Ceritasilat Novel Online

The First Fall 4

Love Command The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 4


Di bagian paling depan ada panggung megah dengan band set di bagian kanan. Sementara di hadapan panggung itu ada meja-meja bulat berisikan kurang-lebih sepuluh bangku yang tertata rapi hingga tengah ruangan. Lalu, di kedua sisi luar kanan dan kiri barisan meja itu ada sebuah meja panjang berisi makanan, terdiri atas menu Indonesia, Cina, hingga western.
Dan terakhir, sebagai penyempurna acara, terdapat berbagai booth, mulai dari booth foto, cupcake workshop, fortune telling, gulali, hingga temporary tattoo yang dapat dikunjungi para undangan. Tentu semua dikonsep dengan tema kerajaan.
Pukul tujuh tepat acara dimulai. Acara dibuka dengan pertunjukan kabaret lalu dilanjutkan dengan parade kecil. Mendekati akhir parade, terdengar kegaduhan kecil di luar. Desah kagum terdengar begitu jelas mulai dari pintu hingga ke tempat Shilla dan Patra berdiri. Ternyata kereta kencana bulat berwarna pink yang dijalankan dengan mesin bergulir dari luar hingga ke dalam ruangan. Entah dari mana event organizer menyewa alat semacam itu, tapi yang jelas tampaknya Ifa ada di dalam sana.
Ini toh yang katanya surprise, kata Patra, membuat Shilla seketika menatap pemuda yang sedang tersenyum itu lalu ikut tersenyum. Kreatif juga sepupu gue, komentar Patra lagi.
Ih. Begitu aja kreatif. Norak, kali, sahut suara ketus di belakang mereka.
Shilla mengernyit lalu kontan menoleh ke belakang, diikuti Patra. Ternyata Bianca dan Ryo.
Shilla mendesah samar, mulai bergerak tidak nyaman di tempatnya. Sementara Ryo berusaha keras memandangi gadis itu tanpa ekspresi, sambil menahan keinginan untuk mengamputasi lengan pemuda yang tak ia kenal di hadapannya agar tak lagi dipegangi Shilla.
Patra tersenyum saat melihat Bianca dan Ryo, membuat Shilla keheranan. Ya ampun. Jelas-jelas Bianca mencela sepupunya, pemuda itu malah tersenyum.
Halo, saya Patra, kata Patra sambil mengulurkan tangan ke arah Bianca yang mengaitkan tangan ke lengan Ryo. Kedua orang itu sama sekali tidak membalas uluran tangannya, membuat Patra lagi-lagi hanya tersenyum.
Shilla mengangkat alis ke arah Bianca dan Ryo, lalu heran melihat tuan mudanya menatap Patra dengan tatapan yang penuh& dendam kesumat"
Bianca mempererat pegangannya di lengan Ryo. Seakan berusaha menegaskan kepada Shilla, yang hanya diam dan terpaksa memandangi, bahwa pemuda itu miliknya.
Sementara Ryo, yakin benar Shilla masih mengawasinya, perlahan melepas tangan Bianca yang sempat terkejut lalu tak dinyana, beralih merangkul erat gadis congkak itu dengan sengaja setelahnya.
Keterkejutan Bianca makin menjadi-jadi. Ia membelalak tak percaya, lalu menoleh menatap Ryo yang tersenyum menghipnotis ke arahnya. Sedangkan Shilla membuang muka, berusaha mengabaikan nyeri yang datang lagi di dadanya.
Patra kini kembali merasakan aura kecemasan pada Shilla. Dengan heran ia menatap Ryo yang sembunyi-sembunyi menatap Shilla, yang kini menatap kosong ke arah panggung. Pasti ada sesuatu di antara mereka... tebaknya yakin.
Shil. Lo bawa lilin, kan" Yuk, siap-siap. Tiba-tiba Devta datang, menyelamatkan keadaan yang mencekam.
Eh, elo Patra, ya" Sepupunya Ifa" Bawa lilin sama Shilla, kan" Yuk, siap-siap di belakang, kata Devta lagi. Membuat Shilla dan Patra terdiam sejenak, masih bingung. Yeh& pada bengong. Eh, kalian berdua pegangan tangan, ya" Cieeeeee, celetuknya, tak bisa membaca suasana.
Ryo kontan mendelik ke arah Devta yang mengatakan kenyataan secablak itu. Ia menggeram dalam hati, menahan monster di hatinya yang tiba-tiba ingin mencakar muka pemuda asing yang lengannya dipegang Shilla.
Devta akhirnya memisahkan Patra dan Shilla tepat di tengah, lalu merangkul mereka berdua di kiri dan kanannya. Yuk, katanya lalu menoleh dan melongo menyadari ada dua orang lain dengan tatapan mengerikan di dekatnya. Eh, ada Ryo sama Bianca toh. Kita duluan, ya. Yuk, daaah...
Bianca hanya mencibir sepeninggal ketiganya. Norak. Ia merapatkan diri pada Ryo.
Ryo melengos, segera melepas rangkulannya karena tiba-tiba merasa butuh udara segar. Gue ke toilet sebentar, ucapnya lalu bergegas meninggalkan Bianca yang tampak kecewa.
Dansa-dansi. Memang acara yang ala kerajaan sekali. Tapi Shilla enggan melangkahkan kakinya ke lantai dansa. Meja-meja bulat untuk makan tadi sudah disingkirkan untuk menyediakan ruang bagi lantai dansa. Kalau ia berdansa dipastikan akan ada keributan yang terjadi, karena ada yang tak sengaja tersenggol atau terinjak.
Lebih baik ia duduk bersedekap seperti sekarang ini, di bangku yang dijajarkan di samping lantai dansa. Menunggu Patra yang sedang mengambilkan koktail untuknya.
Nih, Patra mengangsurkan Collin glass berisi koktail ke arah Shilla, lalu duduk di sebelahnya.
Makasih, jawab Shilla lalu menyeruput minuman di tangannya. You re welcome, jawab Patra sambil tersenyum lagi. Nggak dansa" Lagunya bagus nih, kata Shilla mengenali lagu A Whole New World yang baru saja menggema di seantero ballroom.
Nggak bisa gue. Nanti ada yang keinjek lagi, hahaha. Lo sendiri nggak"
Nggak, lah. Alesannya sama kayak kamu, kata Shilla ikut tertawa, heran juga menemukan banyak persamaan antara diri mereka. Sepanjang malam ini hampir ia habiskan bersama Patra, karena Devta juga suka menghilang entah ke mana.
Shilla menenggak lagi koktailnya saat tiba-tiba Ifa yang agak berkeringat namun tetap cantik muncul di hadapan mereka.
Pat, lo harus dansa sama gue, lo kan sepupu gue yang paling deket. Sini, kata Ifa, meraih tangan Patra.
Nggak deh, Fa. Nanti lo keserimpet gara-gara gue lho, kata Patra mewanti-wanti.
Ih, kata Ifa, setengah gemas, yang ulang tahun nggak boleh dibantah, tahu. You know the rules...
Patra mendesah lalu tersenyum juga akhirnya. Ayo, deh... Tapi Shilla gimana" Masa ditinggal"
E& cieeee& Patra mikirin Shilla lho, kata Ifa menggoda, sambil setengah tertawa.
Nggak papaaaaa, taaauuuu, ujar Shilla, lalu menepuk pelan pundak pemuda di sebelahnya. Sana dansa.
Patra akhirnya mengangkat bahu sambil tersenyum pada kedua gadis di dekatnya lalu mengikuti Ifa ke lantai dansa.
Shilla juga tersenyum, sementara tanpa sadar matanya mengikuti Ifa dan Patra ke lantai dansa. Lalu ia tak sengaja melihat Bianca, yang dengan tidak canggung menyandarkan kepala di bahu Ryo, yang juga tampak nyaman-nyaman saja.
Shilla memalingkan muka, tepat saat Ryo menoleh ke arahnya. Membuat Ryo akhirnya menghela napas dan beralih membuang pandangannya ke lantai.
Shilla memejamkan mata lagi. Kini, bukan lagi dirinya yang ada dalam dekapan Ryo. Ada sosok lain yang ada dalam naungan tubuh tegapnya. Dalam harumnya. Bukan lagi dia.
Ia merasa tidak bisa lagi menghirup udara di dalam atmosfer yang sama dengan Ryo dan Bianca. Maka, ia memutuskan beranjak keluar dari ballroom setelah meletakkan gelas koktailnya di lantai, berdampingan dengan gelas Patra sebelumnya. Perlahan ia melangkah ke luar, menuju pintu terbuka di samping kiri ballroom, yang ternyata balkon. Balkon ini memanjang hingga ke samping ballroom, hanya tersekat kaca hingga Shilla masih bisa melihat apa yang terjadi di pesta Ifa.
Ia menarik napas pelan, lalu membuang pandangan jauh-jauh melampaui batas balkon, mensyukuri hotel bintang lima yang dipilih Ifa ada di bagian utara Jakarta, sehingga ada pemandangan laut yang bisa didapatnya dari tempatnya kini berdiri. Aroma asin yang menerpa hidungnya sangat menyegarkan. Seakan bisa membantunya menormalkan lagi otak dan hatinya yang bergemuruh. Ia sempat bergidik sedikit saat merasakan angin dingin di bahunya yang telanjang.
Tapi keheningan tidak melingkupinya lama-lama. Shilla mendengar deham berat dari balik punggungnya. Ia mengernyit, lalu perlahan menoleh.
Ryo. Sendirian. Shilla terpaku menatap sosok tampan itu. Angin berembus, membuatnya bisa mencium lagi aroma yang selama ini diam-diam dirindukannya. Parfum Ryo itu. Ia mendesah pelan lalu menggeleng samar. Kalau Ryo mau di sini, biar Shilla yang pergi.
Sebenarnya Ryo juga terkejut mendapati Shilla di balkon. Tempatnya tadi menenangkan pikiran yang kini ingin dikunjunginya lagi. Shilla tadi memandangi laut. Apa yang dia pikirkan" Ryo akhirnya hanya bisa ikut terdiam ketika menangkap keraguan yang tampak saat gadis itu melihatnya.
Shilla mendesah. Ia berbalik dan hendak melangkah pergi. Rambutnya yang terkucir perlahan tertiup angin, sehingga sedikit menebas wajah Ryo. Ia tersentak, seakan sadar tak bisa lagi berdiam diri. Akhirnya ia mencekal tangan Shilla, yang hampir saja menghilang lagi di balik pintu.
Shilla berbalik, menatap tangannya yang kini digenggam tangan kokoh Ryo. Ia menatap mata Ryo. Dan diam ketika ia menemukan ombak yang sama. Ombak yang dulu ada, yang belum mampu ia redam juga.
Sebuah lagu terdengar jelas dari arah ballroom. Menerobos jendela dan membuat keduanya terhanyut. Ryo melepaskan tangan Shilla. Sebagai gantinya, ia mengulurkan tangan kanannya ke arah gadis itu, mengajaknya berdansa di balkon ini.
Lirik-lirik lagu First Dance dari seorang penyanyi remaja terkenal mengalun pelan. Mendorong Shilla untuk, entah kenapa, menyambut uluran tangan itu. Masih menatap Ryo yang kembali seperti dulu. Ryo perlahan meraih pinggangnya dan sementara ia menyampirkan tangan di bahu pemuda itu.
Senandung yang melenakan mulai menyusup ke telinga mereka. Ryo merasakan pertahanan hatinya sudah telanjur dijebol, hanya bisa menatap Shilla dan berkata pelan, Gue... kangen sama elo...
Shilla terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam ombak yang berkejaran di mata itu. Akhirnya aku ada dalam dekapan Ryo lagi setelah selama ini, pikirnya.
Kalo elo" tanya Ryo pelan, penuh harap.
Shilla hanya menunduk ketika kembali mendapati keraguan di hatinya. Ia bungkam. Bingung. Apa yang bisa ia katakan tentang apa yang ia sendiri belum pernah jelajahi"
Shilla mendongak, menatap pahatan wajah Ryo yang juga memandanginya beberapa saat. Hingga akhirnya, gadis itu menunduk lagi lalu menjauhkan diri.
Shilla menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara pelan, Yang tadi itu... Lupain aja, Tuan. Lalu ia bergegas memutar tubuhnya ke arah balkon, membelakangi Ryo.
Ryo, terperangah tak menyangka keadaan berubah secepat ini. Ada apa lagi dengan gadis itu" Sh...
Shilla" Ryo menoleh ke belakang dengan geram. Baru saja ia berniat kembali menyapa dan menghampiri Shilla ketika tiba-tiba terdengar suara lain memanggil gadis itu.
Cowok tadi. Ryo mendengus kesal ketika mendapati siapa yang memanggil Shilla. Mau apa sih dia"
Patra balas menatap pandangan kesal Ryo dengan heran, lalu beralih memandang Shilla yang berdiri kaku memunggungi pintu balkon dan makin tidak mengerti.
Perlahan, ia meyakinkan dirinya untuk terus bergerak mendekati Shilla. Meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang mengganggu momen penting atau semacamnya.
Shi... Patra terdiam begitu berhenti dan melihat wajah Shilla. Gadis itu sedang memejamkan mata, tanpa setitik pun ketenangan dalam rautnya. Air mukanya tampak begitu tegang, direntang kegalauan begitu hebat. Refleks, Patra menoleh dan menatap Ryo dengan pandangan bertanya sekaligus curiga. Sementara Ryo kembali memandangi punggung Shilla.
Setelah bertahan menunggu beberapa lama, Ryo mengepalkan sebelah tangannya sambil menghela napas karena gadis itu tak juga bergerak, lalu akhirnya memutuskan beranjak.
Patra memperhatikan punggung Ryo menjauh dari sela pintu balkon yang terbuka, lalu mengurai kernyitan keningnya dan menghampiri Shilla.
Gadis itu tampak bergidik pelan, mungkin karena kedinginan, tapi mungkin juga tidak. Patra mendesah, lalu melepas jasnya dan menyelubungkannya ke bahu Shilla, yang kini menoleh ke arahnya.
Shilla menatap Patra yang melakukan semuanya dalam diam. Ia bisa menemukan binar cemas di mata pemuda itu. Emosinya yang sempat berubah kaku rasanya kini kembali normal karena atmosfer hangat khas yang dibawa Patra.
Ia membiarkan sosok Patra ikut beranjak ke sampingnya. Mendengarkan desau angin yang sama.
Patra menatap lurus ke depan sambil berkata, Lo nggak dengerin kata-kata gue, ya"
Hah" tanya Shilla spontan.
Patra mengalihkan pandangan ke arah gadis di sebelahnya. Buat nikmatin pestanya"
Oh, jawab Shilla pelan. Keliatan, ya"
Pemuda itu mengangkat bahu, menoleh ke depan lagi. Melihat pemandangan yang serupa dengan Shilla. Ombak yang memukul-mukul batu karang. Lalu suasana berubah hening sejenak, yang akhirnya dipecahkan desah panjang Shilla. Patra kembali memalingkan wajah ke arah gadis itu, yang raut kalutnya kian mencemaskan saja.
Dari penampilan lo, gue kira, kata Patra pelan, elo setegar karang...
Shilla tersenyum miris, masih memandang ke depan. Karang pun bisa rapuh kalau diterjang ombak terus, jawabnya.
Jadi, cowok itu ombaknya" tanya Patra.
Shilla terkejut mendengar perkataan Patra barusan, ia memandang pemuda itu lekat-lekat dan bertanya serius, Keliatan, ya"
Tak disangka, Patra tertawa kecil. Nggak ada yang lebih menyedihkan daripada orang yang nanya hal yang sama dalam waktu kurang dari lima menit.
Shilla menunduk. Tahu keadaannya memang teramat menyedihkan. Patra mendesah, Cuma bercanda. Ia sendiri heran, kenapa ia begitu peduli pada gadis yang baru dikenalnya kurang dari empat jam lalu.
Shilla menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Usaha tersenyum yang gagal. Mengenaskan.
Cowok itu siapa" tanya Patra pelan. Siapanya elo" Kenapa dia ninggalin lo di sini" Kenapa dia bikin lo kalut" Kenapa dia datang sama cewek lain" Kenapa lo begitu sedih" Rentetan tanda tanya berukuran gigantis yang biasanya tak pernah mau ia campuri mulai melayang di benak Patra.
Eh, bukan berarti gue mau ikut campur, lho... Cuma& Patra menggantung kata-katanya.
Shilla tersenyum. Iya, aku tau, katanya melirik kejujuran di mata Patra. Tapi ceritanya agak panjang... Ia menarik napas dan melihat Patra yang tersenyum kecil, mengetahui bahwa pemuda ini tulus dan mau bersabar mendengarkannya.
Shilla menghela napas. Mungkin terlalu banyak yang ditanggungnya sendiri, terlalu banyak teka-teki yang tak mampu dipecahkan hati kecilnya yang malang. Mungkin, harus ada seseorang untuk berbagi. Seseorang yang bisa membantunya mengurai misteri perasaannya. Dan mungkin kini orang itu ada di sebelahnya.
Dia... Maka Shilla pun memulai kisahnya Tentang bundanya, Ayi dan senandungnya yang ajaib, tentang pekerjaan barunya (Patra tampak tidak terganggu dengan hal ini), tentang tempat tinggalnya sekarang, tentang Arya, tentang Ryo, tentang petualangan mereka di taman bermain itu, dan tentang...
Ponsel Patra berdering tepat ketika Shilla akan bercerita tentang benang merah semua masalah ini, hal yang harus dipecahkannya namun tak pernah bisa. Tentang hatinya. Tentang benar atau tidaknya spekulasi Bianca.
Halo" Iya, Fa" Iya, iya. Gue sama Shilla... Hah" Oh... Yah, ya udah... Iya, iya, bawel.
Shilla tertawa kecil mendengar Patra berdebat kecil dengan Ifa, walau belum selesai, lega rasanya membagi sebagian pikirannya dengan seseorang. Walau seseorang itu baru dikenalnya beberapa jam lalu. Kenapa" tanyanya saat Patra menutup percakapannya. Patra mengangkat bahu. Si birthday girl mau kita buru-buru balik masuk. Ayo...
Tanpa sadar, Patra menarik tangan Shilla, membuat gadis itu terkejut seakan baru terkena arus listrik pendek. Mengingat pemuda yang sempat juga menggenggam tangannya tadi. Ia mendesah pelan.
Kok diem" tanya pemuda itu ketika menyadari Shilla tiba-tiba terdiam kaku seperti patung. Ayo, nanti gue dikutuk Ifa nih...
Shilla tertawa kecil, lalu mengikuti Patra yang membimbingnya keluar balkon. Ia berusaha mengabaikan ingatan yang membuat hatinya seperti disundut korek api.
Tawa Shilla terhenti seketika saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ballroom yang ditujunya. Ryo dan Bianca. Tampaknya Bianca tengah merajuk, entah kenapa. Ryo memandang Bianca dengan ekspresi manis, walau matanya seperti berniat membekap dan mengurung Bianca di suatu tempat.
Patra berhenti sejenak, disambut tatapan maut yang tiba-tiba diluncurkan Bianca karena melihat Shilla. Ryo sempat membelalak kesal saat melihat Patra mempererat genggamannya di tangan Shilla dan melihat Shilla terbungkus jas pemuda itu.
Shilla menunduk pelan, melihat Ryo... sedekat itu dengan Bianca membuat hatinya terusik. Walau ia tak tahu kenapa... Bukankah ia menyukai Ayi" Menyukai Arya" Bukan Ryo, kan" Bukan, kan"
Ayo, Shil, ajak Patra beberapa detik kemudian, menarik tangan Shilla memasuki ballroom, mengabaikan tatapan mematikan sejoli yang baru mereka lewati.
Kediaman Keluarga Luzardi, 23.55
Ryo mengintip dari jendela kamarnya saat deru pelan Picanto hitam berhenti di depan gerbang rumahnya.
Pemuda bertubuh cukup tinggi keluar dari pintu pengemudi, lalu memutar dan membukakan pintu penumpang. Ryo sudah tahu siapa sosok yang akan keluar dari sana. Sosok yang masih menghantui sudut pikirannya.
Shilla sudah tidak mengenakan gaun cantiknya. Sebagai gantinya, dia mengenakan blus biru muda dan celana jins yang dipakainya pagi tadi. Meski make up-nya sudah dihapus, rambutnya masih terkucir tinggi ke atas.
Manis. Ryo lagi-lagi harus mengakuinya.
Kini Ryo harus menahan amarahnya kuat-kuat. Saat melihat pemuda yang tak dikenalnya itu memeluk Shilla dengan satu tangan (pelukan sahabat biasa bagi orang normal yang melihatnya, tapi hati Ryo yang diliputi kecemburuan tidak bisa menerimanya), berbisik pelan, dan menepuk puncak kepala gadis itu. Dan Shilla tertawa! Tertawa karena pemuda itu atau karena pelukannya" Ingin sekali Ryo memutilasi tangan pemuda asing di bawah sana.
Shilla baru pulang karena tadi harus membantu Ifa membereskan beberapa hal kecil. Untung Patra yang rumahnya searah bersedia mengantarkannya, larut malam begini.
Patra memutuskan mentransfer sedikit atmosfer hangat menenangkannya dengan satu pelukan kilat pada Shilla.
Jangan sedih lagi... atau gue kutuk si Ryo nanti, ancamnya, lalu menepuk puncak kepala gadis itu.
Shilla tertawa kecil, lalu melambai pada Picanto hitam yang semakin menjauh. Shilla berhenti tertawa. Rasa berat kembali melandanya. Entah karena lelah atau karena hal lain. Ia baru ingat belum sempat membicarakan kelanjutan kisah itu, kelanjutan tentang hati dan perasaannya yang belum terpecahkan.
Omong-omong perasaan, Shilla mendapat pikiran aneh bahwa seseorang memperhatikannya, saat ia memasuki gerbang. Ia mengedarkan pandangan sekilas, lalu mendongak ke arah kamar Ryo.
Tertutup tirai, tentu saja. Dan hatinya pun kacau lagi. Aku nggak suka pada Ryo, KAN" ia bertanya-tanya. Shilla mendesah pelan.
Ryo menghela napas lamat-lamat. Tidak menyadari Shilla bisa saja mendapatinya sedang mengintai, seandainya ia menutup tirai tiga detik lebih lambat. Shilla... tertawa karena sosok lain... bukan dia... Ryo diam mematung. Apakah memang tidak ada lagi atau memang tak pernah ada tempatnya di hati Shilla"
Ryo berpikir sejenak. Tapi, bagaimana bisa ia menyerah kalau ia saja belum sepenuhnya berjuang" Kenapa ia tidak mencoba saja agar Shilla membalas perasaannya"
Pagi lagi. Shilla sudah bangun sejak pagi buta, membantu Bi Okky. Menggantikan waktu seharian kemarin, saat ia sama sekali tidak bekerja.
Shilla sedang berada di ruang tamu, mengelap meja pajang kaca di sana, saat ponselnya berdering menandakan ada pesan baru yang masuk. Dari Patra. SMS aneh disertai lelucon paginya yang menyejukkan. Shilla tertawa kecil. Ia tidak sadar Ryo baru saja turun dari tangga dan memperhatikannya.
Ryo menatap Shilla yang sedang tersenyum-senyum sendiri. Dia tahu pasti ini berhubungan dengan cowok kemarin. Bahaya. Siaga satu. Cowok itu semakin memperbanyak rekor membuat Shilla tersenyum.
Kalau dipikir-pikir, Shilla hanya menampakkan wajah manyun yang lucu kalau bersama dirinya. Biarpun lucu, itu manyun, bukan tersenyum. Kacau.
Shilla menunduk pelan saat menyadari Ryo memperhatikannya dengan tatapan penuh arti. Pagi, Tuan, cicitnya.
Entah kenapa, kali ini Ryo tidak menjawab. Ia hanya mendesah saat menyadari ancaman sosok Patra begitu kuat, memicunya untuk bergerak. Tapi dengan cara biasa tentu takkan menghasilkan apa-apa. Jadi, apa... yang harus ia lakukan"
Patra tersenyum ceria walau tak tahu apa yang membuatnya begitu senang. Ia mengetukkan jemari ke setir Picanto-nya. Menunggu di seberang gerbang hitam menjulang mengerikan ini. Menunggu Shilla.
Patra meraih ponsel di dasbor. Mencari satu nama di daftar kontaknya lalu menyentuh tanda yes di layar ponselnya.
Tuut... tuut... Terdengar nada sambung, lalu terdengar suara samar gadis manis yang baru dihafalnya semalaman tadi.
Halo... Halo" sapa Patra... hening sejenak... tuut... tuuut... hah" Patra menatap ponselnya heran... kok udah ada yang jawab masih ada nada sambungnya"
Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendela pintu penumpang. Shilla.
Patra tertawa, ternyata gadis yang baru saja akan diteleponnya, sudah berada di sisi lain mobilnya. Ia pun membuka kaca jendela otomatis dan tersenyum. Masuk.
Shilla menurut dan masuk melewati pintu penumpang. Ia tersenyum dan menatap Patra. Sebenernya kamu nggak perlu repot-repot anter aku.
Patra menggeleng-geleng, seakan hal yang diucapkan Shilla salah besar. Mumpung searah, jawabnya. Berangkat sekarang" Shilla mengangguk pelan.
Patra baru saja memutar balik mobilnya, saat gadis di sebelahnya tiba-tiba menjerit pelan, Buku agendaku...
Patra menggeleng-geleng lagi. Menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang hitam itu, karena ia sudah memutar balik. Cepet sana... Takut macet...
Shilla mengangguk cepat dan bergegas melangkah melalui gerbang, yang kini tertutup lagi.
Patra sedang mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir saat tiba-tiba pintu gerbang yang berada tepat di samping mobilnya membuka otomatis. Sebuah sedan melaju cepat, hampir menabrak mobilnya.
Mobil Ryo berdecit nyaring akibat usahanya mengerem mendadak. Untung, ia belum melajukan sedannya dengan kecepatan normalnya .
Picanto sialan... rutuk Ryo dalam hati. Ia menekan klakson menahan amarah, bertanya-tanya siapa pemilik mobil yang masih tak bergerak, menghalangi jalannya.
Sekelebat bayangan menarik perhatiannya. Shilla datang terengahengah lalu masuk ke Picanto itu, tidak menyadari Ryo berada di dalam sedan yang dilewatinya, tidak menyadari kejadian nahas bisa saja menimpa Picanto yang baru saja dinaikinya.
Tunggu, tunggu... Ryo menyipitkan mata.
Oh, oh... Ryo baru menyadari mobil siapa di depan mobilnya. Ryo tersenyum kecut. Boleh juga membuat Picanto hitam mengilat di depannya ini lecet sedikit. Ryo mulai menginjak gas mobilnya, spidometer bergerak naik, dan... tepat saat itu Patra melajukan mobilnya, hanya beberapa meter ke depan, menyisakan beberapa puluh sentimeter sehingga bagian kanan mobilnya tidak tercium moncong mobil Ryo.
Sial. Ryo mencibir lalu membanting setir, membiarkan jarum spidometer tetap naik dan membiarkan mobilnya meraung menjauhi Picanto milik Patra yang berjalan santai.
Shilla menatap Patra ngeri. Baru sadar kemarahan yang terjadi dari pengendara sedan itu. Ryo.
Kenapa Ryo semarah itu" pikir Shilla. Oh, tentu saja karena temperamen Ryo yang memang tinggi. Bukan karena dirinya. Astaga, memalukan sekali dirinya berpikir dia penyebab kemarahan Ryo. Ia tidak seberharga itu.
Shilla sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari Patra tersenyum kecil melihat Ryo meraung marah tadi. Awal yang aneh... dan provokasi yang cukup baik.
Patra sudah memutuskan sesuatu sejak tadi malam. Dan apa pun jalannya, ia harus menggenapkan keputusannya. Ini menyangkut gadis di sebelahnya.
UKA , LUKA , LUKA & Diulangnya ribuan kali hingga kata itu tak lagi bermakna... Dan ketika rasa itu mulai bernama& Mana yang harus dipilihnya" Mengungkapkannya" Atau sanggupkah ia melepasnya"
Sebuah Picanto hitam merangkak pelan, seiring alur kemacetan petang kota Jakarta yang menggila. Patra menghela napas panjang, lalu menginjak rem. Menyesali kebodohannya memilih jalan besar sebagai rute pulang. Padahal ia tahu beberapa jalan tikus yang bisa ditempuhnya dari tempat Shilla tinggal.
Ya, Shilla. Patra hampir terkejut menyadari dampak nama itu pada kecepatan detak jantungnya belakangan ini. Menyadari dampak suasana
Bab 13 hati yang terbawa ke mana-mana hingga mamanya bertanya ada apa dengan dirinya. Beliau khawatir anaknya memakai narkoba atau barang apa hingga terus tersenyum seperti orang gila.
Patra hampir tertawa lagi, lalu tiba tiba menyadari bagaimana orang luar melihat dirinya. Mungkin dia memang aneh. Patra menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menatap jok di sebelahnya. Jok yang diduduki gadis yang menghantui sudut pikirannya selama hampir tiga minggu terakhir.
Hampir tiga minggu setelah pesta Ifa berakhir. Hampir tiga minggu sejak pertemuan pertama itu. Hampir tiga minggu Patra bersedia mengantar-jemput Shilla (mengabaikan ejekan Ifa dan Devta seputar sopir pribadi ). Hampir tiga minggu ada yang selalu tertawa di sampingnya.
Tapi... Patra mulai berpikir... serenyah apa pun tawa itu, ia takkan pernah melupakan saat saat hening yang sebenarnya jarang terjadi, namun selalu sangat mencemaskan jika berlangsung. Saat Shilla menatap ke luar jendela, entah memandang apa. Tatapan yang selalu mengingatkan Patra pada air mata Shilla, yang jatuh pada hari yang bersamaan dengan pertemuan pertama mereka. Patra tidak perlu penjelasan mendetail untuk tahu siapa yang sedang direnungi Shilla.
Sesungguhnya pula, hampir tiga minggu sudah Patra menyayangi gadis itu.
Patra memejamkan mata sejenak. Ingatannya melayang pada penjelasan-mendetail-yang-tidak-perlu-karena-Patra-sudah-tahu yang dikisahkan Shilla suatu saat. Penjelasan gadis itu tentang siapa yang mengusik perasaannya, membuat hatinya berteka-teki tak pasti, teka-teki yang tak mampu diurainya sendiri. Ryo.
Juga siapa yang membuatnya bisa berpikir seperti itu. Orang lain bernama Bianca.
Entah Shilla terlalu naif atau sedang berusaha membohongi dirinya sendiri. Seharusnya orang paling bodoh pun tahu apa yang sedang Shilla rasakan sebenarnya.
Patra tidak menanggapi saat Shilla bercerita tentang Ryo. Ia tidak mau menjawab dan tidak berharap dimintai jawaban. Setengah dirinya ingin berteriak agar gadis bodoh yang disayanginya itu menyelesaikan teka-tekinya sendiri. Namun setengah dirinya yang lain juga berbisik, berharap dalam gelap, agar Shilla tak perlu mengurai teka-teki dan perlahan melupakan perasaan itu karena kehadiran Patra. Sebetulnya Patra tahu, sadar atau tidak, hanya Ryo yang ada di hati gadis itu.
Patra menghela napas, terusik kebisuan yang terlalu mencekam. Ia memutuskan menyalakan radio. Hela napasnya merileks, mendengarkan penyiar favoritnya bercuap-cuap mengenai gosip salah satu penyanyi muda Amerika yang sedang naik daun, Taylor Swift.
Anyway... daripada gue ngomongin gosip mulu ya bo, mending gue puterin salah satu lagu favorit gue dari si eneng ini. Check it out. Invisible from Taylor Swift... Stay tune on one-o-one point forty five, Truk FM...
Suara bawel si penyiar mulai mengecil seiring intro lagu yang berkumandang. Patra mengetukkan jarinya ke setir. Ia belum pernah mendengar lagu si penyanyi blonde yang ini.
Patra berusaha membunuh kebosanan menunggu kemacetan dengan mencoba menyerapi isi lagunya dan tercekat saat mendapati bagian akhir refrain yang jika diubah gender subjeknya akan sesuai dengan keadaannya kini.
& he never gonna love you like I want to& You just see right through me...
But if you only knew me...
We could be a beautiful miracle, unbelievable Instead of just invisible...
Invisible. Patra mendecakkan lidah. Begitukah dirinya sebenarnya selama ini" Invisible" Tidak terlihat" Tidak terlihat bahkan saat ia hanya berada seembusan napas dari Shilla" Tidak terlihat bukan dalam arti fisik... Lalu dia apa" Semacam bayangan yang bisa berbicara" Pikiran getir Patra dipecahkan bunyi menjerit-jerit di sebelahnya. Patra meraih ponselnya lalu menekan tombol yes .
Yo-a. Kenapa, Raf"& Iya, lagi di jalan& Iye, napa" Patra sempat heran kenapa ketua OSIS sekolahnya menghubunginya tiba-tiba. Oooh... mau survei" Gue ikut" Hmm& Ke mana" Cimacan"& Buset& Terus kumpul jam berapa" Lima" Pagi"... Oh, ya udah... Yok, bye...
Patra memutuskan pembicaraan, lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia menghela napas. Baru saja, Rafki ketua OSIS sekolahnya mengajaknya (sekaligus meminjam mobilnya) menyurvei lokasi perkemahan sehari untuk kegiatan sekolah mereka di daerah Jawa Barat, besok pagi.
Berarti... pikir Patra, sambil melajukan mobilnya perlahan, besok gue nggak bisa menjemput Shilla.
Patra mendesah. Mungkin ada baiknya ia absen sehari saja dari hadapan Shilla. Mungkin tak ada salahnya berharap dengan ketidakhadirannya, Shilla bisa melihatnya secara jelas.
Karena mungkin, simpul Patra, tak selamanya kehadiran fisik, membuat orang lain menyadari kita ada.
*** Shilla berada di dalam cermin hingga Ryo tak bisa meraih gadis itu. Gadis itu berada di dunia bayangan, sehingga Ryo hanya bisa memandanginya dari kejauhan, dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Sikap Shilla yang menjauhinya seakan ia sakit kusta, membuat Ryo terpaksa menelan kekecewaannya akan kenyataan bahwa ada seseorang yang sedang berusaha menggapai gadis bayangannya dan hampir mendapatkannya. Dan ia pun tahu orang itu juga berada dalam dunia yang sama, dunia dalam cermin, berada satu frame dengan gadis bayangannya. Sementara ia berlakon sendiri, memelototi dari dunia nyata. Dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Ryo berusaha bersikap tenang walau sebenarnya ia ingin sekali melindas Picanto hitam sialan itu sekaligus pemiliknya dengan tank baja. Terkadang memandangi secara nyata pun cukup sulit. Ryo terlalu takut melihat penolakan di mata Shilla. Tidak, setelah cukup banyak penolakan dalam hidupnya.
Maka ia pun harus rela mengintip diam-diam dari balik tirai, mencuri dengar dari pembicaraan orang lain tentang sosok bayangan itu. Ia juga berusaha keras mengabaikan kenyataan bahwa Shilla selalu menatap nanar ke arah Picanto hitam yang menjauh setelah mengantarkannya, membuat Ryo ikut ketar-ketir setengah mati sesudahnya.
Menyedihkan, tapi itulah konsekuensinya. Seperti tema film klise remaja Amerika yang bertahun-tahun menggentayangi Hollywood, Ryo menjadi seperti sosok yang jatuh cinta diam-diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi mungkin ada yang berbeda pagi hari itu. Ryo turun dari kamarnya, agak bergegas karena Tag Heuer di tangannya sudah menunjukkan pukul 06.20. Kemacetan pagi Jakarta akan sama ramahnya seperti saat petang.
Ryo menghampiri ruang makan, tahu tiap pagi Bi Okky pasti menyiapkan roti dengan selai sarikaya dan segelas susu putih untuknya. Ryo tidak duduk. Ia menyambar rotinya dan mengunyah cepat, tak sengaja mendengar beberapa pelayan yang tampak berkasak-kusuk sambil mengelap lukisan di ruang makan. Pemuda itu memutar bola mata.
...Iya tuh, tumbenan dia nggak dijemput sama yang naik mobil itu... Terus tadi dia bangun telat, pula... Katanya bekernya rusak... Ih, alesan, bisik seorang pelayan dengan agak sinis pada temannya.
Ryo merasa tahu siapa yang mereka bicarakan. Ia berusaha mengunyah sewajar mungkin sambil mencuri dengar.
...Mungkin emang beneran rusak jamnya...
Aaah... Dia itu mah dari dulu kebanyakan dimanjain sama Tuan Arya, sahut pelayan tadi.
Tiba-tiba Ryo merasa perlu membersihkan tenggorokannya. Ia berdeham, membuat kedua pelayan itu terlonjak kaget.
Pa... pagi, Tuan, sapa kedua pelayan itu.
Ryo melotot, lalu berkata tajam, Pagi-pagi ngegosipin orang... Ryo pun berlalu dari ruang makan sambil berpikir. Jadi... si Petra, Petro, atau siapalah itu namanya tidak menjemput Shilla hari ini... hmm... Dia ingin tahu kenapa...
Ia terlalu sibuk berpikir sehingga tidak menyadari saat meraih pegangan pintu utama, ada tangan lain yang juga sedang menggapainya.
Pandangan Ryo dan Shilla bertemu. Shilla sempat melotot kaget saat mendapati tangan siapa yang dipegangnya. Ia lalu melepas tangannya dan memelototi lantai.
Sementara Ryo hanya terdiam. Belum benar-benar memikirkan bagaimana cara membuktikan kesungguhannya. Sebenarnya ia pun belum siap terlibat kontak lagi dengan gadis ini. Selama beberapa menit, hanya ada kebisuan. Mereka mematung di tempat. Tidak tahu mau berbuat apa.
Ryo gatal ingin mengatakan sesuatu. Lo telat. Shilla menoleh lagi ke arah Ryo, melongo, lalu memelototi lantai lagi sambil mengangguk mendengar pernyataan Ryo.
Kenapa" tanya pemuda itu ingin tahu, sedikit geli melihat Shilla sepertinya ingin sekali mencari cara untuk cepat-cepat kabur darinya. Mmm, gumam Shilla pelan, beker saya mati.
Oohh... bukan karena nungguin cowok lo yang nggak dateng-dateng" sindir Ryo, tidak bisa menutupi kesinisan dalam pertanyaannya.
Gadis itu melengos pelan. Ryo bisa mendengar Shilla berkata sesuatu seperti macan dan survei . Ryo mengangkat bahu sok tak acuh, padahal ia ingin tahu apa maksudnya macan-macan itu. Ya, dia tidak boleh terlalu berharap bahwa maksud Shilla adalah si-potong-bebekangsa-itu ditelan macan. Itu akan terlalu indah untuk jadi kenyataan.
Mau ikut gue" tanya Ryo, kali ini memutuskan bersikap wajar, bahkan menjurus ketus. Pikirnya mungkin, akan lebih mudah Shilla mendekat padanya lagi asal ia tidak terlihat terlalu tertarik.
Shilla terkejut sekilas memandang pemuda itu. Ah, Ryo suka sekali melihat mata bening Shilla membelalak seperti sekarang.
Gue nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma nggak mau Arya nyesel udah nyekolahin elo karena elo telat, kata Ryo, sebenarnya agak terganggu membawa-bawa nama kakaknya dalam urusan ini.
Shilla berdalih, Bukan karena itu... Saya nggak mau Bianca berpikir macam-macam...
Sial. Kenapa pula gadis ini membawa-bawa ratu mulut cabe itu" Senjata makan tuan, rutuk Ryo diam-diam.
Nggak usah bawel. Gue tunggu lo di depan, kata pemuda itu akhirnya, mendahului Shilla menuju halaman depan tempat sedan andalannya terparkir.
Shilla membelalakkan mata sepanjang perjalanan, terkadang melirik cepat ke arah Ryo di sebelahnya. Ia benar-benar tidak memercayai apa yang terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa berada semobil dengan Ryo yang seharusnya terus ia hindari" Dan bagaimana mungkin hatinya mulai bertalu-talu lagi, kembali menimbulkan teka-teki itu ke permukaan"
Shilla menyadari benar perbedaan berada semobil dengan Patra dan Ryo. Berada semobil dengan Patra berarti ceria, tertawa karena leluconlelucon anehnya yang tak ada habisnya. Berada semobil dengan Ryo berarti ketegangan. Shilla bahkan segan mengeluarkan suara sekecil apa pun. Yang jelas, kalau berada semobil dengan Patra jantungnya tidak akan berdetak melebihi batas kewajaran begini.
Shilla berusaha menetralisir ketegangannya dengan cara memuntirmuntir kuciran biru kesayangannya yang ia bawa dari Desa Apit. Ikat rambut yang sudah menemui ajalnya tadi pagi. Selain bekernya rusak, Shilla menyadari bahwa ini bukan hari terbaiknya, karena kuciran kesayangannya itu ditemukan tergeletak tak bernyawa alias putus dengan sentosa. Ia terpaksa menggunakan karet dapur berwarna cokelat agar rambutnya tidak terurai ke mana-mana.
Mereka terjebak lampu merah. Shilla menarik napas pelan. Memusatkan pikirannya pada kuciran birunya, daripada memikirkan pemuda di sebelahnya. Mungkin juga dengan berkonsentrasi kucirannya bisa kembali tersambung. Abrakadabra.
Itu apa" tanya Ryo heran, melihat benda berbulu di tangan Shilla. Kuciran saya, cicit gadis itu pelan, masih menatapi ikat rambutnya.
Kenapa lo pegangin" Ryo menggerakkan matanya, melirik rambut Shilla yang terkucir rapi. Karet dapur" tanyanya tak percaya.
Shilla cuma diam. Tidak ada gunanya deh Ryo bicara, malah mencelanya. Shilla akhirnya mengangkat bahu. Kuciran saya putus...
Ryo mengangkat alis mendengar jawaban Shilla. Beker mati, hampir terlambat sekolah, kuciran putus. Sial sekali gadis di sampingnya itu. Hei, tapi& bukannya gue bisa... Ryo berpikir sejenak. Saatnya pergi ke pusat perbelanjaan hari ini.
*** 1 Message Received Shil, ntr plg gue jmpt lo ya :) see you soon... Sender: Patra 14:45
Shilla membuka laci di meja sekolahnya, melirik sebentar ke arah Mr. Joe yang sedang menjelaskan materi dengan berapi-api di papan tulis. Ia mendengar bunyi bergetar teredam dan mendapati SMS dari Patra. Shilla tersenyum sendiri, menyadari bahwa ia sedikit merindukan Patra dan aura hangat yang dibawa pemuda itu. Saat itu juga, Shilla mendengar dehaman dari belakangnya.
Gadis itu mendelik ke belakangnya, lalu baru teringat siapa yang duduk di belakangnya. Jelas Ryo-lah yang berdeham tadi. Ia langsung menatap ke depan lagi, karena Ryo kali ini hanya menatapnya tanpa ekspresi, seakan dia gila. Shilla berusaha melupakan detak jantungnya yang memburu itu dengan cara membuka SMS terakhir dari Patra, lelucon hariannya, membuat Shilla tersenyum sendiri lagi.
Shilla terus melihat ke arah jam dinding, berharap pelajaran Mr. Joe segera berakhir. Lima menit& sepuluh menit... lima belas menit... Akhirnya bel pun berdering. Tak lama setelah Sir Joe beranjak, Shilla mencium kelebatan wangi yang familier. Ternyata Ryo baru saja melesat ke luar pintu. Shilla mendesah, menyadari ternyata ia masih bereaksi pada wangi itu.
Shil, gue pulang duluan, ya" tanya Ifa.
Shilla mengangkat wajahnya. Lho, tumben, Fa" Biasanya mau ketemu Patra dulu"
Ifa tersenyum. Bosen ah, ketemu dia melulu.
Gue juga duluan ya, Shil... Nyokap mau belanja bulanan... Biasaaaa... Gue titip salam buat sopir lo deh, kata Devta lalu tertawa. Shilla menjulurkan lidah, kesal karena ledekan harian Ifa dan Devta yang itu-itu saja.
Daaah, kata Devta, menepuk kepala Shilla lalu berjalan ke luar pintu.
Tanpa disadari, Shilla kini sendirian di dalam kelas. Ia menghela napas sebentar lalu perlahan memutar tubuhnya ke belakang. Menatap bangku dan meja Ryo, mau tak mau memikirkan penghuninya. Shilla lalu bertopang dagu, menumpukan sikunya di meja Ryo.
Ucapan Bianca itu nggak bener, kan" tanya Shilla. Nggak, kan" ulangnya, setengah memaksa.
Shilla menghela napas, lalu mengambil ponselnya yang ia sadari bergetar di sakunya.
1 Message Received Touchdown... ayo turun, Neng! Sender: Patra 15:07
Shilla tersenyum, lalu bergegas turun melalui lift. Ia tersenyum lagi saat mendapati Picanto hitam terparkir di depan gedungnya. Shilla melangkah ringan dan mengetuk kaca jendela penumpang.
Patra membuka kaca jendela, lalu tersenyum mendapati Shilla yang tersenyum juga.
Langit bertanya... di mana Matahari hari ini" Mengapa awan yang seharian menggelayutiku dan membuat semuanya kelabu" kata Shilla bersajak.
Patra menanggapi. Matahari sudah kembali dari persembunyiannya... untuk menghibur sang Putri Langit yang ikut bermuram, katanya.
Shilla tertawa, lalu membuka pintu mobil Patra dan masuk. Patra menoleh ke arah Shilla. Oke, sejak kapan gue jadi Matahari" Gadis itu lalu tertawa geli. Sejak kapan aku jadi Putri Langit" Patra menjawab tanpa sadar, Mungkin sejak kita ketemu... Hmm" Shilla tampaknya tidak mendengar ucapan Patra yang menyerempet itu, karena ia sedang memelototi strip obat berwarna perak-hijau yang tergeletak di dasbor mobil Patra.
Kamu punya penyakit maag" tanya Shilla, mengambil strip itu lalu menoleh ke arah Patra. Patra hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
Kayaknya gitu... gue kan kalo makan agak nggak teratur. Makan pagi juga jarang, sahutnya jujur sambil menstarter mobilnya.
Shilla berpikir sejenak. Jarang makan paginya baru-baru ini atau..."
Patra tahu kecemasan yang melayang di benak gadis baik seperti Shilla. Gue emang dari dulu jarang sarapan kok, karena memang nggak sempet...
Oooh, sahut Shilla akhirnya, tiba-tiba jadi memikirkan jarak dari daerah rumah Patra ke tempatnya tinggal. Memang searah sih, tapi... jam berapa diai harus bangun setiap hari" Berapa lama yang dibutuhkannya untuk bersiap-siap hingga tak sempat menyentuh sarapan" Hmm... Patra selalu baik padanya, mungkin tak ada salahnya, walaupun tak seberapa, kalau ia melakukan sesuatu untuk Patra.
Sandwich. Shilla memutuskan membuat sepotong sandwich untuk Patra. Mungkin sederhana dan tidak seberapa. Tapi sebenarnya cuma ini menu sarapan yang bisa ia buat dan tidak perlu menimbulkan grusak-grusuk berisik saat prosesnya.
Keesokannya, gadis itu berniat membuat sarapan itu pagi-pagi sekali di pantry, dapur bersih yang terletak di sebelah kamar Arya, di seberang kamar Ryo di lantai atas. Sambil membawa bahan-bahan yang sudah ia siapkan di wadah Tupperware besar, Shilla melangkah perlahan menaiki tangga, berusaha tidak menimbulkan suara.
Entah kenapa, langkah Shilla sempat terhenti di depan pintu bertuliskan ENTER WITH YOUR OWN RISK! yang terletak di seberang pantry yang ditujunya. Ia menghela napas panjang, memandangi pintu yang pernah membuat pipinya memerah itu. Ia lalu melangkah gontai ke pantry dan mengeluarkan bahan-bahan dari Tupperware yang dibawanya.
Shilla menyadari apa yang ia lakukan tadi membuat dirinya resah sendiri. Membayangkan Ryo hanya sejauh itu dan& Shilla mendesah, ia mulai menggoreng daging asap yang dibawanya di wajan. Bunyi berdesis dan letupan minyak membuat pikirannya teralih. Dan ia cukup senang akan hal itu. Ia tidak mau memikirkan Ryo, tapi masalahnya, otaknya tak mau diajak berkomplot. Shilla mengetuk-ngetukkan jarinya ke dahi. Berharap dengan berbuat begitu bisa menghilangkan bayangan Ryo di benaknya.
Sementara Shilla sudah hampir menyelesaikan bekalnya dengan cara mencoret bagian atas sandwich dengan saus sambal, menulis hurufhuruf yang pasti akan membuat Patra tertawa ketika melihatnya, ternyata Ryo sudah bangun dari tidurnya.
Ryo sedang menikmati kelancaran internet di pagi hari dengan mengunjungi beberapa situs musik favoritnya. Saat ia sedang mengunduh musik gratis yang tersedia di salah satu situs, layar PC-nya bergetar, ternyata Arya mem-buzz Yahoo! Messenger-nya.
Arya78: BUZZ!!! Ryo_Luzardi:" Arya78: Yo"
Ryo_Luzardi: Hah" Arya78: Kok lo udah bangun" Di sana masih jam brp" Ryo_Luzardi: Lah, lo sendiri blm ngorok" Di sono jam brp" Arya78: Kok pertanyaan gue malah dibalikin"
Ryo_Luzardi: Ngapain coba, Kak, kita nge-chat nggak jelas gini" Arya78: Kangen juga gue ngejitak pala lo, Yo...
Arya78 is writing a message...
Baru sekali ini sejak berbulan bulan Arya pergi, mereka bisa berkomunikasi lewat chatting. Sebelumnya mana pernah jam melek Arya dan jam melek Ryo bertemu.
Arya78: Di sono subuh, ya" Ryo_Luzardi: Yoa.
Arya78: Lo nggak niat nge-chat ama gue apa gimana sih" Ryo_Luzardi: Lagi ngantuk gue...
Arya78: Ya tidur dong... repot bener.
Arya78: Mending lo bantuin Shilla beberes dapur sana...
Deg. Ngapain juga si Arya bawa-bawa nama Shilla" Keki juga Ryo menyadari Arya ternyata masih mengingat Shilla. Hei, tapi...
Ryo_Luzardi: Dari mana lo tau Shilla lg beberes dapur" Arya78: Ya tau aja, hahahaaha&
Jangan-jangan& pikir Ryo... mereka masih rutin berkomunikasi, lagi.
Arya78: Woi, kok diem" Gue ngasal, lagi... gue udah jarang komunikasi sama dia kok.
Ryo_Luzardi: Oh... terus gue peduli, ya" Arya78: Hahaha&
Ryo_Luzardi: Kenapa ketawa"


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya78: Hmm... have you& Ryo_Luzardi: Apaan sih" Arya78: Fallen for her"
Ryo_Luzardi: Bukan urusan lo... Arya78: Hahahaa&
Ryo_Luzardi: Tau deh ah... gue off dulu.
Arya78: Lari dari kenyataan nggak akan nyelesaiin masalah, Yo... Hadepin aja perasaan lo...
Ryo_Luzardi has signed off.
Ryo mengetuk-ngetukkan jari ke meja, melirik kata-kata yang sempat diketik Arya. Ia menghela napas, melihat ke arah jam di bagian kanan bawah layar lalu mematikan PC-nya. Matanya tertumbuk ke bungkusan biru yang kini bertengger di seberang sana, di nakas.
Ryo beranjak dari meja belajarnya dan menaiki undakan ke tempat tidurnya. Mengambil bungkusan biru yang berisi dua benda yang baru dibelinya kemarin. Benda yang satu tidak sulit didapatkan, karena ada di mana-mana, di warung, supermarket semua ada. Yang satunya lagi, sebenarnya pun tidak sulit didapat, tapi ada proses memalukan yang harus dilaluinya. Dipandangi ibu-ibu kelewat gaul, gerombolan cewek yang terus cekikikan, dan pelayan toko berbando kuping kelinci bukan hal yang menyenangkan, tahu.
Tak lama ia terdiam, telinganya mendengar bunyi akrab dari luar. Itu suara yang biasa didengarnya saat Arya kelaparan dan memutuskan membuat makanan cepat saji. Di pantry. Ryo mengerutkan kening, Arya jelas-jelas masih di Paris. Masa sih celetukan Arya benar" Ada Shilla di sana"
Ia melangkah cepat menuruni undakan, bergegas ke pintu dan mengintip dari celahnya. Pintu pantry tertutup dan ia memang mendengar bunyi sedikit berisik dari sana. Ryo hampir merapatkan kembali pintu kamarnya saat melihat pintu pantry terbuka, lalu Shilla keluar dari sana, setengah berlari menuruni tangga, meninggalkan pintu pantry setengah terbuka.
Ryo mengerutkan kening lagi. Kok Arya bisa bener begitu" Hei, Shilla meninggalkan pintu pantry setengah terbuka. Berarti mungkin, dia akan kembali ke sana. Ryo memandangi bungkusan di tangannya dan tersenyum lebar. Ia tahu cara memberikan benda-benda ini pada Shilla tanpa terlihat.
Ryo jadi tersenyum-senyum lagi mengingat kejadian kemarin, sambil melangkah pelan menuju pantry. Ia merindukan ekspresi itu dan akhirnya melihatnya lagi kemarin di kelas. Shilla mendelik kesal yang terlihat sangat lucu di matanya. Lalu, setelah itu, ia melihat Shilla tersenyum diam-diam memandangi lacinya. Jelas, Shilla tidak tersenyum karena laci itu bermain sirkus di depan matanya, kan" Salahkah ia berharap, Shilla tersenyum diam-diam untuknya" Setelah melihatnya"
Ryo terus tersenyum sambil memasuki pantry. Aroma daging asap menyeruak dari sana. Ryo mengangkat bahu tak acuh, memikirkan di mana ia meletakkan bungkusan itu agar terlihat Shilla. Ryo melongok ke arah piring sandwich dengan olesan saus sambal acak-acakan yang terletak di meja seberang pintu. Mungkin di sana saja, pikirnya.
Ryo melangkah pelan menuju ke samping piring itu, lalu baru menyadari secara jelas nama yang terukir di atas sandwich, terbuat dari sambal, coretan nama rivalnya, P-A-T-R-A.
*** Shilla bergegas menaiki tangga, ia baru saja dari dapur kotor di bawah untuk mengambil Tupperware lain yang lebih kecil untuk dijadikan kotak bekal. Saat naik itulah ia mendengar bunyi berderit pelan. Ia menoleh ke arah pintu jati itu. Kalau kupingnya tidak salah, pasti pintu itulah yang baru saja ditutup, sehingga menimbulkan bunyi berderit tadi. Sudah bangunkah Ryo" Shilla menghela napas panjang. Berusaha mengusir keingintahuan itu.
Gadis itu melangkah cepat ke arah pantry. Menyadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima pagi. Sebentar lagi aktivitas di sekitarnya akan dimulai. Shilla bersenandung kecil sambil menuju meja tempatnya menaruh sandwich buatannya tasi. Dahinya mengerut mendapati sebuah bungkusan asing yang bertengger di sana. Bungkusan siapa ini" Kok ada di sini" Apa isinya"
Akhirnya rasa keingintahuan mengalahkan pertimbangan lain Shilla. Ia membuka bungkusan biru itu dan terkesiap mendapati benda yang ada di dalamnya. Sepasang baterai jam dan ikat rambut bulu biru berlabel merek salah satu toko aksesoris remaja. Entah kenapa, di otaknya hanya terlintas satu nama. Walau mungkin tidak mungkin. Pemilik pintu jati berderit tadi. Ryo.
ESADARAN itu merayap bagai kabut. Bergerak perlahan, lalu tanpa terasa mengaburkan pandangan. Ini yang Patra rasakan kemudian. Kesadaran yang ia takuti, namun ternyata ia harapkan. Ia mendapati dirinya sedang menggapai air. Sedetik lalu, ia merasakan Shilla di ujung jari, tapi sesaat kemudian gadis itu tak di sana lagi.
Patra melirik gadis di sebelahnya. Yang lagi-lagi, entah keberapa kali untuk pagi ini, memandangi langit cerah di luar dengan kegalauan yang menjadi-jadi. Kegelisahan itu seperti berkedip-kedip bak mercusuar dari setiap jengkal tubuh Shilla. Pasti ada yang tidak beres.
Shil" panggil Patra pelan. Gadis di sebelahnya masih diam, matanya berkedip sekali menandakan kehidupan sambil tetap memandang ke luar jendela. Patra menghela napas lalu memanggil lebih keras, Shil...
Bab 14 Hah" Eh... Shilla agak terkejut mendengar namanya dipanggil. Sori...
Patra cuma tersenyum. Are you really here" Or am I talking to a shadow" Patra menggerak-gerakkan sebelah tangannya iseng ke depan wajah gadis di sebelahnya, seakan mau meyakinkan bahwa Shilla benarbenar di sebelahnya. Ulahnya itu akhirnya membuat Shilla tertawa kecil. Diam-diam Patra menghela napas lega.
Patra menatap Shilla lekat-lekat. Jujur, ya... elo lagi kenapa sih" Shilla mencubit-cubit pipinya, lalu membuang muka ke depan. Gadis itu tidak menjawab hingga akhirnya ia menepuk dahi dengan tangan, seakan melupakan sesuatu. Lalu ia merogoh ranselnya.
Tadaaaaa... Shilla menyodorkan wadah Tupperware ke depan wajah Patra saat lampu lalu lintas berubah merah.
Apaan nih" tanyanya. Ia mengambil lalu membuka tutup kotak yang disodorkan Shilla dan mendapati... sepotong sandwich dengan coretan nama P-A-T-R-A di atasnya. Ia tersenyum cerah, memutar kepalanya ke arah Shilla dan berkata, Thanks, ya...
Shilla mengangguk. Aku bakal bikinin kamu sarapan tiap pagi lho...
Patra tersenyum, memutuskan menaruh kotak bekal itu di dasbor dan memakannya nanti, karena lampu sudah berubah hijau. Ia lalu menginjak gas dan berkonsentrasi menyetir. Tak berapa lama, Patra melirik cepat ke arah Shilla dan mendapati gadis itu tengah melamun lagi.
Patra mendesah. Oke... pikirnya... Mari kita keluar jalur sebentar. Pemuda itu membelokkan setirnya ke kanan, bukan ke kiri, ke arah sekolah Shilla.
Shilla yang sedang melamun tiba-tiba tersadar. Pat" Kita mau ke mana" Ini bukan jalan ke sekolahku, kan"
Patra tersenyum. Bukan... Ke sekolah gue juga bukan... Terus"
Bolos sekali-sekali itu menyehatkan, tau...
Jadi, di sinilah mereka. Di kawasan pantai berbatu besar di Jakarta Utara. Bukan. Bukan Ancol. Patra tidak seperti mas-mas yang kebelet pacaran sampai memilih Ancol untuk tempat nongkrong. Mereka berada di Muara Baru. Kawasan ini sebenarnya tempat pemancingan dan ada kawasan Pasar Lelang Ikan tak jauh dari sini. Tapi pemandangan pantai Muara Baru cukup bagus dan belum banyak orang yang tahu tempat ini, sehingga masih cukup sepi.
Waah, kata Shilla. Ia bergegas turun dari mobil dan melangkah ke depan beton yang biasa dijadikan tempat duduk bagi para pemancing. Ia memejamkan mata dan menghirup wangi asin yang entah kenapa mengingatkannya lagi pada seseorang yang berada di dekatnya beberapa minggu lalu. Shilla membiarkan seragam dan rambutnya berkibar-kibar ditiup angin.
Patra lalu melangkah ke sebelah Shilla yang sudah membuka matanya. Kayak d"j" vu, ya, kata pemuda itu, membuat Shilla mengerutkan kening.
Patra memandang ke laut lepas. Kita ngeliat laut berdua lagi. Bedanya, kita nggak ngeliat laut dari atas balkon... dan kita sekarang nggak lagi pake baju pesta... tapi...
Tapi" Tapi hari ini elo sama galaunya kayak waktu gue nemuin lo di balkon itu. Pertanyaannya... apakah orang yang sama yang bikin lo begini" Tatapan Shilla tiba-tiba mengeras. Ia sebenarnya tidak mau membahas hal ini. Ia menghela napas, menatap ombak yang bergulung-gulung, lalu menjawab pelan, Melihatnya... Merasakan kehadirannya itu semudah menarik napas. Bahkan tanpa mencarinya, aku menemukannya di manamana. Karena ironisnya, aku tinggal di tempat dia tumbuh...
Shilla menghela napas lalu meneruskan, Tapi merasakannya... begitu sulit. Aku mencoba merasakannya saat memikirkannya... Gadis itu menaruh kedua telapak tangannya di dada. Kadang sakit sekali... Di sini... Tapi apa yang sebenarnya aku rasakan" Rasanya seperti ada bagian puzzle yang hilang. Jika itu dia... Bagaimana jika aku bahkan nggak tahu apa perekatnya"
Saat itulah kesadaran menghantam Patra. Patra menyadari perekat yang dimaksud Shilla. Perekat yang belum ditemukannya itu adalah teka-tekinya sendiri. Bagi Patra, Shilla sekarang tampak seperti anak kecil yang bimbang karena tidak tahu bagaimana cara membuat balon menggelembung.
Patra menggigit bibir. Apa yang harus dilakukannya sekarang" Menyadarkan Shilla bahwa sebenarnya dia sudah memiliki perekat itu" Atau menawarkan Shilla kepingan dan perekat lain"
Lo tahu, kata pemuda itu akhirnya, alam yang tenang kayak gini, bisa menyimpan apa"
Patra terus menatap ke depan, ke arah langit, tidak menghiraukan Shilla yang sekarang kebingungan menatapnya.
Alam yang tenang kayak gini bisa menyimpan badai. Apakah alam pura-pura nggak tahu badai akan datang" Atau dia emang nggak ngerti gimana menunjukkannya pada manusia" Atau dia emang nggak tahu sama sekali" Kita nggak akan pernah tahu apa yang dipikirkan alam...
Badai itu kekuatan alam yang dahsyat, kan" Manusia nggak akan pernah tau dengan jelas pemicu badai sebenarnya. Manusia hanya bisa mengira dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, tapi yang jelas badai itu pasti dan semudah itu dia datang tanpa perlu permisi. Saat badai bisa dilacak, maka dia pasti bukan badai alam, tapi badai buatan...
Cuma Tuhan dan badai itu sendiri yang tahu kapan dia datang. Alam akan menyadari badai itu pada waktunya saat dia di depan mata. Entah alam sudah tahu atau berpura-pura tidak tahu tentang badai itu, lagi-lagi kita nggak akan pernah tahu.
Patra kini menyipitkan mata menatap gadis di dekatnya, memuntahkan amunisi finalnya, Saat elo mendengar jelas sendiri gemuruh itu di sana, tunjuknya ke dada Shilla, lo akan sadar bahwa lo udah tahu badai apa itu sebenarnya. Jangan biarin ada sekat yang bikin lo buta, saat lo tahu badai itu nyata.
Ucapan Patra ini mungkin seperti racauan orang aneh. Tapi sepertinya Shilla menyadari, Patra membantunya menemukan perekat itu dengan cara memberikan petunjuk. Pemuda itu membekalinya untuk berenang bukan dengan pelampung, melainkan dengan mengajarinya cara menemukan tepian saat ia akan tenggelam.
Shilla terdiam. Ryo menatap langit-langit kamarnya sambil tidur-tidur ayam di ranjang empuknya. Ia mendesah, berusaha menangkapi bayangan yang melayanglayang di benaknya, di hatinya, di langit-langit kamarnya, di mana pun ia berada.
Cobalah melayang ke tempat lain, Shilla... batinnya. Ryo memukulmukul udara dengan tangannya berharap sosok itu bisa menghilang. Uuugh... Kilat di luar mulai menyambar, tampaknya akan turun hujan sebentar lagi. Hujan biasanya membuatnya mengantuk. Tapi ia tidak ingin tidur, karena mimpi malah akan membuat gadis itu semakin nyata, dan membuatnya semakin memikirkan Shilla lebih jelas keesokannya.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ryo bangkit dari ranjangnya, meraih ponsel di meja kecil lalu bersandar di kepala ranjang dan membuka pesan yang masuk.
Bianca" Yo, lusa temenin aku ke Welcome Home Party-nya papi-mami Aren, ya" Please please pleaseeee... I beg you :(
Sender: Bianca 20:53 Ya Tuhan, betapa ingin Ryo menendang jauh-jauh cewek yang terus menempel bagai lintah padanya ini. Dikiranya dengan memasang emoticon sedih begitu, Ryo akan luluh"
Ryo membanting ponselnya ke ranjang, lalu menangkupkan tangan ke wajahnya. Lebih baik ia membuat kopi agar tidak jatuh tertidur, atau mimpinya dipenuhi sosok bayangan aneh dan nenek sihir bermulut cabe.
Shilla melangkah ke arah pantry. Ia berniat membuat kopi karena harus begadang menyelesaikan tugas sekolah yang tidak sempat diselesaikannya sore tadi. Selain itu, kata-kata Patra masih terngiang di benaknya. Patra jelas-jelas memberinya petunjuk tersembunyi dari perumpamaan badai itu. Hmm...
Tapi yang mana jawabannya" Alam-nya" atau Badai-nya" Shilla mengerutkan kening saat berjalan mendekati dapur. Ada suara berisik dari sana. Siapa yang masak malam-malam begini" Chef Dave tidak segila itu sampai mengobrak-abrik dapur untuk bereksperimen larut malam.
Shilla bergidik ngeri. Dia mendengar suara kilat menyambar di luar... Astaga, ia tidak mau ada adegan film Scream malam Jumat begini. Shilla menelan ludah. Ia tidak berani, tapi terlalu membutuhkan kopi untuk membuat matanya terjaga.
Kriieeeettt... Shilla membuka pintu dapur perlahan... siapa itu" Dengan setelan hitam begitu" Ting... ting... ting. Sosok itu sedang mengadukaduk sesuatu.
Shilla berjalan pelan, mendekati sosok yang belum menyadari bahwa ia baru saja masuk. Ia menelengkan kepala, berusaha melihat siapa sosok itu.
Ryo berbalik saat Shilla berada sekitar dua meter di belakangnya. Ia sempat terlonjak, lalu mengelus dada. Bikin kaget saja.
Tapi, Ryo lagi-lagi tidak berkata apa-apa. Ia sedang berusaha mencari creamer agar kopinya tidak terlalu pahit. Siapa suruh cuma ada kopi hitam pekat begitu di dapur ini" Shilla pun tidak tahu mau menyapa bagaimana. Ia mengabaikan detak jantungnya yang nakal itu lalu beranjak ke rak tempat kopi tersimpan. Tinggal satu sachet terakhir.
Sudah berapa lama ia tidak berada satu ruangan dengan Ryo seperti ini" Ryo dan Shilla saling memunggungi. Masing-masing dengan kegalauannya sendiri. Tanpa tahu, badai itu akan menghantam sebentar lagi.
Ryo sudah menemukan creamer dan menuangnya, lalu meninggalkan dapur.
Shilla menghela napas, bersyukur wangi Ryo tersamar wangi kopi yang kental, sehingga jantungnya tidak perlu bertambah keras bekerja. Shilla sudah menuang kopi bubuk ke cangkir dan berniat menuang air panas saat tiba-tiba kilat menyambar terlalu keras.
Shilla tersentak, tanpa sengaja lengannya menggeser cangkir kopi hingga jatuh berguling ke lantai. Praaaang... Ia refleks berlutut untuk membersihkan pecahan cangkir. Tapi, saat itu, tiba-tiba lampu dapur berkedip lemah dua kali dan mati. Tidak. Bukan hanya lampu dapur. Semua lampu di rumah itu mati.
Gawat. Pasti kilat menyambar steker atau entah apa sehingga memutus arus listrik. Butuh beberapa saat juga untuk mengaktifkan diesel. Ah... Shilla benci adegan seperti ini. Ia berusaha menggeser tubuhnya untuk berdiri saat& Aaaah, ia kontan mengaduh, salah satu pecahan gelas itu pasti menyobek lututnya. Ssssss... aaaaaahh... au... Shilla menggeser tubuhnya, berusaha mundur, mengira-ngira tempat yang tidak terserak pecahan cangkirnya. Gadis itu lalu mengusap pelan bagian sekitar lukanya. Dia sulit berdiri kecuali...
Sebuah tangan tiba-tiba meraih tangan kirinya, sementara tangan lain lagi melingkar di punggungnya, menopangnya untuk berdiri. Ryo memapah Shilla, ia melingkarkan tangan Shilla yang tadi ia pegangi ke bahunya.
Bodoh, gumam pemuda itu pelan.
Mendengar suara bariton itu menggelitik telinganya sedekat ini, Shilla tiba-tiba jadi kehilangan kata-kata. Kali ini ia tak bisa berpura-pura menolak lagi. Sesuatu yang memabukkannya, wangi parfum Aigner maskulin Ryo.
Shilla merasakan pipinya memanas dan memerah. Ternyata gelap, sedikit membantu juga. Menyamarkan agar jangan sampai Ryo tahu ia tersipu.
Kaki lo luka" tanya Ryo.
Aduh... Setelah ditanya, barulah Shilla merasakan luka di lututnya lagi.
Ryo tertawa tertahan sambil terus memapah Shilla yang terpincangpincang. Ah, gadis itu ingin sekali melihat tawa tertahan Ryo itu. Kedengarannya begitu... tampan. Bisakah ketampanan didengar" Mungkin bisa bagi Shilla yang otaknya sedang bermasalah, diliputi badai pribadinya.
Ryo memapah Shilla ke halaman belakang. Ia menggeser pintu lalu membiarkan Shilla duduk di teras halaman belakang yang berkanopi sehingga gadis itu tidak terkena cipratan hujan yang mengamuk di luar.
Tunggu... Pemuda itu lalu pergi ke dalam lagi, meninggalkan Shilla yang terdiam menatapi hujan.
Shilla memandangi hujan tidak percaya. Ryo. Ryo. Ryo. Kenapa dia yang mengisi benaknya, menawarkan sesuatu yang tak lagi dapat ditampiknya" Kebaikan Ryo ini. Harum Ryo ini. Badai itu mulai berarak, siap menunjukkan jati diri.
Pemuda itu melangkah kembali ke hadapannya. Dari luar, masih ada cahaya samar yang dihasilkan alam. Shilla bisa melihat Ryo membawa kotak P3K dan kopi yang tadi dibuatnya.
Ryo meletakkan cangkir kopinya di meja kecil di pojok teras. Ia lalu berlutut di depan Shilla. Menarik perlahan kaki Shilla yang luka. Aah, kata gadis itu pelan.
Ryo mengeluarkan kapas dan meneteskan alkohol ke sana. Ia menepuk-nepuk pelan luka Shilla, mensterilkannya dari bakteri. Lalu Ryo mengoles luka gadis itu dengan ujung cottonbud yang sudah dibubuhi obat merah.
Pemuda itu mulai meniup pelan luka Shilla lalu membersihkan daerah di sekitar luka agar tidak terlalu kotor dengan cara mengusapnya pelan dengan tisu.
Sakit, ya" tanya Ryo, lalu meniup-niup luka Shilla lagi. Gadis itu seketika terdiam, tidak menyangka Ryo akan mengobatinya begini. Dia tampak manis sekali. Perlahan Shilla bisa merasakan wajahnya kembali memanas, ia pun menunduk.
Ryo menepuk pelan daerah di dekat luka Shilla, bangkit sebentar mengambil kopinya, lalu duduk kembali di sebelah Shilla.
Tiba-tiba Shilla tak bisa menahan keinginannya bertanya pada Ryo. Seseorang yang pernah dan mungkin masih dianggapnya sebagai Ayi.
Menurut kamu, apa yang harus kita lakukan tentang masa lalu yang selalu terus mendesak ke permukaan" tanya gadis itu.
Ryo terkesiap. Masa lalu untuknya berarti Mai. Shilla seperti menanyakan padanya hal yang juga menjadi pertanyaan untuk Ryo sendiri, yang belum sempat ia pikirkan.
Melupakannya... Ya, Mai mungkin ini saatnya untuk melupakanmu... Saat masa lalu itu tak begitu penting... Bukan, Mai bukan berarti kamu tidak penting, hanya... Apalagi saat elo sudah menemukan apa yang bisa menggantikan masa lalu itu. Dan aku sudah menemukan penggantimu, Mai.
Karena kita tidak akan bisa memilih masa lalu dan masa depan pada waktu bersamaan, kan" tanya Shilla, tanpa sadar berusaha meyakinkan pilihannya sendiri.
Ya, tepat seperti itu, sahut Ryo sambil tersenyum. Tanpa sadar Ryo meletakkan tangannya ke kepala Shilla, mengusap-ngusapnya. Tak lama, ia menjatuhkan tangannya, meraih cangkir dengan kedua tangan.
Shilla menatap sambil membisu Ryo, mendengar gelora yang mulai menggema keras di jantungnya. Sebenarnya Ryo sendiri menyadari Shilla terkejut akan perbuatannya, tapi malah sibuk meniup-niup kopinya.
Kenapa" Suara Shilla agak bergetar, kebimbangannya memuncak. Ryo menatap Shilla dan mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Shilla.
Kenapa Tuan ngelakuin ini semua"
Ryo menurunkan cangkir kopi yang baru akan ia sentuhkan ke bibir. Ia berpikir, apakah Shilla mulai menyadari perasaannya"
Ngelakuin apa" jawab Ryo akhirnya, entah berusaha memancing atau tidak. Ia tersenyum. Mau kopi" ia menyodorkan cangkir kopinya pada Shilla.
Shilla harus tahu apa yang ditutupi-tutupi Ryo, sesuatu di balik jawabannya soal masa lalu itu tadi, siapa yang sudah menggantikan masa lalunya. Ia meraih cangkir kopi itu dan tanpa segan meminumnya lantas menaruh cangkir itu di antara mereka berdua.
Apa sebenernya" Gadis itu menyipitkan mata. Apa sebenernya yang membuat sikap Tuan berbeda ke saya semenjak kepergian Tuan Arya" Apa" Shilla merasakan nada bicaranya meninggi, ia tidak tahan lagi pada teka-teki ini, sekaligus tertekan mengingat hipotesis Bianca. Sikap Ryo juga membuatnya makin bingung. Ryo seperti sedang mengejeknya, menyembunyikan jawaban itu darinya.
Ryo menjadi sedikit bingung. Kenapa gadis ini sebenarnya" Itu cuma... Perasaan lo aja. Nggak ada yang berubah, kata Ryo sambil tersenyum miring. Senyum favorit Shilla. Tapi senyum itu tidak menenangkannya, malah membuatnya makin bingung dan meledak.
Saya nggak percaya kalo nggak ada apa-apa. Sikap Tuan itu terlalu... Terlalu... Gadis itu mulai tak bisa melanjutkan, suara badai dalam hatinya terasa sungguh berisik.
Ryo mendesah. Entah kenapa kini merasa iba dan tak tega memaksa Shilla membaca isi hatinya. Masa ia harus meneriakkannya pada gadis ini"
Mau lo apa, Shil" Lo mau tahu tentang apa" kata Ryo pelan. Kenapa Tuan... Terlalu memperhatikan saya" tanya Shilla mendesak. Dan kenapa saya juga tak bisa menolak segala sesuatu tentang Tuan" imbuhnya sendiri.
Itu cuma perasaan lo aja. Nothing important, kata Ryo. Mungkin itu nggak penting buat Tuan, tapi penting buat saya... Tuan nggak tahu kan, seberapa sering saya berusaha nggak memikirkan, tapi ingin juga mencari jawabannya sendiri. Betapa kebingungan ini seolah memecahkan otak saya dan&
Dan lo nggak tahu apa-apa soal otak yang mau meledak, Shilla& Lo nggak tahu kan seberapa sering gue mikirin elo& Betapa gue berharap lo tahu perasaan gue dan lo bisa membalasnya. Lo juga nggak tahu betapa gue& Ryo terdiam, menyadari ia sudah berkata terlalu banyak.
Shilla menatapnya. Betapa apa, Tuan" Badai itu mulai merayap, berdenyut dari tepi-tepi jantungnya yang siap meledak.
Ryo menghela napas pelan. Merasa tidak ada ruginya dikatakan sekarang. Betapa gue sayang sama elo, Shil, jawab Ryo akhirnya, menuntaskan pernyataannya.
Shilla mematung, tidak percaya itu jawaban yang dilontarkan Ryo. Pemuda itu mendesah, Gue tahu lo nggak akan semudah ini nerima jawaban macam begini dari gue. Ryo membelai pelan wajah gadis yang disayanginya itu.
Gue nggak akan minta jawaban dari elo, Shil. Di mana pun dan sama siapa pun elo bahagia saat ini, di sana hati gue akan selalu ngejaga elo...
Ryo lantas bangkit, tersenyum, lalu tak bisa menahan diri untuk menepuk pelan kepala Shilla. Ryo kemudian berjalan pelan ke dalam rumah, meninggalkan Shilla dan pikirannya. Teka-teki itu terbuka. Gemuruh badai yang tanpa sadar selalu ia tekan karena ketakutannya sendiri, kini berjaya, memperdengarkan gelegarnya kelewat jelas daripada seharusnya.
Patra, akhirnya aku menyadari badai itu. Yang selama ini sesungguhnya sudah ada. Jadi, benar-benar cinta. Itu... yang aku rasakan pada Ryo, kan"
Ryo menghela napas dan menelusuri daftar kontaknya. Memencet satu nama, menekan tombol yes dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
Bi" Besok kita ketemu oke" Gue mau bicara sama elo.
ABUT yang dulu mengaburkan pandangan itu kini membutakan. Menumpulkan penglihatan. Menghantamnya dengan kenyataan bahwa ia harus merelakan. Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.
Wanita itu turun ke dapur dan membuka rak makanannya. Mencari-cari apa yang ia butuhkan untuk bisa tetap terjaga dan melanjutkan persiapan bukti perkara kliennya yang naik banding esok hari. Akhirnya, ia menemukan yang dicarinya, kotak kardus kopi karamelnya, yang ternyata& kosong.
Wanita itu menghela napas, sia-sia ia menempelkan memo kecil bertuliskan Mom s Possession di sisi depan kardusnya. Ia yakin, kemarin
Bab 15 malam masih tersisa satu bungkus kopi karamel di kotak ini. Siapa yang mengambilnya"
Mbok Tati" Yang anti dengan segala jenis kafein yang katanya bisa membuat umurnya memendek" Tidak mungkin. Suaminya" Yang jelasjelas lebih menyukai kopi hitam pekat" Tidak mungkin. Kalau bukan mereka, berarti& wanita itu membuang kotak kosong di tangannya, keluar dari dapur, melewati ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamar anak semata wayangnya.
Ia mulai mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Mana mungkin anaknya sudah tidur sebegini awal" Ia mengetuk lebih keras, dan akhirnya memutuskan untuk membuka kenop pintu di depannya.
Wanita itu mengerutkan kening, tidak terlihat tanda kehidupan di sini. Tapi& Ia mengedarkan pandangan dan melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia melangkah pelan menuju balkon. Dan melihat anak lelaki semata wayangnya duduk memunggunginya, serius memperhatikan ponsel, menghela napas setelahnya lalu meletakkan ponsel itu di meja balkon yang terletak di antara tempatnya duduk dan satu bangku lainnya.
Wanita itu melihat lebih jauh. Lalu menemukan cangkir yang terletak di dekat ponsel anaknya tadi. Dia tahu aroma isi cangkir itu. Kopi karamel. Wanita itu tersenyum kecil sambil menggeleng, lalu bersandar pada kusen pintu balkon dan bersedekap.
Pat" Patra tersentak, lalu menoleh ke belakang, terkejut mendapati siapa yang berdiri di sana. Mama"
Mama tersenyum kecil. Membatin dalam hati apakah anaknya ini sedang melewati masa transisi akil balik atau apa, sehingga akhir-akhir ini bertingkah seperti orang linglung.
Sejak kapan kamu minum kopi" tanya Mama, lalu mulai berjalan dan duduk di bangku satunya, yang kosong.
Patra cuma mengangkat bahu.
Pat, jangan sampai Mama tahu kamu pakai&
Patra menatap Mama sedikit kesal. Ya ampun, Ma... percaya deh. Aku nggak pakai obat atau apa pun yang Mama pikirin. You acting weird, lately... You know" kata Mama.
Patra menatap ke depan lagi. Melamun menatap langit di atasnya. Menghela napas pelan. Ma, ucapnya pelan.
Hmm" tanya Mama, yang memutuskan meneguk kopi karamel Patra yang tergeletak di meja. Ya, daripada dia tidak minum kopi itu sama sekali.
Pernah nggak... Mama nggak mendapat sesuatu yang Mama inginkan" tanya pemuda itu.
Mama mengerutkan kening. Maksudnya"
Mama telanjur sayang, bukan sekadar ingin, pada sesuatu... Tapi ternyata sesuatu itu bukan buat Mama, ujar Patra setengah melamun.
Uh-oh. Mama mulai mendapatkan maksud Patra dan mulai menyadari kenapa Patra sering bertingkah aneh akhir-akhir ini. Anak lelakinya itu sedang jatuh cinta.
Oh, jadi ini masalah cewek" You are in love, aren t you" Mama tersenyum lebar.
Maaa... Patra memutar bola mata.
Mama tersenyum kecil, lalu bangkit dari duduknya, mengusap sayang kepala anak lelakinya yang beranjak dewasa.
Patra menatap Mama yang sekarang sedang berdiri di depan balkon. Nggak semua yang kamu inginkan akan kamu dapatkan, Pat. Sekalipun saat kamu sudah memiliki semua hal lain di dunia kecuali dia. Seekor capung terbang melintasi malam, lalu hinggap di susuran balkon, tempat Mama berdiri di dekatnya.
Kadang dia sudah sedekat ini, Mama menjengkal jaraknya dengan capung itu. Dan kamu terlalu egois... merasa kamu akan mendapatkannya... Mama mengendap-endap lalu berusaha menangkap capung itu, yang kini terbang ke langit-langit, menyadari adanya bahaya.
Mama berbalik, memandang Patra lalu mengangkat bahu. Tapi ternyata dia terbang menjauh... Terjemahan: dia memang bukan buat kamu.
Tapi... ssssh... Mama berbalik lagi, lalu meletakkan salah satu siku tangannya di susuran balkon, mengacungkan satu telunjuknya ke atas. Patra mengerutkan kening. Lalu baru menyadari apa yang terjadi, tak lama capung itu hinggap di telunjuk Mama.
Mama menoleh ke belakang, berbisik pelan, Pada saat yang tepat, dia akan datang sendiri menghampirimu... dan kamu... Mama menangkap capung di telunjuknya dengan tangannya yang lain. Berjalan pelan ke arah Patra lalu menyusupkan capung itu ke tangan anaknya.
& akan mendapatkannya... Mama meneruskan kata-katanya, lalu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jail.
Patra menatap capung yang kini meronta minta dilepaskan di tangannya, lalu menyadari Mama sudah berjalan menuju pintu kamarnya.
Ma" Mama menoleh pelan. Ya" Thanks. Patra tersenyum manis.
Mama membalas senyum Patra. Anytime...
Patra kembali memperhatikan capung di tangannya. Menyadari perumpamaan Mama, Mama mengerti. Capung itu bukan menggambarkan Shilla, melainkan menggambarkan perasaannya pada Shilla. Patra kembali membuka pesan yang tadi dibacanya sebelum Mama datang.
Pat, aku sudah menemukan badai itu. Bantu aku untuk menguraikan padanya, ya" Karena& dia tampaknya terisap badai yang sama :) Sender: Shilla
Patra merenung. Bukankah ini sebenarnya tujuan rencananya selama ini" Rencana yang sudah dibuatnya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Dia tidak pernah hadir untuk menjadi rival Ryo, tapi untuk membantu Shilla memecahkan teka-tekinya. Walaupun itu berarti membantu Shilla menjaring badai bersama Ryo.
Patra melepaskan capung di tangannya. Membiarkan hewan itu terbang ke langitnya sendiri.
Jadi" Shilla memutar bola mata dan tersenyum. Kamu kan udah tahu. Patra tersenyum, menstarter dan melajukan mobilnya melewati gerbang hitam menjulang yang mengerikan itu. Well, gue kan nggak tahu detailnya.
Harus, ya" kata Shilla, setengah tertawa.
Pemuda itu mengangkat bahu dan tersenyum. Hey, seems like you re in a very good mood today... You keep smiling... Pengaruh kesuksesan teka-teki terpecahkankah"
Shilla mencubit lengan Patra. Jangan gitu. Aku lagi malu. Kenapa malu"
Shilla tertawa kecil, pipinya bersemu merah. Soalnya tadi pagi aku ketemu dia, terus...
Terus" Terus dia natap aku dan bilang selamat pagi... hehehe... Patra menggeleng-geleng, padahal dalam hati meringis juga. Ya sudahlah, batinnya, yang penting dia bahagia... Patra membiarkan Shilla berceloteh riang soal kemarin malam. Setiap kata yang diucapkan Shilla mengirisnya. Ternyata, merelakan bukan berarti lantas terbebas dari rasa sakit hati.
Dia ngobatin aku, Pat... Ryo gitu, bisa ngobatin orang& Terus dia keceplosan bilang kalo dia...
Kalo dia" Lo kenapa jadi suka ngegantung kalimat gini sih" Wajah Shilla bersemu lagi. Kalo dia sayang sama aku... Gadis itu benar-benar mabuk kepayang. Kejujuran Ryo semalam membuatnya tidak bisa memikirkan apa-apa selain pemuda itu, bahkan tidak ancaman Bianca.
Patra mengangguk pelan. Keceplosan, ya. Betapa dia berharap bisa keceplosan juga saat ini. Terus maksud lo dengan SMS kemaren malem" Lo mau gue bantu menguraikan apa" Jawaban esai"
Shilla menatap pemuda di sebelahnya dan melotot lucu. Gimana sih... tukang bikin perumpamaan, nggak bisa nebak perumpamaan. Patra hanya tersenyum.
Dia... dia nggak minta jawaban, Pat. Tapi aku mau dia tahu perasaanku juga... Aku nggak mau menyesal suatu hari nanti, karena nggak pernah bilang&
Jawaban yang cukup telak untuk Patra. Seperti menyindirnya. Kapan"
Shilla mengerucutkan bibir, untuk itu ia juga belum memikirkannya.
Patra mendesah, Tapi nanti pulang gue masih bisa jemput lo, kan"
Dan betapa leganya ia ketika Shilla mengangguk. Paling tidak gadis itu masih bisa ada di dekatnya untuk kali ini.
Pelajaran jam terakhir hari itu kosong. Pelajaran Bu Indah sebenarnya, namun kata guru piket beliau tidak masuk karena sakit. Shilla menghela napas, menenangkan jantungnya yang kini benar-benar tidak tahu aturan. Ia yakin, orang yang berada lima kilometer jauhnya dari sini pun pasti bisa mendengar detak jantungnya.
Tapi kenyataannya tentu saja tidak. Shilla menyadari siapa yang membuat jantungnya berdegup begitu keras. Hanya satu sebenarnya, Ryo yang duduk di belakangnya. Ia harus menahan keinginan untuk terus menoleh ke belakang dan menatap wajah Ryo yang terus membayanginya itu.
Seperti biasa, kelas mulai gaduh. Ketidakhadiran guru pada jam terakhir adalah berkah tak terhingga setelah seharian berhadapan dengan pelajaran eksakta macam kimia dan fisika. Kegaduhan itu terhenti saat tiba-tiba seseorang memasuki kelas mereka. Dagunya terangkat tinggi, wajah cantiknya tampak tak peduli dan ketukan sepatu Gosh-nya membuat segenap perhatian tertuju padanya.
Bianca berjalan tegap menuju meja Ryo. Membuat seisi kelas memperhatikannya. Menanti drama macam apa yang bakal terjadi. Shilla sampai memutar tubuhnya ke belakang.
Ryo menghela napas keras, memandangi Bianca yang berdiri angkuh di samping mejanya.
I m pretty sure that we still have a date today, kata Bianca, to the point, menekankan kata date tepat sasaran. Ia tak mengacuhkan rakyat jelata yang sedang menonton aksinya.
Ryo memandang sekilas ke arah Shilla, yang sempat tertegun lalu pura-pura memandang langit-langit dan memutar tubuhnya kembali ke depan. Pemuda itu yakin benar Shilla sedang berpura-pura tak acuh.
Ryo menatap Bianca lelah, yang hanya dibalas senyum manis oleh Bianca. Bianca mendekatkan bibirnya ke telinga Ryo. You have promised me... Finish it, now or never. Bianca menjauh, lalu berjalan angkuh ke luar, setelah sebelumnya melempar tatapan mematikan pada Shilla.
Shilla tidak mengerti apa yang terjadi, meskipun dia memang tidak berhak mengerti. Tapi... apakah Ryo masih berhubungan dengan Bianca, lalu yang kemarin... Shilla mendengar suara gerakan di belakangnya dan akhirnya melihat Ryo berjalan melewatinya. Shilla menghela napas panjang.
Ryo sempat menoleh ke belakang sejenak, berniat memberikan senyum menenangkan pada Shilla. Tapi ternyata gadis itu sedang menunduk, entah mencari apa di lacinya. Ryo mendesah pelan. Yang penting dia harus menunaikan janjinya pada si ratu mulut cabe dulu.
Shilla meraih ponselnya sambil menenangkan dirinya sendiri. Udahlah jangan negative thinking, batinnya, Bianca kan memang suka melebihlebihkan.
*** 1 message received Shil, keluar jam brp" Sender: Patra
Shilla mengetik balasan sambil melirik ke arah jam dinding di kelasnya. Sepuluh menit lagi bel akan berdering.
Sepuluh menit itu pun berlalu. Shilla segera membereskan alat tulisnya. Tersenyum pada Devta dan Ifa yang masih belum beberes. Aku duluan, ya" tanya Shilla.
Devta mengangguk, sementara Ifa sedang sibuk berbicara serius di ponselnya sehingga tidak membalas ucapan Shilla. Shilla memberikan isyarat pada Devta agar menyampaikan pada Ifa bahwa ia pulang duluan.
Setelah Devta menggumamkan iya, Shilla pun mengambil langkah panjang menuju lift. Ia memasuki lift bersama dua gadis lain yang sibuk berbicara heboh.
Well, that couple is totally hot. Ya, meskipun gue nggak suka sama Bianca... tapi harus diakui mereka cocok... Lo tahu" Tadi tumben mereka makan siang bareng... Yah, kita tahu mereka udah deket selama ini. Tapi hari ini mereka keliatan lebih.
Lebih apa" sahut temannya.
Si ratu gosip melanjutkan, Lebih hidup... lebih mesra aja gitu... Ting... lift berhenti di lantai paling bawah. Shilla tersadar lalu berjalan agak linglung keluar. O... ke, jadi apa maksudnya dengan pembicaraan tadi" Couple mana yang dibicarakan" Bianca-Ryo" Ryo" Ryyyooo" Shilla menghela napas tidak mengerti, menuruni undakan depan lalu tersenyum kecil sambil berjalan ke arah Patra, yang sedang bersandar di kap mobilnya.
Hmm" Patra menyadari aura kecemasan itu lagi. Ada masalah" Gadis itu tersenyum. Semoga aja nggak.
Patra mengangkat sebelah alisnya. Never mind... boleh pinjem hape" Hape gue barusan lowbatt terus sekarang mati...
Shilla menyerahkan ponselnya pada Patra. Lalu tak lama perhatian mereka berdua teralih, mendengar pembicaraan menarik dari sekelompok gadis yang sedang berjalan melintas.
Audisi cheerleader. Pasti seru banget. Mungkin bakal lebih seru daripada sesi latihan biasa.
Oooh... Mau liat berapa banyak yang cukup bodoh menganggap cheerleading itu gampang"
Atau berapa banyak yang bakal dipermaluin sama Bianca" Both... Hahahaha... Cheers jadi makin seru sejak Bianca jadi ketuanya... Too much drama from Queen Bi.
Patra tersenyum ke arah Shilla. Bianca yang pernah lo ceritain itu" Yang lo usap mukanya pake lap sampah" Yuk, gue penasaran liat mukanya... Patra menarik tangan Shilla mengikuti arah gerombolan gadis itu berjalan.
Audisi cheerleader diadakan di taman belakang sekolah. Taman belakang yang biasanya relatif sepi, kini terlihat lebih ramai daripada biasa. Tim inti cheerleader tahun ini, dengan Bianca sebagai ketuanya, sedang berlatih. Mengintimidasi para juniornya untuk bisa menjadi sama kerennya dengan angkatan tahun ini.
Rupanya mereka datang agak terlambat untuk pertunjukan pembuka. Tim inti melakukan gerakan penutup yang manis dengan Bianca berada di puncak piramida. Tampak tetap cantik walau keringat membasahi wajahnya. Shilla harus mengakui, selain bakat sombong dan menyindirnya yang luar biasa, Bianca ternyata memiliki bakat cheerleading yang tak terkalahkan, didukung percaya dirinya yang tinggi. Kalau Shilla" Ia mungkin lebih memilih memanjat Monas, daripada menggerak-gerakkan tubuhnya di depan orang banyak.
Shilla tiba-tiba tersadar. Kalau gosip itu benar, berarti sekarang di sini juga ada... Ryo. Shilla melihat pemuda berdiri tidak jauh di depannya. Sedikit tampak terganggu, tapi tersenyum saat Bianca menghampirinya setelah Bianca meneriakkan Break bentar! pada timnya... Tunggu... Ryo tersenyum" Pada Bianca"
Pandangan Shilla kini tertumbuk pada dua sosok itu. Hatinya bertalutalu dan perutnya dicekam kepakan kupu-kupu yang membuatnya mual. Menanti epik apa yang akan terjadi setelah ini. Dan apa akibatnya pada perasaannya. Ia meramalkan sesuatu yang kurang baik. Apa pertunjukan yang dilihatnya setelah ini akan membuatnya meragukan kebenaran pernyataan Ryo semalam"
Kini Ryo berjalan mendekati Bianca, mengambil handuk kecil di bangku besi dekat situ. Lalu, perlahan, mengusap peluh di wajah Bianca. Mula-mula dahinya, lalu kedua pipinya.
Shilla tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa yang sebenarnya sedang Ryo lakukan. Patra pun ikut tergugup, tidak tahu harus melakukan apa, menyelamatkan Shilla dari sini atau apa. Sementara, Shilla mematung melihat betapa... betapa lembut Ryo melakukan itu pada Bianca. Seperti saat mengobati kakinya semalam.
Bi, Ryo berkata pelan, kenapa harus di sini"
Bianca tersenyum manis, semanis White Witch saat meracuni Edmund Pevensie dengan Turkish Delight-nya. Karena kita harus meyakinkan, Yo... Jangan melankolis begitu... Kenapa" Apa karena ada cewek lo di sini"
Ryo menatap nyalang Bianca. Maksudnya" Pemuda itu mengedarkan pandangan sejenak dan mendapati Shilla sedang menatapnya tak percaya. Ada kegalauan yang sarat di sana, membuat Ryo ingin berlari menenangkannya. Ryo juga menyadari ada Patra di belakang gadis itu.
Bianca menepuk pipi Ryo pelan. Senyum, Yo... bukan begitu cara memperlakukan pacarmu ini...
Bi, please, Ryo menatap Bianca dengan pandangan memohon, gue udah akting jadi pacar lo seharian ini...
Pemuda itu mendesah. Memang inilah yang dinegosiasikannya pada Bianca semalam. Ia tahu ada harga yang harus dibayarnya setelah selama ini memanfaatkan gadis pongah itu. Dan Bianca, bukanlah sosok besar hati yang rela melepas apa yang bahkan tidak dimilikinya tanpa syarat.
Bianca akhirnya pura-pura berpikir keras, lalu menggeleng. Belum... Kamu belum total akting jadi pacarku... Dan aku nggak suka sesuatu yang nggak total... Bianca menepuk pipi Ryo lagi. Lakukan lebih baik...
Ryo mencuri pandang ke arah Shilla, cemas akan apa yang dipikirkan gadis itu sekarang. Terus mau lo apa"
Bianca berbisik ke telinga Ryo. Say that three magic words and treat me as your girl.
Bi... Ryo bertekad menjelaskan pada Shilla setelah ini. No compromise. Kamu udah janji, oke" Aku cuma minta satu hari jadi pacar kamu, SATU hari... Dan aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Kamu kan yang minta aku ngejauh kemarin malem... Bianca menuding dada Ryo namun tetap tersenyum manis.
*** Shilla tidak mendengar perdebatan Ryo dan Bianca. Ia tidak berada cukup dekat untuk bisa mendengar. Yang jelas di matanya, mereka berdua sedang berbincang entah apa. Dan Shilla tak pernah melihat senyum Bianca semanis itu.
Shilla sedang menunggu bom itu disulut, sehingga ia tidak sadar bahwa ia berjalan lebih dekat ke arah Ryo dan Bianca.
Ryo menatap Bianca. I& Oh Tuhan, ia benar-benar muak diperlakukan seperti ini dan dia ingin mengakhiri semua secepatnya.
Bianca mengangkat alis dan tersenyum. Ryo& Ryo& Tatap mata gue dan beraktinglah dengan baik... Atau perjanjian kita ba...
Ryo menaruh telunjuknya di bibir Bianca, lalu memandang mata Bianca, berusaha membayangkan kedua mata Shilla, dan menamatkan episode kisah memuakkan hati itu. I love you, katanya lembut, lalu mendekatkan diri.
Kedua mata Shilla membelalak dan bom itu meledak. Kepakan kupukupu di perutnya menggila. Shilla mungkin tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu arti tiga kata yang diucapkan Ryo barusan. Semudah itukah Ryo mengatakan cinta" Semudah itu"
Shilla berusaha menyangkal apa yang didengarnya, namun ternyata penyangkalan itu meracuninya dari dalam. Shilla menatap Ryo tidak percaya. Sekarang hatinya jatuh berserak. Namun, perasaan Shilla yang sudah terlalu dalam pada pemuda membuatnya tidak bisa mengeluarkan sumpah serapah, bahkan dalam hatinya. Ia terlalu menyayangi Ryo.
Patra menepuk pundak Shilla cemas. Ia juga bisa membaca gumaman Ryo tadi. Si brengsek Ryo, kalau ia menyebutnya sekarang.
Shilla menoleh ke arah Patra, berusaha keras agar air matanya tidak merebak. A... aku pulang duluan, katanya linglung lalu berjalan terseok-seok.
Patra membuang pandangannya ke arah Ryo. Lalu baru menyadari ponsel Shilla masih di tangannya.
Ryo melepaskan telunjuknya dari bibir Bianca, mendesah, Are you happy now" Ryo mendengus lalu berjalan menuju semak-semak menjauhi Bianca yang masih mematung.
Drrt... Drrrt... Ponsel Ryo berdering menandakan ada pesan masuk:
Tetap di tempat lo berada sekarang. P. Sender: Shilla
Ryo menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa P" pikirnya. Terdengar gemerisik semak-semak, lalu tampaklah sosok yang selama ini selalu ia anggap rivalnya. Patra. Dia sedang memegang ponsel Shilla. Patra menatapnya dengan ketenangan semu, yang siap meledak kapan saja. Serahin dia ke gue, kata Patra.
Emang gue lagi nyulik orang, ya" tanya Ryo. Kini dia dan Patra berjalan berputar, mengelilingi lingkaran tak kasatmata, dengan jarak sempurna yang sama, terlalu berbahaya untuk diubah.
Patra tertawa sinis. Nggak usah pura-pura bego.
Ryo mendesah pelan, menghentikan langkah berputar ala film-film action-nya tadi. Oke... ini semua nggak seperti yang Shilla atau lo liat...
Oh, ya" Ryo mengangkat bahu. Buat apa juga lo minta gue nyerahin dia"
Dia belum dan mungkin nggak akan pernah jadi milik gue" She totally has a crush on you, anyway...
Patra berdecak. Lo nggak tahu apa yang baru aja bakal lo dapetin kalo lo nggak brengsek kayak tadi... Dia mau ngasih lo jawaban, yang nggak lo minta... Patra berjalan mundur, tersenyum sarkatis pada Ryo.
Tunggu, ucap Ryo. Shilla berjalan tersaruk-saruk seperti zombie. Buta arah. Entah dia sedang berjalan ke mana, yang jelas belum begitu jauh dari sekolahnya. Ia tidak percaya. Ryo ternyata& Shilla memejamkan mata, berusaha menyangkal sakit di dadanya. Puzzle yang sudah terpasang semua itu kini hancur. Bukan hanya satu keping. Semua keping puzzle itu terserak berantakan dan ia harus menatanya lagi, suatu hari nanti.
Tiiin... tiin... Shilla mendesah, menepikan dirinya ke trotoar agar mobil berisik itu bisa lewat.
Tiiin... tiiin... Shilla mendengus lalu menoleh ke samping, melihat Picanto hitam yang ternyata sumber suara berisik itu. Kepala Patra muncul dari jendela mobil. Shil...
Shilla membuang muka dan berjalan lagi. Patra turun dari mobilnya lalu mengejar Shilla. Ia meraih pundak gadis itu dan membalikkan tubuhnya.
A... aku cuma... Shilla mencoba merangkai kata. Patra berkata, Ssshh... sssh...
Shilla akhirnya membiarkan air matanya berbicara. Patra tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan tangis Shilla pecah dalam dekapannya.
Kenapa kamu ngajak aku ke sini lagi" tanya Shilla.
Patra hanya diam, menatap Shilla sebentar, mengangkat bahu lalu mulai meneruskan pekerjaannya yang kurang penting, melempari laut dengan kerikil. Mereka kembali ke Muara Baru lagi. Patra mengajak Shilla duduk ke sini, setelah air mata Shilla dinilainya sudah cukup banyak untuk memberi minum orang sekampung.
Pat... Patra menghela napas, memberikan sekaleng teh hijau yang dikeluarkannya dari saku blazer sekolahnya pada Shilla. Minum itu .. Shilla mengambil kaleng itu dan mengernyitkan dahi. Pat. Minum, kata Patra final.
Shilla membuka penutup kaleng dan menyesap teh hijau di dalamnya. Sejuk rasanya, minum sehabis menangis.
Teh hijau bagus buat lo... Ada antioksidannya... Mungkin otak lo lagi kebanyakan karbondioksida atau apa, racau Patra. Shilla hanya tersenyum. Thanks, Pat...
Patra tersenyum akhirnya, mengusap kepala Shilla. Anytime. Mau sharing sama gue" Gue nggak keberatan ada adegan air mata ronde kedua...
Gadis itu tersenyum lagi. Nggak, lah. Aku nggak mau nangis lagi... Capek... Cuma aku nggak nyangka aja, Ryo kayak gitu. Don t judge a book by its cover. Don t, until you know its content... kata Patra. Kita nggak tahu apa yang dilakuin Ryo sebenernya tadi...


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shilla mengerutkan kening ke arah Patra. Kamu ngebela Ryo" Patra menjawab dengan mengangkat bahu.
Shilla tertawa kecil. Padahal dulu kamu bilang mau ngutuk dia... Gadis itu lalu mengalihkan tatapan ke arah laut. Ombak itu akhirnya memukul karang lagi, kan" Meninggalkan lubang erosi lain di sana... Shil...
Shilla melemparkan tatapan memohon. Please, jangan ngebela Ryo...
Patra memutuskan mengabaikan ucapan Shilla. Mungkin ombak itu kelihatan jahat ya sama karang" Membuat karang berlubang, rapuh. Tapi, apa yang baru gue pelajari... Patra menuding seekor ketam, kepiting kecil, yang sedang berjalan miring memasuki lubang di salah satu batu karang di dekat mereka.
Ombak membuat tempat tinggal buat kepiting-kepiting kecil ini berlindung. Ombak membuat karang bermanfaat. Nggak cuma diam manis nggak berguna kayak sekadar batu. Mereka saling membutuhkan, tahu" Karang membuat ombak tidak melewati batas saat ombak berlari ke tepi pantai...
Pikirin itu, Shil... Patra bangkit dari duduknya. Gue pergi bentar. Kalo lo udah mikir baik-baik dan siap pulang, telepon gue. Tadi hape gue udah gue charge di mobil kok. Pemuda itu menyerahkan ponsel Shilla pada pemilik aslinya.
Shilla mengambil ponselnya, memandang Patra yang kini berjalan menuju mobilnya. Oh ya, kata Patra. Kadang di sini ada pengamen. Siapin uang receh, hati-hati... Patra memberikan senyum terakhir pada Shilla.
Gadis itu membalas senyum sekenanya. Lalu kembali menatap ke arah laut. Kenapa harus selalu laut yang menjadi saksi bisu kegalauannya"
Muara Baru begitu sepi. Membantu Shilla mendengar sesuatu lebih jelas. Suara hatinya. Shilla mulai menyelami hatinya. Siapa yang saat ini memenuhi pikirannya" Ryo. Siapa yang saat ini menempati hatinya" Ryo. Ternyata, sesakit apa pun hatinya hari ini, sosok itu masih bertahan di sana, dan Shilla sesungguhnya tetap ingin memiliki Ryo di sini.
Pikirannya terpecah suara gonjreng gitar dan suara serak-serak basah dari belakangnya. Shilla tidak perlu menoleh untuk tahu itu pengamen.
Cantik& ingin rasa hati berbisik... Untuk melepas keresahan diriku...
Ooh Cantik, bukan kuingin mengganggumu... Tapi apa arti merindu selalu...
Walau mentari terbit di utara... Hatiku hanya untukmu... Lagu Cantik dari Kahitna yang dibawakan secara akustik. Shilla menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Oke, suara pengamen itu tidak jelek. Bagus, malah. Tapi apa harus sekarang" Saat ia sedang sibuk memastikan isi hatinya" Shilla merogoh kantongnya, mencoba mencari uang receh.
Ada hati yang termanis dan penuh cinta... Tentu saja kan kubalas seisi jiwa...
Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita...
Shilla sedang merogoh ranselnya saat mendengar penutup refrein ini.
Ini kesungguhan, sungguh aku sayang Shilla.
Shilla menoleh ke belakang, melihat siapa yang bernyanyi. Sesosok tubuh tinggi yang masih dibalut seragam Season High. Ryo" Shilla membuang muka. Ternganga.
Ngapain kamu di sini" Shilla menoleh ke belakang lagi saat suara gitar itu berhenti.
Ryo tersenyum miring, memetik gitarnya. Ngamen... Shilla memutar bola mata, lalu bangkit dan berjalan mendekati Ryo, yang kelihatan sedang menyusun kata-kata.
Shil, gue... Gue tahu tadi mungkin gue bikin lo sakit hati. Tapi, gue sayang sama elo. Sumpah, gue sayangnya sama elo. Ah, gue nggak bisa ngerangkai kata-kata bagus nih.
Shilla mendengus. Dari mana kamu tahu aku di sini" Oh.. Patra, ya" Sejak kapan kalian berkomplot"
Shil, Ryo menatap mata Shilla. Sori, soal yang tadi. Tapi kalo lo emang udah ilfil sama gue...
Shilla membalas pandangan Ryo tanpa reaksi apa-apa. Ilfil" Emang sejak kapan aku ada feeling buat kamu"
Lo tahu... Gue nggak akan pernah maksa lo ngejawab... Ryo mengangkat bahu, berbalik, dan berjalan menjauhi Shilla.
Mungkin si kucrut Patra itu mengerjainya. Ryo menghela napas. Yah, kalau memang takdirnya bukan bersama Shilla, dia mau berbuat apa. Yang jelas, Ryo tidak akan mudah melupakan Shila. Mungkin dia bisa mencoba mengurung diri di ruang bawah tanah dan membiarkan tikustikus menggerogoti&
Shilla berlari kecil menyusul Ryo,lalu menyusupkan jemarinya ke jemari Ryo yang tidak memegang gitar. Ia menyentak tubuh Ryo hingga mereka berdua berpandangan.
Shilla menatap mata Ryo. Kamu beneran nggak mau tahu jawabanku" tanyanya sambil tersenyum.
Ryo tersenyum. Sumpah, Shil... Yang tadi gue sama Bianca... Ssssh... Shilla tersenyum lagi, mempererat genggamannya. Aku tau dan percaya sama kamu...
Pemuda itu melepaskan genggamannya lalu memeluk Shilla erat-erat, tidak berniat melepaskannya. Ia mengacungkan jempol pada Patra yang sedang memperhatikan dari mobilnya di ujung sana. Ryo memejamkan mata, menikmati saat itu dan mengecup puncak kepala Shilla, yang kini resmi menjadi gadisnya.
Patra tersenyum melihat pemandangan di depannya. Tak lama ia menunduk dan menghela napas.
Drrt... Drrt... 1 message received Terima kasih untuk segalanya .. : ) Sender: Shilla
Patra melajukan mobilnya ke dalam keheningan petang. Sayup-sayup mendengar lagu dari radio mobilnya.
Aku tak tahu mengapa dirimu... Yang datang saat aku merasa... Meskipun aku tak mungkin miliki... Namun kuakui, kauubah hariku...
(Kauubah Hariku Kahitna)
Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.
Hati yang tak pernah pasti akhirnya menuntun Shilla untuk memilih Ryo untuk saat ini. Namun kepulangan Arya yang tiba-tiba malah kembali membuat Shilla terjebak dalam kebimbangan& Siapa yang akan Shilla pilih"
Temukan jawabannya dalam seri Love Command berikutnya!
J ANICE N ATHANIA hanya pemimpi yang kerap menemukan kebahagiaan kecil dari pagi berhujan, selapis selimut tebal, buncahan ide yang gemar menyalip dalam kepala, rencana liburan, kesendirian, dan notifikasi komentar baru untuk cerita yang diunggahnya.
Tentang Pengarang Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37 Wasiat sang bunda dan bros pemberian Ayi bocah dari ingatan masa kecilnya membawa Shilla ke Jakarta, tempat kehidupannya berubah. Siapa sangka ia malah terdampar di kediaman mewah keluarga yang kaya raya, dan akhirnya bekerja di sana" Hari-hari Shilla pun tambah berwarna berkat kakak-beradik Luzardi: Arya yang tampan dan baik hati serta selalu ada untuknya, dan Ryo yang arogan dan suka seenaknya. Belum lagi perseteruannya dengan Bianca Queen Bi , yang selalu menganggap Shilla saingan terberat dalam memperoleh perhatian Ryo.
Ketika mendapati lambang di rumah keluarga Luzardi serupa dengan brosnya, Shilla yakin bahwa Ayi-nya berada di sana. Namun siapa di antara kakak-beradik itu yang merupakan Ayi" Dan kini di tengah pencariannya, Shilla malah dihadapkan pada perasaan tak menentu terhadap keduanya&
LOVE COMMAND: Cerita Rakyat Nusantara 1 Dewa Arak 81 Mustika Ular Emas Ikat Pinggang Kemala 6

Cari Blog Ini