Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 26

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26


Rara Wulan mengangguk-angguk.
Kedatangan keduanya dipadepokan Orang Bercambuk tidak mengejutkan Ki Widura, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga telah berada di padepokan itu.
Ternyata mereka bertiga juga telah melepaskan jejak Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu di sepanjang jalan.
"Kami terpaksa berkelahi di sebuah kedai," berkata Ki Jayaraga, "seseorang telah mencerca bersatunya kembali sepasang tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Mencerca bagaimana?"
"Mereka menganggap bahwa manunggalnya kedua tongkat pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu hanya akan menimbulkan kekacauan saja."
"Aku menjadi marah. Sebagai seorang pengikut dari perguruan Kedung Jati yang setia, maka aku tantang orang itu berkelahi."
"Luar biasa. Pengabdian Ki Jayaraga tidak akan dilupakan oleh Ki Saba Lintang."
"Ternyata orang itu-pun mengatakan, bahwa manunggalnya sepasang tongkat baja putih itu sekarang sudah pecah lagi."
"Kenapa?" "Menurut orang itu, sekarang Ki Saba Lintang hanya berkeliaran seorang diri lagi."
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang sejenak. Dengan nada datar Rara Wulan-pun berkata, "Tentu ada orang Perguruan Kedung Jati yang menyusup kedalam istana Mataram. Bahkan mungkin orang itu telah berhasil mencapai tataran kepemimpinan yang berarti. Orang itu tentu telah memberitahukan bahwa mbokayu Sekar Mirah berada di Mataram."
"Nampaknya memang begitu, Rara," sahut Ki Widura, "karena itu maka permainan yang kalian lakukan adalah permainan yang baik sekali. Kalian harus berterima kasih kepada Ki Patih dengan gagasannya itu."
"Ya, ayah," desis Rara Wulan.
Sementara itu. Ki Jayaraga berkata, "Tetapi aku sudah membantah berita itu. Aku katakan, bahwa baru saja aku bersama Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
Yang mendengarnya tertawa berbareng. Ki Citra Jati-pun menyambung, "Ki Jayaraga memukuli lawannya sampai giginya terlepas dua buah."
"Sebagai seorang pengikut dari perguruan Kedung Jati, aku harus bertindak tegas. Tidak ada orang yang boleh merendahkan perguruanku. Apalagi mencela dan menghina pemimpinku."
Rara Wulan tertawa berkepanjangan. Sementara itu Ki Jayaraga-pun meneruskan, "Nampaknya mereka percaya, bahwa aku baru saja berpisah dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Kenapa Ki Jayaraga dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka mempercayainya ?"
"Seorang yang lain telah bertanya, apakah desas-desus tentang keberadaan Nyi Lurah Agung Sedayu di Mataram itu benar."
"Apakah jawab Ki Jayaraga ?" bertanya Rara Wulan.
"Bohong," aku berteriak seperti orang kesurupan, "Nyi Lurah Agung Sedayu masih tetap bersama Ki Saba Lintang. Dongeng tentang Nyi Lurah Agung Sedayu yang berada di Mataram itu telah ditebarkan dengan sengaja oleh orang-orang Mataram yang kebingungan menghadapi kenyataan bersatunya sepasang tongkat baja putih dari perguruan Kedung Jati yang merupakan pertanda, akan bangkitnya kembali kekuatan yang merupakan jalur yang sebenarnya dari alur kekuasaan yang bersumber dari Demak."
Rara Wulan tertawa semakin panjang, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia senang mendengar ceritera Ki Jayaraga yang berhasil mengelabuhi beberapa orang yang ditemuinya di perjalanannya.
Malam itu mereka semuanya bermalam di padepokan Orang Bercambuk. Baru di pagi hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan menemui Ki Untara dan menceriterakan tentang tugas yang diembannya.
"Aku akan berkeliaran-bersama dengan tiga orang yang sudah memasuki usia lanjut. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yang telah memberikan warisan ilmu kepadaku dan kepada Rara Wulan, kakang."
"Baiklah," berkata Untara, "aku akan memerintahkan bahwa prajurit-prajurit hanya dapat memantau berita tentang ke beradaan Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang tanpa mengambil tindakan apa-apa. Segala sesuatunya akan ditangani langsung dari Mataram."
"Terima kasih, kakang. Dengan demikian tidak akan timbul salah paham."
"Tetapi berhati-hatilah dengan permainanmu itu, Glagah Putih. Permainan itu sangat menarik. Tetapi berbahaya. Kau akan menjadi mendengar menjadi berdebar-debar."
"Apa yang akan mereka lakukan ?" bertanya yang orang yang menaruh perhatian atas kehadiran kedunya.
Akhirnya, para prajurit Mataram yang berada di Ganjur-pun telah mendengar pula. Sanak kadang mereka yang-pun yang bersikap aneh dengan pernyataan yang aneh pula.
Ternyata para pemimpin di Ganjur telah memberikan laporan tentang desas-desus itu kepada para pemimpin di Mataram.
"Jadi, Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu berada di Selatan pula ?"
"Mungkin mereka hanya lewat, karena kemudian mereka tidak terlihat lagi di Gumulan dan sekitarnya."
Sementara itu, para petugas sandi pula telah memberikan laporan yang berbeda dengan laporan mereka beberapa hari yang lalu.
"Ternyata Nyi Lurah Agung Sedayu masih saja berkeliaran bersama Ki Saba Lintang."
"Omong kosong," bentak seorang Rangga yang berwajah garang dan berkumis lebat.
Ki Tumenggung Wiradilaga akhirnya memanggil beberapa orang petugas sandi. Ki Tumenggung ingin mendengar laporan yang sebenarnya yang berhasil di pantau oleh para petugas sandi itu.
"Jika kalian berbohong, maka kalian akan digantung di Alun-alun," geram Ki Rangga Dipasana yang berkumis lebat itu, yang sempat ikut dalam pembicaraan antara Ki Tumenggung Wiradilaga dengan para petugas sandi.
"Setidak-tidaknya aku jadi berbohong," berkata seorang Lurah prajurit yang menjadi salah seorang petugas sandi, "aku sendiri bertemu dengan dua orang yang menyebut dirinya Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi aku tidak sempat menemuinya langsung. Apalagi berbicara. Tetapi aku melihat keduanya berkuda bersama dengan tiga orang yang sudah agak tua. Seorang diantara mereka adalah perempuan. Ketiganya adalah pengikut-pengikut Ki Saba Lintang."
"Aku tidak percaya. Mungkin saja Ki Saba Lintang berkeliaran. Tetapi tentu tidak bersama Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Aku yakin, Ki Rangga."
"Apakah kau pernah mengenal Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung?"
"Belum, Ki Rangga."
"Kenapa kau dapat mengatakan, bahwa kedua orang itu Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu ?"
"Orang-orang yang sebelumnya merasa melihat Ki Lurah Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, yang kemudian dikatakan bahwa Nyi Lurah tidak lagi bersama Ki Saba Lintang, juga belum pernah melihat Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi mereka agaknya setelah dipercaya."
"Tetapi sekarang tidak mungkin Nyi lurah Agung Sedayu itu berkeliaran. Nyi Lurah berada disini."
Para petugas sandi itu termangu-mangu. Seorang diantara mereka-pun berkata, "Ada dua kemungkinan. Nyi Lurah Agung Sedayu sekarang ini palsu, atau Nyi Lurah Agung Sedayu itu memang palsu sejak semula."
Wajah Ki Rangga Dipasana menjadi merah. Tetapi ia-pun kemudian menyahut, "Ada orang yang ingin menyelamatkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Ki Tumenggung Wiradilaga termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berdesis, "Atau sebaliknya ada orang yang ingin mencemarkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu."
Telinga Ki Rangga Dipasana bagaikan tersentuh api. Namun sebelum ia menyahut, Ki Tumenggung Wiradilaga itu-pun berkata pula, "Selama ini aku yakin, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu benar-benar telah menyatu dengan Ki Saba Lintang. Semua keterangan dan laporan telah mendukungnya. Tetapi ternyata sekarang ada laporan lain yang menggugurkan keyakinanku itu."
"Belum tentu Ki Tumenggung," sahut Ki Rangga Dipasana, "semua masih harus diteliti kebenarannya."
"Aku akan memimpin sendiri pengamatan atas kebenaran laporan tentang keberadaan Nyi Lurah Agung Sedayu di sekitar Mataram bersama Ki Saba Lintang."
"Semua laporan yang semula aku anggap sebagai satu kebenaran itu sekarang sudah gugur. Seandainya Nyi Lurah Agung Sedayu yang sekarang ini palsu, maka yang terdahulu-pun dapat juga palsu. Setelah beberapa kali aku bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah Agung Sedayu, maka keyakinankupun berubah. Bukan watak Ki Lurah untuk membiarkan isterinya berkeliaran bersama Ki Saba Lintang. Namun yang kemudian ketika isterinya itu pulang, diterimanya dengan baik. Padahal Ki Lurah Agung Sedayu adalah pemimpin Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan menoreh."
"Apakah Ki Tumenggung berpendapat bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu dapat diterima lagi dengan baik oleh Ki lurah Agung Sedayu."
"Ya." "Belum tentu. Ki Tumenggung."
"Siapa yang mengantar Nyi Lurah itu kemari ?"
"Ki Lurah Agung Sedayu."
"Jika Ki Lurah Agung Sedayu mengetahui bahwa isterinya telah pergi untuk beberapa hari serta dikabarkan berkeliaran bersama Ki Saba Lintang, apakah ia akan bersedia mengantar isterinya itu kemari ?"
Wajah Ki Rangga Dipasana menjadi semakin tegang. Sementara Ki Tumenggung berkata selanjutnya, "Aku terlambat menyadari kebodohanku. Kapan-kapan jika Ki Lurah datang kemari, maka aku harus minta maaf kepadanya. Aku terlanjur berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, bahwa aku merasa kasihan kepadanya karena ia tidak percaya bahwa isterinya telah berkeliaran bersama Ki Saba Lintang. Aku mengatakan kepada Ki Lurah, bahwa pada saat ia menyadari kesalahan yang dilakukan, maka semuanya sudah terlambat."
"Jangan terlalu cepat minta maaf, Ki Tumenggung. Aku mohon Ki Tumenggung memerintahkan prajurit Mataram untuk menangkap orang yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu itu."
"Tidak ada gunanya. Buat apa kita harus menangkapnya."
"Kita akan meyakini bahwa perempuan itu bukan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Kau jangan terlalu bodoh. Tanpa menangkap-pun kita tahu, bahwa perempuan itu tentu palsu karena Nyi Lurah ada disini."
"Lewat perempuan itu kita akan dapat menelusuri, apa maksud mereka sebenarnya dengan mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang."
"Kenapa kau baru mengusulkannya sekarang " Kenapa tidak sejak berita tentang perempuan yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu itu berkeliaran bersama orang yang mengaku Ki Saba Lintang " Apakah karena pada waktu itu kau belum berkepentingan ?"
Terasa jantung Ki Rangga Dipasana bagaikan membara. Tetapi Ki Rangga itu justru terdiam.
Sebenarnyalah dari hari ke hari, berita tentang munculnya Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu menjadi semakin meluas. Namun orang-orang Matarampun menjadi yakin, bahwa berita itu sama sekali tidak benar, karena Nyi Lurah yang sebenarnya berada di Mataram.
"Panggil Ki Lurah Agung Sedayu," perintah Ki Patih Mandaraka, "Nyi Lurah jangan terlalu lama berada di Mataram. Ia seorang perempuan yang bersuami. Sudah sepantasnya ia berada di rumahnya bersama suaminya."
"Baik Ki Patih. Aku akan memerintahkan dua orang prajurit untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh," jawab Ki tumenggung Wiradilaga.
Namun dalam pada itu, justru para pengikut Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah menjadi gempar. Usaha mereka untuk mencemarkan nama baik Nyi Lurah Agung Sedayu tidak berhasil. Sebenarnyalah bahwa para pengikut Ki Saba Lintang sudah mencoba untuk bekerja dengan teliti. Mereka sudah memperhitungkan kemungkinan Nyi Lurah akan disimpan di Mataram untuk membuktikan apakah yang berkeliaran itu benar-benar Nyi Lurah Agung Sedayu.
Demikian para pengikut Ki Saba Lintang mendapat keterangan bahwa Nyi Lurah berada di Mataram, maka Nyi Lurah itu-pun tidak pernah muncul lagi bersama Ki Saba Lintang untuk memberikan kesan, bahwa Nyi Lurah berada di Mataram, maka ia tidak dapat lagi berkeliaran.
Namun tiba-tiba ada Nyi Lurah yang lain yang berkeliaran justru bersama Ki Saba Lintang.
Berita tentang Nyi Lurah itu telah memaksa Ki Saba Lintang untuk menyelenggarakan sebuah pertemuan.
Ki Saba Lintang sendiri telah mempimpin pertemuan itu. Penemuan beberapa orang yang dapat dihimpun Ki Saba Lintang pada saat terakhir.
Sebenarnyalah bahwa Ki Saba Lintang, yang cerdik tetapi licik ini mempunyai hubungan yang. Ia memiliki banyak akal untuk membujuk orang-orang berilmu tinggi berpihak kepadanya. Bahkan Ki Saba Lintang masih juga mampu membujuk orang-orang yang kecewa karena pergesran kekuasaan dari Demak ke Pajang dan kemudian dari Pajang ke Mataram. Ki Saba Lintang mampu mengungkit dendam yang sudah terkubur dalam-dalam. Bahkan mengalihkan dendam dari orang tua kepada anak-anaknya dan bahkan kepada cucunya.
"Apa kerja Rangga Dipasana, sehingga ia tidak dapat memberikan keterangan yang lengkap dan benar?" bertanya seorang yang berkumis putih.
"Bukan salah Rangga Dipasana," sahut orang yang lebih muda. Tetapi nampak sangat garang, "ia sudah memberikan keterangan yang benar, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu itu berada di Mataram."
"Kenapa ceritera tentang Nyi Lurah itu menjadi bersimpang siur.
"Ada pihak lain yang ikut campur. Ada orang yang berusaha menyelamatkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Siapa?" "Itulah yang masih harus dicari."
Orang yang berkumis putih itu-pun kemudian menggeram, "Kita tidak dapat menunggu tanpa berbuat apa-apa."
"Kenapa kita tidak turun kelapangan dan memburu perempuan yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu itu."
"Ya," Ki Saba Lintang mengangguk-angguk, "aku sepedapat. Perempuan yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu yang berkeliaran bersama-sama Ki Saba Lintang itu diikuti oleh tiga orang tua. Seorang diantaranya adalah perempuan."
"Dari siapa Ki Saba Lintang mengetahuinya ?"
"Banyak orang yang sempat melihatnya meski-pun mereka itu muncul dan hilang seperti bayangan. Kadang-kadang hanya sekejap mereka hadir di suatu tempat."
"Maksudnya jelas. Untuk menyembunyikan kepalsuan mereka."
"Aku setuju. Tetapi juga untuk menghindari usaha pihak lain menangkap mereka."
"Siapakah yang kau maksud pihak lain ?"
"Mataram." "Selama ini Mataram tidak berbuat apa-apa."
"Ki Rangga Dipasana memang mengusahakannya. Tetapi setelah rencana kita gagal, maka seharusnya Ki Rangga Dipasana mengusahakan agar Mataram memburu dan menangkap mereka, karena Matarampun sudah mengetahui bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu itu adalah hanya sekedar buah permainan. Matarampun tentu mengambil kesimpulan bahwa kepalsuan itu tentu sudah sejak semula."
Namun orang berkumis putih itu-pun berkata pula, "Tetapi Kita akan memburu mereka. Setidak-tidaknya kita akan membawa sejumlah orang sama dengan jumlah mereka atau bahkan lebih banyak."
"Jangan menimbulkan gejolak. Kita harus merunduk mereka seperti seekor harimau merunduk mangsanya."
Sebenarnyalah, bahwa Ki Saba Lintang-pun telah menyusun sebuah kelompok kecil untuk memburu Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang yang palsu itu, dipimpin oleh Ki Saba Lintang sendiri.
Untuk meyakinkan agar mereka berhasil menangkap mereka yang telah mengacaukan rencana mereka itu, Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah membawa serta lima orang disamping lima orang yang berilmu tinggi, yang akan menjadi inti kekuatan kelompok itu.
Namun mereka lebih banyak mempergunakan gelar seekor laba-laba. Mereka menunggu di tempat-tempat yang sering dilewati oleh Ny Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang.
Tetapi tidak selamanya mereka berkeliaran berlima. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang belum dikenal oleh Ki Saba Lintang, Justru sering berdua saja berada di tempat-tempat yang ramai untuk melihat kemungkinan, apakah Glagah Putih dan Rara Wulan perlu muncul atau tidak.
Kehadiran mereka dalam ujud orang kebanyakan itu sama sekali memang tidak menarik perhatian Ki Saba Lintang dan para pengikutnya. Namun justru ketajaman penglihatan kedua orang suami istri itulah yang dapat menangkap isyarat bahwa beberapa orang telah menebar menunggu kehadiran Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang.
"Mereka membawa sekelompok orang, Glagah Putih," berkata Ki Citra Jati yang mencium gelagat di sebuah pasar.
"Mereka masih berada di sana, ayah?"
"Ya." "Baiklah. Aku akan lewat. Aku mohon ayah, ibu dan guru berada di pasar. Mudah-mudahan mereka tidak sempat menghentikan aku berdua."
"Lalu, maksudmu ?"
"Besok kami akan lewat lagi. Tetapi dengan persiapan yang lebih baik."
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga mengerti maksud Glagah Putih. Ia hanya ingin mengikat perhatian orang-orang yang sedang mencari dan ingin menyergap mereka. Sedangkan di hari berikutnya, Glagah Putihlah yang akan menjebak sekelompok orang dan perguruan Kedung Jati itu.
Sebenarnyalah, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga-pun telah mendahului pergi ke pasar. Namun Ki Jayaraga telah memisahkan diri. Ia harus berhati-hati, mengenakan caping bambu yang agak lebar serta memikul beban. Ia berharap bahwa ia tidak dapat dikenali oleh Ki Saba Lintang atau orang-orangnya yang pernah melihatnya.
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian bersiap dengan kuda mereka. Beberapa saat kemudian, setelah menurut perhitungan mereka Ki Citra Jati Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga berada di pasar, keduanya-pun segera meloncat ke punggung kudanya dan melarikan kudanya menuju ke pasar.
"Jika terpaksa terjadi benturan, aku harap ayah, ibu dan guru dapat membantu kita," berkata Glagah Putih.
"Bukankah kita hanya akan lewat saja."
"Mungkin sekali mereka akan memburu kita. Biarlah ayah, ibu, dan guru nanti menghalangi mereka."
"Jika itu terjadi, kita juga harus melibatkan diri."
"Ya. Kita akan melibatkan diri."
Demikianlah maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah mendekati pasar. Seperti seekor laba-laba Ki Saba Lintang telah memasang jaring. Jika orang yang menyebut diri Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu masuk ke dalam jaring mereka, maka Ki Saba Lintang-pun akan segera menerkam mereka.
Tetapi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun segera tanggap. Karena itu, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun telah berdiri di pinggir jalan yang akan dilalui oleh Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, sebelum mereka mendekati pintu gerbang pasar.
Baru beberapa saat kemudian, dua orang penunggang kuda melarikan kuda mereka mendekati pasar yang masih cukup ramai itu.
Namun kedua orang penunggang kuda itu berhenti beberapa puluh langkah dari gerbang pasar.
Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati-pun mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Beri kami uang."
"'Maksud ayah."
"Beri kami uang. Bukankah Ki Saba Lintang seorang yang murah hati."
Glagah Putih-pun segera tanggp. Ketika ia memandang ke pasar, maka dilihatnya orang-orang yang berada di depan pintu gerbang pasar itu memandanginya.
Seperti yang diminta oleh Ki Citra Jati, maka Glagah Putih-pun segera mengambil uang dari kantong ikat pinggangnya dan diberikannya kepada Ki Citra Jati.
"Terima kasih, terima kasih," Ki Citra Jati itu-pun membungkuk-bungkuk. Namun ia-pun kemudian berkata, "Beberapa langkah dari pintu gerbang pasar ada jalan simpang. Ambil jalan simpang itu dan menjauhlah dari pasar. Sekelompok orang dari perguruan Kedung Jati ada di pasar itu. Aku tidak tahu, apakah diantara mereka terdapat Ki Saba Lintang. Sebaiknya kau memang menghindar hari ini. Besok kita dapat membuat persiapan yang lebih baik."
"Baik, ayah," jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, "Kami minta diri ayah dan ibu."
"Hati-hatilah," pesan Nyi Citra Jati.
Demikianlah maka kedua ekor kuda itu-pun berlari lagi ke arah pintu gerbang pasar. Tidak terlalu kencang.
Beberapa langkah dari pintu gerbang memang terdapat jalan simpang. Seperti pesan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah mengambil jalan simpang itu berbelok ke kiri.
Disimpang tiga keduanya berhenti sejenak. Keduanya melambaikan tangan mereka.
Namun Gagah Putih-pun kemudian telah mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya sambil berteriak-teriak, "Ambil uang itu. Besok aku akan kembali lagi."
Kedua orang penunggang kuda itu kemudian telah melarikan kuda mereka menyusuri jalan yang lebih sempit.
Ki Saba Lintang dan orang-orangnya melihat kedua orang itu. Tetapi mereka tidak segera dapat memburunya, bahkan seandainya mereka mempegunakan kuda mereka. Simpang tiga itu-pun segera penuh dengan remaja dan anak-anak muda yang berebut keping-keping uang yang disebarkan oleh orang yang mereka anggap sebagai Ki Saba Lintang serta Nyi Lurah Agung Sedayu itu."
"Orang-orang gila," geram Ki Saba Lintang, "jaraknya terlalu jauh untuk mengenalinya. Tetapi rasa-rasanya aku pernah melihat mereka."
"Bukankah besok mereka akan kemari lagi. Kau dengar orang itu berteriak, besok mereka akan datang lagi."
"Ya besok mereka akan datang lagi."
"Apa yang jadi diberikan kepada laki-laki dan perempuan tua yang berdiri dipinggir jalan itu."
"Uang, tentu uang."
"Aku akan menemuinya," berkata seorang pengikut Ki Saba Lintang.
Ki Saba Lintang mengangguk. Katanya, "Baik. Bertanyalah sesuatu. Mungkin ia mengetahui beberapa hal tentang kedua orang berkuda itu."
Seorang pengikut Ki Saba Lintang itu-pun kemudian telah mendekati Ki Citra Jati yang masih berdiri di pinggir jalan.
"Apa yang jadi diberikan oleh kedua orang berkuda itu kepadamu, kek?"
Ki Citra Jati yang memang sudah tua itu membuat dirinya semakin tua. Sambil tertawa ia-pun menjawab, "Rejeki ngger. Rejeki. Menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu adalah pasangan yang baik hati. Pemurah dan suka memberi kepada siapa saja yang membutuhkan. Aku diberi uang ngger."
Ki Citra Jati-pun kemudian menunjukkan beberapa keping uang yang digenggamnya.
"Bukankah keduanya juga menebarkan uang di simpang tiga itu sehingga anak-anak dan remaja sempat berebutan."
"Apakah kau kenal mereka, kek ?" bertanya pengikut Ki Saba Lintang.
"Tentu. Aku mengenal mereka dengan baik. Akhir-akhir ini hampir setiap hari keduanya melewati jalan ini. Sekali-sekali mereka berkuda terus mengikuti jalan ini. Tetapi tadi aku lihat ia berbelok ke kiri."
"Kemana saja mereka perginya ?"
"Kemana " Tentu aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa ia akan menyebar kemurahan hatinya," Ki Citra Jati berhenti sejenak. Tiba-tiba ia bertanya, "Kau kenal mereka, Ki Sanak ?"
"Aku justru bertanya kepadamu."
"Mereka adalah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Perempuan itu bukan istrinya. Tetapi perempuan itu meninggalkan suaminya."
"Dari siapa kau mengetahui, kek ?"
"Orang-orang sepasar mengatakannya. He, apakah kau tidak pernah mendengarkan mereka berbicara tentang kedua orang itu " Hari ini aku mencobanya. Apakah benar kedua orang itu murah hati. Ternyata ceritera tentang mereka itu benar. Aku diberi uang, Ki Sanak. Anakku sakit. Ia membutuhkan pengobatan."
"Kau pernah bertemu dan melihat Ki Saba Lintang ?"
"Bukankan baru saja aku bertemu."
"Maksudku Ki Saba Lintang yang sebenarnya."
"Yang sebenarnya " Apakah maksud Ki Sanak?"
"Orang tua dungu. Keduanya bukan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya."
"He ?" "Sudahlah. Nikmati uang pemberiannya."
"Aku tidak mengerti, Ki Sanak."
"Bagaimana kau dapat mengerti. Sudahlah. Kehadiran keduanya memang bukan urusanmu."
Pengikut Ki Saba Lintang itu-pun kemudian meninggalkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu di pinggir jalan.
"Mereka tidak mengenali kita, kakang," desis Nyi Citra Jati.
"Maksudmu ?" "Mereka tidak mengenali tiga orang yang sering mengikuti Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu itu."
"Tentu tidak. Para pengikut Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu seperti juga Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, bagaikan bayangan saja. Datang dan menghilang."
"Ya. Tidak banyak orang yang sempat mengenali wajah-wajah mereka."
"Apalagi sekarang kita mengenakan pakaian yang berbeda sekali. Apalagi kau, Nyi."
Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Bukankah kita sudah dapat pergi" Glagah Putih dan Rara Wulan tentu akan segera ke persembunyian kita."
"Dimana Ki Jayaraga sekarang ?"
"Agaknya ia melihat kita yang berada di tempat terbuka ini. Jika kita pergi, maka ia-pun akan segera menyusulnya."
Senenak kemudian, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu-pun berjalan perlahan-lahan, sebagaimana orang-orang tua, menyusuri jalan yang panjang. Semakin lama semakin jauh dari pasar yang menjadi semakin lengang.
Sementara itu, Ki Jayaraga masih tetap berada di pasar. Ia sempat mengamati Ki Saba dan beberapa orang pengikutnya meninggalkan pasar itu. Bahkan Ki Jayaraga itu sempat mendengarkan para pengikut Ki Saba Lintang itu mengatakan, bahwa besok mereka harus lebih mempersiapkan diri lagi, agar kedua orang berkuda itu tidak sempat lolos.
"Tiga orang pengikut mereka sering menyertai mereka," berkata salah seorang dari para pengikut Ki Saba Lintang itu.
Demikian Ki Saba Lintang dan pengikutnya meninggalkan pasar, maka Ki Jayaraga-pun telah pergi pula menyusul Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Beberapa saat kemudian, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga telah berkumpul lagi dengan Glagah Putih dan Rara Wulan di sebuah lekuk yang sempit antara dua buah gumuk kecil. Mereka mulai membicarakan rencana untuk esok pagi menemui Ki Saba Lintang dengan para pengikutnya.
"Jumlah mereka cukup banyak," berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Aku akan menemui Ki Widura di Jati Anom."
"Untuk apa ?" berkata Ki Citra Jati.
"Ada beberapa orang cantrik yang berilmu tinggi. Aku akan minta bantuan mereka esok pagi. Disamping ayah, ibu dan guru, maka aku akan minta sepuluh orang cantrik yang dapat diandalkan. Mereka sudah menguasai landasan ilmu orang bercambuk sebagaimana dikatakan oleh Ki Widura. Meski-pun ilmu itu tidak murni lagi, karena ayah juga memiliki warisan ilmu dari perguruan Ki Sadewa. Dalam saat-saat terakhir ayah telah mematangkan ilmunya yang tidak hanya beralaskan satu sumber saja. Pengalamannya dalam dunia keprajuritan juga memberikan bekal cukup banyak, sehingga ayah berada pada tataran ilmu yang sekarang ini. Dengan demikian, maka murid-murid dari perguruan orang bercambuk itu-pun memiliki bekal yang cukup pula. Meski-pun ilmu yang diturunkan dalam perguruan Orang Bercambuk tidak lagi sebagaimana ilmu itu dalam watak aslinya."
"Jika kau yakin, maka tidak ada keberatannya, Glagah Putih." berkata Ki Jayaraga.
"Biarlah kami berdua, aku dan Rara Wulan pergi ke Jati Anom. Meski-pun sampai jauh malam, aku akan kembali. Aku akan minta para cantrik itu langsung pergi ke pasar. Mereka sudah mengenal guru, sehingga seorang diantara mereka akan menghubungi guru."
"Aku akan berada di sebelah gubug tempat pandai besi di sudut pasar. Aku akan mengenakan caping bambu yang besar dan berwarna kuning."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah memacu kuda mereka pergi ke Jati Anom. Mereka akan menemui Ki Widura di padepokan kecil Orang Bercambuk.
Di padepokan kecil itu, Ki Widura dalam usianya yang semakin tua menjalani laku. Dengan modal dasar-dasar ilmunya yang ada didalam dirinya, bekerja keras serta penalaran yang terang, maka Ki Widura-pun mencapai tataran yang tinggi.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menyampaikan permohonan bantuan kepada Ki Widura untuk menangkap Ki saba Lintang dan mengambil tongkat baja putihnya, maka dengan serta-merta Ki Widura-pun menyahut, "Baik, Glagah Putih. Aku akan membantumu. Aku sendiri bersama sepuluh orang cantrik terbaik akan pergi menemui Ki Jayaraga serta kedua orang tua angkatmu itu."
"Terima kasih, ayah. Mudah-mudahan kita berhasil menangkap dan mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Ki Saba Lintang."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Semoga. Dengan demikian, maka kau dapat menyelesaikan tugasmu dengan baik."
"Baiklah, ayah. Aku akan segera mohon diri. Aku harus kembali menemui Ki Citra Jati dan Ki Jayaraga."
"Kau dan Rara Wulan akan menjadi sangat letih. Padahal besok kalian akan menghadapi tugas yang berat."
"Mudah-mudahan ada waktu untuk beristirahat, ayah."
"Baiklah. Tetapi sebaiknya kau membawa bekal dari padepokan ini. Kau sudah tidak akan menjumpai kedai yang terbuka lagi diwayah seperti ini."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun Ki Widura-pun berkata, "Rara Wulan tentu mengerti, bahwa bekal bagi kalian bukan masalah yang tidak penting. Besok tenaga kalian mungkin sekali diperlukan dalam batasan tertinggi. Karena itu, kalian tidak boleh menjadi lemah karena unsur kewadagan kalian."
"Baiklah ayah," berkata Rara Wulan, "aku akan membawanya."
Para cantrik-pun kemudian telah menyediakan bekal bagi Glagah Putih, Rara Wulan serta ketiga orang yang menunggu mereka.
Dengan demikian, maka rencana Glagah Putih untuk menjebak Ki Saba Lintang telah dimatangkan. Mudah-mudahan sepuluh orang cantrik terpilih di padepokan Orang Bercambuk bersama Ki Widura sendiri akan cukup memadai.
"Lawan kita cukup kuat, Rara," desis Glagah Putih.
"Menurut kakang Agung Sedayu, ilmu para cantrik dipadepokan Orang Bercambuk itu-pun cukup tinggi."
Glagah Putih-pun mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah melarikan kuda mereka kembali untuk menemui Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati serta Ki Jayaraga.
"Kita dapat melaksanakan esok pagi, Ki Jayaraga," berkata Glagah Putih demikian ia sampai dipersembunyian mereka.
"Bagus," berkata Ki Jayaraga, "mudah-mudahan Ki Saba Lintang tidak luput dari tangan kita."
"Mudah-mudahan bukan kami berdua yang justru jatuh ke tangan mereka."
"Kita semuanya berdoa, Glagah Putih."
"Ya, guru," Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Namun bagaimana-pun juga kita harus sangat berhati-hati. Agaknya Ki Saba Lintang-pun tentu akan meningkatkan kekuatan jaring-jaringnya dalam gelar laba-labanya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku percaya kepada kemampuan para cantrik di padepokan Orang Bercambuk sebagaimana juga diakui oleh kakang Agung Sedayu.
Ki Jayaraga-pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Masih ada waktu sedikit untuk beristirahat. Beristirahatlah kalian berdua. Kami-pun akan beristirahat. Besok tenaga kami sepenuhnya akan diperlukan.
Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat membagi bekal mereka. Sambil tersenyum Nyi Citra Jati-pun berkata, "Bedanya seorang perempuan, Glagah Putih, isterimu masih ingat untuk membawa bekal bagi kami. Jika kau sendiri, kau tidak akan ingat tentang bekal itu. Bahkan seandainya kau diberi bekal seperti sekarang ini, mungkin kau akan segan membawanya.
Glagah Putih tertawa pendek. Katanya, "Ya, ibu. Seandainya aku tidak pergi bersama Rara Wulan, agaknya aku memang tidak akan membawanya."
Disisa malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat beristhahat. Demikian pula Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Tetapi Ki Jayaraga tidak lagi berbaring, katanya, "Aku tadi sudah sempat tidur. Aku akan berjaga-jaga sampai menjelang pagi."
Ketika matahari terbit, maka semuanya sudah bersiap. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati telah berangkat kepasar. Sebentar kemudian menyusul Ki Jayaraga.
Ternyata Ki Saba Lintang dan para pengikutnya telah berada di pasar pula. Bahkan pengikut Ki Saba Lintang yang di hari sebelumnya menemui Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, tidak melupakannya.
Demikian orang itu melihat Ki Citra Jati, ia-pun segera bertanya, "Apalagi yang kau lakukan disini, kek?"
"Bukankah Ki Saba Lintang akan datang pula hari ini" Aku masih memerlukan uang buat anakku yang sakit. Mudah-mudahan Ki Saba Lintang yang baik hati itu dapat mengerti keadaanku."
Pengikut Ki Saba Lintang itu menggeram. Namun kawannya justru menyahut, "Ya, kek. Ki Saba Lintang memang seorang yang baik hati."
"Ya. Kemarin aku telah diberinya uang beberapa keping. Tetapi ternyata masih kurang."
"Kau termasuk orang-orang yang tamak itu, kek, berapa-pun kau diberi uang, tentu masih saja selalu kurang."
"Tetapi anakku sakit ngger. Anakku sakit. Kau akan merasakan, betapa susahnya seseorang yang anaknya menderita sakit."
"Kau kita aku tidak punya anak" Tetapi anakku itu tidak pernah sakit. Anakmu tentu sakit-sakitan seperti kau dan isterimu itu."
Ki Citra Jati dengan gaya tuanya mengangguk-angguk. Katanya. "Ya. Aku dan isteriku memang sakit-sakitan. Itu sebabnya aku akan menemui Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu."
Para pengikut Ki Saba Lintang itu tidak menyahut lagi. Namun mereka-pun kemudian telah berkumpul dengan beberapa orang kawannya. Diantara mereka memang terdapat Ki Saba Lintang sendiri.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati segera dapat mengenali orang yang bernama Ki Saba Lintang itu. Seorang yang memimpin sekelompok orang yang menunggu itu dengan tongkat baja putih di tangannya.
"Mereka benar-benar tidak mau kehilangan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu itu," desis Nyi Citra Jati.
"Ya. Mereka membawa kekuatan yang cukup besar. Mudah-mudahan para cantrik dari Padepokan Orang Bercambuk itu tidak datang terlambat."
Namun dalam pada itu, Ki Widura ternyata sudah sempat menghubungi Ki Jayaraga yang berada di dekat gubug tempat para pande besi bekerja di sudut pasar. Seperti yang dijanjikan, Ki Widura telah datang dengan sepuluh cantrik terpilih disamping Ki Widura sendiri.
"Mudah-mudahan kita berhasil," desis Ki Widura yang kemudian duduk saja di tanah di depan para pande besi yang sedang bekerja itu sambil melihat-lihat alat-alat pertanian yang sedang dibuat oleh para pande besi itu.
"Kapan Glagah Putih dan Rara Wulan akan lewat?" bertanya Ki Widura.
"Sedikit lewat pasar temawon," jawab Ki Jayaraga, "mudah-mudahan pasar ini tidak menjadi kacau balau. Sedikit lewat wayah pasar temawon, orang-orang di pasar ini mulai menyusut. Sementara itu, Glagah Putih sudah memastikan bahwa Ki Widura telah berada di pasar ini."
Ki Widura mengangguk-angguk. Agaknya masih ada waktu sedikit baginya untuk duduk-duduk sambil mengamati hasil kerja para pande besi itu.
"Aku akan membeli parang pembelah kayu. Nampaknya cukup baik untuk bermain-main dengan para pengikut Ki Saba Lintang," berkata Ki Widura.
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, "Aku juga akan membeli kapak kecil itu. Aku juga ingin mempergunakannya"
Keduanya tertawa. Tetapi keduanya benar-benar membelinya. Ki Widura membeli sebuah parang dan Ki Jayaraga membeli sebuah kapak kecil.
Dalam pada itu, pasar-pun menjadi semakin ramai. Pada saat puncak keramaian, di wilayah pasar temawon, pasar itu memang terasa menjadi sempit.
Dulam pada itu, para pengikut Ki Saba Lintang mulai menjadi gelisah. Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu masih belum lewat.
Namun ternyata para cantrik-pun mulai merasa terlalu lama menunggu. Mereka sudah berada di pasar sejak matahari mulai naik.
Tetapi Ki Widura sendiri masih saja berada di dekat para pande besi itu bekerja. Mereka melihat perapian dengan lidah api yang melonjak-lonjak oleh ububan yang menghembuskan angin tanpa henti.
Ki Widura itu berpaling ketika seseorang berjongkok di belakangnya, yang ternyata salah seorang diantara para cantrik yang mengikutnya.
"Ada apa ?" bertanya Ki Widura.
"Mereka sudah nampak, guru."
"Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, maksudmu?"
"Ya, guru." "Baik. Siapkan kawan-kawanmu. Aku akan ke pintu gerbang pasar."
Cantrik itu-pun segera meninggalkan Ki Widura dan Ki Jayaraga yang sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Mereka masih saja dengan tenang berjalan meninggalkan tempat para pande besi itu bekerja. Ki Widura membawa sebuah parang baru, sedangkan Ki Jayaraga membawa sebuah kapak kecil yang juga masih baru.
Ketika mereka melangkah diantara banyak orang yang berada di pasar itu, maka Ki Jayaraga berkata, "Jika harus terjadi benturan kekerasan, hendaknya terjadi agak jauh dari pasar ini."
"Ya. Tetapi apakah Glagah Putih dan Rara Wulan mempertimbangkan" Mereka masih terlalu muda untuk berpikir lebih jauh dari memanjakan gejolak perasaannya saja," sahut Ki Widura.
"Sebelum kami berangkat, kami sudah membicarakannya. Mudah-mudahan keduanya atau salah seorang diantara mereka ingat dan mencoba berusaha memancing benturan kekerasan jika harus terjadi, tidak terlalu dekat dengan pasar yang nampaknya masih belum menyusut orangnya ini."
Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka-pun melihat beberapa orang yang bergerak di depan pintu gerbang pasar.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka itulah para pengikut Ki Saba Lintang."
"Ya Ki Saba Lintang sendiri ada diantara mereka."
Ki Jayaraga dan Ki Widura itu-pun kemudian telah berada di luar pintu gerbang. Mereka melihat, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilakukan kemarin.
"Orang tua itu sangat menjengkelkan," geram salah seorang pengikut Ki Saba Lintang.
"Jangan menunggu lagi. Mungkin mereka akan berbelok lagi ke kiri atau bahkan melarikan kuda mereka berbalik."
"Aku akan mendekati mereka," berkata seorang yang lain.
"Jangan berjalan kaki. Pakai kudamu. Ajak dua orang kawanmu. Jangan berkesan sengaja menemui mereka. Kalian seolah-olah para pedagang yang pulang dari pasar. Karena itu, jangan kau larikan kudamu terlalu kencang."
Sejenak kemudian, tiga orang pengikut Ki Saba Lintang telah mengambil kuda mereka yang terikat di tempat penitipan kuda disamping pasar. Bertiga mereka berkuda ke arah orang yang menyebut diri mereka Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi mereka tidak melarikan kuda mereka terlalu kencang sehingga tidak menarik perhatian.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berbicara dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Seperti kemarin Glagah Putih telah memberikan beberapa keping uang kepada Ki Citra Jati yang berdiri di pinggir jalan.
"Jangan mendekat lagi, Glagah Putih," berkata JCi Citra Jati.
"Kenapa ayah ?" bertanya Glagah Putih.
"Ada sekelompok pengikut Ki Saba Lintang di pasar itu, justru dipimpin oleh Ki Saba Lintang sendiri."
"Bukankah kita memang ingin bertemu dengan mereka ?"
"Jika terjadi pertempuran, yang terlalu dekat dengan pasar. Nanti dapat menimbulkan keributan."
"Maksud ayah, kami menunggu disini ?"
"Ya. Mereka akan datang kemari."
"Apakah ayah Widura sudah berada di pasar ?"
" Sudah. Bersama para cantriknya"
"Mudah-mudahan kita dapat mengimbangi kekuatan Ki Saba Lintang."
"Aku masih berpengharapan, ngger. Kita berdoa saja agar kita mendapat perlindungan-Nya."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu, mereka melihat tiga orang penunggang kuda yang menuju ke arah mereka. Tetapi ketiga penunggang kuda itu sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Kudanya berlari-lari kecil menyusuli jalan berdebu. Melewati simpang tiga dan menjadi semakin dekat dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika ketiga orang penunggang kuda itu lewat di sebelah Glagah Putih dan Rara Wulan, maka seorang diantara mereka-pun berkata, "Kau mengganggunya lagi, kek."
"Aku perlu uang Ki Sanak."
"Apakah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu memberimu lagi?"
"Hanya dua keping. Aku minta lima keping."
"Orang tua ini agak memaksa Ki Sanak," berkata Glagah Putih.
Seorang yang lain dari antara ketiga orang berkuda itu-pun berkata, "Bukankah kau seorang yang baik hati" Bukankah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu seorang yang belas kasihan kepada orang lain yang kekurangan?"
"Ya," jawab Glagah Putih.
"Karena itu, beri mereka seberapa-pun mereka minta."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Terasa getar yang berbeda pada kata-kata orang berkuda itu. Karena itu, maka Glagah Putih-pun menjadi lebih berhati-hati.
Katanya, "Kek. Aku tidak sependapat dengan Ki Sanak ini. Jika aku memberimu seberapa saja yang kau minta, maka esok, lusa dan seterusnya kau akan selalu menggangguku. Karena itu, aku sekarang tidak dapat memberimu lebih dari dua keping."
"Anakku sakit, Ki Saba Lintang."
"Sejak kemarin kau katakan bahwa anakmu sakit Sekarang pergilah. Aku akan memberikan uangku kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Mungkin juga orang tua. Mungkin kanak-kanak."
"Beri aku tiga keping lagi, Ki Saba Lintang. Aku akan mendoakan agar Ki Saba Lintang panjang umur."
Seorang dari ketiga orang berkuda itu berkata, "Ki Saba Lintang tidak akan berbuat sebagaimana kau lakukan itu. Apalagi hanya tiga keping uang. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, semua uangnya akan diberikannya."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Aku tidak percaya ada orang yang demikian baik hatinya. Aku memang selalu memberi. Tetapi aku melakukannya dengan wajar. Tidak berlebihan dan tidak dibuat-buat sekedar untuk mendapatkan pujian."
"Sikapmu tidak seperti sikap Ki Saba Lintang yang aku bayangkan. Ki Saba Lintang yang pernah muncul di daerah ini sebelumnya, berbeda dengan sikapmu sekarang. Karena itu, aku menjadi ragu-ragu, apakah kau memang Ki Saba Lintang."
"Ragu-ragu " Kenapa kau ragu-ragu " Jika aku bukan Ki Saba Lintang, lalu siapakah aku ini " Jika perempuan ini bukan Nyi Lurah Agung Sedayu, lalu siapakah perempuan itu ?"
"Sudahlah. Jangan ingkar. Kami akan menangkap kalian berdua yang telah berani memalsukan diri sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Apakah kami ini palsu ?"
Seorang diantara ketiga orang itu tiba-tiba telah mengangkat tangannya dan melambaikan sebuah kelebet kecil.
"Jangan berusaha melarikan diri," geram orang itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Dua orang diantara ketiga orang berkuda itu telah melintangkan kuda mereka di belakang kuda Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sementara itu sekelompok orang berlari-lari dari arah pasar.
"Siapakah mereka ?" bertanya Glagah Putih.
"Ki Sanak," berkata seorang diantara ketiga orang berkuda itu, "kau akan segera bertemu dengan Ki Saba Lintang yang sebenarnya. Ki Saba Lintang yang sebenarnya itu berada di antara mereka yang datang kemari itu."
"O. Jadi kami berdua ini pasangan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu?"
"Persetan dengan kau berdua. Permainanmu yang kasar itu sudah selesai. Sekarang kalian berdua harus menyerah. Akan segera tersebar berita tentang Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu itu tidak baru sekarang ini. Tetapi sejak semula, sejak orang berbicara tentang Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu berkeliaran, mereka adalah palsu."
"Kau tidak mengenal mereka yang sebenarnya. Mereka adalah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya."
"Kau yang tidak mengenal mereka yang sebenarnya. Setidak-tidaknya Nyi Lurah Agung Sedayu, karena Nyi Lurah ada bersamaku."
Dalam pada itu, sekelompok orang yang berlari-lari dari pasar itu menjadi semakin dekat. Namun yang semakin menarik perhatian di belakang mereka sekelompok orang yang lain telah berlari-lari pula menyusul kelompok yang pertama.
Sebelum ketiga orang itu menjawab, maka Glagah Putih-pun bertanya, "Apakah Ki Saba Lintang membawa dua kelompok pengikutnya untuk menangkap aku ?"
Ketiga orang itu memang menjadi bingung. Yang mereka ketahui, ada sekelompok kawan-kawan mereka yang berada di pasar itu untuk menangkap orang yang mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Namun ternyata ada dua kelompok orang yang berlari-lari dari pasar.
"Siapakah mereka ?" bertanya salah seorang diantara ketiga orang itu.
"Entahlah," jawab kawannya, "mungkin Ki Saba Lintang telah memerintahkan sekelompok orang dari lingkungan yang lain pula."
"Jika demikian kita tentu diberi tahu."
Kebimbangan yang semakin dalam nampak diwajah orang-orang itu. Sementara itu, kawan-kawannya menjadi semakin dekat. Yang paling depan diantara mereka adalah Ki Saba Lintang sendiri.
"Selamat bertemu kembali Ki Saba Lintang," sapa Glagah Putih yang masih duduk di punggung kudanya.
Dahi Ki Saba Lintang-pun berkerut melihat Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di punggung kudanya.
Ketiga orang berkuda yang lebih dahulu datang menemui Glagah Putih itu-pun terkejut. Seorang diantara mereka bertanya, "Kau kenal Ki Saba Lintang?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Bukankah aku lebih tahu dari kalian" Aku mengenal Ki Saba Lintang. Aku-pun mengenal Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Jadi kaulah yang telah memalsukan namaku?" geram Ki Saba Lintang.
"Kita adalah pemeran-pemeran terbaik dari satu lakon yang sangat menarik, Ki Saba Lintang."
"Kenapa kau berani memalsukan namaku dan bahkan dengan sengaja memfitnah aku."
"Pertanyaan yang sama dapat juga aku katakan. Kenapa kau dengan keji memfitnah mbokayu Sekar Mirah?"
"Aku tidak memfitnahnya. Ia memang datang kepadaku dan menyatakan kesediaannya bersama-sama memimpin perguruan Kedung Jati yang agung."
"Kau dapat berkata seperti itu kepada orang lain. Tetapi tentu tidak kepadaku. Kau tahu itu, Ki Saba Lintang. Meski-pun kau bermain dengan baik, menyembunyikan pemeran mbokayu Sekar Mirah ketika mbokayu Sekar Mirah yang sebenarnya berada di Mataram, tetapi sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi."
"Persetan kau bocah edan. Apa-pun yang pernah kau lakukan, tetapi kau dan perempuan itu akan menyesal. Seharusnya kalian tidak ikut dalam permainan ini. Meski-pun kalian berdua masih terlalu muda untuk mati, namun tidak ada jalan lain yang dapat kau tempuh sekarang ini."
"Jika kalian berhasil membunuh kami, maka kematian kami tidak akan merubah citramu di hadapan para pemimpin di Mataram. Mereka akan tetap mengetahui, bahwa kau telah memalsukan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Tetapi itu akan lebih baik daripada aku membiarkan kalian berdua berkeliaran."
Ketika suasana menjadi semakin tegang, tiba-tiba Ki Citra Jati-pun bertanya, "Jadi siapakah yang sebenarnya Ki Saba Lintang yang baik hati itu?"
"Bukan aku kek," jawab Glagah Putih.
"O. Itulah sebabnya kau hanya memberi aku dua keping uang," sahut Ki Citra Jati yang kemudian berkata kepada Ki Saba Lintang, "Jika kau adalah Ki Saba Lintang yang sebenarnya, beri aku lima keping uang. Anakku sakit."
Ki Saba Lintang yang darahnya mulai panas itu telah membentaknya, "Diam kau kakek tua. Pergi atau kau akan diusir seperti anjing."
Adalah diluar dugaan ketika Ki Citra Jati itu-pun kemudian bertanya kepada salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang datang lebih dahulu dengan menunggang kuda, "Ki Sanak. Ternyata orang inilah yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa ia bukan seorang yang baik hati seperti yang kau katakan" Yang memberi apa saja kepada orang yang memintanya. Jangankan lima keping uang, bahkan semuanya, apa yang dipunyainya akan diberikannya."
Orang berkuda itu menjawab dengan garangnya, "Kalau kau tidak mau diam, aku bungkam mulutmu dengan hulu pedangku."
"Kenapa kau tiba-tiba menjadi garang."
"Kau tentu dapat melihat suasana. Kau tentu tahu apa yang sedang terjadi. Jika kau tidak mau pergi, maka kau akan terinjak-injak dalam arena kekerasan yang bakal terjadi."
"Apakah akan terjadi kekerasan?"
"Ya. Karena itu pergilah."
"Tidak. Jika akan terjadi kekerasan aku tidak akan pergi. Aku lebih senang menonton disini."
Wajah orang berkuda itu menjadi merah. Namun yang menyahut adalah Ki Saba Lintang, "Setan tua. Jadi kaukah yang sering berkeliaran bersama orang yang telah mencemarkan nama baikku ini."
"Berkeliaran bersama keduanya memang benar. Tetapi mereka tidak senang mencemarkan nama baik Ki Saba Lintang. Mereka hanya berusaha membersihkan nama baik Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Aku bunuh kau setan tua," geram orang berkuda itu.
Ki Citra Jati tertawa. Katanya, "Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih. Kita adalah pemeran-pemeran terbaik dari satu lakon yang sangat menarik yang terjadi di bumi Mataram sekarang ini."
Ki Saba Lintang menggeram. Namun ia tidak ingin menunda-nunda lagi. Karena itu, maka ia-pun segera memberi isyarat kepada para pengikutnya untuk bergerak.
Tetapi seorang kepercayaannya mendekatinya sambil berkata, "Ada sekelopok orang yang berada di belakang kita."
"Aku sudah melihat. Mereka tentu pengikut bocah edan itu." Seorang yang berkumis dan berjanggut pendek yang telah menjadi kelabu berkata, "Kita tuntaskan pekerjaan kita kali ini. Jangan ada yang tersisa."
"Ya Ki Gerba Lamatan. Mereka harus dibinasakan sampai orang yang terakhir."
"Jumlah mereka tidak sebanyak orang-orang kita," berkata kepercayaan Ki Saba Lintang itu pula.
Sebenarnyalah jumlah para cantrik yang hanya sepuluh orang itu masih belum dapat mengimbangi jumlah para pengikut Ki Saba Lintang.
Karena itu, maka Ki Saba Lintang dan pengikutnya merasa bahwa tugas mereka akan dapat mereka selesaikan dengan baik. Menangkap dan sekaligus membinasakan orang yang telah merusakkan rencana mereka.
Seorang yang bertubuh raksasa yang telah menyatakan kesediaannya membantu Ki Saba Lintang sebagaimana Ki Gerba Lamatan menggeram, "Mereka datang untuk membunuh diri."
"Ki Gajah Modang," berkata Ki Saba Lintang, "jika mungkin tangkap perempuan itu hidup-hidup. Perempuan itu akan dapat dipergunakan untuk menjadi umpan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Laki-laki itu?"
"Bunuh saja. Tetapi aku sendiri yang akan menanganinya."
"Kedua orang tua itu" Mereka tentu orang-orang yang berilmu. Nampaknya mereka terlalu yakin akan diri mereka?"
"Aku akan membereskan laki-laki dan perempuan tua itu," berkata seorang yang berkepala botak, "aku akan meremas mereka hingga menjadi ampas."
"Kau selalu merendahkan orang lain. Raba telingamu yang terpotong itu. Juga karena kau merendahkan orang lain, maka kau hampir mati waktu itu," berkata Ki Saba Lintang.
"Jangan menghinaku."
"Ki Candik Sore, ajak kawanmu yang bongkok itu."
"Pemalas yang tidak tahu diri."
"Dengarkan aku," bentak Ki Saba Lintang, "sebelum kepalamu dipenggal."
Orang yang disebut Candik Sore itu terdiam. Sementara itu, seorang yang agak bongkok telah berdiri disampingnya, "Setelah tugas kita selesai kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang tidak tahu diri."
"Cukup Ki Tunggak Petung. Tidak ada waktu untuk berbicara macam-macam. Kita akan segera mulai."
Sementara itu, sepuluh orang cantrik dari perguruan Orang Bercambuk itu-pun telah menebar. Ki Widura sengaja memerintahkan mereka untuk mempergunakan senjata ciri perguruan mereka. Sepuluh orang serta Ki Widura sendiri telah mengurai senjata cambuk mereka.
Sebelas buah cambuk itu benar-benar menarik perhatian Ki Saba Lintang serta para pengikutnya. Namun Ki Saba Lintang-pun kemudian berterak, "Jangan hiraukan. Hancurkan mereka. Mereka ingin menutupi kekurangan mereka dengan pertunjukan yang tidak menarik itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat mengikat kudanya di pinggir jalan. Namun mereka-pun segera bersiap untuk menghadapi orang-orang Ki Saba Lintang yang mulai menebar pula.
Terdengar sebuah teriakan nyaring. Kepercayaan Ki Saba Lintang yang sudah mendapat isyarat dari Ki Saba Lintang segera meneriakkan aba-aba.
Orang-orang Ki Saba Lintang itu-pun segera menghambur, menyerang orang-orang yang bersenjata cambuk yang telah menebar pula.
"Bagus," desis Ki Citra Jati, "dengan ciri itu kita tidak akan keliru. Yang manakah para cantrik dari Jati Anom dan yang manakah para pengikut Ki Saba Lintang."
"Agaknya hal itu sudah terpikir oleh Ki Widura," sahut Nyi Citra Jati.
Namun keduanya-pun terkejut ketika ada dua orang yang bergegas mendekati mereka. Seorang berkepala botak, yang mengenakan ikat kepalanya sekenanya saja, sehingga sengaja atau tidak, botaknya nampaknya jelas. Seorang lagi agak bongkok.
"He, kek," berkata orang yang berkepala botak, "menyerah sajalah. Jika kau menyerah, maka kau akan tetap hidup."
Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah orang itu dengan seksama. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Kenapa telingamu itu, he?"
"Sst," Nyi Citra Jati menggamitnya, "sempat juga kau perhatikan telinganya."
Tetapi orang berkepala botak itu justru tertawa. Katanya, "Aku bangga dengan telingaku. Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah perkelahian, lawanku sempat membabatkan pedangnya. Maksudnya tentu untuk menebas leherku. Tetapi yang kena hanya telingaku saja. Sehingga telingaku terkoyak."
"Tidak. Lawanmu waktu itu tidak ingin menebas lehermu. Ia memang ingin memotong telingamu."
"Ah, tentu tidak."
"Ya. Bukankah waktu itu kau bertempur di dekat tempuran Kali Uter dan Kali Gandu Kulon?"
"Darimana kau tahu?"
"Setelah telingamu terpotong, kau mengamuk seperti orang gila tanpa kendali, sehingga kau membuat banyak kesalahan. Bukankah waktu itu kau hampir mati jika tidak karena belas kasihan lawanmu yang semula kau remehkan?"
"Darimana kau tahu, he" Darimana?"
"Buka matamu lebar-lebar Candikala. Siapakah aku, he?"
"Namaku bukan Candikala. Namaku Candik Sore."
"Aku lebih senang menyebutmu Candikala."
Ki Candik Sore termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ingatannya mulai meraba masa lalunya yang panjang. Pertempuran di dekat tempuran Kali Uter dan Kali Gandu Kulon.
Beberapa langkah dari Ki Widura, Ki Jayaraga berdiri sambil menggenggam tangkai kapak kecilnya. Dengan kapak kecilnya itu, Ki Jayaraga telah siap bertempur melawan para pengikut Ki Saba Lintang.
Ki Saba Lintang sendiri dengan wajah yang geram melangkah mendekati Glagah Putih. Sedangkan seorang yang bertubuh tinggi besar, berjalan dengan langkah pasti mendekati Rara Wulan.
Jantung Rara Wulan memang berdesir melihat orang yang tiga kali lipat besarnya dari dirinya sendiri.
"Bukan main." Rara Wulan bahkan surut selangkah ketika melihat orang itu tertawa. Giginya nampak menyeringai mendebarkan. Rasanya giginya itu nampak sebesar kapak-kapak kecil yang ditata berjajar. Namun yang sudah lama tidak tersentuh sehingga seakan-akan menjadi berkarat.
"Siapa namamu perempuan cantik ?" bertanya orang itu.
Jantung Rara Wulan berdegup semakin cepat. Sementara itu Glagah Putih tidak sempat mendekati isterinya, karena Ki Saba Lintang telah berdiri di hadapannya.
"Kau cerdik Glagah Putih," berkata Ki Saba Lintang, "kau berhasil menyelamatkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi ternyata tebusannya mahal sekali."
"Sama sekali tidak. Aku tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Juga karena kehadiranmu disini."
"Kau memang sombong sekali. Glagah Putih. Kau dan orang-orangmu akan terkapar mati disini, kecuali perempuan itu. Ia akan ditangkap hidup-hidup. Perempuan itu akan dapat menjadi umpan untuk mengail orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Dengan umpan itu, aku akan dapat memanggil Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Aku akan menukarkan perempuan itu dan tongkat baja putih yang berada di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Kau tidak akan berhasil menangkap perempuan itu hidup-hidup. Seandainya kau atau orang-orangmu berhasil, namun mbokayu Sekar Mirah tidak akan mau menukarnya dengan tongkat baja putih. Perempuan itu memang akan dapat menjadi korban. Tetapi untuk mempertahankan hak, kadang-kadang kita memang harus berkorban."
"Luar biasa. Jika benar yang kau katakan itu, betapa mulianya hati mereka yang bersedia mengorbankan nyawanya. Kesetiaannya jarang ada bandingnya."
"Itulah watak kami. Ciri dari seorang yang berjuang untuk mempertahankan hak-haknya."
"Tetapi korbannya selalu orang lain. Orang yang menurut pendapat kami, matinya justru sia-sia. Mereka hanya harus puas dengan sebutan seorang pejuang. Seorang pahlawan. Tetapi yang akan menikmati hasil yang sebenarnya, katakanlah yang akan tetap memiliki haknya adalah orang lain."
"Bukan orang lain, Ki Saba Lintang. Kami adalah bagian dari pemilikan hak itu."
"Omong Kosong. Apa untungmu dan apa untung perempuan ini jika hak itu tetap berada di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu selain kematian serta gelar pahlawan itu" Apa pula artinya gelar yang bertimbun sekali-pun jika orang itu harus mati ?"
"Otak kami tidak sekerdil otakmu, Ki Saba Lintang. Jika kami mempertahankan hak Nyi Lurah Agung Sedayu, bukan semata-mata bagi kepentingan Nyi Lurah. Tetapi kami tahu, seandainya tongkat itu ada di tangan orang lain yang akan bersamamu memimpin sebuah perguruan besar sebagaimana perguruan Kedung Jati, maka akibatnya akan buruk sekali bagi banyak orang. Jika kami harus berkorban untuk mempertahankan hak itu pada mbokayu Sekar Mirah, maka kami sudah menyelamatkan banyak orang yang akan mengalami akibat yang buruk sekali itu. Sebaliknya, kami telah ikut pula mempertahankan hak itu untuk kepentingan perlindungan bagi banyak orang yang memerlukan. Nah, bukankah pengorbanan yang harus kami berikan, seandainya hal itu harus terjadi, bukan semata-mata bagi keuntungan mbokayu Sekar Mirah?"
"Kau adalah orang-orang yang mabuk pujian, yang tidak dapat melihat kenyataan yang terbentang di hadapan hidungmu. Semua itu omong kosong. Tongkat di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu itu gunanya juga untuk memeras orang lain."
"Kau mulai kehilangan arah bicaramu. Sebaiknya kau tidak berbicara lebih banyak. Semakin banyak kau berbicara akan semakin jelas bagiku, betapa kerdilnya otak di kepalamu."
"Jadi kau benar-benar ingin disebut pahlawan."
"Ya," jawab Glagah Putih, "kenapa aku harus takut disebut pahlwan " Bukankah itu berarti bahwa kau sudah merendahkan arti kepahlawanan itu sendiri. Tetapi aku tidak akan menundukkan kepalaku dan membiarkannya kepala itu kau penggal hanya karena aku menghindari cemoohan atas sebutan pahlawan itu."
Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Dengan geram ia-pun berkata, "Aku memang akan membunuhmu. Tetapi aku sudah berpesan kepada kawanku untuk menangkap perempuan itu hidup-hidup."
"Kita sudah cukup lama berbicara. Semuanya sudah terlibat dalam pertempuran."
"Bagus," geram Ki Saba Lintang.
Sejenak kemudian, keduanya-pun sudah terlibat dalam pertempuran pula. Ki Saba Lintang telah mengembangkan tangannya seperti sayap-sayap yang terlepas dari perlindungan induknya.
Namun Glagah Putih-pun telah bersiap sepenuhnya. Ketika elang itu menukik dan menyambar, maka Glagah Putih tidak melarikan diri seperti anak ayam yang ketakutan. Tetapi sebagai seekor ayam jantan yang tegar, Glagah Putih menyambut serangan Ki Saba Lintang.
Ki Saba Lintang terkejut. Ia tidak mengira bahwa pada serangannya yang pertama, Glagah Putih langsung membenturnya.
Karena itu, ketika terjadi benturan, maka Ki Saba Lintang-pun tergetar surut.
"Kau bangga dengan kemenangan kecil pada benturan ini Glagah Putih ?" bertanya Ki Saba Lintang.
Tidak. Aku tahu bahwa kau tidak mengira bahwa aku akan membentur seranganmu. Karena itu, kau telah tergetar surut. Kemenangan kecil ini tidak berarti apa-apa bagiku dan bagimu. Tetapi penting bagi orang-orangmu. Mereka yang sempat melihat, kau telah tergetar surut dalam benturan yang terjadi."
"Kau licik." "Tidak. Aku tidak licik. Aku tidak menyerangmu dari arah punggung pada saat kau tidak menyadarinya. Atau menusuk dadamu pada saat kau tidur."
Sebenarnyalah, Ki Gajah Modang yang menghadapi Rara Wulan terkejut melihat Ki Saba Lintang tergetar surut. Demikian pula beberapa orang yang kebetulan melihat benturan itu.
"Orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu ternyata berilmu sangat tinggi. Ia mampu mendorong Ki Saba Lintang surut dalam sebuah benturan kekuatan," berkata Ki Candik Sore pula di dalam hatinya.
Bukan hanya Ki Candik Sore. Tetapi beberapa orang yang lain-pun beranggap demikian pula.
Agaknya Ki Saba Lintang mengerti pula akibat buruk dari benturan yang pertama itu. Karena itu, maka ia-pun segera berusaha mendesak Glagah Putih untuk menambah kepercayaan orang-orangnya.
Tetapi Glagah Putih menyadari akan hal itu. Karena itu, maka Glagah Putih-pun berusaha untuk memberikan kesan yang lain. Dengan meningkatkan ilmunya, maka Glagah Putih bertahan untuk tidak terdesak surut selangkahpun. Dengan tangkasnya ia menghindari serangan-serangan Ki Saba Lintang yang berbahaya. Tetapi dengan cepatnya, Glagah Putih-pun menyerangnya di tempat-tempat yang paling lemah pada tubuh Ki Saba Lintang, sehingga dengan demikian maka Ki Saba Lintang tidak berhasil dengan segera mendesak Glagah Putih.
Ketika Ki Saba Lintang meningkatkan ilmunya selapis, maka Glagah Putih-pun melakukannya pula, sehingga kemampuan mereka-pun masih saja tetap seimbang.
Sementara itu, raksasa yang bernama Gajah Modang itu-pun telah mulai berusaha untuk menangkap Rara Wulan hidup-hidup. Gajah Modang tidak menyerang Rara Wulan dengan tangan atau kakinya. Tetapi tangannya terjulur menjangkau lengan Rara Wulan.
Rara Wulan melangkah surut. Sambil melangkah maju Gajah Modang berkata, "Kau masih belum menjawab. Siapa namamu."
"Ki Saba Lintang tentu sudah menyebut namaku."
"Ya. Tetapi aku lupa. Katakan, siapa namamu. Kesannya tentu akan berbeda jika kau sendiri yang mengucapkannya."
"Namaku Nyi Lurah Agung Sedayu."
Namun Rara Wulan itu bergeser surut ketika ia mendengar orang bertubuh raksasa itu tertawa keras-keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, "Kau ternyata pintar juga bergurau, perempuan cantik. Aku senang dengan perempuan yang memiliki rasa yang cerah dan terang seperti kau. Perempuan yang pandai bergurau dan tidak dikungkung oleh kebiasaan buruk sebagaimana kebanyakan perempuan yang hanya tahu menghidupkan api di dapur."
"Terima kasih, raksasa buruk. Tetapi siapa namamu ?"
"Itulah yang menarik. Sebelum kau sebut namamu, kau sudah bertanya, siapa namaku."
"Katakan. Namamu tentu menarik seperti ujudmu."
"He " Apakah ujudku menurut pendapatmu, menarik ?"
"Ya. Jika kau datang di sebuah padukuhan, tentu banyak anak-anak yang mengerumunimu. Kau tentu dikira salah seorang penari topeng yang terpisah dari kawan-kawanmu."
Di luar dugaan Rara Wulan, orang itu sama sekali tidak marah. Bahkan ia tertawa semakin keras. Tubuhnya yang besar itu berguncang-guncang.
"Benar juga, kenapa Ki Saba Lintang memerintahkan aku menangkap perempuan ini hidup-hidup, sementara laki-laki yang mengaku Ki Saba Lintang itu harus dibunuhnya."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun berkata, "Aku yang akan menangkapmu hidup-hidup. Kau akan menjadi sangat menarik untuk dipertontonkan di Tanah Perdikan Menoreh."
"Jangan begitu, perempuan cantik. Tetapi siapa namamu ?"
"Sebut dahulu namamu."
"Baik. Namaku Gajah Modang. Nah, sekarang sebut namamu."
"Namaku Rara Wulan."
"Ya. Rara Wulan. Nama yang cantik seperti wajahmu. Kau memang cantik seperti bulan."
"Ya. Kau-pun tampan seperti Gajah yang mengenakan ikat kepala."
"Kenapa ?" Rara Wulan bahkan harus menahan tertawanya. Katanya kemudian, "Modang adalah salah satu corak ikat kepala. Nah, barangkali kau adalah satu-satunya gajah yang memakai ikat kepala."
Gajah Modang itu justru tertawa berkepanjangan. Katanya, "aku senang mendengarnya. Nah, sekarang menyerah sajalah. Aku akan menangkapmu hidup-hidup. Kau akan sangat berarti bagi kami. Diantara semua orang yang melawan kami sekarang ini, kau adalah satu-satunya orang yang akan tinggal hidup."
"Sudah aku katakan, akulah yang akan menangkapmu hidup-hidup."
"Jangan begitu. Jangan memaksaku untuk mempergunakan kekerasan."
"Aku sama sekali tidak memaksamu. Tetapi aku tidak mau ditangkap hidup-hidup."
"Rara Wulan. Kau hanyalah seorang perempuan. Betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan dapat lolos dari tanganku."
"Bersiaplah. Kita akan mulai. Jangan tuduh aku licik karena aku menyerangmu sebelum kau bersiap."
"Jadi kau benar-benar tidak mau menyerah."
"Tidak." "Baik. Jika demikian aku akan memaksamu menyerah." Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ketika ia memandang berkeliling, maka semua orang telah terlibat dalam pertempuran. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati juga sudah bertempur. Sementara itu ledakan cambuk terdengar susul-menyusul. Namun diantara cambuk yang meledak-ledak itu, terdengar sekali dua kali hentakkan cambuk yang tidak melontarkan ledakan sebagaimana yang lain. Bunyi hentakkan cambuk yang hanya bagaikan desah itu, justru merupakan hentakkan cambuk yang sangat berbahaya.
"Ternyata tanpa Kiai Gringsing ayah mampu meniti ilmu sampai ke puncak," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Namun ketika ia sempat memperhatikan Ki Widura yang sedang bertempur itu, ternyata Ki Widura masih saja bersenjata sebilah parang. Namun cambuknya berada di tangan kirinya. Tangan kirinya-lah yang telah menghentakkan cambuk pada tataran puncak ilmu perguruan Orang Bercambuk.
Sebenarnyalah hentakkan cambuk yang tidak menimbulkan bunyi yang meledak itulah yang justru telah merisaukan beberapa orang berilmu tinggi yang bertempur di pihak Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, Rara Wulan-pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran melawan orang bertubuh raksasa itu. Di hadapan lawan-lawannya, Rara Wulan bagaikan seorang kerdil yang meloncat-loncat. Namun gerak Rara Wulan ternyata cukup cepat, sehingga raksasa itu tidak segera dapat menangkapnya.
"Jika saja kau berhasil menangkap pinggangmu," berkata Gajah Modang.
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan memang harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindari terkaman raksasa itu.
Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan raksasa itu berusaha menangkapnya seperti seekor kucing yang memburu tikus.
Karena itu, ketika kedua tangan Gajah Modang itu terjulur untuk menggapainya, maka Rara Wulan-pun melenting tinggi. Namun ia bukan saja melenting untuk menghindarkan diri. Tetapi sambil memutar tubuhnya, kaki Rara Wulan terayun mendatar menyambar kening raksasa itu.
Terdengar Gajah Modang mengaduh tertahan. Orang bertubuh tinggi kekar itu terhuyung beberapa langkah surut. Sambil memegangi keningnya yang terasa sakit sekali, Gajah Modang itu-pun berdesis, "Bukan main. Kau berhasil mengenai keningku."
Rara Wulan berdiri beberapa langkah di hadapannya sambil sedikit merendah. Perempuan itu telah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Kau akan menyesali tingkah lakumu itu, Rara Wulan."
Rara Wulan masih tetap diam. Selangkah ia bergeser ke samping.
Gajah Modang yang marah itu-pun kemudian meloncat tidak saja menerkam Rara Wulan, tetapi ia telah mengayunkan tangannya menyerang ke arah dada.
Namun dengan tangkasnya Rara Wulan meloncat menghindar hingga serangan Gajah Modang itu tidak mengenainya. Bahkan Rara Wulan telah meloncat dengan cepat. Sedikit merendah sambil memiringkan tubuhnya. Dengan kerasnya, kakinya terjulur mengenai lambung Gajah Modang.
Ternyata Gajah Modang yang bertubuh raksasa itu tergetar, bahkan kemudian bergeser selangkah surut.
"Kekuatan iblis manakah yang telah merasuk ke dalam dirimu." geram Gajah Modang, "ternyata kau mampu menggetarkan daya tahanku."
Rara Wulan masih saja diam. Namun perempuan itu telah bergeser selangkah.
Gajah Modang mulai menjadi benar-benar marah. Karena itu ia-pun menggeram, "Aku tidak lagi akan menahan diri. Aku memang berusaha menangkapmu hidup-hidup. Tetapi jika terpaksa, aku harus membunuhmu pula."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gajah Modang itu melawan Rara Wulan, yang meskipun nampak jauh lebih kecil, tetapi ternyata bahwa Rara Wulan mampu bergerak lebih cepat dari lawannya. Rara-rasanya serangan Rara Wulan itu datang dari segala penjuru.
Sementara itu, Nyi Citra Jati telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Ki Tunggak Petung. Ternyata bahwa Tunggak Petung telah keliru menilai kemampuan lawannya. Tunggak Petung mengira bahwa ia akan dapat dengan cepat menguasai lawannya, seorang perempuan tua. Namun ternyata bahwa perempuan tua itu mampu bertempur dengan tangkasnya. Nyi Citra Jati mampu bergerak dengan cepat, berloncatan seperti burung sikatan memburu belalang di rerumputan.
"Ternyata kau telah kerasukan iblis betina," geram Ki Tunggak Petung.
"He " Iblis betina " Kenapa ?"
"Kau yang sudah menjadi tua dan jelek itu masih mampu bertempur dengan tangkas. Kau masih mampu berloncatan demikian cepatnya."
"Aku tidak saja kerasukan iblis betina. Tetapi aku mampu mengalahkan iblis betina itu."
"Sombongnya kamu perempuan tua. Tetapi betapa-pun kau berbangga akan dirimu, tetapi sejenak kemudian kau akan mati. Suamimu akan mati. Semuanya akan mati disini."
"Itu angan-angan yang bermain di kepalamu. Tetapi apa yang sesungguhnya terjadi, tentu tidak seperti angan-anganmu itu."
Tunggak Petung tidak segera menjawab. Tetapi serangannya menjadi semakin cepat dan keras.
Tetapi Nyi Citra Jati tidak segera terdesak. Ia masih saja mampu mengimbangi lawannya meski-pun lawannya itu sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Beberapa langkah dari Nyi Citra Jati, Ki Citra Jati bertempur melawan musuh lamanya yang telinganya telah menjadi cacat. Dendam di jantung Ki Candik Sore rasa-rasanya bagaikan meledakkan dadanya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan laki-laki yang telah membuat telinganya menjadi cacat.
Cacat itu sendiri tidak banyak berpengaruh terhadap hidup dan kehidupannya. Namun kekalahan yang pernah dideritanya itulah yang sangat menyakitkan. Apalagi penghinaan yang diterimanya pada saat itu bahwa Ki Citra Jati telah berbelas kasihan dan membiarkannya hidup.
"Salahnya sendiri, kenapa ia tidak membunuhku waktu itu," berkata Ki Candik Sore di dalam hatinya, "Sekarang akulah yang akan membunuhnya."
Dengan garangnya, Ki Candik Sore menyerang Ki Citra Jati. Semakin lama kemampuan Ki Candik Sore-pun rasa-rasanya menjadi semakin tinggi.
Tetapi Ki Citra Jati-pun telah meningkatkan ilmunya pula. Gerakannya menjadi semakin cepat. Tubuhnya seakan-akan menjadi semakin ringan.
Ki Citra Jati yang tua itu, ternyata tidak menjadi semakin lamban. Ketuaannya membuatnya semakin matang, sehingga Ki Candik Sore mulai menjadi berdebar-debar. Setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi, ternyata Ki Citra Jati masih belum terdesak karenanya. Bahkan Ki Citra Jati masih saja dapat tersenyum sambil berkata, "Ilmumu memang menjadi semakin matang Candik Ala."
"Diam kau Setan tua," geram Ki Candik Sore. Dengan garangnya ia melenting, memutar tubuhnya sambil mengayunkan kakinya mendatar, mengarah ke kening.
Tetapi Ki Citra Jati dengan cepat merendah, sehingga kaki Ki Candik Sore sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan Ki Citra Jati yang merendah itu sempat membalas serangan Ki Candik Sore. Kakinya yang terjulur lurus, justru telah menyambar lambung.
Candik Sore itu terdorong ke samping. Hampir saja ia terpelanting jatuh. Namun dengan tangkasnya Ki Candik Sore bergeser, sehingga dapat mempertahankan keseimbangannya.
Ki Citra Jati tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Candik Sore memperbaiki keadaannya.
"Apakah kau sudah siap ?" bertanya Ki Citra Jati.
"Kau memang sombong sekali, Citra Jati. Tetapi kali ini kau akan menyesali kesombonganmu itu. Kau tidak akan dapat bertahan berapa lama. Aku akan segera membunuhmu."
Ki Citra Jati tidak menjwab. Tetapi ia bergeser selangkah maju.
"Sekian tahun aku menempa diri. Kesempatan seperti inilah yang aku tunggu. Aku tidak akan melepaskannya."
"Kita bertemu secara kebetulan, Ki Candik Sore. Kita akan menyelesaikan persoalan diantara kita sampai tuntas, agar kita tidak perlu mencari kesempatan lain di kemudian hari."
"Bagus Ki Citra Jati. Kita akan menuntaskan pertempuan kita kali ini. Dengan demikian, maka aku akan dapat tidur dengan nyenyak di malam-malam mendatang."
Ki Citra Jati tidak menjawab lagi. Namun ia merasakan gelombang serangan Ki Candik Sore yang meningkat semakin cepat dan semakin keras. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka-pun menjadi semakin sengit pula.
Dalam pada itu, meski-pun pertempuran itu terjadi tidak terlalu dekat dengan pasar, namun orang-orang didalam pasar itu-pun menjadi resah dan bahkan ketakutan. Beberapa orang dengan serta-merta telah meninggalkan pasar itu. Namun ada pula yang harus mengemasi dagangannya lebih dahulu.
Namun ada pula diantara mereka yang sempat menonton pertempuran itu.
Beberapa saat kemudian pertempuran menjadi semakin sengit. Ledakan-ledakan cambuk bagaikan mengguncang dahan pepohonan dan menggugurkan daun-daun yang mulai menguning.
Ki Gerba Lamatan yang marah melangkah mendekati seorang yang rambutnya sudah berbaur putih. Yan menggenggam cambuk di tangan kirinya dan membawa parang di tangan kanannya.
"Kau mengamuk seperti seekor banteng yang terluka. Kau siapa Ki Sanak ?" bertanya Gerba Lamatan.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Namaku Widura. Aku adalah pengikut setia Ki Saba Lintang."
"Sudahlah. Permainan sudah berlalu. Kita sudah mulai menanggalkan topeng-topeng kita."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Widura tersenyum. Katanya, "Kau tentu tahu maksudku. Aku adalah pengikut pemeran Ki Saba Lintang yang ternyata jauh lebih pantas dari Ki Saba Lintang sendiri."
"Ya. Aku setuju. Orang itu lebih muda. Lebih tampan dan sinar matanya nampak lebih tajam. Aku kira orang itu lebih cerdik dari Ki Saba Lintang sendiri."
"Sekarang keduanya sedang bertempur."
"Ya. Tetapi sayang, bagaiamana-pun juga orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu tentu kalah pengalaman. Jika saja ilmu mereka seimbang, maka Ki Saba Lintang yang sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman, keberanian bertindak dan tidak ragu-ragu untuk menghancurkan lawannya. Jika saja orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu juga seorang yang sedikit liar seperti Ki Saba Lintang itu juga seorang yang sedikit liar seperti Ki Saba Lintang yang sebenarnya, maka pertempuran diantara mereka akan menjadi sangat seru."
"Jika menurut pendapatmu Ki Saba Lintang itu sedikit liar, kenapa kau bersedia menjadi pengikutnya ?"
Ki Gerba Lamatan itu tertawa, katanya, "Tidak ada alat sebaik Ki Saba Lintang."
"Ternyata kau lebih cerdik dari Ki Saba Lintang."
"Kau kira Ki Saba Lintang tidak menyadari keadaannya " Pada saat terakhir, setelah kami kehilangan lawan, maka kami akan mencari lawan diantara kami sendiri."
"Demikian bengiskah watak Ki Saba Lintang dan bahkan kalian semuanya ?"
"Ya. Kami adalah orang-orang selicik serigala. Jika kami khabisan mangsa, maka siapa yang berdarah diantara kami, akan dikoyak-koyak oleh kelompoknya sendiri."
"Kau sadari itu ?"
"Ya Kau heran " Semua orang diantara kami menyadarinya, bahkan kami-pun berharap bahwa kami akan tetap mempunyai kepentingan sejalan sampai tahap akhir."
"Apakah artinya tahap akhir ?"
"Jika kami sudah merasa perjuangan kami selesai. Jika kami sudah dapat berdiri diatas keinginan kami."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "sekarang kau akan bertempur dengan mempertaruhkan nyawamu ?"
"Ya." "Kenapa kau tidak berpura-pura saja bertempur " Biarlah orang lain mati. Kau akan tetap hidup."
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun tertawa sambil berkata, "Satu gagasan yang baik. Tetapi aku ingin menyempurnakan gagasan itu."
Ki Widura tidak bertanya. Sementara orang itu berkata lebih lanjut, "Bagaimana jika kau bantu aku agar tidak ada orang yang tahu bahwa aku hanya berpura-pura ?"
"Apa yang dapat aku bantu ?" bertanya Widura.
"Kau biarkan aku membunuhmu."
Darah Ki Widura tersirap. Sementara orang itu sambil tertawa berkata, "Jika kau biarkan aku membunuhmu, maka kawan-kawanku akan menyangka bahwa aku sudah bersungguh-sungguh."
Namun Ki Widura segera dapat menguasai perasaannya. Sambil tersenyum ia-pun berkata, "Kau berhasil menyempurnakan gagasanku. Sayang. Aku tidak dapat mati. Aku mempunyai nyawa rangkap seratus. Sampai nafasmu putus, kau tidak akan berhasil menghabiskan nyawaku."
-ooo0dw0ooo- Buku 347 WAJAH Ki Gerba Lamatan menegang, katanya, "Ternyata kau sombong sekali, Ki Widura."
"Ya. Aku memang seorang yang sombong. Kau lihat senjataku" Sebuah cambuk dan sebilah parang. Kau tentu dapat membaca pertanda itu. Bahwa aku adalah orang yang sangat sombong."
Ki Gerba Lamatan menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah. Kita akan bertempur. Aku tidak akan sempat berpura-pura. Kau-pun tidak akan sempat mempergunakan nyawamu yang kedua."
Ki Widura tidak menjawab.
Ki Gerba Lamatan-pun kemudian telah mempersiapkan diri. Ditariknya sebilah luwuk pusakanya. Luwuk yang kehitam-hitaman. Pada tubuh senjata itu nampak guratan-guratan pamor yang bagaikan bercahaya.
"Widura," berkata orang itu, "kau dapat mempergunakan parangmu untuk melawan pengikut-pengikut Saba Lintang itu. Tetapi kau tidak akan dapat mempergunakannya menghadapi senjataku yang aku banggakan ini."
Ki Widura tidak menjawab. Namun Ki Widura itu-pun sudah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka Ki Gerba Lamatan-pun telah meloncat menyerangnya. Luwuknya terayun-ayun mengerikan.
Ki Widura-pun mengakui di dalam hatinya, bahwa luwuk itu adalah luwuk yang baik. Karena itu, Ki Widura tidak berani membenturkan parangnya yang dibelinya di pasar itu untuk membentur luwuk lawannya itu. Yang mungkin dilakukannya hanya menghindar atau menebas menyamping.
Ki Gerba Lamatan nampaknya dapat melihat kelemahan senjata Ki Widura. Justru karena itu, maka Ki Gerba Lamatan itu-pun berusaha menekan Ki Widura dengan serangan-serangan Ki Gerba Lamatan yang datang bagaikan banjir bandang yang tidak terbendung.
Dalam kesulitan itulah akhirnya Widura tidak lagi mempunyai kesempatan menghindari benturan parangnya dengan luwuk lawannya.
Ketika Ki Widura sedang terdesak, maka Ki Gerba Lamatan itu telah mengayunkan luwuknya dengan deras sekali. Sementara itu Ki Widura tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menghindar. Ia sudah berdiri lekat sebatang pohon yang besar.
Karena itu, maka Ki Widura-pun tidak mempunyai pilihan lain. Dengan jantung yang berdebaran Ki Widura telah membenturkan senjatanya, menangkis serangan Ki Gerba Lamatan.
Ketika benturan yang sangat keras itu terjadi, maka parang Ki Widura yang dibelinya di pasar itu-pun berderak patah.
Ki Widura meloncat kesamping selangkah. Ia berdiri termangu-mangu sejenak. Yang masih berada di tangannya tinggallah hulu parangnya.
"Senjatamu telah patah," geram Ki Gerba Lamatan, "itu adalah perlambang bahwa seranganmu-pun akan dengan mudah aku patahkan."
Ki Widura itu-pun kemudian berdiam berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dilemparkannya tangkai parang yang masih digenggaman. Kemudian tangan kanan Ki Widura itu telah menggenggam tangkai cambuknya. Cambuk yang berjuntai panjang."
Sekali hentak, maka cambuk Ki Widura itu meledak dengan kerasnya bagaikan membelah langit.
Ki Gerba Lamatan itu bergeser surut. Dipandanginya Ki Widura dengan tajamnya. Namun kemudian ia-pun tersenyum sambil berkata, "Ternyata kau tidak lebih dari seorang gembala kerbau. Suara cambukmu memekakkan telinga. Tetapi tidak berarti apa-apa bagi mereka yang sedikit saja mengenal ilmu kanuragan."
Ki Widura tidak menjawab. Namun ketika sekali lagi ia menghentakkan cambuknya, maka wajah Ki Gerba Lamatan-pun menjadi tegang. Cambuk Ki Widura itu tidak lagi meledak bagaikan mengoyak selaput telinga. Tetapi getaran yang tajam terasa menyentuh jantung Ki Gerba Lamatan.
"Gila orang ini," geram Ki Gerba Lamatan.
Ki Widura yang telah mampu menyempurnakan ilmunya setelah beberapa lama berada di padepokan orang bercambuk, memang telah sampai pada puncak kemampuannya. Sebagai seorang pemimpin dari sebuah padepokan yang disebut padepokan Orang bercambuk, maka Ki Widura telah mematangkan ilmu cambuknya. Dengan modal ilmu yang dipelajarinya dari berbagai cabang ilmu, serta kecerahan penalarannya, maka Widura yang bekerja keras itu, telah mampu menjadikan dirinya seorang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian, maka ilmu cambuknya mempunyai beberapa perbedaan ciri dengan ilmu cambuk yang diturunkan langsung dari Kiai Gringsing.
Tetapi Ki Widura tidak pernah menyangkal bahwa ia adalah murid Kiai Gringsing. Bahkan lebih muda dari murid-murid utama Kiai Gringsing yang lain.
Untuk menghadapi Ki Gerba Lamatan yang menggenggam pusaka kebanggaannya itu, maka Ki Widura telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Sementara itu, di sisi lain, Ki Jayaraga bertempur dengan garangnya pula. Kapak kecil di tangannya berputaran seperti baling-baling. Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang yang berkelompok menghadapinya, segera mengalami kesulitan. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah terpelanting keluar arena. Sebuah luka telah menganga di pundaknya. Luka oleh kapak kecil Ki Jayaraga yang dibelinya di pasar bersama Ki Widura.
Dengan demikian, maka orang-orang yang bertempur melawannya dalam kelompok itu-pun menjadi semakin berhati-hati. Seorang yang bersenjata tombak pendek berusaha memancing perhatian Ki Jayaraga. Sementara itu, kawannya yang bersenjata golok yang besar, menyerang dari samping bersama dengan kawannya yang lain yang bersenjata bindi, yang mengayunkan bindinya dari belakang mengarah ke tengkuk Ki Jayaraga.
Namun dengan tangkasnya, Ki Jayaraga berloncatan. Tidak seorang-pun diantara mereka yang berhasil menyentuhnya. Namun tiba-tiba saja terdengar teriakan kesakitan berbaur dengan kemarahan yang menghentak dada.
Orang yang bersenjata golok itulah yang terlempar dari arena. Lambungnya terkoyak oleh mata kapak Ki Jayaraga yang terayun mendatar.
Namun orang-orang yang bertempur dalam kelompok itu-pun segera menyibak. Seorang yang bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kumisnya yang tipis mendekatinya.
"Kau memang luar bisa Ki Sanak," desis orang itu.
Ki Jayaraga-pun melangkah surut. Dilihatnya seorang yang berdiri menatapnya. Matanya yang cekung memancarkan getar gejolak didalam dadanya.
"Kau siapa, Ki Sanak," bertanya orang itu.
"Namaku Jayaraga, Ki Sanak. Kau ?"
"Orang memanggilku Wirasekti. Aku adalah kepercayaan Ki Saba Lintang."
"Apakah yang kau maksud dengan kepercayaan ?"
"Banyak persoalan yang dihadapi oleh Ki Saba Lintang yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkannya sendiri. Aku selalu diajak berbincang untuk mencari jalan keluar. Selain untuk memecahkan beberapa masalah, maka aku adalah orang yang dapat berbagi perasaan dengan Ki Saba Lintang. Tidak ada lagi rahasianya yang disembunyikan dari penglihatanku. Ki Saba Lintang percaya bahwa aku tidak akan membocorkan rahasia itu kepada siapapun. Ki Saba Lintang-pun percaya, akan kesetiaanku kepadanya."
"Kenapa hal itu kau tanyakan kepadaku ?"
"Kau akan dapat mengukur, dengan siapa kau berhadapan. Kau akan segera menyadari, bahwa apa yang kau lakukan terhadap para pengikut Ki Saba Lintang itu tidak membuatku menjadi silau."
"Apakah kau sadari, bahwa pengakuanmu itu membuatku semakin ingin menangkapmu dan memeras rahasia Ki Saba Lintang yang kau ketahui ?"
Orang yang mengaku bernama Wirasekti itu tertawa. Katanya, "Jangan terlalu sombong Ki Sanak. Bagaimana mungkin kau berniat menangkapku " Lihat, kawan-kawanmu sudah terdesak dihantam prahara kemampuan para pengikut Ki Saba Lintang. Orang-orangmu yang tidak seberapa jumlahnya itu akan habis sampai yang terakhir."
"Apakah penglihatanmu dan penglihatanku berbeda " Para pengikut Ki Saba Lintang palsu yang bersenjata cambuk itu nampaknya akan segera mengusai medan."
"Jangan bermimpi Ki Jayaraga. Kau sendiri tentu akan segera mati. Aku adalah Wirasekti. Nama itu aku dapatkan dari Ki Saba Lintang yang merasa kagum akan kesaktianku."
"Apakah kau benar-benar sakti " Siapakah yang lebih sakti. Kau atau Ki Saba Lintang ?"
"Pertanyaanmu aneh. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Ki Saba Lintang."
"He " Kau belum pernah mendengar kekalahan Ki Saba Lintang selama ini ?"
"Selama aku bersamanya, aku belum pernah melihat Ki Saba Lintang kalah dalam satu pertempuran atau perang tanding."
"Agaknya kau memang belum lama menjadi kepercayaan Ki Saba Lintang, sehingga kau belum sempat melihat bahwa di Mataram ini banyak sekali orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui Ki Saba Lintang. Apalagi kau."
"Mimpi buruk itu harus kau tanggalkan, Ki Jayaraga."
"Wirasekti. Jika kau belum pernah melihat Ki Saba Lintang dikalahkan, maka hari ini kau akan melihatnya. Ki Saba Lintang itu akan dikalahkan oleh Ki Saba Lintang yang palsu itu. Meski-pun Ki Saba Lintang yang palsu itu masih muda, tetapi kematangan ilmunya sudah melampaui kematangan ilmu Ki Saba Lintang."
"Demikian jauhnya khayalmu mengembara Ki Jayaraga. Baiklah. Sekarang aku akan membangunkanmu. Kau akan segera menyadari, bahwa kau berhadapan dengan Ki Wirasekti. Seorang kepercayaan Ki Saba Lintang."
Ki Jayaraga-pun segera bersiap menghadapinya. Karena ia tidak melihat kepercayaan Ki Saba Lintang itu bersenjata, maka Ki Jayaraga-pun berkata, "Dimana senjatamu ?"
"Aku belum memerlukannya, Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga-pun kemudian meletakkan kapaknya di tanggul parit di pinggir jalan sambil berkata, "Baik. Aku-pun belum memerlukan pusakaku itu. Pusaka peninggalan nenek moyangku sejak jaman Singasari."
"Jaman Singasari " Tetapi aku lihat tangkai kapakmu itu baru."
"Aku jarang sekali mempergunkannya, Wirasekti. Kapak ini buatan jaman Singsari. Karena itu, buatannya masih nampak kasar. Tetapi kapakku ini adalah kapak yang bertuah. Jika aku mempergunakannya, maka kau tidak akan mampu bertahan sepenginang."
Wirasekti itu mengerutkan dahinya. Diperlihatkannya kapak kecil Ki Jayaraga. Namun ketika kapak itu diletakkan ditanggul parit, maka Wirasekti-pun tertawa sambil berkata, "Kau mencoba menipuku. Kapak peninggalan jaman Singasari tidak akan kau letakkan begitu saja diatas tanggul parit."
"Kau masih belum mengenal watak dan sifat kapakku yang selalu haus. Didekat aliran parit itu, maka kesegarannya akan sedikit mengendalikan keganasan kapak kecil itu. Jika kapak itu tidak basah oleh air yang memercik di rerumputan, maka ia akan terlalu cepat menghisap darah lawan-lawanku."
Wajah Wirasekti menegang.
Sementara Ki Jayaraga berkata selanjutnya, "Dengan demikian maka pertempuran menjadi tidak menarik, karena hanya akan berlangsung sebentar. Karena itu, maka aku lebih senang meletakkan kapakku sekarang ini, agar kita mempunyai kesempatan yang agak lama untuk bermain."
"Bohong," teriak Wirasekti.
Ki Jayaraga itu-pun bertanya dengan nada tinggi, "Kau tidak percaya ?"
"Ki Jayaraga. Kau tidak sedang berbicara dengan kanak-kanak yang baru dapat merengek minta mainan. Tetapi kau berbicara dengan kepercayaan Ki Saba Lintang. Karena itu, kau tidak usah mengigau. Sekarang bersiaplah. Jika kau ingin mengambil dan mempergunakan kapakmu, kenapa tidak kau lakukan " Kapakmu itu hanya pantas untuk memotong dahan-dahan kayu kering dari batang-batang kayu tua yang sudah hampir roboh."
Ki Jayaraga-pun segera mempersiapkan diri. Ia justru bergeser mendekati lawannya sambil berkata, "Marilah. Kita sudah terlambat mulai."
Wirasekti-pun segera mempersiapkan dirinya. Sebagai seorang yang merasa dirinya sakti, maka Wirasekti-pun terlalu yakin akan dirinya. Ia merasa bahwa dalam waktu yang pendek, ia akan segera dapat mengalahkan lawannya itu.
Keduanya-pun kemudian bergeser beberapa langkah. Namun tiba-tiba serangan Wirasekti-pun menyambar Ki Jayaraga dengan derasnya mengarah langsung ke dadanya.
Ki Jayaraga memang agak terkejut mengalami serangan itu. Agaknya Wirasekti memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ia dapat bergerak demikian cepatnya tanpa membuat ancang-ancang.
Namun Ki Jayaraga masih mampu mengelakkan diri, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.
Wirasekti terkejut. Ia sudah memastikan, bahwa pada serangannya yang pertama itu lawannya akan terlempar dan jatuh terpelanting di tanah. Jika ia masih sempat bangkit, maka nafasnya tentu mulai mengganggunya atau bahkan tulang iganya telah menjadi retak.
Tetapi serangannya itu sama sekali luput dari sasaran.
Ketika kemudian Wirasekti berdiri menghadap Ki Jayaraga dan bersiap untuk meloncat menyerang, maka Ki Jayaraga-pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Wirasekti mulai menggerakkan tangannya. Ia-pun bergeser selangkah kesamping. Namun kemudian Wirasekti-pun meloncat selangkah sambil menjulurkan tangannya. Ki Jayaraga yang sudah bersiap itu menangkisnya kesamping, sementara tangannya yang lain bergerak dengan cepat menyambar bahu. Tetapi Wirasekti sempat memiringkan tubuhnya sambil menebas tangan Ki Jayaraga. Tetapi diluar dugaannya, Ki Jayaraga itu-pun telah memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar sejalan dengan putaran tubuhnya menghantam kening.
Ki Wirasekti terkejut. Namun kaki Ki Jayaraga itu benar-benar menyambar kening Wirasekti, sehingga Wirasekti itu terpelanting jatuh berguling di tanah.
Dengan cepat Wirasekti meloncat bangkit. Kepalanya memang terasa menjadi pening. Bahkan untuk beberapa saat matanya menjadi kabur.
Tetapi Ki Jayaraga tidak memburunya dan tidak memanfaatkan keadaan lawannya itu. Bahkan Ki Jayaraga seakan-akan telah memberi kesempatan lawannya untuk memperbaiki keadaannya.
Wirasekti menggeram. Namun dengan mengerahkan segenap tenaganya, Wirasekti itu meloncat sambil menjulurkan kakinya.
Dengan bergeser selangkah, Ki Jayaraga telah terhindar dari serangan itu, sementara Ki Jayaraga meloncat sambil mengayunkan tangannya.
Dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka-pun berlangsung semakin sengit. Serangan demi serangan meluncur dari kedua belah pihak.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi itu-pun telah menebar. Mereka tidak saja bertempur di jalan bulak. Tetapi mereka telah meloncat memasuki kotak-kotak sawah disebelah menyebelah jalan. Tanaman yang hijau telah terinjak-injak kaki, berparahan.
Disana-sini terdengar ledakan cambuk yang memekakkan telinga. Meski-pun jumlah para pengikut Ki Saba Lintang lebih banyak dari para cantrik, namun para cantrik yang terlatih itu, mampu mengimbangi mereka. Seorang cantrik yang harus bertempur melawan tiga orang sekaligus, tidak segera merasa terdesak. Cambuknya yang berputaran, meledak-ledak dengan kerasnya. Setiap sentuhan akan berakibat sangat buruk bagi lawannya. Kulit dan dagingnya akan terkoyak, sehingga darah-pun akan segera mengalir dari luka yang menganga itu.
Seorang cantrik yang harus berhadapan dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang yang garang, harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi kedua orang lawannya. Seorang lawannya bersenjata canggah bertangkai pendek. Seorang lagi membawa pedang yang punggungnya berkait ngeri pandan.
Karena itu, maka cantrik itu-pun harus sangat berhati-hati. Jika canggah itu sempat menekan lehernya, maka segala-galanya jakan berakhir. Sementara itu punggung pedang yang ngeri pandan itu akan dapat mengoyak dagingnya sehingga tersayat-sayat.
Namun dalam keadaan yang gawat, cantrik itu-pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Putaran cambuknya menjadi semakin cepat. Sekali-sekali cambuknya menghentak sendal pancing. Namun kemudian menyambar mendatar dengan cepatnya.
Seorang diantara kedua lawannya itu-pun berteriak nyaring ketika ujung cambuk cantrik itu menyambar betisnya. Satu hentakan yang kuat telah mengelupas kulit dagingnya, sehingga sampai ketulang.
Orang itu jatuh tersungkur. Meski-pun ia berniat untuk segera bangkit, tetapi ia sudah tidak mampu lagi. Demikian ia berusaha, maka ia-pun segera terjatuh kembali. Darah mengucur dari luka di betisnya, sehingga terdengar orang itu mengaduh kesakitan.
Seorang kawannya berusaha menolongnya. Dipapahnya orang itu menepi. Diikatnya kakinya dengan ikat kepalanya untuk mengurangi darah yang mengalir.
Demikianlah, maka para cantrik itu ternyata mampu mengejutkan para pengikut Ki Saba Lintang. Senjata mereka yang khusus memang membuat para pengikut Ki Saba Lintang itu cemas. Bahkan seorang cantrik yang bertempur melawan dua atau tiga orang lawannya, masih juga sempat tiba-tiba menghentakkan cambuknya menyerang orang yang bertempur melawan cantrik yang lain.
Dengan demikian, maka para pengikut Ki Saba Lintang itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Meski-pun jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka ternyata tidak segera berhasil menguasai keadaan.
Dalam pada itu, sebagian besar dari orang-orang yang berada di pasar sudah meninggalkan pasar itu dengan tergesa-gesa. Tetapi beberapa orang yang memiliki keberanian masih juga bertahan untuk menyaksikan pertempuran yang terjadi beberapa puluh langkah dari pasar itu.
Namun ternyata arena pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan pasar yang sudah menjadi semakin sepi.
Dalam pada itu, Ki Saba Lintang-pun menjadi sangat marah karena ia tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih. Jika Ki Saba Lintang harus bertempur dan tidak mampu mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Saba Lintang masih dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang. Tetapi setelah ia menempa diri di setiap waktu yang memungkinkan selama petualangnya, ia masih saja belum dapat dengan cepat menguasai Glagah Putih.
Sebenarnyalah bahwa ilmu Glgah Putih-pun menjadi semakin matang. Ketika ia menjalani laku untuk dapat bermain-main dengan rinding sebagaimana diwariskan oleh Ki Citra Jati, maka laku yang dijalaninya telah mempengaruhi kematangan ilmu yang sudah dimilikinya pula. Tenaga dalam, ketahanan tubuh serta tataran kemampuannya telah meningkat semakin tinggi.
Karena itu, maka ketika ia harus berhadapan dengan Ki Saba Lintang, maka Glagah Putih mampu mengimbanginya meski-pun Ki Saba Lintang sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Sementara itu, Rara Wulan masih bertempur dengan sengitnya melawan Gajah Modang. Meski-pun Rara Wulan bagi Gajah Modang bagaikan seorang kerdil, ternyata bahwa Gajah Modang tidak segera dapat menangkapnya. Setiap kali ia mencoba menerkam, maka Rara Wulan itu tiba-tiba saja telah menyerang Gajah Modang dari arah yang tidak diduganya.
Ketika kaki Rara Wulan yang kecil itu menghantam lambung Gajah Modang, maka rasa-rasanya kaki yang kecil itu bagaikan sebongkah batu yang berat, yang dilontarkan oleh tangan raksasa mengenai lambungnya, sehingga Gajah Modang itu terhuyung-huyung beberapa langkah kesamping.
"Kau jangan keras kepala, perempuan cantik," berkata Gajah Modang, "jangan menguji kesabaranku."
"Kau-pun jangan menjadi keras kepala, Gajah Mabuk. Kau tidak akan berhasil menangkap aku. Tubuhmu yang besar itu membuatmu menjadi sangat lamban bergerak. Kau menjadi seekor kucing tua yang malas. Kau tidak akan dapat menangkap seekor tikus yang muda dan tangkas."
"Tetapi sekali kukuku sempat menerkam tubuhmu, maka kau tidak akan pernah terlepas lagi."
Gajah Modang yang belum selesai berbicara itu terkejut. Kaki Rara Wulan terayun sejalan dengan putaran tubuhnya menyambar keningnya.
Gajah Modang itu terdorong beberapa langkah kesamping, matanya rasa-rasanya menjadi kabur. Kepalanya menjadi pening. Tubuhnya yang besar itu-pun kemudian telah terbanting jatuh berguling di tanah.
Rara Wulan sengaja tidak memburunya. Ia menunggu Gajah itu bangkit berdiri.
"Iblis betina kau," geram Gajah Modang, "aku tidak akan mengekang diri lagi. Aku tidak lagi berniat menangkapmu hidup-hidup."
"Lakukan apa yang akan kati lakukan. Tetapi aku-pun akan melakukan apa yang ingin aku lakukan."
"Persetan kau, perempuan gila."
Rara Wulan bergeser surut ketika Gajah Modang itu melangkah maju mendekat. Dengan garangnya Gajah Modang itu-pun telah menyerang lwannya yang kecil itu. Ia benar-benar tidak lagi mengekang dirinya. Ia tidak lagi ingin menangkap Rara Wulan hidup-hidup yang akan dapat dipergunakannya sebagai umpan bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
"Sokur bila aku dapat menangkapnya hidup-hidup. Jika tidak, apaboleh buat. Ia tidak boleh terlepas dari tangan kami," berkata Gajah Modang itu di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka serangan Gajah Modang-pun menjadi semakin sengit. Bagaikan ombak yang bergulung-gulung menghantam bukit-bukit karang di pantai terjal.
Namun Rara Wulan tidak membentur serangan-serangan Gajah Modang, Tetapi Rara Wulan menjadikan dirinya seperti sebuah kelapa yang sudah tua yang mengambang dan terumbang-ambing dipermukaan. Namun sebuah kelapa yang tua tidak akan pernah ditenggelamkan oleh ombak yang betapa-pun besarnya.
Keringat Gajah Modang-pun membasahi seluruh tubuhnya. Pakaiannya bahkan seakan-akan baru dibenamkan kedalam air sebelum dicuci.
Sementara itu, Rara Wulan yang kecil itu berloncatan dengan tangkasnya. Sekali-sekali tubuhnya meluncur menyerang bagian-bagian terlemah dari tubuh Gajah Modang.
Gajah Modang menjadi kehabisan akal. Apaun yang dilakukan, tidak mampu mencegah perempuan itu menyakitinya. Bahkan semakin lama menjadi semakin nyeri.
Dalam pada itu, pertempuran itu-pun menjadi semakin sengit. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh Ki Saba Lintang. Orang-orangnya tidak segera menguasai medan. Bahkan orang-orang berilmu tinggi yang sempat dibujuknya untuk bekerja bersamanya, tidak pula segera mengatasi lawan-lawan mereka.
"Ternyata kemampuan mereka tidak seimbang dengan nama mereka," berkata Ki Saba Lintang di dalam hatinya, "bahkan Gajah Modang-pun tidak segera berhasil menguasai perempuan itu. Perempuan yang terlalu kecil dibandingkan dengan tubuhnya sendiri."
Bahkan Ki Saba Lintang-pun harus melihat kenyataan, bahwa para pengikutnya yang jumlahnya lebih banyak dari para pengikut Glagah Putih itu tidak segera mampu mengalahkan mereka. Bahkan orang-orangnyalah yang telah terlempar dan terpelanting dari medan.
Tetapi Ki Saba Lintang-pun melihat, bahwa orang-orangnya masih belum kalah. Belum ada pihak yang menguasai medan sepenuhnya. Bahkan Ki Saba Lintang masih melihat, orang-orangnya sempat mendesak para pengikut Glagah Putih yang jumlahnya lebih kecil.
Dalam pada itu, Gerba Lamatan-pun melihat keadaan itu. Bahkan Gerba Lamatan merasa tidak telaten melihat kelambanan para pengikut Ki Saba Lintang. Dua orang muridnya ada di dalam pasukan Ki Saba Lintang itu. Ternyata kedua orang muridnya itu mampu menjadi penggerak utama bagi pasukan Ki Saba Lintang.
Namun Ki Gerba Lamatan sendiri ternyata tidak dapat segera menguasai Ki Widura. Bahkan ujung cambuk Ki Widura itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulitnya. Ujung cambuk itu mematuk bagaikan kepala ular weling yang bisanya sangat tajam. Sentuhan ujung cambuk itu sudah dapat mengoyakkan pakaiannya, serta membuat kulitnya menjadi pedih.
"Gila orang ini. Cambuknya membuat jantungku menjadi berdebar-debar."
Sebenarnyalah bahwa ujung cambuk itu rasa-rasanya selalu memburunya kemampuan ia beringsut. Seolah-olah di ujung cambuk itu terdapat mata yang sangat tajam, yang melihat gerak dan bahkan arah gerak yang masih akan dilakukan.
Apalagi ketika Ki Widura melihat keadaan murid-muridnya yang seakan-akan terkepung oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang jumlahnya memang lebih banyak. Ki Widura itu memperhitungkan, bahwa jika ia tidak segera mampu melepaskan diri dari lawannya dan membantu murid-muridnya, maka murid-muridnya akan benar-benar terdesak
Karena itu, maka Ki Widura-pun telah meningkatkan ilmunya. Ia berusaha segera mengatasi lawannya yang bersenjata sebuah luwuk yang kehitam-hitaman itu.
Namun pada saat yang bersamaan, Gerba Lamatan juga berniat untuk menghentikan perlawanan Ki Widura. Karena itu, maka luwuknya-pun segera berputaran di sekitar tubuhnya, seperti perisai kabut yang kehitam-hitaman menyelimuti dirinya.
Ki Widura menjadi semakin berhati-hati. Ketika tiba-tiba saja Gerba Lamatan meloncat sambil menjulurkan luwuknya, maka terasa udara menjadi panas.
Ki Widura segera meloncat mundur. Ia sadar, bahwa Gerba Lamatan telah sampai ke puncak ilmunya. Ia tidak saja mengandalkan luwuk pusakanya. Tetapi pada putaran luwuk yang kehitam-hitaman itu telah terpancar ilmunya yang mampu memanasi udara di sekitarnya.
Namun udara yang panas itu terasa semakin lama menjadi semakin menebar. Dengan demikian, maka Ki Widura menjadi agak kesulitan untuk mendekatinya, karena dengan demikian ia harus menerobos kedalam udara yang mulai menjadi panas.
"Gula orang ini," geram Ki Widura di dalam hatinya, "ternyata aku agak terlambat."
Ketika segumpal awan yang kehitam-hitaman meluncur ke arahnya, maka Ki Widura harus segera melenting mengambil jarak. Jika kabut yang kehitam-hitaman itu sempat menyentuhnya, maka tubuhnya tentu akan terkoyak. Luka-pun akan segera menganga. Sementara itu, panas udara bagaikan menghisap kekuatan yang ada di dalam dirinya Keringat-pun bagaikan terperas.
"Aku tidak dapat membiarkan diriku tenggelam ke dalam kekuatan ilmunya," berkata Ki Widura di dalam hatinya, "betapa-pun panasnya, aku harus mampu menggapai tubuhnyadengan ujung cambukku."
Dengan demikian, maka Ki Widura-pun segera mengambil ancang-ancang. Ia tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, jumlah lawan yang banyak itu-pun rasa-rasanya mulai menekan murid-muridnya.
Karena itu, maka betapa-pun panasnya udara yang ditimbulkan oleh kemampuan ilmu lawannya, harus ditembusnya sehingga ujung cambuknya dapat menggapai tubuhnya.
Sementara itu, Gerba Lamatan yang melihat Ki Widura dalam kesulitan, segera meloncat memburunya. Ia tidak ingin memberinya waktu untuk dapat melepaskan diri dari terkamannya.
Namun Widura tidak akan meloncat lebih jauh. Ketika Gerba Lamatan meloncat mendekatinya dengan putaran luwuknya yang bagaikan kabut yang kehitam-hitaman serta udara panas di sekitarnya, maka Ki Widura-pun telah menyongsongnya.
Dengan ketajaman penglihatannya, maka Ki Widura membidik pergelangan tangan Ki Gerba Lamatan yang sedang memutar luwuknya.
Dalam udara yang bagaikan membakarnya, Ki Widura menghentakkan cambuknya.
Hentakkan cambuk di tangan Ki Widura itu sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Tetapi justru karena itu, maka kekuatan hentakkan cambuk Ki Widura yang dilandasi dengan kekuatan tenaga dalamnya sangat besar, serta puncak ilmu cambuknya, membuat hentakkan cambuknya itu mempunyai tenaga yang luar biasa.
Tetapi panas udara di sekitar tubuh Gerba Lamatan telah menyebabkan Ki Widura harus membuat jarak jika ia tidak mau hangus terbakar didalamnya, sehingga karena itu, maka ujung cambuknya tidak dapat membelit pergelangan tangan Gerba Lamatan. Apalagi tangan Gerba Lamatan itu bergerak dengan cepat memutar luwuknya.
Meski-pun demikian, namun ujung cambuk Ki Widura itu sempat menyentuh tangan Gerba Lamatan sedikit dibawah sikunya. Terdengar Gerba Lamatan berteriak dan mengumpat kasar. Kulit tangannya, sedikit dibawah sikunya telah terkelupas hingga sampai ke tulang.
Darah-pun mengalir dengan derasnya, sehingga Gerba Lamatan harus berloncatan surut mengambil jarak.
Ki Widura tidak sempat memburu lawannya. Tubuhnya yang bagaikan dipanggang dalam api itu rasa-rasanya telah kehilangan tenaganya.
Ki Widura harus mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk dapat masih tetap berdiri tegak.
Untuk beberapa saat pertempuran itu-pun bagaikan terhenti. Ki Widura masih berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Angin yang berhembus perlahan, sedikit membuat tubuh Widura menjadi agak segar. Tetapi bagian dalam tubuhnya yang seolah-olah telah menjadi matang oleh udara panas yang dihisapnya saat bernafas, masih saja terasa nyeri.
Sementara itu, Gerba Lamatan berdiri tegak sambil menggeram. Darah masih saja mengalir dari nadinya yang terputus oleh sentuhan ujung cambuk Ki Widura.
Gerba Lamatan-pun kemudian memberi isyarat seorang pengikut Ki Saba Lintang mendekatinya. Agaknya Gerba Lamatan memerintahkan orang itu untuk mengikat lengannya di atas siku dengan ikat kepala untuk mengurangi arus darah yang keluar dari lukanya.
Ki Widura yng merasa tubuhnya lemah itu sempat melihat, apa yang dilakukan oleh pengikut Ki Saba Lintang itu. Bahwa seseorang berada dekat dengan Gerba Lamatan memberikan isyarat kepadanya, bahwa Gerba Lamatan tidak sedang mengetrapkan ilmu apinya.
"Mungkinkah Gerba Lamatan mampu mengatur kekuatan ilmunya sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang terbakar oleh panas apinya ?"
Tetapi Ki Widura-pun tidak mau melepaskan kesempatan yang mungkin akan menguntungkannya.
Dengan sisa tenaganya, maka Ki Widura-pun bergerak sambil mengayunkan cambuknya.
"Gila kau Widura," Gerba Lamatan berteriak. Didorongnya orang yang sedang mengikat tangannya itu meski-pun masih belum cukup erat.
Dengan cepat Gerba Lamatan mengetrapkan ilmunya yang memancarkan udara panas dari dalam dirinya.
Tetapi kekuatan api itu tidak dengan serta-merta membuat udara mendidih di sekitar tubuhnya. Selagi udara merambat menjadi semakin panas, Ki Widura telah menyerang Gerba Lamatan dengan cambuknya.
Dengan tangan kirinya Gerba Lamatan menangkis serangan Ki Widura yang menghentakkan sisa-sisa tenaganya. Tetapi Gerba Lamatan terkejut ketika cambuk Ki Widura justru membelit senjatanya. Satu hentakkan yang keras, ujung cambuk Ki Widura telah merenggut luwuk Gerba Lamatan yang digenggamnya dengan tangan kirinya, yang tidak sekuat tangan kanannya yang terluka.
Amulet Bertuah 3 Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Romantic Story About Serena 3

Cari Blog Ini