Ceritasilat Novel Online

Burung Merak 7

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 7


yangi bersedia menyangga beban seberat apa pun
bersama-sama, sedalam apa pun pula kesedihan itu
akan terasa lebih ringan."
"Ibu akan kuat mendengar pengakuanku?"
"Ibu sudah mengalami berbagai penderitaan, Nak.
Ditambah lagi, tidak masalah buat Ibu...."
Wibisono terdiam beberapa saat lamanya, mengumpulkan kekuatan untuk membuka masalah yang ada,
baru kemudian ia bersuara lagi.
http://pustaka-indo.blogspot.com433
"Ibu ingat Evi?" tanyanya hati-hati.
Ditanya seperti itu, sang ibu tertegun. Tentu saja
ia ingat. Karenanya ia mengangguk.
"Ibu benci kepadanya?" Wibisono bertanya lagi.
Sang ibu menggeleng pelan-pelan.
"Dia masih terlalu muda. Ayahmulah yang bersalah." "Huh, tidak, Bu. Dia memang masih muda. Lebih
muda dari umurku. Tetapi dia bukan gadis belasan
tahun yang polos dan tidak tahu tentang baik-buruknya suatu kelakuan. Karenanya aku sangat membencinya, Bu." "Itu tidak baik, Nak. Jangan suka mendendam karena bisa menyakiti hati kita sendiri."
"Selama ini yang kubenci dan membuatku merasa
dendam bukan hanya Evi saja tetapi juga kedua adik
perempuannya yang sama-sama cantik."
"Aduh, Wibi, itu sudah berlebihan. Tidak baik dan
bahkan dosa." "Betul, Bu. Membenci dan mendendam itu tidak
baik, bahkan berdosa. Tetapi sayangnya, aku baru menyadarinya belakangan ini dan sudah terlambat untuk
memperbaiki kekeliruan itu," suara Wibisono terdengar amat pahit. "Mengapa, Nak" Apa yang terjadi?" ibunya bertanya
dengan cemas. Kepahitan di dalam suara Wibisono
terdengar amat nyata dan menakutkan.
"Ibu, karena kebencian itu, aku telah melakukan
kesalahan besar, bahkan berbuat dosa dengan tujuan
membalaskan dendam Ibu. Tetapi, Bu...aku... aku tehttp://pustaka-indo.blogspot.com434
lah salah melangkah..." Wibisono tak mampu melanjutkan bicaranya. Ia tertunduk dengan wajah memerah menahan perasaannya yang membuncah.
Ibunya berdiri dari tempat duduknya. Kedua belah
tangannya mencengkeram bahu anak lelakinya itu dengan perasaan cemas. "Apa... apa yang telah kaulakukan, Wibi?" serunya
dengan berbagai macam dugaan buruk yang berlintasan di kepalanya. "Aku... aku... bermaksud menghina salah seorang
adik Evi" tetapi ternyata dia... masih perawan, Bu.
Ternyata pula dia berbeda dengan saudara-saudara
perempuannya"."
Sang ibu melepaskan tangannya dari bahu Wibisono.
Sebagai gantinya, ia menekan dadanya sendiri dengan
kedua belah telapak tangannya.
"Astaga, Wibi. Kau sungguh-sungguh keterlaluan,"
serunya lagi. "Ya, Bu. Aku sungguh sangat keterlaluan, merusak
gadis baik-baik hanya demi memuaskan rasa dendamku." "Aduh, Nak. Seharusnya kau berpikir panjang lebih
dulu sebelum bertindak apa pun," kata ibunya dengan
suara sedih. "Ya, seharusnya memang begitu. Aku memang bukan manusia... tetapi binatang...." Wibisono menundukkan kepalanya. Melihat penyesalan yang sedemikian besar dalam
diri anak lelakinya itu, sang ibu menghentikan luapan
sesalannya. Ia menatap tajam wajah sang anak untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com435
kemudian merengkuh kepalanya ke dalam dadanya
dan membelai rambutnya, seakan laki-laki itu masih
seorang anak kecil. "Coba kauceritakan pada Ibu bagaimana awal mulanya kau berkenalan dengan gadis itu dan mengapa
sampai terjadi peristiwa yang tak semestinya itu," katanya dengan suara lembut. Wibisono mengangguk dan mulai menceritakan
pertemuannya dengan Ana ketika masih di Ungaran.
Semua hal yang dilaluinya bersama gadis itu diceritakannya kepada sang ibu tanpa ada yang ia tutupi.
Tidak pula dikurangi maupun ditambahi.
"Jadi membuka cabang di Ungaran itu merupakan
rencana kalian bertiga sebagai upaya untuk membalaskan dendamku?" ibu Wibisono memotong apa yang
dikisahkan Wibisono. "Ya, Bu," Wibisono menjawab
apa adanya. "Waktu itu pikiranku hanya satu. Mau
merusak Ika biar Evi tahu rasanya kehancuran keluarga. Tetapi sayangnya Ika telah terjerat laki-laki lain.
Maka waktu melihat ada adik Evi yang lain, dendam
itu kualihkan kepadanya. Apalagi aku memiliki penilaian, gadis itu pasti sama kualitasnya dengan dua
saudara perempuannya."
Sang ibu menarik napas panjang.
"Cara seperti itu sungguh amat jauh dari semestinya, Wibi. Betul-betul perbuatan tercela."
"Kami sangat mencintai Ibu."
"Apa pun alasannya, itu bukan cara yang bisa dibenarkan," desah sang ibu. "Ibu jadi merasa ikut bersalah pada gadis bernama Ana itu. Kasihan dia. Masa
http://pustaka-indo.blogspot.com436
kecilnya dijalaninya tanpa kasih sayang ibu kandung.
Setelah dewasa dia dibayang-bayangi kelakuan kedua
saudara perempuannya. Dan akhirnya... ia harus kehilangan keperawannnya dengan cara yang sangat... sangat.. sangat menyakitkan."
"Kenapa Ibu berkata begitu?"
"Nanti akan kukatakan apa yang ada di dalam pikiran Ibu tentang sakitnya perasaan gadis itu. Tetapi
sekarang Ibu ingin agar kau mengetahui perasaan Ibu
berkaitan dengan ayahmu agar kau bisa lebih memahami kenapa Ibu ikut merasa bersalah atas apa yang
kaulakukan terhadap gadis malang itu."
"Apa itu, Bu?" "Kau dan kedua adikmu sudah tahu bahwa ayahmu telah datang tiga kali pada Ibu untuk menyatakan
penyesalannya dan ingin kembali melanjutkan kehidupan kami. Tetapi tiga kali pula Ibu menolaknya.
Tetapi sebenarnya hati Ibu sudah memaafkannya. Ibu
kenal betul siapa ayahmu dan mengapa sampai terpeleset sejauh itu dengan seorang gadis yang pantas
menjadi anaknya. Tetapi karena mengagungkan harga
diri, Ibu masih menunggu kedatangan ayahmu lagi
sambil menguji apakah dia benar-benar masih ingin
hidup bersama Ibu sebagaimana yang sesungguhnya
juga Ibu inginkan"."
"Jadi Ibu masih mencintainya?" Wibisono memotong. "Ya. Kurasa ayahmu pun masih mencintai Ibu.
Dari Kresno, Ibu tahu ayahmu sering menanyakan
keadaan Ibu. Kami sama-sama menahan diri karena
http://pustaka-indo.blogspot.com437
sama-sama sombong. Padahal seperti yang ada di dalam hatiku, ayahmu juga ingin menghabiskan masa
tua kami bersama-sama. Ibu sungguh menyesal karena
kekeraskepalaan dan kesombongan ini berakibat pada
kalian bertiga yang entah kenapa... kok berpikir kekanakan seperti itu. Apalagi kau, Nak. Sampai merenggut keperawanan seorang gadis baik-baik."
"Ibu".." Sang Ibu menarik napas panjang lagi.
"Jadi kau benar-benar menyesal telah melakukan
kesalahan itu, Wibi?" tanyanya kemudian.
"Sangat menyesal, Bu."
"Mendengar kisahmu selama bergaul dengan Ana
dan lalu melihatmu begitu murung selama berminggu-minggu ini, Ibu jadi curiga tentang sesuatu. Nak,
apakah kau mencintainya?"
Wibisono tertegun. Ya, kalau mau jujur, ia mendekati Ana tak hanya sekadar ingin membalaskan dendam ibunya saja, tetapi juga karena perasaannya sendiri
yang ingin dekat dengan gadis yang memiliki banyak
pesona itu. "Wibi, jawab pertanyaan Ibu dengan jujur," terdengar oleh Wibisono ibunya mengulangi pertanyaannya
tadi dengan tak sabar. "Ya, Bu. Ternyata aku memang mencintainya. Dia
bukan saja jelita, tetapi juga mempunyai banyak kelebihan yang membuatku sering terpesona. Dengan
perkataan lain, terhadap Ana, aku punya dua perasaan
yang bertolak belakang. Antara dendam dan cinta,"
Wibisono terpaksa mengutarakan isi hatinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com438
"Sekarang Ibu bisa melihat dengan lebih jernih.
Setelah kau mengetahui bahwa Ana itu gadis baikbaik dan bahkan mampu mempertahankan keperawanannya di zaman edan seperti ini, maka perasaan cintamu kepadanya semakin berkembang dan berkembang
tetapi juga sekaligus membuatmu merasa semakin tertekan oleh rasa bersalah. Betulkah analisis Ibu?"
"Betul sekali, Bu."
"Penjelasannya, kau tidak akan semurung dan tertekan sampai sedemikian rupa andaikata kau tidak mencintainya. Pasti ada cara lain yang bisa kaulakukan
sebagai caramu minta maaf. Tetapi karena perasaan
cintamu terhadapnya itu... kau jadi seperti ini."
"Ibu betul. Aku sangat sedih karena telah membuatnya terluka. Tadi sudah kuceritakan pada Ibu bagaimana ia mengucapkan kata-kata agar aku tidak lagi
datang menjumpainya," keluh Wibisono. "Kalau ingat
bagaimana matanya yang terluka saat berkata seperti
itu, hatiku seperti terkoyak-koyak rasanya. Lebih-lebih
waktu melihat wajahnya yang basah air mata dan bibirnya yang bergetar...."
"Itulah mengapa Ibu tadi mengatakan tentang perasaannya. Kehilangan keperawanan dengan cara seperti
itu... apalagi mendengar ucapanmu yang menghina
pasti hatinya sangat... sangat... sangat... sangat terluka," sahut ibunya. "Ucapan menghina yang seperti apa?"
"Kau tadi bercerita pada Ibu bahwa kau kaget sekali ketika mengetahui Ana masih perawan dan hal
itu kauucapkan kepadanya entah kausadari atau tidak.
http://pustaka-indo.blogspot.com439
Itu adalah penghinaan terhadap harga diri bahkan
martabatnya, Nak. Selama ini dia telah berhati-hati
dalam pergaulan demi tidak dianggap seperti kedua
saudara perempuannya. Tetapi hanya dalam sekejap
kau telah menghancurkannya. Jadi ini bukan sekadar
masalah hilangnya keperawanannya saja, tetapi juga
rasa sakit hati karena penghinaan yang kaulontarkan.
Seakan dia sudah terbiasa berpacaran secara bebas."
"Aduh, Bu. Ibu benar."
"Kasihan anak itu. Luka hatinya itu pasti lebih dalam lagi karena Ibu yakin dia juga... mencintaimu."
"Apa, Bu?" Wibisono menatap dengan nanar, mata
ibunya. "Ibu sangat terkesan pada ceritamu bahwa ketika
kau beriba-iba minta ampun dan bahkan memintanya
agar menempelengmu, dia bilang kepadamu bahwa ia
juga bersalah pada dirinya sendiri sebab meskipun
sudah tahu bahwa kau tidak bisa dipercaya tetapi ia
telah membiarkan dirinya lengah sehingga peristiwa
itu terjadi," kata sang ibu. "Nah, Ibu menangkap bahwa sesungguhnya ia mencintaimu. Mau mendengar
lagu Jawa yang mirip perasaannya?"
"Mau, Bu." "Pancen nyoto, yen si rupo ora mitayani...
"Nanging aku wis kebacut tresno
"Angel nggonku angoncati..."
"Suara Ibu bagus. Apa artinya, Bu?"
"Terjemahannya begini: Memang jelas terlihat, keseluruhan yang tampak pada laki-laki itu tak bisa diperhttp://pustaka-indo.blogspot.com440
caya. Namun aku sudah telanjur mencintainya. Sulit
bagiku menghindarinya..."
"Oh, Bu. Apakah... apakah mungkin dia mencintaiku?" "Ibu tak bisa memastikannya. Tetapi kelihatannya
dia memang mencintaimu. Menurut Ibu, seorang gadis yang berhati-hati dalam pergaulan, seorang gadis
yang tidak memercayaimu tetapi toh telah menyerahkan diri kepadamu... sungguh mustahil itu akan terjadi kalau dia tidak mencintaimu. Pikirkanlah."
Wibisono tercenung. Ia ingat bagaimana tubuh
Ana yang menggigil ketika berada di dalam pelukannya. Ia juga ingat betapa mudahnya pipi gadis itu
memerah. Betapa seringnya pula dada gadis itu berombak-ombak menahan perasaan. Dan betapa hangat
balasan ciuman dan pelukannya. Tetapi juga betapa
seringnya dia sebagai laki-laki yang menilai Ana murahan telah menerjemahkan sikap-sikap seperti itu
sebagai gadis yang telah berpengalaman bercinta dan
mulai merasa kehausan. Duh Tuhan, betapa tololnya,
keluh Wibisono di dalam hati. Kenapa tak terpikirkan
olehku bahwa semua itu tanda-tanda adanya cinta.
Atau paling tidak, tanda bahwa gadis yang minus


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangalaman itu terpengaruh oleh perasaannya saat
dipeluk dan dicumbu laki-laki yang punya tempat
khusus di hatinya. "Bu, Ibu mungkin betul!" akhirnya Wibisono berseru. "Ana mungkin mencintaiku."
"Kalaupun Ibu salah, berusahalah untuk mengatasi
masalah ini agar kau mengetahui perasaannya."
http://pustaka-indo.blogspot.com441
"Maksud Ibu?" "Yah, bagaimana bisa mengetahui perasaannya kalau setiap hari kau hanya termenung dan membiarkan
kemurungan menjerat dirimu" Bukankah lebih baik
kau menemuinya" Seburuk apa pun sambutannya,
kau harus menerimanya. Ingat, dia jauh lebih menderita." Wibisono tertegun. "Besok aku akan ke rumahnya untuk mohon ampun sekali lagi kepadanya," katanya kemudian. Matanya berkaca-kaca. Sang ibu tersenyum lembut. Juga dengan mata berkaca-kaca. "Lakukanlah dengan restu Ibu dan mudah-mudahan dugaan Ibu tidak salah," sahutnya.
Maka begitulah. Esok sorenya dengan perhitungan
bahwa Ana sudah pulang dari kantor, Wibisono mendatangi rumahnya. Ibu tiri Ana yang membukakan
pintu untuknya. Wajahnya tidak seramah biasanya,
tetapi tetap sopan. "Ana pergi," katanya ketika Wibisono menanyakan
gadis itu. "Tugas?" "Saya tidak tahu karena sudah lama dia tidak tinggal di rumah ini lagi," sahut ibu tiri Ana yang menimbulkan rasa sakit di dada Wibisono. Ke manakah gadis itu" "Tidak tinggal di sini lagi" Tinggal di mana dia,
Bu?" "Maafkan saya, Nak. Ana telah meminta saya unhttp://pustaka-indo.blogspot.com442
tuk tidak mengatakan kepada siapa pun di mana ia
sekarang tinggal." "Tetapi dia masih bekerja di kantor majalah itu,
Bu?" "Maaf, itu pun saya tidak bisa mengatakannya.
Saya harus menghormati keinginan Ana dan sekaligus
harus bisa memegang kepercayaan yang diberikan
kepadanya." Wibisono tak dapat memaksa perempuan yang tampaknya begitu tegar macam harimau melindungi anaknya itu. Percuma ia berdiri sampai besok di situ. Tak
akan ada informasi yang bisa didapatnya. Jadi dia
langsung pulang ke rumah.
"Kok cepat sekali. Kau bertemu kan dengan
Ana?" "Tidak, Bu. Dia sudah pindah. Tetapi ibu tirinya
tidak mau mengatakan di mana dia sekarang tinggal,"
sahut Wibisono lesu. "Bersabarlah. Nah, sekarang teleponlah ke kantornya, siapa tahu kau mendapat informasi. Pokoknya
tempuhlah segala jalan untuk menemuinya."
Wibisono menepuk dahinya sambil menuju ke
meja telepon. "Ya, seharusnya begitu. Otakku benar-benar macet." "Kau boleh saja bingung, sedih, cemas, atau apa
pun, Nak. Tetapi pikiran harus tetap jernih. Kalau
tidak, hal-hal yang sepele saja pun tidak akan masuk
ke otak." "Ya, Bu." Ia mulai menelepon. Tetapi jawaban dari
http://pustaka-indo.blogspot.com443
seberang sana mengatakan bahwa Ana sedang tugas
ke luar kota selama seminggu.
Wibisono meletakkan kembali gagang telepon dengan lesu. Dia tidak tahu bahwa saat itu Ana sedang
duduk di muka komputer, tak jauh dari temannya
yang menerima telepon itu. Ia telah mengumpulkan
teman-temannya dan meminta bantuan mereka untuk
menghindarkannya dari laki-laki bernama Wibisono.
"Ternyata laki-laki itu tak bisa dipercaya. Pacarnya
banyak," katanya berdalih. Apa boleh buat, ia terpaksa
bercerita bohong demi mendapat simpati dan bantuan
teman-temannya. "Makanya kalau cari pacar jangan yang terlalu ganteng dan jangan pula yang uangnya banyak," kata salah seorang temannya yang pernah beberapa kali
melihat Wibisono. Dusta Ana berhasil. Bukan karena bicaranya itu
saja tetapi terutama karena sikap Ana yang berubah.
Gadis itu tak lagi suka mengobrol, apalagi bercanda.
Dari air muka dan sikapnya, kentara sekali kalau dia
sedang tertekan. Bahkan Pak Sukandar yang mengetahui cerita itu dari Ida, teman baik Ana, ikut-ikut
bersekongkol ingin menjauhkan gadis itu dari virus
besar tersebut demi kelancaran pekerjaannya. Ana adalah andalan utamanya. "Jangan biarkan pikirannya bercabang. Biarlah waktu yang akan menyembuhkannya. Ia masih muda.
Mudah-mudahan di suatu saat nanti ia akan menemukan pria yang lebih positif segalanya," katanya.
Maka persengkongkolan antarteman itu pun berhahttp://pustaka-indo.blogspot.com444
sil melindungi Ana. Begitupun ketika seminggu kemudian Wibisono menelepon lagi, jawaban yang diterima
juga serupa. Kali itu Nanik yang menerima.
"Ana sudah kembali dua hari yang lalu tetapi hari
ini baru saja dia berangkat ke Papua," sahut Nanik
sambil mengedipkan matanya ke arah Ana yang sedang menguping. "Baru kembali sudah bertugas ke luar kota lagi?"
"Ya. Dia yang meminta untuk sering ditugaskan ke
luar kota," jawab Nanik. Jawaban yang mendapat
acungan jempol dari Ana. "Berapa lama?" "Wah, saya tidak tahu. Biasanya kalau yang jauhjauh begitu paling cepat ya satu minggu lamanya."
Lagi-lagi Nanik mendapat acungan jempol dari Ana.
Dengan perasaan semakin tertekan, Wibisono meletakkan gagang telepon kembali. Bisa dimengerti olehnya kalau Ana selalu minta diberi kesempatan untuk
tugas ke luar kota. Dengan sibuk bekerja, urusan
pribadinya bisa agak tersingkir.
Seminggu kemudian Wibisono menelepon lagi untuk mengetahui apakah Ana sudah kembali dari Papua.
Kali itu Ida yang menerimanya.
"Ana memang sudah pulang tetapi hari ini tidak
masuk kantor. Kecapekan," katanya sambil menyeringai kepada Ana. "Besok masuk?" "Wah, saya tidak tahu. Dokter memberinya surat
istirahat selama tiga hari, kalau saya tak salah."
"Ana tinggal di mana sekarang?"
http://pustaka-indo.blogspot.com445
"Lho, dia tinggal dengan ibunya, kan?" Ida lalu
menyebut alamat rumah Ana. Suatu akting yang bagus sehingga Ana mengucapkan terima kasih padanya. Dengan demikian sudah tiga kali Wibisono tak
berhasil melacak Ana sehingga kesabarannya habis.
Dua hari kemudian sekitar jam sepuluh pagi, dia
menelepon kantor Ana lagi. Kebetulan Ida lagi yang
menerimanya. "Ya, dia sudah masuk kantor kemarin."
Hati Wibisono merasa lega.
"Tolong hubungkan saya dengan dia," pintanya.
"Sayang sekali dia baru saja keluar untuk wawancara dengan Ibu Negara," sahut Ida asal menjawab.
"Jam berapa kembali ke kantor?"
"Kalau tidak salah dengar tadi, dia akan langsung
pulang ke tempat tinggalnya."
"Wawancara sampai hampir seharian?" Wibisono
mulai curiga. Ida yang merasa dicuigai, tidak kehilangan akal.
"Memang seharian karena sesuai dengan judulnya,
"Sehari Bersama Ibu Negara"."
"Besok masuk, kan" Biasanya dia datang jam berapa?" "Biasanya sih pagi. Tetapi besok dia harus mengambil foto-foto hasil liputannya lebih dulu. Jadi mungkin agak siang." "Baiklah, besok siang saya akan menelepon lagi.
Terima kasih." Ida meletakkan gagang telepon dan tertawa lepas.
http://pustaka-indo.blogspot.com446
"Aku pantas mendapat Piala Oscar, ya?" katanya
kemudian. Tetapi esok harinya ketika Wibisono menelepon
lagi, Ida sedang tugas ke luar. Joko yang kebetulan
sedang berjalan di dekat telepon, mengangkatnya. Dia
tidak terlalu mengerti tentang persoalan Ana. Ia hanya
tahu teman-teman diminta membantu Ana menghindari laki-laki hidung belang bernama Wibisono. Jadi
dengan pengetahuan yang tak seberapa itu ia menjawab teleponnya. "Dia sedang tugas keluar, Mas."
"Ke luar kota atau ke luar kantor?"
"Ke luar kota," sahut Joko. Pikirnya, ia sudah berusaha melindungi Ana dari kejaran seorang laki-laki
hidung belang. Hm, jawaban siapa yang bisa dipercaya" Ida yang
mengatakan bahwa saat ini Ana sedang mengambil
foto-foto, ataukah laki-laki itu yang mengatakan Ana
sedang tugas ke luar kota. Kalau betul tugas ke luar
kota, kenapa begitu sering dan rasanya seperti tak
masuk akal. Memangnya tidak ada yang lain" Atau
tugas mendadak" "Kapan dia berangkat dan kapan pulangnya?" pancingnya. "Baru kemarin dulu dia berangkat. Soal pulangnya,
wah... saya tidak tahu," Joko menjawab sekenanya saja.
Pokoknya, Ana tidak bisa bertemu dengan Wibisono,
si hidung belang itu, pikirnya.
Wibisono mengertakkan gerahamnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com447
"Ke mana perginya kalau saya boleh tahu?" ia memancing lagi. "Ke Papua," jawab Joko. Semakin jauh, semakin
bagus, pikirnya. Wibisono mengepalkan tangannya. Ia sadar bahwa
dirinya telah dibohongi. Baru saja pulang dari Papua,
masa pergi ke sana lagi. Hanya saja, siapa yang berbohong. Ida atau Joko"
"Terima kasih atas informasi Anda," katanya kemudian. Ia harus mengetahui dengan mata kepala sendiri
kebenarannya, pikirnya. Jadi sore itu menjelang jam
kantor bubar, ia sudah meluncur ke kantor Ana. Agar
tidak dikenali, ia memakai mobil yang biasa dipakai
ibunya. Sementara itu Joko yang merasa telah berjasa kepada
Ana, menceritakan pembicaraannya dengan Wibisono
kepada Ana dan Ida yang baru saja kembali dari makan siang. Bangga dia. Tetapi kedua gadis itu terkejut
mendengar jawabannya kepada Wibisono.
"Wah, gawat. Aku bilang kepadanya kemarin bahwa Ana baru saja pulang dari Papua. Dia pasti merasa
curiga," sahut Ida. "Jangan-jangan dia akan ke sini untuk membuktikannya," kata Ana dengan wajah memucat. "Sebulan
setengah aku berhasil menghindarinya. Sebulan setengah pula aku telah mencoba melupakannya. Apakah
hanya akan sia-sia saja hasilnya?"
"Sudahlah, jangan begitu cemas," hibur Ida yang
galak namun cepat merasa iba itu. "Kau nanti bisa
pulang sebelum waktu. Bilang saja ada tugas."
http://pustaka-indo.blogspot.com448
Ana setuju. Ia segera pulang ke tempat kosnya begitu firasatnya mengatakan bahwa ia harus meninggalkan
kantor. Maka ketika Wibisono datang, Ana sudah sampai di tempat tinggalnya. Jadi sia-sia sajalah Wibisono
mengawasi pintu gerbang kantor Ana dari dalam
mobilnya yang berkaca gelap itu. Karena merasa penasaran, esok sorenya ia melakukan hal yang sama lagi.
Tetapi seperti kemarinnya, hari itu pun dia tidak
melihat Ana. Kali itu Wibisono tidak mau pulang. Ditunggunya
sampai kantor sepi baru dia turun untuk menemui
satpam yang sedang bertugas.
"Pak, kenal Ana?" tanyanya.
"Tentu saja. Saya kenal semua karyawan di sini."
"Apakah hari ini dia masuk kantor?"
"Saya tidak melihatnya, Pak. Tetapi kemarin dia
pulang lebih cepat. Waktu saya tanya, katanya ada
tugas mendadak." "Bapak punya HP?"
"Ya, ada." "Besok saya akan menelepon Bapak untuk menanyakan keberadaannya. Boleh, Pak?"
"Tetapi maaf... untuk urusan apa?"
"Saya pacar Ana, Pak. Sedang ada sedikit masalah
dengan dia. Saya ingin menemuinya tetapi dia tidak
mau menjumpai saya padahal saya betul-betul merin

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dukannya dan ingin minta maaf," dalih Wibisono.
Tetapi ketika ia mengatakan tentang kerinduannya
itu, apa yang memang keluar dari hati sanubarinya
http://pustaka-indo.blogspot.com449
itu tertangkap oleh Pak Satpam sehingga laki-laki itu
langsung memercayainya. "Baik, Pak. Besok akan saya perhatikan keberadaannya." "Terima kasih. Mudah-mudahan hubungan kami
bisa membaik kembali," kata Wibisono sambil menyisipkan selembar uang lima puluh ribu ke tangan Pak
Satpam. "Ini untuk jajan, Pak."
Satpam itu menyembunyikan kegembiraannya. Ia
mendapat uang lima puluh ribu rupiah tanpa harus
bersusah payah. "Terima kasih. Ini nomor HP saya, Pak...."
Esok harinya ketika Wibisono menelepon Pak Satpam, ia mendapat jawaban serupa seperti hari sebelumnya. "Mbak Ana pulang cepat hari ini, Pak. Dia sakit.
Sudah beberapa orang yang saya tanyai, termasuk pelayan kantor, mereka mengatakan hal sama," jawab satpam itu. "Apa yang diceritakan oleh pelayan kantor itu kalau saya boleh tahu?" Wibisono mencoba mengorek
keterangan lebih lanjut. "Katanya, tadi sebelum istirahat jam makan, Mbak
Ana minta pada pelayan untuk dibelikan soto mi.
Tetapi ketika pelayan itu datang kembali dengan membawa soto mi, Mbak Ana sudah pulang diantar Mbak
Ida," jawab Pak Satpam. "Siti, pelayan kantor yang
lain bercerita bahwa ia melihat Mbak Ana muntahmuntah di kamar mandi dan wajahnya pucat sekali." http://pustaka-indo.blogspot.com450
Wibisono merasa sudah cukup mendapat informasi.
Dengan lesu dan perasaan semakin tertekan, Wibisono
termenung. Ana sakit. Pastilah itu karena terlalu banyak bekerja tetapi kurang beristirahat. Gadis itu sengaja mencari kesibukan agar bisa melupakan kesedihannya. Dan itu gara-gara perbuatanku, keluh Wibisono.
Kasihan Ana. Setelah bekerja dan tugas ke sana
kemari, akhirnya gadis itu terpaksa menyerah pada
keterbatasan fisiknya. Begitu Wibisono berpikir lagi
dengan perasaan resah. Itu gara-gara perbuatanku,
desahnya di dalam hati. Sungguh kasihan Ana. Sungguh besar dosaku kepadanya, pikir Wibisono dengan perasaan amat tertekan. http://pustaka-indo.blogspot.com451
KETERANGAN yang diberikan oleh satpam kantor
kepada Wibisono itu bukan karangan, melainkan kenyataan. Pagi itu Ana hanya sebentar saja di kantor.
Ia pulang ke tempat kosnya setelah muntah-muntah
dan mandi keringat dingin.
Sekarang gadis itu terbaring di kamar kosnya dalam kesepian. Tetangga-tetangga kamarnya belum ada
yang kembali. Kalau bukan masih berada di tempat
pekerjaan mereka, tentu masih ada di kampus bagi
yang masih kuliah. Dalam kesepian suasana itulah
Ana merasakan sekujur tubuhnya terasa pegal dan tak
nyaman. Esok harinya ketika rasa sakit itu belum juga
hilang dan ia merasa tak kuat untuk pergi ke kantor,
ingatannya lari ke rumah. Dia ingin pulang. Oleh
sebab itu ia minta dicarikan taksi oleh pembantu rumah tangga tempat kosnya dan kepada nyonya rumah
pemiliknya ia memberi alasan yang sebenarnya.
Empat Belas http://pustaka-indo.blogspot.com452
"Tante, kalau dalam kondisi sakit begini, saya merasa lebih tenang jika berada di rumah. Jadi dalam
beberapa hari ini saya tidak akan tinggal di sini," katanya menjelaskan. "Ya, saya mengerti itu, Ana. Lekaslah sembuh dan
lekas kembali ke sini lagi. Teman-teman di sini menyukaimu." "Ya, Tante. Terima kasih."
Kembali ke kamarnya sendiri di rumah ibu tirinya,
Ana merasa lebih tenang dan lebih nyaman. Ada ibu
tirinya yang tiap sebentar menjenguknya ke kamar.
Ada Deni yang sering membuka pintu kamarnya dan
mengintip dari celah yang terbuka, lalu menanyakan:
"Sudah baikan, Mbak?" Atau: "Mau kubelikan bubur
ayam" Atau nasi tim, Mbak?"
Ana merasa bersyukur merasakan kembali kehangatan di dalam keluarga kecilnya ini. Tetapi meskipun
demikian, jauh di relung hatinya ia merasa cemas dan
bahkan ketakutan. Sudah dua kali haidnya tidak datang. Jangan-jangan?"
Rupanya ibu tirinya pun diam-diam merisaukan
hal yang sama ketika melihat Ana sering muntah di
pagi hari dan selera makannya turun drastis. Apalagi
gadis yang biasanya rajin bekerja itu mulai sering
membolos dengan alasan kepalanya pusing atau tubuhnya terasa tak nyaman semua. Karena kerisauannya
itulah ia mengajak Ana bicara.
"Ana, kau jangan tersinggung kalau Ibu menanyakan sesuatu kepadamu dengan terus terang, ya?" tanyanya hati-hati. "Boleh?"
http://pustaka-indo.blogspot.com453
"Tentu saja boleh, Bu."
"Bagaimana dengan haidmu" Masih datang dengan
teratur?" Mendengar pertanyaan itu Ana menatap mata ibu
tirinya dengan pandangan sayu dan bibir bergetar.
"Sudah dua kali tidak datang, Bu," sahutnya dengan suara bergelombang. Darah sang ibu tiri tersirap. Gawat.
"Kau mau kuantar ke dokter?"
"Mau sekali, Bu. Ana juga mengkhawatirkan hal
yang sama." Ana mulai terisak. Air matanya langsung
berhamburan. "Jangan terlalu kaurisaukan, Nak. Jaga kesehatanmu
baik-baik. Belum tentu kecurigaan kita terbukti," hibur sang ibu tiri. "Tetapi andaikata pun benar, itu
bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi. Sudah sering
Ibu katakan bahwa dalam menjalani kehidupan bersama ini, terutama setelah ayahmu meninggal, senang
dan susah akan kita tanggung bersama-sama. Kau,
Ibu dan Deni." "Ibu... maafkanlah Ana," tangis Ana meledak. "Ana
hanya merepotkan Ibu saja."
"Itu sudah kewajibanku sebagai ibu. Sekarang, Ibulah yang menjadi tempatmu bergantung. Tetapi kelak
akan ada saatnya terjadi hal sebaliknya kalau aku sudah tua nanti. Jadi ayolah, jangan biarkan dirimu
tenggelam dalam kesedihan."
"Terima kasih, Bu."
Ana maupun ibu tirinya memang sudah mempunyai dugaan buruk itu. Tetapi ketika dokter kebidanhttp://pustaka-indo.blogspot.com454
an dan ahli kandungan memastikan bahwa Ana memang sedang mengandung, kedua perempuan itu
terenyak. Mereka pulang ke rumah dengan seribu satu
macam pikiran menghantui benak masing-masing.
Bahkan karena berbagai pikiran itu, Ana mulai diam
seribu bahasa. Tak sepatah kata pun yang keluar dari
mulutnya. Begitu tiba di rumah, ia langsung mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur begitu saja.
Lupa membasuh wajah, kaki, dan tangan serta mengganti baju seperti biasanya jika ia pulang dari bepergian. Apalagi dari rumah sakit atau dari tempat-tempat yang mungkin membawa bibit penyakit.
Ah, betapa kehidupan manusia amat pelik, keluh
Ana di dalam hati. Ada orang berbuat dosa berkalikali namun tak pernah menanggung risiko apa pun.
Tetapi dia baru sekali saja terpeleset menerjang dosa
dan itupun tanpa rencana dan tanpa terduga, ia sudah
harus menghadapi risiko yang sedemikian besarnya.
Sungguh, betapa tidak"
Masa depannya telah hancur. Laki-laki mana yang
mau menikah dengan seorang gadis yang sudah
dipanggil "mama" oleh anaknya. Lalu akan bagaimana
nasib anaknya jika secara hukum dia lahir di luar lembaga pernikahan yang sah" Bagaimana cara mengurus
akte kelahirannya" Nama siapa yang harus ditulisnya
dalam kolom "nama ayah" jika kelak anak itu masuk
sekolah" Lalu kantor manakah yang akan membiarkan
karyawatinya hamil di luar nikah"
Yah, di kantor nanti, apa kata Pak Sukandar kalau
tahu dia sedang hamil" Apa pula kata Ida, Nanik,
http://pustaka-indo.blogspot.com455
Joko, atau teman-teman lainnya" Lalu bagaimanakah
dia bisa bekerja secara optimal sebagaimana biasanya
dalam keadaan hamil begini"
Diam-diam ibu tirinya memperhatikan Ana dengan
rasa prihatin. Dengan membawa segelas teh hangat
manis, perempuan itu masuk ke kamar Ana saat gadis
itu sedang terisak-isak sendirian.
"Ana, tukarlah pakaianmu dengan yang bersih dan
enak dipakai. Lalu minumlah teh hangat ini, kemudian cobalah untuk tidur. Jaga kesehatanmu baik-baik.
Menangis biarpun sampai keluar air mata darah, tak
akan menyelesaikan masalah. Nanti setelah kau bisa
tidur barang sebentar, kita bicarakan persoalan ini
bersama-sama. Ibu yakin, pasti ada jalan keluarnya,"
katanya dengan suara lembut. "Jangan takut, Ibu dan
Deni ada di sampingmu."
Untuk menyenangkan sang ibu tiri, Ana mengangguk. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, ia
menukar pakaiannya. Setelah itu minum teh dan lalu
membaringkan tubuhnya kembali. Melihat itu ibu
tirinya menutup tirai jendela kamar agar cahaya dari
luar tidak menyilaukan mata Ana.
"Tidur dan lupakanlah sejenak persoalan ini. Memang masalah ini harus dibahas dan diselesaikan.
Tetapi untuk detik ini, tunda dulu. Kau butuh istirahat dan menata pikiran," kata perempuan setengah
baya itu sebelum keluar dari kamar Ana.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan persoalan
yang sedemikian pahit ini" pikir Ana. Apalagi tidur.
Saat ini di dalam rahimnya sedang tumbuh janin
http://pustaka-indo.blogspot.com456
yang setiap harinya terus berkembang sehingga perutnya akan semakin membukit dan membesar. Bagaimana mungkin semua itu bisa ia sembunyikan dari mata
banyak orang, dari teman-teman sekantornya, dari
mata tetangga sekitar rumah, sanak famili dan kenalan-kenalannya" Semenjak bekerja di kantor penerbitan, kenalannya semakin bertambah dan pergaulannya
semakin meluas. Apa kata mereka nanti kalau melihat
perutnya membesar padahal berita tentang pernikahannya tak pernah terdengar.
Oh, Wibisono. Ana mengeluhkan nama itu dengan
hati perih. Telah kuberikan segala-galanya padamu
karena hatiku yang terbalut cinta. Tetapi ternyata dirimu hanya terbalut nafsu dan pandangan melecehkan.
Penilaianmu terhadapku amat rendah. Kausamakan
aku dengan Mbak Evi dan Ika. Duh, ke manakah
hati nuranimu" Sementara itu laki-laki yang sedang dipikirkan oleh
Ana sedang gelisah luar biasa. Sudah beberapa kali ia
mondar-mandir di kantor Ana tanpa melihat sekelebat
pun sosok tubuh gadis itu. Bahkan sekelumit pun
informasi tentang gadis itu tak berhasil didapatkannya.
Lama-kelamaan Wibisono semakin curiga bahwa
teman-teman Ana sedang bersekongkol menjauhkan
gadis itu darinya. Maka kesabaran Wibisono pun habis sudah. Ketika
dia datang lagi ke kantor Ana, ia langsung mencari
Ida. Beberapa kali nama itu pernah disebut Ana. Pasti
mereka merupakan teman akrab. Memang Wibisono
baru sekali melihatnya ketika gadis itu melambaikan
http://pustaka-indo.blogspot.com457
tangan ke arah Ana saat ia menjemputnya. Tetapi ia
yakin dapat menggali informasi dari gadis itu.
Ida mengerutkan dahinya saat diberitahu ada lakilaki bernama Wibisono mencarinya.
"Wah, dia mulai kehilangan kesabarannya," gumamnya sambil meninggalkan meja kerjanya. "Luar biasa.
Tak kenal putus asa. Pantaslah Ana begitu ketakutan
bertemu laki-laki itu."
"Hadapilah dengan bijaksana, Ida. Ingat pesan Ana
sebelum dia sakit," salah seorang temannya mengingatkan Ida. "Beres." Di depan, dalam ruang tamu, tanpa basa-basi lebih
dulu Wibisono langsung melontarkan pertanyaan kepada Ida begitu gadis itu muncul di hadapannya.
"Saya ingin bicara dari hati ke hati dengan Anda,
Mbak Ida. Dalam hal ini saya minta Mbak Ida untuk
bicara secara jujur dan bersikap objektif," katanya.
"Silakan. Bicaralah dengan tenang," sahut Ida saat
melihat tamunya itu tampak sedang galau.
"Baik. Nah, saya ingin bertanya pada Anda, ada di
manakah Ana sekarang?"
"Kan kemarin ketika Mas Wibisono menelepon
telah saya jawab bahwa Ana sakit dan sampai hari ini
belum masuk kantor."
"Mbak Ida tidak bohong?"


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silakan saja mencarinya di seluruh sudut kantor
ini. Sudah berhari-hari Ana tidak masuk kantor karena sakit." Ketegasan dan sikap Ida menyebabkan Wibisono
http://pustaka-indo.blogspot.com458
percaya. Apalagi jika itu dikaitkan dengan informasi
dari Pak Satpam. "Sekarang dia tinggal di mana?" Wibisono menatap
tajam mata Ida. "Jangan menjawab bahwa ia masih di
rumah ibunya sebab saya tahu dia sudah tidak ada di
sana. Beberapa kali saya ke sana dengan diam-diam,
tetapi bayangannya saja pun tak ada."
"Oh begitu" Saya malah baru tahu?"
"Jangan berdusta," Wibisono merebut pembicaraan
dengan perasaan geram. "Saya tahu Mbak Ida yang
mengantarkan Ana pulang ke tempat tinggalnya yang
sekarang di hari pertama dia sakit."
Mendengar itu Ida tergagap. Wibisono segera menyerangnya lagi dengan kata-kata yang lebih keras.
"Mbak Ida, Anda harus bersikap netral, objektif,
adil dan jujur. Jangan mendengar cerita dari satu pihak saja dan lalu memercayainya seratus persen. Tolong jawablah pertanyaan saya, mengapa Mbak Ida
dan teman-teman begitu mati-matian membentengi
Ana agar jangan sampai bertemu dengan saya. Apa
salah saya, tolong katakan."
Ida semakin bingung diserang pertanyaan seperti
itu. Yah, ia memang baru mendengar cerita dari pihak
Ana saja. Kalaupun apa yang dikatakan Ana benar,
mungkin saja itu hanya penilaiannya yang terlalu subjektif. Ana terlalu perasa. Boleh jadi ada salah pengertian di antara dia dengan Wibisono" Kalau benar
laki-laki itu termasuk lelaki brengsek, kenapa dia begitu gigih berusaha menjumpai Ana"
http://pustaka-indo.blogspot.com459
Menyaksikan Ida tampak bingung, Wibisono tersenyum miring. "Ayolah, Mbak, dengar juga cerita menurut versi
saya. Tetapi sebelumnya, tolong katakan dengan terus
terang, apa kata Ana mengenai diri saya?"
Ida semakin gelagapan sehingga harus menarik napas panjang berulang kali. Wibisono terus menyudutkannya. "Jika Mbak Ida berpegang pada keadilan dan objektivitas, jangan takut dikatakan sebagai teman yang tidak setia kawan dalam menghadapi masalah kami.
Nah, katakanlah apa yang diceritakan Ana mengenai
diri saya." "Baiklah," Ida yang pada dasarnya termasuk orang
yang berwawasan luas dan tak suka berpihak tanpa
mengetahui sesuatu secara jelas dan gamblang, mulai
terpengaruh perkataan Wibisono. "Ana mengatakan
kepada saya dan teman-teman lain bahwa Mas
Wibisono telah mempermainkan dirinya, menganggapnya sebagai gadis yang mudah dipacari."
Wibisono menarik napas panjang.
"Sejujurnya, apa yang dikatakannya, ada benarnya.
Tetapi itu ada alasannya. Nanti akan saya ceritakan.
Nah, apa lagi yang diceritakannya tentang diri saya?"
Ida agak tertegun mendengar pengakuan itu. Rupanya, Wibasono tidaklah seburuk apa yang dikiranya.
Jadi perlu ditanggapi sebagaimana mestinya.
"Anda juga suka mempermainkan gadis-gadis lain...
maaf, koleksi Anda banyak. Begitu yang diceritakan
Ana pada kami," sahutnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com460
"Itu sama sekali tidak benar. Alias Ana telah mendustai Mbak Ida dan teman-teman lain. Bahwa belakangan ini saya mengejar-ngejar dirinya, itu tak ada
kaitannya dengan kematakeranjangan saya atau cap
hidung belang yang berhasil Ana lekatkan pada saya.
Saya mencarinya untuk minta maaf kepadanya. Saya
ingin menebus dosa-dosa saya terhadapnya selama ini.
Saya telah menghinanya."
"Memangnya apa yang Mas Wibisono telah lakukan terhadap Ana" Dia itu seorang gadis baik, polos
dan lugu lho." "Betul. Sayangnya saya baru tahu sekarang ini. Justru karena itulah saya ingin minta maaf langsung
kepadanya," sahut Wibisono dengan perasaan mulai
tertekan lagi. Tampaknya orang lain mengetahui keluguan dan kepolosan Ana. Tetapi dia tidak. Matanya
memang buta dan telinganya tuli.
"Penghinaan apa yang telah Mas lakukan terhadapnya?" Ida mengulangi pertanyaannya yang belum
terjawab. "Selama hampir dua bulan ini sikapnya sangat berubah. Dia menjadi pemurung dan tidak pernah lagi mau bercanda seperti biasanya. Saya kira sakit yang dideritanya sekarang ini lebih disebabkan
karena masalah psikis.?"
"Mungkin...." Wibisono menundukkan kepalanya.
"Dan sayalah penyebabnya."
"Sejak tadi Mas belum mengatakan kepada saya
penghinaan apa yang telah Mas lakukan terhadapnya.
Saya yakin penghinaan itu pasti berat buat Ana. Kahttp://pustaka-indo.blogspot.com461
lau tidak, tentu dia tidak akan pergi dari rumahnya.
Apalagi ibunya menyetujui kepindahannya itu."
Wibisono terdiam sesaat lamanya. Gadis bernama
Ida ini termasuk orang yang cermat, pikirnya.
"Memang berat," Wibisono mengaku dengan suara
sedih. "Justru itu saya berusaha bisa menjumpainya
untuk mohon maaf. Oleh sebab itu tolonglah saya,
Mbak, katakanlah Ana sekarang tinggal di mana?"
"Kalau masalahnya memang berat, saya malah tidak
berani mengatakan di mana tempat tinggal Ana sekarang. Saya tidak ingin merusak persahabatan saya dengan dia gara-gara saya tidak bisa dipercaya. Jadi,
maaf...." "Apa bukan sebaliknya, Mbak" Karena masalahnya
berat maka seharusnya Mbak ikut memberi jalan agar
persoalan itu dapat segera diselesaikan dengan baik."
"Masalah berat itu kan relatif sifatnya dan macammacam jenisnya. Maka apa dulu jenis beratnya itu,"
sahut Ida dengan tegas. "Anda orang yang cermat dan juga hati-hati,"
Wibisono menjawab apa adanya. "Tetapi seperti pinta
saya tadi, tolonglah bersikap objektif, adil, jujur, dan
netral. Jangan mengambil keputusan melalui pemikiran sendiri." "Lalu apa yang harus saya olah dengan pikiran
objektif kalau inti masalahnya saja saya tidak tahu."
"Mbak Ida, saya akan mengatakan sesuatu yang
pasti tidak akan saya katakan kepada orang lain karena saya memercayai Mbak dan berharap sungguh agar
Anda bisa mempertemukan saya dengan Ana. Selain
http://pustaka-indo.blogspot.com462
ingin mohon ampun kepadanya karena saya telah
menghancurkan masa depannya, saya juga ingin menikahinya...." Mata Ida berkedip ketika mendengar perkataan
Wibisono yang diucapkannya dengan penuh perasaan
itu. Dari sikapnya itu, Wibisono tahu bahwa gadis itu
sedang menunggu lanjutan bicaranya.
"Mbak Ida... saya... saya telah mengambil keperawanannya...," terdengar oleh Ida suara Wibisono yang
sayup-sayup sampai. "Saya sungguh amat menyesal
dan karenanya... saya ingin memperbaiki dosa saya.
Seperti telah saya katakan tadi, saya ingin menikahinya...." Keterusterangan Wibisono mengenyakkan Ida ke
sandaran kursi di belakang punggungnya. Tak heran
dia sekarang kenapa Ana sedemikian sedih dan tertekan. Gadis itu sangat berhati-hati menjaga pergaulannya dengan pria dan sekarang Wibisono mengambil
keperawanannya bukan dalam pernikahan yang sah.
Pantas, Ana selalu menghindari perjumpaannya dengan laki-laki itu. "Anda memerkosanya?" tanyanya kemudian tanpa
basa-basi. "Tidak. Tetapi saya telah membuatnya lupa diri
sebab saya pikir dia sudah berpengalaman. Saya pikir... dia sudah tidak perawan... tetapi ternyata saya
salah besar. Dia masih suci dan saya telah menodainya. Sungguh, Mbak, saya sangat menyesali perbuatan
saya...." "Mas Wibisono menyesal dan lalu ingin menikahihttp://pustaka-indo.blogspot.com463
nya karena telah menghancurkan hidupnya" Begitu,
kan?" Ida mulai menginterogasi.
"Ya." Ida tersenyum agak sinis mendengar jawaban itu.
"Saya yakin, Ana sudah tahu bahwa Mas Wibisono
sangat menyesali peristiwa itu. Saya juga yakin, menilik sifat Ana, Anda minta maaf atau tidak buat dia
tidak terlalu penting sebab ada hal lain yang jauh lebih prinsip," katanya kemudian. "Jadi maaf, saya tak
bisa membantu Anda karena tidak ingin membuatnya
semakin sedih." "Kenapa begitu, Mbak" Kesalahan apa lagi yang
telah saya lakukan tetapi saya tidak mengetahuinya?"
Wibisono tampak bingung. "Mas Wibisono bukan hanya telah menghancurkan
masa depannya saja tetapi juga telah menghancurkan
harga diri dan kebanggaannya sebagai pribadi yang
memiliki prinsip hidup."
Wibisono memejamkan matanya sejenak untuk
mencerna apa yang dikatakan Ida.
"Lalu, Mbak?" tanyanya mendesak.
"Saya mengira, ada satu hal penyebab mengapa
Ana bisa lupa diri. Memang saya tidak begitu yakin,
tetapi rasanya... dia mencintai Mas Wibisono. Tetapi
sayangnya, justru satu-satunya lelaki yang dicintainya
itu telah merobohkan harga diri dan kebanggaan yang
selama ini ia junjung tinggi. Apalagi dia tahu, lakilaki itu tidak menaruh penghargaan terhadap dirinya.
Atau malah menganggapnya bukan gadis baik-baik.
http://pustaka-indo.blogspot.com464
Maaf, Mas, analisis ini saya ambil dari sudut pandang
Ana sebagaimana yang saya dia kenal selama ini."
Dada Wibisono terasa amat sakit mendengar analisa Ida yang mirip perkiraan ibunya.
"Jadi Mbak Ida mengira permohonan maaf dan keinginan saya menikahi Ana itu karena saya ingin
menebus dosa atas perlakuan saya terhadapnya. Pemikiran Mbak Ida itu tidak sepenuhnya betul. Sejak awal
mula berteman dengan dia... saya sudah mencintainya.
Tetapi terus terang... waktu itu saya tidak ingin menjadikannya sebagai kekasih sejati... karena... karena..."
"Karena bagi Mas Wibisono, Ana tidak pantas untuk Mas. Dan dengan anggapan bahwa dia bukan
gadis baik-baik maka Mas memandangnya sangat rendah. Begitu, kan?" Ida menebak jitu sehingga
Wibisono merasa malu. "Ya... tetapi sekarang saya benar-benar amat menyesal oleh kekeliruan pikiran saya itu. Bahkan cinta saya
kepadanya semakin lama semakin berkembang...."
Ida tersenyum lagi. Kali ini kesinisannya tampak
lebih kentara. "Maaf ya, Mas, Anda mencintai Ana dengan cinta
yang menurut Mas semakin berkembang itu karena
ternyata dia gadis baik-baik. Terutama karena ternyata
dia masih perawan. Hm... tidakkah Mas berpikir mendalam bahwa kalau mau jujur... sebenarnya yang Mas
cintai itu bukan Ana secara menyeluruh, baik itu kelebihannya maupun kekurangan-kekurangannya, melainkan karena keperawanannya," katanya kemudian dengan terus terang. http://pustaka-indo.blogspot.com465
Mendengar perkataan Ida, Wibisono seperti cacing
kepanasan. Gadis itu sungguh amat cermat dan pikirannya berjalan jauh. "Mungkin pada awalnya begitu, Mbak. Tetapi setelah berminggu-minggu dan hampir dua bulan saya
tidak bertemu dengan Ana dan setelah sekian lamanya
pula saya berpikir dan mencoba menempatkan diri
saya pada dirinya... cinta saya sekarang telah semakin
matang. Saya mencintainya... mencintai keseluruhan
dirinya. Tetapi bahwa selama ini sengaja atau tidak,
saya telah melecehkannya... itu karena saya merasa
yakin dia sama seperti kedua saudara perempuannya...." "Evi dan Ika, kedua selebriti itu?" Alis mata Ida
naik tinggi sekali. "Ana sendiri pun merasa malu
mengakui keduanya sebagai kakak dan adiknya. Anda
terlalu mudah memberi penilaian terhadapnya. Anda
terlalu cepat menilai orang. Anda..."
"Ya, saya terlalu picik, terlalu kerdil... terlalu buruk," Wibisono merebut pembicaraan untuk mengakui
kesalahannya. "Tetapi tolong pahamilah saya. Apa
yang saya lakukan terhadap Ana itu dilandasi oleh
keinginan saya untuk membalas dendam atas kehancuran hati ibu saya. Mbak Ida pasti pernah mendengar dari teve atau membaca di media cetak, Evi
pernah menikah dengan laki-laki yang telah beristri,
beranak dan bercucu yang umurnya lebih tua daripada usia ayahnya. Mbak tahu siapa laki-laki itu?"
Ida menggeleng. "Dia ayah saya!"
http://pustaka-indo.blogspot.com466


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibir Ida terbuka. Dia mulai bisa melihat segalanya
secara lebih menyeluruh. Perhatiannya tercurah sepenuhnya pada masalah Ana. "Saya mulai bisa memahami jalinan kisah ini. Tetapi kenapa harus Ana yang menjadi sasaran dan apa
tujuannya?" tanyanya.
"Semula yang mau saya hancurkan hatinya itu Ika.
Tetapi ternyata dia sudah menikah. Tujuan saya memang supaya Evi merasakan pedihnya hati saat melihat keluarganya... dalam hal ini adiknya, mengalami
patah hati dan ditinggal begitu saja oleh laki-laki yang
merebut seluruh cinta dan hatinya."
"Berarti tujuan Anda telah tercapai, kan Mas" Merusak hati Ana sebagai adik Evi. Tetapi apakah Evi
yang sifatnya masa bodoh itu peduli pada nasib adiknya dan terluka batinnya. Apalagi adik yang sejak
kecil sudah terpisah darinya." Ida menjelingkan matanya. "Nah, apakah Mas merasa puas dengan semua
itu?" "Sebaliknya Mbak, saya... sangat... sangat... sangat
menyesal seperti yang sudah saya katakan tadi. Ibu
saya pun marah dan menyesali perbuatan saya,"
Wibisono menjawab dengan suara letih. "Justru karena itulah saya ingin minta bantuan Mbak Ida agar
saya bisa bertemu dengan Ana dan memohon ampun
padanya...." Ida menatap mata Wibisono beberapa saat lamanya. "Begini saja, Mas. Saya akan melihat keadaannya
lebih dulu. Sekarang ini dia masih sakit. Saya khawahttp://pustaka-indo.blogspot.com467
tir kedatangan Anda akan memperburuk keadaan.
Jadi saya akan menjenguknya," katanya kemudian
sebelum memutuskan untuk mengiyakan permintaan
laki-laki itu. "Setelah itu baru kita atur bagaimana
baiknya." "Baiklah, Mbak. Tetapi tolong, kalau bisa secepatnya ya?" "Akan saya usahakan...."
Karena janji itulah petang harinya begitu kantor
bubar, Ida langsung menuju ke tempat Ana kos. Tetapi ibu kos Ana memberitahu padanya bahwa Ana sudah pulang ke rumah ibunya.
"Kelihatannya penyakitnya cukup berat," jelasnya.
"Dugaan saya, anak itu kena penyakit tukak lambung
yang cukup parah. Sebentar-sebentar muntah sampai
wajahnya pucat dan lesu."
Ida mencatat di dalam hati penjelasan ibu kos Ana.
Gadis itu sering muntah-muntah, tampak lesu dan
pucat. He... jangan-jangan..."
Lintasan pikiran itu menyebabkan Ida langsung ke
rumah Ana untuk mengetahui keadaannya. Bukan
cuma karena permintaan Wibisono saja, tetapi juga
karena munculnya keprihatinan atas kondisi sahabatnya itu. Kasihan Ana. Ketika Ida diantar ibu tiri Ana masuk ke kamarnya, gadis itu sedang duduk termenung di kamarnya
dengan sebuah buku terkembang di pangkuannya.
Melihat Ida, mata Ana tampak agak berbinar sesaat
lamanya. Tetapi kemudian mulai tampak sedih lagi.
Dia iri melihat temannya yang tidak memiliki persoalhttp://pustaka-indo.blogspot.com468
an apa pun dan bebas melakukan apa saja yang
diinginkannya. "Duduklah, Ida," katanya sambil menunjuk kursi
di muka meja tulisnya. "Dari mana?"
"Dari kantor. Tadi karena kangen padamu, aku ke
tempat kosmu. Tetapi ibu kos mengatakan kau pulang
ke rumah karena masih sakit," sahut Ida dengan sikap
wajar, seakan ia belum mengetahui masalah yang terjadi antara Ana dengan Wibisono.
"Aku tidak ingin merepotkan beliau karena sakitku
ini." "Sebetulnya bagaimana keadaanmu, Ana" Aku sungguh sangat prihatin," kata Ida lagi. Kali ini dengan
tujuan memancing jawaban.
"Aku masih belum sehat. Sepertinya aku akan lama
tinggal di rumah," jawab Ana pelan. Ada nada tangis
tertahan yang tertangkap oleh telinga Ida.
"Sudah ke dokter?"
"Sudah," jawab Ana lagi. "Ida, aku sungguh iri
padamu. Kau sehat, kau tak punya beban dan kau
bebas melakukan apa saja dan pergi ke mana pun
yang kausukai...." "Jangan pesimis, Ana. Aku yakin kau akan segera
sembuh dan kembali bekerja seperti sedia kala."
"Rasanya... mustahil, Ida. Bahkan mungkin aku
akan keluar dari kantor kita," sahut Ana dengan suara
bergetar. "Sungguh, aku iri padamu."
Mendengar keluhan yang keluar dari lubuk hati
Ana itu, perasaan Ida tersentuh. Dadanya berdebardebar. Apakah dugaannya itu benar"
http://pustaka-indo.blogspot.com469
"Memangnya apa kata dokter, Ana?"
Ana tidak menjawab. Kepalanya tertunduk sehingga
Ida mengulangi lagi pertanyaannya.
"Sebenarnya kau sakit apa, Ana" Apa kata dokter?" Ana tertunduk sambil menggigit bibirnya yang tampak bergetar. "Jangan tanya hal itu sekarang, Ida. Aku tak bisa
menjawab pertanyaanmu. Aku sendiri benci mengatakannya," sahutnya, disambung dengan air mata yang
tiba-tiba saja berhamburan.
Darah Ida berdesir. Ia mulai yakin, dugaannya benar. "Ana, jangan sedih," katanya spontan. "Apa pun
yang kaurasakan, pasti ada jalan untuk mengatasinya." Sepanjang pengenalannya terhadap Ana, gadis itu
bukan orang yang mudah putus asa ataupun berkecil
hati. Daya juangnya cukup tinggi. Kendati latar belakang pendidikannya bukan di bidang media massa,
gadis itu terus belajar dan menggali apa pun yang
bisa menjadi penambah ilmunya. Dia juga pantang
menangis. Biarpun ditegur keras oleh Pak Herman,
pemimpin perusahaan, dia diam saja. Padahal Tety
yang paling keras hati saja pun sudah dua kali menangis ketika ditegur Pak Herman yang selain pemarah
juga sering tidak pernah mau memilih kata-kata kalau
menegur anak buahnya. Begitulah Ida yang tidak tahu harus berkata apa
lagi untuk menghibur Ana, tak mau mengganggu Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com470
yang lebih banyak berdiam diri dan tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Ia pamit setelah mencium
dahi sahabatnya itu. "Istirahatlah, Ana. Kapan-kapan aku akan ke sini
lagi," katanya sebelum meninggalkan kamar Ana.
Di ruang tamu, ia dicegat oleh ibu tiri Ana. Perempuan itu menggamitnya dan mengajaknya berbicara
di halaman. "Apakah dia menceritakan sesuatu kepadamu, Nak?"
tanyanya. "Tidak, Tante. Kami tak banyak bercakap-cakap...."
"Dia bisa menjadi begitu pendiam dan mahal
suaranya," keluh ibu tiri Ana. "Sedih hati saya."
"Tante, kebetulan Tante mengajak saya bicara. Ada
sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada Tante.
Wibisono setiap hari menanyakan perihal Ana kepada
seluruh orang di kantor. Tampaknya dia sangat ingin
bertemu dengan Ana. Bagaimana menurut Tante, apakah dia boleh datang ke sini?"
Ibu tiri Ana menatap Ida dengan pandangan menyelidik. "Kenapa Nak Ida menanyakan hal itu" Apakah ada
sesuatu yang dikatakannya?" pancingnya. "Sebelum saya
menyatakan boleh atau tidaknya Wibisono datang menjenguk Ana, saya harus tahu lebih dulu apa alasannya." Persis pemikiran Ida ketika diminta Wibisono untuk mencarikan jalan agar bisa bertemu Ana. Jadi dia
menceritakan seluruh pembicaraannya dengan
Wibisono ketika laki-laki itu datang khusus menemuihttp://pustaka-indo.blogspot.com471
nya di kantor. Tak ada yang ditutupinya barang sedikit pun agar ibu Ana dapat memberi jalan pemecahan
terbaik yang bisa dilakukannya. Hanya satu hal yang
tak diceritakannya, yaitu dugaannya tentang hamilnya
Ana. "Mendengar ceritamu, Nak, sepertinya Wibisono
itu benar-benar mencintai Ana di balik perbuatannya
yang tercela itu," gumam perempuan setengah baya
itu setelah merenungkan seluruh cerita Ida.
"Kelihatannya begitu, Tante. Dia tampak lesu, kurus, dan tanpa gairah. Sikapnya juga serius dan saya
menangkap kesungguhan dan kejujuran dari matanya.
Jadi bagaimana, Tante" Bolehkah dia datang ke sini
untuk menemui Ana?" Ibu tiri merenung lagi sesaat lamanya baru kemudian mengangguk. "Kalau begitu Nak Ida boleh mengatakan kepadanya bahwa Ana ada di rumah," katanya. Yah, barangkali saja kedatangan laki-laki itu bisa jadi bahan
pemikiran untuk mengatasi masalah kehamilan Ana.
"Baiklah, Tante."
"Tetapi tolong, jangan sampai Wibisono tahu bahwa saya memberinya izin. Saya ingin menguji kesungguhan hatinya lebih dulu."
"Baik, Tante. Saya juga berpikir begitu."
"Terima kasih ya atas perhatian Nak Ida terhadap
Ana." "Sama-sama, Tante. Saya juga lega karena bisa menjawab sesuatu kalau besok Wibisono datang lagi ke
kantor," sahut Ida. http://pustaka-indo.blogspot.com472
Seperti yang sudah diduganya, hari berikutnya pada
jam istirahat makan siang, Wibisono datang lagi. Kali
ini dia mengajaknya makan di luar agar tidak menjadi
perhatian orang. Setelah memesan makanan, Wibisono
menyiapkan notesnya. "Nah, di mana alamat Ana dan bisakah saya menjumpainya?" tanyanya penuh harap. Seluruh sikap dan
air muka laki-laki itu menampilkan harapan yang begitu kentara sehingga Ida semakin memercayai kesungguhan hati laki-laki itu.
"Waktu saya ke tempat kosnya, ternyata Ana sudah
kembali ke rumahnya," sahut gadis itu. "Saya pikir,
Mas bisa menjumpainya di sana, dengan catatan, itu
adalah pemikiran saya. Bukan pemikiran Ana maupun
keluarganya yang lebih tahu bagaimana kondisinya."
Wibisono langsung menyimpan kembali notesnya,
tak jadi mencatat alamat Ana. Dia sudah tahu alamat
rumah Ana. Tetapi dahinya berkerut dalam ketika
mendengar perkataan Ida. "Apakah dia masih sakit?" tanyanya cemas.
"Ya, masih. Fisik dan mental. Jadi kalau Mas mau
ke sana, bersikaplah hati-hati dan terimalah dengan
ikhlas apa pun tanggapannya. Jadi andaikata keluarganya atau Ana sendiri mengusir Mas, jangan protes.
Perasaannya sedang peka sekali."
"Ya, pasti!" "Bagus. Tetapi jangan katakan kepadanya bahwa
saya yang mengatakan pada Anda mengenai keberadaannya di rumah." "Baik. Wah, saya sungguh berutang budi pada
http://pustaka-indo.blogspot.com473
Mbak Ida." Sambil berkata seperti itu, Wibisono meraih kedua tangan Ida yang terletak di atas meja dan
menyentuhkannya ke dahinya dengan sikap takzim sehingga hati Ida tersentuh haru. "Anda tidak perlu berterima kasih pada saya sebab yang penting buat saya
adalah sahabat saya itu bisa terlepas dari penderitaan
batinnya. Jadi sekali lagi, bersikaplah hati-hati dan perbaikilah kesalahan Mas dengan cara yang semestinya,"
sahut Ida dengan sikap sungguh-sungguh, membuat
Wibisono mengangguk dengan gerakan pasti.
"Saya setuju," sahut laki-laki itu.
Sejam kemudian sesudah menurunkan Ida kembali
di muka kantor, Wibisono langsung memacu mobilnya ke rumah Ana. Dengan tak sabar ia masuk ke
jalan rumah Ana tanpa peduli pada peringatan yang
tertulis di muka jalan agar para pengendara kendaraan
berhati-hati dan memperlambat laju kendaraannya
karena di daerah itu banyak anak kecil.
Seperti kedatangan Ida sehari sebelumnya, kali itu
pun Wibisono disambut oleh ibu tiri Ana. Kini
perempuan setengah baya itu lebih cermat memperhatikan laki-laki yang berdiri di hadapannya itu. Persis seperti perkataan Ida, ibu tiri Ana juga melihat
Wibisono tampak kurus, lesu, dan berwajah murung. "Ya, Ana memang ada di rumah. Tetapi dia sedang
sakit," katanya begitu mendengar permintaan
Wibisono untuk menjumpai Ana. Kehati-hatian masih
bermegah-megah di kepala perempuan itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com474
"Tolonglah, Bu, saya ingin sekali berjumpa dengan
dia." "Sudah saya katakan tadi, Ana sedang sakit. Pasti


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tidak mau keluar dari kamarnya."
"Kalau begitu izinkan saya menemuinya di kamar,"
kata Wibisono dengan pandangan mata penuh harap.
"Boleh ya, Bu?"
"Sebetulnya ada apa" Kenapa Nak Wibisono ingin
sekali bertemu dengan Ana?" Ibu tiri Ana mulai memancing. "Saya telah melakukan kesalahan fatal terhadapnya,
Bu. Jadi saya ingin memohon maaf padanya.... Saya...
sungguh menyesali perbuatan saya."
Ibu tiri Ana menatap Wibisono dan menangkap kesungguhan yang tersirat dari air muka dan wajahnya.
Tetapi dia masih merasa perlu sekali lagi mengujinya.
"Kalau nanti Ana mengusir Nak Wibisono, jangan
menyalahkannya ya?" "Apa pun yang dikatakannya kepada saya dan apa
pun yang dilampiaskannya pada saya, akan saya terima, Bu. Memang saya yang bersalah. Dia berhak
memperlakukan diri saya sekehendak hatinya."
Sekali lagi mata ibu tiri Ana menatap tajam wajah
dan sikap tamunya. Ketika melihat cara Wibisono
berkata dan mendengar getar-getar dalam suaranya,
sisa-sisa ketidakpercayaannya terhadap laki-laki itu,
mulai sirna. "Baiklah, kalau begitu. Tetapi tolong perhatikan
pesan saya, hati-hatilah menghadapinya. Dia sedang
dalam keadaan sangat labil," katanya kemudian.
http://pustaka-indo.blogspot.com475
"Baik, Bu. Saya mengerti," sahut Wibisono dengan
perasaan tertekan. Sadar, bahwa semua penderitaan
yang dialami Ana, dialah penyebabnya.
Wibisono melangkah masuk ke bagian dalam rumah. Di situ ibu tiri Ana menunjuk ke kamar yang
pintunya tertutup rapat. "Buka saja pintunya. Tidak dikunci," bisiknya.
"Dia baru saja saya paksa makan buah. Mungkin masih duduk di muka jendela."
Wibisono mengangguk. Dengan hati-hati dan gerakan pelan, ia membuka pintu kamar Ana. Seperti yang
diduga oleh ibu tiri Ana, gadis itu sedang duduk di
muka jendela, menatap halaman samping yang tak
luas namun penuh dengan tanaman hias. Kepalanya
tetap tidak bergerak kendati tahu ada orang masuk.
Wibisono berdiri di tengah kamar, dekat tempat
tidur single yang tampak kusut seprainya. Dari tempatnya berdiri, Wibisono melihat di pangkuan gadis itu
terdapat buah jeruk yang baru dimakan separo. Hati
laki-laki itu tersayat-sayat saat melihat betapa kurusnya tubuh gadis itu. Meski daster yang dikenakannya
mempunyai banyak kerutan di bagian dadanya, baju
itu tak dapat menyembunyikan berat tubuhnya yang
menyusut. Lama keheningan melingkupi kamar itu, Wibisono
menunggu sampai Ana menoleh ke arahnya. Dan benar. Setelah lama tidak mendengar suara lanjutan dari
pintu yang dibuka tadi, gadis itu menoleh. Demi
melihat siapa yang ada di kamarnya, wajahnya yang
http://pustaka-indo.blogspot.com476
pucat semakin lerlihat pucat pasi. Mulutnya setengah
terbuka dan matanya membelalak.
"Kk...kau...," desisnya dengan suara bergetar.
"Ya, ini aku, Ana," sahut Wibisono. "Aku datang
ke sini setelah sebulan lebih mencarimu tanpa hasil." Ana terdiam dan membuang pandangnya ke luar
jendela lagi. Lidahnya terasa kelu kendati ingin sekali
ia mengusir laki-laki itu dari kamarnya. Ada sesuatu
yang menyentuh perasaannya. Penampilan Wibisono
tidak terlihat rapi dan perlente seperti biasanya. Wajahnya kuyu, tubuhnya lebih kurus, dan rambutnya
agak gondrong. "Ana, aku ingin menebus dosaku. Aku ingin minta
kemurahanmu agar memberiku kesempatan untuk
memperbaiki apa yang telah kurusak. Harga dirimu,
kesucianmu, masa depanmu, kedamaian hatimu,"
Wibisono melanjutkan bicaranya tadi. "Aku ingin kau
bisa menyaksikan bahwa diriku tidaklah seburuk apa
yang kausangka. Aku benar-benar ingin menebus
dosaku...." Ana masih saja berdiam diri. Bahkan seakan telinganya tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh
Wibisono sehingga laki-laki itu merasa perlu untuk
melanjutkan upacara pertobatannya. Ia melangkah
maju dan dengan sepenuh hatinya berlutut di bawah
kaki Ana. Agar gadis itu tidak protes, Wibisono segera meraih kedua belah tangannya sehingga jeruk di
tangannya tergulir dari pangkuannya, jatuh ke lantai. http://pustaka-indo.blogspot.com477
"Aku mencarimu... aku ingin mengungkapkan penyesalanku dan memohon maafmu. Aku membutuhkan keberadaanmu... aku mencintaimu," katanya dengan suara bergetar. Bulu mata lentik milik Ana bergerak perlahan mendengar perkataan itu. Wibisono tahu, Ana bermaksud
mengatakan ketidakpercayaannya. Oleh karena itu
lekas-lekas dia merebut kembali pembicaraan.
"Ana... aku berani bersumpah bahwa aku sudah
mencintaimu sejak kita masih di Ungaran. Tetapi
kutindas kuat-kuat karena... karena kuanggap kau tak
layak untukku. Aku sungguh malu... sungguh menyesal telah keliru menilaimu. Akulah yang tak layak
menjadi kekasihmu. Menjadi temanmu pun tidak pantas. Tetapi justru kini setelah kusadari betapa tak berharganya diriku, aku sadar betapa dalam cintaku
terhadapmu...." Sekali lagi Wibisono melihat bulu mata Ana bergerak perlahan saat mendengar pengakuannya. Ia merasa
sedih karena Ana belum juga memercayainya.
"Mungkin kau sulit untuk memercayaiku, Ana.
Tetapi apa yang kukatakan tadi merupakan kebenaran
yang sesungguhnya. Aku datang mencarimu bukan
cuma sekadar memohon ampun atas segala perbuatan
dan pikiranku yang picik, dungu, dan goblok ini.
Tetapi juga ingin menebus kesalahan itu dengan
meminta kesediaanmu untuk menjadi kekasih
abadiku. Aku tidak peduli apakah kau mencintaiku
atau membenciku. Cukup bagiku seandainya kau sudi
memberiku kesempatan untuk menjadi suami yang
http://pustaka-indo.blogspot.com478
baik bagimu. Ya, Ana, aku ingin memintamu agar
sudi menjadi istriku...." Suara Wibisono semakin terdengar bergetar oleh luapan perasaannya.
Sulit bagi siapa pun untuk tidak memercayai kesungguhan hati Wibisono. Seluruh bahasa tubuhnya
telah menunjang perkataannya itu. Bulu mata lentik
Ana yang semula hanya bergerak-gerak saja, kini terangkat. Kemudian ditatapnya mata Wibisono yang
masih berlutut di depan pangkuannya. Ia menangkap
lamaran yang diucapkan Wibisono itu terdengar tulus
dan penuh harapan. Tetapi meskipun demikian, Ana
tidak ingin terperangkap oleh perasaan itu.
"Apa yang diceritakan oleh Ibu kepadamu sampai
kau bisa berkata seperti itu?" tanyanya dengan suara
tajam. "Tidak mengatakan apa-apa. Beliau hanya memberitahu bahwa kau sakit cukup parah...."
"Tetapi selama ini Ibu tidak pernah mengizinkan
laki-laki masuk ke kamar tidurku."
"Aku yang memaksa beliau, Ana."
"Kau tidak bohong?"
"Ya. Aku menangkap sesuatu dari ibumu itu. Sepertinya beliau berharap kedatanganku ini ada baiknya. Apalagi aku mengatakan alasanku. Bahwa pertama, aku ingin memohon maafmu. Kedua, aku ingin
menyatakan perasaan cintaku yang tulus terhadapmu.
Dan yang ketiga aku ingin meminta kesediaanmu
menjadi istriku...."
"Indah sekali perkataanmu, Wibi. Sejak kapan pikiran itu ada di kepalamu?" Ana berkata dengan suara
http://pustaka-indo.blogspot.com479
ejekan yang begitu kentara dan mengherankan dirinya
sendiri. Rasanya sudah berabad lamanya dia tidak bisa
bicara selantang itu. Wibisono terdiam, tak bisa segera menjawab pertanyaan itu. Kalau mengatakan sudah sejak lama, pasti
Ana tidak memercayainya. Tetapi kalau mengatakan
baru saja, gadis itu pasti akan menyerangnya dengan
perkataan yang lebih tajam lagi. Tetapi ternyata dengan berdiam diri saja pun, serangan kata-kata Ana
terhadapnya tetap saja setajam sembilu.
"Nah, kau tidak bisa menjawab, kan?" Begitu Ana
merebut pembicaraan dengan suara sinis. "Tetapi aku
tahu apa yang ada di dalam pikiranmu. Bahwa kau
merasa mencintaiku... itu kalau kau benar mencintaiku, dan lalu kau ingin menjadikanku sebagai istrimu... itu pun kalau kau benar ingin menjadikanku
sebagai istri, itu semua baru hinggap di kepalamu
setelah mengetahui keadaanku. Bahwa ternyata aku
ini.. aku ini... masih perawan. Bahwa ternyata... aku
ini termasuk gadis baik-baik. Bayangkanlah andaikata
tidak demikian, entah apa yang terjadi pada diriku...." "Mungkin pada awalnya betul begitu meskipun
aku sungguh-sungguh mencintaimu, Ana. Tadi sudah
kukatakan mengenai hal itu. Tetapi aku mencintaimu
karena... memang aku mencintaimu meski pikiran
jahatku tak mau mengakuinya... bahkan telah mengakibatkan kesalahan fatal yang merusak kehidupanmu.
Untuk kesekian kalinya, aku mengakui kesalahanku
dan beri kesempatan padaku untuk memperbaikinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com480
Mudah-mudahan, kau sudi memaafkan aku dan menjadi istriku." Lagi-lagi hati Ana tersentuh saat mendengar suara
yang diucapkan dengan penuh perasaan, kesungguhan,
dan ketegasan itu. Tetapi lagi-lagi pula Ana tak ingin
membiarkan hatinya terperangkap suasana haru yang
mulai timbul. "Aku jadi curiga... apakah Ibu mengatakan sesuatu
kepadamu" Dari mana kau mengetahui aku ada di
rumah ini?" tanyanya dengan suara dingin.
"Sebenarnya kedatanganku ke sini adalah untuk
mengorek keterangan dari ibumu di mana kau sekarang
berada karena sudah sekian lamanya usahaku tak pernah
berhasil mencari keberadaanmu," dalih Wibisono.
"Tetapi ibumu mengatakan bahwa kau ada di sini."
"Jadi, Ibu yang membocorkannya."
"Karena aku yang mendesaknya, Ana. Jangan salahkan beliau." "Nah, setelah kau melihatku, cukup kan" Kau bisa
pergi sekarang..." "Cukup?" Wibisono merebut pembicaraan. "Ana,
jangan membuat hatiku terkoyak. Satu setengah bulan
lebih batinku tersiksa, mencarimu tanpa hasil sementara hatiku semakin dalam mencintaimu. Dan sekarang kau bilang sudah cukup aku melihatmu. Tetapi
aku tak mau pergi, Ana. Biarpun kaupanggil seribu
polisi untuk mengusirku, aku akan tetap berlutut di
bawah kakimu sebelum kau menjawab lamaranku,"
suara Wibisono mulai terbalut emosi. Kelelahan lahirhttp://pustaka-indo.blogspot.com481
batin selama ini sudah nyaris tiba di ambang batas
kekuatannya. Ana terdiam, menatap wajah yang menampilkan
rasa putus asa itu. Rupanya laki-laki itu sudah mulai
mengenal hatinya yang keras dalam memegang pendapat, campuran antara keras kepala dan keras hati. Rupanya pula, laki-laki itu cemas kalau-kalau lamarannya
ditolak mentah-mentah karena kekerasan hati itu. Singkatnya, Wibisono juga sangat menderita meski macam
penderitaannya tidak sama. Tetapi jelas, penyesalan itu
telah mengoyak-ngoyak perasaannya. Ana tahu itu.
"Jadi... kau benar-benar ingin memperistriku?" pancingnya. "Ya," Wibisono menjawab tegas. "Aku bersumpah
tidak akan pernah beristri kalau bukan dengan dirimu!" "Sungguh?" "Apakah seluruh perkataan yang kuucapkan sejak
berada di kamar ini tidak kaudengar dengan jelas,
Ana?" Suara Wibisono semakin terdengar letih. Dia
benar-benar sudah ingin meraih hidup tenang bersama Ana dan lalu memperbaiki kesalahan-kesalahan
masa lalu dengan menatap ke depan. Jika cinta mereka sudah berkembang wajar, ada banyak hal bisa
mereka lakukan bersama. "Ya, aku dengar. Aku cuma mau menegaskannya
saja." "Aku ingin kita menjadi suami-istri, Ana. Semakin
cepat semakin baik buat kita berdua untuk memperbaiki segala yang sudah terjadi...."
http://pustaka-indo.blogspot.com482
Ana tertegun. Kecurigaan menggayuti kepalanya.
Kenapa Wibisono mengatakan semakin cepat mereka
menikah, semakin baik"
"Jadi ibu telah mengatakan sesuatu kepadamu...?"
tanyanya dengan hati yang seperti dicubit. Mengapa
ibu tirinya tidak merundingkannya dulu dengannya"
Wibisono tidak bisa segera menjawab pertanyaan


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ana. Wajah gadis itu tampak aneh. Entah marah, entah malu, entah bingung, tetapi pipinya memerah,
pandang matanya tampak nanar dan bibirnya bergetar. "Mengatakan apa?" tanyanya kemudian.
"Jangan pura-pura!" Ana membentak. "Kau melamarku karena ingin menebus dosamu itu, kan?"
"Itu sudah kukatakan berulang-ulang, Ana. Tetapi
tanpa cinta, aku tak akan sembarangan memutuskan
untuk melamarmu. Jadi karena cintalah aku datang
untuk menjemput hatimu."
Ketulusan dan kesungguhan hati Wibisono semakin
terpancar dari seluruh sikap dan isi perkataannya. Ana
menangkap itu dengan jelas. Tetapi dia ingin mendengar sekali lagi kejelasannya.
"Jadi kau benar-benar mencintaiku dan bukannya
hanya sekadar ingin menebus kesalahanmu?" tanyanya. "Ya, aku sangat mencintaimu dan ingin sekali
menjadikanmu sebagai istriku. Jadi, sudilah menerima
lamaranku ini, Ana."
Ana menahan napas. Sepuluh menit belum berlalu
tetapi Wibisono telah beberapa kali mengucapkan
http://pustaka-indo.blogspot.com483
kata-kata cinta dan lamarannya. Mengingat kesembronoan laki-laki itu, apa yang terjadi siang ini sungguh
luar biasa. "Wibi, apakah... apakah kau betul-betul ingin melamarku seandainya belum tahu bahwa aku hamil...?"
tanyanya mengajuk. Wibisono hampir tersedak ludahnya saat mendengar perkataan Ana. Dahinya berkerut dalam dan
untuk beberapa saat lamanya dia terpesona oleh apa
yang baru diketahuinya. Ingatannya langsung melayang pada istri Wawan. Setiap kali mengandung, perempuan itu selalu tampak seperti orang sakit parah.
Muntah-muntah, pucat, dan tubuhnya kurus. Baru
ketika menginjak bulan keempat kehamilannya, perempuan itu tampak mulai berseri dan cantik kembali.
Jadi, Ana..." "Ana...?" Mata Wibisono, menatap wajah Ana seperti orang linglung. Ana...?"
Ana merasa heran melihat ekspresi wajah Wibisono
yang tampak aneh itu. Tetapi sebelum berkata apa
pun, laki-laki itu menarik kedua belah tangannya
yang masih berada di dalam genggamannya dan kemudian menciuminya dengan penuh perasaan.
"Ana... Ana... tak heran kalau kau begini menderita," desahnya dengan mata basah. "Aku... aku tidak
menyangka bahwa perbuatan kita waktu itu bisa membuahkan janin..." Mendengar perkataan Wibisono, Ana tersentak.
Ditariknya tangannya kuat-kuat dari genggaman lakilaki itu. http://pustaka-indo.blogspot.com484
"Jadi kau... kau baru tahu" Ibu tidak mengatakan
apa-apa padamu" Oh, betapa lancang mulutku," desahnya, penuh perasaan sesal yang mencubiti batinnya.
Wibisono meraih kembali tangan Ana dan diciuminya lagi dengan penuh perasaan.
"Ibumu tidak mengatakan apa pun kepadaku. Tetapi justru dari situ kau tahu kan bahwa aku memang
betul-betul ingin menikah denganmu. Setelah aku
tahu bahwa kau hamil, keinginan itu semakin besar
dan semakin besar. Sebab berarti bukan hanya akan
mendapat istri saja aku ini, tetapi juga sekaligus calon
anak. Alangkah bahagianya," katanya dengan suara
lembut, penuh perasaan. "Kau bicara seakan aku ini benda mati. Kaupikir
aku akan menerima lamaranmu?"
"Ana, jangan terlalu keras hati terhadapku maupun
terhadap dirimu sendiri. Aku yakin, entah sedikit
entah banyak, sebenarnya kau juga memiliki perasaan
cinta kepadaku. Gadis sepertimu tak mungkin membiarkan dirimu dirayu laki-laki kalau tak ada cinta di
hatinya...." "Ngawur saja kau," Ana menyembur.
"Aku tidak ngawur."
"Ya. Kau ngawur."
"Tidak." "Ya." "Sssh... sekarang diam-diam sajalah." Wibisono mulai merasa besar hati. Bahwa Ana berulang kali membantahnya, itu adalah bagian dari kedegilan Ana di
masa lalu. Itu artinya, hatinya tak terlalu murung sehttp://pustaka-indo.blogspot.com485
perti sebelumnya. "Aku ingin membuka rahasia mengapa sikapku terhadapmu terkesan... kurang ajar atau
yang semacam itu. Ana, tahukah kau siapa ayahku?"
"Tidak. Kau tidak pernah menceritakannya. Dan
Mama cuma bilang, ayahmu seorang pengusaha yang
sukses." "Ya, mamamu memang tahunya demikian. Padahal
ayahku pernah menjadi menantunya... menantu yang
lebih tua umurnya...."
"Apa?" Mata Ana terbelalak lebar. Pikirannya kacau
sekali, tidak menyangka akan mendengar pengakuan
seperti itu. "Evi pernah menjadi istri ayahku. Dan Oki adalah
anak mereka. Tetapi mamamu tak tahu bahwa aku
adalah anak bekas menantunya," jelas Wibisono.
Ana terperanjat mendengar keterangan itu. Tetapi
juga sekaligus mengembalikan seluruh ingatan yang
diketahuinya mengenai Evi. Kini dengan mudah Ana
bisa memahami mengapa raut wajah Wibisono tampak
berbeda setiap nama Evi disebut. Sudah begitu, kelakuan Ika juga memalukan. Tak heran jika Wibisono
menganggapnya sama seperti kedua saudara perempuannya yang mau saja menghalalkan segala cara untuk kesenangan hatinya sendiri itu. Bahkan tanpa memikirkan perasaan orang-orang lain yang terkait di
dalamnya. "Wibi, aku sama sekali tak menyangka hal itu,"
desah Ana kemudian. "Kau pasti membenci kami...
juga membenciku." "Aku bukan hanya membenci Evi yang telah menghttp://pustaka-indo.blogspot.com486
hancurkan hati ibuku saja, tetapi juga benci pada
perempuan-perempuan cantik di seluruh dunia. Oleh
sebab itu ketika melihatmu pertama kalinya di
Ungaran, aku juga membencimu karena kau begitu
jelita. Apalagi ketika tahu bahwa ternyata kau juga
adik Evi. Maafkan aku, Ana. Pikiranku memang terlalu picik dan kerdil."
"Sudahlah, itu semua telah berlalu. Aku bahkan
merasa tak enak, kakak kandungku telah merusak
kebahagiaan keluargamu. Pasti ibumu sangat menderita...." Mata Ana mulai berkaca-kaca membayangkan
betapa perihnya hati seorang istri ditinggal suami untuk menikahi perempuan yang lebih pantas menjadi
anaknya. "Ya, ibuku memang sangat menderita. Beliau langsung menarik diri dari pergaulan karena merasa malu
sekali terhadap semua kenalan dan sanak keluarga
kami. Apalagi media massa terus saja menyajikan berita mengenai ayahku dan kakakmu itu. Kesehatannya
juga merosot karena tak mau makan kalau tidak
dipaksa...." "Kasihan," cetus Ana dengan perasaan amat tertekan. Wibisono yang sudah mengenal Ana, memahami
perasaan gadis itu. "Kau jangan membiarkan perasaanmu tertekan seperti itu, Ana. Sekarang Ibu dan Bapak sudah hidup
bersama lagi," kata Wibisono menenangkannya. "Karena persoalan kitalah Ibu akhirnya mau menerima Bapak kembali setelah sebelumnya tiga kali permintaan
Bapak untuk kembali ditolak Ibu."
http://pustaka-indo.blogspot.com487
"Apa kaitannya dengan masalah kita?"
"Dua bulan lebih lamanya sejak kejadian di Yogya
waktu itu aku tenggelam dalam penyesalan, tak mau
berkumpul dengan keluarga, makan semasuknya saja
ke perut dan bekerja asal-asalan sampai akhirnya Ibu
tak tahan melihat keadaanku. Dengan penuh rasa prihatin, ia menanyakan apa masalahku. Maka kuceritakan semua hal tentang kita. Ibuku marah dan sangat
menyesali perbuatanku. Lebih-lebih setelah tahu bahwa apa yang kulakukan itu untuk membalaskan sakit
hatinya. Agar anak-anaknya tidak salah jalan lagi, Ibu
menerima Bapak kembali karena pada dasarnya keduanya masih saling mencintai dan saling membutuhkan." Ana terdiam beberapa saat lamanya, merenungkan
apa yang baru diketahuinya itu. Rasa sakit dan penderitaannya selama dua bulan lebih ini mulai luruh
sedikit demi sedikit namun pasti. Dia tahu kini betapa besar cinta dan bakti Wibisono terhadap ibunya.
Konon orang bilang, laki-laki yang menghormati, berbakti, dan mencintai ibunya, juga akan menjadi seorang suami yang baik. Melihat Ana termangu-mangu, Wibisono tak mau
menyia-nyiakan kesempatan yang ada itu untuk sekali
lagi menyatakan lamarannya.
"Ana, sekali lagi aku melamarmu. Maukah kau
menjadi istriku?" tanyanya. "Jawablah, Ana."
"Sejak kau masuk ke kamarku, sudah berapa ratus
kali kata-kata lamaran itu kauucapkan kepadaku. Apa
tidak ada kata lain?"
http://pustaka-indo.blogspot.com488
Mendengar sahutan Ana, hati Wibisono mulai mekar. Gadis itu sudah mau menggodanya. Itu artinya,
ia sudah bisa menata hatinya yang selama ini kacaubalau. "Aku akan terus mengatakannya lagi sampai kau
menjawab lamaranku," katanya, penuh harap.
"Jadi kau mau mendengar jawabanku?"
"Kaupikir untuk apa aku bertanya terus kalau tidak
untuk mendengar jawabanmu?" Wibisono pura-pura
merajuk. "Marah...?" Ana mulai tersenyum malu-malu. Tahu
bahwa Wibisono pura-pura merajuk.
"Tentu saja. Mau menjawab lamaranku saja, pelit
sekali sih. Dadaku nyaris meledak." Wibisono juga
mulai mengukir senyum. "Kalau begitu, aku akan menjawabnya sekarang.
Ya, Wibi. Aku mau menerima lamaranmu. Tetapi dengan dua syarat." "Apa?" "Pertama, keinginanmu untuk menikahiku itu
betul-betul keluar dari lubuk hati dan sanubarimu.."
"Tanpa syarat itu pun aku sudah begitu," Wibisono
memotong perkataan Ana. "Jangan pernah meragukannya, Ana." "Baik, aku percaya. Syarat kedua, aku boleh tetap
bekerja." "Tentu saja, boleh. Aku sudah memahami betapa
menariknya pekerjaanmu."
"Ya. Tetapi kalau dalam perjalanan hidup kita nanti
aku merasa berat meninggalkan anak pada pengasuh
http://pustaka-indo.blogspot.com489
bayi, aku bersedia dan ikhlas membanting setir. Aku
akan bekerja di rumah, sebagai wartawan freelance dan
terus menulis novel."
"Terserah padamu, Ana. Seorang istri dan ibu bukan milik suami. Kau tetap seorang pribadi otonom
yang boleh merealisasikan potensi dan mengaktualisasi
diri." "Kalau memang begitu, lamarlah aku pada keluargaku. Semakin cepat, semakin baik...."
"Aku senang sekali mendengar perkataanmu, Ana.
Sekarang, marilah kita mulai dulu dengan hal-hal manis yang perlu dilakukan!" Wibisono berkata dengan
perasaan haru sambil bangkit dari berlutut.
"Apa itu?" "Berdirilah, nanti kau akan tahu." Sambil berkata
seperti itu tangan Wibisono menarik tangan Ana
sehingga gadis itu bangkit dari tempat duduknya.
Keduanya berdiri berhadapan. Mata mereka saling
menatap penuh kerinduan. Pelan-pelan gelombang
asmara mulai merayapi seluruh pembuluh darah keduanya. Lama-lama Wibisono tak tahan.
"Inilah hal-hal manis itu," bisiknya sambil memeluk tubuh Ana dengan hati-hati. Dan dengan sama
hati-hatinya pula, diciumnya bibir gadis itu. Mesra
dan lembut sekali. Memang manis, bisik hati keduanya. Sangat manis,
malah. Maka Ana pun membalas pelukan dan ciuman-ciuman Wibisono dengan sama manisnya.
"Ternyata burung merakku berbakat besar untuk
menciptakan hal-hal manis begini." Wibisono menghttp://pustaka-indo.blogspot.com490
angkat wajahnya, menatap mesra Ana yang masih
berada di dalam pelukannya itu. "Aku semakin mencintaimu, burung merak."
Ana tersenyum malu-malu dan mencubit lengan
Wibisono. Laki-laki itu membalas cubitan Ana dengan meraih tangannya dan melingkarkannya pada
lehernya yang kokoh. "Daripada mencubit, lebih baik memeluk leherku
dan kita lanjutkan kemanisan-kemanisan tadi," bisik

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya sambil mengeratkan pelukannya dan mencium
kembali bibir indah di dekatnya itu. Lebih mesra, lebih lembut, lebih bergairah, dan tentu saja lebih manis. Keduanya saling meresapi seluruh keindahan rasa
itu sampai tidak menyadari bahwa seseorang telah
membuka dan menutup kembali pintu kamar Ana.
Di luar kamar Ana, ibu tirinya tersenyum dengan
perasaan lega luar biasa. Ternyata, ia mencemaskan
sesuatu yang sama sekali tak perlu.
http://pustaka-indo.blogspot.comIstana emas
Sebagai gadis yang dibesarkan dalam keluarga sederhana
penuh dengan kehangatan cinta, Retno merasa amat prihatin melihat kejanggalan-kejanggalan yang disaksikannya
di rumah besar dan mewah milik Yanti, sahabat karibnya.
"Istana emas", demikian ia menamai rumah itu, penuh
dengan basa-basi, kaku dan terlalu banyak formalitas yang
menurutnya sama sekali tak perlu. Retno tahu, penyebab
situasi tak menyenangkan itu adalah Mas Yoyok, suami
Yanti. Meskipun masih muda, sikap laki-laki itu sangat
bossy, otoriter, dan tak suka dibantah. Retno sudah tidak
menyukainya sejak awal mengenalnya. Terlebih karena
Aryanti, sahabatnya yang periang, hidup tertekan di bawah
dominasi sang suami. Keprihatinan dan ketidaksukaan Retno menjadi amarah
saat Yanti sakit keras. Tanpa merasa takut, ia menegur Mas
Yoyok agar lebih mencintai dan memperhatikan istrinya.
Tanpa segan pula ia mengecam sikap otoriter lelaki itu.
Namun nasib yang tak terelakkan justru membawa
Retno harus berada di dalam istana emas itu setelah sahabatnya meninggal. Almarhumah Yanti menitipkan suaminya
kepadanya. Sejak itu, konflik batin menerjang masuk dalam
kehidupan Retno, karena seiring berjalannya waktu dan di
balik kebenciannya terhadap Mas Yoyok, pelan-pelan benihbenih cinta terhadap lelaki itu tumbuh dengan subur di
hatinya. http://pustaka-indo.blogspot.comCinta yang Biru
"Mas, aku ingin membuat pengakuan demi sebuah kejujuran. Hal ini betul-betul mengganjal hatiku. Aku berharap
kau mau memaafkan aku. Aku... aku... su... dah... tidak
pe...ra...wan... lagi, Mas."
Bagai disambar petir, Abimanyu langsung terenyak. Malam pengantin yang seharusnya begitu mendebarkan dan
menggairahkan, kini menjadi malam yang penuh dengan
kekecewaan. Malam yang menjadi titik awal perubahan jalan hidup Abimanyu, dari seorang pria jujur-lurus-setia
menjadi lelaki petualang.
"Belilah keperawanan seorang gadis!" begitu Dian, istrinya, memohon di malam-malam dingin ranjang pengantin
mereka. "Kalau itu satu-satunya jalan penyelamat perkawinan kita, aku rela."
Ide gila, itu reaksi awal Abimanyu. Namun, siapa yang
menduga justru ide gila itulah awal petualangannya mengejar keperawanan seorang gadis demi sebuah keadilan. Ide
gila itulah yang mempertemukannya dengan Retno Utari,
wanita yang seratus persen masih perawan. Namun, siapa
juga yang bisa menduga jika ternyata pertualangannya dengan Retno Utari justru menimbulkan persoalan baru dalam hidupnya. http://pustaka-indo.blogspot.comSayap-sayap Cinta
Angsa liar. Itulah julukan warga Jalan Mahoni bagi gadis
kecil bernama Yulia Anggraini. Bagaikan seekor angsa yang
anggun dan cantik, Yulia kecil bermata bulat indah, berambut ikal, dan berwajah rupawan. Namun semua orang di
Jalan Mahoni sepakat Yulia kecil memang liar, nakal, dan
suka berkelahi. Akibatnya ia selalu terlihat kusut masai,
dekil, dan kehitaman karena terbakar matahari. Siapa yang
menduga belasan tahun kemudian gambaran angsa liar
tersebut sirna dan menjelma menjadi angsa putih yang
benar-benar rupawan. Yulia dewasa sangat jelita, berkulit
kuning langsat, dan pintar bergaul. Yang tidak berubah
hanya bola matanya yang senantiasa mengerjap-ngerjap
khas Yulia kecil. Kerupawanan Yulia dewasa bahkan sanggup meruntuhkan hati tiga pria tampan yang berlomba merebut cintanya.
Hendra, laki-laki sukses yang bisa menjamin kehidupannya
secara materi. Danardono, musisi sekaligus guru privat,
yang dalam banyak hal mempunyai kesamaan dengan dirinya. Dan Gatot, musuh bebuyutan masa kecil, yang bertunangan dengan "musuh" Yulia di masa kecil juga. Di
antara ketiga pria itu, siapakah yang akhirnya sanggup
menaklukkan sayap-sayap cinta si angsa nan jelita ini"
http://pustaka-indo.blogspot.comPenerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com #
!! Burung Merak Pedang Pelangi 28 Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Macan Tutul Di Salju 8

Cari Blog Ini