Ceritasilat Novel Online

Janji Hati 1

Janji Hati Karya Evira Natali Bagian 1


Prolog gadis cantik berusia pertengahan dua puluhan
me"lonjak berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan
keras-keras. Hatinya begitu gembira ketika mendengar
nama Bobi dan kawan-kawan disebut oleh panitia festival musik
nasional sebagai juara utama.
Dengan satu gerakan cepat, Amanda mencari-cari kamera
polaroid kuno di dalam tas dan mengabadikan foto anak-anak
itu tepat pada saat penyerahan piala. Amanda sibuk mengibasngibaskan kertas putih yang keluar dari bibir kamera"menung"
gunya kering. Beberapa saat ke"mudian terlihat hasil jepretan"
nya. Wajah Bobi dan kawan-kawan penuh senyum berbinar. Jelas
terlihat sekali mereka bahagia. Air mata Amanda menetes tanpa
Janji Hati.indd 9 eorang bisa dicegah. Ia begitu terenyuh dan terharu. Tidak sia-sia dua
bulan terakhir ia rela bolak-balik berpuluh-puluh kilometer dari
rumahnya ke panti asuhan Asih Lestari, tempat anak-anak itu
tinggal, demi membantu mereka menyiapkan diri di ajang lomba
ini. Dan tak disangka mereka menjadi juara utama.
"Kak Amanda! Kak Amanda!"
Mereka berbondong-bondong menyebut namanya. Bobi dan
kawan-kawan sudah turun dari panggung dan berlari-lari ke
arahnya yang duduk di bagian agak belakang. Cepat-cepat Aman"
da melang"kah dan berjalan keluar dari barisan tempat duduk
penonton. "Kami menang! Kami menang!"
Anak-anak panti itu mengelilingi Amanda dan satu per satu
memeluk Amanda bergantian.
"Kak, yuk kita rayakan kemenangan ini!" celetuk Bobi tibatiba, disusul dengan anggukan teman-teman yang lain.
Amanda mengerutkan kening di tengah kebisingan aula yang
padat karena bubarnya penonton. "Boleh, Bob. Mau dirayakan
di mana?" Semua sibuk berpikir. "Di Pantai Mutiara aja!" ujar Jena. "Kita main air di sana
sampai sore!" "Ayo! Ayo!" sambung Dolly antusias.
Janji Hati.indd 10 Langit senja yang penuh awan menggumpal menghiasi sore itu.
Janji Hati.indd 11 Bobi dan kawan-kawan sibuk bermain air dan membangun istana
pasir. Sudah sekitar tiga puluh menit Amanda hanya duduk
memandangi mereka dari bawah keteduhan pohon kelapa dan
tidak melakukan apa pun. Dan sekarang ia mulai bosan"
Ia bangkit, lalu berlari-lari menuruni gundukan pasir dan ber"
jalan ke bibir pantai. Amanda membiarkan air laut menengge"
lamkan lututnya. Ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar
dan meme"jamkan mata.
Mendadak ia teringat seseorang. Seseorang yang sangat
penting. Amanda membuka mata, kemudian menyentuh tas oranye
yang tersampir di bahunya lalu membukanya. Ia mengambil
se"buah fo"to"foto Bobi dan kawan-kawan yang tadi ia ambil
saat penyerahan piala festival musik nasional. Dengan jemari
mu"ngilnya, ia me"nyentuh foto itu. Air matanya kembali mene"
tes. Hei, Dava, aku sudah menepati janjiku. Foto ini buktinya.
Apakah kamu bisa melihatnya juga"
Ia memasukkan kembali foto itu ke tasnya. Tangannya ter"
angkat seolah ingin menggapai langit. Mata bulatnya menyipit
karena sinar matahari masih menyilaukan. Gadis itu menghela
napas dan menu"runkan tangannya.
"Apa kabarmu di atas sana" Baik-baik saja, bukan?" ucapnya
lirih. "Aku juga baik-baik saja di sini. Aku merindukanmu."
Mendadak tubuhnya terasa lelah. Ia kembali berjalan ke
pinggir pantai dan melemparkan tasnya ke sembarang tempat,
kemudian merebahkan tubuh mungilnya di atas lapisan pasir
Janji Hati.indd 12 yang hangat. Mata bulatnya terpejam.
Dava, sudah lima tahun sejak peristiwa itu berlalu, dan
selama itu pula aku selalu mengingat siapa diri kita. Aku juga
tak pernah kehilangan harapan sedikit pun"
Bagaimana denganmu" Masih ingatkah kamu tentang janji hati"
intu terbuka. Udara sejuk karena pendingin ruangan
Janji Hati.indd 13 ain yang tidak dimatikan sejak pagi hingga siang ini
membuat gadis yang baru datang itu sedikit lega.
Amanda menyandarkan punggungnya dengan satu sentakan
cukup keras di sofa berbentuk sarung tangan di tengah kamar
yang cukup luas. Mungkin kata cukup luas tidak tepat bagi kamar
berbentuk persegi yang memiliki panjang sekitar sepuluh meter
ini. Mungkin kalian tidak percaya, tapi begitulah faktanya. Kamar
itu semakin sempurna dengan nuansa oranye pucat"warna fa"
vorit gadis empunya kamar"yang mendominasi setiap sudut
ruangan. Perabotan di dalamnya pun tak luput dari oranye. Mulai
dari tempat tidur, meja belajar, rak TV, lemari pakaian. Dan satu
lagi, kamar ini juga langsung terakses dengan pintu kamar mandi
Janji Hati.indd 14 di luar kamarnya. Sungguh menyenangkan sekali memiliki kamar
seperti ini, bukan" Beberapa saat kemudian, gadis berambut hitam sebahu itu
beranjak dari sofa. Matanya melirik tempat tidurnya yang su"
perempuk. Amanda bangkit perlahan dengan keseimbangan
rendah. Ia memalingkan wajahnya ke pundak.
Astaga! Tas sekolahnya masih tersampir di pundak. Pantas saja penat
serasa masih mengganduli tubuhnya. Dengan kasar kedua ta"
ngannya men"cengkeram tali tas yang tak berdosa itu dan...
Brak! Ia membanting tasnya. Benda malang itu sekarang tergeletak
di lantai, segala isi yang ada di dalamnya pun tercecer keluar
begitu saja"kotak kacamata, beberapa buku kosong, dan kotak
pensil, yang semuanya tak luput dari oranye juga. Tapi gadis
jangkung itu tak peduli. Kembali ia meluruskan langkahnya
menuju tempat tidur. Bug! Kali ini bukan bunyi tas jatuh, melainkan bunyi tubuhnya
yang cukup ringan menyentuh kasur. Ada sedikit pantulan ketika
ia mendaratkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Sekarang
waktunya untuk tidur. Sudah cukup hari ini ia menderita kelelah"
an karena semalam tidak cukup tidur akibat terlalu asyik brow"
sing lagu piano klasik hingga larut malam. Sialnya, ini hari
pertama ia masuk sekolah pada tingkatan senior putih abu-abu.
Ya, hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru kelas XII di
SMA Residensial. Amanda memejamkan mata, sekarang ingatannya melayang
kembali pada pagi tadi ketika dirinya bangun kesiangan. Tinggal
dua puluh menit sebelum jam sekolah dimulai! Tidak ada waktu
lagi untuk mandi. Jadi ia hanya mencuci muka dan gosok gigi,
lalu berganti pakaian"seragam baru yang belum sempat dicuci
dan masih bau pabrik, iuh! Lalu ia keluar tergesa-gesa dari
rumah. Puncak kesialannya adalah ia terlambat sekitar tiga puluh
menit karena macet di jalan. Hidup di kota Metropolitan memang
menye"balkan! Dan hasilnya... Apa lagi jika bukan mendapatkan
hukum"an" Janji Hati.indd 15 ain Ya Tuhan, andai saja ia bisa memutar waktu untuk mencegah
semua itu terjadi. Sayangnya tidak bisa. Bayangkan, ia harus
membersihkan seluruh lapangan di SMA Residensial hingga
benar-benar kinclong. Amanda mengerang. Sungguh keterlaluan sekali guru piket
yang berjaga hari ini! Alhasil, hari ini ia hanya menjadi pramubakti dadakan di se"
kolah. Hanya satu jam terakhir sebelum bel berbunyi, guru piket
meng"izinkannya masuk ke kelas. Untung karena ini hari pertama,
jam pelajaran pun belum dilaksanakan full. Hari pertama masuk
sekolah sudah menyebalkan begini, Amanda tidak bisa memba"
yangkan ba"gaimana esok dan seterusnya" Selain itu, ia juga
su"dah benar-benar malu karena banyak adik kelas yang mener"
tawakan dirinya. Janji Hati.indd 16 Ah, ia tidak ingin memikirkan hal yang lebih buruk lagi dari
hari ini. Sekarang hal yang paling ingin dilakukannya adalah berhiber"
nasi. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi kalian mungkin tidak
percaya bahwa Amanda pernah tidur sampai dua hari tanpa ter"
bangun sama sekali. Semua orang sampai berpikir ia mati.
Untungnya hal itu terjadi saat libur panjang.
Baiklah, ia tidak ingin membuang-buang waktu lagi sekarang.
Amanda mengembuskan napas dalam-dalam kemudian meraih
bantal Baby Milo kesayangannya dan meletakkan kepala di
atasnya. Perlahan mata bulatnya terpejam.
Hurry up and wait so close but so far away... Everything that
you"ve always dreamed of... Close enough for you to taste but
you just can"t touch...
Sayup-sayup suara ponsel dari arah lantai terdengar di telinga
Amanda. Oh-oh, apa lagi ini" Baru saja ia akan tertidur lelap,
ponsel payahnya malah menganggu. Siapa yang berani-beraninya
meng"ganggu acara hibernasinya" Satu fakta yang perlu kalian
ketahui tentang gadis berkulit kuning langsat itu adalah jangan
pernah mengganggu acara tidurnya, kalau tidak ingin mende"
ngarkan ocehan yang panjangnya melebihi panjang kereta Ja"
karta-Bandung yang biasa beroperasi dari Stasiun Gambir.
Amanda berusaha cuek dan mengabaikan panggilan itu, tapi
nada panggil ponselnya terus-menerus bernyanyi.
Ya ampun, baiklah" Baiklah!
Akhirnya ia menyerah. Dengan kesal Amanda beranjak dari
tem"pat tidur dan berjalan menghampiri benda berisik itu.
Janji Hati.indd 17 Tangannya me"nyambar ponsel di lantai dengan gusar, kemudian
langsung menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan
tersebut. "Halo!" ucapnya lantang. "Siapa nih" Seluruh dunia kayaknya
tahu deh aku paling tidak suka diusik siang hari. Ini waktuku
berhibernasi!" Ia bicara sambil berusaha mengatur napas karena
emosi. "Hari ini, aku capek dan?"
"Hei, Man! Stop! Ini aku?"
Amanda menepuk dahinya kuat-kuat. Sepertinya ia salah
karena telah membentak-bentak penelepon yang satu ini.
Gadis itu berdeham, "Sori, Sin." Amanda menyeringai. "Aku
ngantuk banget, jadi mengigau gini."
"Nggak papa kali, Man. Sudah biasa dengar kamu ngomong
kayak gitu. Aku tahu ini pasti jam kamu tidur siang, tapi aku
mau kasih tahu kalo nanti sore kita ada latihan voli di lapangan
Green Bay." Mendengar kata "voli" kantuk Amanda hilang seketika. "Se"
rius" Jam berapa" Bukannya kita udah nggak ada latihan lagi
sampai hari tanding?"
"Itu dia. Tiba-tiba Pak Primus nelepon aku barusan, nyuruh
kasih kabar ke anak-anak." Sindi menghela napas. "Jam empat,
Man! Jangan lupa! Jangan telat!"
"Oke," ujar Amanda sambil memeluk bantal Baby Milo-nya.
"Aku pasti datang."
Sindi terkekeh, "Dari zaman romusa, yang namanya Amanda
Tavari kalau sudah mendengar sesuatu yang berhubungan dengan
voli, langsung deh lupa kalau kakinya masih napak di bumi. Ya
Janji Hati.indd 18 sudah, tidur gih, Man. Aku mau kasih kabar ke anak-anak yang
lain dulu." "Sip! Makasih banyak ya, Sindi-ku yang paling cantik sejagat
raya!" Nada suara Amanda tak terdengar seperti rayuan maut "
di telinga Sindi, tapi sebaliknya. Menggelikan dan menye"ram"
kan. Sindi berdecak, "Ya sudah, hibernasi sana! Nanti kamu jadi
zombi, lagi, kalau kurang tidur. Hih!" Sindi bergidik ngeri.
Amanda terkekeh pelan. Telepon pun berakhir. Sejak kecil
sampai sekarang, Amanda memang bercita-cita ingin menjadi
atlet bola voli nasional. Menurutnya, tidak datang latihan sama
saja dengan me"matahkan satu tulang di dalam tubuh. Prinsip
yang aneh, tapi memang begitulah pola berpikirnya. Hello,
volley, I"m coming! "Oh, God!" Tiba-tiba Amanda mengerang pelan sambil
memegangi kepalanya. Setelah telepon berakhir mendadak rasa
kantuk dan lelah kembali menghampiri tubuhnya. Ia hanya punya
waktu kurang dari tiga jam untuk tidur"ini sangat kurang!
"Ya sudahlah, yang penting masih ada waktu sedikit untuk
tidur," gumamnya sambil menguap, kemudian menyembunyikan
wajah di balik selimut. ujan. Janji Hati.indd 19 Dingin sekali. Amanda mengusap-usap kedua
tangannya dan sesekali menangkupkannya ke
pipi. Ia menggerutu kesal karena hujan datang tepat ketika Pak
Sutris"sopir pribadinya"baru saja pergi setelah mengantarnya.
Ini mem"buatnya khawatir. Bagaimana tidak" Usai mengantarnya
ke lapangan Green Bay, Pak Sutris langsung izin pulang lebih
cepat karena harus mengantar istrinya yang sakit ke dokter.
Seharusnya memang tidak ada yang perlu Amanda khawatir"
kan. Lokasi lapangan Green Bay dengan rumahnya tidak terlalu
jauh. Amanda bisa pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Per"
masalahannya adalah ia merasa hujan ini akan berlangsung
sam"pai malam hari. Bagaimana ia akan pulang" Meminjam pa"
Janji Hati.indd 20 yung" Tidak terlalu efektif, tetap saja tubuhnya akan basah
kuyup. Nebeng teman" Tidak. Amanda paling tidak suka me"
repotkan orang lain. Amanda melirik arloji Swatch oranye yang melingkar di ta"
ngan kirinya. Sudah pukul setengah lima. Aneh, kenapa Sindi
dan anak-anak yang lain belum kelihatan" Kakinya terasa pegal
karena sudah sekitar setengah jam ia berdiri menunggu di sebuah
bangunan mungil pinggir lapangan yang biasa digunakan untuk
berganti pakaian. Mungkinkah mereka semua terlambat karena
hujan deras"

Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baiklah, ia akan meng-SMS Sindi sekarang.
Sepuluh menit berlalu. Belum juga ada balasan dari Sindi.
Amanda mengecek ponselnya, memeriksa berita terkirim. Ya
ampun, semua pesannya pending. Pantas saja. Mungkin sinyal
juga jelek saat hujan seperti ini, batinnya berusaha kembali
berpikir positif. Amanda menghela napas sambil mengangkat bahu. Lebih
baik ia menelepon Sindi sekarang juga. Ia sibuk menekan-nekan
keypad ponselnya dan menekan tombol hijau.
Tidak aktif. Amanda memasukkan kembali ponselnya ke saku
celana. Sekarang bagaimana" Ia bingung.
Astaga, sudah cukup dirinya terlontang-lantung tidak jelas
seperti ini! Lebih sialnya adalah ia tidak pernah men-save nomor anakanak lain ataupun pelatihnya, Pak Primus. Sehingga di saat-saat
genting seperti ini, semuanya jadi serbasusah"
"Manda" Sedang apa?"
Janji Hati.indd 21 Jantung gadis itu nyaris melompat karena suara itu sukses
me"ngagetkan dirinya. Dengan cepat ia berbalik untuk melihat
siapa yang nyaris membuatnya kena serangan jantung.
"Kak Sri?" Amanda mengerutkan kening menatap gadis
berambut keriting dan berkacamata yang basah kuyup dan
tersenyum ramah padanya. Amanda mengembuskan napasnya
jengkel. "Ini sudah jam setengah lima, dan hari ini aku ada latih"
an untuk pertandingan minggu depan. Tapi, sampai sekarang
Pak Primus ataupun kawan-kawan yang lain belum datang. Se"
perti yang Kakak lihat sendiri kan, di sini sepi." Ia menghela
napas. "Apa mungkin mereka semua juga terlambat?" tanyanya
bingung. Kak Sri, seorang atlet futsal putri yang cukup akrab dengan
Aman"da, mengerutkan dahi sambil menatap Amanda lurus-lurus.
"Tadi?" ia tampak berpikir sejenak, mencoba mengingat se"
suatu, "aku lihat teman-temanmu datang, kumpul sebentar di
sini sampai gerimis tiba. Lalu pulang lagi. Ada Pak Primus juga
kok. Sepertinya latihan dibatalkan karena mereka semua tahu
hujan bakal deras." "Apa?" Amanda terkejut. "Kok aku nggak tahu?" katanya
marah. "Padahal, tadi siang Sindi kasih kabar kalau hari ini
latihan jam empat sore?"
"Sindi?" Sri mengerutkan kening, bingung. "Mungkin kamu
belum menerima informasi juga tentang adiknya Sindi," ia seolah
berbicara lebih pada dirinya sendiri. "Aku dengar adiknya Sindi
mengalami kecelakaan lalu lintas, dan dia menjaga adiknya itu di
rumah sakit." "Apa" Adiknya Sindi kecelakaan?" tanya Manda sambil mem"
belalak. Oke deh, tidak seharusnya ia kesal, karena ternyata
memang kondisinya mendesak dan darurat. Tapi kenapa ia tidak
diberitahu sama sekali tentang ini semua" Keterlaluan, gumam"
nya dalam hati. Eh, tapi"
"Aku duluan ya, Manda," suara itu memecahkan lamunan
Amanda. Mau ganti baju." Kak Sri tersenyum dan berlalu.
"I-iya, Kak, makasih banyak ya atas infonya," kata Amanda,
berusaha tersenyum sambil mengendalikan emosi yang berge"
jolak hebat di dalam diri dan hatinya. Ia berlari tergesa-gesa
me"nuju teras. Perasaannya bercampur aduk antara kesal, marah,
sakit hati, dan kecewa. Tapi, ia juga khawatir. Bagaimana ke"
adaan adiknya Sindi" Apakah lukanya parah" Kalau sampai
terjadi sesuatu yang serius kan bisa gawat. Mendadak Amanda
jadi merasa bersalah. Ya ampun, ia jadi pusing sekarang. Tapi Sindi tidak pernah
seperti ini. Mau bagaimanapun keadaannya, sahabatnya itu selalu
menelepon ketika ada sesuatu yang penting harus dikabarkan.
Lalu, apakah ini yang disebut sebagai sahabat karib"
Janji Hati.indd 22 Sekarang sudah pukul lima. Hujan tak kunjung berhenti. Persis
seperti dugaan Amanda. Bahkan sekarang hujan jauh lebih deras
daripada sebelumnya. Sekarang ia tidak ingin memikirkan
masalah Sindi berada di belahan bumi mana, juga soal latihan
yang mendadak batal tanpa koordinasi yang jelas. Ia hanya ingin
pulang. Untuk apa lagi ia berlama-lama di sini" Baiklah, ia tidak
akan membuang waktu lagi.
Ia akan pulang. Tentunya dengan berjalan kaki.
Amanda tak peduli jika tubuhnya basah kuyup. Ia juga tidak
peduli akan derasnya hujan dan kencangnya angin bertiup. Ia
tidak peduli. Perasaan kesalnya sekarang ini melebihi semua itu.
Dengan cepat ia berjalan meninggalkan bangunan kecil bercat
hijau tempatnya berte"duh.
Sekarang tubuhnya sudah tidak terlindungi atap lagi. Basah.
Ia berlari menyusuri jalan beraspal yang sepi itu. Tidak banyak
mobil yang lewat, apalagi sepeda motor. Kepala Amanda terasa
gatal dan sakit karena tetesan hujan membasahi kepalanya de"
ngan cepat. Ia menutupi kepalanya dengan tas oranyenya yang
se"karang bentuknya sudah seperti... astaga, rasanya masih terlalu
bagus jika disebut "barang bekas"!
Ketika mencapai tikungan ke kiri di ujung pertigaan dari la"
pangan Green Bay, mendadak Amanda merasa kepalanya pu"sing.
Ia memper"cepat langkahnya sambil terus memegangi tas dengan
kedua tangan untuk menutupi kepala dari hujan. Tapi perlahanlahan dadanya mulai sesak, napasnya pun mulai terasa berat. Ia
tak sanggup berlari lagi. Ia berhenti sejenak. Sedetik kemudian
ia sudah tidak bisa melihat, mendengar, dan merasakan apa pun
lagi. Amanda pingsan. Janji Hati.indd 23 *** Janji Hati.indd 24 Adakah yang lebih baik daripada biru"
Dinding biru, ranjang biru, meja biru, lemari biru"semuanya
biru. Di mana ini" Perlahan-lahan Amanda melebarkan mata bulatnya. Cahaya
lampu remang-remang menyambutnya dengan hangat. Ini asing.
Gadis itu memandangi sekelilingnya dengan bingung. Sekarang
ia berada di tempat yang belum pernah ia jumpai. Kamarnyakah"
Tidak mung"kin! Kamarnya bernuansa oranye"bukan biru gelap
yang memberi aksen horor seperti ini. Ia bergidik sendiri. Tu"
buhnya lemas dan terasa dingin. Ah, terlintas di benaknya ter"
akhir kali bahwa ia sedang me"nerjang hujan deras dan...
Ia tidak ingat apa pun setelahnya.
Sayup-sayup ia mendengar langkah seseorang semakin dekat.
Amanda segara bangun dari posisi tidurnya dan menyandarkan
tubuh di dinding tempat tidur. Kesadarannya belum benar-benar
kembali ketika seorang cowok berambut hitam berpostur jang"
kung masuk ruangan serbabiru itu.
"Kamu sudah sadar rupanya," ucap cowok itu antusias ketika
tubuh tingginya berdiri di sisi ranjang.
Amanda hanya melongo. "Di mana ini?" tanyanya cepat tanpa
menggubris pertanyaan cowok itu. "Dan kamu siapa?" Ia sedikit
takut. Saat ini ia benar-benar seperti orang amnesia.
Cowok itu tersenyum. "Leo," ia mengulurkan tangannya untuk
berjabat tangan dengan Amanda. "Nggak usah takut, tadi aku
mene"mukanmu pingsan di tepi jalan. Aku bingung ke mana ha"
Janji Hati.indd 25 rus mem"bawamu pergi, jadi kuputuskan ke sini saja, ke ru"mah"
ku," katanya sambil mengangkat bahu.
"Manda." Ia membalas jabatan tangan Leo sambil memaksakan
seulas senyum lalu kembali mengamati sekelilingnya dengan
ragu. "And this is my room sweet room," kata cowok itu seolah
tahu isi kepala Amanda. Hachi... Hachi... Hachi"
Leo tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Gadis di
depannya itu tiba-tiba bersin berturutan. Beberapa detik setelah
suara bersin itu hilang, Leo melihat bahwa hidung Amanda
langsung berwarna merah kelabu seperti tomat masak. Tidak
hanya hidung, seluruh wajah imutnya pun terlihat demikian.
"Tunggu sebentar," kata Leo. Ia melangkah ke arah meja
belajar dan membuka laci di bawahnya. Amanda baru memper"
hatikan bahwa Leo mengenakan kaus hitam ketat serta celana
Hawaii. Diam-diam Amanda langsung terpesona padanya.
Leo mengambil obat flu"entah apa mereknya"dari laci yang
dibukanya. "Minumlah," cowok yang terlihat seperti anak kuliahan itu
membe"rikan obat dan segelas air putih yang sedari tadi tersedia
di nakas. "Kamu pasti kena flu karena hujan-hujanan tadi." Ia
kembali tersenyum manis"aduh, Amanda sendiri juga bingung
bagaimana menggambarkan senyum semanis itu.
Sindi. Biasanya Amanda berbagi cerita tentang cowok cakep
de"ngan sahabatnya itu. Tapi sekarang Sindi ada di urutan teratas
nama orang yang paling membuat Amanda kesal. Bagaimana
Janji Hati.indd 26 tidak, hari ini sahabatnya itu menelepon dan menyuruhnya datang
ke la"pangan Green Bay, lalu melupakannya begitu saja. Memang"
nya siapa yang tidak sebal jika diperlakukan seperti itu" Kalau
Sindi memberi kabar latihan dibatalkan, tidak mungkin Amanda
akan hujan-hujanan seperti tadi. Tidak mungkin juga ia akan
pingsan hingga sekarang berada di mana ini" Entahlah, ia
benar-benar pusing sekarang.
Tapi adik Sindi mendadak kecelakaan, jadi tidak seharusnya
Amanda marah. Amanda menggeleng kuat-kuat. Mengusir segala pikiran baik
dan jahat yang mengacaukan hatinya.
"Kamu kenapa" Ada yang sakit?" Leo bingung melihat
Amanda melamun sambil mencengkeram kasur yang tak berdosa
dengan kuat. Amanda tersadar. "Eh" Nggak, aku baik-baik saja," katanya
berusaha bersikap normal. Padahal, ia sedang luar biasa kesal
dan bimbang. Kalau saja ini kamarnya, ia ingin membantingbanting seluruh isinya. Dengan halus ia menolak obat yang
diberikan oleh Leo. "Terima kasih, nggak perlu. Aku nggak papa
kok." Leo mengembalikan obat ke dalam laci.
Sementara itu, perasaan aneh menjalari tubuh Amanda.
Perasaan janggal itu bukan karena cowok di depannya ini jahat
atau berniat buruk terhadap dirinya. Tapi janggal karena ia
merasa sosok cowok ini tidak asing. Ia mirip seseorang... Itulah
yang membuatnya merasa tidak asing. Tapi mungkin saja hanya
perasaannya. Dan sepertinya ia mulai sadar karena...
Janji Hati.indd 27 "Aaa"!" Amanda memekik kencang dan menutupi sekujur
tubuhnya dengan selimut. Ia menarik tubuhnya hingga benarbenar membentur dinding ranjang. "Apa yang sudah kamu
lakukan?" tanyanya marah. Ia baru menyadari bahwa pakaiannya
berubah. Saat ini kaus oranye serta jinsnya telah berganti menjadi
celana panjang putih dan kaus lengan panjang hitam yang lebih
mirip sweter. Cowok itu men"dekat, tapi Amanda menggeleng
keras, "Jangan mendekat!" teriaknya panik.
Leo ingin tertawa karena gadis manis yang rambutnya amat
beran"takan itu salah paham, "Yang menggantikan pakaianmu
itu Bibi, bukan aku." Ia angkat tangan sambil kembali mende"
kat. Mata bulat Amanda membesar, "Bi-bi?" Ia jadi malu sendiri
karena terburu-buru berhipotesis. "Maaf, aku pikir..."
"Nggak masalah, santai aja." Leo menggeleng. "Ngomongngo"mong, gimana ceritanya kamu bisa pingsan begitu" Beneran
kamu sehat-sehat aja?" Ekspresinya serius bercampur penasar"
an. Amanda mendengus, ingatannya kembali pada beberapa jam
sebelumnya. Mulai dari tak sempat sarapan karena terlambat
bangun tadi pagi, makan siang yang terlewatkan gara-gara tidur
siang, sampai ke penantian yang akhirnya sia-sia. Dan lagi-lagi
ini semua karena" Sindi! Menyebalkan. Kenapa mendadak
sa"habat yang begitu ia sayangi selama ini jadi menyebalkan"
Emosinya kembali membuatnya berniat membanting-banting
seluruh perabotan yang tertangkap oleh matanya sekarang. Tapi
tidak boleh, ini di rumah orang. Ingat, di rumah orang.
Janji Hati.indd 28 Ia memejamkan mata. Tanpa ia sadar cowok itu sudah duduk
di sampingnya dan siap mendengarkan. "Tadi sore itu..."
Amanda berhenti sejenak, "aku mau latihan voli di lapangan
Green Bay. Tapi batal begitu saja tanpa ada pemberitahuan..."
"Lalu?" "Pak Sutris, sopirku sudah pulang. Nggak ada siapa-siapa di
sana dan nggak ada cara lain untuk pulang selain berjalan kaki."
Amanda menghela napas. Ia secara menceritakannya secara
singkat, padat, dan jelas. Tidak pakai embel-embel sebal karena
Sindi yang tidak konsisten dengan informasi. Tidak perlulah, ia
pikir. Toh, cowok yang baru dikenalnya ini tidak membutuhkan
kronologi insiden ping"sannya dengan jelas. Kalaupun ia mem"
beritahu, cowok itu juga tidak akan peduli. Ya, jadi tidak perlu
menceritakannya dengan panjang lebar. Terlalu membuangbuang waktu, juga energi.
Leo mengangguk-angguk. "Kenapa kamu nggak pinjem
payung aja?" Amanda memutar bola matanya. "Tadinya mau pinjam, tapi
males ah!" Ia berdecak. "Pinjam nggak pinjam sama saja, tetap
basah." Ia menyeringai kecil. "Ya jadi, terjang aja deh." Amanda
tertawa. Cowok itu ikut tertawa mendengar cerita Amanda. Dari cara
gadis itu bercerita, Leo langsung bisa menangkap bahwa Amanda
adalah gadis lucu dan menyenangkan, juga sedikit galak. Pan"
dangannya beralih ke arah jam dinding, sudah jam delapan ma"
lam. Ia kembali menatap Amanda yang sekarang memandang
ke sekeliling kamar dengan penuh rasa ingin tahu.
"Rumahmu di mana?"
Amanda menoleh. "Hm, di kompleks perumahan Pantai
Mutiara. Ya ampun, aku harus pulang sekarang. Bi Sinem bisa
kebingungan kalau jam segini aku belom sampai di rumah,"
katanya begitu melihat jam dinding di kamar Leo. Ia segera
bangun, tapi tubuhnya sedikit terhuyung ketika menapakkan
ke"dua kakinya di lantai. Pusing. Be"gitulah yang dirasakannya.
Dengan sigap Leo menangkap Amanda agar tidak benar-benar
jatuh. Amanda terperangah.
Tapi kemudian yang muncul adalah perasaan berdebar-debar
dalam dada gadis itu. "Ayo, kuantar pulang," kata Leo sambil menyambar kunci
mo"bilnya di samping meja tempat tidur.
Namun kaki gadis itu tak kunjung melangkah.
"Ada apa?" "Eng" Di mana barang-barangku" Pakaian yang basah" Tas
oranye?" Leo tersenyum, kakinya melangkah ke arah meja belajar dan
mem"bungkuk untuk mengambil barang-barang yang dimaksud
Amanda. "Terima kasih," ucap Amanda pelan ketika barang-barang


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serba-oranyenya sudah berada di dalam genggaman.
"Ada lagi?" Amanda menggeleng perlahan.
"Oke, kalau begitu, kita jalan sekarang!"
Amanda hanya bisa mengangguk pasrah. Pertama, sebenarnya
sekarang ia tidak tahu berada di mana dan tidak akan ada yang
Janji Hati.indd 29 menjemputnya. Kedua, ia tidak berani pulang sendirian malammalam begini. Jadi, mau tak mau ia harus menebalkan muka
untuk menerima bantuan karena lagi-lagi... Leo menolongnya.
"Terima kasih, Kak," kata Amanda begitu sampai di depan
bangunan tingkat dua bergaya minimalis. Akhirnya ia sampai
di rumah dengan selamat tanpa hambatan. Sudah cukup hari ini
ia menyusahkan orang lain yang bahkan sama sekali tidak me"
ngenal dirinya. Ia turun dari mobil dan menekan bel rumah.
Leo melambaikan tangan kanan dari dalam mobil Everest biru
gelap yang digunakannya untuk mengantarkan Amanda. Bebe"
rapa saat kemudian, Bi Sinem, asisten rumah tangga Amanda
yang paro baya, keluar dari dalam rumah Amanda dan mem"
bukakan pintu untuk gadis itu.
"Sekali lagi, terima kasih ya, Kak." Amanda tersenyum tulus
dan melambaikan tangannya dari balik pagar."Nggak mau masuk
dulu?" tanyanya. Tangannya masih memegangi tas dan kantong
berisi baju"nya yang basah.
Cowok itu menggeleng. "Kapan-kapan aja, Manda. Sekarang
sudah malam. Aku pamit ya. Sampai jumpa." Ia langsung me"
lajukan Everest biru gelapnya dengan cepat.
Amanda dan Bi Sinem pun masuk ke rumah.
Setelah beberapa meter menjauh dari rumah Amanda, di ujung
jalan Leo memutar balik mobilnya, kembali ke rumah gadis itu.
Setelah memastikan gadis itu benar-benar telah masuk rumah,
ia memarkir mobilnya di deretan rumah yang berseberangan
Janji Hati.indd 30 dengan rumah Amanda. Leo tidak mau Amanda tahu dirinya
kembali ke sana. Ketika mobilnya terparkir, ia mematikan mesin
mobilnya agar tidak berisik dan menganggu penghuni rumah di
sekitar sana. Leo membuka pintu Everest lalu keluar. Jalanan sepi, pene"
rangan hanya dari lampu jalan yang remang-remang. Ia me"
nyandarkan tubuh di badan mobil, menghadap ke arah rumah
Amanda. Leo merogoh saku celana jinsnya lalu mengambil
sekotak rokok. Ia membukanya dan mengambil sebatang di
antara barisan batang kuning-putih itu. Kemudian ia mengambil
korek gas dari saku yang lain dan menyu"lutkan api.
Asapnya mengepul saat Leo mengembuskan napasnya yang
terasa berat. Dia memang Amanda, gadis yang sangat pintar
bermain voli yang pernah kulihat tiga tahun lalu di kampus.
Aku benar-benar ingat. Tidak mungkin salah.
Lalu apakah ini mimpi" Hari ini aku bisa melihatmu kembali,
mendengarkan suaramu yang merdu, bahkan berbicara
denganmu dan melihatmu tertawa begitu indah.
Aku hampir kehilangan akal sehatku sekarang. Aku benarbenar tak percaya pada semua kejadian hari ini.
Leo termenung, menunduk, dan tersenyum simpul. Lalu ia
meng"isap kembali rokoknya.
Amanda. Nama yang sejak dulu ingin ia tanyakan. Nama yang sejak
dulu ingin ia panggil. Sosok yang selalu ingin ia tanyakan kepada
orang-orang yang ia kenal yang mungkin tahu nama gadis itu.
Ia baru sadar sudah tiga tahun ia menanti agar bisa menatapnya
Janji Hati.indd 31 dari dekat. Hari ini tanpa diduganya, ia malah menemukan gadis
itu pingsan di jalanan dan menolongnya. Ini benar-benar
mengejutkan. Tapi Leo juga tidak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya,
selain berusaha menjaga gadis itu.
Ia juga tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini setelah
mengenal gadis itu. Senangkah" Atau justru sebaliknya"
Telepon berdering. Dari Papa.
Buru-buru Amanda menyambar ponselnya di atas ranjang dan
melemparkan handuknya ke lantai. Jarinya menekan tombol
hijau. Telepon tersambung.
"Halo, Man. How are you?" suara berat itu menyapanya
ceria. "Baik, Pa. Papa sama Mama gimana" Sekarang lagi summer
kan di Los Angeles?"
"Of course. Do you miss us" Sudah dua tahun ini kamu jauh
dari kami. Kami merindukanmu, Sayang."
Amanda menghela napas dan tersenyum lirih. Pasti ayahnya
akan mengucapkan lagu lama alias ajakan agar Amanda mau
tinggal ber"sama orangtuanya. "Haha, aku juga kangen kalian.
Tapi, aku tetap akan stay di sini, Pa. Apa pun keadaannya."
Di ujung sambungan telepon, ayahnya menggeleng-geleng
pelan. "Ya, Papa tahu, kamu memang keras kepala."
Janji Hati.indd 32 Gadis itu terkekeh. "Mana Mama?"
"Masih mandi." "Oh, salam buat Mama ya, Pa. Ya sudah, pasti Papa nelepon
pas baru bangun, kan" Papa kan mesti siap-siap berangkat kerja,
sarapan dan segala macam," Amanda memutar bola matanya.
Hampir tiap hari ayahnya menelepon begitu bangun pagi. Dengan
beda waktu lima belas jam, malam hari di Jakarta sama dengan
pagi hari di Los Angeles. "Bye, Pa. Love you!"
"Jaga diri baik-baik, Man. Love you too."
Amanda mengempaskan tubuhnya ke ranjang.
Sudah hampir setengah tahun sejak kedua orangtuanya
terakhir mengunjungi dirinya di Indonesia. Amanda memang
hidup sendirian di sini"hanya ditemani oleh seorang asisten
rumah tangga setia yang bernama Bi Sinem dan seorang sopir,
Pak Sutris yang siap mengantar ke mana saja Amanda akan
pergi. Dua tahun lalu, ayahnya dipindahtugaskan oleh perusahaan
tem"patnya bekerja ke kantor pusatnya di Los Angeles. Keluarga"
nya meng"habiskan banyak waktu untuk memikiran tawaran ini
ma"tang-matang. Akhirnya kedua orangtuanya sepakat untuk
pindah ke Los Angeles. Namun, Amanda tidak setuju. Tidak
sama sekali. Amanda ingin tetap berada di Indonesia.
Ada alasan kuat yang benar-benar membuat gadis itu tak
sanggup dan tak ingin pergi ke mana-mana. Juga yang pada
akhirnya membuat kedua orangtuanya tidak bisa memaksa
Amanda ikut pindah bersama mereka.
Janji Hati.indd 33 Amanda tak ingin jauh dari makam kakak laki-lakinya, Revan
Tavari. Pikirannya mendadak kembali melayang ke beberapa tahun
lalu" Demi Tuhan, ingatan Amanda tentang waktu yang satu
itu tak bisa terhapus. Waktu ketika dunia serasa berhenti. Waktu
ketika ia serasa mati. Waktu ketika ia harus kehilangan seseorang
yang sungguh-sungguh berarti bagi hidupnya, seorang malaikat
terang bagi hidupnya. Sosok yang merupakan segalanya melebihi
apa pun yang ada di dunia ini.
Revan Tavari memang kakak laki-laki Amanda, tapi bukan
kakak kandung. Ia diadopsi oleh keluarga Amanda sewaktu kecil.
Dan sial"nya, Amanda jatuh cinta pada kakaknya sendiri. Tapi,
karena Revan bukan kakak kandungnya, tidak ada masalah sama
sekali. Mereka besar bersama. Setiap hari selalu bermain dan ber"
gembira bersama. Amanda selalu menceritakan seluruh kejadian
seru sepulang sekolah, begitu pula dengan Revan. Ketika
Amanda sedang kesal dan marah, Revan selalu bisa mengem"
balikan keceriaannya. Sikapnya yang supel dan lucu, selalu
membuat Amanda tertawa. Kakaknya itu mengerti dirinya seutuh"
nya. Ia ingat, pernah dirinya diganggu oleh teman-teman cowok
yang iseng, Revan-lah yang melindungi dan men"jaganya. Ia
sangat dewasa, dan juga pengertian. Benar-benar cowok idam"
an. Seandainya masa-masa itu bisa terulang kembali.
Sayangnya tidak akan pernah bisa. Tidak akan mungkin.
Janji Hati.indd 34 Sekarang keadaannya sudah berbeda. Sekarang semuanya bagai"
kan kisah di dalam dongeng. Menyedihkan sekali.
Tiga tahun lalu, Revan menjadi korban tabrak lari di dekat
kam"pusnya. Seluruh sistem vitalnya rusak dan ia hanya bisa
hidup jika dibantu dengan peralatan medis kedokteran. Peristiwa
itu terjadi tepat pada ulang tahun Amanda yang kelima belas.
Gadis itu benar-benar terluka dan sedih luar biasa. Ia ingat ia
bersedia menyumbangkan organ tubuhnya, apa pun, jika bisa
membantu kelangsungan hidup Revan. Tapi sayangnya, semua
sia-sia. Revan tidak sadarkan diri hampir dua bulan sejak
kejadian itu. Kemudian ia pergi meninggalkan Amanda selama-lamanya.
Sampai saat ini pun sejujurnya Amanda belum percaya bahwa
Revan telah pergi meninggalkan dirinya selama-lamanya. Ia
selalu menganggap ini hanyalah mimpi buruk dan suatu saat ia
akan bangun, lalu dapat kembali bersama-sama dengan kakak
tercintanya. Dengan cinta pertamanya.
Sejak cowok itu pergi, hidup Amanda benar-benar berubah.
Hatinya benar-benar hancur. Ia tak ingin menyukai cowok mana
pun lagi. Ia takut hal yang sama terulang kembali. Ia tidak ingin
terluka lagi. Tiga tahun ini rasa sakit itu belum juga hilang. Ia
benci sekali. Dan yang paling menyedihkan, ia sama sekali tidak
tahu siapa yang tega menabrak Revan. Amanda merasa ia akan
mem"benci pelaku tabrak lari itu seumur hidup. Ia tidak akan
bisa memaaf"kannya. Walaupun ia bisa memaafkan orang itu,
Revan tidak akan pernah kembali lagi ke sisinya. Jadi, memaaf"
kan ataupun tidak, ha"silnya sama saja.
Janji Hati.indd 35 *** Malam ini tidak ada bintang, langit pun sama sekali tak berca"
haya. Benar-benar gelap. Amanda memandangi dirinya di cermin, wajahnya agak pucat.
Mungkinkah ia benar-benar akan jatuh sakit akibat hujan-hujanan
tadi sore" Baiklah, ia akui ia memang sangat ceroboh dan
bersikap bodoh. Ia kembali membayangkan, bagaimana tadi jika
tidak ada yang menolongnya" Atau bagaimana kalau dirinya
malah diculik oleh orang-orang yang berniat jahat padanya"
Atau bagaimana kalau ia mati di tempat karena tersambar petir
yang memang sambar-menyam"bar saat hujan tadi"
"Kenapa ya aku kok bisa pingsan?" Amanda bergumam sam"
bil memandangi wajahnya. "Oh ya, jelas karena Sindi!" ia men"
jawab pertanyaannya sendiri.
Sindi sangat menyebalkan. Oh, tapi ia tidak boleh egois. Adik
Sindi kan tadi sore kecelakaan, ia bergumam. Kalau ada di
posisinya pasti Amanda akan seribu kali lebih panik daripada
Sindi. Gimana ya kabar adiknya sekarang"
Amanda memutuskan untuk menelepon Sindi. Namun ternyata
ponsel sahabatnya itu masih belum aktif. Baiklah, ia akan me"
nunggu. Semoga tidak lama karena Amanda sangat khawatir
jika sesuatu sudah berhubungan dengan kecelakaan.
*** Janji Hati.indd 36 Amanda bersedekap sesudah menutup pintu kamarnya dari luar.
Matanya tertuju pada grand piano miliknya. Langkahnya meng"
arah ke sana. Pandangannya lurus, tak teralih sedikit pun. Ketika
sampai pada piano itu, ia tersenyum. Matanya menjelajah ke
sekeliling pia"no"coretan-coretan not balok, buku-buku, juga
dokumen-dokumen musik berantakan di sana. Ia tak pernah
berniat memberes"kannya. Menurutnya, berantakan adalah seni
yang indah dan sangat alami. Lucu sekali, bukan"
Ia menarik bangku piano. Dengan satu gerakan cepat ia duduk
di atasnya, duduk tegap di depan piano. Ia membuka buku tebal
berwarna tosca bertuliskan 50 great songs of Beethoven,
membukanya lembar demi lembar. Tangannya berhenti ketika
sampai pada halaman berjudul Piano Concerto in Bb Major,
Op. 19. Kesepuluh jarinya bersiap memainkan lagu itu.
Beberapa detik kemudian, dentingan lembut piano terdengar
memenuhi seluruh ruangan. Nada-nada indah mulai mengalun.
Lagu itu dimainkannya penuh emosi. Terdengar lembut tapi
tegas. Sesekali terdengar nada dengan aksen staccato di sela-sela
tempo cepat. Kemu"dian lembut lagi"pianisimo. Amanda
menikmati permainannya. Ia memang sangat berbakat memainkan
alat musik klasik tersebut. Inilah yang biasanya ia lakukan ketika
hatinya sedang kesal atau bosan.
"Bagus banget, Man. Emang nggak salah aku ngidolain kamu
dari dulu kalau soal musik klasik."
Suara itu menggema di telinga Amanda begitu ia selesai me"
mainkan"nya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Alangkah terkejut"
nya ia ketika melihat siapa yang datang.
Janji Hati.indd 37 Sindi. Ia langsung berdiri dan berbalik menghadap tamunya. "Ya
ampun, Sindi!" Amanda membekap mulut, setengah histeris.
Kemu"dian ia menghambur ke arah sosok berambut pendek dan
berkacamata yang tersenyum padanya. "Gimana adik kamu"
Lukanya parah?" Napasnya memburu ketika ia mencengkeram
ke dua bahu Sindi. "Puji Tuhan, Man," Sindi mengelus dada, "cuma lecet-lecet
sedikit. Nggak ada luka serius. Sekarang udah di rumah, lagi
istirahat." "Syukurlah." Amanda mengembuskan napas lega.
"Aku minta maaf ya, Man," Sindi mendesah. "Ngilang nggak
ada kabar. Tadi udah mau nelepon, tapi ponselku mati. Maaf
bikin kamu khawatir."
"Udah aku maafin dari bulan kemarin kok, Sin." Amanda
terse"nyum tulus sambil menepuk-nepuk pundak Sindi.
Sindi mengangguk-angguk ceria. Sesaat kemudian ekspresinya
berubah. "Eh?" Sindi terbengong. Menyadari sebuah keganjilan.
"Memangnya kamu tahu dari mana adikku kecelakaan?"
"Dari Kak Sri."
Sindi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasa
bersalah kembali menyelimuti dirinya. "Jadi tadi kamu datang
ke lapangan Greed Bay" Jangan-jangan kamu kejebak hujan
tadi," kata Sindi pelan.
"Ya datang lah, Sin!" Amanda mendesah. "Mana mungkin
nggak datang." Ia berhenti sejenak. "Huu" Bukan kejebak lagi,
Janji Hati.indd 38 tahu! Aku sampai basah-basahan dan pingsan segala," gerutu
Amanda.

Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah" Serius?" kata Sindi kaget.
Amanda mengangguk. "Iya. Pusing kena air hujan," ucapnya
datar. "Nggak usah khawatir, ada yang nolong tadi." Lalu
Amanda kembali mengingat sosok Leo yang menolongnya. Eh,
kenapa tiba-tiba bayang"an cowok itu melintas di pikirannya" Ini
tidak benar. Buru-buru Amanda mengenyahkan bayangan Leo.
"Kamu mesti tanggung jawab lho!" kata Amanda dengan galak,
tapi sambil tersenyum. "Aduh. Tanggung jawab?" Ia memutar bola mata. "Besok
kamu makan gratis sepuasnya di sekolah. Gimana" Aku yang
bayar se"muanya."
Woho! Amanda memekik dalam hati. Makan gratis sepuasnya"
Baiklah, waktunya berdamai.
Selain hobi tidur, Amanda juga hobi makan. Tentu saja tak
mung"kin ia dapat menolak tawaran yang satu ini. Sahabatnya
yang satu ini memang paling TOP deh! Gadis itu memutar-mutar
bola matanya sejenak, pura-pura berpikir keras. Padahal, seka"
rang pun cacing di perutnya mendadak menendang-nen"dang.
Amanda mengerling dan mengangguk semangat. "Serius nih,
aku ditraktir makan sepuasnya di sekolah besok" Lagi pengin
makan porsinya pesumo Jepang!"
Sindi hanya menggeleng-geleng pasrah. "Iya, suka-suka kamu
lah, borong satu sekolah juga boleh. Tapi kalau itu sih, siap-siap
aja rumah kamu yang disita sama bank!"
Amanda tertawa lagi. "Ye, payah deh," ia terdiam sejenak.
Janji Hati.indd 39 "Oke deh, deal ya?" tanyanya mantap tanpa menggubris pembi"
caraan soal rumahnya. "Awas ya, kalo sampe kayak tadi sore
la"gi!" ancam Aman"da. "Aku nggak bakal mau ketemu lagi sama
kamu," ucapnya sambil menjulurkan lidah.
Sindi menggeleng pelan. "Iya deh." Ia mengacungkan keling"
king"nya. Walau sudah SMA"bahkan tahun yang akan datang sudah
mema"suki bangku universitas"persahabatan mereka yang terja"
lin sejak taman kanak-kanak masih membawa kebiasaan khas
anak kecil ketika bertengkar lalu bermaaf-maaf. Mungkin saja
sampai mereka mem"punyai pasangan hidup nanti, kebiasaan ini
tidak akan berubah. Amanda mengacungkan kelingkingnya lalu menyilangkannya
di kelingking Sindi. "Promise," ucapnya sambil tersenyum
manis. Dua sahabat itu pun berpelukan sejenak. Tertawa-tawa. Lalu
melanjutkan obrolan mereka dengan penuh canda dan bahagia.
Janji Hati.indd 40 dua jam kakinya bergerak lincah ke sana kemari
tanpa henti di lapangan rumput hijau yang cukup luas
itu. Kedua tangannya terus mengayun dan memukul
bola ketika benda bulat itu datang ke arahnya. Pandangannya
sigap, sesekali tangannya mengayun ke atas untuk men-smash
umpanan dari tosser. Papan angka itu sudah menunjukkan skor 21-24 dan tim
Amanda unggul. Hanya tinggal satu kali lagi untuk mematikan
area lawan. Peluit berbunyi, kali ini giliran pemain bernomor
pung"gung 21 yang men-service bola voli berwarna biru dengan
garis-garis kuning itu. Bola melambung tinggi ke area lawan
dengan gerakan yang cepat dan menajam. Ketegangan terjadi di
antara ke dua tim. Saat ini posisi Amanda sebagai penyerang
udah Janji Hati.indd 41 dengan nomor punggung 8. Ia percaya delapan adalah angka
keberuntungannya karena ia lahir pada tanggal 8.
Tosser di tim Amanda sudah menerima umpan darinya.
Sekarang Amanda bersiap untuk men-smash benda bulat empuk
itu ketika tosser memberikan bola umpan padanya.
"Hiah!" Teriak Amanda kencang ketika mengayunkan tangannya ke
atas sambil menciptakan pukulan keras yang tajam, membuat
bola voli itu mengarah cepat ke area lawan dengan kecepatan
supersonic dan sangat menukik. Di seberang area pertahanannya,
seorang cewek bernomor punggung 15 berusaha menangkis bola
susah payah dengan satu tangan. Dan hasilnya... Out! Keluar
sangat jauh dari lapangan.
Sorak-sorai kemenangan terpancar dari wajah mungil Amanda
dan kawan-kawan satu timnya. Pertandingan bola voli antarklub
sore hari ini berhasil mereka menangkan. Tidak sia-sia sepanjang
liburan kemarin ia dan timnya rela meluangkan waktu untuk
ber"latih keras demi memenangkan pertandingan ini. Memang
ini hanya pertandingan biasa, bukan kejuaraan yang bergengsi
atau yang dilihat oleh seluruh pemirsa Tanah Air. Tapi, tim yang
juara akan mendapatkan beasiswa untuk pendidikan atlet nasio"
nal. Sayangnya, kedua orangtua Amanda tidak akan pernah se"
tuju. Tapi tak apa, ia tidak terlalu peduli soal beasiswa itu, yang
penting ia tetap bisa bermain voli.
"Man, minum dulu nih!" ujar Sindi sambil menyodorkan se"
botol air mineral. "Makasih, Sin." Amanda mengambil botol tersebut sambil
Janji Hati.indd 42 meng"usap peluh yang bercucuran dengan sebelah tangannya
yang tidak memegang botol minum.
Angin semilir menerpa diri gadis itu. Ia menghirup napas
dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, menikmati udara
sore ini. Lapangan olahraga yang terletak di kawasan Pluit ini
terlihat ramai. Tampak anak-anak dari berbagai klub datang dan
ber"latih, bukan hanya voli, tapi juga olahraga yang lain. Amanda
lelah, napasnya sedikit tersengal-sengal.
"Ngelamun aja, Man!" tepuk Sindi ketika ia duduk termenung
di pinggir lapangan. Amanda tersentak kaget. "Aduh, kamu ini ngagetin aja,"
katanya sambil tertawa. "Sini duduk," katanya sambil menepuk
rerumputan hijau agar Sindi duduk di sampingnya.
Mereka duduk santai, mengobrol banyak hal seputar olahraga.
Amanda sangat gembira. Sesekali ia memejamkan mata dan
terse"nyum. Wajah putihnya mengilap terkena cahaya matahari
senja. Sekarang sudah pukul lima sore, rencananya ia akan
menyaksikan matahari terbenam di ufuk barat. Tempat ini sangat
strategis untuk menikmati sunset. Tak jarang orang datang ke
sini hanya untuk nong"krong dan menikmati pemandangan sore
yang indah, bukan ber"olahraga.
Saat Amanda asyik menikmati keindahan matahari favoritnya,
sebuah bola menggelinding cepat di rerum"putan dan berhenti
tepat di depan kedua kaki Amanda yang bersila. Gadis itu agak
terkejut, kemudian celingak-celinguk untuk mencari tahu siapa
yang merasa memiliki bola itu. Tidak terlihat.
Janji Hati.indd 43 "Bola siapa ini, Sin?" tanya Manda bingung sambil menatap
Sindi yang sama bingungnya.
"Nggak tahu," katanya sambil mengangkat bahu.
Amanda bangkit berdiri sambil memegang bola itu dengan
kedua tangannya. Sindi ikut berdiri dengan bingung untuk
memastikan apa yang ingin temannya itu lakukan. "Mau diapain
bolanya, Man?" "Ditendang." Sindi menggeleng keras-keras, "Jangan, Man, nanti kena
orang. Di sini kan ramai."
"Nggak, tenang aja. Aku jago kok, lagian kan di sebelah sana
kosong. Nggak bakalan kena siapa-siapa," kata Amanda terse"
nyum sambil memutar-mutar bola berwarna merah dalam geng"
gamannya, ternyata itu bola futsal.
Sindi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kalo
kena orang aku nggak ikut-ikutan loh, Man!" Ia bergidik sen"
diri. Amanda tertawa dan mengangguk mantap. "Tenang, kamu
lihat nih, Sin," katanya sambil mengambil ancang-ancang untuk
menendang bola. "Tendanganku akan baik-baik saja, kok."
Satu... Dua... Tiga! Bola itu terlontar dan melayang tinggi di udara. Amanda
meman"danginya sambil bersedekap seolah yakin bola itu akan
mendarat di tempat yang menjadi sasarannya di ujung lapangan.
Sindi tampak waswas dan takut-takut cemas.
Janji Hati.indd 44 Mata Sindi melebar ketika ada sosok yang berjalan ke arah
medan berbahaya"titik tempat bola yang ditendang oleh
Amanda akan jatuh. "Man, lihat bolamu!" katanya sambil mengguncang-guncang"
kan tubuh Amanda dengan keras dan panik.
Amanda sama terkejutnya ketika melihat pemandangan yang
men"cekam itu. Ia yakin, manusia mana pun akan pingsan jika
terkena hantaman bola itu. Tapi bagaimana" Ia tidak memiliki
kekuatan sihir untuk menghentikan sesuatu yang tidak ia ingin"
kan. Ia menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dari celah
jemarinya ia tetap melihat apakah yang terjadi selanjutnya.
Bagaimana hasilnya" Sangat buruk.
Bam! Ia masih terpaku sampai-sampai tidak sadar tangan kirinya
sudah ada dalam genggaman Sindi yang menariknya untuk
melihat korban tendangan asal-asalannya. Amanda tidak dapat
merasakan apa-apa. Ia benar-benar takut dan tidak bisa memba"
yangkan apa yang akan terjadi jika orang itu sampai pingsan
atau bahkan gegar otak karena terkena tendangan bola maut.
Ketika mereka mendekat, kepanikan yang terjadi di sana semakin
terdengar jelas. "Dava!" seru salah satu temannya yang buru-buru datang
meng"hampiri cowok jangkung yang tersungkur di rerumputan
hijau. "Lo nggak apa-apa?" Seorang anak berambut cepak cokelat
juga ikut menghampiri. Janji Hati.indd 45 "Nggak," jawab korban tendangan bola Amanda dengan gusar
sambil berusaha bangkit berdiri.
"Panggil P3K!" "Panggil juga pelatih kita! Panggil Pak Hendra sekarang!"
Suara-suara ketegangan dan kepanikan membaur membuat
kepala Amanda mendadak pusing dan pikirannya mendadak
kosong. Sekarang jaraknya dengan sang korban sudah sangat
dekat. Seorang cowok yang memakai kaus putih dan celana lari
panjang berwarna abu-abu tua terduduk di rumput sambil meme"
gangi kepa"lanya yang pasti pusing. Begitulah pemandangan yang
disaksikan Amanda ketika gadis itu berdiri di hadapan korban"
nya. "Lo benar nggak apa-apa, bro?" Salah seorang cowok bertanya
dengan waswas sambil membawakan minyak gosok dan air
mine"ral. Cowok itu menggeleng lemah. "Nggak," katanya sambil ber"
usaha bangkit berdiri dengan berpegangan pada lengan temannya.
Kepalanya menengadah. Hachi... Ia bersin. "Astaga, hidung lo berdarah, Va!" teriak salah seorang te"
mannya dengan panik. "Tisu atau saputangan!" teriak seorang cowok kepada teman"
nya dari kejauhan. Cowok itu menatap temannya dengan bingung. Sebelah ta"
ngannya terangkat dan menyentuh bawah lubang hidungnya.
Cairan merah pekat yang kental menempel di jari telunjuknya.
Darah. Hidungnya berdarah.
Janji Hati.indd 46 Amanda menggenggam tangannya dengan erat dan memejam"
kan mata. Ia sangat benci darah. Ia tak sanggup melihat peman"
dangan itu. Bersamaan dengan itu, ia sadar telah melakukan
kesalahan yang amat fatal. Harus bagaimana ini" Astaga, Tuhan,
tolong! "S-Sin, itu beneran orang yang kena bola yang aku tendang
tadi?" kata Amanda panik. Matanya mengiringi Dava yang
dipapah oleh beberapa temannya ke bangku panjang.
"I-i-iya, Man," kata Sindi yang tak kalah panik. "Aku bilang
juga apa, jangan tendang bola sembarangan. Begini, kan, ha"
silnya?" Amanda hanya bisa menunduk pasrah. "Hidungnya berdarah,
Sin, aku harus bagaimana?" ucapnya pelan di sela-sela kerumun"
an orang yang ingin menyaksikan kejadian heboh itu. "Maaf,"
gumamnya lirih, "aku juga nggak tahu jadinya bakal begini." Ia
menghela napas. "Lagian kamu bisa lihat sendiri, tadi nggak ada
orang, kan?" Sindi berdecak pelan, "Memang nggak ada orang, tapi kan?"
ia berhenti sejenak. "Ah, sudahlah, jangan minta maaf sama aku
dong, Man. Minta maaf sama cowok yang kamu bikin bonyok
itu." Kepa"lanya bergerak ke arah kerumunan. Amanda menelan
ludah. Astaga, pikiran-pikiran buruk berkelebat lagi di dalam
ke"palanya. Apakah ia harus meminta maaf kepada orang itu"
Ya, tentu saja ia harus meminta maaf, tapi bukan itu masalahnya,
melainkan bagaimana reaksi cowok itu" Apakah ia akan terse"
nyum tulus dan memaafkannya" Atau sebaliknya" Atau bahkan
lebih buruk lagi" Janji Hati.indd 47 "Aduh, gimana ini?" tanyanya kebingungan sambil menoleh
ke arah Sindi. "Apanya bagaimana?"
"..." "Kamu takut?" Amanda mengangguk. "Jelas lah aku takut!" Ia menggigit
bibirnya dalam-dalam. "Urusan dimaafkan atau tidak, itu nomor dua ratus. Yang
penting, sekarang kamu harus meminta maaf. Nanti seandainya
ada yang tahu bahwa kamu yang membuat dia celaka dan
mengadukannya, bagai"mana?" Sindi bertanya kepada Amanda
sambil menggenggam tangan temannya yang terasa sangat
dingin. "Apa kamu mau, masalah ini membuatmu merasa
bersalah seumur hidup?"
"Tidak!" jawab Amanda cepat. "Aku nggak mau!" Nada
suaranya sudah seperti anak kecil yang menangis. "Baiklah, kita
ke sana." Ia berusaha melangkah ke seberang lapangan meskipun
terasa sangat berat. Sekujur tubuhnya terasa seperti direndam dalam bak air plus
balok-balok es. Bingung. Tak tahu apa yang harus dilakukan,
terlebih seluruh pasang mata yang ada di sana memandangnya
dengan tatapan aneh. Benar-benar menjatuhkan mentalnya.
Mata cowok itu terpejam. Kedua tangannya ke belakang untuk
me"nopang kepala. Napasnya teratur. Kedua kakinya direntangkan
lebar-lebar seolah dunia adalah milik nenek moyangnya. Seper"


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janji Hati.indd 48 tinya ia tidur. Sama sekali tidak terganggu suara riuh temantemannya.
"Ayo sana!" bisik Sindi sambil mendorong Amanda.
Amanda mengangguk pasrah, kemudian berjalan perlahan
men"dekati sosok itu.
"Permisi." Awalnya cowok itu masih memejamkan mata dan tidak terusik
sedikit pun. Namun setelah teman-temannya mengguncangguncang tubuhnya dan ia juga mendengar sapaan ringan seorang
gadis un"tuknya, mata cowok itu terbuka. Dengan bingung ia
bangkit dari tidurnya lalu berdiri. Kemudian melangkah pelan,
menjauhkan diri dari kebisingan teman-temannya. Tanpa sadar
Aman"da pun mengikuti dengan kikuk.
Setelah cowok itu merasa posisinya aman dari keriuhan, ia
berbalik. Tubuh tingginya menjulang dan mata tajamnya menatap
mata bulat Amanda hingga menusuk ke manik yang terdalam.
Benar-benar mengerikan. "Ya, ada apa?" katanya dengan nada dingin. Sangat dingin
melebihi gunung es yang ada di Samudra Atlantik.
Amanda mengepalkan kedua tangan di belakang punggungnya.
Ia benar-benar takut sekarang. Tatapan cowok itu seperti ingin
mene"lannya hidup-hidup. Mungkin karena cowok itu tadi melihat
juga bahwa dia yang menendang bolanya" Dan sekali lagi ia
tahu bahwa itu semua memang karena dirinya. Astaga, ia benarbenar bodoh.
"A-anu, Kak, saya..." Amanda menarik napas sedalam-da"
lamnya. "Mau minta maaf."
Janji Hati.indd 49 Cowok itu terlihat bingung. "Minta maaf?"
"I-iya," Amanda menggigit bibirnya. "Itu tadi yang nendang
bola"nya," ia bergidik, "saya, Kak..."
Mata cowok itu mendelik. "Apa?"
Amanda bisa merasakan jantungnya berhenti beberapa detik
ketika mendengar respons cowok itu.
Gadis itu memejamkan mata beberapa detik, kemudian mem"
bukanya kembali. "Benar. Untuk itu saya ingin minta?"
"Stop!" Cowok itu mendorong tubuh Amanda dengan kasar
hingga terjatuh ke tanah.
Amanda berteriak kaget. Teriakannya kencang hingga mem"
buat siapa pun yang berada di sekitarnya terkejut. Tak terkecuali
teman-teman futsal cowok itu yang sedang asyik bergurau. Sindi
yang meng"awasi dari jarak aman pun langsung terburu-buru
menghampiri sahabatnya. Salah satu teman cowok itu bangkit berdiri. "Hei, bro, jangan
kayak gitu dong sama cewek!"
"Diam lo! Jangan ikut campur!" bentak cowok itu.
Tidak ada tanggapan lagi setelah itu. Hanya helaan napas dan
berbagai pasang mata yang terus menyaksikan.
"Heh! Lo yang sopan dikit dong sama perempuan!" kata Sindi
emosi ketika ia sudah berada di samping Amanda. Gadis itu
berjongkok, membantu Amanda berdiri lagi.
Cowok itu tersenyum simpul, senyum yang begitu meremeh"
kan. "Lo," tunjuknya sambil menatap Sindi lekat-lekat, "nggak
usah ikut campur. Ini urusan gue sama dia," jari telunjuknya
berganti mengarah ke Amanda.
Janji Hati.indd 50 "Gue tau, tapi teman gue barusan minta maaf dan mengaku
kalau dia salah." Sindi berusaha membela Amanda." Lo nggak
seharusnya mendorong teman gue sampe jatuh," ucapnya dengan
emosi meledak-ledak. "Itu banci namanya!" teriaknya, mene"
kankan pengucapan kata "banci".
"Banci?" Cowok itu tertawa sekencang-kencangnya. "Jaga ya
tuh mulut!" ucapnya sambil maju dua langkah mendekati Sindi
dan Amanda. Sindi semakin berani, sementara Amanda benarbenar ketakutan. "Dengar baik-baik ya!" Cowok itu berjongkok
dan menyamakan posisi tubuhnya dengan kedua gadis itu. "Lo
berdua tau?" katanya sambil mengangkat kedua alis dan menge"
luarkan saputangan putih yang didominasi bercak di beberapa
sisinya. Sindi dan Amanda langsung ngeri dan memejamkan
mata. "Hidung gue berdarah tadi. Darahnya banyak," nadanya
sinis. "Kepala gue juga pusing banget kehantam tuh bola, apa
lo berdua nggak tahu?"
"Dava!" Cowok itu menoleh ke sumber suara. Cowok berkacamata
dengan pakaian olahraga menghampirinya. Mukanya gelisah.
Seperti sedang terburu-buru "Lo dipanggil Pak Hendra," ucapnya
dengan napas terengah-engah. "Beliau mau memeriksakan
keadaan lo ke rumah sakit sekarang." Ia mengangguk. Kemudian
berbalik kembali dan menatap Amanda dan Sindi yang terpaku
menunggu kelanjutan kata-katanya. Tapi Dava akhirnya hanya
melotot dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya berdiri dan
berjalan menghampiri cowok yang memanggilnya.
Janji Hati.indd 51 "Gimana ini?" kata Amanda panik ketika cowok itu benarbenar sudah menghilang.
"Ayo!" "Ke mana?" tanya Amanda setengah berbisik.
"Kita ikutilah ke rumah sakit mana dia akan pergi," kata Sindi
sambil mengambil langkah superlebar. "Urusan kita dengan
cowok itu belum selesai. Aku harus memberi perhitungan karena
dia udah kasar sama kamu!"
Tanpa banyak bicara ia mengikuti sahabatnya dengan pasrah.
Menuju parkiran untuk mengambil Scoopy kesayangan Sindi.
Janji Hati.indd 52 ia harus bagaimana" Amanda dan Sindi sedang menunggu. Sudah sekitar
tiga puluh menit cowok itu belum juga keluar dari ruang
pemeriksaan dokter. Apakah hidungnya baik-baik saja" Apakah
harus dioperasi" Bagaimana seandainya tulang hidungnya
mengalami luka yang serius sehingga ia tidak bisa lagi memiliki
bentuk hidung yang sempurna" Bagaimana jika cowok itu benarbenar membencinya seumur hidup dan tidak bisa memaaf"
kannya" Amanda benar-benar pusing sekarang. Jika kemungkinan-ke"
mungkinan buruk itu terjadi, biaya peng"obatannya pun tidak ada
yang murah. Pasti sangat mahal. Aduh! Apakah cowok itu nanti
akan menagihkan biayanya kepada Amanda" Bukannya Amanda
ekarang Janji Hati.indd 53 tidak mau bertanggung jawab, tapi ia tidak enak memberitahu
orangtuanya nanti. "Sin," kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan lengan
Sindi. "Gimana dong" Udah setengah jam kita nunggu di sini.
Cowok itu belum juga keluar."
Sindi menepuk-nepuk bahu Amanda untuk menenangkan
gadis itu. "Tenang aja, dia pasti baik-baik aja," katanya optimis.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka.
Seorang pria berpakaian serbaputih dan rapi keluar dari dalam
ruangan, disusul seorang cowok jangkung yang hidungnya di"
tempeli perban putih dan seorang laki-laki paro baya yang
mendampinginya. Kedua orang yang itu terlihat muram. Ini
memang bukan pertanda baik. Aura yang mereka pancarkan
sudah langsung merasuki tubuh Amanda, mengisyaratkan bahwa
keadaan saat ini lebih buruk daripada yang dipikirkannya.
"Jadi, Dok, saya tidak bisa bermain futsal selama tiga bulan?"
suara Dava terdengar parau.
"Benar, Dava. Berilah waktu bagi tulang hidungmu yang retak
itu untuk menyatu lagi. Sementara ini kamu harus berhenti
bermain futsal dan banyak beristirahat. Jika kamu terus bermain
bola, luka di tulang hidungmu bisa bertambah parah," terang
Dokter. "Risiko bermain futsal sangatlah besar, tidak menutup
kemungkinan bola akan menge"nai wajahmu dan tulang hidung
yang retak itu bisa benar-benar patah," ucapnya serius.
"Tapi," ucapnya dengan penuh keputusasaan, "tiga bulan itu
terlalu lama, Dok." Janji Hati.indd 54 Sayup-sayup Amanda bisa mendengar apa yang diterangkan
oleh dokter itu. "Sebentar lagi Dava harus mengikuti seleksi pertandingan
tingkat nasio"nal," timpal laki-laki di sampingnya yang merupakan
pelatih tim futsal Dava. "Apa kesembuhannya tidak bisa
dipercepat?" Dokter itu menepuk bahu Dava. "Maaf sekali, Pak Hendra,"
ucap Dokter. "Saya tahu Dava memang pemain yang hebat. Tapi
dengan berat hati saya tidak mengizinkan dia untuk bermain
bola dulu. Sangat berbahaya dan berisiko."
Pak pelatih terlihat murung dan bingung. Tidak ada bisa yang
dilakukan selain mengikuti saran dan anjuran Dokter. Jika di"
langgar, semuanya akan bertambah buruk.
"Baiklah, Dokter." Ia menghela napas. "Saya akan menon"
aktifkan Dava sebagai pemain selama masa penyembuhan"
nya." "Apa?" tanya Dava kaget.
"Semua ini demi kebaikanmu, Nak," ujar Pak Hendra pelan,
penuh simpati. Dokter ikut mengangguk. Dava mengerang. "Semua ini gara-gara cewek sialan itu!"
ucapnya dengan berapi-api.
Amanda dan Sindi tersentak. Mereka yang semula duduk di
deretan bangku tunggu, beberapa meter dari ruangan itu, cepatcepat menyingkir dan bersembunyi di balik tembok kiri. Mereka
berdua takut, jika me"lihat mereka ada di sana, Dava akan
membuat keributan di rumah sakit.
Janji Hati.indd 55 "Sin, kamu lihat, kan?" kata Amanda lemah. "Dia nggak bisa
main futsal cukup lama. Dia dinonaktifkan sebagai pemain. Dan
semua ini gara-gara aku!" ucapnya sambil meremas-remas
tangannya dengan keras. "Udahlah, berhenti nyalahin diri sendiri, Man!" kata Sindi
emosi. "Dia cowok yang nggak punya sopan santun!" ucapnya
kesal. "Kamu sudah minta maaf baik-baik, tapi responsnya malah
kayak gitu. Dia itu bener-bener nggak punya etika terhadap
cewek. Nggak pernah dididik sopan santun, kali ya, sama
orangtuanya?" maki Sindi dengan emosi. "Ayo, kita ke sana
sekarang! Aku mau buat perhi"tungan!"
"Sindi!" cegah Amanda. "Jangan, ini di rumah sakit. Jangan
mem"buat keributan!"
"Cukup, Man. Aku nggak mau kamu terus-terusan merasa
bersalah sama orang nggak penting kayak dia."
"Sin, sudahlah," mohon Amanda. "Please, jangan gegabah
dong! Aku yang salah. Jangan mempersulit keadaan. Lebih baik,
kita pulang saja sekarang."
Sindi menggeleng-geleng sambil berdecak pelan. Sebenarnya
ia sangat kesal dengan Dava dan ingin sekali membuat perhi"
tungan. Tapi, Amanda menolak keras. Sudahlah, ia tidak ingin
berdebat lagi dengan Amanda. Percuma, mau sampai lebaran
kuda juga tidak akan selesai. Akhirnya dengan penuh ketidak"
ikhlasan ia mengangguk. "Nah, gitu dong, Sin!" Amanda tersenyum lega. "Ya sudah,
kamu pulang duluan aja, Sin," kata Amanda lirih. "Aku mau
SMS Pak Su"tris untuk jemput aku di sini," katanya sambil meng"
Janji Hati.indd 56 utak-atik ponsel"nya. "Kalau nungguin aku, nanti kamu kemalam"
an sampe rumah." Sudah cukup hari ini ia mendapatkan musibah. Ia tidak ingin
mem"buat keadaan semakin kacau. Ia tidak ingin me"libatkan Sindi.
Biarkan ia yang menyelesaikan semuanya sendiri.
"Tapi, Man... "
"Ssst! Bentar lagi Pak Sutris datang, udah kamu pulang aja
sana. Ini udah sore, Sin, kayaknya mau hujan, lagi. Nanti malah
nggak bisa jalan lho!"
"Oke deh, aku pulang." Sindi tampak murung dan penuh ke"
khawatiran. "Tapi, ingat, kamu juga langsung pulang dan
masalah ini nggak usah terlalu dipikirin."
Amanda memaksakan senyum di bibir tipisnya. "Iya, pulang
se"karang deh, Sin." Ia mendorong tubuh Sindi pelan. "Lima
menit lagi juga Pak Sutris sampe di sini kok."
Akhirnya Sindi pun melangkah dan beranjak pulang. Yah,
walaupun sejujurnya ia sangat tidak ingin. Mau bagaimana lagi"
Ia hanya berharap Amanda tetap tenang, dan tidak terlalu
memikirkan masalah itu lagi. Sindi sama sekali tidak sadar
bahwa Amanda terus mengikutinya sampai tempat parkir.
Amanda bersembunyi di balik koridor rumah sakit sambil terus
memperhatikan Sindi, memastikan sahabatnya itu benar-benar
pulang. Sindi men-stater Scoopy putihnya, kemudian mengenakan
helm berstiker tokoh kartun favoritnya sepanjang masa,
Doraemon. Sindi melirik sejenak ke dalam gedung rumah sakit.
Dengan satu sentakan cepat, Amanda bersembunyi di balik
tembok dekat jendela agar tidak terlihat. Setelah beberapa detik
Janji Hati.indd 57 berlalu, dengan hati-hati Amanda kembali melongok ke jendela
kaca di koridor rumah sakit.
Sindi sudah pulang. Ia tersenyum lega. Sejak tadi, ia memutar
otaknya hingga jungkir-balik, berusaha menemukan cara agar
Sindi pergi dari rumah sakit. Akhirnya berhasil juga, walaupun
sangat sulit. Jika Sindi tetap di sini, keadaan akan semakin
buruk. Baiklah, sekarang ia bisa melakukan apa yang ia ingin
lakukan, menemui cowok yang bernama Dava itu.
ain Sejujurnya Amanda takut menemui Dava lagi. Tapi ia akan terus
meminta maaf sampai cowok itu benar-benar memaafkannya
dengan tulus. Cowok itu tidak perlu khawatir karena ia tidak
akan lari begitu saja. Ia tidak peduli harus bagaimana agar rasa
bersalah yang melanda dirinya ini bisa berakhir. Terserah apa
pun yang dilakukan oleh cowok itu terhadapnya.
Apa pun. Ia akan melakukannya tulus dengan segenap hati.
Amanda berjanji. Amanda langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga kembali
ke arah ruangan tempat Dava diperiksa. Saat ini harapannya
cuma satu, cowok itu masih ada di rumah sakit ini. Jika cowok
itu sudah pulang, ia benar-benar tidak tahu harus menemui
cowok itu di mana. Kenal saja tidak.
Dari jauh gadis itu tersenyum karena mendapati cowok tadi
belum pergi. Syukurlah, ia masih ada di sana, batinnya. Cowok
itu duduk menyendiri di bangku rumah sakit yang berjajar di
Janji Hati.indd 58 depan ruangan tempatnya tadi diperiksa. Pelatihnya sudah tidak
ada, mung"kin sudah pulang" Tapi Amanda tidak peduli, yang
dia cari adalah Dava, bukan orang lain.
Saat langkahnya benar-benar sudah dekat dengan cowok itu,
jantung Amanda mulai berdebar tidak keruan. Ia takut Dava
akan berteriak-teriak memarahinya dan menimbulkan kehebohan.
Ia tidak mau itu. Lalu bagaimana" Amanda menimbang-nimbang
selama beberapa detik. Ke sana... Tidak. Ke sana... Tidak. Ke sana"


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, ke sana. Dengan tekad melebihi kekuatan baja, Amanda berjalan
mengham"piri Dava yang sedang duduk sambil menunduk. Ia
tidak memedulikan berapa besar ketakutan yang ia alami. Pi"
kirannya mendadak kosong. Semakin dekat, semakin kosong.
"Permisi." "Lo lagi" Sekarang mau apa?" kata Dava yang langsung
bangkit dari duduknya. "Mau bikin anggota badan gue yang lain
patah?" katanya sinis.
Belum mengeluarkan satu patah kata pun, Amanda sudah
harus mendapatkan caci-maki. Ia menunduk. Selain takut,
sekarang ia benar-benar diselimuti rasa bersalah yang mendalam.
Ia memang ceroboh. "Bukan, saya mau minta maaf," ucapnya lirih. "Saya mohon,
maafkan saya, Kak. Saya benar-benar tidak sengaja," katanya
dengan memelas. Cowok itu mendesis, "Minta maaf" Apa dengan lo meminta
Janji Hati.indd 59 maaf hidung gue bisa kembali seperti semula sekarang juga?"
Ia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Nggak, kan?"
Memang mustahil mengembalikan hidung cowok itu seperti
semula dalam sekejap. Tapi Amanda sendiri juga tidak tahu apa
yang harus ia lakukan selain meminta maaf. "Nggak, saya
memang nggak bisa mengembalikan hidung Kakak seperti
semula dalam sekejap," katanya putus asa.
"Nah, ya sudah. Kalau gitu nggak perlu minta maaf." Cowok
itu langsung pergi meninggalkan Amanda yang sudah hampir
menangis. Amanda belum berputus asa.
Kebetulan Pak Sutris datang menjemputnya tepat saat cowok
itu benar-benar akan pergi meninggalkan rumah sakit. Amanda
cepat-cepat memasuki mobilnya dan menyuruh Pak Sutris
mengikuti mobil Dava tanpa sepengetahuan cowok itu.
Ketika sampai, Amanda baru menyadari bahwa rumah cowok
itu masih satu kompleks dengan lapangan olahraga di perumahan
Green Bay. Artinya ia kembali ke lokasi tempatnya bertanding
tadi. Jalannya berliku-liku, agak di dalam perumahan, Amanda
sampai pusing mengingatnya. Ketika sudah benar-benar pusing,
sampailah ia di depan rumah megah berwarna kuning gading
dengan pagar tinggi berwarna salem yang penuh dengan ukiran
khas Yunani. Amanda merasa ada sesuatu yang aneh ketika berada di depan
rumah itu. Entahlah, yang pasti rasanya ia pernah mengunjungi
Janji Hati.indd 60 rumah ini. Rumah siapa ya ini" Dirinya bertanya-tanya dalam
hati. Diliriknya lagi rumah Dava, mobil cowok itu sudah masuk
ke rumah. Ia bisa turun sekarang.
Gadis itu turun dari mobilnya. "Pak Sutris, saya cuma sebentar
kok," Amanda tersenyum. "Oya, Bapak parkir mobilnya di
seberang sana saja ya!" perintahnya sambil menunjuk lapangan
kosong yang berada di ujung jalan.
Pak Sutris dengan senyuman khasnya mengangguk patuh,
"Siap, Non!" "Makasih banyak, Pak," kata Amanda.
"Cari siapa ya, Mbak?" kata seorang satpam yang duduk di
pos dekat pagar ketika Amanda mencondongkan tubuh, celingakcelinguk ke dalam rumah.
"Eh," Amanda sedikit terkejut. "Anu, Pak, mau cari Dava.
Ini ru"mahnya Dava, kan?"
Pak satpam mengangguk. "Iya, benar. Mas Dava-nya baru aja
pulang kok, Mbak. Ada di dalam." Satpam berkumis tebal dan
ber"badan kekar itu langsung menghampiri pagar dan membukakan
pintu. "Makasih, Pak," kata Amanda sambil masuk.
Ketika sudah berada di depan pintu utama rumah itu, sekali
lagi Amanda merasa menyesal karena selalu bertindak bodoh.
Saat semua sudah terjadi ia baru sadar akan kebodohannya.
Rasanya setiap melakukan sesuatu pikirannya selalu kosong, dan
ketika sesuatu tersebut sudah terjadi barulah seluruh jiwaraganya berkumpul kembali. Astaga, payah sekali.
Di dalam sana ada siapa saja ya" Ia bertanya-tanya dalam
Janji Hati.indd 61 hati. Bagaimana jika yang membukakan pintu orangtuanya
Dava" Ia harus bagaimana" Apakah orangtua cowok itu akan
menyalahkannya habis-habisan dan meminta agar dirinya meng"
ganti rugi sekian ratus juta" Ya ampun, apa yang harus ia la"
porkan pada ayah dan ibunya" Tidak. Amanda tidak bisa mem"
bayangkan seberapa besar kepanikan mereka. Ia tidak mau hal
itu terjadi. Kasihan orangtuanya. Sebagai anak berbakti ia harus
menyelesaikan masalah ini sendiri.
Akhirnya ia memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu.
Jan"tungnya berdebar semakin tak keruan ketika ia mendengar
suara langkah yang mendekat. Pintu terbuka.
Keningnya berkerut. Heran dan juga terkejut. Kali ini hanya
kebi"ngungan yang melanda otaknya ketika melihat sosok yang
membu"kakan pintu. Apakah dia pemilik rumah ini" Tapi rasanya
tidak mungkin. "Amanda?" katanya tersenyum riang. "Ada apa kemari"
Ternyata kamu masih ingat juga ya sama aku?" katanya berse"
mangat. Mata Amanda melebar, masih tak percaya siapa orang yang
berada di depannya saat ini. "Kak Leo?" katanya sambil berusaha
mengen"dalikan napasnya yang mendadak memburu. "Ini Kak
Leo, kan?" ulangnya sambil mendekat untuk memastikan.
Leo mengangguk riang, "Yap, ini aku." Tiba-tiba dia men"
dekati Amanda dan langsung memeluknya.
Amanda semakin sulit bernapas. Astaga, jantungnya benarbenar akan melompat keluar sekarang. Pelukan ini terasa begitu
hangat. Ia yakin warna pipinya yang mendadak merona sama
Janji Hati.indd 62 seperti warna tomat. Setelah adegan yang di luar skenario itu
berlangsung beberapa detik, Amanda berhasil mengumpulkan
seluruh nyawanya kembali dan mulai berbicara. "Loh" Ini rumah
Kak Leo?" katanya bingung sambil tetap berpelukan dengan
cowok jangkung tersebut. "Iyalah, masa lupa" Pas kamu pingsan kan aku bawa dulu ke
sini," katanya sambil tertawa pelan. "Kok bingung gitu" Emang"
nya kamu ngapain ke sini?" tanya Leo penasaran. Ia sangat
senang Amanda berkunjung kemari, namun sepertinya tujuan
gadis itu kemari bukan untuk mencarinya, lalu mencari siapa
ya" Ia bertanya-tanya dalam hati. Ada yang tidak beres.
Mereka terdiam sejenak, fokus pada pikiran masing-masing.
Me"reka tidak menyadari ada yang memperhatikan mereka
dengan penuh kebencian. Namun, saat orang itu bergerak akan
berbalik, Amanda menyadarinya. Dava" pekiknya dalam hati
karena mendadak lidahnya pun kelu.
Leo menyadari sikap Amanda yang kembali aneh. Ia menatap
Amanda dengan bingung. Ia tidak tahu ada yang memperhatikan
mereka karena posisinya membelakangi bagian dalam rumahnya.
Leo pun mengikuti ke arah mana gadis itu memandang.
Oh, ternyata Dava. Kini Dava merasa risih karena Leo dan Amanda memandanginya
bersamaan. Ia langsung membuang muka dan dengan cepat
kembali ke dalam. "Kamu kenal dia?" kata Leo setelah Dava
menghilang. "Ah?" Janji Hati.indd 63 "Kamu kenal Dava?" Sekali lagi cowok itu mengulangi
pertanya"annya. Sekarang kebingungan Amanda semakin menjadi. Ia berada
di rumah Kak Leo, cowok baik hati yang menolongnya saat ia
pingsan kemarin. Lalu kenapa cowok angkuh yang tidak sengaja
ia lukai tadi ada di rumah Kak Leo juga"
"Aku nggak kenal," Amanda mendesah. "Tapi aku ke sini
mencari dia." Ia berdeham. "Mau minta maaf?" Kemudian ia
menunduk. Kening Leo berkerut hingga kedua alisnya bertemu, penasaran.
"Minta maaf?" "Iya. Ceritanya panjang." Amanda menghela napas. "Intinya,
tulang hidungnya retak dan itu semua gara-gara aku."
Air muka Leo langsung berubah, menunjukkan kekhawatirannya.
Tanpa banyak bicara ia langsung menggandeng tangan Amanda
dan mengajaknya masuk rumah. Amanda sempat bingung,
namun meng"ikuti saja apa yang ingin Leo lakukan. Mendadak
perasaannya sedikit membaik, karena ia merasa nyaman jika
bersama cowok itu, walau baru dua kali bertemu.
"Duduklah," kata Leo ketika mereka sampai di ruang tamu
yang lumayan luas dengan sofa berwarna kayu manis yang men"
dominasi. Dengan ragu Amanda mendudukkan diri di salah satu sofa di
dekat rak besar yang digunakan untuk memajang foto-foto
keluarga juga barang-barang unik dari berbagai negara. Amanda
bisa menyimpulkan bahwa keluarga Leo suka sekali traveling.
Menyenangkan. Dulu ia juga traveling bersama orangtuanya dan
Janji Hati.indd 64 Revan ketika libur akhir pekan. Dulu. Sekarang jarang, bahkan
tidak pernah sama sekali.
"Jadi, coba kamu ceritain gimana insiden itu bisa terjadi,"
Leo membuka pembicaraan ketika kepala Amanda sedang
berputar-putar mengamati isi rumahnya.
Amanda berpikir sejenak, masih bingung kenapa cowok
angkuh itu bisa serumah dengan Kak Leo yang baiknya seperti
malaikat. Adiknyakah" Rasanya tidak mungkin Kak Leo punya
adik seperti itu. Ia bertanya-tanya hatinya. Benar-benar aneh.
"Sebelum aku cerita," katanya ingin menuntaskan rasa
penasaran. "Aku bingung," ia memiringkan kepala. "Dava itu
adiknya Kak Leo?" Leo berpikir sejenak, kemudian mengangguk pelan.
Amanda terperangah, namun mengabaikan kebingungannya,
lalu bercerita. "Hmm," ia berdeham pendek, "tadi aku lagi
tanding di lapangan Green Bay," ia menghela napas, "lalu aku
iseng nendang bola yang menggelinding di depan kaki," gadis
itu tersenyum tipis. "Tadinya nggak ada orang, nggak taunya
tiba-tiba cowok itu muncul dan hidungnya kena bola."
"Lalu?" "Hidungnya berdarah," kata Amanda pendek sambil sedikit
bergidik. "Aku ngikutin dia ke rumah sakit dan aku dengar
hidungnya retak. Jadi dia harus dinonaktifkan dari tim futsal
beberapa bulan," katanya dengan parau. Leo menganggukangguk. Hanya itu. Cowok itu sama sekali tidak berkomentar
sedikit pun. Amanda mengerutkan keningnya. Bingung. Semakin bingung.
Janji Hati.indd 65 "Kenapa diem aja, Kak" Aku harus gimana, nih" Aduh, maaf
banget aku udah nyelakain adik Kakak," ucapnya sangat
menyesal."Aku sudah mencoba minta maaf berkali-kali, tapi dia
nggak mau maafin aku. Dan yang lebih parahnya lagi dia
semakin membuat aku merasa bersalah. Aku bersedia mengganti
biaya perawatannya atau melakukan apa pun yang Dava mau
asalkan dia mau maafin aku."
Leo hanya diam. Kenapa tidak berkomentar sedikit pun"
"Kak! Jawab dong," pinta Amanda sekali lagi sambil menatap
Leo lekat-lekat. Begitu lekat sampai-sampai ia tak bisa meng"
alihkan pandangan saking tampannya wajah Kak Leo. Oh, as"
taga, ini tidak benar, ia mengerang.
Hening. Tidak ada suara. Amanda semakin bingung. Kenapa mendadak semuanya
menjadi janggal seperti ini" Adakah yang salah dengan perta"
nyaannya" Ia rasa tidak. Ia hanya ingin tahu bagaimana caranya
agar Dava bisa memaafkannya dengan setulus hati.
Emosi gadis itu benar-benar bergejolak. Hatinya seperti
diaduk-aduk oleh perasaan gelisah. Mungkin sepulang dari sini
yang harus ia lakukan adalah berendam di dalam bak mandi
yang berisi kembang tujuh rupa agar ia tidak sial seperti ini lagi.
Ia memandang lagi Kak Leo yang sedang menatap ke bawah,
tatapannya kosong. Cowok itu terlihat sedang berpikir sangat
serius. Amanda penasaran. Gurat-gurat wajah Kak Leo menyi"
ratkan bahwa ia khawatir. Tapi khawatir tentang apa"
"Amanda?" "Ya?" Janji Hati.indd 66 Cowok itu tersenyum lembut. "Lebih baik kamu sekarang
pu"lang." Pulang" Kenapa"
Amanda tak mengerti. Ia menginginkan solusi, tapi sekarang
Kak Leo menyuruhnya pulang. Sifat Kak Leo sangat berbeda
dengan yang ditemuinya kemarin. Waktu menolongnya, Kak
Leo begitu lembut dan baik. Namun sekarang ia begitu dingin.
Sulit dijangkau. Awalnya Kak Leo terlihat antusias, namun
ekspresinya langsung berubah ketika Amanda bercerita tentang
ketidaksengajaannya membuat hidung Dava terluka. Apa cowok
itu marah padanya" "Maksudku, aku akan bantu carikan solusinya nanti. Tapi
sekarang aku tidak tahu harus bagaimana," Leo membuka suara
di tengah ke"bingungan hebat yang melanda Amanda. "Sekarang
kamu pulang, nanti malam aku akan ke rumahmu."
"Ke rumahku" Untuk apa?" Amanda mengernyitkan dahi.
"Ya, tentu saja untuk membantumu." Leo tersenyum simpul.
Masih terlihat tenang namun menghanyutkan.
Amanda bergeming sejenak, kemudian kepalanya mengangguk
kikuk. Mungkin Kak Leo memang bisa membantunya. Ya,
semoga. Ia mencoba berpikir positif dan yakin bahwa semua
akan baik-baik saja. Janji Hati.indd 67 ekarang sudah pukul delapan tepat. Sudah cukup malam.
Tanpa Amanda sadari, seseorang memperhatikannya
dari kejauhan. Leo. Cowok itu sebenarnya sudah datang
sejak tadi untuk menepati janjinya. Tapi ketika sampai di depan
rumah Amanda dan tak sengaja menangkap bayangan Amanda
yang sedang termenung sendirian di balkon atas, ia langsung
mengurungkan niatnya untuk mengetuk rumah gadis itu.
Langit memang indah dan menyenangkan malam ini. Banyak
sekali bintang bertaburan dan bulan purnama pun bersinar terang.
Leo jadi tidak tega mengusik ketenangan Amanda. Yang ia
lakukan hanya terus memandangi Amanda dari seberang jalan.
Kamu memang cantik, Leo bergumam.
Namun beberapa waktu kemudian langit mendadak mendung.
Janji Hati.indd 68 Bersamaan dengan itu, Amanda meninggalkan balkon. Leo
berpikir sekarang waktu yang tepat untuk menemui Amanda.
Ia berjalan terburu-buru menuju pintu gerbang rumah Amanda,
kemudian segera masuk rumah setelah Bi Sinem membukakan
pintu. Saat minggu lalu mengantarkan Amanda pulang, Leo menolak


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawaran untuk masuk ke rumah gadis itu. Dan ini pertama kalinya
cowok itu menginjakkan kaki di rumah Amanda.
Rumah itu sedikit lebih lengang daripada rumahnya. Tidak
terlalu banyak perabotan dan foto. Tapi di setiap sisi rumah ada
taman, membuat atmosfer di sekelilingnya menjadi sejuk. Sangat
serasi dengan tema minimalis yang mendominasi rumah Aman"
da. Ngomong-ngomong, di mana gadis itu"
Leo kebingungan. Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap
dentingan piano yang merdu. Sepertinya suara itu berasal dari
lantai atas rumah Amanda. Apakah gadis itu yang memainkan
piano" Tanpa banyak berpikir, Leo melang"kah menyusuri anak tang"
ga. Ternyata memang benar, suara lembut itu berasal dari piano
baby grand di sudut ruangan yang sedang dimainkan oleh Aman"
da. Leo terkesima, Amanda sangat pandai bermain piano. Aman"
da tidak tahu bahwa cowok itu sudah datang karena posisi"nya
membelakangi tangga. Lagi pula suara piano mendominasi
seluruh bagian lantai atas rumah Amanda. Pastinya langkah Leo
Janji Hati.indd 69 pun tak terdengar. Leo diam, tidak ingin mengganggu Aman"da
hingga gadis itu selesai bermain musik.
Selama beberapa menit, lagu klasik A Little Music Night karya
Mozart mengalun lincah tanpa henti. Semangat, ceria, dan penuh
ambisi, tangan Amanda berpindah-pindah gemulai di antara tuts
putih-hitam itu. Amanda menarik napas dan mengibas-ngibaskan tangan ketika
lagu berakhir. Sepertinya ia kelelahan.
"Manda..." Amanda terkejut. Sebuah suara mengagetkannya. Suara itu"
Ia ingin menyimpulkannya namun pikirannya mendadak kabur.
Tapi tidak mungkin, sosok itu sudah pergi dan tidak akan pernah
kembali lagi. "Kamu pintar main piano rupanya. Bagus sekali. Aku suka,"
suara itu terdengar lagi. Dalam sekejap Amanda merasa lumpuh
karena takut. Tidak mungkin Revan" Tidak mungkin. Tidak
mungkin. Badan"nya gemetar, ia tidak mau menoleh ke belakang.
Ada suara langkah yang semakin mendekat namun ia tidak dapat
berkutat. Amanda tetap duduk dengan napas yang memburu.
Tubuhnya semakin gemetar dan ia benar-benar takut ketika
mera"sakan tangan besar mencengkeram pundaknya. Amanda
melompat. "Aaaaaaa!" Dengan satu gerakan cepat dan lembut Leo membalikkan
tubuh gadis itu ke hadapannya dan berkata, "Hei, ini aku, Leo,
jangan takut. Aku nggak akan gigit kamu kok," guraunya.
Kak Leo" Janji Hati.indd 70 Amanda membuka mata bulatnya yang begitu polos dan
jernih. Mereka sama-sama salah tingkah ketika bertatapan dalam
jarak yang begitu dekat. Cowok itu bisa merasakan gadis di
depannya ini masih takut.
"Aku pikir Kakak?"
"Hantu?" Sejenak Amanda bingung dengan apa yang dikatakan Leo.
Tapi kemudian dia menjadi lebih tenang dan merasa jawaban
cowok itu cukup masuk akal, meskipun tidak sepenuhnya
tepat. Cowok itu hanya tersenyum. "Hei, permainanmu bagus."
"Eh, oh, nggak," Amanda salah tingkah. "Hmm, terima ka"
sih..." "Sama-sama." "Oya, baru datang?" kata Amanda yang berusaha mencairkan
suasana setelah mereka sama-sama terdiam cukup lama.
Leo mengangguk. "Sebenarnya sudah sejak satu jam yang
lalu sih." Leo meringis.
Amanda mendelik. "Apa" Satu jam yang lalu" Kenapa nggak
ma"suk?" Leo hanya mengangkat bahu. "Nggak papa sih," jawabnya
datar. "Sejak kapan kamu bisa belajar musik klasik?" cowok itu
mengalihkan pembicaraan. "Oh..." Amanda menghela napas. "Sejak kecil. Dulu almarhum
Kak Revan yang suka ngajarin." Amanda melangkah ke arah
balkon. "Seharusnya kakak langsung telepon aku. Jangan me"
nunggu di luar. Bisa juga mengebel pintu."
Janji Hati.indd 71 Ekspresi Leo sedikit kaget mendengar jawaban Amanda,
namun ia segera membuang perasaan kagetnya jauh-jauh.
"Telepon?" Leo mengangkat alisnya sambil mengikuti Amanda.
"Kita belom bertukar nomor telepon. Nggak apa-apa kok, lagi
pula aku senang menunggu."
Amanda menepuk dahinya. "Ya ampun, aku lupa." Ia segera
merogoh saku dan mengambil ponsel. Beberapa saat kemudian
Leo sibuk mengutak-atik ponselnya untuk mencatat nomor gadis
itu. Selesai. Keduanya sudah saling menyimpan nomor di ponsel
mereka masing-masing. Amanda kembali murung. Mendadak seluruh otaknya kembali
dipenuhi kejadian tadi sore. Begitu miris, begitu menyedihkan,
begitu melukai hatinya. Entah Tuhan yang tidak adil atau me"
mang takdirnya harus seburuk ini. Amanda menghela napas.
"Oh ya, Man, aku masih bingung gimana caranya supaya
Dava mau maafin kamu. Dan satu hal yang harus kamu, Dava
itu adik tiriku. Bukan adik kandung.
"Dua tahun lalu," tatapan Leo menerawang ke langit, meng"
hindari sorot mata Amanda yang tidak beralih sedikit pun da"
rinya, "kedua orangtuaku bercerai dan ibuku menikah lagi
dengan ayah Dava." Lalu apa hubungannya sejarah keluarga
Leo dengan Dava yang keras kepala dan tidak mau memaafkan
Amanda" Seolah mendengar pertanyaan Amanda yang hanya diucapkan"
nya dalam hati, Leo meneruskan ucapannya, "Kamu tahu," ia
terdiam sejenak, "nggak usah kaget dengan sikap Dava, dia
memang begi"tu."
Janji Hati.indd 72 "Keras kepala dan tukang marah-marah?"
Kini Leo memberanikan diri menatap Amanda. Mereka
bertatapan dalam jarak yang cukup dekat, hingga tanpa sadar
menimbulkan sensasi aneh di antara mereka. Leo berdeham
untuk menenangkan dirinya yang mulai tergoda. "Sejak pertama
bertemu dengan Dava, aku sendiri bingung kenapa dia bersikap
kayak gitu. Tapi lambat laun aku pun memakluminya dan bisa
beradaptasi. Aku sudah cukup mengerti." Cowok itu tersenyum
lembut. Gadis itu semakin penasaran saja dibuatnya, dengan hati-hati
ia kembali bertanya, "Ah" Memangnya dia kenapa?"
"Yah, dulu waktu Dava duduk di bangku SD, ibunya bunuh
diri karena keguguran saat mengandung calon adik Dava."
Tatapannya begitu pilu dan rapuh. Dalam bahasa tubuh dan sorot
matanya pun terlihat bahwa Leo menyayangi Dava. "Sejak itu
pula ayah"nya jadi overprotektif dan melarang Dava banyak ber"
interaksi dengan banyak orang. Jadi Dava menempuh pendidikan
homeschooling. Akibatnya Dava tumbuh menjadi remaja yang
egois dan keras," Leo mengangkat bahu. "Segala kemauannya
harus dituruti orang." Kepala Amanda terasa pusing. Begitu berat
sampai-sampai Amanda merasa bahwa tubuhnya lebih ringan
daripada kepalanya. Ya Tuhan, bagaimanapun ia tetap merasa
bersalah karena sudah merasa kesal setengah mati pada Dava.
Untungnya ia belum menonjok cowok itu, kalau tidak ia tidak
tahu apakah ia bisa memaafkan dirinya sendiri atau tidak. Dalam
kasus yang seperti ini ia tahu dirinya lebih berpengalaman, ia
tahu bahwa kepahitannya lebih dalam"
Janji Hati.indd 73 Leo kembali terdiam, sepertinya sibuk berpikir. "Hmm,
mengenai apa yang harus kamu lakukan untuk dapat maaf dari
adik tiriku?" cowok itu menghela napas. "Aku sendiri nggak
tahu. Kamu bukan orang pertama yang membuatnya kesal dan
jadi bersikap kayak setan begitu. Aku nyerah." Ia mengangkat
tangan. "Tadi aku nyuruh kamu pulang biar kamu tenang dan
nggak panik." Ia tersenyum. "Dan aku juga nggak nyangka kamu
bisa berurusan sama dia." Ia menggeleng-geleng sambil tertawa
sumbang. Begitu beratkah mendapat kata maaf dari seorang Dava
sampai-sampai anggota keluarganya sendiri pun menyerah"
"Dava itu dingin. Sulit dijangkau. Yah, mirip bongkahan es
di Antartika," kata Leo, sedikit hiperbola. "Kalau ada orang yang
tidak mau menuruti keinginannya atau tidak membuatnya senang,
adik tiriku bisa mem-bully orang itu habis-habisan sampai dia
puas. Aku nggak pernah liat dia senyum ataupun tertawa."
Amanda tertawa getir. Tandanya ia harus berusaha sendiri.
Mungkin orang lain akan langsung tidak peduli dan meninggalkan"
nya begitu saja. Terserahlah, mau mendapatkan maaf ataupun
tidak. Tapi entah mengapa hati Amanda terdorong untuk terus
meminta maaf, terlebih ketika Leo datang dan memberinya pen"
jelasan tentang penyebab sikap Dava, yang membuat hati
Amanda begitu terenyuh. Sekarang ini yang ada di pikirannya
hanyalah ia harus berhasil membuat cowok keras kepala itu
memaafkannya bagaimanapun caranya. Apa pun risikonya.
*** Janji Hati.indd 74 Obrolan mereka berlanjut seru. Leo dan Amanda saling mengisi
kekosongan dalam diri mereka masing-masing dengan berbagai
cara. "Aku pamit dulu," ucap Leo akhirnya.
Amanda mengangguk. "Terima kasih karena malam ini sudah bikin perutku jadi sakit
gara-gara tertawa," tambah gadis itu.
Cowok itu kembali meringis.
"Oya," gadis itu berdeham.
"Kenapa?" "Kamu mirip seseorang."
"Siapa?" ujar Leo bingung.
"Almarhum Revan, kakakku."
Leo terkejut. "Benarkah?" katanya sedikit bingung sambil
meng"usap rambut. Amanda mengangguk tersenyum. "Iya, benar. Sedikit mirip.
Suaramu. Sikapmu," jawabnya sambil menghela napas lirih.
"Sudah malam, pulang sana," kata gadis itu ketika suasana
mendadak hening. Leo terdiam sejenak. Lalu tersenyum tipis dan mengangguk.
"Aku pamit." Setelah tiba di depan mobilnya, Leo tidak langsung masuk mobil
dan meninggalkan kompleks Perumahan Pantai Mutiara itu. Ia
malah kembali duduk bersandar di badan mobil, kemudian me"
rogoh kantong celananya, mengambil sekotak rokok dan meng"
Janji Hati.indd 75 ambil salah satu dari antara barisan benda kecil ringkih berwarna
kuning putih itu. Dengan satu gerakan cepat ia merogoh sebelah
kantong yang lain untuk mencari korek api. Kemudian ia me"
nyulutkan rokoknya. Sejurus kemudian ia mengisapnya perlahan dan asap mem"
bentuk tabir di depan wajah tampannya. Sejak dua tahun terakhir
rokok menjadi sahabatnya saat ia merasa benar-benar gusar. Leo
benar-benar kesepian, luka begitu menganga di hatinya karena
ibunya tak lagi peduli terhadapnya semenjak pernikahannya
dengan ayah Dava. Ibunya benar-benar berubah, ia tak mengenali
sosok itu lagi" Leo menggeleng dengan cepat, mata cokelat gelap meredup
di bawah pantulan lampu jalan yang remang-remang. Pikirannya
melayang kembali kepada Amanda. Gadis itu sudah masuk
kembali ke rumahnya. Ia sedikit lega, lega karena akhirnya gadis
itu bisa tersenyum seperti biasa, walau masih sedikit terpaksa.
Apa pun itu, setidaknya Leo bisa merasakan Amanda sedikit
lebih baik daripada sebelumnya. Sekarang saatnya ia pulang,
tubuhnya lelah sekali. Lelah yang belum pernah ia rasakan.
Ia terlalu banyak memikirkan gadis yang sudah ada dalam
benaknya sejak bertahun-tahun silam.
Amanda Tavari. Leo teringat, gadis itu belajar piano klasik dari almarhum
kakaknya, dan nama almarhum kakaknya adalah Revan. Lalu
gadis itu juga bilang, Leo mirip Revan. Suaranya. Sikapnya. Ya
Tuhan. Apakah benar ini Revan yang adalah"
Cowok itu menggeleng kuat. Menepis segala pikiran yang
Janji Hati.indd 76 berke"lebat di kepalanya. Untuk saat ini, dirinya masih terlalu
takut untuk menyimpulkan sebuah kebenaran. Semoga saja
salah. "Pergi! Mau apa ke sini?"
Suara itu memenuhi seluruh isi ruangan yang bernuansa abuabu kelam. Di sudut ruangan, sosok yang mengerikan seperti
malaikat kematian sedang berteriak-teriak histeris juga menatap
Leo dengan amat tidak suka.
Dava Argianta. "Kali ini kamu harus dengerin aku," suara itu begitu memohon
agar yang bersangkutan mendengarkannya terlebih dahulu tanpa
mengusirnya. "Gadis tadi sore itu... Tolong maafkan dia."
Dava tertawa getir. "Apa" Enak aja," katanya sambil melem"
par-lempar bola futsal kesayangannya, memindah-mindahkannya
dari satu tangan ke tangan yang lain. "Dia bikin hidung gue
retak," katanya dengan nada garang. "Gara-gara dia, gue nggak
bisa main bola selama beberapa bulan. Padahal itu kesempatan
terakhir gue untuk bisa ikut seleksi di pemilihan tim nasional di
tahun ini." Suaranya berubah sangat lirih, "Anak itu benarbenar?"
"Dava, dia nggak sengaja," Leo tetap memohon, meskipun
sebenarnya sedari tadi ia sudah menahan amarahnya. Kedua
tangannya mengepal, bersiap menonjok tembok sekencang-ken"
cangnya, karena tidak mungkin dia menonjok Dava. Ibunya pasti
akan marah besar. Janji Hati.indd 77 "Sengaja atau nggak, sama aja!" bentak Dava kasar sambil
mem"banting bola futsal dengan kuat. "Dia udah ngancurin
seluruh mimpi gue!" Ia merebahkan tubuhnya kasar ke tempat
tidur, berusaha menghibur dirinya sendiri.
Sudah tahu bahwa hal yang dilakukannya akan sia-sia, Leo
pun menutup pintu kamar Dava dan berjalan menuju kamarnya
dengan gontai. Apa yang harus kulakukan" Leo tahu ketika Dava
tidak bisa memaafkannya, hidup Amanda tidak akan tenang
seumur hidup. Bukan cuma hidup Amanda, tapi Leo juga"
Ia harus mencari cara, harus menyelesaikan semuanya secepat
mungkin. Sekarang semuanya akan biasa-biasa saja. Tapi ia tidak
ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Amanda gara-gara ber"


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusan dengan adik tirinya. Hasilnya pasti akan berakhir tra"
gis. Yang dimaksud dengan tragis bukan kematian, melainkan
tekanan mental dan batin yang sangat tinggi. Percayalah, karena
sikap egois dan mau menang sendiri itu, Dava bisa membuat
orang yang berurusan dengannya mengalami gangguan jiwa.
Tidak ada yang tahu bagaimana caranya, tapi hal itu benar-benar
nyata. Leo ingat, sudah sekitar lima anak cowok yang psikolo"
gisnya terganggu karena Dava terus meneror mereka dengan
cara-cara yang sangat mengerikan. Benar-benar gila. Penyebabnya
rata-rata karena mereka suka menggunjingkan Dava, karena
meng"anggap Dava itu aneh.
Dan sekarang Leo tidak ingin"
Leo mengerang. Ia tidak ingin hal itu terjadi pada Amanda.
Membayangkannya saja sudah tak sanggup. Kenapa harus
Janji Hati.indd 78 Amanda" Ini takdir atau bencana" Tidak, ini bencana yang lebih
buruk daripada letusan Gunung Merapi. Apa yang dapat dilaku"
kannya" Sekarang Leo merasa sangat bodoh. Selama ini, orangorang yang berurusan dengan Dava selalu minta bantuan Leo
dan ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menyuruh orangorang itu tidak putus asa untuk minta maaf. Selain itu, Amanda
adalah gadis pertama yang berurusan dengan Dava.
Cowok itu marah besar, ia membenturkan kepala ke dinding,
otaknya tidak mau bekerja. Buntu. Leo sama sekali tak ingin
gadis itu terluka. Ia menyayanginya. Amanda sangat berarti ba"
ginya. Ia tidak ingin melihat Amanda menderita.
Karena ia ingin menebus kesalahan masa lalu"
Janji Hati.indd 79 ava memantul-mantulkan bola futsalnya perlahan.
Hari ini waktu berjalan sangat lambat karena ia
tidak melakukan apa-apa. Insiden "bola nyasar"
yang kema"rin melukai hidungnya benar-benar membuatnya harus
beristirahat total kalau tidak mau kondisi tubuhnya semakin
lemah. Pintu diketuk, seseorang di luar berteriak-teriak memanggilnya
untuk makan siang. Cowok itu kesal, lamunannya buyar. Dengan
geram ia melangkah untuk membuka pintu. Seorang wanita paro
baya dengan senyum secerah matahari menyapanya, "Halo,
Dava. Gimana kondisi kamu" Sudah baikan?" kata wanita itu
de"ngan lembut. "Ya," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
Janji Hati.indd 80 "Ayo makan siang dulu. Ayah dan Leo sudah menunggu di
bawah," wanita itu mengangguk seraya mengisyaratkan agar
Dava menuruti"nya. Cowok itu menggeleng. "Nggak laper. Sudah, saya mau tidur
dulu. Jangan ganggu."
Brakk! Pintu kayu jati berwarna cokelat yang penuh dengan ukiran
ter"banting keras, membuat suara keras bak petir yang dapat
membuat siapa saja terkena serangan jantung. Wanita itu meng"
elus dadanya perlahan sambil menarik napas panjang. Sudah
dua tahun terakhir ia selalu lebih sabar ketika berhadapan dengan
Dava. Ia adalah Ratna, ibu kandung Leo sekaligus ibu tiri Da"
va. "Gimana?" tanya seorang laki-laki bersuara berat yang duduk
di meja makan dengan murung.
Ratna menggeleng. "Seperti yang kamu dengar sendiri.
Barusan dia membanting pintu. Nggak mau makan."
"Biarin aja sih, Ma. Nanti kalo laper juga bakalan turun dan
ngambil makan sendiri," komentar Leo.
"Leo, jaga ucapan kamu. Dava sedang sakit!" tukas Ratna
penuh amarah. "Kamu ini, dari dulu selalu saja tidak mengerti
adik ka"mu." Leo mulai kesal. Apanya yang tidak mengerti" Selama ini ia
sudah begitu sabar, begitu perhatian. Ia rela mengorbankan
segalanya demi adik tirinya, ia terlalu banyak mengalah. Lalu
sekarang harus apa lagi" Belum puaskah ibunya selama ini" Apa
ibunya tidak tahu bahwa Dava sekarang sedang membuat rencana
Janji Hati.indd 81 untuk membuat skandal selanjutnya" Membuat seorang gadis
yang begitu berarti bagi Leo mengalami gangguan psiko"logis
hanya karena Dava membencinya dan tidak bisa menerima kata
"maaf" untuk hal yang tidak dise"ngaja.
"Aku permisi." Leo memundurkan kursinya, bangkit, kemu"
dian dengan gusar menaiki tangga ke lantai tingkat dua. Ia tidak
menggubris ucapan ibunya yang berusaha mencegahnya agar
tetap duduk. Ia sudah muak. Ibunya memang lebih mementingkan
Dava dan ayah tirinya ketimbang dirinya. Ia sudah tidak dianggap
lagi. Tidak dibutuhkan. Ratna kembali mendesah, menatap lelaki beruban yang masih
gagah di sampingnya, namun yang ditatap mengisyaratkan agar
wanita itu kembali meneruskan makan siangnya.
Amanda menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sibuk
men"cari-cari sesuatu dengan gusar di sekitar laci meja belajarnya.
Di mana kunci mobilnya" Tadi siang sehabis mengantarnya
pulang se"kolah, Pak Sutris sakit dan terpaksa sekarang ia harus
pergi membawa mobil sendiri. Tidak masalah, toh ia sudah bisa
nyetir mobil. Hanya saja selama ini ia malas membawa mobil,
lebih enak duduk santai di jok belakang memandangi jalanan
dari kaca jendela ataupun tidur sambil mendengarkan musik dari
iPod. Amanda menimbang-nimbang. Hari ini, ia berniat kembali
untuk meminta maaf kepada Dava. Yah, apa pun yang terjadi"
meski nan"tinya ia sampai dilempar dari balkon lantai dua"pun
Janji Hati.indd 82 tidak masalah. Lagi pula ada Leo. Setidaknya ia masih bisa
berlindung di belakang tubuh cowok itu jika nanti Dava hendak
mencekiknya. Aduh, kenapa jadi berpikiran yang aneh-aneh
begini" Amanda menepuk dahinya kuat-kuat.
Tak buang waktu lagi ia segera berangkat. Perjalanan lancarlancar saja, sampai akhirnya Amanda memarkir mobil di depan
rumah Leo dan Dava. Amanda melirik jam tangannya. Sudah pukul empat sore.
Ta"ngannya mendadak dingin ketika menatap bagian depan rumah
Dava yang bernuansa Yunani. Sejujurnya ia suka hal-hal klasik
seperti itu, jadi walau kemarin sudah datang ke sini, tetap saja
ia tidak bisa menutup mulut saat menatap rumah itu. Keren
banget! Ia turun perlahan dari mobilnya. Ia menutup pintu lalu berjalan
mendekati pagar rumah yang dijaga oleh satpam.
"Permisi, Leo-nya ada?"
Amanda sengaja menanyakan keberadaan Leo, bukan Dava,
karena secara tak langsung ia ingin meminta perlindungan
terlebih dahulu. Jadi sebelum nyawanya melayang, setidaknya
sudah ada saksi mata bahwa dirinya benar-benar datang ke rumah
itu. Haduh, ngawur! "Nggak ada, Mbak!" jawab Satpam. "Di rumah cuma ada
Mas Dava. Tuan sama Nyonya juga sedang ke luar kota." Satpam
itu memberi banyak keterangan, walau Amanda tak bertanya.
Eh, tapi setelah kalimat satpam itu berhasil ia cerna, ia jadi
terpikir, kenapa dirinya nggak langsung ngomong sama orangtua
Dava saja ya" Tunggu, tapi kalau ngomong sama orangtua cowok
Janji Hati.indd 83 itu, nanti ia malah dituntut balik dan dima"sukkan ke penjara
dengan tuduhan mencelakakan anak orang" Astaga, bisa gawat
kalau kejadiannya seperti itu. Ya Tuhan, hanya Leo-lah yang
bisa membantunya. "Kalau gitu, saya ketemu sama Dava saja, Pak," kata Amanda
se"telah menimbang-nimbang cukup lama. Apa pun risikonya,
bagai"manapun hasilnya"
"Silakan." Pintu terbuka. Amanda kembali masuk ke kandang singa yang siap
menelannya hidup-hidup kapan saja. Ya ampun, semoga ia masih
bisa kembali ke rumahnya setelah bertemu Dava.
Isi rumah itu kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya, lebih
menyeramkan daripada kemarin. Amanda celingak-celinguk.
Pertama-tama ia melangkah menyusuri dapur di bagian belakang
rumah, kalau-kalau ia menemukan pekerja atau siapa saja yang
ada di sana. Tapi ternyata tidak ada orang. Kemudian ia menuju
taman bela"kang, sedikit melihat-lihat. Banyak sekali bunga indah
seperti di ru"mahnya, hanya saja lebih banyak pohon bonsai yang
berjajar rapi, mendominasi sepanjang pekarangan. Gadis itu
menahan napas sejenak dan mengembuskannya kembali untuk
menenangkan ketakutannya. Cukup berhasil.
Ia kembali ke ruang tengah. Pemandangannya masih sama
seperti kemarin. Ia ingat kemarin ia sudah melihat foto-foto
keluarga Leo dan Dava, mengamati satu per satu wajah kedua
cowok itu. Ada foto mereka sejak bayi sampai sekarang, lucu
sekali. Sudah lama sekali Amanda tidak melihat foto-foto seperti
Janji Hati.indd 84 ini, bahkan foto dirinya sendiri pun tidak pernah. Kemarin ketika
datang ia hanya melihat foto-foto itu sekilas dan sekarang gadis
itu ingin memperhatikannya dengan detail. Walau saudara tiri
tapi wajah mereka ada kemi"ripannya, gumamnya spontan.
"Sedang apa lo di sini?"
Suara Dava bergema di telinga Amanda, membuat jantungnya
berpacu lebih cepat. Untuk kesekian kalinya ia merasa bodoh
karena tindakannya menyimpang dari tujuannya datang ke rumah
Dava. Tujuannya kan meminta maaf bukannya malah melihatlihat. Ia bukan tamu. Amanda mencaci dirinya sendiri.
"Ah, aduh, maaf," Amanda salah tingkah meletakkan pigura
berwarna cokelat karamel yang sedang dipegangnya dengan
gemetar. "Saya cuma" lihat-lihat," kata Amanda.
"Lihat-lihat?" alis Dava meninggi. Cowok itu langsung ber"
sedekap dan menyandarkan tubuhnya di samping lemari kaca
dekat Amanda. "Cari siapa" Leo nggak ada di rumah," nadanya
sangat sinis dan sengit"membuat Amanda ingin menutup te"
linga serapat-rapatnya. Gadis itu menggeleng sambil menunduk, "Bukan," jawabnya.
"Saya mau cari kamu," katanya sambil bersedekap ngeri.
"Gue?" Amanda mengangguk lagi. "Mau apa lagi" Kalau buat ketemu gue mendingan nggak
usah!" Dava berjalan ke tepi jendela. "Udah gue bilang semua
permintaan maaf lo nggak akan bisa balikin hidung gue seperti
semula dalam sekejap juga?"
"Ya, saya tau itu," potong Amanda. "Tapi saya hanya ingin
Janji Hati.indd 85 dimaaf"kan. Saya nggak bisa tenang sebelum Kakak bilang Kakak
maafin saya." "Panggil Dava aja," katanya tanpa menghiraukan omongan
Aman"da. Amanda mendesah, ia juga tidak menggubris apa yang
dikatakan cowok menyebalkan itu. Masih bagus ia mau meng"
hormatinya dengan berbicara sopan dan memanggilnya dengan
sebutan "kakak?"daripada "monster". Mau" Nggak, kan"
"Saya..." kata Amanda dengan suara yang hampir menangis
karena tak kunjung dimaafkan, "saya mau melakukan apa saja
asalkan kamu mau memaafkan saya. Bagaimana" Selain itu saya
juga akan ber"tanggung jawab atas seluruh biaya pengobatan
kamu," Hening. Dava menoleh. Pandangannya sedikit berbeda"entah semakin
sinis atau justru tersentuh, tidak bisa dipastikan. Kepalanya
sedikit miring, menimbang-nimbang. Reaksinya membuat
Amanda diam seperti batu. Diam dan tidak berani bergerak
sedikit pun karena ketakutan sebesar jagat raya melanda
benaknya. Dava membalikan badannya dan berjalan menaiki tangga. Ya
am"pun, apa lagi ini" gerutu Amanda dalam hati. Cowok berce"
lana pendek dan berkaus ketat itu melangkah ringan, tidak
memedulikan dirinya sama sekali.
Amanda ragu, sekarang ia harus mengikuti cowok itu atau
tetap berdiri di sini" Bagaimana jika ini hanya jebakan" Dava
sengaja memancingnya agar ia mengikuti cowok itu ke atas dan
Janji Hati.indd 86 ketika sampai di atas sana, Dava akan membunuhnya karena
mendadak cowok itu kesurupan jin gila" Jangan-jangan Dava
memang sudah merencanakan ini semua. Jangan-jangan... Sudah
menjadi kebiasaan Amanda selalu berpikiran negatif jika sedang
ketakutan. Dava menuju sebuah pintu berwarna putih"lain dari pintupintu lain yang berwarna kuning gading. Ruang apa ini" tanya
Amanda dalam hati ketika berada di belakang cowok yang sibuk
merogoh-rogoh saku untuk mencari kunci itu.
Grekk! Demi apa pun, Amanda tidak bisa mencegah mulutnya agar
tidak menganga lebar. Ruangan itu... ruangan musik. Untuk apa
ruangan ini" Apakah keluarga Dava pintar bermain musik"
Dava menuju pojok ruangan dan menarik sebuah biola yang
digantung dengan tali di atas tembok. Biola kaca. Sangat indah.
Biola itu tidaklah murah, harganya bisa puluhan atau bahkan
ratusan juta dan untuk memilikinya harus memesan di tempat
khusus. Sungguh, baru kali ini Amanda bisa setakjub ini berada
di rumah seseorang. Dava mengambil biola itu dan memainkan lagu klasik Bee"
thoven yang cukup terkenal, F"r Elise. Air mata Amanda hampir
saja tumpah kalau saja ia tidak ingat sekarang sedang berada di
sarang singa yang bisa menelannya hidup-hidup kapan saja.
Menurut Amanda F"r Elise adalah lagu klasik teromantis
sepanjang masa. Bagaimana tidak, lagu itu ditulis oleh Beethoven
saat ia jatuh cinta pada seorang wanita cantik yang bernama
Janji Hati.indd 87 Elise. Ini juga lagu yang pertama kali Revan mainkan di resital
biola pertamanya ketika berusia sekitar dua belas tahun.
Sekarang lagu ini terputar kembali, sama indahnya dengan
yang Revan mainkan. Bahkan, dengan berat hati Amanda harus
mengakui bahwa permainan Dava jauh lebih indah. Nadanya
lembut dan penuh emosi. Seperti mengangkatnya tinggi-tinggi
lalu menjatuhkannya kembali. Berkali-kali reff-nya dimainkan
dan gesekan antara senar dengan bow biola itu sukses membuat
Amanda bergidik dan mere"mang. Sampai akhirnya, selesai. Yah,
entah mengapa ia ke"cewa ketika lagu itu berakhir.
"Bagus sekali," tanpa sadar kalimat itu terlontar dari mulut
Amanda. Dava meletakkan kembali biolanya ke tempat semula, kemu"
dian berjalan menghampiri gadis mungil yang berdiri di ambang
pintu. Jantung Amanda mendadak berdetak cepat kembali ketika
tubuh cowok tinggi itu menjulang di hadapannya, "Lo beneran
mau melaku"kan apa saja demi mendapatkan maaf dari gue?"
Amanda mengangguk ragu-ragu.


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yakin?" "Ya-yakin." Dava tersenyum mengejek, "Oke, sederhana kok," ucapnya
santai. "Kalau soal biaya sih, gue nggak butuh. Gue juga bisa
bayar sendiri." Nadanya sangat angkuh. "Lo hanya perlu datang
ke sini setiap sore dan rawat ruangan ini dengan baik." Cowok
itu mempersilakan Aman"da masuk.
Membersihkan ruangan musik Dava setiap hari"
Apakah ia salah dengar"
Janji Hati.indd 88 "Kebetulan, pembantu gue pulang kampung semua. Tinggal
satu aja, si bibi." Cowok itu mengangkat bahu. "Mereka nggak
betah gue marah-marahin. Tapi kayaknya lo betah deh," ejek"
nya. Amanda geram dalam hati. Ia tidak terima disamakan dengan
pembantu atau pesuruh. Ia bukan seperti itu. Amanda gadis
terhormat yang cukup kaya dan setara dengan Dava. Tapi
sekarang harus bagai"mana" Kalau tidak diterima ia takut dihantui
rasa bersalah seumur hidup dan itu tidak menutup kemungkinan
hidupnya berakhir di panti rehabilitasi jiwa seperti yang dice"
ritakan Leo. Tidak, ia tidak mau seperti itu. Ia masih muda dan
masih harus membahagiakan orang"tuanya. Jadi, dengan hati yang
seberat-beratnya, Amanda tidak boleh menolak.
"Mau nggak?" ulang Dava sekali lagi sambil melirik Aman"
da. "Hmm, nggak ada syarat yang lain?"
"Mau ditambah?" Dava mendelik. "Boleh aja."
"Hah?" jawab gadis itu spontan. "Bukan ditambah, maksudnya
hukuman yang lain." "Membersihkan seluruh rumah ini" Mau?"
Amanda kesal. "Aduh, nggak deh. Aku bukan pembantu. Ya
sudah," gadis itu menghela napas, "aku setuju."
"Bagus," suara Dava terdengar puas. "Lo bisa mulai kerja
be"sok." "Setiap hari?" Dava mengangguk ringan. Gadis itu mendesah. Mulai besok ia harus ke sini setiap hari
Janji Hati.indd 89 untuk membersihkan ruang musik Dava. Ya ampun, apa-apaan
ini" "Eh, gimana kalo aku mulai dua hari lagi?" tanya Amanda
gugup. Biar bagaimanapun dirinya butuh persiapan besar. Baik
jiwa maupun raga. "Dua hari lagi" Apa-apaan sih lo" Udah bikin salah, dikasih
hu"kuman yang gampang, pake nawar, lagi!" omel Dava.
"Tolong deh, Va, besok aku ada urusan penting banget?"
ujar Amanda bohong sambil memasang ekspresi yang patut
dikasihani. "Huh!" Dava menghela napas kesal. "Ya udah deh. Jam empat
sore lo udah mesti di sini!"
Amanda menelan ludah kemudian mengangguk ragu." Lalu
berapa lama hukuman ini akan berlangsung?"
"Entahlah," Dava mengangkat bahu. "Sampai gue udah nggak
butuh lo lagi tentunya. Soal waktu sih nggak bisa dipastikan,"
ucapnya ringan. "Yah, mungkin sampai hidung gue sembuh."
Amanda hanya diam tak berkomentar. Tenggorokannya
mendadak kering. "Satu lagi," tambahnya, "lo juga harus dateng ke sini setiap
kali gue membutuhkan bantuan."
"Apa?" Kali ini suara Amanda yang tadi mendadak hilang
entah ke mana, mendadak kembali.
"Iya." Dava mengajaknya keluar dari ruang musik dan menuju
kamarnya. "Kapan pun lo harus siap kalau gue butuh bantuan
seperti bikin makanan, beli cemilan, dan mengantar gue ke rumah
sakit untuk cek keadaan hidung gue setiap minggunya."
Janji Hati.indd 90 Amanda menggeleng-geleng. Ia ingin menolak. Sungguh
sangat ingin. Hatinya sudah jengkel setengah mati dan tak
tertahankan. "Kalau nggak mau, jangan nyalahin gue kalau pada akhirnya
lo mendekam di panti rehabilitasi kejiwaan." Kata-kata Dava
begitu datar namun sanggup membuat seluruh bulu di tubuh
Amanda kembali meremang. Ya, tanpa cowok keras kepala itu
bilang pun, ia sudah tahu. Tapi mendengar kata-kata itu dari
tersangkanya langsung ter"nyata seribu kali lipat lebih mengerikan.
Aduh, sekarang pun ia sudah hampir gila gara-gara ini.
"Nggak!" pekik Amanda cepat, bahkan terlalu cepat sehingga
Dava terlihat kaget. "Apa pun mau kamu, saya akan lakukan.
Asal nggak melanggar hukum!"
Dava terkekeh, "Melanggar hukum" Nggak lah, gini-gini gue
juga ma"sih waras kok." Ia melemparkan tubuhnya di tempat
tidur. Meme"jamkan mata.
Waras" tanya Amanda dalam hati. Orang ini benar-benar
aneh! Tingkahnya sangat jauh dari tata krama.
"Sudah, pulang sana!" Ia membelakangi Amanda yang berdiri
seperti pelayan yang disiksa majikan. "Ingat, lusa lo datang lagi
ke sini jam empat sore.Jangan lupa dan jangan telat!"
Ya Tuhan, ucap Amanda dalam hati.
Janji Hati.indd 91 ini matahari tersenyum ceria. Membuat siapa
saja bergairah dan bersemangat menjalani ru"
tinitas. Tapi kondisi Amanda benar-benar bertolak
belakang dengan kata "ce"ria".
Semalam ia tidak ingat ia tidur jam berapa. Ketika bangun
pagi, gadis itu berkaca sejenak di kamar mandi saat hendak
mencuci muka. Kantong hitam di bawah kedua matanya me"
lingkar sangat tebal. Yah, bisa dipastikan tidurnya hanya sekitar
tiga atau empat jam. Seperti biasa, Amanda terlalu sibuk brow"
sing hal-hal yang berbau musik kla"sik. Juga karena memikirkan
Dava yang mendadak menjadi teror di setiap detik hidupnya.
Ia ingin tidur kembali. Kalau bisa tidur selamanya agar bisa
me"lupakan segala pikiran yang membuat otaknya mumet karena
agi Janji Hati.indd 92 penuh masalah yang sangat merugikan hidupnya. Sayangnya
tidak mungkin. Pagi ini saja ia harus menjalankan rutinitasnya
sebagai siswi SMA. Tugas utamanya saat ini ialah menuntut
ilmu setinggi awan di langit ketujuh agar bisa menjadi orang
sukses. Hiks! Membosankan! Sekolah tidak pernah bertoleransi
dan bertenggang rasa sedikit pun terhadap murid yang sedang
bad mood. Begitu tiba di kelasnya, Amanda langsung merebahkan
kepala dengan berbantalkan kedua tangannya. Ia sama sekali
tidak punya hasrat untuk menyapa teman-temannya seperti
biasa. Baru beberapa detik Amanda merasa sedikit tenang, bel tanda
masuk sudah berbunyi. Demi Tuhan, kalau ia memiliki tongkat
sihir seperti Harry Potter sudah disihirnya bel sekolah itu menjadi
abu. Sayangnya, ia tidak punya dan tidak akan pernah punya
sampai dunia ini jungkir-balik dan terbelah jadi enam seka"
lipun. Anak-anak kelas XII IPA 1 berbondong-bondong masuk kelas
dan duduk di tempat masing-masing. Sesaat kemudian seorang
guru cantik nan seksi datang sambil membawa setumpuk lembar
kerja para murid. Namanya Miss Sisil. Wanita muda itu adalah
guru pengganti Miss Windi yang cuti hamil. Ia baik dan supel,
beda sekali dengan Miss Windi yang galak dan sok beribawa.
Di jam pertama ini, Miss Sisil benar-benar menjadi bahan cuci
mata dan peningkat stamina bagi para murid cowok.
"Uwih, Miss Sisil seksi banget hari ini," Jono mencondongkan
wajahnya ke depan dan berbisik pada Heri.
Janji Hati.indd 93 Heri tersenyum usil, "Iya, aduh-ai. Coba semua guru kayak
gini, kita semangat belajarnya."
Mereka berdua cekikikan. Amanda yang duduk di sebelah mereka mendengar percakapan
tidak penting itu. Walau berbisik-bisik, suara cowok-cowok itu
lebih keras daripada bunyi suara singa mengaum. Ck! Ia meng"
geleng pelan memohon pada Yang Maha Kuasa, agar kaum
seperti Jono dan Heri diampuni.
Pelajaran hari ini berlangsung selama sembilan puluh menit.
Aman"da tak menghiraukannya. Sekarang ini bukanlah soal
pelajaran yang mengisi benaknya.
Di belahan bumi yang lain...
Dava menggiring bola perlahan dengan gesit, tak tahu bola
akan ia bawa ke mana. Cowok itu berputar-putar saja di seke"
liling lapangan hijau di kawasan perumahannya. Angin semilir
dan sengatan matahari menerpa kulitnya. Peluh memenuhi se"
bagian wajahnya. Namun ia terus bermain dan bermain. Seorang
diri. Tiba-tiba Dava merasakan kepalanya begitu berat. Ia meng"
hentikan kakinya. Hidungnya kembali berdarah"jika terlalu
lelah cowok itu memang sering tiba-tiba mimisan. Dava segera
menuju pinggir lapangan dan berteduh. Lalu ia merebahkan diri
sambil memejamkan mata, membayangkan hamparan pasir dan
pegunungan tinggi serta langit biru. Memorinya kembali ke masa
silam... Janji Hati.indd 94 "Dava!" suara seorang wanita yang ia cintai memanggilnya
gem"bira saat ia sedang bermain ayunan di belakang halaman
rumahnya. Ia menoleh. Tertawa dengan gigi-gigi susu yang kecil-kecil,
tu"buhnya masih bulat seperti bola.
"Bunda!" Ia turun dari ayunan dan berlari kencang meng"
hampiri ibunya. Sang bunda menyambutnya dengan pelukan. "Mikirin apa sih
anak ini" Kok mukanya serius amat?" goda sang bunda.
"Nggak," Dava menjawab. "Aku lagi mikirin sesuatu, Bun!"
kata"nya sambil memeluk sang bunda. Mereka berbicara sambil
berbisik-bisik. "Mikirin apa?" ibunya pensararan.
Dava mengerling jail. "Dava udah tau nanti kalau besar mau
jadi apa," kata anak kecil itu lirih di telinga bundanya. Selirih
angin sore yang berembus di halaman belakang rumahnya.
Wanita itu terlihat terkejut senang. "Benar?" Ia membelai
rambut Dava. "Mau jadi apa?"
"Coba tebak!" Dava tersenyum menggemaskan.
"Dokter?" Ia menggeleng. "Pilot?" Dava menggeleng lagi. Ibunya mengerutkan kening. "Dokter bukan, pilot bukan. Lalu
apa?" Anak kecil itu tertawa lagi.
"Aku mau jadi pemain bola internasional kayak David
Janji Hati.indd 95 Beckham, Bunda!" Dava melompat-lompat. "Boleh nggak Dava
jadi pemain bola?" Wanita itu tersenyum. "Tentu saja. Bunda akan dukung kamu
jadi pemain bola!" Ia memeluk Dava kecil.
Sampai sekarang, dada Dava selalu terasa sesak kalau teringat
senyum itu" "Apa kabar di sana, Bunda?" ucapnya sambil
mene"ngadah ke langit biru. "Baik-baik aja, kan?" Ia tersenyum.
"Dava di sini juga baik. Dava kangen sama Bunda?" Ia tertawa
datar. Mendadak terkenang sebuah peristiwa pahit di benaknya.
Ketika itu ia masih berusia lima tahun dan ibunya mengalami
gangguan jiwa karena depresi setelah keguguran calon adiknya
saat kandungan berusia sekitar lima bulan. Kemudian ibunya
dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tapi wanita itu berhasil mela"
rikan diri. Sebulan kemudian ia ditemukan meninggal karena
bunuh diri dengan melompat dari jembatan.
Dava menelan ludah susah payah karena tenggorokannya
begitu perih" Seandainya Bunda masih ada...
Bahunya berguncang keras. Berusaha menahan tangis yang
biasa"nya ia tahan selama bertahun-tahun ini.
Tatapan Leo fokus sejauh matanya memandang. Sesekali ia
melirik jam di mobilnya dengan gelisah. Ia berharap gedung
sekolah itu segera memuntahkan anak-anak di dalamnya. Cowok
itu ingin sekali bertemu dengan Amanda.
Janji Hati.indd 96 Beberapa saat kemudian, bibirnya membentuk senyum lebar.
Gadis itu sudah terlihat. Sangat cantik, meskipun tidak feminin
seperti cewek kebanyakan. Entah mengapa justru ketertarikan
Leo pada Amanda bermula karena tingkah gadis itu lucu dan
atraktif. Sungguh mengge"maskan.
Cowok itu segera turun dari Everest biru gelapnya dan masuk
ke lingkungan SMA Residensial yang penuh siswa-siswi riang
menyam"but waktu pulang sekolah, waktu yang paling ditunggu
setiap murid dari zaman ke zaman.
"Manda!" seru Leo ketika melihat Amanda berkumpul dengan
beberapa temannya di bawah pohon trembesi yang rimbun.
Amanda terkejut. Lingkungan sekolah terlalu berisik dan ia
sempat ragu apakah ada orang yang memanggilnya atau tidak.
Ia memejamkan mata dan menajamkan pendengaran agar bisa
mendengar dengan lebih baik. Benar. Ada yang memanggil
namanya berulang-ulang. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke
kiri tapi tidak menemukan siapa yang memanggil-manggil
namanya berulang kali. Akhirnya, pandangannya tertuju pada
pintu gerbang SMA Residensial"
Amanda mengerutkan kening. Lalu ia berpamitan kepada
teman-temannya dan berjalan perlahan mendekati sosok itu.
Setengah terkejut Amanda menghampiri sosok itu. Dalam hati
ia bertanya-tanya, dari mana cowok itu tahu lokasi sekolahnya"
Seingatnya, ia belum pernah memberitahukan hal ini. Mungkin
Leo mau bertemu seseorang dan tak sengaja melihat dirinya"
Entahlah. "Hai," sapa Leo ramah.
Janji Hati.indd 97 "Hai juga," kata Amanda, tersenyum kikuk sambil melihat
kanan dan kiri. "Nggak kuliah" Kenapa bisa ada di sini?" tanya
Amanda tanpa basa-basi. "Nggak. Aku libur," kata Leo sambil tersenyum. "Dosennya
nggak masuk, jadi males juga ngampus. Aku ke sini ya main
aja." "Bekas alumni sini?"
Leo menggeleng. "Bukan. Aku mau ketemu kamu."
Begitu spontan kata-kata itu meluncur dari bibir Leo dan
sukses membuat Amanda terbengong-bengong. "Hah" Mau
ketemu aku?" Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo," Leo menggandeng tangan Amanda untuk pergi dari
ling"kungan yang penuh dengan remaja berseragam putih abu-abu
itu. "Ke mana?" tanya Amanda heran.
"Jalan-jalan," jawab Leo tenang.
"Tidak bisa." "Kenapa?" Amanda mendesah. "Aku sudah dijemput sama sopirku, Kak,"
katanya sambil menyingkirkan peluh di wajahnya dengan pung"
gung tangan. Leo diam sejenak. Lalu ia tersenyum lagi"senyum yang dapat
mem"buat perempuan mana pun terjebak dalam pesonanya.
Amanda pun mulai terpengaruh. "Gampang kan, kamu tinggal
bilang saja ke sopirmu, sekali ini kamu ikut aku," katanya santai
sambil menggandeng tangan Amanda.
"Tunggu!" Amanda berhenti melangkah dan merogoh kantong
Janji Hati.indd 98 seragamnya. "Kalau gitu, aku telepon Pak Sutris dulu," ujarnya
sambil menekan-nekan keypad ponsel. "Nanti dia khawatir."
Leo mengangguk. "Halo," kata gadis itu begitu telepon tersambung. "Pak, pulang
aja. Saya mau pergi dulu sama teman" Iya jangan khawatir,
Pak. Nggak lama. Oke, makasih, Pak."
"Gimana?" tanya Leo begitu telepon berakhir.
"Kita berangkat sekarang," kata Amanda tersenyum.
Leo kembali menggenggam tangannya erat. Amanda tersentak
kaget, namun membiarkannya. Oh, teman-temannya yang
melihat pemandangan ini pasti tidak akan membiarkannya lolos
besok, untuk wawancara liputan gosip pagi di kelas. Tadi, ia
ingat, waktu berpamitan pada teman-temannya, saat temantemannya melihat dengan jelas ke mana perginya Amanda,
Pedang Sinar Emas 11 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Jejak Di Balik Kabut 34

Cari Blog Ini