Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 6

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6


Para prajaurit di pasukan induk yang telah dipersiapkan untuk memecahkan pintu gerbanglah yang akan bergerak lebih dahulu. Apa"pun yang terjadi, maka mereka akan membuka pintu gerbang dinding istana Pati.
Ketika matahari kemudian terbit, maka pasukan kecil itupun mulai bergerak. Beberapa kelompok prajurit dengan busur dan anak panah bersiap melindungi mereka. Perisai-perisai pun telah disiapkan pula jika dengan tiba-tiba prajurit Pati muncul dari balik dinding dan menghujani pasukan kecil itu dengan anak panah dan lembing.
Tetapi sama sekali tidak nampak perlawanan dari para prajurit Pati. Para prajurit yang berada di panggungan, yang melihat gerak pasukan Mataram itu sama sekali tidak nampak bersiap untuk mem"berikan perlawanan.
Karena itu, maka keragu-raguan semakin mencengkam para prajurit Mataram.
Meskipun demikian, namun perintah untuk membuka pintu gerbang utama itupun telah diberikan.
Beberapa orang yang memang telah ditemukan untuk melak"sanakan tugas itu segera berlari ke pintu gerbang. Sebelum mereka mempergunakan balok kayu yang besar untuk menghantam pintu gerbang itu, maka beberapa orang mencoba untuk melihat dan men"duga-duga, seberapa kekuatan pintu gerbang yang tertutup rapat itu.
Ketika dua orang prajurit mengguncang pintu gerbang itu, maka rasa-rasanya pintu itu tidak sekuat pintu gerbang kota yang harus dipecahkan dengan sebatan balok kayu yang besar yang dipang"gul oleh beberapa orang.
Karena itu, maka mereka tidak segera mempergunakan balok kayu yang besar dengan ancang-ancang yang panjang. Apalagi mereka masih juga sempat merasa sayang, bahwa pintu gerbang dengan uki"ran yang rumit itu akan pecah berserakan.
Karena itu, maka merekapun telah berusaha untuk membuka pintu gerbang itu dengan linggis dan tidak menimbulkan kerusakan yang besar.
Ternyata tidak terlalu sulit untuk membuka pintu gerbangku dengan paksa. Hanya beberapa saat kemudian, maka pintu itupun berderak terbuka.
Namun justru karena pintu itu terbuka dengan tidak banyak mengalami kesulitan, serta tidak ada perlalwanan dari para prajurit, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan agar para prajurit tidak tergesa-gesa masuk ke dalam istana.
Dalam pada itu, maka keadaan di halaman istana Pad itupun menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Panembahan Senapati dan para prajurit serta pengawal dari Mataram itu tidak melihat sepasukan prajurit yang kuat memagari halaman. Mereka juga tidak melihat ujung-ujung tombak yang tegak rapat seperti ujung tombak yang te"gak rapat seperti ujung batang ilalang.
Sejenak Panembahan Senapatipun telah berdiri disampingnya.
- Bagaimana menurut pertimbangan paman" - bertanya Pa"nembahan Senapati.
- Marilah. Kita masuk kedalam. Hanya para pengawal terbaik saja yang akan ikut bersama kita. - jawab Ki Patih Mandaraka.
- Tetapi yang lain harus tetap bersiaga. Setiap saat ada perin"tah, maka mereka akan bergerak. - berkata Pangeran Mangkubumi yang akan menyertai Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masuk ke halaman istana Kadipaten Pati. Sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati sendiri, Ki Pa"tih Mandaraka, Pangeran Mangkubumi dan sekelompok pengawal ter"pilih yang diantara mereka adalah Ki Lurah Agung Sedayu, melang"kah masuk.
Ternyata memang tidak ada jebakan sama sekati. Panembahan Senapati memang sudah mengira, bahwa bukan watak Kangjeng Adi"pati Pragola untuk mempergunakan akal yang licik.
Namun Panembahan Senapati tertegun ketika dilihatnya bebe"rapa orang yang nampaknya memang sudah dipersiapkan untuk men"yongsongnya. Dengan mengenakan keprajuritan serta pertanda kebes"aran mereka turun dari pendapa.
Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Dipandangin"ya orang yang berdiri dipating depan dari beberapa orang yang turun dari pendapa itu. Sambil mengerutkan dahinya, Panembahan Senapa"ti berdesis - Paman Tumenggung Wimbasara. - Ya Panembahan - jawab orang itu.
- Apa yang sebenarnya terjadi disini" - bertanya Panembahan Senapati.
- Sebagaimana Panembahan lihat - Apakah ini berarti Pati sudah menyerah" - bertanya Panem"bahan Senapati itu pula.
- Tidak. Pati tidak pernah menyatakan menyerah. - Jadi. Apa artinya semuanya ini. Istana ini kosong. Tidak ada perlawanan. Dimana Adimas Adipati Pragola. - Kami siap untuk melawan setiap orang yang akan memasuki istana ini. Kami pertahankan istana ini sampai orang yang terakhir. Panembahan Senapati memandang orang itu dengan dada yang berdebar. Katanya - Kenapa hal ini hanya paman lakukan sendiri den"gan beberapa orang saja" Apakah dengan demikian, paman akan dapat berbuat sesuatu yang berarti" - Kami tidak pernah menyerah. Kami akan bertempur untuk mempertahankan diri. Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya - Aku menghargai keteguhan hati paman Tumenggung dengan sekelompok prajurit Yang mereka lakukan adalah bagaikan serangga yang menjelang api. Tetapi hal seperti ini sebenarnya tidak usah terjadi, paman. - .
- Kenapa" Kami sedang mempertahankan bumi Pati. - Aku tahu, betapa tinggi kesetiaan paman terhadap Pati. Teta"pi kenapa paman tidak berterus-terang, apa yang sebenarnya terjadi Ki Tumenggung Wimbasara memandang Panembahan Senapati sejenak Dengan nada berat ia berkata - Panembahan yang aku katakan adalah yang sebenarnya. Hanya setelah melewati mayatku, seseorang dapat memasuki istana ini.- Jangan begitu, Ki Tumenggung - berkata Ki Patih Mandara"ka - bukankah kita dapat mempergunakan penalaran kita dengan ben"ing. Ki Tumenggung tidak disertai pasukan yang kuat untuk berta"han. Sedangkan Mataram membawa prajurit secukupnya. Dalam pertimbangan perang, maka kekuatan kita tidak seimbang, sehingga perlawanan Ki Tumenggung akan sia-sia. Aku tahu bahwa Ki Tu"menggung adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Mungkin beberapa orang pengawal Ki Tumenggung sekarang ini juga berilmu sangat tinggi. Tetapi menurut penalaran kita, maka perlawanan Ki Tumenggung akan sia-sia. - Aku tidak membuat pertimbangan-pertimbangan seperti itu, Ki Patih - jawab Ki Tumenggung - kesediaanku mengabdi kepada Kangjeng Adipati Pragola akan tetap aku junjung tinggi sampai batas umurku. - Begitukah Ki Tumenggung mengartikan kesetiaan" Kema"tian Ki Tumenggung dalam keadaan seperti ini adalah sia-sia. Jauh berbeda dengan perlawanan Ki Tumenggung di peperangan yang sebe"narnya. Seandainya Ki Tumenggung gugur, maka Ki Tumenggung sudah berbuat sebaik-baiknya bagi bumi Pati. Tetapi apa yang Ki Tu"menggung lakukan sekarang, adalah sekedar luapan perasaan. Kema"tian Ki Tumenggung sama sekali tidak ada artinya. - Jangan merendahkan perlawananku sekarang - berkata Ki Tumenggung.
- Sudahlah, paman - berkata Panembahan Senapati - Tolong katakan, dimana Adhimas Pragola. Aku ingin berbicara. - Bukan kewajibanku untuk menunjukkan dimana Kangjeng Adipati sekarang. - Aku tahu, paman. Tetapi jika aku dapat bertemu dan berbi"cara dengan Adhimas Adipati, mungkin kami dapat menemukan pen"yelesaian yang lebih baik daripada mengorbankan banyak orang dal"am perang yang panjang. - Perang tidak dapat dihindarkan - jawab Ki Tumenggung Wimbasara - Panembahan sudah menginjakkan kaki di bumi Pati. Adalah hak kami untuk mempertahankan diri. Sebagaimana Panem"bahan mengetahuinya, bahwa Pati telah diserahkan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya kepada Ki Panjawi, ayahanda Kangjeng Adipati Pragola. Sedangkan Ki Gede Pemanahan telah menerima Tanah Mentaok yang sekarang Panembahan kuasai. Karena itu, tidak semestin"ya Panembahan datang untuk merebut Pati. - Jangan seperti kanak-kanak begitu paman. Atau paman menganggap aku masih kanak-kanak. Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia .berkata -. Kenapa Panembahan menganggap aku seperti kanak-kanak atau sebalurnya aku menganggap Panembahan seperti kanak-kanak" - Ki Tumenggung tentu tahu, kenapa aku datang ke Pati. Bu"kankah paman juga pergi ke Prambanan bersama Adhimas Adipati Pragola" Kenapa Adhimas Adipati pergi ke Prambanan" - Tentu bukan tanpa sebab Panembahan - jawab Ki Tumeng"gung.
- Nah, jika demikian, persoalannya bukan sekedar persoalan Pati dan Mentaok yang oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya diserahkan kepada paman Panjawi dan ayah, Ki Gede Pemanahan. - Sudahlah - berkata Ki Tumenggung Wimbasara - apapun yang pernah terjadi, sekarang aku tidak dapat mengijinkan siapapun naik ke istana ini. -Aku tidak tahu, bagaimana paman dapat berpikir seperti itu -berkata Panembahan Senapati.
- Bukankah sudah jelas. Panembahan. - Bagaimana pendapat paman, jika aku memerintahkan paman Patih Mandaraka untuk membawa sekelompok pengawal memasuki sekoteng sebelah kanan dan memerintahkan Adhimas Mangkubumi untuk memasuki istana lewat seketeng kiri" Seandainya ada kelompok-kelompok prajurit-Pati, maka mereka akan disingkirkan dengan kekerasan senjata. Seandainya kami yang ada disini tidak mampu melakukannya, maka pasukan Mataram seluruhnya ada diluar dind"ing. Dengan satu syarat, maka mereka akan memasuki halaman ista"na ini. Jika itu terjadi, sebagaimana jika istana ini kami rebut dengan perang yang besar, maka sulit bagi kami untuk mengendalikan prajurit-prajurit kami yang jantungnya dikendalikan oleh keinginan untuk memiliki harta-benda yang ada di istana ini. Aku tidak dapat mengatakan bahwa orang-orang Mataram adalah orang-orang yang tangannya bersih dan hatinya seputih kapas. Di peperangan mereka menjadi orang-orang yang garang dan bahkan dapat kehilangan kenda"li diri. Mereka adalah orang-orang kebanyakan sebagaimana orang Pati. Ki Tumenggung Wimbasara termangu-manggu sejenak. Kata-kata Panembahan Senapati itu telah menyentuh hatinya, la dapat membayangkan, apa jadinya jika para prajurit Mataram itu memasu"ki gerbang utama dan kemudian berlari-larian naik dan masuk keda"lam istana. Segala macam benda-benda berharga yang tinggal tentu akan dijarah tanpa pertimbangan apapun juga. Bahkan para prajurit Mataram tentu akan menerobos masuk sampai ke bilik-bilik pribadi keluarga Kangjeng Adipati Pragola. Geledeg-geledeg kayu berukir itu akan dibongkar. Isinya akan diperebutkan. Beberapa saat Ki Tumenggung itu merenung. Namun kemudi"an katanya - Panembahan, aku mempunyai satu gagasan. Panembahan Senapati itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Tumenggung Wimbasara itupun berkata - Sebagai lambang perlawanan prajurit Pati terhadap kedatangan prajurit Mataram, biar"lah aku layani Panembahan Senapati dalam perang tanding. Perang tanding itu tidak akan banyak menelan korban. Sementara itu, tidak pula mengundang prajurit Mataram naik kedalam istana. Tetapi Pa"nembahan harus berjanji, jika aku menang, maka Panembahan akan mengendalikan para prajurit Mataram, sehingga mereka tidak akan menghancurkan istana ini. Tidak sebuah gucipun akan pecah dan ti"dak segores lukapun pada ukiran-ukiran yang rumit Tidak pula ada barang yang hilang termasuk selembar tirai. Sedangkan jika aku ka"lah, aku tidak akan berkata apa-apa, karena hanya kematian sajalah yang dapat menghentikan perlawananku. Wajah Panembahan Senapati menjadi merah. Dengan menahan diri, Panembahan Senapati berkata - Paman. Aku sebenarnya mena"ruh hormat kepada paman Tumenggung Wimbasara. Tetapi untuk apa sebenarnya paman merendahkan aku seperti itu, seakan-akan berlutut sambil mohon ampun agar tidak dibunuh. Sementara itu, paman sendiri akan berhenti berperang tanding jika kematian menghentikan"nya. - Bukan maksudku Panembahan- berkata Ki Tumenggung -aku hanya menyayangkan jiwa Panembahan. Panembahan masih terhitung muda dibanding dengan umurku. Karena itu, sayang sekali jika Panembahan harus mati dalam satu. perang tanding. Sementara itu, umurku sendiri sudah cukup tua, sehingga jika aku mati dalam perang tanding melawan Panembahan Senapati dari Mataram, maka namaku akan tetap dikenang orang.Namun tiba-tiba saja Pangeran Mangkubumi berkata - Itu ti"dak adil. Hanya jika paman Adipati Pragola turun ke medan, maka Panembahan Senapati akan menghadapinya Tetapi Panembahan Sen"apati tidak, akan turun kegelanggang untuk berperang tanding melaw"an seorang Tumenggung dalam taruhan yang tidak berarti sama seka"li ini. Karena bagaimanapun juga, ternyata sesuatunya tergantung kepada Mataram, karena setiap saat Mataram akan dapat menggilas Pati, bahkan seandainya dibalik setiap lembar daun pintu, tiang-tiang ruang dalam, sudut-sudut bilik dan didalam geledeg-geledeg bambu berjejalan bersembunyi prajurit Pati yang akan menjebak kami. Ki Tumenggung mengerutkan dahinya Dengan nada berat ia bertanya - Maksud Pangeran" - Kami dapat mempergunakan wewenang kami mengerahkan semua kekuatan Mataram, karena pada dasarnya Pati memang tidak mau menyerah dan tidak ada pernyataan menyerah, - jawab Pangeran Mangkubumi - karena itu, Ki Tumenggung tidak berhak menantang kakangmas Panembahan Senapati, meskipun aku tahu, bahwa Ki Tumenggung tidak akan mempunyai kesempatan sama sekali, untuk memenangkannya seandainya perang tanding itu berlangsung. Ki Tumenggung Wimbasara tersenyum. Katanya - Aku han"ya menawarkan satu gagasan. Terserah kepada Panembahan Senapati. Apakah tantanganku itu diterima atau tidak. - Kenapa kita harus melakukan permainan-permainan yang ti"dak berarti seperti ini - desis Ki Patih Mandaraka.
- Aku tidak sedang bermain-main, Ki Patih - sahut Ki Tu"menggung Wimbasara - aku sedang mempertahankan apa yang dapat aku pertahankan diatas bumi Pati. Namun Panembahan Senapati menjadi tidak sabar. Katanya -Dimana Adhimas Adipati. Aku akan menemuinya. - Aku tidak dapat mengatakannya - jawab Ki Tumenggung Wimbasara dengan wajah yang tegang.
- Jika demikian, kami akan mencarinya sendiri. - Sudah aku katakan, tidak seorangpun dapat naik dan mema"suki istana ini. - Minggir - berkata Panembahan Senapati kepada para pengi"ringnya - aku tidak telaten. Aku akan memaksa paman Tumenggung untuk tidak menghalangi aku lagi. Meskipun hanya seorang dan beberapa pengiringnya, tetapi rasa-rasanya terlalu mengganggu. -lalu katanya kepada Pangeran Mangkubumi - perintahkan seorang penghubung memberitahukan kepada para prajurit diluar agar tetap berada dalam kesiagaan tertinggi. Tetapi mereka harus menunggu .perintah-perintahku selanjutnya. - Apa yang akan angger lakukan" - bertanya Ki Patih Manda"raka dengan dahi yang berkerut
- Aku akan melayani tantangan paman Tumenggung agar seg"alanya segera selesai. Jika kita hanya berbicara saja disini, maka waktu kita akan tertelan habis, sementara paman Tumenggung senga"ja mengulur-ulur waktu.Tetapi Ki Patih Mandaraka berkata - Jangan Panembahan Sen"apati sendiri yang melakukan. Disini ada orang lain yang siap untuk berperang tanding. Kita datang bersama seorang Lurah Prajurit dari pasukan Khusus. Jika seorang Tumenggung telah menantang Panem"bahan Senapati, biarlah seorang Lurah melayaninya. - Ki Patih akan merendahkan aku dihadapan para pengiringku" - bertanya Ki Tumenggung.
- Tidak. Tetapi biarlah gagasan Ki Tumenggung dapat terwu"jud sekarang. Sebagai lambang pertahanan atas bumi Pati, Ki Tu"mcnggung hadir disini sekarang tanpa menghiraukan kekuatan law"an. Satu ujud kesetiaan menurut pengertian Ki Tumenggung. Nah, sebagai lambang kekuatan Mataram, maka biarlah Ki Lurah Agung Sedayu turun kedalam arena perang tanding ini. Kerut yang dalam nampak di dahi Ki Tumenggung Wimbasara. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Agaknya orang-orang disekitar Pa"nembahan Senapati juga merasa bahwa Panembahan Senapati telah direndahkan oleh tantangannya. Menurut Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi yang mendampingi Panembahan Senapati memasuki halaman istana Pati itu, Panembahan Senapati hanya akan turun kegelanggarig jika Kangjeng Adipati Pragola juga turun.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itupun kemudian berkata - Baiklah. Aku terima tantangan seorang Lurah Pajurit Mata"ram dalam perang tanding. Tetapi dengan syarat lebih. Maksudku, kecuali syaratku yang pertama, jika aku menang, maka Mataram akan mengendalikan para prajuritnya untuk tidak memasuki istana ini, apalagi merusaknya, maka aku ajukan syarat kedua. - Apakah syarat itu "- bertanya Ki Patih Mandaraka.
- Jika aku menang, aku berhak menantang Panembahan Sena"pati. Aku sudah menerima tantangan seorang Lurah Prajurit Jika tantanganku terhadap Panembahan Senapati dianggap deksura, maka aku sudah memulainya lebih dahulu. Aku akan melawan Lurah Prajurit itu tanpa menghiraukan tataran derajad. Ternyata Panembahan Senapatilah yang lebih dahulu menyahut dengan tegas -Ya. Aku tidak berkeberatan. Aku hanya ingin persoa"lan yang tidak berarti ini cepat selesai, sehingga persoalan yang lebih besar segera dapat kita lakukan. Meskipun sebenarnya aku dapat men"gabaikan permainan yang tidak pantas ini, tetapi aku sejak semula memang menghormati paman Tumenggung Wimbasara, meskipun aku tidak mengira bahwa paman Tumenggung Wimbasara ternyata mempunyai gagasan yang aneh-aneh seperti ini. Ki Tumenggung Wimbasara mengerutkan dahinya. Namun ke"mudian iapun tersenyum sambil berkata - Sabda Pendita Ratu. Pa"nembahan tidak akan bergeser dari kata-kata yang telah terucapkan. - Baik - berkata Ki Patih Mandaraka - sekarang, sebagai satu penghormatan khusus bagi Ki Tumenggung Wimbasara, maka perang tanding ini akan dilakukan. Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati mengulangi per"intahnya kepada Pangeran Mangkubumi - Perintahkan seorang penghubung untuk menyampaikan perintahku. Semua harus tetap berada dalam kesiagaan tertinggi. Perintah itu ternyata membingungkan para Panglima yang ma"sih berada diluar dinding istana. Namun mereka harus melaksanakan perintah itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak dapat dengan segera memasuki pintu gerbang utama atau meloncati dinding.
Namun para prajurit dan pengawal diluar dinding istanapun segera mendengar bahwa akan terjadi perang tanding antara Ki Tu"menggung Wimbasara melawan Ki Lurah Agung Sedayu.
Para prajurit dan pengawal yang mendengar berita itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak dapat membayangkan, apa yang sebenarnya terjadi dihalaman istana. Mereka sulit mengerti, bahwa dalam perang yang siap meledak hari ini, masih ada perang tanding antara dua orang prajurit dari kedua belah pihak.
Para penghubung yang menyampaikan perintah Panembahan Senapati itu mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi Beberapa orang Senapati dapat membayangkan serba sedikit, tetapi ada diantara mereka yang tetap tidak mengerti, kenapa Panembahan Senapati begi"tu sabar menghadapi Ki Tumenggung Wimbasara.
Sementara itu, di halaman istana, Ki Patih Mandaraka telah memanggil dan kemudian memberikan perintah kepada Ki Lurah Agung Sedayu untuk memasuki gelanggang perang tanding. Ditelinganya Ki Patih berbisik - Hati-hati Agung Sedayu. Kau harus berha"sil. Jika kau gagal, maka orang itu akan merendahkan martabat Pa"nembahan Senapati dan menantangnya untuk berperang tanding. Teta"pi satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa orang itu adalah saudara seperguruan Kangjeng Adipati Pati. Jika kau pernah mengenal salah seorang guru Kangjeng Adipati, namun hanya pada satu sisi ilmu, Ki Tumenggung Wimbasara adalah saudara seperguruan Kangjeng Adipa"ti yang memiliki berbagai macam ilmu. Karena itu, maka ia berani dengan wajah tengadah merendahkan Panembahan Senapati dengan menantangnya dalam perang tanding.Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata - Aku akan menjalankan perintah ini. Aku mohon doa re"stu para pemimpin Mataram, agar aku dapat melakukan tugas ini den"gan sebaik-baiknya. Semoga Yang Maha Agung melindungi aku.Ki Patih Mandaraka mengangguk.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah me"langkah maju. Kepada Panembahan Senapati Agung Sedayu itupun kemudian berkata pula - Doa restu Panembahan.Pancmbahan Senapati mengangguk kecil Katanya - Kau me"wakili aku dalam perang tanding ini. Tetapi aku mengenalmu dengan baik Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Baru kemudian ia melangkah maju mendapatkan Ki Tumeng"gung Wimbasara.
Ki Tumenggung Wimbasara termangu-mangu sejenak melihat Lurah Prajurit yang dihadapkan kepadanya. Orang itu masih muda.
Dengan nada tinggi Ki Tumenggung Wimbasara itupun ber"tanya - Jika orang inikah yang bernama Agung Sedayu, Lurah Pra"jurit Pajang yang akan melakukan perang tanding " Agung Sedayu memandang wajah Ki Tumenggung dengan ta"jamnya. Sementara itu terdengar Ki Patih Mandaraka menjawab. -Ya, Ki Tumenggung. Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang Lurah prajurit yang dipercaya untuk memimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh.Ki Tumenggung mengangguk-angguk Katanya - Tentu seo"rang yang berilmu tinggi. Hanya orang-orang yang mempunyai ke"lebihan sajalah yang dipercaya untuk memimpin Pasukan Khusus. Tetapi baiklah Ki Lurah. Kau tentu sudah tahu, bahwa aku adalah Tumenggung Wimbasara,. Aku tidak dapat menolak ketika Ki Patih Mandaraka mengatakan, bahwa aku, seorang Lurah Prajurit Mataram yang akan turun ke perang tanding ini. Sebenarnya aku menantang Panembahan Senapati sendiri untuk turun ke gelanggang. Tetapi Mataram menganggap bahwa ia tidak wajar. Hanya jika Kangjeng Adipati Pragola turun ke medan, maka Panembahan Senapati akan berperang. Perang gelar atau perang tanding. Tetapi karena aku yang menjadi lambang perlawanan Pati sekarang ini, maka Mataram telah menunjuk seorang Lurah Parjurit Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia tidak menjawab sama sekali. Sementara Ki Tumenggung itupun berkata - Aku tidak tahu apakah alasan sebenarnya bahwa para pemimpin Mataram me"nunjukmu, Ki Lurah. Ada dua kemungkinan. Mataram yakin akan kemampuanmu yang tinggi, Tetapi kemungkinan lain, kau hanya sekedar akan menjadi tumbal harga diri para pemimpin Mataram yang berlebihan sehingga mereka merasa tidak pantas untuk menanggapi tantanganku. Baru setelah kau menjadi tumbal, maka Panembahan Senapati akan memasuki arena perang tanding.Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Pa"nembahan Senapatilah yang menyahut - Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang pernah melakukan pengembaraan bersamaku di masa muda. Kalau paman Tumenggung adalah saudara seperguruan Adimas Adipati Pragola, maka Agung Sedayu telah mengalami pembajaan diri bersama aku meskipun kami bukan saudara seperguruan. Karena itu, maka sama sekali tidak terpikir oleh kami, orang-orang Mataram, bahwa Ki Lurah akan sekedar menjadi tumbal. - Jadi Panembahan merasa meskipun hanya seujung duri, berharap bahwa Ki Lurah akan menang "- Jika kami menunjuk Ki Lurah Agung Sedayu, bukan berarti bahwa kami sedang memutuskan hukuman mati bagi Ki Lurah Agung Sedayu. - jawab Panembahan Senapati.
- Jika demikian, Panembahan yakin bahwa Ki Lurah akan me"nang dalam perang tanding ini " - Jika kepercayaan Panembahan be"gitu tinggi kepada Ki Lurah, kenapa sampai sekarang ini masih juga seorang Lurah prajurit " Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya - Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Apa sebenar"nya yang ingin paman lakukan. " - Bagus - sahut Ki Tumenggung Wimbasara. Lalu katanya kepada Agung Sedayu - Bersiaplah Ki Lurah. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin merendahkan derajadmu. Dalam tataran kepemimpi"nan memang sering terjadi, bahwa seseorang yang lebih rendah pang"kal dan jabatannya, memiliki kemampuan pada satu sisi yang lebih tinggi dari orang yang lebih tinggi pangkat dan jabatannya. Tetapi kemampuan seseorang dalam olah kanuragan memang bukan satu-satunya syarat untuk mendapatkan derajad. Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab.Tetapi dengan ta"jamnya Agung Sedayu memandang wajah orang yang disebut Ki Tu"menggung Wimbasara itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun melangkah maju. Namun ia sempat berkata kepada para pengiringnya - Jangan ikut campur. Biarlah aku berjuang untuk mengamankan istana ini. Hanya itulah yang dapat kita lakukan sekarang.Para pengiringnya termangu-mangu sejenak. Nampaknya me"rekapun sudah siap untuk melakukan apa saja. Bahkan untuk mati se"kalipun. Tetapi gagasan Ki Tumenggung Wimbasara itu telah me"nempatkan mereka sekedar sebagai penonton.
Meskipun demikian, maka para prajurit Pati itupun telah ber"siap sepenuhnya. Jika orang-orang Mataram ingkar janji, maka mere"ka telah siap bertempur, meskipun mereka tahu benar akibatnya
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Wimbasara itu telah ber"siap. Ketika ia bergeser selangkah, maka Agung Sedayupun telah bergerak pula.
Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan memiliki pengala"man yang sangat luas, maka Ki Tumenggungpun melihat, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang memiliki keyakinan yang tinggi pada kemampuannya.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai saling menjajagi kemampuan lawan. Keduanya mulai saling menyerang meskipun serangan-serangan mereka masih belum bersungguh-sungguh.
Namun semakin lama keduanya menjadi semakin cepat berge"rak. Ki Tumenggung yang memiliki pengalaman yang luas itu mulai mencoba memancing lawannya yang masih muda agar cenderung un"tuk bersikap atas landasan arus perasaannya. Ki Tumenggung berniat membuat Agung Sdayu tergelitik dan membuat darahnya menjadi pa"nas.
Karena itu, maka Ki Tumenggung ingin membuat lawannya yang masih terhitung muda itu marah, sehingga Ki Lurah itu akan kehilangan kendali penalarannya.
Karena itu, maka serangan-serangan Ki Tumenggung itu men"jadi semakin cepat Tangannya setiap kali bergerak dengan cepat menggapai ikat kepala Agung Sedayu.
Tetapi meskipun masih terhitung muda, ternyata pengalaman Agung Sedayu tidak kalah luasnya Ketika serangan-serangan lawan"nya menjadi semakin cepat Agung Sedayu menyadari, bahwa lawan"nya tidak langsung berusaha menghentikan perlawanannya tetapi Ki Tumenggung itu justru ingin membakar jantungnya dan membuatnya marah.
Agung Sedayu mengerti, hal itu dilakukan oleh Ki Tumeng"gung karena Ki Tumenggung mulai melihat kemampuannya.
Namun justru karena itu, maka Ki Tumenggung telah kehilan"gan beberapa saat yang sebenamya dapat dipergunakannya sebagai an"cang-ancang, jika ia langsung ingin menghentikan perlawanan Ki Lu"rah Agung Sedayu.
Tetapi sikap hormat Panembahan Senapati terhadap Ki Tu"menggung Wimbasara itu ternyata berpengaruh pula atas sikap Agung Sedayu. Kecuali ia menyadari, bahwa lawannya adalah seorang yang benar-benar pilih tanding, maka Agung Sedayupun in"gin menghormatinya dengan sikapnya menghadapi lawannya.
Ki Tumenggungpun bertempur dengan penuh perhitungan, meskipun tidak seluruh perhitungannya benar. Ternyata pada tataran pertama dari pertempuran itu, Ki Tumenggung tidak berhasil membu"at Agung Sedayu tersinggung dan marah, sehingga lebih banyak di"kendalikan oleh perasaannya Bukan oleh penalarannya.
Ki Tumenggung yang ingin menyambar ikat kepala Agung Sedayu itu tidak pernah berhasil. Bahkan ketika Agung Sedayu den"gan mantap membentur tangannya yang terjulur, maka terasa pergelangan tangannya menjadi nyeri.
Karena itu, maka Ki Tumenggung telah merubah rencananya, la tidak akan membuat lawannya tersinggung dan marah. Tetapi se"kaligus menyerang tempat-tempat yang berbahaya.
Namun itupun tidak mudah dilakukannya. Semakin cepat Ki Tumenggung bergerak untuk menyerang, maka semakin cepat pula Agung Sedayu berloncatan menghindar.
Bahkan kemudian, Agung Sedayupun telah merasa sampai pada waktunya untuk membalas serangan demi serangan.
Ki Tumenggung Wimbasaran mengertikan dahinya. Benturan-benturan menjadi semakin sering terjadi. Jika selapis Ki Tumeng"gung meningkatkan kekuatannya setelah terjadi benturan, maka Agung Sedayupun telah melakukannya pula.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Keduanya menjadi semakin garang. Ketika keringat mulai mem"basahi pakaian mereka, maka pertempuran itupun telah memanjat mencapai puncak.
Panembahan Senapati memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ia mengenal Agung Sedayu sejak mudanya. Ketika keduan"ya tanpa menyandang kedudukan mereka masing-masing bersama-sama mengembara memperdalam ilmu mereka.
Panembahan Senapati mengetahui, bahwa Agung Sedayu ada"lah seorang yang berilmu sangat tinggi. Berbagai macam ilmu ter"simpan didalam dirinya. Seakan-akan ilmu itu datang dengan sendirin"ya tanpa harus menjalani laku yang rumit
Karena itu. Panembahan Senapati berani berharap, bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat dihancurkan oleh lawannya, meski"pun Panembahan Senapatipun mengerti, bahwa Ki Tumenggung Wimbasara adalah seorang yang mempunyai landasan sebangsal ilmu.
Demikianlah, maka keduanya telah mulai mengungkit kekua"tan tenaga dalam mereka masing-masing, sehingga tingkat pertempu"ran itu sudah menjadi semakin sengit
Para prajurit pilihan dari Pati yang menyertai Ki Tumenggung itupun menjadi tegang. Dua orang Rangga, Tiga orang Lurah dan beberapa orang prajurit pilihan itu melihat, betapa seorang Lurah Pra"jurit dari pasukan Khusus Mataram itu mampu mengimbangi kemampuan Ki Tumenggung lapis demi lapis sampai pada tataran yang paling tinggi. Bahkan kemudian Ki Tumenggung itu telah mengang"kat tenaga dalamnya pula.
Serangan-serangan Ki Tumenggung yang menghentak-hentak telah mendesak Agung Sedayu beberapa langkah surut Sambil me"loncat maju, tangan Ki Tumenggung itu terjulur lurus mengarah ke dada. Terasa hempasan angin yang terdorong oleh getaran gerak tan"gan Ki Tumenggung menyentuh tubuh Agung Sedayu. Tetapi karena Agung Sedayu kemudian bergeser surut, maka tangan Ki Tumeng"gung itu tidak menyentuhnya. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu memutar tubuhnya. Kakinya yang terayun mendatar menyambar kepada Agung Sedayu.
Dengan cepat Agung Sedayu merendahkan diri. Ditariknya satu kakinya menyilang kakinya yang lain. Tetapi demikian kaki Ki Tu"menggung yang berputar itu terayun lewat diatas kepalanya, Agung Sedayupun dengan cepat melontarkan kakinya yang menyilang sam"bil bangkit berdiri.
Hampir saja Kaki Agung Sedayu menyambar lambung. Tetapi Ki Tumenggung itupun menggeliat, sehingga kaki Agung Sedayu"pun tidak mengenainya.
Namun Agung Sedayu tidak membiarkan lawannya itu terlepas Dengan cepat ia memburu.
Buku 305 TETAPI sebelum Agung Sedayu sempat menyerang, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bagaikan melayang dengan kaki terjulur lurus menyamping menyambar keningnya.
Agung Sedayu terkejut Karena itu, maka dengan cepat ia memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan sambaran kaki Ki Tu"menggung. Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa demikian cepat"nya, Ki Tumenggung Wimbasara mengayunkan tangannya menebas kesamping.
Agung Sedayu terlambat mengelak. Kecepatan gerak Ki Tu"menggung Wimbasara melampaui gerak Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka tangan Ki Tumenggunglah yang kemudian men"yambar kening.
Agung Sedayu terhuyung-huyung sejenak. Keningnya serasa terbentur sebongkah batu hitam. Sekilas matanya menjadi kabur.
Namun Agung Sedayu bukan kebanyakan orang. Dengan men"ghentakkan daya tahannya, maka Agung Sedayu segera menguasai keseimbangannya kembali. Namun ketika serangan berikutnya da"tang, Agung Sedayu meloncat mengambil jarak.
Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara memang luar bi"asa. Meskipun Agung Sedayu sudah mengambil jarak, namun dalam sekejap kemudian, serangannya telah menghambur memburu Agung Sedayu. Kaki Ki Tumenggung sekali lagi terjulur kearah dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang tidak mengelak. Namun waktu yang sekejap itu sudah cukup baginya untuk mengembangkan ilmu kebal
Karena itu, maka serangan Ki Tumenggung seakan-akan tidak lagi menyakitinya.
Ki Tumenggunglah yang kemudian terkejut. Tetapi orang berilmu tinggi itupun segera menyadari, bahwa lawannya yang muda daripadanya itu memiliki ilmu kebal.
- Luar Biasa kau Ki Lurah - berkata Ki Tumenggung - Kau sempat mengembangkan ilmu kebalmu untuk melindungi dirimu. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa Ki Tu"menggung itu juga memiliki ilmu kebal dari jenis apapun juga. Mungkin Aji Lembu Sekilan sebagaimana dimiliki oleh lawannya kemarin. Tetapi mungkin Aji Tameng Waja atau bahkan yang sebelumnya belum dikenalnya.
Dengan demikian, maka pada pertempuran berikutnya, kedua orang itu sudah berada pada tataran yang semakin tinggi. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka orang itupun memiliki ilmu kebal sehingga sebagaimana serangan-serangan lawannya yang sea"kan-akan tidak dapat mengenai sasarannya, demikian pula serangan-serangan Agung Sedayu.
Namun keduanya berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka dan berusaha untuk menembus ilmu kebal lawan masing-masing. Te"tapi kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu kebal mereka pula.
Dengan demikian, yang terjadi kemudian seakan-akan adalah sekedar benturan-benturan ilmu yang tidak berkesudahan. Namun ked"uanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika keduan"ya menghentakkan kemampuan mereka dilambari dengan tenaga dal"am yang terungkap sampai tuntas, maka serangan-serangan mereka mulai mengguncangkan ilmu kebal masing-masing.
Namun justru karena itu, maka Ki Tumenggung Wimbasara tidak lagi mempercayakan diri kepada ilmu kebalnya. Ketika Agung Sedayu berhasil mengayunkan tangannya dengan, mengenai pundak Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung telah merasakan, betapa ke"kuatan yang sangat besar dari Lurah prajurit Mataram itu dapat meng"goyahkan ilmu kebalnya. Namun demikian kaki Ki Tumenggung menyapu betis Agung Sedayu dengan kekuatan yang luar biasa, maka Agung Sedayu seakan-akan telah tergelincir jatuh. Meskipun dengan cepat ia sempat meloncat bangkit, namun Agung Sedayu sadar, bah"wa ilmu kebalnya telah digoyahkan oleh lawannya. Bahkan udara yang menjadi panas disaat Agung Sedayu meningkatkan ilmu kebal"nya sampai kepuncak, sama sekali tidak mempengaruhi lawannya sama sekali.
Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung tidak saja bertumpu pada ilmu kebalnya Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Ki Tumenggung sempat membingungkan Agung Sedayu. Seakan-akan Ki Tumenggung Wimbasara itu setiap kali lenyap dari tempatnya. Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari arah yang tidak didugan"ya dengan kekuatan yang kemampuan yang sampai tinggi, sehingga mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
Beberapa kali Agung Sedayu harus menyeringai menahan sak"it. Bahkan kulit dan dagingnya mulai terasa menjadi memar.
Namun bukan hanya Agung Sedayu sajalah yang menjadi ke"sakitan. Lawannya seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi dan pengalaman yang sangat luaspun setiap kali harus menahan desah di mulutnya. Perasaan nyeri dan sakit rasa-rasanya telah menembus sampai ketulang.
Agung Sedayu yang menyadari, bahwa lawannya mampu bergerak demikian cepatnya sehingga sulit diikuti dengan penglihatan mata wadag, telah memaksa Agung Sedayu mengetrapkan ilmunya meringankan tubuhnya untuk mengimbangi kecepatan gerak lawan"nya. Sementara itu, untuk mengetahui lawannya disetiap saat agar ti"dak lepas dari pengamatannya, Agung Sedayu telah mengetrapkan il"munya Sapta Panggraita. Meskipun lawannya seakan-akan hilang dari penglihatannya tetapi Agung Sedayu tetap mengetahui dimana lawannya itu berada
Kemampuan Agung Sedayu itu benar-benar diluar dugaan Ki Tumenggung Wimbasara Seorang Lurah prajurit yang terhitung ma"sih muda, ternyata sudah memliki ilmu yang luar biasa.
Para prajurit dari Pati dan para prajurit Mataram yang menyer"tai Panembahan Senapati memasuki halaman istana itu berdiri mem"atung ditempatnya. Pertempuran yang terjadi benar-benar merupakan pertarungan dua kemampuan yang sangat tinggi. Kedua orang itu mampu bergerak dengan cepat sehingga kadang-kadang mereka ter"lambat mengikuti apa yang terjadi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sekali-sekali tangannya mengembang sambil bergerak bagaikan mengem"bang di udara. Sementara itu Ki Tumenggung Wimbasara setiap kali seakan-akan hilang dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba saja se"rangannya segera melibat lawannya seperti badai. Namun Agung Se"dayu setiap kali mampu menghindar dengan kecepatan yang tidak ka"sat mata.
Pertempuran, itupun berlangsung beberapa lama. Keduanya sal"ing menyerang dan saling bertahan. Sekali-sekali mereka menghin"dar, tetapi kadang-kadang mereka dengan sengaja menangkis serangan serangan itu sehingga terjadi benturan-benturan.
Namun pertempuran dengan mengandalkan kecepatan gerak itu tidak segera dapat mereka selesaikan. Jika sekali-sekali serangan me"reka menyusup pertahanan lawan dan bahkan menembus ilmu kebal mereka masing-masing, ternyata bahwa serangan itu tidak pernah berhasil melumpuhkan lawan.
Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah berpaling kepa"da kemampuan mereka yang lain. Mereka tidak lagi mengandalkan kepada kecepatan bergerak semata-mata. Tetapi mereka juga mulai mengembangkan tenaga dalam yang mereka ungkapkan sampai kedasar. Dengan demikian, gerak mereka nampaknya menjadi semakin lamban. Tetapi setiap gerak selalu memancarkan tenaga yang sangat besar.
Jika kemudian terjadi benturan-benturan maka kedua-duanya kadang telah terdorong surut
Serangan yang sangat kuat dilandasi dengan tenaga dalam yang sangat besar telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah su"rut. Serangan yang menyusul kemudian, telah menghantam dada Agung Sedayu. Hanya karena Agung Sedayu dilindungi dengan ilmu kebalnya sajalah, maka iga-iganya tidak rontok didalam dadanya.
Meskipun demikian Agung Sedayu yang belum berhasil berdi"ri dengan mapan, telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah.
Beberapa kali Agung Sedayu berguling. Sementara itu, Ki Tumenggung telah meloncat memburunya.
Namun Agung Sedayu yang masih mengetrapkan ilmunya me"ringankan tubuh, dengan kecepatan yang tidak kasat mata telah berdi"ri tegak dan siap menghadapi serangan Ki Tumenggung Wimbasara.
Karena itu, ketika serangan itu benar-benar datang, Agung Se"dayu telah bersiap untuk menghadapinya.
Yang terjadi kemudian adalah satu benturan ilmu yang keras. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling mendera.
Orang-orang yang menyaksikannya menjadi semakin tegang. Panembahan Senapati bahkan sempat menahan nafas sejenak.
Serangan Ki Tumenggung Wimbasara yang datang bagaikan angin prahara itu telah membentur pertahanan Agung Sedayu yang kokoh seperti batu karang yang tegak di tebing yang menghadap ke lautan yang ganas.
Ternyata kedua orang yang telah membenturkan kekuatan dan kemampuan mereka itupun sama-sama telah terguncang. Keduanya telah tergetar dan terdorong surat beberapa langkah.
Meskipun keseimbangan mereka goyah, namun keduanya ma"sih mampu bertahan sehingga keduanya tetap berdiri tegak.
Namun kedua-duanya merasa betapa dada mereka menjadi nye"ri. Untunglah bahwa kedua-duanya telah melindungi diri mereka den"gan ilmu kebal dan ketahanan tubuh yang dnggi, sehingga mereka masih tetap mampu untuk bertempur.
Namun keduanya tidak lagi ingin bertempur lebih lama lagi. Keduanya adalah prajurit yang utuh. Karena itu, maka merekapun te"lah bersiap melakukan perang tanding sampai tuntas, apapun yang bakal terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka ketika semua kemampuan telah tertumpah namun mereka masih belum melihat akhir dari perang tanding itu, maka Ki Tumenggung Wimbasara sampai pada keputusan untuk membuat penyelesaian terakhir. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia ti"dak ingin memenangkan perang tanding dengan cara yang tidak te"rhormat Apalagi lawannya adalah seorang Lurah yang masih terhi"tung muda.
Karena itu, maka sesaat kemudian, Ki Tumenggung Wimbasa"ra itupun kemudian berkata lantang - Ki Lurah. Ternyata kemampu"an Ki Lurah berada jauh diatas dugaanku. Dengan demikian, maka aku harus mengakui, bahwa Ki Lurah sampai tataran ini mampu mengimbangi ilmuku. Karena itu aku tidak mempunyai pilihan lain. Karena perang tanding ini harus berakhir, maka aku ingin memperin"gatkan Ki Lurah bahwa aku akan menapak pada ilmu simpananku. Kecuali jika Ki Lurah berniat mengakhiri pertempuran ini.- Maksud Ki Tumenggung " - bertanya Agung Sedayu.
- Jika Ki Lurah mengaku kalah untuk menghindari akibat ter"buruk yang dapat terjadi karena ilmu simpananku, maka aku tidak akan mempergunakannya, Kewajibanku kemudian adalah perang tand"ing melawan Panembahan Senapati, Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab - Bagaimana jika aku ingin menanggapi ilmu simpa"nan Ki Tumenggung dengan ilmu pamungkas yang pernah aku wari"si dari guruku " Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya - Apakah Ki Lurah tahu, apa yang aku maksud dengan ilmu simpananku " - Ki Tumenggung - jawab Ki Lurah Agung Sedayu - kita sudan menjajagi kemampuan kita masing-masing. Tentu aku tahu apa yang Ki Tumenggung maksudkan, sebagaimana Ki Tumenggung juga mengetahui apa yang aku maksud dengan ilmu pamungkasku.Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya - Baiklah. Bersiaplah. Aku hanya bermaksud untuk memperingatkanmu, karena aku tidak ingin disebut licik, karena aku dianggap tiba-tiba saja men"yerangmu. - Aku hargai sikap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Ki Tu"menggung adalah seorang prajurit Ki Tumenggung Wimbasara itupun kemudian telah memper"siapkan diri. Setelah bertempur beberapa lama dan agaknya akan berlangsung tanpa berkesudahan, maka Ki Tumenggung benar-benar in"gin mengakhiri pertempuran itu.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah bersiap pula. Sebagai seorang yang memiliki berbagai macam ilmu, maka Agung Sedayu telah menghimpun semua tenaga dan kekuatannya. Dengan memusat"kan nalar dan budinya. Agung Sedayu siap menghadapi segala ke"mungkinan yang dapat terjadi dalam benturan puncak ilmunya dengan ilmu simpanan lawannya.
Agung Sedayu masih mengetrapkan ilmu kebal untuk men"ghambat kemampuan ilmu lawannya. Dengan meningkatkan daya ta"han tubuhnya, serta mengangkat tenaga dalamnya sampai ke dasar untuk mendukung kekuatan ilmunya, maka Agung Sedayu berdiri te"gak menghadap kearah lawannya.
Sementara Ki Tumenggung Wimbasara, saudara seperguruan Kangjeng Adipati Pragola telah membangun ilmu simpanannya. Ki Tumenggung itu telah menggosokkan kedua telapak tangannya yang terkatup itu. Semakin lama semakin tebal. Bahkan warnanyapun ke"mudian menjadi kemerah-merahan.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah siap pula melepas ilmu pamungkasnya. Dengan tajamnya dipandanginya telapak tangan Ki Tumenggung Wimbasara. Agung Sedayu mengerti bahwa Ki Tu"menggung akan melepaskan ilmu simpanannya dari telapak tangannya.
Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Tumenggung telah men"gangkat tangan kanannya. Ketika ia mengayunkan tangannya, untuk melontarkan ilmunya, maka Agung Sedayu melihat seleret sinar yang kemerah-merahan meloncat dari telapak tangan Ki Tumenggung.
Bersamaan dengan itu, maka dari kedua mata Agung Sedayu"pun telah memancar kekuatan Aji Pamungkasnya membentur seran"gan Ki Tumenggung Wimbasara.
Namun jantung Agung Sedayu terasa berdesir. Demikian ia melepaskan ilmunya dengan lambaian segenap kekuatan dan kemam"puannya, barulah ia menyadari, bahwa ia melihat keragu-raguan pada gerakan tangan Ki Tumenggung Wimbasara.
Namun semuanya sudah terjadi. Agung Sedayu terlambat men"yadari.
Karena itu, ketika benturan itu terjadi, maka akibatnya sangat mendebarkan.
Sebenarnyalah pada saat terakhir, Ki Tumenggung Wimbasara memang menjadi sedikit ragu. Lawannya, Lurah Prajurit Mataram itu masih terhitung muda. Jika ia mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan ilmunya, maka Lurah Prajurit Mataram yang masih terhi"tung muda itu akan dapat menjadi lumat karenanya. Karena itu, pada saat terakhir, Ki Tumenggung Wimbasara sedikit mengekang ilmun"ya yang telah dituncurkannya.
Namun hal itu berakibat sangat buruk bagi Ki Tumenggung Wimbasara. Ia tidak menyadari, betapa tinggi ilmu Agung Sedayu. Karena itu, ilmunya yang dilontarkannya dengan sedikit ragu itu te"lah membentur puncak ilmu Agung Sedayu yang meluncur dilambari dengan segenap kemampuan yang ada didalam dirinya.
Karena itulah, maka gelombang balik yang terjadi karena ben"turan itu, telah menghantam Ki Tumenggung Wimbasara yang justru sedang mengekang ilmunya yang telah meluncur. Getaran gelombang balik dari benturan itu, didorong oleh kekuatan yang dahsyat dari ke"kuatan ilmu Agung Sedayu, telah menghentak dan menghantam tu"buh dan bahkan bagian dalam dada Ki Tumenggung Wimbasara.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wimbasara itupun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terbanting ditanah dengan derasnya. Beberapa kali ia telah berguling. Namun Ki Tu"menggung tidak mampu lagi untuk bangkit berdiri. Bahkan seisi da"danya rasa-rasanya telah meledak dan pecah berserakkan.
Karena itulah, maka nafas Ki Tumenggung menjadi sesak. Pandangan matanya menjadi kabur.
Beberapa orang prajuritnya segera berlari mengambur mengeli"linginya. Seorang Rangga berjongkok disampingnya sambil mengge"ram - Kami akan menuntut balas kematian Ki Tumenggung. Tetapi Tumenggung Wimbasara berkata perlahan sekali - Ti"dak. Jangan. Tidak akan ada artinya lagi. - Kesetiaan kami akan kami buktikan. Kami akan menyeret korban sebanyak-banyaknya diantara orang-orang Mataram itu. - .
Ki Tumenggung menggeleng lemah. Katanya - Ternyata kese"tiaan tidak selalu diujudkan dengan bela Pati. Para prajurit Pati itu termangu-mangu. Sementara Ki Tumeng"gung berkata - Aku kagumi kemampuan Lurah Prajurit itu.Para prajurit Pati masih saja termangu-mangu. Sementara itu keadaan Ki Tumenggung menjadi semakin parah. Daran mulai men"galir dari sela-sela bibirnya.
Namun ia masih berkata - Jika aku tidak lagi dapat bertahan, maka kalianlah yang harus mengatakan kepada Panembahan Senapa"ti, bahwa Kangjeng Adipati Pragola sudah tidak ada di istana ini lagi. Tetapi katakan pula satu permohonan, agar Panembahan Senapati da"pat mengendalikan prajurit-prajuritnya untuk tidak merusak dan menghancurkan istana ini. Para prajuritnya mengangguk-angguk.
Sejenak Ki Tumenggung terdiam. Nafasnya menjadi semakin sesak.
Dengan suara yang sangat lemah ia berkata - Salamku kepada Ki Lurah. Aku ternyata gagal untuk melakukan perang tanding me"lawan Panembahan Senapati. Para prajurit Pati itu tidak sempat menjawab. Ki Tumenggung itupun kemudian telah menutup matanya.
Sementara itu, Agung Sedayupun terbaring dengan lemahnya. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka berlutut disampingnya sementara Pangeran Mangkubumi mengamati keadaan, la tidak boleh lengah. Masih ada sekelompok prajurit Pati diseputar tubuh Ki Tu"menggung Wimbasara.
- Kau harus bertahan Agung Sedayu - desis Panembahan Sen"apati yang menjadi berdebar-debar melihat keadaan Agung Sedayu.
- Ampun Panembahan - berkata Agung Sedayu - hamba mo"hon Panembahan mengambil sebutir obat di kantong ikat pinggang hamba yang sebelah kanan. Panembahan Senapatipun melakukannya sebagaimana di minta oleh Agung Sedayu. Diambilnya sebutir obat yang berada didalam se"buah bumbung kecil yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya yang besar.
Agung Sedayu itupun berusaha untuk membuka bibirnya, se"hingga Panembahan Senapati sempat memasukkan sebutir obat itu didalam mulutnya.
Obat itupun seakan-akan telah mencair dan mengalir lewat ke"rongkongan Agung Sedayu.
Namun demikian, keadaan Agung Sedayu masih tetap mence"maskan mereka yang mengerumuninya Ki Patih Mandarakan bahkan menjadi sangat tegang.
- Ampun Panembahan. Hamba mohon disampaikan kepada Ki Tumenggung. Hamba mengucapkan terima kasih, bahwa disaat terak"hir Ki Tumenggung berusaha mengekang ilmunya. Jika tidak, maka hamba tentu sudah menjadi lumat. - Baik, baik. Agung Sedayu - sahut Panembahan Senapati. Namun kemudian Panembahan Senapatipun mengetahui bah"wa Ki Tumenggung Wimbasara telah gugur.
Panembahan Senapati itupun menarik nafas dalam-dalam. Ke"pada para prajurit dari Pasukan Khusus, Panembahan Senapati meme"rintahkan untuk membawa Agung Sedayu menepi.
- Bawa Ki Lurah ketempat yang teduh. Ki Mandarakalah yang selalu berada disisinya. Sementara Pa"nembahan Senapati berdesis - Paman Tumenggung memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Ki Patih Mandaraka hanya mengangguk-angguk saja. Semen"tara Panembahan Senapatipun berkata pula - Seharusnya memang aku sendiri yang menghadapinya. Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Tidak Panem"bahan. Seandainya Agung Sedayu tidak mengakhirinya, disini masih ada aku. Meskipun mungkin aku juga tidak dapat mengalahkannya. - Paman Tumenggung nampaknya ragu-ragu untuk membi"nasakan Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu yang masih terhitung muda dibanding dengan paman Tumenggung itu, sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keragu-raguannya itu telah men"gakhiri perlawanannya. Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Ia mengakui, sean"dainya Ki Tumenggung Wimbasara disaat terakhir tidak menjadi ragu-ragu, maka mungkin sekali kedua-duanya akan tidak mampu bertahan lebih lama lagi.
Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu dibawa ketempat yang teduh, serta pengaruh obat yang ditelannya, maka nafasnya perlahan-lahan menjadi lebih teratur. Meskipun keadaannya masih terlalu le"mah. Bahkan untuk mengangkat kepalanya Agung Sedayu mengala"mi kesulitan.
Dalam pada itu, Panembahan Senapati, sebagai seorang pe"mimpin, tidak dapat terikat pada keadaan Agung Sedayu. Setelah menyerahkan Agung Sedayu kepada Ki Patih Mandaraka, maka Pa"nembahan Senapati bersama pengiringnyapun segera bergeser mendekati sekelompok perwira dan prajurit Pati yang telah meletakkan tu"buh Ki Tumenggung di pendapa.
Seorang Rangga yang mendapat pesan Ki Tumenggungpun segera melangkah maju menemui Panembahan Senapati untuk men"yampaikan pesan itu.
Panembahan Senapati mendengarkan pesan itu dengan saksa"ma. Namun kemudian jantungnya terasa berdentang lebih keras. -Jadi Adhimas Adipati telah meninggalkan istana bersama pengiring"nya" - Ya, Panembahan. - - Kemana " - bertanya Panembahan Senapati.
- Tidak seorangpun yang mengetahuinya, Panembahan.
Panembahan Senapati memang menjadi sangat kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kangjeng Adipati sudah meninggalkan istana tanpa diketahui tujuannya. ;., . .
Ketika Panembahan Senapati masih termangu-mangu, maka Pangeran Mangkubumipun berkata - Apakah kita dapat memper"cayainya begitu saja " Panembahan Senapati menggeleng. Katanya - Tentu tidak. Kami akan melihat kebenaran keterangan prajurit ini. - Tetapi kami tetap memohon, agar istana ini tidak dihancur"kan. Kami tidak akan dapat menghalangi Panembahan untuk naik dan masuk kedalamnya. Panembahan Senapati memandang Pangeran Mangkubumi se"saat Namun kemudian katanya - Perintahkan kepada para prajurit untuk berjaga-jaga didepan istana ini. Kita akan masuk kedalamnya hanya dengan beberapa orang prajurit saja - Tetapi.... - nampak keragu-raguan membayang diwajah Pangeran Mangkubumi.
- Aku percaya bahwa Adhimas Adipati tidak akan mempergu"nakan akal yang licik. Sejenak kemudian, Panembahan Senapati dan Pangeran Mang"kubumi telah siap untuk memasuki istana Pati. Tetapi mereka tidak akan meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih menunggui Agung Sedayu.
Ki Patih mandarakapun kemudian telah memerintahkan agar beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus membawa Agung Se"dayu keluar pintu gerbang istana agar segera mendapat perawatan, meskipun Agung Sedayu sendiri telah menyediakan obat-obatan bagi dirinya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang diwarisinya dari gu"runya Kiai Gringsing langsung atau melalui tulisan didalam kitab yang ditinggalkannya.
Demikianlah, maka Panembahan Senapati telah memasuki is"tana Pati hanya dengan beberapa pengiringnya. Mereka telah melihat segela bilik dan ruang. Namun Kangjeng Adipati Pragola tidak dapat diketemukannya.
Panembahan Senapati benar-benar menjadi kecewa. Meskipun istana itu seakan-akan sudah dikepung rapat, namun Kangjeng Adipa"ti dengan pasukan terpilihnya, masih dapat menyusup dan menghi"lang dari istana, Sementara itu, para prajurit Pati yang lain masih te"tap berjaga-jaga di panggung dan disudut-sudut halaman istana.
Pati memang tidak menyatakan dengan resmi menyerah meski"pun Panembahan Senapati telah menduduki kota dan istana.
Kekecewaan itu telah menjalar kepada seluruh prajurit dan pen"gawal Mataram yang menyertainya. Kekesalan itu seakan-akan men"jatuhkan perintah, bahwa hanya kelompok prajurit tertentu sajalah yang diperkenankan memasuki dan bertugas didalam lingkungan ista"na. Mereka bertugas untuk melucuti senjata para prajurit Pati yang masih bertugas didalam istana itu. Tetapi mereka juga bertugas untuk menjaga keutuhan istana Pati.
Kekecewaan para prajurit dan pengawal dari Mataram itu tidak dapat disembunyikan lagi Para prajurit dan pengawal yang berada di luar dinding istana, mulai menunjukkan kegelisahan mereka. An"cang-ancang yang terakhir, ternyata tidak berarti apa-apa. mereka ba"tal menyerang dan memasuki dinding istana Pati.
Prajurit dan para pengawal dalam pasukan Mataram terdiri dari orang-orang kebanyakan sebagaimana orang-orang lain. Kelebihan mereka adalah, karena mereka mendapat latihan-latihan khusus olah keprajuritan dan olah kanuragan. Namun perasaan kecewa yang ber"gejolak didalam dada mereka, akhirnya meletup juga. Panembahan Senapati dan para pemimpin Mataram mengalami kesulitan untuk mengekang para prajurit dan pengawal yang kecewa itu akhirnya menjarah isi kota.
Panembahan Senapati dan Ki Padh Mandaraka serta para pe"mimpin yang lain dengan susah payah berusaha untuk mencegah me"reka. Bahkan Panembahan Senapati telah memerintahkan Pasukan Khusus pengawalnyua untuk menahan gejolak perasaan para prajurit itu.
Tetapi mereka mengalami kesulitan.
Akhirnya Panembahan Senapati tidak mempunyai cara lain. Diperintahkannya seorang perwira menabuh bende Kiai Becak.
Ternyata suara bende itu benar-benar berpengaruh. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh kota. Sementara itu, para pemimpin Mataram telah memerintahkan seluruh pasukannya ditarik kembali ke pesanggrahan.
Meskipun agak mengalami kesulitan, akhirnya para prajurit dan pengawal Mataram telah ditarik dari Pati. Meskipun demikian, masih ada kelompok-kelompok prajurit yang khusus mendapat per"intah untuk mengamankan kota, karena dalam keadaan yang kalut itu, para penjahat akan dapat memanfaatkan keadaannya.
Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan dua orang perwira penghubung untuk berbicara dengan para prajurit Pati yang tertawan. Jika prajurit dan pengawal Mataram meninggalkan Pati, mereka harus mengambil alih pengamanan diseluruh kota dan istana.
Dalam pada itu, ketika beberapa orang mempertanyakan bunyi bende yang mereka anggap sebagai isyarat kemenangan itu, maka Panembahan Senapati lewat para pemimpin Mataram berkata - Kita sudah memenangkan perang. Tetapi suara bende itu juga akan mem"berikan isyarat kemenangan kita terhadap nafsu yang menyerang jan"tung kita. Perjuangan melawan nafsu itu akan tidak kalah beratnya dari perjuangan merebut Pati. Karena itu, dengan isyarat suara bende yang bergaung diseluruh kota itu, kita telah menang melawan nafsu kota untuk menjarah Pati, meskipun hal itu sudah mulai kita lakukan.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit hanya dapat menundukkan kepala mereka. Tetapi Pati memang sudah terlanjur menjadi porak poranda. Banyak orang kehilangan harta benda mereka tanpa dapat bertanya kepada siapapun juga. Apalagi menuntut agar harta benda itu dapat kembali kepada mereka.
Namun mereka hanya dapat mengeluh serta melontarkan se"mua kesalahan kepada terjadinya perang.
Panembahan Senapati yang kecewa itupun segera memerintah"kan pasukan Mataram untuk bersiap-siap. Mereka harus segera kem"bali ke Mataram. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Kangjeng Adipati Pragola.
Namun sebelum pasukan Mataram itu sampai di Mataram, maka beberapa orang penghubung telah diperintahkan untuk mendahului kembali ke Mataram berkuda.
Dengan menempuh jalan yang berbeda-beda, maka para pen"ghubung itu harus memberikan berita, bahwa Kangjeng Adipadi Pragola lepas dari tangan Panembahan Senapati. Sehingga dengan demi"kian, maka para prajurit yang tinggal di Mataram dapat mempersiapkan diri. Memang mungkin saja terjadi, Kangjeng Adipa"ti Pragola membawa kelompok-kelompok prajurit terpilih, memasu"ki Mataram.
Di pasanggrahan, Agung Sedayu mendapat perawatan yang bersungguh-sungguh. Tabib yang merawatnya tidak berkeberatan Agung Sedayu itu mempergunakan obat-obatnya sendiri, karena tabib itu sudah mengetahui bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengeta"huan tentang pengobatan.
Namun keadaannya memang mencemaskan.
Glagah Putih yang datang ke pesanggrahan pasukan induk Mataram menungguinya siang malam, Swandarupun banyak berada didekatnya meskipun setiap kali Swandaru harus melihat pasukan pengawalnya.
Selagi Agung Sedayu masih sangat lemah, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap.
- Kita tidak dapat terlalu lama disini- berkata Panembahan Senapati kepada para Panglima dan Senapati - persediaan makanan kita sudah sangat menipis, karena sebagian sudah terbakar. Untunglah bahwa kita cepat menyelesaikan pertempuran apapun yang terjadi ke"mudian. Jika kita harus bertahan disini tiga ampat hari lagi sebelum kita berhasil memecah Pati, maka kita benar-benar akan kekurangan makan. Tetapi pada keadaan kita sekarang, maka kita masih berharap, bahwa sampai nanti kita menginjakkan kaki kita kembali di bumi Mataram, kita masih belum akan menjadi kelaparan. Para Panglima dan Senapati mengangguk-angguk. Mareka mempunyai perhitungan yang sama dengan Panembahan Senapati.
Tetapi penimbangan Panembahan Senapati tidak hanya agar mereka tidak kekurangan pangan. Tetapi Panembahan Senapatipun menyatakan kecemasannya pula, bahwa Adipati Pragola yang hilang dari Pati justru bergerak Ke mataram. Meskipun hanya dengan pasukan yang kecil, tetapi jika Mataram lengah, maka mereka akan dapat menghancurkan kota, meskipun sesaat kemudian, mereka harus me"ninggalkannya.
- Aku sudah memerintahkan beberapa orang penghubung un"tuk mendahului kembali Ka Mataram. Tidak hanya dua tiga orang. Tetapi beberapa orang yang memencar. - berkata Panembahan Sena"pati.
Ketika kemudian Panembahan Senapati memerintahkan pasu"kannya kembali ke Mataram setelah merasa cukup beristirahat, maka para prajurit dan pasukan Khusus berganti-ganti telah mengusung"nya. Dengan amben bambu Agung Sedayu dibawa dalam keadaan yang sangat lemah kembali ke Mataram. Didalam pasukan itu, tidak hanya Agung Sedayu yang diusung dengan amben bambu. Tetapi demikian pula para prajurit yang terluka. Sedangkan para prajurit dan pengawal yang gugur, telah dikubur di tempat yang khusus dengan pertanda yang akan dapat dikenali kemudian.
Sementara itu, mereka yang terluka lebih ringan telah dinaik"kan kedalam petiati yang semula terisi oleh bahan pangan, yang ber"jalan terguncang-guncang.
Semula Agung Sedayu juga minta kepada para prajuritnya un"tuk ditempatkan saja disebuah pedati. Tetapi prajurit-prajuritnya tetap berniat untuk membawanya diatas sebuah amben bambu yang diberi palang bambu dibawahnya.
Glagah Putih telah memberitahukan kepada Prastawa, bahwa ia akan berada bersama Agung Sedayu, sehingga ia tidak dapat ikut mengawasi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
- Kita tinggal menempuh perjalanan pulang - berkata Pras"tawa - agaknya tidak ada persoalan yang rumit Glagah Putih yang sebenarnya juga masih belum pulih sepe"nuhnya itu, tidak lagi merasakan gangguan pada dirinya. Bahkan ia merasa seakan-akan segala-galanya telah pulih kembali seperti sedia"kala.
Ketika pasukan itu berhenti untuk beristirahat dan bermalam di perjalanan, maka Swandaru sempat menunggui Agung Sedayu bebera"pa lama. Tetapi Swandaru tidak banyak berbicara. Ia tahu, bahwa dal"am keadaan demikian, sebaliknya Agung Sedayu telah banyak beris"tirahat sepenuhnya.
Namun kepada seorang pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, Swandaru sempat berkata - Luka dalam kakang Agung Sedayu memang agak parah. Tetapi kami masih mempunyai cukup harapan, bahwa kakang Agung Sedayu akan menjadi baik. Pemimpin pengawal Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Katanya - Untunglah Ki Lurah Agung Sedayu adalah seo"rang yang berilmu sangat tinggiSwandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menang"gapinya. Bahkan kemudian katanya - Kembalilah ke pasukanmu. Katakan ke"pada para pengawal, bahwa aku masih berada disini. Jika besok saat"nya pasukan bergerak dan aku belum kembali ke pasukan, bergerak"lah. Kalian tidak usah menunggu aku. Tetapi jika keadaan kakang Agung Sedayu membaik, aku akan berada diantara kalian. Pengawal itu mengagguk sambil menjawab - Baiklah. Mu"dah-mudahan Ki Lurah segera menjadi baik. Malam itu, Agung Sedayu masih berbaring dengan lemahnya. Perkembangan keadaannya terasa sangat lamban. Meskipun demiki"an, orang-orang yang menungguinya masih tetap berpengharapan. Bahkan Ki Patih yang juga selalu menjenguknya berkata - Aliran da"rahnya sudah menjadi semakin lancar. Berdoa sajalah, agar Yang Maha Agung Mengulurkan tangannya untuk penyembuhannya. Glagah Putih yang menungguinya masih saja gelisah. Tubuh Agung Sedayu masih saja terasa panas. Sekali-sekali terdengar ia ber"desah.
Tetapi lewat tengah malam, panas Agung Sedayu mulai berku"rang. Nafasnya sudah mengalir dengan teratur. Demikian pula aliran darahnya menjadi semakin lancar.
Swandaru yang juga mengikuti perkembangan keadaan Agung' Sedayu sempat menarik nafas panjang. Bersama beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu, ia duduk diserambi. Wajah-wajah mereka sudah tidak lagi terlalu tegang.
Seorang Lurah Prajurit pengawal yang duduk disebelah Swan"daru dengan nada rendah berdesis -Mudah-mudahan perkembangan keadaan Ki Lurah Agung Sedayu itu berlanjut. Jika sampai esok pagi, keadaannya tidak kembali memburuk,maka segala kesulitan te"lah dilaluinya. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya - Ya Malam ini ada"lah saat-saat paling gawat bagi kakang Agung Sedayu. - Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang luar biasa Ti"dak ada seorangpun diantara para lurah Prajurit yang memiliki tataran kemampuan yang setingkat dan bahkan yang mendekati tingkat il"munya Bahkan para perwira yang lebih tinggi tingkatnya Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu menyahut - Ki Lurah Agung Se"dayu pernah melakukan pengembaraan bersama Panembahan Senapa"ti. Karena itu, meskipun tidak setinggi Panembahan Senapati sendiri, namun Ki Lurah itu mempunyai beberapa persamaan didalam menja"lani laku, sehingga iapun mampu mencapai satu tataran ilmu yang sangat tinggi. Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Namun Swandarupun kemudian berkata - Sebenarnya ka"kang Agung Sedayu dapat mencapai tataran yang lebih baik dari yang dapat dicapainya sekarang. Beberapa orang berpaling kepadanya Sementara Swandaru itu"pun berkata selanjutnya - Jika saja kakang Agung Sedayu lebih te"kun menempa diri berdasarkan atas ilmu yang diwariskan oleh guru kepadanya - Maksudmu " - bertanya Lurah Prajurit dari pasukan pen"gawal itu.
- Sejak kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Men"oreh, ia tidak sempat lagi memperdalam ilmunya yang sebenarnya sudah sampai dipuncak. Beberapa kali aku memperingatkannya Teta"pi nampaknya kakang Agung Sedayu telah menghabiskan waktunya untuk tugas-tugas yang diembannya. - Apakah kau saudara Ki Lurah Agung Sedayu - bertanya se"seorang.
- Aku saudara seperguruannya - jawab Swandaru.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang prajur"it yang telah mengenal Swandaru sebelumnya berkata - Ia saudara muda seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia pemimpin pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung. Orang-orang itupun mengangguk-angguk pula. Beberapa orang memperhatikanya dengan sungguh-sungguh. Kesan yang mereka dapat dari kata-kata Swandaru itu adalah, bahwa saudara muda Ki Lurah ini masih memiliki kelebihan dari Ki Lurah Agung Sedayu.
Karena itu, maka beberapa orang itupun menjadi merasa segan kepada orang yang sedikit gemuk namun memang berkesan meyakinkan itu.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu hampir tanpa beringsut itu muncul dari pintu Swandarupun kemudi"an telah bangkit berdiri sambil bertanya
- Bagaimana keadaannya Glagah Putih "- Masih seperti tadi, kakang. - jawab Glagah Putih.
- Tetapi bukankah tidak memburuk " - Tidak kakang. Bahkan kakang Agung Sedayu sudah tidak nampak gelisah. Sekarang kakang Agung Sedayu sedang tidur. Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun ber"tanya - Kau akan pergi kemana " - Tidak kemana-mana. Mumpung kakang Agung Sedayu ti"dur, aku akan kepakiwan sebentar. - jawab Glagah Putih.
- Pergilah - desis Swandaru - biarlah aku menungguinya.Ketika Swandaru kemudian masuk keruang dalam, maka dilihat"nya Agung Sedayu memang sedang tidur. Didekatnya duduk tabib yang merawatnya dengan penuh kesungguhan.
Swandaru kemudian duduk disebelah tabib itu sambil bertanya perlahan - Bagaimana keadaannya " - Kita akan melihat apa yang akan terjadi malam ini sambil berdoa. Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan. Obat-obatan dari Ki Lurah Agung Sedayu sendiri adalah obat yang terbaik menu"rut pendapatku. Terakhir harapan kita hanya tertuju kepadaNya. Kita ahnya dapat memohon. Swandaru mengangguk-angguk. Namun hampir diluar sadarnya ia berdesis - Kakang Agung Sedayu yang mendapat kepercayaan san"gat tinggi dari Panembahan Senapati seharusnya lebih tekun meleng"kapi dirinya dengan bekal yang terbaik. - Ia sudah memiliki bekal yang terbaik. - Tetapi sebenarnya kakang Agung Sedayu masih mempunyai kemungkinan untuk meningkatkan ilmunya jika ada kemauan padan"ya. Tetapi kakang Agung Sedayu nampaknya tidak mempunyai wak"tu lagi,- meskipun jika ia benar-benar ingin melakukannya, tentu ia akan dapat membagi waktunya bagaimanapun sempitnya. Aku sudah beberapa kali memperingatkannya. Beberapa kali aku menjadi cemas melihat keadaan seperti ini. Setiap kali kakang Agung Sedayu men"galami luka perah seperti ini - Lawannya kali ini adalah saudara seperguruan Kangjeng Adi"pati Pragola - berkata tabib itu - kita tahu betapa tinggi ilmu Kang"jeng Adipati, meskipun masih belum menyamai Panembahan Sena"pati. Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sea"kan-akan ditujukan kepada diri sendiri - Pada saat terakhir, Ki Tu"menggung itu merasa ragu. - Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Wimbasara itu adalah seorang yang baik. Panembahan Senapati sendiri menghormatinya. Tetapi Sebagai seorang prajurit ia berdiri diatas pijakan yang sangat kokoh. Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya - Aku men"gerti. Tetapi yang aku maksudkan adalah kelemahan Kanang Agung Sedayu. Apa jadinya jika Ki Tumenggung itu tidak digelitik oleh keragu-raguan disaat terakhir. Apa jadinya dengan kakang Agung Sedayu. Bukankah itu pertanda bahwa ilmu Ki Tumenggung itu masih lebih Bukankah itu pertanda bahwa ilmu Ki Tumenggung itu masih lebih tinggi dari ilmu kakang Agung Sedayu. - Ya Agaknya ilmu Ki Tumenggung itu memang lebih ting"gi dari ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Ki Lurah masih men"dapat perlindungan dari Yang Maha Agung. - Seandainya - berkata Swandaru - seandainya Kakang Agung Sedayu mau mendengarkan aku, maka ia tidak perlu bergantung pada satu kebetulan sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi kakang Agung Sedayu memang mampu mengimbangi lawannya karena memiliki bekal ilmu yang memadai. Tabib yang merawat Agung Sedayu itu tidak menjawab lagi. Sementara itu terdengar Agung Sedayu berdesah dengan tarikan nafas yang dalam. Tetapi Agung Sedayu tidak terbangun.
Swandarulah yang kemudian bergeser mendekati saudara seper"guruannya. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih tidur itu. Namun wajah itu tidak lagi nampak terlalu pucat, ketika Swan"daru menyentuh lehernya, maka iapun berdesis - Badannya tidak lagi terlalu panas. Sementara itu, malampun menjadi semakin dalam. Dikejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.
Namun perintah Panembahan Senapati sudah sampai pada se"mua pimpinan kelompok prajurit - Besok, menjelang fajar, pasukan Mataram akan melanjutkan perjalanan. Ketika sampai dinihari keadaan Agung Sedayu tidak membu"ruk, maka Swandarupun berkata kepada Glagah putih yang telah du"duk disampaingnya - Aku akan melihat pasukanku. Hati-hatilah den"gan kakang Agung Sedayu. Jika perjaanan ini harus dimulai lagi, maka pastikan bahwa kakang Agung Sedayu tidak akan terganggu di perjalanan. - Baik kakang - sahut Glagah Putih.
- Diperjalanan aku akan menyempatkan diri melihat keadaan"nya. Namun nampaknya puncak kecemasan tentang keadaannya telah lewat. Tabib itu berpendapat, bahwa jika malam ini keadaannya tidak memburuk, maka kakang Agung Sedayu akan menjadi semakin baik. Meskipun demikian, ia harus tetap mendapat perawatan terbaik.
- Ya. kakang - Glagah Putih mengangguk-angguk. Demikianlah maka Swandarupun telah meninggalkan rumah yang dipergunakan untuk menempatkan Agung Sedayu yang terluka parah. Demikian Swandaru pergi, maka seorang prajurit mendekati Gragah Putih mengerutkan dahinya Sementara orang itu berkata se"lanjurnya - saudara seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu itu menye"sali sikap Ki Lurah yang tidak sempat mengembangkan ilmunya le"bih jauh. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu apa yang dikata"kan oleh Swandaru. Tentu orang gemuk itu menyesali, seolah-olah Agung Sedayu tidak mau meninggalkan ilmunya meskipun Swanda"ru membiarkan kitab Kiai Gringsing ada ditangan Agung Sedayu.
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Anak muda itu hanya mengangguk-angguk saja, justru karena Glagah Putih su"dah mengenal dengan baik sifat Swandaru.
Meskipun demikian Glagah Putih itu melihat, betapa Swanda"ru menjadi gelisah melihat keadaan Agung Sedayu.
Dalam pada itu, beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu hampir tidak tidur semalam suntuk. Ta"bib yang merawatnya, Glagah Putih, Swandaru dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus sama sekali tidak memejamkan mata. Tetapi tugas yang akan mereka lakukan dihari berikutnya tidak seberat saat mereka datang ke Pati, sehingga meskipun mereka tidak lelah sekejappun, mereka tidak akan terlalu terganggu.
Menjelang fajar, maka semuanya telah bersiap. Glagah Putih merasa agak tenang, bahwa keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, sehingga dengan demikian, maka ia berharap bahwa keadaannya akan menjadi semakin baik meskipun masih harus ditempuh perjalanan panjang.
Namun ada satu dua orang yang ternyata tidak lagi mampu ber"tahan. Ada dua orang yang malam itu menyusul kawan-kawannya yang telah gugur. Mereka langsung di makamkan dipadukuhan tem"pat pasukan itu berhenti.
Meskipun Agung Sedayu masih minta untuk ditempatkan dis-ebuah petiati saja agar tidak sangat merepotkan para prajuritnya, na"mun para prajuritnya tetap berniat untuk mengusungnya agar tubuh Agung Sedayu tidak terlalu terguncang-guncang.
Dalam kesibukannya, ternyata Panembahan Senapati juga menyempatkan diri melihat keadaan Agung Sedayu itu.
- Bagaimana keadaanmu Agung Sedayu " - bertanya Panem"bahan Senapati sambil meraba tubuh Agung Sedayu.
- Hamba merasa-sudah menjadi semakin baik, Panembahan- "jawab Agung Sedayu.
- Sokurlah. Mudah-mudahan perjalanan ini tidak memperbu"ruk keadaanmu. - Semoga tidak Panembahan. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ki Patih Manda"raka dan Pangeran Mangkubumi yang mengiringi Panembahan Sena"pati itupun sempat memberikan beberapa pesan pula.
- Kau sudah tidak terlalu pucat - berkata Ki Patih Mandaraka. Demikianlah, ketika fajar mewarnai langit, maka Panembahan Senapatipun memerintahkan pasukan Mataram yang besar itu mulai bergerak.
Perjalanan memang masih jauh. Tetapi para prajurit dan pen"gawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu tidak merasa terla"lu tegang sebagaimana saat mereka berangkat. Bahkan mereka merasa bangga bahwa mereka telah membawa berita kemenangan karena me"reka telah berhasil memasuki kota Pati.
Tetapi sementara itu, dalam perjalanan pulang, wajah Ki Patih Mandaraka nampak murung. Sama sekali tidak mencerminkan keme"nangan yang teleh dicapai oleh pasukan dari Mataram itu. Sekali-sekali Ki Patih Mandaraka itu justru berjalan menyendiri. Didalam riuhnya pasukan yang bergerak, Ki Patih merasakan satu kediaman yang mencengkam jantungnya.
Bahkan Kadang-kadang Ki Patih Mandaraka itu berjalan kaki di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang mengiringi Agung Se"dayu yang ditandu dengan sebuah amben bambu.
Panembahan Senapati yang melihat keadaan Ki Patih Mandara"ka itu mengerti, apa yang sedang bergejolak didalam hatinya. Bahkan sebenarnya hati Panembahan Senapati sendiri juga merasakan, betapa segala-galanya yang digelar diatas bumi ini tidak langgeng. Panemba"han Senapati mengerti, bahwa Ki Patih Mandaraka sekali-sekali telah diganggu oleh kenangan masa-masa yang pernah dijalaninya. Saat Ki Pemanahan dan Ki Penjawi masih hidup dalam ikatan persaudaraan yang sangat rukun. Hampir setiap saat keduanya selalu bersama. Jika seseorang bertemu dengan Ki Pemanahan, maka disitu tentu ada Ki Panjawi.
Kedua-duanya seakan-akan tidak pernah terpisah.
Berdua mereka mendapat tugas dari Kangjeng Sultan Hadiwi"jaya untuk menyingkirkan Arya Penangsang.
Keduanya memang berhasil. Tetapi justru karena itu, maka mereka telah memasuki jalan simpang. Ki Panjawi yang mendapat tanah Pati segera dapat membangun diri, karena Pati memang sudah berujud satu lingkungan yang ramai. Ki Panjawi tidak terlalu sulit mengembangkan Pati menjadi satu daerah yang sedemikian besar. Se"mentara itu, Ki Pemanahan harus bekerja keras untuk membuka hu"tan Mantaok. Ketika kemudian Mataram menjadi daerah yang tum"buh, maka Ki Pemanahan telah disebut pula Ki Gede Mataram.
Tetapi Ki Gede Mataram sama sekali tidak diganggu oleh per"asaan iri hati terhadap Pati. Semuanya itu justru telah mendorong Ki Gede! untuk bekerja keras bersama puteranya, Raden Sutawijaya.
Ki Patih Mandaraka memang tidak dapat melupakannya. Beta"pa Pemanahan dan Panjawi itu hidup dalam suasana yang sangat ak"rab.
Namun anak-anaknya ternyata telah berdiri berseberangan di medan perang yang garang. Raden Sutawijaya yang bergelar Panem"bahan Senapati, putera Ki Gede Pemanahan telah berperang melawan Kangjeng Adipati Pragola dari Pati, putera Ki Panjawi.
Ki Patih Mandaraka, yang akrab pula dengan kedua-duanya, merasa sangat prihatin atas peristiwa itu. Tetapi bagaimanapun juga, Ki Patih sendiri telah terlibat pula didalamnya. Ia telah berdiri disatu pihak dari keduanya yang berperang itu...
Sementara itu pasukan yang besar itu berjalan terus. Panemba"han Senapati sendiri tidak selalu berada diatas punggung kudanya seb"agaimana Ki Patih Mandaraka Namun karena itu, maka para Pangli"ma dan Senapatipun kadang-kadang telah turun pula dan berjalan diatas para prajurit dan pengawal.
Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, yang ikut dalam pasukan itu, berganti-ganti mengusung Agung Sedayu yang terbaring lemah. Panas mata"hari yang terik menerpa tubuhnya. Namun seorang prajurit memay"unginya. Jika daun itu kemudian layu dibakar panasnya cahaya mata"hari,, maka seorang prajurit yang lain telah mencarinya pula di padukuhan yang mereka lewati.
Namun ketika mereka harus bermalam lagi diperjalanan, ter"nyata keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik. Tetapi seo"rang lagi prajurit yang harus dilepaskan. Karena lukanya yang sangat parah, maka prajurit itu tidak dapat diselamatkan.
Dalam pada itu, wajah Glagah Putihpun ikut menjadi terang. Swandaru tidak pula nampak gelisah. Harapan mereka tumbuh sema"kin besar sejalan dengan keadaan Agung Sedayu yang membaik.
Dalam pada itu, para penghubung berkuda yang mendapat tu"gas untuk mendahului pasukan telah sampai di Mataram. Mereka te"lah menyampaikan pesan Panembahan Senapati kepada Panglima yang bertugas mengawal kota. Pangeran Singasari.
Demikian pesan itu sampai, maka Mataram segerai memper"siapkan diri sebaik-baiknya. Dengan kekuatan yang ada, Mataram siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun Para petugas yang diperintahkan untuk mengamati keadaan diluar dinding kota, tidak melihat sesuatu yang mencuriga"kan. Bahkan beberapa orang yang dikirim agak jauh keluar kota, juga tidak melihat gerak pasukan sama sekali. Apabila pasukan yang be"sar.
Karena itu, maka Pangeran Singasari mengambil kesimpulan, bahwa Kangjeng Adipati Pragola tidak akan membawa pasukan ke Mataram.
Meskipun demikian, Pangeran Singasari tidak lengah. Para prajurit masih berada dalam kesiagaan tertinggi. Sementara para petu"gas sandi masih tersebar jauh diluar kota.
Sementara itu, pasukan Mataram telah merayap semakin dekat Tetapi pasukan itu masih harus bermalam lagi diperjalanan, sementa"ra persediaan bahan pangan menjadi semakin sedikit
Namun para pemimpin Mataram itu tidak merasa cemas. Per"sediaan itu masih cukup dua hari sudah akan sampai di Mataram.
Dalam pada itu, selagi pasukan Mataram masih berada di per"jalanan, maka sebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Warangka yang terletak di dekat Kronggahan, telah diguncang oleh pertengkaran antara saudara seperguruan.
Ketika tiga orang yang ditugaskan untuk melihat apakah dipa"depokan Kiai Warangka itu terdapat sebuah peti tembaga yang diper"kirakan berisi harta-benda yang sangat banyak memberikan laporan, bahwa penglihatan mata batin mereka tidak menyentuh ada sebuah peti tembaga yang besar di padepokan Kiai Warangka, maka Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri sama sekali tidak percaya.
Bahkan mereka menganggap bahwa Ki Resa justru telah men"coba untuk melindungi Kiai Warangka.
- Agaknya kau telah diracuni oleh kesediaan kakang Warang"ka untuk memberi upah lebih banyak dari yang aku berikan. - geram Kiai Timbang Laras.
- Tidak, Kiai Timbang Laras - jawab Ki Resa - aku adalah orang tua yang masih mempunyai harga diri. Aku masih percaya bahwa mulutku dapat berbicara dengan benar. - Apa maksudmu dengan harga diri " - bertanya Jatha Beri.
- Apakah aku akan menjual namaku serta kepercayaan orang lain kepadaku " - Kau telah menjual harga dirimu. Ternyata kau bersedia me"nerima upah yang kami berikan kepadamu. - Upah untuk apa " Bukankah upah itu Kiai berikan untuk satu tugas yang tidak bertentangan dengan paugeran Mataram " Tidak pula bertentangan dengan nuraniku sendiri. Bukankah aku diupah un"tuk mengetahui, apakah dipadepokan itu ada sebuah peti atau tidak " Dan itu sudah aku lakukan dengan baik sesuai dengan kemampuanku.- Disamping upah yang aku berikan, maka kau juga meneri"ma upah dari kakang Warangka untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya kau lihat. - Kiai jangan menghina aku. Aku masih dapat mencari makan dengan cara yang lebih terhormat daripada sebuah pengkhianatan. - Seandainya kami menghinamu, kau mau apa Ki Resa -Tiba-tiba saja Ki Jatha Beri menyahut - kau akan marah " Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Perbatang dan Pinuji berganti-ganti. Katanya - Bertanyalah kepada kedua orang"mu itu. Apa yang mereka tangkap dengan penglihatan batin mereka Apakah mereka melihat peti tembaga yang besar itu dipadepokan Kiai Warangka Aku selalu menangkap getar yang mereka pancarkan. Tetapi aku juga tidak pernah mendapat isyarat tentang peti tembaga itu, Kiai Timbang Laras' memandang kedua orang yang ditegaskan"nya menyertai Ki Resa. Namun keduanya justru menunduk.
Dengan nada tinggi, Kiai Timbang Laras itupun kemudian ber"tanya kepada mereka - Apa kerja kalian dipadepokan kakang Warang"ka " Makan dan minum, tidur atau apa " - Tidak, Kiai. Kami sudah berusaha sejauh dapat kami laku"kan. Tetapi kami memang tidak menangkap getar adanya peti temba"ga itu. Baik dengan tangkapan wadag maupun tangkapan batin, Kiai. Karena itu, kami berkesimpulan, bahwa peti itu memang sudah tidak berada di padepokan itu. - Jika tidak ada di padepokan itu, lalu dimana " Apakah kalian tidak dapat melihat " Lalu apa artinya kemampuan penglihatan batin kalian jika penglihatan kalian sama saja dengan penglihatanku " - Kiai - berkata Ki Resa - kami dapat melihat geledeg, ajug-ajug, amben dan apa lagi karena benda itu ada.- Itu penlihatan wadag kalian. Penglihatan mata kalian yang tidak berbeda dengan penglihatan mataku. - geram Kiai Timbang Laras.
- Benar, Kiai. Tetapi tangkapan penglihatan batin kamipun ti"dak berbeda. Kami dapat menangkap getar keberadaan benda benda itu meskipun benda-benda itu tidak kasat mata. Tetapi jika benda-benda itu memang tidak ada, getar apakah yang dapat kami tangkap beta"papun tajamnya penglihatan batin kami " Sebagaimana kami tidak akan dapat melihat sesuatu dengan mata wadag kami betapa tajamnya penglihatan mata kami itu, jika yang kami lihat itu memang tidak ada."
- Tetapi benda itu ada. Peti itu ada. Aku pernah melihatnya. Peti itu tidak akan dapat begitu saja lebur dari pada keketiadaan. Mes"kipun barangkali peti itu tidak ada lagi di padepokan, tetapi peti itu tentu ada disatu tempat Nah, katakan, dimanakah peti itu berada menurut penglihatanmu. - Kiai - berkata Ki Resa - Kiai tentu tahu keterbatasan ke"mampuan seseorang. Apakah Kiai mengartikan bahwa aku mampu melihat isi bumi ini " Apapun dan dimanapun " Tidak, Kiai. Aku ti"dak mempunyai kemampuan sejauh itu. Penglihatanku sangat terbatas. Seandainya peti itu memang ada, maka keberadaannya ada diluar jangkauan kemampuan penglihatanku. - Omong kosong. Semua ceritera tentang kelebihanmu tidak ada artinya sama sekali. Karena itu, maka persetujuan kita batal. Aku tidak akan mengupahmu sekeping uangpun. Ki Resa tersenyum. Katanya - Aku tidak akan menuntut Aku memang harus merasa bahwa aku memang sudah gagal. Itu berarti bahwa perjanjian kitapun batal. - Bagus - geram Kiai Timbang Laras. Jika demikian, tidak ada gunanya lagi kau berada di padepokanku. Pergilah. Aku muak melihat wajahmu. - Baik, Kiai. Aku minta diri. Keluargaku tentu sudah me"nunggu aku pulang. Mereka akan menjadi gelisah jika aku terlalu lama pergi. Perjalanan malam hari seperti ini akan sangat menye"nangkan. - berkata Ki Resa. Namun katanya pula - Meskipun demi"kian, aku ingin memperingatkan kepada Kiai, Bahwa kedua orang yang bersamaku mencoba melihat peti tembaga itu sama sekali tidak bersalah, jika mereka tidak mengetahui dimana peti yang dicari itu berada. Mereka sudah berusaha sebagaimana aku juga berusaha Teta"pi kami telah gagal menurut penilaian Kiai. - Cukup. Pergilah - bentak Kiai Timbang Laras. Ki Resa tidak berbicara lagi. Iapun segera bangkit berdiri. Tu"run kehalaman dan mengambil kudanya. Sejenak kemudian, maka Ki Resa itu sudah menuntun kudanya keluar regol padepokan Kiai Timbang Laras.
Namun demikian Ki Resa hilang dibalik pintu regol, maka Kiai Timbang Laras itupun berkata kepada Perbatang dan Pinuji -Selesaikan orang itu. Bawa dua orang kawanmu agar pekerjaanmu ti"dak terlalu sulit untuk kau lakukan. Cepat Perbatang dan Pinujipun segera bangkit Berlari-lari mereka mengambil kuda mereka sambil menyampaikan perintah Kiai Tim"bang Laras kepada dua orang yang berada di gandok. Mereka adalah para cantrik yang sedang bertugas berjaga-jaga bersama dengan bebe"rapa cantrik yang lain yang berada diregol.
Sejenak kemudian, ampat orang telah berpacu menyusul Ki Resa yang berkuda kearah barat
Beberapa saat keempat orang itu memacu kudanya. Mereka menyusuri jalan yang panjang dalam kegelapan malam .yang telah menyelubungi wajah bumi.
Tetapi setelah beberapa lama mereka memacu kuda mereka, na"mun mereka tidak segera dapat menyusul Ki Resa. Sementara itu, ja"lan yang mereka lalui adalah jalan yang lurus yang tidak bercabang. Tidak pula ada simpangan.
Ki Resa itu bagaikan hilang begitu saja ditelan gelapnya mal"am.
- Waktu kita tidak bertaut banyak - berkata Perbatang.
- Ya - sahut Pinuji hampir berteriak - demikian kita menden"gar derap kaki kuda Ki Resa, kitapun segera menyusulnya. - Padahal tidak ada jalan lain. Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Bukan saja kare"na mereka kehilangan buruan mereka. Tetapi mereka membayangkan kemarahan Kiai Timbang Laras yang kadang-kadang tidak terbendung sehingga keputusan yang diambilnya tidak terkendali sama sekali.
Tetapi mereka benar-benar tidak dapat menyusul Ki Resa. Bah"kan derap kaki kudanyapun tidak mereka dengar pula
Akhirnya, Perbatang dan Pinuji serta kedua orang cantrik yang menyertai mereka itupun berhenti.
- Kita tidak mempunyai kesempatan lagi - berkata Perbatang hampir putus asa.
Pinuji menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Apa yang dapat kita lakukan sekarang " Tetapi salah seorang cantrik yang menyertai merekapun berka"ta - Kita harus menemukan orang itu. - Bagaimana mungkin kita dapat menemukannya - sahut Per"batang.
- Bukankah salah seorang dari kita mengetahui rumahnya " Kita datang ke rumahnya. Kita akan menyelesaikannya meskipun di-hadapan keluarganya - sahut cantrik yang lain.
Perbatang dan Pinuji menjadi ragu-ragu. Hampir bergumam Pinuji berkata - Rumahnya jauh sekali. Sehari perjalanan. - Apa boleh buat - jawab cantrik itu - jika kita pulang tanpa membawa pertanda kematiannya, maka kitalah yang akan digantung.
- Kenapa kita harus berbuat demikian sekarang " Bukankah beberapa saat yang lalu, kita tidak'pernah melihat bahkan membayangkannyapun tidak, perlakukan yang demikian terhadap sesama kita "- Tetapi keadaan sudah berubah. Kiai Timbang Laras juga su"dah berubah. - jawab cantrik itu pula.
- Sejak kehadiran Ki Jatha Beri. - desis Perbatang.
- Tidak - jawab salah seorang cantrik yang menyertainya -Kiai Timbang Laras sendiri meyakini kelemahannya. Ia harus bersikap lebih baik jika ia ingin padepokannya bertambah maju. Seka"rang, setelah Kiai Timbang Laras berhubungan dengan Ki Jatha Beri, ia dapat belajar dari padanya dan perubahan itu datang sedikit demi se"dikit, sehingga akhirnya Kiai Timbang Laras dapat menyesuaikan diri dengan sikap yang seharusnya dari seorang pemimpin padepokan, jika padepokannya ingin menjadi besar.Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu adalah cantrik dari padepokannya Namun sikapnya membuat ked"uanya menjadi heran.
Namun Perbatangpun kemudian masih bertanya " Bagaimana pendapat kalian berdua " - Kita pergi ke rumah Ki Resa - Jika Ki Resa tidak ada dirumah " - Kita ambil siapa saja yang ada dirumahnya. Anaknya atau cucunya atau siapa saja Perbatang dan Pinuji terkejut. Dengan serta-merta Perbatarig-pun bertanya - Untuk apa " Kedua cantrik itu justru menjadi heran. Seorang diantara mere"ka berkata - Bukankah itu wajar " Kita bawa salah seorang keluarga mereka. Justru yang terdekat dengan Ki Resa. Kita memaksa Ki Resa untuk datang mengambilnya. - Lalu Ki Resa kita habisi - desis Pinuji.
- Ya - - Lalu bagaimana dengan keluarganya yang kita bawa " - Orang itu tidak berarti apa-apa Kita akan melepaskannya atau membunuhnya, tidak ada bedanya - He - tiba-tiba Perbatang bertanya - Kau salah seorang dari sekelompok cantrik yang baru " - Ya. - jawab cantrik itu - aku memang baru dipadepokan Kiai Timbang Laras.
- Sebelumnya kau berada di perguruan mana " - bertanya Pi"nuji dengan dahi yang berkerut.
- Kami adalah murid Ki Jatha Beri. - Pantas - Perbatang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya - Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Jika kita berurusan dengan Ki Resa, maka kita akan menyelesaikannya dengan orang itu. Tidak dengan keluarganya. - Itu hanya satu cara - jawab cantrik itu.
- Satu cara yang keji. Jika kita ingin membunuh Ki Resa, maka kita harus berhadapan dengan orangnya Ki Resa yang terbunuh atau kita yang akan mati. Cantrik itu tertawa. Katanya - Kau ingin menjadi seorang laki-laki jantan " Itu sama sekali tidak perlu. Yang penting, kita da"pat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada Kita. Cara apapun yang kita pergunakan. - Tidak. Aku tidak mau - jawab Perbatang.
- Jika demikian, tunjukkan saja rumahnya Kami akan datang dan mengambil salah seorang keluarganya. Perempuan atau anak-anak. - Tidak. Meskipun kami sudah melihat rumahnya, tetapi kami tidak akan menunjukkan. - Jadi kalian akan berkhianat " - bertanya salah seorang can"trik itu.
Telinga Perbatang dan Pinuji menjadi panas. Dengan geram Perbatang menjawab - Tidak, kami kana mencari Ki Resa sampai kami menemukan orangnya - Itu perbuatan yang sangat bodoh. Berapa lama kalian akan mencari " - Tidak ada batasan waktu yang diberikan oleh Kiai Timbang Laras. - jawab Pinuji.
Kedua cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata - Sekarang, beri saja kami ancar-ancar. Biar"lah kami yang menyelesaikannya. Tetapi Perbatang berkata dengan tegas - Tidak. Aku tahu, bah"wa kalian akan berbuat licik. Kalian akan menculik perempuan atau kanak-kanak. Aku tidak mau. - Jangan membuat kami kehabisan kesabaran - berkata salah seorang cantrik itu.
Telinga Perbatang dan Pinuji bagaikan tersentuh bara. Dengan suara bergetar menahan kemarahan Perbatang berkata - Kalian mau apa " Kami adalah orang-orang terdekat dari Kiai Timbang Laras.. Kalian adalah cantrik-cantrik baru yang harus tunduk pada perintah kami. - Tidak. - jawab salah seorang cantrik itu - kami bukan bu"dak-budak kalian meskipun kami berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi kami mendapat tugas untuk mengawasi kalian jika ter"jadi pengkhianatan seperti ini - Bagus - geram Pinuji - jika demikian, apa yang akan kali"an lakukan " melaporkan kami kepada Kiai Timbang Laras " - Kami harus memaksa kalian pulang. - geram cantrik itu.
- Kami adalah orang-orang bebas yang dapat menentukan si"kap sendiri. - geram Pinuji.
- Jika demikian kami harus memaksa kalian dengan kekera"san. Kami tidak mempunyai pilihan lain. Perbatang dan Pinujipun kemudian segera mempersiapkan diri. Kemarahan mereka serasa telah membakar ubun-ubun.
Sementara itu kedua orang cantrik yang ternyata semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itupun telah bersiap pula.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi diantara mereka. Perbatang dan Pinuji masing-masing menghadapi seorang cantrik.
Ternyata kedua orang cantrik yang baru itu bukannya orang, yang belum berilmu. Sebagai pengikut Jatha Beri yang justru menda"pat tugas untuk mengamati padepokan Kiai Timbang Laras, maka keduanya memiliki bekal yang cukup.
Tetapi Perbatang dan Pinuji bukannya cantrik yang baru kem"arin sore berada dipadepokan itu. Untuk waktu yang lama keduanya mendapat kepercayaan dari Kiai Timbang Laras.
Karena itulah, maka pertempuran itupun segera meningkat menjadi semakin sengit. Para cantrik yang merasa wajib untuk ber"tindak atas Perbatang dan Pinuji berusaha untuk dengan cepat me"nangkap dan membawa mereka menghadapi Ki Jatha Beri. Namun dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang marah itupun ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.
Karena itu, maka salah seorang diantara kedua cantrik itupun kemudian berkata - Sebaiknya kalian berdua menyerah saja dan ber"sama-sama dengan kami menghadap Kiai Timbang Laras dan Kiai Ja"tha Beri. Jika kalian menyerah, maka aku akan mohon agar hukuman atas pengkhianatan kalian diperingan. Seandainya kalian harus dihuk"um mad, maka kemadan kalian adalah kematian yang terbaik. Tetapi jika kalian melawan, maka aku akan mengusulkan hukuman yang terberat yang dapat diberikan kepada seseorang. Jika kalian mendapat hukuman mati, maka kemadan kalian adalah kemadan yang akan kalian tempuh dengan cara yang paling sulit. Bahkan mungkin kalian harus menunggu berhari-hari untuk sampai pada batas kematian yang sebenarnya.
Pinuji yang menghadapi cantrik itu dengan serta-merta menya"hut - Kau kira kami akan segera bersimpuh di hadapanmu " Kami bukan kanak-kanak yang dapat kau takut-takuti dengan caramu. - Persetan kau Pinuji. Jika kau tetap berkeras untuk melawan, maka kamilah yang akan memutuskan apakah kalian akan kami bu"nuh atau akan kami tinggalkan disini agar tubuhmu yang tidak lagi dapat bangkit akan menjadi mangsa anjing liar. - Aku sudah memutuskan bahwa kalian tidak akan pernah da"pat kembali ke padepokan kami. Kalian telah mengotori padepokan Kiai Timbang Laras dengan sikap dan cara hidup yang kasar dan cu"rang. - geram Pamuji.
- Kau benar-benar pengkhianat - sahut cantrik itu - karena itu, kau harus mati. Aku akan membunuhmu dengan caraku. Cantrik itupun segera menarik goloknya. Dengan tangkasnya ia memutar goloknya itu sambil berkata - Satu-satunya anggauta ba"danmu akan terpisah dari tubuhmu. Tetapi kau tidak akan mati mal"am ini. Malam nanti anjing-anjing liar akan menyelesaikanmu. Baru besok sisa-sisa tubuhmu diketemukan orang yang lewat jalan ini un"tuk pergi ke pasar. Tetapi cantrik itu terkejut bukan buatan. Ketika mulutmu ma"sih bergerak, tiba-tiba saja kaki Pinuji terjulur dengan derasnya men"ghantam dadanya
Cantrik itu terdorong beberapa langgkah surut. Bahkan kemu"dian cantrik itu terdorong jatuh. Namun dengan cepat ia berguling menjauh. Kemudian dengan cepat melenting berdiri.
Dengan kasar cantrik itu mengumpat. Namun Pinuji telah ber"diri tegak dengan pedang yang sudah tercabut dari wrangkanya teracu kearahnya
Pinuji tidak berbicara lebih banyak lagi. Tetapi setapak ia ber"geser maju sambil menjulurkan pedangnya menggapai tubuh lawan"nya.
Cantrik itu bergeser mundur. Goloknyapun berputar pula den"gan cepat untuk melindungi tubuhnya
Namun serangan Pinujipun kemudian datang seperti gelom"bang yang datang beruntun menggempur batu-batu karang di pantai.
Cantrik itu bertempur semakin keras dan garang. Goloknya yang besar dan berat itu berputar semakin cepat Namun sekali-sekali golok itu terayun menyerang kearah leher Pinuji. Tetapi Pinuji den"gan tangkas menghindar atau menebas serangan itu, sehingga tidak menyentuh sasarannya
Dilingkaran pertempuran yang lain, Perbatang bertempur den"gan sengitnya pula. Cantrik yang menjadi lawannya itupun berusaha untuk menekannya. Namun ternyata Perbatang bukan anak-anak yang baru belajar berjalan.
Seperti kawannya, maka cantrik itupun telah menarik senjatanya pula. Sebuah pedang yang besar dan panjang.
Namun demikian ia menggeram pedangnya, Perbatangpun te"lah memegang pedangnya pula.
Dengan demikian, maka Perbatangpun kemudian telah bertem"pur dengan mempertaruhkan ilmu pedang masing-masing.
Kedua cantrik pengikut Ki Jatha Beri itu telah berusaha men"ghentikan ilmu mereka. Mereka bertempur semakin lama semakin keras. Bahkan kemudian menjadi semakin keras. Yang nampak bukan lagi cantrik dari perguruan Kiai Timbang Laras yang mempunyai gar"is keturunan ilmu yang sama dengan perguruan Kiai Warangka teta"pi unsur-unsur yang dipergunakan kemudian adalah ilmu yang mere"ka warisi dari Ki Jatha Beri. Ilmu yang keras dan kasar, namun sangat berbahaya.
Meskipun demikian, Perbatang dan Pinuji sama sekali tidak menjadi gentar, kedua murid perguruan Kiai Timbang Laras itu ber"tempur dengan garangnya pula.
Bahkan kemudian Perbatang telah berhasil mendesak lawan"nya. Pedangnya yang sekali-sekali menjulur mematuk kearah tubuh lawannya, mampu mendesaknya sehingga beberapa kali cantrik itu meloncat surut.
Tetapi cantrik yang bertempur dengan kasar itu telah menghen"tak-hentakkan serangannya. Kadang-kadang orang itu mampu menge"jutkan Perbatang. Namun kemudian, serangan-serangan perbatang se"rasa semakin lama menjadi semakin berbahaya
Bahkan kemudian, ketika cantrik itu meloncat sambil mengay"unkan pedangnya menebas kearah leher Perbatang, dengan keras pula, Perbatang membentur serangan itu. Dengan cepat Perbatang memutar pedangnya dengan hentakkan yang kuat, sehingga hampir saja pedang itu terlepas dari tangan lawannya. Tetapi cantrik itu mengenggam pedangnya dengan erat betapa telapak tangannya serasa bagaikan terbak"ar.
Tetapi Perbatang tidak menghentikan serangannya. Demikian pedangnya berputar, maka dengan cepat ia meloncat kesamping. Pedangnya bergerak dengan cepat menggapai tubuh lawannya
Cantrik yang masih berdebar-debar karena pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya itu, terkejut sekali. Ia mencoba menangkisnya, meskipun ia berhasil mengeser arah serangan Perbat"ang, namun ujung pedang Perbatang itu masih sempat menyentuh pundaknya.
Cantrik itu meloncat surut. Pundaknya terasa menjadi perih. Cairan yang hangat kemudian telah mengalir dari lukanya.
Cantrik itu mengumpat kasar. Serangannya kemudian datang bergulung-gulung seperti angin prahara.
Namun pertahanan Perbatang sama sekali tidak menjadi goyah. Pertahanannya justru menjadi semakin mantap, sementara serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya
Murid Jatha Beri itu mulai menjadi gelisah. Ternyata kemam"puan Perbatang itu lebih tinggi dari perhitungannya. Bahkan setelah ia mengerahkan segenap kemampuannyapun, ia tidak mampu men"guasai lawannya yang memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Sementara itu, serangan-serangan Perbatangpun justru menjadi semakin cepat dan berbahaya. Ujung pedang Perbatang itu rasa-rasanya mendesing-desing di seputar telinga cantrik yang selalu terde"sak itu.
Lawan Pinuji yang menggenggam golok yang besar itu menco"ba mencari keseimbangan ketika ia melihat kawannya terdesak. Jika saja ia mempunyai kesempatan lebih cepat menyelesaikan Pinuji, maka berdua dengan kawannya, mereka akan dengan cepat pula men"yelesaikan Perbatang.
Tetapi Pinuji bukan seorang yang lemah. Bahkan bukan Pinu"ji yang kemudian terdesak, tetapi justru cantrik itulah yang setiap kali harus bergeser surut
Serangan-serangan Pinujilah yang kemudian mewarnai keseim"bangan pertempuran itu. Petiagangnya bergerak dengan cepat. Sekali terjulur menggapai tubuh lawannya. Namun kemudian tiba-tiba saja telah menebas dengan derasnya. Tetapi kemudian pedang itu berputar dan mematuk seperti seekor ular.
Betapapun cantrik itu berusaha mengimbangi dengan serangan-serangannya yang keras dan kasar, namun ilmu pedang Pinuji memi"liki kelebihan dari kemampuan lawannya itu.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran itupun mulai menjadi goyah. Kedua cantrik murid Jatha Beri itu ternyata sulit mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji.
Apalagi kemarahan Perbatang dan Pinuji namnpaknya tidak da"pat diredakan lagi. Kedua orang cantrik itu benar-benar akan membu"nuhnya. Bahkan dengan cara yang sangat buruk.
Karena itu, maka Perbatang itupun berkata dengan lantang - Sudah saatnya kalian dimusnahkan dari padepokan Kiai Timbang La"ras.Tetapi cantrik yang bertempur melawannya tidak dengan mu"dah menyerah kepada keadaan. Pada saat yang paling sulit, cantrik itu telah menarik sebilah pisau belati. Dengan cepat sekali pisau itu di"lemparkan kearah dada Perbatang.
Untunglah Perbatang melihat lontaran pisau itu. Dengan cepat pula Perbatang mengelak.
Tetapi pisau itu masih tetap menyambar dan menggores len"gannya, sehingga segores luka telah menganga di lengannya.
Luka itu justru membuat Perbatang semakin marah. Dengan garangnya Perbatang meloncat sambil menjulurkan pedangnya men"garah kedada cantrik itu.-Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak. Selangkah ia bergeser. Tetapi Perbatang itu melepaskannya. Pedang yang terjulur itu segera terayun menebas dengan derasnya.
Cantrik itu masih berusaha menangkis serangan itu. Namun pedang Perbatang segera berputar. Satu loncatan panjang dengan pedang yang terjulur lurus, mematuk langsung menghujam kearah jan"tung.
Terdengar cantrik itu berteriak sambil mengumpat kasar. Na"mun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ujung pedang Perbatang benar-benar telah menukik melubangi jantungnya.
Sejenak kemudian suara cantrik itupun segera lenyap. Demiki"an tubuhnya terjatuh ditanah, maka nafasnyapun telah terhenti.
Cantrik yang bertempur melawan Pinuji itu melihat kawannya yang terbunuh oleh Perbatang. Dengan demikian, maka ia tidak ber"pengharapan lagi. Perbatang akan dapat bergabung dengan Pinuji me"lawannya bersama-sama.
Karena itu, maka cantrik itupun berniat untuk melarikan diri. Jika ia sempat sampai ke padepokan, maka ia akan dapat menyampai"kannya kepada Ki Jatha Beri.
Tetapi Pinuji sama sekali tidak memberi kesempatan. Demiki"an lawannya berusaha menghindar dari pertempuran, maka Pinuji itu dengan cepat memotong jalannya Cantrik yang hampir berputus asa itu telah mengayunkan goloknya menebas kearah dada. Tetapi Pinuji sempat mengelak. Demikian golok itu terayun, maka dengan cepat Pula Pinuji meloncat. Pedangnyalah yang kemudian terayun men"yambar lambung.
Cantrik itu tidak dapat mengelak. Lambungnya telah terkoyak oleh tajamnya pedang Pinuji.
Sejenak kemudian, maka dua orang cantrik itu telah terkapar di pinggir jalan. Keduanya ternyata tidak mampu mengimbangi kemam"puan Perbatang dan Pinuji. Dua orang murid dari padepokan Kiai Timbang Laras.
Pedang Penakluk Iblis 4 Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh Sakit Hati Seorang Wanita 7

Cari Blog Ini