Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 24
lawannya akan menjadi kehabisan tenaga lebih dahulu.
Sehingga dengan demikian, maka ia akan lebih mudah
mengakhiri pertempuran itu,
Namun ternyata bahwa Laksita adalah seorang yang memiliki
ketahanan tubuh yang luar biasa.
Dengan demikian, meskipun Swasti berhasil memancing
lawannya untuk mengerahkan segenap kemampuannya dan
memaksanya untuk berloncatan dengan langkah-langkah
panjang, namun ternyata bahwa Laksita seolah-olah tidak
menjadi semakin letih. Ia masih saja mampu bergerak
sebagimana saat mereka mulai dengan pertempuran itu.
Karena itu, maka Swastipun harus mengambil cara lain.
Jika ia memaksakan cara itu, maka ia akan menjadi letih lebih
dahulu dari lawannya. Dengan hati-hati Swasti menilai lawannya lebih tajam lagi.
Sehingga akhirnya ia telah mengambil satu keputusan untuk
bertempur dengan keras sesuai dengan sifat lawannya.
Namun sebagaimana selalu dipesankan oleh ayahnya, bahwa
dalam pertempuran yang gawat, ia tidak boleh kehilangan akal
Ia harus mampu menguasai diri, menilai lawannya dan
mengambil keputusan atas pertimbangan nalar. Bukan
perasaan semata-mata. "Lawanku telah terpancing untuk menuruti perasaan
marahnya" berkata Swasti di dalam hatinya "Aku harus dapat
memanfaatkannya. Dengan pertimbangan yang mapan, maka kemudian
Swastipun telah bertempur semakin cepat. Ia mulai mencoba
melawan orang yang garang itu dengan keras. Ia mulai
membenturkan senjatanya beradu kekuatan. Namun ternyata
bahwa Swasti mampu mengimbangi kekuatan lawannya.
Karena itulah, maka Swasti menjadi semakin garang.
Senjatanya bergerak lebih cepat, namun benturan-benturan
senjata tidak dihiraukannya lagi.
Anak-anak muda Lumban melihat pertempuran itu dengan
jantung yang berdebaran. Namun mereka melihat, Swasti
menjadi semakin mapan. Kecuali karena ia mampu bergerak
lebih cepat, ternyata bahwa benturan-benturan yang terjadi
tidak dapat mendesaknya. Sebenarnyalah bahwa Swasti memiliki kelebihan dari
lawannya. Kakinya seolah-olah lebih ringan, sehingga dengan
demikian maka ia dapat bergerak lebih cepat. Namun
lawannya mampu mengimbangi dengan ketahanan tubuh
yang melampaui orang kebanyakan. Seolah-olah Laksita itu
sama sekali tidak menjadi letih meskipun ia harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan
kecepatan gerak Swasti. Bersamaan dengan itu, di bukit gundul masih juga terjadi
pertempuran yang sengit antara Pangeran Sena Wasesa
dengan Kiai Pusparuri. Namun sebagimana telah nampak pada
mereka yang menyaksikan pertempuran itu, Kiai Pusparuri
mempunyai kelebihan dari Pangeran Sena Wasesa. Sementara
itu orang-orang yang berdiri disekitarnya sama sekali tidak
mampu berbuat sesuatu. Jika salah seorang dari mereka akan
me masuki arena, maka hal itu akan mencemarkan kejantanan
Pangeran Sena Wasesa, meskipun kadang-kadang Rahu
hampir tidak dapat menahan diri. Sebagai seorang yang
mendapat tugas khusus, maka ia kurang memperhitungkan
harga diri Pangeran Sena Wasesa. Ia merasa wajib untuk
membantunya. Karena ternyata Pangeran Sena Wasesa
mendapat kesulitan, maka rasa-rasanya ia telah siap untuk
meloncat kemedan, mespun ia sadar, diantara kedua orang
raksasa itu, ia hampir tidak berarti sama sekali.
Tetapi setiap kali ia mendekat, maka Pangeran Sena
Wasesa seolah-olah telah memberi isyarat agar ia menyingkir
dari arena. Rahu menjadi ragu-ragu. Namun debar jantungnya rasarasanya
tidak lagi tertahankan. Pertempuran yang berlangsung
terlalu lama itu, membuatnya tidak sabar lagi. Tetapi ia belum
menemukan jalan untuk membantu mengakhirinya.
Sementara itu ia mengerti, jika pertempuran itu dibiarkannya
berlangsung sebagai perang tanding, maka kemungkinan
Pangeran Sena Wasesa untuk memenangkan pertempuran itu
sangat kecil. Hanya karena satu kesalahan dari Kiai Pusparuri
sajalah akan dapat membantu Pangeran Sena Wasesa keluar
hidup-hidup dari pertempuran itu.
Dalam pada itu, Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuningpun
sedang mencari akal untuk membantu menyelesaikan
pertempuran itu. Namun agaknya merekapun tidak ingin
menyinggung harga diri Pangeran Sena Wasesa.
Namun dalam pada itu, ternyata Kiai Kanthi berhasil
memancing perhatian Kiai Pusparuri tanpa memasuk arena.
Sikap, wajah dan pasemonnya rasa-rasanya sempat
menyentuh perasaan Kiai Pusparuri Sekali-sekali Kiai Kanthi
tersenyum melihat tata gerak Kiai Pusparuri. Kemudian
mengerutkan keningnya sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Pada kesempatan lain ia mencibir penuh
kebencian. Tangannya kadang-kadang menghentak sambil
mengepal. Namun kadang-kadang ia tertawa kecil tertahantahan.
Sikap itu ternyata sangat menjengkelkan Kiai Pusparuri.
Betapa ia berusaha untuk tidak menghiraukan sikap itu,
namun Kiai Kanthi seakan-akan dengan sengaja bergeser ke
tempat-tempat yang berhadapan dengan arah sikap Kiai
Pusparuri sehingga Pangeran Sena Wasesa sendiri tidak
melihat apa yang dilakukan oleh orang itu.
Karena itulah, maka kemarahan Kiai Pusparuri yang hampir
tidak terkendali itu ternyata telah terpancing oleh sikap Kiai
Kanthi. Karena itu, pada kesempatan yang terbuka, disaat
Pangeran Sena Wasesa terdesak beberapa langkah surut, tibatiba
saja Kiai Pusparuri telah meloncat kearah Kiai Kanthi
sambil berteriak "Orang gila. Kau sangka sikapmu tidak
menyeretmu ke dalam kesulitan"
Kiai Kanthi memang sudah menduga. Karena itu, maka
dengan cepat ia meloncat menghindari serangan itu. Namun
dengan demikian, Kiai Pusparurilah yang telah menyerangnya
sehingga ia akan mempunyai alasan untuk membalasnya.
Tetapi pada saat yang demikian, Pangeran Sena Wasesalah
yang berteriak "Serahkan orang itu kepadaku Kiai"
Kiai Kanthi meloncat surut. Ia tidak ingin membuat
persoalan baru sehingga ia t idak berbuat lebih banyak.
Dengan demikian maka pertempuran itu telah berlangsung
seperti semula. Pangeran Sena Wasesa melawan Kiai
Pusparuri. Meskipun sikap Kiai Kanthi itu telah membantu
Pangeran Sena Wasesa untuk mempersiapkan diri. Tetapi
sejenak kemudian, imbangan pertempuran itu terulang lagi.
Pangeran Sena Wasesa seolah-olah hanya mempunyai
kesempatan untuk bertahan saja.
Tetapi setiap orang diseputar arena itu melihat, bahwa
kemampuan bertahan Pangeran Sena Wasesa itupun telah
menjadi semakin susut. Tekanan yang keras telah memaksa
Pangeran itu bekerja terlalu berat.
Yang kemudian termenung adalah Ki Ajar Cinde Kuning. Ia
melihat apa yang terjadi atas Kiai Kanthi. Hal itu ternyata telah
sangat menarik perhatiannya. Bahkan, kemudian ia telah
bergeser semakin dekat disebelah Kiai Kanthi.
Sesaat kemudian, ternyata Ki Ajar Cinde Kuning yang cacat
itu berbisik-bisik ditelinga Kiai Kanthi. Bahkan kemudian
keduanya telah tersenyumsambil memandang Kiai Pusparuri,
Ternyata Ki Ajar Cinde Kuning telah menirukan sikap Kiai
Kanthi. Bahkan keduanya bersama-sama telah memancing
perhatian Kiai Pusparuri. Justru karena mereka berdua, maka
sikap mereka menjadi semakin memanaskan hati Kiai
Pusparuri yang memang sedang menyala itu.
Untuk beberapa saat Kiai Pusparuri sama sekali t idak
menghiraukannya. Namun semakin lama jantungnya menjadi
semakin bergejolak. Sehingga akhirnya ia tidak dapat bertahan
lagi. Karena itu, maka dengan mengerahkan kemampuannya,
Kiai Pusparuri telah berusaha mendesak Pangeran Sena
Wasesa. Dan sebenarnyalah yang diharapkan Ki Ajar Cinde
Kuning telah terjadi. Kiai Pusparuri mengulangi sikapnya
terhadap Kiai Kanthi. Tetapi yang kemudian ternyata ditujukan
kepada Ki Ajar Cinde Kuning.
Kiai Pusparuri tidak ingin mengulangi serangannya sampai
dua kali. Karena itu, ia telah mengerahkan segenap ilmu dan
kekuatan yang ada padanya. Dengan kecepatan yang hampir
tidak kasat mata, dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat
menyerang Ki Ajar Cinde. Serangan itu benar-benar mengejutkan. Meskipun Kiai
Kanthi yang tahu maksud Ki Ajar, iapun masih juga terkejut.
Kiai Pusparuri benar-benar telah berniat untuk menghancur
lumatkan Ki Ajar Cinde Kuning dengan satu serangan yang
mematikan. Namun hal itulah yang memang diharapkan oleh Ki Ajar
Cinde Kuning. Serangan yang terlampau cepat itu sama sekali
tidak dielakkannya. Bahkan dengan segenap kemampuan yang
ada padanya, Ki Ajar Cinde Kuning telah membentur kekuatan
Kiai Pusparuri. Meskipun yang nampak oleh mata orang-orang
yang ada disekitar tempat itu, Ki Ajar Cinde Kuning seolaholah
tidak sempat menghindari serangan yang t iba-tiba itu.
Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat
sekali. Kekuatan Kiai Pusparuri telah membentur kekuatan Ki
Ajar Cinde Kuning. Dua kekuatan raksasa yang seakan-akan
telah meledakkan langit. Ki Ajar Cinde Kuning ternyata telah terlempar beberapa
langkah. Sesaat ia berusaha untuk bertahan pada
keseimbangannya. Namun iapun kemudian telah terjatuh pada
lututnya. Meskipun demikian, sejenak kemudian Ki Ajar Cinde
Kuning itu telah bangkit berdiri meskipun ia masih harus
berjuang mempertahankan keseimbangannya, .
Namun dalam pada itu, Kiai Pusparuri telah mengalami
keadaan yang tidak disangkanya. Benturan itu telah
melemparkannya. Dengan kerasnya Kiai Pusparuri telah
terbanting diatas batu padas.
Terdengar keluhan tertahan. Kiai Pusparuri masih
menggeliat. Bahkan iapun kemudian berusaha untuk bangkit
Tetapi demikian ia berdiri tegak, maka iapun telah terjatuh
kembali. Sebenarnyalah bahwa ilmu raksasa Kiai Pusparuri itu masih
berada beberapa lapis dibawah kemampuan orang cacat yang
menyebut dirinya Ki Ajar Cinde Kuning itu.
Dengan demikian, maka benturan ilmu itu telah berakibat
parah bagi Kiai Pusparuri. Hentakan ilmu Ki Ajar Cinde Kuning
seolah-olah telah melontarkan kembali ilmu Kiai Pusparuri itu
sendiri dan menghantam bagian dalam tubuhnya, didorong
pula oleh kekuatan ilimu Ki Ajar yang memiliki kekuatan tiada
taranya. Itulah sebabnya, maka isi dada Kiai Pusparuri rasarasanya
telah rontok luluh menjadi debu.
Tidak ada obat yang dapat menyelamatkannya. Ketika tabib
yang semula berada diantara orang-orang Sanggar Gading itu
mendekatinya dan meraba tangannya, kemudian
menempelkan telinganya didadanya, maka iapun kemudian
menggeleng lemah sambil berdesis "Kiai Pusparuri sudah tidak
mungkin lagi dapat diselamatkan. Nafasnya sudah tertahan
tahan" Pangeran Sena Wasesa memandang Ki Ajra Cinde Kuning
sesaat Kemudian ia berdesis "Terima kasih atas belas kasihan
Ki Ajar" "Aku mohon maaf Pangeran" sahut Ki Ajar Cinde Kuning
"Aku tidak ingin mencampuri persoalan Pangeran dengan Kiai
Pusparuri Tetapi Kiai Pusparuri telah menyerangku, sehingga
aku terpaksa melindungi diriku dengan ilmu yang ada padaku"
"Aku bukan kanak-kanak, Ki Ajar" jawab Pangeran Sena
Wasesa "Aku tahu apa yang kalian lakukan. Tetapi dalam
kesulitan menghadapi tekanan Kiai Pusparuri aku tidak sempat
mencegah kalian" Ki Ajar Cinde Kuning tidak menjawab lagi. Sejenak ia
termangu-mangu memandang tubuh Kiai Pusparuri yang
terbujur diam. Bahkan kemudian tabib itu berkata "Ia sudah
tidak ada lagi" Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian berkata "Aku juga harus mengobati diriku
sendiri Benturan ini telah menyesakkan dadaku. Ternyata Kiai
Pusparuri mempunyai kemampuan yang mengagumkan"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kenyataan itu sudah terjadi. Kiai Pusparuri sudah terbaring
diamtidak bernafas lagi. Namun dalam pada itu, orang-orang yang ada dikaki bukit
gundul itu terkejut ketika tiba-tiba saja Jlitheng berkata
lantang "Ki Ajar. Lihat, apa yang terjadi dengan Ki Ajar
Pamotan Galih" Ki Ajar Cinde Kuning menjadi tegang. Namun kemudian
iapun segera berlari-lari ke tempat saudara kembarnya, diikuti
oleh orang-orang yang semula mengerumuni perang tanding
yang mendebarkan itu. Ki Ajar Ciinde Kuning menemukan saudara kembarnya
duduk bersandar sebongkah batu padas. Wajahnya menjadi
sangat pucat, sementara nafasnya terengah-engah.
"Pamotan Galih, apa yang terjadi?" bertanya Cinde Kuning.
Ki Ajar Pamotan Galih membuka matanya. Dengan sendat
ia berusaha untuk berkata "Aku minta. diri. Nampaknya kau
sudah berhasil mengatasi semua persoalan"
Wajah orang-orang yang mengerumuninya menjadi tegang.
Ki Ajar Cinde Kuning yang kemudian berjongkok disampingnya
bertanya "Apa yang sudah kau lakukan?"
"Jangan sesali kepergianku" jawab Ki Ajar Pamotan Galih
"agaknya memang tidak ada tempat lagi bagiku diantara
orang-orang yang beradab. Karena itu, maka biarlah aku
kembali ke asalku" "Tetapi jangan dengan cara itu" Ki Ajar Cinde Kuning
hampir berteriak. Sementara itu tabib yang sudah berjongkok pula disebela.
Ki Ajar Pamotan Galih yang menjadi semakin pucat itupun
menjadi tegang. Apalagi ketika ia mulai melihat noda-noda
biru di tubuh Ki Ajar Pamotan Galih.
"Racun yang kuat" desisnya.
Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Baru
kemudian ia melihat disebelah Ki Ajar Pamotan Galih tergolak
sebilah keris kecil yang sudah tidak berada di dalam
wrangkanya. Sementara itu. ternyata di pergelangan tangan Ki
Ajar Pamotan Galihpun terdapat sebuah goresan kecil yang
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak menitikkan darah. Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih telah
membunuh dirinya sendiri dengan pusakanya yang
mempunyai warangan yang sangat tajam.
Tabib itupun tidak dapat menolongnya. Namun pada saat
terakhir Ki Ajar Pamotan Galih itu sempat tersenyum dan
berkata patah-patah "Di mana Daruwerdi?"
Daruwerdi yang kemudian menyibak maju telah berjongkok
pula disisinya "Aku disini"
Ki Ajar Pamotan Galih yang menjadi semakin parah itu
masih bertahan. Katanya kemudian "Aku minta maaf
kepadamu, ngger. Juga kepada ibumu. Tetapi segalanya itu
sudah lampau. Kakekmu, Ki Ajar Cinde Kuning akan
menjelaskan, siapakah sebenarnya kau, ibumu dan sumber
keterangan tentang pusaka itu"
Daruwerdi menjadi tegang. Bagaimanapun juga, ia sudah
menganggap orang itu sebagai gurunya, kakeknya dan
saudaranya pada saat-saat terakhir, meskipun orang itu
membingungkannya. "Kau bersedia?" bertanya Ki Ajar Pamotan Galih semakin
sendat. "Ya kakek" sahut Daruwerdi.
Sekali lagi nampak senyum di bibir Ki Ajar Pamotan Galih.
Namun kemudian terdengar keluhan tertahan. Sejenak
kemudian. Ki Ajar itu memejamkan matanya dan melepaskan
tarikan nafasnya yang terakhir.
Tabib yang berjongkok disisinya itu menarik nafas dalamdalam.
Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih telah pergi masih
dalam keadaannya. Duduk bersandar sebongkah batu padas.
Dengan hati-hati tubuh itupun kemudian dibaringkannya.
Tangannya masih tetap bersilang didadanya. Silangkan
senyumnya masih nampak menghias bibirnya.
Wajah Daruwerdilah yang kemudian menjadi gelap.
Peristiwa yang terjadi itu merupakan pengalaman yang sangat
berat baginya. Yang tidak diduga sama sekali telah terjadi.
Alangkah pahitnya penyelesaian yang dihadapi oleh Ki Ajar
Pamotan Galih, meskipun itu yang telah dipilihnya sendiri.
Dalam pada itu, selagi orang-orang di bukit gundul itu
merenungi tubuh Ki Ajar Pamotan Galih yang tergolek diam
dengan senyum di bibirnya, di halaman Banjar Kabuyutan
Lumban, Swasti masih bertempur melawan Laksita. Namun
agaknya Swasti sudah sampai pada keputusan untuk
mengakhiri pertempuran itu.
Dengan kecepatan geraknya, maka Swasti mempunyai
kemungkinan lebih baik dari lawannya. Meskipun lawannya
seolah-olah tidak mengenal letih meskipun ia harus
mengarahkan segenap tenaganya untuk mengimbangi
kecepatan gerak Swasti, namun Swasti telah memilih jalan
yang paling baik. Dalam pertempuran berikutnya, Swasti telah mengimbangi
kegarangan lawannya. Bahkan dengan memanfaatkan
kecepatannya, maka senjata Swasti mulai menyusup diantara
pertahanan Laksita. Ketika segores kecil luka mengoyak kulit Laksita, maka
orang itu mengumpat-umpat dengan kasarnya. Namun justru
karena itu, maka Swasti telah mendapat kesempatan untuk
melukainya sekali lagi. Laksita meloncat surut beberapa langkah. Dengan tangan
kirinya ia meraba lukanya. Wajahnya menjadi merah semerah
darahnya ketika ia merasa bahwa telapak tangannya menjadi
hangat oleh darahnya yang mengalir dari luka itu.
"Kau tidak mempunyai pilihan" berkata. Swasti
"menyerahlah. Kau akan mendapat perlakuan yang-baik"
Tetapi jawaban Laksita adalah serangan yang membadai.
Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Diantara desis
serangannya terdengar umpatan-umpatan kasarnya.
Swasti mengerutkan keningnya. Ia sudah berhasil melukai
lawannya. Darah telah mengalir dari luka itu. Tetapi luka itu
sama sekali tidak berpengaruh atas lawannya yang garang itu.
Karena itu, maka Swastipun bergerak semakin cepat. Ketika
Laksita meloncat menyerangnya, dengan ayunan senjatanya
yang seolah-olah telah melontarkan hembusan angin yang
kencang. Swasti sempat mengelak. Namun demikian ia
bergeser, maka tiba-tiba saja ia meloncat dengan pedang
terjulur. Sekali lagi terdengar Laksita berteriak liar. Lambungnya
ternyata tersentuh oleh ujung senjata Swasti.
"Anak iblis" teriak Laksita "Kau berani melukai aku he?"
Swasti tidak menyahut. Namun ketika ia memandang wajah
lawannya diluar sadarnya, tiba-tiba saja terasa kengerian
menyentuh perasaannya. Wajah itu bagaikan wajah hantui
yang sedang marah. Sorot matanya bagaikan berpijar
kemerah-merahan. Swasti bergeser surut. Tetapi Laksita bagaikan orang yang kehilangan nalarnya.
Ialah yang meloncat memburu lawannya sambil memutar
senjatanya. Luka ditubuhnya seolah-olah tidak terasa sama
sekali. Anak-anak muda yang memutari arena itupun menjadi
berdebar-debar. Mereka seolah-olah melihat sesosok hantu
yang sedang mengamuk. Pakaiannya yang merah dan lukaluka
yang tergores di kulitnya, membuat orang itu menjadi
semakin mengerikan. Swasti yang bertempur melawan orang itupun nampaknya
mulai terpengaruh oleh sikap dan tingkah laku lawannya.
Kerut merut di wajah Swasti menunjukkan, bahwa ketegangan
menjadi semakin memuncak didadanya menghadapi lawannya
yang bagaikan menjadi gila. Justru ketika ia sudah berhasil
melukai lawannya, maka ia mulai merasa semakin terdesak.
Gadis itu mencoba untuk menguasai perasaannya. Ia
mencoba untuk mempergunakan nalarnya.
"Aku akan memenangkan pertempuran ini jika aku tetap
menyadari apa yang terjadi sebenarnya. Mudah-mudahan
Yang Maha Kuasa melindungi aku" Swasti yang ragu-ragu
berusaha untuk mendapatkan sandaran perasaan.
Namun lawannya benar-benar bagaikan sesosok hantu
yang gila. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa darah
seolah-olah telah memerah diseluruh tubuhnya. Luka-lukanya
di pundak, di lengan, di lambung dan di bagian tubuh lainnya,
dan yang telah mengalirkan darah seolah-olah sama sekali
tidak berarti. Swasti yang melihat darah yang mengalir semakin banyak
itu masih sempat berkata kepada diri sendiri "Jika aku biarkan
ia bergerak lebih banyak lagi, maka darahnya akan semakin
deras terperas dari dalam tubuhnya. Ia akan segera menjadi
lemah dan kehilangan kemampuan untuk melawan"
Karena itu, Swasti mencoba memancing lawannya bergerak
semakin cepat, agar darahnya menjadi semakin terperas.
Namun semakin lama justru kengerian di hati Swasti
menjadi semakin menekan. Laksita yang sudah menjadi merah
oleh darahnya sendiri itu, masih mampu bertempur dengan
garangnya. Tidak ada tanda-tanda sama sekali bawha
tenaganya telah menjadi susut
"Gila. Benar-benar Gila" desis Swasti sambil berloncatan
surut. Laksitalah yang kemudian justru mendesak Swasti. Dengan
garang ia menyerang. Tetapi dengan jantung yang bergejolak,
Swasti masih sempat melihat celah-celah putaran senjata
lawannya. Dengan kulit yang meremang, Swasti merendah
sambil menjulurkan ujung pedangnya, ketika lawannya
mengayunkan senjatanya ke arah kepalanya.
Swasti memejamkan matanya ketika ia merasa ujung
pedangnya menghunjam ke dada lawannya yang basah oleh
keringat dan darah. Ia mendengar keluhan di mulut lawannya.
Swasti yang masih memejamkan matanya sekejap itu
meloncat surut untuk menghindari kemungkinan yang buruk
yang dapat terjadi atas dirinya justru karena ia tidak mau
memandang apa yang telah terjadi.
Namun ketika Swasti membuka matanya, ia masih melihat
lawannya tetap berdiri tegak. Matanya masih berpijar dan
senjatanya masih terayun-ayun.
"Gila, apakah aku berhadapan dengan sesosok hantu"
geramSwasti di dalam dirinya.
Namun kengerian yang sangat telah membuatnya menjadi
gelisah. Tangannya mulai gemetar dan sikapnya justru kurang
mapan. "Menyerahlah" teriak Swasti untuk mengatasi
kengeriannya. Tetapi Laksita seolah-olah sudah tidak dapat mendengar
suara lawannya. Matanya yang berpijar merah rasa-rasanya
menjadi semakin menyala. Ketika orang itu melangkah maju
sambil mengayun-ayunkan senjatanya, Swastipun melangkah
surut. Sebenarnyalah orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itupun telah dicengkam oleh kengerian yang
sangat. Laksita yang sudah menjadi merah oleh darahnya
sendiri itu, masih juga berdiri tegak dan bahkan masih
melangkah maju mendesak Swasti yang menjadi semakin
ngeri. Menilik bahwa ujung senjatanya mampu melukai tubuh
lawannya, Swasti mengerti bahwa lawannya itu tidak memiliki
ilmu kebal. Tetapi bahwa oleh luka-lukanya yang parah, ia
seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh, agaknya telah
membuat Swasti kehilangan akal.
Swasti yang didesak surut itu telah menyibak orang-orang
yang melingkari arena. Bahkan satu dua orang telah berlarilari
kecil menepi. Sementara orang yang terluka parah itu
masih saja melangkah maju.
Tetapi melihat sorot matanya dan ketegangan wajahnya,
yang dilakukan oleh orang itu nampaknya sudah diluar
sadarnya. Orang-orang yang melingkari pertempuran itu menjadi
sangat cemas ketika mereka melihat, tiba-tiba saja Swasti
tidak dapat lagi bergerak mundur. Ketika punggungnya telah
melekat pada dinding halaman, maka jantungnya benar-benar
terasa berdentang semakin cepat
"Berhenti disitu" teriak Swasti ketika ia melihat lawannya
masih melangkah maju. Tetapi seperti suaranya yang terdahulu, seolah-olah sudah
tidak dapat didengar lagi oleh lawannya yang sudah
kehilangan kediriannya. Karena itu, maka Laksita sama sekali tidak menghent ikan
langkahnya. Ia masih maju sambil mengayunkan senjatanya.
Bahkan ternyata ia masih menggeram "Aku tidak dapat
dikalahkan oleh perempuan"
Swasti menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata Laksita
itu seakan-akan telah menjadi gila. Ia melepaskan diri dari
tangan Daruwerdi di bukit gundul. Namun t iba-tiba saja ia
telah berhadapan dengan seorang perempuan yang tidak
dapat dikalahkannya. Dengan demikian maka rasa-rasanya
perasaannya tidak lagi dapat dikendalikannya dengan
nalarnya. Dalam pada itu, Swasti berteriak sekali lagi "Jangan maju
lagi. Lepaskan senjatamu dan menyerahlah. Kau akan
mengalami perlakuan yang wajar.
Tetapi suara itu lenyap di ketegangan suasana. Orang itu
masih maju lagi. Swastipun kemudian seakan-akan juga telah kehilangan
akal oleh kengerian yang memuncak. Karena itu, maka iapun
sulit untuk mengendalikan perasaannya.
Dalam keadaan yang demikian itu, Laksita masih
melangkah maju. Senjatanya terayun mengerikan meskipun
orang itu sudah t idak dapat lagi mengatur arah dan apalagi
mempergunakan ilmu pedangnya.
Kengerian yang memuncak telah meledakkan perasaan
Swasti yang sudah melekat didinding halaman dan tidak
mungkin lagi untuk melangkah mundur. Karena itulah, maka
Swastipun telah mengambil sikap oleh dorongan perasaannya
semata-mata. Ketika senjata Laksita terayun kearahnya, maka Swasti
itupun telah meloncat kesamping sambi memekik kecil. Namun
kemudian sekali lagi Swasti memejamkan matanya sambil
menjulurkan pedangnya menyusup ayunan senjatanya. Terasa
pedangnya sekali lagi menghunjam ketubuh orang itu. Namun
oleh goncangan perasaannya, hampir diluar sadarnya, Swasti
masih mendorong pedangnya dan menghunjamkannya lebih
dalam lagi. Tetapi ternyata bahwa pedang yang menghunjam terlalu
dalam itu, tidak terlalu mudah untuk dicabut Sementara
kengerian yang luar biasa telah mencengkam perasaannya,
sehingga karena itu, maka Swastipun kemudian justru
melepaskan pedangnya. Ia bergeser kesamping sepanjang
dinding halaman. Namun sayang, oleh ketergesa-gesaan dan
kengerian yang sangat, Swasti tidak dapat meloncat dengan
sempurna. Hanya oleh rumput kering dan akar perdu, terasa
seolah-olah kaki Swasti telah membentur seonggok batu
hitam. Karena itu, Swasti telah terjatuh di tanah. Justru pada saat
lawannya melangkah setapak maju meskipun pedang Swasti
masih terhujamdidadanya. Sesaat orang itu berdiri dengan kaki renggang disebelah
tubuh Swasti yang masih terbujur di tanah. Dengan mata yang
berpijar kemerahan dipandanginya tubuh Swasti yang seolaholah
sudah tidak beradaya itu.
Terjadilah sesuatu yang menggetarkan seluruh halaman.
Orang itu tertawa berkepanjangan. Semakin lama semakin
keras. Seolah-olah ingin meruntuhkan dinding yang memutari
halaman banjar itu. "Aku bunuh kau perempuan cengeng" teriak orang itu di
sela-sela tertawanya. Swasti justu bagaikan membeku. Ia hanya dapat melihat
orang itu mengangkat senjatanya. Kemudian, seolah-olah
terasa sebuah bukit runtuh menimpa dirinya.
Swasti masih berteriak, ketika ia menyadari bahwa tubuh
Laksitalah yang jatuh menimpanya. Namun kemudian
segalanya menjadi gelap. Swasti Itupun menjadi pingsan.
Anak-anak muda yang menyaksikan pertempuran itupun
seakan-akan telah membeku pula. Sejenak mereka diam
mematung. Namun sejenak kemudian merekapun telah
datang berlari-lari mendekati kedua tubuh yang diam itu.
Dengan tergesa-gesa mereka telah mengangkat dan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyingkirkan tubuh Laksita yang arang kranjang lukanya.
Kemudian membaringkannya di pinggir halaman.
Sementara dua orang diantara mereka, dengan wajah yang
berpaling telah berusaha menarik pedang yang terhunjam
didada orang itu. Anak-anak muda yang lainpun kemudian telah membawa
Swasti yang pingsan ke pendapa. Ibu Daruwerdi yang melihat
keadaan gadis itupun bagaikan orang yang tersadar dari
sebuah mimpi yang mengerikan. Meskipun tubuhnya masih
terasa gemetar, tetapi iapun kemudian berlari mendekati
Swasti yang terbaring diam diatas sehelai tikar yang di
bentangkan di pendapa. "Swasti. Swasti" ibu Daruwerdi itu memanggilnya. Tetapi
Swasti masih tetap diam. Seorang anak muda yang berlari-lari ke sumur telah
kembali sambil membawa air di dalam mangkuk. Dengan hatihati
ibu Daruwerdi menitikkan air itu ke mulut Swasti. Setitik
demi setitik. Sesaat kemudian, Swastipun mulai bergerak. Ketika ia
mulai menyadari dirinya, tiba-tiba saja ia berusaha untuk
bangkit. Namun kemudian yang dilihatnya duduk di
hadapannya adalah seorang perempuan.
Pandangan matanya yang kabur menjadi semakin jelas.
Yang dilihatnya itu benar-benar seorang perempuan. Ibu
Daruwerdi. Tiba-tiba saja kengerian yang sangat telah bergejolak di
hatinya. Hati seorang gadis yang betapapun garangnya.
Karena itu, maka diluar sadarnya Swasti telah memeluk ibu
Daruwerdi itu. Sambil melekatkan kepalanya didada
perempuan itu terdengar gadis itu terisak.
Ibu Daruwerdipun kemudian membelai rambut gadis itu.
Rambut yang kusut. Sementara pakaian Swastipun telah
bernoda darah lawannya yang telah dibunuhnya.
"Kau telah menyelamatkan jiwaku ngger" desis ibu
Daruwerdi "jika kau tidak ada disini, mungkin aku telah
dibantai oleh iblis itu"
Swasti tidak menjawab. Ia masih saja terisak.
Namun dalam pada itu, bukan saja kengerian yang telah
melanda jantung gadis itu. Tetapi pelukan seorang perempuan
terasa membuat hatinya sejuk dan tenang.
Tiba-tiba saja keriduannya kepada seorang perempuan
telah mencengkamnya. Kerinduannya kepada ibunya seolaholah
telah terangkat, ketika ia merasakan pelukan seorang
perempuan. Karena itulah, maka Swastipun kemudian tidak dapat
menahan tangisnya yang semakin menyesakkan dadanya.
Sambil memeluk perempuan itu erat-erat Swasti menangis
tertahan-tahan. Namun betapapun ia berusaha menahan diri,
namun tangisnya bagaikan tertumpah didada perempuan itu.
Ibu Daruwerdipun menjadi bingung. Ia telah melupakan
kengerian dihatinya sendiri. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana
menenangkan gadis itu. Namun akhirnya ia berkata "Swasti, Sudahlah. Kau sudah
menyelesaikan pertempuran itu"
Kata-kata itu telah mengingatkan Swasti kepada orang
yang mengerikan itu. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin
melepaskan kerinduannya kepada ibunya. Teringat oleh gadis
yang garang itu, bagaimana ia di masa kecilnya dipeluk dan
ditimang oleh ibunya. Tetapi yang kemudian segalanya itu
harus dilemparkannya ke dalam alam kenangan karena ia
harus hidup dalam lingkungan yang keras dan tenggelam
dalam latihan-latihan oleh kanuragan.
"Swasti" berkata ibu Daruwerdi itu pula " tenanglah. Tidak
ada lagi yang menggelisahkan di halaman ini. Kau telah
memenangkan pertempuran itu"
Swasti berusaha untuk menguasai perasaannya. Perlahanlahan
ia melepaskan pelukannya. Kemudian tangisnyapun
mulai mereda. Tetapi justru ia menjadi terisak dan nafasnya
terasa sesak. Dalam keadaan yang demikian, Swasti tidak dapat berbuat
sebagaimana ia mengalami kesulitan setelah bertempur
dengan mengerahkan segenap tenaganya, sehingga nafasnya
menjadi terengah-engah. Dalam keadaan yang demikian,
seharusnya ia dapat memusatkan kemampuannya untuk
memperbaiki pernafasannya. Tetapi selagi nafasnya itu sesak
karena tangis, maka ia tidak dapat memusatkan ilmunya yang
manapun juga untuk mengatur pernafasannya itu, justru
karena gejolak perasaannya yang kurang dapat terkekang.
Namun akhirnya, Swasti itupun duduk sambil menundukkan
kepalanya. Sekali-sekali isaknya masih terasa menyesak
didadanya. Anak-anak muda yang berada di banjar itu, menyaksikan
tingkah laku Swasti dengan hati yang bergejolak. Mereka tidak
tahu, perasaan apakah yang tergetar diliati gadis itu. Mereka
menyangka bahwa peristiwa yang mengerikan itu sajalah yang
telah mengguncangkan perasaan Swasti. Mereka tidak
melihat, betapa sejuknya pelukan seorang ibu telah membuat
Swasti semakin tenggelam ke dalam tangisnya.
Meskipun demikian, agaknya Swasti tidak mau lagi melihat
tubuh orang yang telah dibunuhnya. Ia sama sekali tidak mau
memandang ke halaman. Apalagi karena ia tahu, bahwa tubuh
lawannya itu masih belum disingkirkan dati tempatnya
Dengan kepala tunduk Swasti itu kemudian berkata dengan
nada yang masih gemetar "Aku akan kebelakang, bibi"
"Marilah ngger" jawab ibu Daruwerdi "Aku akan
mengantarkanmu" Kemudian Swasti itupun berkata kepada seorang anak
muda yang berada di pendapa "Singkirkan tubuh itu. Aku tidak
mau melihatnya lagi"
"Baiklah" jawab anak muda itu "akan kami bawa tubuh itu
keserambi samping" Sementara Swasti masuk ke ruang dalam, dan memerlukan
pakaian untuk menggantikan pakaiannya yang bernoda darah,
maka anak muda itupun kemudian mengajak kawankawannya
untuk memindahkan tubuh yang terbaring diam itu.
Rasa-rasanya merekapun menjadi sangat ngeri. Namun tubuh
itu benar-benar sudah tidak dapat mengamuk lagi. Orang itu
tidak dapat lagi membunuh siapapun juga yang berada di
halaman banjar itu. "Gadis itu memang luar biasa" desis seseorang diantara
anak-anak muda itu " bagaimanapun juga, ia dapat
mengalahkan lawan yang garang ini, meskipun ia kemudian
tidak dapat melepaskan perasaannya sebagai seorang gadis"
Dalam pada itu, di bukit gundul Ki Ajar Cinde Kuning masih
merenungi saudara kembarnya yang telah mengakhiri
hidupnya dengan caranya. Penyesalan dan putus-asa
nampaknya telah terlalu dalam menghunjam di dalam
jantungnya, sehingga ia merasa tidak pada tempatnya lagi
untuk tinggal bersama-sama kehidupan yang beradab.
Beberapa orang yang lain telah mulai dengan
mengumpulkan. mereka yang terluka. Satu dua orang anak
muda Lumban. ternyata menjadi parah oleh luka-lukanya.
Bahkan ada juga diantara mereka yang tidak sadarkan diri lagi
dan tidak tahu apa yang terjadi.
Tabib yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi atasi Ki
Ajar Pamotan Galih itupun segera bekerja keras di bantu oleh
beberapa orang untuk menolong jiwa mereka yang seakanakan
sudah berada di ujung rambut. Namun, betapa segala
usaha dilakukan, tetapi akhirnya segalanya terserah kepada
keadilan Yang Maha Kuasa. Mereka yang memang sudah
waktunya harus menghadap, ternyata tidak akan dapat
ditunda lagi. Dalam pada itu, Daruwerdipun masih duduk di sisi Ki Ajar
Cinde Kuning merenungi tubuh Ki Ajar Pamotan Galih. Rasarasanya
semuanya itu bagaikan sebuah mimpi. Daruwerdi
sama sekali tidak mengerti bahwa kakeknya dan sekaligus
gurunya telah berganti orang, meskipun kemudian ia
merasakan beberapa perbedaan. Tetapi ia menganggap
bahwa hal itu disebabkan karena kakeknya sengaja telah
mempersiapkan dirinya dalam tugasnya yang baru.
Selagi anak-anak muda di bukit gundul itu membenahi diri,
tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh hadirnya seorang
kawan mereka yang berlari-lari dengan nafas terengah-engah.
Karena itu, maka anak-anak muda Lumban itupun telah
menyosongnya sambil bertanya "Ada apa?"
Anak muda itu mencoba mengatur pernafasannya. Katanya
kemudian terbata-bata "Mana Daruwerdi"
"Ya kenapa?" bertanya kawannya.
Kawan-kawannya yang melihat keadaan yang nampaknya
gawat itu telah membawa anak itu kepada Daruwerdi.
"Ibumu dalam bahaya" berkata anak itu "seorang yang
garang telah bertempur dengan gadis yang menemani ibumu
itu" Daruwerdi tiba-tiba saja telah meloncat berdiri Anak muda
Lumban itu ternyata telah meninggalkan banjar ketika Swasti
mulai bertempur dengan Laksita taripa melihat akhir dari
pertempuran itu. Kecemasan yang bergejolak dihatinya telah
mendorongnya untuk pergi ke bukit gundul.
"Katakan sekali lagi" minta Daruwerdi.
"Seseorang telah bertempur dengan gadis yang berada di
banjar itu. Orang itu mencarimu, tetapi yang ada hanya
ibumu. Gadis itu berusaha untuk melindungi ibumu" jawab
anak muda Lumban itu. Daruwerdi tidak bertanya sekali lagi. lapun kemudian
berlari-lari meninggalkan bukit itu tanpa mengatakan sesuatu
kepada siapapun juga. Jlitheng dan beberapa orang yang mendengar keterangan
itupun tidak dapat tinggal diam. Mereka tidak tahu, siapa
orang yang datang itu dan apakah ia memiliki ilmu yang tidak
terlawan. Ki Ajar Cinde Kuningpun menjadi cemas. Tetapi sebelum ia
beranjak dari tempatnya, Kiai Kanthi berkata "Aku ikan melihat
apa yang terjadi dengan anakku"
Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Pangeran
Sena Wasesa tertarik juga kepada kabar itu. Tetapi etclah
beberapa orang meninggalkan bukit gundul itu, maka mpun
membatalkan niatnya untuk pergi ke banjar bersama-sama
dengan Kiai Kanthi. Dalam pada itu, Jlithengpun berpesan kepada Semi "Kau
disini. Biarlah anak-anak itu menyelesaikan tugasnya disini.
Jika perlu sekali, aku akan memberikan isyarat"
Semi tidak menjawab. Namun iapun kemudian bersama
anak-anak muda Lumban telah berusaha untuk membersihkan
tempat itu. Kawan maupun lawan yang masih memerlukan
pertolongan, telah disiapkan untuk segera mendapat
pertolongan. Sejenak kemudian, Ki Ajar Cinde Kuning merasa tidak perlu
terlalu lama merenungi saudara kembarnya yang telah
memilih jalannya sendiri. Meskipun terasa pedih di hatinya
masih menyengat, namun iapun akhirnya meninggalkan
saudara kembarnya, yang diharapkannya dapat memilih jalan
yang lebih baik. Tetapi yang justru memilih jalan yang paling
singkat. Ki Ajar Cinde Kuning kemudian melihat Pangeran Sena
Wasesa merenung. Namun ia t idak ingin menegurnya.
Pangeran Sena Wasesa masih terpengaruh oleh sikapnya,
bahwa ia telah mencampuri perang tanding Pangeran itu
melawan Kiai Pusparuri. Namun tanpa campur tangan orang
lain, Pangeran Sena Wasesa tidak akan dapat bertahan
melawan Kiai Pusparuri yang garang itu.
Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuningpun telah
memilih untuk membantu tabib yang sedang sibuk itu. Iapun
memiliki pengetahuan tentang obat-obat dan iapun membawa
serba sedikit, sehingga dengan demikian, maka iapun akan
dapat membantu meringankan penderitaan mereka yang
terluka Namun akhirnya, Ki Ajar Cinde Kuning itu telah berbicara
dengan anak-anak muda Lumban. Mereka bersepakat untuk
membawa kawan-kawan mereka yang terluka ke banjar, agar
mereka dapat merawat lebih baik. Demikian pula orang-orang
Pusparuri yang parah, sementara beberapa orang kawan yang
lain akan tinggal untuk menyelenggarakan dan mengubur
lawan-lawan mereka yang terbunuh di peperangan.
"Pangeran" berkata Ki Ajar Cinde Kuning kemudian
"Bukankah tidak ada gunanya lagi kita berada di bukit ini?"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
"Anak-anak muda akan menyelesaikan segalanya. Marilah
kita pergi ke Banjar. Kita akan melihat apa yang terjadi,
dengan anak gadis Kiai Kanthi itu. Selebihnya kita akan
berbicara tentang diri kita masing-masing. Nampaknya
persoalan yang membakar daerah Sepasang bukit mati ini
telah padam Mudah-mudahan t idak ada lagi orang-orang tamak yang
akan mencari pusaka dan harta benda yang sebenarnya tidak
pernah tersimpan di bukit gundul ini. Karena menurut
Pangeran semuanya telah kembali ke tempatnya, gedung
perbendaharaan Demak" Katanya lebih lanjut.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian kitanya "Baiklah. Kita akan pergi ke banjar.
Tetapi tidak ada lagi yang perlu aku bicarakan. Seperti yang
sudah aku katakan, pusaka dan harta benda itu memang
sudah berada di gedung perbendaharaan Demak. Dengan
demikian sebenarnya sia-sialah korban yang jatuh selama ini
dalam perburuan yang tidak punya arti sama sekali"
"Ketamakan kadang-kadang memang membaurkan nalar
kita Pangeran" jawab Ki Ajar Cinde Kuning. Lalu "Namun
disamping pusaka dan harta benda itu, masih ada yang dapat
di bicarakan diantara kita. Bukan tidak diperhitungkan, bahwa
Daruwerdilah yang harus mengambil Pangeran sebagaimana
di kehendaki oleh Pamotan Galih"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun Ki
Ajar itupun berkata "Marilah. Mudah-mudahan kita akan
menemukan jawabnya nanti.
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun Ki
Ajar itupun berkata "Marilah. Mudah-mudahan kita akan
menemukan jawabnya nanti"
Pangeran Sena Wasesa tidak membantah lagi meskipun ia
sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ki Ajar
Pamotan Galih. Dalam pada itu, Ki Ajar itupun masih sempat berpesan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada anak-anak muda di bukit gundul itu, agar mayat
saudara kembarnya itupun di bawa ke banjar. Bagaimanapun
juga orang itu adalah saudaranya, bahkan saudara
kembarnya. Demikianlah maka Pangeran Sena Wasesa dan Ki Ajar
Cinde Kuning itupun bergegas pergi ke banjar Kabuyutan.
Merekapun merasa bertanggung jawab atas Kabuyutan itu,
apalagi atas ibu Daruwerdi. Perempuan itu seolah-olah telah
menjadi anak kandung Ki Ajar Cinde Kuning meskipun ia harus
melepaskannya beberapa saat, justru pada saat saudara
kembarnya menggant ikan kedudukannya.
Sementara itu, kedua orang pamari Daruwerdi yang telah
berada di bukit gundul dan ikut bertempur melawan orangorang
itupun menjadi bingung, sehingga mereka tidak
mengerti apa yang harus mereka lakukan, Namun merekapun
ingin tahu, apa yang terjadi dengan ibu Daruwerdi, sehingga
merekapun telah menyusul Kiai Kanthi pergi ke banjar.
Sebenarnyalah anak-anak muda Kabuyutan Lumban itupun
telah bekerja dengan baik dan cepat. Karena itu, maka dengan
tenaga yang cukup banyak, tugas merekapun segera dapat
mereka selesaikan. Bahkan beberapa orang anak muda Lumban telah
mengambil beberapa buah pedati yang ada di Lumban untuk
membawa kawan-kawan mereka maupun orang-orang
Pusparuri yang tidak dapat berjalan sendiri menuju ke banjar.
Dengan demikian maka Lumban telah benar-benar menjadi
sangat sibuk. Orang-orang Lumban yang semula tidak begitu
jelas dengan apa yang terjadi di bukit gundul, akhirnya
merekapun mengerti pula. Sehingga dengan demikian justru
mereka menjadi sangat ngeri mendengar peristiwa di bukit
gundul itu. Meskipun peristiwa itu sendiri telah selesai, tetapi
perempuan dan anak-anak masih ragu-ragu untuk turun ke
jalan. Namun beberapa orang diantara mereka telah
memberanikan diri untuk bertanya-tanya, apakah anak
mereka selamat pulang ke Kabuyutan Lumban.
Dalam pada itu, Daruwerdi telah berada di banjar
Kabuyutan Lumban. Ketika ibunya melihat kedatangannya,
maka iapun segera menyongsongnya, memeluknya seperti
memeluk kanak-kanak. "Apa yang telah terjadi ibu?" bertanya Daruwerdi.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Gadis itu
telah menyelamatkan nyawaku"
Daruwerdi memandang wajah Swasti sejenak. Kemudian
iapun berdesis "Terima kasih Swasti"
"Kaupun telah menyelamatkan nyawaku ketika aku dan
ayah datang ke padukuhan ini" sahut Swasti tersendat-sendat
oleh keragu-raguan "kau telah membunuh harimau itu"
"Hal itu aku lakukan karena kebodohanku" jawab
Daruwerdi "Sudah pernah aku katakan bahwa aku tidak tahu
sama sekali, dengan siapa aku berhadapan. Ternyata kau
telah mampu membunuh orang yang tidak dapat aku bunuh di
bukit gundul. Ia sempat melarikan diri. Ternyata ia telah
datang ke banjar ini. Untunglah kau ada disini. Jika anak-anak
muda Lumban saja yang menghadapinya, maka korban akan
bertebaran di halaman"
"Ah" desah Swasti sambil menundukkan kepalanya.
"Kita berhutang kepadanya" berkata ibu Daruwerdi.
"Ya" Sahut Daruwerdi "akupun telah diselamatkannya di
bukit gundul saat kami bertemu dengan sisa-sisa orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih"
"Bukan begitu" jawab Swasti ragu-ragu. Tetapi ternyata ia
tidak dapat meneruskan kata-katanya.
"Nampaknya kami sudah berhasil menenangkan diri"
berkata, ibu Daruwerdi "tinggalkan kami disini. Mungkin kau
dapat membantu anak-anak muda di halaman banjar ini"
Daruwerdi mengangguk kecil. Sekilas dipandanginya Swasti
yang semula menunduk. Namun pada saat yang bersamaan
Swastipun telah mengangkat wajahnya dan memandanginya.
Cepat keduanya memalingkan wajahnya. Namun yang
sekilas itu rasa-rasanya telah membuat jantung mereka
berdebaran. Namun kemudian Daruwerdi tidak mengucapkan sepatah
katapun lagi. Iapun segera meninggalkan tempat itu dan turun
kehalaman. Dilihatnya Kiai Kanthi telah memasuki halaman itu
pula. Namun karena keadaan sudah nampak lebih tenang,
maka iapun tidak tergesa-gesa.
"Dimana anakku ngger?" bertanya Kiai Kanthi kepada
Daruwerdi. "Ada di dalam Kiai" jawab Daruwerdi.
"Kiai Kanthipun kemudian memasuki banjar itu. Dilihatnya
dua orang perempuan duduk disebuah amben bambu.
"Ayah desis Swasti. Adalah diluar sadarnya bahwa terasa
matanya menjadi panas. Setitik air telah mengembang di
pelupuknya. "Kau selamat Swasti. bersukurlah" desis Kiai Kasihi
"Ternyata kau masih selalu mendapat perlindungan"
Swasti menunduk. Diusapnya matanya yang basah dengan
jari-jarinya. Sementara itu ibu Daruwerdi berkata "Gadis yang
luar biasa Kiai. Tanpa gadis itu, aku tidak tahu apa yang
terjadi atas diriku"
"O" Kiai Kanthi mengangguk-angguk "Tetapi sudah tentu
karena pertolongan anak-anak muda Lumban"
"Anak-anak muda Lumban sama sekali t idak berdaya
menghadapi orang itu, meskipun bukan berarti bahwa mereka
tidak berbuat apa-apa. Tetapi anak perempuan Kiai benarbenar
seorang yang luar biasa"
"Terima kasih" sahut Kiai Kanthi "Sudah aku katakan,
sebenarnya Kuasa Yang Maha Kuasa sajalah yang telah
menyelamatkan kita semuanya"
Perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Sebenarnyalah memang demikian Kiai"
Beberapa saat Kiai Kanthi masih berada di ruang itu.
Namun kemudian iapun telah pergi ke pendapa. Ternyata
orang-orang tua yang lainpun telah hadir pula di pendapa itu.
Agaknya keadaan yang paling gawat telah lewat bagi
Lumban. Yang di lakukan anak-anak muda kemudian adalah
menolong yang terluka dan menyelenggarakan yang terbunuh
di peperangan sebagaimana seharusnya.
Dengan demikian maka kesibukan di banjar itupun, menjadi
semakin meningkat. Ternyata bahwa semuanya yang terjadi itupun kemudian
telah dilaporkan kepada Ki Buyut Lumban Wetan dan Lumban
Kulon. Apalagi Nugata sendiri ikut menanganinya. Sehingga
karena itu, maka kedua Buyut yang kebetulan bersaudara
kembar itupun telah mengunjungi banjar Kabuyutan Lumban
Wetan. Dengan kerja keras, maka akhirnya semuanya dapat
diselesaikan. Mereka yang terluka tidak terlalu parah, lelah
diantar kepada keluarga masing-masing. Sementara yang
mengalami luka yang gawat, masih tetap tinggal di banjar,
agai dapat diawasi dan dirawat dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah, pada hari berikutnya, Pangeran Sena Wasesa
telah dengan sengaja berbicara dengan beberapa orang
bebahu Kabuyutan Lumban Wetan dan Lumban Kulon
termasuk Ki Buyut dari kedua Kabuyutan yang bertetangga
itu. Pangeran Sena Wasesa telah memberikan penjelasan
tentang pusaka dan harta benda yang telah menjadi sumber
bencana bagi Lumban. Sesuai dengan pendapat Ki Ajar Cinde
Kuning, memang ada kesengajaan dari Ajar Pamotan Galih
untuk memancing perhatian beberapa pihak. Apalagi beberapa
pihak itu telah pernah mendengar serba sedikit tentang
perjalanan seorang Senapati yang meninggalkan Majapahit
pada masa-masa terakhir. "Ki Ajar Pamotan Galih lelah dengan sengaja menyebarkan
kabar-kabar yang dapat memancing kekeruhan" berkata Ki
Ajar Cinde Kuning "Tentu saja sebagian atas namaku, atas
nama Ajar Macan Kuning dan kemedian Ajar Pamotan Galih"
"Ki Ajar Pamotan Galih mengetahui bahwa aku tahu benar
tentang pusaka itu" berkata Pangeran Sena Wasesa "karena
itu, maka ia telah memasang nilai tukar. Jika Ajar Pamotan
Galih dapat menangkap aku, maka ia akan dapat memeras
aku untuk menjelaskan dimana pusaka itu disimpan.
Sementara ia telah menyiapkan barang-barang palsu untuk
mengelabui orang-orang yang dianggapnya terlalu bodoh"
Namun akhirnya Pangeran Sena Wasesa itupun berkata
"Tetapi semuanya sudah lampau. Kita harus berterus terang
kepada semua orang, bahwa Pusaka dan harta benda yang
mereka cari telah berada di Demak, Pusaka itu telah berada di
gedung perbendaharaan, khusus gedung pusaka"
Orang-orang yang mendengar penjelasan itupun
mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Pangeran
Sena Wasesa Agar perburuan pusaka itu tidak terjadi lagi,
maka berita bahwa pusaka itu telah berada di gedung pusaka
di Demak harus tersebar luas,
"Tetapi pusaka apakah yang sebenarnya di perebutkan
itu?" t iba-tiba Kiai Kanthi bertanya.
Pangeran Sena Wasesa memandang Kiai Kanthi sejenak.
Lalu katanya "Apakah Kiai benar-benar bertanya atau sekedar
ingin memberitahukan jenis pusaka itu kepada orang-orang
yang ada di tempat ini"
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Jawabnya "Tentu aku
ingin tahu karena sebenarnyalah aku tidak mengetahui"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya
"Kiai, sebelumnya aku memang belum mengenal Kiai. Tetapi
seperti yang pernah aku katakan, aku mengenal ciri-ciri pada
tata gerak Kiai, dan yang barangkali Kiaipun dapat
mengatakan demikian terhadap ilmuku"
Kiai Kanthi berdesah. Katanya "Mungkin hanya kebetulan
Pangeran. Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu sama sekali
tentang pusaka yang sedang diperebutkan itu"
"Baiklah Kiai" jawab Pangeran Sena Wasesa "pusaka yang
telah diserahkan bagi seorang Senepati yang mendapat tugas
untuk menahan arus lawan itu adalah pusaka yang sangat
tinggi nilainya bagi Majapahit. Meskipun Senepati itu tidak
berhasil mempertahankan Kota Raja, namun ia telah berhasil
menghambat kemajuan lawan dan memberi kesempatan
Majapahit menyelamatkan sebagian besar dari isi istana.
Bukan saja harta bendanya, tetapi juga manusianya. Dan
pusaka itu berupa sebilah sabet. Sebilah pedang yang
bernama Kiai Lawang"
"Kiai Lawang" Kiai Kanthi mengulang "sebuah pedang yang
luar biasa" "Ya Kiai, sabet yang jarang ada duanya" sahut Pangeran
Sena Wasesa "namun yang lebih menarik perhatian mereka
yang berburu pusaka, adalah bahwa menurut kepercayaan
mereka, dan yang sudah tentu telah disebar luaskan mulamula
oleh lingkungan para pemburu harta benda, bahwa
pusaka sabet Kiai Lawang itu di sertai dengan harta benda
yang tidak ternilai harganya, sebagai lantaran untuk dapat
memulihkan kuasa Majapahit"
"Tetapi usaha itu tidak berhasil?" berkata Kiai Kanthi
kemudian. "Bukan tidak-berhasil" berkata Pangeran Sena Wasesa
karena yang kemudian berdiri adalah Demak, maka usaha itu
telah disalurkan lewat trah Majapahit yang sudah berhasil
menghimpun tegaknya satu negara baru, meskipun tidak
berada di bekas kota raja yang lama, Majapahit. Dengan
demikian, maka pusaka dan harta benda itu telah diserahkan
kepada Demak" Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Namun sementara itu
Daruwerdi berkata "Agaknya Ki Ajar Pamotan Galih tidak tahu
pasti, pusaka apakah yang sebenarnya diburu oleh orangorang
tertentu, dan orang-orang Sanggar Gading. Kendali
Putih. Pusparuri dan mungkin orang-orang lain yang ingin juga
berburu pusaka itu, sama sekali juga tidak tahu ujud pusaka
yang mereka cari" "Agaknya memang demikian ngger" jawab Pangeran Sena
Wasesa. "Ya. Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih telah menyediakan
sebuah peti yang diisi dengan sebilah keris. Bukan sebilah
sabet" jawab Daruwerdi.
"Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih mengetahui, bahwa satusatunya
orang yang tahu pasti dimana pusaka itu adalah
Pangeran Sena Wasesa" sahut Ki Ajar Cinde Kuning.
"Nampaknya memang demikian" berkata Pangeran Sena
Wasesa kemudian. Lalu "Dengan demikian maka aku telah
menjadi semacamsayembara"
"Tetapi Pangeran" berkata Ki Ajar Cinde Kuning " justru
karena itu maka aku akan sampai pada suatu ceritera yang
barangkali akan menarik bagi Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Katanya
"Ceritera apa Ki Ajar?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Aku akan mengatakannya pada satu kesempatan yang
khusus" berkata Ki Ajar Cinde Kuning.
Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Namun kemudian
dipandanginya orang-orang yang ada disekitarnya. Dilihatnya
wajah-wajah yang bersungguh-sungguh dan bahkan nampak
ketegangan yang bergejolak di dalam hati orang-orang yang
ada disekitarnya. Mereka mendengarkan keterangannya
dengan penuh kesungguhan, karena meskipun mereka berada
didekai bukit gundul itu, namun mereka sama sekali tidak
mengerti dan tidak pernah mendengar ceritera tentang pusaka
dan apalagi harta benda yang tidak ternilai harganya.
Seandainya pusaka dan harta benda itu pernah ada di bukit
gundul, meskipun sebelumnya mereka t idak lahu sama sekali,
tetapi mereka akan pernah melihat pusaka dari harta benda
itu diambil orang dan dibawa ke Demak. Apalagi orang-orang
tua di Lumban Wetan maupun di Lumban Kulon.
Dalam pada itu, maka t iba-tiba Jlitheng telah berkata
"Pangeran. Tetapi apakah benar, bahwa pusaka dan harta
benda itu berada di daerah Sepasang Bukit Mati ini"
Pangeran Sena Wasesa tersenyum. Katanya "Sama sekali
tidak. Daerah ini memang pernah dilewati oleh Senapati Besar
dari Majapahit itu. Tetapi Senepati itu tidak pernah
meninggalkan apapun juga di sekitar Daerah Sepasang Bukit
Mati ini. Karena itu, orang-orang Lumban t idak pernah
melihat, bagaimana aku mengambil pusaka dan harta benda
itu dan membawanya ke Demak"
Jlitheng mengangguk-angguk. Lalu katanya "Nah, jika
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian, apakah artinya ceritera tentang Sepasang Bukit Mati
itu?" "Aku kurang tahu" jawab Pangeran Sena Wasesa "Mungkin
ceritera itu memang dibuat oleh seseorang. Mungkin oleh Ki
Ajar Pamotan Galih dengan nama Ajar Macan Kuning atau Ajar
Cinde Kuning. Daruwerdi menundukkan kepalanya. Ia sedikit banyak
mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ki Ajar Pamotan
Galih yang disangkanya adalah gurunya sendiri. Beberapa
tahun ia berada di tangan orang yang salah. Tetapi ia sama
sekali tidak menyangka. Bahkan ia sama sekali tidak
menyadari, bahwa ia menjadi salah satu biji permainan Ki Ajar
Pamotan Galih. Namun dalam pada itu, maka Jlithengpun kemudian
berkata "Nah Ki Buyut Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
Nampaknya peristiwa yang terjadi disekitar Lumban bagi kita
disini, bagaikan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat nggegirisi.
Dan kini mimpi itu telah lewat. Kita tidak perlu lagi menangisi
mimpi yang telah lewat itu, meskipun bagi kita mimpi itu telah
meninggalkan bekas-bekasnya. Beberapa anak-anak muda
Lumban terluka. Bahkan ada yang menjadi parah. Tetapi
semuanya telah lampau. Yang kemudian kita hadapi adalah
kenyataan tentang diri kita sendiri"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Anak
muda yang satu ini memang sangat menarik perhatiannya
disamping Daruwerdi. Namun sebelum ia bertanya sesuatu,
terdengar Rahu berkata "Jlitheng, nampaknya untuk
menghadapi kenyataan tentang Lumban, kau akan mengambil
peranan yang penting. Tetapi bukankah disini ada Kiai Kanthi
yang sudah mempunyai sebuah gubug kecil di hutan diatas
bukit kecil itu" Kau akan dapat bekerja bersamanya dalam
banyak hal" Jlitheng mengerutkan keningnya. Sekilas di pandanginya
Kiai Kanthi. Namun agaknya Kiai Kanthi t idak akan berbicara
apapun juga. Karena itu, maka Jlithenglah yang berkata
"Tentu Rahu. Aku tidak akan ingkar. Aku dan Kiai Kanthi telah
mulai bermain dengan air. Sementara ini baru sebagian saja
dari daerah persawahan di Lumban yang tersentuh air itu.
Kami akan mendapat waktu dan kesempatan di hari
berikutnya yang masih cukup panjang, agar kami dapat
mengatur air dengan lebih baik"
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Kanthipun berkata "Kau
benar ngger. Kita sudah mulai bersama-sama. Juga bersamasama
dengan anak-anak muda Lumban. Kita akan
meneruskan kerja ini. Kita akan melihat kemungkinan lebih
jauh, apakah kita masih dapat menyadap air lebih banyak dari
yang sudah kita peroleh sekarang"
Rahulah yang telah menyahut lebih dahulu " Segalanya
akan dapat di bereskan. Sementara Pangeran Sena Wasesa
akan dapat segera kembali ke Demak. Sebenarnyalah aku
akan mengantar Pangeran. Secara pribadi maupun dalam
tugas-tugasku bersama Semi dan seorang kawan kami"
"Ternyata aku berada disekitar kawan-kawan yang sangat
baik" berkata Pangeran Sena Wasesa.
"Bukan hanya sekedar kawan-kawan yang baik Pangeran"
potong Ki Ajar Cinde Kuning.
"Apakah yang Ki Ajar maksudkan?" bertanya Pangeran
Sena Wasesa. "Sudah aku katakan, aku mempunyai ceritera tentang
Pangeran. Pada saatnya aku akan menyampaikan cerita itu,
meskipun sifatnya sangat pribadi bagi Pangeran" jawab Ki Ajar
Cinde Kuning. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
merasa aneh, bahwa orang cacat yang mengaku bernama Ajar
Cinde Kuning itu akan dapat menyampaikan satu ceritera yang
menarik dan bersifat sangat pribadi.
Namun dengan demikian maka Pangeran itupun justru
menjadi semakin ingin mengetahui. Tetapi Pangeran Sena
Wasesa masih tetap menguasai perasaannya. Ia tidak ingin
memaksa orang cacat itu untuk segera berceritera. Biarlah ia
sendiri yang menghendakinya.
Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuning itupun akhirnya
mendapatkan kesempatan itu juga. Selagi orang-orang
Lumban sedang beristirahat serta kedua orang Buyut dari
Lumban Kulon dan Lumban Wetan yang kembali ke Kabuyutan
masing-imesing untuk berbincang dengan para
pembantunya, maka K i Ajar Cinde Kuningpun telah berusaha
menemui Pangeran Sena Wasesa seorang diri.
Namun dalam pada itu, ibu Daruwerdi yang mengetahui
niat Ki Ajar itupun berkata "Ayah. Aku berharap, agar ayah
tidak membicarakannya lagi dengan Pangeran"
Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Rasa-rasanya ada kewajibanku untuk mengatakannya.
Mungkin kau merasa tidak mempunyai kepentingan apapun
lagi. Tetapi hal itu" tentu akan berguna bagi anakmu. Kau
tidak akan dapat membiarkan anakmu hidup dalam
keadaannya seperti sekarang ini. Apalagi setelah ia diracuni
oleh cita-cita saudara kembarku, yang lebih tepat disebut
ketamakannya. Anakmu memerlukan satu suasana yang
berbeda. Apa yang terjadi pada saat-saat terakhir tentu
sangat mempengaruhi caranya berpikir. Ia telah diajari oleh
saudara kembarku yang disangkanya adalah aku sendiri untuk
melakukan satu perbuatan yang sebenarnya kurang terpuji
dan jika kau ingin mengetahuinya sekarang, karena semuanya
telah lampau, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sangat
berbahaya bagi jiwanya. Untunglah bahwa ia telah bertemu
dengan orang-orang yang dapat berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya" Ibu Daruwerdi itupun menunduk dalam-dalam. Sekitar air
telah melekat dipelupuknya.
"Jika kau tidak sependapat ngger, anggaplah hal itu suatu
pengorbanan bagi kepentingan anakmu, agar ia mendapatkan
hari depan yang lebih baik" berkata Ki Ajar Cinde Kuning
"Mudah-mudahan suasana yang berbeda akan melenyapkan
kenangannya atas racun yang telah ditaburkan oleh Pamotan
Galih" Perempuan itu menjadi semakin tunduk. Namun kemudian
katanya "Jika semuanya ini akan bermanfaat bagi anak itu,
apaboleh buat bapa" Ki Ajar Cinde Kuning itupun menepuk pundak anak
angkatnya. Katanya lembut "Mudah-mudahan anak itu akan
menemukan hari-hari yang baik dikemudian"
Ibu Daruwerdi tidak menjawab lagi. Dibiarkannya kemudian
Ki Ajar Cinde Kuning menemui Pangeran Sena Wasesa
seorang diri. Kiai Kanthi yang mengetahui, bahwa agaknya ada sesuatu
yang penting untuk dibicarakan berdua saja, maka iapun telah
berusaha untuk tidak mengganggunya. Ia telah membuat satu
kesibukan tersendiri diantara anak-anak muda Lumban.
Pangeran Sena Wasesapun menjadi berdebar-debar. Ia
sama sekali tidak tahu, persoalan apakah yang akan dikatakan
oleh Ki Ajar Pamotan Galih yang dianggap olehnya sebagai
sesuatu yang sangat pribadi.
"Pangeran" berkata Ki Ajar Cinde Kuning ketika ia sudah
duduk berdua saja dengan Pangeran Sena Wasesa. Lalu "Aku
sebenarnya hanya ingin berceritera"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
berusaha untuk mengatur perasaannya. Mungkin csritera itu
akan sangat mengejutkannya
Sementara itu, Daruwerdipun telah menemui ibunya.
Dengan ragu-ragu ia bertanya "Kenapa ibu nampak gelisah?"
Ibunya tcrmangu-mrngu sejenak. Katanya kemudian "Ibu
tidak apa-apa ngger"
"Agaknya ibu telah berbicara dengan kakek. Kemudian ibu
menjadi sangat gelisah. Apakah sebenarnya yangi telah
terjadi" Peristiwa yang baru saja terjadi telah
mengguncangkan hatiku. Aku hampir tidak percaya bahwa
orang yang selama ini aku anggap guru dan kakek itu ternyata
adalah orang lain. Sekarang nampaknya ada persoalan b"ru
yang tumbuh, yang mungkin akan dapat mempengaruhi
perasaanku lagi" "Tidak ngger. Tidak ada apa-apa yang terjadi" jawab
ibunya "Jika kau melihat ibumu murung, sebenarnya ibu telah
disiksa oleh kenangan yang sangat mengerikan. Dengan
demikian, maka terima kasihku kepada gadis anak Kiai Kanthi
itu terasa semakin mendalam"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar
sadarnya ia berkata "Anak itu adalah anak yang baik"
"Ya ngger. Gadis itu adalah gadis yang baik" sahut ibunya
"Mungkin ada kekurangannya dalam hal unggah-ungguh dan
suba-sita. Itu dapat di mengerti. Juga sifatnya yang agak
kasar dan keras. Hal itu dipengaruhi oleh cara hidupnya yang
dibentuk oleh ayahnya yang menekuni olah kanuragan di
padepokan yang terpisah. Tetapi sebenarnya ia seorang gadis
yang berhati lembut"
Daruwerdi mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia mulai
membayangkan gadis yang aneh itu. Gadis yang berwajah
cantik, agak kekurus-kurusan. Dalam pakaian yang tidak
terlalu pantas dan sederhana. Namun ternyata memiliki ilmu
yang tinggi. Daruwerdi terkejut ketika diluar kehendaknya sendiri ia
telah mengambil kesimpulan, bahwa gadis itu adalah gadis
yaag sangat menarik. Ibunya tidak bertanya lebih banyak lagi. Tetapi sebagai
seorang ibu, ia dapat menangkap getar dihati anak lakilakinya.
Agaknya Daruwerdi memang menaruh perhatian
kepada gadis yang bernama Swasti itu. Gadis yang telah
membantu anak muda itu dalam kesulitan di medan, dan yang
telah menyelamatkan ibunya dari keganasan orang Pusparuri.
"Gadis itu memang baik" berkata ibunya di dalam hatinya
"Dan aku telah berhutang budi kepadanya"
Tetapi ibu Daruwerdi tidak mengatakannya. Ia tidak mau
mendahului sikap anaknya. Biarlah Daruwerdi mengambil
sikap sendiri terhadap gadis yang bernama Swasti itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Daruwerdi bertanya
"Apakah yang dibicarakan kakek dengan Pangeran Sena
Wasesa?" Ibu Daruwerdi memandang anaknya sejenak. Namun
kemudian katanya "Aku tidak tahu. Tetapi jika persoalannya
menyangkut kau, maka kau tentu akan diberitahu"
Daruwerdi tidak memaksa ibunya untuk mengatakan
sesuatu meskipun ia tahu, bahwa pembicaraan itu telah
menggelisahkan ibunya. Karena itu, maka Daruwerdi itupun kemudian berkata
"Baiklah ibu. Aku akan berada di halaman"
"Jangan pergi" berkata ibunya "Mungkin kau diperlukan
setiap saat" Kecurigaan Daruwerdipun menjadi semakin tajam. Tetapi ia
tetap tidak mau bertanya lagi. Namun jawabnya "Aku hanya
akan berada di halaman. Setiap saat ibu dapat memanggil
aku" Ibunya tidak mencegahnya lagi ketika Daruwerdi
meninggalkannya. Dalam pada itu, di tempat yang khusus. Pangeran Sena
Wasesa masih berbincang dengan orang cacat yang menyebut
dirinya Ki Ajar Cinde Kuning. Bahkan semakin lama
pembicaraan mereka menjadi semakin bersungguh-sungguh.
"Ki Ajar" berkata Pangeran itu dengan kerut yang dalam
dikeningnya "Apakah Ki Ajar yakin?"
"Aku adalah orang tua Pangeran. Lebih tua dari Pangeran
sendiri. Karena itu, aku sebenarnya tidak lagi mempunyai
keinginan apapun bagi diriku sendiri" berkata Ki Ajar itu
"Tetapi aku akan senang sekali melihat anak-anak muda itu
menemukan hari depannya yang baik. Baik bagi dirinya sendiri
dan baik bagi lingkungannya. Daruwerdi bukan seorang yang
pantas disebut bengal, Tetapi pada saat terakhir saudara
kembarku telah menjerumuskannya ke dalam satu keadaan
yang parah dan gawat. Untunglah Yang Maha Kuasa masih
melindunginya meskipun terdapat kesan yang kurang baik
pada anak itu. Tetapi itu bukan salahnya"
"Aku tidak menyalahkannya Ki Ajar" sahut Pangeran Sena
Wasesa. "Tetapi apakah Ki Ajar yakin, bahwa Ki Ajar tidak akan salah
lagi?" berkata Pangeran Sena Wasesa.
"Aku yakin. Jika Pangeran masih sempat mengingat segala
peristiwa yang terjadi, maka Pangeran akan menemukan satu
keyakinan seperti aku" jawab Ki Ajar Cinde Kuning. Nah,
apakah Pangeran tidak berkeberatan jika aku memanggilnya?"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Peristiwa itu sudah lama sekali terjadi. Tetapi apakah
Ki Ajar menganggap bahwa aku telah bersalah hal ini?"
Ki Ajar tersenyum. Jawabnya "Aku tidak mengatakan
bahwa Pangeran bersalah. Namun pada waktu itu sebenarnya
Pangeran dapat menempuh jalan lain. Jalan yang barangkali
tidak begitu menyenangkan bagi seorang Pangeran jika ia
harus menanggalkan gelarnya karena seorang perempuan
yang bukan termasuk seorang bangsawan"
Pangeran Sena Wasesa memandang wajah Ki Ajar sekilas.
Namun tatapan matanyapun kemudian menembus pintu yang
tidak tertutup rapat hinggap dikejauhan. Rasa-rasanya
segalanya yang pernah terjadi itu mulai membayang satu demi
satu. Semakin lama semakin jelas. Sebuah kenangan pada
masa mudanya" Namun tiba-tiba hampir diluar sadarnya Pangeran Sena
Wasesa berdesis "Bukan maksudku. Bukan kehendakku,
sendiri. Aku terikat pada satu keharusan untuk melakukannya
pada waktu itu. Hati dan jiwaku tidak cukup kuat untuk
mempertahankan sikapku itu.
Ki Ajar menarik nafas panjang. Katanya "Pangeran benar.
Akupun beranggapan seperti itu. Dan bukankah sudah aku
katakan, bahwa jarang ada seorang Pangeran yang berani
menyingkir dari kamukten karena seorang perempuan
padepokan" "Ya Ki Ajar. Aku termasuk salah seorang diantara mereka.
Aku termasuk seorang yang lemah hati dan jiwaku" desis
Pangeran Sena Wasesa. "Sudahlah Pangeran" berkata Ki Ajar "Jangan disesali. Kita
sudah sampai pada suatu saat seperti sekarang. Semuanya
tidak akan dapat diulangi lagi. Namun demikian kita masih
mungkin untuk menemukan masa depan yang paling baik. Jika
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita yang tua ini tidak memerlukannya lagi, biarlah anak-anak
muda itulah yang akan menempuh masa depan itu.
Terkutuklah kita yang tidak mampu mempersiapkan masa
depan yang baik bagi keturunan kita hanya karena kita sendiri
sajalah yang menjadi pusat perhatian kita. Seolah-olah kita
masih akan hidup beribu tahun lagi, sehingga kita telah
dicengkam oleh ketamakan yang berlebih-lebihan seperti
orang-orang Sanggar Gading, orang-orang Kendali Putih dan
orang-orang Pusparuri. Mungkin masih ada lagi orang-orang
yang akan berbuat serupa, termasuk saudara kembarku
sendiri. Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Katanya
"Tetapi bagaimana pendapat Ki Ajar, jika kita yang tua-tua ini
telah memburu sesuatu dengan satu angan-angan bagi
kepentingan keturunan kita"
"Seharusnya kita berbuat demikian Pangeran" berkata Ki
Ajar "tetapi dalam pengertian yang luas. Keturunan kita
bukanlah sekedar anak cucu kita. Tetapi satu tataran yang
akan menggantikan kita"
"Jika kita melakukannya bagi anak cucu kita masingmasing,
maka bukankah itu berarti bahwa satu tataran sudah
dipersiapkan untuk mendapat tempat yang baik" berkata
Pangeran Sena Wasesa. "Bagus" jawab Ki Ajar "asal kita tidak terlalu terikat kepada
kepentingan diri sendiri. Kita mempersiapkan hari depan anakanak
kita, tetapi mengorbankan hari depan anak-anak lain
yang juga akan menggantikan kita pada satu saat tertentu"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Dengan nada
yang dalam akhirnya iapun berkata "Ki Ajar, Jika yang
dikatakan Ki Ajar tentang perempuan itu benar, biarlah aku
menemuinya" Ki Ajar, Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Terima kasih Pangeran. Mudah-mudahan semuanya dapat
berakhir dengan baik. Sokurlah bahwa hubungan Pangeran
dengan keluarga Pangeran itu belum dirusakkan dan
dipecahkan sampai hancur berkeping-keping oleh saudara
kembarku" Pangeran Sena Wasjsa termangu-mangu sejenak.
Dicobanya untuk mengurai persoalan yang dihadapinya dalam
hubungannya dengan permintaan Pamotan Galih atas dirinya.
Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuningpun telah
memanggil seorang perempuan yang dikenal sebagai ibu
Daruwerdi, yang sebenarnya lebih senang untuk tidak
berbicara dengan Pangeran Sena Wasesa.
Tetapi ia t idak dapat menolak keinginan ayah angkatnya,
yang lebih banyak berpikir tentang Daruwerdi daripada
tentang perempuan itu sendiri.
Karena itu, dengan jantung yang berdegup semakin cepat,
maka iapun mengikut i Ki Ajar Cinde Kuning menghadap
Pangeran Sena Wasesa yang duduk sendiri menanti Ki Ajar
sebagaimana di pesankan kepadanya.
Ketika perempuan itu memasuki ruangan, maka seperti
perempuan itu, Pangeran Sena Wasesapun menjadi berdebardebar.
Ia sudah melihat perempuan itu sejak ia berada di
Lumban. Tetapi ia sama sekali tidak berpikir bahwa ia pernah
melihatnya sebelumnya. Bahkan lebih dari pada itu.
Sementara waktu itu telah berlaku lebih dari dua puluh tahun
yang lalu. Demikian perempuan itu duduk dihadapannya, maka wajahnyapun
segera menunduk dalam-dalam. Bahkan terasa
pelupuk matanya menjadi panas.
Tiba-tiba saja ia berdesis "Tidak. Tidak ayah. Aku tidak
memerlukan apapun juga"
Tetapi ketika perempuan itu bangkit dan hampir saja berlari
keluar, Ki Ajar Cinde Kuning telah menghalanginya sambil
berkata lembut "Tenanglah ngger. Cobalah berpikir sebaikbaiknya.
Seperti sudah aku katakan. Jangan berpikir tentang
dirimu sendiri. Tetapi kau harus lebih banyak berpikir tentang
anakmu. Berilah ia kesempatan untuk menemukan sesuatu
meskipun hal itu sama. sekali tidak terpikirkan sebelumnya"
Perempuan itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya
lagi. Ketika ia duduk lagi, maka setitik air telah meleleh di
matanya. Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesapun mencoba untuk
mengenali perempuan itu. Jarak waktu yang memisahkan
cukup lama, sehingga semuanya sudah berubah. Wajah
perempuan itupun telah berubah seperti wajahnya sendiri
yang telah berubah pula. Masa itu ia masih seorang Pangeran
muda yang menginjak masa dewasanya. Karena waktu itu ia
dicengkam oleh suatu keinginan untuk menguasai ilmu
kanuragan, maka ia telah melupakan usia dewasanya,
sehingga ia termasuk agak terlambat mengenal lembutnya
hati perempuan. Dan perempuan yang pertama menyentuh hatinya adalah
perempuan padepokan. Dan perempuan itu kini berada di
hadapannya, "Srini" tiba-tiba saja Pangeran Sena Wasesa berdesis.
Ibu Daruwerdi itu tidak dapat menjawab. Tetapi titik air
matanya menjadi semakin deras mengalir di pipinya.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Setelah diperhatikannya dengan seksama, maka ia tidak akan
salah lagi. Meskipun wajah perempuan itu sudah berubah,
tetapi ia masih tetap mengenalinya bahwa perempuan itu
benar Srini seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar Cinde Kuning.
Endang Srini yang ditemuinya disebuah padepokan kecil yang
sepi, pada saat ia sedang berburu.
Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuning itupun
kemudian berkata "Bukankah dengan demikian. Pangeran
dapat mengenang dengan jelas apakah yang pernah terjadi"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Dengan wajah yang suram Pangeran itu berkata "Ki Ajar.
Segalanya seolah-olah menjadi sangat jelas seperti baru
kemarin saja terjadi"
"Apakah Pangeran dengan demikian mengerti, siapakah
Daruwerdi itu?" bertanya Ki Ajar Cinde Wangi,
"Aku tahu maksud Ki Ajar. Ki Ajar ingin mengatakan bahwa
anak itu adalah anakku sendiri" sahut Pangeran Sena Wasesa.
"O" tiba-tiba saja perempuan yang disebut bernama
Endang Srini itu menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Sementara itu ia telah berusaha untuk menahan
tangisnya yang akan meledak.
Pangeran Sena Wasesa termangu-mangu sejenak. Namun
seperti yang dikatakannya, semuanya menjadi jelas. Dalam
kenangannya Pangeran Sena Wasesa melihat, betapa artinya
terguncang ketika ia melihat seorang gadis padepokan selagi
ia singgah bersama seorang pengiringnya ketika ia pergi
berburu. Perempuan yang kemudian diperistrikannya. Namun
ia telah di hadapkan pada satu masalah yang gawat bagi
kedudukannya sebagai seorang Pangeran. Beberapa pihak
tidak setuju bahwa ia telah kawin dengan seorang gadis
padepokan. Ia dapat mengambil perempuan itu sebagai
selirnya. Tetapi ia harus kawin dengan seorang perempuan
yang telah ditentukan oleh lingkungan keluarganya yang ketat
memegang paugeran. Tetapi Pangeran Sena Wasesa tidak sampai hati
menganggap perempuan yang dicintainya itu sebagai isteri
paminggir. Karena itu ia telah mengambil keputusan
betapapun berat bagi dirinya sendiri. Dari pada menganggap
Endang dari padepokan kecil itu sebagai isteri paminggirnya,
maka ia lebih baik berpisah sama sekali dengan
mengembalikan Endang itu kepada orang tuanya.
Betapa sakit dan pedihnya perasaan perempuan itu. Tetapi
ayahnya, seorang pertapa yang bijaksana dapat mengerti,
bahwa hal itu bukan karena kesewenang-wenangan Pangeran
Sena Wasesa. Meskipun pertapa itupuu tahu, bahwa Pangeran
Sena Wasesa ternyata masih di selubungi oleh gelar
keduniawian. Ia tidak dapat memberikan pengorbanan bagi
cintanya. Ia masih ingin tetap disebut seorang Pangeran
dengan menerima seorang perempuan bangsawan sebagai
isterinya. Namun akhirnya Pangeran itupun menjalani kehidupan
cintanya dengan ikhlas. Ia berusaha untuk menempatkan
isterinya yang bangsawan itu di dalam hatinya. Sehingga
akhirnya kehidupan keluarganyapun menjadi seimbang.
Namun ia dihadapkan pada suatu kenyataan. Endang Srini
yang dikembalikan itu memang sedang mengandung. Dengan
berat hati ia terpaksa tidak dapat meminang anaknya. Sekalisekali
ia memang mengunjungi anaknya disaat masih bayi.
Tetapi kesempatan itu akhirnya telah hilang sama sekali. Ia
hanya dapat meninggalkan beberapa bekal bagi anaknya.
Namun ia sendiri akhirnya terpisah sama sekali dari anak lakilakinya
yang hidup dan dibesarkan di sebuah padepokan.
Sejak saat itu, Pangeran Sena Wasesa tidak pernah
bertemu lagi dengan anak laki-lakinya yang dilahirkan oleh
seorang perempuan padepokan.
Sejenak, ruangan itu dicengkam oleh keheningan. Tidak
seorangpun yang berbicara diantara mereka. Masing-masing
seolah-olah sedang hanyut dalam arus angan-angan.
Sementara itu, ketika Daruwerdi keluar dari ruang dalam
dan turun lewat longkangan, tiba-tiba saja langkahnya
tertegun. Dilihatnya seorang gadis duduk disebelah amben
bambu diserambi seorang diri.
"Swasti" desis Daruwerdi.
Swasti terkejut. Ketika ia berpaling, ditatapnya mata
Daruwerdi yang sedang memandanginya. Karena itu, maka
iapun segera menundukkan wajahnya.
Seandainya ia berhadapan dengan lawan yang
menggenggam pedang sekalipun ia tidak akan berbuat
demikian. Namun dihadapan Daruwerdi, rasa-rasanya
jantungnya menjadi bergetar semakin cepat.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan diluar
sadarnya ia mendekati gadis itu dan justru duduk diamben itu
pula, disebelah gadis yang semakin menunduk itu.
Keringat telah membasahi di punggung Swasti. Ia sendiri
tidak tahu, kenapa ia menjadi sangat gelisah.
Tetapi Daruwerdipun tidak segera mengatakan sesuatu
Untuk beberapa saat ia duduk sambil berdiam diri. Namun
ternyata seperti jantung Swasti, maka jantungnyapun telah
bergejolak. Dalam pada itu, adalah kebetulan sekali bahwa Jlitheng
telah melintas agak jauh dari tempat mereka duduk. Sejenak
langkah Jlitheng terhenti. Namun iapun kemudian melanjutkan
langkahnya menikung disudut tanpa dilihat oleh kedua orang
itu. Sesaat Jlitheng terhenti. Rasa-rasanya ia ingin
menenangkan jantungnya yang menggelepar. Namun
kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja
anak muda itu telah tersenyum. Seakan-akan ia sedang
mengejek dirinya sendiri yang gelisah oleh sesuatu yang tidak
pasti. Tiba-tiba saja Jlitheng mencoba untuk memberanikan diri
bertanya kepada diri sendiri "Apa yang sebenarnya terjadi di
relung hati ini?" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Japun kemudian
melangkah ke kebun belakang tanpa tujuan. Di bawah
sebatang pohon manggis iapun berhenti. Namun kemudian
iapun telah melangkah lagi ke sisi yang lain dan lewat
halaman samping menuju ke pendapa.
Yang gelisah dalam kediamannya adalah ibu Daruwerdi dan
Pangeran Sena Wasesa. Namun kemudian terdengar suara
Pangeran Sena Wasesa lemah "Sekarang aku tahu Ki Ajar.
Kenapa Daruwerdi merasa, bahwa aku telah membunuh
ayahnya. Ternyata pengertian dari ungkapan itu dapat aku
tangkap. Seakan-akan aku telah merampas ayah anak itu dan
memisahkannya. Membunuhnya dalam pengertian yang lain"
"Tidak" Ibu Daruwerdi memotong diantara isaknya "Aku
tidak pernah mengajarkannya itu. Iapun tidak mengerti bahwa
Pangeran adalah ayahnya. Apalagi yang telah terjadi atas
dirinya" Pangeran Sena Wasesa memandanginya dengan tajamnya.
Namun dalam pada itu, Ki Ajarlah yang berkata "Srini benar
Pangeran. Anak itu tidak pernah mengetahui sampai saat ini,
siapa dirinya yang sebenarnya. Ibunyapun tidak pernah
mengajarinya mendendam kepada siapapun. Tetapi kesan
yang buruk itu telah di bangunkan oleh Pamotan Galih.
Meskipun ia tidak mengatakan dengan jelas, tetapi anak itu
telah menangkap satu pengertian yang salah. Tetapi
pengertian kematian bagi anak itu adalah sebenarnya
kematian, sehingga orang yang membunuh ayahnya itu
menurut pengertiannya akhirnya dianggapnya benar-benar
telah membunuhnya secara wadag, meskipun semula hanya
sekedar untuk membangkitkan kebenciannya saja.
"Hampir tidak ada bedanya" javab Pangeran Sena Wasesa
"tetapi aku tidak akan dapat menyalahkannya jika kesan itu
memang ada pada anak itu"
"Segalanya dapat dijelaskan Pangeran" berkata Ki Ajar
Cinde Kuning. Pangeran Sena Wasesa memandang Ki Ajar dengan wajah
yang menegang. Agaknya ada sesuatu yang ternyata
bergejolak di dalam hatinya. Meskipun Ki Ajar itu menduga,
bahwa ketegangan perasaan Pangeran itu disebabkan oleh
kehadiran seorang perempuan yang tentu tidak diduga
sebelumnya, namun sebenarnyalah ada sesuatu yang telah
menggetarkan hati Pangeran Sena Wasesa.
Dalam pada itu. maka dengan nada yang dalam, Pangeran
itupun berkata "Ki Ajar. Baiklah Ki Ajar memanggil anak itu.
Biarlah aku sendiri mengatakan kepadanya, siapakah ayahnya,
yang sebenarnya. Kemudian biarlah orang-orang lain, yang
ada disini, orang-orang Lumban dan bahkan kemudian
keluargaku seluruhnya mengetahui, bahwa anak itu adalah
anakku. Anakku yang lahir dari sebuah perkawinan yang
dilambari dengan cinta antara anak-anak muda. Namun
keadaan telah memisahkan kami"
"Memang bukan kehendak Pangeran sendiri" desis Ki Ajar.
"Hatiku memang lemah sekali. Bukan saja waktu itu, tetapi
sampai saat inipun aku adalah seorang Pangeran yang lemah
hati. Aku termasuk seorang Pangeran yang mendapat
kepercayaan sebagai seorang Senopati. Tetapi kekuatan
lahiriah itu ternyata sama sekali tidak mencerminkan kekuatan
batinku" desis Pangeran Sena Wasesa.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah Pangeran" berkata Ki Ajar Cinde Kuning.
"Hal ini berlaku sampai saat ini Ki Ajar" jawab Pangeran
Sena Wasesa. "Tentu tidak" sahut Ki Ajar.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun dengan nada dalam ia berkata "Biarlah aku berbicara
dengan anakku. Aku akan menjelaskan segala-galanya. Bukan
saja tentang kedudukannya, tetapi tentang keadaan yang kita
hadapi sekarang ini"
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragunya ia
bertanya "Keadaan yang manakah yang Pangeran
maksudkan" Pertemuan Pangeran dengan Endang Srini dalam
keadaan seperti sekarang ini?"
"Tidak. Bukan tentang hal itu. Tetapi tentang hal yang lebih
besar lagi bagi kita semuanya. Bukan sekedar soal pribadi.
Tetapi persoalan kita. Persoalan Demak" jawab Pangeran itu.
Ki Ajar Cinde Kuninglah yang kemudian menjadi heran. Ia
sudah mengungkapkan satu persoalan pribadi Pangeran Sena
Wasesa. Namun ternyata Pangeran Sena Wasesa masih
menyimpan satu masalah yang lebih besar dari persoalan
pribadinya itu. Namun dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesapun berkata
"Ki Ajar. Biarlah aku mendapat kesempatan untuk berpikir.
Biarlah aku menentukan apakah yang akan aku lakukan, justru
karena persoalan yang besar itu. Aku mohon Ki Ajar memberi
kesempatan kepadaku untuk berbicara dengan Endang Srini
tanpa orang lain. Aku akan berbicara tentang masa depan
anakku yang sudah terlalu lama terpisah dari aku"
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya "Silahkan Pangeran.
Tentu aku tidak akan berkeberatan. Adalah hak Pangeran
untuk berbicara tentang putera Pangeran itu"
"Terima kasih Ki Ajar. Selebihnya aku akan
memberitahukan kepada Ki Ajar, apakah yang sebaiknya kita
lakukan pada saat seperti ini" berkata Pangeran itu kemudian.
Ki Ajarpun kemudian minta diri untuk meninggalkan
ruangan itu, sementara Endang Srini dan Pangeran Sena
Wasesa masih tetap berada diruangan itu tanpa orang lain.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Mereka, ternyata
sempat mengenang kembali apa yang pernah terjadi diantara
mereka. Namun hal itu telah lama berlalu.
Baru sejenak kemudian Pangeran Sena Wasesa berkata
"Srini. Beruntunglah, bahwa aku masih sempat berbicara
denganmu mengenai anak kita. Yang Maha Kuasa telah
mempertemukan kita dalam keadaan yang sama sekali tidak
aku duga sebelumnya. Namun dalam pembicaraan yang
singkat dan kenyataan yang aku hadapi sekarang ini, maka
telah terjadi satu pergolakan di dalam diriku. Karena itu, aku
ingin mendapat bantuanmu untuk mengambil satu keputusan,
apakah yang sebaiknya aku lakukan untuk kepentingan anak
kita dan barang kali perlu kau ketahui, aku mempunyai
seorang anak perempuan yang aku tinggalkan di istanaku"
"Aku sudah mengetahuinya Pangeran" jawab Srini.
"O" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk
"Sokurlah. Aku harap kau dapat mengerti"
"Aku mengerti Pangeran. Aku mengerti sejak aku harus
kembali kepada ayah dan ibuku di padepokan" jawab Endang
Srini. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian terdengar ia berdesis "Dimana ayah dan
ibumu sekarang" Apa hubunganmu dengan ayah angkatmu itu
sebelumnya?" "Ayah Ajar Cinde Kuning adalah orang yang dikenal baik
oleh ayahku. Ketika ayah dan kemudian ibuku meninggal,
maka aku telah menjadi anak angkat Ki Ajar Cinde Kuning.
Namun tanpa aku ketahui bahwa ayah Ajar Cinde Kuning
mempunyai saudara kembar yang telah hampir saja merusak
hidupku dan anakku" jawab Endang Srini.
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk kecil. Namun
kesungguhan yang memancar di wajahnya menyatakan,
betapa ia sedang berpikir dengan sungguh-sungguh pula.
Untuk beberapa saat, Pangeran Sena Wasesa merenungi
dirinya sendiri. Ki Ajar Pamotan Galih, saudara kembar Ki Ajar
Cinde Kuning yang telah menyatakan dirinya sebagai Ki Ajar
Cinde Kuning itu sendiri, setelah berusaha membunuh
saudaranya itu, hampir saja telah merusak hidup Daruwerdi.
Namun tiba-tiba saja ia berkata kepada dirinya sendiri
"Apakah ketamakan yang demikian akan merusak hidupnya,
justru dari aku sendiri. Dari ayahnya?"
Dalam gejolak perasaannya, maka Pangeran Sena Wasesa
yang telah bertemu dengan isterinya itu, seolah-olah
mendapat tempat untuk mencari pertimbangan. Sebagaimana
dikatakannya, maka Pangeran Sena Wasesa benar-benar ingin
mendapat bantuan Endang Srini untuk memecahkan satu
persoalan yang gawat bukan saja bagi dirinya sendiri.
Sementara Pangeran Sena Wasesa kemudian berbincang
dengan sungguh-sungguh untuk menentukan satu sikap,
maka Ki Ajar Cinde Kuning yang berdiri di pintu butulan masih
melihat Daruwerdi duduk berdua dengan Swasti. Nampaknya
keduanya sedang berbicara dengan sungguh-sungguh pula
sebagaimana dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Sesaat Ki Ajar memandang keduanya. Namun iapun
kemudian melangkah meninggalkan serambi itu dan lewat
pintu yang lain turun ke halaman samping. Namun ketika ia
melihat Jlitheng duduk di pendapa bersama Kiai Kanthi, maka
iapun telah pergi ke pendapa pula.
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya
ia bertanya "Apakah pembicaraan Ki Ajar dengan Pangeran
Sena Wasesa telah selesai?"
Ki Ajar menggeleng. Katanya "Belum. Masih ada persoalan
yang akan dikatakan oleh Pangeran Sena Wasesa, persoalan
yang lebih besar dari persoalan tentang dirinya sendiri"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Ajar
meneruskan. Jika semula aku yang berteka-teki, namun
kemudian Pangeran Sena Wasesalah yang memberikan tekateki
itu. Tetapi aku tidak dapat dengan tergesa-gesa ingin
mendengarnya. Aku harus menunggu, kapan saja Pangeran
itu ingin mengatakan tebakannya"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Sementara itu katanya"
"Ternyata segalanya berjalan menurut jalurnya masingmasing.
Kita memang hanya dapat merancang. Namun yang
kemudian terjadi kadang-kadang diluar keinginan kita"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai Kanthi
sekilas. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya.
Ki Ajar Gnde Kuning tidak menyahut. Tetapi perhatiannya
tidak terlepas dari suasana wajah anak muda yang menyebut
dirinya Jlitheng itu. Rasa-rasanya ada sesuatu yang
tersembunyi di balik kegelisahan yang memancar di wajahnya.
Tetapi Ki Ajar tidak menanyakannya.
Jlitheng sendiri tidak mengatakah apapun juga. Namun
ternyata bahwa Kiai Kanthi mampu menangkp gejolak
perasaan anak muda itu. Sudah cukup lama ia mengamati
sikapnya terhadap anak gadisnya. Namun diluar kehendak Kiai
Kanthi. agaknya perasaan Swasti menjadi lebih dekat dengan
Daruwerdi yang menurut ujud lahiriahnya, memang
mempunyai kelebihan dari Jlitheng yang sengaja membaurkan
dirinya dengan anak-anak Lumban, meskipun Swasti
mengenal siapa sebenarnya"
Hari itu dilalui dengan ketegangan-ketegangan dihati
beberapa orang yang masihwsaja berada di banjar Kabuyutan
Lumban Wetan. Diluar pengetahuan anak-anak muda Lumban
yang merasa telah terbebas dari benturan kekuatan yang
terjadi di lingkungan hidup mereka tanpa mereka ketahui
ujung dan pangkalnya, maka orang-orang yang berada di
banjar itu tengah mempersoalkan masalah mereka masingmasing.
Ketika malam turun, maka Pangeran Sena Wasesa telah
minta sekali lagi orang-orang yang berada di banjar itu untuk
berkumpul, terutama Kiai Kanthi, Daruwerdi, ibunya, Jlitheng
dan Ki Ajar Cinde Kuning disamping satu dua orang lain yang
dianggap tidak akan mengganggu pertemuan itu, termasuk
kedua adik Endang Srini dan Swasti.
Sikap dan pancaran wajah Pangeran Sena Wasesa nampak
agak berbeda. Wajah itu tidak lagi buram dan dibebani oleh
persoalan di dalam dirinya. Tetapi sorot mata Pangeran itu
rasa-rasanya menjadi bening dan di bibirnya nampak
senyumnya yang cerah, Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi melihat perubahan itu.
Tetapi mereka tidak dapat meraba sampai ke dasar.
Perubahan warna jiwani yang manakah yang telah terjadi
pada Pangeran Sena Wasesa itu.
"Mungkin ia telah menemukan satu keyakinan, bahwa
perempuan itu benar-benar isterinya, dan anak muda yang
menyebut dirinya Daruwerdl itu adalah anak lakl-lakinya"
berkata Ki Ajar Cinde Kuning di dalam hatinya.
Dalam pada Itu, setelah mereka duduk melingkar tanpa
kehadiran anak-anak muda Lumban atas permintaan Pangeran
Sena Wasesa, maka Pangeran itupun berkata "Kl Ajar, Kiai
Kanthi dan Ki Sanak semuanya yang ada di ruangan ini Ada
sesuatu yang ingin aku beritahukan kepada kalian. Persoalan
yang sebenarnya terlalu pribadi. Tetapi juga persoalan yang
lebih besar dari persoalan pribadi itu"
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sekilas di pandanginya
wajah Kiai Kanthi yang menunduk.
"Ki Ajar" berkata Pangeran Sena Wasesa lebih lanjut
"Mungkin satu dua diantara kalian telah mengetahui
sebagaimana Ki Ajar katakan kepadaku tentang persoalan
pribadi itu. "Tidak Pangeran" jawab Ki Ajar "Aku tidak mengatakannya
apapun juga tentang Pangeran"
"Baiklah" berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian
"Jika demikian biarlah aku yang mengatakannya"
Ki Ajar memandang wajah Pangeran itu sejenak. Tetapi
seperti ketika ia memasuki ruangan itu, dilihatnya wajah itu
nampak cerah. "Silahkan Pangeran" berkata Ki Ajar Cinde Kuning
kemudian. Sebenarnyalah ia ingin segera mendengar teka-teki
yang sulit untuk ditebaknya itu. Jika ia semula menyampaikan
persoalan pribadi itu kepada Pangeran Sena Wasesa. maka
kini ialah yang di gelisahkan oleh persoalan yang disebut oleh
Pangeran Sena Wasesa sebagai persoalan yang jauh lebih
besar dari persoalan pribadinya itu. Namun demikian ia masih
harus menunggu. Agaknya yang akan dikatakan, justru yang
didengar Pangeran itu dari padanya.
Sebenarnyalah, Pangeran Sena Wasesa tidak lagi merasa
segan untuk menceritakan tentang dirinya sendiri. Dengan
lancar ia berkata "Kiai Kanthi dan Ki Sanak semuanya,
ternyata bahwa Ki Ajar Cinde Kuning telah mempertemukan
aku dengan orang yang sangat penting di dalam hidupku.
Bukan satu kebetulan, tetapi agaknya Ki Ajar Pamotan Galih
telah memperhitungkannya, Itulah sebabnya maka anak muda
yang menyebut dirinya Daruwerdi itu mencari seseorang yang
dianggapnya telah membunuh ayahnya. Membunuh dalam
pengertian yang lain. Bukan membunuh dalam arti
kewadagan. Yang itu adalah orang yang mengetahui serba
sedikit tentang pusaka dan harta benda yang pernah
ditinggalkan oleh salah seorang Senepati dari Majapahit, yang
pada saat terakhir berusaha untuk bertahan. Namun ia asal
mempertahankan kota raja sehingga ia telah berusaha
menyelamatkan pusaka yang diserahkan kepadanya dan
sejumlah harta benda yang tidak ternilai harganya.
Maksudnya, ia akan mulai dengan satu perjuangan yang
panjang melalui segala upaya"
Pangeran Sena Wasesa berhenti sejenak. Hal itu sudah
pernah didengar oleh orang-orang yang berada diruang itu.
Bahkan Pangeran Sena Wasesa pernah mengatakan, bahwa
semuanya itu telah diserahkannya kepada yang berhak,
Pemerintahan di Demak. Namun dalam pada itu Pangeran Sena Wasesa berkata "Dalam
pergolakan yang demikian, yang ternyata ekornya terasa
bergetar sampai saat ini di daerah Sepasang Bukit Mati ini,
telah menjadi satu lantaran bagiku, untuk menemukan apa
yang pernah aku anggap hilang"
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai masih
menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Itu.
"Ki Sanak" berkata Pangeran itu selanjutnya "Aku telah
menemukan sesuatu yang sangat berharga bagiku"
"Ya, apa?" hampir saja Jlitheng bertanya.
Dalam pada itu, mulailah Pangeran Sena Wasesa
berceritera tentang dirinya sendiri pada masa mudanya. Tidak
terlalu menarik bagi yang mendengarkannya. Namun ia
mengatakan bahwa anak laki-laki yang lahir dari seorang ibu
yang harus dilepaskannya itu kemudian diketemukan sekaligus
bersama ibunya, maka semua orang menjadi berdebar-debar.
Namun dengan pasti Pangeran Sena Wasesa berkata "Anak
itu sekarang ada diruang ini. Perempuan tua ini adalah
Isteriku, dan anaknya adalah anakku"
"Ibu" tiba-tiba saja Daruwerdi bergeser mendekati ibunya"
Apakah benar pendengaranku"
Jika pada pembicaraannya dengan Pangeran Sena Wasesa,
Srini masih dapat membatasi tangisnya, maka tiba-tiba saja ia
telah memeluk anak laki-laikinya dan menangis sejadi-jadinya.
Diantara isak tangisnya terdengar ia berkata "Ya ngger.
Pangeran Sena Wasesa adalah ayahmu"
"Tetapi, tetapi...." kata-kata Daruwerdi terpotong oleh
perasaannya yang menjadi bingung. Sementara ibunya masih
saja menangis sambil memeluknya.
Ruangan itu menjadi diam. Yang terdengar adalah tangis
Endang Srini yang tertahan-tahan. Disela-sela tangisnya itu
terdengar ia berbisik "Anakku, semua yang pernah aku
katakan terdahulu, semata-mata untuk menutupi keadaan
yang sebenarnya. Yang kau dengar sekarang inilah yang
sebenarnya telah terjadi. Jika kau ingin kepastian, bertanyalah
kepada kakekmu" Daruwerdi memandang Ki Ajar Cinde Kuning sekilas.
Dilihatnya orang tua itu tersenyum sambil mengangguk.
Katanya "Ibumu benar Daruwerdi"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya
maka ibunya berpesan dengan sungguh-sungguh agar ia tidak
menyakit i Pangeran Sena Wasesa pada saat Pangeran Sena
Wasesa dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading kepadanya.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kesan yang didapatkannya pada waktu itu sangat
berbeda dengan kebenaran yang dikatakan oleh ibunya itu.
Sehingga dengan demikian, maka Daruwerdipun merasa,
bahwa apa yang diketahuinya adalah satu keadaan yang sama
sekali baur dan tidak menentu.
"Aku minta maaf kepadamu ngger" bisik ibunya kemudian
"Aku tidak dapat berterus terang sebelumnya"
Daruwerdi mencium tangan ibunya. Kemudian katanya
"Bukan ibu yang bersalah"
"Bukan orang lain pula" sahut ibunya,
Daruwerdi terdiam. Ada sebersit kekecewaan dihatinya
terhadap orang yang disebut ayahnya itu. Ayah yang tidak
pernah mengetahui perkembangan jiwa dan kewadagan
anaknya. Namun dalam pada itu, Ki Ajar yang melihat sorot mata
Daruwerdi itupun berkata "Kau harus berterima kasih. Yang
harus kau cari bukan kesalahan orang lain. Tetapi bahwa Yang
Maha Kuasa sudah berkenan mempertemukan kau dengan
orang tuamu" Akhirnya kepala Daruwerdi itupun menunduk.
Sementara itu, orang-orang lainpun telah dicengkam pula
oleh gejolak perasaan masing-masing. Namun beberapa orang
memang sudah menduga, bahwa Daruwerdi pada suatu saat
akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Meskipun yang
terjadi justru orang lain yang telah membuka tabir tentang
dirinya yang justru tidak diduga oleh Daruwerdi sendiri.
Yang jantungnya menjadi berdentangan adalah Swasti.
Anak muda yang bernama Daruwerdi itu telah sangat menarik
perhatiannya. Diluar kuasanya untuk menolak, hatinya telah
tertambat oleh anak muda itu. Sejak ia melihat untuk pertama
kalinya, seolah-olah sebuah bisikan telah didengar ditelinga
hatinya, bahwa anak muda itu akan dapat menjadi tumpuan
perasaan kegadisannya. Tetapi ternyata anak muda itu adalah putera seorang
Pangeran. Sedang dirinya sendiri adalah seorang gadis kabur
kanginan yang t idak menentu papan dan dunungnya.
Tiba-tiba saja Swasti merasai dirinya terlalu kecil. Ia merasa
sangat tidak berharga. Seorang gadis yang hidup di dalam
gubug kecil di lereng bukit. Itupun karena pertolongan anakanak
muda Lumban. Ketika sekilas Swasti memandang ibu Daruwerdi yang
sedang mengusap matanya, maka seolah-olah nampak sebuah
contoh bagi hidupnya. Seorang perempuan padepokan yang
kawin dengan seorang bangsawan, sehingga tataran hidup
yang tidak seimbang itu telah melemparkan mereka kedaiam
satu kehidupan yang pahit.
Diluar sadarnya Swasti memandang seorang anak muda
yang lain meskipun hanya sekilas. Anak muda yang menyebut
dirinya Jlitheng, namun yang sebagaimana dikatakannya
adalah juga seorang putera Pangeran yang telah tidak ada
lagi. Namun justru karena sikap hidupnya Jlitheng menjadi
terasa lebih dekat dengan anak-anak Lumban daripada
Daruwerdi. Tetapi Jlitheng sama sekali tidak menyentuh perasaannya.
Bahkan kadang-kadang ia merasa terganggu oleh
kehadirannya. Apalagi sejak ayahnya seakan-akan lebih
banyak memperhatikan Jlitheng daripada memperhatikan
dirinya. "Ia juga seorang bangsawan" berkata Swasti di dalam
hatinya "Yang akan dapat menimbulkan akibat yang serupa"
Jlitheng sendiri pada saat itu duduk termenung sambil
menunduk. Diluar sadarnya, ia justru sedang melihat kepada
dirinya sendiri. Ada sepercik keinginan untuk menyatakan
dirinya bahwa ia mempunyai kedudukan yang tidak kalah dari
Daruwerdi itu. Namun ternyata bahwa ia masih mampu
menahan diri. Apalagi ketika ia berpaling kearah Rahu yang
kebetulan sedang memandanginya dengan tatapan mata yang
muram. Sementara itu, keheningan itupun kemudian dipecahkan
oleh suara Pangeran Sena Wasesa "Suatu kenangan yang
barangkali kurang menarik untuk dikenang"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Diluar pengetahuan anak
gadisnya, ia memandanginya. Sebagai orang tua, maka ia
dapat menangkap perasaan Swasti yang sedang bergejolak
menilik sikapnya yang gelisah. Tetapi Kiai Kanthi tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, maka Pangeran Sena Wasesapun berkata
selanjutnya "Terserahlah tanggapan Ki Sanak sekalian atas
peristiwa itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku menyesali
kelemahan hatiku pada waktu itu. Dan sekarang, akupun akan
berbuat serupa. Aku telah menyesali pula atas kelemahan
hatiku. Kelemahan yang apabila tidak segera diluruskan akan
berakibat sangat buruk bagiku, dan bagi keturunanku"
"Apalagi yang telah terjadi Pangeran?" bertanya Ki Ajar
Cinde Kuning. "Aku mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan
yang telah Ki Ajar berikan kepada anak dan isteriku" berkata
Pangeran Sena Wasesa "Dan agaknya pada saat-saat terakhir
aku telah mendapat terang dihatiku, bahwa aku harus
memperbaiki satu sikap yang akan mencelakakan diriku sen
diri dan keturunanku"
Kata-kata dan sikap Pangeran Sena Wasesa itu telah
membingungkan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Mereka melihat sikap yang seolah-olah tidak wajar pada
Pangeran Sena Wasesa. Ia menyesali sesuatu yang
dikatakannya dapat merusak dirinya dan keturunannya. Tetapi
dalam pada itu, pada wajahnya yang cerah terpancar satu
perasaan yang lain. Seolah-olah Pangeran itu justru telah
menemukan sesuatu yang berharga bagi hidupnya dan
keturunannya kelak. Sementara itu Pangeran Sena Wasesapun kemudian
berkata "Ki Sanak. Aku akan mengulangi keteranganku
tentang pusaka dan harta benda yang terdapat bersama
pusaka itu" Rahu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya
Pangeran Sena Wasesa yang justru menatap wajah Rahu yang
menegang. "Tetapi agaknya tidak akan banyak gunanya" berkata
Pangeran Sena Wasesa kemudian.
Orang-orang yang berada disekitarnya menjadi heran.
Mereka menjadi semakin tidak mengerti apa yang dimaksud
oleh Pangeran Sena Wasesa itu.
Dalam pada itu Pangeran Sena Wasesapun meneruskan
"Aku yakin bahwa diantara kita terdapat orang-orang yang
dikirim langsung atau tidak langsung oleh Demak. Aku sadar,
bahwa pada saat aku berada dalam kesulitan, meskipun aku
sempat mengelabui Yang Mulia dengan berpura-pura tetap
sakit, namun seorang diantara pengikut Yang Mulia itu berbisik
di telingaku "Aku akan membantu Pangeran"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa yang
dimaksud oleh Pangeran Sena Wasesa adalah dirinya.
Dalam pada itu Pangeran itu berkata "Karena itu Ki Ajar
dan Ki Sanak semuanya yang ada diruang ini, tidak ada
gunanya aku berbohong. Satu atau dua orang diantara kalian
tentu akan menghadap para pemimpin di Demak dan bertanya
tentang kebenaran kata-kataku"
Rahu bergeser sejengkal. Seakan-akan Pangeran Sena
Wasesa itu dapat melihat tembus kcdalam jantungnya.
Meskipun tidak dikatakannya kepada siapapun juga. namun
sudah pasti, bahwa ia akan berbuat demikian. Ia tentu akan
bertanya kepada para penanggung jawab gedung
perbendaharaan, apakah sebuah pusaka yang dilepaskan oleh
Sang Maha Prabu di Majapahit kepada seorang Pangeran yang
menjadi Senopati Agung pada waktu itu telah kembali ke
gedung perbendaharaan yang telah dipindahkan ke Demak.
Dalam ketegangan itu, terdengar Pangeran Sena Wasesa
berkata "Karena itu Ki Sanak. Setelah aku menimbangnimbang,
justru setelah aku bertemu dengan anak dan isteriku
yang telah membuka cacat jiwani yang telah aku sandang
sejak mudaku, maka aku telah mencoba untuk memberanikan
diri mengambil sikap yang berbeda"
Jlitheng memang agak kurang sabar. Tetapi ia harus
menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Sena
Wasesa. Sementara Daruwerdi sendiri menjadi tegang. Anak
muda itu sadar, bahwa ibunya tentu sudah mengetahui apa
yang akan dikatakan oleh ayahnya, menilik wajah ibunya yang
tidak banyak terpengaruh oleh kata-kata Pangeran Sena
Wasesa itu. Dalam pada itu, maka akhirnya Pangeran Sena Wasesapun
sampai kepada pokok persoalan yang akan di katakannya.
Ternyata bahwa betapapun ia telah mengambil sikap yang
bulat, namun di saat-saat ia mengucapkan kata-katanya,
wajahnya yang cerah itu telah berpengaruh juga, sehingga
pada dahi Pangeran itu nampak kerut-kerut kebimbangan
betapapun tipisnya. "Ki Sanak" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku tidak boleh
ingkar lagi. Mungkin untuk satu saat yang pendek aku dapat
mengelabui Ki Sanak semuanya. Aku memang mengatakan
bahwa pusaka dan harta benda itu telah kembali ke tangan
yang berhak di Demak. Dan agaknya keterangan itu akan
memperoleh kepercayaan" Pangeran itu berhenti sejenak" Lalu
Tetapi tentu hanya untuk sementara"
"Apa yang sebenarnya terjadi Pangeran" potong Jlitheng
yang tidak sabar. Namun dalam pada Itu, agaknya Ki Ajar Cinde Kuning telah
dapat menebak, apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Sena
Wasesa. Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia
berkata "Silahkan menjelaskan Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa memandang orang tua itu sekilas.
Ketika kemudian ia memandang Kiai Kanthi, maka Kiai Kanthi
itupun berkata "Pangeran telah menempuh satu sikap yang
paling bijaksana" Pangeran Sana Wasesa mengangguk. Kedua orang tua itu
tentu sudah dapat mengetahui dengan tepat isi hatinya. Dan
agaknya keduanya telah menanggapi sikapnya dengan baik.
Karena itu, maka katanya "Ki Sanak. Terutama mereka
yang mendapat tugas dari Demsk, langsung atau tidak
langsung. Aku akan mencabut keteranganku yang terdahulu.
Aku belum menyerahkan pusaka dan harta benda itu ke
Demak" "Pangeran" potong Daruwerdi.
Namun Ki Ajar Cinde Kuning menyahut dengan cepat
"Lupakan segala pesan Ki Ajar Pamotan Galih yang kau
anggap, sebagai diriku sendiri. Kau telah diracuni dengan
sikap ketamakannya. Kau tidak perlu lagi berharap apapun
juga tentang pusaka dan harta benda itu. Pusaka dan harta
benda yang membuat hampir semua orang menjadi
kehilangan kesadaran"
"Termasuk aku sendiri" sahut Pangeran Sena Wasesa.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Untuk waktu yang
lama ia mengamati bukit gundul itu. Bahkan ia telah mencoba
dan berusaha menemukan jawaban dari teka-teki tentang
pusaka itu dengan mengamati retak-retak di bukit gundul itu.
Bahkan setiap lekuk dan cuatan. Garis lurus, lengkung dan
garis-garis-patah pada retak batu-batu padas. Sementara
sambil menunggu siapapun yang dapat menyerahkan orang
yang disebut Pangeran Sena Wasesa itu.
Tetapi ternyata bahwa akhir dari segala macam peristiwa
itu jauh berbeda dari yang di angan-angankan semula. Apalagi
karena sumber dari segalanya justru adalah bukan orang yang
sebenarnya. Bahwa Ki Ajar Pamotan Galih yang pernah
menyebut dirinya Ajar Macan Kuning bukanlah Ki Ajar Cinde
Kuning. Namun tiba-tiba ia telah dihadapkan pada suatu kenyataan
yang lain. Harta benda di samping pusaka itu kini berada pada
seorang yang menyebut dirinya ayahnya. Orang yang semula
diburunya dan telah pernah dikatakannya sendiri, pembunuh
ayahnya. "Pusaka itu t idak perlu lagi dicari-cari. Tidak perlu lagi
memburu seseorang yang mengetahuinya" berkata Daru-werdi
di dalam hatinya "Orang itu justru menyebut dirinya sebagai
ayahku" Namun dalam pada itu, terasa pandangan beberapa orang
tertuju kepadanya. Seolah-olah mereka ingin mengetahui,
apakah yang akan dilakukannya.
Sebenarnyalah bahwa bisikan yang mengandung racun
telah menusuk jantungnya. Ki Ajar Pamotan Galih yang hampir
setiap hari membisikkan upaya untuk memiliki pusaka dan
harta benda yang tidak ternilai harganya itu ternyata tidak
dapat dihapuskan begitu saja dari dada Daruwerdi.
Sementara itu, Rahu dan Jlitheng t idak kalah bingungnya
mendengar pengakuan Pangeran Sena Wasesa. Justru karena
Itu untuk sesaat keduanya tidak mengucapkan kata-kata
apapun juga. Rasa-rasanya mereka dihadapkan pada suatu
mimpi yang aneh. "Tetapi ini adalah satu kenyataan" berkata Jlitheng di
dalam hatinya. Pangeran Sena Wasesa melihat gejolak perasaan pada
beberapa orang yang ada di dalam ruangan itu. Dengan
senyum di bibirnya ia berkata "Ki Sanak semuanya. Aku saat
ini toerasa berbahagia ganda. Aku telah dapat bertemu
dengail anak dan isteriku yang telah terpisah untuk waktu
yang lama. Kemudian aku telah berhasil mengatasi kekerdilan
jiwaku, Ketamakan dan nafsu yang tidak kalah jahatnya
dengan orang-orang Sanggar Gading, orang-orang Kendali
Putih dan orang orang Pusparuri. Aku sebenarnya juga ingin
memiliki semuanya itu bagi diriku sendiri. Tetapi aku telah
dapat melepaskan diri dari padanya, sehingga dengan
demikian aku merasa telah terbebas dari benda-benda yang
telah mencekam aku sebagaimana telah terjadi pada orangorang
Sanggar Gading, orang-orang Pusparuri"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia
berkata "Jadi apakah yang terakhir inilah yang merupakan
kebenaran Pangeran?"
"Ya Ki Sanak" jawab Pangeran Sena Wasesa "Dan aku akan
secepatnya menghadap Sultan di Demak. Aku akan
mengatakan segalanya dan mengaku bersalah. Aku tidak akan
ingkar menerima segala hukuman yang akan di bebankan
dipundakku. Namun dengan demikian, aku telah merasa
terlepas dari belenggu ketamakan dan nafsu"
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mudah-mudahan segalanya dapat terjadi dalam waktu
secepatnya" berkata Rahu kemudian. Lalu "Aku akan dengan
senang hati membantu Pangeran dalam penyelesaian ini.
Akupun akan merasa berbahagia melibat kebahagiaan
Pangeran" "Baiklah" berkata Pangeran Sena Wasesa "segalanya akan
dapat diatur secepatnya" Lalu katanya kepada Ki Ajar Cinde
Kuning "bagaimana pendapat Ki Ajar?"
Ki Ajar Cinde Kuning mengangguk-angguk. Katanya
"Pangeran sudah menemukan jalan yang benar menurut
pendapatku" "Terima kasih Ki Ajar. Namun sebaiknya aku juga
Pendekar Pedang Sakti 4 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Pohon Kramat 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama