Ceritasilat Novel Online

Tujuh Hari Menembus Waktu 2

Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon Bagian 2


Sarah bergerak menyentuh rambut keponakannya dan
mengelusnya. Marissa tersenyum dalam hati, dan berbalik kembali ke
kamarnya. Ternyata Tante Sarah menyayangi keponakan"
nya, pikirnya, hanya saja ia tidak pernah mem"per"
lihatkannya di hadapan Wiliam.
isi-7 hari.indd 91 Enam 3 Juli 1988 Hari Minggu Tahun "88
Marissa bangun pagi-pagi sekali. Hari ini ia berniat mema"
sak untuk Wiliam, dengan harapan Wiliam akan memaaf"
kannya karena telah merusak robot mainannya kemarin. Bi
Ijah sudah ada di dapur saat Marissa masuk ke sana.
"Pagi, Bi," sapa Marissa, sambil tersenyum.
"Pagi, Non," balas Bi Ijah. "Tumben pagi-pagi Non
sudah bangun." Marissa tertawa sebentar, lalu berkata, "Begini, Bi"
Bibi tahu apa makanan kesukaan Wiliam?"
"Den Wiliam suka hampir semua masakan," kata Bi
Ijah. "Sayur asem, sop, pepes ikan, hampir semuanya."
Aku mana bisa memasak semua itu" Selama ini kan
aku belum pernah pegang pisau, pikir Marissa.
"Bi, tidak ada yang mudah, ya" Maksudku yang praktis
dan gampang dibuat?" tanya Marissa berharap.
"Oh." Bi Ijah tersenyum memamerkan giginya yang
sudah hilang hampir sebagian. "Semua gampang, Non.
Memang Den Wiliam ingin makan apa" Nanti Bibi yang
masak." isi-7 hari.indd 92 "Bukan begitu, Bi," Marissa berusaha menjelaskan.
"Hari ini saya yang akan masak untuk Wiliam. Apakah
ada masakan yang dibuat tanpa harus menggunakan
pisau, Bi" Yang mudah saja."
Bi Ijah tampak berpikir keras. "Masakan yang tidak
pakai pisau ya, Non?"
Marissa mengangguk-angguk cepat.
"Ah, telur dadar," kata Bi Ijah. "Tidak perlu pakai
pisau, dan Den Wiliam suka telur dadar."
Marissa memeluk Bi Ijah dengan spontan. "Terima
kasih, Bi. Nah, sekarang tolong Bibi ajari, ya."
"Oh" ya, Non," sahut Bi Ijah. "Telurnya sudah habis
kemarin. Siang ini Bibi baru mau beli telur."
Marissa kecewa beberapa saat, namun semangatnya
tidak reda. "Begini, Bi. Biar saya saja yang beli telur ke
pasar. Bagaimana?" "Tidak usah, Non," kata Bi Ijah. "Biar Bibi saja yang ke
pasar." "Tidak apa-apa, Bi," Marissa tersenyum. "Lagi pula,
saya tidak ada kerjaan. Bibi beritahu saja pasarnya di
mana, sekalian kalau ada barang-barang lain yang akan
dibeli. Jadi, nanti saya sekalian beli semuanya di pasar."
"Bibi jadi merepotkan Non," kata Bi Ijah.
"Tidak apa-apa," tegas Marissa lagi. "Lagi pula, saya
ingin melihat pasar di sini, sekaligus olahraga naik se"
peda." Melihat keteguhan hati Marissa, Bi Ijah akhirnya mem"
beritahu letak pasar dan barang-barang yang akan di"
beli. Kaki Marissa mulai mengayuh sepeda ke luar rumah,
isi-7 hari.indd 93 bibirnya bersiul-siul gembira. Wiliam pasti akan ter"
sentuh begitu melihatku bersusah payah memasak
untuknya, kata Marissa dalam hati, lalu dia akan me"
maafkan aku. Ya ampun, Marissa, kau memang
pandai" ha" ha" ha!
Ternyata pasarnya sudah penuh orang. Apalagi di hari
Minggu begini. Marissa sampai berdesak-desakan dengan
para ibu rumah tangga. Setelah berkutat selama dua jam
dan keringat mulai mengalir di keningnya, Marissa
berhasil mendapatkan semua yang dibutuhkan, terutama
telur. Dalam perjalanan pulang, Marissa mampir dulu ke
rumah Papi. Ia menghentikan sepedanya dan melihat
rumah"nya. Sebentar lagi, pikirnya, sebentar lagi aku
akan pulang. Suara gerbang dibuka mengalihkan pikiran Marissa.
Sebuah motor bebek keluar dari sana. Marissa tertawa,
lalu mengayuh sepedanya mendekati Papi.
"Hai, Ferry!" teriaknya dari kejauhan.
Papi celingak-celinguk mencari tahu siapa yang me"
manggil"nya. Sepeda Marissa sampai di dekat sepeda
motor Papi. "Hai," sapa Marissa. "Pagi-pagi begini kau
mau ke mana?" Papi terkejut. "Ehm, aku mau ketemu Diana."
"Bagus! Bagus!" seru Marissa riang. "Jadi, kencan ke"
marin berhasil, kan?"
Papi mengangguk. "Mengapa kau bisa ada di sini?"
Marissa terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban
yang tepat. "Eh" rumahku dekat-dekat sini. Aku baru
pu"lang dari pasar."
isi-7 hari.indd 94 Papi melihat barang belanjaan di keranjang depan se"
peda, dan mengangguk. "Oh" begitu."
"Jadi," kata Marissa, ingin tahu, "hari ini kau dan
Diana akan ke mana?"
"Siang ini aku akan pergi ke Ratu Plaza," kata Papi.
"Kata Diana dia ingin mencoba lift di sana. Besok kami
akan ke PRJ." Marissa bertepuk tangan. "Bagus!" serunya antusias.
Papi melihat jam tangannya. "Aku harus pergi seka"
rang. Diana sudah menunggu."
"Oke." Marissa mengangguk. "Semoga kencannya ber"
hasil, ya." "Terima kasih," kata Papi, segera berlalu dengan motor"
nya. Sesampainya di rumah Wiliam, suasana hati Marissa
se"makin gembira. Sambil menyanyi riang, Marissa ber"
jalan ke dapur dan memberikan semua belanjaannya ke"
pada Bi Ijah. "Sekarang, tolong ajari saya cara memasak telur dadar
ya, Bi," katanya. Setengah jam kemudian, enam telur gosong sudah ter"
kumpul dalam sebuah mangkuk.
"Non," kata Bi Ijah. "Biar Bibi saja yang masak."
Marissa menggeleng. "Kalau Bibi yang masak, nanti
Wiliam tidak akan menghargai usahaku."
Sial, gerutu Marissa, setelah mencoba tanpa sukses
untuk kesekian kalinya. Aku memang tidak punya bakat
memasak. Membuat telur dadar yang mudah saja tidak
bisa kulakukan. Payah. Suara pintu terbuka terdengar.
isi-7 hari.indd 95 "Sepertinya Den Wiliam sudah bangun," kata Bi Ijah.
"Bi Ijah, jangan sampai Wiliam ke dapur," kata Marissa
panik. "Aku belum selesai masak. Tolong halangi dia.
Suruh dia menunggu di ruang makan saja."
Bi Ijah mengangguk cepat mendengar perintah Marissa.
Ia keluar untuk berbicara dengan Wiliam. Marissa men"
desah lega. Tiba-tiba ia tersadar dan pandangannya ter"
tuju pada telur dadar di penggorengan. Alamak! teriaknya
dalam hati. Gosong lagi deh. Oke" oke" jangan panik,
yang gosong kan hanya bagian bawah. Jadi, aku
sembunyikan saja bagian itu.
Marissa keluar dari dapur dengan senyum lebar.
"Wiliam," katanya. "Tebak! Aku masak apa hari ini?"
Wiliam terlihat masih marah. Marissa menyodorkan
telur dadar hasil gorengannya di hadapan Wiliam. "Aku
sengaja bangun pagi-pagi memasakkan ini untukmu.
Aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Soal robot
itu." Wiliam melihat telur di depannya tanpa selera.
"Aku ambilkan nasinya, ya," kata Marissa, sambil meng"
ambil piring untuk Wiliam. Setelah nasi, sendok, dan
garpu tertata di depan Wiliam, Marissa menyuruhnya
makan. "Ayolah, Wiliam," pintanya manis. "Aku benar-benar
su"dah berusaha memasaknya. Makan ya" sedikitttt
saja." Bi Ijah kasihan melihat Marissa, karena itu ia ikut me"
nambah"kan, "Non Marissa tadi pagi pergi ke pasar mem"
beli telur untuk Den Wiliam."
Setelah mendengar perkataan Bi Ijah, akhirnya Wiliam
isi-7 hari.indd 96 mengambil sendok dan garpunya lalu memakan telur
dadar yang dimasak Marissa.
"Bagaimana?" Marissa penasaran. "Enak tidak?"
Wiliam menelan telur di mulutnya. "Keasinan," katanya
pendek. Marissa merasa lega. Ia berpikir Wiliam tidak akan tahu
bahwa telurnya sedikit gosong. Namun ketika Wiliam
hendak memotong telur"nya lagi, ia melihat sedikit warna
hitam di bagian bawah. Gawat! Gawat! Gawat! teriak
Marissa panik. Wiliam membalikkan telur itu, dan tahulah ia kini
bahwa telur gorengnya gosong.
"Kakak memasak telur gosong buatku"!" teriaknya pada
Marissa. Marissa merasa bersalah. "Aku sudah mencoba me"
masak"nya berulang kali. Yang ini tidak terlalu gosong. Ya,
kan" Aku benar-benar memasaknya sendiri, spesial untuk"
mu. Yang penting niatnya. Benar kan, Wiliam?"
Wiliam berkata dengan ketus, "Telur gosong tetap saja
telur gosong." Marissa duduk lemas di hadapan Wiliam. "Wiliam","
katanya, tiba-tiba jadi serius. "Aku benar-benar minta
maaf sudah mematahkan robotmu kemarin. Aku tidak
sengaja. Kalau kau marah kepadaku dan ingin aku pergi
dari rumahmu, aku akan pergi."
Wiliam tidak mengomentari perkataan Marissa, namun
dia menghabiskan semua telur gosong di piringnya.
Marissa menganggap itu sebagai ungkapan perdamaian.
"Terima kasih, Wiliam," kata Marissa bersungguhsungguh.
isi-7 hari.indd 97 Wiliam hanya mendengus. Setelah sarapan, Marissa menemani Wiliam nonton TV.
Acara si Unyil sedang tayang. Marissa ikut tertawa me"
lihat kelucuan tayangan itu. Sepanjang pagi itu, Marissa
menghabiskan waktunya dengan menonton. Banyak acara
yang cukup menghibur, walaupun hanya ada satu saluran
televisi. Siang hari, Marissa menonton acara Ria Jenaka.
Marissa tertawa terbahak-bahak melihat betapa lucunya
para punakawan yang ada di acara itu.
Setelah menonton televisi, Marissa ingin pergi ke Ratu
Plaza untuk melihat ke"adaan kedua orangtuanya. Sewaktu
mengusulkan hal itu kepada Wiliam, Wiliam menolak
mentah-mentah. "Tidak mau," katanya. "Untuk apa ke sana?"
Untuk melihat orangtuaku. Kalimat itu sebenarnya
ingin ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan Wiliam.
Akan tetapi, Marissa malah berkata, "Kan tidak enak di
rumah terus." Wiliam menatap Marissa curiga. Hati Marissa tidak te"
nang setiap kali Wiliam menatapnya seperti itu. "Janganjangan," tebak Wiliam, "Kakak akan mengikuti mereka
lagi, ya?" Sial. Ketahuan. "Wiliam," sanggah Marissa, "aku hanya
ingin tahu." Wiliam menggeleng. "Pokoknya, aku tidak mau pergi.
Aku mau bikin PR." Setelah itu Wiliam berlalu ke kamar"
nya dan menutup pintu. "Ya sudah," keluh Marissa. "Kalau kau tidak mau pergi,
aku pergi sendiri saja."
Marissa kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap, se"
isi-7 hari.indd 98 telah itu ia membuka pintu depan. Langkahnya terhenti
ketika Tante Sarah memanggilnya.
"Marissa," katanya.
Marissa memandang Tante Sarah, yang sepertinya baru
bangun tidur. "Wiliam di mana?" tanyanya.
"Di kamar, Tante," kata Marissa. "Sedang mengerjakan
PR." "Bagus! Bagus," kata Tante Sarah. "Begini, Marissa.
Nanti sore Tante mau ke Puncak dan menginap. Tolong
kauperiksa PR-nya dan tolong jaga Wiliam juga. Sekarang
Tante mau mandi dulu."
Marissa terpaksa membatalkan kepergiannya ke Ratu
Plaza. Ia mengetuk pintu kamar Wiliam dan masuk.
"Tante Sarah akan pergi ke puncak dan menginap,"
kata Marissa memberitahu Wiliam.
Wiliam hanya mengangkat bahu, tidak peduli. "Dia
memintaku mengecek PR-mu dan menjagamu hari ini."
"Aku tidak perlu dijaga. Aku bisa mengurus diriku
sendiri," kata Wiliam ketus.
Marissa menarik napas. "Wiliam, jangan berkata seperti
itu. Kau kan masih kecil. Lagi pula, Tante Sarah ber"
maksud baik. Dia perhatian kepadamu. Kau tidak tahu
kalau semalam tantemu" "
Wiliam menjatuhkan pensilnya, dan menatap Marissa,
"Satu-satunya hal yang diinginkan Tante Sarah hanya
uang. Dia akan terus mendapatkan uang kalau menjagaku.
Itu memang ketentuan surat wasiat Papa."
Marissa terduduk di sebelah Wiliam. "Wiliam," katanya
sedih. "Aku yakin bukan itu alasannya. Jauh di lubuk
hatinya Tante Sarah menyayangimu."
isi-7 hari.indd 99 Wiliam menggeleng. "Tante Sarah satu-satunya adik
Papa. Ia tidak pernah peduli kepadaku. Setiap hari aku
selalu melihatnya pulang malam dan mabuk."
Kali ini Marissa benar-benar merasa kasihan kepada


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiliam. Dia hanyalah seorang bocah yang kesepian.
"Apa?""kah tidak ada saudara mamamu yang bisa menjaga"
mu?" Wiliam menggeleng. "Mama berasal dari panti asuhan.
Aku tidak punya siapa-siapa."
Marissa menatap Wiliam dengan tegas. "Itu tidak
benar. Untuk saat ini kau masih punya aku, kan" Walau"
pun kau tidak ingin mengakuinya, namun aku tahu tante"
mu juga menyayangimu." Hanya saja dia tidak pernah
memperlihatkannya kepadamu.
Wiliam mengambil pensilnya kembali, dan melanjutkan
PR-nya. "Kau juga akan pergi meninggalkanku," katanya
perlahan. "Apa?" tanya Marissa, tidak mendengar.
"Tidak apa-apa," kata Wiliam.
Marissa tidak tahu bagaimana caranya menghibur
Wiliam. Ia hanya bisa menemaninya. Setelah sekian lama
ditunggui saat mengerjakan PR, Wiliam akhirnya kesal.
"Kakak pergi saja. Aku sedang mengerjakan PR."
"Aku tahu," kata Marissa. "Aku akan memeriksa PR-mu
setelah kau selesai mengerjakannya."
"Kalau begitu, jangan dekat-dekat aku!" protes
Wiliam. Marissa beringsut menjauhi Wiliam. Ia melihat koleksi
buku di lemari Wiliam. Tangannya mengambil salah satu
buku itu. Enid Blyton. Lima Sekawan.
100 isi-7 hari.indd 100 Marissa tersenyum. Ia juga memiliki koleksi lengkap
buku itu di lemarinya. Sambil menunggu Wiliam me"
ngerjakan PR, Marissa membaca buku itu.
"Kak, aku sudah selesai," kata Wiliam, beberapa waktu
kemudian. Marissa menaruh buku yang sedang dibacanya di
tempatnya semula. "Oke. Kalau begitu sekarang aku
periksa." Marissa melihat angka-angka di buku tulis Wiliam. Per"
kalian, pengurangan, penambahan, dan pembagian. Angka"
nya besar-besar. Untuk perkalian, ada tiga digit angka
dikalikan dengan dua digit angka, lalu untuk pembagian
puluhan ribu dibagi dengan ratusan. Di bawah terdapat
formula untuk menghitung luas lingkaran, kerucut,
prisma, dan yang lainnya. Sepertinya ada yang aneh de"
ngan tugas matematika Wiliam.
"Wiliam," kata Marissa, ingin mendapatkan jawaban
atas keanehan itu, "PR-mu ini seperti bukan PR mate"
matika untuk anak seusiamu, ya" Kau kan baru delapan
tahun, berarti" kalau tidak salah" kau masih kelas 3 SD,
kan" Bukankah kelas 3 SD baru diajari perkalian?"
"Memang," jawab Wiliam tenang, "PR matematika yang
kubuat untuk kelas 5 SD."
"Hah" Kelas 5 SD?" tanya Marissa, semakin bingung.
Wiliam mengangguk. "Ya. Sekarang aku kelas 5 SD.
Aku loncat dua kelas."
Marissa melongo. Jadi, ternyata anak sok pintar ini
me?"mang sebetulnya"benar-benar pintar" Ini hal lain
lagi yang lebih meyakinkan Marissa bahwa Wiliam me"
101 isi-7 hari.indd 101 mang lebih hebat dari anak seusianya, yang kemudian
berpengaruh terhadap caranya bersikap dan berbicara.
"Kakak periksa saja, aku mau main game dulu," kata
Wiliam, beranjak meninggalkan Marissa.
"Wiliam, tunggu!" kata Marissa. "Kau punya kalkulator
tidak?" "Punya," kata Wiliam. "Kakak tidak boleh menggunakan
kalkulator untuk memeriksa PR-ku. Tidak adil, masa
Kakak enak-enak pakai kalkulator sedangkan aku ber"
susah payah mengerjakannya tanpa bantuan apa pun?"
Marissa mengumpat dalam hati.
Setengah jam kemudian, teriakan Wiliam dari ruang
tamu membuyarkan konsentrasi Marissa, yang sedang
berkutat dengan angka-angka.
"Kak"! Sudah belum"!" teriaknya. "Periksanya lama se"
kali"! Aku saja sudah loncat sepuluh level main Space
Invaders!" Marissa menggerutu kesal. Dibawanya buku PR Wiliam.
"Ini," kata Marissa, sambil menunjuk buku itu. "Ada
yang salah satu nomor."
Wiliam melihat sekilas. "Tidak ada yang salah."
Marissa ngotot. "Salah! Harusnya hasil akhirnya empat
ratus empat puluh satu."
Wiliam memandang Marissa dengan kesal. "Hasil akhir"
nya benar. 442. Coba Kakak hitung ulang. Enam kali
tujuh kan empat puluh dua, bukan empat puluh satu.
Ditambah empat ratus, ya jadi empat ratus empat puluh
dua." Marissa mencoba menghitung dan memeriksa ulang PR
102 isi-7 hari.indd 102 Wiliam. Ia merasa kesal karena perkataan Wiliam be"
nar. Dengan santai Wiliam menyindir. "Kakak tidak lulus
SMA, ya?" "Apa"!" teriak Marissa. "Enak saja. Begini-begini bulan
depan aku sudah jadi mahasiswi."
Wiliam menatap Marissa tidak percaya.
"Terserah kau mau percaya atau tidak," kata Marissa
cemberut, sambil melangkah ke kamarnya.
Dasar" keluhnya dalam hati, ini anak tidak bisa diberi
rasa simpati. Tadi aku sempat kasihan kepadanya karena
dia kesepian, eh, dia sekarang malah menghinaku.
*** Diana menggandeng tangan Ferry di dalam lift Ratu
Plaza. "Aku tidak pernah bosan menaiki lift kapsul ini," kata"
nya. Ferry hanya tersenyum. Di depan mereka, si penjaga lift memandang keduanya
dengan kesal. Lift ini sudah turun-naik hampir sepuluh
kali, namun mereka tidak keluar juga.
"Kalian mau turun di lantai berapa?" tanyanya kemudi"
an, sambil cemberut. "Sepertinya kita sudah kelamaan naik lift ini," Diana
berbisik pada Ferry. Ferry mengacungkan telunjuknya. "Satu kali lagi ya,
Pak!" 103 isi-7 hari.indd 103 Si petugas lift menggeleng.
Diana berbisik lagi kepada Ferry, "Terima kasih."
*** "Kau memang benar-benar baik, Ferry," kata Diana, pada
saat mereka makan siang bersama.
Ferry tersipu malu. "Apa pun akan aku lakukan untuk"
mu." Diana tersenyum lebar, namun senyuman itu kemudian
hilang. Dari belakang mereka, tampak Jimmy mendekati
dengan ekspresi marah. Wajahnya terlihat garang, apalagi
dia memakai jaket kulit hitam". Penampilan pemuda itu
terlihat angker. "Jadi, kau di sini rupanya!" teriaknya.
Ferry dan Diana berdiri. "Jimmy, sebaiknya kau pergi saja!" kata Diana kesal.
"Kan aku sudah bilang, kita tidak punya hubung"an
lagi!" "Kau lebih suka bersama dengan orang seperti dia"!"
teriak Jimmy tidak percaya, sambil menunjuk Ferry.
Diana membenarkan."Ya. Dia tidak egois seperti kau.
Aku menungguimu latihan breakdance sampai empat
jam, namun ketika kau menemaniku antre di toko kaset
kau tidak sabar, padahal kita di sana hanya satu jam.
Dalam perjalanan pulang kau marah dan ngebut,
walaupun sudah kukatakan aku tidak mau kau ngebut.
Kau memang egois, kau tidak peduli kepadaku. Kau ha"
nya peduli kepada dirimu sendiri!"
104 isi-7 hari.indd 104 Jimmy kesal mendengar perkataan Diana. "Aku tidak
suka mendengar perkataanmu itu, Diana. Kau lebih suka
bersama dengan seorang pengecut seperti dia. Yah, baik"
lah kalau itu maumu. Kau memang wanita yang suka
mempermainkan pria."
Kepalan tangan Ferry seketika itu juga menghantam
wajah Jimmy. Jimmy berteriak kesakitan. Dia me"
mandang Ferry dengan kesal, lalu balas memukul wajah
Ferry. Pukul"an keras Jimmy membuat Ferry ter"jeng"
kang. "Hentikan!!" teriak Diana. "Jimmy, sebaiknya kau pergi!
Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!"
"Oh, tenang saja," katanya sambil tertawa sinis. "Aku
akan pergi. Seleramu payah sekali, Diana. Berpacaran de"
ngan pengecut seperti dia."
Setelah berkata demikian, Jimmy pergi meninggalkan
mereka berdua. Diana membantu Ferry berdiri, lalu berteriak keras,
"Mengapa kau harus memukul Jimmy"!"
Ferry terkejut mendengar amarah Diana. "Diana?"
"Kau benar-benar bodoh!!" lanjut Diana lagi. "Mengapa
kau harus memukulnya" Karena dia menghinamu" Lihat"
lah akibatnya! Kau tahu, kau bukan tandingan Jimmy
dalam hal menghajar orang! Kenapa kau harus sok jago"
an, hah"!" Ferry mendekati Diana. "Aku tidak memukul Jimmy
karena dia menghinaku."
"Lalu, karena apa?" tanya Diana bingung.
"Aku memukulnya karena dia menghinamu," kata
Ferry, sambil menatap Diana dengan lembut.
105 isi-7 hari.indd 105 Perkataan itu membuat Diana tersentuh. "Kau tahu,
kau benar-benar idiot memukul Jimmy seperti itu."
Ferry tersenyum. "Aku tahu, namun aku tidak keberat"
an." Diana merangkul tangan Ferry dan mengajaknya pergi,
"Ayo, kita pulang!"
Ferry berkata, "Bagaimana kalau kita naik lift" lagi
sebelum pulang?" Diana hanya tersenyum dan mengangguk.
*** Hari sudah menjelang sore. Wiliam menyalakan televisi.
Dia membawa sebuah buku gambar.
"Kau mau apa?" tanya Marissa heran.
"Mau belajar menggambar dengan Pak Tino Sidin,"
kata Wiliam. Tak lama kemudian di layar televisi muncul acara
"Gemar Menggambar". Pembawa acaranya seorang pria
bertopi baret. *** Di layar TV tampak Pak Tino Sidin, sang pembawa acara,
sedang menerangkan cara menggambar seekor kucing
m"ulai dari kepala, badan, sampai ekornya. Wiliam meng"
ikuti langkah itu satu per satu.
106 isi-7 hari.indd 106 "Wiliam," seru Marissa, "aku minta kertas gambarmu.
Aku juga ingin ikut menggambar."
Wiliam kesal karena permintaan Marissa mengganggu"
nya, namun akhirnya dia memberi" sehelai kertas gambar
pada Marissa. Marissa juga mengikuti petunjuk menggambar Pak
Tino Sidin di layar televisi. Aku tidak menyangka meng"
gambar bisa se"mudah ini. Sejak dulu aku memang tidak
punya bakat meng"gambar. Topi setelah mengikuti
langkah-langkah Pak Tino Sidin kok jadi mudah sekali.
Aku jadi membayang"kan, sepuluh tahun lagi lukisanku
dipasang di galeri-galeri seni, dan aku jadi seniman
ternama seperti Picasso atau Van Gogh.
Wiliam memperhatikan Marissa dengan curiga. Ke"
marin Kakak salah makan obat kali, ya" Kok hari ini
senyum-senyum sendiri seperti orang gila!
Setelah acara menggambar selesai, Marissa melihat ha"
sil lukisannya dengan bangga. Penasaran, Wiliam melihat
hasil karyanya dan mengernyit. "Kakak!" serunya. "Kakak
menggambar kucing atau cacing?"
"Apa"!" sentak Marissa marah. "Ini anak" urghh" aku
meng"gambarnya dengan susah payah, tahu" Memang
gambarmu lebih bagus" Coba sini aku lihat!" Marissa me"
rebut kertas gambar dari tangan Wiliam, dan melihat
gambar yang dilukis Wiliam.
Brengsek! serunya kesal. Gambar Wiliam lebih me"
nyerupai kucing daripada gambarku. Masa aku kalah
dengan anak delapan tahun sih!
"Ehmm," seru Marissa berkelit, "gambarmu memang
lebih baik, namun seni kan tidak bisa hanya dilihat dari
107 isi-7 hari.indd 107 bentuknya. Seni juga harus dilihat dari segi artistiknya.
Harus pakai perasaan."
Wiliam memandang Marissa dengan tampang tidak
per"caya. "Kalau memang tidak punya bakat menggambar,
mengaku saja. Kelihatannya Kakak memang tidak punya
bakat lain selain makan."
Marissa hendak membalas kata-katanya, namun akhir"
nya ia diam saja. Ini anak pintar sekali membuatku ke"
sal. Ia lalu memutuskan untuk tidak melayani ucapan
Wiliam, dan melanjutkan menonton televisi.
Di akhir acara, Pak Tino Sidin menunjukkan gambar
anak-anak yang dikirim kepadanya, lalu berkata "Ba"gus".
Saat Marissa melihat gambar terjelek yang terpampang


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di depan TV, Pak Tino Sidin tetap berkata "Bagus", dia
lalu berkata, "Wiliam, Pak Tino Sidin tidak pernah berkata "Jelek",
ya?" Wiliam menggeleng. "Jadi, kalau karyaku dikirim ke Pak Tino Sidin pasti
aku akan dinilai bagus juga, kan?" katanya, sambil
tersenyum bahagia. "Ya," kata Wiliam. "Itu karena Pak Tino Sidin kasihan
kepada Kakak, bukan karena gambar Kakak bagus."
Urghhhh! Marissa mengepalkan tangannya dengan
kesal. "Sudah, ah. Aku mau mandi dulu." Wiliam bergegas
ke"luar dari ruang tamu, meninggalkan Marissa yang ge"
ram setengah mati. *** 108 isi-7 hari.indd 108 Ketika pukul setengah tujuh malam tiba, mereka kembali
menonton televisi. Kali ini acaranya berjudul ACI, yang
bercerita tentang tiga sekawan Amir, Cici, dan Ito.
Marissa harus mengakui film-film di masa ini dibuat
sangat sederhana, namun ceritanya menyentuh.
Malam harinya Wiliam menonton episode terakhir
Megaloman. Marissa masuk ke kamar Wiliam, dan
tatap?"annya tertuju pada robot berlengan satu yang dia
ja"tuh"kan kemarin. Marissa benar-benar merasa ber"
salah. "Wiliam," katanya, "aku benar-benar minta maaf ya."
"Aku tidak mau membicarakan itu lagi," kata Wiliam,
sambil memasukkan kaset video Megaloman-nya.
"Kalau begitu, kau sudah memaafkan aku, ya kan?"
kata Marissa, sambil tertawa. "Kelerengmu yang biru ini
boleh untukku?" Wiliam menjawab dengan ketus, "Tidak boleh. Aku kan
sudah berkata bahwa aku tidak suka memberikan mainan"
ku kepada orang lain."
Marissa menjulurkan lidahnya karena kesal, lalu pergi
mandi. Setelah selesai berganti baju, Marissa kembali lagi ke
kamar Wiliam. Lampu di kamar Wiliam tidak menyala.
Marissa curiga, bukankah dia sedang menonton video"
Mengapa lampu kamarnya gelap begini"
"Wiliam," panggilnya perlahan. Ia melihat Wiliam se"
dang tidur di ranjangnya, dan bergegas mendekatinya.
"Ada apa, Wiliam?" tanya Marissa panik, sambil me"
nyalakan lampu. "Kau sakit?"
Wiliam bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Tubuh"
109 isi-7 hari.indd 109 nya berkeringat. Marissa meraba keningnya. Rasa panas
menjalari telapak tangannya. Wiliam demam.
"Wiliam," panggil Marissa, berusaha membangunkan"
nya."Kau demam. Kau harus minum obat dulu."
Wiliam menatap Marissa dengan lemas. "Sudah?"
Marissa melihat bungkus obat yang sudah terbuka.
"Baiklah, kalau begitu kau istirahat, ya," katanya, sambil
menyelimuti Wiliam dengan selimut bergambar robot.
Marissa masuk ke dapur dan mengambil sebaskom air
serta handuk kecil, lalu bergegas kembali ke kamar
Wiliam. Ia mengompres kening Wiliam dengan air dingin
terus-menerus selama jam-jam berikutnya.
Dalam tidurnya, Wiliam mengigau gelisah, "Mama"
Papa" jangan pergi"!"
Marissa benar-benar merasa sedih. Keluarga Wiliam
tidak ada satu pun di rumah. Tante Sarah sedang meng"
inap di Puncak. Orangtua Wiliam sudah meninggal, pada"
hal Wiliam membutuhkan mereka.
Marissa menggenggam tangan Wiliam erat-erat. "Aku
bukan orangtuamu, namun aku akan menjagamu, Wiliam.
Sekarang tenanglah dan tidurlah yang nyaman," katanya,
sambil mengelus-elus rambut Wiliam.
Entah berapa lama Marissa mengompres kening
Wiliam. Menjelang tengah malam, panas anak lelaki itu
sudah turun dan Wiliam terlihat tertidur nyenyak.
Marissa merasa lega. Ia menguap, mata"nya tidak kuat
lagi membuka. Tak berapa lama ke"mudian, ia tertidur
sambil duduk di tepi ranjang Wiliam.
110 isi-7 hari.indd 110 Tujuh 4 Juli 1988 PRJ Suara dengkuran seseorang membangunkan Wiliam dari
tidurnya. Dilihatnya Marissa tertidur di samping tempat
tidurnya. Dia ingat, kemarin malam badannya sangat
panas. Kelihatannya Marissa mengompresnya dan me"
nemani"nya semalaman. Wiliam menatap Marissa per"
lahan. Dengkuran Marissa terdengar semakin keras.
Wiliam mendesah. "Kak, bangun," kata Wiliam. "Sudah pukul sembilan
pagi." Marissa membuka matanya, dan menguap. "Oh, Wiliam,
kau sudah bangun?" Ia meraba kening Wiliam. "Demammu
sudah turun." "Kakak menjagaku semalaman?" tanya Wiliam.
Marissa mengangguk, lalu menguap lagi. "Kau demam
tinggi dan mengigau. Jadi, aku menemanimu di sini."
Dengan perlahan Wiliam berkata, "Terima kasih."
Marissa baru sadar bahwa inilah pertama kali Wiliam
berkata terima kasih kepadanya. Ia merasa gembira se"
111 isi-7 hari.indd 111 hingga tanpa sadar tangannya menyentuh baskom air
kompresan semalam dan menyenggolnya. Isinya tumpah
ke selimut Wiliam. "Arggghhhh!" teriak Wiliam. "Selimutku!" Lalu tampang
cemberutnya kembali lagi. "Kenapa Kakak selalu me"rusak
barang-barang kesayanganku?"
Marissa menggigit jarinya. "Maaf! Maaf! Maaf!" kata"
nya, sambil membawa baskom air kompresan itu. "Nanti
aku suruh Bi Ijah mencuci selimutmu, ya."
Wiliam hanya menggerutu. "Karena kau baru sembuh," kata Marissa lagi, "bagai"
mana kalau pagi ini kau tidak les dulu" Istirahat saja.
Kau mau makan apa" Bubur, ya?"
Wiliam hanya mengangguk. Marissa keluar kamar dan bergegas menemui Bi Ijah.
"Bi," kata Marissa, "tolong masakkan bubur untuk
Wiliam, ya" Semalam dia demam."
Bi Ijah tampak khawatir. "Den Wiliam sakit?"
"Sekarang sudah mendingan," kata Marissa.
"Syukurlah kalau begitu," kata Bi Ijah lega.
Pagi itu Marissa menghabiskan waktunya di kamar
Wiliam. Saat Marissa akan menyuapi bubur, Wiliam
menolak. "Aku kan bukan anak kecil lagi," katanya protes.
"Aku tidak perlu disuapi."
Akhirnya, Marissa membiarkan Wiliam makan sen"
diri. "Kak," katanya setelah makan, "aku ingin nonton epi"
sode terakhir Megaloman, semalam belum sempat me"
nonton." Marissa mengikuti permintaan Wiliam, dan menemani"
112 isi-7 hari.indd 112 nya menonton. Lama-kelamaan, Marissa ikut terhanyut
dalam cerita film itu. Di akhir film, Marissa berkomentar
sambil menggeleng-geleng. "Ya, ampun! Kok bisa ya
Kapten Dagger, musuh buyutan Megaloman, ternyata
saudara kembarnya?" "Ya," kata Wiliam setuju. "Aku juga tidak menyangka."
"Aku rasa menontonnya sudah dulu. Kau harus
istirahat." Wiliam berbaring di tempat tidurnya lagi, dan Marissa
mematikan lampu kamar. "Selamat tidur, Wiliam."
Wiliam menguap, tak berapa lama kemudian dia ter"
tidur. *** Satu jam kemudian, mobil Tante Sarah memasuki ha"
laman rumah. Marissa menyambutnya dan memberi"tahu"
kan keadaan Wiliam. "Sekarang dia di mana?" tanya Tante Sarah.
"Sedang tidur di kamarnya," jawab Marissa.
"Baguslah, kalau begitu," Tante Sarah berjalan ke ka"
marnya. "Aku capek sekali. Terima kasih kau sudah men"
jaga Wiliam. Aku mau tidur dulu."
Setelah Tante Sarah masuk ke kamarnya, Marissa me"
nyalakan televisi di ruang tamu. Ia merasa sangat bo"
san. Sore ini ia ingin sekali pergi ke PRJ, siapa tahu
bisa bertemu dengan orang"tuan"ya.
Akhirnya, untuk mengusir kebosanan Marissa menyala"
113 isi-7 hari.indd 113 kan komputer Wiliam. Ia memainkan game yang sering
dimainkan Wiliam, Space Invaders.
Kok jalannya pelan sekali, ya" Ah, ini kan memang
komputer zaman jebot, apa yang bisa kuharapkan"
Sejam kemudian Wiliam terbangun. Tubuhnya sudah
terasa segar. Dia turun dari ranjang dan keluar dari
kamar"nya. Dilihatnya Marissa sedang berkutat dengan
serius di depan komputer.
Pesawat warna-warni memenuhi layar, dan Marissa
asyik menekan keyboard sehingga tidak menyadari ke"
datangan Wiliam di belakangnya.
"Kakak kok malah main Space Invaders?" tanya
Wiliam. Marisssa berbalik sebentar, lalu matanya kembali lagi
pada layar komputer, "Oh" hai, Wiliam! Sudah ba"ngun
rupanya. Aku bosan. Siaran TV-nya juga membosankan.
Jadi, aku main komputer saja. Aku lihat kau sering
memainkan game ini, aku jadi ingin mencobanya. Kok
lambat sekali, ya?" Wiliam menekan tombol Turbo, lalu permainan itu
menjadi semakin cepat. Pantas dari tadi jalannya lambat banget, teriak
Marissa kesal dalam hati.
"Kak, aku juga ingin main," kata Wiliam.
"Nanti ya, sebentar lagi. Kakak lagi tanggung," kata
Marissa tanpa memperhatikan Wiliam. Tangannya dengan
lincah bergerak-gerak menembaki pesawat musuh yang
tidak ada habisnya. Satu jam kemudian" 114 isi-7 hari.indd 114 "Kak! Sekarang giliran aku yang main dong!" teriak
Wiliam, tidak sabar. "Sebentar lagi," kata Marissa.
Setengah jam setelah itu"
"Kak!! Kapan selesainya"!" teriak Wiliam keras-keras.
Marissa malah tidak menyadari teriakan itu.
Setengah jam berikutnya"
"Ahhhh" ahhhh" arghhhhh!" teriak Marissa. "Ahhhh,
game over! Aku tidak terima, aku mau main lagi!"
Wiliam langsung berteriak, "Kak! Sekarang giliranku!"
"Izinkan aku main satu kali lagi, ya?" pinta Marissa
manis. Wiliam tidak mengindahkan perkataan Marissa, dia
menarik gadis itu turun dari kursi.
Marissa merengut kesal. Akhirnya, ia pergi mandi ka"
rena cuaca panas sekali. Selesai mandi, Marissa melihat
jam di dinding menunjukkan pukul empat sore. PRJ
bukanya sore, kan" Pukul 17.00 atau pukul 18.00" ta"nya
Marissa dalam hati. Pokoknya, aku harus pergi!
Marissa mengajak Wiliam pergi ke PRJ.
"Tidak mau," kata Wiliam.
"Wiliam, kau kan sudah sembuh," kata Marissa merayu.
"Daripada bosan di rumah lebih baik pergi ke PRJ, ya
kan?" "Ada apa?" tanya Tante Sarah, menyela percakapan me"
reka. Tampaknya Tante Sarah baru saja bangun tidur.
"Begini, Tante," kata Marissa. "Saya ingin mengajak
Wiliam ke PRJ untuk ganti suasana. Bosan kan di rumah
terus. Eh, Wiliam tidak mau."
115 isi-7 hari.indd 115 "Kalian pergi saja," kata Tante Sarah pada Marissa dan
Wiliam. "Tante akan pergi menemui teman Tante, nanti
sekalian Tante antar ke PRJ."
Marissa tersenyum lebar. "Terima kasih, Tante. Nah,
Wiliam, ayo kita pergi ke PRJ."
Wiliam menatap Marissa dengan kesal.
Sore itu sebelum pergi Marissa melihat-lihat lemari
pakaian orangtua Wiliam dan menemukan gaun kuning
terusan dengan tangan menggelembung di kedua sisinya.
Sederetan manik-manik menghiasi baju bagian depan.
Marissa kemudian memakainya. Untuk sepatunya,
Marissa memilih sepatu kulit berwarna hitam.
Dua jam kemudian, Marissa, Wiliam, dan Tante Sarah
sudah berada dalam perjalanan menuju PRJ. Suasana
PRJ sudah ramai ketika Marissa dan Wiliam turun dari
mobil. "Ini uang jajan kalian," kata Tante Sarah, mem"berikan
beberapa lembar uang sepuluh ribuan pada Marissa.
"Nanti kalian pulang sendiri, ya."
"Terima kasih, Tante," kata Marissa senang. "Ayo
Wiliam, kita masuk."
Wiliam mengikuti Marissa dari belakang.
"Wah, ramai sekali." Marissa melihat keramaian orang
di sekitarnya dengan antusias. "Kau tahu, Wiliam, di masa
depan PRJ masih ada lho."


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah?" "Ya, benar. Tempatnya saja yang berbeda."
"Oh, lihat itu!" seru Marissa. "Ada banyak sekali makan"
an yang dijual. Ayo kita makan!"
116 isi-7 hari.indd 116 "Kakak, yang dipikirkan hanya makanan melulu."
Wiliam mengikuti Marissa ke area tempat makan.
Marissa duduk. "Mana bisa perut kosong dipakai jalanjalan. Mas, saya pesan mi bakso dan nasi goreng. Wiliam,
kau mau apa?" Wiliam hanya menggeleng. "Aku belum lapar. Kakak
makan saja dulu." Marissa menghabiskan nasi goreng di piringnya sampai
perutnya terasa penuh. Ia menutup mulutnya dan ber"
sendawa. "Apa Kakak yakin bisa menghabiskan mi baksonya?"
Wiliam menatap curiga. Marissa hanya tersenyum. "Tenang saja, perutku me"
mang besar. Pasti aku bisa menghabiskannya."
Baru pertama kali Wiliam melihat gadis begitu rakus.
"Kau yakin tidak mau makan, Wiliam?" tanya Marissa
sekali lagi. Wiliam menggeleng. "Melihat Kakak makan saja aku
sudah kenyang." Marissa benar-benar menghabiskan mi baksonya.
"Sekarang mari kita jalan-jalan!"
Setelah beberapa saat berjalan-jalan, Marissa berhenti
di sebuah stand makanan. "Lihat itu, Wiliam! Katanya
kalau beli satu dapat undian langsung. Ayo kita beli!"
Marissa membeli satu kantong plastik makanan. Akan
tetapi, saat mengambil undian hadiah, dia tidak ber"
untung. "Beli satu lagi," kata Marissa penasaran.
"Kakak," protes Wiliam. "Beli makanan banyak-banyak,
siapa yang akan makan?"
117 isi-7 hari.indd 117 "Kau tenang saja. Nanti aku makan semuanya," kata
Marissa. "Lagi pula, kan tidak harus di"makan hari
ini." Untuk kali kedua mereka mendapatkan sebuah tempat
pensil. Marissa menjerit gembira. "Nah lihat, tempat
pensil ini bagus sekali," kata Marissa. "Untukmu saja,
Wiliam." "Tidak mau," kata Wiliam. "Aku sudah punya tempat
pensil Robot Voltus."
"Ya, sudah," kata Marissa, menyimpan kaleng pensil itu
ke dalam plastik. "Kak," ujar Wiliam tiba-tiba, "aku ingin ke WC dulu."
"Oke!" kata Marissa, sambil mencari-cari WC. "Itu dia!
Aku tunggu di luar, ya."
Wiliam berlari masuk ke WC dengan terburu-buru.
Sambil menunggu, Marissa melihat-lihat stand di sekitar
situ. Pandangannya tertuju pada Robot Voltus yang mirip
dengan milik Wiliam. "Mas, saya ingin beli robot ini," kata Marissa, sambil
ter"senyum. Ia bisa memberikan robot ini sebagai peng"
ganti robot bertangan satu di lemari Wiliam.
Sesudah membelinya, Marissa menyembunyikannya di
salah satu kantong plastik yang berisi makanan. Ia ingin
memberi kejutan untuk Wiliam.
Wiliam keluar dari WC, keduanya kemudian melanjut"
kan perjalanan. Marissa membeli banyak permen dan makanan, men"
coba satu per satu, membujuk Wiliam untuk mencobanya
juga. 118 isi-7 hari.indd 118 "Kak, aku capek!" teriak Wiliam, setelah berputar-putar
selama satu jam. "Kita duduk dulu, ya."
Kebetulan di dekat mereka ada bangku, Marissa duduk
sambil membawa semua yang tadi dia beli. Marissa men"
dongak ke atas dan memandang bintang-bintang yang
bertebaran di angkasa. "Sudah lama aku tidak merasa sebahagia ini," kata
Marissa. "Hei, Wiliam! Kau senang kan hari ini?"
"Ya, begitulah," jawab Wiliam pendek.
Marissa hanya tertawa mendengarnya. "Kau memang
anak yang susah sekali diajak bersenang-senang."
Tiba-tiba ia melihat Papi dan Mami berada tak jauh
dari tempat duduknya. Mereka sedang ada di stand
aksesori. "Wiliam," katanya gembira, "itu Mami dan Papi. Aku
mau melihat mereka."
"Ya, ampun," keluh Wiliam kesal, "kita mau mematamatai mereka lagi?"
"Stttt," bisik Marissa, "aku hanya ingin tahu mereka
sedang apa. Ayo kita dekati mereka!"
*** Diana jatuh hati pada sebuah kalung hitam dengan inisial
huruf dari perak yang menggantung di tengahnya. "Aku
suka kalung ini," katanya pada pemuda di sebelahnya.
Ferry tersenyum. "Beli saja kalau kau suka, biar aku
yang bayar." 119 isi-7 hari.indd 119 Tangan Diana mengambil sebuah kalung lagi. "Begini
saja. Kita beli dua kalung ini. Yang berinisial D untuk
Diana dan F untuk Ferry. Kau pakai yang berinisial D,
sedangkan aku akan memakai yang berinisial F. Bagai"
mana?" "Baiklah!" kata Ferry. Dia memasang kalung berinisial
D di lehernya. Setelah itu, dia membantu memasangkan
kalung yang berinisial F di leher Diana.
Diana memandang Ferry dengan senang. "Kau tahu,
Ferry. Kau benar-benar pria terbaik yang pernah aku
kenal. Aku nyaman sekali bila pergi bersamamu."
Ferry tersipu malu. "Aku juga senang bersamamu."
"Kalau begitu," usul Diana. "Bagaimana kalau besok
kita pergi lagi" Ke mana, ya" Bagaimana kalau ke Gajah
Mada?" "Besok aku ada kuliah," ujar Ferry. "Dari pukul satu
sampai pukul tiga sore."
"Kalau begitu, aku akan menemuimu di kampus seusai
kuliah dan kita bisa berangkat bersama-sama," saran
Diana. "Ide yang bagus." Ferry tersenyum senang.
*** Marissa melihat kemesraan di antara keduanya, dan ter"
senyum. Ia pernah melihat kalung itu di masa depan.
Satu di kotak perhiasan Mami, dan yang satu lagi di laci
meja kerja Papi. Rupanya keduanya masih menyimpan
kalung yang berumur dua puluh tahun itu.
120 isi-7 hari.indd 120 "Mereka masih menyimpan kalung itu," ungkapnya per"
lahan pada Wiliam. "Mereka benar-benar saling men"
cintai." Wiliam memandang Marissa, lalu kepada kedua orang"
tuanya. "Mereka beruntung," katanya.
Marissa memandang langit di atasnya dan mendesah.
"Kapan ya aku bisa mendapatkan cinta seperti mereka"
Aku tidak mau patah hati lagi."
"Kakak pasti akan mendapatkannya suatu saat," seru
Wiliam, berusaha menghibur.
Marissa menatap Wiliam curiga. Hei, tunggu dulu!
Bocah ini ternyata selain bisa berkomentar sinis, dia
bisa juga berkomentar manis, dan anehnya perkataan
Wiliam menenteramkan hatinya.
"Wiliam, menurutmu aku bisa mendapatkan cinta
seperti orangtuaku?"
Wiliam mengangkat bahu. "Bisa saja, kalau Kakak tidak
rakus makan." "Hei," potong Marissa. "Kau menyindirku, ya?"
"Aku kan hanya mengatakan kenyataan," kata Wiliam.
Tawa kedua orangtuanya mengalihkan perhatian
Marissa. Ia melihat Papi sedang membeli makanan dan
mem"berikannya kepada Mami. Mami memakannya dan
menyuapi Papi. Saat ada sisa saus di mulut Papi, Mami
membersihkannya dengan sapu tangannya.
Marissa tersenyum lega melihat itu.
"Aku benar-benar merindukan mereka. Aku ingin ber"
lari ke sana dan memeluk mereka, namun aku tidak bisa
melakukannya, bukan?"
121 isi-7 hari.indd 121 "Kakak akan bertemu mereka sebentar lagi," kata
Wiliam perlahan. "Bukankah Kakak mengatakan, saat
ge"dung itu dibuka Kakak bisa kembali ke masa de"
pan?" Marissa menatap Wiliam dengan saksama. "Sekarang
kau percaya bahwa aku berasal dari masa depan" Sejak
kapan?" "Sejak Kakak melahap semua permen dan cokelat waktu
itu. Kakak terkesan seperti baru pertama kali memakan"
nya," kata Wiliam. "Aku senang kau memercayaiku, Wiliam."
"Lagi pula," lanjut Wiliam, "Kakak tidak pandai ber"
bohong." Marissa tersenyum. "Ya, kau benar soal itu."
"Bisakah kita berjalan-jalan lagi?" tanya Wiliam.
"Ayo!" ajak Marissa.
*** "Ayo, Wiliam! Tembak terus!!" teriak Marissa berse"ma"
ngat. Beberapa saat yang lalu mereka tiba di sebuah arena
game komputer. Saat arena itu mengadakan lomba game
Space Invaders, Marissa langsung meminta Wiliam
mengikuti perlombaan itu. Siapa pun yang bisa mencetak
angka paling tinggi selama sepuluh menit, dialah peme"
nang"nya. Di sinilah mereka sekarang. Marissa tak henti-hentinya
memberi semangat di sebelah Wiliam.
122 isi-7 hari.indd 122 "Kakak!" teriak Wiliam, menyela di sela-sela permainan"
nya. "Hah" Apa?" tanya Marissa.
"Jangan teriak-teriak di depan kupingku. Aku jadi tidak
bisa konsentrasi," jawab Wiliam ketus.
"Maaf," kata Marissa lagi. "Aku tidak akan berteriakteriak lagi."
Saat sepuluh menit berlalu dan perlombaan dianggap
selesai, salah seorang petugas arena memeriksa angka di
masing-masing komputer. Kemudian, ia mengumumkan
bahwa Wiliam-lah pemenangnya.
Marissa bertepuk tangan dan meloncat-loncat gembira.
Wiliam mendapat jam tangan dan dua lusin cokelat
wafer. "Wiliam, kau hebat!" seru Marissa, ketika mereka ke"
luar dari arena itu. "Kak, sudah malam nih. Aku ngantuk. Pulang yuk,"
katanya. Marissa mengangguk, lalu keduanya berjalan pulang.
*** Marissa memasuki kamar Wiliam beberapa jam setelah"
nya. "Wiliam," katanya. "Aku punya hadiah untukmu." Ia
mengeluarkan robot Voltus baru dan memberikannya
kepada Wiliam. "Bagaimana?" tanyanya. "Sama persis kan dengan milik"
mu?" 123 isi-7 hari.indd 123 "Untuk apa beli robot yang sama?" tanya Wiliam.
"Milikmu kan aku rusak. Jadi, aku beli penggantinya,"
kata Marissa. Wiliam mengambil robot yang ada di tangan Marissa
dan menaruhnya di samping robot yang rusak. "Terima
kasih," katanya. Marissa tersenyum. "Ehmmm, ada satu hal lagi yang
ingin aku minta." "Mau apa lagi?" tanya Wiliam curiga.
"Aku minta cokelat wafernya, ya?"
"Tidak boleh," kata Wiliam. "Kakak kan sudah beli ba"
nyak makanan. Wafer cokelat itu punyaku. Aku me"
menang"kannya."
"Aku tahu," kata Marissa. "Begini saja, aku tukar ma"
kan"an yang aku beli dengan cokelat wafernya ya, bagai"
mana" Atau" satu deh, aku minta satu saja."
Wiliam tetap menggeleng. "Tidak bisa."
Ditolak seperti itu, Marissa cemberut lagi. Ini anak
pelit sekali! Apa dia tidak tahu bahwa aku tidak akan
pernah lagi menikmati cokelat itu. Di masa depan
cokelat itu sudah tidak ada.
Marissa melihat kelereng biru yang diincarnya di lemari
mainan Wiliam. Melihat Wiliam sedang fokus memakai
arloji barunya, Marissa mengambil kelereng itu dan
berjalan ke luar kamar. Wiliam tidak akan kehilangan
kelereng ini. Lagi pula, dia masih punya banyak, ratus"
an malah, katanya dalam hati.
Marissa meletakkan kelereng itu di laci meja kamarnya.
Aku akan membawa kelereng ini pulang bersamaku.
124 isi-7 hari.indd 124 Tiba-tiba perutnya terasa sakit. Marissa membuka pintu
kamar, lalu berlari ke kamar mandi.
Mendengar suara langkah Marissa, Wiliam menengok
ke luar kamar. Dilihatnya Marissa berlari ke kamar mandi
sambil memegangi perutnya.
"Itulah akibatnya kalau makan terlalu banyak!" teriak
Wiliam. "Diam, Wiliam!!" geram Marissa.


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku kan sudah beritahu. Kakak rakus sih!" seru
Wiliam. "Tutup mulutmu! Aduh" aduh" sakit sekali!" teriak
Marissa. "Jangan menggangguku lagi, Wiliam."
"Kakak tidak mau cokelat waferku?" goda Wiliam.
"Wiliam!" teriak Marissa keras-keras. "Pergilah ke
kamarmu dan jangan ganggu aku lagi!"
Wiliam masuk kembali ke kamar, lalu dia tertawa
cekikikan. *** Marissa memegangi perutnya dengan lega. Akhirnya,
setelah dua jam di kamar mandi, perutnya bisa tenang
juga. Tiba-tiba pintu depan terbuka. Tante Sarah masuk
ke dalam rumah dengan langkah sempoyongan. Sesampai"
nya di tangga atas, kakinya sudah mulai goyah. Untung
saja Marissa ada di situ, ia memegangi tangan Tante
Sarah dan memapahnya ke kamarnya.
Setengah sadar, Tante Sarah bergumam tidak jelas.
"Kau siapa, hah?"
125 isi-7 hari.indd 125 "Saya Marissa, Tante," kata Marissa. "Tante mengizin"
kan saya menginap di sini beberapa hari yang lalu."
Tante Sarah mengangguk. "Oh" ya" ya."
Marissa merebahkan Tante Sarah di atas tempat tidur"
nya dan menyelimutinya. Saat akan berlalu, Marissa men"
dengar suara tangisan di belakangnya.
"Tante tidak apa-apa?" tanya Marissa khawatir.
Isakan tangis Tante Sarah semakin kencang. "Apakah
kau tahu"," isaknya, "bagaimana rasanya kehilangan
seorang kakak yang selalu melindungimu" Aku benarbenar me"rindukan dia. Kenapa dia harus pergi" Orangtua"
ku" kakak"ku" semuanya menghilang dari hadapanku.
Aku tidak bisa hidup sendirian seperti ini."
Marissa menatap Tante Sarah dengan prihatin. "Saya
tidak punya kakak. Jadi, saya tidak tahu rasanya kehilang"
an kakak, namun Tante tidak sendirian. Tante masih
punya Wiliam." "Anak itu," seru Tante Sarah. "Anak itu mirip sekali
dengan kakakku". Sakit" sekali rasanya."
Marissa menghela napas. "Sebaiknya Tante lebih sering
meluangkan waktu bersama Wiliam."
"Anak itu membenciku," katanya kesal.
Marissa menggeleng. "Tidak! Wiliam tidak membenci
Tante, dan saya yakin Tante juga tidak membencinya."
"Kau tidak tahu apa-apa," kata Tante Sarah kesal, mata"
nya perlahan membuka. Kesadarannya berangsur-angsur
pulih. Marissa menelan ludah. "Saya memang bukan keluarga
Tante, namun tidak perlu harus menjadi bagian keluarga
untuk mengatakan bahwa Tante juga menyayanginya.
126 isi-7 hari.indd 126 Kalau saja Tante mau meluangkan waktu bersama
Wiliam." "Kau tidak berhak berkata seperti itu kepadaku," suara
Tante Sarah terdengar ketus. "Kau tidak tahu rasanya ke"
hilangan semuanya." Marissa terdiam sesaat dan menunduk. Kemudian, ia
memberanikan diri menatap Tante Sarah.
"Tante memang telah kehilangan kakak," katanya tegas.
"Tapi Wiliam"! Dia sudah kehilang"an ke"dua orangtuanya.
Apakah Tante pernah memikirkan itu" Wiliam juga pasti
merasa kehilangan. Sekarang, secara perlahan-lahan apa"
kah Wiliam juga harus kehilang"an Tante?"
Tante Sarah terdiam mendengar perkataan Marissa. Ia
kembali menutup matanya. "Pergilah!" katanya.
Marissa berjalan ke luar kamar dan mematikan lampu.
"Selamat malam," katanya, sebelum menutup pintu
kamar. 127 isi-7 hari.indd 127 Delapan 5 Juli 1988 Persona Non-Grata Besok aku pulang! seru Marissa dalam hati. Ia bangun
dengan hati gembira. Hari ini adalah hari terakhirnya di
masa lalu. Besok Gedung Albatross akan dibuka. Lukisan
itu pasti akan ada di sana, dan ia akan kembali ke masa
depan. Walaupun begitu, Marissa merasa sedih karena ia
akan meninggalkan Wiliam. Hari ini, ia ingin berpamitan
dengan Papi, lalu sesudahnya ia akan membawa Wiliam
berjalan-jalan. Soal tempat, biar Wiliam saja yang
memilih. "Selamat Pagi, Wiliam," sapanya, saat akan sarapan.
Berlainan dengan suasana hati Marissa yang ceria,
Wiliam malah terlihat murung. "Hei, kenapa tampangmu
murung begitu?" Marissa duduk di sebelahnya. "Cerialah
sedikit. Aku tahu, kau pasti sedih aku mau pergi, ya."
Wiliam tidak berbicara apa pun.
"Bagaimana kalau sore ini kita main sepuasnya. Kau
yang tentukan tempatnya," Marissa berkata lagi. "Wiliam,
aku tahu kau sedih, namun kau harus menger"ti bah"wa..."
"Main?" sela Wiliam.
128 isi-7 hari.indd 128 Marissa mengangguk sambil mengambil nasi dan sayur
dari meja makan, "Ya. Kau mau ke mana?"
"Entahlah," kata Wiliam.
"Hei, tidak usah sedih begitu," kata Marissa.
Perkataan Wiliam yang berikutnya mengejutkan Marissa.
"Aku mau kelereng biruku dikembalikan."
"Hah" Kelereng biru apa?" tanya Marissa, berlagak
tidak tahu. "Kakak mengambilnya semalam," tuduh Wiliam.
"Aku" ehm" aku tidak mengambilnya," Marissa ber"
usaha menyangkal. Sial! Kenapa dia bisa tahu" Kan ada
ratusan kelereng di kaleng itu.
"Tadi pagi aku lihat sudah tidak ada," Wiliam berkata,
sambil menyipitkan matanya. "Pasti Kakak yang ambil.
Ya, kan?" Apa sih yang Wiliam lakukan setiap pagi" Melihat
mainannya satu per satu"
"Tidak," kata Marissa mencoba meyakinkan Wiliam.
"Aku tidak mengambil." Ia memasang tampang tidak ber"
salah. "Aku kan pernah mengatakan, Kakak bukan pembohong
yang baik." Wiliam menyorongkan telapak tangannya di
depan Marissa. "Ayo, kembalikan!"
Marissa meletakkan garpu dan sendoknya, lalu berlari
ke kamarnya. "Oke! Oke! Aku ambil."
"Ini," katanya beberapa saat kemudian, sambil meletak"
kan kelereng biru itu di tangan Wiliam.
Wiliam mengambil kelerengnya, lalu meneruskan
makannya, diikuti dentingan garpu dan sendok Marissa.
129 isi-7 hari.indd 129 *** Arena kolam renang ramai dengan pengunjung. Marissa
duduk di salah satu kursi, jemarinya dengan lincah me"
main"kan GemBot yang dibawanya tadi pagi. Pagi ini,
Wiliam les berenang. Sesekali pandangannya tertuju pada
Wiliam, melambaikan tangannya, lalu berkonsentrasi ber"
main GemBot lagi. Setelah mencapai angka empat ratus, Marissa ter"
senyum-senyum sendiri. Sebentar lagi aku akan m"e"
nyamai angka tertinggi Wiliam. Angka berhenti di empat
ratus lima puluh. Marissa bangkit dari kursinya dan ber"
teriak. "Wiliam, aku mengalahkan angkamu! Akhirnya, aku
mengalahkanmu juga!"
Ia ingin memperlihatkan pencapaian angka itu kepada
Wiliam, namun ia tidak melihat Wiliam di mana pun. "Di
mana dia?" tanyanya. "Ah, itu dia, baru muncul ke per"
mukaan." Marissa berlari ke tepi kolam renang. "Lihat!!" Ia me"
nunjuk"kan GemBot di tangannya ke arah Wiliam. "Aku
ber"hasil mengalahkan angka tertinggimu. Aku memang
hebat!" Wiliam membasuh air dari mukanya dan melihat
GemBot di tangan Marissa. "Jangan senang dulu," kata"
nya. "Kakak baru main Game A." Ia lalu menekan tombol
Game B. "Game B lebih sulit dari Game A."
Marissa kaget melihat angka tertingginya. Tujuh ratus
tiga puluh lima. Marissa mencoba memainkan Game B
selama beberapa menit. "Apa ini" Kok parasutnya bisa menyangkut di pohon
130 isi-7 hari.indd 130 segala?" tanya Marissa bingung. Hanya dalam waktu lima
menit, Marissa sudah game over.
"Kakak coba kalahkan angka tertinggiku, ya," kata
Wiliam perlahan, lalu kembali berenang.
Marissa duduk kembali di tempatnya semula, dan men"
coba bermain Game B. Setelah satu jam dan angka yang
bisa diraihnya hanya dua ratus, ia menyerah. Matanya
me"lihat seorang penjual es krim, dan ia pun membeli"
nya. "Es krim ini enak sekali," katanya, sambil melihat
merek"nya. Woody. "Aku belum pernah mencobanya."
Setelah menghabiskan tiga cup, ia beralih pada permen
karet yang dibelinya semalam di PRJ. Ternyata pada
bungkus permen karet itu ada gambar untuk tato. Marissa
langsung meletakkan bungkus permen karet itu pada
tangannya, dan mengolesinya dengan air. Sebuah tato
kupu-kupu kecil kini tertera di tangannya.
"Bagus sekali," katanya puas.
Mereka makan siang di warung dekat kolam renang.
"Aku akan mengantarmu pulang," kata Marissa di selasela makan siang mereka. "Aku akan mengucapkan se"
lamat tinggal kepada Papi. Setelah itu kita pergi main,
bagaimana?" Wiliam mengangkat bahu. "Terserah."
*** "Ferry," seru Marissa di depan kelas Papi.
Papi menoleh. 131 isi-7 hari.indd 131 Marissa berjalan mendekati Papi, "Bagaimana hubung"
an"mu dengan Diana" Baik-baik saja?"
Papi mengangguk senang. "Hari ini Diana akan da"
tang, dan aku ingin mengungkapkan perasaanku kepada"
nya." "Oh, bagus," kata Marissa berseri-seri. "Aku yakin kau
bisa mengatakannya. Ehm" sebenarnya aku datang ke
sini ingin mengucapkan selamat tinggal. Besok aku akan
pergi." "Oh!" seru Papi. "Aku harap aku bisa bertemu dengan"
mu lagi." Marissa tersenyum. Tentu Papi akan bertemu dengan"
ku lagi. Di masa depan. "Aku hanya ingin mengatakan semoga hubunganmu
dengan Diana berhasil," kata Marissa.
"Terima kasih," kata Papi tulus, "atas semuanya."
Marissa tidak bisa menahan diri lagi, ia berjalan me"
meluk Papi erat-erat. "Aku senang bisa membantumu."
Mulanya Papi terkejut, lalu ia tersenyum. "Surat cinta
buatanmu itu benar-benar bagus. Kalau tidak ada kau,
aku tidak punya keberanian menelepon Diana. Omongomong, selama ini aku belum tahu namamu."
Marissa melepaskan pelukannya, baru akan memberi"
tahu?"kan namanya saat seseorang berteriak di belakang
me"reka. "Teganya kau, Ferry!!" teriak Diana. "Aku kira kau ber"
beda. Ternyata semua pria sama saja."
Marissa terkejut melihat Mami menatapnya dengan
pandangan menuduh sambil berteriak marah. "Tunggu!"
kata Marissa. "Kau salah paham."
132 isi-7 hari.indd 132 "Diam!" teriak Mami kepada Marissa. "Aku tidak mau
berbicara kepadamu."
"Diana!" seru Papi perlahan. "Kau benar-benar salah
paham. Aku dan dia hanya berteman."
"Aku melihatmu berpelukan dengannya," kata Mami,
sambil berusaha menahan air matanya. "Kau mengatakan
surat cinta itu bukan buatanmu" Kau sudah berbohong
kepadaku, Ferry. Aku tidak mau bertemu lagi dengan"
mu." Mami melangkah pergi, namun Papi menyentuh lengan
Mami dan menghentikannya. "Tunggu, Diana. Aku bisa
menjelaskan semuanya."
Mami melepaskan tangannya dari genggaman Papi, lalu
menatapnya dingin. "Mulai hari ini kau masuk dalam
daftar Persona Non-Grata-ku. Aku rasa kau tahu apa
maksudnya." Mami berlari ke luar kelas. Papi terlalu shock, sehingga
hanya bisa terdu"duk terdiam. Marissa menyusul Mami.
Ia harus menjelas"kan semuanya.
"Tunggu, Diana!" teriak Marissa. "Dengarkan aku dulu!"
Mami tetap berlari, dan Marissa mengikuti di bela"
kang?"nya. Setelah berlari selama lima belas menit, Mami
ber"henti dan menoleh ke belakang. "Berhenti mengikuti"
ku!" "Aku ingin menjelaskan semuanya," kata Marissa. "Kau
sudah salah paham. Aku dan Ferry hanya berteman."
Marissa melangkah mendekat, namun Mami menghenti"
kan"nya. "Jawab saja pertanyaanku. Apakah surat cinta
yang Ferry berikan kepadaku itu buatanmu?"
Dengan berat hati Marissa mengangguk.
133 isi-7 hari.indd 133 "Hanya itu saja yang ingin kuketahui," kata Mami te"
gas.

Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marissa menggeleng. "Tunggu!! Ferry sungguh-sungguh
mencintaimu. Aku sudah melihat kalian tertawa bersama
dan nonton bersama. Perasaan kalian tidak bisa bohong."
"Ya, ampun! Kau memata-mataiku"!" teriak Mami ke"
sal. "Tidak. Tidak. Bukan seperti itu," jelas Marissa, sambil
menyesali kebodohannya karena telah membuat Mami
curiga. "Mungkin kalian belum tahu, suatu saat kalian
ber"dua benar-benar akan menjadi orang yang sangat ber"
arti bagiku. Tolong, berilah Ferry kesempatan! Dia telah
mencintaimu selama lebih dari sepuluh tahun."
Mami terdiam sebentar. Ia menarik napas, lalu berkata,
"Kau bukan dia. Bagaimana kau tahu perasaan dia yang
sesungguhnya?" Aku tahu karena aku anaknya, dan aku anakmu juga.
Aku sudah melihat bukti cinta kalian selama delapan
belas tahun. Ingin rasanya Marissa berteriak seperti itu.
Tapi ia tahu, Mami tidak akan memercayainya.
Melihat Marissa terpaku, Mami berjalan menjauhinya.
Marissa jatuh terduduk di lantai. Ia mengacaukan semua"
nya. Ia sedih sekali, sampai-sampai tak kuasa menahan
tangisnya. *** Perjalanan pulang ke rumah Wiliam dilalui Marissa de"
ngan langkah gontai. Pikirannya tidak bisa lepas dari
134 isi-7 hari.indd 134 per"selisihan Papi dan Mami. Marissa membuka pintu dan
masuk ke dalam rumah. Wiliam sudah menunggunya.
"Kakak sudah pulang?" katanya gembira. "Ayo, kita per"
gi!" Suara Wiliam terhenti melihat tampang Marissa yang
pucat. "Ada apa?" tanyanya bingung
Marissa menangis lagi. "Aku mengacaukan semuanya,
Wiliam. Mereka tidak bisa bersatu karena aku. Tadi aku
menemui Papi, aku tidak bisa menahan perasaanku dan
me"meluknya. Mami melihat hal itu dan langsung marah.
Bagai"mana bisa Mami curiga kepadaku" Aku kan anak"
nya." "Ibumu tidak tahu hal itu," ungkap Wiliam.
"Aku gagal!" teriak Marissa putus asa. "Aku sudah ber"
usaha menjelaskannya, namun Mami tidak mau men"
dengarku. Bisakah kaubayangkan" Mami cemburu kepada"
ku. Anaknya sendiri. Aku benar-benar mengacaukan
se"mua"nya."
"Kakak," panggil Wiliam, bingung apa yang harus ia
laku"kan untuk menghibur Marissa. "Kakak jangan ber"
sedih. Kakak bisa mencoba menjelaskan lagi. Kita pergi
ke rumah ibumu, lalu kakak bisa menjelaskan semua"
nya." Marissa menggeleng. "Mami tidak mau bertemu atau"
pun berbicara denganku lagi. Aku benar-benar payah.
Aku tidak bisa menyelamatkan hubungan orang"tuaku.
Sekarang aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.
Menurutmu, kalau orangtuaku tidak bersatu, apa"kah aku
akan menghilang?" 135 isi-7 hari.indd 135 "Aku tidak tahu," Wiliam menjawab jujur.
"Mengapa aku harus mengacaukan segalanya"!" teriak
Marissa putus asa. "Seminggu yang lalu, aku hanya ingin
kembali ke rumahku, dan tiba-tiba aku ada di masa yang
asing. Mengapa aku harus berbicara pada lukisan konyol
itu" Aku menghancurkan semuanya! Semuanya!!"
Wiliam menggenggam tangan Marissa untuk pertama
kalinya. "Kakak tidak mengacaukan semuanya. Kakak me"
nyelamatkanku, ingat" Malam itu Kakak dengan berani
menyelamatkanku dari kecelakaan mobil."
"Aku tahu," kata Marissa. "Orang lain pun akan melaku"
kan hal yang sama untukmu."
Wiliam menggeleng. "Kakak tidak mengerti. Malam itu
aku tidak ingin diselamatkan."
Perhatian Marissa kini beralih kepada Wiliam. "Apa
mak"sudmu?" "Aku memang sengaja ada di tengah jalan. Aku ingin
mobil itu menabrakku," kata Wiliam.
"Mengapa kau melakukan itu?" tanya Marissa bingung.
"Kakak pikir hanya hidup Kakak yang hancur?" teriak
Wiliam. "Aku juga telah menghancurkan hidup ayah dan
ibuku." "Apa maksudmu?" Marissa semakin bingung. "Bukan"
kah kaukatakan kedua orangtuamu sudah meninggal?"
"Ya. Kecelakaan mobil," kata Wiliam perlahan. "Kakak
ingin tahu mengapa mereka meninggal" Semua karena
aku. Aku meminta mereka membelikan robot Voltus di
ka"marku itu. Aku tahu mereka sudah lelah, namun aku
merengek-rengek ingin robot itu. Semua temanku me"
136 isi-7 hari.indd 136 milikinya, dan aku juga menginginkannya. Akhirnya,
Mama dan Papa pergi untuk membelikan robot itu untuk"
ku. Itu adalah terakhir kalinya aku melihat mereka. Me"
reka tidak pernah pulang, padahal besoknya kami bertiga
akan pergi ke pantai. Aku membunuh mereka. Kau tahu
apa yang menyedihkan dari semua itu" Mobil ayahku
benar-benar rusak, namun mainan robot di dalamnya
sama sekali tidak hancur."
Marissa tertegun mendengar penjelasan Wiliam.
"Wiliam, kau tidak tahu. Itu bukan salahmu."
"Kalau saja waktu itu aku tidak memaksa mereka
mem?"beli mainan, Mama dan Papa pasti masih hidup
sam"pai sekarang," kata Wiliam, air mata membasahi
pi"pi"nya. Marissa langsung memeluk Wiliam erat-erat. Dielusnya
rambut Wiliam dengan lembut. "Semuanya bukan ke"
salahanmu, Wiliam. Orangtuamu tidak akan menyalahkan"
mu karena itu memang bukan salahmu. Sama sekali
bukan salahmu. Kematian orangtuamu adalah ke"celakaan.
Bukan salahmu. Kecelakaan itu dapat terjadi kapan saja,
Wiliam." Rupanya selama ini Wiliam telah memendam perasaan
yang sangat menyakitkan. Itulah sebabnya mengapa
Wiliam terlihat lebih dewasa dari umurnya. Dia telah ber"
henti menjadi seorang anak kecil saat orangtuanya me"
ninggal. "Kenapa aku tidak mati saja bersama mereka" Hari itu,
aku marah sekali karena Kakak telah menyelamatkanku,"
kata Wiliam, sambil menangis terisak-isak di pelukan
Marissa. 137 isi-7 hari.indd 137 "Stttt" Wiliam" jangan berkata seperti itu!" kata
Marissa menenangkannya. "Orangtuamu pasti mengingin"
kanmu hidup. Jangan pernah melakukan hal konyol
seperti itu lagi. Kau tidak boleh menyia-nyiakan hidupmu.
Kau masih punya banyak hal untuk dilakukan."
Keduanya berpelukan entah sampai berapa lama. Ke"
duanya menangis. Rasa dingin yang menjalar di sekujur tubuh Marissa
membuatnya melepaskan pelukannya. "Wiliam, apakah
kau merasa kedinginan?"
Wiliam menggeleng. "Tidak."
"Aneh," seru Marissa perlahan. "Aku merasa kedingin"
an." Wiliam membantu Marissa berdiri. "Kalau begitu,
Kakak istirahat saja di kamar."
Marissa mengangguk. Rasanya ia memang harus isti"
rahat. Badannya lemas semua.
Marissa berbaring di kamarnya. Wiliam ada di samping"
nya sambil membantu menyelimutinya. "Kakak ingin
minum air hangat?" tanyanya khawatir.
Marissa menggeleng. "Aku" lelah sekali" dingin" di"
ngin sekali"." Marissa gemetar.
"Kakak!" teriak Wiliam lagi. "Apa yang Kakak rasa"
kan?" Marissa berusaha membuka matanya, dan menatap
mata Wiliam yang khawatir. "Dingin. Dingin sekali."
"Aku akan bawa selimutku kemari biar hangat. Tunggu
ya, Kak." Wiliam berlari ke kamarnya dan membawa
selimutnya, lalu menaruhnya di atas tubuh Marissa.
138 isi-7 hari.indd 138 "Kakak sudah merasa lebih hangat?" tanyanya lagi.
Marissa tidak menjawab. Sekujur tubuhnya gemetaran.
"Dingin sekali," katanya.
Wiliam bingung setengah mati. Ruangan kamar sangat
panas. Kenapa Marissa malah kedinginan"
"Mami" Papi," kata Marissa mengigau. "Aku minta
maaf." Ucapan Marissa itu membuat Wiliam berpikir. Orang"
tua Marissa. Kalau mereka tidak bersatu maka Marissa
tidak akan dilahirkan. Tidak! Tidak! Ini tidak boleh
terjadi! Marissa tidak boleh meninggal!
"Kakak," katanya lagi, sambil mengguncang-guncang
bahu Marissa. "Bangun! Kakak harus bangun!!"
Marissa membuka matanya kembali perlahan-lahan.
Tatapan mata khawatir Wiliam adalah hal terakhir yang
ia lihat sebelum semuanya menjadi gelap.
"Kakak" Kakak!!" teriak Wiliam.
Marissa tidak terbangun mendengar teriakan Wiliam.
Wajah Marissa pucat pasi. Sekujur tubuhnya sedingin es.
Napasnya terengah-engah. Wiliam menangis. "Kakak, ja"
ngan pergi!" *** Ferry menunggu seharian di depan rumah Diana. Dia
tahu Diana ada di rumah. Dia juga tahu Diana tidak mau
menemuinya. Ferry menarik napas panjang. Aku harus
menjelaskan semuanya, tekadnya.
"Diana!" teriaknya lagi. "Bisakah kau menemuiku?"
139 isi-7 hari.indd 139 Tetap tidak ada jawaban dari kamar Diana.
Suara pintu dibuka membangkitkan harapan di hati
Ferry. Papa Diana keluar menemuinya.
"O0m," kata Ferry, "saya ingin menjelaskan semuanya.
Semuanya hanya salah paham. Saya benar-benar me"
nyayangi anak O0m. Izinkan saya bertemu dengannya."
Papa Diana berkata, "Aku tahu kau anak baik, Ferry.
Saat ini Diana sedang mengurung diri di kamar. Lebih
baik kau kembali lain waktu."
"Tetapi, O0m," protes Ferry.
"Anak O0m keras kepala, Ferry," kata papa Diana lagi.
"Sebaiknya kauberi dia waktu untuk menenangkan diri
terlebih dahulu." "Bisakah Oom sampaikan kepada Diana bahwa saya
benar-benar menyukainya?" tanya Ferry.
Papa Diana tersenyum tipis. "Lebih baik kausampaikan
sendiri hal itu kepada Diana. Sekarang, pulanglah! Kau
sudah menunggu cukup lama. Diana tidak akan turun.
Tidak ada gunanya menunggunya lagi. Nanti kalau dia
sudah tenang, kau bisa kembali lagi."
Ferry mengangguk. "Baiklah. Saya pulang dulu, Oom.
Permisi." Diana memandang Ferry dari balik jendela kamarnya.
Ia me"lihat motornya semakin menjauh. Diana menangis
sedih sesudahnya. *** Semalaman Wiliam menjaga Marissa. Tubuhnya tetap se"
dingin es, walaupun Wiliam sudah mengompresnya de"
140 isi-7 hari.indd 140 ngan air hangat. Dia sudah kehabisan ide. Jam sudah me"
nunjukkan tengah malam. Tidak ada dokter yang mau
datang jam-jam seperti ini. Wiliam membawa selimut dari
kamar kedua orangtuanya. Sebelum pergi ia memandang
foto mama dan papanya. "Mama" Papa," katanya me"
mohon. "Aku tidak ke"beratan kalau nanti dia pergi
meninggalkanku untuk kembali ke masanya. Tapi aku
ingin dia sehat lagi. Kalau dia sembuh, aku berjanji akan
jadi anak yang baik."
Wiliam menatap foto kedua orangtuanya dan menangis
tersedu-sedu. Setelah tangisnya mereda, dia kembali ke kamar
Marissa dan menemaninya. *** Sarah mengemudikan mobilnya sambil mengantuk. Dia
tidak tahu sudah berapa lama dia mengemudi. Jam di mo"
bil menunjukkan pukul lima pagi. Efek alkohol dari mi"
numan yang diteguknya mulai terasa. Kepalanya terasa
me"layang-layang. Sesaat dia bahkan sempat menutup
matanya. Tiba-tiba sebuah cahaya lampu mobil yang menyilaukan
diiringi suara klakson yang keras membangunkan Sarah
dari rasa kantuknya. Ia melihat ada mobil di depannya,
yang pasti akan menabraknya jika dia tidak meng"hindar.
Tangannya langsung mencengkeram kemudi dan de"
ngan refleks membelokkan mobilnya ke pinggir jalan.
Kaki"nya menginjak rem kuat-kuat. Mobil terhenti tak
141 isi-7 hari.indd 141 lama kemudian. Wajah Sarah terbenam pada kemudi mo"
bil. Ia tidak bergerak selama beberapa waktu. Jantungnya
ber"pacu tidak keruan. Perlahan-lahan, Sarah mulai mem"
buka matanya. Tangannya meraba bekas benturan di ke"
ning"nya. "Auww!" teriaknya, saat menyadari keningnya terluka.
Ia beristirahat sejenak, lalu mengambil tasnya. Saat
hendak mengambil saputangan untuk mengusap lukanya,
sehelai foto terjatuh ke kursi penumpang. Sarah meng"


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ambil foto itu. Foto kakaknya bersama dirinya di masa
kecil. Sarah menangis keras-keras sesaat setelah melihat foto
itu. Kini dirinya benar-benar sadar sepenuhnya. Nyawa"
nya hampir saja melayang tadi. Bukan itu saja, setelah
dua kecelakaan yang merenggut nyawa keluarganya,
Sarah tidak mau menjadi kecelakaan yang ketiga. Ia
belum mau mati. "Kakak," katanya perlahan, "kau datang untuk me"
nyadar"kanku, ya?"
Senyum kakaknya di foto seakan-akan telah menjawab
pertanyaan yang diajukan Sarah.
"Maafkan aku," katanya lagi. "Aku telah mengabaikan
hidupku. Setelah kehilanganmu, aku jadi tidak punya tuju"
an hidup. Kau selalu menjagaku. Aku baru sadar, Kakak
pasti tidak ingin aku menyia-nyiakan hidupku, kan"
Karena aku masih punya tanggung jawab terhadap
Wiliam." Jemarinya mengelus foto itu dengan penuh kelembutan.
"Maafkan aku, Kak. Dulu kakak selalu menjagaku, dan
kini giliranku menjaga Wiliam, anak Kakak. Bukan"kah
142 isi-7 hari.indd 142 begitu yang Kakak inginkan" Aku sudah sadar seka"rang.
Aku berjanji kepada Kakak. Aku akan menjaga Wiliam
apa pun yang terjadi."
Sarah menghapus air matanya, dan tersenyum. Ia me"
lihat keadaan di sekitarnya. Terus terang, ia tidak tahu di
mana ia berada saat ini. Ia langsung menghidupkan mobil"
nya dan bergegas mengendarainya pulang.
"Tunggu saja, Wiliam," katanya dengan semangat baru,
"Tante pasti pulang dan menemuimu hari ini."
143 isi-7 hari.indd 143 Sembilan 6 Juli 1988 Selamat Tinggal, Wiliam Pagi sudah datang. Wiliam meraba kening Marissa. Ma"
sih dingin. Semalaman Marissa sama sekali tidak bangun.
Wiliam menatap Marissa lagi. Dia tahu Marissa tidak
akan bertahan lebih lama lagi.
Wiliam bangkit berdiri. "Aku berjanji padamu" kau
akan pulang hari ini." Ia lalu meninggalkan sebuah pesan
untuk Marissa, berlari ke luar rumah, mengambil sepeda
yang diparkir di halaman dan pergi. Wiliam mengayuh
sekuat tenaga. Setibanya di depan rumah papa Marissa,
dia turun dari sepeda dan menggedor pintu rumah itu
berkali-kali. Ferry keluar untuk melihat siapa yang ada di luar
rumah"nya. "Ya?" tanyanya bingung. Ia heran melihat
ada anak kecil berdiri di depan rumahnya. "Ada
apa?" "Kau harus pergi menemuinya!" teriak Wiliam.
"Apa?" tanya Ferry bingung. "Kau siapa?"
Wiliam menggeleng. "Itu tidak penting. Kau harus me"
144 isi-7 hari.indd 144 nemui Diana. Sekarang! Kau harus menemuinya supaya
kau bisa menyelamatkan Marissa. Ia sedang sekarat!"
Ferry semakin bingung, "Aku tidak mengerti apa yang
kaukatakan. Siapa kau" Bagaimana kau bisa tahu tentang
Diana?" Wiliam menarik tangan Ferry ke arah motor bebeknya.
"Temui Diana sekarang! Pergilah!"
"Tetapi"!" seru Ferry masih bingung.
"Kau mencintai Diana, bukan" Kau harus mengatakan
perasaanmu kepadanya. Apa pun yang terjadi!" teriak
Wiliam. Ferry mendesah. "Diana tidak mau menemuiku."
"Jadi, kau akan menyerah begitu saja?" tanya Wiliam
kesal. "Hanya sampai sebegitukah rasa cintamu kepada"
nya?" "Hei," protes Ferry, "aku benar-benar mencintainya."
"Kalau begitu, pergi dan katakan kepadanya!" desak
Wiliam. "Oke. Oke. Aku pergi!" kata Ferry, sambil menaiki mo"
tor?"nya. Wiliam merasa lega. Se"belum pergi, Ferry berbalik menatap Wiliam lagi,
"Kau sebenarnya siapa" Apakah aku mengenalmu?"
Wiliam menggeleng. "Kau tidak mengenalku. Aku me"
ngenalmu." Ferry mengernyit, ia kebingungan.
"Sudahlah," kata Wiliam. "Tidak ada waktu untuk men"
jelaskan." Tak berapa lama kemudian, Ferry pergi dengan motor
be"beknya. Wiliam mengendarai sepedanya, ia ingin se"
145 isi-7 hari.indd 145 cepat"nya menemui Marissa. Kakak bertahanlah! katanya
dalam hati. Ketika Wiliam memasuki jalan rumahnya, segerombolan
anak menghalangi jalannya. Wiliam turun dari sepeda"
nya. "Halo, Wiliam," sapa anak yang paling besar. "Sudah
lama kita tidak bertemu. Kau masih ingat aku, kan?"
Wiliam panik. Sial! keluhnya. Aku tidak bawa uang
hari ini. "Di mana penjagamu hari ini, hah?" tanya anak yang
lain. "Dia sudah pergi, ya" Kau tidak bisa menghindari
kami selamanya." Mereka berkerumun mendekati Wiliam. Tiga orang di
antara mereka menendang sepeda Wiliam sampai rusak.
Wiliam menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ber"
siap-siap menerima pukulan.
*** Sementara itu, di kamarnya Diana duduk di meja belajar
dengan kesal. Matanya memandang seuntai kalung.
Diangkatnya kalung pemberian Ferry dua hari yang lalu.
"Aku benci kamu!" katanya, dengan nada kesal pada
kalung itu. Mengapa" Mengapa kau mengkhianati aku"! teriaknya
dalam hati. Mengapa hatiku bisa sesakit ini" Saat aku
putus dengan Jimmy, aku hanya merasa kesal, tidak
sakit hati. Kini, saat melihat kau memeluk perempuan
lain, hatiku terasa sakit.
146 isi-7 hari.indd 146 Diana membuka laci mejanya dan menaruh kalung itu
di sana. Seakan-akan tindakan itu bisa mengubur kenang"
annya bersama Ferry. Saat hendak menaruh kalung itu,
Diana melihat sebuah buku. Ia mengambilnya dan mem"
bukanya. Ternyata buku kenangan saat dia di SD dulu. Aku
sudah lama tidak pernah membukanya, katanya dalam
hati. Di dalam buku itu terdapat biodata semua teman
SD. Nama, umur, hobi, cita-cita, dan yang lainnya.
Ia melihat halaman pertama. Di situ tertulis biodata
dirinya. Melihat hal itu Sarah sedikit terhibur. Banyak
kenangan manis yang ia lalui sewaktu SD. Halaman demi
halaman dibukanya buku kenangan itu, raut wajah
teman-teman SD-nya kembali bermunculan.
Saat hendak menutup buku kenangan itu, Diana me"
lihat halaman terakhirnya. Ia tidak pernah melihat hala"
man terakhir buku kenangan ini sebelumnya karena buku
itu hanya terisi separonya.
Siapa yang mengisi pada halaman terakhir bukuku"
tanyanya penasaran. Ia melihatnya, dan seketika itu juga tercengang.
Tatapan matanya tertuju pada bagian cita-cita. Diana
menutup mukanya dan menangis.
Buku kenangan itu tetap terbuka pada halaman ter"
akhir. Nama : Ferry Umur : 12 tahun Hobi : Baca buku Cita-cita: Ingin membuat Diana bahagia
147 isi-7 hari.indd 147 *** Satu jam kemudian" Ferry bergegas turun dari motor sesampainya di rumah
Diana. Dia berhenti di depan pintu pagar dan menarik
napas. "Diana!" teriaknya. "Aku tidak akan pergi sebelum
berbicara kepadamu! Aku mohon, turunlah!"
Dari atas dan jendela kamarnya, Diana melihat Ferry
me"mandangnya dengan putus asa.
Melihat Diana di jendela kamarnya, Ferry ter"senyum.
"Diana!" teriaknya lagi.
Diana kesal, ia menutup gorden jendelanya.
Di bawah, Ferry mendesah putus asa. "Diana, ayolah!
Temui aku!" Seseorang mengetuk pintu kamar Diana. Diana mem"
buka pintu kamarnya dan melihat ayahnya berdiri di
sana. "Boleh Papa masuk?" tanyanya.
Diana mempersilakan papanya masuk, lalu menutup
pintu kamarnya. "Kau tidak bisa membiarkannya di luar terus, Diana,"
kata papanya. "Kau harus menemuinya cepat atau lam"
bat." "Aku benci kepadanya, Pa," kata Diana kesal. "Dia su"
dah berbohong kepadaku."
Papa Diana mengangguk. "Apakah dia sudah menjelas"
kan mengapa dia berbuat demikian?"
Diana menggeleng. "Aku tidak memberinya kesempat"
an." "Hmmm," seru papanya lagi. "Lebih baik kautemui dia
dulu. Suruh dia menjelaskan. Kalau saat itu kau masih
148 isi-7 hari.indd 148 tidak bisa menerimanya, barulah kauputuskan untuk ti"
dak menemuinya lagi. Pria itu sepertinya sungguhsungguh menyukaimu. Setidaknya beri dia satu ke"
sempatan. Bagaimana?"
Diana menghela napas panjang. "Ya, Papa benar. Aku
akan menemuinya." Papa Diana memeluk anaknya. "Aku tahu kau tidak
akan menyesalinya." "Papa selalu tahu apa yang terbaik untukku," kata
Diana, sambil tertawa. Papanya melepaskan pelukannya. "Tentu saja. Selain
itu, sebenarnya" ehmm" Papa malu kepada tetangga ka"
rena ada orang yang teriak-teriak di depan rumah sepagi
ini." Diana tertawa terbahak-bahak. "Dasar Papa."
Akhirnya, Diana keluar dan menemui Ferry.
"Jelaskan," katanya, tanpa basa-basi.
"Terima kasih karena kau mau menemuiku," kata
Ferry. "Diana, aku benar-benar menyukaimu, tidak per"
nah ada orang lain lagi. Aku baru mengenal gadis itu be"
berapa hari yang lalu. Aku bahkan tidak tahu siapa nama"
nya. Dia selalu muncul tiba-tiba di hadapanku. Dia
me?"ngatakan akan membantuku mengenalmu karena aku
telah menyelamatkannya waktu itu" entahlah, aku sendiri
tidak tahu mengapa dia mau melakukan"nya."
"Surat cinta itu," sela Diana. "Dia yang buat?"
"Ya," jawab Ferry jujur.
"Tidakkah kau sadar kau telah membohongiku?" tanya
Diana kesal. 149 isi-7 hari.indd 149 "Aku bukan orang yang pandai menulis kata-kata
indah, puisi atau kata-kata romantis. Terus terang semua
kata-kata itu tidak ada gunanya. Kau lebih dari deretan
kata-kata itu. Kata-kata itu tidaklah penting. Kaulah yang
terpenting. Perasaanku kepadamu adalah nyata. Aku
hanya bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu, Diana.
Percayalah kepadaku, aku tidak pernah menyukai gadis
lain selain dirimu. Setiap hari kita bersama, aku senang
sekali. Dalam mimpi pun aku tidak percaya gadis secantik
kau mau keluar denganku."
Diana terdiam mendengar semua penjelasan itu.
Ferry berkata lagi, "Aku hanya ingin mengungkapkan
perasaanku dan menjelaskan semuanya. Aku tidak akan
memaksamu untuk mencintaiku ataupun menerimaku.
Aku hanya ingin kau bahagia. Apa pun pilihanmu, aku
akan selalu mendukungmu."
Ferry mendesah. "Hanya itu yang ingin aku katakan."
Melihat tidak ada jawaban dari Diana, Ferry me"
nunduk lemas. Diana tidak memaafkanku, katanya da"
lam hati. "Aku sudah menjelaskan semuanya, Diana," lanjut
Ferry perlahan. "Semoga kau selalu berbahagia." Kakinya
beranjak melangkah pergi.
"Tunggu dulu!!" teriak Diana
Ferry menoleh lagi. "Seenaknya saja kau pergi begitu saja!" teriak Diana. Ia
membuka pintu pagar rumahnya dan berjalan mendekati
Ferry. "Apa kau tidak tahu bahwa aku menderita semalam"
an" Dasar idiot! Aku juga menyukaimu. Itulah sebabnya
aku merasa sakit hati."
150 isi-7 hari.indd 150 Ferry langsung memeluk Diana. "Terima kasih kau mau
menerimaku." Diana tersenyum dalam pelukan Ferry. "Justru seharus"
nya aku yang mengatakannya. Kau satu-satunya pria yang
bisa menerimaku apa adanya."
Ferry tersenyum bahagia. Akhirnya, dia bisa mendapat"
kan hati gadis pujaannya.
***

Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marissa membuka matanya perlahan. Rasanya ia telah
tertidur selama berhari-hari. Badannya lemas. Apa yang
terjadi" katanya, sambil bangkit dari ranjang. Sehelai
kertas di atas meja menarik perhatian Marissa. Ia mem"
bacanya. Kak Marissa, Aku pergi menemui ayah Kakak.
Kakak jangan khawatir, aku pasti akan membereskan
semuanya. Wiliam "Oh, Wiliam," keluh Marissa, sambil berlari ke luar
kamar"nya. Sepeda yang biasanya terparkir di halaman
tidak ada di tempatnya. Marissa tahu Wiliam pergi mem"
bawanya. Ia keluar dari rumah dan berlari menuju rumah"
nya. Di tengah jalan, Marissa berhenti. Ia melihat Wiliam
sedang dikerumuni segerombolan anak, tak jauh dari tem"
patnya berdiri. 151 isi-7 hari.indd 151 Marissa bergegas mendekati mereka dan menyelamat"
kan Wiliam. *** Wiliam sudah bersiap-siap menerima pukulan. Saat
seorang anak yang bertubuh paling besar mendekatinya,
Wiliam menyadari bahwa dia ingin melawan. Dia tidak
mau diperlakukan seperti ini lagi. Wiliam membuka
kedua tangannya dan menatap anak di depannya.
"Apa!" teriak anak itu. "Berani kau memandangku
seperti itu?" "Kau hanya seorang pengecut, yang bisanya main ke"
royokan. Kalau berani, ayo lawan aku, satu lawan satu,"
tegas Wiliam. Anak itu tertawa terbahak-bahak. "Ha" ha" ha, kau"
pikir aku tidak berani" Lucu sekali. Kau ingin berkelahi
denganku" Baiklah aku ladeni!"
Anak itu segera mengambil ancang-ancang. Dia me"
ngepalkan tangannya dan mengayunkannya ke muka
Wiliam. Wiliam menunduk, menghindari ayunan tangan
anak itu, lalu dia menendang kaki lawannya keras-keras.
Anak itu langsung jatuh terduduk dan meringis kesakit"
an. Anak-anak yang lain hanya bisa diam melihat per"
kelahian itu. "Jangan ganggu aku lagi," kata Wiliam memperingatkan.
Ia menatap anak-anak yang lain. "Kalau kalian tidak mau
bernasib sama seperti dia, sebaiknya kalian menyingkir."
Di belakangnya, Marissa memperhatikan semua adegan
152 isi-7 hari.indd 152 itu dengan bangga. Wiliam telah berhasil membela diri"
nya sendiri. Wiliam meraih sepedanya, dan berjalan melewati lawan"
nya. Matanya menatap se"orang gadis yang berdiri tak
jauh di depannya, lalu dia tersenyum lebar. "Kakak!"
teriaknya, sambil berlari. "Kakak sudah bangun."
"Aku sudah baikan sekarang," kata Marissa ketika
Wiliam sampai di depannya. "Aksi yang bagus sekali."
Wiliam tersenyum. "Ya. Kali ini aku punya alasan un"
tuk menghajar mereka."
Marissa menepuk-nepuk kepala Wiliam. "Apakah kau
menemui ayahku?" Wiliam mengangguk. "Dia sudah pergi menemui ibu
Kakak. Aku rasa dia berhasil."
"Ya, dia berhasil," ulang Marissa sambil tersenyum.
"Ayo kita pergi ke pantai!" ajak Marissa.
Wiliam mendongak. "Sungguh?"
Marissa mengangguk. "Ya, aku ingin menghabiskan
hari ini bermain denganmu di pantai, bagaimana?"
"Bukankah Kakak harus pulang hari ini?" tanya Wiliam.
"Gedung baru itu kan bukanya hari ini."
"Lukisan itu tidak akan ke mana-mana," sahut Marissa.
"Aku akan ke sana sesudah kita bermain di pantai."
Wiliam tersenyum. "Baiklah. Kalau begitu, aku mandi
dulu dan ganti baju. Habis itu, kita pergi ke pantai, ya."
Marissa mengangguk. *** Marissa mengenakan gaun putih miliknya yang ia
153 isi-7 hari.indd 153 kenakan seminggu yang lalu. Hari ini ia akan kembali.
Ada perasaan sedih menggelayuti hatinya. Marissa duduk
di meja kamar, mengambil selembar kertas, lalu menulis
surat. Tante Sarah, Saya akan pergi hari ini. Saya tidak tahu kapan kita
bisa bertemu lagi. Ada beberapa hal tentang Wiliam
yang ingin saya sampaikan.
1. Jangan pernah suruh Wiliam ikut lomba me"
nyanyi. Suaranya sangat parah. Apalagi kalau
men"dengar dan menyanyi malam-malam, bisa
membuat kepala pening keesokan harinya.
2. Bila Wiliam sakit, temani dia. Dia masih merindu"
kan kedua orangtuanya. 3. Jangan pernah memberi Wiliam masakan gosong.
Dia bisa mendeteksinya dengan cepat, sejago apa
pun Tante menyembunyikan kegosongan makanan
itu. 4. Jangan pernah mengambil satu pun mainan yang
ada di lemari Wiliam. Entah bagaimana, Wiliam
bisa tahu, padahal ada ratusan mainan di situ.
5. Yang terakhir, Wiliam tidak suka disentuh. Akan
tetapi, sesekali kalau sedang sedih Tante boleh me"
meluknya. Wiliam tidak akan mencoba melepaskan
pelukan itu. Tidak sulit untuk menyukai Wiliam. Saya hanya mem"
butuhkan tujuh hari untuk itu. Tante masih punya ba"
nyak waktu bersamanya. Habiskan waktu dengannya,
154 isi-7 hari.indd 154 dan Tante akan menyadari bahwa Wiliam anak yang
hebat. Bahkan lebih hebat dari saya.
Terima kasih karena telah mengizinkan saya tinggal
di sini. Marissa Marissa melipat surat itu dan membawanya turun. Ia
menemui Bi Ijah dan berpamitan kepadanya. "Selamat
tinggal, Bi Ijah," kata Marissa. "Terima kasih atas
bantuannya selama ini."
"Selamat tinggal, Non!" kata Bi Ijah. "Jaga diri baikbaik."
"Terima kasih, Bi."
Marissa memeluk Bi Ijah dengan erat. Sesudahnya ia
memberikan surat yang ditulisnya kepada Bi Ijah. "Tolong
Bibi berikan surat ini pada Tante Sarah. Sepertinya Tante
tidak ada di rumah hari ini."
Bi Ijah mengangguk. "Ya, Non. Nanti Bibi sampai"
kan." "Kak Marissa," panggil Wiliam dari ruang tamu. "Ayo
kita pergi!" "Saya pergi dulu, Bi," kata Marissa.
"Hati-hati!" seru Bi Ijah.
*** Marissa mengajak Wiliam ke rumah ibunya terlebih da"
hulu sebelum mereka pergi ke pantai. Di sana, Marissa
155 isi-7 hari.indd 155 melihat papi dan maminya sedang berpegangan tangan di
depan pekarangan rumah. Mereka tersenyum dan tertawa
bersama. "Aku akan menemui kalian lagi di masa depan," kata
Marissa perlahan. Setelah itu, Marissa pergi ke pantai bersama Wiliam.
Mereka berlarian di atas pasir dengan bertelanjang kaki.
Marissa tidak peduli gaunnya kotor lagi. Mereka men"
diri?"kan istana pasir, dan merasa sedih ketika istana itu
hanyut dibawa ombak. "Benar, kan! Kataku tadi juga
apa. Kakak membuatnya terlalu dekat ke laut," kata
Wiliam. "Ya, sudahlah," kata Marissa. "Ayo, kita buat lagi! Kali
ini yang agak jauhan dari laut, bagaimana?"
Wiliam mengangguk. Ketika Marissa kelaparan, Wiliam mengajaknya makan
di tepi pantai. Sesudahnya Marissa membeli beberapa
permen karet dan cokelat yang dijual di sana. "Aku tidak
akan merasakan makanan ini lagi di masa depan," kata"
nya. "Mengapa?" tanya Wiliam
"Makanan ini sudah tidak ada lagi di masa depan,"
kata Marissa. "Itulah sebabnya aku akan memuaskan diri
dengan memakannya sekarang juga."
"Jangan kebanyakan makan!" kata Wiliam. "Ingat ter"
akhir kali Kakak makan banyak sewaktu ke PRJ itu"
Pulangnya Kakak sakit perut, kan?"
Marissa hanya tertawa tanpa mengindahkan perkataan
Wiliam. Ia membuat gelembung bola dengan permen
156 isi-7 hari.indd 156 karet"nya. Ia juga membuat tato di tangan satunya lagi.
Kali ini bergambar bunga. Sekarang di kedua tangannya
ada dua tato, bunga dan kupu-kupu. Ia tahu itu bukan
tato permanen, setidaknya ada bagian dari masa ini yang
dia bawa ke masa depan nanti.
"Sini!" katanya, sambil menarik tangan Wiliam. "Aku
tato tanganmu juga."
Wiliam menarik tangannya dari Marissa. "Aku tidak
mau! Kakak terlalu kekanak-kanakan!" teriaknya, sambil
berlari. Marissa berlari mengejar William. "Hei, Wiliam" tung"
gu!" Di sore hari, keduanya duduk dan melihat matahari
terbenam. "Indah sekali," kata Wiliam.
"Ya," seru Marissa, sambil menatap mentari di depan"
nya, lalu tatapannya beralih kepada Wiliam. "Wiliam,
terima kasih karena kau telah mengizinkan aku tinggal di
rumahmu." "Sama-sama," kata Wiliam. "Kakak juga telah menye"
lamat"kanku." Kali ini tatapan mata Marissa beralih serius. "Wiliam,
berhentilah menjadi dewasa. Kau masih anak-anak. Se"
harus"nya kau menikmati masa kanak-kanakmu. Masa
mudamu cuma datang satu kali. Kau hidup di masa yang
hebat. Nikmatilah semua ini. Pilih satu kegiatan yang
kausukai. Habiskan waktumu dengan bermain dan men"
coba hal-hal baru. Mulailah berteman dengan anak-anak
seusiamu. Ada hal-hal yang lebih baik dilakukan bersama
daripada sendirian."
157 isi-7 hari.indd 157 Wiliam menatap Marissa dengan lembut. "Aku tahu.
Aku akan mencoba mengikuti perkataan Kakak."
"Satu hal lagi," lanjut Marissa.
"Apa?" tanya Wiliam.
"Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan memberi tante"
mu kesempatan. Ia benar-benar menyayangimu." Marissa
menggerakkan jari kelingkingnya.
"Bagaimana Kakak bisa yakin?" sahut Wiliam ketus.
Marissa mendesah. "Mungkin kau benar, aku tidak pu"
nya bakat apa pun selain makan, namun kau tidak perlu
punya bakat hebat untuk mengetahui apakah seseorang
menyayangi keluarganya. Percayalah kepadaku, tantemu
amat menyayangimu. Tolong, berilah dia kesempatan!
Berjanjilah kepadaku, ya?"
Wiliam terdiam beberapa saat, lalu jari kelingkingnya
melingkari jari kelingking Marissa. "Oke. Aku berjanji."
"Baguslah, kalau begitu," kata Marissa, sambil ter"
senyum dan berdiri. "Aku lega mendengarnya. Aku jadi
tidak terlalu sedih meninggalkanmu di masa ini."
Tiba-tiba Wiliam meraih tangan Marissa dan meng"
genggamnya. "Bisakah Kakak tidak pergi" Tinggallah di
sini saja." "Wiliam," seru Marissa perlahan.
"Aku akan memberikan semua mainanku untuk Kakak!"
ucapnya serius. "Kakak boleh main Space Invaders
sepuasnya, aku tidak akan mengganggu Kakak. Tiap hari
Kakak boleh makan makanan mana pun yang Kakak suka.
Jangan pergi!" Marissa jongkok di depan Wiliam. "Wiliam, bukannya
158 isi-7 hari.indd 158 aku tidak ingin. Aku ingin sekali tinggal bersamamu,
namun ini bukan masaku."
"Aku tahu," ucap Wiliam perlahan. "Aku hanya ber"
harap Kakak tidak perlu pergi."
Dua jam kemudian, Marissa menatap Gedung Albatross
sambil menarik napas. Gedung itu sudah dipenuhi pe"
ngunjung. "Aku akan masuk sekarang," katanya kepada
Wiliam. "Kau bisa pulang sendiri, kan?"
Wiliam mendengus. "Aku kan bisa menjaga diriku sen"
diri." "Ya, aku tahu," kata Marissa. "Jaga dirimu baik-baik,
Wiliam." Marissa melangkah pergi. "Orang itu tidak berhak mendapatkan Kakak!" teriak
Wiliam di belakangnya. Marissa menoleh ke belakang.
"Apa maksudmu?"
"Orang yang memutuskan Kakak di masa depan. Pacar
Kakak," kata Wiliam terbata-bata, "dia" dia tidak berhak
men"dapatkan Kakak. Kakak berhak mendapatkan se"
seorang yang jauh lebih baik darinya."
Marissa tersenyum perlahan. "Terima kasih." Marissa


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru menyadari bahwa selama satu minggu ini ia tidak
me"mikirkan Michael dan Selina sama sekali. Rasa sakit
di hatinya akibat diputuskan Michael tidak dirasakannya
lagi. Marissa berjalan kembali ke arah Wiliam. "Aku tahu
kau tidak suka disentuh, namun?" Tiba-tiba Marissa me"
meluknya. "Terima kasih, Wiliam," kata Marissa lagi, lalu melepas"
159 isi-7 hari.indd 159 kan pelukannya. Tangannya menepuk kepala Wiliam per"
lahan. "Selamat tinggal, Wiliam."
Wiliam melihat Marissa berjalan menuju gedung, dan
tak berapa lama kemudian ia tidak terlihat lagi. Di dalam
gedung, Marissa pergi menaiki anak tangga ke lantai
tempat lukisan "Menembus Waktu" dipajang.
Ia bernapas lega ketika menemukan lukisan itu.
Marissa berjalan mendekatinya.
"Aku tahu kau yang mengirimku ke masa ini," katanya
perlahan. "Kau ingin aku melihat orangtuaku di masa
muda, bukan" Sepertinya kau juga mengirimku ke masa
ini untuk menyelamatkan Wiliam. Aku sudah mengerti
sekarang." Marissa menarik napas perlahan. "Tolong kembalikan
aku ke masaku! Aku mohon, kembalikan aku ke masaku
yang semula!" Tak berapa lama kemudian, ruangan gedung bergetar
hebat. Marissa menutup matanya. Ia akan kembali.
*** Wiliam memandang seberkas cahaya putih yang menyala
dari lantai tiga, yang tak lama kemudian padam. Dia me"
nunggu setengah jam berikutnya di depan gedung. Ketika
sosok Marissa tidak muncul-muncul di pintu depan,
Wiliam yakin Marissa telah kembali ke masanya.
"Selamat tinggal, Marissa," ucapnya perlahan.
*** 160 isi-7 hari.indd 160 Ketika Wiliam pulang ke rumahnya malam itu, Tante
Sarah sudah menunggunya dengan berderai air mata.
Tangan"nya memegang sehelai surat. "Wiliam," ujarnya
sambil berjalan mendekatinya. "Maafkan Tante."
Tante Sarah memeluk Wiliam. "Selama ini Tante gagal
merawatmu. Maafkan Tante. Tante akan mencoba ber"
ubah dan merawatmu mulai sekarang."
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Wiliam
membalas pelukan tantenya.
"Jadi, Marissa sudah pergi?" tanya Tante Sarah, bebe"
rapa saat kemudian. Wiliam mengangguk. "Tante tahu kau senang bermain bersamanya. Bagai"
mana kalau kauajak dia kemari lagi kapan-kapan?" usul
Tante Sarah. Wiliam menggeleng. "Dia tidak akan kembali lagi."
"Mengapa?" tanya Tante Sarah bingung.
"Dia sudah kembali ke masanya." Pandangan Wiliam
me"nerawang jauh. Tante Sarah bingung mendengar jawaban Wiliam.
"Kalau begitu, bagaimana kalau Tante mulai menemani"
mu les mulai besok?" tanyanya, sambil tersenyum.
Wiliam terkejut mendengar usul itu. "Sungguh?"
Baru kali ini Wiliam melihat tantenya tersenyum tulus
kepadanya, dan hatinya menghangat setelah melihat se"
nyum"an itu. Tante Sarah mengangguk. "Aku ingin mengenalmu dari
awal lagi. Jadi" hm?" Tante Sarah berjongkok di hadap"
an Wiliam. "Halo," katanya kemudian, sambil mengulur"
kan tangannya, "namaku Sarah. Aku adalah tante yang
161 isi-7 hari.indd 161 payah. Selalu mabuk dan tidak pernah ada di ru"mah. Aku
sudah menyia-nyiakan hidupku. Mulai saat ini aku
berjanji, aku akan menjaga keponakanku!"
Wiliam tersenyum lembut. Ia akan mencoba menepati
janjinya kepada Marissa dengan menyambut uluran
tangan tantenya. "Halo, Tante. Namaku Wiliam. Umurku
delapan tahun. Film favoritku Megaloman, dan mainan
robot favoritku bernama Voltus."
Tante Sarah tertawa. "Mulai hari ini, ayo kita membuat
kenangan baru!" Wiliam mengangguk. Matanya menatap tangannya yang
bertato. Pikirannya beralih ke pantai sore tadi. Saat
Marissa mengejarnya dan akhirnya berhasil membuat tato
itu di tangannya. Ia tahu, ia akan membuat kenangan
baru dengan tantenya. Sementara itu, kenangan dengan
Marissa akan selalu disimpannya.
162 isi-7 hari.indd 162 Sepuluh 6 Juli 2008 Kembali ke Masa Depan Marissa membuka matanya perlahan-lahan. Dia melihat
ke sekelilingnya. Ia telah kembali ke masa depan. Jam
dinding di aula gedung menunjukkan pukul enam sore.
Marissa berlari menuju kamar mandi dan melihat
pantulan wajahnya di cermin. Kacamata beningnya tidak
rusak. Bajunya tidak kotor. Ia melihat kedua tangannya.
Tidak ada tato kupu-kupu dan bunga di sana. Seakanakan perjalanan waktu selama tujuh hari itu seperti
mimpi. Marissa tahu itu bukan mimpi. Ia merasakannya.
Ia ada di tahun 1988 selama tujuh hari. Bertemu orang"
tuanya di masa muda. Bertemu Wiliam.
Marissa keluar dari kamar kecil, dan baru menyadari
bahwa lukisan di dekat tangga sudah hilang. Tidak ada
bekas"nya sama sekali. Ia menyentuh dinding tempat lukis"
an itu tadinya dipajang. "Terima kasih," ujarnya perlahan.
Saat hendak kembali ke tempat pertemuan, matanya
terpaku. Selina datang ke arahnya sambil tersenyum pe"
nuh kemenangan. 163 isi-7 hari.indd 163 "Hai, Marissa," katanya."Aku tidak tahu kau ada di
sini" Wah, jangan-jangan kau menghindari kami, ya?"
Tadinya ya. Sekarang tidak, kata Marissa dalam hati.
Aneh, pikirnya lagi, aku tidak memiliki perasaan benci
lagi kepada Selina, padahal tujuh hari yang lalu aku
ingin sekali menjambak rambutnya. Sekarang aku
hanya merasa sedikit jengkel.
"Tidak!" kata Marissa tegas. "Aku baru saja akan masuk
ke acara pesta. Permisi, Selina!"
"Oh, Marissa," panggil Selina lagi, "apakah kau punya
tips-tips khusus untuk menghadapi Michael" Karena kau
sudah" ehmm" berapa lama ya," ketiga jari tangannya
bergoyang di hadapan Marissa, "tiga tahun bersamanya,
bukan" Ck" ck" ck" waktu yang cukup lama."
Marissa hanya tersenyum pendek. Ia tidak akan me"
ladeni ejekan Selina lagi. Ada hal-hal yang lebih penting
selain mengurusi Selina. "Tidak. Aku tidak punya tips
khusus," ujarnya, sambil berbalik dan melangkah. Ia baru
berjalan dua langkah ketika berbalik lagi. "Aku pikir-pikir,
Selina, aku memang punya satu tips khusus untukmu."
"Oh, ya?" tanya Selina, ia tersenyum licik. "Apa itu?"
"Kau dan Michael sangat cocok satu sama lain," jawab
Marissa tenang. "Hanya satu tips dariku. Kalau Michael
bisa memutuskan aku dengan begitu mudahnya, cepat
atau lambat dia bisa melakukan hal yang sama kepadamu.
Bukankah begitu" Walau bagaimanapun, kudoakan kau
rukun selalu dengannya. Seperti sudah kukatakan tadi,
kalian pasangan yang serasi."
Marissa meninggalkan Selina yang meringis geram di
belakang"nya. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil.
164 isi-7 hari.indd 164 Lega rasa"nya, katanya dalam hati, tidak ada rasa benci,
tidak ada rasa sakit hati. Semua perasaan itu hilang
dari hatiku. Sosok Mami dan Papi terlihat oleh Marissa di kejauhan.
Ia be"r"lari menghampiri mereka dan memeluk keduanya
dengan cepat. Papi dan Mami terkejut mendapat reaksi
seperti itu dari Marissa.
"Marissa?" tanya Papi. "Ada apa?"
Marissa hanya menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Rissa
hanya merindu"kan Mami dan Papi. Rasanya sudah lama
sekali." "Lama apanya?" tanya Mami bingung. "Kau kan baru
pergi sepuluh menit yang lalu."
"Aku tahu," kata Marissa, sambil melepaskan pelukan"
nya. Sepuluh menit untuk Mami, tapi tujuh hari di masa
lalu untukku. "Kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Papi khawatir.
"Aku yakin!" jawab Marissa mantap. "Pap" Rissa mau
ke ruang sebelah dulu ya, mau cari makanan. Rissa sudah
lapar." Papi tertawa. "Dasar, dari dulu yang kaupikirkan hanya
makanan. Ya sudah, pergi sana!"
"Oh, ada satu hal lagi," kata Marissa kepada orangtua"
nya. "Apa lagi?" tanya Mami penasaran.
"Pap," kata Marissa kepada Papi.
"Apa?" tanya ayahnya bingung.
"Jangan pernah membuat surat cinta," kata Marissa,
sambil tersenyum. Kemudian, beralih kepada Mami.
165 isi-7 hari.indd 165 "Mam, eye shadow biru sangat" sangat tidak cocok de"
ngan wajah Mami." "Hah?" Keduanya melongo.
Marissa hanya tersenyum lebar dan pergi meninggalkan
Papi dan Mami. Papi dan Mami saling berhadapan.
"Apa maksudnya itu tadi, Pi?" tanya Mami.
"Entahlah, Mi," kata Papi. "Hm, rasanya Papi pernah
kenal dengan seseorang yang mirip dengannya."
"Benarkah?" tanya Mami. "Siapa?"
Papi menggeleng. "Tidak tahu, sudah lama sekali. Papi
tidak bisa mengingatnya. Ayo kita menemui teman Papi
yang lain!" Mami menggandeng tangan Papi. "Ayo!" katanya.
*** Dalam perjalanan ke ruang makan, Marissa bertemu
dengan Michael. Ditatapnya bekas pacarnya selama tiga
tahun itu. Marissa tidak merasa sakit hati lagi. Baginya,
sekarang Michael adalah sosok asing. Ia tidak membenci"
nya, dan ia juga tidak mencintainya lagi.
"Marissa," sapa Michael lebih dahulu. "Aku benar-benar
minta maaf bila aku sudah menyakitimu. Aku..."
Marissa langsung menghentikan ucapan Michael, "Kau
tidak perlu menjelaskan semuanya, Michael. Aku me"
ngerti." "Tetapi..." Michael ngotot.
"Kau tahu, Michael," kata Marissa, sambil menatapnya
166 isi-7 hari.indd 166 tajam, "aku senang kau memutuskanku. Sungguh. Kau
dan Selina memang cocok."
"Marissa," protes Michael lagi.
"Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa aku berhak
mendapatkan cowok yang jauh lebih baik darimu." Pikir"
an Marissa melayang kepada Wiliam. "Dia benar. Aku
ber"hak mendapatkan cowok yang lebih baik. Selamat
tinggal, Michael. Sesudah hari ini, aku harap aku tidak
bertemu denganmu lagi."
Marissa berjalan melewati Michael tanpa memandang
ke arahnya. Di ruang makan Marissa melihat aneka macam masak"
an, dan perutnya mulai berbunyi. Ya, ampun! Aku lapar
sekali! serunya dalam hati.
Marissa mengambil piring dan mulai meng"isinya de"
ngan semua makanan yang ada di meja makan pertama.
Mengingat acara pertemuan di sebelah belum dimulai,
belum ada satu tamu pun yang ada di ruang makan itu.
Bagi Marissa ini kesempatan untuk melahap semua
makanan enak yang ada di sana tanpa diganggu siapa
pun. Lima belas menit kemudian perutnya sudah terisi pe"
nuh, namun Marissa masih ingin mencicipi lagi. Ia tidak
puas bila belum mencoba semuanya. Dia membawa piring"
nya yang sudah kosong ke meja makan yang satu lagi.
Dengan hati gembira dan bibir penuh senyum, ia meng"
ambil satu demi satu makanan yang ada di meja itu.
"Sebaiknya kau tidak makan lagi kalau tidak ingin
perutmu sakit," kata suara dari belakangnya.
Siapa itu" protes Marissa dalam hati. Siapa yang be"
167 isi-7 hari.indd 167 rani menyuruhku berhenti makan. Apa orang itu tidak
tahu, tidak seorang pun yang bisa menghalangiku
makan banyak" Marissa menaruh piringnya. Dengan geram ia menatap
orang di belakangnya. Seorang pemuda. Dia mengenakan
jas hitam, celana hitam, dan kemeja biru bergaris putih
tanpa dasi. Marissa terkesima. Wajah pria itu sangat tam"
pan dan posturnya tinggi gagah. Tapi Marissa tetap saja
tidak suka bila ada orang yang menasihatinya seperti itu.
"Mengapa kau berkata seperti itu?" tanya Marissa
ketus. Pemuda itu berjalan mendekati Marissa, dan berhenti
beberapa langkah di depannya. "Mengingat aku lebih tua
sepuluh tahun darimu, maka kau harus menuruti semua
perkataanku." Marissa menjatuhkan tangannya. Jantungnya berhenti


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ber"detak. Tatapannya tidak lepas dari pemuda itu. Tatap"
an mata itu, seru Marissa dalam hati, aku mengenal"
nya. "Wi" liam?" tanyanya perlahan.
Pemuda itu tersenyum. "Hai, Marissa. Lama kita tidak
bertemu. Sudah dua puluh tahun, bukan?"
Kali ini Marissa yakin, pria di hadapannya adalah
Wiliam. "Ya, ampun! Kaukah itu, Wiliam" Aku tidak me"
nyangka sama sekali. Bagaimana kau bisa ada di sini"
Terakhir aku melihatmu, tinggimu tidak lebih dari bahu"
ku." Wiliam tersenyum. "Aku bukan anak-anak lagi, Marissa."
"Ya, aku tahu," kata Marissa, menatap Wiliam dari atas
sampai bawah. 168 isi-7 hari.indd 168 "Hari ketika kau pergi, aku pulang dan melihat Tante
Sarah sedang menangis. Dia meminta maaf kepadaku dan
merawatku sejak saat itu. Kau membuat surat itu untuk"
nya, ya?" Marissa mengangguk. "Aku lega Tante Sarah bisa me"
ngerti. Bagaimana keadaan dia sekarang?"
"Dia baik-baik saja," kata Wiliam, sambil tersenyum.
"Beberapa tahun yang lalu Tante menikah dengan seorang
pria asing, dan kini ia tinggal di luar negeri. Dia sudah
menemukan kebahagiaan."
Marissa tersenyum. "Aku lega mendengarnya."
Wiliam maju selangkah lagi. "Jadi, kau mau meng"
habiskan 36.500 makan malam berikutnya denganku?"
Marissa hanya bisa terpaku. "Kau membaca suratku?"
Wiliam mengangguk. "Ya."
Marissa tersenyum lagi. "Kau tahu, Wiliam, aku masih
kuliah. Aku juga ingin berkarier. Aku rasa..."
Wiliam menghentikan ucapannya, dengan melangkah
maju dan memeluk Marissa.
Marissa terkejut mendapat pelukan yang tiba-tiba
seperti itu. "Hei, aku tidak akan ke mana-mana. Aku sudah me"
nunggumu selama dua puluh tahun," ujar Wiliam. "Apa"
lah artinya beberapa tahun lagi," lalu ia melepaskan peluk"
annya. Pipi Marissa bersemu merah. "Aku benar-benar me"
rindukanmu, Wiliam."
"Ya, aku juga," kata Wiliam, lalu ia merogoh saku
celananya dan meletakkan sebuah benda di tangan
Marissa. "Ini untukmu."
169 isi-7 hari.indd 169 Marissa menatap tangannya dan melihat sebuah ke"
lereng biru. Kelereng yang pernah ia curi diam-diam dari
kamar Wiliam. Marissa tertawa lebar. "Ya, ampun. Kau masih punya
kelereng ini" Bukankah kau pernah berkata bahwa kau
tidak suka memberikan mainanmu kepada orang lain?"
Wiliam berkata dengan serius. "Seseorang telah meng"
ubah pikiranku." "Benarkah?" tanya Marissa. "Siapa?"
Wiliam berkata lagi, "Dua puluh tahun yang lalu aku
bertemu seorang gadis aneh. Aku tidak mengerti satu pun
alat teknologi masa depan yang disebutkannya. Kini,
semuanya masuk akal. Dia menyelamatkanku dan meng"
ubah hidupku. Kau mengubah hidupku, Marissa."
Marissa tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa
menyebut namanya. "Wiliam."
"Kali ini aku tidak akan melepaskanmu pergi lagi,
Marissa," tekad Wiliam. "Aku akan menunggumu sampai
kau siap." Marissa menatap Wiliam dengan serius. "Aku juga
tidak akan pergi ke mana-mana lagi."
Wiliam tersenyum. "Ada satu hal lagi yang ingin ku"
utarakan. Di suratmu untuk Tante, kau mengatakan suara"
ku sumbang. Biar kutegaskan, suaraku tidak sumbang."
Marissa langsung protes. "Suaramu memang tidak
enak. Membuat kepalaku pusing. Ada hal-hal yang me"
mang tidak bisa berubah, suaramu adalah salah satu"
nya." "Kau juga masih suka makan banyak," timpal Wiliam.
"Ah," tiba-tiba sebuah ada mengusik percakapan
170 isi-7 hari.indd 170 mereka. "Di sini rupanya kau, Wiliam. Aku mencarimu ke
mana-mana." Marissa menoleh ke belakang Wiliam. Papi tampak
sedang tersenyum sambil menggandeng tangan Mami.
"Ke mana saja kau?" tanya Papi lagi kepada Wiliam.
Wiliam hanya tersenyum. "Saya punya urusan penting
sebelum menemui Oom," katanya menjelaskan. Tatapan
matanya beralih kepada Marissa. Marissa hanya bisa
diam kebingungan. Papi mengenal Wiliam" tanyanya
dalam hati. "Oh," kata Papi, seakan baru menyadari Marissa ada di
sana, "Kebetulan kau ada di sini, Marissa."
"Wiliam," kata Papi kepada Wiliam, "kenalkan ini anak
Oom, Marissa." Pandangan Papi kemudian beralih kepada
Marissa. "Marissa, ini Wiliam, klien baru Papi. Wiliam
baru saja kembali dari luar negeri. Bukankah begitu,
Wiliam?" "Ya, Oom!" kata Wiliam mengangguk.
"Senang berkenalan denganmu, Wiliam," seru Mami,
sambil melepaskan tangannya dari Papi dan bersalaman
dengan Wiliam. "Senang berkenalan dengan Anda juga, Tante," kata
Wiliam sopan. Mami melirik kepada Marissa dan berdecak kesal.
"Marissa," katanya kesal. "Di mana sopan santunmu" Ini
klien Papi. Ayo salami dia."
Marissa terlihat serbasalah. Yang benar saja! teriaknya
dalam hati. Beberapa menit yang lalu Wiliam baru saja
memeluknya, sekarang Mami minta aku menyalami"nya"
Tadi Papi bilang apa" Klien Papi" Wiliam, klien Papi"
171 isi-7 hari.indd 171 Wiliam tidak kuasa menahan tawa. Akhirnya, dia ter"
batuk-batuk beberapa kali untuk menyembunyikan tawa"
nya. "Tidak apa-apa. Saya sudah mengenalnya."
"Benarkah?" tanya Mami bingung.
Wiliam mengangguk, lalu berkata lagi, "Dua puluh
tahun yang lalu." Papi dan Mami mengernyit bersamaan.
Wiliam menatap Marissa. Marissa menggenggam ke"
lereng di tangannya dengan erat, lalu menatap Wiliam.
Pandangan keduanya bertemu. Mereka tersenyum penuh
arti. 172 isi-7 hari.indd 172 Tentang Penulis Charon, anak tengah dari tiga
bersaudara, lahir di Sukabumi 19
Juni 1980. Suka menulis sejak
SMA, tapi baru mengirimkan nas"
kah sesudah bekerja. Sejak kecil Charon sudah me"
nyukai buku, mulai dari komik
sampai novel. Mulai dari biografi,
thriller, mitologi, roman, sampai fantasi. Dia bisa bertahan di
toko buku lebih dari tiga jam. Charon juga menyukai semua
jenis film, kecuali film horor. Dia juga pecandu cokelat.
Charon pertama kali bergabung dengan GPU tahun 2008
dan telah menerbitkan 4 buku, yaitu: 3600 Detik, 7 Hari Me"
nembus Waktu, 1000 Musim Mengejar Bintang, dan Trio
Weirdo. Orang-orang terpenting dalam hidup Charon adalah ke"
luarga, karena mereka suporter terhebat dalam perjalanan
hidupnya. Charon suka musik klasik, terutama karya Chopin. Bagi
Charon, menulis merupakan hobi. Saat yang paling bahagia
baginya adalah ketika penggemarnya memberikan komentar
dan saran atas bukunya"dan tentu saja melihat bukunya di"
pajang di toko buku. Jika ingin mengirim saran dan kritik, Charon bisa dihubungi
lewat Twitter @WriterCharon, e-mail: charon_2519@
yahoo.com, Facebook: Charon Styx, dan blog http://
charon2519.blogspot.com. 7 Hari Menembus Waktu CU Voorwerk.indd 173
Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com
website: www.gramedia.com
Untuk pembelian e-book: www.gramediana.com www.getscoop.com GRAMEDIA penerbit buku utama
7 Hari Menembus Waktu CU Voorwerk.indd 175
Charon Marissa kesal ketika harus ikut ayahnya ke Gedung
Albatross, karena itu berarti ia akan bertemu Michael,
mantan pacarnya, dan Selina, musuh bebuyutan yang telah
merebut Michael dari sisinya.
Frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di
depan sebuah lukisan dan bergumam seandainya saja ia bisa
menghilang. Dan ia" betul-betul menghilang! Terlempar ke masa dua
puluh tahun silam, saat ia belum lahir, saat orangtuanya
masih belum berpacaran. Bersama William, anak kecil yang ditemuinya di masa itu,
Marissa mengalami hal-hal lucu dan menyenangkan, hal-hal
yang akan mengubah kehidupan gadis itu dan William di
masa depan. Charon Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
7 hari menembus waktu-cu.indd 1
NOW A MAJOR MOTION PICTURE
Sumpah Palapa 8 Lima Sekawan 05 Petualangan Di Gunung Bencana Sengsara Membawa Nikmat 1

Cari Blog Ini