Ceritasilat Novel Online

It Takes Two To Love 3

It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar Bagian 3


"Lo rela ngelepasin Andien demi gue" Buat apa" Lo gila ya"
I"m nothing, Gi! Gue cuma sahabat lo, tapi Andien bakal calon
pendamping lo..." Suaraku tercekat ketika mengatakan hal itu.
Seperti antara rela dan tidak rela, tetapi aku harus tega dan
bersikap dewasa. Igi menelan ludah dan menatapku lebih dalam. "Sar, gue
akan lebih memilih lo karena lo penting buat gue, sedangkan
gue baru kenal Andien dua tahun, tetapi lo" I"ve known you for
my whole fuckin" life!"
Aku tambah pusing. Di pikiranku berpacu begitu banyak hal
yang semakin ruwet dan kacau seperti benang kusut. Aku menegakkan tubuh hingga wajahku berhadapan langsung dengan
wajahnya. Wajah kami hanya dibatasi ruang selebar sepuluh
sentimeter, aku memandang langsung ke matanya.
"Gi, sekarang giliran gue yang nanya sama lo, do you love
her?" Igi terdiam. Dia menatap mataku tanpa putus seakan hendak
mencari jawabannya di sana. Tak hentinya Igi menatap mataku. "Gi, do you love her?" ulangku. Aku menahan napas menunggu jawabannya. Setelah sekian menit terdiam, Igi akhirnya mengangguk, "I
think I do... tapi gue tidak tahu, Sar, gue ragu... tapi..." Keraguan memang tergambar jelas di mata dan ucapannya. Aku
menghela napas. Aku tahu, sebagai sahabatnya, aku harus
memberinya kekuatan serta meyakinkan dirinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com155
"Jangan ragu, Gi! Jangan sampai ada penyesalan, this is your
life, not mine. Lanjutkan hubungan lo sama Andien, dan gue
mau lo tahu bahwa gue akan selalu ngedukung lo. Kalau lo
memang ragu, gue akan membantu lo menyakinkan diri lo,"
aku menarik napas sesaat, "tetapi... kalau lo meminta gue menentukan nasib hubungan kalian berdasarkan hati gue, tidak
akan bisa... kalian yang akan menjalankannya. Keberadaan gue
hanya sebagai sahabat lo. Gue tidak berhak ikut campur dalam
kehidupan lo." Igi terdiam mendengar ucapanku. Matanya masih menatapku, mencari kebenaran. Aku tidak berani menatap wajahnya.
Aku menunduk. Kemudian Igi menggenggam tanganku dengan
sangat erat. "Boleh gantian bertanya" Now my question is, do you love
Jans?" What" Aku tambah tidak mengerti. Apa hubungan semua
ini dengan Jans" Meskipun aku mempertanyakannya dalam
hati, aku tetap memberikan Igi jawabannya. Aku pun mengangguk, "I love him, Gi... I do love him..."
Igi tak berkata apa pun lagi setelah mendengar pengakuanku. Dia hanya mengangguk kemudian mencium keningku
hingga wajahku memerah karena malu. Igi jarang sekali mendaratkan ciuman di wajahku. Lalu Igi beranjak menuju mobilnya. "Well, we have our life now. Gue dengan Andien, lo dengan
Jans...," Igi terdiam sejenak, "rasanya aneh, tetapi harus kita
jalani. Pasti akan terasa aneh karena kita sudah terbiasa satu
sama lain dari dulu... dan?"
Aku mengangguk. Kalimat Igi menggantung. Aku menunggunya. Igi menatapku lekat. Aku melihat matanya sekarang berkaca-kaca. "Sar, gue boleh jujur sama lo?"
Aku mengangguk. http://pustaka-indo.blogspot.com156
Igi menunduk, kemudian perlahan berkata, "The truth is, gue
pernah berharap ada sesuatu di antara kita, Sar... tetapi...," Igi
mengangkat bahunya dan tersenyum sedih. "Kalau boleh jujur,
dulu gue sempat kecewa ketika lo jadian sama Jans, that"s why
gue pergi ke London" Gue... gue sakit hati dan cemburu."
Semua omongannya menggantung.
Aku sungguh terkejut dengan pernyataannya. Igi" Benarkah"
Jadi dulu sikap anehnya karena dia... cemburu dan...
Perkataan Maya seakan berputar kembali... Jangan-jangan Igi
cemburu lo jadian sama Jans"
Kepalaku tiba-tiba pening...
Igi melanjutkan lagi, "...tetapi ternyata kita memang tidak
ada benang merahnya ya, Sar... dan jalan yang kita lalui memang berbeda. Elo ke kiri, sedangkan gue ke kanan. Kita tidak
akan bisa bergandengan tangan. Malahan, gue melihat lo
sepertinya meant to be with Jans, buktinya lo sampai sekarang
bisa awet dan sepertinya kata sahabat akan terus melekat
dalam diri kita berdua, selamanya, dan tidak lebih." Igi tertawa
kecil, tetapi tawanya terdengar hambar dan rasanya sungguh
pilu dan menyakitkan bagiku yang mendengarnya. Dia seperti
menyimpan kekecewaan yang besar di hatinya.
Aku tercenung mendengar pengakuannya hingga tidak bisa
berkata apa pun lagi. Duh, Igi, sekarang hidupku sudah dipenuhi cinta Jans. Kenapa baru sekarang kamu membuat pengakuan ini" Kenapa dulu kamu membisu, Gi" Kenapa tidak dari
dulu kamu membuka diri dan jujur" Apakah sahabat tidak bisa
mengungkapkan perasaan kepada sahabatnya sendiri" Apakah
itu tabu" Igi melambaikan tangan, masuk ke mobil dan menyalakan
mesinnya. Mobilnya menghilang perlahan dari hadapanku.
Setitik air mata mengalir di pipiku. Ketika mobilnya menjauh,
aku merasakan persahabatan kami ikut menjauh.
Apakah aku akan kehilangan sahabatku"
http://pustaka-indo.blogspot.com157
TIGA bulan berlalu setelah pertemuan kami pada pagi itu.
Perlahan semua mulai berubah tanpa kusadari sepenuhnya. Igi
menarik diri dari kehidupanku, begitu juga diriku. Hubunganku
dengan Igi mulai merenggang dan jauh dari kata akrab seperti
dulu. Seakan ada jurang membentang semakin lebar dan tidak
memungkinkan kami untuk melintasinya. Sering aku melihatnya dari kejauhan dan hanya bisa mengamati. Rasa enggan
selalu melintas di hatiku secepat diriku mendeteksi kehadirannya. Sepertinya Igi juga melakukan hal yang sama. Aku
menciptakan jurang itu agar bisa melupakan perkataan yang
mengejutkan, meski teramat sulit dan mungkin Igi juga menciptakan jurang yang sama agar bisa merenungi ucapannya
sendiri dan memperbaiki perasaannya.
Tiba-tiba saja aku merasa pipiku disentuh seseorang.
"Heh! Ngelamun jorok lo ya" Kalau mau horny sama Jans
entar malam saja gitu, nek! Jangan sekarang, nggak seru!"
Pipiku dijawil oleh Maya, membuatku tersentak sedikit kaget.
Maya muncul di ruanganku lagi, padahal dia baru saja meninggalkanku sendiri setelah kami selesai membahas mengenai
halaman fashion untuk edisi mendatang.
http://pustaka-indo.blogspot.com158
"Sialan lo! Siapa juga yang ngelamun jorok?" aku misuhmisuh. Maya tertawa geli melihatku dan duduk di meja tepat di
hadapanku. Tangannya mulai iseng dan bergerilya ke sana kemari
mengambil apa saja yang bisa diambil tangan jailnya. Dengan
sukses dia mengambil pulpenku dan mulai mencoret-coret kertas
kosong. Tak lupa dua permen yang langsung memenuhi mulutnya. Aku melihat bibirnya yang terpoles lipstik pink muda
bergerak-gerak mengunyah permen hasil jarahannya.
"Lo nggak makan?" tanyanya tanpa tertuju pada siapa pun
karena dia asyik mengikir kukunya.
"Hah, lo nanya sama gue?" jawabku pura-pura bego. "Gue
kira lo lagi bicara sama kuku lo."
Maya melempar bungkus permen ke arahku. Untung aku sempat menghindar dengan lincah. Eits! Sekarang giliranku yang
melempar sampah yang sudah dibuat olehnya. Kalau sampai Pak
Badu, office boy kantor ini melihatnya, dia bisa marah nih!
"Iya, ini sudah waktunya makan siang. Lo nggak mau makan" Gue pengin makan soto Betawi nih, temenin gue yuk!
Kita ke tenda biru belakang kantor."
"Malas, ah!" sahutku. Aku menyandarkan tubuh ke kursiku
yang empuk. "Dasar! Muka lo pucat tuh, kurang sinar matahari, kurang
keringetan, sembunyi mulu sih di balik meja... Ayolah!"
Aku melirik Maya, yang sudah mengeluarkan jurus rayuannya. Aku menarik napas panjang.
"Memangnya lo mau makan siang sama Jans?" tanya Maya
lagi. Aku menggeleng. Jans sedang ada pemotretan di luar
kantor. Mungkin baru selesai sore hari nanti.
Maya memperhatikanku dengan saksama. Matanya menyipit
hingga tinggal segaris. "Lo lagi marahan ya sama Jans?"
"Nuduh saja lo! Gue baik-baik saja sama Jans. Thank you for
your concern." Tetapi Maya tidak tertawa. Dia masih tetap serius mehttp://pustaka-indo.blogspot.com159
mandangiku. "Lo ada apa sih sama Igi" Gue dengar dia mau
keluar lagi ya?" Aku melirik sekilas ke Maya, ingin tahu raut wajahnya. Dia
masih memasang tampang serius. Aku membiarkan wajahku
tidak menunjukkan emosi apa pun, tetapi hatiku mulai berdegup kencang begitu mendengar berita tentang Igi. "Gosip
dari mana tuh?" "Dari gue... hehehe..." Maya tertawa lebar. "Habis, lo aneh
deh belakangan ini, Sar. Lo jadi gila kerja. Biasanya dulu lo
bawel banget, suka pulang on time. Lalu lo juga suka cerita
mengenai Jans begini... Jans begitu" Igi begitu... Igi begini...
tapi sekarang" Gue nggak pernah dengar lagi tuh! Lo mengubur diri lo di dalam ruangan kaca ini."
Aku tetap diam. Aku menatap layar komputerku, tetapi tidak
ada yang bisa dilihat di sana, seluruh isinya perlahan menjadi
buram. "Ya sudah makan yuk!" Aku langsung berdiri dan mengambil dompetku. "Lho" Jadi mau makan?"
"Yee..." Aku menoyor kepala Maya dengan gemas. "Yang
tadi ngajakin siapa" Ayuk, cepat!"
"Cepat sekali berubahnya."
"Mau-mau gue dong!"
Ternyata tempat soto yang dimaksud Maya sudah ramai dengan orang yang kelaparan. Maklum, jam makan siang. Apalagi sebagian besar yang makan di sana adalah teman-teman
sekantor juga. Tidak heran Maya langsung menyapa sebagian
besar penghuni tenda biru tersebut. Suasana di dalamnya sudah padat, panas, serta sumpek sekali. Maya langsung memesankan dua mangkok soto yang memang terlihat sangat
menggiurkan. Perutku langsung terasa lapar dan Maya yang
sudah menghilang di balik keramaian orang tiba-tiba berteriak,
"Sini, Sar!" http://pustaka-indo.blogspot.com160
Yup, dia sudah menemukan tempat duduk yang lumayan
strategis. Tidak begitu panas, karena agak dekat sisi luar tenda
sehingga bisa terkena angin yang semilir bertiup serta memungkinkanku untuk bertemu dengan" Igi...
Aku mendapati Igi duduk bersama Maya dan empat orang
lainnya. Sepertinya mereka sudah terlebih dahulu sampai. Duh,
tiba-tiba perutku bergejolak dan rasa laparku langsung hilang.
Igi tersenyum begitu melihatku. Senyumnya ramah, dan masih
sama dengan senyum yang kukenal sebelumnya. Aku tahu, ini
akan sedikit canggung. Ya sudahlah, masa mau kabur"
"Hai"," aku menyapa semua orang di meja itu.
"Hai, Sar..." Igi menyapaku, begitu juga yang lainnya ikut
menyapaku. "Hai..." Aku melambaikan tangan dengan semangat dan kegembiraan yang melampaui orang normal. Hmm... memang
agak berlebihan sih, tapi aku tidak mau Igi mengetahui isi hatiku selama ini setelah pembicaraan kami yang lalu.
Kemudian masing-masing sibuk dengan soto yang mengeluarkan aroma yang menggiurkan. Hm... rasa laparku kembali lagi dan aku mulai melahap soto yang nikmat itu. Aku
terus menikmati soto sambil mendengarkan ocehan Maya dan
teman lain yang sesekali melontarkan lelucon konyol yang
membuatku tersenyum. Tetapi, sudut mataku menangkap sosok
yang terus mengamatiku dengan matanya yang tajam. Aku
tahu, Igi sedang menatapku dan memperhatikan gerak-gerikku,
namun aku tidak berani melihatnya. Jadi aku pura-pura tidak
tahu saja sambil menghabiskan sotoku.
"Sar, mau es jeruk?"
Aku mengangkat wajahku dan melihat Maya sedang memandang menunggu jawabanku. Aku pun mengangguk.
"Bang! Es jeruknya dua dong!" Maya berteriak kepada penjual soto. http://pustaka-indo.blogspot.com161
"Saya juga dong satu es jeruk!" teriak sebuah suara. Aku menengok. Aku melihat Igi mengacungkan tangan dengan mulut kepedesan yang ikutan memesan es jeruk. Mau tidak mau aku
tersenyum melihatnya. Dia pasti sengaja deh, pikirku.
Setelah selesai makan, kami masih menyempatkan diri
untuk mengobrol sambil menghabiskan tetes-tetes terakhir es
jeruk serta es teh yang tersisa di gelas masing-masing. Tak
lama, Maya mulai ribut mengajakku balik ke kantor. Aku mengiakan saja. Toh, ngapain berlama-lama di sini. Cuaca yang
panas membuat wajahku meleleh seperti mentega terkena
panas di wajan. Aku beranjak dan berlalu dengan Maya.
"Sar..." Tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku.
Aku menengok dan melihat Igi berlari-lari kecil mendekatiku.
Aku heran, Igi mau ngapain ya" Maya yang sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, pergi dan berlalu tanpa pamitan.
Maya hanya memberi tatapan penuh arti. Jadilah aku dan Igi
berjalan berdua saja. "Apa kabar, Sar?" tanya Igi basa-basi.
Aku mengangguk. "Baik, lo?"
"Baik...," jawaban yang sangat menggantung. Aku tidak
membalasnya, jadi kami hanya berdiam diri dalam perjalanan
singkat ini. "Hm... sudah lama ya kita nggak ketemuan lagi sejak?"
Suara Igi berhenti di udara. Aku meliriknya sekilas. Sepertinya
Igi agak gugup. Aku pun menjadi tidak tenang dengan sikapnya yang seperti ini. "Iya..." Aku menelan ludah. Sial! Aku benar-benar nggak
tahu harus berkata apa. Aku benci suasana canggung seperti
ini. "Kok rasanya sudah lama banget ya! Berasa sudah setahun
hehehe." Igi menertawakan kata-katanya sendiri meskipun apa


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diucapkannya tidak lucu. Itu ciri khas Igi kalau dia
http://pustaka-indo.blogspot.com162
sedang gugup, yang berarti sekarang ia memang benar-benar
gugup. Jantungku pun berdetak tak menentu sampai rasanya
dadaku sakit dan sesak. "Bagaimana kabar Jans?"
"Baik, dan lagi sibuk juga... biasalah lagi beruntung dengan
banyak kerjaan." Igi tersenyum. "Bagus dong, nggak macem-macem kan dia?"
Aku tertawa kecil. "Nggak, he"s very nice to me all the time..."
Igi menunduk. "Yah... Jans memang baik kok..."
"Andien gimana" Baik-baik saja?"
Igi memasukkan tangannya ke saku celana dan menendang
beberapa kerikil yang mengadang sepatunya. "Baik. Dia juga
lagi sibuk." "Oh ya" Sudah dapat kerjaan?"
Igi memandangku sekilas. "Memangnya lo nggak tahu?"
Aku bingung. "Tahu apaan?" Apakah ada rahasia yang tidak
aku tahu dan semua orang tahu" Aku seperti tinggal di pengasingan saja. "Serius lo belum tahu apa-apa?" Igi menatapku heran.
"Lo lama-lama ngeselin deh, cepetan kasih tahu gue!" sahutku gemas. "Andien akan bergabung dengan Women"s Style, Sar, mulai
bulan depan." Hah" Nggak salah tuh" "Posisi?" Aku deg-degan.
"Bawahan lo, jadi reporter, masa lo nggak tahu?"
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Lidahku kelu dan otakku
beku. Thank you so much to KKN!
?"" Sesampainya di kantor, otakku masih belum mencair akibat
http://pustaka-indo.blogspot.com163
pemberitahuan Igi mengenai pacarnya yang akan... ralat...
sudah diterima menjadi reporter di Women"s Style. Memang sih,
beberapa bulan yang lalu aku sempat mengajukan permintaan
seorang reporter lagi karena salah satu reporterku mengundurkan diri untuk menikah. Sepertinya Ibu Dinar sudah melakukan wawancara dan menerima salah satu pelamar, mengingat
sepanjang bulan lalu, aku hampir tidak pernah berada di
kantor. Aku selalu pergi, entah ke luar kota, ataupun ke luar
negeri. Semestinya seleksi pelamar itu harus melewati diriku,
tetapi mengingat aku tidak pernah ada di kantor, aku menerima siapa pun yang sudah ditetapkan oleh Ibu Dinar, dan
Ibu Dinar sendiri sudah mengirimkan e-mail kepadaku
sehubungan dengan penerimaan reporter baru ini. Tetapi siapa
sangka" Lihat siapa yang kudapatkan" Yup, seorang reporter,
anak buah dengan status yang plus-plus yaitu pacar Igi. Yang
terakhir itulah yang tidak kuharapkan sama sekali.
Aku meremas rambutku. Bagaimana aku bisa bekerja sama
dengan pacar Igi setelah pembicaraan antara aku dan Igi tiga
bulan yang lalu" Meskipun sudah selama itu, namun setiap
perkataan Igi masih segar di ingatanku. Aku sudah pasrah bahwa persahabatanku dengan Igi akan kandas di tengah jalan
hanya karena setitik perasaan yang tidak mungkin kami
satukan dan jalani. Tetapi sekarang" Ada pacarnya yang akan nempel kayak
parasit dalam hidup dan pekerjaanku. Orang yang paling ingin
aku hindari sejagat raya sekarang malah berada di hadapanku,
setiap waktu. Benar-benar pengaturan yang sempurna!
?"" Aku berusaha melupakan semua masalah yang mampir di dalam
hidupku, dengan memberi diriku sendiri kehidupan yang baru.
Aku memotong rambut, mencat rambutku, berbelanja gila-gilaan
http://pustaka-indo.blogspot.com164
dengan Maya dengan niat untuk mengubah penampilanku
seutuhnya. Aku juga semakin mendekatkan diri dengan Jans.
Sesibuk-sibuknya kami berdua, kami harus meluangkan waktu
sebanyak mungkin bersama-sama. Tetapi sosok Igi serta masalah
yang mengikutinya masih saja menghantuiku.
"Sar?" Aku mengangkat wajahku dari meja, dan mendapati Jans
dengan raut bingung menatapku. Oh, gosh, aku jadi merasa
bersalah terhadap Jans. Dia sudah begitu baik padaku... tapi
lihat apa yang kulakukan sekarang... Aku malah memikirkan
Igi" Dan satu lagi, aku belum pernah menceritakannya perihal
perasaan Igi terhadapku. Pacar macam apa aku ini"
"Kamu sakit?" pertanyaan Jans menyadarkanku dari lamunanku. Aku menggeleng lemah. Tetapi dalam hati aku menyetujuinya, iya... sakit hati...
Jans mendekatiku dan menaruh tangannya di leherku.
"Badan kamu hangat, kamu pasti sakit."
Buru-buru aku melepaskan tangan Jans dari leherku. "Aku
nggak sakit, Jans... dan jangan gitu dong, nanti kalau dilihat
Ibu Dinar gimana?" Jans tersenyum nakal dan mencium keningku. "Enggak kok,
tadi aku lihat Ibu Dinar pergi..." Kemudian dia duduk di pinggir mejaku yang berantakan.
Aku merengut. "Memangnya nggak ada orang lain yang
lihat dan mengadukannya ke dia?" Setelah itu aku membereskan mejaku dengan perasaan tak menentu sehingga melakukannya dengan sedikit kasar. Jans diam saja, tapi tak lama kemudian dia meraih tanganku untuk menghentikan kegiatanku.
Aku tidak berani menatap wajahnya.
"Sar, kamu baik-baik saja?"
"I"m fine." Aku menarik tanganku dengan kasar. Aku tidak
marah kepadanya, tetapi kepada diriku sendiri.
http://pustaka-indo.blogspot.com165
Lalu Jans berdiri. Aku pikir dia akan pergi karena tersinggung dengan sikapku. Tetapi dia malah duduk di hadapanku.
"Ada yang mau dibicarakan?"
Aku menggeleng lemah. Bagaimana aku bisa membicarakannya dengan Jans" Dia pasti akan menganggapku selingkuh
dan berbohong. Dia pasti akan kecewa dan marah kepadaku
jika aku menceritakannya.
"Kamu aneh banget hari ini, Sar. Kamu bersikap dingin dan
tidak mau bercerita tentang apa pun yang sedang kamu pikirkan...," tutur Jans. Aku tetap menggeleng.
Jans hanya mengangkat bahu dan menatapku sekilas sebagai
jawaban atas aksi bungkamku. Namun, begitu dia mencapai
pintu ruanganku, aku memanggilnya dengan lirih, "Jans..."
Namun Jans tidak menoleh sedikit pun. Detik itu juga aku
tahu bahwa dia marah dan kecewa dengan sikapku.
http://pustaka-indo.blogspot.com166
"SARAH, selamat pagi."
Sebuah suara merdu menyapaku di pantry kantor. Saat itu
tidak tepat, karena mulutku penuh dengan muffin Breadtalk
kesukaanku. Ketika aku menoleh, di sanalah dia. Mimpi burukku sudah datang. Sejenak aku mengutuki diri sendiri. Aku
bodoh banget! Bagaimana aku bisa melupakannya" Jika ingat,
aku pasti tidak akan menunjukkan batang hidungku di kantor.
Nyatanya yang bikin keki juga, aku bangun dengan keadaan
happy, bersemangat ke kantor untuk memulai hari baru. Aku
memutuskan untuk melupakan semua masalahku. Namun,
tiba-tiba saja begitu melihat Andien, yang berpakaian rapi dan
cantik, serta wangi Carolina Herrera 212 Original (hei, itu kan
parfumku!), muffin-ku rasanya langsung seperti rasa bantal alias
nggak ada rasanya. Aku menatap muffin-ku dengan nelangsa.
Welcome to the real world, Sarah.
Aku hanya melambaikan tangan karena sibuk menelan
muffin-ku. Kemudian dia mulai mengoceh tentang betapa senangnya dia akan bekerja denganku.
"Rasanya seperti bekerja bersama saudara perempuan ya!"
http://pustaka-indo.blogspot.com167
bisik Andien dengan semangat. Kemudian dia tertawa sambil
menutup mulut dengan tangan. Aku menutup mata dan berharap Andien menghilang saat itu juga dan semua ini hanyalah mimpi. Oke, setelah hadir di sini sebagai reporter, which is
anak buahku sendiri, sekarang dia akan menganggapku sebagai
saudara perempuannya"
Hari pertama itu sungguh terasa sangat lama. Baru dua jam
berlalu sejak pertama kali Andien masuk sebagai reporter, tetapi kok rasanya seperti sudah dua tahun. Banyak sekali pertanyaan diajukan dari bibirnya yang berwarna nude pink itu.
Setiap dua menit sekali, dia bertanya kepadaku tentang semuanya, maksudku, semuanya. Mulai dari menulis surat untuk peminjaman, penulisan
artikel, mencari foto, dari manakah datangnya ide, bagaimana
mengetik Google (How come" Dia lulusan mana sih") Aku
sampai garuk-garuk kepala dengan keputusasaan menggelayuti
pundakku. "Ndien, kamu sudah pernah bekerja sebelum di sini?" Saking
putus asanya, aku pun mengajukan pertanyaan itu kepadanya.
"Belum, ini pekerjaan pertamaku," sahutnya dengan polos,
kemudian dia tersenyum. Aku hanya bisa menghela napas yang sangat panjang. Migrain
di kepalaku semakin berdenyut. Aku memijit pelipisku yang
sakit. ?"" Dengan tangan gemetar, aku mengambil gelas tehku yang mengepul hangat. Aku menggenggam gelas berwarna putih tersebut dan membiarkan panasnya menjalar hingga ke dadaku
untuk menenangkan hati dan pikiranku.
Sekarang sudah jam empat sore, tetapi otakku sudah tidak
bisa digunakan untuk berpikir lagi. Akhirnya, aku memutuskan
http://pustaka-indo.blogspot.com168
untuk menyeret Maya ke coffee shop di lantai bawah dan beristirahat sejenak. Aku benar-benar harus mengendurkan urat
sarafku. Bahkan dengan nekatnya aku mengambil sebatang
rokok kepunyaan Maya dan mulai mengisapnya. Tapi karena
tidak terbiasa merokok, aku malah terbatuk-batuk. Maya melotot dan hendak merebut rokok yang terselip di jariku, tapi
segera kujauhkan dari jangkauannya. Aku mulai mengisapnya
perlahan. "Sejak kapan sih lo ngerokok?"
"Sejak sekarang."
"Otak lo kacau."
"Otak gue sudah jadi jenazah dan belum gue semayamkan.
Hati gue juga lagi koma."
Maya mengisap rokoknya. "Ada apa" Mau cerita?"
Aku mengembuskan asap rokok itu dan menggeleng. Sepertinya sekarang bukan saat yang tepat untuk menjadi ember
dan bercerita kepada Maya. Aku tahu dia orang terdekatku di
kantor ini, tetapi rasanya keterlaluan kalau aku belum cerita
sama Jans tetapi sudah bercerita kepadanya. Namun, setelah
berpikir lebih panjang lagi, sebenarnya tidak ada salahnya juga
aku bercerita kepada Maya. Mungkin dia bisa memberikan
solusi dari sudut pandang yang berbeda.
"Gue bingung, May..."
Maya mengembuskan asap rokoknya ke atas. "Bingung kenapa?" Aku mematikan rokok yang kuisap, menekannya kuat-kuat
di asbak yang berwarna putih, "Gue kepikiran Igi terus belakangan ini." "Kenapa?" tanya Maya bingung.
Aku diam, tidak bisa menjawabnya.
"Sar, pasti ada sebabnya lo terus memikirkan dia. Pasti ada
perbuatan atau perkataan dia yang membekas di diri lo, betul
nggak?" http://pustaka-indo.blogspot.com169
Aku mengangguk dengan ragu, kemudian meneguk minumanku. "Tuh kan, apa gue bilang! Dia ngomong apa sama lo?"
Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita. "Awalnya, tiga
bulan yang lalu, Igi sempat bertanya sama gue tentang Andien,
yang ujung-ujungnya dia malah berkata bahwa dia akan
mutusin Andien demi gue."
Aku bisa merasakan dan melihat bahwa Maya menegang
dan matanya hampir meloncat keluar, "Apa?"
"Itu benar, May, gue nggak bohong dan gue nggak berhalusinasi. Dia juga bilang kalau gue nggak suka sama Andien, dia
akan putusin Andien dan coba tebak apa kelanjutannya" Ternyata Igi sudah suka sama gue dari dulu. Tau nggak kenapa
dia pergi ke London" Karena dia patah hati gue jadian sama
Jans!" Suaraku naik karena frustrasi.
"Tuh kan apa gue bilang?" Maya berteriak senang karena
prediksi yang dibuatnya seratus persen benar. Dia berdecak
sambil menggeleng. "Gue juga jadi teringat dengan perkataan lo...," desisku kencang, "jadi ke mana tuh kata "sahabat?""
"Sarah... you are too na"ve," sahut Maya enteng dan menatapku lembut, "memangnya sahabat nggak boleh saling suka"
Kalian kan sama-sama manusia. Lelaki dan perempuan. Ketertarikan itu sangat wajar."
"Yeah" I"m sorry for being na"ve. Menurut pendapat gue,
sahabat boleh kok saling suka, tapi kenapa Igi nggak bilang
terus terang dari dulu sama gue" Semestinya dia kan tahu dia
bisa membicarakan apa pun ke gue."
"Memang sih lo agak lemot, bego banget malah. Masa sih
nggak bisa ngerasain sedikit pun?" semprot Maya kejam.
"Thanks a lot!" gerutuku.
"Sekarang lo maunya apa, Sar" Mutusin Jans dan jadian
sama Igi atau lo mau melupakan mereka berdua?"
http://pustaka-indo.blogspot.com170
Aku menggeleng kuat-kuat. "Gue sayang sama Igi hanya
sebagai sahabat, May, tidak bisa lebih dari itu."
"Sekarang gue tanya, lo sayang Jans?"
Aku terdiam dan menatap Maya. "Gue sayang Jans melebihi
apa pun di dunia ini, May."
"Terus, lo sayang Igi?"
"Sebagai sahabat ya tentu aja! Gue sudah kenal dan bersahabat sama dia sejak gue dan dia ngomong pake bahasa
Tarzan! Nggak mungkin gue nggak sayang dia."
"Jadi buat apa lo pusingin" Anggap saja ini bagian dari
problema hidup. Wajarlah kalau lo kepikiran Igi terus sejak dia
ngaku sama lo. Tetapi seharusnya lo berdua meluruskan apa
yang ada. Bicara dari hati ke hati. Apa yang lo rasakan juga."
Maya terdiam. Kami berdua jadi membisu. Dia mematikan


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rokoknya dan mengeluarkan dompet untuk membayar camilan
dan minuman kami sore itu. "Please, you have to think about it
carefully, dear. Kalau memang lo hanya menganggap Igi sahabat
terbaik lo, lakukan seperti seharusnya, dan jangan lupa jujur serta
katakan yang sebenarnya. Igi sendiri harus bisa menerima apa
pun risikonya, dan jika Igi nggak bisa menerima keputusan lo,
yah, ada yang harus dilepaskan, Sar... dan yang dikorbankan
pastinya adalah persahabatan lo berdua. Itu sudah risiko loh."
Aku tercenung. Maya benar.
Ada yang harus kita pegang teguh dalam hati dan ada yang
harus kita lepaskan demi kebaikan kita dan semua orang.
Sometimes you have to take, sometimes you have to give, and
there"s a time you have to let go, karena hidup ini memang tidak
sendiri, melibatkan banyak sekali orang di sekeliling kita.
Itulah hidup. ?"" Sekembalinya dari sesi curhat dengan Maya, ternyata sore
http://pustaka-indo.blogspot.com171
sudah menghampiri dan saat itu sudah mendekati jam pulang
kantor. Aku mendapati Andien sedang serius menatap layar
komputernya. Begitu melihat kehadiranku, dia langsung memberikan senyum terbaiknya.
Sepertinya tidak ada kata lelah dalam kamusnya, desahku
dalam hati. Aku hanya memberikan senyum sopan dan ramah,
kemudian mengurung diri di ruanganku. Aku mulai menyibukkan diri dengan mengedit beberapa tulisan serta mencari
bahan artikel. Aku berusaha melupakannya dengan berkutat
dengan pekerjaan. Lima belas menit kemudian, pintu ruanganku diketuk dan
muncullah wajah Andien. "Sar, gue balik dulu ya."
Aku mengangguk. "Oke, hati-hati ya...," sahutku sambil berdoa semoga nada suaraku terdengar tulus.
Andien tersenyum. "Gue pulang bareng Igi kok."
Sudah sepatutnya. Mereka kan pacaran, aku mengingatkan
diriku sendiri. "Salam buat Igi," akhirnya aku pun berkata kepadanya.
"Okay, bye!" Poni lucunya bergerak-gerak ringan mengikuti
kepalanya. Lalu sosoknya menghilang di balik pintu ruanganku. Tak berapa lama kemudian, pekerjaanku selesai dan aku pun
pulang. Aku membawa mobilku perlahan dan pasti. Malam itu
jalanan sedikit macet. Aku mengangkat rambutku dan mengikatnya secara asal yang membuat beberapa helai berjatuhan
di tengkukku, dan secara tidak sengaja aku memandang
pantulan wajahku di kaca spion mobil. Duh, mukaku nggak
banget! Lingkaran hitam terlihat jelas di bawah mataku serta
raut wajahku menampakkan kegalauan. Aku mengusap wajahku dengan tisu basah, sehingga rasa segar mulai mengalir. Sesampainya di rumah, mandi adalah yang ada di pikiranku.
http://pustaka-indo.blogspot.com172
Dengan berendam air hangat, siapa tahu rasa penat yang berkumpul dalam tubuh dan pikiranku akan hilang.
Itulah yang kulakukan begitu tiba di rumah. Dengan hatihati, aku masuk ke bathtub dan memejamkan mata. Suara
Michael Buble dengan lembut mengiringi suasana yang nyaman itu. Perlahan, otot di seluruh badanku mulai rileks. Aku
pun tertidur. Ketika air mulai dingin, aku tersadar dan terbangun. Cepatcepat aku membilas dan mengeringkan tubuh. Mukaku mulai
bersemu merah lagi dan terlihat segar. Aku tersenyum pada
bayanganku di kaca kamar mandi. Setelah memakai piama, aku
pun keluar dari kamar mandi.
"Lama amat sih mandinya?"
Aku terkejut mendapati Igi di ruang tengah rumahku. Ini
sama sekali bukan yang kuharapkan. Igi duduk di lantai dan
membuka beberapa majalah koleksiku.
"Lo bukannya nganterin Andien pulang?" Pertanyaan itulah
yang terlontar pertama kali dari mulutku.
"Sudah kok, sampai di rumah dengan aman dan selamat."
"Terus lo ngapain kemari?"
"Sudah lama kan gue nggak ke sini. Kangen, pengin main,
mau minum es jeruk buatan Mbak Nah yang superenak dan
kangen sama suasana di sini."
Aku diam saja. Perkataan Igi agak-agak menjebak, jadi aku
tidak mau terjebak dalam pembicaraannya yang aneh dan
entah mengarah ke mana. Igi tetap pada posisinya yang sama
sehingga aku pun duduk di sofa memeluk bantal sofa dan
memandanginya. Sepertinya Igi sadar aku memandanginya sedemikian rupa.
"Kenapa, Sar?" "Bingung aja sama lo. Bukannya pacaran, malah nyamperin
gue. Rugi, tahu! Jangan menyia-nyiakan waktu," aku berceramah. http://pustaka-indo.blogspot.com173
Igi tertawa dan melempar majalah yang dibacanya ke
tumpukan. "Bosan tahu, pacaran melulu! Ketemu tiap hari,
masa mesti sampai ngelonin di tempat tidur."
"Hush! Ngasal banget sih ngomongnya." Aku melotot dan
melempar bantal sofa hingga mengenainya. Igi tertawa lagi.
"Terus...," lanjutku, "lo nggak bosan apa kemari" Pulang
sana!" Igi memandangku sambil memainkan bantal tadi. "Enggak
tuh, gue nggak pernah bosan kalau ke sini. Kan seperti yang
gue bilang, gue kangen keadaan di sini."
Lidahku kelu. Tuh kan mulai lagi.
Tiba-tiba Igi beranjak dari tempat duduknya dan pindah ke
sebelahku. "Sar..." "Hm?" "Maain gue ya."
Aku menatapnya. "Maaf kenapa?"
"Pembicaraan kita yang waktu itu..."
Aku menarik napas pelan. Yah, dibahas lagi deh" Aku mencoba bersikap biasa saja. "Nggak papa kok, Gi. Sudah nggak
gue pikirin lagi. Ngapain juga sih sampai minta maaf segala?"
kataku sedikit berbohong.
Igi menatapku seolah tidak percaya dengan kata-kataku tadi.
Aku jadi malu dan menunduk karena tidak berani menatapnya
balik. "Yah, gue minta maaf karena sudah ngomong segala macamnya... dan hm... Sarah..." Jarinya menyentuh daguku, mengangkatnya hingga kami beradu pandang. Aduh, dia mau apa"
Situasinya mulai aneh. Aku menjadi gelisah dan cemas.
"Mulai sekarang gue mau ngomong jujur terus sama lo. Rasanya gue nggak bisa menerima perkataan gue sendiri." Suaranya
menghilang. "Maksud lo?" http://pustaka-indo.blogspot.com174
Igi menatap mataku dengan mantap. "Gue suka sama lo dari
dulu, Sar, sampai sekarang. Perasaan itu tidak akan mati."
Aku melotot, maksudnya apa sih" Untuk apa sih dibahas
kembali" "Gue tahu lo pasti kaget, tapi perasaan gue nggak akan berubah, Sar. Gue masih pegang kata-kata gue. Gue akan lepasin
Andien demi lo... hanya demi lo seorang."
Aku berdiri tiba-tiba. Aku menatap Igi tajam. Wajahku sudah
memerah. Aku sangat marah. Amarah itu keluar dan membuatku berteriak dengan frustrasi, "Lo gila ya, Gi" Buat apa"
Lo kan bilang waktu itu kalau ini sudah menjadi jalan kita
masing-masing, we are meant to be best friends. Sinting! Dan lo
pernah nggak pikirin Jans" Bagaimanapun dia temen lo!
Apalagi Andien! Dia pacar lo, Gi!"
"Sarah..." Igi mondar-mandir. Kegelisahannya sungguh terbaca dengan jelas, terutama di raut wajahnya. Matanya berkaca-kaca. "Gue tidak bisa membohongi perasaan gue sendiri." Tetapi apa pun yang diucapkannya, rasanya sudah terlambat.
Emosi dan frustrasiku sudah memuncak. "Kita sahabat, Gi.
Please, apakah itu nggak ada artinya lagi buat lo" Dan apakah
lo tidak memandang Jans dan Andien"pacar kita berdua" Perasaan lo sudah mati, apa?" Aku kesal setengah mati dan
bibirku bergetar menahannya.
Emosi dan kerapuhan Igi mulai terlihat, meskipun dia mencoba menyembunyikannya. Matanya memerah dan dia mengepalkan tangan kuat-kuat hingga putih karena tidak ada
darah yang mengalir. Tetapi dia mencoba mengatur napasnya
perlahan. Aku tahu sungguh berat tarikan napas tersebut. Dia
juga tidak menjawab semua pertanyaanku. Dia hanya menghampiriku yang sudah berdiri dan menarik tubuhku agar berhadapan dengannya. "Sarah, gue menyesal kenapa nggak dari
dulu gue mengatakan ini sama lo. Sekarang gue nggak mau
http://pustaka-indo.blogspot.com175
kehilangan lo. Gue takut kehilangan lo. Apa jadinya gue tanpa
lo?" Dia mengusap pipiku dengan tangannya, lembut. Aku
menangis. Mata Igi memerah, seakan menahan sakit, tak lama
air mata turun di pipinya.
Aku menangis. "Gue nggak bisa, Gi..."
Ya, untuk terjun dalam kenyataan seperti ini, kita mesti
ambil risiko, apa pun bentuknya. Meskipun sakit dan terluka.
Igi melepaskan kedua tangannya dari pipiku. Kemudian dia
pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Igi kembali menghilang dan pergi, menorehkan luka dan perasaan tak menentu
di hatiku lagi, juga di hatinya.
?"" Aku baru saja keluar dari kantor dalam keadaan lelah. Deadline
memang hari paling menyebalkan di dunia. Saat itu sudah
pukul delapan malam. Untung cuaca sedang cerah dan bulan
purnama cukup memberikan sinar yang terang. Aku berjalan
ke tempat parkir, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Hampir saja
aku menjatuhkan tasku saking terkejutnya, karena bunyinya
sangat nyaring di tempat yang sepi seperti ini. Aku cepat-cepat
mengambilnya. "Halo?" "Kamu di mana, dear?"
Jans meneleponku. Hubungan kami sedikit renggang dan
komunikasi kami tidak berjalan lancar. Sebenarnya aku yang
sedikit menjauh darinya. Mungkin karena perasaan bersalah
dan begitu banyaknya masalah yang memenuhi pikiranku.
Jans-lah yang lebih banyak menjaga hubungan kami berdua.
"Baru saja keluar kantor. Aku lagi di tempat parkir."
"Baru pulang?" Aku mulai mencari kunci mobilku, "Minggu ini deadline.
Banyak sekali yang harus diselesaikan."
http://pustaka-indo.blogspot.com176
"Kamu sudah seminggu ini pulang malam terus." Ada sedikit
nada protes dari suara Jans.
"Hari ini hari terakhir."
"Kamu jaga diri ya."
"Kamu juga." "Hati-hati." Aku mematikan teleponnya dan menatap ponsel dengan
sedikit gundah, menyadari hubungan kami yang masih dingin.
Aku mengaduk-aduk tasku kembali, belum menemukan kunci
mobil itu. Duh, tenggelam di mana sih kunci itu" Shit! Aku
tidak bisa menemukannya. Di mana sih" Apa tertinggal di
atas" Tetapi rasanya aku tidak mengeluarkannya untuk keperluan apa pun... Tiba-tiba saja tanganku ditarik oleh seseorang.
"Ahhh!" Aku berteriak cukup kencang karena terkejut. Tangan itu menarikku, lebih tepatnya menyeretku menjauh dari
mobilku. Aku cukup kelabakan dan kerepotan dengan tasku
sendiri. "BERHENTI! TOLONG!" aku berteriak. Jantungku mulai berdegup kencang. Aku ketakutan. Apakah ada yang hendak menculikku" Aku berusaha melawan, tetapi sia-sia, orang itu lebih
kuat dan aku tidak berdaya. Siapa sih orang ini" Aku tidak bisa
melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup oleh cappuchon
jaketnya yang berwarna hitam. Namun... rasanya aku kenal
dengan jaket ini. Lalu aku memperhatikan tangan yang menarikku, jam tangannya...
"IGIII" IGII! BERHENTI!"
Igi tidak juga menoleh. Tetapi aku tahu, dia Igi. Aku kenal
betul jam tangan serta jaketnya. Apa sih yang diinginkannya"
Nggak lucu banget sih bercandanya seperti ini.
"IGI! Lepasin! Apa-apaan sih" Kalau mau bercanda jangan
seperti ini dong!" Tetap saja Igi tidak menoleh. Aku mencoba menyentak
http://pustaka-indo.blogspot.com177
tangannya, tetapi cengkeramannya begitu kuat, membuatku tak
berdaya. Akhirnya kami pun berhenti di depan mobilnya. Dia
mendorongku masuk, kemudian dia sendiri masuk melalui
pintu pengemudi. Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan
jelas. Tetapi... "Igi! Lo kenapa sih begini" Lo kalau mau bicara ya baikbaik, dong! Nggak usah..."
"Sar, please diam dulu."
"Igi, gue nggak bakal bisa diam..."
"SARAH!" Igi membentakku. Suaranya mengelegar. Aku langsung diam. Bukan apa-apa, bulu kudukku sungguh merinding
begitu mendengar Igi membentakku dengan sangat keras.
Suaranya begitu... dingin dan sangat aneh. Sorot matanya juga
begitu asing. Lalu dia menyalakan mesin dan menjalankan
mobilnya dengan cukup kencang. Biasanya Igi menyetir dengan cukup tenang. Tetapi kali ini, dia seperti tak punya arah.
Cara menyetirnya menjadi brutal. Dia ngebut dan menyalip
semua mobil. Aku tahu ada yang tidak beres dengan Igi. Sikapnya sungguh aneh. "Igi! Turunin gue sekarang juga!" teriakku galak. Namun sesungguhnya dalam hatiku yang paling dalam, ada ketakutan
sendiri menghadapi Igi. Aku tidak pernah merasakan ketakutan
seperti yang kurasakan saat ini.
"Tidak bisa, Sar," Igi menyahut dengan suara yang sangat
dingin. "Arghhh!" Aku berteriak frustrasi. Aku meremas rambutku
dan sebisa mungkin mencari cara, tetapi otakku rasanya buntu,
apalagi melihat cara menyetir Igi sekarang ini. Semua mobil
disalip dan dia menginjak rem tanpa perhitungan sama sekali.
Aku menjadi mual dengan cara menyetirnya.
"IGI! BERHENTI!" seruku sambil memukul lengannya. Igi


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergeming. Aku pun menangis. Tidak ada yang bisa kulakukan
kecuali menangis. Rasanya perjalananku yang seperti neraka
http://pustaka-indo.blogspot.com178
bersama Igi itu sangat panjang, terlalu panjang untuk suasana
yang begitu sunyi dan mencekam. Akhirnya kami sampai di
sebuah taman cantik yang terlihat temaram karena lampu yang
terpasang hanya lampu taman. Igi memarkirkan mobilnya di
tempat paling ujung dan gelap. Aku semakin takut karena
tidak bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi. Igi
bisa melakukan apa saja, melihat emosinya yang labil. Tak
menutup kemungkinan dia akan berbuat kasar kepadaku. Aku
semakin takut. Napasku semakin tak keruan. Sekarang, tak ada
yang bisa kulakukan, kecuali berdoa.
Setelah mobilnya terparkir, Igi mematikan mesin mobil,
sehingga suasana bertambah hening. Yang terdengar hanya
suara napas kami berdua. Taman tersebut cukup sepi, hanya
ada beberapa mobil yang terparkir. Igi tetap tidak bersuara. Kemudian dari ekor mataku, aku menangkap sosok Igi yang sekarang sudah terlihat lebih tenang. Dia menyandarkan
punggungnya ke kursi, membuka kacamata dan meletakkannya
di dasbor. Melihatnya sudah cukup tenang, aku memberanikan
diri untuk menatapnya. Igi masih tetap menatap lurus ke
depan. Lalu dia mulai menyalakan radio dan suasana mulai
terasa hidup. Tetapi aku tetap tegang serta takut. Otakku
berputar keras untuk mencari cara keluar dari sini. Tidak ada
satu musik pun yang bisa membuatku tenang.
"Sar, kalau ada pintu ke mana saja, seperti yang Doraemon
punya, lo mau ke mana?"
Aku menatap Igi dengan penuh tanda tanya. Dia masih
tidak mau menatapku. Aku memutuskan untuk tidak menjawab
pertanyaannya. Jadi aku kembali menunggu.
"Kalau gue... gue akan memilih tempat yang sepi, sunyi di
mana gue bisa mencintai dengan bebas, tanpa halangan. Di
mana gue bisa berpelukan dengan orang yang gue cintai dan...
orang itu adalah lo, Sar."
Suara Igi menembus hingga ke lubuk hatiku yang paling
http://pustaka-indo.blogspot.com179
dalam. Kata-katanya begitu indah, tetapi tak bisa dipungkiri,
mengandung kesedihan yang juga mendalam. Aku tercenung
mendengar ungkapan hatinya.
"Kalau gue..." Aku menarik napas yang panjang sebelum
bisa melanjutkannya, "Gue lebih memilih suatu tempat, di
mana kita bisa seperti dahulu lagi. Cinta hanya berbentuk
kasih sayang sesama sahabat dan adanya pengertian di antara
kita. Ada tawa yang begitu lepas yang mengisi kebersamaan
kita." Setelah aku mengatakannya, Igi pun menoleh. Kami bertatapan untuk pertama kalinya pada malam itu.
"Salah nggak sih, Sar, gue mencintai lo" Rasa itu bahkan
sepertinya sudah ada sejak pertama kali gue mengenal
cinta..." Mendengar kata cinta lagi dari mulut Igi, aku tambah tertekan. Aku pun menangis, "Igi... please... Gue... nggak mau
dengar lagi... bisa nggak sih kita seperti dulu saja...?"
Tetapi Igi sepertinya sama tertekannya denganku. Dia malah
mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan sangat
erat. Aku hendak menarik tanganku dan mencoba menghindarinya, tetapi dia terlalu erat menggenggamnya, bahkan dia juga
mencium punggung tanganku.
"Sarah, lihat kemari..."
Aku pun memutar tubuhku dan menghadap kepadanya. Aku
masih menangis. Entah seperti apa wajahku sekarang, mungkin
sudah sangat berantakan, persis dengan hatiku. Mata Igi pun
berkaca-kaca, dan sepertinya air matanya juga akan tumpah.
Dia menatapku dengan pandangan yang betul-betul memohon.
Wajahnya sungguh memelas. Aku sungguh tidak tega melihatnya seperti ini. Tangisku semakin keras. Dadaku terasa
sakit. "Tidak bisakah kita..." Igi menutup matanya dan sekarang
aku bisa melihat air mata mengalir di pipinya. "Gue rasanya
http://pustaka-indo.blogspot.com180
tidak akan sanggup kehilangan lo... kalau memang perlu, gue
yang akan ngomong ke Jans dan meminta izin dari dia... lalu...
lalu... kita menikah, Sar. Kenapa sih lo nggak bisa lihat" Kita
tuh ditakdirkan untuk selalu bersama... Tuhan sudah menciptakan kita untuk bertemu satu sama lain. Sar, please..."
Aku menggeleng dan semakin tersedu. Perkataan Igi semakin
tidak masuk akal. Ini sungguh gila! Namun yang lebih gila
lagi, dengan nekat Igi mencium bibirku. Dia mendekap erat
leherku. "Igi... jangan..." Aku mendorong tubuhnya. Namun Igi
cukup keras kepala. Aku melihat kembali matanya yang berkilat dan dingin. Dia tidak menyia-nyiakan waktu dan kembali
menciumku. Aku mendorong dadanya, tetapi Igi yang sudah
mulai maju ke arahku malah mendekap pinggangku dengan
erat. Aku tidak bisa berkutik lagi. Kemudian Igi berbisik di
sela-sela ciumannya, "Sar, kalau gue sampai tidak bisa memiliki
lo, biarkan momen ini menjadi milik gue, menjadi milik kita
berdua saja. Meskipun hanya dalam beberapa menit, gue bisa
memiliki lo seutuhnya..."
Igi mulai menciumku lagi, kali ini lebih dalam. Dia begitu
menghayatinya. Tetapi ketika aku merasakan ciumannya sudah
semakin liar, dan tangannya mulai terangkat ke atas untuk
memegang payudaraku, perlahan aku mundur dengan lembut,
tetapi Igi sangat keras kepala. Dia tidak mau melepaskan bibirku begitu saja dan cara menciumnya pun semakin kasar, bahkan tangannya mengangkat kemeja yang kukenakan. Ini sungguh tidak benar, aku tahu aku harus segera menghentikannya.
Dengan sekuat tenagaku, aku mendorongnya hingga terlepas
dan Igi pun terlontar ke belakang.
"IGI! Lepasin!"
Igi terengah-engah, begitu juga aku. Igi membanting tubuhnya
ke kursi mobil. Lalu dia memukul setir mobil serta kaca jendela
hingga seluruhnya bergetar. Aku menjadi tambah takut.
http://pustaka-indo.blogspot.com181
"SIALAN, SARAH! GUE NGGAK MINTA BANYAK DARI LO!
APA SIH YANG LO LIHAT DARI JANS YANG NGGAK ADA DI
GUE HAH?" Aku memutuskan untuk keluar dari mobil dan berjalan
cepat meninggalkannya. Sudah cukup aku menghadapi Igi
yang seperti ini. Aku tahu dia bisa kalap dan khilaf jika aku
meladeninya terus. "SARAH! Tunggu!"
Aku berjalan dengan sangat cepat, bahkan ada saatnya aku
berlari menghindarinya. Aku tidak berani berteriak karena tidak
mau menarik perhatian orang lain. Aku hanya ingin pulang
dan melupakan semuanya. BUK! Aku mendengar pintu mobil ditutup sangat keras.
Rupanya Igi juga keluar dari mobil dan mulai mengejarku. Aku
berlari lebih cepat, namun Igi terlebih dahulu menyambar
lenganku. "Sarah... jangan lari!"
Aku menyentak tanganku keras hingga tangan Igi terlepas.
"Lepasin gue! Jangan sampai gue harus teriak di sini!" ancamku. "Sarah... tolong... jangan lari..." Igi kembali meraih lenganku, namun kali ini tidak dengan kasar. Suaranya pun melemah.
Aku tetap berjalan menjauhinya.
"Sar, maain gue... Gue sayang banget sama lo, Sar... tadi
gue... gue khilaf..."
Aku berhenti sambil tetap memunggunginya. "Jangan ikuti
gue, Gi." Lalu aku kembali berjalan meninggalkan Igi. Kali ini dia
membiarkanku berjalan sendiri, hingga sosokku hilang tertelan
malam. Aku lega ketika melihat taksi melintas sesampainya di
jalan raya. Aku segera menghentikan taksi itu dan masuk. Di
dalam taksi, aku tidak bisa membendung lagi tangisku. Aku
http://pustaka-indo.blogspot.com182
terus terisak teringat apa yang sudah dilakukan oleh Igi kepadaku. Aku seperti sudah tidak mengenal dirinya lagi.
Bahkan sesampainya di rumah, tangisku belum bisa reda.
Mbak Nah jadi khawatir dan membuatkanku teh manis hangat
dan memijat kakiku. Setelah aku sedikit tenang, secara halus
aku meminta Mbak Nah pergi dan mematikan lampu. Aku
meringkuk di tempat tidur dan sangat berharap aku akan
menghilang dalam kegelapan ini.
http://pustaka-indo.blogspot.com183
SETELAH kejadian tersebut, aku tidak masuk kerja. Bukan
apa-apa, aku jatuh sakit. Entah, mungkin sakit hati, depresi,
atau gila, aku tidak tahu. Mungkin campuran dari ketiganya.
Bagaimana mungkin aku melupakan peristiwa kemarin malam
itu" Semuanya masih terasa segar dan melekat erat di pikiranku. Ciuman Igi, pelukannya, bahkan aku masih merasakan
tangannya bersentuhan dengan kulit tubuhku. Ini membuat
aku stres dan aku memilih untuk mengurung diri di kamar
keesokan harinya. Tubuhku langsung demam.
Dua hari kemudian, demam itu tidak kunjung turun, sehingga Jans, meskipun hubungan kami sedang dingin, langsung menyeretku ke dokter. Aku sempat menolak, tetapi Jans
berkeras membawaku berobat.
Sebenarnya aku sudah siap mendengar apa vonis dokter.
Jangan-jangan dia bisa mendeteksi sakit hatiku, lagi.
"Anda demam...," vonis dokter.
Itu aku juga tahu, nenek pikun juga tahu bahwa aku demam, Pak Dokter! aku menggerutu dalam hati menyesali kebodohan si dokter. http://pustaka-indo.blogspot.com184
"Tapi ini bukan demam biasa."
Jadi demam apa" Demam orang gila" Bisa jadi. Bayangkan,
tubuhku panas, tetapi aku berpakaian layaknya orang mau
liburan ke Alaska. "Sepertinya Anda lagi banyak pikiran, itu yang menyebabkan
kondisi Anda jadi drop dan terserang demam. Jangan terlalu
stres," jelas si dokter.
Jans melirikku dengan penuh tanya. Aku pura-pura tidak
tahu meskipun mengetahui persis kenapa sang dokter berbicara
seperti itu. Sudah kuduga, dia bisa mendeteksi penyakitku.
"Lebih baik Anda ambil cuti dan rileks sedikit. Jangan memikirkan apa-apa. Saran saya pergilah berlibur."
"Tapi saya nggak stres kok, Dok," akhirnya aku berbicara.
Siapa tahu si dokter, terutama Jans, bisa dibohongi.
"Yah... mungkin Anda tidak menyadarinya, tapi seperti itulah yang saya lihat."
Setelah sang dokter menuliskan resep, yang mungkin salah
satunya adalah obat antidepresi"who knows?"aku dan Jans
pulang. Sepanjang perjalanan, Jans tidak berbicara apa-apa.
Mulutnya terkatup kaku. Tetapi, apa dayaku" Tubuhku masih
lemah serta mataku sudah tidak sanggup membuka, jadi aku
ikut diam. Sayangnya, Jans justru mulai berbicara ketika aku
hendak memejamkan mata untuk tidur.
"Sar, ada yang mau kamu ceritakan sama aku?"
Aku membuka mata. "Aku mesti cerita apa?"
Jans menggeleng kuat-kuat dan mengangkat bahu. "I don"t
know... You tell me..."
"Nggak ada yang mesti diceritakan, Jans."
Jans tidak menyerah. "Pasti ada. Aku sudah menduga ada
sesuatu yang membebani pikiranmu sehingga kamu jadi sakit.
Mungkin kamu nggak sadar, tetapi kamu berubah belakangan
ini, kamu jadi terlihat murung, stres, pemarah, dan menjauh
dari aku! Aku sudah berusaha membantumu, tetapi kamu
http://pustaka-indo.blogspot.com185
malah menjauh! Kamu menghindari aku!" Suaranya semakin
keras. Aku terkejut dan langsung terdiam. Rupanya Jans cukup
emosi dan dia memukul setir mobilnya dengan cukup kencang.
Aku kembali terkejut. Belum pernah aku melihat Jans marah
dan kecewa seperti sekarang ini.
Aku seperti disekakmat. Penuturan Jans yang terbuka dan
panjang-lebar menohok hatiku, juga kemarahannya karena aku
tidak juga berterus terang kepadanya. Aku sadar aku agak menjauhinya. Aku sadar kinerja kerjaku di kantor menurun. Aku
sadar aku menjadi pemarah. Dan aku juga sadar sering melamun, yang isinya kebanyakan mengenai Igi.
Mobil Jans akhirnya tiba di rumahku. Kami sama-sama terdiam. "Jangan lupa minum obatnya, ya." Suara Jans yang kaku
membiusku. Aku tahu aku sudah melukai hatinya. Aku ingin
memanggilnya, tetapi tidak sanggup. Sampai kapan aku harus
menyimpan rahasia ini" Air mataku perlahan turun.
?"" Jans benar-benar menghindariku. Bahkan ketika kami bertemu
di kantor setelah aku sembuh, tidak ada pembicaraan yang
berarti. Hanya sapaan yang mengesankan formalitas dan
profesionalisme. Perang dingin, mungkin itu kata yang tepat
untuk menggambarkan hubungan kami berdua sekarang. Rasanya benar-benar tidak enak dan tersiksa! Belum lagi tatapan
aneh dan penuh tanya dari orang-orang kantor yang sudah
mengetahui hubungan kami berdua. Banyak dari mereka yang
mencoba mencari tahu, tetapi aku memilih untuk menutup
rapat-rapat mulutku, termasuk pada Maya, tempat curahan
hatiku selama ini. Ya, aku memilih menghindari semua
orang. Igi tak hentinya meneleponku, dan aku pun tak henti untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com186
menolak berbicara dengannya. Sampai aku membaca SMS
darinya: Gue denger lo sama Jans lagi ada masalah. Tolong, Sar, biarkan
gue memperbaiki semuanya sebagai permintaan maaf gue...
Aku hanya bisa menggeleng. Aku tidak tahu apakah aku bisa
memercayai Igi kembali. Jadi, aku memilih untuk mengabaikan
SMS tersebut. Namun, Igi sepertinya tidak pernah menyerah.
Baik telepon maupun SMS datang bertubi-tubi. Bahkan dia
pernah nekat datang ke rumah di malam hari. Aku mengutus
Mbak Nah untuk memberitahunya bahwa aku tidak ingin
bertemu dengannya. Aku mendengar suaranya yang memaksa
untuk masuk, tetapi dengan kelembutan Mbak Nah, dan entah
apa yang dikatakan pembantu setiaku itu, akhirnya Igi menyerah dan pulang. Sampai akhirnya, ketika perang dingin antara aku dan Jans
berlangsung selama seminggu, sebuah peristiwa yang tidak
kuharapkan akhirnya terjadi juga tanpa bisa kuhindari. Di hari


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Minggu, aku kedatangan seorang tamu. Aku sendiri yang membukakan pintunya. "Jans?" seruku. Aku tidak menyangka akan melihatnya di
depan pintu rumahku, tapi sejujurnya hatiku sangat lega.
Jans tersenyum kepadaku. Dia tidak berkata apa pun, hanya
memelukku dengan sangat erat. Aku pun memeluknya balik.
Lalu dia mencium keningku. Senyumnya yang meneduhkan
kembali menyapaku. "Banyak yang harus kita bicarakan, Sar."
Aku tahu, inilah saatnya. Aku mengangguk.
"Maafkan aku ya."
"Maafkan aku juga sudah mendiamkan kamu selama ini."
Jans mengungkapkan penyesalannya.
"Kamu mau minum kopi?"
http://pustaka-indo.blogspot.com187
Jans mengangguk. Sebelum aku pergi, dia menarik pinggangku dan mencium bibirku dengan singkat. Aku membalas ciumannya dan melingkarkan lenganku di lehernya. Hal ini cukup
meleburkan kami kembali. Aku tahu perang dingin kami sudah
selesai. Sekarang yang kami perlukan adalah berbicara dari hati
ke hati. "Jadi nggak kopinya?" tanyaku kembali ketika dia masih
ingin menciumku. Jans tersenyum dan melepaskan pelukannya, membiarkanku pergi ke dapur untuk membuat kopi.
Tak lama, ada yang mengetuk pintu. Aku pun berteriak kepada Jans, "Bisa tolong bukain dulu, dear" Aku lagi nanggung,
airnya sebentar lagi mendidih."
Aku yang sedang sibuk di dapur tidak mengetahui siapa
yang datang. Aku hanya mendengar perbincangan samar
antara Jans dan tamu yang datang. Tetapi tak lama kemudian,
perbincangan tersebut malah membuahkan suara yang semakin
lama semakin keras dan hingga akhirnya...
BUK! PRANG!! Aku terkejut dan segera berlari keluar dapur. Mataku terbelalak ketika melihat Jans dan Igi bergumul di lantai. Dengan
panik, aku segera menghampiri mereka.
"IGI! JANS! SUDAH CUKUP!"
Aku menarik Igi berdiri dan mendorongnya menjauhi Jans.
Aku membantu Jans berdiri dan berteriak kepada mereka,
"ADA APA SIH KALIAN" APA UNTUNGNYA KALIAN
BERKELAHI, COBA?" Rupanya perkelahian keduanya cukup parah, karena bibir
Jans berdarah, begitu juga alis Igi yang mengucurkan darah
segar. Aku menatap keduanya bergantian. "Gue minta kalian
berdua bicara baik-baik. Jangan pakai emosi."
"Sar, Jans, gue kemari juga punya niat untuk minta maaf..."
"Lo masih bisa minta maaf setelah apa yang lo lakukan
sama Sarah" Lo gila tahu nggak! Memangnya lo nggak
http://pustaka-indo.blogspot.com188
pandang gue apa" Lo nggak pandang dia sebagai sahabat lo,
hah!" Jans yang emosinya masih tinggi mencoba maju lagi dan
mencengkeram kerah Igi. Igi kali ini tidak melawan. Dia
membiarkan Jans melampiaskan kemarahannya. Ketika melihat
mata Jans yang menatap Igi seakan ingin melumatnya habis,
aku tahu saat itu juga, bahwa Jans sudah mengetahui apa yang
terjadi antara aku dan Igi. Sepertinya Igi sudah menceritakannya tadi. Igi benar-benar mempunyai keberanian yang
tinggi, karena seharusnya dia tahu risikonya jika mengatakan
yang sebenarnya kepada Jans.
"Kalau lo melakukan hal itu lagi kepada Sarah... gue jamin...," napas Jans tersengal-sengal, "gue nggak akan membiarkan lo selamat!"
Aku segera menarik tangan Jans dari leher Igi.
"Jans, sudahlah. Sudah! Lepasin!"
Jans pun mengendurkan cengkeramannya, dan mundur
beberapa langkah. Namun masih terlihat dari sorot matanya
kemarahan dan kebencian kepada Igi.
Igi menatap kami berdua dan berkata perlahan, tanpa emosi
sedikit pun. "Sarah, gue minta maaf soal apa yang terjadi
tempo hari, dan Jans... gue juga minta maaf. Percayalah, gue
sangat menyesal. Jika harus memutar waktu lagi, gue tidak
mau kejadian tersebut terulang lagi. Gue tidak berhak dan
tidak pantas memperlakukan Sarah seperti itu. Sepertinya pada
titik ini gue memang harus menyerah dan tidak akan
menganggu hubungan lo berdua lagi. Semoga kalian berdua
berbahagia ya." Lalu Igi meninggalkan rumahku. Jans berjalan ke ruang
keluarga. Dia pun duduk di sofa dalam diam.
?"" http://pustaka-indo.blogspot.com189
Aku membawakan secangkir kopi hitam panas yang tadi
kubuat serta kotak obat untuk mengobati Jans. Dia diam saja
selama aku membersihkan luka di kening, bibir, serta jari tangannya. Beberapa kali aku melihatnya meringis menahan
sakit, tetapi dia menahannya. Tak satu pun kata terlontar dari
mulutnya. Aku menunggu Jans meluapkan kemarahannya,
tetapi dia tetap mengunci mulut.
"Kamu marah?" aku akhirnya membuka suara. "Sekarang
saat yang tepat untuk kamu mengeluarkan unek-unekmu,
Jans." Jans diam, matanya masih tetap tertuju ke depan. Setelah
aku membersihkan lukanya, dia menikmati kopinya. Sesekali
meringis ketika kopi panas itu mengenai luka di bibirnya.
"Jans?" Aku membetulkan posisi duduk menjadi menyamping agar dapat melihat wajahnya. "Maafkan aku ya dan aku
sungguh-sungguh. Aku minta maaf kamu harus tahu dengan
cara seperti ini." Jans tertunduk dan menatap gelas kopi di tangannya.
"Kamu tahu kenapa aku marah?" Akhirnya dia memalingkan
wajahnya dan menatapku. Sorot matanya terlihat sedih.
Aku mengangguk pelan. Jans menarik napas panjang. "Yang terpenting bukan hanya
marah, tetapi aku benar-benar sedih dan kecewa."
Aku menunduk. Aku tahu jika Jans mengatakan bahwa dia
sedih dan kecewa, berarti aku sudah benar-benar membuat
hatinya sakit dan berantakan hingga berkeping-keping.
"Aku benar-benar kecewa karena kamu tidak bercerita mengenai masalahmu, kesedihanmu, Sar. Terutama kejadian
malam itu. Aku sendiri tidak bisa membayangkannya. Apa
yang terjadi antara kamu dan Igi... Aku mencoba untuk tidak
membuat gambarannya di benakku, karena hal itu membuatku
tambah marah. Hatiku pasti akan sakit dan egoku sebagai lelaki sangat terusik. Tetapi... kamu tahu aku benar-benar bisa
http://pustaka-indo.blogspot.com190
kamu andalkan untuk berbagi, kan" Jika kamu memendam
sendiri semua amarah dan masalah, tidak hanya membuat
kamu tersiksa, tetapi hubungan kita juga. Lihatlah, bahkan
kamu sampai sakit dan sekarang aku sampai babak belur
begini, bertengkar dengan temanku sendiri karena dia berani
menyentuhmu." Aku mengempaskan punggungku kembali ke sofa. Aku
mengurut pelipisku yang sudah mulai sakit. Aku memejamkan
mata untuk menghilangkan kepenatan itu.
"Aku takut." "Akan apa?" "Akan kenyataan yang ada. Masalah yang ada sebetulnya
melibatkan tak hanya hati dan logika satu orang, melainkan
lebih dari dua orang. Apakah kamu bisa menjamin pengertian
dan kerelaan untuk menerima kenyataan yang ada dari orangorang yang terlibat di dalamnya" Kita bisa berharap, tetapi kita
tidak akan bisa mengatur mereka. Tidak mungkin. Apa yang
aku takutkan adalah, semua melibatkan orang-orang yang
sebetulnya sangat aku sayangi. Dan ini sungguh terjadi kan,
Jans." Jans tetap diam dan mendengarkanku.
"Tiga bulan yang lalu, Igi bilang bahwa dia rela melepaskan
Andien demi aku...," aku mulai bercerita. "Tetapi bukan hanya
ketidakwarasannya yang membuatku begini, tetapi dia bilang
dia pernah berharap sesuatu dalam hubungan kami berdua.
Dia pun masih berharap, bahkan terlampau berharap hingga
dia ingin menjadikan dunia ini milik kami berdua saja. Igi
menginginkan diriku hanya untuk dirinya seorang."
Jans perlahan menoleh kepadaku, begitu juga aku. Kami
bertatapan, "Dia berharap adanya cinta. Bahkan dia sampai
melarikan diri ke Inggris untuk mengobati patah hatinya."
"...Karena kita sudah bersama kala itu..." Jans melengkapi
kalimatku sambil mengangguk mengerti. I think he"s got the
http://pustaka-indo.blogspot.com191
point. "Tetapi sekembalinya ke Indonesia, ternyata perasaan
tersebut tidak hilang, namun semakin tumbuh subur. Dia masih terlampau berharap hingga obsesi dan sifat posesif melekat
di hatinya." Aku dan Jans terdiam, merenungi semua masalah yang sudah kuungkapkan dari hati dan pikiranku.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Jans.
"Tentang?" Jans mengangkat bahunya, "Igi, kita..."
"Maksudmu?" "Sar, aku mau kejujuranmu, apakah kamu pernah berpikiran
yang sama dengan Igi?"
Aku menatap Jans cukup lama karena mencoba mencari apa
yang tersimpan di dalam matanya yang teduh, hingga aku
menunduk karena begitu kuat tatapan yang diberikannya.
"Jujur, dahulu aku tidak pernah berpikiran untuk menjalin
cinta dengan Igi, tetapi setelah Igi mengungkap perasaannya,
aku sempat terpikir beberapa kali..." Suaraku makin lama
makin mengecil. "Kenapa Igi tidak pernah jujur" Kalaupun dia
jujur, aku tahu segalanya akan berbeda."
Aku mengambil tangan Jans dan menggenggamnya erat.
"Aku sudah berpikir jauh, Jans. Aku harus hadapi kenyataan
ini. Yang ada kamu adalah yang pacarku, dan Igi adalah sahabatku. Memang akhirnya akan seperti benang kusut mengingat isi hati yang sudah Igi ucapkan, tetapi hatiku sudah
berkata dengan jujur. Aku tetap memilih kamu."
"Jika Igi terus mengejarmu?"
"Aku akan berlari terus mengejarmu untuk membuktikan
bahwa aku hanya mau kamu seorang."
"Bagaimana jika Igi tidak mau berhenti berusaha?"
Aku menghela napas, mataku sudah berkaca-kaca. "Kalau
begitu, aku akan kehilangan sahabatku sendiri."
Jans berganti menggengam tanganku dan matanya menatap
http://pustaka-indo.blogspot.com192
tajam hingga menusuk hatiku, "Aku berjanji...," dia menggenggam tanganku juga semakin erat, "meskipun dia temanku,
aku akan mempertahankan kamu dan memperjuangkan kamu
tanpa henti, Sar." Kami tersenyum dan berpelukan. Sepertinya aku sudah membuat pilihan yang tepat. Meskipun sedih, aku harus mengejar
cintaku dan mimpiku sendiri, dan semuanya ada pada diri Jans.
Kemudian tanpa sebab yang jelas, aku terserang cegukan di
sela-sela ciuman kami. Aku kesal setengah mati karena dia bukannya membantuku menghilangkan cegukanku, atau setidaknya bersimpati. Namun, aku tertular tawa Jans sehingga aku
ikut-ikutan tertawa di tengah cegukanku.
"Hik... diam kamu... Hik!"
Sambil mengelus kepalaku, Jans tetap tertawa. "Kamu tahu
nggak, kamu satu-satunya perempuan yang aku kenal yang
bisa tersenyum dan menangis dalam saat bersamaan. Dan,
jangan lupa... kamu ternyata bisa tertawa dan cegukan dalam
saat bersamaan juga!"
Aku memukul dadanya yang bidang dengan manja. "Aku
udah bilang... hik... diam saja!"
Jans berdiri dan memberiku air putih untuk menghilangkan
cegukanku. Dia memperhatikanku ketika aku minum hingga
cegukanku hilang. "Sar?" panggil Jans sambil mengelus rambutku dan mencium
keningku. "Ya?" Jans memegang kedua pipiku dan mencium bibirku pelan.
Kemudian mata kami beradu.
"Kamu bahagia sama aku, Sar?"
Dengan mantap aku mengangguk.
Perlahan senyum Jans mulai muncul. "Kalau begitu aku
akan selalu berada di sisimu, Sayang, selama yang kamu mau
dan selama yang Tuhan kehendaki."
http://pustaka-indo.blogspot.com193
Saat itu juga, aku tahu aku akan baik-baik saja bersama Jans
dan semua permasalahan serta kesedihan seakan terangkat dari
pundakku. Tuhan seperti mengirimi aku malaikat, mungkin karena
Tuhan tidak mengizinkan aku bersedih.
?"" Sekali lagi, Igi menghilang. Tidak diketahui keberadaannya,
seperti tertelan bumi. Aku tidak tahu bagaimana kondisinya
pasca perkelahiannya dengan Jans. Andien pun bersikap seperti
biasanya, ceria dan energik seakan tak pernah lelah. Maklum,
pegawai baru, jadi semangatnya masih mengebu-gebu.
Jika aku bertanya kepadanya tentang Igi, Andien seakan menutupinya dengan mengatakan bahwa Igi baik-baik saja dan
sedang sibuk foto. Rupanya perkelahian Igi dan Jans tidak tercium oleh Andien, begitu juga gosip yang menyebar di kantor
tidak terdengar sama sekali. Mungkin karena Igi langsung
menghilang, serta Jans pamit cuti untuk beberapa hari, guna
menutupi lukanya tersebut. Aku akhirnya menyerah untuk
mencari Igi. Aku berjanji tidak akan mengorek keterangan dari
Andien lagi, karena percuma.
Aku kembali menjalankan aktivitasku dengan semangat yang
berkurang, seakan semuanya menjadi sekadar kewajiban. Aku
menjadi lebih banyak melamun. Kinerjaku agak menurun.
Untungnya juga ada Andien. Entah mengapa dia tambah bersemangat mengerjakan tugas-tugas yang kubebankan padanya. Beberapa hari kemudian, aku melihatnya kembali. Meskipun
tak sempat bertegur sapa, aku melihat dari kejauhan sosok Igi
yang berjalan sendirian di sebuah mal di bilangan Jakarta
Selatan ketika aku sedang berbelanja untuk kebutuhan rumah.
Dia berjalan dengan langkah pelan, dan sesekali berhenti
http://pustaka-indo.blogspot.com194
untuk melihat-lihat etalase pertokoan. Aku melihat bekas luka

It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya masih berwarna ungu di wajahnya. Igi juga tidak menggunakan kacamatanya dan membiarkan rambut di sekitar
dagunya tidak terawat. Meskipun sempat ragu apakah aku harus mengejarnya atau
tidak, akhirnya aku mencoba mengikutinya dan menegurnya,
tetapi seperti biasanya, dia kembali menghilang dengan cepat.
Dia sudah tertelan kerumunan orang yang berjalan di mal.
Aku terus berjalan cepat untuk bisa menghentikannya. Rasanya
aku masih bisa melihat jaketnya yang berwarna cokelat berbelok ke parkiran. Tetapi begitu aku sampai di depan parkiran,
sosoknya tidak terlihat lagi olehku.
http://pustaka-indo.blogspot.com195
"SAR..." Aku mengangkat wajah dari kertas-kertas hasil wawancara
beberapa reporter yang sedang kubaca dan sekaligus kuedit.
Aku melihat Andien berdiri di depan pintuku. Dia hanya berdiri di sana. "Kenapa, Ndien?" tanyaku heran.
Anehnya, wajahnya tidak seceria hari-hari sebelumnya. Kali
ini mendung menghiasi wajahnya yang ayu. Tetapi mendung
itu tak mengubah penampilannya yang selalu keren dan
cantik. Hari ini Andien masih terlihat oke meski hanya dengan
kardigan ungu dan celana panjang putih serta sepatu flat
polkadot berwarna ungu. "Boleh aku masuk?"
Aku melemparkan senyum dan mengangguk. Dalam sekejap
Andien sudah duduk di hadapanku. Dia terlihat gelisah dan
meremas-remas tangannya tak menentu.
"Kamu baik-baik saja?"
Andien menggeleng. Keningku berkerut. "Ada apa?"
http://pustaka-indo.blogspot.com196
Akhirnya Andien menemukan suara untuk bicara, "Ini tentang Igi." DEG! Hatiku tiba-tiba berdebar dengan kencang tanpa kuminta. Nama itu terucap lagi.
"Sebenarnya aku bohong sama kamu?"
Aku semakin bingung. "Bohong mengenai apa?"
"Kamu suka bertanya, di mana Igi, apa kabarnya, dan aku
selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Sebenarnya aku
sendiri tak tahu dia di mana, bagaimana keadaannya?"
"Jadi" kamu nggak tahu di mana Igi sekarang?" tanyaku
terkejut. Andien menggeleng. "Kadang dia meneleponku, tapi begitu
aku meneleponnya, dia tidak bisa kuhubungi. Dia seakan
hanya ingin menghubungi tanpa dihubungi."
Aku bertambah deg-degan. Apakah Andien tahu apa yang
terjadi antara aku dan Igi"
Kami sama-sama terdiam. "Sar...," Andien masih tertunduk, "aku sudah tahu..."
Tahu apa" Aduh, Jangan-jangan"
Dia mengangkat wajahnya dan kali ini sinar matanya sangat
berbeda. Kali ini matanya tidak lagi ramah dan polos, tetapi
penuh tekanan dan begitu dingin. "Aku sudah tahu apa yang
terjadi antara Igi dan kamu."
Oh God, she knows. Aku menelan ludah dan ikutan gelisah. "Ndien, dengar, aku
dan Igi tidak ada apa-apa" sungguh, sumpah!"
Andien tertawa kecil. "Jangan berkata seperti itu, Sar. Aku
tahu persis Igi sangat mengharapkan kamu."
Aku terdiam, lidahku kelu. Kata-kata Andien seperti silet
yang begitu tajam. Andien sekarang terlihat sangat rileks. Dia bersandar sambil
bermain-main dengan kancing kardigannya. "Aku sebenarnya
http://pustaka-indo.blogspot.com197
sudah lama tahu bahwa sebenarnya Igi tidak mencintaiku karena dia punya impian sejak lama, his love for all time..."
Aku menelan ludah. "Yaitu kamu..." Andien tersenyum kepadaku. "Dulu sewaktu
di London, Igi selalu membicarakan tentang diri kamu, dan
tak pernah berhenti sedikit pun. Aku menjadi penasaran dengan kamu, Sar. Seperti apa sih orang yang Igi cintai itu, kenapa sebegitu istimewanya, sampai di ingatannya yang selalu
tersimpan adalah kamu."
"Ndien, please?"
"Tunggu, Sar, aku belum selesai..." Andien memotong katakataku. Lalu dia melanjutkan, "Sampai suatu hari aku bertekad
untuk membuatnya melupakan kamu, jadi akulah yang melakukan pendekatan kepada Igi. Setiap detik dan setiap saat
aku selalu berada di sisinya, sampai sosokku melekat di ingatannya sehingga sosok Sarah terlupakan."
Kemudian Andien melanjutkan, "Hingga aku mengorbankan
diri untuk kembali ke Jakarta, demi Igi, dan meninggalkan
seluruh hidupku di London."
Andien menarik napas panjang. "Tetapi" ternyata di Jakarta
lebih parah, karena adanya sosok kamu yang hadir kembali di
dekatnya, perlahan Igi mulai berubah, sepertinya dia tidak bisa
melupakan kamu. Sekarang, dengan penolakanmu, Igi seakan
kehilangan sebagian dirinya."
Penolakan" Aku bisa merasakan wajahku menjadi pucat.
"Bagaimana kamu tahu?"
Andien tertawa. "Aku tidak sepolos yang kamu kira, Sar..."
"Ndien, aku tidak bisa berkata apa-apa. Maafkan aku kalau
semua ini melukai hati kamu."
Andien pun bangkit berdiri dan memasukkan tangannya ke
saku celana. "Kejadian ini sangat melukai hatiku. Bagaimana
sih melihat orang yang kamu cintai mengharapkan cinta
http://pustaka-indo.blogspot.com198
sahabatnya yang tak pernah teraih" Seperti lingkaran yang
aneh bukan?" Andien pun menuju pintu, hendak keluar. Sebelum menutup
pintu, Andien memberi kata-kata terakhirnya yang terkesan
dingin, "Aku akan tetap berjuang mendapatkan hati Igi, Sar.
Meskipun harus membuat kalian berdua tak akan bertemu lagi
untuk selamanya." Lalu dia keluar meninggalkan aku yang terdiam dengan
kepala pening. Aku termenung sejadi-jadinya memikirkan
Andien, Igi, dan diriku sendiri. Sosok kami bertiga berputarputar di pikiranku. Cinta Igi terhadapku, cinta Andien terhadap
Igi. Sampai suatu saat, harus ada yang dikorbankan. Seperti
Romeo dan Juliet yang harus mengorbankan nyawa untuk
cinta, kali ini persahabatan yang harus dikorbankan.
?"" Semenjak itu, Andien memutuskan untuk mengundurkan diri
dari Women"s Style, meskipun masa kerjanya belum mencapai
setahun. Ketika aku bertanya perihal pengunduran dirinya, dia
sama sekali tidak menyinggung soal hubungan kami dengan
Igi. Dia hanya beralasan ingin kembali ke London. Jadi, aku
pun merelakannya. Meskipun aku tahu, itu bukan alasan yang
sebenarnya. Aku merasa dia memang sengaja menghindariku.
Aku mencoba memakluminya. Aku pun akan berbuat sama jika
tahu pacarku terlibat "affair" dengan orang yang selama ini dia
kira bisa dipercaya. Aku sungguh mengerti.
Tidak mudah untuk melupakan Igi dan Andien. Apa yang
terjadi di antara kami terasa rumit. Aku melewatkan waktu
dengan sangat berat, dan semua peristiwa selalu mengulang di
benakku. Aku semakin tenggelam dalam kesibukanku.
Tujuh bulan kemudian, di hari minggu yang mendung, aku
mengurung diri di kamar. Sibuk dengan koran dan majalah
http://pustaka-indo.blogspot.com199
yang berserakan. Mandi menjadi pilihanku yang terakhir di
hari santai seperti ini. Aku masih mengenakan celana pendek
putih dan kaus hijau yang gombrong tapi sangat nyaman. Di
meja kerjaku, terbuka laptop kesayangan yang berwarna putih
dan sedang bekerja keras melayaniku yang iseng tak berarah.
Tak lama, ketika aku asyik mengetik di laptop, pintu kamarku
diketuk. "Ya?" teriakku dari dalam.
"Ada tamu, Non..."
"Siapa?" Aku melirik jam di dinding, baru pukul sebelas.
"Mas Igi." Aku terpaku. Sepertinya telingaku sudah sedikit asing mendengar nama Igi, tetapi tidak dengan hati yang ternyata masih
menyimpan rapi nama tersebut. Aku sempat tidak percaya, dan
bertanya lagi kepada Mbak Nah, "Siapa, Mbak?"
"Mas Igi, Non," ulang Mbak Nah dengan sabar.
Aku langsung berlari membuka pintu dan menuruni tangga
dengan tergesa-gesa. Dengan napas terengah-engah aku mendapati Igi sedang memegang segelas jus jeruk. Dia tersenyum
begitu melihatku. Senyum yang sudah lama tidak kulihat. Dia
terlihat lebih segar, meskipun lingkaran mata membayangi.
Aku membandingkan wajahnya ketika" ah" kenapa juga
harus aku ingat lagi kejadian itu" Rasanya sudah lama terlupakan, sekarang malah kembali ke permukaan dengan munculnya
Igi di hadapanku kembali.
"Kapan pernah mau mandi sih" Jorok banget," ledeknya
sambil memperhatikanku dari atas sampai bawah.
Spontan, aku mendekati Igi dan memeluknya. Sejak Igi
menghilang tujuh bulan yang lalu, sejak perkelahiannya dengan Jans, dan sejak pembicaraanku dengan Andien, inilah
pertama kalinya dia muncul lagi. Igi juga memelukku dengan
sangat erat. Pelukan hangat dan bercampur rindu menghiasi
suasana di antara kami. Igi melepaskan pelukannya dan menghttp://pustaka-indo.blogspot.com200
acak-acak rambutku. Sungguh, aku merindukan saat-saat seperti
ini. Aku rindu ketika kami tertawa lepas serta santai dan bisa
mengobrol panjang-lebar, tanpa melibatkan hati dan cinta.
Meskipun telah terjadi peristiwa yang tidak mengenakkan di
antara kami berdua, tetapi tetap" Igi adalah sahabatku. Kami
sudah mengenal satu sama lain sedari kecil. Dia seperti menyatu dengan kehidupanku.
"Meskipun lo nggak mandi tapi kok tetap wangi ya"
hehehe..." Aku memperhatikan Igi dengan saksama, mulai dari ujung
kepala hingga ujung kaki.
"Lo ke mana saja, Gi?"
"Gue nggak ke mana-mana, Sar," ucap Igi dengan pelan dan
teratur. Igi memang paling jago menjaga emosinya. Dia terlihat
seperti biasanya. "Kalau nggak ke mana-mana, kenapa nggak pernah ada
kabar selama ini" Gue tanya Andien juga dia diam, mingkem
nggak mau kasih tahu tentang lo sama sekali, Gi. Lo seperti
nggak pernah ada di bumi ini" Hilang" pergi" menguap!
Shit, Igi! Ini bukan cara untuk menyelesaikan masalah, kan"!
Lo tidak akan pernah bisa melarikan diri dari masalah, apalagi
yang tertanam di hati lo sendiri!" Aku mulai emosi dan suaraku naik beberapa oktaf. Aku kesal sekali. Datang dan pergi
seenak udelnya, membuat masalah semaunya, mengejarku dan
mengatakan cinta, menciumku, berkelahi dengan Jans. Apa sih
yang belum dilakukannya" pikirku kesal.
Igi hanya diam, tangannya dimasukkan ke saku celana jinsnya. Matanya tidak berani menatapku, dia terus menatap
sepatunya, namun aura dan emosinya tetap tenang. Sedangkan
aku" Melotot dan berkacak pinggang dengan napas naik-turun
dan emosi tidak terkendali.
"Jadi lo ngapain ke sini" Mengulang semuanya lagi, Igi"
Mengulang semua pembicaraan kita yang dulu lagi sampai kita
http://pustaka-indo.blogspot.com201
nggak bisa ngomong lagi, bertengkar lagi, terus lo menghilang"
Gue capek, Gi, capek! Sudah! Gue trauma dengan kejadian
yang lalu dan gue nggak berniat mengulanginya lagi!" Suaraku
semakin keras. "Lo tahu nggak apa yang Andien bicarakan
dengan gue beberapa bulan yang lalu" Lo seharusnya mengerti
apa yang Andien rasakan dan apa dampaknya bagi gue, Gi!
Dan juga?" Igi memotong, "Gue tahu apa yang Andien bicarakan, dia
bilang kok sama gue."
"Terus" Lo tahu kan efeknya ke gue" Lo mikir nggak sih
perasaan gue sampai Andien harus berbicara seperti itu?"
Igi diam. Tangannya yang sedari tadi memegang bungkusan
berwarna hijau lembut disodorkannya kepadaku setelah aku
selesai berbicara. "Ini," sahutnya pelan.
Aku heran, apa ini" Aku menelitinya. Undangan, undangan
siapa" "I"m getting married, Sar."
Aku terpaku dan terkejut. Igi akan menikah. Aku meraba
undangan berwarna hijau lembut berbentuk segi empat seperti
buku. Aku membuka bungkusannya. Pada sampulnya tertera
inisial mereka, I untuk Ignatius dan A untuk Andienita yang
lama-kelamaan menjadi samar karena pandanganku tertutup
air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku. Aku jadi
teringat dengan Andien yang bertekad untuk mengejar Igi
demi mendapatkan cintanya, apa pun yang terjadi.
"Lo yakin, Gi?"
Igi menatapku dengan tatapan yang sulit aku lukiskan. Bercampur baur dengan rasa kecewa, frustrasi, dan sedih. Detik
itu juga aku menyadari bahwa aku tidak menemukan kebahagiaan pada dirinya. "Gue lihat lo nggak bahagia, Gi."
"Gue memang nggak bahagia, Sar."
http://pustaka-indo.blogspot.com202
"Jadi kenapa lo menikah kalau nggak bahagia, Gi" Please,
jangan siksa diri lo. Kalau lo nggak sayang Andien, lupakan,
tinggalkan, dan" tinggalkan gue juga. Cari kebahagiaan lo."
Igi diam seribu bahasa. Lidahnya seakan terlalu kelu untuk
berbicara, tetapi matanya itu, mengatakan sesuatu yang sudah
lama dia coba katakan kepadaku.
Igi duduk dan bersandar ke sofa, mencoba memberi kenyamanan pada tubuhnya. Pandangan Igi menerawang. "Mungkin dengan menikahi
Andien, gue bisa sadar dan bangun dari mimpi gue selama ini.
Gue tahu ini pelarian gue, but" gue rasa gue harus melakukannya. Sudah menjadi keputusan gue kok, lagian nyokapnya
Andien sudah ribut minta anaknya dikawinin" hehehe..." Igi
mencoba tertawa dalam kepedihan hatinya. Dia menertawakan
kehidupan yang tak sejalan dengan hatinya, begitu pula cintanya. Aku yang mendengarnya sungguh miris, air mata sudah
menggenang di kelopak mataku. Setiap kalimat yang terucap
dari bibir Igi, mengiris hatiku.


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Igi...," suaraku tercekat, "dengan cara ini lo malah akan
menyakiti semua orang..."
Igi menggeleng, "Gue nggak mau nyakitin siapa pun, Sar"
dan berjanji gue nggak akan ungkit apa pun lagi sama lo. Biarkan kita memulai hidup yang baru ya."
Igi lalu berdiri dan berpamitan. Sebelum melangkah pergi,
dia menghabiskan jus jeruknya. Aku mengiringi langkahnya
dengan mengenggam erat undangan pernikahannya. Tiba-tiba
Igi berbalik dan memelukku erat sekali. Aku diam, tidak bergerak dan tidak bersuara. Cukup lama dia memelukku sampai
dia melepaskannya perlahan dan memandangku, mengusap
kepalaku dengan gemas dan mencubit pipiku.
"Sori ya gue sudah mengacaukan semuanya. Gue berusaha
jujur sama lo dan diri gue, tapi lihat akibatnya..."
Aku menggeleng. "Igi..." Tapi Igi sudah memotongnya, "I"m
http://pustaka-indo.blogspot.com203
glad I have you in my life. Apa pun itu bentuknya"," bisik
Igi. Aku tersenyum. "My life will never be the same without you
around me, tetapi gue selalu ada di sini untuk lo kok, Gi. Meskipun mungkin hubungan kita tidak akan seperti dulu lagi,
tetapi di dalam sini"," aku menunjuk dadaku, ?"akan selalu
ada sosok seorang sahabat yang bernama Igi?"
"Kita punya pemikiran yang sama! Gue akan selalu seperti
ini kok, Sarah! Tidak akan berubah!" seru Igi sambil merentangkan tangannya. Aku tersenyum. Lalu Igi berjalan menjauh, melambaikan tangannya, dengan senyuman tersungging
di bibirnya, dan pergi. Tetapi ketika aku menatap punggungnya
yang menjauh, senyumku perlahan menghilang dan berganti
dengan tangis. Aku sayang kamu, Igi... Aku doakan semoga kamu menemukan
kebahagiaan ya" http://pustaka-indo.blogspot.com204
"WOIII" cepetan dooong! Gile looo! Lama?"
Suara Maya berteriak-teriak gila di telepon menyuruhku
cepat berangkat. "Lo sabar kenapa sih" Jangan kebakaran jenggot gitu, kali!"
desisku gemas. Aku jadi ikut-ikutan gila setelah Maya menelepon padahal aku tidak tahu harus memilih baju apa untuk
pergi ke pernikahan Igi. Akhirnya, Igi menikah hari ini. Hari sakral saat Igi dan
Andien akan berjanji setia satu sama lain di hadapan Tuhan.
"Kalau ke gereja mah pakai yang kasual saja. Malam hari
waktu resepsinya, baru lo pakai baju yang mewah."
"Ah, berisik! Sudah ya, jangan ganggu gue. Lo pergi duluan
saja, nanti gue menyusul. Nggak bakal telat kok!"
"Jans nggak ikut?"
"Kebetulan hari ini sepupunya ada lamaran, jadi dia harus
menjadi panitia. Sok sibuk gitu deh, baru nanti malam dia
datang ke resepsi." "Ya sudah, cepetan. Dah!"
Setelah menutup telepon dari Maya, aku memandang isi
http://pustaka-indo.blogspot.com205
lemariku dengan frustrasi. Semua baju bertebaran dan aku masih tidak tahu baju mana yang akan kupakai. Aku diam sejenak dan langsung mencomot salah satu baju dan tanpa berpikir panjang lagi memakainya. What the hell, yang penting
memakai baju kan! Aku mengendarai mobilku dengan sedikit ngebut, yang tidak
pernah kulakukan sebelumnya karena kadar keberanian yang
minim sekali. Tetapi hari ini, semua bersahabat denganku,
mulai dari jalanan, mobil, baju, dandanan, rambut, hingga sepatuku. Akhirnya aku sampai juga di gereja yang terletak di
daerah Menteng. Aku menenteng tasku dan berjalan sambil
membereskan bajuku yang sedikit kusut akibat menyetir terlalu serabutan. Dari dalam gereja, Maya melambai-lambaikan
tangan kepadaku dan aku memberinya kode untuk menyiapkan tempat duduk untukku sementara aku pergi ke
toilet. Aku mencari toilet sambil celingukan, pastinya juga mencari
orang untuk bertanya soal keberadaan toilet yang letaknya tersembunyi itu. "Lagi nyari apa" Yang pasti bukan nyari gue, kan?"
Aku menengok ke arah suara itu.
Igi berdiri bersandar di sebuah mobil dan aku tersenyum
kepadanya. Dia begitu" apa ya" Otakku serasa beku dan berhenti begitu saja. Aku ingin menyimpan selamanya di pikiranku penampilan Igi yang satu ini. Igi terlihat sangat memesona
dengan jas hitamnya. Rambutnya terpotong rapi. Agak kurus
sih, tapi tetap terlihat segar dan menawan.
"Lo ngapain, Gi?" Aku berjalan mendekati Igi. "Lo ngikutin
gue ya?" Igi tertawa. "Nuduh aja! Gue memang dari tadi di sini kok!
Lo yang ngapain celingak-celinguk kayak sapi?"
http://pustaka-indo.blogspot.com206
"Sialan! Gue lagi nyari toilet, tahu! Lo tahu nggak sih toiletnya di mana?" Aku meringis.
Telunjuk Igi menunjuk ke depan.
"Thanks, Gi! Tunggu bentar ya..."
"Sarah, tunggu sebentar"," ucap Igi pelan menahan langkahku. Aku berbalik heran, "Kenapa, Gi?"
"Gue akan tetap sayang lo, Sar," kata Igi tercekat.
Aku mendekati Igi dan menggenggam tangannya. "Gue juga
akan tetap sayang lo, Gi. Lo sahabat gue yang nggak akan bisa
tergantikan. Janji sama gue ya, Gi..."
"Apa?" "Bahwa ini adalah jalan yang lo mau. Yakinilah bahwa lo
dan Andien akan hidup bahagia. Coba lihat ke depan, jangan
ke belakang. Di depan ada kebahagiaan yang menunggu lo. Itu
hanya milik lo seorang."
Mata Igi mulai berkaca-kaca. "Jangan lupakan gue ya..."
Aku menggeleng. "Tidak akan!"
Igi masih tertegun menatapku.
"Gi?" "Hm?" "Sampai bertemu di pesta ya!"
Igi mengangguk. Kami saling melambaikan tangan. Aku pergi ke toilet dan
meninggalkan Igi di tempatnya berdiri. Aku menengok untuk
memastikan apakah Igi masih ada di tempatnya, dan ternyata
dia masih ada dan bersandar di mobil. Setelah selesai dari
toilet, aku kembali duduk di sisi Maya di dalam gereja yang
sudah mulai terisi penuh. Aku menyempatkan untuk menengok ke belakang dan melihat mobil pengantin terparkir di
pintu gereja. Pengantin wanita sudah datang. Kami pun menunggu. Namun, setelah sekian lama menunggu upacara sakral terhttp://pustaka-indo.blogspot.com207
sebut dimulai, tiba-tiba kami mendengar keributan di depan
serta di belakang gereja. Suara-suara tersebut cukup keras hingga membuat para tamu di dalam gereja bertanya-tanya serta
berdiri untuk mencari tahu.
"Apa yang terjadi?"
"Igi kabur!" "Dia juga tidak bisa ditelepon!"
"Mamaaaa! Mama pingsan!"
"Hayo, cepat angkat!"
Beberapa orang berjalan cepat, juga ada yang berlari. Sayupsayup, aku mendengar bisikan dan teriakan bahwa Igi tidak
ada dan tidak bisa ditemukan, beberapa teriakan untuk segera
menghubungi handphone-nya.
Aku pun berdiri dan berlari keluar gereja diikuti Maya. Kami
melihat Mama Andien pingsan, sementara sosok bergaun putih
yang cantik, sang pengantin putri justru terlihat tegar didampingi oleh adiknya. Andien tampak menggenggam buket
bunga dengan erat. Wajahnya tegang dan tubuhnya kaku. Aku
hanya bisa menatap sosoknya dari kejauhan. Tetapi kemudian,
mata kami beradu. Dia menatapku dengan pandangan yang sukar diartikan.
Kemudian dia mengangkat gaunnya sedikit untuk memudahkannya melangkah dan menghampiriku. "Sar, kamu pasti tahu
ke mana Igi. Ke mana dia" Dia nggak bisa meninggalkan aku
seperti ini! Semestinya dia bisa membicarakannya! Dia tahu
aku mencintainya, kan?" Andien menjerit pilu. Seketika itu
juga air matanya mengalir di kedua pipinya yang dirias blush
on merah muda. Aku tidak bisa berkata apa pun. Hatiku ikut
nyeri seperti teriris. Akhirnya Andien jatuh terduduk di pelataran gereja dalam
pelukanku. Adik serta beberapa temannya mulai mengerubunginya dan menenangkan Andien. Setelah ada yang memeluk
Andien, aku memilih untuk menjauh. Aku ingin menangis,
http://pustaka-indo.blogspot.com208
agar Andien bisa berbagi kesedihannya bersamaku, tetapi air
mataku tidak mau mengalir. Hatikulah yang menangis.
Maya memutuskan menemaniku pulang. Aku diam membisu, peristiwa yang barusan terjadi berulang kali memutar bak
kaset rusak di pikiranku. Mungkin inilah jalan yang dipilih Igi,
apa pun bentuknya. Terbayang olehku pertemuan singkat kami
tadi di belakang gereja. Mungkin begitu aku berbalik untuk ke
toilet, Igi sudah pergi bersama mobil yang disandarinya. Igi
sudah merencanakannya. Keputusannya sudah bulat. Mungkin
dia pergi untuk menggapai mimpi yang lain. Kebahagiaannya
berada jauh, di tempat yang hanya dia yang tahu.
http://pustaka-indo.blogspot.com209
APA yang terjadi pada pernikahan Andien dan Igi membuatku lebih banyak berpikir. Memang, hari itu bak ilm yang
diputar di televisi atau bioskop. Namun, aku hanya bisa menjadi penonton. Penonton yang tak bisa berbuat apa pun. Hari
itu aku hanya bisa diam serta termenung. Aku benar-benar
seperti orang yang kehilangan arah. Aku tidak bisa melupakan
tatapan Andien yang menghunjam hatiku. Mau tahu tidak
rasanya" Sakit. Sangat sakit. Mungkin kalau bisa dikatakan,
sakitnya melebihi luka yang mengeluarkan darah.
Jeritan Andien juga masih terngiang, seolah dia ingin menyalahkanku atas kepergian Igi. Seandainya aku bisa" hanya
saja, seandainya aku bisa mencegah Igi, hanya saja, jika alur
cerita hidup kami tidak seperti ini, apa yang akan terjadi"
Mungkinkah jika aku tidak mengenal Igi, mereka akan bersatu
dan hidup bahagia untuk selamanya" Meskipun aku punya
ribuan pertanyaan, rasanya tidak akan pernah ada yang bisa
menjawabnya. Sore harinya, Jans muncul di rumahku, dan Maya pun pulang. Dari raut wajahnya, aku tahu, Jans tahu. Kami tahu dan
http://pustaka-indo.blogspot.com210
kami juga sama-sama sakit serta sedih. Jans memelukku saat
itu juga dan leleh semua air mataku. Aku menangis tersedusedu. Jans tetap diam tanpa melepaskan pelukannya sama sekali. Hingga akhirnya aku kembali tenang. Namun, aku masih
belum mau melepaskan pelukan Jans. Kami tetap berangkulan
dan duduk nyaman di sofa rumahku. Televisi menyala, tetapi
tidak menjadi tontonan yang berarti untuk kami berdua. Kami
terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama diriku.
"Kamu tidak mau makan, dear?"
Jans bertanya kepadaku setelah sekian lama kami membisu.
Dia menepuk lututku dengan lembut, tetapi aku menggeleng.
Aku sungguh tidak lapar. "Jans?" "Hm?" "Mereka pasti akan membenciku."
"Siapa?" "Siapa pun yang merasa dirugikan oleh gagalnya pernikahan
Igi, terutama yang terjadi hari ini."
Jans melepaskan pelukannya di tubuhku. Dia menatapku
dalam-dalam. "Sarah, apa pun yang terjadi hari ini sudah kehendak Yang Di Atas. Bagaimanapun atau apa pun yang kamu
ingin lakukan supaya pernikahan mereka tidak gagal, kejadian
tadi akan tetap terjadi. Jangan siksa dirimu dengan perasaan
bersalah." "Kamu tidak lihat tatapan Andien kepadaku tadi di gereja"
Dia begitu" begitu?" Aku sendiri tidak mampu menyelesaikan
kalimatku. Aku tahu rasanya aku akan bermimpi buruk terus,
mungkin selama beberapa bulan ke depan.
"Aku memang tidak melihat langsung, tetapi aku sudah melihatnya melalui kamu. Kamu begitu terluka, pasti Andien
lebih terluka. Sudahlah, Sar" bagaimanapun kita tidak bisa
memutar waktu, kan" Seperti kataku tadi, ini sudah menjadi
kehendak Tuhan." http://pustaka-indo.blogspot.com211
"Jadi kita hanya bisa diam?" kataku sambil termenung.
"Bukan, kita berserah."
Kami kembali diam. Lalu televisi menampilkan iklan kopi.
Aku menatapnya dan berkata kepada Jans, "Bagaimana kalau
secangkir kopi" Mungkin bisa melupakan semua masalah, setidaknya untuk sementara."
Aku bangkit dan menggerakkan tubuhku yang kaku, mengisi
air ke teko, dan memanaskannya di atas kompor. Tak lama
seluruh ruangan sudah dipenuhi aroma kopi. Aku kembali ke
sofa dengan dua cangkir di tanganku. Aku memberikannya
kepada Jans dan melakukan toast kepadanya. Toast ini bukan
untuk merayakan kebahagiaan, tetapi lebih mengenang suatu
peristiwa, kesedihan, dan perjalanan hidup yang tak bisa kita
tawar. "Untuk hari yang penuh air mata..."
"Untuk kehidupan"," balas Jans.
"Untuk" Andien dan Igi. Semoga" setelah hari ini, mereka
akan menemukan kebahagiaan dua kali lipatnya. Kalau perlu
sepuluh kali lipat," aku berkata dengan sedikit tercekat.
"Untuk setiap pernikahan di dunia ini. Semoga bahagia selamanya." Aku tersenyum mendengar kata-kata Jans, lalu mengangkat
gelasku, "Untuk kita..."
"Untuk kita." Lalu kami mulai menghirup kopi kami masing-masing. Secangkir kopi yang pahit, manis, dan kental. Seperti halnya
dunia dan kehidupan cinta.
?"" Dalam hari-hari berikutnya, aku seakan diatur untuk memulai
suatu hidup yang baru. Aku mengambil keputusan yang cukup


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar dan membuat banyak orang terkejut dan menyayangkan
http://pustaka-indo.blogspot.com212
keputusanku ini, tetapi rasanya setiap aku bertanya kepada
diriku sendiri, jawaban inilah yang selalu keluar dari lubuk
hatiku yang paling dalam. Jadi aku sudah pasti dan yakin akan
keputusanku ini. Aku memutuskan untuk mengundurkan diri
dari Women"s Style. Alasannya" Tidak ada yang spesiik. Aku merasa tempatku
bukan di sini lagi. Memang berat rasanya, karena aku sudah
menganggap semua orang di Women"s Style seperti keluargaku
sendiri, tetapi hidup harus terus berputar, bukan" Bersamaan
dengan pengunduran diri dari majalah bergengsi itu, aku mulai
menulis untuk beberapa majalah sebagai kontributor.
Beberapa majalah dan beberapa surat kabar menjadi teman
setiaku untuk menuangkan hasrat menulis. Mungkin lebih baik
begini. Tidak membosankan, lebih banyak variasi dan kenangan yang lama tidak akan teringat lagi. Ibu Dinar, bosku yang
baik hati sangat berat melepasku, tetapi dia tetap mendukungku. Dia masih memintaku untuk menjadi penulis lepas di
majalah Women"s Style.
Jans sendiri masih bergabung di Men"s Style. Maya masih
memberikan hot gossip dan selalu meng-update-nya kepadaku
di setiap minggunya pada pertemuan yang kami atur. Perlahan
bayangan tentang Andien dan Igi mulai terhapus dan menghilang dengan sendirinya. Terkadang dari hatiku yang paling
dalam ada keinginan untuk menghubungi Igi, tetapi aku tahu
semua akan menambah keruh suasana kembali. Igi sendiri
tidak pernah sedikit pun hadir dalam bentuk apa pun. Tidak
ada kehadiran, suara di telepon, maupun pesan singkat. Kali
ini dia benar-benar hilang ditelan bumi. Terakhir yang kudengar dari kabar burung yang beredar, Igi sudah berada di
London, tempat pelariannya untuk menyepi.
Apakah aku kesepian dengan tidak adanya Igi lagi dalam
hidupku" Hm, aku rasa tidak juga. Rasa kangen pasti ada, tetapi aku punya Jans, Maya, dan tulisan-tulisanku yang selalu
http://pustaka-indo.blogspot.com213
menemani, dan yang lebih penting lagi, perlahan aku menjadi
dekat lagi dengan Mama. Mama dan adikku kembali tinggal di
Jakarta setelah Simon sembuh. Perceraian Mama yang kedua
kali tidak terlalu mengangguku. Yang penting adalah hubunganku dengan Mama. Akulah yang meminta mereka untuk kembali ke Jakarta. Baru sebulan ini kami tinggal bersama, dan betapa aku merindukan saat-saat seperti ini. Aku sangat bersyukur. Semuanya
terasa lengkap kembali, mengisi hari-hariku yang sempat sepi.
Kami merapikan kembali rumah di Pondok Indah. Rumah
yang telah lama tak berpenghuni, mulai terdengar lagi celetukan Simon dan tawa gelinya ketika kami berlarian ke sekeliling
rumah karena berebut cokelat. Aku juga yang mengantar-jemput Simon sekolah. Mama juga sudah terlihat lebih santai dan
yang pasti bahagia. Aku benar-benar tidak mau melewatkan
kebersamaan kami yang berharga ini sedikit pun. Inilah keluarga kecil yang sudah lama menghilang dari kehidupanku.
Sekarang aku menjalankan kehidupanku dengan keinginan
yang bertambah satu lagi, yaitu membahagiakan mereka berdua. ?"" Karena waktuku yang sudah luang, Jans pun mengajakku
untuk berlibur ke Bali. Dia mengambil cutinya yang sudah menumpuk untuk melewatkannya bersamaku. Aku bersyukur karena benar-benar membutuhkan liburan dari penatnya Jakarta.
Aku benar-benar harus melihat pantai, air, dan matahari. Suatu
perpaduan yang menyenangkan untuk bersantai.
Kami sampai di bandara dan dijemput kendaraan dari vila
tempat kami memesan kamar. Matahari, udara, dan aroma
pantai benar-benar menyambut kami berdua. Aku seperti tersihir keberadaan Bali yang eksotis. Lagi pula" pantai! Betapa
http://pustaka-indo.blogspot.com214
aku merindukan suasana pantai. Air, pasir, dan tentu saja
agenda bersenang-senang ada dalam agenda kami berdua. Berjemur menjadi urutan teratas dan shopping menempati urutan
kedua. Juga banyak tempat wisata yang ingin kukunjungi.
"Tunggu! Tutup dulu mata kamu!" seru Jans ketika mobil
yang membawa kami berhenti di depan vila yang cukup terpencil ini. Aku mendelik. "Nggak ada kerjaan ya kamu?"
Semua perjalanan ini memang sudah diatur oleh Jans sendiri. Aku hanya tinggal packing dan membawa diriku menaiki
pesawat hingga sampai ke pulau ini. Rupanya dia hendak memberi kejutan, dimulai dari vila tempat kami menginap. Wangi
bunga dan aromatherapy sudah terendus hidungku. Mataku tertutup rapat, tetapi melalui indra penciuman dan pendengaran,
dengan antusias aku bisa membayangkan seperti apa vila yang
akan kami tempati. "Sudah belum sih?" tanyaku tidak sabar. Beberapa kali aku
juga harus terantuk batu dan tangga. Tangan Jans-lah yang
menjadi pembimbingku. Suara gamelan Bali begitu merdu
mengisi ketenangan suasana vila. Hingga akhirnya Jans pun
berhenti. "Sudah sampai" Ayo cepat buka!"
"Tunggu dulu. Kamu cerewet sekali ya. Sabar dong!"
Akhirnya penutup mataku terbuka dan" aku terkesiap melihat pemandangan di hadapanku. Suara debur ombak yang
sedari tadi memang sudah kudengar, ternyata datang dari pantai yang sangat dekat. Pantai Seminyak terhampar di hadapanku dari ketinggian yang mampu menyajikan keindahan
sempurna. Tidak hanya itu, kolam renang mungil yang berbatasan langsung dengan tebing juga terlihat tenang dengan
air biru kehijauan. Sangat indah.
"Bagaimana kamu bisa menemukan tempat seindah ini?"
bisikku. http://pustaka-indo.blogspot.com215
"Buat apa ada internet, teknologi canggih yang bisa membantumu mencarikan tempat yang indah?"
"Huh! Tidak kreatif!" Aku mencubit pinggang Jans, lalu mengecup pipinya. "Terlalu indah, Jans, terima kasih ya!"
Aku melihat ke dalam vila yang bersih, indah, dan rasanya
sanggup membuatku betah untuk tinggal di sini selama berhari-hari, kalau bisa berbulan-bulan!
"Jadi" sekarang apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Jans.
Dia sudah mengalungkan kameranya.
Aku menunjuk ke laut di depanku. "Tentu saja main ke laut,
sudah tidak terlalu panas dan sepi. Perfect!"
"Ayo!" Jans menarik tanganku dan kami tertawa-tawa sambil
berjalan keluar vila. Jadilah sore hari itu kuhabiskan berdua Jans di pantai yang
sepi dan air laut yang segar. Kami bermain air, bermain pasir,
berlomba mencari kerang seperti anak kecil, Jans yang tidak
pernah ketinggalan dengan kameranya, entah sudah menghabiskan berapa banyak memory card untuk memotret kegiatan
kami berdua. Lalu, sambil menunggu sunset, kami berjalan bergandengan tangan menyusuri Pantai Seminyak.
Sampai hari ketiga, kegiatan kami tidur, makan, berjalanjalan, ke pantai, berbelanja dengan naik motor sewaan dan
menjelajahi seluruh pelosok Pulau Bali. Bahkan pada hari ketiga ini, kulitku sudah merah gosong karena terlalu sering
terkena sinar matahari. Begitu juga Jans. Kami pasangan yang
gosong terkena sinar matahari. Tetapi kami tidak peduli. Kami
benar-benar bersenang-senang.
Pada hari keempat di Bali, kami memilih melewatkan waktu
luang di vila seharian tanpa pergi ke mana-mana. Kami benarbenar bersantai dan berleha-leha. Berenang, tidur, nonton televisi, membaca buku, sampai melamun saja mendengarkan
deburan ombak. Namun, sepertinya sih ada udang di balik batu. Aku memhttp://pustaka-indo.blogspot.com216
perhatikan Jans sedikit gelisah hari ini. Dia mondar-mandir tak
menentu, dan sepertinya tidak terlalu berkonsentrasi melakukan apa pun. Ketika sore hari kami bersantai menikmati sunset
di pinggir kolam renang yang jernih, Jans menyematkan cincin
di jariku, secara tiba-tiba, tanpa berlutut maupun memberikan
kode apa pun. "Buat apa?" Aku menatap cincin bermata berlian yang sangat indah itu. Tak pernah bermimpi aku akan memiliki
cincin seperti itu. Cincin itu semakin berkilau terkena sinar
matahari Bali yang hampir tenggelam dengan warna kuning
keemasan. "Untuk setiap jengkal kehidupan yang sudah aku dan kamu
jalani. Untuk setiap masalah, kebahagiaan, tangis, dan tawa
yang pernah kita lewati, dan lewat cincin ini, aku mau terus
melewatinya dan menjalaninya bersama kamu."
"Kamu melamar aku?" tanyaku sambil mengulum senyum.
"Aku tidak melamar kamu. Aku hanya mengajak kamu
untuk mengarungi kehidupan ini bersama-sama dengan aku."
Aku memandangi cincin tersebut kembali.
"Kamu sudah merencanakan ini semua, maka dari itu kamu
mengajakku ke Bali, kan?" Aku menyipitkan mata. Ternyata,
Jans punya segudang rencana. Dia tidak hanya memberikanku
liburan, tetapi juga undangan. Jans memberikan kejutan kepadaku dengan melamarku dan memberi kepastian akan
hubungan kami berdua. Jans mengecup jariku tempat cincin indah itu tersemat.
Cincin itu bahkan terlihat lebih indah jika sudah terpasang di
jari. Selera Jans memang sangat bagus. Cincin ini sungguhsungguh indah. "Sudah berapa lama kamu bawa-bawa cincin ini?"
"Cukup lama hingga hampir saja hilang di balik sepatuku." Kami tertawa berdua dalam gelak tawa paling lega dan pehttp://pustaka-indo.blogspot.com217
nuh cinta yang pernah kurasakan. Kemudian aku berbisik di
telinga Jans, "Ya, aku akan mengarungi hidup bersamamu?"
?"" Kalau kau menjalani hidup dan kegiatanmu dengan sepenuh
hati, tidak terasa ya bahwa kau sudah melewati begitu banyak
peristiwa dan yang terutama waktu. Sama kok, aku juga begitu,
tanpa terasa hari pernikahanku sudah di depan mata, tepatnya
setahun setelah Jans melingkari jari manisku dengan cincin
dan memilih Bali sebagai tempat terbaik dan teromantis untuk
melamarku. Aku bersyukur karena segala persiapan berjalan
dengan lancar. Tidak mudah memang. Tetapi banyak yang
membantuku. Mama juga bersemangat membantuku mempersiapkannya, dan Papa sudah berjanji akan datang dari Surabaya. Besok adalah hari besarnya dan tentu saja kami memilih
Bali sebagai tempat untuk mengikat janji. Jangan ditanya, aku
gugup setengah mati. Sampai-sampai toilet menjadi sahabatku,
akibat terlalu sering buang air kecil. Gelisah selalu menyerang
perutku. Vila yang kami tempati ini sudah seperti kapal pecah.
Aku mengecek lagi setiap daftar persiapan yang ada. Apakah
ada yang terlewatkan olehku. Bunga, makanan, cincin" aduh
di mana cincin itu" Sepatu, oh" ada di kamar sebelah.
"Ma! Cincinnya di mana ya?" Aku berteriak memanggil
Mama sambil tetap melihat checklist tersebut.
"Kamu manggil Mama?" tanya Mama ketika melongokkan
kepalanya ke kamarku. "Ma, cincinnya di mana ya" Sepertinya aku taruh di meja,
tetapi kok sudah tidak ada."
"Bukannya cincinnya dibawa sama Jans" Kamu loh yang
kasih ke dia kemarin."
http://pustaka-indo.blogspot.com218
Aku menepuk keningku sendiri. Duh, semakin dekat hari
besar ini, aku malah semakin pelupa. Cepat-cepat aku mencatatkannya di checklist tadi.
"Maya, baju lo sudah oke, kan" Jangan makan banyak-banyak loh, entar nggak muat dan gue nggak sudi ngebuatin lo
baju lagi!" Maya muncul sambil cemberut. Aku langsung tertawa karena
Maya sedang mengunyah kue nastar superenak buatan Mama.
Maya melemparkan seprai yang dibawanya ke arahku.
"Makanya bilang sama nyokap lo, kalau masak jangan enakenak. Gue ketagihan nih!" semprot Maya. Aku tertawa dan
kami pun bersama-sama memasang seprai untuk ranjang di
kamar yang kupilih untuk menjadi kamar pengantin.
"Lo sudah ingetin lagi tukang fotonya, kan?" tanyaku kepada Maya sambil memasang sarung bantal dan guling.
"Please deh, Sar, don"t say tukang foto. Mereka kan profesional dan ganteng-ganteng pula! Lo kata mereka tukang foto
keliling di Monas sana?"
"Iya deh, jangan marah dong, Bu. Mentang-mentang teman
lo sendiri." Maya malah melemparku dengan bantal. Aku tertawa dan
membalasnya. Jadilah kami perang bantal sampai Mama datang
melerai kami berdua. Kami pun tertawa-tawa hingga sakit
perut. Semakin sore, kegelisahanku semakin tidak terkontrol.
Nervous-nya luar biasa! Bahkan aku sampai harus pergi ke kamar mandi karena sakit
perut yang tidak tahu dari mana asalnya, juga buang air kecil
yang seenak jidatnya, setiap lima menit sekali. Kurang ajar
sekali nih tubuhku. "Lo kok jadi doyan pergi ke toilet sih?" tanya Maya dengan
kesal melihatku hilir-mudik ke toilet.
Aku mendengus kesal. Dia tidak tahu saja rasanya bagaihttp://pustaka-indo.blogspot.com219
mana menjadi pengantin dan sekarang sudah H-1! Huh,
coba saja nanti saat dia merasakannya. Aku biarkan saja dia
berkata semaunya, yang penting dia bahagia juga, kan" Yah,
pahalaku jadi besar kan kalau tetap membiarkan orang bahagia seperti Maya yang bahagia karena terus menghinaku.
Nggak sadar apa dia sudah aku beri kehormatan sebagai
bridesmaid-ku" Kurang apa, coba, dengan sangat baik hati
aku memasangkannya dengan best man yang tak lain sepupu
Jans yang tampan itu. "Gila, Sar, ganteng banget! Gue cinta deh sama lo!" ucap
Maya berterima kasih kepadaku begitu melihat Devin ketika
kami melakukan gladiresik. Tuh, kan, aku bilang apa" Coba
kalau aku kasih yang lebih tampan lagi, dia pasti akan menyembah diriku. ?""

It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keesokan harinya aku bangun dalam keadaan sangat mengantuk, karena tidak bisa tidur dengan nyenyak saking gelisahnya. Maya yang menemaniku tidur malam ini juga jadi tidak
bisa tidur gara-gara aku ganggu terus-menerus. Jadilah semalam
kami mengobrol, bercerita, dan tertawa cekikikan untuk mengobati kegelisahanku sampai kami tak sadarkan diri dan jatuh
tertidur dengan sendirinya.
Tinggal beberapa jam lagi, Maya sedang membantuku memakaikan baju pengantinku, sedangkan tatanan rias wajah dan
rambut sudah selesai mempercantikku. Ketika selesai, bukannya
aku yang menangis terharu, tetapi dia yang malah menangis,
"Sar" you look georgous!"
Aku menatap bayanganku di kaca besar yang terpampang
di hadapanku. Aku mematut diri. Ketika malam nanti aku
melepas baju ini, aku sudah menginjakkan kaki ke dunia
lain, yaitu dunia yang baru. Namun kali ini aku tidak senhttp://pustaka-indo.blogspot.com220
diri, sehingga aku tidak perlu takut. Ada Jans sebagai penopang dan pendampingku yang aku yakin aku akan aman
bersamanya. "Sar, kamu mesti pergi ke belakang vila, katanya fotografer
mau ambil foto kamu di sana?" Mama masuk kamar dan
memberitahuku. "Jans mana, Ma" Sudah datang?"
"Tadi Mama telepon sedang di jalan." Jans dan keluarganya
menginap di vila yang berbeda saking banyaknya keluarga
yang kami angkut ke Bali.
Aku mengangguk dan Maya membantuku turun. Kemudian
setelah mengantarku ke taman di belakang vila, Maya pergi
untuk membantu Mama membereskan persiapan terakhir, sehingga aku ditinggal sendirian di sana. Mana pula para fotografer itu" Aku duduk perlahan di bangku panjang. Yang terdengar hanyalah suara angin semilir dan nyanyian burung
yang samar. Deburan ombak mengiringinya. Anginnya terasa
sejuk membelai kulitku. "Semestinya pengantin perempuan tidak boleh ditinggal
sendirian?" Sebuah suara membelai telingaku dan memaksaku
untuk memutar semua kenangan yang telah tersimpan rapat.
Aku menoleh dan" Ya, di sana berdiri seseorang yang akan selalu menjadi
bagian hidupku. Dia terlihat sedikit berbeda, tetapi tatapan
matanya tak pernah berubah. Hangat dan sedikit jenaka.
Aku berdiri dan menghampirinya. Dia tersenyum dan menatapku dengan penuh kelembutan. "Gue rasa lo dalam keadaan seperti inilah yang ingin gue simpan dalam memori
otak ini untuk selamanya." Dia menunjuk kepalanya dengan
telunjuk. Aku tersenyum. "Sudah lama?"
"Cukup lama untuk terpana melihat kecantikan sahabat
gue." http://pustaka-indo.blogspot.com221
Aku tersipu. "Apa kabar, Gi" Sejak kapan tiba di Bali?"
"Gue baik, Sar, thanks. Gue baru sampai kok."
"Gue dengar lo balik lagi ke London setelah" hm" peristiwa itu..." Dengan tidak enak hati aku mengungkitnya lagi.
Igi mengangguk. "Gue balik lagi ke London, Jakarta sepertinya tidak cocok untuk gue."
Ada jeda di antara kami. Yang terdengar hanyalah suara
angin dan daun yang bertiup. Kami bertatapan.
"Boleh aku cium pipi kamu?" pinta Igi tiba-tiba. Aku agak
kaget dengan permintaannya yang sopan dan beraku-kamu.
Sedikit kaku tetapi aku tetap mengangguk. Dia mendekatiku
dan mencium pipi kiriku dengan lembut. Embusan napas Igi
yang hangat membelai pipiku.
"Thanks sudah undang aku." Suaranya sedikit bergetar.
Aku tertawa. "Ya pastilah aku undang, masa nggak diundang" Aku nggak tahu kamu di mana, makanya aku titipkan
undangannya lewat adik kamu."
"Ya, pada saat itu juga mereka meneleponku, dan mewantiwanti aku untuk datang, terus-menerus." Igi tertawa kecil terkenang omelan adik dan kedua orangtuanya.
Tak lama pertemuan kami terpotong dengan kedatangan
para fotografer dengan segala keruwetannya. Suara riuh mulai
mengisi sekeliling kami. "Ayo, Sarah, kita mulai foto."
Aku mengangguk, dan kembali menatap Igi. "Obrolannya
kita lanjutkan nanti ya..."
Igi ikutan mengangguk. "Gue mau ketemu Simon dulu."
Kemudian Igi tersenyum dan mengelus tanganku. "Aku kangen
kamu, Sar." Aku tersenyum dan membelai pipinya. "Aku juga, Gi..."
Igi tertawa lebar dan mengangkat kedua jempolnya. "Good
luck!" "Thanks!" Aku melambaikan tanganku.
http://pustaka-indo.blogspot.com222
Perlahan perhatianku tersita oleh sesi foto tersebut. Igi pun
menghilang dari pandanganku. Ketika diam-diam kucari lagi,
sosoknya sudah tidak ada.
Pada malam resepsi, kehadiran Igi yang kutunggu-tunggu
tetap tidak ada. Pada saat acara sudah sedikit lebih santai dan
aku bisa berjalan-jalan, aku mencari sosoknya kembali, tetapi
dia tidak pernah tampak lagi. Dia seperti angin, yang datang
dan pergi tanpa aku tahu.
Ketika acara selesai, aku terbaring di sofa kamar vila dengan
rasa lelah yang luar biasa. Jans masih bergabung dengan keluargaku dan keluarganya di kamar lain, aku hanya ditemani
oleh Maya. "Sar, ada titipan."
"Titipan apa?" tanyaku tanpa membuka mata yang terasa
berat. Rasanya semua persendian di tubuhku berdenyut-denyut
saking pegalnya. Aku butuh pijitan yang mantap nih besok!
"Dari Igi"," sahutnya perlahan.
Aku pun langsung membuka mata. "Dia datang, May, waktu
resepsi" Kok gue nggak lihat ya?"
Maya menggeleng. "Dia titipkan hadiah ini sewaktu kita
masih di vila, dia berbicara sebentar kan sama lo sewaktu lo
mau foto di taman belakang?"
Aku mengangguk. "Yah, sudah, ini hadiahnya." Maya memberiku bungkusan.
Sebuah kotak perhiasan. Aku membukanya dan terkesiap. Seuntai gelang cantik menyapaku.
"Gelang, May!" seruku tertahan.
Maya melihatnya sekilas. "Cantik."
Aku memegangnya dan ketika membalikkannya, melihat
sebuah tulisan yang kecil, tetapi cukup jelas untuk dibaca, "My
best friend". Aku tersenyum. Sebenarnya, aku tidak benar-benar kehilanghttp://pustaka-indo.blogspot.com223
an Igi kok, bagaimanapun kami akan selalu menyayangi sebagai sahabat, meskipun sekarang mungkin akan terucap hanya
dalam hati. Gelang ini akan selalu mengingatkanku tentang
persahabatan kami yang abadi.
Thanks ya, Igi. http://pustaka-indo.blogspot.comTENTANG PENULIS
Christina Juzwar atau Tina, merasa menulis
sudah seperti panggilan jiwanya. Jadi, setelah melewatkan berbagai pertimbangan
dan masalah yang tidak sedikit, akhirnya
memutuskan untuk melepaskan kerja kantoran dan terjun ke dunia ini secara full time.
Buku ini adalah buku kelima Tina setelah
Bill-Fin or Not (teenlit, Grasindo, 2006), Love
Lies (teenlit, GPU, 2010), antologi cerpen
Satu Hati Dua Jiwa (Nulisbuku, 2011), dan
Kumcer Teenlit Bukan Cupid"kolaborasi 14 penulis teenlit (GPU,
2012). Kegiatan Tina sekarang selain menulis novel, juga menulis
cerpen. Beberapa cerpennya sudah dimuat di berbagai media, seperti majalah Chic, Aneka, dan Girlfriend. Saat ini sedang menyelesaikan banyak naskah, mulai dari teenlit, metropop, novel
based on a true story, hingga buku kolaborasi kumpulan cerpen.
Di sela-sela waktu menulis, Tina menyempatkan diri membaca
buku, menonton tayangan televisi semacam Glee, CSI, NCIS, Law
and Order, Medium, Castle, dan semua cerita seri lainnya. Kini ia
tergila-gila dengan acara televisi Cake Boss dan Dog Whisperer.
Find her at: E-mail/FB: Christina_juzwar@yahoo.com
Twitter: @Christinajuzwar
http://pustaka-indo.blogspot.comPenerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
It Takes Two to Love It Takes Two to Love Christina Juzwar Sejak kecil Sarah berteman dengan Igi. Hingga mereka dewasa,
persahabatan itu tidak luntur, malah semakin erat. Namun tak
pernah ada kata cinta yang terucap di antara mereka.
Akhirnya Sarah bertemu Jans, fotografer baru di majalah
Women"s Style, tempatnya bekerja. Kesan pertama Sarah tentang
Jans adalah pria itu terlalu annoying. Tetapi Jans tidak menyerah
untuk mendekati Sarah yang sudah mencuri hatinya sejak pertama
kali mereka berjumpa. Sarah akhirnya luluh dan jatuh cinta.
Sarah terkejut luar biasa saat mendengar kabar bahwa Igi akan
berangkat ke Inggris. Meski kecewa, ia tidak bisa melarang, dan
mereka berjanji akan tetap menjaga persahabatan mereka.
Tetapi beberapa tahun kemudian saat pulang ke Indonesia, Igi
tak sendiri. Ia pulang bersama Andien, pacarnya.
Apakah persahabatan Sarah dan Igi murni, ataukah ada
percik-percik lain di antara mereka"
Samurai 7 Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas Pusaka Gua Siluman 16

Cari Blog Ini