13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2
Tetapi Ki Jayaraga seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya -Sebut saja dua buah nama. Nama tetanggamu, nama anakmu atau nama siapa .saja. Bukankah aku tidak akan dapat menilik kebenaran ja"wabmu itu " Kedua orang itu menjadi sangat marah. Orang tua itu rasa-rasanya tidak menghargainya sama sekali. Karena itu, seorang dian"tara mereka telah mengancam - Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, maka kau akan menyesal. - Kau belum menjawab pertanyaanku - tiba-tiba saja Ki Jaya"raga justru membentak, sehingga kedua orang itu terkejut karenanya.
Tanpa menjawab pertanyaanku, kalian berdua sama sekali ti"dak menghargai aku. Orang yang lebih tua dari kalian berdua. Kedua orang itu menjadi heran melihat tingkah laku orang tua itu. Orang yang mengaku bernama Ki Jayaraga itu tidak menjadi keta"kutan. Bahkan orang tua itu justru telah berani membentak mereka.
Seorang diantara kedua orang itupun menggeram - Kakek tua. Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, maka untuk selamanya mu"lutmu tidak akan dapat kau pergunakan lagi. Aku dapat mengoyaknya atau menyumbatnya. Tetapi jawaban Ki Jayaraga benar-benar mengejutkan. Bahkan orang tua itu telah membentak keras-keras - Jawab pertanyaanku. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka berkata - Marilah. Kita bawa saja orang ini. Biarlah Ki Lurah mengurusnya. Kawannya mengangguk. Katanya - Agaknya orang ini memang orang gila. Ki Jayaraga menyadari, bahwa ia harus menghadapi tindak keke"rasan. Karena itu, iapun justru berkata - Kalian akan memaksa aku Ki Sanak " - Ikut kami, atau kau akan terbaring diam disini sampai esok diketemukan orang lewat. Atau bahkan malam nanti tubuhmu akan dise"ret anjing liar ke hutan itu. - Bagus - berkata Ki Jayaraga - ada kalanya orang-orang tua harus bergurau untuk menghilangkan.dingin malam. Aku tidak men"dapat kesempatan pergi ke Prambanan. Nampaknya disini akupun mendapat teman bermain. -Gila. Apa yang kau katakan itu " Ki Jayaraga tertawa. Katanya - Marilah. Aku sudah siap - Kedua orang itu menjadi sangat marah. Karena itu, maka kedua"nya segera mengambil jarak. Seorang diantaranya berkata - Marilah. Kita seret orang tua yang tidak tahu diri ini. Kedua orang itupun mulai bergerak. Sementara Ki Jayaragapun telah bersiap menghadapi mereka. Orang tua itu tidak ingin mengang"gap rendah terhadap kedua orang yang tidak dikenalnya itu, karena de"ngan demikian akan dapat menjerumuskannya ke dalam kesulitan.
Demikianlah, maka kedua orang itupun mulai menyerangnya. Keduanyalah yang merasa diri mereka berilmu, sehingga mereka menganggap bahwa perkelahian hanya akan berlangsung beberapa saat. Kemudian mereka akan menyeret orang tua itu untuk menghadap seseorang yang disebutnya Ki Lurah.
Tetapi kedua orang itu terkejut. Demikian perkelahian itu mulai, seorang diantara mereka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling.
Dengan demikian, maka kawannya dengan cepat telah mengam"bil jarak.
Ketika kawannya yang terpelanting jatuh itu meloncat bangkit, maka keduanya telah mempersiapkan diri. Namun keduanya menya"dari, bahwa orang tua itu ternyata orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
- Kau akan memamerkan kemampuanmu Jayaraga - geram sa"lah seorang dan keduanya - tetapi jangan terlalu cepat merasa bahwa kau akan menang. - Tidak. Aku tidak terlalu cepat merasa menang. Tetapi kalianlah yang memulai perkelahian ini. Karena itu, maka kalianlah yang harus bertanggung jawab, apa yang akan terjadi dengan perkelahian itu. Kemarahan kedua orang itu semakin menyala didalam dada me"reka.
Karena itu, maka keduanyapun tidak menahan diri lagi. Dengan garangnya keduanya menyerang Ki Jayaraga dari arah yang berbeda.
Tetapi Ki Jayaraga telah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkas ia-pun meloncat mengambil jarak. Namun demikian kedua lawannya memburunya, maka sekali lagi orang tua itu telah mengejutkan lawan"nya. Seorang yang lain telah terlempar pula dan jatuh berguling di ta"nah. Jika saja tubunya tidak tertahan oleh tanggul, maka orang itu telah tercebur kedalam parit.
Tertatih-tatih orang itu bangkit. Tetapi orang itu harus meng"erang menahan sakit pada tulang belakangnya.
Perkelahian selanjutnya hanya berlangsung beberapa saat. Kedua orang itu segera dikuasai oleh Ki Jayaraga. Keduanya menjadi kesakitan diseluruh tubuh mereka. Tulang-tulang mereka rasa-rasanya hampir terlepas.
- Kalian harus ikut aku - berkata Ki Jayaraga. - Kami mohon ampun - minta seorang diantaranya, sementara yang seorang lagi berkata - kami tidak akan mengganggumu lagi. Tetapi Ki Jayaraga berkata sekali lagi - Kalian harus ikut aku ke Tanah Perdikan Menoreh. - Jangan bawa aku ke Tanah Perdikan. - Pilih. Ikut aku ke Tanah Perdikan, atau harus membunuhmu disini. Kedua orang itu menjadi sangat ketakutan. Orang tua itu tentu tidak sekedar mengancam. Sejak semula ia telah menunjukkan kete"gasannya.
Karena itu, maka kedua orang itu tidak dapat menolak. Mereka berdua berjalan dalam kegelapan diikuti oleh Ki Jayaraga.
- Siapa yang berusaha melarikan diri, akan mati - ancam Ki Jayaraga.
Kedua orang itu mengakui tataran ilmu Ki Jayaraga, sehingga ke"duanya sama sekali tidak berani mencoba untuk melarikan diri, meski"pun ketika mereka berjalan di jalan sempit melalui pinggir hutan le"reng pegunungan.
Ketika mereka sampai di rumah Agung Sedayu, maka Glagah Pu"tihlah yang telah membuka pintu. Dengan dahi yang berkerut, Glagah Pulih memandang kedua orang yang datang bersama Ki Jayaraga itu.
- Duduklah - berkata Ki Jayaraga kepada kedua orang itu. Kedua orang itu tidak berbuat lain. Keduanyapun kemudian du"duk diatas tikar yang dibentangkan dipringgitan.
Sambil berdiri dipintu beberapa langkah dari kedua orang yang duduk itu, Ki Jayaraga menceritakan dengan singkat, kenapa ia telah membawa kedua orang itu pulang.
- Jika demikian, kita bawa mereka ke tempat anak-anak itu. -berkala Glagah Putih.
- Sekarang " - bertanya Ki Jayaraga,
- Jika Ki Jayaraga tidak letih, sebaiknya kita bawa saja sekarang ke padukuhan itu. Kecuali jika Ki Jayaraga merasa letih. Biarlah me"reka kita titipkan di banjar padukuhan induk. - Tidak. Aku tidak letih. - berkata Ki Jayaraga kemudian.
- Baiklah. Aku akan minta diri kepada mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan.Demikianlah, maka kedua orang itu telah dibawa ke padukuhan, tempat Glagah Putih menyerahkan sekelompok anak-anak muda yang telah berbuat tidak sewajarnya di Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal dan anak-anak muda yang meronda di padukuhan itu terkejut ketika mereka melihat Glagah Putih dan Ki Jayaraga da"tang bersama dua orang yang belum mereka kenal.
Glagah Pulihlah yang kemudian berbicara dengan pemimpin pengawal yang sedang bertugas meronda malam itu.
- Baiklah. Marilah. - ajak pemimpin pengawal itu. Glagah Putih dan Ki Jayaragapun telah membawa kedua orang itu ke belakang banjar padukuhan.
Dengan beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang bersiap-siap diluar pintu, maka pintu bilik dibelakang banjar itu telah dibuka.
Kedua orang yang dibawa Ki Jayaraga dan Glagah Putih itu ter"kejut. Mereka melihat beberapa orang anak muda yang ada didalam bi"lik itu. Hampir diluar sadarnya, kedua orang itu berkata hampir berba"reng - Kalian ada disini " Anak-anak muda itupun terkejut. Mcrekapun serentak berdiri menyambut kedatangan kedua orang itu.
- Jadi kalian pernah berkenalan " - bertanya Ki Jayaraga.
Kedua orang itu tidak dapat ingkar. Sikap mereka dan sapa me"reka yang serta-merta itu memang telah menunjukkan bahwa mereka memang telah saling berkenalan.
- Silahkan Ki Sanak - berkata Glagah Putih - kami persilahkan Ki Sanak berdua berkumpul dengan anak-anak muda yang tentu Ki Sa"nak sudah kenal. Untuk selanjutnya, kalian akan berurusan dengan Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh, karena aku akan meninggalkan Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama. Kedua orang itu tidak menjawab. Keringat dingin telah memba"sahi tubuh mereka oleh kegelisahan yang mengguncang jantung.
Anak-anak muda itupun menjadi heran bahwa kedua orang itu nampaknya telah ditangkap pula oleh orang-orang Tanah Perdikan itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah didorong masuk ke dalam bilik itu pula. Sedangkan pintu bilik itupun telah tertutup kembali.
- Besok kita akan berbicara - berkata Ki Jayaraga sekejap sebe"lum pintu itu tertutup.
Setelah menyerahkan kedua orang itu kepada para pengawal dan anak-anak muda yang berada di banjar, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun lelah kembali ke padukuhan induk.
Dikeesokan harinya, keduanya lelah menghadap Ki Gede untuk memberikan laporan tentang orang-orang yang telah disimpan dida"lam banjar padukuhan itu.
- Persoalannya menyangkut padepokan Kiai Warangka - ber"kala Ki Jayaraga.
- Baiklah Ki Jayaraga - berkata Ki Gede - aku justru akan minta pertolongan Ki Jayaraga untuk menangani persoalan ini. Dalam waktu singkat, angger Glagah Putih dan Prastawa akan berangkat ke Mata"ram. Aku sendiri tidak akan ikut bersama pasukan itu, sehingga segala sesuatunya kita akan rapat selalu berhubungan. Ki Jayaraga mengangguk kecil sambil menjawab - Jika Ki Gede menghendaki, aku akan melakukannya. - Terima kasih Ki Jayaraga. Dengan demikian aku tidak merasa terlalu sepi di Tanah Perdikan ini jika Prastawa dan Glagah Putih ber"angkat nanti. - Hari ini Kiai Warangka akan datang ke Tanah Perdikan ini Ki Gede. Ia ingin berbicara dengan orang-orang yang telah menyebut-nyebut nama perguruannya itu. - Segala sesuatunya aku serahkan kepada Ki Jayaraga - jawab Ki Gede.
Dengan demikian, maka Ki Jayaraga justru telah mengemban tu"gas selama Tanah Perdikan seakan-akan menjadi lengang karena seba"gian besar dan para pengawalnya akan pergi ke Mataram.
Bersama Glagah Putih maka keduanyapun menunggu kedatangan Kiai Warangka sebagaimana dijanjikan saat Ki Jayaraga datang ke padepokannya.
Sebenarnyalah, ketika matahari menggapai puncak langit, Kiai Warangka bersama seorang putut dan seorang cantriknya telah datang kerumah Agung Sedayu.
Mereka tidak terlalu lama berada dirumah itu. Setelah Sekar Mi"rah menghidangkan minuman dan makanan, maka Ki Jayaraga telah mengajak Kiai Warangka untuk menemui orang-orang yang telah di"tahan di Tanah Perdikan itu.
- Setelah kita bertemu dengan mereka, kami akan mempersilahkan Kiai Warangka bertemu dengan Ki Gede. Hari itu Glagah Putih masih sempat mengantar Kiai Warangka. Namun sementara itu Prastawa telah memerintahkan para pengawal yang telah ditunjuk untuk pergi ke Mataram, berkumpul di banjar pa"dukuhan masing-masing. Dihari berikutnya, mereka harus sudah ber"ada dalam kesiagaan tertinggi, karena dihari berikutnya mereka harus sudah berada di Mataram.
Ketika mereka sampai ke banjar padukuhan, tempat anak-anak muda bengal dan kedua orang yang ditangkap oleh Ki Jayaraga itu di"simpan, maka Kiai Warangkapun telah dipersilahkan duduk di pen"dapa.
- Biarlah aku memanggil mereka - berkata Ki Jayaraga. Sejenak Kiai Warangka menunggu bersama dua orang yan menyertainya, sementara Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah pergi ke bagian belakang banjar itu.
Ketika selarak pintu bilik yang memanjang itu dibuka, orang-orang yang ada didalam itupun menjadi berdebar-debar.
Tetapi Kiai Jayaraga hanya memanggil kedua orang yang telah ditangkapnya itu dan membiarkan anak-anak mudanya menunggu da"lam kegelisahan.
Sejenak kemudian, keduanya telah duduk dihadapan Kiai Wa"rangka yang memandangi mereka dengan tajamnya. Kiai Warangka sudah mendengar tentang keduanya.
Kedua orang itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sekilas mereka memang sempat memandang wajah orang yang duduk dihadapannya bersama dengan dua orang yang masih muda pula.
- Aku perkenalkan kalian dengan Ki Bekel padukuhan Pajang -berkata Ki Jayaraga.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jaya"raga berkata - Apakah kau pernah bertemu dengan Ki Bekel ini " Keduanya menggeleng. Seorang diantara mereka berkata - Be"lum Ki Jayaraga. Kami belum pernah mengenalnya. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - ia sangat berkepen"tingan dengan kalian, karena anak-anak kalian yang telah membuat onar di padukuhan ini. - Tingkah laku mereka diluar tanggung jawab kami, Ki Jayaraga - jawab orang itu.
- Katakan sendiri kepada Ki Bekel - sahut Ki Jayaraga. Mula-mula Kiai Warangka terkejut mendengar cara Ki Jayaraga memperkenalkan dirinya kepada kedua orang itu. Namun kemudian iapun tanggap. Karena itu, maka Kiai Warangka itu telah mengatur perasaannya untuk melakukan peranannya sebagaimana disebut oleh Ki Jayaraga.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga segera mengetahui, bahwa kedua orang itu belum mengenal orang yang bernama Kiai Warangka.
- Kalau saja kau mengetahuinya - berkata Ki Jayaraga didalam hatinya - malam itu aku tentu mengaku sebagai Kiai Warangka Tetapi itu sudah lampau. Sementara itu, kini justru Kiai Wa"rangka yang diharapkannya mengakui sebagai orang lain.
Dalam pada itu, Kiai Warangka bertanya - Ki Sanak, Kenapa anak-anak muda yang nakal itu mengaku berasal dari padepokan Kiai Warangka. " Kedua orang itu termangu mangu sejenak. Mereka memang tidak dapat mengelakkan diri dari pertanyaan seperti itu. Karena itu, seorang diantarariya menjawab - Mereka adalah anak-anak nakal. Mungkin mereka ingin disebut seorang yang berkemampuan dalam olah kanuragan, karena mereka murid Kiai Warangka. - Ki Sanak sendiri dari mana dan apa hubungan Ki Sanak dengan Kiai Warangka " Orang itu memandang Ki Jayaraga sekilas. Dengan nada yang berat orang itu menjawab - Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Kiai Warangka, Ki Bekel. - Tetapi kenapa kau mempersoalkan kunjungan Ki Jayaraga ke padepokan Kiai Warangka " Kedua orang Itu terdiam. Sementara Ki Warangka bertanya se"makin mendesak - Tentu ada hubungannya dengan tingkah laku anak-anak muda yang bengal itu. Kedua orang itu masih tetap berdiam diri.
- Nah, sekarang kalian harus menjawab pertanyaanku - berkata Ki Jayaraga - siapakah kalian dan kalian datang dari mana " Semalam kau telah mengikuti aku dan kalian mempersoalkan kenapa aku meng"unjungi padepokan Kiai Warangka.Kedua orang itu masih saja berdiam diri. Kiai Warangka yang te"lah mendengar ceritera tentang kedua orang itupun bertanya lebih jauh - Kalian tidak dapat mencuci tangan. Kalian harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kami sebelum kalian benar-benar akan ber"temu dengan Kiai Warangka. - Benar Ki Sanak. Kami tidak mempunyuai persoalan apa-apa. - Jawabmu lain dengan jawaban anak-anak muda itu - berkata Glagah Putih kemudian - sebelum kalian dibawa kemari oleh Ki Jaya"raga, anak-anak muda itu sudah berbicara tentang hubungan mereka dengan K i Warangka.- Apa kata mereka " - bertaya orang itu.
- Dan kalian hanya akan sekedar mendengarkan dan kemudian menirukan sebagaimana mereka katakan " - desk Glagah Putih.
Kedua orang itu terdiam. Sementara Ki Jayaraga berkata - Ki Sanak. Kami tidak ingin memperlakukan kalian seperti kami memperlakukan seorang penjahat yang telah melakukan kejahatan di Tanah Perdikan ini. Karena itu kalianpun jangan bertingkah laku seperti seorang penjahat. - berkata Glagah Putih yang mulai geram.
- Benar, anak muda - suara orang itu menjadi bergetar
- Aku hampir kehilangan kesabaran, - berkata Glagah Putih. Kedua orang itu menjadi sangat gelisah. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih memanggil seorang pengawal. - Cari tampar ijuk.
- Untuk apa " - bertanya pengawal itu.
- Aku memerlukan dua gulungan.Pengawal itu memang agak bingung. Namun pengawal itupun kemudian telah mencari tali ijuk.
Tetapi pengawal itu tidak berhasil mendapat dua gulung tampar ijuk. Yang didapatnya adalah dua gulung tampar yang terbuat dari se"rabut kelapa.
- Panggil beberapa orang kawanmu - berkata Glagah Putih ke"mudian kepada pengawal itu.
Kedua orang yang telah ditangkap oleh Ki Jayaraga itu menjadi gelisah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Glagah Putih dengan tampar serabut kelapa itu.
Ketika para pengawal datang, maka Glagah Putih berkata - Bawa kedua orang ini keruang dalam. Hati-hati. Jangan sampai mela"rikan diri. Jika mereka mencoba, terserah, apa yang akan kalian laku"kan. Ketika kedua orang itu sudah dibawa masuk keruang dalam, maka Glagah Putih mengajak Ki Jayaraga dan Kiai Warangka turun ke halaman.
- Kita bermain-main dengan anak-anak muda itu. - berkala Gla"gah Pulih.
Kepada para pengawal Glagah Putih memerintahkan untuk mem"bawa dua orang anak muda ke halaman.
- Yang tertua diantara mereka - pesan Glagah Putih.
Sementara itu Glagah Putih telah melingkarkan tampar serabut kelapa yang dua gulung itu pada dua batang pohon sambil berkata -Kita telah menyelesaikan dua orang itu sebelumnya. Kiai Warangka tersenyum. - Ia mengerti maksud Glagah Putih, sementara Ki Jayaraga berkata - Bekasnyapun harus meyakinkan. Kepada seorang pengawal, Ki Jayaraga berkata - Beri aku sepo"tong kayu. Pengawal itupun kemudian telah mengambil sepotong kayu, selarak pintu samping banjar itu.
Beberapa orang pengawal masih belum tahu maksud Glagah Pu"tih. Tetapi beberapa diantara mereka ada yang mulai tersenyum-senyum.
Ketika para pengawal membawa dua orang anak muda yang di"simpan didalam bilik di bagian belakang banjar itu, maka Glagah Pu"tihpun berkata - Nah, dua orang telah kita habisi. Sekarang ikat pula keduanya pada batang pohon itu. Kedua orang anak muda itu menjadi pucat. Sementara para peng-awalpun telah menyeret keduanya yang mencoba meronta. Tetapi me"reka tidak berdaya, karena tangan-tangan yang kuat mendorong me"reka berdiri melekatkan tubuh mereka pada batang pohon yang kokoh kuat itu.
- Sekarang giliran kalian - gerang Glagah Putih. Sementara itu, Ki Jayaraga berdiri tegak dengan selarak pintu ditangannya.
Ketika Ki Jayaraga itu melangkah mendekat, maka anak-anak muda itu benar-benar menjadi ketakutan. Seorang diantaranya mena"ngis sambil merengek - Aku minta ampun. - Siapakah kedua orang itu " Mereka tidak mau menyebut nama mereka dan tempat tinggal mereka. Karena itu, maka mereka sudah kami habisi. Tidak ada gunanya kami berbicara dengan orang-orang yang tidak mengenal dirinya sendiri lagi. - Ampun. - tangis anak itu. Sedangkan yang lain benar-benar hampir menjadi pingsan.
- Siapa mereka he " - Ki Jayaraga membentak.
Anak-anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Seorang dian"tara mereka menjadi - Yang seorang adalah Ki Winong, sedangkan yang seorang lagi kami panggil Ki Serut. Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Namun jantung anak-anak muda bagaikan akan berhenti berde"tak ketika Ki Jayaraga melangkah mendekat sambil berkata - Nah, ja"wab pertanyaanku, anak manis. Apakah kalian datang dari padepokan Kiai Warangka yang letaknya didekat Kronggahan itu. " Anak itu menjadi ragu-ragu.
Namun Ki Jayaraga telah meletakkan ujung selarak pintu itu di-pundak anak muda itu sambil berkata. - Tidak lebih dari dua ayunan, kau tentu sudah mati. Aku berani bertaruh. - Jangan, Jangan. - tangis anak muda itu.
- Ayo bertaruh. Jika dua ayunan kayu ini tidak membunuhmu, maka kau boleh membalas aku dengan dua ayunan pula tanpa dibalas.- Tidak. Aku tidak berani - suara anak itu ditelan oleh suara isaknya yang menyesak meskipun meskipun anak itu berusaha menah"annya.
- Kalian belum menjawab pertanyaanku. Apakah benar kalian datang dari padepokan Kiai Warangka " - Ya, Ki Sanak. Kami memang cantrik dari padepokan Kiai Wa"rangka. - Jika demikian, biarlah kalian kami bawa kepadepokan disebelah padukuhan Kronggahan itu. Tetapi jika ternyata kalian bohong kami akan menyelesaikan kalian di padepokan itu juga. - Jangan, jangan bawa kami kepada Ki Warangka. - Kenapa " - bertanya Glagah Putih - Jika kalian memang can"trik dari padepokan itu, maka kalian tidak perlu takut. - Kami pergi tanpa minta ijin kepada Ki Warangka. - Sudahlah. Jangan bohong. Siapakah kalian sebenarnya " - Kami berkata sebenarnya. - Bohong - suara Glagah Putih meninggi. Kepada Ki Jayaraga Glagah Putih berkata - Anak-anak ini agaknya lebih gila dari kedua orang itu. Ketakutan yang sangat, membayang diwajah kedua orang anak muda itu.
Sementara tangan-tangan mereka terikat pada batang pohon yang kuat yang tumbuh di halaman banjar itu.
Ki Jayaraga mulai menggerakkan sepotong kayu ditangannya sambil berkata - Baiklah. Jika mereka tidak mau mengatakannya, kita habisi saja keduanya. - Jangan. Ampun - anak muda itu merengek.
- Jika demikian, sebut, siapakah yang telah menggerakkan ka"lian untuk mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini. Anak muda itu tidak dapat mengelak lagi. Dengan suara gemetar ia berkata - Yang terjadi, sama sekali bukan kehendak kami sendiri. - Itulah yang kami tanyakan. Kami tidak ingin menghukum ka"lian jika kalian berkata sebenarnya. Kamiakan menuntut pertanggung jawab kepada orang yang telah menggerakkan kalian. - Kami melakukan semuanya ini atas perintah Kiai Timbang La"ras. Kami sedang menjalani pendaaran sebelum kami diterima men"jadi murid-muridnya. - Timbang Laras - tiba-tiba saja Kiai Warangka berdesis - jadi kalian ini murid Timbang Laras " - Ya, Kiai. - jawab anak muda itu.
- Ki Bekel - sahut Glagah Putih - sebut saja dengan Ki Bekel. - Ya, Ki Bekel. - anak muda itu mengangguk-angguk.
- Dimana Kiai Timbang Laras itu tinggal " Bukankah padepokannya berada jauh dari tempat ini " Glagah Putih mendekati Kiai Warangka sambil berdesis - Kiai mengenalnya " - Justru ia saudara seperguruanku - jawab Kiai Warangka. - Kenapa hal seperti ini terjadi " Apakah Kiai mengetahui sebab"nya " - Iri dan dengki - jawab Kiai Warangka - ia mengingini padepokan didekat padukuhan Kronggahan itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Kiai Warangka melangkah mendekati anak muda itu sambil bertanya - Kenapa Kiai Timbang Laras memerintahkan kalian mengusik ketenangan padu"kuhan ini dengan mengaku sebagai murid Kiai Warangka " - Kami tidak tahu, Ki Bekel. Kami hanya menjalankan perintah"nya. - Apakah kedua orang itu juga orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras. - Ya, Ki Bekel. Tetapi mereka tidak mendapat tugas sebagai mana kami lakukan. - jawab anak muda itu.
Kiai Warangkapun kemudian memberi isyarat kepada Glagah Putih dan Ki Jayaraga untuk bergeser menjauh. Hampir berbisik Kiai Warangka itu berkala - Persoalan ini adalah persoalanku dengan Tim"bang Laras. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga ber"kata - Nampaknya saudara seperguruan Kiai Warangka ingin membenturkan kekuatan Kiai Warangka dengan Tanah Perdikan Me"noreh.
- Ya. Tetapi Timbang Laras sejak muda memang ceroboh. Ia se"harusnya berpikir bahwa anak-anak itu dapat tertangkap dan dipaksa untuk berbicara. - Kecuali jika Kiai Timbang Laras sengaja menantang Tanah Perdikan ini pula - desis Glagah Putih.
- Baiklah. Aku akan membuat perhitungan dengan Timbang La"ras. Aku ingin keduanya orang itu pergi bersamaku kepadepokanku. Sementara itu, biarlah anak-anak itu pulang ke padepokan Timbang Laras. - berkata Kiai Warangka.
Glagah Putih dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka ti"dak berkeberatan menyerahkan kedua orang yang berada didalam ban"jar itu kepada Kiai Warangka.
- Kiai. - berkata Ki Jayaraga - nanti, jika Kiai kembali kepadepokan sambil membawa kedua orang itu, biarlah aku mem"bantu Kiai menjaganya diperjalanan. - Bukankah itu tidak perlu " - jawab Kiai Warangka.
- Keduanya sangat penting bagi Kiai. Karena itu, aku akan ikut menjaga agar mereka tidak melarikan diri. - Bukankah Ki Jayaraga dapat membawa keduanya hanya seorang diri " - Tetapi kami sudah berkelahi lebih dahulu, sehingga keduanya tidak mampu berlari cepat. Berbeda jika mereka dalam keadaan segar. Bukankah Kiai tidak perlu harus berkelahi lebih dahulu sekarang ini "
Kiai Warangka tertawa. Katanya - Baiklah. Tetapi dengan demi"kian Ki Jayaraga akan berjalan hilir mudik. - Menyenangkan. Sudah lama aku tidak bepergian kemana-mana selain membuka pematang untuk mengairi sawah. Ketiga orang itupun mengangguk-angguk. Mereka sudah menda"patkan kesepakatan. Namun dalam pada itu, Ki Jayaragapun berkata -Tetapi aku minta Kiai singgah barang sebentar dirumah Ki Gede. Aku sudah terlanjur memberitahukan, bahwa Kiai hari ini datang ke Tanah Perdikan ini. - Baik. Aku akan menghadap Ki Gede sebelum aku kembali. - Kiai Warangka itupun kemudian telah melangkah kembali men"dekati anak-anak muda yang terikat itu. Katanya - Kami belum akan menghabisi kalian sekarang. Tergantung kepada kalian, apakah kalian bersikap baik dan bersahabat atau tidak. - Kami mohon ampun. - tangis anak-anak yang terikat itu.
Glagah Putihlah yang kemudian memberi isyarat kepada para pengawal untuk menyimpan kembali anak-anak muda itu. Glagah Pu"tih masih belum memberitahukan kepada para pengawal, bahwa me"reka akan melepaskan anak-anak muda itu.
Seperti yang direncanakan, maka Kiai Warangka kemudian telah membawa kedua orang yang tersimpan diruang dalam tanpa sepenge"tahuan anak-anak muda yang ditempatkan dibagian belakang banjar itu.
Kedua orang yang ketakutan itu telah dititipkan di banjar padu"kuhan induk ketika Kiai Warangka bersama Ki Jayaraga dan Glagah Putih menghadap Ki Gede.
Ki Gede telah menerima Kiai Warangka dengan akrab. Sudah lama mereka tidak bertemu, sehingga dalam pertempuran itu banyak hal yang dapat mereka bicarakan.
Tetapi Kiai Warangka tidak terlalu lama berada di Tanah Perdi"kan Menoreh. Setelah Kiai Warangka dipersilahkan makan dan mi"num, maka Kiai Warangka itupun mohon diri untuk kembali ke pade"pokannya.
- Aku akan membantunya membawa dua orang tawanan itu Ki Gede. - berkata Ki Jayaraga.
- Silahkan Ki Jayaraga. - jawab Ki Gede. Namun iapun kemu"dian bertanya - Bagaimana dengan Glagah Putih " - Tidak Ki Gede. Aku tidak menyertainya. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya - Prastawa ingin menemuimu. Ada perintah dari Mataram. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tahu bahwa perintah itu berarti para pengawal Tanah Perdikan harus segera berada di Mataram.
Sejenak kemudian, Kiai Warangkapun telah minta diri bersama Ki Jayaraga. Tetapi Glagah Pulih tidak menyertai mereka, karena Gla"gah Putih harus bertemu dengan Prastawa.
Ki Jayaraga dan Kiai Warangka masih singgah untuk minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk selanjutnya mereka me"nempuh perjalanan menyeberangi perbukitan menuju ke sebuah pade"pokan yang terletak disebclah padukuhan Kronggahan.
Bersama Kiai Warangka dan Ki Jayaraga-kedua orang yang telah ditangkap oleh Ki Jayaraga itu berjalan dengan jantung yang berde-baran. Mereka tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya sedang terjadi alas diri mereka.
Bahkan sepanjang perjalanan, keduanya masih belum tahu. bahwa orang tua yang diperkenalkan sebagai Ki Bekel itu adalah Kiai Warangka, meskipun mereka sudah mulai curiga.
Sementara itu, di Tanah Perdikan, Glagah Putih telah bertemu de"ngan Prastawa. Seperti yang diduganya, maka pasukan pengawal Ta"nah Perdikan diperintahkan untuk tiba di Mataram dikeesokan harinya sebelum senja.
Tetapi segala sesuatunya sudah dipersiapkan. Para pengawal te"lah bersiap dipadukuhan mereka masing-masing. Setiap saat mereka sudah siap untuk berangkai.
Sejenak kemudian, maka para penghubungpun telah datang kesetiap padukuhan untuk memberitahukan perintah itu sambil memanggil setiap pemimpin kelompok untuk datang kerumah Ki Gede Menoreh disore hari.
Dengan demikian, maka para pengawal di seluruh Tanah Perdi"kan menjadi sibuk. Terutama mereka yang akan berangkat Ke Mata"ram. Mereka harus dipersiapkan segala-galanya yang akan mereka bawa. Terutama senjata mereka masing-masing.
Dalam pada itu, setelah sesuatunya dipersiapkan, maka Glagah Putih dan Prastawa telah menemui beberapa orang anak muda yang masih ditahan di banjar padukuhan. Sebagaimana disepakati, maka mereka memang akan dilepaskan hari itu juga.
Anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika pintu bilik tempat mereka disimpan terbuka. Beberapa orang pengawal telah membawa mereka ke pendapa banjar itu.
Jantung mereka serasa berdetak semakin cepat ketika mereka melihat Glagah Putih sudah menunggu di pendapa.
- Dengan baik-baik - berkata Glagah Putih kami tidak ingin me"musuhi kalian. Tetapi kami juga tidak ingin bahwa ketenangan hidup di Tanah Perdikan ini terganggu. Karena itu, maka kali ini kalian akan kami lepaskan. Tetapi dengan syarat, bahwa kalian tidak akan meng"ulangi perbuatan kalian. Jika masih terjadi sebagaimana kalian laku"kan, maka kami akan menghancurkan kalian dan sekaligus padepokan Ki Timbang Laras. Anak-anak muda itu menundukkan kepala mereka, ternyata me"reka telah memasuki satu lingkungan yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Memiliki anak-anak muda yang berkemampuan sangat tinggi. Bahkan mereka telah bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tidak mereka mengerti.
- Nah sekarang kalian akan kami persilahkan. untuk meninggal"kan tempat ini. Meninggalkan padukuhan ini dan juga meninggalkan Tanah Perdikan ini. Anak-anak muda itu semula tidak yakin akan pendengaran me"reka. Bahkan ada diantara mereka yang merasa, bahwa mereka sedang dipermainkan oleh anak-anak muda Tanah Perdikan itu.
Tetapi sekali lagi mereka mendengar Glagah Putih berkata -Nah, sekarang, tinggalkan banjar ini dan selanjutnya kalian harus me"nyeberangi perbukitan itu sebelum kami merubah keputusan kami. Anak-anak itu masih saja merasa ragu. Sementara Glagah Putih berkata pula - Kalian tidak usah menanyakan kemana dan dimana Ki Winong dan Ki Serut sekarang ini. Kalian tidak usah menghiraukan apa yang terjadi atas mereka. Katakan kepada Kiai Timbang Laras apa yang telah terjadi atas kalian. Tetapi ingat, kalian harus berkata dengan jujur. Jika kalian berbohong kepada Kiai Timbang Laras, akhirnya tentu akan kami ketahui pula. Dengan demikian nasib kalian akan menjadi sangat buruk. Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang-orang dari Tanah Perdi"kan Menoreh itu.
Tetapi mereka tidak mempunyai keberanian untuk bertanya apa"pun juga. Sehingga karena itu, maka mereka hanya saling berdiam diri.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka anak-anak muda itu benar-benar telah dilepaskan. Mereka diperintahkan untuk segera me"ninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
- Kami sedang dibayangi oleh peristiwa yang sangat gawat. Ka"rena itu, maka perasaan kami dapat bergoyang. Sekarang kami mele"paskan kalian. Tetapi dalam goncangan berikutnya, mungkin kami ingin membunuh kalian semuanya. Demikianlah, maka anak-anak muda itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan itu. Mereka dengan cepat, menuju ke perbu"kitan. Kemudian memanjat naik menyusup hutan lereng pebukitan.
Mereka masih selalu dibayangi oleh keraguan, bahwa mereka benar-benar telah dibebaskan bagitu saja.
- Mungkin kita akan mereka jadikan sasaran permainan di hutan ini - berkata salah seorang dari mereka.
- Tidak. Hutan ini terlalu lebat untuk melepaskan kita dan kemu"dian memburu kita untuk menjadikan kita sasaran kemampuan bidik mereka. - Tetapi memburu kita tentu lebih aman dan lebih mudah dari pada memburu seekor harimau. Buku 302 KAWAN-kawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat persiapan orang-orang Tanah Perdikan itu untuk melakukan perburuan.
Meskipun demikian anak-anak muda itu telah berusaha secepat"nya memanjat tebing. Kemudian menuruni sisi yang lain dan keluar dari tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
Pada saat yang bersamaan. Ki Jayaraga telah berada di padepo"kan Kiai Warangka didekat padukuhan Kronggahan. Ki Winong dan Ki Serutpun segera disimpan dalam bilik khusus. Kepada para cantrik"nya. Kiai Warangka berpesan - Berhati-hatilah. Kedua orang itu ber"bahaya. Jangan sampai lepas. Awasi bilik tahanan untuk melarikan diri tetapi kemungkinan orang lain yang berusaha membebaskan me"reka. Seorang Putut dan seorang cantrik yang ikut pergi ke Tanah Per"dikan itulah yang diserahi tanggung jawab terhadap kedua orang tawanan mereka itu.
- Siapakah mereka " - bertanya seorang putut yang lain.
Putut yang pergi bersama Kiai Warangka itu menjawab - Mereka adalah para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. - Kiai Timbang Laras " - putut yang bertanya itu menjadi heran. Ia mengenal Kiai Timbang Laras sebagai saudara seperguruan Kiai Warangka.
- Ya. Nampaknya keberadaan mereka di padepokan ini dianggap penting, sehingga, Ki Jayaraga harus mengantar perjalanan kami. - Apakah keduanya berilmu sangat tinggi " - Tidak. Keduanya tidak berilmu tinggi. Teapi kemungkinan lain dapat terjadi. Justru usaha untuk membebaskan kedua orang itu dari saudara-saudara seperguruan mereka. Putut itupun kemudian menceriterakan kepada kawannya, apa yang telah dilakukan oleh kedua orang itu, sehingga Kiai Warangka merasa perlu untuk membawa keduanya ke padepokan itu.
Dalam pada itu, maka Ki Jayaraga masih besbincang dengan Kiai Warangka tentang banyak kemungkinan yang dilakukan oleh Kiai Timbang Laras. Setelah beristirahat sejenak, maka keduanya telah pergi ke bilik tempat kedua orang murid Kiai Timbang Laras itu di"simpan.
Dalam pada itu, para cantrik dari padepokan Kiai Warangka itu telah berjaga-jaga dengan sebaik-baikrrya. Jika Kiai Timbang Laras datang untuk mengambil kedua muridnya, padepokan Kiai Warangka itu sudah siap untuk menghadapi mereka.
- Apakah Kiai Timbang Laras mengetahui, bahwa dua orang muridnya ada disini " - desis seorang cantrik.
- Entahlah. Tetapi Kiai Timbang Laras itu mempunyai seribu mata dan seribu telinga. Bahkan seakan-akan dedaunan dipepohonan itu adalah telinganya pula, sementara didinding-dinding padukuhan itu melekat matanya yang tidak pernah berkedip, - Jawab kawannya.
Dalam pada itu, Kiai Warangka dan Ki Jayaraga telah berada di dalam bilik kedua orang murid dari padepokan Kiai Timbang Laras itu. Dengan nada berat Kiai Warangka itu bertanya - Apakah kalian ingin berbicara dengan Kiai Warangka " Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai Wa"rangka yang diperkenalkan sebagai Ki Bekel itu berkata selanjurnya -Menurut para cantrik, Kiai Warangka sedang pergi ke Kronggahan. Tetapi ia akan segera kembali. Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memandang Kiai Warangka dan Ki Jayaraga berganti-ganti. Mereka memang men"curigai bahwa yang diperkenalkan kepada mereka sebagai Ki Bekel itu tentu bukan seorang Bekel. Bahkan merekapun curiga bahwa orang itu adalah Kiai Warangka.
Karena kedua orang itu sama sekali tidak menyahut, maka Kiai Warangka itupun telah bertanya pula - Nah, sebelum Kiai Warangka datang, apakah ada sesuatu yang ingin kalian katakan. Kami tidak akan terlalu lama berada disini. Kami akan segera kembali ke Tanah Perdi"kan. Keduanya masih tetap berdiam diri.
- Ki Winong dan Ki Serut - berkata Ki Jayaraga kemudian - tu"gas apakah yang sebenarnya kalian emban dari Ki Timbang Laras sehingga kalian telah mengawasi padepokan ini dan kemudian meng"ikuti aku dan tentu kalian akan mengambil tindakan-tindakan lebih jauh. Kedua orang itu masih tetap berdiam diri.
- Ki Sanak - berkata Kiai Jayaraga - kalian sekarang sudah ti"dak berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada lagi yang akan mencegah jika kami ingin berbuat sesuatu atas kalian. Kami tidak akan dapat melakukannya dibawah penglihatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh agar mereka tidak terlibat dalam persoalan ini. Karena itu, maka kalian harus berada di luar Tanah Perdikan, sehingga segala tanggung jawab akan aku pikul sendiri. Bahkan Ki Bekel yang daerah"nya kau sentuh itupun harus ikut keluar dari Tanah Perdikan jika ia mempunyai kepentingan lebih banyak dengan kalian. Jantung kedua orang itu terasa berdegup semakin cepat. Sebenar"nyalah keduanya menjadi ragu. Siapa sebenarnya yang mereka hadapi dan apa sebenarnya yang mereka kehendaki.
Tiba-tiba saja Ki Jayaraga itu membentak - Apa tugas yang di"bebankan oleh Kiai Timbang Laras kepada kalian " Kedua orang itu terkejut Mereka bergeser setapak ketika mereka melihat Ki Jayaraga itu berdiri sambil bertolak pinggang. Bahkan Kiai Warangkapun terkejut pula sehingga dadanya bergetar.
- Jawab pertanyaanku, atau kalian akan mengalami nasib yang lebih buruk. Aku akan menantang kalian berperang tanding. Kalian berdua, aku seorang diri. - Tetapi, tetapi.....- salah seorang dari mereka menjadi gagap. Se"dangkan yang lain menjadi pucat
- Cepat jawab pertanyaanku. Apa tugas yang dibeankan kepada kalian " Anak-anak muda yang tertahan di Tanah Perdikan itu sudah mengaku, tugas apa yang mereka bawa, meskipun aku harus memaksa mereka. Ketika Ki Jayaraga melangkah maju, maka orang yang wajahnya pucat itu berkata
- Ampun Kiai. - Wajah Ki jayaraga menjadi semakin nampak garang. Sementara Kiai Warangka justru berdiri termangu-mangu.
Ki Jayaraga yang kemudian berdiri selangkah dihadapan kedua orang itu mulai menyentuh salah seorang dari mereka. Sampai mene"puk pundaknya Ki Jayaraga berkata - Apakah kalian tidak mau berbi"cara " Kalian kira, kalian akan dapat menyelamatkan diri kalian de"ngan menunggu kedatangan Kiai Warangka "
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang itu benar-benar menjadi ketakutan. Ketika Ki Jayaraga menekan pundak yang disentuhnya itu, maka terasa kekuatan yang besar telah menindihnya.
- Ampun Kiai - berkata orang itu.
- Katakan, apa tugas kalian. Kedua orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka melihat justru Ki Jayaraga yang memandangi mereka dengan sorot mata yang menyala.
- Kalian menunggu setelah kalian dipaksa berbicara " - bertanya Ki Jayaraga - baiklah. Jika demikian, kalian akan kami serahkan ke"pada para cantrik. Karena Kiai Warangka sendiri tidak ada, maka biar"lah beberapa orang cantrik tertua di padepokan ini berbicara dengan kalian.- Tidak. Jangan - hampir berbareng kedua orang itu memohon.
- Kenapa " - bertanya Ki Jayaraga - bukankah itu yang menjadi pilihan kalian.- Jangan serahkan kami ketangan para cantrik. - Jika demikian, kenapa kalian tidak mau berbicara " - Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka benar-benar hanya mempunyai satu pilihan Berbicara tentang tugas yang sedang mereka lakukan.
Sementara itu, Ki Jayaragapun berkata - Ki Bekel. Jika mereka tetap berdiam diri, kita serahkan saja kepada para cantrik karena kita harus segera kembali ke Tanah Perdikan. - Terserah kepada Ki Jayaraga. - jawab Kiai Warangka.
- Baiklah - Ki Jayaraga mengangguk-angguk - aku akan berbi"cara dengan para cantrik. Tetapi ketika Ki Jayaraga beringsut, Ki Winongpuh berdesis - Tunggu, Kiai. - Kau jangan mempermainkan aku - sahut Ki Jayaraga - aku ha"rus segera kembali ke Tanah Perdikan. Kau kira Ki Bekel tidak mem"punyai kerja lain daripada menunggui kalian disini " - Kiai - berkata Ki Winong. - Jangan serahkan kami kepada para cantrik. - Cukup - Ki Jayaraga justru membentak - aku muak mende"ngarnya. Kau mencoba mengulur waktu sampai Kiai Warangka da"tang. - Tidak, Kiai. Aku akan berbicara. Didengar atau tidak didengar oleh Kiai Warangka. - berkata Ki Winong.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak, sementara Ki Winong me"mandangi Kiai Wirangka dengan kerut didahinya.
Namun Kiai Warangka dan Ki Jayaraga sudah tanggap, bahwa sebenarnya kedua orang itu sudah menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.
Karena itu, maka keduanya memang merasa, bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lan kecuali menjawab pertanyaan Ki Jayaraga.
- Kiai - berkata Ki Winong kemudian - sebenarnyalah kami mendapat tugas dari Kiai Timbang Laras untuk mengetahui keadaan dan kelebihan serta kekurangan padepokan Kiai Wirangka. - Aku sudah tahu - jawab Ki Jayaraga - tetapi untuk apa " - Wajah Ki Winong menegang. Tetapi iapun kemudian menjawab
- Kiai Timbang Laras memang mempunyai rencana tentu. Tetapi ti"dak semua cantrik mengetahuinya rencana tertentu. Tetapi tidak semua cantrik mengetahuinya. Bahkan orang-orang yang sudah lama menjadi muridnya seperti kami berdua, tidak tahu apa yang akan dila"kukannya. Hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diajak berbi"cara oleh Kiai Timbang Laras. - Apakah kalian tidak termasuk orang penting di padepokanmu itu " - bertanya Kiai Warangka.
- Bukan, Kiai - jawab Ki Winong - kami berdua adalah orang-orang yang seolah-olah sekedar mengabdi. - Bukankah kalian sudah lama berada di padepokan itu "- Tetapi orang-orang seperti kami, tidak banyak mendapat perhatian dari Kiai Timbang Laras. - Meskipun demikian, dengan setia kalian tetap tinggal di pade"pokan itu serta menjalankan tugas apapun yang dibebankan kepada ka"lian. Bahkan mempertaruhkan nyawa kalian. - Bagi kami kesetiaan adalah segala-galanya. Ki Jayaraga tiba-tiba tertawa. Katanya - Kalian tentu setia ke"pada kedunguan kalian karena kalian setia pada keberadaan kalian di-padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi sebenarnya kesetiaan kalian hanya selapis. Ketika kalian mengalami kesulitan seperti sekarang ini, maka kesetiaan kalian itu segera larut - Kami tidak tahan mengalami penderitaan yang berlebihan. Ke"tika Kiai mengancam kami untuk mengalaminya jika kami berada ditangan para cantrik, maka larutlah kesetiaan itu kedalam ketakutan dan barangkali kedunguan kami. Kiai Warangka mengangguk-angguk sambil berdesis - Ternyata masih ada sisa -memandang Kiai Warangka sekilat. Dari mata mereka memancat pengharapan.
Ki Winong dan Ki Serut saling berpandangan. Sebuah perta"nyaan telah timbul - Apakah besok mereka masih ada disini " Ternyata bukan kedua orang itu saja yang bertanya meskipun di"dalam hati. Tetapi Ki Jayaragapun mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga tersenyum kecil sambil berkata - Apakah kita masih mempunyai waktu besok " Kiai Warangka termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemu"dian tersenyum pula sambil berkata - Jika perlu, kita akan tinggal di"sini sehari atau bahkan sebuah atau setahun. Ki Winong dan Ki Serut termangu-mangu. Wajah mereka menjadi merah. Mereka memang merasa bahwa dalam keadaan yang bagi keduanya cukup gawat itu, ternyata bagi kedua orang itu seakan-akan tidak lebih dari sebuah kelakar yang pantas mereka tertawakan.
Tetapi keduanya tidak bertanya sesuatu. Mereka sadar bahwa mereka tidak berdaya dihadapan kedua orang yang berilmu tinggi itu.
Sementara itu, maka Ki Jayaragapun berkata - Beristirahatlah Ki Sanak. Mungkin kalian harus menjawab pertanyaan-pertanyaan lain esok. Jika bukan aku dan Ki Bekel, Kiai, Warangkalah yang akan da"tang kepada kalian. Kedua orang itu tidak menjawab. Yang nampak pada mereka adalah gejolak perasaan mereka yang tidak menentu.
Sebenarnyalah bahwa Ki Winong dan Ki Serut itu seakan-akan dihadapkan pada bayangan-bayangan keraguan yang berubah-rubah. Kadang:kadang bayangan itu nampak menjadi semakin jelas. Namun tiba-tiba menjadi kabur dan tidak dapat dikenalinya kembali.
Dalam kebingungan itu, maka pintu bilik mereka telah ditutup. Orang yang mengaku sebagai Ki Bekel dan Ki Jayaraga telah mening"galkan mereka.
- Aku hampir menjadi gila - desis Ki Winong.
- Mereka memang membuat kami gila. - jawab Ki Serut. - Aku tidak akan petiuli lagi apa yang akan terjadi. Aku tidak mau menjadi gila karena tingkah laku kedua orang itu. - Tetapi mereka berilmu tinggi. Terutama yang sudah kita kenali langsung adalah Ki Jayaraga. - Orang-orang berilmu tinggi kadang-kadang tidak lagi berbuat Wajar. Kedua orang itupun kemudian justru telah pasrah apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Mereka tidak mau berpikir lagi apakah yang akan terjadi atas diri mereka.
- Biarlah kami tinggal menjalani - desis Ki Winong.
- Ya. Kami tidak mau tersiksa sebelum kami benar-benar akan mengalami secara wadag. - sahut Ki Serut
Namun dengan demikian, maka kedua orang itu justru segera dapat tidur nyenyak. Mereka tidak lagi digelisahkan oleh teka-teki serta sikap kedua orang yang sulit mereka pahami itu.
Dalam pada itu, maka Ki Jayaraga telah duduk di pendapa ber"sama Kiai Warangka. Ternyata Ki Jayaraga tidak dapat tinggal terlalu lama di padepokan itu. Apalagi Ki Jayaraga juga mengetahui bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan akan segera berangkat ke Mata"ram. Mataram telah mempersiapkan pasukan yang besar yang akan berangkat ke Pati. Pasukan yang tentu harus lebih kuat dari pasukan yang ada di Prambanan, terutama kekuatan dari pasukan khususnya untuk menembus pertahanan Pati.
Kiai Warangka tidak dapat menahan Ki Jayaraga telah lama lagi. Dengan nada dalam, Kiai Warangka berkata - Aku mengucapkan terima-kasih, Ki Jayaragga. Tetapi sepeninggal Ki Jayaraga aku akan bermain sendiri. Permainan yang Ki Jayaraga mulai, akulah yang ha"rus menyelesaikannya. Ki Jayaraga justru tertawa pendek. Katanya - Dalang tidak akan kekurangan lakon. Kiai Warangka akan dapat menyelesaikan dengan baik. Kiai Warangkapun tertawa pula. Katanya - Kedua orang itu nampaknya benar-benar menjadi bingung. - Semula aku tidak berniat.membuat mereka bingung - sahut Ki Jayaraga - tetapi keadaan berkembang dengan sendirinya. Kedua orang itu tertawa. Namun Kiai Warangkapun berkata Jika Tanah Perdikan bersiap untuk pergi ke Mataram, maka padepokan ini-pun harus bersiap untuk menghadapi Kiai Timbang Laras. Jika ia mengetahui bahwa dua orangnya ada disini, mungkin petunjuk dari anak-anak muda yang tertangkap di Tanah Perdikan itu, ia tentu tidak akan tinggal diam. Apalagi sejak semula, ia memang sudah berniat un"tuk mengambil alih padepokan ini.- Bukankah Kiai Timbang Laras itu sudah membuat padepokan"nya sendiri " - Ki Jayaraga - Kiai Waranggka menjadi bersungguh-sungguh Timbang Laras mempunyai niat buruk terhadap padepokan ini. Meski"pun aku tiak tahu pasti, apa yang sebenarnya dikehendaki menurut pengakuannya sendiri, tetapi secara tidak langsung ia pernah mengatakan bahwa ia menduga, peninggalan guru lelah disembunyikan di padepokan ini, termasuk dua pusaka milik guru disamping beberapa je"nis benda-benda berharga lainnya. Tetapi aku sendiri tidak pernah mengetahuinya, bahwa guru pernah menyimpangnya di padepokan ini. Tetapi Timbang Laras tidak percaya. Ia justru telah telah dibakar oleh perasaan iri dan dengki. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - Warisan memang dapat menimbulkan persoalan. - Ya - Kiai Warangka mengangguk-angguk - tetapi yang dise"but warisan itu justru tidak aku ketahui.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Persoalannya nampak tidak terlalu sederhana bagi Kiai Timbang Laras. Namun Ki Jayaraga itupun kemudian berdesis - Agaknya Kiai Timbang Laras ingin merusak hu"bungan Kiai Wararigka dengan Tanah Perdikan Menoreh itu tentu de"ngan maksud menjelekkan nama Kiai Warangka. - Mungkin Ki Jayaraga benar. Tetapi aku tidak mengira, bahwa Timbang Laras itu demikian bodohnya sehingga ia mempergunakan cara yang sangat kasar itu. - Kesalahannya mungkin terletak pada kecerobohan Kiai tim"bang laras. Tetapi juga mungkin pada anak-anak itu. Agaknya ada pesan Kiai Timbang Laras yang tidak mereka lakukan atau sebaliknya mereka telah melakukan sesuatu yang tidak dipesankan oleh Kiai Tim"bang Laras.
- Mungkin sekali, Kiai. Karena itu, maka aku akan membuat pe"nyelesaian dengan Timbang Laras. Jika ia mengetahui, warisan yang disembunyikan dipadepokan ini dan mengingininya, akan aku persilahkan untuk mengambilnya. Aku sudah cukup banyak menerima wa"risan dari guru, meskipun berujud ilmu. - Ilmu tidak akan dapat dicuri orang, Kiai. Berbeda dengan benda-benda yang tinggi nilainya. Bahkan pusaka-pusaka sekalipun. Karena itu, maka berbahagialah Kiai Warangka yang mendapat wa"risan ilmu itu. Kiai Warangka tersenyum. Katanya - Ya. Aku harus berbangga bahwa aku menerima lebih dari saudara-saudara seperguruanku yang lain. Guru juga memberikan kesempatan kepadaku, melihat jalan yang terbuka untuk menentukan arah pengembangan ilmuku. Segalanya ke mudian tergantung kepadaku, apakah aku akan melakukannya dengan rajin atau justru aku hanya bermalas-malas saja. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - Kiai akan mene"mukan sesuatu yang berharga. Tidak hanya buat Kiai sendiri, tetapi buat banyak orang disekitar Kiai. Jika Kiai berhasil mengembangkan ilmu yang Kiai warisi melampaui ilmu yang pernah dimiliki oleh guru Kiai, sehingga Kiai memiliki kemampuan yang lebih tinggi, maka ilmu itu akan menjadi setapak lebih maju. Jika hal yang sama terjadi pada murid-murid Kiai, maka perkembangan ilmu pada jalur pergu"ruan Kiai akan menjadi semakin tinggi. - Mudah-mudahan Ki Jayaraga. Tetapi ternyata bahwa diantara kami, saudara seperguruan, telah terjadi persoalan yang mungkin akan menjadi rumit - Kiai - berkata Ki Jayaraga - dalam hubungannya dengan Kiai Timbang Laras yang telah mengirimkan anak-anak muda ke Tanah Perdikan Menoreh serta akibat yang dapat timbul kemudian, Ki Gede telah menyerahkan persoalannya kepadaku. Karena itu, aku akan se"lalu berhubungan dengan Kiai Warangka. Mungkin persoalan yang timbul dengan Kiai Timbang Laras itu akan dapat kita selesaikan bersama-sama. - Baiklah, Ki Jayaraga. Aku akan dengan senang hati berbuat se"suatu untuk membantu Ki Jayaraga. Tetapi pada suatu saat akulah yang akan mohon bantuan Ki Jayaraga. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - Kita masih belum tahu pasti, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras.- Aku akan berusaha untuk bertemu dan berbiara dengan Tim"bang Laras, agar diantara kami dan tentu saja juga dalam hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh, tidak selalu dibayangi oleh ketidak pastian. Kecurigaan dan bahkan permusuhan. - Tetapi, Kiai - suara Ki Jayaraga merendah - bukankah Kiai Timbang Laras tidak mempunyai hubungan dengan Pati, sehingga langkah yang diambilnya sejalan dengan perkembangan hubungan yang memburuk antara Mataram dan Pati " Kiai Warangka nampak merenung. Dengan nada ragu ia berkata - Entahlah, Ki Jayaraga. Tetapi kemungkinan itu agaknya dapat ter"jadi. Timbang Laras ingin bermain dengan tombak bermata rangkap. Ia ingin menusuk kedepan dan kebelakang sekaligus dalam satu gera"kan. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - Jika demikian, kita memang harus berhati-hati. Kiai Timbang Laras agaknya dengan se-ngaja berusaha meretakkan hubungan antara Kiai Warangka dan Ta"nah Perdikan Menoreh.
- Untunglah cara yang dipergunakan oleh Timbang Laras adalah cara yang kasar yang mudah dapat dilihat meskipun mungkin itu kesa"lahan anak-anak muda yang menjalankan perintahnya. Tetapi bahwa ia memberikan perintah kepada anak-anak muda justru pada masa pen"dadaran untuk tugas penting itu, sudah merupakan kesalahan yang da"pat merusak seluruh rencananya. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun dalam pembicaraan seterusnya, keduanya mendapatkan banyak persamaan pendapat me"nanggapi sikap Kiai Timbang Laras itu.
Demikianlah, maka Ki Jayaraga telah minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan.
- Aku akan melaporkannya kepada Ki Gede - berkata Ki Jaya"raga - sementara para pengawal bersiap untuk berangkat ke Mataram.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Jayaragapun telah meninggal"kan padepokan Kiai Warangka. Namun Ki Jayaraga itu sadar, bahwa untuk selanjutnya, Ki Jayaraga itu akan lebih sering berhubungan de"ngan Kiai Warangka.
Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah bersiap sepenuhnya untuk segera berangkat ke Mataram setiap saat.
Pada malam terakhir menjelang keberangkatan ke Mataram itu, para pengawal yang sudah bersiap untuk berangkat dikeesokan hari"nya masih sempat berada diantara keluarganya. Tetapi sebelum tengah malam mereka harus sudah berada di banjar padukuhan masing-masing. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat ke Mataram. Tetapi sebelumnya mereka harus berkumpul lebih dahulu di banjar padu"kuhan induk.
Pasukan pengawal Tanah Perdikan itu tidak terlalu banyak ber"beda dengan pasukan yang telah pergi ke Mataram. Beberapa orang baru, nampak diantara mereka untuk mengisi kekosongan dalam kelompok-kelompok yang sudah tersusun sejak perang yang terda"hulu, tetapi tidak dapat ikut bersama pasukan yang baru itu. Ada dian"tara mereka yang telah gugur. Ada pula yang karena sakit atau sebab-sebab yang lain.
Di tengah malam semua orang harus sudah mulai beristirahat. Mereka harus sudah berbaring ditempat yang disediakan.
Ada diantara mereka yang langsung dapat tidur nyenyak. Tetapi ada yang menjadi gelisah. Ada pula yang rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu pagi. Tetapi ada pula diantara mereka yang bertanya-tanya, untuk apa mereka itu pergi ke medan perang.
Meskipun ada diantara itu pergi pengawal itu yang sulit untuk da"pat tidur, namun dengan berbaring mereka sudah beristirahat, se"hingga dikeesokan harinya, jika mereka menempuh perjalanan ke Ma"taram, mereka tidak akan kelelahan dan apalagi kantuk di perjalanan.
Pagi-pagi benar para pengawal yang ada di banjar-banjar padu"kuhan itu telah bersiap-siap. Asap didapurpun telah mengepul. Pada saat matahari terbit, maka mereka akan berangkat ke banjar padu"kuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya akan ber"angkat menuju ke Mataram.
Karena itu, akan sebelum mereka meninggalkan banjar padu"kuhan, makan dan minumpun telah dipersiapkan secukupnya.
Ketika para pengawal itu berangkat dari padukuhan, maka para penghuni padukuhan itupun masih juga memberikan penghormatan yang terakhir. Apalagi mereka yang memiliki sanak keluarga ikut da"lam pasukan yang sedang berangkat itu.
Disebuah padukuhan seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh menangis menjerit-jerit. Biasanya ia selalu didukung oleh ayahnya jika ayahnya pergi berjalan-jalan dipagi hari.
Tetapi hari itu ayahnya tidak mendukungnya. Ayahnya pergi de"ngan banyak laki-laki, justru sambil menimbang tombak pendek.
- Ayah, ayah - teriak anak itu. Suaranya masih belum mapan berbaur dengan tangis dan isaknya.
Ayahnya mendengar dan kemudian melihat anaknya meronta-ronta didalam dukungan ibunya sebagaimana hatinya yang meronta didalam dadanya. Tetapi kesadarannya untuk mengabdi telah mendo-ronnya untuk berketetapan hati berangkat ke Mataram.
Beberapa saat kemudian, maka para pengawal Tanah Perdikan itu sudah berkumpul di banjar padukuhan induk. Mereka telah bersiap sepenuhnya untuk berangkat ke Mataram dan seterusnya menuju ke Pati.
Ki Gede yang berada di banjar telah memberikan beberapa pesan kepada mereka. Hanya pendek. Tetapi langsung menyentuh jantung mereka.
Selain Ki Gede, maka Ki Jayaraga dan Ki Argajayapun telah ikut melepas para pengawal yang berangkat ke Mataram itu.
Ketika matahari naik sepenggalah, maka para pengawal Tanah Perdikan itupun telah dilepas untuk berangkat ke Mataram.
Seperti dipadukuhan-padukuhan yang lain, maka mereka yang tinggal dipadukuhan induk itupun telah melepas para pengawal itu. Mereka berdiri disepanjang jalan dari banjar sampai keregol padu"kuhan. Bahkan beberapa orang berdiri diluar regol padukuhan. Me"reka melambai-lambaikan tangan mereka. Namun ada diantara me"reka yang mengusap air matanya yang mulai menitik.
Sejenak kemudian, maka para pengawal Tanah Perdikan itu sudah berjalan menyusuri jalan bulak. Mereka berbaris dengan tertib. Meskipun mereka masih belum membuka pertanda kebesaran dari Ta"nah Perdikan Menoreh. Mereka belum membuka umbul-umbul, ron-tek dan kelebet, meskipun beberapa orang yang berdiri dipaling depan membawa beberapa tunggul yang berdiri tegak.
Prastawa yang menjadi Senapati dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu berjalan disebelah mereka yang membawa tunggul. Sementara Glagah Putih yang membantunya justru berjalan disebelah mereka yang berada diujung ekor barisan.
Orang-orang yang melihat pasukan yang berjalan dalam sebuah barisan itu berlari-larian ketepi jalan. Tetapi pada umumnya orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah mengetahui, bahwa sepasukan pengawal akan berangkat ke Mataram.
Ketika pasukan itu sampai ketepian, maka mereka memerlukan waktu yang agak panjang untuk menyeberang. Beberapa buah rakit yang ada telah dipergunakan seluruhnya. Itupun harus hilir mudik be"berapa kali sehingga orang yang terakhir. Prastawa ikut pada rakit yang pertama, sedangkan Glagah Putih ikut pada rakit yang terakhir.
Beberapa orang telah terpaksa tertahan ditepian. Mereka harus menunggu sampai seluruh pengawai Tanah Perdikan itu menyebe"rang.
Meskipun ada yang merasa mendapat kesempatan melihat sepa"sukan pengawal yang menyeberangi Kali Praga, namun ada juga yang mengumpat-umpat karena perjalanannya tertahan beberapa lama.
Seorang yang berpakaian rapi berdesis - Orang-orang itu hanya memikirkan dirinya sendiri. - Kenapa " - bertanya orang yang berdiri disebelahnya.
- Bukan hanya mereka yang mempunyai kepentingan untuk me"nyeberangi Kali Praga. Bukan hanya mereka yang dikejar waktu. Akupun tergesa-gesa. - Kau ingin mendapat kesempatan menyeberang lebih dahulu karena kau tergesa-gesa " - Tentu - jawab orang berpakaian rapi itu.
- Apakah itu bukan semacam mementingkan diri sendiri " - ber"tanya orang yang berdiri disebelahnya.
Orang itu membelalakkan matanya. Tetapi orang yang berdiri disebelahnya memandanginya sambil tersenyum.
Orang berpakaian rapi itupun melangkah menjauhinya sambil bergeramang panjang.
Beberapa saat kemudian, maka rakit yang terakhirpun telah me"rapat ditepian. Para pengawal terakhir bersama Glagah Putih telah ber"loncatan turun. Sementara rakit yang lebih dahulu merapat telah mulai memuat orang-orang yang tertahan.
- Pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh - desis se"seorang setelah ia berdiri diatas rakit yang mulai bergerak menyebe"rang,
- Mereka akan ke Mataram " - bertanya orang yang berdiri berhadapan.
- Ya, nampaknya demikian. Orang yang berdiri berhadapan itu mengangguk-angguk. Ia me"nyadari, bahwa kepergian pasukan pengawal Tanah Perdikan itu ke Mataram berarti bahwa perang masih akan berkelanjutan.
Sementara itu, pasukan pengawal dari Tanah Perdikan itu sudah menyusul barisan ditepian. Orang yang merasa terganggu yang masih berada ditepian sebelah Barat Kali Praga itu masih saja bergeremang. Ia merasa bahwa waktunya telah dirampas oleh pasukan pengawal Ta"nah Perdikan Menoreh. Orang itu termasuk salah satu diantara mereka yang tidak mau mengerti persoalan yang dihadapi oleh banyak orang selain persoalan yang menyangkut dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, maka barisan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah mulai bergerak lagi. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke Mataram. Teriknya matahari rasa-rasanya membakar pung"gung, sehingga keringat mereka seakan-akan telah diperas dari tubuh"nya.
Perjalanan pasukan pengawal itu menjadi semakin lambat. Tela"pak kaki mereka bagaikan menyentuh bara oleh panas yang semakin membakar.
Namun memenuhi perintah dari Mataram, sebelum senja, pasu"kan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berada di Mataram.
Ternyata di Mataram telah berdatangan para prajurit dan peng"awal dari segala penjuru. Pasukan yang berada di Jati Anom telah berada di Mataram pula. Demikian pula pasukan pengawal kede-mangan Sangkal Pulung. Para prajurit Mataram yang berada di Gan"jur. Para pengawal Kademangan di Pegunungan Kidul.
Sementara itu pasukan dari beberapa Kadipaten akan bergabung disepanjang perjalanan pasukan Mataram itu ke Pati.
Dengan pasukan itu Mataram yakin akan dapat menundukkan ke"kuasaan Kangjeng Adipati Pati yang telah mempersiapkan diri, meng"umpulkan pasukan untuk menyerang Mataram. Tetapi Mataram justru akan datang dan menikam Pati langsung sampai ke jantungnya, agar untuk selanjutnya Pati tidak akan lagi mengusik ketenangan Mataram.
Di Mataram, Glagah Putih sempat bertemu dengan Agung Se"dayu. Namun Agung Sedayu berada di dalam satu pasukan yang akan selalu melekat pada Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Sementara itu beberapa orang Pangeran yang ikut dalam pasukan itu, akan membawahi kesatuan-kesatuan mereka masing-masing, Namun semuanya itu akan tetap berada langsung dibawah perintah Panem"bahan Senapati sendiri.
- Besok, sehari kita akan mengatur pasukan - berkata Agung Se"dayu yang menemui Prastawa dan Glagah Putih dibarak yang sudah disiapkan bagi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dan buah rumah tinggal yang cukup besar lengkap dengan gandok kiri dan kanan yang letaknya berseberangan jalan.
- Apakah besok lusa kita berangkat " - bertanya Prastawa.
- Ya. Besok lusa menjelang fajar kita akan berangkat. Pasukan ini akan dibagi menjadi tiga. Masing-masing akan berjalan lewat jalan yang berbeda. Namun kita akan bertemu di tempat yang sudah ditentu"kan sebelum bersama-sama menyerang Pati. Sementara itu, beberapa kesatuan prajurit dari beberapa Kadipaten akan menyatukan diri pula dalam serangan ini. Prastawa mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih bertanya - Apakah kakang sudah bertemu dengan kakang Swandaru " - Sudah. Siang tadi. - jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun iapun tersenyum
pula. Ia mengerti, bahwa Swandaru agaknya telah memberikan ba"nyak pesan bagi Agung Sedayu.
- Mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan kakang Swandaru - desis Glagah Putih.
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia masih juga bertanya - Kenapa kau tidak ingin bertemu dengan adi Swandaru " Glagah Putihpun tertawa pula. Tetapi ia tidak menjawab perta"nyaan itu.
Namun keduanya tiba-tiba terdiam. Wajah mereka nampak ber"kerut ketika Prastawa berdesis - Bukankah itu kakang Swandaru " Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Ternyata mereka harus menahan tawa yang akan meledak.
Swandarupun kemudian mendekati mereka sambil tersenyum pula. Kepada Glagah Putih ia berkata - Aku mendengar bahwa pasu"kan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh baru datang. - Ya kakang. - jawab Glagah Putih.
- Ternyata kami dari Sangkal Putung telah datang lebih dahulu. - berkata Swandaru kemudian.
- Kami berangkat pagi tadi. - Berapa lama kau perlukan waktu perjalananmu " - bertanya Swandaru.
- Yang memerlukan waktu lama adalah saat kami menyeberangi Kali Praga. Jumlah rakitnya terbatas, sehingga rakit itu harus hilir mu"dik beberapa kali. Meskipun saat itu, penyeberangan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan dihentikan sama sekali dari kedua arah, namun kami memerlukan waktu yang panjang untuk menyeberangkan orang pertama sampai orang terakhir. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Penyeberangan memang dapat menghambat Aku membawa pasukanku berangkat di dinihari. Tengah hari aku sampai disini. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya - Kakang tidak me"nyeberangi sungai dengan rakit - Tidak. Kami dapat menyeberangi Kali Opak tanpa rakit - sa"hut Swandaru.
Untuk beberapa saat mereka duduk di pringgitan, sementara para pengawal telah beristirahat pula. Ada diantara mereka yang duduk di serambi gandok. Ditangga pendapa. Berdiri bergerombol diregol atau berjalan-jalan melihat-lihat keadaan kota.
Sementara itu, lampu telah menyala dimana-mana. Disetiap ruangan, dipendapa, serambi dan bahkan di regol-regol halaman.
Glagah Putih dan Agung Sedayu seperti biasanya harus mende"ngarkan pesan-pesan dari Swandaru, sedangkan Prastawa minta diri untuk melihat keadaan para pengawal yang berada di rumah disebe-rang jalan.
- Mungkin Kita berada di jalur perjalanan yang berbeda - ber"kata Swandaru.
- Agaknya memang demikian - jawab Agung Sedayu - Adi Swandaru akan berada di jalur jalan kedua sedangkan Glagah Putih akan menyusuri jalur ketiga. - Kakang akan berada di jalur pertama bersama Panembahan Se"napati - sahut Swandaru.
- Tetapi baru besok kita akan mendapatkan kepastiannya. Segala sesuatu sedang dibicarakan malam ini oleh Panembahan Senapati de"ngan para Pangeran, para Panglima dan Senapati. - jawab Agung Se"dayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bergu"mam - Kakang selalu mendapat kesempatan yang terbaik. Kali ini kakang akan berada dalam pasukan pengawal Panembahan Senapati. Seharusnya kakang menanggapi kesempatan-kesempatan itu dengan sungguh-sungguh. - Maksudmu " - bertanya Agung Sedayu.
- Kesempatan yang akan kakang peroleh tentu akan menjadi se"makin baik jika kakang benar-benar meningkatkan diri. Jika Panem"bahan Senapati kemudian meyakini kemampuan kakang dalam olah kanuragan, maka kakang tentu akan mendapat kedudukan yang lebih baik. Bukan sekedar seorang Lurah Prajurit yang ditempatkan di Ta"nah Perdikan Menoreh. Mungkin kakang akan diangkat menjadi seo"rang Senapati dengan pangkat yang lebih tinggi dan dipercaya untuk memimpin satu kesatuan yang lebih besar. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya - Aku juga sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi kesempatanku memang ti"dak terlalu banyak. - Kakang adalah seorang prajurit. Setiap hari kakang bergelut dengan olah kanuragan. Di rumah kakang ada sanggar, sementara di barak kakang juga terdapat sanggar yang justru jauh lebih lengkap per"alatannya. Bukan saja sanggar tertutup, tetapi juga sanggar terbuka. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya - Aku memang sudah mencobanya. Mudah-mudahan serba sedikit dapat berhasil. - Aku telah membiarkan kitab guru berada di tangan kakang agar kakang dapat mempergunakannya sebaik-baiknya. Jika kemudian ka"kang mendapat kesempatan yang lebih baik, bukankah aku dapat ikut berbangga " Agung Sedayu menarik nafas. Katanya - Ya. Semoga aku dapat lebih maju lagi. Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya - Pergunakan ke"sempatan kakang sebaik-baiknya. - Aku akan mencobanya - desis Agung Sedayu.
Glagah Putih memang selalu gelisah jika ia mendengarkan Agung Sedayu dan Swandaru berbincang. Tetapi semakin sering ia mendengar, maka akhirnya ia menjadi tidak petiuli lagi. Rasa-rasanya Glagah Putih mendengar desir angin di dedaunan. Justru membuatnya mulai mengantuk.
Glagah Putih merasa seakan-akan terbangun ketika ia mendengar Swandaru itu minta diri kembali ke pasukannya.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa dadanya menjadi lapang ketika ia mendengar Swandaru berkata kepadanya - beristirahatlah, Glagah Putih. Kita semuanya akan mendapat tugas yang tentu akan terasa sangat berat - Baik kakang - jawab Glagah Putih - malam nanti aku akan ti"dur nyenyak.Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu masih tinggal beberapa lama bersama Glagah Putih. Namun kemudian Agung Sedayupun minta diri pula,
- Besok baru kita tahu pasti, apa yang harus kita lakukan. - Dalam pada itu, malampun telah menyelimuti Mataram yang ter"asa semakin pepat oleh para prajurit dan para pengawal dari berbagai daerah yang siap untuk berangkai ke Pati.
Seperti dikatakan, maka Glagah Putih memang berusaha untuk dapat tidur dengan nyenyak. Setelah bersama Prastawa mengatur pen"jagaan di barak mereka, maka Glagah Putihpun telah berada di pemba"ringannya. Ia berada dalam satu bilik yang agak tuas di gandok sebelah kanan bersama bebarapa orang pengawal. Sebuah amben yang agak besar menjadi tempat tidur mereka. Sementara itu masih ada beberapa orang lagi didalam bilik itu yang tidur diatas tikar pandan.
Ketika Glagah Putih melihat seorang anak muda yang gelisah, maka iapun berkata - Apakah kau tidak terbiasa tidur dilamai " Nah, jika demikian, aku tidur saja diamben itu. Biarlah aku tidur diatas tikar dibawah. - Tidak - jawab anak muda itu - aku terbiasa tidur dimana-mana. Dilamai, digubug dan bahkan dimana saja. - Tetapi kau nampak gelisah - berkata Glagah Putih.
- Bukan karena aku tidur dilantai - jawab anak muda itu. Glagak Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa yang sebenarnya gelisah bukan hanya anak muda itu saja. Tetapi beberapa orang anak muda yang lain juga menjadi gelisah.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh.
Glagah Putihpun kemudian telah terbaring disebelah para peng"awal. Ia ingin tidur beberapa lama. Didini hari ia akan bangun dan me"nemani para pengawal yang bertugas.
Ternyata seperti yang dikatakannya kepada Swandaru, maka Glagah Putihpun kemudian telah tertidur nyenyak. Tetapi ia tidak ter"lambat bangun sebagaimana diinginkan. Ketika ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, maka Glagah Putihpun telah bangkit dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengejutkan kawan-kawannya yang tidur dengan nyenyak. Anak muda yang gelisah itu telah tertidur pula. Tetapi dalam tidurnya, masih juga nampak betapa jiwanya gelisah.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu baru pertama kali ikut dalam satu kesatuan yang akan pergi ke medan per"ang. Perang yang sebenarnya.
Sejak kemudian Glagah Putih telah keluar dari dalam bilik itu. Halaman rumah yang dipergunakan sebagai barak pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu nampak sepi. Tetapi masih ada beberapa orang yang duduk dipendapa sambil berbicang. Mereka menyelimuti tubuhnya dengan kain panjangnya sambil memeluk lutut.
Glagah Putih berjalan mendekatinya sambil bertanya - Kalian ti"dak beristirahat " - Kami tidur terlalu sore, sehingga ketika kami bangun, maka rasa-rasanya mata kami tidak mau dipejamkan lagi. - jawab salah seo"rang dari mereka.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian tu"run ke halaman dan melangkah ke regol. Ampat orang duduk beberapa langkah dari regol. Mereka membentangkan tikar mendong di bawah sebatang pohon kemiri. Sedangkan dua orang yang lain, bertugas berdiri disebelah menyebelah regol.
Glagah Putih menyapa orang-orang yang sedang bertugas itu. Namun kemudian iapun melangkah keluar regol halaman.
Jalan didepan regol nampak sepi. Tidak nampak seorangpun yang lewat. Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih mendengar derap kaki kuda. Ampat orang prajurit berkuda tengah meronda berke"liling kota.
Glagah Putih itupun kemudian menyeberangi jalan dan masuk ke halaman rumah seberang yang juga dipergunakan oleh pasukan peng"awal Tanah Perdikan. Seperti di regol diseberang, maka para pengawal yang bertugaspun tetap berjaga-jaga di regol halaman.
- Kakang Prastawa baru saja masuk - berkata salah seorang pengawal yang bertugas. - Biar sajalah - berkata Glagah Putih - aku hanya melihat-lihat saja. Pengawal itu tidak menyahut lagi, sementara Glagah Putih me"langkah naik kependapa.
Ada beberapa orang yang tidur dipendapa. Nampaknya mereka lebih senang tidur ditempat terbuka daripada didalam bilik yang rapat. Apabila disebuah bilik terdapat enam atau bahkan delapan orang peng"awal. Rasa-rasanya bilik-bilik itu menjadi pengab.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putihpun telah kembali kerumah seberang. Iapun kemudian melangkah lewat pintu seketeng me"nuju ke halaman belakang.
Beberapa orang petugas didapur juga sudah bangun. Mereka su"dah mulai bersiap-siap untuk menyalakan perapian. Sebentar lagi me"reka harus masak buat pasukan pengawal Tanah Perdikan itu.
Glagah Putih tidak kembali ke pembaringannya sampai fajar me"warnai langit Setelah mandi dan berbenah diri, maka iapun pergi ke seberang jalan untuk menemui Prastawa.
Sejenak kemudian, maka Prastawapun telah memerintahkan para pemimpin kelompok dari pasukan pengawalnya untuk mengumpul"kan semua orang didalam pasukan itu dihalaman rumah yang dipergu"nakan sebagai barak.
- Semua harus berkumpul di halaman rumah sebelah Selatan jalan - perintah Prastawa.
Sejenak kemudian, maka seluruh pasukan telah berkumpul. Pras"tawa telah memberikan sesorah pendek serta memperingatkan para pengawal itu agar mereka tetap teguh memegang semua peringah dan pesan. Baik sebagai pengawal Tanah Perdikan Menoreh maupun seba"gai putra-putra terbaiknya agar tetap menjaga dan menjunjung tinggi nama kampung halaman mereka.
- Tidak hanya dengan menunjukkan kelebihan kalian dalam olah kanuragan, memenangkan perkelahian dan tidak kekerasan yang lain. Tetapi justru dengan sikap dan tingkah laku yang baik dan bersahabat serta unggah-ungguh yang mapan. Demikianlah, maka hari itu para pengawal Tanah Perdikan itu da"pat diberistirahat sebaik-baiknya. Mungkin besok mereka harus ber"angkat menempuh perjalanan jauh. Menuju ke Pati.
Tetapi Prastawa juga memperingatkan, meskipun mereka dapat beristirahat, tetapi mereka harus tetap mempersiapkan diri sebaik-baiknya, termasuk mempersiapkan senjata-senjata dan perlengkapan mereka.
Dalam pada itu, hari itu para pemimpin, para Pangeran dan para Senapati telah mengadakan pertemuan. Mereka telah membicarakan pelaksanaan keberangkatan mereka ke Pati.
Ketika para pemimpin itu telah mencari kesempatan, maka setiap Panglima yang akan memimpin satu pasukan yang berangkat ke Pati, akan mengumpulkan para pemimpin pasukan pengawal yang akan berada didalam pasukannya.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Untara, maka pasukan Mata"ram akan dibagi menjadi tiga. Ditengah akan dimpimpin langsung oleh Panembahan Senapati. Kemudian yang satu akan menuju ke Pati melalui jalan sebelah Timur dan yang lain akan menempuh perjalanan lewat sisi sebelah Barat Mereka akan berhenti ditempat-tempat yang telah ditentukan untuk menunggu saatnya mereka akan menyerang. Sedangkan pasukan dari para Bupati dan Adipati akan bergabung de"ngan mereka sesuai dengan garis kebijaksanaan yang sudah ditentu"kan.
Karena itu, maka beberapa orang penghubung berkuda pada hari itu juga berangkat mendahului pasukan untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati kepada para Bupati dan Adipati yang telah me"nyatukan diri dengan Mataram.
Dalam pada itu, ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat benar-benar beristirahat. Mereka harus bersia-siap untuk berangkat esok pagi-pagi sekali bersama-sama dengan kesatuan-kesatuan yang lain.
Menjelang sore, maka setiap pemimpin dari kesatuan yang akan berangkat telah dikumpulkan oleh Panglima masing-masing untuk mendapatkan penjelasan.
Prastawa dan Glagah Putihpun ikut pula dalam pertemuan itu. Mereka mendengarkan perintah-perintah, pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk untuk menjalankan tugas mereka. Baik diperjalanan maupun setelah mereka berada di Pati.
Pada gilirannya, Prastawa dan Glagah Putih telah memanggil para pemimpin kelompok dari para pengawal Tanah Perdikan Meno"reh untuk memberikan penjelasan, apa yang harus mereka lakukan.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga telah menerima utusan Kiai Warangka yang memberi tahukan bahwa hu"bungannya dangan saudara seperguruannya menjadi semakin buruk.
- Apakah Kiai Warangka telah menemui Kiai Timbang Laras " -bertanya Ki Jayaraga kepada utusan itu.
- Belum Kiai - jawab utusan itu.
- Jadi, kenapa Kiai Warangka dapat mengatakan bahwa hubung"annya dengan Kiai Timbang Laras menjadi semakin buruk " - Dua orang cantrik Kiai Timbang Laras telah datang menemui guru. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya -Apa yang dikatakan oleh kedua orang utusan itu. " -Tentang harta warisan - jawab utusan itu - tetapi aku tidak be"gitu jelas, warisan - jawab utusan itu - tetapi aku tidak begitu jelas, warisan apakah yang dipersoalkan oleh Kiai Timbang Laras itu. - Baiklah. Aku akan datang menemui Kiai Warangka - jawab Ki Jayaraga. Namun iapun masih juga bertanya - Bukankah kedua orang dari padepokan Kiai Timbang Laras itu masih berada disana " - Masih, Kiai. Kedua orang itu juga menjadi persoalan antara Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras. Ki Jayaragapun kemudian telah minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, bahwa ia akan mengunjungi Kiai Warangka.
- Nampaknya ada persoalan yang lebih bersungguh-sungguh an"tara Kiai Warangka dengan saudara seperguruannya - berkata Ki Jayaraga.
- Tetapi bukankah Ki Jayaraga tidak terlalu lama berada di pade"pokan " - bertanya Rara Wulan.
- Tidak Rara. Aku akan segera kembali. - jawab Ki Jayaraga.
- Kecuali jika ada perkembangan lain - desis Sekar Mirah.
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya - Ada berbagai ke"mungkinan yang dapat terjadi. Mudah-mudahan kemungkinan yang terbaik sajalah yang aku temui. - Mudah-mudahan Ki Jayaraga, sehingga Ki Jayaraga akan se"gera kembali - berkata Rara Wulan.
- Tidak ada seorang laki-laki dirumah ini - berkata Sekar Mirah kemudian - kecuali Sukra. Ki Jayaraga tersenyum. Katanya - Tidak ada seorang laki-lakipun yang berani mengganggu rumah ini meskipun di rumah ini tidak ada seorang laki-lakipun. Sekar Mirah dan Rara Wulanpun tertawa. Meskipun demikian, Rara Wulan masih berkata - Tetapi Ki Jayaraga harus segera kembali.- Sebenarnyalah, Tanah Perdikan Menoreh terasa sepi. Sebagian besar laki-laki di Tanah Perdkian itu telah pergi ke Mataram. Meski"pun demikian masih ada kelompok-kelompok pengawal yang bertu"gas untuk menjaga ketenteraman Tanah Perdikan.
Malam itu juga Ki Jayaraga telah berada di padepokan Kiai Wa"rangka. Dari Kiai Warangka, Ki Jayaraga mendengar bahwa Kiai Timbang Laras benar-benar ingin mendapatkan warisan dari perguru"annya.
- Timbang Laras akan datang kemari - berkata Kiai Warangka.
- Kapan " - bertanya Ki Jayaraga.
- Besok. Jika Jayaraga sempat bertemu, maka Ki Jayaraga dapat bertanya kepadanya, apa yang dikehendakinya dengan mengirimkan anak-anak muda untuk membuat keresahan di Tanah Perdikan Meno"reh.
- Tetapi bagaimana dengan Kiai Warangka sendiri " Bagaimana dengan warisan yang disebut-sebut itu " - Aku benar-benar tahu, Ki Jayaraga. Jika hal itu sekedar meru"pakan cara Timbang Laras mengganggu ketenangan padepokan ini serta sekedar membuat persoalan, apa boleh buat. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hal seperti itu memang dapat terjadi. Sebaiknya dua orang saudara seperguruan mempunyai ikatan tidak ubahnya dengan saudara kandung.
Ketika hal itu dikatakan oleh Ki Jayaraga, maka Kiai Warangka itu menjawab - Bukankah dua orang saudara kandung juga ada yang berselisih berebut warisan " Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Iri dan dengki kadang-kadang akrab sekali hubungannya dengan fitnah, kebencian dan permusuhan. - Itulah yang sudah terjadi pada padepokan ini Ki Jayaraga aku menyesal bahwa aku tidak dapat mengatasinya dengan hati damai. - Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia ber"kata - Kiai Warangka. Besok Kiai Timbang Laras akan datang. Se"lama ini mungkin kalian sekedar dibayangi oleh kesalahan pahaman. Karena itu, selagi kalian mendapat kesempatan untuk bertemu, mudah-mudahan kalian justru dapat mengurangi kesalahan-kesalahan itu. Dengan berbincang langung mungkin kalian akan menemukan ti"tik temu dari perbincangan itu. - Mudah-mudahan. Aku memang masih berharap. -Meskipun demikian, Kiai Warangka tidak menjadi lengah. Sejak malam itu, semua Putut dan cantriknya diperintahkannya untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sampai jauh malam Kiai Warangka masih berbincang dengan Ki Jayaraga. Baru setelah terdengar kokok ayam jantan bersahutan di te"ngah malam, maka Kiai Warangka mempersilahkan Ki Jayaraga untuk beristirahat.
Pagi-pagi benar Ki Jayaragapun sudah bangun sebagaimana biasa dilakukannya di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika Ki Jayaraga itu turun ke halaman, ternyata para cantrikpun telah terbangun pula. Kiai Warangka yang keluar ruang dalam tersenyum memandang Ki Jayaraga yang sudah berada di halaman.
- Ternyata Ki Jayaraga sudah bangun - berkata Kiai Warangka.
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya - Sudah menjadi kebiasaan Kiai. Demikianlah, setelah matahari terbit maka seisi padepokan itu"pun telah berbenah diri. Mereka mengetahui bahwa hari ini Kiai Tim"bang Laras, Saudara seperguruan Kiai Warangka akan datang.
Beberapa orang cantrik yang seharusnya pergi menjual hasil bumi ke pasarpun tidak pula pergi.
Meskipun tidak nampak semata-mata, namun para cantrik dan putut dari padepokan itu benar-benar telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Kiai Warangka telah berpesan kepada mereka, - Hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa ambil sikap. Tunjukkan bahwa kalian adalah orang yang berhati dingin. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa mereka akan membiar"kan perlakuan yang tidak adil atas diri mereka.
Semakin tinggi matahari, maka seisi padepokan itu menjadi se"makin tegang menunggu kedatangan Kiai Timbang Laras. Mereka tidak daapt membayangkan apa yang akan terjadi. Pembicaraan yang lembut antara dua saudara, atau sikap yang keras dan geram.
Ki Jagabaya, seorang tamu di padepokan itu, ternyata turut men"jadi tegang pula.
Dalam pada itu, Matarampun terasa menjadi sepi pula. Para pra"jurit dan pengawal dari beberapa daerah yang bertimbun di Mataram, telah mulai bergerak. Mereka telah berada di perjalanan menuju ke Pati.
Tiga pasukan segelar sepapan telah menempuh jalan yang ber"beda menuju ke Pati.
Meskipun demikian, ketiga pasukan itu selalu berhubungan. Be"berapa orang penghubung berkuda pada saat-saat tertentu menyampaikan berita kepada pasukan induk yang berjalan ditengah, diantara kedua pasukan yang lain.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagi ketiga pasukan itu telah ditentukan jalur jalan yang harus di"lalui. Dikademangan atau padukuhan mana mereka harus berhenti dan menerima penghubung dari kedua pasukan yang lain.
Ketika matahari memanjat semakin tinggi di hari pertama, maka pasukan itu merayap menyusuri jalan yang masing-masing. Jarak yang ditentukan di setiap harinya harus dicapai, sehingga setiap Panglima harus benar-benar memperhitungkan dimana mereka dapat beristira"hat dan seberapa lama mereka berhenti untuk makan di perjalanan.
Setiap pasukanpun telah mengirimkan beberapa kelompok kecil untuk berjalan mendahului. Mereka memperhatikan keadaan yang ada dihadapan mereka, agar pasukan mereka dalam keseluruhan tidak ter"jebak dalam perangkap lawan.
Sementara itu, mataharipun telah memanjat semakin tinggi. Keri"ngat mulai mengalir ditubuh para prajurit dan pengawal yang menem"puh perjalanan.
Sementara itu, para cantrik di padepokan Kiai Warangkapun menjadi semakin tegang pula. Rasa-rasanya mereka tidak sabar me"nunggu lagi. Bahkan sampai matahari mencari puncak langit, Kiai Timbang Laras masih juga belum datang.
- Apakah Timbang Laras mulai mengajak bermain sembunyi-sembunyian " - berkata Kiai Warangka.
- Kiai Timbang Laras sengaja membuat Kiai Warangka dan para cantrik menjadi tegang. Baru kemudian ia akan datang. - berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula - Karena itu, Kiai Warangka tidak usah banyak memikirkannya. Demikian para cantrik. Jika ia datang, kita akan menerimanya dengan baik. Jika tidak, biar sajalah ia tidak da"tang. Bukankah Kiai Timbang Laras yang berkepentingan dengan pa"depokan ini. Bukan Kiai Warangka " - Nalarnya memang demikian, Ki Jayaraga - jawab Kiai Wa"rangka - tetapi perasaan ini kadang-kadang tidak mau berdamai dengan nalar. Ki Jayaraga tertawa. Kiai Warangka yang gelisah itu sempat pula berseloroh.
Dua orang cantrik yang berganti-ganti mengamati jalan yang me"nuju ke padepokan itupun menjadi gelisah pula. Namun kepada dua orang cantrik yang akan menggantikan tugas mereka, Kiai Warangka telah berpesan - Kalian tidak usah menjadi tegang menunggu. Jika mereka kelihatan mendatangi padepokan ini, kalian memberikan isya"rat dengan panah sendaren. Jika tidak, anggap sajak kalian sedang ber"istirahat. Keduanya mengerutkan kening. Namun sambil tersenyum ke"duanya mengangguk-angguk.
Namun sedikit lewat tengah hari, yang mereka tunggu-tunggu itu benar-benar datang. Sebuah iring-iringan kecil orang berkuda, nam"pak memasuki jalan yang menuju ke padepokan itu.
Dua orang cantrik yang mengamati jalan menuju kepadepokan itu segera melontarkan panah sendaren kearah padepokan.
- Akhirnya mereka datang - berkata Kiai Warangka.
- Justru pada saat kita tidak lagi menunggu dengan gelisah - ber"kala Ki Jayaraga sambil tersenyum.
Keduanyapun kemudian telah menunggu di pendapa.
Justru pada saat mereka menunggu, Ki Jayaraga sempat berangan-angan. Bukan saja perguruan Kiai Warangka yang meng"alami persoalan yang menyangkut saudara-saudara seperguruan yang sebaiknya tidak terjadi. Ki Jayaraga yang tiba-tiba mengenang dirinya dan jalur perguruannya menjadi berdebar-debar. Perguruannya bukan perguruan yang baik. Perselisihan telah terjadi pula. Bahkan tidak ada seorangpun diantara murid-muridnya yang menempuh jalan yang baik. Untunglah bahwa Ki Jayaraga telah menemukan seorang untuk mewarisi ilmunya. Seorang yang kepribadiannya telah terbentuk. Gla"gah Putih.
Tetapi Ki Jayaraga tidak sempat berangan-angan lebih lama. Be"berapa saat kemudian, iring-iringan kecil orang berkuda itu telah sam"pai diregol halaman padepokan.
Kiai Warangka, Ki Jayaraga dan dua orang putut telah menyong"song mereka.
Ki Jayaraga yang belum pernah mengenal Kiai Timbang Laras langsung dapat mengetahui, yang manakah diantara mereka yang ber"gelar Kiai Timbang Laras.
- Marilah, Timbang Laras - Kiai Warangka rnempersilahkan. - Kakang nampak semakin muda - berkala Kiai Timbang Laras sambil tertawa.
- Kau masih juga suka bergurau - sahut Kiai Warangka - mari"lah. Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya itupun segera dipersi-lahkan duduk dipendapa bangunan induk padepokannya.
Kiai Timbang laras itupun kemudian segera diperkenalkan pula dengan K i Jayaraga yang ikut menemuinya di pendapa.
Ki Timbang Laras itu mengangguk-angguk Katanya dengan nada berat - Jadi, Ki Sanak ini tamu dari Tanah Perdikan Menoreh " - Begitu Kiai Timbang Laras - jawab Ki Jayaraga.
- Aku pernah mendengar serba sedikit tentang Tanah Perdikan Menoreh. - berkata Kiai Timbang laras.
- Jika Kiai sempat, aku persilahkan Kiai singgah di Tanah Perdi"kan mumpung Kiai sudah berada di padepokan yang tidak terlalu jauh lagi. Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya - Terima kasih Kiai.-Sayang bahwa aku tidak mempunyai banyak kesempatan. Aku hanya dapat bermalam semalam disini, itu kalau kakang Warangka tidak ber"keberatan. - Kenapa keberatan " - sahut Kiai Wararrgka - sudah agak lama kita tidak bertemu. Aku senang sekali jika kau nanti malam bermalam disini, Timbang laras, - Kerinduan pada masa lampau, Ki Jayaraga - berkata Kiai Tim"bang Laras.
- Ya. Kita kadang-kadang memang ingin mengembara dimasa lampau meskipun hanya di angan-angan, karena kita tidak akan pernah dapat mengulanginya. Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya - Tetapi tidak selama"nya masa lampau itu nikmati untuk dikenang. - Tentu, Kiai - jawab Ki Jayaraga - tetapi lampau bukannya ti"dak berarti apa-apa. Ki Timbang Laras tertawa. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena dua orang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamu di padepokan itu.
Sambil meneguk minuman dan mencicipi makanan, maka me"reka telah berbincang mengenai bermacam-macam hal. Kiai Timbang Laras sempat menceriterakan keadaan padepokannya yang sedang berkembang. Mereka telah merintis membuka hutan untuk dijadikan sawah dan ladang.
- Kami tidak pernah kekurangan air - berkata Kiai Timbang La"ras - dalam setahun tanah yang kami buka itu selalu dialiri air cukup, sehingga kami dapat menaham padi dua kali dan sekali palawija. - Aku dapat membayangkan, betapa padepokan Kiai tidak per"nah mengalami kesulitan pangan. Bahkan mungkin Kiai dapat menu"karkan kelebihannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Meskipun padepokan kami berusaha untuk dapat memenuhi kebu"tuhan kebutuhan kami. Cantrik-cantrik dipadepokan kami menenun pakaian mereka sendiri. Membuat alat-alat pertanian sendiri, serta menganyam barang-barang anyaman. - Mengagumkan - Ki Jayaraga mengangguk-angguk - rasa-rasanya aku ingin mengunjungi padepokan Kiai Timbang Laras. - Kami akan menerima Ki Jayaraga dengan senang hati - sahul Kiai Timbang Laras.
Terbersit niat dihati Ki Jayaraga untuk mengatakan, bahwa Ta"nah Perdikan Menoreh telah pernah dikunjungi oleh beberapa orang anak muda yang mengaku berasal dari padepokan Kiai Timbang La"ras. Tetapi niat itu diurungkannya. Ki Jayaraga tidak mau merusak suasana yang baik dalam pertemuan itu. Pertemuan antara dua orang saudara seperguruan yang sudah lama tidak bertemu.
Ternyata sore itu, pembicaraan antara kedua orang saudara seper"guruan itu masih belum sampai ke pokok persoalan. Mereka sama se"kali belum menyinggung tentang warisan yang diinginkan oleh Kiai Timbang Laras. Yang mereka bicarakan tidak lebih dari keadaan pade"pokan mereka masing-masing.
Setelah berbincang-bincang beberapa lama, maka Kiai Warang"kapun telah mempersiapkan tamu-tamunya beristirahat. Kiai Timbang Laras dipersilahkan untuk beristirahat di gandok sebelah kanan, Se"mentara para pengiringnya menempati gandok sebelah kiri.
- Jika kalian merasa lebih setelah menempuh perjalanan jauh, silahkan untuk beristirahat. - Aku tidak terbiasa untuk berada didalam sentong di siang hari, kakang. Kami, dipadepokan harus bekerja keras untuk memenuhi se"gala kebutuhan kami, sehingga kami tidak pernah sempat beristirahat disiang hari. Kecuali bagi kami yang sedang sakit, atau sedang dalam keadaan yang khusus. Kiai Warangka tersenyum. Katanya - Jika demikian, silahkan duduk-duduk diserambi atau berjalan-jalan melihat-lihat padepoklan ini sebelum kalian mandi dan membenahi diri. - Satu tawaran yang lebih baik - desis Kiai Timbang Laras - kami akan melihat-lihat keadaan padepokan ini. Diantar oleh dua orang putut, maka Kiai Timbang Laras serta be"berapa orang pengiringnya telah melihat-lihat keadaan padepokan Kiai Warangka itu.
Setiap kali Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya harus mengerutkan kening. Ternyata apa yang mereka ceriterakan tentang padepokan mereka, telah ada pula di padepokan itu.
Kiai Timbang Laras melihat sekelompok cantrik yang bekerja se"bagai pande besi disudut halaman samping padepokan itu. Dibelakang perapian mereKa menempa besi dan baja, membuat alat-alat pertanian yang mereka butuhkan untuk menggarap sawah.
Ketika mereka berjalan lagi menyusuri bengunan-bangunan yang ada dipadepokan itu, maka mereka memasuki sebuah barak yang ber"isi alat-alat untuk menenun.
- Kenapa alat-alat ini tidak dipergunakan " - bertanya Kiai Tim"bang Laras.
Salah seorang putut yang mengantarkannya itupun menjawab - Alat-alat ini tidak dipergunakan setiap hari, Kiai. Tetapi ada masanya alat-alat ini menjadi sangat sibuk. Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berta"nya lebih jauh.
Iring-iringan kecil itupun kemudian telah bergeser lagi dari satu barak ke barak yang lain, sehingga akhirnya mereka sampai ke kebun dibelakang bangunan-bangunan dipadepokan itu. Sebuah kebun yang terhitung tuas. Di tengah-tengah kebun itu terdapat tiga buah belum-bang yang diisi dengan ikan air dari berbagai macam jenis.
Kiai Timbang Laras dan pengiringnya telah melihat-lihat belum-bang itu pula. Belumbang yang didalamnya berenang berbagai macam ikan yang sudah menjadi besar. Beberapa ekor ikan emas yang ber"warna kekuning-kuningan berenang bergerombol. Sekali-sekali tim"bul, kemudian menyusup ke kedalaman.
Beberapa ekor gerameh nampak melintas dengan tenangnya.
- Apakah para cantrik juga menggarap sawah dan pategalan " -bertanya Kiai Timbang Laras.
- Ya, Kiai. Sawah dibelakang padepokan ini adalah sawah kami. Ki Bekel Kronggahan memberikan wewenang kepada kami untuk membuka hutan di daerah ini. Bahkan Ki Bekel di Kronggahan juga te"lah memberikan tanah cadangan yang masih berupa hutan belukar di"sebelah. Jika kita berdiri diluar dinding padepokan ini, maka kita dapal melihat hutan yang membujur ke Utara. Tetapi tidak seluruhnya. Kiai. Ki Bekel telah memasang beberapa buah tugu batu hitam untuk mem"berikan batasan. Karena menurut Ki Bekel, sebagian dari hutan itu ha"rus tetap dibiarkan sebagai hutan belukar. Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Ternyata padepokan Kiai Warangka ini justru setapak berada di depan padepokannya. Se"gala sesuatunya nampak sudah mapan dan berjalan dengan sendirinya.
Demikian pula ketika mereka memasuki sanggar-sanggar di pa"depokan itu. Ada dua buah sanggar tertutup dan sebuah sanggar ter"buka. Satu diantara sanggar tertutup itu lebih kecil dari yang lain. Sedangkan sanggar terbuka yang ada di belakang cukup tuas untuk berlatih beberapa orang bersama-sama.
Melihat peralatan yang ada ada di sanggar-sanggar itu. Kiai Tim"bang Laras mengangguk angguk. Ternyata padepokan saudara seper"guruannya itu benar-benar terpelihara dengan baik. Bahkan beberapa jenis peralatan yang ada di sanggar-sanggar padepokan itu tidak terda"pat di sanggar padepokannya.
Meskipun semua itu menarik perhatian Kiai Timbang Laras, te"tapi masih ada satu hal yang belum dilihatnya. Ia masih belum melihat tanda dalam ujud apapun juga, yang dapat menunjukkan kepadanya, dimana warisan dari perguruannya itu disimpan.
Tetapi Kiai Timbang Laras sudah memutuskan, bahwa malam nanti saudara seperguruannya akan diminta untuk menunjukkan kepa"danya, warisan apa saja yang pernah ditinggalkan oleh gurunya.
Beberapa lama Kiai Timbang Laras berputar-putar. Dimasukinya setiap bangunan yang ada di padepokan itu, dijelajahinya sudut-sudut pekarangan dan kebun dibelakang.
Namun akhirnya, Kiai Timbang Laraspun kembali ke gandok. Mereka duduk-duduk diserambi untuk menghirup udara yang sejuk.
- Terima kasih - berkata Kiai Timbang Laras kepada kedua orang putut itu - padepokan kalian adalah padepokan yang menarik. Memang tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap. - Terima kasih Kiai - jawab kedua putut itu hampir berbareng.
Namun kedua putut itu menjadi berdebar-debar ketika Kiai Tim"bang Laras itu berkata - Semuanya sudah aku lihat. Yang belum aku lihat adalah tingkat kemampuan kalian dalam olah kanuragan. Seorang diantara putut itu dengan agak ragu menjawab - Kami tidak terlalu banyak menimba ilmu kanuragan, Kiai. Kami berusaha untuk mendapatkan ilmu yang lain, yang juga dapat memberikan arti bagi hidup kami dan banyak orang. Kiai Timbang Laras mengerutkan dahinya.
- Apa saja misalnya " - bertanya Kiai Timbang Laras.
Kami mempelajari cara-cara terbaik untuk cocok tanam, memeli"hara sawah agar tanahnya tetap subur, memelihara tanaman di kebun-kebun dan kami juga mempelajari bagaimana sebaiknya kami beternak.
- Dimana peternakan kalian " - bertanya Kiai Timbang Laras.
- Agak jauh dibelakang Kiai. Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya - Mak"sudmu peternakan kalian ada di luar dinding padepokan ini " - Ya, Kiai. Kami satukan kandang-kandang peternakan itu de"ngan padang perdu sebagai tempat penggembalaan. - Bagus sekali - Kiai Timbang Laras itu mengangguk-angguk. Ternyata ia belum melihat keseluruhan isi padepokan itu. Dan satu lagi yang tidak ditunjukkan oleh kedua putut itu adalah tempat kedua orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras yang tertahan di padepo"kan itu.
Sejak semula kedua orang itu memang sudah ditempatkan ditempat yang tidak menarik perhatian. Sementara kedua orang itu juga tidak mengetahui bahwa Kiai Timbang Laras akan datang ke padepo"kan itu sehingga mereka tidak dapat dengan sengaja menarik perhati"annya.
Dalam pada itu, maka kedua orang putut itupun telah meninggal"kan Kiai Timbang Laras bersama para pengiringnya, agar tidak mendapat kesan, bahwa keduanya bertugas bukan saja mengantar Kiai Timbang Laras melihat-lihat, tetapi justru untuk mengawasinya.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Warangka ti"dak ingin lengah. Yang bertugas sebenarnya mengawasi Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya, justru orang lain. Beberapa orang cantrik dan putut telah mendapat petunjuk yang khusus, sehingga yang me"reka lakukan itu tidak memberikan kesan sehingga akan dapat menarik perhatian.
Tetapi Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya memang tidak melakukan apa-apa. Mereka duduk-duduk saja diserambi sambil ber"bincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Persoalan yang me"reka perbincang agaknya banyaklah soal- soal yang tidak penting, yang justru menggelikan.
Menjelang senja, maka para tamu itupun telah dipersilahkan un"tuk mandi dan berbenah diri. Demikian gelap mulai turun, maka Ki Warangka telah minta agar para tamu itu duduk diruang dalam untuk makan malam.
- Biarlah anak-anak menunggu diluar - berkata Kiai Timbang Laras.
- Biarlah mereka maka bersama kita - ajak Kiai Warangka. Tetapi Kiai Timbang Laras berkata - Mereka akan makan diluar saja. Mereka justru akan merasa segan untuk makan bersama kita. - Kiai Warangka tidak dapat memaksa. Kiai Timbang Laras nam"pak bcrkeras untuk mengambil jarak justru dengan para pengikutnya sendiri.
Tetapi baik Kiai Warangka maupun Ki Jayaraga telah menduga, bahwa Kiai Timbang Laras ingin mendapatkan waktu untuk berbicara secara khusus dengan Kiai Warangka. Karena itu, maka Ki Jayaraga mulai mempertimbangkan kemungkinan, bahwa iapun akan diminta untuk tidak ikut mendengarkan pembicaraan antara kedua orang sau"dara seperguruan itu.
Tetapi ternyata Kiai Timbang Laras tidak menyatakan keberatan"nya bahwa Ki Jayaraga ikut bersama makan dengan kedua saudara se"perguruan itu. Kiai Timbang Laras tidak pernah minta kepada Kiai Warangkga untuk berbicara hanya berdua saja.
Karena itu, maka akhirnya, Kiai Timbang Laras telah makan ma"lam bersama Kiai Warangka dan Ki Jayaraga.
Sebenarnyalah seperti yang ditunggu oleh Kiai Warangka, maka sambil makan, Kiai Timbang Laras sudah mulai berbicara tentang isi padepokan sebagaimana dilihatnya.
- Ternyata dugaanku salah, kakang Warangka - berkata Kiai Timbang Laras.
- Apa yang salah " - bertanya Kiai Warangka.
- Aku kira padepokan ini masih belum melangkah maju. Ter"nyata banyak hal yang justru melampaui kemampuan para cantrik dari padepokan kami. - Ah, adi hanya memuji. - Tidak kakang - jawab Kiai Timbang Laras - aku berkata sebe"narnya. Sanggar yang ada di padepokan ini tentu jauh melebihi kebu"tuhan para cantrik dan putut. - Ah, sanggar kami bukan sanggar yang dapat memanjakan para cantrik dan putut, Timbang Laras - berkata Kiai Warangka - kami ha"nya dapat menyediakan alat-alat yang masih terlalu sederhana. Aapa-lagi di sanggar terbuka. Yang ada didalamnya tidak lebih dari potongan-potongan kayu dan bambu. Seonggok pasir dan bantu-batu kerikil. Tali-tali sabut kelapa yang bergayutan. Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya - Apalagi yang harus berada di sanggar selain tonggak-tonggak kayu dan bambu yang dita"nam kemudian palang-palang kayu dan bambu serta tali-tali yang ber"gayutan " Tetapi di sanggar terbuka kakang terdapat berbagai macam bentuk senjata. Senjata bertangkai pendek, bertangkai panjang, bahkan senjata lontar dan berjenis-jenis perisai. Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Bukan"kah itu tidak penting " Seseorang yang mumpuni dalam olah kanuragan, akan dapat mempergunakan apa saja untuk senjata. Yang ilmunya lebih tinggi lagi, sama sekali tidak memerlukan apa-apa. - Kakang benar - jawab Kiai Timbang Laras.
- Sementara itu, cantrik-cantrikku semuanya masih baru mulai, sehingga mereka memerlukan bermacam-macam senjata. Bukankah itu pertanda bahwa ilmu mereka masih terlalu rendah " Kiai Timbang laras tertawa. Katanya - Kakang selalu merendah"kan diri. Tetapi itu sudah sifat kakang sejak dahulu. Tidak seorangpun akan dapat merubahnya. Kiai Warangkapun tertawa pula. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat mendengarkan pembicaraan itu sambil mengangguk-angguk saja.
Tetapi Ki Jayaraga itu mulai mengerutkan keningnya ketika ia mendengarkan Kiai Timbang Laras itu berkata - Kakang, sebenarnya"lah bahwa kedatanganku sekarang ini bukannya sekedar singgah. Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun sudah menunggu, apa yang akan dikatakan saudara seperguruannya itu.
Karena itu, maka Kiai Warangka itupun bertanya - Apakah ada yang ingin kau katakan. " - Mungkin kakang sudah mengetahui apa yang ingin aku kata"kan, karena beberapa kali aku memang pernah menyinggungnya.Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya - Mungkin aku sudah mengetahui. Tetapi sebaiknya kau katakan sekali lagi, agar aku menjadi lebih jelas. Kiai Timbang Laras termangu-mangu. Sambil memandang Ki Jayaraga ia berkata - Maaf, Ki Jayaraga, jika aku lebih barak berbi"cara tentang kepentinganku sendiri sehingga seakan-akan aku hanya akan berbicara dengan kakang Warangka saja. - Silahkan, Kiai. Jika berkenan di hati Kiai berdua, biarlah aku duduk di pringgitan bersama para cantrik Kiai Timbang Laras. - ber"kata Ki Jayaraga.
Tetapi dengan cepat Kiai Warangka menyahut - Tidak usah Kiai. Biarlah Kiai duduk disini. Persoalan diantara kami bukan rahasia yang harus disembunyikan. Justru Ki Jayaraga mungkin akan dapat membe"rikan banyak masukan kepada kami berdua, sehingga jika ada per"soalan diantara kami, akan dapat kami selesaikan dengan baik. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Tim"bang Laraspun berkata - Ya. Kami tidak berkeberatan Kiai mendengarkan pembicaraan kami. Aku minta maaf, karena persoalan yang kami bicarakan terlalu khusus, sehingga Ki Jayaraga tidak mengetahui ujung dan pangkalnya.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk sambil berkata - Terima kasih jika Kiai berdua mempunyai kepercayaan yang tinggi kepadaku. Kiai Timbang Laraslah yang kemudian berkata selanjurnya - Kedatanganku ini ada hubungannya dengan keinginanku untuk meng"etahui, apa sebenarnya yang telah ditinggalkan guru bagi perguruan kita. Tujuh Pedang Tiga Ruyung 18 Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Jodoh Rajawali 34
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama