Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 7

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7


Sejenak Perbatang dan Pinuji termangu-mangu. Kedua orang itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan saja kedua orang can"trik yang terbunuh itu.
- Biarlah besok orang-orang yang menemukan, menguburkan"nya - berkata Perbatang - kita tidak dapat melakukannya sekarang.Pinuji mengangguk kecil Katanya - Baiklah. Kita akan mela"porkannya kepada Kiai Timbang Laras, bahwa orang-orang Jatha Beri yang ada dipadepokan kita mempunyai tugas khusus yang diberikan oleh Ki Jatha Beri itu. Perbatang mengangguk-angguk pula Tetapi sebelum ia men"jawab, kedua orang itu terkejut Dengan cepat keduanya meloncat su"rut sambil mengacukan senjatanya
Yang kemudian berdiri dihadapan mereka adalah Ki Resa yang sedang mereka buru itu.
- Ki Resa - desis Perbatang.
- Ya - jawab Ki Resa - apakah kalian sedang mencari aku " - Ya. Kami memang sedang menyusul Ki Resa - jawab Per"batang.
- Kalian mendapat perintah untuk membunuh aku " - bertan"ya Ki Resa pula.
-Ya- Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata - Aku memang sudah memperhitungkan hal itu. Itulah se"babnya aku tidak berpacu terus. Demikian aku keluar dari padepokan, aku telah membawa kudaku bersembunyi Aku justru berkuda dibela"kang kalian. - Kau memang cerdik, Ki Resa - sahut Pinuji.
- Aku tahu bagaimana kalian berselisih dengan kedua orang cantrik itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian ber"dua, bahwa kalian tidak mau melakukan, sebagaimana aku diakukan oleh kedua cantrik yang ternyata adalah para pengikut Ki Jatha Beri. - Sekarang kita sudah berhadapan. Kami bertekad untuk me"laksanakan tugas yang dibebankan kepada kami. - berkata Perbatang.
- Kau sudah terluka. - - Luka ini tidak berpengaruh sama sekali. - Mungkin. Tetapi jika kau menghentakkan tenaga untuk ber"tempur, maka darah akan mengalir terus dari lukamu. Seseorang akan dapat menjadi lemah karena kekurangan darah. Karena itu, aku anjur"kail kau obati dahulu lukamu itu agar menjadi pampat - Tidak perlu, Ki Resa. Aku akan mengobatinya setelah per"soalan kita selesai. Setelah kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan sebaik-baiknya - Membunun aku " - bertanya Ki Resa.
Pertanyaan itu telah menghentakkan Perbatang dan Pinuji ked"alam keadaan yang rumit. Karena itu keduanya tidak segera dapat menjawabnya.
Ki Resa justru tersenyum. Katanya - Nah, jika kalian me"mang akan melaksanakan perintah dengan baik, lakukanlah. Kalian tidak usah mencari aku kemana-mana. Kalian tidak usah menculik perempuan atau kanak-kanak. Perbatang dan Pinuji justru menjadi ragu-ragu.Mereka bukan"nya menjadi gentar berhadapan dengan Ki Resa. Tetapi justru mereka tahu bahwa Ki Resa telah melakukan pekerjaannya sebagaimana disanggupkannya dengan baik. Jika kemudian Ki Resa itu mengambil kesimpulan bahwa Peti tembaga itu tidak ada dipadepokan Kiai Wa"rangka, itu sama sekali bukan kesalahannya.
Memang kedua cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras itu juga bertanya didalam hati, apakah mungkin Ki Resa itu berbuat cu"rang atau sengaja menyesatkan.
Namun keduanya berpendapat, Seandainya kecurigaan itu ada, seharusnya sejak awal Kiai Timbang Laras harus sudah memikirkan"nya. Kesan dari sikap Kiai Timbang Laras kemudian adalah seakan-akan Ki Resa harus memberikan jawab sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras.
Karena kedua orang itu termangu-mangu, maka Ki Resapun berkata - Perbatang dan Pinuji. Sebenarnya aku juga ingn memberi"kan jawaban sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras. Aku memang dapat berpura-pura, memberi jawaban asal saja aku sebut di mana peti itu disembunyikan didalam lingkungan padepokan Kiai Warangka. Tetapi sejak semula, pekerjaanku ini bukan alat untuk menipu. Karena itu, maka aku harus mengatakan sesuai dengan pen"glihatanku. Perbatanglah yang kemudian menjawab - Sebenarnya sejak se"mula kami sudah ragu, Ki Resa Tetapi kami tidak dapat menolak perintah Kiai Timbang Larsa, meskipun kami merasa heran, bahwa Kiai Timbang Laras sekarang benar-benar telah berubah. Sejak Ki Ja"tha Beri ada dipadepokan, maka segala-galanya sudah lain dari sebe"lumnya. Aku tidak tahu, kenapa demikian besar pengaruh Ki Jatha Beri terhadap Kiai Timbang Laras. -Jadi apakah yang akan kau lakukan " - Kami berniat untuk kembali, menemui Kiai Timbang Laras dan melaporkan apa yang sudah terjadi. - Bagaimana dengan Ki Jatha Beri " - Aku akan melaporkan apa adanya. Aku justru ingin tahu tanggapan Kiai Timbang Laras dan sikap Ki Jatha Beri. - Tetapi kalian akan dapat dihukum mati. - Jika Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menyimpang dari kepribadiannya maka biarlah kami menjadi korbannya. Ki Resa termangu-mangu sejenak. Katanya - Baiklah. Mudah-mudahan Kiai Timbang Laras masih mempunyai kesempatan mem"pergunakan penalarannya menghadapi persoalan ini. Demikianlah, maka Perbatang dan Pinujipun telah meloncat kepunggung kudanya. Namun ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, maka Ki Resapun berkata - Kau melupakan kedua orang cantrik itu. - Kami segaja membiarkannya- Jika kau memang ingin mengatakan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya, kenapa tidak kau bawa saja Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian Perbatang itupun berkata - Baiklah. Jika Pinuji tidak berkebera"tan, kami akan membawanya Pinuji memang agak ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata -Baiklah. Kita akan membawanya Dengan demikian, maka Perbatang dan Pinuji itupun telah me"naikkan tubuh kedua orang cantrik itu keatas kuda mereka masing-masing dan kemudian menuntun kuda-kuda itu kepadepokan.
Ketika Perbatang dan Pinuji memasuki padepokan, maka para cantrikpun segera merehunginya.
- Apa yang telah terjadi " - para cantrik itupun saling bertan"ya.
Tetapi Perbatang dan Pinuji tidak mengatakan sesuatu. Kedu"anya melangkah menuju kebangunan utama padepokan itu untuk langsung bertemu dengan Kiai Timbang Laras.
Ki Timbang Laras memang masih berada dibangunan induk itu. Iapun segera bangkit ketika ia melihat Perbatang dan Pinuji membawa tubuh dua orang cantrik diatas punggung kuda mereka.
- Apa yang telah terjadi " - bertanya Kiai Timbang Laras.
Perbatang dan Pinujipun segera naik ke pendapa. Mereka ber"dua memang sudah berniat untuk mengatakan apa yang sesungguh"nya terjadi kepada Kjai Timbang Laras. Bahkan seandainya Ki Jatha Beri duduk pula bersamanya
Tetapi sikap Kiai Timbang Laras memang mengejutkan Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras tidak mempertimbangkan lapo"ran Perbatang dan Pinuji sebagai satu ancaman bagi kemandirian per"guruan Kiai Timbang Laras, tetapi sebaliknya, Kiai Timbang Laras itu menjadi sangat marah.
- Jadi kau bunuh saudara-saudara sendiri " - Tetapi kami mempunyai alasan yang kuat, kenapa hal ini kami lakukan, Kiai. - Apapun alasannya, apakah aku pernah mengajarkan kepada"mu untuk membunuh saudara-saudara kita sendiri " - Tetapi Kiai juga tidak pernah mengajarkan untuk menculik perempuan dan anak-anak. - Itu tergantung pada kepentingannya Kau harus mengetrap"kan ajaranku dengan bijaksana.Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Sementara itu Perbatang masih mencoba untuk menjelaskan - Kiai. Apakah Kiai tidak merasa tersinggung jika ada orang lain yang datang ke padepo"kan ini justru untuk mengawasi kita " Apakah orang-orang baru yang sejak semula memang para pengikut Ki Jatha Beri itu apa satu saat tidak akan mengganggu kebebasan kita didalam perguruan kita sendiri "- Tutup mulutmu, Perbatang - bentak Kiai Timbang Laras -aku justru memerlukan Ki Jatha Beri. Ia akan dapat memberikan te"rang bagi padepokan kita serta memberikan harapan atas masa depan yang lebih baik. Perbatang yang menyadari bahwa Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menjadi marah, tidak berkata apapun lagi. Mereka men"yadari, apa yang akan terjadi atas diri mereka.
Sebenarnyalah Kiai Timbang Laras telah memerintahkan un"tuk menangkap Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras justru memberitahukan kepada Jatha Beri, bahwa dua orang cantrik yang se"jak sebelumnya adalah para pengikut Ki Jatha Beri telah dibunuh oleh Perbatang dan Pinuji
- Mereka harus dihukum mati - teriak Ki Jatha Beri - aku sendiri yang akan menghukum mereka. - Silahkan, Ki Jatha Beri - sahut Kiai Timbang Laras.
Perbatang dan Pinuji tidak mempunyai kesempatan untuk membela diri. Semula mereka berharap bahwa Kiai Timbang Laras akan melindunginya Tetapi ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.
Karena itu, maka keduanya hanya dapat pasrah, apapun yang akan terjadi atas diri mereka Bahkan mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk disaat kema-tian mereka, karena mereka akan mati di tangan Ki Jatha Beri.
Ki Jatha Beri yang marah itu telah memerintahkan agar Perbat"ang dan Pinuji dimasukkan kedalam bilik tertutup. Mereka akan menjalani hukuman mati di ke esokan harinya.
Ki Jatha Beripun telah memerintahkan ampat orang cantrik yang sejak semula adalah pengikut Ki Jatha Beri untuk menjaga bilik itu.
- Dua orang didepan dan dua orang dibelakang. - geram Ki Ja"tha Beri. Bahkan ia menambahkan - Beri isyarat jika keduanya beru"saha untuk melarikan diri. Jika kalian lengan dan keduanya terlepas, maka kalianlah akan menjadi gantinya. Besok kalian akan aku hu"kum mati menurut caraku. Perbatang dan Pinuji tidak melawan. Keduanyapun kemudian telah dimasukkan kedalam bilik dengan tangan dan kaki terikat pada tiang didalam bilik itu.
Tidak ada kemungkinan bagi keduanya untuk melarikan diri.
Dalam pada itu, para cantrik yang sejak semula berada dipadep"okan Kiai Timbang Laras, ternyata telah tersinggung pula Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu. Kiai Timbang Laras, pemimpin dan guru mereka yang mereka hormati dan mereka takuti, justru telah menjerumuskan Perbatang dan Pinuji kedalam keadaan yang paling sulit. Keduanya besok akan dihukum mati dengan cara yang barang"kali belum pernah mereka lihat sebelumnya
Malam itu Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang cantrik yang sejak sebelum berada di padepokan adalah pengikutnya untuk menyiapkan hukuman mati itu.
Para cantrik padepokan Kiai Timbang Laras tidak tahu pasti, apa yang telah dibuat oleh orang-orang itu. Mereka membuat tiang dan kemudian menanamnya di halaman padepokan. Dua pasang patok kayu yang kuat
Tetapi para cantrik itu membayangkan, bahwa besok mungkin Perbatang dan Pinuji akan diikat pada dua pasang patok kayu itu. Tangan mereka akan direntangkan. Demikian pula kaki mereka Se"lanjurnya mereka tidak tahu apa yang akan terjadi
Dalam kegelisahan itu, para cantrik dari padepokan Kiai Tim"bang Laras hanya dapat menepuk dada bahwa Ki Jatha Beri itu masih dapat tidur nyenyak. Begitu ia marah-marah dan memerintahkan membuat alat untuk menghukum mati Perbatang dan Pinuji, orang itu langsung masuk kedalam biliknya dan tidur mendekur.
- Begitu tidak berharganya nyawa Perbatang dan Pinuji dimata. Ki Jatha Beri. Tetapi para cantrik itu tidak dapat berbuat apa-apa Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang terikat kaki dan tangannya didalam sebuah bilik yang sempit benar-benar sudah pas"rah. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa Mereka merasakan ika"tan pada tangan dan kakinya itu begitu kuat, sehingga tidak mungkin untuk dapat dilepaskan lagi.
Sementara itu, ada ampat orang yang berjaga-jaba diluar. Dua orang mengawasi bagian depan dan dua orang dibagian belakang bilik itu.
Bagi Perbatang dan Pinuji, maka sisa malam itu terasa amat panjang. Mereka ingin matahari segera terbit Jika mereka harus mati, biarlah kematian itu segera datang meskipun mereka sadar, bah"wa cara yang paling buruk akan terjadi pada saat kematian mereka
Dalam pada itu, sisa malam itu terasa menjadi semakin dingin dipadepokan Kiai Timbang Laras. Perasan para cantrik bagaikan di"cengkam oleh kegelisahan. Dua orang cantrik yang meronda berkelil"ing merasa tengkuk mereka meremang.
Namun mereka berjalan terus.
Untuk mengusir kelengangan yang menyusup kedalam jantung mereka, maka seorang diantara merekapun berdesis - Kasihan kakang Perbatang dan kakang Pinuji.- - Ya. - yang lain menyahut - aku tidak tahu, kenapa Kiai Timbang Laras benar-benar berubah. Kakang Perbatang dan kakang Pinuji adalah dua orang yang termasuk diantara mereka yang dekat dengan Kiai Timbang Laras. Keduanya adalah orang-orang yang di"percaya Bahkan kedua orang itu pula yang diperintahkan untuk men"yertai Ki Resa ke padepokan Kiai Warangka. - Semuanya sudah berubah. Bahkan sikap Kiai Timbang Laras dengan saudara-saudara seperguruannya juga sudah berubah. Jika da"hulu Kiai Timbang Laras sangat menghormati Kiai Warangka seka"rang sama sekali tidak. Bahkan Kiai Timbang Laras itu sempat mencurigai kakak seperguruannya itu. - Ki Jatha Beri telah menebarkan racun di padepokan ini. -geram yang lain.
Keduanya terdiam. Mereka melangkah sampai disudut padepo"kan. Beberapa saat mereka berhenti. Namun kemudian seorang dianta"ra mereka berkata - Marilah. Kita kembali ke gardu.Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Aku merasa ada ketenangan disini. Di gardu itu ada cantrik yang baru, yang sebe"lumnya adalah pengikut Ki Jatha Beri. Disana kita tidak dapat berbi"cara bebas seperti ini. Kawannya mengangguk-angguk. Bahkan kemudian orang itu duduk diatas sebuah batu sambil berkata - Baiklah. Kita beristirahat disini sebentar. Namun ketika kawannya juga akan duduk, mereka terkejut. Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari balik gerumbul sudah didalam dinding padepokan. Karena itu, maka kedua orang cantrik itu dengan sigap meloncat bangkit Senjata merekapun segera teracu kepada so"sok tubuh yang tiba-tiba muncul itu.
Tetapi orang itu mengacukan kedua tangannya sambil berdesis - Sabar Ki Sanak, sabar.- Siapa kau " - bertanya salah seorang cantrik itu. -Apakah kau tidak mengenal aku " - bertanya orang itu.
- Ki Resa - desis cantrik itu.
- Ya. Aku ingin mendapat keterangan tentang Perbatang dan Pinuji. Semula aku akan mencarinya sendiri. Tetapi setelah aku men"dengar pembicaraan kalian, maka aku memberanikan diri untuk me"nemui kalian. Terus-terang, aku ingin menyelamatkan mereka. - Maksud Ki Resa "- - Aku tidak akan melibatkan kalian. Aku hanya ingin kalian memberitahu, dimana sekarang Perbatang dan Pinuji. - Keduanya ditahan sekarang: Besok pagi mereka akan dihuk"um mati. Hukuman itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Jatha Beri dengan caranya. - Apakah Kiai Timbang Laras tidak melindungi mereka " - Itulah yang kami sesalkan. Kiai Timbang Laras justru kut menghukum mereka dengan menyerahkan mereka kepada Ki Jatha Beri. - Baiklah aku berterus terang kepada kalian tunjukkan kepada"ku, dimana mereka ditahan. Aku akan berusaha membebaskan mereka meskipun aku tahu, bahwa usaha itu akan sangat berbahaya. - Aku minta kalian tidak memberikan isyarat. Seperti sudah aku katakan, aku tidak akan melibatkan kalian. - Isyarat apa yang Ki Resa maksudkan " - Kalian jangan memberi isyarat kepada para cantrik bahwa se"seorang telah menyusup kedalam padepokan ini. Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata
- Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Cantrik itupun kemudian memberikan ancar-ancar dimana Per"batang dan Pinuji ditahan.
- Terima-kasih. Doakan agar aku berhasil menyelamatkan ke"dua orang saudara seperguruan kalian yang menurut petiapatku tidak bersalah itu. Demikianlah, Ki Resapun segera menyusup kembali kedalam gerumbul-gerumbul perdu. Namun kemudian, orang itu telah berges"er untuk melaksanakan rencana.
Sementara itu, langit sudah mulai dibayangi oleh cayaha fajar. Sisa malampun menjadi semakin sempit
Ketika burung-burung liar bernyanyi di pepohonan, serta ayam jantan berkokok saling bersahutan, maka padepokan itu sudah mulai menjadi sibuk. Di dapur perapian sudah menyala. Para cantrik yang bertugas sudah menjerang air untuk membuat minuman.
Namun tiba-tiba padepokan Kiai Timbang Laras itu menjadi gempar. Seorang cantrik yang berjaga-jaga didepan dan dibelakang bi"lik tahanan Perbatang dan Pinuji telah terbaring ditanah. Mereka su"dah mati terbunuh. Nampaknya ampat orang itu tidak sempat mem"berikan perlawanan sama sekali.
Para cantrikpun menjadi sibuk. Ketika hal itu disampaikan ke"pada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri, maka keduanya menjadi sangat marah. Beberapa orang pengikut Ki Jatha Beripun telah men"gumpat-umpat kasar. Ampat orang diantara mereka terbunuh, setelah dua orang sebelumnya sudah dibunuh pula oleh Perbatang dan Pinu"ji
Ubun-ubun Ki Jatha Beri bagaikan terbakar. Dengan serta merta maka mereka yang bertugas berjaga-jaga malam itu segera dipang"gil
Namun yang lebih menggemparkan lagi, ternyata Perbatang dan Pinuji sudah tidak ada didalam bilik itu. Tali pengikat tangan dan kakinya terlepas tanpa bekas terpotong lebih tajamnya senjata.
Dua kelompok cantrik yang bertugas malam itu telah mengha"dap. Sekelompok yang bertugas sampai tengah malam, sedang yang sekelompok yang bertugas sejak tengah malam.
Tetapi kedua kelompok cantrik itu tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa. Mereka justru meronda mengelilingi padepokan. Adapun bilik yang dipergunakan untuk menahan Perbatang dan Pinu"ji berada ditengah-tengah padepokan. Sedangkan kelompok-kelompok cantrik yang bertugas itu berdiri dari cantrik yang sudah lama berada di padepokan itu bersama-sama dengan para cantrik yang baru, yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri.
Dengan demikian, maka Ki Jatha Beri mengalami kesulitan untuk begitu saja menuduh para cantrik, kawan-kawan Perbatang dan Pinujilah yang telah melepaskan kedua orang tawanan itu, karena did"alam tugas para cantrik itu sudah berbaur. Apalagi para pengikut Ki Jatha Beri itu sengaja mengawasi para cantrik yang telah lebih dahulu berada di padepokan itu.
Kiai Timbang Laraspun ternyata telah ikut menjadi sangat ma"rah. Kiai Timbang Laras sebagai pemimpin padepokan telah men"gumpulkan semua cantrik. Dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya, maka Kiai Timbang Laras itu telah mengancam - Jika akhirnya aku mengetahui, siapa-yang telah me"lakukannya, maka hukuman yang belum pernah mereka bayangkan akan aku trapkan. Para cantrik itu hanya dapat diam sambil menundukkan wajah mereka. Para cantrik itu memang menjadi ketakutan melihat kemara"han Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri. Perasaan yang sebelum"nya belum pernah mereka rasakan.
Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji masih berada dalam per"jalanan. Mereka dengan cepat menjauhi padepokan yang telah mereka huni bertahun-tahun. Sementara itu, Kiai Timbang Laras dan Ki Ja"tha Beri telah memerintahkan beberapa orang berkuda untuk mencari kedua orang yang berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya itu.
- Tangkap mereka hidup-hidup. Aku sendiri yang akan men"ghukum mereka - geram Ki Jatha Beri.
Tetapi Perbatang dan Pinuji sudah menjadi semakin jauh. Kiai Resa yang menyertai keduanya, berjalan sambil menuntun kudanya.
- Kita sudah jauh dari padepokan - berkata Ki Resa.
- Kenapa Ki Resa berusaha membebaskan kami " - bertanya Perbatang.
Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Aku tahu, bahwa seharusnya kalian berdua tidak dihukum mati. - Kiai Timbang Laras tidak mau melindungi kami berdua -desis Pinuji.
- Itulah yang mengherankan kami - sambung Perbatang - se"gala galanya sudah berubah. - Karena itu, aku berusaha untuk menyingkirkan kalian dari bilik itu. - Apakah Ki Resa tidak memperhitungkan kemungkinan, bah"wa kami berdua masih tetap akan membunuh Ki Resa " Apalagi dal"am keadaan terjepit seperti sekarang. Jika kami berhasil membawa Ki Resa kembali ke padepokan hidup atau mad, mungkin Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri akan memaafkan kami Ki Resa tertawa. Katanya - Aku masih percaya bahwa kalian berdua bukan orang yang tidak berjantung. Namun seandainya demi"kian, akupun masih percaya bahwa aku akan dapat menyelamatkan diri. Aku yakin, jika terjadi benturan kekerasan diantara kita, maka akulah yang akan membunuh kalian berdua. Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Mungkin Ki Resa benar. Karena itu, maka lebih baik kami tidak mencobanya. Ki Resa masih tertawa. Katanya - Kesombongan kadang-kadang memang ada gunanya.Namun Pinujilah yang kemudian bertanya - Kita akan kemana sekarang, Ki Resa " - Aku akan mengajak kalian pulang kerumahku. Aku harus menyingkirkan keluargaku. Jika pikiran kedua orang yang kalian bu"nuh itu juga tumbuh dikepala kawan-kawannya, maka keluargaku akan terancam.- Jika demikian, aku ingin mempersilahkan Ki Resa. menda"hului kami. Kami juga akan pergi kerumah Ki Resa. Tetapi sebaik"nya Ki Resa cepat-cepat pulang dan menyelamatkan keluarga Ki Resa. Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. - Baiklah. Aku akan mendahului kalian. Tetapi aku berharap bahwa kalian langsung menuju kerumahku. - Baik, Ki Resa. Kami akan langsung pergi kerumah Ki Resa. -sahut Perbatang.
Ki Resa yang tiba-tiba saja teringat keselamatan keluarganya segera meloncat kepunggung kudanya. Sejenak kemudian, maka kuda itupun telah berlari di jalan bulak yang panjang.
Perbatang dan Pinuji tidak menempuh jalan yang sama. Mere"ka justru menyusup melalui jalan pintas. Lewat lorong-lorong kecil dan jalan setapak. Keduanya menduga bahwa Ki Jatha Beri dan Ki Timbang Laras tidak akan berdiam diri. Mereka tentu memerintahkan para cantrik untuk mencarinya.
Dalam pada itu, Ki Resa memacu kudanya secepat-cepatnya. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah atau mereka yang se"dang berjalan dan berpapasan memandangi orang yang berpacu itu dengan dahi yang berkerut Seorang diantara mereka yang berdiri di pematang berdesis - Orang yang tidak tahu diri. Apa dikiranya jalan itu mitik.kakeknya " Jika kuda itu menyentuh orang yang sedang berjalan, akibatnya akan sangat buruk. Demikian pula orang-orang yang berjalan kaki. Debu yang di"hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu membuat mereka terbatuk-batuk.
Tetapi Ki Resa tidak menghiraukan mereka. Ia ingin segera sampai dirumahnya.
" Ki Resa menarik nafas panjang demikian ia memasuki hala"man rumahnya. Ia tidak melihat suasana yang mencemaskan. Ia meli"hat keluarganya masih dalam keadaan tenang.
Ki Resa tidak mau membuat keluarganya gelisah. Tetapi iapun tidak ingin keluarganya menjadi korban. Karena itu, maka Ki Resa ingin menyampaikan persoalan yang sedang dihadapinya itu dengan berhati-hati.
Betapapun Ki Resa merasa gelisah, namun ia tidak menunjuk"kan kegelisahannya itu. Dengan wajah jernih, Ki Resa memanggil anak perempuannya yang tinggal bersamanya Anak perempuannya yang sudah ditinggal suaminya meninggal dunia
- Dimana ibumu " - bertanya Ki Resa
- Dibelakang ayah. Ibu sedang menampi beras. Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya -Panggil ibumu dan panggil kedua orang anakmu.Anak perempuan Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Resa berkata - Aku menunggu disini. - Ada apa sebenarnya ayah " - bertanya anak perempuannya itu.
Ki Resa mencoba untuk menghapus kesan kegelisahan itu di wajahnya. Katanya - Panggilah, Aku ingin berbicara dengan kalian.
Anak perempuannya itu tidak bertanya lagi. Iapun segera me"manggil ibunya dan kedua orang anaknya yang sedang bermain diha-laman belakang, didekat neneknya menampi beras.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah terkumpul. Ki Resa, isterinya, anak perempuanya dan dua orang cucunya yang ma"sih kecil.
- Nyi - berkata Ki Resa kepada isterinya - bukan maksudku melibatkan kalian dalam kesulitan yang aku alami karena pekerjaan"ku.
Wajah isterinya berkerut. Meskipun Ki Resa berusaha untuk mengatakan dengan sangat berhati-hati, tetapi isterinya mampu me"nangkap kegelisahan didalam suaminya. Bahkan anaknyapun telah mendesaknya - Ada apa sebenarnya. Sebaiknya ayah berterus terang. Kami memaklumi tugas-tugas ayah, sehingga jika terjadi sesuatu yang akan menyangkut diri kami, sebaiknya ayah berterus terang. Kami akan berusaha membantu menurut kemampuan kami. Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Baiklah. Aku akan berterus-terang - suara Ki Resa merendah - aku ingin minta kalian meninggalkan rumah ini untuk sementara. - Kenapa, ayah " - bertanaya anak perempuannya.
- Aku berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang sedang kehilangan kendali nalarnya. Mereka akan membunuh aku. Tetapi itu tidak penting. Yang membuat aku gelisah, justeru karena mereka tidak berhasil membunuh aku, maka mereka akan mengambil keluargaku dan memaksa aku untuk menyerah. Anak perempuannya termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya - Ayah. Aku adalah anak ayah. Bukankah ayah pernah serba sedikit memberi petunjuk, bagaimana aku harus membela diri.
- Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan anak-anakmu dan ibumu. - Biarlah ibu membawa anak-anak bersembunyi dirumah pa"man diujung padukuhan. Aku akan berada dirumah ini bersama ayah. Keculai jika ayah juga ingin menghindari mereka. Aku akan menyer"tai ayah. - Yang kita hadapi adalah tidak hanya satu dua orang. Tetapi sepadepokan. Karena itu, maka sebaiknya kau antarkan ibumu kerumah pamanmu. Biarlah aku menunggu disini. Ki Resa termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia berka"ta - Kau tentu tidak dapat membayangkan, siapa yang akan kita ha"dapi Mereka adalah orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras yang sedang terpengaruh oleh sifat-sifat hitam Ki Jatha Beri. Anak perempuan Ki Resa itu menarik nafas dalam-dalam. Ka"tanya - Siapapun mereka ayah. Aku tidak dapat membiarkan ayah sendiri menghadapi mereka. Ki Resa memang sangat bimbang. Ia tidak akan sampai hati menjerumuskan anak perempuannya ke dalam kesulitan. Bahkan mungkin hidupnya akan dihabisi dengan cara yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berbincang, ter"dengar derap kaki kuda di kejauhan. Tidak hanya satu dua ekor kuda.
Tetapi beberapa. - Mereka datang - desis Ki Resa.
Anak perempuannyapun segera bangkit sambil mendorong ke"dua anaknya - Ibu bawa mereka pergi lewat regol butulan. Nyi Resa tidak ingin terlambat Karena itu, maka tanpa bertan"ya lagi, kedua orang cucunya telah dibawanya menyingkir.
Anak Ki Resa itupun dengan tergesa-gesa masuk kedalam bi"liknya. Ketika ia keluar lagi, maka ia telah mengenakan pakaian seo"rang laki-laki.
Dalam pada itu, beberapa ekor kuda yang berderap di jalan pa"dukuhan itu langsung menuju kerumah Ki Resa. Agaknya satu dua orang cantrik telah melihat rumahnya, sehingga ia telah membawa kawan-kawannya untuk menangkap Ki Resa.
Ketika mereka berangkat Ki Jatha Beri telah meneriakkan per"intah - Tangkap Perbatang dan Pinuji. Jika Resa tidak ada dirumahnya, maka bawa anak atau istrinya atau cucunya. Karena orang-orang berkuda itu belum menemukan Perbatang dan Pinuji, maka merekapun telah menuju kerumah Ki Resa. Jika mereka tidak membawa seorangpun kembali ke padepokan, maka Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras tentu akan menjadi semakin ma"rah.
Beberapa saat kemudian, maka sebelas orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Resa. Jumlah yang tidak tanggung tanggung. Kelompok-kelompok yang dikirim untuk mencari Perbat"ang dan Pinuji, bahkan juga Ki Resa, harus meyakinkan, mampu menangkap ketiga orang itu hidup-hidup.
Sejenak kemudian halaman rumah Ki Resa itu telah penuh dengan kuda. Sementara itu ditangga rumahnya, Ki Resa dan anak perempuannya yang berpakaian seperti seorang laki-laki berdiri tegak dengan pedang dilambung.
- Ki Resa - desis seorang cantrik. Ia termasuk seorang cantrik yang baru. Tetapi sebelumnya ia adalah pengikut Ki Jatha Beri. Jus"tru cantrik yang baru inilah yang memimpin sekelompok cantrik yang mendapat perintah untuk mencari Perbatang dan Pinuji. Tetapi kelompok itu bukan satu-satunya kelompok yang keluar dari padepo"kan. Tetapi ada tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari sepu"luh orang dengan arah yang berbeda-beda. Sementara cantrik itupun berkata selanjurnya - Kami mendapat perintah untuk membawa Ki Resa ke padepokan. - Kenapa " - bertanya Ki Resa.
- Bertanyalah kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri. - Jika kalian ingin membawa aku, maka kalian harus dapat mengatakan, apa kepertuannya. Aku sangat menghargai waktuku. - Kau tidak usah. banyak bicara, Ki Resa. Kau harus menye"rahkan kedua tanganmu. Kami akan mengikatnya dan membawa menghadap Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri. - Jangan berkata begitu Ki Sanak. - jawab Ki Resa - aku ti"dak merasa mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu. - Jangan banyak bicara. Kami masih harus mencari Perbatang dan Pinuji-berkata cantrik itu.
Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya - Kenapa dengan Perbatang dan Pinuji
- Keduanya harus ditangkap. Mereka telah membunuh saudara-saudara kami. Mereka harus menjalani hukuman mati. - Dengan demikian maka Perbatang dan Pinuji itu jelas bersa"lah. Tetapi apakah aku juga bersalah " - Cukup - bentak cantrik itu - menyerahlah. Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya - Aku lebih senang mati dis"ini daripada mati dipadepokan kalian. Apalagi mati di bunuh oleh Ki Jatha Beri. Orang yang tidak dapat menempatkan diri. Bukankah ia berada dipadepokan Kiai Timbang Laras " Tetapi seakan-akan Ki Ja"tha Berilah yang berkuasa. Tetapi menurut pendapatku Kiai Timbang Laras juga salah. Ia terlalu lemah menghadapi sikap Ki Jatha Beri. Seharusnya Kiai Timbang Laras memberikan perlindungan kepada Perbatang dan Pinuji - Cukup - bentak cantrik itu - kau tidak usah mengigau Ki Resa. Sekarang, serahkan tanganmu. Adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba Ki Resapun berkata -Baiklah. Marilah. Jika kalian memang ingin mengikat aku, ikatlah. Jumlah kalian memang terlalu banyak untuk dilawan.
Cantrik itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengira bahwa begitu mudahnya, Ki Resa menyerah.
Sementara itu anak perempuan Ki Resa yang berpakaian laki-laki itu menjadi tegang. Tetapi ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia menduga, bahwa ayahnya tidak benar-benar akan menye"rah.
Dalam pada itu, dengan isyarat cantrik yang memimpin seke"lompok kawan-kawannya itu memberi perintah kepada kedua orang kawannya: Dua orang cantrik yang sejak semula memang pengikut Ki Jatha Beri.
Ki Resa sudah menduganya menilik ujud dan sikapnya. Tetapi ia masih meyakinkan dirinya - Aku belum pernah melihat kalian berdua.- Tutup mulutmu - bentak salah seorang diantara kedua orang cantrik itu. Namun kemudian iapun berkata - Aku orang baru. - Apakah kalian berdua semula juga murid Ki Jatha Beri " -Dengan bangga cantrik itu menjawab - Ya. Kami adalah mur"id-murid Ki Jatha Beri. Ki Resa tidak bertanya lagi. Seorang dari kedua orang cantrik itu membawa seutas tali ijuk yang kuat untuk mengikat tangan Ki Resa. Sementara Ki Resa telah menjulurkan kedua belah tangannya.
- Jangan terlalu keras - berkata Ki Resa sambil tersenyum.
Tanpa berpikir panjang, seorang diantara mereka telah meme"gang pergelangan-Kj.Resa, sedang yang seorang lagi melingkarkan tali ijuk itu.
Namun tiba-tiba kedua orang itu menjerit Keduanya terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Demikian keduanya bangkit berdiri, maka tangan mereka sudah menjadi mereka kehitam-hitaman seakan-akan kedua tangan mereka telah terbakar.
Beberapa orang cantrik yang masih berada dipunggung kuda mereka itupun terkejut Ketika mereka menyadari apa yang terjadi, maka cantrik yang memimpin sekelompok orang yang akan menang"kap Ki Resa itu berteriak - Kau licik, Ki Resa. Curang dan tidak tahu diri. Kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu akan dapat membuatmu menjadi semakin sulit Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya - Aku sudah berada dalam ke"sulitan sejak semula. Karena itu, aku tidak akan menjadi cemas, bah"wa aku akan menjadi semakin sulit - Sekarang menyerahlah. Jangan licik. - Siapa yang licik " - sahut Ki Resa - Apapun yang terjadi, aku sudah siap. Sudah aku katakan, bahwa bagiku lebih baik mad disini daripada mad ditangan Jatha Beri. Bukankah kalian tahu bahwa Ki Jatha Beri tidak lagi berjantung seperti kita " Jantung Ki Jatha Beri itu berbulu. - Diam kau iblis - geram cantrik yang menjadi pemimpin di"antara mereka. Lalu tiba-tiba cantrik itu berteriak - Kita akan me"nangkapnya hidup-hidup. Bunuh orang yang membantunya. Kita ti"dak memerlukan mereka. Para cantrik itupun segera berloncatan turun. Mereka menam"batkan kuda-kuda mereka di halaman. Dua orang yang tangannya ba"gaikan terbakar itu telah bersiap pula melibatkan diri meskipun per"asaan sakit dan nyeri terasa menyengat-nyengat. Namun demikian, mereka masih dapat mempergunakan kaki mereka. Ki Resapun telah bersiap pula menghadapi segala kemungki"nan. Setidak-tidaknya masih ada delapan orang yang harus dilawannya bersama anak perempuannya yang masih belum sepenuhnya dapat di"andalkan.
Jika Ki Resa kemudian menjadi cemas, bukannya karena dirin"ya sendiri. Tetapi justru karena anak perempuannya.
Sejenak kemudian, maka para cantrik itupun mulai menebar. Mereka mengurung Ki Resa agar tidak sempat melarikan diri. Namun para cantrik itupun menyadari, bahwa Ki Resa adalah seorang yang berilmu tinggi.
Namun jumlah para cantrik itu terlalu banyak. Dengan senjata teracu mereka telah bersiap untuk meloncat menyerang dari beberapa arah. Dua diantara para cantrik itu mengarahkan perhatian mereka ke"pada anak Ki Resa yang berpakaian seperti laki-laki itu. Tetapi tidak seorangpun diantara para cantrik itu yang mengetahui bahwa anak Ki Resa itu seorang perempuan.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah siap untuk bertempur, tiba-tiba saja mereka terkejut. Tiba-tiba saja mereka mendengar-seseorang berkata lantang - Jadi, inikah para cantrik dari padepo"kan Kiai Timbang Laras. Semua orang yang ada di halaman ini berpaling. Yang berdiri diregol halaman rumah Ki Resa itu adalah Perbatang dan Pinuji.
Cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya - Kebetulan sekali, Perbatang dan Pinuji.- Kenapa Kebetulan " - bertanya Pinuji.
- Kami mendapat tugas untuk menangkap kalian hidup-hidup, bersama Ki Resa.Tetapi Pinuji tertawa. Katanya - Untuk menangkap Ki Resa sendiri saja, belum tentu kalian mampu. Apalagi bersama kami ber"dua dan barangkali ada seorang yang lain yang akan berpihak kepada Ki Resa. - Setan kau berdua. Jangan mencoba melawan kami jika kali"an tidak ingin nasib kalian menjadi semakin buruk. - Apa pedulimu dengan nasib kami " Kami juga tidak peduli akan nasib kalian. Biarlah kalian semuanya akari mati disini. Cantrik yang memimpin kelompok itupun kemudian berteriak memberikan perintah - Tangkap semuanya hidup-hidup. Biarlah Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras memberikan hukuman bagi mere"la karena pengkhianatan mereka. Perbatang tertawa pula. Katanya - Pertempuran yang menarik. Agaknya kamilah yang akan membunuh kalian. Kalian agaknya mendapat perintah untuk menangkap kami hidup-hidup. Karena itu, kami tidak akan takut mati dalam pertempuran ini. Tetapi sebaliknya kami dapat membunuh kalian sesuka hati kami. - Licik kau. Tetapi kau tidak akan lepas dari tanganku. Perbatang dan Pinuji tertawa pula berkepanjangan. Sementara Ki Resa menyahut - Aku juga menjadi kasihan kepada para cantrik ini. Mereka tidak boleh membunuh, tetapi mereka boleh dibunuh. Pemimpin dari para cantrik itupun segera berteriak - Cepat Tangkap mereka. Jangan sampai lepas. Sementara itu Perbatangpun berteriak pula - Maaf, Ki Resa. Kami akan ikut dalam permainan yang nampaknya akan sangat men"arik ini. - Silahkan - jawab Ki Resa - bukankah mereka selain men"cari aku juga mencari kalian berdua. Perbatang dan Pinujipun kemudian telah mengambil jarak. Merekapun segera bersiap dengan senjata ditangan. Mereka tidak mau ditangkap hidup-hidup oleh orang-orang yang akan dpat membawa mereka kedalam satu malapetaka yang sangat sulit
Para cantrik itupun segera telah mulai menyerang. Bahkan can"trik yang tangannya telah terbakar itupun ikut pula. Mereka mencoba untuk memperugunakan kaki mereka atau tubuh mereka untuk men"ghalangi orang-orang buruan itu melarikan diri.
Tetapi tiga dari antara para cantrik itu nampak ragu-ragu. Me"reka adalah para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan mereka menjadi demikian tertekan sehingga mereka tidak segera dapat mengambil sikap. Rasa-rasanya sulit bagi mereka untuk bertempur melawan Perbatang dan Pinuji, yang sudah sejak lama berkumpul dalam satu padepokan. Sementara para cantrik yang lain itu adalah orang-orang baru yang justru mulai ingin me"nunjukkan kekuasaan mereka.
Perbatang dan Pinuji melihat keragu-raguan Mereka. Meski"pun mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi keduanya tidak dengan serta merta menyerang mereka pula.
Dengan demikian yang langsung bertempur dengan bersungguh-sungguh adalah delapan orang yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri, sementara dua diantara mereka sudah tidak banyak berdaya.
Karena itu, maka pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Bahkan anak perempuan Ki Resapun menunjukkan kemampu"annya pula. Tanpa mengucapkan sapatah katapun, anak Ki Resa itu berhasil mendesak seorang lawannya. Seorang cantrik yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Betapa cantrik itu menyerangnya den"gan keras dan kasar, namun sulit baginya untuk mengalahkan anak Ki Resa itu,
Sementara itu, Ki Resa dengan cepat pula telah melumpuhkan seorang diantara para cantrik itu. Bahkan kemudian menyusul seorang lagi. Keduanya terkapar di halaman tanpa dapat bergerak lagi.
Pemimpin para cantrik yang melihat ketiga orang cantrik Kiai Timbang Laras itu ragu-ragu telah berteriak kalian juga akan berk"hianat?"
Ketiga orang cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka tidak segera terjun ke medan pertempuran.
Justru karena itu, maka seorang demi seorang, cantrik itupun berjatuhan. Luka yang menganga ditubuh mereka telah mengalirkan darah yang merah segar.
Dalam pada itu, maka pemimpin dari para cantrik itu tidak lagi melihat kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Karena itu, maka ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dengan orang-orangnya yang tersisa.
Namun ia masih sempat berteriak kepada para cantrik yang ragu-ragu - Aku akan melaporkan pengkhianatanmu ini. Para cantrik itu tidak menjawab. Mereka masih tetap ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Sementara itu, para cantrik yang semu"la adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu sudah semakin tidak ber"daya
Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu masih berlang"sung, sementara cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu sudah mengambil keputusan untuk meninggalkah arena pertempuran, ter"dengar derap kaki kuda mendekati halaman rumah Ki Resa itu.
Dengan demikian, maka pertempuran yang berlangsung di ha"laman itu seakan-akan telah terhenti.
Ki Resapun menjadi berdebar-debar. Yang memasuki halaman rumahnya adalah sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras yang sebagian besar diantara mereka adalah para pengikut Ki Jatha Beri.
Kedatangan mereka telah membesarkan hati para cantrik yang masih mampu bertahan. Bahkan cantrik yang memimpin kawan-kawannya yang datang lebih dahulu itupun berteriak - Bagus. Seka"rang saatnya kita menyeret ketiga orang itu dibelakang kaki kuda kita. Kita akan mengikat leher mereka dan menariknya dibelakang kuda kita Sepuluh orang cantrik telah memasuki halaman rumah itu. Dua diantara mereka adalah cantrik yang memang sudah lama berada di padepokan Kiai Jatha Beri.
- Apa yang terjadi disini " - bertanya cantrik yang memimpin kelompok kedua itu.
- Pengkhianatan - jawab pemimpin dari sekelompok pertama
- Untunglah kami datang. Hampir saja kami mengambil arah lain dari perburuan kami. Tetapi kami ingin singgah dan melihat ru"mah orang yang bernama Resa itu. -'Kita tidak saja menangkap Resa, Perbatang dan Pinuji. Tiga orang cantrik yang bersamaku itu juga berkhianat - Mereka tidak akan kita tangkap hidup-hidup, kita ikat kakin"ya dan kita akan menyeretnya dibelakang kuda kita yang akan kita pacu dengan cepat Namun tiba-tiba saja Perbatang itu tertawa. Katanya - Apakah kalian tahu apakah yang dimaksud dengan pengkhianat " - Persetan " geram cantrik yang memimpin kelompok perta"ma - kita sudah kehilangan banyak waktu.- Cepat Kita. selesaikan mereka. Kita tangkap Resa, Perbat"ang dan Pinuji hidup-hidup. - sahut cantrik yangmemimpin kelom-pok kedua - tetapi itu bukan berarti kalian tumis membiarkan kepala kalian dibelah sekedar untuk membiarkan mereka hidup. - Ki Resalah yang tertawa. Katanya - Nah, cantrik yang ini nampaknya lebih cerdik. Cantrik yang memimpin kelompok pertama berteriak pula -Persetan kau, Resa. Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Sejenak kemudian, para cnatrik itupun sudah .menghambur mempersiapkan diri mereka masing-masing. Merekapun sudah memegang senjata ditangan mereka pula. Dengan garangnya mereka mengacukan senjata mereka.
Namun tiga orang cantrik murd Kiai Timbang Laras yang da"tang lebih dahulu masih juga ragu-ragu. Dua orang cantrik Kiai Tim"bang Laras yang datang kemudian, yang sudah bersiap untuk bertem"pur pula telah tertegun melihat sikap saudara - saudara mereka. Apalagi ketika mereka melihat Perbatang yang Pinuji.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja, salah seorang cantrik dari ketiga orang yang datang bersama kelompok yang terdahulu itu berteriak -kakang Perbatang dan kakang Pinuji. Aku berdiri dipihakmu. - Setan kau. Pengkhianat - teriak cantrik yang memimpin ke"lompok itu. - aku cincang kau sampai limat,

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lagi gema suaranya lenyap cantrik padepokan Kiai Tim"bang Laras yang datang kemudian itupun berteriak juga. Aku juga berdiri dipihak kakang Perbatang dan kakang Pinuji.
- Gila - cantrik yang memimpin kelompok yang kedua itu berteriak marah - Kalian akan dihukum picis. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Bahkan merekapun seg"era mempersiapkan senjata mereka dan siap untuk terlibat dalam per"tempuran itu.
Sejenak kemudian pertempuranpun terjadi dengan garapgnya. Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras, namun yang men"galir dari sumber yang berbeda itu telah bertempur dengan mengerah"kan segenap kemampuan mereka. Para cantrik yang merasa lebih lama berada di padepokan itu, merasa bahwa orang-orang baru itu te"lah mendesak mereka dengan cara yang licik. Bukan karena mereka telah menunjukkan kelebihan dihidang apapun, tetapi semata-mata karena mereka datang bersama Ki Jatha Beri.
Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Ki Resa menjadi gempar. Mereka tahu bahwa dihalaman rumah Ki Resa telah terjadi pertempuran. Tetapi mereka tidak tahu, apa yang harus mereka laku"kan. Mereka tidak berani melibatkan diri kedalam pertempuran itu. Namun mereka juga mencemaskan nasib Ki Resa yang menurut pen"gertian mereka telah diserang oleh orang-orang berkuda yang jumlah"nya banyak sekali. Namun dalam pada itu, Ki Resa sendiri sama sekali tidak men"jadi cemas. Ia bertempur tidak terlalu jauh dari anak perempuannya. Sementar aitu, dibeberapa tempat yang terpisah, saudara-saudara se"perguruan Perbatang dan Pinuji telah bertempur dipihaknya.
Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka benar-benar merasa dikhianati oleh murid-murid Kiai Timbang Laras. Sementar itu para murid kiai timbang Laras itupun tidak sempat memikirkan, apa yang akan mereka lakukan kemudian setelah mereka menentang perintah guru dan sekaligus pemimpin padepokannya itu.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit Para pengikut Ki Jatha beri jumlahnya memang lebih ban"yak. Tetapi mereka, terutama Perbatang dan Pinuji, memiliki banyak kelebihan dari para pengkut Ki Jatha Beri yang bertempur dengan keras dan kasar itu.
Namun agaknya kedua belah pihak telah dibakar oleh kemara"han dan bahkan dendam. Perbatang dan Pinuji yang merasa tersisih dari padepokan yang telah dihuninya bertahun-tahun. Bahkan ketika Ki Jatha Beri berniat menghukum mati dengan cara yang paling tidak terhormat, Kiai Timbang Laras, gurunya, pemimpinnya dan bahkan penutannya, maka sekali tidak memberinya perlindungan.
Karena itu, maka dendamnya kepada Ki Jatha Beri dan orang-orangnya bagaikan membakar ubun-ubun.
Sementara itu, para cantrik yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beripun menjadi dendam pula, karena mereka merasa dikhianati. Para cantrik yang pergi bersama mereka itu seakan-akan telah menu"suk mereka dari belakang.
Dengan demikian, maka pertempuranpun semakin lama menja"di semakin keras. Kedua belah pihak benar-benar bertempur antara hidup dan mati.
Kedua belah pihak tidak lagi mempunyai pertimbangan per"timbangan lain kecuali berusaha membunuh lawannya sebanyak ban"yaknya. Semakin banyak mereka membunuh, maka mereka akan menjadi semakin banyak mendapat kepuasan.
Namun ternyata Ki Resa adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka setiap kali, cantrik yang berada disekitarnya pun te"lah terlempar beberapa langkah surut Terbanting ditanah atau jatuh terjerembab. Namun kemudian lawan-lawan Ki Resa menjadi sema"kin parah lagi.
Ki Resa terkejut ketika ia melihat anak perempuannya itu me"loncat jauh untuk mengambil jarak. Bahkan kemudian jatuh bergul"ing beberapa kali. Ketika perempuan itu bangkit, maka lengannya te"lah terluka. Darah mulai mengalir dari lukanya itu.
- Kenapa kau, he " - bertanya Ki Resa dengan cemas.
Anaknya tidak menjawab. Ia tidak ingin diketahui, bahwa ia adalah seorang perempuan meskipun nampaknya lawannya mulai cu"riga dengan sikapnya
Namun dalam pada itu, kecemasan Ki Resa tentang anaknya, akibatnya menjadi sangat buruk bagi para pengikut Ki Jatha Beri.
Ki Resa benar-benar menjadi marah bahwa anaknya telah terlu"ka, sehingga darah mulai membasahi bajunya. Apalagi ketika kemu"dian melawan dua orang, anaknya itu mulai terdesak. Bahkan telah tersudut dalam bahaya.
Karena itu, maka Ki Resa itupun telah menghentakkan ilmun"ya.
Dalam saat yang terhitung singkat, kedua orang yang bertem"pur melawan anaknya itu telah dilemparkannya dari arena. Keduanya terpelanting jatuh dan tidak bangkit kembali.
Demikian pula Perbatang dan Pinuji yang mendendam para pengikut Ki Jatha Beri. Mereka tidak pernah mempertimbangkan un"tuk mengampuni lawan-lawannya.
Karena itu, maka seorang demi seorang, para pengikut Ki Ja"tha Beri itu jatuh tersungkur. Para murid Kiai Timbang Laras me"mang tidak ingin berbuat tanggung-tanggung. Senjata mereka tidak sekedar menggores lambung atau mengoyak bahu lawannya. Tetapi senjata-senjata mereka telah membelah perut lawannya dan menukik menghunjam jantung.
Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu menyadari, bahwa mereka tidak mempunyai harapan lagi. Lawan mereka yang jumlahnya lebih sedikit itu, ternyata mampu mengalah"kan mereka. Terutama karena diantara mereka terdapat Ki Resa, Per"batang dan Pinuji.
Pada saat-saat terakhir kedua orang cantrik yang memimpin ke"dua kelompok kawan-kawannya memburu Perbatang, Pinuji dan Ki Resa itu tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, maka merekapun telah memutuskan untuk menghindar dari pertempuran. Apalagi sete"lah sebagian besar kawan-kawannya terkapar mati di halaman rumah Ki Resa itu.
Kedua orang itupun akhirnya saling memberikan isyarat yang hanya mereka ketahui diantara mereka saja. Bahkan kawan-kawan me"reka tidak mengetahui isyarat itu.
Namun ketika kedua orang itu dengan tangkas meloncat keluar dari arena, maka Perbatang dan Pinuji yang mencurigai sikap keduan"ya dengan cepat telah memotong jalan mereka.
- Jangan lari Ki Sanak - berkata Perbatang - kau sudah men"dapat kepercayaan untuk memimpin sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Karena itu, maka kalian tentu termasuk or"ang-orang terpilih, sehingga kalian tentu memiliki kelebihan dari para cantrik yang lain termasuk kami berdua. - Persetan - geram salah seorang dari mereka - apa maumu. - Aku hanya ingin memperingatkanmu. tidak sepantasnya para pemimpinnya melarikan diri dan membiarkan anak buahnya mati terbakar panasnya api pertempuran. - Persetan dengan igauanmu - geram cantrik itu sambil men"yerang Perbatang.
Tetapi Perbatang telah benar-benar bersiap menghadapinya. Karena itu, maka iapun segera bergeser memiringkan tubuhnya.
Serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun ketika cantrik itu bersiap untuk menyerangnya kembali, justru Perbatanglah yang telah meloncat mendahuluinya.
Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak, sehingga serangan Perbatang pun tidak mengenai sasarannya.
Sementara itu, Pinuji telah bertempur dengan cantrik yang me"mimpin kelompok yang lain. Pinuji yang bergerak dengan cepat dan tangkas itu, memaksa lawannya untuk mengerahkan segenap kemam"puannya.
Tetapi sulit bagi kedua cantrik itu untuk mengimbangi ke"mampuan Perbatang dan Pinuji.
Dengan demikian, maka keadaan kedua orang cantrik itupun menjadi semakin sulit
Sementara itu, kawan-kawannya menjadi semakin menyusut Tidak seorangpun diantara para cantirk itu yang dapat lolos. Tidak ada seorangpun diantara meraka yang terkapar dihalaman rumah Ki Resa itu masih hidup.
Tubuh-tubuh yang terbujur lintang itu sama sekali tidak lagi ada yang bernafas.
Kedua orang cantrik itu melihat keadaan kawan-kawannya den"gan jantung yang berdebaran. Tetapi merekapun menyadari, apa yang akan terjadi atas diri mereka.
Namun seorang diantara para cantrik itu berkata - Jangan berbangga dengan kemenangan kecilmu. Besok, kalian akan mendapat hukuman yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya
- Tidak ada orang yang tahu, apa yang terjadi - berkata Per"batang.
- Ki Jatha Beri mempunyai beribu telinga dan beribu pasang mata. - Tetapi Ki Jatha Beri tidak mampu mencari kami berdua ber"sama Ki Resa. - Sekarang belum. Tetapi pada saatnya pasti. "
Perbatang tertawa Katanya - Apapun yang tejadi atas diri kami, kau sudah tidak akan melihatnya lagi, karena sebentar lagi kau akan mad. Kemudian kami semua akan bersembunyi dipadepokan Kiai Warangka. He, dengan. Camkan ini. Tetapi kalian tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri atau kepada Kiai Timbang laras. - Persetan kau - geram cantrik itu. Perbatang tertawa berkepanjangan sambil bertempur dengan garangnya.
Sebenarnyalah bahwa Perbatang dan Pinuji telah mendesak ke"dua lawannya sehingga mereka kehilangan kesempatan sama sekali.
Kedua cantrik itupun menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan pertempuran. Merekapun tidak akan dapat lolos pula dari tangan Perbatang dan Pinuji. Namun mereka tidak akan menye"rah karena mereka menyadari, bahwa menyerah tidak akan ada gunanya
Dengan demikian, dengan tanpa harapan, kedua orang cantrik itu bertempur terus.
Saat-saat terakhir itupun akhirnya datang pula Pinuji memang sudah tidak sabar lagi. Dengan garangnya, ia menyerang lawannya dengan putaran pedangnya yang cepat
Lawannya, masih berusaha untuk melawan sejauh dapat dilak"ukan. Tetapi kesempatannya menjadi semakin kecil.,
Orang-orang yang lain, ternyata tidak mencampuri pertempu"ran itu. Para cantrik, murid-murid Kiai Timbang Laras, Ki Resa dan anak perempuannya, sama sekali tidak ikut melibatkan diri. Mereka memang membiarkan Perbatang dan Pinuji bertempur seorang me"lawan seorang dengan cantrik itu.
Orang-orang yang berdiri dihalaman itu menahan nafasnya ke"tika mereka mendengar desah tertahan. Pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur melawan Pinuji itu terdorong beberapa langkah surut Tangan kirinya memegangi lambungnya. Sementara darah dengan de"rasnya mengucur dari sela-sela jari-jarinya.
Pinuji tidak membiarkan lawannya itu mengambil jarak. Keti"ka cantrik itu meloncat menjauh. Pinuji telah melenting memburun"ya. Ujung pedangnya terjulur lurus menggapai dadanya
Dengan satu hentakkan yang kuat, maka Pinuji telah menekan pedang itu, sehingga ujungnya menghujam sampai kejantung.
Orang itu berteriak. Bukan karena kesakitan. Tetapi karena ke"marahan, kebencian dan dendam yang bergejolak didalam dadanya Alangkah sakitnya bahwa ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak akan mampu membalaskan dendamnya itu.
Sejenak kemudian, suaranya itupun lenyap ditelan gemerisik-nya suara angin didedaunan. Angin yang basah tiba-tiba bertiup ken"cang. Dilangit mendung mengambang hanyut ke Utara.
Pinuji telah kehilangan lawannya Cantrik itu mati terkapar di halaman sebagaimana kawan-kawannya
Namun cantrik yang bertempur melawan Perbatangpun tidak mempunyai kesempatan lagi. Perbatang memang ingin menghabisi lawannya. Dengan demikian, maka tidak seorangpun yang akan memberikan laporan kepada Ki Jatha Beri tentang peristiwa yang te"lah terjadi dihalaman rumah Ki Resa itu.
Sejenak kemudian, maka cantrik itupun telah terlempar pula. Ayunan senjata Perbatang yang menyilang telah mengoyak dada law"annya, sehingga luka telah menganga
Cantrik itupun terbanting jatuh. Ia hanya sempat menggeliat dengan berdesah. Namun kemudian, tubuhnyapun menjadi diam.
Dengan demikian, maka pertempuranpun benar-benar telah berhenti. Langit menjadi semakin muram. Mendung menjadi semakin tebal menggantung di langit.
Sejenak kemudian, titik-titik hujanpun mulai jatuh. Beberapa orang tetangga Ki Resa masih saja bertanya-tanya, apa yang terjadi. Namun tidak seorangpun diantara mereka'yang memberanikan diri untuk datang dan memasuki halaman itu.
Sejenak Ki Resa dan para murid Kiai Timbang Laras itu ter"mangu-mangu. Namun akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mengubur orang-orang yang terbunuh itu dikebun belakang. Jauh di"bawah rumput bambu yang lebat. Tempat yang jarang sekali di sen"tuh oleh keluarga Ki Resa sendiri.
Namun anak perempuan Ki Resa sempat berbisik ditelinga ayah"nya - Bagaimana jika ibu mengetahuinya " - Pada suatu saat, kita akan memindahkannya. - jawab Ki Resa - kita akan menguburkannya di kuburan. Namun tidak seka"rang.Anak perempuannya mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka dibawah hujan yang akhirnya bagikan ter"curah dari langit, maka Ki Resa, Perbatang, Pinuji dan para cantrik murid Kiai Timbang Laras itu menggali lubang, mengusung sorot tubuh orang-orang yang telah terbunuh itu ke kebun yang masih merupakan hutan bambu di belakang. Mereka telah menguburkan tubuh-tubuh itu diantara rumpun-rumpun bambu.
Hujan yang lebat itu seakan-akan telah menghapus segala jejak dari pertempuran yang telah terjadi. Tetangga-tetangga Ki Resapan harus menunggu hujan menjadi reda untuk datang dan bertanya apa yang telah terjadi di halaman rumah itu.
Namun kemudian para cantrik Kiai Timbang Laras itu harus menunggu hujan menjadi terang dengan pakaian basah kuyup. Mere"ka duduk diserambi sambil berbincang apa yang akan mereka lakukan kemudian. Pada suatu saat Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras akan dapat mendengar apa yang telah terjadi meskipun mereka sudah berusaha untuk menghapuskan segala jejak.
Namun Ki Resalah yang kemudian berkata - Aku anjurkan ke"pada kalian, agar kalian datang dan mohon perlindungan kepada Kiai Warangka. Aku yakin, bahwa Kiai Warangka tidak akan berkeberatan sama sekali. Meskipun demikian harus dipikirkan kemungkinan, ke"hadiran kalian akan memperburuk hubungan antara Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras. Perbatang mengangguk-angguk. Katanya - Aku sependapat, Ki Resa. Tetapi kitapun harus berterus-terang tentang kemungkinan, bahwa hubungan kedua orang saudara seperguruan itu akan bertambah buruk.Pinujilah yang kemudian berkata - Tetapi kita tidak mempun"yai pilihan lain. Mudah-mudahan Kiai Warangka tidak berkeberatan memberi perlindungan kepada kita, karena Kiai Timbang Laras sudah tidak lagi dapat kita harapkan.- Kalian memang harus mencoba - berkata Ki Resa - tetapi aku percaya bahwa Kiai Warangka akan dapat memberikan perlindun"gan kepada kalian.
Tetapi Perbatangpun kemudian bertanya - Tetapi bagaimana dengan Ki Resa sendiri " Ki Resa tertawa Katanya - Jangan pikirkan aku dan anakku. Kami dapat melindungi diri kami sendiri. Jika perlu kami dapat men"gungsi ketempat yang tidak akan dapat diketemukan oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Bahkan jika perlu kami juga akan menghubungi Kiai Warangka Bukankah di padepokan Kiai Warang"ka ada seorang yang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku terjepit karena diburu oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras aku akan dapat lari ke Tanah Perdikan Menoreh.Perbatang dan Pinuji mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang cantrik bertanya - Bagaimana dengan kuda-kuda itu ka"kang Perbatang "Perbatang mengerutkan dahinya. Ada banyak kuda di halaman.
Kuda-kuda itu tentu akan menarik perhatian banyak orang.
Namun tiba-tiba saja Perbatang itupun berkata - Mumpung hujan lebat. Ki Resa, apakah Ki Resa sependapat jika kuda-kuda itu aku bawa ke padepokan Kiai Warangka "Ki Resa mengangguk sambil menjawab - Aku kira itu lebih baik. Disana kuda-kuda itu akan terpelihara.- Jika demikian, mumpung hujan masih turun, - berkata Pi"nuji bahkan nampaknya telah menjadi deras lagi.
Akhirnya merekapun sepakat. Justru pada saat hujan lebat, maka tidak akan banyak orang yang melihat apa yang telah merela lakukan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Perbatang, Pinuji dan para cantrikpun telah bersiap untuk membawa kuda-kuda yang berada di halaman rumah itu ke padepokan Kiai Warangka Sementara Ki Resa berniat untuk melindungi diri sendiri bersama keluarganya. .. Perbatang, Pinuji dan para cantrik itupun kemudian, telah membawa kuda-kuda itu menembus hujan yang lebat. Memang tidak orang yang sempat melihat, karena mereka telah berlindung dida"lam rumah mereka masing-masing.
Perjalanan ke padepokan Kiai Warangka termasuk perjalanan yang agak panjang. Sementara itu, cuaca menjadi semakin buram. Meskipun malam belum turun, tetapi suasananya sudah melampaui suasana senja.
Hari itu, Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras menunggu kedatangan orang-orang yang ditugaskan untuk memburu Perbatang dan Panuji bahkan Ki Resa dengan jantung yang berdebaran. Ketika matahari mulai turun dan kemudian bersembunyi dibalik mendung, maka mereka menjadi semakin gelisah. Sekelompok cantrik yang juga mendapat perintah untuk memburu Perbatang dan Pinuji sudah kembali ke padepokan. Mereka dengan jantung yang berdenyut sema"kin cepat oleh kecemasan, telah melaporkan bahwa mereka tidak berhasil menemukan Perbatang dan Pinuji. Mereka juga tidak berte"mu dengan ke Resa.
-Kalian tidak pergi kerumah Ki Resa" - Belum seorangpun diantara kami yang pernah melihat rumah Ki Resa. - jawab cantrik yang memimpin kelompok itu yang kebet"ulan juga pengikut Ki Jatha Beri.
Ki Jatha Beri hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Kiai Timbang Laraspun bertanya - Dimana kedua kelompok cantrik yang lain yang keluar padepokan bersama dengan kalian "- Kami telah pergi memencar - jawab cantrik itu - kami -mengambil arah yang berbeda-beda.
Ki Timbang Laraspun kemudian berkata - Mudah-mudahan sa"lah satu kelompok diantara mereka berhasil, meskipun seandainya hanya membawa Ki Resa saja- Tetapi yang paling bersalah adalah Perbatang dan Pinuji- ger"am Ki Jatha Beri - mereka telah membunuh saudara mereka sendiri. - Ya - Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk - mereka me"mang harus dihukum berat- Hukuman mad dengan caraku. Aku yang akan melaksanakan hukuman itu sendiri.
Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk mengiakan.
Namun demikian mereka menjadi cemas. Langit menjadi sem"akin gelap oleh mendung yang tebal. Meskipun di padepokan Kiai Timbang Laras hujan belum turun, tetapi disini lain, nampaknya air tercurah dari langit.
Bahkan sampai malam turun, kedua kelompok cantrik yang lain masih belum kembali. Agaknya mereka benar-benar ingin kem"bali ke padepokan sambil membawa buruan mereka.
- Mereka takut pulang sebelum mereka berhasil, meskipun hanya seorang saja diantara mereka. Atau setidak-tidaknya keluarga Ki Resa yang dapat dipergunakan untuk memancing Ki Resa itu sen"diri agar datang ke padepokan ini. - berkala Kiai Timbang Laras.
Ki Jatha Beri mengangguk-angguk, katanya - mudah-mudahan mereka berhasil. Betapapun kecil hasilnya.Tetapi sampai kesabaran mereka sampai ke batas, dua kelom"pok para cantrik yang telah dikirim untuk memburu Perbatang dan Pinuji yang berhasil lolos dari bilik tahanan mereka, serta Ki Resa, tidak juga kembali
Dalam pada itu, kedatangan Perbatang, Pinuji dan beberapa or"ang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras memang telah men"gejutkan Kiai Warangka serta Ki Jaya yang untuk sementara masih berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika kemudian Kiai Warangka mendengar dari Perbatang dan Pinuji apa yang telah terjadi padepokan Kiai Timbang Laras, maka Kiai Warangkapun kmeudian berdesis - Aku sudah mengira, bahwa ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi dipadepokan Timbang La"ras. Serat Waja menarik nafas panjang. Katanya - Sayang sekali. Kenapa kakang Timbang Laras begitu mudahnya terpengaruh oleh Ki Jatha Beri. Apa yang telah terjadi sebenarnya dengan kakang Tim"bang Laras" - Nampaknya memang tidak ada apa-apa yang terjadi - jawab Perbatang - hanya setiap kali Kiai timbang Laras pergi meninggal"kan padepokan untuk satu dua hari bersama Ki Jatha Beri. Namun ke"mudian kembali lagi. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Segalanya berjalan seperti biasanya Namun perubahan sikap dan sifat Kiai Timbang Laraslah yang kemudian telah menggelisah"kan kami. Nampaknya pengaruh Ki Jatha Beri perlahan-lahan telah menyusup dan bahkan kemudian mencengkam jantung Kiai Timbang Laras tanpa disadari. Kiai Warangka mendengarkan keterangan Perbatang dan Pinuji dengan seksama. Dengan nada berat Kiai Warangka itupun kemudian berkata - Baiklah. Kami akan memberikan perlindungan kepada kali"an disini. Tetapi jika kelak Timbang Laras datang untuk mengambil kuda-kudanya, maka biarlah kuda-kuda itu dibawanya. - Tetapi bagaimana dengan kami " - bertanya Pinuji.
- Kalian kami terima sebagai keluarga kami Jika Timbang Laras tidak lagi dapat melindungi kalian, maka biarlah kami berusaha melindungi kalian. - Terima kasih, Kiai - berkata Pinuji dengan nada berat -kami memang merasa seakan-akan anak ayam yang kehilangan in"duk. Karena itu, maka kami akan merasakan kehangatan perlindungan Kiai serta keluarga padepokan ini. - Apakah Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri mengetahui bahwa kalian berada disini sekarang " - bertanya Ki Jayaraga.
- Agaknya sekarang belum. Tetapi pada suatu saat, agaknya mereka akan mengetahuinya pula. - jawab Perbatang. .
- Baiklah - desis Kiai Warangka - apapun yang terjadi itu adalah akibat dari kesediaan kami melindungi kalian. Sebenarnya perlindungan kami terutama kami tujukan terhadap perlakuan Ki Jatha Beri. Orang itu tidak berhak untuk menghukum kalian. Sementara itu, Timbang Laras telah kehilangan kepribadiannya. Bahkan Timbang Laras telah datang ke Padepokan ini untuk mempertanyakan peti tembaga itu. Perbatang dan Pinuji serta para cantrik yang ikut bersama me"reka, merasa menjadi tenang karena kesediaan Kiai Warangka melin"dungi mereka. Karena dengan demikian, mereka tidak lagi merasa se"bagai orang-orang liar yang tidak mempunyai tempat untuk hinggap, sedangkan burung dilangit saja mempunyai sarang untuk tinggal.
- Nah, jika demikian, kalian harus mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Cobalah hidup dengan cara dan kebiasaan sebagaimana orang-orang padepokan ini. Selain itu kalianpun harus menyesuaikan diri. dengan perkembangan ilmu yang terjadi disini. Meskipun sumber ilmu kalian sama dengan kami disini, tetapi ada unsur-unsur yang arah perkembangannya berbeda dan masih harus disesuaikan - berkata Kiai Warangka.
- Terima kasih, Kiai. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Kami akan menyesuikan dengan kehidupan dipadepokan ini dan kami akan mengerjakan tugas apapun yang dibebankan kepada kami. Demikianlah, sejak hari itu, beberapa orang cantrik dari padep"okan Kiai Timbang Laras telah berada dipadepokan Kiai Warangka. Mereka mencoba dengan kesungguhan hati. Sementara para cantrik dari padepokan Kiai Warangkapun berusaha memberikan tempat dan kesempatan sebaik-baiknya kepada mereka.
Sementara itu, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri harus menunggu tanpa akhir kedatangan kedua kelompok cantrik yang memburu Perbatang dan Pinuji. Sementara sebagian besar dari para cantrik itu adalah justru para pengikut Kiai Jatha Beri, sehingga kare"na kemarahan Kiai Jatha Beri rasa-rasanya ubun-ubunnya telah terbakar.
Namun orang-orangnya itupun tidak dapat diketemukannya pula.
Namun akhirnya Kiai Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras telah mengambil kesimpulan, bahwa para cantrik agaknya telah dibinasa"kan oleh Ki Resa.
- Ternyata Ki Resa tentu tidak sendiri - berkata Ki Jatha Beri - ia tentu mempunyai beberapa orang pengikut atau mungkin murid-muridnya yang telah membantunya. - Kita harus menyelidikinya - desis Kiai Timbang Laras.
- Tetapi kia harus berhati-hati. Ki Resa tidak boleh lepas dari tangan kita, sementara kita sadari, bahwa Ki Resa adalah seorang be"rilmu tinggi. - geram Ki Jatha Beri.
Tetapi Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak segera dapat menemukan Ki Resa yang hilang dari rumahnya. Bukan hanya Ki Resa sendiri, tetapi seluruh keluarganya.
Demikian pula Perbatang dan Pinuji. Jejaknya sama sekali ti"dak tercium oleh Kiai Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa keduanya justru berada dipadepokan Kiai Warangka.
Namun demikian, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri ti"dak menghentikan usahanya untuk mendapatkan peti tembaga yang diduga disimpan oleh Kiai Warangka, sehingga setelah Kiai Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras merasa tidak lagi dapat menemukan Ki Resa, Perbatang dan Pinuji, maka perhatian mereka kembali tertuju kepada peti tembaga itu.
0o0 Dalam pada itu, di tanah Perdikan Menoreh, telah diseleng"garakan penyambutan para pengawal yang kembali dari Mataram. Setelah mereka mendapat sambutan yang hangat di Kotaraja, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sebagaimana juga para pen"gawal dari berbagai tempat termasuk dari para pengawal dari Kade"mangan Sangkal Putung, telah kembali ke tempat masing-masing. Swandarupun telah membawa pasukan pengawalnya kembali pulang dengan kebanggaan bahwa mereka telah ikut serta memenangkan se"buah pertempuran yang besar di Pati.
Namun sebelum berpisah dengan Agung Sedayu yang masih belum pulih kembali, ia sempat berpesan - Kakang. Tidak jemuje-munya aku menasehatkan agar kakang bersedia menyediakan waktu sedikit disetiap hari untuk kepentingan kakang pribadi. Jika kakang hanya menekuni tugas-tugas kakang, maka rasa-rasanya memang ti"dak akan pernah ada waktu tuang. Tetapi sebagai seorang Lurah Pra"jurit, maka kakang memerlukan bekal yang lebih tinggi. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata selanjutnya - Dalam tugas-tugas kakang selanjutnya, maka kakang seharusnya telah meningkatkan ilmu kakang sampai ke pun"cak.Agung Sedayu masih mengangguk-angguk sambti berdesis - baiklah, Adi Swandaru. Aku akan menyisihkan waktu untuk itu. Swandaru tersenyum. Katanya - Kakang akan lekas sembuh dan pulih kembali. Tetapi sayang, aku belum mempunyai kesempa"tan singgah. Mungkin dalam waktu dekat aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. - Kami menunggu kedatanganmu, Swandaru. Ketika kemudian mereka berpisah, maka Glagah Putih mena"rik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya dapat menahan diri. Semen"tara Agung Sedayu sendiri tidak pernah menyanggah pesan-pesan yang selalu diberikan oleh Swandaru.
Sebenarnya Panembahan Senapati sendiri serta Ki Patih Man"daraka minta agar Agung Sedayu untuk sementara tetap berada di Mataram. Namun Agung Sedayu ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan pasukannya.
Dalam pada itu, secara khusus Panembahan Senapati telah menemui Agung Sedayu yang masih lemah. Tanpa ada orang lain, Panembahan Senapati berkata kepada Agung Sedayu - Kita pernah melakukan pengembaraan bersama Agung Sedayu. Aku mengenalmu dengan baik dan kau mengenal aku dengan baik. Kita pernah mencoba mencari, menerawang sisi-sisi dari kehidupan. Kita pernah belajar membaca arti dari kediaman yang sepi, tetapi juga gejolak angin prahara yang bagaikan mengguncang pebukitan. Kita pernah duduk sambil bercanda dengan hangatnya perapian disaat-saat dingin mencengkam. Tetapi kita juga pernah berlaga dengan panasnya yang membakar hutan-hutan di lereng pegunungan. Bahkan juga getar pa"nasnya api yang terpancar dari berbagai macam ilmu yang dnggi. Kita juga pernah berendam dalam tenangnya air sendang yang ben"ing, tetapi kita juga pernah hanyut dan berenang menentang arus banjir bandang. Bukan saja banjir bandang yang tumpah dari deras"nya air hujan di lereng pegunungan yang gundul karena ulah kita, te"tapi banjir bandang yang menderu dari dahsyatnya ilmu kanuragan. Agung Sedayu yang masih lemah itu hanya mengangguk-angguk saja.
Buku 306 NAMUN Agung Sedayu itu terkejut ketika Panembahan Senapati itu berkata, "Tetapi perjalanan ini mendekatkan kita kepada batas akhir dari segala-galanya."
"Panembahan," desis Agung Sedayu, "jika nanti senja turun dan malam menjadi gelap, bukankah itu berarti bahwa kita berada di dalam penantian untuk menyongsong matahari yang terbit esok?"
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, "Sudahlah, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau lekas sembuh dan benar-benar pulih kembali. Kita akan mencoba menikmati cahaya langit di senja hari. Agung Sedayu, tiba-tiba saja aku merindukan kedamaian hati. Damai dengan sesama dan damai dengan Yang Maha Pencipta."
"Panembahan," Agung Sedayu menjadi semakin heran mendengar kata-kata Panembahan Senapati itu.
Tetapi Panembahan Senapati menepuk bahu Agung Sedayu sambil berkata, "Salamku buat Ki Gede Menoreh dan buat seluruh penghuni tanah perdikan."
Agung Sedayu memandang Panembahan Senapati dengan sebangsal pertanyaan tersimpan di dadanya
Ketika kemudian Panembahan Senapati meninggalkan Agung Sedayu, ia sempat berkata, "Aku merasa bersyukur bahwa aku sudah mempersiapkan putraku."
Sikap Panembahan Senapati itu tidak segera dapat dilupakan oleh Agung Sedayu. Rasa-rasanya ada pesan yang ingin disampaikan. Tetapi pesan itu tidak terucapkan dengan wantah.
Sementara itu, Ki Patih Mandaraka sempat melepas pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu yang masih lemah duduk di atas punggung kudanya. Sambil mengucapkan terima kasih Agung Sedayu mohon diri untuk membawa para prajurit dari pasukan khususnya bersama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun meninggalkan Mataram menempuh perjalanan yang tidak terlalu panjang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika pasukan itu sampai di Kali Praga, maka para prajurit itu harus dengan sabar menunggu gilirannya. Beberapa buah rakit hilir mudik membawa para prajurit dari pasukan khusus dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun demikian mereka menyeberang, maka kedua pasukan itu pun telah berpisah. Agung Sedayu menyerahkan pasukannya kepada seorang kepercayaannya, karena dalam keadaannya, Agung Sedayu akan beristirahat di rumahnya.
Karena itu, maka Agung Sedayu kemudian berada di dalam pasukan pengawal tanah perdikan yang akan langsung menuju ke padukuhan induk. Pasukan itu akan melaporkan kehadirannya kepada Ki Gede Menoreh. Baru kemudian, mereka akan kembali ke padukuhan mereka masing-masing.
Pasukan pengawal itu disambut dengan meriah di Tanah Perdikan Menoreh. Namun di samping itu, maka seperti yang pernah terjadi beberapa kali, maka air mata pun telah menitik membasahi bumi Menoreh. Di samping mereka yang pulang dengan kebanggaan di dalam dada, ternyata ada pula di antara pengawal yang tertinggal dan tidak akan pernah kembali lagi.
Jantung Sekar Mirah pun terasa berdegup semakin cepat ketika ia ikut menyambut kedatangan para pengawal itu. Sekar Mirah melihat keadaan Agung Sedayu yang lemah, yang harus di bantu oleh Glagah Putih turun dari kuda, kemudian dipapah naik ke banjar.
Agung Sedayu tidak dapat berdiri berjajar bersama Ki Gede dan para bebahu menyambut para pengawal yang berada di halaman banjar yang luas itu. Tetapi Agung Sedayu langsung dipersilakan duduk di pringgitan banjar bersandar dinding.
Sekar Mirah semula mengira bahwa Agung Sedayu tidak berada di antara para pengawal tanah perdikan. Sekar Mirah menyangka bahwa Agung Sedayu akan berada di antara para prajurit dari pasukan khusus langsung kembali ke baraknya. Namun ternyata Agung Sedayu dalam keadaan yang lemah justru berada bersama para pengawal.
Karena itu, maka Sekar Mirah pun langsung bergegas mendapatkan
"Kakang," wajah Sekar Mirah membayangkan kecemasannya.
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Segala sesuatunya sudah lampau. Keadaanku sudah berangsur semakin baik."
"Apa yang telah terjadi. Kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Sebagaimana sering terjadi di medan pertempuran. Tetapi Yang Maha Agung masih melindungi aku."
Di wajah Sekar Mirah masih membayang kecemasannya. Kepada Glagah Putih yang selalu mendampingi Agung Sedayu, Sekar Mirah itu pun bertanya, "Apa yang telah terjadi, Glagah Putih?"
"Benturan ilmu yang dahsyat. Kakang Agung Sedayu ternyata telah bertemu dan bertempur melawan salah seorang saudara seperguruan Kangjeng Adipati Pragola."
"Ah," desah Sekar Mirah.
"Tetapi sekarang Kakang Agung Sedayu sudah ada di sini dengan selamat."
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun ia pun berdesis, "Yang Maha Agung masih melindungi Kakang."
"Ya," desis Agung Sedayu, "bahkan keadaanku sudah menjadi semakin baik. Saat-saat yang paling gawat itu telah lewat."
Dalam pada itu, upacara penyambutan pun telah selesai. Para pengawal akan segera kembali ke padukuhan masing-masing. Namun Ki Gede masih menjanjikan penyambutan yang lebih meriah bagi para pengawal.
"Di setiap padukuhan akan diselenggarakan keramaian," berkata Ki Gede kepada para pengawal itu.
Namun keramaian itu akan dapat menjadikan hati yang terluka menjadi semakin pedih. Namun Ki Gede pun telah minta kepada para bekel dan bebahu untuk selalu berhubungan dengan mereka. Meringankan beban batin mereka yang kehilangan sanak kandangnya di medan.
Sementara itu, Agung Sedayu masih sempat sedikit berbincang dengan Ki Gede. Dari Prastawa, Ki Gede sudah mendengar, apa yang telah terjadi dengan Agung Sedayu.
Ki Gede pun kemudian telah mempersilakan Agung Sedayu untuk segera pulang dan beristirahat agar keadaannya menjadi semakin baik.
Rara Wulan pun merasa bersyukur, bahwa Glagah Putih dapat kembali dengan selamat. Ia pun bersyukur, bahwa Agung Sedayu tidak mengalami keadaan yang lebih buruk lagi.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sedang berada di padepokan Kiai Warangka itu pun telah memerlukan kembali ketika ia mendengar bahwa Agung Sedayu, Glagah Putih dan para pengawal telah pulang kembali, untuk mengucapkan selamat.
Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menceritakan keadaan Agung Sedayu seluruhnya. Apa yang tidak diceritakannya kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan telah diceritakannya kepada Ki Jayaraga.
"Keadaanku sangat parah waktu itu, Ki Jayaraga," berkata Agung Sedayu.
"Kami semuanya sudah cemas," desis Glagah Putih, "Seakan-akan sudah tidak ada harapan lagi. Tetapi ternyata Yang Maha Agung masih mengaruniakan umur lebih panjang lagi bagi kakang Agung Sedayu."
"Kita harus bersyukur," Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
"Keadaanku sudah menjadi jauh lebih baik sekarang meskipun aku masih sangat lemah."
"Aku dapat membayangkan keadaan Ki Lurah Agung Sedayu pada waktu itu dengan melihat keadaannya sekarang," berkata Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga berjanji tidak akan bercerita lebih banyak lagi kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, agar mereka tidak menjadi cemas meskipun itu sudah lewat.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga menceritakan bahwa untuk sementara ia berada di padepokan Kiai Warangka, karena persoalan yang terjadi antara Kiai Warangka dan adik seperguruannya nampaknya semakin berlarut-larut.
"Jadi persoalan itu masih belum selesai?" bertanya Glagah Putih.
"Memang belum," jawab Ki Jayaraga, "persoalannya justru menjadi semakin rumit. Adik seperguruan Kiai Warangka telah dipengaruhi oleh seorang yang bernama Ki Jatha Beri. Orang yang sebelumnya aku kenal bernama Ki Jatha Andhapan. Ternyata orang itu mampu mengubah sifat dan watak Kiai Timbang Laras, saudara muda Kiai Warangka."
"Menarik sekali," berkata Glagah Putih.
"Itulah sebabnya aku untuk sementara berada di padepokan Kiai Warangka. Seorang lagi adik seperguruan Kiai Warangka juga berada di padepokan itu."
"Kepada siapa ia berpihak?" bertanya Glagah Putih.
"Ia berpihak kepada Kiai Warangka. Namanya Serat Waja."
"Ki Jayaraga," berkata Glagah Putih, "setelah beristirahat sepekan, rasa-rasanya aku ingin juga pergi ke padepokan Kiai Warangka. Aku ingin untuk beberapa lama tinggal di sebuah padepokan yang tidak terlalu sepi sebagaimana padepokan orang bercambuk di Jati Anom yang kini dipimpin oleh ayahku."
"Padepokan Kiai Warangka memang terhitung cukup besar Ngger. Tetapi sekarang padepokan itu sedang dibayang-bayangi oleh persoalan yang rumit di antara saudara seperguruan."
"Jika aku berada di padepokan itu, aku akan mengikut saja, apa yang akan dilakukan oleh Ki Jayaraga yang sudah mengetahui keadaannya lebih dalam. Aku yakin bahwa jika aku mengikut Ki Jayaraga, maka aku tentu berada di pihak yang benar."
Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Bagi Glagah Putih, Ki Jayaraga adalah salah seorang gurunya, sehingga ia tidak akan ragu-ragu mengikuti sikapnya.
Tetapi Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, "Kau jangan tergesa-gesa pergi lagi. Glagah Putih. Beristirahatlah untuk waktu yang cukup."
"Bukankah sepekan sudah cukup lama, Ki Jayaraga. Segala-galanya tentu sudah pulih kembali."
"Kau membutuhkan suasana yang tenang setelah kau berada di dalam peperangan. Kau harus mendinginkan darahmu yang bergelora selama kau berada di tengah-tengah peperangan. Darah, desah dan jerit kesakitan, sorak kemenangan tetapi juga umpatan dan kutukan, tetapi juga rintihan yang menyayat, masih membayangimu. Jika dalam keadaan yang demikian, kau terantuk pada sedikit persoalan yang menyinggung perasaanmu, maka darahmu akan dengan cepat mendidih lagi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti keterangan Ki Jayaraga. Karena itu, maka ia tidak membantah. Namun Glagah Putih itu akan dapat tiba-tiba saja mengikut pergi ke padepokan di dekat Kronggahan itu. Karena jaraknya memang tidak terlalu jauh meskipun letaknya di seberang bukit
Demikianlah, maka untuk beberapa hari Ki Jayaraga berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu keadaan Agung Sedayu pun menjadi semakin baik. Bahkan kemudian telah menjadi sembuh sama sekali, meskipun tenaganya masih belum pulih kembali.
Ketika Ki Jayaraga kemudian berniat kembali ke padepokan Kiai Warangka, maka Glagah Putih telah menemuinya.
"Apakah aku diizinkan untuk ikut, Ki Jayaraga?"
"Kau baru saja kembali, Glagah Putih. Apakah kau tidak ingin beristirahat lebih lama.?"
"Bukankah aku dapat beristirahat di padepokan Kiai Warangka untuk beberapa hari."
"Apakah kau sudah berbicara dengan Rara Wulan?" bertanya Ki Jayaraga.
"Jika Ki Jayaraga mengizinkan aku pergi, aku akan berbicara dengan Rara Wulan."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya sulit baginya untuk menolak keinginan Glagah Putih menyertainya. Meskipun demikian ia berkata, "Berbicaralah dengan kakakmu."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan berbicara dengan kakang Agung Sedayu."
Namun kemudian Ki Jayaraga itu berkata, "Tetapi jika kau menduga bahwa kau akan dapat beristirahat di padepokan Kiai Warangka, maka dugaanmu itu akan keliru. Sudah aku katakan, bahwa di padepokan itu sedang terjadi pergolakan antara dua orang saudara seperguruan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti, Ki Jayaraga."
"Meskipun yang membayang bukan perang seperti Mataram melawan Pati, tetapi bahaya yang mengancam setiap orang yang berada di padepokan itu tidak akan banyak berbeda."
"Aku mengerti, guru," desis Glagah Putih pula.
"Jika demikian, bai klah. Tetapi kau harus berbicara dengan kakangmu Agung Sedayu, dengan mbakayumu Sekar Mirah dan Rara Wulan."
Ketika hal itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu tidak dapat melarangnya. Ia menyadari gejolak jiwa anak-anak muda yang tidak dapat duduk termenung tanpa melakukan sesuatu. Untunglah bahwa Glagah Putih memilih melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinya sendiri dan bagi banyak orang.
Namun ketika Glagah Putih mengatakan niatnya kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu pun berkata, "Bukankah kau baru saja kembali dari medan perang yang garang?"
"Aku sudah cukup lama beristirahat, Wulan," jawab Glagah Putih.
"Tetapi rasa-rasa keringatmu belum kering, Kakang."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku ingin mendapatkan satu pengalaman baru di padepokan Kiai Warangka. Bukan sekedar berada di dalam satu barisan yang besar dan kemudian berbenturan dalam perang yang besar pula. Tetapi di sebuah padepokan aku dapat menemukan persoalan-persoalan yang langsung menyangkut sisi-sisi kehidupan ini."
"Tetapi padepokan itu pun sedang bergejolak sekarang ini. Jika kau berada di padepokan itu, maka yang kau jumpai juga tidak lebih dari kekerasan seperti yang kau jumpai dalam peperangan."
"Aku mengerti Wulan. Tetapi di padepokan aku seakan-akan dapat melihat satu kehidupan yang lengkap dan utuh. Sisi hubungan antara sesama dan lingkungan serta sisi hubungan dengan Penciptanya."
"Apakah hal seperti itu tidak dapat kau temukan di tanah perdikan ini" Apalagi tanah perdikan ini adalah satu lingkungan yang terbuka, sementara di padepokan Kiai Warangka adalah satu lingkungan yang tertutup meskipun tidak mutlak."
"Wulan. Kekhususan itulah yang ingin aku alami. Selebihnya, aku ingin mendapatkan satu pengalaman baru dalam olah kanuragan. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku sadap dari Kiai Warangka dan padepokannya."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa sulit baginya untuk menahan Glagah Putih. Ketika hal itu dikatakannya kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun berkata, "Seorang laki-laki yang masih muda, memang sulit untuk dikekang jika jantungnya sedang bergejolak. Sebaiknya kau biarkan Glagah Putih pergi. Jika tidak, justru akan menjadi lebih sulit lagi. Bukankah ia pergi ke padepokan Kiai Warangka bersama gurunya?"
Rara Wulan mengangguk. "Nah, biarkan ia pergi untuk sementara. Berdoalah bagi keselamatannya. Glagah Putih bukan termasuk seorang laki-laki yang mudah kehilangan pengamatan diri."
Akhirnya Glagah Putih pun dilepas oleh seisi rumah itu untuk pergi bersama gurunya ke padepokan Kiai Warangka.
Perjalanan ke padepokan itu adalah perjalanan yang tidak terlalu panjang. Karena itu, mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama pula.
Ketika Ki Jayaraga dan Glagah Putih sampai di padepokan, mereka masih merasakan suasana yang tegang. Beberapa orang masih nampak berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Beberapa orang cantrik duduk bergerombol di sudut-sudut. Sementara penjagaan di pintu regol agak diperkuat.
Ketika kemudian Ki Jayaraga dan Glagah Putih bertemu dengan Kiai Warangka, maka sebelum Ki Jayaraga bertanya, Kiai Warangka sudah bercerita, "Timbang Laras dan Jatha Beri beserta beberapa orang pengiringnya baru saja meninggalkan padepokan ini."
"Oh," Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
"Ternyata mereka berhasil menelusuri jejak perjalanan kuda-kuda mereka. Meskipun saat Perbatang dan Pinuji menggiring kuda-kuda itu hujan turun dengan lebatnya, namun Kiai Timbang Laras berhasil mendapat petunjuk ke mana kuda-kuda itu digiring."
"Lalu, apa yang mereka lakukan?" bertanya Ki Jayaraga. "Mereka minta kembali kuda-kuda mereka."
"Bukankah Kiai Warangka memang berniat untuk menyerahkan kuda-kuda itu kembali kepada mereka, jika mereka minta?"
"Ya. Aku sudah mengembalikan semua kuda yang dibawa ke padepokan ini."
"Jika demikian, bukankah tidak ada persoalan baru selain peti tembaga itu?"
"Ada," jawab Kiai Warangka, "mereka minta kita menyerahkan orang-orangnya yang ada di padepokan ini."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa kehadiran beberapa orang dari padepokan Kiai Timbang Laras akan membuat hubungan antara kedua orang saudara seperguruan itu menjadi semakin buruk. Tetapi Ki Jayaraga memerlukan perlindungan. Jika mereka tidak mendapat perlindungan di padepokan Kiai Warangka, maka jiwa mereka memang yang sudah berada di bawah pengaruh Ki Jatha Beri. Seorang yang sebelumnya telah pernah dikenal oleh Ki Jayaraga sebagai seorang pemimpin dari lingkungan hitam.
Dari sebuah lubang pintu regol yang dapat ditutup dan dibuka. Kiai Warangka dapat melihat seorang yang duduk di atas punggung kudanya berderap tidak terlalu cepat menuju ke pintu gerbang padepokan.
Namun untuk meyakinkan sikapnya, Ki Jayaraga itu pun bertanya kepada Kiai Warangka, "Bagaimana pendapat Kiai tentang orang-orang itu?"
"Aku tidak dapat melepaskan dan membiarkan mereka digantung di halaman padepokannya sendiri."
"Ya," Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Mereka memang memerlukan perlindungan."
Sementara itu Kiai Warangka dan Serat Waja beserta beberapa orang yang membantu Kiai Warangka memimpin padepokan itu telah mengucapkan selamat datang kepada Glagah Putih. Mereka menyambut gembira kedatangan anak muda itu. Namun Kiai Warangka pun kemudian berkata, "Tetapi Angger datang ke padepokan kami justru pada saat padepokan kami sedang dibayangi oleh perselisihan antara kedua padepokan yang dipimpin oleh saudara seperguruan."
"Aku sudah mendapat keterangan dari Ki Jayaraga," sahut Glagah Putih, "mudah-mudahan perselisihan itu tidak menjalar dan menjadi semakin berkembang."
"Mudah-mudahan Angger . Tet api nampaknya pengaruh seseorang telah mencengkam jantung saudara muda seperguruanku, sehingga hubungan kami rasa-rasanya menjadi semakin jauh."
pun berkata, "Tetapi itu adalah persoalan kami Ngger. Biarlah kami mencoba menyelesaikannya dengan baik. Sementara itu aku harap Angger merasa kerasan di sini. Angger dapat melihat apa saja yang ingin Angger lihat di sini."
"Terima kasih. Kiai, "sahut Glagah Putih, "di padepokan ini, aku berharap bahwa aku akan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang dapat menjadi bekal hidupku di masa mendatang."
Kiai Warangka tertawa. Katanya, "Tidak ada apa-apa di padepokan ini, Ngger. Tetapi mudah-mudahan yang tidak ada apa-apanya ini dapat berarti betapun kecilnya bagi Angger. Aku berharap bahwa Angger dapat menganggap padepokan ini sebagai padepokan angger sendiri. Demikian hendaknya Angger dapat berhubungan dengan para cantrik dengan baik pula. Karena sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang kurang pengetahuan."
Glagah Putih mengangguk hormat sambil berkata, "Aku akan berusaha sebaik-baiknya, Kiai."
Demikianlah, maka Glagah Putih pun untuk sementara telah berada di padepokan Kiai Warangka itu. Glagah Putih berusaha untuk benar-benar dapat luluh dalam pergaulan dengan para cantrik di padepokan itu. Glagah Putih melakukan apa yang dilakukan oleh para cantrik.
Dengan demikian, maka hubungan antara Gagah Putih dan para cantrik pun dengan cepat menjadi akrab. Bahkan dengan para cantrik yang semula murid Kiai Timbang Laras.
Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang cantrik yang minta perlindungan ke padepokan itu tidak merahasiakan persoalan yang terjadi pada mereka, sehingga mereka telah berada di padepokan itu.
"Tetapi jika terjadi benturan antara padepokan ini dengan padepokan Kiai Timbang Laras itu bukan karena salah kalian," desis Glagah Putih.
"Kami telah memperburuk hubungan antara kedua padepokan ini," desis Perbatang.
"Tetapi persoalan yang sebenarnya tidak terletak pada kalian. Apakah kalian berada di sini atau tidak, maka perselisihan itu sudah terjadi."
Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Namun masih membayang di matanya perasaan bersalah itu.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam waktu dua tiga hari, Glagah Putih telah mengenal padepokan itu dengan baik. Glagah Putih pun telah sempat melihat lingkungan yang dipergunakan oleh padepokan Kiai Warangka itu untuk beternak.
Perbatang dan Pinuji yang pernah berada di padepokan itu sebelumnya untuk melihat dengan mata batinnya apakah peti tembaga dari padepokan itu masih ada atau tidak, juga baru melihat peternakan itu kemudian. Pada kehadirannya yang pertama, Perbatang dan Pinuji hanya melihat padepokan induk itu saja.
Namun ternyata bahwa selain padepokan induk itu masih terdapat bagian-bagian dari padepokan Kiai Warangka yang tidak kalah pentingnya. Bahkan Perbatang dan Pinuji agak terkejut juga melihat kekuatan yang sebenarnya yang terdapat di padepokan itu.
Namun Perbatang dan Pinuji kemudian telah menjadi bagian dari padepokan itu pula. Padepokan yang ternyata lebih besar dari padepokan yang telah ditinggalkannya.
Namun yang dicemaskan oleh Perbatang dan Pinuji adalah justru kehadiran Ki Jatha Beri yang telah menghujamkan pengaruhnya di padepokan Kiai Timbang Laras.
Bagaimanapun juga, Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik yang kemudian berada di padepokan Kiai Warangka itu tidak dapat melepaskan begitu saja tali yang pernah mengikat diri mereka dengan padepokan itu.
Mereka akan merasa kehilangan jika benar-benar Ki Jatha Beri berhasil mencengkam dan kemudian menggenggam padepokan yang semula dipimpin oleh Kiai Timbang Laras.
Namun mereka sadar, bahwa satu-satunya tempat yang dapat melindunginya adalah padepokan Kiai Warangka itu. Meskipun dengan demikian mereka seakan-akan telah menjadi sebab hubungan yang semakin buruk.
Sebenarnyalah, bahwa persoalan yang menyangkut kedua padepokan itu bukan saja tentang peti tembaga yang belum ditemukan, tetapi juga tentang orang-orang yang telah menyeberang itu.
Seperti yang dicemaskan sejak semula, maka setelah pembicaraan yang panjang tidak menemukan titik temu, maka Kiai Timbang Laras mulai menunjukkan sikap yang lebih kasar lagi.
Namun seisi padepokan Kiai Warangka itu terkejut ketika salah seorang dari petugas di pintu regol padepokan itu melaporkan bahwa seorang berkuda tengah mendatangi padepokan itu.
"Siapa?" bertanya Kiai Warangka.
"Masih terlalu jauh untuk dapat dikenali. Kiai," jawab cantrik itu.
Namun sebelum Kiai Warangka mengambil sikap tertentu, seorang cantrik yang lain yang juga bertugas di regol telah datang memberikan laporan, "Kiai. Yang datang adalah Ki Resa, orang yang pernah berada di padepokan ini."
"Ki Resa?" Kiai Warangka mengulangi, namun Kiai Warangka pun kemudian ingin melihat sendiri, apakah cantrik itu tidak keliru.
Dari sebuah lubang di pintu regol yang dapat ditutup dan dibuka, Kiai Warangka dapat melihat seorang yang duduk di atas punggung kudanya berderap tidak terlalu cepat menuju ke pintu gerbang padepokan.
Orang itu memang Ki Resa.
"Buka pintunya!" desis Kiai Warangka.
Para cantrik yang bertugas di regol itu pun kemudian telah membuka pintu sebelum Ki Resa sampai di depan regol.
Ki Resa tersenyum ketika ia melihat Kiai Warangka sendiri berdiri di pintu menyambutnya.
Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dari kudanya.
Dengan ramah Kiai Warangka mempersilakan tamunya memasuki padepokannya.
Beberapa saat kemudian, Ki Resa itu sudah duduk di pendapa bersama Kiai Warangka, Serat Waja, Ki Jayaraga, Glagah Putih serta Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik yang menyeberang dari perguruan Kiai Timbang Laras.
"Bagaimana dengan keluarga Ki Resa?" bertanya Perbatang.
Ki Resa tersenyum. Katanya, "Aku telah menyembunyikan keluargaku di tempat yang aman. Aku berharap bahwa Kiai Timbang Laras dan Jatha Beri tidak menemukan mereka."
"Lalu, bagaimana dengan Ki Resa sendiri?"
"Jika Kiai Warangka berkenan, untuk sementara aku akan tinggal di sini. Aku tidak berkeberatan jika Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tahu bahwa aku berada di sini."
"Tetapi apakah hal itu tidak akan berbahaya bagi keluarga Ki Resa. Jika mereka mengetahui Ki Resa berada di sini, maka mereka merasa aman untuk memburu keluarga Ki Resa untuk dipergunakan memaksa Ki Resa menyerah."
"Aku berharap bahwa mereka tidak akan dapat menemukan keluargaku, karena keluargaku sudah berada di tempat yang agak jauh di sebuah padukuhan yang jarang didatangi oleh orang lain kecuali penghuni padukuhan itu sendiri. Mereka tinggal pada keluarga yang tidak pernah dibicarakan orang. Di padukuhan itu mereka tinggal pada seorang yang masih mempunyai hubungan keluarga dan dapat dipercaya."
"Syukurlah," desis Perbatang kemudian, "Ternyata KvJatha Beri mempergunakan segala cara untuk memaksakan kehendaknya tanpa menghiraukan nilai-nilai tatanan kehidupan."
"Sayangnya Kiai Timbang Laras telah terpengaruh oleh sikap itu."
"Itulah yang membuat aku prihatin," sahut Kiai Warangka, "bahkan nampaknya sulit bagiku untuk menyeret Timbang Laras dari desakan pengaruh Jatha Beri."
====== (tidak bisa dibaca)====== kannya."
Dengan demikian, maka sejak hari itu, Ki Resa telah beerada di padepokan itu pula. Sehingga dengan demikian, maka padepokan itu menjadi semakin ramai. Glagah Putih yang mulai berhubungan dengan Ki Resa mengetahui, bahwa Ki Resa telah mempunyai kelebihan dari orang lain. Ki Resa telah banyak menjalani laku untuk berusaha memahami isyarat-isyarat itu, untuk kemudian diterjemahkannya.
Bagi Glagah Putih kemampuan Ki Resa itu sangat menarik perhatian. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa laku yang di jalani oleh Ki Resa tentu tidak hanya empat lima tahun untuk sampai pada tatarannya yang sekarang.
Meskipun demikian, maka hubungannya dengan Ki Resa telah memberikan satu pengalaman tersendiri bagi Glagah Putih. Meskipun Glagah Putih tidak memasuki laku untuk mendalami ilmu itu, tetapi serba sedikit Glagah Putih dapat mengerti, apa yang telah terjadi di dalam diri Ki Resa. Apalagi kepada Glagah Putih Ki Resa sengaja tidak menyembunyikan sesuatu.
Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih mencari pengalaman baru lahir dan batinnya di dalam padepokan Kiai Warangka, maka yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.
Kiai Timbang Laras yang telah kehabisan kesabaran ternyata telah datang bukan saja bersama dengan Ki Jatha Beri. Tetapi juga bersama beberapa orang yang namanya pernah didengar oleh Ki Jayaraga.
Kiai Warangka menerima saudara seperguruannya itu di pendapa pada bangunan utama padepokannya bersama Ki Jayaraga dan Serat Waja.
Kiai Timbang Laras tidak lagi minta kepada saudara seperguruannya itu agar menunjukkan peti tembaga yang masih belum diketahui berada di mana, tetapi Kiai Timbang Laras datang dengan ancaman.
"Aku sudah kehilangan kesabaran, Kakang," berkata Kiai Timbang Laras, "jika dalam waktu sepekan, Kakang tidak menyerahkan peti itu bersama murid-muridku yang berkhianat, maka aku terpaksa untuk datang dengan kekuatan penuh. Aku akan tinggal di padepokan ini untuk waktu yang tidak ditentukan bersama para cantrik dan orang-orang yang aku percaya. Karena ternyata saudara-saudara seperguruanku sendiri tidak dapat dipercaya lagi."
"Timbang laras," berkata Kiai Warangka, "kau tentu tahu jawabku, karena aku sendiri memimpin sebuah padepokan."
"Aku tidak mau meraba-raba hati orang. Katakan agar saudara-saudaraku yang ternyata lebih mengerti tentang diriku dari saudara seperguruanku, dapat langsung mendengarnya."
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Meskipun dengan berat ia pun kemudian berkata, "Timbang Laras. Adakah seorang pemimpin padepokan akan begitu saja melepaskan padepokannya dan menyerahkannya pada orang lain, meskipun orang lain itu saudara seperguruannya" Timbang Laras. meskipun kau datang dengan orang-orang yang kau anggap lebih mengerti tentang dirimu daripada saudara-saudara seperguruanmu, yang aku yakin akan bekerja bersamamu mengusik padepokan ini, namun aku tidak akan beranjak dari tempatku, apapun yang terjadi. Bahkan seandainya aku harus bermusuhan dengan saudara seperguruanku sendiri, aku akan tempuh juga."
"Bagus Kakang. Jika demikian persoalannya sudah jelas. Aku tinggal menunggu sepekan lagi. Jika Kakang mengeraskan hati kakang, maka aku tidak akan memberikan peringatan sekali lagi. Aku akan langsung datang bersama kekuatan yang ada di belakangku. Aku akan mengusir Kakang dan para cantrik penghuni padepokan ini. Aku akan tinggal di sini, sementara aku akan sempat menggantung Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang pengkhianat yang lain."
"Timbang Laras. Jika sepekan lagi kau datang dengan tekadmu itu, maka apa boleh buat. Aku akan menghadapimu benar-benar sebagai lawan. Aku akan melupakan ikatan persaudaraan kita. Sebelum, kita bersama-sama berguru, kita memang orang lain, biarlah itu terjadi."
Kiai Timbang Laras menggeram. Katanya, "Kakang telah benar-benar lupa diri. Kakang sudah melupakan sangkar, paraning dumadi. Maaf, Kakang. Bukan maksudku mengucapkan kutukan, tetapi meskipun aku terhitung lebih muda tetapi apa yang aku katakan akan terjadi atas Kakang, karena Kakang sudah kehilangan watak seorang saudara tua yang sebenarnya akan dapat menjadi pengganti guru."
"Timbang Laras," berkata Kiai Warangka, "ternyata nalar budimu sudah begitu keruh, sehingga akalmu benar-benar telah berbalik. Apakah yang kau maksudkan dengan sangkan paraning dumadi itu" Apa pula yang kau maksudkan tentang diriku, bahwa aku sudah kehilangan watak seorang saudara tua?"
"Kakang jangan berpura-pura bodoh. Atau Kakang memang sedang menganggap aku terlalu bodoh sehingga aku tidak dapat menerapkan pengertian kata-kata yang aku ucapkan tepat pada tempatnya" Kakang, baiklah. Apa yang akan terjadi sepekan lagi, biarlah terjadi. Tetapi Kakang jangan menyesali diri. Kakang akan kehilangan padepokan ini, sehingga Kakang harus hidup dalam petualangan yang tidak berkeputusan atau Kakang harus mencari belas kasihan orang lain yang mau memberikan tempat berteduh bagi Kakang."
"Alangkah sakitnya hidup sebagaimana kau bayangkan. Tetapi yang akan terjadi adalah sebaliknya. Padepokan ini akan semakin berkembang dengan baik. Aku akan menjadi semakin tenang hidup di sini bersama para cantrik dan sanak kadang. Kami akan menjadi semakin dekat dengan Yang Maha Pencipta."
"Bermimpilah selagi Kakang masih sempat. Tetapi Kakang tahu, siapakah yang datang bersamaku sekarang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nama besar dan pengikut yang tersebar di banyak tempat. Namun yang sekarang sudah dihimpun menyatu untuk menanggapi sikap Kakang yang menjadi sekeras batu itu."
Tetapi Kiai Warangka tertawa Katanya, "Biarlah aku menunggu kedatanganmu, Adikku. Sepekan akan terasa terlalu lama bagiku."
Wajah Kiai Timbang Laras menjadi merah. Ternyata bahwa kakang seperguruannya sama sekali tidak gentar melihat beberapa orang yang datang bersamanya.
Dalam pada itu, seorang di antara mereka yang datang bersama Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri itu berkata, "Saudara seperguruanmu ini memang sangat sombong, Kiai Timbang Laras. Kenapa kau masih saja menyabarkan hatimu, menunggu sampai sepekan lagi?"
Kiai Warangka mengerutkan dahinya Dipandanginya orang itu. Orang yang bertubuh tinggi besar, kegemuk-gemukan. Ia tidak memakai ikat kepala dengan baik, sehingga kepalanya yang botak itu nampak mengkilap.
Kiai Timbang Laras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun menjawab, "Bagaimanapun juga aku tidak dapat melupakan ikatan persaudaraan kami. Ia adalah saudara tua seperguruanku. Aku masih menaruh hormat kepadanya, apapun yang dilakukannya."
Kiai Warangka justru tertawa. Katanya, "Terima kasih, Timbang Laras, bahwa kau masih mempunyai sedikit rasa persaudaraan. Aku menghargainya. Tetapi jika kawan-kawanmu tidak sabar menunggu sampai sepekan, datanglah esok atau lusa."
Tetapi Kiai Timbang Laras menggeleng. Katanya, "Tidak, Kakang. Aku tetap akan menunggu dalam sepekan. Mungkin dalam sepekan ini, Kakang menyadari bahwa Kakang sudah salah langkah. Dengan demikian kita tidak perlu bertengkar lebih jauh. Apa lagi dengan mengorbankan para cantrik."
Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya, "Para cantrik memang tidak seharusnya dikorbankan. Aku setuju itu, Timbang Laras."
"Baiklah Kakang. Mudah-mudahan dalam sepekan ini hati Kakang akan menjadi jernih."
Kiai Timbang Laras kemudian telah minta diri. Beberapa orang yang datang bersamanya pun meninggalkan padepokan itu pula Seorang yang bertubuh tinggi besar agak kegemukan dari berkepala botak yang berkuda di sebelah Kiai Timbang Laras itu pun berkata, "Untuk apa kau menundanya sampai sepekan?"
"Bertanyalah kepada beberapa orang kawanmu. Mereka baru siap besok lusa. Selebihnya kita akan mempunyai waktu untuk mengatur orang-orang kita yang datang dari berbagai penjuru itu.," jawab Kiai Timbang Laras.
Orang yang berkepala botak itu terdiam. Sementara seorang yang berkumis lebat berkata "Orang-orangku baru datang esok pagi."
My Silly Engagement 1 Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Neraka Petualangan The Journey 1

Cari Blog Ini