Ceritasilat Novel Online

The First Fall 3

Love Command The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 3


Ryo sontak memandang gadis di sebelahnya garang. Nggak. Siapa elo"!
Shilla terdiam sejenak, lalu mencibir. Tak percaya makhluk di sebelahnya kembali menjadi spesies menyebalkan. Ia menoleh saat Ryo tiba-tiba malah bertanya, sepertinya penasaran juga. Emang mau apa" Ransel saya, kata Shilla pelan. Mau nitip ke Ifa... Ryo langsung tersenyum meremehkan. Oh, katanya. Ransel murahan gitu sih. Ditinggal juga nggak bakal ada yang mau ngambil, ejeknya, membuat Shilla mencibir kesal.
Setelah beberapa lama, Jaguar milik Ryo akhirnya memasuki lapangan parkir kawasan terminal untuk penerbangan internasional. Mereka turun, lalu berjalan sebentar. Shilla mengikuti Ryo pelan-pelan, menuju depan gerbang yang membatasi penumpang dengan pengantar.
Shilla, yang sedari tadi menunduk mengikuti ujung belakang pantofel mahal Ryo sambil berusaha meredakan kegelisahan hatinya, kini mendongak saat menyadari dirinya tak lagi menginjak aspal, melainkan keramik.
Ia mendongak lalu tertegun sebentar menatap Arya, masih dengan setelannya tadi pagi, kini hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Arya tersenyum cerah melihat Ryo dan Shilla menghampiri. Tak lama lagi ia harus masuk untuk check-in. Begitu kedua orang yang ditunggunya berhenti tepat di depannya, Arya langsung menyongsong lalu memeluk Ryo erat-erat. Adik semata wayang gue ini, batin Arya. Ia melepaskan diri terlebih dulu setelah Ryo dengan canggung, menepuk pelan punggungnya.
Jangan bikin masalah mulu lo. Kalo gue pulang, lo harus berubah ya, pesannya pelan pada Ryo.
Berubah" Jadi apa" Ninja turtle" kata Ryo, merasa normal lagi setelah Arya melepas pelukannya.
Arya hanya tersenyum misterius lalu mendekatkan wajah dan membisiki adiknya, Lo bakal berubah karena cewek di sebelah lo itu. Ryo sontak mengernyitkan dahi. Gila lo, ujarnya.
Iya, gue gila, Arya malah mengiyakan. Tapi, kalo yang gue bilang ini terbukti suatu saat nanti kalo lo beneran takluk sama dia lo harus lari muterin Bunderan HI tengah malem.
Ryo hanya menggeleng-geleng, mengira kakaknya sudah tak waras. Arya menjauhkan diri lagi dari Ryo, lantas menatap Shilla. Ia tersenyum lalu menepuk puncak kepala gadis itu pelan, tak sadar membuat debaran jantung pemilik kepala itu makin menggila.
Inget yang saya bilang, ya, kata Arya, menatap Shilla sambil melirik penuh arti ke arah Ryo.
Ryo melotot. Ada apa coba kakaknya sama pelayan satu itu" Arya akhirnya menarik napas lalu meraih pegangan kopernya. Kalian berdua baik-baik, ya. Jangan berantem terus. I have to go now, see ya, ujar pemuda itu, melambaikan tiket yang digenggamnya di sebelah tangan yang lain dan menuju security check, meninggalkan kedua orang yang mulai sekarang harus mulai mewarnai hidup satu sama lain, seperti nubuatannya.
Shilla, yang sedari tadi diam, merasa sesuatu mencekat tenggorokan dan dadanya. Ia tidak mau menangis, tapi tak bisa menahan kekosongan di dalam dirinya. Arya. Pergi, batinnya. Apakah ini berarti ia kehilangan lagi" Walau dia belum yakin Arya itu Ayi, tapi ia merasa& ini seperti kehilangan Ayi untuk kedua kalinya.
Ryo meperhatikan wajah gadis di sebelahnya. Kehampaan dalam mata bening Shilla entah kenapa membuatnya sendiri tak suka. Udah, nggak usah sedih, ujarnya tajam. Dia bakal balik kok. Ia mulai melangkah kembali ke lapangan parkir.
Shilla tersadar, memandangi pintu yang dikawali petugas security check sekali lagi lalu bergegas mengikuti Ryo. Ia melambatkan laju langkahnya saat Ryo berada tepat di depannya, lalu akhirnya melangkah perlahan bersama menuju mobil, masih sambil memikirkan Ayi dan Arya.
Ia memasuki kursi penumpang masih dengan tatapan kosong, masih diiringi Ryo yang memperhatikan.
Pemuda itu menatap Shilla yang terlihat terus menerawang, lalu berdecak samar. Ia membuang pandangan ke depan lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir perlahan. Ryo tersenyum saat sebuah ide menyambar benaknya, lalu menatap Shilla.
Gimana kalo kita ke Dufan" ajaknya bersemangat, membuat Shilla kontan tersadar lalu menatap Ryo tak percaya.
Ke Dufan" tanya Shilla, mengulang ucapan Ryo.
Pemuda itu mengangguk acuh tak acuh, lalu mengangkat sebelah alisnya. Iya. Gue liat muka lo merana banget, kayak orang mau mati. Daripada lo mati terkapar di mobil gue, mending kita ke Dufan. Lo tinggal milih mau loncat dari Halilintar atau apa tuh yang paling baru" Hysteria, ya"
Shilla mendelik seketika lalu mengangkat satu ujung bibirnya kesal. Seenaknya saja tuan muda itu bicara. Ia memang merasa kehilangan Arya, tapi tidak mungkinlah sampai berniat bunuh diri. Berlebihan sekali, cibirnya.
Mau nggak jadinya" tanya Ryo memastikan.
Shilla mengangkat satu alis ke arah Ryo sambil menggigit bibir ragu. T-tuan serius" ia balik bertanya.
Ryo hanya melirik sekilas ke arah gadis di sebelahnya, memutar bola mata, lalu mengalihkan perhatian untuk menstarter mobilnya. Ketika Jaguar hitamnya mulai keluar dari pelataran parkir terminal dua, pemuda itu bergerak meraih ponselnya, mencari ke daftar kontak sambil memutar setir, lalu mendekatkan ponsel ke telinganya setelah menyentuh tombol hijau.
Tak lama kemudian, Ryo berdeham saat mendengar nada sambung, Halo, Pak Andi" Iya, ini Aryo. Iya, udah lama. Hmm, saya nggak mau banyak basa-basi. Iya, mau ke sana. He-emm. Bisa tolong di-clear-in Dufan-nya"
Shilla yang sedari tadi mencuri dengar, mau tak mau membelalak tiba-tiba saat mendengar ucapan terakhir Ryo. Apa maksudnya di-clearin " Si tuan muda pongah ini mau meminta mengosongkan Dufan" Memang bisa" Astaga, batinnya sambil menelan ludah.
Ryo mengangguk pelan, mengucap terima kasih hingga beberapa detik kemudian menyelesaikan pembicaraan dan mematikan sambungan pada ponselnya.
Merasa jelas sedang diperhatikan, ia menoleh mendadak ke arah Shilla yang masih memasang wajah melongo, lalu melotot dan mencetus galak, Apa liat-liat"!
Tuan mau ngosongin Dufan" tanya Shilla pelan. Biar lebih lama tinggal di desa, ia jelas tahu tentang taman hiburan tersohor di ibu kota itu. Hari libur atau bukan, jumlah pengunjung Dufan dalam sehari pasti selalu terus tembus di angka ribuan.
Iya, kata Ryo acuh, tanpa memandang gadis yang baru menanyainya.
Shilla menggigit bibir sebelum bertanya lagi, Karena kita mau ke sana"
Ryo mengernyit sesaat, lalu menoleh dan menatap Shilla jengkel. Lebih tepatnya karena gue mau ke sana. Biasa aja. Dari gue kecil juga begitu.
Hah" batin Shilla lagi, terkejut.
Pemuda itu mencibir seraya terus menggerakkan setir. Lagian udah lama juga gue nggak ke Dufan. Rada males. Dari umur delapan, gue udah nggak pernah ke sana lagi, kali. Gue prefer Universal Studio Singapura, Goldcoast, atau Disneyland Hong Kong sekalian, ucapnya tak acuh.
Shilla balas mencibir, menyadari Ryo sedang menyombong secara tak langsung. Padahal ke Dufan saja Shilla belum pernah.
Ryo ternyata meneruskan, sambil menggeleng-geleng sok menyesal Sayangnya USS, Goldcoast, atau Disneyland nggak bisa gue kosongin kayak gitu. Ck, decaknya setengah kesal. Gadis di sebelahnya hanya bisa memutar bola mata. Mungkin Ryo berniat membeli Disneyland sehabis ini, pikir Shilla sarkatis.
Kan, gadis itu tak tahan memprotes, nyusahin orang lain yang mau main kalo egois begitu. Mereka yang lagi di sana kan udah bayar, masa mau diusir&
Ryo sontak menoleh dan menatap Shilla tajam, sekilas... Dalam bayangannya, wajah Shilla berubah menjadi rupa manis si kecil Mai. Omongan gadis itu tadi persis dengan protes Mai bertahun-tahun lalu, saat Ryo juga meminta papanya mengosongkan Dufan, karena ia dan teman kecilnya mau bermain hingga puas di sana, tanpa mengantre.
Shilla hanya balas memandangnya, sambil mengangkat sebelah alis. Sementara Ryo kini kembali mengalihkan pandangan ke jalanan di depannya. Dulu, ia mengabulkan permintaan Mai dan membatalkan rencananya untuk mengosongkan Dufan, lalu sekarang"
Ryo akhirnya menghela napas, lantas meraih kembali ponselnya. Tak lama, sambil melirik gusar wajah gadis di sebelahnya yang tampak cukup puas, ia berdeham lagi.
Halo... Pak Andi" Iya, ini Aryo lagi. Hmm, kayaknya saya nggak jadi mau clear-in Dufan-nya& Iya... Tapi saya nggak mau ngantre, Shilla sontak mencibir. Dasar tuan muda, dengusnya dalam hati. Apa" Ryo masih bicara pada ponselnya. Fast trax" Tapi cuma lima wahana" Nggak ada yang semuanya" Ck... Payah... Ya udah deh, katanya, lalu menutup pembicaraan lagi sambil menggerundel, sementara Shilla hanya geleng-geleng.
Pada waktu yang sama, di sekolah ternyata ada sebuah insiden kecil. Pada jam kedua istirahat para siswa-siswi menggerutu di depan kafeteria yang mendadak tertutup untuk umum. Ada apa gerangan"
Oh. Pasalnya, Bianca sedang bad mood setengah mati. Pikirannya sedang sangat kacau, ia butuh tempat yang sepi, tanpa teman-temannya. Siang itu, ia ingin kafeteria menjadi tempat untuknya seorang diri.
Duduk di singgasananya yang biasa, mata Bianca berkilat membara. Bukan karena pengaruh matahari yang memang sedang terik-teriknya, melainkan karena benaknya tengah memutar adegan memuakkan yang disaksikannya tadi siang, ketika ia dan teman-temannya sedang berganti gedung sehabis pelajaran olahraga.
Ryo iya, Ryo yang miliknya seorang itu tadi menggandeng si cewek miskin kurang ajar itu ke dalam mobil. Apa-apaan itu"! Ada hubungan apa mereka"
Bianca saja tidak pernah diperlakukan seistimewa itu oleh Ryo. Kalau gue saja nggak pernah, orang lain pun nggak boleh! pikirnya ketus. Bianca mendengus. Kenapa harus cewek sampah itu pula" Yang selalu mempermalukan gue"! Ck, decaknya sinis. Cewek itu terlalu& Keterlaluan mempermainkannya. Bianca mencibir. Lihat saja nanti.
PA APAAN INI " tanya Shilla dalam hati, terkejut begitu melihat karpet merah terhampar dari dalam pintu masuk Dufan hingga ke trotoar depan, tempat mobil Ryo baru saja berhenti. Lalu tiba-tiba, sepasukan pegawai Dufan yang teridentifikasi dari seragam mereka berdiri di samping kiri mobil, tepat di trotoar. Salah seorang pegawai membukakan pintu penumpang Shilla, sementara salah seorang yang lain mengitari mobil lalu membukakan pintu pengemudi untuk Ryo.
Ryo turun dengan gaya angkuhnya yang biasa begitu pintu terbuka, lalu menyerahkan kunci mobilnya pada pegawai yang sama tanpa menoleh.
Shilla hanya mengernyit heran melihat adegan itu. Ada layanan khusus parkir untuk si tuan muda, begitu" Ia lalu mengerutkan kening lagi saat
Bab mendapati seorang laki-laki paruh baya dengan kemeja putih klimis dan tanda pengenal tergantung di lehernya, berjalan takzim mendekati Ryo. Selamat datang, Pak, ucapnya pelan.
Ryo hanya mengangguk tak acuh, lalu berjalan mendekati Shilla yang masih tampak kebingungan. Ia menarik lengan kemeja gadis itu agar berjalan mengiringinya mendekati pintu masuk, sambil mengabaikan sepasukan pegawai tadi yang dengan canggung membungkuk saat Ryo lewat.
Tak lama kemudian, setelah mendapat tiket yang langsung dibuang Ryo ke tong sampah, padahal Shilla ingin menyimpannya mereka menuju bagian cap. Dengan bersemangat Shilla maju terlebih dulu, lalu dengan senang hati mengulurkan tangan. Di pasar malam kan tidak ada stempel seperti ini, batinnya.
Sementara, Ryo hanya tersenyum remeh saat petugas cap berniat menghunjamkan senjata andalan mereka itu ke punggung tangannya. Saya nggak perlu, kata Ryo, bergidik. Takut nggak steril, lanjutnya, diiringi tatapan melongo si petugas dan Shilla.
Gadis itu mencibir. Dasar, batinnya sambil menggeleng-geleng, lalu menoleh ke depan sambil mulai melangkah maju. Ia mau tak mau membelalak, menyadari memang banyak sekali pengunjung Dufan, padahal ini jam sekolah.
Ia bergerak maju beberapa langkah lagi, terlalu bersemangat hingga melupakan Ryo. Tiba-tiba ia mengernyit, merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahnya.
Gadis itu menoleh mencari-cari lalu kontan melongo saat melihat kipas angin besar yang ternyata bertugas memercikkan air ke segala arah. Setelah beberapa kali mengerjap terpesona, Shilla akhirnya memutuskan mendekat dan berdiri tepat di depan kipas angin itu. Enak, pikir Shilla sambil memejamkan mata. Sejuk.
Ryo hanya menepuk dahi kala memperhatikan Shilla. Tidak tahan melihat kenorakan gadis itu. Heh! hardiknya keras pada Shilla, yang kini menoleh tajam ke arahnya.
Apa sih" cetus Shilla kesal dalam hati. Mengganggu kenikmatan orang saja.
Shilla mencibir, lalu memperhatikan Ryo yang kini sudah beralih mengipas-ngipas dirinya sendiri dengan tangan. Ia menggeleng-geleng sambil memperhatikan Ryo. Siapa suruh ke sini pakai setelan lengkap begitu" batinnya tak habis pikir lalu menatap dirinya sendiri yang memakai seragam. Ia terdiam.
Ya dia sendiri juga sih. Tapi paling tidak, seragam ini pasti jauh lebih nyaman dibanding setelan Ryo, apalagi tanpa blazer yang sudah ia lepas di mobil tadi.
Shilla beralih menoleh ke kanan dan ke kiri, menyipit ketika melihat seorang pria berkumis dan anaknya mengenakan T-shirt berbeda warna bergambar maskot Dufan, si bekantan. Ia menimbang sejenak, lalu memutuskan mendekati pria itu.
Sementara Ryo mengernyit lagi. Ada apa sih dengan cewek itu" Suka sekali bertindak aneh-aneh.
Shilla terlihat sedang menanyakan sesuatu, yang dijawab arahan telunjuk dari si pria berkumis, hingga akhirnya ia tersenyum dan tampaknya mengucapkan terima kasih.
Diam-diam Ryo memperhatikan Shilla yang menghampirinya dengan seragam yang sudah awut-awutan, ikatan rambutnya juga terlihat agak berantakan. Tapi... tetap manis juga, pikir pemuda itu jujur.
Yuk, Tuan, kata gadis itu sambil tersenyum saat berhenti di hadapan tuan mudanya.
Ayuk apaan" tanya Ryo kontan.
Tuan kepanasan, kan" tanya Shilla, mengedikkan dagu pada Ryo yang kini sedang mengipasi dirinya lagi.
Ryo hanya merengut. Menurut lo"
Tanpa sadar, gadis itu menggenggam tangan Ryo lalu menariknya ke arah yang ditunjukkan pria berkumis tadi. Ryo tersentak, menatap tangannya dalam genggaman Shilla. Entah kenapa, Ryo menikmatinya. Aneh. Ia merasa nyaman.
Ryo balas menggengam tangan Shilla lebih kuat, walau gadis itu tampak tak menyadarinya. Ia mendesah. Lebih jauh jarak tujuannya juga nggak apa-apa, pikirnya seketika.
Tak lama kemudian mereka berhenti di depan toko suvenir. Ryo mengerutkan kening. Sementara Shilla berbalik dan menatapnya, lalu beralih memandangi... tangannya yang menggenggam tangan Ryo. Ups, batinnya langsung.
Shilla berniat melepaskan tangannya dari genggaman Ryo, yang kini malah menahannya. Gadis itu menarik-narik jemarinya, heran, lalu mendongak menatap Ryo yang ternyata sedang memandangnya galak.
Lo udah genggam-genggam tangan gue sembarangan, jangan pikir lo bisa lepas semaunya. Lo bukan cuma udah genggam tangan gue, tahu nggak" cerocos pemuda itu.
Shilla mengernyit, Hah"
Ryo berdeham salah tingkah, lalu melepaskan tangan Shilla kasar. Bego, rutuknya pada diri sendiri. Kenapa gue bisa ngomong begitu, coba" Tau deh, katanya ketus. Dasar lemot.
Shilla mencibir lalu berbalik dan mulai memasuki toko suvenir, diikuti Ryo yang mengerutkan kening dan bertanya heran, Ngapain ke sini sih"
Begini ya, Tuan, kata gadis itu, berbalik lagi menghadap Ryo, kalau mau main itu harus pake baju yang pantes, biar bisa menikmati. Tuan yakin mau pake setelan itu" tanya Shilla lalu berbalik dan mengedarkan pandangan. Akhirnya ia berjalan mantap mendekati gantungan T-shirt bergambar maskot Dufan.
Shilla mengacak-acak gantungan, lalu menarik keluar sebuah T-shirt berwarna merah. Nih, Tuan, katanya, sambil menyodorkan gantungan itu pada Ryo.
Apaan" tanya Ryo ketus. Gue disuruh pake& beginian" Mau taro di mana muka gue"
Shilla langsung menarik tangan Ryo, membenamkan gantungan T-shirt itu di sana. Muka Tuan nggak bakal pindah ke mana-mana kok.
Pemuda itu mengernyit, menatap T-shirt di tangannya lalu menggeleng. Ogah.
Gadis itu mengerucutkan bibir, lalu memandang Ryo dengan tatapan memohon. Entah kenapa, Ryo malah merasa luluh. Ia berdecak kalah. Ck, ya udah.
Shilla menghadiahkan senyum manis, yang membuat Ryo tercengang dan tak habis pikir kenapa malah menuruti gadis itu. Sepertinya ia mulai kehilangan orientasi siapa yang majikan dan siapa yang pelayan.
Setelah mendorong paksa Ryo ke ruang ganti, Shilla terbahak-bahak ketika pemuda itu keluar dengan T-shirt yang pilihannya tadi.
Ryo mencibir. Heh! Nggak usah ketawa lo! katanya kesal, lalu terdiam tiba-tiba, memperhatikan Shilla yang masih memakai setelan seragam. Ia tersenyum jail.
Lo juga ganti! Enak aja, cetusnya, lalu kembali mendekati gantungan T-shirt yang sama. Ia sibuk memilih, hingga akhirnya menyambar T-shirt pink yang bergambar sama dengan miliknya.
Setelah menimbang, ia juga mengambil celana pendek katun berwarna peach yang tergantung tak jauh dari sana.
Shilla mengernyit ketika Ryo berjalan mendekatinya. Apa" tanyanya.
Pake! perintah Rio. T-tapi... pink" Shilla bergidik.
Biarin, kata Ryo ketus lalu berbalik mendorong Shilla ke ruang ganti.
Kok pake beli celana pendek segala" tanya gadis itu lagi, berputar ketika melihat dua gantungan yang diserahkan Ryo.
Pemuda itu mengangkat bahu, lalu mengutip ucapan Shilla, Kalau mau main itu harus pake baju yang pantes, biar bisa menikmati. Lo yakin mau pake seragam itu"
Sial. Shilla mencibir kesal. Senjata makan tuan. Akhirnya ia melangkah dengan raut tragis ke arah ruang ganti sambil merutuk, mau mengerjai Ryo jadi dirinya juga yang kena.
Beberapa menit kemudian, setelah Ryo dengan pongahnya membayar, mereka keluar sambil menenteng tas plastik yang berisi seragam. Shilla mengernyit, bingung juga memperhatikan mereka memakai T-shirt yang sama walau berbeda warna. Sementara Ryo hanya mengulum senyum. Keduanya sepertinya berpikiran sama. Mengapa mereka terlihat seperti pasangan begini"
Mau main apa dulu kita" tanya Shilla tiba-tiba, berusaha memecah keheningan.
Kora-Kora. Ryo tersenyum yakin.
Shilla bodoh! Bodoooooh! batin gadis itu sambil merutuki dirinya sendiri. Ia, bersebelahan dengan Ryo, kini sedang menempati salah satu tempat di barisan paling atas wahana perahu berayun yang tadi dipilih pemuda itu. Sekarang sih posisi mereka masih cukup rendah, tapi nanti kalau sudah bergerak" Posisi ini pasti menjadi yang paling tinggi dan mengerikan. Gadis itu bergidik, lalu menepuki dahinya sendiri, menyesal kenapa ia mau menuruti pilihan Ryo.
Sementara Ryo hanya menahan tawa melihat Shilla yang tampak teramat gugup. Ah, payah lo. Begini doang.
Shilla merengut, mendelik kecut ke arah Ryo, lalu segera memasang wajah pucat lagi ketika mendapati palang pengaman di depannya mulai diturunkan.
Pastikan semuanya sudah terpasang, yaaaaa! seru si operator wahana dengan ceria. Ia terus-menerus berkomentar cerewet.
Iya, bawel, rutuk Shilla kesal, membuat Ryo kini benar-benar tergelak.
Siaaaaaap" Kita mulaaaai. Berayuuuuuuuuuuuun! seru si operator ceria lagi, mulai menggerakkan Kora-Kora dengan kecepatan paling rendah.
Shilla tercekat, merasakan jantungnya hampir lepas saat wahana tersebut berayun naik dan turun dalam ketinggian yang tak ia perkirakan. Tangannya gemetar.
Mau lebih tinggi lagiiiiii" tanya si operator ceria tiba-tiba, membuat Shilla menjerit, Nggaaaak! Ia mencaci pelan ketika sisa manusia di wahana yang sama malah mengiyakan, termasuk Ryo.
Gila lo semua, cetus Shilla pelan, membuat Ryo kembali tertawa mendengar ocehan kesal gadis itu yang sok memakai bahasa gaul Jakarta.
Tak sesuai dengan harapan Shilla, ternyata kini si operator ceria mulai mewujudkan janjinya, memaksimalkan pergerakan Kora-Kora hingga kecepatan tertinggi, membentuk sudut yang bagi Shilla kelewat mengerikan.
AAAAAAAAAAAAAHHHH! Gadis itu menjerit kencang, tanpa sadar mencengkeram tangan Ryo yang bertengger di palang, di dekat tangannya.
Adaaaaaaaw! seru Ryo kesakitan sambil menoleh ke arah Shilla. Takut sih takut, tapi kenapa tangannya yang jadi korban"
Setelah beberapa saat yang bagi Shilla terasa sangat menyiksa Kora-Kora akhirnya berhenti. Shilla menghela napas lega, sementara Ryo masih merasakan tangannya perih.
Biar! Biar aja cewek ini ketakutan, rutuknya, lalu mengangkat alisnya licik saat menemukan ide untuk membalas. Ia mengajak Shilla ke permainan selanjutnya. Tornado.
Nggak... nggak. Makasih, tolak gadis itu sambil menggeleng keras dan bergidik.
Ryo melotot, mengancam akan meninggalkan Shilla kalau dia itu tak mau menurut. Enak aja, batinnya.
Tak lama kemudian, karena menggunakan fasilitas fast trax, akhirnya Shilla tidak sempat berlari untuk sembunyi ke mana-mana. Dalam sekejap mereka sudah berada di dalam area permainan.
Operator ceria lain mengucapkan selamat datang pada gerombolan orang yang baru memasuki area wahana, lalu mengimbau, Yang bawa tas atau dompet bisa ditaruh di meja di depan wahana, ya. Yang pakai sandal silakan dilepas.
Shilla hanya menelan ludah dan merapal doa dalam hati ketika Ryo menariknya ke bangku paling ujung wahana, diam-diam membuatnya mengutuk. Kenapa sih Ryo suka sekali di paling pinggir"
Siaaaaaap" tanya operator ceria setelah sabuk pengaman diturunkan dan dipastikan terpasang baik.
Shilla menarik napas dalam-dalam, mencengkeram pegangan yang tersampir pada bantalan oranye di kedua bahunya. Ia memejamkan mata, berharap bisa menikmati wahana kali ini. Lalu, akhirnya setelah sebuah seruan lagi, operator mulai menggerakkan wahana.
Dan mereka pun melayang. Dilempar ke angkasa, berputar-putar dalam posisi tak masuk akal, bahkan dibiarkan tergantung dalam keadaan terbalik saat wahana sengaja dihentikan pada ketinggian beberapa belas meter di udara.
Cheeeeeeeseeeeee! Operator ceria berseru, memberikan aba-aba sebelum lampu flash menandakan kamera jumbo memotret mereka dari bawah.
Shilla tertawa girang ketika wahana kembali digerakkan. Ia, tak disangka, ternyata sangat menikmati Tornado. Permainan ini sejenak dapat membebaskan pikirannya dari berbagai hal yang memusingkan, melempar jauh-jauh kesedihannya.
Shilla mengernyit, beralih menatap Ryo yang memejamkan mata dan berkomat-kamit di sebelahnya. Kini ganti ia yang menertawai pemuda itu. Astaga.
Setelah beberapa kali putaran mengasyikkan (tapi mengerikan bagi Ryo) lagi, wahana itu pun kembali menjejak bumi. Shilla melepas sabuk pengaman sambil tertawa senang, sementara kali ini Ryo yang pucat pasi.
Ryo berjalan sempoyongan mengikuti Shilla. Gadis itu baru saja mengajaknya menaiki Poci-Poci, wahana berbentuk cangkir yang saling mengitari. Kepalanya pening, walau tawa renyah Shilla sedari tadi diamdiam sedikit menghiburnya.
Apa lagi" tanya Ryo pelan. Mereka sudah naik Ontang-Anting, Pontang-Panting, Niagara-gara, Burung Tempur, Teater Simulator, dan sejuta permainan lainnya.
Sebenarnya Shilla juga merasakan hal yang aneh. Ia merasa sangat nyaman bersama Ryo hari ini. Merasakan setiap tawa, ejekan, genggaman tangan, dan tepukan dari Ryo. Ia sempat berpikir sejenak. Apa ia secepat itu bisa berpindah hati" Akhirnya ia menggeleng dan memutuskan mendepak pikiran itu jauh-jauh dulu. Ini waktunya bersenang-senang, bukan yang lain.
Perang Bintang, yuuuuuk! kata Shilla bersemangat sambil menunjuk papan wahana yang baru dilihatnya.
Ryo mengangguk mengikuti langkah mantap gadis itu. Namun mengernyit, heran menyadari wahana itu sepi sekali, hanya mereka berdua yang mengantre padahal pintu sudah dibuka.
Mas, kok sepi banget sih" tanya Ryo penasaran pada petugas yang menjaga di bagian dalam wahana.
Oh, tadi sempat maintenance, Mas. Tapi sekarang sih udah jalan lagi. Memang baru dibuka lagi sekitar lima belas menit yang lalu, jawab si petugas.
Oh, tapi sekarang udah beres semua, kan" Nggak ada yang rusak atau apa" tanya Ryo lagi.
Beres kok, Mas. Aman, jawab si petugas yakin.
Dengan cepat, Ryo dan Shilla memasuki arena Perang Bintang, lalu mengendarai wahana bulat yang akan membawa mereka mengitari arena.
Tak lama, keduanya mulai sibuk menembaki sinar laser merah yang tersebar di langit-langit dan dinding area untuk mengumpulkan poin. Shilla merutuk karena tembakannya selalu meleset, hingga skornya tak berubah sejak beberapa waktu tadi.
Ryo mengernyit, mendengar rutukan pelan Shilla lalu menoleh, melihat gadis di belakangnya. Ia tertawa pelan, lalu menaruh senapan lasernya di tempat dan menghampiri Shilla.
Gini nih, ya. Ryo berdiri tepat di belakang Shilla, merangkul gadis itu, membiarkan kedua tangannya menggenggam jemari Shilla yang kepayahan memegang senjata.
Itu tuh harus cepet ditembaknya. Kan ini jalan terus, ujar Ryo di telinga Shilla, membuat gadis itu bergidik saat merasakan desahan napas Ryo menyapu rambut dan telinganya.
Ryo tiba-tiba teringat pendapatnya saat pertama kali memperhatikan penampilan Shilla waktu itu. Rambut gadis itu ternyata benar-benar halus, paling tidak, begitu yang teraba dagunya. Hmm, wangi juga. Saat menyadari posisi mereka, Ryo sontak melepaskan kedua lengannya, berupaya mengusir perasaan aneh yang menyergapnya. Ia tak mengerti apa yang meracuni otaknya, atau apa yang membuat jantungnya tiba-tiba berdetak menyalahi aturan.
Tiba-tiba, saat Ryo kembali ke tempatnya sambil menghela napas lamat-lamat, terdengar bunyi jegreeeek kencang, disusul kegelapan total yang seketika menyerbu dan berhentinya wahana mereka. Shilla terkesiap, ketakutan menyadari apa yang sedang terjadi. Tuan" panggil Shilla pelan, waswas, suaranya bergetar. Apa" tanya Ryo pelan, kembali meletakkan senjata yang baru saja ia pegang. Lo duduk di situ aja dulu, nanti gue samperin.
Shilla duduk di bangku kecil yang berada di depan lututnya tadi, perlahan terdiam saat merasakan Ryo mengempaskan tubuh di sebelahnya.
Ini ada apa" tanya Shilla pelan.
Nggak tahu, kata Ryo. Coba gue telepon Pak Andi. Ia merogoh ponsel di kantongnya.
Beberapa lama ia mengutak-atik benda elektronik itu, hingga baru menyadari dan merutuk pelan, Sialan. No signal, katanya.
Shilla menghela napas, lalu menoleh saat Ryo berkata lagi, Kayaknya wahana ini belum beres betul ya, abis maintenance tadi. Shilla mengangguk pelan, lalu bertanya, Terus gimana" Ryo terdiam, berpikir sejenak lalu berkata cerah, Kita turun terus jalan ikutin alur rel. Pasti bakal keluar kan ujungnya... Ia tidak kehabisan akal.
Shilla akhirnya mengangguk menyetujui, lalu mengikuti tuan mudanya melompat keluar dari wahana.
Ryo secara otomatis membiarkan tangannya mencari-cari di belakang, menggenggam tangan Shilla, dan tak sekali pun melepasnya selama menyusuri jalur rel itu keluar.
Tanpa disadari, jantung mereka berdua berdetak seirama. Detaknya lebih cepat daripada biasa. Masing-masing degup bergaung sendiri di dasar hati. Menunggu siapa pun memanggilnya keluar dan menunjukkannya pada dunia bahwa sesuatu yang aneh dan magis terbentuk mulai hari itu.
Senja mulai datang ketika Ryo dan Shilla keluar dari area wahana Arung Jeram dengan kondisi basah kuyup. Seharusnya mereka bermain wahana itu siang hari. Saat matahari masih bersinar. Sekarang ini benda raksasa kuning itu hanya memancarkan cahaya redup karena waktu kerjanya memang sudah hampir habis.
Shilla merasakan giginya mulai bergemeletuk, tubuhnya menggigil. Ia menoleh ke arah Ryo dan menyadari pemuda itu juga merasakan hal yang sama walau terlihat menutupinya. Ia berpikir keras, lalu melihat kantong yang ditenteng Ryo dan mendapat ide bagus. Ia seketika menarik-narik lengan kaus Ryo.
Apa" tanya pemuda itu pelan.
Gimana kalo ganti baju yang tadi pagi aja" tanya Shilla. Ide bagus, kata Ryo lalu menatap kantong berisi setelan yang dipeganginya. Namun tiba-tiba Shilla melongo.
Kenapa" tanya Ryo, beralih memperhatikan gadis yang kini berhenti mendadak di tempat.
Shilla menelan ludah, lalu menatap Ryo sambil meringis. Kayaknya kantong saya ketinggalan di Perang Bintang tadi, ucapnya lemah. Ryo menepuk jidatnya sendiri. Dasaaaaaar. Ya udahlah. Saya mau ambil. Itu kan seragam baru dikasih, kata Shilla. Nggak usah lah. Di rumah juga ada stoknya, kata Ryo. Tapi kan itu dikasih Tuan Arya, kata Shilla pelan, tanpa berpikir panjang.
Ryo seketika merasa hatinya terpilin, lalu merutuk kesal. Kenapa harus Arya terus sih" Ia kini benar-benar semakin jengkel, belum lagi ditambah kondisi suhu tubuhnya yang sedang kurang nyaman.
Ia lantas bergegas melangkah cepat menuju Bianglala, tempat yang sebelumnya mereka sepakati untuk membiarkan angin membantu mengeringkan tubuh mereka, meninggalkan Shilla di belakang karena sedikit kecewa.
Karena yang naik sedikit, boleh berdua-dua aja, biar seimbang juga, kata seorang petugas pintu Bianglala saat mereka sampai di wahana itu.
Aneh juga melihat wahana yang satu ini sepi. Namun akhirnya Ryo dan Shilla naik juga ke salah satu gondola Bianglala. Saat wahana itu mulai bergerak, gadis itu tak berhenti gemetar. Tampaknya angin malam memang bukan angin yang tepat untuk mengeringkan badan.
Ryo, yang sedari tadi memilih menatap pemandangan untuk sejenak menguapkan kegeramannya, mau tak mau menatap Shilla ketika suara gemeletuk gigi gadis itu terdengar begitu kuat. Ia mendesah, timbul rasa ibanya melihat tubuh Shilla berguncang hebat.
Ryo menarik napas, lalu membuka kantong plastiknya dan mengeluarkan blazer abu-abunya. Nih...
Shilla menengadahkan kepalanya yang sedari tadi ia tundukkan, bisa merasakan kekesalan Ryo sejak ia menyebut-nyebut Arya. Ya, ia akui memang ia yang salah. Ryo mengajaknya bermain ke sini untuk melupakan kesedihan karena ditinggal Arya, tapi malah ia sendiri yang mengungkitnya.
Pake aja, kata Ryo memaksa, melemparkan blazer itu pada Shilla, yang tampak masih berkeras menolak. Ck. Ryo bergeser mendekati Shilla, menyambar blazer abu-abu tadi dari pangkuan Shilla lalu menyampirkan dan mengeratkannya ke tubuh gadis itu. Nggak usah dilepas lagi. Ini perintah. Ryo menatap Shilla tegas, lalu kembali ke tempat duduknya di seberang.
Shilla menatap T-shirt Ryo yang juga masih basah. Pasti dia juga kedinginan, tapi tak mau mengakuinya.
Ganti aja sama kemejanya, kata gadis itu pelan, merasa tidak enak.
Ryo mendelik. Lo mau gue buka baju di sini" Nggak usah bawel.
Gadis itu mendesah samar, bingung mendapati suasana yang berubah canggung, tidak senyaman tadi. Maaf ya, Tuan, ucapnya sambil memainkan jari, merasa harus mengucapkan permohonan maaf agar semuanya bisa kembali seperti sedia kala. Maaf, saya tadi nyebut-nyebut Tuan Arya, lanjutnya, tak sadar Ryo sedang menatapnya dalam diam.
Shilla menunduk makin dalam saat tak ada suara yang menyahutinya kecuali derak besi. Kenapa harus diam" Kenapa harus keheningan yang tercipta di tempat seindah ini" Kenapa pula kenangannya bersama Ayi dan Arya kembali bergulir dalam benaknya" Memang cuma kenangan kecil... namun entah kenapa sekarang terasa begitu berarti. Tapi jangan menangis di hadapan Ryo, Shilla. Tolong.
Ryo menatap Shilla yang jelas sedang menahan isaknya. Apa itu tangisan untuk Arya" tanyanya getir dalam hati. Kenapa harus Arya" Akankah suatu saat Shilla bisa menangis untuknya" Kenapa pula dia mau Shilla menangis untuknya" Apa tawa yang terurai dari gadis ini sejak tadi siang hanya palsu" Kenapa harus rasa nyeri aneh pula yang dirasakannya sekarang"
Shilla menggigit bibir, merasakan setetes air mata berhasil kabur dari pelupuknya. Jangan begini, jeritnya dalam hati. Setetes jatuh, yang lain pasti akan mengikuti. Namun akhirnya ia tak tahan lagi, lantas terisak sambil memeluk dan membenamkan wajah pada lututnya.
Ryo tidak bisa menahan perasaan aneh yang menyergapnya ketika melihat tubuh mungil gadis itu berguncang hebat, yang jelas bukan hanya karena faktor kedinginan. Ia mendekati Shilla, lalu memeluk gadis itu erat-erat. Jangan menangis, ucap Ryo dalam hati. Jangan menangis untuk Arya.
Seiring perputaran Bianglala, berputar pula perasaan itu. Semakin aneh dan rumit. Shilla bisa merasakan tubuh basah Ryo juga menggigil memeluknya, berusaha menghentikan tangis kepedihan yang sejak tadi dipendamnya. Jadi, bagaimana setelah ini"
Ryo mempererat pelukannya pada Shilla yang kian tersedu. Sebuah rasa menyakitkan seakan ikut mengoyak lapis demi lapis hatinya, seiring isakan yang keluar dari mulut gadis itu. Sudahlah, pinta Ryo dalam hati. Ia menempelkan dagu pada rambut gadis dalam dekapannya. Jangan lagi buat hati kita masing-masing sakit, katanya, masih dalam nurani.
Sementara, Shilla menyadari ini salah. Bodohnya ia menangis di hadapan, bahkan di pelukan Ryo. Namun, dalam raung sendunya pun ia tersadar lalu bertanya-tanya mengapa Ryo merengkuhnya"
Ryo mendesah, memejamkan mata dan dalam hati menyerukan keheranan yang sama pula, ada apa dengan perasaannya"
Alam seakan menjawab. Dalam sekejap, tanpa aba-aba, mendadak titik demi titik air mulai berjatuhan, terperas bergantian dari awan-awan kelabu yang menggantung di cakrawala.
Hujan. Ryo menengadah ke langit, lalu tersadar. Bianglala tidak mungkin dioperasikan dalam keadaan hujan mendadak seperti ini. Benar saja. Tak lama terdengar seorang operator meminta maaf dengan sangat menyesal kepada para penumpang wahana, karena Bianglala terpaksa dihentikan. Terlalu berbahaya tetap mengoperasikan roda besar itu. Satu kesalahan kecil, maka Bianglala akan tergelincir dan melemparkan penumpang entah ke mana, mungkin terapung-apung di Laut Jawa. Tidak perlu ada cuplikan adegan Final Destination malam itu.
Operator memberitahu bahwa penumpang yang sudah telanjur naik akan diturunkan perlahan-lahan.
Ryo memandang ke atas. Posisi gondola mereka baru seperempat jalan dari satu putaran penuh. Ia menghela napas. Biarlah. Biar gue semakin lama bisa mendekap Shilla, batinnya, tanpa sadar. Mungkin memang tak ada lagi satu pun bentuk kesadaran atau logika yang bisa memahami apa yang sedang ia rasakan.
Ryo pun tertegun, menyadari ini bukan dirinya... Dirinya yang biasa akan mengamuk jika ada kesalahan teknis besar semacam ini.
Arya benar, batinnya terkejut. Shilla mengubahnya perlahan dengan cara yang tak kasatmata. Ya Tuhan, kenapa pula hatinya ikut teriris mengingat nama Arya" Ryo mengertakkan giginya pelan.
Tak lama kemudian hujan berteriak, meronta lebih keras daripada biasa. Ryo terkesiap tak nyaman ketika merasakan percikan air terjun meliar dan meloncat membasahi punggungnya. Atap Bianglala tidak bisa mengalahkan derasnya hujan. Ryo perlahan membetulkan posisi blazernya yang sedari tadi tersampir di punggung Shilla, menarik blazer untuk menutupi kepala gadis itu.
Sementara tangis Shilla mereda, bertolak belakang dengan air mata alam di atas sana. Ia sesungguhnya letih. Letih menangis. Letih menunggu hal-hal yang kian tak pasti. Ayi. Arya. Semua pergi. Semua meninggalkannya dalam kebimbangan yang berarti. Shilla terisak pelan lagi. Ryo merapatkan tubuhnya, membiarkan kepala Shilla terus terbenam di dadanya. Dengar, Shilla, batin Ryo pelan. Tolong dengar detak jantung yang berbunyi menyalahi aturan ini. Ryo kini tak lagi dapat menahan perasaannya.
Cinta. Hal yang dikecap rasa, namun tak teraba raga. Ia datang tak bersuara. Tanpa berita, ia ada. Merasuki sukma dan pandangan mata.
Sunyi, bukan berarti tak berbunyi. Hening, bukan berarti bergeming. Dengar kesunyian itu sejenak dan kau akan tahu sebuah rasa telah berarak. Secara perlahan, namun tak tertanggungkan. Karena cinta adalah hakiki. Sebuah misteri yang akan berganti sesuai perjalanan hati.
Ia berteriak dalam hati pada titik-titik air yang mencumbu bumi. Entah dari mana asalnya pengetahuan ini datang. Mungkin dari bisikan alam yang tiba-tiba ditiupkan hujan. Atau dari desah yang terucap samar melalui jantungnya yang perlahan dilingkupi jalar kehangatan. Tapi satu yang jelas ia tahu. Tampaknya ia jatuh cinta pada gadis dalam pelukannya itu.
HILLA menguap lebar lalu membuka mata, mengerjap dan berusaha bangun dari tidurnya. Astaga. Ia memegangi kepalanya lalu memutuskan merebahkan diri lagi. Kepalanya berputar-putar, pening sekali. Sambil kembali memejamkan mata, ia berusaha mengingat kejadian semalam. Hal terakhir yang diingatnya adalah Bianglala, hujan, dan... pelukan Ryo.
Ya ampun. Shilla sontak membuka mata dan merasakan pipinya memanas. Tak percaya semalam ia menangisi Arya di pelukan Ryo. Astaga... Mimpikah" Ia tak merasa semua itu nyata. Mana mungkin Ryo memeluknya"
Shilla lalu mendesah dan meraba dahinya dengan punggung tangan. Sedikit hangat. Tapi ia menyadari bahwa pipinya jauh lebih panas dibanding dahinya saat ini. Harum parfum Aigner milik Ryo yang begitu
Bab 10 kental membekas jelas di benaknya. Shilla kontan menutupi mukanya dengan selimut, lalu berdecak. Kenapa dia jadi malu begini"
Tiba-tiba, pintu kamarnya menjeblak terbuka, mengejutkan Shilla. Ia bergerak menurunkan selimut.
Shillaaaaaaaaaaaa! Sesosok gadis manis mendadak masuk sambil berseru ke dalam kamar.
Ya ampun, kalian! Shilla kontan tertawa saat menyadari siapa yang bertamu ke kamar kecilnya. Ifa dan Devta. Ia bangun dari posisi tidurnya sambil memegangi kepala dan duduk bersandar di kepala tempat tidur.
Kenapa lo" Devta berjalan mendekatinya lalu duduk di bangku sebelah Shilla. Sementara Ifa memutuskan duduk di tepi tempat tidur.
Shilla tidak menjawab pertanyaan Devta, malah melirik ke arah jam dinding. Jam sepuluh" Lama juga dia tidur, jika dihitung dari semalam. Kok kalian bisa disini jam segini" Bolos" tanya Shilla ketika menyadari hal lain itu.
Tentu tidaaaaak, jawab Devta cepat. Mana mungkin Ketua OSIS bolos" Ia melirik iseng ke arah Ifa.
Gadis berdagu tirus yang baru dilirik itu kontan menjulurkan lidah pada Devta, lalu menoleh ke arah Shilla. Guru-guru rapat, tauuuu. Jadi kita langsung ke sini deh jenguk elo. Bingung aja kenapa elo nggak masuk.
Oh. Aku semalem keujanan, jawab Shilla seadanya sambil nyengir malu.
Devta menatap Shilla dengan pandangan menyelidik. Kok Ryo juga nggak masuk" Emang ujan-ujanan berdua"
Seharusnya jawabannya iya, pikir Shilla jengah. Tapi akhirnya ia cuma menggaruk belakang telinganya sambil melirik Ifa yang tiba-tiba juga ikut menatapnya dengan tajam yang mengisyaratkan bahwa ia juga ingin tahu.
Shilla berdeham lalu mengalihkan topik. Oh iya. Kemaren bawain ranselku nggak" tanyanya.
Ifa tersenyum kecil. Ada di mobil Devta. Lagian, kemaren lo tinggal gitu aja. Dasar.
Kan Tu... Ryo nariknya tiba-tiba, kata Shilla kontan lalu langsung tercekat ketika merasakan pipinya memanas lagi. Astaga. Ada apa sih dengan dirinya"
Devta tersenyum jail lalu menyeletuk, Aih. Shilla pipinya merah. Ke mana aja lo berdua kemaren" tanyanya sambil berdiri dan beranjak mendekat.
Ke bandara, jawab Shilla pelan, setengah jujur.
Emang lo sakit apaan sih" tanya Devta seraya mengulurkan punggung tangannya ke dahi Shilla.
Tiba-tiba pintu kamar gadis itu terbuka lagi, membuat ketiga orang yang sebelumnya ada di dalam menoleh bersamaan.
Ryo, ternyata. Kali ini dengan kaus berkerah dan padanan celana bermuda biru laut. Sial. Shilla kembali merasakan pipinya memanas. Pemuda itu tetap saja terlihat tampan walau tampak agak pucat. Shilla menelan ludah, wajahnya kembali memerah.
Ryo terdiam, terkejut mendapati Devta dan Ifa di kamar Shilla. Pandangannya tertumbuk pada tangan Devta yang menempel di dahi Shilla. Tanpa diminta, sesuatu dalam dadanya bergejolak aneh. Seakan ada monster di dalam sana yang siap mencakar muka Devta saat itu juga.
Stay cool, perintahnya dalam hati.
Ifa hanya menunduk, sementara Devta membiarkan tangannya tidak berpindah posisi.
Ryo menghela napas lalu melempar bungkusan tepat ke pinggir ranjang Shilla. Dari Arya, katanya tak acuh lalu keluar dengan langkah tergesa. Tanpa menoleh lagi.
Shilla seketika menggigit bibir, merasakan hati yang mendadak agak nyeri. Tapi memangnya, apa yang dia harapkan" Ryo menyentuh dahinya seperti yang Devta lakukan" Gadis itu menghela napas pelan, semakin yakin kemarin malam hanya mimpi.
Ryo kembali ke kamarnya dengan agak jengkel. Apa-apaan sih cewek itu" Kok mau saja dipegang-pegang Devta" Meski sebagian kecil hatinya membela Shilla, monster egonya ternyata mengalahkan suara kecil itu.
Aaaaaargh... Ia mengacak-acak rambutnya. Kenapa hati gue jadi kacau karena pelayan itu sih"
Ryo melirik meja panjang di kamarnya. Matanya tertumbuk pada sebuah benda. Botol bening itu. Mai. Hmm... apakah ia akan melupakan Mai untuk gadis itu"
Ryo memejamkan mata. Berusaha merasakan dan mendengar suara hatinya. Ia melongok ke dalam ruang penuh misteri itu. Ada senyum manis Mai di sana yang perlahan memudar dan digantikan derai tawa Shilla.
Sesuatu tiba-tiba melintas di benaknya. Devta dan Ifa mengunjungi Shilla di rumahnya" Rumah ini" Berarti... Mereka sudah tahu Shilla itu...
Rasa pening menyakitkan seketika menyerang kepalanya, membuat Ryo kontan menghentikan pikirannya. Nggak tahu, ah, putus Ryo cepat akhirnya lalu merebahkan diri di ranjang.
Shilla diculik. Bukan, bukan dalam arti sebenarnya. Shilla dengan sukarela diculik kedua sobatnya, Ifa dan Devta yang sudah meminta izin sampai bersujud-sujud kepada Bi Okky. Hari ini, ternyata Ifa berniat mampir ke butik desainer langganan maminya. Rencananya, Ifa akan memesan gaun istimewa untuk pesta sweet seventeen-nya dua bulan lagi itu.
VW antik Devta perlahan bergerak memasuki kawasan elite Jakarta Selatan, Kemang. Tak lama kemudian mereka berhenti tepat di depan sebuah bangunan dua lantai bergaya chic. Ketiganya turun dan mulai memasuki kawasan gedung bernuansa merah-hitam itu sambil mengobrol pelan.
Udah tahu pake tema apa ya, Fa" tanya Shilla. Ifa mengangguk, lalu tertawa dan menyikut Devta yang sedang memutar bola matanya.
Dia nih, ya, kata Devta sambil menjitak kepala Ifa, pake tema Black and White Kingdom segala. Astajiiim... Gue mau pake apa" Jas berekor"
Ifa hanya menjulurkan lidah, lalu buru-buru memasang tampang serius saat mereka sudah berada di dalam butik. Kesan chic kental terasa di ruang depan butik itu. Sepasang sofa puff hitam dan merah berdiri berseberangan dengan meja resepsionis.
Sementara Ifa beranjak ke resepsionis, Shilla dan Devta memilih duduk di sofa. Mereka masing-masing mengambil majalah mode internasional yang tersedia dan membolak-baliknya. Wah... keren juga, pikir Shilla ketika melihat beberapa desainer kenamaan Indonesia disebutsebut majalah itu.
Aluna... Seorang lelaki kurus bergaya metroseksual, dengan meteran kain masih menggelantung di lehernya menghampiri, memeluk lalu mengecup pipi kanan dan kiri Ifa.
Ifa ajaaa, kata Ifa seakan mengingatkan, lalu mengisyaratkan Devta dan Shilla untuk turut menyapa lelaki yang agak gemulai itu.
Devta, ucap Devta sambil menjabat tangan lelaki yang kini berkedip secara tak kentara pada dirinya.
Shilla berusaha menahan tawa yang akan menyembur. Saya Shilla, Pak. Kali ini giliran gadis itu memperkenalkan diri.
Lelaki itu kontan mendelik. Pak, Pak! Emang eike bapak-bapak" Cukup Mas. Mas Dipta. Sandi Sasongko Pradipta, ucapnya dengan nada seperti mengajari anak kecil mengucap terima kasih .
Oh. Shila mengenali nama yang disebutkan lelaki itu. Jadi lelaki di hadapannya inilah salah satu desainer yang disebut-sebut di majalah tadi. Dan kerap juga dibicarakan teman-teman sekelasnya yang berduit. Mau bertemu dengan Mas Dipta saja harus membuat appointment minimal tiga bulan sebelumnya, katanya. Hebat juga Ifa bisa bertemu secepat ini.
Gemulai tapi genius luar biasa dalam bidang yang ditekuninya. Ideide mendobraknya yang membuatnya kian dicari-cari. Baru-baru kemarin, dari yang Shilla baca di majalah tadi, lelaki di hadapannya ini baru saja menuntaskan sebuah pergelaran busana Living through Indonesia yang mengangkat tenunan kayu doyo Suku Dayak Benuaq, kain manik-manik khas suku Asmat Papua, serta tenunan Lombok. Venue-nya tak lain tak bukan adalah Museum Tekstil, yang menurut Dipta, satu-satunya tempat yang cocok untuk pergelarannya. Bukan di ballroom hotel kelas atas seperti yang kerap dipilih rekan sejawatnya.
Mas Dipta membawa mereka memasuki butik lebih dalam. Mereka melewati ruangan tempat digantungnya baju-baju yang berbahan dasar kain tradisional. Beberapa heels cantik bercorak batik nan mewah pun berdiri anggun di meja pajang kaca. Akhirnya keempatnya naik ke lantai dua, masuk ke ruang kerja pribadi Mas Dipta, yang ditempeli berbagai sketsa masterpiece-nya. Sudut-sudut ruangan tampak dihiasi kain-kain tradisional favorit yang tertata amat artistik.
Nah, Mas Dipta membawa mereka duduk di hadapan meja kerjanya, jadi Ifa mau konsep rancangan seperti apa" Kemarin mamimu cuma menjelaskan garis besarnya lewat telepon.
Sementara Ifa berbicara, Shilla asyik memperhatikan pigura-pigura foto yang menempel di dinding. Sandi S. Pradipta dengan kain-kain tradisional dan suku asli yang memilikinya. Keren.
Good point... Shilla kembali menoleh ke arah lelaki yang kini dengan tekun berbicara sesekali sambil terus menggambar sketsa. Jemarinya menari tak henti di permukaan kertas.
Kita buat bajunya dengan rancangan ala Belle di Beauty and the Beast, oke" Bahu sabrina, bagian atas terpotong garis V datar, dan rok megar dari pinggang hingga menutupi kaki. Kainnya... songket warna pelangi pastel" Bagaimana"
Ifa cuma mengangguk, wajahnya berseri menyetujui. Putri pelangi, pikir Shilla. Pasti Ifa akan cantik sekali. Hmm. Lalu apa yang akan dia sendiri kenakan nanti" Kain sarung dijahit megar" Ha.
Ucapan mendadak Ifa tiba-tiba menarik dan mengagetkan Shilla dari pikirannya, Mas, tolong bikinin buat Shilla sekalian, ya" Shilla membelalak ke arah Ifa. Nggak usah, Fa! serunya. Ifa hanya tersenyum dan memegang tangannya. Sementara Mas Dipta kembali mencoret-coret kertasnya.
Waktu menunjukkan tepat pukul tujuh malam saat Shilla kembali memasuki kamarnya. Bi Okky sempat melotot sekilas saat membuka pintu gerbang dan mendapati gadis itu ternyata pulang cukup malam.
Shilla kini merebahkan dirinya di kasur. Setelah dari butik Mas Dipta tadi, Ifa dan Devta kembali mengajaknya mengitari Jakarta. Memesan suvenir, undangan, dan beberapa pernak-pernik pesta lainnya.
Undangan pesta Ifa nanti berbentuk cupcake, terbuat dari entah apa yang tekstur dan aromanya sangat teramat mirip cupcake asli. Kalau Shilla tak tahu itu salah satu bentuk undangan, pasti ia keburu tergoda mencicipi kue menggiurkan itu. Keterangan pestanya akan ditulis imutimut di kotak transparan berpita pembungkus cupcake itu. Sebagai tanda masuk dan kupon doorprize, akan dicantolkan sebuah kertas kecil yang ceritanya price tag cupcake tersebut.
Pestanya akan keren sekali, pikir Shilla. Selain diadakan di ballroom hotel bintang lima terkemuka di Jakarta, Ifa juga mengundang sebuah band ternama.
Shilla menarik napas perlahan lalu melirik ke arah meja kecil di sebelah ranjangnya. Bungkusan yang kata Ryo diberikan Arya itu tadi. Kira-kira apa ya isinya" Shilla baru saja hendak membuka bungkusan tadi saat tiba-tiba terdengar ketukan di pintunya. Heran, batinnya. Kenapa hari ini banyak sekali yang datang ke kamarku"
Tak lama kepala Deya menyembul dari pintu yang terbuka. Shilla, panggilnya, kata Bi Okky, uhmm... karena kamu dari tadi belum kerja, tolong ke kamar Tuan Ryo dan tanyain dia kenapa. Dari tadi nggak turun-turun.
Oh.. iya, Kak, kata gadis itu agak berat lalu menepuk-nepuk pipinya sepeninggal Deya. Memerintahkan bagian wajahnya itu agar tak usah memerah nanti.
Shilla merapikan diri sebentar sebelum akhirnya keluar, lalu terkejut karena ternyata Deya masih ada di depan kamarnya.


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kok kamu agak pucat, Shil" Sakit" tanya gadis berkacamata itu pelan, khawatir.
Shilla menggeleng pelan. Nggak papa kok, Kak, hehe. Baik-baik aja.
Oh. Deya mengangguk-angguk lalu melanjutkan, Kirain... Kemarin kamu pulang sampai dibopong Tuan Ryo ke kamar, soalnya.
Pipi Shilla ternyata tak mau diajak kerja sama, malah berkhianat lalu mulai membara dalam suhu tinggi lagi. Astaga. Ia menepuk-nepuk pipinya tak sabaran. Baru melihat pintu kamar Ryo saja kok sudah malu begini, batinnya tak habis pikir.
Kata-kata Deya terngiang terus di kepalanya sedari tadi, membuat wajahnya makin membara. Jadi yang semalam itu bukan mimpi" Hanya bagian bopong-membopong saja yang tidak ada dalam ingatan.
Shilla berdeham salah tingkah, lalu merutuk dalam hati. Kenapa pintu bergambar tengkorak mengerikan ini malah bikin aku grogi sih" Ia menarik napas perlahan lantas akhirnya bergerak untuk mengetuk bidang kayu di hadapannya.
Masuuuuk. Terdengar suara amat samar dari dalam. Shilla merasakan jantungnya memburu mendengar suara bariton itu, lalu menghirup napas sekali lagi dan memutar kenop, lantas memasuki kamar.
Di mana Ryo" pikirnya langsung ketika mulai mengedarkan pandangan. Makhluk itu tidak terlihat, padahal biasanya selalu berseliweran di dalam kamar. Shilla menyipitkan mata ke arah lantai yang lebih tinggi, memperhatikan gundukan selimut bergerak naik-turun di atas tempat tidur king-size Ryo. Eh, batinnya, ketika menyadari di sanalah orang yang sedang dicarinya. Haruskah Shilla naik ke sana"
T-tuan, panggil Shilla agak takut, setelah memutuskan menaiki undakan lalu mendekati tempat tidur Ryo.
Pemuda yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal bergambar kartun animasi The Cars itu membuka mata pelan dari bawah selimut. Ia tahu jelas suara ini. Shilla. Entah kenapa Ryo menahan senyum semringahnya, seketika melupakan kepalanya yang masih terasa pening.
Tuan, panggil Shilla sekali lagi.
Ryo memutuskan membuka selimut yang menutupi bagian wajahnya perlahan. Hah" tanyanya lemah.
Pucat sekali, batin gadis itu, tercekat ketika melihat wajah Ryo. Tuan sakit" tanya Shilla, benar-benar cemas. Sementara, Ryo mengangguk kecil lalu menunjuk dahi dengan telunjuk tangan kanannya, mengisyaratkan agar Shilla memeriksa dahinya.
Shilla menelan ludah, lalu memohon pada kedua pipinya agar tidak usah memerah. Ia pun bergerak mengulurkan tangan, lalu menyentuh pelan dahi Ryo.
Asyiiiiiik, batin Ryo seketika dalam hati lalu menambahkan batuk pelan agar sakitnya terlihat makin parah.
Lumayan panas, kata Shilla dalam hati, tak menyadari tambahan sedikit bumbu dramatisasi oleh tuan mudanya.
Pusing banget, ucap Ryo pelan.
Mm. Diukur pake termometer dulu gimana, Tuan" Kompres" Mau air hangat" Sup ayam" kata Shilla sekenanya. Biar saja. Di rumah ini, untuk tuan mudanya, ia kan bisa memesan segalanya.
Ryo mengangguk lagi. Semuanya. Gue pusing banget. Kayaknya gara-gara kemarin keujanan, katanya sengaja. Sementara Shilla merutuk pelan karena tuan mudanya mengungkit hal itu, membuat pipinya kali ini benar-benar berubah warna.
Ryo tersenyum tertahan, melihat pipi Shilla yang merona perlahan. Ia menahan keinginan yang tangannya untuk menjawil pipi gadis itu.
K-kalau begitu saya turun dulu, ya, kata Shilla buru-buru berniat kabur secepatnya.
Aduh, kata Ryo, memegangi kepalanya yang betul-betul pening, walau sebenarnya belum sesakit itu. Lo di sini aja. Itu mau mesen lewat telepon aja kan bisa, kata pemuda itu, sambil menunjuk telepon di samping ranjangnya.
Shilla mencibir, tiba-tiba bisa mencium bau busuk kesengajaan. Ia menimbang lalu akhirnya mendekati telepon yang berada di nakas, memencet extension dapur memesan semua yang tadi disebutnya.
Duduk di sini, kata Ryo setelah Shilla menyelesaikan ucapannya. Ia menunjuk bagian tepi ranjang tepat di sampingnya. Gadis itu terpaksa menurut, lalu duduk canggung di tempat yang ditunjuk Ryo. Kini ia bisa merasakan hawa panas benar-benar terpancar dari tubuh pemuda itu. Ryo berguling menatap Shilla yang memunggungginya, tidak melihatnya lalu menghela napas berat. Sebegitu tidak sukanyakah Shilla padanya" Apa lagi yang harus ia lakukan" Berteriak di hadapan Shilla"
Tiba-tiba rasa pening menyakitkan benar-benar menyerangnya lagi. Dunia mulai berjungkir-balik di kepala Ryo. Pemuda itu memegangi kepalanya, mengaduh pelan.
Duh. Shilla menoleh ke belakang, ikut-ikutan mengaduh. Bingung mau berbuat apa. Sa-saya panggil dokter aja gimana" tawarnya sambil berdiri, berniat beranjak lagi.
Tepat saat Shilla melangkah, ia terhenti karena tangan kokoh Ryo mencekalnya. Pemuda itu berkata lirih, Jangan... Gue hanya butuh elo... Di sini...
Shilla tersentak, berbalik lalu memandang Ryo dengan perasaan aneh yang bergemuruh di dadanya. Kehangatan jemari Ryo yang mendekap jemarinya, perlahan menyusupi kalbunya. Ryo menatap matanya dengan tajam, seolah hanya ingin ia tahu isi hatinya.
Shilla berupaya meraba apa yang tak terbaca, berusaha membaca alunan lagu dari ombak yang berkejaran di mata Ryo. Ia tertegun merasakan kehangatan asing yang tak henti menjalari punggung tangannya.
Ryo begitu nyalang menatapnya. Setiap helaan napas berat pemuda itu mengisyaratkan kata yang kian tak terbaca. Shilla berusaha memahami tatapan Ryo, namun tak ada yang didapatinya. Apakah yang berusaha ia cari di balik tatapan itu"
Ryo menghela napas dan melepaskan genggamannya. Tak ada gunanya. Gadis di hadapannya bahkan belum tahu apa yang bergemuruh di dadanya. Meskipun itu bukan salah Shilla juga. Membaca hati memang tak semudah kelihatannya.
Ryo bisa merasakan pening hebat kian menyerangnya. Seakan ribuan jarum menusuki kepalanya. Hawa dingin perlahan menjalari tubuhnya. Rasa dingin yang lebih parah daripada tiupan angin selatan paling ganas saat musim dingin paling mengerikan di belahan dunia barat sana.
Ketukan di pintu membuat Shilla bergegas membukanya. Ternyata pelayan yang membawakan pesanan Ryo tadi. Segelas air putih hangat, termos kecil, sebaskom air hangat, handuk kompres, termometer, dan semangkuk sup ayam yang masih mengepul.
Shilla membawa semua itu ke nakas di samping tempat tidur Ryo. Ia menarik bangku kecil dan meletakkannya tepat di pinggir tempat tidur.
Shilla mulai mengukur suhu tubuh Ryo dengan termometer. Betapa terkejutnya ia mendapati angka 39,3 derajat Celcius di sana. Astaga, batinnya, aku saja belum pernah demam setinggi ini.
Ryo bergidik pelan saat Shilla menekankan kompres hangat ke dahinya yang serasa melepuh. Ulu hatinya sakit. Hawa dingin mulai merayap dari sela-sela jari kakinya lagi. Mau mati rasanya.
Shilla ketar-ketir juga melihat Ryo menggigil hebat. Ia merapatkan selimut ke tubuh Ryo.
D-d-d-dingin, ucap Ryo pelan, wajahnya memucat. Shilla menghela napas, lalu meletakkan salah satu tangannya di pipi Ryo. Tanpa sadar, Shilla membelainya pelan. Ryo hanya terdiam sejenak. Seakan, karena belaian Shilla tadi, angin dingin yang menyerangnya dengan ganas mulai menjinak. Tubuh dan hatinya sedikit menghangat.
Tanpa ragu, Ryo meraih tangan Shilla yang menempel di pipinya. Ia menggenggam jemari gadis itu dengan telapak tangannya yang memanas.
Biar begini, desahnya teramat pelan, setengah tak sadar. Shilla membiarkan tangannya berada dalam genggaman kokoh Ryo. Ia perlahan menggerakkan tangannya, balas menggenggam tangan pemuda rupawan di hadapannya.
Ryo tersentak merasakan gerakan jemari Shilla. Sudahkah... Shilla mendapati isi hatinya" Mungkin ya, mungkin juga tidak. Cukuplah. Untuk saat ini, sudah lebih dari cukup. Ia membawa jemari gadis itu tepat ke dadanya.
Artikanlah tiap getaran ini lebih gamblang... isyarat Ryo. Lalu kedua pelupuk matanya mulai digelayuti kantuk dan akhirnya terpejam. Ryo mendengkur pelan.
Shilla terkesima ketika merasakan detak jantung Ryo yang memburu di tangannya. Entah pengaruh kondisi tubuhnya atau hal lain. Shilla menghela napas. Seiring semakin terlelapnya Ryo, genggaman tangan pemuda itu pun mengendur.
Gadis itu menarik dan tanpa sadar, mengelus tangannya sendiri. Masih ada kehangatan itu di sana dan sedikit... membekas di hatinya. Shilla menyibak beberapa helai rambut yang jatuh menutupi kening Ryo. Perasaan aneh merambatinya saat melihat Ryo tertidur dengan hela napas satu-satu.
Ryo& seperti ini& karenanya... Untuknya... Buat apa" Tak terketukkah hatinya"
Sil& a... Ryo menggumam pelan secara tak sadar. Shilla kembali menatap sosok itu. Ada getaran aneh yang merayap di hatinya. Apa itu" Apakah ia sudah tahu" Tapi berusaha pura-pura tidak tahu" Cukup beranikah ia jujur pada perasaannya sendiri" ***
Ryo tertidur tidak begitu lama. Pagi-pagi buta ia terbangun dan agak terkejut mendapati Shilla tertidur dalam posisi duduk di lantai, di tepi ranjangnya. Kedua tangan gadis itu terlipat rapi, menopang kepalanya yang terkulai miring di atas tempat tidur.
Ryo mengulum senyum, mengulurkan tangan dan menjawil pipi Shilla. Ia tidak tahan untuk tidak melakukannya. Keadaannya sudah membaik. Jelas sudah tidak sepusing kemarin. Ia mengecek dahinya, sudah tidak begitu panas. Baguslah. Penyakit memang tidak pernah lama menghinggapi tubuhnya, jadi, tak perlu lama-lama mencemaskannya.
Ryo menarik napas, mengulurkan tangan lagi lalu dengan ragu mulai mengelus pelan puncak kepala Shilla, ia bergumam, Thanks. Lalu tersenyum tipis.
Perlahan, ia bangun. Ia melewati Shilla, berusaha tidak membangunkan gadis itu. Ia membutuhkan udara segar lalu memutuskan menuju balkon kamarnya.
Waktu menunjukkan kurang-lebih pukul tiga pagi. Langit masih berwarna biru kehitaman dengan butir-butir bintang yang tersisa. Ryo mendesah pelan, menatap halaman samping dari sana.
Ryo mengelus pipinya perlahan. Kemarin malam, Shilla mengelus pipinya. Ha ha ha. Arya saja mungkin belum pernah. Ryo terkekeh sendiri. Ah, indahnya dunia, pikirnya. Tidak apa-apa juga sering sakit asal mendapat elusan seperti itu tiap hari.
Tak lama, terdengar gerakan-gerakan panik pelan dari pintu kaca di belakangnya. Ryo tersenyum kecil mendapati Shilla yang tadinya tampak mengantuk kini membelalak menatapnya.
Nyariin gue" tanya Ryo pelan sambil menggeser pintu kaca. Shilla mengangguk sambil sedikit mengerucutkan bibir.
Khawatir" tanya Ryo senang, merasakan monster di dadanya hampir melonjak kegirangan.
Shilla mengangguk tidak rela. Bukannya kenapa-kenapa, kilahnya, saya kaget Tuan tahu-tahu ilang. Kalo diculik dedemit, nanti gimana jelasinnya"
Pemuda itu hanya tersenyum kecil. Yang intinya, lo khawatir. Shilla mencibir, mati-matian mempertahankan alibi. Soalnya kalo Tuan tahu-tahu ditemuin nggak bernyawa, yang jadi saksi matanya saya. Kalo saya nggak punya alesan yang pantes, nanti saya dipenjara.
Ryo berbalik ke arah balkon sambil terus tersenyum-senyum sendiri, membuat Shilla kesal setengah mati melihatnya dan menegaskan, Pokoknya saya nggak khawatir.
Ryo mengangkat alis, berpikir sebentar. Ah, ujarnya tiba-tiba perlahan menjatuhkan tubuh sambil memegangi kepalanya.
Tuan! Secara refleks, Shilla bergegas maju dan menopang tubuh limbung Ryo yang ternyata kelewat besar bagi tubuhnya. Hampir saja ia tertimpa, kalau Ryo tidak segera menahan tubuhnya sendiri dan menyambar pinggang Shilla.
Tatapan mereka bertumbukan dengan desah napas yang seirama. Dengan jarak hanya beberapa senti, Shilla bisa menghirup lagi aroma parfum Aigner milik Ryo.
Ryo masih menatap mata Shilla. Tatapannya dalam dan gamblang. Berupaya mencairkan kode es itu lagi agar Shilla dapat menebak maksudnya.
Shilla merasakan pipinya memanas. Tubuhnya menempel erat sekali dengan tubuh Ryo.
Elo... khawatir, kata Ryo tegas, menangkap raut cemas yang jelas sarat di mata gadis dalam dekapannya.
Shilla menunduk, menyembunyikan jendela hatinya itu dari tatapan tajam Ryo. Buru-buru ia memperbaiki posisinya. Sial, ia dikerjai lagi.
S-s-saya keluar dulu, kata Shilla salah tingkah lalu buru-buru pergi. Sementara, Ryo cuma tersenyum miring menatap kepergian Shilla seraya berucap dengan suara yang pasti sampai di telinga gadis itu.
Lo nggak bakal bisa ngebohongin gue, kata Ryo yakin sambil tersenyum memikat.
Brengsek! Rutuk Shilla kesal sambil bersandar pada pintu kamar yang baru ia banting di belakangnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal. Tidak habis pikir kenapa ia bisa ditipu makhluk yang satu itu. Ia mendengus, mencaci juga kedua pipinya yang terlalu mudah merona. Bisa makin menjadi nanti tuan mudanya itu. Hhh.
Shilla menarik napas lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Berusaha mencari pengalih perhatian agar otaknya tidak melulu memikirkan kejadian tadi. Matanya seketika tertumbuk pada benda di meja rias kecilnya. Bungkusan dari Arya.
Ia meraih bungkusan itu dan duduk di ranjangnya. Ia merobek bungkusan cokelatnya, lalu mengernyit heran saat sebuah kotak terjatuh ke pangkuannya.
Ponsel" Untuk apa Arya memberinya ponsel" Ponsel itu tampaknya memang bukan model tercanggih seperti milik Ryo atau Ifa, tapi ia tahu dan yakin ponsel di pangkuannya ini juga tidak murah.
Shilla menggigit bibir lalu membuka memo yang berisi pesan dari Arya. Inti pesannya adalah, pemuda itu memberikan ponsel ini agar Shilla bisa menghubunginya saat ada keperluan mendesak, apalagi soal Ryo (Shilla mencibir). Ponsel ini sudah dipasangi nomor abonemen yang tagihannya akan dibayar langsung per bulan oleh Arya.
Wuih, canggih juga. Padahal kan Arya nun jauh di sana, batin Shilla lalu memutuskan mengaktifkan ponsel tersebut dan mengirim SMS dengan susah payah ditambah bantuan buku panduan pada sederet nomor telepon genggam internasional yang tertera di sana sebagai nomor ponsel Arya.
Shilla mengucapkan terima kasih pada Arya yang begitu baik. Ah... Arya... pikiran Shilla menerawang. Tampaknya majikannya yang satu itu tetap menjadi malaikat penolong di mana pun dia berada. Hatinya kembali berdesir pelan.
Shilla masih berbunga-bunga sehabis membuka bungkusan dari Arya. Maka, walaupun agak tidak sudi, ia mengiyakan perintah Bi Okky untuk mengantarkan sepatu pantofel hitam mengilat milik Ryo.
Tak lama setelah Shilla mengetuk dengan wajah sedikit ditekuk, ternyata Ryo sendiri yang membuka pintu. Pemuda itu kontan tersenyum semringah kala melihat objek godaannya manyun memegangi sepatu sekolahnya.
Masuk, kata Ryo dengan nada memerintahnya yang biasa. Shilla mendelik sambil mengacungkan sepatu di tangannya. Saya cuma mau anter sepatu.
Ryo tersenyum meremehkan. Dasar pembantu baru, katanya sambil berdecak lalu menggeleng-geleng sok prihatin. Kalo di sini etikanya yang nganterin sepatu harus makein juga, lanjutnya, mengada-adakan ketentuan yang sebenarnya sudah menghilang sejak ia lulus dari bangku sekolah dasar.
Hah" kata Shilla spontan lalu mendengus dan bertanya-tanya dalam hati sebenarnya Ryo ini bocah umur berapa hingga tak bisa memakai sepatu sendiri.
Ryo menarik napas, berbalik, dan mengempaskan tubuh ke sofa kecil di kamarnya. Lalu ia meletakkan kakinya di atas bantalan yang tergeletak di lantai.
Shilla mendengus sambil diam-diam mengutuk tampang pongah Ryo, yang ingin sekali ditinjunya. Dengan tampang superkecut, ia pun melangkah pelan lantas bersimpuh di hadapan Ryo dan memakaikan sepatu mahal keluaran asli Italia itu ke kaki tuan mudanya.
Ryo hanya tersenyum-senyum. Senang sekali mengerjai gadis di hadapannya ini. Ia mengangguk-angguk pelan saat Shilla selesai memakaikan sepatu, lalu berdiri.
Saya permisi, Tuan, gumam gadis itu pelan, masih kesal, lalu mulai berbalik dan berniat berjalan ke luar. Tepat ketika suara bariton Ryo tiba-tiba berseru lagi.
Heh... Lo berangkat sama gue! katanya dengan nada lugas. Shilla perlahan berbalik lagi lantas berkata sambil tersenyum masam, Nggak usah. Terima kasih...
Ryo mengernyit sambil menggigit bibir, seakan menimbang penolakan Shilla lalu berkata menyebalkan, This is a command. And since I am your master, you have to obey me. Your master" Hell-o" Shilla memutar bola matanya kesal.
Just take it as an advantage, okay" At least you don t have to get pushed over by the people on the bus this morning, tukas Ryo lagi, lalu mulai berdiri sambil merapikan seragamnya.
Mending aku desak-desakan di bus daripada semobil sama Ryo.
Gue tunggu lo di mobil, lima menit lagi, kata Ryo tegas, lalu berjalan mendahului Shilla meninggalkan kamar.
Ryo berdeham, mengenakan kacamata hitamnya lalu mematut diri di spion sebelum akhirnya mulai menstarter dan perlahan menjalankan mobilnya. Ia tertawa dalam hati melihat Shilla mengerucutkan bibir di sebelahnya.
Seharusnya lo bersyukur. Banyak tau, cewek yang mau ada di posisi lo sekarang, kata Ryo pelan, mengatakan kebenaran walau terlalu gamblang hingga terkesan over-pede sambil melajukan Jaguar, kendaraan yang dipilihnya untuk menembus hiruk pikuk Jakarta pagi ini.
Ha, tanggap Shilla datar. Sini deh siapa yang mau tukeran. Sekarang juga boleh, batinnya pelan.
Shilla menghela napas sambil bersedekap, lalu berbalik mengurai lipatan lengannya begitu merasakan ponsel barunya bergetar dalam saku. Mungkin balasan dari Silvia, pikirnya. Tadi pagi ia memang menemukan notes kecil berisi nomor ponsel yang diberikan sohib karibnya di kampung dulu itu.
Ryo sontak tertarik untuk menoleh dan memperhatikan Shilla yang masih memenceti ponselnya dengan penuh kehati-hatian. Ia mengernyit. Hape siapa tuh" tanyanya otomatis.
Saya, jawab Shilla sekenanya, dengan canggung memencet keypad ponselnya.
Dari siapa" Tuan Arya, jawabnya singkat, masih berkonsentrasi membalas pesan singkat yang ternyata benar dari Silvia.
Oh. Jadi isi bungkusan waktu itu ponsel, batin Ryo lalu melirik Shilla lagi dan seketika menjerit frustrasi dalam hati. Kesal sekali ia melihat gadis itu begitu lembut menggunakan ponsel dari kakaknya. Arya lagi, Arya lagi.
Tempramen yang tiba-tiba menanjak tinggi membuat Ryo menekan gas semakin dalam, menyebabkan mobilnya terbang semakin cepat.
Jarum spidometer bergerak naik dan terus naik, membuat Shilla mau tak mau sedikit terlonjak dan memegangi sabuk pengaman kuat-kuat dengan satu tangan. Lagi-lagi ia harus merasakan cara Ryo yang seenak udel dalam membawa kendaraan.
Ketika mereka akhirnya tiba di sekolah, Ryo bergegas mematikan mesin dan turun lebih dulu, lalu tergesa memutari Jaguar-nya dan berdiri di depan pintu penumpang. Ia kontan memajukan tubuhnya ke arah Shilla yang baru saja keluar, mengurung gadis itu dengan kedua lengannya yang menempel ke kap mobil. Shilla terpaksa menempelkan punggungnya ke bodi Jaguar.
Bilang apa" kata Ryo dengan pandangan berbahaya. Shilla kontan memundurkan kepalanya, jengah saat merasakan sapuan napas Ryo di wajahnya. Mau bilang apa dia" Terima kasih" Sori saja, ia juga mau ikut karena dipaksa.
Bilang apa" tanya Ryo lagi, kian memajukan wajahnya hingga kepala Shilla semakin mendongak.
Gadis itu menghela napas, merasakan urat lehernya berontak lalu memutuskan berkata cepat, Besok-besok nggak perlu repot-repot anter saya, Tuan! Dengan nekat, ia mendorong tubuh Ryo dan terbirit-birit mengambil langkah seribu.
Ryo melotot menyaksikan gadis yang berhasil kabur dari kurungannya itu. Sial, makinya pelan sambil menendang ban depan mobilnya. Sehabisnya ia kesakitan karena ternyata objek tendangan itu lebih tangguh daripada kaki malangnya.
Dari kejauhan, seseorang menyaksikan adegan itu dengan raut tidak senang.
Eh, eh, eeeeh gue punya berita! Masa tadi ya gue liat si... Ryo"
Kok tahu" Emang topik lo bisa jauh-jauh dari dia" Dasar gila. Radar Bianca sontak memekik-mekik ketika telinganya menangkap nama itu. Ryo" Ryo-nya" Ia melirik meja kafeteria sebelahnya. Menyadari gerombolan siswi di sanalah yang sedang membicarakan Ryo.
Bianca mencibir. Mereka nggak sadar gue ada di sini, sampe berani ngomongin Ryo" batinnya. Ia hendak mendamprat, namun kemudian mengurungkan niat karena tertarik ingin ikut mendengarkan.
Hehehe. Lanjut, ah. Jadi, tadi... Tadi gue liat dia berangkat sama cewek yang kemaren lagi ituuu. Huaaaaa!
Itu ceweknya bukan sih" Penasaran gue. Meneketehe. Tapi manis sih.
Yang mana sih" Belom pernah liat gue.
Adaaa. Eh eh gue belom selesai cerita. Mereka juga pulang bareng terus katanya. Kan si Vali kemaren pas di belakang mobilnya Ryo. Vali iseng nge-stalk gitu, terus katanya mobil Ryo langsung masuk ke Airlangga.
Sama tu cewek" Iyaaaaa! Gila nggak tuh" Serius bener kali ya ampe dibawa ke rumah"
Emang rumah Ryo di sono" Iya, dodol. Ke mana aja sih lo, Yol"
Bianca mengangkat sebelah alis dan ujung bibirnya. Apa-apaan maksudnya itu" Ryo mengajak gadis sampah itu ke Istana Luzardi" ME-NGA-JAK"
Seumur-umur Ryo tak pernah mengajak siapa pun ke rumahnya (kecuali Mai, desah Bianca.). Ia saja tak pernah masuk ke kediaman Luzardi jika tidak ada acara. Tapi, gadis itu..."
Bianca mengepalkan tangannya kuat-kuat lalu berdiri, menendang kursinya hingga terbalik dan beranjak pergi dari kafeteria.
Iya, iya. Gue titip Moochie gue. Udah lo bawa ke rumah lo, kan" Iya. Masa gitu aja nggak ngerti"
Bianca menghela napas kesal, terdiam sebentar mendengar cerocosan salah satu dayangnya. Iya, kan tadi lo liat sopir gue bawain CR-V pas istirahat kedua terus dia langsung pulang... Apa" Kenapa gue mesti ganti mobil" Gue mau nge-stalk orang, Pikaaaaa.
Moochie itu udah terlalu terkenal trademark-nya gue. Sama aja gue buka identitas kalo pake tu mobil, apalagi Ryo hafal. Ya udah, besok lo bawa aja ke sekolah Moochie-nya. Ya udah ya, bye.
Gadis itu mematikan sambungan dari tombol pada kabel earphonenya, lalu kembali memperhatikan gerbang hitam menjulang di seberangnya.
Ia melirik jam digital di dasbor dan langsung melotot. Dua setengah jam. Sudah dua setengah jam, kenapa cewek itu tidak keluar-keluar juga" Bianca menggigiti bibirnya, kesal. Dan ini hampir petang.
Bianca mengecilkan volume siaran radio favoritnya yang sedari tadi mengudara untuk memecah kebosanan, lalu meraih ponselnya dan mengetik cepat.
To: Ryo Ryo, lagi di mana" Beberapa lama setelahnya, baru terdengar bunyi balasan. From: Ryo
Kamar. Bianca membelalak ngeri. K-kamar" Lalu gadis miskin itu juga ada di dalamnya, begitu" Mana mungkin" bantahnya sendiri. Tapi, mana mungkin Ryo meninggalkan gadis itu sendirian di ruang tamu" To: Ryo
Sm siapa" Bianca mengetik dengan gemetar. From: Ryo
Siapa aja bolehlah. Kamar, kamar gue.
Bianca menghela napas dalam-dalam. Sakit hati jika memikirkan mengapa setiap hari Ryo mengajak gadis itu ke rumahnya. Siapa dia sebenarnya"
Lalu seakan menjawab pertanyaannya, tepat ketika ia kembali memalingkan wajah ke arah gerbang, sesosok tubuh keluar dari pintu samping sambil membawa kantong sampah berukuran jumbo.
Bianca menyipitkan mata begitu serius hingga kepalanya hampir pening, merasa mengenali siluet dalam balutan seragam pelayan keluarga Luzardi itu.
Mungkinkah... ADIS itu berteriak kencang kepada lelaki di ujung ponselnya, I. DON T. WANNA. HEAR. ANY. EXCUSE! katanya geram, desis tajamnya memantul dari dinding granit di sekitarnya. Eeeergh, kenapa sih papinya mempekerjakan orang tidak profesional begini"
Search EVERYTHING about the name I texted you. EVERY TINY LITTLE PIECES of information. Or just STALK her, you IDIOT! sergah gadis itu lalu membanting ponselnya ke lantai marmer di samping Jacuzzi-nya.
Shilla! Gadis itu menghela napas pelan, menoleh ke belakang lalu mengerutkan kening menyadari siapa yang baru saja menyerukan namanya.
Bab 11 Ryo" Kenapa, Tu... Shilla sontak menghentikan niat untuk mengucap sebutan resminya pada pemuda itu, menyadari mereka masih berada di lorong sekolah.
Mau ke mana" Kafeteria"
Hah" ujarnya otomatis, jelas bingung ada angin apa tuan mudanya menanyakan hal seremeh itu.
Kemudian, menyadari Ryo masih menunggu jawabannya, Shilla menggeleng. Istirahat pertama ini memang mau digunakannya untuk mengunjungi perpustakaan, sehingga ajakan jajan Ifa dan Devta pun tadi juga ditolaknya. Ia berniat meminjam novel yang sempat direkomendasikan Zera kemarin.
Emang lo mau ke mana"
Shilla mengernyit lagi sebelum menanggapi, benar-benar tidak mengerti maksud Ryo menanyainya terus. Ke perpustakaan.
Ryo membelalak. Perpus" Lo saking nggak ada duit atau gimana sampe mau makan buku"
Shilla hanya mendengus. Ryo berdecak, lalu meraih sebelah tangan Shilla dan menariknya. Temenin gue ke kafeteria aja, yuk.
Hah" Adalah satu-satunya reaksi alamiah yang bisa diberikan gadis itu.
Shilla, menahan tangannya, tak mau beranjak. Eng... Nggak. Saya mau ke perpustakaan aja.
Eeeeeeh. Lo ngebantah perintah gue" ucap Ryo, berbalik lalu menatap gadis itu sambil melotot.
Shilla mendesis pada Ryo, lalu berusaha menarik tangannya dari kurungan tangan pemuda itu.
Ryo kontan melengos, mengasihani upaya sia-sia Shilla melepaskan diri, karena kekuatan gadis itu kecil sekali. Ia menahan tangan Shilla lebih kuat, lalu melangkah maju merapatkan diri pada gadis yang kini malah diam terperangah.
Lo mau gue pecat" ancamnya pelan. Ancaman basi ini lagi, batin Shilla bosan.
Gadis itu mengangkat satu ujung bibirnya kesal. Pecat aja kalau Tuan mau, tantangnya, lalu menyentakkan tangan ia merasakan jemari Ryo mengendur dan bergegas kabur sambil menjulurkan lidah.
A... Ganti Ryo yang kini terperangah, lalu tak lama setelahnya tertawa memandangi punggung Shilla, tak percaya karena sang mangsa berhasil mengelabuinya lagi. Ia pun mulai melangkah sambil tersenyumsenyum sendiri.
Sementara, tanpa disadari, ponsel seseorang bergetar tak jauh dari Ryo dan Shilla berada. Bianca masih berusaha mengatur napasnya yang memburu karena amarah, sambil bergerak mengambil benda yang memanggilnya.
Sudah beberapa hari ini ia menunggu. Akhirnya.
Setelah beberapa saat, Biaca masih memandangi barisan pesan layar ponselnya dengan mata membelalak.
Jadi... Jadi... Jadi spekulasinya...
Bianca perlahan menganga lalu mulai tertawa tak terkendali setelahnya. Gadis itu menggeleng-geleng terkejut sekaligus kegirangan, hingga akhirnya menguasai diri dan terdiam.
Jika diingat-ingat, memang ada kejanggalan yang baru disadarinya sekarang. Kalau memang gadis itu orang tak berpunya, bagaimana bisa dia masuk Season High"
Beasiswa" Bianca menggeleng. Ia hampir tahu semua nama siswasiswi penerima beasiswa di sini, karena papinya salah satu dewan pasif. Tapi seingatnya tak ada murid beasiswa baru-baru ini, apalagi di tengah tahun ajaran.
Berarti semuanya sesuai. Senyum licik tak pupus dari wajah Bianca saat ia mengucap dalam hati. Shilla... Ternyata...
Shilla terbirit-birit menuju toilet. Cairan di kandung kemihnya sudah berteriak-teriak minta dibebaskan. Ah, untung sepi, pikirnya otomatis begitu memasuki toilet. Ia pun bergegas masuk ke salah satu bilik.
Tak lama setelah ia menutup pintu bilik, pintu utama toilet terdengar terbuka lagi. Shilla kontan memasang telinga. Ia selalu tertarik mendengar ocehan anak-anak kaya di sini, walaupun kebanyakan tak ia mengerti. Ryo berangkat sama cewek itu lagi"!
Serius, La. Orang banyak yang liat kok.
Anjiiiir. Canggih juga pangeran es kita bisa cair begitu! Pangeran es" Si Ryo itu" Hoeeeek. Shilla pura-pura muntah lalu bergidik. Eh, tapi, ia terdiam, menyadari sesuatu. Cewek yang diomongin itu aku, ya" pikirnya.
Emang kelas berapa ceweknya"
Anak baru kan kalo nggak salah" Kelasnya Ryo juga. Sekelas" Panteeeeees. Pantes bisa deket.
Nggak jamin, ah. Gue dulu di waktu SMP tiga tahun sekelas, dianya lempeng-lempeng aja.
Yeh, itu mah elonya kali nggak ada daya tarik, Yolla. Hahaha. Sialan! Cakepan gue juga kali, daripada tu cewek. Liat aja style-nya, ordinary banget. Bingung gue si Ryo liatnya apaan.
Iya juga sih. Jangan-jangan pake pelet, lagi. Aiiiih. Ckckck. Apa mau kita ajarin biar tahu diri" Anak baru ini, kan" Kasih dikit aja, La.
Shilla menelan ludah. Mengerikan sekali pemilik suara manja yang sepertinya dipanggil Yolla itu. Bundaaaaa, mau diapain aku" jeritnya dalam hati. Diam-diam ia mengutuki Ryo. Kenapa ia baru menyadari tuan mudanya ternyata memang setenar ini sih" Gawat.
Shilla pun memutuskan mendekam lebih lama dalam bilik. Berbeda dengan Bianca yang tak takut ia hadapi, entah kenapa ia kini malah gentar membayangkan akan menghadapi gerombolan cewek itu.
Bianca itu satu, ini banyak. Diserang gerombolan perempuan yang sedang marah itu lebih mengerikan daripada diserbu kawanan singa kelaparan.
Mau ngajarin siapa, La"
Shilla mengernyit. Menyadari yang tadi berbicara itu suara baru, meski tak asing baginya. Ia mencoba mengingat. Ah...
Bi" Eh... Yolla terdengar tertawa gemetar. Bianca, ternyata baru keluar dari salah satu bilik. Shilla kembali menajamkan pendengaran. Mau ngajarin siapa, La"
Ah. Ng... Nggak. T-tapi... Yolla terdengar berusaha mengumpulkan keberaniannya saat melanjutkan, Lo tahu soal ceweknya R-ryo itu kan, Bi"
Yang jelas gue lebih tahu daripada lo semua. O-oh iya. Pasti.
Tolong lo sama temen-temen lo keluar ya, La. Gue mau pake cermin.
Shilla tersenyum kecil setelahnya. Kecongkakan Si Bianca itu ternyata mendarah daging, dan menjadi semacam bakatnya, mungkin.
Shilla merapikan seragamnya, lalu memutuskan keluar dari bilik. Kalau Bianca seorang diri saja sih, ia tidak takut.
Eh, elo. Shilla mengangkat alis, mendapati sapaan Bianca yang ternyata sedang memulas bibir dengan lipgloss dan melihatnya dari cermin. Udah lama di situ"
Shilla hanya diam. Cukup lama buat denger semua pembicaraan Yolla tadi" Bianca tersenyum pada pantulannya, lalu berbalik, kini menghadapi Shilla yang masih memasang wajah datar walau tak mengerti.
Tenar ya lo sekarang. Di mana-mana jadi pembicaraan. Ckck. Bianca mencibir. Tapi ketenaran nggak selamanya baik, ya" Lo denger sendiri kan, tadi" Liat penampilan lo yang lebih minus daripada Yolla aja, yang lain udah pada mencak-mencak. Apalagi... Kalo tahu siapa elo sebenernya.
Shilla menatap rivalnya dengan keterkejutan yang tak mampu ditutupi kali ini.
Bianca tersenyum manis. Gue tahu kok siapa sebenernya elo dan... apa pekerjaan elo.
Habislah dia. Shilla mematung, meski masih mempertahankan wajah tanpa ekspresinya.
Lo bener-bener nggak sadar ya, betapa banyaknya pemuja radikal majikan lo" Berapa banyak yang lebih gila daripada gue" Lo nggak tahu ya, betapa bisa menakutkannya pelecehan verbal dari gerombolan massa itu"
Shilla mencengkeram ujung blazernya. Ia tak takut pada Bianca. Tapi jika Bianca dikalikan sepuluh, ia benar-benar tinggal tunggu mati saja.
Bianca bergerak lebih dekat ke arah Shilla. Lo juga nggak tahu ya, berapa banyak yang bisa jadi psikopat kalau seandainya mereka tahu Ryo suka sama pembantu kayak lo"
Shilla mengerutkan kening. Apa" tanyanya memastikan. Iya, pembantu. Lo... pembantu, kan" Bianca mengangkat alis, tersenyum licik.
Bukan. Bukan fakta itu masalahnya. Shilla mencengkeram blazernya lebih kuat. Ryo... Ryo suka padanya" Mungkinkah"
Nggak mungkin, serunya pelan, memandang dalam kekosongan. Apanya yang nggak mungkin" Gue liat sendiri kok elo kelu... Shilla menggeleng sendiri. Ryo nggak mungkin...
Sekarang Bianca yang mengerutkan kening, memperhatikan Shilla yang benar-benar tampak syok. Dan ini jelas bukan karena pekerjaannya telah diketahui oleh Bianca.
Ah. Bianca mulai sadar dari mana asal keterkejutan Shilla. Ia memandang musuhnya tak percaya. Lo... Bener-bener nggak sadar kenapa sikap Ryo begitu baiknya sama lo" Bianca tertawa sinis.
Tapi... Shilla terdiam lagi, belum sepenuhnya mencerna. Ia masih terlalu dibingungkan oleh spekulasi Bianca. Masa.....
Lo... nggak suka Ryo" tanya Bianca tak percaya.
Apa" Shilla tersentak lagi begitu meresapi pertanyaan Bianca lalu menggeleng pelan, tampak ketakutan pada kenyataan, terlebih pada perasaannya sendiri.
Lantas begitu menjawab, ia terdengar seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri Eng... Ngga. Aku.... nggak mungkin suka sama Ryo. Bianca mengernyit lagi. Menyadari sikap Shilla tidak seperti biasanya. Bianca jelas menyadari Shilla tidak terlalu terancam dengan kenyataan bahwa ia mengetahui rahasia besarnya, melainkan ketakutan karena masalah lain.
Bianca menimbang-nimbang, lalu mencoba mengancam sebagaimana rencana awalnya. Buktiin kalo memang begitu. Jauhin Ryo gue. Atau gue sebarin kalo lo itu cuma pembantu keluarga Luzardi yang matimatian ngejar Ryo.
Shilla kini memandang Bianca, keraguan berpijar dalam dua matanya, lalu tak lama ia mengangguk.
Bianca tersenyum meski sebenarnya heran. Segampang... ini" batinnya tak menyangka.
Shilla melangkah perlahan menyusuri koridor sekolah sambil memainkan tali ranselnya dan merenung. Yang dipikirkannya masih tetap sama, ucapan Bianca tadi.
Bahkan kebenaran bahwa musuh congkaknya itu sudah mengetahui identitasnya tidak begitu mengusiknya. Ia menghela napas, mencoba mengingat-ingat sikap Ryo selama ini.
Jika dibandingkan, sikap pemuda itu memang berubah semenjak kepergian Arya. Bahkan ce...
Shilla! Shilla sontak menoleh mencari-cari ketika mendengar panggilan itu, lalu mengernyit saat melihat sosok Ryo berlari ke arahnya. Gue kira lo udah pulang. Dari mana"
Gadis itu terdiam, diam-diam mencoba mulai membandingkan. Benar juga. Kenapa ia baru menyadari Ryo jadi lebih perhatian" Normalkah ini"
Yeh, gue tanya jawab, babu!
Shilla mengernyit. Mendapati, bahkan celaan terang-terangan Ryo terasa benar-benar berbeda kali ini, jika dibandingkan dulu. Ia mendongak, lalu menatap pemuda di hadapannya lekat-lekat, mencoba mencari tahu.
Ryo mengernyit, lalu mendadak memalingkan wajah, salah tingkah diperhatikan begitu. Ngapain sih lo ngeliatin gue"
Shilla akhirnya menoleh, memandang dinding. Gadis itu tepekur menyimpulkan bahwa sikap Ryo padanya benar-benar berubah. Tapi mungkinkah"
Ryo berdeham, lalu memperhatikan Shilla. Lo kenapa sih" Mau tak mau ia senang juga, mungkinkah gadis ini sudah mengetahui isi hatinya"
Sementara Shilla masih juga bingung karena kegalauannya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri" Apa ia juga...
Hari ini pulang sama gue lagi aja, ya"
Shilla tersentak, Ryo lagi-lagi seenaknya menggenggam dan menarik tangannya. Ia terdiam, kala mendengar debar teredam yang melaju cepat di tengah kesenyapan. Dari mana bunyi itu" Mungkinkah...
Shilla menarik tangannya hingga terbebas lalu menggeleng samar. Tak boleh. Ryo tak boleh. Dirinya tak boleh.
Saya, mulai Shilla pelan.
Hmm" tanya Ryo, mengangkat sebelah alisnya.
Shilla menghela napas lalu memandang tuan mudanya. Saya... mulai hari ini dan seterusnya mau pulang dan berangkat sendiri. Tuan... tolong jangan terlalu memperhatikan saya.
Ryo tersentak. Kenapa"
Shilla mengucap, Aaa& pelan lalu mendadak terdiam, teringat bahwa Bianca sempat memperingatkannya untuk tidak memberitahu Ryo perihal ini.
Gadis itu menunduk lalu berbicara cepat. S-saya cuma pelayan. Shilla lantas membungkuk sekilas ke arah Ryo, lalu bergegas pergi tanpa menghiraukan tuan mudanya yang masih mematung di belakang.
Kurang-lebih satu setengah bulan berlalu, dan segalanya mulai mencapai titik meragu. Ryo tidak mengerti mengapa Shilla terus membentangkan jarak kelewat jauh, hingga terlalu sulit kembali ia rengkuh. Ada apa sebenarnya" Ia juga tak tahu.
Shilla selalu menemukan cara untuk menghindarinya bahkan meski ia berada dalam radius sepuluh meter. Padahal sejujurnya Ryo rindu. Melihat tawa Shilla. Senyum terpaksa dan bibir mencela yang membuatnya menahan tawa, selalu. Namun sayangnya, rasa itu harus selalu terbendung di balik barikade yang sengaja diciptakan.
Shilla ternyata masih terlalu takut pada hatinya sendiri. Entah sebenarnya apa atau siapa yang menjadi momok, ia juga tak mengerti.
Di sisi lain, Bianca, yang jelas menyebabkan dan memanfaatkan hal ini, secara teliti terus membaca setiap pergerakan. Dengan semakin lebarnya jurang antara Ryo dan Shilla, maka semakin memudar dan hilanglah berita yang menggaungkan bahwa kepemilikan hati pangeran keluarga Luzardi itu sudah tercuri.
Setelah dirasanya waktu telah cukup menyembunyikan ancaman bukti, Bianca berencana melancarkan tindakan agresif-persuasif pada Ryo lagi. Dan ini, langkah pertamanya.
*** Season High, seminggu kemudian.
Satu hal yang menjadi headline dan highlight di Season High hari-hari ini adalah: Pesta Aluna Syifa a.k.a Ifa. Acara ini menjadi headline bukan hanya karena kenyataan bahwa Ifa ketua OSIS yang mengundang seluruh penghuni sekolah, dari petugas kebersihan hingga kepala yayasan untuk ikut serta dalam perhelatannya. Acara ini pun dikabarkan berpotensi menggeser kedudukan pesta Bianca yang sampai sekarang masih memegang gelar event terakbar se-Season High tahun ini. Belum lagi fakta bahwa acara Ifa sedikit memaksa para hadirinnya untuk membawa pasangan, sehingga konsep matang kerajaan dengan kedatangan duke dan duchessnya dapat tereksekusi sempurna.
Hal terakhir inilah yang paling banyak menimbulkan pembicaraan. Sepertinya semua orang di koridor sekolah memperbincangkan siapa akan datang dengan siapa, siapa yang begitu nerd-nya hingga belum mendapat pasangan, atau siapa yang terlalu populer hingga menjadi rebutan.
Dan yang beruntung menjadi objek penderita dari topik terakhir tadi, salah satunya adalah Aryo Luzardi kita.
Sebenarnya Ryo bosan sekali, mendengar dengung hal yang sama setiap kali di sekolah. Belum lagi sekelompok gadis penggemar berisik tak henti menguntitnya sejak beberapa hari lalu.
Ryo belum punya pasangan" Pertanyaan sama untuk kesejuta kali ini lagi.
Pemuda itu memejamkan mata, menarik napas lelah lalu menoleh ke arah gerombolan gadis yang langsung menjerit histeris begitu ia dengan kesal menatap mereka satu per satu.
Kenapa elo semua nggak balik ke kelas sih"! Istirahat kan udah lewat! bentaknya. Bingung sekali karena kini ia telah duduk di kursinya di kelas namun gerombolan itu masih ada.
Kan semua guru ada rapat sampe jam keenam nanti. Masa elo nggak tahu" jawab seseorang, yang langsung disambut cekikikan oleh yang lain.
Ryo mendesah. Ia mendongak, tapi sontak merasa salah menaruh pandangan. Tepat di depannya, akibat perputaran baris kelas per bulan, tak lain dan tak bukan, kini adalah Shilla. Yang membuat Ryo makin miris saja.
Ryo jelas tahu siapa yang mau diajaknya pergi bersama jika keadaan masih seperti biasa. Ia menarik napas pelan, lalu memutuskan mengajak bicara si empunya hajat yang baru saja berkunjung ke meja Shilla. Eh, Fa... emang acara lo itu harus ada pasangannya" Ah" Ifa tampak sedikit kaget ketika menyadari Ryo bertanya padanya.
Emang itu harus" ulang Ryo lagi.
Eng... Sebenernya sih... Emang, e-elo belom ada pasangan" tanya Ifa agak tergagap.


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shilla mendongak, memandangi Ifa yang kini mengabaikannya. Gadis berdagu tirus itu tampak benar-benar syok, mungkin karena ini pertama kalinya Ryo mengajak orang bicara terlebih dulu atau semacamnya.
Belom... Belom ada, sahut Ryo, dengan suara yang entah kenapa makin mengecil.
Shilla hanya menghela napas mendengar suara bariton Ryo, menyangkal hatinya yang kini meloncat-loncat. Ia sendiri sebenarnya juga belum punya pasangan. Itulah yang mau dibahasnya dengan Ifa.
Jadi l-lo beneran belum ada pasangan kan, Y-yo" S-sama salah satu dari kita aja, kata seseorang masih dari gerombolan yang sama.
Ryo menunduk dan mendesah kesal. Tepat saat itu, seorang gadis lain tiba-tiba merangsek dari pintu kelas sambil berseru, Ryooooooo!
Ryo kontan mengangkat wajah lalu mengerang pelan. Bianca" batinnya. Ia mendengar kor sentakan napas kaget dari kelompok di belakangnya.
Oke. Jadi sekarang kawanan cicak bertemu kadal. Ah, tetap saja ia yang jadi santapan. Ryo melempar pandangan terganggu pada Bianca. Apa"
Besok kamu pergi sama aku, kan" tanya Bianca manis manja, namun mengirimkan tatapan membunuh pada gerombolan gadis lain di dekatnya dan Ryo.
Ryo hampir saja meledak dan mengusir semua pengganggunya, termasuk Bianca. Tapi lalu ia menangkap kilatan mata Shilla yang tampak melirik memperhatikannya.
Ia langsung memasang wajah pura-pura polos lalu menyambar kesempatan yang dirasanya tepat sekali. O... Oh, iya. Gue lupa. Besok... Gue jemput lo. Kayak biasa.
Bianca mengangkat alis, bingung walau akhirnya mengangguk-angguk senang sambil melempar senyum penuh kemenangan pada gerombolan yang mendesah kecewa. Sementara Ryo tersenyum tertahan ketika mendapati Shilla membuang muka kemenangan dengan raut... kesal"
Ha-ha. Akhirnya Ryo tahu bagaimana cara mendapat perhatian gadis itu lagi.
IANCA menatap sosok di sebelahnya dengan sedikit kesal. Gadis itu mempererat tangannya yang bergelayut manja di lengan Ryo yang sejak tadi tak berkata sepatah kata pun. Hanya memandang langit senja yang mulai memudar.
Bianca menyandarkan kepalanya di bahu Ryo. Membiarkan dirinya nyaman dengan posisi itu, tak peduli si empunya bahu suka atau tidak diperlakukan seperti itu.
Ryo menatap langit melalui kaca jendela dalam diam. Dia tahu Bianca lagi-lagi seeenaknya bersandar padanya. Ia tidak melakukan apa pun meski sempat bergerak sedikit risi. Ia tidak berkomentar apa-apa. Ia tidak ingin mengacaukan dramanya sendiri. Kalau memang ini yang harus ia lakukan untuk mendapatkan Shilla lagi, jadilah. Limusin milik Bianca mulai membelah kemacetan petang di Jakarta.
Bab 12 Hari ini mereka akhirnya akan menghadiri pesta Ifa. Bianca sengaja membiarkan Ryo tidak membawa mobil sendiri. Ia dengan senang hati meminjamkan limusin dan sopir pribadinya malam ini. Alasannya sederhana, ia hanya ingin menikmati waktu berdua dengan Ryo di bangku penumpang.
Bianca merengut. Walaupun senang, tapi bukan ini yang sungguhsungguh ia harapkan. Bukan Ryo yang INI. Bukan Ryo yang bertingkah terlalu jinak dan menurut begini. Ah. Tapi mungkin Ryo sudah benarbenar menyukainya, lantas berubah" Bianca mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Ryo tetap tampan seperti biasa. Apalagi dengan jas berekor hitam ala kerajaannya. Bianca sungguh beruntung bisa mendapatkan Ryo sebagai pasangan malam ini.
Semoga saja mulai malam ini hingga seterusnya, Ryo benar-benar melupakan gadis miskin itu dan sepenuhnya berpaling padanya, Bianca yang jauh lebih sempurna.
Bianca menatap ke arah kaca di sebelah kirinya, yang dengan sempurna merefleksikan bayangannya. Ia tampak cantik dengan gaun bermodel kemben dan rok megar bernuansa hitam-putih ala tahun 60-an yang dipesannya langsung dari desainer ternama. Rambutnya ditata dengan Milkmaid Braid lalu dipadupadankan make up yang sempurna. Apa lagi yang kurang dari dirinya"
Gadis itu menghela napas pelan.
Shilla menatap sosok di depannya. Lelaki ini tinggi semampai, berkulit hitam manis. Dia tidak begitu tampan. Tapi ada sesuatu yang membuatnya menatap wajah pemuda itu berlama-lama. Intinya, wajahnya enak dilihat. Apalagi matanya yang tampak berbinar.
Ifa, yang berdiri di sebelah Shilla tersenyum manis. Ini Patra. Sepupu gue. Dia seumur sama kita. SMA-nya di international school yang deket sekolah kita itu lho, jelas Ifa.
Oh, tanggap Shilla sambil mengangguk.
Ini Shilla, Pat. Cakep kan temen gue" Kayak gue, hahaha, canda Ifa, yang siap dalam balutan gaun istimewa buatan Mas Dipta. Rambutnya telah diombak dan ditata cantik dengan tiara besar. Membuatnya makin cocok menjadi tokoh utama putri dalam dongeng.
Patra tersenyum manis. Sejenak, Shilla bisa menangkap kedipan kecil darinya. Bukan kedipan nakal, melainkan kedipan bersahabat.
Jadi, nanti kalian berdua aja ya, sekalian bawa lilin. Lo berdua lilin keempat belas, jelas Ifa.
Mereka bertiga berada di dalam kamar hotel Ifa di lantai sembilan. Pesta ulang tahun gadis itu akan diadakan di ballroom di lantai dasar hotel yang sama.
Terus Devta" tanya Shilla.
Ifa menggigit bibir sambil melangkah, lalu mematut dirinya lagi di cermin. Dia bawa lilin kelima belas. Sendiri, soalnya dia sahabat gue yang paling lama sih. Nanti lilin keenam belas bokap-nyokap. Lilin ketujuh belas yang ada di kue, jelas gadis itu.
Oh, Shilla dan Patra berkata bersamaan. Lalu mereka bertatapan dan tertawa.
Shilla entah kenapa tiba-tiba merasa tenang ketika derai tawa mereka terurai. Kehadiran pemuda di depannya seakan membawa atmosfer baru yang menghangatkannya, yang sempat menggigil karena takut akan apa yang dihadapinya malam ini.
Ya udah, lo berdua turun duluan aja. Gue kan dateng belakangan, hehehe. Soalnya, ada surprise pas entering procession gue, kata Ifa sambil tertawa pelan.
Oke. Mereka berdua lalu melangkah ke luar.
Patra membiarkan Shilla keluar lebih dulu dan menutup pintu kamar Ifa.
Can I" Patra mengulurkan lengannya kepada Shilla, menawari gadis itu menggamitnya.
Hah" kata Shilla bingung.
Patra hanya tersenyum. Kayak di film-film jadul gitu lho, Shil, katanya.
Shilla menatap Patra yang tersenyum dengan binar di matanya, lalu meringis. Nggak ngerti...
Patra tertawa kecil. Gagal deh gue jadi gentleman ala film-film. Ceweknya nggak mudeng sih... Shilla tersenyum, masih belum mengerti.
Patra tersenyum, lalu meraih tangan Shilla perlahan dan meletakkannya di lengannya. Gini lho...
Shilla menatap tangannya yang kini tersampir di lengan Patra. Kapan terakhir ia berkontak langsung dengan laki-laki dan merasakan debaran (Devta tidak masuk hitungan) seperti sekarang ini"
Lho, kok bengong" tanya Patra sambil mengangkat alis. Ayo, jalan.
Shilla menatap Patra dengan ragu, lantas akhirnya tersenyum kecil dan membiarkan Patra membimbingnya ke arah lift.
*** Shilla tertawa mendengar ucapan Patra meski sebenarnya dia tidak bermaksud melucu. Ucapannya jadi terasa lucu karena ekspresi dan kepolosan Patra mengatakannya.
Makanya gue bingung kenapa gue bisa dimarahin, coba" Kan gue jawab jujur gue nggak bisa, kata Patra seraya membawa Shilla memasuki ballroom yang kini didekor apik dan cantik dengan berbagai ornamen ala kerajaan.
Shilla dan Patra berbisik-bisik membicarakan salah satu penerima tamu yang mengenakan kostum penasihat kerajaan zaman dulu. Lengkap dengan wig keritingnya.
Shilla menatap Patra yang tertawa lepas di sebelahnya. Pemuda ini terkesan begitu hidup. Ia mengutarakan isi kepalanya tanpa ragu dan takut. Shilla jadi tertegun. Mungkin ia harus belajar untuk menjadi seperti Patra. Sudah berapa lama ia tidak tertawa selepas ini"
Ih. Bingung deh sama otak sepupu gue yang satu itu. Kok bisa sih bikin pesta sampe ada booth cupcake workshop" Emang pada mau kursus masak di sini" tanya Patra mengutarakan keheranannya.
Shilla tertawa lagi. Ia tak sadar kala tawa itu kini terkonversi menjadi angin, yang mengantarkannya kepada sosok lain yang baru saja memasuki ballroom.
Entah kenapa, begitu Ryo memasuki ballroom tentu dengan Bianca yang menggelayutinya otaknya langsung memerintah kepalanya untuk menoleh ke kanan. Ke arah sosok yang baru saja menelurkan tawa renyahnya.
Shilla" pikirnya... Ryo tahu dari Bi Okky bahwa sejak pagi tadi gadis itu sudah meminta izin untuk ikut ke hotel tempat Ifa menginap. Namun yang membuatnya tidak percaya adalah Shilla yang kini ia lihat.
Shilla mengenakan model gaun yang hampir sama dengan Ifa bahu Sabrina, rok megar namun dengan panjang rok yang hanya mencapai atas lutut. Kalau kain gaun Ifa terbuat dari songket pelangi, gaun Shilla terbuat dari songket hitam yang anggun. Penampilan gadis itu disempurnakan pula dengan stoking dan sarung tangan transparan sesiku berwarna hitam. Tiara yang lebih kecil daripada milik Ifa menghiasi rambutnya yang sudah diombak dan dikucir satu tinggi. Ryo tertegun. Shilla cantik sekali... Tapi...
Tiba-tiba ia merasakan debur kejengkelan di jantungnya. Siapa cowok yang ada di sebelah Shilla" Apa-apaan pula dia megang-megang tangan Shilla" Dan... dan... kenapa Shilla bisa mengerucutkan bibir lucu pada cowok itu seperti saat bersama Ryo"
Bianca baru hendak mengajak Ryo ke booth foto saat melihat mata pemuda itu tertumbuk pada satu titik. Bianca sontak menyipitkan mata dan berusaha menangkap apa yang sedang Ryo perhatikan dengan saksama.
Cewek itu" desisnya dalam hati. Cukup, tegasnya lalu menarik paksa Ryo ke arah booth yang ingin ia tuju.
Ryo tersentak dan terpaksa mengikuti Bianca yang menggamit dan menariknya dengan kekuatan penuh. Tidak membiarkan pandangannya hilang, ia tetap menatap tajam ke arah Shilla.
Tak disangka, Shilla menoleh pada saat yang sama. Matanya menangkap kilatan di mata pemuda yang tampil tampan bak peragawan dalam balutan jas hitam berekor itu. Shilla membuang muka. Menampik getar yang membuatnya tersiksa dan tak mampu diusirnya.
Ryo tertegun, ia yakin sesaat tadi Shilla pun menangkap sorot matanya. Dan gadis itu... membuang muka" Ia mendesah. Apa sih yang terjadi dengan Shilla"
Sementara itu, Shilla memutuskan memejamkan mata sejenak. Ia berusaha menetralisir perasaannya.
Patra menangkap sikap Shilla dan aura kecemasan yang tiba-tiba timbul dari gadis di sebelahnya.
Kenapa, Shil" tanya Patra.
Hah" Shilla menoleh ke arah Patra yang tersenyum. Nggak, jawabnya.
Patra bisa melihat kebohongan di mata gadis di sebelahnya. Tapi ia tidak suka mengorek-ngorek urusan orang.
Apa pun yang lo rasain sekarang, kata pemuda itu sambil menatap Shilla, nikmatin aja pestanya.
Shilla tersenyum. Iya, jawabnya menyanggupi.
Ia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, berusaha mematuhi saran Patra. Pesta Ifa diadakan di ballroom paling besar yang ada di hotel berbintang lima ini.
Api Di Bukit Menoreh 27 Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Pedang Tanpa Perasaan 9

Cari Blog Ini