Ceritasilat Novel Online

Kleting Kuning 2

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


kan oleh-oleh untuk Bu Saputro. Ayah Tina baru saja
pulang dari Sumatra. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com75
"Antarkan oleh-oleh ini ke Bu Saputro ya, Tin," kata
ibunya sambil menyerahkan tas plastik berisi beberapa
bungkus makanan kering. "Sungguh tak enak, kita
sering sekali dikirimi sesuatu dari sana."
"Naik truk?" sahut Tina. "Mobilnya sedang dipakai
Bapak!" "Kalau kamu mau dan tak sabar menunggu sampai
Bapak pulang, ya pakailah truk!" kata ibunya tertawa.
"Baik. Soalnya aku mau mampir ke rumah Linda
sepulang dari rumah Bu Saputro nanti. Ia akan meminjami buku-buku penting untuk acuan tesis. Kalau
tidak berangkat sekarang, takut kemalaman."
Ibunya mengangguk. Tina segera mengambil kunci
truk dan langsung berangkat.
Cuaca cerah sekali sore itu. Langit bersih. Sisa sinar
matahari terasa begitu lembut, memasuki bagian dalam
kabin truk yang dikendarai Tina dan menghangati
kedua belah tangan gadis itu. Seperti biasanya, sore
seperti itu lalu lintas di kota Jakarta selalu padat dan
sibuk. Saatnya orang pulang dari tempat kerja. Bus-bus
sarat dengan penumpang. Begitupun mikrolet,
kendaraan-kendaraan antar-jemput karyawan, maupun
kendaraan-kendaraan pribadi. Tetapi Tina tak menghiraukan itu semua. Meskipun kendaraannya tak bisa
bergerak lancar di tengah sibuknya lalu-lintas, tanpa
banyak mengalami kesulitan Tina tiba ke tempat tujuan
dalam waktu yang tak terlalu lama. Ia pandai mencari
jalan-jalan tikus meskipun sering dipelototi orang karena besarnya kendaraan. Sesudah memarkir truknya di tepi jalan, Tina me001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com76
lompat keluar dan langsung ke teras depan dan memencet bel pintu. Begitu melihat raut wajah Iwan yang
membukakan pintu untuknya, ia segera tertawa dan
menyapanya lebih dulu. "Halo...," katanya. "Bu Saputro ada, Mas?"
Lelaki muda itu membalas tawa dan sapaan Tina
dengan senyum tipis. Keramahannya waktu itu tak lagi
lekat pada wajahnya seperti waktu itu.
"Ibu sedang pergi," sahutnya. "Ada keperluan apa?"
"Tidak. Saya hanya disuruh Ibu saya mengantar
oleh-oleh buat Bu Saputro."
Sambil berkata seperti itu, Tina mengulurkan bawaannya. Lelaki muda itu menerimanya tanpa ekspresi.
Sinar matanya juga dingin-dingin saja. Aneh. Iwan bisa
secepat itu berubah sikap.
"Dari ibu siapa?" tanyanya.
"Dari ibu saya."
"Ya, siapa namanya kalau saya boleh tahu. Sebab
kalau ibu saya nanti bertanya, saya jadi bisa menjawabnya." Tina tertegun. Iwan ini ada-ada saja. Bukankah ia
sudah tahu siapa nama orangtuanya" Atau lupa" Atau
sedang sakit lalu pikun" Atau cuma mau menggodanya
saja" "Lupa tho, Mas Iwan?" tanyanya, mencetuskan apa
yang ada di dalam kepalanya. "Jangan menggodaku,
ah." Lelaki muda itu mengerutkan dahinya, kemudian
tersenyum. Senyum yang lebih ramah daripada senyum001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com77
nya tadi ketika ia baru saja membukakan pintu untuk
Tina. Tetapi meskipun demikian, tetap saja senyum itu
tidak diwarnai oleh sesuatu yang tulus sifatnya. Bahkan
mengandung semacam keangkuhan.
"Anda keliru," katanya kemudian. "Saya bukan
Iwan." Mendengar jawaban itu, Tina terkejut dan menatap
lelaki muda itu dengan lebih cermat. Kini ia mulai melihat sedikit perbedaannya. Lelaki ini tidak berkacamata
dan tubuhnya lebih tegap dibanding Iwan.
"Saya saudara kembar Iwan!" kata lelaki itu pula.
Dengan seketika itu juga keheranan Tina buyar.
"Oh, maaf, " katanya. "Saya salah lihat. Saya kira,
Mas Iwan. Anda mirip sekali dengan dia."
"Bukan hanya Anda saja yang keliru kok, Mas!"
Tina tertegun lagi. Hanya sesaat tetapi kemudian di
dalam hatinya ia bergumam geli dan berkata sendiri:
Bukan hanya kau saja yang mengiraku laki-laki dan
memanggilku "Mas".
"Tolong katakan saja kepada Bu Saputro bahwa ini
oleh-oleh dari Ibu Himawan."
"Bu Himawan" Baik, nanti saya sampaikan!" sahut
lelaki itu lagi. "Maaf, saya tidak mengenal semua kenalan ibu saya karena saya tidak tinggal di rumah ini."
Tina mengangguk dan langsung minta diri. Saudara
kembar Iwan itu juga membalas mengangguk, namun
tanpa basa-basi apa pun. Dan begitu gadis itu turun
dari teras, ia sudah menutup kembali pintu rumahnya. Aneh. Tina menjadi dongkol karenanya. Tetapi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com78
waktu rasa dongkol itu muncul, pandang matanya melihat sebuah sedan warna merah yang diparkir di halaman. Seketika itu juga ia diserbu ingatan tentang
kejadian yang ia alami ketika pertama kali datang ke
rumah ini. Sebab, sedan merah itulah yang menyalak
dengan klaksonnya saat pengemudinya merasa terhalang
oleh mobil Tina. Dan kemudian ketika Tina tak mengacuhkannya, si pengemudi itu turun dan menyuruhnya
memindahkan mobilnya dengan lagak seorang tuan
besar. Ingatan itu menyadarkan Tina bahwa lelaki sombong itu bukanlah Iwan meskipun kedua-duanya samasama pernah menyangkanya sebagai sopir berjenis
lelaki. Tetapi lelaki pertama itu tidak berkacamata dan
lelaki yang kedua berkacamata. Kalau lelaki pertama itu
tak memiliki air muka yang ramah, sebaliknya Iwan
bersikap lebih hangat. Dan kalau Tina lebih sering
berjumpa Iwan, dengan saudara kembarnya tadi baru
sore inilah ia melihatnya kembali sesudah peristiwa
sedan merah yang menyalak-nyalak tak sopan waktu
itu. Jadi seperti yang dikatakannya sendiri tadi, rupanya
laki-laki itu memang tidak tinggal di rumah ini.
Di rumah Linda, Tina merasa tak tahan untuk menyimpan sendiri apa yang baru saja diketahuinya itu.
Sesudah mengobrol ini dan itu, ia mengubah pembicaraan. "Lin, kau tahu bahwa Mas Iwan itu lahir kembar?"
tanyanya. Linda menatap wajah temannya untuk beberapa
saat lamanya. Tak biasanya Tina menanyakan sesuatu
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com79
tentang laki-laki. Lebih-lebih jika pria itu bukan teman
sekampus mereka. "Ya, Mas Iwan memang kembar," sahutnya kemudian. "Kenapa kautanyakan itu?"
"Karena aku tadi keliru menyapa saudara kembarnya. Kusangka, Mas Iwan. Mukanya mirip sekali."
"Nama saudara kembar Mas Iwan itu Irawan. Aku
sendiri kurang mengenalnya. Kata ibuku, Mas Irawan
dibesarkan oleh kakak ibunya yang tidak punya anak.
Jadi ia jarang tinggal bersama ibu kandungnya." Linda
menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba. Pandang
matanya menatap tajam ke arah Tina untuk kemudian
menyerang gadis itu dengan pertanyaannya. "Eh, kau
tertarik kepadanya, Tin?"
Tina tertawa. "Idih, justru sebaliknya!" sahutnya kemudian. "Lelaki
sombong seperti itu, apa menariknya?"
"Hei, jangan pongah begitu, Tin. Bisa kualat lho!"
"Ah... gombal!"
"Dia ganteng, gagah, dan kaya lho. Budenya sangat
memanjakannya dengan materi. Maklum, suami budenya pengusaha yang berhasil. Dan dari sas-sus yang
didengar ibuku, si pakde itulah yang tidak bisa menurunkan keturunan."
"Biarpun seluruh kehebatan ada padanya, aku tak
mungkin tertarik pada laki-laki seperti itu. Oke?"
Kemudian dengan gesit Tina mengalihkan pembicaraan sehingga pembicaraan mengenai si kembar segera terlupakan. Dan memang sebenarnya ia juga tidak
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com80
ingin mengingat-ingatnya lagi. Tak ada urusan dengan
lelaki bernama Irawan itu. Dan kalaupun ada, itu adalah urusan bisnis ibunya dengan ibu lelaki itu.
Tetapi Tina lupa bahwa urusan apa pun yang menyangkut orangtua kedua belah pihak, pasti akan ada
saja yang menyebabkan anak-anak mereka ikut terlibat
di dalamnya. Mau ataupun tidak. Sengaja ataupun
tidak. Dan itu terbukti beberapa minggu kemudian
sesudah Tina dan Linda bertemu.
Bu Saputro minta bantuan kepada Bu Himawan
untuk mengurus pertunangan di rumah kenalannya.
Seperti biasanya, hidangan makanan akan dibuat oleh
Bu Saputro beserta stafnya, sedangkan peralatan makan
beserta kursi-kursi dan tendanya adalah bagian keluarga
Himawan. Tetapi ketika ibu Tina mengetahui bahwa
kenalan itu calon besan Bu Saputro dan pertunangan
itu pertunangan Iwan dengan putrinya yang bernama
Rima, ia tidak mau dibayar.
"Biar saja, Mbakyu Putro. Anggap saja itu sebagai
hadiah dari kami," katanya kepada Bu Saputro.
"Wah, ya jangan begitu tho, Jeng. Kami tidak ingin
Jeng Himawan mengalami kerugian. Itu yang pertama.
Hal kedua, janganlah sungkan karena yang membayar
kan pihak calon besan saya. Bukan saya."
"Walaupun demikian, saya tetap berkeberatan kalau
Mbakyu tetap mau membayar ongkos sewa untuk
kami. Sungguh lho, kami tulus ingin membantu apa
saja yang bisa kami sumbangkan. Kalau Mbakyu memaksa juga, lebih baik Mbakyu menyewa di tempat
lain saja!" 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com81
Bu Saputro tertawa. "Baiklah kalau begitu. Tetapi supaya Jeng Himawan
tidak rugi, kami harus diizinkan memberi upah untuk
Pak Nurdin, Johan, Wardi, Pak Somad, dan yang ini
jangan ditolak lho, Jeng!" katanya kemudian.
Ibu Tina terpaksa mengiyakan demi tidak membuat
rekan bisnisnya merasa kurang enak. Melihat itu, Bu
Saputro berkata lagi dengan nada tegas.
"Juga untuk Tina dan adiknya... siapa itu namanya?" "Tiwi dan Lina."
"Ya, untuk Tiwi dan Lina yang suka membantu
mendekor meja prasmanan dan ruangan, izinkan kami
juga memberi sesuatu..."
"Jangan, Mbakyu!" Ibu Tina langsung memotong
kata-kata tamunya itu. "Sungguh, jangan!"
"Kalau kami ingin memberi suatu benda kenangkenangan tentunya boleh, kan?" tanya Bu Saputro mendesak. "Ya, kalau memang itu keinginan Mbakyu Saputro,
apa boleh buat. Tetapi sebetulnya tidak perlu. Itu tugas
mereka sebagai pemilik perusahaan."
"Perlu, Jeng. Sebagai kenang-kenangan dari kami.
Sebab kalau disebut sebagai ucapan terima kasih, itu
sungguh tidak ada artinya."
Ibu Tina tersenyum. "Mbakyu selalu melebih-lebihkan masalah saja," katanya kemudian. Tetapi apa pun itu, yang jelas Tina harus terjun
sendiri untuk ikut menyiapkan pertunangan Iwan di
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com82
rumah Rima, calon tunangan laki-laki itu. Tiwi sedang
ada kegiatan di kampusnya. Sementara itu begitu Iwan
mengetahui keluarga Himawan meminjamkan peralatan
pestanya secara gratis, pemuda itu langsung datang
untuk mengucapkan terima kasihnya. Dalam kesempatan perjumpaan itu, Tina menggodanya.
"Mas Iwan, diam-diam langsung terkam nih," katanya. "Aku tak tahu kapan Mas Iwan berpacaran, tahutahu sudah mau bertunangan."
"Masa pacaran harus diumumkan ke mana-mana
sih," tawa Iwan. "Kalau Mbak Tina yang akan bertunangan, pasti
akan diumumkan di mana-mana. Aku malah berjanji
akan memasang iklan besar-besar mengenai hal itu,"
sela Tiwi, adik Tina. "Kau ngawur saja, Wik!" gerutu Tina, disambung
tawa adik dan Iwan. "Mana aku mau sih memakai
tunangan segala. Ribet."
"Langsung kawin lari kok, Mbak!" Lina, si bungsu
yang baru mulai menjadi mahasiswa itu menyela.
Mendengar godaan kedua gadis itu, semua tertawa.
"Tetapi serius, saya memang ingin melihat Tina
segera bertunangan. Syukur kalau langsung menikah.


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya pasti akan datang membantu-bantu, apa saja. Catat
nama saya sebagai bala bantuan lho, Bu Himawan!"
Sekali lagi keluarga Himawan dan tamunya tertawa.
Tetapi Tina bersungut-sungut.
"Mas Iwan yang mau menikah kok aku yang dijadikan bahan olok-olok," katanya. "Pacar saja belum
punya!" 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com83
"Cari, Mbak. Jangan kalah sama Mas Iwan!" kata
Tiwi lagi. "Sikat, Mbak, jangan kalah sama Mbak Tiwi!" sambung Lina sambil tertawa-tawa.
"Ah... kau gila, Lina!" sekarang Tiwi yang menggerutu, disambut tawa yang lain. "Orang itu masih sebagai kawan biasa kok!"
Lina membelalakkan matanya.
"Orang yang mana?" tanyanya dengan nada menggoda. "Aku tadi cuma bilang Mbak Tina supaya jangan
kalah sikat denganmu!"
"Jadi, Wik, kata-katamu sendiri lho yang membuka
rahasiamu yang paling aktual!" sekarang Tina ikut menggoda. "Aduh, Mbak, mudah-mudahan lelaki yang kauceritakan itu bisa membalikkan matamu!" balas Tiwi, tak
mau kalah. "Lelaki yang mana" Kau ngawur saja, Wik. Mana
pernah sih aku membicarakan cowok bersamamu?"
"Memang bukan denganku, tetapi dengan Mbak
Linda. Hayo, mengakulah. Kata Mbak Linda, kau
merasa dongkol kepada lelaki yang kaunilai sombong
itu!" "Ah, sialan, Linda. Ngawur dia. Biang ngawur!"
Lina pindah tempat duduk, mendekati Tiwi dengan
wajah tertarik. "Aku belum mendengar ceritanya," gumamnya. "Jadi,
ini berita baru. Eh... ini baru berita!"
Tiwi mengikik. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com84
"Tanya Mbak Tina saja siapa lelaki yang membuat
hatinya ikut terbawa emosi itu."
"Emosi apa?" bentak Tina. "Sedikit pun aku tidak
berminat memikirkan orang itu. Kenal saja pun aku
tak mau, kok kamu yang ribut sih, Wik!"
"Kalau begitu, aku akan tanya Mbak Linda saja. Eh,
Mbak Wik, siapa sih nama lelaki yang berhasil
menggugah hati kakak kita ini."
"Menggugah apanya sih" Jangan ngawur kalian!"
gerutu Tina dengan wajah memerah. "Aku malah dongkol kepadanya kok!" Iwan menatap Tina yang tampak kewalahan menghadapi godaan adik-adiknya itu. Pipinya memerah dan
bibirnya mengerucut sehingga tampak lebih feminin.
Dan dengan seketika ia bisa menangkap kecantikan
tersembunyi pada diri gadis itu. Kecantikan yang bahkan melebihi kecantikan ketiga adiknya. Lusi, Tiwi, dan
Lina. Kecantikan alamiah yang begitu segar dan unik.
Maka perhatiannya dicurahkannya semakin serius pada
obrolan ketiga kakak-beradik itu.
"Dongkol, benci, kesal, atau apa saja yang bersifat
negatif sekalipun, tetap saja itu telah menggugah hatimu. Sedikitnya, melepaskanmu dari kebiasaanmu yang
selama ini tak pernah memedulikan apa pun perlakuan
orang kepadamu. Apalagi perlakuan mereka yang berjenis laki-laki," terdengar Tiwi berkata sambil nyengir.
"Ssshh, Mbak Wik, siapa sih dia?" sela Lina tak
sabar. Pertanyaannya tadi belum juga dijawab.
Tiwi menoleh ke arah adiknya dan semakin nyengir. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com85
"Namanya Irawan, saudara kembar Mas Iwan!"
sahutnya kemudian. Mendengar itu, Iwan tertegun.
"Tiwi!" bentak Tina. Kemudian kepada Iwan, ia
lekas-lekas berkata, "Jangan didengarkan omongan
anak-anak kecil itu, Mas!"
Iwan hanya tersenyum saja. Tetapi di dalam hatinya
tiba-tiba ia memiliki suatu rencana. Sudah lama ia
ingin saudara kembarnya itu juga mulai merencanakan
masa depannya bersama seorang gadis. Seperti dirinya,
Irawan juga kurang banyak bergaul dengan lawan jenisnya. Sejak SD sampai SMA, mereka berdua bersekolah
di sekolah khusus untuk laki-laki. Ibu mereka maupun
budenya menginginkan tempat pendidikan yang baik.
Dan sekolah itu terkenal karena disiplinnya yang baik
dan mutu pelajaran yang terjaga, serta guru-guru yang
sangat berpengalaman dan berdedikasi tinggi. Dan baru
di perguruan tinggilah keduanya lebih banyak bergaul
dengan teman-teman perempuan. Tetapi kalau Iwan
lebih mudah menyesuaikan diri karena ada beberapa
saudara perempuannya yang tinggal serumah, tidak
demikian halnya dengan Irawan. Saudara kembar Iwan
itu sering mengeluh tentang gadis-gadis yang berusaha
mendapatkan simpatinya. "Genit sekali!" begitu ia pernah mengeluh kepada
Iwan. Atau: "Tidak adakah hal-hal lain yang lebih menarik perhatian mereka daripada bersaing kecantikan untuk merebut hati lelaki" Sungguh, menyebalkan sekali."
Kini, di usianya yang sudah hampir dua puluh
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com86
sembilan, Irawan masih saja belum banyak berubah.
Padahal Iwan sudah berhasil menaklukkan hati Rima,
seorang gadis yang manis dan ramah.
Sebagai saudara kembar, Iwan merasa masih ada
yang kurang dalam hidupnya karena Irawan belum juga
menemukan gadis pilihannya. Dan sekarang, ada seorang gadis yang bukan saja tak suka bergenit-genit,
tetapi juga tak mau jatuh cinta. Bahkan terhadap
Irawan, ia punya perasaan tidak suka barang sedikit
pun. Ini akan merupakan tantangan bagi saudara kembarnya itu, pikir Iwan sambil tersenyum di dalam hati.
Maka ia harus berusaha menggiring kedua orang yang
sama-sama merasa gamang terhadap percintaan itu,
kata suara hatinya. Ya, ia berjanji pada dirinya sendiri
untuk mengusahakan secepatnya apa yang baru ia pikirkan itu. "Jadi Tina sudah kenal dengan saudaraku itu?" tanyanya sesudah suara tawa yang lain mereda.
"Ya. Tetapi ya kenal begitu saja, tanpa jabat tangan.
Pertama, malah aku sempat dibentaknya ketika mobilku menghalangi mobilnya masuk ke halaman. Waktu
itu, aku ada di dalam mobil menunggu Lusi memesan
makanan kepada ibumu."
"Kau dibentak oleh saudara kembarku" Kenapa?"
"Karena aku tak memedulikan klaksonnya sebanyak
tiga kali, lalu dia turun dan membentakku: "Pak Sopir,
tolong mobilnya minggir," begitu dia membentakku.
Saat itu aku merasa sangat dongkol. Sudah tak bersopan-santun dan membentakku, masih pula menganggapku sebagai sopir kurang ajar. Siapa yang nggak
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com87
dongkol karenanya?" jawab Tina, disusul oleh tawa kedua adiknya. Bahkan Iwan pun tak mampu menahan
tawanya. "Sekarang aku baru tahu kenapa kau bersikap dingin dan kelihatan tak suka kepadaku ketika pertama
kali kita berkenalan. Rupanya, waktu itu kau menyangka aku ini orang sama yang membentakmu," katanya kemudian. "Tetapi waktu itu aku juga pernah merasa kesal
kepadamu, Mas. Bagaimana tidak" Kau yang juga mengiraku seorang sopir, memerintahkan aku menolong
Lusi mengangkatkan barang-barang yang sebenarnya
juga bisa diangkatnya sendiri. Apalagi waktu itu aku
kan sedang berulang tahun sehingga perlu sedikit
diistimewakan," sahut Tina tersenyum. "Tetapi memang
harus kuakui, kalau tak ada pengalaman buruk dengan
saudara kembarmu, rasa jengkelku padamu waktu kau
mengira aku laki-laki, tak terlalu besar porsinya. Apalagi disangka laki-laki sudah sering kualami dan bukan
masalah bagiku." "Aku memahami itu, Tina. Tetapi izinkan aku
membela diriku juga dong. Cobalah, bayangkan bagaimana aku tidak keliru sangka kalau pada waktu itu kau
memakai celana jins lusuh yang sudah pudar warnanya,
bersandal jepit, berkemeja gombrong, memakai baret,
mengendarai truk, pula!" kata Iwan sambil tertawa lagi.
"Sungguh, Tina, saat itu kecantikanmu benar-benar
tersembunyi!" "Suuiiit, cantik nih!" komentar Lina.
"Lho, kan memang cantik!" kata Iwan. "Maaf, aku
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com88
mengatakan ini dengan terus terang karena memang
begitulah kenyataannya."
"Jangan berbasa-basi begitu ah!" gerutu Tina. "Untuk menyenangkan hatiku, ada banyak cara lain. Tak
perlu memakai pujian semacam itu. Toh aku tahu itu
tidak benar." "Aduh, Tina, sungguh lho aku..."
"Sudah, sudah!" Tina memotong kata-kata Iwan
dengan sigap. "Aku tak mau melanjutkan pembicaraan
semacam ini. Nah, kembali saja ke soal semula, apa
yang harus kulakukan menjelang hari pertunanganmu
nanti, Mas" Hari apa aku harus ke sana nanti, jam berapa dan apa saja yang harus kukerjakan?"
"Aku akan menjemputmu, Tina. Sebab, boleh jadi
kita akan lama di sana. Siapa tahu mobil yang biasa
kaubawa itu akan dipakai oleh Pak Himawan. Nah,
kalau Tina dan Tiwi atau Lina bersedia, selain mengatur dan mendekor meja-meja prasmanan, kami juga
menginginkan beberapa rangkaian bunga atau mungkin
sesuatu lainnya." "Aku sudah bilang bersedia membantu, kan" Sekali
bilang ya, berarti ya akan kami penuhi kesediaan kami
itu. Jadi soal dekorasi, serahkan saja kepada kami
juga." "Oke, kalau begitu. Atas nama keluarga, aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada kalian bertiga!" "Ih, resmi amat!" Tina menggerutu sambil tertawa.
"Tetapi, Mas, mungkin aku tidak bisa membantu
lho. Tetapi sebagai penerima tamu kalau itu diperlukan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com89
atau membantu-bantu di bagian belakang pada hari
H-nya, aku siap," sambung Lina. "Soalnya yang ahli
mengatur ini dan itu kan Mbak Tina. Lagi pula aku
harus kuliah. Jadi hanya untuk malam pestanya saja
aku menawarkan bantuanku. Itu pun kalau dibutuhkan." "Terima kasih. Akan kucatat namamu."
"Dan aku, Mas, akan menyusul kemudian menjelang
pestanya. Jadi dari kampusku, aku akan langsung ke
rumah tunanganmu itu untuk membantu Mbak Tina
mendekor ruangan," sambung Tiwi.
"Baik, terima kasih."
Begitulah, pagi hari sebelum malam pesta pertunangan dilaksanakan, jam sembilan pagi Tina sudah bersiapsiap menunggu dijemput oleh Iwan. Seperti biasanya,
ia memakai celana jins. Tetapi kali itu ia memakai blus
kaos tipis. Sepintas kilas, ia masih tampak kelaki-lakian
dengan potongan rambut pendek dan sepatu olahraganya. Tetapi bagi orang yang berpengalaman, kaos tipis
yang longgar itu tak bisa menyembunyikan kedua bukit
kembar di dadanya. Sementara itu, Pak Somad dengan truk berisi mejameja dan kursi-kursi lipatnya sudah siap pula untuk
berangkat. Bu Himawan memberi instruksi-instruksi
rutin sebagaimana biasanya. Dari teras, Tina memandangi kesibukan itu sampai akhirnya matanya menangkap mobil Bu Saputro masuk ke halaman. Ia
langsung berteriak ke arah ibunya yang masih sibuk
dengan urusannya di samping rumah.
"Bu, Tina berangkat sekarang!" katanya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com90
"Ya. Salam Ibu untuk Bu Saputro kalau kau bertemu beliau ya?" "Ya!" Sambil menjinjing dua tas besar berisi perlengkapan
untuk mendekor ruangan, ia berlari-lari kecil ke arah
mobil yang baru masuk itu.
"Hai," sambutnya sambil membuka pintu mobil dan
langsung duduk di sisi pengemudinya. Kemudian menoleh. "Aku menyukai ketepatan waktumu, Mas. Aku
juga selalu berusaha menepati waktu yang sudah kujanjikan. Sebab, aku tidak suka menyia-nyiakan waktu
begitu saja. Hidup kita kan tidak terlalu panjang. Ya
kan, Mas?" "Ya, kau betul."
"Hari ini aku akan berkesempatan bertemu dan berkenalan dengan calon tunanganmu, Mas. Pasti dia cantik, anggun, dan feminin!" kata Tina lagi.
"Ya."

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi sebenarnya aku heran lho. Melihatmu bepergian dengan seorang gadis saja aku belum pernah
tetapi tiba-tiba kini kau mau bertunangan. Benar-benar
kejutan. Kejutan yang menyenangkan, tentu saja!" Tina
berkata lagi. Dan ketika ia sadar bahwa lawan bicaranya
tak banyak menanggapi bicaranya yang tak henti-hentinya, Tina menoleh. Dan pada saat itulah ia juga menyadari bahwa mobil yang baru dinaikinya itu belum
bergerak meninggalkan halaman.
"Masih menunggu apa lagi?"
Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu menoleh,
sehingga Tina bisa melihat tidak ada kacamata ber001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com91
tengger di atas hidungnya. Seketika itu juga ia mengetahui bahwa orang yang dikiranya Iwan itu ternyata
Irawan. Sesudah ia semakin mengenali wajah Iwan,
maka ia juga bisa melihat dengan lebih cermat wajah
yang bukan milik lelaki itu.
"Kau... eh, Anda... Irawan...?" tanyanya agak terbata. "Ya." "Maaf, tadi kukira Mas Iwan yang memang berjanji
menjemputku." "Dia mendadak ada urusan yang tak bisa ditunda.
Jadi aku yang diminta untuk menjemputmu ke sini!"
"Maaf. Pasti Anda jadi repot karenanya!"
"Repot sih tidak. Tetapi aku tidak begitu jelas siapa
yang harus kujemput di sini ini."
"Aku yang akan dijemput olehnya!"
"Tidak bisa mengemudi mobil sendiri?"
"Bisa. Tetapi mobil kami dipakai yang punya, yaitu
Bapak," jawab Tina dengan agak ketus. Hatinya mendongkol. Lelaki satu ini memang tak kenal basa-basi
rupanya. "Kenapa" Segan menjemputku?"
"Tidak. Tetapi aku heran kenapa Iwan memintaku
supaya menjemput seseorang dan aku merasa orang
yang harus kujemput itu seorang gadis. Ternyata, orang
itu Anda yang pernah mengantar oleh-oleh ke rumah
kami." Tina tertegun dan mulai sadar bahwa Irawan belum
tahu bahwa dirinya berjenis perempuan.
"Apa pun yang Anda pikirkan, itu tidak penting.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com92
Sekarang yang lebih perlu mendapat perhatian adalah
kita segera berangkat. Sebentar lagi truk berisi meja
dan kursi-kursi itu akan berangkat ke sana juga. Sebaiknya kita mendahului. Jadi jangan membuang-buang
waktu!" kata Tina kemudian.
Tanpa menjawab, Irawan langsung memundurkan
mobilnya dan kemudian melarikannya ke jalan raya.
Jadi dia tidak tuli, kata Tina di dalam hatinya dengan
perasaan kesal. Di dalam mobil, keduanya tidak banyak bicara.
Tina yang biasanya banyak omong, kali itu juga hanya
berdiam diri saja. Bahkan sampai tiba di tempat tujuan,
keduanya hampir-hampir tidak berbicara apa pun. Oleh
sebab itu perasaan Tina begitu lega karena tidak lagi
harus duduk bersisian dengan patung bernyawa itu.
Kedatangan Tina dan Irawan disongsong seorang
gadis yang kelihatannya akan menjadi pusat pesta malam nanti. Dan dugaan itu tidak salah ketika ia sudah
mengenalkan dirinya kepada Tina dan menyapa Irawan
dengan akrab. "Wah, kami merepotkan kalian berdua," katanya.
"Maklum, di sini tak ada tenaga yang bisa diandalkan.
Saya tak bisa apa-apa dan kedua saudara perempuan
saya mana bisa diajak bekerja ini dan itu."
Tina tersenyum. Khas pemikiran kaum perempuan
yang menganggap diri hanya bisa bergantung pada tenaga laki-laki. Itulah didikan yang mereka terima sejak
kecil, pikirnya. Beruntung dirinya memiliki pemikiran
sendiri untuk bersikap mandiri dan mampu mengerjakan apa saja tanpa bantuan.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com93
"Serahkan segalanya kepada kami," katanya kemudian. "Luar biasa senangnya hati saya. Mas Iwan pernah
menceritakan bagaimana cekatannya Anda!"
"Ah, dia terlalu melebih-lebihkan!" sahut Tina cepat.
Lalu katanya lagi, "Nah, apa yang harus kukerjakan
lebih dulu?" "Meja prasmanannya belum datang?"
"Sebentar lagi."
"Kalau begitu sambil menunggu datangnya mejameja dan kursi, kau bisa mulai merangkai bunga.
Setuju?" "Tentu saja setuju. Jangan membuang-buang waktu.
Kerjakan apa yang bisa dikerjaan sekarang. Itu motto
kami!" Tina tertawa ceria.
Rima langsung menyukai keberadaan gadis yang
supel dan menyenangkan itu. Dia sudah mendengar
banyak tentang Tina dari Iwan.
"Ayo, kalau begitu kita ke belakang. Di sana, penuh
bunga-bunga hidup yang masih segar. Lalu kau, Mas
Irawan, bantu aku memasang bola-bola lampu ya" Biar
lebih terang." "Oke. Jadi semua bola lampu diganti?"
"Tepat!" sahut tunangan Iwan sambil tertawa. Lalu
menggamit bahu Tina, mengajaknya ke belakang.
Baru satu rangkaian bunga yang siap menghiasi
meja, mereka mendengar suara truk masuk.
"Itu pasti tenda, meja-meja, dan kursinya datang!"
komentar Tina. "Sudah ada tukang-tukangnya, kan?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com94
"Sudah. Tetapi biar kulihat ke depan dulu. Memasang tenda, kalau tidak pas, kurang rapi."
"Pas apanya?" "Pas tempatnya," jawab Tina tersenyum. "Kadangkadang miring letaknya. Tidak sejajar dengan tepi atap
teras misalnya. Atau apa sajalah. Orang-orang itu bekerja tanpa memakai perasaan keindahan sih."
"Kau termasuk orang yang cermat, Tina."
"Berusaha cermat, ya!" Tina tersenyum lagi sambil
berjalan ke depan. Di tangannya serangkaian bunga
yang sudah ditata dengan cantik memenuhi depan dadanya. Karangan bunga itu diletakkan ke atas meja di
sudut ruang tamu. Untuk sesaat ia menatap hasil karya
tangannya itu. "Ruangan ini jadi terasa tambah semarak, ya?" komentarnya. "Mana bunganya segar-segar sekali."
"Ya." Mendengar suara jawaban itu bukan keluar dari
mulut Rima, Tina menoleh.
"Kukira Rima," katanya demi melihat Irawan ada di
belakangnya dengan tangga lipat di tangannya.
Irawan tak menjawab kata-kata itu, matanya terarah
kepada rangkaian bunga yang baru saja dikomentari
oleh Tina tadi. "Cantik sekali," komentarnya. "Rima yang merangkai?" "Bukan. Aku yang merangkainya."
Irawan menatap wajah Tina, dan ia mulai menangkap ciri-ciri yang lebih banyak dipunyai kaum perempuan. Tangannya tampak lembut dan berjari lentik.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com95
Hmm, laki-laki yang kurang macho, pikirnya. Ia masih
menyangka Tina sebagai pemuda bertubuh mungil.
"Suka hal-hal yang bersifat kewanitaan?" tanyanya
terus terang. Ada nada melecehkan yang tertangkap
oleh telinga Tina. "Aku menyukai segala hal yang mengungkit perasaan. Entah itu rasa nyaman, keindahan, rasa damai,
kelembutan, atau apa saja yang menyentuh hati," sahut
Tina kalem sambil berusaha tidak tersinggung. "Soal
pensifatan keperempuanan atau kelelakian, itu hanya
masalah penilaian manusia yang terbauri budaya.
Terutama budaya patriarki yang sering mendikotomi
segala hal yang menyangkut laki-laki dan perempuan.
Jadi bukan suatu kebenaran yang tak bisa disanggah."
Irawan tidak mau melanjutkan pembicaraan. Takut
kalah berdebat denganku barangkali, pikir Tina masih
dengan hati dongkol. Tangga lipat yang dibawanya itu
dipasangnya di tengah ruang. Kemudian ia memanjatnya untuk mengganti bola lampu yang lebih besar wattnya. Kini Tina juga mengalihkan perhatiannya ke luar,
ke arah Pak Nurdin, Wardi, dan Johan yang sedang
menurunkan kursi-kursi dan meja. Ketika seluruh isi
truk sudah diturunkan semua, Tina berdiri di teras
bersama ibu Rima yang ikut memperhatikan pekerjaan
orang-orang itu. "Kelihatannya mereka sudah sangat ahli ya, Nak?"
komentarnya kepada Tina. "Mereka sudah bertahun-tahun mengerjakan hal
yang sama, Bu. Jadi wajarlah kalau mereka mampu mengerjakannya dengan baik. Tetapi kadang-kadang juga
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com96
masih harus diingatkan. Sebab meskipun ahli, namun
mereka sering bekerja seperti mesin. Perasaan kurang
dipakai." "Oh ya, saya mengerti itu. Tetapi tak apalah. Ini
juga sudah bagus. Apalagi semua ini merupakan sumbangan. Kami sungguh-sungguh sangat berterima kasih
atas jerih-lelah keluargamu, Nak!"
"Jangan sungkan, Bu. Masalahnya karena kami tidak
bisa memberi hadiah lain yang lebih istimewa. Keluarga
Ibu Saputro sungguh baik sekali terhadap kami sekeluarga," jawab Tina. "Inilah kesempatan kami untuk
membalas sebagian kecil kebaikannya."
"Memang, keluarga Mbakyu Saputro itu baik sekali,
Nak. Saya merasa berbahagia dapat berbesan dengan
beliau. Mudah-mudahan pertunangan ini akan berjalan
baik hingga saat perkawinan Rima dan Iwan."
"Saya juga berharap demikian, Bu. Eh, sebentar, Bu.
Saya akan membantu pekerjaan orang-orang itu. Tampaknya ada yang kurang beres. Sejak tadi Pak Nurdin
hanya berkutat di tempat itu saja."
"Silakan. Saya akan menyuruh membuatkan minuman segar. Terima kasih ya, Nak."
Sesudah nyonya rumah masuk kembali, Tina memanjat meja untuk naik ke atap teras. Dibantunya pekerjaan Pak Nurdin dengan sekuat kemampuannya
sehingga pemasangan tenda itu dapat berjalan lebih
mulus. Baru kemudian ia meloncat turun.
Pada saat itu, Irawan ada di bawah dan memperhatikan cara kerja Tina tadi. Ketika gadis itu mendekati
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com97
tempat Irawan berdiri untuk mengambil es cendol yang
disiapkan oleh nyonya rumah, Irawan memujinya.
"Kecil-kecil kuat juga ya tenagamu."
Tina menanggapi komentar itu dengan tersenyum
saja. Dengan tenang, ia menghabiskan isi gelasnya dan
menyuruh ketiga tukangnya untuk segera minum
cendol begitu pekerjaan mereka selesai.
Irawan menengadahkan kepalanya untuk melihat di
mana kira-kira ia nanti akan memasang kabel agar
lampu-lampu dapat dipasang di atap tenda. Tina membiarkannya. Bahkan juga tetap membiarkan laki-laki itu
naik ke atas untuk memasang kabel. Dia baru memberi
komentar ketika melihat bagaimana cara lelaki itu melintang-lintangkan kabel di rangka tenda.
"Mas, boleh aku bantu?" tanyanya tak sabar. Bukan
begitu cara memasang kabel yang rapi.
"Kenapa?" "Kurang rapi. Aku bisa mengerjakannya dengan
lebih rapi, kabel-kabel itu akan aku sejajarkan dengan
rangka besi atap tenda supaya tidak kelihatan. Boleh?"
"Kalau memang bisa, silakan saja." Menyadari pekerjaannya yang tak sempurna, Irawan turun dari tangga. Tina berjalan ke arah tangga lipat yang sudah dibawa Irawan ke halaman yang sekarang sudah beratap
tenda dan dipenuhi kursi-kursi lipat itu. Rima yang
baru muncul dari pintu memberi komentar,
"Hati-hati lho."
Tina tersenyum kepadanya.
"Jangan khawatir. Aku sudah puluhan kali mengerja001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com98
kan hal-hal seperti ini dan memanjat-manjat sudah
biasa kulakukan kok, Rim," sahutnya sambil tangannya
mulai bekerja. "Pohon tinggi pun bukan halangan buatku untuk memanjatnya. Membetulkan genting melorot
atau pecah juga hal yang biasa kulakukan. Jadi sekali
lagi, jangan khawatir."
"Wah, bukan main kamu itu. Benar-benar seperti
yang Mas Iwan ceritakan mengenai dirimu," sahut
Rima tertawa. "Mas Iwan suka ngawur!" kata Tina sambil menarik
kabel yang tak rapi ke arah yang dikehendakinya. Tetapi karena tak sabar, kaki gadis itu melangkah ke atas
kursi-kursi di dekat tangga lipat itu baru kemudian
kembali berdiri di anak tangga paling atas pada tangga


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lipat itu. Kali ini karena hendak menunjukkan kebolehannya bekerja di depan Irawan dan Rima yang memperhatikannya, Tina agak kurang hati-hati. Ketika kakinya
hendak menapak lagi ke atas meja, bermaksud mengikuti arah kabel yang sekarang lurus mengikuti garis
rusuk atap tenda, kakinya menginjak tepi meja lain
yang berdirinya belum tepat. Maka tanpa dapat dicegah
lagi, meja itu terguling sehingga Tina ikut terbanting
ke bawah dengan keras. Rima hanya mampu menjerit. Tetapi Irawan dengan
sigap bermaksud menyangga tubuh Tina yang terpelanting itu. Sayangnya, jarak tempat berdirinya dengan
tempat Tina terbanting itu agak jauh sehingga ia kalah
cepat. Namun, pertolongan yang terlambat itu mengurangi laju kecepatan jatuhnya tubuh Tina ke bawah.
Meskipun empasannya membuat kaki dan pangkal
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com99
lengan gadis itu terasa sakit, tapi ia terhindar dari rasa
sakit yang lebih hebat lagi. Apabila kepalanya lebih
dulu beradu dengan lantai halaman yang bersemen itu,
mungkin saja ia akan mengalami gegar otak. Untunglah
itu tidak terjadi. Rima langsung berlari-lari mendekati tempat Tina
jatuh dan Iwan berjongkok di dekatnya.
"Sakit?" tanya Rima cemas. "Apanya yang luka?"
Tina tidak segera menjawab. Masih sambil terduduk
ia mencoba menggerakkan kedua belah kakinya yang
terasa nyeri. Terutama pergelangan kakinya sebelah kiri.
Melihat kerut dalam di dahi Tina, Rima semakin merasa cemas. Kalau ada apa-apa pada diri gadis itu, dia
merasa tak enak terhadap keluarganya.
"Perlu kupanggilkan dokter?" tanyanya gugup. "Di
dekat sini ada poliklinik yang buka dua puluh empat
jam!" "Tak perlu cemas berlebihan, Rima. Aku tidak apaapa!" jawab Tina cepat-cepat. "Jangan khawatir. Mungkin
kakiku agak terkilir sedikit. Tetapi kalau nanti diurut
dan diberi beras kencur buatan ibuku, pasti sembuh."
Untuk menguatkan kata-katanya, Tina lalu mencoba
berdiri. Tetapi karena sakit, ia menyeringai dengan
suara mendesis dan tubuhnya oleng. Melihat itu Rima
menyediakan dirinya untuk menjadi penyangga tubuh
Tina. "Bersandarlah kepadaku," katanya. "Nanti kupapah
sampai ke kursi itu. Atau kugendong...?"
"Biar saja, Rima!" sela Irawan sambil bangkit berdiri.
"Aku yang akan memapahnya. Kau jangan melakukan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com100
sesuatu di luar kemampuan fisikmu. Kau itu perempuan.
Masa harus memapah orang" Lagi pula malam nanti
kau akan menjadi pusat perhatian tamu lho."
Kemudian tanpa menanti pendapat kedua orang
yang ada di dekatnya itu, Irawan langsung mengangkat
lengan Tina dan melingkarkannya ke lehernya. Tubuhnya agak membungkuk dan condong ke arah gadis itu.
Perbuatannya itu menyebabkan dada Tina yang lembut
menyentuh lengannya sehingga lelaki itu tertegun.
Karena memikirkan kemungkinan cedera pada kaki
Tina, baik Rima maupun Tina tidak menyadari apa
yang terjadi. Pun mereka tidak memperhatikan bagaimana mata Irawan diam-diam menjelajahi liku-liku
wajah dan tubuh Tina, lebih-lebih karena Tina sedang
mengkhawatirkan keadaan kakinya. Tina tentu saja
khwatir jika kakinya terkilir sebab jika itu terjadi maka
tugasnya hari ini tak dapat diselesaikannya dengan
baik. Ia belum menghiasi meja prasmanan dan bungabunga yang ada di belakang baru selesai menjadi satu
rangkaian saja. "Aku mau mencoba jalan," katanya. Kemudian dengan hati-hati kakinya yang sakit itu ditapakkannya
dan kaki satunya yang tidak apa-apa dipakainya untuk
menyangga tubuhnya, kemudian dilangkahkannya ke
depan. Gerakannya menyebabkan dadanya yang kenyal
tetapi lembut itu menyentuh-nyentuh kembali lengan
Irawan yang masih menyangganya, tanpa disadari pemiliknya. Tetapi Irawan yang hampir tak memiliki pengalaman berhubungan dengan lawan jenis, merasa ke001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com101
bingungan. Maka dengan kepolosannya, ia mencetuskan
apa yang ada di dalam pikirannya.
"Kamu... eh... Anda... perempuan ya...?" tanyanya
gagap. Ia sudah menemukan beberapa ciri-ciri fisik
perempuan pada diri Tina.
Lucu memang. Padahal tadi ia sudah melihat bagaimana air muka Tina tampak melembut ketika menatap
rangkaian bunga cantik yang menyiratkan keindahan
dan keanggunan itu. Menurut pengertian Irawan pada
waktu itu, Tina adalah pemuda yang memiliki sifatsifat perempuan. Tetapi pengertian semacam itu telah
luruh, berganti dengan pengertian lain. Kini yang
tertangkap lewat indranya adalah ciri-ciri yang khas
dimiliki oleh kaum perempuan. Kulit yang halus, bentuk tubuh dan wajah yang lembut dan ya... cantik pula.
Terutama dadanya yang empuk dan hangat itu. Huh,
otakmu mulai kotor, Irawan memaki dirinya sendiri di
dalam hati. Mendengar pertanyaan Irawan yang diucapkan dengan gagap, Rima dan Tina tertegun beberapa saat
lamanya. Terutama Rima yang sama sekali tidak menyangka bahwa Irawan memiliki kekeliruan mengenai
jenis kelamin Tina. Matanya membesar menatap ke
arah saudara kembar calon tunangannya itu.
"Tentu saja Tina itu perempuan!" katanya sambil
mulai tertawa. "Memangnya kau berpikir apa tentang
dia?" Mendengar itu, Irawan terpana. Meskipun sudah
mulai menduganya, kepastian yang diucapkan oleh
Rima itu mengagetkannya juga. Jadi tidaklah keliru
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com102
kesan yang ditangkapnya ketika Iwan meminta bantuannya untuk menjemput seseorang di rumah keluarga
Hiwaman tadi pagi. Seseorang itu memang seorang
gadis. Bukan laki-laki seperti yang disangkanya selama
setengah harian ini. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com103
SELAMA berminggu-minggu setelah hari pertunangannya dengan Rima, Iwan masih saja selalu memikirkan
kegagalannya mendekatkan saudara kembarnya dengan
Tina. Padahal ia sudah berpura-pura masuk angin, lalu
menyuruh Irawan supaya menggantikannya menjemput
Tina ketika gadis itu akan membantu-bantu di rumah
Rima. Tetapi ternyata, baik Tina maupun Irawan seperti sama-sama memiliki hambatan untuk dapat saling
menyukai. Boleh jadi, salah satu penyebabnya adalah
karena Irawan tidak menyukai gadis yang kelaki-lakian
seperti Tina. Namun, Iwan yakin, andaikata Irawan mempunyai
kesempatan berdekatan dengan Tina dan mengetahui
"isi" gadis itu, pasti akan berbeda sikapnya. Tina enak
diajak bergaul. Pengetahuannya luas dan bervariasi.
Pembawaannya hangat dan suka bicara apa adanya sehingga orang tidak sulit menerka-nerka apa yang
dimauinya. Ia juga memiliki rasa humor yang tinggi.
Empat 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com104
Sayangnya, tidak ada "setrum" di antara kedua orang
itu. "Bahkan untuk berkawan biasa saja pun kelihatannya sulit," begitu Rima bercerita ketika ia tahu bahwa
Iwan hendak mendekatkan saudara kembarnya dengan
Tina. Tetapi meskipun demikian, Iwan belum putus asa.
Harapannya masih belum luruh sama sekali. Akalnya
masih saja diputarnya agar dapat memiliki kesempatan
untuk mewujudkan harapannya. Maka ketika tiba-tiba
timbul gagasan yang barangkali bisa mempertemukan
kedua orang itu, Iwan langsung menyusun rencana.
Pertama-tama, ia akan menyewa truk milik ayah Tina.
Alasannya, untuk mengambil barang-barangnya di
Bandung. Kebetulan memang ada beberapa barang
miliknya yang masih dititipkan di rumah Bude Padmo,
saudara sepupu ibunya yang tinggal di sana. Yaitu
sepeda motor, dua peti buku, dan satu tempat tidur
single. Dulu, Iwan memang kuliah di Bandung dan
tinggal di rumah itu. Barang-barangnya itu belum sempat diambilnya meskipun telah berlalu sekian tahun
lamanya. Sekarang kesempatan itu ada.
Begitu rencana itu sudah matang, Iwan langsung
datang ke rumah keluarga Himawan bersama Rima.
Sejak hari pertunangannya, Rima yang merasa suka
bergaul dengan gadis-gadis keluarga Himawan itu lekas
sekali menjadi akrab dengan Tina. Terlebih setelah ia
mengetahui rencana Iwan untuk mendekatkan gadis itu
dengan Irawan. Karenanya ia ingin ikut terlibat di dalam rencana tersebut. Ia menyukai keluarga Himawan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com105
yang ramah dan periang. Terutama Tina yang ia harapkan bisa menjadi iparnya kelak. Jadi ia ikut bersama
Iwan ke rumah gadis itu untuk menyewa truk.
"Kali ini saya sungguh-sungguh ingin menyewa
sebagaimana orang lain kalau menyewa truk Bapak.
Truk saja tanpa sopir." kata Iwan kepada keluarga pemilik truk itu. "Ingat lho, Pak, banyak orang Jawa yang
tidak sukses dalam dunia usaha hanya karena terlalu
Jawa. Sering merasa sungkan untuk memberi harga
kepada kenalan atau merasa tak enak kalau menerima
sewa dari teman dekat."
Mendengar kata-kata Iwan, semua tertawa.
"Baiklah," sahut Pak Himawan pada akhirnya. "Jadi
besok malam sudah akan kembali ke Jakarta?"
"Ya, Pak. Kami memang ingin menginap semalam.
Sekalian jalan-jalan di kota Bandung. Tetapi truknya
betul sedang menganggur kan, Pak?"
"Kebetulan memang belum ada yang menyewa.
Entah kalau besok ada yang mendadak datang. Tetapi
bukan masalah. Kalaupun ada yang ingin menyewa, dengan uang yang Nak Iwan berikan, kami bisa menyewa
pick up atau truk kalau memang itu dibutuhkan."
"Beres kalau begitu."
"Siapa yang akan mengemudikannya dan siapa saja
yang akan pergi ke Bandung?" tanya Pak Himawan.
"Saya yang akan mengemudikannya, Pak. Rima dan
Irawan akan ikut. Jadi kami akan jalan bertiga."
"Mas Iwan punya SIM B dua?" tanya Tina menyela. "Punya." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com106
Iwan memang mempunyai SIM B dua, SIM untuk
mengendarai kendaraan besar seperti truk dan bus.
Tetapi Irawan tidak. Bersama Rima, Iwan telah mengatur rencana. Nanti menjelang berangkat, Rima akan
pura-pura sakit perut sehingga yang akan ikut ke
Bandung hanya Irawan saja.
"Nak Irawan sekarang sedang tinggal di rumah
Ibu?" sekarang Bu Himawan yang menyela.
"Tidak. Tetapi belakangan ini sesudah pindah pekerjaan yang kantornya tak jauh dari rumah Ibu, ia
sering menginap." "Bagaimanapun, panggilan darah tak bisa diabaikan
ya?" "Betul, Bu." "Di Bandung menginap di mana, Mas?" Tina menyela lagi. Iwan menyebutkan alamat yang akan dituju. Sementara Tina memandang ke arah ibunya.
"Alamat rumah Bude Harti dulu di mana, Bu?" tanyanya. Ibu Himawan menyebut suatu alamat. Tina lalu bergumam sendiri, "Sudah lama sekali aku tak ke Bandung
saking sibuknya. Hampir enam tahun lamanya.
Sekarang sudah seperti apa ya kota itu?"
Kebetulan yang sangat pas, pikir Iwan. Semula dia
ingin menawari Tina agar ikut dengan mereka, tetapi
ternyata gadis itu malah menggumamkan sesuatu yang
berasal dari dasar hatinya.
"Kapan-kapan pergilah ke Bandung, Tina. Saudara
Ibu itu sudah janda dan rumahnya besar dengan ba001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com107
nyak kamar. Meskipun ada beberapa mahasiswi yang
menyewa kamar di sana, tetapi beliau paling suka kalau
dikunjungi keluarga. Maklum, suaminya sudah meninggal dunia dan anak-anaknya tersebar ke kota-kota
lain," ibunya menyarankan.
"Kenapa tidak sekarang saja ya, Mas Wan?" sela
Rima. Tanpa kentara, gadis itu mengedipkan sebelah
matanya ke arah Iwan yang langsung tanggap terhadap
isyarat itu. "Kalau mau, ayolah sekalian, Tina!" katanya menyambung kata-kata Rima. "Kan ada Rima. Kalian bisa
tidur sekamar nanti!"


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tina merasa bimbang. Ia menatap lagi ibunya.
"Bagaimana, Bu?" tanyanya minta pendapat.
"Kamu sendiri bagaimana" Ingin pergi ke Bandung
atau tidak?" sahut ibunya balik bertanya.
"Ingin. Tetapi naik truk" Berempat kan tidak cukup." "Itu bukan hal yang sulit, Tina. Nanti Irawan biar
membawa mobilnya. Selama di Bandung kan lucu kalau kita ke mana-mana naik truk," jawab Iwan sambil
tertawa. "Kalau begitu pergilah. Sekali-sekali Kleting Kuning
perlu juga mencari pemandangan yang berbeda daripada apa yang setiap hari dilihat!" sela Pak Himawan.
"Kleting Kuning?" tanya Rima heran.
Mendengar pertanyaan itu, keluarga Pak Himawan
tertawa. Tiwi segera menjelaskan mengapa Tina dijuluki Kleting Kuning sehingga akhirnya kedua tamu
itu juga tertawa. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com108
"Cocok memang!" komentar Rima sesudah selesai
tertawa. "Tinggal menunggu datangnya Raden Panji!" sela
Tiwi menggoda sang kakak. Yang digoda memelototkan
matanya. "Kamu saja yang menunggu Raden Panji!" gerutunya dengan suara jengkel. "Aku tidak mau."
Iwan dan Rima ikut terbawa suasana keluarga Pak
Himawan yang penuh dengan kehangatan kasih. Mereka senang berlama-lama di rumah itu sehingga ketika
akhirnya keduanya pulang, perasaan senang itu dicetuskan Rima di jalan. "Aku senang melihat keluarga Tina. Mereka tampak
kompak dan saling mengasihi!" katanya.
"Ya. Kehangatan semacam itulah yang sebenarnya
ingin kuperlihatkan kepada Irawan. Ia selalu dilimpahi
dengan materi, memang. Tetapi perhatian Bude dan
Pakde yang memiliki kesibukan di luar rumah, tak terlalu banyak diterima olehnya. Irawan tumbuh tidak
dalam kehangatan keluarga."
"Kalau begitu rencanamu mendekatkan saudara
kembarmu dengan Tina memang tepat sekali. Apalagi
ternyata tanpa kita harus membujuk, Tina sendiri yang
mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke Bandung.
Mudah-mudahan segalanya berjalan dengan mulus!"
"Aku masih belum menemukan alasan agar Irawan
dan Tina yang pergi berdua. Bagaimana ya supaya mereka berdua percaya kita benar-benar tak bisa ikut?"
"Bilang saja aku sakit perut," sahut Rima. "Untuk
itu aku akan berpura-pura sering pergi ke WC se001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com109
hingga mereka akan memercayaiku. Nanti ganti kau
yang pura-pura ke WC berulang kali."
"Sakit perut kok bisa berdua-dua!" Iwan kurang setuju. "Bisa saja!" Rima tetap pada pendiriannya. "Bersepuluh atau berdua puluh juga bisa. Kan sekarang ini
sering terjadi sekelompok orang keracunan makanan.
Mungkin dari katering yang dipesan oleh kantor, misalnya. Ya, kan" "
"Benar juga. Usulmu bisa dilakukan."
"Pokoknya bilang saja bahwa pada malam sebelumnya, kita berdua makan di luar. Jangan bilang di rumah
makan, nanti Irawan mengusutnya ke tempat itu. Katamu, dia orang yang mudah naik darah, apalagi kalau
itu berkaitan dengan rasa keadilan."
"Memang begitu," sahut Iwan tertawa. "Aneh juga
kok kami ini. Lahir bersama-sama dan dari perut yang
sama, tetapi dalam beberapa hal kami mempunyai perbedaan watak yang cukup mencolok."
Rima tersenyum memandang tunangannya. "Kalian
berdua bukan dari satu sel telur barangkali. Kau baik,
lembut, hangat. Tetapi kalau bicara soal raut wajah,
kalian berdua sungguh sangat mirip satu sama lainnya.
Bedanya, dia tidak memakai kacamata dan tubuhnya
lebih atletis." "Kalau bicara soal ketampanan, mana yang lebih
ganteng?" Iwan merajuk sambil tertawa.
"Lebih tampan Brad Pitt" sahut yang ditanya.
"Ah, sialan!" 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com110
Mereka berdua pun tertawa. Bukan saja karena dapat bergurau bersama, tetapi juga karena rencana
mereka sudah bulat untuk bersama-sama menggiring
Irawan dan Tina ke satu arah tertentu. Dan tampaknya,
rencananya akan berjalan dengan mulus. Tina yang
kelihatannya sulit didekati itu sudah masuk perangkap.
Ia mau ikut dan bahkan menawarkan tenaganya untuk
bergantian mengemudi truk.
Pagi-pagi sekali pada hari yang sudah ditentukan,
Tina sendiri yang membawa truknya ke rumah Bu
Saputro untuk menjemput Iwan dan Rima. Dibanding
letak rumah Tina, rumah Iwan lebih dekat ke arah
jalan tol Cikampek. Karenanya, Tina menyediakan
dirinya untuk menjemput Iwan. Rima sudah dijemput
oleh Iwan tadi malam dan menginap di rumah sang
calon suami. Ketika Tina tiba di tempat, ia melihat ransel dan
tas pakaian sudah siap di atas meja. Ia melihat Iwan
dan Irawan ada di teras, sedang duduk dengan santai.
Entah di mana Rima, Tina tak melihatnya.
Dengan sigap, Tina melompat turun dan langsung
mendekati kedua lelaki itu. Tetapi matanya hanya
terarah kepada Iwan. "Sudah siap, Mas?" tanyanya kepada lelaki itu.
Sedikit pun ia tak menoleh kepada Irawan. Ia masih
belum dapat melupakan bagaimana lelaki itu memapahnya waktu ia terpelanting dari tangga di rumah Rima.
Laki-laki itu langsung mendudukkannya di kursi begitu
mengetahui bahwa dirinya seorang perempuan. Dan
sikapnya terhadap Tina semakin dingin. Lelaki itu me001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com111
mang sombong rupanya. Memangnya siapa yang ingin
diberi sikap manis olehnya" Menyebalkan.
Sedangkan Tina termasuk orang yang mudah bergaul, hangat, dan menyenangkan dalam pergaulan. Terhadap siapa pun ia tidak pernah membedakan sikap.
Tetapi jangan tanya apabila ia berhadapan dengan
orang yang sombong. Terhadap orang yang sombong,
ia akan menghadapinya dengan kesombongan yang
sama. Itu paling sedikit.
Sekarang, berada di dekat Irawan yang angkuh itu,
Tina juga memakai aturan main yang sama. Dingin,
angkuh, dan bersikap acuh tak acuh seolah lelaki itu
tidak ada di dekatnya. "Ya. Kami sudah siap," jawab Iwan
"Rima juga sudah siap?" tanya Tina lagi.
"Kami sudah siap. Lihat, tas pakaian kami sudah
menunggu. Tinggal diangkat, lalu berangkat!" sahut
Iwan tersenyum. "Sekarang Rima di mana?"
"Sedang di kamar kecil. Perutnya sakit!" sahut Iwan.
"Katanya, sudah tiga kali ini dia buang air besar."
"Wah, jangan-jangan diare!" komentar Tina.
"Bukan hanya jangan-jangan, tetapi sudah diare."
"Lalu bagaimana" Apa dia bisa pergi sekarang?"
"Kalau kau tidak keberatan, kita tunggu barang
setengah jam. Tadi sudah kuberi obat sakit perut.
Mudah-mudahan obat itu manjur. Kita tunggu saja
reaksinya. Mau kan mengundur keberangkatan kita?"
Betapa wajar kata-kata yang diucapkan Iwan itu,
seolah rencana kepergian itu sungguh-sungguh diingin001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com112
kan. Padahal, secuil obat pun tak ada yang diminum
oleh Rima. Dan padahal pula, Rima hanya bermainmain air saja di kamar kecil.
"Mundur satu jam pun tidak apa-apa, Mas. Asal
Rima sembuh!" Tina menjawab tanpa curiga barang
setitik debu pun. Sambil berkata, ia duduk di salah satu
kursi teras. Namun, sekilas pandang pun ia tidak
membiarkan lirikan matanya mengarah kepada Irawan.
Rima keluar sekitar lima menit kemudian. Demi
melihat gadis itu keluar, Tina langsung menanyakan
keadaannya. "Bagaimana, Rima" Sudah merasa lebih baik?"
"Entahlah. Perutku sangat tidak enak rasanya," sahut yang ditanya. "Kita tunggu perkembangannya, Rim. Tidak usah
khawatir. Jakarta-Bandung kan tak jauh. Apalagi lewat
tol," kata Tina lagi. "Berangkatnya kita undur barang
sejam atau dua jam juga tidak apa-apa. Lagi pula hari
masih pagi. Belum jam tujuh."
Rima mengangguk, lalu menyusul duduk. Iwan memegang tangannya. "Tanganmu dingin, Rim!" katanya. Padahal tidak.
"Tetapi rasanya suhu tubuhku justru sedikit di atas
normal," kata Rima. Iwan mengulurkan tangannya dan menyentuh dahi
tunangannya. "Ya, sedikit. Tetapi tidak apa. Istirahatlah dulu.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini kau sudah
merasa lebih baik." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com113
"Kalau mau tidur-tiduran lebih dulu, silakan lho,
Rim. Aku berjanji akan sabar menunggu!" sela Tina.
Rima mengangguk. Tetapi tiba-tiba ia bangkit lagi
untuk kemudian berlari-lari kecil ke belakang.
"Pasti ke kamar kecil lagi!" gumam Iwan dengan
nada prihatin. "Sakit perut itu memang tak enak, Mas."
Memang sakit perut itu tidak enak. Semua orang
akan mengatakan hal yang sama. Tetapi Rima yang sebenarnya tidak sakit apa pun itu justru ingin benarbenar sakit perut. Bukan karena ingin mengalami rasa
sakit itu, tetapi ia ingin agar sandiwaranya bersama
Iwan itu berhasil dengan gemilang
Sepuluh menit kemudian, Rima keluar lagi. Kali ini
ia memegangi perutnya bagian atas.
"Mas Wan," katanya. "Tadi aku juga muntah. Sepertinya aku tidak bisa ikut. Aku pasti akan merepotkan kalian. Kurasa aku harus ke dokter sesegera mungkin, aku takut terserang muntaber."
"Akan kita tunggu, Rima!" sahut Iwan seolah Rima
memang sakit betul. "Mudah-mudahan ada kemajuannya dalam waktu sejam ini."
"Kurasa tidak bisa, Mas. Aku pasti akan merepotkan semuanya. Bagi orang sehat, jarak Jakarta-Bandung
tidak berarti, Mas. Tetapi bagi orang yang sedang sakit
perut, jarak itu teramat jauh. Jadi kuputuskan, untuk
kali ini aku tidak ikut saja. Biar tempatku dipakai oleh
Mas Irawan saja. Dia tidak usah membawa mobil sendiri. Di Bandung nanti kan bisa menyewa mobil. Apalagi naik truk, pengalaman baru, kan?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com114
Irawan menggeleng. Tangannya meraih rokok, menyalakannya dan menyelipkannya ke bibirnya.
"Tidak, Rim. Aku tidak jadi ikut saja," sahutnya
kemudian. "Jangan mengendurkan semangat orang, Irawan."
Iwan menegur saudara kembarnya. "Kita tunggu perkembangan Rima lebih lanjut. Aku sudah telanjur menelepon Bude Padmo lho. Beliau pasti sudah menyiapkan makanan macam-macam seperti biasanya."
"Sudahlah, Mas Iwan, aku menyerah," sela Rima
dengan aktingnya yang sempurna. Persis bintang film
yang andal. "Kepalaku mulai pusing dan rasanya aku
semakin mual." "Kalau begitu memang sebaiknya kau tidak usah
ikut. Istirahatlah di rumah saja. Nanti biar salah satu
adikku mengantarkanmu ke dokter sebelum kau pulang." "Ya. Kau tak apa-apa kan kalau pergi bersama Tina
dan Mas Irawan tanpa aku?" Rima bertanya sambil memegang perutnya. Persis orang yang betul-betul sedang
sakit perut. "Untuk kali ini, biarlah. Toh tujuan utama kita ke
Bandung mau mengambil barang. Bukan untuk senangsenang." "Kalau Rima tidak jadi pergi, aku juga tidak ingin
pergi!" sela Tina yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja. Rima mendekati Tina dan memegang tangannya.
"Jangan begitu, Tin. Kan tak apa-apa pergi bersama
Iwan dan Mas Irawan. Kita kan sudah seperti keluarga
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com115
sendiri. Dan yang penting, kau bisa melihat kota
Bandung. Ingat, makanannya enak-enak lho. "
"Aku belum tentu mau ikut, Rim!" sela Irawan.
"Ikutlah!" tukas saudara kembarnya lagi. "Kita bisa
mampir ke rumah Dito. Teman kita itu sudah hebat
sekarang. Dia punya perusahaan sendiri yang terus berkembang. Kita bisa belajar bagaimana caranya meraih
sukses."

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Irawan terdiam. Laki-laki itu memang menyukai
kemajuan. Kantor tempatnya bekerja sekarang sedang
dalam kondisi kurang baik. Sudah ada di dalam rencananya, ia ingin berusaha sendiri. Terjun ke dunia
bisnis bukan hal asing di dalam keluarganya.
Melihat Irawan terdiam, Tina memakai kesempatan
itu untuk mengutarakan apa yang ada di hatinya.
"Masa aku pergi bersama laki-laki," gumamnya.
"Tak usah ah." "Eh, biasanya kau tidak memedulikan hal-hal semacam itu, Tina!" Rima menantang keangkuhan temannya itu. "Kok sekarang mendadak berubah pendapat."
"Bukannya berubah pendapat!" Tina menjawab agak
tersipu. "Tetapi hanya merasa kurang enak saja pada
keluarga yang akan kita tuju."
"Keluarga yang akan dituju itu seorang janda, Tina.
Sudah tua dan menyukai sesuatu yang lain daripada
hari-hari biasanya yang sepi. Dikunjungi keluarga, membuatnya senang. Lagi pula rumahnya yang besar mempunyai kamar-kamar yang disewakan untuk mahasiswi
atau karyawati. Kau pasti akan mendapat tambahan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com116
kenalan!" bujuk Iwan. "Aku yakin, mereka pasti dengan
senang hati akan menemanimu jalan-jalan melihat kota
Bandung di waktu malam."
"Sepengetahuanku, kau mudah sekali menjalin persahabatan. Tambah teman kan senang, Tin," sambung
Rima dengan mendesis, pura-pura perutnya sedang mulai mulas lagi. Tina tepekur sesaat lamanya untuk kemudian mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Terus terang saja aku juga
sudah kepalang basah. Sudah siap lahir dan batin!"
"Siap lahir itu bagaimana, dan siap batin itu bagaimana?" tanya Rima sambil memegang perutnya dengan
masih tetap memperlihatkan wajah seperti orang sakit
perut sungguhan. "Siap lahir, maksudnya aku sudah membawa pakaian, membawa uang yang lumayan berkat kasih sayang
ibuku atas jerih lelahku membantunya!" Tina tersenyum
sambil berkata seperti itu. "Sedangkan siap batin atau
mental, artinya aku sudah siap menghadapi perjalanan
luar kota dengan trukku yang sudah tak begitu mulus
itu!" Rima tersenyum mendengar penjelasan itu. Iwan
tertawa. "Bagiku, kesediaanmu itu kuanggap sebagai kesetiaan hati seorang sahabat. Aku tahu Mas Wan pasti
segan pergi tanpa diriku, Tin. Tetapi karena ada kamu,
ia merasa lebih tenang. Ada teman seperjalanan yang
bisa mengemudi truk kalau-kalau dia merasa capek
atau mengantuk. Benar kan, Mas Wan?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com117
"Ya, karena Irawan tidak mempunyai SIM B."
"Nah, beres, kan?"
"Ya. Setidaknya pula, aku punya teman mengobrol
dalam perjalanan. Dan setidaknya pula aku memiliki
semangat untuk menyenangkan orang yang sudah agak
lama tidak melihat kota Bandung!" sahut Iwan lagi.
Rima juga tersenyum. Tetapi ketika ia teringat kepada sandiwaranya, tiba-tiba ia menyeringai sambil
bergumam, "Aduh, perutku berontak lagi! Sssssh... aduuuh...
kok tidak ada perubahan sesudah minum obat sakit
perut sih." Usai bicara seperti itu, ia segera berlari-lari
kecil menuju ke belakang. Melihat Rima seperti itu
Tina dan Irawan merasa iba. Kecuali Iwan, tentu saja.
Di dalam hatinya ia merasa geli. Sekaligus memuji
akting calon istrinya yang begitu sempurna itu.
Untuk mengimbangi sandiwara Rima, lelaki itu lalu
menarik napas panjang. Kemudian menoleh ke arah
saudara kembarnya. "Untuk memberiku semangat, ayolah ikut kami ke
Bandung, Irawan. Jangan kaubatalkan rencana semula
kita," katanya. "Apa sih keberatannya" Minggu sore toh
sudah tiba kembali di Jakarta. Kau bisa membelikan
sesuatu untuk Bude. Oncom goreng, pisang molen, atau
apa sajalah yang ingin kaubeli untuk Bude. Bandung
surganya penganan. Oleh-oleh apa saja ada. Tinggal
memilih." Irawan terdiam. Iwan lalu melihat arlojinya untuk
kemudian memanggil Dedy, adiknya yang lain. Lelaki
muda itu baru saja keluar dari garasi, berniat mem001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com118
bersihkan mobilnya. Ia menoleh ke arah sang kakak
yang memanggilnya. "Ded, kau nanti mengantar Rima dulu pulang ke
rumahnya, baru ke rumah pacarmu ya?" teriak Iwan.
"Kenapa" Tak jadi pergi?" Dedy juga berteriak. Jarak
garasi dan teras agak jauh.
"Sakit perut. Bisa kan kau mengantarnya pulang"
Tetapi kalau masih saja diare, antar dia ke dokter. Ajak
pacarmu buat menemaninya. Bisa?"
"Bisa!" Iwan mengucapkan terima kasih, untuk kemudian
berdiri sambil melihat arlojinya. Sungguh, sandiwaranya
betul-betul sukses. "Wah, sudah jam tujuh lebih. Sebaiknya kita
berangkat sekarang," katanya kemudian. "Bagaimana, Ir,
kau mau menemani kami, kan" Ayolah, daripada bengong di rumah. Nanti kita ke rumah Dito. Dan malam nanti, kutraktir kalian berdua makan ikan bakar
Sunda yang lezat. Aku punya langganan rumah makan
yang masakannya serbalezat, yang pasti akan menggoyang lidahmu. Gadis-gadis Bandung cantik-cantik,
lho." Dengan kalimat terakhirnya itu Iwan mau menunjukkan pada Irawan bahwa kepergian mereka bersama Tina, tak perlu diperhitungkan. Gadis itu kelakilakian. "Baik, aku mau ikut!" Akhirnya Irawan terbujuk
juga. "Tetapi bukan karena gadisnya yang cantik-cantik.
Aku ingin bertemu Dito."
"Nanti kita mampir ke toko kue untuk membeli
beberapa botol air putih dan kue-kue untuk camilan di
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com119
jalan!" kata Iwan lagi. "Nah, sekarang Tina mau minum
dulu?" "Tidak usah. Aku tidak haus. Nanti minum di jalan
saja." Mereka berangkat sesudah Rima keluar dari kamar
kecil. Ketiganya menyuruh Rima supaya lekas istirahat.
Bahkan Iwan masih menambahi kata-kata yang
memberi kesan bahwa Rima sungguh-sungguh sakit
dan perlu perhatian khusus.
"Kalau nanti masih juga begitu, sebaiknya kau ke
dokter, Rim. Aku sudah minta bantuan Dedy dan
pacarnya untuk mengantarkanmu. Maaf, aku tidak bisa
mengantarmu, " katanya.
"Tidak apa." "Oke, kalau begitu. Sampai besok malam ya, Rim.
Pulang dari Bandung, aku akan langsung ke rumahmu!" Rima mengangguk dan melambaikan tangannya ke
arah truk yang mulai bergerak meninggalkan halaman.
Iwan mengemudi, Tina duduk di tengah, dan Irawan
di pinggir. Memasuki jalan tol Cikampek, segalanya berjalan
lancar. Tetapi di perhentian Cibitung di mana terdapat
pompa bensin, rumah makan, dan toko-toko kecil,
Iwan membelokkan truk yang dikendarainya.
"Kok berhenti di sini, Mas?" tanya Tina. "Bensinnya
penuh lho. Sudah kuisi tadi pagi."
"Kan tadi aku sudah bilang, kita beli minuman dan
makanan kecil dulu untuk bekal di jalan," sahut Iwan.
"Kalau begitu sekalian beli permen juga, ya?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com120
"Beres." Memarkir truk bagi Iwan yang meskipun mempunyai SIM B satu, tidaklah mudah. Ia hampir-hampir
tak pernah mempergunakannya. Maka sesudah mendapatkan tempat yang enak, baru mereka bertiga turun
untuk memilih makanan di salah satu toko makanan.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Iwan secara
tepat. Seusai membayar apa yang mereka beli, ia tibatiba memegang perut dan mengatakan sakit perut.
"Aduhhhh, bagaimana nih...?" keluhnya. Berkat
sandiwaranya yang berhasil, ia dengan mulus pergi ke
toilet yang selalu tersedia hampir di setiap area pompa
bensin. Sepuluh menit kemudian, dengan menciprati
air di wajahnya, ia pergi ke depan lagi dengan ekspresi
seperti berkeringat dingin.
"Aku juga diare," katanya. "Malah muntah langsung!" Tina mengerutkan dahinya.
"Jangan-jangan kau dan Rima makan sesuatu yang
bukan dihidangkan di rumah?" katanya.
"Mungkin. Tetapi biarlah, kita tetap berangkat saja.
Sebab, boleh jadi ini hanya masuk angin saja."
"Biar aku yang mengemudikan truk, Mas!" kata
Tina lagi sambil minta kunci kontaknya. Tetapi Iwan
menolak. "Aku masih kuat," katanya. Sesudah membayar apaapa yang dibeli, mereka bertiga segera berangkat. Tetapi
sekitar sepuluh menit kemudian, Iwan bermain sandiwara lagi dengan mengatakan perutnya berontak lagi.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com121
Sekarang, wajahnya lebih dipasang seperti orang yang
sedang kesakitan. Kemudian dipinggirkannya truknya.
"Kita cari tempat perhentian lagi," usul Tina. "Tahan dulu ya, Mas." "Ya..." Iwan mendesis, pura-pura perutnya sakit.
Di perhentian berikutnya, truk masuk ke sana. Tina
mengeluh begitu Iwan berlari-lari menuju ke toilet.
"Ada-ada saja," gumamnya.
"Kalau begini caranya, sampai ke Bandung jam
berapa?" Irawan juga mengeluh dengan pelan.
"Mudah-mudahan saja setelah isi perut Mas Iwan
keluar semua, kondisinya jadi lebih baik. Aku pernah
begitu karena salah makan."
Tetapi ketika Iwan kembali ke truk dengan titiktitik air yang oleh Irawan dan Tina disangka keringat
dingin, harapan mereka itu menyurut.
"Sepertinya aku kena muntaber juga. Kalau Rima
tadi hanya diare dulu baru muntah. Aku langsung
kedua-duanya. Tidak enak rasanya!" sahutnya sambil
menyandarkan kepalanya ke atas kemudi. "Apakah aku
bisa pergi dalam keadaan begini, ya" Kepalaku
pusing." Tina menoleh dan melihat punggung Iwan dengan
rasa iba. "Begini saja, kita tunggu perkembangan selanjutnya
dengan makan sesuatu di rumah makan itu," usulnya.
"Oke, aku setuju!" sahut Irawan.
"Aku sudah makan," kata Iwan. "Lagi pula, aku tak
berani mengisi perutku yang sedang kacau begini."
"Aku juga sudah makan tadi. Tetapi kalau hanya
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com122
mengisi dengan semangkuk es cendol sih masih bisa.
Dan, Mas Iwan, memang sebaiknya perutmu diistirahatkan saja. Mungkin kalau segelas teh pahit hangat sih
tidak apa-apa. Kata ibuku, teh kental juga bisa mengurangi diare. Bagaimana?"
"Ayolah!" Mereka bertiga turun lagi dan langsung masuk ke
rumah makan. Irawan memesan satu mangkuk mi
ayam bakso, Tina segelas es cendol, Iwan satu gelas teh
hangat. Ketika Tina hampir menghabiskan pesanannya,
Iwan mulai lagi pasang aksinya dengan mengeluh sakit
perut seperti tadi. Dan juga seperti tadi, ia langsung
masuk toilet. Itu berarti situasinya cukup genting. Tak
sampai setengah jam, sudah tiga kali ia ke kamar kecil.
Itulah yang dipikirkan Irawan dan Tina.
"Ini sih bukan masuk angin!" komentar Tina sambil
meletakkan sendok kecilnya. Diembuskannya napas
kecewanya. Hampir sepuluh menit kemudian ketika Iwan
keluar, gadis itu mengatakan hal yang sama. Bahkan
juga tentang keraguannya.
"Kita gagalkan saja kepergian ke Bandung ini, ya?"
usulnya. "Tidak!" kata Iwan cepat-cepat. "Kuakui, aku memang tidak berani melanjutkan perjalanan. Sebaiknya
aku kembali ke rumah dengan taksi dan langsung ke
dokter bersama Rima. Tak apa mengeluarkan uang
ekstra untuk taksi. Mudah-mudahan dia belum pulang
sebab biasanya Dedy lama sekali kalau mencuci mobil." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com123
"Maksudmu, aku dan Mas Irawan akan tetap pergi
ke Bandung?" Tina membelalakkan matanya.
"Ya," sahut Iwan. "Kalian kan bisa tetap melihatlihat kota Bandung tanpa aku. Dan, Ir, aku bisa minta


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tolong padamu untuk mengangkut motor, dipan berikut
kasur busanya dan peti-peti bukuku. Tolonglah!"
"Aku tidak jadi ikut!" kata Tina memutuskan. "Lain
kali saja kita ramai-ramai ke Bandung."
"Jangan begitu, Tina," bujuk Iwan dengan suara mengimbau yang dilakukannya bagai pemain drama profesional. "Ini sudah kepalang basah dan di luar rencana kita.
Naik taksi ke rumahmu cukup besar biayanya. Lagi pula
kasihan Irawan kalau tidak ada teman seperjalanan. Itu
soal kedua dan ketiga, sebenarnya. Tetapi yang jelas
masalah utamanya adalah Irawan tidak mempunyai SIM
B dua. Bagaimana kalau kena tilang di jalan?"
"Masalah itu sih mudah," sela Irawan tak mau
kalah. "Aku bisa bisik-bisik dan menyisipkan lembaran
uang ke telapak tangan petugas!"
"Kau jangan menghina petugas, Ir. Sebaiknya yang
wajar-wajar saja. Jangan membudayakan hal-hal yang
tidak semestinya. Sekarang ini karena Tina mempunyai
SIM B dan meskipun kau tak punya SIM B tetapi bisa
membawa truk, kalian bisa bekerja sama dengan baik.
Irawan akan menolongku mengangkut barang-barangku
dan Tina bisa cuci mata di Bandung," bujuk Iwan dengan mengiba. "Tolonglah. Aku sungguh tidak enak
hati." "Jadi kau betul-betul tidak berani pergi, Mas?" tanya
Tina minta kejelasan Iwan.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com124
"Ini sudah muntaber namanya, Tin. Perutku
sungguh-sungguh tak enak rasanya. Ya mual, ya mulas,
ya melilit sakit. Sakit kepala pula. Kalau hanya pilek
dan batuk saja, aku masih berani nekat. Tetapi ini muntaber. Bukan saja bisa tak baik akibatnya, tetapi juga
akan merepotkan kalian berdua di jalan," jawab Iwan.
"Jadi..?" "Jadi, aku akan pulang ke rumah kembali dengan
taksi. Dan kalian berdua tetap berangkat ke Bandung!"
sahut Iwan. "Ayo ah, jangan ragu. Perutku semakin tak
enak nih. Lama-lama di sini, aku tidak tahan."
Tina menoleh ke arah Irawan.
"Bagaimana...?" tanyanya bimbang.
"Kalau aku sih terpaksa pergi," sahut yang ditanya
dengan wajah kesal yang tak disembunyikannya. "Truk
sudah disewa dan budeku di Bandung pasti sudah
menyiapkan sesuatu buat kita."
"Memang harus, Ir. Aku sudah telanjur memberitahu Bude Padmo kalau kita akan datang hari ini," sela
Iwan. "Kasihan kalau beliau sudah menyiapkan kamar
untuk kita, lalu kita semua membatalkannya begitu
saja. Lagi pula, peti-peti bukuku itu juga pasti sudah
beliau rapikan." "Seandainya aku juga membatalkan pergi, bagaimana?" Tina bertanya sambil mempermainkan tasnya.
"Lalu apa alasannya, Tina" Kalau hanya karena aku
tak jadi pergi, itu tidak perlu dijadikan alasan. Irawan
juga keponakan Bude Padmo. Ia juga cukup akrab dengan beliau karena ketika masih kecil sampai remaja
dulu, kami sering menginap di sana. Bahkan kalau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com125
beliau datang ke Jakarta, yang selalu dituju adalah
rumah orangtua angkat Irawan. Bukan di tempatku
karena di tempatku semua kamar terisi. Jadi, Tina,
pergi sajalah. Sudah kukatakan, di sana ada beberapa
mahasiswi dan karyawati yang kos di rumah Bude.
Mereka pasti akan menerima kehadiranmu dengan
senang hati. Ayolah."
"Tetapi..." "Takut kepada Irawan?" Iwan menyela dengan niat
membangkitkan tantangan pada diri Tina sebab ia sudah mengenal sifat gadis yang berkemauan kuat itu.
"Kalau hanya berdua-dua saja dalam perjalanan paling
lama dua setengah jam masa sih dia tidak mau bersikap ramah kepadamu!"
"Aku tidak takut kepada orang yang tak ramah padaku, Mas Wan!" Pancingan Iwan kena. "Aku juga tidak
butuh diramahi orang."
"Lalu...?" Iwan bertanya dengan senyum di hatinya. "Terserah kepada Mas Irawan. Seandainya aku tetap
pergi ke Bandung, apakah dia merasa keberatan kalau
ada orang duduk di sampingnya selama perjalanan."
"Bukan masalah bagiku. Ada orang di sebelahku
atau tidak, aku akan tetap berangkat." Irawan juga terkena pancingan Iwan. "Kalau Tina tidak berharap ada
keramahan dari pihakku, itu bagus sekali. Aku juga
merasa tidak ada keharusan untuk beramah-tamah dan
berbasa-basi." Tina melirik Irawan dengan sengit. Ia tak mau kalah. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com126
"Kalau begitu, aku tetap akan berangkat!" katanya
kemudian dengan sikap bertahan. "Buatku, juga tak jadi
soal apakah aku akan pergi dengan orang banyak atau
pergi dengan satu orang saja. Baik dengan orang yang
ramah ataupun dengan orang yang menganggapku sebagai angin." Khas perempuan, pikir Iwan tersenyum lagi dalam
hatinya. Betapapun cara Tina menampilkan diri dan
minatnya yang tertuju pada bidang-bidang yang biasanya kurang disukai kaum Hawa, namun ciri-ciri kejiwaan yang dibangun oleh budaya patriarki sebagai
perempuan masih menjamah dirinya. Entah disadari
atau tidak oleh yang bersangkutan. Hanya perlu kejelian dan kecermatan seseorang untuk melihatnya. Setelah
semakin mengenal gadis itu, dia mulai melihat
kelebihan-kelebihan gadis itu. Ada banyak hal yang
menarik pada diri Tina. Kalau hatinya belum tercuri
oleh Rima, sangat boleh jadi dia akan jatuh hati padanya. Mudah-mudahan saja Irawan juga segera menangkap hal itu, pikirnya penuh harap.
"Oke kalau begitu, kita langsung berangkat!" akhirnya terdengar olehnya suara Irawan memutuskan.
"Nah, aku jadi lega!" kata Iwan sambil turun. "Aku
juga mau langsung cari taksi. Benar-benar tidak tahan
lagi. Harus segera ke dokter kalau tak mau berlarutlarut. Nah, selamat jalan. Hati-hati, ya?"
Tina dan Irawan mengangguk hampir bersamaan.
Tetapi keduanya tidak segera beranjak dari tempat duduk masing-masing sehingga Iwan bertanya.
"Siapa yang akan memegang kemudi?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com127
Baru Tina sadar. Baru Irawan juga sadar. Mereka
belum berunding mengenai siapa yang akan duduk di
belakang kemudi. "Biar kubawa!" kata Irawan sambil turun dari tempat duduknya dan memutari truk untuk duduk di
tempat Iwan tadi. "Bisa?" tanya Tina tanpa sadar.
"Tak punya SIM B dua bukan berarti tak bisa mengemudikan truk!" jawab Irawan.
"Tetapi kalau ada apa-apa?"
"Memangnya ada apa" Tidak ada apa-apa!" sahut
Irawan pendek. "Sedikitnya, di jalan tol!"
"Oke. Tetapi jangan sungkan padaku kalau kau merasa kurang sreg di tempat-tempat yang ada polisinya.
Aku yang akan mengemudikannya. Dan kau tak perlu
malu dilihat orang karenanya. Mereka pasti mengira
aku bukan perempuan. Memakai topi baret dengan
rambut pendek begini siapa yang mengira aku ini
perempuan. Kau sendiri juga tidak tahu kalau aku ini
perempuan kan sebelum..." Tina menghentikan bicaranya dengan mendadak. Pipinya langsung memerah,
teringat bagaimana dadanya menyenggol-nyenggol
lengan Irawan. Mudah-mudahan laki-laki itu tidak tahu
jalan pikirannya yang tiba-tiba terbang pada peristiwa
di rumah Rima beberapa waktu lalu.
Iwan tertawa pelan. Pasti Rima telah menceritakan
kejadian itu kepada Iwan, pikir Tina kesal.
"Sudahlah, jangan bersitegang begitu. Urusanku
kuserahkan kepada kalian berdua. Untuk itu aku mengucapkan terima kasih dan minta maaf karena tidak bisa
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com128
ikut bersama kalian," kata Iwan sambil cepat-cepat melenyapkan tawanya karena sadar ia sedang memainkan
sandiwara. Bahkan dahinya mengernyit, seakan sedang
menahan sakit. "Aku harus segera ke dokter bersama
Rima. Suhu tubuhku rasanya mulai naik."
Begitu hanya tinggal berdua dengan Irawan, Tina
langsung mengunci mulutnya. Lebih-lebih ketika sudah
berada di jalan tol kembali. Hanya sekali-sekali matanya melirik ke arah tangan Irawan untuk mengetahui
kecekatan lelaki itu membawa truk. Tetapi kelihatannya,
segalanya tampak cukup sempurna untuk orang yang
tak memiliki SIM khusus seperti itu. Seolah, setiap
hari laki-laki itu mengendarai truk.
Pada dasarnya, Tina bukanlah gadis yang pendiam.
Kalau teman bicaranya enak diajak bicara, ia akan tak
henti-hentinya mengoceh. Ada-ada saja yang diceritakannya dan ada-ada saja yang mengungkit rasa humornya
sehingga obrolan bisa berlangsung amat menyenangkan.
Dan waktu terasa singkat rasanya.
Tetapi sekarang, sudah hampir satu jam lamanya
Tina hanya membisu. Untuk mengisi waktu, ia mengambil sebuah kue dan minum gelas air mineralnya
tanpa menawari Irawan sama sekali. Tetapi ia tak mau
ambil pusing mengenai apa pun yang dipikirkan lelaki
itu. Namun, ketika mereka telah memasuki tol Cipularang, ia tak tahan hanya berdiam diri saja.
"Kok diam saja, sedang berdoa?" tanyanya dengan
suara di dalam mulut. Tanpa menoleh pula.
Irawan menoleh. "Berdoa?" ia ganti bertanya. Tidak tahu kalau se001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com129
dang disindir. Dasar kuper, kata Tina di dalam hatinya. "Ya. Mohon perlindungan Tuhan karena takut kalaukalau kau tak mampu menguasai kemudi truk!"
"Siapa bilang aku takut?" gerutu Irawan. "Sudah kukatakan, tak punya SIM B bukan berarti aku tak
mampu mengendarai truk."
"Tetapi sejak tadi, aku melihatmu tegang!" dengan
sengaja Tina berniat mengungkit rasa jengkel lelaki
yang sejak tadi menganggapnya seperti tak ada itu.
"Kau keliru menafsirkan kediamanku!"
"Aaah, mengaku sajalah. Kau memang tampak tegang. Kalau merasa tak nyaman, biar aku yang menggantikanmu!" Irawan merasa jengkel, tepat seperti yang diharapkan Tina. "Aku tidak tegang. Kalau maksudmu supaya aku
ngebut, aku akan ngebut sekarang."
"Jangan. Truk ini sudah cukup tua. Bukannya aku
takut ngebut, tetapi aku menghindari kerewelan-kerewelan yang mungkin terjadi. Truk ini hampir tak
pernah dibawa pergi jauh-jauh. Apalagi menanjak!"
Apa yang diucapkan Tina memang tak salah. Nyatanya ketika jalan agak menanjak sedikit, mesin truk
mulai berbunyi menderum terengah-engah. Namun
meskipun jalannya amat lambat dan seperti merangkak,
truk tetap berjalan juga. Rasanya sudah harus mengadakan peremajaan, pikir Tina. Truk tua ini memang hampir setiap hari dipaksa bekerja.
"Kurasa kalau mesinnya menjadi panas, kita beristi001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com130
rahat dulu. Tepikan truknya ke tempat peristirahatan,
lalu minumlah. Dari tadi kau belum minum maupun
makan kue!" kata Tina ketika di depan mereka sudah
terlihat tempat peristirahatan.
"Oh, aku juga dapat jatah rupanya. Kukira tidak,"
sahut Irawan sambil mulai membelokkan truk ke tempat peristirahatan. Suaranya mengandung sindiran.
Tetapi Tina pura-pura tidak tahu.
"Ya, kau pasti dapat jatah. Mas Iwan tadi membeli
cukup banyak kue. Kurasa, dia tidak membeli semua
ini hanya untukku," katanya dengan air muka tak berdosa. Irawan bukannya tak tahu lagak Tina yang sengaja
pasang wajah tak berdosa itu. Tetapi ia tidak bisa melampiaskan rasa dongkolnya karena pasti dia akan kalah kalau hal itu diungkitnya. Karenanya ia hanya memilih diam dan mengambil segelas air mineral. Sesudah
membuka tutupnya, air itu diminumnya sampai habis,
kemudian gelas plastik kosong itu dibuangnya ke selokan. "Jangan biasakan membuang sampah sembarangan!"
komentar Tina seperti menasehati anak kecil.
Irawan tak menanggapi komentar itu. Diambilnya
sebuah kue sus yang dalam sekejap juga sudah habis
masuk ke perutnya. Melihat itu, Tina menyodorkan
sebuah kue basah yang ia tak tahu apa namanya.
"Kue yang ini enak lho," katanya kemudian. "Pasti
juga sekejap hilang dari pemandangan!"
Tangan Irawan yang terulur untuk menerima kue
itu terhenti.

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com131
"Kamu mau bilang aku rakus. Begitu maksudmu?"
tanyanya tanpa menyembunyikan rasa jengkelnya.
"Kau rakus atau tidak, Mas?" Tina membalikkan
pertanyaan dengan sikap tenang.
"Tergantung keadaan. Kalau lapar, ya rakus."
"Nah, sekarang sedang lapar atau tidak?"
"Agak lapar, memang. Mengemudi kendaraan yang
tak biasa kupegang memang terasa agak melelahkan.
Betul juga kata Iwan tadi. Kita akan mengarungi perjalanan lumayan lama. Padahal kalau dengan sedan,
kita bisa sampai dalam waktu dua jam lebih. Mana
ber-AC pula. " "Jadi, agak lapar kau, Mas?" Tina tak peduli terhadap komentar Irawan tentang lamanya perjalanan.
"Kalau ya kenapa?"
"Kalau ya, ya jangan tersinggung kalau ada orang
mengatakan kau rakus. Apalagi di sini hanya ada aku.
Dan tak sekali pun aku mengeluarkan kata rakus. Kau
sendiri yang bilang begitu."
Irawan terdiam. Kue yang baru diterima dari Tina
tadi digigitnya pelan-pelan sehingga tanpa dapat menahan diri, gadis itu tertawa sendiri.
Irawan menoleh. "Apa yang kautertawakan?" tanyanya curiga.
"Kau!" Tina menjawab dengan kalem. "Setelah aku
memberi komentar tentang caramu makan tadi, sekarang kau makan kue dengan cara menggigit sedikit
demi sedikit. Ah, yang wajar sajalah. Kalau memang
lapar ya biar saja makan seperti orang rakus. Memangnya siapa yang peduli" "
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com132
Irawan melirik Tina untuk sesaat lamanya, baru kemudian menjawab, "Apakah setiap perbuatanku selalu menarik hatimu
sehingga kauperhatikan sedemikian rupa?"
Mendengar itu, Tina sekarang yang terdiam. Mulutnya terkatup rapat. Agar jangan tampak canggung, ia
mengambil lagi segelas air mineral dan menghabiskannya. Kemudian dengan sigap ia meloncat turun setelah
menyalakan mesinnya, lalu memeriksa radiator dan
mengisinya dengan air. Irawan memperhatikan cara
gadis itu bekerja. Kelihatannya sudah biasa dia mengurus mesin mobil dan tampaknya pula memiliki kemampuan untuk mengatasi kerewelan mesinnya. Tidak
ada kecemasan pada air mukanya dan sikapnya tampak
biasa-biasa saja. Perempuan seperti itu agak jarang.
Sepengetahuannya, tak banyak kaum Hawa yang mau
menyentuh benda-benda kotor seperti mesin mobil.
Apalagi truk dan bergelimang dengan oli, minyak pelumas, dan semacam itu. Sesudah melihat segalanya oke, Tina meloncat lagi
ke atas truk dan mematikan mesinnya kembali.
"Kita tunggu sekitar sepuluh menit lagi," katanya
kemudian. "Mesinnya masih panas. Sudah kukompres
dengan air dingin." Selesai bicara, ia memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Dicobanya untuk
tidur. Angin sejuk yang sejak tadi masuk melalui jendela terasa segar. Meski telah menjelang tengah hari,
tak terlalu panas rasanya. Angin bertiup begitu mewah.
Sementara cuaca di luar tampak agak redup. Langit
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com133
berawan sehingga matahari bersinar lembut, selembut
angin yang bertiup dan sedang menggoyangkan daundaun di sisi truk mereka.
Tina betul-betul tertidur dan baru terbangun ketika
ia merasa suara mesin mulai terengah-engah lagi. Kepalanya tersentak tegak dan matanya mengedari pemandangan di sekitarnya. "Lho... sudah berangkat, kita?" tanyanya.
"Sudah setengah jam yang lalu!"
"Kenapa aku tidak kaubangunkan" Padahal aku
ingin menggantikanmu!"
"Nanti saja sebelum masuk kota," sahut Irawan.
"Terus terang aku juga mengantuk nih!"
"Kalau begitu sekarang saja kugantikan," kata Tina
tegas. "Aku tak suka naik mobil dengan pengendara
yang mengantuk." "Takut?" "Tidak, yang kutakuti bukan diriku tetapi trukku.
Ini modal mencari makan buat keluarga kami!"
"Jangan berlebihan. Bilang saja takut!" gumam
Irawan. "Tak usah malu mengakuinya."
Tina mengetatkan gerahamnya. Lelaki itu jelas hendak membalas kata-katanya tadi ketika menyuruhnya
mengaku takut. "Sini, pinggirkan truknya. Biar aku yang memegang
kemudi sampai ke tujuan," katanya kemudian.
Irawan tidak menjawab. Bereaksi pun tidak.
"Hei, sekarang gantian aku yang mengemudi." Tina
mulai kesal. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com134
Karena ingin merasakan naik truk yang dikemudikan seorang gadis, akhirnya Irawan menepikan kendaraan dan langsung turun. Tina segera menggeser tubuhnya sampai di belakang kemudi. Sesudah melihat
Irawan naik dan duduk di tempat ia duduk tadi, dengan cekatan Tina melarikan truknya mengarungi sisa
perjalanan. Merasa diperhatikan oleh Irawan, Tina lalu pasang
aksi untuk memperlihatkan bahwa kenyataan tidaklah
meleset dari bicaranya. Dengan sikap yakin dan terkendali, ia membawa truknya melaju membelah jalan
raya. Pernah ia merasa tak sabar ketika dihalangi oleh
bus di depannya, yang seenaknya sendiri menyalipnya
tanpa memberi tanda lebih dulu. Dengan geram ia
ganti mendahului bus itu tanpa memperhatikan adanya
mobil di depan bus yang jalannya seperti keong, pelan
sekali. Hampir saja mobil itu tertabrak olehnya kalau
saja Tina tidak memiliki reaksi yang cukup cepat. Tetapi akibat gerakan itu tubuh truknya agak sedikit
oleng sehingga hampir saja bak truknya mengenai tubuh bus. Pengemudinya marah.
"Babi lo," umpatnya dengan suara kasar.
Mendengar makian sekasar itu, Tina naik darah.
"Kalau gue babi, lo tainya!" makinya. Seumur-umur,
baru kali itu ia memaki orang. Dan itu karena tadi ia
mendengar suara Irawan yang menegurnya, sebelum
makian pengemudi bus tadi terdengar olehnya.
"Kalau mengemudi kendaraan, apalagi di luar kota,
pakai perhitungan dong," begitu Irawan menegurnya.
"Jangan asal bisa menjalankan mobil."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com135
Sekarang mendengar makian yang keluar dari mulut
Tina, Irawan menatap gadis itu hampir tak percaya.
"Kau bisa mengucapkan kata-kata sekasar itu?"
tanyanya. Tina melirik ke arah Irawan. Tanpa mau mengakui
bahwa baru sekali itu ia memaki orang dengan katakata kotor dan sekeluarnya saja, secara spontan ia menjawab, "Kenapa tidak bisa" Apa yang orang lain bisa lakukan, aku juga bisa!"
"Hebat!" sindir Irawan.
Tina diam saja. Perhatiannya dicurahkannya ke
jalan raya kembali tanpa sedikit pun minat untuk memberi tanggapan atas sindiran Irawan tadi.
Karena pembicaraan terhenti sampai di situ,
Irawan pun diam lagi untuk kemudian menyandarkan
kepalanya ke jok mobil, menguap dan kemudian tertidur. Rupanya ia memang mengantuk seperti katanya
tadi. Tanpa diperhatikan oleh Irawan, Tina menjadi lebih
santai. Dengan tenang dibawanya truknya terus melaju
menuju kota Bandung. Dibanding beberapa tahun yang
lalu, lalu lintas di kota Bandung sekarang ini semakin
padat saja. Kendaraan umum seolah-olah ada di manamana. Dari angkot, bus biasa, bus patas sampai taksi
yang lumayan mewah. Dan para sopir itu semakin ahli
saja memainkan kendaraannya di jalan. Berhenti seenaknya, menyalip semaunya sendiri dan memepet kendaraan pribadi sesukanya. Nyawa manusia kelihatannya tak
dihargai. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com136
Sulit untuk mencari akar permasalahannya. Persoalannya sangat kompleks, saling kait-mengait. Tetapi yang
jelas, kalau manusia di Indonesia terutama di Jawa ini
tak sedemikian banyaknya, mungkin keadaannya tak
seburuk itu. Mengatur banyak orang pasti tidak mudah. Dengan pelbagai macam pikiran semacam itu, Tina
akhirnya menyelesaikan perjalanan dengan lancar.
Tetapi karena ia merasa sangat asing dengan kota
Bandung yang sudah enam tahun tak dilihatnya itu, ia
terpaksa membangunkan Irawan.
"Sudah masuk kota," katanya. "Sekarang tolong beritahu aku arah jalan ke tempat yang kita tuju."
Irawan menguap dan matanya mulai terbuka seluruhnya. Diangkatnya pergelangan tangannya.
"Lama juga aku tidur tadi," gumamnya.
"Eh, kau belum menjawab pertanyaanku!" kata
Tina. "Ke mana kita harus pergi?"
"Tepikan saja trukmu itu, biar aku yang membawanya!" "Hati-hati," sahut Tina sambil menepikan truknya
untuk kemudian melompat turun dan pindah tempat.
"Jangan sampai melanggar peraturan. Kau tak punya
SIM B lho!" "Beres." Seperti yang sudah dikatakan Iwan, rumah Bu
Padmo yang mereka tuju itu memang besar. Kuno
bentuknya, tetapi tampak masih kekar dan terlihat
menyenangkan. Sejak dari tanamannya di halaman sampai perabotannya yang sudah kuno, masih enak di001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com137
pandang mata. Rapi, bersih, dan terawat. Halamannya
dipenuh tanaman hias dan pohon buah..
Tadi, Bu Padmo sendiri yang menyambut kedatangan Irawan dan Tina. Perempuan tua itu sudah
tahu dari Iwan yang khusus menelepon dari Jakarta
bahwa ia dan Rima berhalangan sehingga terpaksa
hanya Irawan dan temannya yang datang untuk mengambil barang-barangnya. "Iwan baru saja mengabarkan, dokter yang memeriksa mereka memberitahu bahwa ia dan Rima telah
salah makan!" katanya sesudah Irawan dan Tina masuk
ke rumah. "Ada-ada saja. Itulah akibatnya kalau suka
jajan sembarangan. Sebersih apa pun, yang namanya
rumah makan pasti ada hal-hal yang tak bisa dikontrol
secara sempurna. Entah pelayannya yang teledor, entah
juru masaknya yang kurang memperhatikan kebersihan,
entah yang belanja kurang teliti memilih bahan
makanan, entah pula pekerja bagian cuci piring yang
mencucinya secara asal-asalan saja. Tetapi yang jelas,
makan di rumah sendiri itu pasti lebih bersih dan lebih
sehat." Irawan hanya tersenyum saja. Bu Padmo memang
senang berceloteh. Apalagi kalau bicaranya didengarkan.
Ia betah berjam-jam hanya untuk bercerita tentang
sesuatu yang tak begitu penting. Karenanya Irawan segera memotongnya. "Saya tidur di kamar yang mana, Bude?" tanyanya
sambil mengangkat ranselnya. Ransel pinjaman milik
Dedy. "Oh ya, aku sampai lupa saking senangnya didatangi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com138
tamu," sahut Bu Padmo tertawa sendiri. "Ayo kuantar!" Kamar yang diberikan oleh Bu Padmo itu lumayan
luas. Ada dua tempat tidur single yang sudah rapi dengan seprai yang kelihatannya baru saja dipasang.
"Kamar ini agak jauh dari kamar gadis-gadis. Jadi,
pakailah kalian berdua!" kata Bu Padmo sambil membuka pintu kamar itu lebar-lebar. "Terserah kalian
sendiri yang memilih tempat tidurnya!"
Tina menatap wajah Irawan dengan bingung. Begitupun Irawan. Ia menatap Tina dengan semburat rasa tak
enak yang memancar dari air mukanya.
Bagaimana tidak" Dikira laki-laki bukanlah sesuatu
yang mengganggu perasaan Tina, karena seringnya itu
terjadi. Tetapi disuruh tidur satu kamar dengan seorang
laki-laki, baru sekali ini terjadi. Tak heran jika perkataan Bu Padmo tadi membuatnya bingung.
Jadi aku harus segera menjelaskan keadaan yang
sebenarnya kepada Bu Padmo, pikir Tina dengan perasaan canggung. Kalau tidak, pasti akan ada saja halhal yang semula tak terpikirkan muncul di hadapannya
dan mengakibatkan perasaan tertekan seperti yang sekarang dialaminya. Ah, ternyata penampilannya yang selama ini tidak
menimbulkan sesuatu yang berarti bagi dirinya maupun


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi orang-orang di sekitarnya, kini mulai mengalami
tantangan, begitu Tina berpikir dengan perasaan baur.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com139
TINA menoleh ke arah Bu Padmo dan menatap
perempuan lansia itu dengan tatapan mata yang lembut
dan mengimbau. "Bu, maaf, saya tidak bisa tidur dalam satu kamar
dengan Mas Irawan," katanya.
Bu Padmo menoleh dan memperhatikan raut muka
Tina. "Kenapa" Tidak biasa tidur bersama orang lain?"
tanyanya. "Kalau ya, nanti Ibu siapkan kamar yang lain.
Memang, kadang-kadang Ibu sendiri juga lebih suka
tidur seorang diri."
Tina tersenyum. "Bu, kalau masalahnya hanya karena tak biasa tidur
sekamar dengan orang lain, buat saya bukan sesuatu
yang perlu dipersoalkan. Apalagi kalau menginap di
tempat orang. Saya tidak pilih-pilih tempat kok, Bu,"
sahutnya kemudian. "Tetapi ini masalah sopan-santun
dan aturan-aturan yang ada di dalam masyarakat kita."
Lima 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com140
Perhatian Bu Padmo yang semula terbagi dengan
hal lain, kini mulai tercurah sepenuhnya kepada Tina.
"Apa maksudmu, Nak?" tanyanya.
Tina tersenyum lagi. "Saya yakin Ibu telah keliru melihat saya," sahutnya
hati-hati. "Saya seorang gadis meskipun jika dilihat
sepintas seperti seorang pemuda."
Bu Padmo tertegun. "Ya ampun, Nak," serunya kemudian. "Sungguh, Ibu
ini terlalu sekali, kok ya bisa salah lihat. Aduh, maafkan
Ibu ya, Nak!" "Bukan kesalahan Ibu," kata Tina lekas-lekas.
"Tetapi saya yang salah. Penampilan saya yang seperti
ini bisa mengecoh orang tanpa saya kehendaki."
"Ya, ini bukan kesalahanmu juga sebenarnya. Tetapi
apakah kekeliruan seperti ini sudah pernah terjadi
sebelumnya?" Tina tersenyum. "Sering, Bu. Jadi saya sudah biasa menghadapinya,"
jawabnya. "Sudah sering terjadi, tetapi kamu membiarkan
kekeliruan-kekeliruan seperti ini terus berlangsung?" Bu
Padmo bertanya heran. "Maksud Bu Padmo?"
"Maksudku, tidakkah kamu berusaha untuk tidak
membuat orang berikutnya keliru" Sebab, Nak, orang
yang melakukan kekeliruan seperti yang Ibu alami tadi,
bisa merasa amat canggung dan serbasalah. Mungkin
bagimu tidak apa-apa. Tetapi bagi orang yang bersangkutan, tentulah tidak enak."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com141
Tina terdiam. Hal seperti itu sudah beberapa kali
didengarnya. Keluarganya sudah mengingatkan hal itu.
Bahkan Iwan pun dulu juga mengatakan hal yang
sama. Bahkan secara panjang-lebar lelaki itu memberinya pandangan-pandangan tertentu yang patut dijadikan bahan pertimbangan Tina. Tetapi gadis itu tidak
pernah tergerak untuk memikirkannya. Alias masa bodoh demi kenyamanannya sendiri.
Namun kini di depannya, ketika seorang perempuan
tua mengutarakan hal tersebut dengan tulus, dan justru
pada saat baru pertama kali bertemu, hati Tina mulai
terusik. Apalagi ketika melihatnya terdiam, perempuan
itu lalu menepuk-nepuk lembut bahunya dengan tepukan akrab, bagaikan sedang bicara kepada cucunya sendiri. Ada ketulusan di dalam suara dan gerak tepukan
tangannya itu. "Mungkin sekarang kau belum begitu memahaminya," katanya lagi sambil tersenyum. "Tetapi tidak apaapa. Pasti akan ada saatnya di mana kau nanti sadar
bahwa dalam mengarungi kehidupan ini, kita tidak
pernah sendirian. Maka penting bagi kita semua untuk
menenggang perasaan orang lain dan karenanya jangan
menempatkan diri sendiri sebagai tolok ukur penilaian
dan cara pandang kita."
Tina menatap Bu Padmo. Dari bicaranya, ia menyimpulkan bahwa perempuan itu sudah mengecap
dengan baik asam garam kehidupan. Kerut-kerut pada
wajahnya bukan hanya mencerminkan lamanya ia hidup
di dunia tetapi juga banyaknya pengalaman hidup yang
ditimbanya. Caranya berkata-kata begitu menyentuh
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com142
perasaan karena diucapkan dengan sepenuh hati. Air
mukanya tampak lembut dan pandang matanya terlihat
teduh. Tampaknya, aku akan senang berbicara dengannya, pikir Tina diam-diam.
"Nah, sekarang beristirahatlah. Tunggu Ibu akan
mencarikan kamar untukmu!" kata Bu Padmo lagi.
"Jangan repot-repot, Bu. Saya bisa tidur di mana saja
yang ada di sini, asal tidak dengan Mas Irawan. Jadi
jangan khusus menyediakannya untuk saya," kata Tina.
"Masih ada kamar kosong satu lagi sebenarnya.
Tetapi ketika tadi menerima interlokal dari Iwan bahwa
yang datang dari Jakarta hanya dua orang, Ibu tak jadi
menyuruh membersihkan kamar itu. Kalau kau mau
tidur di tempat itu, akan Ibu suruh bersihkan dulu.
Sekarang istirahatlah sambil menunggu minuman dan
sedikit kue-kue yang sedang disiapkan di belakang."
"Benar, Bu, jangan repot-repot!" kata Tina ketika
melihat Bu Padmo berjalan ke belakang.
Mendengar kata-kata Tina, Bu Padmo menghentikan langkah kakinya. "Kalau tak ingin merepotkanku, apakah kau mau
tidur bersamaku" Ada dipan kosong di kamarku!" katanya dengan suara yang dipenuhi rasa ingin tahu. Tampak betul ia ingin mengetahui jawaban apa yang akan
dikatakan oleh tamu yang baru dikenalnya itu.
"Senang sekali, Bu. Tetapi apakah Ibu sungguhsungguh menawarkan tempat itu untuk saya?"
"Oh ya, tentu saja, Nak!" tawa Bu Padmo. "Ibu tak
suka basa-basi dalam hal yang sungguh-sungguh. Dan
perlu kauketahui, Nak, baru kali inilah Ibu menawar001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com143
kan kamar sendiri kepada orang yang baru pertama
kali bertemu!" "Aduh, Bu, saya merasa terhormat mendapat keistimewaan khusus seperti ini," seru Tina, campuran antara
rasa gembira dengan perasaan tak enak karena sungkan. "Ini ada ceritanya. Nanti malam akan Ibu ceritakan!" Sambil tersenyum Bu Padmo melanjutkan langkah kakinya lagi ke belakang.
Tina lalu pergi ke teras kembali, tempat Irawan
sedang duduk melepaskan lelah. Udara sore kota
Bandung yang sejuk, mulai membelai mereka. Rumah
Bu Padmo terletak di Bandung Utara, di daerah bukit
Dago dengan pemandangan yang indah. Sementara
mereka duduk sesekali terdengar suara dan canda dari
arah kamar-kamar yang pintunya tertutup. Malam
Minggu memang membawa suasana yang agak berbeda
bagi setiap orang muda. Bahkan dalam keadaan patah
hati sekalipun. Sebab bagi yang sedang patah hati,
malam Minggu sering pula membawa kembali kepedihan di relung batinnya, teringat masa-masa ketika masih
bersama sang kekasih. "Sudah kaukatakan kepada Bude Padmo mengenai
dirimu?" tanya Irawan setelah Tina menyusul duduk di
dekatnya dan berlama-lama hanya berdiam diri saja.
"Tentang diriku dan tentang kamar tidur yang disiapkan beliau untuk kita berdua itu?" Tina balik bertanya. "Ya iyalah. Masa tentang kuliahmu."
"Sudah," Tina menjawab jengkel. Kata-kata Irawan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com144
tak pernah enak didengar telinga. "Aku disuruhnya
tidur di kamar beliau!"
"Di kamar beliau" Wah, kau mendapat perlakuan
istimewa rupanya. Tak biasanya Bude Padmo seperti
itu." "Mungkin." "Tetapi omong-omong nih, kau tidak merasa begini
atau begitu kalau ada orang mengiramu sebagai lakilaki, kan?" "Tidak." "Kalau aku malu," Irawan berkata, masih tanpa memakai basa-basi. "Itu kan kau, Mas!" dengus Tina. Ia sedang capek.
Disinggung seperti itu, emosinya terkait. "Aku baru
merasa malu sekali kalau melakukan suatu kesalahan
yang merugikan orang lain."
"Kau keras kepala!"
"He, dari mana penilaian semacam itu?" sembur
Tina. "Dari kesimpulan yang didasari kenyataan yang
kulihat dan kudengar. Bahwa kau sudah berulang kali
disangka laki-laki tetapi tidak mau mengubah penampilan hanya demi memanjakan seleramu sendiri, apakah
itu bukan keras kepala namanya?"
"Belajarlah membedakan antara keras kepala dan
kuat memegang pendirian, Mas," Tina menjawab sengit.
"Itu dua hal yang sangat berbeda. Satunya negatif sementara yang lain positif nilainya. Seseorang dikatakan
keras kepala kalau ia tahu dirinya keliru tetapi tidak
mau mengubahnya demi kepuasan hatinya sendiri atau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com145
mungkin juga karena malu mengakuinya. Tetapi seseorang disebut kuat pendirian kalau dia memiliki suatu
konsep atau prinsip tentang sesuatu yang dinilainya
benar dan dia mempunyai argumentasi tentang hal itu.
Mampu pula mempertanggungjawabkannya."
"Apa maksud tanggung jawab dalam hal ini?"
"Tanggung jawab yang kumaksud adalah suatu
kesediaan untuk mempertanggungjawabkan apa yang
dipilih dan dilakukannya. Termasuk di dalamnya adalah kesediaan untuk menanggung risikonya. Kalau ada
yang protes atau menuntut misalnya, ia bisa menjawab
secara proporsional mengenai pendiriannya itu."
"Oke, lalu argumentasi yang kaumaksud dalam hal
ini, apa?" "Mudah saja," sahut Tina ketus. "Bahwa aku bukanlah orang yang keras kepala seperti tuduhanmu tadi.
Tetapi aku ini orang yang punya prinsip untuk memegang pendirianku. Artinya, aku berpikir, berpendapat, bersikap, dan berkelakuan sesuai dengan apa
yang kuanggap benar. Jadi tidak tergantung pada apa
pendapat dan penilaian orang lain. Jelasnya, aku berpegang pada tata nilaiku sendiri, sejauh itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan tidak
merusak lingkup pergaulan masyarakat."
"Oke. Meskipun ada hal-hal yang tak kusetujui, aku
tidak akan mempersoalkannya. Sekarang yang ingin
kuketahui, mana yang lebih mendominasi dirimu. Keras kepala ataukah keras pendirian?" tanya Irawan dengan suara mengejek yang kentara.
"Kan aku tadi sudah bilang, aku ini bukan orang
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com146
yang keras kepala. Jadi berarti aku ini orang yang keras
dan kuat memegang pendirian. Alias punya prinsip
yang jelas," jawab Tina jengkel. "Kan sudah kujelaskan
juga tadi. Masa tidak bisa membedakannya sih!"
"Kalau aku bisa membedakannya, pasti aku tak bertanya kepadamu. Tetapi ada satu hal yang belum kukatakan. Bahwa pendapatmu tentang dirimu sendiri itu
jelas subjektif sifatnya. Dan hal yang subjektif adalah
sesuatu yang tidak objektif. Dengan demikian, tidak
akurat. Jadi tentu saja aku tidak menyetujui pola pikirmu itu!" "Oke, oke, oke!" gerutu Tina kesal. "Lalu penilaianmu apa kalau begitu. Katakan sejujurnya padaku."
"Penilaianku tentang dirimu adalah... kau itu keras.
Titik. Keras dalam segalanya. Berarti ada campuran
juga antara keras pendirian, keras kepala, dan keras Strangers 3 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Petualangan Di Planet Leera 1

Cari Blog Ini