Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 19

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19


Nyi Suluh tersenyum. Katanya kemudian - Di belakang mereka, orang-orang kita telah mengikutinya.-Empat orang Ki Suluh mengangguk-angguk. Katanya - Sekarang, Rara Wulan tidak akan lepas lagi.Dalam pada itu, orang berkapak itupun telah diberitahu pula, bahwa orang yang mereka tunggu telah datang.
Ketiga orang yang duduk membelakangi jalan itupun segera bangkit berdiri. Demikian mereka berbalik, maka merekapun segera melihat tiga orang perempuan melangkah semakin lama menjadi se-makin dekat dengan Ki Suluh dan Nyi Suluh.
Nyi Dwani yang berjalan disebelah Sekar Mirahpun. berdesis -Nah, lihat Didepan kita itu adalah Ki Suluh dan Nyi Suluh. Tetapi seperti yang aku katakan, mereka tentu tidak hanya berdua. Orang yang membawa kapak, yang baru saja bangkit berdiri bersama kedua orang yang lain itu, tentu kawan Ki Suluh pula.
- Oh- Sekar Mirah mengangguk-angguk - mereka kerahkan orang-orang berilmu tinggi untuk menjemputmu dan mengambil Rara Wulan lagi"- Agaknya memang begitu. Nah, apakah Nyi Lurah siap menghadapi mereka" - Tentu, aku sudah siap.- Tetapi Nyi Lurah tidak bersenjata.Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Seakan-akan diluar sadarnya iapun berdesis - Apakah senjata itu penting sekali " Jika kita yakin akan kemampuan kita, maka senjata tidak akan menjadi sangat menentukan. Meskipun demikian, untuk melawan orang-orang yang bersenjata, sebaiknya kita bersenjata pula- Tetapi Nyi Lurah tidak membawa senjata - Nyi .Dwani menegaskan.
- Nyi Sebagaimana Ki Suluh dan Nyi Suluh mempersiapkan dai, kitapun sudah mempersiapkan diri pula. Bukankah sejak semula kita sudah menduga, bahwa Ki Suluh dan Nyi Suluh tidak akan dalang berdua saja- Apakah Nyi Lurah sudah mempersiapkan diri"- Ya - jawab Sekar Mirah.
Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Ia tidak melihat kekuatan yang ada dibelakang Sekar Mirah. Bahkan senjatapun Sekar Mirah tidak membawanya
Dalam pada itu, ketika Ki Suluh dan Nyi Suluh siap menghentikan Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan, tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang yang membawa masing-masing seikat kayu itu berdesis -Nah, itulah mereka Sudah bosan menunggu disini.Orang yang berbaring dan wajahnya dengan caping itupun bangkit sambil berkata- Perempuan-perempuan itu tidak tahu diri. Mereka membeli kayu lima keping dua ikat, telah memaksa kita menunggu disini sampai mataku hampir terpejam. Apa kerja mereka di pasar" Jika kita tadi berjalan terus, kita sudah dapat melakukan kerja yang lain. Tidak duduk-duduk saja di sini tanpa arti sama sekali.Ki Suluh sempat berpaling. Ternyata kedua orang itu juga menunggu Sekar Mirah. Agaknya Sekar Mirah membeli dua ikat kayu. Tetapi penjualnya harus membawa kayu bakar itu sampai ke rumahnya.
Dalam pada itu, Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan menjadi semakin dekat Ketika dengan tidak sengaja Nyi Dwani berpaling, maka iapun terkejut Dengan serta-merta iapun berdesis - Nyi Lurah. Ada ampat orang di belakang kita.Aku yakin, mereka tentu, orang-orang yang akan membantu Ki Suluh dan Nyi Suluh.
. Tanpa segan-segan Sekar Mirah berpaling. Bahkan sempat memandang keempat orang itu dengan teliti. Sambil tersenyum Sekar Mirahpun berkata - Ada diantara mereka yang sedang mabuk.Nyi Dwani mengangguk. Nyi Suluh yang melihat sikap Sekar Mirah itupun berdesis Agaknya mereka mulai mejadi curiga- Kita akan segera menghentikan mereka - berkata Ki Suluh. Nyi Suluh mengangguk kecil.
Demikianlah, ketika Sekar Mirah melangkah di depan Ki Suluh dan Nyi Suluhpun bergeser selangkah maju. Nyi Dwani masih saja berpura-pura mengenalinya meskipun jantungnya berdegupan semakin cepat
- Maaf Nyi Lurah - berkata Ki Suluh - aku mohon kesediaan Nyi Lurah untuk berhenti sekejap.Sekar Mirah berpaling. Katanya ~ O, Ki Sanak menghentikan aku atau orang lain "- Nyi Lurah. Nyi Lurah Agung Sedayu. Bukankah kau Nyi Lurah Agung Sedayu"- Ya Ki Sanak. Aku Nyi Lurah Agung Sedayu. Siapakah Ki Sanak berdua"Tetapi sebelum Ki Suluh menjawab, penjual kayu itulah yang melangkah cepat-cepat mendekat sambil berkata - Nyi, bagaimana dengan kayunya. Aku sudah menunggu sampai hampir tertidur di sini. Kami berdua minta tambahan upah membawa kayu itu sampai ke rumah Nyi Lurah, atau aku biarkan kayu itu disini.- Kalian berjanji untuk membawa kayu itu sampai ke ramah tanpa upah. Kita sudah saling menyetujui harganya - Tetapi tidak untuk menunggu sampai setengah hari.- Kenapa kalian tidak langsung ke rumah" Bukankah kalian sudah tahu dimana letak rumahku"-Seandainya kami berjalan dahulu, kamipun harus menunggu, karena Nyi Lurah belum membayar harganya.Sekar Mirah tersenyum. Tetapi debar di jantung Nyi Dwani menjadi semakin cepat Itulah agaknya Nyi Lurah tampak tenang-tenang saja. Kedua orang penjual kayu itu adalah Sabungsari dan Sayoga.
Karena itu, maka dengan serta-merta Nyi Dwanipun mengamati seikat kayu itu dengan seksama. Darahnya tersuap ketika ia melihat sesuatu yang berkilat dibawah seikat kayu itu. Tongkat baja putih Sekar Mirah.
Agaknya Sekar Mirah mengerti, bahwa Nyi Dwani telah mengenali kedua penjual kayu itu dan mengetahui bahwa senjatanya ada di dalamnya. Karena itu, maka iapun tersenyum sambil berdesis - Nyi, kita harus menambahi upah kedua penjual kayu ini.Nyi Dwani menjadi sangat canggung. Tetapi ia belum menjawab, Ki Suluhpun telah membentak kedua orang penjual kayu itu - Jangan mengganggu. Aku ingin berbicara kepada Nyi Lurah.Kedua penjual kayu itu tidak melangkah surat Tetapi keduanya dengan beraninya menatap Ki Suluh. Seorang diantara mereka berkata - Aku juga berkepentingan dengan Nyi Lurah,- Aku tidak peduli - jawab Ki Suluh. Sementara itu, orang yang bersenjata kapak dan kedua orang kawannya telah berdiri tidak jauh pula dari mereka.
Karena itu, maka Ki Suluh itupun kemudian berkata kepada orang yang membawa kapak itu - Singkirkan orang-orang ini. Mereka hanya akan menganggu saja.. Orang bersenjata kapak itupun kemudian berpaling kepada kedua orang penjual kayu itu. Dengan garang iapun membentak - Pergi, atau aku kapak kepalamu.- Tetapi, aku telah dirugikan oleh perempuan-perempuan itu. "
- Itu urusanmu. Tetapi kalian harus pergi.Seorang diantara kedua orang penjual kayu itupun kemudian berkata - Jika demikian, aku rusakkan saja ikatan kayu ini. Meskipun aku tidak dibayar, tetapi aku akan menjadi puas.Tanpa banyak berbicara orang itu melangkah mendekati orang bersenjata kapak itu sambil berkata - Aku pinjam kapakmu.Orang bersenjata kapak itu seakan-akan telah dicengkam oleh suasana yang tidak terelakkan. Ia memberikan begitu saja kepaknya kepada penjual kayu itu.
Bahkan Ki Suluh, Nyi Suluh dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya berdiri mematung ketika orang yang menggenggam kapak itu mengangkat kapaknya dan mengayunkannya untuk memotong tali-tali pengikat kayu bakarnya.
Kapak itu adalah kapak yang tajam. Sekali sentuh, tali itupun telah terputus.
Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itupun terbelalak ketika mereka melihat benda-benda yang terselip di antara seikat kayu bakar itu. Sebelum mereka sadar sepenuhnya, maka orang yang mengaku penjual kayu yang seorang lagi telah memungut benda-benda itu dan melemparkannya kepada Nyi Lurah dan Rara Wulan. Sebatang tongkat baja putih dan sebuah pedang yang masih berada di dalam sarungnya. Sementara itu, Sabungsaripun telah memungut pedangnya sendiri yang juga berada di antara jelujur-jelujur kayu bakar itu.
- Gila - Ki Suluh dan Nyi Suluhpun meloncat mundur. Demikian pula orang yang bersenjata kapak, namun yang kapaknya justru berada di tangan Sabungsari, serta kedua orang saudara seperguruannya.
Ampat orang yang berada di belakang Sekar Mirahpun terkejut pula. Seorang yang setengah mabuk berteriak-teriak - Berikan tongkat baja putih itu.Yang tertawa kemudian adalah dua orang yang lain, yang berada beberapa langkah di belakang keempat orang itu.
Ketika orang-orang yang menghentikan Sekar Mirah itu berpaling, maka merekapun menjadi tegang. Jantung Nyi Dwani justru berdegup semakin keras. Keduanya adalah Ki wijil dan Nyi Wijil.
Tanpa menghiraukan orang-orang yang kebingunan itu, Ki Wijil dan Nyi Wijilpun melangkah dengan tenangnya mendekati Sayoga sambil berkata - Manakah senjataku "
Sabungsari yang masih memegang kapak itupun telah memutuskan tali pengikat kayu. yang semula diangkat di atas kepala Sayoga. Demikian tali itu putus, maka Sayogapun segera memungut sepasang pedang Sri-gunting Kuning yang putih itu serta pedang Ki Wijil.
Nyi Dwanilah yang kemudian bagaikan membeku di tempatnya. Ternyata Nyi Lurah telah mempersiapkan segala-galanya di luar dugaannya Sementara itu, Nyi Dwanipun sadar, bahwa Empu Wisanata berada di rumah Ki Lurah Agung Sedayu tentu ditunggui oleh Ki Jayaraga
Gigi Ki Suluh dan Nyi Suluhpun gemeretak oleh kemarahan yang menyala di dada mareka
Sementara itu, Sekar Mirahpun berkata lantang - Kami sudah mengira bahwa saat seperti ini akan datang. Jadi kami pergi ke pasar, maka kalian tentu memanfaatkan kesempatan itu. Ternyata dugaan kami benar. Kalianpun telah membawa beberapa orang berilmu tinggi untuk mengambil Rara Wulan kembali Tetapi tentu saja bahwa kami tidak akan memberikannyaDalam pada itu, Nyi Dwanipun berdesis - Nyi Lurah. Ternyata sekali lagi Nyi Lurah mengelabui aku " -Apa aku mengelabuhi Nyi Dwani sekarang ini" -Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi Sekar Mirah melihat mata perempuan itu menjadi basah.
- Nyi Dwani - berkata Ki Suluh - jangan cemas. Kami akan membebaskan Ny: Dwani sekaligus mengambil kembali Rara Wulan. Tidak seorangpun ikan dapat mencegah kami. Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sekar Mirah menjadi tegang. Bahkan Sekar Mirah itupun telah memutuskan di dalam hatinya, jika Nyi Dwani berkhianat dan berpihak kepada Ki Suluh dan Nyi Suluh, maka tidak ada pilihan daripada menghabisinya. Sekar Mirah merasa sudah cukup bersabar menghadapi perempuan itu.
Namun ternyata Nyi Dwani itu menjawab - Maaf, Ki Suluh dan Nyi Suluh. Tenagaku tidak dapat aku pergunakan seutuhnya. Ki Lurah Agung Sedayu masih belum membebaskan aku, sehingga untuk melawan kanak-kanakpun aku tidak akan mampu sekarang ini. - Kau harus mencoba. - - Aku tidak ingin membunuh diri. Kecuali jika Ki Suluh mampu membebaskan aku, sehingga aku akan dapat bertempur bersama Ki Suluh dan Nyi Suluh.Ki Suluh termangu-mangu sejenak. Namun orang yang agak mabuk itu tiba-tiba berteriak - Apa peduli kita dengan kemampuan Nyi Dwani yang terbelenggu. Kita bunuh saja mereka semuanya. Kita bawa Nyi Dwani dan Rara Wulan bersama kita.
Salah seorang saudara seperguruan orang berkapak itupun menyahut tidak kalah lantangnya-Apalagi yang kita tunggu"Orang berkapak itu tiba-tiba berteriak - Kembalikan kapakku.Sabungsari tertawa. Katanya - Kenapa kau berikan kapakmu kepadaku" Kau harus bertempur tanpa senjata. Akulah yang akan mempergunakan kapakmu ini. - Setan kau. Cepat Berikan, atau aku belah kepalamu.- Dengan apa kau membelah kepalaku" Orang bersenjata kapak itu menggeram. Senjatanya sudah berada di tangan lawannya. Demikian mudahnya.
Kedua saudara seperguruan orang bersenjata kapak itupun kemudian telah mencabut golok mereka. Dengan garang mereka menyerang Sabungsari dan Sayoga.
Namun Sabungsari dan Sayogapun sudah siap menghadapi mereka, sehingga karena itu, maka merekapun telah terlibat dalam pertempuran yang garang. Sabungsari justru telah menyelipkan pedangnya yang masih berada disarungnya pada ikat pinggangnya, sementara ia telah mempergunakan kapak yang ditangannya itu sebagai senjata.
Namun ternyata Sabungsari juga memiliki kemampuan untuk mempermainkan kapak yang berat itu. Bahkan di tangan Sabungsari kapak itu tidak kalah berbahayanya daripada apabila kapak itu berada di tangan pemiliknya.
Ki Suluh dan Nyi Suluh juga tidak menunggu lebih lama lagi. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, Ki Wijil dan Nyi Wijil telah berada di hadapan mereka. Dengan nada rendah Ki Wijil berkata - Biarlah yang tua-tua membuat arena permainan sendiri Ki Sanak.- Ternyata orang-orang Tanah Perdikan itu licik - geram Ki Suluh.
- Ah - Ki Wijil berdesah - apanya yang licik" Permainan kita adalah permainan yang menarik. Kita saling merunduk. Apa salahnya"- Memang tidak ada yang salah. Tetapi jangan menyesal jika permainan ini membawa akibat buruk bagimu dan barangkali juga bagi perempuan yang agaknya isterimu itu.- Ya. Ia adalah isteriku. Ia akan dapat bermain dengan isterimu. Sebenarnya isteriku lebih senang bermain dakon daripada bermain pedang. Tetapi jika isterimu menghendaki, maka agaknya isteriku juga tidak berkeberatan.Nyi Suluhlah yang menyahut -Baiklah. Tetapi jangan kau tangisi jika isterimu terbunuh. Aku lebih suka berkata berterusterang bahwa aku akan membunuh isterimu.Ki Wijilpun tertawa. Katanya - Isteriku akan dapat menjaga dirinya sendiri. Kamipun sudah berjanji, bahwa kami akan saling menangisi jika salah seorang diantara kami terbunuh dalam pertempuran. Tetapi jika kami berdua terbunuh bersama-sama, maka tidak akan ada yang menangisi kami Namun kami akan memilih untuk dapat bertahan hidup. Kami lebih senang membunuh daripada dibunuh. Ki Suluh mengerutkan dahinya Namun sebelum ia berkata sesuatu Nyi Suluh sudah menyingsingkan kain panjangnya Agaknya ia memang sudah bersiap dengan pakaian khususnya dibawah pakaian perempuannya
Nyi Wijil telah bersiap pula Bahkan ia tidak sekedar menyingsingkan kain panjangnya Tetapi Nyi Wijil sengaja melepas kain panjangnya dan bahkan bajunya
Ki Suluh dan Nyi Suluh terkejut Ia melihat seorang perempuan dengan pakaian yang ciri-cirinya dapat dikenalinya. Hampir berbareng Ki Suluh dan Nyi Suluh berdesis - Srigunting Kuning. - Kalian pernah bertemu dengan Srigunting Kuning"- bertanya Nyi Wijil.
Ki Suluh dan Nyi Suluh itupun menggeleng. Dengan nada berat Ki Suluh berkata - Aku belum pernah bertemu dengan orangnya Tetapi aku mengenal ciri-cirinya. Beruntunglah bahwa akhirnya aku sempat juga berhadapan dengan Srigunting Kuning.- Baiklah. Aku tidak akan memberikan tanggapan apapun juga. Nah, sekarang bersiaplah.Nyi Wijil sempat menggulung pakaian perempuannya dan melemparkannya ke onggokan kayu bakar yang telah terserak karena talinya sudah diputus.
Sejenak kemudian, Nyi Wijil itupun telah bertempur melawan Nyi Suluh. Dua orang yang tamburnya sudah mulai beruban. Namun ternyata keduanya masih mampu bergerak dengan cepat dan tangkas.
Sementara itu, Ki Suluh harus berhadapan dengan Ki Wijil. Keduanyapun adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Yang kemudian harus berhadapan dengan orang-orang yang berbau tuak itu adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sekar Mirah sendiri tidak cemas tentang dirinya sendiri. Tetapi Sekar Mirah cemas ketika ia menyadari, bahwa Rara Wulan harus berhadapan dengan dua orang lawan. Untunglah bahwa kedua-duanya tidak berada dalam kesadaran penuh. Seorang diantara mereka masih merasa pening karena mabuk, sementara kawannya lebih berat lagi. Matanya sedikit kabur. Otaknya tidak dapat bekerja sepenuhnya
Sementara itu, Sekar Mirah juga harus bertempur melawan dua orang. Meskipun seorang diantaranya sedikit mabuk, tetapi orang itu masih mampu mengatasi mabuknya, sehingga orang itu mampu bertempur dengan baik.
NAMUN dalam pada itu, tiba-tiba saja beberapa orang datang menghambur. Mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang. Meskipun mereka bukan orang-orang berilmu setinggi orang-orang yang lebih dahulu hadir ditempai itu, namun jumlah mereka ternyata cukup banyak.
Sekar Mirah memang menjadi cemas. Jika lawan Rara Wulan bertambah lagi, maka ia akan benar-benar dalam keadaan bahaya
Karena itu, maka tongkat Sekar Mirahpun segera terayun-ayun mengerikan. Apalagi lawan-lawannya menyadari, bahwa tongkat baja putih itu adalah senjata pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati, sehingga pengaruhnya sangat terasa dalam pertempuran itu. Kedua lawan Sekar Mirah tidak mau dengan serta-merta membenturkan senjata-senjata mereka pada tongkat baja putih itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka orang-orang yang datang menghambur dari beberapa arah itu telah mengepung arena pertempuran. Ki Suluhlah yang kemudian meneriakkan aba-aba"Kepung mereka. Kali ini tidak boleh gagal "
Orang-orang yang datang kemudian itupun kemudian bukan sekedar melingkari arena pertempuran. Tetapi mereka mulai bergerak berputaran. Kepungan mereka menjadi semakin rapat. Seorang-seorang mulai terlepas dari lingkaran yang menyusup kedalam arena pertempuran.
Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas. Tiga orang dengan cepat bergerak disekitar Rara Wulan. Mereka sadar betul, bahwa gadis itu adalah sasaran utamanya. Sedangkan tiga orang yang lain dengan cepat mulai mendekati Nyi Dwani. Perempuan itupun harus dibebaskan dari tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Rara Wulan telah mengerahkan segenap kemampuannya. Orang-orang yang mabuk itu masih dapat diimbanginya Tetapi ketika kemudian datang lagi tiga orang yang mengeroyoknya maka Rara Wulanpun segera mengalami kesulitan.
Sekar Mirah yang melihat keadaannya, berusaha untuk dapat membantunya. Tetapi beberapa orang dengan sengaja telah memisahkannya dari Rara Wulan.
Sementara itu, ketika tiga orang yang mendekati Nyi Dwani bersiap untuk membawanya, maka Nyi Dwani itupun berkata " Tunggu. Aku ingin melihat orang-orang itu tidak berdaya lagi"
Karena itu, maka ketiga orang itu tidak segera membawa Nyi Dwani pergi. Mereka hanya membawa Nyi Dwani menepi
Dalam pada itu, betapapun Sekar Mirah berusaha tetapi ia benar-benar telah terkepung pula Jaraknya dengan Rara Wulan justru menjadi semakin jauh.
Sabungsari juga melihat kesulitan yang dialami oleh Sekar Mirah. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus memecahkan perlawanan saudara seperguruan orang berkapak iw serta orang berkapak itu sendiri, yang kemudian telah merebut senjata salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang datang kemudian.
Bukan saja Sekar Mirah, Sabungsari dan Sayoga sajalah yang menjadi gelisah melihat Rara Wulan. Tetapi Ki Wijil dan Nyi Wijilpun menjadi gelisah pula. tugas mereka semuanya adalah melindungi Rara Wulan, sementara Rara Wulan berada dalam bahaya Bahkan Nyi Dwanipun menjadi gelisah pula Ia tidak lagi merasa cemburu seandainya Rara Wulan berhasil diambil lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Tetapi ada semacam ketidak ikhlasan melihat Rara Wulan, yang menurut pendapatnya adalah seorang gadis yang baik, jatuh ditangan orang-orang yang akan mempergunakannya untuk memeras tongkat baja putih. Sementara, tongkat baja putih itu akan diperuntukkan baginya
Dalam keadaan yang paling gawat, hampir saja Nyi Dwani justru akan terjun untuk ikut melindungi Rara Wulan. Namun dengan demikian, akibatnya tentu akan sangat buruk baginya.
Dengan demikian perasaan Nyi Dwani benar-benar terbelah. Di satu sisi ia masih tetap merasa bagian dari Ki Saba Lintang, disisi lain, ia tidak sampai hati melihat Rara Wulan berada di tangan orang-orang kasar itu.
Sementara itu, Sabungsari yang gelisah, hampir saja mengetrapkan ilmu puncaknya untuk menyelesaikan lawan-lawannya dengan cepat apapun akibatnya Mungkin lawan-lawannya juga memiliki ilmu simpanan yang akan dapat mengimbangi ilmunya Namun ia tidak akan membiarkan Rara Wulan jatuh ke tangan para pengikut Ki Saba Lintang lagi setelah dengan susah payah mereka berusaha membebaskannya
Namun sebelum hal itu dilakukan, maka Sabungsaripun menarik nafas panjang: Ia sempat meloncat mengambil jarak untuk melihat sekelompok pengawal berlari-lari ke arena pertempuran. Diantara mereka adalah Glagah Putih.
Sekar Mirahpun tersenyum melihat kehadiran Glagah Putih. Hampir: diluar sadarnya Sekar Mirah itupun berkata - Kau datang tepat pada waktunya, Glagah Putih.Glagah Putih menjawab dengan lambaian tangannya. Namun dengan cepat anak muda itu telah menyuruk memasuki arena pertempuran.
Ki Suluh dan Nyi Suluh melihat kehadiran beberapa orang pengawal. Namun mereka masih tetap yakin, bahwa sekelompok orang yang dipimpinnya itu akan mampu menjemput Nyi Dwani dan menculik Rara Wulan lagi.
Sebenarnyalah Rara Wulan yang sudah menjadi cemas, sempat melonjak kegirangan ketika ia melihat Glagah Putih sudah berada disebelahnya
Ketika Glagah Putih berada selangkah disebelahnya Rara Wulan itupun berkata - Kau menunggu sampai jantungnya hampir berhenti berdetak. Glagah Putih tertawa sambil berioncatart Katanya - Aku menunggu isyarat dari seorang pengawal yang aku tugaskan untuk mengawasi keadaan. Rara Wulan tidak bertanya lagi. Tetapi kehadiran Glagah Putih membuat kemampuannya seakan-akan bertambah-tambah.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuranpun segera berubah. Para pengawalpun langsung menyerang orang-orang yang mengepung arena pertempuran. Mereka telah memecahkan kepungan yang dilakukan oleh para pengikut Ki Saba Lintang.
Tiga orang yang berusaha menangkap Rara Wulanpun telah meninggalkan gadis itu karena mereka harus mempertahankan dirinya Sedangkan tiga orang yang melindungi Nyi Dwanipun telah terdesak pula. Para pengawal Tanah Perdikan menyerang mereka dengan garangnya sehingga mereka tidak dapat bertahan di tempatnya
Nyi Dwani berdiri saja bersandar dinding. Ia tidak dapat melibatkan diri dalam pertempuran itu. Ia tidak tahu dimana ia harus berdiri.
Ki Suluh yang bertempur melawan Ki Wijil yang melihat pertempuran itu berkata - Orang Tanah Perdikan ini benar-benar licik. Kalian tidak berani berbuat sesuatu tanpa membuat sebuah jebakan seperti ini.-Kenapa kalian tidak berani menantang kami beradu dada" Kenapa kalian harus dengan licik menjebak kami" - Sudah aku katakan, bahwa kami memang sedang saling merunduk. Apakah kalian tidak sedang menjebak kami " - Persetan - geram Ki Suluh. Lalu katanya - dalam keadaan seperti ini, maka kami akan dapat berbuat apa saja agar rencana kami dapat berhasil- Jika kau dapat berbuat apa saja untuk mencapai hasil yang sudah kalian rancang, maka kamipun dapat berbuat apa saja untuk menggagalkan rencana kalian. Ki Suluh tidak menyahut lagi. Serangan-serangannyapun datang membadai, melibat pertahanan Ki Wijil. Tetapi Ki Wijil yang berilmu tinggi itu tidak mudah ditundukkan.
Dengan demikian, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin lama semakin sengit Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi.
Tidak jauh dari keduanya, Nyi Suluh tengah bertempur melawan Nyi Wijil. Ternyata pedang rangkap Nyi Wijil telah membuat Nyi Suluh setiap kali berloncatan mundur untuk mengambil jarak. Serangan-serangan Nyi Wijil yang mengenakan ciri-ciri Srigunting Kuning, datang seperti banjir.
Orang berkapak yang kehilangan kapaknya itupun menyerang Sabungsari dengan garangnya. Seorang saudara seperguruannya telah membantunya, melibat Sabungsari dari arah yang berbeda.
Tetapi Sabungsari yang bersenjata kapak itu ternyata mampu mengimbangi kedua lawannya. Kapaknya yang besar itu berputaran dengan cepat Kapak yang besar dan berat itu sama sekali tidak menghambat gerakan Sabungsari.
Orang yang memiliki kapak itu menjadi heran. Meskipun lawannya itu tidak terbiasa mempergunakan kapak, namun kemampuannya tidak kalah dari kemampuan pemilik kapak itu sendiri.
. Meskipun demikian, dua orang saudara seperguruan itu merupakan lawan yang berat bagi Sabungsari. Beberapa kali Sabungsari itu terdesak surut Namun Sabungsari dengan cepat mampu mengatasinya dan memperbaiki keadaannya.
Disebelahnya, Sayoga bertempur dengan garangnya. Seorang saudara seperguruan orang berkapak itu berusaha untuk menekannya dengan mengerahkan kemampuannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya Sayogalah yang kemudian menekan orang itu semakin lama semakin berat Meskipun orang itu meningkatkan ilmunya semakin tinggi, tetapi tataran kemampuan Sayoga memang lebih tinggi dari lawannya
Meskipun demikian, jika Sayoga sedikit saja lengah atau membuat kesalahan, maka ja akan segera mengalami kesulitan.
Sekar Mirah masih berloncatan dengan tongkat baja putihnya Lawannya-kemudian memang tidak hanya dua orang, sedangkan yang seorang bahkan agak mabuk. Tetapi kemudian telah melibatkan diri beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang. Namun para pengawal Tanah Perdikan tidak membiarkan Sekar Mirah bertempur seorang diri melawan beberapa orang sekaligus.
Dalam pada itu, sebagaimana diperhitungkan oleh Sekar Mirah sebelumnya, pertempuran itu telah menimbulkan keributan. Beberapa orang yang pulang dari pasar menjadi bingung. Mereka berlari-larian menjauhi arena pertempuran.
Ketika orang-orang yang masih berada di dalam pasar mendengar berita pertempuran itu, merekapun menjadi kalut
Namun beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang sudah memperhitungkan hal itu, telah berada di pasar untuk menenangkan mereka. Setidak-tidaknya untuk mengurangi kekalutan yang terjadi.. Bersama petugas yang mengurusi pasar itu, mereka mencoba untuk mengurangi kebingungan mereka yang masih berada di pasar.
- Jangan bingung - teriak salah seorang yang bertanggungjawab atas keamanan dan kebersihan pasar - kami masih tetap ada di sini. Beberapa orang pengawal akan melindungi kita semuanya. Sementara pertempuran ini terjadi dikejauhan. Sebagian dari orang-orang yang masih berada di pasar itu memang dapat ditenangkan. Tetapi yang lain berlari-larian meninggalkan dagangan mereka.
Tetapi untunglah, bahwa pasar itu memang sudah tidak terlalu ramai, sehingga para petugas dapat mengatasi pengamanan barang-barang yang ditinggalkan oleh pemiliknya
Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Terutama Ki Suluh dan Nyi Suluh yang bertempur melawan Ki Wijil dan Nyi Wijil. Agaknya kedua belah pihak memang orang orang yang berilmu tinggi, sehingga arena pertempuran itupun kemudian menjadi bagaikan angin pusaran. Kedua belah pihak saling menyerang, saling bertahan. Benturan-benturanpun terjadi semakin sering. Dentang senjata disertai dengan bunga api yang berhamburan.
Dalam pada itu, ternyata Sabungsari masih juga mempergunakan kapak. Rasa-rasanya kapak yang besar dan berat itu sesuai baginya Meskipun kedua orang lawannya menekannya terus, namun Sabungsari masih mampu mengatasinya. Apalagi ketika para pengawal Tanah Perdikan Menoreh ikut melibatkan diri. Maka beban Sabungsari menjadi semakin ringan.
Sementara itu, Glagah Putih bertempur dengan garangnya pula Apalagi ketika ditanganhya telah tergenggam ikat pinggangnya. Maka satu dua orang pengikut Saba Lintang itupun telah terlempar dari arena.
Namun dalam pada itu, orang yang semula mabuk, semakin lama justru semakin menyadari apa yang telah terjadi Karena itu, maka perlahan-lahan orang itu mulai menguasai penalarannya sehingga ilmunya menjadi semakin mapan.
Glagah Putih yang menghadapinya menyadari pula. Bahwa orang itu menjadi semakin berbahaya Ketika ilmunya menjadi mapan, maka ternyata orang itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Sebenarnya Glagah Putih masih mempunyai kesempatan, selagi orang itu belum menguasai kesadarannya sepenuhnya untuk menyelesaikannya. Tetapi Glagah Putih tidak sampai hati untuk melakukannya Seandainya Glagah Putih membunuhnya maka rasa-rasanya ia telah membunuh orang yang tidak berdaya
Karena itu, maka Glagah Putihpun menunggu orang itu menyadari keadaannya sepenuhnya, sementara itu ia bertempur melawan beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang yang menyerangnya bersama-sama.
Dalam pada itu, Rara Wulan juga bertempur melawan seorang yang mabuk pula. Bahkan agak lebih berat dari orang yang melawan Glagah Putih. Namun Rara Wulanpun tidak menghujamkan senjata keperut orang itu.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka keseimbangan pertempuran itupun mulai menjadi condong. Para pengikut Ki Saba Lintang yang dipimpin oleh Ki Suluh dan Nyi Suluh menjadi semakin terdesak. Mereka semakin kesulitan menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh.
Semula Ki Suluh dan Nyi Suluh menganggap bahwa tugas itu adalah tugas yang sederhana saja. Mencegat Nyi Lurah, Nyi Dwani dan Rara Wulan. Dengan cepat mereka menangkap Rara Wulan dan membawanya pergi bersama Nyi Dwani Jika Nyi Lurah Agung Sedayu berk-eras untuk bertahan, maka jika perlu perempuan itu harus disingkirkan.
Tetap yang terjadi ternyata tidak sebagaimana direncanakan. Ternyata telah bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan. Bahkan diantara mereka terdapat Srigunting Kuning.
Dengan demikian, Ki Suluh dan Nyi Suluh harus menilai keadaan dengan seksama. Apalagi'mereka menyadari semakin lama kedudukannya menjadi semakin sulit Satu-satunya para pengikut Ki Saba Lintang yang menyertainya telah terlempar dari arena, terpelanting jatuh dengan luka yang menganga di tubuh mereka
Sementara itu, yang justru berada di lingkaran yang mengepung arena pertempuran itu adalah para pengawal Tanah Perdikan.
Karena itu, maka Ki Suluhpun harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Sambil bertempur Ki Suluh itupun terdengar meneriakkan aba-aba yang tidak dimengerti. Beberapa orang menyahut perintah-perintah itu dengan isyarat yang juga tidak dapat dimengerti.
Namun sesaat kemudian, para pengikut Ki-Saba Lintang yang dipimpin oleh Ki Suluh dan Nyi Suluh itu seakan-akan telah menghentak seluruh arena Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu. memang terkejut. Beberapa orang diantara merekapun telah terdesak mundur.
Namun yang terjadi kemudian, Ki Suluh telah memberikan isyarat yang tidak dapat dimengerti pula Isyarat yang disahut oleh beberapa orang yang lain berturut-turut
Yang terjadi kemudian memang mengejutkan. Beberapa orang yang nampak terpercaya diantara mereka telah berusaha berkumpul dan bergabung dengan Ki Suluh dan Nyi Suluh. Dengan gerakan gerakan yang aneh, tetapi terkendali mereka telah mengacaukan arena pertempuran.
Pada saat yang demikian itulah, Ki Suluh dan Nyi Suluh berusaha untuk melepaskan diri dari arena pertempuran. '
Ki Wijil dan NytWijil menjadi ragu-ragu Kekalutan yang terjadi itu berhasil memberi kesempatan sesaat kepada Ki Suluh dan Nyi Suluh untuk melarikan diri dari pertempuran.
Ki Wijil dan Nyi Wijil memang kehilangan waktu sesaat Agaknya para pengikut Ki Saba Lintang adalah orang-orang yang mempunyai kesetiaan yang tinggi Mereka tidak menghiraukan keselamatan mereka sendiri saat mereka menghalangi orang-orang berilmu tinggi Tanah Perdikan Menoreh untuk mengejar para pemimpin mereka. Terutama Ki Suluh dan Nyi Suluh. Sementara itu tiga orang yang sedang mabuk meskipun semakin menyadari keadaannya, namun mereka tidak dapat melarikan diri. Sedangkan orang berkapak yang kehilangan kapaknya terkapar dengan luka yang menganga didadanya oleh kapaknya sendiri, orang itu sama sekali tidak pernah bermimpi, bahwa ia akan terbunuh oleh senjata yang sangat diandalkannya itu
Adapun seorang saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sayogapun akhirnya harus mengalami nasib buruk sebagaimana orang bersenjata kapak itu. Keduanya tidak akan pernah dapat bangkit lagi.
Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang yang lain, sebagian mampu melarikan diri bercerai berai. Namun sebagian yang lain, telah tertangkap dan menyerah.
Sekar Mirahpun kemudian memerintahkan para pengawal untuk membawa para tawanan itu langsung ke banjar padukuhan induk. Mereka akan diserahkan kepada Prastawa selaku pimpinan pengawal Tanah Perdikan itu. Sedangkan Glagah Putih akan ikut bersama para pengawal itu untuk mengawasi para lawanan bersama Sabungsari dan Sayoga.
- Aku akan menghadap Ki Gede untuk memberikan laporan -berkata Sekar Mirah kemudian.
Bersama Rara Wulan, Sekar Mirahpun langsung ke rumah Ki Gede, sementara Ki Wijil dan Nyi Wijil membawa Nyi Dwani kembali ke rumah Agung Sedayu.
- Jadi Nyi Lurah tidak bersama Ki Lurah ketika pertempuran itu terjadi "- Kakang Agung Sedayu pergi ke barak, Ki Gede - jawab Sekar Mirah.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Satu langkah yang sangat berbahaya bagi Nyi Lurah.
Tetapi aku bersama Ki Wijil dan Nyi Wijil. Sedangkan Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga, anak laki-laki Ki Wijil, ada bersamaku pula,
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya - Terimakasih Nyi Lurah. Tetapi lain kali, Nyi Lurah sebaiknya membawa pengawal lebih banyak.- Kami sedang memancing kehadiran orang-orang yang terlibat dalam kegiatan Ki Saba Lintang, Ki Gede. Jika kami nampak mempersiapkan kekuatan yang besar, mereka tidak akan berani muncul. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menangkap mereka. Dari mereka kita berharap untuk mendapatkan lebih banyak keterangan tentang usaha Ki Saba Lintang untuk membangun-kembali perguruan Kedung Jati. Sementara itu Kakang Agung Sedayu dengan sengaja tidak menampakkan dirinya. Jika ada diantara mereka yang melihat kakang Agung Sedayu. maka urapan kita tidak akan mengena.
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ada kekaguman di dalam hatinya, bahwa Nyi Lurah Sekar Mirah dan Rara Wulan itu memiliki keberanian yang sangat tinggi. Meskipun mereka tahu bahwa Rara Wulan merupakan sasaran utama mereka, namun Rara Wulan sama sekali tidak berkeberatan dipergunakan sebagai umpan.
- Sayang, bahwa Ki Saba Lintang sendiri tidak turun ke arena -berkata Sekar Mirah kemudian.
- Mudah-mudahan kita akan mendapat keterangan lebih banyak lagi dari mereka yang tertangkap-berkata Ki Gede.
Sekar Mirahpun kemudian berkata - Nanti kakang Agung Sedayu tentu juga akan menghadap Ki Gede.
- Baiklah. Agaknya memang masih banyak yang harus dibicarakan.
Demikianlah, maka Sekar Mirah dan Rara Wulanpun meninggalkan rumah Ki Gede. Sepanjang jalan keduanya telah berbicara tentang Nyi Dwani. Kepercayaan mereka kepada Nyi Dwanipun menjadi semakin tinggi
- Nampaknya Nyi Dwani telah benar-benar menyadari bahwa langkah Ki Saba Lintang tidak akan sampai ke tujuan - berkata Sekar Mirah.
Rara Wulanpun mengangguk sambil menjawab - Agaknya Nyi Dwani tahu, bahwa tidak akan ada gunanya langkah itu dilanjutkan lagi.
Ketika mereka sampai di rumah, maka Nyi Dwani sedang duduk tepekur di hadapan ayahnya dan Ki Jayaraga. Nampaknya Nyi Dwani telah melaporkan apa yang telah terjadi dijalan pulang dari pasar.
- Kau harus dapat melupakan Ki Saba Lintang dengan mimpinya itu, Dwani.Nyi Dwani mengangguk. - Kau tahu, isi dari sekelompok orang yang mendukung gagasan Ki Saba Lintang. Kaupun tahu, pamrih apa yang sebenarnya bergejolak didalam dada mereka. Kaupun tahu dengan siapa saja Ki Saba Lintang bekerjasama" Jika kita jujur, kita harus mengakui, berapakah diantara mereka yang mendukung gagasan Ki Saba lintang itu bekas orang dari Perguruan Kedung Jati yang lama" Nyi Dwani tidak menjawab. Kepalanya yang tunduk itupun menjadi semakin tunduk.
Dengan nada kebapakan Empu Wisanatapun berkata"Dwani. Selama ini pendapat kita sulit untuk bertemu. Jika aku mengikuti langkahmu, semata-mata karena aku tidak ingin kehilangan satu-satunya anakku yang masih dapat aku pandang. Kau tahu, dua orang saudaramu, seorang laki-laki dan seorang perempuan, tidak kita ketahui kemana perginya. Kau yang bungsu diantara tiga orang anakku, tidak akan aku relakan pergi tanpa aku ketahui kemana perginya.Nyi Dwani sama sekati tidak menyahut - Jika aku selalu mengikutimu, jangan kau artikan bahwa aku mendukung segala solah tingkahmu. Karena aku sudah berputus-asa untuk dapat mencegahmu, maka yang dapat aku lakukan adalah mengikutimu kemana kau pergi."
"Aku mohon maaf, ayah.- desis Nyi Dwani sambil mengusap air matanya yang mengembun di pelupuknya.
" Kau belum terlambat - berkata Empu Wisanata - disini kau berada dalam lingkungan yang mapan dan dalam suasana yang mapan pula. Kaupun akan mendapat perlindungan dari penghuni rumah ini seandainya ada orang lain yang memaksamu untuk pergi bersamanya "
" Ya. ayah." " Nah, kau harus mengucap sukur, bahwa pada suatu saat kau bertemu dengan Ki Lurah, Nyi Lurah dan sanak kadang kita yang lain disini, sehingga kau masih sempat merubah haluan perjalanan hidupnya. Sudah waktunya kau menyebut nama Yang Maha Agung." Ya ayah "jawab Nyi Dwani.
Sebenarnyalah Nyi Dwani memang mempunyai kesempatan untuk mengkaji kembali jalan hidup yang telah ditempuhnya Dirumah Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Dwani mendapat kesempatan untuk melihat jejak yang pernah ditinggalkannya di perjalanan hidupnya.
Nyi Dwanipun sempat pula menuai sikap dan tingkah laku Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya. Sebagian dari orang-orang yang mendukungnya, namun yang juga sebagian yang lain yang sekedar mempergunakan nama Perguruan Kedung Jati sebagai tirai untuk menutup wajah mereka yang hitam lekam.
Dalam pada itu, orang-orang yang tertangkap, Ki Lurah Agung Sedayu mendapat beberapa keterangan yang pernah didengarnya sebelumnya. Dugaan bahwa beberapa orang yang lepas dari istana Pati telah melibatkan diri, ternyata bukan sekedar bayangan-bayangan hantu di malam hari
Bersama Ki Gede,, Agung Sedayu telah memanggil para tawanan itu berganti-ganti sementara tempat tahanan merekapun dipisahkan yang satu dengan yang lain.
Jawaban mereka ternyata hampir bersamaan. Bahkan mereka dapat menyebut satu dua nama orang Pati dan orang Jipang yang bergabung dengan Ki Saba Lintang.
"Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, Ki Gede"berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Ya. Sebaiknya Ki Lurah memang mencari kebenaran dari cerita-cerita orang-orang itu. Mungkin untuk sekedar mengurangi kesalahannya, mereka asal saja bicara."
"Tetapi apa yang mereka katakan hampir bersamaan, "
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Pengakuan mereka akan merupakan masukan bagi Ki Patih. Sementara itu Ki Lurah dapat mencari kebenaran dari cerita-cerita mereka."
Dirumahnya, Agung Sedayupun sudah berbicara pula dengan Sekar Mirah pada kesempatan tersendiri. Seperti yang pernah dilakukan. Sekar Mirah tidak usah memberitahukan kepada siapapun bahwa ia akan . pergi ke Mataram.
"Aku akan membawa pengawal dari barak"berkata Agung Sedayu kepada isterinya
"Kapan kakang akan pergi?"
"Besok"jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya " Bukankah kakang tidak bermalam di Mataram."
- Rencanaku tidak, Mirah. Tetapi jika hal itu terjadi, kau dapat mengatakan kepada para tamu kita, bahwa ada persoalan yang penting yang harus diselesaikan di barak. Persoalan kedalam."
"Penertiban, begitu ?"
Agung Sedayu tertawa. Katanya"Ya, penertiban-Seperti yang direncanakan, maka dikeesokan harinya Agung Sedayu berangkat seperti biasanya dari rumahnya ke barak. Tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Agung Sedayu akan langsung pergi ke Mataram selain Sekar Mirah.
Di barak Agung Sedayu memerintahkan dua orang prajurit pilihan untuk menyertainya ke Mataram.
Ketika Agung Sedayu sampai di Mataram, Ki Patih sedang menghadap Panembahan Senopati, sehingga Agung Sedayu harus menunggu sampai Ki Patih kembali ke Kepatihan.
Baru ketika matahari melewati puncaknya, Ki Patih Mandaraka kembali dari istana Panembahan Senapati. Ketika Ki Patih melihat Agung Sedayu, maka dengan serta-merta Ki Lurah Agung Sedayu itupun segara dipanggil menghadap.
Seperti sebelumnya, maka kedua orang prajurit yang menyertai Agung Sedayu itu ditinggalkannya di tempat para prajurit bertugas berjaga-jaga. .
"Marilah Ki Lurah " Ki Patih itu mempersilahkannya. Agung Sedayu itu diterimanya diserambi sebelah kanan.
"Kau membawa berita baru ?" bertanya Ki Patih itu kemudian.
Agung Sedayu itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab" Ya, Ki Patih."
Ki Patih mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya - Berita apakah yang kau bawa Ki Lurah "Agung Sedayupun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Iapun telah menceritakan hasil pembicaraannya dengan orang-orang yang berhasil ditawan Bahwa memang ada orang-orang dari Pati, Jipang dan Demak yang terlibat langsung dalam usaha Ki Saba Lintang untuk menegakkan kembali panji-panji perguruan yang pernah dipimpin oleh Ki Patih Mantahun dan Macan Kepatihan itu.
Ki Patihpun mengangguk-angguk pula. Katanya - Aku juga mendapat keterangan sementara, Ki Lurah. Sebagian dari para petugas sandi sudah mendahului kawan-kawannya untuk memberikan laporan. Memang ada orang-orang Pati, Jipang dan bahkan Demak yang terlibat Dengan demikian, berdasarkan laporan para petugas sandi dan pembicaraanmu dengan para tawanan, maka kita hampir memastikan bahwa telah tersusun satu jaringan yang luas yang yang terdiri dari golongan dan gerombolan yang berbeda-beda yang untuk sementara dapat bekerja sama- Ya, Ki Patih. Agaknya jaringan itu pertama-tama mengarahkan perhatiannya kepada Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin mereka memang merencanakan sejak mula-mula. Tetapi mungkin juga gagasan itu timbul demikian mereka berusaha untuk menguasai tongkat baja putih yang ada di tangan Sekar Mirah. Agaknya untuk menegakkan kedudukannya sebagai pemimpin, Ki Saba Lintang ingin menguasai tongkat baja putih ingin menguasai tongkat baja putih kedua-duanya Sementara itu ada seorang perempuan yang bersedia mendampinginyaJilid 315 - JIKA demikian, Ki Gede Menoreh memang harus menjadi sangat berhati-hati. - berkata Ki Patih - Menoreh harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurahpun harus menyiapkan prajurit dari pasukan Khusus. Mungkin pasukan itu dengan tiba-tiba saja harus dipergunakan.- Ya, Ki Patih. Kami di Tanah Perdikan Menoreh akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dari pembicaraan kami dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu, kami dapat menduga, bahwa sasaran antara mereka adalah Tanah Perdikan Menoreh.Dengan nada rendah Ki Patih itupun berkata - Tetapi para petugas sandi yang lain tentu akan segera mengirimkan laporannya berturut-turut- Kami akan selalu menunggu perintah.- Datanglah setiap kali, Ki Lurah. Kita akan membuat pertimbangan bersama. Kecuali jika keadaan mendesak, kau dapat datang kapan-pun juga. Jika kau berhalangan karena sesuatu hal, kau dapat memerintahkan kepercayaanmu. Tetapi orang itu harus lebih dahulu kau perkenalkan kepadaku. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Jika aku belum mengenal kepercayaanmu, maka dapat saja terjadi orang yang tidak kita inginkan datang untuk menyadap keteranganku yang seharusnya hanya dapat kau dengar.- Baik, Ki Patih. Pada kesempatan lain, aku akan datang bersama seseorang yang dapat mewakili aku berhubungan dengan Ki Patih.Pembicaraan antara Ki Patih dan Agung Sedayu masih berlangsung beberapa lama Namun kemudian Ki Lurah itupun minta diri
-Salamku bagi Ki Gede - berkata Ki Patih ketika Agung Sedayu meninggalkan serambi Kepatihan.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itupun sudah berpacu kembali ke Tanah Perdikan. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga Agung Sedayu dan mengiringnya harus menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang.
- Hati-hatilah - bisik Agung Sedayu kepada kedua pengawalnya - Ada apa Ki Lurah.- - Dua orang berkuda itu mengikuti kita demikian kita keluar pintu gerbang Mataram.Kedua orang pengiringnya itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah itupun berdesis pula
- Jangan berpaling. Mereka berada hanya beberapa langkah di belakang kalian.Kedua orang pengawal Agung Sedayu iur tidak berpaling. Sementara Agung Sedayupun berkata - Jika rakit yang menepi itu nanti merapat, kita jangan tergesa-gesa naik. Kita akan menunggu rakit yang baru bertolak dari tepian sebelah Barat itu. - .
Kedua pengawalnyapun mengangguk.
Karena itulah, maka ketika rakit yang pertama merapat ketepian, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya justru tidak bergerak ke arah rakit itu. Tetapi justru ke arah lain.
Kedua orang berkuda yang disebut oleh Agung Sedayu itu memang terkejut Mereka juga sudah bergerak menuju ke rakit yang menepi.
Namun agaknya keduanya tidak menunda keberangkatan mereka. Jika mereka juga tidak naik ke rakit itu, maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya tentu segera mengetahui, bahwa kedua orang itu memang sedang mengikuti mereka Bahwa Agaung Sedayu dan kedua pengawalnya urung naik ke rakit itupun merupakan pertanda bahwa mereka telah mengetahui, bahwa kedua orang itu sedang mengikuti mereka
Sambil mengumpat, kedua orang itupun kemudian naik kerakit sambil membawa kuda mereka. Beberapa orang yang lainpun segera naik pula sehingga rakit itupun menjadi penuh.
Sementara itu, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih berada di tepian. Sambil tersenyum Agung Sedayu memandang kedua orang yang sudah berada di atas rakit, yang bahkan rakit itupun muai bergerak melintasi Kali Praga
Meskipun demikian Agung Sedayupun berpesan kepada kedua orang pengawalnya - Berhati-hatilah. Mungkin kedua orang itu masih akan menunggu kita diseberang sungai.Kedua orang pengawalnya mengangguk.
Sejenak kemudian, ketika rakit berikutnya merapat di tepian, barulah Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya naik ke atas rakit sambil membawa kuda-kuda mereka.
Beberapa saat kemudian, ketiganya telah memacu kuda mereka menyusuri jalan bulak yang luas di atas tanah di Tanah Perdikan Menoreh.,
- Ternyata kedua orang itu tidak menunggu kita- desis Agung Sedayu.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnyalah kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu dan kedua pengawalnya itu tidak mereka lihat lagi
- Siapakah kira-kira mereka"- bertanya Agung Sedayu.
Tetapi kedua pengawalnya menggeleng. Seorang diantaranya menjawab - Kami sama sekali tidak mempunyai petunjuk apapun tentang mereka, Ki Lurah.Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki pintu gerbang barak mereka
Agung Sedayu sempat beristirahat beberapa lama di baraknya. Setelah berbicara dengan orang-orang yang dipercaya untuk memimpin barak itu selama ia tidak ada di barak, maka Agung Sedayupun kemudian telah meninggalkan baraknya pulang ke padukuhan induk.
Agung Sedayu memang agak terlambat pulang. Meskipun Sekar Mirah tahu bahwa Agung Sedayu pergi ke Mataram, namun ia masih juga merasa resah. Demikian pula para penghuni rumah itu yang lain. Meskipun Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, tetapi jika ia dihadapkan kepada lima atau enam orang berilmu, maka pada satu tataran tertentu, Agung Sedayu akan dapat dikalahkan.
Tetapi jantung Sekar Mirah berdetang dengan irama yang wajar kembali ketika Agung Sedayu kemudian datang memasuki halaman rumahnya
Hanya kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu berceritera tentang pembicaraannya dengan Ki Patih.
- Setiap kali aku harus menghadap untuk saling bertukar keterangan.- berkata Agung Sedayu malam itu kepada Sekar Mirah.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam iapun berkata - Apakah persoalan di Tanah Perdikan ini timbul, bahkan mungkin akan terjadi benturan kekuatan yang besar, karena aku memiliki tongkat baja putih"- Tidak, Mirah. Bukan itu Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menjadi sasaran antara Tanah ini akan dijadikan landasan untuk meloncat ke Mataram serta lumbung bahan pangan bagi sebuah kekuatan yang akan menghancurkan Mataram.
- Tetapi bukankah Mataram bukan sebuah pedukuhan kecil yang hanya mempunyai duapuluh lima orang pengawal"- Kekuatan Mataram berada di berbagai tempat, Mirah. Jika Mataram pernah menyatakan wilayah yang luas, karena Mataram menghimpun kekuatan yang tersebar itu.- Bukankah dalam keadaan yang khusus, Mataram dapat melakukannya"- Tentu Mirah. Tetapi Mataram memerlukan waktu untuk itu.- Bukankah Mataram dapat melakukannya sejak sekarang"- Mirah. Persoalan yang dihadapi oleh Mataram bukan hanya sekelompok orang yang akan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan. Di wilayah-wilayah lain juga perlu mendapat pengawasan agar tatanan pemerintahan dapat berlangsung tertib.Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh harus lebih bertumpu pada kekuatan sendiri yang harus dipersiapkan dengan baik. Tetapi para prajurit dari Pasukan KhususMataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, akan dapat menjadi bagian dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Di hari-hari berikutnya, maka Tanah Perdikan Menoreh memang mulai mempersiapkan diri dengan baik, meskipun dengan hati-hati agar tak menimbulkan keresahan. Kerjasama dengan para prajurit di barakpun berlangsung semakin baik, karena prajurit dari Pasukan Khusus itu selain dipimpin Agung Sedayu, juga merasa tinggal di Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, dalam kesibukannya sehari-hari di sawah, ladang dan bahkan dimana-mana telah mengamati keadaan dengan seksama. Ada diantara mereka yang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang rasa-rasanya selalu mengawasi Tanah Perdikan ini.
- Awasi mereka - perintah Agung Sedayu.
Para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas di Tanah Perdikan dan tinggal di padukuhan-padukuhan membenarkan penglihatan para pengawal itu, karena merekapun telah pernah melihat pula. Bahkan mereka sedang mengamati secara khusus beberapa orang yang mereka curigai.
Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh dan petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah bekerja keras untuk mengamati seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi merekapun sadar, bahwa petugas sandi dari gerombolan yang ingin menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan perjuangan mereka untuk untuk menggapai Mataram, juga sudah lewat, mungkin mereka menyamar sebagai pedagang dan berada di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Mungkin mereka merayap dengan diam-diam di sela-sela pebukitan dan dihutan-hutan lereng pegunungan.
Karena itu, mereka harus berhati-hati menjalankan tugas mereka Sedangkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikanpun menyadari pula bahwa barak mereka tentu juga mendapat pengawasan khusus dari orang-orang yang mengaku keluarga perguruan Kadung Jati yang akan mereka bangun kembali.
Karena itulah, maka kadang-kadang memang terjadi benturan-benturan kecil antara para petugas sandi dari kedua belah pihak. Seakan-akan mereka saling merunduk. Yang lengah akan menjadi korban kecerdikan dan bahkan kadang-kadang kelicikan lawannya
Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin hati-hati. Mereka sadar, bahwa niat para pengikut Ki Saba Lintang untuk menculik Rara Wulan tidak akan pernah padam. Rara Wulan akan dapat dipergunakan untuk memaksa Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu untuk menyerahkan tongkat baja putihnya Dengan sepasang tongkat baja putih, maka keinginan Ki Saba Lintang untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang baru itu akan dapat tercapai.
Di rumah Ki Lurah, Empu Wisanata tidak henti-henti menasehati .anak perempuannya agar ia benar-benar melupakan impian-impiannya untuk bersama-sama dengan Ki Saba Lintang menguasai satu himpunan kekuatan yang sangat besar.
" Mimpi itu akan dapat menyesatkan jalan hidupmu " Empu Wisanata menekankan.
Dari hari ke hari memang nampak perubahan pada diri Nyi Dwani. Ia tidak lagi terlalu banyak merenung. Nyi Dwani itu selalu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya Dengan keluarga Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedaya
Dengan demikian, maka kecurigaan Ki Lurah dan Nyi Lurah kepada Nyi Dwanipun menjadi semakin menyusut Apalagi Empu Wisanata tidak jemu-jemunya selalu memberi petunjuk kepada anak perempuannya itu, agar ia benar-benar merubah jalan hidupnya
Disamping kesiagaan di Tanah Perdikan, maka seperti pesan Ki Patih Mandaraka setiap kali Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke Mataram untuk menghadap. Dengan demikian, maka kedua belah pihak dapat saling bertukar keterangan. Kedua belah pihak juga dapat menyesuaikan langkah-langkah yang akan diambil.
Namun Agung Sedayu terkejut juga ketika pada suatu kali, Ki Patih Mandaraka itu berkata " Ki Lurah. Agaknya orang-orang dari Pati, Demak dan Jipang tidak hanya mengamati Tanah Perdikan saja. Tetapi Ki Tumenggung Untara telah berhasil menangkap dua orang petugas sandi yang mempunyai hubungan dengan rencana untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati."
"Apakah mereka juga akan menyusup lewat Timur?"
" Mungkin tidak. Tetapi agaknya mereka ingin mengetahui, apakah ada kekuatan dari Jati Anom atau Sangkal Putung yang dikirim ke Tanah Perdikan."
" Apakah petugas sandi itu tidak dapat memberikan keterangan tentang tugas-tugas mereka?"
" Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Sampai saat ini, mereka masih belum mau mengatakan apa-apa. Tetapi para prajurit di Jati Anom masih bersabar. Mungkin besok atau lusa orang itu mau mengatakan sesuatu tentang tugas-tugas mereka."
" Selain dari Jati Anom, apakah pernah ada laporan dari Sangkal Putung?"
-Belum, Ki Lurah. Tetapi menurut dugaanku, tentu juga ada petugas Sandi yang berkeliaran di Sangkal Putung, karena mereka tahu, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu berasal dari Sangkal Putung. Merekapun tahu bahwa di Kademangan Sangkal Putung juga tersimpan kekuatan yang cukup besar. Bahkan sejak Sangkal Putung menjadi sasaran kekuatan Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan yang juga salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati."
Agung Sedayu mengangguk sambil berkata"Apakah adi Swandaru perlu mendapat peringatan khusus tentang hal ini, Ki Patih"-Aku kira masih belum perlu, Ki Lurah. Jika hal itu diperlukan, biarlah Ki Tumenggung Untara mengambil langkah-langkah seperlunya, agar ada kesatuan sikap antara para prajurit di Jati Anom dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung."
"Jadi apakah itu berarti bahwa kakang Umtaralah yang akan mendapat perintah untuk tugas itu?"
-Ya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung pada kesempatan lain."
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun mendapat gambaran, bahwa jaringan sandi dari orang-orang yang berniat untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu sangat luas. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayupun yakin, bahwa Ki Saba Lintang bukanlah orang yang mampu mengendalikan kekuatan yang besar itu. Seandainya pada suatu saat Ki Saba Lintang berhasil mendapatkan sepasang tongkat baja putih, sehingga bersama dengan Nyi Dwani menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun, maka keduanya tentu akan kecewa
Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani harus melihat kenyataan, bahwa mereka hanyalah sebagian kecil saja dari gerakan yang sedang berputar, yang justru berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya
Ketika kemudian Agung Sedayu kembali ke baraknya maka iapun telah memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menjadi semakin berhati-hati
" Ternyata kita berhadapan dengan kekuatan yang besar, yang telah membuka jaringan pengawasan yang luas. " berkata Agung Sedayu kepada beberapa orang pemimpin baraknya
Agung Sedayupun kemudian telah menceritakan bahwa para prajurit di Jati Anom juga sudah menangkap petugas sandi dari kekutan yang masih belum menampakkan dirinya dengan jelas itu. Dengan demikian berarti bahwa pengamatan mereka terhadap Mataram telah mereka lakukan dari banyak sisi. Bahkan mungkin mereka sedang membuat perhitungan, manakah yang lebih menguntungkan. Apakah mereka akan meloncat ke Mataram dari Barat atau dari Timur.
"Tetapi agaknya mereka akan tetap memilih untuk membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Jati Anom dan sekitarnya -serta Sangkal Putung dan Kademangan-kademangan di sebelah-menyebelahnya adalah daerah yang subur, namun mereka akan memperhitungkan bahwa pasukan Untara dan pengawal Kademangan Sangkal Putung terlalu kuat untuk mereka hadapi. "
"Mereka menganggap kita disini lebih lemah " " bertanya salah seorang pembantu Agung Sedaya
" Agaknya memang demikian. Dasar perhitungan mereka adalah, bahwa jumlah prajurit di Jati Anom berlipat ganda dari jumlah kita disini. "
"Tetapi itu bukan ukuran "jawab yang lain.
" Aku tahu. Bahkan kemampuan pra prajurit secara pribadi juga harus diperhitungkan. Tetapi apakah orang-orang, katakanlah semuanya benar-benar akan menyatu dalam lingkaran perguruan Kedung Jati itu, sempat membuat perhitungan sampai sekian jauh. Mereka tentu hanya memperhitungkan jumlah. Kita tahu bahwa kesatuan yang berada di Jati Anom adalah kesatuan yang besar. Sedangkan jumlah para pengawal Kademangan Sangkal Putung juga cukup besar. "
"Jika demikian, maka bahaya yang membayangi Tanah Perdikan Menoreh adalah benar-benar bahaya yang diperhitungkan dengan sungguh-sungguh."
" Ya. Itulah sebabanya, maka kita akan terlibat langsung jika rencana itu benar-benar mereka laksanakan. "
" Bukankah Ki Patih tetap tidak berkeberatan " "
"Berkeberatan untuk langsung terjun ke arena " "
" Ya " Agung Sedayu mengangguk. Katanya"Tentu saja Ki Patih tidak akan berkeberatan. Ancaman ini akhirnya akan tertuju ke Mataram. Bahkan Ki Patih akan memberikan bantuan sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan. "
Para pemimpin dari barak Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata " kami sudah siap kapanpun kami harus terjun. "
"Mulai besok, perkuat kelompok prajurit yang meronda berkeliling. Demikianlah pula gelombang perondaannyapun harus ditambah. "
Hari itu Agung Sedayupun terlambat pulang. Tetapi Sekar Mirah tahu, bahwa Agung Sedayu hari itu telah pergi ke Mataram.
Malam itu Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Ki Patih.
Sambil mendengarkan laporan Agung Sedayu, Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun membayangkan, bahwa kekuatan dari orang-orang yang akan menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram, adalah kekutan yang besar. Mereka terdiri dari para prajurit Pati yang dapat dihimpun dan dikelabui oleh para perwira yang mendendam kepada Mataram. Kemudian kekuatan yang tersisih dari Pajang dan harus kembali ke Demak, sedangkan yang lain adalah sisa-sisa kekuatan Jipang atau keturunan mereka yang merasa wajib membalas dendam. Mereka telah bergabung dengan Ki Saba Lintang yang ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pamrihnya masing-masing.
Karena itulah, maka Ki Gedepun telah memerintahkan kepada Prastawa untuk menghimpun semua kekuatan. Bukan hanya para pengawal. Tetapi setiap orang mempunyai kewajiban untuk membela dan mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh menurut kemampuan masing-masing.
" Jika laki-laki harus menghadapi lawan di medan perang, maka biarlah perempuan-perempuan menyiapkan makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Latihan-latihan perlu diselenggarakan di semua padukuhan. Jika terpaksa sedikit menimbulkan keresahan, hal itu tidak dapat kita hindari. "
Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun mohon diri untuk pulang.
Ketika mereka memasuki regol halaman rumah mereka, terasa suasana yang berbeda. Mereka merasakan getar yang aneh di dalam jantung mereka.
" Agaknya sesuatu telah terjadi Mirah"desis Agung Sedayu.
"Ya. sahut Sekar Mirah.
Dengan hati-hati mereka memasuki halaman rumah. Ketika mereka pergi ke rumah Ki Gede, penghuni rumah itu lengkap ada di rumah. Mungkin Glagah Putih, Sabungsari dan Sayogya pergi. Seandainya demikian, Ki Wijil, Nyi Wijil Ki Jayaraga dan Rara Wulan ada di rumah.
Ternyata bagian depan rumah itu menjadi lengang. Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun kemudian melingkari rumah mereka dan langsung pergi ke halaman belakang.
Sebelum mereka sampai dihalaman belakang, mereka justru terhenti, Mereka mendengar pertengkaran di halaman belakang,
" Suara Nyi Dwani"desis Sekar Mirah.
Merekapun menjadi semakin berhati-hati. Di sudut rumah yang gelap mereka bergeser ke halaman belakang.
"Kakang"desis Sekar Mirah. Sekar Mirah itupun melihat Nyi Dwani di bawah cahaya oncor di sebelah pintu dapur, berdiri tegak sambil menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah. Di sekitarnya berdiri Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil, Glagah Putih, Sabungsari, Sayogya dan Empu Wisanata.
Yang membuat darah Sekar Mirah seakan-akan berhenti mengalir adalah, bahwa Nyi Dwani sudah menguasai Rara Wulan. Tongkat baja putih itu menekan leher Rara Wulan, sementara dengan tangannya yang kuat, Nyi Dwani menggengam tongkat itu hampir di ujung dan pangkalnya.
"Bagaimana mungkin itu dapat menemukan tongkatku " desis Sekar Mirah.
" Ternyata Nyi Dwani adalah seorang yang sangat pandai berpura-pura. Selama ini seakan-akan ia sudah menjadi baik. Beberapa kali kejujurannya nampaknya teruji. Ayahnya pun selalu memberikan petunjuk-petunjuk dan didengarkannya dengan patuh. "
"Salahku, kakang. Aku selalu mudah percaya kepadanya. " "Ternyata ayahnyapun seorang yang licik. Kepura-puraan selalu menasehatinya dan Nyi Dwanipun berpura-pura mendengarkannya dengan patuh. Tetapi inilah akhirnya. "
" Aku akan berbicara dengan Nyi Dwani. Aku sudah tidak mungkin mengampuninya lagi."geram Sekar Mirah.
Keduanyapun kemudian telah mendekat dengan -hati-hati. Demikian Nyi Dwani melihat keduanya. Maka tongkat baja putih itu semakin menekan leher Rara Wulan. Dengan garang Nyi Dwani itupun berkata " Jangan mendekat Jika kalian mencoba mendekat, anak ini akan mati."
" Inikah akhir dari ketulusan yang nampak pada dirimu itu, Nyi Dwani ?"bertanya Sekar Mirah.
"Aku tidak peduli. Aku memerlukan tongkat baja putih ini. Karena itu, minggirlah, atau Rara Wulan akan mati. "
Sekar Mirah justru melangkah maju. Sementara Nyi Dwani berteriak"Jangan maju lagi. Atau aku membunuh anak ini."
" Nyi Dwani " berkata Sekar Mirah dengan suara bergetar " sudah dua kali kita bertempur. Aku tidak benar-benar berusaha membunuhmu. Tetapi sekali irii, aku tantang kau bertempur. Pergunakan tongkat baja putih. Kita akan mengetahui, siapakah yang akan memenangkan'perang tanding ini. Jika kau berhasil membunuhku, kau dapat membawa tongkat baja putih itu tanpa diganggu. Tetapi jika kau kalah, maka kali ini kau akan mati."
"Persetan dengan perang tanding"jawab Nyi Dwani lantang "aku tahu, bahwa kau mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmuku. Karena itu, aku tidak terlalu bodoh untuk menerima tantanganmu. "
"Kau licik sekali "
" Aku tidak berkeberatan kau anggap licik. Tetapi aku memerlukan tongkat baja putihmu ini. "
"Nyi Dwani"Sekar Mirah menjadi semakin marah"kau kira kau mampu meloloskan dirimu " Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya selembar daun jati. Mungkin kau dapat keluar dari halaman ini. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat keluar dari Tanah Perdikan ini. "
"Agung Sedayu"geram Nyi Dwani"sediakan aku seekor kuda. Aku memerlukan kuda Glagah Putih yang tegar. Aku akan pergi sambil membawa Rara Wulan. Jika kalian tidak menurut perintahku, maka yang akan kalian temui hanyalah mayatnya saja.
Semuanya jadi terdiam. Tidak seorang pun tahu, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan."
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari, tanpa berjanji telah berdiri di sisi yang saling berseberangan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Salah seorang dari mereka yang berdiri di belakang punggung Nyi Dwani harus melakukannya. Menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati agar serangan itu tidak justru melukai Rara Wulan sendiri.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Wisanata melangkah maju. Wajahnya merah membara. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan memancarkan api kemarahan di dalam dadanya
"Dwani"Empu Wisanata itu menggeram "jadi selama ini semua kata-kataku, semua nasehatku dan semua petunjuk ke jalan kebaikan itu kau anggap desir angin saja " "
" Aku bukan anak-anak lagi, ayah. Ayah tidak usah mengajari aku lagi. Aku sudah tahu, mana yang terbaik bagiku. Selama ini ayah selalu menyalahkan aku. mencela melarang, marah dan menganggap aku masih saja kanak-kanak. Sekarang sebaiknya ayah terbangun. Pandanglah aku ayah. Aku ternyata sudah lebih dari dewasa. Aku bukan lagi gadis remaja yang cengeng.Orang-orang yang berdiri di seputar tempat itu mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja curiga. Bahkan mereka bertanya di dalam hati mereka masing-masing " Permainan apalagi yang akan dilakukan oleh ayah dan anak perempuannya itu ?"
Sementara itu Nyi Dwani pun berteriak sekali lagi " Agung Sedayu. Sediakan kuda Glagah Putih. Beri aku jalan sampai ke halaman depan. Biarkan aku naik ke punggung kuda dengan gadis, ini dan meninggalkan kalian. Jika kalian tidak mengganggu aku, maka kalian akan menemukan Rara Wulan. dalam keadaan hidup. Tetapi jika ada di antara kalian atau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berbuat macam-macam, maka Rara Wulan akan mati. Tongkat baja putih ini akan mencekiknya dan mematahkan bilang lehernya "
Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu berteriak " Jangan hiraukan aku. Ambil tongkat baja mbokayu Sekar Mirah. "
Suara Rara Wulan terputus. Ketika Nyi Dwani menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka rasa-rasanya leher Rara Wulan benar-benar telah tersumbat. Ia bukan saja tidak dapat berteriak, tetapi jalur pernafasannya pun seakan-akan telah terputus sehingga Rara Wulan itu kemudian telah terbatuk-batuk dan bahkan hampir saja ia muntah.
"Jangan cengeng atau berpura"bentak Nyi Dwani"jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka kau akan benar-benar mati. "
Orang-orang yang berdiri mengitari Nyi Dwani itu memang menjadi bingung.
Namun Empu Wisanata pun kemudian berkata " Dwani. Meskipun sudah lewat dewasa. Meskipun kau sudah cukup berpengalaman, tetapi aku adalah ayahmu. Sampai kapan pun dan dalam keadaan apa pun aku adalah ayahmu. Karena itu, dengarlah nasehatku. "
" Dahulu aku anak ayah. Sekarang aku sudah mampu tegak di atas kaki sendiri. Karena itu, aku bukan lagi anak ayah yang masih harus mendengarkan nasehat-nasehat, larangan-larangan, ancaman dan segala macam peraturan yang memuakkan. Itulah sebabnya saudara-saudaraku telah melarikan diri dari sisi ayah."
"Dwani Jadi kau menganggap dirimu sudah bukan anakku lagi sehingga hubungan keluarga di antara kita sudah terputus " "Ya. "jawab Nyi Dwani singkat
" Bagus. Jika demikian kita sekarang adalah orang lain. Kau bukan anakku lagi. Karena itu, maka aku akan mengambil sikap. "
Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Empu Wisanata melangkah mendekatinya sambil berkata" Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku. Kau tidak berhak memilikinya. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya "
Dengan nada tinggi Nyi Dwani pun kemudian menyahut " Aku memerlukannya Tongkat baja putih ini akan menjadi milikku. "
"Tidak"suara Empu Wisanata pun meninggi pula " serahkan kepadaku."
"Tidak." " Kau tahu, aku akan dapat membunuhmu. Seberapa pun tinggi ilmumu, namun ilmumu masih belum sehitamnya kuku dibanding dengan ilmuku. Kau tahu itu. "
"Jangan maju lagi. "
" Kau sendiri yang telah memutuskan hubungan di antara kita. Karena itu, maka aku tidak akan pernah menyesal jika aku membunuhmu karena aku udak membunuh anakku."
"Jika kau maju lagi, Rara Wulan akan mati. "
"Aku tidak peduli dengan Rara Wulan. Ia bukan sanak dan bukan kadangku. Yang penting bagiku, aku harus dapat membunuhmu. Membunuh mimpi-mimpi burukmu. Membunuh orang yang telah menghinaku dan mencampakkan aku ke dalam kesendirian di dunia ini. "
Suara Empu Wisanata menggelepar bagaikan mengguncang lagit Dedaunan pun telah bergoyang-goyang seperti diputar oleh angin pusaran. Bumi tempat berpijak pun rasa-rasanya bagaikan bergetar.
" Ayah"Nyi Dwani menjadi cemas. Ternyata Empu Wisanata benar-benar manjadi sangat marah.
Sementara itu Empu Wisanata berkata " Nah, bersiaplah Dwani. Apa pun yang akan kau lakukan terhadap gadis itu aku tidak peduli. Aku memang merasa lebih baik bahwa kau benar-benar tidak ada lagi di muka bumi daripada kau masih hidup, tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai anak seorang pun. Pada kesempatan lain, aku bersumpah untuk memburu dan membunuh Ki Saba Lintang sampai di ujung bumi sekalipun. Kau tahu, bahwa aku mampu melakukannya. "
Nyi Dwani benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak pernah melihat ayahnya marah seperti itu. Ia tahu, bahwa ayahnya memang seorang yang keras. Tetapi ayahnya jarang sekali marah, apalagi marah sampai ke puncak.
Sementara itu, Nyi Dwani pun tahu benar, bahwa ayahnya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sejak ayahnya terlibat dalam pertempuran melawan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan itu, ia merasa bahwa ayahnya memang belum sampai ke puncak ilmunya. Namun sekarang untuk menghadapinya, agaknya ayahnya benar-benar akan melumatkan menjadi debu.
Dalam kebingunan itu, Nyi Dwani tidak tahu apa yang harus dilakukannya Ia berdiri saja termangu-mangu. Namun terasa bahwa jantungnya berdegup semakin cepat dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Empu Wisanata yang tidak dimengertinya itu
Jika Empu Wisanata itu justru sedang berada dalam puncak permainannya maka ia akan menjadi sangat berbahaya Dengan tiba-tiba saja ia dapat menyerang orang-orang yang terdiri di sekitarnya Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dalam sekejap, ia akan dapat membinasakan dua atau tiga orang sekaligus, sementara orang-orang itu masih belum siap.
Perhatian orang-orang yang berdiri mengitari tempat itu lebih banyak ditujukan kepada Nyi Dwani daripada kepada Empu Wisanata yang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itupun tidak akan menduga seandainya tiba-tiba saja Empu Wisanata itu menebarkan ilmu pamungkasnya
Namun Agung Sedayu itupun sadar, bahwa jika hal itu terjadi, sasaran pertama adalah dirinya Jika Empu Wisanata itu berniat buruk dan mampu membinasakan Agung Sedayu, maka pengaruh jiwani terhadap yang lain pun tentu akan sangat besar sekali.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Jika serangan itu tiba-tiba datang, maka Agung Sedayu pun siap melawan dengan puncak ilmunya
Justru karena itu, maka Agung Sedayu sengaja tidak mendekati-Sekar Mirah. Ia justru berdiri terpisah sehingga jika Empu Wisanata itu menyerangnya serangan itu tidak akan menyentuh orang lain.
Namun dalam pada itu, selagi Nyi Dwani dicengkam oleh kebimbangan untuk menentukan sikap tiba-tiba saja Rara Wulan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, Rara Wulan menyerang ulu hati Nyi Dwani dengan sikunya
Nyi Dwani yang terdiri di belakang Rara Wulan sambil menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu terkejut Ulu hatinya yang menjadi sasaran serangan Rara Wulan itu bagaikan di hentak dengan ujung penumbuk padi.
Nyi Dwani itu mengaduh perlahan. Ia tidak siap mengalami serangan itu. Karena itu, maka perhatiannya atas tongkat baja putihnya yang menekan leher Rara Wulan itu mengendor sesaat
Dengan tangkasnya Rara Wulan pun mengangkat tongkat baja putih itu sambil -merendah, sehingga lahernya terlepas dari tekanan tongkat baja putih itu. Dengan cepat Rara Wulan meloncat berlari menjauhi Nyi Dwani.
Ketika Nyi Dwani menyadari keadaan itu, maka dengan tangkas-nyapun ia berusaha memburu Rara Wulan. Bahkan tongkat baja putih di-tangannya itu sudah siap diayunkannya.
Namun tiba-tiba saja Nyi Dwani itu terkejut Sebelum ia sempat . menyusul Rara Wulan, maka sepercik api seakan-akan telah menyembur dari dalam tanah.
Nyi Dwani tidak dapat dengan serta-merta berhenti. Ia terdorong selangkah. Namun tubuhnya pun kemudian terpelanting jatuh terbanting di tanah. Namun tubuh itu pun kemudian berguling-guling beberapa kail Terdengar jerit Nyi Dwani yang kesakitan.
Ternyata bukan saja pakaian Nyi Dwani yang terbakar, tetapi kutilnya pun telah mengalami luka-luka bakar pula.
Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa itu. Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tidak merasa menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Semula mereka memang menduga, bahwa serangan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Namun ternyata Nyi Dwani itu pun mengaduh kesakitan "Ampuh ayah. Kenapa ayah sampai hati membunuhku. "
Empu Wisanata berdiri termangu-mangu. Namun ia pun segera berlari mendekati anak perempuannya yang mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya.
"Dwani, Dwani. "
Terdengar Nyi Dwani mengerang kesakitan.
" Maafkan aku Dwani. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melihat kau berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Aku mencoba untuk mencegahmu. Tetapi inilah yang terjadi. "
" Sakit, ayah. Panas sekali. "
Beberapa orang telah berloncatan mendekat Sementara itu Rara Wulan telah terada di dalam dekapan Sekar Mirah. "Air. Aku memerlukan air. "
Glagah Putih dan Sabungsarilah yang kemudian berlari ke sumur disusul oleh Sayoga. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah berlari-lari membawa sekelenting air.
Empu Wisanatapun kemudian menaburkan serbuk dari sebuah bumbung kecil yang nampaknya selalu dibawanya, ke dalam air itu
Setelah diaduknya, maka air itupun diguyurkan ke seluruh tubuh Nyi Dwani yang mengalami luka-luka bakar itu.
Air yang sudah diaduk dengan serbuk obat itu nampaknya dapat mengurangi rasa sakit. Karena itu, maka Nyi Dwani itupun tidak berteriak-teriak lagi.
Meskipun demikian, ketika ia diangkat dan dibawa masuk ke ruang dalam, terdengar Nyi Dwani itu masih merintih.
Nyi Dwani pun kemudian telah dibaringkannya di pembaringan, di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Hampir semua benang pada pakaiannya telah terbakar. Karena itu, maka Nyi Dwani itupun kemudian diselimutinya dengan kain panjang, karena ia tidak dapat mengenakan pakaian. Api yang memercik karena ilmu Empu Wisanata itu telah melukai hampir seluruh tubuh Nyi Dwani. .
"Sakit ayah"rintih Nyi Dwani
"Kau akan segera menjadi baik, Dwani " desis ayahnya dengan suara yang bergetar.
Malam itu semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka seakan-akan ikut merasakan betapa panasnya tubuh Nyi Dwani yang di penuhi dengan luka-luka bakar. Dengan tekun Empu Wisanata menunggu dengan setiap kali mengusapkan air yang telah dibubuhi serbuk obat
Namun obat Empu Wisanata itu adalah obat yang ternyata sesuai bagi luka-luka ditabuh Nyi Dwani. Dikeesokan harinya, Nyi Dwani sudah mau ditinggalkan oleh ayahnya yang letih lahir dan batinnya. Ia tidak lagi selalu merintih kesakitan. Hanya sekali-kali terdengar Nyi Dwani itu berdesah.
Berganti-ganti Sekar Mirah dan Nyi Wijil menungguinya Rara Wulan masih dibayangi oleh ketakutan mendekati Nyi Dwani yang telah mencekiknya dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah yang berahsil, diambil oleh Nyi Dwani.
Di hari berikutnya keadaan Nyi Dwani menjadi semakin baik, meskipun ia masih belum dapat bangkit dari pembaringan. Nyi Dwani sudah mau minum air putih dan makan bubur gelepung beras.
" Ayah"berkata Nyi Dwani dengan suara yang masih sendat. "Ada apa Dwani ?"bertanya ayahnya
"Apakah Rara Wulan ada dirumah " "
-Ada, Dwani." " Aku ingin bertemu dengan gadis itu, ayah. "
" Kau telah membuatnya ketakutan, Dwani"
" Aku ingin minta maaf kepadanya. "
Empu Wisanatapun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menemui Sekar Mirah untuk menyatakan keinginan Nyi Dwani bertemu dengan Rara Wulan..
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya " Aku akan menyampaikannya Empu. "
"Terima kasih. Nyi Lurah. "
Ketika Sekar Mirah kemudian menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulanpun menyatakan keseganannya Dengan terus terang Rara Wulan berkata"Hatiku masih terasa sakit sekali, mbokayu. Aku memang masih juga dibayangi ketakutan. Tetapi jika aku mendekati bersama mbokayu, aku sama sekali tidak merasa takut. Apalagi Nyi Dwani kini dalam keadaan sakit. Tetapi hatiku masih belum dapat diajak berdamai."
" Kau harus berjiwa besar, Rara"berkata Sekar Mirah"ia ingin minta maaf kepadamu. "
"Nyi Dwani dapat saja minta maaf kepadaku, kepada mbokayu dan kepada siapapun setelah ia gagal. Tetapi jika ia berhasil " "
"Ia tidak akan berhasil, Rara Bukankah ayahnya sendiri tidak setuju dengan perbuatannya " "
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Aku akan menemuinya bersama mbokayu."
" Ya Aku akan menemanimu. Empu Wisanata juga akan berada di dalam bilik itu. " Meskipun demikian, ketika akan memasuki bilik Nyi Dwani, Rara Wulan nampak sangat ragu. Tetapi Sekar Mirahpun kemudian melangkah di depan sambil berdesis " Empu Wisanata ada di dalam."
Demikianlah, maka Rara Wulanpun kemudian berdiri sebelah pembaringan Nyi Dwani bersama Sekar Mirah. Empu Wisanatalah yang berbisik di telinga Nyi Dwani " Dwani, Rara Wulan telah berada di -sini."
Nyi Dwani membuka matanya"Ketika ia melihat Rara Wulan, maka Nyi Dwani tidak dapat menahan air matanya. Dengan suara yang bergetar serta tertahan-tahan iapun berkata"Rara. Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melakukannya. Bahkan ketika kita pulang dari pasar, aku sudah berniat untuk melibatkan diri ikut melindungi Rara Tetapi akhir-akhir ini iblis itu datang lagi kepadaku dan membujukku untuk mengambil tongkat baja putih itu. Tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan, kecuali mempergunakan Rara sebagai taruhan. Aku mohon maaf, Rara "
Rara Wulan berdiri bagaikan membeku. Pedih di hatinya rasa-rasanya masih membekas. Apalagi ketika ia mengingat rongkat baja putih itu telah menekan lehernya sehingga ia hampir saja menjadi muntah-muntah. Nafasnya terasa terputus dan seakan ia sudah berada di ujung hidupnya.
"Rara. Kau mau memaafkan aku" " Namun sebelum Rara Wulan menjawab, Empu Wisanatapun bertanya
"Siapakah yang telah datang kepadamu itu, Dwani. "
"Ki Saba Lintang. " .
"Kapan" " "Beberapa kali ia datang, ayah. Ia menyamar. Kadang-kadang ia berhenti dengan pikulan dawetnya di depan regol rumah ini. Ia berbicara tanpa berpaling dan aku mendengarkannya dari dalam regol. Lain kali ia datang dalam ujud yang lain. "
" Ia membujukmu untuk mengambil tongkat baja putih itu "
" Ya ayah. " "Dan kau terpengaruh lagi" "
" Ya, ayah"terdengar Nyi Dewani itu terisak. Katanya kemudian.
"Hatiku memang rapuh ayah. "
" Kau harus mengingatnya, Dwani Kau tidak boleh lagi ke hilangan penalaran lagi " Empu Wisanata berhenti sejenak. Lalu iapun bertanya pula"Apakah pada malam kau mengambil tongkat baja putih itu ia berada di sekitar rumah ini pula?"
" Ya, ayah " "Kau yakin ?"desak Empu Wisahata.
" Aku sudah mendengar isyaratnya "
Empu Wisanata mengangguk-angguk. Iapun kemudian berkata" Jika demikian, apakah kira-kira Ki Saba Lintang tahu apa yang terjadi?"
"Agaknya ia mengetahuinya ayah."
" Tetapi ada baiknya juga Dwani. Mereka langsung dapat melihat kegagalanmu."
" Ya ayah." " Kau tidak usah menghiraukannya lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang, kau tidak usah ikut campur. Kaupun harus melupakan mimpimu tentang tongkat baja putih itu."berkata Empu Wisanata. Bahkan kemudian katanya"Dwani Seandainya kau mencobanya lagi, maka akupun tidak akan jera untuk memberi peringatan kepadamu. Jika karena itu, maka kau benar-benar terbunuh, itu adalah satu akibat yang dapat saja terjadi meskipun tidak aku inginkan."
" Ya ayah"jawab Nyi Dwani
"Nah, berbicara dengan Rara Wulan sekarang."
"Rara"berkata Nyi Dwani kemudian"aku telah khilaf. Pada saat-saat aku dalam keragu-raguan, Ki Saba Lintang itu datang. Ia telah memberikan perintah-perintah yang disertai dengan janji dan harapan-harapan, sehingga jantungku telah terguncang lagi."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun mengangguk.
"Aku ingin mendengar kesediaanmu memaafkan aku, Rara" Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirahpun mengangguk kecil.
Dengan demikian, maka Rara Wulan itupun kemudian berkala " Aku maafkan kau, Nyi Dwani."
Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan mata yang bersinar. Rara Wulanpun melihat wajah Nyi Dwani menjadi cerah.
Dengan tangannya yang lemah. Nyi Dwani menggapai, tangan Rara Wulan. Kemudian diciumnya sambil berdesis " Bukan hanya wajahmu saja yang cantik, Rara Wulan. Tetapi hatimu juga cantik."
Rara Wulan justru tersipu-sipu. Katanya " Terima-kasih, Nyi Dwani."
"Aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Ki Saba Lintang itupun minta aku melakukan hal itu atasmu."
"Sudahlah. Lupakan saja Nyi Dwani."
Nyi Dwani mengangguk kecil. Tetapi matanya menjadi basah.
Beberapa saat Rara Wulan bersama Sekar Mirah berada dibilik Nyi Dwani. Namun kemudian keduanyapun meninggalkan Nyi Dwani yang terbaring lemah. Sambil melangkah keluar Sekar Mirah berdesis " Beristirahatlah dengan baik."
Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Dalam pada itu, setelah Rara Wulan menyatakan kesediaannya memberi maaf, maka terasa beban didada Nyi Dwani menjadi berkurang. Kepada ayahnya ia berkata " Apapun yang akan terjadi atas diriku, ayah, aku tidak akan menyesal lagi. Rara Wulan sudah bersedia memaafkan aku."
"Untuk selanjurnya, berhati-hatilah mengambil langkah."
Nyi Dwani mengangguk-angguk kecil. Katanya"Ya, ayah."
Dari hari ke hari keadaan Nyi Dwani semakin berangsur baik. Luka-luka bakar ditubuhnya mulai menjadi kering. Tidak ada bagian-bagian dari lukanya yang basah dan bernanah.
Meskipun demikian, penghuni rumah itu masih tetap berhati-hati. Hati Nyi Dwani memang rapuh, sehingga dapat berubah setiap saat. Tetapi peristiwa terakhir itu agaknya benar-benar telah membuatnya jera. Empu Wisanata sudah mengatakan kepada Nyi Dwani bahwa ia dapat berbuat lain, karena ia tidak mau melihat Nyi Dwani berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi."
Namun dalam pada itu, di sore hari ketika Empu Wisanata sedang duduk diserambi gandok bersama Ki Jayaraga, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman tanpa turun dari kudanya.
Empu Wisanata yang melihat kedua orang itu terkejut Dengan serta-merta ia bangkit dan melangkah turun ke halaman..
"Suranata"desis Empu Wisanata.
"Selamat sore, ayah"berkata salah seorang dari mereka.
"Marilah, naiklah. Mimpi apakah yang membawamu kemari?"
"Mimpi buruk, ayah."
Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian, kedua orang berkuda itu telah duduk di pendapa setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang memang tersedia disebelah pendapa.
Empu Wisanata telah minta Ki Jayaraga untuk ikut menemui anak laki-lakinya
" Ini adalah anakku laki-laki, Ki Jayaraga " berkata Empu Wisanata. Namun Empu itupun bertanya kepada anaknya"Siapakah kawanmu itu?"
" Ia saudara seperguruanku ayah. Seorang yang berilmu sangat tinggi."
"Namanya?" ; "Wira Aran." "Aku ayah Suranata, Ki Sanak."
"Aku tahu"jawab Wira Aran sambil mengangkat wajahnya" Suranata banyak bercerita tentang ayahnya yang tidak disukainya sehingga ia akhirnya lari.
Empu Wisanata menarik nafas panjang. Dengan ragu ia bertanya kepada anaknya-: Kau bercerita seperti itu, Suranata?"
Suranata memandang ayahnya dengan tajamnya Kemudian iapun menjawab"Jadi apa yang harus aku katakan kepadanya " Aku memang tidak senang kepada ayah. Maksudku, cara ayah memperlakukan aku dan adik-adikku. Ayah selalu memaksakan kehendak ayah. Kami sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan kami, sehingga kami merasa bahwa kami tidak lebih dari sekedar benda-benda mati sebagai alat permainan ayah saja."
"Akhirnya kau dan seorang adikmu lari dariku."
"Ya." "Setelah itu kau mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan."
"Ya" " Apa yang kau dapatkan dengan kebebasanmu" Arti dari hidupmu " Nilai-nilai kemanusiaan bagi banyak orang " Atau apa ?"
Wajah Suranata menjadi tegang. Dipandanginya wajah ayahnya dengan tajamnya
Namun kemudian katanya"Apa yang aku dapatkan tidak penting bagi orang lain. Yang penting bagiku, aku dapat menentukan langkahku sendiri. Aku berkuasa atas diriku, atas kehendakku dan kemauanku sendiri."
"Meskipun yang kau lakukan itu bertentangan dengan kepentingan orang banyak " Meskipun keputusan atas kehendak dan kemauan-mu itu merugikan orang lain ?"
"Aku tidak peduli."
"Jika demikian, bukan hanya aku, ayahmu sajalah yang akan melarangmu. Tetapi orang lainpun akan menentangmu."
" Aku lebih senang berhadapan dengan orang lain daripada dengan ayah."
"Apakah sikap itu masih berlaku sampai sekarang."Ya" "Kenapa kau sekarang datang kepadaku ?"
" Ayah sekarang bagiku sudah menjadi orang lain. Dahulu aku memang anak ayah. Tetapi aku telah melepaskan diri dari ikatan keluarga, sehingga aku tidak lagi harus tunduk kepada kemauan ayah. Jika aku masih memanggil ayah, bagiku ayah sekarang adalah sebuah nama. Tidak ada sangkut paut kekeluargaan sama sekali."
" Yang kau katakan sama seperti apa yang dikatakan oleh Dwani. He, apakah kau datang, bersama Saba Lintang saat Dwani mencuri tongkat baja putih " Atau kau dan Saba Lintang pernah menemuinya sebelumnya dan mempengaruhinya agar Dwani mencuri tongkat baja putih itu?"
" Sebaiknya aku tidak ingkar. Aku memang mempengaruhi agar Dwani tidak berhati lumpur. Hatinya harus sekokoh batu karang. Ia tidak boleh bergeser dari tujuan semula, sejak ia mulai bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang."
Empu Wisanata mengangguk-angguk kecil. Katanya"Jadi selama ini kau berhasil menemui Dwani beberapa kali " Mungkin pada saat-saat rumah ini sepi. Saat Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak. Saat angger Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi ke banjar. Saat aku, Ki Jayaraga dan Ki Wijil dan Rara Wulan berada di dapur."
" Sebut apa saja untuk menutupi kelengahan seisi rumah ini atau karena tidak cukup kemampuan untuk menjaga tawanannya"
" Dwani tidak dianggap tawanan disini, sehingga ia mempunyai keleluasaan untuk berbuat sesuatu."
" Omong kosong"geram Suranata"bahkan ayah sendiri sudah berusaha membunuhnya"


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau kira aku akan membunuh Dwani?"
"Aku datang untuk berbicara dengan ayah tentang Dwani."
" Apa yang akan kau bicarakan ?" bertanya Empu Wisanata
" Ayah. Aku datang untuk mengambil Dwani. Nyawanya disini terancam. Bahkan ayah sendiri telah berusaha membunuhnya Serangan ayah telah membuatnya luka parah."
"Dwani sudah menjadi berangsur baik."
"Tetapi lain kali ayah tentu benar-benar akan membunuhnya"
" Tidak. Suranata Aku tidak akan menyerahkan Dwani kepada siapapun juga Ia adalah anakku."
. " Dahulu ayah. Selagi Dwani masih kanak-kanak. Tetapi sekarang ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah bukan anak ayah. Bukankah Dwani sendiri sudah mengatakannya"
"Tidak. Dwani tetap anakku."
"Itu menurut ayah."
"Juga menurut Dwani"
" Aku tidak percaya"
" Itu urusanmu."
" Jika ayah jujur, beri kesempatan aku untuk berbicara dengan Dwani jika benar Dwani tidak mati."
" Dwani tidak mati. Ia masih hidup. Keadaannya kini sudah membaik. Karena itu, kau tidak usah mengganggunya."
"Aku ingin bertanya"
"Untuk apa?" "Jika ayah yakin, biarlah Dwani sendiri yang menjawab. Apakah ia akan tetap bersama ayah, atau ia akan pergi bersamaku. Jika ia bukan .. tawanan disini, maka ia tentu mempunyai keleluasaan untuk pergi."
" Sejak ia mencuri tongkat baja putih, ia memang menjadi tawanan. Aku adalah salah seorang petugas yang menjaganya agar ia tidak akan lepas."
Wajah Suranata itupun menjadi merah.
Dengan nada tinggi Suranata itupun berkata"Ayah. Beri kesempatan aku bertemu dengan Dwani."
" Ia tidak memerlukanmu, Suranata. Perasaannya sudah mulai mengendap. Kau tidak perlu mengaduknya lagi"
" Apakah ayah takut bahwa aku akan mengetahui perasaan Dwani yang sebenarnya " Atau ayah takut bahwa aku akan mengetahui bahwa ayah berbohong ?"
"Tidak," "Jadi apa keberatan ayah jika aku menemui Dwani."
"Dwani seorang tawanan disini."
"Persetan"geram Suranata"aku akan menemuinya"
" Kau menantang aku " Jika kau menganggap aku orang lain sebagaimana pernah dikatakan oleh Dwani, maka aku dapat memperlakukan kau lebih dari Dwani, karena kaulah yang telah membujuk Dwani"
"Tetapi aku bukan Dwani, ayah."
"Kau merasa bahwa ilmumu mampu menandingi aku " "
-Wajah Suranata menjadi tegang. Namun katanya kemudian Aku Tidak sendiri."
"Kau kira aku sendiri disini " Telingamu tentu tidak tuli. Matamu tentu tidak buta. Siapa saja yang dirumah ini. Jika kau memaksakan kehendakmu disini, maka kau akan benar-benar hancur.?"
"Persoalannya adalah persoalanku dengan ayah."
" Dwani adalah tawanan disini. Aku salah seorang petugas yang menjaganya Dengan demikian persoalannya bukan persoalanmu dengan aku, ayahmu yang kau sebut orang lain itu. Tetapi persoalanmu adalah persoalan seseorang yang memaksa diri untuk menemui seorang tawanan."
"Ayah sekarang menjadi sangat licik dan pengecut."
" Apakah kau baru tahu sekarang bahwa aku licik dan pengecut sebagaimana orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Saba Lintang termasuk kau ?"
Kemarahan telah membakar ubun-ubun Suranata Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu bahwa beberapa orang yang tinggal di rumah itu adalah orang berilmu tinggi sebagaimana ayahnya.
Karena itu, maka Suranata itupun berkata " Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali mengambil Dwani. Kasihan anak itu. Ia berada ditangan seorang yang hadnya mengeras seperti batu hitam tetapi jantungnya berbulu seperti jantung serigala yang sangat licik:"
"Katakan apa yang ingin kau katakan " sahut Empu Wisanata.
Namun Suranata tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan tempat itu tanpa dapat menemui adik perempuannya
Karena itu, maka Suranata itupun kemudian berkata" Salamku buat Dwani."
Sebelum Suranata beringsut saudara sepertiganya itupun sempat berkata " Aku sekarang percaya atas apa yang kau katakan tentang ayahmu. Aku tahu bahwa kau membenci ayahmu, tetapi aku tidak membayangkan bahwa ia adalah seorang yang sangat licik dan pengecut seperti itu."
Namun tiba-tiba saja orang itu terpelanting jatuh. Hampir saja ia terlempar kehalaman.
Wajah orang itu bagaikan tersentuh api. Ketika ia meloncat bangkit, maka Empu Wisanatapun sudah tegak berdiri.. Sementara itu
Suranatapun telah terdiri pula Tetapi Ki Jayaragapun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan marah orang itu menggeram " Aku tidak akan pernah melupakannya, Empu.?"
" Datanglah kepadaku pada kesempatan lain jika kau merasa sudah waktunya untuk mati."
Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa
Justru pada saat yang demikian. Empu Wisanata itupun berkata kepada anak laki-lakinya " Jika masih ingin bertemu dengan Dwani, aku beri kau waktu sebentar."
Suranata menjadi heran. Ia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba berubah pikiran.
Sementara itu, Empu Wisanata itupun berkata kepada Ki Jayarga " Tolonglah Ki Jayaraga Amati tikus tanah yang satu itu. Jika ia terbuat yang aneh-aneh, jangan segan-segan. Ia akan dapat lumat dengan sekali sentuh ilmu pamungkasmu."
Ki Jayaraga mengangguk. Katanya kepada saudara seperguruan Suranata"Duduklah, Ki Sanak."
"Tidak, " jawab orang itu.
" Duduklah. " ulang Ki Jayaraga. Dengan tajamnya ia memandang langsung ke pusat mata orang itu.
Ternyata wibawa Ki Jayaraga yang tua itu masih cukup tinggi. Orang itupun kemudian telah duduk.
Empu Wisanatapun kemudian telah membawa anak laki-lakinya masuk ke ruang dalam. Jantung Suranata ayahnya duduk di ruang dalam.
"Ini adalah anakku laki-laki"berkata Empu Wisanata"tetapi ia sangat membenci ayahnya Ia menganggap bahwa aku adalah Orang lain sekarang sebagaimana dikatakan oleh Dwani. Tetapi ternyata Dwani telah dipengaruhi oleh orang ini." .
Suranata sama sekali tidak menyahut. Sementara Empu Wisanata berkata kepada anaknya"Mereka adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil. Suami istri yang akan sanggup melumatkan gunung "
Ki Wijil dan Nyi Wijil tertawa kecil. Dengan nada tinggi Ki Wijil pun tertawa " Ayahmu memang senang tergurau, ngger. Tetapi aku senang mendengar pujian itu, karena jarang ada orang yang memuji kami."
Suranala menggertakkan giginya. Ia merasa diperlakukan sebagai seorang anak kecil. Tetapi ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Suranata itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu mendengar apa yang dibicarakannyaa dengan ayalmya di pendapa sebelumnya.
Demikianlah, maka Empu Wisanata itupun membawa anaknya ke dalam bilik tempat Nyi Dwani berbaring.
Di dalam bilik itu Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk menunggui' Nyi Dwani yang sudah berangsur baik. Meskipun luka-lukanya masih beluin sembuh benar, tetapi Nyi Dwani sudah tidak mengaduh lagi.
Nyi Dwani terkejut ketika ia melihat ayahnya dan kakaknya memasuki bilik itu. Hampir saja ia bangkit untuk duduk di pembaringannya. Namun dengan cepat Sekar Mirah mencegahnya. Sambil memegangi bahunya, Sekar Mirah itu pun berkata " Jangan bangun dahulu Nyi. Berbaring sajalah sampai segala-galanya memungkinkan."
"Berbaring sajalah Dwani " desis ayahnya.
Nyi Dwani berbaring lagi. Tetapi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip ia memandang kakaknya yang tiba-tiba saja hadir di dalam biliknya.
" Dwani " desis Suranala. Nyi Dwani tidak menyahut.
" Bagaimana keadaanmu?"
Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyi Dwani itu pun baru menyahut"Aku sudah baik, kakang. "
" Ayah telah sampai hati berusaha membunuhmu. "
" Salahku sendiri, kakang. "
" Kau tidak bersalah.Dwani. "
" Aku bersalah. Aku tidak mau mendengar nasehat ayah. Aku justru menganggapnya orang lain, sehingga ayah pun berhak memperlakukan aku seperti terhadap orang lain. "
" Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika kau sembuh, maka aku akan datang lagi untuk mengambilmu. Jika perlu dengan kekerasan. Ayah benar-benar telah menganggap kita sebagai orang lain, sehingga kita pun tidak terikat lagi dengan hubungan apa pun."
" Tidak, kakang. Kita tidak akan dapat menghapus darah yang mengalir di dalam tubuh kita Titik-titik darah yang ada di dalam pembuluh darah kita adalah tetesan darah ayah."
"Apa artinya tetesan darah yang mengalir di dalam tubuh kita jika ayah sendiri sudah tidak mengakuinya?"
"Bukan ayah yang tidak mengakuinya kakang. Tetapi aku dan kau. Kitalah yang telah mencoba untuk ingkar."
" Dwani " potong Suranata"apa yang telah terjadi di dalam dirimu" Bukankah kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan?"
"Aku menyesalnya kakang."
"Apa artinya itu?"
" Aku telah memutuskan untuk meninggalkan impian buruk itu. Aku akan kembali kepada ayahku. Di saat aku berbaring dalam keadaan sakit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk merenung sehingga aku telah menemukan diriku sendiri."
" Dwani. Sudah aku katakan. Hatimu jangan lemah seperti batang ilalang yang merunduk ke mana arah angin bertiup."
" Aku mengerti kakang. Sekarang hatiku akan sekokoh batu karang. Aku tidak lagi akan hanyut dalam mimpi-mimpi buruk itu. Tongkat baja putih, kepemimpinan dari sebuah perguruan yang akan dibangun di atas reruntuhan nama perguruan Kedung Jati."
" Dwani. Kau sudah dipengaruhi oleh sikap orang yang tidak mempunyai pendirian. "
" Justru aku sekarang mulai bersikap di atas satu pendirian, yang kokoh kakang."
"Tidak Dwani. Kau telah terbius oleh bujukan iblis yang licik. "
" Kakang, tinggalkan saja aku di sini. Keikutsertaanmu ke dalam rencana Ki Saba Lintang sempat mengguncang pendirianku. Tetapi aku sekarang sudah berkeyakinan, bahwa aku tidak akan dapat menyertai Ki Saba Lintang lagi."
" Dwani " sahut kakaknya"jika aku kemudian bergabung dengan Ki Saba Lintang itu karena aku menaruh harapan kepadamu. Kau akan memimpin perguruan ini bersama-sama dengan Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa tiba-tiba kau berpaling hanya karena ayah juga berpaling?"
"Aku menyadari kebenaran sikap ayah. "
" Tidak Dwani. Kau tidak boleh mengkhianati Ki Saba Lintang. Kepada kalian berdua banyak orang menggantungkan harapannya.
" Kakang, aku sudah terlanjur berdiri di tempat yang paling buruk. Apa pun yang aku lakukan akan merupakan pengkhianataan. Jika aku meninggalkan Ki Saba Lintang, berarti mengkhianatinya Tetapi jika aku tetap bersamanya maka aku telah mengkhianati kebenaran dan budi baik serta berkhianat pula kepada orang tuaku sendiri. "
"Kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?"
" Apakah ini terjadi tiba-tiba" Bukankah di masa kecil kakang selalu mengatakan bahwa aku adalah anak cengeng yang manja?"
Wajah Suranata menjadi panas. Ia memang tidak mengira bahwa adiknya telah menemukan satu sikap yang mapan di dalam hatinya Meskipun demikian, Suranata masih mempunyai pertimbangan, bahwa Dwani tidak dapat berkata lain karena di tempat itu ada ayahnya Apalagi ada Nyi Lurah Agung Sedayu pula
Karena itu, maka Suranatapun merasa tidak akan ada artinya untuk berbicara lebih panjang. Pada kesempatan lain, ia ingin bertemu dan berbicara dengan adiknya itu.
" Baiklah, Dwani:" berkata Suranata kemudian " aku akan minta diri."
" Maaf kakang. Aku sudah mengambil sikap. Jika kakang masih berada bersama Ki Saba Lintang, maka kita akan berdiri berseberangan."
Suranata menggeram. Tetapi ia tidak menyahut
" Apakah kau sudah puas, Suranata " " bertanya Empu Wisanata. Suranata memandang ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tetapi iapun kemudian melangkah keluar dari bilik itu. Namun Suranata sempat memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah membuat jantung Rara Wulan berdebaran.
Sejenak kcmujdian Suranata itu sudah duduk lagi di pendapa bersama ayahnya, Ki Jayaraga dan saudara seperguruannya.
Tetapi tidak terlalu lama. Suranata yang nampak sangat gelisah itupun kemudian lelah minta diri kepada ayahnya dan kepada Ki Jayaraga. Bahkan Suranata sempal mengancam ayahnya.
" Aku akan kembali ayah " berkata Suranata " apapun yang terjadi, aku akan mengambil Dwani.. Ia harus dibebaskan dari tekanan balin. Sikap ayah tentu sangat menyiksanya. "
" Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Dwani, Suranata. "
" Dwani tentu saja tidak dapat berbicara dengan bebas. Ayah menunggui pembicaraan kami. Demikian pula kedua orang perempuan itu." Jika aku biarkan kau berbicara tanpa ditunggui orang lain, kau akan membunuh adikmu. "
" Aku tidak gila, ayah " Suranata hampir berteriak " aku datang untuk membebaskan adikku. Bukan untuk membunuhnya. "
" Jika ia tidak mau menuruti kemauanmu, maka kau tentu akan membunuhnya pula. Jika kau sudah menganggap ayahmu orang lain, apalagi adikmu. "
" Aku mengasihinya ayah, lebih dari saudaraku yang lain. "
" Kau mengasihinya jika ia mau menuruti kemauanmu. Tentu demikian pula terhadap saudaramu yang lain. "
Wajah Suranata menjadi tegang. Katanya kemudian " Apapun yang ayah katakan, aku tidak peduli. Aku sudah bertekad, untuk berkumpul bersama kedua saudaraku. Terserah ayah akan berdiri di sisi yang mana Apakah ayah akan memusuhi kami, atau ayah akan berdiri ' bersama kami. "
" Akulah yang berhak berkata seperti itu. Aku berdiri di sini sekarang bersama Dwani. Terserah kepadamu, Disisi mana kau akan berdiri. "
Suranala menghentakkan tangannya. Kepada saudara seperguruannya ia berkata"Marilah kita tinggalkan tempat ini. Jika aku terlalu lama berada di sini, maka aku akan dapat menjadi gila. "
"Kau sudah gila, Suranata"sahut ayahnya.
"Tidak"Suranata berteriak"ayahlah yang sudah gila. "
Tetapi Empu Wisanata justru tersenyum. Katanya " Aku akan berdoa untukmu, semoga kau mendapat terang di hatimu. "
" Cukup " bentak Suranata yang tiba-tiba saja bangkit dan berkata kepada saudara seperguruannya"marilah kita pergi."
Saudara seperguruan Suranata itupun segera bangkit pula. Tanpa minta diri iapun kemudian melangkah pergi meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu itu.
Empu Wisanata dan Ki Jayaraga mengikuti mereka sampai di pintu regol. Tetapi keduanya sama sekali tidak berpaling.
" Ayahmu memang gila " geram saudara seperguruan Suranata "jika saja ia bukan ayahmu. "
" Tetapi sebaiknya kau memang tidak membalas " berkata Suranata"ayah memang berilmu sangat tinggi. Tetapi kau yakin, ayah tidak akan dapat mengalahkan kita berdua. Kita hanya memerlukan kesempatan. Aku benar-benar akan mengambil Dwani: "
"Tugas yang dibebankan kepada adik perempuanmu itu telah gagal. Jika saja kau dan Ki Saba Lintang malam itu membantunya "
"Ki Saba Lintang mencegahkan. Apalagi setelah Ki Lurah dan Nyi Lurah Pulang. "
Saudara seperguruan Suranata itu mengangguk-angguk. Iapun sudah mendengar tentang beberapa orang yang berilmu tinggi yang tinggal di rumah itu. Masih belum terhitung kemungkinan hadirnya para pengawal yang jumlahnya tentu sangat banyak.
Meskipun demikian, Suranata masih berpengharapan untuk mengambil adik perempuannya itu.
Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga masih berdiri di regol halaman rumah Agung Sedayu. Wajah Empu Wisanata nampan muram. Dengan nada rendah ia berkata." Ternyata Suranata juga bergabung dengati Saba Lintang. " katanya selanjurnya "
"Agaknya ia juga berharap Dwani mampu memimpin perguruan Kedung jati yang akan disusun kembali itu. "
" Ki Jayaraga tersenyum. Katanya " Ketika aku melihat Nyi Dwani pertama kali, aku terkejut. Gambaranku tentang Nyi Dwani sangat berbeda dengan kenyataannya. "
Empu Wisanata mengerutkan dahinya Dipandanginya Ki Jayaraga dengan tajamnya.
Pisau Kekasih 2 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Pedang Sinar Emas 19

Cari Blog Ini