Ceritasilat Novel Online

Mata Yang Enak Dipandang 2

Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari Bagian 2


Dawir sampai di kota ini. Meskipun masih kecil Dawir tidak cengeng. Malah Dawir berani menolak ajakan lelaki pincang itu Dawir, Turah, dan Totol
Ahmad Tohari untuk meneruskan perjalanan dengan kereta barang. Dawir memilih terjun, lalu lari. Sehari kemudian Dawir sudah bergabung dengan dua anak sebaya, ngamen di terminal atau di lampu merah. Senang juga karena Emak tidak pernah mencarinya. Jadi Dawir tak pernah lagi bertemu Emak. Ah, mungkin Emak juga senang Dawir pergi, karena Emak tidak harus menghangatkan tubuh kecil anaknya bila sedang tidur di gerbong rusak. Bebas tidur bersama tukang becak atau tukang semir.
* * * Ini jam lima sore. Udara tidak lagi memanggang. Bau pesing dari bangunan bekas kakus tidak begitu menusuk, karena sisa kencing tidak menguap. Dan di ruang antara bekas kakus dan tembok bekas bangunan musala itu ada ceria. Turah sudah memandikan Totol di belakang tempat cucian mobil. Turah hanya cuci muka. Tapi lumayan, wajah Turah jadi agak bersih. Sesungguhnya Turah lumayan manis. Dan pada jam lima sore ini Totol memakai baju baru, sepatu baru, pakai topi bertulis marinir, sudah makan roti enak sampai kenyang. Totol juga sudah punya senapan mainan pakai baterai. Bila pelatuknya ditarik senapan itu akan berbunyi tret-tetetetetetet sambil menghamburkan cahaya merah dari moncongnya. Memang Dawir sudah mengancam; sekali punya uang cukup dia akan beli roti enak. Juga beli senapan mainan yang pakai baterai untuk Totol.
Turah juga sudah pakai cincin emas pemberian Dawir beberapa jam yang lalu. Dia senyum-senyum, membuat Dawir makin yakin bahwa Turah memang pasangannya. Dawir dan Turah duduk di atas gelaran kardus, di hadapan mereka ada kotak-kotak Holland Bakery dan kotak-kotak minuman. Juga ada sebungkus rokok Jisamsu yang kulitnya terbelah memanjang. Satu batang sedang terselip di bibir Dawir. Satu lagi di mulut Turah. Memang, di ruang antara bangunan bekas kakus terminal dan tembok bekas musala itu sungguh ada ceria.
Totol berlari-lari, kadang berhenti untuk mengarahkan senapannya kepada Dawir dan Turah dengan gaya prajurit komando. Tretetetetetetet. Totol menembak. Lalu tertawa dan lari masuk ke bilik-bilik bekas kakus untuk bersembunyi. Keluar lagi dengan moncong senapan yang sudah terarah: tretetetetet. Bersorak, tertawa, dan lari lagi, kali ini ke belakang bekas musala.
Dawir dan Turah memandangi Totol dengan mata berbinar. Mereka merasa jadi om dan tante yang sedang menunggui anak bermain di mal. Memang Totol anak cakep, sudah mandi lagi. Jadi pada jam lima sore itu Totol seperti pantas menjadi anak om dan tante. Kan rokok yang sedang diisap oleh Dawir dan Turah juga rokoknya om dan tante juga, Jisamsu.
Totol muncul lagi dari belakang bangunan bekas musala, langsung berdiri dengan sikap siap tempur. Tapi Totol berhenti dengan tiba-tiba. Tidak menembak. Tidak ada tretetetet. Mata Totol membulat melihat Dawir sedang ditelikung oleh polisi. Dawir tidak melawan, tapi juga tidak gugup, mungkin karena sebelumnya dia sudah tiga kali ditelikung seperti itu. Dawir ma- Dawir, Turah, dan Totol
Ahmad Tohari lah menyuruh Totol meneruskan permainannya yang asyik. Ayo, Tol, aku ditembak, suruh Dawir kepada Totol, tak peduli dia sedang ditelikung polisi. Totol menurut; tretetetetet-tretetetetet. Lalu berteriak dan tertawa.
Turah juga tidak gugup. Turah sudah sering kena garuk Satpol PP. Jadi Turah memang tidak gugup. Tapi Turah tak suka cara polisi itu memandangnya. Itu cara pandang lelaki yang ada maunya.
Ngamen ya ngamen, tapi jangan nyopet, kata polisi kepada Dawir sambil berusaha membawanya pergi. Dawir tidak melawan, malah masih berusaha bicara dengan Totol. Tembak aku, Tol. Tembak. Dan Totol menembak sambil berteriak dan tertawa; trettetetetettetetet.
Dawir pergi ngamen lagi, Mak" tanya Totol. Tidak, jawab Turah. Ke mana" kejar Totol. Paling-paling dibui, jawab Turah sambil menghabiskan isi kotak Holland Bakery-nya. Juga minum, terus merokok. Malam ini tidak pulang" Totol terus tanya. Mungkin tidak, Turah tetap sabar menjawab. Saya tidak suka polisi. Saya jadi tidak bisa main perang-perangan sama Dawir, kata Totol rewel. Ah, lelaki sama saja, Turah bilang. Sama saja bagaimana" kejar Totol. Kamu masih kecil, jangan tanya itu. Totol kelihatan tidak ingin menyerah. Matanya tetap membulat. Tangannya yang memegang senapan mainan terkulai.
Jadi malam nanti Dawir tidak pulang, Mak" Jelas tidak, Turah menjawab tanpa menoleh, malah asyik menyedot minuman kotak. Jadi nanti malam Mak main sama siapa" Totol terus mencecar. Turah masih belum menoleh. Juga tidak gugup atau heran dengan pertanyaan Totol. Karena Turah sudah mengerti Totol sering melihat dia sedang main sama Dawir di satu kardus yang digelar untuk tidur bertiga.
Nanti malam aku tidak main, mau tidur saja. Akhirnya Turah menjawab, tapi masih belum menoleh juga. Tapi aku benci polisi, kata Totol dan matanya menyala. Nanti dia akan kutembak. Si Jeger juga aku benci. Nanti dia akan kutembak. Ah, masa iya semua mau ditembak" ujar Turah. Biar saja si Jeger dan polisi dua-duanya main sama aku. Biar dua-duanya ketularan. Rasakan! Ketularan apa, Mak" Totol bingung. Ketularan gatal dan perih. Biar si Jeger dan polisi itu aku tulari nanah! jawab Turah. Apa itu, Mak" Ah, jangan rewel, kamu masih kecil, jawab Turah sambil merebahkan badan.
Totol diam, lalu melangkah dan duduk menyandar pada tubuh Turah. Ada anjing lewat, teteknya membesar bergantungan. Pasti anjing itu sedang punya anak banyak. Tapi Totol tak peduli. Dia arahkan senapannya sambil tetap duduk; tretetetetetet. Anjing betina itu kaget, berhenti untuk menengok sesaat ke arah Totol, lalu lari seperti biasa saja.
Bangunan terminal lama, kecuali kakus dan musalanya, memang sudah diratakan dengan tanah. Terjadi penjarahan material bekas ketika buldoser mulai menghancurkan tembok-tembok beberapa waktu yang lalu. Kayu, genteng, bata, besi rancang, menjadi rebutan para pemulung. Kini kompleks terminal lama sudah menjadi padang terbuka yang diseraki puing. Di malam Dawir, Turah, dan Totol
Ahmad Tohari hari suasananya remang, karena hanya ada lampu jalan yang bersinar agak jauh. Tapi dalam keremangan itu selalu terlihat sosoksosok lelaki, perempuan, lesbi, hombreng lalu-lalang atau duduk berdua-dua sambil ngobrol atau merokok. Ada berbagai macam jual-beli berahi, ada jual-beli narkoba, ada lesehan miras. Tapi juga ada seorang calon doktor yang menyelinap sambil melakukan penelitian untuk disertasi yang sedang ditulisnya.
Malam ini pun sama seperti malam-malam sebelumnya, kecuali di bangunan bekas kakus dan musala itu. Perut Turah dan perut Totol kenyang berisi roti Holland Bakery dan minuman kotak. Totol tidur sambil memeluk senapannya. Dia tidak merasa banyak sekali nyamuk hinggap dan mengisap darahnya. Totol juga tidak tahu ada lelaki merebahkan diri di seberang tubuh Turah. Itu si Jeger, tukang palak yang selalu meminta setoran kepada para pengamen dan para pengemis. Turah, yang memang belum tidur dan sedang tidak bernafsu, malah bangkit. Si Jeger seperti mau memperkosa, tapi Turah yang tubuhnya kuat tidak bisa dipaksa. Turah berjalan meninggalkan Totol tidur sendiri dan digigiti nyamuk. Si Jeger tidak sulit menemukan cara untuk memeras Turah. Sudah malam begini Dawir belum setor ke saya, kata si Jeger sambil berjalan menyusul Turah. Jadi kamu yang harus bayar, harus! tambahnya dengan mengancam.
Turah jengah. Turah tahu watak si Jeger. Kalau maunya tidak dituruti, nanti akan ada tinja berserakan di kardus alas tidur Turah. O, itu biasa, dan Turah tidak takut. Tapi si Jeger bisa berbuat lebih dari itu. Buktinya dulu dia pernah mengancam akan menculik Totol bila Turah tidak menuruti maunya. Totol akan dijualnya ke makelar anak yang tinggal tidak jauh dari terminal. Ayah Totol memang bisa Dawir bisa bukan. Tapi Turah tidak mau kehilangan Totol. Tidak mau. Untuk itu Turah harus mengalah kepada si Jeger. Jadi Turah kembali ke gelaran kardus. Merebahkan tubuh dekat sekali tapi tidak menyentuh Totol. Turah bermain tanpa minat. Tapi puas karena yakin telah menularkan nanah kepada si Jeger. Rasakan, tukang palak! kutuk Turah.
Di bekas terminal bus itu, malam hari hanya tampak temaram. Lampu-lampu jalanan hanya kelap-kelip jauh dari tempat itu. Maka bulan yang sudah puluhan tahun tidak mendapat peduli, sementara bisa hadir kembali di sana. Malam ini bulan menatap ke bawah, melihat manusia-manusia di bekas terminal itu: banci-banci lelaki, banci-banci perempuan, hombrenghombreng, lesbi-lesbi, pelacur-pelacur gelaran koran, pengamen sebenarnya, pengamen merangkap pencopet, tukang bakso, tukang palak, yang hanya punya bekas terminal untuk tempat hidup dan me-nyatakan diri.
Bulan juga asyik menikmati musik kaleng rombeng yang ditabuh oleh Stevi dan kawan-kawan. Stevi adalah tukang tambal ban yang kalau siang hari bernama Sartana. Tapi bulan tidak dapat melihat Turah, Totol, dan Dawir. Turah dan Totol sudah lelap di bawah atap yang memayungi bangunan bekas kakus dan bekas musala. Dawir sedang tidur meringkuk di sel kantor polisi. Demam. Tangan dan pundaknya terasa patah karena dipelin- Dawir, Turah, dan Totol
Ahmad Tohari tir polisi tadi sore. Polisi ingin tahu berapa uang yang dicopet Dawir, tapi Dawir bilang tidak tahu. Jadi tangan Dawir dipelintir keras sekali. Kini Dawir merasa pundak dan tangannya sakit luar biasa. Tapi Dawir tidak mengaduh. Tidak pernah.
Harta Gantungan Ahmad Tohari S urau kecil itu berada di salah satu sudut tambak yang lumayan lebar. Seperti balai kambang. Disangga oleh empat batang kelapa yang terpancang ke dasar tambak. Surau itu kadang tampak seperti perahu atau rumah panggung kecil di atas air. Dan siapa saja yang mau salat di sana akan berjalan melewati titian bambu sepanjang belasan langkah. Ada tempat berwudu di pangkal titian berupa pancuran yang dikelilingi bilik anyaman daun kelapa. Pancuran itu memasok air segar dari lereng bukit ke dalam kolam. Di dalam bilik itu orang berwudu, biasanya sesudah membuang hajat.
Karena agak jauh dari permukiman, surau itu hanya dipergunakan orang untuk salat lohor dan asar di siang hari. Setelah matahari terbenam, surau itu gelap dan merana. Burung hantu yang sedang mengintai ikan suka bertengger di atapnya. Hanya beberapa orang yang biasa salat di sana. Di antaranya dua orang penyadap nira. Sering juga ada pedagang keliling singgah untuk menunaikan ibadah. Selebihnya hanya kadang-kadang adalah saya dan Kang Nurya.
Saya sering berada di sana karena saya pemilik tambak itu. Dan Kang Nurya, pemilik satu-satunya kerbau terakhir di kampung ini, punya kebiasaan menggembala ternaknya dekat tambak saya. Maka kami sering salat bersama, kemudian lesehan dan ngobrol berdua di serambi.
Kang Nurya hidup menduda dan tinggal seorang diri di rumahnya di tepi kampung. Istrinya sudah lama meninggal, dan delapan anaknya hanya tinggal tiga yang masih hidup. Tetapi ketiganya ikut bertransmigrasi ke daerah Lampung Selatan dan sudah belasan tahun tak ada kabar beritanya. Maka Kang Nurya, yang mengaku sudah berusia lebih tua daripada umurnya Kanjeng Nabi, hanya bisa mengakrabi seekor kerbaunya. Harihari Kang Nurya adalah hari-hari bersama binatang itu. Karena keakraban itu, bau kerbau adalah bau Kang Nurya juga. Jadilah di kampung kami lelaki tua itu dipanggil dengan sebutan lucu; Nurya Kebo.
Tetapi sebutan lucu itu bukan sesuatu yang berlebihan. Bahkan terasa sangat jujur, karena menurut Kang Nurya, kerbau adalah segalanya. Kerbau sudah menjadi sahabat dan bagian terpenting dalam hidupnya. Memang Kang Nurya hidup dari harga seekor kerbau. Kerbau yang sudah dipelihara dan dibesarkan dijual ketika pasaran baik, yakni pada hari-hari menjelang Lebaran. Lalu dibelinya lagi kerbau yang lebih kecil untuk dibe- Harta Gantungan
Ahmad Tohari sarkan. Dari menjual kerbau besar dan membeli kerbau kecil itu Kang Nurya mendapat uang lebih. Demikian seterusnya.
Atau lebih dari itu, Kang Nurya pernah bilang; bagi dia kerbaunya adalah satu-satunya harta gantungan. Di kampung kami, harta gantungan adalah cadangan biaya untuk menyelesaikan urusan-urusan kematian bila si pemilik meninggal dunia. Harta gantungan biasanya berupa sisa sebidang tanah setelah dibagi untuk anak-anak. Aku tak punya secuil pun. Jadi ya kerbau ini yang akan aku jadikan harta gantungan. Maka kalau aku mati, tolong jasadku jangan ditelantarkan. Uruslah dengan semestinya. Jual kerbauku untuk membiayai semuanya. Demikian wasiat tidak resmi yang diberikan Kang Nurya kepada saya.
Karena kukuhnya ingin tetap memiliki harta gantungan, Kang Nurya menolak menjual kerbaunya untuk biaya pengobatan lehernya yang membengkak di bagian sisi kanan. Padahal setahu saya, pembengkakan semacam itu bisa berbahaya bila ternyata ada tumor di kelenjar gondoknya. Aku sudah bilang, umurku sudah melewati usia Kanjeng Nabi. Dan bila aku harus mati karena bengkak di leher ini, ya tidak apa-apa. Yang penting aku masih punya harta gantungan. Kalau kerbauku dijual untuk biaya berobat sekarang, lalu dari mana biaya untuk mengurus mayatku"
* * * Berkarib dengan Kang Nurya selalu terasa cair dan ringan. Mungkin karena Kang Nurya suka tertawa. Matanya enak dipandang karena selalu memancarkan kecerahan. Alisnya jarang berkerut. Kalau berjabat tangan terasa hangat dan akrab. Memang hidup Kang Nurya seakan mengalir ringan, seringan lalat dan langau yang beterbangan di punggung kerbaunya. Atau seringan suara seruling yang kadang ditiupnya di tepi hutan dan terdengar lamat-lamat dari kampung.
Anehnya, sore ini Kang Nurya tampak lain. Ketika duduk bersila seorang diri di serambi surau selepas asar, wajahnya tampak berat. Seperti ada bagian yang membeku dalam jiwanya. Matanya kosong. Kang Nurya kelihatan tak peduli dengan pemandangan di sekelilingnya. Padahal di depannya sedang ada dua ikan mujair jantan berkejaran sehingga menimbulkan riakriak air. Atau ikan betik yang melompat ke atas permukaan air untuk menangkap serangga yang sedang hinggap di batang rumput. Bahkan Kang Nurya mungkin juga tidak mendengar ada suara anak katak yang megap-megap karena kakinya mulai masuk ke mulut seekor ular.
Dari dalam surau saya perhatikan Kang Nurya masih mematung. Aku mendekat dan terkejut ketika melihat wajah Kang Nurya agak pucat. Secara keseluruhan wajah lelaki itu memperlihatkan citra orang sakit. Dan setelah saya amati, bengkak di sisi lehernya tampak bertambah besar.
Kelihatannya kamu sakit, Kang"
Tanpa menoleh Kang Nurya mengiyakan pertanyaanku. Tapi ciri khas masih muncul dalam penampilannya. Cair dan senyum.
Harta Gantungan Ahmad Tohari
Sudah beberapa hari ini aku merasa kurang sehat. Pusing dan badan rasanya lemah. Kasihan kerbauku. Dia tidak kugembalakan, hanya kuberi makan seadanya di kandang. Lehermu sakit"
Ya, tapi sudahlah. Kau jangan minta lagi aku menjual kerbau untuk perawatan sakit di leher ini. Berapa kali aku harus bilang, aku merasa lebih baik mati tapi masih punya harta gantungan daripada hidup tak punya apa-apa. Apalagi aku sudah tua, lebih tua daripada usia Kanjeng Nabi. Lagi pula, hidup itu jodohnya ya maut. Iya, kan"
Kang Nurya tertawa kecil. Tapi saya malah bimbang. Saya serius memikirkan kemungkinan Kang Nurya menderita tumor kelenjar gondok. Tapi yang bersangkutan ayem saja. Dia tersenyum saja, malah masih sempat menggulung rokok dan menyalakannya sebelum bangkit meninggalkan surau terapung. Salamnya terdengar sedikit parau dan dalam.
Saya perhatikan Kang Nurya menuruni anak tangga untuk mencapai titian. Tangan kirinya lekat pada bambu pegangan. Langkahnya mantap karena dia sudah sangat terbiasa dengan titian itu. Di kejauhan saya melihat Kang Nurya masih sempat menjambret daun-daun singkong liar yang tumbuh di tepi selokan. Pasti demi kerbaunya.
Sendiri di serambi surau terapung saya masih merenungi Kang Nurya. Pikiran ke sana hanya terhenti sejenak bila ada sesuatu yang lebih menyita perhatian saya; ikan gabus yang sedang menjaga ratusan anaknya yang baru menetas itu; burung si raja udang yang tiba-tiba terjun lalu muncul lagi dan langsung melesat dengan ikan kepala timah terjepit di paruhnya. Atau sehelai daun ketapang tua yang luruh terembus angin dan jatuh tanpa suara ke permukaan kolam.
Keesokan hari Kang Nurya tidak muncul di surau terapung. Ada rasa cemas yang membuat saya harus menjenguk Kang Nurya di rumahnya, sebuah bangunan bambu yang sudah tua. Bau kerbau dan kotorannya. Bilik tidur Kang Nurya remang-remang meskipun di luar sinar matahari amat terang. Benar dugaan saya, lelaki itu betul-betul sakit. Perubahannya sangat cepat. Untung ada tetangga yang setia menunggu Kang Nurya dan memberinya makan dan minum. Kang Nurya sudah terlihat parah. Tetapi tetangga yang menunggu hanya bisa kebingungan karena tak tahu apa yang harus dilakukan selain memberi air bila Kang Nurya minta minum.
Aku datang, Kang Nurya. Bagaimana keadaanmu" Kamu siapa"
Aku Kotob. Oh, Markotob.
Ya. Bagaimana keadaanmu"
Ya begini ini, jawab Kang Nurya dengan suara yang sudah berubah. Saya sadar keadaan lelaki itu serius. Maka saya langsung teringat pada obat, dokter, rumah sakit. Saya ingin bermusyawarah dengan para tetangga dan Pak RT untuk membawa Kang Nurya ke rumah sakit. Tetapi ketika mendengar gagasan saya, Kang Nurya langsung menggeleng.
Harta Gantungan Ahmad Tohari Jangan, katanya dengan suara lemah. Umurku sudah lebih tua dari usia Kanjeng Nabi. Itu sudah lebih dari cukup. Jadi, jangan bawa aku ke mana pun. Biarlah aku tetap di sini. Siapa tahu aku bisa sembuh. Kan umur ada di tangan Tuhan. Yang penting kamu jangan lupa, bila ternyata aku tidak kuat, juallah kerbauku. Urus mayatku. Jangan lupa juga bikin selamatan.
Saya tak bisa berkata apa-apa lagi. Suasana terasa lengang dan mencekam. Lenguh kerbau yang lapar meronta ingin lepas dari tali yang membelenggu lehernya. Saya keluar lagi untuk memberitahu Ketua RT dan para tetangga bahwa sakit Kang Nurya sudah parah. Kami ingin membuktikan di kampung kami Kang Nurya tidak hidup hanya dengan kerbaunya. Kami ingin merawat dengan sepantasnya meskipun Kang Nurya menolak dibawa ke rumah sakit. Kami akan mengurus kerbaunya agar tidak terus melenguh-lenguh. Dan kami akan memberi lampu yang lebih terang di bilik tidurnya. Atau kami akan meminta seseorang membaca Surah Yasin untuk mengantar kepergian Kang Nurya. Kami juga akan berusaha menghubungi anak-anak Kang Nurya di Lampung dengan cara apa saja.
Pada hari kelima Kang Nurya meninggal. Anak-anaknya belum satu pun yang muncul. Mungkin surat kami tak sampai, karena alamat yang kami dapat agak meragukan. Kecuali kerbaunya yang melenguh panjang, selebihnya tak ada tangis. Semuanya berjalan cair dan ringan.
Jenazah Kang Nurya kami urus dengan biaya gotong royong para tetangga. Ada juga dari kas RT. Repotnya adalah kerbau itu. Kami merasa tak berhak menjualnya meski ada wasiat lisan dari Kang Nurya. Maka selamatan tiga dan tujuh hari kami lakukan ala kadarnya, yakni dengan tahlilan di masjid kampung. Sementara itu, seorang tetangga kami minta merawat kerbau Kang Nurya sampai anaknya datang dari Lampung.
Hari kesepuluh sejak kematian Kang Nurya, seorang anak lelakinya datang. Dialah Wardi, anak sulung Kang Nurya. Kami hampir pangling. Kami melihat kesan kepindahannya ke Lampung tidak mengubah derajat hidupnya. Kemelaratan masih tergambar jelas dari seluruh penampilannya. Jadi ada benarnya kata orang, program transmigrasi bisa berarti pemerataan kemiskinan ke luar Jawa. Ah, entahlah.
Dalam keletihan karena perjalanan jauh, Wardi mengucapkan terima kasih karena kami telah mengurus ayahnya. Dia juga berkata tidak akan berlama-lama tinggal bersama kami, karena tidak ada sesuatu yang harus diurusnya kecuali kerbau itu. Karena dia menyebut soal kerbau, saya sampaikan wasiat Kang Nurya kepadanya.
Kang Nurya berwasiat, kerbau itu harus dijual dan uangnya bisa dipakai untuk biaya mengurus jenazahnya. Tetapi kami sudah menyelenggarakan urusan itu, bahkan juga selamatan tiga dan tujuh harinya. Jadi soal kerbau itu terserah kamu.
Anak Kang Nurya menunduk. Kemudian dengan senyum malu-malu dia berkata, Kerbau itu jelas akan saya jual. Sebagian uangnya akan saya serahkan sebagai ganti biaya yang telah dikeluarkan oleh para tetangga&
Harta Gantungan Ahmad Tohari Tidak. Kami tidak meminta ganti, potong Pak RT yang hadir di antara kami. Semua orang setuju. Mata Wardi melebar dan berkaca-kaca. Tangisnya terasa hampir pecah.
Kalau begitu, terima kasih banyak. Matur nuwun. Jujur saja, sesungguhnya saya sedang membutuhkan uang banyak. Anak saya sedang menuntut kawin, dan saya belum punya uang sepeser pun. Matur nuwun&
Kami melihat anak Kang Nurya meneteskan air mata. Tetapi saya sendiri merasa jembar hati. Ya, rupanya, jauh di sana, ada calon pengantin yang dapat keberuntungan pada saat-saat terakhir. Karena kakeknya rela mati kena tumor demi mempertahankan harta gantungan. Calon pengantin itu pun mendapat biaya untuk menikah. Semoga diberkati.
Pemandangan Perut Ahmad Tohari T entang Sardupi, orang sekampung sudah mengerti semuanya.
Lelaki bertubuh kecil dan berkulit hitam itu memang lain. Dia tidak menikah. Selain itu, dia gemar bermain bersama anakanak, padahal rambut Sardupi sudah mulai beruban. Dan cirinya yang paling khas adalah kebiasaannya merendahkan mata bila diajak bicara.
Sardupi juga suka tersenyum atau tertawa sendiri. Hal terakhir ini membuat banyak orang menganggap Sardupi tidak waras. Apalagi penampilan fisiknya memang mendukung anggapan itu; bentuk kepalanya seperti buah salak, tinggi dan mengerucut ke atas serta wajahnya memperlihatkan kesan orang terbelakang.
Tetapi aku sendiri tak pernah ragu, Sardupi sepenuhnya waras. Ia hanya agak aneh. Dan nyatanya Sardupi dan keanehannya sudah menjadi hal biasa. Sudah puluhan tahun ia menjadi bagian keseharian kampung kami. Sardupi tak pernah menjadi masalah. Kehidupannya yang sangat sahaja terus bergulir mengikuti irama gerak dan napas, bahkan menjadi kenormalan kampung kami. Sardupi, yang hanya hidup bersama emaknya yang sudah tua, biasa disuruh membersihkan kebun, membelah-belah kayu bakar, atau membawakan barang belanjaan dari pasar.
Demikian padunya Sardupi menyatu dengan kampung kami, sehingga sehari-hari tak seorang pun merasa perlu memberi perhatian khusus padanya. Namun, hari ini lain. Aku mendengar, tadi pagi Sardupi dipukuli orang di pasar. Pak Braja yang jadi hansip pasar memukuli Sardupi habis-habisan sehingga lelaki kecil itu tergeletak pingsan.
Aku juga mendengar bahwa dari umpatan yang keluar dari mulut Pak Braja, semua orang jadi tahu bahwa Sardupi dipukuli karena hal yang sepele. Sardupi tak mau memang ini kebiasaannya memandang wajah Pak Braja ketika jagoan pasar itu mengajaknya bicara. Sardupi konon bahkan tertawa dan bahkan terus tertawa sehingga Pak Braja, yang merasa dirinya orang paling berkuasa di pasar, merasa dihina. Dan tinjunya pun bicara berkali-kali.
Aku menjenguk Sardupi malam hari dan menemukan dia tergeletak di atas dipan di bawah keremangan lampu minyak. Namun, bahkan dalam cahaya temaram itu aku bisa melihat lebam-lebam pada wajahnya. Ya, lelaki kecil itu tampak seperti rongsokan yang terbungkus gombal. Emak Sardupi duduk di atas kursi tua di dekatnya. Lengang, kecuali kadang terdengar suara batuk emak Sardupi yang memang sudah sakit-sakitan. Pemandangan Perut
Ahmad Tohari Kang Sardupi, aku memanggilnya pelan. Sardupi membuka matanya, menatap sekejap untuk meyakinkan siapa yang datang. Dan tersenyum. Aku terkejut ketika berhadapan dengan ketenangan yang tergambar pada senyum itu.
Kamu merasa lebih enak, Kang"
Sardupi tersenyum lagi dan kedua matanya kembali terpejam. Kepalaku masih terasa pusing, jawab Sardupi tanpa membuka mata. Tapi tak apa-apa kok. Tak apa-apa. Betul, tak apa-apa. Aku bergerak lebih dekat, lalu duduk-duduk di bibir dipan. Kalau boleh tahu, Kang, mengapa Pak Braja begitu tega memukuli kamu" Apa betul karena kamu menertawakan dia"
Sardupi kembali tersenyum dan seperti biasa, meski sudah melek dia tidak mau memandang lawan bicaranya.
Sudahlah. Kamu jangan bertanya seperti itu. Semuanya sudah terjadi, Sardupi menjawab dengan suara tenang, namun lemah dan dalam.
Tapi apa betul kamu menertawakan Pak Braja" desak saya. Sardupi diam. Dari wajahnya yang babak belur itu muncul kesan dia sungguh-sungguh tidak suka akan pertanyaan saya. Bahkan kemudian Sardupi memiringkan tubuh dan aku di belakangnya. Aku juga sadar bahwa kehadiranku tidak menyenangkan dirinya.
Matamu, bagaimana" Sardupi tampak menahan tarikan napas, seakan berat untuk mengutarakan isi hatinya. Anehnya, ia kemudian tersenyum. Mataku pasti tidak sama dengan mata kamu dan mata semua orang. Mataku lain. Dan sebenarnya aku lebih suka punya mata yang biasa. Tak enak punya mata seperti ini. Kamu pun tak akan sanggup punya mata seperti yang ada padaku.
Kemudian, dengan mata tetap terpejam Kang Sardupi mengutarakan pengakuan yang panjang menyangkut matanya. Aku pun mendengarkan dengan minat yang penuh. Kata Kang Sardupi, bila ia melihat seseorang, dalam sekejap orang tersebut akan tampak telanjang. Selanjutnya, kulit dan daging orang itu pun berubah menjadi benda tembus pandang, bahkan kemudian hilang sama sekali. Maka, demikian pengakuan Kang Sardupi, orang yang dipandangnya itu berubah sepenuhnya menjadi tulang-tulang yang tersusun menjadi kerangka manusia dan bergerak sempoyongan seperti jelangkung.
Kang Sardupi tidak takut" tanya saya dengan kuduk merinding.
Tidak. Aku sudah terbiasa.
Kalau begitu, di mata kamu tak ada orang gagah, tak ada orang cantik"
Ya, itulah susahnya. Yang gagah, yang cantik, yang mulus, yang bopeng, sama saja. Di mataku mereka akan segera berubah menjadi tengkorak dan tulang-tulang yang berjalan kian-kemari. Lucu dan entah mengapa aku sering merasa iba, sangat iba. Saya juga"
Maksud kamu" Di mata kamu, apakah aku juga tampak sebagai tulang-tulang"
Pemandangan Perut Ahmad Tohari
Sudah kubilang, sama saja. Sardupi tertawa.
Aku tambah merinding. Tenggorokanku tiba-tiba sulit dibawa bicara. Tapi Sardupi malah tertawa lebih keras.
Dengar, kata Sardupi setelah tawanya reda. Selain manusia yang selalu tampak sebagai tulang-tulang itu, mataku juga dapat melihat pemandangan yang jauh lebih mengesankan. Aku selalu melihat layar tancep dalam rongga perut semua orang. Tontonan dalam layar tancep itu macam-macam, kadang-kadang bagus dan menarik, tetapi lebih banyak yang mengerikan.
Layar tancep" tanya saya hampir tak percaya. Ya, layar tancep. Dan sudah kubilang tontonan yang bisa kulihat macam-macam. Layar tancep yang ada dalam perut anak-anak, kebanyakan gambarnya bagus. Misalnya ada burungburung sedang menyusun sarang, ada setetes embun yang bergantung dan berpendar di ujung daun, atau setandan pisang emas yang sudah ranum. Pokoknya layar tancep dalam rongga perut anak-anak gambarnya enak dipandang.
Jadi, itulah agaknya alasan Kang Sardupi gemar kumpul dengan anak-anak"
Sardupi tak menjawab, hanya tersenyum lalu terkekeh. Aku minta diri meskipun kecewa karena aku belum mendapat jawaban yang jelas.
Di rumah, aku tak bisa tidur karena penasaran memikirkan lelaki kecil yang malang itu. Atau heran terhadap Pak Braja, mengapa jagoan pasar itu hanya berani menunjukkan kegagahannya kepada orang lemah seperti Sardupi" Dan malam benar-benar sudah larut ketika aku mendengar orang mengetuk pintu. Emak Sardupi; perempuan tua itu sedang membawa pesan anaknya. Sardupi, entah mengapa, menginginkan aku kembali menjenguknya.
Seperti kedatanganku beberapa jam berselang sebelumnya, aku duduk di depan bibir dipan. Dan masih seperti ketika kutinggalkan, Sardupi terbujur dengan kain lusuh menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ia tersenyum ketika tahu aku datang. Lalu tanpa membuka mata, Sardupi mulai mulai bicara.
Dengarlah. Sekarang aku ingin menjawab pertanyaanmu. Sebab, setelah aku pikir, siapa tahu perjumpaan kita kali ini adalah yang terakhir. Siapa tahu aku hampir mati" Kamu tadi tanya apa" Apa betul aku menertawakan Pak Braja sehingga ia marah dan memukuli aku"
Ya, Kang. Nah, betul. Aku memang menertawakan dia. Dan Sardupi terkekeh.
Mengapa" Apa ada yang lucu atau ganjil pada diri hansip pasar itu" Bukankah dia tampangnya serem"
Sardupi tersenyum. Ah, begini. Semua ini gara-gara mataku.
Nah, soal layar tancep dalam perut orang-orang dewasa, ceritanya lain. Gambarnya macam-macam, terkadang begitu aneh, terkadang lucu, tetapi tak jarang mengerikan dan amat sangat mengerikan. Aku pernah melihat satu buah durian dalam perut seorang lelaki. Durian itu tumbuh membesar sehinga duri-duri- Pemandangan Perut
Ahmad Tohari nya menembus dinding perut. Kali lain aku melihat gulungangulungan kawat berduri dalam perut tubuh seorang perempuan. Gulungan-gulungan itu berputar cepat dan makin lama makin besar dengan suara kering dan sangat menusuk telinga.
Sekali waktu, ketika aku berdiri di pinggir jalan, ada mobil bagus lewat. Di dalamnya ada seorang lelaki yang perutnya berisi sebuah pulau yang seluruh hutannya tandas dimakan ulat grayak. Wah, pokoknya isi perut orang ternyata macam-macam, kebanyakan sangat tak sedap dipandang. Oh ya, aku juga pernah melihat dalam perut seorang lelaki ada ribuan orang yang kehausan. Ribuan orang itu bersama-sama menggali sumur sedalam-dalamnya sehingga menembus bola bumi, tetapi mereka tak mendapat air barang setetes. Kemudian, pernah juga aku melihat dalam perut seorang lelaki gendut, sebuah proyek raksasa. Di sana sedang dipasang tiang pancang, tetapi yang jadi tiang adalah orang-orang perlente yang berdiri bersusun-susun. Para kuli menjalankan mesin pancang itu dan menjatuhkan godam-godam besar sambil bersorak-sorai.
Dan Sardupi tertawa lagi. Dari dipan lain di sudut rumah kecil itu aku mendengar emak Sardupi terbatuk. Lalu sepi. Aku mencoba ikut tertawa, tetapi tawaku ternyata mengambang nyaris tanpa rasa. Pikiranku jadi buntu sehingga sepi akan berkepanjangan andaikan Sardupi tak terkekeh lagi.
Eh, kamu ingat Pak Ajar, kan" tanyanya.
Ya, tentu, Kang. Aku ingat Pak Ajar almarhum, karena dia guru saya di Sekolah Dasar.
Nah, sayang guru sejati itu sudah mati. Dulu, ketika dia masih hidup, aku suka melihat layar tancep dalam rongga perutnya. Di sana aku melihat Pak Ajar sendiri sedang berdiri di depan kelas, tetapi muridnya adalah bidadara dan bidadari. Pak Ajar sudah menjadi malaikat. Wah, itu layar yang sangat enak dipandang.
Ya, Kang. Tetapi sejak awal Kang Sardupi belum menjawab pertanyaanku; mengapa sampean menertawakan Pak Braja" Ada yang lucu pada layar tancep dalam perutnya"
Sardupi tertawa lepas, seakan lupa bahwa di luar, malam sudah larut dan sangat sepi. Saya agak khawatir ada tetangga terbangun karena terganggu oleh suara Sardupi.
Ah, ya. Aku lupa. Begini. Kita tahu siapa Pak Braja. Petugas keamanan pasar itu kan suka mengambil dagangan orang sesuka hatinya, termasuk dagangan Kang Pardilele. Nah, pagi itu aku melihat seekor lele dumbo sebesar paha lenggak-lenggok dalam perut Pak Braja. Asal kamu tahu, sambil lenggak-lenggok dalam mulut lele dumbo itu ada Pak Braja. Lucu, kan" Jadi, aku tertawa.
Aku ikut tertawa. Tetapi tiba-tiba aku merasa tersentak. Iya! Bila Sardupi melihat pemandangan yang aneh-aneh dalam perut orang lain, lalu apa yang dilihatnya dalam perutku" Ketika hal itu kutanyakan, Sardupi tidak mau langsung menjawab. Namun, setelah berkali-kali kudesak, Sardupi mengalah juga.
Pada layar tancep dalam perutmu, aku melihat banyak sekali piring kaleng yang kosong berserakan di mana-mana. Piringpiringmukah itu"
Pemandangan Perut Ahmad Tohari
Giliran aku yang malas menjawab. Pertanyaan Sardupi terasa menusuk gendang telinga lalu menjadi kembang api yang meletus dalam tempurung kepala. Atau entahlah. Yang jelas aku tak punya satu pun piring kaleng. Tak satu pun. Tetapi para tetangga di belakang rumah"
Telingaku terasa berdenging. Lalu kudengar Sardupi tertawa, menertawakan aku. Dan tidak seperti Pak Braja yang kemudian memukul Sardupi, aku hanya diam. Lalu pamit pulang.
Kompas, 16 Januari 1994 Salam dari Penyangga Langit Ahmad Tohari K arena lelah setelah sehari penuh banyak kegiatan di kampus,
usai magrib Markatab ingin tidur barang sejenak. Sambil menyandar di kursi ruang duduk, dosen muda itu menarik semua angan-angan dan pikiran ke dalam dirinya agar kantuk cepat datang. Perlahan Markatab mulai merasa keluar dari alam sadar dan masuk ke suasana penuh ketenangan. Ambang tidur yang terasa sangat nikmat mulai merayap menyelimuti dirinya. Dalam hitungan detik Markatab merasa akan melayang, larut, lelap. Namun pada detik yang sama pintu depan rumahnya diketuk orang. Pada batas antara tidur dan jaga, Markatab mendengar suara orang memanggil namanya.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Markatab bangun. Kepalanya masih terasa pusing ketika dia berjalan ke arah pintu. Di sana sudah berdiri Kang Dakir, dan Markatab menyilakannya masuk.
Saya diutus Pak Marja, ucap Kang Dakir setelah duduk. Pak Marja sedang punya perlu dan Bapak dimohon ikut hadir di rumahnya bersama seluruh tetangga.
Apa hajat Pak Marja kali ini"
Selamatan untuk anaknya yang mau berangkat jadi TKI di Korea. Dan Kyai Tongat yang akan memimpin tahlilnya.
(Tentu saja Kiai Tongat, karena orang tua itulah yang paling fasih dalam memimpin tahlil. Dia juga tidak pernah lupa mengirim hadiah pahala bacaan Kitab bagi para nabi, para wali, dan para arwah leluhur. Juga menghadiahkan pahala bacaan Kitab kepada para malaikat penyangga langit.)
Waktunya" Sekarang, Pak. Bapak memang terlambat diundang. Kami mohon maaf. Para tetangga sudah banyak yang hadir. Baik. Insya Allah saya menyusul.
Sepeninggal Kang Dakir, Markatab mengusap-usap kening yang masih terasa pusing. Tapi Markatab langsung bersiap; ganti baju berlengan panjang, pakai kopiah, lalu berpamitan kepada istrinya. Ketika melangkah ke luar, udara kemarau yang dingin meraba kulitnya. Langit penuh gemintang tapi menjadi samar oleh lampu jalan.
Pak Marja punya perlu. Artinya, Pak Marja akan menyelenggarakan kenduri. Selamatan. Pasti akan ada tahlilan, ada makan bersama sesudahnya. Yang tetap menjadi hal paling berkesan bagi Markatab, dalam setiap tahlilan di kampungnya para malaikat penyangga langit pun dikirimi hadiah pahala bacaan Kitab. Salam dari Penyangga Langit
Ahmad Tohari Ketika masih kanak-kanak Markatab tak pernah hirau akan hal ini. Dulu, tahlilan bagi Markatab hanya punya arti yang begitu sederhana, makan enak. Sebab setiap pulang dari tahlilan, ayah Markatab selalu membawa pulang berkat, nasi dengan lauk-pauk istimewa. Dan malaikat penyangga langit" Ah, makhluk itu mungkin berwujud seperti manusia tapi amat sangat jangkung. Mereka selamanya berdiri menyangga langit agar tidak runtuh menimpa bumi.
Setelah masuk Madrasah, Markatab tahu ternyata tahlilan tidak selamanya disukai orang. Gurunya sendiri tidak membenarkan tahlilan dan suka menyindir-nyindir orang yang melakukan kebiasaan itu. Tapi di kampungnya tahlilan jalan terus, hadiah pahala bacaan Kitab buat para nabi, para wali, dan arwah para leluhur berjalan terus. Juga hadiah untuk para malaikat penyangga langit jalan terus. Setiap ada tahlilan, Markatab yang sudah tumbuh menjadi pemuda selalu ikut menjadi peserta. Alasannya bersahaja. Markatab ingin tetap menjadi bagian dari denyut kehidupan kampungnya.
Atau karena Markatab ingin bersama para tetangga memberikan hadiah pahala bacaan Kitab kepada para malaikat penyangga langit. Hadiah yang sama buat para nabi, wali, dan arwah leluhur itu memang penting, tetapi untuk para malaikat penyangga langit" Itu terasa amat mengesankan.
Ah, makhluk gaib ini ternyata selalu hadir dalam angan-angan Markatab sejak dia masih anak-anak. Dan gambaran khayalinya tentang para penyangga langit itu pun terus berubah-ubah. Setelah menjadi murid SMA dan tahu langit bukanlah tenda amat besar, biru, bulat lengkung, sehingga tak memerlukan penyangga, Markatab jadi bingung. Bahkan apa yang dimaksud dengan langit dalam Malaikat Penyangga Langit membuat Markatab makin pusing.
Mungkinkah langit adalah atmosfer yang membungkus bola bumi" Ataukah langit adalah batas tata surya, batas rasi bintang, atau malah batas alam semesta, yang tak terbayangkan besarnya karena di dalamnya ada jutaan tata surya, sehingga bola bumi hanyalah debu yang tak ada artinya"
Batas-batas alam raya, itukah yang namanya langit" Kalau ya, bagaimana para malaikat menyangga" Entahlah, yang jelas Markatab harus mengubah gambaran tentang para penyangga langit itu. Mereka pastilah bukan semacam makhluk amat jangkung yang berpijak di bumi dan selalu berdiri dengan posisi kedua tangan tetap menyangga ke atas seperti dikatakan Kiai Tongat sejak Markatab masih anak-anak. Para penyangga tentu tidak akan memilih bumi sebagai tempat berpijak untuk menyangga langit, karena bumi tak sampai sebesar debu bila dibandingkan dengan besarnya alam semesta.
Pak Markatab, Bapak mau ke mana" Ini rumah Pak Marja, panggil Kang Dakir.
Markatab tergagap dan berhenti, lalu menoleh ke belakang. Mengusap-usap wajah untuk mengusir sisa-sisa lamunan yang membawa pikirannya mengembara demikian jauh. Dan sadarlah Salam dari Penyangga Langit
Ahmad Tohari dia bahwa rumah Pak Marja sudah beberapa langkah terlewati. Untung Kang Dakir sempat melihatnya.
Masa iya Bapak lupa rumah Pak Marja"
Ah, tentu tidak. Ini tadi karena saya terus berjalan sambil menunduk.
Begitu" Nah, silakan masuk. Kami hanya tinggal menunggu Bapak dan Kiai Tongat.
Kang Dakir benar. Di ruang depan rumah Pak Marja yang digelari tikar plastik sudah hadir semua tetangga. Pak Marja menyambut Markatab dan menyilakan duduk bersila di tempat yang masih tersisa dekat pintu utama yang dibiarkan terbuka.
Menunggu kedatangan Kiai Tongat, orang-orang ngobrol ke sana-kemari. Dan Markatab harus bersabar terhadap Kang Dakir yang kemudian duduk di sebelahnya sambil merokok. Bau asap terlalu menyengat. Kemarau meniupkan angin dingin yang masuk melalui pintu, menyentuh daun telinga Markatab, membuat kantuknya kembali datang. Apalagi Kiai Tongat yang memang sudah tua belum juga muncul, sehingga Kang Dakir diminta menjemput sampai ke rumahnya.
Ketika terdengar ketukan-ketukan tongkat di tanah dan bunyi terompah yang diseret-seret, semua orang tahu Kiai Tongat akan segera masuk. Markatab hanya setengah menyadari situasi terakhir karena kantuknya memberat. Namun Markatab, meski hanya samar, masih melihat bagaimana Kiai Tongat duduk bersila. Kacamatanya menggantung dan punggungnya melengkung ke depan. Bibirnya mulai terlihat komat-kamit, mungkin Kiai Tongat sedang menjelaskan maksud Pak Marja menyelenggarakan selamatan. Mungkin. Selebihnya Markatab tak melihat dan tak mendengar apa-apa lagi. Markatab hanya merasa dirinya berada dalam suasana yang sama sekali asing. Ringan, jernih, teramat lengang, namun terasa begitu nyaman dan nikmat. Dan Markatab terkejut ketika sadar keberadaan dirinya tidak memerlukan gerak apa pun termasuk bernapas.
Salam dan kasih sayang Allah serta kemudahan-Nya untukmu.
Markatab kaget karena suara itu atau apalah namanya langsung bergema dalam kepalanya, tidak merambat melalui udara.
Dan bagimu salam... jawab Markatab. Terputus, karena Markatab kaget lagi setelah tahu dia telah menjawab bukan dengan suara yang keluar dari mulutnya.
Selamat datang. Kami adalah para penyangga langit. Anda dan kami sama-sama ciptaan Tuhan.
Aku tidak melihat Anda sekalian.
Ya, tentu saja. Kami pun tak melihat Anda. Kita tidak lagi memerlukan pancaindra. Kehadiran Anda kini tanpa materi seperti halnya kami. Kini kita sama, hanya getaran. Anda dan kami hadir tanpa matra ruang maupun waktu.
Kalian tahu di mana saya berada kini"
Ah, itu pertanyaan makhluk yang masih meruang dan mewaktu. Padahal Anda hadir dengan fungsi ruang dan fungsi waktu yang dinolkan. Tetapi baiklah. Katakan, Anda tetap seorang makhluk bumi, maka kini Anda berada di tempat sujud terjauh, Salam dari Penyangga Langit
Ahmad Tohari sangat jauh di luar bumi, sejauh jarak bumi Anda ke batas ruang di mana makhluk masih mungkin mewujud; tepian alam raya. Itu artinya sejauh miliaran tahun cahaya dari bumi" Dan bagaimana kalian menyangga langit" tanya Markatab. Ah, itu hanya istilah untuk para makhluk bumi... Tunggu. Harap kalian tidak mengatakan itu hanya istilah untuk makhluk bumi karena itu bahasa wahyu.
Kami tahu. Dan wahyu memang diturunkan dalam bahasamu, bahasa bumi. Bila tidak, bagaimana kalian bisa memahaminya" Nah, sekarang kami akan mengatakan apa tugas kami. Kami tidak menyangga langit seperti yang kalian bayangkan. Tugas suci kami adalah menahan daya luar biasa besar yang akan melumat alam raya ini dan memampatkannya untuk kembali kepada bentuk asalnya, yakni benda yang hanya sebesar gabah. Itu akan terjadi bila alam raya yang bendawi bersinggungan dengan alam antibenda yang melingkupinya.
Kalian menjadi pembatas antara yang materi dan yang antimateri"
Ya. Maka kami adalah penjaga batas antara ada dan tidak ada. Dan inilah tugas yang mahadahsyat beratnya dan tak ada tugas lain yang menandinginya. Kelak bila tugas kami selesai, alam raya ini akan lenyap dalam ketiadaan. Ruang dan waktu tak lagi berwujud, bahkan juga materi. Semuanya akan lenyap, sehingga yang ada hanya tinggal Sang Maha Ada.
Markatab mengerdil menjadi noktah, atau lebih kecil lagi. Dia teringat teori ledakan besar, supernova, lubang hitam. Tapi kemudian Markatab terkejut dan tersadar dari tidurnya yang sambil duduk. Indranya terasa mulai bekerja. Tubuhnya merasakan sentuhan Kang Dakir yang duduk di sampingnya. Matanya melihat semua yang hadir duduk khusyuk. Dan telinganya mendengar Kiai Tongat yang tua dan rapuh menyerukan: Mari kita kirimkan hadiah pahala bacaan Kitab bagi para malaikat penjaga langit.
Markatab gemetar. Dan mungkin Markatab tak menyadari dirinya menangis. Terharu karena punya kesempatan ikut mengirim hadiah pahala bacaan Kitab kepada para penyangga langit. Tanpa kepatuhan mereka kepada Tuhan, ruang dan waktu serta segala sesuatu yang ada di dalamnya akan lenyap. Terharu karena Markatab merasa dirinya pernah menerima salam langsung dari para penyangga langit itu.
Banyumas, 19 Juni 2003 Salam dari Penyangga Langit
Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari A pabila aku bukan Yuning, barangkali impitan duka ini tidak
akan terjadi. Raden Barnas Rahadikusumah, ayah angkatku, tidak akan tergeletak di sebuah kamar rumah sakit dalam keadaan koma. Apabila aku bukan Yuning, barangkali aku bisa menemukan cara yang lebih santun untuk menjembatani beda pendapat antara diriku dan Ayah. Oh, engkaulah laki-laki, meskipun bukan ayah kandung tetapi telah membesarkan diriku dalam haribaan kasih sayang. Dan engkau, Ayah, kini berada dalam titian sempit antara hidup dan mati. Kini aku terjerumus dalam jurang penyesalan. Dan aku tidak tahu adakah jalan yang bisa membawaku keluar dari jurang yang dalam ini.
Oh, mengapa namaku Ayuningsih Rahadikusumah. Mengapa bukan yang lain. Sering kudengar dari kiri-kanan, bahwa aku meski sudah 23 tahun dan pernah mengenal kampus, bahkan kini sudah bersuami, masih belum mampu menampilkan sikap
dewasa. Kekanak-kanakan. Menjadi bunga satu-satunya dalam keluarga Barnas, aku terlalu dimanjakan. Demikian celoteh yang tidak jarang kudengar.
Selama ini aku tak begitu peduli akan celoteh semacam itu. Ah, bahkan terus terang aku kadang merasa melambung bila orang berkata bahwa aku adalah sekuntum teratai yang mekar di taman kota Garut. Yang dimanja dan yang selalu memperoleh apa saja yang kuminta. Entahlah, sesungguhnya aku akan terus tidak peduli. Tetapi ayahku, lelaki tua yang begitu menyayangiku, kini sedang bergantung pada seutas rambut untuk mempertahankan hidupnya. Dan andilku amat besar dalam nestapa yang sedang menghadang Ayah.
Tak kusangka sama sekali perbedaan pendapat antara aku dan Ayah akan bermuara pada dukacita. Beda pendapat itu mencapai puncaknya dua hari yang lalu. Malam itu sesungguhnya aku hanya ingin berkata kepada Ayah bahwa aku bersama Koswara, suamiku, tidak bisa pindah dari Ciamis ke rumah baru di Garut. Rumah itu terletak dalam satu pekarangan dengan rumah Ayah; rumahku ketika aku masih seorang diri.
Sesungguhnya aku menyukai rumah baru yang mungil itu yang dibangun Ayah buat kami berdua. Pekarangannya luas dengan berbagai pohon buah-buahan mengelilinginya. Ada kolam ikan di bawah kerimbunan pohon kopi dan cengkeh. Pancurannya gemerecik sepanjang waktu. Di halaman ada kebun bunga dengan kembang yang cantik-cantik. Semuanya ditata dengan Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari sebaik-baiknya oleh Ayah. Dan aku mengerti semuanya dijadikannya pemikat bagiku bersama Koswara.
Sementara di Ciamis, aku bersama suami menempati rumah sederhana berdinding papan. Bahkan tanpa penerangan listrik. Tanah sekelilingnya tandus tanpa pepohonan, apalagi kebun bunga. Terpencil dari permukiman penduduk. Dan yang paling mencolok, udara di tempat itu berbau sengak, karena rumah kami berada dekat kawasan peternakan babi, yakni satu-satunya usaha yang sedang dirintis oleh Koswara.
Tetapi aku senang tinggal di sana, karena Koswara setiap hari berada di tempat itu. Ini jawaban yang amat bersahaja, namun bagiku tak bisa ditawar-tawar. Koswara yang kukenal sejak kami masih di kampus adalah segala-galanya bagiku, dan ini jangan dianggap berlebih-lebihan. Itulah kira-kira yang kusampaikan kepada Ayah pada malam itu.
Maafkan, Ayah, kami sungguh tidak bisa pindah ke rumah baru itu. Tidak mungkin bagi suamiku memindahkan dua ribu ekor babinya ke kota Garut ini. Menurut dia, tak ada tempat yang cocok bagi peternakannya di wilayah ini.
Dengar dulu anakku, Yuning, kata Ayah dengan suaranya yang penuh kebapakan. Ayah berharap kalian mau tinggal di sini agar Ayah selalu dapat melihat kalian. Ah, Yuning. Tentu kau mengerti, kaulah seorang anakku. Dan kaulah seorang yang bisa menemani ayah-ibumu di hari tua ini. Kalau bukan engkau, siapa lagi"
Ya, Ayah. Aku mengerti dan aku mau selalu dekat dengan Ayah dan Ibu. Tetapi bagaimana dengan suamiku"
Oh, Yuning anakku. Ayah sudah cukup usia, cukup asam dan garam. Tidak akan sekali-sekali Ayah berbuat sesuatu tanpa berpikir masak-masak sebelumnya. Kalian kuminta mau tinggal dekat Ayah dan Ibu. Untuk itu, Ayah telah menyiapkan segala sesuatunya buat kalian berdua. Selain rumah, Ayah telah membuka tiga hektar kebun cengkeh. Bila suamimu hendak mengusahakan kolam ikan, tanah yang tersedia cukup luas.
Ayahmu benar, Yuning, sela Ibu dengan kearifan seorang perempuan sejati. Daripada beternak babi yang kotor dan busuk itu, lebih baik suamimu beternak ikan. Dia kan sarjana peternakan.
Aku bisa menangkap kebenaran dalam kata-kata kedua orangtuaku. Ah, aku bahkan bisa menangkap ketulusan hati dan kesungguhan Ayah dan Ibu. Tetapi justru inilah yang membuatku sukar berbicara. Keheningan berlangsung hingga beberapa lama. Malam seakan membuka pintu bagi pertentangan batin; pertentangan antara kebenaran kata-kata orangtuaku dan kepentinganku untuk selalu bersama suami di mana pun ia berada.
Ah, Yuning, kata Ibu tiba-tiba yang membuatku sedikit tersentak. Ibu tak percaya kau tak menyukai rumah baru itu. Ibu juga tak percaya kau tak suka tinggal dekat bersama kami. Lalu mengapa kau tidak segera menuruti permintaan kami" Mengapa"
O, andaikan Ibu tahu kata-katanya membuatku makin ter- Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari impit. Dadaku menyesak oleh kebimbangan yang mengembang. Air mataku meluncur satu-satu meskipun aku telah berusaha keras menahannya.
Atau begini, ujar Ayah seperti dengan semangat baru. Pakailah jalan tengah. Soal peternakan itu biarlah tetap di Ciamis. Kalian bisa setiap hari pergi ke sana. Dan kalian sudah mempunyai mobil. Nah, apa lagi"
Lalu siapakah yang menunggu peternakan itu" Dua ribu ekor babi harus dijaga siang-malam, kataku lirih dan tanpa mengangkat muka.
Itu ucapan anak kemarin sore. Tentu saja kalian bisa mengupah orang untuk pekerjaan seperti itu. Apakah jalan tengah seperti ini belum pernah kalian pikirkan"
Ya, pernah. Tetapi suamiku berkata bahwa soal beternak babi bukan semata-mata pekerjaannya melainkan juga hobinya. Suamiku berkali-kali berkata bahwa dia tidak bisa berpisah dari babi-babinya. Begitulah, Ayah.
Kulihat ayahku mengangkat alis. Matanya yang kelabu dan sudah lama kehilangan cahayanya memandang datar. Kosong dan tawar.
Nanti dulu, anakku. Yang berkata tidak bisa berpisah dari babi-babi itu adalah suamimu. Baiklah. Sekarang Ayah ingin tahu bagaimana pula sikapmu. Sikapmu sendiri!
Sepasang mata kelabu yang kering menatap lurus kepadaku. Kurasakan air mata makin deras meluncur dari sudut mata dan kedua lubang hidungku. Wajah suamiku membayang baur dari cincin tipis di jariku. Oh, hati ini makin dijejali rasa yang tak menentu.
Ayah, sesungguhnya aku ingin selalu dekat di sini. Rasanya aku pun mengerti apa yang pantas kulakukan sebagai bukti kesetiaan anak kepada orangtua. Apalagi sesungguhnya aku ingin tinggal di rumah baru yang mungil itu. Susahnya, Ayah, suamiku sudah teguh dengan pendiriannya.
Oh, rupanya suamimulah yang tidak mau tinggal berdekatan dengan kami" kata Ayah setelah termenung beberapa saat. Aku hanya mengangguk.
Mengapa kiranya" kejar Ayah.
Keheningan sekali lagi tercipta. Dan aku tergagap ketika Ayah mengulangi pertanyaannya mengapa suamiku enggan tinggal dekat mertua. Ini rahasia. Membukanya berarti menggoreskan luka di hati kedua orangtuaku yang sudah renta. Tetapi& Engkau belum menjawab pertanyaanku, Nak, ujar Ayah. Tidak baik membiarkan ayahmu lama menunggu jawaban, sambung Ibu. Ayolah katakan.
Duh, Gusti! Sekarang dua pasang mata orangtuaku menatap lurus menusuk jantung. Mata ayah-ibuku yang selama ini kukenal teduh kini setajam mata harimau. Mestikah kukatakan bahwa Koswara menyimpan luka yang dibuat orangtuaku sehingga ia enggan tinggal berdekatan"
Oh, tidak. Bagaimana mungkin aku bercerita kembali tentang luka yang masih tersimpan dalam hati Koswara" Luka yang terjadi ketika ayah-ibuku merendahkannya dan menghinanya waktu Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari pertama kali Koswara kubawa pulang dari Bandung. Seorang mahasiswa tingkat doktoral yang akrab dengan babi mencoba mendekati anak gadis Raden Barnas Rahadikusumah! Maka orangtuaku merasa berhak merendahkannya. Dan aku tahu betul betapa parah luka di hati suamiku akibat perlakuan Ayah-Ibu. Hanya karena dia tabah ditambah sedikit petualangan dari pihakku, kami bisa menjadi suami-istri. Itu cerita lama dan aku tak ingin memaparkannya kembali.
Yuning! Ya, Ayah. Air matamu tak cukup menjawab pertanyaanku. Aku bingung, Ayah.
Bingung" Karena hati suamiku tak tergoyahkan lagi. Aku tak berani memaksanya. Lagi pula hal itu tak mungkin kulakukan.
Ayah mengangguk-angguk. Garis-garis ketuaan pada wajahnya melukiskan hati yang tawar. Pada dahinya yang keriput terukir urat darah yang turun dari ubun-ubun ke sela antara dua matanya.
Baiklah, anakku. Baiklah. Sekarang daripada cakap ini menjadi berkepanjangan maka dengarlah. Ayah dan Ibu meminta kau tinggal dekat dengan kami dengan alasan yang sederhana. Kami sudah tua dan kaulah satu-satunya yang telah kami besarkan. Ini wajar dan sama sekali bukan tagihan balas budi. Di pihak lain, suamimu tidak bisa berpisah dari babi-babinya di Ciamis. Anakku Ayuningsih! Jawab pertanyaanku ini singkat saja; pihak manakah yang kaupilih" Ayah-ibumu atau suamimu" Jawab!
Duh, Gusti Pangeran. Aku menjerit dalam hati setelah tersadar dari sambaran guntur yang seakan meledak dalam hatiku. Dan aku sungguh menangis karena melihat Ayah gemetar menahan murka. Belum pernah aku melihat Ayah demikian marah hingga bibirnya gemetar dan napasnya terengah-engah. Oh, cukup! Hatiku sudah teramat pedih menahan beban batin ini. Aku ingin segera mengakhirinya. Tetapi bagaimana"
Apabila aku adalah perempuan lain, bukan Yuning, barangkali aku dapat melihat jalan keluar yang bijak. Tetapi aku memang Yuning sejak lahir.
Menghadapi kemarahan Ayah, tubuhku menggigil. Mataku berkunang-kunang. Dalam pikiran yang kacau aku sempat mengumpat dalam hati. Mengapa aku harus memilih salah satu, orangtua atau suami" Ini pilihan gila.
Oh, ayahku, laki-laki tua yang malang. Tuhan Mahatahu bahwa aku tak pernah bermaksud membuatmu demikian sengsara. Kini kau tergolek dalam koma, entah selamat atau tidak akhirnya. Mengapa dua hari yang lalu kau tidak puas dengan jawabanku yang berupa tangis dan uraian air mata" Malam itu aku begitu tertekan sehingga dari mulutku terlontar kata-kata yang kini berubah menjadi bukit penyesalan.
Ayah, malam itu aku berkata tidak bisa memihak salah satu, baik engkau maupun suamiku. Tetapi engkau terus mendesakku sehingga terpaksa, dan tidak kusadari sepenuhnya, aku mengata- Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari kan pilihanku kepada Koswara bukan kepada Ayah dan Ibu. Koswara adalah hidupku dan masa depanku. Ayah dan Ibu adalah utang budiku yang ternyata bisa menjadi penghalang kebahagiaanku. Itulah kalanganku. Kemudian aku tak tahu apa-apa lagi, karena kularikan diriku pulang ke rumah suamiku di dekat kandang babi di Ciamis. Menjelang tengah malam, aku sampai di Ciamis. Apa yang kemudian terjadi pada diri Ayah dan Ibu, aku sungguh-sungguh tidak tahu. Koswara yang terbangun karena kuketuk pintu dengan keras membukakan pintu. Kulihat dia ternganga. Tentu bukan hanya karena aku datang seorang diri di tengah malam, melainkan juga karena air mataku yang mendadak berderai kembali.
Nah, ada apa ini" Ada apa" tanya Koswara sambil menuntunku masuk. Aku bungkam, dan terus bungkam sampai aku menjatuhkan diri di kasur.
Kau dirampok" Aku menggeleng.
Nah, katakan apa yang terjadi. Kau jangan tiba-tiba membuatku pusing!
Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menangis. Jadi, tanpa suatu sebab orang bisa menangis"
Suamiku mengalah. Kulihat dia berjalan berputar-putar dalam kamar kami yang sempit. Nyala lampu dibesarkan. Kemudian kudengar dia bergumam.
Ah, aku bisa menduga. Pasti kau kembali berselisih dengan orangtuamu. Soal rumah baru, bukan" Soal permintaan mereka agar kita pindah ke Garut, bukan"
Aku berhenti menangis. Dadaku terasa sedikit lega karena suamiku sudah tahu beban yang menindih batinku. Kesedihanku sudah terbagi. Segelas teh dingin yang ditawarkan Koswara membuatku kembali tenang. Tetapi kerisauan hati yang aku bawa dari Garut membuatku tidak ingin pergi tidur. Bahkan aku keluar kamar ketika Koswara memberiku selimut.
Di ruang tamu, aku duduk seorang diri menghadap ke barat. Sinar bulan masuk melalui jendela kaca menembus gorden dan memberi sinar lembut ke sekelilingku yang tanpa lampu. Entahlah, aku ingin melihat wajah bulan dengan lebih jelas. Maka kain gorden kutarik ke samping.
Sebuah bola kencana mengambang di langit kemarau yang biru. Alam sedang terbuai angin malam dan sinar temaram bulan yang sedang turun perlahan menggapai cakrawala. Demikian sepi hingga dapat kudengar suara tarikan napasku sendiri. Juga desah kegelisahan suamiku di kamar dapat kudengar dari luar.
Kau belum hendak tidur, Yuning" kata suamiku dari dalam.
Belum, Kang. Aku belum ngantuk. Silakan tidur dulu. Ah, Yuning, kemarilah. Sudah malam. Apalah perlunya memperpanjang masalah yang sudah jelas. Soal permintaan orangtuamu itu, aku sudah memutuskan menolaknya karena aku lebih suka bernaung di bawah atap buatanku sendiri. Ayolah masuk.
Ya, Kang. Tetapi aku ingin duduk di sini barang sebentar. Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Bulan kuning makin dekat hampir menyentuh proyeksi barisan bukit-bukit kecil pada garis cakrawala. Pada saat itu dapat kurasakan dengan jalan gerak jagat raya, jagat yang begitu besar. Dan aku tak tahu mengapa pada saat yang sama dapat pula kurasakan getaran-getaran halus pada jagat kecil di dalam sanubariku. Getaran itu semakin kuat bersama bulan yang makin dalam menembus cakrawala. Kurasakan diriku mengapung memasuki dimensi alam yang belum pernah kurasakan.
Ketika bulan kuning sempurna tenggelam, telingaku berdenging. Aku merasa duduk di atas udara. Sekelilingku lengang dan begitu mencekam. Tiba-tiba kulihat iring-iringan manusia dengan latar pemandangan yang serbabiru. Iring-iringan yang makin dekat, makin dekat. Jelas kulihat sebarisan manusia dalam pakaian putih-putih, mengiring seorang yang ditudungi payung kebesaran. Aku terperanjat ketika mengetahui orang yang diagungkan itu adalah ayahku sendiri. Beliau berbusana kebesaran seorang pengantin, tetapi dalam warna serbaputih. Aku berteriak sekuat tenaga, karena Ayah kemudian menudingku dengan cara yang begitu menyeramkan. Kang Engkos! Tolong! Kang Engkos! Tolong!
Aku tergagap-gagap karena leherku terasa tercekik. Sepasang tangan dengan jari-jari dingin menjamah pundakku. Hampir aku berteriak lebih keras apabila tidak kudengar suara suamiku.
Nah! Apa kataku. Karena tak menuruti kata-kataku kau mendapat mimpi buruk di sini. Ayo masuk!
Oh, Gusti! Ya Tuhan. Badanku basah berkeringat. Jantungku masih keras berdebar. Seluruh kulitku meremang. Gambaran seram yang kulihat ketika aku berada dalam keadaan antara sadar dan tidak itu masih lekat di rongga mata. Koswara tentu merasakan tubuhku yang menggigil serta napasku yang terengah-engah ketika membimbingku ke kamar.
Kau bermimpi diuber anjing geladak" tanya Koswara. Aku menggeleng.
Atau bermimpi melihat ulat sebesar babi bunting" Ah! Telingaku belum siap menerima banyolan apa pun. Seloroh Koswara kubiarkan berlalu. Hati ini masih tergores oleh pengalaman bersama Ayah-Ibu beberapa jam berselang serta oleh mimpi yang mengusik jiwa.
Entah berapa lama aku tertidur. Barangkali hanya satu atau dua jam. Pagi-pagi badanku terasa kurang nyaman. Alis terasa panas. Tetapi aku berusaha menyambut pagi seperti hari-hari sebelumnya, menjadi sekretaris pengusaha peternakan babi yang bernama Koswara, insinyur.


Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melayani pengusaha-pengusaha kilang tadi yang menjual dedak atau para penjual rerumputan makanan babi serta membayar pegawai adalah pekerjaanku di luar tugas dapur. Rutin demikian biasanya berlangsung sepanjang hari. Tetapi pagi itu segalanya berhenti ketika Nyi Cicih, perempuan setengah baya pembantu rumah tangga Ayah, datang tergesa-gesa dari Garut. Dari caranya berjalan, terutama dari roman wajahnya, aku memastikan Nyi Cicih membawa pesan penting. Hatiku mulai berdebar. Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Neng! Neng! Neng Yuning! Ada apa, Nyi" Ada apa" tanyaku sambil menjemput Nyi Cicih ke depan pintu.
Itu, Neng harus segera ke Garut. Harus cepat. Iya, harus cepat.
Ya. Tetapi katakan ada apa di sana" Abah atau Umi sakit" Iya. Abah sakit. Abah dirawat di rumah sakit sekarang. Abah pingsan!
Abah pingsan" Kenapa"
Bagaimana" Abah pingsan" ujar Koswara yang mendadak muncul dari samping rumah.
Seakan ada bunga-api meletup di kepala yang menyebar ratusan kelap-kelip di rongga mataku. Semangatku runtuh dalam sekejap. Dan bayangan mimpi itu kembali muncul; Ayah dalam pakaian serbaputih mengarahkan telunjuknya lurus menembus dasar hati. Rutin pagi hari berubah menjadi kepanikan kecil. Aku, suamiku, dan Nyi Cicih bersiap melaju ke Garut dengan sil pengangkat barang. Duh, Gusti! Apa pula yang harus kuhadapi ini"
Ayahku, yang kemarin malam kutinggal lari dalam keadaan meradang kini pingsan di rumah sakit. Ayahku, yang dulu menentang perkawinanku dengan Koswara tetapi akhirnya beliau bahkan ingin tinggal berdekatan, kini tak sadarkan diri. Dan aku tidak tahu keadaannya yang sebenarnya.
Nestapa yang menimpa ayahku akhirnya kuketahui secara lengkap dari Nyi Cicih. Dia bercerita secara saksama dalam perjalanan antara Ciamis dan Garut. Meskipun diselingi dengan isak-tangis, Nyi Cicih bisa memberi gambaran yang utuh tentang peristiwa kemarin malam. Perempuan setengah baya itu menjadikan dirinya pita rekaman yang nyaris tanpa cela.
Setelah aku lari pulang ke Ciamis kemarin malam, demikian Nyi Cicih dalam awal ceritanya, Ayah dan Ibu tetap duduk di ruang tengah. Lama sekali Ayah termangu-mangu. Ibu yang mengajaknya beristirahat tidak diturutinya. Kemudian terjadi percakapan antara kedua orangtuaku. Nyi Cicih menuturkannya kembali padaku sampai ke hal yang kecil-kecil.
Bu, kemarilah! Kaudengar tadi kata Yuning yang penghabisan" tanya Ayah.
Tidak, Pak. Ah, mungkin aku sudah lupa.
Tetapi aku mendengarnya. Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Bukankah tadi Yuning mengatakan aku menghalangi kebahagiaannya"
Ya, aku mendengar itu.Tetapi apa perlunya kaupikirkan benar" Bila sedang marah, Yuning suka berkata semena-mena. Itu wataknya sejak kecil. Apakah kau lupa, Pak"
Menurut Nyi Cicih, ayahku tersenyum, bahkan kemudian tertawa kecil; suatu hal yang dirasakan janggal oleh Nyi Cicih. Aku sudah hafal sifat Yuning.
Dan kau tertawa, Pak"
Ya. Karena rasanya Yuning tidak terlalu salah. Betapapun menusuk rasa, ada kebenaran dalam kata-kata Yuning. Ah, kau tentu bisa memahami maksudku.
Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Lalu" kata Ibu sedikit terperangah.
Ya, Yuning sudah berumah tangga. Dia kelihatan sudah mapan bersama suaminya. Kau sendiri selalu mengatakan kepada Yuning bahwa seorang istri harus taat kepada suami. Kau sendiri, juga aku, sering mengatakan bahwa bagi seorang istri, suami adalah anutan. Jadi, apabila Yuning lebih suka tinggal bersama suami di Ciamis, meski dekat kandang babi, dia tidak salah. Dia telah menuruti ajaran yang kita berikan kepadanya, bukan"
Ketika cerita Nyi Cicih sampai di sini aku tersentak. Bila benar apa yang dikatakan Nyi Cicih, ketulusan Ayah adalah sindiran tajam yang merobek sanubariku. Aku merasa kecil dan mulai merasa bersalah, sangat bersalah.
Nanti dulu, Nyi. Betulkah Ayah berkata demikian" Bukankah sebelumnya beliau sempat meradang kepadaku lantaran aku tak mau pindah ke rumah baru itu" kataku.
Betul, Neng Yuning, jawab Nyi Cicih dengan pasti. Duh, Gusti, ampun! Cerita Nyi Cicih selanjutnya hanya membuatku merasa bertambah malu. Malu yang demikian besar terhadap laki-laki yang telah bersusah-payah memungutku dari anak seorang miskin menjadi anak keluarga terpandang Raden Barnas Rahadikusumah. Apa yang sedang kurasakan saat itu rupanya merambat ke dalam hati Koswara. Namun, suamiku itu hanya bisa terbatuk-batuk kecil.
Menurut Nyi Cicih, suasana memang kemudian berubah. Ayah dan Ibu berbicara dalam keadaan yang lebih santai. Meskipun aku hanya mendengarnya melalui penuturan seorang pembantu, aku dapat merasakan Ayah sedang berbicara terutama kepada dirinya pribadi.
Aku yang terlalu tergesa, demikian kata Ayah yang ditirukan Nyi Cicih.
Seharusnya kita merelakan Yuning memilih masa depannya sendiri. Ya, akulah yang keliru. Seharusnya sejak semula kusadari bahwa Yuning sudah memberikan makna yang banyak di rumah ini. Ketika masih kecil tawa riang Yuning, bahkan rajukannya, telah memberi warna yang hidup dalam keluarga kita. Sesudah besar kecantikannya membuat keluarga kita menjadi bahan tutur-cerita orang. Semuanya takkan kita peroleh apabila Yuning tak pernah berada di antara kita.
Ya, Pak. Iya, sela Ibu sambil mengusap air mata yang mulai jatuh. Syukurlah, bila kau telah mampu berpikir begitu. Aku tadi merasa cemas sebab kukira kau akan memperpanjang amarah. Kata Nyi Cicih, Ayah kemudian terkekeh-kekeh. Semula aku memang tersinggung oleh kekakuan hati yang diperlihatkan Yuning, kata Ayah. Kemudian ucapannya bahwa aku menghalangi kebahagiaannya! Oh, andaikan aku masih muda, pasti pipi Yuning akan memar oleh tamparan tanganku. Tetapi usiaku sudah tujuh puluh tahun. Kemarahan dalam hati bisa kubalikkan untuk menjadi bahan mawas diri. Nah, pada kejadian ini akulah yang bersalah karena berharap terlalu banyak dari Yuning. Dan bagaimana juga Yuning adalah anakku. Aku sendiri yang bertekad demikian, bukan hanya sekarang, melainkan sejak 23 tahun yang lalu.
Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Ya Tuhan. Aku menekan pundak Nyi Cicih agar dia berhenti berkisah. Hati ini sudah begitu remuk oleh sikap ayahku, seorang laki-laki tua yang sempat kuperlakukan semena-mena. Nyi Cicih kudesak agar menunda ceritanya agar aku lebih leluasa menangis. Aku menangis dan menangis sepuas hati hingga Koswara merasa perlu menghentikan mobil kami di tepi jalan. Tak kupedulikan beberapa orang pejalan kaki yang berhenti dan menontonku. Aku terus menangis. Nyi Cicih ikut menangis.
Yuning, tahan dulu tangismu, kata Koswara. Kita harus secepatnya sampai di Garut.
Aku mengangguk. Nyi Cicih, kau belum bercerita mengapa Ayah jatuh pingsan. Apakah beliau terjatuh" Atau sakit ginjalnya kumat" tanyaku. Aku mau bercerita, tetapi Neng jangan terus menangis. Benar. Dengan cara mengimpit perasaanku sendiri, aku pun berhasil menahan tangis. Tetapi bukan berarti kisah Nyi Cicih selanjutnya mengenakkan hatiku, melainkan membuat jiwaku makin remuk berkeping.
Katanya, kemudian Ayah mengajak Ibu masuk ke kamar untuk sembahyang. Kita wajib mohon ampun kepada Tuhan, sumber segala keteduhan rasa dan kebahagiaan, kata Ayah.
Bahkan seperti biasa aku pun diajaknya ikut bersembahyang, kata Nyi Cicih menyela ceritanya sendiri.
Tetapi, tutur Nyi Cicih lebih lanjut, sembahyang malam itu tak pernah selesai. Pada rakaat pertama, Ayah bersujud dan terus bersujud. Beliau tidak pernah bangun kembali. Karena merasakan ada kejanggalan, Ibu membangunkan Ayah. Tetapi beliau roboh dan sudah tak sadarkan diri. Dengan pertolongan para tetangga, Ayah dilarikan ke rumah sakit.
Serangan jantung! Itulah dugaan yang langsung mengisi benakku. Apa lagi kalau bukan serangan jantung. Atau entahlah. Aku tak sempat mengumbar pikiran yang macam-macam karena Koswara sudah membelokkan mobil memasuki halaman rumah sakit.
Pernahkah ada perempuan yang tiba-tiba merasa begitu bersalah karena menyebabkan Ayah berada dalam keadaan antara hidup dan mati" Bahkan mungkin akan menyebabkan kematiannya" Adakah ketakutan yang lebih mencekam daripada menemukan kenyataan bahwa diri kita adalah pembunuh Ayah"
Apabila pernah ada perempuan seperti demikian, akulah dia. Oh! Kakiku tidak merasa menapak bumi ketika aku turun dari mobil dan berlari masuk. Rumah sakit kecil ini sudah kukenal setiap pintunya. Dan kebanyakan pegawainya sudah tahu siapa Raden Barnas Rahadikusumah. Aku lari ke mana lagi kalau bukan ke kamar perawatan darurat.
Di sana, pada lorong di depan kamar perawatan, kulihat beberapa orang yang sudah kukenal. Mereka adalah saudara pihak Ibu maupun pihak Ayah. Semuanya dalam sikap menunggu dan gelisah. Ibu duduk di bangku panjang ditemani seorang perempuan lain. Selain Ibu, semuanya tak ingin kuperhatikan. Wajah yang sudah larut dalam ketuaan kelihatan begitu dingin. Mata Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari beliau menatapku dalam sorot yang sulit kutangkap maknanya. Satu-satunya kesan adalah tuntutan tanggung jawab yang diarahkan kepadaku.
Kuhinakan diriku sendiri di hadapan seorang perempuan tua yang sedang duduk; seorang nenek yang pada suatu saat amat cantik sehingga pantas mendampingi laki-laki berpangkat bupati. Kurendahkan diriku serendah-rendahnya di dekat kaki Dewi Sukesih Kartanegara, seorang perempuan menak yang telah membesarkan dan mengangkat diriku sebagai anaknya. Di sana aku bersimpuh. Ingin kubenamkan wajahku ke atas haribaannya, tetapi mendadak keberanianku punah. Seorang anak durhaka tidak pantas menyentuh pangkuan seorang ibu yang mulia, demikian perasaan yang mendera hatiku. Maka aku hanya bersimpuh dan menangis. Ketika itulah datang khayalanku yang ganjil; apabila aku bukan Yuning, malapetaka itu tidak akan terjadi. Apabila aku bukan Yuning, tentulah ayahku, Raden Barnas Rahadikusumah, tidak perlu berada di kamar perawatan darurat dalam keadaan koma.
Tetapi semuanya telah telanjur. Aku sudah bernama Yuning. Kini aku bersama Ibu, Koswara suamiku, dan dua-tiga orang lainnya dengan perasaan yang tak menentu menunggu keterangan dari balik daun pintu yang tertutup itu. Dari bisik-bisik yang kudengar aku tahu Ayah belum siuman, setidaknya sampai saat beliau dibawa masuk ke kamar perawatan darurat itu.
Suasana yang kaku dan diliputi kecemasan langsung menjebakku dalam kebimbangan. Tangisku sudah terhenti, tetapi aku gagal menemukan kata-kata yang layak kuucapkan. Mulutku kelu. Dan orang-orang itu, baik famili dari pihak Ibu maupun pihak Ayah, apakah mereka tahu bahwa telah terjadi perselisihan antara aku dan Ayah beberapa saat sebelum beliau pingsan"
Kupandangi wajah mereka satu per satu, kuterjemahkan garisgaris wajah serta sinar mata mereka. Akal budiku mencoba menerjemahkannya. Kemudian, ya Tuhan! Segala puji bagi Engkau. Suara hatiku mengatakan orang-orang itu tidak tahu-menahu tentang perselisihanku dengan Ayah. Dan hal ini hanya bisa terjadi karena kemuliaan hati Ibu yang telah menutup rapat aib keluarga; aibku! Oh, Ibu. Adakah perempuan yang lebih mulia daripada dia yang tidak memberi tempat kepada benih dendam tumbuh di hatinya"
Tahulah aku sekarang, betapa rendah diriku di hadapan kepribadian Ibu. Ibu yang sekarang dalam penantian yang sangat mencemaskan. Apabila ada kabar baik dari balik pintu tertutup itu, Ibulah yang merasa paling beruntung. Tetapi bila tidak, Ibu akan berpisah dengan Ayah, laki-laki yang mendampinginya selama setengah abad lebih. Rasanya Ibu bisa bertabah diri. Tetapi bagaimana juga perpisahan demikian merupakan peristiwa besar dalam perjalanan hidup beliau. Dan aku akan merasakannya sebagai pukulan jiwa dan ironi besar karena Ayah pergi membawa luka yang kuciptakan. Jadilah aku anak durhaka yang sungguh-sungguh tak tahu diuntung.
Tidak! Dengan segenap kerendahanku, aku berdoa kiranya Ayah selamat. Aku ingin memperoleh kesempatan mencium tela- Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari pak kakinya. Aku ingin mendengar kembali tutur katanya yang lemah lembut serta sinar matanya yang teduh. Sebelum berangkat, Ayah harus percaya bahwa beliau tidak sia-sia mengambilku sebagai anak angkat. Dan apa pun akan kulakukan buat menghapus tindak durhaka yang tanpa sengaja telah kulakukan terhadap beliau. Tuhan, dengarlah doaku.
Hampir pukul sebelas. Kabar tentang Ayah belum juga keluar. Dokter Karman yang sudah dua kali muncul tidak mau mengatakan bagaimana keadaan Ayah. Sabarlah, kami sedang berusaha menolong Pak Barnas, selalu demikian katanya. Atau, Bantulah kami dengan doa. Namun, dari sikap dokter tersebut aku menarik kesimpulan bahwa keadaan Ayah pasti tidak menggembirakan.
Kemudian buat ketiga kalinya pintu kamar perawatan itu terbuka. Perhatian kami ke sana. Koswara bersama dua orang lakilaki maju. Aku hanya berdiri dan kudengar Ibu mengucapkan doa.
Bagaimana, Dokter" tanya Koswara.
Dokter Karman yang rupanya menjadi juru bicara dua dokter lainnya berdiri dengan wajah sedingin batu marmer. Aku melihat dia sulit memulai kata-katanya.
Profesor Gardi menyuruh saya berbicara dengan Anda. Beliau sudah memperoleh kepastian bahwa Pak Barnas menderita perdarahan pada otak. Arteria Cerebria Media, oh, maaf, pembuluh darah pada bagian tengah otaknya pecah. Jadi" Apakah beliau masih bisa tertolong" tanya Koswara.
Kami telah berusaha sejauh mungkin. Maaf. Telah tiba saatnya bagi Anda semua berpisah dengan Pak Barnas. Silakan masuk.
Tubuhku terasa mengapung. Dunia di depanku menjadi datar kemudian berombak-ombak. Mataku berkunang-kunang. Ada kekuatan menjalar dari atas ke bawah, merapuhkan tulang-tulangku. Semua urat terasa kehilangan tenaga. Otot kaki yang pertama lunglai. Aku terjatuh pada kedua lututku. Tentulah aku akan roboh menelungkup apabila Koswara tidak segera menopang tubuhku.
Seperti berjalan di atas antah-berantah, seperti berada di antara mimpi dan sadar, diriku bergerak masuk. Kulihat dua bayangbayang berpakaian putih sedang menyingkirkan peralatan penyalur gas zat asam. Kemudian kulihat bayang-bayang sesosok tubuh yang terbujur diam. Entah apa yang terpekik dari mulut ketika aku menjatuhkan diri. Kutelungkupkan wajahku di atas kaki Ayah. Kuciumi telapaknya, kugenggam jemarinya. Samarsamar masih kurasakan getaran halus yang sporadis. Menyusul kemudian sebuah sentakan yang agak kuat. Dan lenyaplah denyut kehidupan pada diri Ayah. Dalam pandangan yang amat baur masih sempat kulihat Ibu membisikkan doa dan mengusap air mata. Selebihnya, aku tak tahu apa-apa lagi. Aku tak mendengar apa-apa lagi.
Bulan Kuning Sudah Tenggelam Ahmad Tohari
K etika jenazah Ayah diberangkatkan ke makam sehari kemudian aku sudah tak mampu lagi menangis. Seorang pensiunan bupati sudah berpulang. Alangkah banyak orang yang hadir buat menyampaikan rasa dukacita. Alangkah panjang barisan pengiring yang mengantar Ayah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tetapi bagiku kemegahan pemakaman jenazah Ayah tak mampu menghapus kehancuran hati. Bagiku, Ayah bukan sekadar pensiunan bupati. Beliau adalah sumber utang budiku yang tiada tara dan sedikit pun belum kubalas. Bahkan pada hari terakhir aku telah membuat beliau kecewa dengan mengukir luka pada hatinya yang telah tua. Sebuah penyesalan telanjur menggunung dalam hati. Dan aku sungguh tidak tahu dengan cara apa aku bisa menghapusnya.
Atau aku tahu pasti apakah sebenarnya yang sedang melintas dan menggores luka perih dalam alur hidupku. Aku jatuh dan
jatuh lagi ketika berusaha berjalan untuk bergabung dengan pengiring jenazah. Beberapa orang menolongku, dan Koswara akhirnya menahanku agar tetap tinggal di rumah. Ibu juga tidak berangkat mengingat kesehatan beliau. Lebih baik bagimu menemani beliau di rumah.
Ingin rasanya aku menjerit buat melawan keputusan suamiku. Seakan-akan dia mengecilkan arti derita berat yang sedang menindih jiwaku. Aku ingin mengantar Ayah sampai ke haribaan bumi. Inilah salah satu cara yang tersisa untuk menunjukkan baktiku kepada Ayah, sekaligus kuharapkan dapat mengurangi rasa berdosa yang terlalu berat kurasakan. Sungguh, aku tak mau tinggal di rumah. Aku juga tak mau menemani Ibu, sebab kesempatan satu-satunya itu teramat mahal buat kulewatkan.
Duh, Gusti. Ternyata aku harus mengalah. Kepalaku terasa terayun-ayun ketika aku berusaha bangkit. Oh, ayahku. Aku hanya mampu melepas kepergian beliau sambil bersimpuh di halaman. Lutut ini gemetar tak kuasa menahan berat badanku. Tiang-tiang yang menopang bangunan jiwaku jatuh satu per satu dan kurasakan ambruk sama sekali ketika iring-iringan jenazah Ayah bergerak menuju makam. Perpisahan yang amat mencekam, tetapi aku hanya menggapaikan tangan dan meneteskan sisa air mata, Ayah, demi Tuhan, kau tidak pergi dengan meninggalkan kutuk bagiku, bukan" Ayah, kau sudah rela memberiku setitik ampunan, bukan" Ayah!
Menit-menit pertama tanpa Ayah di rumah adalah dunia kelam dan asing bagiku. Awal kelengangan dan kehampaan yang Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari sulit terlukiskan dalam kata-kata. Sementara isak tangis terdengar dari sekelilingku, aku mencoba bangkit. Di sana, di dalam rongga mataku sendiri, kulihat Yuning. Diriku. Dia mencibirkan bibirnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Kata-katanya menyakitkan.
Ingatkah kau, siapa yang mengambilmu dari anak pegawai kecil menjadi anak bupati" Ah, jangan bohong! Kau pasti ingat siapa dia. Siapa yang memenuhi kamarmu dengan mainan segala macam ketika kau masih kecil" Ingat, bukan" Dan siapa pula yang menemanimu mengejar kupu-kupu di taman kabupaten"
Ah, kau tentu tak bisa melupakan pangkuan siapa yang kaucari ketika kau takut karena melihat ulat. Siapa yang mengajarmu dengan kasih sayang ketika kau menangis dan meronta" Dan siapa yang dengan penuh pengertian mencukupi hampir semua keinginanmu"
Nah, dia, Raden Barnas Rahadikusumah, telah tiada. Dan kau, Yuning, telah membalas kasih sayangnya dengan perilaku tercela tepat di ujung usianya. Pribadimu begitu tak berharga. Tahukah kau orang yang lebih hina daripada anak yang mempunyai andil dalam kematian ayahnya"
Ah, Yuning. Suatu saat menjelang remaja kau jatuh sakit. Parah, sehingga kau harus dirawat di rumah sakit di Bandung. Ingatlah baik-baik; siapa yang paling setia menjengukmu, membiayai perawatanmu hingga kau sembuh"
Kupejamkan mata. Kututupkan telapak tangan ke telinga. Kutahan rasa perih yang menusuk hati. Oh, apabila nurani sudah menyindirku demikian tajam, aku tak bisa mengelak. Tak ada sesuatu pun yang mampu kulakukan kecuali diam. Ya.
Aku diam. Dalam kamarku pun aku terus duduk diam. Segala perasaan yang simpang-siur dan mengawang kucoba hentikan dan endapkan. Dalam diam, samar-samar kukenal diriku kembali. Diamku adalah inti sesal derita di mana tangis dan air mata tak mampu lagi berbicara. Dan dalam diam pula kurasakan sentuhan kasih Tuhan yang mengantar kesadaran diri yang mendalam.
Peristiwa yang terjadi dalam beberapa hari telah membuat usiaku jauh maju ke depan. Kusadari sepenuhnya bahwa kesadaranku datang terlambat. Penyesalanku tak banyak berguna karena Ayah telah tiada. Namun, setidaknya kini aku merasa mampu menata diri, terutama di hadapan Ibu yang kelihatan makin hari makin kuyu.
Sejak kepergian Ayah, Ibu tak mau berbicara kepadaku. Rasanya aku mengerti apa yang terjadi pada beliau. Apabila aku amat bersedih karena kehilangan ayah angkat, kesedihan yang menimpa Ibu pastilah lebih dalam. Beliau kehilangan suami buat selama-lamanya. Atau apabila Ibu tak acuh kepadaku karena perilakuku yang durhaka, aku pun akan menerimanya dengan ikhlas.
Aku sudah siap menerima hukuman apa pun. Bahkan aku akan menerima dengan sadar semisal Ibu memutuskan hubungan ibu-anak denganku, meskipun aku berharap kiranya hal ini tidak akan terjadi.
Bulan Kuning Sudah Tenggelam Ahmad Tohari
Ah, diriku adalah pesakitan. Kedudukan yang demikian kusadari benar-benar. Maka aku mulai mengemis belas kasih beliau dengan menghambakan diri sepenuhnya. Banyak sekali tugas Nyi Cicih yang kuambil alih; mencuci pakaian Ibu, membuat bubur susu, menyiapkan air panas di kamar mandi, dan sebagainya. Malam hari kulengkapi tempat tidur Ibu dengan selimut yang baru kusetrika. Apabila udara terasa dingin, kaki Ibu kuberi bantalan kantong karet berisi air hangat.
Semuanya kulakukan dengan sabar dan tabah, meskipun sedemikian jauh Ibu masih enggan berbicara kepadaku. Namun, pada suatu malam hatiku menjadi sejuk. Setetes embun jatuh dan mencairkan kebekuan yang sudah sekian hari mengurung seisi rumah. Malam itu tak kuduga sama sekali, Ibu memanggilku. Suara yang sudah terlalu lama kudambakan akhirnya terdengar juga. Lirih dan serak, namun ternyata cukup membangkitkan kembali semangatku.
Ya, Bu. Malam ini kau tidur bersamaku. Ya, Bu.
Kemarilah. Tetapi aku belum mengantuk. Toh aku berlari-lari kecil karena aku tak ingin mengecewakan Ibu. Aku duduk di tepi ranjang. Ibu menggenggam tanganku. Oh, alangkah lembut sentuhan tangan beliau. Alangkah teduh tatapan matanya. Hatiku berdebar seperti anak kecil sedang menantikan hadiah.
Yuning! Ya, Bu. Sudah hampir tiga minggu kau tinggal di sini. Kau belum menyusul suamimu di Ciamis"
Aku menunduk dan menggigit bibir. Oh ya. Sudah sekian lama aku mengabaikan Koswara. Aku melupakannya. Tiba-tiba aku bingung.
Andaikata kau tidak mempunyai kewajiban atas suamimu, tentu saja aku senang kau tinggal di sini, sambung Ibu. Tetapi&
Tidak, Bu. Aku akan tetap menemani Ibu di sini. Ah, itu sikap yang tidak baik. Istri harus mengutamakan suami daripada siapa pun. Ibu selalu berkata demikian, bukan" Ya, Bu. Tetapi aku masih ingin tinggal di sini. Yuning, jangan membuat kesalahan terhadap suami. Segeralah susul Koswara ke Ciamis, besok atau lusa.
Kupandangi wajah Ibu. Aku khawatir terselip maksud pengusiran secara halus dalam kata-kata beliau. Oh, tidak. Wajah Ibu begitu tulus. Beliau benar-benar menghendaki aku tidak berbuat salah terhadap Koswara dengan cara menekan kepentingan sendiri. Oh, lagi-lagi aku berhadapan dengan ketulusan hati yang membuatku merasa malu. Oh, aku tak bisa menerima budi yang terlalu baik. Aku tak bisa meninggalkan Ibu hanya berdua dengan Nyi Cicih. Bagamana juga aku tidak sampai hati melakukannya.
Ibu& kataku sambil menelungkupkan muka di sisi beliau. Bila aku tidak mau menyusul suamiku, Ibu tidak marah, bukan"
Bulan Kuning Sudah Tenggelam Ahmad Tohari
Memang tidak. Tetapi Ibu tidak akan membenarkan istri yang meninggalkan kewajibannya terhadap suami.
Ya, Bu. Aku akan menyusul Koswara. Entah kapan dan kalau aku mau.
Kenapa begitu" Aku ingin tinggal bersama Ibu selama mungkin. Atau selamalamanya, Bu!
Isakku tak berhasil kutahan. Ibu mengusap kepalaku. Masa kecil yang indah terasa berulang kembali.
Bu, kesalahanku terhadap Ayah dan Ibu terlalu besar. Kini Ayah sudah tak bisa kumintai ampunan. Dan Ibu belum mengatakan bahwa Ibu telah memaafkan kesalahanku. Bu, katakan dulu Ibu telah memberi ampun kepadaku.
Kudengar Ibu melepas desah lirih dan panjang. Tangannya yang lembut membelai rambutku.
Ya, Yuning. Ya. Kau memang telah berlaku kurang hormat kepada ayahmu almarhum. Bersyukurlah karena kau mempunyai ayah yang berdada lapang. Dengar, Yuning. Ayahmu pergi dengan hati damai. Aku mendengar sendiri dia telah memaafkanmu. Dan Ibu" tanyaku dengan suara bergetar di tenggorokan. Yah, aku sudah tua. Apalah gunanya memperpanjang rasa marah"
Berkatalah terus terang. Bu.
Ibu malah diam. Hanya senyumannya yang mengembang dan aku bisa menangkap makna senyum itu. Rasa sejuk kembali menyapu hatiku.
Ya, anakku. Aku merasakan betapa besar penyesalanmu. Malam ini kau tidur bersamaku karena aku sudah memaafkanmu. Tetapi ingat; kewajibanmu yang utama bukan menemani Ibu di sini melainkan mendampingi suamimu di Ciamis. Aku mengangguk meskipun dalam hati, entahlah. Malam yang teduh. Belaian tangan Ibu yang lembut membuat gelombang bencana dalam hatiku surut dan surut. Gelombang yang telah pecah menjadi riak-riak kecil yang kian hari melemah dan akhirnya lenyap sama sekali. Aku merasa telah memperoleh kembali hidupku seperti semula. Tidak begitu utuh memang karena Koswara-ku ada di Ciamis. Dia hanya datang dua hari sekali dan tidak suka menginap. Atau aku di bawanya ke Ciamis barang satu-dua malam, kemudian aku minta diantarnya kembali ke rumah Ibu.
Tak mengapa, karena itulah jalan tengah yang bisa kulakukan. Aku sungguh ikhlas menempuh keadaan ini sampai datang cara lain yang lebih baik. Entah kapan tiba saatnya, aku akan sabar menantinya. Mendampingi suami adalah tugasku yang terpenting, kata Ibu. Aku pun berpendapat demikian. Namun, dalam keadaan istimewa ini, menemani Ibulah yang utama.
Jadi, aku tetap tinggal bersama Ibu di Garut. Adalah berita yang dikatakan oleh Nyi Cicih yang membuat hatiku kembali tersengat.
Nah, ada cerita lain dari Ciamis, Neng Yuning. He-he. Maka jangan suka membiarkan suami seorang diri. Eta mah pamali. Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Cerita apa, Nyi" tanyaku. Aku berpura-pura tidak berminat mendengarkan omongan Nyi Cicih.
Mang Adang kemarin datang dari Ciamis.
Mang Adang" Saudaramu yang ikut bekerja dengan Koswara"
Benar, Neng Yuning. Katanya sekarang ada tiga mahasiswa dari Bogor di peternakan suamimu. Satu laki-laki dan dua perempuan.
Nyi Cicih menghentikan ceritanya dengan cara yang nakal, membuatku menjadi penasaran.
Teruskan, Nyi. Apa yang dikerjakan oleh tiga mahasiswa tadi"
Kata Mang Adang mah, mereka datang untuk mempelajari peternakan itu. Tetapi, yah, namanya anak muda. Seorang yang laki-laki dan seorang yang perempuan kelihatannya sudah punya pasangan. Yang seorang lagi, dan kata Mang Adang justru yang paling cantik, baru mendapat pasangan di peternakan itu.
Aku tak memerlukan keterangan Nyi Cicih lebih lanjut. Hatiku mulai berdebar. Oh, inikah rupanya yang menyebabkan Koswara empat hari tidak muncul di rumah Ibu"
Apakah kata-kata Mang Adang bisa dipercaya, Nyi" kataku dengan suara gamang.
Kebenaran kata-katanya memang baru bisa dibuktikan di Ciamis, Neng. Saya hanya bilang seperti orang-orang tua bilang bahwa tidak baik membiarkan suami tinggal jauh dan seorang diri pula.
Ah, terima kasih, Nyi, kataku seramah mungkin dengan senyum yang entah bagaimana. Tetapi jangan katakan hal ini kepada Ibu. Jangan!
Aduh, Neng, maafkan Nyai. Sudah terlambat. Ibu sudah tahu hal ini. Dan saya kira Ibu pantas tahu. Tetapi maafkan Nyai, Neng.
Aku diam. Benar juga kata Nyi Cicih; kebenaran berita itu baru bisa dibuktikan di Ciamis. Oh, Gusti, mestikah aku berangkat ke sana" Bagaimana dan kapan"
Tak terasa kaki ini membawa tubuhku terhuyung menuju kamar. Di sana aku duduk, diam sesaat, dan bangkit kembali. Kucoba duduk di kasur. Tetapi kegelisahan yang mulai berkembang begitu mengusik hati. Dan aku menelungkup menindih bantal, menangis. Dalam rongga mataku ada seorang gadis belia, segar, dan menawan. Dia manja dengan tawanya yang renyah dan lepas. Mungkin benar kata Nyi Cicih bahwa gadis itu cantik. Dan yang pasti dia lebih pintar. Buktinya dia masih kuliah. Tidak seperti aku yang rontok di tingkat persiapan.
Tentulah mata ini masih merah ketika aku diam-diam menyelundup ke dapur mencari Nyi Cicih. Kini aku merasa perlu mendengar ceritanya lebih jauh.
Nyi, coba katakan apa saja yang diceritakan Mang Adang kepadamu, pintaku lirih.
Eh, tetapi, tetapi Neng habis menangis" Oh, tidak, Neng. Aku telah membuat Neng bersedih hati. Cerita selanjutnya hanya akan membuat Neng lebih bersedih.
Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Mungkin kau benar, Nyi. Tetapi aku malah lebih bersedih dengan cerita yang tanggung. Ayolah, Nyi!
Aduh, Neng. Nyai tak mau. Cerita itu kan sudah cukup. Ah, begini& Apakah Mang Adang mengatakan Koswara sering pergi ke luar bersama tiga mahasiswa itu" pancingku. Oh, iya, Neng. Mereka makan di luar, di rumah makan. Juga makan malam di luar"
Aduh, memang begitu kata Mang Adang, Neng. Mereka pernah pulang jauh malam. Dari pembicaraan mereka, Mang Adang tahu bahwa mereka habis nonton film.
Berempat atau hanya berdua-dua"
Aduh, maaf, Neng. Mang Adang tidak berkata jelas tentang itu.
Yah, cukup. Tetapi Neng tidak akan menangis lagi, bukan" Memang tidak. Aku hanya merasa sentakan denyut dan duniaku bergoyang-goyang. Ada kebisingan dalam telinga dan ada kelap-kelip dalam rongga mata. Aku kembali ke kamar dan menangis lagi. Entahlah, seharusnya aku tidak perlu amat cengeng, karena semuanya baru cerita Nyi Cicih. Tetapi aku sudah hafal watak perempuan yang kukenal sejak aku masih kanak-kanak itu. Nyi Cicih tidak suka mengada-ada. Dan yang pasti sudah empat hari ini Koswara tidak datang.
Seperti boneka yang digerakkan oleh dalang, aku pergi membasuh muka. Daster kulepas dan kutukar dengan baju biasa. Rambut kusisir. Tas tanganku cukup besar untuk diisi dua potong pakaian sebagai ganti. Sandal karet kulepas dan kukenakan sepatu. Hatiku sudah lebih dulu terbang ke Ciamis. Maka aku akan segera menyusul ke sana.
Selesai merapikan diri sekadarnya, aku membuka pintu kamar dan tertegun. Ibu berdiri tepat di depan pintu. Nyi Cicih pasti lapor kepada beliau. Sialan dia!
Kau kelihatan bersiap-siap. Hendak berangkat ke mana, geulis" tanya Ibu dengan suara begitu bening. Sorot matanya sejuk. Senyumnya mulus membuat ketergesaanku mengendap.
Ke Ciamis, anakku" desak Ibu dengan cara yang paling halus. Aku malu, tetapi aku juga mengangguk.
He-eh. Hm, seperti Setiawati yang hendak menyusul Raden Narasoma. Oh, tidak! Setiawati tidak pernah menyusul suaminya kecuali sekali saja. Ketika Raden Narasoma gugur di padang Kurusetra. Ah, anakku, kau harus bersabar. Jangan tergesa. Bu, tapi&
Ya, ya. Aku mengerti perasaanmu. Kau boleh menyusul Koswara, tetapi besok. Sekarang belum siap. Kalau kau tergesa ke sana akibatnya bisa lain. Percayalah, anakku.
Samar-samar aku menangkap maksud Ibu. Ya, ketergesaan sering membawa kesulitan. Betapa sering kudengar ungkapan demikian. Namun, badai dalam hatiku telanjur menggalau jiwa. Aku tak mempunyai pertimbangan lain kecuali sampai ke Ciamis secepat mungkin.
Bu, aku akan berangkat sekarang. Aku harus berbicara dengan Koswara tentang apa yang dikehendakinya. Sekarang juga! Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Eh, anakku, geulis, kau tak bisa sedikit bersabar" Tidak, Bu!
Karena perasaan yang makin tak menentu menyebabkan aku tak mendengar lagi kata-kata Ibu. Aku berbalik masuk ke kamar hendak mengambil dompet. Keluar lagi, tetapi langkahku mendadak tertahan. Aku terpana. Di sana, menempel pada tembok di sebelah utara ada sebuah foto ukuran besar; seorang laki-laki dalam pakaian kebesaran ningrat Priangan. Mata Raden Barnas Rahadikusumah, ayahku, menatap lurus ke arah jantungku. Beliau yang berangkat ke alam abadi membawa catatan buruk tentang diriku yang keras. Oh, apakah hal ini akan kuperlihatkan sekali lagi kepada Ibu yang kini telah renta dan seorang diri pula"
Entah berapa lama aku tetap bergeming menatap foto Ayah. Yang kurasakan kemudian adalah sentuhan lembut tangan Ibu mengelus pundakku. Mari, geulis, anakku. Jangan perturutkan hati yang sedang murka.
Aku tak kuasa menolak ajakan Ibu. Atau jarum hatiku telah berbalik demikian cepat setelah kutatap foto Ayah di dinding. Ibu membawaku duduk di kursi panjang. Dipanggilnya Nyi Cicih agar memberiku segelas air.
Kau baru mendengar kabar burung tentang Koswara. Jangan gugup. Andaikata kabar itu benar, geulis, kau tetap tak boleh gugup.
Aku mengangguk. Dan hatiku mulai tenang.
Oh, anakku. Ini salah satu pelajaran penting dalam hidup suami-istri. Anakku, seorang istri, siapa pun dia, akan mengalami perasaan seperti itu. Ibu sendiri, oh sudah hafal. Ibu pernah mengalami peristiwa seperti itu" tanyaku. Sering, Nak. Sering. Ketika muda ayahmu gagah, berpangkat pula. Nah, kau harus percaya bukan hanya Ibu seorang yang ingin duduk di samping ayahmu. Bahkan berpuluh cobaan harus kuhadapi setelah ayah dan ibumu menikah. Apalagi Ibu tak pernah melahirkan anak. Oh, ayahmu, Nak.
Bagaimana Ayah, Bu" Ayah tidak setia"
Ayahmu tidak terlalu setia. Yah, anaku. Ya, semoga Gusti mengampuninya.
Ini pengakuan Ibu yang pertama tentang rahasia Ayah. Entahlah, aku bergairah mendengarkannya.
Dan Ibu menerima kecurangan Ayah"
Ah, Yuning, anakku. Dalam masalah ini semua hati perempuan sama.
Jadi, Ibu juga marah"
Ya, marah. Juga pedih. Anehnya aku juga tidak ingin kehilangan ayahmu. Apakah kau juga tidak ingin kehilangan Koswara"
Aku diam dan tersenyum getir. Ibu juga tersenyum. Matanya menerawang seakan beliau sedang menikmati masa lampau yang penuh kenangan.
Tetapi, Bu, kesalahan suami semacam itu harus mendapat peringatan, bukan"
Kau benar, anakku. Bukan hanya diperingatkan. Bila perlu Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari dia harus diberi pelajaran. Ini perjuangan istri untuk mempertahankan tempat duduknya di samping suami. Perjuangan yang lama dan terus-menerus. Mungkin sepanjang usia. Kedengaran tidak adil, tetapi itulah kenyataan. Setidaknya, itulah yang Ibu lakukan. Nah, kaulihat sendiri Ibu berhasil mendampingi almarhum ayahmu setengah abad.
Malam itu menjadi malam yang terpanjang selama hidupku. Aku tak berhasil memejamkan mata sampai dini hari. Sebelumnya Ibu telah bercerita panjang-lebar tentang hubungan pribadinya dengan Ayah. Menundukkan sapi jantan yang binal harus dengan cambuk dan tali yang kuat, kata Ibu. Tetapi bila sapi jantan itu adalah suami, kau takkan dapat menundukkan kecuali dengan cara yang istimewa. Tetaplah dalam kelemahlembutan istri sejati, itulah caranya. Apabila dengan cara itu kau masih dihinakan, tiba saat bagimu untuk berbuat membela martabatmu sendiri sebagai manusia. Tetapi sepanjang pengalamanku, Yuning, bagaimanapun gagah seorang laki-laki dia akan merunduk di hadapan citra seorang perempuan sejati. Boleh jadi kata-kataku berlebihan, namun cobalah uji kebenarannya.
Uh! Ini cerita wayang, keluhku dalam hati. Bagus menjadi tutur kata, tetapi siapa perempuan zaman sekarang yang bisa melakukannya" Aku" Uh! Pokoknya bila benar Koswara berbuat macam-macam dengan mahasiswa itu, aku akan meledak. Akan kuberitahu dia tentang seorang letnan kolonel yang kini tetap membujang karena gagal memperistrikan aku. Aku bisa lari kepada kolonel itu kapan saja aku suka. Koswara juga harus mengerti siapa Bambang Gunardi yang selalu siap menampungku dalam rumahnya yang bagus di Bandung. Aku, Yuning, tak sudi diperlakukan sepele oleh seorang jagal babi meskipun dia bernama Koswara. Dia harus tahu siapa Yuning sebenarnya. Usiaku baru 23 tahun. Dan pasti tidak jelek.
Mataku nanar oleh emosi yang meletup-letup. Dalam bayangan yang membaur muncullah Koswara di depan mataku. Betapa aku ingin mengusir angan-angan itu. Tetapi bayangan itu bahkan makin jelas. Koswara berdiri tegak dengan keutuhannya. Ah, matanya. Betulkah aku mampu membenci mata jantan itu" Kaudengar kata-kata Ibu, bukan"
Ya Tuhan! Oh, tentu. Aku, harus tetap& eh, tetap tenang" Dan tetap cantik, Neng.
Ya, cantik. Apa lagi, Bu"
Satu lagi. Hehe. Dulu, bila ayahmu pergi ke luar daerah, di rumah aku berpuasa. Sekadar ikhtiar, Neng. Hehe. Jadi, aku harus bagaimana, Bu"
Yah, Ibu harus menyadari bahwa kau perempuan. Jadi, berdoalah kepada Gusti Yang Mahakuasa, mohonlah kiranya keluargamu tidak akan mengalami cobaan.
Tidurku yang hanya sesaat dibekali segudang nasihat Ibu. Oh, andaikata Ibu mengerti bahwa sesungguhnya aku tidak tertarik akan semua petuahnya. Hatiku sudah tersaput waswas. Dan jengkel. Aku memang berdoa kiranya aku bisa secepatnya tiba Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari di Ciamis kemudian membuat perhitungan dengan Koswara. Ingin kulihat secepatnya tampang gadis yang mencuri tempatku di samping Koswara. Betul, semua ini baru berita lewat mulut Nyi Cicih. Tetapi aku tak peduli. Hatiku sudah demikian galau.
Aneh. Pagi-pagi kemarahanku sudah jauh berkurang. Bahkan aku merasa berubah menjadi anak kecil yang penurut. Ibu menyuruhku mengajak Nyi Cicih ke Ciamis. Supaya ada teman bercakap dalam perjalanan, kata Ibu. Tetapi aku tahu maksud beliau. Ibu khawatir akan terjadi apa-apa antara aku dan Koswara. Dalam hal ini, Nyi Cicih diharapkan bisa menjadi sekat pemisah. Aku juga patuh ketika Ibu menyuruhku membawa beberapa ekor ikan mas. Masaklah dengan bumbu asam, itu kegemaran suamimu, kata Ibu lagi. Alasannya kali ini sama sekali betul. Dan perintah Ibu yang terakhir membuatku lama termenung; kali ini aku harus berbusana kain kebaya. Eh, ternyata entah mengapa aku tak bermaksud membantahnya.
Jadi, aku berangkat seperti hendak menghadiri pesta perkawinan. Padahal hatiku sedang terlanda angin puyuh yang menggoyahkan relung-relungnya. Nyi Cicih yang nyinyir tak hentihentinya menghamburkan pujian. Dikatakannya, kecantikan seorang Galuh Pakuan menjelma sempurna pada diriku. Entahlah. Pada saat seperti itu, aku tak ingin mendengar pujian. Aku tak ingin apa-apa kecuali segera sampai di Ciamis. Di atas bus yang membawaku ke Ciamis, kesabaranku mulai diuji. Oh, mengapa kau, sopir" Mengapa kau begitu serakah, kau tak mau berangkat juga meski busmu sudah penuh" Kau menghendaki busmu meledak oleh saratnya penumpang"
Akhirnya, bus bergerak setelah kesabaranku nyaris habis. Perjalanan yang sangat menyiksa selesai juga akhirnya. Pukul sepuluh, aku dan Nyi Cicih turun dari becak di depan rumah papan itu. Sepi. Tetapi rusuh dalam hatiku makin seru. Halaman yang panjang kulintasi dengan langkah-langkah yang seakan melayang. Kudapati rumah sungguh kosong. Tetapi di meja ruang tamu ada diktat-diktat. Kertas-kertas. Dan hatiku tersentak oleh bau wangi dari kamar depan. Aku ke sana. Oh, pakaian-pakaian gadis bergantungan. Sepatu-sepatu. Alat-alat kecantikan. Majalah-majalah kaum muda.
Dengan perasaan tak menentu aku berjalan ke kamar pribadiku. Duh, Gusti. Di sini aku kembali menahan napas. Sesuatu telah menerobos masuk wilayah pribadi. Di atas kasurku ada sebuah buku novel yang pasti bukan milikku atau milik Koswara. Ketika kuambil tercium bau wangi. Ada sederet huruf berbunyi: Sabina Salahudin.
Kedua tanganku siap mencabik buku itu. Dia akan segera mengonggok menjadi sampah. Tetapi wajah Ibu tiba-tiba muncul. Senyumnya begitu tulus. Tetaplah tenang dan sabar, geulis!
Oh, Ibu. Alangkah berat nasihatmu kulaksanakan. Tenang" Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari Aku harus tetap tenang meskipun nama seorang gadis telah terpancang di kasurku" Bahkan segala yang lebih hebat mungkin telah terjadi dalam wilayah pribadiku ini"
Daun telingaku terasa panas. Keningku berdenyut. Tanganku menggigil dan berkeringat. Tetapi aku juga tidak kuasa berbuat apa-apa kecuali duduk terkulai dan menangis. Nyi Cicih yang sejak tadi menghilang ke belakang muncul di sampingku. Dia tidak bertanya mengapa aku menangis.
Mang Adang mengatakan suamimu bersama para mahasiswa itu sedang pergi ke kota. Ke Kantor Dinas Peternakan. Nanti siang mereka kembali, kata Nyi Cicih. Sedikit pun aku tak bergerak apalagi menanggapinya.
Nyai harus ke dapur. Nanti suamimu keburu pulang, kata Nyi Cicih lagi. Dan perempuan itu terpana ketika dilihatnya aku benar-benar sedang menangis.
Seperti si dungu yang sedang bimbang aku mengikuti Nyi Cicih ke dapur. Bahan-bahan mentah yang kami bawa dari Garut akan kami buat menjadi hidangan siang. Gulai ikan mas dengan bumbu asam, sambal terasi, lalap kacang panjang dan petai. Lalu kerupuk udang. Kesibukan di dapur ternyata mampu mengurangi ketegangan yang menekan hatiku.
Menjelang pukul dua belas, hidangan makan siang sudah siap. Panas. Aku ingin melepaskan kain kebaya dan menggantinya dengan baju biasa. Tetapi Nyi Cicih, dengan gayanya yang khas, membujuk agar aku mengurungkan niat.
Jangan, Neng. Kau telah terbiasa dengan rok. Dengan kain kebaya Neng kelihatan lain; tambah cantik! Nyai tidak bohong, Neng. Percayalah!
Nah, betul. Aku telah berubah menjadi si penurut. Kepada Nyi Cicih pun aku tidak bisa membantah. Maka aku sekadar menyejukkan wajah, aku pergi ke kamar mandi. Aku membasuh muka.
Kau harus tetap tenang dan cantik, itulah kata-kata Ibu yang terus berdenging dalam telinga ketika aku berdiri di depan cermin. Rias sederhana yang telah kacau kutata kembali. Eh, kenapa aku masih sempat tersenyum melihat diriku dalam kaca" Betulkah aku tidak terlalu jelek" Atau cantik malah"
Tiba-tiba gambar diriku dalam kaca bergoyang. Kemudian lenyap. Ya, karena kemudian aku mendengar deru mobil barang yang sudah sangat kukenal. Ya Tuhan, Koswara telah datang. Tentulah dia bersama& ah, siapa itu Sabina Salahudin" Entah siapa dia dan bagaimana sosoknya, tetapi bayangannya telah membuat gelombang dahsyat dalam sanubariku.
Oh, Ibu! Harus bagaimanakah anakmu ini" Aku ingin menjerit sejadi-jadinya. Aku ingin mencakar habis hidung suamiku. Aku ingin menyambutnya dengan sumpah serapah sekeras-kerasnya. Aku ingin&
Duh, Gusti! Dalam perasaan yang begitu menekan masih sempat kudengar suara mendenging dalam telinga. Tenanglah, geulis. Tenanglah!
Bulan Kuning Sudah Tenggelam Ahmad Tohari
Seperti mengambang di udara aku keluar ke ruang depan. Kedua lensa mataku merekam sebuah adegan yang pasti takkan terlupa sepanjang usia. Hatiku, jiwaku, ikut mencatatnya dalam getaran sanubari yang membuat kedua lututku bergetar. Koswara turun dari mobil diikuti seorang gadis yang putih semampai. Oh, dia yang memiliki gerakan-gerakan lembut itu pastilah Sabina. Kupastikan demikian sebab dua orang temannya, seorang gadis dan seorang pemuda, berboncengan dengan motor.
Dia memang Sabina Salahudin. Rambutnya disanggul sembarangan, tetapi malah menarik. Tengkuknya segar. Oh, dia gadis yang menampilkan citra kelembutan. Atau entahlah karena aku kemudian nanar ketika Koswara menggandeng tangan gadis itu tanpa canggung sedikit pun.
Oh, Ibu, bagaimana aku bisa tenang sementara sebuah bukit runtuh menimpa hatiku" Bagaimanakah aku bisa tersenyum selagi air mata mulai jatuh" Bagaimanakah aku akan berkata dengan ramah bila tenggorokanku tersekat bata yang membara"
Mereka melangkah makin dekat. Sementara aku, entah dengan cara bagaimana sudah duduk di kursi yang menghadap pintu masuk. Beku dan gamang. Tetapi pada saat terakhir aku memutuskan menjadi murid Ibu yang terbaik. Sayang, aku tak bisa menyambut mereka di depan pintu karena aku sungguh tak bisa berdiri.
Orang pertama yang mengetahui aku duduk di ruang tamu adalah Sabina (mudah-mudahan dialah pemilik buku novel yang tergeletak di kasurku). Dia terperanjat dalam gerakan yang janggal. Tak kalah canggungnya adalah orang yang menyusul di belakangnya: Koswara. Seperti robot yang tiba-tiba kehabisan tenaga. Gerak-geriknya serbasalah. Mimiknya terbata-bata. Bibirnya bergerak tak menentu sebelum berhasil berkata dengan susah payah.
Eh& kau& kau, Yuning! Kapan" Kapan datang" Aku tak mampu membuka mulut. Dan kurasakan air hangat meleleh di pipiku. Tetapi kepada gadis yang berdiri kaku itu aku mencoba tersenyum. Entah bagaimana rupa senyumku. Oh, kulihat gadis itu bahkan tak bisa menggerakkan bibirnya.
Ah, kenalkan. Sabina. Ini Ayuningsih, istriku, kata Koswara. Tengik dia. Rupanya hanya sesaat dia gugup.
Kujabat tangan yang terulur ragu itu. Dingin dan gemetar. Oh, kulihat Sabina begitu tersiksa. Perasaan pahit tergambar jelas pada garis-garis wajahnya.
Dan ini Tuti. Itu yang berjenggot bernama joko, sambung Koswara memperkenalkan dua mahasiswa yang masuk kemudian. Aku menyalami mereka. Oh, tetapi air mataku belum kunjung kering. Pasti semuanya melihat mataku yang merah. Dan senyumku yang kaku.
Oh, Adik-adik, silakan duduk, suara parau dan asing terdengar dari tenggorokanku sendiri.
Hanya itu. Kemudian aku mengundurkan diri. Bukan ke kamar karena aku khawatir Koswara akan segera menyusulku. Aku menumpahkan tangisku di kamar mandi. Hampir sepuluh menit Bulan Kuning Sudah Tenggelam
Ahmad Tohari aku menunggu ketenangan kembali menguasai hatiku. Ya Tuhan, rasanya aku berhasil. Berbahagialah kau, Ibu, karena aku akan menuruti kata-katamu.
Mataku masih terasa perih. Tetapi aku sudah lebih mampu menguasai diri. Suasana di ruang tamu masih disaput kekakuan. Suamiku entah sudah berapa kali menyulut rokok dan menggilasnya di asbak. Setelah dua-tiga kali isap. Sabina menunduk, tangannya bermain-main dengan sebuah bolpoin. Tetapi Tuti dan Joko cengar-cengir. Sialan. Mereka menikmati suasana yang mati sebagai kelucuan.
Yuning, adik-adik ini sedang melakukan penelitian di peternakan kita. Mereka sedang mengumpulkan bahan untuk menyusun skripsi, kata Koswara membuka tabir kebisuan.
Ya, jawabku singkat. Sambil senyum dan menyambut anggukan ketiga anak muda itu.
Itulah, maka aku dalam beberapa hari belakangan ini tak bisa menjengukmu di Garut.
Ya. Aku merasa mendapat kehormatan karena peternakan kita menjadi objek penelitian adik-adik ini.
Ya. Kok ya-ya terus, Kak Yuning" sela tuti dengan gaya kekanak-kanakan. Centilnya membuyarkan kejanggalan. Aku tertawa. Sebentar saja sebab aku harus mengelap mataku yang basah.
Hening. Sepi kembali menjerat. Untung aku teringat sesuatu.
Jam berapa sekarang, Dik Joko" Oh, dua belas lebih sedikit.
Nah, sudah cukup siang. Mari kita makan.
Ya! Ayo kita makan. Kalian akan mencoba kebolehan istriku menghidangkan makan siang. Ayo! kata Kosawara hampir berlebihan.
Yah, tak perlu dua kali menawarkan makan kepadaku, kata Tuti. Apalagi bila perut sudah perih. Nah, ayo.
Di meja makan lagi-lagi Tuti membanyol dengan gaya yang segar.
Aku heran dengan Pak Kos. Dari mana pasalnya Pak Kos tega menempatkan seorang putri jelita dan juara masak pula dekat kandang babi yang sengak ini"
Hus! Jangan intervensi, ujar Joko.
Itu kenyataan. Seandainya Pak Kos sadar bahwa dengan kecantikannya Kak Yuning mempunyai segudang hak. Hak apa" tanya Koswara.
Yah, hak untuk menempati puri, misalnya.
Eh, Tuti& Aku bilang jangan intervensi. Kak Yuning betah tinggal di dekat kandang babi bukan karena babi-babi itu. Tetapi karena Pak Kos bersarang di sini.
Nah! Laki-laki memang suka memanipulasi kesetiaan istri. Ya, kan" Kau juga begitu, kan"
Kau betul, Tuti, kata Sabina dengan suara yang lemah. Aku ikut meminta Pak Kos mencari tempat yang lebih baik. Kasihan Kak Yuning.
Bulan Kuning Sudah Tenggelam Ahmad Tohari
Hayo, bagaimana, Pak Kos" Kaum perempuan di sini sedang unjuk perasaan.
Koswara menatapku dengan mata berbinar. Senyumnya cengar-cengir. Namun, aku sengaja tak menanggapinya. Aku merasa perlu sedikit jual mahal.
Pukul dua siang aku memanggil Nyi Cicih untuk bersiap pulang ke Garut. Aku mengerti Koswara pasti akan terkejut. Namun, tekadku sudah bulat meskipun bukan main berat beban perasaan yang kutanggung. Koswara mencoba menahanku, hampir merengek seperti anak kecil.
Kau tentu menyangka ada apa-apa antara aku dan mereka, setidaknya dengan Sabina, bukan"
Aku diam, aku tetap tenang.
Jangan berangan-angan yang berlebihan. Aku hanya pergi makan dan nonton bersama ketiga anak itu. Oh, nanti dulu. Aku juga meminjam buku kepada Sabina dan kubaca sebelum tidur. Itu saja.
Itu saja. Tetapi aku dengan cara sehalus mungkin bersikeras pulang ke Garut. Ibuku! Pengalamanmu dengan Ayah tidak bisa dan tidak akan terjadi padaku. Aku sadar betul akan risiko meninggalkan Koswara di Ciamis. Namun, Ibu adalah ibuku. Beliau sudah renta. Tak ada waktu lagi buat menimbang-nimbang. Aku harus mendampinginya, merawatnya, dan menyantuninya. Dan aku minta diri kepada suamiku dengan cara yang diajarkan Ibu; menekuk lutut dalam-dalam, mirip sopan santun cara ningrat.
Apa yang terjadi setelah aku sampai di Garut adalah hujan yang membasahi tanah yang telah lama kerontang. Sejenak aku bingung. Koswara sudah berdiri bersama Ibu di halaman. Rupanya dia menyusulku dengan mobil dan lebih dulu sampai di rumah. Aku termangu, menatap suamiku dengan seribu tanda tanya.
Ya, ya, sambut Koswara sambil membimbingku masuk. Kata-katanya dalam bisikan membuatku bagai melambung bersama awan di langit. Aku menyusulmu karena lebih baik aku kehilangan dua ribu ekor babi daripada kehilangan kau. Aku akan melupakan rumah papan di dekat kandang babi itu. Di sini ada tempat yang lebih layak buat kau dan aku. Kau mau memaafkan aku dan melupakan segala yang telah lalu, bukan" Kuwakilkan jawabanku pada air mata yang jatuh satu-satu. Tengah malam aku mengajak Koswara ke luar halaman. Langit biru dan pekat karena bulan yang kuning telah lama tenggelam. Tetapi taburan sejuta bintang menyemarakkan angkasa. Alam yang sepi begitu padu dan damai. Sejuknya, lembutnya, mengendap dalam hatiku bersama harumnya bunga-bunga kopi yang rimbun di tepi kolam.
Bila anak kita lahir kelak, kau ingin dia jadi apa, Kang" tanyaku dalam dekapan Koswara.
Aku tidak ingin dia jadi peternak babi. Bila laki-laki, dia akan berwatak perwira seperti kakeknya. Bila perempuan, dia akan cantik dan lembut seperti&
Seperti siapa" Bulan Kuning Sudah Tenggelam Ahmad Tohari
Seperti kau! Seperti& siapa" Seperti kau! Kartini No. 234, 24 Oktober 1983
Buku ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997.
Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.
Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca.


Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelangi Dilangit Singosari 3 Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia Fazahra Akmila 5

Cari Blog Ini