berpaling.
Kedua orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. Mereka tahu bahwa anak muda yang memasuki regol halaman rumah itu adalah Glagah Putih. Saudara sepupu Agung Sedayu. Mereka memperhitungkan bahwa Glagah Putih itu baru akan kembali setelah tengah hari.
Tetapi tiba-tiba saja Glagah Putih itu sudah melangkah menyeberangi halaman.
Glagah Putih tersenyum ketika ia melihat Sukra berdiri di sekheteng. Seperti biasanya setiap kali Sukra selalu mengawasi dua orang yang datang menemui Sekar Mirah. Jika terjadi sesuatu Sukra sudah siap untuk memukul kentongan.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah duduk di pendapa. Sambil mengangguk hormat Glagah Putih pun berkata, "Aku kira Ki Sanak sudah mengenal siapa aku sebagaimana Ki Sanak mengenali Mbakayu Sekar Mirah."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Saba Lintanglah yang menyahut, "Aku memang pernah mengenal anak muda."
"Pengenalan kalian baik sekali. Kalian mengenali Mbakayu Sekar Mirah seakan-akan kalian telah menjadi akrab sejak lama."
"Kami saudara seperguruan Nyi Lurah."
"Ya. Mbakayu pernah bercerita tentang kalian"jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, "Mbakayu pun menceritakan bahwa kalian telah beberapa kali datang kemari. Tetapi aku dan Kakang Agung Sedayu belum pernah bertemu dengan kalian. Aku merasa beruntung sekali bahwa kali ini aku sempat ikut menemui kalian berdua."
"Kami pun merasa bergembira dapat bertemu dengan kau, anak muda."
"Aku ingin mempersilakan kalian datang di sore hari, di saat kakang Agung Sedayu ada di rumah."
"Sebenarnya kami juga ingin datang di sore hari. Tetapi waktu yang dapat kami sediakan kebetulan adalah di pagi hari seperti ini."
"Jika kita kita membuat janji , maka kakang Sedayu tidak akan berkeberatan untuk menunggu kehadiran kalian."
"Terima kasih, anak muda. Kami tidak ingin mengganggu Ki Lurah Agung Sedayu yang tentu terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya yang berat itu."
"Tidak terlalu sibuk. Pada saat-saat tertentu, Kakang dapat saja meninggalkan baraknya barang satu dua hari."
"Aku kira, itu tidak perlu dilakukannya. Keperluan kami pun hanya untuk bertemu dan berbicara dengan Nyi Lurah. Tidak dengan yang lain."
"Karena itu agaknya kalian selalu datang pada saat Mbakayu sendiri di rumah."
Wajah Ki Saba Lintang menegang sejenak. Namun ia pun berusaha untuk tersenyum sambil berkata, "Hanya kebetulan, anak muda."
Glagah Putih tertawa. Namun Ki Welat Wulung menyahut geram, "Seperti sudah kami katakan, keperluan kami hanya dengan Nyi Lurah. Buat apa kami harus bertemu dengan yang lain."
Glagah Putih memandang Welat Wulung dengan tajamnya. Kemudian ia pun berkata, "Ki Sanak. Meskipun kau seperguruan dengan Mbakayu. Dengar. Adalah tidak sepantasnya jika kau datang dengan sengaja di saat-saat Mbakayu sendiri di rumah. Mbakayu adalah seorang perempuan yang sudah berkeluarga. Ia mempunyai kewajiban dan kesibukan di saat-saat seperti ini. Mbakayu Sekar Mirah harus masuk di dapur. Harus mencuci pakaian. Harus membersihkan perabot rumah dan kewajiban-kewajiban yang lain."
Wajah kedua orang tamu Sekar Mirah itu menjadi merah. Welat Wulung yang darahnya lebih cepat menjadi panas menyahut, "Nyi Lurah Agung Sedayu tidak mengeluh sebagaimana kau keluhkan itu. Kenapa kau tiba-tiba meributkannya."
"Itulah yang aku maksudkan, bahwa unggah-ungguh Mbakayu Sekar Mirah jauh lebih mapan dari kalian. Mbakayu masih menghormati kedatangan kalian. Mbakayu tidak sampai hati untuk mengatakan keberatan keberatannya kepada kalian. Karena itu, biarlah aku saja yang menyampaikannya."
Welat Wulung benar-benar menjadi marah. Tetapi Ki Saba Lintang mendahuluinya berkata, "Biarlah. Kami minta diri."
Sekar Mirahlah yang kemudian menjawab, "Silakan Ki Saba Lintang. Adikku telah memperjelas sikapku. Yang tidak dapat aku katakan, telah dikatakan oleh adikku."
Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung pun kemudian telah bangkit berdiri. Demikian pula Sekar Mirah dan Glagah Putih. Ketika Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung turun dari pendapa, Sekar Mirah dan Glagah Putih berdiri saja di tangga pendapa sambil memandangi kedua orang itu melangkah menyeberangi halaman.
Namun sebelum keduanya keluar dari halaman, Ki Saba Lintang sempat berkata dengan suara yang bergetar, "Ini bukan yang terakhir aku datang kemari, Nyi Lurah. Pada saatnya aku akan datang lagi. Kita akan berbicara lebih mengarah lagi tentang tongkat yang kau simpan."
"Silakan, Ki Saba Lintang," jawab Sekar Mirah.
Namun Glagah Putih menyambung, "Jika kalian memang datang dengan niat yang baik, datanglah di saat kakang Agung Sedayu ada di rumah. Jangan menunggu rumah ini sepi."
Ki Welat Wulung masih akan menjawab. Tetapi Ki Saba Lintang menggamitnya.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu.
Glagah Putih dan Sekar Mirah masih berdiri di tangga pendapa ketika Sekar Mirah itu bertanya, "Apakah kau mengetahui bahwa kedua orang itu datang kemari?"
"Tidak Mbakayu?" jawab Glagah Putih.
"Sesudah beberapa kali kau lakukan, kau berhasil menemui mereka. Bagaimana menurut kesanmu?"
"Menurut pendapatku, mereka bukan orang-orang yang jujur. Aku setuju dengan sikap Mbakayu. Jangan pergi ke mana-mana. Biarlah mereka datang lagi. Biar saja apapun yang mereka katakan."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang benar-benar harus mempersiapkan diri."
Keduanya berpaling ketika Sukra pun melangkah mendekati mereka Dengan dahi yang berkerut ia pun bertanya, "Kenapa keduanya tidak ditangkap saja?"
"Kenapa ditangkap?" bertanya Glagah Putih.
"Nampaknya keduanya berniat kurang baik. Jika aku mampu, aku akan menangkap mereka dan menyerahkannya kepada Ki lurah Agung Sedayu. Bukankah pemimpin di rumah ini adalah Ki Lurah Agung Sedayu.?"
Glagah Putih dan Sekar Mirah tersenyum. Glagah Putih yang kemudian turun ke halaman berkata, "Kita tidak dapat menangkap orang begitu saja tanpa alasan yang kuat."
"Tetapi keduanya sudah menunjukkan sikap yang kurang baik.," sahut anak itu.
"Tetapi itu belum cukup, Sukra. Meskipun demikian, kita memang harus berhati-hati menghadapi mereka"
Sukra mengangguk-angguk. Sementara itu, Rara Wulan pun telah datang pula dari pasar. Bajunya basah oleh keringat.
"Kakang sudah pulang?" bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih.
"Aku ingin bertemu dengan tamu-tamu Mbakayu Sekar Mirah." "Dan kau dapat bertemu dengan mereka?"
"Ya Aku bertemu dengan mereka. Baru saja keduanya keluar dari halaman rumah ini. Apakah kau tidak bertemu dengan kedua orang itu" Bukankah kau pernah ikut menemui mereka?"
"Aku dapat mengenali mereka jika aku bertemu. Tetapi nampaknya ia tidak mengambil jalan yang aku lewati dari pasar," jawab Rara Wulan.
"Sudahlah. Marilah. Nampaknya kau letih. Kau agak lama berbelanja pagi ini," ajak Sekar Mirah.
"Ada orang pingsan Mbakayu," jawab Rara Wulan, "aku membantu menolongnya. Nampaknya ia memang sedang sakit. Tetapi ia memaksa diri pergi ke pasar untuk berbelanja, karena besok akan ada peralatan di rumahnya"
"Tetapi bukankah orang itu kemudian menjadi sadar dan tidak apa-apa?" bertanya Sekar Mirah.
"Untunglah ada seorang tetangganya yang juga sedang berbelanja, sehingga tetangganya itu dapat mengantarnya pulang sekaligus me-nyerahkannya kepada keluarganya
"Apakah orang itu sudah selesai berbelanja."
"Nampaknya sebagian besar keperluannya sudah dibelinya."
Sekar Mirah pun kemudian telah mengajak Rara Wulan untuk pergi ke dapur. Sementara Glagah Putih duduk di tangga pendapa bersama Sukra.
Sambil menepuk bahunya, Glagah Putih pun berkata, "Sukra. Kau harus lebih bersungguh-sungguh berlatih, agar kau dapat membantu jika terjadi sesuatu di rumah ini. Bukan sekedar memukul kentongan."
"Tetapi kau sendiri mengatakannya, bahwa kau memerlukan waktu bertahun-tahun.?"
"Ya. Aku memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menjadi seorang yang berilmu tinggi. Seperti Nyi Lurah Sekar Mirah. Ia mulai berguru sejak ia masih remaja. Aku pun mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan ketika aku meningkat remaja."
"Bukankah aku juga?" bertanya Sukra.
"Ya. Jika kau tekun, kau akan menjadi seorang yang setidak-tidaknya akan diperhitungkan di tanah perdikan ini."
Sukra mengangguk. Katanya, "Aku akan berlatih dengan bersungguh-sungguh.
Sebenarnyalah, kehadiran dua orang yang mengaku seperguruan dengan Sekar Mirah itu telah mendorong seisi rumah Agung Sedayu itu untuk berlatih sebaik-baiknya. Seakan-akan mereka telah didesak oleh waktu untuk segera meningkatkan ilmu mereka.
Namun dengan demikian, maka suasana di rumah Agung Sedayu itu menjadi lebih hidup.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang masih berada di padepokan Kiai Warangka pun telah sembuh sama sekali. Tenaganya telah pulih kembali, sehingga Ki Jayaraga pun mulai didera oleh kerinduan terhadap Tanah Perdikan Menoreh, yang sudah dianggapnya menjadi kampung halamannya.
Karena itu, maka pada suatu hari, Ki Jayaraga itu telah muncul di regol halaman rumah Agung Sedayu beberapa saat setelah senja, justru pada saat seisi rumah itu duduk-duduk di pringgitan sambil menghirup minuman hangat setelah semua kerja diselesaikan. Ketika mereka melihat Ki Jayaraga bersama dua orang cantrik yang menemaninya, maka mereka yang berada di pringgitan itu pun segera menyongsongnya.
Berebut mereka mengucapkan selamat kepada Ki Jayaraga, yang kemudian telah dipersilakan naik dan duduk di pringgitan pula.
Dengan cekatan Rara Wulan pun segera mempersiapkan minuman dan makanan pula bagi mereka
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah saling menceritakan keadaan mereka masing-masing- Ki Jayaraga menceritakan keadaan di padepokan yang sudah benar-benar menjadi tenang kembali. Semuanya berjalan seperti sediakala. Para cantrik pun dapat bekerja dengan tenang. Mereka dapat menimba berbagai macam ilmu tanpa dibayangi oleh kegelisahan.
Namun berbeda dengan cerita yang menggembirakan itu, Agung Sedayu pun telah menceritakan pula kehadiran dua orang yang nampaknya dengan sengaja membuat Sekar Mirah menjadi gelisah dan tidak tenang. Mengungkit harga dirinya dan berusaha memaksanya untuk melakukan sebagaimana mereka kehendaki.
Ki Jayaraga mendengarkan cerita Agung Sedayu itu dengan seksama. Sekali-sekali Sekar Mirah telah membubuinya. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat pula ikut bercerita tentang kedua orang itu.
"Kau memang harus berhati-hati," berkata Ki Jayaraga kemudian sambil mengangguk-angguk, "Jangan terpancing dengan cara apapun juga. Sikap Nyi Lurah sudah benar. Nyi Lurah tidak akan pergi kemana-mana Biarlah mereka datang kemari."
"Menurut perhitunganku, perempuan yang disebut Nyi Dwani itu tentu akan datang. Orang itu tentu ingin merampas tongkatku dengan cara apapun juga. Yang akan dilakukan mula-mula menurut dugaanku, adalah menantangku untuk berperang tanding. Ia tentu berharap untuk dapat menang dan tongkat itu sebagai taruhannya," sahut Sekar Mirah.
"Jika hal itu terjadi?" bertanya Ki Jayaraga
Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika memandang Agung Sedayu, maka Agung Sedayulah yang menjawab, "Ia akan menerima tantangannya itu."
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Namun dengan serta merta Rara Wulan pun berkata, "Mbakayu telah menyelesaikan laku untuk mencapai tataran tertinggi ilmunya."
Ki Jayaraga tercenung sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, "Jadi kau sudah mencapai tataran puncak ilmumu?"
Sekar Mirah tidak menjawabnya. Tetapi ia justru telah menundukkan kepalanya. Sehingga Agung Sedayu yang menjawabnya, "Sejauh dapat dijangkaunya, Ki Jayaraga"
"Bagus, bagus," berkata Ki Jayaraga sambil tersenyum, "aku mengucapkan selamat Mudah-mudahan akan berguna bukan saja bagimu sendiri. Tetapi akan berguna bagi banyak orang."
"Terima kasih, Ki Jayaraga," sahut Sekar Mirah dengan nada dalam, "tetapi puncak ilmuku itu tentu tidak berarti apa-apa menurut perbandingan ilmu dengan ilmu dari perguruan lain."
"Jangan berkata begitu. Setiap jalur perguruan mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Menurut dugaanku, karena yang ada di sini adalah Ki Lurah Agung Sedayu, maka kau capai tataran puncakmu dalam bimbingan Ki Lurah."
Sekar Mirah mengangguk sambil menjawab, "Ya, Ki Jayaraga."
"Nah, Ki Lurah tentu sudah menutup lubang-lubang kelemahanmu dengan landasan ilmu dari perguruan yang berbeda," berkata Ki Jayaraga kemudian.
"Mudah-mudahan Ki Jayaraga," Agung Sedayulah yang menyahut, "aku berharap bahwa Sekar Mirah akan dapat mengimbangi kemampuan perempuan yang disebut bernama Nyi Dwani itu. Aku tidak tahu seberapa tinggi tingkat ilmunya. Tetapi persiapan Sekar Mirah cukup masak, jika mereka memaksakan perang tanding itu."
"Tetapi aku sudah bertekad untuk tidak mempertaruhkan tongkat itu, Ki Jayaraga," Sekar Mirah menyambung, "aku akan menerima tantangannya untuk berperang tanding. Ia dapat membunuhku jika ia menang. Tetapi aku tidak akan merelakan tongkatku diserahkan kepadanya. Aku mohon Kakang Agung Sedayu, Glagah Putih, Rara Wulan dan karena Ki Jayaraga ada di sini, juga Ki Jayaraga, untuk melindungi tongkatku itu."
"Kau tidak akan dikalahkannya, Nyi Lurah," berkata Ki Jayaraga, "beri kesempatan aku melihat tataran ilmumu itu nanti di sanggar"
Sekar Mirah justru tertunduk, meskipun nampak bibirnya tersenyum. Sementara Agung Sedayulah yang menyahut, "Ki Jayaraga tentu masih letih. Biarlah besok atau lusa, Sekar Mirah menunjukkan persiapan seadanya.
"Tidak. Aku tidak letih."
Lalu ia pun bertanya kepada para cantrik yang menemaninya dalam perjalanan, "Bukankah kalian juga tidak letih"
Kedua cantrik itu tersenyum. Namun mereka tidak menjawab.
Demikianlah, maka untuk beberapa saat mereka masih duduk di pringgitan. Mereka berbincang tentang banyak hal. Ki Jayaraga juga menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Kiai Warangka sepeninggal Glagah Putih untuk meningkatkan bobot padepokannya. Bukan saja dari segi penuangan ilmu kepada para cantrik, tetapi juga peningkatan kesejahteraan mereka.
Malam itu kedua orang cantrik yang menemani perjalanan Ki Jayaraga itu dipersilakan bermalam di rumah Agung Sedayu. Ketika malam menjadi semakin dalam, serta setelah keduanya dipersilakan makan malam, maka kedua cantrik itu telah dipersilakan beristirahat di gandok kanan.
Tetapi Ki Jayaraga masih belum ingin beristirahat. Seperti yang sudah dikatakannya, ia ingin berada di sanggar untuk melihat tataran tertinggi ilmu yang telah dicapai oleh Sekar Mirah.
Sebenarnya Sekar Mirah merasa agak segan untuk memamerkan ilmunya kepada Ki Jayaraga. Namun Agung Sedayu telah berbisik di telinganya, "Lakukan. Demikian mendesaknya keinginan Ki Jayaraga untuk melihat ilmumu sampai pada tataran puncak. Ia bermaksud baik. Kau tidak usah merasa segan."
Dengan demikian, maka Sekar Mirah pun tidak menolak ketika Ki Jayaraga kemudian minta agar Sekar Mirah bersedia untuk memperagakannya di dalam sanggar.
Bukan saja Ki Jayaraga yang kemudian berada di sanggar. Tetapi Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun juga berada di dalam sanggar pula
Beberapa saat kemudian, setelah Sekar mirah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka Sekar Mirah pun segera menunjukkan kemampuannya setelah ia mencapai pada tataran tertinggi.
Ki Jayaraga memperhatikan bagaimana Sekar Mirah berloncatan melalui unsur-unsur gerak yang paling sederhana sampai pada unsur yang paling rumit Sekar Mirah pun kemudian telah menunjukkan penguasaannya atas ilmunya sampai ke tataran puncak.
Seperti yang diduga, maka ilmu Sekar Mirah pun tidak dapat disebut mumi lagi. Ki Jayaraga melihat pengaruh perguruan orang bercambuk dan perguruan Ki Sadewa ikut mewarnai ilmu Sekar Mirah. Bahkan mampu menutup kelemahan-kelemahan yang ada di dalam ilmunya itu.
Beberapa kali Ki Jayaraga menggeleng-gelengkan kepalanya Ia ikut merasa berbangga, bahwa sekar Mirah telah menjalani laku dan berhasil mencapai tataran puncak ilmunya
Glagah Putih pun menjadi kagum atas keberhasilan Sekar Mirah. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Glagah Putih mengakui, bahwa Sekar Mirah telah dapat berdiri dalam jajaran teratas bagi orang-orang berilmu tinggi. Meskipun demikian, Sekar Mirah masih harus banyak berlatih untuk mengembangkan ilmu puncak yang sudah dikuasainya itu.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Mirah memang belum sampai pada tataran kemampuan Agung Sedayu. Bahkan masih belum berada pada lapisan yang sama dengan Glagah Putih. Tetapi Sekar Mirah sudah memiliki modal yang lengkap untuk menempatkan dirinya pada tataran puncak bagi perguruannya.
Ketika Sekar Mirah kemudian berhenti memperagakan kemampuannya di hadapan Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, "Luar biasa! Aku melihat satu ungkapan ilmu yang lengkap. Rasa-rasanya tidak ada lubang-lubang seujung duri pun yang akan dapat ditembus. Meskipun demikian, jika Nyi Lurah dan Ki Lurah tidak berkeberatan, aku ingin melengkapi ilmu Nyi Lurah dengan unsur-unsur gerak yang berbeda sekali. Jika ia harus menghadapi saudara seperguruannya maka unsur-unsur yang lain sekali itu akan dapat membingungkan mereka. Namun aku yakin, bahwa unsur-unsur yang berbeda sama sekali itu tidak akan mengacaukan penguasaan Nyi Lurah atas ilmu Nyi Lurah sendiri. Biarlah Ki Lurah mengikutinya, sehingga jika ada kesalahan yang aku lakukan, Ki Lurah dapat menegurnya."
Sekar Mirah memang menjadi ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata, "Sekar Mirah tentu tidak akan menolaknya. Ia akan sangat berterima kasih. Semua bekal yang dapat dihimpun akan dikumpulkannya agar jika benar perempuan yang bernama Nyi Dwani itu datang kepadanya, Sekar Mirah tidak harus menjadi korban ketamakan orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruannya itu."
"Aku senang sekali atas kesempatan ini, Ngger. Aku akan merasa bahwa hidupku tidak sia-sia. Aku berbangga atas Glagah Putih yang telah mampu mewarisi ilmuku selengkapnya. Aku pun akan berbangga bahwa ilmuku akan dapat ikut mewarnai ilmu Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Akulah yang akan merasa senang sekali, Ki Jayaraga. Aku mengucapkan terima kasih atas perkenan Ki Jayaraga."
"Aku ingin Nyi Lurah dapat memberikan peringatan terhadap orang-orang yang tamak itu. Meskipun aku belum pernah bertemu, tetapi rasa-rasanya orang itu sangat menjengkelkan."
Demikianlah, maka Ki Jayaraga yang baru pulang dari padepokan Kiai Warangka itu langsung merasa ikut bertanggung jawab atas keberhasilan Sekar Mirah untuk mempertahankan kedudukannya di mata saudara-saudara seperguruannya. Bahwa Sekar Mirah memang orang yang paling berhak untuk menguasai tongkat itu. Tidak seorang pun yang pantas mengambilnya dari tangannya.
"Besok aku akan mulai jika Nyi Lurah tidak berkeberatan. Tetapi tidak perlu mengikat diri sebagaimana saat Nyi Lurah menjalani laku. Kita akan dapat mempergunakan waktu kapan saja kau sempat. Tidak pula ada keterikatan seberapa panjang waktu yang harus kita pergunakan."
"Terima kasih, Ki Jayaraga," sahut Sekar Mirah sambil mengangguk hormat.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka pun telah keluar dari sanggar.
Ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka kedua orang cantrik yang menyertai Ki Jayaraga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah minta diri. Mereka harus kembali ke padepokan hari itu sebagaimana pesan Kiai Warangka.
Sementara itu, sejak hari itu, Sekar Mirah sering berada di sanggar bersama Ki Jayaraga Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga. Tidak ada keterikatan waktu. Sementara itu Ki Jayaraga juga sudah mulai sibuk lagi dengan kerjanya di sawah sebagaimana dilakukan sebelum ia berada di padepokan.
Dalam pada itu laporan tentang orang-orang yang berkeliaran di malam hari masih saja disampaikan kepada Prastawa. Namun tidak seorang pengawal pun yang pernah dapat bertemu dan berbicara langsung dengan orang-orang itu.
Glagah Putih yang beberapa kali ikut meronda, ternyata tidak pernah menjumpai orang-orang yang tidak dikenal yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, dari hari ke hari, Glagah Putih tidak lagi merasa perlu untuk menjebak kedua orang yang mengaku saudara seperguruan Sekar Mirah. Ki Jayaraga pun yang hampir setiap hari ada, di rumah. Ia pergi ke sawah setelah matahari tinggi. Setelah Rara Wulan pulang dari pasar, sehingga dengan demikian, Sekar Mirah tidak pernah sendiri lagi di rumah hanya ditemani oleh Sukra.
Tetapi kedua orang itu memang tidak merasa perlu lagi untuk menunggu kapan Sekar Mirah berada di rumahnya sendiri. Mereka merasa tidak berhasil menggoyahkan ketabahan hati Sekar Mirah menghadapi mereka berdua. Karena itu, maka mereka akan menempuh jalan yang lebih kasar.
Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung ternyata telah datang ke rumah Sekar Mirah justru di sore hari di saat Agung Sedayu dan seisi rumah lengkap berada di rumah.
Sekar Mirah memang terkejut oleh kedatangan mereka. Apalagi mereka tidak hanya berdua, tetapi mereka datang berempat. Selain Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung, maka bersama mereka telah datang seorang laki-laki yang lebih tua dan seorang perempuan cantrik yang umurnya sebaya dengan Sekar Mirah.
Sekar Mirah pun kemudian telah mempersilakan mereka naik ke pringgitan. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga pun ikut pula menemui keempat tamunya itu. Mereka langsung menduga, Bahwa perempuan itulah yang disebut-sebut sebagai Nyi Dwani. seorang perempuan yang berilmu tinggi, yang tinggal di ujung Kali Geduwang. Sedangkan laki-laki yang lebih tua itulah agaknya ayah Nyi Dwani, Empu Wisanata.
Agung Sedayulah kemudian yang mengucapkan selamat datang kepada tamu-tamunya dengan unggah-ungguh yang utuh sebagaimana seseorang menerima tamu yang dihormatinya
"Kami memenuhi keinginan Nyi Lurah, agar kami datang berkunjung saat Ki Lurah ada di rumah," berkata Ki Saba Lintang setelah ia dan para tamu yang lain memperkenalkan dirinya
"Terima kasih, Ki Saba Lintang," jawab Agung Sedayu, "kesediaan Ki Saba Lintang dan para tamu yang lain merupakan satu kehormatan bagiku."
"Kami ingin agar dalam pertemuan kali ini, kami dapat menuntaskan pembicaraan kami dengan Nyi Lurah tentang usaha kami untuk membangun kembali perguruan kami."
"Satu usaha yang sangat baik, Ki Saba Lintang."
"Mungkin kami juga mohon bantuan Ki Lurah dan sanak kadang di tanah perdikan ini."
"Kami akan membantu, apa yang dapat kami bantu."
"Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih, Ki Lurah," Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi sebelumnya kami mohon maaf Ki Lurah, bahwa pembicaraan kami akan merupakan pembicaraan khusus bagi saudara-saudara seperguruan kami."
"Silakan, Ki Saba Lintang, silakan. Aku sama sekali tidak berkeberatan."
"Terima kasih Ki Lurah" desis Ki Saba Lintang
Namun pembicaraan mereka pun terputus, ketika Rara Wulan kemudian keluar dari pintu pringgitan untuk menghidangkan minuman hangat serta makanan. Namun bersama dengan Rara Wulan, Glagah Putih telah keluar pula dan duduk di pringgitan bersama dengan mereka yang sudah lebih dahulu berada di pringgitan itu.
Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas, namun anak muda itu agaknya tidak menghiraukannya. Ia duduk saja di sebelah Ki Jayaraga sambil membantu Rara Wulan menghidangkan minuman.
Namun setelah minuman itu dihidangkan, Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak kembali masuk ke ruang dalam. Mereka justru ikut duduk menemui tamu-tamu mereka.
Untuk beberapa saat Ki Saba Lintang termangu-mangu. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Sekar Mirah telah mendahuluinya, "Ki Saba Lintang, meskipun pembicaraan selanjutnya adalah pembicaraan antara saudara seperguruan, tetapi biarlah keluargaku ikut mendengarkannya Mereka akan menjadi saksi dari pembicaraan ini."
Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun Ki Welat Wulunglah yang menyahut, "Pembicaraan antara saudara seperguruan adalah rahasia perguruan. Sebaiknya tidak ada orang lain yang mendengarnya"
"Apakah Empu Wisanata juga saudara seperguruan kita?" bertanya Rara Wulan.
Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung saling berpandangan sejenak. Namun Ki Wisanata sendirilah yang menyahut, "Ya. aku adalah saudara seperguruan Nyi Lurah."
"Apakah Empu dapat membuktikannya maksudku, apakah empu memiliki kemampuan sebagaimana salah seorang murid dari perguruan kami?"
Empu Wisanata menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun menjawab " Ya aku dapat membuktikannya"
"Di belakang rumah ini ada sanggar. Keluargaku akan meninggalkan pertemuan ini jika Empu Wisanata dapat membuktikan, bahwa ia adalah saudara seperguruanku. Bahkan aku juga ingin melihat Ki Saba Lintang, Ki Welat Wulung dan Nyi Dwani sendiri. Aku mengenal betul warna ilmu dari perguruanku."
"Sudahlah," berkata Nyi Dwani, "biarlah keluarga Nyi Lurah hadir dalam pembicaraan ini."
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, "Baiklah. Biarlah Ki Lurah menjadi saksi dari pembicaraan ini."
"Terima kasih," sahut Sekar Mirah. Lalu katanya, "Nah, apa yang akan kita bicarakan sekarang?"
"Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang, "saat ini Nyi Dwani sudah meringankan langkah untuk datang ke tanah perdikan. Nyi Dwani sendiri yang akan mengundang Nyi Lurah untuk pergi ke ujung Kali Geduwang."
"Nyi Lurah," berkata Nyi Dwani kemudian sambil tersenyum, "aku memerlukan datang ke tanah perdikan untuk menyampaikan undangan, agar Nyi Lurah bersedia untuk pergi ke tempat kami di ujung Kali Geduwang. Kami tinggal di tempat terpencil, namun yang justru karena itu, akan dapat menjadi tempat yang baik bagi sebuah pertemuan."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Ki Saba Lintang, Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, "Apakah Ki Saba Lintang tidak mengatakan keputusanku?"
"Maksud Nyi Lurah?" bertanya Nyi Dwani.
"Aku hanya bersedia menghadiri sebuah pertemuan yang diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh."
"Ki Saba Lintang memang pernah mengatakannya, Nyi Lurah. Tetapi aku mohon Nyi Lurah mempertimbangkan sekali lagi. Pertemuan ini adalah sebuah pertemuan yang mempunyai tujuan yang besar. Yang akan memberikan arti bagi banyak orang, karena kebangkitan sebuah perguruan akan mempengaruhi perjalanan hidup dari mereka yang semula telah tersebar dan memencar tanpa ikatan apapun yang satu dengan yang lain."
"Justru karena itu, maka aku bersedia menyediakan tempat dan kelengkapannya di sini untuk tujuan yang baik itu. Aku bersedia menyediakan penginapan, makanan dan ruang pertemuan yang diperlukan berapa pun yang akan hadir dalam pertemuan itu?"
"Nyi Lurah. Sebuah pertemuan bukan sekedar tempat dan kelengkapannya. Tetapi juga nama-nama yang mempunyai pengaruh akan menentukan," berkata Ki Saba Lintang, "nama Nyi Dwani dan Empu Wisanata akan mendorong saudara-saudara kita untuk bersedia menghadiri pertemuan itu."
Tetapi Sekar Mirah itu pun menjawab, "Apa bedanya jika pertemuan ini diselenggarakan di sini dengan menyebutkan bahwa Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan menghadirinya?"
"Kesannya akan jauh berbeda," berkata Nyi Dwani, "jika pertemuan itu diselenggarakan di tempat tinggalku, maka wibawaku akan utuh. Mereka datang ke tempat tinggalku, di bawah naungan ayahku dan aku sendirilah yang akan memimpin pertemuan itu.?"
"Kenapa Nyi Dwani yang akan memimpin pertemuan itu?"
"Aku dan Ki Saba Lintang, karena kebetulan Ki Saba Lintang memiliki tongkat ciri perguruan kita."
"Aku juga memilikinya Bukankah dengan demikian berarti bahwa aku lebih berhak memimpin daripada Nyi Dwani itu sendiri" Karena itu, biarlah pertemuan itu diselenggarakan di sini. Aku dan Ki Saba Lintang akan memimpin pertemuan itu."
Wajah Nyi Dwani berkerut dengan nada datar ia berkata, "Aku mempunyai pengaruh jauh lebih besar dari Nyi Lurah."
"Apakah dasarnya bahwa pengaruhmu lebih luas" Maksudmu karena kau mengenal lebih banyak orang di antara saudara seperguruan kita?"
"Ya. Mereka menghormati aku. Mereka tahu pasti, siapakah aku dan apa yang dapat aku lakukan. Sementara Nyi Lurah hanyalah karena secara kebetulan Nyi Lurah memegang tongkat perguruan."
Terasa jantung Sekar Mirah mulai bergejolak. Tetapi ketika ia memandang suaminya, nampaknya Agung Sedayu masih tetap tenang saja. Demikian pula Ki Jayaraga. Namun ketika ia memandang Glagah Putih, maka wajah Glagah Putih nampak berkerut.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Sekar Mirah terpengaruh oleh ketenangan sikap Agung Sedayu, sehingga Sekar Mirah pun telah menguasai dirinya. Dengan tenang ia menjawab, "Adakah secara kebetulan aku memiliki tongkat itu" Adakah secara kebetulan pula Ki Saba Lintang menguasai tongkatnya" Apakah mungkin ada orang lain yang secara kebetulan juga menguasai tongkat-tongkat seperti itu?"
"Sudahlah Nyi Lurah," berkata Nyi Dwani, "jangan mempersulit persoalan yang kita hadapi. Untuk membangun kembali sebuah perguruan adalah satu kerja yang besar. Yang rumit. Kalau Nyi Lurah justru mempersulit persoalan, maka tugas kami menjadi semakin berat."
Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, "Kenapa justru kau seakan-akan berhak menentukan segala sesuatunya, Nyi Dwani" kenapa bukan Ki Saba Lintang. Kenapa bukan aku?"
Ki Saba Lintanglah yang menyahut, "Aku sudah berbicara dengan Nyi Dwani sebelumnya."
Namun Sekar Mirah pun menggeleng, "Tidak ada orang yang dapat mengubah keputusanku. Pertemuan itu harus diselenggarakan di sini. Di Tanah Perdikan Menoreh. Atau tinggalkan aku. Kalau dapat mengadakan pertemuan itu tanpa aku, jika aku memang tidak kalian anggap penting."
"Nyi Lurah tentu kami anggap penting."
"Apa yang kalian katakan sama sekali tidak sejalan. Di satu pihak kalian menganggap aku penting. Tetapi di pihak lain, kalian tidak menghiraukan aku sama sekali."
Ki Welat Wulung ternyata tidak sabar lagi. Katanya, "Apa pamrihmu dengan mempersulit persoalan ini. Jika orang lain menganggap bahwa pengaruhmu sama sekali tidak dapat mengimbangi pengaruh Nyi Dwani, kau mau apa" Apakah kau akan menuntut orang yang tidak menghargaimu sebagaimana kau inginkan?"
Glagah Putih beringsut setapak. Tetapi Agung Sedayu menggamitnya, sehingga Glagah Putih itu berpaling. Tetapi wajah Agung Sedayu sama sekali tidak berubah. Seperti air di wajah kolam yang diam, beku. Rasa-rasanya Glagah Putih ingin melemparkan segenggam pasir agar wajah air di kolam itu mulai bergetar.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam..
Namun Sekar Mirah masih berhasil menguasai perasaannya. Katanya, "Nampaknya jalan pikiran kita tidak dapat bertemu. Karena itu, aku lebih baik tidak ikut campur. Jika kalian akan menyelenggarakan pertemuan, lakukanlah."
"Kau tidak dapat begitu, Nyi Lurah," sahut Empu Wisanata, "kau harus mempertanggung jawabkan kedudukanmu sebagai salah seorang dari pemegang tongkat perguruan. Kecuali jika kau serahkan tongkat itu kepada orang lain."
Sekali lagi Glagah Putih beringsut. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.
Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjawab, "Sudah aku katakan. Ketika aku menerima tongkat ini, aku tidak dibebani tanggung jawab apapun juga kecuali tanggung jawab terhadap diriku sendiri sebagai seorang yang mendapat kepercayaan dari gurunya. Karena itu, jangan memaksa aku."
Welat Wulunglah yang menyahut, "Silakan Nyi Lurah berdiri di luar lingkaran perguruan. Tetapi Nyi Lurah harus menyerahkan kembali tongkat perguruan itu kepada kami."
"Kepada siapa?" bertanya Sekar Mirah menilik nada suaranya ia masih tetap mampu mengendalikan perasaannya
"Nyi Lurah," berkata Nyi Dwani, "biarlah aku mengambil alih tugas Nyi Lurah. Berikanlah tongkat itu kepadaku. Kami, untuk selanjutnya tidak akan mengusik ketenangan keluarga Nyi Lurah."
Tiba-tiba saja Sekar Mirah tertawa pula Katanya, "Inilah akhir dari segala pembicaraan yang berkepanjangan itu. Aku sudah menduga bahwa arahnya tentu ke sana. Bahkan seandainya aku harus hadir dalam sebuah pertemuan, maka keinginan terakhir kalian adalah mengambil tongkat itu dan menyerahkannya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah Nyi Dwani."
"Tidak ada pilihan lain, Nyi Lurah," berkata Empu Wisanata, "itu adalah keputusan yang paling bijaksana. Nyi Lurah tidak akan terganggu lagi, sementara perguruan kami akan segera bangkit kembali. Tentu saja kami tidak akan pernah melupakan Nyi Lurah serta kebijaksanaan Nyi Lurah ini."
"Sayang, Empu. Aku bukan orang yang bijaksana aku adalah orang yang keras kepala dan berpegang kepada kepentingan diri sendiri. Tidak bertanggung jawab dan tidak menghiraukan tata pergaulan dalam sebuah perguruan. Dengar Empu, aku tidak akan pernah hadir dalam pertemuan di luar tanah perdikan dan aku tidak akan pernah menyerahkan tongkat itu kepada orang lain."
"Tidak mungkin" sahut Nyi Dwani dengan serta merta, "Nyi Lurah harus menyerahkan tongkat itu kepadaku!"
"Kau akan merampok tongkat itu?"
"Tidak!" jawab Nyi DWani, "Aku ingin menguji, siapakah yang paling pantas memiliki tongkat itu."
"Tidak akan ada pendadaran. Tidak akan ada persoalan apapun tentang pemilikan tongkat itu."
"Maksud Nyi Lurah?"
"Tongkat itu tongkatku. Tidak ada persoalan apa-apa lagi."
Orang-orang yang mengaku saudara seperguruan Sekar Mirah itu menjadi tegang. Ki Welat Wulunglah yang kemudian berkata dengan nada keras, "Itu tidak mungkin. Tongkat dapat diperebutkan."
"Jika bagaimana caranya kalian akan memperebutkan tongkat itu" Aku sudah bertanya kepada Nyi Dwani, apakah kalian akan merampok tongkatku."
"Jika perlu kami ingin mengambil tongkat itu dengan paksa," geram Welat Wulung.
"Adikku dapat memukul kentongan. Seisi tanah perdikan akan keluar dari rumahnya. Nah, kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu."
"Kau ternyata sangat licik."
Sekar Mirah menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku tidak licik. Aku berlandaskan pada hak. Jika kalian ingin merampas hakku, maka itu sama artinya dengan merampok. Kami dapat memperlakukan kalian sebagai perampok."
"Nyi Lurah," berkata Nyi Dwani, "jadi bagaimana harus aku katakan kepadamu, bahwa aku ingin menguji kemampuanmu?"
"Maksudmu?" bertanya Nyi Dwani.
"Aku menantang Nyi Lurah untuk menilai, siapakah yang terbaik di antara kita."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa arah pembicaraan itu pada akhirnya akan bermuara pada tantangan seperti itu. Meskipun demikian, Sekar Mirah masih juga berdebar-debar.
Namun Sekar Mirah berusaha untuk tetap tenang. Ia sama sekali tidak ingin menunjukkan satu kesan apapun setelah ia mendengar tantangan itu. Wajahnya tetap dingin. Sementara suaranya justru menjadi datar, "Kau menantang aku?"
"Ya Biarlah saudara-saudara seperguruan kita mengetahui, siapakah yang memiliki ilmu lebih tinggi, sehingga siapakah yang lebih berhak memiliki tongkat perguruan itu."
"Nyi Dwani. Sudah aku katakan aku tidak akan mempertaruhkan tongkat itu. Tongkat itu adalah milikku. Tidak seorang pun dapat mengganggunya lagi," jawab Sekar Mirah. Namun kemudian katanya, "tetapi jika Nyi Dwani ingin menjajaki ilmuku, aku tidak akan berkeberatan. Aku akan menerima tantangan Nyi Dwani."
"Lalu, buat apa perbandingan ilmu itu dilakukan tanpa mempertaruhkan tongkat itu?" bertanya Empu Wisanata
"Aku tidak tahu. Bukankah Nyi Dwani yang menginginkannya?"
"Aku menginginkan satu pertarungan yang memperebutkan tongkat itu," sahut Nyi Dwani.
"Tongkat itu tidak untuk dipertaruhkan. Tetapi untuk dipertahankan. Kalian tidak usah menyebut-nyebut lagi usaha untuk merebut tongkat itu. Tetapi sekali lagi aku katakan, jika Nyi Dwani memang menantangku, maka tidak akan berkeberatan melayaninya. Kita akan saling menjajaki kemampuan kita masing-masing dengan jujur. Siapa yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Tetapi tidak dengan mempertaruhkan tongkat itu."
"Nyi Lurah sudah menyerah sebelum penjajakan ilmu itu dimulai. Aku tahu bahwa sebenarnya Nyi Lurah mengakui, sehingga Nyi Lurah tidak berani mempertaruhkan tongkat itu."
"Itu terserah kepadamu, Nyi Dwani. Tetapi kau tidak akan dapat memaksaku memenuhi keinginanmu."
Wajah Nyi Dwani terasa menjadi panas, namun tiba-tiba saja Nyi Dwani pun berkata, "Tanpa mempertaruhkan sesuatu, penjajakan ilmu itu tidak ada gunanya. Nah, Nyi Lurah. Jika kau memang yakin akan ilmumu, maka kau dapat memilih. Kau pertaruhkan tongkat itu atau kau
Pertaruhkan nyawamu"
Sekar Mirahlah yang kemudian menjadi sangat tegang. Dengan lantang ia bertanya, "Maksudnya kau menantang perang tanding."
"ya" Baik" jawab Sekar Mirah serta merta " aku memilih yang kedua. Aku dan kau akan mempertaruhkan nyawa kita. Kita akan berperang tanding."
Suasana pun segera menjadi semakin panas. Namun kemudian Empu Wisanata pun berkata, "Jika itu sudah menjadi kesepakatan, maka kita akan menentukan, kapan perang tanding itu dilakukan dan kita pun akan menentukan tempat yang terbaik sehingga perang tanding itu dapat dilangsungkan dengan jujur."
"Di tanah perdikan ini banyak terdapat tempat yang dapat kita pergunakan untuk berperang tanding tanpa terganggu."
"Aku yakin kalau Nyi Lurah juga tidak akan berani melakukannya di luar tanah perdikan. Karena itu, maka aku memilih tempat meskipun di tanah perdikan ini, tetapi yang berkesan bebas dari pengaruh keadaan di sekitarnya"
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia benar-benar merasa tersinggung oleh pernyataan Nyi Dwani itu. Karena itu, maka Sekar Mirah pun berkata lantang, "sebutkan, di mana kau ingin melakukan perang tanding itu.
"Aku tantang kau berperang tanding di tepian kali Praga.," sahut Nyi Dwani, "Bukankah tepian sisi barat kali Praga masih termasuk daerah Tanah Perdikan Menoreh?"
"Baik. Aku tidak berkeberatan. Beberapa orang kau akan membawa saksi?"
"Tiga orang, ayah, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung."
"Aku juga akan membawa tiga orang saksi," sahut Sekar Mirah, "Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih."
Namun tiba-tiba saja Rara Wulan menyela, "Aku juga akan ikut menjadi saksi."
Sekar Mirah berpaling kepadanya. Sambil tersenyum Sekar Mirah pun berkata, "Kau tinggal di rumah saja Rara. Belum waktunya kau menyaksikan perang tanding seperti ini."
"Tetapi aku tidak mau membiarkan Mbakayu pergi sendiri."
"Aku tidak sendiri, Rara."
"Tetapi aku akan menjadi saksi."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih berdesis, "Pada saatnya kau akan menjadi saksi, Rara"
"Aku akan menjadi saksi saat Mbakayu Sekar Mirah berperang tanding. Aku ingin melihat langsung akhir dari perang tanding itu."
Namun tiba-tiba saja justru Nyi Dwani yang menyahut, "Apa salahnya jika anak itu ikut menyaksikan perang tanding itu" Ia tentu sudah memperhitungkan, bahwa ia akan menunggui saat-saat terakhir Mbakayu-nya Mungkin ia masih sempat mendengarkan pesan-pesan Nyi Lurah untuknya."
"Kau terlalu menghina Mbakayu Sekar Mirah," geram Rara Wulan.
Sambil tertawa Nyi Dwani menyahut, "Jangan marah. Aku justru membantumu agar kau dapat menyaksikan perang tanding itu."
Jantung Rara Wulan hampir meledak karenanya. Ia tidak tahan mendengarkan, betapa Nyi Dwani itu sangat merendahkan Sekar Mirah.
Namun nampaknya Sekar Mirah sendiri tidak menghiraukannya Bahkan ia pun berkata, "Nah, jika sudah ada persetujuan, maka kau dapat ikut bersama kami Rara. Berterima kasihlah kepada Nyi Dwani yang telah berbaik hati kepadamu."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak, ia tidak mengerti, kenapa Sekar Mirah tidak menjadi marah.
Yang jantungnya terasa membengkak adalah Welat Wulung. Ia menjadi sangat tidak senang melihat sikap Sekar Mirah yang tetap tenang menghadapi perang tanding, bahwa Sekar Mirah itu tidak menjadi marah meskipun Nyi Dwani sangat meremehkannya.
Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun berkata, "Kita akan menentukan waktu. Kapan perang tanding itu akan diselenggarakan. Tetapi tentu tidak dalam waktu yang terlalu lama. Kami harus segera mempersiapkan pertemuan di ujung Kali Geduwang."
"Tetapi pertemuan itu tentu tanpa Nyi Dwani," sahut Rara Wulan.
Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan sorot mata yang membara. Namun demikian perempuan itu tertawa, betapa asamnya. Katanya, "Kau masih terlalu muda untuk mengenal kerasnya dunia olah kanuragan. Sebaiknya kau bersiap-siap untuk melihat kenyataan pahit di tepian Kali Praga itu. Jika pada saat kau pergi ke tepian kau masih dapat menyandarkan kepalamu di bahu Mbakayumu, maka pada saat kau pulang, kau akan mengusung Mbakayumu yang sudah tidak akan mampu menyapamu lagi untuk selamanya."
"Tidak!" teriak Rara Wulan.
Tetapi Nyi Dwani tertawa berkepanjangan. Katanya, "jangan menyesali nasib buruk Mbakayumu."
Tetapi Welat Wulung justru tidak senang melihat Sekar Mirah tidak menjadi marah. Bahkan Sekar Mirah itu ikut tertawa pula. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga pun tersenyum menyaksikan pembicaraan itu, meskipun mereka berusaha untuk tidak mencampurinya
JILID 309 SEMENTARA itu Sekar Mirahpun berkata "Rara. Bukankah bukan kita, dan bukan pula Nyi Dwani yang menentukan, kapan aku akan terbujur diam tanpa menyapamu lagi kita harus menjadi gelisah?"
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling memandangi wajah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, yang dilihatnya justru keduanya tersenyum-senyum saja.
Tetapi Glagah Putih tidak tersenyum sebagaimana keduanya.
"Sudahlah - berkata Empu Wisanata - Sekarang tentukan waktunya. Pilih tempat yang mapan. Tepian Kali Praga memanjang dari ujung sampai ke ujung Tanah Perdikan ini.
"Baiklah - berkata Ki Saba Lintang - Aku berpendapat bahwa perang tanding itu dilakukan di malam hari agar tidak menjadi tontonan. Beberapa hari lagi bulan akan bulat. Adapun tepian yang dipilih adalah tepian di sebelah utara jalur penyeberangan selatan. Tepian itu luas dan sepi. Meskipun tidak terlalu jauh dari jalur penyeberangan, tetapi jarang sekali orang yang akan sampai ke tempat itu, karena tempat itu dilingkungi oleh semak-semak belukar, meskipun tepiannya sendiri bersih dan lapang. "Baik - jawab Sekar Mirah - pada malam bulan penuh, aku akan berada ditepian sebelah Utara jalur penyeberangan Selatan.
"Aku hormati kesediaan Nyi Lurah --.berkata Ki Saba Lintang " meskipun Nyi Lurah tidak bersedia mempertaruhkan tongkat perguruan, namun Nyi Lurah sudah menunjukkan kesungguhan Nyi Lurah dengan mempertaruhkan justru nyawa Nyi Lurah sendiri. Tetapi akhir dari perang tanding itu akan mempengaruhi sikap saudara-saudara seperguruan kita. "
- Bagiku, sikap saudara-saudara seperguruan itu tidak penting. Tetapi aku berpegang pada sikap, bahwa orang lain tidak dapat semena-mena memaksakan kehendaknya kepadaku apapun alasannya. Aku juga berpegang pada hak yang tidak dapat diganggu-gugat oleh orang lain siapapun mereka itu.
Ki Welat Wulung memandang Sekar Mirah dengan sorot mata bagaikan menyala. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa pada waktu itu. Nyi Lurah Sekar Mirah itu sudah sepakat untuk berperang tanding melawan Nyi Dwani. Kesepakatan itu telah mengakhiri segala perselisihan yang terjadi.
Meskipun dalam keadaan yang sangat marah, Ki Welat Wulung setiap kali sempat memandang wajah lugu Rara Wulan. Gadis itu sangat cantik. Ki Welat Wulung bersukur bahwa Rara Wulan akan ikut pergi ke arena perang tanding yang hanya akan disaksikan oleh enam orang yang lain.
Tiba-tiba saja dihati Welat Wulung itu telah timbul harapan, bahwa perang tanding itu akan meluas. Apa salahnya jika ia membuat persoalan baru setelah Nyi Dwani mengakhiri perlawanan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tidak akan ada yang menyebut sebagai satu kecurangan. Nyi Dwani berperang-tanding dengan bersih. Yang terjadi kemudian adalah timbulnya persoalan baru.
-- Bukan salahku - berkata Ki Welat Wulung didalam hatinya - salah gadis itu. Kenapa ia cantik. Agaknya tidak bersalah pula meskipun umurku jauh lebih tua dari gadis itu, tiba-tiba menginginkannya. Di luar sadarnya, Ki Welat Wulung itu membayangkan, bahwa di tepian itu tidak hanya Nyi Lurah sajalah yang akan terkapar mati. Tetapi juga ketiga orang saksi itupun akan mati.
- Setelah Nyi Lurah mati, maka ketiga orang saksi dari Tanah Perdikan itu tidak akan mampu melawan kami berempat. Tidak ada orang yang memiliki kemampuan setingkat dengan Empu Wisanata.
Ki Lurah yang diakui tataran ilmunya yang tinggi itu akan dihancurkan bukan saja namanya, tetapi juga tubuhnya. Orang tua yang bernama Jayaraga itu akan menjadi lumat oleh kakang Saba Lintang, dan anak muda itu akan aku remukkan menjadi debu. Belum lagi Nyi Dwani yang bertangan api itu akan dapat membantu mempercepat kemenangan kami. Dengan demikian, maka perhatian Welat Wulung itupun seakan-akan telah terikat pada Rara Wulan. Sebelumnya, hatinya yang panas tidak banyak memberinya kesempatan untuk mengamati wajah gadis itu. Tetapi demikian Nyi Dwani dan Nyi Lurah mendapatkan kesepakatan, maka perhatiannya menjadi semakin besar terhadap gadis yang berwajah cantik itu.
Rara Wulanpun kemudian merasa, betapa sorot mata Welat Wulung itu bagaikan menusuk sampai ke pusat jantungnya. Berbeda dengan tatapan mata kemarahan yang ditujukannya kepada Sekar Mirah.
Sekali-sekali Rara Wulan melihat, pandangan mata Welat Wulung itu seolah-olah akan mencengkeramnya.
Dalam pada itu, setelah Sekar Mirah dan orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruannya itu mendapat kesepakatan, maka Agung Sedayupun masih sempat mempersilahkan tamu-tamunya itu sambil tersenyum - Marilah. Minumlah. Tentu sudah dingin. - Terima kasih - Empu Wisanata mengangguk. Tangannya-pun meraih mangkuk minuman dan kemudian menghirupnya.
Ki Saba Lintang, Welat Wulung dan Nyi Dwanipun kemudian telah minum pula beberapa teguk.
Namun sejenak kemudian, maka Ki Saba Lintangpun telah minta diri untuk meninggalkan rumah Agung Sedayu itu bersama dengan kawan-kawannya.
Sepeninggal orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruan Sekar Mirah itu, maka Sekar Mirahpun menjadi sangat tegang. Ia sudah menahan gejolak perasaannya selama ia menemui orang yang mengaku saudara seperguruannya itu. Karena itu, demikian orang-orang itu pergi, maka rasa-rasanya Sekar Mirah ingin berteriak sepuas-puasnya.
Agung Sedayu melihat ketegangan jiwa Sekar Mirah yang sebaiknya dapat dilepaskan. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata - Marilah. Kita akan pergi ke sanggar. -Bagus - jawab Sekar Mirah dengan serta-merta.
-Kau harus melepaskan ketegangan jiwamu itu " desis Agung Sedayu.
Sekar Mirah dengan tergesa-gesa telah masuk kedalam biliknya. Mengenakan pakaian khususnya dan pergi ke sanggar bersama Agung Sedayu sambil menjinjing tongkat baja putihnya. - Apa yang akan dilakukan oleh mbokayu Sekar Mirah " - Bertanya Rara Wulan.
-Sekedar mengendorkan ketegangan jiwanya. Jika tidak, ia dapat menjadi pingsan karenanya. Ia sudah menahan gejolak perasaannya selama menemui orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruannya itu. Meskipun mbokayu Sekar Mirah nampak tersenyum dan tertawa, tetapi sebenarnyalah hatinya bergejolak Nah, keadaan itulah yang membuat jiwanya menjadi sangat tegang sekarang ini. "
Rara Wulan mengangguk. Sementara itu, Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah hilang dibalik pintu sanggarnya.
Lampu minyak yang redup sudah dinyalakan didalam sanggar oleh Sukra. Sementara itu, Sekar Mirahpun segera meloncat ketengah sanggarnya siap untuk melakukan latihan-latihannya.
Namun Agung Sedayupun kemudian berkata - Sekar Mirah. Bagaimanapun hatimu bergejolak, tetapi kau harus tetap mengendalikan diri dalam latihan-latihan yang akan kau lakukan. Kau tidak boleh memaksa diri melampaui batas kemampuan dan daya tahan tubuhmu. Kau jangan terseret oleh arus perasaanmu. Tuangkan kekesalan yang tertahan itu. Namun kau harus berada dalam bingkai kesadaranmu.Sekar Mirah mengangguk-angguk. Pesan Agung Sedayu itu sudah mulai mengendorkan ketegangan jantungnya sebelum ia menumpahkannya lewat unsur-unsur geraknya.
Sekar Mirahpun kemudian telah mulai menggerakkan tangan dan kakinya. Mula-mula perlahan-lahan. Betapapun jantunguya bergejolak, ternyata Sekar Mirah tetap menyadari, bahwa ia tidak boleh terlepas dari kendali.
Untuk beberapa lama Sekar Mirah berada di sanggar. Namun sebelum tengah malam Sekar Mirah menghentikan latihan-hatihannya. Rasa-rasanya kekesalan yang mengganjal jantungnya, telah tertumpah semuanya.
Hari-haripun kemudian terasa terlalu panjang. Disiang hari, matahari menjadi sangat lamban mengarungi langit. Sementara malam hari bahkan waktu terasa berhenti. Lima enam kali Sekar Mirah terbangun, ia masih mendengar suara ayam jantan yang berkokok di-dini hari. Bahkan Sekar Mirah pernah kehilangan pengamatan waktu. Ia sudah merasa terlalu lama berada di pembaringan, sehingga karena itu, maka Sekar Mirahpun telah bangun dan pergi ke dapur untuk menyalakan perapian.
Tetapi ia menjadi heran, bahwa Sukra masih belum bangun. Glagah Putih yang terbiasa bangun pagi-pagi juga masih berada didalam biliknya. Bahkan Ki Jayaraga masih terbatuk-batuk dipembaringan.
Ternyata malam masih sangat panjang. Sekar Mirah justru harus menambah lagi orang yang dijerangnya, setelah sekian lama mendidih diatas api.
Sekar Mirah hanya merasa tenang jika ia mengisi waktu-waktunya yang terasa sangat panjang itu dengan latihan-latihan yang berat di sanggarnya, atau di kebun belakang atau dilereng bukit di sela-sela pepohonan hutan atau dipadang perdu diantara semak-semak belukar. Namun bahwa perang tanding itu akan dilakukan di atas pasir tepian, maka Sekar Mirahpun telah berlatih pula diatas hamparan pasir, sehingga kakinya terbiasa untuk bergerak seakan-akan tanpa hambatan. Pasir yang semula bagaikan menghisap telapak kakinya itu, kemudian menjadi terbiasa baginya.
Namun pada satu senja Sekar Mirah itu duduk diserambi samping rumahnya sambil merenungi telapak tangannya. Matanya nampak redup dan keningnya berkerut dalam.
-Kenapa Sekar Mirah " - bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah masih saja memandangi telapak tangannya. Kemudian katanya - Kakang, ternyata aku bukan seorang perempuan yang baik. "
"Kenapa " ~ "Seorang perempuan yang baik dalam seorang perempuan yang lemah lembut, kulitnya halus seperti beludru serta telapak tangannya lembut seperti sutera " Sekar Mirah itu berhenti sebentar. Lalu katanya pula - tetapi lihat kulitku yang terbakar sinar matahari serta telapak tanganku yang menjadi kasar dan bahkan kehitam-hitaman. Latihan-latihan dengan pasir yang panas itu membuat tanganku tidak seperti tangan seorang perempuan. Agung Sedayu tersenyum. Katanya - Kita bukan orang-orang yang berkedudukan tinggi. Bukan priyayi yang tinggal di rumah-rumah yang besar berhalaman luas yang terletak di pusat kota atau dikeliling istana. Tetapi kita adalah orang-orang kebanyakan yang tinggal di padesan. Aku adalah seorang prajurit yang setiap hari tangannya menggenggam hulu senjata dalam latihan-latihan yang berat. Sedangkan kau adalah isteri prajurit yang hidup diantara para petani di Tanah Perdikan ini. Cobalah kau lihat tangan perempuan-perempuan yang tinggal di sekitar kita di Tanah Perdikan ini. Tangan merekapun tentu menjadi kasar oleh kerja keras. Luka bekas ani-ani disaat mengetam padi atau bekas tusukan duri ketika menyisir daun pandan untuk membuat tikar-pasir yang putih bergaris-garis. "Tetapi tanganku tidak menjadi kasar karena kerja keras. Bahkan kehitam-hitaman. "Bukankah itu juga karena kerja kerasmu " jika perempuan yang lain bekerja keras disawah, dilumbung atau di semak-semak pohon pandan, maka kau bekerja keras di sanggar. Jika kerja mereka akan berarti bagi banyak orang, maka hasil kerjapun dapat kau amalkan untuk kepentingan banyak orang. Sekar Mirah tidak menyahut Tetapi ia masih tetap mengamati tangannya yang menjadi kasar. Sisi telapak tangannya mengeras dan kulit pada ruas jari-jarinyapun menjadi tebal.
-Sekar Mirah - berkata Agung Sedayu - jangan kecewa dengan keadaanmu. Kau justru dapat berbangga, bahwa tidak setiap perempuan dapat menjadi seperti kau. Sekar Mirah mengangguk. Meskipun demikian Sekar Mirah itupun berdesis " Bahkan kakang tidak menjadi kecewa " -Kenapa aku harus kecewa " Bukankah aku membantumu membuat tanganmu menjadi seperti itu " Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
Untuk beberapa saat mereka telah berdiam diri. Namun kemudian Sekar Mirahpun berkata - Dua hari lagi, bulan akan bulat. -Ya. Kau masih mempunyai waktu dua hari lagi untuk mempersiapkan dirimu. Kau harus yakin bahwa kau tidak bersalah. Kau mempertahankan hakmu, sehingga apa yang kau lakukan sudah benar.-Ya, kakang " desis Sekar Mirah.
-Meskipun demikian, meskipun kau yakin akan dirimu sendiri, tetapi kaupun harus tetap bersandar kepada Sumber hidupmu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia tidak menjawab lagi Tetapi ia masih tetap merenungi tangannya. Terbayang kembali latihan-latihan yang telah dilakukannya sehingga tangannya menjadi agak kehitam-hitaman dan terhitung kasar bagi tangan seorang perempuan. Ia membayangkan kembali, bagaimana tangannya yang terbuka dengan jari-jari merapat harus memukul sasaran-sasaran yang disiapkan disanggar. Dengan sisi telapak tangannya, dengan telapak tangannya, dengan ujung jari-jarinya yang merapat, tetapi juga dengan dua jarinya yang merenggang. Menekan dan mengetuk urat-urat nadi dengan ujung-ujung jari termasuk ibu jarinya. Kemudian dengan jari-jarinya yang merapat menusuk-nusuk seonggok pasir. Bahkan kemudian pasir yang berada didalam kotak yang besar bercampur kerikil. Terakhir pasir dan kerikil itu dipanasi, semakin lama semakin panas.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Laku kewadagan itu telah melengkapi laku seutuhnya yang harus dijalaninya. Latihan pernafasan, mengungkap tenaga dalam sampai tuntas, memanfaatkan segala macam unsur yang ada didalam dirinya, yang keras dan yang lunak.
-Sudahlah berkata Agung sedayu - lupakan tanganmu. Kau memang tidak memerlukan tangan yang halus dan lembut seperti beludru. Sokurlah bahwa tanganmu itu akan dapat kau pergunakan untuk melindungi namamu dan nyawamu. Bahkan kemudian untuk melindungi mereka yang diperlakukan keras dan kasar namun tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka yang teraniaya oleh ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun berdesis - Ya, kakang. Aku mengerti.-Nah, kau sekarang harus mempergunakan waktumu sebaik-baiknya. Kau harus banyak beristirahat agar tenagamu utuh. Tetapi kau pun harus mampu memusatkan nalar budi, menghadapi masa-masa yang berat bagimu. Nyi Dwani adalan orang yang terlalu yakin akan kemampuan didalam dirinya. Tetapi kaupun yakin pula akan kemampuanmu. Tetapi kau masih mempunyai bekal yang lebih baik. Kau tidak meremehkan Nyi Dwani sebagaimana Nyi Dwani meremehkanmu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya - Ya, kakang. -Baiklah. Seperti yang sudah pernah aku katakan, kau tidak boleh terlalu tegang. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Aku akan berusaha, kakang. -Nah, kenapa kita tidak duduk di luar " Meskipun bulan belum bulat, tetapi sinarnya tidak jauh berbeda. Sekar Mirah tersenyum. Katanya - Marilah, kakang. " Keduanyapun kemudian melangkah keluar. Ketika mereka berada di longkangan, mereka melihat cahaya bulan yang tersangkut didedaunan. Dilangit hanya bintang-bintang yang cahayanya cemerlang sajalah yang nampak bergayut.
Keduanyapun kemudian telah pergi ke halaman depan lewat seketheng. Demikian mereka turun kehakiman, maka mereka melihat Glagah Putih, Rara Wulan dan Sukra duduk di tangga pendapa.
Sekar Mirah memang sempat melupakan persoalan-persoalan yang bergejolak didalam dadanya. Di halaman seberang jalan, terdengar anak-anak bermain-main dengan riangnya. Terdengar sekelompok anak-anak perempuan melantunkan lagu-lagu dolanan.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dalam ketegangan jiwa ia tidak dapat mendengar gadis-gadis kecil itu dengan riangnya berdendang.
"Kau tidak bermain bersama kawan-kawanmu Sukra " - bertanya Agung Sedayu.
"Aku sedang menunggu - jawab Sukra.
"Aku sudah mendengar anak-anak melagukan lagu dolanan. Anak-anak perempuan. Tetapi anak-anak laki-laku baru akan mulai sebentar lagi. Agung Sedayu tersenyum. Namun kemudian bersama Sekar Mirah. Agung Sedayupun telah duduk pula di tangga pendapa rumahnya.
"Aku akan mengambil tikar - berkata Rara Wulan sambil bangkit berdiri. "Tidak usah Rara - desis Sekar Mirah - biarlah kita duduk di tangga ini saja. Rara Wulanpun kemudian duduk kembali. Sementara itu Suk-ralah yang berdiri. Di luar regol halaman terdengar seseorang memanggilnya.
"Kenapa tidak kau bawa kawan-kawanmu bermain di halaman ini saja " - bertanya Agung Sedayu.
"Terlalu sempit. - jawab Sukra.
"Jadi kau akan bermain dimana " "
"Sepanjang tepian. Agung Sedayu tersenyum. Namun Glagah Putihlah yang kemudian bertanya - Apakah kau akan masuk kedalam sanggar atau tidak"-Tentu. Lewat tengah malam. Aku akan bermain sampai tengah malam. "
Glagah Putih tersenyum. Ia tidak dapat memaksakan keterika-tan Sukra pada waktu-waktu berlatih. Bagaimanapun juga jiwa anak itu harus berkembang sebagai anak-anak yang lain. Ia butuh bermain sebagaimana anak-anak menjelang remaja sebayanya. Ia tidak boleh terkungkung sehingga ia akan kehilangan masa-masa y an paling menggembirakan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Sukrapun segera berlari menghambur keluar regol halaman.
Glagah Putih tersenyum. Iapun berjalan tergesa-gesa ke regol pula. Dilihatnya beberapa orang anak sebaya Sukra sedang berunding dipinggir jalan.
-Kau ikut bermain sembunyian, kakang " - bertanya seorang kawan Sukra.
Glagah Putih tertawa. Katanya - Jika ada kawannya yang sebaya, aku mau ikut bermain bersama kalian. -Benar " - bertanya yang lain - aku akan memanggil kakang. Ia tentu mau bermain bersama kakang Glagah Putih.
Glagah Putih tertawa semakin panjang. Katanya - Besok sajalah. Bukankah luas bulan purnama " Nah, waktunya bermain sampai jauh malam. Sejenak kemudian, maka anak-anak itupun bergegas pergi ke tepian. Mereka akan bermain sembunyi-sembunyian di sepanjang tepian sungai.
-Berhati-hatilah. - pesan Glagah Putih - jangan sampai, menginjak seekor ular yang banyak berkeliaran di gerumbul-gerumbul perdu sepanjang tanggul. Anak-anak itu mengangguk. Tetapi sebentar kemudian mereka-pun sudah menghambur berlari-larian menuju ke tepian. Tetapi agaknya mereka masih akan memanggil beberapa orang kawan lagi.
Malam itu Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di tangga pendapa sampai jauh malam. Suara tembang dolanan, mengalun dilagukan oleh gadis-gadis yang sudah meningkat remaja.
Ketika Sekar Mirah kemudian berada di biliknya, maka seperti malam-malam sebelumnya, rasa-rasanya waktu berhenti beredar. Suara-suara malam yang ngelangut membuat malam serasa menjadi semakin panjang.
-Jangan terlalu kau pikirkan - berkata Agung Sedayu.
Bagiku, persoalan yang aku hadapi sekarang sulit untuk aku lewati begitu saja. Persoalannya menyangkut sebuah perguruan. Tongkat pertanda perguruan dan saudara-saudara seperguruan. Kau percaya kepada semua ceritera Ki Saba Langit, Welat Wulung, Empu Wisanata dan Nyi Dwani " "
-Tidak seluruhnya - jawab Sekar Mirah.
-Nah, jika demikian, jangan terlalu banyak kau risaukan. Kau menerima warisan itu langsung dari orang yang kau anggap gurumu. Karena itu, maka sikapmu sebagaimana aku katakan berkali-kali, sudah benar. "
Sekar Mirah mengangguk. Meskipun demikian, Sekar Mirah tidak dapat tidur dengan nyenyak. Tetapi beberapa kali ia terbangun. Sementara malam serasa masih saja tidak beringsut Dan waktupun seakan-akan telah berhenti.
Tetapi di hari berikutnya, segala-galanya telah berubah. Sekar Mirah tidak lagi nampak gelisah dan tegang. Beberapa petunjuk Agung Sedayu telah membuat Sekar Mirah mampu melepaskan diri dari belitan perasaannya menghadapi perang tanding yang akan dilakukannya, besok malam, saat bulan purnama.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirahpun merasakan bahwa Sekar Mirah akan menjadi semakin tegar menghadapi perempuan yang bernama Nyi Dwani itu.
Bahkan Ki Jayaraga sempat berbisik di telinga Agung Sedayu -- Perubahan yang menentukan telah terjadi didalam diri angger Sekar Mirah. Nampaknya Ki Lurah berhasil menyakinkannya Pada dasarnya Sekar Mirah memang mempunyai keyakinan yang kuat didalam dirinya, Ki Jayaraga. Ia tidak akan menjadi tegang seandainya tiba-tiba saja ia diserang dan harus bertempur mempertahankan dirinya.' Tetapi justru karena ada tegang waktu beberapa hari itulah,-maka Sekar Mirah sempat berangan-angan sehingga jantungnya justru diterkam oleh ketegangan. Dengan keyakinannya yang semakin kuat, maka tidak ada lagi yang harus dicemaskan. " sahut Ki Jayaragga.
Dengan demikian, Sekar Mirah menyongsong saat-saat yang menentukan itu dengan sikap yang mapan. Bahkan kemudian Sekar Mirah seakan-akan tidak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi.
Meskipun demikian, di sanggar Sekar Mirah masih melakukan latihan-latihan ringan untuk sekedar melemaskan tubuhnya tanpa menimbulkan ketegangan baru.
Akhirnya, malam yang ditunggu itupun semakin mendekat. Betapa lambatnya waktu merayap, tetapi hari-haripun telah terlampaui.
Ketika senja turun menjelang malam bulan purnama, Sekar Mirah telah mempersiapkan diri lahir dan batinya. Ia berada di sanggar beberapa saat lamanya bersama Agung Sedayu. Mereka telah menenangkan hati, mengheningkan nalar dan budi. Sebentar lagi, Sekar Mirah akan pergi ke tepian Kali Praga, sebelah utara jalur penyeberangan Selamatan untuk melakukan perang tanding.
Tingkat kepasrahan Sekar Mirahpun menjadi semakin tinggi, sehingga iapun menjadi semakin tenang karenanya.
Ketika gelap turun, maka seisi rumah itu telah meninggalkan rumah mereka. Kepada Sukra Agung Sedayu berpesan, jika ia pergi bermain, semua pintu supaya diselarak, termasuk pintu seketeng.
-- Jangan lupa. Lewat saja pintu butulan di longkangan. Kau. dapat memanjat disebelah pintu seketeng yang kau selarak dari dalam. "
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Ki Lurah dan seisi rumah ini akan pergi ke mana " -Glagah Putihlah yang menepuk bahunya sambil menjawab -Menikmati cahaya bulan purnama.
Sukra termangu-mangu sejenak. Dipandanginya mereka seorang demi seorang dengan penuh pertanyaan di sorot matanya. Agaknya anak itu merasakan lewat panggraitanya, bahwa sesuatu akan terjadi.
Diluar sadarnya anak itupun bertanya - Apakah aku boleh ikut bersama seisi rumah ini menikmati bulan purnama " Glagah Putih tersenyum. Kataya - Kau akan dicari kawan-kawanmu. Bermain sajalah bersama kawan-kawanmu di tepian. Tetapi ingat, jangan menginjak ular jika kau dan kawan-kawanmu bersembunyi di semak-semak. "
Sukra mengangguk. Tetapi diwajahnya nampak kegelisahan hatinya. Meskipun tidak terungkapkan. Tetapi sesuatu bergejolak didalam dadanya
Bahwa seisi rumah ini berpergian bersama agaknya tidak pernah dilakukan sebelumnya
Namun peringatan Glagah Putih kepada Sukra merupakan peringatan pula bagi Agung Sedayu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah memberikan sebutir obat penangkal racun kepada Sekar Mirah. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak memerlukan, namun Agung Sedayu selalu menyediakan obat penangkal racun dan bisa.
Demikianlah, maka kelima orang itupun telah meninggalkan regol halaman. Tetapi mereka tidak bersama. Disaat bulan terang, tentu banyak anak-anak bermain. Bukan saja di halaman-halaman rumah yang luas, tetapi tentu juga disepanjang jalan. Mereka berlari-larian, bekerjaran dan main sembunyi-sembunyian. Jika mereka melihat seisi rumah itu berjalan bersama-sama, maka mereka tentu akan bertanya-tanya, sebagaimana Sukra, meskipun barangkali tidak diucapkan.
Karena itu, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengambil jalan sendiri, sementara Glagah Putih dan Ki Jayaraga memilih jalan yang lain. Namun mereka berjanji untuk bertemu di tempat yang sudah ditentukan.
Dengan cepat kelima orang itu melintasi jalan padukuhan induk, bulak-bulak panjang dan pendek menuju ke tepian Kali Praga, disebelah Utara jalur penyeberangan. Mereka akan sampai ketempat itu, pada saat bulan naik sepenggalah.
Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Bulan yang terbit nampak kemerah-merahan. Selembar awan tipis melayang menyapu wajah langit Kelelawar berkeliaran yang menyambar-nyambar menangkap mangsanya
Kelima orang yang berjalan terpisah itupun kemudian bertemu. Mereka mengambil jalan pintas, menyusuri tanggul parit induk.
Kemudian melintasi susukan lewat sebuah wot bambu yang menyilang dialasnya.
Ketika mereka sempat memandang air yang mengalir dibawah wot bambu itu, maka mereka melihat wajah bulan yang memantul berkilat-kilat oleh riak-riak kecil dipermukaannya.
Sementara itu bulan menjadi semakin tinggi. Malampun justru seakan-akan menjadi semakin terang. Bulan bulat memancarkan cahaya peraknya merata dilingkaran cakrawala.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah melintasi semak-semak yang tumbuh diatas tanah yang lembab berair. Namun beberapa saat kemudian mereka telah berada diatas tepian berpasir.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah memegang tangan suaminya. Tetapi hanya sesaat. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia melepaskan tangan itu. Bahkan Sekar Mirahpun kemudian berjalan dipaling depan.
Ketika mereka sampai ketepian, maka merekapun melihat empat orang duduk diatas pasir sambil menghadap kearah bulan yang sudah menjadi semakin tinggi. Kedatangan Sekar Mirah seakan-akan telah membangunkan mereka dari keterpakuan mereka memandang bulan yang bulat itu.
Terdengar suara Nyi Dwani dengan nada tinggi. ~ Selamat Malam saudara-saudaraku. Aku sudah merasa cemas, bahwa kalian berhalangan hadir di tepian ini. - Aku sudah menunggu-nunggu terlalu lama. Rasa-rasanya waktu berhenti berputar. - jawab Sekar Mirah - aku tidak tahu, kenapa harus menunggu bulan bulat Mungkin ada hubungan antara ilmumu dengan cahaya bulan. Semakin terang cahaya bulan dilangit. Maka ilmumu akan menjadi semakin tinggi. Tiba-tiba wajah Nyi Dwani berkerut Seakan-akan diluar sadar-nya Nyi Dwani itu menyahut - Apa salahnya aku menghubungkan ilmuku dengan cahaya bulan. Jika aku mampu menyerap dan memanfaatkan getar cahaya bulan, bukanlah aku tidak menyalahi syarat perang tanding ini. " Tidak " jawab Sekar Mirah - tetapi ilmu dari jalur perguruanku tidak ada hubungannya dengan cahaya bulan. Nyi Dwani tersentak. Namun Empu Wisanatalah yang menyahut " Kau memang baru sampai pada tataran permulaan dari kebulatan ilmu dari perguruan kita. Nyi Lurah. Tetapi kami sudah sampai pada tataran puncaknya, sehingga ada beberapa hal yang masih belum kau kenal dari ilmu perguruan kita ini. Sekar Mirah tersenyum Katanya ~ Aku tidak akan menganggap kalian curang seandainya kalian datang dengan membawa landasan ilmu dari perguruan manapun juga. Bahkan tanpa satupun unsur gerak dari perguruanku yang kau kenali. -Cukup - teriak Nyi Dwani - kau tidak usah mengada-ada Nyi Lurah. Malam sudah semakin larut. Kita jangan terlalu banyak membuang waktu.
Tetapi jawab Sekar Mirah membuat jantung Nyi Dwani bagaikan terbakar. Katanya ~ Kenapa tergesa-gesa. Sebenarnya Nyi Dwani, aku ingin beristirahat setelah aku berjalan dengan tergesa-gesa ke tepian ini. Namun Empu Wisanatalah yang menyahut - Baiklah. Beristirahatlah. - lalu katanya kepada anaknya - Dwani. Sebaiknya kau tidak usah tergesa-gesa. Nyi Lurah masih ingin menikmati indahnya cahaya bulan di tepian Kali Praga. Mungkin ia tidak akan mempunyai kesempatan lagi sesudah malam ini. Purnama ini adalah purnama yang terakhir baginya. Tetapi Ki Saba Lintang segera menyahut ~ Nyi Lurah dapat saja beristirahat. Tetapi jangan sekedar mengulur waktu, sementara Ki Lurah telah menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus segelar sepapan. "
Tidak, Ki Saba Lintang ~ sahut Agung Sedayu - aku tetap menghormati kesepakatan isteriku dengan saudara-saudara seperguruannya. Baiklah - berkata Sekar Mirah kemudian - kita akan mulai permainan ini. Waktuku memang tidak banyak. Aku juga sedang menanak nasi dirumah. Aku harus segera pulang sebelum nasiku menjadi hangus. ~
"Kau terlalu sombong, Nyi Lurah - geram Nyi Dwani.
"Bukan maksudku. - "Sudahlah - berkata Ki Saba Lintang - jika Nyi Lurah sudah siap, maka perang tanding ini akan segera dimulai. Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Dilihatnya bulan menjadi semakin tinggi. Sebentar lagi bulan itu akan mencapai puncak langit.
Sekar Mirah tersenyum. Ia pernah mendengar ceritera suaminya dan ceritera Ki Jayaraga, bahwa orang yang menghubungkan ilmunya dengan cahaya bulan mempunyai kepercayaan, semakin terang cahaya bulan, ilmunya menjadi semakin tinggi. Puncak dari tataran ilmunya adalah apabila bulan purnama itu ada dipuncak langit. Tetapi jika bulan itu mulai tergelincir menuruni lengkung langit disebelah Barat, maka ilmu itupun akan menjadi semakin menyusut.
Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi gentar. Pengaruh sinar bulan itu lebih banyak justru pada pengaruh jiwani. Meskipun Sekar Mirah mengerti, bahwa arti dari pengaruh jiwani itu sangat penting, namun Sekar Mirah sudah siap untuk mengatasinya.
Dalam pada itu, maka Ki Saba Lintangpun berkata - Bersiaplah. Aku akan memimpin perang tanding. "Kenapa kau " -- bertanya Sekar Mirah. "Aku memegang tongkat perguruan. "
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sekaligus. Agung Sedayu juga memegang tongkat, meskipun tongkat itu milik Sekar Mirah. Namun sebelum Sekar Mirah mengatakan sesuatu, Agung Sedayu itupun berkata - Silahkan Ki Saba Lintang. Silahkan memimpin perang tanding ini. Tetapi setelah perang tanding ini mulai, maka kita akan sekedar menjadi saksi.
-Ya. Kita memang tidak lebih dari saksi. -Demikianlah, maka Ki Saba Lintang itupun telah mempersilahkan Nyi Dwani dan Sekar Mirah untuk berdiri berhadapan pada jarak beberapa langkah. Sambil mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, Ki Saba Lintang itupun berkata - Demi keluhuran nama perguruan kita, maka akan diselenggarakan perang tanding ini dengan jujur. Perang tanding antara Nyi Dwani dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Akhir dari perang tanding ini akan membuktikan, siapakah yang paling baik diantara mereka. Jika perguruan kita harus kehilangan salah seorang yang terbaik diantara kita, adalah Semata-mata tumbal yang akan menjadi pupuk kesuburan perkembangan perguruan kita selanjutnya. Nah, bersiaplah kalian yang akan berhadapan dalam perang tanding ini. Apapun yang akan terjadi, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semuanya dilakukan atas kesadaran bahwa kehormatan tertinggi adalah pada perguruan. Nyi Dwanipun kemudian segera mempersiapkan diri. Demikian pula Sekar Mirah. Kedua-duanya sama sekali tidak bersenjata. Mereka akan menyelesaikan perang tanding itu dengan tangan mereka yang akan menyalurkan getar kekuatan ilmu mereka.
Demikianlah, maka perang tanding itupun segera dimulai. Agung Sedayupun kemudian berdiri tidak terlalu jauh dari Empu Wisanata, sementara Ki Jayaraga berdiri diseberang, didekat Ki Saba Lintang. Disisi yang lain Glagah Putih berdiri disebelah Rara Wulan.
Dalam pada itu, perhatian Welat Wulungpun segera terbagi. Ia ingin memperhatikan perang tanding itu. Tetapi sekali-sekali ia menyempatkan diri memandang Rara Wulan. Gadis itu menjadi semakin cantik oleh sinar bulan yang bulat.
Setapak-setapak Welat Wulung bergeser. Memang tidak menarik perhatian. Seakan-akan kakinya tergerak karena perhatiannya yang terpusat pada perang tanding itu.
Dalam pada itu, ternyata Nyi Dwani memang seorang perempuan yang garang. Demikian perang tanding itu mulai, maka serangan-serangan itu masih sekedar untuk menjajagi kemampuan lawannya, namun kadang-kadang serangan itu terasa mulai berbahaya.
Namun Sekar Mirahpun telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak saja sekedar menghindari serangan-serangan Nyi Dwani, tetapi Sekar Mirahpun mulai menyerangnya pula.
Sementara itu Welat Wulungpun telah berdiri beberapa langkah saja disebelah Rara Wulan. Namun ia masih harus menunggu perang tanding itu selesai. Ia harus menunggu Nyi Dwani membunuh Sekar Mirah lebih dahulu. Baru kemudian ia akan membuat persoalan baru. Ki Welat Wulung menyadari, bahwa ia tidak boleh mengganggu perang tanding yang baru terjadi itu.
Dibawah terangnya bulan purnama, maka perang tanding itupun berlangsung. Semakin lama menjadi semakin cepat. Nyi Dwani yang garang itu berloncatan dengan cepatnya. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan jari-jari mengembang seperti jari-jari burung elang menangkap anak ayam.
Tetapi Sekar Mirahpun tidak kalah tangkasnya. Dengan kecepatan yang tinggi pula, Sekar Mirah selalu mampu menghindari serangan-serangan Nyi Dwani. Bahkan ia sempat mengejutkan Nyi Dwani ketika kakinya sempat menyambar pergelangan tangannya.
Nyi Dwanipun menggeram. Ia semakin meningkatkan ilmunya Nyi Lurah Agung Sedayu itu tidak boleh merasa berbesar hati oleh kemenangan-kemenangan kecil sekalipun.
Tetapi ternyata hal itu tidak mudah dilakukannya Ada diluar dugaannya, bahwa Sekar Mirah mampu sekali-sekali mengejutkannya dengan serangan-serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.
Kursi Perak 1 Wiro Sableng 106 Rahasia Bayi Tergantung Tiga Dara Pendekar 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama