Ceritasilat Novel Online

Menyemai Harapan 5

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono Bagian 5


ingin meraih tubuh perempuan yang dicintainya itu ke
dalam pelukannya. Tetapi tidak. Seperti Dewi, ia juga
mempunyai prinsip hidup yang kuat. Ada hal-hal yang
boleh dilalui, tetapi juga ada hal-hal yang tak boleh
dilangkahi. Dewi tahu itu, sama seperti Pramono yang juga
mengetahui gejolak hati masing-masing. Karenanya
cepat-cepat ia membuka pintu mobil dan selekas itu
pula kakinya mulai menyentuh tanah.
"Sebaiknya aku segera masuk ya, Mas...?" katanya
http://pustaka-indo.blogspot.com308
de ngan suara bergetar. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia
ber ada di halaman rumahnya. Rumah tempat ia hidup
sebagai istri sah Puji. "Aku... tidak ingin menodai
malam yang indah ini dengan perbuatan yang tidak
semestinya. Tetapi ada sesuatu yang harus kukatakan
kepadamu dengan terus terang. Aku... sangat tersanjung
oleh hadiahmu. Aku sangat senang karena kau masih
ingat hari ulang tahunku. Dan... terima kasih...."
Pramono mengangguk. Dia mengerti betul perasaan
Dewi saat itu. "Memang sebaiknya kau segera masuk ke rumah,
Wik. Semakin cepat, semakin baik," sahutnya lembut.
Sebelum menutup pintu kembali, Dewi menjulurkan
kepalanya kembali dan berbisik pelan ke arah
Pramono. "Terlepas dari kelayakan dan kepantasan, aku ingin
mengatakan sesuatu yang juga seharusnya tidak boleh
kuucapkan, Mas... ternyata aku masih men cintai mu.."
Memang hanya merupakan bisikan lembut namun
setiap kata yang diucapkan oleh perempuan itu begitu
bergaung di hati Pramono. Matanya berkilauan menatap Dewi. "Aku... bahagia, Wik," sahutnya. "Sekaligus se dih.
Cinta kita tak mungkin berpadu kembali...."
Kemudian tanpa menanti sahutan Dewi, Pramono
segera melarikan mobilnya. Caranya membawa kendara an roda empat itu menyiratkan bahwa ia ingin lari
dari kenyataan yang ada, sejauh-jauhnya.
Dewi menarik napas panjang untuk kemudian
meng gembok pintu pagar dan mengayunkan kakinya
http://pustaka-indo.blogspot.com309
yang terasa lemah ke arah pintu tertutup di hadapannya. Dan dengan sama lesunya, ia membuka pintu itu
dengan kunci duplikat dan dia terkejut sekali saat
melihat Puji ada di hadapannya dengan wajah yang tak
enak dilihat. "Kau mengejutkan orang saja," gerutunya. Sama sekali
ia tidak menyangka laki-laki itu sudah kembali ke
rumah. Ketika keluar dari mobil Pramono tadi ia tidak
memperhatikan garasi karena pintunya tertutup rapat.
"Puas?" Puji berkata setengah membentak.
"Apanya yang puas?"
"Apa pun yang kaulakukan bersama Pramono sepanjang petang hingga malam ini," bentak Puji lagi.
"Kuulangi sekali lagi ya, Mas, jangan merangkai pikir an yang kotor mengenai kami berdua. Kami tidak
serendah itu. Dengar, Mas?"
"Mana aku tahu tentang kebenarannya?" Suara Puji
mulai meninggi. "Tetapi yang jelas, kau telah memberinya kesempatan untuk menguntai kembali kisah cinta
kalian dulu." Dewi mulai naik darah. "Mas, jangan menyamakan kami dengan Mas dan
Indah," desis Dewi. Sesaat Puji tertegun. Tetapi karena tidak mau disudut kan, ia menyerang balik dengan ke tajaman katakatanya. "Kata Icih kau pergi ke undangan dengan temanmu.
Tetapi ketika aku tadi mendengar suara mobil dan
meng intip keluar, ternyata teman yang dikatakan oleh
Icih itu Pramono." http://pustaka-indo.blogspot.com310
"Memangnya Icih tidak mengatakan bahwa teman
yang menjemputku itu Mas Pram?"
"Dia terlalu setia untuk melindungimu."
"Dalam hal ini tidak ada yang harus disembunyikan.
Niat Icih untuk tidak menyebut nama Mas Pram pasti
dengan maksud baik. Tetapi dia keliru. Aku tidak perlu
menutupi kenyataan bahwa aku memang dijemput oleh
Mas Pram. Semula, kami memang akan pergi ke
undang an tetapi tak jadi karena Mas Pram lebih memilih mentraktirku sebagai hadiah ulang tahunku."
"Hebat betul." Dewi tidak mau menanggapi perkataan sinis yang
baru saja diucapkan oleh Puji itu dengan sama sinisnya.
"Kurasa itu wajar karena tidak setiap hari aku berulang tahun. Dan kau telah melupakannya," katanya
de ngan suara pelan. "Belakangan ini aku amat sibuk. Waktuku habis
untuk melakukan banyak hal. Jadi..."
"Sudahlah," Dewi menyela bicara Puji yang belum
selesai. "Jangan membela diri. Kau ingat atau ti dak hari
ulang tahunku, itu tidak penting bagiku. Nah, kau
pulang ke sini ini karena baru ingat kalau hari ini
ulang tahunku ataukah karena hal lain?"
"Ibuku meneleponku sore tadi."
Dewi tertawa kecil. "Semestinya Ibu tidak usah repot-repot meng ingatkanmu," dengusnya. "Sudah setua dirimu tidak harus
di ajari dan diingatkan."
"Lupa hari ulang tahun istri bukan suatu kesalahan,
http://pustaka-indo.blogspot.com311
Wik. Laki-laki sering kali kurang memedulikan hal-hal
sentimentil seperti ini. Tetapi bukan berarti suami yang
seperti itu sudah tidak mencintai istrinya lagi. Jadi,
jangan naif begitu."
"Aku malas berdebat denganmu. Aku capek dan
besok aku sudah harus berangkat pagi-pagi karena ada
tugas." "Kau sendiri yang mau mencari kerepotan itu, kan?"
"Betul. Seratus untuk nilaimu, Mas. Tetapi aku baha gia kok dengan pilihan hidupku ini. Aku tadi tidak
mengeluh. Cuma mau memberitahumu bahwa aku
ingin beristirahat karena berdebat denganmu membuatku semakin letih." Puji bungkam. Dengan menyipitkan mata, ia mengawasi Dewi berjalan ke arah kamar mereka, ke mudi an
menyusul Dewi dan ikut masuk ke kamarnya. Sambil
bersedekap namun tetap tanpa suara ia memperhatikan
perempuan itu menukar pakaian. Dan yang diperhatikan pura-pura tidak tahu. Dengan tenang setelah
mem bersihkan wajahnya, ia masuk ke kamar mandi.
Tetapi ketika melihat Puji masih duduk dengan tangan
terlipat saat ia keluar dari kamar mandi, emosinya
mulai terpancing. Pasti Mas Puji sedang mencari-cari kesalahan, pikirnya. Caranya bersedekap dan mem perhatikan setiap
langkah dan gerak tubuhnya seperti penjaga ujian
sedang bersiap-siap menjewer telinga ka lau ada sedikit
saja kekeliruan. Berpikir seperti itu, Dewi jadi marah.
Akibatnya, ia melakukan kesalahan besar. Dus berisi
pil antihamil yang biasanya ia simpan dengan hati-hati,
http://pustaka-indo.blogspot.com312
terjatuh saat ia membuka laci meja riasnya. Lekas-lekas
ia mengambil dus berisi pil anti hamil yang terjatuh di
lantai itu untuk kemudian di masukkan kembali ke laci
meja riasnya dengan ketergesaan yang amat kentara
hingga menimbul kan rasa ingin tahu Puji.
"Pil apa itu?" tanyanya.
"Obat tidur," sahut Dewi gugup.
Tangan Puji terlepas dari lipatannya. Tidak biasanya
perempuan yang berpembawaan tenang dan hati-hati
itu kelihatan kehilangan kendali diri.
"Tidak sakit apa pun kok minum obat tidur. Apakah itu dengan resep dokter?" tanyanya, penasaran.
Meng apa Dewi membutuhkan obat tidur"
"Ya." "Coba kulihat," kata Puji sambil mendekati Dewi.
"Aku ingin tahu keluaran pabrik obat mana itu."
"Untuk apa dilihat-lihat. Itu bukan urusanmu."
Puji tidak memedulikan perkataan Dewi. Laci meja
rias yang belum tertutup rapat itu dibukanya. Melihat
itu Dewi marah. Tangan Puji ditepiskannya.
"Kok mau tahu urusan orang sih," tegurnya sambil
ber usaha keras agar laci meja rias itu jangan dibuka
Puji. Sayangnya, ia kalah tenaga dibanding Puji. Dengan paksa, laki-laki itu berhasil mengambil dus berdiri
pil antihamil itu dan membacanya.
"Ini obat pencegah kehamilan!" serunya. Matanya
yang menatap wajah Dewi di se limuti api amarah.
"Sekarang aku tahu mengapa sampai sekarang kau
belum juga hamil." Merasa tidak ada gunanya membantah, Dewi tidak
http://pustaka-indo.blogspot.com313
mau menanggapi kemarahan Puji. Dengan acuh tak
acuh ia mengambil sedikit hair tonic untuk kemudian
di oleskannya ke kulit kepalanya sambil memijit-mijitnya pelan. Akibatnya, Puji semakin marah. Botol hair
tonic itu direbutnya dan dibantingnya keras-keras ke
sudut kamar hingga pecah berantakan dan isinya tumpah ke lantai. Harum baunya mengisi udara kamar.
"Mas ini kasar sekali!" tegur Dewi marah.
"Tentu saja. Kau hanya mau menikmati hubungan
seksual tanpa peduli pada dambaan suami untuk menimang anak darimu!" bentak Puji.
"Bicaramu sungguh tidak sopan," Dewi menegur
lagi. Rona merah mulai melintasi pipinya yang kuning
lang sat itu. "Seolah bagimu, hubungan seperti itu
merupa kan hubungan yang sakral. Padahal aku tahu
betul se perti apa dirimu. Bagimu, punya anak dariku
bu kan dilandasi oleh keinginan tulus seorang suami,
tetapi karena ingin mengikatku. Kaupikir aku tidak
tahu?" "Itu tidak benar."
"Itu benar." "Bicaramu ngawur."
"Aku bukan orang yang suka bicara ngawur. "
Puji membentak. "Kau saja yang sombong, me rasa
dirimu lebih dan menganggapku rendah!"
"Terserah kau mau bilang apa. Aku malas berdebat
denganmu di malam selarut ini." Usai bicara seperti itu,
Dewi langsung naik ke tempat tidur dan menutupi
wajahnya dengan guling. Puji menyusulnya. Guling yang menutupi wajah
http://pustaka-indo.blogspot.com314
Dewi disingkirkannya dengan gerakan kasar dan memaksa. Akibatnya, Dewi marah besar.
"Senang ya bertengkar dan ribut-ribut macam orang
tak berpendidikan?" semburnya.
Diejek seperti itu, Puji ingin menundukkan Dewi.
Ke dua tangan perempuan itu ditangkapnya ke mudian
seperti orang kesetanan, diimpitnya tubuh Dewi dan
diciuminya perempuan itu dengan paksa dan kasar.
Tentu saja Dewi menolak. Dengan susah payah ia
menarik ta ngannya yang dibelenggu. Tetapi men dapat
perlawanan seperti itu, Puji menjadi semakin brutal.
Gaun yang dikenakan Dewi dilepaskannya de ngan
paksa hingga robek. Begitu juga pakaian dalam nya.
Seluruh ke kuatan isiknya dan seluruh otot tubuh nya
di pakainya untuk menundukkan Dewi. Lupa segala hal
tentang kesopanan yang per nah dipelajarinya.
Untuk pertama kalinya sejak pernikahannya dengan
Puji, Dewi merasa dirinya betul-betul sebagai objek
pe muas hasrat dan pelampiasan kemarahan Puji. Karenanya dengan sisa-sisa kekuatannya yang ada, ia berusaha melepaskan diri dari impitan Puji. Tetapi lakilaki yang sudah kesetanan itu tidak membiar kannya.
Kedua pipi Dewi itu ditamparnya dan dengan kekuatan ekstra yang dimilikinya, ia ber usaha matimatian menguasai tubuh Dewi. Dalam ke perihan dan
rasa terhina yang dialaminya, Dewi ma lah kehilangan
kekuatan. Kepalanya pusing aki bat dijambak, juga
karena ditampar tadi. Sedikit pun ia tak mampu mengangkat dirinya agar jangan merosot sedemikian rendah
dan hina. Oleh sebab itu ketika segalanya usai dan Puji
http://pustaka-indo.blogspot.com315
telah melepaskan pelukannya, ia ganti menampar pipi
laki-laki itu. Puji tidak menyangka perempuan yang dibesarkan
dan dididik dalam adat Jawa yang kuat dan penuh
atur an main itu berani menampar pipi suaminya.
"Kau berani menamparku, Wik?" bentaknya sambil
meng usap pipinya. "Aku suamimu!"
"Kelakuanmu terhadapku tidak seperti suami terhadap istrinya. Kelakuanmu seperti binatang yang pantas ditampar!" Dewi balas membentak. "Me mangnya
hanya laki-laki yang boleh menampar pipi perempuan?"
Seluruh tubuh Dewi dari ujung rambut yang sempat
di jambak Puji, hingga ke ujung jari kakinya, terasa sakit. Beberapa bagian tubuhnya yang terasa sakit tampak memar berwarna keunguan. Namun dibanding
rasa sakit di seluruh sudut batinnya, itu semua bukan
apa-apa. Sakit, nyeri, dan memar di tubuhnya, pasti
akan hilang dalam beberapa hari. Tetapi hati yang
tercabik-cabik oleh rasa hina entah sampai kapan bisa
dilupakannya. Puji menatap tubuh Dewi yang masih berdiri di tepi


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat tidur dengan perasaan campur. Kedua ta ngannya terkepal hingga buku-buku jemarinya memutih. Air
mukanya sangat keruh. Matanya me merah, pipinya
yang ditampar Puji tadi tampak ke unguan. Bibirnya
yang bengkak bertaut, membentuk garis lurus yang
menyiratkan kepedihan luar biasa. Rambutnya yang
lebat itu terurai ke mana-mana akibat jambakannya.
Sementara pakaiannya berantakan dan robek di sanasini. http://pustaka-indo.blogspot.com316
Melihat pemandangan seperti itu, Puji malu pada
dirinya sendiri. Ia sadar, kelakuannya tadi bagai orang
kesurupan. Apa yang tampak pada seluruh pe nampilan
Dewi, jelas menunjukkan hasil per buat annya yang bisa
dikatakan biadab. "Kau sudah puas, kan?" Dewi mendesiskan ke perihan hatinya. "Nah, mulai sekarang jangan coba-coba
mendekatiku lagi. Aku jijik melihatmu. Mulai ma lam
ini aku akan pindah ke kamar depan."
"Kau istriku, Wik. Aku berhak me nyuruhmu tetap
tidur di kamar ini," sahut Puji tegas.
"Kau tidak berhak atas diriku. Aku berhak memilih
tidur di mana pun yang kuinginkan Ter utama sejak
malam ini. Kelakuanmu sama sekali tidak mem perlihatkan kau suami yang layak dihargai. Aku bukan
objek. Aku bukan benda. Aku subjek yang ke betulan
saja menjadi istrimu."
"Apa pun alasan yang kaukemukakan, sebagai suamimu aku berhak atas dirimu. Kau harus tetap tidur di
kamar ini." Melihat keteguhan dan kerasnya kemauan
Dewi, Puji yang semula bermaksud minta maaf atas
ke lakuannya yang brutal tadi, membatalkan niatnya.
"Kalau kauanggap istri itu punya tempat yang lebih
rendah daripada suami dan kauanggap pula tidak
berhak atas dirinya sen diri, se baik nya hubungan suamiistri ini kita akhiri sam pai di sini. Aku tidak sanggup
hidup bersama suami yang egois dan mau menangnya
sendiri." "Huh... seperti aku ini orang bodoh saja. Sejak
perjumpaanmu kembali dengan Pramono, sudah be behttp://pustaka-indo.blogspot.com317
rapa kali kau mengucapkan keinginanmu berpisah denganku. Seperti perempuan gampangan saja."
Mendengar penghinaan itu, amarah Dewi meluap.
Tetapi ketika tiba-tiba teringat nasihat dan didikan
ibu nya agar setiap kali ada masalah harus tetap dihadapi dengan hati sabar dan kepala dingin, amarahnya
yang sudah ada di ujung lidah ditelannya kembali. Kata
perempuan yang melahirkannya ke dunia ini: tidak
akan ada masalah yang bisa diselesaikan dengan baik
jika kepala dan hati sedang panas. Apalagi sampai
menggelegak. Bahkan kalau mungkin, hendaknya menghindari konlik terbuka agar tetap menjadi orang yang
santun dan terhormat. Teringat ajaran ibunya, lekas-lekas Dewi menyurutkan amarahnya. "Terserah kau mau menganggapku perempu an
gampang an atau apa pun, itu hakmu. Tetapi sebagai
sesama insan yang sama-sama memiliki martabat, aku
juga berhak untuk merealisasikan otonomi pribadiku
sebagai manusia. Jadi, aku akan tetap tidur di kamar
depan," katanya. "Kau harus tetap tidur di kamar ini. Sebab sekali
istri dibiarkan tidur di tempat lain, itu akan menjadi
kebiasaan." Puji bergegas meloncat ke depan pintu
kamar nya yang tertutup dan mengadang.
"Apakah kau kurang memahami bahasa Indonesia?"
tanya Dewi dengan tajam. "Sudah jelas ku katakan tadi
bahwa aku akan meletakkan kedudukan terhormatku
sebagai istri di rumah ini."
"Perceraian hanya bisa terjadi jika dua orang yang
http://pustaka-indo.blogspot.com318
ter ikat sebagai suami dan istri sama-sama menghendaki nya. Jelas?"
"Dengan kata lain, kau ingin menjerat tanganku dan
membelenggu kakiku," kata Dewi, mulai marah lagi.
"Kau sangat tak berperikemanusiaan."
"Jangan memakai istilah sekasar itu."
"Mana yang lebih kasar, kata-kataku ataukah perbuatan biadabmu tadi?"
"Mulutmu tajam."
"Aku dituntut keadaan untuk bisa berkata-kata tajam. Nah, sekarang menyingkirlah dari situ. Aku harus
cepat-cepat meninggalkan kamar me sum ini."
"Wiwik. Kau tidak boleh pergi."
"Untuk apa aku tetap berada di kamar ini kalau
orang sekamarku tidak bisa lagi kuhormati sebagai
suami?" "Wiwik, kau milikku. Tidak boleh semau-mau mu
pindah kamar." "Istri tidak termasuk sebagai hak milik. Kau juga
tidak berhak memaksakan kehendak atas diriku. Sekali
aku mengatakan ingin berpisah denganmu, itu akan
terus kuupayakan sampai terealisasi."
"Apa kau lupa, perkawinan kita direstui kedua belah
pihak keluarga dan disaksikan sekian banyaknya tamu?"
"Apa kau lupa, ketiga adik lelakiku tak pernah merelakan diriku menjadi istri laki-laki yang punya istri
lain" Jadi, jangan bawa-bawa orang lain dalam hal ini.
Bukan mereka yang mengalami pahit-manisnya hidup
berkeluarga. Bukan mereka yang merasakan betapa
gelapnya masa depanku jika masih tetap berada di sini
http://pustaka-indo.blogspot.com319
sebagai istrimu. Kurasa siapa pun akan me mahami
kenapa aku ingin bercerai darimu."
"Tidak. Kau tidak boleh pergi dari sisiku."
"Huh... tidak... tidak... tidak... dan tidak. Memangnya aku ini tidak punya perasaan dan keinginan
sendiri" Hmm... rupanya kau betul-betul menikmati
hi dup berpoligami dengan dua istri. Sungguh tidak
punya rasa malu. Zaman sekarang kau masih me niru
orang-orang dulu, termasuk bapakku, yang me nyukai
hidup bersama dua istri. Sungguh memuakkan. Tetapi
kalau kau memang benar-benar menikmati ke hidupan
semacam itu, silakan cari perempuan lain yang mau
berbagi suami dan menunggu jatahnya. Aku tidak
sudi!" Perkataan Dewi dibalas oleh Puji dengan tamparan
yang lebih keras daripada tamparannya tadi. Pipi Dewi
langsung memerah. Kepalanya juga terasa pusing lagi
sehingga untuk be berapa detik lamanya ia memejamkan mata. "Kalau mau, aku bisa melaporkan perbuatanmu
pada yang berwajib," desisnya kemudian dengan tangan
yang semakin mengepal. "Semua yang kaulakukan kepadaku malam ini sudah lebih dari cukup untuk membawamu ke kantor polisi. Fisikku yang memar dan
be rantakan ini bisa menjadi bukti atas kekasaranmu.
Ada Undang-Undang PKDRT (Penghapusan Ke kerasan Dalam Rumah Tangga) yang telah kauabaikan kewenangannya." Melihat pipi Dewi yang mulai bengkak kemerahan
dan mendengar ancaman Dewi, Puji mulai merasa tihttp://pustaka-indo.blogspot.com320
dak enak. Karenanya ketika perempuan itu mendorong nya agar menyingkir dari depan pintu, ia terpaksa membiarkan Dewi membuka pintu dan langsung
menghilang di baliknya Pagi harinya ketika Dewi terbangun dari tidurnya
yang penuh kegelisahan, pertama-tama yang dilihatnya
di cermin adalah pipinya. Wajahnya masih agak bengap
dan pipinya masih merah keunguan. Be gitu juga
bengkak di bibirnya masih belum hilang. Me lihat itu ia
memutuskan tidak pergi ke kantor. Jadi ia masih tetap
berada di tempat tidur ketika telinganya mendengar
suara Puji tengah bersiap-siap pergi ke kantor.
Jam tujuh lewat, pintu kamarnya diketuk Icih.
"Den Wiwik, tidak pergi ke kantor?" tanyanya.
"Tidak, Cih. Badanku meriang."
"Jadi Bapak tidak usah menunggu Den Wiwik?" Icih
bertanya lagi. Hm, jadi Puji tadi yang menyuruh Icih bertanya.
Memang biasanya jika Puji di rumah, Dewi selalu ikut
mobilnya sampai di depan kantor.
"Biarkan dia pergi sendiri. Bilang padanya aku
meng ucapkan terima kasih atas hadiah ulang tahunnya.
Capnya masih nyata," katanya.
"Cap apa, Den?"
"Bilang saja begitu. Dia sudah tahu maksudnya."
Puji memang langsung tahu apa yang dikatakan
Dewi melalui Icih. Sekaligus juga mengerti kenapa perempuan itu tidak mau ke kantor. Bekas-bekas tangannya pasti masih tergambar pada wajahnya. Be berapa
saat, rasa bersalah mulai menyelinap lagi ke hatinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com321
Tetapi ketika ia teringat pada Pramono, perasaan itu
langsung saja tersingkir. Gara-gara lelaki itu istrinya
semakin jauh darinya. Memang itulah yang sering dialami kebanyakan
manusia. Sering kali gajah di pelupuk matanya tidak
terlihat karena lebih menyibukkan diri mencari-cari
kuman yang ada di seberang lautan.
Sepeninggal Puji barulah Dewi keluar dari kamar
depan tempat ia tidur semalam. Diam-diam ia mulai
melihat segi positif yang dilihatnya dari kejadian se malam. Konon ada orang mengatakan, bila suami sudah
sekali menjatuhkan tangan ke tubuh istri nya, lamalama bisa menjadi kebiasaan. Apalagi kalau sang istri
membiarkan dan tidak mengerti haknya untuk menjaga
diri sendiri. Dan Puji dalam semalam saja sudah tiga
kali menampar pipinya, menjambak rambut nya, memelintir lengannya, dan memerkosanya. Esok atau lusa"
Itulah yang dikhawatirkan Dewi. Maka dengan
memar-memar di tubuh dan pipi merah keunguan,
Dewi bermaksud pulang ke rumah orangtuanya hari
itu juga. Bukan untuk mencari pembelaan atau mencari
perlindungan, namun untuk me nunjuk kan bukti bahwa
perkawinannya dengan Puji sudah tidak bisa dipertahankan. Sama-sama punya dua istri, ayahnya tidak
pernah sekali pun ber buat kasar terhadap ibunya.
Tetapi Puji" Dengan pemikiran itu Dewi mulai mengemasi
barang-barang pribadinya"pakaian dan barang-barang
yang berkaitan dengan pekerjaannya seperti laptop,
buku-buku, dan semacamnya. Ketika Icih masuk ke
http://pustaka-indo.blogspot.com322
ruang tengah dan melihat tas besar milik Dewi, dia
ter tegun. Kata majikannya tadi, dia sedang meriang.
Kok mau pergi" "Den... mau tugas ke luar kota lagi ya..." Suaranya
terhenti ketika melihat Dewi keluar dari kamar. Ia terkejut saat melihat wajah majikannya yang bengkak dan
pipinya yang memerah keunguan itu. "Kenapa wajah
Den Wiwik?" "Cap yang dibuat suami," Dewi menjawab tak
acuh. "Tolong, Cih, belanja sesuatu di warung sayuran
dan segeralah masak sesuatu untuk kita tinggalkan di
sini." "Apa?" Icih menyela. "Apa maksud Den Wik?"
"Aku akan mengajakmu pulang ke rumah Ibu. Aku
sudah tidak tahan lagi hidup bersamanya. Biarlah rasa
malu dan aib perceraian itu akan kutanggung sen diri."
"Apa, Den" Perceraian?" Icih membelalakkan matanya. "Ya. Aku akan mengajukan perceraian...."
"Den... apakah itu sudah dipikirkan dengan..."
Dewi menatap Icih dan menghentikan perkataan
pe rempuan itu dengan kata-kata yang membuat Icih
langsung mengerti. "Jangan ikut campur, Cih. Lihat wajahku baik-baik.
Lihat memar-memar di tanganku. Aku tidak ingin
kekerasan seperti ini kualami lagi. Apalagi dijadikan
ke biasaan. Orangtuaku saja tak pernah menanganiku
sampai begini. Jadi kalau kau memang sayang padaku,
jangan ribut-ribut. Segera saja kemasi barang-barang
http://pustaka-indo.blogspot.com323
kita," katanya. "Setelah kau memasak, kita langsung
pulang." Icih terdiam. Hatinya tersentuh. Baru sekarang ia
mem perhatikan dengan cermat keadaan wajah Dewi.
"Baik, Den. Kita akan pulang ke rumah Ibu Sepuh
hari ini," katanya kemudian dengan suara mantap.
"Terima kasih atas pengertianmu. Setelah selesai
se mua nya, segera mencari taksi. Oh, ya. Jangan meninggalkan pekerjaan, ya. Setrikalah pakaian Bapak
ka lau sudah kering. Jangan pula ada piring kotor.
Sirami tanaman. Akan kubantu kau membersihkan rumah supaya kita bisa cepat meninggalkan rumah ini.
Nah, bisakah selesai dalam waktu sekitar dua jam?"
"Baik, Den. Akan saya usahakan."
Ketika mereka sudah berada di dalam taksi, Icih
me nanyakan sesuatu yang sejak tadi mengganjal di
hatinya. "Maaf ya, Den, saya mau bertanya. Apakah peristiwa
ini ada kaitannya dengan kepergian Den Wiwik dengan
Pak Pram?" "Antara lain, ya. Dia melihatku diantar pulang Mas
Pram. Padahal aku sudah bilang kami bukan orangorang yang tak punya akal sehat. Otak kami masih
cukup waras untuk mengingat bahwa aku ini istri


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Kami juga masih menghormati atur an main, tata
krama, dan kesadaran moral."
Icih melirih wajah Dewi. "Laki-laki memang mau menangnya sendiri. Sudah
jelas-jelas dia punya dua istri, tetapi Den Wiwik baru
http://pustaka-indo.blogspot.com324
pergi dengan laki-laki lain saja marahnya sudah seperti
itu. Sungguh tidak adil sama sekali."
"Itu karena Mas Puji menganggap istri sebagai milik
pribadinya. Sama seperti pisau cukur, tang, obeng, dan
pakaian dalamnya." Kalau tidak sedang dalam suasana murung seperti
itu pasti Icih akan tertawa mendengar perkataan Dewi.
Tetapi tidak. Ia ikut terbawa suasana. Ia ter ingat pada
nasibnya sendiri. Suaminya punya istri simpanan.
Kalau mengalami kesulitan uang akibat kebutuhan
untuk membiayai dua rumah tangga, Icih menjadi
tempat pelampiasan kemarahannya. Sering di pukul
atau dijambak. Bahkan pernah, gelang emas yang
dibelinya dengan hasil keringat sendiri, dijual secara
diam-diam oleh sang suami untuk memenuhi ke butuhan istri simpanannya. "Lebih enak hidup sendiri, Den "gumamnya ke mudian. "Kau masih muda dan wajahmu manis, Cih. Suatu
saat pasti akan ketemu laki-laki yang baik. Tidak
semua laki-laki seperti mantan suamimu."
"Yah... memang begitu. Tetapi seandainya saya menikah lagi, saya akan tetap ikut Den Wiwik atau keluarga Ibu Sepuh." "Ah, itu bisa diatur."
Icih tersenyum. Dia kenal betul keluarga Dewi.
Semuanya baik-baik dan tidak menganggap para pembantu rumah tangga sebagai orang gajian mereka, dan
ia diperlakukan seperti bagian dari keluarga. Bahkan
mereka tidak ingin lagi dipanggil Ndoro, Denloro, atau
http://pustaka-indo.blogspot.com325
Den Bagus, sebagaimana biasanya sebutan untuk
ningrat di bawah "kelas" anggota keluarga inti raja-raja
Solo dan Yogya. Tetapi Icih yang tahu tentang sebutan
itu tetap memanggil putri dan putra-putra keluarga
Sulistyo dengan sebutan "Den" dari singkatan "Raden",
tanpa mau mengubahnya meskipun ia bersedia mengubah sebutan Ndoro Putri dan Ndoro Kakung menjadi
Bapak dan Ibu. Dia ingin menjaga jangan sampai ada
orang menganggap keluarga ini masih menjunjung
feodalisme yang sudah usang di negara yang seluruh
warganya memiliki kesetaraan di berbagai sektor kehidup an. Kini, begitu Dewi turun dari taksi dan kembali ke
rumah keluarga Sulistyo, sejarah kehidupan baru pun
mulai terukir dalam kehidupannya. Ia tidak mau lagi
kembali ke rumah yang telah di tinggalkannya. Dia
tidak peduli apakah nanti Indah dan anaknya yang
akan tinggal di rumah itu ataukah akan dijual, bukan
urus annya. Bahkan masalah harta gono-gini, ia juga
tidak akan mempersoalkannya. Bagi nya, bisa terlepas
dari perkawinannya dengan Puji, sudah cukup memberinya kelegaan yang luar biasa. Ia tak lagi harus berperang dengan hati nurani sendiri yang terus saja menentangnya. Ia juga tidak harus meng hindari pergaulan
dengan para tetangga hanya untuk menyembunyikan
kenyataan bahwa suaminya punya dua istri. Ia juga
tidak perlu lagi minum pil antihamil hanya demi menjaga agar tidak ada anak-anak yang lahir di dalam
pernikahan poligami ini. Tetapi yang jelas, mulai hari ini Dewi harus menata
http://pustaka-indo.blogspot.com326
ulang kembali rencana hidup pribadinya dan mengejar
apa-apa yang tertinggal selama hampir satu tahun ini.
Bagaimanapun, jalan kehidupannya masih luas dan
panjang. Berarti masih banyak yang bisa dilaku kannya.
http://pustaka-indo.blogspot.com327
"NDUK, ada Nak Puji di depan," terdengar suara
Ibu Sulistyo, menghentikan jemari Dewi di atas laptopnya. Dia lagi, dia lagi, keluh Dewi dalam hati nya.
"Ibu mengatakan bahwa saya ada di rumah?" tanyanya, agak kesal. "Ya. Bukankah kau memang ada di rumah?"
Ah, Ibu. Lagi-lagi Dewi mengeluh kesal di dalam
hati . "Kalau sudah telanjur mengatakan saya ada di rumah, tolong katakan saya tidak bisa di ganggu. Sedang
sibuk menyelesaikan pekerjaan kan tor," sahutnya
kemudian. "Ingatlah, Wik, dia masih suamimu."
"Di atas kertas, ya."
"Janganlah terlalu keras hati seperti itu, Wik. Tidak
baik. Menjadi perempuan hendaklah memiliki hati
yang lembut, yang sabar, murah hati, dan pemaaf."
Sebelas http://pustaka-indo.blogspot.com328
Nah, ini dia. Ajaran-ajaran indah semacam itu sering
kali harus diterapkan kaum perempuan, tetapi kurang
diajarkan pada kaum lelaki. Tidak heran jika kaum
lelaki sering tidak sabaran, mudah marah, suka berkelahi, suka tawuran, kurang lembut hati, dan mu dah
pula melakukan kekerasan. Tetapi perempuan me lakukan kekeliruan sedikit saja, dianggap telah me langgar
kesalahan besar. Dan hampir di setiap bidang kehidupan, perempuan sering mengalami ketidakadilan.
"Bu, hatiku belum siap bertemu dengan dia," jawabnya, masih dengan perasaan tak puas.
"Tetapi sudah sepuluh kali lebih selama satu minggu
ini Puji menelepon dan sudah empat kali pula dia
datang ke sini tanpa kauberi kesempatan bertemu. Ibu
benar-benar tidak enak sering membohonginya."
"Kalau dia datang untuk menyelesaikan perceraian,
baru Wiwik mau menemuinya, Bu. Tetapi kalau untuk
membujuk supaya Wiwik membatalkan keinginan
bercerai, suruh saja dia pulang."
"Wiwik!" Sang ibu mulai jengkel. Dewi terlalu keras
hati. "Bu, tolonglah. Pahamilah perasaanku ini. Suruhlah
dia pergi, entah bagaimana caranya. Pokoknya, Wiwik
tidak mau melihat wajahnya."
"Jangan-jangan kau masih mencintainya," gumam Ibu
Sulistyo. "Apa, Bu" Aku masih mencintainya" Ya ampun. Sedikit pun tidak, Bu. Dari mana pikiran Ibu bisa sampai
ke situ?" "Kalau tidak mengapa kau enggan menemuinya sehttp://pustaka-indo.blogspot.com329
akan khawatir terbujuk olehnya. Ingat lho, Wik, perasaan benci itu tak seberapa jauh jaraknya dengan
pe rasaan yang sebaliknya."
"Ah, Ibu. Itu kan pendapat yang tak mendasar. Lagi
pula Ibu jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Wiwik tidak membencinya. Tetapi muak melihat lakilaki yang pikirannya picik dan sempit. Dia itu ingin
mem pertahankan Wiwik bukan karena perasaan cinta,
tetapi karena ingin memiliki. Tidakkah Ibu mengerti
bah wa Mas Puji itu seperti orang yang sedang ter ancam
perampok, takut barang miliknya diambil orang?"
"Kau ada-ada saja, Nduk."
"Bukan mengada-ada, Bu. Hidup bersama sebagai
suami-istri selama berbulan-bulan dengan Mas Puji
cukup memberitahu padaku bahwa dia itu manja, mau
menang sendiri, bahkan egois. Persis anak kecil, yang
meskipun punya banyak mainan berserakan di sekitar
kakinya dan dia tidak begitu peduli pada miliknya itu,
tetapi ketika ada anak lain me minta atau mengambil
salah satunya, dia akan meng genggamnya erat-erat.
Tidak boleh diambil orang. Bahkan dilihat pun tidak
boleh." "Ah, sudahlah. Kau selalu saja punya dalih. Tetapi
sekarang yang penting temuilah dia dan dengar kan apa
yang mau dikatakannya. Hentikan dulu pe kerja anmu
itu," kata sang ibu lagi.
"Ibu jangan mendesak terus, ah. Jadi maaf, aku mau
melanjutkan pekerjaanku kembali," sambil ber kata
seperti itu, Dewi kem bali menghadap ke arah laptopnya. http://pustaka-indo.blogspot.com330
"Ah, kau memang keras kepala." Ibu Sulistyo mengeluh sambil melangkah meninggalkan kamar Dewi
menuju ke ruang tamu. Melihat sang ibu telah meninggalkannya, Dewi lega.
Ia mulai mengembalikan perhatiannya pe kerjaannya.
Sayangnya saat ia mulai asyik dengan pe kerjaannya,
terdengar suara Puji dari ambang pintu kamar.
Konsentrasinya langsung buyar.
"Sedang sibuk, Wik?" kata suara itu.
Dewi membalikkan tubuhnya. Di belakang Puji, berdiri ibunya. Melihat sang ibu, Dewi langsung menegurnya. "Ibu tidak mengatakan Wiwik sedang sibuk" Pe kerjaan ini harus selesai besok pagi karena sudah mau naik
cetak," katanya tanpa sekilas pun menoleh ke arah Puji.
"Aku yang memaksa Ibu. Jangan salahkan beliau,"
sela Puji. "Aku ingin bicara denganmu, sebentar saja."
"Karena sudah berada di depanku, lekas ucapkan
apa yang ingin kaukatakan padaku dan lekas pula keluar dari sini. Aku betul-betul sedang banyak pe kerjaan," sahut Dewi ketus.
"Bukan main ramahnya kau, Wik."
"Cepatlah bicara, jangan melenceng dari tujuanmu
me nemuiku," lagi-lagi Dewi bicara dengan ketus.
"Oke. Aku sudah berpikir selama berhari-hari lamanya dan juga atas dorongan ibuku, aku akan bercerai
dari Indah. Oleh karena itu, Wik, kembalilah kepadaku
dan kita berdua akan mulai dari awal lagi memasuki
ke hidupan baru seperti yang pernah kita rencanakan
selama masa pertunangan kita dulu."
http://pustaka-indo.blogspot.com331
Dewi menatap mata Puji dengan pandangan meleceh kan. Betapa picik dan sempit wawa san dan perasaan laki-laki ini, pikirnya. Egois pula. Mudahmudah an ibunya berpikir sama karena ia yakin,
pe rempuan paro baya itu mendengar kata-kata Puji.
Apa sih yang ada di dalam pikiran laki-laki itu" Dianggap seperti apakah keberadaan perempuan, khususnya keberadaan Indah" Bagaimana pula nasib anaknya
jika Puji menceraikan Indah" Sungguh, betapa dangkal
pikirannya. Tidak sadarkah dia bahwa kata-kata yang
diucapkannya tadi justru semakin menjauh kan dia dari
hatinya" Ah, kenapa baru sekarang ia me ngenal seperti
apa kedalaman isi Puji. "Mas, aku tidak ingin kembali padamu," sahutnya
se telah menarik napas panjang. "Jadi jangan mengorban kan Indah dan anakmu sendiri."
"Tetapi, Wik, aku akan memberi mereka biaya kehidupan yang..." "Tidak," Dewi langsung memotong perkataan Puji.
"Kenapa sih kau tidak memiliki rasa tanggung jawab"
Indah itu istri yang kaunikahi secara sah dan telah
mem berimu anak. Hanya memberi mereka ke butuhan
materi, sungguh sangat tidak manusiawi. Jadi sekali lagi,
Mas, aku tidak akan pernah kembali ke padamu. Aku
ingin memutus tali perkawinan kita. Per cayalah, meskipun tidak mudah dijalani, te tapi dengan adanya percerai an, kehidupan kita pasti akan menjadi lebih tenang"
"Wik, kalau keputusanmu itu akibat perbuatanku
yang brutal waktu itu, aku mohon maaf. Tetapi janganlah karena hal itu lalu kau ingin bercerai dariku."
http://pustaka-indo.blogspot.com332
"Wah, kau salah lagi, Mas. Tanpa perbuatan brutalmu waktu itu, aku tetap akan bercerai darimu. Kau
ha rus menyadari bahwa pernikahan kita sudah salah
se jak awal. Maka selagi masih bisa, marilah kita perbaiki dengan mengurus perceraian. Jangan membuat
masalah di antara kita jadi bertele-tele begini. Apalagi
karena ada orang-orang yang terbawa di dalam nya.
Yaitu Indah dan anakmu yang masih bayi."
"Tetapi satu-satunya jalan agar prinsip hidupmu tak
terlanggar dan supaya hati nuranimu tenang adalah
dengan cara menceraikan dia," bantah Puji. "Percayalah,
Wik, aku benar-benar rela dan bersedia ber pisah dengan Indah...." "Ya ampun, Mas. Kau bisa berbahasa Indonesia atau
tidak sih?" Dewi menaikkan alisnya. "Jangan meng ulangulang persoalan yang itu-itu saja padahal aku sudah
menjawab dan menyatakan keinginanku se cara jelas
berikut alasan-alasannya. Singkat kata, aku ti dak akan
melanjutkan perkawinan kita. Jadi kaucerai kan Indah
atau tidak, aku akan tetap pada pendirianku ini. Jelas?"
Puji terdiam. Melihat itu Dewi cepat-cepat melanjut kan serangannya. "Priska itu bukan anakku. Bahkan melihatnya saja
pun belum. Tetapi aku memikirkan masa depannya,
saat-saat dia berada dalam proses perkembangan isik
dan jiwanya. Kau yang ayah kandungnya tidak memikir kan betapa pentingnya masa-masa itu. Malah mau
menyingkirkannya hanya demi menguntai kembali
rencana yang pernah kita susun ketika masih bertunangan. Padahal rencana itu sudah berantakan sejak
http://pustaka-indo.blogspot.com333
kau lari untuk menikah dengan Indah. Bahwa kemudian pernikahan kita tetap dilanjutkan, itu kekeliruan besar yang telah kita ambil bersama. Maka saat


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

inilah kita sekarang harus memperbaikinya. Bukan
dengan bercerai dengan Indah, tetapi dengan diriku.
Jadi, Mas, jangan keras kepala dan jangan hanya memikirkan diri sendiri."
Kata-kata Dewi menyebabkan Puji terbungkam.
Apa lagi Ibu Sulistyo ikut berbicara dengan lem but,
namun sangat mengena. "Nak Puji, Ibu rasa yang dikatakan Wiwik itu benar.
Punya dua rumah tangga tidaklah mudah. Banyak
persoalan yang sering kali tidak terduga. Saat kau dan
Wiwik sedang jalan-jalan ke luar kota misalnya, tibatiba ada telepon dari Indah, anak kalian masuk rumah
sakit karena diare berat. Nah, acara jalan-jalan pasti
harus dihentikan. Itu belum masa lah materi. Kalian
masih muda dan kariermu belum stabil. Berat, Nak.
Berat. Bisa mengalami tekan an batin yang akan menyebabkanmu kehilangan kendali diri. Ada masalah
kecil saja, kau bisa mengamuk," kata perempuan itu.
"Buktinya belum sampai setahun kalian menikah, tetapi
kau sudah berbuat kasar pada Wiwik sampai sedemikian rupa. Padahal kami orangtuanya, sekali pun belum
pernah melakukannya."
Puji yang masih terdiam, tertunduk dengan wajah
merona merah. Dewi memakai kesempatan itu untuk
menyuruhnya pulang. "Sekarang, pulanglah. Pikirkan semuanya dengan
tenang dan rasional. Aku akan melanjutkan pe kerjahttp://pustaka-indo.blogspot.com334
anku sambil menunggu kapan kita akan mengurus
per ceraian." Tetapi hingga dua bulan kemudian, Puji masih be lum
juga mengajak Dewi mengurus perceraian me reka
sehingga ia jadi kesal. Berkali-kali dia mengingatkan Puji
melalui SMS dan hanya dijawab "ya". Akibatnya, dengan
status yang ter katung-katung seperti itu Dewi jadi merasa tidak nyaman nyaman. Sementara itu demi menjaga
nama baiknya, sekali pun ia tidak pernah meng hubungi
Pramono. Apa lagi memang tidak ada urusan di antara
mereka. Se mentara itu sama seperti Dewi, Pramono juga
me lakukan hal yang sama. Sejak malam ulang tahun
Dewi, ia berusaha mengambil jarak. Bagaimana pun
dekatnya perasaan mereka, ke nyata an yang ada me ngatakan Dewi adalah istri orang. Ia tidak ingin meng abaikan kenyataan tersebut. Namun karena me reka
berdua bekerja di bidang sama yang memungkin kan
adanya perjumpaan di antara warta wan, Dewi dan
Pramono pada hari Minggu itu ber jumpa di suatu pameran internasional yang melibatkan banyak pengusaha
muda dari luar negeri dan tanah air. Ketika Dewi baru
saja selesai mewawancarai menteri perdagangan, ia melihat Pramono berdiri di sudut salah satu stan dan tersenyum menatapnya. Dewi membalas senyumnya sambil
melambaikan tangan. Melihat itu Pramono segera menghampiri. "Sudah selesai wawancaranya?" tanyanya.
"Ya. Mas Pram sedang tugas juga?" tanya Dewi sambil membetulkan letak tali tas yang tergantung di bahunya. http://pustaka-indo.blogspot.com335
"Setengah tugas dan setengah melihat-lihat. "
"Sudah lama berdiri di situ?" tanya Dewi.
"Cukup lama untuk memperhatikanmu. Kau tampak
lebih kurus dibanding ketika kita makan bersama di
hari ulang tahunmu," sahut Pramono tersenyum.
"Itu karena beras sekarang mahal harganya," tawa
Dewi. "Dengan siapa kau datang ke sini, Mas?"
"Dengan siapa" Aku selalu sendirian, bukan?"
Tawa Dewi langsung lenyap begitu mendengar
sahutan Pramono. Dia ingat bahwa rasa bersalah yang
mendalam terhadap dirinya menyebabkan Pramono
tidak pernah bisa menjalin hubungan khusus dengan
perempuan lain. Begitu melihat air muka Dewi berubah, lekas-lekas
Pramono mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah makan siang?" tanyanya.
"Sudah. Kau, Mas?"
"Belum. Sebetulnya aku ingin mengajakmu makan
siang. Kau ke sini tadi naik apa, Wik?"
"Naik taksi." "Sekarang tugasmu di sini sudah selesai?"
"Sudah." "Daripada naik taksi, ayo kuantar pulang. Tetapi sebelumnya temani aku makan dulu. Kita mampir di
salah satu rumah makan favoritku, ya?"
"Oke. Tetapi karena aku sudah makan, aku hanya
akan minum es campur saja," kata Dewi.
"Tetapi di sana lumpianya enak sekali lho. Baik yang
goreng maupun yang basah. Mau, ya?"
"Baik, aku akan makan dua potong. Satu goreng,
http://pustaka-indo.blogspot.com336
satu nya lagi lumpia basah," jawab Dewi sambil tersenyum. "Sungguh manis sekali kepatuhanmu." Pramono
tertawa. Usai makan dan mengobrol macam-macam hal tanpa sekali pun menyinggung masalah rumah tangganya,
Dewi mengajaknya pergi. "Nanti malam aku akan datang ke pembukaan
festival ilm," katanya menjelaskan.
"Sering pergi tugas begitu, apakah suamimu tidak
keberatan?" tanya Pramono saat mereka sudah berada
di dalam mobil. "Bagaimana kalau kita tidak menyebut-nyebut dia?"
"Baik." Pramono melirik Dewi sesaat. Ja wab an Dewi
yang diucapkan dengan suara tak enak tadi membuatnya ingin tahu. Ada apa"
Dewi mengerti apa yang ada di dalam pikiran
Pramono, tetapi dia pura-pura tidak tahu. Dialihkannya perhatian laki-laki itu dengan mengobrol tentang
hal-hal aktual yang belakangan ini terjadi di tanah air.
Mulai banyaknya pejabat yang melakukan tindak korup si besar-besaran sampai masalah kemerosotan moral, menipisnya rasa kebersamaan dan kebersatuan
bang sa. Saking asyiknya sampai Dewi kaget saat melihat arah perjalanan mereka.
"Mas, kau mau mengantarkan aku pulang, kan?" tanya nya. "Lha ini, kita sedang dalam perjalanan ke rumahmu,"
jawab Pramono agak heran. "Memangnya kenapa?"
http://pustaka-indo.blogspot.com337
"Menepi dulu, Mas, aku sudah tidak tinggal di sana
lagi." "Lho, pindah rumah?"
"Bukan pindah rumah, tetapi aku sekarang tinggal
di rumah orangtuaku. Mereka masih tetap tinggal di
ru mah yang lama. Kau pasti tahu tempat itu."
"Ada masalah" Kalau ya, apakah aku boleh mengetahuinya?" "Daripada kau nanti tahu dari orang lain, lebih baik
aku yang menceritakannya sendiri," kata Dewi, yang
langsung menceritakan semua masalah yang dialaminya
bersama Puji. Termasuk kekerasan yang dialaminya.
Hanya satu hal yang tak diceritakannya. Bahwa kecemburuan Puji terhadapnya telah menjadi salah satu
penyebab kebrutalannya, lebih dari dua bulan lalu.
Karena Pramono diam saja, Dewi menoleh ke arah
laki-laki itu. "Kok diam, Mas" Apakah menurutmu aku terlalu
cepat mengambil keputusan untuk bercerai?"
"Aku tidak ingin memberikan pendapat, Wik. Itu
urus an kalian berdua. Tetapi aku percaya, kau pasti
memi liki alasan yang kuat. Terutama mengingat prinsip
hi dup mu mengenai perkawinan tunggal. Tetapi, ba gaimana sikap keluargamu?"
"Mereka berada di belakangku. Malah ketiga adikku,
berada di depanku." Dewi tersenyum. "Sejak awal mereka tidak rela aku menikah dengan Mas Puji."
Obrolan mereka terhenti ketika mobil Pramono
sampai di muka rumah orangtua Dewi. Di ha laman
http://pustaka-indo.blogspot.com338
rumah, terparkir mobil Puji. Melihat itu Dewi me narik
napas panjang. Ia turun dari mobil sambil meng gerutu.
"Mas Puji datang. Entah mau apa lagi dia!"
Pramono menimang kunci mobilnya.
"Sebaiknya aku turun atau langsung pulang saja,
Wik?" tanyanya bimbang,
"Terserah bagaimana menurut kata hatimu."
"Terus terang aku merasa tidak nyaman kalau turun
untuk menemui keluargamu. Persoalanmu dengan Puji
belum selesai. Aku khawatir keberadaanku akan menambah ruwet masalah yang sedang kauhadapi."
"Ya, sudah kalau begitu. Aku mengerti perasaanmu."
"Nah, sebelum pergi, aku ingin mengucapkan terima
kasih kepadamu karena kau memakai kalung pemberianku," kata Pramono. Sudah sejak tadi hal itu ingin
diucapkannya. "Aku merasa terhormat, Wik."
"Aku memang menyukainya, Mas," sahut Dewi.
"Sebab bagiku, ada sesuatu yang bermakna di dalamnya. Dengan adanya permata, liontin ini seperti merepresentasikan permata hati yang diwakilinya...."
"Begitukah?" Pramono menatap Dewi dengan mata
berkilauan. "Ah, sudahlah. Jangan dibahas sekarang." Dewi tersenyum lembut. "Baik," Pramono. "Jadi, aku sekarang langsung pulang
nih?" Suara lelaki itu terhenti oleh suara dari dalam rumah yang disusul oleh munculnya Puji di ambang pintu rumah. "Jadi inilah jawaban mengapa kau berulang-ulang
http://pustaka-indo.blogspot.com339
minta cerai dariku," katanya dengan suara setengah
mem bentak. "Munaik."
Dewi berbalik, menghadap ke arah Puji.
"Jangan mengada-ada, Mas. Aku kan sudah berulang
kali mengatakan apa alasan-alasannya dengan argu mentasi yang jelas pula. Jadi, jangan kauhubung-hubungkan
dengan apa yang tertangkap indrawi belaka."
"Kau memang pandai bersilat lidah. Sudah jelas ke
sana kemari bersama laki-laki lain kok beralasan
macam-macam." "Mas, aku tidak harus menjelaskan semua perbuatan ku kepadamu," ujar Dewi. "Tetapi agar kau tidak
berteriak-teriak di depan rumah orang tuaku, kujelaskan
sesuai dengan kenyataannya bahwa aku dan Mas Pram
baru hari ini bertemu lagi di suatu acara. Dia mengantarku pulang karena tahu aku akan pulang dengan
taksi. Jelas?" "Selain munaik, kau juga pandai mengarang cerita!"
"Mas, tolong jangan-jangan ribut di sini. Ini rumah
orangtuaku. Jangan membuat keluargaku malu."
"Yang dikatakan Wiwik itu benar, Mas," Pramono
yang tidak tahan melihat pertengkaran itu, menyela.
"Tidak ada hubungan istimewa di antara saya dan
Wiwik. Kedua, kami tadi memang kebetulan saja
bertemu di suatu acara, dan sebagai kawan saya merasa
bersalah kalau tidak mengantarnya pulang karena tahu
dia tidak membawa kendaraan sendiri."
"Jangan ikut campur urusan kami!" Puji membentak.
"Saya harus," sahut Pramono. "Sebab nama saya
dibawa-bawa." http://pustaka-indo.blogspot.com340
"Setuju!" Dion yang muncul dari balik pintu, ikut
bergabung di muka teras rumah. "Kalau aku jadi Mas
Pram, kupukul orang yang datang-datang menghinanya
itu." "Jangan ikut campur, Dion!" Puji ganti meneriaki
Dion. "Kenapa tidak boleh ikut campur" Ini rumah kami.
Mas Puji berteriak-teriak seperti orang kesurupan di
sini. Kalau sampai ada tetangga yang datang berbondong-bondong ke sini untuk melihat ada keramaian
apa, kuusir kau dari sini." Dion menatap Puji dengan
mata berapi-api. Kebenciannya terhadap laki-laki itu
se makin memuncak. Terutama sejak melihat kakaknya
pulang ke rumah ini dengan wajah bengap dan tubuh
memar-memar. Melihat suasana semakin panas, Dewi mendorong
dada Pramono dengan lembut. Matanya menatap lakilaki itu penuh permohonan.
"Pulanglah, Mas. Jangan merendahkan dirimu memasuki pertengkaran semacam ini. Otakmu lebih waras, kan" Mengalahlah," katanya.
"Oke." "Maafkan aku ya, Mas."
Baru selangkah Pramono bergerak, Puji mengejarnya
dan meraih bagian depan kemeja laki-laki itu.
"Kau yang jelas-jelas membawa istri orang dan mengobrol mesra di halaman rumah mertuaku, menganggap diri punya otak yang lebih waras?"
"Jangan menghina saya, Mas." Pramono mulai naik
darah. http://pustaka-indo.blogspot.com341
Ucapan Pramono disambut tinju oleh Puji sehingga
ujung bibirnya berdarah tergigit giginya sendiri. Melihat itu Dion melompat ke arah Puji dan mendorong
dada laki-laki itu dengan keras.
"Tinggalkan rumah orangtuaku!" bentak pemuda itu.
"Jangan membuat onar di sini. Kalau tidak, akan kupanggilkan satpam sekarang juga."


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk mengatasi suasana yang semakin kacau, Dewi
menarik tangan Pramono agar menjauhi kedua laki-laki
yang sedang bersitegang itu.
"Pulanglah, Mas," katanya dengan suara memohon.
"Dan... maafkanlah."
"Baik, aku akan pulang. Dan jangan dipikirkan.
Nanti malam aku akan meneleponmu untuk mengetahui bagaimana lanjutan kisah memalukan ini," sahut
Pramono sambil masuk ke mobilnya.
Dewi mengangguk. Tak lama kemudian Pramono
meng hilang bersama mobilnya, meninggalkan suara
derum di kejauhan. "Dion, jangan meladeni orang yang sedang kalap.
Masuklah," kata Dewi sambil menggamit lengan adik
lelakinya dan mereka bersama-sama melangkah menuju
pintu, masuk ke rumah. Sedikit pun mereka tidak
meng acuhkan keberadaan Puji. Melihat itu amarah Puji
semakin memuncak. Dikejarnya kakak-beradik itu dan
ditariknya gaun Dewi. "Urusan kita belum selesai!" bentaknya.
"Betul sekali," sahut Dewi ketus. "Dan itu akan kita
selesaikan di pengadilan agama secepatnya. Tetapi sekahttp://pustaka-indo.blogspot.com342
rang, aku tidak sudi berhadapan dengan laki-laki picik
yang berangasan." "Pergilah. Kau tidak diterima di rumah kami!" Dion
menyambung. Merasa tersudut, tak lama kemudian dengan terpaksa, Puji meninggalkan rumah itu. Se men tara itu di
kamarnya, Dewi menelepon temannya untuk minta
bantu an menggantikan tugasnya malam nanti. Dia terpaksa bercerita sedikit mengenai apa yang sedang dialaminya. "Kalau kau tidak bisa, tolong cari penggantimu,"
katanya. "Aku benar-benar kehilangan ketenangan. Tak
mung kin aku bisa melakukan tugasku dengan sempurna. Maafkan aku ya, Ton. Kapan-kapan aku akan
ganti membantumu." "Oke. Tenangkan hatimu."
Malamnya, Dewi dipanggil kedua orangtuanya untuk
diajak bicara. Ada Dion dan Doni bersama me reka.
Dana sedang menginap di rumah temannya un tuk
belajar bersama karena besok ujian semester.
"Tadi siang Puji khusus menemui kami dan bercerita tentang dirimu. Sekarang Bapak dan Ibu ingin
bertanya dan jawablah dengan sebenar-benarnya supaya
persoalan antara dirimu dengan Puji dapat dise lesaikan
secara objektif." "Apa yang Bapak dan Ibu ingin tanyakan?"
"Apakah benar ada orang lain di hatimu?"
"Kalau yang Bapak dan Ibu maksudkan itu tentang
cinta, terus terang selama saya hidup bersama Mas
Puji... cinta saya kepadanya yang memang tidak pernah
http://pustaka-indo.blogspot.com343
utuh sejak awal, semakin lama semakin meng hilang.
Ada banyak hal yang menyebabkannya. Antara lain,
terbukanya kesadaran saya bahwa kami punya perbedaan prinsip hidup yang tidak mungkin bisa dipertemukan. Selain itu, sejak Indah melahirkan anak, saya
merasakan adanya jurang di antara kami... saya merasa
sebagai outsider. Buat saya, kedua hal itu suatu malapetaka. Belum masalah-masa lah lainnya. Seperti misalnya, belakangan ini Mas Puji mudah sekali memakai
tangannya untuk menyakiti orang. Saya tidak mau lagi
mengalami pemukulan atau yang semacam itu."
"Mengenai hal itu, Bapak sudah melihat dan sering
kami bahas bersama ibumu," Pak Sulistyo memotong
bicara Dewi. "Tetapi apa yang kaukatakan tadi tidak
menjawab pertanyaan Bapak."
"Memang belum menjawab apa yang Bapak dan Ibu
ingin ketahui, tetapi itu ada kaitannya," jawab Dewi.
"Begini, Bapak dan Ibu pasti bisa menduga bahwa hati
saya masih menyimpan Mas Pram meskipun waktu itu
sudah berpacaran dengan Mas Puji. Dia cinta pertama
saya, yang tetap tersembunyi di lubuk hati saya."
Bapak Sulistyo menarik napas panjang sebelum melanjutkan pembicaraan. "Berarti, sampai sekarang hatimu masih menyimpan
Pramono?" tanyanya. "Ya, meskipun hal itu baru saya sadari belakangan
ini. Ketika dalam kondisi hati sedang hampa, kecewa,
merasa hidup tanpa masa depan dan saya bertemu
dengan Mas Pram beberapa bulan lalu, saya baru tahu
cinta saya kepadanya ternyata tidak pernah mati. Tetapi
http://pustaka-indo.blogspot.com344
Bapak dan Ibu tidak usah khawatir. Ajar an dan
didikan yang sudah terinternalisasi dalam batin saya
tidak akan goyah oleh kenyataan itu. Saya dan Mas
Pram memiliki prinsip hidup dan kesadaran moral
untuk tidak melangkahi rel-rel keharusan. Perlu diketahui sejak perpisahan saya dengan Mas Pram lebih
dari lima tahun yang lalu, kami baru bertemu empat
kali, termasuk yang hari ini. Dan semuanya bukan pertemuan yang disengaja. Bahkan semenjak saya kembali
tinggal di rumah ini, baru hari ini kami bertemu lagi
di suatu acara. Tadi ketika mengetahui saya naik taksi,
Mas Pram mengantar saya pulang ke sini. Nah, itulah
kenyataannya." "Ibu dan Bapak memercayaimu, Nduk. Kami mengenalmu dengan baik," komentar Ibu Sulistyo.
"Dengan kata lain, keputusan saya untuk ber cerai
dari Mas Puji bukanlah sesuatu yang dilandasi emosi
belaka dan tidak ada kaitannya dengan keber adaan
Mas Pram kendati saya mencintainya. Untuk apa saya
bertahan di dalam perkawinan yang tidak sehat seperti
itu" Masa depan saya masih panjang... akankah saya
membelenggu diri hidup bersama Mas Puji" Apa lagi
ada Indah dan anaknya dalam kehidupannya. Tanpa
saya, hidupnya pasti akan lebih sejahtera."
"Hidupmu juga pasti akan lebih sejahtera, Mbak,"
Dion menyela. "Tadi waktu kulihat sinar mata dan
cara nya membentak-bentak, sudah kubayangkan apa
saja yang akan dilakukannya terhadapmu jika kalian
ma sih tetap tinggal di bawah atap yang sama. Di rumah orangtua dan ada aku saja dia berani bersikap
http://pustaka-indo.blogspot.com345
seperti itu. Menurutku, perkawinanmu dengan Mas
Puji tidak baik kalau tetap dilanjutkan."
"Tetapi Nak Puji mengatakan bahwa cintanya kepadamu, sangat besar, Wik," kata sang ibu menyela.
Tetapi perkataannya segera disambar Doni.
"Kalau betul dia mencintai Mbak Wik, tak mungkin
dia bisa tergoda Indah dan mengawininya hanya beberapa hari menjelang pernikahannya dengan Mbak Wik,"
kata pemuda itu geram "Laki-laki macam apa dia itu?"
"Doni betul. Terhadap saya, cinta Mas Puji tidaklah
sebesar apa yang digembor-gemborkannya. Dia hanya
menyukai cara saya me ladeni nya. Dalam segala hal."
Dewi menelan ludah, merasa tak seharusnya mengata kan hal seperti itu. Seolah, seorang istri punya
kewajiban mutlak untuk meladeni suami. Seolah
kedudukan istri berada di bawah suami yang harus
dilayani sebagai junjungan, sebagai tuan dan majikan.
Seolah istri harus memberikan kemudahan dan
kesenangan. Seolah tidak ada kesetaraan untuk saling
berbagi dan melengkapi. Tetapi Dewi merasa hal itu
harus ia katakan agar ayahnya bisa memahami tekanan
batin yang harus dihadapinya selama menjadi istri Puji.
Bukankah salah satu penyebab ayah nya tak pernah
mau menceraikan ibunya adalah karena pelayanannya
yang istimewa, mulai dari dapur, ruang makan, ruang
tengah, ruang tidur, dan caranya mendidik anak-anak"
Belum termasuk bagaimana pe nampilannya di ruang
publik yang memesona, isik mau pun tutur katanya.
Benarkan, ayahnya langsung memahami apa yang
dikatakan oleh Dewi. Dia mengangguk.
http://pustaka-indo.blogspot.com346
"Ya, Bapak mengerti," sahutnya lembut.
"Tetapi saya tidak suka dijajah, Pak."
"Tetapi Puji sudah bersedia menceraikan Indah lho,"
sambung ibunya. "Bu, tidakkah itu berarti Mas Puji itu lelaki yang
ti dak bertanggung jawab dan egois" Dia hanya mementingkan kebutuhannya sendiri. Padahal dia tahu
betul bagaimana tidak sehatnya situasi di mana anaknya nanti akan tumbuh dan berkembang. Baik secara
materi maupun secara mental. Itu yang pertama. Kedua, apakah Ibu tidak memikirkan bagaimana perasaan saya kalau keinginan Mas Puji saya turuti, hidup
di atas penderitaan perempuan lain yang masih menyusui anaknya" Tidak, Bu. Saya tidak sanggup menjalaninya." Seluruh keluarga Bapak Sulistyo memahami apa
keinginan Dewi, beserta argumentasi rasional yang
dipaparkannya. Maka pembicaraan malam itu menghasilkan kesepakatan bersama. Seluruh ke luarganya
menyetujui perceraian Dewi dengan Puji. Namun
sayangnya, laki-laki itu belum juga bertindak meskipun
sudah berminggu-minggu berlalu sejak hari itu.
Mengetahui hal itu, Ibu Sulistyo mem beri Dewi usulan
yang sebelumnya tak pernah terpikir olehnya.
"Temuilah Indah dan mintalah bantuannya, Wik."
Usulan itu diterima. Kebetulan dia mengetahui
alamat Indah dan pernah mencatatnya. Padahal waktu
itu hanya iseng. Ternyata sekarang ada gunanya. Maka
hari itu ke sanalah Dewi pergi dengan me minjam salah
satu mobil ayahnya. Ketika mengetahui rumah itu
http://pustaka-indo.blogspot.com347
berada di gang yang hanya muat di lalui satu mobil dan
itu pun pas-pasan, Dewi me markirnya di tepi jalan
besar sebelum memasuki gang tersebut. Sekarang saat
berdiri di depan rumah tempat Indah tinggal, hatinya
tersentuh. Tentulah Puji tidak punya cukup uang
untuk mengontrak rumah yang lebih baik.
Seperti Dewi, Indah juga sudah pernah melihat
Dewi dari foto-foto yang dimiliki Puji. Ketika melihat
Dewi berdiri di hadapannya, wajah Indah langsung
ber ubah. Ia sadar karena keberadaan dirinya maka
upacara perkawinan Puji dengan Dewi nyaris batal.
Karenanya, sampai sekarang keluarga Puji tak pernah
mau memaafkannya. Bahkan keberadaannya tak diakui
oleh mereka. "Silakan... silakan masuk, Dik. " Indah yang memang
lebih tua dua tahun daripada Dewi, mempersilakannya
ma suk ke rumah. Perempuan itu tampak gugup.
Dengan senyum menenangkan, Dewi mengulurkan
tangan. "Saya Dewi, Mbak," katanya mengenalkan diri.
"Ya... saya tahu," sahut Indah. "Silakan duduk."
Dewi duduk dengan tenang. Matanya menatap bayi
di pangkuan Indah. Bayi yang lucu itu sedang tidur
lelap. "Itu Priska?" "Ya," sahut Indah, masih gugup. Dewi tahu, Indah
tidak menyangka bahwa ia mengetahui banyak hal
tentang dirinya. Termasuk alamat rumah ini.
"Cantik dan lucu," komentar Dewi tulus.
Indah diam saja. Tetapi Dewi tahu, perempuan itu
http://pustaka-indo.blogspot.com348
gelisah. Oleh sebab itu ia langsung mengatakan apa
tujuan kedatangannya. "Mbak Indah, saya sengaja datang ke sini untuk
minta bantuan Mbak. Yaitu mendorong Mas Puji untuk mengurus perceraian kami," katanya.
Indah tampak terkejut mendengar perkataan Dewi
yang sama sekali tak disangka-sangkanya itu.
"Ini... ini... saya tidak tahu-menahu sama sekali,"
sahutnya terbata-bata. "Saya... tidak berani, Dik. Nanti
Mas Puji marah...." Hati Dewi tersentuh. Jangan-jangan di rumah ini pun
Puji sudah mulai gampang marah dan suka mem bentakbentak. Satu lagi tambahan pengenalan Dewi terhadap
Puji. Rupanya laki-laki itu kurang mampu mengelola
masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain, laki-laki
itu bukan orang yang telah matang kedewasa an
mentalnya. Ah, mengapa baru sekarang dia melihat nya"
"Begini, Mbak, saya akan menceritakan sedikit permasalahan yang saya hadapi bersama Mas Puji," kata
Dewi. Kemudian secara garis besar diceritakannya apa
yang terjadi di antara dirinya dengan Puji, dengan pilih an kata-kata yang sekiranya dapat dipahami dengan
baik oleh Indah. Indah tercenung lama menatap ke kejauhan.
"Saya... sa...ya... masih bingung...," katanya kemudian.
"Masalah utamanya, Mas Puji ingin sekali mempertahankan saya seperti seorang anak yang ingin memper tahankan mainannya. Bahkan agar saya masih mau
mendampinginya sebagai istri... dia menawarkan sebuah
usul, yaitu dengan menceraikan Mbak Indah. Seperti
http://pustaka-indo.blogspot.com349
yang telah saya ceritakan tadi, saya punya penga lam an
traumatik mengenai poligami. Dia tahu itu. Tetapi...
tunggu, Mbak... jangan kaget. Itu kan luapan emosinya
belaka. Saya yakin, dia mencintai Mbak Indah... apalagi
dengan adanya Priska. Apa yang di kata kannya itu
cuma gertak sambal belaka. Jadi saya ancam dia,
seandainya dia menceraikan Mbak Indah, per cuma saja
karena saya tetap akan bercerai darinya."
"Sebetulnya... Dik Dewi ingin bercerai dari Mas Puji
itu apakah... karena keberadaan saya?" sela Indah de

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan suara terbata-bata. "Tidak, Mbak. Perkawinan kami memang sudah
salah sejak awal. Cinta saya kepadanya sudah meredup
karena banyaknya perbedaan pola pikir di antara kami.
Bahkan belakangan ini saya jengkel kepadanya, sebab
saya paling tidak suka kepada laki-laki yang mau
senang dan menang sendiri tanpa mau memahami perasaan dan kebutuhan orang. Jadi, Mbak, keinginan
saya bercerai tidak ada kaitannya dengan Mbak Indah,"
Dewi menjawab apa adanya. Kalau yang ditanya Indah
itu apakah keinginannya ber c erai karena tak tahan
hidup dalam perkawinan poli gami, tentu jawabannya
akan berbeda. "Te... tetapi kok sampai hati dia mengatakan ingin
menceraikan saya...."
"Itu tidak akan terjadi. Yang diucapkannya itu hanya
gertak sambal, seperti yang sudah saya katakan tadi.
Percayalah. Dia mencintai Mbak Indah kok. Itu lah
mengapa saya ingin minta bantuan Mbak Indah untuk
menyadarkan dia bahwa perkawinan yang di paksakan
http://pustaka-indo.blogspot.com350
keberlangsungannya, tidak akan bertahan. Cepat atau
lambat, akan berantakan."
"Mas Puji keterlaluan...." Air mata Indah mulai
meng genang. "Mbak... hal itu jangan terlalu dipikirkan. Saat ini
pikiran Mas Puji sedang kacau dan sepertinya tak bisa
ber pikir dengan jernih hanya gara-gara ingin mempertahankan saya. Tetapi, Mbak, alasannya bukan karena
dia lebih mencintai saya, melainkan karena dia merasa
egonya sedang terancam."
"Tetapi... bagaimana..." Ah, saya jadi bingung sekali...." "Mbak, perceraian saya dengan Mas Puji pasti akan
mem buat segalanya jadi lebih baik. Khususnya untuk
masa depan Priska. Kalian bertiga bisa lebih me nata
kehidupan yang lebih mapan dan lebih ber bahagia.
Rumah ini kurang layak untuk membesarkan bayi.
Situasinya juga kurang baik karena dalam satu bulan
hanya selama satu minggu dia bisa dibelai ayahnya.
Sedangkan rumah yang saya tempati sebagai istrinya,
sudah tiga bulan ini kosong karena saya sekarang tinggal
di rumah orangtua. Kalian bisa tinggal di sana. Saya
tidak akan me nuntut sepeser pun harta gono-gini."
Indah terdiam dengan pipi basah. Mungkin si bayi
merasakan gejolak hati sang ibu. Tubuhnya bergerakgerak. Melihat itu hati Dewi tersentuh.
"Mbak, hati saya tulus," katanya. "Tolong bantulah
saya agar Mas Puji mau mengurus perceraian. Sudah
tiga bulan ini saya menunggunya, tetapi jangankan bergerak, SMS saya mengenai hal itu pun diabaikannya."
http://pustaka-indo.blogspot.com351
"Tetapi bagaimana saya bisa membantu Dik Dewi"
Mas Puji pasti akan marah sekali pada saya..." sahut
Indah. "Saya... saya takut."
Dewi menarik napas panjang. Sebelumnya tak terpikirkan olehnya bahwa Indah berbeda dengan dirinya.
Perempuan itu takut suami. Melihat kenyataan itu
pikiran Dewi jadi buntu, sampai akhirnya muncul pikir an lain yang memberinya harapan baru.
"Bagaimana kalau kita berdua meminta bantuan ibu
Mas Puji?" katanya kemudian. "Kita berdua bersama
Priska akan ke sana."
"Wah... saya tidak berani, Dik. Keluarga Mas Puji,
terutama ibunya, tidak mengakui keberadaan saya."
"Mbak, jangan takut. Ada saya. Biar nanti saya yang
berbicara," katanya kemudian. "Tujuan saya mengajak
Mbak Indah adalah untuk menunjukkan pada ibu Mas
Puji bahwa melalui Mbak Indah... beliau sudah menjadi seorang nenek dari bayi yang mungil, lucu, dan
cantik ini. Masa sih hatinya tidak tergerak?"
Indah menatap Dewi. Matanya mulai basah lagi.
"Saya... tidak pernah menyangka bahwa Dik Dewi
ternyata orang yang berpandangan luas... dan baik hati.
Saya benar-benar malu karena telah menyebabkan Mas
Puji menghilang sebelum menikah dengan de ngan mu.
Sungguh, seandainya saya kenal Dik Dewi sebelum
peristiwa itu terjadi, pasti tidak akan seperti ini yang
kita hadapi." "Sebaiknya tidak usah membahas apa yang sudah
ter jadi. Pertama, tidak ada gunanya. Kedua, yang kita
http://pustaka-indo.blogspot.com352
hadapi ini kan masa depan kita se mua. Jadi, Mbak, ayo
bersiap-siaplah. Saya membawa mobil."
Tak seorang pun di antara kedua perempuan muda
itu pernah membayangkan mereka akan pergi bersama
dengan rukun ke satu tujuan yang sama. Itu jugalah
yang terpikir oleh Ibu Pambudi saat terheran-heran
membukakan pintu bagi dua orang perempuan yang
sama-sama istri Pujisatriya itu. Selama sedetik tatapannya berlabuh ke arah bayi yang ada da lam gendongan
Indah. Namun meski hanya sedetik, Dewi sempat menangkap perubahan wajah ibu mertua nya saat menatap
wajah si bayi. Baginya, itu tanda-tanda yang baik.
Karenanya ia berharap pertemuan dan pembicaraannya
dengan ibu mertuanya nanti juga akan berjalan dengan
baik, lancar, dan menghasilkan kese pakat an yang
diinginkannya. http://pustaka-indo.blogspot.com353
RUANG tengah di rumah Ibu Pambudi terasa
hening. Rasanya, begitu damai duduk di tempat itu.
Apalagi suara burung perkutut yang bersahutan dari
arah halaman belakang dan dengung AC di tempat itu
memunculkan kesan, seakan mereka berada di kota
Solo pinggiran, jauh dari keramaian. Padahal ke tiga
orang yang duduk di tempat itu sedang ter sungkup
dalam udara yang mengandung ketegangan.
"Wik, apakah hubunganmu dengan Puji sudah sedemkian parahnya?" Akhirnya Ibu Pambudi mulai
mem buka pembicaraan sesudah beberapa saat yang lalu
Dewi memaparkan maksud kedatangannya. Meskipun
memahami alasan-alasan yang dikatakan Dewi, namun
perempuan paro baya itu masih belum bisa me nerima
keinginan menantunya. "Parah sih belum, Bu. Tetapi saya tidak tahu bagaiDua Belas http://pustaka-indo.blogspot.com354
mana besok atau lusa. Terutama karena Mas Puji belakangan ini sering kali tidak bisa mengontrol emosinya. Tadi sudah saya ceritakan bagaimana wajah saya
pernah bengap, lebam-lebam, dan memar. Tadi saya
juga mendengar dari Mbak Indah, katanya belakangan
ini Mas Puji juga sering marah dan membentakbentaknya dengan kasar. Itu kan berarti dia sedang
berada dalam kondisi yang lepas kendali aki bat tekanan
yang dialaminya. Memang, Bu, hidup dalam dua rumah
tangga dengan berbagai masalah dan kebutuhannya, itu
sangat berat. Bahkan seandainya pelakunya punya
segudang uang pun, ada saja masalah lain yang muncul
dan mengoyak kedamaian hati."
Ibu Pambudi menarik napas panjang sambil memper mainkan ujung-ujung bantalan kursi di pangkuannya. "Ibu mengerti," gumamnya. "Tetapi apakah tidak ada
jalan lain yang lebih baik?"
"Tidak ada, Bu. Sebab kalau perkawinan saya dengan Mas Puji tetap dipertahankan, akan terjadi k e kerasan bukan hanya di dalam rumah tangga saya, tetapi
juga di dalam rumah tangga Mbak Indah. Mas Puji
tidak mampu mengelola berbagai persoalan yang
dihadapinya. Masalah pekerjaan di kantor, masalah keuangan, masalah anak, masalah tekanan batin karena
sebetulnya dia tidak suka melihat saya bekerja meskipun itu membantu keuangan rumah tangga. Dia terlalu
Jawa. Tidak ingin kariernya berada pada tataran yang
sama kualitasnya dengan sang istri. Apalagi kalau karier
sang istri mulai memperlihatkan tanda-tanda ke arah
http://pustaka-indo.blogspot.com355
peningkatan. Pokoknya, Bu, ada banyak persoalan di
antara kami berdua. Bukan saya pengecut dan tidak
be rani menghadapi kenyataan, tetapi ini justru demi
memperbaiki kehidupan kami masing-masing yaitu
saya, Mbak Indah bersama Priska, dan Mas Puji sendiri." "Perbaikan kehidupan yang seperti apa?"
"Kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin.
Tidak ada kecemburuan, tidak ada pertengkaran, tidak
ada rasa sakit, dan tidak ada kesulitan keuangan. Bu,
hati saya tadi sempat tersentuh ketika melihat tempat
tinggal Mbak Indah. Berada di dalam gang dengan got
yang tidak mengalir baik dan agak berbau. Kemudian
antara rumah yang satu dengan yang lain berdempetan.
Lalu perabot rumah tangganya sangat sederhana. Saya
tidak bermaksud mengatakan keadaan seperti itu buruk
atau mengenaskan, sebab yang mau saya katakan di sini
adalah kehidupan Mbak Indah sebagai istri yang samasama menikah sah dengan Mas Puji sebagaimana
halnya dengan saya, jauh berbeda dengan kehidupan
saya yang jauh lebih enak. Itulah yang terlihat secara
kasatmata oleh saya. Bukan yang ada di baliknya..."
Bicara Dewi terhenti karena disela Ibu Pambudi.
"Tetapi itu konsekuensinya sendiri dan..."
"Ibu jangan berkata seperti itu," sergah Dewi. "Ibu
harus melihatnya dari sudut pan dang yang lebih
menyeluruh. Bahwa sebetulnya Mbak Indah dan Priska
bisa merasai kehidupan yang lebih baik jika Mas Puji
tidak membagi-bagi perhatian dan yang lain-lainnya
pada saya. Dengan kata lain, jika saya tetap hidup
http://pustaka-indo.blogspot.com356
sebagai istri Mas Puji padahal ada banyak ketidakcocok an di antara kami, kehidup an Mbak Indah dan
Priska akan tetap seperti sekarang. Sebaliknya jika saya
pergi dari kehidupan Mas Puji, mereka bisa tinggal di
rumah yang pernah saya tempati dan perhatian Mas
Puji kepada mereka tidak akan terbagi lagi."
"Wiwik!" "Sebentar, Bu, saya belum selesai bicara." Dewi tersenyum lembut ke arah mertuanya. "Saya ingin mengajak Ibu mengikuti apa yang saya rasakan. Ke tika
melihat keadaan Mbak Indah dan Priska tadi, rasa nya
kehidupan yang saya alami selama ini me rupa kan suatu
keserakahan yang mubazir. Hati nurani saya benarbenar tertohok karenanya. Oleh karena itu saya benarbenar ikhlas untuk memberi kan tempat saya kepada
Mbak Indah sebagai istri satu-satu nya dan menempati
rumah yang pernah saya tinggali. Sungguh, Bu."
"Dik Dewi..." Indah bermaksud menyela tetapi
Dewi, memberinya isyarat untuk tidak ikut bersuara.
"Jadi, Bu..." Dewi menghadap ke arah Ibu Pambudi
lagi, "bantulah saya untuk menginsafkan Mas Puji agar
dia mengikhlaskan saya untuk meninggalkan. Ter lebih
karena keinginannya untuk mempertahankan saya itu
tidaklah murni diwarnai cinta kepada saya, namun
lebih karena egonya sebagai pe menang yang sedang
terancam. Lagi pula..."
Suara tangis Priska yang tiba-tiba terbangun menghentikan bicara Dewi. Perhatian ketiga perempuan itu
langsung terarah kepada si bayi.
"Ingin menyusu barangkali, Mbak?" tanya Dewi.
http://pustaka-indo.blogspot.com357
"Memang sudah waktunya," sahut Indah.
"Susuilah," sela Ibu Pambudi. Hatinya tergugah melihat si bayi menangis semakin keras, menuntut apa
yang diinginkannya. "Sekarang giliran susu botol, Bu. Air susu saya kurang...." "Susu botolnya dibawa, Mbak?" tanya Dewi, bingung
karena tangis si bayi yang semakin keras. Semestinya
bayi semuda itu jangan dibawa pergi jauh-jauh, pikirnya dengan rasa bersalah.
"Ya. Tetapi saya lupa membawa termos air panas
ka rena terburu-buru tadi," sahut yang ditanya.
"Kalau begitu, segeralah dibuat. Ayo, saya antar ke
dapur untuk mengambil air hangat," kata Dewi, bangkit
dari tempat duduknya. Indah langsung mengikuti Dewi, menuju ke dapur
dengan sikap yang amat canggung sehingga lagi-lagi
hati Dewi tersentuh. Ini rumah orangtua Puji. Semestinya sebagai menantu di rumah ini, Indah bisa keluarmasuk dengan bebas dan nyaman seperti dirinya selama ini. Padahal mereka sama-sama istri sah Puji,
yang berarti sama-sama menjadi keluarga di rumah
besar ini. Di dapur, Indah tampak bingung saat melihat Priska
semakin keras tangisnya. Melihat itu Dewi segera
meng ambil alih bayi itu.
"Cepatlah susunya dibuat, Mbak, biar Priska saya
gendong," katanya. Berada dalam gendongan Dewi, Priska masih belum
juga diam. Akhirnya terlintas dalam benak Dewi untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com358
me nyerahkan si bayi kepada seseorang yang memiliki
ikatan darah dangannya, yaitu Ibu Pambudi. Maka
dengan pikiran itu dibawanya Priska ke depan kembali
dan langsung diletakkannya ke pangkuan sang nenek.
Tujuannya, untuk meraih hati Ibu Pambudi.
"Bu, saya tidak bisa menenangkannya," dalihnya.
"Coba Ibu yang memangku Priska. Mungkin bisa lebih
tenang." Ibu Pambudi menerima si bayi dengan hati-hati.


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seluruh perhatiannya mulai tercurah kepada si bayi
yang masih menangis dengan menendang-nendangkan
kedua kakinya yang mungil. Sudah dua puluh tahun
lebih lamanya rumah ini sepi dari tangis bayi. Rasanya
rumah yang biasanya sepi dan tanpa seri itu terasa berbeda begitu mendengar tangis bayi.
"Cup... cup... sssshh... ssshhhh... sabar ya, susunya
lagi dibuat," katanya lembut. Kulit lembut si bayi dan
harumnya aroma bedak bayi menyentuhkan perasaan
yang mesra ke dalam dirinya. Lebih-lebih ketika ia
melihat wajah bayi itu punya banyak ke mirip an dengan
Puji. Udara sejuk, suara lembut, dan tepukan penuh
sayang di pinggulnya menyebabkan tangis bayi yang
semula ter dengar lantang itu mulai reda. Menyaksikan
hasil usaha nya, Ibu Pambudi merasa besar hati.
"Cup... cup ah," bujuknya dengan suara lembut dan
mulai terdengar mesra. "Kalau menangis, hilang lho
cantik nya." Dewi melirik dengan senang. Misinya mu lai menampak kan hasil. Oleh sebab itu ketika Indah muncul
http://pustaka-indo.blogspot.com359
kembali dengan membawa botol susu, matanya mengedip ke arahnya dan memberikan isyarat agar tidak
membantahnya. Karena tidak tahu apa yang di maksud
oleh Dewi, Indah membiarkan apa yang di laku kan perempuan yang masih menjadi madunya itu. Karenanya
dia juga hanya menurut saja ketika Dewi meng ambil
botol susu dari tangannya dan memberi kan nya kepada
Ibu Pambudi. "Coba Ibu yang memberinya susu. Daripada pindahpindah tangan," katanya sambil mengedipkan lagi
matanya kepada Indah dengan diam-diam.
Dengan senang hati Ibu Pambudi menyusui Priska
yang langsung menghentikan tangisnya. Seluruh perhatiannya tertuju kepada si bayi yang sedang kelaparan
itu. Dalam waktu tidak lama, isi botol susu itu pun
habis. "Ih, anak perempuan kok rakus," candanya sambil
mencubit pipi si bayi sambil tertawa. "Kelaparan, ya?"
"Air susu saya kurang," Indah menjelaskan. Itu adalah perkataannya yang pertama pada ibu mertuanya.
"Sudah ke dokter atau setidaknya minum jamu?"
"Belum." "Tidak doyan yang pahit-pahit?" Ibu Dewi bertanya
dengan sedikit sinis. Dia tahu betul, Dewi selalu patuh
kalau disuruh minum jamu. Tetapi Indah"
Indah terdiam. Melihat itu Dewi segera menolongnya. "Mbak, demi anak, pahit sedikit tidak apa, kan"
Sepupu saya setelah minum jamu keluaran pabrik jamu
yang sudah ternama itu, air susunya jadi banyak lho.
http://pustaka-indo.blogspot.com360
Atau kalau memang tidak suka, ya minum vitamin.
Atau pula susu untuk ibu menyusui."
"Bukan begitu... saya sih tidak takut minum yang
pahit-pahit kalau memang itu perlu."
"Kalau begitu... kenapa?" Dewi bertanya lagi.
Pipi Indah mulai memerah. Setelah beberapa saat
lamanya baru perempuan itu menjawab dengan terpaksa karena tahu jawabannya ditunggu.
"Dik... membeli susu kaleng saja saya harus berhemat-hemat. Untuk beli jamu dan vitamin, apalagi
susu ibu menyusui yang mahal... itu kan uang ekstra,"
sahutnya dengan suara lirih dan terbata-bata.
Dewi menatap menatap Ibu Pambudi dengan
pandang an sayu. "Bu, Ibu mendengar sendiri kan apa akibat Mas Puji
punya dua istri bagi bayi tak berdosa ini" Apalagi kalau
nanti anaknya bertambah."
Ibu Pambudi menunduk. Kemudian me narik napas
panjang. "Kau betul, Nduk," sahutnya mengaku. "Terapi apakah tidak ada jalan lain selain perceraian?"
Sekarang Dewi yang menarik napas panjang dengan
sedih. Dia tahu, perempuan paro baya itu sangat menyayanginya. "Apakah Ibu sayang kepada saya?" tanyanya lembut.
"Kau pasti tahu apa jawaban Ibu."
"Terima kasih atas kasih sayang Ibu kepada saya,"
sahut Dewi sambil berlutut di muka pangkuan Ibu
Pambudi yang masih memangku Priska. Bayi itu menatap nya dengan matanya yang jernih. Perutnya yang
http://pustaka-indo.blogspot.com361
kenyang menimbulkan pancaran puas di wajah mungilnya. Dewi membalas tatapan itu dengan senyum manis,
kemudian mengalihkan tatapan pada Ibu Pambudi.
"Kalau memang Ibu menyayangi saya, anggap l ah saya
putri Ibu. Bukan sebagai menantu, tetapi sebagai adik
Mas Puji. " Kalimat terakhir yang diucapkan Dewi terdengar
bergetar sehingga menerbitkan air mata di mata Ibu
Pambudi. Dengan sebelah tangan ia mengusap rambut
Dewi dengan rasa kasih. "Kalau memang hanya seperti itu yang bisa kauberikan kepadaku, Nduk... apa boleh buat," sahutnya. Dua
butir air mata meluncur ke atas pipinya.
Dewi sedih melihat itu. Dia tahu betul, be tapa berat
hati Ibu Pambudi saat mengucapkan kata-kata seperti
itu. Ia meraih telapak tangan yang masih mengelusi
rambut nya, lalu diciumnya punggung tangan perempuan itu dengan penuh perasaan.
"Terima kasih, Bu. Mudah-mudahan dengan bantuan Ibu, segalanya dapat diselesaikan dengan baik. Dan
meskipun saya tidak lagi menjadi menantu, saya akan
menjadi putri Ibu. Selalu...."
Rupanya usaha Dewi hari itu mulai memperlihatkan
hasil. Seminggu setelah kedatangannya bersama Indah
ke rumah Ibu Pambudi, Puji menulis surat yang diantar oleh Sonny. "Kutulis surat ini sebab aku yakin jika datang ke rumah orangtuamu, aku hanya akan melihat pintu tertutup.
Dan meneleponmu hanya akan mendengar sahutan yang
sudah diprogram bahwa kau sedang dinas luar. Nah,
http://pustaka-indo.blogspot.com362
melalui surat singkat ini, aku ingin berpesan kepadamu
agar di waktu-waktu mendatang kita dapat bekerja sama
dengan baik sehingga proses perceraian kita bisa berjalan
dalam suasana damai," begitu isi surat singkatnya itu.
Dewi senang sekali membaca surat itu. Ia segera
menelepon Puji ke telepon di kantornya.
"Terima kasih, Mas, akhirnya kau mengerti juga,"
katanya begitu Puji mengucapkan "halo" kepadanya.
"Percayalah, ini demi kebaikan semua pihak, terutama
demi Priska. Anakmu itu manis sekali dan menyenangkan. Jangan sampai bayi lucu itu tumbuh dan berkembang dalam suasana yang kering tanpa kehangatan,
yang akan menodai kelucuan dan kemanisannya. Belum
lagi masalah materi dan..."
"Kau meneleponku bukan untuk berkhotbah, kan?"
Puji menyela. "Maaf... aku hanya memikirkan Priska yang manis
dan lucu itu." "Seandainya kita punya anak, pasti anak itu akan
le bih cantik. Kulitmu kuning, halus. Bibir dan matamu
bagus, rambutmu..." "Baiklah, Mas. Kapan Mas Puji bisa mulai mengurus perceraian kita" Semakin cepat, semakin baik,"
Dewi mengalihkan pembicaraan dengan gesit.
"Terserah...." "Besok bagaimana..."
"Terserah..." "Terserah melulu. Kalau begitu besok sajalah biar
segera selesai." "Besok aku ada meeting. Lusa saja."
http://pustaka-indo.blogspot.com363
"Oke." Hati Dewi terasa sangat ringan begitu menghadapi
kemajuan dalam upayanya untuk bercerai dari Puji.
Tetapi esok sorenya sebelum jam kantor bubar, tibatiba Pramono meneleponnya.
"Kau membawa mobil?" tanyanya.
"Tidak. Mobil Bapak yang biasa kupakai, dipinjam
Doni. Kenapa, Mas?" "Kalau begitu, kebetulan. Aku ingin menjemputmu."
"Tetapi, Mas... aku... aku..."
"Jangan cemas," sela Pramono. "Aku tahu apa yang
kaurasakan. Proses perceraianmu sudah akan diurus,
maka kau tidak ingin keberadaanku di dekatmu menjadi omongan orang, kan?"
"Kok tahu?" "Aku kan serbatahu." Pramono tertawa. "Nah, sampai sejam mendatang, ya" Aku akan langsung ke kantor mu." Maka begitulah, petang hari itu Pramono mengajak
Dewi makan malam di rumah makan favorit yang
pernah mereka kunjungi. Setelah memesan makanan
dan menunggu pesanan itu datang, Pramono menatap
Dewi dengan serius. "Aku akan langsung berbicara ya. Begini, tadi siang
saat istirahat jam kantor, aku kedatangan tamu. Mas
Puji menemuiku." "Mas Puji menemuimu?" Dewi membelalakkan
mata nya. "Ya. Dia bertanya apakah benar antara diriku dehttp://pustaka-indo.blogspot.com364
ngan dirimu memang sungguh-sungguh tidak ada hubung an khusus. Tentu saja kujawab sesuai dengan kenyataan bahwa antara kita berdua tidak ada hubungan
khusus. Kalau saja dia menanyakan apakah masih ada
perasaan khusus di hatiku terhadapmu, pasti akan sulit
bagiku untuk mengelak dari kebenaran. Untunglah."
"Lalu apa tujuan pertanyaannya itu?"
"Dia bilang akan mulai mengurus perceraian kali an.
Tetapi sebelumnya, dia masih ingin mengajuk hatimu.
Untuk itu dia minta tolong agar kau mau me mikirkan
tawarannya. Ia akan mengembalikan Indah ke rumah
orangtuanya dengan memberinya sejumlah besar
materi. Dan kemudian, karena menurutnya kau tampak
menyukai anaknya, maka anak itu akan diberikannya
ke padamu untuk kauasuh. Mengenai hal itu, Ibu
Pambudi akan membantunya baik dalam hal masalah
materi maupun..." "Cukup, Mas. Tidak usah dilanjutkan. Mereka
benar-benar belum kenal betul isi hati dan pikiranku,"
Dewi memotong perkataan Pramono sambil menggerutu. "Tidak tahu bahwa dengan tawaran itu, penilaian ku terhadapnya justru malah semakin merosot."
"Aku tidak akan berkomentar mengenai hal itu.
Tetapi ada sesuatu yang menjadi ganjalan dalam perceraianmu dengan Puji, terutama setelah melihat kemarahannya saat terakhir aku mengantarmu pulang ke
rumah orangtuamu dan dia meninjuku. Terlepas dari
emosinya yang tak terkendali, barangkali yang dikatakannya itu benar. Bahwa keinginanmu untuk ber cerai
itu ada kaitannya dengan diriku. Barangkali ren cana mu
http://pustaka-indo.blogspot.com365
untuk bercerai itu tidak akan begitu kuat seandainya
kita tidak berjumpa kembali dan..."
"Begitu pendapatmu?" Dewi memotong perkataan
Pramono. Pramono terdiam. Matanya yang menatap mata
Dewi terlihat pasrah. Melihat itu Dewi melanjutkan
bicara nya. "Mas, kusangka kau satu-satunya orang yang mengerti diriku. Ternyata kau sama saja seperti mereka,"
katanya dengan suara bergetar.
"Maaf, Wik... tetapi sebenarnya aku mengerti kok...."
"Kau tidak mengerti diriku, Mas," Dewi memotong
lagi perkataan Pramono. "Kalau kau mengerti aku,
pasti tidak akan berkata seperti itu."
"Maafkan aku, Wik. Aku ini manusia biasa. Bah wa
aku mempunyai rasa bersalah dan menyesali per jumpaan kita kembali di saat hatimu sedang hampa dan
berada pada titik rentan, kurasa tak berlebihan jika aku
menganggap diriku sebagai salah satu pemicu keinginanmu bercerai darinya. Aku juga berpikir, seandainya kita tidak berjumpa... mungkin kau masih bisa
ber tahan." "Sejujurnya perjumpaan kita... khususnya ketika
sadar di mana sebenarnya cintaku terletak... me mang
ada andil dalam kemantapanku bercerai dari Mas Puji.
Ada, kataku. Tetapi ya hanya ada, itu saja. Sama sekali
tak cukup kuat sebagai bahan pertimbangan keputusanku bercerai dari Mas Puji. Apalagi keinginanku
itu sudah cukup lama ada di benakku. Dengan kata
lain, dalam prinsip hidupku dan dalam me makai patokhttp://pustaka-indo.blogspot.com366
an nilai untuk mengatur serta menentukan langkah
hidupku, aku tidak mengenal kompromi. Meng apa"
Sebab, hal itu berhadapan dengan suara hatiku sendiri,
menyangkut kesadaran moralku yang tidak bisa ditawar-tawar. Jadi berjumpa kembali de ngan mu atau
tidak, tak ada pengaruhnya. Aku tetap ingin ber cerai
dari Mas Puji. Terlebih sejak anak Indah lahir, hati
nuraniku sudah berteriak-teriak untuk berontak. Aku
teringat masa kecilku yang pahit dulu. Jadi sekali lagi,
Mas, perjumpaan kita itu hanya kebetulan."
Pramono tercenung, berusaha memahami se luruh
perkataan Dewi.

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku semakin mengerti dirimu, Wik. Kukira selama
ini aku memahami dirimu. Ter nyata belum sepenuhnya
mengerti. Tetapi hari ini, aku semakin mengenalmu,"
katanya lembut. "Bahkan penjelasanmu itu punya dua
arti penting bagiku. Pertama, mengurangi rasa be rsalah ku. Kedua, aku semakin memahami alasanmu
untuk bercerai dari Puji. Aku juga tidak akan meminta mu memikirkan kembali apa pun yang ditawarkan Puji. Lagi pula, itu urusan kalian berdua."
"Aku senang mendengarnya. Tapi terus terang aku
masih heran, kenapa mudah sekali kau merasa bersalah." "Sejujurnya... itu karena angan-anganku melambung
terlalu tinggi," jawab Pramono agak tersipu.
"Angan-angan apa?"
"Ketika membayangkan kau akan bebas dari ikatan
perkawinanmu, angan-anganku mulai membubung.
Pikirku, kita bisa menjalin hubungan kita kembali.
http://pustaka-indo.blogspot.com367
Rasa bersalah itu pun muncul. Karena nya ketika Puji
minta bantuanku, hatiku terasa ter jepit."
Dewi tersenyum lembut mendengar pengakuan itu.
"Dan kaukalahkan dirimu sendiri... membujukku
un tuk membatalkan keinginanku untuk bercerai darinya?" "Masalahnya tidak sesederhana itu. Aku lebih memikirkan kepentinganmu. Kau orang Jawa dan masih
berkerabat keluarga keraton. Janda cerai tidak memiliki
tempat yang baik di dalam pergaulan."
"Aku tahu itu dan aku sudah memikirkannya. Tetapi
apa pun penilaian dan kata orang, hanya diriku sendiri
yang bisa mengurus kebahagiaan dan kedamaian
hatiku. Bukan mereka."
"Terlepas dari semua itu... aku ingin mengatakan
se suatu yang baru tadi malam kupikirkan dan kurasa
harus kurealisasikan."
"Apa itu?" "Melanjutkan studiku ke kota lain. Aku belum bercerita kepadamu bahwa pekerjaanku sebagai wartawan
selama dua tahun ini hanya bagian dari perencanaan
hidupku sambil kuliah pada sore hari. Tiga minggu
yang lalu, aku diwisuda sebagai sarjana strata dua. Selanjutnya aku akan mengambil kuliah S3 di Yogya,"
jawab Pramono. "Maksudmu melanjutkan kuliah berikutnya baru
terpikir olehmu tadi ma lam?"
"Tidak tepat seperti itu. Aku bercita-cita jadi dosen
dan berkarier di kampus sambil menulis buku-buku
http://pustaka-indo.blogspot.com368
pengetahuan. Tetapi bahwa itu akan kuraih di Yogya,
memang baru semalam terpikir olehku."
"Boleh aku tahu sebabnya?"
"Aku ingin menghindar dari urusanmu dengan Puji.
Aku juga ingin menghindari perjumpaan denganmu
su paya proses perceraianmu berjalan tanpa diriku. Ini
demi kebaikan kita semua. Nanti... dua tahun lagi
paling lama, aku akan mencarimu lagi...."
Dewi mengangguk. "Yah... aku hanya bisa menyerahkan rencana hidupmu pada dirimu sendiri," katanya dengan penuh perasaan. "Aku... akan menantikan saat itu... dan berharap
angan-angan yang katamu terlalu tinggi melambung itu
turun ke bumi dan menjadi kenyataan."
Pramono menatap Dewi dengan mata berkilauan
dan bibir tersenyum penuh kemesraan.
"Untuk merealisasikan angan-angan ku itu... aku berjanji... akan menebus seluruh kesalah anku dan seluruh
kesalahan keluargaku dengan meng upayakan kebahagiaan kita," bisiknya kemudian sambil meraih tangan
Dewi dan menggenggamnya erat-erat. Tangan itu pula
yang digenggam Pramono di sepanjang jalan menuju
tempat tinggal Dewi setelah makan ma lam yang penuh
makna itu. Pernyataan cinta mereka yang selama ini
hanya tersirat melalui sikap, tatapan, dan kata-kata
yang bias dan bersayap, kini telah diucapkan secara
jelas dan nyata. Maka ketika malam itu Pramono menghentikan
mobilnya di halaman rumah keluarga Sulistyo yang
http://pustaka-indo.blogspot.com369
luas, telapak tangan yang masih berada dalam genggam annya itu ditariknya sehingga tubuh Dewi mendekat ke arahnya. Diraihnya bahu Dewi dengan lembut
dan dibawanya perempuan itu ke dalam pelukannya.
Kemudian bibir yang sudah sekian lama dirindukannya
itu dikecupnya dengan amat mesra dan lembut.
Dewi memejamkan mata, membalas kemesraan dan
kelembutan itu dengan sepenuh perasaannya. Le ngannya terulur untuk mengunci leher Pramono se men tara
air matanya mengalir ke pipi sehingga Pramono menghentikan ciumannya. Ditengadahkannya dagu perempuan itu dan dengan telunjuknya, ia meng usap air mata
Dewi yang masih mengalir. Perasaan nya membuncah.
Dewi bukan perempuan cengeng. Bah wa ada air mata
dalam ciuman pernyataan cinta itu, hatinya pasti
sedang dipenuhi rasa bahagia.
"Aku... aku seperti menemukan kembali mutiaraku
yang hilang," bisik Pramono terharu.
"Dan aku merasa seperti perantau yang baru pulang
kembali ke rumah setelah pergi jauh ke negeri orang
untuk waktu yang lama...."
"Ah... seandainya kita dulu tidak berpisah ya, Wik?"
"Jangan berandai-andai seperti. Setiap tahap kehidupan kita selalu ada yang indah dan bernilai jika
kita bisa mencari di mana letak hikmahnya."
"Alangkah bjiaknya kata-kata itu."
"Aku cuma mau menyadarkanmu, Mas. Kalau dulu
kita tidak berpisah lalu menikah... barangkali cinta kita
tidak akan tumbuh sedewasa seperti saat ini.
Pengalaman-pengalaman hidup telah membuat kita
http://pustaka-indo.blogspot.com370
menjadi matang untuk meresapi apa makna perasaan
kita berdua." "Aku tahu itu karena diriku pun mengalami hal yang
sama. Sesudah mengalami perasaan yang gersang dan
kesepian tanpa kekasih, sekarang aku dapat merasakan
betapa manisnya dicintai dan mencintai. Sesudah hidup
dalam kehausan, kini aku dapat mensyukuri betapa
indah, manis, dan sejuknya meresapi cintamu yang jauh
lebih matang daripada dulu."
Mata mereka bertatapan dengan penuh kemesraan.
Sebelum Dewi turun dari mobil Pramono, sekali lagi
mereka saling mengecup dengan mesra, di bawah
cahaya rembulan menyirami jendela dan kaca depan
mobil. Alangkah indahnya.
Empat minggu kemudian, melalui telepon, Pramono
minta diri untuk berangkat ke Yogya.
"Semuanya sudah beres. Sebentar lagi aku akan melanjutkan studiku. Maaf, kalau aku tidak pamit secara
langsung. Seperti kataku, sebaiknya aku ber ada jauh
darimu selama proses perceraianmu berjalan. Nanti
kalau sudah beres dan kau kangen kepadaku, datanglah
ke Yogya." "Baik, Mas. Selamat berjuang."
Dewi sendiri pun mulai memperjuangkan kebebasannya. Ketika akhirnya dia bertemu Puji di pengadilan
untuk mengurus perceraian mereka, perempuan itu
me negurnya. "Tak semestinya Mas minta bantuan Mas Pram
untuk membujukku. Memangnya dia itu siapa" Kukuliahi dia panjang-lebar mengenai alasan, pandangan,
http://pustaka-indo.blogspot.com371
prinsip hidupku, dan lain-lainnya. Oleh ka rena itu dia
menitipkan pesan kepadamu, minta maaf tak berhasil
membujukku. Mas Pram juga minta maaf karena tidak
dapat menyampaikannya sendiri. Untuk sementara
waktu, terkait dengan studinya, dia tidak tinggal di
Jakarta lagi." "Meskipun aku tahu tidak akan ada hasilnya, tetapi
siapa tahu, kan" Seseorang pasti akan menggunakan
senjata pamungkasnya lebih dulu sebelum mengaku
kalah. Dan aku telah melakukannya."
"Aku tahu Mas masih tak rela dan penasaran. Tetapi
itu bukan cinta. Maka per cayalah, perasaan-perasaan
seperti itu akan menghilang seiring berjalannya waktu.
Percayalah juga hidup de ngan seorang istri, apalagi
sudah ada anak di dalamnya, akan lebih tenang, damai,
dan sejahtera. Mas tak perlu membagi perhatian,
waktu, dan uangmu. Dan yang lebih penting, kau tidak
lagi melecehkan martabat dan hak asasi perempuan."
"Kulihat semakin pandai bicara kau."
Dewi tidak menanggapi perkataan Puji. Baginya yang
jauh lebih penting, Puji sudah bersedia mengurus
perceraian mereka. Harapan yang ia semai akan segera
mem perlihatkan hasil dengan panennya yang ber limpah.
Satu tahun kemudian ketika Dewi sedang membantu ibunya menerjemahkan resep berbagai penganan
Asia dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia di teras
depan, Pramono datang tanpa pemberi tahuan lebih
dulu. Dewi terkejut melihatnya. Buku resep di pangkuannya ia letakkan ke meja, sementara sang ibu yang
sedang mencatat, menghentikan kegiatannya.
http://pustaka-indo.blogspot.com372
Dengan gerakan lembut namun tegas, Pramono
men cium punggung tangan Ibu Sulistyo.
"Apa kabar, Bu?"
"Baik. Kata Wiwik, Nak Pram sekarang tinggal di
Yogya?" sahut Ibu Sulistyo. "Ini liburan atau apa?"
"Ya, liburan. Sekalian mau mengambil beberapa
buku yang penting untuk studi saya, Bu." Setelah menjawab pertanyaan ibu Sulistyo, Pramono ganti menoleh
ke arah Dewi. "Apa kabar, Wik?"
"Baik, Mas. Terima kasih."
Selama beberapa saat ketiganya mengobrol ringan.
Setelah dirasa cukup berada di antara pasangan itu,
Ibu Sulistyo minta diri ke belakang.
"Silakan duduk di ruang tamu yang lebih nyaman,
Nak, saya mau melanjutkan pekerjaan di belakang,"
kata perempuan setengah baya itu. "Saya akan menyuruh Icih membuatkan minuman. Dia baru membuat siomay. Mudah-mudahan sudah selesai biar bisa
dihidangkan." "Terima kasih, Bu."
Dewi mengajak Pramono pindah ke dalam.
"Di ruang tamu lebih sejuk, Mas. Juga tidak ada
lalat. Siomay buatan Icih enak lho. Lalat saja suka,"
da lihnya sambil tertawa.
Pramono tersenyum. Matanya menatap Dewi dengan pandangan yang selembut senyumnya.
"Aku senang sekali melihat tawamu, Wik. Tawa yang
kulihat sekarang, berbeda dengan tawa yang kulihat
tahun lalu," katanya.
"Apa bedanya?" http://pustaka-indo.blogspot.com373
"Tawamu sekarang terdengar lepas dan keluar dari
hatimu. Wajahmu juga tampak lebih berseri."
"Itu karena aku merasa lebih tenang dan bebas menentukan kehidupanku sendiri tanpa direcoki siapa
pun." "Ya, itu pasti. Tetapi aku juga melihat senyum ibumu berbeda. Sepanjang yang kuketahui, tak pernah aku
melihat senyum secerah hari ini terurai di wajah ibumu," kata Pramono lagi.
"Aku tahu itu. Ibuku sekarang merasa lebih bahagia.
Bapak tidak lagi ke mana-mana dan beliau melihat aku
juga sudah tidak lagi hidup tertekan sebagai perempuan bermadu." "Ya, sudah kulihat itu."
"Baru sekarang Ibu merasakan hidup tenang dan
nyaman. Mas tahu kan, beliau tidak pernah mengalami
kebahagiaan. Lalu ketika kebahagiaan dan kedamaian
yang didambakan itu tak pernah teraih, beliau meletakkannya pada diriku. Namun malang, aku mengalami
perkawinan yang sama sepertinya. Meskipun tidak dikata kannya secara jelas, namun aku tahu betul beliau
tersiksa melihat kehidupanku. Selama pernikahanku,
hanya beberapa kali saja Ibu datang menjengukku.
Pada hal hanya tinggal menyuruh sopir meng antarkan
ke tempatku. Kini, Ibu mulai melihat saat panen
hampir tiba. Tak sia-sia beliau menabur cita-cita dan
menyemai harapannya atas diriku. Terlebih beliau juga
tahu bagaimana cinta kita berdua terus ber kem bang ke
arah kematangan...."
http://pustaka-indo.blogspot.com374
"Kau anak yang penuh pengertian terhadap ibumu,
Wik." "Sebab selain aku juga perempuan, dulu di setiap
langkah hidupnya, aku hampir selalu men dam pingi nya
dengan pemahaman yang semakin mengental seiring
bertambahnya umurku. Maka sekarang aku lega Ibu
sudah terlepas dari tekanan batinnya."
"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Wik?"
"Aku juga telah menabur cita-cita dan menyemai
harap anku sendiri. Tinggal menunggu panen," sahut
Dewi tersenyum manis. "Dengan siapa kau nanti akan memanen harapanmu?" pancing Pramono.
"Karena yang kuhadapi itu panen emas, maka aku
akan memanennya bersamamu, Mas."
"Ya ampun, Wik. Pandai sekali kau membuat hatiku
mengembang sedemikian besarnya...." Pramono tertawa.


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Padahal baru saja aku mau memberitahumu dalam
waktu dekat ini orangtuaku akan melamarmu secara
resmi. Sepertinya awal tahun depan kita sudah bisa
menikah. Mereka sekarang sudah tahu seluruh kisahmu, seluruh kepahitan masa kecilmu, sehingga mereka
menyesali sikap mereka yang kurang toleran."
"Sudahlah, Mas, kita tutup semua masa lalu kita,"
Dewi menyela bicara Pramono. "Aku hanya ingin menatap masa depan kita dan panen emas yang akan kita
tuai sebentar lagi."
"Kau betul. Aku berharap semoga ketika aku menyelesaikan S3-ku nanti, kau sudah ada di sisiku sebagai istri." http://pustaka-indo.blogspot.com375
"Itu juga termasuk panen emas kita, Mas." Dewi
ter senyum penuh kasih. "Habis gelap terbitlah terang."
"Kau benar-benar membuat bajuku jadi terasa sempit karena rasa bahagia yang mengembangkan se luruh
diriku," gumam Pramono sambil tertawa. "Kemarilah.
Aku... sangat merindukan mu."
Dengan tawa bahagia yang sama, Dewi mengempaskan tubuhnya ke dalam pelukan sang kekasih, yang
lang sung menciumnya dengan penuh cinta.
Di ambang pintu, Ibu Sulistyo yang bermaksud
mem persiilakan mereka berdua menikmati siomay di
ruang makan, tak jadi melanjutkan langkahnya ketika
melihat adegan mesra penuh cinta itu. Sambil berbalik
hendak kembali ke dalam, perempuan paro baya itu
tersenyum bahagia. Disekanya pipinya yang tiba-tiba
basah. Kebahagiaan putrinya telah mencuci bersih
deritanya. http://pustaka-indo.blogspot.comMenyemai Harapan
Tumbuh dewasa dalam perkawinan poligami orangtuanya membuat Dewi bertekad takkan membiarkan dirinya
bernasib seperti ibunya, yang nrimo
begitu saja. Ia tak ingin
terombang-ambing mencari jati diri
dan martabatnya sebagai perempuan
diinjak-injak. Ia bertekad menyejajarkan
perannya sebagai perempuan dalam rumah
tangganya kelak. Dan kini ia siap menyongsong
kehidupan barunya bersama Pujisatriya, yang pasti akan jauh
berbeda dari perkawinan orangtuanya.
Namun menjelang hari pernikahan mereka, Dewi malah
dikejutkan kabar bahwa calon suaminya itu menikahi perempuan
lain. Hanya dalam hitungan jam, nasib dan nama baik keluarga
besarnya dipertaruhkan. Dan ketika Puji tetap berniat memenuhi
kewajiban untuk melangsungkan pernikahan mereka, Dewi
dihadapkan pada dilema: menolak mentah-mentah pria yang
telah mengkhianatinya, atau membiarkan sejarah kembali
terulang dalam perkawinannya sendiri"
Kisah Si Pedang Kilat 6 Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono Penguasa Danau Keramat 2

Cari Blog Ini