Ceritasilat Novel Online

Negeri Van Orange 7

Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat Bagian 7


Nggak kok, gue nggak beliin ini khusus untuk kalian. Kebetulan ada serombongan teman Greg
~570~ yang batal berlibur karena mesti lembur di kantor. Karena tiket dan rutenya bagus, gue ambil empat buat ditawarin ke kalian. Kalau suka, tinggal bayar ke Greg. Ternyata bener, kan, dugaan gue" Kalian emang jodoh sama tiket itu!
Ooo .... Lintang tersenyum lega. Kalau begitu caranya, ia bisa ambil tiket Geri tanpa beban rasa bersalah. Masalah destinasi dan transportasi sudah beres, tiba saatnya menunjuk pemimpin perjalanan. Wicak menawarkan diri, dengan alasan sudah berpengalaman ekspedisi mendaki tebing terjal.
Jaka sembung naik ojek, nggak nyambung, Jek! protes Aagabaners yang lain menolak mentah-mentah usulan Wicak. Akhirnya, yang disepakati malah Daus, dengan alasan Daus dianggap jujur karena bekerja di Departemen Agama. (Tetep aja nggak nyambung, sungut Wicak dalam hati.) Dia juga bertanggung jawab mengatur akomodasi sepanjang perjalanan dua minggu.
Hal pertama yang dilakukan Daus untuk menjalankan amanah itu adalah menonton film Eurotrip 2 ! Terinspirasi film tersebut, Daus membeli tas tipis anticopet yang bisa diikatkan di balik baju. Ia
~571~ juga rajin browsing situs youth hostel (ala Losmen Murah Bu Broto , referensi terdekat Daus hasil nonton TVRI semasa SD) dengan harapan bisa dapat tempat menginap murah meriah full diskon bagi pelajar. Rekomendasi akomodasi juga dikumpulkan dari teman-teman satu beasiswa dan teman-teman satu indekos. Alhasil, Daus lumayan pening bercampur senang setelah berhasil merangkai paket akomodasi, dengan kisaran harga 10 hingga 17 euro per malam, selama dua minggu. Khusus untuk kota-kota yang ada kenalan sesama mahasiswa asal Indonesia bermukim, Daus segera melakukan pendekatan dunia maya demi menghemat anggaran akomodasi.
Berikut itinerary perjalanan Eurotrip Aagaban. Kumpul di lobi utama Stasiun Kereta Utrecht Centraal. Letak Utrecht di tengah Belanda membuatnya ideal sebagai tempat persinggungan semua jalur kereta.
Lalu, naik kereta" No no no, setelah itu mereka ke bawah, jalan ke bagian belakang stasiun, tempat ngetem bus Eurolines. Bus AKAP-nya Eropa. Perjalanan ke Brussel, ibu kota Belgia sekaligus markas besar Uni Eropa, dilakukan via Eurolines. Di sini mereka akan singgah tiga hari, menginap di
~572~ hostel backpacker. Mereka juga berencana melakukan day trip ke Brugge, kota mungil di Belgia yang sering disebut sebagai Venice of the North.
Dari Brussel, mereka naik pesawat murah Ryan Air ke Barcelona, kota indah di selatan Spanyol yang dipuja-puja Fariz RM. Di sini mereka akan singgah tiga hari, menginap di apartemen Ucup, teman lama Wicak yang kini bermukim di sana. Dari Barcelona mereka akan menuju Frankfurt Jerman, kembali via Ryan Air. Singgah delapan jam di Frankfurt, lalu melanjutkan naik kereta ke Berlin. Menginap tiga hari di Berlin, di kediaman salah seorang kawan Lintang di PPI. Dari Berlin, rombongan pulang kembali ke Belanda dengan kereta malam cepat ICE Express.
Backpacker. Keempat anak muda itu sepakat bepergian dengan pola backpack traveler. Bukan sekadar bermodalkan ransel punggung besar sebagai ganti koper dorong, backpacker lebih merupakan filosofi dan ideologi tersendiri yang punya kedudukan suci di kalangan turis. Orang boleh mencela para turis kere atau bule melarat seperti yang banyak terlihat di Jalan Jaksa Jakarta. Namun,
~573~ di balik itu diperlukan banyak perencanaan matang dan perhitungan anggaran yang masak.
Seorang backpacker pergi dengan anggaran seminim mungkin, tetapi berupaya meraih pengalaman berwisata semaksimal mungkin. Ransel punggung alias backpack bukan sekadar lambang, melainkan punya sejumlah kelebihan, antara lain: praktis untuk bergerak, tidak membutuhkan porter, dan tentunya menghemat biaya bagasi karena bisa masuk kabin pesawat. Jangan salah, perusahaan penerbangan memang mencari keuntungan salah satunya dari jumlah bagasi yang perlu di-check in.
Backpacker sejati pantang memboroskan anggaran untuk penginapan, transportasi, dan makanan. Ia akan memilih berbagi bangsal dengan enam orang turis lain di sebuah youth hostel murah ketimbang mengeluarkan uang lebih untuk tinggal di hotel. Kadang tidur di stasiun beramai-ramai kerap menjadi pilihan. Beberapa hostel juga menyediakan fasilitas dapur sehingga para backpacker bisa memasak sendiri ketimbang jajan di restoran. Sudah barang tentu, mi instan menjadi menu andalan pelancong Indonesia saat bertandang ke kota-kota Eropa yang terkenal mahal. Selain memilih transportasi lokal kelas ekonomi, backpacker bahkan tak segan
~574~ melambaikan tangan di pinggir jalan, mencari tumpangan sopir truk untuk menghemat ongkos.
Dalam memilih cara berwisata, lebih kurang serupa. Mereka akan memilih objek wisata yang tidak mengeluarkan banyak uang. Termasuk meminimalisasi belanja suvenir mewah. They are buying experience. Karena pengalaman tidak bisa dicuri. Barang dapat hilang, sedang pengalaman tak pernah lekang. Sebenarnya, alasan paling utama, belanja barang bisa bikin ransel penuh, malah bikin repot. Sementara belanja pengalaman tidak.
Backpacker legendaris berasal dari Kanada. Dengan bendera daun maple-nya, mereka termasyhur dengan menempuh perjalanan darat dari Kanada ke Asia Tenggara, melintasi Rusia dan jalur sutra . Oh ya, para backpacker dengan solidaritas mereka yang terkenal ramah dan tradisi kental tolong-menolong di jalan sudah banyak menjadi subjek studi ilmiah. Eropa termasuk ranah yang sangat menghormati budaya backpacker. Aparat kepolisian Itali terkenal sangat helpful pada turis backpacker.
Hari masih subuh. Keempatnya sudah terbangun.
Bagaikan anak kecil yang keesokan harinya akan diajak ke Dufan, sang anak akan susah tidur malam
~575~ seakan ingin cepat-cepat berganti hari agar lekas dimandikan ibunya dan dipakaikan baju, begitu pula suasana hati Aagaban. Daus memasukkan paspor ke tas kulit tipis antimaling kebanggaannya. Lintang mempersiapkan perbekalan ratusan lagu baru ke dalam iPod andalannya. Wicak yakin pisau lipat Swiss Army, yang sudah menyelamatkan hidupnya berkali-kali, tidak boleh absen dalam petualangan kali ini. Ritual ini dilanjutkan dengan membersihkan lensa kamera SLR yang baru ditebus tiga minggu yang lalu.
Banjar yang sempat berniat membawa laptop, terpaksa mengurungkan niatnya. Sangat berisiko membawa barang yang rentan itu dalam petualangan ritme cepat. Namun, Banjar berjanji dalam hati, ia akan mem-posting semua petualangan yang dialami dalam blog secepat mungkin, real time update tiap hari. Dengan berseri-seri ia menatap iPod touch terbaru di genggamannya. Sebuah gadget ber-Wi-Fi hasil jerih payahnya menabung recehan tip dari Restoran Rajawali.
Kiat Packing Ala Backpacker
1. Seperti pedoman klasik packing kalau mau hiking
~576~ naik gunung, taruhlah beban yang berat di bagian dasar, sedangkan yang ringan di bagian atas. Ini meringankan beban di punggung.
2. Rolling is better than folding. Ini semboyan terkenal duet Guido dalam acara TV The Amazing Race . Dalam mengepak baju, lebih baik semuanya digulung daripada dilipat, lebih banyak ruang yang dapat dihemat. Ini juga yang membuat notebook bukan barang yang tepat untuk dibawa-bawa bepergian. Soalnya nggak bisa digulung, kan" 3. Karena itu, lebih baik membawa baju yang bahannya tidak mudah kumal dan tak mudah kusut sehingga tidak memerlukan setrika.
4. Jangan lupa alat-alat mandi dan kebutuhan obatobatan emergency.
5. Bawalah dua tas, satu tas kecil untuk kebutuhan cepat dan dibawa kapan saja, berisi keperluan pribadi, dan tas punggung besar untuk baju dan barang-barang lain yang dapat ditinggal di hostel. 6. Penyimpanan barang di youth hostel/budget hostel bersifat sharing sehingga barang dalam tas punggung hanya berisi pakaian dan barang lain yang tidak mengundang maling.
Daus, sesuai kesepakatan bersama, menanggalkan KTP DKI, kartu PNS, kartu perpustakaan, dan ATM Bank DKI. Ini untuk meminimalisasi risiko
~577~ kecopetan. Semakin banyak yang dibawa akan semakin memusingkan kalau terjadi kehilangan. Daus hanya membawa paspor, kartu mahasiswa Utrecht (berguna untuk diskon student), verblijf document atau residence permit Uni Eropa, dan ATM Rabobank. Dompet yang kini sudah pindah ke saku depan hanya berisi beberapa lembar euro dan ATM Rabobank. Dalam tas kulit tipis, yang kini terletak aman di dalam lapisan dalam baju tepat di bawah ketiak, terdapat paspor, verblijf, tiket perjalanan, dan selembar seratus euro. They have to kill me first at least, to get all of this. Daus kini ekstra hati-hati dan fobia copet.
Pada saat yang sama di Leiden, Lintang sedang mengemas make-up dan peralatan mandi dalam tas toiletries mungil tahan air. Sementara itu, di Wageningen, Wicak baru memutuskan akan membawa sleeping bag dan sepatu rimba kesayangannya. Kalian sudah menemani gue menembus rawa dan hutan belantara dari Sabang sampai Merauke, masa giliran Europtrip ditinggal" Alhasil, sesuai postur tubuhnya, Wicak membawa backpack paling besar, 120 liter. Cukup untuk ekspedisi menaklukkan Kilimanjaro.
~578~ Jam tujuh pagi di belakang Stasiun Utrecht. Gue nyampe duluan. Rokok udah abis dua batang plus segelas Douwe Egbert. Tak sabar memulai petualangan bersama empat sobat gue di sini. Ini waktunya menghamburkan euro hasil kerja rodi gue. Yippie!
(Diketik dari iPod touch Banjar.)
Wuah! Keren bener, Jar, apaan nih" iPod, ye" Nemu di mane" Ritual mengetik super-ribet Banjar yang sedang membiasakan diri dengan keyboard touch screen dibuyarkan oleh koar cablak Betawi. Daus tampil serupa dengan Banjar, tas punggung delapan puluh liter di belakang, dan tas punggung kecil (daypack) di depan. Keduanya hasil minjem dari kawan sekelas.
Lihat dong, lihat dong! Ada jpeg bagus, nggak" rengek Daus.
Dari kejauhan terdengar suara teriakan khas yang sukses menghentikan aksi teatrikal berebut iPod. Lintang datang dengan dandanan chic. Backpack berukuran enam puluh liter miliknya berwarna pink. Ditambah tas selempang mungil corak polkadot. Kardigan biru tua yang sedang dikenakan terlihat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat.
~579~ Beberapa saat kemudian, menyusul Wicak sang avonturir. Topi gunung dengan tali di dagu, celana hiking bersaku delapan, backpack hijau lumut 120 liter, dan tas pinggang memanjang dengan tali paha.
Cemetinya nggak ketinggalan, Kang Jones" ledek Banjar. Wicak tak mengacuhkannya.
Are you ready, guys" Lintang membakar adrenalin yang lain. Semua saling menatap dengan mata penuh kobaran semangat berpetualang.
Can hardly wait, baby! Brussel. Ibu kota Belgia. Ibu kota Uni Eropa. Pusat Parlemen Eropa. Pusat lobi LSM internasional. Kota kelahiran Tintin, terkenal dengan kue wafel dan cokelat. Kota yang memiliki ikon si anak kecil yang sedang pipis, Manneken Pis.
Di bus Eurolines menuju Brussel, Daus duduk bersama Lintang. Di belakang mereka duduk Wicak dan Banjar. Sesuai kesepakatan di antara ketiga pria, jatah duduk dengan Lintang digilir secara merata, dan undian awal jatuh kepada Daus.
Wicak yang pertama bangun ketika bus mulai melambatkan lajunya menyesuaikan dengan regulasi kecepatan kendaraan dalam kota. Dengan perasaan excited yang meluap ia menampar pipi Banjar yang
~580~ sedang tertidur pulas di sebelahnya. Bangun! Udah sampe!
Dari deretan kursi depan terdengar suara cempreng serak-serak basah.
Yang Brussel yang Brussel!!!
Setelah tiga jam perjalanan, keempat sahabat diturunkan di perhentian bus Eurolines, Stasiun Brussel North. Begitu menjejakkan kaki, pemandangan pertemuan old and new tersaji indah. Arsitektur modern bertemu kontras arsitektur tua.
Wow! Etape pertama nyampe juga! Dari dulu gue emang udah pengin ke sini! Wicak sering membayangkan berkantor pusat di Brussel, berkarier di dunia NGO internasional. Memaparkan temuannya di gedung European Commission, Berlaymont Building, yang terlihat di kejauhan dari pelataran alun-alun depan stasiun.
Terus gimana, nih" ujar Banjar celingukan. Tenang, Jar, ane ambil alih dari sini. Daus dengan PD mengeluarkan print out peta menuju youth hostel mereka.
Bujubuneng, lewat mana, ya" Kok, ribet gini ini kota" Mencari jalan di Brussel memang agak sulit karena bagaikan labirin yang berpola kotak-kotak ajaib. Daus dengan PD bertanya pada dua orang
~581~ pemuda yang sedang makan siang di sebuah bangku taman.
Excuse me. Do you know where is this place, Rue d Aerschot" tanya Daus sambil tersenyum ramah dan menunjuk peta.
Kedua pemuda itu membalas dengan bahasa berdengung, mencoba menjelaskan kepada Daus sembari menunjuk-nunjuk arah. Daus hanya bisa menyembunyikan ketidakpahamannya sesopan mungkin, lalu menjawab, Merci, Monsieur.
Walah, ini kan ibu kota Uni Eropa, kok kagak pada ngerti Enggris, sih" Malah gue diajak ngomong bahasa Prancis! sungut Daus kepada temantemannya ketika sudah menjauhi kedua pemuda tadi.
Us, mestinya lo udah riset dong, kan, di Lonely Planet dibilangin, tukas Wicak. Orang Eropa daratan mana peduli sama bahasa Inggris.
Seperti penuturan Wicak, bahasa Belanda dan Prancis menjadi bahasa bersama di Belgia, dan semua warga negara dapat berbicara kedua bahasa itu. Namun, perkembangan di Brussel menjadikan mayoritas penduduknya menjadi francophone, atau berbicara Prancis. Mungkin karena Brussel lebih dekat ke Prancis. Mungkin juga karena bahasa
~582~ Prancis terdengar lebih seksi.
Bermodalkan peta dan sedikit aksi teatrikal mencoba menebak arah jalan berdasarkan penjelasan warga yang (lagi-lagi) selalu berbahasa Prancis, akhirnya seorang imigran Maroko yang (alhamdulillah) bisa berbahasa Inggris pas-pasan mengantarkan mereka ke depan pintu gerbang kemerdekaan, eh pintu youth hostel.
Walau youth hostel tempat persinggahan mereka merupakan tipikal tempat pelepas penat sederhana, namanya cukup terkenal di kalangan backpackers karena memiliki banyak tanda bintang review dari situs Euro Budget Hostel. Bintang yang priceless, karena hanya bisa diperoleh berkat kenyamanan dan keramahan sang pengelola hostel yang diakui para pelanggan yang pernah bermalam di sana.
Setelah membayar semuanya di muka, I m sorry it is still lock out time, so all of you have to wait until 4 pm. But you can put your things at the storage room downstair. Here s the key, sang bule botak penjaga counter menjelaskan dengan bahasa Inggris nyaris tanpa aksen seraya mengulurkan kunci.
Keempatnya manggut-manggut lalu berjalan ke bawah, membuka sendiri kunci lemari penyimpanan dan menaruh barang-barang mereka. Masih terasa
~583~ sedikit waswas. Maklum, mereka belum biasa dengan budaya backpacker yang saling percaya. Kalau di Indonesia, pasti tas segini sudah dicolong semua, minimal dibongkar isinya.
Karena belum bisa masuk kamar, akhirnya mereka memutuskan untuk berkeliling menunggu waktu check in. Langkah kaki pertama-tama membawa mereka ke sebuah bangunan megah yang senantiasa dikagumi umat manusia pengunjung Brussel: Grand Place-Grote Markt. Alun-alun besar tersebut dikelilingi gedung-gedung berusia lebih dari tiga ratus tahun. Dari tengah-tengah lapangan, sejauh mata memandang 360 derajat, kemegahannya sungguh menakjubkan. Town Hall yang bermenara jangkung, Bread House, de Engel, Brewers Museum, dan berbagai macam bangunan yang mengusung genre arsitektural mulai dari Barok, Gothik, hingga era Louis XIV mampu membuat bulu kuduk mereka merinding.
Gila! Cantik nian! bisik Banjar dengan suara tercekat.
Subhanallah ..., puji Daus khidmat. Lintang dan Wicak hanya mampu membisu. Sesekali terdengar decakan kagum lidah keduanya. Tiga kamera saku plus satu SLR digital mulai sibuk bekerja di tangan
~584~ tuannya masing-masing. Guys, ujar Lintang sambil membuka buku Lonely Planet.
Tahukah kalian bahwa setiap dua tahun sekali, lapangan ini disulap jadi hamparan karpet yang terbuat dari bunga begonia beraneka warna" Wah, kayak Keukenhof, ya" komentar Daus. Lintang lalu menunjukkan foto flower carpet yang dimaksud dalam bukunya.
Makanya, UNESCO menobatkan tempat ini sebagai World Heritage Site.
Wicak mencuri momen, membidik kameranya ke arah Lintang yang sedang serius membaca buku, berlatar belakang gedung Grand Place yang megah.
Bahkan, kening berkerut pun tak merusak indah parasnya.
Sementara Banjar sedang sibuk mengetik di iPod, meng-update blog miliknya dengan informasi menarik dari Lintang. Ia yakin tambahan informasi ciamik itu akan membuatnya terlihat lebih pintar di mata pengunjung blognya.
Puas memandangi Grand Place, mereka meneruskan perjalanan sembari bersenda gurau di bawah terik matahari Agustus. Mereka pun sampai di depan gedung Bursa Efek Belgia, Bourse-Beurs.
~585~ Bangunan megah yang didirikan pada awal abad ke- 19, yang memiliki tangga bergaya Romawi dengan delapan pilar menjulang di teras utama. Kemegahan gedung putih gading itu semakin terpancar dengan kehadiran detail ornamen indah di setiap sudut dan patung-patung bergaya naturalis di atap. Letaknya yang berada di tengah lapangan Anspach juga ideal bagi para pengunjung yang ingin mengabadikan bangunan tersebut. Lapangan Anspach merupakan lapangan terluas kedua di Brussel setelah lapangan Grand Place. Banyaknya penduduk lokal yang duduk-duduk di tangga gedung ditemani sekotak kentang goreng Belgia yang terkenal membuat Daus merasa kerasan.
Tak jauh dari gedung bursa, berdiri Brussels Historic yang dikelilingi barisan restoran bergaya al fresco. Itulah enaknya Brussel, seluruh lokasi wisata saling berdekatan dalam walking distance. Pemandangan di Brussel memang memanjakan semua indra. Tak hanya pemandangan, indra penciuman dan perasa mereka juga digoda saat melewati selasar Galeries Saint Hubert yang dipenuhi etalase cokelat-cokelat premium kebanggaan bangsa Belgia. Selain cokelat, banyak toko yang juga menjajakan kue wafel berukuran besar dengan aneka
~586~ topping menggiurkan, mulai dari saus cherry masam sampai hot fudge sauce yang lezat. Betul-betul mengundang selera.
Pemandangan makanan yang tak kunjung habis membuat perut Daus keroncongan.
Duh, jadi pengin beli wafel cokelat, nih! keluhnya. Banjar dan Wicak pun ikut mengelus perut. Wafel empuk gurih berlumurkan cokelat leleh sudah terbayang di pelupuk mata.
Hei, katanya mau irit" Ayo, daripada uang habis untuk beli wafel, mending kita makan siang aja sekarang. Nih, menu perdana kita! tegur Lintang selaku seksi konsumsi, sambil mengeluarkan bungkusan besar berbalut foil aluminium dari dalam tas. Empat porsi sandwich berukuran besar.
Kita harus menghemat keuangan kita di sini, perjalanan masih panjang! Ayo, alsjeblief! Sandwich buatan Lintang langsung disambar yang lain. Sambil menikmati jatah makanannya, kembali Banjar mengupdate blog.
Lunch hari pertama benar-benar luar biasa! Dua iris roti gandum tebal berisi fillet kalkun, keju, lettuce, dan mayones dari dapur Lintang. Sajian ini semakin lezat rasanya karena kami nikmati di bangku Central Park tak jauh dari Palais de Academien yang megah, sang
~587~ istana parlemen Brussel. Urusan ganjal-mengganjal perut untungnya bukan perkara pelik. Lidah mereka sudah beradaptasi hingga tidak terlalu bergantung pada nasi (meskipun itu pilihan utama jika ada) saat makan. Dan, sebagaimana seni ber-backpacker, mereka sudah bertekad untuk rely on self catering atau masak sendiri selama petualangan mereka.
Saat menikmati makan siang, Lintang dikejutkan dengan panggilan namanya oleh seorang sosok familier.
Lho, Lintang" Kok, ke Belgia nggak bilangbilang!
Rupanya Mbak Wita, istri Bang Acil! Eh, Mbak Wita! sapa Lintang masih kaget. Lintang segera mengenalkan Mbak Wita kepada ketiga pria Aagaban.
Guys, ini Mbak Wita, istri Bang Acil, mahasiswa senior di Leiden. Mbak Wita lagi sekolah S-3 di Antwerp. Lagi jalan-jalan ke Brussel, Mbak"
Iya nih, lagi ada perlu di KBRI. Eh ... kalian nanti malam ada acara, nggak"
Mmm ... kayaknya nggak, sih. Semua objek wisata gratis tutup jam enam, jawab Daus, sang penanggung jawab acara.
~588~ Mbak Wita tersenyum lebar.
Kalian mau, nggak, temani aku ke acara di KBRI" Dapat makan malam gratis, lho .... Pasti rasanya lebih enak dibanding mi instan buatan backpacker! rayunya. Para backpacker tersipu. Mereka memang berencana memasak mi instan di hostel untuk mengirit biaya makan.
Siap, Mbak! jawab mereka serempak. Pantang menolak rezeki makan gratis, bukan"
Aagaban sibuk melahap sepiring nasi langgi di pojok ruang aula KBRI Brussel. Mbak Wita duduk bersama mereka, menyeruput segelas teh poci. Mereka dikelilingi beberapa mahasiswa lain yang ikut hadir malam itu. Rupanya para anggota PPI Belgia.
Acara yang dimaksud Mbak Wita ternyata resepsi sambutan untuk serombongan bapak berjas yang sedang bersenda gurau di pojok ruangan. Mereka adalah rombongan DPRD yang sedang studi banding ke Brussel. Mau tahu cara memajukan industri cokelat, katanya.
Kok, banyak amat sih, orangnye" Emangnye perlu berapa orang buat studi banding" tanya Daus heran.
Hmmm ... kata petugas tour and travel-nya sih, sekitar dua puluhan orang.
~589~ Haaah" Dua puluh?"" Kok, pakai tour and travel"! Emangnya mereka nggak datang dalam rangka tugas" giliran Banjar yang terheran-heran.
Tiba-tiba Fahmi, ketua PPI Belgia, mendatangi Bapak Duta Besar, yang sedang berbincang dengan seorang pria berkumis tebal. Kepalanya botak mengilap, sama kinclong dengan sepatu merek Bally yang sedang dikenakannya.
Eh ... ya .... Anda ini siapa, ya" Pria itu jelas tampak terganggu obrolannya dengan Bapak Dubes terpotong oleh Fahmi yang hanya mengenakan celana jeans dan polo shirt. Tampak kontras dengan penampilan mereka yang sangat resmi.
Oh iya, Pak! Saya sampai lupa kalau mengundang para mahasiswa juga! Pak Dubes menyambut Fahmi dan kawan-kawan dengan ramah.
Ini Fahmi, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belgia. Adik-adik ini hadir untuk acara diskusi dengan konstituen yang Bapak cantumkan di daftar acara, terang Bapak Dubes.
Diskusi" Memangnya ada acara diskusi" si bapak botak bertanya heran. Dalam benaknya, itinerary perjalanan yang disampaikan sekretarisnya ke KBRI sekadar formalitas belaka. Tak disangkanya akan ditanggapi dengan serius. Acara de facto mereka
~590~ justru ditentukan oleh jasa travel yang mereka gunakan selama di Eropa. Habis acara di KBRI, mereka telah dijadwalkan untuk jalan-jalan melihat kemegahan Grand Place di kala malam.
Mau mulai sekarang, Pak" Teman-teman PPI sudah siap, ujar Fahmi sambil menunjuk ke arah teman-temannya, termasuk Aagaban yang sedang menonton dari pojok ruangan.
Wah ... diskusi, ya" Sang Ketua Rombongan kini tertawa gugup.
Aduh, saya baru ingat. Malam ini kami masih ada rapat internal. Penting sekali! Kami mau mohon diri sekarang saja, Pak Dubes. Maaf, Dik, tampaknya diskusi ini dilakukan lain kali saja, ya"
Dengan raut wajah menahan malu, Bapak Duta Besar terpaksa mengiyakan permintaan ketua rombongan. Sementara Fahmi dan kawan-kawan balik kanan bubar, kembali ke pojokan Aagaban yang menyaksikan adegan tadi dengan mulut ternganga.
See" So typical, sungut Fahmi kepada Mbak Wita. Lo masih pengin jadi pegawai negeri kalau lihat kayak gini, Wit" tanya Fahmi retoris.
Jangan-jangan ujung-ujungnya kelakuan lo sama aja dengan mereka! godanya dengan nada
~591~ mencemooh. Ia tak habis pikir kenapa Wita yang luar biasa cerdas mau bertahan dalam labirin birokrasi PNS Deplu, sementara telah berkali-kali ditawarkan posisi menggiurkan di LSM internasional tempat Fahmi bekerja.
Daus yang sedari tadi ikut mendengarkan percakapan Mbak Wita dan Fahmi tiba-tiba angkat bicara.
Maaf ya, gue jadi kepingin ikut komentar, nih. Kebetulan gue juga PNS, Mi. Gue juga sering ngelihat kelakuan kayak rombongan bapak-bapak tadi di keseharian gue di kantor.
Lintang dan yang lain menoleh tertarik. Daus selalu punya cara unik dalam mengemukakan pendapat.
Tapi gue jadi inget sama satu syair dari penulis klasik favorit gue, Robert Frost, lanjut Daus.
Two roads diverged in the woods, and I ... I took the one less traveled by. And that has made all the difference.
Mungkin itu jawaban kenapa gue milih tetap jadi PNS. Kalau semua orang memilih pekerjaan yang di luar sistem, terus siapa yang bakal ngejalanin negara kite" Mungkin gue dipilih untuk melakukan pekerjaan yang nggak bisa dilakukan orang lain. Gue percaya kalau rezeki kite udah diatur sama
~592~ Allah. Buktinya gue dikungkung birokrasi tetep bisa sampe ke sini! Lagian, engkong gue pernah bilang ... kalau bukan kita yang bikin perubahan, lantas siapa lagi" Sampai kapan kita cuma bisa protes dan protes melulu" Sinar mata Daus bersinar mengenang sang engkong.
Lintang tergugah. Suatu saat kita mesti ikut Daus nyekar ke makam engkongnya yang terhormat!
Mbak Wita memandang Daus dengan senyum dan tatapan mata penuh kehangatan.
Nah, Fahmi! Jawabanku idem Daus! Ia lalu menoleh ke arah Lintang.
Terus gimana, Tang, tawaran Mbak" Jangan kecil hati, ya! ucapnya memberi semangat.
Lintang cengar-cengir serbasalah. Surel tawaran Mbak Wita yang dulu diterimanya memang belum pernah dibalas. Hatinya masih bingung menentukan pilihan.
You know ... kita semua masih muda, perjalanan karier masih panjang, ucap Mbak Wita sambil memandang rombongan DPRD yang sedang bersiap pamit dengan perasaan miris.
Dalam profesi apa pun, tak hanya PNS, selalu ada celah justifikasi. Membesarkan anggaranlah. Mendapatkan proyek. Insentif pegawai. Makanya
~593~ kita mesti inget malam ini. Inget bahwa malam ini, di tempat ini, nurani kita tahu batasnya hitam dan putih, benar dan salah. Bahwa kita pernah menunjukkan idealisme, dan bertekad membuat perubahan di masa depan. Don t ever forget what you saw tonight.
Di perjalanan pulang ke hostel, keempat sahabat termenung mengingat kata-kata Mbak Wita. Seorang backpacker legendaris pernah berkata, Certainly, travel is more than the seeing of sights; it is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living. Tampaknya itulah metamorfosis yang sedang terjadi pada Aagaban.
Hari kedua di Brussel dihabiskan untuk mengunjungi semua objek wisata yang terkait dengan Uni Eropa. Gedung parlemen, kantor committee of regions, dan menemani Wicak menyambangi beberapa kantor LSM internasional yang berpusat di Brussel. Mereka berfoto di depan barisan bendera biru berbintang lambang Uni Eropa dan menghabiskan sore hari sekadar melepas lelah di taman kota sambil menikmati sekantong croissant hangat dan selai cokelat hazelnut yang dibeli Lintang di supermarket.
~594~ Selesai menikmati matahari terbenam sekitar pukul sembilan, Lintang bersabda bahwa mereka semua harus segera kembali ke hostel untuk istirahat. Hari kedua sengaja diakhiri dengan cepat karena harus menyimpan tenaga untuk day trip ke Brugge, yang direncanakan untuk esok harinya. Di hostel, pemisahan kamar antara pria dan wanita membuat Lintang harus kembali berbagi kamar bersama tiga perempuan backpacker dari Italia. Sementara ketiga pria Aagaban malam ini sekamar dengan beberapa mahasiswa dari Prancis dan seorang anggota LSM dari Swedia.
Wicak dengan kagum memperhatikan tour guide yang menjelaskan objek wisata di kanan-kiri kanal dalam tiga bahasa secara bergantian. Jerman, Prancis, dan Inggris. Keempat Aagaban sedang menikmati matahari pagi di sebuah sampan, menyusuri kanalkanal Kota Brugge yang indah.
Serasa naik gondola di Venice, pikir Lintang. Karena tak mampu mengunjungi Kota Venezia di Italia, Wicak, Daus, dan Banjar sepakat menuruti keinginan Lintang untuk melakukan day trip ke Brugge, sebuah kota kecil berjarak tiga jam dari Brussel. Brugge memang sering disamakan dengan
~595~ Venezia sebagai kota tua yang hidup di atas air. Riak air dalam kanal memantulkan sinar mentari pagi musim panas, membangun suasana damai dan romantis.
Wicak mensyukuri posisinya yang berdampingan dengan Lintang di dalam sampan. Sesuai kesepakatan, giliran Wicak duduk bersama Lintang selama berjalan-jalan di Brugge. Keputusan yang kemudian sangat disesali Daus dan Banjar yang hanya bisa menatap iri dari belakang. Daus akhirnya memilih untuk sok sibuk memotret pemandangan dengan kamera pocket andalannya, sementara Banjar memanfaatkan waktu luang untuk kembali update blog dari iPod.
Pemandangan memukau sepanjang kanal sudah mereka nikmati semenjak sampan mulai bergerak lambat lepas dari dermaga.
Meski harus susah payah mengetik dengan alat yang bikin pegal tangan, Banjar bersikeras. Kalau perempuan bisa memakai high heels dan rok mini di kala winter demi dress to kill, ia pun bisa bertahan memakai iPod touch demi style to kill, alias biar pegal, yang penting gaya !
Jadi lo bakal langsung lanjut kerja di kantor NGO lo di Belanda ya, Cak" tanya Lintang, tangannya
~596~ sibuk menguncir ulang rambutnya yang tersapu angin.
Seharusnya sih, Tang. Tapi, nggak tahu juga, deh ..., jawab Wicak bimbang.
Lho, kan, rencana awal lo emang gitu" Iya, sih. Cuma kantor pusat NGO gue di Amsterdam lagi penuh, Tang. Headcount-nya udah keisi semua. Gue belum tentu bisa diterima kerja di sana .... Sementara gue belum tentu bisa balik ke Indonesia juga ....
Sudah lama Wicak menyimpan kekhawatiran tadi di benaknya. Rasanya sedikit lega bisa berbagi beban dengan orang lain. Dengan Lintang.
Duduk di dalam sampan, dengan suara lembut riak air, kicau burung yang riang, serta dengungan tour guide sebagai background, pikiran Wicak mulai melayang. Seorang anak kecil berambut cepak mendekat ke pinggir kanal, berupaya memberi sepotong roti kepada sekelompok angsa yang sedang mandi. Belum tercapai niatnya, sang ibu sudah menarik si anak menjauhi angsa-angsa tersebut. Wicak jadi teringat Yu Nah, yang sering menceramahi Viktor kecil setiap kali tertangkap basah sedang berlari mengejar bebek milik penduduk di Berau. Indahnya kanal di Brugge tak
~597~ seberapa dibandingkan kemegahan Sungai Kapuas. Pohon-pohon rimbun sepanjang kanal tak sebanding dengan kerimbunan hutan belantara Kalimantan yang terjamah para pembalak liar. Tibatiba rasa rindu yang amat sangat kepada Tanah Air menyergapnya, dan tanpa disadari buliran air mata menetes dari pelupuk mata.
Lho Cak, kenapa" tanya Lintang terkejut. Eh, nggak apa-apa kok, Tang, ujar Wicak tersipu malu.
Cuma lagi kangen banget sama Indonesia. Sebenarnya gue pengin banget bisa balik, nggak tahu bisa apa nggak. Gue pengin ketemu Pak Wiro, yang pertama ngasih kerja di Berau. Ngasih lihat kalau anak rantau yang dulu dia asuh udah punya gelar master dari Belanda. Rasa bersalah telah meninggalkan Kalimantan tanpa penjelasan kepada Paman Wiro masih meresahkan hatinya. Emang lo masih dicari-cari mafia kayu" Kayaknya sih gitu. Jaringan mereka bisa sampai ke kementerian dan DPR! Buktinya, Kapolda Riau yang tegas menindak pembalakan liar langsung dimutasi setelah mengusut beberapa kasus. Bisa aja gue juga diciduk komplotan mereka sewaktuwaktu.
~598~ Hening. Tak disangka Wicak yang selama ini dikenalnya sebagai pria yang sangat easy going ternyata memiliki keberanian yang begitu tinggi.
Tapi, itu semua risiko, lanjut Wicak. Gue nggak rela hutan negeri kita digunduli! Hutan kita penting banget, Tang. Bukan cuma buat Indonesia. Hutan kita juga paru-paru dunia! Semua orang ribut soal global warming, tapi pembalakan liar belum ditindak tegas. Jangan dikira kalau gunung es di Kutub Selatan mencair nggak ada hubungannya dengan hutan gundul di Kalimantan! Pembalakan liar berdampak langsung pada pemanasan global!
Lintang masih terdiam dalam kagum. Pertama idealisme Daus, sekarang nasionalisme Wicak. Ia tak pernah memiliki sahabat-sahabat yang begitu idealis, tak sekadar di lidah, tapi juga dalam tindakan.
Makin gue mengenal mereka, makin ada-ada aja hal menarik yang gue temui! catatnya dalam hati. Makan malam kali ini, kita makan di luar!
Sabda Lintang kali ini menimbulkan sorak-sorai. Menu harian mereka sejak pertama datang sebagai berikut: sarapan yang disediakan youth hostel (sehingga mereka wajib bangun pagi karena takut kehabisan!) berupa sereal cornflakes, jus jeruk, kopi,
~599~ toast alias roti panggang, dan aneka selai. Makan siang dengan bekal aneka sandwich hasil kreasi Lintang berbelanja irit di supermarket lokal. Malam masak sendiri terdiri atas nasi, mi instan goreng, plus telur dadar. Kalau pulang kemalaman dan dapur sudah tutup, mereka makan di salah satu waralaba fast food yang masih buka. Dengan uang tiga euro (bujet maksimal untuk kantong cekak mereka) bisa mendapat dua burger, satu french fries, dan segelas besar cola.
Makan junk food lagi, ya" tanya Banjar sinis. Sementara jarinya menulis di iPod, Oh Ibu, kok kami makan susah sekali!
Nope. Kali ini kita makan enak, tapi murah! Di mana, Tang" sambar Daus.
Ada Restoran Padang Sederhana di sekitar sini" Heh, Sederhana juga harganya nggak sederhana kali di sini mah, sahut Wicak.
Kita akan makan di restoran Vietnam paling murah di Brussel! Salah satu tourist attraction. Sekalisekali makan enak, merayakan malam terakhir kita di Belgia.
Wah ... seru, tuh! Hmmm ... nasi goreng Vietnam ....
Mi pho Vietnam juga lekker, euy.
~600~ Heh, ayo buruan! tegur Lintang.
Kalau kita nggak datang duluan, tempatnya bakalan penuh, lho. Antreannya bisa sampai di luarluar! Tanpa banyak komando, keempatnya bergerak tak sabar menuju destinasi mereka. Restoran tersebut telah lama menjadi buah bibir para turis berkantong cekak yang berkunjung ke Brussel.
Waaahhh ... kenyaaang! seru Daus sambil menggaruk perutnya yang membuncit.
Mereka memilih pulang jalan kaki dari restoran ke hostel, menikmati kerlap-kerlip lampu temaram Kota Brussel. Di tengah perjalanan, sebuah penanda arah bertuliskan dua kata menarik perhatian mereka: Manneken Pis.
Lha, ini kan objek wisata anak kecil pipis itu" komentar Wicak.
Ho-oh ... iya neh, ayo kita samperin! Masa jauhjauh ke Brussel nggak pernah lihat ikon legendaris Belgia, sih. Mungkin cuma sekali seumur hidup punya kesempatan ke sini! tekad Daus, diiringi anggukan teman-temannya.
Tak lama kemudian, mereka menjumpai kerumunan orang sedang asyik berfoto di depan sebuah pancuran air kecil di tikungan tembok batu.
~601~ Cuma begini doang"! kutuk Banjar dengan mulut ternganga. Yang lain ikut terpana. Rupanya patung anak kecil sedang pipis lambang Belgia, Manneken Pis, tak lebih besar daripada patung malaikat cupid mungil yang menghias air mancur di depan gedung kantor Banjar.
Kalau gini doang mah, depan rumah gue deket Jalan Raya Jatinegara Kaum juga banyak tukang batu yang bisa bikin! cemooh Daus. Ia kesal karena terkecoh nama besar patung Manneken Pis yang terkenal sampai mancanegara. Ekspektasinya jauh melebihi pemandangan yang kini ada di depan mata. Lalu, kenapa patung Arjuna Wiwaha yang lebih besar dari itu, kok, tidak pernah mengundang turis untuk berfoto bersama" pikirnya. Miris hatinya membayangkan begitu banyak objek wisata Indonesia yang begitu megah dan membanggakan, tapi teronggok tak terawat.
Hmmm ... ya ... mungkin benar kata orang, komentar Wicak, a country is only as great as its people.
Kalau orang Indonesia sendiri nggak membanggakan negaranya, gimana negara kita mau terkenal" Boro-boro objek wisatanya ....
~602~ Cak, bangun, Cak! Daus menyenggol Wicak yang keasyikan molor. Udah sampe!
Wicak menggeliat. Penerbangan dengan pesawat Ryan Air ke Barcelona hanya satu setengah jam, tetapi mereka berangkat pagi sekali. Padahal, malam sebelumnya mereka lontang-lantung sampai pagi buta, menghabiskan malam terakhir di Brussel.
Uih ... Barcelona! desis takjub berembus dari mulut Daus. Padahal, yang dilihat cuma halte bus menuju Kota Barcelona. Maklum, mereka mendarat di bandara kecil, jauh di luar kota. Masih harus meneruskan perjalanan sekitar dua jam naik bus, baru sampai ke Barcelona.
Dua jam kemudian, desis takjub kembali terdengar dari mulutnya.
Uih ... Barcelona! Daus tak menyangka mereka akhirnya sampai di kota yang begitu cantik, hingga diabadikan dalam lagu oleh Fariz RM.
Belum, kalee .... Ini baru sampai terminal! Kali ini yang menukas adalah Lintang. Ia menggamit backpack, keluar dari terminal bus.
Tangan Daus bersiap memutar tembang Barcelona milik Fariz RM yang sudah ia download ke HP. Ia sudah lama mendambakan soundtrack itu
~603~ mengiringi langkahnya saat kali pertama menjejakkan kaki di Plaza Catalonia, rotunda di jantung Kota Barcelona. Momen yang mungkin takkan pernah berulang; empat sahabat, langit biru, udara sepoisepoi Eropa Selatan, dan panorama arsitektur Antoni Gaudi yang spektakuler. Lamat-lamat suara Fariz RM mengisi kuping Daus ....
Seolah getar Flamenco mengalun jiwa Kududuk terhanyut nuansa
Di sudut semarak Plaza Catalonia Holaaa mi amigaaas!
Sebuah suara cempreng membuyarkan konsentrasi Daus yang sedang merem-melek menghayati lagu Fariz RM.
Heeei! Wicak berlari menyambut sahabat lamanya. Mereka saling merangkul dengan hangat. Ucup segera dikenalkan dengan yang lain.
Wicak cengar-cengir memperhatikan penampilan Ucup yang sudah berubah drastis semenjak masa mereka riset bersama di Berau. Rambutnya yang dulu dicepak habis ala tahanan kini panjang sebatas tengkuk, dirapikan dengan gel rambut dan disibak ke belakang bak penyanyi boy band. Seragam harian
~604~ Ucup yang dulu berupa celana jeans lusuh, kaus oblong, dan sandal jepit pun sudah ter-upgrade. Ucup kini mengenakan kemeja lengan pendek pas badan, celana khaki, serta sepatu pantofel mengilat. Sebuah Blackberry tersembul dari kantong kemeja. Weeei, canggih pisan euy sekarang!
Ucup terkekeh. Iya, betah kerja di Barcelona! Udara nggak kelewat dingin, perempuan Catalan cakep-cakep, makanan juga cocok! Mending lo pindah ke cabang sini aja, Cak, sama gue!
Iya nih, kayaknya gue salah pilih negara! canda Wicak.
Ini, ya, rekan-rekan Aagaban yang disebut-sebut terus sama Wicak" Selamat datang, ya, di Barcelona! Hayu atuh, kita ke apartemen! ajak Ucup. Dari sini tinggal sekali naik bus!
Setibanya di apartemen Ucup, Aagaban segera melepas beban berat backpack yang sudah mereka pikul seharian. Apartemen itu hanya terdiri atas satu ruang besar, kitchen set mini di pojok ruangan dan sebuah kamar mandi, alias model studio. Tapi, itu justru menguntungkan karena dengan begitu mereka bisa tidur ramai-ramai di lantai bermodalkan kasur
~605~ lipat dan beberapa selimut.
Harap maklum, ya, ngemper begini. Soalnya apartemen gue cuma satu ruangan ini.
Aduh nggak apa-apa banget, Cup! Yang penting mah gratis! sahut Lintang, yang diiyakan oleh ketiga sahabatnya.
Ya udah. Ucup berkata dengan wajah senang. Gue sibuk di kantor sampai besok. Tapi, di meja udah gue siapin kunci duplikat apartemen sama peta turis yang udah ditandain alamat apartemen biar kalian bisa menjelajah Barca sendiri! Kalau mau cari info lebih, online internet komputer di atas meja belajar nggak pernah mati. Pakai aja kalau mau cek surel atau browsing. Terus di dapur juga ada stok teh, kopi, susu, beras, mi instan, roti, sama selai. Pakai aja semaunya! Besok malam kita dinner bareng di La Ramblas, ya!
Siaaap! kor Aagaban serempak. Ucup ternyata tuan rumah sempurna. Semua sudah disiapkan untuk kedatangan mereka.
Barcelona, here we come! Setelah kontemplasi panjang, akhirnya Aagaban sepakat untuk sedikit memboroskan anggaran dengan naik tour bus hop on-hop off. Bus khusus turis
~606~ ini melewati semua objek wisata penting di Barcelona. Para turis tinggal naik-turun di pemberhentian khusus dekat masing-masing objek wisata, jadi bisa menjelajah sendiri tanpa bergantung batas waktu seperti halnya kalau ikut tour rombongan.
Nggak apa-apa kali ini boros sedikit, terang Daus sang penanggung jawab acara.
Soalnya kita udah irit biaya penginapan, terus jarak antarobjek wisata jauh banget. Daripada capek sendiri nyari jalan pakai transportasi lokal, mending keluar dua puluh euro, tapi hemat waktu dan tenaga!
Pemberhentian pertama, Parc G"ell!
Waaaw, keren banget! Lintang berdecak kagum. Wicak, Daus, dan Banjar membisu, tatapan mata mereka menerawang jauh. Pemandangan yang begitu indah, sampai tak memerlukan kata-kata pujian.
Di puncak bukit Parc G"ell, Aagaban berdiri di sebuah lapangan pasir yang luas. Sosok mereka membentuk siluet menantang matahari yang bersinar di langit biru terang. Dari tempat mereka berdiri, bangunan-bangunan unik berhiaskan keramik mosaik Gaud" terlihat jelas, berikut kontur Kota Barcelona yang berbukit-bukit.
~607~ Sreset!!! Daus terperanjat penuh curiga ketika seseorang menyenggolnya. Ia refleks meraba kantong belakang, sambil berusaha tidak panik. Ternyata benar, isi kantong belakangnya telah raib! Sebuah dompet berisi koleksi bon supermarket Albert Heinz. Ia meraba dada dan ketiaknya. Meyakinkan dirinya kalau dompet anticopet yang terletak di balik ketebalan dua lapis baju itu masih ada. Lalu, ia berlutut seolah hendak mengikat tali sepatu. Dirabanya persediaan euro yang diselip di kaus kaki. Duh gangguin kenikmatan gue aja! sungutnya. Kota secantik ini, kok, punya copet banyak bener! Daus mendekati teman-temannya yang mulai sibuk berfoto-foto. Daus berbisik mengabari hilangnya dompet bon AH miliknya. Dengan waswasmereka segera meninggalkan Parc G"ell menuju objek wisata berikutnya.
Antoni Gaud" adalah arsitek termasyhur beraliran modernisme yang melambungkan namanya dalam pahatan Kota Barcelona. Keempat sahabat terkesima melihat karya-karya Gaud" yang tersebar seantero kota, seperti rumah asimetris berhiaskan mosaik keramik dan bata warna-warni Casa Vicens dan rumah ombak Casa Mil" yang dibentuk
~608~ menyerupai naga. Namun, yang paling mengesankan tentu Gereja Temple Expiatori de la Sagrada Fam"lia, yang selamanya akan dikenal sebagai karya terakhir Gaud" yang tak pernah selesai. Menara-menara gereja Sagrada Fam"lia menjulang tinggi, dengan lengkungan dan lekukan yang tak satu pun simetris. Pahatan tiang-tiang yang menopang gereja juga tak ada yang serupa satu sama lain. Setiap jengkal dari mahakarya Gaud" tersebut unik dan mengundang desis kagum.
Mereka menghabiskan hari itu melihat Barcelona dari kacamata Gaud". Lelah berpetualang, malam hari dihabiskan beristirahat di apartemen Ucup yang nyaman, makan mi instan panas sambil membandingkan foto digital hasil jeprat-jepret seharian.
Untuk mengisi hari kedua, Ucup mengusulkan agar mereka mengunjungi museum dua pelukis legendaris, Salvador Dali dan Pablo Picasso. Bermodalkan kartu pelajar, Aagaban berhasil masuk dengan diskon lima puluh persen dari harga penuh delapan euro. Rasanya tak percaya bisa melihat lukisan-lukisan Dali dan Picasso yang melahirkan genre baru surealisme dan kubisme, yang selama ini
~609~ hanya mampu mereka baca di buku pintar semasa SD.
Puas menyerap karya-karya seni putra Barcelona, Aagaban melanjutkan perjalanan ke objek wisata yang telah lama dinanti-nanti Wicak, Daus, dan Banjar: Stadion Nou Camp, markas besar klub sepak bola FC Barcelona! Lintang hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan ketiga pria pendampingnya. Mereka sibuk berteriak bagai orang kesurupan di balik pagar yang mengelilingi lapangan rumput tempat para pemain sedang berlatih, berharap mendapat tanda tangan. Daus yang sempat jingkrakjingkrak karena berhasil mendapat sebuah tanda tangan pemain di atas bola plastik yang ia beli di toko suvenir, akhirnya kebingungan memikirkan cara membawa bola itu pulang.
Ting-tong! HP Wicak berbunyi, pertanda mendapat SMS baru.
Guys, ada SMS masuk nih, dari Ucup. Katanya mending kita pulang sekarang dan tidur dulu karena kita baru akan keluar makan malam jam sebelas!
Haaah" Jam sebelas"! Kok, malam banget, gue keburu kelaparan, dong! protes Lintang. Oh iya, gue baru inget! Di Lonely Planet emang


Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

~610~ disebutin kalau keseharian orang Eropa Selatan sedikit beda. Makan siang baru mulai jam tiga, dan makan malam umumnya jam sepuluh! komentar Daus.
Wah ... kalau gitu mending kita tidur siang dulu, deh, hemat tenaga buat nanti malam!
Ucup dan keempat tamunya bergegas menuju jalan termasyhur La Ramblas. Sebuah jalan khusus pejalan kaki yang menjadi pusat seni dan street performer. Jalan berhiaskan lampu-lampu temaram itu dipadati aneka pelukis, pemain akrobat, sampai manusia patung dengan kostum aneh-aneh. Malam itu Aagaban beruntung ditraktir makan tapas dan paella, hidangan khas Spanyol, sambil melihat berbagai atraksi seniman jalanan.
Jadi, lusa kalian udah cabut, ya" tanya Ucup sambil meneguk segelas red wine.
Iya, Cup. Perjalanan masih panjang. Kan, masih ada rencana ke Berlin.
Iya, tapi bujet kita buat Barcelona udah habis nih, hehehe. Kemarin, sih, pakai acara mampir ke Museum Cokelat terus menggila makan macemmacem cokelat! tegur Lintang.
Tenang, masih banyak yang bisa dilihat gratis,
~611~ kok. Kalian bisa lihat gedung-gedung yang dibangun waktu Olimpiade 1992 di Mountju"c. Atau, nongkrong di pantai deket Port Seaside, lanjut Ucup.
Tapi, kalau boleh, besok gue mau pinjem Wicak, sebentar, ya. Nggak apa-apa, kan"
Pinjem gue" tanya Wicak bingung. Ada apaan, Cup"
Gue mau ngenalin lo ke bos gue di kantor! Tawaran gue buat lo kerja di sini serius, Cak. Kita bener-bener lagi butuh orang. Lo minat, nggak"
Wicak terperanjat, sendok berisi nasi paella yang sedang dipegangnya menggantung di udara. Aagaban saling menukar pandang dengan mulut ternganga. Ternyata Barcelona memang kota penuh keajaiban! Banjar dan Lintang duduk menikmati keindahan laut di Port Seaside. Mereka kelelahan setelah ngebut mengelilingi Mountju"c dan melihat kemegahan Istana Plaza Espa"a, dilanjutkan naik cable car kembali ke Port Seaside untuk menikmati secangkir kopi di tepi laut Barcelona untuk kali terakhir.
Sore hari itu giliran Banjar mendapat jatah menghabiskan waktu berdua dengan Lintang, sementara Wicak pergi bersama Ucup, dan Daus
~612~ pergi berbelanja suvenir murah.
Jar, memangnya uang itu berarti banget bagi lo, ya" Kayaknya tujuan hidup lo cuma seputar jadi orang kaya" Lintang berkomentar sembari membuang pandangan ke sebuah perahu layar yang lewat.
Well. Itu memang obsesi gue, uang dan posisi. Gue bekerja keras untuk semua itu.
Lima tahun lagi mungkin gue udah bisa bikin holding company sendiri. My own company. Banjar berucap dengan nada kesungguhan dalam lantunannya.
Lintang termenung memandang sang risk taker dengan rahang tegas yang sedang bicara.
Kalau itu udah kesampaian" What next" Terjun ke politik seperti Aburizal Bakrie"
Giliran Banjar yang membuang pandangan ke segerombolan anak kecil yang lari-lari di antara tiangtiang.
Nggaklah. Abis itu saatnya gue membina rumah tangga. Find someone, get married, settle down, raise a big family ....
NAH YEEE! Suara nyaring si Betawi gila menyertai ketukan langkah kaki, Daus dan Wicak datang membawa bungkusan. Isinya aneka suvenir
~613~ kecil murah meriah untuk pajangan saat mereka pulang nanti. Mereka berebut hasil belanjaan Daus. Lintang berdiri meninggalkan ketiga temannya yang sedang tertawa, menjauh, tapi masih dalam pandangan ketiganya. Ia menghirup napas panjang, memandang indahnya sunset di Pantai Barcelona. Dari iPod-nya kembali mengalun syair lagu Fariz RM.
Mungkin esok ku kan pergi Tapi kuberjanji
Pasti diriku kembali Untuk cinta yang tertinggal Di jantung Barcelona
Keesokan harinya di Bandara Frankfurt, sebuah kejutan besar telah menanti mereka.
Daus mengumpulkan Wicak, Banjar, dan Lintang yang masih asyik cekakakan dalam satu barisan tempat duduk di bandara.
Mau rapat apaan lagi, Us" Kita musti cepat-cepat keliling Zentrum Frankfurt, mumpung transit! Ini, kan, kotanya der kaizer Franz Backenbauer, mari kita melakukan penghormatan! ujar Banjar sudah tidak sabar.
~614~ Begini. Daus memulai dengan tenang. Kalau ada objek wisata yang lebih menarik dari Berlin, lo pade keberatan, nggak"
Maksudnya" tanya Lintang bingung.
Lo kan bilang, kita semua nggak tahu seizin Allah, kapan lagi bisa nyampe ke Eropa.
Terus" Bagaimana dengan ini" Instead of Berlin" tangan Daus mengulurkan beberapa lembar tiket.
Ternyata, empat tiket pesawat one way ke Salzburg, Austria!
Ya amplop! Gile bener! Lolongan suara Banjar memecah keheningan bandara. Dua-tiga bule menengok ke arah mereka berkumpul.
Daus! Kali ini gue percaya engkong lo sakti bener! Die semalem ngirimin ini tiket, yah"! Wuhuhuy! Wicak ikut berteriak.
Yaaay ... Dauuus!! Lintang memeluk Daus kegirangan. Daus mesem-mesem. Kali ini Wicak dan Banjar ikhlas.
Waktu yang tersisa saat transit delapan jam itu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Mereka melakukan tur singkat ke pasar tradisional Frankfurt, mengunjungi beberapa istana raja-raja tempo dulu dan menapak tilas tempat kali pertama sang
~615~ pahlawan Jerman, Kapten Franz Beckenbauer, diarak saat Jerman menjadi legenda di jagat sepak bola. Mereka mengakhiri hari dengan duduk-duduk melepas lelah di alun-alun terbuka, sembari menikmati apple wine dan apple beer khas kota modern itu (dan jus apple light untuk Daus dan Lintang). Dikelilingi pemandangan barisan pencakar langit yang menjadi ikon andalan Kota Frankfurt, Daus menceritakan asal usul tiket mereka.
Semua bermula saat Daus pergi membeli suvenir murah. Usai pilih-pilih suvenir, Daus menyulut sebatang rokok keretek di depan toko suvenir. Beberapa turis bule tertarik untuk ikut mencicipi, dan menjadikannya bahan obrolan hangat. Ternyata salah seorang backpacker Amerika di antara mereka ada yang ngebet banget pengin ke Berlin, tapi susah mencari tiket dalam waktu mepet. Singkat kata, terjadi pertukaran yang saling menguntungkan antara Daus dan mereka. Tiket Berlin berganti wujud menjadi open ticket ke Salzburg, Austria. Memang bukan Vienna yang termasyhur, tapi pokoknya Austria, negara tujuan cita-cita Wicak sang pencinta alam dan kota latar belakang film The Sound of Music kesukaan Lintang semasa kecil. Diiringi doa dan hitungan probabilitas antara dimaki-maki temannya
~616~ atau dianggap pahlawan, dengan mengucap bismillah, akhirnya Daus dan rombongan turis Amerika itu bersalaman.
Sebelum departure mereka ke Austria, Banjar kembali update blog dari iPod-nya:
Dunia begitu indah saat kita dikelilingi temanteman yang baik. Kali ini si Betawi gila mengabulkan cita-cita gue untuk memandang salju abadi Gunung Alpen di usia 29 tahun. Terima kasih, Tuhan, Kau berikan aku teman baik, meski dia ngiler di baju gue pas tidur semalam.
Pukul 4.00 sore, pesawat yang membawa keempat sahabat tersebut dari Frankfurt mendarat mulus di Bandara Wolfgang Amadeus Mozart, Salzburg. Daus yang kali pertama menginjakkan kaki di aspal bandara langsung terpana. Mulutnya menganga. Degup jantungnya berdebar kencang. Jemarinya seolah bertasbih mengikuti lidahnya yang perlahanlahan keluar dari kekeluan dan memuji kebesaran Gusti Tuhan tak henti-henti.
Subhanallah, Untersberg. Luar biasa! Kalian tahu,
~617~ nggak" Di sana membentang perbatasan Jerman Austria dan pemandangan kota ini terhampar indah dari sana. Dan Untersberg sendiri ....
Yes" Si Untersberg itu kenapa, Us" tanya Lintang penasaran.
Daus menoleh perlahan. Sok dramatis.
Adalah salah satu puncak dari rangkaian Pegunungan Alps alias Alpen yang termasyhur!
Salzburg. Kota pusat kebudayaan Austria, yang terkenal sebagai tempat kelahiran komposer legendaris Wolfgang Amadeus Mozart. Salah satu kota yang termasuk dalam daftar UNESCO World Heritage. Keempat sahabat terkesima seakan tidak pernah percaya telah sampai dan menjejakkan kaki di kota ini.
Nah! Sekarang mau ke mana lagi kita" tanya Daus sambil membaca beragam informasi yang tertera di salah satu brosur tempat-tempat wisata. Mereka duduk sejenak di sebuah bangku taman setelah lelah berkeliling Salzburg, sekadar melihat indahnya arsitektur rumah-rumah mungil yang indah dan keluar masuk beberapa gereja tua yang selalu terbuka untuk umum.
Damn! Mahal-mahal, ya, harga masuk objek wisatanya, gerutu Wicak.
~618~ Emang nggak ada yang gratisan, yah" tanya Banjar. Matanya menyapu isi brosur dengan saksama.
Schloss Hellbrunn, Hohensalzburg Fortress, Mirabell, Mozart Geburtshaus ... yah, semuanya bayar penuh!
Daus kecewa. Sebagai penggemar lagu-lagu klasik di samping irama gambus Melayu, dan kasidah, Daus memang menggemari sebagian karya-karya besar Mozart. Wajar ia begitu kecewa saat tahu untuk memasuki Museum Mozart ternyata dipungut bayaran belasan euro, dan tidak ada diskon khusus bagi pelajar.
Gue pengin ke sini, nih ..., tukas Wicak. Haus der Natur" Jauh-jauh ke sini masih juga mau cari suasana Kebun Raya Bogor" tanya Banjar sinis. Wicak cengar-cengir sendiri.
Akhirnya, sang tour leader, Daus bin Satiri, membuka mulut.
Kagak afdal kalau kita nggak bertindak spontan hari ini! Statement dengan nada yakin dikeluarkan Daus bagai seorang laksamana ingin berangkat perang. Sisa pasukan kembali berpikir bahwa setan Gunung Alpen merasuki antusiasme Daus. Tangan Daus menunjuk sebuah restoran mungil
~619~ dengan jendela cantik berhiaskan mosaik kaca warnawarni yang membentuk pemandangan Pegunungan Alpen.
Ternyata, restoran itu berisikan pengunjung restoran yang sedang asyik makan fondue! Potongan roti kecil yang dicelupkan satu per satu dalam ketel berisi cokelat leleh atau campuran bermacam keju yang dilelehkan. Angin sepoi-sepoi yang bertiup pertanda akhir musim panas sesaat terasa dingin dan membangkitkan rasa lapar. Fondue memang obsesi Daus, sejak ia menemukan adegan makan fondue di komik Asterix in Switzerland. Mereka pernah mencoba masak fondue bersama, tapi gagal terus. Sepuluh euro seorang untuk hidangan maharaja itu diaminkan Lintang sang ibu bendahara. Serta-merta mereka bergegas masuk ke bangunan tepat di samping Hotel Wolf-Dietrich. Ah, apa yang lebih nikmat daripada melahap potongan roti berlumur lelehan keju panas, sambil memandangi puncak Gunung Alpen berhias salju bersama teman-teman dekatmu"
Sebuah pertanyaan mengusik mereka setelah menyambangi beberapa bakal calon tempat menginap. Mau nginep di mana dua hari ini"
~620~ Diese herberge ist ausgebucht atau This hostel is fully booked , sudah mereka jumpai belasan kali. Lelahnya berjalan kaki semakin terasa meski rasa capek sedikit berkurang karena di kanan-kiri jalan selalu tersaji pemandangan indah.
Mereka berada di salah satu lokasi turis favorit tanpa persiapan booking kamar hostel sebelumnya. Sementara akhir musim panas merupakan peak season. Musim membeludaknya turis. Jalanan penuh dengungan bahasa Inggris aksen Amerika atau British, ketimbang penduduk lokalnya yang berbahasa Jerman logat Bavaria.
Baik, kami punya satu ranjang kosong untuk dua hari ini. Wanita penunggu counter hostel ketiga belas yang mereka masuki akhirnya memberi setengah kabar baik. Saat itu sudah pukul 7.00 malam, perut kembali lapar menuntut makanan hangat. Well, at least mereka bisa menurunkan bawaan mereka dan memasak mi instan di youth hostel Eduard Heinrich Haus. Dengan pertimbangan gentleman, malam itu Lintang satu-satunya yang tidur di ranjang, sementara ketiga pria menyingkir hendak bermalam di stasiun kereta terdekat. Daus, Wicak, dan Banjar duduk berdempetan di
~621~ salah satu bangku Stasiun Kereta Salzburg Hauftbanhooft. Mereka memilih tempat di pojokan sehingga mereka bebas mengisap keretek tanpa mengganggu siapa pun. Malam menunjukkan pukul 22.00 waktu setempat, baru satu jam matahari tenggelam. Sebuah pemandangan indah di ufuk barat, membuat mata mereka tak lepas menatap nyala kemerahan yang perlahan menghilang di balik puncak Pegununan Alpen.
Gile ... dingin juga, ya, kalau malem. Sangkain malem-malem pas summer bakal anget, komentar Banjar sambil membakar rokok kereteknya yang ketiga malam itu. Mulut mereka bertiga sedari tadi terus mengepul bagai cerobong asap, dilatari sugesti bahwa hangatnya rokok dapat menangkis udara malam yang dingin.
Iya, sahut Wicak, untung Lintang dapet tempat tidur yang hangat di hostel.
Mendengar nama Lintang disebut, Daus merasa perlu mengeluarkan unek-unek yang telah lama mengusiknya.
Jar, Cak. Kayaknya kita perlu omongin, deh, situasi per-Lintang-an.
Situasi apa" sahut Banjar sok tak acuh. Egonya masih enggan mengakui bahwa dirinya ikut terlibat
~622~ perang perebutan hati Lintang, dan bahwa Wicak dan Daus ternyata sama-sama pesaing tangguh. Mungkin di Jakarta orang seperti Wicak dan Daus nggak bakal gue pandang sebelah mata buat urusan rebutan cewek, pikirnya jujur.
Udahlah, udah basi main gengsi-gengsian! sergah Wicak. Mending kita tentuin sekarang aja, siapa yang paling pantes ngedapetin Lintang.
Pantes" cemooh Banjar dengan tawa sarkas. Mau ngomongin pantes" Di antara kita bertiga, cuma gue yang bisa nawarin gaya hidup yang pantas dia dapetin! Banjar bekata dengan nada sedikit emosional.
Ah, gue rasa Lintang perlu sesuatu yang lebih daripada sekadar duit! Mungkin lo bisa ngasih materi, Jar. Tapi belum tentu lo bisa kasih nafkah batin yang dibutuhin Lintang! tukas Wicak.
HEI ... HEI! potong Daus. Tak disangkanya sekadar menyebut nama Lintang dapat menyulut perdebatan yang begitu pedas di antara mereka.
Kok malah jadi begini" Katanya kite sahabat. Sok pake-pake nama geng, Aagaban. Tapi, kelakuan masih mau menang sendiri!
Banjar dan Wicak terdiam. Sesal memenuhi hati mereka.
~623~ Ayo dong, ini kan jalan-jalan bareng terakhir kita. Kesempatan terakhir buat Esprit de Corps! Apa lo rela, rusak cuma gara-gara ngerebutin Lintang yang, by the way, belum tentu juga sadar lagi direbutin"! Bener juga si Daus, Wicak mengakui dalam hati. Jadi, gimana" tawar Daus. All for one, and one for all"
Wicak menyungging senyum.
Iya, ya. Kita udah cocok tuh jadi Athos, Porthos, sama Aramis!
Kini Banjar juga ikut terkekeh.
Sayang, nggak pernah disebut-sebut di buku cerita kalau D Artagnan 3 yang paling muda ternyata gay!
Ketiganya terbahak, lalu batuk-batuk karena tak sengaja menghirup kembali asap keretek yang telah dikeluarkan.
Nah gitu, dong! ujar Daus sambil tersenyum lega.
Kan, sayang ngerusak persahabatan cuma garagara perempuan, Bang!
Kedua sahabatnya mengangguk pertanda setuju. Namun diam-diam, salah seorang di antara mereka masih berbisik dalam hati:
Tapi mana ada cinta sejati yang diperoleh tanpa perjuangan"
~624~ Mereka menghabiskan sisa hari di Austria dengan memanfaatkan objek wisata Salzburg yang paling megah, lagi pula gratis: indahnya Pegunungan Alpen! Kali ini dipimpin Wicak sang anak rimba, Aagaban puas berjalan-jalan, hiking, dan foto-foto di lereng gunung, barlatar pemandangan hamparan rumput hijau dan gunung bersalju. Benar-benar seindah pemandangan di atas bungkus cokelat yang dibayangkan Wicak.
Nggak heran kalau si Maria bawaannya pengin larilari dan nyanyi terus di pegunungan Salzburg! pikir Lintang sambil mengingat kembali adegan pembuka film The Sound of Music.
Kini mereka sudah hinggap kembali dengan tenang di dalam bus. Tenang" Mungkin akibat kelelahan yang amat sangat hasil menginap dua malam di stasiun kereta. Karena memutuskan pergi mendadak ke Salzburg, mereka harus rela berpindah-pindah jalur transportasi untuk kembali ke Belanda. Ini hasil ketikan di iPod Banjar:
Via bus Eurolines, kami akan turun di Munich, Jerman. Mungkin punya satu jam untuk meluruskan kaki dan foto-foto sebentar di kota
~625~ yang menjadi saksi aksi teror Olimpiade zaman Jerman terbagi dua. Lalu kita akan naik kereta langsung menuju Luksemburg. Dari sana, langsung lanjut naik bus melewati Antwerp, sampai kembali mendarat di Utrecht. Total 12 jam di perjalanan, melewati 5 negara. Daus emang hebat! I think I m quite sure to rest my case in travel booking with Daus.
Kenyataannya, perjalanan berlangsung lebih dari dua belas jam. Memang, sesuai perkiraan, mereka dibangunkan oleh perhentian mendadak di perbatasan wilayah negara-negara Schengen. Tanda melintasi perbatasan. Beberapa polisi perbatasan yang masuk bus itu tidak mengenakan seragam hijau khas polisi perbatasan Deutschland. Di tengah kantuk yang masih melanda, siapa peduli kalau pukul 7.00 pagi polisi perbatasan pakai baju apa. Satu jam kemudian, mereka baru kaget betul setelah turun dari bus, terpampang besar huruf-huruf yang tertulis terbalik-balik kiri dan kanan. Hlavn" m"sto Praha! Selamat datang di Praha, ibu kota Republik Ceko! Gedubrak! Ini sound efek dari jatuhnya backpack Banjar menimpa tulang kering Wicak. Ya, mereka berempat kini berdiri di Stasiun Bus
~626~ Internasional Florenc, KYi~"kova, di jantung Kota Praha.
Wajah Lintang terlihat kesal sekali, sedang yang lain terlihat kebingungan. Kantong sudah semakin menipis. Kelelahan mencapai puncaknya. Saat ini kamar kecil mungil mereka di negeri orang nun jauh di Belanda sana sudah mirip sekali dengan kamar di kampung halaman masing-masing yang sangat dirindukan. Me wanna go home, now! It s a must! Tapi, bagaimana mungkin bisa sampai ke Praha"
Mungkin dalam logat Master Yoda, Grave danger you are in. Impatient you are. Itu penjelasan yang penting saat semua mata menatap Daus. Daus sedang berbicara dengan alam bawah sadarnya. Tak percaya kalau ia sedang berada di salah satu dari dua tempat idamannya sejak dulu. Surga wanita cantik khas Eropa Timur yang eksotis hanya ada dua dalam benak Daus (atau karena pengaruh download-an koleksinya"), kalau bukan Budapest, Hungaria, ya tentu saja Praha, Ceko. Kini kakinya berhasil menginjak tanah Czech.
DAUSSS!!! jeritan lengking Lintang menyadarkan Daus dari lamunan menjurus porno itu. Sepakan kaki Wicak ikut menambah efek dramatisasi. Daus melongo tersadar.
~627~ Kok, bisa" Singkat pertanyaan Lintang. Lo sengaja, ya" Belum dijawab sudah keluar pertanyaan kedua.
Lo pasti sengaja! Vonis bernada panik keluar dari bibir Lintang tanpa menunggu jawaban.
Tanpa berkepanjangan, Lintang mengambil langkah cepat balik kanan langsung meninggalkan mereka. Rasa panik yang menyergap, disertai bayangan mengerikan bakal ditangkap polisi dan dijebloskan ke tahanan karena tak memiliki visa 4 membuatnya mual. Lintang kabur berlari mencari kamar mandi terdekat. Namun, kesan yang ditangkap oleh Daus, Banjar, dan Wicak adalah Lintang kabur ke tempat antah-berantah karena dilanda amarah yang amat sangat. Semua kelabakan.
Wicak mencoba mencari tahu keadaan sebenarnya, dengan bertanya sekeliling. Banjar dan Daus masih trauma. Dan, Banjar memutuskan mengambil alih tugas mengejar ke arah Lintang pergi.
Us, ini lo nggak sengaja, kan" Kayaknya emang kita salah naik bus, ya" Begitu kesimpulan Wicak setelah kasak-kusuk sana sini. Naluri survival alam bebasnya membuat ia matang dalam situasi seperti ini.
Daus mengangguk saja, termenung bingung. Iye
~628~ beneran, demi Allah, gue juga nggak ngerti kenapa kita bisa sampai di sini.
Mereka terdiam sejenak keduanya, lalu Banjar menjawil si Betawi dodol yang sedang duduk terperenyak. Heh, ini mungkin jawaban atas doa lo kali, Us" Sebelum pulang kampung musti ngelihat surga dunia dulu. Sekeliling lo tuh, nggak usah download. Live view. Bening-bening, hehehe ....
Daus tersentak, mukanya kembali ceria. Ho-oh ... bener banget, huehehe .... Ia bersujud syukur lalu mengucek-ucek matanya seakan tidak percaya. Seakan lupa segala bencana yang sedang menimpa.
Wicak yang mendengar komentar Banjar dan Daus kontan meledak. Heh, Lintang kabur entah ke mana, dan yang ada di otak kalian cuma cewekcewek murahan dari film triple X! Emang dasar, di antara kalian nggak ada yang pantes buat dapetin dia!! semburnya penuh emosi. Kemarahannya meluap untuk menutupi kekhawatiran ekstrem yang tengah ia rasakan.
Lintang, Lintang, kamu ke mana ...?""
Banjar rupanya tak terima dicap sedemikian rupa. Eh, lo jangan sembarangan, ya, kalau ngomong. Yang pantes gandeng Lintang cuma gue! Lagian, gue yang udah usaha paling keras buat dia! Di Jakarta
~629~ cewek tuh berebutan bisa dekat sama gue! Masa buat dapetin Lintang aja gue nggak bisa"!
Kini Daus yang tersinggung mendengar komentar Banjar.
Lintang aja" Enak aje ente bicara sembarangan! Gue juga udah usaha, kok, buat bikin dia demen sama gue! Bukan cuma lo berdua! Gue pengin banget bisa gandeng Lintang pas reunian kampus tahun depan. Biar kelihatan kalau cewek hebat kayak Lintang bukan tertarik sama tipe kayak lo doang, Jar!
Tipe apa maksud lo" tanya Banjar dengan nada pelan. Pertanda emosinya sudah di ambang batas akan meledak.
Tipe berduit yang ngegampangin cewek! semprot Daus dengan emosi.
Wicak memandang perseteruan hebat antara Banjar dan Daus, lalu memejamkan matanya. Kepalanya berdenyut tak keruan hingga membuat pikirannya semakin kalut. Di hadapan Wicak, bahasa tubuh Daus dan Banjar seakan tengah ambil ancangancang adu jotos.
Tanpa sepengetahuan mereka bertiga, sepasang mata sedang mengintip dari balik pintu penginapan kecil tak jauh dari tempat mereka berada. Sehabis
~630~ numpang ke toilet, Lintang shock mendengar pertengkaran sengit di antara ketiga sahabatnya. Rasa kecewa, sesal, dan sakit hati bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Lintang mengambil langkah seribu dan, kali ini, benar-benar berlari menuju tempat antah-berantah. Menjauhi Aagaban.
Guys, udah. Udah!!! Kita nggak boleh emosian gini, sergah Wicak.
Lintang hilang entah ke mana, dan kita nggak ada yang punya visa. Terserah kalau sampai di Belanda kita mau nerusin gontok-gontokan, tetapi prioritas pertama kita sekarang adalah menemukan Lintang!
Banjar dan Daus seperti tersadarkan. Sorot mata penuh marah sontak berubah menjadi pandangan penuh kekhawatiran.
Astagfirullah. Bener juga lo, Cak. Bentar, biar gue cari peta dulu, usul Daus dengan nada penuh sesal. Dengan sigap ia mencari peta Kota Praha dari Tourist Information Centre terdekat.
Let s split up, usul Banjar dengan nada manajerial setelah ketiganya sukses memegang peta Kota Praha.
Kita masing-masing coba mencari Lintang selama sejam. Kalau nggak menemukannya, kita semua balik kumpul ke sini, oke" Sekarang udah siang, target kita nggak boleh bermalam di sini. Bisa-bisa
~631~ diciduk polisi! Bener, Jar, sahut Daus, tadi gue tanya-tanya sama orang di kantor informasi turis. Ada kemungkinan kita bisa dapat kereta ke Jerman, terus ganti jalur di Osnabruck. Paling katanya, sih, kita rugi nambah 15 sampe 20-an euro lah. Dari situ kita pindah ke kereta IC langsung ke Belanda. Tetapi, kereta terakhir dua jam lagi!
Dua jam lagi, pikir mereka serentak. We have to find Lintang, fast!
Kemudian, Wicak, Daus dan Banjar berlari memencar untuk mencari Lintang, berburu dengan waktu.
Banjar berlari menyusuri Sungai Vitava, ke arah Jan Palach Square, lokasi gedung konser Dvorak Hall di teater auditorium Rudolfinum. Ia teringat Lintang pernah bercita-cita ingin menyaksikan Czech Philharmonic Orchestra yang terkenal berlatih di gedung itu. Serasa konser gratis, katanya. Ia bergegas menaiki tangga batu Rudolfinum dua-dua, tak mengindahkan pemandangan megah gedung bergaya neo-renaisans yang sedang ditapakinya. Banjar berlari masuk gedung dan menaiki tangga spiral berkarpet merah tebal, sembari tangannya berpegang pada
~632~ kolom-kolom berukir emas untuk menjaga keseimbangan. Ia menghambur masuk ke balkon tempat para turis biasa bercokol untuk mengintip orkestra kelas dunia sedang berlatih, berharap melihat kuciran rambut Lintang yang hitam legam, atau jaket putih bertudung yang selalu dikenakannya. Matanya menyapu ruangan, hingga akhirnya ia menghela napas kecewa. No Lintang.
Daus mengarahkan kakinya ke kota tua Praha. Matanya berkali-kali melirik peta agar dapat segera menemukan National Marionette Theater, tempat kelahiran kesenian puppet show. Ia teringat Lintang yang pernah berkomentar ingin mengabadikan pertunjukan puppet show di Praha untuk hadiah bagi orangtuanya, yang keduanya pencinta kesenian wayang golek. Biar mereka bisa lihat wayang goleknya Eropa, katanya.
Daus menyeruduk masuk gedung tua di jalan Zatecka, dan celingak-celinguk di antara barisan penonton yang sedang mengantre tiket pertunjukan puppet show paling termasyhur, Don Giovanni karya Mozart. Lintang tak ada di dekat loket. Lintang tak ada di lobi, atau pelataran gedung. Mungkinkah Lintang sudah di dalam ruang pertunjukan"
~633~ Impossible, Sir, kata si penjaga ruangan, there is no show at this moment. All the rooms are empty.
Daus akhirnya berpasrah pada kenyataan: Lintang tak ada.
Wicak segera melangkahkan kaki menuju Charles Bridge, jembatan megah bergaya gotik yang menghubungkan kota tua Praha dengan Istana Praha. Kelima indra Wicak tak mengindahkan keindahan pemandangan Sungai Vitava, kemegahan Istana Praha di hadapannya, ataupun keriaan para seniman jalanan yang meramaikan sisi kanan kiri jembatan. Ia berlari dari ujung ke ujung, berusaha mencari Lintang, berusaha menemukan wajah sayu khas Indonesia miliknya. Lelah berusaha tanpa hasil, Wicak menyandarkan tubuhnya ke sisi jembatan. Pandangan matanya tiba-tiba tertumpu pada patung raksasa bergaya Baroque St. John of Nepomuk, martir bangsa Czech yang dihukum mati pada masa kekuasaan Raja Wenceslas IV dengan ditenggelamkan di Sungai Vitava. Plakat di kaki patung tersebut berkali-kali disentuh para turis karena dipercaya akan membawa keberuntungan bagi mereka yang melakukannya.
I could really use some luck right now, pikir Wicak
~634~ penuh harap. Wicak menyentuh plakat St. John dengan mata terpejam, sambil memanjatkan doa dalam hati:
Tolong ya Allah, izinkan saya menemukan Lintang. Satu jam kemudian, di Stasiun Praha Holeaovice
Daus muncul dengan muka kusut. Lima belas menit kemudian, Banjar muncul dengan muka hampa juga. Mereka speechless sejenak, dan sama-sama mengambil kesimpulan yang sudah mereka duga. Tiada yang berhasil bertemu Lintang.
Alamat kita nginep di Praha nih, Us"
Iya, atau malam ini kita harus langsung lapor polisi. Gue takut Lintang kenapa-napa. Keduanya loyo.
Apa Lintang lagi datang bulan kali ya, ngambeknya sampe segitunya.
Mungk .... Daus tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara menyambar dari belakang.
DAUS!!! Sepasang telapak tangan menjawir mata Daus dari belakang. Bau tangan Lintang.
LINTANG!!! Daus dan Banjar bersamaan girang. Lintang memeluk erat kedua temannya itu. Duh sowry, yah!!! Lintang meminta maaf dengan
~635~ meladeni kedua rekannya yang gemas mengucekucek rambut Lintang. Di belakang Lintang, Wicak ketawa-tawa melihat mereka.
Lo yang nemuin Lintang, Cak" tanya Daus nyengir.
Tahu tuh anak dodol, gue ketemuan tadi lagi bengong, sahut Wicak nyengir.
Ada-ada aja, deh, ini anak ngambeknya. Banjar bersungut-sungut, kesal campur gembira terlihat di sorot matanya.
Aduh ... maap-maap, yah. Maklum cewek suka nggak logis kalau lagi kumat. Lintang cengar-cengir memasang muka sok nggak enakan.
Maaf ya, Us, gue esmosi banget tadi, nggak ketulungan. Nggak seharusnya gue nyemprot lo. Pinta Lintang mengatakan bersungguh-sungguh sembari memeluk erat Daus. Daus keleyengan. Maaf juga ya, Jar. Banjar mengangguk-angguk juga.
Udah deh, ceritanya entar aja di kereta, kita kudu cepet, nih. Daus mengingatkan.
Iya bener, hayuk semuanya kita buruan naik. Nggak lucu yang dicari ketemu masa kita tetep musti nginep. Rugi dua kali dong, ah. Wicak terkekehkekeh sembari mendorong bawaan yang lain agar bergegas-gegas.
~636~ Suara kereta tujuan Osnabruck, Jerman, itu menandai akhir petualangan penuh warna mereka dalam Eurotrip. Sebuah perjalanan penuh pemahaman akan satu sama lain. Memupuk lebih dalam saling pengertian dan hubungan emosional di antara mereka berempat.
1 Visa masuk ke salah satu negara Uni Eropa seperti Belanda juga memperbolehkan pemegangnya memasuki negara Uni Eropa lain yang tercakup dalam perjanjian kebebasan antarperbatasan Schengen Agreement. Negara-negara yang tidak termasuk dalam perjanjian Schengen antara lain: Inggris, Irlandia, Swiss, Liechtenstein, dan Vatikan.
2 Film komedi empat anak muda Amerika yang mengalami
perjalanan seru berkeliling Eropa, produksi Dreamworks (2004). 3 D Artagnan adalah tokoh utama kisah para musketir dalam trilogi novel karya Alexandre Dumas yang sudah berkali-kali diadaptasi menjadi film, yang paling terkenal tentu saja The Three Musketeers dan The Man in the Iron Mask. Musketir adalah jenis tentara modern awal yang dilengkapi dengan musket, semacam senapan kuno.
4 Pada saat cerita ini dibuat, Czech Republic belum termasuk dalam daftar negara yang tercakup dalam Perjanjian Schengen.
~637~ Happy-Log Dua Tahun Kemudian, H-2 Executive lounge, Bandara Syamsuddin Noer, Banjarmasin
Seorang pelayan datang membawakan segelas cappuccino panas untuk pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan. Pria klimis berkacamata itu menganggukkan kepala, mengucap terima kasih dengan sopan. Ia kini sangat menghargai profesi pelayan, mungkin karena pernah lama juga menyambi profesi serupa semasa sekolah di Belanda.
Setelah berhasil mendapat gelar MBA dari Belanda, Banjar kembali ke Tanah Air dengan semangat baru. Kembali ke kantor lamanya, Banjar hanya bertahan enam bulan, meski tinggal setahun lagi untuk mencapai kursi VP sales and marketing. Ia memutuskan pulang kampung ke Banjarmasin, hendak mewujudkan sebuah angan baru. Memajukan industri bawang merah nasional. Dibandingkan komoditas seperti karet, terigu, dan kelapa sawit, bawang merah belum termasuk komoditas unggulan. Walau mantan top marketer
~638~ industri rokok nasional itu mengalami jatuh bangun, Banjar tidak patah semangat. Setelah berupaya satu tahun lamanya, pundi-pundi tabungan hari tua Banjar yang hampir menipis berbalik 360 derajat. Berkat kegigihan Banjar dalam edukasi pasar luar negeri akan khasiat produk bawang goreng kemasan, road show konsisten, serta terobosan strategi marketing yang cukup berani, kerja keras Banjar akhirnya terbayar.
Terbukanya keran pasar Afrika Selatan membuat Banjar dibanjiri order. Tabungannya berlipat ganda dalam hitungan bulan. Memanfaatkan momen, Banjar melakukan ekspansi bisnis ke armada kapal angkut dan pabrik pengalengan bawang olahan. Hingga akhir tahun kemarin, Banjar dijuluki Raja Bawang Nusantara dengan omzet menyaingi salah satu raksasa korporasi Indonesia.
Mata Banjar kini beralih ke layar televisi yang sedang menayangkan siaran berita pukul 6.00 sore. Setelah selesai membaca berita paruh pertama, sang penyiar beralih ke segmen dialog. Ia menghadirkan seorang narasumber di studio, salah seorang staf khusus presiden di bidang hak asasi manusia. Narasumber tersebut menjelaskan perihal penanganan kasus di salah satu daerah konflik.
~639~ Banjar tersenyum melihat sang narasumber menjelaskan aspek hukum konflik dengan semangat berapi-api, dalam logat Betawi yang masih samar terdengar.
Para penumpang kelas bisnis pesawat Garuda Indonesia menuju Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kami persilakan memasuki pesawat. Suara pramugari menggaung dari loudspeaker dalam ruangan.
Banjar segera menggamit tas cabin dan bergegas menuju belalai pesawat yang hendak ditumpangi. Lusa adalah hari yang sangat istimewa baginya, dan ia sudah tak sabar ingin segera sampai ke Jakarta. Studio Metro TV, Kebon Jeruk, Jakarta Terima kasih banyak, Bang, sudah mau hadir di acara dialog kami! ujar si penyiar cantik, sembari tersenyum dan menyalami tangan Daus dengan hangat. Mereka sedang berbincang usai siaran.
Daus tampak memelihara kumis baplang dan mengenakan batik, seragam baru yang kini dikenakan sehari-hari. Penampilan baru membuatnya terlihat semakin matang. Dialog tadi berlangsung seru, dihiasi perdebatan dirinya dengan pewawancara. Paparan Daus yang sangat
~640~ argumentatif, dengan hafalan luar kepala akan kebijakan hukum internasional dan data statistik kinerja pemerintah, membuat Daus termasuk narasumber favorit yang selalu dicari para produser acara berita televisi.
Oh, sama-sama. It s my job!
Selepas pulang sekolah dari Belanda, Daus kembali ke desk lamanya di Departemen Agama, hingga tiga bulan kemudian, saat pemerintah membentuk sebuah tim khusus lintas departemen untuk penanganan sebuah kasus pelanggaran HAM di salah satu daerah konflik. Tim tersebut melapor langsung kepada Presiden. Menteri Agama menugaskan seorang direktur dan Daus, satu-satunya pegawai Depag yang memiliki kualifikasi pemahaman hak asasi manusia tingkat internasional, sebagai perwakilan departemen. Sejak itu, Daus pindah kantor ke Medan Merdeka Barat. Berkat kepiawaiannya menghadapi wartawan dan produktivitasnya dalam menulis kemajuan hasil tim dalam berbagai press release, Daus didapuk menjadi salah seorang juru bicara termuda Istana Kepresidenan. Nama Daus mulai dikenal di media massa nasional. Ia memutuskan mulai memelihara kumis agar tampak gagah saat fotonya muncul di
~641~ koran. Mungkin lusa bisa kami follow up dengan dialog panel, Bang Daus" tanya seorang produser, sambil menilik buku agenda.
Kami ingin turut menghadirkan tokoh masyarakat daerah konflik, lalu tokoh dari Angkatan Darat .... Ucapan sang produser dipotong Daus dengan gelengan kepala.
Wah maaf, lusa saya ada acara yang sangat penting! Mungkin bisa kita atur untuk minggu depan" Biar saya konsultasikan dulu dengan Bapak Presiden.
Produser tersebut mengangguk.
Baik kalau begitu. Kalau boleh tahu, acara apa" Daus tersenyum.
Wah, acara yang sangat istimewa buatku pribadi. Istimewa ... dan membahagiakan.
Daus tak sabar ingin segera berjumpa dengannya. Lusa akan jadi hari bahagia. Pasti.
Starbucks, Changi International Airport, Singapura
Wicak duduk di sebuah sofa empuk, sambil menyipitkan mata membaca surel di layar laptop. One double shot espresso, and one hot chocolate, ujar
~642~ seorang pelayan sambil meletakkan pesanan Wicak di atas meja.
Thank you. I really need this! seringai Wicak sambil menyelipkan tip besar di atas nampan. Sang pelayan tersenyum lebar.
Wicak segera menenggak gelas berisi espresso, mengerjapkan mata menahan pahit, lalu kembali menguap. Jam biologisnya belum menyesuaikan diri dengan waktu setempat. Maklum, ia baru tiba stop over di Changi setelah penerbangan nonstop tengah malam dari Barcelona selama dua belas jam, yang dilakukan khusus untuk menghadiri acara luar biasa.
Selesai meraih M.Sc. dari Universitas Wageningen, Wicak mengikuti kata hatinya untuk meneruskan perjuangan melestarikan hutan Indonesia dari luar negeri. Ia menerima tawaran Ucup untuk berkantor di Barcelona, meluaskan jaring relasi di dunia LSM internasional dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Wicak dan Ucup kini terkenal sebagai dynamic duo researcher Indonesia yang melakukan berbagai terobosan dalam menanggulangi jalur pembalakan liar lintas negara di kawasan Asia Tenggara.
Wicak membuka surel paling atas di inbox. Isinya cukup singkat, tapi sudah cukup untuk
~643~ membuatnya tersenyum. Can t wait to see you!
Wicak menghela napas, menunggu sisa tiga puluh menit hingga tiba waktunya kembali naik pesawat menuju Jakarta. Hari yang telah lama dinanti-nanti akhirnya akan tiba juga. Lusa.
Hari H Lintang celingukan dari atas panggung, matanya menyapu ruang auditorium besar. Ia berusaha mencari wajah sahabat-sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Senyumnya tersungging autopilot, tangannya terus menyalami tamu-tamu yang lewat dengan gerakan bak penari Tor-Tor. Jari berhiaskan cincin emas menyapu sebutir keringat dari kening. Lintang berusaha keras tak menampakkan sakit yang ia rasakan dari beban sunting Minang seberat delapan kilogram yang sedang bertengger di atas kepalanya.
Kami persilakan rekan-rekan Lintang dari Deplu untuk naik ke panggung dan berfoto dengan kedua mempelai. Sebuah suara bergema dari sound system.
Panggung segera dipenuhi teman-teman seangkatan Lintang dari Departemen Luar Negeri, tempatnya bekerja.
~644~ Seusai lulus kuliah di Belanda, Lintang memutuskan untuk mengambil tawaran mengajar tari di Universitas Maastricht. Namun, setelah setahun menjalani mimpi yang telah menjadi kenyataan, Lintang menyadari ternyata dirinya telah memiliki impian lain. Setelah kontemplasi panjang, ia memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Mengikuti saran Mbak Wita, Lintang akhirnya mendaftar seleksi calon diplomat di Departemen Luar Negeri. Dan, diterima! Tamat Sekolah Dinas Luar Negeri, jenjang pertama pendidikan diplomat muda, Lintang menjalani magang di KBRI Madrid.
Kini kami persilakan rekan-rekan Aagaban untuk naik ke panggung untuk berfoto dengan kedua mempelai.
DAUUUS!!! Suara Lintang membahana dari panggung.
BANJAR!!! Lintang telah lama menanti-nanti reuni singkat ini. Tanpa memedulikan image bahwa mempelai wanita sudah seharusnya berlaku anggun, Lintang melambaikan tangan kepada kedua sahabatnya dengan semangat.
Daus dan Banjar yang sedari tadi menunggu di tepian panggung mendekat, lalu memberikan peluk
~645~ dan cium hangat kepada Lintang. Ritual cium pipi kanan-kiri-kanan kembali berlangsung dengan riuh setelah sekian lama absen, membuat sunting Lintang bergoyang-goyang di atas kepala. Daus dan Banjar kemudian memberi pelukan tak kalah hangat kepada mempelai pria di sebelahnya.
Selamat ya, Cak! Gefeliciteerd! Wicak tersenyum lebar. Thanks, guys! Kita seneng banget lo semua pada bela-belain dateng! ujarnya dengan mata sembap menahan haru.
Wicak memeluk erat keduanya dan menarik mereka siap foto bersama.
Praha, dua tahun yang lalu
Wicak melepas pegangannya dari plakat patung St. John, dan tiba-tiba ia melihat sekelebatan rambut hitam legam berkucir. Wicak menemukan Lintang sedang duduk termenung di pinggir jembatan, di tengah hiruk pikuk turis yang berseliweran kian kemari. Arah pandang ke sosoknya terhalang sebuah stroller bayi yang besar. Pantesan dari tadi nggak kelihatan! Lintang begitu terbenam dalam pikirannya sendiri, sampai tak menyadari bahwa Wicak sudah
~646~ ada di sisinya. Lintang! Gila lo, ke mana aja"! bentak Wicak dengan napas tersengal.
Anak-anak semua panik nyariin lo!
Lintang memandangnya dengan terkejut, lalu kembali muram. Matanya terlihat sembap habis menangis, tenggorokannya masih tercekat. Ia memilih tetap diam.


Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lintang, lo kenapa, sih" Wicak mencoba lagi, kini dengan suara lebih lembut.
Kok, tiba-tiba tadi hilang begitu aja, nggak pamitpamit" Lo marah sama kita"
Sori, Cak. Bukan maksud gue ngilang. Tapi ... tadi gue sedih banget liat kalian berantem lagi. Gue pikir semua udah baik-baik aja.
Ya ampun Lintang, cuma gara-gara gitu doang .... Bukan cuma gara-gara itu juga, sergah Lintang. Kini nada suaranya mengeras, dari kecewa menjadi marah.
Seenaknya kalian mau jadian sama gue sekadar buat pembuktian diri! Gue pikir kalian beda! Gue pikir ..., protes Lintang. Pipinya memerah, keningnya berdenyut. Ingin rasanya menangis karena kesal.
Lintang .... ~647~ Nunjukin ke orang kalau bisa dapet ceweklah! Buat ditenteng ke reunilah! Emangnya gue apaan"! Lintang dengerin du ....
Lo juga, Cak" Lo juga"! potong Lintang. Emosinya memanas, tak terkendali.
Alasan lo apa" Biar kelihatan player" Buat disombongin ke temen-temen sekampus" Dasar lakilaki ....
LINTANG, GUE SAYANG LO! teriak Wicak tanpa sadar.
Lintang terdiam. Shock. Gue tahu persahabatan Aagaban nggak seharusnya rusak cuma gara-gara rebutan cewek. Tapi bagi gue, lo bukan sekadar cewek.
Lintang terpana. Lintang ... I love you when you smile. I love you when you yell. I love you when you cry. I even love you when you re drunk!
Lintang tertawa kecil. Pipinya memerah. Kuping gue udah tuli, nggak peduli apa kata orang lain. Mata gue udah buta, nggak bisa lihat perempuan lain. Wicak berbicara terus, getar bibirnya menahan gugup.
Anandita Lintang Persada. All I know ... is that I love you.
~648~ Pada saat itu, Lintang menengadah dan menatap mata Wicak yang sedang memandangnya. Namun kali ini, ia tak sekadar melihat wajah seorang sahabat.
Dalam teduh mata Wicak, Lintang menemukan semua yang ingin ia gapai bersama pacar-pacar asingnya, tapi selalu gagal. Kedamaian di tengah badai. Kehangatan seribu musim panas. Dan, ketulusan untuk dapat mencintai segala kekurangan, menjadikan segalanya sempurna.
Wicak dan Lintang saling bertukar pandang. Rasanya kebahagiaan hari ini lengkap sudah. Setelah menjalani hubungan jarak jauh selama hampir dua tahun, Lintang kembali bersua dengan Wicak di Spanyol saat magang di Madrid. Alam semesta telah berkonspirasi untuk mempertemukan mereka kembali, meyakinkan keduanya bahwa jodoh sudah di tangan.
Banjar melirik sepasang mempelai yang berdiri di sampingnya. Dua tahun yang lalu, Banjar tersadar bahwa ketertarikannya terhadap Lintang sekadar untuk pembuktian diri. Melihat mereka berdua, ia kini merasa bodoh pernah bersaing dengan kedua sahabatnya untuk memperebutkan hati Lintang. Sementara itu, Daus juga tersenyum melihat Lintang
~649~ dan Wicak. Tak lama setelah bertugas di Medan Merdeka Barat, Daus berkenalan dengan seorang penyiar cantik yang bertugas di media centre Istana. Wajahnya serupa dengan Farah, gadis yang mengawali segalanya. Satu-satunya yang mengurangi kebahagiaan Daus saat ia menikah dengan sang penyiar cantik adalah absennya sahabat-sahabat Aagaban yang semuanya berhalangan datang.
Saat fotografer hampir menekan tombol shutter, tatapan keempat sahabat jatuh ke arah pria yang baru memasuki auditorium.
GERIII!!! koor keempatnya memanggil. Hey, wait for me!!! teriak Geri sambil berlari menuju panggung.
Setelah dua tahun tak bersua, tak ada tanda-tanda perubahan pada fisik Geri. Kehadirannya, seperti biasa, menarik perhatian semua perempuan di sekitarnya. Geri sengaja mengambil cuti panjang dari pekerjaannya sebagai manajer marketing di kantor pusat Phillips untuk menghadiri perhelatan spesial ini.
Kedatangan Geri yang tiba-tiba membuat kenangan mereka melayang belasan ribu mil, kembali ke titik pertemuan pertama mereka di stasiun kereta Amersfoort. Pernikahan Wicak dan
~650~ Lintang bagai momen The End of the Fellowship cerita Lord of the Rings. Satu babak cerita berakhir agar lembaran baru kehidupan mereka dapat dimulai.
Lima sosok di pelaminan, tawa riang mereka terekam kamera dokumentasi. Pertemuan untuk kali kesekian, tapi impresi chemistry layaknya kali pertama.
Oke, semua siaaap" teriak sang fotografer. Satu ... dua ... ti .... Belum usai aba-abanya, lima suara bersorak serempak,
AAGABAAAN!!! ~651~ Dank U Wel! Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah Swt. yang mengizinkan semuanya terjadi. Achie, yang pertama merekatkan kita. Nana, Candra, Pak Kamal, dan Pak Philip yang telah mengadopsi kami di Rijswijk. Odi, Mia, Detty, Ika, Ririn, & Meli. Rekan-rekan StuNed 2005, StuNed 2006, dan NFP. Mbak Siska dan NESO team. PPI NL & PPI Eropa, KBRI Den Haag. Mas Kris, Kang Salman, dan Mbak Vian dari Bentang, Ayu Windiyaningrum sang pembuka jalan, Mas Andrea Hirata, Mbak Ucha Trinity, Raditya Dika, dan Kang Luigi Pralangga.
Nisa ingin berterima kasih kepada:
My boys (Anto, Adam, Akhtar) dan keluarga di rumah buat dukungan moralnya. Keluargaku di Leiden: Icha sang motor, Dola sesame mpok-mpok Jakarte, Ela my roomie, Na tashia buat semua sesi gosip, Luis for being so amazing, Abi, Tita-Ari, Ichwan, Mas Margo, Christine, Hastu, dan semua anggota PPI Leiden. Fifi, Ei, Fajar, Anggi, Datu
~652~ ( tjuuun!), dan Selusin Sekdilu 29 di Belanda. Semua rekan Sekdilu 29 dan sahabat di Teletubbies (Chichi, Yuni, Nopei, Kalista, Didi, Dadang, Anto, Dozie, Datu) yang membuat harihari di kantor tetap ceria. Mbak Muni & Ibu Lasmi, ibu kos dan pemberi makan gratis. Oi & Riena yang memacu semangat buat sekolah di NL. Chris, Adit, Lasud, & tim asyik PPI Den Haag. Olie, Fabi, Rizli, Anggara, dan para tukang insinyur Delft. Mike, Nanda, & Tim PPI Berlin, para tuan rumah sempurna. My worldwide friends: Arbenita, Maria-Maria, Angelikhi, Marios, Efgeny, Pauline, Marlene and the whole EUS class, thanks for inspiring me. Festi (11 tahun obrolan tetep nggak penting ya, Bo ") & Tim Asik The Haves Kom 97: Emyr, Bu War, dan Artie. Lalu, para African Divas: Tita, Alet, Jojo & Nadia. You guys are awesome! Thank you all for making the world a better place!
Wahyu juga ingin berterima kasih kepada: Sembah sujud kepada kedua orangtua dan kakakkakak. Inspirasi datang dari sobat saya, Daus, rekan seperjuangan: Radja, Imam, Fajar, Pilar, Mara, Mbak Widya, Reni, Irma, Mas Indra, Silvy, Pak
~653~ Haq, dan anak-anak Indonesian Law Society di Utrecht, HMI Utrecht, para matematikawati/wan, Mbak Chandra dan Mbak Wiwin yang memperkenalkan, apa, sih StuNed pada malam yang indah di Mallacca Setiabudi Building, Firouza, Kakang Saikhu, Bang Usman, Mas Rachma, Mas Tanto, Deli, Eko, Teteh, Wawan dan Dedi, Alberto, Malaala, David, Alemu, Janneke, Wiebe, Marlies, Wendy, dan Daniel, Saefullah Buaya Kundo, Ali, keluarga Yurdi dan geng Geulis, Liavantsi, Bang Wien Muldian, Ipeh, Bisar, Rahmat, Mova, Sunan, dan Dono. Terima kasih Tuhan untuk memperlihatkan sisi dunia yang indah.
Adept sekalian menghaturkan terima kasih kepada: Dayu Amurwanti & Kimi Widiarsa untuk kesabaran serta dukungan yang tak ternilai harganya. Thank you and love you both. Bapak saya di Depok, Mama di Yogya, Mas Bas, Mas Ling, Revi, Ajib, induk semang di Belanda, Max & family, Fellow HHS- MICM yang berserakan di empat penjuru bumi & petani kembar di Van Dekker. Para inspirator saya saat menulis: Om Asril (cerita sampean lucune pol!), Alberto Paolo, Alice, Kristoffer Lundgren, Joey,
~654~ Kattipong, Kees, Rangga, Agung, Don Wilson, dan John. Pak Paulus & Pak Andrew (thanks, Sir!), Pak Rinto (thanks, Meneer!), Herr Yudi Yulianto (danke!), dan seluruh rekan di kantor, thank you! Rizki juga nggak lupa berterima kasih kepada: Allah untuk berkah-Nya; Ma, Pa, Icha, dan Keke untuk dukungannya; ICRAF dan NUFFIC untuk membuka gerbang what-so-called LUAR NEGERI!!!; Ime, Muhi, Ood, Indro, Putra, Ika, Jo, Tintin, Fitri, Nana, Nike, Yurdi, Hakim, Satya, Ana, Mara, Aji, Bimo, Siradj, Ed, Gisti, Fika, Wageningen 2003, Keluarga Kemiri 2002, Geng Geulis 2005, ITC 2003, dan semua sahabat di Belanda untuk amazing friendship; Sadath, Hexy, Anouska, Devesh, Hiep, Chantal and Wouter; the Foreign Foresters; Komando dan Fahutan IPB untuk inspirasi lainnya; Wiwin, Alaya, Atta, Radit, Kang Luigi, dan Guni yang membuat saya menulis; and last but not least ... Antie untuk semangat dan ceter -annya selama ini. DANK JE!!! Untuk semua pihak yang tidak bisa disebut di sini, hartelijk bedankt, beribu terima kasih!
~655~ Tentang Penulis WAHYUNINGRAT (@rwahyuningrat) Gue yakin gue bukan orang pertama sekelurahan gue yang sekolah sampai Belanda. Namun, bisa jadi gue adalah orang pertama sekelurahan Pondok Kopi Kecamatan Duren Sawit yang bisa masuk istana, salaman, sekaligus ngobrol dengan Ratu Belanda. Gue dan beberapa teman sekelas terpilih untuk menghadiri undangan The Fifth Anniversary of the Prince Claus Chair in Development and Equity di Paleis Noordeinde, The Haque. Mengapa gue yang terpilih" Inilah hikmah dari sering bantu-bantu acara International Alumni menjadi tukang sound system di sebuah conference, juga berkah karena punya thesis supervisor yang satu TK dengan Ratu Belanda.
~656~ Tinggal di negeri orang meski susah haruslah luwes dalam segala hal. Beragam cara dilakukan agar tetap bisa survive. Mulai dari ngotot mengganti sendiri ban belakang sepeda yang bocor, yang ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Akibatnya, ongkos servis lebih mahal karena salah bongkar, saat gue menyerah dan membawanya ke montir bule. Bekerja sebagai pelayan di restoran Indonesia sempat membuat gue kaya mendadak sebab kebanjiran tip karena pelayanan yang prima. Semua tamu bule didongengi asal usul soto Lamongan, mengapa rawon kuahnya hitam, dan apa yang dimaksud dengan rujak cingur. Sungguh mereka terkesima. Meski sumpah, susah sekali mencari padanan kata. Kemudian, yang paling mengherankan saat menjadi pelajar miskin di negeri orang adalah gue bisa kuat antre bolak-balik tujuh kali untuk dapat makan kentang goreng khas Belanda porsi jumbo yang saat itu sedang perayaan bagi-bagi gratis. Setelah itu, gue bisa hemat tidak makan dua hari karena kekenyangan.
ANNISA RIJADI (@nisatyas)
~657~ Akhir bulan, saat paling bokek sedunia. Biasanya kalau kantong kering jadi kurang semangat menyambut weekend. Untungnya, saya dan beberapa teman dekat sama-sama punya Path" Unlimited, kartu anggota bioskop Path". Bayar abonemen tujuh belas euro per bulan, boleh nonton sampai botak gondrong. Dari botak sampai gondrong lagi nggak kelar-kelar nontonnya, hehehe. Lumayan juga, mengingat sekali nonton harganya delapan euro. Makanya kita sering mencanangkan Hari Nonton Sampai Jereng tiap akhir bulan. Biar miskin tetap berasa tajir, berkat kartu Path"!
Puas abis nonton seharian, kita masih pengin ngopi-ngopi, tapi nggak punya duit. Pas saat itu, kita baru nyadar kalau ternyata salah satu film yang lagi diputar tengah menawarkan program promo. Kalau nonton film itu, dapat segelas caffe latte gratis! Masalahnya, film itu udah pernah kita tonton. What to do" Tanpa pikir panjang, kita ramai-ramai beli karcis bioskop film promo tadi, menagih caffe latte
~658~ gratis yang ditawarkan, lalu sibuk telepon teman masing-masing: Ada yang minat nonton gratis, nggak" Bener aja, nggak lama kemudian datang serombongan teman yang siap sedia menerima tawaran murah hati berupa karcis bioskop yang mubazir kalau nggak dipakai . Dapat pahala bikin teman senang, ngopi gratis pun kesampaian! RIZKI PANDU PERMANA
(@aaqq) Hidup di Belanda, berarti harus siap dengan segala macam hal yang bernama MAHAL!!! Dengan uang beasiswa yang terbatas, keinginan buat jalan-jalan keliling Eropa hanya bisa disiasati dengan mengirit. Namun, saya bukan tipe orang yang bisa mengirit, apalagi harus ngirit makan. Maka, mencari pekerjaan tambahan adalah salah satu solusinya.
Beberapa pekerjaan tambahan yang pernah saya lakukan adalah cleaning service dan pelayan di
~659~ restoran. Banyak suka dukanya. Suka ketika kita digaji cukup besar. Membuat saya merasa beruntung banget. Ya, bayangin aja, dari kerja cuma bersihin WC dan sekolah selama dua jam sehari, saya mendapat gaji yang lebih kurang sama dengan empat juta rupiah sebulan. Maka, nafsu jalan-jalan saya bisa diambil dari duit itu tentunya. Dukanya adalah ketika menjadi pelayan restoran dadakan di pasar malam, saya dan teman-teman tidak dibayar karena pemiliknya menghilang begitu saja. Yang membuat kami semakin gondok adalah pemilik restorannya orang Indonesia!!! Sungguh tega memang. Semoga beliau dibukakan pintu hatinya.
ADEPT WIDIARSA (@tweedeliefde) Setelah beberapa minggu berdiam di Den Haag, akhirnya saya cukup beruntung berhasil mendapatkan empat sepeda rongsokan yang
~660~ dipungut di tong sampah apartemen elite di Scheveningen. Setelah dibersihkan dan dipilah, voila! Lahirlah sebuah sepeda gado-gado cantik berwarna abu-abu. Lumayan punya sepeda gratisan. Merek di rangkanya Raleigh, sama dengan merek sepeda almarhum embah kakung saya yang mantan carik di Jawa Tengah. Dengan aksesori lampu dan tas bagasi besar gratisan hijau norak bertulis Konmar , jadilah si Raleigh teman setia menemani perjalanan studi saya. Cukup lama sang sepeda tak kenal lelah mengantar saya ke mana-mana, termasuk mencari tambahan euro seperti yang lazim dilakukan para mahasiswa di Eropa.
Hingga pada suatu malam, seusai mengunjungi seorang teman yang tinggal dekat Centraal Station Den Haag, di tempat parkir seperti biasa saya menyipitkan mata mencari secarik warna hijau norak dari tas bagasi si Raleigh. Namun, kali ini yang dicari tidak kelihatan. Loh, kok, ndak ada" Namun, hati saya tetap tenang. Nggak mungkin sepeda saya hilang. Saya masih optimis. Dua puluh menit berlalu, akhirnya saya pasrah, Hilang deh, si Raleigh. Meski sepeda hilang, sebenarnya hati ini tertawa geli. Seandainya tempat parkir itu terang benderang, cuma maling mabuk atau kurang waras
~661~ saja yang mau nyolong sepeda saya. Gimana tidak, setelah hampir setahun disiksa, kini sang sepeda sedang sekarat. Girnya ambrol, pedalnya menggantung siap lepas sewaktu-waktu. Begitu pula dengan rantainya, sambungan di mana-mana, siap putus sewaktu-waktu. Akhirnya, sambil senyumsenyum saya mengejar trem terakhir sembari berdoa semoga si maling nggak keseruduk trem gara-gara si Raleigh yang sekarat ngambek saat dikayuh.
~662~ Pencuri Petir 5 Wanita Iblis Karya S D Liong Siluman Muka Kodok 1

Cari Blog Ini