Ceritasilat Novel Online

Padang Ilalang Di Belakang 2

Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini Bagian 2


nya. Dia keras sekali. 'llak satu pun permainan anakfanak yang
diizinkannya. Ini kotor, itu berbahaya. Bicaranya bahasajawa
yang terputus-putus, banyak diselingi oleh kata"kata Belanda.
Dia belum kawin. Kata Maryam, barangkali sebab itulah dia
bersipat begitu kaku. Aku tak begitu mengerti, tapi
menyetujuinya. Setiap pagi aku harus menyuapi Edi> karena dia makan
lambat sekali. Aku menyukai sepupuku. Tapi dalam hal
makan, aku membencinya. Karena dia menambah pekerjaanku. Sekolahnya dekat. Sedangkan sekolahku lebih jauh. Aku
harus bergegas agar bisa sampai di sana sebelum lonceng
pertama berbunyi. Pulang siang, perutku pedih karena lapar.
Tapi sampai di rumah, sejak Bibi melahirkan, kami mesti
menunggu hinggajam dua untuk makan bersama Paman. Aku
merana, bagaikan semang anak tiri. Edi kurang merasakan
kelaparan itu, karena sekolahnya di Taman Kanak"kanak
hanya sampaijam sepuluh. Selama itu dia sempat membuka
beberapa ladang berisi gula-gula, biskuit atau makanan kering
lainnya. Uwaknya tidak selalu mcmbuntutinya._]adi sepupuku
bisa mengisi perut dengan makanan-makanan kecil itu sambil
menunggu kedatangan ayahnya. Lain dengan aku Sejak
tinggal di sana, setiap pergi ke sekolah aku tidak membawa
bekal makanan. Di rumah kami, di atas meja makan, lbu
selalu menyediakan buah atau makanan lain. Kami bebas
mengambilnya sesuka hati. Aku bisa menyelipkan tiga pisang,
atau dua potong ketela ke dalam tas sekolah. Cukup bual
menahan lapar hingga waktu makan siang.
Sejak tinggal di rumah sepupuku, akujadi mengerti dengan
baik apa arti kelaparan. Pulang dari sekolah, aku berjalan
sambil mencari huah-buah asam yang jatuh dari pohon di
sepanjangjalan yang kulalui. Satu atau dua buah asam masak
yang bisa kutemukan merupakan hadiah yang luar biasa
bagiku. Beberapa kali aku tergoda untuk pulang ke rumah Traksi
atau Atun dan makan di rumah mereka seperti dulujuga sering
terjadi. Tetapi tak sampai hati, karena aku mengetahui Edi
sendirian. Diajuga tidak bahagia dengan aturan"aturan baru
yang dikenakan uwaknya. Ketika mengetahui bahwa aku
selalu kelaparan, dia menyisihkan makanan apa saja yang bisa
diambilnya sewaktu uwaknya memalingkan muka. Pada
waktu aku tiba dari sekolah, di pojok garasii kami
masingmasing membuka sapu tangan, mengumpulkan
kekayaan kami: dua buah asam yang masak, satu masih hijau,
gula"gula dari Treksi, empat biskuit, sepotong kelapa yang
dicuri dari dapur, sebuah pisang. Dengan diam"diam kami
menikmati jenis makanan yang beraneka ragam, tetapi yang
tidak mengenyangkan itu. Hari keempat, aku tidak tahan lagi. Dari sekolah aku
langsung pulang ke rumah orang tuaku. Seperti telah
bertahun"tahun tidak bertemu, kupeluk ibuku sambil
menangis. Kemudian pada waktu makan, kuceritakan
semuanya. Kutanyakan pula, berapa lama Bibi harus tinggal
di klinik" Mengapa kami anak"anak tidak boleh menengok
seperti kata Paman" "7aktu itulah aku diberi tahu, bahwa
bayinya masih amat lemah, karena lahir sebelum waktunya.
Bibi sendiri sakit. Baru ketahuanjantungnya menderita. Aku
harus lebih lama menemani Edi.
"lVIengapa tidak Edi saja yang tinggal bersama kita?"
bantahku. lbu menjawab, bahwa Paman tidak bisa datang setiap hari
menengok Edi ke rumah kami. Dia memiliki kedudukan
terpandang. Harus lebih sering di Pendrikan buat menerima
telepon, tamu dan sebagainya.
Setelah makan, cepat"cepat .Vlaryam memboncengkanku,
kembali ke Pendrikan. Di dalam tas sekolah, lbu memberiku
sejumlah uang. Di dalam tas lain yang tergantung di muka
sepeda, ada sebuah kaleng, penuh makanan kering dan sesisir
pisang susu. Makanan itu disimpan Maryam di belakang
timbunan pakaian kami di dalam lemari.
"Tapi jangan lupa!" katanya, "jangan sampai pisangnya
jadi busuk!" Tentu saja kami tidak akan lupa! Barangkali besok atau lusa
pun telah habis kami makan!
Sejak waktu itu, dua hari sekali, Heratih atau Maryam atau
Ayah, datang sambil membawa tas. Katanya kepada kakak
Bibi: "Ini pakaian Dini."
Lalu kami pergi ke kamar. Edi dan aku selalu tidak sabar
mengetahui kiriman Ibu. Kadang-kadang lemper, kue lapis
atau jajan pasar lain, kacang di dalam kaleng, gula-gula, atau
pisang susu yang bcrhintik-bintik kulitnya. Kami lalu
mempunyai pilihan, minta ini atau itu pada kesempatan yang
akan datang. Kaleng yang telah kosong kami kembalikan,
minta diisi lagi dengan kue keinginan kami.
Pada suatu petang, kami makan bersama. Paman berkata
kepada iparnya: "Lebih baik anak"anak disuruh langsung makan sepulang
dari sekolah. Mereka tentu lapar menunggu aku sampai jam
dua. Yu Anjuga dapat makan bersama mereka kalau mau."
"Sesudah makan, ,Dimas tidak melihat mereka, karena
harus tidur siang," sahut uwak Edi.
"Tidak mengapa. Sore waktu minum teh kami bisa
bertemu." Paman melihat ke arah kami berdua bergantian. Aku
tersenyum, melirik kepada sepupuku. Dia juga tersenyum.
Paman membalas senyum kami. Tentulah lbu atau Ayah telah
memberi tahu kepadanya mengenai nasib kami. Paman terlalu
sibuk Dengan sipatnya yang dingin serta kurang urusan, dia
tidak mengetahui apa yang terjadi di rumahnya. Pikirannya
juga tidak tenang, mengkhawatirkan kesehatan bayi dan Bibi
di rumah sakit. Siang setelah makan, kami memang harus tidur. Tetapi
kami tidak mau tidur. Sewaktu Bibi di rumah, kami tinggal di
ranjang sambil bergurau atau bermain setenang mungkin.
Tetapi sejak Bibi pergi, seakan"akan hendak membalas
dendam kepada uwak Edi, kami berdua diam-diam keluar
kamar melalui jendela. Semula amat sukar, memerlukan
kesigapan tersendiri karena tingginya. Aku tidak pernah
pandai memanjat. Edi menunj ukkan kepadaku cara"cara yang
paling mudah. Sehingga setelah dua kali kami lakukan, aku
dapat keluar"masuk tanpa pertolongannya.
Jendela itu mengarah ke kebun yang luas, tetapi tidak
seramah kepunyaan kami di kampung. Isinya berbagai
tanaman hiasan, diatur terlalu sempurna oleh seorang tukang
kebun yang tinggal bersama pembantu"pembantu di rumah
belakang. Laki-laki ini nampaknya juga tidak suka kepada
kakak Bibi, karena telah berkali"kali melihat kami keluar
melalui jendela, tetapi tidak mengadukannya. Dia hanya
berkata supaya kami berhati-hati, jangan sampai jatuh dan
patah kaki. Lalu dia berangkat tidur, di bawah pohon beringin
yang rindang di dekat pintu gerbang.
Ketika Bibi pulang dari klinik kami merasa seperti terlepas
dari nasib buruk. Dia membawa sepupuku kedua, seorang bayi perempuan
yang mendapat nama Suci Astutiwati. Tetapi selanjutnya,
kami memanggilnya Asti. Waktu itu dia tidak berbeda dari
bayi lain yang pernah kulihat. Kecil mungil, terbungkus oleh
pakaian yang bagiku terlalu seragam: selalu popok dan baju.
Semua bayi yang kukenal berpakaian sama, sehingga tak ada
yang membedakan yang satu dari lainnya.
Aku dapat kembali tinggal bersama orang tuaku.
Rumah kami yang lindung, betapapun buruk dan tuanya,
lebih ramah dan akrab daripada gedung besar kediaman
sepupuku. Kebun kami yang tidak teratur, merupakan kawan
yang setia dan dermawan, memberi berbagai buah segar,
menerima kami bermain di bawah naungan pohon-pohonnya
yang penuh ranting dan daunan. Aku juga menemukan
kembali si jalak7 kucing-kucingku, itik dan ayam yang ribut,
yang justru menggambarkan suasana keluarga dan rumah
tangga. Dan tentu saja7 padang ilalang yang meminggiri kali di
belakang rumah kami. Kira-kira waktu itulah aku sering diajak Heratih ke
mana"mana. Aku tidak ingat bagaimana asal mulanya. Seringkali dia
mengantarku belajar menari ke Eka Kapti. Menunggu atau
meninggalkanku di sana, lalu dia pergi ke rumah kawan"
kawannya di sekitarnya. Pendrikan merupakan daerah
pemukiman yang luas. Jalan-jalannya besar dan kecil,
beraspal dengan rapi. Rumah"rumahnya teratur. Bentuk serta
ukurannya berlainan, sesuai dengan halaman dan kebun yang
melingkunginya. Aku juga sering dibawa kakakku ke tempat pekerjaannya.
Kantor telepon terletak di pinggir alun"alun, di dekat setasiun
bis yang berseberangan dengan pasar _]ohar.
Aku lebih suka membonceng di belakang. Kakiku panjang,
sukar dilipat pada waktu aku harus duduk di depan dengan
sepeda Ayah. Di goncengan belakang, meskipun lebih
berbahaya, aku memiliki kebebasan gerak. Kukira pada waktu
itu pulalah Bapak memindahkan tempat duduk dari belakang
kemudi sepedanya. Heratih memperlihatkan kepadaku tempatnya bekerja.
Nlemperkenalkanku kepada rekan-rekannya yang sedang
dinas. Kebanyakan mereka wanita, duduk menghadapi
papan"papan penuh lubang dan kawat l,)erwarna"warni,
masingmasing ditandai oleh bintik-bintik lampu yang
bergantian menyala. Mereka adalah nona"nona atau nyonyanyonya pegawai kantor telepon. Biasanya aku disuruh duduk
di sebuah kursi. Lalu kakakku berbicara dengan seseorang
melalui telepon. Mula-mula aku tidak memperhatikannya.
Ketika terjadi untuk kedua dan ketiga kalinya, kupingku
kupasang baik"baik. Heratih nampak asyik. Bicaranya
lemah-lembut dengan suara rendah. Kadang"kadang tertawa
dengan manisnya. Aku tak dapat menahan rasa ingin tahuku,
berdiri serta mendekatinya.
"Siapa itu?" tanyaku.
"Mas Ut," jawab kakakku.
"Siapa?" Kakakku menanggalkan alat pendengar dari telinga serta
menempelkannya ke kupingku. Dari jauh kedengaran suara
laki-laki. "Panggil dia: Mas Ut!" kata Heratih.
Aku menurutinya. "Mas Ut!" "Ini Dini" Halo, Dini. Saya kawan kakakmu."
Dan ceritanya lebih panjang lagi, mengatakan dia
bertempat tinggal di Kendal. Bahwa suatu hari nanti aku
harus ke sana bersama Heratih dan sebagainya lagi dan
sebagainya lagi. Hari itu aku mengetahui bahwa kakakku yang sulung
mempunyai pacar. Berita yang kukira istimewa itu kukabarkan kepada Maryam. Dengan tersenyum"senyum kakakku
menjawab bahwa dia telah lama mengetahuinya. Bakal ipar
kami bernama Utono, mengepalai kantor telepon di Kendal.
Dia bersama orang tuanya telah datang ke rumah kami untuk
melamar. Beberapa waktu lagi kami akan ke Gajah, di dekat
Demak, buat merayakan pertunangan mereka.
Selama di rumah Paman, aku tidak pernah mendengar
berita mengenai kunjungan bersejarah bagi kakakku sulung
itu. Anak-anak sebayaku waktu itu tidak dianggap penting
untuk diturut-scrtakan dalam pembicaraan yang berhubungan dengan rencana keluarga. Aku pun menganggap hal itu
telah semestinya. Hanya aku heran, mengapa Maryam tidak
metnbcritahukannya kepadaku. Dia termasuk orang yang
sudah dewasa bagiku. Bagaimanapun dekatnya kami berdua,
dia tetap menganggapku sebagai anak"anak yang tidak perlu
mengetahui beberapa hal tertentu. Dengan kepekaan rasa
kesadaran kanak"kanak, aku merasa tersinggung. Dalam hati
aku berjanji bahwa aku tidak akan bersikap sama terhadap
mereka yang berada di bawah umurku. Karena untuk kesekian
kalinya, aku merasa bahwa batas antara yang besar dan yang
kecil, antara orang dewasa atau mereka yang berumur belasan
tahun dengan anak"anak dari sepuluh tahun ke bawah,
tergaris dengan jelasnya. Seakan"akan ada semacam perkom"
plotan dari pihak pertama terhadap pihak kedua. Dari
pengalaman itu, di kemudian hari, aku lebih mengerti
bagaimana membawakan diri di lingkungan anak-anak di
bawah umur. Kakakku Maryam mengatakan kepadaku apa"apa yang
akan dikerjakannya di Gajah nanti. Bersama adik Utono yang
perempuan dan gadis-gadis sebayanya, dia diminta menolong
menyuguhkan makanan dan minuman. Telah menjadi
kebiasaan daerah kami, apabila ada peralatan perkawinan
atau lainnya, gadis"gadis berumur belasan tahun melayani
para tamu. Maryam jauh"jauh telah merencanakan pakaian
apa yang akan dikenakannya. Aku mendengarkan dengan
penuh perhatian. Kegenitan serta lamunan kakakku, baru kali
itulah kuketahui. Diam-diam aku mengikuti bicaranya dengan
mulut ternganga. Dengan mata dan perasaan anak"anak kuperhatikan Ibu
menjadi pendiam. Sejak kembali dari rumah Paman,
kurasakan ada beberapa perbedaan. Tetapi mengapa dan
dalam hal apa, tidak bisa kutangkap dengan jelas.
Seorang tetangga yang tinggal di dekat tiang bendera adalah
pengunjung kami yang setia. Perempuan itu datang selalu
membawa sesuatu di gcndongannya, berupa dagangan.
Semua barang dapat dititipkan kepadanya sebagai pedagang
perantara. Kain batik> taplak meja, barang perhiasan. Kami
memanggilnya Bu Rus. W'anita itu sudah berumah tangga,
tetapi tidak mempunyai anak. Dia suka sekali kepadaku.
Berkali-kali aku dibujuknya supaya tinggal bersamanya.
Katanya hendak diangkat menjadi anaknya. Tetapi aku tidak
suka kepadanya. Selain karena tubuhnya yang gemuk,
ketiaknya berbau keras. Kalau seharian aku diajaknya
bepergian, setiba di rumah, Ayah telah mengetahui dengan
siapa aku pergi. Karena seluruh rambut dan baiuku telah
menghisap dan menyebarkan bau perempuan itu. Mukanya
selalu berkilauan oleh lemak dan keringat. Dengan susahpayah aku ingin menghindari ciumannya, meskipun penuh


Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih"sayang. Ibu memaksaku agar sekali"sekali pergi ke rumahnya,
sekali-sekali memenuhi undangannya menonmn filem atau
wayang orang. Katanya, kasihan dia tidak mempunyai anak
tempat mencurahkan naluri keibuannya. Dengan taat aku
menuruti kehendak lbu. lVleskipun selalu kusertai penyesalan
yang kukatakan dengan terus terang.
Sejak mengetahui bahwa anak gadisnya akan kawin, lbu
menjadi semakin prihatin. Gaji Ayah tidak dapat diharapkan
untuk biaya perhelatan. Siang-malam ibuku membuat kain
batik dan kue sebisanya Mukanya yang tenang itu kelihatan
sayu, dengan mata yang kurang bersinar dibandingkan
dengan hari-hari sebelum aku pergi ke rumah Paman. Pada
waktu-waktu bersama, nampak benar bahwa hatinya tidak
tenteram, pikirannya tidak hadir. Aku merasakan kerisauan
itu dengan seluruh kesadaranku.
Bapak tetap seperti dahulu. Semua dianggapnya akan
punyajalan keluar. Segalanya yang dimulai dan dimaksudkan
dengan kebaikan akan berhasil dengan baik. ltulah semboyan
yang dipegang Ayah. Aku tidak tahu apakah saudarasaudaraku juga memperhatikannya, tetapi aku sendiri
memahami sipat kedua orang tuaku sejak anak"anak. Yang
seorang sedih dan muram oleh sesuatu hal yang sekecilkecilnya pun. Seorang lagi serba pasrah, yakin bahwa apa yang
akan datang, akan dapat diselesaikan nanti pada waktunya.
_]auh-jauh, Ibu memikirkan pengeluaran uang buat mantu.
Dia telah mengenal baik sipat suaminya. Kalau dia tidak
mengusahakannya dari sekarang, khawatir akan kehilangan
waktu. Menurut ceritanya beberapa tahun kemudian,
kesempatan mencari uang datangnya sepertijatuh dari langit.
Bu Rus sudah lama mengetahui bahwa lbu membuatkan
batik dan makanan kering, tetapi tidak memperjual"belikan
barang lainnya. Sebab itu: setiap kali datang ke rumah kami,
melulu hanya berkunjung, mampir sebagai kawan. lbu juga
tak pernah membeli apa"apa dari dia. Hingga pada suatu hari,
Bu Rus menerima barang dari orang yang memerlukan uang,
berupa kain"kain seprei, sarung bantal, anduk. Semuanya
serba baru serta rapi. Karena orang itu membutuhkan uang dengan segera, maka
dia memberi harga yang rendah dibandingkan dengan nilai
barangnya. Bu Rus selalu mengambil keuntungan dari
dagangan yang dijualkannya. Dia meminta waktu beberapa
hari agar bisa menemukan pembeli yang tepat. Tetapi orang
itu mendesak, mengatakan harus segera mendapat uang.
Cepat-cepat Bu Rus berpikir, siapa kiranya yang bisa membeli
barang itu. Dia mengunjungi kenalan-kenalannya. Yang
pertama, tidak mau. Yang kedua adalah Ibu. Tapijawab lbu
pun mulanya tidak mau. Dia tidak pernah dibiasakan membeli
sesuatu yang tidak diperlukan. Di rumah masih banyak seprei
dan sarung bantal. Lagi pula dia tidak melihat kesepadanan
pasangan kain tersebut dengan ranjang-ranjang kami yang
tua, yang asalnya dari lelangan. Jadi, untuk menolong) lbu
hanya bersedia membeli kain"kain anduk. Bu Rus terus
membujuk. Dengan pandai dan sabar) dia mendesak lbu.
Dikatakannya bahwa itu adalah suatu kesempatan yang
jarang terjadi. Barang semurah dan sebagus itu tidak sering
tersodor demikian saja. Ditunjukkannya sekali lagi nilai bahan
seprei, sulamannya. Setelah beberapa waktu, lbu mengalah.
Dia menghitung uang simpanan yang ada. Dipikir sebentar
untung"ruginya pembelian itu. Kalaupun tidak dipakai
sendiri, kain itu bisa disimpan. Barangkali akan bisa diberikan
kepada Heratih kalau kawin. Pada waktu itu belum ada setitik
rencana pun mengenai hal itu. Namun lbu berpikir sebagai
orang tua. Memiliki seorang gadis berumur delapan belas
tahun, sebagai biasanya orang Jawa tentulah mengharapkan
akan segera mantu. Akhirnya dia membeli semua dagangan
Bu Rus. Dan pembelian itu merupakan pembelian yang pertama.
Disusul oleh dagangan lain yang selalu dikatakan kepunyaan
orang"orang "yang terdesak". Di dalam lemari lbu terkumpul
kain"kain seprei berenda atau bersulam bagus"bagus,
pasangan taplak meja makan, bahkan kain-kain batik cap.
Semuanya datang dari gendongan Bu Rus.
Ketika rencana mantu betul"bctul kelihatan di cakrawala,
dalam liku-liku pikiran mencari jalan guna pembiayaannya,
Ibu teringat akan barang-barang itu. Aku disuruh pergi ke
tempat tinggal wanita itu dengan pesan, supaya datang
menemui lbu. Ibu juga tidak pernah diajar menjadi pedagang. Dia
memang tidak memiliki bakat di bidang itu. Hatinya terlalu
perasa, sedikit-sedikit merasa kasihan. Tidak akan sampai hati
buat berjuang mendapatkan keuntungan yang semestinya.
Tetapi dengan akal yang sehat, melalui perantaraan Bu Rus
atau orang lain, dia ingin mencoba keuntungannya.
Barang"barang itu dibelinya dalam jangka selama satu
setengah tahun yang lampau. Kehidupan semakin susah.
Uang semakin banyak beredar, tetapi semakin merosot
nilainya. Harga-harga menanjak terus. Ibu mengira, bahwa
paling sedikit Bu Rus akan dapat 'menjualkan barangbarangnya dengan dua kali harga beli.
Tetapi rupa"rupanya pikiran lbu terlalu sederhana.
Kebanyakan kain batik laku dengan harga tiga sampai empat
kali harga yang pernah dia bayar. Sedangkan seprei-seprei dan
taplak meja makan, lebih mahal lagi. Daripadanya Bu Rus
telah mengambil keuntungan. Hampir menangis kegirangan
Ibu berkata kepada Heratih bahwa itu adalah rezeki dari
Tuhan yang dilimpahkan kepada anak sulungnya. Karena
menyimpan uang tidak ada jaminan nilainya, Ayah
mengusulkan agar hasil yang datang dari Bu Rus dibelikan
emas. Melalui kawannya orang Cina, Bapak dapat membeli
kepingan-kepingan kuning yang segera menghilang di dalam
kendit Ibuku. Demikianlah! Barang-barang yang dahulu masuk ke lemari,
kini keluar melalui jalan sebaliknya, kembali ke arah Bu Rus
untuk dijual sedikit demi sedikit.
Muka lbu kembali cerah, matanya bersinar.
Dari pengalaman itu dia mendapatkan kepuasan yang amat
penting bagi kami semua. Ayah menunjukkan kepada
anak-anak lelakinya, betapa lbu bisa mengambil keputusan
yang patut dalam menentukan sikap. Dan Ibu kepada
anak-anaknya perempuan berkata, bahwa wanita pun
sanggup bertanggungjawab dalam hal keuangan untuk
keperluan keluarga. Karena memang kemudian akan ternyata,
bahwa Ibulah yang mengeluarkan setengah dari biaya
peralatan perkawinan kakakku.
Kota Gajah terletak beberapa kilometer dari Demak. Ayah
Utono menjadi asisten wedana di sana, Kami memanggilnya
Pak Seten. Melihat orangnya, aku segera tahu, bahwa dia lebih
tua dari Ayah. Kedua suami-isteri berbadan ramping tinggi.
Semua anaknya juga seperti mereka: kurus jangkung. Kedua
orang tua itu mempergunakan bahasa pantai Utara bagian
Timur. Meskipun berbicarajawa krama, namun kedengaran
tekanannya yang menandakan bahwa meraka telah berpuluh
tahun, barangkali turun"temurun dari nenek moyang berasal
dari daerah tersebut. Ketika kereta api sampai di sana, Pak Seten dan bakal
iparku telah menunggu. Kami berjalan kaki menuju ke rumah,
tidak jauh dari setasiun.
Bentuk bangunannya hampir sama dengan rumah kami.
Hal itu segera menjadikan aku krasan. Catnya kuning lembut,
dengan pendapa lebar berlantai mengkilat. Di halaman depan
tidak ada pohon-pohon rindang seperti di rumah kami. Di sana
tergelar luasan rumput hijau, di tengah-tengahnya terdapat
tanaman bunga dan daunan untuk perhiasan, diatur
mengelilingi sebuah tiang bendera. Di pinggir dekat pagar,
barulah kelihatan pohon nangka dan lainnya yang tidak
kuketahui namanya. Ketika kutanyakan mengapa tidak
ditanam pohon-pohon besar yang memberikan naungan,
bakal iparku menjawab bahwa halaman itu dipergunakan
sebagai tempat berkumpul penduduk. Harus tetap terbuka
dan terang. Lalu aku dibawa ke samping, ke bagian rumah
yang bersekat"sekat menjadi bilik. Di belakang ada lagi
bangunan lain. Seperti pada rumah"rumah model kuno. Di
sanalah terletak dapur, sumur bersambungan dengan kamar
mandi serta sepen tempat menyimpan barang. Kemudian
Utono mengajakku ke. luar, ke kandang kuda untuk melihat
kuda, sapi dan binatang ternak lain.
Utono bisa memikat hati adik-adik tunangannya. Terutama
hatiku. Seakan-akan ia mengerti bahwa alam merupakan
kecintaanku. Selama dua hari menjelang perhelatan pertunang"
an itu, aku dibawanya ke sawah, ke parit"parit dengan
jembatan bambu penuh keramahan, mengunjungi penduduk
sekitarnya yang memiliki peternakan itik dan sebagainya.
XVaktu itulah pertama kali dalam hidup aku menunggang
kuda. Kedua orang kakak perempuanku dan Ibu banyak
membantu pekerjaan. Kakak sulungku perlu menunjukkan
kepada bakal mertuanya bahwa dia cekatan mengerjakan
urusan rumah tangga. Kakak-kakakku lelaki menghilang,
diajak oleh adik"adik bakal ipar kami. Utono menggunakan
waktunya buat berkenalan lebih baik dengan aku.
Aku senang sekali berkesempatan menerjunkan diri ke
dalam suasana desa yang murni. lngatanku melayang ke
Tegalrejo, kepada Kakek dan Nenek. Gajah merupakan tanah
yang lebih subur dan berair dibanding dengan sebagian besar
desa dan kota di daerah itu. Lain dari desa kakekku, di sana
tidak ada tanda"tanda kehadiran gunung. Semua nampak
datar, hampir membosankan. Air yang mengalir di parit,
pancuran dan sawah tidak sejuk seperti di tempat tinggal
Kakek. Air sumur memiliki rasa semu asin, terbawa ke cangkir
dan gelas, baik sebagai minuman panas maupun dingin.
Upacara pertunangan tidak begitu mengesan di hatiku.
Kami anak"anak terdorong ke sana kemari. Terselip di
antara tamu-tamu yang penuh di seluruh rumah. Ibu dan
Ayah terlalu sibuk, tidak memikirkan aku. Maryam demikian
pula, turut melayani tamu bersama adik Utono dan
gadis-gadis sebayanya. Dari celah"celah tubuh tamu yang
duduk dan berdiri, aku hanya melihat Utono mengambil
cincin dari nampan yang dipegang seseorang, serta mengena"
kannya ke jari manis kakak sulungku. Kemudian keduanya
berangkulan mendekati dua pasang orang tua kami. Para
orang tua itu mencium dahi bakal pengantin sambil
mengucapkan sesuatu. Lama sesudah itu, barulah lbu mencariku, agar berkumpul
bersama anak-anak lain untuk makan siang di sebuah
ruangan. Dia tinggal di sana, turut mengawasi tertibnya
suasana. Kukatakan kepadanya ketidakpuasanku karena
semua orang telah melupakanku.
"Tidak mengapa tidak melihat upacara itu. Pemberian
cincin itu yang perlu," kata Ibu membujuk.
"Tapi aku hanya melihat dari jauh. Tidak bisa melihat
cincinnya," kataku pula,
"Nanti kau dapat melihatnya. Kupanggil kakakmu agar
menunjukkannya kepadamu. Bagus sekali!"
Hatiku lega. Apalagi setelah melihatjenis makanan yang
disuguhkan. Nasi gurih lengkap dengan acar kuning dan
lauk-pauk lainnya! Sedari kecil aku menyukai segala makanan
yang menyertai berbagai selamatan. Apalagi jika itu
dimasukkan ke dalam besek7 dibawa pulang oleh Ayah dari
kondangan. Aku bisa tahan tidak makan seharian hanya untuk
menunggu kedatangan makanan tersebut. Kerakusanku akan
nasi besekan sedemikian rupa sehingga pada waktu-waktu
sakit dan tidak mau makan, Ibu istimewa membuatnya
sendiri: besek dialasi daun pisang, diisi nasi putih, ditutup
dengan selembar daun yang digunting menurut bulatan
piring, di atasnya diracikkan serundeng dengan kedele, tempe
kering yang dimasak dengan udang dan petai, acar kuning,
sambel goreng ati dengan irisan"irisan cabe merah7 sepotong
daging opor dan seiris goreng ikan basah. Lalu Ibu
mengatakan bahwa aku mendapat "kiriman". Betapapun
payah sakitku, melihat "kiriman" itu aku dapat duduk, dan
makan dengan lahap. Kebiasaan yang keterlaluan itu terbawa
hingga masa dewasaku. Pada waktu-waktu sakit, hanya makanan itu atau mi
kuahlah yang bisa kuhargai.
Ketika bertemu dengan Heratih, sekali lagi kuadukan isi
hatiku karena ketinggalan upacara.
"Tidak begitu penting. Nanti kalau aku kawin, itu yang
benar-benar penting," sahut kakakku.
"Kalau kau kawin" Di mana?" tanyaku dengan khawatir.
"Di rumah kita."
"Ah," hanya itu yang bisa kukatakan karena gembira.
Di rumahku sendiri, aku bisa menyodok ke sana kemari. Aku
akan mengetahui di mana tempat-tempat longgar buat berdiri
dan melihat dari dekat. Tapi tiba"tiba aku teringat, bahwa
bagaimanapun, aku masih anak"anak. Orang-orang dewasa
biasanya tidak peduli kepada kami. Apalagi pada waktu
kesibukan peralatan semacam itu. Dengan khawatir aku
berkata lagi: "Kau akan ingat kepadaku" Kau akan memanggilku
melihatmu berlemparan sirih dengan Mas Ut?"
Kakakku tertawa merangkulku.
"Kau akan selalu berada di sisiku, karena kaulah yang akan
mengipasiku." Janji itu merupakan letusan kembang api yang indah
bagiku. Beberapa kali pernah kulihat pengantin duduk
bersanding di atas kursi yang dihias, dikipasi oleh gadis"gadis
kecil yang berpakaian cantik pula. Tak pernah kubayangkan
diriku akan menjelma seperti salah seorang daripadanya.
Aku melompat meraih leher kakakku, serta kupeluk erat.
Kami berdua berciuman sambil tertawa. Tiba-tiba dia
menjauhkan diri. Mukanya memberengut, berkata kepadaku:
"Seluruh mukamu berbau ikan!"
Aku tidak merasa. Tetapi memang tadi aku makan banyak
ikan goreng. "Ikannya enak sekali," kataku mencari alasan. "Menggorengnya kering, tetapi dalamnya empuk."
"Kau tentunya mengambil banyak sekali," kata Heratih
lagi, kedua belah keningnya seperti hendak bertemu di tengah
dahi.

Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tersenyum menentang mata kakakku yang ingin
menunjukkan kegusarannya.
"lVIakan banyak boleh, tapi harus membasuh bibir dengan
sabun. Coba lihat tanganmu?"
Diambilnya tanganku dan diciumnya. Dia meringis sambil
berseru kecil, "ldiiih!"
Tanpa meminta pendapatku, dia menarikku. Kami menuju
ke kamar mandi. Diam-diam aku menurut. Lebih dari
Maryam, dia memperlakukan akn sebagai momongannya. Dia
memelihara dan memperhatikanku, sekaligus memarahiku
bagaikan anaknya sendiri.
Ketika Heratih mencuci mukaku, aku dikagetkan oleh
kilatan sinar cincin tunangannya. chalakan berlian kecil
mungil di jarinya membikin aku terkejut. Sewaktu kakakku
mengambil kain anduk, aku berkata mengulangi pujianku
yang telah kukatakan, "Cincinmu betul"betul bagus!"
Dia tersenyum. "lajahnya terang, bahagia.
Sebelum mengusapkan anduk pada mukaku, didekatkkannya hidungnya untuk mengetahui apakah aku masih berbau
ikan atau tidak. Dengan sekali gerak, aku mendekatkan wajah
sehingga menyentuhnya. * "Oh!" serunya, "kau masih basah! Bedakku hilang!"
Aku tertawa puas. "Mas Ut mencintaimu karena bedakmu?" tanyaku.
Kulihat kakakku tersenyum, menahan ketawanya. W'arna
merah jambu menerawang pada pipinya.
"Kau ada"ada saja! Ayo, cepat! Aku harus membantu lagi di
dalam." Ketika mukaku telah kering, dia menciumku.
"Nah, sekarang kau berbau wangi," katanya.
hlalamnya diadakan pertunjukan wayang kulit. Aku
mendapat tempat terhormat di muka dan di belakang layar.
Ini belum pernah terjadi selama hidupku! Di muka bersama
dengan Bapak dan kakak"kakak lelakiku, Di belakang bersama
Ibu, Heratih dan Maryam. Ketika pertunjukan dimulai aku
duduk menghadapi karawitannya. Untuk kesekian kalinya
mengagumi dalang yang menjalankan berbagai peranan dan
memainkan wayang dengan kemahirannya. Ketika datang
saatnya perang tanding, atau terbangnya Gatutkaca di
angkasa, aku pindah duduk bersama lbu. Dari belakang kelir
nampak lebih hidup. Tokoh yang kelihatan hitam berukiran
itu bergerak dan menari. Pada waktu"waktu peperangan,
mereka bernapas kuat tersengal-sengal. Saling berlarian,
menjauh dan mendekat kembali. Pukul-memukul, terkam"
menerkam, serta menghindari serangan lawan.
Semalam suntuk aku menyaksikan pertunjukan itu. Tak
sekali pun tertidur. Dalang dan karawitannya selaras,
membikinku kuat berjaga hingga pagi hari. Suguhan makanan
yang dihidangkan di tengah malamjuga menolong tamu-tamu
menahan kantuk. Aku benar-benar puas. Kota kecil yang
hanya kukunjungi sekali di dalam hidupku itu tidak akan
kulupakan. Untuk menghadiri perhelatan pertunangan tersebut, anak
uwakku dari hlagelang yang kawin dengan wedana Kudus
juga memerlukan datang. Namanya Murtasiyah.
Karena masih ada waktu libur beberapa hari7 dia
mengundang kami ke rumahnya. Tetapi hanya Ibu dan aku
yang mengikutinya ke Kudus. Itu merupakan permulaan rasa
keakraban terhadapnya. Untuk selanjutnya, pada kesempatan-kesempatan liburan sekolah, aku datang ke sana, atau dia
mampir menjemputku untuk dibawa ke Magelang. Kedekatan
hati tersebut terbawa hingga masa dewasaku. Pada
waktu"waktu aku menghadapi kesukaran, seringkali dia
menyatakan kehadirannya (lengan sederhana namun akrab.
Kami tidak selalu bersama Sebab itu kerapkali tidak saling
mengetahui apa yang terjadi dengan diri kami maing-masing.
Tetapi begitu mendengar berita keruwetan yang kualami, dia
selalu dengan segera menghubungiku. Sikap dan gerak
dermawan yang tidak kudapatkan dari kebanyakan anggota
keluarga lainnya. Betapa kecil dan sederhananya pertolongan
orang yang telah ditujukan kepada Ibu dan diriku sendiri,
seumur hidup tak akan bisa kulupakan. Sebaliknya, mereka
yang memasabodohkan hidup kami selagi berpelukan dengan
nasib kembang"kempis di masa"masa pertumbuhanku ke alam
dewasa, juga kumasabodohkan. Mereka kutiadakan. Kucoret
dari daftar kedekatan. Kuganti dengan hadirnya kawan dan
teman, meski tanpa memiliki setitik kesamaan darah pun,
namun nama"namanya tertancap di hati bagaikan lambang
keteguhan. Setelah lewat pertunangannya, Utono sering datang ke
rumah kami. Menurut cerita kakakku di kemudian hari, Ibu
amat keras dan kolot dalam mendidik anak"anak perempuan.
Heratih baru berkenalan dengan Utono. Kedua orang muda
itu merasa saling cocok. Utono datang berkunjung, dan oleh
kakakku diperkenalkan kepada orang tua kami. Kata kakakku,
tak sekali pun mereka ditinggal berduaan. Selalu lbu atau
Bapak, salah seorang daripadanya, duduk bersama mereka.
Pertama kalinya Utono meminta izin hendak membawa
Heratih menonton filem) terjadi percekcokan antara Ibu dan
Ayah. lbu tidak mengizinkan. Ayah memperbolehkan.
Akhirnya, agar tidak menyakitkan hati salah seorang, Utono
pamit pulang. Dan kakakku tertinggal menangis di sudut.
Bermacam"macam yang dikatakan Bapak membela kepen"
tingan anak"anak muda itu. Di antaranya dia mengatakan,
bahwa lbu terlalu mengukuhi adat lama, cara"cara pendidikan
yang dia terima dari orang tuanya. Untuk kesekian kalinya
Ayah menekankan bahwa zaman telah berganti.
lbujuga tidak diam termenung mendengarkan saja. Semua
yang terpikir, dikeluarkannya. Dia tidak hendak mempercaya"
kan gadisnya kepada laki"laki yang baru saja dikenal. lbu
bahkan memarahi Heratih, karena tanpa rencana jauh"jauh
sebelumnya, Utono berani meminta izin pergi ke bioskop
malam itu. Seolah"olah barang pinjaman" anaknya yang
sulung hendak dibawa orang, untuk kemudian dikembalikan
lagi. Dalam keadaan bagaimana" Pikiran orang tua tidak
tenang mengetahui, bahwa anak gadisnya pergi dengan
seorang laki-laki, masuk ke dalam bangsal yang gelap, dengan
alasan akan melihat filem. Ayah kami menangkis lagi dengan
mengajukan alasan, bahwa melihat orangnya, memperhatikan
dia berbicara serta memberi kesan mengerti tatacara dan
pendidikan, orang tua dapat menarik kesimpulan bahwa
Utono bukan lelaki yang tidak bertanggungjawab. Keduanya
sudah berkenalan, tetapi memerlukan waktu lagi buat saling
mendekat, bergaul lebih mengetahui kesukaan masing"
masing. Di gedung bioskop banyak orang. Kalau memang
Utono berkehendakjahat, bukan di sana dia akan mendapat
kesempatan melakukannya. _ _
Semua itu kuketahui di kemudian hari, ketika umurku
mencapai belasan tahun, sewaktu Heratih melihat betapa Ibu
tenang dan percaya membiarkan Maryam bergaul dengan
kawan"kawan lelakinya.
Selama dua setengah bulan aku tinggal di rumah Paman,
kakakku yang sulung mengalami kegoncangan rohani yang
lebih besar daripada kami kedua adik perempuannya dalam
berpacaran di masa kemudian. Ibuku tidak pernah mengenal
cara lain buat membesarkan dan mendidik anak perempuan
selain dari apa yang dialaminya dulu dari orang tuanya.
Tetapi ia berpikiran terbuka. Kesediaannya menerima segala
sesuatu yang baru dan sehat membikin kami anak"anaknya
merasa bangga serta berterima kasih terhadapnya.
Lebih"lebih aku. Karena dari semua yang dilahirkannya,
akulah yang terkecil dan paling banyak menerima kelapangan
hatinya. Setelah terjadi pertengkaran dengan Ayah, barangkali Ibu
merenung dan memikirkan kebenaran kata-kata suaminya.
Karena pada kunjungan Utono yang berikutnya, dia
mengatakan bahwa sebaiknya, kalau hendak melihat filem,
direncanakan lebih dahulu. _Jadi dapat diperhitungkan
waktunya. Kalau filemnya untuk segala umur, salah seorang
adik Heratih biar turut, Dan pada waktu"waktu selanjutnya, Maryamlah yang
menjadi pengikut mereka. Setelah aku kembali dari rumah
Paman7 akulah yang mengambil tempat itu. Tapi setelah
pertunangan diresmikan, Ibu menjadi lebih percaya. Heratih
boleh pergi berduaan dengan Utono tanpa seorang pengawas.
Pada suatu hari Sabtu siang yang telah ditentukan, kakak
sulungku dan aku naik kereta api, menuju Kendal. Itu
merupakan puncak perubahan sikap Ibu: Heratih dizinkan
mengunjungi tunangannya, menginap di rumahnya hingga
Minggu sore. Jarak antara Semarang dan Kendal kami tempuh selama
lebih dari tigajam. Sampai di sana hari telah senja, tubuh kami
berbau asap kereta, penuh debu. Setelah mandi, kami
berjalan-jalan menunggu waktu makan Sebentar saja kami
telah keliling kota. Lalu kembali ke alun-alun dan makan di
sebuah warung. Rumah yang disewa bakal iparku besar bagi seorang yang
masih bujangan. Kamarnya tiga, masing-masing berjendela
lebar mengarah ke kebun. Tetapi aku tidak sempat
menanyakan tumbuh"tumbuhan yang ada di sana. Pulang
makan, kami terus tidur. Pagi hari7 ketika Heratih membuka
jendela, barulah teringat olehku akan kehadiran beberapa
batang pohon kelapa di halaman muka. Kakakku mengatakan
bahwa di belakang rumah, kebunnya masih luas, Aku berjanji
tidak akan lupa melihatnya.
Nasi pecel yang dibeli pembantu dari pasar masih hangat
sebagai persediaan makan pagi. Tetapi tidak kuperhatikan.
Aku tidak lapar. Memang tidak pernah bisa makan lahap
sebelum jam sepuluh. Aku tidak sabar ingin keluar. Tetapi
Utono mengekang keinginan tersebut.
"biakan dulu. Sesudah itu, kita ke Bandengan," katanya.
"Ke mana?" tanyaku.
"Ke Bandengan," ulang bakal iparku.
"Apa itu?" tanyaku lagi penuh penasaran.
"Bandengan, tempat orang menjual ikan. Nelayan-nelayan
datang di situ melelangkan hasil jalaannya."
"Pasar ikan," sambung kakakku untuk menjelaskan lebih
lanjut kepadaku. "biengapa kita ke sana?" tanyaku lagi. "Aku tinggal di
rumah saja! Ingin melihat kebuni"
"Kita ke Bandengan bertiga," sahut Utono dengan pasti.
"Harus ke sana sekarang, karena hanya buka pagi hari.
Sesudah itu, kita tinggal di rumah sampai kalian berangkat
lagi ke Semarang." Aku tidak mengerti mengapa dia berkeras kepala hendak
membawaku ke tempat itu. Pasar ikan! Tentulah seperti pasar
lainnya pula, kotor dan bau! Barangkali dia akan membeli ikan
untuk makan siang nanti! Kami bersepeda ke sana. Utono mendapat pinjaman sepeda
wanita buat Heratih. Aku sendiri membonceng di belakang
bakal iparku. Kami menuju ke arah utara, ke pinggir kota.
Ketika melihatnya, barulah aku mengerti. Bangunannya segi
empat, lebar, beratap rendah. Semuanya hitam. Dari jauh
bagaikan balok-balok permainan dari kayu yang biasa
diberikan orang tua kepada anak-anaknya buat mengembangkan dayacipta masing-masing. Yang kami dekati pagi itu
sederhana sekali: lantai semen, beberapa balok sebagai tiang,
atap terpasang di atas tiang-tiang tersebut. Tanpa dinding,
tanpa sekatan. hleskipun segalanya bercat hitam, bukan untuk
menyembunyikan semua yang kotor. Karena memang betul
demikian. Pasar itu basah keseluruhannya, Tetapi bersih.
Saluran-saluran air di tepi setiap deretan meja semen tempat
menjajakan dagangan selalu lancar, tidak seperti yang ada di
pasar Johar, selalu tersumbat oleh kertas dan daun bekas
bungkus makanan atau barang lain.
Baru kali itulah aku melihat ikan sedemikian banyaki Pada
masa dewasaku7 aku berkesempatan mengenal beberapa sudut
dunia. Tetapi belum pernah mengulangi pengalaman yang
sama. Seluruh tempat itu penuh dengan ikan! Dari yang"r kecil
seperti beras, hingga setinggi badan manusia. Terkumpul
dalam bakul-bakul bambu dan anyaman pandan, atau
tergeletak dan bergantungan. Dari warna putih seperti perak
sampai hitam kehijauan. Dari warna kuning jingga sampai
kecoklatan. Karena heran dan rasa kagum, aku jadi terdiam. Sambil
menutupi hidung dcngan sapu tangan, aku mengikuti Utono
dan Heratih tanpa berkata sepatah pun. Hanya mengangguk
menyetujui perkataannya yang berusaha memberi petunjuk
dan penerangan. Aku menuruti suruhan bakal iparku supaya
berdiri di sampingr ikan"ikan yangr bergantungan, untuk
membandingkan tinggi tubuhku dengan "bahan makanan"
tersebut. Ketika pulang, Heratih membonccngkan keranjang berisi
sepuluh ikan bandeng dan tiga lusin kepiting. Ikannya akan
digoreng oleh pembantu. Dua buat makan siang, selebihnya
dan kepiting akan dibawa ke Semarang sebagai oleh"oleh.
Di tengah perjalanan pulang, barulah aku bertanya kepada
Utono, "Itu semua dari laut?"
"Ya. Hasil nelayan semalam dan pagi tadi."
"Banyak sekali!"
"Memang! Dan demikian itu setiap hari!"
"Setiap hari" Sebanyak itu?"
"Ya! Kecuali kalau ada angin topan, nelayan tidak bisa ke
laut. Lalu Bandengan kosong. Pasar sepi. Yang ada hanya
beberapa penjual teri, ikan asin dan pindang, kepitingr dan
kerang yang dapat ditangkap di pantai. Tidak banyak, dan
harganya lebih mahal."
Belum hilang ingatan dari kepala. akan berlimpahnya hasil
laut itu, Utono membawaku mengunjungi kebun. Pohon
buah"buahan di sana lebih beragam dari kebun kami.
Kelihatan lebih terpelihara, terang, karena suami pembantu
Utono membersihkannya setiap hari. Pekerjaannya hanya itu
di samping menimba air atau sekali-sckali disuruh ke luar
rumah. Dan yang paling penting bagiku, siang itu aku melihat
pohon kelapa kopyor dari dekat. Tidak terbayang dalam
pikiranku bahwa kelapa yang lezat itu sama bentuknya dengan
pohon kelapa lain. Ketika Utono mengatakan bahwa
buah-buah yang bergantungan jauh di atas adalah kelapa


Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kopyor, aku tidak mempercayainya. Alasanku, mengapa
begitu buahnya" Mengapa tidak seperti yang selalu kelihatan
di warung"warung dan di rumah makan: bulat, rapi, dengan
bagian sabut yang muncul seperti jambul ayam atau burung
kakatua" Heratih dan bakal suaminya tertawa geli mendengar
perkataanku. Lalu diterangkannya, bahwa untuk membedakan kelapa biasa dari yang kopyor, orang membuat tanda,
ialah cara mengupas. Kalau belum, rupanya sama dengan
kelapa"kelapa lain. Suami pembantu disuruh memetik
beberapa buah. Satu daripadanya dikupas dan dibuka di
depan mataku. Siang itu aku menikmati minuman dingin bersirop merah7
bercampur potongan-potongan kelapa kopyor di dalamnya.
Kenikmatan itu rasanya belum pernah kualami. Kelapa itu
datangnya dari kebun sendiri! Kelapa kopyor yang mahal!
Minuman yang kami anggap mewah, sehingga pada
waktu-waktu Ayah membawa kami makan di warung, kami
tak berhak meminta lebih dari sekali. Tetapi di rumah Utono,
siang itu aku diperbolehkan minum sepuas-puasnyal
Kami kembali ke Semarang membawa dua keranjang besar
penuh oleh-oleh makanan. Ayah dan Nugroho menjemput di
setasiun Poncol. Untuk kesekian kalinya aku bangga
mempunyai bapak yang bekerja di jawatan kereta api. Dia
mengenal semua pegawai setasiun. Dengan mudah pula dia
menemukan seorang kuli yang dapat menolong membawakan
barang ke tempat perhentian becak.
Pulangnya anggota keluarga dari kunjungan ke kota lain
selalu menjadi peristiwa yang penting dalam keluarga kami.
Keranjang dibuka di emper ruang makan. Dua macam kelapa
yang telah dikupas berlainan dipisahkan. Beberapa ikat daun
lompong dan singkong, ditaruh di dekat gentong biar tahan
lama. Kepiting dan bandeng dikeliiarkan,juga dibagi menjadi
beberapa bungkusan serta ikatan. Semua itu akan dikirim
kepada tetangga yang paling dekat dan kenalan-kenalan Ibu
yang baik. Hal itu telah menjadi kebiasaan. Kami selalu
membagi rezeki kepada orang-orang lain.
Kueeritakan semua yang terjadi dan semua yang telah
kulihat di kota bakal ipar kami. Lebih"lehih kunjunganku ke
Bandengan. Teguh dan Nugroho lernganga mulutnya
mendengarkan ceritaku mengenai ikan"ikan tongkol yang
besar, melebihi tinggi badanku. Sekali itu dengan puas aku
bisa membikin mereka keheranan. Aku telah melihat sesuatu
yang mereka belum pernah lihat! Lalu aku mengulang apa
yang kutanyakan kepada Utono.
"Itu semua datangnya dari laut. Coba, bayangkan! Kata
Utono, setiap hari hasilnya sebanyak itu."
"Sekali lagi itu menandakan, bahwa alam kita amat kaya,"
sahut Ayah mencampuri percakapan kami.
"Ya, tapi kalau setiap hari diambil sebegitu banyak apa
tidak akan habis?" tanyaku dengan khawatir.
"Tidak. Karena sudah diperhitungkan oleh keseimbangan
alam itu sendiri. Kecuali jika ada hal"hal baru, yang
datangnya dari luar, yang merusak keseimbangan tersebut."
"Apa itu, Pak?" tanya Nugroho, "kan semua datangnya
selalu dari luar" Hujan, angin..."
"Bukan itu!" jawab Bapak, "hujan dan angin itu juga
sebagian dari alam. Yang kumaksudkan datang dari luar,
misalnya kalau laut menjadi kotor karena campur tangan
manusia. Karena terlalu banyak macam benda yang dibuang
ke dalamnya, karena perang, dan karena macam"macam hal
lagi. Pokoknya yang bukan bagian dari alam itu sendiri."
Tanpa mengerti apa yang dimaksudkan Ayah, aku
mendengarkan percakapan tersebut. Namun keherananku
akan hasil sedemikian berlimpah dari laut belum juga
habis-habisnya. lbu menyambung:
"Kekayaan laut itu datangnya dari Tuhan. Kurnia"Nya
untuk kita mahluk di dunia amat berlimpah-linipah. Kita
harus bersyukur kepada"Nya."
Seolah-Olah itu merupakan akhir perdebatan, kami terdiam.
Tidak lagi membicarakan soal itu, berpindah pada hal lain,
mengulangi kegembiraanku telah melihat pohon kelapa
kopyor. Teguh terkikih-kikih mengetahui kebodohanku.
"Di kebun Kakek di desa juga ada," katanya menambahkan. "Aku tidak tahu. Tidak pernah ada yang menunjukkannya
kepadaku." "Di halaman lain, yang dekat dengan pancuran dan
sawah." Memang aku tahu bahwa ada kebun lain, jauh dari rumah.
Aku belum pernah ke sana. Hanya pernah melewatinya, dan
Ibu menunjukkannya darijauh. Sewaktu di rumah Kakek aku
memang mendapat minuman kopyor, tapi kukira Nenek
menyuruh beli dari pasar karena mengetahui kesukaanku itu.
Rupanya mereka memetiknya dari kebun sendiri. Sekali lagi,
oleh pengetahuan tersebut, aku merasa diri kaya-raya karena
di kalangan keluarga ada yang memiliki pohon kelapa kopyor
kegemaranku. Setelah Kendal, perjalananku berikutnya adalah ke
Ponorogo. Paman ada keperluan kejawa Timur. Dan akan singgah ke
rumah orang tuanya. Dia bertanya apakah Ibu mau turut.
Dengan cepat orang tuaku berunding. Paman akan naik mobil.
Berarti perjalanan tidak akan memerlukan uang banyak. Ibu
teringat ingin memintakan pangulu buat kedua bakal
pengantin. Dia tidak hendak melewatkan kesempatan yang
tersedia itu. Untuk menemaninya, aku dipamitkan dari
sekolah selama dua hari. Digabungkan dengan hari Minggu,
seluruhnya empat hari. Seperti kilat cepatnya, perjalanan berlangsung dengan baik.
Paman tinggal semalam di Ponorogo, lalu berangkat ke
kota"kota lain selama tiga hari.
Aku menemukan kembali rumah dan kebun yang tidak
kusukai. Pak De dan Bu DC. tetap dingin danjauh. Kesan yang
kudapat beberapa tahun yang lalu tidak berubah. Dua hari
tinggal di sana kurasakan seperti dua bulan_ panjang dan
bertele-tele. Hanya satu sinar kecil yang membikin hatiku ragu
bertanya"tanya, perasaan apa sebenarnya yang dimiliki orang
tua ibuku terhadap kami: Bu De menyuruh menyembelih dua
ekor ayam muda. Pada mulanya aku mengira, sambutan itu
ditujukan kepada Paman. Tetapi ternyata Bu De mengetahui
bahwa Paman harus berangkat pagi"pagi buta keesokan
harinya, tidak akan sempat sarapan nasi.
Aku berkeliaran di kebun. Mengintip ke luar dari pintu
gerbang. Pada kesempatan-kesempatan yang tersedia. meng"
endap-endap keluar. Memasang batu"batu kecil atau jeruk
nipis di atas rel, lalu menunggu kereta api lewat yang melindas
kerikil dan buah itu dengan seluruh berat tubuhnya.
Setiap ke kakus di belakang rumah, aku tertawa sendirian
teringat kepada kakakku Maryam. Lalu menyanyi"nyanyi,
mengharapkan datangnya suara lain yang menyambung atau
mengiringiku. Tetapi semua membungkam. Hanya gericik air
kali yang mengalir di bawahlah yang kedengaran. "Cina"
yang dulu menjadi kawan kami berdua tidak pulang dari kota
tempatnya bersekolah. Hal itu kuketahui beberapa tahun
kemudian. Akhirnya kami pulang kembali ke Semarang. Kami naik bis
dari Ponorogo menuju Nladiun, di sana Paman berjanji akan
menemui kami. Kakak kami yang sulung kawin.
Setelah diunduh seminggu kemudian, untuk sementara,
pengantin baru tinggal bersama orang tua Utono yang telah
pensiun di Perbalan. Aku sempat ke sana sekali,
Lalu meletuslah pertempuran itu.
Sejak Paman pulang dariJawa Timur, hampir tiap hari dia
datang menemui Bapak. Persiapan perhelatan perkawinan
Heratih menjadi bahan perbincangan. Dia banyak membantu
dalam segala hal. Tak mengherankan jika orang melihatnya
sering berada di rumah kami. Tapi aku memperhatikan bahwa
kedua saudara sepupu itu selalu menghilang dalam kamar
depan sebelah barat, tempat perundingan penting yang tidak
boleh didengarkan oleh anak"anak. Kami tidak mengetahui
apa yang mereka bicarakan. Ibu, yang biasanya membisikkan
satu atau dua kalimat rahasia: kali itu juga membungkam.
Lalu, segera setelah Heratih kawin, Bapak menggali sebuah
lubang di pojok kamar tengah sebelah timur. Sebagian besar
perhiasan Ibu dimasukkan ke dalam sebuah lodong, ditutup
dengan kebaya-kehaya ronda dan sutera. Lodong diletakkan di
dalam lubang itu. Dan ubin dikembalikan pada tempatnya,
terlindung oleh tempat tidur kayu. Pada salah satu sisi
dinding, Bapak membikin lapisan dinding lagi terbuat dari
papan. Di ruangan yang sempit itu diselipkan berbagai harta
yang masih tersisa setelah mantu: kain batik halus, seprei,
buku-buku dan kertas"kertas. Tidak ketinggalan sekantung
kapur barus untuk mengusir rayap. Kami anak"anak tidak
diperbolehkan membuka mulut kepada siapa pun.
Aku tidak ingat tepatnya, tetapi beberapa hari setelah
pekerjaan tersebut, kepala kampung mendapat perintah dari
orang-orangjepang yang berkuasa, agar penduduk menyerahkan semua barang berharga yang mereka miliki. Patungpatung dan barang besi yang menjadi perhiasan kota telah
lama diambil tentara. Kata Ayah, untuk dicairkan kembali
dan dijadikan senapan dan senjata perang lainnya. Menurut
propaganda di radio, selalu demi kepentingan Asia Timur
Raya. Sekarang penduduk harus memberikan bantuan supaya
Jepang menang menghadapi tentara sekutu Inggris dan
Amerika Semboyan yang kami dengar di sekolah dan di
kampung ialah'71nggris kita linggis Amerika kita setrika. "
Saudara" saudaraku biasa menyerukannya dengan penuh
semangat. Aku sendiri meniru mereka dengan taat.
Barang-barang emas berlian diserahkan kepada tentara Dai
Nippon. Dengan perasaan sayang, Ibu melepaskan peniti
kebaya dan dua cincin. Kata Ayah, agar tidak menarik
perasaan iri orang luar. Rumah kami adalah yang terbesar di
kampung itu. Satu"satunya yang memiliki kebun luas di muka
dan belakang. Yang tidak mengenal kami dengan baik
tentulah mengira kami hidup mewah, memiliki barang dan
kekayaan yang tidak terhitung. Untunglah kepala kampung
termasuk salah seorang tetangga yang mengetahui keadaan
kami sebenarnya. Apalagi seluruh kampung tahu, bahwa
orang tuaku baru saja mantu. lN/Iereka semua tahu pula bahwa
mantu berarti hutang atau menjual sebagian bahkan seluruh
harta milik. Seisi kampung juga mengetahui bahwa lbu
menerima pesanan batik serta pesanan makanan kering untuk
menutup keperluan hidup. Dengan beberapa barang berharga
yang dikurbankan, kami sekeluarga terhindar dari kecurigaan.
Kepentingan Asia Timur Raya!
Kemakmuran dan kebebasan yang diharapkan rakyat
ketika ditinggal penjajah Belanda, hanya datang berupa janji
serta keprihatinan. Kemelaratan yang dulu tidak kelihatan,
kini tersuguh di mana-mana. Tak selangkah pun kami berjalan
tanpa menjumpai tanda-tanda kemiskinan dalam segala hal.
Pakaian kumal dan kotor. Makanan apa lagi!
Kami sekeluarga menerima bagian bahan makanan,
ditentukan jumlah kilo maupun literan. Segalanya terbatas.
Sekali"sekali, kami menerima selundupan beras baru yang
bersih dan pulen dari desa. Dengan khidmat kami diam-diam
menikmati hasil yang tumbuh dari tanah nenek-moyang.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama.
Pada suatu malam, aku terbangun oleh kesibukan yang
terjadi di rumah. Dari ranjang, tiba-tiba aku mendengar suara
senjata api. Disusul oleh ribut-ribul dijalan kampung. Orang
berlarian, berteriak, dari arah tangsi polisi menuju ke arah
sungai di belakang. Seseorang berbicara dengan Ayah di pendapa.
"Harus mengungsi, Pak! Seluruh kampung dikosongkan."
"Ke mana?" kudengar suara Bapak.
"Ke mana saja. Ke Batan lagi kalau mau."
"Baik. Kami bersiap-siap."
Aku turun dari tempat tidur. Di ruang makan Maryam
sedang menolong Ibu mengemasi makanan, dibungkus dan
dimasukkan ke dalam sarung bantal.
"Kau sudah bangun?" tanya Ibu kepadaku. "Cepat ganti
pakaian! jangan lupa pakai baju hangat dan kain leher."
"Mengapa" Kita akan ke mana?"
"Mengungsi," sahut Maryam. "Cepat!"
"Lalu rumah kita" Siapa yang jaga?"
Karena tidak mendapat jawaban, aku berlalu dari sana.
Dari arah tangsi semakin ramai keributan yang terdengar.
Penghuninya berbondong ke padang ilalang. Barangkali
berdesakan akan menyeberang jembatan ke Batan.
Ketika berganti pakaian, kudengar lbu berbicara dengan
Bapak. Seperti perbantahan kecil. Aku segera keluar kamar.
Ayah telah menghilang Tetapi suaranya kedengaran di arah
samping rumah, di jalan kampung. Dia berbicara dengan
tetangga. Lalu kembali. Katanya kepada Ibu:
"Kau benar, Bu. Banyak yang tidak mau pergi. Semua
tetangga di Selatan mesjid tetap tinggal di rumahnya."
"Jadi?" tanya Maryam. "Kitajuga tidak perlu mengungsi."
Nugroho muncul, entah dari mana. Dia mendukung
bungkusan kain yang diikat.
"Letakkan di sudut, Nug," kata Ayah. "Kita tidak jadi
berangkat." Kedengaran kakakku menggerutu.
"Biarkan saja, jangan dibongkar. Siapa tahu, barangkali
kita harus pergi tiba"tiba," kata Bapak lagi. "Untuk
sementara, kita tetap tinggal di rumah."
Sekali lagi, seperti beberapa tahun yang lalu, kasur"kasur
diangkat dari tempat tidur. Sebagian diletakkan di atas meja
makan, sebagian di sampingnya sebagai penutup atau
penghalang, Kami anak"anak berdesakan di bawah meja. Lalu
Bapak keluar. Dengan susah payah lbu menahan anak"anak
lelakinya. "Jangan ikut bapakmu serunya.
Tetapi tak seorang pun menjawab atau mendekat. Darijauh
sayup"sayup suara tembakan bersahut-sahutan.
Hari itu kami tidak masuk sekolah. Bapak melarang
Nugroho dan Teguh keluar dari kampung. Mereka bertiga
kerapkali menghilang, menggabung dengan laki"laki lain yang
menjaga kampung kami. Aku ingin sekali mengikuti mereka,
Tetapi Ibu tidak dapat kubujuk agar melepaskanku. Kata


Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teguh, di ujung kampung dibikin pintu dari seng dan kayu. Di
belakangnya diperkuat dengan timbunan karung-karung
pasirl Kami semua memikirkan keselamatan Heratih dan keluarga
Paman. Tetapi kampung Perbalan cukup tersembunyi.
Bahaya tidak sebesar yang mungkin mengancam orang yang
tinggal dijalan besar. Berkali-kali Bapak bertanya kepada Ibu,
apakah sebaiknya dia berangkat menjemput Paman atau
tidak. Tetapi Ibu tidak bisa memutuskan. Akhirnya Ayah
berpendapat, bahwa kalau memang ada bahaya yang
mengancam, Paman niscaya akan datang sendiri tanpa
jemputan. Sorenya, Kang Marjo dan isterinya mengungsi ke rumah
kami. Gedung pertemuan tempat laki-laki itu bekerja dan
tinggal, terletak dijalan besar Pendrikan pula, sama dengan
keluarga Paman. Sebelum ke kampung kami, mereka
mengungsi di Pendrikan Tengah. Di sana mereka bertemu
dengan keluarga Paman. Berita itu membikin lega hati Ibu.
Dengan hadirnya Kang Marjo, percakapan menjadi
semakin hidup. Dia membawa kabar baru dari dunia luar.
Pemberontakan meletus di kalangan pemuda PE'l'A terhadap
pemerintahan jepang. hiereka berbalik melawan guru dan
pcndidiknya sendiri lalu merambat hingga ke seluruh kota.
Tentara dan polisiJepang tidak lagi membedakan pemberon"
tak dengan penduduk biasa. Mereka menembak mati semua
orang yang dicurigai dan yang lewat di jalanan. Dengan
kagum aku memandangi kedua suami-isteri itu. Katanya
mereka datang dari Pendrikan Tengah melalui jalan yang
bcrliku-liku untuk menghindari jalan besar. Tetapi mereka
harus menyeberangi Bojong agar sampai di Randusari,
kemudian menyelinap di kampung"kampung hingga sampai di
Batan Miroto. Bapak dibantu oleh Kang hlarjo serta kakak-kakak lelakiku
mulai mengatur persediaan yang harus diangkat ke dalam
rumah induk. Mengisi kenceng besar dengan dedak dan air,
diturunkan ke kandang itik di kebun. Semua diperhitungkan
buat keperluan hidup dua atau tiga hari.
Tetapi pertempuran berjalan selama lima hari penuh.
Selama itu kami tidak keluar dari rumah. Bahkan membuka
pintu ke kebun pun tidak. Untuk ke kakus yang terletak di
bangunan belakang, kami menunggu redanya suara tembakan
yang sering kedengaran gaduh dan dekat sekali. Beberapa kali
kami bahkan merasa menjadi sasaran pertempuran. Suara"
suara teriakan dan seruan dalam bahasajepang amat ribut di
kebun tangsi7 terus ke belakang. Disusul Oleh derap sepatu
tentara yang berlarian di jalan kampung di samping rumah.
Lalu siutan peluru dari segala penjuru. Aku rnenelungkupkan
diri di bawah meja, menahan napas. Dalam sinar
remang-remang, kuterka bibir lbu tidak hentinya bergerak
mengucapkan doa selamat. Maryam terhimpit di sebelah lain,
berdesakan dengan Teguh. Bapak dan Nugroho di kamar
sebelah barat, sekali-sekali merangkak menanyakan apakah
semua baik"baik. Kang Marjo dan Yu Saijem mendapat kamar
tidur, berbaring di bawah tempat tidur.
Kami makan sebisanya dan seadanya, Karena khawatir dan
takut, tak seorang pun merasa benar"benar lapar. Dua-tiga
kali sehari pada waktu siang, Bapak membiarkan pintu yang
menuju ke latar terbuka sedikit supaya sinar matahari dapat
masuk. Begitu terdengar suara bedil yang mendekat,
cepat-cepat pintu ditutup kembali. Dan kami berdesakan
mencari perlindungan. Ayah berdaya-upaya agar 'anak-anaknya tidak merasa
terpenjara oleh kebosanan karena tidak bergerak dan berbuat
sesuatu pun. Pada siang hari tidak ada kesukaran. Kami
bergantian bermain catur dan kartu. Yang ingin membaca
atau menulis diizinkan menyalakan lilin atau lampu teplok
untuk menambah terangnya sinar matahari yang masuk dari
celah-celah papan. Tetapi jika ada bunyi senapan terlalu
dekat, harus eepat"cepat memadamkan lilin atau lampu itu.
Petang dan malam hari lebih sukar untuk menghabiskan
waktu. Selain lampu saku yang dinyalakan pada saat"saat
mendesak, kami hidup dalam kegelapan yang mutlak, Lalu
Ibu dan Ayah bergantian bercerita. Lebih sering mengenai
wayang, dongeng"dongeng rakyat atau yang berhubungan
dengan keadaan dan asal-usul keluarga. Selalu diiringi ajaran
budi pekerti, adat dan kebiasaan.
Aku sendiri tidak merasa bosan. Bersama Ayah dan
Maryam selalu ada yang kami kerjakan. Baik berupa
permainan, percakapan maupun usaha buat membaca atau
menulis di siang hari. Yang kami kasihani adalah lbu. Dia
tidak bisa tinggal berdiam diri. Kegiatannya membatik,
memasak, bercocok tanam. Dalam kegelapan tak ada yang bisa
dikerjakannya. Matanya kurang kuat untuk membaca dengan
pertolongan sinar remang"remang. Sekali"sekali kedengaran
keluhnya, panjang. Apalagi dengan keributan Nugroho dan
Teguh! Kedua kakakku itu amat sukar diatur. Baru dua kali
bermain catur atau kartu, sudah bertengkar. Saling menuduh,
berbantah, mengatakan yang seorang menipu lainnya,
mengintip kartu atau mengganti tempat anak caturnya. Kalau
Ayah berhasil mendamaikan keduanya, itu berarti keuntung"
an besar bagi kami. Tetapi apabila tidak, mereka berkelahi.
Seringkali berakhir dengan tamparan Bapak kepada kedua"
nya. Kemudian kedengaran tangis yang ribut, gerutu Nugroho
yang penuh kata"kata jahat.
Aku tidak bisa berbuat sesuatu pun untuk menolong lbu,
selain bersikap dan berkelakuan semanis mungkin. Pada
waktu"waktu ada keributan luar biasa terjadi di antara kakak
lelakiku itu, cepat"cepat aku menutup kuping Ibu dari
belakang. Kukatakan supaya dia tidak mendengarnya. Ibu
tertawa sambil menciumi mukaku.
Pada kesempatan-kesempatan tenang yang agak panjang,
Ayah keluar bersama Kang Marjo memberi makan
binatang"binatang di kandang dekat latar. Burung"burung
semua diungsikan ke dalam sepen. Ayam-ayam tenteram,
tidak keberatan tinggal di kandang seperti pada hari-hari
musim hujan. Ketika pertempuran pecah, tidak semua kucing
berada di rumah. Tetapi kemudian seekor demi seekor datang,
bisa masuk ke halaman dan mengeong-ngeong meminta
dibukakan pintu. Yang dikhawatirkan orang tuaku adalah
nasib itik di kebun belakang. Makanan mereka tentulah telah
habis. Kang Marjo mengatakan hendak keluar ke sana, tetapi
Bapak tidak menyetujuinya Katanya, kami harus berhatihati. Jalannya peluru yang ditembakkan orang tidak pernah
dapat diterka arahnya. Cukup dengan sedikit nasib buruk,
kami akan bisa menjadi kurban. Peluru yang tersesat bisa
membunuh siapa pun tanpa pilih"pilih.
Ternyata memang benar Bapak berpikir demikian.
Lalu suasana tiba-tiba menjadi reda. Satu jam lamanya
kami tidak mendengar suara tembakan. Seorang demi seorang,
kami keluar ke halaman. Dijalan kampung di sebelah rumah,
mulai kedengaran orang"orang lewat. Waktu itulah Maryam
melihat lubang-lubang di dinding seng yang membatasi
halaman (lari "'dan Dalem. Itu semua bekas peluru! Kami
berkerumun melihat dan mengamatinya. Kudengar lbu sekali
lagi bersyukur kepada Tuhan Yang Pengasih dan Pelindung.
Ayah turun ke kebun di belakang rumah. Kami mengikutinya.
Dua itik mati kena peluru. Kandangnya berlubang-lubang.
Pagar kebun rusak di beberapa tempat, scolah-Ulah telah
dilewati segerombolan orang. Kebun kami benar-benar
menjadi jalan orang"orang yang baru bertempur.
Di rumah induk juga ada beberapa lubang bekas peluru.
Hingga di kemudian hari, setiap kali aku masuk ke
kamar"kamar tersebut, cukup dengan menengadahkan muka
aku masih dapat melihatnya dengan jelas.
Kemudian diumumkan melalui radio, bahwa pemberontakan telah dapat dipadamkan. Penduduk diminta meneruskan
kegiatan masing-masing. Kantor dan sekolah harus dibuka
kembali. Namun pada hari pertama selesainya pertempuran,
kami belum boleh keluar dari kampung. Heratih dan Utono
datang, menangis gembira di dalam pelukan lbu. Bapak
berangkat mencari berita tentang Paman, segera kembali
dengan membawa kabar keselamatan mereka. Tetapi ayah
tidak bercerita sedikit pun mengenai apa. yang dilihatnya di
jalan"jalan. Sedangkan Teguh, yang melanggar larangan
orang tua kami keluar dari kampung, pulang dengan ceritanya
yang mendirikan hulu roma: sungai-sungai penuh bangkai
manusia, jalanan penuh mobil dan kendaraan rusak, bekas
terbakar. Untuk berangkat ke sekolah, ada dua jalan yang biasa
kulalui. Keluar dari kampung, aku bisa mcngambiljalan besar
Bojong, terus ke barat hingga hampir ke ujung, belok kanan, ke
jalan Pendrikan. Dari sana belok ke kiri ke jalan
Mangkunegaran, kemudian ke kanan masuk ke jalan yang
lebih sempit, Pendrikan Selatan. Dari sana sudah dekat terus
ke Pendrikan Tengah. Satu jalan lainnya ialah setelah keluar
dari kampung, menyeberang, masuk ke kampung Basahan.
Dari Basahan, keluar ke jalan Karangtengah. Dapat
diteruskan hingga Pendrikan Utara, lalau mengambil
jalan"jalan kecil hingga keluar lagi di Pendrikan Tengah. Atau
dari Karangtengah, belok ke kiri, ke jalan besar Pendrikan.
hlelalui muka rumah Paman dan sepanjang jalan itu,
sampailah di "Rumah Setan", lalu belok ke kanan, masuk ke
daerah Pendrikan Tengah. Untuk menyaksikan sendiri kabar yang dibawa kakakku,
keesokan harinya aku berangkat ke sekolah mengambil jalan
besar Bojong. Di muka kampung dan sepanjangjalan itu, ada
sungai yang mengalir. Itu adalah salah satu anak kali
Semarang yang diarahkan ke tengah kota. Dan waktu itulah
aku melihat korban pertempuran atau perang. Aku melihat
pemandangan yang tak akan terlupakan seumur hidupku.
hlenjadi satu dengan sekian kejadian yang tertancap di
kepalaku. Di dalam sungai, di arah kampung Bedagan, di mana ada
pintu air yang mengatur tinggi"rendahnya aliran air> aku
melihat bangkai manusia bertumpukan. Bagaikan barang tak
berguna, sampah yang harus dibuang, sisa-sisa tubuh manusia
itu tertimbun di sana, basah dan berbau busuk. Sekali
pandang aku melihat pakaiannya yang kuning, hijau atau
coklat, seragam tentara maupun kesatuan"kesatuan militer. Di
depan kota praja ada lagi kumpulan mayat seperti itu.
Bercampur aduk sipil dan tentara, orang Jepang dan orang
Indonesia. Di mana"mana orang berkerumun melihat
timbunan demikian. Beberapa di antaranya memegang
bambu runcing atau galah, membalik-halikkan mayat itu.
Ketika seseorang bertanya apa yang sedang diperbuatnya,
mereka menjawab tenang: mencari arloji dan barang"barang
berharga lainnya! Sampai di jalan besar Pendrikan kutemui pemandangan
yang sama. Air kali yang mengalir terus ke Poncol, di beberapa
tempat terhenti karena timbunan mayat. Bau keras yang
mengaduk isi perut mengawang di udara. Dinding tembok
gedung di pojok jalan penuh dengan lubang-lubang peluru.
Aku seringkali lewat di sana, dan mengetahui dengan pasti
bahwa warna dinding itu putih. Hari itu berganti corak, kotor
penuh leleran coklat merah, yang di beberapa tempat menjadi
kental dengan bekas"bekas tapak tangan. Kudengar orang"
orang berkata7 bahwa Jepang menembak mati pemudapemuda yang tertangkap di depan dinding tersebut.
Di sekolah, kawan-kawan tidak berhentinya membicarakan
peristiwa itu. Pertempuran, pembunuhan7 penculikan. Seperti
biasa, aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
Hatiku kecut, semakin tidak mengerti duduk perkaranya.
Berkali-kali aku mendengarkan keterangan Ayah yang
ditujukan kepada kakak"kakakku. Berkali"kali aku mencoba
mencapai jalan pkiran orang dewasa, untuk sekedar melihat
dengan mata yang sama. Tetapi aku tetap tidak bisa menemui
jawaban pertanyaanku: mengapa mereka saling membunuh"
Malamnya aku tidak bisa tidur. Bayangan mayat yang
bertimbun di mana-mana mengejar dan menggoda ketenangan pikiranku. Selanjutnya, cerita"cerita pembunuhan yang
beredar dari mulut ke mulut, menambah lagi kegoncangan
rohaniku. Suami tetangga tidak ada kabar beritanya. Sesudah
pertempuran selesai, jenazahnya ditemukan di kakus
tempatnya bekerja, mati karena tusukan-tusukan bayonet.
Ayah membebaskan dua kawannya yang mengunci diri di
dalam lemari kantor karena ketakutan mendengar tentara
masuk ke sana. Selama lima hari keduanya duduk setengah
terlipat. Seorang daripadanya berhasil membuat lubang di
belakang lemari untuk mendapatkan udara segar. Ketika ayah
masuk bekerja, membuka lemari itu, mereka hampir lumpuh
karena lapar dan darah yang tertahan alirannya. Dan
ditambah eerita-cerita lainnya mengenai matinya seseorang
atau selamatnya yang lain, semua itu bergumul di kepalaku,
tidak bisa kueernakan. Namun kehidupan terus berlangsung. Keadaan biasa dan
tenang. Sekolah, kantor dan pasar kembali giat melayani
kebutuhan penduduk. Semuanya nampak berjalan kembali,
mengikuti aliran yang akan menjadi sejarah.
Aku mengulangi kebiasaanku.
Pulang dari sekolah, singgah di rumah ;epupuku. Asti sudah
kelihatan senyumannya. Edi lebih mudah mengenali huruf"
huruR Bibi telah pulih kekuatannya, meskipun selalu pucat.
Dan kakaknya telah pulang ke Malang.
Aku diberi kesempatan menggendong dan momong Asti.
Pada waktu"waktu tertentu, menolong memberikan botol susu
kepadanya. Bersama Edi, kami berdua bermain kanakkanakan, tetapi kali itu mempergunakan bayi sungguhsungguh. Bergantian kami mencicipi susunya7 mencoba
buburnya. Pada waktu Bibi berada di kamar lain, kami
mencuri mengangkat bayi yang sedang tidur di ranjangnya.
kami gendong bergantian. Lalu eepat"eepat kami kembalikan.
Kadang"kadang dia terus tidur, tetapi ada kalanya terbangun.
Dalam hal itu, dia tersenyum-senyum sambil menyuarakan
ocehan yang bisa keluar dari mulutnya. Kami berdua bahagia
oleh karenanya. Dia tidak menangis, sebab itu kami
berkesimpulan bahwa Asti suka kepada kami.
Kota dibersihkan. Seperti telah menjadi adat, rakyat harus
bergotong-royong mengeluarkan mayat dari sungai dan
sumur, dikubur di tempat yang telah ditentukan. Sukarelawan
diminta mendaftarkan diri ke kelurahan masing-masing.


Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak sekolah tidak ketinggalan, mengecat dan memperbaiki gedungnya yang mengalami kerusakan.
Semua nampak lancar. Kehidupan kelihatan seperti akan
melangsungkan perjalanannya sebagaimana mestinya. Sebab
itu, ketika Heratih dan suaminya mengatakan mempunyai
rencana hendak pergi ke Solo pada akhir pekan, orang tuaku
tidak berkeberatan. Sebelum berangkat mereka tinggal dua
hari di rumah kami. "Mengapa mereka ke Solo?" tanyaku kepada Ibu.
"Untuk sowan kepada kakekmu. Minta pangertu karena baru
kawin." "Mengapa tidak ke Tegalrejo?"
"Nanti pada kesempatan yang lain. Sekarang yang dekat
dulu," jawab Ibu lagi. "lVIengapa" Kau mau turut?"
"Tidak!" jawabku tegas.
Aku tidak pernah suka berkunjung ke rumah paman ayahku
itu. Yang kutemui di sana bukan suasana teduh dan akrab
seperti di 'llegalrejo. Kecuali Paman Sarosa, tidak ada
penghuninya yang mengena di hatiku.
"Biar kakakmu Maryam saja yang turut. Hari Niinggu
petang mereka sudah akan pulang."
"Kapan kita ke Tegalrejo?"
"Barangkali pada liburan sekolahmu yang akan datang.
Sementara itu, mudah-mudahan Tuhan memberi rezeki
kepada kita buat biaya perjalanan dan oleh"oleh," kata Ibu
lagi. "Kita semua berangkat?"
"Tergantung nanti bagaimana bapakmu."
Heratih masih bekerja. Pagi-pagi dia berangkat bersama
suaminya yang mengepalai suatu bagian di kantornya. Kata
Ayah, kakakku akan berhenti dari pekerjaan jika sudah
mempunyai anak. Keduanya bahagia. anjah Heratih semakin terang dan
jernih. Selama pertempuran berlangsung, kata Utono, tidak
hentinya dia mengkhawatirkan keselamatan orang tua dan
adik"adiknya. Ketika dia datang kami tunjukkan lubang"
lubang bekas peluru kepadanya; berulang"ulang dia menyerukan kengeriannya. Dua hari mereka berada di rumah kami, kuanggap seperti
baru pulang dari perjalanan. Tidak ada perubahan. Kecuali
sekarang keduanya diberi kamar tersendiri. Sikap dan
perbuatannya tetap. Semua yang bisa dikerjakan untuk
menolong, dikerjakannya tanpa meminta persetujuan dari
Ibu. Tapi dia akan berangkat ke Solo pada akhir pekan,
Maryam kelihatan bergembira sekali menghadapi rencana
perjalanan itu. Ketika membicarakan tas atau kopor yang akan dibawa,
salah seorang dari kami berkata:
"Mengapa kopor" Hanya dua hari, bawa pakaian
seperlunya saja. Kukira tas sudah cukup."
Aku tidak ingat siapa yang mengatakannya. Ternyata usul
itu bukan merupakan pikiran yang tepat. Akujuga tidak tahu
siapa yang memiliki gagasan pergi ke Solo. Bagaimanapun
juga, seandainya segala yang terjadi beberapa hari berikutnya
lain daripada kenyataan yang terjadi, barangkali aku tidak
akan menulis cerita ini. Karena keberhasilanku sebagai
pengarang di kemudian hari, didasari oleh kejadian yang
dimulai dengan keberangkatan kakakku Maryam ke kota Solo
itu. Mereka berangkat. Kami bahkan tidak ada yang mengantar
ke setasiun, kecuali Bapak barangkali. Aku tidak pernah
mengetahuinya. Seisi rumah mengharapkan ketiganya akan
tiba kembali hari Minggu malam, dengan kereta penghabisan.
Kami meneruskan kegiatan masing-masing. Aku lebih
sering bersama Ibu, menungguinya di dapur atau di emper,
sambil melihatnya membatik. Ayah kerapkali menyendiri di
kamar muka. Jendela yang mengarah ke jalan kampung
ditutup, lalu mendengarkan radio Australia. Teguh dan
Nugroho tidak berhenti bergerak. Mengambil makanan dari
meja, menginjak buntut atau kaki kucing, bertengkar, lalu
menghilang. Minggu dinihari, tiba"tiba pintu halaman yang menghadap
ke jalan kampung diketuk orang.
"Dimas Salyo! Dimas!" panggil suara dari luar. "Yu Ami,
Yu!" Kami semua terbangun. Bergegas aku mengikuti kakak"kakakku. Bapak telah ada di
halaman, berbicara dengan Paman. Kelihatan sibuk dan
tekun. Kalimat-kalimat diucapkan oleh masing"masing pihak
dengan cepat dan suara rendah.
Aku menyelinap, mengintip ke arah luar. Beberapa laki-laki
berdiri menggerombol dijalan kampung, di dekat pintu kami.
Hampir semua menenteng tas untuk bepergian. Lalu Paman
mendekati Ibu. Mereka berpelukan. Diakhiri dengan ciuman
lbu di atas dahi adiknya.
"Mau bawa buah atau makanan?" tanya Ibu.
"Tidak, Yu. Tidak ada waktu."
Ketika melihat aku, Paman mencium pipiku, mengelus
rambutku tanpa mengatakan sesuatu pun juga.
Bapak yang menghilang ke dalam, kembali telah berganti
baju. Mengenakan baju hangat, kain leher tidak ketinggalan.
Dia mendahului Paman, keluar ke arah jalan kampung.
Kudengar Paman berkata kepada seorang laki"laki yang ikut
bergerombol di sana. "Mas Wongsonegoro, ini saudara saya Salyowijoyo."
Ayahku bersalaman dengan lelaki itu. Lalu Bapak
mendahului berjalan menuju ke padang ilalang dan kali di
belakang rumah. "Bapak ke mana, Bu?" tanyaku.
"hiengantar pamanmu ke Batan, ke Seteran."
"hiengapa?" "Dia akan kembali sebentar lagi," hanya itu jawaban yang
kudapat dari Ibu. Kami masuk ke dalam rumah.
Aku mencoba meneruskan tidur. Tetapi bermacam-macam
pertanyaan mengusik kepala, Semuanya tidak terjawab. Aku
ingin mengatakannya kepada. Ibu yang berbaring di ranjang
lain di depanku. Namun aku takut mengganggunya. Dari
bunyi "tik-tik"tik" yang kedengaran, aku dapat membayangkan jari-jarinya yang meluncurkan butir"butir rangkaian
tasbih untuk menghitung doanya. Tentulah memohonkan
keselamatan adiknya bersama rombongan yang malam"
malam, dengan sembunyi"sembunyi seperti maling, meninggalkan tempat kediamannya. Mengapa mesti melewati
kampung-kampung" h/lenuju ke mana"
Aku ingin sekali menemui Teguh di kamar lain,
menanyakan apa yang dia ketahui maupun yang dia pikir,
Biasanya (lia senangr menceritakan segala-galanya.
Hingga kudengar ibuku bangkit bersembahyang subuh, aku
belum juga tertidur. Kokok ayam yang pada waktu"waktu
bangun pagi kuhitung lalu kuterka ayam manakah yang
bersuara itu, kali ini kubiarkan berlalu tak kupcrhatikan.
Ketika Ibu keluar dari kamar, kuintip Teguh di bilik sebelah
timur. Nampak tidur nyenyak. Penuh kecewa, aku kembali
berbaring di ranjangku. "laktu sarapan, Ibu berkata kepada kakak lelakiku:
"Jangan pergi ke luar dari kampung hari ini."
"Aku mau ke Bedagan. Sudah janji bikin benang untuk
layangan," sahut Teguh.
"Mengapa sampai ke sana?" sambung Nugroho. "Di
belakang itu juga bisa."
"Sudah janji. Gantian, dulu mereka yang kemari," jawab
Teguh lagi7 lalu menoleh kepada Ibu. "Boleh ya, Bu."
"Jangan lewat Bojong Ambiljalan di belakang mesjid. Tapi
sebelum berangkat, kamu harus antri di warung koperasi
dulu." "00000, itu lama sekali!" keluhnya. "Mengapa tidak Mas
Nug saja?" "Kakakmu harus menolong mengangkut tong air ke kamar
tidur seperti dulu."
"Dini saja! Dia kan bisa kalau hanya antri."
"Adikmu nanti siang, kalau sudah ada matahari, bergiliran
dcngan kakakmu dan pembantu lain. Tadi Simbok sudah
berangkat setelah selesai sembahyang subuh. Sekarang kamu
menggantinya, biar dia pulang sarapan. Kalau dia sudah
selesai makan, dia kembali lagi mengambil tempatmu."
Kakakku terus menggerutu, hendak menghindari kewajiban
yang akan diserahkan kepadanya. Tidak berani terang"
terangan menunjukkan kata"katanya kepada lbu, tetapi
suaranya rendah hampir tertelan penuh perasaan kesal.
"Sudah, kalau tidak mau antri, boleh. Tapi kamu tidak akan
mendapat makanan. Susah-susah mencari bahan isi perut! Ini
katanya di koperasi adajagung. Harus kita beli bagaimanapun
rupanya, karena siapa tahu kita akan memerlukannya," kata
Ibu menjelaskan. "Nanti aku sendiri juga akan pergi ke toko
Nyah Bangor, menanyakan kalau bisa beli simpanannya,
menir atau beras." "Ke Depok, Bu" Itu keluar dari kampung!" seru Nugroho
terkejut. "Tidak. Ambil jalan di pinggir kali saja," sahut lbu.
"Mengapa mesti mengangkat air ke kamar, Bu?" tanyaku
menyambung. "Apa akan ada pertempuran lagi?"
"Entahlah! Sebaiknya kita berjaga-jaga. Itu tadi pesan
bapakmu, jadi harus dikerjakan."
"Mengapa Paman pergi malam"malam?" kataku lagi.
Sebentar tidak ada suara. Aku khawatir Ibu akan
membentak karena pertanyaan itu.
"Ini tidak boleh kalian katakan ke mana"mana," akhirnya
Ibu menyahut, "Guh! Jangan bercerita kepada kawankawanmul Kau juga, Nug!"
Keduanya mengangguk. Ibu memandang kepadaku.
"Rombongan Paman harus meninggalkan kota secepat
mungkin." "Lantas Bibi" Edi" Asti?"
"Kata pamanmu, Bibi tahu apa yang harus dikerjakan.
Bapakmu akan ke sana pagi ini, menolong apa yang bisa
disiapkan." "Suruh kemari saja mereka, Bu!" kataku tiba-tiba gembira.
"Ya, Bu," desakku.
"ltujalan terakhir yang bisa diambil. Tapi kalau masih bisa
berangkat ke luar kota menyusul pamanmu, lebih baik. Bagi
keluarga pamanmu, amat berbahaya jika tetap tinggal di
kota." Aku kurang mengerti bahaya apa yang dimaksudkan lbu.
Tetapi semua itu harus menunggu kedatangan Ayah.
Dan Bapak tidak kunjung pulang.
Suasana di rumah padat dan tegang. Bersama pembantu,
Ibu melihat dan menghitung kembalijumlah bahan makanan
yang kami miliki. Lalu berangkat ke Depok, ke toko Cina yang
dia kenal dengan baik. Aku membantu Nugroho mengangkut
tong ke kamar belakang sebelah timur, lalu pipa karet buat
mengalirkan air ke dalamnya. Siangnya kami berdua
bergiliran ke warung koperasi untuk mengganti Simbok yang
telah lama berdiri di bawah terik matahari. Ciliranku selesai
tapi belum mencapai loket penjualan, aku pulang makan.
Ayah belum juga kembali. Kelihatan sekali betapa hati Ibu tidak tenteram. Dari Depok
dia hanya mendapat tiga kilo beras karena mahal. Lain"lain
berupa kacang hijau dan menir, keduanya berulat, danjagung
yang hancur penuh kotoran. Tidak ada gula pasir. Ibu
membeli gula aren beberapa buah yang bisa terbeli oleh
dompetnya. Ketika pulang melalui pinggiran sungai,
berkali"kali kepalanya melongok ke arah jembatan"jembatan
yang menuju ke kampung Batan.
"Barangkali bapaknya anak"anak sudah sampai di rumah,"
katanya seorang diri maupun ditujukan kepada pembantu
yang menemaninya. Kami makan siang dengan diam"diam.
Teguh datang terlambat, menggabung di meja. Ibu bahkan
tidak memperhatikan apakah anaknya itu telah mencuci
tangan atau belum. Kerisauan terbayang pada wajahnya.
Berbagai pertanyaan kusimpan dalam kepalaku. Tetapi aku
tidak berani mengeluarkannya. Kami bertiga makan dengan
tenang. Tiba-tiba Teguh berkata:
"Saudara"saudara kawanku akan naik kereta ke hiagelang,
tapi tidak jadi. Katanya tidak ada kereta ke arah Selatan."
"Mengapa?" tanya Ibu dengan cepat.
"Tidak tahu," sahut kakakku. "Mereka mau naik bis, sama
saja " tidak ada bis."
Sejenak sepi. Lalu, seperti memaksa diri untuk mengatakan
sesuatu, Ibu berkata lagi:
"Barangkali besok pagi jalan lagi seperti biasa."
"Tetapi kalau tidak ada kereta juga lalu Heratih dan
Maryam bagaimana?" akhirnya pertanyaan itu keluar dari
tenggorokanku. Tidak ada yang menjawab. Kuedarkan pandangku.
Semuanya menundukkan muka ke piring.
Hari itu giliran Nugroho membenahi meja, mengangkat
pecah-belah yang telah terpakai. Ketika dia mulai mengerja"
kannya, sekali lagi aku bertanya kepada Ibu.
"Bagaimana, Bu, kalau tidak ada kereta?"
"Mereka bisa naik bis," jawabnya singkati
"Kalau tidak ada bis?"
"Entahlah," sahut lbu lagi. "Kita tunggu ayahmu.
Barangkali dia dapat bertanya di setasiun."
Untuk kesekian kalinya Ibu menunjukkan betapa segalanya
tergantung kepada Bapak. Dan kami semua menunggu
kedatangannya dengan hati yang semakin tidak sabar.
Baru sore menjelang maghrib Ayah kembali. Nampak lesu
dan cape. Sebentar duduk minum teh dan makan singkong
rebus, lalu berangkat lagi. Sampai malamnya aku tertidur, dia
belum pulang. Keesokan harinya, waktu siang, kami berkumpul di ruang
makan mendengarkan ceritanya.
Bapak berhasil membawa rombongan Paman berjalan kaki
sampai di sebelah selatan kelurahan Banyumanik. Ayah
mengenal salah seorang petani di daerah kampung itu,
pendatang dari desa Kakek. Mereka berhenti untuk istirahat
di rumah petani itu dan makan seadanya. Sementara itu
mereka mencari jalan guna menghubungi "ang-orang yang


Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekiranya bisa menolong. Setelah lama menunggu Ayah dan
kawan-kawannya berhasil menemukan seseorang yang
memiliki kendaraan dinas. Rombongan itu berangkat lagi, dan
Bapak kembali ke kota. Dia tidak pulang, melainkan langsung
ke rumah Paman untuk menemui Bibi. Tetapi Bibi tidak ada
Pembantu-pembantu mengatakan bahwa pagi hari polisi
Jepang menggeledah isi rumah. Niereka pergi membawa Bibi,
katanya untuk pemeriksaan selanjutnya. Bapak menunggu
beberapa waktu sambil menenangkan Edi dan menjaga Asti
bersama pamongnya. Dia juga mengambil keputusan,
menyiapkan barang seperlunya yang harus dibawa ke luar
kota. Ayah telah sering berbicara bersama Paman dan Bibi
mengenai hal itu. hiereka sepakat, bahwa apa pun yang
terjadi, _jika mereka harus mengungsi, mereka dapat
melupakan segal-galanya, asal susu makanan Asti bisa
terbawa. Itulah yang penting. Dan hari itu, makanan Asti pun
disiapkan Bapak bersama pembantu yang mengambil
sebagian besar tempat dalam kopor dan tas yang berisi
pakaian. Dengan hati khawatir, Ayah terus menunggu Bibi. Sudah
dua jam dia di sana, tapi Bibi belum juga kembali. Bapak
mulai bimbang, makin khawatir. Bagaimana sebaiknya.J
Apakah anak-anak akan dibawanya pulang ke rumah kami"
Untuk sementara, di kampunglah yang paling aman.
Tetapi bagaimana seandainya Bibi kembali selagi Ayah dan
kedua kemenakannya pergi ke rumah kami" Padahal Bibi
harus berangkat secepatnya ke luar kota. Itu hanya akan
membuang waktu dengan sia-sia karena Bibi harus singgah
dulu ke kampung mengambil anak-anaknya. Untunglah,
sementara itu datang seorang kenalan Paman. Dia baru
pulang dari "tanya-jawab" oleh polisi Jepang, di gedung
sekolah yang terletak di samping rumah Paman. Rupa"
rupanya tentaraJepang telah menjadikan sekolah itu markas
besar, penuh serdadu, kendaraan dan perlengkapan militer
lainnya. Dan di situ kenalan Paman bertemu dengan Bibi.
Sewaktu menunggu giliran, mereka sempat berbisik"bisik
merencanakan pengungsian bersama. Begitu pulang ke
rumahnya, kenalan Paman akan datang mengambil keluarga
Bibi. Dengan demikian, Bapak mendapat kepastian bahwa
sepupuku harus tetap berada di rumah Paman. Pada waktu
itulah Ayah kembali ke rumah kami. Hanya sebentar, sekedar
memberi berita, untuk kemudian berangkat lagi menunggu
Bibi. Ketika isteri Paman akhirnya pulang, segalanya telah siap
buat perjalanan. Dia sempat bercerita, bahwa polisi_]epang
menanyakan di mana Paman berada dan bila akan kembali.
Jawab yang diberikan ialah bahwa Paman meninggalkan
rumah sejak dua hari yang lalu, katanya akan bepergian
selama satu pekan. Maksud Bibi, biar pihak berkuasa itu
mengira Paman telah pergi ke luar kota, sehingga penjagaan
jalan tidak menjadi keras. Pertanyaan yang sama diulang"
ulang. Dan berulang-ulang pula Bibi memberijawaban yang
sama. Dia tidak tahu berapajam lamanya. Denganjantungnya
yang lemah, isteri Paman berusaha tetap tabah. Selalu teringat
betapa pentingnya ketenangan dalam waktu"waktu demikian.
Karena apabila meleset sedikit saja kalimat keterangan yang
diberikan akan berarti pengkhianatan terhadap Paman
bersama rombongannya. Bapak menunggu sampai kedatangan kenalan Paman buat
membawa Bibi sekeluarga ke"luar kota. Lalu pembantupembantu juga pergi. Rumah dikunci.
Kemudian Ayah pergi ke setasiun Tawang mencari
keterangan mengenai kereta api yang datang dari Solo dan dari
kota"kota Selatan. Ternyata sejak pagi kemarin hingga pagi
itu, kereta tidak ada yang masuk. Tak seorang pun bisa
memberi tahu apakah kereta akan datang atau apakah sudah
berangkat dari sana. Bis dari arah selatan juga tidak ada yang sampai di pasar
Johar. Bapak pulang, letih lesu kurang tidur, kurang makan
dan istirahat. W'ajahnya yang kurus semakin kelihatan kering.
Badannya memang tidak pernah sehat sepenuhnya. Kini
hanya matanya yang besar itulah yang tetap bersinar,
menunjukkan sisa"sisa tenaganya.
Hari"hari berikutnya sering terdengar sirene tanda bahaya
udara. Dengan taat kami turun ke dalam lubang perlindungan.
Tetapi lama"lama Ayah memperhatikan bahwa sirene itu
hanya terdengar pada waktu siang, Malam hari pemerintah
kota membatasi kegiatan penduduk di luar rumah sampaijam
enam pagi. Pemasangan lampu diperbolehkan hanya sampai
jam tujuh. Siapa pun yang melanggar peraturan itu, akan
dibawa ke Kenpetai. Banyak kemungkinan tidak akan kembali
lagi. Oleh suara sirene yang hanya kedengaran pada siang
hari, ditambah oleh berita radio dari Australia dan keterangan
lain yang diperolehnya dari kawan-kawannya, Bapak
mengambil kesimpulan bahwa tentara Jepang sedang
mengundurkan diri dari tanahjawa. Tanda bahaya danjam
malam dipergunakan oleh penjajah sebagai tabir asap pelarian
mereka sambil mengangkut harta kekayaan yang bisa mereka
bawa. Pada tahun"tahun kemudian, temyata apa yang
dikatakan Ayah itu benar. Banyak perbendaharaan museum
dirampas, benda-benda berharga dari rumah"rumah gedung
di pinggir jalan mereka ambil.
Lalu disusul dengan hari"hari yang penuh dengan suara
tembakan di segala penjuru kota. Diikuti pula dengan
datangnya pesawat udara, yang gencar mengirimkan
tembakan serta lemparan bom. Demikian berlangsung
beberapa hari lamanya. Ketika keadaan tenang kembali, lalu"lintas di langit menjadi
padat. Kami semua keluar untuk menyaksikan burung"burung
raksasa itu bergerombolan di udara, terbang dengan
megahnya. Kata Ayah, itu adalah pesawat-pesawat pengangkut. Kang Marjo dan isterinya datang lagi mengungsi di rumah
kami. Mempergunakan tenangnya suasana, Bapak mengajaknya ke Pendrikan. Mereka meminjam gerobag pengangkut,
untuk mengambil barang"barang Paman. Ditemuinya rumah
Paman telah terbuka. Kuncinya dirusak, daun pintu
pecah-pecah kena senjata tajam. Di dalam rumah, semua
kasur kursi dan tempat tidur disobek orang, isinya keluar
berjuluran bagaikan usus dan rempela, berantakan bercampur
dengan barang"barang lain yang tercecer di lantai. Rumah
Pamanjuga telah dikunjungi tentarajepang sebelum mereka
meninggalkan kota. Bapak langsung masuk ke dalam kamar
menuruti pesan Ibu. Di dalam lemari tersimpan keris pusaka
keluarga yang dipercayakan kepada Paman oleh Pakde
Ponorogo. Sewaktu menyiapkan barang-barang yang harus
dibawa Bibi mengungsi, tak seorang pun teringat akan keris
tersebut. Oleh ketergesaan, kegugupan dan waktu yang
mengejar. Sementara Kang Marjo mengangkut barang yang bisa
diselamatkan ke dalam gerobag, Ayah terus membongkar
semua lemari. Isinya telah bertaburan di mana"mana ketika
dia masuk. Tetapi dia meneliti lagi segala barang yang
berserakan di lantai maupun yang ketinggalan di dalam rak
dan lemari. Keris itu telah hilang. Pada waktu Bapak
mencarinya, barangkali benda pusaka itu telah tersimpan di
antara tumpukan benda berharga lain di dalam ransel seorang
tentaraJcpang yang menuju ke pulau lain. Kehilangan pusaka
itu kemudian akan merupakan sebab kemarahan Bude
Ponorogo yang tersebar ke seluruh keluarga, menimbulkan
kehebohan di antara saudara"saudara kami yangjumlahnya
amat banyak. Bibi yang pada waktu itu sendirian bertanggung
jawab akan keselamatan anak-anaknya, juga Ayah yang
kehilangan keteguhan hati karena lelah sepulang mengantar
Paman menghindari polisi Jepang, serta yang pikirannya
cemas berhubung dengan kakakku tertahan di kota lain, telah
mendapat nama buruk. Di kalangan keluarga kami yang besar,
jika ada seseorang yang didukani' Bude Ponorogo, maka
merosotlah derajatnya. Terkena marah orang tua dari
Ponorogo, berarti mendapat hukuman seumur hidup. Pada
waktu aku kecil, tanpa mengerti aku heran melihat betapa
seseorang merasakan ketakutan yang sangat dahsyat jika
berbuat salah terhadap orang tua ibuku itu. Mengapa aku tak
pernah mendengar sekali pun hal seperti itu mengenai Kakek
atau Nenek di Tegalrejo"
Keris pusaka hilang dari rumah Paman. Tetapi keluarganya
ternyata selamat. Dan hari itu Bapak mengangkut barang"
barang lain yang bisa diselamatkan, dan yang dianggap akan
masih berguna. Dua kali Ayah pulang-pcrgi, lalu tidak bisa lagi keluar
kampung. Segerombolan pemuda bersenjata berdiri di ujung
jalan besar, mengatakan lebih baik Ayah pulang saja. Katanya
pertempuran akan meletus lagi.
Memang benarlah demikian.
Beberapa hari kami terkurung di rumah. Kata Bapak, kali
itu bukan orang"orang Jepang yang mempertahankan kota,
melainkan pemuda-pemuda pelajar.
"'l'crhadap siapa, Pak?" tanya Teguh.
"Terhadap tentara Sekutu," jawab Ayah.
"Kalau aku Sudahjadi pemuda, akujuga mau bertempur,"
kata Teguh. "Sebenarnya kan Mas Nug bisa, ya Pak?"
"Bisa, kalau dia mau, aku tidak melarangnya," kata Bapak
lagii Ayah akan menambahkan sesuatu, tetapi dipotong oleh Ibu.
"Ah,jangan!" bentak lbu. "Kalian bertiga di rumah saja!"
'dimarahi Dan dengan khawatir Ibu mengawasi ketiga laki"laki
anggota keluarga kami itu.
Kemudian keadaan menjadi tenang kembali. Untuk berapa
lama" Tak seorang pun mengetahuinya. Sudah beberapa kali
kami tertipu Oleh palsunya keredaan suasana. Dalam keadaan
tersebut, laki"laki warga kampung berkumpul di berbagai
tempat. Seorang dua memberanikan diri menengok hingga ke
jalan besar Bojong. Kembalinya membawa berita.
Pagi itu kabar yangr tersebar mengatakan bahwa tentara
Inggris telah dapat menguasai keadaan. Sebentar lagi
pemerintah kota akan disusun kembali. Memang betul! Sore
hari, pesawat"pesawat udara menyebarkan kertas propaganda, menyuruh penduduk bersikap tenang, karena keamanan
telah terjamin. Kami anak"anak berlarian berebutan untuk
mendapatkan kertas"kertas itu. W'arnanya menarik. Hal itu
merupakan peristiwa penuh gairah bagi kami yang telah
berhari"hari tersekap dalam rumah tanpa hiburan. Di
mana"mana di kampung kulihat orang bergerombol. Suasana
benar"benar seperti pada hari pesta.
Sementara Yu Saijem dan pembantu menolong Ibu
membereskan rumah, mengurus binatang dan sebagainya.
Kang NIarjo dan Bapak kembali ke Pendrikan mengurus
barang"barang Paman. Tidak banyak yang ketinggalan.
Karena sementara itu orang"orang luar telah merampok
semua yang bisa mereka ambil. Dengan hati kecut Ayah
mengumpulkan sisa-sisa yang masih bisa dimanfaatkan, lalu
dibawanya ke rumah kami. Dua hari tanpa keributan. Ibu mulai berharap kehidupan
akan benar"benar berlangsung sebagaimana biasa.
"Kakakmu berdua akan segera pulang," katanya kepadaku.
Setiap hari Bapak ke setasiun menanyakan kedatangan
kereta atau bis. Sejak beberapa hari beredarlah kabar desas-desus dari
mulut ke mulut bahwa Indonesia telah merdeka. Ayah pun
kemudian mendapatkan kepastian mengenai berita itu. Maka
berita itu pun segera tersebar ke seluruh kampung. Beberapa
hari kemudian berita itu tersusul oleh berita lain, bahwa
pemerintah pusat di Jakarta telah hijrah ke Yogyakarta.
Keadaan memang terasa amat genting. Dan hubungan antara
kota"kota yang diduduki tentara asing dengan daerah
pedalaman pun terputus. Kami sering menanyakan sesuatu kepada Ayah mengenai
kabar"kabar tersebut. Apalagi Heratih dan suaminya belum
pulang juga Tiba-tiba kulihat Bapak masuk ke dalam kamar, berganti
baju. "Aku mau mencari keterangan lebih lanjut," katanya.
"Aku turut, Pak," kata Teguh.
"Hati-hati, Pak," ujar Ibu. "Guh, kamu tinggal di rumah
saja!" Kami semua keluar ke pendapa. Ayah turun tangga,
kemudian menuju ke jalan kampung. Sebegitu Ibu lengah,
Teguh berlari menyusul Bapak.
"Guh!" seru Ibu. "Pulang! Teguh!"
Tapi kakakku itu tidak peduli, dia sudah hilang dari
pandangan mata. "Ke mana Bapak, Bu?" tanyaku.
"Kaudengar tadi" Mau mencari keterangan lagi."
"Untuk mengetahui kapan Maryam pulang?"
"Ya," sahut lbu, suaranya lirih, semakin tersekat di
tenggorokan. "Barangkali sore nanti. Atau besok pagi."
Jari-jari tangannya tenggelam ke dalam rambut kepalaku.
lN/Iengelus perlahan Kurasakan jari-jarinya gemetar. Aku
menengadah untuk melihat mukanya.
Ibu melihat ke luar, ke pintu yang membatasi halaman
rumah dari jalan kampung. Sekali lagi kuterka keraguan
pandangnya menghadapi hari-hari yang mendatang.
Diselesaikan di Arnhem, Agustus 1976
TENTANG PENGARANG Nurhayati Sri Hardini atau Nh. Dini mulai rne"
nulis sejak kelas 11 SMF (1951). Karya pertama"
nya yang dimuat majalah Kisah: "Pendurhaka"
_ mendapat sorotan dari HB Jassin; dan Dua Dunia,
kumpulan cerita pendeknya, diterbitkan tahun
1956 ketika dia masih SMA.
Nh. Dini pernah menjadi pramugari Garuda Indonesia Airways.
Ia menikah dengan Yves Coffin, diplomat Prancis, dan dikaruniai
dua anak, Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang.
Lebih dari 20 tahun ia berpindah"pindah tinggal di Jepang,
Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis. Tahun
1980 kembali ke Indonesia dan segera aktif dalam Wahana Ling"
kungan Hidup dan Forum Komunikasi Generasi Muda Keluarga
Berencana. Tahun 1986 ia mendirikan Pondok Baca Nh. Dini,


Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taman bacaan untuk anak"anak.
Sejumlah novelnya diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka
Utama, antara lain seri Cerita Kenangan: Sebuah Lorong di Kotaku
(1986), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi
Sahabat Kami (1988), Sekayu (1988), Kuncup Berseri (1996), Kema,
yoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Parangakik
ke Kampuchea (2003), Dari Fontanay ke Magallianes (2005), La
Grande Bome (2007); Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri (2008)
dan novel"novel lain yaitu Pada Sebuah Kapal (1985), Pertemuan
Dua Hati (1986), Namaku Hiroko (1986), Keberangkatan (1987),
dan Tirai Menurun (1993), dan Jalan Bandungan (2009).
Tahun 1988 ia memenangkan hadiah pertama lomba penulisan
cerpen dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan surat kabar Le
Monde, Kedutaan Prancis di Jakarta, dan Radio Franche Inter"
nationale, dengan cerpen berjudul Le Nid de Poison dans le Baia
de Jakarta. Berbagai penghargaan ia terima, antara lain: "Hadiah Seni
untuk Sastra, 1989" (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan);
"Bhakti Upapradana"Bidang Sastra" (1991, Pemerintah Daerah
Jawa Tengah); "Hadiah Seni" (2000, Dewan Kesenian Jawa Te"
ngah); dan "South"East Asia Writers' Award" (2003).
Dini sering berkeliling Indonesia dan berkunjung ke berbagai
negara untuk berceramah atau berdiskusi atas undangan berbagai
universitas dan pemerintah setempat, antara lain ke: Australia,
Kanada, Prancis, Korea Selatan, dan Jepang.
Sejak akhir tahun 2006, Nh. Dini tinggal di kompleks Wisma
Langen Werdhasih di Lerep, sebuah desa yang tenang dan sejuk
di lereng Gunung Ungaran. Jika tidak sedang disibukkan oleh
kedatangan mahasiswa"mahasiswa yang ingin berdiskusi mengenai
karya"karyanya atau masalah"masalah kesetaraan gender yang se"
jak lama menjadi perhatiannya, Dini mengisi hari"harinya dengan
menulis, merawat tanaman, dan melukis.
pustaka-indo.b|ogspot.com
' -Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama - || || ||
Palrnerah Barat 29-37 -JakartalOZ70' _L ..: ! -1"'"*1%-"j.tNrE-_h'* $i '"
' _-Y) 1.3. '- F n_n . __,3" 4.333. /
! . . : _ ' . Padang Ilalang di Belakang Rumah Zaman berubah. Belanda diusir dari Nusantara. Bangsa Jepang yang semula dianggap
sebagai pemenang dan penyelamat, segera tampak kebengisannya: rakyat lapar dan
telanjang. Penyakit busung lapar dan bahan karung atau tenunan jerami yang dinamakan
bagor merupakan penutup tubuh yang umum di desa dan pinggiran kota.
Dalam suasana kemiskinan yang menyeluruh itu, Dini kecil tetap tumbuh, direngkuh
oleh kearifan kedua orangtuanya, dipedulikan dua kakak perempuan yang benindak
sebagai pengasuhnya, dibingungkan oleh kedinamisan yang bercampur bibit"bibit
keegoisan pria remaja dua kakak lelakinya, kemudian ditambah kehadiran dua adik
sepupu perempuan yang untuk waktu lama akan menjadi sahabat"sahabatnya.
Persengketaan antara para pemuda yang tergabung dalam pasukan Pembela Tanah
Air (PETA) dengan pengajarnya,ia1ah militer Jepang, meletus menjadi serangan
_.ibersenjata. Kekacauan itu di kota Semarang menjadi bagian sejarah Tanah Air yang
' dinamakan Pertempuran Lima Haii.
Periode' ini meneruskan perkembangan kepekaan Dini, baik dalam menanggapi sifatsifat manusia di lingkungannya maupun arahan pendidikan kemanusiaan dan kebudayaan dari orangtuanya. .: Padang ilalang di belakang rumah keluarga merupakan dunia lain bagi dirinya,
karena dia melintasi pagar kebun untuk memasuki bagian alam yang lebih "berbahaya".
NW dia melakukannya demi menangkap belalang untuk binatang kesayangan...
Ki.sah ini adalah lanjutan dari Sebuah Lorong Di Kotaku, buku pertama dari bukubuku seri Cerita Kenangan yang menceritakan perjalanan hidup Nh.Dini.
ISBN 978-979-22-6961-3 Kompas Gramedia Building Blok LLantai 4.-5 789792 249613 GH 213101090021 Rahasia Siluman Raga Kaca 2 Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut Lembah Nirmala 20

Cari Blog Ini