Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono Bagian 3
Kalau kau tidak berani mengatakannya kepada Bapak, biar nanti kubantu. Setuju kan, Mas" tanya Lilis lagi.
Hartomo melirik Lilis dengan penuh rasa kecewa. Seperti inikah perempuan yang diharapkannya menjadi istri" Jelas sekali sifat kekanakannya masih belum hilang, meski umurnya sudah dewasa. Namun justru karena ingat hal itulah Hartomo menekan rasa terhinanya saat mendengar kata-kata Lilis tadi. Dia mengerti, Lilis tidak bermaksud merendahkan kemampuannya. Tetapi tidak mudah baginya mengikuti jalan pikiran gadis itu. Karenanya lagi-lagi rasa asing itu menyelinap ke hatinya. Tetapi sekaligus juga menyadarkannya bahwa mereka memang berasal dari golongan atau kelas sosial yang berbeda. Lilis sudah terbiasa hidup mewah dan apa pun yang diinginkannya selalu terpenuhi, sehingga segala sesuatu dinilai dan diperhitungkan dengan materi.
Mau tidak mau ingatan Hartomo lari lagi kepada istrinya di kampung. Ratih tidak pernah mempunyai pendapat apa pun. Kalaupun ada, dia akan berdiam diri tanpa berani mengutarakannya. Dia tidak suka berbantah kata. Dia selalu menomorsatukan apa saja yang dikatakan dan diinginkan Hartomo. Dia juga selalu menerima apa adanya dan pasrah sepenuhnya pada suami. Tetapi juga bukan seperti itulah yang diinginkan Hartomo. Baginya, istri haruslah bisa diajak bicara, bertukar pikiran, beradu argumentasi, dan berani menegur suami kalau ada hal-hal yang perlu ditegur. Sungguh, kedua perempuan yang saling bertolak belakang segalanya itu bukanlah istri pilihan baginya.
Kenapa diam saja, Mas" Setuju atau tidak sih pada usulku tadi" Terdengar oleh Hartomo, Lilis berkata
lagi. Kini suaranya tidak lagi hanya bernada tuntutan saja, tetapi juga berbaur rasa kesal.
Aku sedang berpikir, Lis.
Berpikir apa sih" Tinggal bilang iya saja susah amat! Lilis menggerutu sambil meraih gelas berisi es teh yang baru saja diletakkan pembantu rumah tangga untuk Hartomo. Padahal di belakang, perempuan tua itu sedang membuat segelas lagi untuk tamunya itu. Namun tampaknya, Lilis tidak sabar menunggu. Tanpa bilang lebih dulu pula.
Hartomo mengeluh dalam hati. Satu kali pun Lilis belum pernah membuatkan minuman untuk dirinya sendiri. Apalagi, untuk orang lain. Lilis hanya tahu, ada. Tidak tahu bagaimana mengadakannya. Sekali lagi, bukan seperti inilah istri pilihannya. Malangnya, mereka berdua sudah telanjur menjalin hubungan cinta meski belakangan cinta itu sendiri sudah bergulir jauh dari hati Hartomo. Malangnya lagi, apa nanti kata orangtua Lilis kalau hubungan itu putus karena dirinya" Tidakkah itu akan memengaruhi pekerjaannya"
Satu-satunya yang masih menghibur hati Hartomo, ia masih tetap menjaga agar batas-batas larangan bagi sepasang kekasih yang belum menjadi suami-istri tidak terlanggar. Lilis adalah anak atasannya. Beda jauh dengan hubungannya dengan Mbak Hartini, dulu.
Mbak Hartini adalah perempuan yang bebas. Janda tanpa anak yang hidup mandiri karena keadaan. Sama sekali tidak ada unsur cinta di antara dirinya dengan perempuan itu. Hubungan yang terjalin di antara mereka hanyalah didasari ketersalingan. Saling membutuhkan dan saling membantu.
Teringat Mbak Hartini dan masa lalunya bersama perempuan itu, Hartomo mengeluh perih dalam hatinya. Sesal dan malu menindih hatinya. Tetapi kalau dia tidak bertemu dengan perempuan itu, barangkali hidupnya akan lebih kacau lagi. Ketika itu dia nyaris mati kelaparan karena uang yang dipinjamnya dari Wisnu habis akibat gagal dalam usahanya. Sesudah itu entah berapa puluh kali saja dia keluar-masuk kantor, memberanikan diri menanyakan apakah ada lowongan untuknya. Berapa puluh kali pula surat lamarannya menyerbu perusahaan tanpa mendapat jawaban yang menggembirakan. Dan berapa puluh kali ia mencari objekan dengan modal dengkul, ikut-ikutan menjadi calo penjualan tanah, rumah, kendaraan, barang-barang kelontong dan lain sebagainya, yang hanya kadang-kadang saja memberinya keuntungan atau komisi yang tidak seberapa karena harus dibagi-bagi dengan banyak orang. Kesulitan demi kesulitan dialaminya. Kekecewaan demi kekecewaan yang datang silih berganti dirasakannya. Muncullah pengertian baru bahwa gemerlapnya kota Jakarta ternyata juga bisa menjadi kepahitan dan kegelapan bagi para pecundang seperti dirinya. Jauh-jauh ia merantau, tidak satu pun yang berhasil diraihnya. Ironisnya, dia pantang pulang dengan tangan hampa.
Dalam keadaan putus asa dan melarat itulah ia bertemu dengan Mbak Hartini, salah satu kenalannya yang cukup berhasil menjadi pedagang kelontong di Pasar Tanah Abang. Yang dimaksud dengan bertemu
dalam hal ini adalah bicara dari hati ke hati dan saling berbagi pengalaman. Mereka merasa cocok satu sama lain. Mbak Hartini, yang merasa tersentuh hatinya saat mendengar penuturan Hartomo mengenai kegagalankegagalannya, ingin membantunya. Apalagi ketika mengetahui bagaimana Hartomo sampai berpindah-pindah tidur dari kenalan baru yang satu ke kenalan baru yang lain. Ia memahami perasaan laki-laki yang meninggalkan kampung halaman dengan semangat setinggi gunung dan harapan setinggi bukit, yang ternyata hanya menjumpai lembah duka di Ibukota. Kasihan.
Kenapa tidak pulang ke kampung saja, Dik" Sebagai sarjana kan tidak susah-susah amat mencari pekerjaan di kota kecil. Saingannya tidak sebanyak seperti di Jakarta ini, katanya.
Tidak, Mbak. Aku tidak akan pulang ke kampung halaman sebelum hidupku lebih baik daripada ketika di sana. Malu rasanya, Mbak.
Maukah kau tinggal di rumahku sambil membantubantuku berdagang" Menangani pembukuanku, misalnya. Atau apa sajalah yang kausuka. Langgananku cukup banyak dari berbagai kalangan. Siapa tahu ada yang membawa berita baik untukmu" Toko kecil, juga salon, dan sejenis itu merupakan sumber berbagai informasi lho.
Asal tidak memberatkanmu, Mbak.
Sama sekali tidak. Malah, aku senang ada yang membantu dan menemaniku. Sebagai perempuan, tidak mudah lho menjadi pedagang yang harus bersaing dengan banyak laki-laki.
Ya, itu sudah terbayang olehku. Jadi, baiklah aku akan tinggal di rumahmu. Syaratnya, aku jangan kauberi gaji. Mbak. Aku betul-betul ingin membantumu sambil belajar berdagang dan mencari kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikanku.
Masa tidak diberi gaji sih, Dik"
Aku kan tinggal di rumahmu dan ikut makan di situ. Supaya sama enaknya, begini saja. Kalau aku butuh uang untuk transpor misalnya, aku akan minta darimu. Tetapi itu bukan gaji.
Mbak Hartini setuju. Dia bukan jenis orang yang suka berbelit-belit yang tak jelas apa maunya. Maka begitulah akhirnya Hartomo tinggal di rumah Mbak Hartini. Selama lima bulan tinggal bersama, beberapa kali mereka lupa menjaga diri. Sama-sama kesepian, sama-sama membutuhkan, sama-sama berjuang, dan sama-sama melalui kehidupan yang tidak mudah dijalani menyebabkan mereka menganggap kebersamaan lainnya juga boleh-boleh saja dilakukan sejauh samasama suka.
Untunglah keadaan seperti itu tidak sampai berlamalama. Berkat kenalan Mbak Hartini, Hartomo mendapat informasi bahwa suatu perusahaan besar sedang membutuhkan beberapa orang karyawan. Beruntung, Hartomo diterima. Mulai saat itu Hartomo pindah tempat, tinggal di tempat kos-kosan yang tidak jauh dari kantornya. Tak berapa lama kemudian, Hartomo mendengar kabar Mbak Hartini menikah lagi. Dia
sengaja datang untuk memberi kado yang cukup mahal harganya.
Ini hanya sekadar kenang-kenangan dariku, Mbak. Meskipun harganya mahal, tetapi dibanding segala hal yang kauberikan kepadaku, ini sungguh sama sekali tak ada nilainya, begitu katanya pada Mbak Hartini.
Jangan begitu, Dik Tom. Ada sesuatu yang lebih bernilai daripada apa yang pernah kuberikan dan apa yang kauberikan padaku ini. Yaitu, kita telah berbagi suka-duka dan sama-sama belajar mengarungi kehidupan yang memperkaya pengalaman kita masing-masing. Dan itu tidak bisa dinilai dengan uang.
Hartomo mengiyakan dengan perasaan haru. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia merasa malu dan menyesali apa yang pernah mereka lakukan berdua. Untungnya sejak saat itu mereka tidak pernah lagi bertemu ataupun berkabar berita sehingga rasa bersalah itu bisa disingkirkannya jauh ke sudut hatinya. Masing-masing telah menjalani kehidupannya sendiri-sendiri dan meninggalkan apa yang ada di belakang mereka sebagai sejarah masa lalu belaka. Tidak lebih dan tidak kurang.
Ketika waktu terus berlalu dan taraf kehidupan Hartomo mulai meningkat bersamaan dengan kedudukan dan gajinya yang mulai merangkak naik, ia mampu mengontrak rumah. Bahkan juga menjalin hubungan cinta dengan Lilis, putri presiden direktur yang terkesan oleh kegantengannya. Mereka berkenalan dalam acara piknik bersama para karyawan di Pantai Carita. Setelah mengalami kehidupan yang lebih baik tanpa
kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari meskipun kalau dibanding dengan kesuksesan Wisnu, ia masih amat jauh tertinggal tidak sedikit pun Hartomo berkeinginan untuk memboyong istri dan ibunya ke Jakarta. Perempuan yang diharapkan akan melayari kehidupan barunya adalah Lilis. Bukan Ratih. Tetapi, itu dulu. Bukan sekarang. Lebih-lebih saat ia melihat Lilis menghabiskan hampir separo es tehnya begitu saja. Padahal gadis itu tahu, es teh itu disediakan Bik Imah untuk tuan rumah. Bukan untuknya. Apalagi suara Bik Imah yang sedang menyiapkan minuman untuknya jelas terdengar dari ruang tamu.
Sudah selesai berpikirnya" Usai minum es teh manis, Lilis mendesakkan pertanyaannya lagi. Kenapa sih, Mas, hari ini kau tampak agak pendiam" Ayo, bicaralah.
Bicara tentang apa" Pertama, mengenai usulku untuk pinjam uang kepada Bapak. Kedua, aku ingin mengingatkan padamu, empat hari lagi, hari apa hayo" Sambil bertanya seperti itu Lilis mempermainkan lipatan kemeja Hartomo.
Empat hari lagi, hari apa" Hm... hari Kamis, kan" jawab Hartomo setelah melirik kalender di atas meja tulisnya.
Ah, Mas Tom. Itu aku tahu, Lilis menggerutu. Tanggalnya"
Tanggal dua belas. Betul. Hari apa itu"
Kan tadi sudah kukatakan, hari Kamis. Iiiih, Mas Tom. Tanggal dua belas bulan ini kan
hari ulang tahunku. Umurku genap dua puluh empat tahun. Masa lupa sih" Lilis mengerutkan dahinya. Bibirnya cemberut.
Maaf... itulah kalau pikiran sedang kacau. Jadi lupa segalanya.
Tetapi jangan lupa, ulang tahunku kali ini akan dirayakan di hotel lho. Ada sekitar seratus lima puluh orang yang akan kami undang. Kupikir, itu kesempatan baik untuk mengenalkanmu pada kenalan dan kerabat kami.
Apa" Hartomo terkejut, menatap mata Lilis yang tampak berbinar-binar saat menceritakan ulang tahunnya akan dirayakan di hotel.
Kok kaget" Kenapa"
Hmm... ulang tahun saja kok dirayakan di hotel. Apa tidak berlebihan"
Padahal bukan itu yang menyebabkan Hartomo kaget. Ia kaget karena Lilis mengatakan ingin memperkenalkannya pada kenalan dan kerabatnya. Hartomo tidak menyukai rencana itu.
Tentu saja, tidak. Bapak mengatakan, tahun lalu ulang tahunku tidak dirayakan sebagaimana mestinya karena waktu itu beliau sedang dinas ke luar negeri. Sekarang, dirapel, Lilis bercerita dengan pipi merona merah saking gembiranya. Aku diberi kehormatan untuk memilih menu makanannya.
Sudah..." Hartomo bertanya hanya sekadarnya saja. Khawatir disodori pertanyaan-pertanyaan yang tak penting dan membosankan.
Sudah. Pokoknya serbaenak. Makanan penutupnya
juga beberapa jenis. Ada cocktail buah, macam-macam puding, es krim, dan buah-buah segar, jawab Lilis dengan gembira. Pokoknya serba memuaskan. Makanan di hotel itu lezat-lezat.
Itulah bahagianya menjadi putri orang kaya. Tidak semua gadis bisa mengalami seperti itu lho. Diberi ucapan oleh orangtuanya saja belum tentu karena lupa akibat sibuk mencari sesuap nasi.
Lilis masih terbuai oleh rencana-rencana yang tersusun di kepalanya. Perkataan Hartomo yang sebenarnya ingin menyindir pemborosan yang dilakukan oleh keluarga Lilis, tidak masuk ke dalam benaknya.
Justru itulah, Mas, aku tidak perlu memilih suami yang kaya. Buat apa, karena yang penting adalah saling mencintai. Ya kan, Mas" Masalah kebutuhan duniawi, biar Bapak yang mengurus, sahutnya sambil tersenyum.
Hartomo langsung terdiam. Apa yang dikatakan Lilis sudah berlebihan. Harga dirinya tercabik. Mana mungkin ia mau disuapi mertua" Sungguh semakin jelas bahwa dirinya dan Lilis mempunyai pola pikir yang bertentangan. Tidak mungkin disatukan. Pasti salah satu ada yang terluka. Pasti perkawinan timpang seperti itu tidak mungkin bisa bertahan lama. Pikiran Hartomo benarbenar kacau jadinya. Dibiarkannya Lilis bicara sendiri, mengukir rencana demi rencana mengenai masa depan yang diinginkannya.
Setelah selesai pesta ulang tahun, kita sudah harus mulai memikirkan tahap awal rencana pernikahan kita. Perkenalan keluarga dulu, lalu lamaran, dan kemudian
menentukan hari dan tanggal pernikahan, celoteh gadis itu.
Lama tidak mendengar komentar dari pihak Hartomo, Lilis menghentikan bicaranya dan menoleh ke arah sang kekasih. Ia melihat air muka ganteng itu tampak keruh.
Mas Tom kok tidak seperti biasanya sih" Dari tadi diaaaam melulu. Ada apa" Jangan-jangan tidak suka melihat Lis datang ke sini" Nada menuduh itu terdengar lagi.
Ada persoalan yang cukup berat..., Hartomo menjawab, sesuai dengan kenyataan yang sedang dialaminya. Persoalan hatinya yang tidak lagi punya rasa cinta terhadap gadis itu.
Aduh, Mas Tom mempunyai persoalan berat" Kok seperti pejabat tinggi sedang banyak urusan saja, sahut Lilis sambil tertawa. Gadis itu tidak bermaksud mengejek, tetapi karena Hartomo sedang kesal hati, ia merasa tersinggung oleh ucapannya.
Lis, setiap orang pasti punya persoalan yang bisa menyebabkannya banyak pikiran dan galau hati. Jadi bukan hanya pejabat tinggi saja yang memiliki beban persoalan. Juga bukan hanya presiden direktur seperti ayahmu saja yang mempunyai pemikiran-pemikiran untuk memajukan perusahaan, misalnya. Aku yang manusia biasa ini juga bisa mengalami beban pikiran yang terkadang sulit dihadapi, katanya.
Lilis tergerak hatinya. Ia mulai menyadari kekurangpekaannya menangkap keadaan sang kekasih.
Apa yang menyebabkan hatimu galau, Mas" tanyanya kemudian.
Karena masih kesal hati, Hartomo sengaja memberi jawaban yang memancing rasa ingin tahu Lilis. Ini masalah keluarga kok.
Masalah keluarga" Ada apa dengan keluargamu" Hartomo menganggap pertanyaan itu merupakan kesempatan untuk memasuki persoalan yang sesungguhnya, yaitu lepas dari hubungan cintanya dengan Lilis. Dia sudah tidak tahan lagi. Belum lagi bertunangan, sudah terlihat betapa lebar jurang perbedaan di antara mereka berdua. Rasanya tak mungkin mereka bisa mencapai kebahagiaan bersama.
Aku tak berani mengatakannya, Lis. Pasti akan menyakitkanmu, jawabnya diplomatis.
Benar saja, rasa ingin tahu Lilis terpancing. Matanya menyorot tajam ke arah Hartomo.
Memangnya keluargamu kenapa"
Sudah kukatakan, sulit untuk mengatakannya. Katakan sajalah. Apakah masalah uang" Uang lagi. Uang lagi. Hartomo semakin merasa kesal. Perempuan satu ini pikirannya hanya berkisar di materi dan uang. Orang yang senang, dianggap sedang dapat rezeki. Orang yang mengatakan sedang ada masalah, dianggap sedang mengalami kesulitan uang.
Aku mendapat surat dari kampung halamanku, Lis. Dalih yang sejak tadi sudah di ujung lidah, tercetus juga akhirnya. Tentu saja itu bohong belaka. Tetapi, tujuannya benar karena ia ingin mengatakan kepada Lilis bahwa di kampungnya ia sudah mempunyai istri.
Kebenaran itu harus diungkap, meskipun itu bukan demi menjunjung kejujuran.
Surat dari ibumu" Bukan hanya dari ibuku saja... tetapi... ah, sulit aku mengatakannya.... Hartomo mulai merasa ragu. Sungguh, ternyata tidak mudah mengungkapkan kenyataan itu. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin menyakiti hati Lilis.
Bukan dari ibumu saja" Lalu dari siapa lagi" Lilis menyipitkan matanya, menatap tajam bola mata Hartomo. Jangan berahasia-rahasiaan terhadapku, Mas.
Terus terang aku khawatir kau marah dan menganggapku laki-laki busuk kalau aku mengatakannya.
Selain dari ibumu, memangnya surat itu dari siapa sih, Mas" Lilis mulai lagi dengan kebiasaannya menuntut jawaban dan mendesak orang untuk cepat bicara. Kelihatannya kok misterius.
Kalau aku mengatakannya dengan terus terang, apakah kau mau mendengarkan penjelasanku dengan kepala dingin"
Ya, Lilis menjawab, penuh rasa ingin tahu. Bahkan dengan rasa cemburu yang tiba-tiba membakar hatinya. Apakah surat itu dari mantan kekasihmu di kampung"
Bukan. Lalu dari siapa, kalau begitu.
Dari... istriku. Suara Hartomo terdengar pelan, namun mampu menyebabkan mulut Lilis jadi ternganga. Mas, jangan bergurau tentang hal-hal yang tidak
lucu seperti itu, ah, komentar Lilis dengan mata tak berkedip menatap lurus-lurus wajah Hartomo.
Aku tidak bercanda, Lis. Aku mengatakan yang sebenarnya.
Lilis terdiam dengan seketika. Wajahnya tampak agak pucat. Melihat itu lekas-lekas Hartomo meraih kembali perhatian gadis itu.
Maafkan aku, Lis, pasti berita yang sebetulnya tak ingin kuceritakan dan terpaksa kubuka ini akan melukai dirimu. Aku memang sudah menikah dengan perempuan pilihan ibuku. Tetapi sama sekali aku tidak mencintainya. Setelah beberapa bulan hidup dalam pernikahan yang sangat menekan perasaan, aku pun melarikan diri ke Jakarta. Nah, sebelum aku bermaksud melamarmu, kutulis surat ke kampung, minta izin untuk menceraikan istriku. Tetapi ibuku marah sekali sehingga beberapa hari ini aku merasa bingung dan resah.... Dengan fasih Hartomo merangkai cerita antara kebenaran dengan kebohongan. Kalau dia tidak mau dicerai, bagaimana jadinya hubungan kita ini, kan" Aku tidak ingin menempatkan statusmu sebagai istri kedua, meskipun aku tidak akan kembali ke kampung.
Lilis yang sejak tadi menatap bibir Hartomo dengan tatapan tajam agar tak ada perkataan yang terlewat dari pengamatannya, mulai merasa dadanya bergemuruh hebat dan perasaannya menjadi kacau-balau. Betulkah yang didengarnya itu"
Mas... apakah semua yang kudengar itu betul-betul suatu kenyataan ataukah kau sedang menggodaku" tanyanya, lama kemudian.
Aku mengatakan hal yang sebenarnya, Lilis. Tunggu, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu.... Usai bicara seperti itu, Hartomo masuk ke kamarnya. Baru kali itu ia merasa berterima kasih kepada ibunya karena foto perkawinannya dengan Ratih disusupkan ke kopernya ketika akan berangkat ke Jakarta enam tahun yang lalu. Kemarin-kemarin, ia merasa kesal kepada sang ibu yang seperti mau mengatakan bahwa di kampung ia bukan hanya mempunyai ibu saja, tetapi juga seorang istri.
Lihat, Lis, ini bukti bahwa aku tidak mengarang, kata Hartomo begitu keluar dari kamarnya. Sehelai foto diperlihatkannya kepada Lilis.
Melihat bukti yang begitu nyata itu, Lilis menangis. Hatinya hancur berkeping-keping dan harga dirinya tercabik-cabik.
Kenapa Mas Tom baru mengatakannya sekarang" Kenapa tidak dulu-dulu" tanya Lilis, terisak. Kau... kau... tidak jujur kepadaku, Mas.
Hati Hartomo tersentuh. Yah, ia bukan hanya tidak jujur, tetapi juga telah menjalin cerita bohong agar bisa secepatnya terlepas dari Lilis. Hatinya merasa sedih karena sejak berada di Jakarta, kehidupannya memang penuh kepalsuan dan kebohongan. Tetapi kalau tidak demikian, bagaimana ia bisa melayari kehidupannya di Jakarta ini" begitu ia membela diri, seperti anak kecil. Tidak sadar bahwa ia yang menabur, dan ia sendiri yang menuai. Siapa yang menabur bibit baik, ia yang menuai buah yang segar. Sebaliknya, siapa yang menanam bibit rusak, ia yang akan menuai buah busuk.
Maafkan aku, Lis. Aku memang bersalah kepadamu dan kepada keluargamu, katanya dengan rasa iba. Tangannya mengelus bahu Lilis yang sedang terguncangguncang oleh sedu-sedannya. Semula, aku akan menceraikan istriku dengan diam-diam dan lalu membangun rumah tangga baru yang penuh cinta dan kasih sayang. Tetapi surat dari kampung itu...
Jangan sentuh aku, dengan galak Lilis memotong perkataan Hartomo sambil mengibaskan tangan lakilaki itu dari bahunya. Aku betul-betul malu pada diriku sendiri, berpacaran dengan suami orang seakan ti-dak ada pemuda lajang di dunia ini. Apa nanti kata keluargaku kalau mengetahui hal ini" Apa nanti kata teman-temanku" Menyesal sekali telah kubiarkan diriku berkenalan denganmu.
Lilis... Stop. Jangan mencari pembenaran diri lagi! Lilis menghentikan bicara Hartomo sambil bangkit dari tempat duduknya. Mulai detik ini, aku akan keluar dari kehidupanmu dan tidak akan pernah kembali lagi. Aku tidak ingin menyakiti hati perempuan lain. Lupakan diriku, lupakan segala hal yang pernah terjadi di antara kita.
Usai bicara seperti itu, Lilis menepis air matanya. Kemudian tanpa menoleh ia meraih tasnya, dan bergegas berlari ke luar bagaikan dikejar anjing.
Melihat itu Hartomo merasa tidak enak. Ia berdiri dan cepat-cepat mengejar Lilis.
Lilis, tunggu dulu! teriaknya hingga di luar. Kuantar pulang, ya" Sebentar lagi senja turun.
Tidak. Lilis memenggal perkataan Hartomo. Aku berani pulang sendiri. Banyak taksi di ujung jalan sana.
Mobilmu" Biar saja di situ. Kalau perlu, bakarlah. Tetapi jangan coba-coba mengejarku. Aku jijik kepadamu!
Mendengar perkataan Lilis, hati Hartomo terpukul telak. Kalau mau jujur dan kalau mau mengingat-ingat ajaran ibunya mengenai budi pekerti di masa lalu, seharusnya ia juga merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Tidak memedulikan kesetiaan, mau melepaskan diri dari tanggung jawab, tidak punya komitmen, pembohong dan... banyak lagi.
Lilis, izinkan aku mengantarmu, katanya dengan perasaan sedih. Dia telah menyakiti hati seorang gadis muda yang berumur enam tahun lebih muda darinya.
Tetap berdiri di situ dan jangan mengejarku. Sudah kukatakan, aku jijik melihatmu. Kau laki-laki yang tak bertanggung jawab dan tak berani bersikap jujur. Huh... menyesal sekali aku berkenalan denganmu!
Langkah kaki Hartomo terhenti, tak berani lebih maju lagi. Ia merasa khawatir kalau-kalau Lilis berlari tanpa melihat jalan. Ada banyak motor lewat di depan rumah.
Baiklah. Tetapi sebelum kau pergi, aku ingin mengatakan suatu kebenaran kepadamu. Percayalah, bahwa sedikit pun aku tidak bermaksud mempermainkan dirimu! teriaknya dengan tulus.
Lilis menghentikan larinya. Dia berbalik dan dengan gerakan kasar menghapus pipinya yang basah. Meskipun hatinya hancur, ia masih mendengar nada tulus dalam perkataan Hartomo. Tetapi itu tidak berpengaruh pada dirinya.
Ya, boleh jadi ucapanmu itu benar dan keluar dari lubuk hatimu, sahutnya. Tetapi aku tidak bisa memaafkanmu. Sebelum kita berpisah, aku ingin berpesan kepadamu. Janganlah menjadi orang yang tidak punya rasa tanggung jawab, lari begitu saja dari rumah. Apa pun alasannya, pada kenyataannya kau telah bersedia menikah. Jadi seharusnya sebelum pergi meninggalkan istrimu, kauurus lebih dulu perceraian kalian secara baik-baik dengan sikap kesatria. Jangan bersikap pengecut seperti itu. Setidaknya, istrimu bisa menikah lagi dengan laki-laki lain yang lebih baik.
Mendengar perkataan Lilis, Hartomo merasa seperti ditampar keras-keras. Seluruh perkataan yang didengarnya dari mulut yang biasanya bersuara manja itu tepat sekali. Bahkan ia mulai merasa bersalah terhadap Ratih. Kemungkinannya untuk menikah dengan lakilaki lain yang lebih baik terhambat karena ketidakjelasan statusnya. Sungguh, apa yang dikatakan Lilis tadi tak ada salahnya sedikit pun. Karenanya dengan sikap takzim kepalanya mengangguk.
Terima kasih atas nasihatmu, Lis, sahutnya dengan rasa malu.
Lilis tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. Pelan-pelan ia membalikkan tubuhnya, bergegas menjauhi rumah Hartomo dan tak berapa lama kemudian lenyap ditelan bayang-bayang senja yang mulai turun.
Lesu, Hartomo kembali masuk ke rumah. Tidak salah kalau Lilis merasa jijik kepada laki-laki seperti dirinya ini. Bahkan seharusnya ia juga merasa jijik pada dirinya sendiri. Laki-laki macam apa dirinya" Apa yang masih bisa dibanggakannya" Sejak kakinya menginjak kota Jakarta hingga enam tahun kemudian, tak satu pun yang berhasil diraih dengan usahanya sendiri. Kalau bukan informasi dari kenalan Mbak Hartini, mana mungkin ia mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan ini" Namun sekarang ia telah membahayakan lahan mata pencariannya sendiri. Hati putri presiden direktur tempat ia mencari sesuap nasi telah terluka olehnya.
Tetapi jauh di dalam hatinya, Hartomo masih ingin membela dirinya sendiri. Sedikit pun dia tidak bermaksud menyakiti hati Lilis. Bahkan ketika meninggalkan ibu dan istrinya, dia juga tidak bermaksud menyakiti hati mereka. Dia hanya ingin mencari perubahan hidup demi kebahagiaan yang tidak pernah didapatnya di kampung halaman. Apakah itu salah"
S UATU hal yang paling melegakan Hartomo adalah
sikap Pak Hidayat kepadanya tidak berubah. Laki-laki paro baya itu selalu bersikap profesional, bisa memisahkan antara urusan pribadi dengan urusan kantor. Begitu yang dipikirkan oleh Hartomo. Sama sekali dia tidak tahu bahwa ayah Lilis justru merasa lega karena hubungan cinta putrinya dengan Hartomo telah berakhir. Dia yakin sekali, pasangan itu tak mungkin bisa hidup dengan harmonis dan bahagia jika mereka jadi menikah. Lilis amat manja dan biasa hidup senang. Hartomo jelas tidak mungkin memenuhi kebutuhan putrinya itu. Sedangkan jika laki-laki itu diberi fasilitas demi menyenangkan anaknya, dia pasti akan menolak. Pak Hidayat sudah mengenali sikap hidup Hartomo yang tidak suka diberi sesuatu yang bukan hasil keringat sendiri.
Delapan Sepeninggal Lilis dari kehidupannya, Hartomo mulai lagi mengalami kesepian. Harus diakuinya, meskipun sering menjemukan, tetapi celoteh Lilis bisa sedikit mengusap kesepiannya. Memang, sekarang ini perasaannya menjadi amat lega bisa terlepas dari gadis yang ia yakin tidak mungkin bisa saling berbagi kebahagiaan di dalam perkawinan bersamanya. Namun setiap ia melihat pasangan yang kebetulan melintas di dekatnya, hati Hartomo terasa perih. Tidak ada yang menemaninya berbagi suka dan duka. Tak ada orang yang memberinya semangat juang padanya.
Pada dasarnya, Hartomo menyukai kehidupan yang tenang, damai, sejahtera, dan hidup di dalam perkawinan yang bahagia di mana dia dan istrinya saling mencintai, saling mendukung, saling mengisi, dan memperkaya hidup masing-masing pihak sebagaimana yang dilihatnya ada pada kehidupan perkawinan Wisnu dan istrinya. Dan kehidupan perkawinan semacam itu tak mungkin didapatnya dari Ratih maupun Lilis. Karenanya dia berharap bisa segera berjumpa dengan seorang gadis sebagaimana yang diidamkannya itu. Baru setelah itu perceraiannya dengan Ratih akan ia urus dengan sebaik-baiknya. Betul seperti kata Lilis, Ratih berhak mencari kebahagiaannya dengan laki-laki lain. Sedemikian meluap hasrat itu sehingga dia menganggap perjumpaannya dengan Tety merupakan awal dari terbukanya jalan ke arah kebahagiaan yang dicita-citakannya. Tanpa berpikir panjang dan tanpa pertimbangan matang lebih dulu. Padahal sesungguhnya intinya sama,
tetap saja Hartomo belum belajar untuk memperbaiki pola pikirnya.
Gadis bernama Tety itu dikenal Hartomo secara kebetulan. Ketika itu hujan lebat tiba-tiba turun saat ia baru saja keluar dari supermarket. Dengan perasaan kesal, terpaksalah ia berdiri di emperan gedung, menunggu hujan berhenti. Saat-saat seperti itu ia berpikir, betapa senangnya andaikata ia mampu mencicil kendaraan roda empat. Bukan motor seperti yang selama ini menjadi kendaraannya, yang hari ini sedang dipinjam temannya.
Sedang berpikir seperti itu ia merasa tangannya disenggol seseorang. Hartomo menoleh. Fredy, kenalan lamanya, berdiri di dekatnya. Seorang perempuan muda yang berpenampilan menarik, ada di sampingnya. Kau menunggu hujan reda, Tom" sapa Fredy. Ya. Kau juga baru selesai belanja rupanya. Hartomo tersenyum, memandang ke arah kantong-kantong plastik yang ada di tangan kedua orang di hadapannya itu.
Ya, tetapi aku tidak mau hanya berdiri di sini menunggu hujan berhenti, goda Fredy. Bisa-bisa besok baru sampai rumah.
Wah, kau mengharapkan yang buruk saja, Fred. Tidak begitu buruk. Kesempatan bagimu untuk berkenalan dengan adikku. Fredy tertawa untuk kemudian menoleh ke arah adiknya. Tety, kenalkan ini temanku, Hartomo. Kami dulu bekerja di kantor yang sama sebelum aku pindah ke tempat yang sekarang.
Hartomo mengulurkan telapak tangannya ke arah Tety yang langsung menyambutnya.
Ini adik betul ataukah adik ketemu gede" Hartomo ganti menggoda.
Kalau adik ketemu gede pasti sudah sejak tadi-tadi bahunya kurangkul dalam cuaca dingin begini. Fredy tertawa renyah. Tety ini betul-betul adik kandungku, Tom.
Hartomo tersenyum manis ke arah Tety, yang segera membalasnya. Laki-laki itu sempat melihat dua lesung pipi di pipi kiri dan kanan Tety. Manis sekali wajah gadis itu.
Rukun sekali kalian berdua.
Terpaksa, sahut Tety sambil tertawa. Kalau bukan karena Ibu yang menyuruh kami belanja, belum tentu aku mau pergi bersama Mas Fredy. Dia rewel, Mas!
Ketiga orang itu tertawa. Suasana menjadi lebih santai.
Kau naik apa, Tom" tanya Fredy, setelah tawa mereka tertelan udara.
Naik Trans Jakarta. Motorku dipinjam teman. Tom, kau tahan berdiri di sini sampai besok" Fredy menggoda lagi. Kalau tidak, ayo kuantar pulang sekalian.
Wah. Gaya sekali kau, Fred. Sudah bisa beli mobil.
Menghina, ya" Mobil kakak iparku, tahu" Fredy tertawa lagi. Ayo, sebelum aku berubah pikiran dan lalu kutinggal kau biar tetap berdiri di emperan sampai besok.
Begitulah, akhirnya Hartomo ikut kedua kakak-beradik itu. Telah setahun lamanya Hartomo dan Fredy berpisah. Senda-gurau dan ejek-mengejek mewarnai sore berhujan lebat itu. Bagi Hartomo, itulah sore bersejarah karena sejak saat itu mereka sering berjumpa dan akhirnya Tety menjadi pacarnya. Fredy tidak keberatan karena selama bekerja di kantor yang sama, ia melihat Hartomo termasuk laki-laki yang baik dan menyenangkan. Dari pihak Hartomo, dia merasa menemukan mutiara pada diri Tety. Gadis itu berbeda dengan Lilis. Dia tidak mendewakan materi sebagaimana halnya Lilis, namun penampilannya tetap penuh gaya. Pembawaannya kalem dan sikapnya menunjukkan kematangan pribadinya. Dan lebih dari itu, Tety enak diajak bergaul. Cerdas, terpelajar, dan pandai bergaul. Singkat kata, ia yakin Tety akan menjadi istri yang cocok untuknya. Maka berkobar-kobarlah api asmara keduanya. Sedemikian cepatnya menyala sampai akhirnya juga lebih cepat padam. Namun bagi Hartomo, itu tidak penting. Menurutnya, memang seperti itulah yang namanya cinta. Sesudah bara api berkobar, maka yang tinggal adalah ketenangan dan situasi yang lebih kondusif. Bagi mereka, terutama bagi Hartomo, kebersamaan yang menyenangkan di antara mereka berdua lebih penting daripada cinta yang berkobar-kobar dan menggebu. Mereka cocok satu sama lain. Mereka bisa saling berbagi cerita. Itu sudah jauh lebih dari cukup.
Satu-satunya hal yang menyebabkan Hartomo merasa agak terganggu terkait dengan hubungan mereka adalah kehangatan Tety. Menurutnya, kehangatan itu
agak berlebihan. Bahkan sering kali ia bertanya-tanya sendiri tentang keberanian Tety mengungkapkan kasih sayang kepadanya. Kalau mereka berpelukan, tangan gadis itu tidak hanya memeluk lehernya saja, tetapi juga merayap ke balik kemejanya dan mempermainkan bulu-bulu di dadanya. Bahkan acap kali juga terasa seperti mengundangnya untuk melakukan yang lebih dari itu sehingga Hartomo sering tergoda untuk melangkahi pagar larangan. Untungnya pengalamannya dengan Mbak Hartini yang sering membuatnya malu pada diri sendiri itu menjadi senjata baginya untuk mengalahkan hasrat tersebut.
Sikap dan gelagat Tety yang sedemikian itulah yang acap kali menimbulkan pertanyaan di hati Hartomo. Jangan-jangan gadis itu sudah berpengalaman dalam bercinta. Tetapi Hartomo mengusir rasa kurang puasnya dengan menoleh pada diri sendiri. Kenapa dia berharap Tety sesuci bidadari seperti Ratih ketika baru dinikahinya, kalau dirinya juga bukan seperti malaikat setelah apa yang pernah dilakukannya bersama Mbak Hartini" Jadi apa kelebihan dirinya sendiri dibanding gadis itu"
Pikiran seperti itu mengembalikan Hartomo pada kenyataan bahwa dibanding Ratih dan Lilis, Tety masih memiliki banyak kelebihan. Kekurangan-kekurangannya bisa tertutupi oleh kelebihannya itu. Lagi pula, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, bukan" Dengan pemikiran baru itu, Hartomo mulai memantapkan diri untuk meningkatkan hubungan mereka ke dalam wadah perkawinan. Kelak secara pelan-pelan ia akan
berbicara dari hati ke hati dengan Tety mengenai keberadaan Ratih, sekaligus juga berharap bisa mengurus perceraianmya dengan istrinya itu secara baik-baik tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Maka kehidupannya di masa depan pastilah akan lebih menyenangkan.
Sementara itu di kota yang sama, perempuan yang melintasi pikiran Hartomo tadi juga sedang memikirkan keberadaan laki-laki itu. Hatinya sedang sangat gelisah karena sampai detik ini tidak ada berita sedikit pun mengenai keberadaan suaminya itu. Putus asa sudah mulai meliliti hatinya. Tahun demi tahun yang telah berlalu dalam kehidupannya selama ini tetap saja menyembunyikan laki-laki itu darinya. Masih hidupkah dia" Kalau masih, ada di manakah laki-laki itu" Bagaimana pula keadaannya" Jika sudah tidak ada, apa yang terjadi dan di mana kuburnya"
Memikirkan berbagai kemungkinan tersebut, belakangan ini Ratih sering meneteskan air matanya yang mahal. Bertahun-tahun lamanya pahit-getirnya kehidupan telah dirasakannya. Selama ini pula pedih dan dukanya yang paling dalam telah disembunyikannya dari mata Bu Marta maupun dari mata banyak orang. Tetapi sekarang dalam keadaan yang tak tertahankan ini, masih akan tetap kuatkah ia menyimpan derita itu sendirian" Terutama jika keadaan tetap begini-begini saja, menanti sesuatu yang tidak jelas" Lebih-lebih masalah yang terjadi di tempat pekerjaannya belakangan ini ikut pula menambah daftar panjang kesesakan hatinya. Selama ini godaan demi godaan telah dihindarinya dengan
selamat kendati meninggalkan luka di hatinya. Apa pun yang bisa dijelaskan kepada mereka-mereka yang hanya sekadar ingin tahu hingga mereka-mereka yang menaruh kecurigaan dan tuduhan bahwa ia sedang mencoba meraih hati Pak Dody, dapat dijelaskannya dengan baik. Memang tidak sepenuhnya berhasil, tetapi paling tidak sebagian di antara mereka mulai mengerti duduk perkara sebenarnya. Begitupun ia mencoba menghadapi fitnah yang terjadi di belakangnya dengan arif dan tetap rasional. Segala gunjingan tentang dirinya ditangkisnya dengan kenyataan bahwa sampai sekarang ia masih tetap bekerja dengan sesempurna mungkin demi kepercayaan yang diberikan kepadanya, tanpa terpengaruh oleh ocehan orang-orang itu. Toh pada kenyataannya pula ia masih tetap menjadi karyawan pabrik dan tidak menjadi bagian dari keluarga Bu Susi sebagaimana perkiraan mereka.
Selama ini, dengan lapang dada Ratih mau mengakui bahwa inilah kelemahan manusia. Sudah jamak jika insan yang terdiri dari darah dan daging lebih mementingkan kebutuhan jasmaninya daripada hal-hal bersifat luhur yang menyangkut dunia batinnya. Sifat ingin tahu dan kepuasan dapat bercerita mengenai halhal yang orang lain belum tahu, kemudian juga sifatsifat dengki, iri, dan tidak suka dikalahkan bisa menjadi bahan pembicaraan hangat yang tidak ada habis-habisnya. Apalagi jika itu mengenai seorang janda muda seperti dirinya yang kebetulan memiliki kecakapan bekerja, disayangi Bu Susi, dan disukai Pak Dody pula.
Tetapi meskipun demikian, lama-kelamaan Ratih merasa amat lelah menenggang perasaan orang, sementara perasaannya sendiri tidak ada yang menenggangnya. Apalagi belakangan ini Pak Dody yang beberapa waktu lalu menuruti sarannya untuk menjauhinya, terutama jika ada di sekitar pabrik, seperti lupa untuk memedulikan perasaan Ratih. Kedatangannya ke pabrik sebelum jam kerja bubar, semakin sering dilakukannya sehingga Ratih hampir-hampir kewalahan menghadapinya. Susahnya, ia belum menemukan cara yang tepat untuk melepaskan diri dari kedekatannya dengan Pak Dody. Dia tidak bisa bersikap keras seperti ketika menghadapi Pak Mardi atau Brata di kampungnya dulu. Pak Dody menaruh hati padanya bukan demi kesenangan atau untuk dijadikan sebagai perempuan simpanan seperti mereka. Pak Dody mencintainya dengan seluruh hatinya. Jadi mana mungkin ia bersikap kasar terhadap orang yang menempatkannya sebagai perempuan istimewa itu" Ironisnya, perhatian yang Pak Dody berikan kepadanya dan juga kelembutannya dan kemesraannya, telah memunculkan rasa rindunya terhadap Hartomo. Keinginannya untuk dimesrai seperti di awal-awal pernikahan mereka begitu menyiksanya melebihi waktu yang sudah-sudah. Sering di malam-malam yang sepi, ia tak mampu lagi mencegah air mata mengaliri wajahnya dan membasahi bantalnya. Luar biasa pedih hatinya. Sosok Hartomo yang selalu menjadi buah mimpi dan anganangannya itu bagai ditelan bumi. Acap kali ia bertanyatanya sendiri, tidakkah laki-laki itu merasa bahwa istrinya sangat kehilangan dirinya"
Kemelut yang terjadi di hati Ratih, lambat-laun mulai memengaruhi sikap dan pekerjaannya. Ia sering menyendiri dan jadi pendiam. Kalau diajak teman-temannya makan siang sama-sama, ia selalu menolak. Tetapi kalau Pak Dody yang mengajaknya makan siang, Ratih jarang menolak. Padahal ia lebih suka makan sendirian. Padahal diajak Pak Dody makan itu bukan keinginannya. Namun itulah yang diperhatikan secara cermat oleh Endang, yang pada dasarnya sangat iri terhadap Ratih. Ia mulai meniupkan lagi gosip yang sudah mulai menghilang sehingga desas-desus itu pun muncul kembali di sekitar pabrik. Bahkan lebih seru.
Sebetulnya alasan Ratih sering makan siang bersama Pak Dody sederhana saja. Jika ada orang yang mau bertanya dengan terus terang kepadanya, ia juga akan menjawab apa adanya sesuai kenyataan. Bahwa ia tidak tega menolak ajakan laki-laki itu.
Dik Ratih, kau boleh menolak cintaku. Bahkan boleh membenciku. Tetapi jangan menolak ajakanku untuk makan siang, begitulah antara lain yang diucapkan oleh Pak Dody dengan suara memohon. Jauh-jauh dari kantorku aku datang supaya bisa makan siang bersamamu. Sebab makan sendirian sungguh tidak enak rasanya. Lagi pula, ini cuma makan saja demi kebutuhan perut. Bukan jalan-jalan atau yang semacam itu.
Ratih si lembut hati itu mana tega menolak permintaan yang diucapkan dengan penuh perasaan itu. Namun bagaimana menjelaskannya pada rekan-rekan sekerjanya" Apalagi telinganya sudah pula mulai lagi mendengar sindiran-sindiran ringan yang membuat perasaannya semakin tertekan kendati kebanyakan di antara mereka hanya menggodanya saja. Penjelasan-penjelasan untuk mereka yang bertanya secara langsung kepadanya masih bisa ia lakukan dan lumayan ada gunanya juga.
Namun sayangnya, ketika Sri, teman sekerja Ratih, sedang berkunjung ke rumahnya di suatu hari Minggu, tiba-tiba saja Pak Dody juga datang ke sana. Laki-laki itu baru saja pulang dari Medan dan ia membawa beberapa macam oleh-oleh. Antara lain kue bika ambon dan sirup markisa. Karena oleh-olehnya cukup banyak, Pak Dody menyisihkannya untuk Sri.
Buat anakmu, Dik Sri. Sri yang merasa senang bisa memberi oleh-oleh pada anaknya dan bahkan masih ada sisa kue bika ambon untuk bekal ke tempat bekerja, membagikannya pada teman yang bekerja di kiri dan kanannya. Ia bercerita bahwa kue itu oleh-oleh Pak Dody ketika bertemu di rumah Ratih. Dia tidak berpikir panjang bahwa ceritanya itu berbuntut panjang. Akibatnya, mereka yang semula bersikap netral terhadap Ratih berbalik menilai negatif. Bahkan ada yang menilainya munafik.
Pura-pura tidak suka, tetapi mau, begitu antara lain sindiran yang pernah didengar Ratih.
Dalam kondisi lelah lahir-batin dan putus asa menghadapi masa depannya yang tidak jelas, desas-desus dan sikap teman-teman sekerjanya menyebabkan tekanan yang semakin berat di dada Ratih. Malangnya, ia tidak lagi mampu berpikir apa pun untuk mengatasinya sebagaimana biasa. Akibatnya, semua itu mulai berpengaruh pada pekerjaannya. Dia tidak lagi secekatan seperti biasanya. Hasil jahitan dari berbagai bagian banyak yang masih menumpuk di meja kerjanya. Ia belum sempat menyortirnya, meski belakangan ini sudah dibantu oleh dua orang baru. Pendek kata, ada banyak hal yang menyebabkan pekerjaan Ratih jadi keteter. Padahal belakangan ini jumlah pesanan semakin meningkat. Melihat keadaan itu, Bu Susi tidak bisa tinggal diam. Ketika pemilik perusahaan itu melintas di dekat Ratih, dimintanya wanita itu datang ke ruang kerjanya. Kebetulan Endang mendengarnya. Ratih sempat melihat senyum sinis dan kerling tajam yang dihunjamkan gadis itu kepadanya. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikannya, tetap saja hatinya terasa sakit. Rasanya seluruh dunia sedang menghukumnya.
Bu Susi juga sempat melihat senyum dan kerling mata Endang yang tidak enak dipandang. Ia memahami apa sebabnya. Sudah menjadi rahasia umum, gadis itu mengharapkan perhatian adiknya. Bahwa perhatian adik lelakinya itu lebih tercurah kepada Ratih, tentulah Endang yang sudah jauh lebih lama bekerja di perusahaan ini merasa terabaikan.
Sebenarnya, Bu Susi sendiri tidak menyukai perhatian Pak Dody tertuju pada siapa pun di antara kedua karyawan tercantik di perusahaannya itu. Ia merasa keberatan jika sang adik mendapat istri yang tidak setara dengan derajat keluarganya yang berdarah ningrat dan merupakan keluarga baik-baik jika ditinjau dari segi bibit, bebet, dan bobot. Meskipun Ratih cantik molek, sopan santun, halus tutur bahasanya, cerdas,
rajin bekerja, dan bisa diserahi kepercayaan, tetapi latar belakang keluarganya tidak sepadan dengan latar belakang keluarga besarnya. Sudah begitu, Ratih bukan seorang gadis, tetapi janda. Janda cerai pula. Pendidikannya pun tidak setara dengan adiknya yang S-3 lulusan luar negeri. Sungguh tidak sebanding. Begitu juga halnya dengan Endang. Meskipun gadis itu sangat manis dan masih gadis, namun juga tidak sepadan dengan adik lelakinya itu. Endang memang cekatan, rajin, dan pandai memadukan warna serta memotong pakaian dengan rapi. Hasil pekerjaannya memuaskan. Sudah begitu, juga ringan tangan. Gadis itu pernah menawarkan dirinya untuk membantu mengasuh anaknya ketika baby sitter-nya sakit. Namun juga bukan gadis seperti Endang yang pantas menjadi adik iparnya. Begitu jalan pikiran Bu Susi.
Bu Susi memang termasuk orang yang berpikiran maju dalam hal mengembangkan perusahaannya. Sebagai majikan, ia juga patut dicontoh. Sabar, baik, bijaksana, mampu melihat bakat masing-masing karyawan dan menempatkan mereka pada bagian dan tempat yang tepat. Tetapi dalam soal-soal perjodohan, ia masih sama seperti pola pikir orang-orang di zaman kakekneneknya, bahkan buyutnya, mengenai kriteria bibit, bebet, dan bobot seseorang. Namun demikian, ia tidak berani menentang pilihan adiknya. Dia tahu betul, beberapa kali Dody mengalami kekecewaan dengan gadisgadis yang memiliki asal-usul keluarga sepadan dengan keluarga mereka. Dia juga tahu mengapa sekarang adiknya mulai menebarkan pandangannya ke wilayah yang
berbeda dengan lingkup pergaulannya selama ini. Oleh karena itu, ia tidak berani ikut campur dalam urusan pribadi lelaki itu. Oleh sebab itu, ketika mendengar desas-desus tentang hubungan sang adik dengan Ratih, ia terpaksa diam saja. Tetapi ketika pekerjaan Ratih mulai terlihat mundur, Bu Susi tidak bisa tinggal diam lagi. Ini sudah menyangkut prestasi dan nama baik perusahaan. Bahkan bisa menjadi contoh buruk bagi karyawan-karyawan lainnya. Lebih-lebih bagi para karyawan baru. Karenanya ia terpaksa memanggil Ratih masuk ke ruang kerjanya.
Ketika Ratih masuk menghadap kepadanya, Bu Susi melihat jelas bagaimana perempuan itu tidak seceria biasanya. Bahkan tatapannya tampak lesu dan samarsamar terlihat lingkaran hitam di bawah matanya. Pasti perempuan itu sering kurang tidur. Menghadapi karyawan yang perasa dan lembut hati seperti Ratih, ia harus bersikap hati-hati.
Duduklah, Ratih. Bu Susi menunjuk kursi yang ada di muka meja tulisnya yang besar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan secara empat mata denganmu.
Ratih, yang sudah bisa menduga mengapa ia dipanggil menghadap Bu Susi, merasa resah. Wajahnya agak pucat. Dalam hati ia menyadari kesalahannya. Seharusnya ia tetap bisa memisahkan antara pekerjaan dengan urusan perasaan pribadi, seperti biasanya. Apalagi selama ini ia selalu memperlihatkan semangat kerja yang bagus dan hasil pekerjaan yang prima. Sejujurnya ia mengakui bahwa belakangan ini ia seperti kehilangan pegangan, nyaris mengabaikan bahwa di tempat inilah
nafkahnya tergantung. Lupa bahwa hal seperti itu bisa merugikan perusahaan dan membahayakan mata pencahariannya sendiri.
Ratih, boleh aku berterus terang kepadamu" tanya Bu Susi dengan hati-hati. Ia sudah melihat wajah pucat Ratih. Sebenarnya tak sampai hatinya menegur orang kepercayaannya itu. Tetapi apa boleh buat. Justru karena Ratih bisa diandalkan maka ia harus mengatakannya dengan terus terang apa yang membuatnya merasa prihatin atas hasil kerja wanita itu belakangan ini. Silakan, Bu....
Ratih, belakangan ini aku melihat banyak perubahan yang terjadi pada dirimu. Kau seperti kehilangan semangat. Wajahmu muram, pandang matamu lesu dan sedih. Sikapmu juga tidak seperti biasanya, seakan ada tekanan yang begitu berat pada dirimu. Kita semua tahu, setiap manusia pasti mempunyai persoalan. Tetapi karena keadaanmu itu sudah memengaruhi pekerjaanmu, aku tidak bisa diam saja, kata Bu Susi pelan namun tegas. Kau pasti tahu bahwa kita sedang berpacu dengan waktu mengingat pesanan kita harus selesai sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani, agar kredibilitas kita sebagai perusahaan yang baik dan mantap bisa tetap terjaga. Oleh karena itu, aku sangat mengharapkan pengertian dan bantuanmu untuk menyingkirkan sementara apa pun masalah pribadimu demi perusahaan yang menjadi gantungan banyak orang ini. Selama ini aku telah menaruh kepercayaan yang lebih kepadamu dibanding karyawan lainnya. Tolong, jangan kecewakan aku.
Air mata Ratih menetes saat mendengar teguran halus yang begitu menantang telak rasa tanggung jawabnya yang belakangan ini terabaikan. Ya, ia memang bisa membahayakan perusahaan karena keteledorannya. Andaikata saja Bu Susi memarahinya, mungkin tantangan itu tidak terlalu menohok tepat ke dadanya seperti yang dirasakannya sekarang. Sedih hatinya telah mengecewakan majikannya yang begitu baik.
Ya, Bu. Saya memang bersalah telah melalaikan tanggung jawab yang seharusnya saya junjung. Maafkanlah saya, Bu. Beri saya kesempatan untuk memperbaikinya.... katanya dengan suara pelan. Mulai sekarang saya akan melakukan tugas-tugas saya dengan lebih baik. Bahkan kalau perlu, saya bersedia lembur.
Aku memercayai tekadmu, Ratih. Bahkan aku berterima kasih atas pengertianmu, kata Bu Susi dengan suara lembut. Hatinya tersentuh oleh tekad Ratih. Bahwa perempuan itu agak mengabaikan pekerjaannya, pastilah ada yang menyebabkannya. Ia harus mengetahuinya. Tidak adil kalau menyuruh Ratih tetap bekerja sesempurna biasanya tanpa menggali apa yang sedang dialami oleh karyawan terbaiknya itu.
Sayalah yang harus berterima kasih kepada Bu Susi karena telah menyadarkan saya untuk melaksanakan tugas saya dengan penuh tanggung jawab.
Kewajibankulah untuk mengingatkanmu, kata Bu Susi. Namun rasanya sangat tidak adil kalau aku memintamu bekerja dengan lebih giat sementara aku mengabaikan persoalan pribadimu. Sebagai majikanmu, aku harus bisa menolongmu mengatasi persoalanmu.
Kalau tidak dianggap lancang, bolehkah aku mengetahui masalah apa yang membuatmu tampak tertekan belakangan ini"
Ratih mengangkat wajahnya. Mungkin memang ada baiknya juga menceritakan masalah pribadinya kepada Bu Susi. Terlalu penuh dadanya jika dia menyimpan sendirian apa yang belakangan ini merusak ketenangan hatinya. Tidak mungkin ia menumpahkan kepenuhan itu pada Bu Marta. Pasti ibu mertuanya itu akan bersedih hati lagi.
Yaa... memang ada sesuatu yang sangat menekan perasaan saya, sahut Ratih kemudian.
Apakah itu masalah... uang, Ratih"
Bukan. Ratih menggeleng. Kalau cuma masalah uang, saya bisa meminjam perusahaan kalau memang sangat kepepet. Bukan itu yang menyebabkan saya mengalami tekanan berat begini ini, Bu.
Lalu, apa" Sambil bertanya seperti itu, ingatan Bu Susi lari pada desas-desus yang didengarnya tentang hubungan Ratih dengan adiknya. Apakah memang ada apa-apa di antara mereka"
Ratih menundukkan kepalanya lagi sehingga Bu Susi merasa yakin, masalah yang sedang dihadapi Ratih pasti ada kaitannya dengan adik lelakinya itu. Ia juga tahu, ada orang-orang yang merasa iri karena perhatian istimewa Dody terhadap Ratih. Misalnya, Endang.
Ratih, ayo ceritakanlah kepadaku. Aku akan senang sekali kalau kau mau menaruh kepercayaan kepadaku. Mungkin aku bisa memberimu pandangan-pandangan. Tetapi mungkin juga aku tidak bisa membantumu. Namun setidaknya hatimu yang terasa penuh itu bisa agak longgar karena ada seseorang yang memahamimu dan berharap agar dirimu bisa terlepas dari permasalahan yang sedang kauhadapi. Percayalah, Ratih, aku sungguh-sungguh tulus ingin membantumu.
Baiklah, Bu. Saya akan mencoba untuk mencurahkan isi hati saya kepada Ibu. Paling tidak agar Ibu maklum mengapa belakangan ini saya telah mengecewakan Ibu.
Kuhargai kepercayaanmu, Ratih. Nah, sebelum kau menceritakan masalahmu, aku akan mencoba menebak apa yang mungkin sedang kaualami saat ini. Apakah... kau sedang jatuh cinta, barangkali..."
Tidak, Bu. Dugaan Ibu keliru.
Jatuh cinta itu bukan kejahatan, Ratih. Jatuh cinta adalah sesuatu yang wajar dialami oleh setiap manusia, kata Bu Susi sambil terseyum.
Memang, jatuh cinta adalah sesuatu yang wajar dialami oleh setiap manusia. Tetapi, saya tidak sedang jatuh cinta, bantah Ratih sambil menatap wajah Bu Susi untuk mengetahui reaksi perempuan itu. Percayakah dia pada penuturannya ataukah lebih percaya kepada desas-desus yang beredar di pabrik" Tetapi karena tidak ada komentar apa pun, Ratih melanjutkan bicaranya. Pasti Bu Susi sudah mendengar desas-desus tentang saya dan Pak Dody. Bahkan mungkin juga pernah memergoki saya duduk di samping Pak Dody di dalam mobilnya. Tetapi apa yang terdengar dan terlihat, belum tentu merupakan kenyataan. Saya tidak pernah menaruh perasaan khusus terhadap Pak Dody.
Tetapi bagaimana dari pihak adikku, Ratih" Apakah dia menyukaimu"
Bukan hanya menyukai saja, Bu, tetapi mencintai saya dengan sungguh-sungguh, katanya. Kemudian diceritakannya seluruh kenyataan yang ada, mulai dari keterpaksaannya ikut mobil Pak Dody karena tidak enak menolak terus-terusan di hadapan banyak orang, sampai keinginan laki-laki itu untuk sekadar makan siang bersamanya.
Begitu, rupanya..., Bu Susi bergumam. Tetapi kenapa kau tidak bisa membalas cinta adikku itu, Ratih"
Ada beberapa alasan. Pertama, saya tidak mencintainya. Kedua, saya tidak ingin Pak Dody menjadi bahan ejekan orang karena diri saya. Saya ini siapa dan Pak Dody itu siapa, harus dijadikan bahan pertimbangan. Kami berdua mempunyai perbedaan latar belakang yang sebaiknya tidak dilanggar demi kebaikan semua pihak. Seandainya pun saya mencintainya, pasti saya akan tetap berpegang pada pendirian saya untuk tidak menerima Pak Dody. Saya cukup tahu diri untuk menjaga nama baik Pak Dody...
Jangan berkata seperti itu, Ratih. Bu Susi memotong perkataan Ratih. Ada yang menusuk perasaannya ketika mendengar pengakuan Ratih. Baru saja tadi dia memikirkan perbedaan latar belakang yang disebutkan Ratih dengan gamblang itu. Malu, rasanya.
Itu kenyataan, Bu Susi. Ada banyak gadis lain yang lebih sepadan dengan Pak Dody. Hal itu sudah pula saya katakan berulang kali kepada Pak Dody. Tetapi Pak Dody marah. Bahkan setelah berulang kali pula
saya katakan bahwa saya tidak mencintainya, tetap saja Pak Dody datang dan datang lagi mencari saya. Entah di sini, entah pula di rumah. Aduh, Bu, padahal penolakan saya itu tidak main-main. Saya sama sekali tidak bermaksud bersikap jual mahal atau yang semacam itu. Kalau saya bilang tidak, ya tidak. Tetapi bagaimana mungkin saya menolak ajakannya makan siang, misalnya. Ke mana Pak Dody akan menyembunyikan mukanya kalau saya menolak mentah-mentah ajakannya di hadapan para karyawan Ibu. Pasti beliau akan malu. Saya tidak ingin mempermalukannya. Jadi meski dengan rasa terpaksa, saya mengikuti apa yang diinginkannya, ikut makan siang bersamanya.
Ketika mendengar pengakuan Ratih, rasa bersalah Bu Susi di hatinya semakin menyebar. Dia menyadari bahwa asal-usul tidak ada kaitannya dengan kebijaksanaan seseorang, pikirnya. Melainkan lebih bersifat personal.
Kenapa adikku begitu nekat..., gumamnya pelan. Itulah juga yang sering saya tanyakan di dalam hati. Entah kok bisa-bisanya terpikat pada saya. Kadangkadang saya jengkel juga, Bu. Beliau tidak memikirkan kepentingan saya. Orang yang melihat kami pasti ada saja yang menyangka saya terpukau oleh harta dan kedudukan Pak Dody.
Sekali lagi perasaan Bu Susi tersentuh dan dia menjadi malu karenanya. Apalagi baru sekarang dia mengetahui duduk perkara sebenarnya.
Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Gunjingan, gosip, desas-desus, dan yang semacam itu pasti ada saatnya akan hilang ditelan waktu karena lama-lama orang akan jenuh membicarakan yang itu-itu saja. Jadi, kuharap hal-hal seperti itu tidak sampai mengurangi semangatmu bekerja, Ratih.
Kalau cuma soal itu saja, saya sudah tahan banting kok Bu. Sebelum yang sekarang ini, ketika pertama Pak Dody menaruh perhatian kepada saya, banyak teman yang bergunjing. Apalagi sekarang setelah ada yang tahu bahwa Pak Dody sering datang ke rumah saya.
Ratih, apakah ada laki-laki lain di hatimu" Ya, ada. Itulah sebenarnya yang menyebabkan saya menderita.
Siapa dia, kalau aku boleh tahu" Suami saya.
Suamimu" Bu Susi menaikkan alis matanya. Jadi perceraian kalian tidak menyebabkan cintamu kepadanya hilang"
Bu, sampai sekarang saya masih menjadi istrinya. Sekali lagi alis mata Bu Susi naik ke atas. Pandang matanya menyorot lurus ke arah Ratih.
Kenapa bisa begitu" Sekali lagi kalau kau tidak merasa keberatan, ceritakanlah apa yang terjadi.
Saya justru ingin menceritakannya pada Ibu karena sesungguhnya masalah inilah yang paling membuat perasaan saya tertekan sehingga memengaruhi pekerjaan.
Demikianlah Ratih menumpahkan semua hal yang dialaminya sejak ia masih menjadi anak angkat dan kemudian dilamar Bu Marta untuk anaknya. Bahkan juga mengapa ia dan Bu Marta menyusul ke Jakarta,
meskipun dengan pengetahuan yang sama sekali nol mengenai kota ini.
Daripada saya hanya diam saja di kampung sementara ada beberapa laki-laki yang ingin mengambil saya sebagai istri, bahkan istri yang kesekian, lebih baik saya pergi, kata Ratih. Saya kira kalau Ibu ada di tempat saya, pasti juga akan melakukan hal yang sama.
Bu Susi termangu-mangu mendengar seluruh kisah Ratih, sekaligus juga mengerti mengapa belakangan ini semangat Ratih menurun drastis.
Enam tahun... bukan waktu yang sebentar, Ratih, gumamnya.
Betul, Bu. Semakin lama hati ini semakin tersiksa. Setiap malam saya sering menangis diam-diam... merindukan dia yang entah ada di mana.. sahut Ratih. Air matanya mulai menetes lagi, satu per satu. Hal itulah yang menyebabkan kekuatan hati saya, yang biasanya tahan menghadapi bisik-bisik tidak enak, mulai runtuh perlahan-lahan.
Aku sekarang mengerti perasaanmu, Ratih. Aku tidak bisa membantu apa-apa kecuali menyarankan agar kau tidak membiarkan dirimu tenggelam dalam kesedihan karena bukan hanya tidak ada faedahnya saja, tetapi juga merusak dirimu sendiri. Lahir dan batin. Bahkan juga pekerjaanmu.
Ya, Bu. Saya mengerti, sahut Ratih sambil menghapus air matanya. Tetapi terus terang tidak mudah bagi saya untuk menjalani hidup ini. Setiap melihat pasangan suami-istri dan anak-anak mereka jalan bersama misalnya, perih hati saya hidup sendirian sebagai janda
bukan... sebagai istri orang juga bukan. Semuanya serba tidak jelas... dan gelap....
Bu Susi terdiam sambil menarik napas panjang. Betapa pandai Ratih menyimpan rahasia kehidupannya demi menghindari penilaian negatif orang terhadap suaminya. Sungguh perempuan yang sangat setia, tabah, dan teguh hati terhadap perasaan cintanya. Padahal kalau mau, ia bisa hidup dengan enak. Menikah dengan Dody, misalnya. Wajahnya jelita. Kepribadiannya mengagumkan dan penampilannya sekarang begitu menarik, sangat jauh bedanya dengan Ratih ketika baru masuk bekerja di tempat ini. Padahal enam tahun ditinggal begitu saja oleh suami, sudah cukup memiliki kekuatan hukum untuk mengurus pembatalan pernikahannya dan mengakhiri penantiannya yang sia-sia, untuk kemudian memulai hidup baru yang lebih penuh harapan. Tetapi Ratih memilih tetap menunggu dan menunggu, entah sampai kapan.
Harus diakui Bu Susi, begitu mendengar kisah hidup Ratih, begitu juga rasa benci dan amarahnya terhadap suaminya yang tak bertanggung jawab itu muncul. Jadi, dia memahami mengapa Ratih tidak ingin menceritakan kisah hidupnya itu kepada siapa pun. Kasihan Ratih. Tetapi juga menjengkelkan, karena begitu keras kepala. Cintanya sungguh cinta buta. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia mengubah cinta Ratih dari suaminya, yang sepertinya sengaja tidak ingin diketahui jejaknya itu, kepada Dody. Sedikit pun ia tidak akan ragu lagi untuk menerima Ratih sebagai iparnya, andaikata itu mungkin. Ternyata masalah bibit, bobot, dan bebet
tidak selalu terkait dengan latar belakang keluarga dan darah kebangsawanan seseorang.
Bu Susi..., suara Ratih memecah keheningan di ruang kantor itu.
Ya..." Apakah sebaiknya saya mengundurkan diri dari perusahaan ini agar semua pihak merasa nyaman" Tentu akan saya selesaikan lebih dulu tugas-tugas saya sebelum saya pergi dari sini.
Tidak, Ratih. Itu bukan penyelesaian dan juga bukan begitu caranya melepaskan keruwetan hati yang sedang kaualami. Ini bukan karena aku akan kehilangan karyawanku yang paling kuandalkan dan kupercaya, tetapi ini untuk kebaikanmu sendiri. Tidak mudah bagimu mencari pekerjaan dalam kondisi ekonomi bangsa yang kurang stabil seperti sekarang. Perusahaan ini termasuk beruntung bisa berkembang seperti ini. Aku ingin kau ikut menikmati hasilnya, Ratih. Aku tidak ingin melihatmu susah andaikata keluar dari sini. Jadi jangan terlalu mengikuti emosi-emosi sesaat.
Saran Bu Susi akan saya perhatikan. Terima kasih. Saya akan tetap bekerja di sini sambil melihat keadaan. Tetapi perlu Ibu ketahui, sebetulnya jauh di lubuk hati saya ingin bekerja di rumah saja. Saya mempunyai mesin jahit, meskipun mesin jahit yang sederhana. Tetapi saya bisa menerima upah jahitan. Bahkan jika Ibu setuju, dengan senang hati saya akan membantu Ibu dari rumah apabila kewalahan melayani order.
Keinginanmu itu baik sekali, Ratih. Tetapi sebagus apa pun jahitanmu, tidak mudah mencari langganan
pada awalnya. Pertama, harga pakaian jadi lebih murah daripada menjahitkan pakaian. Kedua, orang masih bertanya-tanya apakah jahitanmu enak dipakai atau tidak. Ketiga, di samping menerima jahitan, kau harus mempunyai keahlian khusus sebagai penjahit. Ada spesifikasi keahlianmu. Misalnya menjahit kebaya, bordir, mewiru kain, atau pakaian pengantin. Pikirkanlah baikbaik lebih dulu sebelum kau menentukan langkah. Ini menyangkut kehidupanmu sendiri lho.
Baiklah, Bu Susi. Memang sebaiknya saya berpikir panjang lebih dulu. Belakangan ini pikiran saya memang sering meloncat-loncat tak menentu, sahut Ratih mengakui. Ia menyetujui apa yang dikatakan Bu Susi. Dalam hal ini dia tidak merasa gentar karena telah mempelajari keahlian semacam itu dari kursus yang diikutinya selama ini.
Aku maklum, Ratih. Kekuatan batin manusia memang ada batasnya. Saat ini kau sedang dalam kondisi labil. Justru karena itulah jangan memutuskan sesuatu yang penting, terutama yang menyangkut kehidupan, dalam keadaan seperti ini. Sedangkan mengenai adikku, nanti akan kuurus supaya tidak mengganggumu lagi. Bersabarlah dulu.
Baik, Bu. Terima kasih, sahut Ratih. Saya benarbenar berutang budi kepada Ibu. Sekali lagi maafkanlah karena saya telah merepotkan Ibu.
Jangan kaupikirkan, Ratih. Sudah kewajibanku untuk ikut memikirkan masalah-masalah yang dihadapi para karyawanku. Saranku, kalau ada gosip atau sindiran-sindiran yang tidak enak, abaikan saja. Seperti kataku tadi, lama-lama mereka akan bosan sendiri kalau tidak kautanggapi.
Sejak pembicaraan dari hati ke hati dengan Bu Susi, hati Ratih mulai lebih tenang. Biarlah anjing menggonggong, kafilah akan tetap berlalu.
L EBIH dari dua minggu lamanya sejak ia dipanggil ke
ruang kerja Bu Susi, Ratih tidak pernah lagi melihat Pak Dody. Tidak di pabrik, tidak pula di rumahnya. Rasa lega mulai merambati perasaannya. Tampaknya Bu Susi berhasil menjinakkan hati adiknya. Begitu pikirnya.
Tetapi di suatu hari ketika dengan tenang Ratih keluar dari pintu gerbang pabrik menuju halte bus, tibatiba saja Pak Dody sudah menghadang perjalanannya. Tanpa berkata apa pun, laki-laki itu langsung membuka pintu mobilnya lebar-lebar. Saat itu sebagian karyawan lain juga sedang berbondong-bondong keluar dari pintu gerbang yang sama. Ratih mengeluh dalam hatinya.
Maaf, Pak Dody, kali ini saya tidak bisa ikut, katanya cepat-cepat. Ada keperluan mendesak yang harus saya selesaikan.
Sembilan Pak Dody tersenyum aneh. Matanya menatap tajam mata Ratih.
Jangan mengada-ada dengan alasan yang sama sekali tak jelas. Naiklah, Ratih.
Maaf, Pak. Sudah saya katakan, ada keperluan mendesak yang harus saya selesaikan.
Kalau memang betul ada keperluan, baik, akan kuantar kau sampai selesai urusanmu. Ke mana pun dan kapan pun. Ah, aku sudah amat kenal dirimu. Tidak bisa berbohong dan hanya bisa membuat alasan yang itu-itu saja. Tidak kreatif, Pak Dody tersenyum kecut. Ayo, naiklah!
Jangan, Pak. Saya... Naik ke mobilku, sekarang! Pak Dody meminta Ratih menurutinya dengan suara tegas. Soal-soal lainnya nanti kita bicarakan. Soal urusanmu, aku juga akan ikut menyelesaikannya. Sekarang, naiklah ke mobilku. Aku tidak ingin menjadi tontonan orang banyak di tempat ini.
Ratih menyadari kebenaran perkataan Pak Dody. Tanpa membantah lagi cepat-cepat ia naik ke mobil laki-laki itu. Diam-diam dia mengeluh lagi di dalam hatinya. Cukup banyak orang yang melihatnya naik mobil Pak Dody. Pasti besok ada gosip baru lagi.
Kau bersekongkol dengan Mbakyu untuk menjauhkanmu dariku, kan" Mendengar suara Pak Dody, Ratih menyingkirkan kegalauannya.
Sekongkol apa" Kau tentu lebih tahu daripada aku mengenai apa bentuk persekongkolan kalian. Tetapi yang jelas,
Mbakyu mengatakan bahwa selama dua minggu ini kau sedang cuti pulang ke kampungmu. Ternyata, aku dibohongi. Kebetulan saja aku ketemu Dik Sri di swalayan. Ketika kutanyakan padanya kapan kau akan kembali dari kampung halamanmu, dia mengatakan bahwa kau belum mengambil cutimu dan setiap hari masih masuk kerja.
Ratih tidak menanggapi perkataan Pak Dody karena dia tidak tahu sama sekali bahwa Bu Susi mengarang cerita seperti itu. Rupanya itu adalah salah satu upaya perempuan itu untuk menjauhkan Pak Dody dari sekitar pabrik. Ah, apakah tidak ada cara yang lain" pikir Ratih. Seberapa pun panjangnya cuti, pasti akan ada saatnya masuk kerja kembali. Dan lalu Pak Dody akan datang lagi dan datang lagi.
Kenapa diam saja" Ada amarah dalam suara Pak Dody.
Saya sedang lelah, tidak ingin berbantah kata yang membuat saya jadi tambah lelah, dalih Ratih dengan suara pelan.
Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar sahutan Ratih, kemarahan Pak Dody surut dengan seketika. Dia teringat semua hal mengenai Ratih yang baru didengarnya dari kakak perempuannya. Tidak semestinya dia marah kepadanya.
Bagaimana kalau kita minum dan mencari camilan sambil beristirahat"
Saya ingin segera pulang, Pak. Pekerjaan saya di rumah banyak. Sudah saya katakan tadi, kan"
Akan kuantar kau sampai di depan pintu pagar rumahmu. Tetapi aku ingin minum teh atau kopi atau
pula yang lain sambil menikmati penganan. Temanilah aku sebentar. Sekali ini saja.
Ratih menarik napas panjang. Dia tahu betul, Pak Dody mencintainya. Sama, seperti dirinya mencintai Hartomo. Salahkah mencintai seseorang" Salahkah kalau Pak Dody mencintainya" Salahkah kalau laki-laki itu tidak bisa menghapus perasaan cinta itu dari hatinya, sebagaimana ia juga tidak bisa menghapus perasaan cintanya kepada Hartomo"
Baiklah..., sahut Ratih setelah pikiran itu melintasi benaknya. Dia boleh saja menolak cinta Pak Dody karena hatinya sudah dimiliki laki-laki lain. Tetapi haruskah juga mengecewakan keinginannya untuk duduk santai menikmati sore yang cerah bersamanya" Kau ingin kita pergi ke mana"
Saya tidak tahu tempat-tempat semacam itu, Pak. Jadi, terserah.
Oke. Bagaimana kalau ke Ancol sambil melihat matahari terbenam" usul Pak Dody.
Saya harus menelepon Ibu dulu supaya beliau tidak menunggu.
Setuju. Cuaca sore hari itu tampak cerah. Langit begitu bersih sehingga warna-warni cahaya mentari tampak jelas memulas langit. Angin sore yang membawa aroma laut tak henti-hentinya membelai rambut, wajah, dan lengan Ratih saat ia duduk di dekat Pak Dody, memandang laut ke arah pantulan warna-warni langit yang tampak berkilauan di permukaan air laut yang bergerak tanpa
henti. Di atas meja, terhidang dua gelas es kopyor dan satu piring aneka makanan kecil.
Ratih, kenapa kau tidak pernah menceritakan tentang dirimu" Suara Pak Dody memecah keheningan di sekitar mereka.
Ratih menoleh ke arah Pak Dody. Kedua pasang mata mereka bertemu. Untuk beberapa detik lamanya Ratih merasa ngeri melihat kemesraan yang begitu kentara tersirat dari bola mata Pak Dody. Ingin sekali ia merenggut perasaan cinta lelaki itu karena ia tak mungkin bisa membalasnya. Kasihan dia.
Cerita yang mana" tanyanya kemudian. Suaranya terdengar lembut.
Semuanya. Selama mengenalmu, tak banyak yang kuketahui tentang dirimu. Kau selalu mengelak kalau aku ingin mengetahui tentang kisah hidupmu. Kalaupun mau bercerita, selalu diirit-irit. Kalau bukan Mbakyu yang bercerita, aku tidak akan pernah mengetahuinya.
Untuk apa Bu Susi menceritakan kisah itu" Ya, untuk apa"
Kemarin, Mbakyu memintaku untuk menjauhimu. Katanya demi kebaikan diriku sendiri maupun demi untukmu. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti hati perempuan.
Apa maksud Pak Dody"
Dengan menceritakan seluruh kisah hidupmu, termasuk menurunnya semangat kerjamu belakangan ini, Mbakyu berharap aku akan menjauhimu. Tidak terpikirkah olehnya, justru semakin aku mengetahui kisah
hidupmu maka aku semakin mengenal dirimu" Dan semakin mengenal dirimu dan mengetahui deritamu, semakin aku ingin mengangkatmu dari penderitaan itu. Jika seorang suami meninggalkan istrinya selama bertahun-tahun, apalagi sampai enam tahun lamanya tanpa memberi nafkah lahir-batin, kau berhak melepaskan diri dari ikatan perkawinan...
Maaf, saya potong..., Ratih memenggal perkataan Pak Dody. Saya rasa Pak Dody telah salah paham menangkap cerita Bu Susi. Justru karena saya masih akan tetap menunggu suami pulang kembali maka sedikit pun tidak pernah tebersit di dalam pikiran saya untuk mengurus perceraian atau pembatalan perkawinan. Pak Dody menggeleng.
Mbakyu menilaimu sebagai perempuan setia, teguh hati, namun keras kepala karena tidak realistis, katanya kemudian. Aku bahkan menilaimu sebagai orang yang hidup dalam mimpi, padahal dirimu ada dalam kehidupan yang nyata. Ratih, Ratih, tidak sayangkah kau pada dirimu sendiri" Sampai kapan kau akan menunggu sesuatu yang tidak jelas" Masa muda manusia tidak lama, Ratih. Akankah kausia-siakan hidupmu sendiri" Aku sungguh-sugguh mencintaimu, Ratih. Aku ingin memberimu kebahagiaan yang barangkali belum pernah kaurasakan di sepanjang hidupmu....
Pak Dody, sudah berulang kali saya katakan bahwa saya tak mungkin membalas cinta Bapak dan tidak mungkin pula hidup bersama Bapak maupun dengan laki-laki lain, siapa pun dia dan sehebat apa pun orang itu. Saya cuma ingin hidup dengan suami saya. Itulah
maka saya tinggalkan kampung karena ada beberapa orang yang selalu mengganggu.
Ratih, Ratih. Aku benar-benar tidak mengerti dirimu. Aku sungguh tulus mencintaimu dan ingin membahagiakanmu. Beberapa hari ini aku disinggahi niat datang ke rumahmu dan minta bantuan Bu Marta untuk menyadarkan dirimu agar lebih realistis dan melihat kenyataan secara rasional. Tetapi ketika mengetahui dari Mbakyu bahwa ternyata Bu Marta itu ibu mertuamu, keinginan itu kubuang jauh-jauh. Aku tidak ingin melukai hati beliau. Oleh sebab itu, kusandera dirimu sore ini agar kita bisa berbicara dari hati ke hati tanpa ada telinga lain yang ikut mendengar.
Pak Dody menyuruh saya realistis. Tetapi bagaimana dengan Pak Dody sendiri" Realistiskah Pak Dody mencintai seorang perempuan bersuami, yang tidak bisa membalas perasaan itu" Sedih dan perih sekali hati saya....
Ratih, sudah kukatakan perasaan cintaku itu tulus. Kalau tadi kukatakan aku ingin membahagiakanmu atau konkretnya menikah dengan dirimu, itu sama sekali bukan untuk kebahagiaan diriku sendiri. Tetapi untuk kebahagiaanmu, Ratih. Sakit perasaanku membayangkan penderitaan dan sepinya hidupmu selama ini, sejak masih kecil hingga sekarang.
Ratih tertunduk. Pilu hatinya mendengar perkataan yang diucapkan dengan sepenuh perasaan dan menyiratkan secara jelas betapa tulus cinta Pak Dody terhadapnya. Ah, kenapa perasaan seperti itu bukan milik
Hartomo" Mengapa pula cinta setulus itu bukan diberikan Hartomo untuknya"
Ratih... katakanlah sesuatu kepadaku. Percayakah kau pada ketulusan hatiku ini" Pak Dody melanjutkan bicaranya lagi.
Duh, Pak Dody, terus terang hati saya menjadi pilu mendengar perkataan Pak Dody. Kenapa" Karena saya memercayai ketulusan kasih Pak Dody kepada saya, sementara saya tidak bisa membalasnya. Saya ini benarbenar seorang perempuan yang tidak tahu diuntung, bahkan yang tak tahu diri, dicintai setulus itu oleh seorang laki-laki yang begitu baik dan bersedia membahagiakan diri saya, namun saya tolak hanya demi menunggu suami yang entah apakah dia akan datang menjemput saya atau tidak. Ratih menghentikan bicaranya. Ia ingin menangis. Tetapi ditahannya.
Pak Dody menghela napas panjang. Ia mengerti perasaan Ratih. Tangan Ratih yang terletak di atas pangkuannya diraih dan digenggamnya.
Ratih... Ratih... betapa kerasnya kemauan dan keteguhan hatimu, katanya. Aku kagum padamu. Tetapi, apakah itu tidak terlalu berlebihan"
Ini juga demi Pak Dody kok, sahut Ratih dengan suara lembut. Belum tentu andaikata Pak Dody menikah dengan saya, perkawinan itu akan bahagia. Dunia kita berbeda, Pak. Ada banyak kesenjangan di antara kita yang sedikit atau banyak pasti akan ikut mewarnai cara pandang kita. Saya ini orang kampung, Pak Dody. Kurang pergaulan. Pak Dody pasti akan merasa lelah mengajari dan mengarahkan saya agar layak atau setidaknya bisa mengikuti gerak dan alunan gaya hidup Pak Dody dan keluarga Pak Dody....
Cukup, Ratih. Itu-itu saja yang kaupikirkan. Aku bukan orang yang suka mengarahkan atau mengajak orang... apalagi istriku, untuk mengikuti gaya hidup keluarga besarku. Itu semua hanya masalah selera. Mungkin saja aku malah terbawa oleh dirimu... hidup tenang dan damai di kampung.
Pak Dody..., Ratih ganti bicara. Kita masing-masing sudah terbentuk oleh lingkungan sekitar kita dengan warna-warni yang memengaruhi pola pikir, pola rasa, sistem nilai, dan cara pandang kita. Lelah, Pak, kalau kita terus-terusan mencoba mengubah pasangan kita. Kita juga akan lelah kalau terus-menerus mencoba meleburkan diri dengan berbagai gaya hidup pasangan kita, yang berbeda dengan alunan dan gerak jiwa kita.
Jadi, apa yang mau kaukatakan padaku" Saya ingin menyampaikan pikiran saya yang belum pernah saya katakan kepada siapa pun karena ini baru dugaan saya saja. Tetapi kenapa saya ceritakan pada Pak Dody, itu karena saya ingin agar Pak Dody bisa mengambil pelajaran di dalamnya.
Tentang apa" Begini, Pak, akhir-akhir ini mata hati saya seperti terbuka oleh pemahaman baru, jangan-jangan suami saya merantau ke Jakarta karena menyadari bahwa ia tidak mungkin hidup bahagia dengan perempuan yang bukan istri pilihannya sendiri. Saya dulu terlalu sederhana dalam semua hal, Pak. Fisik maupun mental. Barangkali saja, suami saya menyesal telah menikah dengan saya. Saya ingat betul, dia sering tampak kesal dan matanya berapi-api setiap saya melakukan atau menjawab sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya....
Aku masih belum tahu, apa sebenarnya yang ingin kaukatakan kepadaku dengan menceritakan masa lalumu itu, Dik Ratih"
Saya mau mengatakan bahwa perbedaan antara diri saya dengan suami saya yang sebetulnya tidak terlalu lebar itu saja pun terasa timpang sehingga dia tidak puas karenanya. Misalnya, bagi saya kehidupan sederhana di kampung sudah membuat saya senang, tetapi baginya itu tidak mencukupi. Dia ingin sukses seperti sahabatnya semasa mahasiswa dulu, sementara kriteria sukses menurutnya dengan kriteria sukses saya berbeda. Nah, apalagi dengan adanya jurang lebar di antara diri saya dengan Pak Dody. Pasti...
Itu kan pikiranmu saja. Bukan kenyataan sebenarnya. Jadi jangan berpikir terlalu jauh, Pak Dody langsung memotong perkataan Ratih.
Aduh, Pak, saya bukan orang yang suka ber-negative thinking. Apalagi sekarang, setelah saya belajar banyak dari berbagai pengalaman hidup saya sendiri maupun dari pengalaman orang lain. Begitupun pandangan, wawasan, dan kematangan jiwa saya juga semakin berkembang seiring dengan bertambahnya umur. Nah, semua itu membentuk pola pikir dan cara pandang saya terhadap banyak hal yang ada di dalam kehidupan ini. Termasuk perkawinan saya dengan suami sehingga tahulah
saya bahwa kepergiannya ke Jakarta itu lebih didasari oleh perasaan tidak puasnya terhadap kehidupannya di kampung, termasuk keberadaan saya sebagai istrinya, yang mungkin dianggapnya bodoh, kampungan, kolot, terlalu Jawa, dan entah apa lagi. Intinya, suami saya ingin melihat dunia luar yang berbeda, yang lebih memuaskan....
Itukah kata-kata bermakna yang diucapkan oleh seorang perempuan yang mengaku dirinya bodoh, kolot, dan lain sebagainya" Ratih, apakah kaupikir aku ini orang tolol yang tidak bisa membedakan mana emas dan mana loyang atau tembaga" Lagi-lagi Pak Dody memotong perkataan Ratih. Kini dengan suara berapi-api.
Terserah apa pendapat Pak Dody, tidak apa-apa. Saya tahu Pak Dody kesal melihat kedegilan saya. Tetapi apa boleh buat, saya harus mengungkapkan kenyataan yang ada. Saya hanya bisa menganggap Pak Dody sebagai kakak dan sahabat terbaik saya justru karena saya tahu hati Pak Dody sangat tulus terhadap saya.
Pak Dody menarik napas panjang, semakin sadar dia bahwa tidak ada harapan baginya untuk meraih cinta Ratih. Ditatapnya mata Ratih yang polos, yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang lembut dan penuh kesungguhan hati. Jelas terlihat olehnya, dari perpaduan antara sinar mata, nada suara, dan isi bicaranya, perempuan itu sungguh-sungguh ingin menjadikannya sebagai saudara dan sahabat baik.
Di satu sisi, Pak Dody tak bisa memungkiri rasa kecewanya. Namun di sisi lain, ada sentuhan haru saat
melihat betapa tulusnya hati Ratih terhadapnya. Ia yakin, belum pernah Ratih memberikan rasa persaudaraan dan persahabatannya kepada seseorang. Sebagaimana diakui sendiri olehnya tadi, Ratih memang kurang pergaulan. Temannya tidak banyak. Apalagi, saudara. Perempuan itu seorang yatim-piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga. Bahwa Ratih telah menaruh ketulusan, kepercayaan, dan kesungguhan dengan menempatkannya sebagai kakak dan sebagai sahabat terbaiknya, itu adalah suatu kehormatan.
Pak Dody menghela napas panjang lagi. Seharusnya dirinya merasa beruntung. Sebagai anak bungsu dengan empat kakak di atasnya, dianggap sebagai kakak dan sahabat baik oleh Ratih adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri. Terutama jika mengingat perempuan itu bukan orang yang mudah menjalin persahabatan. Dulu semasa kecil, betapa seringnya ia merengek kepada ibunya agar ia diberi seorang adik perempuan. Apalagi setiap melihat anak perempuan kecil lewat di dekatnya dengan rambut ekor kuda di kiri dan kanan kepalanya. Lucu, manis, dan menyenangkan. Kini setelah dewasa, tiba-tiba seorang perempuan menginginkan dirinya dianggap sebagai adiknya. Jadi, apa lagi yang masih bisa diharapkan lebih daripada hubungan yang semanis ini" Ia telah mendapatkan adik yang jelita, manis budi bahasanya, dan tulus pula hatinya"
Berpikir seperti itu, sentuhan haru yang sempat memasuki hatinya tadi mulai merasuk hingga ke relung hatinya. Tangan Ratih yang masih ada di dalam genggaman telapak tangannya diremasnya dengan lembut.
Aku mengucapkan terima kasih atas kepercayaan, ketulusan, dan kesungguhan hatimu untuk menganggapku sebagai kakak dan sahabat terbaikmu. Aku benarbenar merasa terhormat karenanya, katanya.
Ratih tersenyum lembut. Ada rasa pilu yang tersirat dari senyum itu.
Maafkan saya, Pak Dody. Hanya tempat itu saja yang masih bisa saya persembahkan bagi Bapak, katanya sambil membalas remasan tangan laki-laki itu. Tempat yang belum pernah saya berikan kepada orang lain. Dan tak akan ada lagi yang lain....
Jangan mengatakan hanya tempat itu yang bisa kauberikan padaku, Ratih. Aku justru merasa sangat dihargai mendapat kepercayaan untuk dijadikan kakak dan sahabat terbaikmu, Dik. Sungguh, aku benar-benar merasa terharu karenanya. Terima kasih, Adikku. Sebagai kakakmu, aku berkewajiban untuk membela dan memperhatikan adiknya. Oleh karena itu, mulai sekarang jangan segan-segan mencariku kalau ada sesuatu yang sulit kauselesaikan sendiri. Dengan tulus aku akan membantumu.
Ratih menatap mata Pak Dody dengan bola mata berkaca-kaca oleh rasa haru dan terima kasih. Dia yang sebatang kara di dunia ini dan yang ditinggal begitu saja oleh suaminya, mendapat seorang kakak yang begitu baik dan tulus hati. Ditariknya tangannya dari genggaman tangan Pak Dody. Sebagai gantinya ia merebahkan kepalanya ke dada laki-laki itu.
Terima kasih, Pak Dody, bisiknya dengan suara bergelombang. Aku... sayang padamu....
Eh, kok begitu. Bilang yang betul, Ratih. Terima kasih, Mas Dody. Bukankah aku ini kakakmu" Masa memanggilku pak . Suara Pak Dody juga terdengar parau oleh rasa haru yang menukik ke seluruh relung batinnya. Dipeluknya bahu Ratih dengan beribu perasaan yang menggayuti hatinya.
Terima kasih, Mas Dody. Ratih menarik tubuhnya dari pelukan Pak Dody. Mata keduanya bertemu di udara. Masing-masing menangkap ketulusan yang suci, memancar dari bola mata mereka.
Mereka lalu menghabiskan es kopyor sambil menikmati keindahan alam saat matahari terbenam. Dalam kebersamaan yang manis petang hari itu, tidak banyak lagi yang mereka bicarakan. Tidak perlu ada kata-kata lagi di antara mereka. Baru ketika Ratih akan turun dari mobil di muka mulut gang tempat tinggalnya, ia berkata lagi,
Mudah-mudahan Pak Dody... eh... Mas Dody akan menemukan seorang istri yang luar biasa. Kurasa, lakilaki sebaik dirimu hanya pantas mendapatkan istri yang sepadan. Aku berjanji, setiap malam akan berdoa untukmu, katanya.
Pak Dody hanya tersenyum. Ratih mengerti perasaannya.
Mas, mungkin akan lebih baik kalau untuk sementara waktu ini kita tidak usah bertemu dulu. Aku ingin Mas Dody mampu menata hati, bisa menyayangiku sebagai seorang adik. Aku tahu sulit sekali mengubah perasaan yang berbeda itu, tetapi demi kebaikan kita semua... tolong usahakanlah, kata Ratih lagi.
Pak Dody mengangguk, tersenyum lagi, kemudian menepuk-nepuk lembut punggung tangan Ratih. Perempuan itu meremas lembut telapak tangan Pak Dody yang ada di atas punggung tangannya.
Terima kasih ya, Pak... eh, Mas. Hati-hati di jalan, katanya sambil turun dari mobil Pak Dody.
Pak Dody mengangguk dan tersenyum lagi. Ia tidak mampu berkata apa pun. Ratih mengerti itu. Disembunyikannya matanya yang mulai terasa panas. Kemudian setelah melambaikan tangannya, ia bergegas memasuki gang, menuju ke rumahnya.
Sepeninggal Ratih, Pak Dody menatap punggung perempuan itu sampai hilang di balik kelok jalan. Lama dia termangu sambil menekan kemudi kuat-kuat. Ada sesuatu yang terasa hilang dari hatinya.
Ratih sendiri mengayunkan langkah dengan perasaan berat. Ia dapat merasakan rintihan hati Pak Dody yang tidak mampu berkata apa pun tadi. Dia merasakan dan mengerti betul bagaimana rasanya cintanya direnggut dan diganti oleh rasa persaudaraan. Semacam itulah yang juga ia rasakan. Hartomo seperti tidak memedulikan keberadaannya. Rasa sakit dan kecewanya nyaris tak tertahankan. Ia dapat membayangkan, Pak Dody malam ini pasti sulit tidur. Sedih sekali hati Ratih. Ia tidak punya keinginan sedikit pun untuk mengecewakan hati Pak Dody atau hati siapa pun. Tetapi ia benar-benar tidak bisa mencintai laki-laki lain. Hanya Hartomo sajalah yang ada di hatinya.
Mengingat Pak Dody yang malam itu pasti sulit tidur, di dalam hati Ratih merasa bersalah jika ia tidur
nyenyak tanpa memikirkannya. Berbagai perasaan terasa menggores jantung kalbunya. Perih rasanya. Di sepanjang kehidupannya, entah sudah berapa puluh kali ia mengalami sayatan-sayatan yang mencabik hatinya. Andaikata Hartomo tidak meninggalkannya, barangkali pelan-pelan sayatan itu akan menyatu dan sembuh dengan berjalannya waktu. Tetapi pada kenyataannya..."
Sepanjang malam itu Ratih tidak bisa tidur. Tetapi menjelang fajar, tiba-tiba saja ia menemukan pemikiran yang membawanya pada suatu keputusan yang tak bisa diganggu-gugat. Apa pun risikonya, ia harus keluar dari pekerjaannya. Berjuang menghadapi kehidupan yang keras selama ini sudah dilaluinya. Jadi ia tidak gentar untuk melakukannya lagi dan memulainya dari nol kembali kalau memang itu diperlukan.
Maka begitulah, dua hari kemudian Ratih sengaja menemui Bu Susi setelah selesai berkeliling untuk mengontrol pekerjaan para karyawan. Ketika dia mengetuk pintu dan mendapat sahutan dari dalam, Ratih mendapati Bu Susi sedang makan. Melihat itu Ratih langsung mundur.
Maaf, Bu, saya tidak tahu kalau Ibu sedang makan, katanya.
Tidak apa, Ratih. Masuk saja. Sudah hampir selesai kok, sahut Bu Susi. Tadi aku tidak sempat sarapan, jadi jam sebelas begini sudah lapar.
Ratih terpaksa masuk kembali dan duduk di depan meja tulis besar Bu Susi. Ditunggunya perempuan itu memasukkan suap terakhirnya, minum seteguk air, dan kemudian menyeka mulutnya.
Nah, ada sesuatu yang ingin kaubicarakan denganku, Ratih" Apakah ada kesulitan" tanya Bu Susi sambil melambaikan tangannya kepada pelayan yang kebetulan lewat dan berkata kepadanya. Tolong mejaku dirapikan.
Ini mengenai diri saya, Bu, Ratih menjawab setelah pelayan tadi keluar sambil membawa piring kotor dari meja Bu Susi. Setelah dua hari dua malam saya berpikir dan berpikir, akhirnya saya mendapat jawaban yang pasti. Bu Susi, saya ingin mengundurkan diri.... Bu Susi terkejut.
Mengapa, Ratih" Kelihatannya selama satu bulan ini semuanya baik-baik saja. Pekerjaanmu juga sudah kembali sempurna seperti biasanya.
Ini demi kebaikan Pak Dody dan juga saya pribadi.
Aduh, si Dody lagi! Bu Susi mendesiskan kemarahannya. Kurang ajar betul, dia. Tidak bisa diajak bicara...
Maaf, Bu Susi, Ratih memotong perkataan Bu Susi. Masalahnya tidak sesederhana seperti yang Ibu kira. Pak Dody tidak bersalah. Kalau ada yang salah, itu karena dia mencintai perempuan yang tidak layak untuknya. Dia benar-benar sangat mencintai saya. Hati saya sampai sedih sekali karenanya. Kalau kami sering bertemu, pasti tidak mudah baginya melenyapkan perasaannya itu. Saya benar-benar sangat prihatin. Apakah ada gosip baru lagi"
Ada, Bu. Tetapi telinga dan hati saya sudah kebal. Jadi keinginan saya untuk keluar bukan karena masalah
itu. Namun demikian, saya pikir-pikir akan lebih baik bagi semua pihak kalau saya tidak ada di tempat ini lagi, sahut Ratih apa adanya. Kalau tidak, lama-kelamaan suasana yang tidak sehat akan semakin merebak dan bisa mengganggu kelancaran kerja. Saya pun bisa saja melakukan kesalahan kalau suasana hati tidak tenang dan kalau itu sampai terjadi, saya tidak akan bisa memaafkan diri saya.
Gara-gara Dody... Maaf, Bu. Jangan menyalahkan Pak Dody, karena yang salah saya, Ratih memotong cepat perkataan Bu Susi. Jatuh cinta pada seseorang tidak bisa disalahkan. Itu rahasia alam yang tidak bisa dimengerti. Justru karena itulah, Bu Susi harus memperhatikannya dan ikut mengarahkan Pak Dody agar rasa cinta di hatinya itu bisa menghilang pelan-pelan. Sekali lagi, jangan me-nyalahkan Pak Dody, Bu Susi. Dia benar-benar menderita. Saya tahu persis, Bu. Tiga hari yang lalu kami bicara dari hati ke hati....
Bu Susi menarik napas. Dia mulai mengerti kesulitan Ratih, si lembut hati yang menyalahkan diri sendiri karena adiknya jatuh cinta kepadanya.
Apakah keinginanmu keluar dari pekerjaan sudah mantap" tanyanya kemudian. Alangkah inginnya ia jika Ratih mengurungkan niatnya.
Ya, Bu. Hati saya sudah mantap dan segala risiko akan saya hadapi dengan tabah. Maafkanlah saya tidak bisa lagi membantu pabrik Ibu. Tetapi kalau di suatu ketika Ibu kewalahan kurang tenaga, dengan senang hati saya akan membantu dari rumah. Ibu bisa menyuruh sopir mengantarkannya pada saya. Dalam hal ini, Ibu tidak usah memikirkan tentang berapa harus membayar saya. Itu tidak penting buat saya.
Bu Susi semakin menghargai pribadi Ratih yang lebih mementingkan hubungan baik dan rasa persaudaraan. Perempuan itu juga memiliki kesetiaan yang patut diacungi jempol tinggi-tinggi. Setia kepada suami. Setia pada pekerjaan, dan setia pada majikan. Sayang sekali perempuan yang sebaik ini tidak bisa membalas cinta Dody, pikirnya.
Kalau boleh tahu, apa yang akan kaulakukan di rumah nanti, Ratih"
Saya akan menerima jahitan. Tadi malam malah timbul ide di kepala saya, selain menerima jahitan saya juga akan membuat daster-daster dan pakaian anakanak untuk saya titipkan ke pasar-pasar terdekat.
Mudah-mudahan kau berhasil. Aku percaya pada kemampuanmu, Ratih. Dalam bidang apa pun yang kita geluti, yang penting adalah menjaga kualitas dan profesionalitas kerja kita. Dan yang juga penting, apa pun yang kita jual, haruslah menarik dan lain daripada yang lain. Jadi kalau membuat daster misalnya, buat model yang sekiranya akan disukai banyak orang. Juga untuk pakaian anak. Buat aplikasi di dada atau di sakunya. Ah, kau kan sudah mempelajari itu semua di tempat kursusmu. Pasti lebih tahu daripada aku.
Ya, Bu. Tetapi pengalaman Ibu sebagai pemilik usaha konveksi inilah yang menjadi salah satu bekal saya untuk berjuang nanti.
Yah, mudah-mudahan usahamu nanti sukses. Terus
terang, dengan kepergianmu, aku akan kehilangan karyawanku yang paling bisa kuandalkan dan paling baik. Tetapi, aku tidak boleh mementingkan diri sendiri, bukan" kata Bu Susi sambil tersenyum. Cuma pesanku padamu, jika di suatu ketika kau mengalami kesulitan atau usahamu tidak berjalan sebagaimana yang kauharapkan, jangan pernah merasa ragu untuk kembali bekerja di sini. Pintu pabrik ini selalu terbuka untukmu.
Terima kasih banyak atas segala kebaikan dan perhatian Ibu. Saya sungguh berutang banyak kepada Ibu. Di sini saya telah menimba ilmu yang tidak bisa dipelajari di bangku kuliah mana pun, kata Ratih, terharu.
Demikianlah hari berikutnya setelah Ratih menyelesaikan segala sesuatu yang menyangkut pekerjaannya, ia pamit kepada teman-temannya dan menyalami mereka semua. Termasuk Endang. Dia ingin pergi dari tempat ini tanpa meninggalkan ganjalan apa pun. Bagaimanapun juga, mereka adalah teman-teman kerjanya yang pertama kali karena baru kali inilah Ratih bekerja di suatu tempat. Sedikit-banyak, ada kenangan-kenangan yang pasti tidak akan pernah dilupakannya.
P AGI yang baru tiba di esok harinya tidak membedakan Ratih dari kesibukan sehari-harinya seperti biasa. Ia mandi, lalu membantu Bu Marta membungkusi nasi uduk, dan kemudian pergi meninggalkan rumah setelah pamit kepada ibu mertuanya itu. Semuanya tidak ada yang berubah. Hanya hatinya sajalah yang berubah. Hanya kenyataan yang dihadapinya sajalah yang berbeda. Jadi ia tidak pergi ke tempat pekerjaannya seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Pagi itu ia ke luar rumah tanpa tujuan yang jelas. Pokoknya, keluar dari rumah untuk menghindari pertanyaan Bu Marta. Dia belum berani mengatakan pada perempuan itu bahwa saat ini dirinya telah menambah jumlah angka pengangguran di Jakarta. Tidak tega Ratih menambah beban pikiran ibu mertuanya, yang ia tahu sedang dalam keadaan limbung belakangan ini. Sama seperti dirinya, perempuan
Sepuluh tengah baya itu juga sudah hampir tiba di batas kekuatan hatinya. Penantian panjang yang telah dijalaninya, tampaknya hanya akan tiba di ujung kesia-siaan belaka. Kalau ditambah berita bahwa ia sudah keluar dari pekerjaannya, pasti ibu mertuanya itu akan sedih sekali. Semua orang tahu, apa artinya menjadi pengangguran di kota Jakarta ini.
Ratih berdiri di halte bus dengan kesabaran yang dianggap luar biasa bagi mereka yang sedang berebut kendaraan. Ketenangan dan tiadanya ketergesaan yang terlihat pada air mukanya tampak bertolak belakang dibanding para calon penumpang lain saat berdiri menunggu kedatangan bus. Sekejap pun Ratih tidak melirik ke arlojinya seperti mereka yang berulang kali melihat pergelangan tangannya dengan gelisah. Kalau busnya memang penuh, orang boleh saja menyangka Ratih tidak ingin berdesakan di dalamnya. Tetapi ketika bus-bus yang berhenti di halte itu mulai kosong setelah jam-jam sebelumnya mengantar para penumpang menuju ke tempat pekerjaan masing-masing, orang pasti bertanya-tanya mengapa ada kesabaran yang sedemikian kuatnya di zaman serba sikut-sikutan dan berdesak-desakan ini. Apalagi pada jam-jam sibuk, di mana banyak orang berusaha untuk tidak terlambat masuk kantor. Ratih tersenyum sendiri saat pikiran itu melintasi benaknya. Tentu saja senyumnya amat getir.
Meskipun matahari terus merangkak ke tempat yang lebih tinggi, Ratih masih belum juga beranjak dari tempatnya berdiri sejak ia tiba di halte pagi tadi. Lama sekali Ratih berdiri di situ tanpa tahu harus melakukan
apa atau akan pergi ke mana. Orang-orang yang berdiri di kiri-kanannya sudah sejak tadi-tadi berebut masuk ke dalam bus dan mungkin juga banyak di antara mereka yang sudah tiba di tujuan. Sementara orang-orang datang silih berganti di sekitar tempatnya berdiri, Ratih merasa kakinya mulai terasa pegal. Keringat pun mulai bermanik-manik di dahi, di ujung hidung dan juga di lehernya.
Sebuah angkot yang hanya berisi beberapa orang di dalamnya berhenti di depan Ratih. Sopirnya berteriakteriak menyebut tempat yang akan dituju oleh kendaraannya. Ratih menoleh ke arah tetangganya berdiri. Dia merasa tidak enak karena orang itu seperti sedang bertanya-tanya kenapa sejak tadi hanya berdiri saja di situ dan membiarkan bus, angkot, dan kendaraan lainnya berlalu begitu saja dari hadapannya.
Merasa kurang nyaman, Ratih langsung masuk ke dalam angkot itu tanpa berpikir panjang lagi. Dia tidak peduli mau dibawa ke mana. Ketika akhirnya Ratih tahu tujuan angkot tersebut ke arah Kota, Ratih tersenyum sendiri di dalam hati. Semakin jauh dia dibawa semakin ia senang karena tidak harus pulang cepat ke rumah.
Ratih tiba di daerah Kota sekitar jam sebelas. Mau tidak mau ia harus turun. Kalau tidak, ia akan dibawa angkot ke arah sebaliknya karena angkot itu kembali ke arah perginya tadi. Dengan perasaan baur, Ratih menuju ke Pertokoan Glodok. Langkahnya pelan menyusuri toko demi toko cuma sekadar untuk membuang waktu. Tetapi ketika berada di muka toko kosmetik, penjaganya yang manis dengan rias wajah yang rapi menyapanya.
Mencari apa, Kak" Silakan masuk.
Semula Ratih bermaksud menolaknya. Tetapi ketika pikiran lain muncul di kepalanya, ia pun masuk ke toko itu untuk membeli sesuatu. Setelah melihat ini dan itu akhirnya ia membeli sebotol minyak wangi dengan kotaknya yang cantik, berbunga-bunga. Memang sedikit mahal, tetapi ada baiknya juga kalau ia memakai wewangian kendati sudah tidak bekerja lagi. Apalagi Bu Susi kemarin memberinya uang pesangon sebesar tiga kali gajinya. Sekali-sekali memanjakan diri sendiri bukanlah suatu kejahatan.
Dengan bingkisan di tangannya, Ratih merasa lebih nyaman berada di pertokoan itu. Setidaknya, tidak terlihat janggal berjalan-jalan sendirian tanpa membeli sesuatu. Ketika melihat berbagai mesin jahit yang dijual di sebuah toko, Ratih masuk ke dalam. Ia ingin tahu harga mesin jahit yang bisa dipakai untuk membordir, mengobras, dan lain sebagainya. Tetapi ternyata harga mesin jahit seperti itu, mahal. Jadi Ratih meruntuhkan keinginannya untuk memilikinya, meskipun mesin jahit yang canggih seperti itu sangat dibutuhkan untuk menjalani kehidupannya sebagai penjahit. Di rumah, mesin jahitnya hanya mesin jahit biasa, yang digerakkan dengan kedua belah kaki.
Ratih melihat arlojinya. Sudah jam dua belas lewat. Perutnya mulai berteriak minta isi. Karenanya ia masuk ke salah satu sudut tempat makan dan memesan nasi timbel komplet. Pencuci mulutnya es campur dan
minumnya es jeruk. Sekali lagi ia mengatakan pada dirinya bahwa ia sedang memanjakan diri sendiri agar hatinya yang gundah terhibur. Sesudah itu, ia membeli bahan berbunga-bunga warna segar yang cantik sebanyak dua puluh meter di sebuah toko tekstil. Kemudian, ia juga membeli berbagai warna benang, kancing, biesband, dan renda yang senada. Ia akan mencoba membuat beberapa daster yang manis modelnya untuk dijual.
Sambil melanjutkan perjalanannya, Ratih menghitung-hitung sendiri jumlah uang yang tersisa di dompetnya. Pagi tadi ia mengambil sebagian uang pesangonnya. Yah, sekarang ini ia masih mempunyai uang. Di bank juga masih ada simpanannya, meskipun tidak banyak. Setidaknya, ia masih bisa bertahan hidup selama tiga bulan mendatang. Tetapi setelah itu" Ratih masih ingat betul pengalamannya setahun lebih yang lalu saat uang simpanannya di bank semakin menipis dan semakin menipis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama Bu Marta. Ada rasa gentar kalau-kalau pengalaman pahit itu akan berulang kembali. Kasihan ibu mertuanya.
Teringat pada ibu mertuanya, hati Ratih bagai dicubit. Akal sehatnya muncul. Ia dan Bu Marta telah bersepakat untuk berjuang bersama-sama di Jakarta. Tetapi kenapa ia menyembunyikan kenyataan bahwa saat ini ia sedang tidak mempunyai pekerjaan pada Bu Marta" Apalagi dia tahu, Bu Marta termasuk perempuan yang bijaksana. Bu Marta bukanlah perempuan yang pendek jalan pikirannya. Bersama-sama ibu mertuanya itu, mungkin ada sesuatu yang bisa dipecahkan
bersama. Memanggul beban berdua tentu akan terasa lebih ringan daripada hanya sendirian saja. Yah, Bu Marta harus mengetahui apa yang terjadi.
Dengan pikiran itu, hati Ratih terasa lebih ringan. Lekas-lekas ia keluar dari pertokoan dan mencari kendaraan untuk pulang ke rumah. Tak diacuhkannya dua orang pemuda yang iseng menggodanya. Pikirannya tercurah ke rumah, ingin lekas-lekas mengakui keadaannya yang menganggur dan bahwa ia akan mulai merintis usaha sendiri, yang diawalinya dengan membuat daster dari bahan yang baru dibelinya tadi.
Ketika suara derit pintu pagar berbunyi saat Ratih mendorongnya, Bu Marta langsung menyambutnya di ambang pintu. Sinar matanya tampak lembut dan menatapnya penuh kasih, sementara tangannya membantu membawakan sebagian belanjaan Ratih.
Duduklah, Ratih, kata perempuan setengah baya itu sambil mengambil teh manis yang langsung diberinya es batu dari termos.
Ratih heran melihat kelakuan Bu Marta, yang tidak seperti biasnya itu. Dipandangnya perempuan itu meletakkan gelas berisi es teh manis yang tampak menggiurkan.
Minumlah, Nduk. Kamu pasti capek, hampir seharian pergi berpanas-panas di luar, kata sang ibu mertua lagi.
Ratih tertegun. Dari mana ibu mertuanya tahu bahwa ia pergi berpanas-panas dan bukannya pergi bekerja di bawah atap pabrik" Pertanyaan itu segera terjawab sesudah ia meneguk es teh yang disediakan mertuanya.
Ratih, semestinya kau tidak perlu menyembunyikan kenyataan dan menyiksa dirimu sendiri, pergi tanpa tujuan jelas hanya untuk membuat hatiku tidak galau. Apakah kau lupa, Nduk, aku tidak pernah menyalahkan atau merasa kecewa atas pilihan-pilihan hidup yang kauambil" Sepenuhnya aku percaya, apa yang kauputuskan pastilah sudah kaupikirkan baik-baik lebih dulu, kata sang ibu mertua. Bukankah begitu, Ratih"
Ratih tidak menjawab. Dia masih merasa heran melihat sikap Bu Marta. Dari mana pula perempuan itu mengetahui bahwa ia telah berhenti dari tempatnya bekerja" Pertanyaan batinnya kali itu pun mendapat jawabannya dengan segera.
Nduk, tadi Bu Susi datang ke sini dan membawakan sesuatu untukmu. Katanya sebagai tanda terima kasih padamu karena telah membantunya selama satu tahun lebih dengan baik sekali. Lihatlah di depan kamarmu. Sopirnya telah meletakkannya di sana.
Ratih masih membisu. Tetapi Bu Marta dengan arif meraih tangan sang menantu.
Ayo, Nduk. Lihatlah barang itu, katanya. Ratih menurut. Seperti mimpi ia membiarkan dirinya dibimbing Bu Marta. Begitu sampai di depan barang yang diceritakan oleh Bu Marta tadi, matanya langsung membelalak. Barang itu adalah sebuah mesin jahit seperti yang baru saja dilihatnya di Glodok tadi. Mesin jahit yang didambakannya, namun yang tidak sanggup dibelinya. Sekarang, benda itu ada di ruang tengah rumahnya dan menjadi miliknya.
Bagus sekali ya, Ratih. Mesin ini sangat canggih,
kata Bu Susi. Bisa membordir macam-macam, bisa mengobras dan... Suara riang Bu Marta terhenti saat melihat Ratih tidak menunjukkan kegembiraan yang seharusnya. Kenapa, Ratih, kau tidak suka"
Mesin jahit seperti ini memang merupakan idaman hati saya, Bu. Tetapi saya ingin membelinya dari uang hasil keringat saya. Harus saya akui, memang barang semahal ini tidak mungkin terbeli oleh saya..., sahut Ratih terbata-bata. Tetapi..."
Lalu maksudmu, Nduk"
Saya merasa tidak enak. Barang itu terlalu mahal buat saya. Sebagai hadiah atau ucapan terima kasih, barang ini terlalu berlebihan karena kurang sesuai dengan jasa saya selama bekerja di pabrik Bu Susi.
Kegembiraan Bu Marta luruh dengan seketika. Ditatapnya sang menantu dengan penuh perasaan.
Kalau begitu, temuilah Bu Susi besok di kantornya. Katakanlah perasaanmu dengan terus terang.
Ratih setuju. Tanpa menunggu hari lain, esok paginya ia langsung pergi menemui Bu Susi. Melihat kedatangan Ratih, Bu Susi langsung tersenyum miring.
Aku sudah menduga, kau akan datang menemuiku, katanya. Nah, daripada aku mendengar pidatomu yang sudah kutebak apa isinya, aku akan langsung bertanya padamu. Kenapa kau tidak suka menerima sesuatu sebagai ucapan terima kasih dari perusahaan kepadamu"
Ah, Ibu. Saya... merasa tidak pantas.... Dibanding apa yang pernah saya berikan... hadiah itu terlalu bagus... Suara Ratih tersekat di leher. Kalimat yang telah
disusunnya sejak dari rumah, berantakan begitu saja. Matanya nanar menatap Bu Susi dengan bingung. Bu Susi tertawa melihatnya.
Sudahlah, Ratih. Aku tahu persis apa yang ada di hatimu. Hadiah itu bukan cuma sekadar sebagai tanda terima kasih karena telah satu tahun lebih lamanya kau bekerja sedemikian baiknya dan penuh dedikasi kepada perusahaan... tunggu, jangan kaubantah... percuma saja. Aku memiliki mata tajam dan kecermatan lho. Nah, selain sebagai ucapan terima kasih, mesin jahit itu juga merupakan kenang-kenangan dariku.
Bu Susi... Ratih, kau tidak usah mengucapkan kata-kata apa pun. Aku sudah tahu apa yang akan kaukatakan. Bu Susi tertawa lagi. Jadi biarkan aku yang bicara. Ratih, kalau kau menolak kenangan-kenangan dariku, itu sama artinya kau tidak menghargaiku dan tidak menyukaiku pula....
Bukan begitu, Bu. Tetapi...
Cukup. Aku tidak ingin mendengar alasanmu.... sekali lagi Bu Susi tertawa. Kini tawa kesal. Sudah kubilang, apa yang akan kaukatakan, aku sudah tahu. Wajahmu itu seperti layar komputer di depanku, mudah kubaca. Jadi agar tidak bertele-tele, kuminta kau menerima hadiahku dengan ikhlas tanpa perasaan yang bukan-bukan. Pergunakanlah itu sebagai sarana, bahkan modal pertama, untuk merealisasikan keinginanmu menjadi seorang penjahit profesional. Aku akan berdoa untukmu. Pertama, usahamu itu akan sukses. Kedua, kau bisa segera bertemu dengan suamimu.
Saya... tidak tahu harus mengatakan apa... Lagi-lagi suara Ratih tersekat di leher.
Kalau begitu, tidak usah bilang apa-apa. Terima saja mesin jahit itu dengan baik, kata Bu Susi memotong perkataan Ratih sambil tertawa lagi. Dan jangan diperpanjang masalahnya. Maaf, Ratih, bukan dengan maksud menyombong, bagiku mesin jahit itu bukan barang mahal kalau dinilai dengan uang. Nah, aku terpaksa mengatakan ini. Kalau tidak, bisa sampai sore kita membahas masalah ini. Asal kau tahu, meski bukan barang mahal bagiku, tetapi di dalamnya terdapat harapan agar kau sukses mempergunakannya dan lalu nantinya akan ada tambahan-tambahan mesin jahit baru lagi akibat kesuksesanmu sendiri.
Ratih tertunduk. Rasa haru mengambang di dadanya. Dia memahami ketulusan hati Bu Susi, baik tentang hadiahnya maupun mengenai harapannya agar ia sukses dalam usaha yang dimulainya sebagai penjahit.
Terima kasih, Bu Susi. Kelak jika saya bisa sukses, saya tahu bahwa semua itu karena dukungan Bu Susi.
Sudahlah, kataku tadi kan jangan dibahas berkepanjangan. Nah, kau sudah sarapan" Aku tak sempat makan pagi tadi. Akan kusuruh beli nasi bungkus padang atau mau apa..."
Terima kasih, Bu. Sebelum ke sini tadi, saya sudah sarapan. Saya akan langsung pulang sekarang. Ada yang harus saya urus, sahut Ratih.
Baiklah, Ratih. Tetapi minumlah dulu. Ambil saja apa yang kau mau. Nanti haus di jalan.
Ratih mengiyakan. Dari lemari pendingin minuman, ia mengambil sekaleng soft drink. Setelah menghabiskannya, ia pamit.
Kalau kebetulan lewat di dekat-dekat sini, mampirlah kemari, Ratih, kata Bu Susi lagi.
Tentu, Bu. Saya juga tidak ingin hubungan kita putus hanya karena tidak ada hubungan kerja lagi, sahut Ratih sambil meraih tasnya.
Syukurlah. Aku juga ingin mengingatkan janjimu, jika pabrik kebanjiran pesanan dan kurang tenaga, kau akan membantuku dari rumah.
Pasti, Bu. Terima kasih atas kepercayaan Bu Susi. Dalam perjalanan kembali ke rumahnya, langkah kaki Ratih terasa jauh lebih ringan. Lega dan gembira bercampur aduk dalam hatinya. Dia memiliki mesin jahit canggih. Dengan mesin jahit itu dia akan memulai usahanya dan merintis masa depan yang mudah-mudahan lebih cerah, karena berdiri di atas kaki sendiri. Dia akan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dia bisa bebas berkreasi, bebas mendesain pakaian, dan lain sebagainya.
Yah, dengan mesin jahit itulah Ratih mulai berjuang. Pertama-tama meminta izin kepada pihak-pihak berwenang di wilayah tempat tinggalnya untuk memasang papan reklame di muka rumahnya bahwa ia menerima jahitan. Kemudian sambil menunggu langganan, ia mulai menjahit daster-daster yang dibuat dari bahan yang dibelinya di Glodok kemarin. Modelnya dibuat sederhana namun nyaman dipakai dan diberi pemanis-pemanis yang cocok. Ada yang diberi renda, ada yang dipasangi bis di pinggirannya, sehingga daster-daster itu tampak cantik dan segar. Tetapi rencananya untuk menitipkan di pasar batal. Bu Marta yang tertular semangat Ratih sudah mengiklankannya ke tetangga. Sebanyak sepuluh daster laku dalam waktu singkat. Tetapi ada satu hal yang dipelajari dari pengalaman tersebut. Jangan membuat daster yang sama corak dan modelnya untuk dijual di sekitar rumah. Kebanyakan orang tidak suka pakaiannya dikembari orang. Untungnya pakaian itu hanya berupa daster, dan orang memakainya di dalam rumah saja.
Begitulah dari pengalaman demi pengalaman, Ratih berusaha meniti kariernya. Dalam waktu relatif singkat, cukup banyak para tetangga yang menjahitkan pakaian padanya. Rupanya daster yang dibuatnya itu enak dipakai dan para pemakainya menjadi iklan berjalan .
Bu Marta tidak ingin tinggal diam. Dia ikut membantu Ratih dengan memakai mesin jahit biasa yang sudah dimiliki Ratih berbulan-bulan sebelumnya. Bagi Bu Marta, yang penting bahan yang akan dijahitnya itu sudah dipotong oleh Ratih. Setiap saat dia bisa bertanya kepada menantunya itu kalau ada hal-hal yang sulit dikerjakannya.
Langganan Ratih juga mulai berdatangan. Sebagai seseorang yang sudah belajar merancang mode, Ratih selalu memberi saran-saran kepada para langganan barunya itu sehingga mereka merasa puas.
Dik, maaf ya. Menurut saya, sebaiknya modelnya jangan seperti ini. Akan lebih pantas kalau dibuat begini karena bahannya sudah ramai sedangkan tubuh
Adik tidak terlalu tinggi..., begitu antara lain yang diusulkan kepada langganannya.
Kalau mereka bersikukuh dengan model yang diinginkannya, Ratih tidak ingin berdebat lebih jauh. Ia menghargai pendapat dan selera orang. Untungnya langganan yang seperti itu hanya beberapa saja. Lainnya justru merasa senang. Apalagi demi profesi barunya itu, Ratih selalu tampil dengan model pakaian yang modis tetapi cocok untuk dirinya, meskipun bahannya bukan bahan yang mahal dan hanya merupakan pakaian rumah atau pakaian santai saja. Semakin lama, langganannya semakin banyak. Bahkan sudah ada yang mencoba menjahitkan baju pengantin dengan payet-payet yang cukup rumit. Ratih memang terus belajar dan memperdalam kemampuannya. Untungnya pula Bu Marta sangat telaten dan menyukai pekerjaan yang katanya merupakan amal karena bisa membuat pemakainya bertambah cantik dan anggun.
Tanah Semenanjung 2 Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi Pukulan Naga Sakti 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama