Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari Bagian 2
Pada suatu hari, tiga orang berpenampilan kasar muncul di halaman rumah Sepasang Pedang Sakti. Salah seorang di antara mereka adalah lelaki dengan wajah berhias codet di kedua pipinya.
Badri si Naga Laut. Dua lainnya, tidak lain adalah kakak-kakak seperguruan Badri si Naga Laut. Terjadi pertempuran yang sangat seru, dua melawan tiga. Sepasang Pedang Sakti melawan Badri si Naga Laut dan dua kakak seperguruannya. Badri si Naga Laut adalah seorang pemimpin perompak Tengkorak Hitam yang sangat terkenal karena keganasannya di kawasan Selat Malaka. Mendengar namanya saja, para nakhoda perahu akan gemetar, apalagi para penumpang biasa.
Dua kakak seperguruannya, dua lelaki kembar yang lebih dikenal dengan sebutan Iblis Kembar Gunung Marapi, adalah orang-orang yang sangat ditakuti di kawasan Minang Kabau. Ilmu silat mereka memang tidak seganas Badri si Naga Laut, tapi tingkatannya lebih tinggi karena terusmenerus meningkatkan ilmu mereka, dibandingkan dengan Badri si Naga Laut, yang telanjur lebih suka merampasi harta orang di Selat Malaka. Kekalahan memalukan di tangan Tan Bo Huang dan Sepasang Pedang Sakti di kawasan yang mereka kuasai, Selat Malaka, sungguh membuat Badri si Naga Laut menyimpan dendam kesumat yang terus membara. Iblis Kembar dari Gunung Marapi sebenarnya enggan berurusan dengan orang yang tidak pernah bertempur dengan mereka, apalagi kalau harus pergi jauh dari Minang Kabau. Tapi, Badri si Naga Laut terus mengarang kisah bahwa ketiga pendekar bermata sipit itu, terutama Sepasang Pedang Sakti, telah menghina Badri si Naga Laut sebagai orang yang hanya bermulut besar.
Bila perlu, jika kau punya kakak seperguruan, majulah bersama mereka, carilah aku sampai ketemu, begitulah kilah Badri si Naga Laut mengarang cerita bahwa seakan-akan Sepasang Pedang Sakti sesumbar demikian.
Tentu saja, Iblis Kembar itu percaya kepada adik seperguruan mereka. Penghinaan seperti itu di mata mereka tidaklah terampunkan sebelum mereka bisa membalaskan sakit hati mereka.
Karena itu, mereka terus mencari kabar mengenai keberadaan Sepasang Pedang Sakti. Tentu saja tidak mudah mencari orang yang mereka buru di Tanah Jawa. Tapi, berkat ketekunan mereka, yang dilandasi rasa dendam yang makin lama makin membara, mereka kemudian bisa mengendus di mana Sepasang Pedang Sakti berada, dan akhirnya, benar-benar menemukannya di Astana Japura.
Iblis Kembar dari Gunung Marapi adalah dua lelaki yang memiliki wajah sama-sama menyeramkan meskipun kalah seram dibandingkan dengan Badri si Naga Laut. Sorot mata mereka sangat tajam, seakan-akan iblis yang selalu siap menerkam. Perawakan mereka sama-sama tinggi besar, dengan cambang yang lebat di depan telinga mereka. Senjata mereka sama, yaitu kelewang yang panjangnya lebih dari setengah depa.
Demikianlah, terjadi pertempuran yang sangat sengit di sebuah tanah kosong tidak jauh dari kediaman Sepasang Pedang Sakti selama ini, di pinggir perkampungan. Ilmu Iblis Kembar dari Gunung Marapi benarbenar selalu menimbulkan ancaman kematian bagi siapa pun. Kelewang mereka berkelebatan ke sana kemari mencari mangsa. Sekadar terkena imbasan anginnya pun, orang akan mencium aroma kematian yang sangat pekat.
Akan tetapi, Sepasang Pedang Sakti bukanlah pendekar yang tarafnya seperti kebanyakan orang. Meski sudah mengundurkan diri dan jarang berlatih, mereka sebelumnya sudah sampai taraf tinggi sehingga mereka mampu melayani ganasnya ilmu Iblis Kembar dari Gunung Marapi ditambah Badri si Naga Laut. Pedang di tangan mereka meliuk-liuk mencari sasaran yang pertahanannya lemah.
Setelah bertempur puluhan jurus, barulah kelihatan siapa yang lebih unggul.
Sepasang Pedang Sakti perlahan-lahan mendesak ketiga lawannya. Bahkan, tidak lama kemudian, pedang Ciang Bun menembus dada salah seorang dari si Iblis Kembar, sedangkan pedang Cu Ling Wei menebas tangan kanan Badri si Naga Laut. Dengan susah payah, salah seorang Iblis Kembar yang masih hidup dan Badri si Naga Laut yang luka parah, berhasil menyelamatkan diri.
Sepeninggal kedua lawannya yang melarikan diri, kehidupan Ciang Bun dan Cu Ling Wei tidak lagi tenteram. Mereka selalu saja didatangi orangorang yang hendak membalas dendam. Tidak hanya dari orang-orang di wilayah Nusantara, tapi juga dari negeri Tiongkok sendiri.
Dari sini, tampak betapa aroma dendam dari negeri Tiongkok tidak kalah pekatnya dibandingkan dengan dendam orang-orang Nusantara.
Melihat perkembangan yang tidak menguntungkan ini, Sepasang Pedang Sakti memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang baru. Bukan berarti mereka takut menghadapi orang-orang yang mencari mereka, melainkan mereka mulai berpikir untuk memiliki keturunan. Usia mereka terus beranjak dan mereka menginginkan anak-anak yang bisa meneruskan mengangkat nama keluarga dan leluhur mereka.
Mereka bergerak ke arah timur, menjauh dari keramaian wilayah Cerbon yang terus berkembang. Di sebuah sungai yang cukup besar, Ci Sanggarung, mereka bergerak ke hulu. Mereka kemudian menemukan tempat terpencil di kaki Gunung Indrakila. Tempatnya subur karena banyak mata air. Mereka pun hidup tenang dengan mengolah tanah di sekitar tempat tinggal mereka. Orang-orang yang tinggal tidak jauh dari mereka tidak ada yang tahu asal-usul mereka, kecuali bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang ramah kalau bertemu dengan siapa pun. Hanya Tan Bo Huang yang tahu kediaman mereka. Meskipun tergolong jarang, Tan Bo Huang beberapa kali muncul sekadar untuk saling bercerita dan melepas kangen di antara mereka.
Pasangan Ciang Bun dan Cu Ling Wei, yang sudah melepas julukan mereka Sepasang Pedang Sakti, sangat bahagia ketika Cu Ling Wei akhirnya mengandung. Tidak berapa lama kemudian lahirlah anak mereka, seorang putri yang cantik, yang mereka beri nama Ciang Hui Ling. Mereka memutuskan akan benar-benar meninggalkan dunia persilatan yang ternyata lebih banyak menimbulkan dendam kesumat yang tidak putusputus. Mereka sama sekali tidak mengajari Ciang Hui Ling ilmu silat apa pun. Mereka mengajari putri cantik mereka ilmu sastra meskipun pengetahuan mereka akan sastra sangat terbatas. Kalau Ciang Hui Ling sudah cukup umur, Ciang Bun dan Cu Ling Wei berniat membawa putri mereka ke pusat wilayah Cerbon, membiarkan si anak menuntut ilmu sastra dari para cendekiawan Cerbon yang sangat terkenal ke mancanegara.
Akan tetapi, sebelum niat itu terlaksana, tatkala Ciang Hui Ling berumur sekitar delapan tahun, kebahagiaan keluarga kecil yang sederhana itu harus berantakan.
Saat itu, Cu Ling Wei tengah mengandung anak kedua mereka. Anak mereka, Ciang Hui Ling, sedang bermain di halaman pondok mereka, sedangkan Ciang Bun sedang pergi mencari kayu ke hutan. Sebenarnya, hutan itu tidak jauh dari pondok mereka. Tapi, Ciang Bun terlambat datang untuk menyelamatkan pondok mereka.
Ciang Bun terkesiap ketika dilihatnya asap mengepul dari arah pondok mereka. Dia berlari cepat dan meninggalkan begitu saja kayu yang baru saja dia kumpulkan. Tapi, meskipun sudah mengerahkan ilmu lari cepatnya, Ciang Bun terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Istri dan anaknya tidak ada di tempat.
Ciang Bun meraung histeris sebelum berlari untuk mencoba mengejar para penculik istri dan anaknya. Apa yang ada dalam pikirannya, istri dan anaknya dibawa oleh sekelompok orang, entah siapa. Istrinya sama sekali tidak mampu membela diri karena sedang hamil tua. Semenjak itu, nasib Ciang Bun dan istrinya yang sedang mengandung tidak diketahui.
Ciang Bun tidak tahu bahwa Ciang Hui Ling justru selamat karena bersembunyi di balik gerumbul perdu tidak jauh dari halaman pondok mereka.
Nasib baik masih melindungi Ciang Hui Ling karena saat itu muncul Tan Bo Huang yang hendak berkunjung ke pondok Ciang Bun. Apa yang didapati Tan Bo Huang ketika itu adalah pondok Ciang Bun yang sudah menjadi arang hitam dan abu kelabu, hanya menyisakan bara-bara kecil dan asap yang tipis, dan Ciang Hui Ling yang sedang menangis sendiri.
Tan Bo Huang membawa Ciang Hui Ling ke pondoknya di Ci Liwung. Bertahun-tahun dia mendidik Ciang Hui Ling ilmu silat yang tinggi. Selama itu, Tan Bo Huang kerap membawa muridnya bepergian, bahkan hingga mengarungi Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan. Namun, jejak Ciang Bun dan Cu Ling Wei tidak juga ditemukan.
Dan kini, untuk kali keduanya Ciang Hui Ling menyaksikan pemandangan yang sangat menyedihkan. Pondok Tan Bo Huang rata dengan tanah dan tidak diketahui ke mana pendekar gagah berjuluk Naga Kuning dari Ci Liwung itu.
***** KALAU kau dari Ci Sanggarung, berarti kita sebenarnya bertetangga. Aku dari Ci Pamali.
Ya. Dan kita sama-sama anak yang tidak jelas orangtua. Tapi, rupanya harus kita lupakan dulu hal itu.
Ya, aku sekarang punya urusan lain yang lebih penting. Kita.
Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung, seakan-akan hendak meyakinkan diri, tidak salah dengar kata-kata pemuda itu. Jaka Wulung mengangguk sambil mengulurkan tangannya. Tangan keduanya bergenggaman.
Air mata belum kering dari wajah Ciang Hui Ling, tapi sekarang senyum sudah menghiasi lagi wajahnya.
Entah apa yang terjadi kalau tidak ada pemuda itu, pikirnya. Tentulah dia akan benar-benar sebatang kara.
Ayo, kata gadis itu. Akan tetapi, Jaka Wulung bergeming.
Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung dengan mata yang nyaris memicing.
Tiba-tiba, Jaka Wulung menubruk Ciang Hui Ling. Gadis itu tidak menyangka sama sekali sehingga keduanya kemudian berguling sekali, sebelum terjatuh di tanah dalam posisi berpelukan.[]
9 Terjebak di Tanah Antah-berantah
SEBUAH segitiga berujung tajam menancap dalam hingga melesak hampir separuhnya pada kulit sebatang pohon. Sebagian malah melesak ke batangnya. Batang pohon kiara itu tergolong keras. Jadi, bisa dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang dilepaskan orang yang melontarkan senjata rahasia itu.
Kalau saja Jaka Wulung tidak menubruk Ciang Hui Ling, gadis itu tentu akan menjadi mangsa yang empuk. Segitiga itu menancap di pohon dengan ketinggian sekitar pundak Jaka Wulung. Jadi, senjata itu mengarah ke leher Ciang Hui Ling, salah satu sasaran yang mematikan di tubuh manusia. Sekali menancap di leher seseorang, jalan napas akan langsung terputus.
Jaka Wulung menarik segitiga berujung tajam itu dari kulit dan batang kiara. Dibutuhkan pengerahan tenaga yang cukup besar bagi sang pendekar belia untuk menarik segitiga maut itu.
Senjata rahasia adalah sesuatu yang dibenci Jaka Wulung. Dia sudah merasakan senjata rahasia berupa pistol. Bahkan, luka di lengannya masih terasa sedikit ngilu. Menurut pemikiran sederhana Jaka Wulung, senjata rahasia adalah ciri orang pengecut. Apa pun jenisnya, sumpit, jarum, dan sebagainya. Mereka memanfaatkan kelengahan lawan. Mereka menghindari sikap kesatria untuk berhadapan langsung dalam pertempuran yang adil.
Jaka Wulung mencoba menerka asal segitiga maut itu dari arah lemparannya. Tentu saja, dari arah selatan, dari sebuah gerumbul perdu yang rapat. Ada beberapa gerumbul di sekitar tempat itu. Juga pepohonan besar meskipun tumbuh tidak terlalu rapat. Namun, gerumbul yang satu itu diam tak bergerak. Dedaunannya seakan-akan merupakan patung belaka. Dan kediaman itu justru mencurigakan karena angin di sekitarnya berembus cukup kencang untuk menggoyang gerumbul-gerumbul yang lain.
Ada orang di balik gerumbul itu, yang sengaja menahan rerantingnya supaya tidak menimbulkan gerakan sekecil apa pun pada daun-daunnya. Sungguh ilmu yang pantas dikagumi.
Sekaligus sebuah kesalahan besar.
Jaka Wulung menjentikkan jemarinya. Segitiga bersisi tajam itu pun meluncur mendesing mengarah ke gerumbul yang mencurigakan di depannya. Jaka Wulung sengaja melakukan serangan untuk mendahului kemungkinan serangan gelap dari orang di balik gerumbul itu. Menyerang adalah pertahanan terbaik. Dia juga sengaja mengarahkan segitiga maut itu agak ke bawah.
Akan tetapi, sebelum segitiga itu mengenai sasarannya, seseorang di balik gerumbul itu sudah lebih dulu meloncat keluar, lalu melarikan diri dengan cepat ke selatan. Siapa pun orang itu, dia mampu menghindari jentikan segitiga maut, senjata yang tadi dia lemparkan sendiri, dari tangan Jaka Wulung. Jelas, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tidak bisa dianggap ringan.
Siapa dia" Hanya pakaian putih dan ikat kepala hitam yang bisa dilihat dari belakang. Orang itu sudah melesat jauh dari gerumbul yang dia tinggalkan.
Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling sejenak saja, sebelum meloncat dan melesat mengejar orang itu. Ciang Hui Ling tidak perlu berpikir lama untuk juga melenting dan mencoba mengikuti gerakan Jaka Wulung.
Sambil berlari, Jaka Wulung berkata pelan, Maaf, Lingling, kita tampaknya harus melupakan dulu urusanmu.
Ciang Hui Ling menoleh dan menjawab, Ini juga urusanku, Jaka. Senjata itu mengarah kepadaku, lagi pula .... Ciang Hui Ling menghentikan katakatanya.
Jaka Wulung menoleh. Menunggu kata-kata lanjutan gadis itu. .... Urusanmu urusanku juga.
Jaka Wulung tersenyum, Ayo!
Pepohonan di sekitar tempat itu makin lama makin rapat, dan Jaka Wulung serta Ciang Hui Ling mesti berhati-hati mengejar orang itu. Jaka Wulung kemudian bahkan menyilakan Ciang Hui Ling berada sedikit di depan. Bagaimanapun, Ciang Hui Ling, yang sudah bertahun-tahun tumbuh di sepanjang Ci Liwung, jauh lebih mengenal tempat itu dibandingkan dengan Jaka Wulung, yang lebih banyak mengandalkan naluri.
Di bawah didikan Tan Bo Huang, Ciang Hui Ling memang tumbuh menjadi anak yang tidak suka bermanja-manja di sekitar pondok. Dia kerap menelusuri sepanjang tepi Ci Liwung, baik ke arah hilir hingga muara maupun arah hulu hingga jauh ke dalam hutan. Tidak jarang, dia melakukannya sendirian, tanpa setahu Tan Bo Huang, yang kerap membuat sang guru itu kelimpungan karena cemas akan keselamatan murid sekaligus putri sahabatnya.
Sebab, kadang Ciang Hui Ling terlampau meremehkan keadaan. Awas, Lingling!
Sebuah benda logam tipis berkilat melesat mengarah menuju mereka. Benda itu berputar dengan cepat sehingga yang tampak adalah sebuah bundaran yang kabur.
Ziiing! Orang yang mereka buru melepaskan senjata mautnya, segitiga logam bersisi tajam.
Orang itu tampaknya merasa bahwa ilmu lari cepatnya masih kalah tatarannya dibandingkan dengan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Karena itu, berbekal senjata mautnya berupa segitiga bersisi tajam, sang buruan berupaya supaya tidak tertangkap. Setidaknya, dia bisa menunda waktu sebelum muncul bantuan.
Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling terpaksa menahan langkah untuk menghindari ancaman maut itu. Segitiga logam bersisi tajam itu lewat mendesing hanya sejengkal-dua jengkal dari wajah mereka. Jika sudah begitu, jarak antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan buruan mereka menjadi renggang lagi.
Beberapa kali orang itu melepaskan senjata mautnya sembari berlari tanpa menoleh ke belakang, dan tiap kali itu juga, senjatanya tetap mengincar titik berbahaya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Jelas bahwa orang itu memiliki naluri yang sangat peka, yang hanya dimiliki orang yang sangat terlatih, dan hal itu memberinya waktu yang lapang untuk menyelamatkan diri.
Beberapa kali pula, langkah lari cepat Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling harus tertahan. Dan hal itu, lama-kelamaan menjengkelkan Jaka Wulung. Dia pun bersiap mengambil napas untuk melipatgandakan tenaga lari cepatnya.
Akan tetapi, pada saat itulah, si orang buruan mendadak berbelok secara tajam menjauh dari tebing sungai, mengarah ke timur, menuju kerimbunan hutan yang makin rapat.
Siapa sebenarnya orang itu" Apa tujuannya menyerang dia dan Ciang Hui Ling" Jaka Wulung merasa tidak memiliki persoalan dengan orang-orang yang menggunakan senjata rahasia berupa segitiga logam bersisi tajam. Pada saat mereka tiba di Pelabuhan Kalapa, sempat terjadi kehebohan ketika seseorang tewas akibat senjata maut itu. Tapi, mereka tidak terlalu memedulikan peristiwa itu karena mereka berpikir bahwa kejadian itu tidak berkaitan dengan diri mereka.
Lalu, mengapa kini yang menjadi sasaran adalah mereka sendiri" Dari kelompok atau perguruan manakah orang itu berasal"
Jaka Wulung yakin bahwa orang itu tidaklah sendirian. Sangat mungkin bahwa orang itu hanya salah satu anggota kelompok besar dengan tujuan yang belum diketahui secara pasti. Apa yang dilakukan oleh orang itu tampaknya sudah direncanakan dengan matang. Dari kelompok apakah orang itu berasal" Dari perguruan manakah" Kalau benar bahwa dia berasal dari sebuah kelompok tertentu, apakah mereka juga yang melakukan pembakaran terhadap pondok Tan Bo Huang dan membawa pergi pendekar gagah berjulukan Naga Kuning dari Ci Liwung itu" Kalau benar bahwa mereka kelompok yang mampu membawa, apalagi membinasakan, Tan Bo Huang, tentu mereka adalah kelompok yang sangat kuat.
Memiliki pemikiran yang seperti itu, Jaka Wulung menjadi berdebardebar. Jika benar dugaannya, tentu dia dan Ciang Hui Ling sedang menuju sarang buaya yang sangat berbahaya.
Oleh karena itu, Jaka Wulung makin berhati-hati dan waspada. Segera dia kerahkan kepekaan naluri dan pancaindranya hingga tataran yang tinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.
Mereka sudah makin jauh dari titik awal keberangkatan dari pondok Tan Bo Huang. Jauh ke selatan. Tidak hanya itu, mereka sudah jauh dari daerah tepi Sungai Ci Liwung. Jauh ke timur. Begitu jauhnya sehingga Ciang Hui Ling sendiri lama-kelamaan sadar bahwa dia belum pernah merambah daerah itu. Daerah yang baginya masih antah-berantah.
Jalan yang mereka tempuh terus menanjak meskipun tidak terlalu curam kemiringan tanahnya. Perdu dan pepohonan makin rapat.
Matahari yang mulai condong ke barat menimpa punggung mereka.
Akan tetapi, bahkan sinar matahari pun lama-kelamaan tidak lagi terasa menyengat karena lebih banyak terhalang oleh batang dan dedaunan hutan. Makin lama, mereka pun makin terseret jauh ke dalam hutan lebat.
Barangkali, inilah sebab mengapa sungai itu dinamakan Ci Liwung. Kata liwung, yang dilekatkan dengan kata luwang menjadi luwang-liwung, berarti hutan belantara.
Mereka kini berada di hutan belantara.
Bagi Jaka Wulung, hutan belantara bukanlah tempat yang asing. Semenjak kecil, dia terbiasa tersaruk-saruk di rimba, bahkan sampai tersasar di Bukit Baribis, bertemu dengan Ki Jayeng Segara dan murid-muridnya, dan yang kemudian mengubah jalan hidupnya ketika dia nyaris tewas karena jatuh ke jurang Ci Gunung, sebelum diselamatkan Resi Darmakusumah.
Akan tetapi, Ciang Hui Ling, kendatipun bukan jenis anak penakut, belum terbiasa masuk terlalu jauh ke kedalaman hutan. Karena itu, kini Jaka Wulung-lah yang berada di depan.
Kini, orang yang mereka buru bahkan sudah tidak kelihatan lagi. Jejak yang ditinggalkannya, baik berupa jejak kaki di tanah maupun reranting patah, nyaris tidak lagi bisa dikenali.
Tahu-tahu, mereka sudah berada di sebuah tanah yang lapang, sebidang lahan selebar kira-kira tiga puluh langkah, berumput tebal dan dikelilingi pepohonan hutan yang rapat.
Jaka, tampaknya kita terjebak. Ya, berhati-hatilah, Lingling.
Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri beradu punggung, memandang sekitar dengan tatapan setajam mata elang. Selain bebunyian dedaunan dan angin lemah, tidak terdengar suara lain. Nyaris sunyi. Sunyi yang mencengkeram jantung. Sungguh aneh, hutan itu sama sekali tidak memperdengarkan bunyi binatang apa pun. Seakan-akan binatang pun enggan menyambut kedatangan mereka.
Hening. Hening yang menjebak. Tiba-tiba di keheningan itu mendesing sesuatu, dari arah Ciang Hui Ling menghadap. Dengan cepat, Ciang Hui Ling menghunus pedangnya untuk menangkis benda yang meluncur ke arahnya. Secara naluriah, dia tidak ingin menghindar karena itu berarti akan menyebabkan sesuatu itu akan meluncur dan mungkin saja mengenai Jaka Wulung yang berada di belakangnya.
Terdengar suara denting yang keras disertai letikan bunga-bunga api ketika pedang Ciang Hui Ling berbenturan dengan benda itu. Ciang Hui Ling merasakan genggaman tangannya bergetar ketika terjadi benturan. Benda itu memantul dan jatuh sekitar lima langkah dari Ciang Hui Ling. Sebatang tombak pendek dan tipis terbuat dari baja!
Bagus, Lingling, bisik Jaka Wulung.
Hening lagi. Tapi, hanya beberapa jenak.
Dari arah Jaka Wulung menghadap, melesat sebuah benda yang berkilau keperakan. Jaka Wulung memiliki pikiran yang sama, yakni dia tidak berniat menghindar karena benda itu tentu akan mengarah kepada Ciang Hui Ling di belakangnya. Karena itu, dengan cepat, dia menarik senjatanya, kudi hyang, yang sangat jarang dia gunakan, kecuali pada saatsaat sangat terdesak sebuah benda pusaka yang secara ajaib dia terima dari leluhur yang paling dihormati bangsa Sunda, Prabu Niskala Wastukancana.
Terdengar dentang yang lebih keras dan bunga api yang lebih menyilaukan, meskipun saat itu siang masih benderang, ketika kudi hyang Jaka Wulung berbenturan dengan benda berkilau keperakan itu. Benda itu memantul, berbalik arah dan melesat ke arah semula.
Sebilah pedang pendek, pikir Jaka Wulung.
Terdengar suara gemeresik di balik gerumbul, beberapa puluh langkah di depan Jaka Wulung. Tapi, tidak terdengar pekik atau teriak kesakitan. Si pelempar pedang itu tentu berhasil menghindari serangan balik yang dilakukan Jaka Wulung.
Hening lagi. Tapi, udara seakan-akan bergetar oleh tegangan yang ditimbulkan oleh kesunyian.
Pedang ramping Ciang Hui Ling teracung di depan dadanya. Tangan kirinya mengepal.
Kudi hyang melintang di depan dada Jaka Wulung. Telapak tangan kirinya lurus dengan jemari yang rapat.
Pada saat yang bersamaan, meluncur empat macam benda dari empat arah yang berbeda. Masing-masing dari arah depan Jaka Wulung, dari arah kanan dia, dari arah depan Ciang Hui Ling, dan dari arah kanan gadis itu.
Pada saat yang sama pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menggerakkan senjata mereka menyambut masing-masing dua benda yang melesat ke arah mereka.
Terdengar empat kali suara denting dan empat semburan bunga api ketika senjata mereka berbenturan dengan empat senjata yang dilepaskan dari empat penjuru.
Dua senjata memantul oleh pedang Ciang Hui Ling, sama-sama terlontar ke udara, lalu hampir berbarengan jatuh bergeletakan sekitar dua langkah di depannya. Sebilah golok dan pedang pendek. Dua senjata lainnya terpental oleh entakan kuat kudi hyang Jaka Wulung. Sebatang trisula, senjata berujung tiga, melenting jauh dan menembus segerumbul perdu. Sebatang tombak pendek patah nyaris di titik tengah, bagian pangkalnya jatuh di tanah, tapi bagian ujungnya melesat kembali mengarah ke asal datangnya benda itu, menembus kedalaman hutan, tanpa suara. Hening lagi di tempat itu.
Bayang-bayang perdu makin memanjang di bagian timur. Hati-hati, Lingling, ini baru pemanasan, bisik Jaka Wulung. Ya, Ciang Hui Ling mengangguk.
Ketegangan merambat di udara.
Dari kening Ciang Hui Ling, menetes sebutir air bening. Keringat yang hangat.
Bersiaplah, bisik Jaka Wulung lagi.[]
10 Tarian Sepasang Pendekar DARI delapan penjuru mata angin berlesatan berbagai macam senjata. Semuanya melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Semuanya memiliki ujung yang tajam mengarah kepada titik-titik rawan di tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Semuanya sudah diarahkan dengan perhitungan yang terencana.
Tidak hanya delapan ternyata.
Sebab, dari tiap arah mata angin melesat tidak hanya satu senjata, tetapi dua, tiga, empat, lima ....
Semuanya meluncur berturutan tanpa jeda dalam sekian kejap. Bunyinya mendesing-desing menyibak udara. Setiap desing menebarkan ancaman yang mematikan.
Untunglah, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti ini. Jaka Wulung tidak mau menghadapi risiko sekecil apa pun, misalnya salah satu senjata yang datang beruntun itu lolos dari tangkisannya dan mengenai Ciang Hui Ling. Dia pun berharap Ciang Hui Ling mampu juga menepis semua senjata yang mengarah kepada dirinya.
Jaka Wulung langsung menerapkan ilmunya sampai taraf yang tinggi. Sejak tadi, dia sudah mengatur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya tak tertahankan lagi mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman.
Seperti suara harimau Lodaya .... Grrrhhh!
Bersamaan dengan itu, kudi hyang di tangannya bergerak dengan kecepatan sulit diukur, serta tenaga yang di luar kewajaran manusia, menangkis satu per satu senjata mana pun yang mengarah kepada dirinya. Yang terlihat hanyalah ujung kudi hyang yang meliuk-liuk menciptakan garis cahaya yang tampak tidak beraturan.
Tang! Ting! Trak! Bunga-bunga api bepercikan ke segala arah.
Senjata-senjata itu pun seperti membentur perisai tidak kasatmata, sebagian beterbangan kembali ke arah datangnya semula, sebagian lagi melenting setelah patah di bagian tengah dan jatuh lima-enam langkah di sekeliling Jaka Wulung.
Pada saat yang sama, seraya menggerakkan tubuhnya mengikuti setiap senjata yang mengarah kepada dirinya, Ciang Hui Ling memutar pedangnya, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Demikian cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesingdesing, diselingi bunyi benturan yang berdenting-denting, dan dihiasi bunga-bunga api yang bisa membuat mata terpicing-picing. Di bawah berkas-berkas sinar matahari yang makin membias, putaran pedang itu memberikan warna yang indah sekali, sekaligus mengerikan. Jurus Tarian Payung Bunga Matahari.
Sebuah keindahan jurus silat sekaligus ketangguhan yang sulit dicari tandingannya.
Tidak satu pun senjata yang dilepaskan dari segala arah itu menembus lingkaran payung bunga matahari. Golok, pedang pendek, anak panah, bahkan tombak, seakan-akan membentur sebuah dinding baja. Semua terpantul, melenting, atau terlontar balik untuk kemudian bergeletakan menjadi benda mati belaka.
Beberapa kejapan hujan senjata itu memberondong Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dari segenap penjuru hutan. Beberapa kejapan itu pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling melakukan gerak tingkat tinggi yang sangat selaras sehingga sekilas lintas tampak seperti gerak yang biasa ditampilkan para penari mahir.
Tentu saja, gerak ilmu silat dan tarian memang seperti dua wajah dalam permukaan keping uang yang sama.
Beberapa kejapan, sepasang pendekar belia itu memperlihatkan tarian yang elok tersebut sebelum kemudian berhenti, karena tidak ada lagi senjata yang melesat ke arah mereka.
Senjata-senjata berserakan seperti mayat-mayat di Kurusetra. Udara lengang.
Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri tegak dengan kaki-kaki selebar pundak, dan senjata-senjata tetap tercengkeram dalam genggaman. Keduanya menunggu, kejutan apa lagi yang akan mereka hadapi. Angin seperti mati dan langit yang mulai kelabu menebarkan tabir sunyi.
Akan tetapi, kesunyian itu segera pecah oleh gelombang tawa yang melanda dari empat arah mata angin. Gelombang tawa itu susul-menyusul disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat kuat. Apa yang terdengar oleh indra telinga memang hanyalah suara tawa biasa. Tapi, yang tertangkap oleh indra perasa adalah bunyi dentuman yang menghantamhantam, seperti palu godam. Hantaman yang bergelombang itu meresap jauh hingga ke dalam tubuh, masuk ke simpul-simpul saraf, mengikuti aliran di pembuluh darah, meliuk-liuk lalu merajam-rajam selaput jantung.
Orang biasa yang mendengar tawa seperti itu tidak akan mampu bertahan lama karena jantung mereka akan berdenyut cepat, sangat cepat, di luar sadar mereka, lalu riwayat mereka akan segera berhenti dengan darah yang tertumpah dari mulut mereka. Mereka akan tewas tanpa menyadari apa sebenarnya yang terjadi.
Akan tetapi, dua orang yang berdiri di tengah lahan kosong di tengah hutan itu adalah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, dua pendekar belia yang sudah memiliki bekal ilmu yang cukup untuk mengarungi dunia kejam persilatan.
Jaka Wulung tidak percuma mendapat julukan Titisan Bujangga Manik. Dia sadar bahwa gelombang tawa yang dilepaskan dua atau tiga orang sekaligus itu bukanlah tawa sewajarnya. Karena itu, sejak awal dia segera membangun pertahanan di segala simpul saraf dan pembuluh darah yang pasti akan mendapat serangan gelombang tawa. Serangan gelombang tawa itu seakan-akan pecah seperti gelombang laut yang pecah dibelah karang. Pecah berkeping-keping menjadi gelombang yang lemah, lalu lenyap, seolah-olah butir air yang sirna diserap pasir gurun.
Akan tetapi, mendadak Jaka Wulung merasakan satu gelombang lain yang menebar dari belakangnya, menembus bajunya dan meraba permukaan kulit punggungnya. Gelombang pengerahan tenaga untuk melawan gelombang tawa.
Ciang Hui Ling menghadapi saat-saat genting ketika upayanya untuk menahan gelombang tawa nyaris tiba pada titik kekalahan. Tubuhnya bergetar nyaris tidak terkendalikan.
Jaka Wulung tersadar bahwa ketika mengetahui serangan gelombang tawa itu tidak mampu melumpuhkannya, dua atau tiga penyerang itu mengarahkan serangannya lebih terpusat kepada Ciang Hui Ling. Sekian gelombang tawa bersatu menjadi satu, saling menguatkan, menimbulkan serangan gelombang yang sangat mematikan!
Tanpa bersentuhan pun, Jaka Wulung merasakan betapa tubuh Ciang Hui Ling bergetar makin lama makin hebat.
Bertahanlah, Lingling, bisik Jaka Wulung.
Tanpa membalikkan badannya, Jaka Wulung mendekati Ciang Hui Ling, menempelkan punggungnya ke punggung gadis itu. Rapat. Terasa punggung Ciang Hui Ling basah oleh keringat.
Jaka Wulung lekas memusatkan tenaga dalamnya, menyalurkannya keluar dari titik-titik simpul saraf di punggungnya, menembus pakaian keduanya, lalu meresap masuk ke tubuh Ciang Hui Ling melalui titik-titik simpul saraf di punggung gadis itu. Ciang Hui Ling segera merasakan hawa yang sejuk, tapi memiliki kekuatan yang dahsyat untuk melawan gelombang tawa yang nyaris mencabik-cabik jantungnya.
Terjadi pertempuran tak kasatmata yang dahsyat antara gelombang tawa yang kekuatannya berlipat dengan tenaga bantuan Jaka Wulung ke tubuh Ciang Hui Ling.
Perlahan-lahan, denyut jantung Ciang Hui Ling mereda menuju bilangan yang sewajarnya. Detik demi detik pula gelombang tawa dari lawannya melemah, seakan-akan membentur lapisan dinding peredam suara. Kini, Ciang Hui Ling sudah bisa kembali bernapas seperti biasa.
Sejalan dengan itulah, gelombang suara tawa itu pun perlahan-lahan mereda, lalu lenyap, menyisakan udara yang kembali dilapisi sunyi. Kesunyian yang tetap mencekam.
Dalam hitungan tidak sampai delapan, dari arah timur, tepatnya dari arah sebelah kiri Jaka Wulung, muncul tiga orang lelaki. Secara bersamaan, Jaka Wulung memutar tubuhnya ke kiri, sedangkan Ciang Hui Ling memutar tubuh ke kanan. Keduanya kini sama-sama menghadapi kemunculan tiga lelaki itu dan bersiap menghadapi kemungkinan baru.
Akan tetapi, ketiga orang itu berjalan tegak dengan langkah yang biasabiasa saja. Pelan dan penuh dengan rasa percaya diri. Pedang panjang menggantung di pinggang masing-masing. Salah seorang dari mereka, yang kelihatan paling tua dan menjadi pemimpin di antara mereka, melangkah paling depan. Dua yang lainnya mengapit di kiri dan kanan, agak ke belakang, seperti dua pengawal seorang pangeran.
Ketiganya sama-sama memiliki tubuh tinggi tegap, dengan wajah-wajah yang mirip satu sama lain, dengan kumis yang sama-sama tebal menghias wajah tampan mereka, disertai tatapan tajam kepada Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Tampan tapi menyeramkan.
Busana yang mereka kenakan terbuat dari bahan kain yang bermutu tinggi meskipun warna birunya sudah memucat. Begitu pula dengan corak ikat kepala mereka. Dari situ pun sudah jelas bahwa ketiga lelaki itu adalah lelaki bangsawan, boleh jadi keturunan keraton.
Lima langkah di hadapan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, ketiga orang itu berhenti. Lelaki yang paling tua, berusia sekitar empat puluh tahun, memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memandang Ciang Hui Ling beberapa kilas dengan kening berkerut. Lelaki itu kembali menatap tajam Jaka Wulung.
Jaka Wulung balas menatap lelaki itu.
Lelaki itu mengejapkan mata sebelum berdeham. Hmmm ..., inikah bocah yang mengaku dirinya Titisan Bujangga Manik" Suaranya terdengar bergetar, seperti keluar dari tabung yang bocor. Mungkin ada masalah pada pita suaranya.
Jaka Wulung masih menatap lelaki itu tanpa berkedip. Lalu, katanya dengan suara yang hampir berbisik, Apakah aku mengenal Ki Dulur" Lelaki itu menggeretakkan giginya. Kau sungguh sombong, Bocah.
Kali ini, Jaka Wulung-lah yang mengerenyitkan dahinya. Maaf, Ki Dulur, rasanya ini bukan persoalan sombong atau tidak. Seperti yang mungkin Ki Dulur lihat, aku hanyalah seorang bocah, belum banyak mengenal dunia, belum bisa memilah mana sikap sombong dan mana sikap yang rendah hati.
Oho, kau juga pandai bersilat lidah.
Tentu saja, Ki Dulur. Bukankah lidahku tidak bertulang" Jaka Wulung merasa sudah kepalang tanggung.
Lelaki itu menggeretakkan giginya lagi. Kali ini lebih keras sehingga berbunyi seperti ranting patah. Kau membuatku marah, Bocah, ucapnya, dengan suara yang tambah bergetar.
Jaka Wulung tertawa pelan. Aneh, katanya kemudian. Mestinya akulah yang marah, Ki Dulur. Ada urusan apakah antara kami berdua dan kelompok Ki Dulur sehingga kami dijebak sampai di sini" Lelaki itu tertawa. Suaranya sumbang.
Dan dari suara tawanya itu, Jaka Wulung menduga kuat bahwa gelombang tawa yang menyerangnya tadi bukanlah berasal dari lelaki di hadapannya. Siapa ketiga lelaki ini" Dan siapa orang-orang yang berada di belakang mereka yang masih bersembunyi di kedalaman hutan di sekitar tempat itu" Apakah guru mereka"
Jaka Wulung makin meningkatkan kewaspadaan.
Bocah, kau sadar bahwa kalian sudah terjebak. Tak ada jalan keluar bagi kalian dari tempat ini, sehebat apa pun ilmu kalian. Lelaki itu berhenti sebentar. Lalu katanya, Hanya satu cara supaya kami berbaik hati memberi jalan bagi kalian untuk pergi dengan selamat.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Menunggu kata-kata selanjutnya dari bibir lelaki itu.
Berikan kantongmu. Kata-kata lelaki itu pastilah jelas terdengar oleh siapa pun yang berada di sekitar lahan kosong di tengah hutan itu, termasuk oleh orang biasa yang tidak punya kemampuan lebih. Namun, Jaka Wulung, pendekar belia yang daya tangkap telinganya jauh melebihi manusia kebanyakan, justru tidak sepenuhnya percaya bahwa dua kata itulah yang memang benar-benar diucapkan lelaki itu.
Apa kata Ki Dulur" tanya Jaka Wulung.
Lelaki itu kelihatan tidak bisa menahan dirinya. Kukira kata-kataku sangat jelas, Bocah.
Hmmm ..., Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya, Ki Dulur sekalian ini perampok yang keliru memilih sasaran.
Jangan banyak bacot, Bocah. Kami bukan perampok. Cepat serahkan kantongmu.
Oh, kata-kata Ki Dulur tambah kasar saja. Rupanya begitulah kata-kata khas para perampok, begal, dan sebagainya.
Persetan dengan kata-katamu, kata lelaki itu seraya mencengkeram gagang pedangnya. Jangan sampai kami berbuat kasar kepada kalian!
Jaka Wulung mengerutkan kening, lalu kembali menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia menoleh kepada Ciang Hui Ling. Selain terjebak di tempat antah-berantah, Lingling, kita juga terjebak dalam penalaran yang aneh. Bukankah kita sudah sejak tadi diperlakukan secara kasar" Para perampok selalu punya penalaran sendiri, sahut Ciang Hui Ling. Ya, penalaran para perampok.
Diaaam! Lelaki itu menarik pedang dari pinggangnya, lalu mengacungkan ujungnya lurus ke wajah Jaka Wulung. Cepat lemparkan kantongmu!
Jaka Wulung masih berdiri bingung. Di luar sadarnya, dirabanya kantong kainnya di pinggang. Apa yang membuat kantongnya menarik perhatian orang-orang itu" Mengapa demi kantong itu, dia sampai digiring hingga jauh dari masyarakat ramai, dan dijebak hingga di dalam hutan" Kantong kain kecil itu hanyalah berisi sepasang baju dan celana pengganti, beberapa keping uang yang tidak seberapa, pisau pangot, beberapa lempir daun lontar ....
Jaka Wulung mulai bisa meraba apa yang mereka incar. Cepat lemparkan!
Pendekar belia itu mengerutkan keningnya. Maaf, Ki Dulur, tak ada barang berharga dalam kantongku ini. Aku hanya membawa beberapa keping uang ....
Kami tidak butuh uangmu. Kami ingin kitab yang kau bawa!
Kata-kata lelaki itu membenarkan dugaan samar yang sempat terlintas di kepala Jaka Wulung. Namun, Jaka Wulung pura-pura terkejut dengan mulut ternganga. Kitab" Tangannya mengusap-usap kain kantongnya. Kitab apa"
Sudahlah, tidak perlu berkelit.
Aku cuma bertanya, kitab apa" Lagi pula, bagaimana Ki Dulur menyimpulkan bahwa aku membawa kitab yang Ki Dulur inginkan dalam kantong ini"
Kalau kau mengaku Titisan Bujangga Manik, kalau kau benar-benar murid Resi Bujangga Manik, atau setidaknya murid Resi Darmakusumah, kau tentu tahu di mana keberadaan kitab-kitab yang pernah dicuri dari Keraton Pajajaran, terutama Kitab Siliwangi.
Tiba-tiba, ingatan Jaka Wulung melayang pada cerita Resi Darmakusumah, gurunya, mengenai pengalamannya tatkala menyelamatkan tiga kitab yang tersisa dari puluhan kitab pusaka Kerajaan Sunda, ketika Keraton Pakuan Pajajaran dibumihanguskan oleh pasukan Banten. Ketiga kitab itu adalah Patikrama Galunggung, yang ditulis oleh Prabu Darmasiksa, naskah Bujangga Manik, karya eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik, dan satu lagi kitab tanpa judul, yang oleh kalangan keraton disebut Kitab Siliwangi, yang konon ditulis oleh Prabu Siliwangi sendiri.
Ketika baru saja menyelamatkan tiga kitab itulah, Resi Darmakusumah dicegat oleh sekelompok orang yang juga mengincar kitab-kitab itu. Ah, Ki Dulur pastilah Munding Wesi bersaudara, kata Jaka Wulung. []
11 Impian Membangun Kerajaan
KALI ini giliran wajah lelaki itu, yang memang Munding Wesi adanya, berubah karena terkejut. Munding Wesi terkejut karena tidak menyangka bahwa anak muda itu dengan cepat bisa menyimpulkan siapa gerangan dia. Tapi, dengan cepat pula, dia menghapus rasa terkejut itu. Dia bahkan kemudian tertawa meskipun terdengar jelas bahwa tawanya sangat sumbang di telinga. Jenis tawa yang hanya biasanya dilepaskan oleh orang yang tepergok melakukan tindakan yang memalukan.
Nah, Bocah, kini kau sudah tahu siapa aku, Munding Wesi mencoba menutupi rasa malunya. Sebaliknya, dengan kata-katamu itu, aku menjadi yakin bahwa kau tahu di mana keberadaan kitab-kitab itu. Atau, justru kau membawanya ke mana-mana.
Sudah kubilang kantongku hanya berisi benda-benda yang hanya penting bagiku, kata Jaka Wulung. Tapi, taruh kata aku tahu di mana kitab-kitab itu, mengapa Ki Munding Wesi menginginkannya" Aku pikir kitab-kitab itu sudah tersimpan dengan aman di tangan yang seharusnya menyimpannya.
Wajah Munding Wesi mulai mengencang. Pembuluh darah bahkan mulai bertonjolan di lehernya. Ketahuilah, Bocah. Kamilah yang berhak memiliki kitab-kitab itu. Kami mencarinya untuk mencegah kitab-kitab itu jatuh ke tangan orang yang keliru, apalagi ke tangan orang dari kalangan somah, kalangan jelata, sepertimu.
Jaka Wulung terkejut mendengar kata-kata Munding Wesi. Hatinya terluka mendapat hinaan seperti itu. Tapi, sekuat mungkin dia menahan kemarahannya. Bahkan, sekonyong-konyong muncul semacam harapan mengenai kejelasan tentang asal-usul dirinya. Lalu, Jaka Wulung bertanya, Bagaimana Ki Munding Wesi yang terhormat tahu bahwa aku berasal dari kalangan jelata"
Tentu saja aku tahu. Bagaimana Ki Dulur tahu"
Aku tahu siapa saja keturunan leluhur kami Prabu Siliwangi. Jadi, siapa pun yang aku tahu bukan keturunan Prabu Siliwangi, tentu saja dia berasal dari kalangan jelata.
Jaka Wulung menarik napas kecewa mendengar penalaran yang aneh itu. Meskipun demikian, Jaka Wulung tetap menahan diri. Menurut pemahamanku, kata Jaka Wulung. Prabu Siliwangi adalah orang terhormat yang sangat dekat dengan rakyat. Dia bisa lebur menyatu dengan seluruh rakyatnya, termasuk kalangan jelata. Dan kupikir, pemimpin yang baik mestinya seperti itu, bukan orang yang merasa dirinya lebih tinggi, lebih istimewa, dibandingkan dengan kebanyakan orang lain.
Kata-kata Jaka Wulung tambah menonjolkan pembuluh darah di leher Munding Wesi. Giginya gemeretak seakan-akan nyaris retak. Jangan kau gurui kami soal sifat-sifat pemimpin, Bocah!
Dua lelaki di kanan dan kiri Munding Wesi, yang tidak lain adik-adiknya, sudah menarik pedang mereka dan hendak bergerak maju. Tapi, Munding Wesi menahannya.
Kalau tidak salah ingat, aku mendengar tuturan dari guruku, Resi Darmakusumah, bahwa Ki Munding Wesi ini keturunan Prabu Dewata Buana Wisesa.
Nah, kau sudah tahu siapa kami, Bocah! Dan kami tetap bertekad membangun kembali kebesaran Pajajaran yang telah dirintis leluhur kami.
Dan kalau aku tidak salah ingat pula, Prabu Dewata Buana Wisesa adalah salah satu penerus Prabu Siliwangi yang sifat-sifatnya bertolak belakang dengan leluhurnya. Bukannya meniru Prabu Siliwangi yang penyayang kepada rakyatnya dan membangun kebesaran Kerajaan Sunda, Prabu Dewata adalah penguasa zalim yang menghancurkan kerajaannya sendiri.
Kali ini, Munding Wesi sendirilah yang tidak dapat menahan diri. Katakata Jaka Wulung, yang di mata Munding Wesi hanyalah bocah yang tidak jelas asal-usulnya, membuat darahnya langsung serasa menyembur ke kepala.
Tutup mulutmu, Bocah edan!
Dalam sekejapan, Munding Wesi meloncat dan menyabetkan pedangnya ke leher Jaka Wulung. Gerakannya sangat cepat dan penuh tenaga, seperti layaknya seekor munding, seekor kerbau.
Tentu saja, Jaka Wulung tidak mau lehernya menjadi sasaran empuk. Minggir, Lingling, bisik Jaka Wulung seraya menghindar. Ciang Hui Ling bergeser beberapa langkah untuk memberikan ruang bagi Jaka Wulung. Sejak tadi, dia tidak sepenuhnya bisa mengikuti silat kata yang terjadi antara Jaka Wulung dan Munding Wesi. Karena itu, dia memilih diam saja.
Munding Wesi sudah menduga Jaka Wulung akan menghindar. Oleh karena itu, secepat kilat tangan kirinya yang tidak bersenjata melayang cepat dengan jemari terbuka, dengan maksud menyabet dada Jaka Wulung. Gerakan Munding Wesi memang di luar dugaan. Meskipun tubuhnya tinggi besar, gerakannya cepat dan ringan.
Munding Wesi tidak mau setengah-setengah menghadapi pendekar belia yang dalam hati kecilnya diakuinya mengagumkan ini. Dulu, dia dan saudara-saudaranya, bahkan meskipun dibantu oleh beberapa orang pendekar sewaan yang sakti, gagal merebut kitab-kitab pusaka dari tangan seorang kakek yang mengaku bernama Ki Karta, yang kemudian baru dia ketahui bernama Resi Darmakusumah, murid Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik.
Kini, dia bersama adik-adiknya, sudah menjalani tempaan yang berat di bawah bimbingan para pendekar yang disewanya, dan meskipun Jaka Wulung memiliki ilmu yang tinggi, dia yakin kali ini keinginannya akan segera terwujud: memiliki kitab-kitab sakti peninggalan para leluhurnya, terutama satu yang paling diincarnya, Kitab Siliwangi.
Munding Wesi tidak perlu melakukan jurus-jurus penjajakan, tetapi langsung menerapkan jurus maut miliknya, jurus yang memiliki dasar ilmu Siliwangi seperti umumnya pelajaran yang diterima keturunan Siliwangi tapi, yang sudah bercampur dengan berbagai ilmu yang dia terima dari para tokoh sakti.
Dia yakin kemampuannya kini sudah jauh meningkat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, ketika mencoba merebut kitab-kitab sakti dari tangan Ki Karta alias Resi Darmakusumah. Dan dalam pikiran Munding Wesi, sehebat-hebatnya Jaka Wulung, tentu dia tidak akan lebih hebat dibandingkan dengan gurunya. Karena itu, dia yakin kali ini tidak akan gagal.
Kalau dia dan saudara-saudaranya sudah memiliki kitab itu, dan mempelajari ilmu dahsyat warisan leluhurnya langsung dari sumbernya, mereka pasti akan tumbuh menjadi kelompok yang disegani. Kepalanya tetap dipenuhi dengan khayalan indah: mereka akan menarik banyak pengikut, lalu membangun sebuah kerajaan baru, sebagai penerus kejayaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi.
Akan tetapi, seakan-akan merupakan adegan yang terulang, khayalan Munding Wesi masih terlampau tinggi.
Jaka Wulung segera bisa mengenali jurus yang diperagakan Munding Wesi jurus dasar ilmu gulung maung. Dengan cara menekuk kaki kanannya dan mencondongkan punggungnya sedikit ke belakang, pukulan jari terbuka Munding Wesi itu pun melesat hanya beberapa jari dari dada Jaka Wulung.
Bocah iblis! Dua saudara Munding Wesi secara bersamaan meloncat dari kanan dan kiri Jaka Wulung. Dua ujung pedang keduanya secara bersama-sama mengarah tubuhnya. Ujung pedang di sebelah kanan berkilat memantulkan cahaya matahari yang kian condong, melesat mengarah pundak Jaka Wulung. Ujung pedang di sebelah kiri pun tak kalah berkilau karena tajamnya, seperti kilat melesat mengarah pinggang.
Dengan bertumpu pada salah satu kakinya, Jaka Wulung melenting mengatasi serangan beruntun itu. Sebelum tiba lagi di tanah, dia sempat sekali berjumpalitan dan kudi hyang di tangannya mematuk tangan salah seorang saudara Munding Wesi yang menggenggam pedang, dan sepersekian kejap juga menyentuh pelipis satu orang lainnya.
Salah satu orang itu memekik histeris dengan tangan yang terasa seperti disambit dengan ujung beliung. Bersamaan dengan kakinya yang jatuh berlutut, pedangnya lepas dan terlontar ke udara, berputar dua kali, lalu jatuh menimpa serakan dedaunan layu. Orang satunya lagi terhuyunghuyung dengan kepala serasa disayat taring naga, kemudian terjerembap ke rerumputan dengan pedang yang juga lepas dan nyaris menancap di perutnya sendiri!
Darah segar segera memancar dari luka di tangan dan pelipis kedua bersaudara itu.
Munding Wesi terkejut bukan kepalang melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya. Setelah beberapa tahun, dia dan adikadiknya menempa diri dan yakin tingkat ilmu mereka sudah jauh meningkat, hasil yang didapat nyaris tidak berubah: betapa dia dan saudara-saudaranya seperti membentur tembok dalam satu gebrakan. Padahal, yang mereka hadapi hanyalah murid Resi Darmakusumah meskipun, di mata mereka, hanya mengaku-aku sebagai Titisan Bujangga Manik.
Sementara kedua adiknya sama-sama mencoba berdiri dengan kaki yang gemetar, Munding Wesi kini berhadapan sendirian dengan Jaka Wulung. Munding Wesi memandang Jaka Wulung dengan hati mulai menciut kecut. Pedang di tangannya terkulai nyaris lepas dari genggaman. Sebaliknya, Jaka Wulung memandang tajam Munding Wesi dengan kudi hyang yang tergenggam di tangan kanan, menunggu dengan waspada apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hanya satu hal yang disesalinya pada saat seperti ini: lengan kirinya masih terasa ngilu. Senjata bernama pistol itu ternyata luar biasa. Kedua pasang mata saling pandang.
Yang satu adalah lelaki yang mengaku keturunan Prabu Dewata Buana Wisesa, salah seorang cucu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, dan merasa berhak atas kitab-kitab pusaka Keraton Pakuan.
Yang lainnya adalah murid Resi Darmakusumah, keturunan Surasowan, salah seorang anak Sri Baduga Maharaja. Hubungannya dengan Siliwangi, meskipun tidak secara langsung, ditambah oleh ilmu tingkat tinggi yang diturunkan kepadanya oleh Resi Jaya Pakuan sendiri, seorang pangeran dari Keraton Pakuan yang memilih meninggalkan istana untuk mengembara ke berbagai negeri, menyerap bermacam ilmu dan mengamalkannya langsung demi masyarakat.
Jadi, sesungguhnya perseteruan itu terjadi di antara anak-cucu Prabu Siliwangi sendiri. Perseteruan yang pastilah akan membuat Prabu Siliwangi, yang dalam masa pemerintahannya terus-menerus berupaya menyatukan segenap wilayah di Tatar Sunda, menangis.
Keduanya masih belum bergerak.
Jaka Wulung tetap memandang tajam Munding Wesi, menunggu apa yang akan dilakukan lawannya.
Sebaliknya, Munding Wesi makin ragu-ragu akan kemampuannya untuk menghadapi lawannya sendirian. Matanya beralih memandang kedua adiknya yang masih tertatih untuk berdiri. Munding Wesi juga memandang sekeliling.
Tak lama kemudian, pedang di tangan kanan Munding Wesi terangkat lurus, mengacung ke langit. Hampir bersamaan dengan itu, jari tengah dan ibu jari tangan kirinya ditautkan, kemudian diletakkan di antara bibirnya. Dan terdengar siulan yang keras dan panjang.
Suiiiiiit ...! Belum hilang gema siulan itu di udara, tiga orang berkelebat dari tiga arah yang berbeda.
Orang pertama muncul dari balik pepohonan sebelah kiri Jaka Wulung, berkelebat melalui loncatan panjang, lalu berdiri di sebelah kanan Munding Wesi. Dia lelaki bertubuh sedang, usia sekitar tiga puluh lima tahun, dengan bibir yang seakan-akan terus-menerus mengejek. Di perutnya, sebilah keris terselip pada ikat pinggangnya.
Orang kedua muncul dari arah belakang Munding Wesi, dan kemudian berdiri di sebelah kirinya. Dia lelaki berusia hampir enam puluh tahun, agak bungkuk, dan di tangannya tergenggam senjata trisula tombak bermata tiga. Matanya menatap tajam Jaka Wulung.
Orang ketiga muncul dari arah sebelah kanan Jaka Wulung, melenting dua kali, lalu berdiri di sebelah kiri orang kedua. Dia adalah perempuan berusia sekitar lima puluh tahun, bermata sipit tapi kejam, dan menggenggam tombak pendek. Matanya tidak lepas menatap Ciang Hui Ling.
Persis gambaran tiga orang yang pernah diceritakan Resi Darmakusumah, pikir Jaka Wulung. Bukan orang-orang dari Tatar Sunda.
Ketiga pendekar itu pernah menjadi lawan seimbang gurunya. Dan kini, mau tidak mau, Jaka Wulung harus mengulang kisah, berhadapan dengan orang-orang yang telah menghadapi gurunya.
Orang kedua, yang paling tua di antara mereka, justru kelihatan paling tidak sabaran. Dia bergeser selangkah ke depan.
Tuan Munding Wesi terlalu lama memberikan aba-aba, kata si tua bungkuk. Aku sudah tidak sabar untuk membuat perhitungan dengan bocah edan ini.
Baiklah, Ki Somali, kuserahkan dia kepadamu, ujar Munding Wesi. Tapi, ingat, bekuk dia hidup-hidup. Jangan kau bunuh sebelum aku memastikan merebut kitab-kitab pusaka itu, atau setidaknya mendapat keterangan di mana gerangan kitab-kitab itu.
Tidak masalah, Tuan Munding Wesi, kata Ki Somali, si tua bungkuk. Aku akan mematahkan tangan dan kakinya. Itu sudah cukup bagiku sebagai pembalasan dendamku.
Munding Wesi mengangguk-angguk dengan seringai di wajahnya. Dia percaya Ki Somali akan mampu melakukannya. Munding Wesi lalu mengalihkan perhatiannya kepada Ciang Hui Ling.
Biarlah aku tangani gadis ini saja, gumamnya sambil melangkah mendekati Ciang Hui Ling. Dia yakin ilmu si gadis tidaklah terlalu tinggi dibandingkan dengan Jaka Wulung, dan bermain-main dengan gadis cantik tentu akan lebih menyenangkan.
Tak perlu Tuan Munding Wesi repot-repot, ucap perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahun yang bermata sipit seraya melangkah mendahului Munding Wesi. Biar dia menjadi urusanku.
Munding Wesi menghentikan langkahnya dengan perasaan kecewa. Tapi, kalau sudah berurusan dengan pertempuran, dengan urusan berkelahi, dibandingkan dengan mereka, ketiga orang yang dia sewa, Munding Wesi tidak bisa berbuat apa-apa. Ketiga orang itu, beserta pengikutnya, dia datangkan dari berbagai daerah dengan tujuan untuk melancarkan impiannya membangun kerajaan penerus Pajajaran.
Dengan kekuatan harta yang dia miliki, disertai janji untuk memberikan jabatan jika impian Munding Wesi terwujud, ketiga pendekar itu memang patuh terhadap keinginannya. Tapi, ada juga hal-hal tertentu yang di luar kuasanya. Terutama kalau menyangkut persoalan pribadi.
Oh, Nona Teratai Biru .... Kalau Nona punya urusan dengan gadis itu, aku tidak bisa menghalangi, kata Munding Wesi seraya melangkah mundur, menjauh dari titik tengah lingkaran. Munding Wesi tahu Ki Somali punya urusan dengan Jaka Wulung. Tapi, dia tidak tahu persoalan apa antara Pendekar Teratai Biru dan Ciang Hui Ling.
Kedua adik Munding Wesi mengiringi kakaknya menjauh dari titik pusat lingkaran. Bahkan, orang pertama dari ketiga pendekar sewaan Munding Wesi juga memilih menjauh.
Ki Lembu tidak ingin ikut terlibat" tanya Munding Wesi.
Orang yang dipanggil Ki Lembu, lengkapnya Lembu Sura, lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, tersenyum-senyum saja tersenyum dengan bibir yang mengejek. Tentu saja. Tapi, aku akan lihat perkembangannya nanti, katanya.[]
12 Dahsyatnya Kekuatan Cinta
DI titik tengah lingkaran lahan kosong itu kini tinggal empat orang, Ki Somali, Pendekar Teratai Biru, Jaka Wulung, dan Ciang Hui Ling. Ki Somali memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga telapak kaki, seakan-akan hendak mengukur berapa selisih tinggi badan dengan dirinya.
Ki Somali memang bertubuh pendek karena punggungnya bungkuk, seolah-olah sedang memanggul sebuah benda di tengkuknya. Namun, wajahnya yang sudah keriput tampak mengerikan.
Hkkk .... Inilah rupanya bocah yang disebut-sebut sebagai Titisan Bujangga Manik ... hkkk, kata Ki Somali. Suaranya aneh, serak dan tersendat-sendat seperti sedang menderita cegukan, dan seakan-akan sebutir kerikil menyumbat tenggorokannya.
Maaf, Ki Somali, ucap Jaka Wulung. Rasanya, kita tidak pernah punya urusan. Kita baru berjumpa sekali ini, di sini.
Ki Somali tertawa, Hek-hek-hek ... tentu saja aku punya urusan denganmu, Bocah. Urusan yang harus diselesaikan di sini. Kalau saja tidak mendapat pesan dari Tuan Munding Wesi, aku ingin urusan kita tuntas sama sekali.
Jaka Wulung terkesiap mendengar kata-kata Ki Somali. Kata-kata tuntas sama sekali tidak lain tentu mengandung arti menyelesaikan urusan hingga salah satu di antara mereka terbunuh. Haruskah selalu terjadi pembunuhan"
Aku tidak mengerti .... Jangan pura-pura bodoh, potong Ki Somali. Hkkk .... Tentu saja, aku masih penasaran dengan pertemuan kami dengan gurumu, Resi Darmakusumah, beberapa tahun lalu. Hkkk .... Kalau dia tidak melarikan diri, kami pasti mampu membunuhnya.
Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Bukankah kalian waktu itu yang melarikan diri"
Hkkk ... jangan sok tahu, Bocah! Urat-urat darah mulai bertonjolan di pelipis Ki Somali. Dan sekarang .... Ki Somali menjentikkan jari tengah dan ibu jari tangan kanannya. Terdengar suara keras dari pertemuan dua ujung jari itu, menggema dan menyelusup ke sela setiap pepohonan hutan.
Dari arah belakang Ki Somali, berloncatan dua orang berpakaian hitamhitam. Wajah mereka hampir sama, serupa, sama-sama dipenuhi dengan bulu sehingga sekilas tampak seperti wajah-wajah manusia zaman batu. Bedanya, bulu di dagu salah satu orang itu seperti belum lama dipapas sebelah.
Jaka Wulung terkejut. Ciang Hui Ling, yang sedang berhadapan dengan Pendekar Teratai Biru, juga terkejut melihat kemunculan dua orang itu. Dua orang yang siang tadi bertempur dengannya di perahu.
Subali dan Sugriwa. Hkkk ... bukankah bocah ini yang sudah mencelakai Kakangmu Indrajit" tanya Ki Somali kepada Subali dan Sugriwa yang sudah berada di sebelahnya.
Krrrhhh .... Betul sekali, Guru, kata Subali dan Sugriwa berbarengan.
Nah, Bocah, kata Ki Somali, aku tidak perlu berbasa-basi ... hkkk. Bersiaplah untuk menerima pembalasanku. Hiaaaaaa ... hkkk!
Sekali melompat, Ki Somali langsung mengarahkan ujung tengah trisulanya ke ulu hati Jaka Wulung. Meskipun tubuhnya pendek dan bungkuk, gerakannya sangat cepat dan ringan. Trisulanya sendiri terbuat dari bahan logam yang biasa dipakai untuk membuat keris, dengan permukaan yang kasar berwarna perak kecokelatan. Dan memang, bagian tengah trisulanya, sesungguhnya berbentuk keris luk tujuh dengan panjang sekitar dua jengkal, sedangkan dua ujung tajam di kedua sisinya memiliki panjang separuhnya.
Jaka Wulung sadar bahwa Ki Somali pastilah bukan tokoh sembarangan.
Tiga muridnya, Indrajit, Subali, dan Sugriwa, bukan orang-orang kebanyakan. Bersama Lembu Sura dan Pendekar Teratai Biru, dia pernah bertempur melawan Resi Darmakusumah. Dan sesungguhnyalah, Ki Somali merupakan salah seorang tokoh yang sangat disegani, terutama di kawasan Pegunungan Sewu di dekat pantai selatan Jawa Dwipa bagian tengah. Jauh-jauh dia datang memenuhi ajakan Munding Wesi tentu dengan berbekal ilmu yang sangat memadai.
Oleh karena itu, Jaka Wulung tidak mau langsung menangkis serangan itu dengan kudi hyang-nya. Jaka Wulung menggeser tubuhnya sejengkal dan ujung pinggir trisula Ki Somali meleset hanya sejari.
Tapi, Ki Somali sudah menduga bahwa Jaka Wulung akan menghindar. Karena itu, dengan cepat dia memutar trisulanya dan ujung tengahnya mematuk perut Jaka Wulung. Pendekar belia ini terkejut juga melihat kecepatan perubahan gerak lawannya. Namun, serangan kedua ini pun bisa dihindari Jaka Wulung dengan cara meloncat mundur.
Ki Somali enggan kehilangan kesempatan sekejap pun. Dia terus merangsek tidak memberikan jeda bagi Jaka Wulung untuk mengambil napas. Sungguh mengagumkan, bagaimana pendekar berusia hampir enam puluh tahun itu, dengan tubuh yang tidak sempurna karena bungkuk, mampu bergerak cepat dan lincah, seakan-akan memiliki napas yang tidak terputus-putus.
Jaka Wulung masih harus terus berloncatan menghindar. Entah mengapa, ada perasaan iba dalam hatinya melihat perawakan Ki Somali yang bungkuk karena cacat di punggungnya sehingga tangannya seakan-akan enggan untuk melakukan serangan balasan. Inilah salah satu kelemahan Jaka Wulung, yang kerap membuatnya mengalami kesulitan sendiri. Hiaaaaaa ... ayo lawan ... hkkk!
Sebuah tusukan trisula Ki Somali yang sangat cepat nyaris merobek dada Jaka Wulung. Pendekar belia ini hanya bisa menghindar dengan cara melenting jauh sambil menjatuhkan diri dan berguling.
Ki Somali, yang merasa sudah di atas angin, tidak mau memberi Jaka Wulung kesempatan untuk bangun. Dia meluncur seperti anak panah dengan ujung trisula mengarah ke leher Jaka Wulung.
Jaka Wulung berseru keras. Tampaknya, dia sudah sampai pada titik batas rasa ibanya. Bertumpu pada salah satu kakinya, Jaka Wulung melenting tinggi dan berjumpalitan sekali, lalu meluncur turun dengan ujung kudi hyang mengarah ke gagang trisula.
Ki Somali terkesiap bukan main melihat bagaimana cepatnya Jaka Wulung menghindar dan bahkan melakukan serangan balik. Ki Somali terlambat menghindar dan hanya bisa sedikit membelokkan trisulanya. TRANG!
Benturan itu dijadikan titik tumpu oleh Jaka Wulung untuk melenting lagi dan berjumpalitan di udara sebelum mendarat dengan mulus di tanah. Meskipun demikian, Jaka Wulung mengeluh dalam hati. Rasa ngilu di lengan kirinya, akibat terserempet senjata rahasia Tuan Alfonso, makin terasa.
Di pihak lain, Ki Somali merasakan betapa benturan dalam kedudukan yang tidak seimbang itu membuat tangannya bergetar hebat dan senjata di tangannya nyaris lepas dari genggamannya. Dan dia baru sadar, salah satu bilah luar trisulanya sudah putung tepat di titik tengah!
Bocah edan! Hkkk ...! pekik Ki Somali.
Tidak hanya Ki Somali yang terpekik. Senyum Lembu Sura pun mendadak lenyap melihat kejadian itu. Di luar sadarnya, tangannya menggenggam gagang keris di perutnya. Sudah waktunya aku melibatkan diri, pikir Lembu Sura.
Lembu Sura tertawa panjang. Jenis tawanya sama dengan tawa yang mengandung tenaga dalam yang kuat beberapa waktu sebelumnya. Namun, kali itu, dia sadar bahwa tawa itu tidak akan berpengaruh banyak kepada lawannya. Karena itu, Lembu Sura memilih menyimpan tenaga dalamnya untuk pertempuran yang sebenarnya.
Hiaaaa! Lembu Sora tidak mau menunggu jeda lebih lama. Dia langsung meloncat panjang seperti banteng untuk melibatkan diri dalam pertempuran yang kemudian terjadi dua melawan satu. Dua orang tokoh sakti dari dua tempat yang berlainan yang pertama dari Pegunungan Sewu dan yang kedua dari pantai timur Jawa Dwipa melawan pendekar belia yang berjuluk Titisan Bujangga Manik.
Pendekar Teratai Biru, yang semula hendak menyerang Ciang Hui Ling, ternganga sejenak menyaksikan trisula Ki Somali sudah patah salah satu bilahnya. Dia tidak mengetahui persis apa yang terjadi. Namun, bahwa trisula maut Ki Somali bisa patah dalam beberapa kejap pertempuran menjadi bukti bahwa Jaka Wulung bukanlah bocah sembarangan. Karena itu, secara naluriah, dia bergeser ke lingkaran pertempuran antara Jaka Wulung dan dua lawannya.
Ditariknya tombak pendeknya yang terselip di pinggang kirinya.
Akan tetapi, sekejap sebelum meloncat membantu Ki Somali dan Lembu Sura, untuk memadukan tiga jenis ilmu yang terbukti sangat ampuh seperti ketika melawan Resi Darmakusumah, Pendekar Teratai Biru terkejut ketika Ciang Hui Ling mendeham.
Kau melupakan aku, Nona Teratai Biru"
Langkah Pendekar Teratai Biru tertahan. Upayanya untuk memusatkan perhatian kepada pertarungan antara Jaka Wulung dan dua lawannya menjadi buyar. Meskipun demikian, dengan cepat Pendekar Teratai Biru memutar badannya lagi menghadap Ciang Hui Ling. Dia memang punya urusan dengan gadis bermata sipit ini, tapi dia menganggap bahwa Ciang Hui Ling bisa ditangani dengan mudah segera setelah mereka melumpuhkan Jaka Wulung.
Pendekar Teratai Biru memandang tajam Ciang Hui Ling. Matanya yang sipit tampak sangat kejam, mengaburkan seluruh wajahnya yang sebenarnya memiliki sisa-sisa garis kecantikan.
Pendekar Teratai Biru kemudian tertawa mengikik seperti hantu zaman Dinasti Ming. Hik-hik-hik ...!
Ciang Hui Ling menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata yang makin menyipit sehingga nyaris terpejam.
Tawamu jelek, Nona Teratai, ucap Ciang Hui Ling. Sikapnya berani dan tegar. Dia yakin bahwa Pendekar Teratai Biru tentu pendekar wanita yang ilmunya sangat tinggi. Namun, sebagai murid Tan Bo Huang, Ciang Hui Ling tidak punya rasa takut terhadap perempuan itu, terutama karena dalam hatinya dia kecewa wanita sebangsanya memihak golongan yang hendak mengacaukan masyarakat.
Tawa Pendekar Teratai Biru terhenti. Kau menjijikkan seperti ... gurumu.
Ciang Hui Ling terkejut, Ah, kau kenal guruku"
Justru karena aku kenal gurumu, maka aku akan menghancurkanmu sekarang.
Oh, oh .... Nona Teratai Biru punya dendam rupanya terhadap guruku. Masalah cinta, ya, Nona ... Chen Lian"
Ciang Hui Ling sebenarnya hanya menduga-duga dengan menyinggung masalah cinta dan menyebut nama Chen Lian. Tapi, rupanya dugaan itu tepat sasaran dan Pendekar Teratai Biru menjadi bertambah marah. Tampak mukanya mengencang dan warna wajahnya berubah-ubah dari putih menjadi merah, kemudian biru. Entah apa yang terjadi pada aliran darahnya sehingga wajahnya bisa berubah-ubah seperti itu. Kalau waktunya lebih lama, mungkin semua warna pelangi akan terpenuhi.
Ciang Hui Ling merasa pancingan kata-katanya sudah mengena. Karena itu, dia merasa sudah kepalang basah. Kau patah hati karena cintamu ditolak guruku, maka sampai sekarang kau memilih hidup sendiri. Dan kau terus menyebut diri sebagai nona, Nona Teratai Biru, dan bergaul dengan anak-anak muda agar kau setidaknya merasa awet muda ....
Cukuuup ...! Dengan wajah merah membara, Pendekar Teratai Biru langsung menerjang dengan maksud memecahkan kepala Ciang Hui Ling dalam sekali pukul. Hiaaaaaat!
Sebenarnya aneh juga seorang pendekar wanita yang berpenampilan ramping, meskipun sudah berusia setengah abad, menggunakan senjata andalan tombak pendek. Panjang gagang tombak itu kira-kira tiga jengkal dan terbuat dari kayu hitam yang sangat keras. Kepalanya terbuat dari logam keperakan dengan ujung yang mengilat karena sangat tajam. Tapi, tampaknya justru keanehan itulah yang membuat Pendekar Teratai Biru menjadi mengerikan.
Ujung tombak itu pun langsung mengincar kepala Ciang Hui Ling dengan gerakan yang sangat cepat.
Akan tetapi, Ciang Hui Ling sudah memperkirakan serangan yang dilakukan Pendekar Teratai Biru. Dua jengkal sebelum ujung tombak pendek itu mengenai sasarannya, Ciang Hui Ling dengan tidak kalah lincah dan cepat menggeserkan tubuhnya untuk berkelit, bahkan ujung pedangnya mampu pula memberikan serangan balasan dengan mengincar lengan Pendekar Teratai Biru.
Pendekar Teratai Biru terkesiap sejenak melihat kemampuan Ciang Hui Ling untuk menghindar dan bahkan menyerang balik. Pendekar wanita setengah tua ini mengumpat-umpat karena dia harus menahan tusukannya kalau tidak mau lengannya tergores ujung pedang Ciang Hui Ling. Dari mulutnya berhamburan nama-nama binatang menjijikkan. Bocah celurut, kecoak, tikus!
Pendekar Teratai Biru tidak menyangka bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang tinggi, sanggup menghindari serangan awalnya yang cepat.
Meskipun demikian, Pendekar Teratai Biru tidak mau larut dalam rasa terkejut. Dia sudah bisa menebak cara menghindar dan menyerang balik Ciang Hui Ling. Tentu saja, Pendekar Teratai Biru sudah hafal luar-dalam ilmu yang dipergunakan Ciang Hui Ling, yang memang diturunkan dari Tan Bo Huang. Bertahun-tahun, semenjak berusia sekitar sepuluh tahun, Pendekar Teratai Biru, yang memang memiliki nama kecil Chen Lian, menimba ilmu yang sama dengan Tan Bo Huang, dari guru yang sama, seorang keturunan pengikut Laksamana Ceng Ho. Karena itu, tanpa kesulitan dia menarik serangannya, kemudian melancarkan serangan lanjutan secara cepat melalui tendangan kaki kirinya separuh putaran.
Di pihak lain, Ciang Hui Ling juga sudah bisa mengenali gerakan-gerakan Pendekar Teratai Biru. Dengan enteng, dia menjejakkan kakinya di tanah, lalu melenting tinggi untuk menghindari sapuan kaki Pendekar Teratai Biru.
Dalam beberapa kejap kemudian, berlangsunglah pertempuran yang sangat seru dari dua pendekar wanita berbeda usia dan berlainan golongan, yang ilmunya ternyata berasal dari satu mata air. Bedanya, semua gerakan silat Ciang Hui Ling terlihat halus, sedangkan gerakan Pendekar Teratai Biru bercampur dengan sifat-sifat yang kasar. Ilmu Ciang Hui Ling masih bisa disebut masih segar, baru keluar dari perguruan, sedangkan ilmu silat Pendekar Teratai Biru sudah dilumuri dengan berbagai ilmu lain. Dan karena Pendekar Teratai Biru memang bergaul dengan orang-orang dari golongan kasar, ilmunya pun menjadi tampak kasar.
Dengan mengandalkan pedangnya, Ciang Hui Ling berkali-kali membuat lawannya terkejut dan hanya bisa menantang Ciang Hui Ling dengan mencoba membenturkan tombak pendek di tangannya untuk menahan pedang Ciang Hui Ling. Namun, sampai sejauh ini, Ciang Hui Ling terus menghindari benturan. Dalam hati, Ciang Hui Ling mengakui bahwa dari segi tenaga, lawannya sedikit lebih unggul dan dia tidak mau membuangbuang tenaga percuma. Ciang Hui Ling lebih mengandalkan kelincahan dan kecepatannya bergerak, yang membuatnya melenting-lenting seakanakan kakinya tidak menjejak di tanah.
Demikianlah, pertarungan antara Ciang Hui Ling dan Chen Lian alias Pendekar Teratai Biru makin lama makin sengit. Keduanya sama-sama lincah dan gesit, saling libat dalam gerak yang sulit diikuti mata biasa.
Dengan demikian pula, terjadi dua lingkaran pertarungan yang sama-sama sengit.
Jaka Wulung kini harus menghadapi dua lawan yang sama-sama berilmu tinggi. Bersenjatakan keris luk sembilan, Lembu Sura bertarung sangat trengginas dengan gaya yang keras dan pantang surut seperti umumnya para pendekar dari belahan timur Jawa Dwipa. Tendangannya penuh tenaga dan tak pernah ragu-ragu untuk terus-menerus menyerang, seperti banteng yang tidak mengenal kata mundur.
Sementara itu, gerakan-gerakan si bungkuk Ki Somali, meskipun trisulanya sudah patah satu, tetap tidak kalah mengerikan. Dua ujung yang tersisa dari trisulanya tidak henti-hentinya menusuk-nusuk ke sana kemari.
Kalau saja berhadapan satu-satu dengan kedua pendekar itu, Jaka Wulung memiliki tingkat ilmu yang selapis-dua lapis lebih unggul. Namun, menghadapi dua orang sekaligus, Jaka Wulung seperti menghadapi tembok yang sangat kokoh. Lembu Sura dan Ki Somali mampu saling menutupi kelemahan masing-masing. Setiap Jaka Wulung menyerang salah satu dari lawannya, yang lainnya selalu mampu menghalangi melalui serangan yang cepat.
Lebih dari itu, Lembu Sura dan Ki Somali mampu menyatukan kekuatan mereka untuk membentuk pola serangan yang sangat berbahaya. Jika diibaratkan, satu serangan Lembu Sura ditambah satu serangan Ki Somali bukan memberikan hasil dua serangan, melainkan tiga serangan. Sungguh luar biasa, mengingat bahwa kedua lawan Jaka Wulung itu bukanlah berasal dari perguruan yang sama.
Meskipun demikian, Jaka Wulung adalah anak muda yang sudah menyerap banyak ilmu dalam waktu singkat secara ajaib. Dengan daya ingatnya yang istimewa, dia mampu menyerap ilmu secara cepat dari gurunya, Resi Darmakusumah. Dalam petualangannya, dia juga menerima ilmu melalui cara yang aneh dari leluhurnya, Niskala Wastukancana. Dia kemudian menerima ilmu yang tiada tara dari eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan, yang merestui Jaka Wulung mengemban nama Titisan Bujangga Manik. Lalu, secara tidak sengaja dia minum air sungai yang mengandung getah pohon Dewadaru, getah yang memiliki khasiat luar biasa yang membuatnya memiliki tenaga dan daya tahan yang berlipat. Dan melalui seorang lelaki berjubah putih yang aneh, dia menerima kemampuan berupa penglihatan yang setajam Maung Lodaya!
Karena itu, pada jurus-jurus awal pertempuran berlangsung seimbang. Paduan ilmu Lembu Sura dan Ki Somali saling susul melancarkan serangan maut. Sebaliknya, Jaka Wulung melayani mereka dengan kecepatan, kegesitan, dan ketangguhan, ditambah dengan kemampuan untuk menilai dan memutuskan setiap gerakan lawan dan jurus apa yang dia terapkan.
Meskipun perlahan, lama-lama tampak bahwa Jaka Wulung sedikit lebih unggul. Perlahan-lahan juga, Jaka Wulung mampu mendesak Lembu Sura dan Ki Somali sehingga kedua lawannya itu hanya mampu bertahan dari setiap serangan kudi hyang di tangan Jaka Wulung yang menyambarnyambar seperti burung elang.
Kalau saja keadaannya terus seperti itu, bisa dipastikan tidak sampai belasan jurus lagi Jaka Wulung akan mampu menaklukkan dua lawannya sekaligus.
Akan tetapi, pada titik itulah perhatian Jaka Wulung terpecah. Mula-mula, dia agak terganggu oleh seruan-seruan dari bibir Pendekar Teratai Biru yang terus memuntahkan nama-nama binatang menjijikkan. Beberapa kejap berikutnya Jaka Wulung bisa menilai bahwa Ciang Hui Ling, meskipun memiliki tingkat ilmu yang memadai, mulai kewalahan menghadapi lawannya yang memiliki tata gerak yang kasar.
Memang Ciang Hui Ling, dengan jurusnya yang ampuh, Tarian Payung Bunga Matahari, berhasil menjaga keseimbangan pertempuran dan membuat Pendekar Teratai Biru terkejut, karena dia tidak pernah mempelajari jurus yang dahsyat itu. Namun, Pendekar Teratai Biru sudah mereguk sangat banyak pengalaman dari puluhan tahun hidupnya dalam petualangan sehingga lama-kelamaan dia bisa meredam kehebatan Tarian Payung Bunga Matahari. Bahkan, pendekar wanita separuh baya itu terus mendesak Ciang Hui Ling yang kemudian hanya mampu bertahan.
Jaka Wulung bertekad melumpuhkan lawannya secepat mungkin untuk membantu Ciang Hui Ling. Namun, karena perhatiannya pecah, upayanya menjadi terhambat. Kedua lawannya mengetahui bahwa perhatian Jaka Wulung terbelah dan mereka memanfaatkannya dengan meningkatkan perlawanan mereka.
Berkali-kali Jaka Wulung mencoba menarik lingkaran pertempuran mereka untuk mendekati lingkaran pertempuran antara Ciang Hui Ling dan Nona Chen Lian alias Pendekar Teratai Biru. Namun, baik Lembu Sura maupun Ki Somali bisa menebak maksud Jaka Wulung. Mereka terus memancing dengan berbagai serangan yang memaksa Jaka Wulung tetap menjauh dari lingkaran pertarungan di sebelahnya.
Jaka Wulung mulai menggeram marah.
Segera dia menyalurkan kemarahannya untuk mengeluarkan cadangan tenaga dalamnya. Dia atur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman layaknya harimau Lodaya ....
Grrrhhh! Bersamaan dengan itu, gerakan kudi hyang-nya makin cepat sekali, meloncat dia melenting jauh meninggalkan lingkaran pertarungannya dan memapas sebuah serangan maut Pendekar Teratai Biru.
TRINGGG! Tombak pendek di tangan Pendekar Teratai Biru terpental dan nyaris lepas dari tangannya. Tidak berhenti di situ, Jaka Wulung terus memburu dengan ujung kudi hyang mengarah kepala Pendekar Teratai Biru yang masih dalam kedudukan sulit karena nyaris terjengkang. Namun, Lembu Sura dan Ki Somali tidak tinggal diam. Mereka melancarkan serangan secara bersama-sama untuk mencegah serangan Jaka Wulung.
Jaka Wulung terpaksa menahan diri, lalu menempatkan diri di sebelah Ciang Hui Ling.
Lingling, kata Jaka Wulung pelan, mari kita bertarung bersama.
Ciang Hui Ling mengangguk. Sesuatu berdesir dalam dadanya. Rasa bahagia.
Apalagi kemudian Jaka Wulung berbisik, Aku akan selalu di sisimu.
Ciang Hui Ling tidak mampu membalas bisikan Jaka Wulung, tetapi sekadar berucap, Ah, Jaka ....
Kadal! Jangkrik! Kampret! Kuda nil ...!
Jaka Wulung tidak sempat menikmati kehangatan dadanya mendengar kata-kata Ciang Hui Ling. Sudahlah, Nona Teratai, potong Jaka Wulung. Hewan-hewan itu tidak bersalah. Kenapa kau maki-maki"
Pendekar Teratai Biru memandang Jaka Wulung dengan mata yang memancarkan kemarahan luar biasa. Wajahnya memerah dan nyaris kelihatan mengepulkan asap. Dalam keadaan begitu, wajah cantiknya benar-benar berubah menjadi hantu zaman Dinasti Ming.
Kodok edan! Hiaaaaaat! Pendekar Teratai Biru, meskipun masih merasakan tangannya ngilu akibat benturan tadi, nekat melancarkan serangan. Tombak pendeknya diputar dengan cepat seperti ruyung. Dan dengan entakan kaki yang kuat, dia melenting menyambarkan tombak pendeknya mengarah dada Jaka Wulung.
Pada saat yang sama, Lembu Sura dan Ki Somali melakukan serangan pula mengarah Jaka Wulung dengan keris dan trisula di tangan mereka.
Baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah memperhitungkan serangan serentak demikian. Keduanya saling bersisian, begitu dekatnya sehingga bisa mencium bau tubuh masing-masing. Keduanya juga sudah bersiap dengan kudi hyang dan pedang di tangan masing-masing, menyambut serangan ketiga lawannya.
Maka, yang terjadi kemudian adalah pertarungan sengit dalam satu lingkaran lebih besar yang melibatkan lima orang sekaligus. Dua melawan tiga.
Jaka Wulung-Ciang Hui Ling melawan Lembu Sura-Ki Somali-Pendekar Teratai Biru.
Seperti ketika bertarung bersama-sama melawan Resi Darmakusumah beberapa tahun sebelumnya, tiga pendekar dari berbagai tempat dan berbeda aliran itu, bahu-membahu menghasilkan serangan yang sangat dahsyat. Jika diibaratkan, jumlah tingkat ilmu antara Lembu Sura, Ki Somali, dan Pendekar Teratai Biru bukanlah menghasilkan nilai tiga, melainkan empat dan bahkan lima! Mereka mampu saling menutupi kelemahan dan saling memperkuat menghasilkan bermacam pola serangan yang luar biasa hebat.
Akan tetapi, di pihak lain, gabungan kekuatan antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menghasilkan kekuatan tidak hanya dua, tetapi berlipatlipat.
Itulah kekuatan yang sulit ditahan siapa pun.
Meskipun kedua pendekar belia itu belum mengucapkan dari bibir mereka, dada merekalah yang merasakannya.
Itulah dahsyatnya kekuatan cinta! []
13 Hangatnya Cinta di Tengah Laga
MATAHARI makin rebah di balik rapatnya pepohonan hutan. Kehangatannya makin pudar disapu tiupan angin sore dari arah gunung. Namun, pertempuran di lahan kosong di tengah hutan itu makin memanas.
Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling bahu-membahu menciptakan paduan serangan maut dan pertahanan rapat menghadapi paduan serangan ketiga lawan mereka. Meskipun tingkat ilmu Ciang Hui Ling selapis-dua lapis di bawah Jaka Wulung, gerakannya sama sekali tidak mengganggu Jaka Wulung. Sebagai gadis yang cerdas, Ciang Hui Ling mampu menempatkan ilmunya pada tataran yang semestinya, menjadi semacam kusir kereta dalam pertempuran antara Arjuna dan Adipati Karna.
Perang dahsyat antara dua saudara kandung itu, konon banyak ditentukan oleh kusir kereta masing-masing, yaitu Kresna dan Salya. Ibaratnya, Ciang Hui Ling adalah Kresna bagi Jaka Wulung, bukan Salya yang menurut cerita justru secara diam-diam menggagalkan upaya Karna sendiri.
Kudi hyang di tangan Jaka Wulung dan pedang di tangan Ciang Hui Ling saling susul menusuk-nusuk setiap lubang pertahanan sekecil apa pun.
Di pihak lain, Lembu Sura, Ki Somali, dan Pendekar Teratai Biru memiliki tingkat ilmu yang setara, dan ketiganya mampu saling menutup dan saling mendukung sehingga menghasilkan pola serangan yang bermacam-macam dan pertahanan yang sulit ditembus. Keris luk sembilan di tangan Lembu Sura, trisula di tangan Ki Somali, dan tombak pendek di tangan Pendekar Teratai Biru tidak kalah dahsyatnya ketika menyerang dua lawannya yang masih muda.
Akan tetapi, lama-kelamaan ketiga pendekar golongan yang lebih tua itu penasaran karena serangan mereka tidak pernah sekali pun mengenai salah satu lawannya. Setiap kali keris, trisula, atau tombak pendek itu menusuk, selalu kudi hyang Jaka Wulung atau pedang tipis Ciang Hui Ling lebih dulu mengancam.
Sesekali terjadi benturan di antara senjata-senjata itu, menimbulkan suara nyaring dan memercikkan bunga api yang menyilaukan, tapi kudi hyang dan pedang tipis itu seakan-akan tidak terpengaruh oleh benturan-benturan itu. Keduanya terus melesat-lesat seperti sepasang burung walet yang sedang menikmati kegembiraan di udara, tapi sekaligus menyambarnyambar laksana sepasang elang yang tidak kenal penghalang.
Meskipun perlahan, lama-kelamaan paduan cinta Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling lebih unggul dibandingkan dengan ketiga lawannya meskipun tipis. Sesekali bahkan ujung kudi hyang Jaka Wulung mampu menyentuh pundak dan lengan Lembu Sura, yang gerakannya paling lambat dibandingkan dengan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru. Sentuhan itu hanyalah berupa goresan kecil, tapi dengan cepat membuat keseimbangan pertarungan itu menjadi timpang.
Baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling memanfaatkan keadaan itu dengan terus mendesak dan menyudutkan Lembu Sura, tanpa mengabaikan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru yang tetap berbahaya.
Setidaknya, tiga sentuhan kudi hyang Jaka Wulung menggores tubuh Lembu Sura dan dari luka-luka kecil itu menetes-netes cairan merah. Meskipun luka-lukanya kecil, nyeri yang dirasakan Lembu Sura membuat gerakannya tidak lagi selaras dengan gerakan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru. Akibatnya, keselarasan serangan ketiga orang itu menjadi rusak. Kadang, keris di tangan Lembu Sura justru menghalangi trisula Ki Somali sehingga nyaris terjadi benturan di antara mereka sendiri.
Melihat apa yang terjadi pada ketiga lawannya, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menambah gencar serangan mereka, terutama kepada Lembu Sura. Meskipun Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru sudah berupaya saling membantu untuk menghalangi serangan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, serangan kedua pendekar belia ini sulit dibendung.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, di tengah bunyi siutan dan dentingan senjata mereka, Jaka Wulung menangkap suara lain dan sekilas matanya yang tajam menangkap sebuah benda melesat cepat mengarah punggung Ciang Hui Ling. Sebuah benda tipis keperakan yang berputar sangat cepat.
Segitiga bersisi tajam! Jaka Wulung terkesiap. Dalam sekejap, Jaka Wulung berhitung bahwa dia tidak akan punya kesempatan untuk menolong Ciang Hui Ling, karena pada saat itu Jaka Wulung berada di garis yang agak jauh di depan si gadis.
Awas, Lingling! teriak Jaka Wulung.
Ciang Hui Ling baru menyadari adanya bahaya ketika segitiga maut itu sudah tinggal beberapa jengkal lagi dari punggungnya.
Ciang Hui Ling hanya mampu berkelit sejengkal menjauh dari garis lintasan segitiga maut itu.
Sreeet! Sebuah goresan menyobek baju kuning Ciang Hui Ling dan menggores permukaan kulit punggungnya. Seketika punggungnya diserang hawa panas, sekaligus dingin. Rasanya hawa panas-dingin itu seperti demam. Tubuhnya menggigil.
Jaka Wulung segera memahami bahwa senjata segitiga maut itu dilumuri racun pada bagian ujung tajamnya. Jaka Wulung hanya berharap racun itu bukan jenis yang mematikan.
Pertempuran beberapa jenak terhenti.
Jaka Wulung memandang tajam orang yang baru saja melemparkan segitiga mautnya dengan dada yang penuh kemarahan. Dia seorang lelaki berusia pertengahan tiga puluhan tahun.
Berjejalan kata dalam tenggorokannya, tapi hanya satu kata yang terucap dari bibir Jaka Wulung, Curang ....
Si pelempar segitiga maut itu tertawa terbahak-bahak. Jenis tawanya sama dengan tawa yang mengandung tenaga dalam yang kuat beberapa waktu sebelumnya.
Dan tawamu busuk seperti kepala babi yang kau lemparkan, ucap Jaka Wulung lagi.
Dalam sekejap, tawa si pelempar maut itu lenyap.
Oh, bagaimana kau tahu aku yang melemparkan kepala babi itu" Dari baumu.
Orang itu kehilangan kata-kata.
Kakang Maesa Sura, kau terlambat membantu, desis Lembu Sura dengan wajah yang menyeringai menahan perih akibat luka-luka di tubuhnya.
Maesa Sura, si pelempar segitiga maut, berkata tanpa menoleh kepada Lembu Sura, adik seperguruannya, Ah, kau, masih seperti anak-anak saja.
Dan kemudian, terdengar tawa yang serupa dari orang yang muncul sekitar sepuluh langkah di belakang Maesa Sura. Munding Wesi berdiri di sebelahnya. Orang itu tertawa, jenis tawa yang sama, tapi terdengar lebih kuat dan mengandung tenaga dalam yang lebih dahsyat. Namun, dia segera menghentikan tawanya karena segera menyadari bahwa sebagian orang yang berada di lingkaran pertempuran itu adalah kelompoknya juga terutama Munding Wesi, yang kelihatan gemetar mendengar tawanya.
Sudahlah, anak-anak, jangan bertengkar di sini, kata lelaki itu. Usianya sekitar enam puluh tahun, rambutnya nyaris putih semua, tergerai lurus sampai ke pundak, dan diikat kain hitam, tapi tubuhnya tegap seperti masih berusia tiga puluhan tahun. Cepat selesaikan pertempuran ini. Kita masih punya banyak tugas penting.
Maesa Sura dan Lembu Sura tersadar oleh kata-kata lelaki tua itu, yang tidak lain adalah guru mereka, Ki Sura Menggala, seorang yang konon memiliki darah Menak Jingga, entah keturunan yang keberapa. Ki Sura Menggala dan Maesa Sura baru belakangan datang untuk memperkuat kelompok yang dipimpin Munding Wesi.
Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri saling membelakangi dengan punggung yang hampir bersentuhan. Keduanya sadar bahwa secara keseluruhan, kelompok Munding Wesi sekarang memiliki kekuatan yang tidak mungkin dikalahkan. Kedatangan Maesa Sura, yang secara licik menyerang dengan segitiga mautnya, telah mengubah perimbangan kekuatan. Belum lagi gurunya, yang tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada kedua muridnya.
Tempat itu berada di tengah hutan, jauh dari keramaian atau orang mana pun. Tapi, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling tidak berpikir tentang keajaiban, misalnya adanya pertolongan dari langit. Keduanya menumpukan nasib mereka di pundak mereka sendiri.
Tanpa kata, bahkan tanpa bertatap muka, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling saling menguatkan. Rasa ngilu yang merejam lengan Jaka Wulung dan rasa nyeri yang menusuk-nusuk punggung Ciang Hui Ling boleh jadi akan turut menentukan nasib mereka. Namun, lihatlah, wajah mereka sama-sama tabah. Cinta yang tumbuh di dada mereka sekali lagi menjadi kekuatan yang tidak terkatakan. Setidaknya, kekuatan hati bahwa apa pun nasib yang akan menimpa mereka nanti, mereka tidak akan menyesal.
Kedua pendekar belia itu bahkan percaya, kalaupun keduanya harus gugur dalam pertempuran nanti, mereka akan bertemu lagi kelak, di alam yang berbeda dengan dunia yang mereka tinggali sekarang.
Lingling, bisik Jaka Wulung tanpa menoleh. Kudi hyang tergenggam erat di depan dadanya, teracung menunjuk langit. Mari kita sambut pertempuran ini dengan rasa gembira.
Lebih dari itu, Jaka, pedang tipis tergenggam erat di tangan Ciang Hui Ling, menyilang di depan dadanya. Aku akan menyambutnya dengan rasa bahagia.
Lingling ..., genggaman kudi hyang di tangan Jaka Wulung makin erat, aku mencintaimu.
Ingin rasanya Ciang Hui Ling membalikkan badannya, lalu mendekap Jaka Wulung dengan sepenuh hatinya. Namun, tentu saja itu tidak mungkin. Empat orang kali ini mengepung mereka. Lembu Sura, Ki Somali, Pendekar Teratai Biru, dan Maesa Sura.
Ciang Hui Ling hanya bisa membalas bisikan Jaka Wulung, Aku juga mencintaimu.
Dada kedua pendekar belia itu dipenuhi rasa hangat. Mereka menikmatinya, tapi hanya beberapa jenak. []
14 Dua Maung Lodaya MAESA Sura sudah mengacungkan senjatanya yang berbentuk aneh, yaitu segitiga logam dengan sisi sepanjang satu jengkal dan tiap sudutnya berupa baja yang sangat tajam.
Dalam sekejapan, Maesa Sura langsung menerjang dengan senjatanya yang ternyata bisa berputar, menimbulkan bunyi desing yang mengerikan, mengincar leher Jaka Wulung.
Yeaaaaaa! Dalam waktu hampir bersamaan, Lembu Sura, Ki Somali, dan Pendekar Teratai Biru juga menyerang dengan sasaran sendiri.
Dalam beberapa kejap mata, berlangsung pertempuran yang lebih seru. Dua saudara seperguruan, Maesa Sura dan Lembu Sura, bergabung dengan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru, para jago yang sudah banyak mengecap asam garam dunia persilatan, mengeroyok dua pendekar yang masih belia, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling.
Jaka Wulung tidak segan mengeluarkan seluruh kemampuan dirinya, termasuk ilmu andalannya, gulung maung, dan bahkan sesekali menerapkan ilmu tanpa nama yang dia pelajari dari eyang gurunya, Resi Bujangga Manik. Ciang Hui Ling mati-matian mengimbangi dengan jurusjurus tingkat tinggi yang diserapnya dari Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung, termasuk jurus Tarian Payung Bunga Matahari.
Ditambah dengan kekuatan tak kasatmata yang sangat dahsyat yang muncul dari rasa cinta, kedua pendekar belia itu memberikan perlawanan yang luar biasa.
Akan tetapi, masuknya Maesa Sura yang masih segar, dengan ilmunya yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Lembu Sura, benar-benar merusak keseimbangan pertempuran sebelumnya. Apalagi rasa ngilu di lengan kiri Jaka Wulung dan perih di punggung Ciang Hui Ling makin lama makin menyiksa.
Putaran senjata aneh Maesa Sura terus mendesing mengincar titik-titik lemah di tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, susul-menyusul dengan keris Lembu Sura, trisula Ki Somali, dan tombak pendek Pendekar Teratai Biru.
Dalam belasan jurus, perlahan-lahan keempat begundal Munding Wesi itu pun mendesak Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling.
Dan pada suatu saat, sebuah serangan beruntun keempat jagoan itu hanya bisa dihindari dengan lentingan tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling sedemikian rupa sehingga arahnya berlawanan. Jaka Wulung melenting jauh ke kiri, sedangkan Ciang Hui Ling melenting ke kanan.
Kedua pendekar belia itu kini terpisah. Kekuatan mereka pun menjadi pecah.
Tanpa memberikan jeda sekejap pun, Maesa Sura, Lembu Sura, dan Ki Somali segera mengepung Jaka Wulung dari berbagai sudut melalui ujung senjata masing-masing.
Pada saat yang sama, Pendekar Teratai Biru merangsek Ciang Hui Ling melalui putaran tombak pendeknya yang sangat lihai.
Mau lari ke mana, Wedhus Cilik! seru Pendekar Teratai Biru seraya menyabetkan tombak pendeknya ke dada Ciang Hui Ling.
Ciang Hui Ling masih mampu berkelit dengan cepat dan kemudian melenting jauh. Tapi, Pendekar Teratai Biru tidak memberikan kesempatan bagi Ciang Hui Ling untuk bernapas lega. Ujung tombak pendeknya seperti ular sanca yang terus-menerus mengejar mangsanya ke mana juga.
Ciang Hui Ling masih mencoba menangkis tombak pendek itu, tapi Pendekar Teratai Biru membelokkan ujung tombak pendeknya, mengincar pertahanan terbuka di bagian dada dan ... bret! Ciang Hui Ling masih sempat berkelit, tapi tak urung lengan bajunya sobek, tembus hingga permukaan kulitnya. Sekejap berikutnya sebuah tendangan cepat mengenai pundak kiri Ciang Hui Ling.
Gadis pendekar belia itu tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya dan terhuyung ke belakang, lalu terjengkang di rerumputan.
Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Pendekar Teratai Biru dengan serangan pamungkasnya. Tusukan tombak pendeknya lurus mengarah leher Ciang Hui Ling.
Pada detik-detik itu, Ciang Hui Ling melirik ke lingkaran pertempuran antara Jaka Wulung dan ketiga begundal Munding Wesi. Meskipun hanya satu detik, Ciang Hui Ling bisa merasakan bahwa Jaka Wulung juga memandangnya. Kembali terasa hangatnya dada. Di luar sadarnya, Ciang Hui Ling tersenyum, pasrah menerima nasib yang bakal menimpanya. Hatinya bahagia oleh cinta yang tetap membara di saat-saat terakhirnya.
Ciang Hui Ling tidak berdaya lagi menahan ujung tombak pendek yang meluncur tepat mengarah titik tengah lehernya.
Dipejamkan matanya. Akan tetapi, tidak ada yang menancap di lehernya.
Yang terdengar adalah suara denting keras dan pekik nyaring Pendekar Teratai Biru.
Ketika Ciang Hui Ling membuka lagi matanya, di hadapannya menjega satu sosok lelaki bertubuh tegap dengan pedang di tangan kanan. Tidak jelas karena langit kian remang dan sisa cahaya matahari berada di latar belakang. Yang tampak lebih jelas adalah wajah Pendekar Teratai Biru yang ternganga di hadapan sosok lelaki itu. Tombak pendek sudah tidak ada lagi di genggamannya.
Chen Lian, ucap lelaki itu.
Kau .... Wajah Chen Lian alias Pendekar Teratai Biru menjadi pucat, tapi tidak lama kemudian berubah menjadi merah. Tan Bo Huang ... lelaki kadal busuk!
Kupikir kau sudah insaf. Ternyata, malah menjadi-jadi. Gara-gara kau ..., Kodok Buduk!
Mulut tuamu mestinya tidak pantas mengumpat-umpat. Apalagi membakar rumah orang ketika si empunya rumah pergi .... Apa pedulimu, ulat bulu ...! Ciaaaaaat!
Tan Bo Huang mundur lebih dulu beberapa langkah sambil melemparkan sesuatu kepada Ciang Hui Ling. Telan dua butir, Hui Ling, kata sang guru.
Dengan tangan kosong, Pendekar Teratai Biru melancarkan serangan melalui jari-jarinya yang mengembang. Di wajahnya tergambar rasa putus asa, marah, sekaligus ... rasa cinta! Sebenarnyalah dalam hati kecilnya, Pendekar Teratai Biru masih menyimpan nyala cinta, tapi dia sadar bahwa tidak mungkin dia akan mendapatkan balasan setelah apa yang dilakukannya selama ini, selain bahwa usia mereka sudah lebih dari separuh abad.
Tan Bo Huang, yang terkenal dengan julukan Naga Kuning dari Ci Liwung, hanya menggeser sedikit tubuhnya dan serangan Pendekar Teratai Biru itu lewat di sisi kanan lengannya. Tan Bo Huang sesungguhnya punya kesempatan untuk membalas pukulan Pendekar Teratai Biru. Namun, dia menahan diri. Entah mengapa, dalam hatinya juga tersisa rasa iba. Seburuk apa pun Chen Lian sekarang, dulu mereka pernah saling jatuh cinta dan Tan Bo Huang juga tidak bisa melupakannya.
Oleh karena itu, kedua insan yang pernah memiliki hubungan erat itu, kini terlibat dalam sebuah pertarungan yang aneh. Pendekar Teratai Biru terusmenerus menyerang dengan dada dibakar kemarahan sekaligus kerinduan sedangkan Tan Bo Huang hanya menghindar.
Ciang Hui Ling bergeser menjauh dari pertempuran itu, menelan dua butir obat penawar racun, dan hanya bisa memandang mereka dengan perasaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata.
Di lingkaran lain, Jaka Wulung masih terlibat pertarungan sengit dengan tiga begundal Munding Wesi, Maesa Sura, Lembu Sura, dan Ki Somali. Kedudukan Jaka Wulung makin lama makin terdesak, tapi juga tidak bisa segera takluk. Ketiga lawannya terus meningkatkan serangan mereka, dan meskipun Jaka Wulung hanya mampu menghindar dan bertahan, pertarungan belum bisa dipastikan kapan segera berakhir.
Keadaan itulah yang membuat Ki Sura Menggala geregetan. Dia tidak mau pertempuran itu berlangsung sampai malam tiba. Diam-diam diloloskannya ikat pinggangnya.
Bukan sembarang ikat pinggang, melainkan terbuat dari serat yang sangat lentur dan kuat, dan di ujungnya terikat sebentuk logam yang tajam seperti mata panah. Sebuah cambuk yang menggiriskan.
Sebelum melangkah ke gelanggang untuk lekas membereskan urusan mereka, Ki Sura Menggala menoleh ke kanan kepada Munding Wesi, lalu berniat mengambil loncatan panjang.
Akan tetapi, sebelum melakukannya, Ki Sura Menggala terkejut. Tidak tahu malu.
Ki Sura Menggala menoleh.
Hanya tiga-empat langkah di sebelah kirinya, berdiri lelaki separuh baya, mungkin kira-kira enam tahun lebih muda dari Ki Sura Menggala. Garisgaris wajahnya tampan, tapi sorot matanya yang sipit sangat tajam seperti serat sembilu. Kapan dia muncul di sana" Kalau dia sendiri, Ki Sura Menggala, salah satu keturunan Menak Jingga yang sangat termasyhur, tidak mendengar kedatangannya, pastilah ilmu orang itu tidak bisa dianggap enteng.
Siapa kau" Ki Sura Menggala balas memandang tajam lelaki yang baru datang.
Ah, tak perlu kau tahu siapa aku. Aku pun tak ingin tahu siapa kau. Pelan-pelan lelaki itu pun meloloskan pedang panjang dari punggungnya. Yang kuinginkan hanyalah mencegah terjadinya pertarungan yang tidak seimbang.
Siapa pun dirimu, bahkan hantu Laksamana Ceng Ho sekalipun, majulah lekas, biar persoalan cepat tuntas.
Lelaki bermata sipit itu tersenyum masam mendengar kata-kata Ki Sura Menggala. Aku sudah siap.
Ki Sura Menggala mengangkat cambuknya, lalu menyentakkannya. Terdengar suara menggelegar memecah langit.
Hampir semua orang menoleh kepada dua orang yang sudah berhadapan. Termasuk Ciang Hui Ling, yang masih terduduk di rumput. Demi dilihatnya siapa yang hendak berhadapan dengan Ki Sura Menggala, meskipun samar-samar, bibirnya menggeletar dan terdengar desisan pelan, Papa ..."
Akan tetapi, Ciang Hui Ling hanya tetap terduduk di tempatnya karena pertempuran itu sudah berlangsung.
Tampaknya Ki Sura Menggala tidak hendak bermain-main lebih dulu, tetapi langsung mengeluarkan jurus-jurus maut melalui cambuknya yang lentur, tetapi liat dan mengerikan karena di ujungnya terikat mata panah yang tajam.
Lawannya, yang memang ayah Ciang Hui Ling, Ciang Bun, sadar bahwa dia juga tidak bisa bermain-main. Melalui pedangnya, yang di masa lalu melambungkan namanya sebagai Sepasang Pedang Sakti bersama istrinya, Ciang Bun melayani lecutan-lecutan cambuk maut di tangan Ki Sura Menggala.
Dengan segera, terjadi pertempuran antara dua tokoh berilmu tinggi. Dengan cepat pula, mereka melalui belasan jurus dan tidak bisa lekas diketahui siapa yang lebih unggul. Ki Sura Menggala, dengan mengandalkan tenaga dalamnya yang hampir membuatnya kebal senjata, menghadapi Ciang Bun, yang masih tetap gesit dan ringan gerakannya. Keduanya saling melibat seperti ikan hiu yang buas dan ular naga yang lincah.
Di lingkaran lain, Tan Bo Huang masih melayani perlawanan Pendekar Teratai Biru yang makin lama makin putus asa. Sejak masa muda, tidak pernah dia bisa mengatasi tingkat ilmu Tan Bo Huang. Bertahun-tahun setelah mereka berpisah, Pendekar Teratai Biru mengasah diri demi dendam yang hendak dia balaskan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan ilmu di antara mereka makin jauh.
Tanpa disadarinya, air mata mengalir membasahi wajahnya. Putus asa, kecewa, dendam, cinta, benci, dan sebagainya berbaur menjadi satu menyesakkan dadanya.
Sudahlah, Chen Lian. Hentikan pertempuran tanpa guna ini. Tutup mulutmu, Lutung! Kukirim kau ke neraka!
Tan Bo Huang sendiri ragu-ragu untuk segera menyelesaikan pertempuran ini. Chen Lian adalah wanita yang sangat keras. Sebelum benar-benar tidak mampu melawan, dia tidak akan menghentikan perlawanan. Tan Bo Huang masih memikirkan bagaimana menghentikan perlawanan Chen Lian tanpa menyebabkan cedera atau luka.
Sementara itu, Jaka Wulung makin terdesak oleh keroyokan ujung-ujung maut senjata Maesa Sura, Lembu Sura, dan Ki Somali. Dia merasa lega setelah melihat kedatangan Tan Bo Huang, guru Ciang Hui Ling, dan seorang lagi, yang dia duga ayah Ciang Hui Ling. Namun, Jaka Wulung tidak bisa begitu saja mengharapkan bantuan dari Tan Bo Huang dan Ciang Bun, yang masing-masing sudah terlibat dalam pertempuran sendiri. Dia juga tidak berharap Ciang Hui Ling akan membantunya. Tampaknya, luka-luka di tubuh Ciang Hui Ling membuat gadis pujaannya kehilangan banyak darah dan tenaga.
Karena itu, apa pun yang terjadi, Jaka Wulung tetap akan mengandalkan kemampuannya sendiri. Apa pun yang terjadi, walaupun sampai dia gugur di arena ini, Jaka Wulung menjalaninya dengan ikhlas karena, sedikit banyaknya, dia berjuang demi kebenaran, melawan golongan pengacau masyarakat, dan demi ... cinta.
Kata terakhir ini, kembali melecut semangat di dada Jaka Wulung.
Ketika sekejap dia mencoba menatap Ciang Hui Ling, dia merasa bahwa gadis yang dicintainya itu pun sedang menatapnya dengan penuh rasa khawatir, tapi juga memberikan sorot yang menyemangati.
Gulung maung sudah mencapai titik puncaknya. Ilmu tanpa nama sudah dia terapkan. Berbagai ilmu yang dia serap selama perjalanan telah pula dia pergunakan. Kudi hyang-nya menyambar-nyambar dengan kecepatan penuh.
Akan tetapi, Jaka Wulung seperti membentur tembok.
Bahkan, sesekali serangannya seakan menghantam pegas, lalu memantul dan nyaris menusuk dirinya sendiri.
Nyeri di lengan kirinya terus berdenyut-denyut.
Sesekali pula, segitiga maut bersisi tajam di tangan Maesa Sura mendesing dengan nyaring, nyaris merobek leher atau perut Jaka Wulung. Trisula Ki Somali, meskipun sudah patah salah satu ujungnya, terus mengancam titiktitik rawan di tubuh Jaka Wulung. Keris luk sembilan Lembu Sura tidak kalah mengancam dengan sabetannya yang tidak pernah berhenti.
Sebuah tusukan trisula Ki Somali membuat Jaka Wulung harus cepat memiringkan tubuhnya. Namun, pada saat yang sama, dia disambut desingan segitiga maut yang berputar cepat di tangan Maesa Sura. Jaka Wulung terpaksa melenting mundur, tapi dia tidak melihat tangan kiri Maesa Sura yang merogoh sesuatu di balik bajunya.
Sebuah titik balik yang menentukan.
Jaka Wulung tidak melihat, dan tidak menyangka, dengan jemari kirinya Maesa Sura melepaskan senjata rahasia andalannya: segitiga kecil bersisi tajam.
Segitiga itu melesat sangat cepat. Dan jaraknya terlampau dekat. Ciang Hui Ling terkesiap.
Jaka Wulung hanya sempat sedikit menundukkan kepalanya. Segitiga maut itu menyerempet kulit dahi Jaka Wulung. Perih.
Darah pun menetes. Mula-mula setetes dua tetes. Makin lama makin deras. Mengalir hingga menghalangi pandangan matanya. Padahal, di sekitar dia senjata-senjata maut Ki Somali, Maesa Sura, dan Lembu Sura terus menyambar-nyambar.
Satu tusukan nyaris mengenai ulu hatinya. Jaka Wulung menggeser pada saat yang kurang tepat, dan pinggangnya tersayat ujung trisula Ki Somali. Perih bukan main.
Darah pastilah menetes dari sobekan lukanya.
Mendadak Jaka Wulung teringat kepada guru-gurunya, Resi Darmakusumah dan Resi Bujangga Manik, kepada malam yang mencekam di Nusa Larang ketika dia menerima ilmu secara ajaib dari Niskala Wastukancana, kepada sosok misterius di reruntuhan Keraton Pakuan, dan kepada sang Maung Lodaya ....
Di luar sadarnya, sekali lagi dia mengatur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, kemudian keluar dalam bentuk geraman. Kali ini, geraman yang sangat dahsyat.
Seperti suara harimau Lodaya menyobek udara. Grhhh!
Tidak hanya sekali. Grrrhhh ...!
Dan sekali lagi. GRRRHHH ...!
Jaka Wulung meloncat sambil menggeram dahsyat, menyabetkan kudi hyang di tangan kanan dan kuku-kuku jemari di tangan kiri. Kalau ada ungkapan seperti ilmu lilin , begitulah mungkin yang terjadi pada Jaka Wulung saat itu. Seperti lilin, yang selalu bersinar sangat terang sebelum padam, manusia pun kerap mengalami hal seperti itu, yakni tiba-tiba menjadi sangat sehat dan kuat, untuk kemudian mati.
Akan tetapi, pada saat itulah, entah dari mana datangnya, meloncat satu sosok berwarna putih buram, juga dengan geram yang sangat dahsyat. Lebih dahsyat dari geraman Jaka Wulung.
Bukan, bukan geraman, melainkan auman! Auman yang sebenarbenarnya!
GRRRHHHMMM ...! Auman yang hanya bisa keluar dari mulut menganga seekor Maung Lodaya!
Sesungguhnyalah, sosok yang meloncat bersamaan dengan loncatan Jaka Wulung itu memang Maung Lodaya, harimau putih berbelang hitam. Tubuhnya beberapa kali lipat besarnya daripada manusia dewasa. Panjangnya sekitar satu depa. Dua baris gigi-geliginya tajam. Dan gigigigi taringnya seperti ujung-ujung beliung dari baja putih.
Maka demikianlah, dalam kejapan yang sama, dua sosok yang satu menerapkan ilmu gulung maung yang tidak lain memiliki dasar ilmu harimau dan yang satu lagi harimau yang sebenarnya meloncat bersamaan, melakukan gerakan-gerakan yang hampir sama. Dengan kecepatan dan tenaga yang nyaris serupa, langsung memecah dan mengobrak-abrik paduan serangan dan pertahanan Ki Somali, Lembu Sura, dan Maesa Sura.
Tidak ada yang mampu menghentikan paduan dahsyat Jaka Wulung dan Maung Lodaya. Dalam beberapa jurus saja, kudi hyang Jaka Wulung menyayat dada Lembu Sura dan kuku jemari sang Maung Lodaya menyobek perut Ki Somali. Lalu, nyaris pada saat yang sama, satu hantaman Jaka Wulung dan satu cakaran sang Maung Lodaya melemparkan tubuh Maesa Sura, seakan-akan sebuah kantong ringan yang kemudian membentur sebatang pohon.
Setelah itu, sunyi. Lembu Sura tertelentang dengan darah yang menyembur dari dadanya. Ki Somali tertelungkup dengan perut yang menganga. Keduanya hanya bisa bernapas satu-satu. Di bawah pohon, Maesa Sura tertelungkup dengan punggung patah dan dada pecah. Dia tidak bergerak lagi di tanah.
Jaka Wulung berdiri di sebelah sang Maung, mengelus bulu-bulu binatang itu di bagian punggung. Masih terdengar sisa geraman sang Maung. Mereka yang ada di sana terkesima tidak mampu berbuat apa-apa. []
15 Luhurnya Menunaikan Janji
UDARA pagi mengusap wajah Jaka Wulung, membangunkannya dari tidur hanya beberapa jenak, menggugahkannya dari mimpi indah. Matahari menyapa lagi, membuka lembar kehidupan yang baru.
Jaka Wulung bangun, duduk mencangkung sebentar, kemudian turun menuju kali kecil di depannya, dan mencuci muka. Matanya seperti membesar oleh rasa nyeri. Dia pastilah menangis semalaman. Dia harus melupakan Ciang Hui Ling.
Setelah pertempuran terakhir itu, setelah Ki Somali dan Lembu Sura akhirnya tewas menyusul Maesa Sura, semua orang kelompok Munding Wesi pergi. Pastilah mereka merasa tak akan ada gunanya melawan karena kekuatan sudah sangat timpang dengan kedatangan Tan Bo Huang, Ciang Bun, dan terutama sang Maung Lodaya, harimau yang luar biasa dan entah bagaimana bisa muncul untuk bertarung di sisi Jaka Wulung. Pastilah pula mereka masih menyimpan dendam yang membara. Tapi, itu urusan mereka.
Setelah mengelus penuh kasih sayang, Jaka Wulung berbisik lembut dan harimau itu pun pergi dengan langkah yang pelan, menembus hutan menuju arah matahari terbenam.
Di sebuah dangau yang masih tersisa di dekat pondok Tan Bo Huang, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling mendapat pengobatan secukupnya dari Tan Bo Huang dan Ciang Bun. Di sana pulalah, mereka saling bercerita.
Kau memang pantas mendapat julukan Titisan Bujangga Manik, ucap Tan Bo Huang.
Terima kasih, Jaka Wulung membungkuk hormat. Paman berdua luar biasa. Kalau Paman berdua tidak muncul, entah apa jadinya nasib kami. Tak percuma gelar Naga Kuning dari Ci Liwung dan Sepasang Pedang Sakti melekat pada Paman berdua.
Tan Bo Huang dan Ciang Bun saling pandang. Keduanya kemudian menatap Ciang Hui Ling, lalu tertawa. Tentulah Ciang Hui Ling telah banyak bercerita, pikir mereka.
Bahkan, Lingling pun pantas mendapat julukan, ucap Jaka Wulung. Apa julukan yang sesuai untuknya" tanya Ciang Bun. Pendekar Bunga Matahari, jawab Jaka Wulung.
Ciang Hui Ling tersipu mendengar kata-kata Jaka Wulung. Wajahnya memerah bunga mawar. Cantik sekali.
Oh, ya, kata Jaka Wulung, Aku menduga, Paman Ciang Bun sebenarnya ikut satu perahu dengan kami dari Banten hingga Kalapa.
Ciang Bun memandang Jaka Wulung, kemudian menatap Tan Bo Huang. Ciang Bun mengangguk-angguk. Bertiga, Ciang Bun, Tan Bo Huang, dan Jaka Wulung, tertawa. Hanya Ciang Hui Ling yang mengerutkan kening tak mengerti.
Sayang, kami terlalu banyak menghabiskan waktu mengenang masa lalu sehingga datang terlambat dan pondok Koko Tan Bo Huang terbakar habis, kata Ciang Bun di tengah tawanya.
Ciang Bun menarik napas dalam-dalam ketika tawa mereka reda. Ada sebongkah batu yang mengganjal dadanya, menghalanginya untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun, setelah menatap Tan Bo Huang sekali lagi, akhirnya dengan berat hati dia bercerita bahwa dia datang hendak menjemput putrinya, Ciang Hui Ling, untuk kembali menjalani hidup di Tiongkok. Dia harus bertahun-tahun meninggalkan Ci Sanggarung dalam rangka mencari istrinya, dan ternyata kemudian, dia ditangkap utusan penguasa wilayah tempat Ciang Bun dan istrinya pernah tinggal. Ciang Bun harus mengalami masa hukuman atas kesalahan pernah membunuh seorang tentara kerajaan. Dia dihukum beberapa tahun, lebih ringan dari tuntutan hukuman pancung karena dalam penyelidikan terbukti bahwa tentara itulah yang mengawali persoalan, yaitu menganiaya seorang petani.
Apa kabar Ibu, Ayah" tanya Ciang Hui Ling.
Ciang Bun lagi-lagi menarik napas dalam sebelum menjawab, Ibumu tidak bisa ikut karena menjaga adikmu yang baru enam tahun. Lalu, suara Ciang Bun seperti berbisik, Ibumu ingin kau ikut dengan Ayah .... Dia sudah ... memilihkan jodoh ... untukmu ....
Ayah ...! Jaka Wulung tertunduk. Hatinya remuk.
Maafkan aku. Maafkan kami. Kalau saja aku tahu ... bahwa kalian memiliki rasa cinta, seperti yang kusaksikan sendiri di kapal sejak dari Banten hingga Kalapa, tentu aku tidak akan berjanji membawamu ke sana. Aku hanya memenuhi ajaran yang kupegang mengenai luhurnya menunaikan janji dan betapa tercelanya ingkar janji.
Hening. Jelas sudah. Hanya terdengar isak Ciang Hui Ling. Mula-mula pelan, makin lama makin keras, dan akhirnya, dia mengguguk tak tertahan.
Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
***** JAKA Wulung memandang matahari, lalu meloncati sungai selebar delapan depa di hadapannya. Dia kemudian berlari cepat, sangat cepat, seperti bayangan saja layaknya, menembus rapatnya pepohonan hutan. []
TAMAT Tentang Penulis Hermawan Aksan lahir di Brebes Jawa Tengah, telah cukup lama malang melintang di dunia literasi dan jurnalistik. Beberapa cerpen karyanya dimuat di sejumlah media massa, antara lain Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, majalah Horison, Koran Sindo, dan lain-lain. Hermawan juga menulis beberapa cerpen dalam bahasa Sunda. Karya-karyanya itu bisa ditemukan di majalah Mangle, Cupumanik, Galura, dan Kujang. Adapun novel-novelnya antara lain Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala, Gajah Mada Musuhku (Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni 2008). Pernah bekerja sebagai editor bahasa pada tabloid Detik, Bola, Raket, dan Detak. Kini ia menjadi redaktur di harian Tribun Jabar. []
Jejak Di Balik Kabut 27 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Perawan Titisan Peri 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama