Ceritasilat Novel Online

Burung Merak 4

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 4


kata ibu tiri Ana sambil tertawa.
"Soalnya tadi setelah mendengar mobil berhenti,
telingaku tidak menangkap suara apa-apa lagi. Kukira
mobil tamu tetangga depan," Deni membela diri samhttp://pustaka-indo.blogspot.com218
bil tersenyum malu. "Kau tidak jadi naik taksi,
Mbak?" "Mbak Ana diantar temannya yang kebetulan menjemput saudaranya di Gambir," sang ibu yang menjawab. "Sudahlah, tolong bawaan kakakmu kaubawa
masuk." "Beres." Deni tersenyum lagi, kemudian menoleh
ke arah Wibisono. "Terima kasih ya, Mas, telah mengantar Mbak Ana." "Terima kasih kembali...." Wibisono tersenyum
pada Deni. Tetapi di dalam hati dia menggerutu sendiri. Rupanya Ana dengan sengaja telah membiarkan
ia mengira Deni itu kekasihnya.
Setelah Deni masuk, sekali lagi ibu tiri Ana mengajak Wibisono masuk dulu, tetapi laki-laki itu tetap
menolaknya. "Lain kali, Bu. Kelihatannya Ana sangat lelah dan
ingin segera beristirahat," sahutnya sambil melirik
Ana. Mengetahui dirinya disindir, Ana melengos. Tetapi
ibu tirinya yang tidak tahu-menahu, mengangguk dengan ramah. "Baiklah. Sekali lagi terima kasih telah mengantar
Ana sampai ke rumah," katanya. "Ana, antar temanmu sampai depan sana."
Dengan perasaan terpaksa, agar tidak menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan di hati ibu tirinya, Ana terpaksa
mengantar Wibisono sampai ke pintu pagar. Sampai di
situ, Wibisono menghentikan langkahnya kemudian
menoleh ke arah Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com219
"Kenapa kau tidak menjelaskan bahwa Deni itu
adikmu," katanya sambil menimang-nimang kunci
mobilnya. "Untuk apa" Bukan hal penting. Lagi pula penjelasan apa pun tak ada gunanya bagi dua orang musafir
seperti kita." Wibisono tertawa dingin mendengar perkataan
Ana. Kemudian dibukanya pintu mobil, masuk dan
menyalakan mesinnya. Setelah menyala, ia menurunkan kaca jendela mobil dan menatap Ana dengan
tatapan sedingin tawanya tadi.
"Itu lagi, itu lagi yang kaukatakan. Bosan telingaku
mendengar perumpamaan yang kaupakai untuk menilai perkenalan kita. Tetapi baiklah, aku akan ikuti
aturan permainanmu. Inilah perbedaan antara dirimu
dengan Ika. Kau seorang perempuan yang tak berperasaan," katanya kemudian. Usai berkata seperti itu,
ia segera melarikan mobilnya. Tanpa menoleh-noleh
lagi, laki-laki itu menghilang dari hadapan Ana dengan mobil mewahnya. Gadis itu berdiri termangu-mangu sendirian. Apakah benar dirinya tidak berperasaan seperti penilaian
Wibisono tadi" Sungguh, ia tidak bisa menjawab
pertanyaan itu. Tetapi meskipun demikian, ada satu
hal yang ia ketahui dengan baik. Dengan menghilangnya Wibisono dari pandangannya, ada sesuatu pula
yang tiba-tiba terasa runtuh dari hatinya dan menimbulkan tempat kosong yang mulai menganga.
http://pustaka-indo.blogspot.com220
KRESNO mendengar lagi suara Wibisono yang sedang marah-marah. Kali ini yang kena semburan kemarahan laki-laki itu adalah Pak Dadang, sopir truk
gandeng yang pendiam itu. Tadi pagi, Yulia, sekretaris
perusahaan juga sudah kena bentakan-bentakannya.
Dan kemarin, lalu kemarinnya lagi, ada saja yang
membuat Wibisono marah-marah tak menentu seperti
itu. Diam-diam Kresno menggeleng. Hah, kenapa
semenjak kembali dari Ungaran, sifat Wibisono jadi
demikian" Aneh kedengarannya. Hal-hal kecil yang
biasanya tidak menyebabkannya kesal, kini ditanggapinya dengan menyemburkan kemarahan yang seharusnya tidak perlu. Persis seperti gunung berapi yang sedang bergejolak. Apa yang sedang terjadi pada diri
kakaknya itu" Ada apa"
Tujuh http://pustaka-indo.blogspot.com221
Suara bantingan pintu di depan Kresno terdengar
hampir bersamaan dengan munculnya sang kakak
yang sedang memenuhi pikirannya itu.
"Ada apa lagi, Mas?" tanyanya.
"Pak Dadang benar-benar ceroboh," gerutu yang
ditanya, masih dengan dahi berkerut. "Muatan sudah
penuh, masih saja ada barang yang diangkat ke truk.
Apa dia tidak tahu kalau kena razia, kita yang rugi.
Bukan dia. Itu kalau bicara soal uang. Kalau bicara
mengenai rasa tanggung jawab moral, dia itu jelas
salah besar. Jalan raya milik negara bisa rusak karenanya. Itu belum termasuk mempercepat ambruknya
jembatan-jembatan yang sudah tua. Untungnya sebelum mereka berangkat, aku sempat melihatnya."
"Lalu apa alasannya...?"
"Dia bilang muatan yang berlebih itu hanya sampai
di Cikampek saja," sahut Wibisono. "Nah. bagaimana
kalau kena razianya di Karawang atau malah di Cikarang, misalnya." "Pak Dadang kan bukan orang bodoh, Mas. Dia
bisa memberi uang pelicin berlebih pada polisi..."
"Itu dia yang membuatku semakin marah," Wibisono
memotong perkataan adiknya. "Kan tadi sudah kukatakan mengenai pentingnya tanggung jawab moral.
Sudah merusak jalan, memupuk budaya korupsi, pula.
Lagi pula tidak semua petugas mau diberi salam tempel!" "Ya, aku setuju pendapatmu, Mas. Tetapi apakah
hal itu harus diselesaikan dengan kemarahan yang
berlebihan seperti itu sampai seluruh dunia mendehttp://pustaka-indo.blogspot.com222
ngar suaramu. Ingat, Pak Dadang termasuk salah seorang sopir andalan kita. Orangnya jujur, prestasi
kerjanya juga oke. Kendalikan emosimu. Jangan membuat suasana jadi tak nyaman di kantor ini," sahut
Kresno serius. "Kalau tidak setuju kan bisa dikatakan
dengan bahasa dan sikap yang lebih enak didengar."
Ditegur oleh adiknya, Wibisono diam saja. Sebagai
gantinya, dia meraih segelas es teh manis yang terletak di atas meja. Kemudian diminumnya sampai tinggal separo. "Hei, itu tehku!" Kresno menghentikan gerakan
sang kakak. "Kau minta pada Bik Popon lagi. Aku perlu mendinginkan kepalaku," sahut Wibisono sambil mengempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia menyandarkan bagian belakang kepalanya. Kresno tersenyum samar seraya melirik ke arah
Wibisono yang wajahnya tampak kusut masai.
"Kau harus tahu, Mas, tadi Yulia menangis setelah
kaubentak-bentak," bisiknya kemudian.
"Masa" Dia menangis tadi?"
"Ya, sebab tidak pernah sebelumnya kau bersikap
begitu keras kepadanya sampai-sampai dia merasa kau
tidak lagi menyukai hasil pekerjaannya. Aku terpaksa
menghiburnya." "Bagaimana caramu menghibur?" Wibisono menatap tajam wajah sang adik.
"Kukatakan bahwa sebenarnya kau tidak marah
kepadanya tetapi karena pikiranmu sedang ruwet jadi
mudah tersinggung. Kurasa alasan yang kukatakan
http://pustaka-indo.blogspot.com223
kepadanya itu memang demikian kenyataannya. Ya,
kan?" "Ah, gombal. Kau memang pandai mengarang cerita," Wibisono membantah.
"Aku pandai mengarang cerita?" Kresno mengangkat kedua alis matanya. "Jangan mengelak lho. Mas
Wawan telah menceritakan sesuatu kepadaku dan memintaku untuk sering mengingatkan dirimu agar
hati-hati bermain api karena bisa hangus terbakar.
Jangan sampai main-main jadi sungguhan dan?"
"Kau bicara apa sih?" Wibisono memotong perkataan Kresno. "Jangan pura-pura, Mas." Lagi-lagi Kresno menaikkan kedua alis matanya. "Ketika kita sedang merintis
cabang di Ungaran, kau kan yang paling getol mendekati salah satu gadis sebelah rumah itu. Nah, kelihatannya, perasaanmu mulai ikut terlibat sehingga kau
jadi mudah uring-uringan seperti sekarang ini."
"Itu kan analisis kalian. Wawan tahu apa sih?"
Kresno tertawa. "Dia justru tahu banyak, Mas. Jadi jangan meremehkan pengamatannya," sahutnya kemudian.
"Pengamatan apa?"
"Kau tiba-tiba saja pulang ke sini, padahal sebelumnya pernah bilang mau melebarkan jalan cabang kita
di Ungaran sampai mulus dulu baru kembali ke
Jakarta." "Pulang mendadak apa anehnya sih" Sudah berbulan-bulan aku di sana dan jalannya perusahaan juga
sudah cukup baik. Jadi untuk apa aku berlama-lama
http://pustaka-indo.blogspot.com224
menemani Wawan" Kan lebih baik aku pulang ke
Jakarta dan mengelola kantor pusat kembali."
"Memang tidak aneh kalau itu wajar. Tetapi begitu
gadis yang kauincar itu kembali ke Jakarta, rencanamu
semula untuk tinggal di Ungaran beberapa lama lagi,
langsung saja berubah."
"Apa kaitannya dengan gadis itu?"
"Jangan tanya padaku. Tetapi tanyakan pada dirimu
sendiri." Kresno tertawa lagi. "Sudah begitu kau berubah jadi pemarah. Masalah sepele yang biasanya hanya kautanggapi dengan senyum kecil, sekarang ini
kaubesar-besarkan hanya untuk melampiaskan keresahan hatimu." Wibisono tidak menanggapi perkataan sang adik.
Sebagai gantinya, ia meraih rokok yang tergeletak di
atas meja hanya untuk menenangkan perasaannya
yang resah. Analisis Wawan dan Kresno tidak salah.
Tetapi dia tidak mau mengakuinya.
Melihat Wibisono hanya diam saja, cepat-cepat
Kresno menyerang lagi. "Mas, daripada membiarkan perasaanmu gundah
dan resah sendirian begitu, kenapa tidak kaubagi saja
padaku" Dua kepala yang berpikir tentu akan lebih
baik. Apalagi kepala yang bertengger di atas leherku
ini dalam kondisi prima. Tidak sepertimu," katanya.
"Oke... oke." Wibisono mematikan rokoknya yang
masih panjang dengan melumat-lumat di asbak. "Perkiraanmu benar, Kresno. Aku memang sedang resah
dan mulai menghadapi bahaya terbakar api mainanku
sendiri." http://pustaka-indo.blogspot.com225
"Itu artinya perasaanmu ikut terbawa?"
"Ya." "Kenapa" Karena gadis itu sangat cantik?"
Wibisono tersenyum sekilas. Meskipun umur Kresno sudah hampir dua puluh enam, pikirannya masih
polos. "Kalau hanya masalah lahiriah, ada banyak perempuan di dunia ini yang juga cantik. Bahkan lebih.
Tetapi gadis bernama Ana itu bukan hanya jelita saja,
namun juga memiliki kemampuan untuk mengacaukan perasaanku," sahutnya kemudian.
"Kacaunya bagaimana?"
"Dia pandai sekali mengaduk-aduk perasaanku. Terkadang, aku marasa ada keakraban yang manis di antara kami berdua. Bicara apa saja, mengasyikkan. Pengetahuannya sangat luas, mendalam dan memperkaya
diriku. Cara mengemukakan pendapat dan berargumentasi, hebat. Ia kutu buku dan suka belajar. Sudah
begitu dia memiliki rasa keindahan yang keluar dari
lubuk hatinya. Dia juga pengarang profesional meskipun baru beberapa bukunya yang diterbitkan. Tetapi
tulisannya mencerminkan perasaannya yang lembut
dan alur pikirannya yang runtut"."
"Wah, hebat nian. Tak heran kau jadi pusing tujuh
keliling begini," Kresno menggodanya.
"Tetapi ada hal-hal yang membuatku sering merasa
jengkel terhadapnya. Antara lain karena sikapnya yang
suka meremehkan orang. Kalau hatinya tersinggung,
bicaranya bisa sangat menyengat perasaan. Singkat
kata, di luar kelebihan-kelebihan yang kuceritakan
http://pustaka-indo.blogspot.com226
tadi, aku menganggapnya sebagai gadis munafik. Sok
suci. Sok jual mahal. Didekati, menjauh. Kujauhi,
malah membuatku penasaran. Lama-lama aku merasa
lelah. Aku yang seharusnya mempermainkan dirinya
malah seperti dipermainkan olehnya. Gila, kan" Jadi
mana bisa aku bersikap tenang sekarang?"
"Wah, gawat kalau begitu," Kresno bergumam.
"Tetapi bagaimana perasaannya terhadapmu?"
"Kok bertanya seperti itu?"
"Yah, sedikit-banyak kau pasti dapat merasakan bagaimana perasaannya terhadapmu. Apakah dia merasa


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senang bergaul denganmu, misalnya. Apakah sikapnya
tampak ramah saat bersamamu dan matanya berbinarbinar ketika menatapmu?"
Mendengar pertanyaan Kresno, Wibisono tersenyum di dalam hati. Adiknya itu memang terlalu
polos untuk usianya. Ana bukan gadis remaja yang
mudah diduga-duga perasaannya.
"Kan sudah kukatakan tadi, gadis itu membuatku
jadi kacau," sahutnya kemudian. "Sedikit pun aku tidak bisa menangkap bagaimana perasaannya terhadapku. Satu-satunya hal yang bisa kujadikan pegangan
pun tak bisa memberiku jawaban yang pasti."
"Apa itu...?" "Mm" dia itu... ah... bagaimana ya menjelaskannya?" Wibisono mengalami kesulitan untuk menjawab
pertanyaan Kresno. Bahkan tampak tersipu sehingga
sang adik yang polos itu bisa menangkap bahasa tubuh sang kakak. "Ada kaitannya dengan kemesraan rupanya," guhttp://pustaka-indo.blogspot.com227
mamnya sambil tertawa kecil. Keterusterangan Kresno
menyebabkan Wibisono tertawa. Ia mengangguk.
"Yah, begitulah," akunya kemudian.
"Penjelasannya...?"
"Ketika ada kesempatan untuk menciumnya, ia
begitu pasrah." "Bahkan membalasnya?" Kresno memancing.
"Ya, akhirnya."
"Kenapa membuatmu bingung" Itu kan jelas dan
gamblang." "Apanya yang jelas dan gamblang?" Wibisono
menatap wajah sang adik dengan tajam.
"Bahwa dia sudah masuk perangkapmu."
"Kresno, sudah kukatakan tidak mudah memberi
penilaian terhadap gadis satu itu. Dan itulah yang
membuatku geram." "Memangnya kenapa?"
"Sebab aku mempunyai dugaan, bagi dia berciuman dan bahkan lebih dari itu pun bukan sesuatu yang
istimewa. Mungkin seperti makan atau minum, ibaratnya. Bisa dinikmatinya kapan saja dia mau dan dengan siapa saja." Kresno mulai serius mendengar perkataan sang kakak. "Mungkin kata-katamu itu ada benarnya kalau
melihat latar belakang keluarganya," gumamnya kemudian, menanggapi perkataan abangnya itu. "Kau harus
hati-hati, Mas. Jangan sampai mau menangkap buruan, malah terperangkap masuk ke perangkap buatan
sendiri." http://pustaka-indo.blogspot.com228
"Memang itulah yang sedang ada di depan mataku." "Wah, gawat." Kresno menggeleng.
"Yah, gadis itu tidak seperti yang kubayangkan.
Bahkan meskipun aku telah berhasil menciumnya,
belakangan ini aku malah merasa seperti didepak dari
depan hidungnya seakan aku ini laki-laki hidung belang yang sedang mengejar-ngejarnya. Kan jadi terbalik arah permainanku ini. Aku benar-benar penasaran
karenanya." "Tak heran kalau kau jadi uring-uringan."
Kresno menatap Wibisono dengan dahi berkerut.
"Kalau boleh memberimu saran, hentikan saja permainanmu itu. Sudah ada tanda-tanda membahayakan
seperti itu buat apa dilanjutkan" Apalagi perasaanmu
sudah ikut bicara. Jangan sampai senjata makan tuan
lho." "Aku justru tertantang untuk mengalahkannya. Memangnya siapa dia?" Wibisono mendengus.
"Tetapi jangan sampai membuat perasaanmu teraduk-aduk begitu dong, Mas. Kan bisa mengganggu
ketenangan suasana kantor kita yang selama ini terasa
damai." "Ya, aku memang bersalah. Mulai saat ini aku akan
lebih memakai rasio daripada emosiku."
"Sebaiknya begitu. Matikan seluruh perasaanmu."
Kresno mengangguk. "Satu lagi yang perlu kauingat,
jangan sampai mengulang sejarah masa lalu kita."
"Oh, itu pasti. Seumur hidupku aku tidak akan
http://pustaka-indo.blogspot.com229
pernah bisa melupakannya," sahut Wibisono sambil
mengetatkan gerahamnya. "Bagus. Sekarang carilah strategi yang lebih baik
daripada kemarin-kemarin," kata Kresno memberi semangat. "Jangan sampai gagal. Oke?"
Wibisono mengiyakan. Kresno masih ingin bicara
lagi tetapi suara ketukan pintu menghentikannya. Perhatian kakak-beradik itu pun beralih ke sana.
"Masuk," kata Wibisono.
Salah seorang pegawai mereka masuk ke ruangan
sambil membawa setumpuk catatan. Maka tak bisa
dicegah, kesibukan pekerjaan segera saja memerangkap
ketiga orang itu dan Wibisono terlarut di dalamnya.
Pada dasarnya, laki-laki itu memang menyukai pekerjaan yang berada dalam tanggung jawabnya.
Sementara itu di tempat lain, Ana yang tadi menjadi bahan pembicaraan kakak-beradik itu sedang
menikmati kesibukan barunya. Ia berhasil mendapat
pekerjaan di sebuah penerbitan majalah dua mingguan. Memang tidak ada hubungannya langsung dengan ilmu yang diraihnya di universitas, namun ilmu
dan kemampuan yang dimilikinya amat bermanfaat
di dalam pekerjaan barunya itu. Apalagi ia memiliki
perbendaharaan bahasa yang kaya dan cara penyampaian yang tertata, seakan ia mempunyai latar belakang
pendidikan jurnalistik. Masih ditambah pula wawasannya yang luas berkat hobinya membaca dan belajar.
Ia juga memiliki penalaran yang runtut dan tajam.
Caranya menyusun kalimat dan memaparkan sesuatu
lewat tulisan-tulisannya serba-enak dibaca. Bahasanya
http://pustaka-indo.blogspot.com230
segar, komunikatif, dan untaian kalimatnya menimbulkan orang ingin terus membacanya. Itu belum termasuk namanya yang mulai berkibar sebagai pengarang
muda berbakat. Pendek kata, mereka yang berwewenang di kantor penerbitan tempat Ana bekerja itu
merasa mendapat mutiara begitu ia ikut memperkuat
majalah mereka. Sebaliknya, Ana sendiri pun merasa gembira mendapat pekerjaan yang terasa lebih menantang daripada
pekerjaannya yang dulu. Di tempat ini ia bisa mengembangkan kreativitas dan bakatnya. Di tempat ini
dia bisa bekerja tanpa tekanan batin. Teman-temannya
baik-baik dan situasi di tempat itu menyenangkan.
Sudah begitu baru bekerja satu bulan saja dia sudah
mendapat banyak kenalan di luar. Orang-orang atau
tokoh masyarakat yang selama ini hanya didengar
atau dilihatnya lewat televisi atau surat kabar, kini
sering dilihatnya secara dekat. Bahkan bisa bercakapcakap dengan mereka saat mewawancarinya.
Harus diakuinya, untuk beberapa minggu ia masih
harus melakukan penyesuaian dengan cara kerjanya
yang baru. Dulu, begitu pulang kantor, dia bisa
beristirahat dan melupakan pekerjaan kantornya. Tetapi sekarang hal itu hampir-hampir tak pernah bisa
dilakukannya. Sering kali sesampai di rumah pun ia
masih harus melanjutkan pekerjaannya. Lebih-lebih
jika dikejar oleh deadline. Ia juga harus semakin mengasah kepekaannya dalam hal pikiran, mata, dan pendengarannya. Hidungnya pun harus tajam mencium
berita atau sesuatu yang layak untuk diangkat ke dahttp://pustaka-indo.blogspot.com231
lam tulisan. Begitupun dalam mengulas berita, ia harus mampu menjabarkannya secara cermat, akurat,
dan benar. Sedapat-dapatnya ia harus bisa memilah
antara kenyataan dengan analisis atau opini pribadinya, tergantung dari apa yang disajikannya. Hasil
wawancara harus sesuai dengan apa yang disampaikan
oleh narasumber dan bisa dipertanggungjawabkan.
Jangan sampai ia mengambil kesimpulan sendiri atas
hasil wawancaranya sebab banyak narasumber yang
sangat teliti. Mereka tidak suka, bahkan bisa marah
besar, kalau hasil wawancara yang dimuat di majalah
atau koran tidak sesuai dengan apa yang keluar dari
bibir mereka gara-gara sang wartawan terlalu jauh
mengambil kesimpulan atau kebablasan menganalisis
yang diucapkan narasumber saat wawancara.
Memang, hal itu agak berbeda dengan karya-karya
fiksinya di mana seluruh perasaan, emosi, dan pandangan-pandangan pribadinya boleh bermain-main di
dalamnya. Tetapi meskipun demikian, kedua jalur
penulisan itu sama-sama disukainya. Menulis fiksi
ataupun nonfiksi merupakan sesuatu yang membuat
Ana merasa "hidup". Ia telah menemukan dunianya
dan bahagia karenanya. Kesibukan Ana bekerja di tempat yang baru itu
telah menyingkirkan Wibisono dari pikirannya. Masamasa di Ungaran hanyalah bagian dari liburannya
belaka. Memang, jauh di lubuk hatinya gadis itu
merasa telah ada yang berubah. Hatinya yang perawan, mulai terusik. Bahkan bibirnya yang juga masih
perawan pun telah disentuh oleh Wibisono. Malanghttp://pustaka-indo.blogspot.com232
nya, jauh di relung batinnya yang paling dalam, hati
kecil Ana mengatakan bahwa laki-laki itu tak layak
menjadi orang pertama dalam kehidupannya sebagai
seorang perempuan. Tetapi sayang, kenyataan pahit
itu tak bisa dihapuskan begitu saja dari ingatannya.
Laki-laki itu telah berhasil mengobrak-abrik perasaannya. Laki-laki itu telah menggoyang pintu hatinya.
Sadar akan hal itu, ingatan Ana sering terbang ke
masa-masa pertemuannya dengan Wibisono. Ia harus
mengakui, pesona laki-laki itu telah memerangkap
dirinya meskipun akal sehatnya tidak menginginkan
hal itu. Apalagi dia yakin, ada banyak pengagum
Wibisono. Dia juga yakin, banyak gadis-gadis menunggu perhatian laki-laki itu. Pasti ada banyak perempuan
yang bersikap seperti kerbau dicucuk hidungnya jika
Wibisono memberinya kesempatan.
Namun Ana tidak sama dengan kelompok gadis-gadis itu. Semakin perasaannya terperangkap oleh pesona yang ditebarkan Wibisono, semakin rasionya mengingatkannya untuk segera menjauhi laki-laki itu.
Mekanisme pertahanan batinnya mendorong dia untuk bersikap sinis, galak, acuh tak acuh, dan mengambil jarak karena kuatnya rasa cemas kalau-kalau orang
yang bersangkutan mengetahui hal itu. Dia sadar latar
belakang kehidupan keluarga Wibisono dengan dirinya tidak setara. Keluarga Wibisono, keluarga berpangkat dan berharta. Dalam hal-hal semacam itu, Ana
memang selalu menempatkan dirinya dalam keluarga
almarhum sang ayah dengan kehidupan mereka yang
sederhana. Dia tidak pernah menempatkan dirinya
http://pustaka-indo.blogspot.com233
dalam kehidupan ibunya yang mewah. Bahkan di
sana ia sering merasa sebagai outsider. Hatinya tak
pernah tersangkut di dalamnya.
Namun bukan karena perbedaan latar belakang keluarga itu yang menyebabkan Ana bertahan untuk tidak membiarkan dirinya terkena ujung panah asmara
Wibisono. Melainkan karena rasionya mengatakan
bahwa Wibisono terlalu ganteng untuk menjadi orang
terdekat dalam hidupnya. Terutama karena cara-cara
pendekatannya yang agak-agak nekat dan terlalu berani. Hal itu tidak cocok dengan alunan jiwa Ana.
Rasanya terlalu cepat laki-laki itu membidikkan panah
sehingga akal sehatnya sering mengingatkannya untuk
tidak serius menanggapi pendekatannya itu. Meskipun
mengetahui laki-laki itu menaruh perhatian terhadapnya dan bahkan tertarik olehnya, Ana tidak mau memikirkannya. Dia sadar, ketertarikan Wibisono tidak
menukik hingga ke relung hatinya. Bagi laki-laki itu,
dia hanya bagai buruan yang mengasyikkan karena
tidak mudah masuk perangkapnya sebagaimana gadisgadis lain. Nyatanya, Wibisono menjulukinya "burung
merak" yang sombong.
Ana yakin, Wibisono tidak bersungguh-sungguh
terhadapnya. Keasyikannya berburu burung merak
yang tidak mudah ditangkap itulah yang menyenangkan hatinya. Jadi bukan karena Ana pribadi sebagai
seorang individu. Meskipun Ana merasa terhina karenanya namun tak mudah baginya melupakan begitu
saja apa yang pernah terjadi di antara mereka berdua.
Oleh sebab itu ia merasa bersyukur karena pekerjaanhttp://pustaka-indo.blogspot.com234
nya sekarang telah menyita waktu, pikiran, dan tenaganya sehingga ia hampir-hampir tidak mempunyai
kesempatan untuk memikirkan Wibisono. Apalagi
memikirkan laki-laki lainnya. Dia juga bersyukur,
Wibisono tak pernah lagi melintas di jalur kehidupannya. Sejak mengantarkannya ke rumah sebulan lebih
yang lalu, mereka berdua tidak pernah berjumpa lagi.
Meskipun Ana mengakui ada yang hilang dari dirinya
namun hal itu disingkirkannya jauh-jauh. Terutama
karena belakangan ini kecakapannya bekerja seakan
diuji dengan banyaknya tugas yang diletakkan di atas
pundaknya. Begitulah, Jumat siang saat Ana sibuk di depan
komputernya, Pak Sukandar, atasannya yang menjabat


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai redaktur pelaksana, tiba-tiba menghampiri
mejanya. "Sudah mulai mapan bekerja di sini, Ana?" tanya
laki-laki paro baya itu. "Sudah, Pak." Ana tersenyum. "Selain karena dunia
tulis-menulis adalah dunia yang saya sukai, saya juga
menyukai tantangan untuk belajar hal-hal baru. Di
sini saya menemukan keduanya. Mengapa Bapak menanyakannya" Apakah ada sesuatu yang harus saya
perbaiki" Kalau ada, jangan sungkan-sungkan mengatakannya pada saya, Pak. Dari kesalahan pun kita bisa
belajar. Paling tidak, jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama. Ya kan, Pak?""
Pak Sukandar menepuk-nepuk lembut bahu Ana
dengan sikap kebapakan. "Ya. Ana mengingatkan saya pada pengalaman
http://pustaka-indo.blogspot.com235
masa muda saya di sini," katanya kemudian. "Giat,
semangat, dan pantang menyerah sebelum benarbenar sudah tidak bisa berbuat apa pun. Saya yakin,
Ana pasti akan sukses dengan kepribadian seperti ini.
Apalagi ditambah dengan kejujuran, sikap disiplin,
dan rasa tanggung jawab tinggi sebagaimana yang
saya lihat ada pada Ana."
"Terima kasih, Pak. Ucapan Bapak menguatkan tekad saya." "Nah... saya ingin bertanya kepadamu, apakah besok malam Minggu ini Ana punya acara pribadi?"
"Tidak ada, Pak."
"Dengan seseorang yang khusus, barangkali?"
"Juga tidak ada, Pak. Kalaupun ada, teman khusus
saya adalah buku-buku. Ada beberapa buku bagus
yang belum sempat saya baca. Kenapa, Pak" Apakah
ada tugas yang harus saya kerjakan?"
"Jenis buku apa saja yang Ana sukai?" Pak Sukandar
mengabaikan pertanyaan Ana.
"Semuanya saya suka."
"Novel?" "Ya, saya suka membaca novel meskipun saya juga
menulis novel." Ana tersenyum.
"Novel manis dan love story?"
"Ya. Saya suka juga. Memang novel semacam itu
bisa membuat pembacanya berada dalam dunia khayal
yang serba-indah. Tetapi asalkan mereka sadar bahwa
dalam kenyataan hidup tidak semua hal semulus jalan
tol. Lagi pula dari sebuah novel ada banyak hal lain
yang bisa kita dapatkan."
http://pustaka-indo.blogspot.com236
Pak Sukandar tersenyum, kemudian mengangguk.
"Ya. Novel pun banyak memuat filsafat hidup dan
nilai-nilai kemanusiaan yang bisa kita petik. Tentang
berbagai macam budaya dan masalah-masalah sosial,
misalnya," katanya kemudian. "Nah, kembali ke soal
semula. Kalau Ana memang tidak punya kesibukan
apa pun malam Minggu nanti, bisakah kamu menemani Joko, menggantikan tempat Nanik" Semestinya
dia yang bertugas bersama Joko, tetapi ibunya tibatiba masuk rumah sakit."
"Apa tugas Nanik yang harus saya gantikan, Pak?"
"Meliput konser anak dan remaja dari berbagai
sekolah musik terkenal di Jakarta. Tetapi yang harus
kalian soroti bukan sekadar konser itu, melainkan
kegiatan anak-anak dan para remaja yang tergabung
di dalamnya. Rasanya itu cukup menarik mengingat
perkembangan musik sekarang begitu pesat namun
yang sebagian di antaranya diraih secara otodidak dan
bukan melalui pendidikan formal yang memerlukan
waktu dan keseriusan. Tetapi toh mereka sukses dan
banyak penggemarnya."
"Saya juga pernah memikirkan hal itu, Pak. Cukup
banyak para pemusik yang sukses dan terkenal tanpa
harus bersusah payah belajar musik sejak mereka masih kanak-kanak. Tetapi di pihak lain, sekolah-sekolah
musik masih tetap banyak diminati. Tampaknya dari
fenomena tersebut ada sesuatu yang patut dicermati
dari berbagai sudut pandang."
Pak Sukandar tertawa. http://pustaka-indo.blogspot.com237
"Rupanya Ana bisa menangkap apa yang saya pikirkan," katanya kemudian. "Maka galilah sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan gambaran menyeluruh
yang bisa kita sajikan kepada pembaca kita mengenai
fenomena yang ada di dalam masyarakat kita dewasa
ini. Saya juga ingin agar Ana bisa menggali motivasi
anak-anak itu dalam berkarya dan bermusik. Seberapa
besar peran orangtua mereka merintiskan jalannya dan
seberapa besar pula pengaruh lingkungan termasuk
media massa, tempat kursus, dan toko-toko musik
terhadap anak-anak itu."
"Baik, Pak. Saya juga ingin minta pendapat para
musikus dan ahli psikologi anak sebagai subjek yang
berkarya." "Bagus, Ana. Dan Joko akan lebih banyak menangkap dengan kameranya. Besok malam, kalian bisa memakai mobil kantor."
"Baik, Pak." Maka begitulah, pada petang Sabtu itu Ana dijemput oleh Joko, fotografer yang akan bertugas bersamanya. Keduanya tampak bagai pasangan yang serasi.
Ana tampak semakin jelita dengan gaun berwarna
kehitaman yang dilengkapinya dengan dua susun kalung berwarna keperakan. Dan Joko tampak semakin
tampan dengan kemejanya yang sportif dan kasual.
Ketika Ana bersama Joko meninggalkan rumah,
ada dua pasang mata menatap kepergian mereka dengan penuh perhatian. Sepasang mata yang mengintip
dari jendela rumah, tampak berbinar diselimuti harapan menggunung. Mudah-mudahan Ana segera mendahttp://pustaka-indo.blogspot.com238
patkan jodoh yang baik dan bertanggung jawab.
Sekilas ibu tiri Ana melihat laki-laki muda yang menjemput Ana tadi berwajah bersih. Wajah orang yang
jujur dan baik hati. Sepasang mata lain yang juga memperhatikan kepergian Ana bersama Joko tadi adalah milik Wibisono.
Laki-laki itu baru saja membelokkan mobilnya masuk
ke jalan rumah Ana. Pandang matanya yang awas sempat melihat Ana masuk ke dalam mobil bagus, didampingi laki-laki berwajah tampan.
Maka semburat api memancar dari kedua belah
bola mata Wibisono. Dan percikan api itu terus mengikuti mobil yang ditumpangi Ana dan Joko hingga
mereka menghilang di kelok jalan. Tanpa sadar kedua
tangan laki-laki itu mencengkeram kemudi kuat-kuat
hingga buku-buku jemarinya memucat.
"Dasar perempuan materialistis," desisnya. "Sungguh
munafik!" Apa yang dilihatnya menunjukkan padanya Ana
seorang gadis yang munafik. Penampilannya yang
sederhana, polos dan berbeda daripada Evi dan Ika
hanyalah kepura-puraan belaka. Sikapnya yang angkuh
dan tidak mudah didekati itu hanya selubung saja.
Bahkan sebagai permainan belaka. Petang ini dia tampil "wah". "Perempuan munafik itu mencari laki-laki yang lebih baik daripada aku rupanya," Wibisono mendesiskan gumaman dengan gigi yang nyaris bergemeletuk. Usai mengumpat, laki-laki itu segera memacu mohttp://pustaka-indo.blogspot.com239
bilnya kencang-kencang menuju ke rumahnya kembali. Hatinya terasa panas. Padahal tadi ketika meninggalkan rumah, hatinya dipenuhi harapan, bisa
mengajak Ana pergi lagi bersamanya seperti ketika
mereka masih di Ungaran. Setelah hampir satu setengah bulan lamanya berkutat dalam perang batin,
akhirnya Wibisono kalah. Ia melepas belenggu hatinya. Keinginannya untuk tidak lagi memikirkan Ana,
dibiarkannya menghilang. Maka menjelang petang, ia
sudah berada di dekat rumah Ana. Tetapi yang bisa
dilakukannya di situ hanyalah gigit jari. Ana telah
pergi bersama laki-laki lain.
Ketika akhirnya Wibisono menggantungkan kunci
mobil di tempatnya kembali, hatinya yang panas masih saja terus bergolak. Diempaskannya tubuhnya ke
atas tempat tidur tanpa mengganti pakaian lebih dulu
sebagaimana kebiasaannya jika membaringkan diri.
Kurang ajar si burung merak itu, berulang kali ia memaki Ana di dalam hatinya yang penuh kemarahan
itu. Saat kemarahan semakin bergulung-gulung di dada
Wibisono dan mencapai titik kulminasi, secara tibatiba saja pikiran warasnya muncul membawa kesadaran baru dan mengajaknya untuk melakukan perenungan. Mengapa ia bisa sedemikian marahnya hanya
karena melihat Ana pergi bersama laki-laki lain" Mengapa pula ketika melihat laki-laki itu berwajah tampan
dan membawa mobil bagus, hatinya begitu panas"
Bukankah hal itu merupakan sesuatu yang sudah bisa
diperkirakan sebelumnya mengingat Ana bersaudara
http://pustaka-indo.blogspot.com240
kandung dengan Evi dan Ika. Kenapa dia harus marah seperti ini" Wibisono menggeleng berulang kali saat berbagai
pertanyaan seputar kemarahan itu menyerbu kepalanya. Ia tahu betul sekarang, kemarahan itu bukan
sekadar karena dibodohi oleh perempuan munafik,
seakan dia gadis terhormat yang sulit didekati, tetapi
lebih dari itu. Kemarahan itu juga disebabkan oleh
api cemburu dan rasa tersingkirkan. Masih lekat dalam ingatannya, berulang kali Ana mengatakan bahwa
hubungan mereka hanya sebagai penumpang dua kapal berbeda yang berpapasan di tengah laut, saling
menyapa sesaat lalu selesai. Tak perlu sapaan mereka
dilanjutkan. Hmm, apakah ada alasan yang mendasari
pendapat itu" Karena dirinya bukan seorang pengusaha kaya-raya tetapi hanya seorang laki-laki yang baru
mulai merintis sukses di dunia bisnis" Atau apa" Tetapi entah apa pun itu, dia tahu sekarang bahwa Ana
memang perempuan materialistis. Baru sekali ini
Wibisono merasa disepelekan seorang gadis. Bahkan
Ika yang jelas-jelas mempunyai banyak pengagum dan
hanya tinggal memilih mana yang akan menjadi teman khususnya saja masih menaruh rasa hormat kepadanya. Kendati sepengetahuannya gadis itu sering
berganti-ganti pacar, sering pula bersikap manja dan
bergenit-genit di hadapannya, namun tak pernah ada
sikap melecehkan tersiar dari sikap dan pandang matanya. Sikapnya juga ramah. Tetapi Ana" Sejak awal
berkenalan, gadis itu tak pernah bersikap ramah.
Sikapnya sering tampak dingin, acuh tak acuh, jual
http://pustaka-indo.blogspot.com241
mahal, dan bahkan menganggapnya bagai angin lalu.
Sungguh, sangat menyebalkan. Siapakah di antara
ketiga perempuan jelita bersaudara kandung itu yang
lebih "murah" harganya" Evi dan Ika yang terangterangan menyukai pelbagai hal yang serba "wah" dan
serbamewah, ataukah Ana yang pandai bermain sandiwara, pura-pula alim, pura-pura lugu tetapi jinak-jinak merpati dan munafik"
Lagi-lagi Wibisono tak bisa menjawab pertanyaan
itu. Tetapi yang jelas, ia merasa hatinya berontak, tidak suka dipermainkan oleh perempuan murahan
seperti Ana. Gadis-gadis baik dan terhormat saja pun
tak berani memandang rendah padanya. Mengingat
itu, ia merasa harus membalas permainan Ana dengan
permainan yang sama munafiknya dan penuh kepurapuraan sebagaimana yang diperbuat gadis itu terhadap
dirinya. Ingin sekali Wibisono menaklukkan Ana dan
melihat air mata gadis itu mengaliri pipinya. Kalau
hal itu bisa terwujud, alangkah puas hatinya. Bahkan
dendam pribadinya bisa terlampiaskan pula. Sekali
tepuk, dua lalat terpelanting oleh tamparannya.
Sambil masih tetap berbaring di atas tempat tidurnya, Wibisono membolak-balik pikirannya dan mencari upaya bagaimana cara mendekati Ana kembali untuk melaksanakan balas dendamnya. Semakin cepat
itu terealisasi, semakin lepas dendam kesumatnya, begitu ia berpendapat. Sementara itu orang yang membuat hati Wibisono
panas membara, sedang duduk dengan tenang di Gedung Kesenian Jakarta, menaruh perhatian cermat ke
http://pustaka-indo.blogspot.com242
arah pertunjukan konser di hadapannya. Sesekali dengan diam-diam ia mencatat sesuatu di dalam notes
kecilnya. Di saat istirahat ketika para penonton mencari minuman dan makanan kecil yang disediakan di
selasar kiri dan kanan gedung utama pertunjukan,
Ana mencari-cari berita dan subjek-subjek yang relevan untuk diwawancarai sehubungan dengan konser
tersebut. Ketika waktu istirahat hampir usai, Ana melihat
seorang ibu sedang membetulkan pakaian anak perempuannya yang berusia sekitar sepuluh tahun. Ana
ingat, tadi anak itu duduk di muka piano baby grand.
Jemarinya yang lincah dan ahli, memainkan tuts piano dengan manis sekali, berpadu dengan pemain-pemain musik belia lainnya yang memainkan biola dan
saksofon. Secara bersama-sama, mereka mengumandangkan lagu-lagu indah yang menyebabkan para pe

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nonton berdiri untuk memberi aplaus begitu lagu itu
usai dimainkan oleh anak-anak berbakat itu.
Sekarang Ana mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengan anak yang memainkan piano tadi.
Didekatinya anak itu. "Selamat malam, Ibu," sapanya kepada sang ibu.
"Saya wartawan majalah Kawula Muda. Bolehkah saya
mewawancarai Ibu sehubungan dengan putri Ibu yang
memiliki bakat luar biasa ini?"
Perempuan berusia sekitar empat puluhan itu menoleh ke arah Ana, tersenyum sesaat baru kemudian
menjawab permintaannya. "Aduh, maaf, Mbak. Saya harus segera masuk unhttp://pustaka-indo.blogspot.com243
tuk menyaksikan permainan anak saya ini lagi. Apalagi nanti kedua kakaknya juga akan ikut memainkan
biola. Saya tidak ingin kehilangan kesempatan itu.
Kalau Mbak ingin mewawancarai kami, silakan
datang ke rumah, besok hari Minggu," sahutnya sambil mengeluarkan kartu nama yang diserahkan ke tangan Ana. "Kita bisa bebas di sana. Di sini, Mbak
sendiri kan juga jadi terbagi perhatiannya."
"Baik, Bu. Terima kasih atas kesediaan Ibu. Besok
sekitar jam sembilan saya akan datang ke rumah Ibu,"
Ana menjawab sambil menyimpan kartu nama yang
baru diterimanya itu. Tiga kakak-beradik yang tampil
di dalam konser ini sangat layak untuk disajikan di
majalahnya. Sungguh beruntung, sehari setelah konser
itu dia diberi kesempatan untuk melakukan wawancara langsung dengan mereka. Ia akan bisa melihat dari
dekat seperti apa kehidupan musikus-musikus belia
itu di tengah-tengah keluarganya.
Demikianlah pada Minggu pagi hari berikutnya,
jam setengah delapan pagi Ana sudah keluar dari rumahnya dengan membawa tas berisi peralatan yang
dimilikinya. Termasuk kamera. Dia sudah belajar bagaimana seni membidikkan kamera. Sebelum berangkat, kepada ibu tirinya dia mengatakan akan pulang
sekitar jam dua belas. "Tidak dijemput rekan kerjamu lagi?" tanya sang
ibu tiri. "Tidak, Bu. Dia punya tugas lain."
"Naik taksi?" "Tidak, Bu. Sayang uangnya. Saya akan naik kenhttp://pustaka-indo.blogspot.com244
daraan umum saja, Bu. Pada hari Minggu pagi begini,
agak sepi kok." "Hati-hati ya" Kau membawa kamera mahal milik
kantor lho." "Kalau sewaktu pulang kendaraan umumnya mulai
penuh penumpang, Ana akan naik taksi, Bu."
"Begitu lebih baik."
Jam setengah dua belas, ibu tiri Ana membukakan
pintu untuk Wibisono yang sedang mulai melancarkan
upayanya menjerat Ana dengan mengajaknya makan
siang. Tetapi yang mau diajak pergi, tidak ada di rumah. "Ana sedang pergi." Ibu tiri Ana masih ingat, lakilaki itu pernah mengantarkan Ana dari stasiun. "Tetapi sebentar lagi dia akan tiba kembali di rumah. Begitu yang dikatakannya kepada saya. Mau menunggu di
dalam, Nak?" "Tidak usah, Bu. Terima kasih. Saya datang ke sini
ini hanya mampir saja. Kebetulan saya ada urusan ke
tempat di dekat sini," sahut Wibisono, berdalih. "Lain
kali kalau kebetulan lewat lagi, saya akan mampir.
Sudah lama saya tidak berjumpa dengan Ana."
"Baiklah, Nak."
Ketika Wibisono mengendarai mobilnya kembali
dan pelan-pelan mengarungi jalan rumah Ana terletak,
pandangannya membentur mobil BMW baru warna
hitam mengilat yang baru saja berbelok ke jalan yang
sama. Di dalamnya, ia melihat Ana duduk di sebelah
seorang laki-laki setengah baya. Mereka berdua sedang
tertawa-tawa. Melihat itu perut Wibisono langsung
http://pustaka-indo.blogspot.com245
tegang. Betapa mesranya kedua orang itu, pikirnya
dengan hati geram. Sedemikian geram hatinya sampai
matanya tidak melihat bahwa di bagian belakang mobil itu duduk tiga anak kecil yang menjadi bahan
tertawaan Ana dan laki-laki itu, ayah mereka. Celoteh
anak-anak itu lucu. Kendati mampu menampilkan
permainan yang luar biasa di atas panggung, mereka
tetap saja merupakan anak-anak yang masih polos
dan bicara semaunya sendiri, yang sering membuat
orang dewasa tertawa. Tetapi Wibisono yang telah dikuasai amarah dan
api cemburu, tidak melihat kenyataan sebenarnya.
Ayah dan ketiga anak berbakat itu mengantar Ana
pulang atas permintaan sang ibu yang merasa senang
diwawancarai dengan cara kekeluargaan sebagaimana
yang dilakukan oleh Ana. Gadis itu telah menggali
berbagai hal dari keluarga tersebut berdasarkan hasil
wawancara singkatnya dengan ahli musik yang semalam menonton pergelaran konser mereka. Rupanya
wawancara Ana dengan orangtua ketiga anak tersebut
berlangsung dengan baik setelah sebelumnya mendengar pendapat ahli musik itu. Ada sesuatu yang menarik untuk disimak di dalamnya. Sama sekali Ana tidak tahu bahwa tawanya bersama ayah ketiga anak
itu telah menyebabkan Wibisono menyimpan kemarahan dan dendam yang semakin besar porsinya.
"Kemarin dengan laki-laki muda tampan, sekarang
dengan laki-laki setengah baya yang gagah dan bermobil mewah. Jangan-jangan laki-laki itu sudah berkeluarga," gerutu Wibisono di sepanjang jalan menuju
http://pustaka-indo.blogspot.com246
ke rumahnya kembali. "Dasar perempuan murahan,
tidak punya tenggang rasa terhadap perempuan lain,
silau oleh kemewahan. Munafik."
Panasnya hati Wibisono mendorong laki-laki itu
untuk datang lagi ke rumah Ana pada sore harinya.
Saat itu Ana sedang berada di dalam kamarnya, menyusun hasil wawancaranya. Novel yang sedang mendekati
akhirnya, disingkirkannya dulu demi tugas tersebut.
Sedang asyik begitu, pintu kamarnya diketuk Deni.
Pemuda itu terpaksa mengganggu sang kakak yang
sedang bekerja kendati dia tahu Ana tidak suka
diganggu kalau sedang bekerja.
"Mbak, ada tamu untukmu," kata Deni, menyusul
suara ketukan tangannya itu.
"Siapa, Den?" "Itu lho, orang yang mengantarmu pulang dari stasiun waktu itu," sahut yang ditanya. Wibisono, lagi.
Ana mengerutkan dahinya. Kata ibu tirinya, tadi
siang laki-laki itu juga datang mencarinya. Ada apa"
"Suruh tunggu sebentar. Katakan aku sedang tanggung menyusun kalimat."
"Ya." Ana mencoba meraih kembali konsentrasinya yang
agak buyar untuk menyelesaikan susunan kalimat-kalimat penting yang bisa tercecer kalau tidak segera
diselesaikannya. Setelah selesai barulah dia bangkit
meninggalkan pekerjaannya, tanpa mampir ke meja
riasnya untuk menambal bedak atau sekadar menyisir
rambut seperti biasanya jika ada tamu. Ia harus memiliki ketetapan hati untuk tidak menaruh perasaan
http://pustaka-indo.blogspot.com247
khusus terhadap Wibisono dan karenanya ia tak boleh
tampil prima di hadapannya. Laki-laki itu hanyalah
seseorang yang kebetulan ditemuinya dalam rangkaian
perjalanan hidupnya. Di ruang tamu, Wibisono menatap Ana yang sudah satu setengah bulan tak dilihatnya. Hatinya bertambah geram menyaksikan betapa polos dan sederhananya Ana sore itu. Padahal siang tadi dia bersikap
mesra bersama laki-laki setengah baya di dalam mobil
mewah. Sungguh munafik. "Halo, apa kabar?" gadis itu menyapanya dengan
sapaan wajar. Kemudian menyusul duduk. Sebuah
meja pendek membatasi tempatnya duduk dengan
Wibisono. "Baik," Wibisono menjawab dengan pendek sambil
menatap Ana. Sesederhana apa pun penampilannya,
gadis itu tidak bisa menyembunyikan kecantikannya
yang alami dan menawan. "Kata ibuku, siang tadi kau mencariku. Ada sesuatu yang penting?" tanya Ana, tanpa mengetahui apa
yang ada di kepala Wibisono tadi.
"Penting sih tidak," jawab Wibisono. "Tetapi sudah
lama kan kita tidak berjumpa. Padahal di Ungaran,
setiap hari kita bertemu."
Ana terdiam beberapa saat lamanya. Wibisono terlalu berterus terang, menurut pendapatnya. Namun
apakah ada ketulusan di dalamnya, dia tidak tahu sebab meskipun dari perkataannya tersirat rasa rindu
atau setidaknya keinginan untuk bertemu lagi, tetapi
pada sikap dan air mukanya tidak sedikit pun mengehttp://pustaka-indo.blogspot.com248
sankan perasaan seperti itu. Jadi pasti ada sesuatu
yang lain. Maka Ana ingin mengetahui apa itu.
"Perkataanmu menimbulkan perkiraan di benakku,
kau sedang mempunyai masalah," begitu Ana memancing jawaban Wibisono. "Kenapa kau mempunyai perkiraan seperti itu?"
Wibisono menyipitkan matanya, menatap wajah jelita
Ana, ingin menyibak apa yang ada di kepala gadis
itu. "Aku hanya menduga-duga saja dan ada enam dugaan yang melintasi kepalaku."
"Katakan kepadaku," pinta Wibisono.
"Tidak tersinggung karenanya?"
"Tidak." "Baik. Pertama, sikap dan air mukamu tampak
agak serius dan tidak kelihatan gembira seperti biasanya. Jadi entah apa itu, pasti ada sesuatu yang sedang
membebani hatimu. Kedua, tiba-tiba saja kau mencariku padahal selama ini kita tidak pernah saling menyapa. Ketiga, dalam sehari ini kau datang sampai dua
kali mencariku ke sini padahal sudah lama kita tidak
saling berhubungan. Hal itu menunjukkan adanya
sesuatu yang mengarahkan dugaanku bahwa kau sedang menghadapi masalah yang tak bisa kauuraikan
sendirian. Keempat, kau membutuhkan seseorang untuk membicarakan masalah yang sedang kauhadapi
itu. Kelima, kau sedang mengalami kesepian dan
mengharapkan seseorang untuk mengusap rasa sepimu. Keenam, karena kebetulan namaku yang melintas
di kepalamu, maka kau datang ke sini mencariku...."
http://pustaka-indo.blogspot.com249
Wibisono tertegun. Jawaban Ana yang diucapkan
dengan sikap kalem dan air muka tenang itu membangkitkan rasa geram yang semakin mendalam di hati
laki-laki itu. Gadis satu ini memang lihai. Menyindirkah dia atau mengatakan hal sebenarnya yang memang ada di kepalanya, Wibisono tidak bisa menebak.
Atau jangan-jangan, itu cara Ana menawarkan diri untuk menjadi tempat pelampiasan kesepian seseorang"
Yah, siapa tahu. Bukankah gadis itu gadis murahan"
"Hmm, bagaimana kalau persangkaanmu itu benar
demikian adanya, Ana?" Wibisono mulai melancarkan
rencananya begitu pikiran itu melintasi kepalanya.
"Kan ada enam butir persangkaan. Jadi yang mana
yang benar?" "Semuanya benar. Terlebih mengenai kesepian yang
sedang kualami ini," sahut Wibisono dengan sikap
tenang yang tak kalah pandainya dengan apa yang
diperlihatkan oleh Ana tadi. "Jadi maukah kau menemaniku, Ana?" Mendengar sahutan dan sekaligus pertanyaan
Wibisono yang langsung menukik pada dirinya itu,
pipi Ana langsung merona merah. Melihat itu
Wibisono tertegun lagi. Sungguh sangat mengherankan, ia masih bisa menyaksikan rona merah pada pipi
seorang gadis yang begitu banyak pengalaman dengan
laki-laki. Kenapa hanya karena pertanyaan yang dilontarkannya tadi, pipi Ana bisa langsung memerah.
Malukah dia" Tersinggungkah, atau apa" Wibisono
benar-benar tidak bisa menduga apa pun.
"Apakah tidak ada gadis lain?" Akhirnya Ana menhttp://pustaka-indo.blogspot.com250
cetuskan apa yang ada di hatinya. "Kenapa mesti
aku?" Wibisono mencoba tersenyum.
"Kurasa tidak ada gadis lain yang memiliki pandangan seperti dirimu dalam menilai hubungan kita,"
gumamnya. "Pandangan seperti apa, maksudmu?"
"Maksudku, aku mau berpegang pada apa yang
pernah kaukatakan mengenai keberadaanku. Bukankah
hanya kau seorang saja yang beranggapan bahwa aku
ini seperti penumpang kapal di tengah laut yang kebetulan berpapasan dengan kapalmu?"
"Dengan kata lain, keinginanmu untuk kutemani
itu hanya bagian dari persinggahan seorang musafir
yang sedang kesepian alias cuma iseng-iseng belaka?"
Untuk kesekian kalinya Wibisono tertegun. Beberapa saat lamanya ia menatap wajah Ana. Tadi, jelas
sekali tertangkap oleh telinganya ada nada pahit yang
menyertai ucapan gadis itu. Tersinggungkah dia"


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi itu sesuai dengan permainanmu yang biasa,
kan?" sindirnya kemudian, menanggapi perkataan
Ana. Kalau gadis itu merasa malu atau bahkan merasa
tersinggung, itu adalah suatu konsekuensi logis atas
perbuatannya sendiri. Tak sampai dua puluh empat
jam waktu berlalu, dua lelaki yang berbeda telah berhasil membawanya pergi entah ke mana. Jadi ingin
kulihat apakah pipinya bisa merona merah lagi karena
ketahuan belangnya. Tetapi ternyata dugaan Wibisono meleset. Ana tidak tersipu-sipu malu. Pipinya juga tidak merona
http://pustaka-indo.blogspot.com251
merah. Malah sebaliknya, gadis itu menatap Wibisono
dengan mata melebar dan air muka bagai bayi yang
belum kenal dosa. "Permainan yang biasa apa maksudmu?" tanya gadis itu. Sikapnya tampak wajar sehingga untuk beberapa saat lamanya pula Wibisono meragukan persepsinya. Benar-benar gadis itu tidak tahu bahwa dirinya
disindir, ataukah hanya pura-pura tidak tahu dengan
keahliannya bermain sandiwara alias munafik"
Keraguan Wibisono menyebabkan laki-laki itu tidak bisa segera menjawab pertanyaan Ana sehingga
gadis itu kehilangan kesabarannya. Pertanyaannya tadi
diulanginya. "Hei, permainan yang biasa seperti apa maksudmu"
Kau belum menjawab pertanyaanku."
Wibisono semakin suilit untuk menjawab pertanyaan Ana dengan terus terang. Sebagai orang Timur, tak
sampai hati ia mengatakan dengan terus terang mengenai kelakuan Ana yang dipergokinya kemarin petang
dan tadi siang. Lagi pula kalau dia mau jujur, itu bukan urusannya. Sehari mau bepergian dengan sepuluh
orang misalnya, apa keberatannya"
"Maksudku, karena kita hanya sebagai dua penumpang kapal berbeda yang kebetulan berpapasan, maka
kebersamaan kita juga bagaikan perjumpaan sesaat di
tengah laut itu...," akhirnya Wibisono menjawab sekenanya saja. Untungnya Ana bisa menerimanya. Air
mukanya tampak jernih. "Oh, begitu"," gumam gadis itu. Sulit baginya
untuk membiarkan rasa tersinggungnya tetap berada
http://pustaka-indo.blogspot.com252
di tengah hatinya. Bagaimanapun juga, pandangan
hidup seperti itu bukan berasal dari Wibisono. Bukankah dia sendiri yang berkata begitu kepada laki-laki
itu" Bahkan berulang kali ia mengatakannya.
Yah, Ana tidak berpikir jauh bahwa sebenarnya bukan seperti itu yang dimaksud oleh Wibisono ketika
mengatakan tentang "permainan yang biasa ia lakukan" itu. Tak setitik pun ia mengira bahwa laki-laki
itu menganggapnya sebagai perempuan materialistis,
mudah ganti-ganti kekasih yang berasal dari golongan
kaya. Sama seperti kelakuan Evi dan Ika.
"Apakah arti kata "oh begitu"-mu tadi bisa kuartikan bahwa kau mau menemaniku?" Terdengar oleh
Ana, Wibisono berkata lagi.
"Memangnya kau mau ke mana?" Ana balik bertanya. "Jalan-jalan menikmati hari Minggu malam kota
Jakarta dengan didahului makan malam di luar. Kalau
kau bersedia menemaniku petang ini, kita langsung
keluar," jawab Wibisono.
"Sekarang?" "Ya, kalau kau tak keberatan."
"Tetapi aku keberatan."
Wibisono menatap wajah Ana yang tampak tenang
dan terkendali. Perempuan munafik ini bisa jual mahal juga dengan mimik muka tak berdosanya. Sungguh berbahaya betul gadis ini.
"Alasan keberatanmu apa?" tanyanya kemudian setelah bersusah payah menahan diri agar tidak memperlihatkan kegeraman hatinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com253
"Ada tugas yang harus kuselesaikan secepatnya,"
jawab Ana. "Tetapi mudah-mudahan lain kesempatan
kalau aku bisa meninggalkan pekerjaan, kita bisa pergi
bersama meskipun sifatnya cuma bagian dari upayamu
mengatasi kesepian. Kau tidak perlu khawatir aku
akan menuntut sesuatu darimu.?"
"Menuntut" Tuntutan seperti apa misalnya?"
"Menuntutmu untuk mengisahkan dulu apa masalah yang sedang kauhadapi dan apa pula yang menyebabkanmu merasa kesepian baru aku bisa memutuskan
untuk ikut atau tidak denganmu. Jadi artinya, kepergian kita itu bagaikan dua penumpang kapal yang
sedang berpapasan. Hanya sampai di situ dan lalu
masing-masing kembali pada kesibukan sendiri."
"Baiklah. Tetapi meskipun kau tak bersedia kuajak
keluar, masih bolehkah sekarang ini aku bertamu di
sini" Tidak lama-lama kok. Cuma sedikit mengobrol
saja. Aku tahu kau sedang sibuk."
"Silakan." "Ana, kudengar kau sudah mendapat pekerjaan.
Betul?" Wibisono mengalihkan materi pembicaraan
mereka. "Ya. Justru itu malam ini aku akan menyelesaikan
pekerjaan yang harus kuserahkan besok."
"Kau bekerja di mana?"
"Di penerbitan majalah," sahut Ana sambil menyebut nama kantor majalah tempat ia bekerja.
"Sudah mapan bekerja di situ?"
"Ya. Tetapi memang tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan irama kerja orang-orang media."
http://pustaka-indo.blogspot.com254
"Tetapi senang, kan?"
"Sangat." "Ceritakan di mana letak rasa senangmu itu."
Tib-tiba saja mata Ana mulai bersinar-sinar saat
menceritakan berbagai kesibukannya yang baru. Apa
yang tadi dibicarakan bersama Wibisono dan yang
sempat menyinggung perasaannya disingkirkannya
jauh-jauh. Dengan lancar dan penuh semangat, ia
bercerita kepada Wibisono mengenai pekerjaannya.
Maka tanpa dapat dicegah, Wibisono yang pada dasarnya menyukai pembicaraan yang berisi dan hidup,
mulai larut di dalam obrolannya bersama Ana. Maka
tanpa disadari, keduanya terlibat di dalam pembicaraan yang menarik. Dari dunia tulis-menulis sampai
merambat ke hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah-masalah aktual yang terjadi di masyarakat seperti
gonjang-ganjingnya dunia politik, adanya tendensi
anak-anak muda untuk melakukan bunuh diri, dan
lain sebagainya sampai pada pembahasan mengenai
lemahnya pelaksanaan perundang-undangan dan hukum yang berlaku, serta maraknya "markus" (makelar
kasus) pengadilan. Makna peng-adil-an yang seharusnya menjamin apa yang disebut "adil", semakin jauh
dari tujuannya. Maka seperti ketika di Ungaran, mereka berdua
tenggelam di dalam pembicaraan yang sama-sama menarik bagi keduanya sehingga tahu-tahu saja malam
telah turun dan Wibisono sadar bahwa dia masih berada di rumah orang. Jam tujuh lewat beberapa menit,
dia minta diri. http://pustaka-indo.blogspot.com255
Ketika sudah berada sendirian di dalam mobilnya,
barulah Wibisono mulai mengutuk dirinya sendiri
karena telah membiarkan hatinya terbawa larut ke
dalam obrolan bersama Ana. Payahnya, di dalam situasi yang wajar dan bahkan menyenangkan pula sehingga tekadnya untuk membalas dendam, entah lari ke
mana. Ah, kalau saja Ana seperti Evi atau Ika, akan
mudah baginya untuk mengatasi keadaan.
Tetapi, tidak. Meskipun Ana mempunyai kesamaan
dengan kedua saudara perempuannya, yaitu samasama menyukai kemewahan, sama-sama suka berpacaran dengan laki-laki yang berbeda, tetapi gadis satu ini
memiliki kelebihan memukau yang jauh berada di
atas kedua saudaranya itu. Sulit bagi Wibisono untuk
mengatakan bahwa bergaul dengan Ana tidak menyenangkan. Sebaliknya, dia merasa sangat nyaman dan
mudah terlarut ke dalam pembicaraan apa pun yang
disuguhkan oleh gadis itu. Bukankah kenyataan itu
terasa konyol mengingat tujuan kedatangannya ke rumah gadis itu bukan untuk menikmati kebersamaan
yang menyenangkan sebagaimana baru saja dialaminya
tadi" Saat-saat di mana ia sempat terpukau oleh
binar-binar indah mata gadis itu saat menceritakan
pekerjaannya. Ada kebahagiaan yang begitu murni
memancar dari kedua bola matanya yang indah itu
saat mengisahkan pengalaman barunya sebagai redaktur di media massa dan menikmati dunia kewartawanan yang penuh dengan berbagai macam tantangan
dan sekaligus juga membuka latar kehidupan yang
kaya pengalaman. Cara Ana bercerita dan isi yang
http://pustaka-indo.blogspot.com256
diceritakannya serba-menarik. Orang bisa betah berjam-jam mendengarkan apa yang keluar dari bibirnya
yang indah. Kalau sudah begitu, di manakah gumpalan kegeraman hatinya dan di mana pulalah api amarah yang
sejak tadi malam berkobar-kobar di dadanya" Dan di
mana pulakah kedudukannya sebagai seorang pemburu jika dia dengan nyamannya bisa duduk di muka
buruannya, seperti orang tolol yang tidak mampu
mempergunakan kewarasan otaknya"
Ah, jangan-jangan pula dia malah sudah jatuh
terperosok ke dalam perangkap yang dibuatnya sendiri. Wibisono tidak bisa membantah pikiran itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com257
KRESNO mengetuk pintu kamar Wibisono. Dari
dalam kamar tertutup itu sang kakak menjawab,
"Masuk. Tidak kukunci."
Pelan-pelan Kresno membuka pintu kamar kakaknya. Laki-laki itu melihat Wibisono sedang duduk tak
bergerak menghadapi meja tulis. Di atas meja itu tampak beberapa puntung rokok yang masih panjang,
memenuhi asbak di dekat siku kakaknya. Padahal dia
tahu betul, sang kakak sudah berhenti merokok demi
menjaga kesehatannya agar tetap prima.
"Apa lagi sih yang kaupikirkan, Mas?" tanyanya.
Orang yang ditanya tidak menjawab, masih tetap
asyik mengisi teka-teki silang di hadapannya.
"Mas, apa yang sedang kaupikirkan" Aku benarbenar merasa prihatin melihatmu," kata Kresno lagi.
Laki-laki itu tahu, sang kakak mengisi teka-teki silang
Delapan http://pustaka-indo.blogspot.com258
hanya untuk merintang-rintang hatinya yang sedang
resah. Wibisono mulai mengalihkan pandangannya ke
arah Kresno, menatap sesaat lamanya untuk kemudian
mengembalikan matanya ke arah teka-teki silang yang
ada di bawah hidungnya. "Apa pun yang sedang kupikirkan, itu urusanku.
Kau tak usah ikut bingung, Kresno," gumamnya tanpa mengangkat kepalanya. Kresno menggelengkan kepalanya.
"Tetapi bagaimana kalau urusanmu itu sudah menyangkut keadaan Ibu?" tanyanya dengan suara tegas. Perhatian Wibisono mendadak sontak berpusat
pada Kresno. Lupa teka-teki silangnya. Lupa pada
keresahan hatinya. "Ibu kenapa?" tanyanya. Dia sangat mencintai ibunya. "Biasa, penyakit lamanya kambuh lagi."
"Penyakit murungnya, maksudmu?"
"Ya. Apa lagi kalau bukan itu" Secara fisik, Ibu kan
sehat. Tetapi kali ini keadaan Ibu tampak semakin
berlarut-larut. Sudah tiga hari ini beliau hampir-hampir tidak makan apa pun. Kalau begini terus biarpun
kesehatannya prima, bisa jatuh sakit juga," jawab
Kresno. "Nah, kau tidak pernah memperhatikan hal
itu karena terlalu sibuk dengan pikiranmu sendiri,
kan?" Wibisono menyadari kesalahannya.
"Sekarang Ibu ada di mana?"
http://pustaka-indo.blogspot.com259
"Di kamarnya, seperti biasanya. Sedang membaca
sesuatu yang sama," jawab Kresno.
"Maksudmu...?" "Maksudku, buku yang dibacanya sejak kemarin
itu masih tetap ada di halaman yang sama. Alias, tidak pernah dibaca sama sekali. Berarti pikiran dan
perhatian Ibu ada di tempat lain."
Wibisono menghela napas panjang.
"Ibu merasa kesepian. Seharusnya beliau sudah menikmati masa-masa yang tenang dan menyenangkan
dengan cucu-cucu yang mengelilinginya," gumamnya. "Bagaimana kalau kita undang Mbak Nia dan kedua keponakan kita ke Jakarta?" usul Kresno setelah
mendengar cetusan hati Wibisono tadi.
"Wawan tidak bisa berpisah dari keluarganya meskipun cuma beberapa hari. Maka yang paling tepat
adalah mengantar Ibu ke Ungaran. Bukan sebaliknya."

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Usul yang baik. Kalau begitu ajaklah beliau bicara,
Mas. Kau anak tertua, pasti Ibu mau mendengarkan
usulmu." Wibisono mengangguk dan melempar majalah yang
isinya hanya teka-teki silang itu tanpa memedulikan
perbuatan itu telah menyebabkan terpentalnya dus
amplop di mejanya. Pikirannya hanya tercurah kepada
sang ibu. "Akan kubujuk beliau agar mau pergi ke Ungaran.
Biar ada pergantian suasana. Apalagi Wawan baru saja
pindah rumah yang tak terlalu dekat dengan perusahttp://pustaka-indo.blogspot.com260
haan dan bengkelnya. Jadi suasananya pasti tenang
dan sehat," katanya sambil melangkah menuju ke kamar ibunya. "Dan Ibu masih kuat membantu-bantu
membereskan rumah baru Wawan."
"Kurasa itu baik sekali buat Ibu. Kata Mas Wawan
rumahnya cukup besar dengan beberapa kamar, ruang
keluarga yang luas dan halaman yang bisa ditanami
apa saja. Ibu kan suka menata taman," sahut Kresno
sambil mengekor di belakang sang kakak.
"Ya. Mudah-mudahan Ibu mau menerima usul
kita." "Bu, ini Wibi." Wibisono mengetuk pintu ibunya.
"Masuk." Wibisono segera masuk dan menyeberangi kamar
yang redup itu. Hanya ada dua cahaya yang tak terlalu terang di kamar itu. Dari lampu di sudut tempat
tidur dan dari layar kaca teve.
"Ibu sudah makan malam?" tanyanya. "Ini sudah
hampir pukul tujuh lho."
"Sudah." "Kapan" Piring di ruang makan masih lengkap.
Aku dan Kresno juga belum makan. Kita makan
sama-sama yuk, Bu," bujuk Wibisono.
"Ibu masih kenyang, Wibi. Nanti saja kalau sudah
lapar, Ibu akan makan. Kau dan Kresno makanlah
duluan," jawab sang ibu.
"Kata Kresno, tadi siang Ibu hanya makan beberapa sendok saja. Masa sekarang masih kenyang?"
"Buat orang setua Ibu, itu sudah cukup. Semakin
http://pustaka-indo.blogspot.com261
tua seseorang, semakin berkurang yang bisa masuk ke
perutnya. Itu wajar, aktivitasnya kan sudah berkurang." "Bu, siapa yang mengatakan usia lima puluh enam
itu sudah tua" Masuk lansia pun belum. Ibu masih
bisa menikmati makanan apa saja yang Ibu suka dan
Ibu masih bisa beraktivitas apa pun yang Ibu inginkan. Tetangga kita, Ibu Harun, usianya sudah tujuh
puluh tahun, masih jalan pagi dengan sigap setiap
hari dan aktif di ormas sebagai ketua seksi sosial di
sana. Ayolah, Bu, jangan menganggap diri tua."
Sang ibu tersenyum, menatap lembut anak lelakinya dengan penuh kasih sayang.
"Ibu lebih tahu kondisi diri sendiri, Nak. Perut Ibu
sudah tidak bisa menerima makanan terlalu banyak,"
katanya kemudian. "Mungkin memang begitu kalau Ibu terlalu banyak
makan. Tetapi kalau hanya beberapa sendok saja yang
Ibu makan, itu juga tidak baik. Kita harus makan
sejumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita,
Bu. Tetapi Ibu kan tidak begitu." Wibisono mengatakan terus terang apa yang diketahuinya. "Belakangan
ini Ibu kehilangan selera makan. Jadi bukan karena
faktor usia atau yang semacam itu."
"Siapa yang bilang kepadamu" Bik Dedeh?"
"Siapa pun yang mengatakan, itu tandanya mereka
sayang kepada Ibu dan memperhatikan Ibu. Nah, kalau selera makan Ibu sedang patah, kan bisa dicari
jalan keluarnya. Ibu ingin masakan apa, misalnya.
Atau, bagaimana kalau kita bertiga malam ini makan
http://pustaka-indo.blogspot.com262
di luar" Ibu ingin makanan apa" Ayo, Bu, kita cari
makanan di Kelapa Gading ya. Ada banyak sekali pilihan di sana." "Tidak ah. Ibu lebih suka tinggal di rumah."
"Bu, bukan begitu cara mengatasi perasaan kita
yang gundah...." "Eh, perasaan siapa yang gundah, Nak?" sang ibu
merebut pembicaraan. "Ibu tidak bisa menutupi perasaan Ibu dari kami.
Selera makan yang patah, tidak suka jalan-jalan bahkan keluar kamar pun enggan, pasti ada yang Ibu
pikir dan rasakan. Bukan sekadar selera makan yang
patah. Nah, apakah Ibu merasa kesepian?"
Diserang pada pokok masalahnya, sang ibu terdiam
beberapa saat. Melihat itu Wibisono semakin gencar
menyerangnya. "Mungkin belakangan ini kami bertiga kurang perhatian terhadap Ibu sehingga Ibu merasa kesepian.
Maafkan kami ya, Bu?"
"Ibu tahu kalian semua punya banyak urusan. Ibu
tidak pernah menyalahkan kalian. Ibu juga tidak
ingin menjadi beban pikiran kalian. Bahwa Ibu merasa kesepian, itu wajar. Sekarang ini sudah tidak ada
lagi kegiatan yang Ibu tekuni. Dengan sendirinya tidak banyak pula teman-teman Ibu yang datang mencari atau menelepon Ibu seperti waktu-waktu yang
lalu," akhirnya perempuan itu berkata apa adanya.
"Itu karena Ibu menarik diri dari pergaulan. Seharusnya Ibu bersikap tegar. Tidak usah memedulikan apa
pun pendapat orang. Ibu tetap berkarya dan beraktihttp://pustaka-indo.blogspot.com263
vitas seperti biasanya. Lama-lama orang akan diam dengan sendirinya dan bahkan akan menghargai Ibu."
"Mungkin perkataanmu benar."
"Bukan hanya mungkin saja, Bu. Tetapi benar. Ayolah, Ibu ingin melakukan apa, nanti akan kuantar.
Mau aktif di organisasi massa seperti dulu, misalnya"
Mau ikut kelompok apa, nanti akan kuhubungi
teman-teman lama Ibu. Mereka merindukan kehadiran Ibu lho. Tetapi mereka khawatir Ibu tidak mau
bertemu dengan mereka."
"Jangan mengada-ada, Wibi."
"Bu, beberapa waktu lalu aku ketemu beberapa ibu
yang sedang berbelanja membeli peralatan rumah tangga untuk korban gempa di Sumbar. Satu truk lho,
Bu, yang mereka beli. Ibu tahu apa kata mereka waktu melihatku lewat" "
"Apa?" "Mereka bilang, kalau ada Ibu di antara mereka,
pasti urusan mengumpulkan sumbangan itu akan lebih cepat beres." "Mereka bilang begitu?"
"Ya. Tetapi aku tidak menceritakan hal itu pada
Ibu, khawatir Ibu merasa sedih lagi. Padahal, Bu,
kehidupan ini begitu bermakna kalau kita mau mengisinya dengan berbagai hal yang positif dan berpikir
secara positif pula. Selain itu ada satu hal lagi yang
juga perlu diingat. Kehidupan ini berjalan terus. Apa
pun yang terjadi, kita tidak bisa tinggal diam dan
mengabaikan kelangsungannya, karena kita ada di dalamnya." http://pustaka-indo.blogspot.com264
Sang ibu terdiam lagi. Tetapi Wibisono tak mau
membiarkan ibunya tenggelam dalam pikiran yang
menyedihkan. "Nah, sekarang aku boleh bertanya pada Ibu?"
"Ya, Wibi?" "Apakah kesepian yang Ibu rasakan itu ada kaitannya dengan Bapak" Ibu membutuhkan kehadiran Bapak dan ingin memintanya supaya datang menjenguk
Ibu?" "Jangan, Wibi," ibunya menjawab cepat. "Kalau
bapakmu ingin menjenguk Ibu, tanpa kauminta pun
dia pasti akan datang."
"Kukira tidak, Bu. Bapak mempunyai harga diri
yang kuat. Tiga kali Ibu menolak keinginan Bapak
untuk kembali ke rumah ini, jadi rasanya tidak mungkin kalau beliau tiba-tiba datang tanpa ada alasannya.
Tetapi kalau kukatakan bahwa Ibu kurang sehat, pasti
dengan seketika Bapak akan datang."
"Tidak usah," sahut ibunya dengan tegas. "Ibu tidak ingin dia datang karena alasan dari pihak Ibu.
Kalau dia benar membutuhkan keberadaan Ibu, tentu
dia akan datang tanpa berpikir apa pun. Ibu lebih
mengetahui siapa bapakmu daripada kau, Nak. Meskipun didikan feodalisme dari cara pandang leluhurnya
menganggap istri tidak memiliki tempat yang setara
dengan suami, tetapi Ibu tahu dia bisa mengalahkan
harga dirinya sebagai suami apabila ada nilai lebih
yang didambakannya"."
"Nilai lebih apa maksud Ibu?" Wibisono memotong perkataan ibunya yang belum selesai.
http://pustaka-indo.blogspot.com265
"Yah, kehangatan hati, rasa nyaman, kasih sayang,
dan yang semacam itu. Kalau bapakmu memang
mempunyai perasaan-perasaan seperti itu di dalam
rumah ini, pasti dia akan datang. Jadi Nak, biarkan
sajalah dia dengan keinginannya."
"Bapak malu mengakuinya, Bu. Aku yakin dia juga
merasakan kesepian dan mendambakan kehidupan
tenang, nyaman, dan kehidupan yang penuh dengan
kasih sayang," sahut Wibisono.
"Ibu tidak tahu. Namun yang jelas, karena sekarang ini tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan dan
masih pula sibuk dengan pekerjaannya, dia tidak begitu merasakannya. Tetapi nanti kalau usianya sudah
semakin bertambah dan aktivitasnya mulai berkurang,
ia tahu ke mana harus pergi untuk menghabiskan
hari tuanya. Sekarang ini, biarkan saja dia dengan kemauannya." "Bu, tidak sadarkah Ibu bahwa seperti Bapak, Ibu
juga mempunyai harga diri yang kadang-kadang terlalu besar porsinya." "Boleh jadi." Ibunya tersenyum sekilas. "Tetapi
sebenarnya Ibu hanya ingin menyatakan sikap mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan, antara suami
dan istri. Jangan menganggap istri lebih rendah dan
lebih lemah hanya karena tidak bisa sesukses suami di
masyarakat. Andaikata dulu Ibu diberi kesempatan,
pasti bisa mendulang sukses juga. Kau tahu kan sewaktu masih gadis, Ibu bekerja sebagai penyiar televisi
yang disukai. Tetapi bapakmu ingin supaya Ibu hanya
berkarier sebagai ibu rumah tangga. Intinya, bapakmu
http://pustaka-indo.blogspot.com266
tidak ingin Ibu menjadi pusat perhatian orang
lain...." Wibisono tersenyum penuh pengertian. Ibunya memang sangat cantik dan ayahnya ingin agar sang istri
hanya menjadi miliknya sendiri. Barangkali, ibunya
sekarang menyesal telah membiarkan suaminya
menguasai kehidupannya di masa lalu tetapi yang
akhirnya juga menghancurkan kebahagiaannya. Membayangkan hal itu hati Wibisono amat tersentuh. Dipegangnya kedua tangan perempuan yang melahirkannya ke dunia ini. "Sudahlah, Bu, jangan melihat ke belakang karena
kehidupan ini mengarah ke depan," katanya dengan
suara lembut. "Kalau Ibu merasa kesepian, bagaimana
kalau aku atau Kresno mengantar Ibu berlibur ke
Ungaran" Wawan mengatakan rumahnya sangat menyenangkan. Dian dan Dino juga senang sekali tinggal di sana." Wibisono sempat melihat kedua bola mata ibunya
tampak bercahaya saat menyebut cucu-cucunya. Karena itu cepat-cepat dia melanjutkan bicaranya. "Kata
Wawan, anak-anaknya sering menanyakan Ibu. Pasti
mereka rindu kepada eyangnya. Tetapi karena masih
kecil, Dian dan Dino belum bisa mengatakan perasaan mereka. Jadi datanglah ke sana, Bu."
"Ibu juga rindu kepada Dian dan Dino. Sudah
enam bulan lebih mereka tidak datang menjenguk
Ibu," sahut sang ibu. Ada kehangatan dalam suara
perempuan paro baya itu saat menyebut nama cucucucunya. "Memang sebaiknya Ibu ganti berkunjung
http://pustaka-indo.blogspot.com267
ke rumah mereka. Baiklah, malam ini Ibu akan memikirkan usulmu itu, Wibi."
Wibisono mengangguk. Dia yakin sekali, ibunya
akan merasa senang berada di Ungaran, bertemu dengan Wawan dan keluarganya. Kesepiannya akan terobati. Hanya saja bisa bertahan berapa lama itu" Cepat atau lambat, sang ibu akan pulang ke rumahnya
di Jakarta dan akan kembali melalui hidup yang ituitu saja. Rasanya, kesepian yang diakibatkan kekosongan di relung batinnya itu hanya bisa diisi oleh seseorang yang seharusnya ada di sisinya selalu. Seseorang
yang akan berbagi hidup bersamanya. Ayahnya!
Keluar dari kamar ibunya, Kresno menghadang
Wibisono di ruang tengah.
"Bagaimana" Ibu mau berlibur ke Ungaran?"
"Belum dikatakannya. Tetapi melihat sikap dan air
mukanya, kurasa beliau setuju," jawab Wibisono.
"Aku yakin, Ibu akan ke sana. Beliau sangat sayang
kepada Dian dan Dino. Mudah-mudahan rasa kesepiannya akan terobati."
"Tetapi sampai berapa lama itu" Pulang ke Jakarta
nanti, beliau akan kembali berkubang dalam kesepian


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi." "Yah, memang. Tetapi apa yang bisa kita lakukan
kalau sudah begitu" Tak mungkin aku menyeret Bapak pulang, kan?" Suara Kresno terdengar kesal.
"Selama Ibu di Ungaran nanti, aku akan berusaha
bicara dengan Bapak. Jadi kita akan berbagi tugas.
Kauantar Ibu ke Ungaran. Aku akan menemui Bahttp://pustaka-indo.blogspot.com268
pak." Usai berkata seperti itu, Wibisono masuk ke
kamarnya kembali. Kresno mengikuti di belakangnya. Melihat
Wibisono mulai membuka kembali majalah teka-teki
silangnya, laki-laki muda itu menarik napas panjang
dan tetap berdiri di dekat sang kakak duduk. Hm,
ternyata bukan hanya ibunya saja yang membutuhkan
obat kesepian, pikirnya dengan perasaan semakin kesal. Mengetahui adiknya masih berada di dalam kamarnya, Wibisono mengangkat wajahnyanya.
"Dengan berdiri seperti patung di situ, apa lagi
yang masih akan kaukatakan, Kresno?" tanyanya, agak
jengkel. Dia ingin sendirian.
"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, Mas. Tetapi aku khawatir kau akan tersinggung."
"Baik hati betul kau, Kresno. Masih memikirkan
perasaanku." Wibisono tertawa getir. "Nah, apa?"
"Aku ingin tahu, ada perkembangan baru apa yang
terjadi antara dirimu dengan gadis itu."
"Masih tetap seperti semula. Tak ada sesuatu yang
baru." "Kalau kau mengalami kesulitan, bagaimana jika
aku yang berada di tempatmu?"
"Kau mau apa?" "Akan kurayu dia dan kubawa dia masuk perangkapku. Aku tak mau bersikap terlalu hati-hati seperti
dirimu, Mas." "Kau gila, Kresno!"
"Kok gila" Di mana letak kegilaan itu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com269
"Kau tidak kenal gadis itu, Kresno. Dia tidak sama
dengan gadis-gadis lain yang semurah dia. Di permukaan, ada banyak hal-hal yang kalau kau tidak hati-hati,
bukan dia yang akan terjebak ke dalam rayuanmu,
tetapi kau yang akan masuk ke dalam jerat pesonanya.
Salah-salah senjata makan tuan," jawab Wibisono.
"Masalahnya, Mas, aku tidak sabar melihat usahamu." Wibisono tersenyum pahit.
"Kalau begitu, belajarlah untuk lebih bersabar dan
tunggu tanggal mainnya. Oke?"
Kresno terdiam beberapa saat lamanya, kemudian
mengangguk. Yah, memang hanya bersabar sajalah
yang bisa ia lakukan. Ditinggal sendirian, Wibisono
melempar lagi majalah teka-teki silangnya. Kali itu
bukan dus amplop yang kena lemparannya, tetapi
lampu duduk di atas meja tulisnya. Untungnya tidak
sampai terjungkal ke lantai. Tetapi tanpa peduli apa
pun akibat kelakuannya itu, Wibisono bangkit kemudian membuka jendela kamarnya lebar-lebar setelah
dengan remote-nya ia mematikan AC.
Bintang-bintang bertaburan di langit. Harumnya
bunga melati dan kemuning di sudut halaman samping tempat jendela kamarnya menghadap, mengaromai udara di sekitarnya. Suasana di luar kamarnya
terasa damai dan tenang kendati beberapa nyamuk
mulai mengitarinya. Di Ungaran, hampir-hampir tidak ada nyamuk. Huh, Ungaran lagi, Ungaran lagi,
pikirnya semakin jengkel. Kota itu selalu mengingatkannya pada Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com270
Dikibaskannya bayangan Ana dan dikembalikannya
pikirannya yang resah itu pada kondisi ibunya. Dulu,
perempuan itu termasuk orang yang gesit, lincah, penuh dengan vitalitas hidup dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Dia tidak pernah mau berdiam
diri. Selalu ada saja yang dilakukannya dengan hati
gembira dan tangan penuh semangat. Dengan sifat
dan pembawaan demikian, ibunya menjadi pusat kehidupan keluarga. Tetapi sejak ayah mereka yang tidak
menyadari betapa bernilainya emas mahal yang terpancar dari sang istri dan menyia-nyiakan keberadaannya,
pelan-pelan ibu yang mereka puja itu berubah menjadi perempuan yang kehilangan semangat. Maka
kesedihan hati perempuan itu adalah kesedihan hati
anak-anaknya. Kepahitan batin perempuan itu merupakan kepahitan batin anak-anaknya. Dan dendam
hati sang ibu menjadi dendam hati anak-anaknya.
Wibisono menarik napas panjang. Kalau saja aku
sudah menikah dan punya anak seperti Wawan, pasti
hati ibunya akan terhibur. Tetapi selama lima tahun
ini, pikirannya tidak sekali pun terpaut ke sana. Perhatiannya lebih tercurah pada kondisi ibunya. Kalaupun ia mendekati dan bergaul dengan gadis-gadis, itu
hanya bagian dari kehidupannya sebagai anak muda.
Paling banter, dia bisa melihat secercah senyum manis
yang hangat dari mereka. Tak lebih dari itu.
Namun tatkala kemudian ayahnya meminta
Wibisono agar keluar dari pekerjaannya untuk mengelola usaha sampingannya yang mulai berkembang bagus, perhatian Wibisono mulai tergugah. Terutama
http://pustaka-indo.blogspot.com271
karena sang ayah memintanya agar membuka cabang
baru di Jawa Tengah. "Di Jakarta, kita sudah mempunyai dua cabang.
Sekarang ini perusahaan sampingan kita itu justru
berkembang bagus. Ada banyak titipan barang diserahkan kepada kita, baik untuk dikirim ke seluruh Jawa
maupun ke luar pulau. Nah, kalau kita mempunyai
cabang di Jawa Tengah kan tidak perlu pinjam tempat
untuk transit. Malah kembalinya ke Jakarta, bisa sekalian mengangkut barang titipan," kata sang ayah.
Mendengar perkataan ayahnya itu, untaian rencana
Wibisono segera saja terjalin rapi di kepalanya.
"Baik, Pak. Aku dan Wawan akan membuka cabang di Ungaran," katanya dengan semangat yang
mulai menyala. Ia ingin mendekati gadis yang sedang
mulai diincarnya. "Ungaran" Kota itu kota kecil, Wibi. Kenapa tidak
di Semarang, Solo atau Yogya saja?"
"Justru di kota kecil yang tak banyak memiliki
fasilitas seperti kota besar, maka perusahaan kita tidak
akan ada saingannya. Ada banyak perusahaan kecil
dan menengah membutuhkan jasa angkutan tepercaya
yang bukan cabang kecil dan yang menempel di toko
orang, untuk mengirimkan produksi mereka ke kota
besar. Ada banyak orang pula yang tidak mau repotrepot ke Semarang dulu untuk pergi ke Jakarta, Bandung, atau ke Jawa Timur. Kita bisa menyediakan
kendaraan mulai dari kelas ekonomi sampai yang eksekutif. Mulai yang kecil sampai bus besar," sahut
Wibisono dengan suara mantap. Sebenarnya dia senhttp://pustaka-indo.blogspot.com272
diri pun kurang yakin akan keberhasilannya. Tetapi
apa salahnya mencoba" Apa yang dikatakannya kepada
sang ayah tadi tak hanya sekadar omong kosong belaka. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mendulang sukses di mana pun cabang perusahaan mereka
berdiri. "Kalau kau dan Wawan merasa yakin, kerjakanlah.
Bapak sudah menyiapkan modalnya. Kalian bertiga
bisa mengelola itu semua. Biar Bapak bisa fokus di
perusahaan farmasi kita."
"Baik, Pak." Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, Wibisono
dan Wawan mulai berburu lokasi sampai akhirnya
mendapat tempat di sebelah rumah gadis yang diincarnya. Gadis bernama Ika yang cantik dan yang tampaknya mudah dijerat itu. Wibisono sadar, gadis itu banyak pengagumnya,
terutama setelah sukses menjadi model dan bintang
iklan. Tetapi apa salahnya ia ikut antre di deretan
para pengagum gadis itu. Siapa tahu dia lebih beruntung berkat materi yang dimilikinya dan wajah ganteng serta otak cerdas yang dipunyainya.
Tetapi sayang, Wibisono ketinggalan kereta. Ika
sudah telanjur dibawa laki-laki lain, dan di tubuhnya
telah pula tertanam bibit keturunan yang kurang jelas
siapa ayahnya. Buyarlah rencana di kepala Wibisono.
Maka begitu mengetahui rencana pribadinya gagal,
dia ingin segera kembali ke Jakarta. Tetapi Wawan
sangat membutuhkan bantuannya mengelola perusahaan mereka di Ungaran yang kurang lancar itu. Dibanhttp://pustaka-indo.blogspot.com273
ding kedua adiknya, tangan Wibisono termasuk dingin dalam berbisnis. Dan itu terbukti. Pelan namun
nyata, cabang perusahaan mereka di Ungaran tersebut
mulai berjalan lancar. Tetapi sebelum Wibisono merencanakan pulang ke Jakarta, muncullah kakak perempuan Ika yang lain. Gadis bernama Ana itu bahkan
jauh lebih menawan daripada Ika maupun Evi, kakaknya. Kecantikannya tak hanya ada di permukaan
saja, tetapi juga terpancar dari dalam dirinya. Gadis
itu memiliki "isi" yang berbobot dan berkualitas,
sesuatu yang tak dipunyai Ika dan Evi.
Namun sayang, rencananya untuk mengubah buruannya itu tak semulus sebagaimana yang diduganya.
Ana tidak seramah dan selincah Ika. Ana tidak mudah didekati. Ia seorang gadis yang sangat angkuh
karena menyadari kelebihan-kelebihan yang dimlikinya
dan menganggap dirinya tinggi. Tetapi, Ana juga seorang gadis yang munafik. Di balik kelebihan-kelebihannya itu ia juga sama murahnya dengan kedua saudara perempuannya. Tetapi susahnya, di mana letak
kemurahannya, Wibisono tidak bisa menyibaknya.
Sulit merabanya. Termasuk kelas kakapkah Ana, atau
hanya sebesar ikan teri, dia tidak bisa menduganya.
Ana masih menjadi misteri baginya. Gadis itu bisa
tampil dengan berbagai topeng yang dikenakannya.
Apa yang ada di baliknya, Wibisono tak mampu
mengintipnya. Tetapi memang bukan sesuatu yang mudah untuk
mengetahui siapa Ana sebenarnya. Dengan cara melihat rumah ibunya di Ungaran dan rumah ibu tirinya
http://pustaka-indo.blogspot.com274
di Jakarta, misalnya. Dari segi luasnya, bentuk rumah,
dan keseluruhan yang tertangkap oleh pandang matanya, jelas sekali tampak bertolak belakang. Rumah
ibu kandung Ana mulai dari yang kelihatan dari luar
sampai ke isi-isinya di dalamnya serbamewah dan
serbalengkap. Ada beberapa mobil mewah pula di garasi. Seorang sopir siap mengantar ke mana pun
majikannya pergi. Namun rumah peninggalan ayah
Ana, yang kini dihuni gadis itu bersama ibu tiri dan
adiknya, tampak sederhana kendati ditata dengan rapi
dan asri. Tetapi jelas "bukan apa-apa" jika dibandingkan dengan rumah besar milik ibu kandungnya. Apalagi tidak ada mobil di garasi.
Wibisono menatap langit yang penuh bintang itu
dengan menghela napas panjang. Macam apa sesungguhnya gadis bernama Ana itu" Kalau mau, dia bisa
memilih tinggal bersama ibu kandungnya dengan kehidupan mewah di sana. Tetapi pada kenyataannya, dia
memilih tinggal di rumah yang biasa-biasa saja.
Hm, apakah karena di Jakarta Ana lebih mudah
menggaet laki-laki kaya" Sungguh, Wibisono semakin
penasaran saja karena setiap memikirkan Ana, ia tak
pernah bisa menyibak seperti apa sebenarnya gadis
itu. Ada banyak kombinasi yang bertolak-belakang
pada diri gadis itu. Burung merakkah dia" Ataukah
burung merpati yang jinak" Tetapi apa pun itu, yang
jelas Ana telah menyebabkan pikiran Wibisono resah
dan hatinya kacau-balau. Belum pernah ia mengalami
keadaan seperti itu. Apalagi disebabkan ulah seorang
gadis. http://pustaka-indo.blogspot.com275
Merasa lelah dan tak berdaya, Wibisono mengangkat bahunya tinggi-tinggi untuk kemudian menutup
kembali jendela kamarnya, menyalakan lagi AC dan
mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Lama
dia berbaring menentang langit-langit kamar sebelum
akhirnya mengambil keputusan untuk segera "menjemput bola" dan meninggalkan sikap menunggu gawang
secara pasif. Maka begitulah, menjelang istirahat makan siang
hari berikutnya, Wibisono meninggalkan kantornya,
pergi ke kantor Ana. Untungnya dia mencatat alamat
kantor Ana dalam pikirannya ketika gadis itu bercerita
tentang pekerjaannya. Tetapi sayang, gadis itu tidak
ada di tempat. "Sedang tugas ke luar kota, Mas," begitu petugas
bagian penerima tamu memberitahu Wibisono.
"Sampai kapan?"
"Menurut rencana lusa pulang."
"Baiklah kalau begitu, lusa nanti saya akan kembali
ke sini lagi," sahut Wibisono.
Tetapi ternyata esok lusanya ketika Wibisono datang lagi, Ana juga tidak ada di kantor. Sepulangnya
dari tugas di luar kota, ia harus ke luar kantor untuk
melakukan serangkaian wawancara. Maka sekali lagi
pulanglah Wibisono dengan tangan hampa. Tetapi


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu jam sebelum kantor bubar, laki-laki itu menghubungi Ana ke HP-nya. Kali itu ia beruntung.
"Wah, ternyata sulit sekali menjumpaimu, Ana.
Sudah jadi orang penting rupanya," katanya begitu
mendengar suara Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com276
"Jangan begitu, ah. Aku masih menjadi kuli yang
harus siap ke mana pun diperintah atasan. Saat ini
kami sedang menyiapkan edisi khusus, jadi memang
banyak pekerjaan. Kenapa sih kau mencariku" Kesepian lagi?" "Jangan menyindir," gerutu Wibisono.
"Aku cuma bertanya kok. Jangan suka negative
thinking ah." "Oke, oke..." "Ya, sudah. Nah, katakan langsung apa keperluanmu mencariku, Wibi?" Ana memotong perkataan
Wibisono yang belum selesai tanpa menyembunyikan
perasaannya bahwa ia merasa terganggu oleh telepon
laki-laki itu. "Sebentar lagi aku mau pulang. Jadi
pekerjaanku hari ini harus segera kuselesaikan."
"Dengan kata lain, aku mengganggu pekerjaanmu?"
tanya Wibisono. Hatinya juga kesal. Gadis itu benarbenar menganggapnya "bukan apa-apa". Sialan.
"Kalau kau tak segera mengatakan apa keperluanmu
mencariku, ya memang mengganggu," Ana menjawab
terus terang. "Waktu sangat berharga bagiku."
"Oke. Apakah sore ini kau sudah mempunyai janji
dengan seseorang?" "Kalau ada, kenapa" Dan kalau tidak, kenapa?"
Wibisono mengumpat dalam hatinya. Gadis satu
itu selalu saja mengaduk-aduk emosinya. Atau tidak"
Dirinya sendiri saja yang mungkin negative thinking
seperti kata Ana tadi"
"Kalau kau tidak mempunyai janji dengan seseorang dan tidak harus menyelesaikan pekerjaan, aku
http://pustaka-indo.blogspot.com277
ingin mengajakmu jalan-jalan dan makan di luar.
Mau?" Laki-laki itu mencoba untuk berpikir positif.
"Masalahnya bukan mau atau tidak pergi bersamamu, tetapi aku sedang tidak ingin pergi sore ini. Aku
lelah dan ingin beristirahat. Kau tahu sendiri kan,
aku baru saja pulang dari luar kota dan begitu datang
langsung diserahi macam-macam tugas."
"Baiklah. Waktu ajakanku tadi kuubah menjadi
malam. Jadi begitu kau sampai di rumah, beristirahatlah barang satu atau dua jam. Lalu nanti malam setelah kau merasa lebih segar, kujemput sekitar jam tujuh dan kita makan di luar. Bagaimana?"
"Jangan mendesakku, Wibi. Sepanjang sore hingga
malam nanti, aku betul-betul ingin mengistirahatkan
tubuh dan pikiranku. Setiap orang kan memiliki keterbatasan. Aku merasa sudah ada di ambang batas kekuatanku. Jadi, aku ingin istirahat."
"Bersama seseorang yang istimewa?"
Tentu saja tidak. Ana belum mempunyai seseorang
yang bisa disebut sebagai teman istimewa. Tetapi karena nada suara Wibisono terdengar seperti mengejeknya, Ana menjadi jengkel.
"Kalau ya, itu hak dan urusanku," sahut Ana dengan ketus. Wibisono ganti merasa diejek. Agar tidak merasa
tersinggung, lekas-lekas dia berkata lagi.
"Ya sudah, kalau begitu. Tetapi bagaimana kalau
besok malam?" tanyanya, tak mau mengalah. Ia sudah
membulatkan tekad untuk lebih bersikap agresif agar
buruannya itu segera masuk perangkap.
http://pustaka-indo.blogspot.com278
"Akan kulihat bagaimana besok, Wibi. Aku sekarang bukan orang yang bebas seperti ketika di rumah
ibuku. Di sana, aku memang sedang berlibur dan dalam status sebagai pengangguran pula. Tugas-tugasku
sekarang ini banyak. Pada prinsipnya, wartawan itu
bekerja dua puluh empat jam. Sedang enak-enaknya
tidur misalnya, bisa saja aku harus segera berangkat
untuk meliput peristiwa yang baru saja terjadi agar
tidak ketinggalan dari wartawan lain."
"Ya, aku tahu." Ya, memang begitulah menjadi wartawan. Tetapi Wibisono tidak memercayai kalau malam ini Ana betul-betul mau beristirahat. Dia lebih
percaya bahwa apa yang dikatakan gadis itu hanya
sebagai penolakan atas ajakannya tadi. Sok jual mahal,
gadis satu itu. Maka menjelang sore hari berikutnya,
Wibisono menelepon lagi untuk mengulangi ajakannya. Tetapi kali itu pun Ana menolak.
"Maaf, Wibi. Aku tiba-tiba mendapat tugas bersama rekanku," kata gadis itu.
"Oke. Masih ada hari lain. Kapan-kapan ajakanku
akan kuulang lagi," kata Wibisono, mencoba untuk
bersabar. Tetapi seperti kemarin, dia tidak percaya
pada kata-kata Ana. Tampaknya gadis itu memang
ingin menolak ajakannya, entah apa pun alasannya.
Hatinya menjadi panas karenanya. Memangnya apa
yang kurang pada dirinya"
Panasnya hati Wibisono telah melontarkan perbuatan yang agak kekanakan. Petang itu ia mengendarai
motor, diam-diam pergi ke rumah Ana untuk melihat
dari dekat apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com279
Dengan helm di kepalanya, orang tidak bisa mengenalinya. Maka dari tepi jalan tempat ia duduk di atas
motornya, dilihatnya Ana keluar-masuk di ruang
tamu dan teras hanya dengan pakaian rumah dan
rambut dikucir. Di tangan kanannya, ada buku. Tangan kirinya membawa stoples entah berisi penganan
apa, tidak terlihat jelas dari jauh. Berarti, gadis itu
tidak melakukan wawancara seperti apa yang dikatakannya melalui HP, tadi siang. Dengan perkataan
lain, Ana sengaja mencari-cari alasan untuk menolak
ajakan Wibisono. Menyaksikan itu Wibisono mengganti strategi pendekatannya. Malam Jumat, dia datang lagi langsung
ke rumah Ana dengan mobil mewah, kendaraan yang
biasa dipakai ibunya. Mudah-mudahan mata Ana silau melihat kemewahan itu.
Beruntung, ketika Wibisono datang ke rumah Ana,
gadis itu ada di rumah sehingga ia bisa langsung
memulai pendekatannya dengan mengulangi lagi ajakannya untuk jalan-jalan dan makan di luar.
"Istirahatkan dulu pikiranmu."
"Mau jalan-jalan ke mana sih?" Ana menjawab enggan. "Kan lebih enak duduk-duduk di teras begini.
Biasanya jam-jam seperti ini, mi ayam langgananku
lewat. Enak lho. Lebih enak daripada mi ayam buatan
restoran." Sebetulnya keengganan Ana untuk mengiyakan
ajakan Wibisono lebih disebabkan karena ketidaksukaannya berdua-dua saja dengan laki-laki itu. Pengalamannya di Ungaran waktu itu memberitahu otaknya
http://pustaka-indo.blogspot.com280
bahwa dirinya bisa menjadi rentan setiap berada di
dekat laki-laki itu. Selalu saja ada yang bergetar di
dadanya setiap matanya bersirobok dengan mata
Wibisono di udara. Dan yang seperti itu pasti akan
membahayakan kehidupannya di masa mendatang.
Karena kesadaran itulah maka Ana tidak ingin berduaan lagi dengan Wibisono. Dia tidak ingin bibit-bibit
yang ada di dadanya itu bersemi. Bahkan kalau mungkin, mematikannya sehingga menjadi layu sebelum
sempat berkembang. "Aku ingin mengajakmu duduk-duduk makan di
tepi laut sambil menatap permainan air laut dan langit yang penuh bintang. Hanya duduk di teras begini, kurang banyak yang bisa dilihat."
Mendengar ajakan itu, dada Ana mulai berdesir-desir. Pada malam hari, tempat itu banyak didatangi
pasangan yang ingin menikmati kebersamaan mereka
sambil menatap laut. Pada sore atau pagi hingga siang
pada hari libur, tempat itu lebih banyak dimeriahi
celoteh dan tawa anak-anak kecil bersama kedua
orang tua mereka. Untuk menghilangkan desir di dadanya, lekas-lekas
Ana menindasnya dengan memberi komentar atas
ajakan Wibisono tadi. "Romantis betul sih?" katanya sambil berusaha semampu mungkin bersikap wajar. "Kau pasti sedang
merasa kesepian. Ya, kan" Mengaku sajalah."
"Ya," Wibisono menjawab sekenanya. "Aku memang sedang kesepian. Oleh sebab itu aku ingin kautemani." http://pustaka-indo.blogspot.com281
"Kenapa sih setiap merasa kesepian kau selalu mencariku" Apa tidak ada gadis lain?"
"Kan alasannya sudah pernah kukatakan kepadamu.
Hanya kau seorang sajalah yang menganggap hubungan kita seperti dua orang penumpang kapal yang
berpapasan di tengah laut. Tak ada ikatan. Tak ada
tuntutan. Selesai pertemuan, selesai pula urusan kita.
Begitu kan, Ana?" "Ya." "Maka kalau dalam suasana romantis seperti katamu tadi aku tiba-tiba jadi lupa diri dan menciummu,
itu pun bagian dari pertemuan antara dua penumpang
kapal. Tidak ada yang serius di balik ciuman itu,"
kata Wibisono, semakin seenaknya sendiri.
"Wibisono, kau benar-benar tidak sopan." Mata
Ana tampak berkilat-kilat karena marah. "Memangnya
aku ini apa?" "Lho, kok tersinggung" Aku kan berbicara atas
nama kejujuran dan mengantisipasi sesuatu yang
mungkin terjadi sehingga kau tidak menganggapku
kurang ajar atau mempermainkanmu."
Mendengar ucapan Wibi, mata Ana yang tadi berkilat-kilat mulai meredup dan mulutnya terkatup rapat. Meskipun ia ingin menampar wajah Wibisono
karena menganggap sebuah ciuman sebagai sesuatu
yang biasa-biasa saja seperti orang melambaikan tangan saat berpapasan di jalan, dia tak boleh melakukannya. Bagaimanapun juga Wibisono telah bersikap
jujur. Laki-laki itu tidak menyadari bahwa bibir yang
pernah ia sentuh ini bibir yang betul-betul masih perahttp://pustaka-indo.blogspot.com282
wan. Tidak ada gunanya mengatakan kebenaran itu.
Wibisono bukan laki-laki yang mampu memahami
makna keperawanan meskipun itu hanya sepasang bibir. Sebagai seorang gadis yang perasa, Ana merasa
dirinya telah bersikap teledor dan mengaburkan kewaspadaannya sehingga peristiwa itu terjadi. Dengan
perkataan lain, kesalahan itu tak sepenuhnya terletak
pada Wibisono. Jadi akan memalukan kalau dia marah-marah, apalagi menampar pipi laki-laki itu.
Melihat Ana terdiam, Wibisono juga terdiam. Tetapi lama-kelamaan keheningan yang menyesakkan dada
mulai menguasai mereka berdua. Maka mereka samasama berusaha mengatasi suasana yang tak menyenangkan itu dengan berbicara. Celakanya, gerakan mulut
itu mereka lakukan secara bersamaan sehingga tanpa
sadar keduanya juga sama-sama menutup mulut kembali. Keadaan itu membuat mereka tersenyum geli.
"Apa yang akan kaukatakan tadi?" Ana mendahului
bertanya. "Kau duluan. Kehormatan kuberikan kepada kaum
perempuan." "Tetapi aku kan nyonya rumah. Kehormatan kuberikan kepada tamuku. Nah, katakanlah apa yang mau
kauucapkan tadi." "Baiklah. Aku cuma mau menanyakan kesediaanmu
untuk kuajak makan malam di tepi laut. Kau kan
belum menjawab secara pasti, mau atau tidak," kata
Wibisono. "Jawabanku cuma satu patah kata saja. Tidak."
"Kenapa?" http://pustaka-indo.blogspot.com283
"Aku masih lelah. Lagi pula, aku tidak suka. Titik."
Ana menjawab dengan singkat namun suaranya terdengar tegas. "Kalau begitu jalan-jalan ke mana yang kausukai"
Aku akan menuruti keinginanmu."
"Hai, bukan aku yang ingin jalan-jalan. Bukankah
kau yang ingin jalan-jalan untuk membunuh rasa sepimu?" "Ya, kau betul. Memang aku yang ingin kautemani
jalan-jalan. Jadi bagaimana kalau sekarang kautemani
aku nonton film?" Ana melirik arlojinya. "Terlalu malam nanti pulangnya. Sudah terlambat
untuk nonton yang jam tujuh. Sekarang sudah jam
enam lewat seperempat dan jalan masih macet," sahutnya kemudian. "Tidak apa terlambat sedikit, kan" Yang penting
kita nonton," jawab Wibisono.
"Ah, kau sungguh tak punya rasa keindahan. Aku
tak pernah mau menonton film yang sudah terlambat
dan tak tahu bagaimana awal ceritanya. Nah, kalau kau
mau nonton, nontonlah sendiri. Aku tak mau ikut."
"Aduh, galak betul sih kau."
"Sudah sejak lahir aku galak. Jadi jangan mencobacoba membujukku lagi."
"Ya sudah kalau kau tak mau menonton film," kata
Wibisono mencoba untuk bersabar. "Tetapi aku masih


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin tetap mengajakmu makan malam. Setelah itu
jalan-jalan, entah ke mana pun larinya mobil. Bagaimana, Ana?" http://pustaka-indo.blogspot.com284
"Aku tidak suka pergi tanpa tujuan yang pasti. Ini
Jakarta. Bisa saja kita terjebak kemacetan di suatu
tempat," sahut Ana. "Kalau hanya makan malam kan tujuannya pasti.
Supaya kau tidak mencari-cari alasan lagi, kuberikan
pilihan kepadamu. Nah, kau ingin makan malam apa
dan di mana?" "Makan, memang. Tetapi jalan-jalan tak tentu tujuan?" "Baiklah. Akan kuajak kau makan ikan bakar di
Pasar Seni Ancol. Kau bisa minta dilukis oleh seniman yang ada di sana, kalau mau. Atau membeli kerajinan dan pernak-pernik buatan tangan yang kausukai" Atau menonton musik?""
"Jalan-jalan begitu hanya akan menghabiskan waktu
saja. Capek, ah. Belum lagi berpapasan dengan badutbadut yang mondar-mandir di situ. Atau... jangan-jangan kau masih bisa tertarik oleh tontonan anak-anak
seperti itu?" Wibisono menatap Ana dengan perasaan kesal yang
tak disembunyikannya. "Susah betul sih mengajakmu keluar. Katakan saja
dengan tegas, mau atau tidak pergi bersamaku. Titik.
Tak usah menyodorkan macam-macam alasan yang
membuatku jadi seperti orang tolol," katanya kemudian. "Aku sudah datang jauh-jauh ke sini dan sengaja memakai mobil kami yang terbaik."
Ana ganti menatap mata Wibisono. Ada kecurigaan
yang mulai merambat di hatinya. Apakah Wibisono
mau menyamakannya dengan Evi dan Ika" Kalau ya,
http://pustaka-indo.blogspot.com285
baiklah akan kuikuti permainanmu, pikir Ana dengan
geram. Kau akan kena batunya, nanti.
"Wah, nyaman tentunya naik mobil yang mewah,"
katanya kemudian. "Tentu saja. Joknya kulit asli yang lembut, udaranya sejuk, pengharum ruangannya segar, ada tevenya,
ada pendingin minuman berisi macam-macam soft
drink dan... lihat sajalah nanti. Pokoknya kau pasti
akan menyukainya." "Menarik sekali. Rupanya kau tahu betul seleraku...." Wibisono mendengar nada ejekan di dalam suara
Ana. Apakah gadis itu tahu bahwa ia sedang memancingnya dengan barang-barang mewah dan mengiming-iming hal-hal yang serbamudah, serbanyaman
dan menyenangkan" Ana ini memang istimewa, pikirnya lagi. Berdekatan dengannya, dia harus ekstra hatihati kalau tidak mau terperosok.
"Kalau kau ikhlas mau menemaniku makan malam,
lekaslah persiapkan dirimu," katanya kemudian.
Sama sekali Ana tidak tertarik pergi dengan Wibisono, sebetulnya. Tetapi karena disamakan dengan Evi
dan Ika, dia ingin melihat seberapa jauh laki-laki itu
ingin menjeratnya. Hanya sebagai permainan dan
iseng-iseng saja ataukah karena mengalami kesulitan
mendekatinya dan karenanya merasa penasaran. Ana
yakin, gadis-gadis lain pasti dengan senang hati akan
langsung mengekor di belakang Wibisono yang ganteng, pandai, kaya dan hangat itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com286
"Bagaimana ya...?" gumamnya kemudian. "Pergi
atau tidak...?" "Ayolah. Sebentar saja kok karena aku tahu kau
masih capek." Wibisono membujuk lagi. "Mau ya?"
"Baiklah. Paling lama sepuluh menit, kau bisa bersabar menungguku ganti pakaian?" Akhirnya Ana
memutuskan untuk mau diajak pergi.
"Aku malah menyangka akan menunggumu selama
setengah jam lebih," sahut Wibisono terus terang.
"Pengalamanmu, ya" Rupanya kau terbiasa bergaul
dan berkencan dengan gadis-gadis yang suka menghabiskan waktu di muka meja rias," kata Ana.
"Memangnya kau tak suka tampil prima dan menarik?" "Aku berbeda sekali dengan gadis-gadis yang sering
berkencan denganmu. Meraih hati laki-laki kan bisa
dengan berbagai macam cara. Aku tidak pernah dengan mengandalkan cermin dan meja rias. Aku lebih
memercayai kemampuan diriku sendiri, tanpa alat
bantu apa pun. Biasanya laki-laki yang serius lebih
suka berteman dengan gadis-gadis seperti diriku," sahut Ana. Perkataannya itu sempat membuat mulut
Wibisono jadi bungkam. Tentu saja itu hanya bualan Ana belaka. Ia mulai
suka mempermainkan Wibisono dengan kata-katanya.
Apalagi melihat laki-laki itu jadi kehilangan kata-kata.
Lebih baik dia yang memojokkan Wibisono daripada
sebaliknya. Ia sudah semakin jelas menangkap gejala
ketidakseriusan laki-laki itu terhadapnya. Barangkali
saja karena laki-laki itu tidak menganggapnya setara
http://pustaka-indo.blogspot.com287
dengan dirinya. Kalaupun tidak, Wibisono hanya ingin
menaklukkannya karena tidak mudah meraih hatinya.
Paling tidak, laki-laki itu hanya ingin mencari pengalaman baru, menambahi pengalaman-pengalamannya
berkencan dengan gadis-gadis. Begitu pikir Ana.
Untunglah Ana tetap menempatkan kewaspadaan
di atas kepalanya. Dia tidak ingin jatuh cinta kepada
Wibisono. Bahkan menjadi teman akrabnya saja pun
dia tidak mau. Laki-laki itu bukan orang yang bisa
dipercaya. Meskipun jauh di relung hati Ana ada
yang mengusik dirinya berkaitan dengan laki-laki
yang pertama kali menciumnya itu, tetapi tidak seujung kuku pun ia mempunyai keinginan untuk menjadi kekasihnya. Tidak sekarang dan tidak pula esok
maupun lusa. Begitulah tekadnya.
"Kau tak pernah kehilangan kata-kata, eh?" gerutu
Wibisono setelah mampu menguraikan kembali lidahnya untuk menanggapi perkataan Ana tadi. "Kadangkadang kau membuatku jengkel, tahu?"
Ana tidak mau meladeni bicara laki-laki itu. Tanpa
menoleh, dia segera masuk ke kamarnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia sudah berada di dalam sedan mewah yang dikendarai Wibisono.
"Mau menonton acara teve, menonton film, atau
musik?" tanyanya sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. "Aku sedang lelah. Jadi aku ingin mendengar musik saja tanpa menyaksikan ada yang menyanyikannya.
Kalau ada, lagu-lagu manis yang menenangkan,
bolehlah. Ada?" http://pustaka-indo.blogspot.com288
"Ya, ada. Musik klasik?" Wibisono memancing.
"Meskipun aku suka, tetapi lagu-lagu klasik kurang
cocok untuk suasana petang yang masih ramai seperti
ini. Semiklasik saja kalau ada," usul Ana.
"Ada. Aku membawa macam-macam jenis musik dan
lagu. Aku tidak menyangka kau menyukai lagu-lagu
klasik." "Memangnya kenapa?"
"Gadis-gadis zaman sekarang lebih suka musik pop,
rock, dan yang semacam itu."
"Aku menyukai semua jenis musik. Jazz, Hawaian,
lagu-lagu Latin, bahkan keroncong dan gending Jawa.
Almarhum ayahku sudah membiasakan telingaku un Pedang Tanpa Perasaan 3 Lima Sekawan 7 Memburu Kereta Api Hantu Hijaunya Lembah Hijaunya 23

Cari Blog Ini