Ceritasilat Novel Online

Janji Hati 2

Janji Hati Karya Evira Natali Bagian 2


me"reka langsung berteriak-teriak. Apalagi Sindi. Mata sahabat"
anya itu mendelik sampai mau keluar dari tempatnya. Ada yang
sekadar bertanya secepat kilat, "Itu siapa" Ganteng banget!" tapi
ia mengabaikannya. Tapi, besok ia pasti dicincang oleh temantemannya jika tidak memberitahukan identitas Leo. Oh Tu"
han... Hmm, ini kedua kalinya ia naik mobil beraroma mint itu sejak
insiden pingsan. "Kamu ada rencana mau ke mana?" katanya
sambil menyalakan mesin. Amanda memandang Leo tak mengerti. "Ke mana" Aku mau
pulang," jawabnya asal.
Leo menyeringai, "Pulang" Nanti saja. Aku nggak bakalan
culik kamu kok, pasti aku antar sampai rumah dengan selamat.
Janji Hati.indd 99 Tapi..." katanya dengan nada seperti membujuk anak kecil,
"kamu harus ne"menin aku dulu."
"Ke mana?" "Ya, jalan-jalan."
"Uhm," kata Amanda sambil mengusap-usap dagunya.
"Gimana kalo ke mal saja?" usulnya tiba-tiba. "Kebetulan aku
mau beli buku cetak yang kosong di koperasi sekolah. Abis itu,
mau lihat-lihat kaset klasik terbaru juga di toko kaset." Gantian
ia yang sepertinya men"dapat pencerahan. Tadinya memang ia
ingin langsung pulang, tapi tiba-tiba ingat dengan hal-hal yang
belum sempat ia beli. Jadi ia mengangguk setuju.
Everest biru gelap itu pun melaju cepat. Sepanjang perjalanan
mere"ka diam, hanya sesekali berbicara. Atmosfer dalam mobil
itu terasa canggung. Mereka harus berterima kasih pada alunan
musik Michael Jackson dari tape mobil karena dapat mengisi
kekosongan suasana. "Apa tujuan pertama?" tanya Amanda begitu tiba di Emporium
Pluit Mall. "Makan dulu yuk. Aku lapar banget nih," jawab Leo sambil
memegangi perutnya. "Kak Leo suka sushi, nggak?"
"Suka banget." Mereka berjalan beriringan menuju salah satu restoran Jepang
yang cukup favorit di Indonesia, Sushi Tei. Seperti biasa,
antreannya panjang di jam makan siang. Leo dan Amanda ikut
mengantre. "Selalu ramai seperti ini?"
100 Janji Hati.indd 100 Pertanyaan menggantung yang diucapkan oleh Leo itu hanya
membuat Amanda mengangguk.
"Matamu kenapa?" tanya Leo sambil memperhatikan kantong
hitam yang besar di bawah mata Amanda. Leo baru sadar akan
hal itu. Sedari tadi ia belum memperhatikan wajah Amanda
secara detail. Yang cowok itu lihat hanyalah senyum Amanda.
Baginya senyum itu sudah lebih dari cukup. Namun sekarang,
ia tidak bisa menutupi rasa penasarannya ketika melihat wajah
cantik itu muram. "Nggak," jawab Amanda kaku. "Kurang tidur," ia menye"
ringai. "Masa sih?" Leo terdengar tidak percaya. "Itu sih seperti
bekas nangis," katanya serius. "Kenapa?" Pikirannya melayang
ke beberapa hari yang lalu ketika ia mengunjungi Amanda dan
mata gadis itu juga terlihat tidak segar. Seperti habis menangis.
Ya, sebenarnya ia tahu pasti gadis itu menangis, hanya saja hari
ini mata bulat itu terlihat jauh lebih parah daripada yang terakhir
dilihatnya. Amanda tertawa sumbang. Gadis itu mengambil ponsel dari
kantong seragam sekolahnya. "Ini kurang tidur. Aku serius,
kebanyak"an browsing." Ia berkaca di layar ponsel dan menyentuh
kedua lingkaran hitam yang menurut Leo sangat mencuriga"
kan. Leo pun tak ingin bertanya lagi. Tahu bahwa Amanda takkan
menceritakan apa pun, tapi tidak tahu bahwa sebenarnya Amanda
memang sempat menangis, karena sejak Leo hadir dalam hidup"
nya, gadis itu selalu teringat akan cinta pertamanya. Juga karena
101 Janji Hati.indd 101 Dava sebentar lagi akan mulai menyiksa hidupnya dengan pe"
kerjaan melelahkan. Makan siang itu sangat nikmat. Amanda dan Leo sama-sama
mual karena makan terlalu banyak. Tapi masing-masing seper"
tinya tidak ada yang mempermasalahkan hal itu.
Mereka berdua melangkah ke toko buku Gramedia yang
terletak di lantai atas. Toko buku itu sangat ramai. Ketika masuk
ke bagian dalam toko, Amanda langsung berlari kecil menuju
rak buku pelajaran yang terletak di salah satu sudut toko. Semula
Leo berniat mengikutinya, namun ia berpikir akan lebih baik
jika membiarkan Amanda merasa bebas dan nyaman melihatmelihat dalam waktu yang lama. Ia sendiri juga ingin melihatlihat buku di rak-rak lain.
Setelah Leo meninggalkannya sendiri, mata bulat Amanda
ber"konsentrasi menjelajahi rak buku ilmu pengetahuan alam
SMA dari atas hingga ke bawah, dari kanan hingga kiri, dan
dari kiri hingga kanan. Matanya melebar ketika berhasil mene"
mukan buku yang dimaksudnya.
"Ah, ketemu!" pekiknya riang.
Setelah mengambil beberapa buku yang ingin dibelinya, gadis
itu menyusuri jalan-jalan sempit di tengah rak-rak yang tingginya
me"lebihi setengah tubuhnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri mencari Leo yang sekarang entah berada di rak buku
bagian mana. Rak demi rak buku ia lintasi. Matanya berbinar ketika ia me"
102 Janji Hati.indd 102 lihat sosok jangkung dan tegap yang sedang menunduk sambil
membolak-balik lembaran buku. Ternyata Leo ada di sana,
ucapnya dalam hati. Ia segera berjalan cepat untuk menghampiri
cowok itu dan memberitahunya bahwa ia sudah selesai.
"Kamu calon dokter?" Amanda sedikit terkejut ketika menya"
dari bahwa Leo sedang membaca buku-buku yang paling tak
disukainya, biologi dan kedokteran.
"Hm?" Leo mendongak dan tersenyum mendapati Amanda
sudah kembali berada di sampingnya. "Ya, aku calon dokter,"
ia meringis sambil menutup bukunya dan mengembalikannya
ke rak penuh buku dan ensiklopedia supertebal. Amanda
merinding sendiri ketika melihat buku-buku yang membuat
kepalanya langsung terasa pusing juga perutnya yang mendadak
mual. "Uh, Pak Dokter," desisnya pelan. "Mulai sekarang aku
panggil Kak Leo "Pak Dokter" aja deh," katanya dengan nada
suara yang membuat Leo tertawa keras.
"Jangan dong. Aku belum tua," katanya sambil mengacakacak rambut panjang Amanda. "Hmm," ia mengusap-usap
dagunya. "Mulai sekarang jangan panggil aku kakak lagi, Man,"
perintahnya dengan aksen sangat menekan dibagian kata
"kakak". "Panggil aku Leo saja."
Amanda bergeming. "Nggak bisa. Kakak kan jauh lebih tua
diban"dingkan aku. Nggak sopan."
Leo menggeleng. "Pokoknya panggil aku Leo aja mulai detik
ini. Anggaplah kita sepantar. Oke?"
103 Janji Hati.indd 103 Amanda memiringkan kepala. "Yah, baiklah. Terserah kamu
saja, Kak," desahnya lirih.
"Leo!" "Iya," katanya lagi. "Kak Leo..."
"Leo, dear..." Amanda terkesiap. Apa" Ia tak salah dengar" Dear adalah
kata panggilan sayang Revan untuknya. Tak pernah ada orang
lain selain Revan yang memanggilnya dengan sebutan dear.
Namun sekarang, ada seorang calon dokter muda memanggilnya
dengan kata itu. Kata yang membuat hatinya pedih karena men"
dadak ia kembali mengingat orang yang ia ingin lupakan sejak
tiga tahun lalu. Orang yang ingin ia lepaskan dari hatinya, walau
sangat berat dan sulit...
Kenapa mendadak hatinya begitu pilu"
Tapi ia tak ingin menangis walau sekarang lantai tempat
dirinya berpijak sudah siap dibasahi air matanya. Matanya pa"
nas. "Hmm," Amanda berdeham. "Ayo, Leo," katanya sedikit
kikuk dan terdengar dibuat-buat. "Kita ke kasir sekarang, yuk!"
ajaknya. "Eh, tunggu, mana buku yang mau kamu beli?" tanya
gadis itu karena ia tak melihat satu pun buku dalam genggaman
Leo. Cowok itu menggeleng. "Aku nggak beli. Numpang baca aja
sekalian nungguin kamu tadi," ia meringis. Mereka bergegas ke
kasir. Tanpa seizin Amanda, dengan satu gerakan cepat tangan
Leo"yang menurut Aman"da sangat besar"mengambil semua
buku yang Amanda peluk di depan dadanya.
104 Janji Hati.indd 104 Amanda terkejut, "Eh," katanya spontan layaknya seorang
yang dijambret. Jeda beberapa detik barulah gadis itu membuka
mulutnya, "Bukunya?"
"Nggak papa. Biar aku saja."
Lagi-lagi gadis itu hanya bisa mendesah sambil menggelenggeleng. Cowok di sampingnya ini baik. Sangat baik. Tak hanya
itu, wajahnya pun tampan. Amanda yakin sekali, Leo bohong
jika berkata cewek-cewek di kampus nggak ada yang naksir dan
terpikat oleh pesona cowok itu...
"Berikutnya toko musik?" tanya Leo setelah mereka keluar
dari toko buku tersebut. "Iya," kata Amanda sambil tersenyum riang. Sejak tadi ia
memang paling menantikan saat kakinya melangkah ke toko
musik. Gadis itu tak sabar ingin memborong CD yang sudah
diincarnya sejak minggu lalu.
Sampai di toko musik, Amanda menghambur menuju deretan
rak musik klasik. Wajah Beethoven, Chopin, Mozart, dan bebe"
rapa tokoh klasik terkenal lainnya membuat gadis itu berseri-seri.
Kali ini Leo tidak ikut memisahkan diri ke tempat yang lain, ia
berdiri sambil mengamati Amanda.
"Kenapa kamu suka musik klasik?" celetuk Leo. Suara
beratnya menimbulkan sensasi aneh dalam diri Amanda.
"Ah?" katanya kaget. "Hmm, ya karena klasik itu magis dan
sulit," ucapnya dengan mantap sambil memilih-milih CD yang
bertumpuk sana-sini. "Tapi, selalu membuat penasaran dan
menarik untuk men"dalaminya terus-menerus."
Leo terdiam. 105 Janji Hati.indd 105 "Memang kamu tidak suka musik klasik?" tanya gadis itu
ketika menyadari Leo tidak menggubris jawabannya.
"Tidak terlalu sih," jawab Leo agak lambat. "Aku lebih suka
musik blues. Tapi Dava suka musik klasik."
Amanda mengangguk-angguk. Eh, apa katanya barusan" Dava
suka musik klasik" Ya, kemarin Amanda ingat ia sangat terpukau
dengan permainan cowok angkuh itu. Amanda menggeleng pe"
lan. Untuk apa ia memikirkan Dava. Itu sangat tidak pen"
ting" Kemudian mereka berdua terdiam lagi.
Sementara Amanda sibuk memilih-milih CD incarannya, Leo
malah melamun. Amanda, aku menyukaimu. Sekarang perasaan
suka itu bahkan sudah berubah men"jadi cinta. Apakah kamu
bisa merasakannya" Tapi, saat ini yang ingin aku tahu dari hatimu bukanlah
jawaban tentang perasaanmu terhadapku.
Melainkan apakah kamu akan tetap seperti ini jika suatu saat
nanti Tuhan membuka kenyataan tentangku, tentangmu, tentang
segala sesuatu yang dunia sebut sebagai KITA"
"Serius, Man" Leo itu kakak tirinya Dava yang kamu bikin retak
hidungnya?" "He-eh," Amanda mengangguk-angguk sambil mengunyah
kentang goreng. Dua sahabat itu sungguh menyimpang dari agenda kegiatan
belajar mereka. Sudah hampir dua jam berbincang tiada henti.
106 Janji Hati.indd 106 Amanda menceritakan tentang pekerjaan rutinnya yang akan
dimulai besok sore dan ia tidak tahu masa berlakunya sampai
kapan. Awalnya Sindi marah-marah, menolak habis-habisan,
semakin ingin membuat perhitungan dengan Dava. Seperti biasa,
Amanda kembali membujuk-bujuk sahabatnya untuk tenang dan
tidak melakukan hal yang pada akhirnya semakin menyulitkannya.
Pada akhirnya, Sindi tidak punya pilihan selain menyetujui
keputusan Amanda dengan setengah hati. Amanda memang lebih
sering menang kalau berdebat dengan Sindi.
Baik Sindi maupun Amanda, terheran-heran bagaimana Tuhan
bisa mengatur sedemikian rupa hingga Leo dan Dava bersaudara"
Meski"pun tiri, tetap saja aneh. Leo yang tampan, dewasa, rapi,
baik hati, dan sopan, bersaudara dengan Dava yang"baiklah,
Amanda mengakui wajah Dava tak kalah tampan dari Leo,
cowok itu juga pandai bermain musik"tapi, sikapnya sangatlah
mengerikan. Pemarah, pendendam, kasar, dan tidak punya
aturan" "Btw, Sin, Leo itu yang udah nolongin aku waktu pingsan
beberapa waktu lalu."
Sindi histeris. "Apa" Tuh kan, nggak pernah cerita deh,"
katanya kesal. Amanda terkekeh. "Kamu aja nggak pernah nanya. Ngapain
cerita?" ucapnya santai.
Sindi tak menggubris pertanyaan Amanda. "Eh, Man, kalau
aku jadi kamu sih," Sindi berhenti sejenak untuk menyeruput
teh manis, "aku bakalan pilih Leo. Tadi siang aja, aku langsung
fall in love at first sight pas lihat dia jemput kamu. Apalagi
107 Janji Hati.indd 107 denger dia nolong kamu tempo hari, ya ampun, makin jatuh
cinta deh aku!" Sindi tertawa keras-keras.
Amanda berdecak, "Ngaco banget sih, Sin." Ia mendorong
bahu Sindi sampai hampir terjatuh dari sofa. "Sejak kapan kamu
jadi genit kayak gitu?"
Sindi hanya menjulurkan lidah. Ia bergeming sejenak. "Eh,
Man," suaranya mendadak serius.
"Apa?" Amanda menaikkan alis.
Sindi menghela napas, mengambil tasnya dan mengeluarkan
sebuah amplop. "Titip ke guru piket. Eyangku sakit di Jogja,
jadi besok aku izin tidak sekolah selama seminggu. Tadi mau
ngasih sendiri, lupa."
Amanda terkejut. "Loh" Kok mendadak amat?" tanyanya


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lesu sambil menerima surat itu heran. "Kenapa nggak bilang
dari kemarin?" Ia menekuk muka. "Yang benar aja, Sin" Aku
bisa gila nih, kalau sendirian di sini dan nggak ada kamu,"
tanyanya dengan nada sangat tidak percaya.
"Kamu kan jagoan," Sindi menepuk-nepuk pipi Amanda
pelan. "Cuma seminggu, nggak lama kok," nadanya menghibur.
"Besok antar aku ke bandara, ya" Aku berangkat sendiri. Orang"
tuaku sudah berangkat duluan kemarin sore."
108 Janji Hati.indd 108 manda tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang SMA
Resi"densial, padahal biasanya ia selalu berjalan
santai ala putri Solo. Minimal ia ke perpustakaan
dulu untuk mengembalikan buku-buku pengetahuan atau novel
dan komik yang ia pinjam, berkumpul bersama teman-teman
dulu untuk sekadar bergosip atau mendiskusikan pekerjaan
rumah, atau pergi ke lapangan olahraga untuk memastikan jadwal
pertandingan voli. Namun hari ini tidak. Dari kelasnya yang terletak di lantai
dua Amanda langsung berlari ke luar"tatapannya selalu lurus
dan sama sekali tidak melihat ke kanan dan kiri. Beberapa te"
mannya memanggil namun ia tidak menggubrisnya sama sekali.
Dalam hati harapannya cuma satu, ia tidak akan terlambat untuk
mengantar Sindi yang akan pergi ke Jogja.
109 Janji Hati.indd 109 Dengan penuh syukur Amanda bernapas lega karena ia sampai
di bandara tepat waktu. "Lama banget, Man," gerutu Sindi sambil membetulkan topi
hitam yang dikenakannya. Amanda mengusap peluh. "Maaf, tahu sendiri kan, jalanan
Jakarta kayak gimana?"
Sindi tertawa. "Oke deh, Man. Jangan nimbulin masalah lagi
sebelum aku kembali ke sini."
Amanda mendengus. Pura-pura kesal.
"Oya," Sindi mengeluarkan sesuatu dari tas. "Ini antisipasi
kalau kamu butuh teman curhat," ia mengerling. "Simpan ini
baik-baik." Sindi menyodorkan sebuah buku berwarna oranye,
tentunya membuat Amanda langsung penasaran setengah mati.
"Tulis segalanya di sini."
Segalanya" Radar otak Amanda jadi lemot mendadak karena
mendengar kata "segalanya". Apa maksudnya" Namun setelah
jeda sejenak selama beberapa detik ia mengerti. Maksudnya se"
galanya adalah ketika ia sedih, senang, berbunga-bunga, ataupun
ketika ia penuh dengan air mata sampai-sampai tisu di super"
market tidak cukup untuk menampung air matanya. Ya, ia sudah
tahu ini antisipasi dari Sindi kalau sewaktu-waktu sahabatnya
sibuk dan tidak bisa dihubungi. Yah, meskipun konyol tapi
sedikit-banyak ada gunanya juga.
Amanda terharu. "Ya ampun, Sindi, nggak perlu sampe kayak
gini, kali. But, thanks. Kamu memang sahabat terbaik di dunia."
Kemudian ia memeluk Sindi selama beberapa detik. "Semoga
eyangmu cepat sembuh ya."
110 Janji Hati.indd 110 Sindi melirik jamnya dan mengisyaratkan ia harus segera
pergi. Ia tersenyum dan melambaikan tangan kanannya di
ambang pintu. Amanda membalas lambaian tangan Sindi dengan antusias.
Beberapa detik kemudian, bayangan Sindi sudah tak tertangkap
lagi oleh kedua matanya. Gadis itu menghela napas. Matanya tertuju pada buku diary
yang barusan diberikan oleh sahabatnya. Amanda menggelenggeleng pelan sambil tersenyum. "Jam berapa sekarang?"
gumamnya sambil meng"alihkan pandangan pada jam oranyenya.
Tepat pukul empat sore. Tiba-tiba saja matanya mendelik lebar. Ia baru ingat sesuatu.
Janji dengan Dava. Astaga" Kenapa aku tidak ingat" Kenapa aku bisa sebodoh ini"
Amanda me"maki diri sendiri karena ketololannya melupakan
janji. Aduh, Tuhan, apa-apaan ini! keluhnya dalam hati. Men"
dadak sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Pak Sutris! Di mana Pak Sutris"!"
Ke mana dia" Pura-pura lupa atau memang tidak ingat sama sekali"
Ia duduk mendengus di sebuah kursi kayu sudut kamar.
Sekarang sudah pukul lima sore. Gadis itu sudah terlambat satu
jam. Apa-apaan ini! Dava kesal dan marah. Ia tak suka "keter"
lambatan" dengan alasan apa pun. Menurutnya, terlambat akan
111 Janji Hati.indd 111 mengacaukan segalanya. Yang kecil bisa jadi besar, dan yang
besar bisa jadi raksasa. Dava berpikir keras, mulai hari ini"ya, ia benar-benar yakin
hari ini"menyuruh Amanda untuk datang ke rumahnya sesuai
kesepakatan mereka dua hari yang lalu bahwa setiap sore gadis
itu akan datang ke sini untuk membersihkan ruangan musik
kesayangannya. Tapi sekarang" Batang hidung cewek itu sama
sekali belum kelihatan dan tidak ada tanda-tanda bahwa Amanda
akan datang ke sini. Cowok itu mulai memaki-maki gadis yang menurutnya super
duper aneh dan tidak masuk akal yang mendadak hadir secara
tak diundang ke dalam hidupnya. Tadinya, ia sempat mengira
Amanda hanya akan meminta maaf sekali-dua kali dan pergi
layaknya debu yang ditiup angin. Ya, seperti orang-orang yang
juga berurusan dengannya sebelumnya. Lalu ia akan merasa
tidak puas dan membuat si target mengalami gangguan mental
atau semacamnya. Tapi kini... Mendadak ada seorang gadis polos yang bersedia menuruti
permintaannya dan rela melakukan apa saja untuk sebuah kata
"maaf" darinya. Entah gadis itu memang terlalu baik, terlalu
polos atau lugu, Dava mengangkat bahu.
Lupakan! Sekarang, di mana gadis itu"
Lihat saja! Ia takkan membiarkan Amanda tersenyum sedikit pun ketika
tiba di rumahnya. 112 Janji Hati.indd 112 *** Terburu-buru, tergesa-gesa, terpontang-panting, dan ter-ter yang
lain"nya Amanda menuju lantai atas, setelah menyuruh Pak Sutris
pulang. Yah, seperti hari-hari kemarin rumah itu sepi... Sesepi
suasana hatinya. Aura suram semakin menyelimuti dirinya.
Terlintas pikiran bahwa esok dan seterusnya, kalau datang lagi
kemari, ia akan bawa jaket atau mantel. Rumah ini dingin sekali,
batinnya. Jangan-jangan... Hih! Amanda langsung menggeleng
kuat-kuat. Ia merasa pasti langsung pingsan bila benar-benar
menjumpai penampakan makhluk halus atau seje"nisnya. Ia ber"
sumpah, bila hal itu terjadi, ia akan langsung men"cabut ke"
sepakatannya dengan Dava"tak peduli cowok itu marah, murka,
kesal, ataupun membuatnya menjadi tidak waras alias GILA!
Aduh, kira-kira apa yang akan dilakukan Dava atas keterlam"
batannya ini" Amanda celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Tak ada satu
makh"luk pun yang dijumpainya"baik yang nyata maupun
makhlus halus. Tiba-tiba ia tersenyum jail. Amanda menjentikkan
jari dan merasa memiliki ide yang sangat bagus...
Ia sudah menyusuri rumah ini seluruhnya, mulai dari ruang
tamu, ruang keluarga, dapur, ruang makan, taman depan, bela"
kang, samping kiri-kanan, juga ruangan-ruangan lain"kecuali
kamar Leo, kamar Dava, kamar kedua orangtua mereka"tapi
tak menemukan siapa-siapa... Hmm, mungkin cowok angkuh itu
sedang keluar rumah atau sedang di dalam kamarnya dan tertidur
pulas" 113 Janji Hati.indd 113 Gadis itu cekikikan. Dua hari lalu Dava sudah memberikan
kunci ruang musiknya. Ia memegang kunci ruang musik dan itu
artinya ia bisa langsung masuk ke sana. Dengan begitu ia juga
bisa bohong bahwa ia sudah tiba sedari tadi walau sedikit
terlambat, kalau Dava mencarinya nanti. Ah, benar, ide yang
bagus! Amanda bangkit berdiri dari sofa ruang tamu di lantai dua
dan berjalan mengendap-endap menyusuri lorong-lorong yang
penuh dengan pintu kamar. Ketika sampai di ruang musik pribadi
milik Dava, Amanda merogoh-rogoh tasnya dan mengambil
kunci... Klik-klik! Tangan mungilnya memegang daun pintu. Hampir ia memekik
kencang kalau saja tak ingat rumah itu bukanlah rumahnya. Oh,
yeah! Amanda memekik girang dalam hati. Ya, cukup di dalam
hati saja. Dengan sedikit merapikan seragam sekolah yang kusut,
Amanda kembali memegang daun pintu dan membukanya
selembut mungkin agar tidak menimbulkan efek suara berlebihan
yang bisa mengacaukan segalanya.
Gelap. Lampu belum dinyalakan, namun aroma pengharum nyongnyong yang lebih mirip aroma racun nyamuk langsung meng"
ganggu penciuman gadis itu. Pengharum ruangan itu memang
sungguh bikin pusing dan mual sejak kemarin. Soal aroma,
menurutnya, selera Dava benar-benar rendahan!
114 Janji Hati.indd 114 Amanda meraba-raba tembok dan menekan tombol lampu
ketika berhasil menemukannya.
Tring! Ruangan yang penuh alat musik itu menjadi terang.
Gadis itu melangkah dan masuk. Ia merapatkan pintu dan
mulai mencari-cari lap serta cairan pembersih khusus yang se"
ingatnya ada di dalam lemari yang penuh laci berwarna putih.
Apa yang harus ia bersihkan pertama kali ya" Amanda menge"
rutkan kening hingga kedua alisnya menyatu. Hmm, terlalu
banyak alat musik. Gitar, piano, saksofon, drum, bass, keyboard,
flute, biola, dan bahkan... HARPA! Apakah Dava yang keras
kepala itu bisa me"mainkan semua alat musik ini" Amanda
bertanya-tanya dalam hatinya. Rasa-rasanya tak mungkin.
Memangnya cowok itu manusia apa" Menguasai dua alat musik
saja sudah membuat siapa pun kelelahan. Menguasai semua alat
musik itu pastinya memakan waktu bertahun-tahun, oh tidak,
bahkan puluhan atau ratusan tahun. Paling-paling usia Dava
baru delapan belas tahun, tak beda jauh denganku, ramal"nya
dalam hati. Ah, tak perlu membuang-buang waktu sekadar memikirkan
usia Dava. Sekarang Amanda sudah bersiap untuk memulai
pekerjaannya. Pertama, ia pikir lebih baik membersihkan alamat
musik yang ber"ukuran kecil dulu, baru kemudian yang besar.
Baiklah, gitar dulu. Gadis itu membersihkan setiap bagiannya dengan detail dan
rapi. Ia sangat hati-hati karena tak ingin menimbulkan kerusakan
115 Janji Hati.indd 115 yang mungkin akan membuatnya digantung hidup-hidup oleh
pemilik"nya. "Sadar sudah berapa lama terlambat?"
Dug! Amanda merasakan jantungnya berhenti beberapa detik ketika
mendengar suara itu. Ia memejamkan mata serapat mungkin
karena tak ingin melihat apa pun. Tangannya terasa kaku, tidak
bisa bergerak, padahal ia juga ingin menutup telinganya rapatrapat.
Suara itu bersumber dari kotak hitam yang tergantung di atas
dinding sisi barat... Ya ampun, ternyata ruangan ini dilengkapi CCTV dan loud
speaker! Belum sempat kesadaran Amanda kembali, pintu ruangan
musik itu terbuka dan langkah yang seperti lebih mirip dentuman
bom itu mendekat ke arahnya. Oh Tuhan... Amanda mendesah
lemah dalam hati. "Buka mata lo. Gue bukan setan!" suara itu terdengar lagi
ketika sudah benar-benar sangat dekat dengan Amanda yang
sedang duduk ketakutan sambil bersandar di salah satu sisi
tembok. Gadis itu mendesah. Amanda membuka matanya"salah
satunya, kemudian disusul sebelahnya lagi. Mata bulat itu
menyipit, tak berani membuka lebar-lebar. Takut kalau-kalau
yang memanggilnya tadi adalah hantu yang suaranya mirip Dava.
Setelah ia berhasil meya"kinkan hati juga batinnya bahwa yang
dilihatnya memang manusia, mata bulatnya melebar. Bingung
116 Janji Hati.indd 116 apa yang harus dilakukan, Amanda memaksakan senyum manis
yang kentara dibuat-buat. "Ya?" katanya dengan nada sangat
polos. Baiklah, sekarang Amanda sudah menge"luarkan bendera
putih di atas kepala sebagai tanda menyerah.
"Lo tahu sudah terlambat berapa jam?" Dava mengulang
perta"nyaannya. Kali ini tak pakai perantara atau alat bantu apa
pun. "Eh..." Amanda bangkit berdiri dan merapikan pakaiannya.
"I-iya." "Berapa lama?" "Sekitar..." ia menghitung. "Satu jam lebih."
"Satu jam lebih dua puluh tujuh menit dan lima puluh tiga
de"tik." Ah" Dava menghitungnya sedetail itu. Astaga"
Amanda terdiam. Otaknya mendadak bulukan seperti roti
tawar yang jamuran. Aduh, sekarang ia sungguh menyesal karena
tak mengira Dava lebih pintar darinya. Dava tak bisa ia bo"
hongi... "Lo pikir lo bisa korupsi waktu begitu saja sama gue?" bentak
Dava kembali. Amanda jelas-jelas terpojok. "Lo salah besar,"
ia ter"tawa dengan nada mengejek.
?"" "Dari mana sih?" tanya Dava.
"Mengantar teman ke bandara."
"Hah" Nganterin teman ke bandara apa nganterin mayat ke
kuburan?" ?"" 117 Janji Hati.indd 117 Dava berdecak. "Ah, sudahlah, buang-buang waktu ngomong


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama lo," desisnya. "Sekarang lo bersihin semua alat musik ini.
Yang bersih. Jangan sampai ada debu sedikit pun ya!"
perintahnya. "Jangan lupa, setelah itu perabotan yang ada di
ruangan ini juga." Tangannya menun"juk-nunjuk ke segala sisi
ruangan, hingga membuat mata Amanda nyaris tak bisa berhenti
berputar. "Setelah itu..." tambah Dava, "lo bantuin gue selesaiin pe"ker"
jaan yang lain. Masih banyak pekerjaan yang harus lo ker"
jain." "Tapi..." "Makanya jangan dateng telat," ucap Dava sinis. Tanpa
menunggu tanggapan Amanda, cowok itu beranjak dari ruang
musiknya. Amanda menepuk-nepuk dahinya dan tersenyum tipis. Diamdiam ia berharap tongkat Harry Potter datang padanya dan
membantunya menyelesaikan semua kutukan ini.
"Sekarang pijitin kaki gue!"
Demi Tuhan, ia bukan pembantu. Dava benar-benar keter"
laluan. Ini baru hari pertama, Amanda tak bisa membayangkan
di hari-hari berikutnya bentuk tubuhnya akan masih sama atau
tidak. Dengan segenap kesabaran yang sudah ditahan-tahan dengan
segenap jiwa, Amanda memijat kaki Dava yang berotot padat.
Cowok itu asyik membaca majalah bola dan tidur-tiduran di
118 Janji Hati.indd 118 ranjang layaknya anak raja yang berkuasa dan suka menindas
rakyatnya yang malang. Ih! Menyebalkan!
Setelah setengah jam berlalu, gadis itu melirik jam tangannya.
Sudah pukul delapan malam. Sekarang ia harus pulang. Ia harus
mandi, mengerjakan PR, dan masih banyak lagi.
"Aku harus pulang sekarang, Dava."
Hening. Tak ada suara. Dava tertidur. Ah, mungkin akan lebih baik jika ia langsung beranjak pergi
daripada menunggu persetujuan cowok itu.
Amanda pun bangkit berdiri dari duduknya. Lututnya terasa
sakit karena sejak tadi harus menopang tubuhnya di lantai.
Sebenarnya Amanda bisa saja duduk di tepi ranjang, tapi ia tak
mau. Menge"rikan. Begitu ia berdiri dengan keseimbangan tubuh yang benarbenar buruk, Amanda berbalik dengan sedikit oleng.
"Tunggu!" Suara Dava tak begitu jelas karena wajahnya tertutup bantal.
Namun gerakan tangannya tak meleset sedikit pun saat menahan
Amanda untuk tetap di sana.
Amanda malah merasakan tangan orang keras kepala itu
begitu lembut... Tanpa sadar ada sesuatu yang hilang dari hati Amanda ketika
Dava melepaskan tangannya.
"Sudah malam. Aku harus pulang."
Dava mengacak-ngacak rambutnya sambil menguap. Ia bang"
kit dari tidurnya dan sekarang tubuh tingginya menjulang dekat
119 Janji Hati.indd 119 sekali dengan Amanda. "Oke. Gue antar. Tadi mobil lo udah
disuruh pulang, kan?" ucapnya kalem.
"Nggak usah," tolak Amanda. Ia takut kalau-kalau Dava akan
menurunkannya di tempat pemakaman umum. Hih! "Saya bisa
pesan taksi." "Jangan membantah," tukas Dava. "Bahaya cewek naik taksi
sendirian malam-malam begini."
120 Janji Hati.indd 120 manda menekuk wajah mungilnya. Sate ayam yang
Leo bawakan rasanya sudah tak sama dengan saat
ia menyan"tapnya pertama tadi. Tawar. Tenggorok"
annya mendadak pahit. Sindi masih berada di Jogja dan satusatunya orang yang bisa membuatnya tidak kesepian adalah Leo.
Tapi mendadak Leo pun harus pergi ke Malang. Astaga"
"Iya, Man, besok, aku ada pelatihan kedokteran mendadak
selama kurang-lebih sebulan di Malang," Leo mendesah.
Sebenarnya cowok itu benci mengatakan hal ini. Benci karena
ia harus meninggalkan Amanda. Leo tidak bisa tenang. Ia takut
Dava mencelakakan Amanda selama dirinya tidak ada di Jakarta.
Tapi mau bagaimana lagi, pelatihan ini sama sekali tidak bisa
digeser waktunya. Juga tidak bisa ia tinggalkan begitu saja ka"
rena sangat penting. 121 Janji Hati.indd 121 Amanda tersenyum tipis, "Ya sudah, nggak apa-apa. Jangan
kha"watir kalau soal Dava. Aku bisa menangani anak itu,"
ucapnya sambil meyakinkan diri sendiri.
Setelah berpikir kelas selama beberapa detik Leo pun meng"
angguk, yakin dan percaya akan jawaban gadis itu.
"Besok pagi berangkat jam berapa?"
"Jam tujuh pagi."
Amanda mendelik. "Pagi banget," desahnya lirih. "Maaf, aku
nggak bisa nganter," katanya menyesal.
"Nggak apa-apa," Leo tersenyum menengangkan. "Pokoknya,
kalau ada apa-apa, jangan lupa telepon aku," Leo mengingat"
kan. "Siap, Pak!" Amanda memberikan gerakan hormat pada Leo
sambil tertawa. Hei, Amanda baru ingat dirinya belum memberitahu Leo soal
hukum"an membersihkan ruang musik Dava. Apa sebaiknya ia
memberitahu" Gadis itu menggeleng cepat. Ah, tidak! Tidak
perlu, gumamnya. Nanti saja, ada saatnya, biarkan Leo tahu
sendiri. Meski sudah berusaha mati-matian agar tenang, tetap saja ada
rasa takut yang mendadak melanda Amanda. Sindi sudah pergi
sejak beberapa hari lalu dan besok Leo akan pergi juga. Memang
mereka pergi hanya beberapa waktu. Tapi, itu artinya Amanda
harus meng"hadapi segala sesuatunya sendiri mulai dari besok.
Semoga saja dirinya memang masih baik-baik saja ketika
Sindi dan Leo kembali ke Jakarta.
122 Janji Hati.indd 122 Amanda memejamkan mata rapat-rapat dan berharap langit
dan bumi mendengarkan permohonan hatinya.
Sore ini, waktu kembali lagi membawanya menuju kandang
singa, tempat Dava berada. Pak Sutris baru saja pergi setelah
mengantarnya. Amanda mencengkeram tas oranye yang ter"
sampir di bahu kuat-kuat. Peluh mengalir dari pelipisnya. Buruburu gadis itu menyeka dengan punggung tangan.
Amanda menghela napas lirih. Oh Tuhan, berikanlah kekuatan
pada hamba-Mu yang malang ini, ia bergumam sambil mene"
ngadah ke langit. Tiba-tiba muncul sebersit pikiran untuk mengSMS Leo agar cowok itu tahu bahwa ia sudah berada di depan
rumahnya. Tidak ada maksud apa-apa sih, hanya ingin menda"
patkan semangat dan mengum"pulkan kekuatan dalam diri.
Tunggu. Bodoh! Leo kan tidak tahu-menahu atas kejadian ini.
Buru-buru Amanda menghapus pesan yang sudah berisikan
beberapa kalimat. Gadis itu memutuskan untuk meng-SMS Sindi saja.
Sin, aku ada di depan rumah Dava nih. Mau mengemban
hukuman. Doain ya, moga-moga pas kamu pulang aku masih
hidup. Semenit kemudian Sindi membalas pesan Amanda.
Hush, ngaco kamu! Masih hiduplah. Kamu yang waktu itu
ngotot buat semua ini, kan" Ya sudah, selamat mengemban hu"
kuman. Kalau diapa-apain langsung telepon polisi aja :D
Amanda tertawa lebar. Ia memutuskan untuk tidak membalas
123 Janji Hati.indd 123 pesan itu lagi. Entah mengapa hanya dengan sebuah pesan itu,
semangatnya langsung menyala. Kemudian gadis itu meneruskan
langkah mendekati pintu pagar setelah tadi berhenti sejenak.
Kebetulan pintu gerbang tidak di kunci hari ini, langsung saja
gadis itu masuk. "Telat tiga menit!" ucap suara itu marah sambil menuruni
anak tangga. Amanda melirik Swatch oranye yang melingkar manis di
tangan. Pukul empat lewat tiga menit. Ya, ia memang terlambat.
Tapi hanya tiga menit! Berlebihan sekali dia, maki Amanda
dalam hati. "Sekali lagi telat, hukuman gue berlakuin seumur hidup!"
Amanda merinding. Hih! Yang benar saja, seumur hidup"
Tidak, tidak akan mau dan tidak akan pernah mau! Sindi, tolong
aku" Gampang sekali cowok itu memadamkan semangatnya. Aman"
da tetap diam. Tidak berniat sama sekali untuk berdebat dengan
cowok berambut hitam itu. Ia hanya menunduk sambil tetap
melangkah menuju anak tangga untuk memulai bekerja. Ketika
ia berpapasan dan sedikit menyenggol tubuh Dava, Amanda
sempat berhenti sejenak mengangkat kepala dan pandangannya
bertemu dengan cowok itu. Mengerikan. Cepat-cepat ia mene"
ruskan langkahnya kembali sebelum singa buas itu benar-benar
menelannya hidup-hidup. *** 124 Janji Hati.indd 124 Tinggi sekali. Amanda menengadah. Pandangannya terpusat pada gendang
kecil di atas lemari cukup tinggi. Sudah hampir seminggu ia
selalu datang membersihkan ruang musik itu, namun baru kali
ini ia melihat benda itu. Dan pastinya gendang kecil itu berde"
bu. Lalu bagaimana cara ia mengambil gendang itu"
Sejujurnya Amanda takut pada ketinggian. Tapi, kalau Dava
memeriksa alat-alat musiknya satu per satu dan menemukan
gen"dang itu masih berdebu, pasti ia tidak akan selamat. Aduh,
bagaimana ini" Amanda menggaruk-garuk kepala.
Ia menunduk dan mengamati sekeliling. Ada sebuah kursi
kayu cukup tinggi di sudut ruang. Ah, pakai itu saja, gumamnya
riang. Kemudian ia mengambil kursi kayu berwarna hitam itu dan
meletakkannya di depan lemari. Dengan satu gerakan cepat
Aman"da menaiki bangku. Ternyata masih belum sampai. Aman"
da berjinjit. Susah sekali, gumam Amanda sambil terus berjinjit.
Namun kursi itu bergoyang. Aduh, ia akan jatuh. Amanda
berusaha berpegangan pada sisi lemari. Astaga, tidak bisa! Kursi
ini sudah mulai oleng"
Amanda memekik kencang. Memejamkan mata serapatrapatnya. Pasrah pada nasib buruk yang akan menimpa diri"
nya" Tepat pada saat itu, seseorang membuka pintu ruang musik
dan menyaksikan adegan itu dengan wajah tercengang. Dava.
125 Janji Hati.indd 125 Buru-buru cowok itu berlari untuk menahan tubuh Amanda agar
tidak jatuh. Beruntung, ia berhasil.
"Lo hati-hati dong!" katanya dengan nada marah bercampur
cemas sambil menahan tubuh Amanda dalam pelukannya.
Amanda tersentak, masih belum sadar sepenuhnya. "I-iya?"
napasnya memburu. "Ma-maaf, tadi aku mau ngambil gendang
kecil di atas lemari."
Dava mengalihkan pandangan ke atas lemari. Ia terdiam
sejenak. "Kenapa nggak minta tangga" Lemari itu tinggi dan lo
pendek. Mana mungkin bisa ngambil," katanya datar.
Amanda diam. Selama beberapa detik mereka berdua hanya
ber"tatapan dengan posisi berpelukan. Mereka sama-sama ki"
kuk. "Ehm," Dava melepaskan Amanda dari pelukannya dengan
ekspresi bingung. "Kalau mau ngambil barang tinggi panggil
gue aja. Jangan ceroboh! Kalau lo mati di sini kan gue juga yang
repot!" Nada suaranya kembali ketus dan ia langsung kembali
keluar dari ruangan musik. Meninggalkan Amanda sendirian
dengan mulut yang masih menganga.
Saat itu Amanda baru sadar bahwa napasnya sempat berhenti
selama beberapa detik. Kalau tidak ada Dava mungkin dia sudah
patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Amanda bernapas
lega sambil mengucap syukur tiada henti. Lalu ia juga baru sadar
bahwa tadi berpelukan dengan Dava selama hampir dua me"
nit. Ini gila! Hei, kenapa perasaannya jadi tidak keruan seperti ini"
126 Janji Hati.indd 126 Gadis itu menggeleng kuat-kuat. Berharap bahwa ini cuma
mim"pi. 127 Janji Hati.indd 127 terasa waktu terus berlalu dan sudah hampir
sebulan Amanda datang ke rumah Dava untuk
selalu member"sihkan ruang"an musiknya. Ya, setiap
hari dan tak pernah absen sedikit pun. Gadis itu merasa sedikit
lega, ia sudah cukup beradaptasi dengan rumah itu, juga keadaan
di dalamnya. Semuanya tak lagi begitu muram dan menyedih"
kan. Yang terpenting, Amanda juga sudah mulai memahami Dava.
Sedikit demi sedikit ia sudah tahu hal-hal yang Dava suka dan
tidak suka. Bahkan ia sudah mengenal kedua orangtuanya.
Ternyata cowok itu tidak terlalu mengerikan seperti pertama
mereka bertemu. Sedikit banyak hatinya yang seperti es batu itu
mulai mencair. Perlahan tapi pasti, hubungan Amanda dengan
Dava membaik. 128 Janji Hati.indd 128 Bersamaan dengan itu, Amanda lost contact dengan Leo. Pada
awal Leo pergi, mereka masih sering berkomunikasi dengan
telepon. Tapi, lama-kelamaan cowok itu jadi sangat sibuk dan
Amanda tidak ingin mengusiknya. Sekarang gadis itu rindu
sekali dengan Leo. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat
Leo berkunjung ke rumahnya untuk berpamitan, setelah itu esok
harinya ia langsung pergi serba-mendadak. Lalu bagaimana
kabarnya, ya" Setelah termenung tidak jelas selama beberapa waktu. Tibatiba ia ingin curhat pada Sindi. Amanda menekan-nekan nomor
di keypad ponsel. Namun mendadak tangannya terhenti. Eh,
tidak jadi, gumamnya. Mendadak tenggorokannya terasa kering
dan ia malas berkoar-koar di telepon.
Ia teringat sesuatu. Buku diary dari Sindi. Lembaran buku itu
belum pernah Amanda isi sama sekali, padahal Sindi yang mem"
beri buku itu sudah kembali dari Jogja sejak dua minggu yang
lalu. Baiklah, ia akan menuangkan isi hatinya di sana saja.


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang ia sudah duduk manis di atas meja dengan sebuah
pena dan buku diary oranye pemberian Sindi. Amanda membuka
buku itu dan mulai menuangkan segala unek-uneknya. Gadis itu
tak sabar untuk memenuhi setiap lembarnya, bahkan ia menjamin
dalam kurun dua bulan ke depan lembaran buku ini sudah habis
dan tak bersisa. Tapi bagus juga kan daripada lembarannya
kosong dan menjadi usang tanpa diisi oleh kejadian-kejadian
berharga" *** 129 Janji Hati.indd 129 Dava mengerang kesakitan di ambang pintu kamarnya yang
setengah terbuka. Ia memegangi kepalanya juga perutnya yang
terasa mual. Di mana obat" Di mana" tanyanya gusar dalam
hati. Kakinya seperti tak menapak lagi di tanah"sangat ringan
seperti akan terbang terbawa badai.
Demi Tuhan, seluruh tubuhnya benar-benar nyeri. Ini pasti
karena tadi pagi dia nekat hujan-hujanan ke lapangan Green Bay
untuk menonton latihan teman-temannya. Sekarang tak ada yang
bisa ia lakukan selain memegang handle pintu kuat-kuat agar
dirinya tak jatuh. Pandangannya mulai berputar-putar. Percuma
minta tolong dan menjerit, takkan ada yang mendengar. Tidak
ada siapa-siapa di rumah. Hanya ia, seorang diri.
Amanda" Sambil terus merintih menahan sakit cowok itu mengingat
nama yang tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Di mana dia"
Mata"nya masih sanggup berputar ke arah jam dinding di ka"
marnya dan ia berdoa semoga gadis itu cepat datang. Ayolah...
Sebagian tubuhnya seperti hendak menguap entah ke mana.
Dava terus berusaha bertahan walau sebagian indranya tak
bisa dikendalikan lagi. Sedikit lagi ia takkan sadarkan diri. Oh,
ya ampun, simpanan obat-obatannya terlalu jauh di ujung tempat
tidur dan butuh melangkah beberapa meter untuk menjangkaunya.
Dan itu semua tak mungkin...
Cowok itu melepaskan genggamannya pada handle pintu.
Sedikit demi sedikit, tubuhnya melorot dan terkulai lemah di
lantai. Ia sudah tak kuat. Sudah tak sanggup.
Tepat saat itu ia mendengar langkah yang terburu-buru dan
130 Janji Hati.indd 130 suara histeris karena menyaksikan pemandangan penuh kete"
gangan itu" Gadis itu baru saja menginjakkan sebelah kakinya di anak tangga
teratas sambil menjinjing beberapa alat kebersihan juga sebuah
kantong plastik berisi makanan. Beberapa detik kemu"dian, ketika
melihat pemandangan itu, tanpa sadar Amanda menja"tuhkan
semua barang di genggamannya"
Mendadak tubuhnya seperti dihantam batu seberat beberapa
ribu ton. Hatinya mendadak ngilu dan sakit sekali. Tanpa berpikir
panjang Amanda berlari menghampiri Dava yang tergeletak
lemah di ambang pintu kamar yang setengah terbuka. Oh, ia
sangat berterima kasih karena pintu itu terbuka sehingga ia bisa
langsung menolong Dava. Bagaimana kalau pintu itu tertutup
dan seperti biasa Aman"da mengira cowok itu sedang tidur atau
mandi" Gadis itu tak bisa membayang"kannya. Untungnya ia tak
terlambat. Salah, sekarang ia sudah terlambat, namun belum
benar-benar terlambat. Dava masih dalam kondisi setengah sadar dan memegangi
kepala kuat-kuat. Entah mengapa Amanda bisa ikut merasakan
sakit itu. "Dava?" pekik Amanda histeris. "Kamu masih dengar aku?"
Gadis itu berlutut dan menyangga kepala Dava di pangkuan"
nya. Cowok itu diam cukup lama. Ia berusaha mengumpulkan se"
luruh nyawanya untuk berbicara. "Obat migrain," katanya dengan
131 Janji Hati.indd 131 suara pelan sekali. "Di sana," tangannya menunjuk lemas ke
arah laci bawah meja. Amanda mengerti. Dengan lembut ia meletakkan kembali
kepala Dava di lantai, kemudian bangkit berdiri dan mencari
obat-obatan itu. Untungnya, masih ada segelas air di meja hingga
ia tak perlu berlari lagi ke dapur di lantai bawah untuk meng"
ambilnya. Tangannya terulur menyangga tubuh Dava. "Cepat
minum," ia menyo"dorkan pil ukuran sedang ke mulut cowok
itu. Dava susah payah menelan pil itu karena bibirnya bergetar
hebat dan tenaganya sudah sangat lemah. Amanda segera mem"
bantunya"tangannya terjepit di antara kepala Dava dan tembok,
sementara sebelah tangannya lagi mengambil gelas di lantai.
Beberapa detik begitu hening. Hanya terdengar suara detik
jarum dan napas tersegal-segal Dava. Aman"da menunduk. Ini
baru pertama kalinya Dava seperti ini setelah sekitar hampir
sebulan ia bersama"nya...
Tanpa banyak berpikir, gadis itu menarik Dava ke tempat
tidur. Lantainya dingin. Ia yakin jika berlama-lama terduduk di
lantai, kondisi cowok itu akan makin buruk. Dava tak membantah,
seolah menyerahkan seluruh raganya yang sekarang benar-benar
rapuh tak berdaya. Wajahnya pun pucat dan tubuhnya panas.
"Amanda..." Suara Dava serak, namun ingin menunjukkan bahwa ia tetap"
lah sekuat batu karang seperti biasanya. Sekarang ia terbaring
sambil memegangi kepala. Dava menatap Amanda yang men"
jaganya sambil berdiri di tepi ranjang. Dava menepuk-nepuk
ka"sur sebagai per"mintaan agar gadis itu duduk di sampingnya.
132 Janji Hati.indd 132 "Ada apa" Jangan banyak bicara. Istirahatlah."
"Gue nggak sakit?"
Tiba-tiba Amanda jengkel. Cowok itu tidak pernah berubah.
Selalu saja keras kepala. Ya ampun!
"Kamu tahu," ucapnya pelan, "kamu orang paling keras kepala
yang pernah kutemui. Saat sakit begini, masih bisa-bisanya keras
kepala dan sok kuat! Ck! Kok bisa begini sih?" Amanda men"
desah dan memegang kening Dava. "Masih panas, tapi tidak
sepanas tadi. Sebentar ya, saya ambilkan air hangat untuk
mengompres ke"palamu."
"Hei, gue itu..."
"Stt!" Amanda memasang telunjuk di bibirnya. Isyarat agar
Dava diam. Tanpa menunggu Dava protes lagi, gadis itu beranjak
keluar kamar. Amanda kebingungan mencari baskom atau wadah kecil untuk
menampung air di dapur bawah. Tidak ada yang kecil, semua
wadah"nya sangat besar seperti hendak menelan wajahnya. Hmm,
bagaimana ini" ia bertanya-tanya dalam hati. Yah, apa boleh
buat, mungkin pakai mangkuk yang biasa digunakan untuk
makan saja. Eh, tunggu, gumamnya pelan. Mata bulatnya berbinar ketika
melihat baskom berwarna transparan di atas kulkas. Amanda
menghampiri kulkas yang terletak di sudut barat dapur dan
berjinjit sedikit untuk meraihnya. Berdebu. Ia menariknya.
Tring! Bunyi benda logam terdengar.
Bunyi apa itu" 133 Janji Hati.indd 133 Amanda menunduk mencari sesuatu yang menimbulkan suara
itu. Tapi, astaga, tidak sekarang. Dava sangat membutuhkannya
di atas sana. Ia pun mengabaikannya"baik suara maupun benda
yang sebe"narnya membuat hatinya penasaran setengah mati.
Tanpa sadar Dava tersenyum tipis saat Amanda kembali.
"Handuk kamu simpan di mana?"
"Di lemari kiri atas."
"Mendekatlah sedikit," katanya ketika sudah kembali lengkap
dengan baskom berisi air dan handuk kering.
Cowok itu menggeser tubuhnya ke tepi ranjang. Amanda
mencelup"kan handuk kering berwarna putih yang ia genggam
ke dalam baskom dan mengangkatnya. Kemudian ia memerasnya
hingga setengah kering. Setelah itu, ia melipatnya menjadi
persegi panjang kecil dan meletakkannya di kening Dava.
Hangat. Hati Dava pun berdesir karenanya. "Oh ya, besok gue mau
merik"sain hidung gue ke dokter," katanya datar.
Jakarta memang tak pernah berubah. Setiap detik, setiap menit,
setiap jam, dan setiap hari selalu ramai. Seperti sekarang ini,
macet tak terkira. Leo menggerutu sendiri dalam hati, andai ia
punya sapu ter"bang ajaib atau karpet terbang Aladin tentu ia tak
akan sejenuh ini. Sudah lebih dari satu jam taksi yang ditumpanginya tak
134 Janji Hati.indd 134 bergerak, padahal tubuhnya benar-benar sudah lelah dan ingin
segera sampai di rumah untuk beristirahat. Urusan seminar ten"
tang calon dokter dan embel-embelnya sudah selesai. Cukup
lama ia meninggalkan kediamannya di ibu kota, dan kerinduannya
sudah berkoar-koar ingin merasakan sentuhan kota metropolitan.
Memang manu"sia tak pernah puas. Biasanya saat di Jakarta Leo
selalu ingin pindah ke kota lain karena panasnya seperti ingin
memanggang tubuh hidup-hidup. Tapi begitu sudah berada di
tempat lain, ia merindukan Ja"karta...
Dasar! Sebenarnya kerinduan itu lebih tepat tertuju untuk Amanda
Tavari. Cowok itu merindukan senyum, tawa, suara, kelu"cuann,
dan semua yang ada pada gadis itu. Ya, semuanya. Ia ingin
segera bertemu dengan Amanda. Apa kabar kamu, Man"
Pastinya baik-baik saja, bukan"
Sekitar dua puluh menit kemudian, cowok itu tiba di rumah.
Seperti biasa, rumah itu tampak sepi dan tidak ada yang berubah.
Ia membayar ongkos taksi, lalu bergegas keluar. Kakinya
melangkah ke gerbang, seperti biasa di pos ada satpam penjaga
rumah. "Hoi, Pak Bejo!" cowok itu berteriak ke arah pos. Ia tahu
pasti satpam itu sedang tidur. Pemalas sekali!
"Iya, Sayang?" suara itu terdengar dari dalam pos. Pos itu
sangat dekat dengan pagar.
Leo berdecak sambil menjinjing tas hitam yang berisi pakaian
dan perlengkapan lain dibawanya selama di Malang. "Pak,
135 Janji Hati.indd 135 jangan tidur terus!" ia mendekatkan mulut ke pagar agar satpam
itu mendengar suaranya. "Nanti gajinya saya potong, mau?"
"Mimpiin abang juga ya?"
Astaga! Tepat ketika Leo ingin berteriak sekencang-kencangnya,
mulutnya mendadak terkatup rapat. Matanya melihat seseorang
muncul dari dalam rumahnya. Gadis itu tak melihatnya, karena
saat membuka pintu gadis itu menunduk untuk memakai alas
kaki... "Amanda!" Leo langsung berteriak. Tanpa keraguan sedikit
pun yang dipanggil menoleh. Wajahnya terperangah sekaligus
gem"bira. Ia langsung berlari seperti anak kecil mengejar penjual
balon. Mata mereka bertemu. Namun, pagar masih membentangkan
jarak di antara mereka. Seolah membaca pikiran Leo yang sangat
kesal karena satpam rumahnya selalu bermalas-malasan, Amanda
segera mengambil kunci di pos dan membuka gembok ger"
bang. "Apa kabar?" tanya Amanda sambil membuka gembok
gerbang. "Baik-baik saja," jawab Leo.
"Sudah lama berdiri di sini?" tanya Amanda lagi.
"Tidak juga. Baru sekitar sepuluh menit."
Amanda meringis. Kasihan sekali, pikirnya sambil senyamsenyum sendiri. Hampir sebulan ini dirinya tak luput dari ke"
jadian seperti yang dialami Leo. Rata-rata, setiap hari ketika ia
hendak pulang dari rumah itu, Pak Bejo"satpam berkumis tebal,
136 Janji Hati.indd 136 berbadan gemuk, dan bermuka sangar itu selalu tertidur. Pak
Bejo sudah meng"abdi pada keluarga Leo selama kurang-lebih
tujuh tahun. Walau mukanya sangar, hatinya sangat baik dan
orangnya lucu. Mung"kin, keluarga Leo sengaja memperker"jakan
Pak Bejo agar ma"ling-maling tak berani masuk ke ling"kungan
rumah mereka. Haha! Gadis itu membuka pintu, kemudian membiarkan yang punya
rumah masuk. "Silakan, Tuan!" ucapnya sopan seraya menunduk memberikan
sambutan penghormatan. Cowok itu terbingung-bingung, "Hah" Apaan-apaan kamu
ini?" tanyanya gusar. "Aku bukan bosmu!" sergahnya. "Aku ini
Leo Ferdinan, temannya Amanda Tavari."
Leo Ferdinan" Ini baru pertama kalinya cowok itu menyebutkan nama
lengkapnya. Ferdinan" Hmm, sepertinya ia pernah dengar"
"Eh," kata Amanda. "Aku harus pulang sekarang. Sudah ma"
lam." "Buru-buru banget?" Leo berusaha mencegah. Ia masih ingin
ba"nyak berbincang dengan gadis itu. "Kamu nggak kangen sama
aku?" "Ah?" Raut wajah Amanda yang sudah lebih merah daripada kepiting
rebus mungkin terpampang jelas jika saja bagian depan rumah
cowok itu terang benderang, tidak remang-remang seperti se"
karang. Diam-diam Amanda sangat bersyukur akan hal itu.
"Tidak. Tidak sama sekali," gadis itu tertawa.
137 Janji Hati.indd 137 "Benarkah?" Leo tampak lesu. Benarkah Amanda sama sekali tak merin"
dukan"nya" "Bercanda!" kata Amanda ceria. "Ya sudah, besok aku ke
sini lagi kok. Tenang saja," ia tersenyum.
"Kamu ke sini setiap hari?" tanya Leo.
Amanda mengangguk. "Ngapain aja?" "Ya," Amanda bergumam. "Membersihkan ruangan musik
Da"va." Untuk apa" "Hukuman," Amanda nyengir. "Aku permisi dulu ya." Gadis
itu melangkah ke luar pagar. Seolah menghindar dari pertanyaan,
me"ninggalkan Leo dengan suara yang masih tersangkut di
tenggorokan.

Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leo merebahkan diri di ranjang. Ia sangat lelah.
Setiap hari Amanda selalu kemari, otaknya mulai berpikir.
Member"sihkan ruang musik adik tirinya, hanya itukah" Bagai"
mana hubungan mereka" Apakah Dava masih seperti yang dulu"
Apakah Amanda baik-baik saja setiap saat datang kemari" Adik
tirinya menyakiti dia atau tidak"
Ya ampun, ia pergi terlalu lama dan sekarang semuanya begitu
membingungkan. Tenggorokannya pun terasa kering. Berkali-kali ia menelan
138 Janji Hati.indd 138 ludah. Cowok itu bangkit dari tempat tidurnya. Air, ia butuh
air. Menenggak segelas air dingin yang masih fresh dari dalam
kulkas bisa meredakan sedikit ketegangannya. Masih ada
beberapa buah-buahan segar di meja marmer di samping kulkas.
Apel merah! Kakinya melangkah mendekat.
Kakinya terasa terganjal, seperti menginjak sesuatu. Leo
berjong"kok, matanya mencari-cari sesuatu itu.
Astaga... Bagaimana benda ini bisa tergeletak di lantai" Hatinya ber"
tanya-tanya melihat sebentuk cincin logam hitam yang sekarang
berada dalam genggaman tangannya. Ia memandangi benda itu
lekat-lekat. Matanya menyipit tajam. Jatuh" Mungkin saja.
Namun, satu yang pasti, ia harus memindahkan cincin itu...
Niatnya untuk makan buah pun batal. Sama sekali tak ada
selera lagi. Jantungnya berpacu sangat cepat. Ia segera berlari
kembali ke atas. Secepat kilat kakinya menaiki setiap anak
tangga, bahkan ia melompati tiga anak tangga sekaligus.
Ketika ia sudah berdiri di depan kamarnya, sekujur tubuhnya
sedikit gemetar. Leo berhenti sejenak, menyandarkan diri di
depan pintu kamar. Pelan-pelan tubuhnya meluruh ke lantai.
Sebelah tangan"nya tetap menggenggam cincin logam itu. Sibuk
mengamati. Namun semakin lama tangannya tidak sanggup lagi
menggenggamnya. Ia melepaskannya dan cincin itu pun meng"
gelinding entah ke mana. Cowok itu menunduk, bersedekap.
Mendadak suara pintu terbuka dan muncul seseorang keluar
139 Janji Hati.indd 139 dari kamar sambil memegangi kepalanya yang masih terasa
pusing. Dava. Cowok itu sedikit kaget ketika melihat Leo. Leo
sudah kembali" Sejak kapan"
Mata Dava yang ketajamannya melebihi mata elang menang"
kap bayangan sebentuk cincin logam tergeletak tak jauh dari
depan pintu kamarnya. Cincin" Dava mengerutkan kening.
Leo menyipitkan matanya, setajam-tajamnya. Jangan sentuh!
Co"wok itu ingin berkata demikian, namun lidahnya kelu. Bodoh!
Ia memaki diri sendiri sambil mencengkeram celananya hingga
buku-buku jarinya memutih.
"Punya lo?" Yang ditanya mengangguk. Leo bangkit berdiri. Dengan tak
sabar Leo meraih cincin itu, seperti anak balita yang sangat
menginginkan permen. Tindakannya menciptakan tanda tanya
besar di kepala Dava. Aneh sekali. Cincin itu sepertinya sangat
berarti. Cincin polos dengan sebuah permata kecil putih di
bagian tengah, pikir Dava. Dari bentuknya tidak mungkin cincin
itu cincin perempuan. Diam-diam Dava penasaran.
"Kapan tiba?" hanya itu pertanyaan yang dilontarkan Dava.
Sejujurnya ia sendiri sangat jarang berbicara dengan Leo, jadi
ketika terjadi saat-saat seperti ini, tingkah mereka lebih konyol
daripada sepasang calon kekasih yang baru menjalani pendekatan
beberapa hari. Astaga. "Baru saja. Lo sakit?" Leo memperhatikan Dava yang sejak
tadi memegangi kepalanya.
"Oh, nggak. Cuma sedikit pusing," ucap Dava.
Leo mengangguk datar. "Gue ke kamar dulu."
140 Janji Hati.indd 140 Dava membalasnya dengan anggukan singkat sambil me"
naikkan sebelah alisnya. Kakak tirinya kenapa" Tidak biasanya Leo terlihat kusam dan
lesu. Biasanya Leo tampak fresh"beda dengan Dava yang
memang selalu muram dan asal-asalan.
Ah, entahlah. Dava mengangkat bahu dan melangkah ke
balkon tengah untuk menghirup udara segar.
Sementara Dava pergi, Leo membuka pintu dan masuk kamar,
mengambil kunci Everest biru gelapnya dan melesat pergi ke
rumah Amanda. Meminta kejelasan bagaimana gadis itu bisa
sampai membersihkan ruang musik adik tirinya. Cowok itu
terlalu tak sabar jika harus menunggu esok hari.
"Apa" Jadi selama aku pergi, setiap hari kamu datang ke rumah
kami dan membersihkan ruang musik Dava?" Leo terkejut
setengah mati ketika Amanda menutup penjelasannya di balkon
atas rumah Amanda. Pada akhirnya ia memang harus menjelaskan
pada Leo. Sebenarnya ia sangat enggan, tapi mau bagaimana
lagi" Bagai"manapun Leo berhak tahu karena dia kakak Dava.
"Yah. Mau bagaimana lagi?" gadis itu meng"angkat bahunya
sambil menatap kosong ke jalan. "Lagi pula, itu bukan pekerjaan
yang sulit." Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, walau
sebenarnya lebih tepat jika dibilang menghibur diri sendiri.
"Seharusnya..." jawab Leo, "kamu tanya sama aku dulu,"
katanya lirih. "Kamu nggak perlu berlebihan kayak gitu. Dava
itu..." Sebenar"nya ia ingin melanjutkan kata-katanya, namun
141 Janji Hati.indd 141 mendadak lidahnya kelu. "Ah, lupakan." Ia putus asa. Ia takkan
bisa melakukan apa pun. Ia tahu itu.
Mendadak mood Amanda untuk bicara pun hilang. Seharusya
masalah ini tidak perlu dipersulit lagi. Sudahlah, ia sudah cukup
lelah dengan hari-hari ini. Semakin banyak ia berbicara, ia akan
semakin gelisah, dan semakin parah juga kondisi hatinya.
Leo menyadari perubahan sikap Amanda. "Ya sudah, terserah
kamu saja," ujar cowok itu pada akhirnya. "Tapi, kalau udah
nggak sanggup lagi, bilang aja. Aku pasti bakal bantu buat
ngebebasin kamu dari hal gila kayak gini."
Amanda mengangguk dan tersenyum.
"Aku kangen nih, sama kamu," kata Leo sambil mengusap
lembut kepala Amanda. "Besok, ada acara?"
"Membersihkan ruang musik Dava."
"Selain itu?" Amanda menggeleng. Cowok itu mengembuskan napas, "Aku butuh teman untuk
jalan-jalan dan menghilangkan kepenatan," ia mengangkat kedua
bahunya. "Kalau soal Dava, jangan khawatir." Leo mengedipkan
sebelah mata"nya. "Umm," Amanda memutar bola matanya. "Baiklah. Asal tidak
ada yang dirugikan."
"Of course, dear."
Mereka tertawa bersama. "Sudah malam. Kalau gitu, aku pamit ya?"
"Iya," jawab Amanda. "Hati-hati."
142 Janji Hati.indd 142 *** Sepanjang perjalanan pikiran Leo kosong. Begitu sampai di
depan rumahnya, cowok itu menekan rem mendadak hingga
me"nimbulkan bunyi decitan yang cukup keras. Matanya meman"
tau jelas aktivitas di dalam bangunan bergaya Yunani itu. Sepi.
Hanya ada satpam penjaga rumahnya, seperti biasa, sedang tidur
ataupun ngopi di dalam pos jaga di depan halaman rumah.
Cowok itu berdecak dan mengacak-acak rambutnya hingga
beran"takan. Ia memukul-mukul setirnya dengan keras lalu
menyandarkan kepalanya. Kedua tangannya masih memegang
setir dan ia menggeng"gam"nya sangat kuat hingga buku-buku
jarinya memutih. Bodoh! Air mukanya menegang walau tak terlihat. Hatinya sekarang
seperti kain yang dirobek-robek sangat parah oleh gunting. Ia
ingin marah, namun tak bisa. Sedikit pun tak bisa. Pikirannnya
mendadak dipenuhi oleh Amanda.
Satu hal yang paling kusesali dalam hidup"
Aku hanya bisa menjagamu, tidak akan pernah bisa memiliki"
mu... Dan terlebih karena aku tak berani mengungkapkan semua"
nya" Baik rasa cinta, maupun rasa takut yang lain"
143 Janji Hati.indd 143 aru Amanda sadari sekarang, sudah sebulan ia tidak
men"dengarkan suara ayah maupun ibunya. Dan
sekarang gadis itu rindu pada mereka. Memang
setiap hari mereka selalu berhubungan dengan e-mail ataupun
whatsapp dan Yahoo! messenger, tapi tidak ada suaranya. Aman"
da ingin Skype, tapi biasa"nya susah sekali koneksinya. Baiklah,
ia akan menelepon ibunya.
"Halo, Ma!" pekiknya riang ketika telepon tersambung.
"Halo, Sayang!" suara itu pun tak kalah antusias. "Tumben
telepon Mama duluan."
"Iya, Ma," Amanda nyengir. "Lagi kangen aja sama Mama
dan Papa. Papa lagi ngapain, Ma, sekarang?"
"Ya baru berangkat ke kantor, Sayang. Di sini kan sekarang
masih pagi." 144 Janji Hati.indd 144 "Oh, iya ya?" Amanda menepuk dahi. Memang sulit sekali
mengobrol dengan mereka berdua dalam waktu yang bersamaan.
Kalau ayahnya yang menjawab telepon, ibunya sedang masak
ataupun tidur. Kalau yang mengangkat ibunya, ayahnya sedang
mandi atau belum pulang kerja, seperti sekarang ini. Maklum,
Indonesia dan Amerika memiliki perbedaan waktu yang cukup
jauh, kira-kira lima belas jam. "Sori, aku lupa, Ma." Amanda
ter"tawa. Ibunya tertawa, "Gimana sekolah kamu?"
"Lancar, Ma. Jangan khawatir."
"Ya sudah, Mama mau beres-beres dulu ya, Sayang. Nanti
tagihan telepon kamu bengkak. Kita lanjut e-mail ya. Bye,
Sayang. Mama sayang kamu."
"Oke, Ma. Love you too. Salam untuk my superdad!"
Amanda menguap. Sekarang sudah pukul sepuluh malam.
Matanya melirik buku-buku pelajaran yang masih acak-acakan
di atas meja belajar. Hari-harinya dipenuhi oleh tugas-tugas yang
bisa membakar otaknya dalam hitungan detik. PR kimianya
belum selesai. Bagaimana ini" Ah, lebih baik ia melanjutkannya
besok di sekolah, toh pela"jaran kimia ada di jam pelajaran
terakhir. Oke, sekarang waktunya tidur.
Hurry up and wait so close but so far away... Everything that
you"ve always dreamed of... Close enough for you to taste but
you just can"t touch...
Astaga, siapa lagi yang telepon" Oh, Sindi, Amanda meng"
145 Janji Hati.indd 145 gumam sambil membaca nama yang tertera di layar ponsel"
nya. "Ya, Sin?" "Lusa ada latihan seperti biasa ya, Man, di lapangan Green
Bay!" Amanda terkesiap. Baru sadar sudah hampir sebulan tidak
bermain voli karena terlalu sibuk dengan pekerjaan barunya
sebagai tukang bersih-bersih di rumah Dava.
"Man! Denger nggak"!"
"I-iya?" jawabnya pelan. "Masih lusa, kan" Kenapa ngasih
taunya sekarang?" tanya Amanda bingung.
"Besok takut lupa, mumpung sekarang lagi inget!"
"Aduh, bisa-bisa aku yang lupa," ujar Amanda sambil meng"
garuk-garuk kepala. "Tapi, aku izin dulu ya, sama Dava?"
"Ya ampun, Man, ngapain izin sama Dava" Memangnya dia
siapa?" Amanda menghela napas. "Ya tapi kan, kamu tahu sen"
diri?" "Sekali-sekali bolos nggak apa-apa dong?" sela Sindi.
"Ya, ya, ya," jawab Amanda sambil menguap.
Ngantuk. Sangat. Jam berapa ini" Amanda mengerjap-ngerjapkan mata bulatnya yang terasa
berat. Lengket. Matanya ingin menutup segera.
Sudah jam dua belas malam dan beraneka ragam pekerjaan
146 Janji Hati.indd 146 rumah alias PR masih menanti dan menertawainya dari meja
belajar. Bagaimana ini" Ia mengeluh sendiri dalam hati. Sudah
beberapa pe"kan ia selalu seperti ini karena waktu luangnya ia
gunakan untuk pekerjaan tambahan sebagai tukang bersih-bersih
ruang musik Dava. Ah, sudahlah. Sekarang bukan waktunya ia mempermasalahkan
itu. Ia sudah sangat ikhlas, terlebih karena melihat Dava sakit
waktu itu. Ya ampun, jantungnya benar-benar mau copot. Sung"
guh, nyata dan tak dibuat-buat sama sekali.
Ia tak ingin kejadian itu terulang lagi...
Mendadak mata bulatnya terbuka kembali karena bermacammacam pikiran bertarung di dalam otaknya. Sekarang bukan
cuma satu nama, tapi dua.
Leo Ferdinan dan Dava Argianta.
Astaga! Apa lagi ini" Amanda mengerang dalam hati. Sampai detik
ini, ia tak mengerti mengapa ia bisa mengenal mereka. Mengapa
sifat mereka bisa berbeda 180 derajat" Oh iya, mereka kan
saudara tiri! Bodoh sekali, jelas beda lah...
Kalau Leo seperti malaikat terang benderang yang menjamin
setiap umat masuk surga, tapi Dava sebaliknya. Dava adalah
malaikat kegelapan yang siap menarik umat manusia ke jurang
api kapan saja ia mau. Entah mengapa, malaikat kegelapan itulah yang lebih mem"
buat"nya merasa nyaman dan aman. Mungkin karena akhir-akhir
ini ia terlalu sering di dekat Dava" Dan berada di dekatnya selalu
147 Janji Hati.indd 147 terasa aneh. Aneh yang... Ah, entahlah, itu sangat sulit diung"
kapkan dengan kata-kata. Mungkinkah perasaan yang aneh ini adalah...


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak mungkin! Gadis itu merasa ia mulai tidak waras.
Udara malam yang dingin semakin mencekam dan menusuknusuk hingga ke lapisan kulit terdalam. Namun, Leo sama sekali
tak merasakan apa pun. Tidak panas, tidak dingin. Semuanya
mati. Ia duduk di tepi jendela kamar yang terbuka. Lampu-lampu
ber"nuansa biru gelap yang memberikan penerangan yang lebih
dari cukup pun terasa sama sekali tak berefek. Ia seperti tak bisa
melihat apa-apa. Pahit. Sebelah tangannya bertopang di atas kaki yang menekuk dan
sejak tadi selalu memutar cincin logam hitam. Ia tak berani
menunduk untuk memandang benda itu lebih dekat lagi. Di
bagian dalam cincin itu ada ukiran nama yang tersamar.
Hati Leo hancur. Dan air matanya menetes perlahan-lahan.
Cowok itu menangis. Ia merasa dirinya benar-benar pengecut.
Tak berani menghadapi kenyataan dan kalah sebelum berperang.
Yang paling menjijikan adalah karena ia tak pernah berani untuk
keluar dari zona amannya sebagai seorang penjahat.
Penjahat... Perampok... Pembunuh"
148 Janji Hati.indd 148 Tak cukup sebutan-sebutan itu disandangnya. Semua itu masih
terlalu baik. Dirinya jauh lebih buruk daripada itu.
"Amanda?" kata Leo lirih. Suaranya tertahan di tenggorokan.
Dadanya sesak setengah mati.
Lidahnya kelu, kini hatinya yang ingin berbicara. Cowok itu
ingin semesta mendengar isi hatinya, langit ikut merasakan apa
yang ia rasakan saat ini.
Apakah kamu akan memercayaiku jika kukatakan bahwa
akulah orang yang selama ini kamu cari-cari...
Apakah kamu masih mau menerima pengakuanku dan bisa
me"maafkaku jika kukatakan bahwa aku adalah pembunuh"
Apa reaksimu ketika kukatakan bahwa tersangka tabrak lari
Revan Tavari adalah Leo Ferdinan"
Aduh! Mampuslah! Beginilah efek tidur kurang dari delapan jam. Kesiangan!
Amanda melompat dari ranjangnya tanpa memedulikan ilmu
pengetahuan yang mengatakan bahwa orang yang baru bangun
tidur harus duduk selama sepuluh detik, kalau tidak bisa terkena
serangan jantung. Ah, masa bodo, hari ini gadis itu tidak me"
mikirkan risiko tersebut. Teori itu mendadak hangus ketika ia
bangun pagi lebih dari pukul 06.15 di hari sekolah.
Ia tidak mau mengambil risiko menyapu seluruh halaman
sekolah SMA Resindensial seperti yang dialaminya pada hari
pertama sekolah. Baiklah, tak usah mandi, pikirnya. Cukup cuci
149 Janji Hati.indd 149 muka dan menggosok gigi. Juga menyemprot wewangian agar
tidak kentara belum man"di.
Amanda tampil sangat berantakan. Ransel ia sampirkan hanya
di sebelah pundak. Bukan itu yang lucu, tapi ia menyampirkan
tali tas sebelah kiri di pundak kanannya. Astaga! Benar-be"
nar... Rambut pun dijepit asal-asalan ke atas, dengan beberapa helai
poni keluar dari jepit. Kaus kaki abu-abu yang ia kenakan baru
setengah masuk di kaki sebelah kiri. Kacau! Ikat pinggang ia
lilitkan di leher. Dan masih banyak kekacauan lain yang tak
per"lu diceritakan. Bisa bayangkan sendiri, kan"
Lapar" Lapar... Namun tak ada waktu lagi untuk sekadar mengisi perut. Jam
tangannya sudah menunjukkan pukul 06.40. Sisir, mana sisir"!
pikirnya kala menuruni tangga. Walaupun tomboi, Amanda
s"angat mengutama"kan penampilan rambut panjangnya. Menurut"
nya rambut adalah tempat mengekspresikan keadaan jiwa. Pagipagi kalau sedang ceria dan bersemangat, rambutnya tergerai
rapi, terkadang dihiasi jepit-jepit beraksen tengkorak. Yah, tapi
hari ini ia sedang suntuk dan tidak bersemangat, makanya ram"
butnya lebih buruk daripada sarang burung rusak akibat hujan
deras ataupun angin badai.
Whatever, pokoknya yang penting nggak terlambat!
Amanda berkeluh kesah di dalam mobil. Nyawanya selalu
berada di tangan Pak Sutris saat pagi-pagi begini.
Di tengah kepanikannya, ponsel di saku seragam berdering.
Bukan nada panggilan, melainkan nada pesan masuk. Tumben150
Janji Hati.indd 150 tumbennya ada yang SMS pagi-pagi begini. Tanpa berpikir
panjang, Amanda mengambil ponsel itu. Ia memiringkan kepala
sedikit. Apakah ia tidak salah lihat isi pesan ini"
Di mana" Amanda mengerutkan kening dalam-dalam, mengalahkan
wajah tua kakek berusia delapan puluh ke atas. Ada badai apa
Dava meng"hubunginya pagi-pagi begini"
Otw sekolah, ada apa"
Nggak. Lama banget! Cepat sedikit!
Memangnya ada apa Dava menyuruhku cepat-cepat" batin
Amanda aneh sekali. Amanda memutuskan tak menghiraukan
pesan itu. Mobil Amanda berhenti di gerbang SMA Residensial. Gadis
itu menyampirkan tas di pundak lalu membuka pintu mobil.
Pintu terbuka dan tubuh mungilnya menginjak aspal. Sekolahnya
memiliki dua pintu gerbang utama yang sederet, biasanya pintu
yang langsung terakses ke lapangan tengah ditutup lima menit
menjelang bel berbunyi, otomatis siswa-siswi harus berjalan lagi
ke pintu lebih depan yang terakses langsung ke dekat ruang guru.
Tapi Amanda tidak pernah memilih kedua gerbang tersebut.
Gadis itu selalu turun di dekat lapangan parkir motor seberang
sekolah. Alasannya, ia ingin berjalan, merenggangkan otot-otot
agar tak terlalu kaku saat menaiki anak-anak tangga menuju
kelasnya di lantai tiga. Ada-ada saja!
Seperti biasa, ia berjalan sambil memejamkan mata dan
menghirup udara segar. Walaupun sudah tercemar dengan asap
kendaraan bermotor, pagi-pagi begini udara tidak terlalu parah,
151 Janji Hati.indd 151 masih layak dihirup segala makhluk hidup. Terik mentari pagi
yang cerah menerpa muka porselennya dan semakin membuat
gadis itu tampak seperti lukisan yang sangat magis.
Seperti sebuah mimpi yang benar-benar buruk, Amanda
membuka mata dengan kekagetan luar biasa ketika ada tangan
besar yang memaksa tubuhnya berhenti melangkah.
"Kenapa SMS gue nggak dibales?"
Amanda ingin berteriak sekencang-kencangnya karena kaget
meli"hat cowok itu, namun tenggorokannya mendadak sakit. Ia
hanya bisa mengangkat bahu.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Amanda juga bertanya saking
bingungnya. "Dari jam enam pagi gue udah nongkrong di sini. Emang
sengaja mau nungguin elo," Dava terlihat gusar. "Sekarang, ikut
gue!" Amanda menggeleng kuat-kuat. "Lo gila" Ini jam sekolah.
Dan gue nggak mau bolos!"
Dava tersenyum, "Nggak usah khawatir. Semuanya beres."
"Maksudnya?" Cowok itu memegangi kepala yang sepertinya mulai panas.
"Gue kenal dekat sama salah satu guru di sini. Miss Sisil. Tau,
kan" Dia itu pernah jadi guru homeschooling gue. Gue udah
nelepon ke Miss Sisil tadi pagi," terangnya singkat. "Gue bilang
lo tuh saudara gue dan gue bilang bilang hari ini lo nggak enak
body dan nggak bisa masuk sekolah."
"Hah"!" 152 Janji Hati.indd 152 Cowok itu berdecak sambil meraih tangan Amanda lagi. "Ah
sudahlah," ucapnya gemas. "Lo ini kok bawel banget sih jadi
orang?" katanya jengkel.
Kini Amanda merasa kepalanya mengepulkan asap. Dava
memang tidak pernah waras. "Nggak. Terserah, pokoknya aku
nggak mau!" tukasnya garang sambil menepis tangan besar yang
menahan lengannya. Amanda berbalik cepat dan berlari-lari kecil tanpa meme"
dulikan Dava. Amanda sudah mendengar suara bel masuk setelah
istirahat. Bisa gawat kalau ia tidak segera masuk.
Namun ia malah merasakan tangannya kembali tertahan oleh
tangan besar Dava. Ya ampun, tolonglah, mengerti sedi"kit saja,
keluhnya dalam hati. Cowok itu boleh mengganggunya setiap
sore hari, ia tak keberatan. Tapi tolong jangan sekarang, jangan
jam sekolah. Ia ingin belajar, menggapai ilmu setinggi-tinggi"
nya" Dengan satu gerakan cepat, Dava memutar tubuh Amanda
agar ia bisa menatapnya. Cowok itu tak memedulikan beberapa
pasang mata yang masih lewat.
"Heh!" gertaknya tak sabar. "Kemarin malam gue udah sem"
pet bi"lang kan, mau mengecek kondisi hidung ini?"
Amanda memutar bola mata. Iya benar...
"Kemarin lo setuju, kan" Dan sekarang waktunya lo menepati
jan"ji..." Tidak bisakah nanti siang saja" Ini jam sekolah, Dava"
"Dokter itu harus keluar kota jam sebelas nanti. Hanya punya
waktu sekarang." 153 Janji Hati.indd 153 Ya Tuhan... "Cepatlah," kata Dava tak sabar. Menyebalkaaannn!
Seperti yang sudah-sudah, Amanda benci rumah sakit. Bau
rumah sakit, warna rumah sakit, lorong-lorong rumah sakit, dan
segalanya yang ada di rumah sakit. Tak ada pilihan. Ya, bagai"
manapun janji harus ditepati.
Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas
tepat, dan Dava berada di ruang pemeriksaan. Bagaimana ya,
hasilnya" Ia bertanya-tanya gelisah dalam hati. Gadis itu hanya
bisa pasrah dan berharap segalanya baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian Dava keluar dari ruang peme"
riksaan. Amanda langsung bangkit berdiri dan berjalan menghampiri
cowok itu. Dava masih berdiri di ambang pintu sambil membaca
berkas-berkas medis. "Hei, gimana?" tanyanya tak sabar.
"Sudah membaik," Dava menjawab tanpa mengalihkan pan"
dangan dari berkas-berkas itu. "Di luar prediksi dokter, hidung
gue sudah hampir normal. Mungkin cuma butuh waktu satu
minggu lagi." "Yang benar?" Dava mengangguk senang. Cowok itu juga tak bisa menyem"
bunyikan kegembiraannya. "Gue bisa main bola lagi!" ia ter"
senyum ceria. Amanda terpana. 154 Janji Hati.indd 154 Ini pertama kalinya ia melihat Dava tersenyum...
Senyum yang benar-benar menggambarkan arti kebahagiaan.
Senyum yang penuh pengharapan. Bukan senyum-senyum
mengejek dan menjatuhkan seperti yang biasa ia tebar. Ya, ini
pertama kalinya. Dan senyum itu begitu menggetarkan hati
Amanda. Entahlah, pokok"nya ia juga bahagia.
Dava merogoh-rogoh kantong jinsnya mengambil kunci
Duccati hitamnya "Sekarang cabut yuk!"
"Ke mana?" "Ke suatu tempat."
Amanda meringis. "Bisa nggak, pulang dulu ke rumahku?"
Ia membasahi bibirnya. "Mau ganti baju," terangnya sebelum
cowok itu bertanya lagi. Dava memutar bola matanya. "Ayo!"
Tempat apa ini" Bangunan itu tidak bertingkat namun luas. Banyak pepohonan
rimbun juga bunga-bunga yang dipeli"hara dan dirawat maupun
bunga yang bermunculan secara liar di pekarangan. Pagarnya
dicat putih, tidak terlalu tinggi, kira-kira 150 sentimeter.
Ducati hitam Dava memasuki pekarangan. Jarak antara pagar
dan bangunan yang ada di dalamnya sekitar dua ratus meter,
sehingga Amanda tidak bisa melihat aktivitas di dalamnya. Na"
mun, bangunan yang mirip rumah itu terlihat cukup sepi. Ada
beberapa tali yang melintang dari pilar teras rumah itu ke sebuah
pohon beringin berbatang cukup besar yang merupakan pohon
155 Janji Hati.indd 155 paling dekat dengan bangunan. Tak lupa, banyak sekali pakaian
yang digantungkan di sana untuk dijemur di bawah panas sinar
matahari yang nyaris membuat kulit Amanda terbakar.
Hah" Panti Asuhan Asih Lestari"
Amanda mengerjap-ngerjap seratus kali lebih cepat daripada
biasanya. Mau apa cowok itu mengajaknya ke sini" Dengan
kebingungan yang besarnya melebihi Planet Yupiter, Amanda
terus memandangi lingkungan di sekelilingnya. Takut-takut kalau
ini hanya ilusi atau mimpi...
"Turun." Suara itu menyadarkannya bahwa sekarang ia benar-benar
sudah berada di depan bangunan itu. Ada sekitar sepuluh anak
tangga yang harus dinaiki untuk mencapai teras berlantai cokelat
yang terbuat dari kayu-kayu pinus.
Amanda turun dari Duccati itu dan melepas helm.
"Ini panti asuhan?"
"Ya iyalah," jawab Dava santai. "Lo bisa baca sendiri kan
dari papan putih yang ada di tembok sebelah sana?" ia menunjuk
papan putih di dekat pintu utama bangunan bercat biru pucat
tersebut. "Terus, ngapain kamu ngajak aku ke sini?" tanya Amanda
gusar. "Kamu ini memang menyebalkan. Kamu nyuruh aku bolos
hanya untuk hal-hal yang nggak berguna kayak gini!" Gadis itu
emosi. Sorot mata Dava yang menyipit langsung menghunjam manik
mata Amanda yang paling dalam.
156 Janji Hati.indd 156 "Diamlah!" katanya dengan suara yang sangat tenang. "Lo
bakal menyesal dengan apa yang lo ucapain barusan!"
Entah mengapa hati Amanda langsung tak tenang mendengar
kata-kata seperti itu. Hening. Tak ada yang bicara lagi. Dava melangkah menyusuri
anak tangga menuju teras panti asuhan. Mau tak mau Amanda
pun mengikuti. Cowok itu melepas alas kakinya dan masuk.


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amanda mengikutinya dengan kikuk.
Sebuah sofa panjang yang sudah robek di beberapa bagian di
ruang utama menghiasi ruang tamu panti asuhan itu. Ada pula
meja panjang yang dihiasi vas berbunga segar. Juga banyak
sekali bingkai foto yang terpanjang di dinding"pastinya foto
anak-anak panti. Amanda tersenyum memandanginya.
Dava berbelok ke arah timur. Terdapat lorong yang dihiasi
pintu-pintu yang terbuka. Amanda memanjangkan kepalanya
untuk melihat ke dalam. Semuanya kamar dengan ranjang ber"
tingkat tiga juga sebuah lemari pakaian. Mungkin kamar anakanak yang tinggal di sini" Gadis itu mengambil kesimpulan
da"lam hati. Di ujung lorong, ada sebuah pintu berkaca bening dan berkasberkas cahaya memancar dari sana. Dava terus berjalan tanpa
memedulikan gadis yang mengikutinya dengan langkah tergopohgopoh. Cowok itu berjalan sangat cepat.
Mereka tiba di pekarangan yang cukup luas. Banyak sekali
anak bermain ceria di sana...
Anak-anak itu masih sangat belia. Mungkin kisaran umurnya
dari tiga sampai dua belas tahun. Tidak ada yang menjaga
157 Janji Hati.indd 157 mereka, semuanya terlihat mandiri. Mereka sangat bahagia"
penuh tawa, ceria, dan raut wajah mereka berseri-seri. Anak-anak
itu sangat rukun dan kompak.
Amanda tak bisa menahan bibir mungilnya untuk mengulas
senyum. "Kak Dava!!" Suara teriakan dari seorang anak cowok berambut ikal berkulit
coke"lat langsung membuat semua mata tertuju padanya"juga
pada Dava. "Hei, lihat ada Kak Dava datang!!" kini giliran seorang gadis
praremaja berbaju kuning yang bersuara.
Anak-anak lain pun langsung menghentikan seluruh aktivitas
dan berlarian ke arah Dava. Cowok itu sekarang terlihat seperti
artis dadakan yang akan diliput wartawan di tengah lapangan
bermain. Amanda kaget setengah mati. Nyaris ia terjatuh karena
terdorong oleh anak-anak yang ingin menghampiri Dava. Buruburu gadis itu menyingkir jauh-jauh. Mendadak, pekarangan
bermain langsung terlihat sepi. Seolah seluruh penghuninya
terisap oleh pusaran angin badai yang datang secara mendadak.
Dan tentu saja pusaran angin badai tersebut adalah Dava
Argianta. "Ayo, Kak, kita latihan musik lagi," seorang anak menariknarik lengan Dava.
"Kakak kok jarang kemari lagi?"
"Aku kangen sama Kakak! Ayo kita main petak umpet!"
"Kak Dava bawa oleh-oleh apa buat kami?"
Telinga Amanda langsung terasa panas dan kepalanya men"
158 Janji Hati.indd 158 dadak pusing kala mendengar pertanyaan yang memberondong
dari anak-anak panti itu.
"Anak-anak!" seru seorang wanita setengah baya berkacamata
yang berusaha menenangkan mereka. "Ayo yang sopan sama
Kak Dava!" Ia berjalan cepat menghampiri anak-anak yang
sedang rusuh. Dalam sekejap, mereka langsung mesem-mesem
tak keruan sambil berpura-pura tak terjadi apa-apa.
"Ayo, kalian semua kembali bermain. Ibu ingin bicara dulu
sama Kak Dava," kata wanita itu ketika sudah berdiri di samping
Dava yang tersenyum sambil memandangi anak-anak satu per
satu. "Nanti kalau sudah selesai kalian boleh kembali mengobrol
dengan Kak Dava." Desahan nada kecewa dan decakan-decakan lidah mengiringi
bubarnya kerumunan anak-anak panti. Wanita setengah baya itu
hanya menggeleng-geleng sambil menatap Dava yang tersenyum
ringan. "Nak Dava, sudah Ibu bilang, kalau mau kemari telepon Ibu
dulu. Kamu lihat sendiri kan anak-anak selalu begitu kalau kamu
berkunjung?" Dava meringis sambil mengusap-usap kepala. "Nggak apaapa, Bude. Saya malah senang disambut kayak gitu. Tandanya
mereka sayang kan sama saya?"
Amanda terperangah mendengar percakapan mereka. Apakah
ia sedang bermimpi" Seorang Dava Argianta menyukai anakanak juga berbicara dengan sangat sopan" Rasa-rasanya tidak
mungkin... "Eh," wanita itu sedikit kaget menyadari keberadaan seorang
159 Janji Hati.indd 159 gadis dengan T-shirt kuning Spongebob Squarepants sedang
tersenyum canggung ke arahnya. "Siapa itu?" Ia melirik Dava
meminta jawaban. "Pacarmu?"
Hah" Pacar" "Bukan, Bude," mata cowok itu mengisyaratkan agar Amanda
mendekat. "Perkenalkan, ini Amanda. Teman akrab saya."
Apa" Teman akrab"
Wanita yang berbicara dengan logat Jawa itu tersenyum ramah
pada Amanda, "Halo, Nak Amanda, kamu cantik sekali. Panggil
saja aku Bude Lastri."
Amanda bingung sejenak. Sejujurnya ia bukan tipe gadis yang
bila disanjung akan merasa kakinya sangat ringan tak berbeban,
kemudian mendadak muncul sepasang sayap indah di kedua sisi
pinggangnya dan bersiap terbang ke langit ketujuh. Pada ak"
hirnya, ia hanya tersenyum tipis.
"Benar kalian hanya teman?"
Keduanya langsung saling tatap dengan bingung. Bahkan jika
ada kata yang lebih dalam maknanya daripada kata "bingung",
itulah reaksi Dava juga Amanda saat ini.
"Iya, benar." Keduanya menjawab serempak, tak terencana sedikit pun.
Sosok bersahabat bernama Lastri Utami itu heran dan tak bisa
menahan tawanya yang meledak begitu saja. Tanpa sadar tin"
dakannya itu membuat wajah Amanda memanas"sementara
Dava seperti biasa, hanya berekspresi datar dan mengerutkan
kening. Lastri yang sepertinya bisa memahami situasi dan kon"
disi anak-anak remaja menjelang tahap dewasa ini, memutuskan
160 Janji Hati.indd 160 tak bertanya tentang hubungan mereka berdua lebih jauh lagi.
Wanita setengah baya itu langsung mengganti topik pembicaraan
untuk kembali mencairkan suasana yang mendadak berubah
sedingin atmosfer Satur"nus.
"Dava, Amanda," ia berdeham dan sedikit tersenyum sambil
merapikan atasan batik bermotif bunga-bunga yang dipakainya,
"kalian sudah makan" Ayo kita makan bersama, kebetulan Bude
belum makan siang." "Nggak usah, Bude," Amanda menolak ajakan itu dengan
halus. "Saya masih kenyang."
"Saya juga masih kenyang," Dava menimpali.
"Benar kalian sudah makan?"
Sepasang anak remaja itu mengangguk mantap.
"Bude, saya main sama anak-anak dulu. Saya kangen sama
mereka." Lastri mengangguk pertanda setuju. Amanda bersiap untuk
melang"kah mengikuti Dava ke mana pun cowok itu pergi...
"Lo tunggu di sini aja," cowok itu mencegah agar Amanda
tak mengikutinya. "Temenin tuh, Bude Lastri!"
Amanda membuka mulutnya untuk membantah namun tidak
ada satu patah kata pun yang keluar dari sana. Ia menatap Bude
Lastri dan Dava secara bergantian. Oh, oh, baiklah! Dava selalu
saja seperti itu, tidak pernah bertanggung jawab sedikit pun.
Tadi mengajaknya dan sekarang meninggalkannya begitu saja.
Cowok itu pun membalikkan tubuh jangkungnya dan berjalan
menuju pondok kecil di tengah halaman bermain ber"bentuk segi
empat yang luas. 161 Janji Hati.indd 161 "Ayo, Amanda, kita masuk," wanita itu mengajak Amanda
setelah Dava sudah benar-benar menjauh.
"Kapan panti asuhan ini didirikan, Bude?"
"Sekitar lima tahun lalu."
Mereka berdua tengah asyik berbicara di ruangan makan
sederhana di sebuah meja makan kecil dengan kapasitas empat
orang. Biasanya anak-anak panti selalu makan dengan duduk di
teras atau halaman belakang. Meja makan itu berada di tengah
dapur yang berantakan. Banyak piring kotor menumpuk di
tempat cuci piring hingga sampai pada meja marmer yang berada
di sampingnya. "Bude, itu piring kotor banyak banget?" Amanda tidak bisa
menutup mulutnya karena begitu terpana. "Bude nggak capek
mencuci semuanya sendirian?" katanya sambil menunjuk piringpiring itu.
Bude menggeleng. "Anak-anak yang selalu bantuin Bude
untuk mencuci piring-piring itu. Ada jadwal gilirannya," katanya
pelan dengan sedikit tertawa.
Amanda takjub. Benar-benar takjub. Anak-anak itu begitu
tertib dan rasa kekeluargaan mereka sangat tinggi. Mereka benarbenar keluarga yang utuh. Keluarga yang saling membangun
dan sangat bahagia" Lastri bangkit dari kursinya sambil membawa piring menuju
tempat cuci. Wanita itu sudah selesai makan siang. Ia menyalakan
keran air dan mulai mencuci beberapa piring. Amanda merasa
162 Janji Hati.indd 162 tak enak hati membiarkan dirinya bersantai-santi duduk di kursi.
Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah mendekat.
"Sini, biar aku bantu, Bude!" Ia mengambil piring kotor dan
mengolesinya dengan sabun colek.
"Terima kasih," ucap Lastri tulus dengan aksen Jawa yang
sangat kental. "Kamu baik sekali, Nak."
Hening. Hanya terdengar gemerecik air menghapus gelembung
sabun di muka piring-piring berbahan plastik. Kedua perempuan
itu serius dalam pekerjaan masing-masing.
"Sudah cukup. Segini saja. Sisanya biar anak-anak."
Sudah sekitar lima belas piring dari total piring yang mereka
kerjakan bersama. Lastri mematikan keran air dan mengelap
tangannya di sebuah kain besar yang tergantung di dekat sisi
barat dinding. "Mari Bude beritahu tentang segala seluk-beluk panti ini."
Lastri melangkah dan merangkul sebelah bahu Aman"da. Lastri
memperlihatkan kepada Amanda sebuah ruangan yang tak begitu
besar, namun sangat rapi. Banyak sekali rak buku dan meja-meja
yang mendominasi ruangan tersebut. Di tengah-tengah ruangan
itu, ada sebuah meja dengan sebuah kursi kayu yang beradu. Di
depannya ada dua kursi kayu lain berukuran lebih kecil yang
membelakangi pintu. Itu ruang kerja Bude Lastri.
"Nah, selain ruang kerja Bude, ini juga perpustakaannya anakanak," wanita itu melangkah masuk dan menunjuk rak-rak buku
satu per satu. Mulai dari rak buku sekolah dasar, sekolah me"
nengah pertama, cerita fabel dan dongeng, sampai buku-buku
163 Janji Hati.indd 163 percintaan remaja. Semua milik bersama anak-anak panti. Se"
muanya buku-buku bekas, usang, dan terlihat lapuk hampir di
setiap sudutnya, namun setiap buku tersampul rapi dan dirawat
dengan sangat baik. Setelah itu mereka berkeliling melihat kamar anak-anak panti
dan bagian-bagian menakjubkan lainnya di panti asuhan.
Amanda lelah. Kakinya terasa pegal dan capek. Bude Lastri
bisa memahami gerak-gerik gadis itu dan mengajaknya kembali
ke ruang tamu untuk beristirahat sejenak.
"Kamu beneran hanya berteman dengan Dava?"
Pertanyaan itu begitu mendadak, spontan, dan nyaris membuat
Amanda tersedak karena diajukan tepat saat dirinya sedang
menegak segelas air putih. Gadis itu langsung berusaha mengem"
balikan raut wajah terkejutnya menjadi raut wajah datar, seolah
tidak terjadi apa-apa. "Iya, Bude. Benar kami hanya teman. Memangnya kenapa?"
ia bingung. "Bude nggak percaya saja."
Amanda mengernyitkan kening sedalam-dalamnya. "Hah"
Nggak percaya bagaimana maksud Bude?"
Lagi-lagi Bude Lastri tersenyum, dan menatap mata bulat
Amanda lekat-lekat. Wanita itu berpindah ke sofa tua yang sama
dengan Amanda. Mereka duduk berdampingan. Lastri menyentuh
lembut sebelah pundak gadis muda itu.
"Maaf kalau Bude bertanya tentang hubungan kalian berulangulang. Selama ini, yang Bude tahu Dava hampir nggak mengenal
sosok perempuan," katanya.
164 Janji Hati.indd 164 "Maksudnya, Bude" Saya nggak paham."
Lastri berdeham. "Iya, Nak?" Raut mukanya terlihat muram.
"Apakah kamu tahu bahwa ibunda Dava sudah tiada?"
Amanda memutar bola matanya. Ah ya, ia ingat. Leo pernah
ber"cerita tentang hal ini. "Hmm," gadis itu mengetuk-ngetuk
pelipisnya. "Iya, Bude, kakak tirinya pernah bercerita tentang
hal ini," jawabnya. Lastri mengangguk. "Kamu tahu, Nak," suaranya bergetar
hebat. "Aku bersahabat baik dengan ibundanya?" hening
sejenak. "Aku tak percaya dia pergi begitu cepat waktu itu.
Meninggalkan Dava yang masih sangat kecil dan tidak tahu
apa-apa. Aku sangat menyayangi Dava dan Dava sudah kuanggap
sebagai anakku sendiri," air matanya menetes. Suara wanita itu
tercekat. Ada nada sedih di dalamnya. Seperti nyanyian elegi
yang bisa membuat siapa saja mendadak merasakan apa yang
sebelumnya tidak bisa mereka rasanya secara nyata. Kesedihan.
Juga duka yang sangat mendalam.Amanda menelan ludah. Air
matanya ingin tumpah. Buru-buru ia menyeka matanya dengan
punggung tangan sebelum buliran kristal bening itu membasahi
kedua pipi halusnya. "Dan Bude tahu, sadar atau tidak, kamu sudah menjadi orang
yang sangat berarti untuk hidup Dava, Amanda."
Apa" Sangat berarti untuk hidup Dava" Maksudnya apa"
Amanda sama sekali tak mengerti. "Belum pernah sekali pun
Dava membawa seorang gadis atau teman perempuan kemari
selain kamu. Kamu yang pertama?"
165 Janji Hati.indd 165 Benarkah" "Semenjak ibundanya meninggal, dia sangat membenci yang
namanya perempuan. Dia tak mau dekat-dekat perempuan,
katanya takut kehilangan..." Lastri menjelaskan dengan penuh
kelembutan dan keprihatinan. Amanda sangat bisa merasakan"
nya. "Tapi untungnya itu tidak berlaku untuk Bude dan anak-anak
perempuan di panti asuhan ini. Sebelum memiliki keluarga yang
baru, dulu Dava ke sini hampir setiap hari. Mencari keramaian
ataupun sekadar mengajar anak-anak bermain musik."


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di rumah cowok itu banyak sekali alat musik yang selalu ia
ber"sihkan setiap hari. Apa ada hubungannya dengan anak-anak
panti" Seolah bisa mendengar isi benak Amanda, Bude Lastri
kembali bercerita... "Jangan heran kalau kamu melihat banyak sekali alat musik
di rumahnya pada sebuah ruang khusus..."
Amanda melebarkan mata bundarnya. "Ah ya, memang aku
selalu ke sana untuk membersihkannya setiap hari," kata-kata
itu terlontar begitu saja tanpa direncanakan.
"Membersihkan ruang musiknya setiap hari?"
"Iya, Bude. Itu hukuman," Amanda tersenyum tipis.
Kali ini, Amanda yang bercerita kepada Bude Lastri. Amanda
pencerita yang baik. Raut wajahnya berganti-ganti cepat"
terkejut, histeris, takut, sedih, depresi, dan tertawa. Bude Lastri
asyik mendengarkannya. Wanita itu banyak sekali tertawa.
Akhirnya, Amanda diam. Ia sudah selesai bercerita.
"Jadi, kamu mengenal seluruh keluarga Dava yang baru?"
166 Janji Hati.indd 166 Amanda mengangguk polos. "Ada apa, Bude?"
"Tidak," ucap Lastri sambil setengah berpikir. "Dari ceritamu,
sepertinya kamu sangat menyukai Leo."
Deg! Bagaimana mungkin Bude Lastri bisa berhipotesis sedemikian
rupa. "Bude ini apa-apaan sih..." Amanda tertawa kikuk. "Aku
hanya berteman akrab dengan mereka. Perasaanku sama saja
terhadap mereka berdua, nggak ada yang lebih."
"Pemikiranku tidak pernah salah, Nak. Kamu sudah menjadi
orang penting dalam hidup Dava."
"A-apa" Penting?"
"Kamu tahu," katanya Lastri. "Sejak pernikahan ayahnya
dengan ibu tirinya, Dava semakin tertutup. Dia sangat keras.
Tidak ada yang bisa menembus hatinya. Pelariannya adalah panti
ini. Dia bisa menjadi pendengar yang baik untuk segala nasihat
yang Bude berikan, namun dia tak pernah melaksanakannya.
Hidupnya jadi kacau dan sangat berantakan..." suaranya menge"
cil. Amanda mengerjap-ngerjap. Ada kepedihan yang membelenggu
hatinya begitu dalam. "Tapi, aku sangat bangga padanya. Dia selalu kuat. Semangat
juangnya dalam segala hal juga tinggi..."
Hening sejenak. Beberapa saat kemudian barulah Amanda
membu"ka mulutnya, "Iya. Bude benar," ucapnya jujur. "Sedikitbanyak aku sudah mengerti tentang hidupnya. Terima kasih telah
banyak mem"beritahuku, Bude." Amanda menggenggam tangan
wanita di de"pannya.
167 Janji Hati.indd 167 "Jangan berterima kasih." Lastri balas menggenggam erat
tangan Amanda. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu
karena kamu telah membuat Dava tertawa?"
Hati Amanda berdesir. Namun raut wajahnya tetap tak luput
dari kebingungan besar. "Suatu hari nanti, kamu akan mengerti maksud Bude."
Suatu hari nanti" "Dan kamu juga akan mengerti apa perbedaan rasa suka dan
rasa cinta." "Lanjutkan, anak-anak. Kak Dava tau kok, kalian anak-anak
yang pintar..." Anak-anak sibuk menggambar not-not balok pada garis pa"
ranada di atas kertas putih. Ruang khusus dengan tembok ber"
nuansa oranye itu riuh rendah seperti bunyi kendaraan bermotor
yang memadati ruas jalan.
"Kak, aku sudah selesai, lihat nih!"
Seorang anak kecil antusias menarik-narik lengan Dava dan
menunjukkan hasil kerjaannya. Dava mengusap-ngusap dagu
perlahan, kemudian menatap anak itu sangat serius hingga
membuat anak kecil itu ketakutan...
"Ye!" cowok itu menggendong anak kecil yang terlihat ke"
takutan itu. "Sudah benar nih," serunya sambil menjawil hidung anak itu.
"Gambar lagi yang banyak sampai bentuknya benar-benar bagus,
ya?" 168 Janji Hati.indd 168 Diam-diam Amanda tersenyum melihat pemandangan itu dari
jen"dela. Ini yang dilakukan Dava setiap kali mengunjungi panti"
tanyanya dalam hati. Benar-benar sulit dipercaya seorang Dava
Argianta bisa melakukan hal yang sangat manusiawi seperti itu.
Berarti ucapan-ucapan Bude Lastri memang benar. Tapi, astaga,
ini sulit dipercaya. "Mau masuk?" Kenapa semua orang senang memanggilnya dengan tiba-tiba
dan membuat jantungnya serasa mau copot" Amanda mengge"
rutu kesal dalam hati ketika mendadak Dava mengagetkan
dirinya. Sebenarnya Amanda malas, tapi tak ada salahnya. Ia juga
ingin berkenalan dengan anak-anak panti asuhan Asih Lestari.
Amanda mengangguk dan masuk ruangan.
"Halo, anak-anak," Amanda menyapa seisi ruangan itu, sua"
ranya mengatasi suasana ribut seperti pasar malam.
"Eh, Kakak," anak berambut kribo itu memberikan respons
yang paling cepat untuk sapaan Amanda. "Kenalin diri dulu
dong ke kami!" ucapnya antusias, disusul anggukan anak-anak
lain. Amanda tersenyum ceria, "Saya Amanda Tavari," katanya
lan"tang di tengah-tengah ruangan itu. "Nice to meet you,
guys!" "A-apa?", tanya seorang anak perempuan yang duduk di meja
pojok. Dava menggeleng-geleng. "Itu artinya senang berjumpa
dengan kalian semua."
169 Janji Hati.indd 169 "O?" suara itu kembali menggema di ruang.
Bahu Amanda berguncang, ia tak bisa menahan tawanya.
Anak-anak panti sangat menyenangkan.
"Kak Amanda bisa main musik?" tanya seorang anak ber"baju
kuning. "Bisa," Amanda mengangguk-angguk.
"Benar" Alat musik apa?" tanyanya antusias.
"Umm," ia mengetuk-ngetuk dagunya, "aku cuma bisa piano
kla"sik." "Piano klasik?"
"Iya, piano," jawabnya ceria. "Dan klasik adalah jenis musik"
nya." "Ajari kami!" "Pasti. Kapan-kapan kalau Kak Amanda ke sini lagi pasti
Kakak akan ajari kalian!" ia tersenyum.
"Janji, ya?" kata seorang anak di pojok ruang.
Gadis itu mengacungkan jari kelingkingnya. "Janji!"
Tanpa sadar perbincangan itu membuat bahu Dava berguncang
hebat. Ia tertawa geli...
Sangat geli sampai-sampai ia merasa tak bisa mengentikan
tawa itu. Tak terasa bumi berotasi jauh lebih cepat daripada yang di"
pikirkan. Sudah pukul lima sore dan sebentar lagi matahari akan
kembali ber"istirahat di ufuk barat. Baik Dava dan Amanda terlalu
sibuk bermain dengan anak panti asuhan Asih Lestari.
170 Janji Hati.indd 170 Oh, ya ampun, Amanda terlonjat ketika melihat jam Levi"s
yang melingkari tangan mungilnya. Bukan masalah waktu yang
ia ingat, tapi janji dengan Leo. Aduh! gerutunya dalam hati
sambil menepuk-nepuk dahi. Penyakit pelupa memang sulit
dihilangkan dari dirinya. Ponsel. Cewek itu merogoh-rogoh
kantung celananya... Oh Tuhan! Sejak tadi siang ponselnya sudah
mati. Amanda mengetuk-ngetuk ponselnya dan berharap ponsel
itu akan hidup secara mendadak, namun ia sadar bahwa permo"
honannya akan sia-sia dan tindakannya hanyalah kekonyolan
belaka. Percuma, takkan bisa menghidupkan ponsel itu tanpa
bantuan arus listrik. Gadis itu melirik ke arah Dava yang sedang duduk bersantai
di ba"wah pohon mangga sambil minum segelas teh hangat ber"
sama bebe"rapa anak. Dengan tergesa-gesa Amanda berjalan dari
ambang pintu ruang belajar anak-anak panti menuju tempat
cowok itu. "Dava!" Dava menoleh bingung, begitu juga anak-anak yang lain. Ia
mele"takkan gelasnya di tanah dan bangkit berdiri. "Ada apa?"
"Engg... pinjam ponselmu."
"Ponsel gue" Untuk apa?"
Amanda mendengus sebal. "Ada deh!"
"Ya sudah," balas Dava cuek. "Nggak ada."
"Ini penting!" "Bukan urusan gue."
"Ck!" Amanda berdecak kesal. Mau pinjam ponsel saja tidak
boleh. 171 Janji Hati.indd 171 "Ayolah, nggak sampai semenit," pintanya memohon.
"Tidak," Dava tetap menggeleng. "Buat apa dulu?"
Amanda menyerah. Ia tak mau lagi berdebat panjang dengan
Dava hanya karena sebuah ponsel. "Buat nelepon Leo," jawabnya
dengan enggan. Dava mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut saat
melihat gadis itu sudah memalingkah wajahnya. "Ini." Ia meng"
ulurkan ta"ngannya dan Amanda menoleh.
"Terima kasih."
Amanda langsung sibuk mengutak-atik ponsel dan beberapa
saat kemudian telepon tersambung, "Halo?"
"Amanda?" suara itu jelas-jelas menunjukkan kebingungan
yang sebesar-besarnya. Gadis itu mengangguk-angguk walau yang di telepon tak me"
lihat. "Iya, Leo. Ini aku Amanda. Ponselku mati. Maaf baru
memberitahu," katanya lagi. "Dari tadi aku sibuk. Oh ya, aku
sedang bersama Da"va" Aku mau kasih tahu aja. Oke, sampai
jumpa." Klik! Telepon berakhir. Dava sedari tadi menyimak pembicaraan itu. Tapi tak ada
yang dapat ia tangkap. Mereka mau kencan" Ia tahu, kakak
tirinya itu jelas-jelas menyukai Amanda. Tapi ia tak peduli, mau
suka mau benci, tak ada urusannya sama sekali dengan diri"
nya. Amanda mengembalikan ponsel Dava sambil menatapnya
bingung. Dava membalasnya dengan tatapan tak berdosa.
172 Janji Hati.indd 172 Sementara itu, tak ada yang tahu bahwa ada seseorang yang
sangat resah di belahan bumi lain. Seseorang yang merasa sama
sekali tak berdaya. Seseorang yang sangat cemburu pada ke"
dekatan Amanda dan Dava. Namun, yang dapat ia lakukan hanya
menerima. "Elo lapar?" Amanda menggeleng. "Belum, aku masih kenyang walau
makan terakhir adalah tadi pagi." Ia tersenyum samar.
Mereka berdua sudah sampai di rumah bergaya Yunani milik
Dava. Amanda sangat lelah. Begitu juga dengan Dava. Sekarang
mereka berada di lantai atas dan duduk di sofa yang ada di dekat
tangga. "Oh ya," cowok itu teringat sesuatu sambil mengusap-usap
rambut, "tadi lo bilang ke anak-anak, lo bisa main piano?"
Amanda mengangguk datar. Dava mengangkat sedikit alisnya, "Serius" Kenapa lo nggak
pernah bilang bisa main piano" Gue belum pernah dengar
permainan lo." Gadis itu tersenyum tipis, "Kamu nggak pernah tanya,"
jawabnya enteng. "Jadi kenapa aku harus bilang?"
Cowok itu hanya mengangkat bahu, "Kalau gitu, main seka"
rang." "Hah?" Sebelum Amanda sempat menolak, Dava lebih dahulu ber"
anjak dari sofa dan langsung menggenggam pergelangan tangan
173 Janji Hati.indd 173 Amanda erat dan menariknya. Tepat saat itu, Dava merasakan
sesuatu yang aneh. Ia bingung, kemudian buru-buru meneruskan
tindakannya dan menggiring Amnada menuju ruang musiknya.
"Ayo, sekarang waktunya lo main!"
Amanda masih berdiri tidak yakin.
"Amanda Tavari! Ayo main." Dava meraih kedua tangan
Amanda dan meletakkan di barisan tuts putih.
Amanda tersentak. "Oh, eh, ya?" katanya gugup kemudian
duduk. "L-lagu a-apa?"
"Terserah." Gadis itu berpikir sejenak. Kemudian jemarinya mulai
bergerak lincah memainkan sebuah lagu klasik ciptaan Chopin,
Polonaise Op.22. Sementara itu, kening Dava berkerut. Cowok
itu mulai meme"jamkan mata setelah beberapa detik permainan
itu dimulai. Sepertinya cowok itu menikmati permainan musik
Amanda. Selama beberapa menit alunan musik klasik yang berasal dari
grand piano Dava mendominasi seluruh ruangan. Musik itu
sukses menenggelamkan Dava dalam keceriaan yang damai dan
tenang. Banyak sekali nada sulit yang berhasil dimainkan oleh
Amanda tanpa tersendat atau terputus. Sesekali Dava membuka
mata sembari mem"perhatikan jemari yang sangat lentur seperti
sudah terlatih. Dava membuka mata ketika lagu yang berdurasi sekitar
sembilan menit itu berakhir.
Amanda menatap Dava dalam diam-seolah menunggu ba"
gaimana jawaban atas permainannya.
174 Janji Hati.indd 174 "Hei?" suara Dava serak. "Barusan itu yang lo mainkan
Polonaise karya Chopin?" tanyanya dengan tidak percaya.
"Memangnya kenapa?" jawab Amanda bingung sambil
bangkit dari kursi. Dava berdecak, "Bagi gue, itu salah satu dari sepuluh lagu
tersulit yang pernah ada sepanjang masa di piano klasik!"


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu tertawa. "Lalu kenapa?"
"Gue suka lagu itu. Itu lagu favorit gue dan selama bertahuntahun gue nggak pernah bisa mainin lagu itu dengan sempurna
dengan biola," Dava mulai berceloteh. "Lo hebat!" ujarnya
sambil meng"genggam tangan Amanda.
Dava menggenggam tangan Amanda Tavari"
Amanda kaget setengah mati. Takut ini mimpi. Kenapa
mendadak cowok itu jadi berubah baik" Bisa mengagumi
seseorang dan memuji-muji tanpa gengsi. Tanpa sadar, ekspresi
Amanda langsung berubah kecewa ketika Dava melepaskan
tangannya. "Siapa yang ngajarin?"
Ekspresi Amanda langsung berubah murung. "Almarhum
Revan Tavari. Kakakku." Ia berusaha tersenyum kembali walau
rasanya berat. Bunyi bel. Siapa ya" Berisik sekali.
"Coba lo lihat siapa yang datang!" perintah Dava. "Palingpaling si pemalas Bejo ketiduran lagi."
175 Janji Hati.indd 175 Amanda cekikikan dan beranjak turun dari lantai atas untuk
mengecek. Ia membuka pintu dan matanya mengarah ke luar pagar.
Ternyata Leo, Amanda segera berlari ke dalam, mengambil kunci
kemudian keluar lagi. Saat melintasi pos satpam, persis seperti
dugaan Dava, Pak Bejo tertidur pulas sambil mengigau tidak
jelas. Aman"da hanya tertawa sambil menggeleng-geleng pe"
lan. "Kamu belum pulang, Man?" Tubuh tinggi Leo menjulang
di depan gadis itu ketika sudah masuk ke halaman rumah.
"Belum, maaf banget, Le. Ponsel aku mati. Nggak bermaksud
buat kamu khawatir."
"Nggak, nggak apa-apa kok, Man. Santai aja."
Mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.
"Auw!" Kaki Amanda tiba-tiba tergelincir. Ia terjatuh dan Leo lang"
sung panik. "Man, kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.
"Nggak, nggak apa-apa kok," Amanda meringis memegangi
per"gelangan kakinya.
"Sakit?" Cowok itu menyentuh pergelangan kaki Amanda.
"Sedikit." Tanpa meminta persetujuan Leo mengalungkan tangan ke
bahu Amanda yang masih terduduk. Dengan satu gerakan cepat
ia meraih tubuh mungil itu dan menggendongnya.
Amanda berteriak, "Leo! Jangan!"
Leo tertawa-tawa."Udah, kamu diam aja, Man. Cuma sampe
dalam rumah aja, kok."
176 Janji Hati.indd 176 Tanpa mereka sadari Dava memperhatikan mereka dari balkon
atas dengan tatapan tidak suka.
177 Janji Hati.indd 177 pukul tiga tepat dan Amanda sudah berada di
depan rumah Dava. Hari ini memang ia sengaja datang
lebih cepat untuk melaksanakan tugas mem"bersihkan
ruangan musik. Untungnya Pak Bejo sekarang sedang menonton TV, bukan
sedang tertidur dan mengigau aneh-aneh seperti biasa, jadi
Amanda bisa langsung masuk ke rumah itu tanpa harus susah
payah mem"bangunkan satpam yang satu itu.
"Hei," Amanda menyapa Dava yang tengah menonton TV di
ruang keluarga. Dava menoleh dan langsung bangkit berdiri. "Buatin gue teh
manis di dapur!" Amanda terperangah. Kenapa Dava berubah jadi menyeramkan
ekarang 178 Janji Hati.indd 178 kembali" Padahal hubungan mereka sudah membaik kema"
rin" "Ini," kata Amanda begitu ia kembali dari dapur sambil mem"
bawakan secangkit teh manis panas.
Cowok itu meminumnya tanpa bersuara.
"Hmm, Va, aku naik dulu ya, mau bersih-bersih."
"Nggak usah." "Ha?" tanya Amanda bingung. "Nggak usah?"
"Iya. Untuk hari ini, nggak usah."
"Terus" Kamu suruh ngapain aku ke sini?"
Dava mengangkat bahu. "Sebenarnya nanti sore, gue juga
mau main futsal di lapangan Green Bay," ucapnya dengan nada
yang lebih lembut daripada saat cowok itu menyuruhnya mem"
buatkan teh manis. "Gue mau lo berangkat bareng gue."
Amanda masih tidak mengerti. Tapi hanya menganggukangguk. Takut Dava marah atau ngamuk.
"Man?" "Ya?" "Lo pacaran sama?" ucapannya terhenti sejenak. Dava ber"
deham, "Leo?" "Leo?" Amanda nyaris terpingkal-pingkal. Perutnya mendadak
mulas. "Nggak, kami hanya teman akrab. Kenapa memang?"
"Cuma nanya." "Oh?" Hening kembali. Tanpa sadar mereka berdua sama-sama bi"
ngung bagaimana mengalihkan topik pembicaraan. Hanya saling
179 Janji Hati.indd 179 pandang tidak jelas dan sebentar-sebentar memutar bola mata
agar tidak terus terkunci pada tatapan masing-masing.
"Ehm," Dava berdeham lagi. "Gue ada CD-nya Vivaldi yang
The Four Seasons. Mau dengar?"
Amanda langsung terlihat antusias. "Serius" Ayo!"
Mereka pun bergegas menuju ruang musik.
Alunan musik The Four Season-nya Vivaldi mengalun dari CD
player di kamar Dava. Amanda minta lagu itu diputar berulangulang. Lagu itu menarik. Tahapan alur musiknya adalah summerautumn-winter-dan-spring. Jika digambarkan dengan suasana,
maka tahapan alurnya adalah senang-sedih-sedih-dan-senang.
Di dalam musiknya, saat summer suasananya sangat meng"
gairahkan dan membuat siapa saja bersemangat. Saat autumn
suasana dalam alunan musik itu sendu, semua seolah rapuh dan
gugur. Kemudian saat winter, khusus musim ini memiliki dua
kepribadian. Pada musik ini suasana adalah dingin dan sedih
tapi beberapa bagian kecil musik ada sisi romantis karena bia"
sanya identik dengan antusiasme salju yang meriah dan indah.
Kemudian spring, melambangkan semuanya bersemi kembali,
memulai kebahagiaan yang baru.
Dan sekarang lagu klasik Vivaldi sedang memutar nada-nada
musim dingin. Sebentar lagi akan beralih pada musim semi.
"Amanda?" Dava melangkah mendekati Amanda yang se"
dang duduk di tempat tidur.
"Ya?" 180 Janji Hati.indd 180 "Lo pernah nonton video spring waltz lagu The Four Season
ini?" Amanda mengangguk-angguk. "Pernah. Sering malah. Bagus
ba"nget, ya?" Dava mengangguk. "Sebentar lagi alunan spring diputar. Dan
lo sering nonton video spring waltz, jadi, lo apal gerakannya
dong?" Amanda memandang Dava bingung. "Ya, cukup hafal,"
katanya datar. "Oke, now, stand up! Kita coba tarian itu." Kata-kata itu
terlontar begitu saja dari mulut Dava, tanpa keraguan sedikit
pun. Apa" Apakah Amanda tidak salah dengar" Dava mengajaknya
spring waltz" "Jangan berpikiran yang macem-macem deh," Dava menyipit"
kan mata. "Cuma iseng aja, sekalian pengin nguji body kinestetic
lo tuh rendah apa tinggi."
Tepat saat pergantian alunan musik winter ke spring entah
ada dorongan dari mana, Amanda bangkit berdiri dan mendekat
ke arah Dava. Gadis itu menyentuh pundak Dava dan Dava
meling"karkan sebelah tangannya di pinggang Amanda. Mereka
berdua mulai menari-nari mengitari setiap sudut kamar.
Mendadak Dava gugup, namun ia tetap berusaha maksimal
agar Amanda tidak membaca ekspresinya.
Lagu musim semi itu pun mengalun indah"jauh lebih indah
daripada pe"mandangan yang sebenarnya karena mereka berdua
181 Janji Hati.indd 181 tak henti-hentinya tersenyum satu sama lain. Berharap dapat
membekukan saat-saat seperti itu untuk selamanya.
Seperti biasa, lapangan hijau Green Bay selalu ramai saat sore
seperti ini. Sindi dan Amanda kelelahan usai sparing dengan
klub voli putri yang cukup tanggung untuk dikalahkan. Mereka
duduk-duduk sambil meluruskan kaki di rerumputan.
"Man," kata Sindi yang tengah mengusap peluh dengan
handuk biru pucat. "Hm?" Amanda menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari
aktivitas olahraga di sekitarnya.
"Tadi kan kalian berangkat bareng ke sini," ucapannya terhenti
sejenak. "Sepertinya hubungan kalian sudah membaik."
Mendadak pikiran Amanda melayang dan memutar memori
tentang dirinya dan Dava seperti slide-slide film. Mulai dari
pertemuan pertama mereka yang benar-benar membuat
jantungnya ingin berhenti berdetak, lalu"
Saat Dava mengajaknya spring waltz.
Apa maksud semua ini"
Mungkinkah" "Hoi, Man. Kebiasaan banget suka melamun!"
Amanda tersentak, "So-sori, Sin," ucapnya terbata. "Yah,"
Amanda mengangkat bahu. "Lumayan lah, udah nggak gitu
serem kayak pertama-tama," jawabnya asal. "Sudah mulai mem"
baik sikapnya." Ia tertawa lebar.
Sindi mengangguk-angguk heran. "Payah kamu, Man!" saha"
182 Janji Hati.indd 182 batnya itu menggerutu kesal sambil manyun. "Sekarang udah
nggak pernah cerita-cerita lagi."
Gadis itu kembali tertawa. "Kan kamu udah pernah ngasih
aku buku diary," katanya sambil berusaha membuat Sindi
kembali tertawa. "Sama aja, kan?"
Sindi bergeming sebentar. Beberapa saat kemudian ia juga
ikut tertawa. Lalu ia menyambung, "Kalau sama Leo gimana"
Kenapa kamu nggak pacaran sama dia aja, sih?" ujar Sindi
gemas. "Kalian tuh cocok. Dan jelas-jelas dia tuh suka sama
kamu, Man. Kalau aku jadi kamu sih, udah pasti aku nggak
bakalan nyari ke mana-mana lagi?"
"Hah" Kok tiba-tiba jadi ngomong mengigau kayak gitu?"
jawab Amanda setengah kesal.
Mendadak di dalam benaknya terpikir sosok kakak-beradik
tiri itu. Leo dan Dava. Secara garis besar, jika seandainya ia
di"hadapkan untuk memilih salah satu di antara keduanya, Aman"
da sudah tahu orang-orang di sekelilingnya akan mendukungnya
untuk bersama siapa. Entah mengapa jauh di lubuk hatinya yang
terdalam, ia tidak suka dengan pilihan itu"
183 Janji Hati.indd 183 pukul tujuh pagi. Dan hari ini Amanda tidak
sekolah. Kebetulan sekali guru-guru sedang meng"
ada"kan rapat penting, jadi seluruh siswa-siswi
SMA Re"sidensial diliburkan.
Amanda sudah bangun tidur. Ia terduduk diam di dalam
kamar. Merenung sambil memangku bantal Baby Milo kesayang"
annya. Di depannya ada pigura berwarna oranye yang berisikan
foto dirinya dengan seorang cowok dengan latar taman rumah"
nya. Revan Tavari. "Hai, Re, apa kabar" Mendadak aku jadi inget sama kamu.
Udah lama banget ya, aku nggak nengok kamu?"
Air mata Amanda mendadak menetes.
asih 184 Janji Hati.indd 184 "Hari ini aku libur. Aku mau jenguk kamu. Tunggu aku ya,"
ia tersenyum perlahan. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan.
Tanpa banyak berpikir lagi, ia langsung beranjak untuk bersiapsiap me"ngunjungi makam Revan.
Sebuah Everest biru gelap baru saja tiba di depan rumahnya,
tepat ketika Amanda ingin melangkah ke mobilnya.
"Manda, mau ke mana kamu?" tanya Leo yang terburu-buru
turun dari mobil. Amanda mengerjap-ngerjap bingung. "Eng," jawabnya ragu.
"Aku mau pergi. Ada apa?"
"Aku mau ambil bajuku yang kamu pakai waktu pingsan
tempo hari." Cowok itu tersenyum.
"Oh, ya ampun." Amanda menepuk dahi. "Belum aku balikin
ya" Maaf, aku orangnya emang suka lupa." Amanda mendengus
jengkel pada dirinya. "Minta Bi Sinem saja, ya" Aku lagi buruburu."
Leo mengangguk-angguk sambil sedikit bingung. "Oke,"
katanya datar. Amanda mengacungkan jempol. " Aku pergi dulu ya, Le.
Nggak lama kok." Buru-buru ia langsung berlari masuk ke mobil
dan melesat pergi tanpa menghiraukan Leo yang terbingungbingung dengan tindakannya.
Cowok itu berpikir keras. Ia melirik jam tangannya. Pukul
09.27. Pagi-pagi begini Amanda mau ke mana" Nggak biasa185
Janji Hati.indd 185 biasanya. Leo memang sudah tahu bahwa hari ini Amanda libur
sekolah, tapi gadis itu sama sekali tidak bilang bahwa hari ini
ia akan pergi ke suatu tempat. Terlebih pakaian gadis itu sudah
rapi. Matanya menyipit, mobil Amanda memang sudah tak terlihat
lagi di sepanjang jalanan perumahan itu, tapi pasti belum terlalu
jauh. Dengan cepat, Leo masuk mobil dan menstarter Everest
biru gelapnya. Cowok itu ingin tahu ke mana Amanda pergi.
Urusan bajunya yang belum Amanda kembalikan, itu nomor
lima ratus. Baru saja ia menghentikan Everest biru gelapnya di pinggir jalan
dengan tetap menjaga jarak beberapa meter dari mobil Amanda
agar tetap aman tak terlihat. Ia melihat gadis itu membuka pintu
mobil dan turun sambil menjinjing keranjang berisi kelopakkelopak mawar merah.
Ia tercekat mengingat tulisan besar-besar pada gerbang mewah
yang dilewatinya tadi. Pemakaman San Diego Hills.


Janji Hati Karya Evira Natali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leo mengerutkan dahi sekerut-kerutnya. Sejak tadi ia hanya
mengikuti Amanda dan sama sekali tidak mengamati sekitar,
pengli"hatannya hanya terfokus pada mobil gadis itu. Kesadarannya
baru kembali ketika mobil Amanda benar-benar berhenti di
halaman parkir pemakaman. Amanda pergi ke makam siapa"
gumamnya pelan. Mendadak wajahnya pucat. Apakah makam
Revan" Pikirannya men"dadak kacau.
Entah ada dorongan dari mana, tangannya bergerak membuka
186 Janji Hati.indd 186 pintu mobil dan ia langsung turun dan berlari secepat kakinya
mampu untuk berlari"
"Amanda!" Amanda tersentak mendapati bahunya ditepuk oleh seseorang.
Dengan satu gerakan cepat ia menoleh ke belakang.
Apakah ia tidak salah lihat" Sedang apa cowok itu di sini"
"Leo?" Amanda memiringkan kepala. "Ngapain di sini?"
tanyanya kebingungan sambil celingak-celinguk. Sepertinya
cowok itu sendiri"an.
Leo menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Hmm,
sori, tadi aku ngikutin kamu," ucapnya. "Habisnya kamu men"
curigakan banget sih gerak-geriknya! Aku pikir nggak ada sa"
lahnya aku ngikutin kamu. Aku hanya khawatir."
Amanda melongo selama beberapa saat, kemudian mulutnya
menga"tup rapat. Bingung harus berkata apa. "Aku mau ke ma"
kam almarhum kakakku," pada akhirnya hanya kalimat itulah
yang berhasil keluar dari mulutnya.
Deg! Dada Leo seolah dihantam batu yang beratnya bertonton. Persis sesuai dugaannya. Tapi, cowok itu tidak boleh
memberikan reaksi mencurigakan di depan Amanda. Ia harus
berusaha biasa-biasa saja.
"Hmm," Leo mengangguk sambil sedikit menduduk. "Ayo,
kute?"mani!" tangannya menggenggam pergelangan tangan Aman"
da. Sejenak gadis itu ragu. Namun beberapa detik kemudian wajah
cantiknya membingkai seulas senyum manis.
Sekitar lima menit kemudian mereka telah sampai di ma"kam
187 Janji Hati.indd 187 Revan. Perjalanan menuju makam itu cukup mudah meskipun
jalannya menanjak. San Diego Hills memang terkenal sebagai pemakaman yang
unik. Tidak terlihat seperti pemakaman malah, karena pemakaman
tersebut adalah taman pemakaman swasta modern dan konsepnya
sama sekali berbeda dengan pemakaman konvensional. Amanda
sangat menyukai tempat itu. Sayangnya, sudah jarang sekali ia
pergi ke sini dalam beberapa bulan terakhir karena berbagai
kesibukannya. Dan lagi perjalanan dari rumahnya ke San Diego
Hills cukup jauh dan mema"kan waktu. Sekarang ia sangat
bahagia karena bisa pergi ke tempat ini lagi. Tempat yang benarbenar dirindukannya.
Gadis bermata bulat itu terus menyusuri rerumputan menuju
makam Revan. Sesekali ia menyibakkan rambut panjangnya
yang menutupi wajah karena angin di sana sangat kencang.
Untung siang ini tidak terlalu panas. Tepat ketika ia merasa lelah
menyusuri makam indah itu, kakinya sampai di depan makam
dengan batu nisan tidur yang bertuliskan Revan Tavari. Saat itu
Amanda langsung lupa bahwa bahwa Leo menemaninya.
"Van, ini aku, Amanda," gadis itu berbicara lirih sambil
menabur"kan kelopak mawar merah. Tanpa ia sadari, air matanya
mulai berjatuhan dan ia tidak bisa mencegahnya.
Pemandangan itu sangat menyakitkan di mata Leo. Tidak ada
yang bisa ia lakukan. Bahkan menghibur gadis itu sedikit pun
ia tak mampu. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Yang bisa ia
lakukan hanyalah berdiri terpaku sambil memandangi Amanda
yang menangis. 188 Janji Hati.indd 188 Tidak mungkin Leo bisa mengembalikan seseorang yang
telah pergi untuk selama-lamanya. Sangat mustahil ia bisa
mengembalikan Revan ke sisi Amanda. Matanya terarah pada
nisan yang Amanda sen"tuh. Revan Tavari. Leo menelan ludah
dan berusaha bernapas karena dadanya mendadak sesak.
Sekarang semuanya sudah jelas dan tak salah lagi. Memang
Revan Tavari adalah kakak Amanda Tavari. Orang yang ia cela"
kakan tiga tahun lalu hingga tewas.
Ia berbaring, menengadah, sambil menyangga kepala dengan
kedua tangan. Matanya terkatup perlahan"
Cowok itu sama sekali tak tidur sepanjang malam. Sejak
berjam-jam lalu ia hanya berdiam diri di halaman belakang
rumahnya. Sudah pukul 03.35 dini hari dan ia tidak mengantuk
sedikit pun. Ia malas berpikir, namun ia tahu ia harus berpikir. Kepalanya
sangat pusing dan terasa berat. Terlalu banyak hal di benaknya
sampai ia sendiri tak tahu mana yang harus ia utamakan. Semakin
ia mencoba, raganya semakin rapuh.
Ketika tadi siang Leo melihat dengan mata kepalanya sendiri
Amanda menangis di depan nisan Revan Tavari, keraguan Leo
pun terjawab Tapi" Pasti ada kesalahan... Pasti Revan yang pernah menjadi korban
tabrak larinya itu bukan kakak Amanda. Pasti memang ada ke"
salah"an... 189 Janji Hati.indd 189 Leo mengembuskan napas perlahan. Dadanya terasa sangat
nyeri. Bernapas ternyata juga bisa menyakitkan.
Kenapa harus Revan" Kenapa bukan orang lain saja" Kenapa
harus ada kaitannya dengan Amanda... Dan kenapa dirinya
harus mencintai gadis itu" Mungkin ini hanya mimpi.
Cowok itu mengerang. Berkali-kali ia berharap ini mimpi. Tapi ini bukan mimpi, ini
nyata. Ia penyebab meninggalnya Revan Tavari, kakak laki-laki
Aman"da. Tapi apa yang harus ia lakukan" Ia sangat mencintai gadis
itu. Demi Tuhan, ia sama sekali tidak bohong.
Sudah berbulan-bulan sejak ia kembali bertemu gadis itu, Leo
selalu resah, gelisah, dan putus asa. Hidupnya tak tenang sedikit
pun... Tak ada jalan lain, selain mengakui semuanya.
Bunyi apa itu" Benda itu berdering di atas meja. Sangat menganggu dan
meme"kakkan telinga orang yang sedang tidur pulas.
Amanda mengerang kesal dan menarik selimut menutupi
kepala, tapi samar-samar masih mendengar bunyi bel pemadam
kebakaran yang meraung-raung. Siapa yang berani mengganggu
tidurnya pagi-pagi begini" Apakah orang itu lupa, ia paling tak
bisa diusik pada hari libur apalagi di pagi hari. Dengan mata
190 Janji Hati.indd 190 yang setengah terbuka ia meraba-raba meja kecil di samping
tempat tidurnya. Gadis itu meraih ponselnya.
"Halo?" katanya dengan suara mirip suara cowok mabuk,
berat dan serak. Bunyi itu masih terdengar. Oh, astaga, ia lupa...
"Halo?" katanya sekali lagi begitu menenekan tombol jawab
pada ponselnya. Tapi bunyi ponsel itu masih tetap terdengar. Amanda
mendecakkan lidahnya dan menjatuhkan ponselnya ke lantai.
Setelah itu ia meng"ulurkan tangannya sekali lagi dan merabaraba. Tangannya menemu"kan beker kecil. Ternyata oh ternyata,
benda itu yang berbunyi nyaring dan bergetar hebat sampai
hendak meloncat dari genggamannya. Dengan kesal ia mematikan
beker sialan itu. Akhirnya, dunia terasa begitu damai. Malas
mengembalikannya ke meja, Amanda melemparkan benda itu
ke lantai. Semua itu dilakukannya tanpa sekali pun membuka
matanya. Sekarang, gadis itu kembali meringkuk dengan nyaman
di balik selimut oranyenya.
Bunyi apa lagi itu" Amanda meraih bantal dan menutup kepalanya, berharap
bunyi itu segera berhenti. Tapi ternyata bunyi itu sanggup
menembus bantal dan sampai ke telinganya. Ia melempar bantal
ke samping, menendang selimutnya, dan mengerang kesal.
Demi Tuhan, ini hari Minggu! Kenapa dunia tak bisa mem"
berikannya kedamaian sedikit pun"
191 Janji Hati.indd 191 Amanda mendecakkan lidah dan mengulurkan tangan ke meja
samping tempat tidur. Ia meraba-raba, tapi tidak ada apa-apa di
sana. Walaupun masih setengah sadar, ia ingat bahwa barangbarang yang tadinya tergeletak di meja sekarang berada di lantai.
Dengan susah payah dan berat hati, gadis itu membuka mata
yang seolah direkat dengan lem superkuat dan mencondongkan
tubuh ke tepi tempat tidur, berusaha meraih ponsel terkutuknya
yang sejak tadi berbunyi sangat nyaring. Gadis itu masih tidak
sudi bangun dari tidur nyenyaknya. Akhirnya, setelah berjuang
memanjang-manjangkan badan dan tangan, Amanda berhasil
meraih ponselnya. Ia menggapai benda berisik itu.
Masih dengan posisi setengah tergantung di ujung tempat
tidur oranyenya, Amanda menempelkan ponselnya ke telinga,
"Halllloo"ooo?"
"Amanda, kamu masih tidur?"
"Leo" Kenapa telepon pagi-pagi begini" Kamu tahu kan aku"
Wuaaaa!" Amanda kehilangan keseimbangannya dan terguling
ke lantai. "Suara apa itu" Kamu jatuh, Man?"
Amanda cepat-cepat meraih ponselnya yang terlontar ketika
ia jatuh dari tempat tidur. "Tidak," jawabnya cepat, lalu
berdeham. Rasa kantuknya mendadak hilang begitu kepalanya
membentur lantai. Ia duduk bersila di lantai dan bertanya sekali
lagi, "Ada apa telepon pagi-pagi buta begini?"
"Sebenarnya aku tahu sih, kebiasaan burukmu adalah bangun
tidur jam dua belas siang di hari Minggu," katanya setengah
tertawa. "Tapi, aku cuma mau menagih janjimu saja..."
192 Janji Hati.indd 192 "Janji yang mana?"
"Kemarin sore, pas di pemakaman."
Amanda mengerjap-ngerjap. Kemarin sore. Janji apa ya"
Tiba-tiba gadis itu tersentak...
"Oh iya," katanya sambil menepuk dahi. "Joging pagi ya"
Aduh, maaf ya, aku benar-benar lupa."
"Memangnya kapan kamu pernah ingat kalau ada janji sama
seseorang?" cowok itu menggodanya.
Gadis itu tersipu malu, "Maaf, aku benar-benar minta maaf.
Itu memang bawaan sejak lahir," Amanda tertawa menye"
ringai. "Kalau gitu, sekarang bersiap-siaplah, aku tunggu di depan
rumah"mu." "Ah, baiklah," kata Amanda sambil menguap.
Puri Rodriganda 6 Pengemis Binal 02 Kemelut Kadipaten Bumiraksa Lembaran Kulit Naga Pertala 2

Cari Blog Ini