Ceritasilat Novel Online

Burung Merak 6

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 6


"Wah, pasti di hotel mewah, ya?"
"Aku tidur di hotel yang biasa saja kok. Sayang
uangnya. Kecuali kalau ada sponsor. Misalnya kalau
kita sedang menampilkan tentang keraton Solo dan
Yogya atau bicara tentang objek wisata mengenai kota
tertentu, maka ada saja hotel di kota-kota terkait yang
memasang iklan di majalah kami. Nah, baru kami
merasakan enaknya tidur di hotel bintang. Kalau
tidak, ya hotel melati pun cukup. Namanya juga tugas," sahut Ana. "Kini setelah lebih mengenalmu, aku tahu bahwa
kau orang yang praktis dan sederhana."
"Memangnya kau berpikir apa mengenai diriku?"
Ana menaikkan alis matanya. "Ayahku mengajari aku
untuk selalu menerima apa adanya dan bersikap
kompromis terhadap realita."
http://pustaka-indo.blogspot.com362
"Bagus, itu. Tetapi biasanya gadis-gadis cantik, maunya serbanyaman dan menyenangkan."
"Setiap orang juga begitu, Wibi. Tidak usah yang
cantik saja. Tetapi kan kita juga harus bisa menerima
realita alias realistis. Bisa hidup enak, ya syukur. Tetapi kalau tidak, ya sudah diterima saja. Itu semua toh
bukan tujuan hidup kita, yang penting kita sudah
berusaha dan tidak menyerah begitu saja."
"Ya, kau betul. Nah, kembali ke soal semula, aku
ingin mengajakmu makan di luar sebelum kau pergi." "Kan aku sudah bilang tadi, aku harus menata
barang-barang yang akan kubawa dan menyiapkan
materi yang akan kukerjakan selama di sana nanti."
"Aku mengerti. Tetapi... apakah kau sudah makan?" "Belum..." "Nah, daripada makan di rumah kan lebih baik
makan di luar sambil melihat-lihat suasana lain. Pulang ke rumah, tinggal istirahat."
"Tetapi aku harus membeli sesuatu untuk kubawa
pergi." "Apa pun itu, kuantar kau membelinya sesudah
kita makan. Ayo, mumpung masih sore." Sebelum
Ana mengatakan keberatannya, cepat-cepat Wibisono
melanjutkan bicaranya. "Kujemput kau di kantor, ya"
Sekarang aku akan berangkat. Nah, sampai ketemu
nanti." Apa boleh buat, Ana terpaksa mengikuti kemauan
Wibisono. Maka begitulah setelah makan malam di
http://pustaka-indo.blogspot.com363
Mal Kelapa Gading, kedua orang itu langsung pergi
berbelanja di sekitar tempat itu.
"Apa sih yang akan kaubeli?" tanya Wibisono sambil mengekor di belakang Ana.
"Keperluan pribadi. Kau bebas lho. Kalau tidak
sabar, tinggalkan aku di sini. Nanti aku bisa pulang
dengan taksi," sahut Ana.
"Tenang saja. Aku sudah menyediakan diri untuk
mengantarmu belanja sampai urusanmu selesai."
Ana terpaksa mengiyakan. Ia sudah membeli dua
helai blus sportif dan satu celana jins. Pakaian seperti
itu enak dikenakan dalam perjalanan kerjanya nanti.
Wibisono memperhatikan betapa cermat dan telitinya
gadis itu memilih pakaian. Dia juga mengagumi bagaimana Ana memilih sesuatu yang praktis dengan harga-harga yang pantas. Sepengetahuannya, perempuan
lebih menyukai pakaian yang bagus dan modis meskipun barangkali kurang nyaman dipakai.
Ketika Ana melihat sehelai blus katun yang juga
sportif tetapi modelnya agak remaja, ia merasa ragu
untuk membelinya. Padahal dia menyukainya.
"Apakah saya masih pantas memakai model seperti
ini, ya?" tanyanya ragu kepada pelayan yang ada di
dekatnya. "Mbak masih muda, pasti pantas memakainya. Ibuibu yang sudah punya anak saja suka dan membelinya
kok, Mbak, apalagi Mbak yang masih muda."
"Masa sih...?" "Iya. Coba tanya pada suami Mbak deh."
http://pustaka-indo.blogspot.com364
Sialan, maki Ana di dalam hatinya. Wibisono disangka suaminya. "Sudahlah, blus ini saya ambil," katanya memutuskan. Daripada berpanjang-panjang kata dan Wibisono
disangka suaminya, lebih baik mengakhiri keraguannya. Apalagi ketika melihat laki-laki itu datang mendekatinya. "Sudah dapat semua yang kaubutuhkan?" tanyanya
pada Ana. Ana mengangguk. Pelayan yang agak berlebihan
keramahannya itu tersenyum menatap Wibisono.
"Ini lho Pak, istri Bapak menganggap blus ini terlalu remaja untuknya. Padahal waktu dicoba tadi, pantas sekali dipakainya," katanya sambil mengambil blus
yang dimaksud dari gantungannya.
"Istri saya ini agak kurang percaya diri. Padahal
memakai apa saja, dia selalu kelihatan pantas dan
menarik," komentarnya.
Pipi Ana langsung memerah mendengar perkataan
Wibisono. Sialan. Enak saja laki-laki itu mengikuti
angin yang ditiupkan si pelayan toko. Lebih-lebih
ketika pelayan itu tertawa menatapnya.
"Suami Mbak pandai menilai," katanya. Ana tak
mau memberi komentar. Baginya lebih baik pergi ke
kasir untuk membayar dan mengambil pakaian yang
dibelinya tadi. Dari situ ia langsung keluar toko dengan
langkah lebar-lebar. Wibisono mengikuti di belakangnya. "He, kok marah sih?" tanya laki-laki.
"Karena kau tidak menjelaskan kepada pelayan
http://pustaka-indo.blogspot.com365
toko itu bahwa kita bukan suami-istri. Pacar pun bukan," sahut Ana. "Ah, untuk apa" Nanti dia malu."
"Tetapi semestinya kau tidak usah memberi komentar macam-macam seolah kita memang suami-istri."
"Itu tadi kan cuma sekadar gurauan. Kenapa sih
begitu saja kau marah" Jangan-jangan karena gurauanku tadi mengena hatimu...?"
Ana menghentikan langkahnya.
"Apa kaubilang?" serangnya sambil mengangkat alis
matanya tinggi-tinggi. Wibisono tertawa. "Ah, tidak," sahutnya kemudian, masih tertawa.
"Aku tak berani menjelaskannya."
"Jangan mencoba-coba menganalisis kemarahanku,
ya?" Ana menggerutu kesal. "Awas!"
"Tidak... tidak... aku tidak berani." Wibisono menampilkan wajah ketakutan yang dibuat-buat.
Melihat itu Ana tak mampu menahan diri untuk
tidak tersenyum. Wajah Wibisono memang tampak
lucu sekali. Belakangan ini Wibisono sudah jauh berubah sehingga tidak lagi menyebabkan Ana ingin
menyerangnya dengan lidah yang tajamnya.
"Tersenyum begitu kau tampak semakin menarik
dan menyenangkan. Makanya jangan suka marah-marah. Masalah kecil jangan diperbesar. Nah, masih mau
beli apa lagi?" "Untuk sementara, cukuplah. Kita bisa pulang sekarang." http://pustaka-indo.blogspot.com366
"Kok pakai istilah untuk sementara. Memangnya
masih ada yang belum kaubeli?"
"Ya, ada. Keperluan pribadi. Tetapi itu bisa kubeli
di toko dekat rumah. Sekarang, aku ingin pulang."
"Besok berangkat jam berapa dan naik apa?"
"Besok pagi, naik pesawat."
"Kalau begitu kau tidak buru-buru harus istirahat,
kan?" "Memangnya kenapa?"
"Aku ingin mengajakmu ke tepi laut. Mumpung
bulan sedang purnama."
"Ah, tempat orang pacaran. Tak mau aku." Pipi
Ana mulai merona merah, ingat bagaimana mereka
pernah bercumbu di tepi laut. Diam-diam dia berharap Wibisono tidak memperhatikan pipinya yang
terasa panas itu. "Kita cuma duduk-duduk di bangku sambil makan
sesuatu yang hangat-hangat. Cuacanya lagi bagus lho.
Sebentar, saja. Mau, ya?"
"Malas, ah." "Sebentar saja. Kira-kira setengah jam saja. Kita ke
sana cuma mau menikmati keindahan alam. Jadi jangan kau ikut-ikutan beranggapan bahwa tepi laut
pada malam hari cuma untuk mereka yang berpacaran
saja," bujuk Wibisono.
Ana terdiam. Memang betul ada anggapan yang
keliru, tepi laut apalagi Ancol, diidentikkan dengan
tempat orang berpacaran. "Bagaimana" Mau, ya" Dari Kelapa Gading ke
http://pustaka-indo.blogspot.com367
Ancol kan dekat," Wibisono membujuk lagi. "Sebentar saja kok." "Baiklah. Tetapi sebentar betul lho ya" Aku masih
punya banyak pekerjaan di rumah," akhirnya Ana
mengalah. "Oke." Wibisono memarkir mobilnya di bawah pohon
ketapang, hanya sekitar lima meter dari tepi laut. Cuaca amat bagus. Langit bersih dan bulan purnama
begitu bulat penuh, sementara angin malam yang berembus lembut terus-menerus mengelusi pucuk-pucuk
pepohonan di sekitar mereka.
"Kita turun yuk," ajak Wibisono. "Itu ada bangku
kosong." "Makanan kecil yang kaubeli tadi kubawa turun
ya?" "Oke. Terutama kacang kulitnya. Enak dimakan
sambil menikmati terang bulan di tepi laut."
Tetapi sayang, baru saja mereka berniat turun dari
mobil, sepasang insan dari arah sebelah kiri yang jalan
bergandengan tangan dengan mesra, telah mendahului
mereka duduk di bangku batu yang kosong tadi.
"Ah, keduluan...," Ana bergumam kecewa,
"Ya sudahlah. Menatap alam yang indah dari mobil
juga asyik kok. Malah tidak digigit nyamuk," kata
Wibisono sambil membuka pintu mobilnya lebar-lebar. Ana hanya membuka jendelanya saja. Angin malam mulai menyebar masuk ke dalam mobil.
Di depan mereka, air laut berkejar-kejaran tanpa
henti, bergulung-gulung sambut-menyambut. Cahaya
http://pustaka-indo.blogspot.com368
rembulan yang memantul di permukaan air tampak
berkilauan mengikuti gerak alunan musik laut. Sesekali tampak pesawat terbang melintas di kejauhan
dengan kerlip-kerlip lampunya, seakan ingin menyaingi indahnya alam saat rembulan mengambang di
langit, bertahta dengan megahnya di singgasana yang
bertaburan awan-awan tipis seputih kapas yang tampak amat cantik terbalut cahaya perak rembulan.
"Kalau saja aku bisa melukis, ingin sekali aku memindahkan keindahan itu ke atas kanvas," gumam
Ana. "Kau bisa memindahkan keindahan itu lewat katakata." "Maksudmu?" "Kau kan bisa mengarang dan membuat puisi.
Lagukanlah itu menjadi suatu nyanyian yang indah
atau berpuisilah." Ana terdiam, menyadari kebenaran kata-kata
Wibisono. Melihat itu Wibisono meliriknya.
"Betul kan perkataanku?"
Ana mengangguk, mulai menaruh seluruh perhatiannya kepada alam indah di sekitarnya.
"Kalau begitu, mulailah. Kaulantunkan sebait, apa
pun yang keluar dari mulutmu. Nanti kusambung
dengan puisi spontanku juga. Jelek-jelek begini aku
bisa juga kok membuat puisi," senyum Wibisono.
"Kau dulu. Aku belum siap."
"Oke. Dengar baik-baik supaya kau nanti bisa melanjutkannya. Sinar perak rembulan itu berhamburan
ke muka bumi... http://pustaka-indo.blogspot.com369
"Menyentuh lembut permukaan laut yang tak pernah diam "Hatiku larut dalam kenesnya geliat air
"Tapi kutahan napasku kuat-kuat...
"Tak ingin kunodai keindahan alam itu dengan suara sengal napasku. "Nah, bagaimana" Biar jelek... lanjutkan, Ana."
"Lumayan kok. Sungguh. Apalagi kaulakukan secara spontan." "Kalau begitu teruskan, Ana."
Ana mengangguk. "Angin malam mendesah sendu dalam sepi...
"Melayang di udara mengirim berkas-berkas cahaya
rembulan. "Bergerak tiada henti sembari menjeritkan keresahannya. "Lalu dikacaukannya permukaan laut hingga bergelombang.

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dibuyarkannya pucuk-pucuk dedaunan.
"Dan diburaikannya rambutku.
"Ah, apa yang bisa kulakukan dalam ketakberdayaan
ini" "Nah, giliranmu, Wibi."
"Puisimu terdengar sedih. Baik, aku akan melanjutkannya. Dengarkan baik-baik ya:
"Di bawah sinar bulan purnama.
"Air laut berkilauan.
"Berayun-ayun ombak mengalir.
"Ke pantai senda-gurauan..."
http://pustaka-indo.blogspot.com370
"Stop. Kau curang," tawa Ana. "Kalau menjiplak
lagu, aku juga bisa. Ayo ah, yang serius."
"Aku kehabisan ide, tak bisa berpikir apa-apa lagi."
Wibisono menyeringai. "Baru satu bait kok sudah kehabisan ide. Cobalah
lagi." "Tidak bisa. Aku tidak berbakat seperti dirimu,
Ana. Jadi berpuisilah, aku jadi pendengar saja."
"Kau curang." Ana mencibir. "Tadi kau kan mengutip lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Bukan puisimu sendiri. Nah, untuk adilnya, kau harus me-nyanyikan lagu itu." "Wah, itu kan lagu lama. Lagu zamannya orangtua
kita dulu. Jadi mana aku hafal?"
"Ya seingatnya sajalah. Biarpun lagu lama, kita pasti pernah beberapa kali mendengarnya karena sering
dinyanyikan orang. Jadi ayolah, nyanyikan itu. Nanti
aku ganti menyambungnya."
"Betul nih" Kau hafal?"
"Kebetulan ayahku mempunyai koleksi lagu-lagu
lama yang sering diputar. Jadi sedikit-sedikit aku hafal." "Baiklah. Aku nyanyikan saja yang kuhafal ya" Di
bawah sinar bulan purnama. Air laut berkilauan. Berayun-ayun ombak mengalir, ke pantai senda gurauan?"
Wibisono menghentikan nyanyiannya kemudian menyeringai. "Untuk selanjutnya aku tidak tahu...."
"Jadi... bagaimana?"
"Tolong lanjutkan. Kau mungkin lebih tahu syairnya." http://pustaka-indo.blogspot.com371
"Wah, suaramu lumayan bagus lho," komentar
Ana. "Kalau kulanjutkan dengan suaraku yang jelek,
apa tidak timpang jadinya?"
"Timpang atau tidak, kan cuma kita berdua yang
tahu. Apa sih keberatanmu menyumbangkan suara
untuk memuji keindahan alam?"
"Ya sudahlah, aku lanjutkan nyanyianmu tadi. Di
bawah sinar bulan purnama, hati duka jadi senang.
Gitar berbunyi riang gembira, jauh malam hari petang.
Beribu bintang bertaburan, menghiasi langit biru. Menambah cantik alam dunia serta murni pemandangan?" "Di bawah sinar bulan purnama. Hati sedih tak
dirasa. Si miskin pun yang hidup sengsara, semalam itu
bersuka...." Wibisono yang tiba-tiba mulai teringat
kembali lagu itu, ikut menyanyi lagi dan menggabungkan suaranya dengan suara Ana.
Selesai menyanyi, keduanya terdiam. Tanpa sadar,
keduanya sama-sama merasakan kedekatan di antara
mereka berdua. Tanpa sadar pula mereka berdua mengagumi suara masing-masing. Terutama Wibisono.
Rupanya suara indah itu bukan hanya milik Evi saja,
tetapi juga Ana. Nasib mereka saja yang berbeda. Ana
lebih menyukai berkarier di bidang yang sama sekali
berbeda dengan sang kakak.
Begitulah, karena kedua orang itu sama-sama terdiam maka perhatian Ana mulai terarah ke tempat
lain. Sayangnya tempat lain itu ada di atas bangku
batu tempat sepasang insan yang tadi mendapat kesempatan lebih dulu duduk di situ. Keduanya sedang
http://pustaka-indo.blogspot.com372
berpelukan dan berciuman dengan mesra. Bahkan tak
lama kemudian kemesraan itu telah berubah menjadi
nafsu asmara. Keduanya tampak saling meraba, saling
mengelus" dan entah apa lagi.
Ana menahan napas melihat cara kedua orang itu
berpacaran. Seumur hidupnya, baru sekali itulah ia
melihat dengan mata kepala sendiri orang berpacaran
sepanas itu. Wibisono yang melihat sikap Ana tibatiba saja seperti patung, melirik gadis itu untuk kemudian mengikuti arah pandangannya. Itu rupanya yang
menyebabkan Ana jadi membisu seribu bahasa. Ah,
pasangan yang sedang asyik masyuk itu apa tidak
tahu bahwa di dalam mobil yang diparkir tak jauh
dari tempat mereka, ada orangnya"
"Kok jadi diam" Suaramu sangat bagus, Ana. Ayo,
teruskan nyanyianmu," kata Wibisono, mencoba
mengalihkan perhatian Ana.
"Tidak bisa...," sahut Ana.
"Kenapa tidak bisa?"
"Tidak bisa ya tidak bisa. Jangan tanya kenapa?"
"Tetapi aku tahu kenapa kau tiba-tiba tidak bisa
menyanyi. Perhatianmu sedang terseret pasangan yang
sedang berpacaran dengan penuh gairah itu, kan...?"
Pipi Ana langsung terasa panas mendengar tebakan
jitu Wibisono. Ia tersipu-sipu malu.
"Yah... aku... aku memang belum pernah melihat
orang berpacaran. Apalagi sepanas itu...," sahutnya
terus terang. Suaranya terdengar bergetar. "Ayo ah,
kita pulang saja." Wibisono meliriknya lagi. Ia merasa heran. Peremhttp://pustaka-indo.blogspot.com373
puan yang sudah berpengalaman pacaran itu masih
bisa terpengaruh oleh apa yang dilihatnya. Betulkah
seperti itu yang dialami Ana, ataukah hanya sandiwaranya saja" Tetapi ah, sepandai-pandainya Ana bersandiwara pasti tidak bisa sesempurna seperti apa yang
terlihat olehnya tadi. Jadi..."
Tanpa sadar tangan Wibisono terulur untuk meraih
telapak tangan Ana. Ia merasa tangan itu sejuk dan
lembap. Berarti, perasaannya memang terpengaruh
oleh apa yang dilihatnya itu.
"Kenapa sih melihat orang pacaran saja jadi bingung begini. Di sini pada malam-malam begini,
apalagi dengan cahaya rembulan yang romantis, kau
akan melihat pemandangan semacam itu di manamana," katanya sambil mengelusi telapak tangan
Ana. Mendengar perkataan itu Ana tertunduk. Tetapi
sebagai akibatnya, ia merasakan lembutnya jari-jemari
Wibisono yang mengelusi telapak tangannya. Ingin
sekali ia menarik tangannya dari pegangan laki-laki
itu, tetapi tak ada kekuatannya untuk melakukan apa
yang diinginkan benaknya. Hatinyalah yang lebih berkuasa, ingin menikmati elusan lembut tangan
Wibisono. Untuk tidak terpengaruh oleh perasaannya itu, Ana
melayangkan pandangannya ke luar jendela. Tetapi
lagi-lagi tatap matanya berlabuh pada pasangan yang
bercumbu tadi. Dilihatnya kedua orang itu tidak lagi
duduk berdekatan seperti tadi. Kini keduanya tengah
berbaring, saling berimpitan. Entah yang mana yang
http://pustaka-indo.blogspot.com374
perempuan entah yang mana pula yang laki-laki, tidak terlihat jelas. Keduanya sibuk mencumbu kekasihnya. Bulu kuduk Ana langsung berdiri saat melihat
adegan mesra itu. Ia bergidik.
"Ayo kita pulang, Wibi," bisiknya dengan suara
bergetar. Wibisono melayangkan pandang matanya ke arah
bangku tadi dan langsung tahu apa yang menyebabkan Ana menjadi canggung seperti itu. Ia tersenyum
di dalam hatinya. "Biarkan mereka dengan urusan mereka, Ana. Kita
ke sini kan untuk menikmati pemandangan alam
yang indah," katanya. Laki-laki itu bicara mengenai
pemandangan, tetapi apa yang dilakukan oleh tangannya tak sesuai dengan perkataannya. Jemarinya terus
saja mengelusi tangan Ana, bahkan mulai merambat
ke pergelangan tangan, ke siku dan lalu ke lengan
gadis itu untuk kemudian bergerak mengelusi rambutnya. Dengan seketika, otak Ana tak lagi bisa diajak berpikir lurus. Elusan tangan Wibisono mulai menggemparkan perasaannya yang sedang terlarut pemandangan
di hadapannya itu. Tanpa sadar, ia mulai menggigil.
Tidak sadar pula bahwa keadaannya itu telah menimbulkan tafsir keliru dalam pikiran Wibisono. Tubuh
Ana langsung dipeluknya. Tanpa membantah, gadis
itu membiarkan dirinya dipeluk oleh Wibisono.
Hm, rupanya gadis satu ini termasuk perempuan
yang mudah jatuh ke dalam rayuan fisik, begitu
Wibisono berpikir. Tampaknya materi tak terlalu menhttp://pustaka-indo.blogspot.com375
jadi fokus perhatiannya kendati ia menyukai fasilitas
yang dapat dinikmatinya. Bagi Ana, kenikmatan fisiklah yang lebih penting. Nyatanya meskipun berulang
kali mengatakan tidak ingin menjadi kekasihnya tetapi
setiap kali dirayu secara fisik, gadis itu langsung menyerah. Hm, sama-sama busuknya dengan Evi dan
Ika yang menyukai kemewahan dan kenikmatan hidup. Ketiganya sama-sama tidak peduli siapa laki-laki
yang bisa memberinya kemewahan, kemudahan, kenyamanan, dan kenikmatan. Tua, muda, jelek, tampan, berkeluarga atau tidak, tidak peduli.
Wibisono melirik wajah Ana yang menyandar ke
bahunya. Mata gadis itu terpejam tetapi dadanya
turun-naik. Hm, tampaknya sudah tiba saatnya ia
menangkap buruan yang selama ini diincarnya, pikirnya. Maka begitu pikiran itu melintasi benaknya,
Wibisono langsung memutuskan untuk melakukan
perbuatan yang sudah lama ditunggu-tunggunya. Bagaikan pemburu yang siap menangkap buruannya
yang sudah ada di ujung jeratnya, wajah Ana yang
ada di bahunya itu segera saja disergap Wibisono dengan ciuman-ciumannya yang bertubi-tubi. Api asmara yang selama ini dikekangnya, kini dihamburkannya
dengan penuh gairah, siap membakar Ana dan siap
pula membakar dirinya sendiri.
Mula-mula Ana terlena oleh pesona asmara yang
ditebarkan Wibisono. Tetapi ketika api gairah asmara
laki-laki itu semakin membubung tinggi dan semakin
panas suhunya sementara cumbuan-cumbuan dan elusan tangannya juga semakin liar, Ana terbangun dari
http://pustaka-indo.blogspot.com376
keterlenaannya itu. Ia mulai merasa takut. Matanya
yang semula terpejam, dibukanya. Pesona yang semula
menghangati tubuhnya dan menyebabkan aliran
darahnya mengalir deras, buyar seketika. Sekujur tubuhnya mulai menegang dan rasa cemas menyebar ke
seluruh serat tubuhnya. Serangan cumbuan Wibisono
sudah melewati batas yang bisa ditolerir. Mereka
bukan sepasang kekasih. Apa jadinya kalau gairah itu
dibiarkannya bicara"
"Cukup... cukup, Wibisono," desah Ana sambil
menjauhkan wajahnya dari dekapan Wibisono.
Wibisono menyadari perbuatannya yang terlalu terburu-buru. Perubahan sikap Ana membuatnya tersadar
bahwa ia terlalu menganggap enteng gadis itu. Ana
tidaklah semudah buruan yang siap ditangkap kapan
saja. Bukankah gadis itu pernah mengatakan terus-terang kepadanya bahwa ia tidak memercayainya" Dengan perkataan lain, bagi Ana, dia bukanlah laki-laki
yang bisa dipercaya. Dan secara jujur ia harus mengakuinya di dalam hati bahwa memang dirinya tidak
pernah bersungguh-sungguh dengan Ana, betapapun
menariknya dia. Sambil memaki dirinya sendiri, Wibisono segera
menghentikan pelukan dan ciuman-ciumannya dan
akhirnya melepaskan Ana dari dekapan dan cumbuannya. Ah, ia telah merusak hubungan baik yang selama
ini sedang dibina sebagai upayanya untuk menyergap
sang burung merak ke dalam jeratnya.
"Maaf...maafkan aku, Ana," katanya berupaya memperbaiki apa yang bisa diperbaikinya. "Aku... aku terhttp://pustaka-indo.blogspot.com377
bawa suasana. Aku juga terpengaruh pemandangan di
depan kita yang berpacaran sedemikian beraninya itu.
Maafkanlah aku, Ana. Tamparlah aku kalau kau
mau!" Ana belum mampu menata hati dan pikirannya.
Pelukan dan cumbuan Wibisono masih mengharubiru perasaannya dan memberi kesadaran yang semakin nyata dalam batinnya bahwa cintanya terhadap
laki-laki itu bukan sekadar ada di permukaan saja,
tetapi benar-benar telah merasuk ke dalam. Bulu-bulu
romanya yang meremang masih begitu terasakan dan
belum pulih ke titik normal. Tanpa cinta, tak mungkin ia bisa seperti ini. Tetapi justru karena itulah ia
harus segera menjauhi Wibisono dan jangan memberinya kesempatan untuk berduaan lagi dengannya.
Laki-laki itu bukan orang yang bisa membahagiakannya. Dia juga tahu, bagi Wibisono, dia tak masuk
hitungan sebagai gadis yang layak untuk mendampinginya. "Ana, kalau kau ingin menempeleng aku, lakukanlah. Aku telah bersalah membiarkan situasi malam ini


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merusak otakku." Ana mendengar lagi perkataan
Wibisono yang mengiba-iba itu. Sementara laki-laki
itu sedang memaki dirinya sendiri. Huh, aktor kesasar, aku ini. Dia sadar telah bersikap munafik, berpura-pura menyesali perbuatannya tadi. Tetapi apa boleh
buat. Seorang kesatria pun bisa berlaku licik jika sudah tidak ada jalan lain yang lebih baik. Begitu
Wibisono menghibur dirinya sediri.
Ana yang tidak tahu-menahu pergolakan batin
http://pustaka-indo.blogspot.com378
Wibisono hanya melihat bagaimana sikap laki-laki itu
saat menyatakan penyesalannya. Hatinya yang lembut,
tersentuh. "Sudah... sudah," katanya. "Lupakanlah. Bukan kau
saja yang bersalah. Aku juga telah terpengaruh oleh
keadaan. Maka yang paling penting, janganlah kejadian seperti tadi terulang lagi...."
"Aku senang mendengar pengertianmu, Ana."
Wibisono menyahuti perkataan Ana. Ada rasa bersalah
yang mulai merambati hatinya saat mendengar ketulusan yang mewarnai kata-kata gadis itu. "Untuk
selanjutnya, aku akan lebih berhati-hati menjaga kelakuanku." Ana mengangguk. "Kurasa sudah saatnya kita pulang. Aku masih harus mengerjakan sesuatu malam ini," katanya kemudian. "Baiklah. Akan kuantar kau pulang."
Sepanjang hari berikutnya Ana sangat sibuk. Di
kantor, ia harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah
masuk ke wilayah deadline agar ia dapat pergi tanpa
beban. Setelah makan siang dan pekerjaan itu telah
diselesaikannya, ia pulang ke rumah untuk menyiapkan keberangkatannya. Hatinya lega bahwa sampai
saat itu Wibisono tidak menghubunginya. Barangkali
laki-laki itu masih menyesali perbuatannya semalam,
pikirnya. Ketika menurunkannya di muka rumahnya,
laki-laki itu masih mengucapkan penyesalannya.
"Kuharap kau tidak marah kepadaku, Ana. Aku
akan mencoba melakukan introspeksi dalam beberapa
http://pustaka-indo.blogspot.com379
hari mendatang ini," katanya sebelum mereka berpisah. Ana mengiyakan. Hatinya tersentuh oleh sikap
Wibisono. Laki-laki yang dianggapnya ugal-ugalan,
yang tak pernah serius dan sering seenaknya sendiri
itu ternyata mempunyai perasaan yang halus, pikirnya.
Sedikit pun Ana tidak menduga bahwa semua itu hanya sandiwara Wibisono belaka. Tetapi yah, siapa
yang menyangkanya" Apalagi ketika petang itu saat
telah berada di bandara, ia didatangi seorang laki-laki
yang tak dikenal. "Anda Mbak Diana?" laki-laki itu bertanya.
"Ya, betul. Anda siapa?"
Laki-laki itu tersenyum. "Tidak penting siapa saya, Mbak. Saya khusus datang ke bandara ini atas suruhan seseorang yang ingin
menyampaikan sesuatu untuk Mbak." Pemuda itu
mengeluarkan sebuah amplop dan setangkai mawar
merah yang langsung diberikannya kepada Ana.
Dengan dahi berkerut Ana menerima pemberian
itu. "Siapa yang menyuruh Anda, Dik?"
"Silakan Mbak Diana membaca surat yang ada di
dalamnya. Di sana tertera nama orang itu. Nah, saya
permisi dulu." Sebelum Ana sempat mengucapkan terima kasih,
pemuda itu telah pergi dengan langkah lebar-lebar. Di
dalam pesawat, gadis itu membuka amplop yang diberikan oleh pemuda itu. Ternyata, surat dari Wibisono.
http://pustaka-indo.blogspot.com380
Didesak oleh rasa ingin tahunya, ia langsung membacanya: Ana sahabat baikku tersayang,
Selamat jalan dan semoga kau dapat melaksanakan tugas-tugasmu dengan lancar. Sebetulnya
aku ingin mengantarkanmu sampai bandara tetapi
aku masih merasa malu karena perbuatanku semalam. Jadi kubayangi saja kepergianmu tanpa kau
mengetahui bahwa aku berada tak jauh darimu.
Dengan membayar seseorang, kutitipkan surat ini
untukmu. Kutitipkan pula setangkai mawar sebagai ungkapan maafku. Dan kupandangi kepergianmu ke Solo sampai pesawat yang membawamu tak
terlihat lagi oleh mataku".
Nah, Ana, sekali lagi kuucapkan selamat jalan
dan semoga kau sukses dalam menyelesaikan tugastugasmu. Sekali lagi pula aku minta maaf kepadamu
atas kesalahanku tadi malam. Kumohon kerendahan
hatimu untuk mengembalikan kepercayaanmu kepadaku sebagai sahabat. Wibisono. Ana melipat kembali surat itu dan memasukkannya
ke dalam tasnya. Ah, Wibisono. Aku telah memaafkanmu, katanya di dalam hati. Bukan kau saja yang
bersalah. Aku pun bersalah, membiarkan diriku terlarut suasana dan terlena oleh pesona perasaanku yang
terlembut saat kita berada di bawah siraman cahaya
rembulan. Setelah berpuisi dan bernyanyi bersama
http://pustaka-indo.blogspot.com381
serta merasakan kedekatan di antara kita, aku telah
lupa diri sehingga otakku tak bisa dipakai berpikir
dengan baik. Memaafkan dalam hati kesalahan Wibisono dan
memikirkan betapa laki-laki itu telah bersusah-payah
menulis surat dan mengekor dengan diam-diam hingga ke bandara membuat hati Ana diliputi kemanisan
yang menyebar ke seluruh serat tubuhnya. Ia tak kuasa menahannya. Tak kuasa pula membendungnya.
Jadi dibiarkannya kemanisan itu terus menyebar ke
seluruh dirinya. Sambil memejamkan matanya ia menyandarkan kepalanya sambil diam-diam berharap
agar Wibisono menjadi laki-laki yang baik dan meninggalkan sikapnya yang sering seenaknya sendiri itu.
Termasuk memikirkan masa depan kehidupan pribadinya. Bukankah kalau mengingat usianya, laki-laki
itu sudah harus menikah dan mempunyai anak" Adik
kandungnya, Wawan, sudah menikah dan punya dua
anak yang lucu-lucu. Di sepanjang perjalanannya, Ana terus memejamkan
matanya dan memikirkan Wibisono. Padahal selama
ini ia tak mau memikirkan laki-laki itu kendati hatinya
menginginkannya. Selalu saja ia memenggal pikirannya
apabila nama laki-laki itu masuk ke dalam ingatannya.
Tetapi sekarang ia membiarkan pikirannya mengembara bersama bayangan Wibisono. Dia sadar, itu
salah. Tetapi sulit sekali mengenyahkan pikiran itu.
Terlebih karena di tangannya ia masih memegang tangkai mawar merah pemberian laki-laki itu. Tetapi untunglah perjalanan yang hanya memakan waktu sekitar
http://pustaka-indo.blogspot.com382
satu jam itu tak memberinya kesempatan untuk memperpanjang lamunannya. Apalagi begitu mendarat di
Solo, ia telah dijemput seseorang dan langsung dibawa
ke tempat ia menginap. Segala sesuatunya telah diatur
dari kantor pusat. Ana merasa senang semuanya berjalan lancar. Karenanya dia bisa langsung masuk ke
kamarnya di sebuah hotel berting-kat dua, yang meskipun bukan hotel bintang, namun menyenangkan. Ia
mendapat kamar di lantai bawah dengan teras yang
menghadap ke halaman yang ter-tata asri. Dari kamarnya, ia bisa memesan makan malam langsung ke restorannya. Sesudah makan nasi goreng dan menonton
televisi sebentar, ia tertidur nyenyak sampai pagi merekah dan hari baru tiba. Paginya, Ana sarapan di hotel sebagai bagian dari
fasilitas hotel. Setelah itu ia langsung mengerjakan
tugas-tugasnya sesuai dengan pengarahan yang diberikan oleh Pak Sukandar. Siapa orang-orang yang harus ditemuinya, semuanya sudah diatur. Jam menunjuk pukul sembilan ketika ia masuk ke Keraton
Mangkunegaran dan melakukan serangkaian wawancara di sana. Berkat apa yang sudah diatur dari Jakarta,
Ana bisa mewawancarai para putri keraton dan abdi
dalem yang sudah tua-tua. Dari merekalah ia mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupan keraton
seratus tahun yang lalu, lalu pada zaman kemerdekaan
dan di masa sekarang. Ia juga mendapatkan tambahan
pengetahuan tentang sejarah kerajaan di Solo maupun
di Yogya. Di masa lalu pada zaman keemasannya, mana bisa
http://pustaka-indo.blogspot.com383
ia berbicara dengan putri-putri keraton tanpa harus
menyembah-nyembah sebagaimana yang dilakukannya
sekarang" Kini mereka cukup disebut sebagai "Ibu
Anu" atau "Ibu Polan" tanpa harus menyebutkan gelar kebangsawanannya yang rumit. Maka begitulah
setiap hari Ana melakukan pekerjaannya, termasuk
mencari informasi kepustakaan dari museum maupun
perpustakaan keraton. Berjam-jam lamanya dia berada
di sana untuk merangkai-rangkai dan mempelajari
kehidupan keraton di masa lalu dan di masa sekarang
saat kemegahan, kewibawaan, karisma, dan keangkeran keraton telah memudar tergilas perubahan zaman
dan waktu. Memang tidak ada yang abadi di dunia
ini. Kerajaan-kerajaan di Cina yang kelihatannya sangat kuat di masa lalu pun kini tinggal kenangan
belaka. Masih lumayan di Indonesia. Budaya masa
lalu, nilai-nilai luhur, dan kearifan lokal serta peninggalan kerajaan masa lalu masih dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian dari sejarah bangsa. Seperti wasiat Mangkunegoro III untuk para keturunannya
bahwa menjalani kehidupan ini harus mantep (mantap, tidak mudah goyah), temen (setia dan tekun),
gelem nglakoni (bersedia menjalani dengan ikhlas), ojo
kagetan (jangan mudah terkejut melihat kenyataan),
ojo gumunan (jangan mudah heran menyaksikan segala sesuatu) yang inti dari kelima sikap hidup itu adalah ajaran Jawa untuk bersikap kompromis terhadap
apa pun yang ada di depan dan apa pun yang sedang
menimpa, dan dengan sadar menerimanya dengan lapang dada. http://pustaka-indo.blogspot.com384
Hari ketiga Ana di Solo, ia mendapat kesempatan
mewawancarai seorang bangsawan, salah seorang cicit
Mangkunegoro V. Perempuan berusia delapan puluh
tahun lebih itu masih memiliki sesuatu yang membuat orang merasa segan terhadapnya. Memakai kain
kebaya dan duduk bersila di atas sofa kayu berpelitur
halus dan dengan tubuh tegak, ia menerima Ana di
bagian belakang rumahnya. Meskipun tampaknya rumah besar berhalaman luas itu pernah menunjukkan
kejayaannya, namun kini terlihat ketuaannya karena
kurang terpelihara. Cat hijau dan kuning yang mendominasi bangunan itu telah pudar. Pasti membutuhkan
dana besar untuk biaya pemeliharaannya. Tetapi meskipun demikian, teras belakang tempat mereka duduk
itu masih merupakan tempat yang menyenangkan.
Luas, memanjang dan terasa sejuk dinaungi pohon
sawo kecik dan pohon kantil besar yang rimbun dan
tinggi. "Teras ini sungguh nyaman dan asri, Ibu," komentar Ana ketika ia sudah duduk di hadapan perempuan
yang wajahnya masih segar dengan sisa-sisa kecantikan
yang masih melekat kuat pada wajah tuanya.
"Panggil saya Eyang. Kau seumur cucuku."
"Baik, Eyang. Terima kasih."
"Katamu rumah ini nyaman untuk ditinggali. Ya,
memang. Rumah orang Jawa yang masih menghormati
ajaran-ajaran kuno selalu ditanami beberapa macam
pohon tertentu agar nyaman dan merasakan berkah.
Pertama, pohon sawo kecik, biar selalu ada kebecikan
(kebaikan) di dalam rumah ini. Kemudian pohon kanhttp://pustaka-indo.blogspot.com385
til, agar para penghuninya merasa kantil (dekat, erat
dalam kebersamaan satu sama lain). Lalu pohon
keluwih, yaitu agar penghuninya memiliki keluwihankeluwihan (kelebihan)."
Begitulah perempuan itu mulai menceritakan tentang masa kecilnya di kalangan keraton. Tentang
bagaimana ia bersama saudara-saudara dan para sepupunya diharuskan bersekolah dan mempelajari bahasa
Belanda. Namun juga diharuskan belajar menari dan
memahami sastra Jawa. Terutama karya Mangkunegoro
IV yang berbentuk puisi. Salah satunya yang terkenal
adalah bukunya yang berjudul Wulang Reh (ajaran
dan arahan untuk menjalani dan mengamalkan nilainilai kehidupan yang luhur).
"Di bawah pemerintahan beliau, Mangkunegaran
mengalami banyak kemajuan di bidang ekonomi dan
keamanan. Beliau mengharuskan adanya wajib militer," tuturnya pula. "Selain itu, Mangkunegoro IV
tersebut terkenal mempunyai banyak bakat. Pengarang, penyair, pelukis bahkan komponis."
"Ya, saya pernah mendengar hal itu."
"Tetapi kalau bicara mengenai modernisasi, itu adalah Eyang Mangkunegoro VI. Meskipun beliau tidak
cocok dengan pemerintah Hindia-Belanda tetapi mau
mengambil alih kehidupan modern mereka. Di zaman
pemerintahan beliau, rambut kaum laki-laki yang se

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mula dipanjangkan, boleh dipangkas pendek. Beliau
juga menyederhanakan cara menyembah. Hanya tiga
kali saja. Saat datang menghadap, ketika membuka
pembicaraan, dan waktu akan mengundurkan diri."
http://pustaka-indo.blogspot.com386
"Sebelumnya bagaimana, Eyang?" tanya Ana.
"Sebelumnya, para bawahan selalu menyembah setiap mengucapkan kalimat. Jadi bisa dibayangkan
berapa puluh kali seseorang harus menyembah di
hadapan raja jika melaporkan atau membahas sesuatu.
Di bawah pemerintahan beliau pula kursi-kursi mulai
masuk ke dalam keraton. Kemudian juga makan dengan memakai sendok-garpu dan menerapkan sikap
disiplin, adil, rendah hati, dan bijaksana dalam pengambilan keputusan. Barangkali karena pola pikirnya
yang lurus-lurus demikian itu sementara menjadi raja
harus bisa tampil dengan seribu wajah sesuai dengan
situasi, kondisi dan kebutuhan, beliau meletakkan jabatan pada tahun 1916. Bersama seluruh keluarganya,
beliau meninggalkan Mangkunegaran untuk kemudian
menetap di Surabaya dan hidup sebagai orang biasa." Demikianlah, dari hasil wawancara dengan bangsawan putri tersebut Ana mendapat banyak informasi.
Ia sekarang tahu mengapa bangunan keraton Mangkunegaran didominasi warna hijau dan kuning. Warna-warna padi itu melambangkan kemakmuran. Begitupun apa yang pernah menjadi pertanyaan batinnya
mengenai dari mana para raja dan keluarga besarnya
yang sedemikian banyak jumlahnya itu memenuhi
kebutuhan hidup dan mendanai keraton yang luasnya
sekitar 93.397 meter persegi, terjawab. Harta milik
keluarga keraton cukup besar. Di antaranya hasil hutan, hasil sawah, hasil kebun teh, gula, kopi serta
pabrik-pabrik gula, dan lain sebagainya.
http://pustaka-indo.blogspot.com387
"Tetapi sekarang ini keadaannya sudah tidak sehebat zaman dulu. Zaman telah berganti dan tuntutan
situasi mengharuskan sikap kompromis kami terhadap
realita dunia yang selalu berubah," kata perempuan
tua itu sambil menerawang, mengingat kembali zaman keemasan keluarganya di masa lalu. "Ada banyak
hal yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman
di era kemerdekaan ini."
"Misalnya?" "Naik kereta dengan sekian kuda dan dengan sekian
punggawa untuk melihat-lihat suasana kerajaan, sudah
tentu tidak mungkin lagi dilakukan. Sekarang, kerajaan
yang kami miliki lebih sebagai simbol daripada sebagai
pemerintahan seperti halnya di masa lalu."
"Ya, saya pahami itu."
Malamnya, Ana langsung menyusun semua yang
didengar dan juga yang dibacanya dari perpustakaan,
di kamar hotelnya. Bahkan terbetik keinginan dalam
hatinya untuk membuat novel dengan latar belakang
kehidupan keraton pada zaman dulu.
Selama berada di Solo, Ana sangat sibuk dengan
pekerjaannya itu. Pagi-pagi sudah berangkat dan pulang pada sore hari. Sering kali ia harus pergi lagi
malamnya. Ada saja yang mengundangnya makan malam sambil melanjutkan bincang-bincang yang mengasyikkan. Pada malam terakhir di Solo, Ana menerima
lagi undangan makan malam di rumah keluarga ningrat yang masih kerabat dekat dengan Mangkunegoro
IX yang bertahta sekarang ini. Sambil makan malam,
Ana menerima rahasia cara merawat kecantikan.
http://pustaka-indo.blogspot.com388
"Saya prihatin melihat perempuan zaman sekarang
yang pandai berdandan dengan begitu cantiknya tetapi
hanya ada di kulitnya saja. Tidak merasuk sampai ke
dalam. Secara fisik, begitu rias mukanya dibersihkan,
wajahnya tampak berbeda sekali. Belum tua tetapi wajahnya sudah layu tanpa seri. Beda dengan putri-putri
kami." "Apa rahasianya, Ibu?"
"Memakai alat-alat kecantikan buatan sendiri yang
tidak ada bahan kimia dan pengawetnya. Itu dari luar.
Dari dalam, minum jamu-jamuan. Dan yang lebih
penting daripada kecantikan fisik itu adalah sesuatu
yang memancar dari dalam, yaitu kecantikan batin.
Orang sekarang mengatakan inner beauty."
"Misalnya?" "Jangan menyimpan amarah, iri, dengki, dendam,
berprasangka buruk, dan berbagai macam angkara murka lainnya. Pikiran dan hati yang buruk akan tercermin
pada wajah. Termasuk pada air muka dengan garisgaris bibir, mata, dan sikap kita. Begitupun hati yang
tulus, bersih, damai tanpa pamrih, dan penuh penerimaan juga akan tercermin di seluruh tubuh kita. Kecantikan batin itu pasti akan terpancar keluar. Maka
akan bagus sekali kalau mau minum jamu hendaknya
berdoa lebih dulu. Bukan asal berdoa saja lho."
"Bukan asal berdoa itu apa maksudnya?"
"Melantunkan doa itu jangan hanya ada di bibir
saja tetapi harus diresapkan dan dihayati bahwa saat
itu kita sedang berbicara kepada Gusti Allah yang
http://pustaka-indo.blogspot.com389
memberi hidup, yang menganugerahi kita kecantikan.
Ya, apa pun keadaan wajah kita, itu adalah kecantikan
yang diberikan Gusti Allah. Jangan pernah menyesali
hidung yang pesek, misalnya. Sebab pasti ada bagian
lain dari diri kita yang cantik. Entah rambut. Entah
mata. Jadi syukurilah dan berdoalah dengan khusyuk.
Rasa tidak puas, rasa minder, dan perasaan negatif lainnya akan memengaruhi mimik air muka dan juga cara
pandang seseorang. Tanpa sadar, dia akan mudah berkata sinis dan bibirnya seakan selalu siap untuk mencela orang." "Jadi rahasianya ada pada pemupukan kecantikan
batin?" "Sebagian besar, ya. Maka perlu mengasah pikiran,
hati dan jasmani. Maka seringlah berpuasa, berpantang, dan tidak memanjakan keinginan tubuh. Kurangi
pula waktu tidur dan porsi makan, misalnya. Hidup
selaras dengan Yang Di Atas, dengan dunia termasuk
sesama dan dengan diri sendiri yang antara lain diungkapkan dengan sikap kompromis, nrimo, dan pasrah.
Suatu kepasrahan yang bukan sikap apatis lho. Tetapi
lebih pada penerimaan atas realita yang dijalani. Cantik
fisik saja tidak memiliki kekuatan yang mantap. Lamalama orang akan bosan bersamanya."
Meskipun Ana orang Jawa asli, namun ajaran-ajaran luhur mengenai bagaimana orang Jawa harus menjalani kehidupannya, baru sekarang inilah ia dapatkan
dari para bangsawan yang diwawancarainya. Sayangnya, orang Jawa sekarang sudah tidak tahu hal tersehttp://pustaka-indo.blogspot.com390
but. Jangan lagi tentang ajaran-ajaran luhur dari nenek moyang, berbahasa Jawa apalagi dengan
tingkat-tingkat pemakaiannya saja pun sudah banyak
yang tak bisa. Padahal di situ terletak salah satu dari
rambu-rambu menghindari konflik, sesuatu yang sedapat-dapatnya selalu dihindari orang Jawa. Sebab konflik apa pun akan menyebabkan hilangnya kedamaian
dan ketenteraman yang didambakan banyak orang
dalam hidup bersama. Dengan perasaan puas dan setelah mematikan laptopnya, Ana membaringkan tubuhnya. Pikirannya
sudah melayang ke kota berikutnya. Kota Yogyakarta. http://pustaka-indo.blogspot.com391
ANA terbangun setelah matahari tinggi di ufuk timur. Dengan terperanjat ia meraih arlojinya. Jam
setengah delapan lebih. Astaga. Enak betul tidurnya. Ana membuang selimutnya ke samping. Tetapi ia tidak segera bangkit
dari tempat tidurnya. Ditajamkannya telinganya karena lamat-lamat ia mendengar ada suara dari teras kamarnya. Suara yang meraih telinganya itu persis suara
Wibisono. Gila, gerutunya dalam hati. Siapa laki-laki yang
suaranya seperti suara Wibisono itu" Ataukah telinganya saja yang keliru menangkap suara orang dan
menganggapnya seperti suara Wibisono. Tetapi aduh,
persis betul suara itu. Ana semakin menajamkan pendengarannya, masih
tanpa bergerak sedikit pun. Entah siapa pun pemilik
Dua Belas http://pustaka-indo.blogspot.com392
suara yang persis suara Wibisono itu, yang jelas orang
itu tidak tahu sopan santun. Sudah tahu teras itu milik kamarnya, kok enak betul dia duduk di situ dan
mengobrol semaunya sendiri. Bukankah orang Jawa
terutama orang Solo, mempunyai sopan santun yang
tinggi" "Wah, wangi betul aromanya. Memakai daun pandan ya, Bu?" Sekarang Ana mendengar suara laki-laki
itu lebih jelas. Hm. Betul-betul persis suara Wibisono.
Bedanya, orang itu memakai bahasa Jawa halus meskipun terdengar tidak begitu terbiasa menggunakan
bahasa tersebut. "Tidak, Pak. Memang nasinya yang wanginya seperti aroma daun pandan. Ini beras pandan wangi asli
Delanggu, Solo. Apalagi masih mengepul begini. Ini
tadi saya agak kesiangan memasaknya."
Ana langsung teringat pada penjual nasi liwet yang
sering terlihat memasuki hotel-hotel kelas melati atau
bintang satu yang ada di sekitar hotel tempatnya
menginap ini. Ada banyak tamu peringkat hotel seperti itu yang lebih suka sarapan nasi liwet daripada
sarapan hotel yang hanya ada tiga macam pilihan.
Nasi goreng, roti dengan beberapa macam pilihan isi,
dan bubur ayam yang kurang lezat rasanya. Kecuali
hotel bintang sekian yang menghadirkan sarapan komplet dengan banyak pilihan.
"Mau lauk apa, Pak" Ayam, telur pindang, opor
tahu, atau sambal goreng labu siam?"
"Biar sedikit-sedikit, saya mau mencicipi semuanya.
http://pustaka-indo.blogspot.com393
Tentunya enak kan, Bu?" Suara yang mirip suara
Wibisono terdengar lagi. Ana mengerutkan dahinya. Kurang ajar dan lancang sekali orang itu. Jajan nasi liwet, duduk di teras
kamar orang. "Wah, tanyakan saja pada orang-orang sini. Langganan saya banyak. Biarpun sudah mendapat sarapan,
tamu-tamu hotel yang sering menginap di hotel-hotel
sekitar sini pasti mencari saya. Ayamnya ayam kampung dan nasinya betul-betul gurih dan wangi. Bapak
pasti tuman (ketagihan)."
"Tamu yang ini...?"
"Tamu yang wartawati dari Jakarta itu to" Oh, dia
belum kenal masakan saya. Apalagi kelihatannya sangat sibuk. Kata Pak Wage, setiap pagi sesudah sarapan, langsung pergi dengan mobil sewaan. Tetapi kalau
dia sempat sarapan nasi liwet saya ini, wah, pasti dia
tidak mau lagi sarapan dari hotel."
Ana merasa jengkel mendengar penjual yang kelihatannya agak genit itu membicarakan dirinya. Tetapi
juga merasa geli membayangkan si penjual nasi liwet
yang tidak malu memuji dirinya sendiri itu.
"Begitu ya" Eh, sambalnya jangan lupa, Bu."
"Masa lupa to Pak" Ya tidak, to. Ini kan saya kasih
arih dulu." "Apa itu arih?"
"Santan kental yang di-asat-kan (dimasak dengan
bumbu sampai air santannya tinggal sedikit sekali)."
"Enak?" http://pustaka-indo.blogspot.com394
"Ya tentu saja enak. Gurih lho. Wah, kelihatannya
Bapak baru sekali ini menginap di sini ya?"
"Ya, memang." "Tetapi sudah pernah makan nasi liwet, kan?"
"Sudah. Tetapi yang beli dari penjual keliling begini, baru kali ini." "Wah, ini istimewa lho, Pak. Betul. Telur pindangnya saja gempi (empuk tetapi tidak lembek)."
Mendengar tanya-jawab mengenai nasi liwet itu
perut Ana langsung memberontak minta diisi. Ia juga
ingin makan nasi liwet. Tetapi sebelum itu ia ingin
menegur laki-laki yang suaranya persis Wibisono dan
yang telah bersikap lancang duduk di teras kamarnya.
Dengan menahan rasa jengkelnya, ia mematikan
AC dan mulai memutar kunci pintu kamarnya. Mendengar suara kunci diputar, si penjual nasi liwet langsung memberi komentar dengan berbisik.
"Nah itu, wartawatinya sudah bangun." Meskipun
berbisik, Ana bisa menangkap suaranya.
Tangan Ana langsung membuka pintu kamarnya
lebar-lebar, bermaksud mendamprat laki-laki yang seenaknya sendiri duduk di depan kamarnya itu. Namun begitu melihat orang yang lancang duduk di teras kamarnya itu, bukan mulutnya yang terbuka
untuk mendamprat, tetapi matanya yang membelalak
lebar. Ia melihat Wibisono sedang menikmati nasi liwet dalam pincuk (daun pisang yang dibentuk mengerucut pada dasarnya). "Selamat pagi, sahabat...." Laki-laki itu tertawa lebar
menyapanya. http://pustaka-indo.blogspot.com395


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau... ada di sini...?" seru Ana setelah hilang rasa kagetnya. "Ya, aku menyusulmu dan tiba di Solo tadi malam.
Aku menginap di kamar sebelah tetapi memilih duduk di teras kamarmu ini. Suaraku mengganggu tidurmu, ya" Tetapi hari sudah siang lho."
"Menyusulku" Dari mana kau tahu aku menginap
di sini?" Ana membelalakkan matanya lagi.
"Dari teman sekantormu. Beberapa hari yang lalu
aku menelepon kantormu," jawab Wibisono.
"Untuk apa kau menyusulku?"
"Untuk mengucapkan sendiri apa yang sudah kutulis lewat suratku beberapa hari yang lalu. Tetapi
sudahlah. Nanti kita bahas. Sekarang yang penting,
ayo sarapanlah bersamaku. Nasi liwetnya benar-benar
enak. Kata-kata ibuku benar. Di Solo ini penjaja makanan gendongan, serba enak. Ada tengkleng (seperti
gulai kambing tetapi tanpa santan, dagingnya daging
iga kambing), lalu ada pecel tumpang (bumbunya diberi krecek dan tempe yang sudah dilayukan) dengan
sate kerang, ada jajan pasar serba gethuk dan ada nasi
rames." "Aku... aku belum mandi." Ana agak tersipu ketika
menceritakan keadaannya, karena masih mengenakan
piama. "Mandilah. Kutunggu supaya kita bisa sarapan samasama." "Aku ganti baju dan gosok gigi dulu saja. Mandinya nanti. Perutku... lapar mencium aroma nasi liwet.
Tunggu sebentar ya."
http://pustaka-indo.blogspot.com396
Baik si penjual nasi liwet maupun Wibisono tertawa mendengar kata-kata Ana.
"Ya sudah, kutunggu. Aku nanti mau tambah nasinya lagi. Lalu kita makan sama-sama."
Tetapi sepuluh menit kemudian Ana baru keluar
lagi dari kamarnya. Ia mengenakan celana jins dan
blus kaus warna merah. "Maaf lama," katanya sambil duduk. "Aku mandi
sekalian tadi. Tetapi belum bedakan. Cuma sisiran
asal-asalan saja." Wibisono meliriknya. Wajah gadis itu tampak polos tanpa sapuan bedak maupun lipstik. Tetapi justru
memperlihatkan kesegaran dan kemudaannya. Ia tampak cantik dan menawan. Bibirnya yang kemerahan
alami itu tampak seperti agar-agar bening dan harumnya sabun wangi masih menguap dari tubuhnya.
"Kalau cuma gosok gigi dan ganti baju, waktu
yang kaupergunakan itu memang lama. Tetapi untuk
mandi" Wah, apa bersih dengan waktu yang cuma
sepuluh menit saja sudah duduk di sini?" Wibisono
menggoda, hanya untuk menutupi getar dadanya. Gadis satu ini benar-benar cantik alami. Sungguh sayang, kenapa murahan"
"Tentu saja bersih. Cuma saja aku tadi tidak ke
belakang." Wibisono menggoda lagi sambil tertawa mengejek.
"Begitu kok bilang bersih. Masih ada yang tertinggal di perutmu," katanya.
"Biar saja. Nanti saja habis sarapan baru aku setor." http://pustaka-indo.blogspot.com397
"Idih, ada orang makan kok bicara begitu sih!"
"Habis, kau yang memulai sih." Ana tertawa sambil
menatap ke arah tenggok si penjual nasi liwet itu.
"Saya juga mau semua lauknya, Bu. Serbasedikit tetapi komplet." "Baik." Selesai sarapan yang terasa nikmat dan si penjual
nasi liwet yang sudah dikenal baik oleh penjaga hotel
itu keluar melalui pintu samping, Ana menoleh ke
arah Wibisono. "Kau betul-betul menyusulku hanya untuk mempertegas isi suratmu?" tanyanya kepada laki-laki yang
duduk kekenyangan itu. "Ya." "Sebetulnya hal itu tidak perlu, Wibi. Kau telah
membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya perjalanan
hanya untuk sesuatu yang menurutku agak berlebihan.
Aku sudah memaafkanmu. Aku juga sudah mengatakan bahwa kesalahan tidak hanya ada padamu saja.
Aku pun ikut bersalah," Ana berkata agak tersipu.
"Ya. Andaikata aku tahu kau begitu pemaaf, aku
pasti tidak akan malu menemuimu di Jakarta dan tidak menunggu sampai hari ini."
"Aku tidak memercayai alasan kedatanganmu ke
sini. Kalau hanya untuk minta maaf saja, rasanya sudah berlebihan." "Kau benar. Kedatanganku ke sini memang tidak
khusus untuk minta maaf kepadamu meskipun ini
yang penting. Aku sengaja mengambil alih tugas pengantar barang dengan tujuan kota Magelang. Aku
http://pustaka-indo.blogspot.com398
memilih lewat Pantai Utara. Sesampai di Ungaran,
mobil boks yang membawa barang pindahan orang
dari Jakarta ke Magelang itu kusuruh antar salah seorang pegawai kami. Aku sendiri ganti sedan yang
langsung kubawa ke Solo. Kebetulan waktu kutanya
pada pegawai hotel, kamar di sebelahmu kosong. Jadi
aku ambil kamar itu. Jelas kan keteranganku?""
"Enak ya kalau punya perusahaan sendiri. Mau
pergi kapan saja, gampang. Bisa sekalian mengurus
bisnis pula." "Ralat. Perusahaan keluarga. Bukan perusahaanku
sendiri." "Lalu apa tujuanmu selain alasan pertamamu
tadi?" "Mengantarmu ke mana pun kau harus bertugas.
Kusiapkan waktu, tenaga, dan mobil untuk mempermudah tugas-tugasmu."
"Aku tidak mengalami kesulitan apa pun, Wibi.
Semuanya sudah diatur dan sudah kulaksanakan dengan lancar-lancar saja."
"Tetapi kan tidak sebebas kalau pergi bersamaku.
Aku benar-benar menyediakan diri untukmu demi
memperbaiki kesalahanku terhadapmu."
Ana terdiam. Setelah menarik napas panjang, barulah ia bersuara lagi. "Yah, sudah telanjur... masa aku harus mengusirmu
pulang?" katanya dengan suara pelan. "Tetapi apa tidak
merepotkanmu?" "Sudah kukatakan, aku sengaja menyiapkan diri
untuk membantu tugasmu agar lebih lancar. Lagi pula
http://pustaka-indo.blogspot.com399
aku juga punya urusan di Yogya. Kapan rencanamu
pergi ke Yogya?" "Hari ini, menjelang siang nanti."
"Suatu kebetulan yang menyenangkan. Nanti kita
sama-sama check out dari hotel ini."
"Yah, mungkin memang lebih bebas bertugas dengan mobil pribadi. Tetapi bolehkah aku mampir ke
Klaten sebentar?" "Tentu saja. Mau apa di sana?"
"Mau beli keripik paru dan belut. Pesanan Deni.
Kemudian juga mau mampir ke makam eyangku sebentar. Sudah lama aku tidak menengok makam orangtua
ayahku." "Oke." Diam-diam Wibisono melihat betapa kasih
Ana terhadap adik seayahnya itu. Ia juga menghargai
betapa gadis itu begitu khusyuk berdoa di makam neneknya ketika mereka berada di Klaten. Bahkan ia
sempat melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Hm, seperti apakah sesungguhnya gadis satu ini" Wibisono merasa dirinya selalu saja menemukan sesuatu yang baru
pada gadis itu. Sesampai di Yogya, Wibisono mengikuti Ana menginap di hotel yang sudah dipesan kantor Ana. Kali itu
hotel berbintang dua. Mula-mula laki-laki itu cuma
mau melakukan rencananya sendiri, memikat Ana dan
memasukkan ke dalam jeratnya. Ia ingin agar Ana
merasa sangat membutuhkan kehadirannya. Tetapi setelah mengikuti serangkaian wawancara yang dilakukan
Ana dan menggali sejarah keraton Yogya lewat penuturan orang-orang tua yang dari sekian generasi tinggal
http://pustaka-indo.blogspot.com400
di Yogya dan lalu melengkapinya dengan buku-buku
sejarah, laki-laki itu malah tertarik. Dengan penuh
semangat ia membantu Ana. Melihat-lihat museum
dan perpustakaan serta mencari buku-buku lama di
toko-toko buku bekas. Ternyata pekerjaan Ana memang sangat menarik, pikirnya. Dan ternyata pula,
Ana begitu ahli menggali ingatan orang.
Karena rasa tertariknya itu Wibisono minta diperbolehkan Ana untuk ikut menyusun pekerjaannya.
"Diam-diam aku juga mencatat hal-hal penting
yang mungkin terlewat dari pandanganmu," katanya
dengan semangat yang jelas tertangkap oleh mata Ana
yang tajam. "Izinkan aku membantumu."
"Maksudmu...?" "Kalau boleh, aku ingin bekerja di kamarmu. Nanti kalau kau sudah lelah atau mengantuk, aku akan
kembali ke kamarku sendiri."
Ana mengerutkan dahinya. "Rasanya tidak pantas kita berdua berada di dalam
kamar hotel meskipun untuk bekerja," katanya kemudian. "Pantas atau tidaknya itu tergantung dari diri kita.
Sudah begitu tidak ada orang yang tahu pula. Lagi
pula, dua kepala yang berpikir kan lebih baik daripada cuma satu kepala. Ya, kan?" Hm, tahu tentang
pantas atau tidak rupanya Ana ini. Cuma basa-basi
atau apa" "Baiklah, kalau begitu," Ana menjawab dengan suara terpaksa. "Aku memang membutuhkan bantuan
http://pustaka-indo.blogspot.com401
setelah seharian memeras tenaga, waktu, dan pikiran." "Lagi pula kalau kautunda besok, aku yakin pasti
ada yang terlupakan. Apalagi kalau terbaur dengan
sejarah keraton Pakualam."
"Yah, memang. Kalau di Solo ada Mangkunegaran
dan Kasunanan Pakubuwono, di Yogyakarta ini juga
ada dua kerajaan. Kasultanan Hamengkubuwono dan
Pakualaman. Kalau hasil perburuan kita hari ini kutunda karena mengantuk, pasti ada saja yang terlewat
dan lalu terlupakan begitu saja," sahut Ana membenarkan perkataan Wibisono. "Atau malah terkacau di
antara kedua kerajaan itu."
Demikianlah keberatan hati Ana segera saja sirna
begitu melihat apa yang dilakukan oleh Wibisono sangat membantu pekerjaannya. Apalagi setelah
Wibisono dengan kemauannya sendiri mengambil alih
laptop-nya dan menambahi apa yang terlewatkan oleh
gadis itu. Tetapi ketika keduanya mengantuk, mereka
pun menghentikan pekerjaan dan Wibisono kembali
ke kamarnya. Esok malamnya setelah seharian ke sana dan kemari, Wibisono memijit bel kamar Ana lagi. Gadis itu
membukakan pintu kamarnya sambil membawa surat
kabar setempat yang baru dibacanya.
"Lho, kukira kau sedang menyusun hasil pekerjaan
kita seharian tadi," kata Wibisono ketika melihat koran yang ada di tangan Ana, sambil melangkah masuk. "Aku memang ingin mengerjakannya sekarang tehttp://pustaka-indo.blogspot.com402
tapi tadi kepalaku sakit sekali. Sudah begitu seluruh
tubuhku terasa capek," jawab Ana sambil meletakkan
koran yang tadi dibacanya. "Jadi untuk malam ini
kita tidak usah bekerja."
"Sudah minum obat?"
"Sudah. Aku selalu membawa obat sakit kepala
meskipun sudah lama aku tidak kumat lagi. Sekarang,
aku mulai mengantuk karena pengaruh obat yang kuminum tadi." "Ya sudah, kau istirahatlah. Biar aku saja yang
mengerjakannya. Jelek-jelek begini aku bisa juga kok
menulis. Nanti kalau ada kalimat yang kurang bagus
atau ada hal-hal yang tak sesuai, kau tinggal mengeditnya." "Wah, itu tidak adil bagimu. Aku yang dapat gaji,
kau yang bekerja." Ana menyeringai.
"Kau tak perlu merasa sungkan, Ana. Terus terang
aku sangat tertarik pada apa yang kaukerjakan. Sebagai orang Jawa dan orangtuaku asli dari Yogya, aku
merasa malu karena baru sekarang ini mengetahui
segala hal yang berkaitan dengan kota ini," sahut
Wibisono. "Jadi sekali lagi, silakan istirahat sambil
menonton televisi atau membaca koran, biar aku yang
mengerjakannya sambil mempelajari apa-apa yang
ingin kuketahui." "Terserah kalau memang begitu," sahut Ana. "Tetapi sebelumnya, aku ingin mengetahui pendapatmu
mengenai masyarakat Yogya. Paling tidak hasil pengamatanmu sendiri. Menurut catatan yang kubaca,
penduduk kota ini termasuk teratas dalam hal ratahttp://pustaka-indo.blogspot.com403
rata pencapaian usia tinggi. Jumlah golongan lanjut
usia, termasuk yang terbanyak persentasenya. Kira-kira
apa penyebabnya" Itu pertanyaan yang pertama. Perta

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyaan kedua, menurut penilaianmu kenapa masih
banyak penduduk kota Yogya, terutama mereka-mereka yang telah berumur, sangat setia kepada Sultan?"
"Wah, meskipun orangtuaku asli orang Yogya, tetapi aku sendiri dilahirkan di Jakarta dan dibesarkan
di sana. Jawabanku pasti kurang akurat, Ana."
"Aku tidak mencari jawaban yang akurat, Wibi.
Apalagi yang bersifat ilmiah. Aku hanya ingin tahu
pendapatmu sebagai orang awam," kata Ana sambil
menutup mulut untuk menutupi kuapnya yang lebar.
Wah, kantuknya sudah mulai datang.
"Oke. Menurutku, orang Yogya itu termsuk orang
yang tidak suka macam-macam. Hati mereka lebih
sumeleh dan sumarah (dua sikap batin ini sulit diterjemahkan karena tak ada dalam bahasa Indonesia. Maknanya kira-kira: suka damai, tenang, pasrah, apa adanya, sabar). Ditambah etika Jawa yang menggarisbawahi
kerukunan, hormat, dan tenggang rasa, maka hidup
orang Yogya itu tenang-tenang saja. Nyaris tak ada tekanan dan terhindar dari konflik. Mereka menjalani
kehidupannya dengan tidak ngoyo. Maka ya jauh dari
penyakit yang kebanyakan disebabkan oleh pikiran dan
situasi yang mengakibatkan stres berkepanjangan. Mereka juga jauh dari penyakit darah tinggi yang bisa
menyebabkan stroke. Jawaban yang kedua, sampai sekarang kesultanan masih menjadi simbol ajaran luhur
orang Jawa dan menjadi orientasi nilai yang kuat dahttp://pustaka-indo.blogspot.com404
lam memaknai hidup bagi masyarakat Yogya dan sekitarnya." "Anak-anak mudanya?"
"Barangkali sudah tidak sefanatik generasi-generasi
sebelumnya. Tetapi pada gilirannya, saat mereka membutuhkan tokoh panutan dan saat terjadi krisis kepemimpinan dalam pemerintahan negara kita, biasanya
mereka akan kembali pada sesembahan orangtua mereka." "Mungkin analisismu tak meleset jauh dari kenyataan," komentar Ana. "Ingat saja waktu peristiwa kerusuhan Mei 1998. Meskipun waktu itu umurku baru
empat belas tahun tetapi aku mengikuti berita bahwa
kota ini nyaris tidak terpengaruh. Bahkan konon yang
kudengar, Sultan turun tangan sendiri untuk menenangkan masyarakat Yogya dan rakyat mematuhinya." "Ya, aku juga mendengar hal itu. Bahkan ibuku
pernah bercerita bahwa masyarakat asli Yogya masih
sedemikian menghormati dan mencintai segala hal
yang berkaitan dengan Kesultanan. Terutama almarhum Sultan Hamengkubuwono IX. Kalau ada keluarga Sultan kebetulan jalan-jalan di suatu tempat, selalu
ada saja orang yang memberikan hasil bumi mereka
walaupun cuma dua buah nangka, misalnya. Penduduk menganggap berkah bagi mereka jika bisa
berlaku demikian. Ibuku pernah menyaksikan hal
semacam itu." "Nah, kembali ke pembicaraan kita semula, aku
berpendapat bahwa orang Yogya dan orang Jawa pada
http://pustaka-indo.blogspot.com405
umumnya memang lebih suka menghindari konflik,
termasuk konflik batinnya sendri. Karenanya mereka
lebih suka mengambil sikap kompromis. Cita-cita boleh setinggi langit tetapi jika realita yang dihadapi tidak memungkinkannya maka dengan pasrah dan sikap kompromis ia akan menerima kenyataan itu
sebagai bagian dari kehidupannya. Kalau bukan miliknya, mau diapakan" Yang penting dia sudah berusaha." "Ya, kurasa aku sependapat. Tetapi kalau dipikir-pikir, apa itu bukan sikap orang yang mudah menyerah?" "Bukan begitu yang sebenarnya, Wibi. Karena sikap kalem dan kemampuannya melakukan kompromi
terhadap realita, orang Jawa sering dianggap kurang
memiliki daya juang. Padahal tidak demikian. Orang
Jawa justru memiliki daya juang yang tinggi. Menjadi
transmigran atau merantau hingga ke mana pun, berani. Lihat saja, di mana-mana selalu ada orang Jawa.
Bahkan di Aceh atau di Irian yang jauh pun, ada
orang Jawa di sana."
"Ya, memang. Tetapi sekarang biarkan aku bekerja
dulu. Mengobrolnya besok saja ya."
"Tentu saja. Apalagi kau sangat membantuku."
Begitulah Wibisono mulai menyibukkan dirinya
dengan bekerja. Tetapi ketika tidak mendengar suara
apa pun dari tempat Ana duduk, ia menoleh ke sana.
Dilihatnya kepala gadis itu sedang terangguk-angguk,
tertidur dengan dagu menyentuh dada. Melihat itu,
ia segera menghentikan pekerjaannya.
http://pustaka-indo.blogspot.com406
"Ana... bangun," katanya. "Tidurlah di tempat tidur. Aku akan kembali ke kamarku."
"Apa... apa?" Ana tergagap kaget. Obat pusing
yang diminumnya tadi telah mencengkeramnya ke
dalam kantuk yang berat. "Sssh... tidurlah. Aku akan kembali ke kamarku.
Tetapi laptop-nya kubawa ke kamarku, ya" Aku masih
ingin melanjutkan pekerjaan kita."
Melihat Ana mengangguk, Wibisono keluar dari
kamar Ana. Tetapi di muka pintu kamar itu ia terus
berdiri dengan diam karena tidak mendengar suara apa
pun dari dalam. Ditunggunya sampai beberapa menit
tetapi tetap saja tidak terdengar suara apa pun sehingga
ia memutuskan untuk masuk kembali. Persis seperti
yang sudah diduganya, ia melihat Ana masih tetap duduk di kursi dengan kepala terangguk-angguk. Selain
karena pengaruh obat, pasti gadis itu sangat lelah
setelah berhari-hari lamanya bekerja tanpa henti.
Tiba-tiba saja Wibisono merasa iba. Dalam posisi
duduk seperti itu, Ana seperti seorang gadis cilik tak
berdosa yang membutuhkan perlindungan. Dengan
perasaan itulah Wibisono menghampiri Ana dan tanpa menantinya terbangun, ia mengangkat tubuh gadis
itu dan dibawanya ke tempat tidur.
Tentu saja Ana kaget. Matanya langsung terbuka
lebar. Melihat itu Wibisono mendahuluinya.
"Tenang dan santai saja," katanya dengan suara pelan dan membujuk. "Kau tertidur di kursi, jadi kupindahkan kau ke atas tempat tidur sebelum aku kembali
ke kamarku." http://pustaka-indo.blogspot.com407
Mendengar suara Wibisono yang lembut dan menenangkan itu, mata Ana mulai meredup kembali.
"Aku... aku memang mengantuk sekali," desahnya.
Dibiarkannya Wibisono meletakkan tubuhnya ke atas
tempat tidur. Tetapi kedekatan fisik mereka saat lakilaki itu menempatkannya ke atas tempat tidur menyebabkan kantuknya pelan-pelan mulai menguap.
"Tidurlah kembali," terdengar oleh Ana, Wibisono
berbisik di sisi telinganya. Napasnya yang hangat
menyapu-nyapu anak-anak rambutnya di bagian itu.
Maka semakin hilanglah kantuk Ana. Tanpa disadarinya, pipinya mulai merona merah dan napasnya
tertahan-tahan. Ia merasa malu berada di dalam pelukan seorang laki-laki di tempat seintim ini. Karenanya
cepat-cepat dia memejamkan matanya, pura-pura tidur. Tetapi terlambat. Wibisono sudah melihat pipi
gadis itu tampak memerah sampai ke telinga-telinganya dan dadanya turun-naik menahan perasaan. Melihat itu jantung Wibisono mulai berdegup liar dan
darahnya mengalir dengan deras. Ketika ia sudah tak
mampu lagi menguasai dirinya, laki-laki itu membungkukkan bahunya untuk mengecup lembut bibir Ana
yang masih berada di dalam pelukannya.
"Nah... selamat tidur...," bisiknya dengan desahan
mesra. Andaikata cara Wibisono mengecupi bibirnya seganas seperti ketika mereka berada di Ancol lebih dari
seminggu yang lalu, barangkali Ana akan langsung
mendorong dada laki-laki itu dan dia sendiri segera
menggelindingkan tubuhnya menjauh. Tetapi kali itu
http://pustaka-indo.blogspot.com408
Wibisono bersikap sedemikian lembut, hati-hati dan
sangat mesra. Kedekatan dan kerja sama yang kompak
di antara mereka selama tiga hari ini telah menyebabkan pula kedekatan dan kekompakan hati mereka berdua sehingga lupalah Ana terhadap janji hatinya sendiri
untuk tidak membiarkan pesona Wibisono memengaruhi perasaannya. Kewaspadaan gadis itu telah runtuh.
Karenanya pelan-pelan matanya terbuka kembali dan
bulu matanya yang lentik tampak bergetar.
"Te... terima kasih...," sahutnya dengan suara pelan.
Wibisono terpesona melihat betapa cantiknya Ana,
terbaring dengan rambut hitam tebal yang membingkai wajahnya. Ketika menatap mata lebar berbulu
lentik yang tampak bergetar bagai dian tertiup angin
itu lupalah dia pada penilaiannya yang rendah terhadap Ana selama ini. Tanpa bisa menahan diri, ia
mengulangi ciumannya. Bukan baru sekali itu Wibisono mencium Ana.
Namun ia dapat membedakan penerimaan dan balasan yang diberikan gadis itu terhadapnya. Ada kepasrahan yang total sudah sejak awalnya tadi. Tidak
dimulai dengan penolakan lebih dulu seperti yang
sudah-sudah kendati setelah penolakan itu akhirnya
Ana membalas ciuman dan kemesraannya dengan
sama hangatnya. Tetapi malam ini Ana tampak berbeda. Wajah cantiknya pun tampak memancarkan kelembutan yang
hanya bisa ditangkap oleh mata Wibisono. Caranya
membalas ciuman dan pelukannya pun terasa lain.
Ada sesuatu yang terasa lembut dan manis. Akibatnya,
http://pustaka-indo.blogspot.com409
Wibisono menjadi lupa diri. Dengan gerakan lembut
didorongnya tubuh Ana sambil tetap mencium dan
membelai rambut, bahu, lengan, dan bahkan juga
dadanya, Wibisono membaringkan dirinya di sisi tubuh gadis itu. "Ana... Ana...," desahnya sambil memindahkan
bibirnya ke dagu dan leher Ana. Suaranya terdengar
parau. Jawaban Ana hanyalah merupakan perbuatan tanpa
kata-kata. Lengannya terulur dan memeluk leher
Wibisono yang tegap dan membalas kecupan itu pada
jakun leher lelaki itu, menimbulkan bunyi desah gairah. Napas keduanya memburu, saling bersahutan.
Ana sangatlah hijau dan tanpa pengalaman apa
pun dalam pergaulannya dengan laki-laki. Satu-satunya pengalaman berpeluk mesra dengan pria hanyalah
bersama Wibisono. Itu pun tanpa ikatan percintaan.
Tak ada hubungan apa pun di antara mereka berdua.
Meskipun ia mencintai laki-laki itu tetapi dia tidak
ingin menjalin hubungan khusus dengannya. Sebaliknya ia juga menyadari bahwa bagi Wibisono, dirinya
tak masuk hitungan untuk menjadi kekasihnya. Apalagi calon istrinya. Celakanya, walaupun Ana tidak
mau mengingat-ingat lagi, namun kemesraan-kemesraan yang pernah terjalin di antara mereka berdua tetap
saja masuk ke dalam memorinya dan tersimpan sebagai kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Sulit
menghindarinya sebab bagaimanapun juga Wibisono
adalah orang pertama dalam kehidupan cintanya.
Oleh karenanya saat laki-laki itu memesrainya dengan
http://pustaka-indo.blogspot.com410
penuh kelembutan bahkan juga keintiman yang jauh
lebih dahsyat daripada kemarin-kemarin, Ana tak lagi
mampu mempergunakan otaknya. Ia tenggelam dalam
pusaran amukan asmara tanpa mampu mengangkat
dirinya masuk ke alam kesadaran. Perasaan dan hatinyalah yang lebih banyak berbicara. Ia mencintai
laki-laki itu. Maka kendati tanpa pengalaman bercinta, gelora asmara yang dilimpahkan Wibisono kepadanya ditanggapinya dengan secara amat alami melalui
reaksi-reaksi wajar pemberian alam yang seakan sudah
dengan sendirinya ada pada dirinya. Maka kemesraan
demi kemesraan Wibisono dibalasnya dengan sama
mesra dan sama hangatnya tanpa ingat hal-hal lainnya. Wibisono, sang pemburu yang sudah terlalu lama
memberi penilaian kurang semestinya pada diri Ana,
menganggap respons gadis itu sebagai bagian dari
kebiasaannya. Pikirnya, Ana yang selama beberapa
hari ini hanya berkutat dengan tugas-tugasnya, pasti
kini mulai haus untuk mereguk kemesraan dari seorang laki-laki. Pikiran itu langsung saja melemahkan
akal sehat Wibisono. Gairah asmara yang mulai membuncah, tidak lagi dikekangnya sebagaimana seharusnya orang yang belum menikah. Ia tidak lagi merasa
perlu bersikap kesatria dan tak perlu pula mengingat
keharusan-keharusan yang perlu dipegang orang yang
tahu menjunjung norma-norma moral. Memang benar, Wibisono ingin menjerat buruannya dan memasukkan Ana ke dalam perangkapnya sebagai bagian
dari balas dendamnya. Tetapi harus diakuinya bahwa
http://pustaka-indo.blogspot.com411
malam itu tak sepenuhnya ia bisa mengabaikan halhal lainnya. Saat melihat si burung merak yang selama ini dianggapnya sombong, angkuh dan hanya
tahu memamerkan keindahan ekornya itu tampak
begitu molek, Wibisono nyaris lupa tujuan utamanya.


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebab tak bisa dipungkirinya, gadis yang berada dalam pelukan dan cumbuan-cumbuannya itu memiliki
daya tarik dan daya pukau yang begitu kuat terhadap
dirinya. Dalam diri si molek itu terdapat campuran
antara kelembutan, kemanisan, dan api gairah yang
siap membakar dirinya. Apabila bara api telah menyala dan semakin lama
semakin berkobar, sangatlah mudah untuk membakar
dan menghanguskan segalanya. Tak heran jika kedua
insan lawan jenis yang sedang saling mencumbu itu
tak lagi mampu menghentikan kobarannya. Maka
bara asmara yang telah meletupkan api kemesraan
demi kemesraan dalam keintiman yang semakin
intens di mana keduanya saling memagut dan saling
mengelus tanpa hentinya itu, gelora hati mereka pun
terus berlanjut dan semakin meningkat suhunya.
Tanpa kata kecuali bahasa asmara yang hanya bisa
dimengerti oleh sepasang insan yang sedang saling
mereguk, saling memberi, dan saling melengkapi
kemesraan itu, laju keintiman mereka pun tiba pada
tempat di mana sudah tak ada lagi yang bisa direguk.
Keduanya menyatu dalam satu rasa.
Pada saat itulah samar-samar Wibisono disusupi
oleh jerit-jerit lirih kesakitan di sisi telinganya, menembus hingga ke pusat benaknya. Namun kepalang
http://pustaka-indo.blogspot.com412
basah, lajunya kemesraan itu terus meningkat hingga
tiba pada titik kulminasi yang tak lagi bisa disurutkan. Saat kesadaran mulai mengoyak ulu hatinya,
barulah Wibisono teringat jerit-jerit lirih yang tak ada
kaitannya dengan puncak kemesraan mereka. Maka
laki-laki itu pun menggulirkan tubuhnya menjauh....
Cahaya lampu yang cukup terang dalam kamar itu
memperlihatkan tanda-tanda keperawanan yang baru
saja terenggut. Maka halilintar pun seperti menyambar
Wibisono dan ia tersentak bagai tersengat aliran
listrik. Laki-laki itu sungguh terperanjat luar biasa.
Namun terlambat sudah untuk menyesalinya. Segalanya telah terjadi. Segalanya telah pula usai dilakukannya. Burung merak itu telah terjerat masuk ke
dalam perangkapnya tanpa ia harus bersusah payah
sebagaimana yang disangkanya semula. Burung merak
itu telah terkalahkan dengan telak. Tak ada lagi yang
masih bisa diselamatkan. Namun, di manakah gegap gempita sorak kemenangan itu" Mengapa yang ada justru tusukan tajam
yang menembus ulu hati dan terasa begitu menyakitkan seluruh sudut batinnya tanpa tersisa"
"Ana... Ana..." Wibisono mendesahkan penyesalannya yang mendalam itu dengan hati yang teramat
perih. Dengan tangannya ia menggenggam telapak
tangan kiri Ana yang berkeringat dingin sementara
tangan kanan gadis itu menutupi wajahnya yang bersimbah air mata. "Ana..." Wibisono mendesahkan lagi perasaannya
yang pedih. "Kenapa kau tidak mencegah perbuatanhttp://pustaka-indo.blogspot.com413
ku" Kenapa pula kau tak mengatakan bahwa dirimu
masih perawan?" Ya Tuhan, mengapa selintas pun pikirannya tak
pernah mengarahkan dirinya pada sisi yang bertolak
belakang dari penilaiannya selama ini terhadap sang
burung merak" Wibisono terus-menerus menjeritkan
penyesalannya, di dalam hati.
"Ana?" Untuk ketiga kalinya Wibisono mendesahkan penyesalannya atas kekeliruan penilaiannya selama
ini. Betapa bodoh dirinya. Dendam telah membuat
matanya buta. Buta dan dungu.
Ana diam saja. Ia masih belum lepas seluruhnya
dari pengalaman dahsyat yang baru saja berlalu. Air
matanya bercucuran, menembus kesadarannya bahwa
kini dirinya bukanlah dirinya yang sama seperti sebelumnya. Tetapi yang membuatnya lebih sakit adalah
perkataan Wibisono kemudian yang samar-samar mulai menembus telinga dan hatinya.
"Ana... Ana... aku sungguh amat menyesal...." Begitulah yang tadi diucapkan laki-laki itu dengan keluhan yang terasa amat menyengat perasaannya. "Andaikata aku tahu kau masih perawan... aku tak mungkin
akan melakukannya...."
Halilintar pun terasa menyambar kepala Ana saat
menyadari apa makna di balik keluh penyesalan
Wibisono. Persis seperti dugaannya, kini terbukti bahwa laki-laki itu menilainya bukan sebagai gadis baikbaik yang pantas untuk dijadikan kekasih hati. Maka
seperti air bah, Ana bagai diserbu oleh penggalan-penggalan ingatan tentang hubungannya dengan Wibisono
http://pustaka-indo.blogspot.com414
selama ini. Ketika laki-laki itu meminta kesediaannya
untuk menjadi kekasihnya, ada ucapan yang baru sekarang dipahami maknanya. "Kalau orang lain apalagi yang sudah setengah baya
boleh bermesaraan denganmu, kenapa aku tidak?" begitu Wibisono pernah mengatakan kepadanya.
Perih hati Ana dianggap sebagai perempuan gampangan hanya karena apa yang tampak oleh mata
telanjang belaka. Ia menarik tangannya dari genggaman tangan Wibisono. Tangan kanan saja untuk mengusap banjir air matanya tak mencukupi. Dia butuh
dua tangan sekaligus. Melihat itu hati Wibisono semakin terkoyak-koyak rasanya.
"Ana, tamparlah aku... maki-makilah aku sepuas
hatimu. Aku tak akan menghindar. Aku telah melakukan kesalahan fatal terhadapmu. Aku pantas menerima kemarahanmu...." Terdengar oleh Ana, Wibisono
berkata lagi dengan suara beriba-iba..
Tetapi Ana masih tetap tidak mau menjawab. Disembunyikannya seluruh tubuhnya dengan selimut
dan dibenamkannya wajahnya ke bantal tanpa berniat
sedikit pun untuk menatap wajah Wibisono. Memaafkan bukanlah hal sulit baginya. Dia bukan orang
yang pendendam. Tetapi melupakan peristiwa teramat
pahit tadi, mana mungkin" Lagi pula kesalahan tidak
sepenuhnya ada pada Wibisono. Andai dia tadi menolaknya, pasti tak akan terjadi peristiwa memalukan
itu. Cintanya kepada laki-laki itu telah menyebabkannya kehilangan akal sehat. Dia yakin, laki-laki itu
bukan orang yang suka memaksakan kehendak senhttp://pustaka-indo.blogspot.com415
diri. Apalagi sebagai pemerkosa. Jadi inti persoalan
yang meremuk-redamkan hatinya bukan karena masalah itu. Tetapi pernyataan Wibisono yang diucapkan
tanpa sadar tadi: "Andaikata aku tahu kau masih perawan, tak mungkin aku akan melakukannya...."
Dengan perkataan lain, ucapan maaf Wibisono lebih tertuju pada terenggutnya keperawanannya karena
mengira ia sudah biasa berbuat amoral seperti itu.
Sungguh, teramat menyakitkan penilaian laki-laki itu,
menganggapnya sebagai perempuan murahan yang tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Rasanya, martabatnya sebagai insan bermoral telah dicabik-cabik oleh
laki-laki itu. Dan itulah yang tak mungkin terlupakan
olehnya sampai kapan pun.
Hati Wibisono semakin perih melihat Ana hanya
terdiam, bahkan tanpa bergerak sedikit pun kecuali
air matanya yang bercucuran tak henti-hentinya. Dengan mata berkaca-kaca ia melanjutkan bicaranya.
"Ana... katakanlah sesuatu meskipun itu maki-makian. Hatiku benar-benar sakit, Ana...."
Ana mulai menggerakkan tubuh sambil menepis air
matanya. "Kau tak sepenuhnya bersalah," katanya di antara
isakan tangisnya. "Akulah yang bersalah.... Sudah tahu
kau bukan laki-laki yang bisa kupercaya, aku telah
membiarkan diriku masuk ke perangkapmu."
Dug. Jantung Wibisono terasa bagai dipukul palu
besi berton-ton beratnya. Sakit sekali rasanya. Apa
yang dikatakan Ana benar.
http://pustaka-indo.blogspot.com416
"Maafkan" aku..."
"Memaafkanmu bukan hal sulit. Tetapi memaafkan
diriku sendiri... tidak mungkin. Selama ini aku telah
berusaha mati-matian menjauhi pergaulanku dengan
laki-laki. Aku tidak ingin direndahkan hanya karena
kedua orangtuaku bercerai dan kedua saudara perempuanku memiliki reputasi buruk dengan laki-laki....."
Ana menghentikan sejenak perkataannya untuk mengambil napas di sela-sela isakannya. "Banyak orang
menilaiku dingin... sombong... dan kau menjulukiku
burung merak. Tetapi tidak apa-apa. Bahkan kemudian kau... malah menganggapku rendah. Itu pun tidak apa-apa. Aku tak merasa rugi karenanya. Namun
sayangnya, aku telah kehilangan kewaspadaan yang
biasanya selalu ada padaku. Maka beginilah hukuman
yang harus kuterima...." Usai berkata seperti itu pecahlah lagi tangis Ana. Kalau tadi hanya air matanya
yang bercucuran dengan derasnya, kini diwarnai isakan-isakan yang menyesakkan dadanya.
Jadi rupanya itulah masalah batin yang dialami
Ana, pikir Wibisono dengan perasaan remuk-redam
atas kekeliruan penilaiannya terhadap gadis itu. Andai
saja ia mengetahuinya atau andai saja ia mempunyai
pikiran bahwa Ana sangat bertolak-belakang dengan
Evi dan Ika, barangkali tidak seperti ini yang terjadi.
Ternyata Ana masih hijau pengalaman. Ternyata pula,
sikap alim yang sering diperlihatkan Ana bukanlah
suatu kemunafikan. Tetapi memang begitulah adanya.
Bahwa gadis itu bisa terperangkap dalam jerat yang
dibuatnya malam ini, pasti karena minimnya pengahttp://pustaka-indo.blogspot.com417
laman yang dipunyainya. Dan boleh jadi pula karena
pada dasarnya ada kehausan dan kekosongan kasih di
relung batinnya yang terdalam. Tetapi... siapa laki-laki
yang ganti-berganti membawa Ana beberapa bulan
yang lalu" "Kalau begitu, siapa laki-laki tampan berkumis
yang menjemputmu beberapa bulan lalu" Kebetulan
aku melihatmu saat bermaksud berhenti di muka rumahmu?" Merasa tak tahan hanya menyimpannya di
dalam hati, Wibisono melontarkan pertanyaan yang
sangat mengganggu hatinya itu.
"Laki-laki... yang... mana?" Ana bertanya heran, di
sela-sela tangisnya itu. "Laki-laki yang datang menjemputmu di suatu malam Minggu dan kau keluar dengan memakai gaun
indah...." Ana mengerutkan dahinya, baru kemudian dia teringat saat ia harus meliput konser menggantikan
Nanik. "Oh, dia Joko, fotografer yang diminta menemaniku untuk meliput suatu konser," gumamnya, masih
di antara isak tangisnya.
Dada Wibisno semakin sakit rasanya. Dia memang
terlalu cepat menilai. Menilai yang buruk pula. Padahal" "Laki-laki berusia empat puluhan yang mengantarmu pulang dengan BMW hitam pada siang harinya,
itu siapa?" Kali ini Ana langsung bisa menjawab karena baru
sekali itu ia naik BMW hitam.
http://pustaka-indo.blogspot.com418
"Dia ayah tiga anak berbakat besar yang ikut konser tersebut. Di jok belakang, anak-anak itu ikut
mengantarku pulang. Mereka berterima kasih karena
aku memilih keluarganya untuk dimuat dalam majalah," Ana menjawab dengan sebal. Apa hak Wibisono
menginterogasi begini" Kalau saja belum memutuskan
untuk segera menjauhi laki-laki itu, malas sekali ia
menjawab pertanyaannya. "Lalu laki-laki setengah baya yang pergi bersamamu
pada saat kau mengatakan sakit kepala dan tak mau
menemuiku itu, siapa?"
"Kami tidak sengaja pergi bersama. Kebetulan
atasanku itu harus menemui orang. Maka diantarnya
aku pulang karena tak tega melihatku pulang dengan
kendaraan umum dalam kedaaan sakit kepala. Namanya Pak Sukandar." Dada Wibisono semakin sakit dan semakin perih
saja saat mengetahui kebenaran yang baru didengarnya
itu. Ana sering menceritakan Pak Sukandar yang bersikap kebapaan terhadapnya. Istrinya pun sayang kepada Ana. "Ana, maafkanlah aku...," Wibisono mengeluhkan
penyesalannya yang semakin mendalam.
"Kau tak perlu minta maaf. Toh segalanya telah
berakhir sampai di sini. Aku tidak ingin lagi melihatmu. Sekarang, tolong tinggalkan aku. Sudah cukup
banyak yang terjadi malam ini. Aku ingin sendirian...." Selesai berkata seperti itu tangis Ana meledak
lagi, seakan seluruh tubuhnya hanya berisi air mata.
http://pustaka-indo.blogspot.com419
Wibisono tak ingin membantah. Ia tahu diri. Rasanya ia ingin bertahan pada keinginannya untuk tetap
tinggal di tempat sampai Ana mau memaafkan dirinya, entah sampai kapan itu akan terjadi. Hati gadis
itu telah telanjur berantakan dan hancur luluh tak
tersisa.... "Aku akan kembali ke kamarku... tetapi... tolong
beri sedikit saja maafmu untukku, Ana..."
"Aku tak ingin membicarakan hal itu, sekarang.


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pergilah!" Suara Ana terdengar menggeletar.
"Baik... baik... aku akan ke kamarku sekarang
dan..." "Maksudku, pergilah jauh-jauh dariku. Aku tidak
ingin lagi melihatmu," Ana menyerobot pembicaraan.
"Apa yang pernah kaukatakan bahwa kita bisa bersahabat... itu omong kosong belaka. Adanya lumpur
busuk yang hina di antara kita"."
Wibisono tertegun. "Ana?"!" serunya.
Ana memejamkan matanya. Kepalanya menggeleng
berulang-ulang dengan gerakan kuat sehingga air mata
yang membasahi pipinya memercik ke mana-mana.
"Sudahlah. Lupakan segala hal yang pernah ada di
antara kita, yang baik maupun yang buruk. Seperti
yang sudah berulang kali kukatakan, kita ini hanyalah
penumpang-penumpang kapal yang kebetulan bertemu di tengah laut" kesepian barangkali... lalu menjalin hubungan murahan sesaat..." Ana menghentikan
bicaranya untuk menghapus air matanya yang membanjir lagi. "Setelah itu berpisah untuk selamanya dan
http://pustaka-indo.blogspot.com420
tidak akan bertemu kembali karena tak ada manfaatnya sama sekali jika perkenalan kita dilanjutkan. Nah,
sekarang pergilah dan jangan kembali lagi. Aku ingin
sendirian." Wibisono merasa wajahnya panas. Belum pernah ia
dibuat malu seperti itu oleh seorang gadis. Ironisnya, ia
tahu dirinya memang pantas dipermalukan. Maka dengan langkah terseok-seok dan bahu turun, Wibisono
kembali ke kamarnya. Hampir semalam suntuk ia tidak
dapat memejamkan matanya. Ini pun baru sekali ini
dialaminya. Tak pernah sebelum ini ia mengalami masalah dengan perempuan yang menyebabkannya kacaubalau begini. Begitupun Ana, ia tak bisa tidur. Kepalanya terasa
berdenyut-denyut. Oleh sebab itu pagi-pagi sekali ia
sudah bangkit dari tempat tidurnya, mencuci seprai
yang ternoda darah keperawanannya dengan hati tersayat-sayat. Kepada bagian pelayanan kamar ia mengatakan seprainya ternoda haidnya. Sesudah mengepak
barang-barangnya, ia langsung check out meskipun
menurut rencananya, ia masih akan menginap selama
dua malam lagi. Dengan bantuan tukang becak, ia berhasil mendapatkan hotel yang bagus kendati bukan hotel berbintang. Untuk sehari itu ia berniat untuk beristirahat.
Setidaknya sampai siang hari. Ia sudah minum obat
sakit kepala lagi dan bersiap-siap tidur untuk melupakan segala hal yang berkaitan dengan Wibisono. Lalu
dalam sehari setengahnya sampai lusa pagi, ia akan
http://pustaka-indo.blogspot.com421
menyelesaikan tugas-tugasnya dan langsung pulang
kembali ke Jakarta. Jakarta. Menyebut nama kota itu hati Ana sangat
perih. Ia berangkat dari sana dengan hati senang dan
tenang tanpa ganjalan apa pun. Namun lusa ia akan
kembali pulang bagai prajurit kalah perang dan mendapat penghinaan luar biasa pula. Dia sudah bukan
Ana yang kemarin. Dirinya sekarang hanyalah seonggok tubuh yang telah kehilangan keperawanan bukan
melalui perkawinan yang suci.
Ah, apakah esok ia masih bisa menegakkan kepala
dan menepuk dada bahwa dirinya berbeda dengan Evi
dan Ika" Ana tak bisa menjawabnya. Tidak bisa.
http://pustaka-indo.blogspot.com422
ANA duduk termenung di muka jendela kereta api
Argo Lawu yang masih memuntahkan para penumpangnya di peron Stasiun Gambir, menatap kesibukan
yang tertangkap oleh matanya dengan pikiran berada
di tempat lain. Sampai gerbong sudah kosong ia masih belum beranjak dari tempat duduknya.
"Tidak turun, Mbak?" Seorang kuli berseragam,
datang mendekatinya. "Sebentar lagi kereta api akan
dibawa ke Kota. Atau Mbak mau turun di sana?"
Ana tersentak dan tergopoh minta dibawakan barangnya. Tidak banyak sebenarnya. Hanya sebuah
koper dan keranjang kecil berisi makanan kering untuk oleh-oleh orang rumah dan teman-teman sekantornya. Tetapi Ana tak sanggup membawanya. Bukan
karena berat, karena kopernya toh bisa didorong, melainkan karena perasaannya yang berat. Kembali ke
Tiga Belas http://pustaka-indo.blogspot.com423
Jakarta adalah sesuatu yang amat merisaukan hatinya.
Malu ia pada dirinya dan pada kota tempat ia meletakkan kehidupannya selama ini. Namun di Yogya
pun atau di mana pun juga, ia juga tak akan sanggup
menjalani kehidupannya yang telah hancur. Rasanya
tak ada lagi tempat baginya di dunia ini.
Selama dua hari dua malam terakhir di Yogya, Ana
bekerja bagai robot. Memang cukup banyak tambahan
informasi yang didapatnya, termasuk berbagai hubungan yang terjalin antara empat kerajaan, dua kerajaan
di Solo dan dua kerajaan di Yogya yang keempatnya
biasa disebut orang sebagai Empat Negara Mataram
itu. Di antaranya adalah hubungan kekerabatan yang
disebabkan adanya perkawinan. Misalnya putri Sultan
Hamengkubuwono VII dari Yogyakarta yang bernama
Kanjeng Ratu Timur menjadi permaisuri Mangkunegoro VII dari Mangkunegaran Solo.
Namun di antara informasi dan pengetahuan yang
didapat Ana selama di Yogya, ada satu pengetahuan
lain yang terasa mencubiti hatinya. Bahwa sesungguhnya ia memang benar-benar mencintai Wibisono dengan cinta yang mendalam. Di situlah letak luka-luka
batinnya karena justru laki-laki pertama yang ia cintai
dengan sepenuh hati, menganggapnya sebagai perempuan gampangan dan tak layak berada di sisinya sebagai kekasih sejati. Bahkan laki-laki itu telah menghancurkan hati dan kehidupannya.
Ana bertekad untuk tidak akan membiarkan dirinya bertemu muka lagi dengan Wibisono. Itulah sebabnya ia memilih naik kereta api karena laki-laki itu
http://pustaka-indo.blogspot.com424
tahu bahwa Ana sudah menyimpan tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta kembali. Gadis itu tak mau
mengambil risiko dijemput Wibisono di bandara.
Yah, itulah masalah besar yang dihadapinya.
Wibisono juga bertempat tinggal di kota Jakarta. Sialnya lagi, laki-laki itu tahu di mana tempat tinggalnya,
tahu di mana ibu kandungnya berada dan tahu pula
di mana ia bekerja. Dirinya memang berada di tempat yang rentan terhadap kehadiran Wibisono, satusatunya manusia yang tak ingin dilihatnya lagi.
Sementara itu ibu tiri Ana merasa bingung melihat
perubahan sikap dan kebiasaan Ana. Kemurungan
yang dibawa Ana dari bertugas telah mengejutkan
hatinya. Ana memang tidak termasuk gadis yang periang dan lincah, tetapi gadis itu tidak tergolong sebagai gadis pendiam dan tertutup. Apalagi pemurung.
Namun sepulangnya dari bertugas, Ana telah memperlihatkan perbedaan yang amat mencolok. Ia menjadi
pemurung, diam dan lebih suka berkurung di kamarnya. Selera makannya, hilang. Bahkan masakan kesukaan yang sengaja dibuat untuknya pun nyaris tak
disentuh. Ini sungguh gawat, pikir sang ibu tiri yang
mencintai Ana bagai anak kandungnya sendiri itu.
Maka di suatu kesempatan ia sengaja mencegat Ana
ketika gadis itu baru keluar dari kamar mandi.
"Ibu ingin bicara denganmu, Ana," begitu ia berkata sambil mengekor anak tirinya hingga ke dalam kamar tidurnya. "Tentang apa, Bu?"
"Tentang dirimu. Ibu merasa sangat prihatin melihttp://pustaka-indo.blogspot.com425
hat perubahan-perubahan sikap dan sifatmu beberapa
minggu belakangan ini," sahut ibu tiri Ana sambil
meletakkan tubuhnya ke kursi di muka meja tulis
Ana. "Pertama karena Ibu sangat menyayangimu bagai
anak kandung sendiri. Kedua, ibu bertanggung jawab
terhadap dirimu karena Ibu adalah istri ayahmu dan
saat ini kau masih berada di bawah perlindungan dan
asuhan Ibu, sehingga tidak mungkin Ibu membiarkan
dirimu tenggelam dalam persoalanmu, entah apa pun
itu. Ketiga, sebelum meninggal, ayahmu beberapa kali
meminta Ibu untuk menjaga dan memperlakukan
dirimu sebagai anak sendiri. Itu amanah yang harus
Ibu penuhi, meskipun tanpa pesan seperti itu Ibu
pasti akan memperlakukan dirimu sebagai anak sendiri. Nah, ketiga hal itulah yang mendorong Ibu untuk
bertanya tentang apa yang sedang terjadi padamu sampai sikap dan kebiasaanmu jadi berubah begini..."
Ana tertunduk. Ia sadar bahwa selama ini hampir
saja ia melupakan perempuan yang telah memberinya
kehangatan dan perhatian yang tak pernah ia dapatkan dari ibu kandungnya. Melihat Ana tertunduk,
perempuan setengah baya itu melanjutkan bicaranya.
"Ana, kalau kau tetap diam seribu bahasa... itu artinya kau tidak mengakuiku sebagai ibumu. Kau juga
telah membuat hati Ibu sedih. Ibu benar-benar tak
tahan melihatmu begini. Apa kaupikir Ibu bisa tenang
dan menganggap seakan di rumah ini tidak ada apaapa saat melihatmu dalam keadaan murung seperti
ini?" Suara ibu tiri Ana terdengar lembut dan mengandung kasih yang amat terasa.
http://pustaka-indo.blogspot.com426
"Ana selalu menganggap Ibu sebagai ibu kandung
sendiri," sahut Ana lirih.
"Nah, kalau begitu bagilah kesusahanmu pada
Ibu!" perempuan setengah baya itu berkata dengan
suara mendesak. "Sulit mengatakannya, Bu...."
"Hm... apakah kau mengalami... patah hati?" ibu
tiri Ana bertanya dengan hati-hati.
"Lebih dari itu Bu...."
Dahi ibu tiri Ana langsung berkerut demi mendengar jawaban Ana. Berbagai macam dugaan mulai
bersimpang-siur di kepalanya.
"Ceritakanlah padaku, Ana. Kau tak perlu merasa
sungkan atau malu," sahutnya kemudian.
"Sulit, Bu. Terlalu berat," Ana mendesah pelan.
"Kalau terasa berat, bagi bebanmu pada Ibu, Ana.
Bagaimanapun buruknya, akan kita pikul bersama."
Mendengar perkataan yang penuh empati itu air
mata Ana mulai ikut bicara. Mula-mula cuma setetes
demi setetes, namun kemudian menjadi deras.
"Bu, Ana sekarang bukan seperti Ana ketika berangkat dari Jakarta," sahutnya dengan suara terbata-bata.
Ibu tiri Ana membiarkan gadis yang duduk di hadapannya itu menguras air matanya lebih dulu. Baru
setelah beberapa saat lamanya perempuan itu mengeluarkan kata-katanya lagi.
"Ana, tolong jelaskan maksud perkataanmu. Percayalah, betapapun beratnya suatu persoalan, jika disangga bersama pasti akan berkurang bebannya. Nah, apa
masalahmu, Ana?" http://pustaka-indo.blogspot.com427
"Ana sudah bukan perawan lagi...."
Ibu tiri Ana terperanjat. Kalau bukan Ana sendiri
yang mengatakannya, ia tak akan memercayainya. Ana
adalah seorang gadis yang tahu menjaga diri dan tahu
pula membentengi dirinya. Tetapi apa yang baru saja
keluar dari mulut Ana telah meruntuhkan segala hal
yang diketahuinya mengenai anak tirinya itu. Jadi kemungkinan yang paling masuk akal adalah perkosaan.
Kalau tidak, tak mungkin Ana berubah menjadi pemurung seperti itu. "Siapa laki-laki yang memerkosamu itu, Ana?" tanyanya dengan tergesa. Ada kemarahan yang menggumpal dadanya. Anak yang dititipkan padanya oleh
suaminya yang tercinta, mengalami musibah.
Ana menatap ibu tirinya di balik tirai air matanya. "Wibisono. Dia menyusul Ana sampai ke Yogya.
Dan dia tidak memerkosa Ana...."
Bibir ibu tiri Ana terbuka. Kalau bukan perkosaan,
tentunya suka sama suka. Terlepas dari pelanggaran
dan dosa yang kedua insan itu lakukan, jika yang
terjadi itu bukan perkosaan pasti Ana tidak akan sedemikian terpukulnya. Jadi apa"
"Kok bisa?" tanyanya bingung. "Dan berapa kali?"
"Hanya satu kali. Hal itu terjadi karena... karena
Wibisono mengira Ana sudah bukan perawan. Disangkanya, Ana sama seperti Mbak Evi dan Ika."
"Ya Tuhan...." "Itulah, Bu, kenapa selama ini Ana sering mencemaskan ketulusan dan kemurnian laki-laki yang ingin
http://pustaka-indo.blogspot.com428
berteman akrab dengan Ana. Selalu saja ada bayangbayang Mbak Evi dan Ika di kepala mereka. Betul
kan, Bu" Buktinya, Wibisono"."
"Tidak semua laki-laki seperti yang kaubayangkan,
Ana. Hanya kebetulan saja kau bertemu Wibisono,
jenis laki-laki seperti yang kautakutkan itu. Sungguh,
Ibu tidak mengerti kenapa kau bisa lengah menghadapi laki-laki seperti itu."
Ana menundukkan kepalanya dengan air mata
yang masih saja mengalir, seakan tanpa ada hentinya.


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat itu ibu tirinya jatuh iba. Tangannya terulur
mengusap-usap rambut Ana dengan lembut.
"Sudahlah, Ana. Ibu tahu kau sangat sedih. Bukan
hanya karena kehilangan sesuatu yang seharusnya dijaga, tetapi terlebih karena harga diri dan tercabiknya
perasaanmu," katanya kemudian. "Tetapi kita tidak
bisa memperbaiki apa yang sudah telanjur itu dengan
tangis dan air mata. Juga tidak dengan kesedihan
yang berlarut-larut. Kehidupan ini berjalan terus. Banyak hal positif yang masih bisa kita lakukan."
"Tetapi Ana takut Wibisono ke sini," desah Ana
sambil mengusap air matanya."Ana tidak ingin lagi
bertemu dengannya." "Lalu apa yang ada dalam pikiranmu untuk menghindarinya?" "Ana ingin pergi dari rumah ini untuk sementara,"
sahut Ana. "Ke mana?" "Ana masih bingung menentukan keputusan. Apakah Ibu bisa mencarikan jalan untuk itu?" Ana bertahttp://pustaka-indo.blogspot.com429
nya dengan nada putus asa. Lagi-lagi sambil menepis
air matanya. Ibu tirinya terdiam beberapa saat lamanya.
"Maukah kau tinggal untuk sementara di rumah
Tante Ita?" tanyanya. Nama yang disebut ibu tiri Ana
adalah adik kandung ayah Ana. Tinggalnya di dekat
Bogor. "Terlalu jauh dari kantor, Bu."
"Kalau begitu di rumah Oom Hari?" Nama itu
adalah sepupu ayah Ana. Masih famili pula dengan
ibu tiri Ana. "Rumahnya besar dan tiga di antara empat anaknya sudah menikah. Mereka sudah punya
rumah sendiri-sendiri."
"Tidak, Bu. Ana tidak mau merepotkan keluarga
Oom Hari. Apalagi belakangan ini Oom Hari sering
kurang sehat." "Kalau begitu, kos saja di dekat-dekat kantormu.
Carilah yang hanya menerima penyewa perempuan."
Ana terdiam sesaat lamanya. Usul ibu tirinya masuk akal. "Baiklah, Bu. Ana akan mencari tempat kos yang
tidak jauh dari kantor," jawabnya kemudian. "Mudahmudahan teman Ana bisa memberi informasi tempat
yang tenang dan yang hanya menerima penyewa
perempuan...." Tepat di saat Ana mendapat kamar kos, tepat pula
saat di mana Wibisono telah berhasil mengambil keputusan yang menyangkut diri Ana. Ia ingin bertemu
gadis itu secepatnya. Kejadian malam di penginapan itu benar-benar mehttp://pustaka-indo.blogspot.com430
mukul perasaannya. Sepanjang malam itu penyesalan
yang begitu mendalam, terus-menerus mengimpit
batinnya sehingga ia tidak bisa tidur. Maka pagi harinya
sesudah kejadian itu, ia langsung ke kamar Ana untuk
meminta maaf sekali lagi dan kalau mungkin membantu
apa yang masih bisa ia bantu. Namun ternyata kamar
itu telah kosong dan dia tidak tahu ke mana Ana pergi.
Ingin sekali ia mengobrak-abrik kota Yogya untuk mencari Ana tetapi apa yang diucapkan gadis itu dengan
pandang mata terluka dan dengan nada yang tak ingin
dibantah itu menyebabkan Wibisono tak berani bertindak apa pun. "Kita ini bagaikan dua penumpang kapal berbeda
yang berpapasan di tengah laut. Barangkali karena
sama-sama merasa kesepian... kita menjalin hubungan
murahan sesaat...." Begitu antara lain yang diucapkan
Ana tadi malam saat mengusirnya dari kamar. "Oleh
sebab itu kita harus berpisah untuk selamanya dan
jangan pernah lagi bertemu karena tak ada manfaatnya sama sekali bagi kita untuk melanjutkan perkenalan. Jadi pergilah dan jangan pernah kembali."
Perkataan itu memukul telak perasaan Wibisono
yang sedang dalam kondisi tertekan rasa bersalah. Berminggu-minggu lamanya setelah itu Wibisono terpaksa menahan diri untuk tidak mengikuti keinginannya
datang ke rumah Ana. Dan berminggu-minggu pula ia
hidup dalam tekanan batin yang amat berat sehingga
menghilangkan seluruh kegembiraan dan kebiasaannya.
Di rumah, ia hanya berkurung di kamarnya yang sepi
tanpa suara musik seperti biasanya. Tidak pernah lagi
http://pustaka-indo.blogspot.com431
terdengar suaranya menyanyi. Di kantor ia lebih
banyak berdiam diri dan tidak bersuara kalau tidak
diajak bicara. Senyumnya menghilang entah di mana.
Diam-diam ibu Wibisono yang selalu memperhatikan anak-anaknya itu merasa amat prihatin. Belum
pernah anak sulungnya itu bersikap seperti ini, sebelumnya. Wajahnya tampak murung, candanya tak
pernah ada lagi, dan suara nyanyian atau siulannya
tak pernah lagi berkumandang. Bahkan suaranya pun
hampir-hampir tak terdengar.
Genap tiga minggu keadaan Wibisono tak juga
berubah, ibunya tak lagi mau membiarkan keprihatinannya hanya ada di hatinya saja. Selesai makan malam setelah melihat Wibisono mengunyah makanannya seperti mengunyah karet yang sulit ditelan, sang
ibu langsung menegurnya ketika melihat anak sulungnya itu bermaksud masuk ke kamarnya seperti kebiasaannya belakangan ini. "Mau ke mana?" tanyanya.
"Mau menonton teve di kamar."
"Ibu ingin kau menonton teve bersama di ruang
keluarga. Belakangan ini kau tak pernah lagi mau berhandai-handai dengan keluarga," kata ibunya itu langsung pada tujuannya. "Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu, Bu.
Besok ya?" "Pekerjaan apa sih" Jangan mencari-cari alasan,
Wibi. Aku ini ibu yang melahirkan, membesarkanmu,
dan mencintaimu. Jadi Ibu tahu bahwa ada sesuatu
yang sangat membebani perasaanmu belakangan ini.
http://pustaka-indo.blogspot.com432
Ibu merasa sangat prihatin karenanya," kata sang ibu
dengan suara lembut, penuh kasih sayang. "Jadi berterus-teranglah pada Ibu tentang masalah apa pun
yang sedang kauhadapi. Ibu ingin ikut menyangga
bebanmu. Siapa tahu Ibu bisa membantu atau setidaknya membuka pikiranmu, karena biasanya orang yang
berada di luar persoalan bisa melihat masalahnya dengan lebih jernih." Wibisono merasa terharu. Ibu yang sangat ia cintai,
ingin berbagi kesedihan. Ia sadar, kemurungannya
selama ini telah menimbulkan kesusahan di hati sang
ibu. Padahal ia telah berjanji di dalam hatinya untuk
membahagiakan hati ibunya yang telah dirusak oleh
ayahnya. "Terima kasih atas perhatian Ibu. Tetapi Ibu tidak
usah ikut memikirkannya. Ini masalahku sendiri,"
katanya. "Kenapa" Kau tidak memercayai Ibu?"
"Bukan begitu, Bu. Aku cuma menjaga perasaan
Ibu saja. Jangan sampai Ibu jadi ikut sedih."
"Nak, apabila hati dua orang yang saling menya Pendekar Kelana 2 16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Siluman Tengkorak Gantung 2

Cari Blog Ini