Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 25

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 25


mendengar pendapat Kiai Kanthi" berkata Pangeran Sena
Wasesa kemudian "meskipun aku sudah dapat meraba
sebelumnya" "Apakah artinya aku bagi Pangeran" jawab Kiai Kanthi
"segalanya terserah kepada Pangeran. Jika Pangeran
mengambil satu keputusan, aku rasa keputusan itu adalah
yang paling bijaksana"
"Ah" desah Pangeran Sena Wasesa "meskipun Kiai
mengaku orang kabur kanginan, yang tinggal di lereng bukit
berhutan itu setelah Kiai terusir dari tempat tinggal Kiai yang
lamai namun sudah pernah aku katakan, aku mengenal
sumber ilmu yang Kiai miliki"
"Sumber itu telah meluap dan mengalir jauh dari lajernya
Pangeran. Meskipun Pangeran mengenal sumber ilmu itu,
namun aku adalah salah sebuah dari helai-helai daun yang
berada diranting yang paling ujung"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata "Apapun yang
Kiai katakan, tetapi Kiai adalah orang yang sangat berarti
bagiku. Nah, apakah pendapat Kiai dalam hai ini?"
"Pangeran. Jika Pangeran berkenan mendengarkan
pendapatku, baiklah. Sudah aku katakan meskipun tidak
langsung, bahwa sikap Pangeran ini adalah kebijaksanaan
yang paling tinggi yang dapat Pangeran lakukan dalam
keadaan ini" "Terima kasih" sahut Pangeran Sena Wasesa. Dengan
lantang iapun kemudian berkata "Aku sudah mengambil satu
keputusan. Dengan demikian aku sudah terbebas dari
himpitan ketamakan yang selam ini menyiksa diriku. Aku harus
berusaha bersembunyi dari pengamatan para petugas di
Demak. Namun agaknya Yang Maha Kuasa telah memberi aku
peringatan. Meskipun Demak masih tetap berdiam diri, tetapi
justru orang-orang yang memburu pusaka dan harta benda
itulah yang telah menentukan jalan hidupku yang tersisa,
karena sebenarnyalah bahwa aku sudah terlalu tua untuk
bercita-cita, kecuali cita-cita bagi anak-anakku"
"Aku menghormati keputusan Pangeran" berkata Rahu
"Dan aku yakin bahwa seluruh Demak akan menghormati
sikap Pangeran" Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya kepada ibu Daruwerdi "Kau telah menolong
aku menentukan sikap kali ini. Aku berterima kasih kepadamu.
Tanpa kekuatan yang kau berikan pada saat yang gawat ini.
aku tidak akan berani mengambil keputusan itu"
Endang Srini tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk
dalam-dalam. Sementara itu, rasa-rasanya segalanya telah terbuka.
Rahasia yang meliputi bukit gundul itu telah terbuka pula.
Jlitheng yang untuk waktu yang lama mengamati bukit itu,
menganggap bahwa penyelesaian yang ditemuinya adalah
yang terbaik menurut perhitungannya.
Namun dalam pada itu, masih ada yang terasa
mengganggu perasaannya. Ternyata hubungan Daruwerdi
dengan gadis bukit berhutan itu membuatnya berdebar-debar.
Namun sudah barang tentu Jlitheng tidak dapat banyak
berbuat. Segala sesuatunya juga tergantung kepada sikap
Swasti sendiri. Dan Jlitheng merasa bahwa gadis itu agaknya
tidak begitu senang kepadanya.
"Jika sejak semula aku tidak bersikap sebagai anak Lumban
yang kusut dan kotor. Meskipun aku sudah mengatakan
siapakah aku sebenarnya kepada Kiai Kanthi namun menilik
ujud kewadagan, maka aku adalah tidak lebih dari anak-anak
muda Lumban yang lain, sementara Daruwerdi memang
menempatkan dirinya sebagai orang lain yang mempunyai
kelebihan dari anak-anak muda Lumban dalam hal ujud
lahiriah" berkata Jlitheng dalam hatinya.
Sementara itu, maka orang-orang yang berada di Lumban
itu telah mengambil satu keputusan untuk menyelesaikan
persoalan pusaka dan harta benda itu melalui jalur yang
seharusnya. Rahu telah mengambil beberapa macam kesimpulan dan
kemudian membicarakan rencana penyerahan pusaka itu
langsung ke Demak. Meskipun mulamula mereka akan
menghadap tanpa membawa pusaka dan harta benda itu lebih
dahulu. Baru kemudian bersama-sama orang-orang yang akan
ditugaskan oleh Sultan Demak, mereka akan mengambil
pusaka dan harta benda itu dari tempat penyimpanan dengan
pengawalan yang cukup "Aku baru akan mengatakan kemudian, langsung kepada
Sultan, dimana pusaka dan harta benda itu tersimpan" berkata
Pangeran Sena Wasesa. "Silahkan" jawab Rahu "Aku mengerti bahwa Pangeran
ingin bersikap hati-hati. Dan aku tidak merasa tersinggung
karenanya, meskipun aku adalah satu diantara para petugas
yang telah dilepas oleh Demak"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Lalu
Katanya "Sebaiknya segalanya kita lakukan secepatnya. Kita
akan segera terlepas dari masalah yang telah mengundang
benturan diantara sesama. Aku menyadari, betapa pahitnya
benturan-benturan yang terjadi karena ketamakan dan nafsu,
setelah aku menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Benturan
antara orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali
Putih. Kemudian orang-orang Pusparuri yang memasuki arena.
Bahkan Ki Ajar Cinde Kuning sendiri telah mengalami nasib
yang sangat buruk. Bukan saja karena keadaan dirinya sendiri,
tetapi malapetaka yang telah menimpa saudara kembarnya.
Jika aku tidak melakukan kesalahan, dan mengembalikan
pusaka dan harta benda itu jauh sebelum segala peristiwa itu
terjadi, maka mungkin sekali segalanya akan terhindar"
"Suatu pengalaman bagi Pangeran" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning "Tetapi juga bagi putera Pangeran dan anak-anak
muda yang lain. Meskipun pengalaman itu harus ditebus
dengan sangat mahal" Ki Ajar itu berhenti sejenak, lalu "Tetapi
baiklah. Segalanya harus diselesaikan dengan cepat. Sebab
kemungkinan-kemungkinan yang lain masih akan dapat
terjadi. Tetapi jika sudah di umumkan oleh Demak, bahwa
pusaka dan harta benda itu telah kembali ke gedung
perbendaharaan. Maka segalanya akan dapat dibatasi"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk. Oleh ingatannya
tentang korban yang telah jatuh dalam memperebutkan
pusaka dan harta benda itu, maka wajahnya telah menjadi
buram. Hampir diluar sadarnya ia berkata "Semua itu adalah
karena kesalahanku Aku memang pantas untuk mendapat
hukuman dari Sultan di Demak. Untunglah bahwa pada suatu
saat aku menemukan satu keputusan yang akan dapat
menghentikan keadaan ini"
Demikianlah, maka orang-orang yang sedang berkumpul itu
telah membicarakan kemungkinan untuk menyelesaikan
persoalan yang untuk waktu yang lama telah menimbulkan
benturan-benturan yang menelan korban. Namun merekapun
bersepakat, bahwa kepergian Pangeran Sena Wasesa ke
Demak harus mendapat kawan-kawan seperjalanan yang kuat,
yang akan dapat membantunya menyelamatkan diri apabila di
perjalanan ia harus bertahan dari orang-orang yang ingin
menangkapnya dan memeras keterangannya. Meskipun
orang-orang Sanggar Gading, Kendali Putih dan Pusparuri
seakan-akan telah hancur sama sekali, namun kemungkinan
yang lain masih mungkin terjadi. Sisa-sisa diantara mereka
akan dapat menghubungi orang-orang dari kelompok yang lain
untuk mengambil satu tindakan yang berbahaya.
"Ada cara lain yang barangkali dapat ditempuh Pangeran"
berkata Rahu. "Bagaimana?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Biartah seorang atau dua orang diantara kita pergi ke
Demak. Melaporkan apa yang telah terjadi. Sepasukan dari
Demak akan datang dan kita tidak perlu cemas lagi terhadap
kelompok yang manapun juga" jawab Rahu.
"Apakah hal itu tidak akan terlalu lama?" bertanya
Pangeran Sena Wasesa. "Pasukan Demak itu akan datang tiga atau ampat hari
mendatang" jawab Rahu "Sudah barang tentu dengan seorang
Senapati yang dapat dipercaya"
Nampak wajah Pangeran Sena Wasesa membayangkan
keraguan. Karena itu maka Rahupun berkata "Baiklah. Jika
Pangeran tetap ragu-ragu, kita mengambil jalan pertama.
Memang mungkin sekali yang datang sebagai prajurit Demak
itu bukan prajurit Demak yang sebenarnya, karena Pangeran
juga belum dapat meyakini, siapakah aku yang sebenarnya.
Karena itu, kita akan melakukan sebagaimana kita rencanakan
semula" Merekapun teah memutuskan, esok harinya mereka akan
berkemas. Sehari kemudian mereka akan pergi ke Demak.
Semua orang yang dianggap akan dapat membantu kesulitan
di perjalanan akan ikut serta.
Keputusan itulah yang akan mereka lakukan bersama.
Sementara itu mereka masih mendapat kesempatan untuk
berbicara dengan orang-orang Lumban. Mereka masih sempat
mengucapkan terima kasih dan barangkali pesan-pesan yang
perlu bagi mereka. Demikianlah di hari berikutnya, orang-orang yang berada di
Lumban itupun telah mempersiapkan diri. Ternyata bahwa
Pangeran Sena Wasesa dan Ki Ajar Cinde Kuning telah mina
pula agar Kiai Kanthi ikut pula pergi ke Demak bersama
dengan mereka. Kiai Kanthi tidak dapat menolak. Namun karena satusatunya
keluarganya adalah anak gadisnya, maka lapun minta
agar anak gadisnya dapat dibawa pula.
"Apa salahnya" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku juga
akan membawa Endang Srini. Aku ingin memperkenalkannya
dengan anak gadisku. Mudah-mudahan anakku dapat
menerimanya sebagai ibunya"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya "Baiklah
Pangeran. Nampaknya isteri Pangeran itu rapat pula
hubungannya dengan anakku. Mudah-mudahan mereka dapat
menjadi kawan yang baik diperjalanan"
Sementara itu. selagi orang-orang yang berada di Lumban
itu bersiap, maka diam-diam Jlitheng telah meninggalkan
padukuhan untuk mengambil simpanannya. Pakaiannya dan
kelengkapannya yang lain, sehingga ia akan dapat
mengenakannya. "Dalam pandangan Swasti, aku tidak akan nampak lebih
kotor, lebih kusut dan lebih buruk dari Daruwerdi" berkata
Jlitheng di dalam hatinya.
Namun demikian, Jlitheng tidak melupakan biyungnya.
Karena itu sekali lagi ia minta diri untuk pergi ke Demak satu
tugas yang harus dilakukannya sebagai akibat dari tugas yang
diletakkannya sendiri di atas pundaknya.
"Pergilah ngger" berkata ibunya yang sudah tua "seperti
pernah aku katakan. Aku tahu, bahwa pada suatu saat kau
memang harus meninggalkan gubug ini"
"Tetapi pada suatu saat yang lain, aku akan kembali lagi
biyung. Aku tetap anak Lumban. Dan aku memang benarbenar
ingin tinggal di Lumban" jawab Jlitheng.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat
mata perempuan tua itu menjadi basah. Namun Jlitheng yang
kemudian mencium tangan perempuan tua itu berkata "Tidak
ada tempat yang lebih baik bagiku dari pada tempa ini.
Ibunya mencoba untuk tersenyum. Sambil menepuk
pundak anak muda itu ia berkata "Bagiku, jika kau masih
teringat padaku, itu sudah cukup anak muda"
"Aku masih tetap Jlitheng. Anakmu" sahut Jlitheng.
Perempuan itu masih tersenyum. Dan Jlitheng tiba-tiba saja
telah membayangkan, bahwa hidup baginya tidak lagi terlalu
menarik. Ternyata bahwa ia telah merasa kehilangan sebelum
ia merasa memilikinya. Karena itu, ia memang t idak tertarik
untuk tinggal di Demak seandainya harta benda yang bersama
dengan pusaka yang disimpan itu telah berada di Demak.
Demak akan terasa sepi. Gadis yang bernama Swasti itu tentu
akan berada di Demak, bersama seorang anak muda yang
memiliki kelebihan dalam ujud lahiriah dari padanya. Yang
selama berada di Lumban menyebut dirinya bernama
Daruwerdi. "Kenapa aku telah memilih ujud yang terlalu buruk ini?"
desis Jlitheng di dalamhatinya.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan seandainya ia
tidak memilih ujud sebagaimana kebanyakan anak Lumban.
mungkin ia tidak akan melihat akhir dari persoalan pusaka itu.
Karena itu, maka akhirnya Jlitheng harus menerima
keadaan yang dihadapinya itu sebagai satu kenyataan. Swasti
ternyata lebih tertarik kepada Daruwerdi daripada kepada
dirinya. Apalagi gadis itu seolah-olah telah menemukan
seorang ibu yang sangat mengasihinya. Endang Srini yang
kebetulan adalah ibu Daruwerdi.
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 21 SEBENARNYALAH, Endang Srini yang melihat hubungan
anak laki-lakinya dengan gadis itu, tertarik juga hatinya untuk
mendorong agar anaknya benar-benar mendekatkan hatinya
kepada gadis yang bagi Endang Srini adalah luar biasa itu.
Gadis yang memiliki ilmu yang mapan dan hati yang tabah.
Gadis yang sudah menyelamatkan hidupnya dari seseorang
yang menjadi gila dan hampir saja mencelakainya.
Sehari itu, selain menghadap ibunya, maka Jlitheng telah
ikut serta pergi menemui Ki Buyut di Lumban Kulon dan
Lumban Wetan. Mereka telah minta diri untuk meninggalkan
Lumban kembali ke Demak. Namun yang menurut Pangeran
Sena Wasesa, pada suatu saat mereka tentu masih akan
berada di sekitar Daerah Sepasang Bukit Mati itu.
Kepada anak-anak muda di Lumban Kulon dan Lumban
Wetan, Daruwerdi dan Jlithengpun telah minta diri pula.
Demikian pula dengan mereka yang datang dan
memperkenalkan diri mereka sebagai sepasang pemburu yang
untuk beberapa saat telah berada di Daerah Sepasang Bukit
Mati itu pula. "Kita semuanya akan pergi ke Demak" berkata Kiai Kanthi
"Tetapi aku tentu akan kembali. Rumahku adalah gubug yang
kita buat bersama-sama itu. Aku akan tinggal di gubug itu


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil mempersiapkan sebuah padepokan di bawah bukit.
Tanah persawahan yang akan dialiri air yang melimpah dan
pategalan yang ditumbuhi dengan pohon buah-buahan yang
akan berbuah lebat" Anak-anak muda Lumban, sebagaimana Ki Buyut di
Lumban Wetan dan Lumban Kulon tidak dapat mencegahnya.
Mereka harus melepaskan orang-orang itu pergi, meskipun
ada diantara mereka yang pada suatu saat akan kembali.
Jlitheng yang sudah mengambil pakaiannya, ternyata tidak
sampai hati menganakannya sebelum ia meninggalkan
Lumban. Ia tidak mau merusak citra anak-anak Lumban
tentang dirinya, yang dengan demikian akan dapat merusak
keakraban hubungan apabila pada suatu saat ia benar-benar
kembali, karena ia memang merasa harus menghindarkan diri
dari kehidupan yang tentu akan disusun oleh anak muda yang
menamakan dirinya Daruwerdi itu dengan anak gadis Kiai
Kanthi yang bernama Swasti.
"Aku memang harus menyingkir dari jalan hidup mereka"
berkata Jlitheng kepada diri sendiri, betapapun pahitnya.
Sebenarnyalah bahwa ia memang tidak mempunyai pilihan
lain daripada berbuat demikian.
Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, orang yang
berada di Lumban itupun telah mempersiapkan diri untuk
pergi ke Demak. Mereka berniat untuk menyelesaikan
persoalan pusaka dan harta benda itu secepatnya.
Namun justru karena itu, maka mereka tidak sempat untuk
melihat orang-orang disekitar mereka. Meskipun masingmasing
menyadari bahwa orang-orang yang berada di Lumban
itu sebagian tentu mempergunakan ujud yang lain dari pribadi
mereka sendiri, tetapi seakan-akan mereka bersepakat untuk
tidak menyinggungnya. Mereka tidak pernah saling bertanya,
siapakah sebenarnya nama mereka masing-masing. Dan untuk
apakah sebenarnya mereka berada di Lumban.
Pada saat terakhir, orang-orang yang masih saling tersamar
itu telah bersepakat untuk dalam keadaan mereka, pargi ke
Demak. Karena sebenarnyalah bahwa kedudukan masingmasing
telah mulai dapat di raba. Bahkan ada diantara mereka
yang telah dengan pasti menyatakan dirinya sendiri.
"Kami menitipkan orang-orang yang telah kami tawan
selama ini" berkata Rahu kepada anak-anak muda Lumban.
Selanjutnya "kalian tidak perlu cemas. Yang Mulia telah
kehilangan sebagian besar dari kemampuannya. Yang lain
masih berada dalam keadaan lemah, lahir dan batin.
Sementara itu, jika kalian, anak-anak Lumban Wetan dan
Lumban Kulon bersatu, maka kekuatan kalian ternyata akan
dapat dibanggakan seandainya ada pihak-pihak yang ingin
mengganggu kalian" Anak-anak muda Lumban itu mengangguk-angguk. Mereka
menyadari, bahwa tidak akan ada gunanya lagi berselisih
diantara mereka. Meskipun didasar hatinya yang paling dalam.
Nugata masih merasa kurang adil bahwa air yang mengalir
disungai itu dibagi sama untuk Lumban Kulon dan Lumban
Wetan. Tetapi ia sudah berusaha untuk dapat menerima
keadaan itu. Ketika sebuah iring-iringan meninggalkan Lumban. maka
kedua Buyut yang tua itupun telah melepas mereka. Namun
dalam pada itu Jlitheng telah berkata kepada kedua Buyut "Ki
Buyut di Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Jika hari ini kami
minta diri, maka beberapa hari mendatang, aku akan kembali
lagi. Mungkin aku akan datang sendiri, karena aku memang
anak Lumban meskipun agak lama aku pernah meninggalkan
Lumban menjelang masa dewasaku"
Kedua Buyut yang tua itu mengangguk-angguk. Dalam
pada itu Ki Buyut di Lumban Wetanpun berkata "Kami selalu
menunggu kehadiranmu kembali Jlitheng. Meskipun kau telah
membuat kami tercengang dan heran, bahkan kadang-kadang
timbul pula pertanyaan tentang kau yang sebenarnya, namun
kau sudah aku anggap sebagai anak Kabuyutan Lumban. Jika
kau tersedia untuk kembali, maka kami akan merasa sangat
berbahagia" "Aku akan kembali Ki Buyut "Aku merasa, bahwa hidupku
hanya akan berarti jika aku berada di Lumban"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia
mengerti, gejolak perasaan anak muda itu. Ia melihat
kekecewaan yang mendalam. Namun orang tua itu tidak
banyak dapat membantunya. Ia menyadari sifat dan tabiat
anak gadisnya pula. Karena itu, untuk sementara maka yang paling baik bagi
Kiai Kanthi adalah berdiam diri menanggapi persoalan anak
gadisnya. Selama persoalannya tidak menjadi gawat, maka ia
tidak akan banyak ikut mencampurinya. Namun menilik
sikapnya, maka Jlitheng akan lebih banyak melihat kepahitan
itu ke dalam dirinya sendiri. Meskipun ia seekor banteng di
arena pertempuran, namun agaknya ia seorang yang dapat
mengerti tentang perasaan seseorang, meskipun itu akan
berakibat pedih bagi dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka semakin lama iring-iringan itupun
menjadi semakin jauh dari Lumban. Mereka sudah melampaui
bukit gundul dan memandang bukit berhutan dari jarak yang
tidak terlalu dekat. Kiai Kanthi yang berkuda disebeLah
Jlitheng itupun berkata "Akupun akan kembali ke bukit itu"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai
Kanthi sejenak. Namun kemudian iapun berpaling kearah bukit
itu sambil berkata "Kami masih dapat berbuat sesuatu dengan
air di atas bukit itu"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya kita tidak boleh
merampas air itu seluruhnya sehingga orang-orang yang juga
tergantung dari air itu di tempat yang jauh, setelah air itu
muncul dari dalam tanah, akan menjadi kekeringan seperti
orang-orang Lumban sebelumnya"
Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu iring-iringan orang berkuda itupun menjadi
semakin jauh pula. Dengan kuda-kuda yang baik mereka
dapat dengan cepat menempuh perjalanan. Kuda-kuda yang
sebagian dapat mereka peroleh dari orang-orang Sanggar
Gading, orang-orang Kendali Putih atau orang-orang Pusparuri
yang dapat mereka tangkap. Dan sebagian mereka dapat dan
Lumban atau kuda-kuda mereka sendiri yang memang sudah
baik. Namun dalam pada itu, adalah diluar dugaan mereka,
bahwa sekelompok orang-orang yang termasuk di antara
mereka yang menginginkan pusaka dan harta benda itu telah
menunggu. Sekelompok orang-orang yang seperti orang-oran
Sanggar Gading, orang-orang Kendali Putih dan Pusparun,
merasa memiliki kekuatan yang cukup untuk merebut pusaka
dan harta benda itu. "Mereka akan melalui pinggir hutan itu" berkata salah
seorang dari mereka. "Perhitungan kita tepat. Mereka benar-benar meninggalkan
Lumban. Tentu Pangeran itu ada diantara mereka. Kita sudah
yakin dan pasti, sebagaimana yang kita dengar pada saat-saat
terakhir, bahwa sebenarnya Pangeran itulah yang mengethu
dimana pusaka itu disimpan. Dan kita tentu saja tidak akan
percaya seandainya Pangeran itu dengan mudahnya
melemparkan tanggung jawabnya, dengan mengatakan
bahwa pusaka dan harta benda itu telah dikembalikan ke
Demak" "Belum ada keterangan tentang hal itu yang telah di
nyatakan oleh Demak" berkata yang seorang.
"Kita harus bersiap-siap. Mereka akan kita hancurkan,
kecuali Pangeran Sena Wasesa itu" berkata kawannya
"laporkan kepada Ki Lurah, bahwa mereka telah datang"
Seorang diantara merekapun kemudian menuju ke tempat
kawan-kawannya yang lain menunggu. Mereka berada di
dalam gerumbul-gerumbul perdu liar di sebelah hutan yang
tidak terlalu besar, sehingga dengan demikian mereka cukup
tersembunyi dibalik rimbunnya dedaunan yang cukup tinggi.
"Mereka benar-benar datang" berkata orang itu kepada
seorang yang bertubuh tinggi tegap berkumis tipis berambut
jarang. Orang itu tersenyum. Sambil berdiri ia beikata "Bersiaplah.
Kita akan menghadapi tugas yang berat. Setelah kita jemu
menunggu, bahkan hampir saja persediaan bekal kita habis,
mereka baru datang. Jika tertunda semalam saja lagi, aku kira
aku tidak sabar lagi menunggu, dan mencari mereka ke
padukuhan Lumban, meskipun dengan demikian kita harus
memperhitungkan anak-anak muda Kabuyutan itu"
"Iring-iringan mereka cukup besar, Ki Lurah" sambung
orang yang melaporkan, "Berapa orang?" bertanya orang yang disebut Ki Lurah itu.
"Belum pasti. Tetapi kira-kira sepuluh orang atau lebih
sedikit" jawab orang itu
Orang yang disebut Ki Lurah itu tersenyum. Katanya
"Perhitungan kita selalu tepat. Aku mempersiapkan dua puluh
lima orang untuk menghadapi mereka. Dua puluh lima orang
pilihan. Orang-orang kita memang tidak sebanyak orang-orang
Sanggar Gading. Kendali Putih dan Pusparuri yang hancur itu.
Tetapi orang-orang kita memiliki bekal yang lebih baik dari
mereka. Kehancuran mereka yang sudah kita perhitungkan itu
telah membuka jalan bagi kita untuk menguasai segalagalanya"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu
mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi orangorang
yang akan lewat. Sementara itu, iring-iringan orang berkuda itu menjadi
semakin mendekati hutan. Mereka tidak dapat berpacu
sepenuhnya, karena diantara mereka terdapat Endang Srini
yang belum trampil berkuda. Bahkan kadang-kadang iringiringan
itu harus menunggunya dalam keadaan tertentu.
"Sekarang" berkata orang yang disebut Ki Lurah itu "Kita
akan menghent ikan mereka, begitu mereka berada di tepi
hutan" Ki Lurah itupun kemudian dengan para pengikutnya telah
keluar dari gerumbul-gerumbul liar. Dengan cepat mereka
melintasi jarak yang pendek, menuju ke ujung hutan. Mereka
sengaja tidak membawa kuda-kuda mereka yang tersembunyi
di rimbunnya batang-batang perdu, karena jika mereka harus
bertempur di dalam hutan, kuda-kuda itu hanya akan
mengganggu saja. Kehadiran mereka telah mengejutkan setiap orang di dalam
iring-iringan itu. Apalagi ternyata bahwa orang-orang yang
keluar dari gerumbul perdu di sebelah hutan itu adalah
prajurit-prajurit Demak. Pangeran Sana Wasesa menjadi tegang. Namun iapun
memberi isyarat agar iring-iringan itu berhenti.
"Prajurit-prajurit Demak" desis Pangeran Sena Wasesa.
"Nampaknya memang demikian" sahut Ki Ajar Cinde
Kuning. Orang yang bertubuh tinggi tegap berkumis tipis itu
berjalan di paling depan. Sambil tersenyum ia mendekati iringiringan
itu. "Selamat bertemu Pangeran" sapa orang itu.
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya.
Dipandangi orang itu tajam-tajam. Ingatannya mulai meraba
ujud orang itu. karena ia merasa pernah mengenalnya.
"Apakah Pangeran lupa kepadaku" Berapa lama Pangeran
meninggalkan Demak?" bertanya orang itu.
"Apakah aku berhadapan dengan Rangga Sutatama?"
bertanya Pangeran Sena Wasesa kemudian.
"Tepat Pangeran" jawab orang itu "Ternyata Pangeran
masih ingat kepadaku"
Pangeran Sena Wasesapun kemudian memberi isyarat
kepada orang-orang di dalam iring-iringannya untuk turun dari
kuda mereka. Daruwerdi ternyata kurang cepat menolong
ibunya, karena Swasti yang cekatan telah mendahuluinya
membantu Endang Srini turun dari kudanya.
Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesapun mendekati
orang bertubuh tinggi tegap berkumis t ipis, yang oleh kawankawannya
disebut Ki Lurah, namun yang oleh Pangeran Sena
Wasesa dikenal bernama Rangga Sutatama itu.
"Apakah yang kalian lakukan disini?" bertanya Pangeran
Sena Wasesa. "Pangeran" jawab Rangga Sutatama "Aku mendapat
perintah dari Panglima Wira Tamtama Demak untuk melacak
pangeran. Pimpinan keprajuritan Demak sudah mendapat
keterangan bahwa Pangeran berada di Lumban. Bahkan
Pangeran berada dalam kesulitan. Kami mendapat perintah
untuk menemukan Pangeran dan membawa kembali ke
Demak" "Terima kasih" jawab Pangeran Sena Wasesa "Aku memang
akan kembali ke Demak. Aku sudah terbebas dari segala
macam kesulitan. Orang-orang yang sekarang bersamaku,
adalah orang-orang yang telah menolong aku, membebaskan
aku dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab"
Rangga Sutatama mengangguk-angguk. Dipandanginya
orang cacat yang berada disebelah Pangeran Sena Wasesa
dan seorang tua lainnya yang berdiri termangu-mangu.
"Mereka adalah orang-orang yang banyak berjasa" berkata
Pangeran Sena Wasesa. "Sekedar memberikan beberapa keterangan" jawab Ki Ajar
Cinde Kuning. "Terima kasih Ki Sanak" berkata Rangga Sutatama. Lalu
"Jika demikian, maka kewajiban kalian akan berakhir disini.
Biarlah kami yang ditugaskan oleh Panglima Wira Tamtama
Demak menjemput Pangeran Sena Wasesa menerimanya
disini. Kami akan membawa Pangeran Sena Wasesa ke Demak
dan langsung menghadap Sultan, karena seisi istana telah
mencemaskan hilangnya Pangeran Sena Wasesa"
"Biarlah mereka ikut bersama kami" jawab Pangeran Sena
Wasesa "Aku ingin menyampaikan kepada Sultan, apa yang
telah mereka perbuat selama aku dalam kesulitan"
Rangga Sutatama itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun berkata "Itu tidak perlu Pangeran. Aku adalah
petugas yang ditunjuk oleh Sultan, sehingga apa yang aku
lakukan adalah atas nama Sultan sendiri. Jika aku menerima
orang-orang ini, maka berarti bahwa mereka telah diterima
pula oleh Sultan. Meskipun demikian aku berjanji bahwa pada
suatu saat, semuanya tentu akan dipanggil menghadap Sultan
untuk diterima dan barangkali ada sesuatu yang dapat
disampaikan oleh Sultan kepada mereka sebagai hadiah"
"Kau salah Ki Rangga" jawab Pangeran "Mereka sama


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak memerlukan hadiah itu. Tetapi mereka memang
seharusnya dibawa menghadap. Sekedar untuk
memperkenalkan diri, dan sebagai laporan yang dapat aku
berikan kepada Sultan tentang pusaka dan tentang apa yang
telah mereka lakukan. Tetapi Rangga Sutatama itu tertawa. Katanya "Sudahlah
Pangeran. Sebaiknya kita memikirkan persoalan yang jauh
lebih besar bagi Demak. Hah-hal kecil seperti itu akan dapat
kita pikirkan kemudian. Apalagi mereka tidak memerlukan
hadiah bagi pertolongan yang telah mereka berikan kepada
Pangeran" "Ki Rangga" berkata Pangeran Sena Wasesa "Apa salahnya,
dan apakah sebenarnya keberatanmu, jika mereka, aku bawa
menghadap, karena mereka benar-benar telah berbuat
sesuatu bagiku dan bagi keselamatan pusaka itu sendiri.
"Memang tidak ada keberatan apapun juga Pangeran,
kecuali bahwa kedatangan sekian banyak orang di istana
memerlukan satu syarat penerimaan tersendiri. Karena itu,
maka sebaiknya untuk sementara Pangeran sendiri sajalah
yang menghadap. Mereka akan diundang pada kesempatan
lain dengan persiapan tersendiri. Karena kedatangan mereka
kali ini t idak akan banyak manfaatnya. Bahkan mungkin
mereka tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk
bertemu dengan Sultan sendiri"
Tetapi ternyata Pangeran Sena Wasesa menjawab "Kami
akan tetap pada pendirian kami. Kami akan menghadap
bersama-sama" Wajah Rangga Sutatama menjadi tegang. Namun ia masih
mencoba tersenyum sambil berkata "Pangeran. Bagaimana
juka aku katakan, bahwa karena aku mengemban perintah
Sultan, maka aku dapat menyebut diriku mempunyai
kekuasaan sebagai limpahan kekuasaan Sultan"
Pangeran Sena Wasesalah yang kemudian menjadi tegang.
Kemudian dengan nada dalam ia berkata "Kau memang aneh
Ki Rangga. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki dengan
kekuasaanmu yang kau anggap telah dilimpahkan oleh Sultan
kepadamu?" "Bukan apa-apa Pangeran. Tetapi aku memang mendapat
tugas untuk membawa Pangeran menghadap. Hanya
Pangeran. Tidak dengan siapapun juga, karena Pangeran
tentu tahu, bahwa masalah yang ada pada Pangeran adalah
masalah yang cukup gawat" jawab Rangga Sutatama "karena
itu, sudahlah. Pangeran jangan berkeras. Bukankah Pangeran
sudah mengetahui rumah orang-orang itu" Atau mungkin
padepokannya atau padukuhan tempat mereka tinggal?"
Pangeran Sena Wasesa benar-benar menjadi tegang.
Namun dalam ketegangan itu, Rahu telah melangkah
mendekati Rangga Sutatama. Namun ia tidak cepat dapat
dikenal karena ujud pakaiannya.
Nampaknya Rahu benar-benar seseorang dari lingkungan
padepokan yang disebut oleh Pangeran Sena Wasesa banyak
berjasa. "Ki Sanak" berkata Rahu kemudian "Kau menimbulkan
keragu-raguan pada diri Pangeran Sena Wasesa dan kami
semuanya. Kami memang tidak ingin menghadap Sultan untuk
menerima hadiah karena sikap kami. Tetapi kami hanya ingin
meyakinkan diri, bahwa segalanya memang telah selesai
dengan tuntas" "Kau jangan ikut campur Ki Sanak. Aku menghormati kau,
karena kau menurut Pangeran Sena Wasesa adalah satu dari
orang-orang yang telah berjasa. Tetapi jika kau mengambil
sikap tersendiri, maka akupun dapat mengambil sikap
tersendiri pula" jawab Rangga Sutatama.
Rahu memandang Ki Rangga itu sejenak. Namun kemudian
iapun berpaling kepada Pangeran Sena Wasesa. Aku mengerti,
bahwa Pangeran menjadi bimbang, bahkan curiga. Aku pernah
menyarankan untuk melaporkan peristiwa yang terjadi di
Lumban itu ke Demak. Kemudian akan datang sekelompok
prajurit yang akan dapat mengamankan segalanya. Kini
Pangeran benar-benar bertemu dengan yang nampaknya
seperti prajurit Demak. Tetapi percayalah Pangeran, bahwa
bukan inilah yang aku maksudkan"
Pangeran Sena Wasesa memandang Rahu sejenak,
kemudian Rangga Sutatama dan para prajurt Demak yang
berdiri berjajar di belakang Rangga Sutatama.
"Apa maksudmu Ki Sanak" bertanya Pangeran Sena Wasesa
"Aku memang mengingat sekilas kata-katamu tentang prajurit
Demak itu. Dan kehadiran prajurit Demak kali ini memang
dapat aku hubungkan dengan apa yang kau katakan itu, tentu
saja dengan kecurigaan yang tajam"
Rahu mengangguk-angguk. Katanya "Untunglah bahwa
rencana itu sudah kita batalkan. Namun diluar dugaan, bahwa
kita benar-benar bertemu dengan prajurit-prajurit Demak
dalam tugas yang mencurigakan"
Rangga Sutatama tiba-tiba memotong "Siapa kau Ki Sanak"
Dan apa sebenarnya yang kau katakan itu?"
"Ki Rangga Sutatama" jawab Rahu kemudian "Ternyata kau
masih mampu mengelabui Pangeran Sena Wasesa. Memang
mungkin sekali Pangeran Sena Wasesa tidak tahu apa yang
terjadi atas dirimu pada saat-saat terakhir. Tetapi aku tahu
sepenuhnya, meskipun aku berada di luar lingkungan istana
untuk- waktu yang lama. Tetapi orang yang aku sebut Semi,
merupakan penghubung yang sangat baik"
"Apa yang kau katakan itu?" bertanya Ki Rangga Sutatama.
"Baiklah. Pertama aku ingin bertanya, jika benar kau
mendapat perintah, dan bahkan dengan limpahan kekuasaan
dari Sultan, apakah kau dengan pertanda perintah itu" Aku
tidak melihat tunggul atau pertanda lain yang dapat
meyakinkan, bahwa kau memang mendapat limpahan kuasa
dari Sultan" berkata Rahu kemudian "Yang kedua, coba
katakan, apakah kau masih seorang Senepati penuh dari
pasukan Demak sebagaimana nampak kau bawa saat ini"
Ketiga, jika kau benar-benar bertugas kau sudah berbuat
banyak kesalahan, karena sebenarnya kau tidak berbuat apaapa
bagi kepentingan Pangeran Sena Wasesa?"
Wajah Ki Rangga Sutatama menjadi merah membara.
Dipandanginya orang yang berdiri dihadapannya. Sejenak ia
bagaikan membeku. Namun kemudian ia berkata "Kau?"
"Ya. Kau tentu mengenal aku. Dan akupun mengenal kau
dengan baik. Juga mengenal kedudukanmu yang sebenarnya.
Pangeran Sena Wasesa memang mengenalmu, tetapi tidak
mengenal keadaanmu yang sebenarnya. Apalagi untuk
beberapa saat lamanya Pangeran Sena Wasesa tidak berada di
Demak, dan sebelumnya Pangeran memang sedang sakit.
Dengan demikian maka Pangeran Sena Wasesa dalam
keadaan sakit pada waktu itu, tidak menghiraukan apa yang
terjadi dengan kau" berkata Rahu kemudian.
Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Namun kemu
dian iapun menggeretakkan giginya sambil brekata " Tikus
buruk. Kenapa kau berada disini?"
"Apakah kau perlu mengerti" Jika aku mengatakan bahwa
aku bertugas atas nama Demak, kau juga akan bertanya
apakah aku membawa pertanda perintah itu?" bertanya Rahu
"Kau gila. Kau sudah mencairkan seluruh rencanaku" garam
orang yang bernama Rangga Sutatama itu.
"Katakan kepada Pangeran tentang dirimu" berkata Rahu
kemudian. "Persetan. Aku tidak peduli. Aku membawa pasukan" jawab
Ki Rangga Sutatama. Pangeran Sena Wasesa mendengarkan pembicaraan itu.
Dengan ragu-ragu iapun bertanya "Apa sebenarnya yang
terjadi?" "Pangeran" berkata Rahu "meskipun Pangeran
mengenalnya, tetapi aku kira Pangeran tidak sempat
memperhatikan keadaannya, sebagaimana Pangeran tidak
memperhatikan prajurit-prajurit yang lain di Demak"
Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk kecil.
"Ketahuilah Pangeran" berkata Rahu kemudian "Ki Rangga
Sutatama telah mendapat hukuman dari Panglimanya. Aku
sudah mendapat pemberitahuan justru karena Ki Rangga
berusaha untuk memecahkan persoalan pusaka yang hilang
itu diluar tugas yang sebenarnya harus dilakukannya. Seorang
penghubung yang aku percaya telah memberikan beberapa
nama yang diragukan kesetiaannya. Aku mendapat
pemberitahuan itu, justru karena aku mengemban tugas
sandi" Tetapi tiba-tiba saja Ki Rangga Sutatama tertawa. Katanya
"Aku tidak berkeberatan semuanya itu kau katakan. Akpun
tidak akan ingkar. Bahkan aku akan mempertanggung
jawabkan semua tindakanku sekarang ini"
"Ki Rangga" berkata Rahu "Kau sudah menyalah gunakan
kedudukanmu" Tetapi Ki Rangga tertawa semakin keras. Katanya "Tetapi
Ki Sanak. Jika kau menuduh aku menyalah gunakan
kedudukanku, maka kenapa kau tidak menuduh bahwa
Pangeran Sena Wasesa melakukannya pula?"
"Kenapa kau dapat berkata begitu?" desak Rahu.
"Jangan berpura-pura bodoh. Kau adalah seorang petugas
sandi. Tetapi mungkin memang ada beberapa hal yang tidak
kau ketahui. Khususnya tentang Pangeran Sena Wasesa itu
sendiri" jawab Rangga Sutatama.
Wajah Rahu menjadi tegang. Namun kemudian ia mengerti
maksud Ki Rangga Sutatama, karena seperti yang dikatakan
sendiri oleh Pangeran Sena Wasesa, bahwa sebenarnya
terbersit pula satu keinginan untuk memiliki sendiri pusaka
dan harta benda yang tidak ternilai harganya itu.
Tetapi sebelum Rahu menjawab, Ki Rangga Sutatama telah
berkata "Apakah kau kira bahwa Pangeran Sena Wasesa
dalam hal ini bertindak jujur?"
"Ya" t iba-tiba jawab Rahu tegas.
Tetapi Ki Rangga tertawa semakin keras. Katanya "Aku kira
kehadiranmu disini bukan karena tugas sandimu. Tetapi
agaknya kau juga telah menyalah gunakan wewenang dan
kedudukanmu. Apakah kau sedang melindungi Pangeran Sena
Wasesa dan kau akan mendapat sebagian dari harta benda
itu?" "Kau salah Ki Rangga" jawab Rahu" Pangeran Sena Wasesa
telah bertindak jujur. Ia telah siap menyerahkan semuanya itu
kepada Sultan. Tetapi tentu tidak kepadamu"
"Omong kosong" berkata Ki Rangga.
"Jangan berlaku kasar Ki Rangga" sahut Pangeran Sena
Wasesa "Tetapi baiklah aku berterus terang. Memang ada
keinginanku untuk memiliki pusaka dan lebih-lebih harta
benda itu semula. Tetapi pada saat terakhir, ternyata bahwa
hatiku telah mendapat cahaya terang. Aku melihat satu
kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentinganku pribadi.
Kepentingan negara yang sedang tumbuh ini harus mendapat
tempat jauh lebih baik di setiap hati penghuninya, termasuk
aku. Kesadaran inilah yang telah mendorongku untuk berkata
berterus terang. Tetapi tidak kepada siapapun juga. kceuali
kepada Sultan sendiri. Terus-terang aku tidak dapat
mempercayai siapapun juga pada saat seperti sekarang ini
dimana pegangan hidup sedang berguncang. Termasuk aku
sendiri" Pangeran Sana Wasesa itu berhenti sejenak, lalu "Nah, bukankah
dalam rangka itu Ki Rangga mengaku menerima tugas untuk
melindungi aku" Jika aku berada di tangan Ki Rangga seorang
diri. maka Ki Rangga akan dapat memeras keteranganku.
Begitu?" Ternyata jawab Ki Rangga Sutatama itu mengejutkan.
Katanya "Ya. Dugaan Pangeran tepat. Aku memang
menghendaki Pangeran hidup-hidup. Aku ingin memeras
keterangan Pangeran tentang pusaka itu. Aku sudah
mendengar apa yang terjadi dengan orang-orang Sanggar
Gading, Kendali Putih dan yang terakhir orang-orang
Pusparuri. Tetapi aku tidak akan berbuat sebodoh mereka.
Bagaimanapun juga anak-anak muda Lumban harus
diperhitungkan. Tetapi disini, kita tidak akan diganggu oleh
anak-anak muda Lumban"
"Tetapi darimana kau mendapatkan pakaian keprajuritan
sekian banyaknya?" bertanya Rahu.
"Jangan sebodoh itu. Setiap kali kau menunjukkan
kedunguanmu. Sebagian dari mereka memang prajurit yang
dianggap bersalah seperti aku. Tetapi sebagian dari mereka
adalah orang-orang diluar keprajuritan. Untuk mendapat
pakaian bagi mereka tidak terlalu sulit. Aku dapat merampok
atau mencuri di gedung penyimpanan pakaian"
Wajah Rahu jadi merah membara. Dipandanginya Ki
Rangga Sutatama dengan kemarahan yang menyala di dalam
dadanya. Namun sebelum Rahu berbuat sesuatu, Jlitheng bergeser
mendekatinya sambil berkata "Rahu, jika kau mempunyai
wewenang untuk bertindak, apalagi yang masih akan kau
tunggu. Kita tidak mempunyai pilihan lain menghadapi orang
ini" "Siapa lagi orang ini?" bertanya Ki Rangga.
"Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan tatanan
keprajuritan di Demak. Tetapi aku muak melihat tampang dan
sikapmu" geramJlitheng.
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Kata-kata Jlitheng
ternyata menusuk perasaannya. Dengan nada geram ia
berkata "Kau jangan menjadi gila seperti itu anak muda. Jika
kau belum mengenal aku, bertanyalah kepada Pangeran Sena
Wasesa. Ia akan menceriterakan serba sedikit, siapakah
Rangga Sutatama itu"
"Aku sudah tahu tentang kau serba sedikit. Kau adalah
seorang Senapati Demak yang sudah kehilangan hak sebagai
seorang Senapati. Nah, apa lagi?" sahut Jlitheng.
Kemarahan Kl Rangga hampir t idak tertahankan lagi.
Namun ia masih memikirkan kepentingannya dalam
keseluruhan. Karena itu, maka katanya "Aku tidak peduli
tentang kau. Tetapi aku minta kepastian Pangeran Sena
Wasesa, bahwa ia akan menyerah kepadaku"
"Tidak" potong Rahu.
Sementara itu Pangeran Sena Wasesapun menyahut
"Jangan menganggap aku terlalu rendah seperti itu. Kau tahu,
bahwa akupun seorang prajurit. Dan akupun seorang Senapati
perang" "Bagus" geram Ki Rangga Sutatama "Jadi kami harus
mempergunakan kekeraran untuk memaksa Pangeran


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikut i kami. Selebihnya kami akan memaksa Pangeran
untuk berbicara dengan cara kami"
"Aku masih mempunyai beberapa pilihan" jawab Pangeran
Sena Wasesa. Membunuhmu atau melepaskan diri dari
pertempuran yang dapat saja terjadi atau mati dibunuh.
Pilihan untuk menyerah sama sekali t idak terpikirkan olehku"
"Jika Pangeran sudah kehilangan kesempatan untuk
melawan dan tidak mungkin untuk melarikan diri, maka
Pangeran tentu akan tidak mempunyai pilihan lagi" jawab Ki
Rangga Sutatama. "Aku tetap pada pendirianku" jawab Pangeran Sena
Wasesa. Ki Rangga Sutatamapun kemudian memandang berkeliling.
Diamatinya orang-orang yang dikatakan telah menolong
Pangeran Sena Wasesa itu. Dua diantara mereka adalah
perempuan. "Jika Pangeran ingin melawan, maka itu adalah pekerjaan
yang sia-sia saja. Pangeran telah berkhianat kepada orangorang
yang telah menolong Pangeran. Karena dengan
"Ki Sanak"berkata Rahu kemudian"kau menimbulkan
keragu-raguan pada diri Pangeran Sena Wasesa dan kami
semuanya. Kami memang tidak ingin menghadap Sultan untuk
menerima hadiah karena sikap kami. Tetapi kami hanya ingin
meyakinkan diri. bahwa segalanya memang telah selesai
dengan tuntas" sikap yang demikian itu berarti orang-orang
yang telah menolong Pangeran inipun akan mati pula. Padahal
Pangeran dapat bersikap lain, sehingga orang-orang itu akan
selamat" "Satu pikiran Gila" potong Jltlheng "Kau sangka permainan
kata-katamu itu dapat mempengaruhi tekad kami?"
Ki Rangga Sutatama memandang Jlitheng dengan
kemarahan yang tidak tertahankan. Dengan keras ia berkata
"Mulutmulah yang pertama-tama akan dibungkam"
"Persetan" jawab Jlitheng
Ternyata bahwa gejolak perasaan Jlitheng tanpa disadari
telah tersalur pada sikapnya menghadapi Ki Rangga Sutatama.
Kekecewaannya menghadapi kenyataan, bahwa gadis lereng
bukit itu lebih dekat dengan Daruwerdi telah membuat hatinya
bagaikan grabah yang mudah sekali pecah.
Namun dalam pada itu. selagi Jlithenglah yang sudah siap
untuk meloncat menyerang Kiai Kanthi telah berkata "Apakah
kita harus menyelesaikan persoalan ini dengan kekerasan"
"Kiai melihat sendiri sikap yang gila itu" jawab J litheng.
"Jika memang harus demikian, sebaiknya kita bersikap lebih
hati-hati. Kita masih harus berusaha menempatkan diri pada
keadaan yang belum banyak kita ketahui" berkata Kiai Kanthi
kemudian. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti,
bahwa Kiai Kanthi berusaha memperingatkannya, agar ia tidak
menurut i gejolak perasaannya. Sementara itu Pangeran Sena
Wasesa berkata "Baiklah Ki Rangga Sutatama. Jika kau
berkeras untuk memaksa aku, maka aku akan melawan.
Orang-orang yang datang bersamaku telah menunjukkan
kepadaku, bahwa mereka berbuat apa saja untuk
menolongku. Jika kali ini aku masih memerlukannya, maka
merekapun tentu tidak akan berkeberatan"
"Baik. Bersiaplah. Kita akan segera mulai dengan
permainan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tetapi jika
kami sudah mulai, maka kematian tentu tidak akan dapat
dihindarkan lagi" Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Tetapi ia justru
berbicara kepada orang-orang yang bersamanya "Ki Sanak.
Sekali lagi kita dihadapkan pada keadaan yang tidak kita
kehendaki" Tetapi aku sudah bertekad untuk menghadapi
langsung Sultan di Demak. Karena itu, maka akupun bertekad
untuk menentang segala hambatan. Aku mohon bahwa Ki
Sanak sekalian masih tetap pada sikap kalian sebelumnya"
Ki Ajar Cinde Kuning mengangguk-angguk sambil berkata
"Pangeran. Yang terpenting adalah menyelamatkan pusaka itu
sehingga kembali kepada yang berhak. Karena itu, maka kita
akan menghadapi segala hambatan dengan penuh tanggung
jawab" "Terima kasih Ki Ajar. Akupun yakin akan sikap Ki Sanak
semuanya. Karena itu, akupun sudah siap menghadapi segala
kemungkinan" berkata Pangeran Sena Wasesa.
Dalam pada itu, Kiai Kanthipun telah berbisik kepada anak
gadisnya "Lindungi perempuan itu"
Swastipun mengangguk. Namun ketika ia menempatkan
diri, diluar keinginannya, Daruwerdipun telah bersiap
melindungi ibanya pula, karena iapun melihat kemungkinan
yang bakal terjadi. Diluar sadarnya, Jlitheng memandangi keduanya. Terasa
jantungnya berdentang. Namun iapun kemudian menggeram
sambil menghadap kearah orang-orang yang mengenakan
pakaian keprajuritan itu.
Dalam pada itu, Ki Rangga Sutatamapun segera memberi
isyarat kepada orang-orangnya yang jumlahnya jauh lebih
banyak. Dengan tangannya ia memerintahkan orang-orangnya
untuk berusaha mengepung Pangeran Sena Wasesa bersama
kawan-kawannya yang menurut keterangannya telah
menolongnya. Ibu Daruwerdipun menjadi cemas melihat perkembangan
keadaan. Tetapi ketika ia melihat anaknya dan anak gadis
yang luar biasa itu berdiri disebelah-menyebelahnya, maka
hatinya menjadi agak tenang.
"Pangeran" berkata Ki Rangga Sutatama "Jangan menyesal
bahwa semua orang akan binasa untuk menghuangkan jejak,
kecuali Pangeran sendiri. Sementara itu, aku sendiri telah
menempatkan diri sebagai lawan Pangeran Sena Wasesa, agar
Pangeran dapat dikalahkan tanpa terluka segores kecilpun"
"Kau memang sombong sekali Ki Rangga" desis Pangeran
Sena Wasesa. "Aku berkata sebenarnya. Tentu Pangeran tahu. siapakah
Rangga Sutatama. Pangeran tentu pernah mendengar namaku
diantara sederet nama Senapati di Demak, termasuk para
Pangeran seperti Pangeran Sena Wasesa sendiri" sahut Ki
Rangga Sutatama. "Namamu tidak begitu besar seperti yang kau sangka
sendiri Ki Rangga" desis Rahu "Aku bukan orang yang terkenal
seperti kau. Bahkan Pangeran Sena Wasesa belum mengenal
aku sebelumnya. Tetapi itu memang sesuai dengan tugasku.
Namun demikian, seandainya aku harus melawanmu sekarang
ini, aku tidak akan gentar"
Ki Rangga Sutatama tertawa. Katanya "Sudahlah. Jangan
merajuk seperti kanak-kanak. Aku sudah memilih lawan.
Orang-orangku yang jumlahnya jauh lebih banyak itu akan
menghancurkanmu" Rahu tidak sempat menjawab. Ki Rangga sudah memberi
isyarat kepada orang-orangnya untuk segera bergerak.
Sejenak kemudian kepungan itupun menjadi semakin
sempit. Ki Rangga yang masih saja nampak tersenyum, berdiri
di hadapan Pangeran Sena Wasesa sambil berkata "Aku akan
bertempur tanpa senjata. Agar dengan demikian aku tidak
akan melukai Pangeran"
"Bagaimana jika akulah yang bersenjata?" bertanya
Pangeran Sena Wasesa. "Silahkan Pangeran. Itu adalah hak Pangeran di dalam
pertempuran. Tetapi meskipun Pangeran bersenjata, arti
senjata Pangeran itu tidak akan banyak" jawab Ki Rangga
Sutatama. Namun ternyata bahwa Pangeran Sena Wasesa masih juga
mempunyai harga diri menghadapi Ki Rangga yang tidak
bersenjata. Karena itu, maka iapun segera bersiap tanpa
senjata pula. Dalam pada itu, Ki Ajar Cinde Kuning, Kiai Kanthi dan
orang-orang yang bersama mereka itupun telah bersiap pula.
Mereka menghadapi orang-orang yang berlipat jumlahnya.
Namun demikian, mereka masih tetap mempunyai harapan
untuk dapat keluar dari pertempuran itu, karena lawan mereka
bukan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di dalam
dunia kanuragan, kecuali Ki Rangga Sutatama itu sendiri.
Namun ternyata bahwa Ki Rangga telah memilih lawan,
seorang yang juga memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Sejenak kemudian maka gelang yang menyempit itupun
telah mulai bersentuhan dengan orang-orang yang berada di
dalam lingkaran. Jlitheng yang mempunyai persoalan sendiri di
dalam dirinya itu tidak sabar lagi menghadapi orang-orang
yang berpakaian prajurit itu. Karena itu, maka iapun segera
meloncat menyerang dengan garangnya.
Ternyata bahwa orang-orang itu memang mempunyai
kemampuan seorang prajurit, karena memang ada diantara
mereka yang seperti dikatakan Ki Rangga, adalah bekas-bekas
prajurit yang melakukan kesalahan dan harus menanggalkan
gelar keprajuritannya. Namun dalam pada itu, mereka sempat
menghimpun diri, dalam lingkungan yang hitam itu.
Sejenak kemudian, pertempuranpun telah mulai berkobar.
Ternyata bahwa orang-orang yang mengawasi Pangeran Sena
Wasesa itupun telah membuat satu lingkaran yang
menghadap keluar. Mereka berusaha menempatkan ibu
Daruwerdi di dalam lingkaran yang akan dapat melindunginya.
Daruwerdi dan Swasti berada di depan perempuan itu,
sementara yang lainpun Eegera menempatkan diri mereka
masing-masing sebelah-me-nyebelah, kecuali Jlitheng yang
berusaha bertempur sejauh-jauhnya dari Swasti dan
Daruwerdi. Demikian pertempuran dalam jumlah yang tidak seimbang
itupun telah terjadi. Namun ternyata bahwa jumlah yang tidak
seimbang itu tidak segera dapat menentukan akhir dari
pertempuran itu. Setelah Ki Rangga Sutatama terlibat dalam pertempuran
tanpa senjata melawan Pangeran Sena Wasesa, serta telah
terjadi benturan kekerasan yang melingkar diseluruh arena itu,
maka ternyata bahwa orang-orang yang berpakaian prajurit
itu tidak dapat menentukan pertempuran itu menurut
kehendak mereka. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka tiba-tiba saja
mereka terkejut ketika seorang diantara mereka yang berada
dalam kepungan itu berhasil meloncat keluar. Ketika beberapa
orang mengejarnya, maka iapun berusaha bergeser menjauhi
putaran arena itu, sehingga telah terjadi lingkaran
pertempuran tersendiri. Tiga orang telah menyerangnya bersama-sama. Tetapi
orang yang telah berhasil keluar dari kepungan itu berkata
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat menghancurkan dirimu
sendiri. Letakkan saja senjata kalian. Kalian tentu akan
dimaafkan oleh Pangeran Sena Wasesa"
"Gila. Apakah kau kira cacatmu itu dapat menjadi pertanda
bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan?" geramsalah
seorang lawannya. Tetapi orang yang harus bertempur melawan tiga orang
lawan itu berkata "Tentu tidak. Cacatku itu justru pertanda
bahwa aku pernah mengalami nasib paling buruk di dalam
lingkaran dunia kanuragan. Tetapi juga pelajaran yang sangat
baik bagiku untuk menghadapi kalian bertiga"
"Persetan" geram seorang diantara mereka.
Dengan serta merta maka ketiga orang lawannya itupun
telah mengerahkan tenaga mereka untuk segera mengakhiri
pertempuran, sehingga mereka segera dapat membinasakan
orang yang lain lagi. Tetapi orang cacat itu ternyata sangat liat. Bahkan rasarasanya
orang cacat itu sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Sementara itu Kiai Kanthi masih tetap berada di dalam
lingkaran. Sebenarnya jika ia menghendaki, ia akan dapat
menyusul Ki Ajar Cinde Kuning keluar dari kepungan. Tetapi
Kiai Kanthi tetap berada di tempatnya. Bahkan Kiai Kanthi
ternyata telah mempergunakan senjatanya.
Namun dengan demikian, maka Kiai Kanthi telah membuat
beberapa orang yang berdiri dihadapannya menjadi bingung.
Senjata Kiai Kanthi itu berputaran dengan cepat. Kadangkadang
yang nampaknya hanyalah gumpalan-gumpalan putih
diseputarnya. Namun kadang-kadang senjata itu nampak
seolah-olah telah berkembang menjadi beberapa pucuk
senjata di beberapa pasang tangan yang bergerak bersamasama.
Di bagian lain dari pertempuran itu, Jlitheng telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun ia tidak
memiliki kemampuan setinggi ilmu Kiai Kanthi, tetapi dengan
pedang tipisnya, Jlitheng adalah orang yang sangat
berbahaya. Ki Rangga Sutatama menjadi heran menghadapi kenyataan
itu. Ia sendiri terikat pada pertempuran melawan Pangeran
Sena Wasesa. Yang ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi.
Tanpa senjata Pangeran Sena Wasesa mampu mengimbangi
ilmu Ki Rangga Sutatama, yang ternyata salah duga
menghadapi kemampuan Pangeran itu. Meskipun Ki Rangga
Sutatama juga mengetahui, bahwa Pangeran Sena Wasesa
juga seorang Senapati, tetapi ia terlalu percaya kepada diri
sendiri. Keangkuhan dan kadang-kadang sifatnya yang
adigang adiguna itulah yang membuatnya terlalu bernafsu
untuk memiliki banyak dari yang dapat dicapainya dengan
wajar. Sehingga karena itulah, maka kepercayaan Panglima
prajurit di Demak kepadanya menjadi cepat susut.
Kenyataan yang demikian itulah yang membuatnya menjadi
gelisah. Orang-orang yang datang bersama Pangeran Sena
Wasesa, dan sama sekali tidak meyakinkannya, ternyata
mampu melawan orang-orangnya. Bahkan orang cacat yang
buruk itu telah meloncat keluar kepungan, sementara seorang
tua yang lain dapat membuat orang-orang menjadi bingung.
Sedangkan anak-anak muda bahkan seorang diantara kedua
orang perempuan itu mampu juga bertempur dengan
garangnya. "Siapakah iblis-iblis ini sebenarnya?" bertanya Ki Rangga
Sutatama dengan jantung yang berdebar-debar.
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Sambil
meloncat menghindari serangan lawannya, ia berdesis "Kau
kira siapa mereka itu"
"Darimana Pangeran mendapat kawan-kawan yang berilmu
iblis itu" Apakah mereka sekelompok penyamun atau sejenis
itu" Atau orang-orang Sanggar Gading atau Kendali Putih atau
Pusparuri yang pura-pura telah menyelamatkan Pangeran,


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun dengan demikian mereka mengharapkan hadiah yang
besar dari Sultan di Demak?"
"Mereka tidak mengharapkan apa-apa" jawab Pangeran
Sena Wasesa "Dan bukankah kau sudah mengetahui salah
seorang dari mereka adalah justru seorang petugas sandi dari
Demak?" "Kau kira bahwa seorang petugas sandi tidak dapat
melakukan kerja rangkap" Bukankah banyak dijumpai seorang
petugas sandi justru bekerja untuk kepentingan sekelompok
penjahat yang paling buas?" jawab Ki Rangga Sutatama.
Pangeran Sena Wasesa justru tertawa. Katanya "Kau sudah
mulai dibayangi oleh kegelisahan yang sangat. Ki Rangga.
Mumpung belum terjadi sesuatu yang gawat. Jika kau
membatalkan niatmu, maka aku berjanji untuk tidak
melaporkan kelakuanmu ini kepada pimpinan prajurit di
Demak. "Kau juga sudah gila Pangeran" berkata Ki Rangga "Apakah
dalam keadaan seperti sekarang ini, kau akan mungkin
meloloskan diri" Bagaimanapun juga jumlah orang di dalam
satu medan akan mempunyai pengaruh yang menentukan.
Betapapun juga tinggi ilmu iblis dari orang-orangmu, mereka
tidak akan dapat melawan jumlah yang jauh lebih banyak"
Tetapi belum lagi Ki Rangga Sutatama diam. maka mereka
mendengar keluhan tertahan dekat disebelah mereka.
Ternyata bahwa Rahu telah berhasil melukai seorang
lawannya dan dengan demikian mendesak lawannya yang
seorang itu keluar dari lingkaran.
"Apa yang terjadi Ki Rangga?" bertanya Pangeran Sena
Wasesa. "Hanya karena sikap yang kurang berhati-hati. Tetapi lihat,
ia masih akan sanggup memasuki arena setelah ia mengobati
lukanya yang tidak berarti itu" jawab Rangga Sutatama.
Pangeran Sena Wasesa menngerutkan keningnya. Ia
melihat orang itu mengusapkan obat berupa bubuk berwarna
kuning pada luka itu. Kemudian orang itu telah menyiapkan
diri untuk turun lagi ke arena.
Tetapi yang mereka lakunya itu telah memaksa lawannya
berbuat yang sama. Jitheiigpun kemudian menjadi semakin
garang. Pedang tipisnya menggeletar dengan cepat, berputar
kemudian mematuk arah jantung lawannya. Pada saat
Daruwerdi terluka, ternyata Jlitheng telah sempat
membenamkan pedangnya didada lawannya.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang yang
mengikut i Pangeran Sena Wasesa untuk menghadap ke
Demak itu mulai jemu dengan pertempuran itu. Apalagi
nampaknya di beberapa bagian dinding lingkaran, mereka
menjadi berbahaya karena kemarahan yang meluap-luap.
Karena perhitungan yang demikian itulah, maka Kiai
Kanthipun berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu lebih
cepat lagi. Bukan saja sekedar bertahan, tetapi sudah
waktunya untuk mulai melumpuhkan lawan-lawannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Kiai Kanthipun justru
menjadi semakin cepat bergerak, la tidak saja
membingungkan lawan-lawannya, tetapi senjatanya benarbenar
telah mulai menyentuh tubuh lawannya.
Ketika seorang diantara mereka terluka, maka dibagian
lainpun terdengar pula seseorang mengeluh. Ternyata bahwa
Ki Ajar Cinde Kuningpun telah mulai melukai lawan-lawannya,
"Masih ada kesempatan untuk pergi" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning Tetapi Ki Rangga Sutatama yang melihat orang-orangnya
telah mulai terluka itupun berteriak nyaring "Kita ternyata
terlalu baik hati. Bunuh saja lawan-lawan kalian tanpa
membuat terlalu banyak pertimbangan"
Tetapi suara Ki Rangga itu sendiri tertahan-tahan karena
serangan Pangeran Sena Wasesa yang datang membadai.
Di bagian lain dari pertempuran itupun orang-orang Ki
Rangga Sutatama menjadi semakin sulit menghadapi lawanlawannya.
Swasti dan Daruwerdi yang memiliki dasar ilmu
yang berbeda, ternyata mampu menempatkan diri sebagai
pasangan yang mantap. Keduanya bertempur dengan sepenuh
kemampuan. Sementara itu, ibu Daruwerdi yang ada d dalam lingkaran,
dan berdiri termangu-mangu di belakang anaknya,
menyaksikannya dengan jantung yang berdebar-debar.
Dalam pada itu, kemarahan para pengikut Ki Rangga
Sutatama itu telah mencapai puncaknya. Apalagi karena
beberapa orang diantara mereka telah menitikkan darah
Sehingga karena itu, maka merekapun menjadi bagaikan
orang wurL yang tidak terkendali.
Sebenarnyalah mereka memiliki kemampuan melampaui
orang-orang Pusparuri. Namun dihadapan mereka adalah
orang-orang pilihan juga. Bahkan diantara mereka terdapat Ki
Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi yang memiliki kemampuan
jauh diatas kemampuan setiap orang diantara mereka yang
mengepungnya. Sementara itu. Pangeran Sena Wasesa sendiri
masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Rangga
Sutatama yang bernafsu untuk menangkapnya hidup-hidup.
Namun bagaimanapun juga jumlah yang jauh lebih banyak
itupun memang mempunyai pengaruh pula. Satu dua orang
diantara orang-orang Ki Rangga itu telah tergores senjata.
Namun ternyata mereka masih sempat menekan orang-orang
yang berada di dalam lingkaran.
Tetapi justru karena itu, maka Kiai Kanthi telah
meningkatkan kemampuannya pula untuk mengurangi
tekanan pada dinding lingkaran yang lain.
Dalam pada itu, Ki Ajar Cinde Kuningpun tekanan yang
terasa berat pada lingkaran pertempuran itu. Sehingga iapun
telah berusaha untuk membantunya dengan caranya.
Sejenak kemudian, maka Ki Ajar itupun telah
menghentakkan ilmunya. Orang-orang yang bertempur
melawannya itupun terkejut. Seorang diantara mereka
terlempar keluar lingkaran. Bukan saja sebuah goresan pada
kulitnya. Namun ternyata dagingnyapun telah terkoyak pula.
Belum lagi orang itu sempat merangkak menepi untuk
mengobati lukanya, maka seorang lagi diantara mereka telah
terluka pula. Dalam keadaan yang gawat, maka dua orang telah
meninggalkan kepungan dan bergabung dengan kawannya
yang masih bertahan melawan Ki Ajar Cinde Kuning. Namun
demikian kedua orang itu menempatkan diri melawan orang
cacat itu, telah terjadi pula peristiwa yang serupa. Ki Ajar telah
benar-benar melukai lawannya sehingga tangan kanan
lawannya seolah-olah telah menjadi lumpuh.
Dalam pada itu, dibagian lain dari lingkaran pertempuran
itu, para pengikut Ki Rangga Sutatama masih berpengharapan
untuk dapat berbuat lebih banyak lagi. Ketika dua orang
bersama-sama menyerang Daruwerdi, Swasti sudah siap
untuk membantunya. Tetapi ternyata bahwa ia sendiri telah
mendapat serangan yang tiba-tiba, sehingga ia harus
menghindari serangan itu. Dengan demikian, maka ia berhasil
lolos dari sentuhan senjata lawan. Namun yang terjadi pada
Daruwerdi agak berbeda. Ketika ia sedang sibuk menangkis
serangan dua orang lawannya, seorang yang lain telah
menyerangnya. Swasti terlambat meloncat membantunya. Namun ia masih
sempat berteriak "Daruwerdi, hati-hati"
Daruwerdi sempat bergeser. Tetapi serangan lawannya itu
ternyata telah menyentuh lengannya, sehingga sedores luka
telah memancarkan darah dari lengan kirinya.
Sementara itu, Swasti telah meloncat disebelahnya
sehingga serangan yang lain telah dapat di tangkisnya.
Namun ternyata bahwa serangan-serangan yang cepat
bukan saja di alami oleh Daruwerdi dan Swasti. Tetapi yang
lainpun telah mengalaminya pula, justru karena para pengikut
Ki Rangga Sutatama itu melihat beberapa orang kawannya
telah terluka. Tetapi yang mereka lakukan itu telah memaksa lawannya
berbuat yang sama. Jlithengpun kemudian menjadi semakin
garang. Pedang tipisnya menggeletar dengan cepat, berputar
kemudian mematuk kearah jantung lawannya. Pada saat
Daruwerdi terluka, ternyata Jlitheng telah sempat
membenamkan pedangnya didada lawannya.
Rahu sempat melihat, bagaimana Jlitheng bertempur
dengan segenap kemampuannya. Seolah-olah Rahu belum
pernah melihat Jlitheng bersikap demikian sebelumnya.
Namun dalam pada itu. Kiai Kanthi yang sekilas sempat juga
melihat, segera dapat memakluminya. Ada perasaan lain yang
membuat Jlitheng menjadi terlalu garang. Kekecewaan dan
kehilangan. Namun Kiai Kanthi tidak dapat membantunya. Ia
tidak akan dapat berbuat banyak terhadap anak gadisnya
dalam hubungannya dengan Jlitheng dan Daruwerdi, karena
Kiai Kanthipun mengerti watak anak gadisnya itu.
Untuk melepaskan gejolak perasaannya, Jlitheng telah
mengambil sasaran pada lawan-lawannya. Demikian ia
berhasil melukai lawannya, maka pedangnya telah berputar
pula mengerikan. Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa yang bertempur
melawan Ki Rangga Sutatama itupun berkata "Ki Rangga
Apakah kau masih belum melihat kenyataan ini" Berapa
orangmu telah terluka?"
"Persetan" geram Ki Rangga "Tetapi orang-orangmu juga
sudah terluka Pangeran"
Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Ia tidak
bertempur disebelah Daruwerdi, sehingga ia tidak melihat
bahwa anak muda itu telah terluka. Demikian pula seorang
paman Daruwerdi telah tergores ujung senjata Tetapi lukaluka
itu hampir tidak berpengaruh sama sekali.
Namun sikap dan tingkah laku para pengikut Ki Rangga
Sutatama itu memang membuat lawan-lawannya menjadi
marah pula. Mereka bertempur dengan kasar dan bahkan
kadang-kadang liar. Mereka berteriak dan mengumpat dengan
kata-kata yang tidak pantas.
"Ki Rangga" berkata Pangeran Sena Wasesa "adakah
prajurit-prajuritmu telah kau ajari bertempur dengan liar
seperti itu" Kau dengar apa yang mereka katakan dan apa
yang mereka teriakkan?"
"Aku tidak peduli" jawab Ki Rangga "Mereka adalah
prajurit-prajurit yang kecewa karena sikap para panglimanya
yang tidak tahu diri. Seperti akupun telah dikecewakan pula,
meskipun pengabdianku telah bertimbun melampaui
pengabdianmu sendiri Pangeran"
"Jangan membuat ceritera lelucon seperti itu" jawab
Pangeran Sena Wasesa "sekarang menyerahlah. Masih ada
kesempatan Aku akan memohonkan ampun atas segala
tingkah lakumu ini" Tetapi Ki Rangga itu justru mengumpat. Dengan
tangkasnya ia meloncat menyerang sambil berteriak nyaring
"Cepat, bunuh lawan-lawanmu.
"Omong kosong" Jlithengpun berteriak. Rasa-rasanya
semuanya membuatnya marah. Apapun yang didengar dan
dilihatnya. Tetapi kemarahannya yang kadang-kadang kurang
terkendali itu membuatnya kurang berhati-hati. Ketika ia
menyerang lawannya dengan perhitungan yang kurang
mapan, maka terdengar Jlitheng berdesis. Namun kemudian
iapun telah menggeretakkan giginya.
Ternyata segores luka telah menyilang di pundaknya. Tidak
terlalu dalam. Tetapi terasa luka itu menjadi pedih.
Namun justru karena luka itu, Jlitheng menjadi semakin
garang. Meskipun luka itu telah memperingatkan, bahwa ia
harus lebih berhati-hati menghadapi lawan-lawannya. Karena
mereka memiliki ilmu yang cukup. Sehingga untuk
menghadapi dua orang diantara mereka yang mengepungnya,
memerlukan perhitungan yang lebih baik dari sekedar sikap
marah. Tetapi di bagian lain, Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi
tidak mempunyai pilihan, lain. Ia harus berusaha mengurangi
jumlah lawannya. Semakin cepat semakin baik. agar mereka
cepat dapat meninggalkan tempat itu dan menghadap
Kangjeng Sultan, atau orang yang mendapat kuasa untuk
mengurus gedung perbendaharaan, sebelum mereka dapat
menghadap Sultan sendiri.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
semakin cepat. Para pengikut Ki Rangga Sutatamapun tidak
membiarkan diri mereka dilumpuhkan. Karena itu, merekapun
telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri
mereka masing-masing. Tetapi kemampuan diantara mereka yang bertempur itu
memang berbeda. Meskipun beberapa orang telah terluka
tetapi akhirnya nampak bahwa para pengikut Ki Rangga
Sutatama tidak akan dapat mengatasi keadaan.
"Gila" geram Ki Rangga Sutatama di dalam hatinya "iblis
dari mana sajalah yang telah mengikuti Pangeran Sena
Wasesa itu, sehingga mereka mampu bertahan menghadapi
orang-orangku yang jumlahnya lebih banyak?"
Tetapi itu adalah satu kenyataan. Jika semula Ki Rangga
Sutatama menganggap kehancuran orang-orang Sanggar
Gading dan orang-orang Kendali Putih itu adalah karena
mereka saling membenturkan diri mereka sendiri, kemudian
kehadiran orang-orang Pusparuri yang malang karena mereka
harus menghadapi anak-anak muda Lumban yang jumlahnya
tidak terhitung, sehingga mereka sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu betapapun tinggi ibnu
mereka, ternyata kini ia menghadapi kenyataan lain. Orangorang
yang disebut telah menolong Pangeran Sena Wasesa itu
ternyata memang orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Dan segalanya sudah terlanjur terjadi. Ki Rangga tidak akan
dapat menghindarkan diri dari tanggung jawab atas tingkah
lakunya. Dengan kenyataan itu, maka Ki Rangga justru bersikap
semakin garang Pusar dari berlawanan orang-orang yang
disebut menolong Pangeran Sena Wasesa itu adalah pada
Pangeran itu sendiri. Jika ia berhasil menguasai Pangeran itu,
maka ia tentu dapat mematahkan perlawanan mereka.
Dengan mengancam Pangeran Sena Wasesa, maka ia akan
dapat memaksa orang-orang itu menuruti perintahnya.
Tetapi sejalan dengan usaha Ki Rangga Sutatama, maka
Pangeran Sena Wasesapun telah mengerahkan ilmunya pula.
Untuk melawan Senapati yang mumpuni itu, ternyata


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Sena Wasesa memang harus mengerahkan segenap
kemampuannya. Namun Pangeran Sena Wasesapun seorang
Senapati besar pula, sehingga dengan demikian ia dapat
mengimbangi peningkatan ilmu Ki Rangga Sutatama.
Akhirnya Ki Rangga Sutatama itupun kehilangan kesabaran.
Ia tidak dapat berpegang pada niatnya untuk menangkap
Pangeran Sena Wasesa hidup-hidup dan tanpa segores
lukamu. Karena jika ia tetap berpegangan pada sikap itu,
maka ialah yang mungkin akan ditangkap hidup-hidup oleh
orang-orang yang telah menolong Pangeran Sena Wasesa itu.
Dengan demikian, akhirnya Ki Rangga Sutatama telah
mengambil keputusan lain. Tiba-tiba saja ia meloncat surut
sambil menggeram "Pangeran. Segalanya terjadi tidak seperti
yang aku harapkan. Sebenarnya aku ingin berbuat sebaikbaiknya
bagi Pangeran. Tetapi agaknya Pangeran terlalu
sombong dan merasa dirimu terlalu besar. Karena itu aku
harus mengambil sikap lain"
Pangeran Sena Wasesa tertegun. Ia mengerti, bahwa
lawannya tentu akan mempergunakan senjatanya.
Sebenarnyalah Ki Rangga Sutatama itupun telah menarik
sebilah wedung dari wrangkanya yang terselip di lambung kiri.
Wedung yang tidak terlalu biasa dipergunakan sebagai senjata
karena kecuali terlalu kecil dibanding dengan sebilah pedang,
bentuknya memang tidak begitu menguntungkan. Tetapi
ternyata bahwa Ki Rangga Sutatama telah mempergunakan
sebilah wedung. "Pangeran" berkata Ki Rangga "Jangan mengecilkan arti
senjataku ini. Pusaka ini adalah peninggalan Senapati besar
dari Majapahit. Selama wedung ini berada di tanganku, aku
telah membunuh lebih dari sepuluh orang dengan senjata ini
Sementara diantara mereka melawanku dengan jenis senjata
yang lebih baik. Pedang, tombak dan bindi. Nah, apakah
Pangeran juga akan melawan"
"Aku sudah melawan Ki Rangga" jawab Pangeran Sena
Wasesa. "Jika aku tidak berhasil menangkap Pangeran hidup-hidup,
maka biarlah aku membunuh Pangeran saja, agar rahasia
tentang pusaka dan harta benda itu akan tetap menjadi
rahasia sepanjang jaman"
"Baiklah" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku akan
bertahan dan jika kemudian kaulah yang mati disini, hal itu
aku lakukan karena terpaksa sekali?"
Pangeran Sena Wasesa tidak mempunyai waktu banyak.
Ternyata Ki Rangga Sutatama itupun segera bersiap
menyerangnya. Tetapi Pangeran Sena Wasesa masih sempat mengenakan
lempeng baja di telapak tangannya. Dengan lempeng baja itu
ia siap melawan senjata apapun juga. Bukan saja karena
ketrampilan tangannya itu, tetapi juga kekuatan ilmunya
seolah-olah telah terpusat pada telapak tangannya yang
dialasi dengan sekeping baja pilihan itu.
"Senjata Pangeran aneh" desis Ki Rangga.
"Aku tidak sempat membawa senjata panjang saat aku
dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading, kecuali lempeng
baja yang memang tidak terpisah dari tubuhku dalam keadaan
apapun juga. Ki Rangga Sutatama memperhatikan keping-keping baja di
tangan Pangeran Sena Wasesa. Keping-keping baja yang
diberinya bercincin yang dapat diselusupi jari-jari.
"Pangeran sekedar membuat pengeram-eram" berkata Ki
Rangga. Sutatama "Tetapi senjata seperti itu tidak akan
banyak manfaatnya. Apalagi untuk melawan wedung
pusakaku ini" "Mungkin keping-keping baja seperti ini tidak bermanfaat
bagi siapapun juga. Tetapi bagiku, senjata ini akan dapat aku
pergunakan untuk menghadapi senjata apapun. Termasuk
senjatamu itu" jawab Pangeran Sena Wasesa.
Dalam pada itu, Ki Rangga Sutatamapun kemudian telah
meningkatkan serangan-serangannya, sehingga dengan
demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin cepat
dan seru. Ternyata Ki Rangga Sutatama benar-benar
menguasai senjatanya meskipun tidak begitu besar. Tetapi
yang tidak terduga sama sekali oleh Ki Rangga, keping-keping
baja di tangan Pangeran Sena Wasesa itupun merupakan
senjata aneh yang menggetarkan.
Namun dalam pada itu, ternyata para pengikut Ki Rangga
Sutatama telah jauh susut. Selain yang terluka parah, maka
yang lainpun rasa-rasanya telah menjadi kehilangan harapan.
Hanya karena Ki Rangga masih saja bertempur, pengikutnya
tidak berani mengambil sikap meskipun mereka menyadari,
kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atas
mereka. Sementara kedua belah pihak bertempur pada saat-saat
terakhir, mereka telah dikejutkan oleh derap kaki-kaki kuda.
Bukan hanya seekor atau dua ekor kuda. Tetapi jauh lebih
banyak. Dalam kesempatan terakhir dari pertempuran itu. Pangeran
Sena Wasesa dan orang-orang yang bertempur dipihaknya
telah dikejutkan oleh munculnya sepasukan prajurit berkuda.
Prajurit Demak sebagaimana yang sedang bertempur melawan
mereka. "Gila" geram J litheng yang melihat pula kehadiran mereka.
Kemarahan yang telah membakar jantungnya itu rasa-rasanya
akan meledak melihat orang-orang berkuda itu. Jumlah
mereka justru lebih banyak dari jumlah para pengikut Ki
Rangga Sutatama yang hampir mereka selesaikan.
Dalam pada itu. pertempuran itu telah menarik perhatian
para prajurit berkuda yang datang kemudian itu. Dengan serta
merta iring-iringan kupan langsung menuju ke arena yang
sudah menjadi berat sebelah.
"Siapa mereka?" bertanya Pangeran Sena Wasesa kepada
Ki Rangga Sutatama. Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun
tertawa "Jangan menyesal Pangeran. Kawan-kawanku telah
datang untuk mengakhiri pertempuran ini. Dengan kehadiran
mereka, maka niatku untuk membunuh Pangeran sudah
barang tentu akan aku batalkan. Aku akan berusaha lagi
menangkap Pangeran hidup-hidup.
Pangeran Sena Wasesa menggeretakkan giginya. Dengan
dahsyatnya iapun kemudian meloncat menyerang. Ia bukan
lagi menunggu dan menghindar. Tetapi ialah yang ingin
menentukan akhir dari pertempuran itu.
Ki Ajar Cinde Kuningpun menjadi berdebar-debar. Namun ia
berkata di dalam hatinya "Apakah aku masih harus membunuh
dan membunuh lagi" Justru pada saat-saat hari-hariku
menjadi semakin pendek oleh umurku"
Tetapi bagaimanapun juga, ada sesuatu yang
membebaninya pada saat itu. Ia sadar, betapa tinggi nilai
benda-benda dan harta yang sedang diperebutkan itu. Karena
itu, maka katanya pula kepada diri sendiri "Pusaka dan harta
benda itu perlu diselamatkan meskipun harus jatuh korban
yang lebih banyak lagi. Mayat orang-orang Kendali Putih dan
orang-orang Sanggar Gading, kemudian orang-orang
Pusparuri dan prajurit-prajurit yang gila ini merupakan
tebusan yang terlalu mahal.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Cinde Kuningpun telah
bersiap-siap. Menghadapi para pengikut Ki Rangga Sutatama
ia masih berusaha untuk melumpuhkan mereka tanpa
membunuhnya. Tetapi jika lawan menjadi semakin banyak,
maka iapun akan terpaksa membunuh dengan mengerahkan
segenap kemampuannya. Kiai Kanthipun menjadi berdebar-debar pula. Bukan oleh
kecemasan tentang dirinya. Ia masih mempunyai banyak
harapan untuk dapat keluar dari pertempuran itu. Tetapi
bagaimana dengan anak-anak muda yang sedang tumbuh itu.
Bagaimana dengan anak gadisnya, Daruwerdi dan Jlitheng.
Tetapi tidak banyak kesempatan untuk merenung. Anakanak
muda di antara merekapun telah menghentakkan
kemampuan mereka menjelang kehadiran para prajurit
berkuda itu. Sebenarnyalah sekelompok orang berkuda itu dengan
kecepatan semakin t inggi telah mendekati arena. Dalam
pakaian keprajuritan, mereka nampak berwibawa.
Seorang Senapati yang memimpin mereka, telah
menggenggam pedang di tangannya. Ketika iring-iringan itu
mendekati arena, maka Senepati itu telah meneriakkan abaaba
sambil mengangkat pedangnya.
Sejenak kemudian beberapa ekor kuda itu telah memencar.
Mereka langsung mengepung arena itu tanpa turun dari kuda
mereka, sementara di setiap tangan telah tergenggam
pedang. Seorang yang berkuda di sebelah Senapati yang
memegang pimpinan itu membawa sebuah tunggul berbentuk
seekor kuda yang berdiri pada kedua kaki belakangnya,
dengan keadaan terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai
tombak yang berbahaya. "Aku perintahkan kepada semua pihak untuk menghent ikan
pertepuran" terdengar Senapati itu memekikan aba-aba.
"Tidak ada gunanya" jawab Ki Rangga Sutatama "Aku
adalah Rangga Sutatama. Cepat, libatkan dirimu dalam
pertempuran ini. Mereka adalah orang-orang Sanggar Gading
yang berusaha menguasai harta benda kerajaan yang tidak
ternilai harganya" Seperti yang memimpin pasukan itu mengerutkan
keningnya. Ia berusaha mengamati orang yang menyebut
dirinya Rangga Sutatama itu. Sebenarnyalah bahwa orang itu
mempergunakan pakaian seorang Rangga dalam tugas
keprajuritan. Dan sebenarnyalah orang itu adalah Rangga
Sutatama. "Ki Rangga" desis Senapati itu.
Ki Rangga Sutatama tegak sambil menengadahkan
dadanya. Sekilas ia sempat memandang Pangeran Sena
Wasesa yang termangu-mangu.
Sementara itu, pertempuran itupun seolah-olah telah
berhenti dengan sendirinya. Kedua belah pihak menjadi raguragu
melihat sikap para prajurit berkuda yang mengepung
mereka. "Nah, bukankah kau mengenal aku Ki Rangga Dirgapati.
Aku telah berada dalam kesulitan kali ini. Aku menghadapi
sekelompok orang-orang Sanggar Gading yang kuat Orangorangku
sama sekali tidak menduga bahwa diantara orangorang
Sanggar Gading terdapat orang-orang yang memiliki
ilmu iblis" berkata Ki Rangga Sutatama.
Orang yang disebut Ki Rangga Dirgapati itu termangumangu
diatas punggung kudanya. Namun kemudian terdengar
Pangeran Sena Wasesa berkata "Adalah kebetulan bahwa
yang datang kali inipun orang yang sudah aku kenal. Ki
Rangga Dirgapati, apakah kau tidak mengenal aku lagi?"
Ki Rangga Dirgapati mengerutkan keningnya. Ia melihat
seorang dalam pakaian orang kebanyakan. Namun akhirnya
lapun berdesis "Pangeran Sena Wasesa"
"Ya" sebelum Pangeran itu menjawab Ki Rangga Sutatama
telah mendahuluinya "sebuah permainan yang mengasyikkan
dari Pangeran Sena Wasesa. Ceritera tentang usaha
mengambilnya dari istananya oleh sekelompok orang yang
tidak dikenal adalah ceritera ngayawara. Ternyata Pangeran
Sena Wasesa telah berusaha menghilangkan jejaknya pada
saat Pangeran itu meninggalkan Demak karena satu
kepentingan pribadi dengan menyuruh para pengikutnya
berpura-pura menculiknya. Adalah tidak mungkin bahwa
sekelompok kecil pada waktu itu dapat menembus pertahanan
para pengawalnya dan Pangeran Sena Wasesa sendiri, jika hal
itu memang t idak dikehendaki oleh Pangeran itu sendiri"
Ternyata Ki Rangga Dirgapati menjadi termenung sejenak.
Namun kemudian Pangeran Sena Wasesa menjawab "Kau
percaya ceritera itu Ki Rangga Dirgapati. Kau adalah seorang
Senapati. Jika kau sempat melihat pertempuran ini barang
sejenak, maka kau akan melihat, bahwa orang-orang yang
berpakaian seperti prajurit Demak di bawah pimpinan Ki
Rangga Sutatama ini, sama sekali bukan prajurit"
Ki Rangga Sutatama tertawa. Katanya "Pangeran ingin
meneruskan pertempuran ini" Dan Pangeran ingin
menunjukkan kepada Ki Rangga Dirgapati bahwa orang-orang
Sanggar Gading mempunyai kelebihan sehingga Pangeran
akan dapat memaksa Ki Rangga Dirgapati untuk meninggalkan
tempat ini karena ketakutan?"
"Pikiranmu terlalu dangkal Ki Rangga Sutatama. Jika kau
ingin mengelabui seseorang, pakailah cara yang agak lebih
baik, sehingga tidak justru menumbuhkan kecurigaan seperti
itu" berkata Pangeran Sena Wasesa.
Tetapi sekali lagi Ki Rangga Sutatama tertawa. Katanya
"Ceritamu tamat sampai disini Pangeran. Pasukan Demak akan
menyelesaikan tugas mereka sebaik-baiknya. Betapapun tinggi
tingkat ilmu orang-orang Sanggar Gading yang ternyata telah
kau pimpin sendiri, tidak akan dapat mengalahkan pasukan
Demak yang banyak ini. Meskipun Ki Rangga Dirgapati tidak
segarang dan sekasar aku sendiri"
Pangeran Sena Wasesa menggeretakkan giginya. Ternyata
Ki Rangga Sutatama adalah orang yang sangat licik. Orang
yang sampai hati mempergunakan segala cara untuk
mencapai maksudnya. Bahkan cara yang paling kasar dan
kotor sekalipun. Namun dalam pada itu, Rahu telah melangkah maju
mendekati Ki Rangga Dirgapati. Tetapi langkahnya terhenti
ketika Ki Rangga itu menundukkan pedangnya sambil berkata
"Berhenti di tempatmu"
Rahu berhenti beberapa langkah dihadapan Ki Rangga
Dirgapati. Sementara Ki Rangga Sutatama berkata "Orang itu
sangat berbahaya" Ki Rangga Dirgapati mengerutkan keningnya. Namun tibatiba
saja sebuah pisau belati yang kecil telah meluncur dari
tangan Ki Rangga Sutatama. Pisau yang dilontarkan oleh
seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa sempat melihat gerak yang
cepat itu, sehingga dengan kecepatan yang seimbang,
Pangeran Sena Wasesa meloncat sambil menyerang Ki Rangga
Sutatama. Bagaimanapun juga, serangan Pangeran Sena Wasesa itu
berpengaruh sehingga sasaran pisau itu tidak tepat seperti
yang dibidiknya, justru karena Ki Rangga harus menghindari
serangan Pangeran Sena Wasesa.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian, pisau itu masih sempat juga mengarah
ke tubuh Rahu yang sama sekali tidak menduga bahwa Ki
Rangga Sutatama akan melakukan satu tindakan yang paling
tercela, justru pada saat ia tidak memperhatikannya. Justru
pada saat ia memandang ujung pedang Ki Rangga Dirgapati
yang menunduk itu. Pisau itu ternyata sempat juga menancap di lengannya.
Sehingga terdengar Rahu mengeluh tertahan.
Dengan serta merta Kiai Kanthi telah meloncat
mendekatinya diikuti oleh Jlitheng dan Ki Ajar Cinde Kuning
yang cacat itu. "Gila" geram Rahu. Namun sementara itu Ki Ajar telah
menenangkannya, sementara Jlitheng telah mencabut pisau
itu atas persetujuan Rahu.
Rahu menyeringai menahan sakit. Sementara Ki Rangga
Sutatama menggeram "Anak iblis. Kau harus mati sebelum
kau dengan licik membunuh Ki Rangga Dirgapati"
Namun dalam pada itu, tanpa menghiraukan darah yang
mengalir di lengannya, Rahu telah melangkah lagi mendekati
Ki Rangga Dirgapati sambil berkata lantang "Aku memang
bukan orang terkenal seperti Ki Rangga Sutatama. Mungkin
kau tidak akan mengenal aku Ki Rangga Dirgapati. Namun
adalah kebetulan sekali bahwa Ki Rangga Sutatama mengenal
aku. Tetapi aku bersukur bahwa tidak banyak orang yang
mengenalku justru karena tugas sandiku. Tetapi dalam
keadaan terpaksa seperti ini aku akan mengatakan kepada Ki
Rangga, bahwa aku memiliki pertanda akan tugasku"
Ki Rangga Dirgapati mengerutkan keningnya. Ketika Rahu
membuka tangannya, nampaklah sebentuk cincin yang
khusus, yang menjadi ciri tugas sandinya, yang hanya dikenal
oleh beberapa orang Senapati terpenting di Demak.
"Apakah Ki Rangga Dirgapati termasuk salah seorang
Senapati yang mengenal pertanda ini?" bertanya Rahu
kemudian. Ki Rangga Dirgapati memandang cincin di jari Rahu.
Agaknya dalam sikapnya sehari-hari, Rahu telah meletakkan
pertanda pada cincinnya itu justru di bagian dalam, sehingga
yang nampak pada bagian luarnya, seolah-olah ia memakai
cincin sigar penjalin. Pangeran Sena Wasesapun tertarik pada cincin di jari Rahu
itu. Setelah beberapa lama Rahu bersamanya, namun Rahu
tidak pernah menampakkan ciri tugas sandinya. Apalagi
kepada orang-orang lain. Jlitheng tidak terlalu tertarik dan heran melihat pertanda
itu. Meskipun ia belum pernah melihat pertanda yang melekat
pada cincin itu dan justru diletakkan di bagian dalam
tangannya, namun Jlitheng sudah tahu pasti, siapakah Rahu
itu. Namun dalam pada itu, terdengar Ki Rangga Sutatama itu
berkata "Nah. bukankah orang itu benar-benar telah bersiap
untuk mengelabui setiap petugas yang berhasil mencium
rencana buruknya" Ki Rangga Dirgapati. Ia juga telah
menunjukkan cincin itu kepadaku. Tetapi aku tidak
mempercayainya. Bahkan mungkin sekali kematian petugas
sandi yang berasal dari lingkungan pasukanku itu, adalah
karena pokalnya, dan cincin itu telah dirampasnya dan
dipakainya. Jika tidak demikian maka membuat cincin serupa
itu bukan terlalu sulit bagi seorang ahli perhiasan"
"Kau memang licik" geram Rahu "Tetapi masih ada satu hal
yang dapat memperkuat pernyataanku ini. Kau tidak
membawa pertanda apapun. Lihat, pasukan Ki Rangga
Dirgapati ditandai dengan sebuah tunggul dari pasukan
berkuda. Nah, tunggul apa yang kau bawa sekarang ini jika
kau benar-benar sedang dalam tugas kerajaan dengan
membawa pasukan sebanyak itu?"
Wajah Ki Rangga Sutatama menjadi merah. Namun
sebelum ia menjawab terdengar Ki Rangga Dirgapati berkata
"Ternyata aku tidak mengenal kau. Tetapi cincin di tanganmu
telah membuat aku yakin akan tugasmu. Adalah tidak mustahil
bahwa seorang petugas sandi tidak dikenal oleh orang lain
yang tidak berhubungan langsung dengan tugasnya. Tetapi
pertanda yang kau bawa itu menyatakan tentang dirimu.
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu banyak berbincang tentang
Ki Rangga Sutatama. Yang aku ketahui tentang Ki Rangga
adalah keterbatasan tugas-tugas yang dapat dilaksanakan.
Karena itu. akupun semula merasa heran, bahwa ia berada
disini mengemban tugas yang berat itu. Namun sebenarnyalah
bahwa aku mendapat perintah untuk melacak peristiwa yang
terjadi di Lumban Untuk membukt ikan berita tentang peristiwa
yang menggemparkan yang terjadi antara kelompok-kelompok
yang sedang bersaing dalam ketamakannya. Diantaranya
adalah Sanggar Gading. Kendali Putih dan Pusparuri,
disamping pihak orang-orang Lumban sendiri"
"Aku pernah berada dilingkungan orang-orang Sanggar
Gading" berkata Rahu "Anak muda yang bernama Jlitheng
inipun pernah berada di lingkungan Sanggar Gading pula.
Tetapi kami memasuki padepokan itu atas dasar tugas-tugas
kami" "Omong kosong" teriak Ki Rangga Sutatama "semuanya
omong kosong Kalian tidak, tahu apa-apa tentang tugastugasku"
Namun Ki Rangga Dirgapati menjawab dengan jelas dan
pasti "Ki Rangga Sutatama. Aku percaya bahwa Ki Rangga
masih seorang prajurit. Tetapi aku tidak percaya bahwa Ki
Rangga mendapat tugas untuk menangani masalah orangorang
Sanggar Gading atau persoalan yang timbul di daerah
Lumban" Wajah Ki Rangga Sutatama menjadi semakin merah.
Tubuhnya menjadi bergetar menahan kemarahan yang
bergejolak di dalam dadanya. Namun ia tidak dapat
mengabaikan kenyataan, bahwa ia sudah tidak mempunyai
kekuatan lagi untuk melawan. Jangankan pasukan Demak
yang kemudian datang, sedangkan untuk melawan Pangeran
Sena Wasesa dan orang-orang yang menyatakan diri mereka
telah membantu Pangeran Sena Wasesa itupun ia telah
mengalami kesulitan. Tetapi ternyata bahwa Ki Rangga Sutatama bukan orang
yang mudah mengalah. Karena itu, dengan jantung yang
bergelora ia berkata lantang "Baiklah. Ternyata aku
menghadapi orang-orang licik dan pengkhianat. Ki Rangga
Dirgapati, apakah kau juga termasuk orang-orang yang
memburu harta benda itu dengan kedok tugas-tugas
keprajuritanmu" Jika demikian, biarlah aku mempertahankan
hak kerajaan yang seharusnya kembali kepada Demak. Karena
itu, maka marilah kita buktikan, siapa diantara kita yang
benar-benar mendapat tugas dari Panglima pasukan Demak
untuk mengusut peristiwa yang terjadi di Lumban. Marilah kita
buktikan, siapakah diantara kita berdua prajurit linuwih yang
pantas menjunjung perintah Sultan"
"Apa maksudmu Ki Rangga Sutatama?" berkata Kl Rangga
Dirgapati. "Kita buktikan dengan perang tanding" jawab Ki Rangga
Sutatama. "Sikap yang paling bodoh bagi seorang yang sedang
mengemban tugas jika aku menerima tantangan itu. Kita tidak
mempunyai persoalan pribadi. Jika persoalannya adalah
persoalan Dirgapati dan Sutatama, apaboleh buat. Tetapi
sekarang aku mengemban tugas untuk menyelesaikan
persoalan yang terjadi di Lumban. Namun karena aku
sekarang langsung menghadapi persoalan yang tidak dapat
aku abaikan, maka persoalan inipun akan aku tangani pula"
jawab Ki Rangga Dirgapati
"Licik, Pengecut" teriak Ki Rangga Sutatama "Kau tidak
berhak berbuat seperti itu"
"Ki Rangga Sutatama" berkata Ki Rangga Dirgapati "Aku
terpaksa menangkap Ki Rangga dan para pengikut Ki Rangga,
apakah mereka benar-benar prajurit Demak atau bukan.
Persoalan berikutnya adalah bukan persoalanku. Ada orangTiraikasih
orang yang akan memeriksa Ki Rangga dan memberikan
penyelesaian" "Tidak" geram Ki Rangga "Aku lebih baik mati terkapar
disini dari pada menjadi tangkapan sekelompok penjahat yang
licik seperti kalian. Baru sekarang aku percaya bahwa
kelompok orang-orang Sanggar Gading benar-benar telah
menyusup diantara para Senapati Demak"
"Kau masih mengatakan sesuatu yang tidak berarti apa-apa
Ki Rangga" potong Ki Rangga Dirgapati "Jangan mengigau
seperti itu. Kau tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya. Karena
itu menyerahlah" "Ki Rangga" berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku menjadi
saksi. Jika kau menyerah, maka kau tentu masih akan
mendapat kesempatan"
"Tidak" teriak Ki Rangga Sutatama lantang.
Suasana menjadi semakin tegang. Ki Rangga Sutatama
benar-benar tidak mau menyerah. Ia menyadari, apa yang
akan dihadapinya jika ia menyerah, karena satu dua orang
pengikutnya yang tentu akan menyerah juga, akan dapat
mengatakan apa yang sedang mereka kerjakan itu.
Karena itu, maka dengan tekad yang bulat, Ki Rangga
Sutatama akan bertempur sampai kemungkinan yang terakhir.
"Jangan keras kepala Ki Rangga Sutatama" berkata Ki
Dirgapati kemudian "Kau seorang prajurit seperti aku. Karena
itu kau tahu, apa yang akan aku lakukan menghadapi orang
seperti kau" "Persetan" jawab Ki Rangga Sutatama "J ika aku menyerah,
maka akupun akan di gantung di alun-alun. Lebih baik aku
mati disini dari pada mati menjadi pengeram-eram.
Ki Rangga Dirgapati menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun berkata "Baiklah. Aku akan memerintahkan
para prajurit untuk menangkap Ki Rangga. Hidup atau mati"
"Ayo. Jatuhkan perintah itu. Senapati yang licik" Aku
menantang kau perang tanding, tetapi kau memilih cara yang
paling buruk yang dapat dilakukan oleh seorang Senapati"
berkata Ki Rangga Sutatama lantang.
"Ki Rangga Dirgapati" berkata Rahu "Sudah waktunya
untuk menjatuhkan perintah"
Ki Rangga Sutatama menggeretakkan giginya. Dengan
garang ia bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk
yang akan dapat terjadi atas dirinya.
"Aku akan bertanggung jawab" geram Ki Rangga Sutatama
"sampai batas kematian"
Tetapi sebelum Ki Rangga Dirgapati menjatuhkan perintah,
Pangeran Sena Wasesa berkata "Persoalan yang timbul disini
adalah persoalan antara aku dan Ki Rangga Sutatama. Aiku
akan menerima jika ia menantang aku berperang tanding
sehingga kita masing-masing akan dapat menyatakan bahwa
kita telah menyelesaikan persoalan diantara kita dengan
jantan" "Itu adalah sekedar gejolak perasaan Pangeran" potong
Rahu "perang tanding semacam itu sama sekali tidak perlu.
Kita semua menghadapi sekelompok perampok yang dengan
tamak ingn menguasai pusaka dan harta benda kerjaan bagi
kepentingan diri mereka sendiri. Itu sudah cukup alasan untuk
melakukan tindakan yang tegas bagi mereka"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun sementara itu, Ki Rangga Dirgapati telah mengangkat
senjatanya sebagai isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk
bertindak. Dalam pada itu, Ki Rangga Sutatamapun kemudian
berteriak nyaring "Bunuh mereka semua. Jangan beri ampun
kepada seorangpun diantara mereka"
Dengan garangnya Ki Rangga Sutatama telah siap meloncat
menghadapi Ki Rangga Dirgapati yang masih berada di
punggung kudanya. Sementara para prajuritnya telah
bergerak semakin maju beberapa langkah.
Namun dalam pada itu, tidak seorangpun pengikut Ki
Rangga Sutatama yang bergerak melakukan perintahnya.
Semua pengikutnya masih tetap berdiri termangu-mangu
dengan senjata yang tunduk di tangan.
Ki Rangga Sutatama tertegun melihat sikap para
pengikutnya. Sekali lagi ia berteriak dengan kemarahan yang
memuncak. Tetapi ternyata bahwa para pengikutnya yang melihat
kenyataan yang akan mereka hadapi lebih baik memilih
meletakkan senjata mereka daripada melakukan perintah Ki
Rangga Sutatama. "Cepat" teriak Ki Rangga Sutatama "kalian tidak perlu lagi
berbelas kasihan" Tetapi para pengikutnya masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. Kemarahan Ki Rangga Sutatama tidak lagi dapat
dikendalikan. Gelora didadanya rasa-rasanya akan
memecahkan jantungnya. Oleh kemarahan dan putus-asa, maka Ki Rangga Sutatama
telah mengambil satu sikap yang mengejutkan. Yang. tidak
terduga sama sekali. Dengan loncatan panjang, tiba-tiba saja
Ki Rangga Sutatama telah menyerang Pangeran Sena Wasesa
yang berdiri termangu-mangu.
Pangeran Sena Wasesa terkejut. Untunglah bahwa ia masih
sempat mengelak. Namun ternyata bahwa Ki Rangga yang
putus asa itu telah memburunya sambil berteriak lantang
kepada para pengikutnya "Jangan menjadi pengecut. Cepat,
bergeraklah" Teriakan itu ada juga pengaruhnya. Namun ternyata bahwa
orang-orang yang menyebut diri mereka penolong Pangeran
Sena Wasesa itupun telah bergerak pula. Sementara para
prajurit Demakpun mengepung semakin rapat,
Karena itu, maka merekapun telah mengurungkan segala
niat untuk meneruskan peperangan. Mereka sudah benarbenar
kehilangan kemauan untuk bertempur, karena dengan
demikian mereka t idak akan mempunyai harapan apapun lagi.
Karena itu, maka tidak seorangpun yang menolak perintah
yang kemudian diteriakkan oleh Ki Rangga Dirgapati "Semua
meletakkan senjatanya"
Para pengikut Ki Rangga sutatama itupun telah melepaskan
senjata mereka. Beberapa orang prajurit Demak itupun telah
meloncat turun dari kuda mereka.
Ki Rangga Dirgapati sendiri juga turun dari kudanya.
Namun ia tidak segera dapat bertindak. Pertempuran antara Ki
Rangga Sutatama dan Pangeran Sena Wasesapun menjadi
semakin seru.

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemarahan dan dendam Ki Rangga telah ter salur dalam
gerak dan teriakan-teriakan yang kasar.
Keduanya telah bertempur dengan segenap kemampuan. Ki
Rangga meloncat-loncat dengan garangnya. Senjata pendek di
tanganinya menyambar-nyambar dengan cepat. Namun sekalisekali
mematuk mendebarkan. Tetapi ujung senjata itu setiap kali membentur telapak
tangan Pangeran Sena Wasesa yang di alasi dengan sekeping
baja. Bahkan ketika Pangeran Sena Wasesa telah sampai
kepuncak ilmunya, maka keping baja itu tidak saja menahan
serangan senjata Ki Rangga Sutatama, namun sekali-sekali
telah menyentuh pergelangan tangan Ki Rangga yang
menggenggam senjatanya itu.
Ki Rangga Dirgapati tidak segera bertindak. Para
prajuritnya telah mengumpulkan orang-orang yang menyerah.
Namun ternyata tidak seorangpun yang mengganggu
pertempuran yang sedang berlangsung itu.
Dengan demikian, seolah-olah memang telah terjadi perang
tanding. Ki Rangga Sutatama benar-benar ingin membunuh
Pangeran Sena Wasesa. Pangeran itu sudah tidak ada artinya
lagi baginya. Ia tidak akan dapat menangkapkan hidup-hidup
dan apalagi memeras keterangan dari padanya tentang
pusaka dan harta benda yang tidak ternilai harganya itu,
karena Ki Rangga Dirgapati dan prajurit-prajuritnya sudah
menunggu. Karena itu, maka satu-satunya kepuasan yang dapat
dicapainya sebelum ia digantung di alun-alun adalah
membunuh Pangeran itu. Tetapi Pangeran Sena Wasesa benar-benar sudah siap
menghadapi lawannya yang kehilangan segala harapan. Jika
semula Pangeran Sena Wasesa masih berharap untuk dapat
menundukkan lawannya tanpa membunuhnya, maka ketika
pertempuran menjadi semakin seru dan keras. Pangeran itu
tidak mendapat banyak kesempatan untuk terlalu banyak
mengekang diri. Karena itu, maka akhirnya Pangeran Sena Wasesa telah
benar-benar sampai ke puncak kemampuannya.
Ketika senjata Ki Rangga mematuk leher Pangeran Sena
Wasesa, maka dengan tangkasnya Pangeran itu memukul
tajam senjata lawannya kesamping, sekaligus meloncat dan
menyerang dengan kakinya. Tetapi Ki Ranggapun cepat
menghindar. Ia berputar d atas sebelah kakinya, sementara
kakinya yang lain terayun menyambar Pangeran Sena Wasesa
yang tidak berhasil mengenai lawannya. Namun tangan
Pangeran Sena Wasesa dengan cepat melindungi lambungnya.
Ki Rangga menyadari, jika kakinya tersentuh keping baja di
telapak tangan lawannya, maka kulit daging kakinya tentu
akan terkelupas. Karena itu, maka iapun segera menarik
kakinya. Namun dengan satu putaran senjatanyalah yang
terayun mengarah ke dada.
Pangeran Sena Wasesa surut selangkah. Tetapi Ki Rangga
tidak sempat memburunya, karena Pangeran itupun segera
meloncat maju. Ki Rangga Dirgapati menahan nafasnya. Yang dilihatnya
adalah pertempuran yang cepat dan mendebankan. Semakin
lama semakin seru. Apalagi ketika keduanya telah
menghentakkan segala kemampuan atas kekuatan segenap
tenaga cadangan yang ada.
Kekuatan mereka sudah bukan lagi kekuatan orang
kebanyakan. Dorongan tangan mereka bagaikan dorongan air
bah menghantam bendugan Sementara kekuatan ayunan
serangan mereka, bagaikan guguran batu di lereng
pegunungan. "Luar biasa" berkata Ki Rangga Dirgapati di dalam hati
"Sebenarnyalah Ki Rangga Sutatama memiliki kemampuan
diatas dugaanku. Seandainya aku membiarkan gejolak
perasaanku, maka aku tentu akan melayani tantangannya
untuk berperang tanding. Dengan jujur aku harus mengakui,
bahwa kemampunya melampaui kemampuanku secara pribadi.
Namun agaknya ia telah terbentur pada kemampuan yang
tidak dapat dilampauinya. Bahkan setiap kali Ki Rangga
mengumpat jika terasa tangannya tersentuh keping baja di
telapak tangan Pangeran Sena Wasesa.
Dalam pada itu, Ki Ajar Cinde Kuning, Kiai Kanthi dan
orang-orang yang bersamanya termangu-mangu menyaksikan
pertempuran yang seru itu.
Namun dalam pada itu, ketajaman penglihatan mereka
telah membuat mereka agak tenang. Jika Pangeran Sena
Wasesa tidak melakukan kesalahan, maka ia tentu akan dapat
menyelesaikan pertempur itu. Meskipun keduanya tidak terikat
dalam perang tanding, sehingga tidak ada hambatan apapun
seandainya satu atau dua orang melibatkan diri dalam
pertempuran itu. Namun agaknya Pangeran Sena Wasesa
yang merasa dirinya seorang prajurit sebagaimana Ki Rangga
Sutatama akan merasa tersinggung karenanya.
Dengan demikian, maka orang-orang yang sejak semula
telah membantunya itu hanya dapat menyaksikan
pertempuran itu dengan berdebar-debar.
Tetapi Ki Rangga Dirgapati agaknya bersikap lain. Ia ingin
persoalan itu cepat selesai. Karena itu, maka iapun telah
melangkah mendekati arena dengan pedang teracu.
"Jangan ganggu kami" geramPangeran Sena Wasesa.
"Aku tidak mempunyai banyak waktu Pangeran" jawab Ki
Rangga Dirgapati "Aku akan melakukan tugasku sebaikbaiknya
dengan waktu yang paling singkat yang dapat aku
lakukan" "Aku akan menyelesaikannya" sahut Pangeran Sena
Wasesa. "Tidak ada waktu untuk membiarkan perasaan Pangeran
meronta dalam kenyataan waktu yang terlalu sempit ini"
jawab Ki Rangga Dirgapati.
"Marilah Pengecut" teriak Ki Rangga Sutatama "siapa yang
ingin bertempur bersama Pangeran Sena Wasesa, cepat
memasuki arena. Aku akan membunuh kalian seorang demi
seorang" Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Tetapi ia memang
ingin menyelesaikan pertempuran itu sendiri
Karena itu, maka sebenarnyalah Pangeran Sena Wasesa
telah memutuskan segala daya nalar dan budinya, perasaan
dan pikir, serta segenap ilmu yang ada pada dirinya. Karena
itu, maka hentakkan kemampuannya menjadi semakin
dahsyat. Pada saat-saat terakhir, serangannya bagaikan amuk
gemuruhnya badai yang paling dahsyat.
Ki Rangga Dirgapati terkejut. Justru ia bergeser surut ketika
keduanya terlibat dalampertempuran yang semakin dahsyat.
Namun dalam pada itu, sebelum Ki Rangga Dirgapati dan
prajurit-prajuritnya sempat berbuat sesuatu, maka Pangeran
Sena Wasesa tidak lagi hanya sekedar menyentuh tubuh
lawannya, tetapi ia benar-benar mulai menghantam lawannya
dengan keping-keping baja di telapak tangannya.
Demikianlah keduanya terlibat dalam benturan berjarak
pendek. Bagaimanapun juga, Ki Rangga tidak akan
menyerahkan dirinya menjadi sasaran hentakkan ilmu
Pangeran Sena Wasesa. Karena itu dalam saat-saat terakhir,
senjatanyapun bergerak dengan cepatnya.
Tetapi, ternyata bahwa Ki Rangga tidak lagi mampu
mengatasi kecepatan gerak Pangeran Sena Wasesa. Dalam
keadaan yang paling sulit, Pangeran Sena Wasesa
menyerangnya sambil mengayunkan telapak tangannya
mengarah ke kening. Ki Rangga masih sempat mengelak. Namun semangan
berikutnya telah memburunya tanpa dapat dihindarinya.
Sebuah ayunan tangan Pangeran Sena Wasesa yang
dilambari dengan kepingan baja pilihan itu telah menyambar
kepala Ki Rangga Sutatama. Demikian kerasnya sehingga Ki
Rangga tidak mampu menahan keseimbangannya. Dengan
kerasnya Ki Rangga itu terpelanting dan jatuh terbanting di
tanah. Ki Rangga berguling beberapa kali. Ia masih mencoba
melenting berdiri. Namun ketika ia berusaha untuk bangkit,
matanya mulai berkunang-kunang. Pandangan matanya
menjadi kabur, sehingga kemudian ternyata ia tidak mampu
lagi untuk tegak. Sekali lagi ia terbanting jatuh dan kehilangan
kesadarannya. Pingsan. Pangeran Sena Wasesa berdiri tegak. Dipandanginya tubuh
Ki Rangga yang terbaring diam. Kemudian dipandanginya pula
Ki Rangga Dirgapati yang termangu-mangu
"Agaknya aku sudah selesa Ki Rangga" berkata Pangeran
Sena Wasesa "Aku kira aku tidak perlu membunuhnya"
"Terima kasih Pangeran" berkata Ki Rangga Dirgapati
"Ternyata Pangeran sudah menyelesaikan persoalan antara
Pangeran dengan Ki Rangga Sutatama"
"Semuanya terserah kepada Ki Rangga" berkata Pangeran
Sena Wasesa itu kemudian.
"Tetapi aku mohon maaf Pangeran, bahwa aku harus
menjalankan tugasku sebaik-baiknya Karena itu, maka aku
mohon Pangeran bersedia bersama dengan kami untuk
menghadap ke Demak sesudah aku melihat perkembangan
keadaan di Lumban" berkata Ki Rangga Dirgapati.
"Tidak ada lagi masalah di Lumban" berkata Pangeran Sena
Wasesa "Yang ada disana adalah beberapa orang tawanan.
Seorang diantaranya yang disebut Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading yang selama ini telah memimpin Sanggar
Gading. Jika kau sependapat, maka kau akan dapat
memerintahkan sebagian orang-orangmu untuk menjemput
orang-orang yang tertawan itu. Sebagian lain bersama-sama
dengan kami menghadap Sultan di Demak. Dengan atau tanpa
Ki Rangga, aku memang ingin menghadap. Diantaranya juga
akan memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di
Lumban yang barangkali sudah didengar pula oleh kalangan
istana" Ki Rangga Dirgapati termangu-mangu sejenak. Ada
semacam keragu-raguan memancar di sorot matanya.
Pangeran Sena Wasesa seolah-olah telah melihat keraguraguan
itu. Karena itu, maka katanya "Jika kau tidak percaya
sepenuhnya kepadaku Ki Rangga, maka marilah kita lebih
dahulu menghadap Kangjeng Sultan. Baru kemudian kau pergi
ke Lumban. Jika kau ingin pergi ke Lumban lebih dahulu, maaf
aku tidak dapat mengikutimu. Aku akan pergi ke Demak tanpa
Ki Rangga. Aku akan pergi bersama-sama orang-orang yang
telah menolongku dan terlibat ke dalam peristiwa yang rumit
ini" Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Tetapi aku mendapat perintah untuk melihat keadaan di
Lumban. Itu adalah tugasku yang pertama. Namun demikian
aku tidak dapat menyingkir dari keterlibat persoalan yang aku
hadapi disini, karena aku yakin, bahwa persoalan inipun tidak
terlepas sama sekali dari peristwa-peristiwa yang telah terjadi
di Lumban. Pangeran Sena Wasesa memandang Ki Rangga dengan
tajamnya. Namun kemudian Katanya "Terserah kepadamu.
Jika kau akan melakukan tugasmu yang pertama, lakukanlah,
itu memang tugasmu yang utama. Tetapi jangan melibatkan
aku. Pergilah dengan prajurit-prajuritmu. Aku tidak
mempunyai banyak waktu. Aku harus segera menghadap
Sultan, sebelum Sultan mendapat keterangan yang salah dan
memutuskan bahwa akupun bersalah"
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia sedang
membuat pertimbangan di dalam dirinya sebelum mengambil
satu keputusan. Jlitheng menjadi tegang membeku, sementara Rahu
menjadi bimbang. Ia mengerti sikap Ki Rangga Dirgapati
sebagai seorang Senapati. Tetapi iapun mengerti sikap
Pangeran Sena Wasesa. Pangeran Sena Wasesa tidak mau
terlambat. Jika Sultan mendapat keterangan, entah dari
siapapun datangnya, yang menyebut pengakuan Pangeran
Sena Wasesa, bahwa ia sudah mengembalikan pusaka dan
harta benda yang telah diselamatkan dari Majapahit itu ke
kraton, maka Sultan tentu akan mengambil sikap khusus
terhadapnya. Karena sebenarnyalah bahwa semuanya itu
masih belumdiserahkannya.
Jika semula, Pangeran itu benar-benar hendak memilikinya
sendiri, yang sudah tentu dengan rencana-rencananya yang
akan dapat dihadapkan kepada segala kemungkinan, termasuk
kemarahan Sultan, namun akhirnya ia telah menemukan satu
sikap yang benar-benar berlandaskan sikap seorang kesatria,
yang mementingkan kepentingan yang lebih besar dari
kepentingan pribadinya. Namun akhirnya Rahu itu menarik nafas dalam-dalam
ketika ia mendengar Ki Rangga Dirgapati berkata "Baiklah
Pangeran. Aku akan kembali ke Demak bersama Pangeran,
sebelum aku akan pergi ke Lumban"
"Baiklah. Kita akan pergi bersaam-sama ke Demak. Tetapi
aku bukan tawananmu" sahut Pangeran Sena Wasesa.
Ki Rangga mengangguk kecil sambil menjawab "Aku t idak
pernah menganggap bahwa Pangeran adalah tawananku"
"Orang-orang itulah yang menjadi tawananmu" berkata
Pangeran itu selanjutnya.
Demikianlah, Ki Rangga Dirgapatipun segera
memerintahkan para prajuritnya untuk mengurus para
tawanan. Mereka yang terluka dan tidak lagi dapat
meneruskan perjalanan ke Demak, harus mendapat perawatan
tersendiri. Dengan kuda-kuda mereka yang semula terlindung, maka
orang-orang yang berpakaian prajurit Demak itu akan
mengikut Ki Rangga Dirgapati sebagai tawanan sambil
membawa kawan-kawan mereka. Sedangkan yang terbunuh di
medan itu telah mereka kuburkan.
Dalam pada itu, Ki Rangga Sutatama menyadari dirinya
ketika tangannya telah terikat dengan janget ganda tiga.
Seandainya ia dapat memutuskan tali itu, namun ia tidak akan
dapat melepaskan diri dari tangan Ki Rangga Dirgapati dengan
para prajuritnya. Apalagi bersama mereka adalah Pangeran
Sena Wasesa dan orang-orang yang dikatakan pernah
menolongnya. Sejenak kemudian, setelah segalanya siap, maka sebuah
iring-iringan telah berangkat menuju ke Kota Raja Demak.
Dalam iring-iringan yang membawa pertanda tunggul
kesatuan pasukan berkuda Demak, maka iring-iringan itu tidak
menemui hambatan apapun juga memasuki kota raja.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun Pangeran Sena Wasesa harus menunggu sehari,
namun akhirnya iapun telah diterima oleh Kangjeng Sultan
bersama dengan orang-orang yang disebutnya telah
menolongnya dalam keadaan yang paling sulit. Tidak
seorangpun yang diharuskan tinggal sehingga semuanya akan
berkesempatan untuk menjadi saksi. Termasuk Ki Rangga
Dirgapati sendiri. Dengan kepala tunduk, Pangeran Sena Wasesa
menyampaikan seluruh persoalannya dari permulaan sampai
ia berkesempatan menghadap Kangjeng Sultan di Demak.
Kangjeng Sultan mendengarkannya dengan tegang. Sekalisekali
ia mengangguk-angguk. Namun kadang-kadang
keningnya berkerut merut.
"Hamba memang merasa berdosa" berkata Pangeran Sena
Wasesa "Jika sejak pertama hal ini hamba sampaikan kepada
Adimas Sultan, maka persoalannya tidak akan berke
panjangan" berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian.
"Jadi kakangmas Pangeran telah melihat kesalahan itu?"
Pantang Berdendam 1 If I Stay Karya Gayle Forman Misteri Lukisan Tengkorak 2

Cari Blog Ini