Ceritasilat Novel Online

Sang Pelintas Zaman 2

Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra Bagian 2


republik ini dengan cara menyeludupkan barang-barang ke Singapura. Kau tentu mengenal juga siapa Drs. Yap Tjwan Bing, seorang Tionghoa yang masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tionghoa dan Pribumi sebenarnya telah lama saling bantu membantu mewujudkan Republik Indonesia yang jaya.
Aku senang dengan sikap Firdaus yang selalu berusaha menyemangati dan membesarkan hatiku. Meski dalam hati kecil, aku menduga sikap itu lebih karena obsesinya yang menggebu-gebu untuk menyatukan etnis China dengan etnis-etnis lainnya ketimbang perasaan lain semacam jatuh cinta. Firdaus seorang lelaki yang hebat. Wacananya luas. Di tasnya yang sering aku coba intip, kulihat buku-buku tebal yang tak terkait dengan studinya. Sosial, politik, juga tentang China. Kuliahnya sendiri agak berantakan, dan beberapa kali aku terpaksa harus memaksanya untuk berkonsentrasi pada studinya, karena dia sebenarnya sudah melewati masa normal yang biasanya ditempuh mahasiswa strata satu.
Bukannya tak ada penolakan saat aku akhirnya sering bergabung dalam acara-acara senat mahasiswa, meski memang tak resmi menjadi pengurus. Ada beberapa yang memandangku sinis. Sebagian karena faktor ke-China-anku, sebagian mungkin karena cemburu. Meski Firdaus selalu menjaga diri dan tak terang-terangan menunjukkan
isi hatinya bahkan aku tak mengerti, apakah dia merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan tetapi dia memang terlihat sekali sangat memperhatikan aku. Lepas dari itu, aku cukup merasa senang, karena sebagian besar pengurus senat justru tampak senang melihat aku bergabung.
Lalu krisis moneter mendadak seperti bom yang dijatuhkan dari langit. Republik yang mengira telah berhasil membangun sebuah istana megah tercengang. Harga-harga melambung sangat tinggi, rakyat tercekik. Para mahasiswa pun memilih turun ke jalanan. Semua kampus bergolak, termasuk kampusku. Kampus yang adem-ayem, konon menerima kiriman paket spesial dari kampus tetangga. Aku nyengir kecut, malu sekaligus terhina ketika diberi tahu, apa isi paket itu: pakaian dalam perempuan. Bagaimana mungkin emosi tak terbakar"
Kita harus ikut turun ke jalan! teriak Firdaus, heroik. Kami pun mengambil jas-jas almamater, mengikat kepala dengan kain, mengangkat megaphone, menuliskan posterposter tuntutan kepada penguasa. Bergabung bersama kami para aktivis mahasiswa dari organisasi eksternal: KAMMI, HMI, GMNI, PMII& mahasiswa bersatu! Tak hanya gelegar mereka yang memeriahkan kota. Seluruh sel dalam tubuhku pun seperti ikut bergemuruh.
Kondisi politik memanas ketika demonstrasi itu
kemudian mengarah pada pelengseran Presiden Suharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Firdaus Yusuf sendiri adalah satu dari pemimpin para mahasiswa demonstran yang menuntut Suharto lengser dari jabatan presiden. Orasinya yang lantang memenuhi atmosfer jalanan kota Solo, menjadikan para anak buahnya bersemangat meski diterpa terik mentari yang ganas mencakar bumi dengan lidah-lidah panasnya. Atau terkadang dengan guyuran air hujan yang mencoba menantang keperkasaan kami.
Aku ikut terjun ke jalan-jalan, berdemonstrasi, bahkan pernah juga berorasi. Mungkin karena aku China, beberapa kamera televisi tampak sengaja men-syut aku. Papa akhirnya tahu aktivitasku, semula beliau berkeberatan. Aku ditelepon panjang lebar. Dinasehati. Mama tak kalah cemas. Mei, jangan terlibat dalam permasalahan politik. Cukup dengan tragedi 1965 yang telah membuat etnis kita diintimidasi begitu lama. Tugasmu belajar, belajar, dan belajar. Menjadi yang terbaik. Bukan untuk berpolitik.
Untungnya, Zak dan Leo membelaku. Meski mereka tak ikut turun ke jalan, aku tahu, mereka juga dekat dengan para aktivis mahasiswa di kampus masing-masing. Papa mau mengerti, dan bahkan diam-diam men-support-ku. Namun aku tahu, Mama selalu khawatir dan begitu di televisi terlihat berita demonstrasi mahasiswa, dia langung menyuruh
semua yang ada di rumah berkumpul di televisi, dan dengan dada berdebar-debar memastikan bahwa aku tak ada di tayangan itu.
*** Aku jatuh cinta pada Firdaus! Aku pernah merasakan keberadaannya pada setiap desah napasku. Bersamaan dengan itu, segunung harapan tumbuh megah di hatiku.
Namun kenyataan telah membolak-balikkan semuanya. Membantingnya dengan sadis, menjadikan hancur berkeping-keping. Bukan karena perbedaan agama, karena aku sendiri tidak pernah peduli apa sebenarnya agamaku. Bukan karena perbedaan ras, juga bukan karena beda aktivitas, apalagi sekadar beda fakultas.
Aku membencinya, mati-matian, karena perbedaan posisi saat kehancuran besar-besaran menimpa negeri ini. Kehancuran yang lantas mengimbas pada beberapa jiwa, termasuk jiwa keluarga Ongkokusuma. Dan juga jiwaku.
12 Mei 1998 Mahasiswa Trisakti tertembak. Massa beringas.
Penjarahan di mana-mana. Kerusuhan pecah. Manusia kehilangan nurani. Brutal, bengis.
Rumah-rumah, gedung, toko, kendaraan dibumihanguskan.
Solo pun ikut berkobar menjadi lautan api. Jalan-jalan penuh dengan manusia berparas jumawa. Mereka melempari bangunan-bangunan di tepi-tepi jalan dengan batu, botol minuman serta potongan kayu. Mobil dan motor diremuk. Pusat-pusat perbelanjaan dijarah, lantas dibakar. Jiwa-jiwa melayang. Kerusuhan terjadi di sepanjang jalan Slamet Riyadi, jalan Rajiman, jalan Urip Sumohardjo serta jalan-jalan besar lainnya. Wajah yang semula ramah menjadi penuh bopeng. Warga Solo yang terkenal lemah lembut, entah mengapa begitu mudah terprovokasi dan ikut bergerak mengambil bagian dari bencana buatan manusia itu. Sumbu pendek dari sebuah bom telah terbakar. Lantas terjadi ledakan dahsyat. Semua ternganga dibuatnya....
Betapa kemanusiaan telah berlalu dengan kesempurnaan.
Solo, konon adalah barometer perpolitikan di negeri ini. Ketika Solo bergolak, maka Jakarta, dan Indonesia pun tengah meradang. Dan, dalam luka yang timbul akibat gejolak itu, selalu saja menimbulkan derita. Senantiasa ada
kumpulan sel yang terkoyak, dan berdarah. Dan dari kumpulan sel tersebut, yang paling sering menjadi kambing hitam permasalahan adalah kami... kaum minoritas Tionghoa.
Aku ingin tegar menghadapi semua itu. Namun 2 buah dealer mobil, 3 toko pakaian, 2 buah toko elektronik, dan rumah tempat tinggal milik orangtua di Jakarta yang dibakar massa, barang-barang yang dijarah, serta pemerkosaan itu... telah membuat aku remuk. Puing-puing bangunan yang menghitam di pusat niaga Glodok, bangunan rumah yang porak poranda, serta tubuh lemasku yang terkapar di salah satu sudut nan tak terjamah amukan api, tubuh yang telah tercabik kehormatannya, mencipta entitas tekanan maha dahsyat nan mengguncang saraf Papa. Dia pun kehilangan segenap kesadaran, serta ingatan, sehingga harus masuk rumah sakit jiwa. Tak kuat menahan beban, Mama akhirnya memilih mengakhiri hidupnya, bunuh diri.
Sebuah perubahan, mungkin memang membutuhkan tumbal. Tetapi, jika tumbal itu adalah diriku, keluargaku dan segenap apa yang kami miliki, kami tak pernah siap. Mengapa aku mendadak begitu tolol dengan menghilangnya rasa khawatir tentang ke-China-anku" Mestinya aku tetap memasang tameng waspada. Sejarah konflik China-Pribumi sudah sekian lama terjadi, dan telah berulang kali terjadi. Di Solo sendiri, sebelum peristiwa kehancuran di bulan Mei
itu, juga pernah terjadi beberapa kali kerusuhan antaretnis. Aku harusnya waspada.
Maafkan jika aku terpaksa membencimu, Firdaus. Kesalahanmu hanya satu. Kau ikut berperan dalam mensketsa perubahan itu. Perubahan yang kau gembargemborkan akan mengangkat martabat bangsa ini, namun yang terjadi justru sebuah kehancuran&
Maafkan aku jika terpaksa membunuh semua bibit cinta yang semula kupikir akan menimbulkan warna-warni yang meriah dalam hidupku. Selamat tinggal cinta! Selamat datang kehancuran!
*** Air mataku mengalir deras. Lengkingan katarsis kembali menggelegak. Aku meronta-ronta, berteriak, mengamuk, seakan melihat sosok-sosok yang merengut kehormatanku bergentayangan di depan mataku, dan untuk itu aku bermaksud mencabik-cabiknya, melumatnya. Masih terbayang jelas, ketika mereka menggedor-gedor rumah kami, lantas menjarah segala yang ada. Beberapa dari mereka, ketika melihat kelebatan sosokku, ternyata merasa tak cukup hanya dengan melakukan penjarahan. Perkosa saja dia! Dia Cina! Cina. Lumatkan saja...!
Cina. Bukan China. Mereka memang hendak menghinaku. Bukan sekadar panggilan melecehkan. Lebih dari itu.
Aku digeret ke kamar. Pakaianku mereka sobek-sobek. Lalu satu persatu dari sosok itu berubah menjadi kucingkucing liar yang beringas saat menerkam seonggok daging. Aku yang melawan sejadi-jadinya, terlalu lemah untuk mengimbangi kekuatan fisik mereka. Kepalaku jatuh terbentur lantai. Kesadaranku melayang. Saat itulah, mereka dengan leluasa mencabik-cabik kehormatan yang kupertahankan mati-matian, meskipun pernah pada suatu masa, orang yang kukasihi memintaku menyerahkannya atas nama cinta. Wibowo. Mantan kekasihku. Kepadanya kukatakan, bahwa keperawanan bagiku, sangatlah penting. Aku hanya akan menyerahkan kepada orang yang telah terikat janji secara resmi kepadaku. Yaitu janji untuk sehidup semati di dalam dunia yang fana ini. Janji yang agung dan dipersaksikan oleh segenap jiwa yang bisa kupercaya. Janji yang hanya bisa terwujudkan dalam sebuah upacara pernikahan.
Wibowo memahamiku. Tetapi orang-orang bejat itu tidak. Kesucian yang bahkan tak akan kuberikan kepada Firdaus, andai dia meminta, tanpa adanya ikatan yang melindungiku, mendadak rusak binasa.
Seandainya saat itu aku menuruti nasihat Firdaus untuk tidak nekad pulang ke Jakarta, barangkali sekeping kehormatan yang kuanggap lebih berharga dari berlian semahal apapun, masih bisa kupertahankan.
Suhu di Jakarta sedang membara, Mei. Barusan aku mendapat telepon dari Jakarta, sniper telah menembak mati beberapa mahasiswa Trisakti. Firasatku mengatakan, akan terjadi suatu hal yang besar di ibu kota menyusul kerusuhan di Gejayan dan Medan, ujar Firdaus yang sengaja mengejar taksi yang kunaiki hingga stasiun Balapan dengan motor tuanya. Terus terang, perhatian lelaki itu membuatku merasa tersanjung. Namun keputusan untuk pulang ke Jakarta, bagiku adalah harga mati. Bukan karena selembar tiket kereta api eksekutif di kantongku, namun 13 Mei adalah hari ulang tahun Papa. Di hari istimewa itu, aku sebagai puteri kesayangannya, harus menjadi orang pertama yang mencium pipinya sambil mengatakan, Happy birthday, Dad!
Di mana-mana banyak orang ditembak, tetapi orang cuek saja. Apakah kau pikir para mahasiswa itu punya nyali untuk membalas dendam dengan resiko berhadapan dengan panser-panser yang siap menyemburkan pelor panas"
Aku hanya cemas sama kamu, Mei Hwa& karena kamu China.
Mengapa kalau aku China"! suaraku meninggi. Kutarik kopor kecil beroda milikku, siap meninggalkan Firdaus. Tetapi lelaki muda itu berjalan dengan cepat, mensejajari langkahku.
Realita sosial, Mei. Dengarkan aku! Orang China itu
banyak yang dijadikan tumbal perubahan.
Aku berhenti, menatapnya dengan sinis. Dan kau senang dengan kenyataan itu" serangku, ketus.
Tidak, Mei. Setelah mengenalmu lebih dekat, aku mulai mengerti, bahwa tak semua China seperti yang aku bayangkan selama ini. Itulah, mengapa aku mengejarmu sampai ke sini. Aku& aku tak rela jika kau menjadi tumbal perubahan. Karena & tatapan Firdaus yang teduh seperti hendak membelai hatiku.
Karena apa" Karena& , ucapannya berubah gugup. Karena kau sahabatku& .
Tak ada orang yang mengatakan karena kau sahabatku dengan paras begitu gugup jika tak ada rasa yang lebih dalam hatinya.
Aku terharu dengan perhatian itu. Tetapi, keterharuan itu tak sebesar porsi keinginanku membersamai Papa di hari terindahnya. Maka, aku pun tetap bersikeras dengan rencanaku. Tenanglah, Kak& mungkin kemelut politik di negara-negara Timur Tengah ataupun negara-negara latin telah membuat banyak darah mengucur. Tetapi untuk Indonesia, aku yakin & akan aman-aman saja. Presiden Soeharto terlalu kuat posisinya. Militer berada di belakangnya. Tak mungkin akan ada kudeta yang mampu melengserkan kekuasaannya.
Tapi& aku gelisah, sangat gelisah, Mei! Aku mendapat info, panser-panser akan dikerahkan untuk membendung demonstran. Mungkin akan pecah konflik yang cukup besar dan sejarah akan berubah karena konflik itu.
Kan nggak semua jalan di Jakarta dipenuhi demonstran. Mengapa gelisah"
Entah& aku, aku takut terjadi sesuatu denganmu! Firdaus menatapku dengan tatapan yang tak pernah kulupakan seumur hidupku. Kelak, saat mengingat tatapan itu bara dalam hatiku kadang meredup, tetapi pernah juga justru menjadi bensin yang membuat kebakaran itu menghebat, dan luka bakar kian menyeruak di hatiku.
Aku bisa saja meyakinkan Firdaus, sehingga kereta Argo Lawu jurusan Solo-Jakarta itu berhasil juga mengangkut tubuhku. Perjalanan lancar. Aku pulas tertidur dan baru terbangun saat kereta memasuki Gambir. Namun ketika menjejakkan kaki di ibu kota, aku tersentak dengan pemandangan yang ada. Aku menyaksikan manusiamanusia yang berseragam SMA dan jaket universitas namun memiliki tubuh tegap dan rambut cepak serta muka yang terlalu tua untuk ukuran pelajar atau mahasiswa itu membakari pom bensin, toko-toko serta kendaraan. Api menjilat-jilat, asap membumbung tinggi, teriakan-teriakan provokasi membuat telingaku seakan tuli. Mendadak aku menyadari bahwa peringatan Firdaus ternyata benar adanya.
Kerusuhan makin meluas. Jakarta menjadi lautan api. Aku pun menjadi salah satu tumbal perubahan. Bedebah!
Raunganku semakin keras. Kepalan tinjuku menghujami segala benda yang mendadak telah berubah dengan memiliki kepala, tangan, kaki, tubuh, serta mulut dengan taring yang mengucurkan darah. Mereka adalah serigala yang akan mengoyak tubuhku.
*** Sabar, Cempaka...!! Sabar! ujar dokter dan perawat yang sedang menelentangkan aku dalam ketidakberdayaan. Aku akan bunuh mereka! Aku akan bunuuuh! Mereka siapa" Tidak ada siapa pun di tempat ini kecuali saya, dokter Fadli, perawat Shinta, Arni dan Jakob. Tenang, Cempaka....
Mereka ada di depanku. Aku akan membunuh mereka! Kedua jemari tanganku mengepal, lalu aku menghentakkan kedua kakiku hingga berderaklah segala sesuatu yang ada di sekitarku. Aku akan membunuh mereka semuaa... aku akan bunuuuhh!!!
Aku berteriak-teriak, namun akhirnya tak berdaya saat para perawat berseragam putih itu segera bertindak. Aku didekap oleh dua orang perawat perempuan, lalu dokter
dengan cepat mengeluarkan jarum suntik, dan menancapkan ke lenganku.
Setelah obat mulai bekerja, aku merasa sedikit tenang. Rasa kantuk menyergap kencang, namun aku tak mau memejamkan mata dan bahkan berusaha keras untuk melotot waspada. Tidak! Aku tak mau saat aku terpejam, manusia-manusia liar itu datang kembali, menjarah, membakar, dan memperkosa.
Tidur dulu, Cempaka! Aku menggeleng, keras. Aku akan terus terjaga! Kau butuh istirahat.
Aku terdiam. Kantuk semakin gencar menyerang. Aku semakin tak berdaya. Dokter itu, dalam pandang kaburku, beranjak keluar, diikuti oleh dua orang perawat. Kini yang tertinggal hanya seorang perawat wanita yang tengah mengecek infus, lalu mengukur suhu tubuhku dengan thermometer.
Pada saat itulah, pintu ruang VIP tempatku dirawat terbuka. Seorang lelaki berdiri, dengan wajah penuh sorot keprihatinan.
Firdaus! 1941 Jika ada sosok yang merasa paling berjasa dan patut
diberikan gelar pahlawan atas keserasian pasangan itu, bisa jadi Raden Nganten Sunarsihlah orangnya. Dengan tatapan bahagia, dia pandangi sosok Raden Rara Gunarti yang begitu cantik dengan kebaya dan kain suteranya, bak Dewi Shinta yang tampil memesona di samping Sri Rama. Hanya saja, Sri Rama yang bersanding di sisi sang puteri saat ini benarbenar berwajah Jawa, bukan Arab Hadramaut. Dan Sri Rama juga berasal dari kalangan ningrat, sesuai harapannya. Raden Mas Ingeniur Harjanto Wirjokusuma. Seorang amtenar berkedudukan tinggi di kantor gubernemen.
Lima Sang puteri akhirnya bertemu jodoh yang sesuai. Ningrat, amtenar, dan berpendidikan tinggi. Lulusan THS Technische Hoogeschool di Bandung. Saking terbekap gembira, Sunarsih dengan lantang berkomentar, bahwa Gunarti adalah Shinta yang berhasil diselamatkan dari penculikan Rahwana dan kini berbahagia dengan pasangan sebenarnya.
Tetapi Raden Kertapati keberatan ketika Sunarsih menganalogikan Muhdhor sebagai Rahwana. Kebangeten, kowe! Muhdhor itu sudah meninggal. Mbok yao jangan diungkit-ungkit lagi. Apalagi, Muhdhor itu ustadz, imam di masjid.
Tetapi Kangmas, apakah kau tidak melihat, betapa mereka, Gunarti dan suaminya yang sekarang, terlihat sangat serasi"
Raden Kerta angkat bahu. Dia sendiri kurang menyukai menantunya yang satu itu. Sangat ningrat, dan jelas kebaratbaratan. Begitu Muhdhor meninggal, empat tahun silam, dengan sigap Sunarsih merubah dirinya menjadi comblang bagi puterinya sendiri. Kesana kemari di mencari informasi tentang lelaki duda ataupun perjaka yang telah siap menikah. Semula dia sempat was-was. Seorang janda, apalagi janda seorang guru sederhana, sudah punya anak lagi, tentu saja tidak selaris manis seorang gadis, lepas dari kecantikan yang masih terlihat begitu menonjol para paras puterinya itu.
Akan tetapi, Gunarti adalah janda istimewa. Dan dari keelokan wajahnya itulah, Harjanto terpikat dengannya. Was-was di hati Sunarsih pun kandas. Tanpa banyak cakap, dia menerima pinangan sang amtenar itu, dan hanya dalam waktu beberapa minggu, pesta pernikahan digelar.
Ketika Harjanto muncul dalam kehidupan puterinya, Raden Kerta tak mau banyak berkomentar. Salah berkomentar hanya akan memicu amuk dari sang istri yang dirasa kian hari kian liar. Harjanto, duda tanpa anak yang usianya sudah hampir memasuki kepala empat itu telah memikat Raden Nganten seterpikat-pikatnya. Raden Kerta merasa tidak dibutuhkan bahkan untuk sekadar berkomentar. Sang istri telah menutup pintu untuknya terlibat dalam permasalahan perjodohan puterinya.
Dulu aku dibuat kecewa dengan Muhdhor pilihan panjenengan kuwi, kangmas. Sekarang gantian aku yang memilihkan jodoh buat Narti.
Sehari usai pesta pernikahan, Harjanto memindah Gunarti ke rumahnya yang megah, sebuah rumah loji berarsitektur Belanda warisan dari ayahnya yang termasuk pegawai tinggi di pemerintahan kolonial. Sebuah sedan hitam merk Ford Model T selalu terparkir di depan rumah mereka, siap mengantar ke manapun puterinya pergi. Mobil merupakan simbol kemakmuran zaman itu, apalagi jika kaum bumiputera yang memilikinya.
Kebahagiaan Sunarsih nan begitu buncah, membuat Raden Kertapati tak tega untuk mengusiknya. Sang Raden yang merasa kehilangan harapan, memilih ber-uzlah dengan banyak bertafakur, menghabiskan malammalamnya di lantai dingin Masjid Jami Laweyan. Yang bereaksi keras justru Kyai Haji Ahmad Abdurrahman Alattas, ayah Muhdhor. Dia sangat berkeberatan jika Ayu, cucu mereka dibesarkan oleh Harjanto yang kebaratbaratan. Berkali-kali mereka mencoba meminta agar Ayu tinggal bersama keluarga Kyai Abdurrahman Alattas. Mereka ingin mendidik Ayu dengan norma-norma kepercayaan yang mereka anut. Namun, tentu saja Sunarsih menolak mentah-mentah.
Darah yang mengalir di tubuh Ayu adalah darah seorang bangsawan Jawa yang mulia. Jangan kotori dia dengan kehidupan orang Arab yang rendah. Saya tidak rela dia naik turun bersujud di masjid seperti orang yang sudah tak waras, sentaknya keras. Setelah sekian lama memilih diam, ungkapan Raden Nganten kali ini hampir-hampir melimitkan kesabaran sang suami hingga Raden Kerta pun bereaksi tak kalah keras.
Ucapanmu itu selayaknya muncul dari mulut seorang kafir! bentak Raden Kertapati, marah besar. Kau sendiri seorang Muslim.
Ketika kemarahan itu tidak juga menjinakkan hati sang
istri, Raden Kertapati merasa percuma saja jika tetap bersanding sebagai suami Sunarsih. Apalagi, perilaku memanjakan dari Harjanto kepada mertuanya itu, membuat wanita itu semakin terlena dan melupakan sang suami. Harjanto begitu pintar mengeluarkan kata-kata manis nan memikat hati.
Raden Kerta memang tidak menceraikan sang istri, namun dia memutuskan untuk meninggalkan wanita yang semakin keblinger oleh kemuliaan yang didapatkannya itu. Sunarsih tidak protes, dia justru merasa terbebas dari jeratan kewajiban sebagai istri. Ketika Harjanto memintanya tinggal bersama, Sunarsih menyambutnya dengan suka cita. Hubungan pernikahan Raden Kerta dengan istrinya pun menjadi sebuah gambaran yang sulit dilukiskan saking acaknya.
*** Dan, bayi Ayu kini telah tumbuh menjadi bocah berusia lima tahun yang cantik dan lincah. Kulitnya putih bersih, dengan lekuk wajah yang sangat didominasi darah Hadramaut ayahnya. Rambutnya lebat, hitam, sedikit bergelombang, sehingga mirip dengan rambut para bangsawan perempuan di daratan Eropa. Sementara, kecantikan ibunya yang lembut tampat terlihat pada bibirnya yang selalu merah segar dan tatapan matanya yang lembut.
Benar-benar bentuk mini dari seorang perempuan dengan kejelitaan tiada tara.
Harjanto sendiri sangat mengagumi barat. Gambar Ratu Wilhelmina saat baru naik takhta dia pasang di ruang pribadinya, dan menjadi sosok ideal menurutnya. Pendidikan Barat telah melekat menyatu dalam tulang sunsumnya, bahkan jika ada asap yang mampu keluar dari ubun-ubunnya, asap itu mungkin lebih berbau sandwich dan kentang rebus dibanding beras ataupun ketela.
Saat melihat Ayu, Harjanto langsung jatuh hati, dan bertekad menjadikannya seperti Ratu Wilhelmina. Untuk hal yang satu ini, Harjanto memiliki kesabaran yang nyaris tiada batas. Setelah dinyatakan mandul oleh dokter, dia memang memutuskan untuk menancapkan segala idealismenya kepada makhluk mungil yang memanggilnya Papi, meskipun tak ada satu sperma pun yang dia sumbangkan dalam proses kehadiran sosok itu di jagad yang fana ini.
Papi, lihat ... saya mau menari! teriak Ayu sambil berputar-putar mengikuti alunan musik klasik yang diputar dari piringan hitam. Sesekali dia berjinjit, berlagak sebagai balerina yang penuh pengalaman. Gerakannya yang luwes benar-benar bak angsa yang melenggak-lenggok memamerkan kerupawanannya, menawan hati siapapun yang memandangnya. Apalagi paras yang terpapar dari
wajahnya... nyaris sempurna. Lekuk wajahnya yang kearabaraban ditambah kulit putihnya menjadikannya lebih mirip seorang gadis indo dibanding puteri seorang bangsawan Jawa.
Oh... Goed. Heel goed! Nanti, setelah kau bisa menari balet dengan sempurna, kau bisa tampil di depan Tuan Gubernur Jenderal di Buitenzorg, Harjanto bertepuk tangan dengan riang. Meski hanya anak tiri, dia menyayangi Ayu sebagaimana belahan hatinya sendiri. Suatu hal yang begitu dibanggakan oleh Sunarsih.
Menantuku akan membuat Ayu menjadi gadis terhormat.
Sayangnya harapan Sunarsih jauh panggang dari api. Perang Dunia II yang pecah di daratan Eropa, disusul jatuhnya Pearl Harbour di tangan Jepang telah membuat semuanya berubah. Percaturan politik dunia menjadi carut marut. Dominasi Eropa di negara-negara Asia-Afrika, mengalami gempuran ombak yang mengabrasi tatanan yang sudah berlangsung berabad-abad. Pasukan bersimbol matahari terbit itu, seperti sepasukan tentara yang diturunkan dari langit dan khusus diciptakan untuk menghancurkan kekuasaan barat di Asia. Satu per satu jajahan mereka berhasil direbut oleh tentara kate itu.
Di Eropa sendiri, Jerman dan Italia telah sukses mengobrak-abrik kekuatan Inggris-Perancis-Belanda dan
negeri-negeri kapitalis lainnya. Hitler dan Musolini telah menantang para penguasa dunia, dan mereka ternyata berhasil mendapatkan kemenangan yang gilang gemilang. Lantas, karena kesamaan cita-cita dan musuh yang dihadapi, Jerman, Italia dan Jepang pun tergabung dalam blok AS. Dengan kekuatan persenjataan, strategi serta semangat para tentara yang menyala-nyala dan cenderung chauvinisme, mereka pun semakin memperluas daerah kekuasaannya.
Pertengahan tahun 1942, Jepang menguasai Nusantara. Belanda, dalam waktu singkat berhasil mereka kalahkan. Para meneer yang sebelumnya senantiasa berjalan dengan kepala tegak, menandakan strata sosial yang tinggi, kini hanya mampu tertunduk saat para tentara kate itu menggiringnya ke kamp-kamp tahanan. Para Inlander yang memujanya, ikut terkena getah. Beberapa di antara mereka, karena dituduh sebagai mata-mata, ikut tergiring masuk penjara.
Harjanto, sebagai seorang amtenar berkedudukan tinggi di departemen kesehatan tak luput dari jerat. Dia dijebloskan ke sebuah ruang bawah tanah yang pengap dan gelap. Gunarti yang masih jelita, tak berdaya dengan perubahan suasana yang begitu cepat terjadi. Saat pasukan Jepang menyerbu, dia hanya bisa pasrah menyerahkan diri. Tentu saja, para tentara itu tidak menggiringnya ke penjara. Namun, derita yang kemudian menimpa wanita malang itu,
lebih dari seorang narapidana. Dia mangsa empuk para perwira Jepang yang haus atas kepuasan seksual. Dia menjadi seorang jugun ianfu yang paling digemari.
Yang terluput dari sergapan pasukan kate dari negeri matahari terbit ketika menyambangi rumah mewah keluarga Harjanto adalah seorang anak berusia enam tahun yang berhasil melarikan diri dari pintu belakang. Kegelapan malam telah menjadi pakaian baginya, yang mampu melindungi dari pandangan mata-mata sipit yang tengah menari-nari menikmati santapan istimewa berupa rusa betina dari Jawa itu. Maka, tubuh kecil itu pun berlari dan terus berlari dengan sepasang kaki mungilnya. Dia tak tahu apa yang sebenarnya yang tengah terjadi, namun dia tahu, bahwa dia harus melarikan diri sejauh-jauhnya.
Dia itu pembunuuuuh! Tiba-tiba teriakan itu terlengking begitu saja dari bibirku yang semula terasa beku. Di hadapanku kali ini, sosok itu mendadak berubah menjadi monster yang siap menghisap darahku saat aku lengah. Benar, dia mengulurkan tangannya, ia pasti bermaksud menancapkan jemari penuh kuku setajam pisau jagalnya ke leherku. Dia ingin memisahkan kepala ini dengan kesatuan tubuh yang lain.
Tidak cukupkah kau rampas kehidupanku" Tidak cukupkah semua yang telah hilang dari diriku" Apa lagi yang akan kau rebut dariku, apaaa"!
Enam Terengah-engah aku berusaha bangun. Seorang perawat yang hendak menahan gerakanku, kusodok keraskeras hingga dia terjajar dan mengeluarkan makian halus. Jarum dan selang infus yang menghalangi kebebasanku pun kucabut dan kulempar jauh-jauh, tak peduli darah menetes dari pergelangan tangan yang diikuti dengan rasa perih nan menyayat.
Borok yang menyeruak dalam hatiku lebih perih dari semua luka kecil yang bertebaran di tubuhku. Kau iblis! Pergi kau!
Mei Hwa..., lelaki itu menatapku dengan pandangan sayu. Aku Firdaus. Aku hanya....
Kau pembunuh! Kau dan bangsamu adalah kaum barbar. Bangsamu adalah bangsa kanibal. Aku tak mau berdekatan denganmu, keparaaat!
Aku meloncat dari tempat tidur dengan gelinjangan yang seolah terbuncah dari sumber energi yang super dasyat. Para tenaga medis yang berusaha menangkapku pun kewalahan dibuatnya. Kini aku telah meraih penyangga infus dan kujadikan sebagai toya yang menyodok kesana kemari dengan gerakan tak beraturan. Aku telah berubah menjadi gugus radikal bebas yang menyerang kesana kemari mencari sasaran. Aku adalah zat karsinogen yang siap menebarkan bibit-bibit kanker pada induk semang yang kuhinggapi.
Cempaka! Tenanglah.... Kau tak tahu apa-apa tentang kehancuran yang menimpaku. Enak saja memintaku untuk bersikap tenang!
Semua akan berlalu. Kau harus bangkit dari keterpurukan. Kau pasti bisa, Cempaka! Aku akan membantumu.... Firdaus tampak kerepotan menghadapi seranganku yang semakin membabi-buta.
Kau yang menyebabkan semua kekacauan ini terjadi. Apa arti idealisme, perjuangan dan gerakan kemahasiswaan yang selama ini kau bangga-banggakan jika ternyata menyebabkan hancurnya kehidupan orang lain. Apakah kami, orang-orang China ini sengaja kau jadikan tumbal perubahan" Persetan dengan perubahan. Persetan itu reformasi!
Dari senyawa karsinogen, kini aku merasakan tubuhku berubah bentuk menjadi seekor rase betina. Sepasang tanganku berevolusi menjadi cakar, mulutku dipenuhi geligi tajam selaik sembilu nan dihiasi sepasang taring. Dan dari bibirku, aungan yang mengguntur terus menerus bergelegar, mencoba menggetarkan gundukan daging dan tulang bertampang monster di depanku itu.
Go to hell, reform! Damn it!
Mei, sadarlah... aku...!!
Go... goo!!! aku mengaung sekuat tenaga. Kukibaskibaskan ekorku seraya mengangkat sepasang kaki depanku. Kau hanya manusia bedebah! Jika kau tak pergi, aku akan menjadikan tempat ini rata dengan tanah!
Tubuhku pun seakan tengah melayang ke udara, berputar cepat dengan ruji-ruji toya dari penyangga infus yang berubah menjadi kitiran, menyapu bersih segenap benda yang tak teradhesi sempurna dengan alasnya. Aku benar-benar telah berubah menjadi siluman rase terbang seperti pada dongeng-dongeng tanah leluhur Papaku, Tiongkok. Rase itulah yang akan menuntut balas atas kebinasaan orang-orang yang dicintainya dengan jurusjurus andalan yang mematikan.
Aku akan membuat mereka mati. Ya, mati! Tawaku pun terlengking panjang. Kurasa yang mendengarkan suara tawaku barusan pasti akan terlonjak kaget dan lari terpontang-panting. Aku bangga... aku bangga, karena aku telah bereinkarnasi menjadi sosok perkasa yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Dan kini, aku akan mencari kurcaci-kurcaci busuk yang telah membunuh Papa, membakar rumah dan seluruh harta benda keluargaku, juga merusak kehormatannya. Namun sebelum itu, yang harus kumusnahkan terlebih dahulu adalah monster provokator yang tengah termangu di depanku.
Firdaus, nama monster itu. Kubunuh kaaauuuu!!!
Ujung toyaku sudah hampir mencabik kepalanya. Namun kelinci-kelinci berjubah putih itu mendadak merengut tubuhku. Menyambar toyaku dan mendekap tubuhku erat-erat. Aku tak bisa bernapas. Monster busuk itu telah memutus persahabatan molekul oksigen dengan sel-sel pembuluh darahku. Aku menggelepak tersedak. Pada saat itu sebuah jarum suntik menginjeksi salah satu bagian tubuhku. Aku mengerang panjang.
Setelah itu roboh. Tak sadarkan diri. *** Trauma yang sangat berat tengah dia derita. Sebaiknya Anda jangan dulu datang kemari. Keberadaan Anda membuat ia semakin syok!
Saya... saya hanya ingin menjelaskan duduk persoalannya. Yang membuat kekacauan pada malam penjarahan itu bukan mahasiswa. Dia harus mengerti, bahwa mahasiswa tetap teguh dalam idealismenya. Mahasiswa bukan penjarah dan pemerkosa. Mahasiswa tidak pernah punya maksud....
Dia belum mengerti. Dia masih terguncang. Bukan
saatnya Anda mengajaknya berdialektika masalah itu. Ucapan-ucapan Anda bahkan akan membuat dia semakin terpukul. Untuk beberapa lama dia masih harus mengalami terapi psikologis di sini. Harap Anda bersabar, Saudara Firdaus!
Percakapan itu membuat aku tertarik untuk membuka telinga lebar-lebar sekaligus memicingkan bola mataku. Firdaus" Monster busuk itu" Perlahan aku bangun dari tempat tidur, namun betapa sulitnya. Berengsek! Ternyata kedua tangan dan kakiku dalam kondisi terikat. Aku tak bisa bergerak. Mereka telah memasungku. Aku kini terpuruk sebagai seekor rase yang tak berdaya.
Sampai kapan dia dirawat di sini, Dok" suara Firdaus terdengar memelas. Bahkan serak, seperti bekas menangis. Namun aku sama sekali tidak menjadi simpati. Betapa pintar monster itu bermimikri laksana seekor bunglon. Dia mengaku pejuang, tetapi ternyata dia tak lebih seorang cecunguk busuk yang melempar batu sembunyi tangan. Aku muak meskipun untuk sekadar menyebut namanya. Mungkin dua atau tiga bulan lagi. Bisa juga lebih dari
itu. Kasihan dia. Ya. Semua orang berempati terhadap penderitaannya. Saya memiliki teman yang menjadi dosennya di fakultas
kedokteran. Dari sahabat saya itu saya tahu, dia sangat talented. IPK-nya selalu cum laude. Siapa sangka dia kini justru menjadi pasien saya di RSJ ini.
RSJ... Rumah Sakit Jiwa" Jadi sekarang aku di RSJ" Aku gila"
Tidaaak! teriakku tiba-tiba, nyaring. Siapa bilang aku gila" Siapaaa" Aku tidak gila! Jika tubuhku berubah menjadi penuh bulu dan gigiku bertaring, itu semua karena aku tengah berubah wujud menjadi siluman rase terbang. Hanya dengan menjadi siluman aku bisa membalas dendam. Aku tidak gila! Kalian semua yang gilaaa... kalian gilaaa!!
Tawaku menggelegar seiring dengan tubuh yang menggelinjang kuat-kuat. Namun ikatan yang membatasi gerakku begitu kuat. Aku berontak... keras... keras! Tetap percuma.
Aku tidak gila! Tahukah kalian, aku tidak gila! Dokter busuk, aku juga tahu ilmu kedokteran. Aku sangat tahu jika aku tidak gila. Kalian yang gila. Kalian semua gilaaa! Aku pun mengamuk sejadi-jadinya.
1942 Gadis kecil itu berlari sekencang-kencangnya. Dia
sungguh tak tahu, mengapa mendadak orang-orang berseragam cokelat dengan gambar lingkaran merah di lengan dan topinya itu mendadak menangkap ayah angkatnya, dan menggelandang ibunya ke sebuah kamar dan menguncinya. Tetapi yang jelas, dia menangkap alarm bahaya, sangat berbahaya. Maka, bersama dengan suara tembakan yang gencar membahana, serta kepulan asap dari kebakaran yang sengaja dilakukan oleh tentara kate itu, dia berlari ke belakang, membuka pintu, dan menerobos keluar, menembus ilalang, ladang, dan tegalan.
Tujuh Entah berapa lama dia berlari, dan baru terhenti ketiga terdengar suara petir menggelegar, disusul dengan tetestetes air yang tercurah dari langit. Ayu, gadis cilik itu termangu sejenak. Air mata telah terkalahkan kucuran hujan, sehingga dia sudah tak mampu membedakan, mana tetesan yang mengucur dari pelupuk, dan mana yang berasal dari cipratan air yang juga membasahi sekujur tubuhnya itu.
Naluri menyelamatkan diri mengarahkan Ayu untuk mencari tempat perlindungan. Ketika akhirnya dia menemukan sebuah gubuk reot di pinggir jalan, dia secara spontan menepi dan duduk di atas bale-bale. Ayu sungguh tak tahu, bahwa berada di sebuah tempat di pinggir jalan adalah sebuah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Benar saja. Ketika akhirnya malam tiba, sebuah lampu menyorotnya yang tengah tertidur pulas. Gigil kedinginan telah terkalahkan oleh kantuk yang luar biasa. Ayu tak terbangun ketika sebuah jeep mendekat. Pengendaranya, tiga orang tentara Jepang yang tengah melakukan patroli. Mereka curiga melihat ada seorang anak kecil tengah tertidur di atas bale-bale gubuk yang memang terbuka itu.
Coba saya lihat! Kalian di sini saja! ujar seseorang dari mereka, yang bertubuh paling tinggi dengan postur tegap. Dia duduk tepat di samping sopir. Kini di berjalan pelan, menyusuri jalanan yang becek akibat hujan yang kini
telah reda. Darahnya berdesir saat menatap sosok itu tertidur pulas dengan napas teratur turun naik. Selalu begitu yang dia rasakan jika bertemu seorang bocah. Rasa yang tak pernah dia dapati, bahkan jika disodori seorang jugun ianfu secantik apapun.
Sejenak dia menghela napas. Dengan kebapakkan, dia tepuk punggung bocah yang langsung terbangun dan berteriak ketakutan. Namun dengan cepat lelaki itu memeluk tubuh bocah kecil itu.
Tenangrah, Nak! Di markas ada susu hangat, handuk kering, makanan rezat dan pakaian anak kecir. Kau akan meminum segeras susu yang akan membuatmu segar kembari. Siapa namamu, Nak"
Ayu tidak menjawab. Dia hanya mempelototi sosok berseragam dengan badge bergambar lingkaran merah itu. Namun tampaknya, suara lembut lelaki itu menenangkan hatinya.
Nama saya Keiji. Kau tidak boreh takut pada saya. Saya ini pecinta anak-anak.
Usapan-usapan ramah Keiji di rambut yang telah mulai kering itu membuat Ayu merasa nyaman. Meski Keiji memakai seragam yang sama dengan orang-orang yang menembaki dan membakar rumahnya, jelas-jelas lelaki itu bersikap ramah kepadanya. Ayu pun tak berontak ketika Keiji mengangkat tubuh kecilnya ke atas kendaraan itu.
Betul, Keiji Murayama memang sangat menyayangi anak-anak. Meski sempat dilanda ketakutan yang teramat sangat, pada akhirnya sikap kebapakkan kapten Nippon itu pun meluluhkan hati Ayu kecil. Dia pun menurut saja, bahkan merasa girang, ketika lelaki kate itu membawanya ke markas tentara Jepang.
Tak perru kau sebutkan namamu. Aku akan memanggirmu Tsuki, artinya Buran. Kau memang cantik seperti tsuki. Terutama bola matamu yang burat itu... benarbenar tsuki...
Ayu kecil senang pada lelaki bertubuh kekar itu. Lelaki itu humoris dan tahu sekali bagaimana cara menghiburnya, meskipun terkadang, dia tak mampu memahami apa yang dibicarakan olehnya. Selain bahasanya bercampur bahasa Nippon, Keiji juga tidak bisa mengucapkan huruf l dengan baik, dan selalu terlepas dari bibirnya sebagai r. Otak Ayu harus bekerja lebih keras untuk bisa mencerna kata-kata sang dewa penolongnya itu.
Besok, jika perang sudah seresai, maukah ikutkah kau ke Tokyo"
Tokyo itu di mana" Dia pun bertanya, sebagai sebuah pertanda bahwa dia telah mulai menerima kehadiran lelaki itu.
Di sebuah negeri di mana matahari terbit pertama kari.
Jauhkah Tokyo itu" Tentu saja.
Lebih jauh mana dari Den Hag" Kau tahu Den Hag"
Papa pernah mengajakku kesana. Kami naik kapal besaaar....
Besok kalau ke Tokyo, kita tidak naik kapar raut. Kapal laut"
I... ya... kapar raut. Kita naik pesawat terbang! Pesawat terbang" Seperti burung"
Betur! Pasti mengasyikan sekali! Tentu saja.
Hari-hari bersama Keiji begitu mencerahkan sarafsaraf nya. Sesekali perwira Jepang itu bercerita tentang serunya pertempuran di darat maupun laut. Cerita yang tidak terlalu Ayu pahami. Namun meskipun istilah-istilah yang dilontarkan begitu abstrak bagi pikiran anak usia 6 tahun macamnya, dia tetap mampu membayangkan betapa serunya pertempuran itu, meski bayangan itu masih sebatas fantasinya. Kapal-kapal perang dengan corong meriam yang memuntahkan api, pesawat terbang yang melintas dengan
bom-bom berjatuhan, serta tentara-tentara berseragam yang berteriak bersahut-sahutan.
Dia masih ingat, hampir saja dia memanggil sang Keiji dengan sebutan bapak... jika saja....
Sungguh, malam itu dia tak mengerti apa yang telah terjadi. Yang dia tahu, Keiji mendekap tubuh kecilnya dengan erat. Entah apa yang kemudian dilakukan oleh Keiji, namun setelah itu Ayu merasakan kesakitan yang sangat.
Sakiiit..., rintihnya saat itu. Keiji yang berada di sampingnya tersenyum lembut. Dia membelai tubuh bocah malang itu.
Tenang, Sayang! Besok juga sembuh sakitnya. Sekarang tidurrah!
Hampir setiap malam Keiji melakukan aktivitas aneh itu. Dan begitu aktivitas itu berakhir, rasa nyeri yang hebat terasa, yang seringkali disertai dengan kucuran darah. Ayu berteriak-teriak kesakitan, menangis tersedu-sedu. Dia baru menghentikan tangisnya ketika Keiji memberinya obat penenang, dan dia tertidur pulas. Namun, ketika dia merasa telah mencapai puncak kesakitan serta ketakutan, sekuat tenaga Ayu mencoba melawan. Tubuh kecilnya berontak sekuat tenaga.
Keiji menjadi bengis. Kalau kau tak mau menuruti apa kataku, aku bisa mengurungmu di kandang kuda!
bentaknya. Lalu pukulan demi pukulan mematikan seluruh keberanian dan perlawanannya. Bocah itu nyaris remuk.
Ayu tak berdaya. Baru ketika Keiji tak pulang di hampir tiga malam, diam-diam Ayu merayap menuju jendela, membuka kunci, dan melarikan diri.
Ketika Ayu dewasa, dia memahami apa yang telah dilakukan Keiji. Dia telah merusak kehormatannya berkalikali, pada saat usianya belum genap 7 tahun.
*** Entah mengapa, pelarian Ayu berlangsung dengan begitu mudah. Mungkin tubuh kecilnya bisa dengan lincah menelusup ke sana kemari. Mungkin karena sebagian tentara menganggap dia tak bermaksud apa-apa. Sebagian tentara yang tahu ketidaknormalan atasannya itu mengira Ayu hanya bosan terus berada di dalam ruang dan ingin bermain-main keluar.
Nyatanya, Ayu memang berhasil melarikan diri. Dia menaiki kereta api dari Solo Balapan menuju Jakarta hanya dengan berbekal uang yang dia ambil dari saku baju Keiji. Ayu seakan kehilangan arah. Di Stasiun Tawang, Semarang, dia turun dari kereta dengan linglung. Dia berdiri dengan kesadaran yang nyaris limit di depan gedung stasiun kereta api dengan sepasang kaki yang seolah tak menjejak bumi. Tatapannya kosong. Hanya ada kerut ketakutan yang luar
biasa, menandakan bahwa dia tengah mengalami sebuah trauma mendalam.
Usianya baru 7 tahun, dan dia telah menjadi korban pemerkosaan.
Saat itulah seorang perempuan berparas molek, dengan rambut digelung rapi, lengkap dengan tusuk konde emas, mengenakan kain batik dan kebaya berwarna merah menyala, menyapanya. Perempuan yang sebenarnya menjadi teman seperjalanannya sejak dari stasiun Balapan. Perempuan yang diam-diam mengamatinya dengan seksama. Bahkan, tanpa Ayu ketahui, perempuan itu memperkenalkan diri kepada petugas kereta api sebagai ibu Ayu.
Mau ke mana, Nak" Jika yang datang padanya adalah seorang lelaki, tentu Ayu akan berlari tunggang langgang meninggalkannya. Dalam pandangan mata kecilnya, seluruh paras lelaki tibatiba telah berubah menjadi wajah Keiji.
Tidak tahu! Ayu menggeleng, wajahnya sayu. Bibirnya yang biasanya merah segar, kali ini pucaat kebiruan. Ditambah dengan gigitan dari gigi yang tampaknya sudah mulai menciptakan sedikit luka, dia terlihat sangat memelas. Sepertinya, dia juga sangat ingin mengucurkan tetes demi tetes air, namun matanya terasa kering, seperti sumber air yang ditimpa kemarau panjang.
Kenapa tidak tahu" Wanita berusia sekitar 30 tahunan itu mendekatinya. Mana bapak atau ibumu" Kenapa kau sendirian naik kereta api ini"
Ayu tak menjawab, tak juga menggeleng. Dia terdiam, memaku bumi dengan sepasang kaki kecilnya yang sesekali menggigil. Sudah dua hari, sejak dia lari dari markas Nippon, perutnya tak diisi secuil makanan pun. Pakaiannya pun telah kumal, dan sebagian sobek-sobek. Beberapa luka di permukaan tubuhnya, mencipta rasa nyeri. Sebagian telah menjadi borok, di mana belasan lalat berusaha menyerbu, namun selalu gagal karena ditepis oleh tangan mungil itu.
Sang perempuan pun memandanginya dengan teliti. Mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya penuh arti, dan sesekali melebar girang. Tak puas hanya memandang, dia pun meraba dan menepuk bagian tubuh Ayu, persis seperti seseorang yang tengah menaksir hewan peliharaan yang ingin dibelinya.
Bagus... barang bagus! Berkali-kali ungkapan barang bagus meluncur dari mulut wanita berparas menor itu. Sebuah kepuasan membayang jelas, namun Ayu baru mengetahui maksud ungkapan tersebut lima tahun kemudian.
Selama ikut dengan Jeng Palupi, nama perempuan cantik itu, dia memang diperlakukan sangat baik. Dia dirawat, diberi makan secukupnya, bahkan disekolahkan.
Dia menjadi anak kesayangan, dengan kehidupan penuh gelimang kemewahan. Jeng Palupi, saat Belanda masih berkuasa, adalah Nyai dari seorang perwira KNIL. Dia cukup beruntung, karena saat Jepang datang, dia tak harus ikut menanggung derita yang menimpa orang-orang bule yang pernah dipujanya. Dia bahkan mendapatkan tempat yang layak, karena seorang pejabat militer Jepang, melamarnya menjadi seorang kekasihnya.
Jika kita menjadi sebuah perhiasan yang indah, maka tak akan seorang lelaki pun tega menyakiti kita. Untuk itu, kau perlu tahu banyak peradaban dunia, juga seni sastra, seni rupa, dan seni suara. Barang bagus sepertimu harus disempurnakan dengan keindahan bahasa dan keanggunan yang terpancar dari kecerdasannya. Hargamu pasti mahal sekali kelak....
Harganya kemudian, memang sangat mahal. Ketika berkencan untuk yang kesekian kalinya, terlontar dari bibir Babah Ong, lelaki Tiong Hoa yang kaya raya itu yakni sosok yang pertama kali mencicipi terbang bersama kupu-kupu cantik yang barusan keluar dari kepompongnya. Aku membayarmu dengan satu kilo emas murni!
Satu kilo emas murni untuk malam pertama . Selanjutnya, satu demi satu lelaki pun mampir untuk mencicipi keindahan kepakan sayapnya. Jeng Palupi telah menjadikannya sebagai arca pujaan lelaki. Dia tak berdaya,
namun balas budi adalah sebuah kewajiban. Maka, dia pun menjadi salah seorang abdi yang paling setia. Sampai ketika dia merasa telah cukup banyak membalas budi atas kebaikan sang induk semang, dia pun menyetujui ajakan seorang pelaut Jepang yang menjadi pelanggannya untuk pergi bersama, menata hidup baru yang lebih menjanjikan masa depan.
Kau akan kuperrakukan istimewa. Tidak sebagai peracur, tetapi sebagai kekasihku tercinta. Aku akan meramarmu sebagai istri!
Kotaro San, salah besar jika kau menganggapku pelacur. Aku adalah seorang geisha& protesnya, lembut.
Baikrah, akan tetapi, setelah kau berada di sampingku, kau adarah geisha yang terrahir untuk senantiasa bersenandung di dalam hatiku.
Lelaki itu bernama Yasashi Kotaro, seorang pemuda Nippon berwajah biasa-biasa saja. Usianya saat itu 31 tahun, sedangkan Ayu 14 tahun. Mereka pun mendarat di Tokyo untuk kemudian meneruskan perjalanan ke sebuah desa yang terletak di pegunungan. Desa yang indah, dengan latar pegunungan Fujiyama yang diselimuti salju abadi. Mereka hidup bersama di sebuah rumah kecil di tengah kebun sayur mayur. Setiap pagi, dia akan membantu Kotaro menyiangi rumput-rumput yang berebut humus dengan batang-batang
lobak, kentang, tomat, dan kol. Tembang cinta mengalun indah, membuat cinta itu terasa penuh bunga.
Namun kenyataan yang kemudian dia dapati betul-betul memukulnya. Suatu hari, seorang wanita yang tengah hamil tua datang bersama seorang anak kecil. Tanpa basa-basi, selontar makian menggemparkan ketenangan jiwanya.
Pergilah kau dari kehidupan kami! Semula kami adalah pasangan yang bahagia, jika saja kau tidak merusak kebahagiaan itu!
Wanita itu mengaku sebagai istri Yasashi. Semula mereka mengusirnya baik-baik. Namun setelah Ayu bersikukuh untuk tetap tinggal bersama Yasashi, mereka kemudian memutuskan untuk menggunakan cara kasar. Mereka mengancam akan membunuhnya jika dia tak segera pergi. Kekecewaan meledak menjadi kemarahan, karena di depan wanita itu, yang datang membawa hampir seluruh keluarganya, Yasashi mendadak berubah menjadi tikus kecil yang pengecut. Tak ada sedikitpun pembelaan keluar dari mulutnya. Bahkan dengan halus, dia pun ikut memohon agar Ayu pergi dari kehidupannya.
Dengan membawa dendam yang mendalam, Ayu melarikan diri ke Tokyo dengan menaiki kereta api. Dia tak membawa barang apapun, selain pakaian yang melekat di tubuh, sebuah kalung emas pemberian Jeng Palupi serta beberapa surat penting yang dia miliki, termasuk ijazah
sekolah dasarnya yang dibiayai oleh Jeng Palupi. Namun, pengetahuan yang sangat minim, ketiadaan biaya, serta keasingan parasnya, membuat dia benar-benar telah terjun di belantara yang penuh onak serta ancaman binatang buas. Di kota yang asing itu, dia terlunta-lunta tanpa daya. Hanya saja, dia masih memiliki kecantikan, yang memikat para lelaki yang meliriknya. Kekusaman hidup, ternyata tidak membuat permata yang memancar menjadi redup. Maka, untuk menyambung hidup, dia tak segan-segan merayu siapa saja pria yang kebetulan lewat dengan tarif yang disetujui bersama. Kebetulan dia cukup mahir bahasa Jepang. Saat masih bersama Keiji sekitar 10 bulan, setiap hari dia diajari bahasa negeri matahari terbit tersebut. Ketika terkurung di rumah megah milik Jeng Palupi, dia kembali memperdalam pelajaran itu, baik di sekolah maupun secara langsung, yakni les khusus oleh salah seorang asisten mucikari sebuah rumah pelacuran terbesar di kawasan Jawa bagian Timur itu. Selain bahasa Jepang, asisten itu juga mengajarinya bahasa Inggris, Belanda, dan sedikit Mandarin.
Kau seorang geisha yang memiliki kecemerlangan talenta. Kau harus bisa menguasai dunia. Dan bahasa, adalah salah satu alat penting penggenggam dunia. Belajarlah dengan baik, Nak! pesan Jeng Palupi.
Berbulan-bulan dia mencoba bertahan menghadapi
keganasan ibu kota sebuah negeri yang tengah mencoba bangkit dari kehancuran akibat kekalahannya dalam perang dunia ke-II itu. Lubang-lubang kehidupan yang curam dan penuh jebakan memang berhasil dia hindari. Namun pada akhirnya, dia pun terkapar tak berdaya. Lelah!
Negeri itu terlalu garang untuknya. Sementara untuk kembali ke tanah air, status keimigrasiannya pun tak jelas.
Saat itu salju mulai turun menutupi hamparan bumi. Ketika orang-orang lebih memilih meringkuk di bawah selimut tebalnya, atau menikmati bergelas minuman hangat, sesosok tubuh yang terbatuk-batuk karena virus influenza tengah ganas-ganasnya menggerogot, berjalan terhuyung menyusuri trotoar. Tubuhnya yang panas sebab demam tinggi begitu kontras dengan suhu udara yang saat itu mencapai minus tiga derajat celcius.
Ketika kaki sudah tak mampu lagi melangkah, akhirnya dia pun jatuh tersungkur... tepat di depan sebuah mobil yang direm mendadak.
Tokyo, Desember 1951 Seandainya Kaisar Meiji tidak memindah pusat
pemerintahan dari Kyoto menuju Tokyo yang dahulu hanya sebuah desa kecil bernama Edo, mungkin dia akan tetap membeku berselimut salju dan ditemukan keesokan paginya dalam keadaan kaku dan orang pun akan menguburkan jasadnya tanpa ragu. Untungnya, putaran sejarah berpihak kepadanya. Perpindahan ibu kota yang terjadi tahun 1869 itu telah menyelamatkan jiwanya.
Tentu secara tidak langsung. Setidaknya, karena Tokyo adalah ibu kota negara maka malam itu, Tuan dan Nyonya Harada mengunjunginya untuk menghadiri acara
Delapan kenegaraan yang wajib diikuti oleh seluruh pejabat prefektur se-Nippon. Tuan Harada adalah pejabat ring satu di Prefektur Fukushima, dia datang mewakili gubernur yang berhalangan karena sakit.
Acara kenegaraan baru berakhir pukul dua pagi. Mobil kenegaraan mengantar Tuan dan Nyonya Harada menyusuri jalanan yang memutih karena salju hingga ke hotel tempat menginap. Pada saat itulah, mata jeli Nyonya Harada menangkap sesosok tubuh yang ambruk di bawah hujan salju.
Berhenti! teriak Nyonya Harada. Lihat itu! Mata Tuan Harada membesar. Sontak dia menggamit lengan sopirnya untuk berhenti.
Ya, untungnya ada Tuan dan Nyonya Harada. Jika adalah segelintir orang Jepang yang masih memiliki hati nurani, merekalah orangnya. Jika mereka tak gencar mendekatinya sepenuh kelembutan yang tulus, barangkali seluruh manusia dari negeri Sakura terpatri di dalam hatinya sebagai pendosa-pendosa yang dia laknat habis-habisan. Yang satu persatu akan dia lumatkan di saat mata belum juga melepaskan pejamannya.
Ayo kita bawa ke hotel! kata Tuan Harada. Mereka bertiga mengangkat tubuh basah kuyup dan kedinginan itu ke dalam mobil. Sampai di hotel, mereka
menyewa satu kamar lagi. Penuh kasih sayang Nyonya Harada menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Dia cantik! puji Nyonya Harada, yang langsung jatuh hati kepada gadis itu, Ayu. Sekar Ayu Kusumastuti. Malam itu juga, Nyonya Harada yang telah kehilangan dua orang puteranya akibat perang berkepanjangan, memutuskan untuk membawa Ayu ke rumah mereka di Fukushima esok harinya.
Itulah saat-saat pertama Ayu merasakan kehidupan yang normal setelah selama bertahun-tahun dicekam dalam neraka kehidupan. Orangtua angkat Ayu, mengupayakan pendidikan yang baik. Untung saja ijazah Sekolah Rakyat yang dia tamatkan di Semarang dahulu masih terselamatkan. Namun bukan berarti memasuki sekolah resmi adalah sesuatu yang mudah. Pada kartu identitasnya, Sekar Ayu disebutkan sebagai istri Yashasi. Seorang yang telah menikah, akan sulit memasuki sekolah resmi. Untungnya, status Tuan Harada sebagai salah seorang pejabat penting prefektur, ditambah kacau-balaunya administrasi negeri itu pasca kalah perang, telah membuat semua menjadi lebih mudah. Ayu berhasil masuk di sekolahnya hingga setaraf SMP di Tokyo. Usianya memang sudah melewati kebanyakan siswa lainnya, tetapi Ayu lulus dengan nilai cemerlang.
Lulus dari sekolah menengah pertama, Sekar Ayu
masuk ke sekolah menengah atas. Tampaknya, kehidupan akan berangsur-angsur pulih. Ayu memang menjalani hariharinya dengan normal, meski dia tahu, sebenarnya dia memang bukan lagi seseorang yang tumbuh sewajarnya. Dia memakai seragam anak sekolah menengah, bergaul dengan remaja-remaja yang tumbuh ceria, akan tetapi pemikirannya telah melampaui itu semua. Dia lebih suka menyendiri, berteman dengan sepi, dan membiarkan pikirannya berkelindan dan membingkas membolongi awang-awang. Dia mencoba kembali menata puzzle kenangan, akan tetapi, kian tertata rapi puzzle itu, justru akhirnya dia mampu menyaksikan sebentuk apa peta kehidupan yang telah dia lewati.
Kehidupan yang kejam! Dan, yang muncul kemudian justru rasa dendam. Dia mendendam pada kehidupan.
Saat dia terbangun di tengah malam karena mimpi buruk, mendadak dia menyadari, bahwa dia tinggal di sebuah negara di mana orang-orangnya telah membiarkan, bahkan terlibat dalam kehancuran hidupnya. Pada mimpi buruknya, dia melihat seorang anak kecil tengah berlari menembus hujan lebat. Lalu anak kecil itu diselamatkan oleh seorang tentara Jepang, namun selanjutnya anak itu justru mengalami kekejaman tiada tara.
Ayu selalu terbangun dari mimpi dengan tubuh berkeringat dan napas terengah-engah. Dan teror kejiwaan
itu terus berlangsung pada mimpinya yang terus saja terulang-ulang. Semakin terteror karena pada episode kesekian kali dari mimpinya itu, mendadak dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang wajahnya sangat mirip dengannya. Perempuan itu sebenarnya masih muda, tetapi terlihat renta. Tubuhnya kurus kering, belulang bertonjolan terlihat dari bagian-bagian terbuka dari tubuh yang dibungkus pakaian compang-camping.
Aku ibumu, Ayu. Aku ibumu! Balaskan dendam ibu, Nak!
Esoknya, saat istirahat, Ayu masuk ke perpustakaan sekolahnya. Membuka-buka peta dunia, dan dia melihat peta Indonesia. Berita di surat kabar yang terkait dengan Indonesia selalu mampu menggairahkannya. Awal-awal tahun 1950-an, pemerintah Jepang memang mulai membangun kembali hubungan yang pernah sangat buruk dengan pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Okazaki mengunjungi Jakarta pada tahun 1953 untuk membicarakan kemungkinan kerjasama perekonomian dengan negara tersebut. Sebelum itu, politisi Indonesia, Ahmad Subardjo juga telah mengunjungi Tokyo setahun sebelumnya. Beritanya cukup ramai di koran-koran. Ditambah dengan pembangunan proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air di daerah Sumatra.
Sekar Ayu kian gelisah. Lobi-lobi kedua negara kian
gencar. Tetapi rasa tak nyaman justru kian menyeruak. Apakah kehancuran besar yang menimpa bangsaku bisa terhapus hanya karena usaha-usaha perdamaian" Suara dalam hati Ayu mendesak-desak ketenangannya.
Aku harus kembali ke negeriku, bisiknya. Sebuah bisikan yang lama-lama berdentum-dentum menjadi semacam vonis hakim yang memiliki kekuatan luar biasa.
Namamu Sekar Ayu" pertanyaan itu membuatnya yang tengah serius mempelototi peta Indonesia tersentak. Bukan hanya karena pertanyaan itu diungkapkan dalam kondisi hening, tetapi juga karena pertanyaan itu diucapkan dalam bahasa Indonesia. Seorang lelaki, berusia setengah baya, menatapnya dengan ramah. Kamu pasti bukan orang Jepang ya"
Kutatap wajah lelaki itu sekilas.
Saya Ishihara, ujarnya. Ishihara Murakami. Petugas perpustakaan yang baru di sekolah ini. Sebenarnya tak terlalu baru, sudah tiga bulan di sini. Dan selama bekerja di sini, saya melihat kaulah pengunjung paling setia.
Anda bisa berbahasa Indonesia" pertanyaan Sekar Ayu tentu tak terlalu penting. Ishihara bukan saja fasih berbahasa Indonesia. Dia juga bisa menyebut huruf L dengan baik.
Sejak sebelum meletusnya perang, tepatnya tahun
1938 hingga 1944 saya tinggal di Indonesia, atau Hindia Belanda saat itu. Saya bekerja di Toko Chiyoda, di Bandung. Saya banyak mengenal para tokoh yang sekarang menjadi orang-orang penting di negerimu. Seperti Ahmad Subardjo, Sutan Syahrir, bahkan juga Sukarno dan Hatta. Saya kembali ke negeri ini setelah tertembak pasukan sekutu saat ditugaskan di medan perang.
Pernyataan itu menarik perhatian Ayu. Cepat dia berbalik, mengamati sosok itu. Saat itu Ishihara tengah bangkit, berjalan menuju sebuah rak buku. Dengan jelas Ayu melihat bahwa lelaki itu pincang. Tanpa bertanya lebih lanjut, Ayu merasa telah mendapatkan jawaban mengapa lelaki yang tentunya orang penting karena mengenal para tokoh pergerakan di Indonesia akhirnya justru terdampar di perpustakaan kecil ini.
Jadi& Anda tahu tentang Indonesia"
Ya. Aku seorang wartawan, meski pernah bertugas juga sebagai tentara saat wajib militer. Saat berada di Indonesia, saya banyak melakukan perjalanan-perjalanan, dan banyak di antaranya aku catat. Kalau kau ingin membaca, kapan-kapan catatan itu akan aku bawa dan kupinjamkan kepadamu.
Dari Ishihara, lelaki yang usianya mungkin sebaya orangtuanya, Sekar Ayu mulai belajar tentang banyak hal yang tak dia dapatkan di bangku sekolah. Diam-diam pula
Ishihara mulai menyusupkan sebuah ideologi yang kelak akan membelokkan arah hidup Sekar Ayu pada kelokankelokan tajam, bahkan juga penuh jurang-jurang menganga dengan batu-batu cadas di dasarnya.
Yang jelas, Ishiraha telah membuat Sekar Ayu kian tidak betah tinggal di negara itu. Maka, usai dia lulus sekolah menengah atas, Tuan dan Nyonya Harada terpana ketika Ayu mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke Indonesia.
Tetapi, saat ini kau berstatus warga negara Jepang, kilah Nyonya Harada. Diam-diam timbul ketidakrelaan pada diri perempuan yang telah beranjak tua itu untuk berpisah dengan gadis yang sangat dicintainya itu. Hari tua sungguh tak akan nyaman dilewati tanpa seorang anak yang mengurusinya.
Tak mudah mengurusi proses kepindahan warga negara, ujar Tuan Harada. Tetapi, aku memahami keinginanmu. Perjanjian damai antara Indonesia dan Nippon akan ditandatangani tahun depan. Kau bisa ke Indonesia usai itu.


Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan Harada menepati janjinya. Tanggal 20 Januari 1958, perjanjian perdamaian antara Indonesia dengan Jepang ditandatangani. Pemerintah Jepang harus membayarkan pampasan perang senilai 80.308,8 juta yen atau setara dengan USD223,08 juta kepada pemerintah Republik Indonesia.
Kelak Sekar Ayu juga akan mendengar bisik-bisik bahwa lobi-lobi rampasan perang itu konon melibatkan para wanita seperti Nona Nemoto Naoko alias Ratna Sari Dewi, seorang gadis yang usianya hampir sebaya dengannya, yang akhirnya menjadi salah satu istri Presiden Sukarno. Ayu tak peduli. Yang jelas, pasca membaiknya hubungan bilateral kedua negara itu, dia diizinkan kembali ke Indonesia, meski statusnya tetap warga negara Jepang.
Dukuh Murong, April 1958 Perempuan yang berada di depannya saat ini,
memiliki mata yang tajam laksana pisau belati. Barisan rambut yang tumbuh subur sekaligus lentik, memagari dengan indah bola mata gelap kecokelatan yang selalu menatap dalam. Ditambah sinar mata yang keras, seperti hendak menegaskan, bahwa selain tajam, sepasang mata itu adalah belati yang sangat kuat.
Siapapun yang memandang, akan terpesona sekaligus teriris tak berdaya. Akan tetapi, bagi seorang lelaki yang selalu bergumul dengan kerasnya kehidupan, memiliki sebilah belati yang tajam, bisa jadi adalah sebuah kebanggaan.
Sembilan Astaghfirullah..., gumam pria itu seraya mengalihkan pandang. Ingat, semua bisa berawal dari pandangan, desisnya kemudian, dalam batin. Tergesa-gesa dia pun lantas mengubah sikap. Dia memang menjulurkan tangan kanannya, mempersilahkan tamu yang mendatangi Pesantren Dukuh Murong pagi-pagi buta itu dengan santun. Namun sepasang matanya kini tampak tengah dia dera dengan memaksanya tunduk memaku tanah.
Pandangan pertama adalah rezeki, selanjutnya... dosa! Zina mata!
Aku ingin bertemu dengan Kyai Haji Abdurrahman Alattas! ujar perempuan bermata belati itu, tanpa basa-basi. Bukan karena dia tak memiliki kelembutan. Justru dia adalah ratu dari segenap kelembutan. Dan dia telah mampu mengemas kelembutannya menjadi paket-paket yang bisa dipasang sewaktu-waktu. Dia sangat tahu, para lelaki akan bertekuk lutut seketika jika dia menebarkan sepersekian saja paket kelembutannya. Karena itu, dia tak akan mengobral kelembutannya kepada setiap lelaki. Hanya lelaki yang dia anggap akan memberi keuntungan baginya tak cukup sekadar untung, tetapi untung besar.
Sedangkan lelaki berkopiah hitam di depannya kini, hanya seorang santri lugu yang tak tahu apa-apa. Mungkin pula dia hanya jongos. Tak perlu dia menyervisnya dengan pesona kewanitaannya, meski itu
hanya sekadar untuk berbasa-basi.
Maksud panjenengan, Kyai Murong" Pemimpin pondok pesantren Dukuh Murong" tanya pria sederhana yang diamdiam mengagumi mata belati milik perempuan itu.
Bukankah nama asli beliau adalah Abdurrahman Alattas"
Betul, Mbak. Akan tetapi, kami jarang memanggil beliau dengan nama aslinya.
Kau jongosnya" Ahmad Al-Faruk, lelaki sederhana itu tertegun mendengar ucapan perempuan muda itu barusan. Seperti ada yang teriris pada relung hatinya, sebuah perasaan terhina. Reflek dia melirik penampilannya. Bersih dan rapi sebenarnya, tetapi sangat sederhana. Kemejanya sudah mulai kusam, warna putihnya tak cemerlang. Kain sarung yang selalu membelit bagian bawah pun sudah saatnya diganti yang lebih baru. Perempuan itu begitu tanpa basabasi. Seumur hidup, baru kali ini ada orang dengan begitu enteng menyebutnya sebagai jongos.
Saya Ahmad, salah seorang ustadz di pesantren ini. Saya mengajar tafsir Al-Qur an. Tetapi, saya memang hanya seorang jongos. Jongos dari sang Majikan Besar, Allah Subhanahu wa Ta ala. Silahkan masuk, Mbak! Tidak perlu! Biar saya di sini! Katakan kepada Kyai
Abdurrahman Alattas, cucunya, Sekar Ayu Kusumastuti ingin menemuinya.
Sekar Ayu Kusumastuti"
Tubuh Ahmad menegang. Kyai Murong, mantan saudagar batik yang menghabiskan masa tuanya dengan membangun sebuah pesantren di dukuh Murong, sekitar tiga puluh kilometer dari kota Solo itu memang pernah bercerita, bahwa dia punya seorang cucu perempuan yang kini tak tahu di mana rimbanya semenjak Jepang berkuasa di negeri ini. Cucu perempuan itu bernama Sekar Ayu Kusumastuti yang menghilang saat rumah orangtuanya diserang pasukan Jepang. Ayah tirinya dipenjara, dan hingga kini entah ke mana rimbanya. Sementara ibunya, sekarang dalam kondisi depresi yang parah akibat penderitaannya sebagai jugun ianfu saat pendudukan Jepang.
Jika benar bahwa gadis itu adalah Sekar Ayu, tentu dia baru berumur sekitar awal 20-an tahun. Dan jika benar pula bahwa gadis di depannya itu adalah cucu Sang Kyai, maka inilah pertama kali dalam hidupnya, Ahmad menyaksikan seorang gadis usia awal 20-an tahun yang telah menemukan seluruh pesonanya dan mengemasnya dalam bentuk fisik yang penuh daya tarik.
Atau, mungkin dia yang tak memiliki pengetahuan mendalam tentang hal itu. Karena sehari-hari, usai pulang dari belajar Ilmu Tafsir di Universitas Al-Azhar Kairo, dia
memang jarang sekali melihat seorang perempuan dengan penampilan semodern gadis di depannya ini.
Perempuan itu memang sangat cantik. Ahmad merasakan getar halus menyusup di sekujur aliran darahnya saat untuk kedua kalinya dia menatap sang perempuan, meskipun dengan cara mencuri-curi pandang. Ketika dia tersadar, telah memandang wanita yang bukan mahram, kembali sang ustadz ber-istighfar. Namun istighfar itu tak juga mampu meredam getar halus itu.
Karena aku tak ikhlas mengucapkannya" Cepatlah! Aku butuh bertemu dengan kakekku! Eh... iya! Saya akan panggilkan!
Pertemuan yang kemudian terjadi, sesuai dengan dugaan Ahmad. Nyai Asiyah istri dari Kyai Haji Abdurrahman Alattas alias Kyai Murong memeluk tubuh sang gadis dengan isak tangis tak tertahankan. Meski sang kyai tampak tertegun melihat sosok yang tampil begitu modern dengan rok model poodle skirts warna merah dan hitam, blouse putih dan jumper warna merah, serta sepatu yang sangat gaya dan rambut tergerai tanpa penutup, tampak betul bahwa raut wajah sang kyai pun menyiratkan bungah.
Sebuncah keharuan menghiasi relung hati Ahmad menyaksikan adegan tersebut. Selama ini, dia tak pernah
menyaksikan Kyai Murong yang terkenal keras dan berdisiplin tinggi itu meneteskan air mata. Akan tetapi, jika Kyai Murong dan istrinya menampakan keterharuan yang luar biasa, semua itu ada dalam batas kewajaran. Di dunia ini, mungkin darah daging yang tersisa hanya Sekar Ayu. Setelah Muhdhor Alattas meninggal, Muhsin dan Mukmin, saudara-saudara Muhdhor, juga terbunuh oleh pelor sekutu saat berperang di masa revolusi fisik. Cobaan hidup yang berat telah membuat Kyai Abdurrahman Alattas dan istrinya memutuskan meninggalkan segala kemewahan duniawi dan menetap di dusun Murong yang senyap itu.
Ya Allah, Nduk! Wajahmu begitu mirip sekali dengan Muhdhor, Abahmu yang telah tiada itu. Ke mana saja kau pergi, Nduk"! Belasan tahun tak bertemu, namun Eyang tetap bisa mengenalimu. Kau memang cucuku, Ayu! bisik Nyai Asiyah Alattas, sambil membelai tahi lalat kecil di pipi Sekar Ayu.
Ceritanya panjang, Eyang! suara Sekar Ayu penuh tekanan. Entah apa yang sebenarnya berkecamuk di batin sang gadis, namun Ahmad Al-Faruk dapat menengarai bahwa keharuan mereka tak memiliki kepaduan frekuensi, alias bertepuk sebelah tangan. Dia tak mendapatkan kesan bahwa Ayu pun mengalami perasaan yang sama seperti yang tengah dirasakan oleh Kyai dan Nyai Murong. Ayu, dengan senyum tawar menepis lembut sepasang
tangan Nyai Murong yang berusaha memeluknya. Nanti pasti akan saya ceritakan, Eyang. Sekarang, saya sungguh sangat letih. Saya menempuh perjalanan dengan kapal berhari-hari dari Tokyo menuju Jakarta, dan Jakarta ke Dusun Murong ini dengan susah payah. Saya butuh tempat berlindung, karena saya tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini!
Suara penuh tekanan itu lebih pantas diucapkan oleh bintang opera yang sangat mumpuni memainkan emosi penonton dibandingkan seorang cucu yang bertemu dengan kakeknya setelah 15 tahun berpisah.
Ahmad mengedikkan bahunya seraya mencoba menerka gejolak yang tersembunyi di balik tulang dada sang dara.
Kau bisa tinggal di sini, Ayu. Semua yang ada di sini adalah milikmu!
Selanjutnya, Ahmad merasa tak perlu lagi menyadap perbincangan mereka. Dia tak berhak bersama-sama terlarut dalam keharuan, meskipun keharuan itu dia nilai penuh dengan kamuflase. Maka dia pun segera berlalu. Namun sejak saat itu, bayangan sepasang mata belati itu berubah menjadi virus yang menyusup di hatinya. Yang selalu membuat salat, tilawah, qiyamul lail bahkan shiyamnya berkurang kadar kekhusyukannya.
*** Beberapa Bulan Kemudian& Hei, Ayu! Namamu Ayu, kan"
Sosok yang barusan menyapanya bernama Purnomo. Lengkapnya Raden Mas Purnomo Wardoyo, anak seorang menteri yang menjadi idola di kampus biru. Purnomo adalah mahasiswa semester tujuh. Namun Ayu hampir yakin, bahwa usianya mungkin sebaya, atau bahkan lebih tua dari lelaki berwajah tampan dan berpenampilan penuh gaya itu. Bakero!
Kau mahasiswa baru" Ayu tersentak. Lamunan panjangnya terkoyak seketika oleh suara lembut berasal dari sosok yang berdiri tepat di sampingnya itu.
Aku memang mahasiswa baru. Semester satu"
Yang namanya mahasiswa baru, pasti ya semester satu, ketus Sekar Ayu.
Lelaki itu, Purnomo menatapnya lekat. Namun tak seperti seorang gadis pada umumnya yang pasti lantas menunduk dengan wajah kemerahan, Ayu justru balas menatap Purnomo, berani. Tentu saja dengan tatapan belatinya. Dan bagi putera seorang menteri itu, sosok bertinggi 160 cm dengan rambut panjang terkepang rapi
itu tampak begitu menarik. Aku tak pernah melihat gadis secantik dia. Dia... yang terlalu matang untuk ukuran anak semester satu, desis batinnya.
Kau cantik! Lebih cantik mana dibanding Maria" tantang Ayu, membuat Purnomo semakin tertegun oleh rasa heran yang dibebat keterpesonaan mendalam.
Maria adalah anak semester tiga yang terkenal cantik dan menjadi idola di Fakultas Hukum, kampus biru alias Universitas Gajah Mada. Sekar Ayu tentu mendengar gosip santer yang menyebutkan bahwa Maria Anastasia Simanungkalit itu adalah kekasih Raden Mas Purnomo Wardoyo. Mereka terkenal sebagai pasangan paling serasi. Sama-sama rupawan.
Jangankan Maria, Purnomo tersenyum. Marlyn Monroe saja mungkin kalah dibandingkan denganmu.
Ayu tak tersipu. Namun dia pura-pura merasa tersanjung. Lelaki ini berasal dari keluarga kaya raya... sayang sekali jika dibiarkan begitu saja.
Sudah beberapa minggu ini aku memperhatikanmu. Terus terang saja, aku sangat suka memandangi wajahmu. Bolehkah aku bersahabat denganmu, dengan persahabatan yang tak biasa" Maksudku, maukah kau menjadi orang yang
memiliki tempat istimewa dalam hatiku"
Ayu tersenyum. Lelaki paling digandrungi di kampusnya itu, telah jatuh bertekuk lutut di depannya.
*** Bodoh sekali kau, mau jadi pacar Purnomo! Suara itu menyentakkan Ayu. Dia yang tengah sibuk mencecap kopi susunya di kantin kampus seketika meletakkan cangkirnya. Saking gugup, percikan kopi yang panas sempat membasahi jemarinya yang lentik dan terawat.
Purnomo Wardoyo adalah pemuda yang tidak punya rasa nasionalisme. Dia liberal, kebarat-baratan. Dia kapitalis!
Ayu menoleh. Tampaklah olehnya kini, sosok tubuh jangkung dengan rambut yang sedikit gondrong. Berbeda dengan Purnomo yang selalu klimis dengan minyak rambutnya, penampilan pemuda di depannya kini begitu acak-acakan. Namun jujur saja, dia tampak begitu perkasa.
Jika dari tatapannya dengan Purnomo dia tak menyimpan debar meski sehalus butiran atom sekalipun, maka dari sosok yang tampak angkuh itu, mendadak dia merasakan pendar aneh yang baru pernah dia rasakan, meski sudah belasan atau puluhan lelaki, singgah dalam
kehidupannya. Uniknya, jika kepada Purnomo dia bisa bersikap lembut, justru kepada sosok yang mampu mencuri hatinya itu, keketusannya muncul.
Apa urusanmu"! Banyak! Aku berkeberatan jika kau pacaran dengan anak muda yang tak punya prinsip itu.
Pemuda acak-acakan itu bernama Prakoso Wardhana mahasiswa semester tiga belas. Dia adalah anak seorang anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia. Konon prestasi di kampusnya tidak terlalu bagus, bahkan berantakan. Usianya sudah hampir 25 tahun, tetapi masih saja belum lulus. Namun, kata orang juga, meskipun nilainilai ujiannya selalu jauh dari sempurna, Prakoso itu terkenal sangat cerdas dan pandai berdebat. Dia kutu buku. Buku setebal apapun akan dia lahap dalam waktu singkat. Kesibukannya berpolitik membuat dia sering bolos, itulah yang membuatnya tak juga lulus.
Kenapa keberatan" Kau bukan siapa-siapaku. Bukan siapa-siapa katamu" Prakoso tergelak. Siapa bilang" Aku adalah calon kekasihmu.
Apa" Jangan asal bicara kau!
Aku tidak asal bicara. Beberapa hari aku mengamatimu dan aku percaya, bahwa aku telah jatuh cinta padamu. Aku tidak perduli kau cinta padaku atau tidak. Yang
aku yakini, kau pasti mau jadi kekasihku.
Kekasih orang berantakan dan tak bermasa depan seperti kau" cibir Ayu. Pemuda ini sungguh nekad.
Siapa bilang aku tak bermasa depan" Justru masa depan bangsa ini ada dalam genggaman tanganku! Ketika Partai Komunis sudah berkuasa penuh, maka orang-orang brilian seperti aku akan tegak sebagai salah seorang pemimpinnya. Dan kau pasti bangga, punya kekasih seorang tokoh revolusi seperti aku. Kekasih seseorang yang memiliki idealisme menyala-nyala dalam dadanya, dan bukan sekadar bebek yang ikut-ikutan apa kata barat seperti antek kapitalis itu, Purnomo, pacarmu!
Ucapan itu terlontar dengan gaya yang unik. Sarkatis, tetapi menarik. Dan tanpa sadar, Ayu menikmati seluruh orasi Prakoso dengan tatapan mata yang tak mampu menyembunyikan kekagumannya.
Amerika, Inggris, Perancis adalah bangsa-bangsa penjajah. Semestinya seluruh rakyat di persada Asia dan Afrika menyadari betul hal tersebut. Mereka harus menemukan jatidirinya, harga dirinya. Dan harga diri seorang Asia adalah manakala dia berdiri tegak sebagai seorang komunis, seperti aku ini!
Ayu menatap sosok berantakan di depannya itu. Lagipula, aku mengenal sosokmu jauh sebelum kau
kuliah di sini. Saat kau sampai di Indonesia beberapa bulan yang lalu, aku bahkan sudah tahu, bahwa Sekar Ayu Kusumastuti sudah kembali ke Indonesia, dan berencana melanjutkan kuliahnya di sini.
O, ya" Kau seperti paranormal yang pintar meramal" cibir Sekar Ayu.
Bukan meramal, tetapi memang benar-benar tahu. Seseorang mengirimi ayahku berlembar-lembar surat. Dia menceritakan kepada ayah tentang kamu.
Siapa orang itu" Salah satu pentolan Japanese Communist Party alias Nihon Ky"san-t". Namanya, Ishihara Murakami.
Sekar Ayu terperanjat. Selama hampir dua tahun mengenal lelaki setengah baya yang telah menjadi gurunya dalam masalah ideologi, dia bahkan baru tahu jika Ishihara adalah pentolah partai itu. Meski Nihon Ky"san-t" hanya partai kecil di Jepang, paling tidak jika dia seorang dedengkot, mestinya Ishihara memang bukan orang biasa. Pantas dia sangat pintar. Sekaligus juga dingin dan & kejam. Bagaimana kau tahu tentang Ishihara"
Waktu dia menjadi intel Jepang yang disusupkan di Hindia untuk memata-matai Belanda, dia tinggal di rumah kakekku. Dia menjadi sahabat ayahku. Dan itulah yang menjadikan kiamat untuknya.
Kiamat" Ayu mengerutkan kening.
Nihon Ky"san-t" bukan partai yang direstui pemerintah Jepang. Satu-satunya partai yang menentang Jepang terlibat dalam Perang Dunia adalah partai itu. Kau tahu, gerakan sosialis komunis sedunia menggalang kekuatan untuk melawan fasisme. Karena itu, Nihon Ky"san-t" sempat dianggap ilegal. Baru dilegalkan dan diperbolehkan ikut pemilu setelah Amerika Serikat mencengkeram negara matahari terbit itu.
Jadi, Ishihara itu sebenarnya pernah menjadi musuh pemerintah Jepang"
Ya, dan itu terjadi setelah dia mengenal ayahku, hahaha. Tetapi, dia bisa menyembunyikan hal tersebut dengan sangat rapat. Akan tetapi, saat menjelang kejatuhan Jepang, dia tertangkap basah berhubungan dengan Amir Syarifuddin yang antifasisme, dan dia ditembak oleh atasannya.
Jadi, dia tidak ditembak oleh Sekutu" Dia mengaku ditembak sekutu.
Bukan. Dia ditembak bangsanya sendiri. Semestinya dia ditargetkan lenyap dari muka bumi. Hanya saja, karena dia masih memiliki banyak rahasia tentang aktivitasnya saat menjadi intel, dan mengingat jasanya yang besar, dia diampuni. Tidak dihukum mati. Cukup dibikin pincang dan dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun.
Mendadak pada benak Sekar Ayu terbayang raut wajah Ishihara yang selalu muram. Serta kacamata tebalnya yang selalu melorot jika dia tengah sibuk membaca di ruang perpustakaan.
Nah, baru-baru ini, kalau tidak salah tiga tahun, Ishihara dibebaskan dari penjara di Tokyo.
Dan dia menjadi petugas di perpustakaan sekolahku. Itu keajaiban untukmu, karena dengan suka rela dia telah menjadikanmu sebagai pewaris ilmu-ilmunya. Dia seorang tokoh besar yang terbuang. Begitulah peradaban. Di satu sisi selalu berhasil memunculkan tokoh-tokoh besar, tapi di sisi lain dengan semena-mena akan menceburkan orang-orang yang berlawanan ideologi ke kubangan lumpur. Dan, karena aku tahu bahwa kau adalah murid Ishihara yang sangat dikagumi ayahku, dengan suka rela aku melamarmu jadi kekasihku.
Kau menginginkan aku menjadi kekasihmu" tanya Sekar Ayu, dengan getaran yang jujur.
Prakoso tertawa terbahak-bahak. Disibaknya rambut yang berantakan dan menutupi hampir sebagian wajahnya. Ya. Aku ingin kau menjadi kekasihku. Kau mau" Jika kau bersedia, sungguh, akan tercipta sebuah cinta yang penuh aroma perjuangan. Cinta kita adalah cinta revolusi! Cinta revolusi, Ayu tak tahu, semacam apa bentuknya.
Akan tetapi, pada akhirnya, ternyata dia memutuskan diri untuk menerima pinangan Prakoso. Dia ingin mencicipi, seperti apa rasa cinta revolusi itu.
*** Wajah Ahmad Al-Faruq suram, ketika melihat sosok itu kembali datang dengan diantar oleh seorang lelaki muda bertampang acak-acakan. Bukan hanya masalah itu. Kepulangan mereka yang sudah larut malam pun membuat wajah itu semakin tersemburat amarah. Namun badai yang paling dia rasa ganas menggila, adalah dahana yang berkobar dalam dadanya. Api kecemburuan. Maka dia pun melangkah dengan sepasang tangan terkepal, menghampiri sang perempuan yang masih berasyik masyuk dengan sang pengantarnya itu.
Gila, kau Kos! suara lantang sang perempuan terdengar nyaring. Aku kenal banyak lelaki, tetapi yang bisa membuatku tergila-gila baru kau.
Aku juga tak menyangka jika kau ternyata punya bakat badung, lelaki yang tak lain adalah Prakoso itu terbahak. Itu luar biasa, karena semua orang tahu, bahwa kau adalah cucu seorang ulama terpandang...
Berengsek! Jangan ngomong macam itu lagi. Aku bisa digorok kakekku. Sudah sana pulang! Ini pesantren, Kos! Bukan diskotik.
Sun dulu dong! Prakoso menyodorkan pipinya. Sebagai energi untuk kepulanganku. Aku harus berjuang keras menaklukkan jalan yang mirip sungai kering untuk kembali ke Solo.
Tidak, Kos. Nanti ketahuan santri di sini, bisa ramai! Sun dulu! Kalau tidak, aku bisa kelenger di jalan. Bayangkan, aku harus berkendaraan selama empat jam lebih.
Baiklah, Kos. Tetapi jangan meminta lebih dari itu, ya" Sepasang sejoli itu pun saling berdekatan. Namun baru saja mereka mulai beraksi....
Maaf! suara Ahmad bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga perasaan cemburu yang tak tertahankan. Ini pesantren, dan bukan tempat untuk berzina!
Baik Prakoso maupun Ayu tersentak melihat kehadiran pemuda sederhana berkopiah putih itu. Prakoso yang sudah siap-siap menerima ciuman Ayu bergumam jengkel.
Siapa dia, As" Jongosmu" Sok alim betul, menuduh kita mau berzina. Dia mungkin berpikir bahwa kita adalah pasangan pelacur"
Tidak tahu! Ayu melirik ke arah Ahmad, jengkel. Dia hanya pesuruh Kakek, tapi lagaknya seperti juragan.
Ini sudah malam! tegas Ahmad lagi. Dan ini pesantren. Lelaki dan perempuan yang bukan mahram dilarang berdua-duaan di sini!
Apa urusanmu" sentak Ayu. Pesantren ini milik Kakekku sendiri. Jika kakek sudah meninggal, akulah yang menjadi pewaris seluruh kekayaan yang ada. Kau hanya pegawai di sini. Hanya karena belas kasihan kakeklah, kau bisa mencari sesuap nasi di sini! Jadi jangan banyak tingkah. Jika tidak, aku akan minta kakek memecatmu!
Ada yang berdenyut kencang di kepala Ahmad, membuat lelaki itu sesaat terhuyung. Napas kelelakiannya seakan tengah dikebiri dengan semena-mena. Kau keliru, Nona. Bukan saya yang meminta kakekmu untuk bisa menjadi ustadz di sini, tetapi kakekmulah yang berkali-kali meminta saya untuk bergabung di pesantren ini.
Oh, oleh karena itu, kau mau beraksi, mau pamer kuasa, begitu"
Nona...! suara Ahmad tercekat. Perasaan marah dan cemburunya telah menciptakan pendar-pendar lara yang perih. Saya....
Ustadz Ahmad! sebuah suara berwibawa melerai pertikaian di larut malam itu. Ayu adalah cucu saya. Silahkan Ustadz kembali ke ruangan pribadi Ustadz, biar saya yang mengurusi Ayu.
Kyai Murong. Lelaki tua itu kini berjalan mendekati Prakoso, menatap wajahnya, tajam. Aku tahu siapa dirimu. Kau adalah anak Sardono, gembong musyrikin yang sangat gencar merusak akidah masyarakat dengan paham komunisnya yang anti Tuhan. Kau dan bapakmu adalah musuh Allah!
Kyai... kau ini orang terpandang. Jangan suka menjustifikasi begitu, dong! Prakoso mencoba protes. Namun Kyai Murong tak menggubrisnya.
Pergilah! Aku sudah tua, sekali pukul mungkin aku akan roboh. Tetapi di pesantren ini ada 100 lebih santri yang pandai bermain beladiri, termasuk Ustadz Ahmad yang bisa merobohkan 5 orang dewasa dengan tangan kosong.
Oh, Kyai mengancam saya" Hm... benar-benar menggelikan. Kupikir, sebagai seorang yang bijak, kau bisa berpikir menggunakan rasio. Ternyata, kau berpikir menggunakan dengkul. Pantas saja jika....
Pergi! telunjuk Kyai Murong teracung. Atau kami akan berbuat kasar kepadamu, hei musuh Allah!
Kakek, jangan usir dia! Dia itu teman kuliah saya. Orang baik, ujar Ayu yang sejak tadi terdiam seraya menggamit lengan Kyai Murong. Namun dengan cepat lelaki tua itu menepisnya. Kau tak pantas berdekatan dengan komunis kufur ini! Jika tidak, akidahmu akan rusak.
Prakoso tersenyum masam seraya mengedikan bahunya. Ayu... aku pergi! Kakekmu ini ternyata produk zaman batu. Ortodoks! Tidak tahu ke mana arah putaran bola dunia. Picik! Kasihan sekali. Kau mungkin harus banyakbanyak mengajari, bahwa dengan komunislah kita akan hidup dalam kejayaan.
Jangan banyak omong. Pergi!! suara Kyai Murong menggema menelusupi relung malam, menimbulkan getar gentar tersendiri bagi siapa saja yang mendengarkannya. Prakoso surut sesaat ke belakang. Lalu dia pun berbalik dan melangkah tanpa salam. Hanya suara motornya yang terdengar berkoar-koar mengotori senyapnya malam.
Sekarang, masuk ke dalam kamarmu, Ayu! tegas Kyai Murong. Ayu melengos.
Kakek jahat! Justru hatimulah yang harus dibersihkan dari cengkeraman syaitan!
Prakoso itu temanku yang terbaik.
Dialah yang akan mengantarkanmu masuk ke dalam neraka jahanam. Masuk ke kamar! Mulai besok, aku tidak akan mengizinkan kau kuliah lagi!
Ayu terkesima. Ditatapnya sosok sang kakek, namun lelaki sepuh itu tak mau sedikit pun meluangkan waktu untuk membalas tatapannya. Jangankan untuk bernegosiasi,
sekadar konferensi tatapan saja gagal. Ayu redam, namun dia sangat tahu, keputusan sang kakek, selalu berharga mati. Salahnya sendiri, bertandang ke kandang macan...
*** Berbeda dengan sikap terhadap Prakoso, menghadapi Purnomo, Kyai Murong ternyata bersikap lebih lunak. Tentu saja, Purnomo terlihat lebih santun, lebih rapi dan terpelajar. Status sebagai anak menteri dari partai yang dekat dengan umat Islam, membuat Kyai Murong semakin menghormatinya.
Nak Purnomo tinggal jauh dari orangtua, apa tidak rindu" demikian basa-basi Kyai Murong ketika menyambut kedatangan pemuda tampan itu.
Sebenarnya saya juga merasa rindu dengan ibu, bapak serta saudara-saudara saya, Kyai. Hanya saja, menurut Bapak, saya lebih bisa berkonsentrasi jika kuliah di Yogyakarta. Di Yogya banyak kampus yang bermutu bagus. Bukankah di Jakarta pun begitu"
Tetapi, Yogya lebih nyaman untuk belajar. Lagipula, saya jadi lebih dekat dengan eyang puteri. Bapak meminta saya menjaga eyang puteri, apalagi setelah eyang kakung meninggal dunia.
Setelah bercakap-cakap sekian lama, yang dirasakan
Purnomo lebih pada proses eksplorasi sang Kakek terhadap keberadaannya. Namun, Purnomo yang telah terbiasa menghadapi tipe-tipe orangtua protector seperti Kyai Murong, cukup sabar untuk mampu menaklukannya.
Mungkin Kyai heran akan kedatangan saya" ujar Purnomo, begitu waktu untuk mengungkap tujuan sebenarnya dia rasa sudah tepat. Sebenarnya saya hanya ingin memohon kepada Kyai, agar Ayu diperkenankan kembali kuliah. Saya melihat, Ayu itu memiliki kecerdasan yang luar biasa. Lagipula, jarang wanita di negeri ini yang bisa bersekolah hingga setinggi itu.
Wajah Kyai Murong berubah muram mendengar ucapan Purnomo.
Maaf, Kyai& saya tidak bermaksud mencampuri urusan keluarga Kyai. Saya hanya merasa sayang jika Ayu harus putus sekolah, itu saja.
Kini Kyai Murong menghela napas panjang. Saya sebenarnya setuju-setuju saja jika Ayu kembali bersekolah. Hanya saja& saya tidak suka jika Ayu bergaul dengan pemuda berandalan itu, bandit komunis&
Maksud Kyai tentu Prakoso" Dia kakak kelas saya, Kyai. Saya sangat tahu siapa dia. Dia memang mahasiswa yang angin-anginan. Tak pernah kuliah dengan serius. Nilainilainya selalu buruk. Tetapi dia sangat pintar berdebat dan berbicara.
Kedekatan cucu saya dengan Prakoso, sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Saya berjanji, ujar Purnomo, Jika Ayu kembali kuliah, saya akan melindunginya dari gangguan Prakoso.
Yang bisa melindungi secara penuh, hanyalah Allah Azza wa Jalla, tukas Kyai Murong. Akan tetapi, saya akan pertimbangkan ucapan Anda barusan, Nak Pur!
Terima kasih, karena telah memberikan kepercayaan kepada saya!
Tanpa berusaha meminta agar dipertemukan dengan Ayu, Purnomo pun berpamitan. Hasrat kerinduan memang begitu membara. Namun pemuda itu cukup tahu, apa yang harus dia lakukan untuk bisa memikat lelaki tua itu, Kyai Murong.
Saat dia keluar dari regol pesantren, seorang lelaki muda berkopiah berpapasan dengannya. Ahmad. Mereka sesaat bertatapan. Ahmad mengucap salam, dibalas oleh Purnomo. Namun sang anak menteri itu mengetahui dengan pasti, bahwa ada semacam kecurigaan memancar dari mata sang ustadz. Ketika dia menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan komplek pesantren, Purnomo pun merasa, bahwa sepasang mata itu tetap mengawasinya.
Tiba-tiba saja, aku merasa telah ditumbuhi sepasang
sayap. Semula sayap itu kecil belaka. Tetapi lama-lama dia tumbuh dengan kecepatan satu inci, sehingga dalam waktu sepuluh menit sayapku sudah sepanjang elang perkasa. Ya, aku tak lagi seekor rase, tetapi telah bereinkarnasi menjadi seekor elang. Dan kini, dengan leluasa aku mengepakngepakkan sayap itu, berteriak-teriak, bernyanyi-nyanyi dan menari-nari seperti para geisha dalam cerita-cerita perang Jepang. Betapa indah hidup ini.
Seekor burung gereja mencicit, hinggap di sebuah dahan lemah di tepi jendela. Tertawaku semakin buncah. Kujulurkan paruhku kepada burung gereja itu, mencibir dengan sedahsyat-dahsyatnya cibiran.
Sepuluh Hei, burung gereja, tak tahukah kau, bahwa ada seekor elang berada di sisimu. Kau hanya burung lembek, tak tahu diri!
Seperti mengerti ucapanku yang terlontar dalam bahasa elang burung kecil itu tiba-tiba menoleh. Mata bundarnya berputar-putar.
Aku tak takut elang! jawabnya mendadak, lantang. Eh, kurang ajar kau! Aku ini besar, kau kecil, aku akan melumatmu! Bukankah kesukaan makhluk-makhluk besar memang menindas makhluk kecil" Aku dulu juga ditindas. Jadi, saat datang kesempatan balas menindas, mengapa tidak aku lakukan"
Coba saja kalau kau bisa melumatkanku! paruh kecil burung gereja itu mengeluarkan cicitan seumpama tawa melecehkan. Amarahku tersulut. Aku pun meloncat ke jendela, membuka lebih lebar daun terbuat dari kaca yang hanya dibuka separuh.
Aku akan mengejarmu, burung gereja sialan! Coba saja! ejek si burung, membuat amarahku kian mengubun-ubun. Dengan kepakan sayapku, aku pun terbang melintasi jendela. Berlarian menyusuri halaman berumput. Namun, tak hanya luput dari tangkapan, si burung gereja itu bahkan seperti sengaja menggodaku. Dia terbang, lalu mendarat dan menggoyang-goyangkan
kepalanya, tak jauh dariku. Akan tetapi, jika kemudian aku meloncat menubruknya, dengan lincah dia mengepakkan sayapnya kembali. Dia pun terbahak dalam bahasa cicitnya. Kau tak bisa menangkapku! Tak akan bisa haha& ha!
Siapa bilang"! sergahku, pantang menyerah. Aku pasti akan berhasil menangkapmu. Kau akan kumasukkan dalam kurungan, dan hanya akan kukeluarkan jika seluruh air matamu telah terkuras habis. Nanti, jika kau sudah tak bisa lagi menangis, kau akan rasakan betapa hidup telah menjadi begitu garing tanpa rasa. Itulah saat kau menjadi makhluk yang kehilangan separuh jiwa. Ya, separuh jiwa, seperti aku, ha-ha-ha.
Si burung gereja, dan aku, si elang, saling berkejaran di angkasa. Dalam perjuangan yang dahsyat, untuk bisa menangkap si burung kecil nakal itulah, aku melihat segerombolan manusia berbaju putih berlarian ke arahku. Namun, dalam pandanganku, manusia berbaju putih itu mendadak berubah menjadi angsa-angsa dengan leher yang berlenggak-lenggok menakutkan.
Pasien kabur! Ada pasien kabuuur! Kejar!
Mereka segerombolan manusia bertubuh angsa itu menuju ke arahku. Celaka. Pasti burung gereja itu telah membujuk mereka agar mau bersekutu dengannya, dan
sama-sama memusuhiku. Buktinya, mereka sepertinya hendak menangkapku. Maka, sejuta makian pun kulontarkan kepada burung gereja sialan itu.
Kau tidak gentle. Masak hanya untuk menghadapi aku seorang, kau membujuk begitu banyak angsa!
Itu bukan urusanmu! sentak si burung gereja. Paruhmu menakutkan. Makanya aku memanggil mereka agar segera menangkapmu.
Aku tidak mau ditangkap! Aku ingin bebas beterbangan di atas langit.
Dan mengusili diriku"
Jika kau tidak menggodaku, aku tak akan usil terhadapmu. Bahkan, mungkin kita bisa bersahabat dan bersama-sama mengelilingi dunia dengan sayap kita.
Ah, jangan merayuku! Aku tahu, kau hanya berbasabasi. Tetapi, baiklah& aku terima uluran persahabatanmu. Hanya saja, aku tak mungkin selalu bersamamu. Yang harus kau lakukan sekarang adalah& bersembunyi. Agar angsaangsa itu tidak menangkapmu!
Burung gereja itu terbang meninggi. Lalu tubuhnya yang mungil itu, menghilang di balik sebuah bangunan pencakar langit. Ah, aku pun rupanya harus segera menghilang seperti dia. Sayangnya, sayapku tak terlalu kuat mengepak. Sayapku besar dan panjang, namun otot-ototnya belum
terlatih.Aku tak bisa melenting pada ketinggian sejarak itu.
Tetapi angsa-angsa itu mengejarku. Memamerkan paruh dan lehernya yang mengerikan. Aku harus bersembunyi. Jika tidak, aku akan disulap kembali menjadi siluman rase terbang. Kaki-kakiku akan dibelenggu, dan itu sangat menyakitkan. Kebebasanku terjajah oleh pengekangan. Benci!
Maka, ketika ada sebuah mobil box besar yang terparkir di pinggir jalan, aku pun berlari mendekatinya. Pintu belakang mobil itu terbuka, namun tak ada orang yang menjaganya. Box berisi tumpukan barang, semacam snack untuk anak-anak yang dijual di warung-warung. Aha, aku bisa menyelinap dan bersembunyi dalam timbunan snacksnack itu. Pasti menyenangkan. Selain rasanya hangat, butirbutir snack itu akan membuat paruhku berolahraga.
Sepasang sayapku pun mengaduk tumpukan snack. Begitu tercipta sebuah gua mini, aku pun meluruk masuk, dan pintu gua kututup lagi dengan tumpukan snack. Aku tak terlalu takut, jika oksigen tidak memasuki saluran respirasiku. Gua tempat aku menimbun diri, berdampingan dengan sebuah lubang kecil pada dinding box. Inilah istanaku sementara. Aku berbahagia. Apalagi ketika aku mengintip keluar, aku menyaksikan para pengejarku, sepasukan angsa putih itu, tampak kebingungan karena kehilangan jejakku.
Maaf, Anda melihat seorang pasien yang berlari ke arah sini" dengan jelas aku melihat dan mendengar salah satu dari mereka bertanya kepada seorang lelaki gemuk yang tengah berjalan ke arah mobil box ini. Mungkin, dia adalah sopir mobil ini, atau sales dari produsen snack, atau kedua-duanya, sopir merangkap sales. Dulu, saat aku masih menjadi manusia, Papaku selalu mewajibkan sales-sales-nya bisa menyopir.
Pasien" lelaki gemuk itu kebingungan, membuatku bersorak dalam hati. Tak ada yang tahu jika aku tengah menggulung sayapku ke tubuh dalam gua mini di box ini, termasuk sopir gemuk itu.
Betul, Bang! Pasien RSJ. Dia kabur dan tadi berlari ke arah sini. Anda melihatnya"
Wah, sejak tadi saya berada di dalam toko itu! si Gemuk menunjuk kearah bangunan yang berdiri tegak di tepi jalan. Saya sopir sekaligus sales dari pabrik snack. Ini, saya lagi nyetor barang!
Jadi, Anda benar-benar tidak melihat ada seorang pasien perempuan berlari kearah sini" desak petugas itu.
Wah, kalau Anda nggak percaya, periksa saja mobil saya! Lagipula, iseng banget sih, kalau saya sampai menyembunyikan orang gila" Saya ini banyak kerjaan, Bang! ujar si Gemuk, sewot. Angsa-angsa itu pun meminta
maaf, dan lakon berakhir dengan happy ending. Cihuyyy! Aku bisa pergi dengan aman. Menerbangi angkasa bebas, tanpa harus ditelikung dengan belenggu yang menyakitkan. Aku adalah elang. Aku bebas!
Ketika mobil box itu mulai berjalan, aku pun berkicau. Bermaksud menyanyikan lagu-lagu sukacita. Bukankah kebebasan itu layak dirayakan. Ketika negeri ini memperingati hari ulang tahun kemerdekaannya, semua orang pun berpesta pora. Dari gedung-gedung pencakar langit yang mewah, hingga lurung-lurung kumuh masyarakat urban, semua sibuk mengekspresikan kebebasannya.
Sayang, lama kelamaan, gua tempatku bertapa rupanya mulai tak nyaman. Apalagi ketika bungkusan-bungkusan snack itu mulai berguguran seperti tanah longsor di pegunungan tandus. Aku pun mulai kepanasan. Butir-butir keringat membasahi sayapku. Membuat dia luruh, terhempas dan aku mendapati, bahwa ternyata aku bukan seekor elang. Juga bukan rase. Tetapi manusia.
Sekuat tenaga aku berteriak. Kugedor-gedor dinding box. Entah sampai berapa lama. Yang kutahu, setelah jemariku mulai melepuh, baru pintu box itu terbuka. Si gemuk terperanjat melihat keberadaan sosokku. Hei, jadi& kau pasien RSJ itu" Kenapa kau
bersembunyi di sini" Padahal aku sudah bilang bahwa aku kagak tahu apa-apa" Wah& kalau ada polisi, aku bisa ditangkap nih&
Aku merangsek keluar, meruntuhkan bungkusbungkus snack itu seraya menyeringai.
Keluar, heh! bentak si Gemuk. Kalau kau tetap di situ, aku akan mengembalikanmu ke RSJ!
Jadi, kau mau menolongku untuk tidak melapor kepada mereka" tanyaku seraya cekikikan.
Aku sangat sibuk. Tidak mungkin dalam waktu dekat ini balik ke sana. Tetapi, kalau kau tetap berada di dalam box, jangan-jangan kau menebar virus penyakit gila!
Hei, asal bacot aja! Aku tidak gila, berengsek! Makanya aku lari dari rumah sakit. Mestinya, yang dimasukkan ke sana itu para pejabat berengsek, yang telah membiarkan Jakarta dijarah massa. Yang membiarkan orang-orang dibunuhi, para perempuan dinodai. Mereka itu yang gila, tahuuu"!
Si gemuk terkesima mendengar ucapanku. Sesaat dia mempelototi wajahku, seakan baru menyadari adanya sesuatu yang menarik dari rautku. Hei, kau ini China ya"
Memang kenapa kalau aku China" Awas, kalau kau mau macam-macam hanya karena aku China, aku akan undang arwah Kera Sakti Sun Go Kong buat bikin kau
kelenger seumur hidup! Aku mengembangkan jemari tanganku, membentuk sepasang cakar yang siap mencabik. Kini, aku bisa melihat bahwa dari tanganku, tumbuh bulubulu seperti kera. Aku terbahak. Roh Kera Sakti sudah datang, dan menjelma dalam sosokku.
Si gemuk geleng-geleng kepala melihatku. Dasar orang gila! Sudah, pergi sana! Aku sibuk sekali, nggak punya waktu buat ngeladenin orang tidak waras seperti kau!
Aku meloncat-loncat bak seekor monyet. Lantas, sembari berlalu, aku pun bernyanyi. Aku telah bebas. Tetapi aku bukan elang. Aku kera sakti.
*** Dan si kera sakti, kini telah menduduki salah satu kursi lusuh di gerbong bercat oranye yang telah terkelupas di sana-sini, kereta api kelas proletar jurusan kota Bengawan. Di kota besar bernama Jakarta, aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Rumahku telah lantak, harta benda pun telah lenyap dijarah massa. Tetapi, di kota Bengawan, aku masih memiliki sebuah rumah kecil yang indah. Tunggu, begitu aku datang, rumah itu akan aku sulap menjadi sebuah istana megah tempat bertahtanya sang kera sakti sebagai maharaja di negara antah berantah.
Kebetulan, lelaki gemuk itu mengusirku persis di depan sebuah stasiun kereta api. Tanpa harus membayar peron,
aku berhasil menyelinap dan kini aku bisa berbaring santai di kursi yang tak terlalu empuk, namun cukup membuat tubuhku terasa nyaman.
Karcis! teriak kondektur. Aku menjawab teriakan itu dengan tawa cekikikan.
Hei, aku ini Kera Sakti, aku tak perlu karcis untuk naik kereta ini!
Anda penumpang gelap ya" tuduh si kondektur yang mengenakan topi seperti polisi gadungan.
Enak saja. Aku masuk dalam keadaan masih terang benderang! Matahari masih tinggi. Kalaupun malam datang, aku juga akan datang dari arah benderang yang disinari lampu.
Anda tidak memiliki karcis" Anda harus bayar dua kali lipat!
Waah& mau bertindak ala jagoan ya" Ini kereta milik rakyat. Kau juga digaji dari duit rakyat. Masak ada rakyat mau naik, harus ditarik karcis segala"! Aku ini Kera Sakti pembela kebenaran, penindas kejahatan. Aku bisa sulap dirimu menjadi batu kalau kau terus-terusan ceriwis! teriakku.
Dia itu orang tidak waras, Pak! ujar penumpang yang duduk di kursi seberang. Tampaknya dia gila. Sejak tadi ngomel-ngomel terus!
Sudahlah, biarkan saja dia di situ, Pak! lanjut seorang penumpang berpakaian rapi, tampak sebagai orang terpelajar. Meskipun mengomel terus, dia tidak mengganggu kami. Justru, kami merasa terhibur. Mungkin dia anak orang kaya yang sedang stres. Ucapannya juga berbobot kok, tidak asal bacot!
Betul. Lagipula, kereta juga tidak terlalu penuh. Banyak kursi kosong. Meskipun kelihatan tidak waras, dia itu bersih, tidak kumal. Dan yang jelas& cantik. Tampaknya, dia orang China ya"!
Si kondektur itu tampak tertegun seraya mengamatiku. Lalu tawanya meledak. Wah& dasar orang tak waras!
Lantas, dia pun berlalu, dan tak mengungkit-ungkit masalah karcis itu. Terima kasih, Kera Sakti& gertakanmu membuat semua tunggang langgang, termasuk kondektur bego itu!
Coba jika pada malam jahanam itu, saat bunga api membesar seperti ledakan nuklir, saat lelaki-lelaki bengis itu menyambangi rumahku dan merusak segala yang ada, termasuk anatomi tubuhku, kau sudah bertandang di tubuhku. Pasti aku akan lawan mereka. Aku akan cabikcabik tubuh mereka, dan satu persatu aku lempar ke kobaran api. Mereka mungkin bengis. Tetapi dengan kekuatan yang merasuk dalam tubuhku, semua masalah akan diatasi.
Ingatan tentang malam jahanam itu membuat rasa perih mengoyak dadaku. Berengsek, bedebah! Jika aku menemukan para lelaki bejat itu, pasti saat ini juga aku akan memangsa mereka. Biarlah muncul sejarah baru, seekor kera memangsa manusia, meskipun makanan kesehariannya adalah umbi-umbian serta buah-buahan.
Kereta berjalan dengan lambat, dan sangat sering berhenti, meskipun di stasiun kelas pedesaan. Tetapi, bagiku itu tak masalah. Semakin banyak melihat manusia, dari pedagang asongan, pengamen bergitar, para banci yang berkaraoke, hingga anak-anak kecil yang setiap setengah jam datang dengan sapu serta kantong uang yang disodorkan ke arah penumpang usai membersihkan lantai kereta, semakin banyak pula kesempatan bagiku untuk mendeteksi wajah itu satu persatu. Mana wajah yang pernah membuat kesalahan besar di malam jahanam itu, mana pula yang sama sekali tidak terlibat.
Akan tetapi, setelah beratus wajah kupotret, tak ada satu pun yang mirip. Justru sepasang matakulah yang lantas menjadi lengket, dan aku pun terlelap dalam tidur. Tak ada mimpi, baik buruk maupun yang menyenangkan. Aku membuka mata ketika seorang petugas berseragam membangunkanku.
Hei, turun! Sudah sampai stasiun. Kereta akan dibersihkan!
Sembari mengucak-ucak kelopak mata, aku tertawa cekikikan. Kereta sudah sampai mana"
Stasiun Jebres. Ayo turun! Atau mau ikut balik ke Jakarta lagi"
O& tidak! Jakarta sudah jadi kuburan. Aku tidak mau dikubur hidup-hidup!
Siapa yang mau menguburmu hidup-hidup" Hei, kau ini tidak waras ya"
Siapa bilang" Aku waras, seratus persen! Yang tidak waras itu kau!
Si petugas terkekeh. Meskipun kelihatan stres, tapi kau ini cantik. Hati-hati jika bertemu dengan lelaki hidung belang. Siapa namamu"
Sun Go Kong! Wah, apa hubunganmu dengan kera sakti" Aku ajudannya.
Hm& kau ini benar-benar tak waras. Sudahlah& turun sana! Nanti kereta akan kembali ke Jakarta. Katanya, kau tak mau dikubur hidup-hidup!
Ya. Tak mau, karena hidupku sudah lama terkubur. Aku pun bangkit, berjalan menyusuri lorong yang terbentuk oleh dua deret kursi. Ketika menuruni tangga
kereta, aku meloncat dengan gaya seekor kera. Beberapa orang tersenyum melihat aksiku, mungkin terpesona pada keindahannya.
Ah& akhirnya, aku meletakkan tubuh di bangku kayu stasiun. Ternyata nikmat juga menyandarkan kepala di bagian atas bangku. Saat itulah, perutku ber-kukuruyuk. Aku ingin makan, tetapi apa makanan yang tepat bagi seekor raja kera" Manusia" Ah, terlalu sulit meraciknya menjadi potongan-potongan yang lezat. Mataku terbuka lebar, ketika di bangku itu, aku mendapati sebungkus biscuit yang sudah terbuka separuh. Aha& ini dia yang membuat perutku akan terasa kenyang.
Cepat kuraih 3 potong sekaligus, lalu kumasukkan ke mulut. Namun, baru saja aku mencoba mengunyah, seorang anak kecil tiba-tiba menangis keras-keras sambil menunjuk-nunjuk aku.
Kueku dimakan dia! Kueku dimakan& !!
Seorang lelaki bertubuh tinggi besar menghampiriku. Hei, itu kue anakku!
Keranda Maut Perenggut Nyawa 1 Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Duel 2 Jago Pedang 2

Cari Blog Ini