Ceritasilat Novel Online

Maya 4

Maya Karya Ayu Utami Bagian 4


Ngomong-ngomong kok Jimat Ramesrepus, sih" Bu kannya Jamus Kalimasada, ya"
Ramesrepus itu dibalik jadi Supersemar, bodoh! sahut
Parang Jati sambil terus mengetik dan membacakan nas kahnya.
Inilah kisah bagaimana Petruk, Gareng, dan Bagong dengan bantuan dan pengorbanan Gatotkaca menemukan bahwa Supersemar ternyata adalah Semar gadungan!
Pokoknya, di akhir cerita ia bisa digulingkan karena ia telah kehilangan Jimat Ramesrepus yang sudah lenyap secara ajaib itu.
Asu! Hajingan! Jangkrik! Jimat Ramesrepus! Bentuknya apa itu jimat Ramesrepus" Mungkin batu akik.
Tepat pada saat itu telepon genggam Parang Jati berbunyi. Agak gugup dan kesal ia mengambil pesawat itu. Ia mulai tak enak melihat nama Yasmin muncul di sana. Ia menjawab telepon itu, dan tiga detik kemudian keringat dingin mulai merembes di dahi dan tangannya.
A-aku harus kembali ke padepokan! Maaf! Aku harus pergi, katanya dengan sangat gugup.
P arang j ati memandang kepada malam dengan mata nyaris kosong. Ia tak pernah melawan ayahnya. Kenapa begitu ia melanggar perintah sang ayah, di situ pula masalah terjadi" Mengapa geger yang belum pernah dialami di padepokan ini justru terjadi pada kesempatan pertama ia tidak setia; padahal selama ini ia selalu setia" Ia coba memacu motornya ngebut tanpa kehilangan kewaspadaan. Gugup bisa mengundang perkara baru. Tapi ia memang gugup.
Di ruang duduk padepokan ia melihat orang-orang berkumpul. Di pusat lingkaran Yasmin tersuruk dan terguncang pada dada Vinod Saran. Lelaki India itu memeluk dan membelainya agar tenang. Sesekali perempuan itu meracau. Parang Jati ingin menutup wajahnya sendiri seandainya itu bisa memutar waktu. Tetapi sesuatu telah terjadi.
Samantha hilang. Bocah kecil itu lenyap ketika sedang tidur dan Yasmin meninggalkan dia di kamar untuk ngobrol dengan Vinod tentang cara membawa sendratari wayang itu ke India. Itu sehabis makan malam. Yasmin berjanji untuk
memastikan agar semua anggota Klan Saduki mendapat kartu identitas. Vinod menghitung kemungkinan untuk mengurangi jumlah pemain, seandainya sponsor sedikit. Percakapan jadi panjang. Lalu mereka merasa waktunya kembali ke kamar masing-masing. Saat itulah Yasmin menemukan buah hatinya tidak ada lagi di ranjang. Di Sewugunung orang masih percaya bahwa kuntilanak atau kolongwewe suka mencuri anak kecil. Mereka adalah hantu atau setan perempuan mandul yang menginginkan anak. Jika orangtua tak segera menemukannya, dengan bantuan dukun desa, anak itu bisa hilang selamanya. Beralih dunia.
Mendengar jeritan Yasmin, Vinod segera menyusul. Lelaki itu melihat ada sepucuk surat terserak di lantai. Ia segera curiga. Ia membukanya dan menemukan, di dalamnya ada selembar kertas dengan tulisan tangan yang luar biasa buruk. Sungguh menyerupai cakar ayam. Huruf besar dan kecil tak beraturan. Lelaki itu bisa bahasa Indonesia, tetapi hanya bahasa yang baik. Ia tak mengerti apa yang tertulis dalam surat itu.
Ketika itu beberapa orang yang menjaga wisma telah tiba di sana. Yasmin seperti hampir pingsan. Karena itu Vinod me minta mereka membaca tulisan cakar unggas yang ter tera pada kertas. Tulisan itu tak mudah dibaca, tapi kira-kira se per - ti ini bunyinya: bukasiakuakikditukarkaroanake ketemu sendanglorodjamsewelasteng ajalaporpulisikucekek nekte latawas!
Sekarang surat itu ada di tangan Parang Jati. Dulu orang Jawa memang menulis tanpa spasi. Surat itu demikian: Bu (Yasmin), kasih aku (batu) akik, untuk ditukar dengan anaknya (yaitu Samantha). Ketemu di Sendang Loro jam sebelas tepat. Jangan lapor polisi, aku cekik. Jika telat, awas!
Sebelum Parang Jati datang, Yasmin telah jadi tahu bahwa orang yang menculik anaknya menginginkan batu yang dikirim Saman kepadanya. Ia tak pikir panjang. Ia langsung ingin menyerahkan batu itu. Tapi batu tak ada lagi padanya. Batu itu
telah disimpan Parang Jati di tempat yang tak bisa ia jangkau, seperti anjuran Suhubudi. Sudah jam setengah sebelas saat mereka memahami surat itu. Suhubudi tidak bisa dikontak. Parang Jati juga beberapa kali gagal dihubungi. Waktu berjalan terus.
Sekarang pukul 11:20. Kamu tahu tempat yang disebut itu, S-sendang apa" tanya Vinod Saran menahan cemas.
Sendang Loro. Ya, saya tahu. Salah satu mata air keramat di Sewu Gunung.
Ada tiga belas mata air keramat di sana. Tersembunyi di ceruk-ceruk gunung. Sendang Loro, artinya mata air kedua.
Cemas membuat mereka tak berpikir yang lain. Batu itu harus diambil dari lemari besi. Parang Jati dan Yasmin akan pergi ke Sendang Loro untuk menukarkannya dengan Samantha. Vinod Saran berjaga di padepokan bersama yang lain. Diputuskan untuk tidak menghubungi polisi dulu sampai ada pertimbangan pengganti. Lagipula, akankah polisi memberi perhatian, sebab demonstrasi massal mahasiswa akan bisa mulai setiap saat" Aparat sedang sibuk bersiap-siap untuk suatu peristiwa politik besar.
Parang Jati setengah berlari menuju kamar di mana lemari besi sang ayah terletak. Kotak logam itu menunjukkan bahwa roh-roh dan tenaga alam halus tidak selalu bisa melindungi perkara dunia kasat. Manusia tetap membutuhkan teknologi. Untuk ukuran padepokan Suhubudi, Parang Jati tidak berbakat dalam ilmu-ilmu gaib. Tentang itu ia dan ayahnya tahu. Ia anak yang cerdas dan punya intuisi tajam. Mungkin justru daya kritisnya menghalangi dia untuk menerima ilmu-ilmu nonrasional. Satu dua penghuni padepokan malah lebih berbakat dalam urusan tersebut. Dan di antara mereka adalah...
Intuisi Parang Jati mulai bekerja. Ia merasa kenal dengan bahasa tulisan cakar ayam itu. Makhluk yang menulis begitu
dan tega melakukan ini di padepokan Suhubudi pastilah orang dalam yang tidak punya rasa hormat kepada apapun juga. Makhluk yang hanya punya nafsu-nafsu untuk dipuaskan, sebab hanya dengan cara itu ia bisa bertahan hidup. Parang Jati kenal karakter itu. Kehidupan dalam bentuknya yang menyedihkan: Si Tuyul.
i a dulu ditemukan kotor dan menggumpal, seperti seonggok tahi gajah. Begitu yang didengar Parang Jati. Suhubudi berkata demikian selalu saat ia mengajak Parang Jati untuk bersabar menghadapi tingkah si Tuyul. Jika kita berbuat baik, kita toh akan tetap hidup dengan satu atau dua pengkhianat bersama kita.
Parang Jati punya bayangan tentang satu gumpalan lumpur yang hidup, digotong orang dari rawa-rawa. Kenyal, berlendir, dan berdenyut. Denyut itu semakin keras, mulai menghentak seperti tubuh kucing akan muntah. Lalu muncul kaki dan tangan dari empat penjuru, serupa hewan-hewan lunak yang kemudian menjadi keras. Lalu sebuah kepala menegak dari kulit yang semula berlipat-lipat. Ia memiliki tiga mata. Yang sepasang segera membuka, memandang dunia. Yang satu, terletak di tengah dahinya, tetap menutup. Lama-kelamaan kelopaknya menjadi keras seperti taruk. Parang Jati tak mengerti mengapa ia harus berteman dengan makhluk itu.
Pemuda itu tak selalu mengerti ayahnya. Di padepokan
ini Suhubudi membangun kerajaan aneh yang berisi makhlukmakhluk yang dipungut. Ia sendiri ditemukan sebagai bayi merah berjari dua belas yang diletakkan dalam keranjang di tepi sendang ketigabelas yang dinamai Sendang Hu. Semua jatuh cinta pada mata bidadarinya dan ia pun menjadi putra tunggal Suhubudi. Tapi guru kebatinan itu juga memelihara si Tuyul dan manusia-manusia aneh, yang ditempatkan di perumahan yang bersih dan baik, sekalipun di wilayah jauh-belakang padepokan, di seberang sawah. Kau bertanya, siapakah mereka"
Mereka adalah pencerminan siluman Tanah Jawa yang dikutuk manakala datang agama baru. Ketika itu hubungan manusia dan bangsa dedemit menjadi buruk. Para sunan masuk hingga ke hutan dan goa untuk menantang makhluk-makhluk halus. Orang-orang berjubah itu memang berani dan sakti juga. Satu per satu raja siluman kalah dan dikutuk sebab bertahan tak mau memeluk ajaran baru.
Orang sering mengira bahwa ini adalah perang antara agama baru dan lama. Atau bahkan antara kebenaran dan kebatilan. Sesungguhnya tidak begitu. Sebab para siluman dan sunan adalah sama-sama makhluk, yang tak lepas dari nafsu berkuasa. Perang yang terjadi adalah perang kekuasaan. Yang menang bukan senantiasa yang baik. Hanya yang lebih perkasa. Kemudian hari, para sunan juga kehilangan kendali dan Nusa Jawa dijajah bangsa asing berkulit putih. Sejarah kekuasaan akan selalu ganti-mengganti.
Lagipula bangsa halus tidak hanya demit dan siluman yang bertingkah seperti preman. Ada peri, danyang, dan leluhur. Ada roh-roh yang mulia. Mereka diam-diam berlaku prihatin dan menjaga negeri ini. Sementara itu, roh-roh yang tidak mulia terkadang mewujud dalam makhluk buruk rupa; sebagai jalan pemurnian diri. Tapi jangan salah faham. Sebab selalu ada yang mulia yang mewujud dalam sosok bertampang jelek. Jangan kau lupa pada Semar. Ia, yang samar, tak harus pria
tak harus wanita, tapi selalu tak rupawan. Tak harus di sini tak harus di sana, melainkan selalu mengejutkan. Semar tidak men dendam.
Dan guru kami mengajari kami untuk memelihara para tahanan, yaitu mereka yang sedang mengalami masa hukuman.
Guru kami" tanya Parang Jati. Apakah ada orang seperti Romo di tempat lain"
Suhubudi tersenyum: Kita tidak pernah sendirian. Parang Jati termenung. Ia takjub bahwa ayahnya ternyata memiliki guru, dan gurunya juga memiliki guru. Begitu seterusnya hingga entah kapan. Karena itu orang Jawa menyebut Batara Guru, guru asal mula ajaran.
Guru yang baik tidak menyeragamkan manusia seperti di sekolah modern. Suhubudi memperhatikan anak-anaknya satu per satu, dan mendidik mereka berdasarkan bakat masing-masing. Tapi suatu malam ia mengajak Parang Jati ke sebuah pelataran dan si remaja hampir muntah ketika melihat pemandangan itu pertama kali. Si Tuyul berjongkok sambil me ngempit seekor ayam hitam dan menyembelih unggas itu. Sebelum kelepak sayapnya berhenti, makhluk kecil itu meng arahkan leher tebasan ke mulutnya dan mereguk darah yang mancur. Parang Jati ingin menutup mata, tapi ayahnya melarang. Jika engkau mau mempelajari jiwa manusia, engkau harus berani melihat yang sangat buruk juga. Dalam diri kita juga ada yang mengerikan.
Si Tuyul memiliki talenta terhadap dunia gaib. Parang Jati pernah bertanya pada ayahnya, bukankah ilmu semacam itu hanya bisa dimiliki oleh orang yang berhati tulus dan bijaksana" Sama sekali tidak, jawab sang ayah. Rasionalitas menghalangi ilmu demikian. Rasionalitas menempuh jalannya sendiri. Ilmuimu gaib bisa dimasuki oleh orang yang tidak rasional atau orang yang telah melampaui rasionalitasnya. Orang yang tidak
berpikir, atau yang telah melebihi berpikir. Tuyul adalah kategori pertama. Ia tidak berpikir. Ia tidak berakal budi. Akalnya datang dari dorongan-dorongan hidup yang kasar: dorongan untuk memiliki dan menguasai, yang menonjol pada mereka yang di masa kecilnya tak pernah kenyang. Perhatikanlah, siapa yang dalam kandungan tidak dicintai dan dibiarkan kelaparan, dialah yang pertama-tama tak bisa kenyang. Siapa yang di masa bayi tak diterima dengan sukacita, dialah yang kedua tak bisa merasa penuh. Mereka harus berjuang lebih keras untuk bisa merasa bahagia. Memang menyedihkan, bahwa kita lahir bukanlah selembar kertas kosong.
Si Tuyul istimewa karena nafsunya begitu telanjang. Keba nyakan manusia bisa berpikir sederhana dan menerima nilai moral, sehingga mereka membungkus nafsu-nafsunya dengan ajaran dan pembenaran. Mereka menjadi hipokrit. Mereka membikin tabir-tabir terhadap diri sendiri. Selubung semacam ini memisahkan mereka dari jagad halus pula. Kepolosan si Tuyul dengan hasratnya membuat bakatnya tidak terhalangi. Ia tak memiliki tabir. Maka Suhubudi membukakan pintu yang memang telah ada padanya. Seperti namanya: Tuyul. Ia bi sa mencuri pengetahuan. Pada umumnya itu tidak berguna, sebab pengetahuan yang ia bisa curi itu tak bisa ia fahami. Kemam puan melihat itu rupanya tidak bersamaan dengan kemampuan mengerti .
Ilmu ini serumpun dengan yang biasa dipakai oleh pencuri isi mobil. Di antara ratusan mobil yang berjajar di parkiran, mereka bisa melihat mana yang ada isi barang berharganya. Sejenis kemampuan X-Ray atau sensor gelombang yang di berikan alam semesta tanpa melalui rasio. Orang-orang seperti ini tetap saja tidak bisa membaca pikiran, apalagi memahaminya. Dan tidak menjadi bijaksana sama sekali. Mereka hanya bisa melihat yang kasat yang terhalangi: benda-benda, atau katakata yang telah dipertukarkan lewat suara atau tulisan.
Tapi, ya, ia bisa mengetahui percakapan asalkan diucapkan atau dituliskan dan kadang-kadang itu berguna juga. Jika cocok dengan kepentingannya. Selama ini tak pernah ia tertarik pada tamu-tamu Suhubudi. Ia bisa melihat beberapa rahasia mereka, namun rahasia itu tidak berharga baginya. Ia tak tahu nilai. Tapi, ketika Yasmin datang ke sana, ia segera mengenali apa yang ada dalam amplop yang dibawa perempuan itu. Sebutir batu yang sejak kecil ia inginkan. Yang dulu membuat ia cemburu pada Parang Jati. Kenapa lagi-lagi putra mahkota yang mendapatkan berkah untuk menemukannya"
Tapi batu itu kini pulang kembali ke padepokan! Ada dalam tas seorang perempuan kaki panjang yang datang bersama anak kecil. Maka ia membuntuti tamu istimewa itu. Ia mencuri apa yang dikatakan Yasmin kepada Suhubudi. Ia bisa memahaminya, sebab semua itu berhubungan langsung dengan nafsunya.
Kini Parang Jati sedikit cemas jika ternyata si Tuyul pun bisa mencuri benda-benda kecil, bukan hanya melihatnya. Di Sewugunung orang masih percaya bahwa tuyul generik bisa mengambil satu lembar uang atau satu keping barang sekali kerja. Sifat makhluk ini adalah gampang puas dengan hasil kerja selembar uang atau sekeping barang lalu bermainmain, lalu bosan, lalu bisa disuruh mencuri selembar uang lagi. Tuyul tak bisa mengambil segepok uang dalam sekali kepergian. Tapi sebutir batu...
Dengan tangan berkeringat Parang Jati membuka lemari besi Suhubudi. Ia langsung meraba amplop ketiga dan mencoba merasakan adakah batu itu masih di sana. Terasa masih. Ia merogoh ke dalam dan mengambilnya. Masih. Batu akik yang sama. Ia menghela lega yang pertama dan sementara. Kristal kekuningan dengan bintik hitam itu mengerling dalam cahaya.
Perlahan ada yang memunculkan diri: ingatan dari suatu masa yang jauh. Mengapa si Tuyul menginginkan batu ini jika
bukan anak itu mengenali batu ini sejak lama" Parang Jati mulai melihat bahwa ia sendiri mengetahui batu itu. Ia tak pernah lupa bahwa ia suka mengumpulkan batu-batu sejak kecil. Karena itu ia memilih jurusan geologi. Tapi ia lupa ia sekarang mulai ingat bahwa ada suatu zaman ia suka memberi batu pada tamu ayahnya yang ia senangi. Ia suka batu, karena itu ia pikir tamu ayahnya juga akan suka. Ia senang pada Frater Wisanggeni. Ia ingat korespondensi mereka yang cukup panjang dan memberi inspirasi.
Ini adalah batu yang dulu ia berikan kepada Frater Wis. Ia menemukannya di tepi sungai Luk Ulo di Karang Sambung pada hari lelaki muda itu tiba di padepokan. Sekeping yang telah bulat bagaikan liontin purba. Sekeping yang berisi apa yang disebutnya fosil Semar. Sekarang suara pengasah akik itu terdengar lagi: Duh Gusti! Kamu menemukan batu Supersemar, Nak! Supersemar Hitam!
m enjelang tengah malam perempuan dan lelaki itu telah mendekati mata air Sendang Loro. Langkah mereka tersaruk pada batu dan tanah. Sewugunung menjalar seperti seekor naga tidur yang tubuhnya terbentuk dari bukit-bukit gamping. Di beberapa tempat, tanduk-tanduk punggungnya mencuat, terbuat dari batu andesit yang ditajamkan alam ribu-ribu tahun. Kau bisa melihatnya, meski langit gelap, seperti siripsirip dinosaurus raksasa. Di lekuk-lekuk tubuhnya mengalir mata air. Ada tiga belas yang disebut keramat. Di sana ter sembunyi goa-goa rahasia seperti rahim, tempat sang naga purba mencintai anak-anaknya: ikan pelus dan binatang-binatang yang memelihara pengetahuan tanpa penglihatan. Makhlukmakhluk yang mendengarkan...
Tapi di salah satu rumpun dedaunan ada makhluk yang mengintai dengan mata melotot.
Perjalanan ini membawa Parang Jati ke dalam suatu kesadaran. Bahwa manusia dan makhluk halus tak banyak beda. Mereka hanya mendiami lapisan alam yang berbeda.
Keduanya sama-sama hidup; mereka memiliki kehendak un tuk mengada. Dalam bentuknya yang buruk itu adalah nafsu berkuasa. Segumpal hasrat berkuasa yang menyedihkan itu adalah si Tuyul; adakah dia manusia atau demit"
Ada roh yang baik, ada roh yang jahat. Ada makhluk halus yang pemelihara, ada yang suka berkuasa. Orang-orang modern dan agama-agama monoteis telah membuat kita tidak mengenal dunia itu lagi. Mereka menyederhanakan relasi hanya sebagai ketololan dan syirik; padahal kita bisa berhubungan dengan makhluk-makhluk itu seperti dengan sesama manusia. Kita bisa mempersembahkan bunga pada teman yang berulangtahun; kenapa kita tak boleh mempersembahkan kembang pada roh penjaga hutan"
Parang Jati tidak pernah dilatih ayahnya untuk menyiapkan sesajen. Tampaknya Suhubudi sudah memutuskan bahwa bukan itu bakat dan jalan bagi Parang Jati. Tapi malam ini ia menyesal bahwa ia tidak punya kemampuan untuk saling menyapa dengan dunia roh. Dan si Tuyul. Jangan-jangan si Tuyul punya kemampuan meminta bantuan jin-jin jahat. Siapa tahu. Parang Jati menggusah kecemasan itu dari benaknya. Tolol! Jika dedemit memang bisa mengalahkan manusia, niscaya nusantara tidak pernah dijajah Belanda. Niscaya tidak akan ada eksploitasi alam dalam rupa penambangan batu dan perusakan hutan. Akal jahat harus dikalahkan dengan akal baik; akal budi harus menang atas akal hasrat. Ketakutan adalah pintu kedua menuju kekalahan. Yang pertama adalah kelengahan. Ia menolong Yasmin yang sesekali terperosok.
Angin menyebabkan daun-daun sesekali berkesiur. Perempuan kota itu seperti kehilangan segala ketakutan tentang bahaya yang mungkin ada dari sebuah hutan. Ibu yang ke hilangan anak tak punya hal yang lebih menakutkan lagi. Ia berulang kali bertanya adakah Parang Jati tidak menempuh rute yang salah, sebab semua jalan tampak sama baginya. Mengapa
tak sampai juga" Dan mereka belum membicarakan apa yang akan dilakukan nanti.
Yasmin mulai mendengar ricik air. Suara itu makin jelas searah Parang Jati membawanya. Tak lama kemudian mereka tiba di suatu tempat yang lembab dan dingin. Bau lumut segera meliputi keduanya. Riap-riap air sendang tampak mengilau rintik. Suatu cahaya kecil tampak ada di tepi air. Sepacak sentir dari botol bekas yang diberi sumbu. Parang Jati mengenali benda itu berasal dari padepokan. Satu dari pelita sederhana yang biasa dipakai di sekitar pertunjukan sendratari wayang Ramayana.
Setelah mata mereka menyesuaikan remang, mereka melihat: sentir itu diletakkan di atas selembar kain putih. Itu bukan taplak meja melainkan kain kafan. Yasmin membacanya sebagai ancaman tentang nasib putrinya. Segala perasaan nega tif bertempur di jantungnya. Parang Jati membacanya seba gai usaha melibatkan kekuatan gelap. Mereka menoleh ke sekeliling. Seharusnya si penculik sudah menanti di sini. Ataukah orang itu telah pergi karena mereka terlambat" Tubuh Yasmin mendingin. Mereka mencoba mendengarkan suara. Jika Samantha ada di sekitar sini, bagaimana mungkin anak itu tidak bersuara...
d i Cabang sebuah pohon yang tumbuh dekat Sendang Loro bersarang sesosok makhluk. Tubuh kecil dengan kaki-kaki pendek itu telah membuntal di sana beberapa waktu lamanya. Matanya yang bulat menyimak perempuan dan lelaki yang baru tiba di bawahnya. Hatinya melompat girang melihat apa yang disebutnya perempuan-betulan. Tapi ia agak kesal mendapati Parang Jati mengiringi. Seharusnya ia sudah bisa menduga bahwa perempuan itu tidak akan datang sendirian. Sebab, bagaimana mungkin perempuan itu bisa tahu jalan. Tapi dia adalah si Tuyul. Tuyul tidak bisa berpikir panjang. Akalnya pendek melompat-lompat, digerakkan oleh hasrat-hasrat.
Si Tuyul bukan makhluk yang sanggup merancang rencana bersusun untuk melakukan kejahatan. Tiga langkah sudah hebat. Langkah keempat akan membuat dia lupa pada langkah sebelumnya. Ia sama sekali tak bisa menyiapkan tindakan alternatif atau darurat. Jika ada bahaya, ia bakal melompat, seperti kodok yang akan ditangkap, ke arah tak tentu yang terlihat seketika. Ia memang tak gampang kehilangan akal, seperti katak
tak kehilangan arah untuk meloncat. Itu bisa membahayakan. Sebab ia tak peduli jika ia mencelakakan orang lain ketika sedang menyelamatkan diri.
Tuyul tidak pernah menculik sebelum ini. Tapi ia hafal betul kata itu: menculik, yang ia mengerti ke ubun-ubunnya dari kisah Ramayana. Sita diculik oleh Rahwana. Rahwana ingin memiliki Sita, maka ia mau merebut Sita. Kau mungkin bertanya, di mana keberpihakannya sebab bukankah ia berperan sebagai Rama dan bukan Rahwana dalam sendratari" Ingatlah bahwa si Tuyul berpikir pendek dan cepat melompat. Ia akan segera mencelat dan mengambil posisi Rama: Rama juga menculik Sita dari Rahwana. Dengan bantuan Hanuman dan pasukan kera. Jadi, ya menculik adalah tindakan yang bisa dilakukan.
Seperti Rama minta tolong Hanuman, Tuyul pun pergi meminta kerja sama perempuannya. Saat dilihatnya Maya tidak bersemangat, ia tahu ia harus membikin loncatan baru. Ia harus mem bangkitkan gairah perempuan itu. Dan ia memang suka juga. Ia senang saja melakukan perbuatan cabul orang cebol hanya untuk bersuka-suka. Apalagi jika sekaligus berguna untuk tujuan lain. Ia punya naluri untuk syahwat dan hasrat. Ia tahu bahwa Maya hanya mau berbuat jahat pada orang jahat. Maka ia laporkan pengetahuannya bahwa anak yang akan diculik adalah anak haram dari perempuan yang tidak menjaga kehor matan. Dicampur kenikmatan aneh yang diberikan Tuyul kepadanya, fantasi Gatoloco bercinta dengan para bidadari, Maya pun setuju.
Dibekap saja anak itu kalau nangis, kata Tuyul. Lha tidak boleh, Mas Tuyul. Nanti bisa mati, bantah Maya. Tiba-tiba Tuyul teringat cerita dari temannya yang pernah mengemis di Jakarta. Di kota besar, para pengemis lebih banyak dapat uang kalau menggendong bayi. Agar tidur terus, bayi itu diberi minuman yang telah dicampur dengan obat tidur. Itu obat gatal-gatal murahan yang bisa didapat di apotek. Bilang
saja CTM, warnanya kuning... Ia berdebar-debar.
Kini batunya datang! Batu yang ditunggu-tunggu telah datang! Batu itu ada dalam tas perempuan kaki panjang dan perempuan itu telah ada di bawah pohon tempat ia dari tadi menyangsang. Perempuan itu telah menuruti pang gilan nya yaitu surat yang tulisannya amburadul. Semakin besar hasratnya, semakin pendek akalnya. Sekarang, ia ingin agar perempuan itu langsung meletakkan batu akik yang ia incar ke atas kain kafan; dan ia mengira lawannya itu akan langsung faham keinginannya. Dari atas pohon ia melotot ke bawah sambil meringis-meringis seperti monyet. Dalam hati ia menjerit-jerit: Taruh batunya di situ! Taruh di situ! Ia ingin bersuara, tapi ia kan lagi sembunyi.
Ia jadi kesal karena Yasmin tidak juga melakukan apa yang ia mau. Ayo! Taruh di situ! Cepat! Taruh di situ! Keluarkan batunya dari tas, taruh di situ. Begitu saja! Ia terus menjerit-jerit dalam hati sambil kepalanya mulai bergidik-gidik. Tangannya yang satu berpegangan pada dahan, yang lain mulai menunjuknunjuk. Ia heran kenapa Yasmin tidak melakukan hal yang paling mudah paling masuk akal. Bodoh betul! Kan tinggal meletakkan begitu saja. Apa susahnya" Setelah batunya ditaruh, kamu boleh pergi. Sehingga aku bisa turun mengambilnya. Ayo! Cepat! Taruh batunya!
Pendek pikiran si Tuyul dan besar nafsunya, sekarang ia lupa bahwa Yasmin hanya mau memberikan batu itu jika telah melihat putrinya. Hanya berpikir dari kepentingannya sendiri, si Tuyul gemas kenapa perempuan itu masih celingak-celinguk saja. Ayo! Taruh batunya! Cepat cepat cepat! Kepala Tuyul ber - gidik semakin keras. Badannya kini mulai ikut bergoyang gemas; seperti monyet yang tidak sabar. Berayun-ayun ia pada cabang, dan... krak!
Sebongkah entah apa meluncur dari atas pohon di antara Yasmin dan Parang Jati. Sekelibat bentuknya menggumpal, lalu terdengar bunyi gedebuk, dan samar-samar terlihat tangan dan kakinya muncul. Sebelum semuanya menjadi jelas, sebelum kepalanya juga muncul dan makhluk itu melarikan diri atau menerjang, Parang Jati telah memutuskan bahwa itu adalah si Tuyul dan ia harus menangkapnya. Bagai singa pemuda itu menerkam gumpalan yang mulai menampakkan bentuk, seperti bayi monster yang baru dijebrolkan ke muka bumi. Terkaman Parang Jati mempercepat pembentukan bayi makhluk liyan itu. Sedetik kemudian, kepala dan tangan-kakinya telah lengkap. Juga kuku dan gigi-gigi kecilnya. Makhluk itu mulai menendang, mencakar, dan menggigit. Bunyinya berdekis dan meng geram. Tapi Parang Jati sudah bersumpah tak akan mengalah seandainyapun gigi-gigi tajam si Tuyul mencabik hingga tulangnya tergores; atau jika setelah ini ia harus disuntik rabies. Ia tak akan mengalah.
Yasmin terpikir untuk menylomotkan sentir pada si Tuyul, tapi ia khawatir itu justru membahayakan. Bagaimana kalau ia salah sundut" Atau makhluk itu jadi semakin liar" Dalam kepanikannya ia mengambil kain kafan dan membuka li pat annya. Begitu Parang Jati berhasil menekuk lawannya, Yasmin langsung membungkuskan kain itu kepada makhluk yang meng amuk. Hampir ia tergigit. Keduanya lalu membuntal si Tuyul dengan kafan, mengikat ujung-ujungnya erat.
Makhluk dalam buntalan itu masih memancal-mancal. Parang Jati memeluknya: mengeratkan lengan, mencekiknya di rusuk dan leher; dan kakinya menahan kaki si lawan. Si Tuyul sekarang mulai kehabisan nafas. Suaranya terseret-seret dan tenaganya melemah.
Lalu Yasmin menjerit sambil mencubiti makhluk itu, Mana anakku" Mana anakku"
s ebilah Cermin itu berkilat-kilat. Seperti mata pisau. Tangan perempuan itu memantaskannya di jarak pandang. Ia begitu takjub pada sepasang mata di sana, yang memancar indah dalam warna emas kemerahan. Ia ingin terus memandangi kecantikan itu. Diam-diam sang cermin mengajari ia sesuatu. Sejenak ia letakkan keping mengilau itu pada takik di dinding. Sambil terus berkaca padanya, agak gemetar tangannya meraih selembar selendang hitam. Lalu ia membebat kepalanya dengan kain itu dan menyisakan hanya sekeping celah bagi dua mata. Jika dunia melihat hanya matanya, dunia bisa melihat betapa ia sesungguhnya tak kalah jelita.
Kini ia tahu. Ia memiliki kecantikan yang berbeda, yang selama ini disingkirkan dunia. Kecantikan yang memancar dari jiwa yang murni, tanpa akal-akalan duniawi kaki-kaki panjang atau paras elok. Pada matanya dunia bisa menemukan jiwa Sita sang wanita mulia. Lihatlah, ia kini telah membungkus diri sehingga tak berparas tak beraut.
Tapi di inti dirinya ada suatu rasa syur yang mendebarkan.
Ia barangkali tidak bisa menceritakan diri sendiri. Ia tak punya perangkat logika yang padu. Kisahnya akan retak seperti kepingkeping yang memberi gambaran indah hanya dalam bidang kecil. Sepasang mata cantik yang menyendiri. Jika dirangkai, gambar-gambar kecil itu mungkin kehilangan keindahan. Mereka ada oleh hasrat untuk menjadi berharga.
Apakah harga seorang manusia" Setiap makhluk sejatinya adalah abdi. Pilihlah kepada apa engkau akan mengabdi dan berbaktilah dengan sejati. Tidakkah wanita sepantasnya mengabdi pada lelaki" Ia Sita dan lelaki itu Rama. Sekalipun lelaki itu cebol belang. Sebagaimana ia memiliki kecantikan yang berbeda, Tuyul pun memilliki ketampanan yang berbeda. Dunia tak bisa menyadarinya. Sebab dunia silau dengan hal-hal duniawi.
Siluman seperti kita memiliki tugas mulia berkata si Tuyul. Kulitnya yang hitam berpolengan itu tidak jelek, jika kau bisa melihatnya. Bukankah kau bisa menerima belang-belang pada hewan; mengapa tidak pada manusia" Kata-kata si Tuyul mungkin tidak canggih, tapi semangat yang ia murubkan kirakira adalah demikian: Dunia memasuki zaman edan. Seperti diramalkan Jayabaya. Perempuan menjadi lelaki, lelaki menjadi perempuan. Contohnya perempuan kaki panjang itu! Ia telah menyalahi kodratnya, menerima benih dari banyak lelaki. Kodrat wanita itu setia dan dimadu. Perempuan kaki panjang malah bercabul dengan banyak pasangan, seperti lelaki saja!
Lihatlah dirimu, yang memiliki jiwa Sita. Maya bergetar mem bayangkan dirinya, Sita, menjaga kesucian dalam penculikan Rahwana. Ada syur yang berputar-putar di balik pusarnya setiap kali ia membayangkan kehormatan yang tersimpan di tempat tersembunyi. Pusaran itu meningkat dan menjalar sehingga wajahnya merona dan dadanya membengkak. Lebih baik mati daripada melayani raja raksasa jangkung berwajah sepuluh. Baru setelah tahun keempatbelas, Rama dan pasukan kera berhasil menghancurkan istana sang Dasamuka dan
merebut kehormatannya kembali. Ia adalah kehormatan lelaki. Maka wanita harus menjaga diri.
Lalu ia memasuki bagian tarian yang paling menegangkan. Ujian kewanitaan. Ujian kemurnian. Sita difitnah oleh pe rempuan-perempuan istana. Maka Rama menghadapi tuduhan orang banyak tentang kecemaran. Rama mungkin tidak meragukan istrinya, tapi tantangan telah diajukan dan seorang lelaki harus menjawab dengan bahasa lelaki. Sebab seorang suami harus menegakkan kehormatan di mata masyarakat. Dan wanita harus menanggungnya. Maka dibiarkanlah si wanita mulia itu diseret ke dalam ujian kemurnian. Api dinyalakan. Tongkat disiapkan. Kewanitaan diuji. Api menyengat-nyengat, di permukaan dan di kedalaman. Ketegangan memuncak. Sejenak terkulai, ia bangkit kembali dengan campuran rasa haru dan malu, rasa kalah sekaligus menang, dan geletar iman yang semakin kuat. Bahwa kepatuhan wanita itu agung serta syur.
Bangsa kerdil seperti kita memiliki tugas mulia. Lelakinya berkata. Seperti Gatoloco melecehkan para santri agar beragama dengan sejati dan bukan sekadar jasmaniah; perempuan cebol seperti kamu bisa membuat perempuan sungguhan itu jadi makhluk hina. Sebab si kaki panjang, dan anak haramnya, memang harus dihukum karena telah menyalahi hukum alam. Kejahatan mereka tak bisa dibiarkan. Jika tak ditangani, dunia akan jungkir balik oleh zaman edan.
Sesungguhnya ia bukanlah siluman atau sekadar orang cebol. Ia adalah bidadari. Ia adalah lima dewi yang ditaklukkan Gatoloco dalam semalam. Kini lima bidadari dalam dirinya patuh mendengarkan sang gurulaki yang berkata: Perempuan kaki panjang itu harus diarak telanjang keliling kampung. Aibnya harus dibuka ke seluruh dunia. Sebab kehormatan seorang wanita adalah ketika ditutupi; maka kehormatannya akan hilang ketika ia didadahkan. Bayangan tentang hukuman itu membuat Maya berdebar-debar. Itu adalah perempuan yang
telah menjungkirkan imannya dengan pengetahuan. Perempuan yang memaparkannya pada cahaya siang dan cercaan orang di candi Loro Jonggrang. Ia bukan ingin membalas dendam. Ia hanya percaya bahwa perempuan kaki panjang itu makhluk cemar sehingga pantaslah noda dipertunjukkan kepada dunia agar dunia tidak silau dan terus-menerus tertipu. Agar kebenaran terpancar.
Lihatlah betapa dunia tak bisa melihat kecantikan pada diriku karena silau pada apa yang membingkai mata. Lepas dari itu, bukankah kebenaran memang harus ditegakkan"
Lelaki itu berkata: serahkan ibunya kepadaku. Ia akan kujebak ke sebuah tempat. Sementara itu, kamu ambil anak haramnya. Anak itu harus diberi tanda, supaya seumur hidup ia malu dengan keadaannya dan membenci ibunya. Kita harus bikin perempuan sundal itu dibenci. Jika tidak, masyarakat jadi tak tahu lagi susila dan dunia terjungkir balik. Demi kehormatan, anaknya pun harus dibuat benci pada yang melahirkan dia...
Perempuan itu selesai membebat kepalanya. Tak tampak lagi pipinya yang kasar dan pucat dadu, rambutnya yang seratserat bening, gigi-giginya yang ringis. Kini dunia bisa melihat sepasang matanya yang berwarna api. Dua bola bening yang selama ini tersamarkan paras. Kini mata itu menyatakan diri, kristal kuning kemerahan dalam bingkai selendang hitam, laksana sepasang batu akik pada beludru.
Ia puas dengan apa yang tampak pada keping cermin. Lalu ia mengambil bilah kaca yang mengilap bagai mata pisau itu dan menyisipkannya pada kantong di pinggangnya.
Malam itu, ketika Yasmin dan Vinod Saran sedang membicarakan rencana untuk mengurus kartu identitas bagi Maya dan seluruh rombongan serta memboyong mereka pelesir ke luar negeri, ia mengambil anak yang tidur nyenyak itu.
i a membawa anak yang tidur nyenyak itu dan melihat betapa cantiknya. Pipinya lembut berwarna madu. Alisnya hitam halus, bulu matanya lentik. Bibirnya seperti bunga mawar yang berembun. Jemarinya begitu kecil, seperti rajangan jahe. Tapi, bukankah ini anak jadah" Lahir dari perbuatan kotor menjijikkan. Ini tak boleh dibiarkan. Ia harus diberi tanda, agar ibunya dibenci, agar perempuan-perempuan memiliki rasa takut sehingga menjaga kehormatan.
Si Tuyul menyuruh ia membawa anak ini ke Sendang Loro pada tengah malam. Katanya di sana ia telah menyiapkan segalanya yang akan mempermalukan perempuan kaki panjang. Dan anak ini akan diberi tanda. Semua tampak heroik dan mendebarkan tadi. Sebab mereka sedang berangkat untuk menegakkan kebenaran dan menghukum kejahatan. Mereka sedang dalam misi membersihkan kesucian yang dinodai perempuan kaki panjang.
Semua tampak masuk akal tadi. Kini, setelah si Tuyul pergi, ia mulai bingung dan bertanya-tanya. Petunjuk yang dikatakan
Tuyul terasa tak terfahami lagi. Bagaimana ia bisa pergi ke Sendang Loro" Ia tak pernah keluar dari padepokan semenjak datang dulu. Dulu sekali. Sekarang, samar-samar kilatan gambar masa lalunya mencercah. Jembatan besi yang panjang. Dua garis logam tanpa ujung pada kayu bilah-bilah. Dahak dan ludah, sesekali tinja, di sela-sela rel. Getaran yang menakutkan. Makin lama makin dahsyat. Ketegangan meningkat. Puncaknya adalah gerbong-gerbong bersambungan, lewat dengan raungan, gertakan, dan angin yang runtuh. Setelah itu kereta menjauh. Keadaan tenang kembali. Senyap.
Sepuluh tahun lebih ia tak pernah keluar dari batas kerajaan Suhubudi yang damai. Kemarin untuk pertama kali ia pergi, bersama perempuan kaki panjang, melihat candi Prambanan. Ataukah Lara Jonggrang. Pengalaman yang tidak menye nangkan dan ia ingin sangkal. Bagaimana sekarang ia harus membawa anak ini ke Sendang Loro"
Ia telah membuat campuran susu dengan obat yang kata nya bisa menidurkan bayi, seperti yang diperintahkan si Tuyul. Botol itu ada padanya sekarang. Tapi kini ia khawatir. Bagaimana cara membuat anak ini meminumnya" Apakah dijejalkan ke mulutnya, ditekan agar memancar sehingga si anak terpaksa menenggak" Nanti, atau sekarang"
Ia telah berada di antara pepohonan, masih di wilayah padepokan. Di sana ada sepasang beringin ki dan nyai yang berjaga di arah barat. Anak itu tidur dalam selimut. Begitu rentan. Maya mulai gamang. Bagaimana jika anak ini terjaga" Bagaimana jika bocah itu mendapati diri digendong oleh makhluk tanpa wajah" Ia, sebongkah kepala yang terbungkus kecuali pada mata" Mata yang sesungguhnya cantik, tapi bisakah anak itu me lihat kecantikan pada sepasang bola mata tanpa muka" Ia menjadi agak sedih.
Rasa sedih itu mulai berganti-ganti dengan percikan panik. Barangkali ia harus membuka tutup kepalanya" Tapi ia putih
hingga ke alis, dan matanya yang kemerahan jadi kehilangan pesona. Rambutnya seperti api. Ia lebih menyerupai Buta Rambut Geni daripada Sita. Bagaimana kalau anak ini terjaga lalu menjerit, menangis ketakutan" Barangkali ia bekap mulutnya dengan kain" Ia bungkam sampai tangisnya habis" Atau ia tinggalkan saja di bawah ringin nyai" Tuyul, mana si Tuyul"
Ia frustrasi bahwa ia lebih mirip buta daripada dewi. Ia lebih menyerupai Surpanakha. Surpanakha raksasa betina, adik Rahwana. Suatu hari ia berjalan-jalan di hutan dan melihat sepasang abang adik: Rama dan Laksmana. Ketampanan mereka memikat hatinya. Ia pun menggoda sang abang untuk menjadi suami. Lalu sang adik mengejek perempuan raksasa itu sehingga tersinggung. Tapi Surpanakha kalah sakti dalam serang-menyerang, dan Laksmana memotong telinga serta hidungnya sebagai tanda penghinaan. Maya merasa nelangsa. Ia melihat dirinya Surpanakha, dan Laksmana adalah Parang Jati. Ia selalu melihat Parang Jati sebagai Laksmana. Tapi kenapa ia dihina"
Tapi, katanya anak ini pun harus ditandai! Barangkali ditoreh hidung dan telinganya, seperti Surpanakha. Agar ia malu sepanjang hidupnya dan membenci perbuatan sundal ibunya. Agar tak mengulangi kejijikan perempuan kaki panjang kelak setelah dewasa. Ada sebilah kaca seperti mata pisau, tersimpan di kantung pinggangnya. Ia diserang bimbang dan panik. Cermin tajam yang memantulkan mata indahnya. Haruskah ia menandai anak itu sekarang" Atau si Tuyul yang melakukannya nanti"
Lihatlah, adegan Laksmana memotong hidung dan telinga Surpanakha tidak digambarkan pada candi ini. Ia ingat lelaki India itu berkata sambil menunjukkan gambar yang tertatah pada dinding Prambanan. Orang Jawa agaknya menganggap itu terlalu kejam.
Ah. Candi itu juga tidak menggambarkan Pembakaran
Sita, adegan yang diam-diam membangkitkan rasa syur dalam jiwa dan raganya. Bagi Maya, Sita Obong adalah puncak dari cerita. Apalah arti Ramayana tanpa peristiwa ini" Tak ada adegan pembuktian kesucian Sita dalam candi itu. Adegan itu mungkin juga terlalu sadis dan sulit diterima bagi orang Jawa pembuat candi. Betapa aneh! Rama justru menyuruh Laksmana mengasingkan istrinya yang tengah mengandung ke hutan. Sita pun tinggal di padepokan Resi Valmiki dan melahirkan putranya di sana.
Lihatlah sebingkai relief candi itu! Di tengah hutan ada sebuah rumah terbuka seperti di padepokan Suhubudi. Sepa sang unggas bertengger di atap. Sepasang kijang di latar bela kang. Seorang perempuan menggendong bayi dalam bedong an. Wanita pertapa datang menengok si bayi sambil bersimpuh. Wajah-wajah mereka damai bahagia. Tidak bisakah ia bahagia"
Bukan tikungan cerita yang ia suka. Selama ini, Ramayana yang ia tarikan berakhir dengan adegan Rama dan Sita kembali ke takhta Ayodhya setelah ia menjalani pembakaran yang membuktikan kesuciannya. Penutup cerita itu begitu nyaman, seperti semburat rona bahagia setelah puncak geletar kejang. Tapi Ramayana di candi Prambanan berlanjut kepada kisah Sita melahirkan putra...
Kaki anak itu mulai menendang. Tangannya juga mulai meremas. Maya menjadi cemas. Ia sungguh jeri membayangkan anak itu bangun dan memergoki dirinya. Ia ingin melempar anak itu. Ia ingin membekapnya. Ia tak tahu apakah ia ingin melukai anak itu. Tuyul, di mana si Tuyul. Mana suara-suara tempat ia mengabdi" Mana sang gurulaki"
Serangan panik terasa hendak mencekiknya. Kaki dan tangannya menjadi kaku. Lalu, di puncak kebekuan itu ia merasa ada sehembus bayangan lewat di samping kanannya
dan melintas ke belakang. Warnanya agak terang, tapi ia tak me lihatnya persis. Setelah itu tak terjadi apa-apa, selain bahwa ia menyadari sesuatu. Rasanya ada sumbat terlepas dari suatu saluran di kepalanya. Setelahnya ada rasa lega dan aliran bening kesadaran. Ia adalah Maya, seorang penari dalam sendratari wayang Ramayana yang syahdu. Suhubudi dan para seniman melatihnya sejak dulu, agar ia bisa mengabdi kepada keindahan. Meskipun ia cebol, pucat, dan meringis. Selama ini ia bisa bahagia. Begitu pula para punakawan. Barangkali Eyang Semar yang lewat tadi. Dewa yang punya hati pada orangorang kecil. Ia mengeratkan gendongannya pada bocah itu dan berjalan kembali menuju wisma.
8 m ei . Seekor alap-alap melayang melintasi pucuk-pucuk Sewugunung menuju utara, seolah hendak menggapai Merapi yang merah oleh matahari. Burung itu membuat manuver dan kembali ke arah Laut Selatan.
Di langit yang sama sebuah helikopter kepolisian terbang mengitari Yogyakarta. Dari kejauhan, kota itu tampak biasa. Petak-petak sawah di tepian, gerumbul pepohonan berselingan dengan atap-atap rumah yang semakin padat ke arah pusat. Alun-alun. Keraton. Sedikit gedung jangkung yang jadi penanda di sana-sini. Tapi jika kau terbang lebih rendah sedikit, tampaklah bahwa orang banyak mulai memenuhi beberapa ruas jalan. Poster-poster mulai dibentangkan. Kami tak mau lagi Soeharto menjadi Presiden RI. Setelah sejenak mengamati keadaan, capung besar itu terbang menjauh lagi. Derunya tertinggal lebih lama.
Sementara itu sang alap-alap terbang di atas Padepokan Suhubudi. Sebentang wilayah yang rimbun, dengan beberapa
petak sawah dan satu parit kecil melintas. Di satu pekarangan seseorang mengentas daun-daun pacar cina yang telah kering dijemur pada tampah. Ia memuatnya ke dalam alu dan mulai menumbuknya. Sosok itu kerdil dan putih. Tak jauh di belakangnya tampak seorang perempuan paruh baya, dengan jarit dan kebaya putih. Ia cantik dalam usia lewat matang. Dan ia tak pernah berkata-kata, seperti Lara Jonggrang.
Bayang-bayang awan yang lewat sejenak meneduhkan bulirbulir padi yang sedang dikeringkan. Sebuah mobil meninggalkan wisma, membawa dokter pergi dari sana. Padepokan itu kembali sepi. Parang Jati berdiri di depan pintu kamar Yasmin dengan penuh rasa sesal. Lengan kanannya diperban. Luka bekas gigitan Tuyul semalam mendapat tiga jahitan. Dokter juga telah memeriksa Samantha dan menyimpulkan tak ada trauma. Parang Jati menelan ludah. Pintu itu terbuka tapi ia tahu ia tak boleh masuk, kecuali jika tamu ayahnya mengizinkan.
Di dalam kamar itu Yasmin mengemasi barang-barangnya dengan air mata mengalir pelan. Samantha mengaduk-aduk baju yang telah dilipat. Tak pernah Yasmin mengalami perasaan seperti ini. Tak juga saat ia tahu bahwa misi Saman dan Larung telah gagal dan kedua orang itu hilang. Kala itu ada lubang yang secara sunyi menyeruak, seolah akan menghabisi jiwanya. Kesedihan yang begitu diam dan tak tertawar. Kini, ada rasa seperti diperkosa. Atau baru saja lepas dari usaha pemerkosaan. Suatu pengalaman yang pernah datang dalam mimpi buruk. Ada kepercayaan yang runtuh. Ada keterbukaan yang dikhianati. Ada kerentanan yang dihina. Seperti orang yang selamat dari percobaan pemerkosaan, ada rasa lega. Kelegaan yang menimbulkan konflik batin sebab bertentangan dengan rasa keadilan yang terlanggar.
Ia marah karena Parang Jati tidak mau mengadukan kasus ini ke polisi. Penyanderaan, sekalipun gagal, adalah kasus pidana. Tapi ada frustrasi pada diri sendiri karena ia tak
melakukan itu dengan mandiri. Ia geram pada cebol lelaki itu. Tapi ia punya rasa cinta kepada Maya. Mengapa Maya sampai hati dengan niatnya, sekalipun akhirnya memilih yang baik. Ia merasa sangat letih. Rasa korban pemerkosaan. Ada dorongan menyalahkan diri sendiri. Mengapa ia datang ke negeri siluman ini.
M-maafkan saya, Ibu Yasmin. Ini semua salah saya, Parang Jati agak terbata. Seandainya ia tidak tergoda untuk mengikuti demonstrasi. Sekarang ia telah sama sekali melupakan keinginannya unutk berada di tengah arus mahasiswa dan rakyat yang telah semakin berani berteriak menolak Soeharto. Dari angkasa terdengar deru helikopter lewat. Yasmin menutup wajahnya sejenak, sebelum menjawab. Saya perlu waktu untuk sendiri.
Ibu sangat dipersilakan di sini.
Saya tidak bisa lagi di sini, Jati. Di sini ada... makhlukmakhluk a-aneh yang saya tak bisa fahami. Sungguh, ada jejak rasa bahwa ia berada di sebuah dunia lain. Kerajaan siluman barangkali. Saya merasa tak aman. Itu saja. Saya bukan orang Jawa. Ini seperti dalam film horor rasanya.
Ketika itu Vinod Saran ikut muncul di ambang pintu. Ibu Jasmine, setidaknya saya dan Parang Jati adalah manusia biasa yang Ibu bisa bicara. Meskipun saya orang India dan Parang Jati berjari dua belas, saya mohon Ibu Jasmine masih mau percaya pada kami.
Terima kasih. Saya percaya pada Pak Vinod, juga pada suaranya berubah ragu namun menjaga kesantunan Parang Jati. Tapi saya sudah menelepon taksi dan memesan tiket pesawat.
Parang Jati dan Vinod Saran saling berpandangan. Tidak bisakah ditunda, Bu Yasmin" Saya mohon. Parang Jati memelas. Saya sungguh memohon. Tolonglah saya. Ayah saya akan tiba besok dan beliau betul-betul ingin bicara dengan
Ibu. Tentang surat-surat dan batu itu...
Yasmin tercenung sebentar. Ia merasa kosong sebab sekarang ia tidak bergairah lagi untuk mendapat jawaban tentang surat-surat Saman. Betapa aneh dan menyedihkan rasa itu. Kau kehilangan semangat bahkan untuk mengetahui di mana kekasihmu. Kau kehilangan dorongan awalmu yang dulu begitu besar. Rasa diperkosa oleh penculikan anak membuatmu kebas dan tak ingin tahu apapun lagi.
Saya sudah memesan taksi. Tapi sejenak kemudian ia ragu. Paling tidak saya tidak mau menginap di sini. Mungkin saya menginap di Yogya malam ini dan bertemu Pak Suhubudi besok. Saya mungkin akan di Hotel Radisson dekat kampus Sanata Dharma.
Ibu Yasmin, sekali lagi saya mohon maaf. Tapi, mungkin kurang bijaksana ke kota sekarang. Sudah tiga hari ini, sejak Bu Yasmin datang, Yogya tegang karena unjuk rasa mahasiswa. Saya baru menerima kabar bahwa sudah pecah bentrokan antara aparat dan demonstran. Keadaan tak aman lagi... Deru helikopter kembali terdengar di atas kepala mereka. ...saya dengar, polisi sudah menggunakan gas air mata. Dan tentara akan mengirim panser. Dan salah satu titik ketegangan adalah di sekitar kampus Sanata Dharma. Sebab aparat mencoba menahan demonstran di sana agar tidak maju ke kampus Gajah Mada.
Yasmin terdiam. Saya bisa menginap di hotel lain. Barangkali ia hendak menghukum Parang Jati. Ia tak tahu lagi.
Mereka duduk di lobi dalam suasana hati yang sangat tak nyaman. Rasa percaya yang dulu kini tak sempurna lagi. Pada akhirnya taksi yang dipesan tak bisa tiba, sebab terhalang kerusuhan di kota. Dengung helikopter yang beberapa kali lewat semakin menegaskan kepada mereka bahwa keadaan di kota telah demikian tegang. Malam itu Parang Jati akan tidur di
depan pintu kamar Yasmin, dan Vinod Saran di ruang sebelah. Esok paginya mereka akan mendengar tentang panser yang massa coba bakar, korban-korban luka, dan seorang mahasiswa meninggal dunia. Tubuhnya ditemukan sekarat, tergeletak di tepi jalan dekat kampus Sanata Dharma dan hotel yang se mula Yasmin hendak menginap. Nama pemuda itu Moses Gatutkaca.
Parang Jati akan teringat naskah dramanya. Yasmin akan teringat Saman. Peristiwa itu akan dikenang dengan nama Peristiwa Gejayan.
Tapi, sebelum pagi tiba, bahkan sebelum tengah malam tiba, di sebuah kamar di salah satu rumah di sana; ada dua wanita. Yang satu kerdil dan albino. Yang satu semampai dan bisu. Sekeping cermin tersisip di dinding bambu. Yang lebih tua mengajari yang lebih muda cara menguleni adonan dalam sebuah baskom. Ramuan coklat kehitaman yang terbuat dari bubuk daun pacar cina dan kopi. Perempuan yang semampai dan berumur itu membuka kebaya dan jarit putihnya, lalu melilitkan kain batik gelap ke tubuhnya. Setelah itu ia mulai mencolek adonan itu dengan sisir dan mengoleskannya ke rambut bening perempuan yang lain. Bagian per bagian. Perempuan bisu itu sesungguhnya selalu ada di antara mereka. Tapi kesunyiannya membuat ia tak terasa sebagai bagian dari perempuan kaki panjang. Setelah pekerjaan itu selesai, ia membungkus kepala itu dengan kain. Dengan bahasa isyarat ia menyuruh yang muda untuk mengenakan itu sambil tidur. Ketika bangun kelak, rambutnya akan telah berwarna.
Malam itu Maya tidur dengan sebuah mimpi indah. Warna baru rambutnya akan bisa mengantar orang untuk melihat matanya yang berjiwa.
9 m ei . Sepanjang malam mobil kijang itu menyusuri Jalur Sela tan. Si sopir andalan selalu bisa dipercaya. Di antara tidurnya, sang guru kebatinan selalu setengah terjaga. Kampung-kampung terlelap, belum terbangkit oleh ketegangan yang meningkat di kota-kota besar. Sesekali Suhubudi teringat masa silam. Tiga puluh tiga tahun lampau. Mata batinnya melihat arwah-arwah yang dulu dibawa dengan truk dan dibantai. Mereka tampak berjajar di tepi jalan.
Tak semua arwah menampakkan diri. Yang berderet di ping gir jalan itu bukan semua. Sebagian telah bebas dari kesedih an yang mengikat mereka di sini. Tapi yang berjajar itu betapa banyaknya. Suhubudi menarik nafas. Ia melihat banyak hal dan harus menyimpannya untuk diri sendiri.
Kini ia hendak memikirkan tamu istimewanya: perempuan yang membawa sekeping batu. Apa yang harus ia katakan padanya" Di Jakarta ia diinapkan di sebuah hotel bintang lima. Begitu tiba, seorang pria berbadan tegap menyambutnya.
Tapi orang itu bukan bagian dari panitia pengundang; hanya memanfaatkan kedatangan Suhubudi di ibukota. Lelaki itu memakai batik dan arloji di lengan kanan dan menghadap ke dalam. Esok paginya ia ditemui lagi oleh seorang pria lain, dengan kemeja batik dan arloji di lengan kiri menghadap ke luar. Keduanya menanyakan hal yang sama. Tapi di zaman ini bahkan posisi jam tangan menunjukkan kau berkubu pada siapa. Ia ingat tiga puluh tiga tahun silam, ketika ada perkubuan dalam militer lalu terjadi kudeta dan pembunuhan. Suhubudi melihat banyak hal tapi harus menyimpan untuk diri sendiri. Itu pun tidak berarti ia tahu semuanya. Tapi, setiap kali apa yang dilihatnya menjelma kenyataan, ada rasa takjub yang meluap, seperti seorang seniman mewujudkan apa yang telah dilihat batinnya. Ia memejamkan mata dan mengambil sikap tidur. Yang berjajar di tepi jalan masih terus terlihat olehnya. Mereka seperti menantikan sesuatu.
Ia tiba ketika terang tanah. Awan mulai jingga sedikit. Ia mandi, mendengar laporan Parang Jati dan berkata bahwa hukuman bagi kesalahan pemuda itu akan datang belakangan. Tapi ia berterima kasih sebab anak itu telah bertanggung jawab dan membuat analisa rasional tentang surat-surat Wisanggeni. Lalu disuruhnya Parang Jati menjemput Yasmin.
Ruang itu bagian dari perpustakaan. Cukup tertutup, namun memiliki bukaan ke arah taman yang asri. Dari sana orang bisa melihat burung-burung yang berjalan di tanah: merak, kalkun, maleo. Pemandangan indah itu cukup menghibur hati bagi Yasmin yang baru saja masuk. Samantha menunjuk-nunjuk ke arah unggas-unggas cantik itu dengan bersemangat. Parang Jati pamit dari ruangan.
Terima kasih, Parang Jati. Kemarahan Yasmin telah reda. Barangkali sepenuhnya reda setelah ia melihat lelaki yang tua itu. Suhubudi tampak agak letih. Kantung matanya sedikit sembab. Rambutnya yang kelabu telah diminyaki rapi.
Mereka berbasa-basi sedikit:
Pagi ini Pak Harto tetap berangkat ke Kairo untuk KTT G15.
Keadaan dalam negeri semakin genting, dan ia ke luar negeri juga"
Mungkin justru untuk menunjukkan bahwa situasi terkendali. Jika ia tidak pergi, itu akan dibaca sebagai dia mulai lemah dan kehilangan komando.
Tapi Guru... Yasmin sesungguhnya tak biasa memanggil dengan sapaan itu, ...Pak Suhubudi dengar ada desas-desus tentang kudeta"
Jika ada desas-desus kudeta, yang terjadi biasanya justru yang tak terduga. Tapi, jika kita memakai pola pikir militer, memang penting menunjukkan bahwa kamu stabil dan tidak bisa digertak.
Tiba-tiba Yasmin teringat Larung. Tawa sinis pemuda itu. Tentang pasukan tanpa atribut yang dulu menggertak Istana dan Presiden Sukarno yang buru-buru meninggalkan sidang kabinet dan dilarikan dengan helikopter ke Istana Bogor. Mengubah acara yang telah ditetapkan adalah pratanda kelemahan. Tapi ingatan tentang Larung selalu segera membawanya kembali kepada Saman. Dulu pasukan tanpa atri but menggertak presiden; pasukan sempalan menculik dan membunuh para jenderal. Kini pasukan tanpa atribut menculik dan menghilangkan mahasiswa serta orang yang tak bersenjata. Saman.
Bolehkah sekarang saya minta kita mulai dengan menghe ningkan cipta" ujar Suhubudi dengan nada suara yang ber ganti. Ibu Yasmin bisa berdoa menurut kepercayaan dan agama Ibu.
Yasmin mengeratkan peluk pada buah hatinya dan meme jamkan mata. Sekarang ia sepenuhnya bersyukur bahwa Samantha kembali kepadanya tak kurang apapun. Itu lebih
penting dari segala rasa dikhianati. Barangkali malaikat dan peri menjaga sehingga anak itu terlelap sepanjang petualangannya. Barangkali Saman menjaganya" Barangkali Semar. Tiba-tiba air matanya mengalir. Setelah rangkaian peristiwa semenjak ia ti ba, sekarang ia tak berharap lagi. Setelah tiga jam dicekam ra sa kehilangan anak, yang rasanya seperti seabad, ia tak mengingin kan apa-apa lagi. Ia tak lagi berharap bahwa kekasih raha - sia masih hidup, ada di sebuah tempat dari mana ia mengirimkan surat-surat.
Ada suatu rasa lapang yang aneh. Rasa menerima. Saman tak ada lagi dalam tubuh yang dulu ia kenal, tetapi lelaki itu ada dalam jantungnya. Ia sungguh merasakannya di sini. Pelanpelan, bersama denyut nadinya, ia memahami apa yang terjadi. Ketakutan dan kemarahannya terurai. Cintanya pada Maya adalah percikan yang sama dengan cinta Saman pada Upi. Tapi mereka manusia, yang mungkin saja mengambil jalan yang tidak tepat untuk mencintai. Betapa Saman mengasihi Upi. Ia mengerjakan semua yang terbaik: memberi gadis itu ruang yang lebih manusiawi, menyehatkan kebun karet, membangun kincir dan rumah asap. Tapi pada tahun ketujuh ia mungkin memilih salib yang salah. Ia mendengarkan para lelaki dan menjawabnya dalam bahasa lelaki. Salahkah ia"
Dan ia sendiri: Yasmin. Tidakkah ia memaksakan bahasa inte lektual untuk bersentuhan dengan yang tak memiliki kapasitas itu" Ia sibuk dengan ukuran kebahagiaannya sendiri dan mencoba menerapkan ukuran itu pada Maya. Ia ingin agar Maya bisa jalan-jalan ke luar negeri, seperti yang diidamkan banyak sekali orang yang ia kenal. Tapi Maya tidak menginginkan itu. Ia mau agar Maya menjadi warga negara Indonesia, tapi Maya mungkin bahagia sebagai warga Padepokan Suhubudi saja. Ia ingin agar Maya memiliki pengetahuan, tapi pengetahuan hanya menyakitkan bagi Maya.
Ia mendengar Saman berkata: Kita membutuhkan penebus. Sebab, kadang-kadang kita ingin berbuat baik tapi itu pun salah.
Ibu Yasmin, panggil Suhubudi. Ada yang dijadikan kerdil, dan tidak mampu membebaskan diri dari itu.
Yasmin menggigit bibir. Ia ingin membantah, tapi ia merasa itu sungguh tidak sederhana. Baginya, seharusnya kita bisa membangun masyarakat di mana orang yang kerdil secara fisik tidak dibentuk menjadi kerdil dalam hal jiwa. Tapi, tidakkah itu yang dicoba Suhubudi" Ketika di luar sana masyarakat masih begitu ganas, Suhubudi membangun wilayah aman di mana mereka bisa bahagia. Maya tidak kerdil dalam padepokan ini, tapi ia menjadi kerdil begitu dibawa ke luar. Terlalu berat dan menyakitkan untuk pergi dari kekerdilan. Tapi manusia berhak untuk bahagia. Dan dalam kekerdilan itu, ia toh bisa mengambil keputusan yang benar.
Dalam hal jiwa, seperti yang dibilang guru kebatinan itu, manusia dijadikan kerdil, bukan dilahirkan. Dijadikan oleh nilai-nilai yang mengepung dan membentuk mereka. Dan tak semua mampu membebaskan diri.
Yasmin menarik nafas panjang sambil mengayun-ayun kecil Samantha. Anak itu mulai gelisah karena energi di antara dua orang dewasa beranjak terlalu serius. Bukan gelombang yang me nyenangkan untuk kanak-kanak.
Dan sekarang tentang surat-surat yang dikirim oleh Wisanggeni...
Bocah Samantha kini melepaskan diri dari pangkuan, minta berjalan-jalan.
Bolehkah saya titipkan sebentar pada Parang Jati" tanya Yasmin. Rasa percayanya telah kembali utuh.
Silakan. s uhubudi menggenggam tangan Yasmin seperti orangtua terhadap anak. Yasmin tahu apa artinya. Air matanya mengalir lagi. Kali ini bukan sedih yang menyengatnya, melainkan haru. Rasa itu justru begitu kuat, bahwa Saman ada di dekatnya. Tengkuknya merasakan itu. Dan jantungnya. Saman ada, menembus dan mengelilingi dirinya. Hadir tanpa batas. Lalu, ada rasa bahagia yang luar biasa bahwa ia pernah mengenal sosok itu. Dan masih mengenalinya.
Suhubudi membiarkan ibu muda itu menangis beberapa saat lagi, sampai segalanya menjadi reda.
J-jadi, bagaimana surat-suratnya bisa tiba baru sekarang"
Ya, kata Suhubudi. Lalu lelaki itu bercerita bahwa Parang Jati dan Vinod Saran telah memeriksa amplopnya. Mereka berjarak dari masalah sehingga cukup dingin untuk menjawab teka-teki. Surat-surat itu tersesat. Surat-surat itu pergi ke India selama ini. Yasmin mungkin terlalu bergelora, dan merasa syur akan keajaiban, ketika menerima surat-surat itu. Harapannya
terlalu besar bahwa Saman masih ada, sehingga ia menutup hati pada kemungkinan lain. Ia tidak menyimak dengan seksama cap-cap pos yang tertera di sana. Ada cap kantor pos India.
Surat-surat itu dikirim dari New York dua tahun lalu, pada bulan Agustus 1996. Itu adalah waktu-waktu ketika Saman berangkat ke Indonesia untuk menjemput ketiga mahasiswa yang melarikan diri. Barangkali Saman mengirimkannya sebelum pergi, dengan terburu-buru. Atau, ia menitipkan pada ko leganya dengan catatan alamat yang kurang jelas. Kolega atau tetangga tersebut menuliskan kembali adres dengan pengertiannya sendiri. Barangkali menambahkan atau mengurangi, atau menuliskan apa adanya yang merupakan ringkasan cepat-cepat Saman. Kemungkinan yang kedua ini lebih masuk akal. Alamat yang tertulis di amplop itu memang menyesatkan. Tertulis IND. Bukan INA atau Indonesia. Dalam komunikasi internasional, IND lebih difahami sebagai India. Untuk kota, tertulis JK. Bukan Jakarta atau JKT. Padahal, JK juga bisa dibaca sebagai kode negara bagian Jammu dan Kashmir. Maka surat-surat itu melangang buana ke India lebih dulu.
Suhubudi mengembalikan amplop-amplop itu kepada Yasmin. Perempuan itu mengamat-amati tulisan dan tinta yang tertera di sana dengan heran. Sekarang tanda-tanda itu mulai terbaca. Memang agak samar dan lusuh. Betapa aneh, rasa syur membutakan mata kita untuk melihat kenyataan.
Harapanmu akan keajaiban menghalangi kamu untuk melihat yang nyata. Tapi tidak apa, kata Suhubudi. Sebab, tetap ada yang tidak nyata yang berbicara. Ada misteri yang perlu direnungkan maknanya.
Ya" Tidakkah kamu heran bahwa surat-surat itu baru tiba sekarang" Bukan tahun lalu atau tahun depan"
Yasmin menggeleng. Saya tak tahu apa bedanya. Kini Suhubudi yang menggeleng. Jika surat-surat ini tiba
tahun lalu, atau tahun depan, maknanya akan berbeda.
Yasmin tidak terlalu percaya. Tapi juga tak terlalu tidak percaya. Segala hal terasa mungkin saja sekarang.
Kami biasa membaca tanda-tanda. Orang modern tidak bisa memahaminya.
Mengenai apakah itu"
Boleh saya lihat batu yang dikirimkan Wisanggeni" Batu yang si Tuyul hendak curi"
Peristiwa itu agak menimbulkan trauma bagi Yasmin. Ia se dikit gugup, tapi ditemukannya batu itu dalam kantong koin. Suhubudi menyunting-nyuntingkan batu itu sehingga mengerling dan menampakkan pamornya kepada Yasmin.
Di kalangan pemburu mustika, inilah yang disebut batu Supersemar Hitam. Perhatikanlah.
Akik itu sempurna sebagai sebutir bola mata ketiga. Kau bisa saling memandang dengannya. Di tengah tepian putih siwalan itu terdapat larit-larit keemasan yang dari jauh tampak seperti bulatan namun dari dekat memiliki raut Semar. Di tengahnya, di titik matanya, ada sebuah figur hitam.
Suhubudi mengambil kaca pembesar dari laci dan menyodorkannya kepada Yasmin.
Di bawah suryakanta figur hitam itu membesar. Yasmin menahan nafas. Figur itu memang membentuk tubuh Semar dalam bayangan hitamnya. Semar sebagai wayang. Semar hitam. Yasmin bukan orang Jawa dan tak tertarik dunia gaib. Tapi ia menakjubi pola yang begitu sempurna untuk menyedia kan makna. Jika ia tidak terlibat dengan semua ini, ia mungkin akan berkata kok bisa atau ada-ada saja. Tapi ia ada dalam seluruh rangkaian peristiwa. Bukankah ia sendiri yang datang membawa batu itu ke sini" Pelan-pelan ia melihat batu itu menjelma mata Maya, ataukah mata yang maya. Mata itu menatap balik kepadanya, membuatnya mulai bergetar. Suhubudi melanjutkan: Ada kepercayan bahwa batu
Supersemar adalah tanda restu Roh Nusantara terhadap kepemimpinan Presiden. Menurut cerita, batu itu pertama kali terlihat memang pada 11 Maret 1966.
Tapi itu takhayul bukan" Yasmin segera melawan. Lagipula, Surat Perintah Sebelas Maret itu bohong, bukan" Sukarno tidak pernah membuat surat itu. Itu sesungguhnya kudeta Soeharto terhadap Sukarno, tapi agar tampak legal, dibuatlah seolah-olah surat perintah itu ada. Begitu bukan"
Suhubudi tersenyum. Ya, mungkin saja. Sebagai orang Jawa tradisional ia jarang sekali memulai kalimat dengan tidak. Mungkin saja. Apapun itu, apakah surat itu ada atau tidak sama sekali pada mulanya, atau apakah itu ada tetapi rekayasa Pak Harto, apapun itu... kenyataannya namanya Supersemar. Kenyataannya, pengalihan atau perebutan kekuasaan itu tidak terjadi pada bulan Februari atau April atau yang lain; tapi pada 11 Maret, sehingga siapapun bisa menyingkatnya menjadi Semar. Dengan Supersemar semua instansi yang pada mulanya tunduk pada Bung Karno serta Azimat Revolusi-nya tiba-tiba tak punya perlawanan sama sekali terhadap Soeharto.
Yasmin teringat percakapannya dengan Larung dulu. Apa sesungguhnya Azimat Revolusi, selain bahwa itu mengacu pada kumpulan lima kitab ajaran Sukarno" Tidakkah nama Azimat itu pun telah menjadi mantra, sehingga dibutuhkan mantra lain untuk mengalahkannya seperti kata Larung" Hal itu terasa aneh bagi pemahaman akal modernnya. Tapi wajah sejarah menunjukkan itu terjadi. Barangkali satu-satunya cara mengerti adalah dengan mengatakan bahwa semua itu merupakan metode komunikasi dalam bangsa yang belum rasional. Tapi tidakkah itu terlalu menyederhanakan.
Setiap tahun kita memperingati 11 Maret... Bukan kita, melainkan pemerintah.
Ya, tapi saya sedang bercerita tentang sesuatu yang orang modern mungkin memang sulit percaya.
Yasmin terdiam. Kepercayaan adalah bagian dari yang membuat manusia hidup. Kepercayaan bahkan bisa menghidupkan manusia yang sudah mati.
Yasmin semakin diam. Ia merasakan Saman.
Ada pelbagai lapis kepercayan. Yang luhur maupun yang permukaan. Kepercayaan pada Tuhan, yang diiringi sikap ikhlas, atau nrima, atau sukacita, itulah yang luhur. Tapi ada juga kepercayaan yang berada di permukaan. Inilah, antara lain, yang sering kalian sebut sebagai takhayul. Di lapisan ini orang mencari dan membaca tanda-tanda... Mediumnya adalah segala hal yang bisa dimaknai. Dalam masyarakat tertentu orang membaca usus atau lemak hewan korban. Di tempat lain orang membaca ampas teh pada gelas. Kartu. Bola kristal. Juga batu-batu. Yang mereka baca sebetulnya bukan tandatanda ilahi. Yang mereka baca adalah tanda-tanda alam halus duniawi. Seperti peramal cuaca, mereka mencoba membaca ke mana angin bertiup. Angin itu tidak terlihat, tetapi kekuatannya kasat. Apa yang kau anggap takhayul, kira-kira seperti itulah.
Inilah yang saya mau ceritakan. Di kalangan para pembaca pertandaan halus duniawi, ada kepercayaan bahwa batu Supersemar adalah tanda restu Roh Nusantara pada pemimpin negeri. Orang Jawa menyebut itu Semar. Kau, orang modern, boleh tertawa, tapi kepercayaan itu ada. Sekali lagi, itu bukan tanda surgawi ataupun ilahiah, melainkan tanda duniawi. Ingat, dunia ini tak hanya terdiri dari yang kasat.
Seperti perkara duniawi yang lain, tanda-tanda semacam itu pun tidak abadi. Dipercaya, kesaktian dalam sebuah batu Supersemar hanya berlaku sepuluh tahun. Batu yang pertama berasal dari tahun 1966. Lalu, pada tahun yang berakhir dengan angka tujuh ada pemilihan umum. Maka setiap tahun yang berakhir di angka enam, harus ditemukan sebuah batu Supersemar baru...
M-maksud Guru, Presiden memerlukan batu itu setiap sepuluh tahun untuk melanggengkan kekuasaan"
Suhubudi tersenyum. Ya saya tidak bisa bilang persis begitu. Tapi, orang yang ingin mempersembahkan batu itu kepada beliau selalu ada. Dan banyak. Sebab kepercayaan itu ada, bahwa kekuasaan beliau akan langgeng jika batu Supersemar ada pada beliau. Mereka berlomba-lomba mempersembahkannya. Mungkin karena sungguh percaya. Mungkin untuk menjilat. Tapi kepercayaan itu hidup di kalangan tertentu. Pasar batu akik tahu betul arti batu Supersemar, terutama menjelang tahun yang berakhir di angka enam...
Dan kamu ingat tahun berapa Wisanggeni pergi untuk ter..." Suhubudi tak tega melanjutkan kalimat itu dalam makna banalnya. ...untuk menyelamatkan anak-anak mahasiswa... Yasmin gugup. T-tahun 1996!
Tahun yang berakhir di angka enam. Bagaimana mungkin"
Kebetulan yang menakjubkan, memang, kata Suhubudi. Saya tahu, menjelang tahun itu pasar batu akik telah bergosip bahwa batu Supersemar yang baru masih belum ditemukan juga. Bisik-bisik di pasar selalu menyebar cepat. Orang-orang mulai cemas tentang Pemilu 1997. Lalu, seseorang datang pada saya. Dia adalah Kepala Desa Sewugunung ini: Pontiman Sutalip, seorang anggota AD. Ia bilang kepada saya bahwa ia tahu sesuatu.
Dulu, Parang Jati pernah menemukan batu, waktu Jati masih kecil. Dan yang didapatkan itu adalah batu Supersemar yang sangat sangat istimewa. Supersemar Hitam. Bahkan sekeping batu dengan dua gambar Semar bersusun dengan sem purna. Kamu tahu tapi sekali lagi orang modern sulit percaya bahwa beberapa batu mustika memang bukan dibuat oleh manusia. Bukan cuma coraknya disediakan oleh alam, tapi terkadang butir batu itu sendiri disediakan oleh alam. Ada yang
disediakan begitu saja, seperti yang terjadi pada Parang Jati. Ada juga yang ditarik dari alam gaib oleh seorang dukun. Sekali lagi, orang modern sulit faham. Bagi kami, Parang Jati kecil dipercaya untuk memegang tanda yang luar biasa. Dan Parang Jati memutuskan untuk menghadiahkannya kepada Frater Wisanggeni.
Ya Tuhan. Pak Suhubudi percaya bahwa batu itu memang gaib"
Bagi saya bukan itu perkaranya. Sayang sekali orang hanya mau memuaskan nafsu berkuasa dan bukan membaca tandatanda. Tanda gaib itu untuk dibaca, bukan dimiliki. Suhubudi menghela nafas sejenak.
Sebagai sebuah tanda, batu itu memiliki banyak lapisan makna. Saya tahu harganya. Tapi saya tidak mau memilikinya. Saya tidak mau menguasainya. Karena itu saya biarkan Parang Jati memberikannya kepada siapapun yang ia mau. Tengkuk Yasmin meremang. Ia berikan kepada Saman. Ya, ia berikan kepada Frater Wis. Saya izinkan. Batu itu memang juga memiliki pesan baginya.
Suhubudi membiarkan Yasmin merenung.
Kembali ke menjelang tahun 1996. Ya, Kepala Desa Pontiman Sutalip datang pada saya. Ia menanyakan di mana batu itu sekarang" Saya jawab: Dulu Parang Jati telah menghadiahkannya pada seorang tamu padepokan yang ia sukai. Seorang pemuda yang beberapa kali ke sini untuk bertanya tentang spiritualitas pertanian. Sekarang, di mana batu itu saya tidak tahu. Begitu saja.
Yasmin tercenung. Tak sekalipun Saman pernah bercerita tentang itu. Barangkali Saman tidak menganggapnya penting"
Suhubudi melanjutkan: Saya tahu, info pendek yang saya berikan itu tetap akan menjalar dari Kepala Desa ke pasar dan telinga-telinga para pemburu mustika. Lagipula saya seorang guru. Saya tahu sesuatu...
Suhubudi mengambil jeda sesaat, seperti memberi Yasmin kesempatan mencerna lagi.
Kamu ingat siapa yang menemani Wisanggeni dalam misi itu"
Maksud Pak Suhubudi"
Siapa orang yang menjadi partnernya dalam upaya pelarian para aktivis"
L-Larung" Ya, dia. Kenapa dengan Larung"
Suhubudi menghela nafas. Saya tahu anak itu. Tidak, dia bukan orang jahat. Sama sekali tidak...
T-tapi" Dia adalah cucu dari seorang wanita kakak seperguruan dengan saya. Ah, kalian orang modern pasti susah mengerti. Suhubudi menggelengkan kepala. Begini. Orang-orang seperti saya ini pergi berguru ketika muda. Semoga kamu mengerti apa arti berguru. Saya punya teman seperguruan. Orangnya agak aneh; namanya Bambang Sembodo. Ah, sebetulnya dia tak terlalu penting. Hanya saja, saya dan Bambang mendapat pesan yang sama dari guru kami. Yaitu untuk memelihara, hm, katakanlah manusia-manusia berwajah siluman. Guru kami juga meramalkan bahwa kami akan mendapat istri wanita yang tidak pernah bicara dan kami akan menghormatinya. * Semua itu sungguh terjadi. Nah! Ada dua kakak seperguruan kami yang terkenal wanita sakti. Yang satunya adalah perempuan Bali. Dialah nenek dari Larung.
Nenek dari Larung adalah seorang guru spiritual" Ia memilih menjadi dukun. Maksud saya, ia juga me nguasai ilmu hitam. Ia terkenal sebagai dukun santet. Barangkali kekejaman yang ia lihat membuat ia tidak percaya lagi pada
* Lihat Larung. kebaikan: putranya diambil dari rumah dan dianiaya sampai mati karena dituduh komunis. Ya, Larung dibesarkan oleh neneknya.
T-tapi apa urusan Larung dalam semua ini" Sesungguhnya saya tidak tahu pasti. Tapi saya kira Larung tahu mengenai batu Supersemar itu. Mungkin itu membuat ia tertarik pada Wisanggeni dan ingin bertemu. Sekadar melihat orang yang memiliki batu mustika yang sedang diburu seluruh pasar akik negeri ini. Atau ia memang percaya dengan tuah batu Supersemar Hitam. Tapi saya tidak berani mengatakan apa-apa tentang... kepergian mereka berdua akhirnya. Suhubudi diam sebentar. Tidak. Larung bukan orang jahat... Suhubudi terdiam lagi, seperti menyimpan sesuatu. Ia ingin berkata agar Yasmin mengingat-ingat sesuatu. Ia juga ingin mengatakan beberapa hal yang dibacanya dari surat Wisanggeni yang berbahasa Jawa kepada ayahnya. Yaitu bahwa Larung meminta Saman berkenan membawa batu itu ketika datang ke Indonesia; yang merupakan tanda bahwa kedua orang itu pernah membicarakan sang batu pada kesempatan sebelumnya. Tapi Saman memutuskan untuk tidak membawanya, melainkan mengirimkannya lewat pos melalui Yasmin karena suatu alasan yang diterangkan kepada ayahnya dalam bahasa Jawa. Tapi Suhubudi membatalkan niat untuk mengutarakannya. Ia juga teringat dua lelaki cepak, masing-masing dengan posisi arloji yang berbeda, yang di dua kesempatan berbeda menanyakan tentang batu itu. Tidak. Pada momen ini, yang diperlukan Yasmin bukanlah pengetahuan. Yang dibutuhkan Yasmin adalah kerelaan.
Apapun yang terjadi pada tahun 1996 itu, yang diinginkan maupun yang akhirnya tidak terjadi, batu Supersemar Hitam ini tidak kembali ke Indonesia pada tahun ketiga puluh. Jagad batu mustika pun guncang dengan desas-desus... bahwa restu Semar tak ada lagi pada beliau. Dan, lihatlah, sekarang, batu itu di sini!
Suhubudi meletakkan batu itu di telapak Yasmin. Perempuan itu berusaha menahan desir yang menjalar dari tangan ke tengkuknya.
Batu itu ada dalam genggamanmu. Bisakah kamu percaya"
Yasmin menggeleng, menyangkal remang yang kini menjalari tubuhnya.
Si Tuyul tak berhasil mencurinya darimu. Jika berhasil, ia akan menjualnya pada Kepala Desa. Dan Kepala Desa menjualnya atau mempersembahkannya kepada yang dituju. Tapi semua itu tidak terjadi. Seluruh jagad batu akik mencari batu ini. Dan batu ini ada di tanganmu. Kamu masih tidak percaya"
Saman ingin saya memberikannya kepada ayahnya, bukan"
Suhubudi diam sebentar. Sesuatu akan terjadi, Yasmin. Tunggulah beberapa hari lagi.
12 m ei 1998 Pada malam tanggal ini telah direncanakan suatu peluncuran buku di sebuah tempat di Jakarta. Itu adalah tempat berkumpul para aktivis, wartawan, dan seniman yang menentang rezim militer Orde Baru. Di sana ada kedai, galeri, dan teater kecil. Nama tempat itu Komunitas Utan Kayu. Acara sudah disiapkan, dengan hiburan pengamen siteran Jawa. Mereka akan berjoged tarian rakyat dengan musik campursari. Merayakan kemiskinan dan krisis ekonomi. Tapi, pada sore itu, terjadi penembakan gelap setelah aksi mahasiswa menuntut Soeharto turun, di Kampus Trisakti. Bukan oleh aparat yang menghadapi aktivis di lapangan, melainkan oleh penembak jitu yang mengintai di pucuk-pucuk bangunan. Ini adalah operasi rahasia dari kelompok rahasia dalam angkatan bersenjata. Empat maha siswa tewas. Maka, malam harinya, diputuskan untuk berdukacita. Acara berjoged ditiadakan. Tetapi peluncuran buku tetap berjalan, didahului dengan mengheningkan cipta bagi para korban. Buku itu berjudul Saman.
13 Mei 1998 Pada malam tanggal ini telah direncanakan pembukaan pameran di Galeri Lontar, di jalan Utan Kayu tersebut. Konsumsi telah disiapkan. Tapi hampir semua undangan tidak datang. Sejak siang hari Jakarta lumpuh oleh massa yang mengamuk. Kantor polisi diserang dan dibakar; petugas melarikan diri. Kota tanpa penjaga keamanan lagi. Gedung, bank, dan showroom mobil dihancurkan. Pertokoan dijarah. Di jalan-jalan tampak penduduk dengan gerak rakus dan tanpa malu mengangkut barang rampasan: komputer, televisi, beras, susu, kulkas, mesin pendingin, kasur pegas yang selama ini dianggap mewah. Dari banyak titik asap membubung tinggi, menghitamkan langit ibukota...
14 Mei 1998 Jalan tol lingkar kota tak lagi dijaga sehingga bisa dilalui motor atau siapapun yang mau mengambil risiko. Apa yang terjadi hari lalu mulai didata. Sebuah plaza, namanya Plaza Yogya, semalam terbakar ketika orang jelata sedang mengang kuti barang-barang. Ratusan tubuh hangus dikeluarkan dari dalamnya, menguarkan bau daging panggang. Terdengar laporan tentang penyerbuan terhadap perumahan Tionghoa dan pe merkosaan terhadap para perempuannya. Kerusuhan serupa menyebar di Solo dan kota-kota lain.
Para mahasiswa mulai menduduki Gedung DPR/MPR.
15 Mei 1998 Presiden Soeharto kembali dari Konferensi Tingkat Tinggi G-15 di Kairo.
16 Mei 1998 Bantuan masyarakat kepada mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR semakin terorganisir. Setiap hari pasokan
makanan dan minuman dikirim. Demikian pula WC portabel. Kelas menengah yang selama ini dianggap pasif kini sepenuhnya mendukung demonstran.
17 Mei 1998 Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya mengundurkan diri dengan alasan masalah keluarga. Ini adalah pertama kali dalam sejarah Orde Baru. Ini adalah kementerian yang dimintai sponsor untuk mengirim sendratari wayang Ramayana dari Klan Saduki ke India.
18 Mei 1998 Di hadapan ribuan mahasiswa yang telah menduduki Gedung DPR/MPR selama beberapa hari, Ketua DPR/MPR akhir nya menyatakan imbauan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana.
19 Mei 1998

Maya Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat. Salah satunya mengatakan bahwa ma sya rakat sudah tuwuk dengan kepemimpinan Pak Harto. Tuwuk berarti kenyang sehingga hampir muntah.
20 Mei 1998 Di Yogyakarta terjadi Pisowan Ageng. Jutaan warga dari kota itu dan sekitarnya mendatangi Keraton untuk meminta sikap Sultan. Hamengku Buwono X menemui rakyat dan mendukung gerakan Reformasi. Suhubudi dan Parang Jati hadir pada peristiwa ini.
21 Mei 1998 Pada tanggal ini, pada hari kesepuluh setelah penem - bakan mahasiswa Trisakti dan peluncuran Saman; yang kemudian diikuti oleh kerusuhan besar di Jakarta dan bebe rapa kota penjarahan, pembakaran, penganiayaan, juga pemerko saan; kekacauan yang dikenal sebagai Tragedi Mei 1998 tapi juga diikuti tuntutan Reformasi yang semakin kuat; pada tanggal ini, 21 Mei 1998, pukul 9.00 pagi di Istana Presiden Soeharto mengumumkan sesuatu yang dirindukan sekaligus su lit dipercaya bagi banyak orang. Ia menyatakan berhenti seba gai presiden Republik Indonesia.
s aman , Aku seperti baru menyelesaikan satu perjalanan. Dan aku pulang membawa peta. Dari dunia yang berlapis-lapis; bagaikan batu kristal yang kamu kirimkan. Sebutir batu yang memperlihatkan semesta. Kita melihat langitnya, bening bagai kaca. Kita melihat debu bintang-bintang. Kita melihat waktu yang menjadi padat. Dan kita melihat peta dunia kita sendiri.
Pada awalnya padepokan itu seperti kerajaan siluman. Tapi aku ke sana juga untuk mencarimu. Aku menembus hujan dan kabut yang hadir di ganjil musim. Di luar, Perang Dingin sedang berakhir. Tapi, akankah perang baru, yang kita tak tahu, akan segera menggantikan. Ataukah kita menuju kedamaian. Tak cukup waktuku untuk memikirkannya, sebab aku memikirkan kamu. Aku menembus badai dan melewati lorong yang dibentuk oleh tulang-tulang bambu, seolah masuk ke dalam tubuhku sendiri. Kerangkaku memperlihatkan diri dan mengantar aku tiba di sebuah bentang ataukah negeri yang ganjil. Kau pernah ke sana. Kau ada di sana.
Di sana kita terkadang masuk ke dalam irisan waktu. Seperti irisan dalam batu kristal. Kau melihat, tapi kau tak bisa menyentuh. Aku melihatmu, seperti pertama kali aku melihatmu: ketika aku masih remaja dan kau seorang frater muda. Aku masih perawan dan kau beriman. Adakah kau melihatku juga, sebagai ibu muda dengan anak yang barangkali adalah anakmu. Kita bisa melihat, tapi tak bisa bersentuhan.
Dan di pusat negeri itu adalah kesunyian. Sebuah tugu tanpa bangunan bahwa di inti kita, di inti semesta, tak ada bahasa yang sanggup mencangkup. Tempat itu indah dan asri. Tak ada kemewahan selain yang disediakan alam. Kemurnian. Ketelanjangan. Meski demikian, ada juga yang tersembunyi. Ke arah pojok barat hidup sosok-sosok yang kita tak mau lihat. Orang-orang kerdil, raksasa yang selalu lapar, makhlukmakhluk yang mengingatkan kita pada monster ataukah tulah. Sejenis dosa asal. Siapakah mereka"
Sekarang aku tahu padepokan itu adalah peta jiwaku sendiri. Di sela-sela kemuliaan yang kita ingin kita menjadi, bahkan di pori-pori ketelanjangan kita yang indah sekalipun, ada yang kita tak mau akui. Keserakahan, kekerdilan kita. Sesuatu yang diam-diam kita tahu sebagai buruk.
Tapi itu tidak menjawab kesedihan ini: bahwa ada manusiamanusia yang dilahirkan sedemikian rupa sehingga kita menyadari apa itu keburukan. Mereka mengangkat yang buruk dari alam bawah ke kesadaran. Kita pun melihat keburukan, dengan mata kasat. Mereka menyebabkan kita meragukan keadilan Tuhan. Seperti yang kau alami. Tapi, pada saat kita meragukan Tuhan karena mereka, tidakkah pada saat itu pula kita membuat mereka jadi berdosa" Kita bukan meringankan melainkan menambah penderitaan mereka. Kita justru melakukan ketidakadilan. Kita terjerumus dalam lingkaran setan. Jebakan si Iblis. Semua itu sungguh membingungkan. Bisakah akal budi mencerna keburukan"
Kau ada di sini. Aku tahu. Kau ada dalam diriku. Aku melihat hatimu yang membara dan merasakan duri. Karena cintamu pada Upi, aku bisa mencintai Maya. Tapi ternyata aku memiliki kekerdilanku: aku tak tahu cara mencintainya. Sekarang aku tahu apa itu kekerdilan: suatu batas suatu keterbatasan yang kau tak bisa keluar dari sana sampai kau bisa keluar dari sana. Sebuah lingkaran setan lagi. Kau bisa keluar dari sana, hanya dengan rasa sakit.
Tak ada yang lebih sakit daripada kehilangan anak: Anakmu diculik padahal ia tak berdosa dan tak tahu apa-apa. Ah, aku kehilangan kamu; tapi, pengorbananmu tak sia-sia, dan sekarang aku bisa lebih rela justru karena penderitaanmu bernilai. Aku kehilangan kamu. Tapi aku hampir saja, aku bisa saja, kehilangan anakku untuk kesia-siaan. Terapi sakit yang luar biasa namun tak sampai membunuh itu membuat aku bisa keluar dari kekerdilanku dan mencoba memperbaiki diri.
Maya tidak seberuntung aku. Seharusnya sejak awal aku sadar, Parang Jati tidak terlalu antusias dengan ideku membawa Maya kepada segala jenis studi banding. Bahkan membawa ia ke dunia. Itu tak akan membuat Maya bahagia. Tidak semua mata tahan dengan terang pengetahuan. Tak semua bunga bisa dipetik dan dihidangkan dalam vas. Kupikir, Suhubudi adalah seorang guru spiritual yang jenius dan bijaksana. Ia tidak hanya menciptakan ruang hidup yang aman dan nyaman bagi Maya dan kalangannya. Ia menciptakan iman bagi mereka, sehingga dalam kekerdilan sekalipun manusia bisa merasakan hadirnya Tuhan.
Aku bukan orang Jawa. Aku tak bisa merasakan Semar sebagai Roh Nusantara. Barangkali saja itu benar, namun aku tak bisa merasakannya. Tapi, bagaimana Suhubudi menjadikan sosok berkaki pendek ini seperti nabi atau bahkan juru selamat bagi orang-orang cebol, itu pilihan yang sungguh bijaksana. Sekali lagi, kehadiran yang ilahi bisa dirasakan bahkan
dalam kekerdilan manusia. Tapi, seperti kata Suhubudi, tak semua orang bisa melepaskan diri dari kekerdilan. Sebagian justru menganggap kekerdilan sebagai kebenaran yang harus dipertahankan.
Maya kini menutup diri dariku. Mungkin ia marah padaku karena aku membawanya kepada pengetahuan yang menyakitkan. Mungkin juga ia merasa malu dan bersalah karena telah mencoba menculik anakku. Aku ingin minta maaf padanya, juga berterima kasih karena apapun yang ia rencanakan di awal akhirnya ia memutuskan untuk mengembalikan bayiku. Tapi ia menolak aku temui.
Aku teringat kamu. Kamu dan Upi. Kamu berkata: Ada kalanya cinta kita menempuh jalan yang salah. Seandainya aku boleh berkata kepadamu: Jika cintamu menempuh jalan yang salah, jangan putus asa terhadap cinta.
Tidakkah cinta kita menempuh jalan yang salah" Di luar, Perang Dingin berakhir. Seperti salju yang reda. Kau telah melihat: satu-satu diktator berjatuhan. Di Amerika Latin. Di Eropa Timur. Tembok pemisah dirubuhkan. Demokrasi bersemi: benih gandum tumbuh bersama ilalang itupun lebih baik daripada musim dingin yang terlampau panjang. Kau menyaksikannya sambil berharap-cemas: akankah itu terjadi di negerimu"
Saman, Dua tahun setelah kepergianmu, itu terjadi. Diktator itu me nyatakan berhenti sebagai presiden negeri ini. Aku memba yangkan kita duduk berdua, menyaksikan ia mem bacakan pida tonya di televisi. Setelah 32 tahun ia berkuasa. Setelah sekian orang dihilangkan. Tangan kita berpegangan, saling mencengkeram dalam rasa tak percaya. Lalu kulepaskan genggaman agar kita tak terlalu tegang. Aku meremas-remas rambutmu. Kau mengambil tanganku dan menciumnya, lalu berkata: Akhirnya negeri kita terbebas juga...
Akhirnya negeri kita terbebas juga dari rezim militer. Tapi setelah ini apa, aku tak tahu. Dan kamu tak ada. Di dalam diri manusia tidak hanya ada ketenangan dan kemuliaan, seperti ditunjukkan oleh padepokan ini. Di dalam masyarakat juga ada kekerdilan dan keserakahan. Tidak hanya ada Parang Jati, tapi juga ada si Tuyul.
Sungguh aku bersyukur bahwa pada titik genting Maya memilih untuk tidak melayani keserakahan dan kemarahan. Dalam keterbatasannya ia memilih berbuat baik. Seperti hantu sedih ia letakkan bayiku di depan pintu, lalu berlari masuk kembali ke dalam goa, tempat selama ini ia bersembunyi. Aku ingin menangis. Aku pernah memaksa ia keluar dari goa itu. Tanpa kepekaan kubiarkan matahari membakar kulit dan matanya. Aku ingin masuk ke dalam goa itu dan meminta maaf kepadanya. Tapi bauku adalah bau spiritus yang akan membakar bakteri dan lumut-lumut. Bauku menyakiti makhluk-makhluk bebayang.
Maka aku tinggal di luar bersama anakku. Mungkin anak kita. Kurasa anak kita. Dulu kau pernah bertanya: apakah kejujuran" Aku tak bisa lagi telanjang di hadapan Lukas. Sebab tanda dirimu ada padaku. Selamanya akan kusembunyikan. Tak akan kubiarkan Lukas dan Samantha menanggung kesedihan akibat dosaku. Biarlah ini menjadi penderitaanku sampai aku mati kelak. Kala saat itu tiba, kuharap engkau datang untuk menjemputku; jiwamu telah dimurnikan. Aku berdoa untuk jiwamu. Berdoalah juga untukku.
Aku mencintaimu. Dengan cinta yang baru. Dulu kita pernah bersentuhan. Kini aku mengerti mengapa Ia pernah berkata: noli me tangere, jangan sentuh aku. Ada cinta di mana kita tak bisa menyentuh. Aku mengenang tubuhmu. Ketelanjanganmu yang sederhana. Tapi aku melihatnya dengan mata yang baru, gairah yang baru. Tiada lagi rasa untuk menggemasi. Tak ada agresivitas yang mencari sasaran. Telah habis segala rasa-rasa
permukaan. Birahiku kembali api di jantung hati. Akhirnya aku bisa mencintaimu dengan cinta seorang perempuan kepada lelaki yang dilukai. Perlahan-lahan aku akan mengerti tentang ketelanjangan yang pernah kau katakan. Ialah ketelanjangan di mana birahi tidak dicari, tapi juga tak disangkal. Ada cinta di mana kita tak menyentuh.
Aku bersyukur karena mengenalmu.
Sebentar lagi kubiarkan suratku ini diluruh api, seperti segala percakapan di sini. Ada kesedihan sekaligus ketakjuban, melihat kata-kata begitu lekas mengerisut dan menjelma abu. Tapi kita sama-sama tahu, apa yang tertulis tetap tertulis.
Catatan Akhir P ada saat buku ini mulai ditulis, awal 2013, batu Supersemar masih terlihat ditawarkan di sebuah situs internet. Ketika buku ini selesai ditulis, akhir 2013, batu sejenis itu tidak ditemukan dalam pencarian dunia maya.
Penjelasan rinci mengenai cerita yang terdapat pada relief di dinding candi Prambanan saya dapat dari The Ramayana in Indonesia karya Malini Saran dan Vinod C. Khanna (Ravi Dayal Publisher: 2004). Tentang Kitab Manikmaya dari Ke pustakaan Djawa oleh RM Ng Poerbatjaraka (Djambatan: 1952). Tentang Gatoloco saya dapat antara lain dari Gatholoco: Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama Damar Shashangka (Dolphin: 2013), sekalipun tampaknya saya memberikan pe mak naan yang sangat berbeda. Tentang tempat penyiksaan di era Orde Baru dari Neraka Rezim Suharto karya Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto (Spasi dan VHRBook: 2008). Saya juga mengucapkan terima kasih pada Eko Item Maryadi, yang membantu mengingat tentang penjara Cipinang di tahun 90-an.
Gambar sampul dilukis ulang dari ilustrasi botani #33 Flora Pegunungan Jawa, van Steenins (LIPI: 2010). Pelu kis tum buhan dalam buku ini adalah Amir Hamzah dan Moehamad Toha. Sampul Seri Bilangan Fu saya buat untuk mengenang dedi kasi dan rasa seni pelukis botani yang memadukan ilmu dan keindahan.
Dwilogi Saman & Larung
Saman bercerita tentang empat sahabat pe rempuan yang menyembunyikan seorang le laki yang diburu oleh rezim militer. Mereka mem bantu Saman melarikan diri ke New York. Saman adalah pemenang roman terbaik De wan Kesenian Jakarta 1998, dicetak 31 kali, ser ta diterbitkan dalam delapan bahasa asing.
Larung, lanjutan novel Saman. Seseorang yang agak misterius bernama Larung mene mani Saman dalam usaha membebaskan beb er apa-aktivis-demokrasi-yang-juga-diincar-aparat-Orde-Baru.- Larung-telah-diterjemahkan-ke-dalam-bahasa-Belanda.
Saman & Larung adalah novel dengan latar akhir era Soeharto (1990-an), dan mengantar kan Ayu Utami menerima penghargaan inter na sional Prince Claus Award 2000.
Karya-karya Ayu Utami yang lain
Karya Ayu Utami selalu memotret dan membuat refleksi atas suatu kurun sejarah. Secara keseluruhan, buku-buku berikut ini merekam dan menampilkan gambaran manusia-manusia Indonesia dalam bentangan sejarah yang cukup panjang (1900-an hingga era 2000-an):
Trilogi Si Parasit Lajang Cerita Cinta Enrico Pengakuan Eks Parasit Lajang
Trilogi-ini-adalah-kisah-nyata-tentang-arti-cinta,-kemerdekaan,- serta hubungan lelaki-perempuan. Si Parasit Lajang berisi cercahan pikiran dan keseharian A, yang di akhir usia
duapuluhan-memutuskan-tidak-mau-menikah.- Cerita Cinta Enrico berkisah tentang Enrico, seorang lelaki yang tak mau menikah karena tak mau kehilangan kemerdekaannya. Ia sendiri lahir tepat di hari pemberontakan terbesar pertama dalam sejarah Indonesia dan menjadi bayi gerilya PRRI. Pemberontakan pribadinya berkelindan dengan peristiwa-peristiwa-politik.-Dalam-Pengakuan Eks Parasit Lajang,-Enrico-dan-A-bertemu.-Kisah-ini-berlatar-politik- Indonesia dari era Sukarno, Soeharto, hingga Reformasi.
k i s a h n y a t a Bilangan Fu dan Seri Bilangan Fu
Bilangan Fu-adalah-kisah-persahabatan-dan-cinta-segitiga-antaradua-pemanjat-tebing,-Parang-Jati-dan-Sandi-Yuda,-dengangadis bernama Marja. Kedua pemanjat tebing itu mencoba menyelamatkan kawasan karst (gamping) yang menjadi sumber mata air dari gempuran penambangan.
Seri-Bilangan-Fu-adalah-adalah-serial-novel-misteri/teka-tekidengan-ketiga-tokoh-tadi.-Serial-ini-selalu-mengenai-pusakanusantara-(seperti-candi-candi),-dan-memperkenalkan-temalogika sebagai bagian dari pemecahan teka-teki. Dua yang telah terbit: Manjali dan Cakrabirawa (tentang candi Jawa Timur) dan Lalita-(tentang-Borobudur).-Akan-ada-12-novel-dalam-serial-ini.
Biografi-uskup-pribumi-pertama- Albertus Soegijapranata, SJ, yang menekankan aspek masuknya agama baru tanpa menghancurkan kebudayaan-dan-identitas-lokal.- Soegija: 100% Indonesia berlatar sejarah Indonesia dari akhir era kolonial hingga akhir masa Sukarno.
Soegija: 100% Indonesia Notes Kreatif Ayu Utami Notes-Kreatif-Ayu-Utami-adalahpaduan buku kosong dengan tulisan tangan Ayu Utami tentang proses kreatifnya.-Ini-adalah-tips-danrenungan dalam bentuk catatan dan komik yang mudah dicerna. Lembaran kosong dalam buku ini diberikan untuk pemiliknya membuat-catatan-kreatif-juga.
Lebih jauh tentang Ayu Utami lihat ayuutami.com, twitter: @BilanganFu
Seri Zodiak adalah kumpulan cerita yang ditulis oleh
Ayu Utami dan para peserta Kursus Menulis dan Berpikir-Kreatif-Salihara-2013,-yang-dirangkai-sehinggamenjadi-satu-cerita-besar.-Setiap-buku-menunjukkankarakter masing-masing zodiak. Akan ada 12 buku dalam serial ini.
Seri Zodiak MAYA MAYA ayu utami S e r i B i l a n g a n F u
S e r i B i l a ayu utami NOVEL ISBN: 978-979-91-0626-1 Setelah dua tahun Saman dinyatakan hilang, kini Yasmin menerima tiga pucuk surat dari kekasih gelapnya itu. Bersama suratnya, aktivis hak asasi manusia itu juga mengirimkan sebutir batu akik. Untuk menjawab peristiwa misterius itu Yasmin yang sesungguhnya sangat rasional terpaksa pergi ke seorang guru kebatinan, Suhubudi, ayah dari Parang Jati. Di Padepokan Suhubudi Yasmin justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya sementara Parang Jati menjawab teka-teki tentang keberadaan Saman. Cerita ini berlatar peristiwa Reformasi 1998.
Novel ini menghubungkan Seri Bilangan Fu dan dwilogi Saman-Larung.
KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Seri Bilangan Fu adalah serial novel petualangan dan teka-teki tentang pusaka nusantara yang melibatkan tokoh-tokoh dari novel
besar Bilangan Fu: Parang Jati, Sandi Yuda, dan Marja. Akan ada 12 buku dalam serial ini. Yang telah terbit: Manjali dan Cakrabirawa, Lalita, dan Maya.
Ratu Cendana Sutera 1 Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Tobias Beraksi Kembali 3

Cari Blog Ini