Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono Bagian 5
Bu Marta menatap wajah Hartomo dengan bingung.
Jahitan mana yang akan kauambil, Tom" tanyanya kemudian. Di sini banyak jahitan yang harus diselesaikan.
Jahitan kebaya, Bu... Hartomo merasa serbasalah. Dia berharap ibunya tidak melanjutkan pertanyaan berbahaya itu. Tetapi sia-sia saja. Sang ibu tetap saja bertanya dan bertanya lagi.
Kebetulan jahitan kebaya belakangan ini tidak sebanyak bulan-bulan yang lalu. Siapa nama temanmu yang memintamu mengambilkan kebayanya" Bu Marta bertanya lagi. Kini ada firasat tak enak yang muncul dari dalam sanubarinya.
Namanya, Tety..., Hartomo menjawab dengan terpaksa sambil berharap ibunya tidak tahu-menahu mengenai pekerjaan Ratih sehingga tidak mengenal nama itu.
Bu Marta menatap tajam mata Hartomo. Dia telah menangkap kebimbangan yang begitu telanjang pada bola mata dan sikap laki-laki itu. Baginya, Hartomo tidak bisa menyembunyikan apa pun dari matanya sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Apakah itu kebaya pengantin" tanyanya menembakkan dugaannya. Tepat seperti yang telah diperkirakan, Hartomo tampak tersipu-sipu saat tembakan itu mengarah ke dadanya.
Hartomo tidak berani menjawab. Dilarikannya pandangannya ke tempat lain. Melihat itu Bu Marta tidak sabar, dia ingin mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Tomo... dengar kata-kata ibumu ini. Atas nama kebenaran, jawab pertanyaan ini. Dengan siapa Tety akan menikah"
Kepala Hartomo semakin tertunduk. Sekilas pun ia tidak berani menentang bola mata ibunya.
Hartomo! Bu Marta mulai kehilangan rasa sabarnya. Jawablah dengan jujur dan atas nama kebenaran. Tety akan menikah dengan siapa"
Masih saja Hartomo terdiam. Bagaimanapun juga, wibawa sang ibu masih tetap memiliki pengaruh terhadapnya. Dan ibunya mengetahui hal itu. Karenanya dengan lantang perempuan itu bertanya lagi.
Denganmu, bukan" Ada nada menuntut agar yang ditanya segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan dengan lantang itu.
Iiiya, Bu... Bu Marta mengenyakkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil mengurut dadanya berulang kali. Firasatnya ketika Hartomo mengatakan akan mengambil jahitan tadi telah terbukti. Tetapi harapan untuk mendengar
kata tidak dari mulut anak lelakinya itu juga ada. Maka begitu kata ya yang didengarnya, begitu juga hancurlah hatinya. Mengapa anak yang dilahirkannya itu bisa berbuat seburuk itu"
Oh... Gustiku... Oh, Allah Tuhanku..., keluhnya sambil menangis keras.
Kepala Hartomo tertunduk, sadar bahwa ia telah melukai hati ibu kandungnya sendiri. Beberapa kali diam-diam dia mengedarkan pandangannya ke arah pintu depan dan pintu yang menghubungkannya dengan pintu ruang dalam, khawatir Ratih akan muncul dengan tiba-tiba karena mendengar tangis ibunya. Bu Marta mengerti apa yang ada di benak anak lakilakinya itu.
Tomo... kau tidak usah khawatir Ratih akan muncul di sini. Dia tidak ada di rumah. Kau ingin tahu kenapa" tanyanya. Tanpa menunggu jawaban anak lelakinya itu, ia melanjutkan bicaranya sambil mengusap air matanya. Dia sedang dirawat di rumah sakit karena suatu kecelakaan. Kakinya patah dan harus dioperasi. Sungguh malang sekali nasibnya...
Ba... bagaimana keadaannya sekarang..." tanya Hartomo, menyela bicara ibunya.
Kau bertanya karena merasa wajib menanyakan keadaan seseorang yang sampai saat ini masih berstatus sebagai istrimu, ataukah karena merasa tidak enak kalau tidak bertanya"
Pipi Hartomo langsung merona merah mendengar lagi tembakan kata-kata Bu Marta. Tetapi sang ibu tidak peduli apa pun alasan Hartomo bertanya seperti
itu. Ia terus saja melanjutkan bicaranya setelah berhasil menghentikan tangisnya dengan susah-payah.
Ibu harus menceritakan padamu apa yang terjadi setelah kau meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah kau pergi tanpa kabar berita, kacaulah ekonomi kami. Satu per satu simpanan perhiasan kami berdua dijual untuk bertahan hidup. Peninggalan ayahmu hanya tersisa tanah di mana rumah kita berdiri dan sawah beberapa petak yang digarap Pak Budiman tanpa hasil yang memadai itu. Daripada Ibu berburuk sangka dan menambah dosa sawah itu kujual. Uangnya kupakai untuk mendirikan warung bersama Ratih. Warung itu cukup besar jasanya untuk memenuhi kehidupan kami berdua sehari-hari. Tetapi di balik itu, ada hal-hal yang membuat hati kami sering terluka. Kau tahu apa itu, Tomo"
Hartomo menggeleng. Kesadarannya bahwa ia telah menyebabkan ibu dan istrinya mengalami banyak kesulitan karena kepergiannya mulai menyentuh hati nuraninya.
Kau tahu kan, istrimu itu cantik. Menjadi pedagang warung yang melayani banyak orang, banyak pula godaan dari laki-laki iseng yang harus dihadapinya. Apalagi orang-orang kampung hampir semuanya mengetahui bahwa kau pergi tanpa mengirim berita apa pun. Untuk laki-laki iseng, kenyataan seperti itu menjadi alasan kuat bagi mereka untuk mendekati Ratih. Pak Mardi, misalnya. Kau pasti ingat laki-laki kaya yang istrinya banyak itu. Ia terang-terangan melamar Ratih untuk dijadikan istri ketiganya. Lalu Brata, juga begitu. Sementara Soleh yang kehilangan istri, ingin menjadikan Ratih sebagai pengganti sang istri. Belum anak-anak muda yang sering kali iseng duduk di depan warung cuma untuk memandangi Ratih....
Bu Marta menghentikan bicaranya dan menatap wajah Hartomo yang sebentar pucat, sebentar memerah. Entah apa yang dirasakannya, Bu Marta tidak tahu. Tetapi jelas, ia merasa malu telah menelantarkan ibu dan istrinya sehingga menghadapi masalah-masalah seperti itu.
Itu cuma sebagian dari kisah pahit-getir hidup kami sepeninggal dirimu. Aku mengatakan terus terang dan dengan tulus hati kepada Ratih, kalau ia mau menerima lamaran salah seorang di antaranya silakan. Ibu ikhlas. Ia berhak meniti hidupnya kembali tanpa dirimu. Tetapi rupanya dia sudah telanjur mencintai Ibu dan tak bisa berpisah dari Ibu yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri. Malah dia memberiku pandangan yang lain, yaitu pindah ke Jakarta untuk memulai kehidupan baru yang bebas dari pandangan negatif para tetangga dan dari laki-laki yang datang silih-berganti menggodanya, yang menyebabkan istri mereka cemburu kepadanya. Ratih tidak tahan menghadapi itu semua. Dengan pemikiran baru seperti itulah akhirnya sebagian tanah kita, kami jual dan langsung pindah ke Jakarta dengan dukungan Pak Hamid dan Arif, anaknya... Sekali lagi Bu Marta menghentikan bicaranya. Ia sengaja menyembunyikan alasan utama mengapa Ratih berkeinginan pindah ke Jakarta. Kalau Hartomo tahu bahwa Ratih masih sangat mencintainya
dan ingin mengobrak-abrik Jakarta untuk mencarinya, anak laki-lakinya itu akan besar kepala. Belum saatnya laki-laki itu mengetahui hal itu.
Maafkan saya, Bu, Hartomo menyela bicara Bu Marta, yang beberapa saat lamanya terdiam untuk memberi waktu bagi Hartomo mencerna semua yang diceritakannya tadi.
Ibu tidak membutuhkan maafmu, Tom. Ibu bercerita begini biar kamu tahu apa yang terjadi pada Ibu. Tentunya kalau kau akan menikah lagi, kau ingin agar ibu kandungmu ini memberi restu, bukan" Atau tidak bolehkah aku hadir"
Wajah Hartomo memerah lagi. Kini sampai ke telinga-telinganya. Seperti tadi, Bu Marta tidak peduli. Ia melanjutkan lagi kisah hidupnya bersama Ratih.
Ternyata hidup di Jakarta ini penuh dengan berbagai persoalan. Sebelumnya kami sudah tahu itu dan siap untuk menghadapinya. Tetapi ketika mengalami sendiri betapa beratnya itu sementara pemasukan hanya dari berjualan nasi uduk dan lontong isi, kami berdua hampir putus asa. Apalagi usaha Ratih melamar pekerjaan ke mana-mana tidak ada hasilnya. Bisa kaubayangkan itu, Tomo"
Hartomo menelan ludah. Pengalaman pahit seperti itu pernah dirasakannya. Dia mengerti sungguh apa artinya menjadi pengangguran di kota Jakarta, sementara pengalaman yang dibawanya sebagai bekal hanyalah pekerjaan sebagai karyawan di kota kecil. Apalagi Ratih yang masih hijau.
Ya..., bisiknya. Untunglah Tuhan berbelas kasih kepada kami. Akhirnya Ratih diterima bekerja di sebuah pabrik konveksi besar dan dia dipercaya menjadi pengawas merangkap penjahit di bagian penjahitan yang sulit, sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Secara bertahap gajinya naik sehingga ia mampu menyisihkan uang untuk biaya memperdalam keahliannya di bidang jahitmenjahit dan busana. Kehidupan kami mulai membaik dan membaik sampai akhirnya Ratih berpikir untuk menjadi tuan atas dirinya. Ia minta keluar untuk membuka usaha jahitan sendiri, kata Bu Marta. Ia belum mau menceritakan bahwa alasan utama Ratih keluar dari pekerjaan adalah untuk menghindari Pak Dody. Nah, belakangan ini ada seorang sarjana S3 lulusan luar negeri yang kaya, bernama Dody dan mempunyai perusahaan sendiri, jatuh cinta setengah mati kepada Ratih. Kau tahu mengapa Ratih belum menjawab lamarannya" Itu karena ia masih terikat perkawinan denganmu....
Hartomo memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mulai kacau karena sadar bahwa ternyata ia telah menghalangi kebahagiaan yang semestinya bisa diraih oleh Ratih. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Bu Marta sengaja memelintir kata-katanya agar Hartomo tidak mengetahui bahwa sampai sekarang ini Ratih masih mencintainya dan setia padanya. Bu Marta ingin menjewer telinga Hartomo dengan caranya sendiri.
Kulanjutkan ya..." Bu Marta menatap tajam lagi pada Hartomo. Sebagai laki-laki, kau pasti tidak memahami apa artinya kehilangan waktu dan kesia-siaan
selama hampir tujuh tahun bagi seorang perempuan. Itu bukan waktu yang sebentar, Tomo. Waktu yang sebetulnya bisa diisi oleh Ratih dengan laki-laki lain dan menemukan kebahagiaan bersamanya.
Sekali lagi Hartomo memejamkan matanya. Yah, ia memang telah berdosa kepada ibunya. Tetapi ia juga telah berdosa kepada Ratih karena membuat masa mudanya tersia-sia. Memang keterlaluan apa yang dilakukannya selama ini terhadap ibu dan istrinya. Tetapi ketika ingatannya lari pada sosok Ratih yang kuno, sederhana, dan tidak pernah menunjukkan sikap maupun pendapat yang bisa didengar, Hartomo tidak ingin mundur begitu saja kendati ia ada pada tempat yang salah. Kepalang basah, ia tidak ingin membatalkan rencananya menikah dengan Tety. Perempuan seperti Tetylah yang cocok hidup bersamanya sebagai suami-istri. Bukan dengan Ratih. Tidak berhakkah ia mencari kebahagiaannya sendiri"
Ibu... maaf dan ampun, sahutnya setelah lama hanya bersikap bagai terdakwa yang mendengarkan berbagai kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Sejujurnya saya tidak pernah memikirkan bahwa kepergian saya telah menyebabkan penderitaan Ibu dan Ratih. Bahkan berpikir bahwa Ibu dan Ratih akan pindah ke Jakarta, sama sekali tak pernah masuk ke dalam otak saya. Pikir saya, mana mungkin Ibu, dan terutama Ratih, berani menempuh kehidupan yang sama sekali berbeda dengan di kampung" Bukankah selama ini Ratih hanya bisa mengangguk dan mengiyakan saja"
Bu Marta menahan diri agar emosinya tidak ikut
bicara. Jelas sekali dari perkataan Hartomo itu, Ratih yang dipilihkannya untuk menjadi istrinya itu dianggap tidak setara dengan dirinya. Tetapi, kenapa tidak dari dulu-dulu Hartomo mengatakannya"
Tomo, apakah selama ini Tety tidak pernah bercerita tentang siapa penjahit kebaya pengantinnya" Bu Marta mengalihkan pembicaraan, ingin tahu apakah setelah perjumpaan dengannya ini, Hartomo menjadi bimbang untuk melanjutkan rencananya menikah dengan perempuan itu.
Tidak pernah, Bu. Dari mana kau mengetahui alamat rumah ini" Sebelum ini, saya pernah mengantar Tety ke sini untuk mengambil kebayanya yang katanya akan selesai hari itu, jawab Hartomo. Tetapi ternyata karena Ratih banyak jahitan untuk pawai Hari Kemerdekaan nanti, kebaya itu belum selesai dijahit dan...
Kapan itu" Bu Marta memotong perkataan Hartomo.
Mmm... kira-kira satu minggu yang lalu. Oh ya, harinya hari Rabu karena dari sini kami akan memesan kartu undangan dan mengurus ini dan itu. Saya ingat betul karena hari itu saya sengaja minta izin dari kantor....
Kalian datang ke sini jam berapa kira-kira" Yah, sekitar jam sebelas.
Ya Allah, jadi Ratih telah melihatmu! Bu Marta memotong lagi perkataan Hartomo. Kini dengan suara keras.
Tidak, Bu, saya tidak melihat keberadaannya.
Bukan kau, Tomo. Tetapi Ratih yang melihatmu. Bukankah pada waktu itu pintu depan rumah ini terbuka"
Ya, memang terbuka, saya tahu itu. Tetapi saya tidak melihat Ratih.
Jadi itulah jawabannya! Bu Marta berseru. Air matanya mulai mengalir lagi. Hari itu kira-kira jam sebelas, Ibu pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Tetapi hari itulah kecelakaan yang menimpa Ratih terjadi.
Hartomo agak bingung melihat keadaan Bu Marta. Apa maksudnya, Bu" tanyanya.
Aku ingat, ketika Ibu masuk ke rumah kembali lewat pintu belakang, tiba-tiba saja Ratih mengatakan akan keluar sebentar. Di atas meja tempat ia memotong pakaian tergeletak kebaya pengantin Tety bersama gantungannya. Padahal sebelumnya, kebaya itu tergantung di atas mesin jahit....
Saya masih belum mengerti apa maksud Ibu, Hartomo menyela lagi.
Kuingat, ketika aku masuk ke rumah kembali lewat pintu belakang, tiba-tiba saja Ratih bilang mau keluar sebentar. Waktu itu sama sekali aku tidak merasa curiga atau menganggapnya aneh ketika melihatnya bergegas pergi tanpa berganti gaun, tanpa membawa dompet dan ponselnya. Baru sekarang kupahami apa sebabnya... Bu Marta menghentikan bicaranya yang semakin lama semakin bergelombang dan diakhiri tangisnya yang semakin sedih. Kasihan anak itu... kasihan.... Maksud Ibu, waktu Ratih melihat saya mengantar
Tety, dia terkejut dan sekaligus sadar bahwa sayalah calon suami Tety" Maka dia bergegas lari ke luar rumah untuk menenangkan perasaannya..."
Tidak sesederhana itu, Tomo. Apakah kau tidak memahami bahwa kenyataan yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri itu terlalu tiba-tiba sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk menata perasaannya lebih dulu. Pasti Ratih juga sadar bahwa inilah akhir dari penantian dan ketidakjelasan perkawinannya bersamamu. Dengan perkataan lain, dia tidak siap menghadapi kenyataan semacam itu, namun demi menjaga perasaanku cepat-cepat dia keluar rumah. Dia tidak ingin berbagi kesedihannya denganku, Tom. Aku kenal betul bagaimana Ratih setiap kami menghadapi masalah..., sahut Bu Marta sambil mengusap air matanya yang seakan tak bisa berhenti itu.
Ya, saya mengerti, sahut Hartomo, merasa tidak enak. Tetapi... itulah cara Tuhan memberitahu Ratih bahwa jodoh kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Seperti tadi, begitu mendengar perkataan Hartomo tangis Bu Marta langsung lenyap. Sebagai gantinya, ia marah sekali terhadap Hartomo.
Lalu, apa maksudmu" tanyanya, membentak. Akan tetap melanjutkan rencanamu menikah dengan Tety"
Bu... tidak bolehkah saya mencari kebahagiaan sendiri" Saya tidak mencintai Ratih. Saya mencintai Tety....
Tomo! Bu Marta membentak lagi. Kalau saja kata-katamu itu kauucapkan sebelum dia menjadi istrimu atau paling tidak sebelum kau meninggalkan kampung halaman, Ibu tidak akan semarah ini kepadamu. Kau tahu kan, Ratih bukan perempuan yang kita temukan di jalan meskipun dia seorang yatim-piatu. Pikirkanlah perasaan dan harga dirinya sebagai sesama manusia seperti kita. Sekarang, segalanya memang sudah terjadi dan nasi telah menjadi bubur. Sebagai orang yang kudidik dengan baik, tentunya kau memahami apa maknanya menjadi orang yang menghargai kejujuran dan sikap kesatria. Kalaupun kau ingin membuang nasi yang telah menjadi bubur itu dan bukannya memberi rasa enak dengan menambahi gula dan santan, misalnya, katakanlah itu dengan sikap terhormat di hadapan Ratih. Kalau tidak, aku akan malu sekali terhadap Ratih yang telah memberiku makan dan kehidupan yang baik, sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu sebagai anak terhadap ibunya. Aku juga malu pada diriku sendiri karena gagal mendidik anak dan malu pada Ratih yang selama tujuh tahun mencintaiku sedemikian rupa seperti terhadap ibu kandungnya sendiri.
Tekanan di hati Hartomo terasa semakin berat begitu mendengar perkataan ibunya. Perasaannya benar-benar tersentuh, sekaligus juga sadar bahwa dia memang seorang pengecut yang tak memiliki jiwa kesatria. Bahkan laki-laki yang tak punya rasa tanggung jawab, lakilaki yang telah mengabaikan seluruh ajaran indah dan luhur yang pernah diberikan Bu Marta kepadanya. Lilis dulu telah mengata-ngatainya begitu.
Ya, Bu. Saya memahami dosa dan kesalahan saya,
katanya dengan suara sedih dan bahkan putus asa karena cemas kalau-kalau rencana pernikahannya dengan Tety akan gagal. Menurut Ibu, apa yang harus saya lakukan sekarang"
Kamu tidak tahu apa yang harus kaulakukan" Bu Marta menaikkan matanya tinggi-tinggi.
Saya bingung, Bu.... Baik, turuti nasihat ibumu ini. Pertama, hilangkan sifatmu yang menganggap pemikiran, keinginan, dan penilaianmu merupakan yang paling baik dan benar, sahut Bu Marta. Kedua, jangan menilai dirimu lebih tinggi, lebih baik, lebih pandai, dan lebih berharga daripada Ratih yang kauanggap tidak ada apa-apanya. Ketiga, apa pun pilihan hidupmu di masa depan, saat ini Ratih masih istrimu yang sah. Temuilah dia. Kau harus bersikap kesatria untuk meminta maaf kepadanya dan mengajaknya bicara dari hati ke hati. Kalaupun kau ingin menceraikannya, ceraikanlah dia dengan baikbaik. Jangan membuat statusnya terkatung-katung. Janda bukan, istri orang pun sepertinya bukan. Bicaralah apa adanya, bahwa kau ingin menikah dengan Tety, misalnya.
Ya, Bu. Akan saya lakukan....
Bagus. Aku tidak suka melihat anakku tak kenal tanggung jawab dan timbang rasa. Anakku harus memiliki jiwa besar. Jadi jangan mengecewakan ibumu sendiri, Nak. Ratih adalah perempuan yang sabar dan penuh pengertian. Asalkan kau mengajaknya bicara baik-baik, pasti dia bisa menerimanya. Jangan diamdiam saja sampai hampir tujuh tahun lamanya dan
tiba-tiba menunjukkan perempuan lain yang akan menggantikan tempatnya. Siapa pun yang ada di tempat Ratih, pasti akan terpukul karena keberadaannya tidak dihargai. Dianggap ada pun tidak.
Ya, Bu. Saya akan secepatnya menemui Ratih dan membicarakan semua hal menyangkut kami dan masa depan yang akan kujalin bersama Tety, kata Hartomo. Dia yakin, seperti dulu, Ratih pasti hanya akan mengiyakan dan mengangguk saja. Rasanya tidak sulit menghadapi Ratih yang tidak pernah berani mengemukakan pendapat itu.
Bagus. Bu Marta mengangguk. Tetapi di dalam hati, ia berkata sebaliknya. Sungguh tidak rela hatinya melihat Hartomo akan menceraikan Ratih, istri yang dipilihkannya itu. Semakin cepat kau bicara kepadanya, akan semakin baik baginya. Seperti dirimu dan seperti orang lain, pasti Ratih juga ingin menata masa depannya.
Tetapi dia masih dalam kondisi sakit, Bu.... Fisiknya sudah semakin membaik. Kurasa begitu juga batinnya, sahut Bu Marta. Tidak apa-apa kalau kau mau menemuinya di rumah sakit.
Nanti terdengar pasien lain, Bu. Tidak enak. Ratih dirawat di kamar yang hanya diisi satu orang pasien saja.
Hartomo menatap mata ibunya, tanpa bicara. Tetapi sang ibu tahu apa yang ada di benak anak satu-satunya itu.
Ya, memang kelas satu utama. Mahal tarifnya, tak
jauh di bawah tarif ruang VIP, katanya sambil mengangguk. Ada seseorang yang memaksanya membayari biayanya.
Hartomo menunduk, merasa asing terhadap kehidupan Ratih yang seakan tak dikenalnya. Bu Marta tak ingin membiarkan waktu terbuang begitu saja. Ia segera melanjutkan bicaranya lagi.
Satu hal yang perlu kaupahami dan jangan sekalisekali kaularang.
Apa itu, Bu" Kalau kau nanti telah menikah dengan Tety, aku akan tetap tinggal bersama Ratih sampai kelak Tuhan memanggilku pulang. Dia bukan menantuku lagi, Tomo. Tetapi anak perempuanku. Bersamanya, aku merasakan hidup ini begitu berarti.
Hartomo mengangguk, tak mampu bersuara. Katakata Bu Marta telah jelas menunjukkan bahwa menikahi Tety, istri pilihannya itu, sangat tidak berkenan di hati ibunya.
Jadi jelas ya, Tom, jangan pernah memintaku untuk hidup bersama kalian betapapun baiknya Tety bagimu. Dia memang istri pilihanmu, tetapi bukan pilihanku. Cukup sekali Ibu memilihkan istri bagimu, yang bagiku merupakan mutiara. Aku sangat menyayanginya dan tempat itu tidak bisa kuberikan kepada perempuan lain. Mengerti, Tom"
Hartomo mengangguk lagi. Sedih hatinya mendengar perkataan sang ibu yang menyiratkan tiadanya restu darinya. Tetapi andaikata mereka tidak berjumpa dengan tiba-tiba seperti ini, bukankah ia juga tidak
akan meminta restu dari sang ibu" Menikah dengan Tety adalah rencana utamanya. Sampai ia pulang ke rumah, pikiran itu tidak berubah.
Setelah Hartomo pergi, Bu Marta duduk tegak tanpa bergerak. Bagai patung. Tetapi pikirannya terus bekerja dan melompat ke mana-mana. Ketan srikaya yang dibuatnya tadi dibiarkannya begitu saja di meja dapur. Ia tidak sanggup bertemu Ratih.
Hartomo sungguh keterlaluan, keluh Bu Marta. Apa kelebihan Tety dibanding Ratih" Rasanya tidak ada. Bahkan Ratih memiliki lebih banyak kelebihan dibanding gadis itu. Bukan karena perempuan itu menantu kesayangannya, tetapi karena kenyataan yang telah dibuktikannya selama tujuh tahun lebih hidup bersamanya. Tetapi sayang, Hartomo telah menyia-nyiakan anugerah itu.
Sungguh, anak lelakiku itu tolol, keluh Bu Marta di
dalam hati dengan perasaan geram. pustaka-indo.blogspot.comh
K EMARIN sore, Suster Ida berkata kepada Ratih
bahwa rambutnya yang hitam, tebal, dan panjang itu sulit dikeramas dengan kaki yang belum lama dioperasi. Dia telah membawa meja keramas ke kamar mandi, tetapi tak jadi dipakai karena sulit. Terlalu banyak air yang akan dipakai, takut meluap mengenai luka operasi yang belum boleh terkena air.
Kalau begitu rambutku ini dipotong saja, Suster, Ratih bercanda. Ada yang bisa memotong rambut"
Tak disangka, Suster Ida menanggapinya dengan serius.
Ada, Bu. Salah seorang teman sesama perawat mempunyai keahlian memotong rambut karena ibunya punya salon. Ada banyak pasien yang karena sakitnya tak bisa keramas sendiri, minta dipotong olehnya biar lebih mudah diurus, jawab Suster Ida.
Lima Belas Kalau begitu, saya mau dipotong olehnya, sampai di bawah bahu.
Aduh, kok sampai di bahu, apa tidak sayang, Bu" Suster Ida menatap wajah Ratih. Rambut sepanjang ini pasti telah dipelihara bertahun-tahun lamanya.
Sayang sih sayang, Suster. Tetapi mempunyai rambut panjang susah merawatnya. Sulit juga mengaturnya. Sudah begitu sering rontok pula.
Ini serius, Bu Ratih"
Ya. Yah, kenapa tidak serius" Siapa yang akan mengelus rambut panjangnya" Siapa yang akan menatap rambut panjangnya" Tidak ada. Hartomo telah pergi dari kehidupannya dan tak akan kembali padanya.
Semula ada yang terasa hilang di hati Ratih saat teman Suster Ida menyerahkan bungkusan berisi rambut panjangnya. Tetapi, itu tidak lama. Apa arti rambut panjang bagi dirinya yang sudah kehilangan separo nyawa ini" Biarpun kemudian beberapa suster yang ikut masuk ke kamar Ratih saat rambutnya dipotong mengatakan bahwa ia tampak bertambah cantik dan tampak lebih muda, setitik pun hatinya tak tersentuh. Berambut panjang atau berambut pendek, bertambah cantik atau bertambah jelek, tampak lebih muda atau kelihatan lebih tua, tak ada pengaruh buat dirinya. Tetapi, pada sore harinya setelah mandi dan menyisir rambutnya, hatinya mulai terasa agak tenang. Ia memang tampak lebih cantik dan muda. Terutama, kepalanya terasa lebih ringan. Ia juga tidak perlu menyisir terlalu lama dan tak perlu pula menjalin rambut seperti biasanya.
Begitulah, sore itu setelah bisa mandi sendiri meski dengan susah payah agar kakinya tidak basah, Ratih duduk di tepi tempat tidur, menatap langit yang tampak begitu cerah melalui jendela kaca lebar di hadapannya. Ia sudah mulai merasa jemu berada di rumah sakit tanpa melakukan kegiatan apa-apa. Sebentar lagi akan datang petugas makanan membawakan penganan dan susu, seperti biasanya. Lalu senja nanti, makan malamnya ganti didorong masuk. Membosankan. Untunglah lusa nanti dia sudah diperbolehkan pulang.
Suara pintu dibuka, meningkahi suara TV yang sejak tadi dibiarkannya menyala tanpa ia berniat menontonnya. Itu pasti petugas bagian dapur yang membawakan snack sore untuknya, pikirnya. Enggan dia menengok.
Tetapi yang baru saja membuka pintu kamarnya bukanlah petugas yang membawakan snack untuknya. Melainkan Hartomo. Ia merasa ragu untuk melanjutkan langkah kakinya. Nomor kamar ini benar, sesuai nomor yang diberikan ibunya. Tetapi sepertinya, ia salah kamar. Pasien yang duduk membelakangi pintu masuk itu bukan Ratih. Rambutnya tidak panjang dan pakaiannya berwarna cerah. Seingatnya, Ratih tidak berani memakai pakaian berwarna mencolok.
Untuk memastikan bahwa kamar ini bukan kamar Ratih, Hartomo mengetuk pintunya pelan.
Silakan masuk.... Suara itu benar suara Ratih. Tetapi..."
Karena belum juga mendengar suara langkah kaki masuk ke kamarnya, Ratih menoleh ke arah belakang.
Seketika itu juga dadanya bergemuruh. Dengan matimatian ditampilkannya wajah yang tenang di hadapan tamunya.
Mas Tom..., katanya kemudian dengan suara pelan. Tidak terkesan adanya kejutan pada dirinya. Padahal bukan main riuh apa yang ada di balik dadanya.
Hartomo menutup pintu kamar kembali karena kamar itu ber-AC. Dua pasang mata mereka bertemu dengan seribu satu macam perasaan. Bagaimanapun juga mereka pernah hidup sebagai suami-istri kendati cuma seumur jagung lamanya.
Ratih tidak menyangka laki-laki itu berani datang menemuinya. Sebaliknya, Hartomo yang tidak tahu gejolak perasaan Ratih yang sesungguhnya juga tidak menyangka akan melihat betapa tenang dan terkendalinya perempuan itu saat membalas tatapan matanya. Ini bukan Ratih sebagaimana yang dulu dikenalnya. Fisiknya jelas bukan seperti bayangannya, mengenakan pakaian sekenanya, berambut licin tertarik ke belakang, dan hanya menyentuhkan seulas bedak tipis. Ratih yang ada di hadapannya tampak modis, memakai blus berwarna cerah dengan model yang pantas membalut tubuhnya dan celana tiga perempat di atas kakinya yang diperban. Wajahnya cerah dengan lipstik warna cerah yang sangat pantas berpadu dengan wajahnya yang berkulit kuning langsat. Cantik sekali. Dan yang lebih mengejutkan Hartomo, pandang mata yang sering tersirat takut-takut dan ragu itu tidak ada lagi. Sebaliknya, mata yang sedang menatapnya itu tampak tenang namun bersorot tajam. Bahkan ada sinar melecehkan
yang terasa mengganggu perasaannya. Perbedaan besar itu justru membuat Hartomo kelihatan canggung.
Boleh aku masuk..." tanyanya memecahkan suasana kaku yang tadi membuatnya merasa canggung.
Silakan dan duduklah.... Ratih menunjuk ke arah sofa yang letaknya agak jauh. Bukan pada salah satu dari dua kursi yang berdekatan dengan tempat tidurnya.
Bagaimana keadaanmu, Ratih" Sudah lebih baik, tentunya..."
Ya. Terima kasih atas perhatianmu. Sambil menjawab, Ratih turun dari tempat tidur sambil bersandar pada walker untuk kemudian duduk di atas kursi dengan bantuan benda itu. Apa kabar" Sudah lama sekali kita tidak berjumpa.
Ya... baik..., Hartomo menjawab sekadarnya karena bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Tanya-jawab itu sungguh menggelisahkan Hartomo dan menjungkirbalikkan isi dada Ratih. Keduanya mengalami rasa asing yang mencekam perasaan. Aduh, harus seformal itukah antara dua orang yang masih terikat hubungan suami-istri" tanya hati Ratih sedih. Tetapi dari manakah Hartomo tahu kalau ia dirawat di rumah sakit" Lalu ada di manakah Tety"
Sementara Ratih bertanya-tanya sendiri, Hartomo berusaha mengusir kepungan rasa asing yang masih tetap menyergap dirinya. Semula dia mengira Ratih akan menubruk dirinya atau paling tidak meneteskan air mata setelah hampir tujuh tahun lamanya tak bertemu. Apalagi kalau teringat dugaan ibunya yang mengatakan bahwa kecelakaan itu terjadi tepat pada hari Rabu, sekitar saat-saat ia mengantar Tety mengambil kebaya pengantinnya.
Siapa yang memberitahumu bahwa aku ada di sini" Akhirnya Ratih yang mulai bicara lagi.
Kebetulan, aku bertemu Ibu tanpa sengaja. Dari beliau aku mengetahui bahwa kau mengalami kecelakaan.
Begitu rupanya, sahut Ratih sambil melayangkan pandangannya ke arah pintu. Petugas yang membawa snack sore masuk ke kamarnya. Setelah Ratih mengucap terima kasih, ia melanjutkan bicaranya. Mestinya kau tak usah repot-repot menjengukku, Mas. Keadaanku baik-baik saja kok.
Aku datang bukan hanya untuk menjengukmu saja, Ratih. Tetapi juga untuk menyampaikan permintaan maaf atas dosaku yang besar kepadamu dan juga atas perlakuanku selama ini..., sahut Hartomo.
Perlakuan yang mana, ya" Ratih memotong perkataan Hartomo.
Hartomo tak mampu menjawab dengan cepat pertanyaan Ratih yang tak disangkanya itu. Sama sekali dia tidak mengira Ratih bisa membuatnya tak berdaya. Ditatapnya Ratih yang masih menunggu jawabannya.
Semuanya... semuanya yang telah menyusahkan hatimu..., akhirnya Hartomo mampu menguraikan lidahnya.
Ratih tertawa bergumam. Bagaimana aku bisa memaafkan sesuatu yang aku sudah lama melupakannya, Mas Tom" katanya kemudian. Karenanya kuanggap kau tak mempunyai kesalahan apa pun terhadapku, kalau itu yang kaumaksud. Selama tujuh tahun aku telah belajar mengerti dan memaknai kehidupan ini. Oleh karena itulah, semestinya aku justru berterima kasih kepadamu karena dengan kepergianmu aku punya banyak kesempatan untuk belajar banyak hal yang telah memperkaya diriku. Lahir dan batin.
Hartomo nyaris melongo mendengar perkataan Ratih. Inikah istri yang ditinggalkannya hampir tujuh tahun yang lalu" Tetapi sebelum ia mampu menata pikirannya untuk menyahuti kata-kata Ratih, perempuan itu sudah mendahului bicara lagi.
Kita berdua adalah manusia-manusia normal, Mas. Dan setiap manusia normal pasti mempunyai cita-cita dan tujuan hidup demi meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup. Begitupun dirimu. Oleh karena itu, kubiarkan kau dulu meninggalkan aku dan Ibu. Menahanmu, apalagi melarang, adalah sesuatu yang tidak bijaksana. Bisa-bisa aku disebut melanggar HAM orang, lanjut Ratih. Tahun-tahun pertama aku masih berharap akan mendengar berita bagus tentang keberhasilanmu. Tetapi ketika tahun-tahun terus berlalu lagi tanpa berita apa pun, aku tidak mau memikirkan apa yang sudah bukan urusanku karena sadar bahwa kelihatannya kau sengaja tidak ingin keberadaanmu kutelusuri. Itu pun kubiarkan. Kau berhak memilih kebahagiaanmu sendiri. Namun seperti dirimu dan juga orang lain, aku juga berhak mencari kebahagiaanku sendiri. Tentu saja kebahagiaan itu kan relatif dan berbedabeda pada setiap orang. Maka aku mengajak Ibu pindah ke Jakarta untuk memulai hidup baru. Nah, apa yang ingin kukatakan di sini adalah kau tidak perlu minta maaf atas sesuatu yang telah terjadi di belakang kita. Satu-satunya yang perlu diselesaikan adalah apa yang terkait dengan masa depan kita masing-masing. Secara hitam di atas putih kita berdua masih terikat perkawinan, meskipun kalau aku mau mengurusnya kemarin-kemarin, sebenarnya aku sudah bisa bebas darimu.
Hartomo merasa malu tetapi sekaligus juga kaget. Ratih yang ada di hadapannya sama sekali berbeda dengan bayangannya tentang Ratih yang dikenalnya di kampung dulu. Ratih mengetahui itu dan melihat lakilaki yang duduk tak jauh darinya itu tampak kehilangan kata-kata. Karenanya dia tersenyum menatap bola mata Hartomo.
Sekali lagi Hartomo kaget. Senyum itu pun tidak sama dengan senyum Ratih dulu. Dulu kalau Ratih tersenyum, sering disertai sikap tersipu-sipu malu. Tetapi sekarang, senyum itu penuh keyakinan dan seperti memandang remeh persoalan yang sebetulnya berat ini.
Begini, Mas Tom. Aku akan berterus terang kepadamu bahwa aku sudah tahu segala-galanya tentang dirimu. Selama terbaring di rumah sakit, aku telah menganalisa semua hal di seputar dirimu dengan pikiran jernih dan objektif. Maka kurasa, kau tidak perlu minta izin kepadaku mengenai rencana pernikahanmu dengan Tety. Silakan, itu hakmu sepenuhnya. Jangan sekali-kali kauanggap pertemuanmu dengan Ibu dan kemudian
denganku sekarang ini sebagai hambatan bagi kalian berdua. Aku tidak ingin memasuki wilayah pribadimu. Tetapi aku berharap, keputusanmu untuk menikah dengannya itu sungguh sudah kauyakini bahwa itulah pilihan hidupmu. Bahwa Tety adalah istri yang kaupilih sendiri. Jangan sampai kau mengulangi kesalahan yang sama seperti pernikahanmu denganku dulu. Ratih...
Tunggu dulu, Mas. Biarkan aku menyelesaikan bicaraku dulu.
Untuk kesekian kalinya Hartomo terkejut. Inikah Ratih yang dulu" Betapa runtut, jelas, dan beraninya dia mengemukakan buah-buah pikiran dan pendapatnya. Bahkan berani memotong perkataannya. Karenanya dengan terpaksa Hartomo membiarkan Ratih melanjutkan bicaranya.
Benar, Mas, memang selama bertahun-tahun ini baik dirimu maupun aku seperti tidak memedulikan surat kawin kita dulu. Tetapi meskipun demikian, kurasa surat cerai itu penting buatku dan tentu saja buatmu. Kau tentu paham mengapa aku berkata seperti itu. Terutama karena kau akan menikah lagi. Untuk itu ada beberapa pesanku yang sebaiknya kaugarisbawahi sebelum merealisasikan rencana apa pun. Pertama, jangan pernah membangun gedung di atas puing-puing, tetapi singkirkan dulu puing-puing itu agar gedung yang kaubangun bisa berdiri tegak dan kuat...
Apa maksudmu" Kali itu Hartomo bisa menyela bicara Ratih.
Maksudku, jelas sekali. Kau harus berterus terang
kepada Tety bahwa kau pernah menikah dengan seseorang. Kalau ini terasa berat bagimu, jangan sebut namaku. Katakan saja, dia tinggal di desa atau di pucuk gunung sana dan perempuan itu bukan istri pilihanmu. Pokoknya, buatlah cerita apa saja terserah karena yang penting adalah kejujuranmu bahwa kau bukan seorang bujangan. Tanpa kejujuran, kau tidak akan hidup tenang dan damai.
Ratih... Aku lebih muda lima tahun darimu, Mas. Mungkin kau merasa terhina kunasihati seperti ini. Kalau memang begitu, maafkan. Tetapi aku merasa harus mengatakannya. Soal mau kauturuti atau tidak, itu soal lain. Nah, pesanku yang kedua, beri pengertian pada Ibu. Aku tahu betul, beliau terlalu banyak berharap yang tidak-tidak terhadap kita berdua. Jadi tolong, tenggang perasaannya. Aku akan melakukan hal sama padanya. Pesanku yang ketiga, biarkan Ibu tetap tinggal bersamaku kalau kau nanti sudah berumah tangga lagi. Aku yakin, itulah yang beliau inginkan. Pesanku yang keempat, kita harus segera mengurus perceraian. Ini memang pesan keempat, tetapi justru inilah yang harus pertama kali kita urus dengan segera untuk memperlancar halhal lainnya.
Ratih..." Sungguh mati, Hartomo benar-benar tidak menyangka akan melihat dan mendengar dengan mata kepalanya sendiri betapa berubahnya Ratih dan betapa fasih cara bicaranya. Dia yang dulu takut-takut untuk mengatakan sesuatu yang sederhana sekalipun, kini tampak begitu yakin kalau bicara. Dia yang dulu
malu-malu kalau terpaksa harus menguraikan apa pendapatnya, kini mampu menyampaikan pendapat dengan jelas, runtut, lugas dan rasional.
Ketika melihat Hartomo tidak mampu melanjutkan bicaranya, Ratih tersenyum lagi. Manis sekali senyumnya.
Kuharap pesan-pesanku tadi tidak terlalu berat bagimu, Mas. Asal kausadari betul bahwa kejujuran dan kebenaran memang acap kali terasa menyakitkan dan teramat pahit. Tetapi menurut pengalaman, lebih baik pahit dan berat di muka daripada sebaliknya, katanya kemudian.
Jadi kita akan bercerai" Seperti orang tolol, Hartomo bertanya.
Lho, itu pasti kan, Mas" Apa kau tidak malu dianggap berpoligami" Bagiku, terikat perkawinan dengan laki-laki yang mempunyai istri lain adalah sesuatu yang melanggar prinsip hidupku. Ratih, bukan orang seperti itu. Ratih, orang yang selalu berpegang pada aturan main yang tidak melukai hati orang. Ratih juga orang yang tahu diri, yang tidak ingin menghambat kebahagiaan orang. Tetapi sebagai manusia biasa, Ratih juga ingin meraih kebahagiaan sendiri. Oleh sebab itu, Mas, mari kita sesegera mungkin mengurus perceraian kita.
Terasa ada tikaman di dada Hartomo saat mendengar perkataan Ratih. Ia teringat apa yang dikatakan ibunya bahwa ada seorang pria yang memiliki banyak kelebihan sedang serius mendekati Ratih. Rupanya, kenyataan bahwa ia akan menikah dengan Tety telah mendorong Ratih untuk menentukan langkah yang
lebih pasti, yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengannya dan kemudian menerima lamaran laki-laki itu. Begitu, Hartomo menduga-duga.
Dengan pandangan nanar, Hartomo menatap Ratih lekat-lekat. Lagi-lagi, Hartomo terkejut. Kali itu karena melihat betapa sangat menariknya perempuan di hadapannya itu. Sejak dulu ia tahu, Ratih memang cantik. Tetapi menarik, bahkan begitu menarik, baru sekarang ia melihat dan menyadarinya. Wajahnya jelita, bersih, lembut, dengan rambut hitam lebat dan mata berkilauan yang menunjukkan kecerdasan dan semangat. Bahkan jauh lebih menarik daripada istri Wisnu. Juga lebih menarik dan lebih menawan daripada Lilis ataupun Tety. Dan perempuan seperti ini akan menjadi milik laki-laki lain karena ia sebagai suaminya ingin menikah dengan perempuan lain.
Aneh memang manusia. Memiliki barang apa saja, bahkan yang tidak berharga sekalipun, baru kelihatan bagusnya saat diinginkan orang lain. Ketika Hartomo membayangkan Ratih berada di dalam pelukan laki-laki lain dan mendesahkan perasaan kasihnya sebagaimana yang dulu sering mereka alami di malam-malam yang sepi saat mereka memadu kasih, rasa tak rela itu datang mencubiti hatinya. Sakit sekali.
Sekali lagi Hartomo menatap Ratih dan menyadari apa yang selama ini tidak pernah diperhatikannya. Alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang indah dan senyumnya yang menawan mulai dilihatnya dengan cara lain yang lebih objektif. Bukan dengan pandangan apriori seperti dulu, bahwa Ratih kuno, tak
menarik, dan membosankan, yang celakanya diperkuat dengan pakaian yang mendukung pandangan itu. Tetapi sekarang" Rupanya, pakaian yang rapi, cerah warnanya, dan potongan yang modis ikut menonjolkan apa yang semula tertutup oleh matanya. Menyadari hal itu, Hartomo mengeluh di dalam hatinya. Kenapa dulu Ratih tidak seperti ini" Kenapa dulu dia tidak mengatakan terus terang agar Ratih mau bersolek dan memakai pakaian yang lebih cocok"
Jadi, Mas, setelah kita nanti resmi bercerai, selesailah sudah hubungan suami-istri di antara kita berdua. Tetapi karena aku sudah dianggap anak oleh Ibu, aku akan menjadi adikmu.... Ratih berharap suaranya yang agak bergetar jangan sampai terdengar oleh Hartomo karena apa yang diucapkan dengan gagah berani tadi sebenarnya bagai bumerang dan menghunjam relung hatinya sendiri.
Ratih sadar betul, sejak Hartomo melangkah masuk ke kamarnya ini harga diri yang terluka dan kepedihan hati yang dirasainya selama bertahun-tahun dan yang tiba pada puncaknya saat melihat Hartomo berboncengan mesra dengan Tety, telah dibungkusnya rapat-rapat. Ia tidak ingin Hartomo mengetahuinya. Ia juga telah bersandiwara seakan dia begitu kuat, rasional, dan yakin pada diri sendiri. Padahal semua itu cuma ada di permukaan belaka. Hatinya tercabik-cabik setiap menyadari bahwa Hartomo akan menjadi milik perempuan lain dan penantiannya selama hampir tujuh tahun ini ternyata sia-sia belaka.
Kurasa cukup banyak hal penting yang sudah kuungkapkan sejak tadi, Mas Tom. Dan pesanku yang kedua tentang keberadaan Ibu, tolong biarkan beliau memilih mau ikut bersama kalian atau bersamaku. Tetapi aku yakin, Ibu pasti memilih tinggal bersamaku. Kalau memang begitu, Mas Tom jangan memaksa beliau ikut kalian. Janji lho. Kasihan beliau. Sudah terlalu banyak deritanya selama ini.
Baik, Ratih. Hartomo mengangguk. Ia tidak mengatakan bahwa ibunya sendiri pun sudah mengatakan hal yang sama, akan memilih Ratih sebagai tempat sandaran hidupnya. Terima kasih....
Kok terima kasih" Yah, pertama, kau telah mencintai dan berbakti pada ibuku. Kedua, kau telah menunjukkan jalan apa yang sebaiknya kutempuh, sahut Hartomo. Sesuatu yang sebelumnya tak kupedulikan.
Tentang Ibu, kau tidak perlu berterima kasih karena aku mencintainya sebagai ibu kandungku. Tentang yang kedua, aku cuma mengatakan apa yang terlintas di kepalaku saja kok, sahut Ratih mulai merasa lelah, lahir-batin. Berpura-pura kuat seakan yang dikatakannya tadi bukan hal penting, bukanlah sesuatu yang mudah. Ratih telah menguras seluruh kekuatan dirinya. Padahal ingin sekali ia menangis sekuat-kuatnya untuk melepas seluruh beban hatinya. Melihat Hartomo kembali dan berada begitu dekat dengannya namun lakilaki itu sudah bukan miliknya lagi, membuat Ratih merasa sangat putus asa. Masa depannya serba tak menentu setelah penantiannya selama tujuh tahun hanya berujung pada perceraian.
Beruntung saat Ratih hampir-hampir kehilangan kekuatan, Pak Dody masuk ke ruangannya. Keberadaan laki-laki itu benar-benar memberinya kekuatan. Apalagi lelaki itu membawa seikat bunga warna-warni, yang langsung diserahkan ke tangannya.
Aduh, Mas, cantik sekali bunga ini, sambut Ratih sambil tersenyum manis, merasa diberi kekuatan baru. Diciumnya aroma bunga itu sebentar. Terima kasih. Tetapi kok tahu kalau sudah tidak ada bunga di sini"
Tentu. Sudah sejak kemarin aku melihat vasnya melompong. Isinya yang layu pasti sudah dibuang petugas kamar. Pak Dody tertawa renyah, kemudian dihampirinya Hartomo dan menyalaminya. Rasanya kita belum pernah jumpa sebelumnya ya, Mas. Kenalkan, saya Dody Pratama.
Saya, Hartomo. Pak Dody seperti pernah mendengar nama itu, tetapi belum sempat memikirkannya, Ratih memanggilnya. Mas Dody...
Ya..." Pak Dody mendekati Ratih. Kemudian duduk di kursi dekat tempat Ratih duduk. Hanya ada meja kecil yang membatasi keduanya. Kenapa, Ratih" Lusa, aku sudah boleh pulang.
Ya, aku tahu. Nanti akan kujemput kau sekitar jam sebelas. Setuju"
Setuju..., Ratih menjawab sambil tersenyum manis.
Hartomo memandang pasangan itu dengan perasaan kacau. Pasti laki-laki ini yang diceritakan oleh ibunya tempo hari. Pengusaha yang sukses, kaya, tampan, simpatik, dan gagah itu mencintai Ratih. Dari apa yang disaksikan secara sepintas, ia melihat Pak Dody memang sangat penuh perhatian terhadap Ratih. Disejajarkan dengan laki-laki seperti itu, Hartomo harus mengakui berbagai kelebihan lawannya. Terutama melihat keakraban dan kehangatan Ratih dengan laki-laki yang baru datang itu. Sesuatu yang dulu tidak pernah diperlihatkan Ratih terhadapnya.
Pak Dody mengalihkan lagi perhatiannya kepada Hartomo, kemudian menawarinya minum.
Mau minum apa, Mas" Lemari es itu menyimpan bermacam minuman. Soft drink" Atau air mineral"
Apa saja, terima kasih. Duh, laki-laki bernama Dody itu bahkan sudah seperti tuan rumah saja. Hartomo merasa tertekan karenanya.
Pak Dody mengambil soft drink kalengan, membukanya dan menyerahkannya kepada Hartomo. Silakan.
Terima kasih, sekali lagi Hartomo mengucapkan terima kasih. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. Saya famili Ratih, Mas.
Begitu, rupanya. Pak Dody tersenyum sambil duduk kembali di dekat Ratih. Ia tidak mengetahui bahwa perasaan Ratih seperti tertusuk duri ketika mendengar Hartomo mengaku sebagai familinya. Kemudian ia menoleh ke arah Hartomo. Bagaimana Anda melihatnya, Mas" Sudah tampak segar kan saudari kita yang cantik ini"
Ya... Hm, memangnya ada jawaban yang lain" Katanya lusa sudah boleh pulang ke rumah. Betul.
Ya. Dan kembalilah aku menjadi penjahit lagi. Banyak sekali jahitanku yang belum sempat kuselesaikan. Rasanya seperti punya utang kalau melihat langganan pulang tanpa membawa jahitan yang sudah selesai, Ratih menjawab apa adanya.
Sekilas lirikan saja Ratih bisa melihat pipi Hartomo merona merah. Tetapi dia tidak bermaksud menyindir. Apa yang dikatakannya merupakan kenyataan yang ada.
Pak Dody menatap Ratih. Dari cerita Ratih, dia sudah mengetahui tentang kebaya pengantin calon istri suaminya. Kebaya itu belum selesai dikerjakannya. Karenanya dengan tulus hati ia memberinya solusi.
Ratih, sebelum sembuh betul sebaiknya jangan menerima jahitan dulu. Sedangkan yang sudah telanjur diterima, biar dikerjakan orang saja. Kalau setuju, nanti kumintakan pada kakakku agar mengirimkan seseorang untuk membantu pekerjaanmu selama belum kuat menjahit. Bagaimana"
Jangan, Mas. Biar aku saja yang mengerjakannya pelan-pelan. Mas Dody sudah terlalu banyak membantu aku.
Nah, selalu itu-itu saja yang kaukatakan. Padahal mencari bantuan itu penting bagimu, Ratih. Berjalan saja masih susah kok mau menjahit, gerutu Pak Dody. Kemudian laki-laki itu menoleh lagi ke arah Hartomo dan berkata kepadanya. Kadang-kadang saudari kita ini keras kepala.
Ratih memukul pelan lengan Pak Dody, sambil tertawa.
Iiiiyaa..., sahut Hartomo. Perasaannya semakin tertekan. Keakraban di antara Ratih dan Dody terasa mencubiti hatinya. Betul-betul Ratih dulu tidak seperti itu terhadapnya.
Usai memukul lengan Pak Dody, Ratih berkata lagi.
Jangan meminta bantuan Bu Susi lho, Mas. Aku bisa kok mengerjakannya sendiri. Terdengar oleh Hartomo Ratih berbicara dan bersikap manja, sesuatu yang juga tak pernah dilihatnya ada pada Ratih dulu.
Oke, oke. Tetapi kalau mengalami kesulitan, langsung bilang padaku, ya" kata Pak Dody sambil menoleh ke arah Ratih kembali. Tetapi pandang matanya melihat dua macam snack yang belum disentuh Ratih. Ratih, snack-nya kok belum dimakan" Tidak suka, ya" Mau kubelikan sesuatu di kantin"
Tidak usah. Sebentar lagi makan malam akan diantar.
Jam enam itu bukan makan malam, Ratih. Tetapi makan senja, Pak Dody tertawa. Ratih ikut tertawa.
Namanya rumah sakit, ya begitu itu, kata perempuan itu.
Hartomo yang sudah tak tahan melihat pemandangan di dekatnya memanggil Ratih. Kalau tidak, dia harus mengaku pada dirinya sendiri bahwa dia merasa cemburu, meskipun sadar perasaan semacam itu tak layak baginya. Tujuh tahun mengabaikan istri, tetapi sekarang api cemburu tiba-tiba menyala, padahal sebelumnya dia tidak pernah mencemburui Ratih. Lucu dan aneh rasanya.
Ratih... Ratih menoleh dan pura-pura terkejut.
Oh, maaf... aku sampai lupa ada tamu. Ayo, Mas, ikut mengobrol bersama kami, katanya dengan sengaja.
Pipi Hartomo memerah saat dirinya dianggap sebagai tamu. Ratih melihat itu, tetapi ia pura-pura tidak tahu.
Aku harus pergi, Ratih. Ada urusan yang harus kuselesaikan, Hartomo menjawab pelan. Nah, mudahmudahan kau segera sehat kembali, ya" Maaf, aku tak bisa menemani kalian mengobrol.
Tidak apa-apa, Mas Tom. Terima kasih atas kunjunganmu. Lagi-lagi Ratih bersandiwara. Padahal sekali lagi perasaannya tercabik-cabik saat melontarkan perkataan itu. Huh, pembicaraan macam apa ini" Kalau istri sakit, bukankah suami harus menemani dan bahkan menungguinya"
Saya pulang dulu, Mas Dody.
Silakan. Terima kasih atas kunjungannya. Hartomo mengangguk dengan hati terbebani. Seharusnya dia sebagai suami Ratih-lah yang mengucapkan terima kasih kepada Dody atau kepada tamu lainnya kalau ada yang mengunjungi Ratih. Tetapi yah, dia memang sudah menjadi outsider sekarang ini. Bukankah itu kesalahannya sendiri"
Begitu Hartomo menghilang, begitu juga topeng yang dikenakan Ratih selama ada Hartomo tadi luruh dengan seketika. Disandarkannya punggungnya. Dan dibiarkannya air mata yang sejak tadi ditahan-tahannya,
terlepas bebas mengaliri pipinya. Pak Dody kaget melihat perubahan sikap Ratih.
Ada apa, Ratih" tanyanya buru-buru. Apakah kakimu sakit lagi"
Kakiku baik-baik saja, Mas. Aku... aku capek sekali bermain sandiwara di depan laki-laki tadi. Berpurapura ceria dan mengobral senyum, padahal hatiku perih sekali, kata Ratih, tersedu-sedu. Orang itu adalah suamiku. Maafkan... kalau aku tadi agak bersikap over.
Sekali lagi Pak Dody kaget. Jadi orang itu tadi suami Ratih. Pantas, nama itu seperti tidak asing di telinganya. Pasti tidak mudah bagi Ratih untuk menguasai perasaannya, bertemu kembali dengan laki-laki yang telah menelantarkannya selama tujuh tahun dan bahkan calon istrinya menjahitkan kebaya pengantin padanya.
Aduh, aku tidak tahu. Maafkan aku, Ratih. Minta maaf" Akulah yang harus minta maaf dan berterima kasih kepadamu, Mas. Tanpa keberadaanmu, topeng-topeng sandiwaraku tadi pasti sudah runtuh karena tak kuat lagi aku berpura-pura di hadapannya. Sebelum kau muncul tadi, hampir saja aku menyerah setelah sekian lamanya menahan tangis dan perasaan yang bergolak di dadaku. Ratih mengusap pipinya yang basah.
Apakah ini pertemuan kalian yang pertama setelah tujuh tahun tak bertemu" Pak Dody bertanya hatihati.
Ya. Kecuali ketika aku melihatnya dari pintu rumah saat ia dipeluk Tety di atas motornya.
Pak Dody memahami perasaan Ratih.
Kau tidak apa-apa, Ratih" Mau kuambilkan minum atau apa" Sambil bertanya Pak Dody mencabut tisu dan mengulurkannya kepada Ratih, yang langsung mengusap wajahnya yang basah.
Tidak. Perasaanku sedang campur-aduk. Marah, sakit hati, kecewa, merasa direndahkan, dan semacamnya. Tadi kutatap dia dengan pandangan merendahkan yang kubiarkan tersirat dari mata dan sikapku. Kelihatannya, dia merasakannya. Berulang kali aku melihat pipinya merona merah, sahut Ratih. Tetapi anehnya, Mas... kenapa aku tidak mendapatkan rasa puas bisa menunjukkan kekuatan dan harga diri, yang meskipun palsu tetapi dianggap kenyataan oleh Mas Tomo tadi"
Pak Dody menarik napas panjang.
Sudahlah, Ratih, jangan terlalu dipikirkan. Tidak ada gunanya. Lihat sajalah masa depanmu. Kau masih muda dan masa depan masih terbentang di depanmu. Kuatkan hatimu untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku siap menjadi pelindungmu, katanya. Ratih terdiam beberapa saat lamanya.
Maaf..., katanya lama kemudian. Semestinya aku tidak menyeretmu ke dalam persoalan pribadiku, Mas.
Tidak perlu minta maaf, Ratih. Aku rela dan ikhlas untuk membantumu kok. Apa saja. Pikiran, tenaga, waktu, materi... atau apa pun lainnya yang kaubutuhkan, sahut Pak Dody.
Terima kasih... Sementara itu, Hartomo melangkah perlahan di lorong rumah sakit dengan perasaan kacau. Ribuan pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya. Sudah seberapa jauhkah hubungan Ratih dengan Dody" Mengapa Ratih bisa bersikap hangat, akrab, dan manja kepada laki-laki itu, sementara terhadapnya dulu seperti takuttakut sehingga membuatnya merasa kesal dan bahkan jemu"
Mengingat cerita ibunya kemarin, Hartomo menangkap kesan bahwa Ratih masih mencintainya. Tetapi kenyataan yang dilihatnya tadi sama sekali tidak menunjukkan kesan itu. Padahal sepanjang pengenalannya, ibunya tak pernah mengatakan hal-hal yang tidak benar. Apalagi kalau mengingat selama tujuh tahun Ratih masih tetap hidup sendirian. Tetapi kesan yang didapatnya tadi" Bagi perempuan itu dirinya hanyalah tamu yang tidak perlu diberi perhatian istimewa. Tetapi ah, apa haknya minta diperhatikan secara istimewa oleh Ratih, padahal selama tujuh tahun dia sendiri tidak pernah memperhatikannya" Bahkan dia telah menelantarkan perempuan itu.
Hati Hartomo bergejolak. Sakit rasa dadanya. Sambil melangkah menuju keluar gerbang rumah sakit, Hartomo terus saja berkutat dengan berbagai perasaan dan pertanyaan yang tidak ada jawaban maupun pemecahannya sampai akhirnya akal sehatnya muncul.
Mengapa dia masih berharap Ratih tetap mencintainya dan setia terhadapnya sementara dia sendiri akan menikah dengan Tety dalam waktu dekat ini" Adilkah itu" Seperti yang dikatakan Ratih tadi, dia juga berhak mencari kebahagiaannya sendiri. Tentunya bersama
Dody, yang tampak betul sangat memperhatikan dan mengasihinya. Tujuh tahun ditinggalkan olehnya, Ratih berhak untuk melenyapkan dia dari kehidupan dan hatinya. Sudah ada laki-laki lain yang pasti bisa lebih membahagiakan perempuan itu daripada dirinya. Lakilaki itu mempunyai segala-galanya. Dan menilik kondisi Ratih yang sekarang, mereka berdua pasti akan menjadi pasangan ideal yang bisa saling mengisi. Ratih sekarang sudah memperlihatkan apa yang selama ini dipelajarinya secara otodidak. Hartomo ingat betul, Ratih sangat suka membaca koleksi bukunya. Sifatnya yang bagai kutu buku sepertinya baru tersalurkan setelah menikah dengannya. Berbagai buku tentang ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan, politik, psikologi, pengetahuan umum, filsafat, dan lain sebagainya diserapnya dengan rakus. Selama tujuh tahun ini pasti ada banyak pengalaman dan buku-buku lain lagi yang diserapnya. Singkat kata, Ratih tidak akan memalukan berada di samping Dody. Baik dalam hal penampilan fisik maupun dalam hal wawasan. Hanya dalam waktu satu jam saja Hartomo sudah melihat padangan-pandangannya yang tajam, wawasannya yang luas, dan kematangan pribadinya yang tampak dari sikap, tatapan, caranya bicara, dan bobot kata-katanya. Belum lagi kemampuannya berbisnis. Ibunya mengatakan Ratih telah berhasil mengangkat ekonomi mereka dengan baik. Dari upah jahitan dan dari penjualan pakaian jadi, isi rumah mereka terus bertambah.
Hartomo mengeluh sendiri. Di manakah Ratih yang dulu pernah hidup bersamanya" Ah, kalau saja Ratih
dulu seperti yang dilihatnya sekarang, Hartomo yakin tidak akan ada Lilis dan Tety yang bisa singgah dalam kehidupannya. Harus diakuinya sekarang, mereka tidak bisa disejajarkan dengan Ratih. Istrinya itu memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki keduanya. Termasuk kasih timbal-balik dengan ibunya. Tidak banyak hubungan antara ibu mertua dan menantu yang sedemikian manis dan tulus seperti mereka.
Tiba-tiba hati Hartomo disinggahi perasaan tidak rela. Ia ingat, sampai detik ini Ratih masih berstatus sebagai istrinya. Membayangkan perempuan itu akan menjadi istri laki-laki lain dan hidup berbahagia bersama orang itu, hati Hartomo menjadi panas. Sekarang ini Ratih masih miliknya. Bukan milik Dody atau lakilaki lain mana pun.
Tetapi ya Tuhan, bagaimana dengan Tety" Mereka berdua telah menyusun rencana ini dan itu bagi masa depan bersama. Langkah menuju ke perkawinan sudah semakin nyata dan mendekati persiapan yang menyeluruh. Tidak mungkin membatalkannya. Keluarga Tety sudah menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Terutama Fredy. Kakak lelaki Ratih itulah yang paling senang karena akan mendapat adik ipar teman sendiri. Keduanya termasuk kawan akrab karena memiliki banyak persamaan. Kalau berbagai rencana dan rasa senang keluarga Tety direnggutnya begitu saja, di mana ia akan menyembunyikan mukanya" Betullah kata Lilis beberapa bulan yang lalu, ia memang laki-laki pengecut, laki-laki tak bertanggung jawab, laki-laki tak punya kesetiaan, laki-laki yang meremehkan semua komitmen
yang pernah diikrarkan. Memikirkan semua itu, Hartomo merasa kepalanya pusing luar biasa. Belum pernah ia mengalami ikhwal seperti itu di sepanjang sejarah kehidupannya. Tragisnya, dia tidak tahu harus bagaimana, sementara Ratih tadi telah mengingatkannya untuk segera mengurus perceraian mereka.
P AGI menjelang siang hari itu, Tety ke rumah Ratih.
Itu yang kedua kalinya dia datang. Setiap kali ia datang, rumah Ratih tertutup rapat. Gadis itu mulai merasa jengkel. Sampai hari ini kebaya pengantinnya belum juga selesai. Ratih telah melanggar janjinya. Mengingat hal itu, ada lintasan keraguan di hati Tety mengenai Ratih. Jangan-jangan Bu Susi terlalu banyak melebih-lebihkan kebaikan Ratih.
Saat ini sampai pegal tangan Tety mengetuk pintu rumah Ratih, tetapi belum juga ada yang membukakan untuknya. Jendela rumah yang terbuka menunjukkan bahwa ada orang di rumah. Sebelumnya ketika ia datang ke rumah ini, pintu dan jendela-jendelanya tertutup rapat. Bahkan ketika ia meminta Hartomo untuk mengambilkan kebayanya dua hari yang lalu, juga tidak berhasil. Tidak ada yang dibawa pulang oleh laki-laki itu.
Enam Belas Ketika kesabaran Tety nyaris habis, baru pintu depan terbuka. Bu Marta yang membukakan pintu untuknya. Melihat kedatangannya, perempuan paro baya itu terkejut.
Aduh... sudah lama berdiri di muka pintu, Nak" sapanya. Mari, mari masuk. Ibu tadi mencuci pakaian di belakang, dan sama sekali tidak mendengar ketukan pintu. Baru ketika mau mengambil air minum di ruang makan, telinga tua ini mendengarnya.
Sambil menyilakan Tety duduk, Bu Marta menatap gadis itu dengan tatapan selidik. Ini dia calon menantunya! Hmm, kelebihan apa yang dimilikinya sehingga dia bisa menyingkirkan Ratih dari kehidupan Hartomo" Mau apa dia datang ke sini" Bu Marta sudah bersiap-siap untuk menghadapi apa pun pertanyaan atau kemarahan yang mungkin akan mewarnai pembicaraan mereka. Mungkin Hartomo sudah mengakui kesalahannya bahwa ia masih terikat perkawinan dengan Ratih.
Bu, apakah Mbak Ratih ada di rumah" Sudah dua kali sebelum ini saya datang ke sini, tetapi pintu dan jendela rumah ini tertutup rapat, tanya Tety begitu ia duduk. Saya ingin mengambil kebaya pengantin saya yang kata Mbak Ratih akan dikerjakannya kemarinkemarin karena tinggal sedikit lagi yang perlu diselesaikan.
Bu Marta tertegun. Jadi Tety tidak tahu-menahu mengenai berbagai persoalan yang terjadi belakangan ini. Ia menatap mata Tety lekat-lekat.
Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya Nak Tety belum mendengar kejadian yang
menimpa Ratih" Alih-alih menjawab pertanyaan Tety, Bu Marta malah melontarkan pertanyaan pada tamunya itu.
Lho, Mbak Ratih kenapa, Bu"
Sudah satu minggu Ratih dirawat di rumah sakit. Dia tertabrak motor. Tulang kakinya patah dan harus dioperasi, jawab Bu Marta, apa adanya.
Tety terkejut. Menyesal sekali ia telah berburuk sangka kepada Ratih. Pantaslah rumah ini sepi kemarin.
Aduh... kasihan, sahutnya. Sekarang bagaimana keadaannya, Bu"
Sudah berangsur membaik. Besok sudah boleh pulang. Tetapi saya rasa, Ratih belum bisa menyelesaikan kebaya Nak Tety. Barjalan saja masih memakai bantuan walker. Saya sudah berulang kali menolak langganan yang mau menjahitkan baju ke sini. Jadi sebaiknya kebaya Nak Tety diambil saja, biar diselesaikan tukang jahit lain, kata Bu Marta, seraya berharap bujukannya berhasil. Ia tidak ingin melihat kebaya itu ada di rumah saat Ratih pulang. Pasti hatinya akan semakin hancur. Tetapi ternyata Tety menolak.
Biar saja, Bu. Pelan-pelan sajalah. Masih cukup kok waktunya. Kalau dibuat orang lain, belum tentu sama sentuhannya dengan tangan Mbak Ratih. Cita rasanya tinggi. Saya buru-buru ingin lekas jadi bukan karena waktu sudah dekat, tetapi karena ingin memamerkan kebaya itu pada kakak saya. Dia penasaran sekali waktu saya bilang padanya kebaya itu bagus jadinya....
Bu Marta lama tak berkata apa-apa. Tetapi matanya mulai meneliti Tety kembali dan membandingkannya
dengan Ratih. Entah di mana letak penilaian anak lelakinya sampai tega menyingkirkan Ratih demi gadis yang tak memiliki kelebihan apa pun jika dibanding istrinya itu" Wajahnya, lebih ayu wajah Ratih. Rambutnya, lebih bagus rambut Ratih. Matanya, lebih indah milik Ratih. Kulitnya... milik Ratih lebih mulus dan lebih bersih. Penampilan Tety tidak melebihi Ratih. Sekarang Ratih selalu tampak modis dan apa pun yang dipakainya selalu pantas untuknya karena dirancang sendiri dan disesuaikannya dengan bentuk tubuh dan warna kulitnya. Tuntutan profesinya yang berkaitan dengan busana mengharuskan Ratih tampil menarik. Kelebihan Tety hanya pada kelincahan dan keceriaannya. Tetapi justru dengan kelebihannya itu, barangkali saja Tety tidak akan mengalami kehancuran separah yang dirasakan oleh Ratih andaikata kenyataan tentang hubungan Hartomo dengan istrinya itu dikatakannya terus terang kepada gadis itu. Manakah yang lebih baik, mengatakan kebenaran itu sekarang sebelum Tety menikah dengan Hartomo, ataukah membiarkan Tety mengetahui sendiri sesudah mereka menjadi suamiistri" Apa yang bisa menjamin perkawinan mereka berdua akan tetap ber-langsung aman andaikata kebenaran itu terkuak bela-kangan sebab, bagaimanapun pandainya Hartomo menyimpan rahasia, cepat atau lambat rahasia itu akan terkuak. Apalagi sekarang ini ibu dan istrinya tinggal di kota yang sama. Siapa pun orangnya, tidak akan bisa membungkus asap. Cepat atau lambat, pasti akan ketahuan.
Kapan sih Nak Tety akan menikah" Akhirnya suara hati Bu Marta terketuk. Ia tidak akan membiarkan asap berbau busuk tetap tersimpan. Maka ia mulai membuka pembicaraan ke arah yang diinginkannya itu.
Dua bulan lagi, Bu, Tety menjawab. Ibu datang, ya"
Kita lihat nanti. Tetapi kalau saya boleh tahu, suku apa calon suami Nak Tety dan dari mana asalnya" Bu Marta melemparkan pertanyaan lagi.
Orang Jawa, Bu. Kampung halamannya di kota Karanganyar, dekat kota Solo, sahut Tety. Saya juga dari Karanganyar.
Oh ya..." Tety merasa senang.
Apakah calon suami Nak Tety masih mempunyai keluarga di sana"
Mas Hartomo tidak banyak bercerita tentang keluarganya, Bu. Dia hanya mengatakan bahwa ibunya masih ada. Tetapi sayangnya, beliau tidak bisa hadir di perkawinan kami nanti karena sudah tua dan tidak kuat pergi terlalu jauh dari rumah.
Bu Marta kesal sekali mendengar cerita murahan yang dikarang Hartomo itu. Kurang ajar betul anak itu.
Begitu ceritanya, ya" gumamnya tanpa sadar, saking marahnya. Pantas saja...
Tety merasa heran. Ia menatap Bu Marta. Kenapa, Bu" tanyanya.
Ah, tidak apa-apa. Ibu hanya merasa heran, kenapa calon suami Nak Tety tidak banyak bercerita tentang keluarganya dan Nak Tety tidak menanyakannya lebih
jauh, sahut Bu Marta. Itu kan penting, Nak. Perkawinan, bagi kita orang timur, kan berarti perkawinan antara dua keluarga besar.
Betul juga ya, Bu. Tety memandangi lagi Bu Marta. Eh, jangan-jangan Ibu mengenal keluarganya"
Bu Marta tidak segera menjawab sehingga Tety merasa penasaran.
Ibu kenal keluarga Mas Hartomo, ya" tanyanya lagi.
Yaah, begitulah.... Apakah Ibu pernah bertemu dengan Mas Hartomo"
Ya. Nak Tety pernah minta tolong dia untuk mengambilkan kebaya ke sini, kan" Nah, saat itulah kami jadi bertemu.
Ooh, begitu. Lalu" Mendengar pertanyaan itu Bu Marta merasa sangat tidak enak. Ah, semestinya tadi tidak usah masuk ke pembicaraan yang berbahaya, kata hatinya, memarahi diri sendiri. Tetapi kalau tidak, bagaimana ia bisa membiarkan ketidakjujuran ini tetap berlangsung"
Sebaiknya Ibu tidak usah melanjutkan cerita tentang pertemuan itu, Nak Tety. Tanyakan saja pada calon suamimu kalau kalian nanti bertemu dia, Bu Marta mengelak. Jangan tanya pada Ibu.
Tetapi Tety sudah telanjur terbangkitkan rasa ingin tahunya.
Kenapa, Bu" Ibu yang bercerita saja kan tidak apaapa. Memangnya ada sesuatu yang harus disembunyikan" tanyanya.
Bu Marta merasa tersudut karena memang ada yang ingin disembunyikannya.
Sudahlah, Nak Tety. Lebih tepat kalau Hartomo yang bercerita kepada Nak Tety tentang keluarganya, katanya.
Aduh, Bu. Akan lebih baik kalau saya bertanya pada Ibu atau kepada orang lain. Biasanya lebih objektif. Apalagi Ibu kan orang tua, tentu tidak akan berbicara yang bukan-bukan. Sedangkan Mas Hartomo... namanya juga orang muda, laki-laki pula. Suka menyembunyikan kenyataan.
Ah, laki-laki dan perempuan sama saja kalau bicara tentang kejujuran yang tidak menyenangkan. Suka menyembunyikannya, Bu Marta mengelak lagi. Lebih baik membicarakan hal-hal yang umum saja, pikirnya.
Sebetulnya apa yang disembunyikan Mas Hartomo dari saya" Sepertinya Ibu tahu" Tety tidak mau berhenti. Ia terus saja mendesak Bu Marta.
Ibu tidak bisa mengatakannya, Nak. Bu Marta juga tetap tidak ingin mengatakannya. Biarlah Tety bertanya kepada Hartomo saja. Sekalian menguji, apakah anak lelakinya itu mau bersikap kesatria sebagaimana ajaran dan pendidikan yang selalu ditekankan olehnya dulu.
Apakah ada yang perlu disembunyikan Mas Hartomo dari saya, Bu" Tetapi... kenapa" Apakah keluarganya tidak setuju dia menikah dengan saya" Atau jangan-jangan dia datang dari keluarga yang... maaf... barangkali merupakan keluarga yang kurang baik reputasinya" Saya kan bukan remaja lagi, Bu. Bahkan sudah
berusia matang untuk bisa memilah mana yang bisa ditolerir dan mana yang tidak.
Mendengar Tety mengira keluarga Hartomo bukan keluarga baik-baik, Bu Marta lupa pada keinginannya untuk tetap tutup mulut.
Pemikiran untuk bisa memilah mana yang bisa ditolerir mana yang tidak, itu baik sekali, Nak. Tetapi perkiraan Nak Tety mengenai keluarganya tidak benar. Almarhum kakek Hartomo adalah seorang lurah dan almarhum ayahnya adalah pegawai negeri yang jujur dan disukai. Begitu juga paman-paman dan bibi-bibinya dari kedua belah pihak keluarga, semuanya orang baikbaik dan...
Tunggu sebentar, Bu, Tety menyela lagi. Ibu membicarakan tentang Mas Hartomo begitu jelas. Apakah Ibu kenal baik sekali dengan dia dan keluarganya" Ya...
Atau jangan-jangan Ibu masih ada hubungan keluarga dengan Mas Hartomo" Tety menebak-nebak lagi. Ya, begitulah...
Oh. Apa kaitan kekeluargaan Ibu dengan dia" Bu Marta memejamkan matanya sejenak, mencari kekuatan untuk mengatakan kebenaran. Pahit pasti, tetapi kebenaran adalah kejujuran yang harus dijunjungnya. Kemudian ia memandang mata Tety lurus-lurus.
Coba Nak Tety pandangi Ibu dengan cermat. Apakah ada sesuatu pada Ibu yang mirip dengan Hartomo" tanyanya kemudian.
Dengan penuh perhatian, Tety meneliti wajah Bu Marta. Memang semakin diperhatikan semakin jelas
adanya persamaan antara wajah perempuan paro baya itu dengan Hartomo. Terutama hidung dan bibirnya.
Ya... saya melihat adanya persamaan itu, kata Tety dengan dada berdebar. Mmm... apa hubungan kekeluargaan Ibu dengan Mas Hartomo"
Saya ibunya. Tety terkesiap. Mulutnya setengah terbuka, menatap Bu Marta antara percaya dan tidak percaya. Bukankah Hartomo mengatakan bahwa ibunya sudah tua dan tidak bisa bepergian jauh dari tempat tinggalnya. Ibu ibunya" tanyanya terbata-bata.
Ya. Belum terlalu tua untuk bepergian jauh dari Karanganyar ke Jakarta. Lagi pula, saya tinggal di Jakarta sudah hampir dua tahun lamanya. Hartomo sendiri pun tidak tahu, sampai kami berjumpa beberapa hari yang lalu saat dia mau mengambil kebaya pengantinmu, Nak.
Tety melongo. Untuk apa Hartomo menyembunyikan keberadaan ibunya" Bagi Tety, itu adalah suatu kesalahan yang tak terampunkan. Kalau terhadap ibunya saja laki-laki itu tidak mengakui keberadaannya, apalagi terhadap orang lain" Sungguh, ia tidak menyangkanya sama sekali. Hartomo yang begitu baik, lembut dan sabar, ternyata bisa berbuat demikian terhadap ibu sendiri.
Tiba-tiba ia teringat pada Ratih. Hartomo mengatakan bahwa dirinya adalah anak tunggal. Kakaknya meninggal dunia di dalam perut sebelum sempat lahir ke dunia. Jadi, siapakah Ratih"
Bu... lalu siapakah Mbak Ratih itu" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Kali ini Bu Marta merasa sulit untuk menjawab pertanyaan Tety. Tetapi setelah menemukan cara menjawab yang dianggapnya tidak terlalu mengejutkan seperti kalau ia menjawab secara langsung, ia mulai bicara lagi.
Ada cerita mengenai Ratih yang barangkali perlu Nak Tety ketahui sebelum Ibu mengatakan siapa dia. Dengarkan baik-baik. Hari itu hari Rabu, Nak Tety datang untuk mengambil kebaya pengantin yang ternyata belum selesai dibuat oleh Ratih karena dia terpaksa mendahulukan tugas yang diberikan pengurus RT. Karena udara panas, Ratih menawari rujak dingin pada Nak Tety. Tetapi karena ditunggu calon suami, Nak Tety menolak dan langsung pulang. Ratih mengantarkan sampai ke depan. Tetapi belum sampai melangkah ke teras, dia melihat Hartomo, tunangan Nak Tety. Setengah jam kemudian, Ratih jatuh terkapar di tengah jalan karena tertabrak motor...
Apa maksud cerita Ibu..." Tety bertanya tak sabar. Maksud saya, begitu melihat Hartomo hati Ratih terguncang hebat. Tetapi ia masih memikirkan perasaan Ibu. Jadi ia bergegas keluar rumah dan berjalan tak menentu dengan pikiran kacau sampai tidak memperhatikan lalu lintas di sekitarnya. Maka tertabraklah dia...
Bu, tolong langsung saja katakan kepada saya, siapakah Mbak Ratih" Sekali lagi Tety memotong perkataan Bu Marta.
Saya tidak berani menjawab... tetapi tunggu sebentar... saya akan menunjukkan sesuatu kepada Nak Tety, sahut Bu Marta. Dia masuk ke kamarnya dan ketika keluar, di tangannya terdapat dua helai foto sebesar kartupos. Foto-foto itu diberikannya kepada Tety.
Wajah Tety menjadi pucat pasi saat melihat foto perkawinan Hartomo dengan Ratih, yang diulurkan Bu Marta kepadanya. Sebentar kemudian, wajah pias itu berubah merah padam dan bola matanya menyala-nyala.
Melihat keadaan itu, Bu Marta merasa menyesal sekali. Tangan Tety dipegangnya dengan lembut.
Nak, maafkan Ibu ya. Menyesal sekali Ibu telah membuka rahasia ini. Tidak ada maksud buruk dalam hati Ibu kecuali keinginan untuk berpegang pada kebenaran. Hartomo pun sudah Ibu marahi habis-habisan karena tidak berterus terang pada Nak Tety mengenai keberadaan Ratih, yang disangkanya masih ada di kampung. Perlu Nak Tety mengerti, Hartomo tidak berani berterus terang karena dia takut kehilangan dirimu. Pasti dia sangat mencintai Nak Tety karena sesungguhnya Ratih bukan istri pilihannya. Ibulah yang memilihkannya sehingga dia pergi ke Jakarta selama bertahuntahun tanpa ada kabar berita. Ya, Nak. Ibulah yang bersalah dalam hal ini, katanya, mencoba untuk mengurangi kemarahan dan kekecewaan hati Tety.
Tety tidak mengomentari perkataan Bu Marta. Pikirannya sedang mengembara dan menyambung penggalan-penggalan pengalamannya selama berpacaran dengan Hartomo. Terutama ingatan ketika tanpa sengaja Rita, kakak perempuannya, membuka rahasia hubungannya
dengan Alex di depan Hartomo. Laki-laki itu tidak mempersoalkannya dan dengan besar hati mengatakan semua masa lalu tidak perlu diingat-ingat. Baru sekarang Tety paham bahwa sikap seperti itu bukan karena kebesaran hati Hartomo, melainkan karena ia mempunyai rahasia yang jauh lebih besar, mempunyai istri dan ibu yang ditinggalkannya begitu saja. Itukah cinta" Bukan. Itu adalah egoisme. Bilang cinta kepadanya, tetapi menyembunyikan kenyataan dan bahkan berbohong demi mendapatkan istri baru. Kurang ajar sekali lakilaki itu.
Kemudian Tety ingat cerita Bu Susi mengenai Ratih. Kata Bu Susi, perempuan itu begitu mencintai suaminya, setia dan tetap menantikan kedatangannya. Itukah cinta" Bukan. Itu adalah kebodohan. Itu adalah cinta buta. Begitu Tety berdialog dengan dirinya sendiri. Kasihan Mbak Ratih. Menanti suami selama tujuh tahun dan menemukannya bersama perempuan lain. Bahkan menjahitkan kebaya pengantinnya pula.
Tety menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Benar-benar ia merasa malu kepada Ratih. Malu kepada Bu Marta. Hartomo telah melemparkan telor busuk ke wajahnya. Andaikata dirinya berada di tempat Ratih, dia pasti tidak akan berlari ke luar tanpa tujuan hanya untuk menyembunyikan kehancuran hatinya agar ibu mertuanya tak melihatnya. Kalau ia menjadi Ratih, akan dilemparinya Hartomo dengan batu-batu besar dan dimaki-makinya lelaki itu keras-keras agar terdengar ke seluruh gang tempat tinggalnya betapa bejat kelakuannya.
Melihat keadaan Tety, Bu Marta memeluk bahu gadis itu dengan perasaan sangat tertekan.
Maafkan Ibu ya, Nak" katanya, masih mencoba mengurangi kekecewaan hati Tety. Hartomo memang bersalah kepadamu, tidak berani berterus terang. Tetapi sebetulnya, ia sangat mencintaimu, Nak. Dia takut kau meninggalkannya andai tahu bahwa dia sudah beristri.
Tety melepas telapak tangannya dan mengusap pipinya yang basah dengan gerakan kasar.
Ibu tidak usah membela Hartomo, katanya kemudian. Sesungguhnya, dia tidak mencintai saya. Dia hanya mencintai dirinya sendiri, Bu. Mau senangnya sendiri. Tidak berani berterus terang. Berbohong bahwa ibunya sudah tua dan tidak kuat pergi jauh. Supaya apa" Supaya bisa menikah dengan aman. Laki-laki macam apa dia, Bu" Maaf... dia memang putra Ibu, tetapi dia tidak pantas menjadi anak Ibu. Kebaikan Ibu tidak menurun padanya. Dia juga tidak pantas menjadi suami Mbak Ratih yang begitu sempurna. Jadi saya menangis bukan karena Hartomo, tetapi karena ketololan saya. Rasanya, saya ini seperti terkecoh luar biasa. Malu sekali saya, Bu. Malu sekali saya bertemu Mbak Ratih. Maafkan Ibu, Nak.
Ibu tidak bersalah. Sayalah yang bersalah telah membutakan mata, menulikan telinga, dan mematikan hati, menerima begitu saja seorang laki-laki yang sebetulnya masih asing siapa dirinya, siapa keluarganya, dari mana asalnya, dan banyak lagi. Ibu tidak usah khawatir, saya tidak akan patah hati hanya karena laki-laki serendah Hartomo. Maaf, Bu. Saya terpaksa mengata-ngatai
putra Ibu karena memang begitulah dia. Sudah mempunyai istri yang luar biasa, masih mencari perempuan lain.
Nak... Cukup, Bu. Ibu tidak usah membela dia dan menyalahkan diri Ibu sendiri. Detik ini juga saya akan membatalkan seluruh rencana saya untuk menikah dengannya.
Jangan emosional, Nak. Jangan pula terburu-buru mengambil keputusan. Nanti di rumah, endapkan kemarahan dan kekecewaan Nak Tety. Bicaralah dari hati ke hati dengan Hartomo. Tanyakan apa alasannya menyembunyikan kenyataan.
Ibu... percayalah pada saya. Saya tidak apa-apa, meskipun memang sangat marah dan kecewa. Tetapi dibanding kehancuran hati Mbak Ratih, apa yang saya rasakan ini tidak ada seujung kuku pun besarnya. Saya justru ingin Hartomo menyadari dosanya dan meminta ampun pada Mbak Ratih....
Nak, hatimu sungguh luhur. Sebenarnya, Hartomo sudah ke rumah sakit untuk minta ampun kepada Ratih dan dia juga sudah memaafkannya.
Kalau begitu, mudah kan, Bu" Mereka bisa bersatu kembali.
Nak, tidak semudah itu. Kau belum mengenal Ratih dengan baik. Memaafkan bukan berarti akan menerima Hartomo kembali. Dia justru ingin supaya Hartomo tetap melanjutkan pernikahannya denganmu. Dia tidak ingin perjumpaannya dengan Hartomo merusak rencana pernikahan kalian. Dia tidak ingin menjadi
batu sandungan bagi kalian. Dia tahu diri bahwa dia bukan istri pilihan Hartomo. Dirimulah yang diharapkan untuk mendampingi hidupnya. Bukan Ratih. Itulah yang dimengerti Bu Marta dari analisa yang didasari pengenalannya terhadap Ratih maupun terhadap Hartomo. Ratih pasti akan mendahulukan keinginan Hartomo. Itulah cinta yang tulus. Benar seperti kata Tety tadi, Hartomo memang tidak pantas menjadi suami perempuan sebaik Ratih.
Mendengar perkataan Bu Marta, Tety merasa hatinya tersentuh hebat.
Duh, Mbak Ratih memang berhati luhur, Tety mengeluh pelan. Tetapi dia keliru kalau mengira saya masih mau melanjutkan rencana untuk menikah dengan Hartomo.
Nak, Hartomo mencintaimu. Dan pasti lebih memilih hidup bersamamu daripada dengan istri yang bukan pilihannya, Bu Marta masih saja berusaha mencoba mengajuk hati Tety.
Sudah saya katakan tadi Bu, Hartomo tidak mencintai saya. Dia hanya mencintai dirinya sendiri. Saya tidak akan pernah menikah dengan laki-laki semacam itu sampai kapan pun, kata Tety, masih emosional. Nah, Bu. Saya tidak akan berlama-lama membicarakan Hartomo. Sayang mulut saya. Izinkan saya pulang dan mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaktahuan saya mengenai keberadaan Ibu dan Mbak Ratih. Tetapi, Nak...
Ibu tidak usah mengkhawatirkan saya. Di dunia ini Hartomo bukan satu-satunya lelaki, Tety merebut pembicaraan. Selintas kilat, tiba-tiba sosok Alex masuk ke dalam pikirannya. Mungkin Alex-lah jodohnya. Siapa tahu, pikirnya. Nah, saya pamit, Bu.
Bu Marta terpaksa membiarkan Tety pergi. Gadis itu memang berbeda dengan Ratih. Emosional, reaktif, dan bicara apa yang dirasakannya secara terbuka. Tanpa menyaring kalau-kalau perkataannya bisa menyinggung perasaan orang. Namun, ada baiknya juga orang seperti dia jika menghadapi permasalahan seberat ini. Terkadang tekanan dan perasaan marah perlu dikeluarkan. Orang yang mendengar juga jadi tahu bagaimana mencari penyelesaian bersama tanpa tedeng aling-aling.
Hari berikutnya, Ratih pulang ke rumah diantar Pak Dody. Kesehatannya semakin membaik kendati masih harus berjalan dengan bantuan walker. Sebelum menjemput Ratih, laki-laki itu membelikan alat bantu jalan tersebut di Pasar Pramuka, tempat orang berjualan berbagai peralatan medis. Harganya lebih murah daripada di toko atau apotek. Walker yang dipakai Ratih kemarin milik rumah sakit.
Ketika Pak Dody membayar biaya rumah sakit, Ratih tidak berani membantah. Tetapi di mobil, ia mengatakan akan mencicil semua yang telah dikeluarkan Pak Dody.
Kalau alasannya hanya karena merasa tidak enak padaku dan tidak suka mendapat sesuatu secara cumacuma, itu namanya memakai hitung-hitungan. Jadi lupakanlah untuk mencicilnya sebab berarti kau tidak mengakuiku sebagai kakak.
Ah, Mas Dody selalu saja mempunyai alasan yang
sulit kubantah, Ratih tersenyum jengkel. Terserahlah apa katamu. Pokoknya aku harus membalas budi baikmu.
Hm... masih saja ada hitung-hitungan jika terkait dengan uang dan materi. Apakah kasih persaudaraan yang tulus harus seperti itu" Coba jawab, Ratih. Aku ingin tahu apa pendapatmu. Pak Dody meliriknya dengan sama jengkelnya.
Ya sudah... ya sudah..., Ratih menyerah. Sudah kukatakan berulang kali, biaya itu tak masalah buatku. Bukan dengan maksud menyombong, tetapi biar kau mengerti bahwa aku melakukan ini karena menyayangimu. Nah, sekarang aku tanya padamu. Andaikata kau berada di tempatku dan aku jatuh sakit, apakah kau akan membiarkan aku telantar"
Tentu saja tidak, Mas, tanpa sadar Ratih menjawab cepat. Jangan lagi orang yang dekat denganku. Orang yang tak kukenal pun kalau sakit dan perlu dibantu akan kubayari jika aku punya uang banyak.... Nah, begitu juga aku!
Ratih merasa terjebak. Ya, sudah..., katanya, semakin menyerah pada keadaan. Kenyataannya memang dia tidak mempunyai uang lebih. Terima kasih.
Pak Dody tertawa. Ratih, materi itu memang penting untuk memenuhi banyak hal dan kebutuhan dalam hidup kita, katanya kemudian. Tetapi mengejarnya, bukanlah sesuatu yang bijaksana. Kenapa" Karena semua itu bersifat fana, tidak kekal. Apa yang mau kukatakan di sini adalah
materi itu penting untuk sarana, tetapi bukan untuk tujuan. Artinya, ada banyak yang jauh lebih penting daripada uang dan materi lainnya. Dalam persoalan kita adalah kasih dan perhatianku padamu.
Sekali lagi terima kasih, Mas. Di dalam hati Ratih berdoa dan akan terus berdoa setiap hari untuk Pak Dody agar laki-laki sebaik dia mendapat istri yang jauh melampaui dirinya yang tolol dan buta cinta ini. Sudah tahu Hartomo tak layak untuk dicintai, tetapi masih saja ia merindukan dan mencintainya.
Menganggur di rumah sementara ia melihat Bu Marta sibuk memasak ini-itu untuk membangkitkan selera makannya, Ratih benar-benar merasa diri tak berguna. Menyaksikan Bu Marta mengurusi segala urusan rumah tangga yang biasanya ia kerjakan, hatinya sungguh sangat resah. Oleh sebab itu, biarpun dengan susah payah ia berusaha untuk mengerjakan jahitan yang bisa dilakukannya. Membuat pola, memotong bahan, dan mengobras. Pendek kata, apa yang bisa dikerjakannya dengan dinamo, ia lakukan sesempurna biasanya. Meskipun Bu Marta melarangnya, Ratih tetap melakukan apa yang bisa dilakukannya.
Bu, kalau saya tidak mampu melakukannya, pasti tidak akan saya kerjakan, sahut Ratih, tersenyum menenangkan. Bergerak dan beraktivitas akan mempercepat kesembuhan kaki saya. Selain itu, Dokter sudah memberikan banyak vitamin dan kalsium untuk mempercepat tersambungnya tulang kaki saya. Kalau saya hanya duduk atau tidur, proses penyembuhan kaki saya malah tidak akan optimal.
Begitulah, selama beberapa hari Ratih berusaha menyelesaikan apa yang harus dilakukannya. Membuat pola dan menggunting bahan bisa dilakukannya sambil bertumpu walker, meskipun kelincahan kerjanya berkurang. Baru setelah semua jahitan itu masuk ke dalam proses penyelesaian, Ratih mencoba untuk menyelesaikan kebaya pengantin Tety. Dia tidak tahu-menahu apa yang terjadi di belakang dirinya mengenai hubungan Hartomo dan Tety. Dia juga tidak tahu bahwa Tety pernah berbicara panjang-lebar dengan ibu mertuanya. Andai pun tahu, baginya yang paling penting adalah memenuhi janjinya untuk segera menyelesaikan kebaya pengantin itu.
Dengan tangan gemetar, ia duduk di muka meja kerjanya dan mulai memasang payet-payet dan mote yang belum selesai dikerjakannya. Dadanya terasa sesak. Agar ibu mertuanya tidak mengetahui betapa pedih hatinya, Ratih bersenandung saat mengerjakan kebaya itu. Namun suaranya yang cukup bagus itu makin lama makin bergelombang sampai akhirnya ia menghentikan gerak tangannya. Lebih-lebih karena matanya yang mulai penuh air mengganggu ketajaman pandangannya. Padahal, ia membutuhkan mata yang sempurna untuk mengerjakan sulaman payet yang rumit itu. Ketika lehernya terasa sakit menahan tangis, kekuatannya pun hilang. Senandungnya entah sudah terbang ke mana. Ditelungkupkannya kepalanya ke atas meja. Dadanya penuh tangis dan merintih sakit, tetapi ia tidak berani mengeluarkannya sehingga lemah lunglai seluruh tubuh dan jiwanya. Sungguh menyakitkan sampai-sampai seluruh dirinya terasa terkuras. Akhirnya, ia merasakan dua buah telapak tangan yang lembut diletakkan ke atas bahunya. Tangan itu milik Bu Marta.
Sudahlah, Ratih. Jangan dipaksakan. Tinggalkan kebaya itu. Biar Ibu nanti yang akan meneruskannya, kata perempuan paro baya itu dengan penuh kasih sayang.
Biarlah, Ibu... tidak apa-apa. Tinggal sedikit lagi, Ratih menjawab sambil menegakkan kepalanya kembali. Ditepisnya air mata dari wajahnya.
Mata Bu Marta juga basah. Diambilnya kebaya pengantin itu dari tangan Ratih.
Kau tidak boleh melanjutkan pekerjaan ini, Ratih. Menurutlah. Biar Ibu yang melanjutkannya, katanya lagi. Sekarang, berdirilah. Pergi menonton teve atau minumlah es cendol buatan Ibu tadi pagi. Segar sekali rasanya....
Tidak, Ibu. Itu kewajiban saya. Saya tidak ingin orang yang sudah menaruh kepercayaan pada saya...
Tidak perlu, Ratih. Tidak perlu, Bu. Biarkan kebaya itu tetap di tempat. Bahkan singkirkanlah. Tidak akan pernah ada orang yang akan memakainya, kata suara berat yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang mereka. Suara Hartomo.
Kedua perempuan itu serentak menoleh. Hartomo ada di ambang pintu, entah sudah sejak kapan dia di situ, mereka tidak tahu. Tetapi air muka laki-laki itu begitu murung dan matanya berkaca-kaca penuh kesedihan.
Apa... maksudmu, Tom" Bu Marta mengurai udara yang tiba-tiba menyesakkan dada.
Kebaya itu tidak akan dipakai oleh Tety atau oleh siapa pun. Artinya, tidak akan ada pernikahan di antara kami, sahut Hartomo dengan tenang.
Bu Marta tertegun. Ia yakin sekali, perkembangan baru itu adalah hasil pembicaraannya dengan Tety beberapa hari yang lalu.
Maafkan Ibu, Tom.... Tidak, Ibu. Ibu sama sekali tidak bersalah. Akulah yang bersalah. Tety telah membasuhku habis-habisan dan aku sadar sekali dia betul. Aku memang pengecut. Aku memang telah melanggar nilai-nilai kejujuran. Aku memang orang yang tak bertanggung jawab. Aku memang egois. Aku memang orang yang tak berperasaan. Aku memang anak durhaka. Aku memang suami laknat. Kuakui itu semua, baik di hadapannya maupun sekarang di hadapan Ibu. Maka dengan penuh kerendahan hati, aku menuruti saja kemauannya untuk membatalkan pernikahan kami dan...
Aku tidak suka mendengar akhir hubungan kalian! Ratih memotong. Kalau itu kalian lakukan, aku akan marah sekali. Keberadaankulah yang menyebabkan hubungan kalian berantakan. Sebab andaikata pertemuan kita tidak terjadi, pasti tidak akan begini akhir ceritanya.
Tidak, Ratih. Pertemuan kita adalah petunjuk Tuhan bahwa aku harus mengakhiri kebohongan-kebohonganku dan merintis kehidupan yang lebih bertanggung jawab. Mulai dari tanggung jawab moral sebagai anak yang harus berbakti pada Ibu, sampai tanggung jawabku terhadap Tuhan.
Apa pun itu, tetapi toh awalnya karena keberadaanku. Jadi kembalilah kepada Tety dan lanjutkan rencana kalian. Aku akan membenci diriku sendiri kalau kalian membatalkannya.
Ratih, sebenarnya memang sudah agak lama aku merasa bahwa kami tidak akan cocok. Kurasa Tety juga marasakan hal yang sama. Tetapi karena sudah kepalang basah...
Cukup, Mas. Aku tidak ingin mengetahui dan terlibat di dalamnya. Aku tidak ingin mencampuri urusanmu dengan Tety. Tak ada kaitannya dengan diriku, sekali lagi Ratih memotong perkataan Hartomo. Oleh karena itulah, aku berharap kau dan juga Tety harus mengabaikan keberadaanku....
Ratih, mana bisa seperti itu" Dia tahu kau istriku dan justru karena itulah aku dimaki habis-habisan karena telah menelantarkan dirimu. Dia benar...
Ratih tertawa lembut. Tetapi tawa itu menyakitkan hatinya sendiri.
Lucu ya, kenapa perjumpaanmu dengan Ibu dan lalu perjumpaanmu denganku bisa mengubah total pemikiranmu yang semula mamasabodohkan aku dan Ibu, seakan-akan kami ini tidak ada. Andaikata kita tidak bertemu, sudah pasti rencana kalian akan selamat sampai pada tujuan. Jadi jangan karena aku, segalanya jadi berubah. Aku benar-benar sangat tidak suka mengetahui hal itu.
Pipi Hartomo langsung merona merah begitu mendengar perkataan Ratih. Melihat itu Bu Marta merasa
tidak enak. Ia juga merasa tidak berhak mendengar pembicaraan suami-istri yang sedang bersitegang itu.
Sebentar... Ibu banyak pekerjaan di dapur, katanya sambil terburu-buru meninggalkan ruang tengah. Ratih mengikuti tubuh Bu Marta dengan matanya. Kasihan Ibu, pikirnya. Pasti perasaannya terbelah-belah.
Ratih, sebetulnya sebelum ada perkembangan terakhir yang terjadi belakangan ini, hubungan kami sudah terasa hambar karena adanya ketidakjujuran di antara kami. Aku tahu dia masih mencintai bekas tunangannya dan beberapa kali mengadakan pertemuan. Ada seseorang yang kupercaya mengatakannya padaku. Sementara itu, aku sendiri pun menyembunyikan masa laluku bersamamu dan...
Cukup, Mas. Untuk apa sih menceritakan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan diriku" Lagi-lagi Ratih memotong perkataan Hartomo. Itu tidak etis!
Seperti yang kukatakan tadi, aku cuma mau mengatakan padamu bahwa perjumpaanku dengan Ibu dan lalu perjumpaanku denganmu, itu adalah petunjuk dari Tuhan agar aku mengakhiri kehidupanku yang penuh kebohongan, ketidakujuran, dan tak bertanggung jawab. Aku diingatkan untuk segera memperbaiki diri dari kesalahan yang kuperbuat selama ini agar...
Itu juga bukan urusanku, Mas. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dengan hati nuranimu, sekali lagi Ratih menyela bicara Hartomo.
Hartomo tertegun beberapa saat lamanya. Tetapi, Ratih, apakah kau tidak bisa memahami bahwa kesalahan sebesar apa pun selalu terbuka untuk
diperbaiki selama yang bersangkutan menyadari, menyesali, dan berhasrat untuk memperbaikinya serta...
Itu pun bukan urusanku, Mas Tom. Tujuh tahun lamanya kita berpisah dan itu sudah lebih dari cukup sebagai penyebab apa yang dulu terasa dekat, menjadi jauh. Apa yang dulu terasa intim menjadi asing. Dan kalau dulu urusanmu kuanggap sebagai urusanku juga, tetapi sekarang tidak lagi. Pada kenyataannya, memang seperti itulah yang terjadi, bahwa kita masing-masing telah mempunyai kehidupan sendiri. Jelas sekali kan prinsipku dalam hal ini bahwa kau mau menikah dengan Tety atau tidak, itu bukan urusanku. Kau mau memperbaiki dirimu, itu juga bukan urusanku.
Hartomo tertegun lagi. Semakin disadarinya bahwa Ratih sekarang benar-benar sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Jelas sekali bahwa selama tujuh tahun ini dia telah tumbuh menjadi perempuan yang matang pribadinya, luas wawasannya, dan mantap penilaian-penilaiannya. Menghadapi perkembangan baru yang terjadi di sekitar dirinya, ia juga mampu bersikap dan berpikir logis tanpa kehilangan kendali. Padahal Tety kemarin sore tampak begitu emosional. Wanita itu memuntahkan kata-kata yang tidak enak didengar dan penuh dengan berbagai kecaman.
Betul, kita masing-masing memang seperti telah mempunyai kehidupan sendiri, Ratih, Hartomo mencoba untuk mengingatkan Ratih. Tetapi jangan lupa, kita masih terikat pertalian suami-istri...
Aku kauminta jangan lupa bahwa kita berdua masih terikat hubungan suami-istri" Ratih menukas perkataan Hartomo sambil menaikkan matanya. Lho, selama tujuh tahun ini aku tidak pernah lupa tentang hal itu. Andaikata aku lupa, wah, barangkali saja saat ini aku sedang berbulan madu di luar negeri. Jadi, yang lupa bahwa masih ada ikatan suami-istri itu siapa" Jelas bukan aku!
Untuk ketiga kalinya Hartomo tertegun. Bahkan rasa malu mulai mencubiti hatinya. Pipinya merona merah lagi. Ratih benar-benar pandai membuatku tersudut, katanya dalam hati.
Ratih, aku tidak menyangka kau bisa bersikap begitu dingin membahas sesuatu yang begitu penting...
Apanya yang penting" Untuk kesekian kalinya Ratih memotong lagi.
Kenyataan bahwa kita masih terikat hubungan suami-istri. Statusku masih tetap sebagai suami dan statusmu masih sebagai istri.
Ratih tertawa. Mas, aku bukan orang bodoh kendati di masa lalu aku memang tolol karena selalu diam saja, meskipun kauperlakukan aku seperti kerbau dungu yang tak berani mengemukakan pendapat dan keinginan pribadiku, katanya kemudian. Apakah kau tidak sadar, ikatan perkawinan seperti yang kaukatakan itu kan cuma ada pada selembar surat nikah yang sudah basi!
Ya ampun, Ratih, surat nikah kan harus dihormati keabsahannya.
Ratih tertawa lagi. Hartomo mendengar nada sinis dalam tawa perempuan itu.
Mas Tom, Mas Tom! Ratih menggeleng-geleng.
Kau membuatku tertawa. Siapa sih yang selama ini tidak menghormati surat nikah kita" Kau atau aku" sindirnya. Menurut hukum agama, jangan lagi sampai bertahun-tahun lamanya kau pergi meninggalkanku begitu saja, baru beberapa bulan saja meninggalkan istri tanpa nafkah lahir dan batin, surat nikah itu sudah bisa dimasalahkan. Sekarang, dari mana Mas Tom bisa sampai pada pemikiran bahwa surat nikah harus dihormati"
Hartomo kehilangan kata-kata. Tetapi cuma beberapa menit lamanya. Menit berikutnya dia sudah bisa bicara lagi.
Aku benar-benar terus-menerus dikejutkan olehmu, Ratih. Kau sekarang pandai menyudutkan aku, katanya, mulai putus asa.
Terserah kau mau menilaiku apa, aku tidak peduli. Tetapi daripada melantur bicara ke mana-mana, tolong katakan dengan terus terang apa sebetulnya maksud Mas Tom datang menemuiku"
Baik, aku akan menjawab pertanyaanmu. Tetapi sebelumnya, apakah aku boleh mengatakan dengan terus terang apa yang terasa di hatiku" Agak terbatabata, Hartomo bertanya.
Oh, silakan saja. Aku tidak keberatan.
Ratih, sebenarnya setelah kita berjumpa di rumah sakit beberapa hari yang lalu, aku benar-benar disinggahi rasa sesal yang sangat karena telah meninggalkanmu dan dengan sengaja pula tidak memberimu kabar berita.... Sekali lagi bicara Hartomo terbata-bata. Lalu..."
Ketika melihatmu kembali... aku sadar betul bahwa ternyata... aku masih... masih... mencintaimu... dan ingin hidup kembali bersamamu....
Ratih tidak mengira Hartomo akan menyatakan cinta. Apakah kata-katanya dapat dipercaya" Apakah itu disebabkan karena Hartomo telah melihat perubahan dirinya yang seratus delapan puluh derajat dibanding ketika masih di kampung" Kalau ya, alangkah kerdil perasaan cinta laki-laki itu. Berpikir seperti itu, Ratih tersenyum dingin.
Aduh, apakah itu tidak berlebihan" tanyanya. Pernyataan cinta Hartomo membuat perasaannya ambivalen. Antara percaya dan tidak. Antara rasa kemenangan dan rasa terkalahkan. Antara rasa senang dan muak. Tenangkan pikiranmu dulu, Mas, dan endapkan isi dadamu agar jangan keliru mengartikan perasaanmu. Kau masih dalam keadaan terguncang ditolak Tety dan direnggutkan dari rencana pernikahan yang sudah kalian susun masak-masak. Dalam keadaan seperti itu seharusnya pantang bagi seseorang untuk menyatakan perasaan cinta atau semacam itu. Dan aku, meskipun orang bilang hatiku lembutlah, sabarlah, dan yang lain sebagainya, tetapi sebenarnya aku juga sangat rasional. Apa maksud bicaramu itu"
Maksudku, aku tidak memercayai pernyataan cintamu. Lagi pula, sudah tidak ada relevansinya dengan kehidupanku sekarang, yang sudah terbiasa tanpa keberadaanmu. Ketika di rumah sakit, aku sudah mengatakan bahwa seperti dirimu dan seperti setiap orang di dunia ini, aku juga bercita-cita dan berkeinginan untuk
hidup bahagia. Apalagi karena aku telah menyia-nyiakan kebahagiaan yang seharusnya bisa kukecap kemarin-kemarin hanya karena takut dianggap tidak setia mengingat statusku masih sebagai seorang istri. Dengan kata lain, aku bermaksud mengatakan padamu bahwa aku sama sekali tidak yakin akan bisa berbahagia hidup bersamamu. Padahal aku ingin hidup bahagia. Aku sangat tidak yakin apakah keinginan untuk hidup bahagia itu akan kudapatkan jika kita hidup bersama lagi.
Hartomo seperti ditampar keras-keras saat mendengar perkataan Ratih. Meski tidak dikatakan secara jelas, siapa pun akan tahu bahwa Ratih menolak untuk hidup kembali bersamanya karena tidak memercayainya. Hartomo benar-benar tidak mengerti karena ketika dia tadi melihat Ratih menangis saat mengerjakan kebaya pengantin Tety, harapannya untuk meraih hati Ratih kembali begitu berbunga-bunga.
Ratih, apakah kau sudah tak... mencintaiku lagi..." tanyanya kemudian.
Jangan bicara tentang cinta, Mas. Aku sudah tidak sebodoh dulu yang menganggap cinta dan kesetiaan sebagai satu-satunya pegangan untuk hidup bersuamiistri. Sekarang ini aku sudah sangat mengetahui bahwa cinta harus berada jauh dari pertimbangan, penilaian, keputusan, dan penentuan atas langkah hidup yang akan diambil. Cinta tidak boleh menyebabkan seseorang menjadi buta, tetapi harus tetap rasional dan objektif.
Jadi, kau... kau... meragukan niat suciku untuk memperbaiki semua hal yang telah kurusak dan kuporak-porandakan"
Maafkan aku, Mas. Percayalah, aku sendiri pun benci pada pikiranku ini, sahut Ratih, apa adanya. Apakah itu karena ada Pak Dody di antara kita..." Ratih terdiam beberapa saat lamanya.
Kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu itu, sahutnya diplomatis. Nah, Mas Tom, rasanya sudah cukup banyak pembicaraan kita. Maafkanlah, aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertunda selama aku ada di rumah sakit.
Hartomo terpaksa mengiyakan. Rasanya, Ratih berada jauh sekali di seberang sungai lebar yang tak ada jembatannya. Dibiarkannya Ratih masuk ke kamarnya sambil membawa blus orang yang perlu diberi lubang kancing. Mata laki-laki itu nanar menatap punggung perempuan yang masih berjalan tertatih-tatih dengan bersitumpu pada walker. Teringat olehnya bagaimana tadi perempuan itu berbicara dengan sikap anggun. Matanya yang bagai bintang berbinar-binar. Bibirnya yang indah mengeluarkan berbagai kata, yang bukan hanya patut menjadi bahan pemikirannya saja, tetapi juga merupakan sentilan pedas di telinganya. Duh, manusia memang aneh sekali, pikirnya dengan perasaan tertekan. Dulu ketika ia menganggap rendah dan menelantarkan perempuan itu selama hampir tujuh tahun, hampir-hampir ia tidak pernah mengingat-ingatnya. Namun kini ketika ia mulai melihat mutiara di balik sosok Ratih dan menilainya semakin tinggi dan semakin tinggi, justru perempuan itu yang menganggapnya tak layak untuk menjadi pendamping hidupnya. Padahal betapa inginnya ia menebus segala dosa atas semua
sikapnya yang buruk terhadap Ratih maupun terhadap ibu kandungnya sendiri. Apakah sudah tidak ada kesempatan baginya untuk bertobat dan memperbaiki segalagalanya"
Dengan lesu, Hartomo berjalan pelan ke ruang tamu dan terduduk di sana dengan tubuh lemas. Wajahnya kelam dan murung sekali. Bu Marta yang sejak tadi menanti hasil pembicaraan anak lelakinya dengan Ratih, segera menyusul ke ruang tamu. Melihat betapa keruhnya wajah Hartomo, dia tahu anaknya telah gagal meraih hati Ratih kembali.
Gagal, Tom" tanyanya.
Hartomo mengangguk dengan gerakan lesu. Bu Marta menarik napas panjang.
Jangan salahkan dia, Tom.
Saya tidak menyalahkan dia, Bu. Sayalah yang bersalah. Sangat bersalah, sahut Hartomo sambil menunduk.
Tom, luka hati Ratih masih berdarah, jadi kau harus memahami perasaannya. Menyembuhkan luka-luka berdarah yang sudah ada sejak tujuh tahun yang lalu tidak mudah, Nak. Ibu harap, apa yang terjadi ini harus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagimu. Menyepelekan dan merendahkan keberadaan seorang istri adalah sesuatu yang sangat buruk. Mengabaikan dan melupakan seorang ibu yang telah melahirkanmu adalah perbuatan durhaka.
Saya tahu, Bu. Saya menyesal sekali.... Air mata menetes ke pipi Hartomo.
Ibu tahu itu. Tetapi ada sesuatu yang belum Ibu
ceritakan padamu mengenai Ratih saat kami masih ada di kampung. Banyak laki-laki iseng yang ingin mencoba-coba membawanya keluar dari rumah kita. Ada banyak pula laki-laki yang sebetulnya serius, tetapi sudah telanjur beristri. Dan banyak para istri yang menaruh rasa benci pada Ratih karena panasnya api cemburu. Ada banyak pula gosip mengenai dirinya. Padahal sebagai padagang warung, Ratih harus melayani pembeli. Ibu tahu betul penderitaannya saat itu. Kau tahu kenapa laki-laki dan perempuan bersikap demikian kepadanya"
Tidak, Bu.... Itu karena suaminya sendiri menyepelekan, menganggapnya tak berharga, meremehkan dan merendahkannya. Dengan kenyataan seperti itu, siapa yang mau menghargai dan menghormatinya, Tom" kata Bu Marta. Menyedihkan, Nak. Harga dirinya bagai terinjak-injak. Ibu tahu betul itu. Perempuan berhati sederhana seperti dia sampai mengajak Ibu pindah ke Jakarta, itu tanda bahwa dia sudah tidak tahan tinggal di kampung. Jadi, wajar kalau Ratih masih mengalami trauma batin yang tidak bisa disembuhkan dalam waktu sehari atau seminggu.
Ya, Bu, saya sungguh mengerti sekarang betapa banyaknya penderitaan Ratih yang diakibatkan oleh perbuatan saya, kata Hartomo sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
Ibu mengerti betapa rasa sesal dan kecewamu, kata Bu Marta. Tetapi harus kausadari bahwa itu semua tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan Ratih.
Ya, Bu, saya mengerti. Sekarang pulanglah dulu, Tom. Sesal dan tobatmu dalamilah itu dengan sungguh-sungguh, kata Bu Marta lagi. Beri waktu bagi Ratih untuk merenungkan segalanya, termasuk keinginanmu untuk kembali padanya. Pelan-pelan Ibu akan membantumu melunakkan hatinya sebab sepengenal Ibu terhadapnya Ratih termasuk orang yang mudah merasa iba dan pemaaf. Jadi, bersabarlah.
Mendengar perkataan ibunya, ada setitik nyala di hatinya yang semula gelap gulita. Ia tahu, ibunya lebih mengenal dan lebih memahami hati Ratih daripada dirinya. Ditengadahkannya wajahnya ke arah sang ibu.
Ya, tolonglah saya, Bu. Baru sekarang setelah Ratih tadi mengatakan tidak ingin hidup bersama saya lagi, saya merasa takut sekali kehilangan dirinya. Sebab mungkin saja dia akan memilih Pak Dody atau yang lain. Semakin hal itu saya pikirkan, semakin saya sadar bahwa saya mencintainya dan takut kehilangan dirinya.... Dua butir air mata meluncur lagi ke atas pipi Hartomo.
Pasti Ibu akan menolongmu sebab Ibu juga tidak ingin kehilangan menantu seperti dia, sahut sang ibu.
Ibu, maafkanlah saya. Baru sekarang mata saya terbuka bahwa istri pilihan Ibu ternyata merupakan mutiara yang jarang ada duanya..., kata Hartomo lagi dengan suara bergetar.
Bu Marta merasa terharu. Diusapnya rambut anak lelakinya itu.
Kauikuti usaha ibumu nanti dengan banyak berdoa ya, Nak, katanya dengan suara lembut. Mudah-mudahan Allah mendengar tobatmu.
Ya, Bu.... Di sana, di dalam kamar yang tertutup, Ratih menyeka air matanya yang seperti tidak mau berhenti. Hatinya hancur. Apa yang diperlihatkan pada Hartomo, apa yang diucapkannya, semuanya hanya merupakan tameng atau topeng untuk menutupi isi hatinya yang sesungguhnya. Ketika tadi Hartomo mengakui kesalahannya, ketika mengucapkan permintaan maafnya dan menyatakan cintanya, Ratih ingin berlari ke dalam pelukan hangat yang dirindukannya setengah mati itu. Tetapi apa boleh buat. Dia tak ingin tampak murah dan mudah mengikuti keinginan Hartomo. Dia tak ingin tampak sebagai barang yang kalau tidak disuka, akan dibuang dan dibiarkannya begitu saja. Begitu ditinggal Tety dan istrinya tampak jauh lebih menarik daripada dulu ketika ditinggalkannya, apalagi sedang dekat dengan laki-laki lain, Hartomo ingin memulihkan perkawinan mereka kembali. Memangnya aku ini barang" Begitu Ratih menangis sedih.
Kalau sudah begitu, Ratih benar-benar merasa benci bahkan marah pada dirinya sendiri. Apa kelebihan Hartomo dari laki-laki lain, terutama dibandingkan Pak Dody" Sama sekali tidak ada. Tetapi kenapa cintanya terhadap laki-laki itu masih saja begitu megah bertahta di dalam hatinya" Kenapa tidak kepada Pak Dody saja cintanya tertuju" Kenapa hatinya begitu kuat dan begitu kukuh terhadap cintanya pada Hartomo"
Sungguh menyebalkan dirinya ini. Tolol, buta, degil, keras kepala, dan entah apa lagi.
Namun terlepas dari semua itu, jauh di lubuk hatinya Ratih tahu bahwa bukan hanya Hartomo saja yang mengharapkan dirinya kembali menjadi istrinya, tetapi terutama Bu Marta. Ratih tahu betul, hatinya sangat lembek karena kasihnya kepada perempuan yang dicintainya bagai ibu kandung itu. Kalau Bu Marta mengiba-iba dan memintanya untuk kembali kepada Hartomo, apalagi kalau air mata ikut berbicara di dalam bujuk-rayunya, Ratih yakin sekali bahwa ia akan kalah dan terpaksa mengangguk untuk menyatakan ya pada perempuan itu.
Tetapi sebelum itu terjadi, Ratih bermaksud untuk bertemu empat mata dengan Tety. Dia juga ingin bertemu empat mata dengan Pak Dody untuk bicara dari hati ke hati, dan meminta maaf serta mohon pengertian pada mereka atas keputusannya. Keputusan yang sebetulnya amat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh rasionya.
Namun di atas segalanya, satu-satunya yang melegakan hati Ratih adalah keberhasilan dirinya mengangkat harga dirinya di mata Hartomo. Sebagai istri yang bukan pilihan suaminya, ia telah berhasil menunjukkan bahwa dirinya memiliki nilai dan derajat yang tidak kalah dengan orang lain. Tidak sia-sia dia menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya melalui sikap, pandang mata, tutur bahasa, dan isi bicaranya. Hartomo jelas tampak amat terkesan dan terheran-heran atas kemajuan dan perkembangan dirinya. Tidak sia-sia pulalah kekuatan, keanggunan palsu, dan topeng-topeng yang berhasil diperlihatkannya pada laki-laki itu. Ia telah menyaksikan dengan mata dan hatinya, laki-laki itu terpesona oleh segala hal yang ada pada dirinya sekarang. Ratih juga yakin, di masa-masa mendatang, entah nanti ia akan menerima Hartomo sebagai suaminya kembali ataukah akan membiarkannya menunggu dan menunggu demi menghukumnya agar lebih menghargai keberadaan kaum perempuan, di situlah Ratih yakin bahwa Hartomo pasti telah merombak total pola pikir dan perasaannya. Sama yakinnya bahwa hasil dari perombakan diri itu, Hartomo akan menjadi suami yang jauh lebih baik dan lebih bisa diandalkan di masa depan.
Tetapi, tunggu. Dia tidak akan secepat itu menerima Hartomo. Biarlah laki-laki itu belajar dulu bagaimana rasanya berada dalam penantian sebagaimana yang pernah dialaminya. Bukan karena rasa dendam, tetapi karena ia ingin Hartomo menjadi lebih matang memahami dan memaknai arti sebuah perkawinan.
Gramedia Pustaka Utama Gramedia Pustaka Utama Gramedia Pustaka Utama Raja Naga 7 Bintang 4 Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra Rahasia Kaum Falasha 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama