Ceritasilat Novel Online

De Winst 1

De Winst Karya Afifah Afra Bagian 1


Ketika kapal api yang berangkat dari Amsterdam
itu berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, mendadak lelaki
muda yang tengah berdiri di geladak itu merasakan debar
hati yang tak biasa. Bak gumintang di saat malam beranjak
kelam, bangunan pelabuhan itu semakin lama semakin
tampak jelas. Tak semegah dan seartistik pelabuhan"pelabuhan di kota-kota Eropa, tetapi sungguh... aura yang
dipancarkan mampu menghadirkan konser piano Mozart
yang memainkan Eine Kleine Nachtmusik "Alegro" di hatinya.
Meriah, megah. Teja jingga mentari sore yang memantul
di bening Teluk Jakarta semakin membuncahkan aura yang
menawan, seperti lukisan Leonardo da Vinci yang
terjelmakan dalam taburan warna-warna naturalis. Sesaat
lelaki itu tersergap serangkum de javu. Elan tanah kelahiran
merasuk dalam segenap pembuluh darah, membuat
sekujur badannya bergetar.
pustaka-indo.blogspot.com8
Ia tergagap sejenak, lalu menghela napas panjang seraya
melengkungkan sebentuk senyum sempurna. Berminggu-minggu
ia menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, di mana sejauh
mata memandang, dominasi warna biru, baik dari laut maupun
langit berlagak sebagai tirani. Menandingi sosok Napoleon, atau
Hitler dan Musolini yang membuat para aristokrat di benua Eropa
tak lelap tidur, karena khawatir, begitu mereka bangun dari tidur,
ternyata bendera di negerinya telah berubah warna. Biru
sebenarnya warna yang ia sukai. Sebagian besar kemeja yang ia
miliki berwarna biru. Akan tetapi, jika setiap hari warna biru
berekshibisi, serdadu yang bertugas di saluran pencernaannya pun
berontak. Serasa dicekoki santapan sejenis tanpa variasi.
Memang, sesekali ia mendapatkan pemandangan yang
membuat lengkungan indah tercipta di bibirnya. Misalnya, ketika
para kelasi mempertontonkan kebolehannya menangkap ikan-ikan
tongkol, bandeng, kerapu, atau sekadar udang dan ikan teri yang
kecil-kecil dengan jaring, dan kemudian memasaknya di dapur kapal.
Ia memang sering termenung di bagian yang sebenarnya hanya
dikhususkan untuk para kelasi itu. Itu pun kelasi kelas rendahan.
Para pejabat kapal bermuatan ribuan penumpang itu memiliki tempat
khusus untuk bersantai-santai, sebuah tempat yang penuh buaran
kemewahan. Kursi-kursi empuk, piringan hitam dengan musik
berirama dansa, kentang goreng, pizza, sandwich dan sapi panggang.
Atau juga ketika ia menatap burung-burung camar yang
tengah menari-nari di atas panggung angkasa bersama bidadari
berambut jagung itu sembari mengawinkan pemikiran David
Ricardo dengan Karl Marx. Bidadari itu tak hanya menguarkan
kecantikan secara ragawi, namun pesona jiwanya juga tampil
memikat. Entah bagaimana caranya agar slide kebersamaan
dengan sosok itu mampu ia gosongkan dan ia hengkangkan dari
pustaka-indo.blogspot.com9
v a k u o l a memorinya. Agar ia terbebas
dari getar-getar yang indah, namun
berpotensi menghancurkan seluruh kehidupannya. Menebas
cita-cita yang telah lama ia pahatkan dalam pohon jiwanya.
Dan kini, ia telah sampai pada tujuannya. Batavia. Ini adalah
negerinya. Ibu pertiwi! Yang masih terjajah, yang tak memiliki
kemerdekaan, namun masih menyimpan sejuta keelokan khas
tropisnya. Ia adalah zamrud yang terbentang di atas lini persada.
Pantulan sinar mentari membuat kilauannya memancar indah.
Eksotis. Lebih memukau dibandingkan dengan belasan Dutch
Lady yang sedang menari dengan baju panjang bertumpuk-tumpuk
seperti kandang ayam, serta payung kertas berwarna-warni
dengan latar padang tulip.
Lelaki muda itu merasakan berbongkah kelegaan merayapi
segenap celah hatinya. Siapa lagi yang meragukan kemampuannya
kini" Ia telah menyelesaikan pendidikannya dan mendapatkan
pustaka-indo.blogspot.com10
gelar sarjana ekonomi dengan pujian tertinggi dari profesornya
di Rijksuniversiteit 1 Leiden, hasil yang sangat gemilang, bukan
saja karena ia mendapatkan nilai tertinggi, namun juga karena ia
seorang bumiputera, inlander. Seorang inlander, untuk pertama
kalinya berhasil menjadi lulusan terbaik di universitas tertua
negeri Belanda itu. Tak sekadar mengagumkan, tetapi benar-benar
sebuah prestasi yang tak tertandingi.
"Bagiku, Anda lebih dari seorang Nederlander, Meneer
Suryanegara...," puji Profesor Johan van De Vondel"ia tampak
kesulitan mengeja nama "Suryanegara"guru besar fakultas
ekonomi Rijksuniversiteit (RU) Leiden yang dengan ringan hati
memberi nilai A untuk tugas akhirnya, ketika menyempatkan diri
untuk mengunjungi kediamannya, sebuah rumah tua yang disewa
bersama Raden Partakusuma studen dari Bandung dan Andi Hasan,
studen dari Makassar. Sebuah kunjungan yang membuat lelaki muda
itu merasa sangat tersanjung. Seorang guru besar yang terkenal
bengis kepada mahasiswanya, berkunjung ke rumah sewaannya.
"Anda kebanggaan universiteit ini. Saya berharap, Anda tak
hanya dimiliki oleh Indische, tetapi juga dunia. Suatu saat, saya yakin,
bila Anda mengembangkan ilmu Anda, Anda akan menjadi
seorang pemikir kelas dunia, seperti Adam Smith, David Ricardo,
atau yang lainnya." Dalam perjalanan selama berminggu-minggu dengan kapal
api itu, Rangga mendapatkan satu nama lagi masuk dalam bursa
pencapaian yang diharapkan melekat padanya. "Mengapa kau tidak
berpikiran tentang Karl Marx?"
1. Universitas negeri pustaka-indo.blogspot.com11
Terus terang, Rangga sangat terkejut mendengar pertanyaan
itu terluncur dari bibir tipis bidadari berambut jagung itu. Bukan
hanya karena peluncurnya adalah seorang wanita, namun juga karena
ia adalah seorang Nederlander yang berasal dari kalangan yang dekat
dengan kekuasaan. Tidak lazim seorang bangsawan istana Oranje
menyebut-nyebut nama penulis buku Das Kapital itu.
"Jangan terlampau memperlihatkan wajah terkejut seperti itu," ujar
sang bidadari sembari memamerkan tawa renyahnya. "Saya bukan
penganut Marxisme. Saya hanya seorang pembaca Das Kapital yang ingin
mengawinkan pemikiran Marx dengan gagasan Adam Smith."
Jelas, bidadari itu memiliki bobot yang sangat berat.
"Profesor terlalu memuji saya," lelaki muda itu tersenyum
sopan kepada Profesor De Vondell. Sebuah tata krama ala
bangsawan Belanda, dipadu dengan kesantunan seorang priyayi
Jawa dengan darah ningrat yang kental. "Inlander tetap inlander...
tak akan menjadi lebih dari itu!"
Lelaki berambut blonde yang sebagian telah rontok sehingga
bagian depan kepalanya menjadi botak itu mengangkat wajahnya,
menatap sebuah kincir angin yang tengah berputar di atas sebuah
katredal. Pada sepasang matanya yang biru, ada sinar duka yang
malap. Lantas ia menggeleng-gelengkan kepala sembari menepuk
pundak Rangga yang tingginya hanya setelinga sang profesor.
"Itu tak akan terjadi... ya, tak akan terjadi, jika Anda tetap di
sini. Memang ini negara aristokrasi. Dan sebagian masyarakat
masih bersikap ortodoks. Akan tetapi, sungguh, semangat
demokrasi telah menghinggapi kalangan terpelajar di negeri ini.
Mereka tak akan peduli Anda seorang inlander atau bukan.
Percayalah kepada saya. Jika Anda tetap di sini, saya akan
pustaka-indo.blogspot.com12
mengusahakan agar Anda mendapatkan beasiswa untuk tetap
belajar, hingga Anda mendapat gelar doktor. Jika Anda
menginginkan pekerjaan, sebuah bank swasta internasional siap
memberi Anda pekerjaan. Kebetulan, saya dekat dengan direktuur
bank tersebut. Kau akan hidup dalam kemakmuran, kemakmuran
materi, juga kemakmuran intelektual. Tetapi, sekali lagi itu hanya
akan terjadi jika Anda tetap tinggal di negeri ini, tepatnya di Leiden.
Saya tidak bisa menjamin kemuliaan status Anda jika pulang ke
Indische. Anda tahu, tanah itu, dikuasai oleh para bandiet. Bandiet
yang di sini hanya pecundang, namun begitu mereka melarikan
diri, di sana mereka berubah menjadi tuan-tuan yang terhormat.
Sungguh menggelikan, sekaligus sangat memprihatinkan."
Beliau bisa saja berbicara semacam itu... Lelaki muda itu lagi-lagi
tersenyum, namun kali ini bernuansa kecut. Profesor Van de
Vondel bersikap baik terhadapnya karena sudah mengenalnya
dengan akrab. Mereka telah sekian lama berinteraksi dalam diskusi"diskusi dan kegiatan yang bersifat ilmiah. Profesor adalah orang
yang tulus, profesional dan berpikiran sangat moderat. Ia termasuk
dalam jajaran tokoh yang rajin mengkritik kebijakan pemerintah
berkenaan dengan politik imperialisme. Ia juga salah satu
pendukung dijadikannya Trias Van De Venter sebagai kebijakan
negara dalam wujud politik etisch. Ketika para studen asal Hindia
mendirikan Indonesische Vereniging, sang profesor menunjukkan
apresiasi yang tinggi. Demikian pula saat digelar kongres dunia
yang pertama oleh Liga Penentang Tindasan Penjajah di Brussel
tahun 1927, Prof. De Vondel menunjukkan keberpihakannya
dengan menulis sebuah artikel di sebuah pekabaran Belanda, yang
membuat ia ditegur langsung oleh de Ministerie of Buitenlandse
Zaken yang bertindak atas nama Sri Ratu Wilhelmina.
Meskipun setelah itu kevokalannya sedikit berkurang, ia
pustaka-indo.blogspot.com13
tetap tak menyerah. Ia bahkan mendorong Rangga untuk aktif
di Indonesische Vereniging. Hanya sayangnya, Prof. De Vondel
menerapkan standar ganda. Di satu sisi ia sibuk mendoktrin
Rangga dengan berbagai pemikirannya mengenai politik anti
imperialisme, namun di sisi yang lain, ia memberikan setumpuk
tugas kepadanya selaku asisten, yang membuat ia tak pernah punya
waktu untuk terlibat aktif di IV. Hanya sekali dua kali ia menghadiri
pertemuan yang diselenggarakan oleh para tokoh IV seperti Hatta,
Nazir Pamuntjak, Gatot ataupun Achmad Subarjo baik yang
diselenggarakan di Rotterdam, Den Hag maupun Amsterdam. Di
luar itu, waktunya ia habiskan untuk berkutat dengan kertas-kertas,
buku dan makalah. Sayangnya tak semua orang Belanda bersikap seperti beliau.
Kebanyakan orang-orang negeri Kincir Angin menganggap rendah
inlander seperti dia, meskipun penghinaan itu tak terlalu dahsyat
dibanding yang terjadi di Hindia Belanda. Mata-mata iri dan tak
puas ia sadari telah memandanginya dengan tajam ketika ia dilantik
sebagai sarjana ekonomi dengan nilai tertinggi.
Inlander tetap inlander... meski ia cerdas luar biasa.
Lelaki muda itu sangat menyadarinya. Ada banyak orang
seperti Meneer Van De Vondel, tetapi jumlahnya masih kalah
dibanding sosok-sosok yang masih mendewakan keagungan ras
kulit putih. Karena itu, ia bersikeras untuk kembali ke negerinya.
Sebuah negeri yang mungkin jauh dari gemah ripah peradaban
manusia modern seperti Nederland. Tetapi, seterbelakang apapun,
Indicshe tetaplah tanah kelahirannya. Meski ia cukup bisa bergaul
dengan kalangan bangsa Eropa, dan ia diterima dengan penuh
kehormatan"walau tak sepenuh hati, karena... inlander tetaplah
inlander. Oleh karenanya, meskipun Nederland merupakan negeri
pustaka-indo.blogspot.com14
impian, dengan kota-kota yang indah, taman-taman bunga penuh
pucuk-pucuk tulip, trem yang bersih dan berjalan cepat, desa"desa dengan kincir angin yang eksotis, serta ladang-ladang dan
peternakan yang digarap dengan teknologi modern, ia lebih
merindukan berada di antara bangsanya yang lugu. Ia merindukan
tiupan seruling gembala yang menyelinap di antara batang-batang
padi, seperti yang pernah ia dengar ketika mengikuti sang rama
bertirakat di sebuah pesanggrahan di Kayangan, sebuah dusun
yang terpencil di daerah Tirtomoyo, Wonogiri. Ia merindukan
gemericik air sungai, serta hawa tropis yang hangat dan ramah.
Apalagi, sang Rama, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo
Suryanegara, seorang pangeran di keraton Solo, menyuratinya
untuk tidak berlama-lama menetap di negeri itu.
Ibundamu sudah sering menangis karena rindu padamu, Nak.
Pulanglah segera, setelah studimu selesai. Jangan khawatir dengan pekerjaan.
Sarjana ekonomi seperti kau, akan sangat mudah mendapatkan jabatan
tinggi di pemerintahan. Kau pasti akan dengan mudah menjadi ambtenaar,
wedono, atau bahkan bupati. Masa depanmu sangat cemerlang. Tetapi jika
kau lebih suka menjadi pengusaha, administratur pabrik gula De Winst,
Tuan Biljmer telah menawarimu jabatan di sana.
Segera saja kau pulang, Anakku. Jangan berlama-lama di tanah orang.
Kanjeng Rama KGPH Suryanegara Surat itu sekarang tersimpan di saku jasnya. Sebagaimana ayah
dari golongan ningrat lainnya, Kanjeng Rama memang seperti
terkesan mengatur jarak dengan anak-anaknya. Ia diharuskan
duduk bersimpuh, berjalan sambil menunduk, dan berbicara
pustaka-indo.blogspot.com15
dengan bahasa krama inggil jika berada di depan sang Rama. Ia
sering memprotes keadaan dengan menyalahkan adat istiadat. Hal
yang tentu saja membuat sang Rama berang. Oleh karenanya, ketika
mereka terkumpul dalam satu rumah, aura permusuhan sering kali
terasa lebih kental. Namun ketika mereka berpisah dalam waktu
panjang, mendadak muncul kedekatan hati yang indah.
Saya rindu panjenengan, Rama...
"Kita akan berpisah, Meneer Suryanegara!" suara itu mendadak
membuyarkan lamunannya. Ia, bidadari itu datang. Seorang gadis
bermata biru yang berjalan pelan menghampirinya seraya membiarkan
angin buritan menampar-nampar syalnya. Tatapannya sayu. Ada
kesedihan yang ingin ia tumpahkan, namun mampu ia tahan.
Lelaki muda itu tergagap, namun seketika memaksa untuk
tersenyum lembut. Ia ingat, betapa jengahnya ketika untuk pertama
kalinya orang-orang memanggilnya dengan nama Suryanegara, dan
bukan Rangga Puruhita, nama aslinya. Di negeri Belanda, memang
terdapat kewajiban untuk mencantumkan nama keluarga di belakang
nama aslinya, oleh karena itu, namanya kini menjadi Raden Mas
Rangga Puruhita Suryanegara. Panjang sekali, seperti gerbong trem
di perkotaan padat penduduk de Lage Landen Bij de Zee.
"Dan mengapa Anda bersedih?" lelaki muda itu, yang lebih
senang dipanggil dengan "Rangga" menoleh. Ia ingin mengetahui
gejolak hati gadis jelita itu. Apakah ia juga menyimpan rasa sedih
karena sejenak lagi, jarak akan memisahkan mereka. Sejatinya,
meskipun Rangga juga merasakan kesedihan itu, ada juga semburat
lega yang membelai-belai hatinya. Meskipun kerinduan itu
barangkali akan muncul, dengan perpisahan itu, ia akan bisa terlepas
dari jerat yang berpotensi menghancurkan seluruh hidupnya.
pustaka-indo.blogspot.com16
Karena inlander tetaplah inlander....
Everdine Kareen Spinoza, gadis yang ia temui di kapal, dan
menjadi teman safar yang menyenangkan itu, bagi Rangga adalah
gadis yang teramat istimewa. Rambutnya yang pirang seperti
rambut jagung, dan matanya yang tampak begitu bening, seperti
permata biru yang bersinar cemerlang. Pelapis tubuhnya laksana
pualam putih yang halus dan terseliput cahaya kemerahan. Tentu
saja tak seluruh permukaan kulitnya telah ia saksikan, karena
Juffrouw Spinoza bukanlah lukisan telanjang seperti yang
diimajinasikan para seniman di kota Paris. Rangga bahkan tak
pernah berani membayangkan hal semacam itu. Terlalu kotor


De Winst Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk pikiran seorang ksatria yang menjunjung tinggi keluhuran
budi seperti dia. Dari segi keelokan jisim, sang juffrouw ibarat model
para bidadari di surga. Tetapi yang jauh membuatnya terpesona
adalah... ia begitu ramah.
Bahkan kepada ia yang hanya seorang inlander.
Ketika ia menanyakan apakah ia masih memiliki hubungan
dengan Benedictus Spinoza yang hidup antara tahun 1632 hingga
1677 perempuan itu hanya tertawa berderai seraya menjelaskan, bahwa
ia tak memiliki sedikitpun pertalian darah dengan filsuf tersebut.
Benedictus Spinoza memiliki pemikiran yang bertolak belakang
dengan para calvinist. Sementara, leluhur Juffrouw Spinoza adalah kerabat
dekat keluarga Istana Oranje yang Calvinist murni. "Tetapi jangan
khawatir, saya termasuk orang yang mudah menerima perbedaan pendapat,"
ujar Everdine Kareen Spinoza saat itu. Ya, buktinya, ia menyebut
nama Karl Marx ketika ia tengah membahas teori-teori David Ricardo.
"Anda akan tinggal di Solo, bukan" Sedang rumah saya di
Bandung. Seandainya Solo dan Bandung hanya berjarak sedepa,
alangkah girangnya hati saya."
pustaka-indo.blogspot.com17
"Sesekali, saya tentu akan berkunjung ke Bandung, tentu saja
jika Juffrouw berkenan. Mungkin Anda akan menyambut saya dengan
kedua tangan terkembang, akan tetapi bagi keluarga Anda, kehadiran
saya bisa saja dinilai sebagai sebuah ketidaksantunan, bukan?"
"Mengapa?" sepasang mata biru itu terbeliak. Rangga
terperanjat, karena seakan baru melihat sepasang berlian berwarna
biru yang biasa bertahta di atas tiara ratu-ratu tanah Eropa. "Anda
seorang anak muda yang terpelajar. Lulusan Leiden. Bahkan
Nederlander pun tak semua bisa menembus kesulitan yang begitu
besar untuk memasuki universiteit tertua di Nederland itu. Saya yakin,
Papa akan sangat senang berkenalan dengan Anda. Percayalah, Papa
saya adalah seorang Belanda yang moderat. Ia juga mengagumi
pemikiran Profesor Van de Vondel, guru besar di Leiden yang
pernah Anda ceritakan itu. Hanya saja, karena takut dicap sebagai
orang yang tak setia kepada Sri Ratu Wilhelmina, Papa lebih banyak
memilih diam jika berhadapan dengan teman-teman sebangsa.
Namun kepada saya, ia bisa mengajak berdiskusi hingga semalaman."
Rangga percaya bahwa sang bidadari itu juga memiliki
kecemerlangan pemikiran. Gadis itu cukup intelek. Ia memang
menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atas di
Bandung, akan tetapi kelanjutan studinya ia sambung di Fakultas
Hukum Universiteit Rotterdam. Kini ia berencana ingin membuka
kantor hukum di Bandung di mana ia akan bertindak sebagai
advocaat. Rotterdam sendiri memberikan sebuah kenangan yang indah
bagi Rangga. Lewat jendela kereta api yang membawanya dari
Leiden menuju Rotterdam, Rangga dapat dengan leluasa
menyaksikan indahnya Het Grone Hart Van Holland, yakni padang
rumput yang membentang luas dengan warna hijau yang menawan.
pustaka-indo.blogspot.com18
Maka ketika gadis itu mengatakan bahwa ia telah hampir 5 tahun
tinggal di Rotterdam, Rangga menjadi sangat tertarik untuk
berinteraksi lebih lanjut. Berbagai permasalahan politik dan hukum
yang mereka diskusikan, membuat perjalanan menjadi lebih meriah.
Apalagi, sebagai ekonom, Rangga sering pula menganalisis sebuah
permasalahan dari sudut pandang ekonomi.
Yang cukup menarik pula, Everdine mengaku pernah
beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh De Indonesische
Vereniging seperti Ahmad Subardjo dan Gatot Mangkupraja. Ia
juga pernah berencana menghadiri konferensi Liga Penentang
Imperialisme di Brussel dua tahun silam. Rencana itu tak berjalan
karena ia dan beberapa kawan satu fakultas mendapat teguran dari
petinggi universiteit. Beberapa mahasiswa yang bersimpati terhadap
IV telah berhasil dideteksi dan dibatasi gerak-geriknya.
"Heerlijk!" Rangga mengangguk takzim. "Jika begitu, Bandung
akan menjadi kota yang paling sering saya kunjungi saat verlof saya."
"Verlof" Anda akan langsung mendapat pekerjaan sepulang
dari Nederland?" "Rama, maksud saya vader, telah menjanjikan pekerjaan kepada
saya." "Apakah beliau juga menjanjikan seorang... gadis untuk Anda
pinang?" tanya Everdine tiba-tiba, dengan wajah yang berubah aneh.
"Wah!" Rangga tertawa, seperti tak peduli dengan perubahan
wajah gadis Belanda itu. "Saya belum berpikiran sejauh itu. Hei,
itu tampaknya keluarga Anda yang hendak menjemput Anda!"
Rangga menunjuk ke beberapa lelaki Belanda yang melambai"lambaikan sapu tangan ke arah Everdine.
"Jangan lupa, saya tinggal di jalan Javaveem. Sempatkanlah
pustaka-indo.blogspot.com19
untuk berkunjung ke sana! Mudah-mudahan, jika Anda
berkunjung ke Javaveem, kantor hukum yang saya rintis sudah
berdiri." "Dan jika Juffrouw berkenan ke Solo, mampirlah di Dalem
Suryanegaran. Saya akan berusaha menjadi tuan rumah yang
baik!" Rangga menyatukan kedua telapak tangannya di depan
dada seraya membungkuk. Sepasang mata Everdine Kareen Spinoza tampak bercahaya.
Buliran bola biru di tengahnya berputar-putar indah. Rangga
menghela napas panjang, karena debaran dalam jantungnya terasa
semakin kencang. Ia benar-benar merasa seakan baru menatap
sepasang berlian yang terpasang di tiara Sri Ratu Belanda.
Tiba-tiba Sang Juffrouw meraba tas kecilnya, mengeluarkan
sesuatu. "Horloge ini, sepertinya indah jika dipasang di saku jas Anda,
Tuan!" Sepasang alis Rangga bertaut, diikuti dengan picingan matanya,
terpana. Ia pandangi horloge di tangan Everdine seperti seorang
profesor yang tengah meneliti organisme renik melalui lensa
mikroskop. Berlapis emas, dengan rantai terbuat dari platina, serta
batu-batu intan yang menghias. Tentulah mahal sekali harganya.
"Juffrouw, a... apa maksud Anda?"
"Sebagai kenang-kenangan, agar Tuan tidak segera melupakan
saya." Sebuah senyum mengembang. Sempurna. Rangga tak pernah
melihat senyum yang lebih indah dari itu. Bahkan senyum pada
wajah imajinasi Leonardo da Vinci, Monalisa.
"Tetapi... ini sangat mahal."
pustaka-indo.blogspot.com20
"Tak semahal arti persahabatan kita, yang meski baru
berumur beberapa minggu, bagi saya... sungguh sangat
mengesankan!" Rangga menggigit bibirnya, berpikir keras, apa yang sebaiknya
ia berikan sebagai pengganti horloge yang tentu sangat mahal itu.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya. Segera ia menghampiri
kopornya, membukanya, mengaduk-aduk isinya. Sejenak kemudian,
di tangannya telah tergenggam sebuah kotak kecil terbuat dari kayu
jati dengan ukiran khas istana Suryanegaran, sepasang burung
Kepodang yang tengah melanglang di atas lazuardi.
"Ini, sebagai tanda mata dari saya!"
"Oh, apakah ini?" sepasang mata Everdine berbinar-binar.
Tak sabar ia membuka kotak itu, dan terpekik kecil. "Apa ini?"
Sebuah keris kecil tiga luk dengan gagang bersepuh emas.
"Ini namanya cundrik, keris tetapi berukuran kecil."
"Oh, terima kasih! Anda benar-benar baik! Tetapi" ini... ini
sebuah senjata tajam" Anda memberi seorang perempuan, sebuah
senjata tajam?" Everdine menatap Rangga dengan tatapan penuh
tanda tanya. "Ada makna filosofi apa?"
"Saya bukan filsuf, Nona... meskipun saya sering membaca
tulisan-tulisan yang berisi pemikiran Aristoteles dan Plato, o ya"
juga Erasmus dan Benecditus Spinoza, orang-orang besar dari
negeri Anda," ujar Rangga sembari tersenyum. "Kebetulan saja,
hanya cundrik itu yang saya miliki saat ini."
"Jadi, tak ada makna apa pun" Padahal, saya memberikan
horloge itu dengan makna khusus. Saya ingin Anda lebih menghargai
waktu, karena waktu adalah kehidupan itu sendiri. Bahkan para
pustaka-indo.blogspot.com21
cendekiawan Arab mengatakan, ya... saya harus ungkapkan ini
karena Anda adalah seorang Muslim..., bahwa waktu adalah
pedang. Kelihatannya sangat klise, tetapi sungguh, itulah yang
terbetik di dalam benak saya." Gadis berambut pirang itu tampak
kecewa. "Tetapi tak apa. Saya akan simpan hadiah ini baik-baik,
siapa tahu, suatu kelak senjata ini akan bermanfaat buat saya."
Everdine buru-buru menyimpan kotak itu di kopornya. "Selamat
berpisah, Meneer..."
"Panggil saya, Rangga! Tanpa embel-embel meneer!"
"Rangga... saya akan selalu ingat... Anda!" Perempuan jelita
itu mendekati Rangga. Menghadiahkan sebuah senyum yang tak
akan pernah Rangga lupakan.
Kembali berlaras nada bergemuruh di hati bangsawan Jawa
itu. Kali ini tak memainkan Symphony Molto Alegro yang riuh rendah
menggemparkan, namun alun gamelan yang memainkan lembut
dan memesonakan. Ada tembang Asmaradana bertiup di gendang
telinga sang ksatria. Indah.
Rangga rindu tanah kelahiran. Namun perpisahan dengan
sang dara memercikan noda pada kanvas kerinduan itu. Ia
mendambakan "lan tanah kelahiran itu berkolaborasi dengan getar
asmara yang melantun" mungkinkah semua itu tergelar di telatah
bernama bumi ini" pustaka-indo.blogspot.com22
Ketika kapal api merapat ke dermaga, keributan
para passagiers semakin terasa. Mereka, dengan kopor"kopor besarnya memadati tangga seraya mencari-cari
para penjemputnya, membuat bola-bola mata yang
beraneka warna, cokelat, hitam, biru saling berbenturan.
Hingar-bingar para kuli"yang kebanyakan bertubuh
kurus dengan kulit terbakar"yang berlalu lalang
menawarkan bantuan"yang tentu bukan sebuah aksi
prodeo"membuat suasana semakin riuh. Lautan
manusia memadati pelabuhan. Ribuan ton barang yang
dimuntahkan oleh kapal itu, dengan lahap menyantap
tempat di dermaga yang tak terlampau luas itu.
Everdine Kareen Spinoza, gadis yang mengaku
sangat menggemari Shakespiere dan bahkan
memberikan beberapa buku berisi naskah drama
pengarang besar sebagai kenang-kenangan kepada
Rangga itu, dijemput oleh dua orang lelaki bule. Bob
pustaka-indo.blogspot.com23
dan Patrick, yang tak lain adalah anak buah sang Papa. Rangga
tak tahu, siapa sebenarnya orang tua Everdine, karena gadis itu
hanya sesekali saja menyinggung eksistensi sang Vader, antara
lain pemikiran yang moderat dan pengagum Prof. De Vondel.
Lebih dari itu, ia tak berani untuk mengorek keterangan lebih
lanjut. Namun, dilihat dari perlakuan para petugas kapal,
termasuk kapten pemimpin safar yang tampaknya mengenal
keluarganya dengan baik, juga kesan terpelajar yang terpancar
disamping penampilan yang selalu elegan... serta horloge yang
penuh taburan permata itu, Rangga bisa menduga-duga, siapa
sebenarnya dia. Jika bukan anak seorang pejabat kolonial yang
sangat berkuasa, ia pasti berasal dari keluarga pengusaha swasta
yang sangat kaya. Sejak awal, Rangga sebenarnya cukup menaruh minat
terhadap keberadaan gadis itu. Namun ia sengaja menjaga jarak"
takut minat itu berkembang lebih lanjut menjadi perasaan yang
tak ia inginkan, jatuh cinta misalnya. Bukan saja ia akan mendapat
kesulitan karenanya, namun pihak keraton Kasunanan pasti juga
akan gempar mendengarnya. Seorang dari trah Suryanegara,
memiliki pasangan bidadari berambut pirang. Sebuah penentangan
pakem yang pasti akan menguras energinya.
Maka, sudahlah... biarlah cerita itu berlalu sampai di sini.
Rangga disambut dengan santun oleh seorang abdi dalem
Suryanegaran bernama Raden Ngabehi Suratman, yang begitu
melihat kedatangan Rangga, langsung melakukan gerakan seperti
orang yang tengah menyembah sehingga Rangga terpaksa harus
buru-buru menarik lengan sang abdi dalem.
"Paman, sudahlah... saya malu dilihat orang-orang! Ini kan
di pelabuhan!" pustaka-indo.blogspot.com24
"Inggih, Raden Mas. Kendaraan menuju hotel sudah
dipersiapkan." "Hotel?" "Ya, saya sudah memesan 2 kamar di sebuah hotel di
Batavia. Malam ini Raden Mas akan menginap di sana."
"Lalu, kapan kita ke Solo?"
"Besok pagi!" "Naik apa?" "Kereta api, Raden Mas. Saya sudah membeli tiket kelas
satu." Kereta api kelas satu" Ketika ia berangkat menuju Batavia
beberapa tahun silam, ia juga naik kereta api. Saat itu, kereta itu
tak lebih tumpukan barang yang bercampur aduk dengan aneka
jenis manusia, pribumi, tionghoa dan timur tengah. Hanya satu
dua orang berkulit putih yang ditempatkan di ruang khusus,
dengan harga dan perlakuan yang juga khusus. Entah, seperti
apa kereta api masa kini yang berada di Batavia. Masih sama
seperti dulu, atau telah berdandan dengan lebih manis, sehingga
layak untuk dinaiki. "Baiklah! Sekarang, bantu saya membawa
barang-barang ini, Paman!"
"Sendika dhawuh, Raden Mas!"
Raden Ngabehi Suratman ternyata telah menyewa beberapa
kuli untuk mengangkut kopor-kopor besar milik Rangga. Sebagian
besar isinya adalah buku. Rangga rajin mengunjungi pasar-pasar
loak yang menjual buku-buku bagus dengan harga sangat murah
saat ia melanglang buana menghabiskan liburan musim panas di
kota-kota yang menjadi pusat aktivitas Nederlanders seperti
pustaka-indo.blogspot.com25
Amsterdam, Den Hag, Rotterdam dan Delft. Beraneka jenis buku,
mulai dari politik, ekonomi, filsafat hingga sastra memenuhi kopor"kopornya. Pantas saja kuli-kuli itu tampak begitu keberatan. Ketika
mereka telah sampai di sebuah mobil yang disewa oleh Raden
Ngabehi Suratman dari hotel tempat mereka menginap, Rangga
mengeluarkan beberapa lembar gulden dan diserahkan ke kuli"kuli itu, namun Suratman buru-buru mencegahnya.
"Jangan, Raden Mas! Itu terlalu mahal untuk mereka!"
Sebagai gantinya Suratman mengeluarkan beberapa keping uang
tembaga yang disambut dengan girang oleh kuli-kuli itu. Rangga
terperangah. Semurah itukah upah mereka"
"Apa mereka bisa mencukupi hidup dengan penghasilan
yang hanya sebesar itu?" tanyanya, heran.
"Ah, itu bukan urusan kita, Den Mas! Salah sendiri mereka
mau jadi kuli. Padahal zaman sudah semakin maju. Gubernemen
telah banyak memberi kesempatan kepada kita kaum pribumi
untuk bisa berkembang. Contohnya Denmas sendiri, yang kini
sudah jadi orang pintar!"
"Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan Indische,
kecuali dari pekabaran. Maklum, sudah hampir delapan tahun
saya tinggal di Nederland!" ujar Rangga. Ia pergi ketika usianya


De Winst Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru enam belas tahun dan baru menyelesaikan MULO-nya. Sang
Leerar, yakni Meneer Van Loon menganjurkan kepada sang Rama,
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryanegara agar Rangga
melanjutkan sekolah menengah atas sekaligus pendidikan tinggi
di Nederland. Semula Sang Rama berkeberatan, namun setelah
dibujuk oleh sang Leerar, Pangeran dari keraton Surakarta itu
pun mengizinkan kapal api Goenoeng membawa Rangga belia
mengarungi lautan luas, menuju ke negeri yang tak pernah mampu
ia bayangkan keberadaannya.
pustaka-indo.blogspot.com26
Dan kini, delapan tahun telah terlewati.
"Indische sudah jauh lebih maju dibanding dengan ketika
Raden Mas pergi ke Nederland. Sekarang kereta api sudah banyak.
Rel-rel pun telah dibangun di sana-sini. Jalan-jalan di kota Solo,
terutama di sekitar Keraton, jalan menuju Kartasura dan
Yogyakarta juga sudah diaspal. Sekolah-sekolah sudah banyak
didirikan. Sekarang orang-orang desa pun sudah mulai bisa baca
tulis. Kemakmuran telah dirasakan oleh semua kalangan."
"Syukurlah jika begitu. O, ya... bagaimana kabar Kangmas
Suryadi, anak Paman?"
"Pangestunipun, sekarang dia sudah lulus sekolah pamongpraja,
SIBA 2 . Memang tidak sehebat Den Mas, tetapi bagi saya, itu sudah
sangat luar biasa. Sekarang Suryadi sudah bekerja sebagai klerk di
kantor Regent Wonogiri. Sudah punya istri dan 2 anak.
Kehidupannya cukup makmur. Gajinya 15 gulden sebulan."
Rangga mengangguk-angguk meskipun ia tak tahu, harus
merasa senang atau bahkan bersedih. Kemajuan yang diceritakan
Raden Ngabehi Suratman itu barangkali merupakan buah politik
etisch yang dilancarkan Van De Venter dimana Profesor De Vondel
menjadi salah seorang pendukungnya. Setelah mengeruk kekayaan
Hindia selama ratusan tahun, sudah sewajarnya jika pemerintahan
kolonial memberikan balas budi sewajarnya.
Akan tetapi, mengapa kuli-kuli bertubuh kurus yang hanya
diupah keping-keping uang tembaga, masih berkeliaran di
pelabuhan" 2. School voor Inlandsche Bestuur Ambtenaaren, sekolah calon pamongpraja
pustaka-indo.blogspot.com27
Seorang petugas hotel berkebangsaan
pribumi menyambut mereka dengan santun, dan mengantar mereka
ke tempat tidur mereka. "Saya ada di kamar nomor 25, Den Mas!" ujar Suratman.
"Dimana itu?" "Di lantai kedua."
Hampir setengah jam mereka mengendarai mobil itu, hingga
akhirnya sampai di sebuah hotel yang cukup megah. Bangunan
itu bercat merah bata, berlantai dua, dengan arsitektur
menyerupai istana-istana Yunani kuno. Begitu melihatnya,
Rangga langsung merasa jatuh hati dengan
bangunan hotel itu. pustaka-indo.blogspot.com28
"Hei, bukankah lantai 2 itu untuk kamar-kamar kelas dua"
Kenapa Paman tidak memesan kamar yang sama kelasnya
dengan saya?" "Ah, kelas dua sudah sangat mewah buat saya, Den Mas.
Silahkan beristirahat!"
Rangga tercenung. Ditatapnya kamar yang cukup luas itu
dengan pandangan kagum. Dindingnya putih, lantainya dari
marmer yang sejuk. Kosen-kosen pintu dan jendela cokelat muda,
terbuat dari kayu jati dengan ukiran-ukiran indah, lengkap dengan
kain tirai berwarna gading yang membuat tempat itu terkesan
sangat mewah. Tempat tidur, meja dan kursi juga terbuat dari kayu
jati yang divernis indah. Sebuah lukisan tiruan Monalisa yang
terpajang di dinding tersenyum kepadanya. Sementara kamar
mandi yang dibangun dengan standar Eropa melengkapi kamar
yang ia sewa satu malam itu. Aroma Lavender tercium jelas,
membuatnya seperti tengah terbang ke sebuah taman bunga yang
memesona di hutan-hutan Perancis saat musim semi.
Sebuah kamar hotel kelas satu. Tak kalah dengan hotel"hotel di Eropa. Konon hotel itu dibangun pada masa Deandles
berkuasa. Untuk kamar kelas satu, hanya orang-orang Eropa,
terkhusus para pejabat sekelas kontrolir ke atas atau pengusaha
yang sering menyewanya. Namun ia, seorang pribumi kini
menempatinya. Betapa megahnya ia! Jika Rangga tahu, bahwa
harga sewa kamar itu untuk satu malam, lebih besar dari gaji
buruh pribumi beberapa bulan, tentu ia akan terkaget-kaget.
Rangga tersenyum! Bangsa yang dianggap terbelakang,
lambat laun semakin menyadari kebodohannya, dan mencoba
memperbaikinya dengan belajar lebih keras. Bekerja lebih tekun.
Besok, jika telah hilang segenap lelahnya, Rangga akan mencoba
pustaka-indo.blogspot.com29
berkelana untuk melihat lebih dekat kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai oleh bangsanya.
Baru saja ia hendak merebahkan diri di tempat tidur
berkelambu dengan tilam yang empuk itu, tiba-tiba sebuah
ketukan mengagetkannya. Ia pun meloncat dan membuka pintu.
Seorang lelaki muda berkulit agak gelap namun berparas cukup
manis, khas Ambon Manise mengangguk santun kepadanya.
"Maaf, mengganggu!" ujarnya dalam bahasa Belanda. "Nanti
malam, hotel ini akan menggelar sebuah pesta dansa. Selain para
pejabat dan pengusaha, kami juga memberikan undangan khusus
untuk para tamu kelas satu. Silahkan datang di ruang pertemuan
hotel ini di lantai pertama malam ini!"
Rangga tersenyum tipis. Pesta dansa" Ia sebenarnya tidak
terlalu menyukai kegiatan hura-hura seperti itu. Ketika kuliah di
Leiden, beberapa kali ia menyempatkan diri untuk hadir di pesta"pesta yang mengundang kehadirannya. Dan itu hanya terhitung
beberapa kali selama delapan tahun.
Tetapi pesta dansa ala De Indische" Mendadak ia ingin
mengetahui, sejauh mana peradaban Eropa itu mengimbas kaum
bumiputera. Seberapa jauh mereka menjalani tata krama pergaulan
Eropa dalam kehidupannya. Cukup menarik! Mungkin ia juga akan
bertemu dengan beberapa pemuka kaum inlander, barangkali
sarjana-sarjana lulusan beberapa perguruan tinggi yang dibuka di
tanah Jawa. Ia memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan
mereka seputar kemajuan yang dialami oleh bangsa pribumi.
"Baiklah, saya akan datang!" ujarnya sambil menyelipkan
selembar uang gulden ke petugas itu, yang lantas disambutnya
dengan memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Meskipun
inlander, Meneer ini cukup royal, mungkin begitu isi batinnya.
pustaka-indo.blogspot.com30
Tetapi Rangga benar-benar kecewa. Meskipun pesta itu digelar
di sebuah hotel yang terletak di Batavia, bukan Amsterdam atau
Den Hag, kenyataanya sangat sedikit inlander yang datang. Dari
sekitar seratusan tamu, hanya ada beberapa gelintir manusia yang
berkulit cokelat khas pribumi. Mereka adalah seorang lelaki
bertubuh gemuk berkumis tebal bersama istrinya yang memakai
kain sutera merah lengkap dengan perhiasan emas bergemerincing,
seorang wanita cantik berparas Jawa yang digandeng seorang lelaki
bule"mungkin seorang Nyai Belanda, seorang lelaki muda tegap
dengan sisiran yang sangat rapi yang mengaku dokter lulusan
STOVIA dan menjadi manteri kesehatan di rumah sakit pusat,
dan ia sendiri. Selain itu, ada belasan pria-wanita Tiong Hoa.
Selebihnya adalah bangsa kulit putih.
Semangat yang semula berkobar, mendadak meredup.
Rangga pun lebih memilih duduk di sudut ruangan, menikmati
kesendiriannya dengan gelas coctailnya. Musik dansa mengalun dari
gramaphon, mengajak kaki-kaki untuk bergerak rancak mengikuti
alunnya. Rangga tak terlalu mengecewakan dalam hal yang satu
itu. Meskipun jarang menghadiri pesta, ia cukup mahir berdansa,
bahkan mampu dengan lincah memainkan berbagai tari khas
seperti Flamenco, Lambada dan sebagainya. Tentu saja, itu di
luar beberapa tari Jawa yang ia kuasai seperti bambangan cakil,
karonsih atau prawiro watang. Namun malam itu, ia benar-benar
telah kehilangan gairah. Meskipun berpijak di bumi sendiri,
kepribumiannya justru telah membuatnya terasing.
"Hai, kita bertemu kembali!" selantun suara merdu tiba"tiba mengobrak-abrik perasaannya. Sekujur tubuh Rangga
mendadak tegak begitu gelora elan gencar merasuki jalan
darahnya, seperti barusan terkena setroom listrik berkekuatan
sekian ribu watt. pustaka-indo.blogspot.com31
"Oh, eh... Juffrouw...," Rangga menggigit bibirnya, gagap.
Gadis yang muncul di depannya secara tiba-tiba itu telah
menyihirnya menjadi batu gunung sehingga ia terpaku tegak tanpa
sanggup beranjak. "Anda masih di Batavia rupanya, Meneer... eh, Rangga!"
"Ben jij... Juffrouw Spinoza"
"Baru beberapa jam tidak bertemu, apakah je sudah lupa?"
"Ik tidak sangka, bisa bertemu je kembali."
Tawa gadis itu berderai. Bunyinya laksana serangkaian nada yan
kim yang dipetik oleh seorang gadis Shanghai yang jelita. "Ik menginap
di hotel ini. Ik terlalu letih untuk langsung pulang ke Bandung."
"O, ya?" Seruan Rangga yang bernada girang benar-benar
terlontar dari alam bawah sadarnya. "Saya juga menginap di ho"tel ini. Baru besok sore saya pulang ke Solo, naik kereta."
"Tuhan benar-benar belum berkenan memisahkan kita. Tadinya
saya benar-benar kehilangan minat untuk terus ada di pesta ini.
Lihatlah, Bob dan Patrick sudah mabuk berat!" Nona Spinoza
menunjuk ke dua orang lelaki bule yang tengah terkulai di mejanya
dengan beberapa botol bir kosong di sampingnya. "Ik benar-benar
tidak suka sama orang yang suka mabuk. Dan... orang itu terus
mengejar-ngejar saya. Saya benar-benar takut!" Kini Everdine melirik
ke seorang pemuda bule yang tengah tengak-tengok kesana kemari,
seperti seorang hunter yang barusan kehilangan rusa buruan yang
tengah diincarnya. Sepasang mata birunya bak sepasang moncong
senapan yang siap memuntahkan pelor untuk melumpuhkan
mangsa. Tak sadar Rangga merapat ke arah sang gadis. Jiwa Sang
3. Inikah Anda, Nona Spinoza"
pustaka-indo.blogspot.com32
Rama yang ingin melindungi Sinta merasuk ke sanubarinya.
"Lihatlah! Hampir semua dari dirinya tidak saya suka. Apalagi
rambutnya itu, yang mengingatkan saya dengan rumput-rumput
di duinen dekat pantai Groningen?" Kareen tersenyum kecil.
Meskipun terlihat panik, ia ingin tetap santai dengan guyonannya.
"Tak ada rambut yang lebih jelek dari rambut yang ia miliki."
"Siapa dia?" tanya Rangga dengan tekanan suara yang ia
sendiri tiba-tiba merasa heran. Mengapa ada kegeraman muncul
pada dirinya" Cemburukah"
"Ia teman sekelas saya waktu ELS di Bandung. Saya merasa
tak terlalu mengenalnya, tetapi ia bersikeras mengatakan, bahwa
sewaktu kecil, kami bersahabat dekat! Saya rasa tidak. Ia seorang
anak yang begitu nakal. Tak ada teman sekelas yang mau
bersahabat dekat dengannya, termasuk saya, meskipun orangtua
kami adalah mitra dalam berbisnis."
Lelaki muda Eropa itu berjas putih rapi. Rambutnya yang
kaku dan berwarna pirang dibiarkan memanjang hingga
menyentuh bahu. Sepasang matanya yang tajam, memperlihatkan
kecerdasan sekaligus kelicikan. Tak terlalu tampan, tetapi
kelihatannya berasal dari bangsa Eropa kalangan atas.
"Dia terus menerus ada di samping saya, membosankan sekali
bukan" Baru ketika dia izin ke kamar kecil, saya buru-buru melarikan
diri. Dia mengaku disuruh Papi menjemput saya. Tetapi saya tidak
percaya. Setahu saya, Papi juga tidak terlalu suka kepadanya."
"Duduklah di sini, Everdine. Anda akan aman," ujar Rangga
spontan, namun kemudian ia mengatupkan bibirnya. Bagaimana
mungkin seorang insulande mampu menjamin keamanan seorang
wanita bangsa Eropa" Ada-ada saja kau, Rangga! Sudahlah, pergi
pustaka-indo.blogspot.com33
saja kau ke kamar, istirahat. Tinggalkan bidadari ini atau kau
akan terlena dibuatnya"
Sayang desiran di hati itu terlalu lemah, sehingga dengan
mudah tenggelam oleh getar kencang yang ditebarkan oleh
senyum sang bidadari bermata biru itu.
"Kenapa Anda percaya kepada saya?" tanya Rangga,
mencoba menggigit gagap di hatinya. "Bukankah belum beberapa
lama kita berkenalan?"
Ingatan Rangga mendadak melayang pada kejadian sore itu.
Hampir sama dengan yang terjadi saat ini. Pesta dansa, yang
khusus diselenggarakan untuk penumpang kelas satu dan dua. Ia
melihat gadis itu menggigil ketakutan ketika dua orang pemuda bule
yang tengah mabuk mencoba memaksanya berdansa bersama. Rangga
sebenarnya merasa tak terlalu berkepentingan, karena siapa tahu, salah
satu dari pemuda mabuk itu adalah kekasih si gadis. Urusan bisa
panjang jika ia ikut campur. Tetapi ketika tatapan sang bidadari itu
tertuju kepadanya, mendadak ia melihat sebuah permohonan
pertolongan yang langsung menghunjam jiwa gentle-nya.
Ingat, kau seorang ksatria Jawa, Rangga. Cucu seorang raja!
Penerus kerajaan Mataram yang pernah berjaya di bumi Nusantara.
Rangga pun bangkit, menghampiri dua orang pemuda bule
itu. Meskipun pribumi, Rangga termasuk jangkung, sehingga tak
kalah tegap dibanding bangsa Eropa. Kharisma yang didapat
secara alami sebagai seorang pemuda keraton juga cukup
membuatnya disegani oleh semua orang, termasuk kedua pemuda
bule yang tengah bertingkah lasak itu.
"Meneer, bisakah bersikap lebih santun kepada seorang wanita?"
tegurnya, dengan wibawa yang memancar spontan. Banyak kalangan
pustaka-indo.blogspot.com34
di keraton Surakarta yang menggadang-gadang agar kelak ia terpilih
menjadi pengganti sang kakek, Sinuhun Pakubuwono menjadi Raja
Surakarta. Sesuatu yang hanya ditanggapi dengan senyum tipis oleh
Rangga yang sama sekali tak berminat untuk menjadi ningrat sejati.
"Hei, kamu orang siapa ha" Inlander busuk tak usah banyak
tingkah, idioot!" "Jika jij berbuat ulah, Ik akan laporkan ke petugas kapal! Jij bisa
diturunkan sekarang juga di pelabuhan terdekat!" ancam Rangga.
"Apa" Je ini siapa, berani mengancam segala?"
"Saya adalah Raden Mas Rangga Puruhita Suryanegara. Saya
lulusan terbaik dari Universitas Leiden, dan saya bisa bermain pencak
silat dengan sangat baik. Jika Anda ingin merasakan dahsyatnya olah
kanuragan saya, ayo maju!" bentak Rangga. "Saya yakin, kalian
sebenarnya hanya bisa berani jika berhadapan dengan para wanita!"
Entah karena buncahan kharismanya, atau memang kedua
pemuda bule itu terlalu pengecut, mereka mendadak mundur
begitu saja. Rangga tersenyum melecehkan. Ternyata gertakan
ala ksatria Jawanya cukup nggegirisi juga bagi mereka.
"Dank U zeer 4 ," butiran-butiran mutiara putih itu
menyembul ketika sepasang bibir sesegar delima itu
melengkungkan senyum ramahnya. Betapa indahnya. "Kau benar"benar baik, telah melindungiku dari bandiet itu!"
Peristiwa itu sebenarnya tak terlampau luar biasa. Sebelum
itu, Rangga pernah beberapa kali menggertak para bule. Ben,
mahasiswa blonde yang selalu merasa dirinya sebagai manusia
terpintar itu pun pernah terkencing-kencing saat ia menarik ikat


De Winst Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggangnya dan ia gantungkan pada batang sebuah pohon.
4. Terimakasih banyak pustaka-indo.blogspot.com35
Rangga sangat tersinggung ketika di depannya Bob meludahinya
seraya memakinya dengan sebutan monyet inlander.
Namun, setelah kejadian itu, mendadak bidadari bermata biru
bernama Everdine Kareen Spinoza itu selalu menguntit kemanapun
dia pergi. Binar-binar itu pun sempat bersenyawa dengan detak nadi
Rangga. Binar yang membuat perjalanan selama berminggu-minggu
dengan kapal itu, yang sebenarnya cukup membosankan, menjadi
penuh warna. Tak hanya biru laut yang diperjenuh dengan biru
langit, namun ada juga pelangi yang terpancar dari bola mata sang
bidadari. Maka, kudeta yang dahsyat pun berhasil menyingkirkan
dominasi sang tirani, yakni warna biru itu.
Dan sekarang, pelangi itu kembali berbinar. Hatinya pun
terlukisi semarak aneka bunga.
"Orang itu bernama Jan Thijsse. Dia memang sangat cerdas. Ia
lulusan Rotterdam juga seperti saya. Akan tetapi, ia sangat licik dan
berangasan. Maukah Anda menolong saya sekali lagi, Tuan Rangga?"
"Wees mar niet bang!
5 " Rangga tersenyum ramah. "Apa yang
bisa saya lakukan untuk membantu Anda, Juffrouw"!"
"Panggil saya Kareen! Banyak orang memanggilku Juffrouw,
Everdine, Nona Spinoza, juga Noni jika saya sedang berada di
Indische, tetapi saya lebih suka panggilan yang satu itu, Kareen.
Orang-orang yang mencintai saya, kebanyakan memanggil saya
Kareen. Papi, Mami, Opa, Oma..."
Orang-orang yang mencintai saya, kebanyakan memanggil saya
Kareen..., dan ia memintanya memanggil dengan panggilan Kareen.
Artinya... 5. Jangan takut! pustaka-indo.blogspot.com36
Senyum di bibir Rangga berubah menjadi kegugupan.
"Bb... baiklah, Kareen!"
"Rangga, ayo kita berdansa. Anda bisa berdansa?"
"Ss... saya, bisa. Tapi..."
"Jan sedang mengejar saya. Saya melihat, pada sepasang
matanya ada buaya-buaya ganas yang siap mengincar kelengahan
saya. Patrick dan Bob yang mestinya menjaga saya, sekarang mabuk.
Saya benar-benar sendiri! Saya tahu pasti, dia memang bukan don
juan, tetapi sekali dia menyukai wanita, ia akan kejar sampai dapat.
Rangga, pernahkah Anda menyaksikan Le Fantom de La Opera?""
Everdine menatap Rangga dengan sepasang bola matanya yang
berbinar-binar. "Belum" Harga tiketnya terlalu mahal untuk saya. Juga biaya
perjalanan untuk menuju tempat pementasan opera tersebut, karena
setahu saya opera itu dipentaskan di Paris, bukan?" ujar Rangga.
"Akan tetapi, saya tahu jalan ceritanya. Bukankah kisah itu
merupakan tulisan dari Gaston Leroux, seorang pengarang dari
Perancis?" "Ya, Anda benar. Anda tahu apa yang saya harapkan saat
ini dari Anda, Rangga?"
"Apakah itu?" "Jadilah Raoul, si bangsawan tampan yang melindungi Chris"tine Daae dari kejaran Fantom, si hantu buruk rupa itu...!
Berpura-puralah menjadi kekasih saya!"
Rangga terkesima. Dan ia hanya bisa tergagap ketika lelaki
berambut seperti "duinen di pantai Groningen" itu akhirnya bisa
menemukan mereka dan dengan gerakan cepat meraih kerah baju
pustaka-indo.blogspot.com37
Rangga, mencengkeramnya. "Siapakah Anda, berani-beraninya mengajak Nona Everdine
yang terhormat berdansa?"
"Saya" saya kekasih Nona Everdine!" jawab Rangga,
sedikit gugup. Jan mengernyitkan sepasang alisnya. "Kekasih?"
"Ya, Jan. Tuan Suryanegara ini adalah kekasih saya," ujar
Kareen, tegas. "Akan tetapi, Kareen" dia itu inlander. Anda?"
"Anda tidak bisa memaksa saya untuk tidak memadu cinta
dengan siapapun, termasuk dengan seorang inlander. Ya,
meskipun inlander, Tuan Suryanegara jauh lebih santun dan
terpelajar dibandingkan Anda, Jan?"
Jan Thijsse tampak memendam amarah. Setelah
melemparkan tatapan tajam kepada Rangga, ia pun berbalik. Tak
ada keributan. Namun Rangga mencatat, bahwa sejak malam
Thijsse!38 "Denmas, Kita sudah sampai di Stasiun
Balapan," ucapan Raden Ngabehi Suratman menya"darkan Rangga dari lamunan. Maka buyarlah kilasan
dalam batinnya tentang peristiwa itu.
"Tampaknya... saya benar-benar jatuh cinta kepada
Anda, Rangga," desah sang bidadari. "Anda begitu penuh
pesona." Saya pun... rasanya juga jatuh cinta kepadamu,
Bidadari... Sayang ia terlalu penakut untuk
mengungkapkan perasaanya. Maka ia pun hanya bisa
tersipu-sipu. "Anda pemalu, itu membuat saya senang. Mana ada
pemuda Belanda yang begitu santun seperti Anda"! Mereka
semua berandalan, bandiet..."
Angan Rangga melambung tinggi, hinggap di
petala langit ke tujuh. Sungguh, jika diizinkan, ia ingin
pustaka-indo.blogspot.com39
menjadikan peristiwa indah itu sebagai sebuah film yang bisa ia
putar kehendak hatinya, kapanpun, di manapun.
"Sayang kita harus berpisah. Jika saya sedang rindu kepada Anda,
bolehkah saya kecup keris itu, Rangga?"
"Oh... bb... boleh, tentu saja, mengapa tidak?"
"Dan bagaimana jika Anda rindu kepada saya?"
Rangga hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Ah, mana mungkin Anda merasa rindu kepada saya. Anda seorang
pemuda bangsawan, pintar dan rupawan. Saya yakin, begitu Anda
menginjakkan kaki di keraton Surakarta, maka puluhan gadis telah
menunggu Anda. Bukankah begitu?"
Rangga tak bisa menjawab, saking gugupnya.
"Rangga, jika Anda menikah kelak, undanglah saya. Meskipun
saya akan menjadi wanita paling cemburu, tetapi saya pasti akan
datang..." Tuhan, bidadari itu begitu menawan.
"Denmas!" lagi-lagi suara Raden Ngabehi Suratman. "Itu
Suryadi telah menjemput kita."
Raden Suryadi, alumni SIBA yang kini menjadi pegawai
pamong praja itu, adalah seorang lelaki jangkung berkulit cokelat.
Wajahnya tak terlalu tampan, tetapi penuh karisma, khas seorang
ningrat. Ia hanya lebih tua 3 tahun dibanding Rangga.
"Duh Pangeran, betapa Raden Mas sekarang telah menjadi
seorang pemuda dewasa yang benar-benar menawan," puji
Suryadi. "Saya yakin, semua gadis di Surakarta sekarang tengah
berdebar-debar hatinya, menunggu Raden Mas menjatuhkan
pilihan. Atau... Raden sudah punya tambatan hati yang lain?"
pustaka-indo.blogspot.com40
Ingatan Rangga melayang kepada bidadari berambut pirang
itu. "Ah, Kangmas bisa saja. Kangmas sendiri, apa sudah
memiliki pilihan hati?"
"Lho, apa Rama belum bercerita" Saya sudah menikah dan
sudah jadi bapak. Anak saya sekarang dua orang, Raden?"
Kereta kuda yang akan mengantar mereka ke Dalem
Suryanegaran sudah siap diberangkatkan. Ada dua buah dan
berukuran besar-besar. Satu untuk mengangkut Rangga dan para
penjemput, satu untuk membawa barang-barang yang ada.
"Raden masih ingat Rara Sekar Prembayun?" tanya Suryadi.
Rangga mengerutkan kening. Rara Sekar Prembayun"
"Itu lho, siwinipun Kanjeng Pangeran Surya Kusuma." Jelas
Raden Ngabehi Suratman. Gadis yang dijodohkan dengannya sejak ia masih berusia
lima tahun" Ketika meninggalkan Solo, Sekar masih berusia 12
tahun. Ia masih seorang bocah yang pemalu namun bandel, sedikit
nakal. Ketika diperkenalkan oleh Ibunya bahwa ia adalah calon
jodoh Rangga, bocah itu hanya menjulurkan lidah seraya berlari
masuk ke dalam rumah. Seorang bocah ingusan yang kolokan.
Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan... Everdine Kareen
Spinoza" "Ia telah menjadi seorang wanita yang pintar dan jelita,"
ujar Suryadi, seperti mengerti apa yang tengah berkecamuk di
dada Rangga. "Hanya saja..."
Ucapan Suryadi mendadak terhenti. Kilatan aneh terloncat
dari matanya. Ada sesuatu yang disembunyikan.
pustaka-indo.blogspot.com41
"Hanya saja... apa Kangmas?" kejar Rangga.
"Ngg... tidak, tidak!" Suryadi gugup. "Tidak ada apa-apa.
Saya hanya membayangkan bahwa saat ini, pasti dialah kenya
yang paling berdebar hatinya mendengar kabar kepulangan Raden
dari Nederland." Batin Rangga berdesir. Kekhawatiran merambati sanubari.
Perjodohan, adalah harga mati bagi bangsawan Keraton Surakarta.
Ia teringat peristiwa yang menimpa pamannya, Kanjeng Pangeran
Arya Wijanarka, adik sang Rama. Sang Paman berani menolak
perjodohan yang telah digariskan oleh ayahnya. Ia bahkan
memilih menikahi seorang puteri abdi dalem yang berderajat
rendah. Akibatnya, ia diusir dari keraton. Sekarang, keberadaan
Sang Wijanarka sudah tak lagi dipertanyakan, seakan jika beliau
telah lumat tertelan bumi pun, barangkali pihak keraton tak akan
peduli. Rangga begidik. Apakah masalah yang menimpa Sang Paman,
akan juga menimpa dirinya" Hanya gara-gara ia menolak
perjodohan dengan Sekar Prembayun" Bagaimana pula reaksi
keraton jika ia justru mengajukan bidadari berambut jagung itu
sebagai istrinya. "Sudahlah, Suryadi... jangan mengajak Raden Mas berbicara
terus. Lihatlah, beliau tampak sangat lelah. Bayangkan, berminggu"minggu ia menempuh perjalanan dengan kapal api. Betapa letihnya?"
"Oh, menawi mekaten, dalem nyuwun agunging samudra
pangaksami, Raden Mas...," Raden Suryadi mengangguk takzim.
Rangga hanya tersenyum geli melihat tingkah Suryadi yang
tampak serba salah. Strata sosial di tanah Jawa memang masih
begitu kental menghiasi adat-adatnya. Imperialisme Belanda
pustaka-indo.blogspot.com42
semakin melanggengkan tradisi feodalisme yang memuakkan itu.
Apakah ia bisa mendobrak tradisi semacam itu"
Entahlah! Nanti saja ia pikirkan. Sekarang, ia benar-benar
teramat lelah. "Ada kabar baik," timpalnya sembari merebahkan tubuh di
sandaran kursi empuk kereta. "Beberapa industri pesawat terbang
sudah didirikan di Eropa dan Amerika, juga Jepang. Memang
masih berupa pesawat untuk bertempur. Tetapi saya
membayangkan, bahwa sebentar lagi, para orang sipil juga bisa
diangkut memakai pesawat terbang."
"Jadi, seperti Raden Gatot Kaca yang bisa terbang,
Denmas?" Suratman menatap kagum sang Raden Mas.
"Lebih dari Gatot Kaca. Jika Gatot Kaca hanya terbang
sendirian, dengan memakai pesawat, kita bisa terbang bersama"sama," jawab Rangga.
Suratman terlihat sangat takjub. "Saya benar-benar takjub
dengan kepintaran para walanda. Melihat kereta api saja saya
sudah terkagum-kagum, bagaimana jika saya diberi kesempatan
melihat, atau bahkan menaiki pesawat terbang?"
Lagi-lagi Rangga tersenyum geli. Raden Ngabehi Suratman yang
orang kepercayaan KGPH Suryanegara itu ternyata begitu polos.
Ketika ia terbangun dari tidur lelapnya, secangkir teh manis
dan sepiring kue terbungkus daun pisang telah terhidang di meja
kamarnya. Pelan Rangga meraih kue tersebut, membuka
bungkusnya dan memotong ujungnya dengan gigi serinya yang
putih mengilat. Manis, gurih. Keharuan menguar, mengingat
pustaka-indo.blogspot.com43
bahwa 8 tahun lebih ia tak menikmati kue kesayangannya itu.
Delapan tahun lebih ia hanya dijejali sandwich, daging asap,
kentang rebus atau keju Belanda yang terkenal itu.
"Semar mendem itu, Ibu yang khusus membuatkan untuk
andika, Le!" suara lembut seorang wanita setengah baya yang
sejak tadi mengamatinya mengusik perhatiannya. Rangga
menoleh dan tersenyum. Didekatinya sang Ibu, lalu dipeluknya
tubuh setengah tua namun masih terawat itu dengan lembut.
"Matur nuwun, Ibu. Ternyata, Ibu masih ingat apa kesukaan
tholemu ini!" Sang Ibu terlihat jengah dengan sikap Rangga.
"Ngger... jangan peluk ibumu seperti ini. Malu..."
"Kenapa, Ibu?" Rangga justru semakin erat memeluk Sang
Bunda. "Sudah delapan tahun kita tidak bertemu. Saya benar"benar merindukan Ibu."
"Kangen yo kangen, ning mboten pareng kados puniki, Ngger.
Andika ini ksatria bagus, jangan seperti anak-anak lagi."
Rangga tercenung sesaat. Tradisi Jawa... ya, tradisi Jawa. Atas
nama subasita terhadap orang tua, sering kali mereka memungkiri
gejolak cinta yang muncul, sehingga jarak sengaja dibangun untuk
menguatkan wibawa seorang tua. Rangga teringat, ketika kemarin
Sang Rama menyambutnya, ia hanya menepuk pundaknya seraya
menyungging senyum yang teramat pelit. Tak ada peluk cium. Tak
seperti reaksi Profesor De Vondell ketika tahu bahwa dia lulus
dengan summa cum laude. Tak ada keriangan yang dipertontonkan.
Tabu! Seorang bangsawan Jawa, pantang terlihat seperti anak-anak.
Padahal sikap kekanak-kanakan terkadang terasa begitu nikmat,
apalagi jika datang pada saat yang tepat. Terutama ketika orang"orang dewasa tengah terbebat berbagai persoalan menghimpit yang
pustaka-indo.blogspot.com44
membuat hidup terasa sempit.
Rangga menghela napas panjang.
"Ibu, kalau di Nederland sana, seorang ibu dan anaknya
berpelukan, itu sangat biasa. Apa ibu tidak senang, jika dipeluk
Rangga?" "Itu kan di Nederland, Ngger. Kalau di sini, lain. Tak lazim."
"Kalau sering dilakukan, nanti jadi lazim, Bu. O, ya...!"
Rangga berlari menuju lemarinya, membuka sebuah kopor.
"Kemarin saya lupa, saking letihnya... Saya bawa oleh-oleh buat
Ibu tercinta. Nah... ini dia!" Rangga mengambil sebuah kain
sutera dengan corak warna bunga tulip. "Kain ini pasti bagus
untuk Ibu! Kain ini diberi oleh Nyonya De Vondell. Profesor De
Vondell itu guru Rangga, Bu. Kami sangat akrab. Ketika saya
berpamitan, istri Profesor memberi kain ini, katanya untuk Ibu."
Kanjeng Raden Ayu Sintawati Suryanegara membelai kain
tersebut dengan mimik yang aneh. Ada kilatan kekaguman yang
sengaja tak ia pertontonkan, namun kelembutan hati Rangga
mampu mendeteksinya. "Ibu bisa memakainya saat hari raya. Bukankah beberapa
bulan lagi, hari raya tiba?"


De Winst Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau masih muslim, Ngger?"
"Mengapa Ibu bertanya begitu?" tanya Rangga, heran.
"Banyak orang Jawa yang ketika pergi ke Eropa, terus ikut
zending. Di kota ini saja sudah banyak yang menjadi pengikut
zending, termasuk orang-orang keraton. Baguslah kalau kau masih
muslim. Kemarin, Raden Haji Ngalim Sudarman
menanyakanmu. Apa kau bisa menjadi imam dan khatib shalat
pustaka-indo.blogspot.com45
Jum"at di Masjid Agung."
"Itu soal gampang. Saya masih hapal beberapa surat dalam
Al-Qur"an. Saat pergi ke Den Hag, saya pernah shalat berjamaah
dengan Tuan Muhammad Hatta, juga Tuan Nazir Pamuntjak.
Tetapi, Ibu senang dengan kain ini?"
"Apa Ibu pantes memakai kain ini, Ngger?" Sang Ibu
tersenyum bingung. "Kain ini memang bagus sekali. Seperti yang
biasa dipakai oleh para Noni. Tapi, apa nanti orang tidak akan
mencerca" Ibu kan biasanya pakai batik. Wong Jawa, Ngger...
gak usah neka-neka, nanti Ramamu malah duka."
"Ibu, menjadi manusia itu, terkadang harus bisa menjadi
dirinya sendiri. Jangan hanya mengikuti apa kata orang. Tapi
sudahlah, Ibu bisa memakai kain itu kapan saja. Sekarang... hm,
sejak tadi saya mencium gurihnya nasi liwet. Apa Ibu juga memasak
khusus untuk saya?" "Itu tadi Emban Minah, Le. Tapi yang ngracik bumbunya tetap
Ibu." "Wah, kalau Ibu yang membuat bumbunya, pasti benar-benar
mirasa! Perut saya menjadi semakin lapar, Bu!"
"Yo wis ndang, neda-a kana!"
"Ibu mau menemani saya?" Sambil menggelendot di bahu
sang Ibu, Rangga menyeret sang Ibu ke dapur.
KGPH Suryanegara yang kebetulan melihat kejadian itu
hanya geleng-geleng kepala. Sejak pulang dari Eropa, Rangga
menjadi kolokan seperti itu. Dan itu memalukan. Rangga memiliki
peluang untuk menjadi Raja di Kasunanan. Tingkah seorang calon
raja, tak selayaknya demikian. Murang tata! Ia harus menegurnya,
pustaka-indo.blogspot.com46
suatu saat, pasti! Sekarang bukan saat yang tepat. Rangga masih
letih. Berjalan-jalan mengitari kota Solo sungguh pekerjaan yang
mengasyikkan. Kanjeng Sinuwun Paku Buwana X telah
membangun kota yang dulunya hanya sebuah desa yang diapit
oleh 4 buah sungai, yaitu Bengawan Solo, Kali Wingko, Kali Thoklo
dan Kali Pepe itu menjadi sebuah ibu kota negara Mataram yang
jelita. Rangga telah memacu kereta kudanya mulai dari Dalem
Suryanegaran di kampung Baluwarti menuju alun-alun utara, lantas
ke Gapura Gladak, berbelok menuju Loji Wetan dan terus
menyusuri jalan sepanjang kampung Pasar Kliwon. Ia dapat
menyaksikan bahwa gapura-gapura, dalem-dalem para pangeran
dan pangageng parentah, serta rumah-rumah loji milik para pejabat
gubernemen, administratur perkebunan maupun pengusaha Arab
ataupun China berdiri dengan megah, dengan arsitektur menawan,
perpaduan Jawa, Tionghoa, Timur Tengah maupun Eropa.
Seperti yang ia dengar dari cerita Sang Ayah, leluhurnya, yakni
Kanjeng Sinuhun Paku Buwana II memindahkan pusat
kerajaannya ke Solo setelah pusat kerajaan Mataram di Kartasura
rusak berat karena pemberontakan yang dilakukan oleh RM
Garendi dan Adipati Martapura, dua bangsawan yang mbalelo
terhadap pemerintah. Gonjang-ganjing itu lebih dikenal dengan
nama geger pecinan, karena pemberontakan itu juga dikuatkan oleh
barisan keturunan China. Persekutuan di antara mereka telah
berhasil membobol tembok besar keraton yang tegak kukuh.
Ontran-ontran itu pun membuat ibu kota keraton Mataram di
Kartasura hancur luluh. Beruntung Kanjeng Sinuhun mendapat
pustaka-indo.blogspot.com47
bantuan dari Adipati Cakraningrat dari Madura. Pemberontakan
pun berhasil dipadamkan. Karena keraton tak lagi layak untuk didiami, lantas Kanjeng
Sinuhun mengutus Pangeran Wijil dan beberapa punggawanya
untuk mencari tempat yang cocok untuk mendirikan keraton
baru. Maka dipilihlah desa kekuasaan Ki Gede Sala itu sebagai
pusat pemerintahan Mataram yang baru. Dan keraton Mataram
pun dipindah dalam proses Boyong Wukir yang digelar secara
besar-besaran. Sayangnya, ketika Rangga mulai menyusuri jalan-jalan tak
beraspal ke desa-desa di pinggiran Solo, ia mulai merasakan
perbedaan kondisi yang pustaka-indo.blogspot.com48
sangat kentara. Aroma kemiskinan mulai tercium dari sosok-sosok
sulaya yang kekurangan nutrisi serta rumah-rumah yang tak berdiri
kokoh karena hanya dibangun dari dinding bambu, atap daun
rumbia dan beralas tanah. Ketika ia berpapasan dengan puluhan
rombongan buruh yang baru keluar dari sebuah pabrik, ia melihat
wajah-wajah mereka yang letih dan suram. Tak ada gairah
kehidupan. Tak ada aura kemakmuran dipertontonkan.
Rasa prihatin semakin menghinggap ketika Rangga mencoba
untuk mampir di sebuah warung kecil berbentuk gubuk di pinggir
perkebunan tebu. Warung itu sepi, hanya ada si penjual, yakni
seorang wanita Jawa setengah baya, serta seorang lelaki tua yang
tengah menyeruput segelas teh tanpa gula. Ketika Rangga bertanya,
mengapa tak memakai gula, lelaki itu tertawa sedih. Harga segelas
teh cem-ceman yang pahit hanya 2 sen, sedangkan jika harus memakai
gula, bisa 3 kali lipatnya. Rangga menggeleng-gelengkan kepala,
apalagi ketika menyadari bahwa di belakang warung itu terbentang
puluhan hektar perkebunan tebu, bahan pokok industri gula pasir.
"Sekarang ini kehidupan sangat sulit, Denmas"," keluh
Nyai Darmi, si pemilik warung. "Banyak buruh dipecat dari
pabrik dan perkebunan karena perusahaan itu bangkrut. Ketika
menjadi buruh, gajinya memang tak besar, tetapi cukuplah untuk
hidup meskipun hanya dengan makan nasi sekali sehari."
"Sekali sehari?"
"Ya. Kalau masih lapar, paling makan thiwul atau pohung
rebus." "Kalau jadi ndara seperti panjenengan ini, baru hidupnya enak,"
sahut si lelaki tua yang bernama Ki Jali. "Atau juga bisa menjadi
pegawai pamongpraja, ada gaji yang cukup. Seperti anaknya Pak
Lurah di kampung saya itu lho, Nyai Darmi" dia sekolah sampai
pustaka-indo.blogspot.com49
lulus MULO dan sekarang bekerja sebagai klerk di kantor pegadaian.
Sebulan sekali ia bisa memotong ayam. Dia itu cukup makmur."
Sebulan sekali memotong ayam, dan dikatakan cukup
makmur" Inikah potret bangsanya yang sesungguhnya" Rangga
semakin muram ketika mengetahui bahwa sebagian besar warga
di pedesaan itu, ternyata tak bersekolah. Paling-paling hanya
sekolah angka loro yang berlangsung di pendapa-pendapa balai
desa, yang hanya sekedar membuat murid bisa baca tulis. Itu
pun hanya segelintir saja yang mengikutinya. Sebagian besar
masyarakat buta huruf latin dan terpuruk dalam lumpur
keterbelakangan. Inikah buah politik etisch yang banyak didengung"dengungkan oleh kalangan Nederlanders"
Omong kosong! Ketika memutuskan untuk kembali ke Baluwarti karena hari
telah sore, Rangga tak sedikit pun mampu tersenyum. Ia memacu
kudanya, menyusuri lurung-lurung yang dibentuk oleh dua buah
tembok keraton yang dikapur putih dengan wajah murung. Beberapa
orang prajurit keraton, dengan peci khasnya, mengangguk hormat
ketika dia lewat, namun ia tak bergairah untuk menanggapinya.
Dan pada saat itulah, dari arah yang berlawanan, sebuah kereta
angin dikayuh dengan kecepatan tinggi. Rangga sontak menarik tali
kendali, menghambat laju kuda putih yang ia naiki. Rupanya, si
pengemudi sepeda itu pun melakukan hal yang sama, mengerem laju
kereta anginnya begitu menyadari ada yang tengah bergerak ke arahnya.
Mereka pun sesaat saling bertatapan. Wajah Rangga menyiratkan
kegeraman, akan tetapi pengemudi sepeda itu justru cengar-cengir.
"Sepertinya saya tidak menyalahi peraturan. Saya berjalan
pustaka-indo.blogspot.com50
di jalur sebelah kiri, sementara Anda berjalan di sebelah kanan!"
ujar Rangga, spontan. Pengendara itu tergesa turun dari sepedanya. Ia mengenakan
pakaian dengan gaya barat. Kemeja putih, syal, celana panjang
hitam, mantel panjang yang menutup hingga lutut, sepatu boot
dan topi lebar kas para cowboy. Namun, dilihat dari tinggi badannya
yang mungkin hanya sekitar 165 cm"beberapa cm lebih rendah
dari Rangga, serta warna kulit dan gurat wajahnya, ia jelas seorang
Melayu. Ia sangat tampan, itu jelas. Baru kali ini Rangga melihat
seorang pemuda remaja setampan itu di telatah Jawa. Ia jelas kalah
memesona dibanding pemuda bertubuh relatif mungil itu.
Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pemuda itu justru
mengangkat wajahnya. Terlihatlah pancaran mukanya yang
terkesan arogan. Pancaran wajah seorang aristokrat Jawa yang
pongah. Senyum di sudut bibirnya, sebenarnya membuat wajahnya
semakin terlihat tampan. Namun senyum tersebut justru semakin
mempertajam aura arogansi yang ia pancarkan.
"Tampaknya Anda orang baru di sini?" tanyanya, dengan
suara lantang. Rangga menghela napas, mencoba mengusir rasa jengkel
yang menyesaki rongga dadanya. Pemuda ini tampan dan dilihat
dari penampilannya, pasti anak orang kaya. Mungkin dia adalah
salah satu dari sedikit kalangan terpandang Jawa yang memiliki
kasta tinggi. Tetapi tingkah lakunya sungguh jauh dari kesopanan.
Apakah seperti itu para priyayi Jawa mendidik para puteranya.
Jika betul, sungguh menyedihkan.
"Saya asli Surakarta Hadiningrat. Lahir dan besar di kota
ini. Tetapi memang, sudah lama saya meninggalkan tempat ini."
Pemuda tampan itu menatap Rangga dari ujung rambut
pustaka-indo.blogspot.com51
hingga ujung kaki. Ada sedikit senyum congkak di sudut bibirnya
yang indah"terlalu indah untuk seorang lelaki.
"Oh, pantas...," ia mengangguk-angguk. "Pantas saya tidak
pernah melihat Anda selama ini. Kota Solo tidak luas, jadi saya
mengenal hampir seluruh penduduk di sini, apalagi yang aneh"aneh seperti Anda."
"Aneh" Saya aneh" Apanya yang aneh?"
"Berapa banyak pribumi yang berpakaian barat seperti Anda
di sini?" "Jika pakaian saya membuat saya terlihat aneh, berarti Anda
bahkan lebih aneh dari saya. Ini Jawa, Bung" bukan California.
Atau, Anda menganggap bahwa hanya Anda saja yang boleh
berpakaian aneh?" serang Rangga yang masih merasa kesal.
"Wah, pintar juga Anda bicara. Anda bahkan tahu bahwa
saya berpakaian gaya California. Jangan-jangan, Anda bahkan
pernah menginjakkan kaki di negeri para cowboy yang bagi saya
hanya disambangi dalam alam mimpi. Tampaknya, sungguh
mengasyikkan berkenalan dengan Anda. Siapa nama Anda?"
"Apakah berkenalan di tengah jalan, dalam kondisi yang
tidak mengenakkan seperti ini, merupakan bagian dari tata
krama?" "Tata krama?" Anak muda itu tertawa terbahak-bahak.
"Anda tahu California, tetapi masih berpikir tentang tata krama.
Sebenarnya apa tata krama itu" Mengapa kita harus larut dalam
aturan-aturan yang tak jelas siapa penciptanya?"
"Maksud Anda?" "Tata krama... tergantung sekali pada siapa yang berkuasa
pustaka-indo.blogspot.com52
saat itu. Bagi orang Jawa, makan tentu tak boleh mengeluarkan
suara. Saru! Tetapi, kenalan saya seorang Dai Nippon mengatakan,
bahwa di negerinya sana, untuk memperlihatkan penghargaan pada
para penghidang makanan, mereka harus makan seraya berdecak"decak," tantang pemuda itu sambil kembali mengangkat mukanya.
Tanpa malu, ia bahkan menirukan gaya orang dari negeri Matahari
Terbit itu ketika tengah menyantap hidangannya.
Rangga memalingkan wajah, risih.
"Jadi, menabrak orang, tidak meminta maaf, lalu bersikap
congkak, adalah bagian dari tata krama yang sedang Anda
ciptakan?" serang Rangga lagi, kali ini lebih getas, lebih menusuk.
"Aku tak peduli dengan berbagai jenis tata krama, subasita
dan segenap keluarganya. Aku ingin hidup dengan keinginanku
sendiri sebagai kendali. Siapa peduli dengan pandangan orang lain."
"Baiklah...," akhirnya Rangga merasa tak perlu lagi meladeni
pemuda itu. "Sepertinya, pembicaraan kita tak perlu diteruskan.
Maaf, saya buru-buru. Saya ada urusan." Ia pun segera menarik
kekang kudanya, menggeser tunggangannya beberapa meter dari
posisi sepeda. "Hei, tunggu! Begitu saja marah! Katakan, siapa namamu"!"
Rangga tak menjawab. Kuda putih itu pun melaju. Dari jauh,
terdengar pemuda itu berteriak-teriak.
"Dasar lelaki sombong! Awas kalau kita bertemu lagi!"
Hmm... tampan memang, tapi kalau tingkahnya liar seperti
itu, mana ada gadis baik-baik yang terpikat padanya.
pustaka-indo.blogspot.com53
Tuan Edward Biljmer adalah seorang Belanda totok
yang mengenyam pendidikan tinggi di Universiteit Leiden,
meskipun tidak sampai menyelesaikan jenjang strata
satunya. Ia baru 3 tahun kuliah di fakultas ekonomi
perguruan tinggi tertua di Nederland itu, ketika orangtuanya
ditugaskan sebagai pegawai tinggi di departemen
Binnenlandse Bestuur Hindia Belanda. Karena tidak mau
berpisah dengan mereka, ia pun memutuskan untuk cuti
dari kuliahnya. Namun hingga kini, setelah 7 tahun
berselang, kuliahnya tidak juga diselesaikan. Ia sudah
terlanjur kerasan tinggal di negeri jajahan Belanda tersebut.
Apalagi, ia telah menikah dan memiliki 2 orang anak.
Begitu mengetahui bahwa Rangga adalah sarjana
keluaran universitas besar itu, administratur pabrik gula
De Winst yang masih muda itu menyambutnya dengan
hangat, bahkan terkesan berlebihan dalam
menghormatinya. Ia mempersilahkan Rangga
menemuinya, langsung di ruang pribadinya.
pustaka-indo.blogspot.com54
"Senang saya bertemu dengan Anda, Tuan Rangga.
Ayahanda Tuan telah lama bercerita tentang Anda. Terus terang,
Anda mampu menembus bangku Leiden, itu sebuah prestasi
besar. Saya patut acungi jempol kepada Anda. Karena saya ingat,
dulu, sewaktu saya baru lulus sekolah menengah, saya harus
belajar mati-matian untuk bisa diterima di Leiden," ujarnya
dengan bahasa Melayu beraksen Eropa.
Rangga menelungkupkan kedua tangannya di dada,
tersenyum senang akan sambutan ramah lelaki bule itu.
"Dan setelah Anda diterima, Anda memutuskan untuk
meninggalkannya?" "Ah, sebenarnya hasrat untuk tetap berada di sana, begitu
menggebu. Saya pernah mendapat surat dari Meneer De Vondell.
Dia menuliskan, bahwa jika saya melanjutkan kuliah, beliau bisa
mengusahakan meskipun izin cuti saya hanya 2 semester, padahal


De Winst Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang sudah 14 semester. Akan tetapi, begitu banyak hal yang
harus ditinggalkan jika saya nekad berlayar ke Nederland. Jadi,
sudahlah... saya terima saja kenyataan ini."
"Saya mengenal orang yang Anda maksud, yakni Meneer
De Vondell. Beliau seorang profesor yang sangat pintar.
Hubungan kami cukup dekat. Beliau bahkan sempat menawari
saya untuk tetap tinggal di Nederland."
"Aha, begitukah" Silahkan duduk, Meneer Suryanegara. Saya
betul-betul girang menyambut kedatangan Anda!" Tuan Biljmer
menunjuk ke sebuah kursi kayu jati berukir halus dengan busa
empuk di bagian dudukan dan sandarannya. Sebuah kursi yang
pasti sangat mahal harganya. Lantas, lelaki bule itu pun membuka
tirai. Bentangan perkebunan tebu menjadi panorama yang
menawan, apalagi jika dipadukan dengan interior ruangan kantor.
pustaka-indo.blogspot.com55
Pucuk-pucuk kembang tebu yang berwarna putih, mengangguk-angguk,
seakan tengah bercakap-cakap dengan ujung tirai yang juga
berterbangan tertiup angin perkebunan.
Seorang jongos masuk dengan nampan berisi 2 cangkir kopi
susu dan meletakkan satu cangkir putih antik tersebut di depan
Rangga dan satu di depan sang administratur. Cangkir itu
sendiri terbuat dari keramik berkualitas tinggi dengan gambar
wanita Tionghoa, serta beberapa huruf kanji yang tak Rangga
ketahui artinya. "Ayah saya mengatakan, bahwa Tuan bersedia memberikan
pekerjaan kepada saya di pabrik ini?" tanya Rangga, langsung.
Kata KGPH Suryanegara, Tuan Biljmer memang paling tidak
suka berbasa-basi. Tuan Biljmer terlihat agak malu mendengar pertanyaan
tersebut. "Ah, Tuan... sebenarnya tak sepantasnya seorang sarjana
Leiden hanya bekerja di perusahaan yang tak terlalu besar seperti
ini. Pantasnya Anda menjadi ambtenaar di kantor gubernemen di
Buitenzorg sana, atau di maskapai-maskapai besar yang kantornya
pustaka-indo.blogspot.com56
terdapat di Batavia. Akan tetapi, jika Anda memilih bergabung dengan
saya, tentu ini sebuah kehormatan besar. Yah... kebetulan
perusahaan ini membutuhkan seorang asisten administratur untuk
bagian pemasaran. Anda tahu, saat ini krisis ekonomi tengah
melanda dunia. Malaise telah menjadi momok yang mengerikan.
Dunia industri, khususnya industri gula mulai terancam gulung tikar.
Dari sektor produksi, saya tidak mencemaskan, meskipun ada juga
sedikit permasalahan. Di antaranya sewa lahan perkebunan tebu
yang sudah hampir berakhir, akan tetapi belum ada kesepakatan
harga dengan desa-desa yang tanahnya kami sewa. Tetapi itu bukan
masalah besar. Yang membuat saya benar-benar tak mampu lelap
dalam tidur saya, adalah harga gula yang terus menerus melorot.
Butuh strategi pemasaran tertentu agar gula bisa dijual dengan harga
yang layak, meskipun mungkin tidak sebagus sebelum krisis. Yaa...
saya menyediakan jabatan asisten administratur bidang pemasaran
kepada Anda. Hanya sebuah jabatan kecil... sebenarnya tak layak
untuk seorang lulusan Leiden seperti Anda, Meneer..."
Hanya sebuah jabatan kecil, namun gajinya puluhan lipat lebih
tinggi daripada penghasilan Mbakyu Darmi. Betapa terpuruk
nasib bangsanya. "Jangan terlalu merendahkan diri, Meneer. Saya jadi
malu..." Rangga kembali tersenyum. "Anda harus sadari, saya
hanya seorang sarjana bar u lulus yang belum banyak
pengalaman. Tawaran Anda untuk bekerja di tempat ini,
sungguh sebuah kesempatan emas. Apalagi, saya membaca
di pekabaran De Express, bahwa di tengah malaise ini, De
Winst merupakan salah satu dari sedikit perusahaan yang
masih bisa bertahan."
"Itu semua berkat kerja keras semua pihak, Meneer!" wajah
pustaka-indo.blogspot.com57
Meneer Biljmer memerah karena senang. "Dan saya yakin, jika
Anda bergabung bersama kami, kita akan semakin kuat."
"Kapan saya bisa mulai bekerja di sini, Meneer?"
"Dalam pekan ini. Saya akan membicarakan terlebih dahulu
dengan para asisten administratur, sinder dan kontrolir.
Termasuk, berapa besar gaji yang layak Anda terima. Anda
memiliki kisaran angka?"
Rangga tersenyum. "Saya tahu, Anda menghargai
profesionalisme. Saya akan mencoba bekerja secara profesional.
Namun, saya menyadari, bahwa saya hanyalah seorang sarjana
yang belum memiliki pengalaman kerja...."
"Akan tetapi, latar belakang Anda sebagai alumnus Leiden,
benar-benar sebuah harga yang mahal. Kami menyadari hal
tersebut, Tuan... Baiklah, datanglah kembali ke tempat ini lusa.
Kami akan memberikan beberapa penawaran kepada Anda.
Semoga, Anda tidak menolak tawaran tersebut. Kami benar"benar sangat berharap, Anda sudi bergabung dengan kami di
pabrik gula De Winst ini."
Rangga kembali tersenyum. Keramahan dan kerendahan hati
yang ditunjukkan oleh Tuan Biljmer membuatnya lega. Tak semua
Nederlanders di Hindia seperti yang diceritakan oleh kawan-kawan
pribuminya, sesama studen di Nederland. Bahwa kaum Nederlanders
itu congkak dan memandang rendah insulande seperti dirinya.
Buktinya, Tuan Biljmer terlihat begitu menghormatinya,
meskipun ia tak tahu, apakah penghormatan itu tulus terpancar
dari hati nurani, atau hanya sekadar basa-basi belaka.
pustaka-indo.blogspot.com58
Malam yang gemintang... Di ruang depan, yang langsung berbatasan dengan udara
malam"sebab ruang tersebut memang sengaja tak dipagari
dengan dinding, melainkan hanya 4 buah soko guru berukuran
besar yang terbuat dari jati berukir halus"hawa dingin terasa
menyelusup hingga tulang sumsum. Lantai marmer, atap
genteng, langit-langit yang terbuat dari ukiran kayu jati, serta
sebuah lampu kristal dengan cahaya yang tak terlampau
menyilaukan, mencipta nuansa yang elegan. Di tengah ruang,
empat buah kursi kayu jati melingkari sebuah meja bundar yang
dilapisi selembar taplak berenda putih. Rangga duduk dengan
tenang sembari menekuri sebuah buku tebal berbahasa Belanda.
Sebuah karya sastra tulisan Shakespiere yang telah diterjemahkan
dalam bahasa negeri Kincir Angin. Buku itu dihadiahkan sang
bidadari berambut jagung itu kepadanya. Ada dua pilihan bahasa,
Inggris dan Belanda, namun Rangga memilih buku yang
berbahasa Belanda. Sebenarnya, Rangga juga cukup menguasai
bahasa Inggris, namun untuk bahasa Inggris dengan muatan
sastra yang kental, ia sering merasa kesulitan.
Ada sebuah nuansa yang unik ketika keindahan bahasa
besutan Shakespiere itu dipadu dengan alunan suara gambang
yang dimainkan oleh Raden Ngabehi Suratman dari ruang
gamelan. Rangga seakan telah terbius oleh keindahan yang begitu
memesona. Saking terhipnotisnya ia oleh supernova seni yang
meletup-letup di keheningan malam, ia tidak menyadari bahwa
sejak tadi, Sang Rama telah berdiri mengamatinya dari belakang.
Pancaran muka KGPH Suryanegara menyiratkan semesta bangga
mendapati sang putera telah terukir sedemikian sempurna.
Namun tentu saja, sebagai bangsawan Jawa, pantang baginya
mengekspresikan perasaannya secara berlebihan.
pustaka-indo.blogspot.com59
"Bolehkan Rama berbicara denganmu, Rangga?"
Rangga tersentak, supernova itu pun terkoyak, namun
semesta bahagia yang tersadap dari tatapan mata sang Rama tak
kalah memesona. Ia pun menoleh dan tersenyum. Ditutupnya
buku sastra berjudul Hamlet itu seketika, lalu ia bangkit, menarik
sebuah kursi untuk sang Ayah dan dipersilahkannya sang Ayah
untuk mendudukinya. "Bagus, tata kramamu sebagai bangsawan Jawa masih kau
pegang erat, Nak... meski kau sudah lama tinggal di Barat," puji
Sang Ayah. Tentu saja ucapan tersebut tak sepenuhnya benar.
Untuk ukuran Jawa, semestinya seorang anak ndeprok, bersila di
lantai, sementara sang Ayah duduk di kursi yang tinggi, tidak sama"sama menempatkan diri sejajar seperti sekarang ini.
Rangga cukup memahami, meski berasal dari ningrat yang
kental darah birunya, Sang Ayah sudah cukup terwarnai gaya
pergaulan orang-orang Belanda, khususnya para administratur
di berbagai perkebunan yang banyak terdapat di daerah pinggiran
surakarta, seperti Colomadu, Tasikmadu, Sukoharjo dan
sebagainya. Ia tak terlalu ortodok dalam beberapa hal, meskipun
masih banyak juga prinsip yang ia anut dengan sangat kuat.
"Bagaimana perbincanganmu dengan Meneer Biljmer tadi
siang?" "Sangat menyenangkan, Rama. Mulai lusa, Meneer Biljmer
sudah mengizinkan saya untuk bekerja di sana. Begitu mudah
prosesnya. Ini tentu berkat pembicaraan Rama sebelumnya?"
"Kebetulan, sejak 4 tahun yang lalu, Rama juga memiliki saham
atas perusahaan tersebut, Rangga. Mungkin itu salah satu hal yang
membuat Tuan Biljmer menerimamu dengan proses yang mudah."
pustaka-indo.blogspot.com60
"Oh, begitu" Berapa persen saham yang Rama miliki?"
Rangga memiringkan kepala seraya memicingkan sepasang
matanya. Apa yang disampaikan oleh Sang Ayah merupakan hal
baru baginya. Hal baru yang sangat menarik.
"Hanya seperlima dari semua modal yang ada. De Winst
pernah kekurangan modal. Seorang pemilik modal dari Swiss
mencabut modalnya karena keuntungan yang dicapai oleh
perusahaan semakin hari semakin menurun, yang hal itu disebabkan
oleh malaise. Orang Swiss itu lebih memilih berinvestasi untuk
perkebunan kopi yang tidak terlalu melorot harganya."
20 persen untuk kapital perusahaan sebesar Pabrik Gula
De Winst, tentu bukan jumlah yang kecil. Mungkin angkanya
bernilai hingga jutaan"bahkan puluhan juta gulden. Rangga
terkejut, menyadari betapa kayanya sang Rama. Pantas saja,
beliau bisa membiayainya sekolah selama bertahun-tahun di
Eropa yang biayanya tentu tak sedikit. Memang ada bea siswa
dari gubernemen, akan tetapi jumlahnya tidak seberapa. Hanya
cukup untuk membeli buku-buku dan biaya sewa rumah.
"Seperlima memang jumlah yang kecil, Rangga... tetapi
Rama tetap ingin ada orang yang ikut mengawasi jalannya
perusahaan. Selain Meneer Biljmer, Rama tidak percaya kepada
orang-orang kulit putih yang mengendalikan pabrik. Mereka
sering mempecundangi para inlander seperti kita. Bahkan sering
kali Rama tidak diikutsertakan dalam rapat-rapat pemilik modal
dalam menentukan kebijakan pabrik. Tentu saja Rama marah
sekali. Rama pun mengancam Meneer Biljmer sebagai pemilik
saham terbesar. Jika saya tetap tidak dilibatkan, saya akan cabut
modal itu. Oleh karenanya pula, saya meminta agar kau diterima
menjadi salah satu bagian pengambil keputusan di sana."
pustaka-indo.blogspot.com61
Rangga mengangguk-angguk. Jadi, tak hanya karena ia
seorang alumnus Leiden. Lebih dari itu, ia adalah anak dari salah
seorang komisaris. Betapa kuat posisinya di perusahaan tersebut.
"Apa jabatan yang dijanjikan Tuan Biljmer kepadamu?"
"Asisten administratur pemasaran."
KGPH Suryanegara terdiam sesaat. Seperti tengah berpikir
keras. "Hanya asisten"! Yah... tak apalah. Untuk permulaan,
mungkin jabatan tersebut sudah cukup baik. Akan tetapi, kau
harus berusaha keras untuk meraih jabatan yang lebih tinggi lagi.
Jika pun ada orang yang duduk sebagai atasanmu, satu-satunya
orang tersebut adalah Tuan Biljmer sendiri."
Lagi-lagi Rangga terkesiap. "Hampir seluruh petinggi
perusahaan tersebut adalah orang kulit putih..."
"Dan kau, sebagai seorang inlander, harus bisa mengalahkan
mereka. Kau harus buktikan, bahwa kau jauh lebih unggul
dibanding dengan bule-bule yang pekerjaannya hanya berpesta"pesta, menjarah kehormatan perawan-perawan pribumi dan
menghambur-hamburkan uang perusahaan. Selain malaise sikap
merekalah yang telah membuat perusahaan hampir bangkrut.
Ingat, Rama menyekolahkan kamu jauh-jauh ke Nederland,
adalah agar kau bisa mencuri ilmu mereka. Dan dengan ilmu
tersebut, kau harus bisa menegakkan kehormatan bangsa yang
terinjak-injak." Bulatan di sepasang mata Rangga semakin melebar. Lama
ia tidak berbicara dengan Sang Ayah, sekarang ia benar-benar
baru memahami, perasaan apa yang sebenarnya bergejolak di
dada lelaki yang sering kali terlihat begitu angkuh tersebut.
Angkuh sebagai ayah kepada anak, tentu saja. Di luar sana,
pustaka-indo.blogspot.com62
Rangga sering mendengar cerita-cerita kepahlawanan Sang Rama
dalam membela masyarakat yang tertindas. Dan satu hal yang
membuat Rangga cukup berbangga hati adalah sikap setia
ayahnya itu kepada Sang Istri. Adalah sebuah hal yang lazim
bagi bangsawan keraton untuk memiliki istri lebih dari satu,
bahkan hingga belasan atau puluhan, baik istri resmi alias garwa
padmi, maupun para selir alias garwa ampeyan. Bukan rahasia lagi
jika para pangeran, raden mas atau tumenggung, juga memiliki
perempuan-perempuan klangenan di berbagai tempat. Kebiasaan
para lelaki Jawa yang sering menyerahkan sang istri untuk digagahi
para bangsawan, hanya karena menginginkan keturunan berdarah
ningrat, sungguh memuakkan hati Rangga. Ia bersyukur, karena
Sang Rama tak pernah terdengar melakukan hal-hal nista
semacam itu. "Apakah ayah terilhami oleh pemikiran Soekarno dan
Hatta?" "Tak harus. Seorang pribumi yang mau berpikir, pasti
menyadari hal tersebut. Kita ini bangsa yang memiliki
kehormatan, Nak... bukannya bangsa para budak belian. Bangsa
kita telah ada sejak zaman silam sebagai sebuah bangsa yang
besar. Dulu ada Majapahit, ada Sriwijaya, ada Singasari... dan
Mataram Islam pun telah lama menetap dengan kejayaannya.
Sebagai keturunan Sultan Agung, kita harus tetap mewarisi sikap
beliau yang antipati terhadap penjajahan asing. Apalagi, telah
terbukti betapa pintar sekalian Nederlanders itu memecah belah
persatuan dan kesatuan istana Mataram. Seperti sekarang ini,
kau melihat dengan jelas, betapa negeri warisan Panembahan
Senapati Ing Alaga, telah terpecah menjadi empat.
Menyedihkan sekali.... Lebih menyedihkan lagi, orang"pustaka-indo.blogspot.com63
orang dalam keraton sendiri banyak yang tidak menyadari bahwa
sebuah perang peradaban tengah dilancarkan oleh barat kepada
kita. Satu persatu budaya Timur yang adiluhung mulai terkikis.
Banyak orang keraton yang terlena dengan derajat mereka yang
tinggi, tak tahu bahwa mereka tengah berada di jurang
kehancuran. Kau tahu, bisa apa orang-orang keraton itu, jika
masa aristokrasi berakhir" Saya meyakini, jika orang-orang seperti
Sukarno, Hatta, Gatot Mangkupraja dan sebagainya berhasil
memerdekakan negara ini, demokrasilah sistem yang akan
mereka pilih, bukannya melanggengkan feodalisme. Orang-or"ang keraton harus siap berubah menjadi orang biasa sebagaimana
rakyat jelata." Sesaat KGPH Suryanegara menghela napas panjang. "Tetapi,
segeram apapun terhadap kondisi yang ada, Rama tidak mau


De Winst Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terseret dalam hiruk-pikuk perlawanan melalui jalur politik. Biarlah
itu menjadi jatah mereka, para cendekiawan pribumi seperti
Soekarno, Cipto Mangunkusuma, Hatta dan sebagainya. Cukuplah
bagi Rama"dan juga kau, untuk bekerja sebaik mungkin,
menciptakan peluang kerja untuk kaum pribumi sebanyak
mungkin, dan mempersiapkan sendi-sendi ekonomi yang kuat. Jika
bangsa kita merdeka, kemandirian ekonomi menjadi suatu hal yang
sangat penting, kau tahu itu... Dahulu ada Sarekat Dagang Islam
yang dipimpin Kiai Haji Samanhudi yang tumbuh dari kota kita
ini. Tujuan mereka baik, memajukan perekonomian para pedagang
pribumi. Akan tetapi, belum-belum mereka telah menaruh
kecurigaan kepada para ambtenaar dan kalangan keraton yang tidak
boleh menjadi anggota mereka. Kini, Sarekat Islam telah kehilangan
tajinya karena digerogoti orang-orang merah yang menjadi dalang
pemberontakan tahun 1926 kemarin."
Kini dengan penuh perhatian Rangga menatap wajah sang
pustaka-indo.blogspot.com64
ayah. Seraut wajah kukuh yang tampan dan penuh wibawa. Raut
wajah yang semestinya layak memimpin kerajaan Kasunanan di
masa depan. Namun, tampaknya beliau tidak terlalu berminat
untuk terlibat dalam percaturan kekuasaan. Suatu sikap yang
Rangga sendiri sangat setuju. Masa aristokrasi sudah hampir
berakhir. Kehidupan yang egaliter telah menjadi doktrin para
kalangan moderat di hampir semua belahan bumi ini. Revolusi
Perancis telah mengilhami bangkitnya para kalangan terdidik
untuk menghancurkan sekat-sekat kasta yang menggolong"golongkan manusia berdasarkan status sosial. Sudah bukan
masanya lagi seseorang menunduk-nunduk kepada orang lain
hanya demi menjalankan tata krama yang berlaku. Tak ada lagi
penindasan orang kepada orang lain. Semua duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi. Mendadak Rangga teringat kepada Profesor De Vondell.
Ilmuwan tersebutlah yang sering menanamkan pemikiran semacam
itu kepadanya. Dan tiba-tiba, ia merasakan kerinduan yang sangat
terhadap lelaki tua yang bijaksana itu. Kerinduan yang diiringi
penyesalan, karena ia belum mampu menjalankan pesan sang
profesor untuk aktif di IV. Mestinya, di tengah kesibukannya
sebagai asisten sang guru besar, ia harus meluangkan waktu untuk
aktif di pergerakan menuju kemerdekaan seperti yang dilancarkan
oleh para aktivis IV. "Meskipun kau adalah lulusan barat, Rama tidak pernah
mengharapkan jika kau terseret dalam kehidupan yang serba
bebas. Termasuk dalam memegang tata krama pergaulan. Kau
dikirim ke Nederland untuk mencuri ilmu mereka, bukan untuk
menjadi seperti mereka. Rama harap, kau camkan kata-kata
tersebut." pustaka-indo.blogspot.com65
"Tentu saja, Rama... saya akan berusaha untuk tetap
memegang teguh tradisi ketimuran yang adi luhung tersebut,"
ujar Rangga, mantap. "Termasuk dalam masalah perjodohan, Ngger... aku tak mau
kau terlalu bebas bergaul dengan para wanita. Dalam hal ini,
Rama ingin mengingatkanmu, bahwa kau telah diikat janji untuk
menikahi seorang wanita yang berasal dari kalangan terhormat..."
Dada Rangga berdesir. "Maksud Rama tentu... Diajeng Sekar Prembayun?"
"Siapa lagi" Bukankah kalian memang telah bertunangan
sejak lama" Sudahkah kau mengunjunginya setelah pulang dari
negeri Belanda?" Rangga terdiam. Meskipun memiliki jiwa yang lebih moderat
dibandingkan para bangsawan lainnya, untuk yang satu ini,
sepertinya sang ayah cukup teguh bersikukuh. Sekar Prembayun"
Ia bahkan sudah tak bisa membayangkan lagi, seperti apa wujud
sosok itu sekarang. Dan masalah pertunangan" Ia tak pernah menginginkan hal
itu. Ia tak pernah menyatakan kesetujuan. Semua telah diatur
oleh para orang tua... jauh, sebelum ia mengenal makna sebuah
ikatan pertunangan. Saat ia masih terlalu muda untuk bisa
mengambil keputusan. Inilah salah satu standar ganda yang ingin
ia protes dari sang Ayah. Dalam satu sisi, ia menginginkan agar
anak-anaknya menempuh pendidikan modern, namun di sisi yang
lain, ia tetap mempertahankan beberapa tradisi kolotnya.
Rangga menghela napas panjang.
"Besok malam, Rama dan Ibu hendak berkunjung ke rumah
pustaka-indo.blogspot.com66
Dhimas Surya Kusuma. Kau harus ikut, karena ini menyangkut
kejelasan hubunganmu dengan Sekar Pembayun."
Sekar Pembayun... seorang wanita yang dijodohkan
dengannya. Ia mencoba membayangkan roman muka sang gadis,
namun sekelebat raut wajah yang melesat di batinnya justru
Everdine Kareen Spinoza... wanita itulah yang diam-diam telah
mencuri hatinya. Pelan, ia meraba horloge yang tanpa sadar selalu
ia kenakan di saku bajunya.
Ada sebuah getaran perih mampir di jiwanya...
pustaka-indo.blogspot.com67
Bahang sang surya menancap bumi, bak jutaan
anak panah cahaya yang bertaburan dari langit. Namun
pohon-pohon besar di Kebon Raja menyurutkan panas
yang menjerat, sehingga sejuklah yang menstimulasi
jutaan sel kulit di tubuhnya.
"Jadi sekarang kau telah menjadi salah seorang
petinggi di pabrik itu?" sebuah suara tiba-tiba
mengejutkan Rangga yang tengah asyik menikmati kopi
susunya di sebuah kedai kopi dekat Kebon Raja
Sriwedari, menunggu pemutaran sebuah film di bioskop.
Beberapa hari tinggal di Solo tanpa kegiatan, selain
berputar-putar menyaksikan dari dekat kehidupan kaum
pribumi membuat Rangga merasa sedikit jenuh.
Meskipun menonton film bukan kebiasaannya saat di
Belanda, ketika melewati gedung bioskop dekat
Sriwedari, ia tertarik juga untuk menonton. Sayang, film
baru dimulai setengah jam lagi. Maka, untuk membunuh
waktu, ia pun memutuskan untuk singgah di sebuah kedai
kopi di pinggir jalan. pustaka-indo.blogspot.com68
Tampaknya, kedai kopi itu lebih diperuntukkan untuk
kalangan atas, baik kaum pribumi maupun kulit putih dan bangsa
China. Terbukti, kebanyakan pengunjungnya berpakaian ala
barat. Ada satu set permainan bola sodok. Juga piringan hitam
yang memainkan lagu-lagu irama waltz. Sangat cocok untuk
dipakai berdansa. Suasana di kedai itu sungguh sangat kontras
jika dibandingkan dengan kesederhanaan yang ditampilkan di
kedai Nyai Darmi di pinggiran kota Solo bagian selatan.
"Kau tak jawab pertanyaanku?"
Rangga mengangkat kepala, dan sepasang matanya
membentur pada seraut wajah berparas tampan. Sangat tampan.
"Ah, kau rupanya?" dengusnya, dingin.
"Kebetulan, saya juga ingin menonton film. Tetapi karena
masih harus menunggu, saya akhirnya mampir ke sini. Siapa
namamu, anak muda?" Tawa Rangga hampir meledak mendengar sapaan "anak
muda" yang keluar dari bibir indah"terlalu indah untuk seorang
laki-laki itu. Tampaknya, ia lebih tua dari pemuda itu beberapa
tahun. Pemuda itu terlihat masih sangat belia.
"Apa maksud dari pertanyaan Anda, Tuan Muda?"
"Tuan Muda?" si belia yang tampan itu tergelak. "Kenapa
kau begitu suka pada sebutan yang formil-formil seperti itu"
Panggil saja namaku tanpa embel-embel. Panggilan formil selalu
mengingatkanku pada muka para penjilat. Sepertinya, kau tidak
ada tampang penjilat."
Rangga menelan ludah. "Saya tidak tahu nama Anda. Jadi,
bagaimana saya bisa..."
pustaka-indo.blogspot.com69
"Namaku... Kresna."
"Nama lengkapnya?"
"Untuk apa nama lengkap" Apa sih artinya sebuah nama"
Saat ini, saya bisa mengaku bernama Kresna. Besok, William.
Besok lagi... Robert... dalam sehari, saya bahkan bisa mengarang
seribu nama." "Bagi seorang muslim, nama itu doa. Seorang ayah, ketika
memberikan nama kepada anak-anaknya, pasti disertai muatan
harapan yang baik." "Dan saya bisa menciptakan seribu nama yang baik, yang
bermuatan doa, sehingga semakin banyak harapan yang saya
miliki." "Terserah Anda sajalah," desis Rangga akhirnya, kesal.
Pemuda di hadapannya itu, benar-benar pintar bersilat lidah.
"Namamu siapa?"
"Katanya, apalah arti sebuah nama?" sindir Rangga.
Kresna, pemuda itu kembali tergelak. "Kau ini kelihatannya
angkuh, tetapi sebenarnya cukup menyenangkan."
Siapa yang angkuh" Aku atau kau" Gemas Rangga dalam hati.
"Baiklah... aku tidak mau berbelit-belit. Namaku Rangga."
"Tentu dengan embel-embel "Raden Mas" yang selalu kau
sandang dengan bangga bukan?" bibir Kresna mencemooh.
"Saya tidak pernah peduli apakah saya seorang raden mas
atau rakyat jelata. Saya ada karena saya punya wujud, punya
pengharapan, punya pemikiran, punya usaha, punya...
idealisme..." pustaka-indo.blogspot.com70
"Cogito ergo sum" Idealisme" Apakah seorang petinggi pabrik
yang membiarkan buruh-buruhnya digaji sangat rendah, bisa
dibilang sebagai orang yang memiliki idealisme" Seorang pemuda
terpelajar yang tidak peduli nasib bangsanya, bisa dikatakan seorang
idealis" Saya meragukan kata-kata Anda." kini bibir Kresna terang"terangan menyunggingkan senyum mengejek. Jujur saja, Rangga
mendadak ingin sekali mengayunkan tangannya untuk
menggampar bibir yang terlalu indah untuk seorang lelaki itu.
"Maksud Anda apa?"
"Pura-pura tidak tahu" Anda tidak tanya kepada buruh
tempat di mana Anda bekerja sebagai orang penting, bahwa
mereka hanya digaji 45 sen sehari" Bisa untuk beli apa uang 45
sen" Kalian ini benar-benar tak lebih sekumpulan pemeras.
Kalian memerah tenaga para buruh, mempekerjakan habis"habisan mereka, tanpa memberi upah yang layak."
Hong Lui Bun 14 Rahasia Bukit Iblis Pit Mo Gay Karya Kauw Tan Seng Aksara Batu Bernyawa 2

Cari Blog Ini