Ceritasilat Novel Online

Mata Yang Enak Dipandang 1

Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari Bagian 1


Mata yang Enak Dipandang Ahmad Tohari D i bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang
jalan depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering, compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya, berada. Namun, Mirta segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja meninggalkan dirinya di tempat yang terik dan sulit itu. Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah pemerasan dan kali ini untuk segelas es limun. Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa sehingga kaki Mirta menginjak tahi anjing. Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta membelikannya lontong ketan.
Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mirta betul-betul ingin tidak menyerah kepada penuntunnya. Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus menembus batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang-kunang. Mirta mulai goyang. Ia bergerak untuk mencari tempat yang teduh dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.
* * * Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mirta berdiri goyang di atas gili-gili. Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang keropos. Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mirta bukan hendak menyeberang, melainkan berjalan menyusuri trotoar. Mirta harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak ingin mati kering seperti dendeng. Namun, baru beberapa kali melangkah, Mirta melanggar sepeda yang diparkir melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta-merta menindihnya. Mata yang Enak Dipandang
Ahmad Tohari Bunyi berderak disambut sorak-sorai dari seberang jalan. Dan itu suara Tarsa.
Pemilik sepeda datang hanya untuk mengurus kendaraannya. Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung di seberang jalan, juga datang. Tetapi Tarsa hanya menonton ketika Mirta bersusah payah mencoba berdiri. Tangan Mirta menggapai-gapai sesuatu yang mungkin bisa dijadikan pegangan. Karena tangannya gagal menangkap sesuatu, Mirta tak bisa tegak. Ia jongkok seperti mayat yang dikeringkan. Kepalanya terasa menjadi gasing yang berputar makin lama makin cepat. Kesadarannya mulai mengawang. Meski demikian, Mirta tahu Tarsa sudah berada di dekatnya.
Panas, Kang Mirta" Panas sekali, bangsat! kata Mirta dengan suara kering dan samar.
Sekarang kamu mau membelikan aku es limun. Iya, kan" Mirta tak menjawab. Namun, Tarsa mengerti bahwa Mirta sudah tak tahan lagi berada lebih lama di bawah matahari. Tarsa juga sudah tahu bahwa Mirta menyerah. Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mirta menyeberang dan berhenti dekat tukang minuman. Segelas es limun diminumnya dengan penuh rasa kemenangan. Mirta juga minum. Bukan es limun melainkan air putih; segelas, segelas lagi, dan segelas lagi. Selesai membayar minuman, Mirta minta diantar ke tempat yang teduh.
Dalam bayangan pohon kerai payung depan stasiun, Tarsa kembali bergembira dengan yoyonya. Namun, Mirta duduk memeluk lutut, diam seperti bekicot. Tiga gelas air putih yang baru diminumnya muncul kembali ke permukaan kulit, menjadi keringat untuk mendinginkan badan yang terlalu lama tersengat matahari. Rasa pening terus menggigit kepalanya. Dan Mirta terhuyung ke samping karena tanah yang didudukinya terasa miring dan terus bertambah miring. Ketika merasa tanah makin cepat berayun, Mirta merebahkan badan, melengkung seperti bangkai udang. Keringatnya mulai mengering karena sapuan angin. Tapi wajahnya perlahan-lahan berubah pucat. Napasnya megap-megap. Terdengar rintihan lirih dari mulutnya, lalu segalanya tampak tenang. Mirta terbujur diam di bawah kerai payung depan stasiun. Mirta tertidur atau Mirta pingsan. Dan di dekatnya, Tarsa tetap gembira dengan yoyo yang melesat turun-naik di tangan.
* * * Tanpa sedikit pun berkedip, matahari terus beringsut ke barat. Bayangan kerai payung bergerak ke arah sebaliknya dan lamalama wajah Mirta tertatap langsung oleh matahari. Terik yang kembali menyengat kulit muka membuat Mirta terjaga atau siuman. Dan hal pertama yang dirasakan ketika Mirta mencoba duduk adalah rasa dingin yang merambah ke seluruh badan. Mirta menggigil. Dan bel stasiun berdentang nyaring. Pengumuman berkumandang; kereta akan segera masuk. Tarsa menggulung yoyonya dan berbalik ke arah Mirta.
Mata yang Enak Dipandang Ahmad Tohari Kereta datang, Kang. Ayo masuk stasiun.
Mirta tak memberi tanggapan. Ia hanya menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir pening.
Kang, kereta datang. Ayo masuk. Nanti ketinggalan. Tarsa tak sabar. Diraihnya tangan Mirta. Kere picek ini harus apa lagi kalau tidak mengemis kepada para penumpang" pikir Tarsa. Tetapi Tarsa terkejut ketika menyentuh tangan Mirta. Panas. Tarsa juga melihat bibir Mirta sangat pucat. Kamu sakit, Kang"
Tidak, jawab Mirta lirih. Tarsa ragu. Dirabanya kembali tangan Mirta. Memang panas. Dan bibir itu memang pucat. Tarsa bertambah ragu.
Bila kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere, bukan" Yang namanya kere harus ngemis, bukan"
Kali ini aku malas. Tapi uangmu sudah habis dan kita belum makan. Kamu juga belum kasih aku upah!
Ya. Perolehan hari ini memang sangat sedikit. Itu salahmu. Kukira kamu tolol, tak pandai mengemis. Tolol" Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Sudah puluhan anak jadi penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering tak dapat duit. Jadi, siapa yang tolol"
Kang, aku sudah membawa kamu ke mana-mana. Kamu sudah kuhadapkan ke semua orang, ke semua penumpang. Jadi, kalau kamu tak dapat duit, kamu sendiri yang tolol, kan" Kamu yang punya mata. Seharusnya kamu bisa melihat
orang yang biasanya mau kasih recehan. Di depan orang seperti itu kita harus lama bertahan.
Omong kosong. Bagaimana aku bisa mengenali orang seperti itu"
Betul, kan" Kamu memang tolol. Perhatikan mata mereka. Orang yang suka memberi receh punya mata lain. Ah, tahi kucing! Orang picek bisa melihat mata orang lain" Sudah kubilang, aku puluhan tahun jadi pengemis. Kata teman-teman yang melek, mata orang yang suka memberi memang beda.
Tidak galak" Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak dipandang.
Tarsa nyengir. Ada suara gemuruh dan bunyi rem logam yang menggurat telinga. Kereta masuk.
Akan kucari penumpang-penumpang yang matanya enak dipandang. Ayo, Kang Mirta, kita jalan.
Mirta tidak sedikit pun bergerak.
Sudah kubilang kali ini aku malas. Apa kamu lupa kereta yang baru datang" Kereta utama, bukan" Kita tidak akan bisa masuk kereta seperti itu. Ngemis lewat jendela pun payah. Tunggu saja nanti kereta kelas tiga.
Tapi kita belum makan, Kang. Mata yang Enak Dipandang
Ahmad Tohari Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja kereta kelas tiga.
Tarsa diam meski hatinya jengkel bukan main. Bukan hanya jengkel kepada Mirta melainkan juga kepada kata-katanya yang benar belaka. Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.
* * * Ada bunyi keruyuk dari perut. Tarsa menelan ludah. Ia mencoba melupakan semua dengan yoyonya. Tetapi bunyi dari perutnya makin sering terdengar. Tarsa keluar dari bayangan kerai payung, berjalan tak menentu dan berbalik lagi. Ia ingin mengajak Mirta, untung-untungan mengemis kepada penumpang kereta yang baru datang. Tetapi dilihatnya Mirta sudah rebah kembali. Tubuhnya menggigil dan terasa sangat panas. Ketika Mirta meraih tangannya, Tarsa memandangi orang yang dituntunnya itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu lama demi segelas es limun. Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari
kacung bagi kere picek yang kini menggeletak di tanah di depannya; sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere tua yang keropos kedua matanya itu. Mampus kamu, Kang Mirta!
Ah, tidak. Kamu jangan mati. Kalau kamu mati, Kang Mirta, siapa nanti yang akan kutuntun" Siapa nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak dipandang"
Peluit lokomotif berbunyi nyaring dan kereta kelas satu berangkat. Mata-mata sedingin mata bambu yang datang dari dunia sangat jauh bergerak meninggalkan stasiun. Matahari melirik tajam dari belahan langit barat. Ada pengemis buta terbujur lunglai di bawah pohon kerai payung depan stasiun. Tarsa sungguh menyesal telah memeras habis-habisan lelaki yang, meski kere dan buta, satu-satunya orang yang tiap hari memberinya upah. Bahkan Tarsa mulai takut Mirta benar-benar sakit lalu mati.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mirta. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mirta, hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati, Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mirta sudah sangat berpengalaman.
Bel di stasiun kembali berdering. Diumumkan, kereta lain akan masuk. Tarsa hafal, yang akan tiba adalah kereta kelas tiga dari Surabaya. Ditolehnya Mirta yang masih menggeletak di tanah. Mulut Mirta setengah terbuka, bibirnya sangat pucat. Napasnya pendek-pendek. Ketika diraba tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
Mata yang Enak Dipandang Ahmad Tohari
Kereta masuk dan remnya terasa menggores hati. Perut Tarsa berkeruyuk. Tarsa ingin menggoyang tubuh Mirta, tetapi ragu. Maka Tarsa hanya berbisik di telinga lelaki buta yang tengah tergolek itu. Lirih bisiknya.
Kang Mirta, bangun. Kereta api kelas tiga datang. Ayo kita cari orang-orang yang matanya enak dipandang.
Tak ada reaksi apa pun dari tubuh lunglai itu. Matahari makin miring ke barat, namun panasnya masih menyengat. Tarsa gagap, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Mungkin tidak sengaja ketika dia mengulang berbisik di telinga Mirta.
Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan"
Hening. Kompas, 29 Desember 1991 Bila Jebris Ada di Rumah Kami Ahmad Tohari S elentingan tentang Jebris kian meluas. Seperti bau terasi terbakar, selentingan itu menyusup ke setiap rumah di pojok dusun itu. Kini rasanya tak seorang pun yang tinggal di sana belum tahu bahwa Jebris sudah jadi pelacur. Maka orang berkata, Jebris janda beranak satu, telah menghidupkan kembali aib lama, aib pojok dusun itu yang dulu dikenal sebagai tempat kelahiran pelacur-pelacur.
Itu dulu. Dan sejak beberapa tahun belakangan orang sepakat mengakhiri aib seperti itu. Di pojok dusun itu kini sudah berdiri surau yang seperti demikian adanya, terletak hanya beberapa langkah dari rumah Jebris. Di sana juga sudah ada rukun tetangga dengan seksi pembinaan rohani. Para perempuan sering berhimpun dalam pertemuan atau arisan. Dalam kesempatan seperti itu, selalu ada acara ceramah pembinaan kesejahteraan keluarga atau pengajian. Tetapi siapa saja boleh bersaksi bahwa kepelacuran Jebris makin mapan saja. Tiap sore Jebris naik bus ke daerah batas kota, sekitar terminal, yang pada malam hari menjadi wilayah mesum. Menjelang matahari terbit, Jebris sudah berada di rumah karena selalu menumpang bus paling awal.
Orang bilang, sebenarnya Jebris sudah beberapa kali mendapat peringatan. Ia pernah didatangi hansip yang memberinya nasihat banyak-banyak. Mendengar nasihat itu, demikian orang bilang, Jebris mengangguk-angguk dan dari mulutnya terdengar ya, ya . Jebris juga menghidangkan kopi untuk Pak Hansip. Tetapi ketika menghidangkan minuman itu, Jebris hanya ber-pinjung kain batik, tanpa kebaya, dan rambut tergerai. Kata orang, Pak Hansip tak bisa berkata sepatah kata pun dan langsung pergi.
Cerita lain mengatakan, Ketua RT juga pernah mendatangi Jebris. Seperti Pak Hansip, Ketua RT pun banyak memberi nasihat agar Jebris berhenti melacur. Ketika mendengar nasihat Ketua RT, Jebris juga mengangguk-angguk. Dari mulutnya juga terdengar ya, ya . Tetapi sore hari Jebris kembali berangkat naik bus terakhir dan pulang menjelang pagi dengan bus pertama. Atau seperti dibisikkan oleh orang tertentu, sesungguhnya tak pernah ada hansip atau pengurus RT yang mencoba menghentikan Jebris. Mereka, para hansip dan sebagian besar pengurus RT, adalah sontoloyo yang sebenarnya tidak keberatan Jebris menjadi pelacur.
Di pojok dusun itu mungkin hanya Sar, istri Ratib, yang benar-benar sedih melihat Jebris. Sar dan Jebris bertetangga sejak bocah, bahkan sampai sekarang pun mereka tinggal sepekarang- Bila Jebris Ada di Rumah Kami
Ahmad Tohari an, hanya terpisah oleh surau itu, surau yang dipimpin oleh Ratib, suami Sar. Selain menjadi imam surau, Ratib juga menjadi ketua seksi pembinaan rohani dalam kepengurusan RT. Maka ada orang bilang, kepelacuran Jebris mencolok mata Ratib, suami Sar.
Karena tak punya sumur sendiri, setiap hari Jebris menggunakan sumur keluarga Sar. Bahkan tidak jarang Jebris mencuri-curi membersihkan badan di kamar mandi Sar. Bila hendak pergi menjajakan diri, Jebris menunggu bus tepat di depan rumah Sar, karena rumahnya tak punya gang ke jalan besar. Lalu sering terjadi Jebris berpapasan dengan anak-anak yang mau mengaji di surau menjelang magrib dan bertemu lagi dengan anak-anak itu lepas subuh.
Sampai demikian jauh, Sar masih bisa menahan kesedihannya. Sar tetap menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah setiap bulan. Sar tidak akan lupa, bagaimanapun keadaan Jebris, dia adalah temannya sejak anak-anak. Banyak sekali pengalaman masa kecil bersama Jebris yang tak mudah terlupakan. Memang, ulah Jebris acap kali merupakan ujian yang lumayan berat bagi kesabaran Sar. Jebris nakal. Dia suka mengambil sabun atau deterjen. Jebris malah sering juga mengambil pakaian dalam Sar yang sedang dijemur. Hati Sar selalu kecut bila membayangkan pakaian dalamnya dikenakan Jebris. Dan Sar merinding bila mengingat suatu ketika pakaian dalam yang melekat pada tubuh Jebris digerayangi tangan bajul buntung. Dan Sar harus menghadapi ujian terberat ketika suatu hari datang seorang lelaki asing.
Lelaki itu mengajak Sar pergi berkencan, karena dia mengira Sar adalah Jebris.
Boleh jadi Sar akan tetap bertahan dalam kesabarannya apabila di pojok dusun itu tidak berkembang selentingan baru. Orang bilang, Jebris tidak hanya menjajakan diri di tempat mesum sekitar terminal. Diam-diam Jebris sudah berani menerima lelaki di rumahnya yang hanya beberapa langkah dari surau dan dekat sekali dengan rumah Sar. Kabar terbaru ini membuat Sar harus bicara, paling tidak kepada Ratib, suaminya.
Kang Ratib, kata orang, keberkahan tidak akan datang pada empat puluh rumah di sekitar tempat mesum. Apa iya, Kang" Ya, mungkin.
Kalau begitu hidup kita tidak bisa berkah ya, Kang" Maksudmu selentingan terbaru tentang Jebris" Sar mengangguk. Ratib menarik napas panjang. Sar menunggu tanggapan, tetapi suaminya hanya menjawab dengan senyum. Sar terpaksa ikut tersenyum. Senyum keduanya kaku dan terasa buntu. Sar ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian sadar bahwa di dalam kepalanya tak ada gagasan apa pun. Yang kemudian datang malah kenangan masa anak-anak bersama Jebris. Ketika bocah, tubuh Jebris seperti Mendol; gemuk dan putih. Betisnya penuh. Karena gemas, Sar sering mencubit pantat Jebris yang berwajah agak bloon tetapi pandai mencatut karet gelang milik Sar. Anehnya, Sar tak mau berpisah dengan Jebris karena sebagai teman bermain Jebris setia dan patuh.
Sar juga sering menemani Jebris menunggu ayahnya pulang Bila Jebris Ada di Rumah Kami
Ahmad Tohari dari hutan jati. Selain membawa sepikul kayu bakar, ayah Jebris selalu membawa seikat kacang lamtoro. Keluarga Jebris menggunakan lamtoro sebagai lauk. Jadi, Sar dulu sering bertanya kepada Jebris, Makan nasi kok pakai lauk biji lamtoro. Apa enak" Jawaban Jebris selalu sama, Enak, asal jangan disertai ikan asin, sebab cacing di perut bisa keluar. Saya takut cacing.
Emak Jebris penjual gembus, kue singkong yang digoreng dan berbentuk gelang. Ada sebuah gubuk di pinggir jalan. Di situlah emak Jebris tiap malam menggoreng gembus dan langsung dijajakan. Jebris senang menemani emaknya berjualan hingga larut malam, karena selalu ada lelaki pembeli gembus yang memberinya uang receh. Bila sudah mengantuk, Jebris berbaring di balai-balai kecil di belakang emaknya. Dan menit-menit sebelum terlelap adalah saat yang mengesankan bagi Jebris. Ia sering mendengar emaknya bergurau, berseloroh, bahkan cubit-cubitan dengan pelanggan lelaki. Suatu kali, ayahnya datang ketika emaknya sedang berpegangan tangan dengan seorang pembeli. Tetapi emaknya tenang saja, bahkan ayahnya hanya menunduk.
Sar dan Jebris bersama-sama masuk Sekolah Rakyat. Tetapi Jebris hanya bertahan selama dua tahun. Jebris keluar setelah emaknya meninggal. Pada usia enam belas tahun, Jebris kawin dengan pedagang yang membuka kios kelontong dekat terminal. Jebris diboyong dan harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup suaminya yang nyantri. Setiap hari Jebris mengenakan kebaya panjang dan kerudung. Gelang dan kalung emasnya besar. Pada tahun kedua, Mendol lahir. Orang bilang, Jebris anak yang beruntung.
Orang juga bilang bahwa Jebris anak yang mujur ketika mereka melihat ibu muda itu mulai dipercaya menjaga kios suaminya yang lumayan besar. Namun, satu tahun kemudian, sudah terdengar selentingan bahwa dalam berdagang Jebris meniru emaknya. Jebris akrab dan hangat terhadap sopir-sopir, kernet-kernet, dan tukang-tukang ojek. Kiosnya selalu meriah oleh irama musik gendang dan tawa anak-anak muda. Lalu Jebris kedapatan menghilang bersama Gombyok, tukang ojek yang langsing dan berkulit manis. Ketika itu pun orang bilang, Tidak heran, Jebris meniru emaknya penjual gembus itu. Apa kamu tidak tahu gembus bisa berarti macam-macam"
Jebris kembali ke rumah ayahnya karena diceraikan oleh suami. Orang bilang, keberuntungannya telah berakhir. Sar yang menjadi tetangga terdekat sangat merasakan kebenaran apa yang dibilang orang. Jebris kelihatan sangat berat menghidupi diri, anak serta ayahnya sudah sakit-sakitan karena dia tak punya penghasilan apa pun. Jebris pernah mengadu untung ke kota, namun segera pulang karena katanya tak tega meninggalkan Mendol serta ayah yang sudah lebih banyak tergeletak di balaibalai. Sar yang sudah menjadi guru setiap bulan menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah. Tetapi Sar tahu apalah arti sokongan itu bagi kehidupan Jebris.
Kang Ratib, kamu kok diam sih" tanya Sar.
Ratib mengerutkan kening. Sambil menggendong tangan, Bila Jebris Ada di Rumah Kami
Ahmad Tohari Ratib berjalan berputar-putar. Mungkin dia akan mengucapkan sesuatu ketika dia berhenti dan menghadap Sar. Namun, pada saat yang sama terdengar suara langkah terseret-seret diiringi bunyi tongkat menginjak tanah. Ratib berpaling dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu dibuka, Ratib berhadapan dengan seorang kakek yang sangat lusuh dan lemah. Ayah Jebris. Wajahnya sangat pasi, kedua kakinya bengkak dan bibirnya gemetar. Ratib menyilakan ayah Jebris masuk, tetapi lelaki tua itu menolak. Dia memilih berdiri di samping pintu bertelekan pada tongkatnya. Napasnya masih sangat tersengal ketika dia mulai bicara.
Nak Ratib, sudah dua hari Jebris tidak pulang. Pagi tadi ada orang melihat Jebris di kantor polisi. Dihukum.
Dihukum" Ya. Kalau tidak dihukum, mengapa Jebris ada di kantor polisi" Nak Ratib, kasihan si Mendol. Dia tak mau makan dan menangis minta menyusul emaknya.
Jadi" Nak Ratib, aku tidak tahu harus berbuat apa. Ya. Kakek sudah terlalu lemah. Kakek tinggal saja di rumah. Biar aku yang menyusul Jebris dan bila mungkin membawanya pulang, kata Ratib.
Bibir ayah Jebris bergerak-gerak. Jakunnya turun-naik. Matanya berkaca-kaca. Tanpa sepatah kata pun yang bisa terucap, ayah Jebris pulang menyeret kedua kakinya yang sudah membengkak.
Pasti Jebris kena razia lagi, ujar Sar. Lagi"
Sar mengangguk. Sar bilang, Jebris sudah dua kali kena razia. Yang ketiga Jebris berhasil lolos dari kejaran para petugas. Dia bersembunyi di balik rumpun pisang di pinggir sawah. Hampir semalaman menjadi umpan nyamuk, pagi-pagi Jebris demam. Bila tidak ada orang yang berbaik hati mengantarnya pulang, Jebris akan tetap terpuruk di bawah rumpun pisang.
Kang Ratib, jadi kamu hendak mengambil Jebris dari kantor polisi"
Ya. Dan kuharap kamu tidak keberatan. Lalu"
Juga bila kamu tidak keberatan; Jebris kita coba ajak bekerja di rumah kita. Mungkin dia bisa masak dan cuci pakaian.
Andaikan dia mau; apakah kamu tidak merasa risi ada pelacur di antara kita"
Yah, ada risinya juga. Tetapi mungkin itu jalan yang bisa kita tempuh.
Bila Jebris tidak mau"
Kita akan terus bertetangga dengan dia. Dan kamu tak usah khawatir malaikat pembawa berkah tidak akan datang ke rumah ini bila kamu tetap punya kesabaran dan sedikit empati terhadap anak penjual gembus itu.
Kartini No. 443, 1991 Bila Jebris Ada di Rumah Kami
Penipu yang Keempat Ahmad Tohari D ia adalah penipu ketiga yang datang kepadaku hari ini. Dengan menampilkan kesan orang lapar dan lelah. Dia, lelaki yang baru kukenal, minta uang kepadaku. Katanya, ia harus segera pulang ke Cikokol, karena anaknya sedang sakit di sana. Tetapi katanya ia tak bisa berangkat kecuali aku mau bermurah hati memberinya ongkos perjalanan.
Tak peduli adakah desa yang bernama Cikokol, tak peduli apakah benar anak lelaki itu sedang sakit di sana, bahkan tak peduli apakah aku aku menjadi orang berhati murah, permintaan ongkos jalan itu kukabulkan. Seribu rupiah segera berpindah dari tanganku ke tangan laki-laki itu.
Sebagai imbalan, aku menerima sekian banyak pujian dan doa keberkahan. Setelah membungkuk dalam-dalam, laki-laki itu keluar halaman dan pergi ke arah terminal.
Tadi pagi, seorang perempuan mengetuk pintu rumahku. Ia memperlihatkan kesan perempuan saleh dan datang kepadaku minta sumbangan. Katanya, ia diutus oleh sebuah yayasan pemelihara anak-anak yatim-piatu di Banyuwangi. Ia tunjukkan suratsurat berstempel sebagai bukti jati dirinya. Dan akhirnya ia berkata bahwa yayasan yang mengutusnya sangat memerlukan bantuan dana. Tanpa bantuan semacam itu, katanya, anak-anak yatim-piatu di sana akan bertambah sengsara.
Tak peduli benar-tidaknya cerita perempuan itu, tak peduli palsu-tidaknya surat-surat yang dibawanya, permintaannya akan dana kupenuhi. Seribu rupiah kuserahkan kepadanya dan aku pun mendapat penghargaan berupa kata-kata pujian dan doa.
Kulihat mata perempuan itu berseri-seri. Mungkin ia senang karena disangkanya aku tak tahu betapa mudah membuat stempel palsu dan betapa jauh kota Banyuwangi dari rumahku. Atau ia mengira aku orang yang menjalankan perintah agama dengan baik karena tidak berburuk sangka kepada orang yang baru kukenal.
* * * Tak lama sesudah perempuan itu pergi, datanglah tamu lain. Kali ini seorang lelaki yang memberi kesan amat lugu. Dia membawa bungkusan agak panjang berisi kemucing serta empat pisau dapur. Kata lelaki itu, barang-barang yang dibawanya adalah buatan anak-anak penyandang cacat di kota Solo. Dia menawarkan barang-barang itu kepadaku dengan harga, kukira, tiga kali lipat harga yang sewajarnya.
Penipu yang Keempat Ahmad Tohari Yah, Pak. Apalah arti harga yang saya tawarkan bila mengingat nasib anak-anak cacat itu.
Sampean betul. Kalau dihitung harga keseluruhan barang, yang sampean bawa hanya 12.000. Uang sebanyak itu bukan hanya sedikit bagiku dan bagi para anak cacat itu, melainkan juga akan menyulitkan sampean. Tidak mudah sampean menjaga uang itu tetap utuh sampai ke Solo yang jaraknya tiga ratus kilometer dari sini.
Memang tidak akan utuh sampai ke Solo, sebab saya berhak menggunakannya sebanyak 25 persen untuk transpor dan uang makan.
Demikian pun sampean masih sulit. Biaya pulang-pergi dari sini ke Solo dengan kendaraan apa saja minimal akan menghabiskan uang sembilan ribu rupiah. Bila harus makan tiga kali saja, sampean harus mengeluarkan lagi uang minimal 1.500. Sungguh, sampean tetap dalam kesulitan karena tak mungkin memberikan uang hanya 1.500 kepada anak-anak cacat itu.
Kulihat laki-laki itu jadi bingung. Tangannya bergerak tak menentu. Mungkin dia ingin berkata sesuatu, tapi lama kutunggu tak sepatah kata pun terucap.
Apabila sampean bingung, aku akan membantu mengatasinya. Aku akan bayar dua belas ribu untuk semua barang yang sampean bawa ini. Kemudian pergilah ke pasar dan sampean bisa mendapat barang-barang sejenis dan sejumlah ini hanya dengan empat ribu rupiah. Sampean masih punya untung delapan ribu dan modal sampean tak sedikit pun berkurang. Gampang sekali, bukan" Laki-laki itu membeku dan kelihatan tersiksa. Padahal sungguh aku tak bermaksud menyakitinya.
Sampean bisa terus berjualan pisau dapur dan kemucing atas nama anak-anak cacat di Solo itu selama sampean suka. Apabila dalam perantauan ini sampean bisa melakukan sepuluh kali saja transaksi seperti ini, keuntungan sampean mencapai 80.000. Dengan membawa uang sebanyak itu, sampean bisa pulang ke Solo untuk menggembirakan anak-anak cacat itu.
Tak peduli akan tamuku yang semakin bingung itu, kukeluarkan uang 12.000 rupiah. Mula-mula tamuku kelihatan ragu, namun kemudian diterimanya juga uang itu. Empat pisau dapur dan dua kemucing menjadi milikku.
Selesai memasukkan uangnya ke saku, tamuku pamit. Kukira dia sangat canggung dan serba salah tingkah. Kata-katanya pun terbata-bata. Namun, aku melepasnya dengan kelayakan karena tak punya beban pikiran. Sebaliknya, aku percaya laki-laki itu masih bingung memikirkan sikapku padanya.
Mungkin laki-laki itu menertawakan diriku karena aku mengajarinya cara menipu yang sudah lama menjadi modus-operandinya. Tanpa kuajari pun dia akan melakukan apa yang kukatakan padanya.
Tetapi mungkin juga dia percaya bahwa sikapku tulus karena pada galibnya 12.000 rupiah tidak akan mudah keluar dari orang yang tak memiliki penghayatan tinggi terhadap maksud baik orang lain.
Kemungkinan ketiga, laki-laki itu menganggap aku demikian Penipu yang Keempat
Ahmad Tohari naif karena tidak memperlihatkan sikap curiga kepadanya. Oh, andaikan laki-laki itu tahu bahwa tak satu pun perkiraannya benar-benar tepat.
Dan mengapa orang tidak suka mencoba menikmati keindahan seni penipuan" Perempuan yang mengaku utusan yayasan yatim-piatu di Banyuwangi itu. Kalau bukan orang yang benarbenar berbakat, dia takkan berhasil akting sebagai tokoh yang dilakonkannya. Kalau bukan orang yang benar-benar teguh, dia tidak akan berani untung-untungan minta dana kepadaku. Sebab, besar kemungkinan aku akan mengambil sikap lugas dengan membuka kedoknya. Jadi, perempuan itu telah menjadikan bakat, keteguhan, dan keberanian menghadapi kemungkinan dipermalukan. Ketiganya diartikulasikan dengan baik sehingga menjadi sajian artistik yang bisa kunikmati.
* * * Hari ini ketika waktu lohor belum lagi tiba, aku sudah berhadapan dengan tiga penipu. Mereka aktor-aktor yang baik, dan aku menyukai mereka. Ingin rasanya aku lebih lama berhadaphadapan dengan mereka.
Sayang, perempuan yang mengaku dari Banyuwangi itu kirakira sudah empat jam berlalu. Lelaki yang mengaku menjualkan barang buatan penyandang cacat dari Solo juga berangkat tak lama kemudian. Tetapi lelaki dari Cikokol itu" Dia belum lama berlalu, dan aku yakin dapat menemukannya kembali di kota kecamatan ini.
Aku mengganti kaus oblong yang kupakai dengan baju lengan panjang, kain sarung, dan pantalon. Topi pun kusambar dari cantelannya. Kemudian aku bersicepat, bukan ke arah terminal melainkan ke arah pasar.
Lelaki dari Cikokol itu aku jamin ada di sekitar pasar, bukan di terminal. Lihatlah, dia sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Melihat gerak-gerik dan gayanya berbicara, kuyakin ia sedang mengulangi tipuannya. Tapi kulihat calon korbannya menghindar.
Seperti ular kehilangan mangsa yang sudah dililitnya, laki-laki dari Cikokol itu termangu sendiri. Namun, matanya yang licik dan awas mengalihkan pandang kepadaku. Oh, ternyata orang memang mudah tertipu.
Lihatlah, lelaki Cikokol itu pangling hanya karena aku berganti pakaian. Dia mendekatiku, dan aku siap menikmati tipuannya yang kedua. Dari jarak beberapa langkah, kulihat dia menunduk dan mimik wajahnya mendadak berubah. Bukan main, dia kelihatan seperti orang yang amat bingung.
Pak, maaf saya mengganggu. Saya baru kena musibah, uang saya dicopet orang. Padahal saya harus membeli obat untuk istri saya yang baru mel&
Mendadak lelaki Cikokol itu menghentikan kata-katanya. Kedua matanya terbuka lebar dan wajahnya tegang. Dan kegugupannya gagal disembunyikan ketika lelaki Cikokol itu mengenali Penipu yang Keempat
Ahmad Tohari kembali diriku. Tetapi dia seniman pantomim yang baik. Kunikmati dengan saksama ketegangan di wajahnya yang perlahanlahan mencair. Kini kesan malu terlihat di sana. Hanya sepintas, sebab lelaki Cikokol itu akhirnya malah tersenyum. Aku pun membalasnya dengan senyum pula.
Eh, Bapak, saya kira siapa, katanya sambil nyengir. Aku pun ikut nyengir. Dia tersipu-sipu dan kelihatan salah tingkah, padahal aku tetap ramah padanya.
Maaf, Pak, saya telah menipu Bapak dan mencoba akan mengulanginya, katanya agak gemetar.
Tenang. Tenanglah, orang Cikokol, sejak semula aku sadar dan mengerti sampean menipuku.
Bapak meminta uang Bapak kembali"
Hus! Yang kuminta adalah kelanjutan cerita tentang uang yang dicopet orang dan tentang istri sampean yang baru melahirkan.
Ah, Bapak, bisa saja. Bapak tentu tahu itu cerita akal-akalan.
Ya, hanya orang tolol yang akan percaya cerita seperti itu. Tetapi aku ingin mendengarnya dan aku tidak main-main.
Ah, Bapak. Daripada mendengarkan cerita yang bukan-bukan, lebih baik Bapak kuberitahu alasan mengapa aku terpaksa jadi penipu.
Usul sampean baik juga. Tetapi bolehkah saya minta jaminan bahwa cerita sampean nanti bukan omong kosong" Demi Tuhan, saya akan bercerita yang sebenar-benarnya.
* * * Diawali dengan sumpah, wong Cikokol itu memulai cerita yang sangat terasa sebagai pembelaan diri. Dan sumpah itu membuat apa yang dikatakannya menjadi penipuan yang bermutu tinggi.
Agar aku bisa lebih menikmati sajian istimewa itu, aku harus bisa mengendalikan perasaan sebaik mungkin. Dan aku berhasil. Sampai lelaki Cikokol itu selesai mengemukakan segala dalih mengapa dia terpaksa jadi penipu, aku tetap bersikap sungguhsungguh mendengarkannya, bahkan menikmatinya. Lelaki Cikokol itu pun kelihatan demikian yakin bahwa dirinya berhasil menipuku buat kali yang kedua. Dengan demikian, dia boleh merasa menjadi penipu yang paling unggul.
Namun, apa jadinya bila orang Cikokol itu tahu bahwa ada penipu lain yang jauh lebih pandai, yakni dia yang hari ini memberi uang 14.000 kepada tiga penipu teri. Dengan 14.000 itu dia berharap Tuhan bisa tertipu lalu memberkahinya uang, tak peduli dengan cara apa uang itu didapat. Dan aku yakin hanya penipu sejati yang bisa sangat menyadari akan penipuannya.
Keterangan: Sampean (bahasa Jawa) = Anda Wong (bahasa Jawa) = Orang
Kompas, 27 Januari 1991 Penipu yang Keempat Daruan Ahmad Tohari S ebuah paket pos diterima Daruan dari Muji di Jakarta. Kiriman dalam kertas payung itu mengakhiri masa perhentian selama dua tahun yang hampir menghabiskan kesabaran Daruan. Isi paket pos itu sungguh menggembirakan hati Daruan: novel karya pertamanya. Hati Daruan melambung ketika melihat namanya tercetak jelas pada kulit buku yang berhias gambar gadis cantik dengan rambut tergerai itu. Daruan tiba-tiba merasa dirinya muncul dari kegelapan, hadir, dan mewujud. Sesosok terasa ada. Ketika melihat bayangan dirinya dalam kaca, Daruan tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kepada duplikatnya dalam kaca, Daruan menikmati kelahiran dirinya.
Kini Daruan yakin dia bukan sekadar nama yang terombangambing antara ada dan tiada, terayun ke sana kemari tanpa makna. Tidak. Daruan kini merasa menjadi subjek yang nyata dan telah berhasil membuat sesuatu untuk membuktikan keberadaannya. Sebuah novel, menurut Daruan, punya arti yang lebih dari cukup untuk mengesahkan kehadiran penulisnya.
Dalam surat pengantar yang diselipkan dalam paket pos itu, Muji berkata bahwa dia sendirilah yang bertindak menjadi penerbit novel Daruan. Karena seperti yang kamu alami sendiri, aku pun gagal menemukan penerbit yang mau naskahmu, tulis Muji. Selanjutnya Muji bilang bahwa risiko yang dipikulnya tidak ringan, karena dia belum berpengalaman dan terutama karena tidak punya jaringan pemasaran. Penjualan novel Daruan dipercayakan kepada beberapa pemilik kios di terminal bus dan stasiun kereta api. Selebihnya dipercayakan kepada para pengasong yang beroperasi di kaki lima.
Daruan memahami penjelasan yang diberikan oleh Muji, sahabatnya sejak SMA dulu. Tetapi ada satu hal yang tidak jelas baginya: bagaimana dengan urusan keuangan" Honor, imbalan, atau apalah namanya, bukan tidak penting baginya. Sudah sekian lama Daruan tersiksa oleh ketidakmampuan memberi nafkah kepada istri dan anaknya. Sebaliknya, Daruan malah sudah sekian lama hidup menjadi tanggungan istrinya yang membuka warung di depan rumah. Keadaan yang melemahkan kebanggaannya sebagai lelaki itu ingin secepatnya diakhiri, dan honor novel yang sudah terbit adalah kemungkinan yang paling dekat untuk diraih.
Daruan berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam setelah berhasil membujuk istrinya menggadaikan cincin tiga gram. No- Daruan
Ahmad Tohari velis, pikir Daruan, akan dengan mudah mengembalikan cincin istrinya dari rumah gadai.
Jam lima pagi kereta api yang dinaiki Daruan masuk Jakarta. Daruan turun dengan perasaan tidak nyaman. Selama dalam perjalanan dia hampir tidak bisa memejamkan mata. Udara pengap dalam kereta api juga membuatnya gerah sepanjang jalan. Daruan ingin mandi atau setidaknya cuci muka. Dekat musala stasiun, Daruan melihat seorang lelaki tua sedang membasuh muka. Daruan ke sana, masuk WC, kemudian ikut membasuh muka di samping lelaki tua itu.
Mau sembahyang, Nak"
Daruan terkejut mendengar pertanyaan lelaki tua itu. Oh, ya, Pak. Ya.
Daruan terkejut lagi, kini oleh jawaban yang meluncur begitu saja mulutnya. Tetapi Daruan benar-benar ikut sembahyang. Dalam sembahyangnya, tiba-tiba Daruan merasa beruntung mendapat peluang berdoa. Anehnya, dia tergagap dan gagal menemukan doa yang pantas dikemukakan kepada Tuhan.
Daruan meneruskan perjalanan dengan bus kota yang membawanya jauh ke wilayah selatan. Turun dari bus kota, Daruan berjalan kaki menyusuri jalan sempit, masuk kolong menara listrik, dan berhenti di depan rumah yang menyimpan sebuah mobil tua berwarna merah. Daruan tak perlu mengetuk pintu halaman, karena Muji yang sedang membersihkan mobil sudah melihat kedatangannya. Mereka bersikangen. Muji masih dalam keasliannya; senyumnya murah, sikapnya sejati. Penampilannya tenang dan penuh rasa percaya diri, mungkin karena kehidupannya sudah mapan meski dia mengaku hidup swasembada. Muji juga hemat sehingga apa saja yang ada padanya awet. Bahkan yang awet pada Muji bukan hanya mobil tuanya yang bercat merah itu melainkan juga kesetiakawanannya.
Muji membawa tamunya masuk. Pagi yang renyah bagi dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Istri Muji menyajikan kopi dan roti kering, anak-anak mereka yang sudah mengenakan seragam sekolah ikut meramaikan suasana. Daruan jadi canggung karena lama-kelamaan kebaikan Muji terasa sebagai ungkapan belas kasihan. Dalam keadaan apa saja, Daruan tidak ingin dikasihani oleh siapa saja.
Sudah terima kiriman saya" tanya Muji. Sudah. Wah, saya sangat berterima kasih.
Kamu sekarang novelis. Iya, kan" Senyum Muji menebar. Entahlah.
Daruan sulit meneruskan kata-kata. Dia ingin segera bicara soal honor, tetapi hatinya merasa berat bukan main. Anak-anak Muji merengek minta diantar ayah mereka ke sekolah. Istri Muji tak henti-hentinya menawarkan kopi agar segera diminum. Daruan gelisah. Seteguk kopi panas mungkin baik bagi kerongkongannya. Namun, ketika ia mengulurkan tangan, yang terambil oleh Daruan adalah sekeping roti kering.
Anak-anakmu sudah minta kauantar ke sekolah, kata Daruan.
Daruan Ahmad Tohari Ya. Tapi aku ingin bicara padamu lebih dulu. Soal honor novelmu, aku belum bisa bicara.
Daruan mengangkat muka. Malu rasanya karena isi hatinya tertebak oleh Muji.
Pemilik-pemilik kios yang saya titipi novelmu belum satu pun setor. Juga para pengecer asongan.
Daruan menelan ludah. Pernah kudengar tentang uang muka atau semacam itu, kata Daruan hati-hati sambil menunduk.
Ya. Penerbit beneran biasa memberi uang muka kepada penulis. Sedangkan aku, kamu tahu, sebenarnya tak bisa disebut penerbit. Maka aku hanya bisa berjanji membagi dua sama banyak hasil penjualan buku itu menjadi hakmu sepenuhnya. Itu janjiku.
Daruan kian menunduk. Dia mulai mendengar denging dalam telinganya sendiri. Dalam posisi tubuh agak condong ke depan, saku baju Daruan ternganga. Muji dapat melihat beberapa lembar uang ratusan di sana. Muji juga melihat sepatu, celana, dan baju yang dikenakan Daruan sudah dilihatnya dua tahun lalu.
Anak-anak Muji makin merengek minta diantar ke sekolah. Si sulung, seorang gadis kecil yang mirip ayahnya, malah menarik-narik tangan Muji agar segera berangkat. Daruan merasa makin tidak enak. Dia bangkit hendak minta diri. Namun, Muji menahannya. Muji masuk ke ruang dalam dan keluar lagi dengan tangan tergenggam.
Kebetulan aku punya uang sedikit. Pakailah untuk ongkos pulang dan sisanya buat jajan anak.
Muji menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan dan satu lembar lima ribuan. Tetapi Daruan tidak langsung menerimanya. Kaumaksudkan sebagai uang muka honorku" Tidak. Itu&
Ah, jangan begitu. Aku memang tak punya ongkos pulang. Tapi uang ini akan kuterima hanya bila dikaitkan dengan honor.
Apakah aku tak boleh memberimu ongkos pulang dan sekadar jajan buat anakmu"
Aku selalu percaya akan ketulusanmu. Tapi tolong, sekali ini jangan kamu singgung perasaanku dengan cara seperti itu.
Muji mengalah seperti merasakan kelugasan kata-kata Daruan. Dia berjanji mencatat penyerahan uang itu sebagai panjar honor Daruan.
* * * Tengah hari, Daruan sudah berada di stasiun kereta api. Karena waktu yang mendesak dia segera naik setelah membeli karcis dan mengisi perut dengan lontong dan telur asin. Andaikan ada waktu, Daruan ingin melihat-lihat kios buku; siapa tahu novelnya dijual di sana dan siapa tahu dia sempat melihat seseorang membeli. Sayang, Daruan harus kehilangan peluang itu karena kereta segera berangkat.
Daruan Ahmad Tohari Daruan terpuruk di tempat duduknya. Matanya terpejam meskipun hatinya sama sekali tidak tidur. Dalam saku bajunya masih tersisa uang 15.000, tak cukup untuk menebus cincin istrinya yang sedang tergadai. Tetapi untuk sekadar membeli kaus buat anaknya, uang itu cukup. Atau untuk membeli rambutan saja karena istrinya sangat menyukainya. Atau untuk membeli kertas satu rim dan pita mesin tik.
Sisa uang 15.000 masih mengusik pikiran Daruan ketika seorang pedagang asongan mendekat.
Novel, Pak. Daruan menatap tumpukan novel yang tersusun rapi di tangan pedagang asongan itu. Merasa menghadapi peminat, pengasong itu membeber dagangannya. Daruan melihat enam novelnya ada di antara buku-buku yang diasongkan itu. Daruan memejamkan mata. Dalam hatinya berkecamuk perasaan antara bangga dan kecewa. Bangga, karena betapa juga karyanya sudah beredar. Kecewa, karena dulu Daruan pernah berkhayal novelnya suatu saat akan ditangani oleh penerbit besar, dijual di toko buku ternama, dan dibincangkan oleh para pengamat sastra.
Ketika Daruan membuka mata, pengasong itu masih berdiri di depannya.
Yang ini kamu jual berapa"
Oh, ini karya Daruan, pengarang baru. Murah, Pak. Seribu lima ratus.
Daruan kembali memejamkan mata. Dia ingat, buku dengan ukuran sama paling tidak dijual 3.500 di toko-toko buku besar.
Tiba-tiba Daruan merasa tubuhnya menyusut, kecil, dan makin mengecil.
Untuk pelaris, Pak, seribu juga boleh. Tidak, terima kasih.
Pengasong itu berlalu meninggalkan entakan rasa perih di hati Daruan. Namun, entah mengapa, Daruan bangkit. Diikutinya si pengasong dari jarak tertentu. Diperhatikannya apakah ada penumpang yang berminat membeli novelnya. Tetapi sampai menyeberang lima gerbong, Daruan tidak menemukan pemandangan yang diharapkan. Daruan berbalik. Dia berpapasan dengan pengasong teh botol. Di mata Daruan, botol-botol itu bukan berisi teh melainkan darahnya yang diasongkan dan tak ada pembeli. Dekat persambungan gerbong, Daruan bertemu pedagang nasi. Ada sate jeroan dalam keranjang. Daruan merasa ususnya tertusuk-tusuk menjadi sate, diasongkan, dan tidak laku. Ketika melihat pelayan restorasi membawa piring berisi gulai otak, mata Daruan berkunang-kunang. Dia merasa isi kepalanya meletup ke luar dan jatuh ke dalam piring berkuah santan.
Kembali ke tempat duduknya, Daruan merasa amat sangat lelah. Ia menunggu penjual minuman karena tenggorokannya kering. Tetapi yang kemudian muncul bukan penjual minuman melainkan pengasong buku yang tadi dikuntitnya. Bagaimana dengan buku karya pengarang baru ini, Pak" Kamu tawarkan berapa tadi"
Karena untuk pelaris, seribu sajalah. Ada berapa buku itu"
Daruan Ahmad Tohari Semuanya" Tidak, semua buku yang kamu bawa. Buku karya Daruan ada enam. Kubeli semua. Ini, enam ribu.
Bapak perlu banyak" Saya masih punya sepuluh lagi. Uangku tinggal sembilan ribu. Bila kamu setuju, bawa semua novel itu.
Pengasong itu menghilang ke gerbong belakang. Tak lama kemudian muncul kembali. Daruan menerima lagi sepuluh novel dan sisa uangnya pun berpindah tangan.
Sebagai pengarang baru, Daruan memang hebat ya, Pak" Buktinya, Bapak memborong semua karyanya.
Mungkin atau entahlah, aku tak kenal dia.
Tak kenal dia" Rasa perih kembali menggigit jantung Daruan ketika sadar dia sendiri telah menampik dirinya. Bunyi kereta api yang melaju cepat seperti menertawakannya. Senda gurau lain seakan sedang melecehkannya. Daruan terpencil dan terasa akan hilang dalam kegelapan. Namun, Daruan masih bisa melakukan sesuatu; membungkus enam belas buku yang sudah dibeli dengan seluruh uangnya. Ketika itu Daruan sadar, yang sedang dibungkusnya bukan sekadar buku melainkan dirinya sendiri. Pembungkusnya hanya sehelai koran lusuh, bukan kain kafan.
Kompas, Desember 1990 Warung Penajem Ahmad Tohari B unyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata
cangkul Kartawi menghunjam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Debu tanah kapur memercik. Pada setiap detik yang sama, Kartawi merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya. Dan petani muda itu terus meng-ayun cangkul. Maka suara yang kering-tajam, percikan debu, dan sentakan-sentakan otot terus runtut terjadi di bawah matahari kemarau yang terik. Kaus oblong yang dipakai Kartawi sudah basah oleh keringat. Kedua kakinya penuh debu hingga ke lutut. Dan di bawah bayangan caping bambu yang dipakainya, wajah Kartawi tampak lebih tua dan berdebu.
Ketika lajur garapan mencapai batas tanahnya, Kartawi berhenti mengayun cangkul. Petani itu tegak dan diam. Ia ingin mengembalikan tenaga dengan memompakan udara dari paruparu ke segenap otot-ototnya. Kedua matanya menyipit dan menerawang datar ke depan. Di hadapannya, sejauh kata memandang, adalah wajah kemarau yang menghampar di atas dataran tanah berkapur. Rumput dan perdu kehilangan hijaunya. Pepohonan meranggas dan ratusan hektar tanah tegalan itu kerontang. Lereng bukit kapur jauh di utara menjadi dinding warna kelabu dengan bercak-bercak putih; bisu dan tandus. Dari kejauhan udara di atas permukaan tanah tampak berpendar. Sementara di langit yang kosong, burung layang-layang beterbangan dalam kelengangan.
Kedua mata Kartawi masih menerawang ke depan. Dari latar belakang permukaan bumi yang berpendar itu tiba-tiba Kartawi melihat citra Jum, istrinya. Entahlah, tiba-tiba Kartawi merasa ada tekanan menusuk dadanya, ada segumpal sabut kelapa mengganjal kerongkongannya. Otot-ototnya serasa kehilangan tenaga. Jemari yang menggenggam gagang cangkul mengendur. Kepalanya pun tertunduk. Kartawi menarik napas panjang, kemudian berjalan lesu meninggalkan lajur garapan menuju tempat teduh di bawah pohon johar. Petani muda itu mendadak kehilangan semangat kerja.
Kartawi berdiri dalam keteduhan pohon johar yang masih mempertahankan daun-daun terakhir. Sosok Jum masih tampak jelas dalam rongga matanya, melayani tetangga yang membeli cabe, bumbu masak, atau ikan asin. Atau segala macam kebutuhan dapur para petani tetangga. Jum yang segar dan kuat. Jum yang berhasrat besar punya rumah tembok, televisi, dan sepeda motor bebek. Dan demi cita-cita itu Jum merasa tak punya jalan Warung Penajem
Ahmad Tohari kecuali bekerja keras dan mau menempuh segala upaya agar warungnya maju dan laris.
* * * Kartawi tahu segalanya tentang Jum sejak istrinya itu masih ingusan. Ketika bocah, Jum paling betah main warung-warungan. Dalam permainan itu Jum selalu bertindak sebagai pemilik warung dan semua temannya diminta berperan sebagai pelanggan. Jum bisa betah sehari suntuk dalam permainan yang sering dilakukan di bawah pohon nangka di belakang rumahnya itu.
Setelah menjadi istri Kartawi, Jum tidak minta apa-apa kecuali dibuatkan warung yang sebenarnya. Kartawi menuruti karena suami itu memang amat sayang kepada Jum. Maka Kartawi menjual dua ekor kambing dan menebang beberapa pohon, satu di antaranya pohon bacang. Mengapa bacang, adalah karena usul Jum. Kata Jum, yang mengaku telah tahu ngelmu perwarungan, harus ada kayu dari pohon buah-buahan dalam bangunan warung. Kang, kata orang-orang tua, kayu dari pohon buah-buahan bisa memancing selera pembeli, kata Jum dulu kepada suaminya. Kartawi hanya menjawab dengan senyum dan dua hari kemudian berdiri sebuah warung kecil di depan rumah pasangan muda itu.
Warung Jum langsung hidup. Jum tampak tekun dan gembira dengan warungnya. Mungkin Jum berpendapat, hidup baginya tidak bisa berarti lain kecuali membuka warung. Dengan warung itu Jum terbukti mampu mengembangkan ekonomi rumah tangga. Pada tahun ketiga, sementara dua anak telah lahir, Jum berhasil meraih salah satu keinginannya, memiliki rumah tembok. Tahun berikut ia sudah punya televisi hitam-putih 14 inci. Kini giliran sepeda motor bebek yang ingin diraih Jum. Dan Kartawi sepenuhnya berada di belakang cita-cita istrinya itu. Soalnya sederhana, punya istri yang pergi kulak dagangan naik sepeda motor sendiri adalah prestasi yang sulit disamai oleh sesama petani di kampungnya. Pokoknya Kartawi merasa jadi lelaki beruntung karena punya istri Jum.
Tetapi mengapa sejak beberapa hari terakhir ini Kartawi mendengar selentingan para tetangga tentang Jum. Entah dari mana sumbernya, para tetangga mengembangkan cas-cis-cus bahwa Jum pekan lalu tanpa setahu suami pergi mengunjungi Pak Koyor, orang pandai dari kampung sebelah. Orang bilang Jum pergi ke sana demi memperoleh penglaris bagi warungnya. Soal mencari penglaris, Kartawi maklum bahkan setuju. Ya. Kartawi memang percaya, meraih cita-cita tidak cukup dilakukan dengan usaha nyata. Namun masalahnya, cas-cis-cus para tetangga mengembang lebih jauh; bahwa Jum telah memberikan penajem kepada Pak Koyor. Kartawi tahu penajem, yaitu syarat yang harus diberikan kepada dukun agar suatu upaya mistik berhasil. Bisa berupa uang, ayam cemani, atau bahkan tubuh pasien sendiri. Dan para tetangga bilang, Jum telah memberikan yang terakhir itu kepada sang dukun.
Warung Penajem Ahmad Tohari
* * * Masih berdiri di bawah pohon johar, Kartawi kembali merasa dadanya tertekan keras. Dalam hati Kartawi berharap selentingan para tetangga itu cuma omong kosong. Mungkin mereka iri karena melihat warung Jum laris sehingga mereka sengaja meniupkan cerita macam-macam, pikir Kartawi. Tetapi bagaimana bila benar Jum telah memberikan tubuhnya sebagai penajem kepada Koyor" Rasa sakit kembali menusuk dada Kartawi lebih keras. Kartawi merasa dirinya terayun-ayun dalam ketidakpastian yang sangat menyiksa.
Karena sadar hanya Jum sendiri yang bisa memberinya kejelasan, Kartawi memutuskan segera pulang meskipun hasil kerja siang itu sama sekali belum memadai. Berteman bayang-bayang sendiri, Kartawi melangkah mengikuti jalan tikus yang membelah tegalan. Cangkul membujur di atas pundak dan tempat minuman dalam jinjingannya. Pada sebuah simpang empat kecil, lelaki itu berbelok ke arah timur. Suara dedaunan kering yang remuk terinjak mengiringi setiap langkah petani muda itu.
Ketika sampai di rumah, Kartawi melihat Jum sedang melayani beberapa pembeli. Sebenarnya Kartawi hampir tak tahan menunggu sampai Jum punya peluang untuk diajak bicara. Namun ternyata suami yang sedang memendam kejengkelan itu harus bisa menahan diri sampai sore, malah malam hari. Selagi masih ada orang terjaga, Jum harus siap melayani mereka. Bahkan sesudah warung ditutup pun tak jarang ada pembeli mengetuk pintu.
Maka pertanyaan tentang benar-tidaknya cas-cis-cus para tetangga itu baru bisa diajukan oleh Kartawi ketika malam sudah larut. Anak-anak pun sudah lama tertidur. Dan Jum yang saat itu sedang duduk menikmati televisi tampak tak berminat menanggapi pertanyaan suaminya. Kartawi bangkit dan mematikan TV, lalu duduk kembali dan mengulang pertanyaannya dengan tekanan lebih berat.
Ya, Kang, pekan lalu saya memang pergi kepada Pak Koyor, kata Jum dalam gaya tanpa beban. Setiyar, Kang, supaya warung kita tetap laris. Kamu tahu, Kang, sekarang sudah banyak saingan.
Kartawi menelan ludah. Ia merasa ada gelombang pasang naik dan menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. Di bawah cahaya lampu listrik 10 watt, wajahnya tampak sangat berat.
Dan kamu memberi dia penajem" Iya" tanya Kartawi. Suaranya dalam dan semakin berat. Tatapannya menusuk mata istrinya. Jum hanya sekejap mengangkat muka, lalu tertunduk. Dan tersenyum ringan. Wajahnya pun kembali cair.
Kang, kamu ini bagaimana" Soal memberi penajem itu kan biasa. Jadi&
Jadi betul kamu& "
Tangan Kartawi meraih gelas yang seperti hendak diremuknya dalam genggaman. Otot yang mengikat kedua rahangnya menggumpal. Matanya menyala. Jum menyembunyikan wajah karena mengira Kartawi akan memukulnya. Tidak, ternyata Kartawi bisa menahan diri meski seluruh tubuhnya bergetar karena marah. Warung Penajem
Ahmad Tohari Kang, ujar Jum setelah suasana agak kendur. Dengarlah, saya mau bicara. Jum berhenti dan menelan ludah yang tiba-tiba terasa sangat pekat. Yang saya berikan kepada Pak Koyor bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya cuma main-main, cuma pura-pura. Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling. Begitubegitu yang sebenarnya hanya untuk kamu. Sungguh, Kang.
Kartawi tetap membatu. Matanya tetap berpijar. Urat rahangnya masih menggumpal. Dalam perasaan yang terpanggang itu Kartawi melihat wilayah-wilayah pribadi tempat bersemayam harga diri dan martabat kelelakiannya terinjak-injak. Porak-porak. Jemari Kartawi kembali meregang untuk meremas gelas yang masih digenggamnya.
Jum malah mencoba tersenyum. Tetapi Jum terkejut karena tiba-tiba Kartawi berteriak.
Lalu apa bedanya begitu-begitu yang main-main dan begitu-begitu yang sungguhan"


Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jum kembali menelan ludah. Dan ketenangannya yang kemudian berhasil ditampilkannya membuat Kartawi harus tetap pada posisi menahan diri.
Oalah, Kang, bedanya banyak. Karena cuma main-main, begitu-begitu yang saya lakukan itu tidak sampai ke hati. Tujuan saya hanya untuk membayar penajem agar warung kita laris, tidak lebih. Jadi kamu tak kehilangan apa-apa, Kang. Semuanya utuh. Kang, jika warung kita bertambah laris, kita juga yang bakal enak-kepenak, bukan"
Belum, satu detik setelah Jum selesai mengucapkan kata-katanya, Kartawi bangkit. Detik berikut terdengar suara gelas hancur terbanting di lantai. Kartawi keluar setelah membanting pintu keras-keras. Dan Jum menangis.
* * * Selama tiga hari Kartawi lenyap dari rumah. Para tetangga bilang, Kartawi begitu tertekan, malu, dan terhina setelah mendengar pengakuan Jum. Malah ada yang bilang Kartawi kembali ke rumah orangtuanya dan telah memutuskan hendak bercerai dari Jum. Namun ada lagi orang bilang, Kartawi pergi hanya untuk menghibur diri dengan cara jajan. Dengan jajan Kartawi berharap dendamnya bisa terlampiaskan, karena kedudukan antara dia dan Jum menjadi satu-satu. Atau entahlah. Yang jelas Kartawi sendiri merasa setelah jajan beban pikirannya malah makin berat. Terasa ada bagian jati dirinya yang lepas.
Pada hari keempat Kartawi pulang. Rindunya kepada rumah, kepada anak-anak, dan kepada Jum tak tertahankan. Bagaimana juga Jum dan anak-anak sudah lama menjadi bagian hidup Kartawi sendiri. Kemarahan yang amat sangat tak mampu mengeluarkan Jum dari inti kehidupannya. Namun sampai di halaman Kartawi termangu. Dipandangnya warung Jum yang laris dan telah mendatangkan banyak untung. Dengan warung ini ekonomi rumah tanggaku bisa sangat meningkat, pikir Kartawi. Keluargaku bisa hidup wareg, anget, rapet.
Tetapi dada Kartawi kembali terasa remuk ketika teringat Warung Penajem
Ahmad Tohari penajem yang telah dibayar oleh Jum. Peningkatan ekonomi itu ternyata telah menuntut pengorbanan yang luar biasa dan mahal. Kartawi jadi bimbang dan tergagap di halaman rumah sendiri.
Kompas, 13 November 1994 Paman Doblo Merobek Layang-Layang Ahmad Tohari S etelah melihat burung-burung kuntul terbang beriringan ke
timur, saya dan Simin sadar hari hampir senja. Maka saya dan Simin mulai mengumpulkan kerbau-kerbau dan menggiring mereka pulang. Simin melompat ke punggung si Paing, kerbaunya yang paling besar, tanpa melepaskan wayang rumput yang sedang dianyamnya. Saya naik si Dungkul, kerbau saya yang bertanduk lengkung ke bawah. Di atas punggung kerbaunya Simin meneruskan kegemarannya menganyam wayang rumput. Sambil duduk terangguk-angguk oleh langkah si Paing, Simin tetap asyik dengan kegemarannya.
Dari tepi hutan jati tempat kami menggembala kerbau, terlihat kampung kami jauh di seberang hamparan sawah yang kelabu karena jerami mengering setelah panen. Tampak juga pohon bungur besar yang tumbuh di tepi sungai yang setiap hari kami seberangi. Sekelompok burung jalak melintas di atas kepala kami. Sambil terbang burung-burung itu berkicau dengan suara jernih dan sangat enak didengar. Belalang beterbangan ketika kerbau kami melintasi rumpun jerami.
Sampai ke tepi sungai saya melihat Paman Doblo sedang mandi berendam. Saya turun dari punggung si Dungkul dan melepas celana. Simin juga. Wayang rumput yang sudah berbentuk sosok Wisanggeni, tokoh pahlawan kebanggaan Simin, diletakkan bersama celananya di tanah. Dan kerbau-kerbau itu sudah lebih dulu masuk ke air dengan suara berdeburan. Sebelum menyeberang kerbau-kerbau memang harus berendam. Itu kebiasaan mereka yang tak mungkin diubah. Kami juga mandi. Ternak dan penggembala berkubang bersama. Langau-langau beterbangan di atas kepala kerbau dan kepala kami.
Simin mulai pamer kepandaian main kunclungan. Kedua tangannya menepuk-nepuk air menimbulkan irama rebana yang amat enak didengar. Saya mengimbanginya dengan mengayun tangan dalam air sehingga terdengar suara mirip gendang. Plungplung pak, plung-plung byur, plung pak-pak-pak, plung-plungplung byur. Dan permainan musik air kian gayeng karena Paman Doblo bergabung. Meskipun sudah perjaka dia suka bermain bersama kami. Dia sangat akrab dengan anak-anak.
Puas bermain saya menggiring kerbau-kerbau menyeberang. Saya tidak naik ke punggung si Dungkul tetapi berenang sambil mengganduli ekornya. Keasyikan menggandul di buntut kerbau melintasi sungai yang dalam adalah pengalaman yang tak pernah saya lewatkan. Sampai di seberang saya menengok ke belakang. Paman Doblo Merobek Layang-Layang
Ahmad Tohari Saya lihat Simin sedang jengkel karena si Paing tak mau bangkit. Binatang itu agaknya masih ingin berlama-lama berendam. Simin makin jengkel. Dia naik ke darat. Sebatang pohon singkong diambilnya. Saya tahu Simin benar-benar marah dan siap memukul si Paing. Namun sebelum Simin melaksanakan niat, terdengar suara yang mencegahnya.
Jangan, Min, kata Paman Doblo dengan senyumnya yang sangat disukai anak-anak. Si Paing memang suka ngadat. Bila kamu ingin dia bangkit, kamu tak perlu memukulnya. Cukuplah kamu kili-kili teteknya. Hayo, cobalah.
Simin mengangguk. Dia mendekati kerbaunya yang tetap asyik berendam. Nasihat Paman Doblo memang manjur. Ketika merasa ada rangsangan pada teteknya, kerbau Simin melonjak, lalu cepat-cepat berenang menyeberang. Simin tertawa tetapi tangannya segera menyambar ekor si Paing. Maka dia terbawa ke seberang tanpa mengeluarkan tenaga kecuali untuk tawanya yang ruah.
Untung ada Paman Doblo ya, bisik Timin di telinga saya. Kalau tidak, barangkali saya tak bisa pulang sampai hari gelap. Paman Doblo memang baik dan banyak akal.
Ya, untung ada Paman Doblo. Ungkapan ini tidak hanya sekali-dua diucapkan oleh anak-anak seperti saya dan Simin. Orang-orang tua di kampung kami juga sering mengucapkan kata-kata itu karena Paman Doblo memang banyak jasa. Ketika ada celeng masuk dan menggegerkan kampung, hanya Paman Doblo yang bisa mengatasi masalah. Dengan sebatang kayu pemukul Paman Doblo berhasil melumpuhkan babi hutan itu. Pencuri juga enggan masuk kampung kami karena demikian keyakinan kami mereka takut berhadapan dengan Paman Doblo yang dipercaya mahir bermain silat. Ketika Bibi Liyah tercebur ke sumur, sementara orang-orang panik dan berlarian mencari tangga, Paman Doblo langsung terjun dan mengangkat Bibi Liyah sehingga dia tak terlambat diselamatkan.
Kami, anak-anak, juga percaya Paman Doblo selalu baik terhadap kami. Maka kami tak perlu sedih bila misalnya layang-layang kami tersangkut di pohon tinggi. Kami tinggal melapor dan Paman Doblo dengan senyum seorang paman yang manis akan memanjat pohon itu. Demikian, Paman Doblo adalah nama untuk pertolongan, untuk rasa aman, dan untuk keakraban bagi anak-anak. Orang-orang dewasa juga percaya akan kelebihan Paman Doblo. Buktinya ketika barisan hansip didirikan, di kampung kami semua orang sependapat Paman Doblo adalah calon paling tepat untuk jabatan komandan.
* * * Kebaikan Paman Doblo tetap saya kenang meskipun saya, juga Simin, tidak lagi jadi gembala kerbau di tepi hutan jati. Dalam perkembangan waktu saya tersedot arus urbanisasi kemudian hidup di kota empat ratus kilometer dari kampung halaman. Sementara Simin tetap tinggal di kampung dan jadi carik desa.
Kemarin Carik Simin muncul di rumah saya. Kedatangan Paman Doblo Merobek Layang-Layang
Ahmad Tohari bekas teman sepermainan itu segera membawa ingatan saya kembali ke masa anak-anak di kampung. Maka malam hari dalam suasana kangen-kangenan saya bertanya tentang banyak hal; apakah burung hantu masih terdengar dari pohon besar di kuburan bila senja datang. Atau, apakah menjelang matahari terbit masih terdengar kokok ayam hutan dari padang perdu di tepi kampung. Juga, apakah masih ada kelap-kelip ribuan kunang-kunang di atas hamparan sawah ketika jatuh gerimis senja hari. Dan tentu saya tak lupa bertanya tentang Paman Doblo.
Carik Simin tampak gelisah ketika mendengar pertanyaan saya terakhir. Tetapi sambil ia menunduk akhirnya keluar juga jawabannya.
Selain masalah pribadi yang akan saya sampaikan nanti, bisa dibilang kedatangan saya kemari hanya untuk bercerita tentang dia.
Begitu" Tak ada apa-apa dengan Paman Doblo, bukan" Tidak. Ah, saya harus bilang apa. Paman Doblo kini lain. Dia tidak seperti dulu lagi. Dia sudah berubah. Saya merasa Paman Doblo mulai berubah tak lama setelah berdiri sebuah kilang pengolah kayu yang besar di kampung kita. Pengusaha kilang mengangkat Paman Doblo menjadi satpam. Paman Doblo diberi pakaian seragam, pisau bergagang kuningan, sepatu laras, sabuk tentara, topi. Juga peluit. Dan akhirnya juga motor bebek baru.
Lalu apa salahnya Paman Doblo menjadi satpam" Bukankah kita harus senang bila Paman Doblo punya gaji dan hidup enak"
Kamu benar. Tak ada yang salah ketika seseorang diangkat jadi satpam. Paman Doblo pun semula tak berubah oleh kemudahan-kemudahan yang dia terima. Dia masih seperti dulu, ramah kepada semua orang dan manis terhadap anak-anak. Anakanak yang minta limbah kilang untuk kayu bakar dilayani dengan baik oleh Paman Doblo. Namun inilah yang kemungkinan terjadi; kebaikan Paman Doblo agaknya malah jadi awal perubahannya. Pemilik kilang, pengusaha kaya dari kota, melarang Paman Doblo terlalu bermurah hati kepada penduduk sekitar. Dia hanya dibenarkan memberikan limbah yang berupa kulit kayu kepada anak-anak. Selebihnya harus dikumpulkan karena bisa dijual ke pabrik kertas atau perusahaan pembuat genteng. Dan Paman Doblo patuh"
Pada mulanya dia tampak tertekan. Namun kemudian dia laksanakan juga keinginan majikan. Perubahan pada dirinya pun mulai tampak. Keramahan mulai surut dari wajahnya. Kekhawatiran akan kehilangan terlalu banyak limbah membuat Paman Doblo selalu mewaspadai bahkan mencurigai setiap anak yang berada dekat kilang. Dan kejadian terakhir kemarin malah menyangkut anak lelaki saya yang baru naik kelas 3 SD. Anakmu mencuri limbah"
Tidak. Layang-layang anak saya tersangkut kawat berduri di atas tembok pagar kilang. Ingat, andaikan peristiwa itu terjadi dulu ketika kita masih anak-anak, Paman Doblo tentu akan datang menolong sambil senyum.
Dan terhadap anakmu kemarin" Paman Doblo Merobek Layang-Layang Ahmad Tohari
Paman Doblo datang dengan langkah gopoh dan mata membulat sehingga anak saya lari ketakutan sampai terkencing-kencing. Layang-layang anak saya diraihnya lalu dirobek hancur. Anak saya, yang hanya berani melihat Paman Doblo dari jauh, menangis. Nah, asal kamu tahu; ketika saya mendengar pengaduan anak saya, hati ini terasa terobek-robek lebih parah, lebih hancur.
Saya hanya bisa mengerutkan alis karena tiba-tiba ada rasa pahit yang harus saya telan. Paman Doblo kini tega merobek layangan anak-anak" Iya" Pertanyaan itu berputar berulang-ulang karena sukar masuk ke nalar.
Kamu sudah bicara dengan Paman Doblo"
Sudah. Saya merasa perlu segera menemui dia untuk menjernihkan keadaan. Dan yang paling penting, untuk menyampaikan pertanyaan anak saya.
Anakmu bertanya apa"
Ah, pertanyaan bocah; apakah jadi satpam harus galak dan menyobek layangan anak-anak"
Dan jawab Paman Doblo"
Carik Simin tertawa. Tetapi matanya berkaca-kaca. Dia kelihatan begitu berat meneruskan kata-katanya.
Paman Doblo memang sudah berubah. Untuk menjawab pertanyaan anak saya, dia berkata sambil berkacak pinggang, Saya tidak hanya bisa merobek layang-layang; saya juga bisa merobek mulut orang tua atau anak-anak kalau dia membahayakan keamanan kilang atau merugikan kepentingan pemiliknya. Cerita Carik Simin membuat saya tercengang. Tergambar senyum sangat getir pada bibir Carik Simin. Matanya masih berkaca-kaca. Kekecewaan Carik Simin segera mengimbas ke dalam dada saya. Hambar. Sakit. Mendadak kecewa. Entahlah.
Atau sebenarnya saya merasa sangat berat menerima kenyataan kini Paman Doblo bisa berbuat kasar. Dia telah kehilangan keakraban dan kelembutannya, juga terhadap anak-anak. Saya juga cemas apabila Paman Doblo merasa harus selalu mewaspadai setiap anak, dia akan kehilangan kemampuan berbaik sangka. Ah, apa yang bisa terjadi di kampungku bila antara Paman Doblo dan orang-orang sekitar kilang tak ada prasangka baik dan kasih sayang"
Mas, pulang dan bicaralah dengan Paman Doblo, kata Carik Simin dengan suara pelan dan parau. Kamu masih ingin anakanak kita bilang, untung ada Paman Doblo, bukan"
Permintaan Carik Simin terdengar sebagai tekanan halus dari suara jernih seluruh anak kampung kami. Suara itu terus terngiang. Terbayang anak Carik Simin ketika dia berdiri ketakutan, terkencing, dan air matanya berderai karena melihat layanglayangnya dirobek dengan galak oleh Paman Doblo. Ya. Tetapi saya merasa tak sanggup berbuat apa-apa. Tiba-tiba saya sadar Paman Doblo kini sudah punya posisi kuat dan dia telah mengambil jarak dari kami. Dia sudah sepenuhnya jadi satpam kilang yang harus mewaspadai semua orang luar, tak terkecuali anakanak. Dan bagi dia anak-anak kampung tak lagi jadi prioritas utama untuk dibela dan dilindungi melainkan keamanan kilang Paman Doblo Merobek Layang-Layang
Ahmad Tohari dan kepentingan pemiliknya. Ini berarti anak-anak kami tak mungkin lagi bilang, untung ada Paman Doblo. Terasa ada sengatan menghunjam hati, sengatan yang membuat saya bingung dan merasa tak berdaya.
Kompas, 6 Juli 1997 Kang Sarpin Minta Dikebiri
Ahmad Tohari K ang Sarpin meninggal karena kecelakaan lalu lintas pukul
enam tadi pagi. Ia sedang dalam perjalanan ke pasar naik sepeda dengan beban sekuintal beras melintang pada bagasi. Para saksi mengatakan, ketika naik dan mulai hendak mengayuh, Kang Sarpin kehilangan keseimbangan. Sepedanya oleng dan sebuah mobil barang menyambarnya dari belakang. Lelaki usia lima puluhan itu terpelanting, kemudian jatuh ke badan jalan. Kepala Kang Sarpin luka parah, dan ia tewas seketika. Satu lagi penjual beras bersepeda mati menyusul beberapa teman yang lebih dulu meninggal dengan cara sama.
Beban sekarung beras pada bagasi dan terkadang sekarung kecil lainnya pada batangan adalah risiko besar bagi setiap penjual beras bersepeda. Tetapi mereka tak jera. Setiap hari mereka membeli padi dari petani, kemudian mengolahnya di kilang, lalu menjual berasnya ke pasar. Mereka tak peduli sekian teman telah meninggal menjadi bea jalan raya yang kian sibuk dan kian sering minta tumbal nyawa.
Berita tentang kematian itu sampai kepada saya lewat Dalban, ipar Kang Sarpin sendiri. Ketika menyampaikan kabar itu Dalban tampak biasa saja. Wajahnya tetap jernih. Kata-katanya ringan. Mulutnya malah cengar-cengir. Entahlah, kematian Kang Sarpin tampaknya tidak menjadi kabar duka.
Di rumah Kang Sarpin saya melihat banyak orang berkumpul. Jenazah sudah terbungkus kafan dan terbujur dalam keranda. Tapi tak terasa suasana dukacita. Wajah para pelayat cair-cair saja. Mereka duduk santai dan bercakap-cakap sambil merokok seperti dalam kondangan atau kenduri. Ada juga yang bergurau dan tertawa. Asap mengambang di mana-mana, melayang seperti kabut pagi. Ah, saya harus bilang apa" Di rumah Kang Sarpin pagi itu memang tak ada dukacita atau belasungkawa. Kalaulah ada seorang bermata sembap karena habis menangis, dialah istri Kang Sarpin. Tampaknya istri Kang Sarpin berduka seorang diri.
Setelah menaruh uang takziyah di kotak amal, saya mencari kursi yang masih kosong. Sial. Satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di sebelah Dalban. Ipar Kang Sarpin itu masih ngoceh tentang si mati. Dan saya tak mengerti mengapa omongan si Dalban seperti menyihir para pelayat. Orang-orang tampak tekun menikmati cerita tentang almarhum dari mulut nyinyir itu.
Ya, wong gemblung itu sudah meninggal, kata Dalban dengan enak. Wajahnya tampak tanpa beban. Bagaimana aku tak Kang Sarpin Minta Dikebiri
Ahmad Tohari menyebut iparku itu wong gemblung" Coba dengar. Suatu ketika di kilang padi, orang-orang menantang Sarpin: bila benar jantan, dengan upah lima ribu rupiah dia harus berani membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu tanggapan Sarpin" Tanpa pikir panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi dirinya bulat-bulat di depan para penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin berayun-ayun dia berjalan berkeliling sambil meminta upah yang dijanjikan.
Cerita Dalban terputus oleh gelak tawa orang-orang. Dan Dalban makin bersemangat.
Ya, orang-orang hanya nyengir dan mengaku kalah. Malu dan sebal. Sialnya, mereka harus mengumpulkan uang lima ribu. Tetapi Yu Cablek, penjual pecel di kilang padi, melihat kegilaan Sarpin berlari sambil berteriak, Sarpin gemblung! Dasar wong gemblung!
Orang-orang tertawa lagi. Dan jenazah Kang Sarpin terbujur diam dalam keranda hanya beberapa langkah dari mereka. Saya mengerutkan alis. Ah, sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan, sudah tahu siapa dan bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya mau menelanjangi diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering membuat orang sekampung mengerutkan alis karena tak habis pikir: Kang Sarpin sangat doyan main perempuan dan tabiat itu tidak ditutup-tutupinya. Dia dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh perempuan. Saya selalu tidak tahan bila hasrat berahi tiba-tiba bergolak, kata Kang Sarpin suatu saat.
Tetapi Kang Sarpin masih ada baiknya juga, cerita Dalban lagi. Meski gemblung dia berpantangan meniduri perempuan bersuami. Kalau soal janda sih, jangan tanya; yang tua pun dia mau. Dan hebatnya lagi, dia juga tak pernah melupakan jatah bagi istrinya, jatah lahir maupun batin.
* * * Dalban terus ngoceh dan orang-orang tetap setia mendengarkan dan menikmati ceritanya. Saya juga ikut mengangguk-angguk. Tetapi saya juga merenung. Sebab tadi malam, kira-kira sepuluh jam sebelum kematiannya, Kang Sarpin muncul di rumah saya. Di bawah lampu yang tak begitu terang, wajahnya kelihatan berat. Ketika saya tanyakan maksud kedatangannya, Kang Sarpin tak segera membuka mulut. Pertanyaan saya malah membuatnya gelisah. Namun lama-kelamaan mulutnya terbuka juga. Ketika mulai berbicara ucapannya terdengar kurang jelas.
Mas, saya sering bingung. Sebaiknya saya harus bagaimana"
Maksud Kang Sarpin" Ah, Mas kan tahu saya orang begini, orang jelek. Wong gemblung. Doyan perempuan. Saya mengerti sebenarnya semua orang tak suka kepada saya. Sudah lama saya merasa orang sekampung akan lebih senang bila saya tidak ada. Saya adalah aib di kampung ini.
Kang, semua orang sudah tahu siapa kamu, kata saya sambil Kang Sarpin Minta Dikebiri
Ahmad Tohari tertawa. Dan ternyata tak seorang pun mengusikmu. Lalu mengapa kamu pusing"
Tetapi saya merasa menjadi kelilip orang sekampung. Ah, masa iya saya akan terus begini. Saya ingin berhenti menjadi aib kampung ini. Lagi pula sebentar lagi saya punya cucu. Saya sudah malu jadi wong gemblung. Saya sudah ingin jadi wong bener, orang baik-baik. Tetapi bagaimana"
Yang begitu kok tanya saya" Mau jadi orang baik-baik, semuanya tergantung Kang Sarpin sendiri, kan" Kalau mau baik, jadilah baik. Kalau mau tetap gemblung, ya terserah.
Tidak! Saya ingin berhenti gemblung. Sialnya, kok ternyata tidak mudah. Betul. Mengubah tabiat ternyata tidak mudah. Dan inilah persoalannya mengapa saya datang kemari.
Saya pandangi wajah Kang Sarpin. Matanya menyorotkan keinginan yang sangat serius. Anehnya, saya gagal menahan senyum.
Bila Kang Sarpin bersungguh-sungguh ingin jadi wong bener, kenapa tidak bisa" Seperti saya bilang tadi, masalahnya tergantung kamu, bukan"
Sulit, Mas, potong Sarpin dengan mata berkilat-kilat. Saya sungguh tidak bisa!
Kok" Tidak bisa atau tak mau"
Tak bisa. Kang Sarpin menunduk dan menggeleng sedih. Lho, kenapa"
Ah, Mas tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho, Mas! Burung saya; betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia tidak bisa diatur. Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung saya sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak di mana. Sungguh, Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya.
Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya sukarela diapakan saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.
Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia sungguh-sungguh menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan senyum. Kang Sarpin tersinggung. Mas, mungkin saya harus dikebiri.
Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.
Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. Sekarang, Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul, Mas, saya tidak main-main.
Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang.
Entah di tempat lain, Kang, tetapi di sini saya belum pernah mendengar ada orang dikebiri. Keinginanmu sangat ganjil, Kang.
Kang Sarpin Minta Dikebiri Ahmad Tohari
Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain. Saya tahu di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Saya kira sebaiknya saya pergi ke sana. Bila penyabung itu bisa mengebiri ayam, dia pun harus bisa mengebiri saya. Ya. Besok, sehabis menjual beras ke pasar&
Jangan, Kang, potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata saya. Kamu jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri kamu. Tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong kamu. Besok, Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.
Wajah Kang Sarpin perlahan mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas seperti orang baru menurunkan beban berat. Setelah menyalakan rokok Kang Sarpin bersandar ke belakang. Tak lama kemudian, setelah minta pengukuhan janji saya untuk mengantarnya ke dokter, Kang Sarpin minta diri. Saya mengantarnya sampai ke pintu. Ketika saya berbalik, tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepala: apakah Kang Sarpin adalah lelaki yang disebut cucuk senthe" Di kampung ini, cucuk senthe adalah sebutan bagi lelaki dengan dorongan berahi meledak-ledak dan liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa mengendalikan diri. Entahlah.
* * * Saya tersadar ketika semua orang bangkit dari tempat duduk masing-masing. Rupanya modin yang akan memimpin upacara pelepasan jenazah sudah datang. Bahkan keranda sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri di tengah halaman. Kini suasana hening. Dalban, yang sejak pagi ngoceh, juga diam.
Modin mengawali acara dengan memintakan maaf bagi almarhum kepada semua yang hadir. Modin juga menganjurkan kepada siapa saja yang punya utang-piutang dengan Kang Sarpin untuk segera menyelesaikannya dengan para ahli waris. Sebelum doa dibacakan, modin tidak melupakan tradisi kampung kami; meminta semua orang memberi kesaksian tentang jenazah yang hendak dikubur.
Saudara, saudara, saya meminta kalian bersaksi apakah yang hendak kita kubur ini jenazah orang baik-baik.
Masih hening. Saya merasa semua orang menanggung beban rasa pakewuh, serbasalah. Maka modin mengulangi pertanyaannya, apakah yang hendak dimakamkan adalah jenazah orang baik-baik. Sepi. Anehnya, tiba-tiba saya merasa mulut saya bergerak.
Baik! Suara saya yang keluar serta-merta bergema dalam kelengangan. Saya melihat semua orang, juga modin, tertegun lalu menatap saya. Entahlah, saat itu saya bisa menyambut tatapan mereka dengan senyum.
Keranda bergerak bersama langkah empat lelaki yang memikulnya. Bersama orang banyak yang berjalan sambil bergurau, saya ikut mengantar Kang Sarpin ke kuburan. Saya tak menyesal Kang Sarpin Minta Dikebiri
Ahmad Tohari dengan persaksian saya. Di mata saya, seorang lelaki yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita menjadi wong bener adalah orang baik. Entahlah bagi orang lain, entah pula bagi Tuhan.
Kompas, 11 Agustus 1996 Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan
Ahmad Tohari K etika kabar kematian dirinya disiarkan lewat corong masjid,
Karsim sedang terpukau. Karsim terpana karena segalanya telah berubah. Dia yakin matanya melihat segala sesuatu menjadi lebih terang, lebih nyata. Dedaunan menjadi lebih hijau dan berpendar-pendar. Juga bunga-bungaan. Kuning kembang waru menjadi lebih kuning, lebih cemerlang. Semuanya berubah menjadi lebih apa, Karsim tidak bisa mengatakannya.
Karsim melihat semua anak seperti bergerak dalam balutan cahaya. Juga kucing, kambing, burung-burung, tikus, dan semuanya. Juga Nenek Painah yang biasa tidak menghabiskan sarapannya demi seekor ayam jantan kesayangannya. Nenek Painah jadi cantik sekali.
Setelah kematiannya disiarkan lewat corong masjid, Karsim juga bisa mendengar suara kepak sayap kupu-kupu. Suara tetes air di kran tempat wudu yang tidak tertutup dengan baik juga sampai ke telinga Karsim. Suaranya bening mendenting. Suara yang menggema dalam ruang. Amat mengesankan.
Hidungnya menangkap harum mulut bayi. Padahal selama Karsim mengambang di atas orang-orang yang sedang mengurus mayatnya tak ada bayi. Ah, Karsim ingat Tursem yang tinggal di gubuk jauh di pinggir kali kemarin melahirkan bayinya.
* * * Pada awalnya adalah kemarin. Karsim mau menyeberang jalan raya dan akan terus pergi ke ladang padinya di tepi sungai. Karsim tidak punya ladang meskipun hanya seluas tapak kaki. Tetapi pada musim kemarau air sungai surut dan Karsim mendapat beberapa depa tanah endapan lumpur buat ditanami padi.
Ini tiga hari menjelang lebaran. Jalan raya itu padat luar biasa oleh berbagai kendaraan terutama yang datang dari barat. Tidak mudah bagi Karsim buat menyeberang. Apalagi matanya mulai baur. Sudah tiga kali dia mencoba namun selalu gagal. Setiap kali mencoba melangkah dia harus surut lagi dengan tergesa. Klakson-klakson mobil dan motor ramai-ramai membentaknya. Wajah-wajah pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajahwajah yang mengusung semua lambang kekotaan; keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. Pamer. Ah, tetapi Karsim tahu, pamer diri itu penting. Karsim pernah mendengar itu diucapkan oleh dalang dalam sebuah pentas wayang. Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan
Ahmad Tohari Maka Karsim mengalah, menunggu barangkali ada peluang menyeberang. Kesadarannya sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo. Mereka yang sedang mengusai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku hanyalah Karsim yang punya secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya di musim kemarau.
Karsim tahu mereka yang sedang berkuasa atas jalan raya itu sedang bergegas karena mau berlebaran di tempat asal. Sungkem kepada orangtua, ziarah, kangen-kangenan, dan semua itu penting. Semua itu merupakan kebutuhan. Juga pamer tidak kalah penting.
Di bawah matahari yang mulai terik Karsim setia menunggu. Untung ada caping bambu yang menahan sengatan sinar sehingga kepalanya tidak terpanggang. Namun kepala Karsim tetap terasa pusing karena deru ribuan kendaraan yang melintas cepat di hadapannya dan tak putus-putus entah sampai kapan.
Atau pusing karena Karsim sadar dirinya harus segera menyeberang demi tanaman padinya di tepi sungai. Bulir-bulir padinya yang sudah berisi pasti menjadi sasaran ratusan burung emprit. Bila dibiarkan burung-burung itu akan menghabiskan padi di kebun yang hanya beberapa depa luasnya itu.
Karsim merasa seperti kuda yang tersentak oleh bunyi cemeti. Rongga matanya penuh oleh ratusan burung emprit yang sedang menyisil gabah padinya dengan rakus dan cepat. Terbayang anak-istrinya yang akan tetap makan singkong karena panen padi yang sangat dinantikan ternyata gagal karena habis dimakan burung.
Ada perintah menyeberang menghunjam langsung ke dasar hati Karsim. Perintah itu datang dari sepiring nasi yang harus diselamatkan dari serbuan burung-burung. Bapa langit, biyung bumi, aku menyeberang! tekad Karsim.
Karsim melangkah dan dalam setengah detik Karsim tergilas. Setengah detik berikut dia masih bisa mendengar suara orangorang menjerit dan benturan mobil-mobil. Kemudian semuanya berubah; ringan dan mengambang. Lengang. Hening. Karsim mengapung di udara. Dia melihat tubuhnya diangkat dari tengah puluhan kendaraan yang terpaksa berhenti lintang-pukang. Jerit memilukan, suara-suara keluh kesah, marah, bahkan kutukan terdengar di tengah jalan raya, tiga hari menjelang Lebaran.
Karsim tidak mengikuti mayatnya yang digotong pulang ke rumahnya yang berada agak jauh dari jalan raya. Tetapi Karsim bisa melihat dengan sempurna perjalanan mayatnya. Mata Karsim bisa menembus segala sesuatu. Dan segala sesuatu hadir tanpa jarak.
Dan corong masjid menyiarkan berita kematian itu. Telah meninggal dunia dengan tenang saudara kita Karsim tadi jam sebelas empat lima, dan akan dikubur jam empat sore hari ini.
Belum satu menit berselang, ada orang mengatakan mati terlindas mobil hingga ususnya keluar, mengapa dikatakan meninggal dengan tenang" Karsim yang mendengar itu dengan amat jelas tertawa keras. Tetapi orang-orang yang sedang merawat Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan
Ahmad Tohari mayatnya sama sekali tidak tergerak. Mereka tidak mendengar suara tawa Karsim. Kecuali ayam jantan Nenek Painah yang tiba-tiba berkokok; ayam yang demi dia Nenek Painah tidak pernah menghabiskan sarapannya.
Karsim melihat mayatnya yang pecah di perut dimandikan dengan hati-hati. Istrinya menangis dan muntah-muntah. Wajahwajah itu menahan rasa ngeri atau jijik. Mayat Karsim dikafani, diangkat, dan dimasukkan ke keranda, disalati. Dengan perasaan amat damai Karsim melihat keranda yang mengusung mayatnya dipikul ke luar rumah. Banyak orang mengiringi keranda, termasuk Nenek Painah yang tidak pernah menghabiskan sarapan demi ayamnya.
Sejak dua-tiga hari yang lalu jalan raya itu amat sibuk dan padat terutama oleh kendaraan yang datang dari barat. Wajahwajah orang yang pegang kemudi atau motor adalah wajah-wajah yang keras dan tegang. Mereka mengusung semua lambang kekotaan; maunya menang sendiri.
Tetapi semua mengendur ketika keranda yang membawa mayat Karsim sampai di pinggir jalan. Seorang anak muda dengan gagah mengacungkan bendera kuning, maka semua kendaraan baik dari barat maupun timur mendadak berhenti.
Derit bunyi rem dan benturan mobil yang menyodok mobil lain di depan. Seorang ibu tergopoh merogoh tas dan menebarkan uang puluhan ribu. Anak-anak, juga orang-orang dewasa, lupa sedang mengiringi mayat Karsim. Mereka berebut meraih uang itu. Tetapi keranda bisa lewat meskipun agak oleng karena pemikulnya juga tergoda oleh tebaran uang.
Karsim tertawa dan tertawa sepuasnya. Dia merasa konyol. Tadi pagi dia beberapa kali gagal menyeberang jalan raya itu. Orang-orang bermobil dan bermotor yang membawa lambanglambang kekotaan itu tidak mau memberinya kesempatan.
Karsim mengerti, mudik itu penting. Pamer juga penting. Tetapi mereka seharusnya memberinya kesempatan kepadanya menolong padi yang sedang dikeroyok ratusan burung emprit.
Nah, sekarang lain. Sekarang wajah-wajah mereka mendadak berubah dan mereka segera menghentikan kendaraan karena mayat Karsim mau menyeberang.
Kurang dari lima menit keranda dan para pengiringnya sudah memotong jalan raya itu. Karsim tersenyum. Baru sekali ini sejak lahir sampai datang ajalnya tadi siang pada usia 69 tahun Karsim merasa diakui keberadaannya. Dan tahulah dia sekarang, agar keberadaannya diakui orang dia harus masuk dulu ke keranda dan diiring-iring ke kuburan.
Ribuan kendaraan yang memadati jalan raya itu bergerak lagi. Karsim diam dan menikmati pemandangan. Dia terpesona ketika melihat ada bayi terjepit antara ibu dan bapaknya yang mudik naik motor. Kakak si bayi ada di depan ayahnya, duduk terbungkuk menjadi penadah angin. Tetapi si bayi dan kakaknya terlindung oleh lingkaran cahaya kebiruan. Keduanya tampak ilahi. Dan dalam keadaan amat sulit si ibu masih sempat memijit-mijit tombol telepon genggamnya.
Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan
Ahmad Tohari Dan Karsim terpana lagi ketika melihat ada mobil mewah dikendarai oleh seekor kera perempuan. Di samping kemudi duduk seorang lelaki gendut memakai topeng kepala tikus, bahkan babi hutan. Karsim geleng-geleng kepala karena ternyata mobilmobil mewah yang dikendarai oleh makhluk bertopeng aneh; celeng, serigala, beruk, munyuk, terus berlintasan. Karsim bosan. Lalu diam. Karsim ingin menikmati dirinya yang kini dapat melihat dan mendengar segala sesuatu lebih jelas, lebih sejati. Jarak dan waktu tak lagi berpengaruh baginya. Hidup yang jauh lebih hidup. Dan akhirnya dia mendapat haknya untuk menyeberang jalan raya yang sibuk dan padat luar biasa pada tiga hari menjelang Lebaran.
Sayur Bleketupuk Ahmad Tohari P arsih sudah tujuh kali keluar halaman, masuk lagi ,dan keluar
lagi. Ini Sabtu jam lima sore. Seharusnya Kang Dalbun, suaminya yang jadi kuli batu di proyek pembangunan jembatan, sudah pulang. Tapi ke mana dia" Sementara Darto dan Darti sudah mandi dan berdandan. Kedua anak pasangan Parsih-Dalbun itu tampak amat riang. Nanti habis magrib keduanya akan naik jaran undar atau kuda putar di lapangan desa. Itu janji Parsih dan suaminya kepada Darto dan Darti; janji yang sungguh-sungguh.
Naik jaran undar sudah lama menjadi mimpi Darto dan Darti. Keduanya belum pernah mengalaminya; naik kuda kayu yang gagah dan diayun berputar pasti hebat, pikir mereka. Dan ini malam terakhir karena besok rombongan komidi jaran undar yang sudah sebulan bermain akan pindah ke tempat lain. Untuk kali yang kedelapan Parsih keluar halaman, maju sampai ke tengah jalan. Matanya menatap jauh ke timur. Dia ingin melihat sosok Dalbun, dengan tudung plastik sedang mengayuh sepeda. Namun yang selalu muncul adalah sosok lain. Parsih cukup lama menatap ke timur, namun tetap saja sosok-sosok lain yang muncul.
Bagaimana nanti bila Dalbun tidak pulang" Bagaimana dengan Darto dan Darti yang sudah amat riang karena yakin mau naik jaran undar" Parsih tidak punya uang buat sewa jaran undar sebelum suaminya pulang. Uang itu pun hanya akan singgah sebentar di tangan, karena besoknya Parsih harus melunasi utangnya di warung.
Tapi ke mana Dalbun" Ini di luar kebiasaannya. Matahari sudah hampir tenggelam. Sambil menggigit bibir Parsih masuk kembali ke rumah. Dan pikirannya terbang ke mana-mana.
Parsih pernah mendengar cerita, setiap Sabtu sore di proyek tempat suaminya menjadi kuli batu selalu bertambah ramai. Ada tukang kredit barang, ada tukang pijit, ada penjual kue-kue. Mereka tahu itu hari gajian bagi para kuli harian. Parsih pernah dibelikan oleh suaminya payung dan sandal plastik di hari Sabtu sore.
Tapi Parsih juga mendengar, penjual kue-kue di proyek pada Sabtu sore semuanya perempuan muda. Konon semuanya berdandan. Dan mereka hanya datang pada Sabtu sore. Mereka ada di sana sampai malam, ketika ada atau tidak ada pekerjaan lembur.
Sayur Bleketupuk Ahmad Tohari
Apakah Dalbun sedang kerja lembur dan ditemani perempuan penjual kue-kue" Dada Parsih terasa menyesak. Tapi dia masih percaya kepada Dalbun. Sampai Darto dan Darti masuk sekolah dasar, suaminya lurus-lurus saja. Namun Parsih juga ingat, wis sajege wong lanang gedhe gorohe bahwa sudah jadi kebiasaan lelaki besar bohongnya.
Kita akan berangkat habis magrib, Mak" tanya Darti dengan mata bercahaya. Darto ikut memandang Emak dan menunggu jawabannya. Parsih gelisah. Wajahnya hampir gagal menyembunyikan rasa cemas.
Kita akan berangkat bersama ayahmu. Jadi tunggu sampai ayahmu pulang. Mendengar jawaban itu Darto dan Darti lari sambil tertawa riang. Tapi Parsih merasa suara anak-anaknya menusuk telinga dan hatinya.
Bagaimana bila suamiku tidak pulang" pikir Parsih. Apakah Darto dan Darti tidak jadi naik jaran undar" Sungguh kasihan mereka. Teman-teman akan mengolok mereka sebagai anak sial karena tidak pernah naik jaran undar. Lagi pula mau dikemanakan mukaku ini bila ternyata aku terpaksa menyalahi janji terhadap anak-anak"
Parsih merenung sambil berjalan tanpa tujuan tertentu. Dia bingung dan kelihatan ingin memutuskan sesuatu. Kemudian dia menegakkan kepala dan melangkah ke arah belakang rumah. Seekor burung kecil merasa terusik dan segera terbang menjauh sambil mencicit. Masuk ke tengah rimbun perdu, Parsih memilih-milih tanaman rambat, lalu mengambilnya beberapa genggam.
Itu bleketupuk, tanaman liar penawar pusing dan hanya disayur bila benar-benar diperlukan. Sambil ia berjalan pulang, dipetiknya juga daun-daun singkong muda yang biasa dimasaknya menjadi sayur.
Untung api di tungku masih ada, pikir Parsih. Maka segera dia siapkan segalanya untuk membuat masakan sayur bleketupuk campur daun singkong. Diberi penyedap lebih dari cukup, ada bawang, ada kencur. Kayu api dinyalakan, nyala yang besar.
Hari mulai gelap, Dalbun belum pulang. Maka Parsih membulatkan hati. Dia siapkan dua piring nasi buat Darto dan Darti. Menunggu sampai sayur masak, kemudian menuangnya ke piring-piring yang sudah berisi nasi itu. Menambahkan lauk ikan asin pedas sisa tadi siang.
Darto dan Darti dipanggil. Melihat nasi dengan kuah sayur hangat dan ikan asin pedas mereka bersorak. Lalu keduanya makan dengan lahap. Suara sendok beradu piring terdengar meriah. Parsih menunggui kedua anaknya. Dan beberapa kali menuangkan lagi sayur ke piring Darto dan Darti sampai akhirnya habis.
Selesai makan kedua anak itu lari keluar. Mereka biasa numpang nonton televisi di rumah Pak RT sebelum magrib. Parsih ingin menahan kedua anaknya tapi sudah terlambat. Darti dan Darto sudah masuk ke rumah Pak RT.
Ayam-ayam mulai masuk ke kandangnya di belakang rumah. Parsih berjalan kian-kemari dan gelisah. Duduk sebentar, bangkit lagi, keluar halaman, menatap ke timur, dan semuanya mulai Sayur Bleketupuk
Ahmad Tohari meremang. Dari jauh terdengar azan magrib. Parsih ingin menyusul Darto dan Darti, namun malah bertemu Bu RT di tengah perjalanan.
Parsih, kamu bagaimana" kata Bu RT dengan nada berat. Itu kedua anakmu tertidur di depan televisiku!
Wajah Parsih memucat. Dia memang sudah tahu Darto dan Darti akan mengantuk sesudah makan sayur bleketupuk. Segenggam daun bleketupuk cukup buat menghilangkan rasa pusing dan menidurkan seorang dewasa.
Akan kubawa pulang mereka, kata Parsih tergagap-gagap. Mereka tidak sakit, kan"
Tidak. Mereka baru saja makan. Mungkin kekenyangan lalu mengantuk.
Bu RT percaya. Parsih menelan ludah. Keduanya kemudian berjalan beriringan. Di rumah Bu RT, Parsih melihat Darto dan Darti lelap dan terkulai di atas karpet. Parsih hampir menangis. Dia kemudian minta tolong Bu RT menaikkan Darti ke punggungnya. Anak itu tetap lelap, tersampir di punggung Parsih yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Darto diurus pula dengan cara yang sama. Kedua anak itu kemudian dibaringkan di tempat tidur yang sama. Mereka sungguh lelap di bawah pengaruh khasiat daun bleketupuk.
Parsih amat gelisah. Ibadah magrib membuat Parsih merasa agak tenang. Namun ketenangan itu hanya singgah sebentar. Ketika sadar Darto dan Darti tertidur dan tidak akan naik jaran undar, Parsih terisak-isak. Kekesalannya terhadap suami makin bertambah. Parsih juga mulai menyesal mengapa dia telah membuat sayur bleketupuk dan menghidangkan kepada anak-anaknya. Parsih terisak lagi.
Hampir jam tujuh malam Dalbun pulang sambil membawa kutukan kepada mandor yang datang sangat terlambat. Wajahnya tegang karena merasa telah membiarkan istri dan kedua anaknya terlalu lama menunggu. Mereka pasti amat kecewa. Atau marah. Sebelum terlihat oleh istrinya, Dalbun sudah mengeluarkan uang gajinya dari saku. Akan segera diberikan semua kepada Parsih.
Lampu-lampu sudah menyala namun rumahnya sepi. Dalbun menemukan Parsih sedang berdiri beku di kamar anak-anaknya. Dalbun khawatir kedua anaknya sakit.
Mereka kena apa" Tidak sakit, kan" tanya Dalbun dengan suara cemas. Parsih menjatuhkan pundak lalu menggeleng.
Mereka mau kita ajak naik jaran undar, kan" Ini uangmu, ambil semua.
Parsih hanya menoleh dan tangannya tidak bergerak. Dia malah melangkah maju agar lebih dekat kepada Darto dan Darti yang terpejam dengan wajah yang amat polos. Dalbun juga mendekat dan mencoba membangunkan kedua anaknya. Namun Darto dan Darti tetap lelap.
Tadi mereka makan nasi lahap sekali. Jadi tidurnya amat lelap, kata Parsih sambil menahan perasaannya.
Jadi bagaimana" Tidak jadi pergi naik jaran undar" Aku tidak sampai hati memaksa mereka bangun, jawab Parsih dan air matanya mulai berjatuhan. Dalbun menunduk Sayur Bleketupuk
Ahmad Tohari dan melepaskan napas panjang. Dia pun merasa tidak tega membangunkan kedua anaknya yang begitu lelap tidur.
Ini semua gara-gara mandor terkutuk itu, keluh Dalbun sambil keluar. Apa pun alasan keterlambatannya, hari ini dia menjadi mandor yang paling terkutuk!
Masih berdiri di dekat dipan anak-anaknya, Parsih mendengar keluhan Dalbun kepada mandor. Ada yang terasa tiba-tiba jatuh membebani dadanya. Air matanya menitik lagi. Dan terlihat dari balik genangan air mata, wajah Darto dan Darti menjadi begitu bagus dan bercahaya.
Parsih mengusap mata agar bisa melihat wajah kedua anaknya lebih nyata. Benar, wajah kedua bocah yang sedang terlelap itu lebih bagus dan bercahaya. Dan Parsih merasa bingung, apakah anak-anak yang bercahaya itu benar telah keluar dari rahimnya, dan ayah mereka hanya punya sedikit uang pada Sabtu sore, dan itu pun selama proyek belum usai" Parsih keluar dari kamar anak-anaknya. Dia mengibas-ngibaskan tangan yang masih bau daun bleketupuk. Sambil menangis.
Rusmi Ingin Pulang Ahmad Tohari K ang Hamim berjalan meninggalkan rumah dengan kepala
menunduk. Wajahnya kusut karena hampir semalam tidak bisa tidur. Hari masih di ambang pagi. Dedaunan masih basah oleh embun. Kang Hamim melihat beberapa orang pulang dari salat berjamaah subuh. Ah, pagi ini aku tak berjamaah, sesal Kang Hamim sambil terus melangkah.
Sampai di depan rumah Pak RT, Kang Hamim membelok. Dia memang ingin bertemu tokoh lingkungan itu. Kebetulan, Pak RT sedang melihat-lihat tanaman di halaman.
Ah, Kang Hamim, sapa Pak RT setelah menjawab salam tamunya. Sepagi ini kamu berkunjung" Ada masalah penting"
Pak RT menyilakan tamunya masuk. Maka Kang Hamim dan tuan rumah duduk berhadapan. Namun, suasana terasa agak pekat karena Kang Hamim tampak sulit berbicara. Sunyi sejenak. Hanya ada suara cicit burung madu di kerimbunan pohon rambutan di samping rumah Pak RT. Dan ciap anak-anak ayam yang baru keluar dari kandang.
Kang Hamim, kamu tampak kuyu, habis bergadang" tanya Pak RT.
Ya, malam ini saya memang kurang tidur. Saya sedang menghadapi masalah. Untuk itulah saya datang kemari.
Demikian beratkah masalah itu sehingga kamu memerlukan datang kepada saya" tanya Pak RT sambil mengembangkan senyum. Anehnya, Kang Hamim malah mengerutkan kening.
Ya, bagi saya masalah itu cukup menggelisahkan. Maka saya minta Pak RT mau membantu saya.
Tentu, Kang. Tapi katakan dulu tentang apa masalah itu. Tentang Rusmi, Pak. Rusmi anak saya.
Ya, ya saya tahu kamu punya anak bernama Rusmi. Dia yang sudah dua tahun ini ditinggal suaminya karena kecelakaan lalu lintas, bukan"
Benar, Pak. Entahlah, tiba-tiba suasana kembali sepi. Kang Hamim menunduk. Pak RT diam. Dan dalam diamnya ingatan Pak RT melayang kepada anak Kang Hamim yang sudah dua tahun menjadi janda dan kini berada entah di mana. Padahal Rusmi meninggalkan dua anak yang telah yatim.
Sekarang Rusmi di mana, Kang"
Dari suratnya yang saya terima kemarin, akhirnya saya tahu dia di Jakarta. Ya, setelah sekian lama bingung Rusmi ada di mana, sekarang saya tahu dia di sana.
Rusmi Ingin Pulang Ahmad Tohari Bekerja" Rusmi tidak bercerita apa-apa, kecuali berkata mau pulang minggu depan. Tapi ya, itulah. Saya ingin tanya dulu, apakah Bapak setuju anak saya pulang kemari"
Pak RT mengangkat alis. Kamu aneh, Kang. Kalau Rusmi ingin pulang, pulanglah. Dia, juga kamu tak perlu minta persetujuanku! ujar Pak RT dengan mempertahankan keramahannya.
Kang Hamim malah mengusap mata.
Saya tahu, Pak. Tapi soal Rusmi lain. Bapak tahu, kan" Pak RT kembali mengangkat kepalanya. Dia mulai menyadari apa maksud Kang Hamim. Pak RT memang tahu warga di lingkungannya suka bergunjing tentang Rusmi. Kabar burung dan berita miring tentang janda muda itu beredar dari mulut ke mulut, terutama di kalangan perempuan. Di tengah arisan, ketika mereka menghadiri hajatan, bahkan dalam pengajian, kabar burung tentang Rusmi selalu menjadi bahan perumpian.
Ada yang bilang kini Rusmi di Jakarta. Atau di Surabaya. Di sana Rusmi jadi perempuan penghibur. Konon seseorang pernah melihat Rusmi bersama lelaki. Dan yang paling seru adalah pengakuan seseorang yang konon mendengar cerita Rusmi telah menjadi penghuni kompleks pelacuran.
Entah mengapa kabar miring itu makin berkembang dengan bumbu yang makin pekat dan beraneka. Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka dia harus dijauhkan dan ditolak. Banyak perempuan dan pemuda akhirnya menyatakan akan menolak dan mengusir keluar bila Rusmi kembali ke kampung ini.
Setelah sadar dari lamunannya, Pak RT bernapas panjang tapi kemudian tersenyum lagi. Kang Hamim menegakkan punggung hingga merapat ke sandaran kursi.
Ah, sekarang saya tahu apa yang sedang kamu rasakan. Terima kasih, Pak. Jadi bagaimana menurut Bapak" Apakah sebaiknya Rusmi saya biarkan pulang"
Nanti dulu, Kang. Apakah Rusmi tahu dirinya sering digunjingkan orang di kampung ini"
Mungkin tidak. Rasa-rasanya dia tidak tahu.
Kalau begitu, biarlah dia pulang. Masa sih orang mau pulang ke kampung sendiri dihalangi"
Tapi bagaimana kalau banyak warga yang menolak" Saya dengar mereka tidak ingin ada manusia kotor tinggal di kampung ini. Saya juga mendengar, bila terpaksa, mereka mau demo menolak kepulangan Rusmi.
Kang, barangkali mereka tidak bersungguh-sungguh. Masa iya orang kampung ini bisa segalak itu"
Mungkin Pak RT benar. Namun Pak RT tentu masih ingat, bulan lalu ada copet tertangkap di pasar. Copet itu hampir dibakar oleh para pemuda kampung kita. Maka saya takut Rusmi pun akan diperlakukan demikian, karena anak saya itu dianggap aib kampung. Maka saya selalu gelisah. Istri saya malah sering Rusmi Ingin Pulang
Ahmad Tohari menangis di malam hari. Begitulah, Pak. Jadi sekarang saya sekeluarga harus bagaimana"
Pak RT tertawa kecil. Dia ingin membesarkan hati tamunya. Begini, Kang Hamim. Pada rapat warga malam Ahad ini masalahmu akan saya sampaikan kepada semua orang. Saya ingin menekankan bahwa anakmu sepenuhnya punya hak yang dijamin untuk kembali ke rumahmu. Saya akan berusaha memberi pengertian bahwa menghalangi orang berjalan di atas haknya adalah salah.
Ya, Pak. Tapi, tapi saya khawatir anak-anak muda tidak akan patuh kepada Bapak. Sudah banyak bukti anak-anak muda sekarang mudah marah dan mudah dihasut. Selain tentang copet itu, Bapak tentu tidak lupa peristiwa pembakaran rumah yang dicurigai sebagai sarang mesum di belakang pabrik kayu bulan kemarin.
Ya, saya ingat. Namun saya tak percaya warga lingkungan kita ini akan setega itu terhadap Rusmi. Jadi yakinlah, saya bisa mengatur warga agar mereka mau menerima kembali Rusmi.
Bagaimana bila mereka hanya membiarkan Rusmi pulang, tapi sebenarnya mereka menolak" Bukankah hal ini sama saja dan tetap akan menyiksa perasaan kami"
Pak RT terdiam. Dalam hati Pak RT membenarkan ucapan Kang Hamim. Ya, memang bisa saja orang-orang yang tak menyukai Rusmi mau membiarkan janda itu pulang. Namun mereka akan mengucilkan Rusmi dari tengah pergaulan. Atau selalu melihatnya dengan sebelah mata.
Saya mengerti, Kang. Memang tidak mudah mengubah sikap masyarakat terhadap suatu hal. Maka saya bisa bilang, bersabarlah. Saya akan melindungi hak setiap warga di RT kita ini. Percayalah.
Kang Hamim hanya bisa menelan ludah. Dan karena merasa tak ada lagi yang bisa dikemukakan kepada Pak RT, Kang Hamim minta diri, keluar, dan berjalan sambil menunduk. Pagi mulai hidup. Di jalan kampung itu mulai tampak orang berangkat ke pasar, ke sawah, atau ke kantor bagi mereka yang jadi pegawai. Beberapa orang yang berpapasan menyapa Kang Hamim. Namun ayah Rusmi itu hanya menjawab sekadarnya. Dia terus berjalan sambil menatap tanah.
* * * Selama hidup bersama suaminya, Rusmi tak pernah mengira akan menjalani masa-masa yang gersang. Dulu, sebagai ibu muda hidup terasa menyenangkan. Suaminya rajin bekerja. Bisnisnya, jual-beli sepeda motor, mulus dan lancar. Orangnya tak banyak macam, mudah dilayani dan setia. Rusmi juga merasa sangat beruntung dikaruniai dua orang anak yang sehat dan gesit.
Rusmi setiap hari merasa ditemani oleh perasaan beruntung. Rumahnya sudah patut. Pakaian dan perhiasan pun sudah punya. Bahkan bersama suaminya Rusmi mulai menabung untuk naik haji. Namun keberuntungan itu cepat berubah sejak suami Rusmi meninggal. Sebuah mobil yang dikendarai oleh sopir yang Rusmi Ingin Pulang
Ahmad Tohari mengantuk menabrak sepeda motor yang dikendarai suami Rusmi.
Jadilah Rusmi yang manis dan bermata jernih serta punya semangat hidup tinggi tiba-tiba menjadi janda. Tiba-tiba Rusmi merasa jadi penumpang perahu tanpa pengemudi. Hidupnya terasa oleng. Bila terpandang mata kedua anaknya yang masih kecil, tak bisa tidak Rusmi menangis. Bagaimanakah hidupku besok, lusa, dan seterusnya"
Satu setengah tahun bertahan dalam kesulitan lahir-batin, akhirnya Rusmi menyerah. Suatu hari Rusmi memenuhi ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota. Kedua anaknya ditinggal bersama kakek-nenek mereka. Ada yang bilang Rusmi pergi ke Jakarta. Namun ada juga yang bilang dibawa orang ke Surabaya. Kang Hamim sendiri tidak tahu mana yang benar, karena sedemikian jauh Rusmi tak pernah berkirim surat.
* * * Kampung itu mula-mula membisu ketika Rusmi pulang seminggu kemudian. Banyak orang, terutama perempuan, ingin tahu apa yang berubah pada diri janda itu. Dan mereka menemukannya. Pakaian Rusmi lebih bagus. Ada gelang dan cincin permata di tangannya. Sandalnya model orang kota. Juga riasan wajahnya. Tapi sikap dan perilakunya biasa saja.
Kepada emaknya Rusmi mengaku bekerja sebagai pramusaji di sebuah rumah makan. Gajinya lumayan. Apalagi Rusmi diasramakan sehingga tidak keluar uang untuk sewa kamar. Tetapi banyak lelaki iseng yang menggodanya. Rusmi mengaku tak mudah digoda karena terbiasa hidup gampangan. Kecuali oleh seorang yang gagah dan mengaku sudah lama hidup menduda. Rusmi tak percaya sampai lelaki itu membawa bukti surat kematian istrinya.
Cerita yang disampaikan Rusmi kepada emaknya, entah bagaimana, cepat menyebar ke mana-mana. Sebagian orang percaya, sebagian lain malah mencibir. Namun cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya bagus. Lelaki itu datang untuk melamar Rusmi. Lamaran itu diterima oleh Kang Hamim dan pernikahan Rusmi akan dilaksanakan bulan depan. Dan ternyata lelaki itu adalah teman sekolah Rusmi ketika masih di Sekolah Dasar. Dia meneruskan sekolah sampai ke perguruan tinggi.
Alhamdulillah, Rusmi akan mengakhiri masa sulit dan memulai hidup baru, ujar Pak RT kepada Kang Hamim suatu pagi lepas subuh. Saya juga bangga dengan warga di sini yang telah menerima dan memberi kesempatan kepada Rusmi untuk hidup bahagia. Memang begitulah seharusnya.
Mendengar pengakuan Pak RT yang begitu tulus, Kang Hamim hanya bisa menunduk. Terharu dan lega. Rusmi Ingin Pulang
Dawir, Turah, dan Totol Ahmad Tohari T erminal bus sudah pindah ke tempat lain agak di pinggir
kota. Kepindahan itu menyebabkan Dawir, Turah, dan si bocah Totol kehilangan tempat menggelar kardus alas tidur di samping bak sampah besar. Mereka adalah manusia terminal. Dawir merasa sebagai ayah, Turah merasa sebagi emak, dan Totol, anak lima tahun, lahir dari perut Turah. Turah tidak peduli apakah ayah Totol itu Dawir apa bukan. Turah sendiri merasa, banyak lelaki terminal yang mungkin sesungguhnya ayah Totol. Atau ayah dua bayi lain yang kemudian dia lahirkan tetapi keguguran. Namun Dawir senang diakui sebagai ayah Totol. Dan nyatanya dua manusia dewasa dan satu anak itu selalu bersama-sama terutama di malam hari.
Perjodohan antara Dawir dan Turah diawali, kelihatannya, tanpa sengaja. Waktu itu ada serombongan anak terminal, lelakiperempuan. Ada penyemir sepatu, ada pengamen, ada pengemis.
Malah ada pencopetnya juga. Mereka harus kumpul di sudut belakang terminal karena sama-sama takut digaruk Satpol PP. Memang sedang ada pembersihan. Kata tukang becak, Gubernur mau melihat terminal, besok. Jadi terminal harus bersih dari anak-anak terminal; Dawir dan gerombolannya. Waktu itu tanpa sengaja Dawir memandang Turah yang belum begitu dikenalnya. Turah tersenyum tipis. Lalu Dawir membelikan bakso dengan uang hasil ngamen. Habis makan bakso Turah memberikan rokok, entah dari mana, kepada Dawir. Sejak saat itu anak-anak terminal mengatakan Turah istri Dawir. Tapi sering ada kernet, atau sopir, atau si Jeger, yang suka minta setoran kepada pengemis dan pengamen, memakai Turah. Dan Turah mau saja. Padahal waktu itu tetek Turah masih kecil.
Sebetulnya Dawir kurang suka dengan perpindahan terminal. Sebab hansip dan satpam di terminal baru galak. Dawir pernah ditempeleng ketika mau ngamen di bus patas. Terminal baru tempatnya terang dan lebih terbuka. Gerbang-gerbangnya dijaga hansip galak. Jadi memang sulit mencari sudut yang nyaman untuk menggelar kardus.
Untung pembongkaran terminal lama belum selesai semuanya. Masih ada bangunan kakus dan musala yang masih berdiri. Tapi pipa airnya sudah dicopot. Kadang-kadang kakus masih ada yang pakai. Dan musalanya sama sekali tidak. Lantai antara kakus dan dinding musala yang biasanya basah kini kering. Jadi sudah seminggu ini Dawir menggelar kardus di tempat itu. Ini berkah perpindahan terminal bagi Dawir dan Turah. Karena Dawir, Turah, dan Totol
Ahmad Tohari tempat itu lebih enak daripada dekat bak sampah besar yang tanpa atap. Bila malam, kadang-kadang siang juga sehabis ngamen, Dawir dan Turah nyenyak di sana.


Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang musala itu sudah tidak dipakai, jadi banyak sampahnya. Banyak bekas bungkus rokok, ada sandal jepit cuma sebelah, ada celana gombal, banyak botol plastik. Turah pernah minta Dawir menggelar kardus di bekas musala saja, jangan di luar. Kan tidak ada angin, lebih terlindung, kata Turah. Tapi Dawir tidak mau. Musala itu tempat orang berdoa, jawab Dawir. Kita tidak bisa berdoa apa-apa, tambah Dawir. Turah belum menyerah. Dia bilang, kok banyak lesbi atau hombreng pada main di situ" Kok tidak apa-apa" tanya Turah. Kamu pernah melihat sendiri hombreng dan lesbi main di situ" Dawir balik tanya. Iya, saya melihat sendiri, jawab Turah. Kamu senang melihat mereka main ya" tanya Dawir lagi. Ih, amit-amit! jawab Turah sambil meludah. Cuh! Dawir diam.
Ya, Dawir diam. Soalnya dia sedang ingat masa kecilnya. Dulu Dawir juga sering melihat orang main. Bukan siapa-siapa, malah emaknya. Memang emaknya main dengan lelaki, tukang becak atau tukang semir. Jadi emaknya bukan hombreng atau apa. Dan menurut Dawir, Turah memang benar. Melihat orang main, hombreng atau bukan, lesbi atau bukan, memang amitamit. Cuh! Dawir juga meludah seperti Turah. Tapi Turah dan Dawir kemudian sama-sama tersenyum. Barangkali mereka sedang sama-sama ingat, keduanya pun nyatanya senang main juga. Buktinya lahir Totol.
Dan Dawir cuh lagi ketika dia ingat, dulu, sering terjaga dari tidurnya karena badannya merasa dingin. O, ternyata emak yang tadinya tidur berdempet sudah bergeser. Emak sedang main. Waktu itu Dawir masih kecil. Tapi Dawir sudah bisa merasa Emak tidak lagi suka kepadanya. Buktinya Emak lebih suka berdempet dengan lelaki dan membiarkan tubuh Dawir kecil kedinginan di gerbong rusak di stasiun.
Dawir jadi benci Emak. Dan marah. Maka pagi-pagi selagi Emak masih tidur dempet dengan tukang semir, Dawir terjun dari gerbong rusak. Harus terjun karena Dawir masih kecil. Terus menyeberang rel, menyeberang rel lagi. Lalu naik ke sambungan kereta barang yang sudah hampir berangkat. Tapi tidak bisa karena Dawir masih kecil. Ada lelaki pincang yang sudah duduk di sambungan kereta itu. Jari-jari kaki kanannya busuk dan bau. Dan lelaki pincang itu menolong Dawir naik. Mereka duduk di sambungan gerbong barang. Dawir tidak suka di situ, sebab lelaki pincang itu kakinya bau busuk. Tapi Dawir tidak bisa pindah. Kereta barang sudah mulai jalan.
Lelaki pincang itu malah tersenyum kepada Dawir. Dia punya dua ketupat. Dawir diberi satu. Dawir ingin menolak sebab kaki kanan lelaki itu busuk dan bau. Tapi Dawir lapar. Tadi malam Emak tidak ngamen atau apa, malah main sama tukang semir. Dan Dawir tidak diberi makan. Jadi ketupat lelaki yang bau busuk itu diterima juga lalu dimakan habis.
Iblis Pulau Keramat 1 Animorphs - 33 Ilusi The Illusion Bidadari Dari Sungai Es 20

Cari Blog Ini