Ceritasilat Novel Online

Sang Pelintas Zaman 3

Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra Bagian 3


Aku menatap wajah itu dan mendadak sebuah kilat seakan menyambar kepalaku. Lelaki itu& wajahnya persis dengan salah satu lelaki bengis yang menyambangiku di malam jahanam itu. Kedua tanganku pun meregang. Mulutku menggeram, gigiku gemeletuk. Lantas, aku pun
bangkit, mengangkat bangku kayu yang barusan kududuki dan kulempar kuat-kuat ke arah bedebah itu.
Rasakan pembalasankuuuuu!!! teriakku, kalap. Lelaki itu kaget dan mencoba menghindar. Namun gagal, karena salah satu bagian kursi berhasil menohok rusuknya. Dia berteriak kesakitan. Bedebah, ketika Papa kau pukuli, dia pun berteriak kesakitan, persis seperti teriakan itu.
Rasa dendam pun semakin terbakar. Setelah sukses melontar rudal dengan tanganku, kini aku meraih tong sampah dan kembali kulemparkan. Pot bunga, papan pengumuman, bahkan makanan dan barang-barang di toko-toko terdekat tak luput dari perhatianku. Dalam waktu singkat, aku berhasil merubah itu semua menjadi pelorpelor dan granat. Lelaki itu kubombardir sekuat tenaga. Stasiun gempar.
Ada orang gila mengamuk! Selamatkan diri kalian! Tiaraaap!
Orang-orang berlarian menghindar, membuat amarahku semakin berkobar-kobar. Ketika tak ada lagi barang yang bisa kusulap menjadi peluru, baru aku menghentikan amukanku. Saat itu, kudapati stasiun begitu sepi, meski aku melihat puluhan pasang mata mengintipku dari berbagai sudut. Namun, tak seperti manusia lainnya
yang berlarian panik, sosok renta itu bahkan memandangiku dengan tatapan rapuhnya. Dia tak takut pada kekuatan kera saktiku rupanya.
Hei, siapa kau"! tanyaku, seraya berkacak pinggang. Sosok renta itu mencoba menyunggingkan senyum. Namun, karena bibirnya sudah terlalu banyak dihiasi keriput, senyum itu justru menakutkan. Tak hanya menakutkan, tetapi juga menebarkan kekuatan tersendiri. Dan oleh kekuatan itu, mendadak bulu-bulu yang menutupi tubuhku, sedikit demi sedikit menghilang. Kera sakti rupanya telah pergi. Dan aku& kembali menjadi manusia.
Kenapa kau tak ikut berlari seperti manusia lainnya" tanyaku.
Karena yang berlari itu hanyalah manusia. Sedangkan aku, bukan manusia, jawab si Renta. Suaranya sengau. Kulihat sekilas, sebaris gigi depannya patah. Pada bibirnya pun tampak sebuah luka semacam sobekan, sehingga bentuknya menyerupai bibir sumbing.
Kau bukan manusia" Aku separuh manusia. Separuhnya lagi apa"
Kayu. Aku separuh kayu, separuh manusia. Jadi, mengapa harus takut kepadamu"
Takut kepadaku" Apakah aku menakutkan" Bagi manusia utuh, kau menakutkan. Tetapi bagi separuh kayu, kau justru menyenangkan.
Tetapi, yang membuatku jadi menakutkan, adalah manusia utuh itu.
Sebenarnya, aku tidak yakin, jika masih terdapat manusia utuh di dunia ini.
Maksudmu" Si renta itu tertawa terkekeh-kekeh. Yang kudapati, hampir seluruh manusia memiliki bagian yang bukan manusia. Ada yang separuh telah menjadi batu, besi, emas, tembaga, kain& atau bahkan sampah. Sedangkan aku, sebagian adalah kayu.
Tetapi, mengapa kayu" Dan apakah aku termasuk manusia separuh"
Kau manusia separuh, sama seperti aku. Apa yang separuh itu padaku"
Mungkin kapas. Mengapa kapas" Kita lanjutkan perbincangan ini di rumahku saja. Petugas keamanan akan segera datang, dan kau pasti akan ditangkap.
Petugas keamanan. Manusia utuhkah dia" Mungkin separuh tubuhnya terbuat dari logam, karena dia tidak punya perasaan. Ayo, ikut aku. Kita keluar lewat pintu rahasia. Jika kau tak segera pergi bersamaku, kau akan tinggal di sel pengap yang tak mengenal cahaya matahari. Kau akan menjadi manusia separuh tikus.
Aku tidak mau menjadi tikus! Maka dari itu, ikutlah aku!
Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku pun berjalan mengikuti si renta, yang ketika sudah melangkahkan kakinya, ternyata mampu bergerak cukup lincah juga. Kami berjalan menyusuri rel, lalu berbelok ke arah pintu kecil berupa pagar pembatas rel yang sengaja dijebol. Sesekali aku terseok dan tersandung batu kerikil. Si renta tak menolongku. Dia hanya menoleh sekilas dan membiarkan aku bangun sendiri. Uh, aku menyumpah-nyumpah. Jika saja aku kembali menjadi burung elang, aku bisa terbang dan bergerak leluasa. Tetapi, aku telah kembali menjadi manusia. Manusia separuh. Separuh kapas, kata si renta itu barusan.
Di gerbang kampus Bulak Sumur, Purnomo
mengembangkan senyumnya begitu melihat Ayu berjalan dengan pakaian rapi dan jaket almamaternya. Paras cantik dan mata tajam yang terkesan arogan itu membuat sosok itu tampak di matanya sebagai seorang dewi. Tentu saja bukan perwujudan Kamaratih. Batari Durga, tepatnya mungkin begitu. Namun, Purnomo adalah lelaki yang lebih mudah tergetar hatinya jika melihat sosok Durga yang perkasa. Dia seorang bintang. Tanpa harus bertandang, pada wanita semacam Kamaratih, akan berebutan menebar pandang. Maka, bergegas dia pun mendekati sang Durga itu.
Sekar Ayu, kau harus berterima kasih kepadaku, karena akulah yang telah membujuk kakekmu agar kau bisa
Sebelas terus bersekolah, katanya seraya memasukkan kedua telapak tangannya di saku celana. Jangan takut, Prakoso sudah tidak kuliah lagi di sini.
Kenapa" Tanya Ayu, menyembunyikan kekagetannya. Di mengundurkan diri. Kata para dosen, dia merasa sudah tak sanggup lagi menghabiskan waktu untuk memikirkan hal yang bodoh selama kuliah di sini. Menjadi begundal komunis, lebih menyenangkan hati Prakoso daripada menjadi mahasiswa yang bersih.
Mahasiswa yang bersih" Ayu mengerutkan kening. Sejurus kemudian, tawanya pecah, terkekeh. Bibirnya menyunggingkan lengkungan mengejek. Maksudnya, mahasiswa seperti kau" Jadi kau merasa selama ini adalah mahasiswa yang bersih" Aku tahu reputasimu sebagai don juan di kampus ini.
Dan kau sendiri" Purnomo mengerling. Jangan kira aku tidak tahu masa lalumu, Ayu! Sebagai seorang mahasiswa tahun pertama, kau terlalu matang. Semestinya, kau adalah istri simpanan para jenderal.
Tutup mulutmu! sentak Ayu, marah.
Apa yang harus aku tutup" Kenyataannya memang begitu. Bukankah kau adalah mantan penghuni rumah bordil yang bernasib mujur karena seorang pejabat Jepang memungutmu sebagai anak" Purnomo menyungging
senyum kemenangan. Kau heran, mengapa aku tahu banyak tentang kau" Karena Tuan Harada, orang yang menyelamatkanmu dari keterpurukan itu, adalah kolega ayahku. Mereka bersahabat sangat akrab, meskipun antara bangsa kita dengan bangsa Jepang pernah terlibat permusuhan yang hebat.
Betapa banyak orang yang mengetahui asal-usulnya selama di Jepang" Jika Prakoso tahu bahwa dia adalah murid tak resmi Ishihara, ternyata Purnomo pun tahu bahwa dia adalah anak angkat Tuan Harada. Tetapi, mengapa Tuan Harada bercerita tentang rumah bordil itu" Ayu terdiam sesaat. Dadanya bergemuruh diembus topan amarah. Lantas, matanya yang tajam mengacak-acak wajah tampan Purnomo. Ada jurus baru yang dia kenali dari cara menyerang lelaki yang sepintas terlihat santun itu. Jurus menekan. Mengintimidasi. Kenyataan itu membuatnya sesaat terhenyak. Purnomo yang dia kira seorang pemuda lugu, ternyata tak seperti yang dia bayangkan. Ayu, benar kan yang aku katakan"
Kalau benar, kau mau apa" tanya Ayu, ketus. Purnomo nyaris bersorak mendengar keketusan itu. Dia senang menghadapi kaum Hawa yang galak, karena dia senantiasa berdebar girang jika menghadapi tantangan. Jika selama ini Ayu bersikap lembut kepadanya, dia tahu, itu semua hanya sandiwara. Kerasnya hidup, telah
menghilangkan segenap kelembutan di hati perempuan itu.
Tenang saja, Ayu& aku tidak akan membongkar rahasiamu. Lagipula, aku berempati kepadamu. Apa yang kau alami selama bertahun-tahun, adalah sebuah keterpaksaan, bukan"
Tentu saja! getas Ayu. Mana ada seorang anak usia 7 tahun yang dengan sukarela mau diperkosa oleh pengidap pedofilia!
Jadi& , Purnomo menggigit bibirnya. Apa yang Ayu ucapkan barusan, benar-benar membuatnya tersentak kaget. Tuan Harada tidak menceritakan hal itu kepadaku. Kau& "
Sejak usia 7 tahun, aku sudah dipaksa untuk membuat seorang lelaki terbang ke surga. Lantas, usia 12 tahun, saat revolusi fisik menimpa negeri kita, aku sudah resmi berstatus sebagai pelacur. Ketika perang selesai, aku berumur 14 tahun, seorang pelaut Jepang membawaku pulang ke negerinya. Tetapi, impian yang kubayangkan sangat indah, ternyata hancur berantakan. Aku pun lari dari rumah pelaut itu, lantas terdampar di Tokyo, kembali menjadi pelacur.
Dan bertemu Tuan Harada"
Ya. Aku sudah bercerita tentang siapa diriku. Kau puas"
Ayu, aku tidak bermaksud& Tetapi kau berhak tahu. Ayu, maaf&
Tak usah dipikirkan. Kau telah menolongku keluar dari jebakan pesantren itu. Tadinya aku berpikir, bahwa kakek adalah satu-satunya orang yang masih memiliki hubungan darah denganku. Mati-matian aku meyakinkan Tuan Harada, bahwa aku masih memiliki seorang kakek. Itulah yang membuat Tuan Harada akhirnya melepaskan diriku, tentu saja setelah dia menyelusur jejak kakekku dan mendapati bahwa kakekku ternyata orang yang terhormat&
Ya, Tuan Harada juga menceritakan hal itu. Kau tahu, orang yang dimintai bantuan Tuan Harada untuk menelusuri jejak Haji Abdurrahman Alattas, adalah ayahku. Kebetulan, meski tidak kenal secara pribadi, ayahku tahu siapa Haji Abdurrahman Alattas. Kakekku dan Haji Abdurrahman Alattas, sama-sama aktivis Sarekat Islam dahulunya.
Tetapi, ternyata aku telah menemukan jalan yang salah. Aku terlalu kotor untuk memasuki sebuah arena bernama pesantren. Ayu menatap Purnomo dengan tatapan tajam. Jadi, apakah kau mau menolongku sekali lagi" Tentu Ayu, jika aku bisa, mengapa tidak"
Maukah kau memberikan aku tumpangan, indekos gratis misalnya" Untuk sementara saja. Aku tak sudi lagi dibiayai oleh Kakekku di pesantren Murong. Aku akan sekolah sembari bekerja. Aku akan menyeketsa duniaku yang baru. Dunia penuh kebebasan. Dunia tanpa aku harus sungkan karena di bawah bayang-bayang seorang lelaki terhormat seperti kakekku.
Kali ini Purnomo tak mampu berkata-kata. Rumah Eyang Puterinya memang cukup luas. Dan Sang Eyang sudah terlampau tua, separuh linglung, untuk menyadari betapa berbahayanya jika ada seorang gadis lajang tinggal serumah bersama cucunya yang tengah dibebat asmara. Dia pun akan dengan mudah mempersetankan segala tatap ketidakmengertian para pelayan. Atas nama sebuah pengabdian, mereka tidak diperkenankan untuk bertanya, apalagi menelisik, atas dasar apa Ayu tinggal bersama mereka, menjadi salah satu dari jajaran Ndara mereka.
Yang dia khawatirkan justru jika Kyai Murong mengetahui, bahwa cucunya tinggal di rumah seorang lelaki yang tidak terikat hubungan darah alias mahram. Kyai Murong memiliki hubungan baik, dan termasuk salah satu pendukung dari kekuatan yang menjadi basis politik sang ayah, yang karirnya semakin hari semakin menanjak. Jika Kyai Murong marah besar, tentu akan ada dampak tak mengenakkan yang ditimbulkannya.
Meskipun dia hanya seorang pemuda berusia kurang dari 25 tahun, dia sangat mengerti bagaimana seorang politikus yang hebat harus bersikap. Apalagi, dia cukup mengerti, sang ayah diangkat sebagai menteri bukan karena kecakapan dalam bidang yang digeluti, melainkan karena sang ayah merupakan salah satu tokoh besar di sebuah partai yang didukung oleh massa. Dia bahkan sering tidak yakin, jika sang ayah bisa bekerja dengan baik sesuai bidang yang tengah dia perjuangkan.
Selain itu, dia juga memiliki banyak kerabat, yang atas nama moral, seringkali menerapkan batas-batas etika dengan sangat ketat. Beberapa di antara mereka, Purnomo tahu, berperilaku lasak. Akan tetapi, topeng tata krama selalu menjadi harga mati, tak bisa ditawar-tawar. Mereka tentu akan menilainya bermoral bejat, karena menyimpan seorang perempuan di atap yang sama.
Bagaimana, Pur" Kumohon kau tidak setengahsetengah saja dalam menolongku. Dan tentu, Pur& aku tidak akan menjadi orang yang tidak bisa membalas budi& , telapak tangan halus Ayu mendadak meraba pipi Purnomo, membuat lelaki muda itu tersentak kaget, berdebar-debar kencang. Aku tahu, apa yang dibutuhkan oleh seorang pemuda perkasa seperti kau.
Ayu& kau& !! Purnomo semakin salah tingkah ketika sepasang lengan Ayu melingkari pinggangnya. Bayangkan,
wanita itu berani memeluknya di tempat umum. Lokasi tempat mereka berada sebenarnya tidak terlalu ramai, bahkan termasuk sepi. Namun, orang-orang yang sesekali berlalu-lalang, pasti akan melihat adegan itu. Purnomo pernah menonton film barat, di sana digambarkan bahwa ekspresi kasih seorang lelaki dan perempuan, tentu saja dalam batas yang dia nilai wajar, bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperlihatkan di muka umum. Mereka bebas saja berpelukan, berciuman di taman-taman kota, tempat keramaian dan sebagainya. Akan tetapi, ini di Indonesia, Bung!
Pur& kau harus mau bantu aku melepaskan diri dari jebakan yang tak kuinginkan itu& , desah Ayu, sambil memelas.
Purnomo tersenyum. Aku punya sebuah rencana untukmu. Ayo, ikutlah aku!
Sejurus kemudian, sebuah mobil bergerak meninggalkan kampus Bulak Sumur. Sepeda motor itu bergerak menyusuri jalan beraspal, dan membawanya ke sebuah losmen di jantung kota Yogyakarta. Sambil terus menahan debaran yang semakin menggila, Purnomo pun memarkir mobilnya.
Aku kenal baik dengan pemilik losmen ini, katanya. Namanya Mas Suryo. Aku punya ide, bagaimana jika untuk
sementara, kau tinggal di losmen ini saja" Masalah biaya, itu urusanku. Losmen ini jelas lebih nyaman dan kau akan lebih bebas di sini.
Sepasang mata indah yang kadang berubah setajam belati milik Ayu mengerling. Sungguh"
Ya. Tetapi, biayanya pasti mahal, kan"
Untukmu, aku akan melakukan apa saja, Ayu& Keduanya bertatapan. Ada pancaran asmara yang berkobar. Yang satu, benar-benar gejolak yang muncul dari naluri alamiahnya yang dibebat cinta, sedang yang satunya, adalah pancaran asmara yang dibebat profesionalisme, alias sebuah hidangan yang disediakan dengan pengemasan yang begitu rapi, meskipun tanpa ketulusan.
Beberapa saat kemudian, pancaran itu tak hanya berupa asmara. Sepasang anak muda itu menerjemahkan dengan letupan naluri dasar yang sebenarnya sakral, namun sering pula menjadi biang kerok dari berbagai permasalahan baik besar maupun kecil bagi peradaban manusia. Mereka memenuhi ruangan kecil yang tertutup rapat laksana sepasang kupu-kupu yang keletihan karena sibuk mengepakkan sayapnya di atas lembaran mahkota bunga.
Aku mencintaimu, Ayu& , bisik Purnomo. Aku tahu, bagaimana harus bersikap kepadamu. Karena kau adalah penolongku!
*** Segenap penghuni tetap losmen, yakni para pelayan dan juga majikan, tahu belaka, bahwa sepasang lelaki perempuan muda itu, bukan pasangan biasa. Mereka begitu dekat. Hampir setiap hari, usai kuliah, mereka akan mengunci diri di kamar paling ujung, entah apa yang mereka lakukan di dalam kamar tersebut. Suryo, sebagai pemilik, tak ambil peduli. Baginya, yang penting Purnomo membayar sewa, dengan jumlah yang cukup membuatnya merasa nyaman, meskipun seharian tidak mendapatkan tamu selain mereka. Dia tahu, bagaimana bersikap menghadapi tuan muda yang kaya dan royal itu. Dia tak pernah mengungkit-ungkit status mereka, serta tak mau sedikit pun mencampuri urusan mereka. Namun percakapan yang sepintas dia dengar, saat dia melintasi kamar itu, benar-benar menarik hatinya.
Ayu& ada berita sedih sekaligus gembira yang ingin kusampaikan padamu.
Tentang apa" Aku lulus dengan nilai bagus.
Sudah kuduga, kau seorang mahasiswa yang cerdas, Pur.
Tetapi, kita akan berpisah, Ayu. Itu sedihnya. Aku mendapat tawaran melanjutkan program master di negeri yang jauh. Perancis. Kau tahu, betapa indahnya negeri itu. Kelak, aku pasti akan memboyongmu kesana. Kita akan menikah dan berbulan madu di menara Eifel. Jadi, kau akan meninggalkanku"
Demi masa depan kita. Jika aku bersekolah di Perancis, begitu lulus, aku pasti akan mendapatkan posisi yang cemerlang di negeri kita ini. Kumohon, kau mau menungguku hingga pulang& .
Tetapi, menunggu hingga kau pulang, terlalu lama. Karena&
Sesaat hening. Suryo yang penasaran menempelkan kuping ke lubang kunci kamar itu.
Karena apa, Ayu" Aku& aku hamil Pur&
Suryo tak tahu, apa reaksi persis Purnomo karena dia harus segera pergi, jika tidak ingin ketahuan telah menguping pembicaraan itu. Hanya saja, dia mencatat, bahwa sejak saat itu, Purnomo tak pernah lagi datang ke
losmen. Terakhir, dia keluar dari kamar, tergesa-gesa memberinya sejumlah besar uang, cukup untuk sewa kamar selama sebulan. Dia juga tak tahu persis, gejolak apa yang menimpa Ayu, karena seminggu setelah peristiwa itu, seorang lelaki tua dengan kopiah, jubah dan jenggot putih, ditemani seorang pemuda dengan penampilan yang nyaris sama, datang ke losmen dan memaksa perempuan itu ikut bersamanya.
Pengembaraan ini benar-benar penuh dengan
pengalaman baru yang mendebarkan. Setelah berubah ujud menjadi rase, lalu menjadi elang dan kera, kali ini, aku menjadi burung kutilang. Tempat aku berdiam pun sudah tepat untuk seekor kutilang. Tak pernah kujumpai seekor kutilang terkurung di sebuah sangkar luas. Biasanya sangkar kutilang itu sempit, sama persis seperti tempatku bermukim saat ini. Sebuah ruang yang hanya cukup untuk menampung sebuah rak dari kayu albasia, bale-bale bambu reot, serta kompor, wajan kecil dan panci. Rak kayu yang beberapa sudutnya telah dikuasai sekerajaan rayap itu dimuati beberapa piring plastik, sebuah cangkir kaleng
Duabelas besar, beberapa botol air mineral bekas serta setumpuk pakaian lusuh milik sang tuan rumah. Kekusaman itu senada dengan bale-bale yang begitu reotnya sehingga ketika aku meniduri, terkadang seperti tengah menaiki kursi goyang. Kondisi yang reot itu juga membuat selembar tikar usang yang melapisi tak terlalu keras menghantam punggung saat kurebahi, bahkan terkadang seperti per pada springbed seharga jutaan rupiah.
Melengkapi status sebagai sangkar, dinding tempat tinggalku yang baru tidak terbuat dari tembok, apalagi berlapis keramik ataupun marmer hijau seperti tempat tinggalku ketika masih menjadi manusia utuh. Dinding itu tersusun atas kardus-kardus yang dilapisi plastik, sekedar untuk menghindari diri dari gempuran hujan ataupun tamparan angin. Dinding berdiri memagari lantai tanah dan ditutup dengan atap seng-seng bekas. Kata perempuan separuh kayu itu, seng-seng itu dia ambil dari rumah-rumah yang roboh karena terpanggang ganasnya api, saat kerusuhan besar terjadi di kota ini. Kerusuhan yang juga telah menjadikan aku kehilangan sosok manusiaku.
Bagi manusia, tempat tinggalku ini, disebut sebagai gubuk. Seumur hidup, aku tak pernah tinggal di gubuk. Akan tetapi, sekarang aku seekor kutilang. Gubuk lebih mendekati sangkar kutilang daripada sebuah rumah megah berdinding marmer hijau. Aku merasakan, tempat ini cocok untukku terbaring dan bernyanyi.
Kau ini seorang gadis cantik yang mempesona, gumam si manusia separuh kayu itu, yang tak bosanbosannya menatap raut wajahku. Siapa namamu"
Aku tidak tahu. Apakah kau mau memberiku sebuah nama" tanyaku. Saat masih manusia, namaku adalah Cempaka. Atau Mei Hwa, Ong Mei Hwa. Tetapi, aku seekor kutilang sekarang. Tak pantas, seekor kutilang menyandang nama seindah itu.
Kau tidak tahu siapa namamu" Kau sendiri, siapa namamu"
Entahlah& aku juga tidak tahu. Akan tetapi, orangorang di sini memanggilku Murong. Mbah Murong. Mbah, karena aku sudah terlampau renta. Murong, karena aku pernah tinggal di dusun Murong.
Apakah kau pernah memiliki peliharaan berupa burung kutilang"
Manusia separuh kayu itu terdiam. Matanya yang separuh tenggelam oleh bekas luka bakar menerawang. Saat dia dalam penerawangan, dengan jelas aku mampu mengamati wajahnya. Seraut wajah yang mirip dengan topeng reog dari Ponorogo. Saat diajak Papa Ruddy mengunjungi kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur belasan tahun silam, kami sempat menyaksikan pertunjukan reog. Bagiku, topeng itu membuatku takut,
mengingatkan aku pada pesta Hallowen yang juga pernah aku saksikan saat berlibur musim semi di negeri Paman Sam, tepatnya New York.
Mengapa kau bertanya tentang kutilang" Karena aku memang terus berubah-ubah wujud. Kemarin aku rase, lalu elang, mendadak sayapku meluruh menjadi bulu-bulu. Jadilah aku seekor kera. Sekarang, entah mengapa, aku bertransformasi lagi menjadi bentuk lain. Kutilang"
Ya. Pernahkah kau memelihara kutilang" Ya, pernah. Dulu. Duluuu sekali, saat aku masih sangat belia. Ayah tiriku adalah pecinta burung. Salah satu peliharaannya, adalah kutilang.
Bagus kalau kau pernah memelihara kutilang. Setidaknya, aku akan merasa aman bersamamu. Siapa nama kutilang itu"
Centhini. Centhini" Wah& indah sekali nama itu. Seperti nama buku yang ditulis oleh Yosodipuro atas perintah Sri Susuhunan. Baiklah, kau boleh memanggilku Centhini. Akan tetapi, aku tak selalu menjadi kutilang. Kadang, aku berubah menjadi elang. Bisakah kau memelihara seekor elang" Dulu, ada seekor burung elang yang sangat dibenci
oleh orang-orang, karena dia suka sekali memangsa anakanak ayam. Nama elang itu, Genderuwo.
Genderuwo" Nama yang menyeramkan& aku tertawa terbahak-bahak. Jika aku memiliki nama itu, aku akan membuat orang-orang berlari ketakutan. Termasuk para jahanam itu. Namun, aku tak selalu elang. Terkadang, aku adalah seekor rase terbang. Tetapi, aku tak mau menjadi burung gereja. Itu burung murahan. Aku tidak murahan.
Baiklah. Apalah arti sebuah nama. Aku akan memanggilmu kapas, karena kau adalah separuh kapas.
Dan kau, separuh kayu" Mengapa kau mengatakan dirimu separuh kayu"
Karena, separuh tubuhku telah menjadi kayu! perempuan renta itu bangkit. Kini aku menyadari, bahwa kaki kanan sang Murong, ternyata harus diseret ketika dia berjalan. Kaki ini, separuh lumpuh. Bersyukur, karena aku tak perlu menggunakan kursi roda ataupun krek. Dan tanganku ini, yang sebelah pun& lumpuh. Kaki dan tangan ini, adalah kayu-kayu berbentuk daging yang menempel pada tubuhku, namun tak mampu kugerakkan. Dan, sesaat lagi, seluruh tubuhku pasti akan menjadi kayu. Dan mengapa aku kau sebut separuh kapas" Karena kau membiarkan angin terbang membawa dirimu ke mana saja.
Tetapi, aku adalah kutilang.
Ya, kutilang separuh kapas. Aku, manusia separuh kayu.
Terkadang, aku pun manusia. Manusia separuh kapas"
Aku akan membawamu kembali menjadi manusia, meskipun hanya manusia separuh kapas. Itu lebih baik daripada kutilang, elang ataupun rase separuh kapas. Mudah-mudahan, akhir kehidupan yang penuh liku ini, mampu kuhabiskan untuk sebuah kebaikan.
Si manusia separuh kayu berjalan tertatih menuju pintu. Ya, jika sangkar yang selalu kujumpai, di mana-mana senantiasa tertutup, maka pintu di sangkarku ini senantiasa terbuka. Aku merasa bebas berada di sini. Barangkali, ini adalah sangkar ternyaman untuk seekor kutilang seperti aku. Namun, aku tak akan terbang melarikan diri, karena sangkar ini ibarat sebuah istana buatku.
Kau membutuhkan makanan, Kapas& aku akan mencarikannya. Tunggulah sesaat.
Dia manusia separuh kayu, aku separuh kapas. Kapas lebih lincah bergerak dibanding kayu. Apalagi, aku kapas separuh kutilang, yang memiliki sayap untuk terbang. Tak elok jika aku membiarkan seorang kayu pergi untuk mencarikanku pengganjal perutku.
Mbah Murong, biar aku saja yang terbang keluar. Aku akan mencarikan makanan untuk kita santap berdua.
Kau tak mengerti ada apa di luar sana. Meskipun kau separuh kapas, kau tetap kapas yang menawan. Para lelaki jalang, sering tak mau peduli, apakah kau kapas atau bukan. Aku mengkhawatirkanmu.
Mengapa" Bukankah kau menjadi kapas, juga karena mereka" Dulu, saat aku masih selembut kapas, aku juga dipermainkan oleh banyak lelaki jalang. Setelah aku berubah menjadi separuh kayu, dengan lekuk wajah yang begini menyeramkan, baru para lelaki itu tak mau mendekatiku. Mereka itu, hanyalah manusia-manusia separuh harimau yang kejam tak berperasaan.
Jika begitu, aku akan menemanimu keluar. Kita akan pergi bersama. Kau bisa mengajariku, bagaimana cara mencari makanan untuk membinasakan rasa lapar di perut kita.
Sang Murong menatapku sayu. Lalu, dia pun mengangguk.
*** Dengan langkah yang dia seret, manusia separuh kayu itu membawaku menyusuri jalan setapak di tepi rel kereta api. Jalan itu menuju ke sebuah pusat lalu lintas
yang cukup ramai. Dua buah jalur raya teraspal halus saling bertabrakan, membentuk simpang empat yang tak terlalu tertib, meskipun lampu-lampu hijau-kuning-merah tak henti-henti mencoba mengatur lalu-lalang kendaraan yang lewat. Di salah satu sudut perempatan itu, terdapat sebuah habitat yang terlihat meriah dengan corak kekhasannya. Pusat dari habitat itu adalah sebuah warung hik yang menjual aneka minuman kubaca dari spanduk kumal yang memagarinya: jahe gepuk, es teh dan es jeruk serta beraneka jajanan murahan, termasuk bungkus-bungkus sego kucing yang berisi sesendok nasi, sekerat daging bandeng dan sambal. Dalam kekutilanganku, membayangkan pedasnya sambal bandeng berpadu dengan nasi hangat, merupakan kenikmatan yang tak terbendung.
Aku teringat, saat aku masih manusia utuh, pernah dengan sangat terpaksa kusantap jenis makanan itu. Firdaus yang memberikannya. Jika kau ingin menyelami jiwa rakyat kecil, salah satu hal yang harus kau lakukan adalah merasakan apa yang mereka santap. Retorika dari mulut sang pahlawan dan kini tak lebih seorang bajingan membiusku. Namun, sel-sel lambungku tak mampu terbius. Mereka, yang lebih akrab meremas-remas kunyahan masakan khas restoran kelas internasional, berontak ketika harus bekerja mengasamkan remah-remah proletar. Aku muntah sejadi-jadinya. Pahlawanku saat itu, tertawa terbahak-bahak. Dasar borjuis! Begitu komentarnya. Aku tak
marah mendengar umpatannya, apalagi setelah itu dia kemudian memujiku. Memuji karena aku berani mencoba.
Mungkin, kebencianku yang mengerupsi, membuat sego kucing yang proletar itu, tersulap menjadi jenis hidangan yang paling kunanti saat ini. Belasan manusia, besar kecil, laki-perempuan, yang memiliki beberapa kesamaan, seperti bau yang tajam menusuk akibat berharihari tak berbersih diri, pakaian yang lebih mirip kain lap pel, serta wajah yang kumuh oleh sapuan lemak, keringat dan debu, duduk dengan santai di atas paving trotoar. Mereka tengah berpesta. Aroma sambal bandeng menguar begitu ganas. Sel-sel mulutku terprovokasi untuk mensekresi ludah sebanyak-banyaknya. Aku berharap, manusia separuh kayu itu segera memberiku barang sebungkus dua bungkus sego kucing untuk membendung provokasi itu.
Tetapi, Sang Murong tidak lantas membawaku ke kerumunan itu. Dia bahkan mendekati seorang manusia separuh sayuran, karena rambutnya kribo mirip brokoli, dan hidungnya panjang mirip wortel, yang dengan gaya bosnya, tengah berkacak pinggang mengatur anak-anak buahnya di bibir jalan raya. Kedua tangannya yang bertonjolan, mirip ketela rambat, terpoles oleh aneka tato. Sepasang matanya yang mirip dua butir biji kelengkeng, sesekali melotot, ketika melihat berbagai hal yang tak disukainya.
Tho, kapan jatah ngamenku" tanya Mbah Murong. Sebelumnya dia berbisik padaku, bahwa nama lelaki separuh sayuran itu adalah Mletho. Dia semacam manajer personalia yang mengatur shift-shiftan para pangamen dalam menjual suaranya kepada para sopir mobil yang berlalu lalang di perempatan berlampu merah itu. Kini, aku mengerti. Mbah Murong adalah seorang pengamen, sama seperti hampir 20 orang yang mengais rezeki dengan cara yang sama. Banyaknya karyawan, sementara lahan terbatas, membuat Mletho sangat sibuk. Maka, dia pun membuat serangkaian peraturan yang wajib ditaati oleh anak buahnya. Peraturan yang paling penting adalah adanya pembagian jam kerja. Karena pada perempatan itu ada 4 titik, pada siang hari, di mana lalu lintas kendaraan tengah padat-padatnya, Mletho membentuk 5 shift, masing-masing shift sekitar 1 hingga 2 jam. Pemain lama seperti Mbah Murong, yang mengaku sudah tinggal di tempat itu jauh sebelum aksi bakar-bakaran di kota ini, yang bahkan lebih senior dari Mletho itu sendiri, selalu mendapat jatah waktu yang cukup panjang.
Mengko, Mbah! Sepuluh menit lagi. Ini sedang jatahnya Jepri! Mletho menunjuk kepada seorang bocah mungil terlalu mungil jika disandingkan dengan bodi-bodi mobil yang berhenti berjajar menunggu lampu merah menyelesaikan aksinya yang tengah menggoyang-goyang kecreknya dan melengkingkan gelombang suaranya.
Sewu kutho uwis tak lewati& Sewu ati tak lakoni
Sepasang mata kutilangku sempat menangkap, bahwa tanpa menyelesaikan lagunya itu, tangan mungil sebelahnya menyodorkan gelas plastik bekas minuman ke arah sopir dan si sopir meletakkan sekeping koin di sana. Begitukah cara Jepri kecil, dan juga Mbah Murong, serta puluhan manusia sejenis, mencari penghasilan" Dan apakah aku pun nantinya akan melakukan hal yang sama"
Tak masalah. Seekor kutilang akan selalu mampu bertahan dalam diagframa kehidupan yang keras.
Ketika lampu hijau menyala, Jepri berlarian menepi. Wajahnya yang penuh lemak dan keringat tampak bersinar ceria. Aku melihat, gelas plastik itu terisi lebih dari separuh koin. Bukan hanya koin, tetapi juga beberapa lembar kertas berwarna hijau.
Banyak rezekimu, Jep" tanya Mbah Murong, mencoba berbagi simpati.
Lumayan, Mbah! Bisa buat tambahan bayar buku pelajaran.
Alaaah kowe iki, Jep 18 & , sentak Mletho, Masih mikir sekolah segala. Biaya sekolah itu besar. Daripada duit dibuang percuma, mending buat nambang 19 saja! Siapa 18 Alah, kamu ini Jep
19 Bermain judi togel ngerti kamu sedang beruntung, duit seribu bisa berbiak jadi sepuluh ribu.
Manusia separuh kayu itu lantas menjelaskan, bahwa selain menjadi pengatur para pengamen, Mletho juga punya bisnis sebagai bandar judi togel. Dulu, ketika operasi togel belum segencar sekarang, bisnis dia gelar terang-terangan di tepi warung hik milik Yu Ginem, mantan pengamen yang sudah naik pangkat menjadi pedagang itu. Bisnis itu selalu ramai. Yu Ginem senang-senang saja, karena dengan semakin banyaknya orang yang nambang, warungnya akan semakin ramai. Paling tidak, mereka akan memesan segelas teh khas Solo yang nasgitel panas, legi tur kenthel 20 , dan menyeruputnya sembari duduk bersila menghadap kalangan. Sering juga mereka memesan menu-menu jualan favorit, seperti jadah bakar, gorengan, tahu bakso dan sebagainya. Pundi-pundi Yu Ginem menggembung karena bisnis Mletho. Tahu berterima kasih, konon Yu Ginem akan menggratisi apapun yang diminum dan dimakan oleh Mletho. Simbiosis mutualisme.
Namun, polisi yang biasanya tenang-tenang saja, mendadak berulah. Razia digelar secara mendadak, dengan kekuatan besar. Judi-judi diberantas. Semua bandar dan pelaku judi dibrogol dan digiring ke mobil patrol. Mletho sempat beberapa minggu menginap di balik jeruji besi LP 20 Manis dan Kental
kelas 2A di dekat perempatan Gladak. Akan tetapi, setelah bebas, Mletho tidak jera, namun lebih menyamarkan bisnisnya itu. Dan dia juga mencari beking oknum polisi, dengan konsekuensi harus menyetorkan sebagian keuntungannya.
Tapi, aku tak mau ikut nambang! Aku bukan Jepri yang pintar mencari uang dengan suaranya yang merdu. Meskipun jatah waktuku cukup banyak, aku tak pernah menghasilkan kencleng lebih dari 5 ribu sehari. Padahal, aku harus makan, harus bayar kontrakan sebulan 20 ribu, jelas Mbak Murong.
Aku baru memahami. Ternyata, sangkar yang kurasa cocok dengan kekutilanganku itu, bukan milik Mbah Murong. Dia hanya menempatinya dengan kewajiban membayar sejumlah uang setiap bulannya. Jika aku tinggal bersamanya, berarti aku pun harus menyumbangkan sejumlah uang untuk membantunya. Ya, aku masih memiliki rasa tahu diri. Karena aku bukan kutilang sesungguhnya. Jika aku kutilang yang utuh, aku tak akan mempedulikan segala jenis sewa sangkar. Aku hanya separuh kutilang. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggal di dalam jiwaku. Suatu saat, aku harus membantu Mbah Murong mencari uang. Jika perlu, aku yang menafkahinya. Tak tega rasanya melihat perempuan tua itu harus berjalan tertatih-tatih menyerat separuh kayu yang ada dalam tubuhnya.
Mbah Murong, sekarang giliranmu! Jangan lupa, setelah selesai ngamen, kau harus bayar uang ketertiban! kata Mletho.
Aku menggamit lengan si manusia separuh kayu yang rupanya langsung memahami ketidakmengertianku atas peran Mletho.
Mletho telah mengatur semuanya dengan rapi. Sebagai imbalan, semua pengamen di sini harus menyerahkan seperempat hasil mengamennya! jelas Mbah Murong. Aku menyeringai, seraya mengepakkan sayapku. Di tengah dunia yang semakin kompleks, ternyata banyak juga lubanglubang uang yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Sesaat kulirik Mletho yang berdiri dengan berkacak pinggang dan paras jemawa. Mendadak ada yang merasuk dalam kepalaku sejenak. Aku teringat peristiwa jahanam itu. Pantas, pantas kerusuhan mengerikan itu terjadi. Ternyata, negara ini secara tidak langsung juga dikendalikan oleh orang-orang seperti Mletho.
Kutatap perempuan renta yang berjalan tertatih, menyeret kaki kanannya yang separuh lumpuh. Tangannya memegang kecrek yakni sebuah alat musik sangat sederhana yang dibuat dari rangkaian tutup minuman botol, yang terus menerus diayunkan sehingga membentuk ritme sederhana. Ketika lampu merah menyala, Mbah Murong pun mengekshibisi perpaduan ayunan kecrek dengan
suaranya yang parau, dan menawarkan ke sopir-sopir kendaraan yang berjajar untuk ditukar keping recehan. Sekilas, aku berhasil menangkap suara sang manusia separuh kayu itu.
Ing setasiun Balapan Kuta Solo sing dadi kenangan Kowe karo aku
Bagiku yang saat masih menjadi manusia utuh pernah memperkuat tim paduan suara gereja, suara itu lebih mirip gerungan mesin pemotong kayu dibanding sebuah lagu yang merdu. Laik jika para sopir itu lebih memilih mengangkat tangan, tanda penolakan daripada merelakan salah satu keping recehannya meninggalkan saku bajunya. Tampaknya, mengais rezeki dari menjual gerungan itu, merupakan pekerjaan berat yang harus dihadapi oleh Mbah Murong. Sangat berbeda dengan Jepri, si bocah yang dengan lincah menjadi bintang jalanan karena suara merdunya.
Aku pun menggertakkan paruhku, mengeluarkan desis resah. Sepertinya, perasaan gundah dari Sang Murong, karena jualannya kurang laku, telah mengimbas padaku. Namun, aku masih belum memahami undang-undang seputar ngamen. Termasuk, apakah seekor burung kutilang seperti aku juga diperbolehkan menjual kicauanku" Jep, endi setoranmu! teriak Mletho, kepada Jepri yang
melenggang dengan wajah riang sembari menimang gelas plastik yang dijejali kepingan uang.
Beres Bos! Aku hitung dulu ya" Jepri menyeringai. Sambil bersenandung, bocah yang mungkin baru berusia awal belasan tahun itu melangkah mendekatiku. Dia duduk berselonjor, meluruskan sepasang kakinya yang pasti terasa sangat pegal. Wajah bocah itu terangkat, memamerkan sebaris senyumnya. Lumayan manis, karena meskipun kulit parasnya menghitam terpanggang matahari, serta membasah oleh keringat, deretan gigi sang bocah ternyata putih cemerlang. Hei, sampeyan orang baru ya"
Pertanyaan itu pasti tertuju kepadaku, karena sepasang mata itu pun menatap ke arahku. Pandangan yang nakal, tetapi menawarkan persahabatan.
Aku bukan manusia. Aku kutilang, jawabku. Kutilang" Jepri terheran-heran. Burung" Ya. Burung kutilang.
Di pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi, bersiul-siul sepanjang hari& Aah& pintar juga sampeyan bercanda. Wong jelas-jelas manusia, kok ngaku sebagai burung, ujar Jepri, seraya tergelak. Kalau kau benar-benar burung, mana sayapmu"
Aku mengepakkan sayap kencang-kencang, bermaksud menegaskan kepada bocah itu, bahwa aku memang seekor
burung. Burung yang memiliki sepasang sayap dan paruh, serta bulu-bulu.
Itu tangan, Mbak& bukan sayap! tawa Jepri semakin keras.
Aku burung, dan ini sayapku! Mungkin, kau siluman"
Bukan, ujarku, bersikeras. Aku burung. Mbak ini cantik, tetapi aneh. Wong jelas-jelas manusia kok, ngaku-nya burung. Hei, tapi kenalan dulu ya, namaku Jepri. Pekerjaanku, ngamen. Tapi aku juga sekolah. Aku sudah kelas 5 sekarang. Eh, aku kemarin rangking satu lho&
Ketika masih menjadi manusia, aku juga selalu rangking satu. Dari SD, SMP hingga SMA. Bahkan, saat aku menyandang status sebagai mahasiswa, aku pun selalu menjadi yang terunggul. Kini, setelah menjadi kutilang, aku yakin, jika bersaing dengan kutilang yang lain, aku pun akan menjadi yang terbaik.
Aku punya dua orang adik. Satu namanya Indra, satunya Dewi. Indra masih kelas 3 SD. Dewi belum sekolah. Beda sama aku, Indra itu orangnya malaaas sekali. Tidak mau sekolah. Dia lebih senang mengejar bus antar kota, ngamen di sana. Hasilnya lebih banyak dibanding ngamen
di lampu merah. Eh, meskipun goblok, Indra itu kaya. Dia sudah bisa beli TV dan PS sendiri. Nah, kalau Dewi itu, masih berusia 4 tahun. Tapi, dia juga sudah belajar ngamen. Kami memang keluarga pengamen. Ayahku, ibuku, nenekku, semua pengamen.
Bagaimana dengan anakmu besok"
Kalau Indra, dia ingin anaknya besok jadi pengamen. Kalau aku" Tidak lha, yauw! Aku ingin ketika besar besok, aku jadi polisi. Wah, pasti aku gagah sekali ya, mengenakan seragam dan membawa pistol. Terus, kalau sudah punya anak, aku ingin anakku jadi pilot.
Kau sendiri, tidak mau jadi pilot"
Lihat gigiku! Jepri membuka mulutnya. Ternyata, meskipun barisan gigi serinya terlihat putih cemerlang, beberapa gerahamnya bolong. Ini terjadi karena sebelum ini aku tidak rajin menggosok gigi. Setelah aku lihat di TV, bahwa menjadi pilot gigiku harus lengkap, aku sangat menyesal. Tapi, aku tidak berputus asa. Aku selalu membeli pasta gigi dan sikat. Kalaupun tidak bisa menjadi pilot, paling tidak aku berharap bisa menjadi polisi.
Aku tertawa terbahak. Begitu lepas. Seekor burung tidak perlu berbasa-basi dengan me-manage tawa seperti para perempuan yang menjadi duta-duta institusi. Kau lucu. Tetapi Jep& kau tak perlu khawatir. Gigimu yang rusak itu,
pasti akan tumbuh lagi. Kau masih kecil, gigimu masih gigi susu.
Ah, yang benar" sepasang mata Jepri, yang ternyata lumayan indah, membelalak. Benarkah gigiku akan tumbuh lagi" Dari mana kau tahu" Apakah kau ini peramal" Dukun"
Sudah kukatakan, aku ini burung. Tapi, aku pernah kuliah di kedokteran.
Berarti, sekolahmu dekat dari sini" Jepri menunjuk ke arah timur. Di sana" Dekat Bengawan Solo"
Ya. Tetapi, aku tidak bisa kuliah lagi. Seekor burung tidak mungkin diterima kuliah.
Tetapi kau bukan burung& kau manusia. Bukan, aku burung.
Manusia. Burung. Burung. Buruuuuung!! Tawa Jepri meledak semakin keras.
Ternyata mengasyikan sekali, berkicau bersama Jepri, anak manusia yang polos dan bermata bening itu. Tak terasa, dua jam telah berlalu, kutandai dengan terhuyungnya sosok si manusia setengah kayu mendekati kami. Parasnya yang penuh keriutan, karena ketuaan sekaligus beberapa luka bakar, terlihat semakin kuyu.
Kapas, hari ini kita tidak bisa makan kenyang! Aku hanya dapat sedikit uang& .
Harapanku menyantap lezatnya sego kucing yang sempat terbangun selama 2 jam menanti, kandas di tempat. Namun Jepri membangkitkan kembali harapan itu. Dapat berapa ngamen-nya Mbah"
Hanya 2 ribu rupiah. Kalau begitu, biar Mbak ini aku yang traktir makan. Cowok tampan seperti aku, kan pantas jika mentraktir mbak yang cantik seperti dia! Jepri mengedipkan mata sebelah ke arahku. Mletho yang melihat kejadian itu terbahak-bahak. Jep& Jep, masih kecil saja wis kemaki! katanya. Mbah Murong menatapku. Wajahnya yang tadi terlihat kuyu, sekarang seperti menyimpan rasa cemas yang mendalam. Entahlah, tetapi yang jelas, tak mungkin Jepri yang lucu dan menyenangkan itu menaruh racun di dalam makanan yang dia belikan untukku bukan"
1961 Ayu menghela napas lega, ketika dokar yang dia sewa
dari Dusun Murong akhirnya memasuki kota Solo. Belitan tali temali yang seakan menyesakkan tubuh, seperti terlolosi satu demi satu, dan akhirnya rontok. Dia menghela napas lega!
Pelarian ini telah dia persiapkan selama berbulanbulan. Begitu dia mendengar rencana bahwa kakek dan neneknya akan beribadah haji ke Mekah untuk yang ketiga kalinya selama hidup, dan Ahmad Al-Faruk pun membersamai, dia langsung menyusun rencana. Digamitnya Sarjono, kusir dokar sewaan yang biasa beroperasi melayani para penumpang dari Dusun Murong hingga Pasar Sragen.
Tigabelas Namamu Jono kan" Kalau kalau dokarmu aku sewa selama satu minggu, biayanya berapa" tanya Sekar Ayu, tanpa basa-basi.
Sarjono yang saat itu tengah sibuk memberi makan dua ekor kuda yang selalu dia pakai bergantian untuk menarik dokarnya sesaat terpana. Tak menyangka, cucu Sang Kyai yang selama ini jarang sekali terlihat berkeliaran di sekitar pondok, mendadak menemuinya di kandang kuda. Meski kandang kuda itu sebenarnya hanya terletak tak sampai ratusan meter dari lokasi pondok.
Panjenangan badhe tindak pundi 21 " tanya Sarjono. Saya ingin pergi ke Solo. Dan mungkin selama seminggu saya akan menginap dan berputar-putar di kota Solo.
Bukankah Kyai Murong punya mobil" Dan Ustadz Ahmad pasti bisa mengantar Anda. Jadi& .
Bagaimana toh, kamu ini" Eyang dan suamiku akan pergi ke Mekah.
Ada sesuatu yang terdengar aneh di telinga Sarjono saat Sekar Ayu menyebut kata suamiku. Tentu dia tahu apa yang terjadi. Kyai Murong tak sedang menyembunyikan kemungkaran. Meski yang berbuat kemungkaran itu adalah cucunya sendiri. Karena hamil di luar nikah dengan kekasihnya, Sekar dijatuhi hukuman dera seratus kali, dan 21 Anda akan pergi ke mana"
konon diasingkan di sebuah tempat di lereng gunung Lawu. Dia kembali ke Murong dengan menggendong seorang bayi lelaki.
Awalnya Sarjono tak habis mengerti, bagaimana mungkin sosok seperti Ustadz Ahmad Al-Faruk yang terkenal shaleh dan tawaduk itu mendadak mengajukan lamaran untuk menikahi Sekar Ayu. Menikahi seorang bekas pezina! Mereka kini tinggal di sebuah rumah kecil di komplek pondok.
Namun, setelah melihat sosok Sekar Ayu, dengan kerudung ala kadar yang sepertinya hanya menjadi syarat belaka sebagai penghuni pondok, Sarjono langsung memahami, apa yang membuat Ustadz Ahmad Al-Faruk menaruh hati kepada perempuan itu. Bagaimanapun, Ahmad Al-Faruk adalah lelaki normal, yang tentu memiliki perasaan tertentu kepada lawan jenis. Apalagi jika lawan jenis itu sejelita Sekar Ayu.
Satu minggu pergi ke Solo" Saat Kyai dan Nyai Murong serta Ustadz Ahmad pergi haji" Sarjono memandang sekilas Sekar Ayu. Namun, seperti ada sambaran belati tajam, Sarjono tak kuat berlama-lama bertatapan dengan perempuan itu.
Sepertinya itu bukan urusanmu! Berapa biaya semuanya" Kalau perlu, aku akan bayar tiga kali lipat!
Sarjono ternganga. Tiga kali lipat" Itu namanya rezeki nomplok. Tanpa berpikir panjang, dia pun menyambut tawaran itu, sekaligus meliburkan seekor kudanya yang paling kuat seminggu sebelum keberangkatan ke kota Solo.
Setelah masalah transportasi selesai, Ayu terpikir untuk mencari pengasuh untuk bayinya, Khairul Annam. Tak mudah mencari wanita yang cocok untuk Annam yang menurut Ayu jauh lebih rewel dari bayi-bayi lainnya. Namun, setelah bersusah-payah, akhirnya dia menemukan Sumini, ibu beranak tiga yang baru saja ditinggal mati anak bungsunya. Menganggap bahwa Annam sangat mirip dengan bayinya, Sumini langsung jatuh cinta. Awalnya, dengan sedikit kurang ajar, Sumini juga memberikan ASI-nya yang melimpah kepada Annam. Ternyata, kekurangajaran itu justru kian melegakan Sekar Ayu. Rasa berdosa yang sempat muncul, sedikit terkikis atas kenyataan bahwa Annam telah menemukan ibu susu yang tepat.
Tepat seminggu setelah para santri dan jamaah pengajian Kyai Murong mengantar rombongan kecil yang hendak berhaji, Sekar Ayu menjual tiga ekor sapi milik kakeknya. Tak cukup hanya itu. Dia juga membawa sekotak perhiasan milik sang nenek.
Dan kini, setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, Sekar Ayu sampai di kota Solo. Dia bersiul gembira, meski hanya dalam hati. Dia telah menemukan kebebasan!
Kita mau pergi ke mana, Mbak" tanya Sarjono. Ke Jebres, Jon. Dekat Stasiun. Kau hapal jalannya" Inggih!
Dokar Sarjono berbelok ke sebuah jalan, menuju bangunan stasiun. Tetapi tentu bukan ke arah stasiun itu dokar melaju, melainkan ke sebuah rumah yang berdiri tak jauh dari stasiun. Rumah bangunan lama yang terlihat sepi dan kotor. Pohon beringin raksasa menyumbang andil kotornya halaman dan sebagian atap lewat daun-daunnya yang berguguran. Ditambah dengan semak belukar yang seperti telah berbulan-bulan tak dirapikan, rumah itu terlihat menyeramkan.
Sekar Ayu turun dari dokar, menyuruh Sarjono tetap di tempatnya. Dia sendiri berjingkat memasuki halaman, membuka pintu gerbang yang ternyata tak terkunci. Dia ketuk pintu kayu jati itu pelan. Cukup lama Ayu berdiri mematung di depan pintu, sampai akhirnya sebuah langkah kaki terdengar bersamaan dengan anak kunci yang digunakan untuk membuka pintu.
Seorang lelaki, berpakaian kusut, dengan wajah mengantuk, berdiri di depan pintu. Namun raut wajahnya yang semula murung, berubah drastis saat melihat kedatangan Ayu. Ayu, ini benar Sekar Ayu Kusumastuti" Apakah tampangku sudah berubah menjadi seorang
ibu yang bertubuh gembrot dan wajah jauh dari menarik" Sekar Ayu mencebilkan bibirnya.
Ndaaaak& kau& kau malah terlihat jauh lebih cantik. Aduh, betapa bahagia aku hari ini. Kau menjawab surat yang kukirimkan beberapa bulan yang lalu.
Kos, kau sudah merengut semua rasa dalam hidupku. Suratmu telah mengilhami aku agar memperjuangkan kebebasanku.
Dan, ternyata kau memilih risiko yang begitu besar untuk kemerdekaanmu. Aku kagum. Kau memang perempuan berhati singa.
Tak kau persilakan aku masuk"
Nanti dulu. Bersama siapa kau kesini" Suamimu yang bodoh itu"
Ahmad" Bukankah aku baru saja mengatakan kepadamu, bahwa aku baru saja memproklamasikan kemerdekaanku" Mungkin nanti akan ada revolusi. Tetapi untuk dua bulan ini, paling tidak aku merasa nyaman, karena tak perlu berperang mempertahankan kemerdekaan yang barusan aku proklamasikan! Sekar Ayu duduk di atas kursi busa yang mulai kusam tertutup debu. Kakinya ditekuk dengan santai. Namun begitu, dengan jijik dia kibaskibaskan debu yang ternyata cukup mengotori bajunya. Aku tak paham arti perkataanmu"
Tumben kamu bodoh" tawa Sekar meledak. Jadi, aku telah memutuskan untuk meninggalkan dunia yang telah membelenggu segenap kebebasanku beberapa tahun terakhir ini. Masa bodoh aku akan dianggap sebagai perempuan jalang, ibu yang meninggalkan anaknya, wanita berengsek dan sebagainya. Tahukah kau, surat yang kau kirimkan beberapa bulan yang lalu, telah membangkitkan harapanku kembali akan sebuah kehidupan yang menyenangkan.
Aku tak yakin surat itu sampai kepadamu. Pasti kakekmu yang bodoh itu telah menyobeknya dan membuang ke tempat sampah.
Kau cerdas! Karena telah menggunakan nama samaran, nama perempuan lagi sebagai pengirimnya. Kakek tak curiga. Surat itu sampai kepadaku tanpa sedikit pun bekas sobekan, kecuali sedikit kotor jemarimu saat mengelem perangko. Aku yakin, kau menggunakan ludahmu itu untuk membasahi perangko. Aku masih ingat kebiasaan jorokmu!
Prakoso tertawa terbahak-bahak sambil memilin-milin kumisnya. Lelaki itu sekarang terlihat lebih dewasa dengan kumis dan brewoknya yang dia ceritakan dalam suratnya, terinspirasi dari penampilan seorang anak muda dari Kuba bernama Che Guevara yang diutus Fidel Castro untuk mengunjungi 14 negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Prakoso, sebagai kader muda partai komunis, sempat bertemu dengan Che dan berbicara panjang lebar.
Meski sudah menjadi istri ustadz, kau ternyata masih badung dan liar.
Ahmad Al-Faruk sungguh seorang lelaki yang sangat baik, ujar Ayu, serius. Sangat baik. Terlalu baik untukku yang menurutmu badung dan liar. Dia bukan suami yang cocok untukku. Tetapi, dia mungkin ayah yang baik untuk Khairul Annam.
Siapa Khairul Annam" Anak Purnomo"
Darah Purnomo mengalir padanya. Tetapi aku tahu, Ahmad sangat menyayangi Annam. Aku tak khawatir Annam akan menderita. Justru jika dia masih bersamaku, dia akan menderita memiliki ibu berengsek seperti aku. Semua telah menemukan kebaikan masing-masing. Adil, bukan" Sepeninggalku, Ahmad bisa mencari istri wanita baik-baik. Annam akan mendapatkan ibu yang salehah. Sementara, aku akan berpetualang bersamamu. Menikmati cinta revolusi.
Cinta revolusi" Hahaha& ! tawa Prakoso kian membahana. Aku senang mendengarnya. Aku siap menjalani, dengan senang hati. Tetapi, jangan harap aku mau mengikat diri dengan segala macam belenggu yang membuat aku tak merdeka. Seperti pernikahan. Aku tak
mau segala tetek bengek yang akan menghambat perjuanganku!
Kau tak perlu khawatir. Bukankah aku baru saja melakukan hal yang sama denganmu" Melepaskan diri dari tetek bengek yang menghambat kebebasanku!
Prakoso membuka lemari, mengeluarkan dua buah minuman kaleng. Menyerahkan satu kepada Sekar Ayu. Lalu mengajak toast. Ayu tak menolak. Dan dia bahkan dengan senang menenggaknya, meski tahu belaka bahwa minuman itu beralkohol.
Kau telah masuk di dalam sebuah petualangan yang dahsyat. Mari kita jalani kehidupan yang dahsyat ini dengan penuh semangat!
Tentu saja! Aku siap! Nah, aku akan menantang kesiapanmu malam ini. Ada pertemuan Gerwani di Kemlayan. Kau harus terlibat di organisasi itu untuk menunjukkan idealismemu tentang perempuan yang merdeka. Perempuan yang diperbolehkan menentukan nasibnya sendiri tanpa harus terbelenggu dalam ketiak suami atau ayahnya.
Bukankah aku telah membuktikannya dengan meninggalkan segala kenyamanan dalam hidupku sebagainya cucu seorang kyai sekaligus tuan tanah yang kaya raya"
Kau telah bertindak tepat! Prakoso mendekati Sekar Ayu, lalu berbisik dengan suara penuh tekanan. Jemarinya teracung, dan pelan menonjok dahi Ayu. Dan kau harus tahu, mulai dari sekarang harus ditancapkan dalam benakmu, bahwa kakekmu itu adalah satu dari setan-setan desa yang harus diganyang! Tak ada lagi hubungan cucu dan kakek. Yang ada adalah seorang revolusioner yang ingin menegakkan keadilan dengan cara memerangi musuhmusuhnya. Kau paham" 22
Tanpa ragu Sekar Ayu mengangguk.
22 Salah satu tindakan ofensif PKI adalah mencoba memprovokasi kaum petani. PKI menerbitkan buku pegangan kader yang berjudul Kaum Tani Mengganyang Setan Desa . Setan Desa yang dimaksud adalah musuh para petani, dan yang terutama adalah kalangan kiai dan ulama desa. (Poesponegoro, Notosoesanto, 2008, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI hal. 474).
1965 Ahmad melihat dengan jelas, bahwa di tengah huruhara yang menimpa pesantren Murong, ternyata Ayu ada di antara mereka. Bukan sebagai korban seperti belasan tubuh berlumur darah yang meregang nyawa, di antaranya adalah Sang Kyai Murong, akan tetapi sebagai bagian dari pelaku. Maka, sebuah gempa berkekuatan dahsyat pun menyerang hingga kedalaman lubuk hatinya. Keringat dingin mengucur deras dari segenap pori, membuat keremukan jiwanya semakin terasa.
Ahmad Al-Faruq dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang keras. Pukulan tongkat penjalin dari
Empatbelas ayahnya, seorang kyai di sebuah pesantren di Jawa Timur, kerap menghujani tubuhnya, tatkala dia tak mampu menyelesaikan target, menghafal beberapa ayat Al-Quran, hadist, atau kosakata bahasa Arab yang ditugaskan sang ayah. Begitu juga jika dia ketahuan menuruti kebandelannya dengan mandi-mandi di Sungai Brantas, padahal saat itu, dia ditugasi untuk mengisi padasan tempat wudu masjid pesantren.
Didikan keras sang ayah, semakin menegarkan hatinya ketika dalam usia 15 tahun, lelaki yang membuatnya terlahir ke dunia itu membawanya pergi ke tanah suci. Berbulanbulan menempuh perjalanan dengan kapal laut, disusul dengan menapak kaki di padang pasir yang gersang dan panas, serta debu yang tak ramah, menantang ketahanan tubuhnya untuk terus berlatih menjaga kebugaran. Ketika sang ayah ternyata meninggal dunia karena sakit parah di tanah haram, Ahmad dididik oleh beberapa Syaikh Arab hingga bertahun-tahun. Lantas, karena ketekunan dan ketangguhannya akhirnya dia berhasil mendapatkan bea siswa melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Kairo dan lulus dengan predikat mumtaz.
Kehidupan yang penuh keprihatinan, nyaris membuat Ahmad tak pernah larut dalam perasaan duka, kecuali kesedihan saat membayangkan siksa kubur dan azab neraka. Dia tak pernah bersedih hanya karena pernik yang terjadi di dunia.
Namun, malam itu, air mata mengucur deras dari sepasang netranya. Air mata kepedihan, kesedihan, kekecewaan, dan perasaan tak berdaya. Dia menyaksikan lelaki yang dihormatinya, Kyai Murong, dibantai di depan mata, sementara dia tak mampu berbuat apapun.
Saat ratusan manusia beringas itu menyerbu pesantren, yakni saat bulan di langit tengah memancarkan kemilau purnamanya, tubuhnya tengah disergap demam tinggi. Bahkan untuk bangkit dari tempat tidur pun harus dia lakukan dengan susah-payah. Saat letusan senapan membelah kesunyian malam, dia merangkak, mencari tempat yang aman. Bersembunyi!
Dia tak pernah mengampuni dirinya sendiri karena kepengecutannya saat itu. Mestinya, saat itu dia bersama dengan santri lain mestinya berjibaku melawan mereka.
Ganyang, ganyang setan desaaaa! teriak orang-orang itu, yang entah berasal dari mana. Mereka membawa cangkul, parang, dan celurit& peralatan yang lazim dipakai oleh para petani. Akan tetapi di antara mereka juga terselip sosok-sosok dengan senapan yang aktif memuntahkan pelor. Juga jerigen-jerigen berisi bensin.
Meski Ahmad tak tahu persis siapa para penyerbu itu, tetapi jika dilihat dari teriakan-teriakan itu, dia langsung paham, bahwa penyerbuan itu pasti terkait dengan
peristiwa beberapa hari kemarin. Segerombolan para petani yang menamakan diri Bartindo Barisan Tani Indonesia, mendadak melakukan aksi sepihak dengan menguasai tanah milik Pesantren. Para santri yang sudah lama memendam kekesalan kepada Bartindo, Pemuda Rakyat, dan PKI yang sering menyebarkan berita miring tentang para ulama dan santrinya, marah besar. Mereka merebut tanah itu. Bentrokan terjadi. Meski Bartindo diamdiam dilatih secara militer, ternyata mereka berhasil dikalahkan oleh santri yang juga menguasai ilmu bela diri.
Kini, para penyerbu bergerak dengan brutal. Menghancurkan segala yang ada di depannya dengan sadis. Dan, dengan jelas sangat jelas, Ahmad melihat Ayu ada bersama mereka. Entah apa yang tengah dipikirkan perempuan itu, tetapi yang jelas dia ada bersama para penyerbu. Meski dia hanya berdiri dan mengamati situasi, tanpa melakukan aksi apapun, bagi Ahmad, kenyataan itu sangat mengagetkan. Begitu besarkah rasa permusuhan bergejolak di hati perempuan itu kepada kakeknya sendiri" Begitu kuatkah racun ideologi komunisme menghancurkan kejernihan pemikiran Ayu, sehingga pertimbanganpertimbangan kemanusiaan seakan rencah begitu saja"
Dalam keadaan pilu, bayang-bayang peristiwa itu kembali berputar-putar di benak Ahmad. Kemunculan perempuan bermata belati dengan kecantikan yang magic.
Perempuan yang ternyata telah menimbulkan kehancuran bukan hanya dalam hidup Kyai Murong dan istrinya, tetapi juga hidupnya.


Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya tahu, apa yang akan saya sampaikan kepadamu ini mungkin akan menzalimimu, Ustadz. ujar Kyai Murong, pada suatu sore yang pekat karena langit dibebat mendung tebal. Tak seharusnya saya meminta bantuan untuk sebuah perkara yang begitu berat.
Membantu apa, Kyai" tanya Ahmad, dengan penuh perhatian. Baginya, Kyai Murong adalah orangtua kedua setelah dia yatim piatu. Dia sangat menghormati dan mencintai lelaki tua itu.
Kau tahu, Ustadz& bahwa lumpur pekat telah dilontarkan cucuku ke wajahku. Dia hamil di luar nikah. Tentu, Ustadz Ahmad& saya telah menerapkan hukum Islam atas dirinya. Dia masih lajang, jadi saya mencambuknya seratus kali dan mengasingkannya selama setahun. Kau tahu hal itu. Tak ada gunanya menggerutu atas masa lalu. Saya berharap semua akan berjalan dengan baik setelah ini. Hanya saja& .
Kyai Murong terdiam, tampak sangat rikuh untuk melanjutkan perkataannya. Hanya saja& saya merasa terlalu tua untuk bisa mengarahkan hidup Ayu. Dia salah didik, dan kehidupan telah membentuk kepribadiannya menjadi semacam itu.
Ahmad menghela napas panjang. Meskipun dia sering mengkhawatirkan akibat pergaulan bebas cucu sang Kyai itu, dia tak pernah membayangkan jika perempuan itu akan hamil di luar nikah. Ingin dia menyumpalkan kebencian serta rasa jijik atas perempuan bermata belati itu. Namun, yang membuncah dalam jiwanya, justru& rasa cemburu.
Sekarang, Ayu telah memiliki seorang anak tanpa seorang ayah. Saya mengkhawatirkan masa depan mereka berdua. Dan beberapa hari ini saya memiliki pemikiran untuk& menikahkan Ayu dengan seorang lelaki. Saya berharap pernikahan itu akan membuat Ayu bertobat dan benar-benar ikhlas merenda kehidupannya yang baru.
Siapa lelaki itu" Hampir saja kalimat itu terlontar, jika saja sebuah kesadaran yang dia paksakan tak segera menjeratnya. Al-Quran mengatakan, perempuan pezina hanya untuk lelaki pezina. Seorang ustadz yang senantiasa menjaga kesucian seperti dirinya, tak sepantasnya melacurkan diri dengan mengharap seorang perempuan pezina untuk menjadi miliknya.
Tetapi, mantan pezina tidaklah sama dengan pezina, bukan" Pintu tobat akan selalu terbuka. Allah yang Maha Perkasa menerima tobat hamba-Nya dengan kegirangan yang melebihi seorang pengembara yang mendapatkan kembali unta dan seluruh perbekalannya yang sempat menghilang dari si pengembara itu. Jika Allah saja mau
menerima tobat seorang hamba, apakah dia lebih hebat dari Allah sehingga menolak seseorang yang telah menjalani hukuman dengan ikhlas.
Ikhlas, betulkah Ayu ikhlas" Tampaknya, salah satu kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah kelindan pikir yang berkecamuk di benaknya saat itu.
Sekar Ayu seorang gadis menarik. Tentu banyak lelaki yang tertarik untuk menjadi suaminya, Kyai. Jadi, saya sangat mendukung rencana Kyai.
Kau katakan tadi, bahwa banyak lelaki tertarik kepada Ayu"
Dada Ahmad berdesir. Tahukah sang Kyai, bahwa sejak kehadiran perempuan itu, mendadak dia sering bermimpi indah" Mimpi bersanding di samping perempuan itu, dan dengan sepuasnya mencecap kenikmatan memandangi wajah cantiknya yang magic.
M-mungkin begitu& . Guguh Ahmad.
Bagaimana dengan engkau, Ustadz" Sang Kyai terlihat susah payah melempar pertanyaan itu. Seiring dengan keresahan yang berbongkah-bongkah di wajah lelaki keturunan Hadramaut itu. Maafkan& saya tak bermaksud menzalimimu dengan mengajukan pertanyaan tak pantas ini. Saya tahu, Ustadz sangat berhak mendapatkan gadis baik-baik, yang masih perawan untuk menjadi istri Ustadz.
Tetapi, saya hanya ingin menjajal sebuah peluang. Karena bagaimanapun, Ayu adalah cucu saya. Satu-satunya darah daging saya.
Seakan berbongkah zat padat memasuki tenggorokan Ahmad Al-Faruk, dan menyumbat saluran pernapasannya. Menikahi Ayu, yang telah hamil di luar nikah" Seorang ustadz seperti dia"
Tetapi, jika kau menganggap bahwa Ayu terlalu rendah untukmu, tak perlu dipikirkan tawaran saya ini, Ustadz. Anggap saja semua sebagai angin lalu& .
Tetapi, Ayu terlalu mahal untuk dianggap sebagai angin lalu. Dia & cantik. Sangat cantik. Dan dia tahu, pandangan mata perempuan itu telah lama melempar jangkar yang menancap di hatinya. Batinnya telah lama bergejolak, kerinduan itu pun telah mencapai titik kulminasi. Sebuah kesempatan telah datang& kesempatan untuk mencecap wajah magic itu, serta tatapan setajam belati namun indah itu secara halal.
Saya& saya bersedia, Kyai& .
Benar-benar sebuah keputusan bodoh!
Jawaban yang lirih, dan terdengar tidak mantap itu ternyata melegakan hati Kyai Murong. Sebuah pesta walimah sederhana pun digelar, tanpa menghadirkan sosok pengantin perempuan di depan tamu undangan, karena
sang pengantin sengaja disembunyikan di sebuah kamar. Entah apa yang dirasakan oleh Ayu, namun hari itu, dada Ahmad Al-Faruq benar-benar nyaris meledak oleh perasaan bahagia yang berbuncah.
Awalnya, Ayu tampak pasrah dengan keadaan. Dia seperti menerima kehadiran Ahmad, meladeninya dengan tenang, meski terlihat tanpa gairah. Khairul Annam, bayi yang tampan itu justru yang membuat Ahmad merasa benar-benar tak salah menikahi Ayu. Annam sangat dekat dengannya, dan lambat laun bahkan terlihat lebih akrab dengan ayah tirinya itu dibanding ibu kandungnya. Kehadiran Annam membuat Ahmad sangat menikmati hari-harinya. Dia selalu menyenandungkan tilawah al-Quran dengan merdu di telinga Annam, sampai bocah itu lelap tertidur. Dia pula yang dengan ringan hati memandikan, mengganti popok, bahkan menyuapi Annam dengan bubur bayi.
Sejauh itu, meski Ayu terlihat dingin, Ahmad tak merasa ada sesuatu yang tak normal padanya. Sampai kedatangan lelaki itu! Yang membuat Ayu memutuskan untuk pergi dari kehidupannya, bahkan juga meninggalkan anaknya. Prakoso!
Lelaki itu datang membawa genderang perang yang dia tabuh dengan irama jalang. Ayu yang masih memendam cinta, terpikat oleh jeratnya. Ayu yang secara kejiwaan masih
labil, terpengaruh oleh dendang revolusi dan kebersamaan yang Prakoso tanamkan. Lantas, segenap naluri keibuan, perasaan hormat dan penjagaan martabat yang sebenarnya mulai mencelup perempuan itu, mendadak lumat.
Kemarahan yang meluap saat mengetahui bahwa Sekar Ayu ternyata minggat dari pesantren saat dia menemani Kyai dan Nyai Murong ke tanah suci, telah membuatnya bersumpah untuk tak mendekatinya lagi. Talak tiga dia jatuhkan.
Perih, malu, kecewa& seperti petir dan guntur yang merobek langit dan mengacaukan ketenangan dengan gelegarnya. Rasa hampa yang lara membuat Ahmad seakan tengah terdampar ke sebuah pulau yang gersang tanpa setetes pun air tersisa. Mimpi-mimpi indah yang dia bangun telah porak-poranda. Namun begitu, sebagai seseorang yang mengerti agama, dia berusaha keras untuk tidak limbung. Bahkan, setidaknya dia merasa harus bersyukur, karena Sang Maha Pemberi Petunjuk telah menunjukinya, siapa sebenarnya perempuan yang pernah menghujami hatinya dengan panah asmara itu.
Beruntung sekali, karena Ayu tidak pergi membawa Khairul Annam yang sangat dia cintai itu. Ketidakbertanggungjawaban wanita itu, kali ini adalah sebuah anugerah baginya, karena dia sungguh tak mampu membayangkan, bagaimana perasaannya jika harus
berpisah dengan bayi yang saat itu telah menginjak usia tahun ketiganya. Dia dan Annam, telah menjadi sebuah persenyawaan yang tak akan mungkin dipisahkan.
Maka, jadilah Ahmad seorang single parent. Dia ikhlas mendidik sang putera, meskipun berkali-kali Kyai Murong menganjurkan agar Annam dirawat oleh para santri wanita. Rasa bersalah yang membebat jiwa Kyai Murong, membuat dia semakin mengasihi mantan cucu menantunya itu. Dia pun bertekad untuk menjadikan Ahmad sebagai pewaris pesantren dan segenap kekayaan yang dimilikinya itu.
Sepeninggal Ayu, Ahmad bukannya tak pernah mendeteksi aktivitas mantan istrinya itu. Sebagai cucu seorang yang antikomunis, apa yang dilakukan oleh Ayu sungguh berseberangan. Dia bergabung dengan Partai Komunis, bahkan menjadi salah satu angota Gerwani yang cukup aktif. Wajahnya sering muncul di surat kabar milik Partai Komunis. Dia disebut-sebut sebagai tokoh perempuan yang memperjuangkan keadilan untuk para perempuan.
Dan betapa pintar Prakoso menanamkan ideologi itu, Ahmad buktikan pada peristiwa malam ini. Ayu ikut bersama puluhan pemuda bersenjata menyerbu kediaman kakek kandungnya sendiri. Selama ini, Kyai Murong memang sangat gencar menabuh genderang perang melawan kekomunisan. Secara radikal, bahkan seregu
santri Pesantren Murong pernah membakar markas sebuah anak cabang PKI yang berdiri di dekat pesantren dan membubarkan berbagai rapat yang diselenggarakan oleh para aktivis PKI. Sifat Kyai Murong yang keras dan menutup rapat ruang dialog, yang lantas diikuti oleh para santrinya dengan segenap ketaklidan, membuat permusuhan itu semakin memata tombak.
Genderang perang semakin gencar berdebum, ketika tergelar di panggung dunia, sebuah tawuran massal yang memakan korban beberapa orang aktivis PKI. Saat pemimpin cabang PKI mengadakan acara rapat terbuka di lapangan dekat pesantren, yang dihadiri oleh ribuan warga desa sekitar, para santri Pesantren Murong turun gunung dan mengobrak-abrik panggung. Acara porak-poranda. Para tamu undangan berhamburan menyelamatkan diri.
Terpicu oleh kenekadan para santri, para kader muda PKI pun turun tangan. Mereka mencoba menghentikan amukan para santri. Dan perkelahian pun terjadi. Namun, para santri yang memang dibekali ilmu bela diri, berada di atas angin. Hasilnya, dua orang kader muda PKI luka parah dan meninggal saat dirawat di rumah sakit.
Lalu, terjadilah perebutan tanah pesantren oleh Bartindo, yang lagi-lagi menyebabkan bentrokan.
Dendam yang membara, itulah yang mungkin menjadi penyebab utama penyerangan maut itu. Saat para santri
terlelap dalam tidurnya, setelah hampir seharian beraktivitas dalam jadwal yang ketat salah satunya adalah dengan menggemburkan lahan persawahan seluas hampir 5 hektar, mereka muncul dengan persenjataan lengkap. Tak hanya sekadar golok, parang, tombak atau keris, tetapi juga senapan. Beberapa butir peluru pun berhasil merobohkan Kyai Murong, entah siapa pelaku penembakan itu. Bunyi letusan itulah yang membuat Ahmad tersentak dari tidurnya, dan seketika merayap menuju pintu, mengintip dari lubang anak kunci, menyaksikan apa yang terjadi.
Kyai Murong terhuyung dan roboh dengan tubuh berlumur darah. Bajunya yang putih tersepuh warna merah, sehingga sangat mirip dengan kibaran bendera bumi sakura, meskipun bulatan-bulatan mataharinya tak tergambar sempurna. Beberapa santri yang ada di ruang tengah pun bergelimangan meregang nyawa. Teriak kesakitan dan amuk saat sekarat mencetak pemandangan yang membuat bulu kuduk Ahmad merinding. Namun yang paling memukul perasaan Ahmad adalah, ketika dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa dari puluhan para penyerbu yang membabi buta menyergap para santri yang kebingungan, dia melihat Ayu dan para anggota Gerwani lainnya. Mereka sibuk menyiramnyiramkan jerigen berisi minyak tanah ke dinding-dinding bangunan. Letikan bunga api menyambar dinding yang telah kuyup. Kebakaran besar pun tersketsa begitu dahsyatnya.
Ganyang! Ganyang Setan Desaaa! Jangan kasih ampun! Bakar semua!
Ahmad merangsek, mencoba berdiri, meski sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri. Dia meraih tubuh Khairul Annam yang saat itu telah berusia 7 tahun, dan mendekapnya dalam gendongan. Pelan dia beranjak, merayap menaiki jendela kamar dan meloncat keluar. Dalam gigil akibat demam, serta sergapan beribu rasa yang tak berpihak pada kesakitannya, langkahnya lebih mirip seekor kera mabuk. Namun, sekuat tenaga, dia mencoba untuk mempertahankan sepasang kaki sebagai pusat gravitasi. Dia pun menyelinap menuju lumbung padi yang terletak sekitar 20 meter dari tempat itu. Di bawah lumbung, terdapat tumpukan jerami. Meskipun kepayahan karena serangan demam belum juga mereda, Ahmad mampu bekerja cepat. Dia membenamkan tubuhnya dan tubuh Khairul Annam di bawah tumpukan jerami. Gerakan itu membuat Khairul Annam yang tadinya tertidur lelap menjadi terbangun. Sepasang mata bundar itu berputar-putar, tampak berkilat karena memantulkan cahaya api yang mulai membakar separuh lebih rumah-rumah di komplek pesantren itu.
Ada apa, Abah" bisik Khairul Annam yang belum mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kebingungan terendus dari seraut wajah bocah yang mulai terlihat rupawan itu. Ahmad cepat menempelkan telunjuk kanan ke mulut.
Jangan bicara, Nak& kita akan pergi dari sini. Jika tidak, kita akan dibunuh oleh orang-orang tak berperikemanusiaan itu. Mereka telah membakar pesantren dan membunuh orang-orang, termasuk eyang buyut.
Eyang buyut & meninggal" Suara bocah itu parau. Mungkin karena letupan kejut yang tak mampu dia netralisirkan.
Ssst & diamlah! Kalau kita ketahuan bersembunyi di sini, mereka pasti akan membakar kita hidup-hidup.
Khairul Annam menurut. Dia menutup rapat-rapat sepasang bibirnya. Ketegangan terpancar dari raut wajah itu saat dia memaku diri sebagai patung. Namun, beberapa menit kemudian, kedua tangan bocah itu mulai menggarukgaruk tubuhnya.
Abah, gatal sekali di sini!
Cobalah untuk ditahan. Jika kita tidak membuat gerakan yang mencurigakan, mereka tidak akan tahu bahwa kita bersembunyi di sini.
Ingar-bingar terus berlanjut. Aksi baru mereda ketika langit di ufuk timur terlihat kemerahan. Para penyerbu itu pun meninggalkan lokasi pesantren. Suasana menjadi hening. Sehening api yang telah padam, dan menyisakan tumpukan-tumpukan arang dan abu
Annam, kau tetaplah di sini ya, Abah mau memeriksa apa saja yang telah terjadi.
Khairul Annam yang terlihat sangat mengantuk, mengangguk kuyu. Sementara, Ahmad berjalan dengan penuh hati-hati, menyelinap dari satu tempat ke tempat lain seraya memastikan bahwa puluhan penyerbu itu memang telah benar-benar meninggalkan tempat itu. Api yang berkobar-kobar, puluhan jenazah bergeletakan, serta bangunan yang porak-poranda, menikam hatinya. Mencipta kepiluan yang sangat dalam. Ahmad merasakan sepasang matanya basah oleh air yang terus menerus mengalir.
Sebuah kiamat kecil telah terjadi. Kiamat yang disebabkan oleh tangan manusia.
Gila kau, Kos! suara lengking yang sangat dia kenali itu membuatnya secara spontan meloncat ke sebuah relung yang pekat. Debur di dadanya laksana ombak tsunami. Dia saksikan kini, perempuan bermata belati itu berjalan tergesa-gesa, seakan tengah meninjau kerusakan yang telah diciptakannya, mengeditnya jikalau ada kerusakan yang belum semalap harapannya. Di samping perempuan itu, agak tertinggal di belakang, lelaki perusak pagar Ayu bernama Prakoso itu berlarian mengikuti langkah-langkah panjang sang perempuan.
Kau benar-benar gila! kali ini lengking sang perempuan berubah menjadi teriakan, seperti sebuah
histeria. Kau katakan, kita hanya akan memberi sedikit pelajaran kepada Kyai Murong dan para santrinya. Akan tetapi, ternyata kau membunuh mereka semua!
Ayu& ini memang tuntutan revolusi. Terlalu berbahaya jika orang seperti Kyai Murong dibiarkan hidup. Mereka setan-setan desa, perebut tanah rakyat. Mereka akan senantiasa menjadi penghambat perjuangan kita. Mereka memang telah menjadi musuh-musuh kita yang sebenarnya. Jika bukan kita yang melenyapkan mereka, merekalah yang akan melenyapkan kita.
Tetapi, Kyai Murong adalah kakekku! Dan di tempat ini, ada seorang bocah yang menjadi darah dagingku. Dia anak kandungku. Mungkin tubuhnya kini telah terpanggang menjadi arang. Aku telah membunuh anakku sendiri!
Jangan panik, Ayu& ingat sekali lagi, ini adalah risiko perjuangan. Sekarang, marilah kita pulang. Sudah menjelang subuh. Orang-orang di dusun ini akan segera datang, dan kita bisa dihabisinya!
Aku ingin menemukan anakku. Jika tidak dalam keadaan hidup, paling tidak, aku masih bisa memeluk mayatnya.
Sebuah senyum tersungging di bibir Ahmad. Senyum yang dia sendiri tak tahu tafsirnya. Mungkin saja senyum kepedihan, kesinisan, ataupun kehancuran hati. Dia hanya
merasa, bahwa sebuah dentuman keras telah membuat jalur-jalur saraf dalam tubuhnya seakan terlucuti. Tubuhnya telah mati rasa. Dia bahkan tak ikut terlarut dalam senandung duka yang kemudian meletup dari sosok yang pernah dicintainya itu, tatkala Ayu berteriak-teriak histeris, memeluk seonggok tubuh yang telah menjadi arang yang ditemukannya di antara tumpukan puing.
Anakku& anakku& maafkan Ibu, karena telah membunuhmu!
Seonggok daging dan tulang bakar itu, tentu saja bukan Khairul Annam. Mungkin dia adalah jenazah Seto, bocah gembala yang sering datang dan menginap di Pesantren Murong. Kebetulan, Seto dan Khairul Annam hampir satu perawakan. Ayu telah salah duga. Biar. Biar saja dia terperangkap rasa bersalah sepanjang umurnya.
Orang tak mau lagi membeli daganganku, Kapas& ,
keluh perempuan separuh kayu itu sembari sibuk menghela serangkum gas karbon dari hidungnya. Karena suaraku tak lagi memiliki daya jual. Harganya telah menyusut hingga titik nadir. Mungkin, jika kau ingin bertahan hidup bersamaku, kau harus rajin berpuasa.
Aku mengatupkan sepasang paruhku. Mataku berputarputar menyelisik wajah yang sekarang semakin disesaki kerutan ketuaan itu. Beberapa bagian kulit yang terkeloyak menjadikan dia terlihat seram. Saat itulah aku mendapati ujung pisau belati yang nyaris tumpul sehingga justru
Limabelas menyirat iba dari sepasang matanya, menancap di sebuah bagian di dada, mungkin pada tembolokku.
Bagaimana jika aku yang mencoba berdagang, Kayu& Kau tak bisa berdagang.
Tetapi, aku punya barang dagangan yang bagus. Dengarkan suaraku!
Sembari mengepak-ngepakkan sayap, aku menirukan beberapa bait kalimat yang diajarkan Jepri kemarin. Bapak ibu, sampeyan ampun meri
Yen aku niki, dipleroki cewek Matur nuwun, diparingi cepek Napa maleh gambar kethek
Sing maringi tak donga ke slamet Sing mboten maringi tak donga ke slamet
Sing mendel mawon, tak donga ke slamet ning sithik mawon 23
23 (Bapak ibu, anda jangan iri, jika saya ini dilirik cewek, terima kasih diberi cepek (uang seratus rupiah) apalagi gambar kera (uang seribu). Yang memberi saya doakan selamat, yang tidak memberi saya doakan selamat, yang diam saja, saya doakan selamat tetapi sedikit saja). Lagu ini cukup populer di kalangan para pengamen di bus-bus daerah Jawa Tengah
Kerutan di wajah afkir itu sedikit berkurang, ketika sebuah senyuman mengembang. Ternyata, kau cepat sekali belajar, Kapas.
Kata Jepri, ada satu kesalahan. Aku ini cewek, masak dipleroki cewek, itu namanya jeruk makan jeruk, ujarku, riang. Tetapi, aku belum menemukan kata-kata yang pas. Itu lagu pertama. Ada juga lagu yang kedua. Mau mendengarkan"
Ya. Suaramu bagus. Tentu! aku berteriak girang. Sewaktu menjadi manusia, aku pernah ikut paduan suara di gereja. Banyak lagu yang telah aku hafal. Tetapi, menjual lagu gereja di jalanan, tidak pantas bukan" Aku akan senandungkan lagulagu yang diajarkan Jepri saja saat berdagang nanti. Dengarkan ya& "!
Kali ini, tak cukup sembari mengepakkan sayap, aku juga berputar-putar menari.
Ing setasiun Balapan Kuta Sala sing dadi kenangan Kowe karo aku
Nalika, tekane lungamu 24
24 Di Stasiun Balapan, Kota Solo yang jadi kenangan kau dan aku, ketika engkau pergi (Lagu Didi Kempot)
Sesaat tubuhku berubah kaku. Percakapan itu, entah mengapa mendadak terngiang di telingaku. Dan terus bergaung.
Tapi& aku gelisah, sangat gelisah, Mei! Aku mendapat info, panser-panser akan dikerahkan untuk membendung demonstran. Mungkin akan pecah konflik yang cukup besar dan sejarah akan berubah karena konflik itu.
Kan nggak semua jalan di Jakarta dipenuhi demonstran. Mengapa gelisah
Entah& aku, aku takut terjadi sesuatu denganmu! Percakapan itu terjadi di Stasiun Balapan. Tetapi, siapa yang melakukan percakapan itu" Kapan terjadi" Mengapa aku terasa begitu akrab dengan suara itu.
Ada apa, Kapas" Si Separuh Kayu memecah kebingunganku dengan suaranya yang parau. Kau mendadak seperti terkejut. Apa kau memiliki sebuah kenangan dengan Stasiun Balapan"
Aku menggeleng kuat-kuat. Mencoba mengeliminasi habis suara-suara yang bergaung di telingaku. Kumainkan kecrekku kembali, bernyanyi dengan suara keras.
Pelangi-pelangi, alangkah indahmu, merah kuning hijau& .
Lambat laun, rasa gembira kembali meraja. Dan aku
senang, karena kepedihan di mata tua itu benar-benar sirna. Si Separuh Kayu saja bisa kuhibur. Orang-orang di jalan pasti juga. Bedanya, si Kayu membayar hiburanku dengan senyuman, sementara mereka dengan keping recehan. Dan saatnya unjuk diri telah tiba. The show must go on.
Jepri kecil telah berdiri di depan sangkar kami, mengetuk pintu yang daunnya telah terbuka. Meskipun ditutup, bekas gigitan tikus yang kemaruk, telah membuat sebagian daun pintu yang terbuat dari triplek itu ludes nyaris separuh, sehingga orang luar, tanpa susah payah mengintip pun akan dengan mudah menyaksikan aktivitas para penghuni sangkar. Tak apalah, pikirku. Toh, di mana-mana, yang namanya sangkar burung, pasti tembus pandang, tak ada yang tertutup dinding rapat, agar orang bisa menikmati keindahan bulu-bulunya.
Mbak Cantik, demikian Jepri memanggilku, Aku sudah buatkan satu kecrek untukmu. Kecrek ini jauh lebih bagus. Jepri menggerak-gerakkan bambu sepanjang 20 cm yang dipenuhi oleh belasan tutup botol minuman soda. Dengarkan, suaranya nyaring sekali bukan" Tidak seperti kecrek Mbah Murong yang sudah saatnya pensiun.
Perempuan separuh kayu itu menyeringai. Maksudnya tentu tertawa. Tetapi, luka bakar di sekitar mulutnya membuat tawanya terdengar seram. Demikian juga, wajah
yang ketika tertawa mestinya terlihat jelita, justru tampak seperti topeng salah satu peserta pesta Halloween. Kecrekku ini, mungkin lebih tua dari adikmu, Jep!
Pantas, suaranya ndak bagus! Jepri menghampiri kecrek kecil yang tergeletak di bale-bale, mencoba membunyikannya. Kalau kau mau ngamen sama aku, Mbak Cantik& kau bisa pakai kecrek baru ini!
Bagaimana cara memainkannya" tanyaku, dengan sepasang mata melebar.
Guampaaang! Tinggal digerak-gerakkan gini! Tapi, ritmenya kudu tetap, gini nih caranya! Jepri kembali memperagakan alat musik sederhananya itu seraya menyanyikan sebuah lagu dangdut yang sangat terkenal milik Rhoma Irama.
Begadang jangan begadang Kalau tiada artinya
Begadang boleh saja haaa Kalau ada perlunya
Bagus& bagus! pujiku sambil mengepak-ngepakkan sayap, girang. Suara Jepri kecil, benar-benar merdu. Permainan kecreknya juga menarik. Aku sempat menjejakkan kaki seraya menari-nari. Melihat kegiranganku, Jepri terbahak-bahak.
Kau ini benar-benar lucu, Mbak Cantik& !
Apa" Lucu" aku memoncongkan bibir. Aku hanya sedang menari, karena aku gembira. Aku bukan badut yang suka melucu.
Baiklah! Kalau begitu, mari ikut aku! Aku akan ajari kau bagaimana cara mencari uang. Kita tidak akan mengamen di lampu merah, tetapi naik ke bus-bus. Aku yang akan memainkan kecrek seraya menyanyi, sedang kau menari.
Jangan permainkan si Kapas! sentak si Kayu tiba-tiba. Aku tidak setuju jika Kapas menari di atas bus. Para lelaki akan semakin jalang melihatnya. Aku tak mau dia menjadi obyek godaan.
Tetapi, kalau dia menari, uang yang akan kita dapatkan semakin banyak, kilah Jepri. Kita ini butuh uang. Buat makan, buat sewa gubuk. Apa sih, yang tidak pakai uang" Mandi saja, harus ngeluarin lima ratus perak. Kalian bisa mendapatkan uang tanpa harus menari. Aku juga tak mau menari, ujarku. Karena aku juga pintar menyanyi. Nih, dengar ya&
Aku meraih sebatang sapu, kumajukan ujungnya ke arah mulut, seakan-akan telah menjadi sebuah mikropon. Lalu sebuah lagu milik Ruth Sahanaya, mengalun dari mulutku, Kaulah Segalanya. Lagu ini, kalau tidak salah, adalah kesukaan Zak, kakakku yang sekarang entah berada di mana.
Mungkin hanya tuhan Yang tahu sgalanya Apa yang kurasakan Di saat-saat ini
Ohh& Jepri membelalak. Suaramu bagus sekali, Mbak! Nggak kalah kan, sama dirimu" Aku mencebil. Sekarang, coba kau nyanyi lagu itu. Ntar aku yang suara dua.
Suara dua" Ajari aku nyanyi suara dua.
Ntar ya& sekarang kamu nyanyi dulu, suara satu. Aku suara dua. Yuk, one, two, three & .
Mungkin hanya Tuhan Yang tahu sgalanya Apa yang kuinginkan
Kulihat sekilas, perempuan separuh kayu itu mengelap air mata yang menetes di pipinya.
*** Ternyata, mengumpulkan keping demi keping recehan itu menyenangkan. Caranya cukup sederhana. Saat ada lampu merah, aku dan Jepri meloncat ke bus dari Surabaya yang mengarah ke terminal Tirtonadi. Jepri, sebelum
menyanyi, akan memberi sedikit pengantar. Minta izin kepada sopir serta kondektur, tak lupa mengecilkan suara musik jika awak bus kebetulan tengah memutar kaset atau VCD. Setelah itu, Jepri akan memainkan kecrek, dan aku menyanyi barang satu-dua lagu. Tak perlu sampai selesai. Jarak perempatan lampu merah Panggung, tempat mangkal kami, dengan terminal Tirtonadi, tak terlalu jauh. Jika kebanyakan menyanyi, sebelum semua tuntas dan para penumpang mengucurkan koceknya, kami telah terlebih dahulu sampai di terminal, dan para penumpang pun akan sibuk dengan diri dan barang bawaannya. Kami akan dicueki.
Setelah selesai mendendangkan lagu, Jepri pun akan mengedarkan kantong plastik bekas bungkus permen. Dia akan mengucapkan, Terima kasih, Mas& Mbak, Pak, Bu, jika ada penumpang yang mencemplungkan sekeping recehan ke kantong itu. Jika ada penumpang yang hanya mengangkat tangan, tanda menolak, atau pun mencueki, bahkan pura-pura tidur, Jepri tidak marah.
Kalau sedang di atas roda, kita tidak boleh emosi. Kalau emosi, kita bisa dipukuli penumpang sampai bonyok. Repot, kan" Kalau tidak, para penumpang akan menulis surat pembaca di koran, hari ini saya naik bus anu, ada pengamen bersikap kasar, pak polisi, razia saja para pengamen! Kalau benar kita dirazia, artinya kita akan kelaparan berhari-hari.
Celaka kan" ujar Jepri, panjang lebar. Aku pun hanya bisa mengangguk-angguk.
Yah, begitulah perjalanan hidup, Mbak Cantik& selalu saja akan kita jumpai selilit kehidupan!
Pada setiap jenis kehidupan, akan selalu dijumpai selilit yang membuat kenikmatan hidup sedikit terusik, ucapan seorang lelaki bernama Firdaus, tiba-tiba menciptakan sebuah desir yang teramat kuat. Seberapa jauh peran selilit itu, tergantung bagaimana kita membersihkannya. Jika kita rajin, setiap ada selilit langsung kita bersihkan, maka gigi kita akan senantiasa bersih. Namun, jika selilit itu sengaja kita biarkan, lama-lama akan terintegrasi dengan selilit yang lain, menumpuk, dan menjadi habitat kuman yang sedikit demi sedikit akan menghancurkan email gigi kita.
Kutatap wajah bocah bernama Jepri itu, yang seperti tanpa beban mengucapkan kalimat bermuatan filosofi lumayan berat, setidaknya untuk ukuran bocah seusia dia. Desir yang menyisir hatiku, semakin kuat getarnya, hingga mampu merontokkan bulu-bulu pada sayapku. Meskipun belum utuh, aku menjumpai, sayapku yang mulai trondol, telah bermimikri menjadi sepasang tangan.
Bayangan Firdaus, terpantul di wajah bocah itu. Jujur, aku merindukan kehadiran lelaki itu.
Apakah, kau sering menjumpai selilit-selilit kehidupan" tanyaku, dengan sepasang mata terpicing.
Tak hanya selilit, Mbak Cantik. Lebih dari itu, seringkali suapan makanan yang masuk ke dalam mulut dan harus kukunyah, ternyata hanyalah segenggam pasir dan batu. Begitukah"
Selilit masih mending, karena jika dia berhasil kita lepaskan dari jebakan, jika belum menjadi barang busuk, kita masih bisa merasakan lezatnya. Selilit dari serat daging ayam misalnya& jika dia terperangkap dalam gigi yang bolong, kemudian sejam kemudian berhasil kita lepas, kita masih bisa merasakan enaknya makan daging ayam. Kehidupan itu keras, ya"
Akan tetapi, kalau kita menghadapi dengan hati yang ringan, semua akan menjadi terasa indah. Dan sesuatu yang membuat hidup terasa indah, adalah hadirnya rasa cinta dalam sanubari kita.
Hah" Cinta" Anak sekecil kamu, sudah bisa ngomong cinta" aku memonyongkan paruh. Meskipun sayapku telah berubah menjadi tangan, paruhku belum tersulap menjadi bibir.
Cinta itu tak hanya milik orang dewasa saja, Mbak Cantik. Anak kecil yang sudah berpikiran dewasa seperti saya, juga sangat berhak memilikinya.
Apakah kau pernah jatuh cinta" Wajah Jepri bersemburat merah.
Ya. Saat ini aku sedang jatuh cinta. O, ya" Cinta sama siapa"
Rahasiaa!! tiba-tiba Jepri berlari menjauh sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku pun dia biarkan pulang ke sangkar sendirian. Namun malam harinya, mendadak dia mendatangiku dengan tampang necisnya. Dia mengenakan celana jeans, kemeja biru dan sepatu hitam. Juga kacamata berlensa ungu, entah dia mendapatkan dari mana.
Mbak Cantik, aku mau mengajakmu jalan-jalan. Ini kan malam minggu. Bagaimana kalau kita nonton pentas dangdut di THR Sriwedari" Habis itu, kita makan mi ayam di Purwosari. Mi ayam di Purwosari itu uenaaake puoool! Semua aku yang bayarin, deh. Pokoknya beres!
Wah, menyenangkan sekali. Tetapi, kita akan jalanjalan memakai apa"
Naik bis saja. Murah. Kalau naik taksi mahal. Baiklah. Kalau begitu, aku mandi dulu.
Ini, aku belikan baju baru buat ganti. Sepertinya Mbak Cantik cuma punya satu pakaian, ya"! Jepri menyerahkan bungkusan plastik hitam yang langsung kubuka. Mataku terbelalak. Ada sebuah celana jeans, blouse warna merah ngejreng dan& beberapa pakaian dalam.
Jeans dan blouse-nya beli bekas, tapi itunya& baru lho! Jepri menunjuk ke pakaian dalam berwarna putih itu dengan paras merah. Aku terkikik, mana mau aku memakai pakaian dalam bekas.
Terima kasih, Jep! Kau ini benar-benar baik sekali. Katanya kau sedang jatuh cinta. Cewek mana yang sedang kau taksir" Si Putri, Rara atau Trinil"
Uh& mana mau pacaran sama anak-anak dekil macam mereka. Cewek yang kutaksir itu ya& orangnya cuaaaantik kayak Dewi Kwan Im. Kulitnya putih, matanya bening, hidungnya mancung, kalau tersenyum maniseeee puoooool! Siapa sih, dia"
Rahasia! *** Dan berjalan-jalan bersama Jepri, yang badannya 12 senti lebih rendah dibanding aku, ternyata benar-benar menyenangkan. Untuk pertama kalinya, sejak melarikan diri dari rumah sakit, aku bisa makan kenyang. Dua mangkok mi ayam, tiga gelas es jeruk, setongkol jagung bakar, semangkok wedang ronde dan sepotong sosis lengkap dengan tiga buah cabe rawit berjejalan menghuni lambungku. Semua Jepri yang mentraktir. Tentu saja aku benar-benar merasa berhutang budi. Besok, jika aku sudah tidak kerasan tinggal di sangkar, Jepri pasti akan aku ajak
tinggal di rumahku di dekat rumah sakit yang sebenarnya juga tak jauh dari tempatku tinggal beberapa hari ini. Aku akan memasak banyak makanan dan kuhidangkan khusus untuknya. Dan aku pasti akan membawanya pergi berbelanja ke supermarket yang masih utuh, tak hangus saat kerusuhan Mei kemarin, dan membiarkan dia berbelanja sebanyak mungkin, membeli barang-barang yang dia maui. Tabunganku masih cukup untuk hidup hingga beberapa tahun ke depan. Untuk biaya sekolah hingga lulus spesialis, Papa Ruddy telah mengalokasikan dana secara khusus dan dia masukkan ke rekeningku. Jumlahnya hampir mencapai 1 M. Aku tak tahu, dengan nasibku yang semacam ini, apakah aku masih bisa memanfaatkan uang itu untuk meraih gelar spesialis anak. Tidak lucu bukan, jika seekor burung seperti aku bertitel Sp.A"
Rumah-rumah telah mengunci pintu dan mematikan sebagian besar nyala lampunya ketika aku dan Jepri berjalan menyusuri pinggiran rel. Jepri menggandeng tanganku. Genggamannya erat. Kami saling berdiam diri beberapa lama, sampai akhirnya Jepri membuka mulut. Apa Mbak Cantik sudah punya pacar" Aku menoleh, agak kaget dengan pertanyaannya. Apa" Pacar"
Iya. Pacar. Yang terbayang di pelupuk mataku saat itu adalah& Firdaus Yusuf.
Entah, Jep& aku tidak tahu.
Kalau ada yang mau ngajak Mbak pacaran, mau" Siapa yang mau ngajak aku pacaran"
Jepri tak menjawab. Bukan karena gugup, namun karena pada saat bersamaan, beberapa sesosok lelaki bertubuh besar mendadak menghadang langkah kami. Minggir kowe, Jep! gertak lelaki itu.
Mau apa sampeyan, Kang Mletho" Dudu urusanmu!
Mau nggangguin Mbak Cantik ya"! Jepri tak kalah gertak. Aku dengar, sampeyan mau berbuat macam-macam ya, sama Mbak Cantik" Kata Grontol, sampeyan mau memperkosa Mbak Cantik, ya"!
Eh& siapa bilang memperkosa" Grontol kuwi wae sing budeg! Aku bukan hendak memperkosa, tetapi mengajak gadis ini terbang ke surga. Saiki, kamu pergilah! Mletho meraih selembar 5 ribuan dari kantong jaket levis-nya yang kumal dan menyerahkan ke Jepri. Ini, buat beli rokok. Lumayan, dapat beberapa batang.
Cih! Duit segitu bisa buat apa. Kalau mau menyuruhku pergi, bayar sejuta!
Edan apa" Ini aku tambah 3 ribu. Pergilah sana! Tidak mau! Aku akan melindungi Mbak Cantik. Kalau sampeyan macem-macem, aku akan maju!
Heh, kurang ajar. Kamu mau melawan aku, bosmu sendiri"
Siapa bilang sampeyan ini bosku. Aku merasa tidak punya bos siapapun!
Mulutmu ini harus dibuat jontor!
Sebuah tinju mendarat ke bibir Jepri yang tak menyangka jika Mletho mendadak menyerangnya. Bocah itu menjerit. Namun bukannya menyerah, dia justru meraih sebatang kayu yang tergeletak di samping rel dan menyerang Mletho membabi buta.
Perkelahian pun terjadi. Sayangnya lawan yang dihadapi Jepri terlalu kuat. Dalam waktu singkat, dia pun menjadi bulan-bulanan Mletho. Cemas melihat keadaan Jepri, aku pun mulai mengibarkan sayapku. Aku bergerak mendekat dan menampar-namparkan sayap sekuat tenaga ke tubuh raksasa Mletho. Namun, meskipun dikeroyok oleh dua orang, Mletho masih terlalu perkasa.
Pada saat itulah, sebuah kereta api mendekat dengan kecepatan lumayan tinggi.
Jep & awaaas! aku menarik lenganku kuat-kuat. Tubuh kami pun bergulingan menjauhi rel. Sebuah benda keras, mungkin pagar pembatas rel dengan jalan raya, membentur kepalaku, menciptakan rasa ngilu yang luar biasa. Pandanganku berkunang-kunang dan menjadi gelap bersamaan dengan benda panjang berkecepatan tinggi yang menyambar sosok tinggi besar milik Mletho dan meninggalkan teriakan histeris serta darah berhamburan.
Tefaatra Wanita Plantungan, 1973
Keheningan malam seketika robek oleh teriakan
perempuan yang menghuni salah satu ruang di Blok A. Dia melihat dengan jelas lidah api yang menjilat-jilat ke sana kemari, dan pada setiap jilatan terciptalah kehancuran yang meluluh-lantakkan segalanya. Aula, bangsal santri, masjid, lumbung padi, hingga kandang sapi & dalam sekejap berubah menjadi arang.
Lalu & sesosok tubuh kecil yang hangus.
Berengsek! Mengapa kalian membunuh anakku"! Seperti ada yang tengah meledak pada dadanya. Kalap dia meraih tubuh itu, memeluknya, mengguncang-guncangnya. Bangun Naaak, banguun. Jangan mati, jangan mati!
Enambelas Tetapi tubuh itu tetap kaku. Tak bergerak. Sang bunda menjerit, sekuat tenaga.
Dan jeritan itu melesat menembus atmosfer mimpi dan memasuki ruang di dunia nyata.
Ayu& bangun, Ayu& ! Seorang perempuan mengguncang-guncang tubuh sosok yang tengah menangis terisak-isak dengan mata terpejam itu. Bangun! Kau bermimpi buruk lagi"
Sekar Ayu membuka mata, dan merasakan sebuah kehampaan yang perih. Wajahnya masih kuyup oleh perasan air dari pepupuk matanya. Dadanya pun sakit, turun naik menahan laju sedu sedan. Jadi & jadi aku hanya mimpi" bisiknya. Tetapi, mimpi itu terlihat nyata. Dan memang mimpi itu nyata adanya.
Kecamuk perih itu bak seribu mata panah yang terlenting dari seribu busur dengan satu titik sasaran yang sama. Ayu menggigit bibir kuat-kuat, menahan gigil dan luka dari hati yang tersayat-sayat. Sempoyongan dia bangkit dari tempat tidur. Berdiri dengan lunglai. Mimpi itu seperti telah menyedot sebagian besar kekuatan yang dia miliki, dan kini dia hanya seonggok daging tanpa belulang.
Mau ke mana" Ke kamar mandi. Dia ingin menyiram tubuhnya yang
bermandikan keringat, meski hawa sebenarnya tengah sangat dingin.
Hati-hati, kemarin ada yang tersengat kalajengking lho. Apalagi gelap seperti ini, mungkin malah ada ular atau binatang berbahaya lainnya. Juga& kadang-kadang ada potongan tubuh manusia yang terinjak tanpa sengaja.
Sekar Ayu ingat keributan yang terjadi beberapa hari yang lalu, saat beberapa perempuan yang menghuni bloknya mendadak menemukan sepotong jari tangan manusia yang putus. Sebelum itu, tapol yang lain juga dikejutkan dengan jempol kaki yang membusuk dikerumuni belatung. Bukan suatu hal yang mengherankan sebenarnya, karena kamp tempat penahanan para tapol itu memang bekas tempat pengobatan penderita lepra. Tetapi bagi sebagian besar perempuan, kejadian itu terasa sungguh mengerikan. Bagaimana jika kuman penyebab penyakit itu masih bertebaran di lokasi tersebut" Penyakit lepra, adalah penyakit yang paling ditakuti saat itu. Sering disebut-sebut sebagai penyakit kutukan. Apakah pemerintah orde baru memang sedang mengutuk para tapol wanita itu dengan menempatkan mereka pada kamp terkutuk ini"
Boleh kubawa lampu teplok ini" tanya Sekar Ayu. Ngatinah, perempuan itu mengangguk. Tapi jangan
lama-lama. Banyak di antara kita yang tak tahan gelap. Nanti mereka terbangun dan ribut.
Ayu menatap barisan perempuan yang tampak tenang dengan tidurnya masing-masing. Ternyata suara jeritannya sama sekali tak mengusik tidur mereka. Mungkin mereka kecapekan setelah seharian bekerja di kebun, menanam sayur mayur kemarin. Dia pun mengangguk. Sebentar saja!
Hawa dingin terasa menusuk tulang saat Ayu membuka pintu. Kamp Plantungan terletak di lembah, sementara permukiman penduduk berada di bagian atasnya. Listrik belum menjamah lokasi, sehingga penerangan masih mengandalkan lampu minyak. Suasana gelap gulita, namun di ufuk barat, sudah mulai terlihat garis merah fajar. Sementara di bagian lain, titik-titik lampu minyak berkerlap-kerlip, seperti terlihat kelelahan saat berusaha membunuh gulita dengan cahayanya yang lemah. Namun, ada titik lampu yang terlihat cukup perkasa mencakar malam, yakni yang berasal dari masjid samping kamp. Masjid yang ada dalam sebuah pesantren.
Pesantren! Kembali sebuah goresan nelangsa seolah mengoyak jantungnya. Sekar Ayu berhenti sejenak, dan merasakan tetes-tetes air mata mengucur deras membasahi pipinya. Rasa sakit menekan dadanya. Bayangan bocah yang
meninggal dengan tubuh hangus itu kembali menghancurkan ketenangan yang sudah mulai tertata.
Suara azan subuh yang berkumandang merajam ketegarannya. Entah mengapa, suara azan itu mirip sekali dengan suara Ahmad Al-Furqon. Baik warna suara maupun cengkoknya. Ayu menggelesot di atas tanah, bersandar pada dinding, dan kembali menangis terisak-isak. Dia letakkan lampu teplok di atas tanah, dan terus menangis menggerunggerung. Pada saat itulah, mendadak sebuah tangan kekar mencengkeram lehernya, memeluk memeluk tubuhnya dari belakang, lalu mendorongnya ke balik gerumbul semak yang terletak beberapa meter dari blok.
Ayu tak sempat berteriak karena salah satu tangan lelaki itu dengan kuat membungkam mulutnya. Namun begitu, dia masih menyisakan sebuah pekikan tertahan. Dan saat dia didorong dengan keras, kakinya sempat menendang kaleng tempat sampah sehingga menimbulkan suara berkelontang. Rupanya keributan itulah yang mengundang perhatian seorang petugas bintal yang sedang berjalan menuju masjid komplek tahanan.
Petugas itu berdiri sejenak, mencari sumber suara, dan menggeram ketika melihat gerak-gerik mencurigakan dari gerumbul semak. Sepertinya, gerak-gerik itu sudah sangat dia hafal. Dengan geram dia pun bergerak ke arah gerumbul semak, menyibak dedaunan dan menarik kerah baju sosok
yang hampir saja merusak kehormatan Ayu.
Kamu lagi, kamu lagi! Berengsek kau! Perilakumu sama bedebahnya dengan PKI! teriak si petugas bintal. Sesaat Ayu mengenal lelaki itu sebagai tentara yang sering bertugas menjadi imam di masjid komplek. Namanya Sersan Mayor Sujarwanto. Dan lelaki yang hampir saja memperkosanya tadi, Kopral Darmo. Beberapa tapol wanita pernah dengan terisak bercerita tentang bagaimana bejatnya moral Kopral Darmo yang senang sekali melecehkan dan bahkan memperkosa para tapol.
Dia Gerwani! ujar Kopral Darmo, sembari melangkah mundur. Meski tak terlihat jelas garis wajahnya, tampak betul bahwa dia sangat kesal melihat kemunculan komandannya itu. Gerwani layak mendapatkan penghinaan! Mereka pengkhianat negara!
Kita ditugaskan disini untuk membina mereka, bukan untuk menyalurkan hawa nafsu terkutuk!
Kopral Darmo mendengus pelan. Saya hanya ingin membalas dendam pada Gerwani-gerwani keparat ini. Ayahku meninggal dibantai PKI di Madiun tahun 1948 dahulu.
Pergi kau dari sini! Tak usah berdalih atas perilaku terkutukmu. Seorang tentara sejati tak akan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa para tahanan. Ingat!
Begitu aku tahu sekali lagi kau melakukan perbuatan terkutuk, aku tak segan-segan menghajarmu atau melaporkanmu ke komandan agar kau dipecat!
Seperti kerbau yang barusan dicocok hidungnya, Kopral Darmo berbalik dan berlari secepatnya.
Sekar Ayu menghela napas lega. Meski pemerkosaan, pelecehan, dan penghinaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena teman-teman sesama tahanan sering menceritakan dengan tersedu sedan, tetap saja rasa ngeri itu seperti cakar penuh kuku tajam yang mencengkeramnya. Terima kasih& ! bisik Ayu.
Kau, kenapa malam-malam berkeliaran di luar" bentak Sersan Mayor Sujarwanto.
S-saya ingin ke kamar mandi, dan salat di masjid. Salat" Kau beragama Islam" Suara lelaki itu menurun. Ya.
Tetapi kenapa ikut-ikutan jadi Gerwani" Bukankah Gerwani itu PKI" PKI itu tak percaya pada tuhan" Ateis"!
Saya& saya muslim. bisik Sekar Ayu. Dan& saya percaya kepada Tuhan, meski saya tak tahu, apakah Tuhan mau mengampuni orang seperti aku. Ingin dia muntahkan kisah tentang kakeknya yang seorang ulama karismatik. Tentang mantan suaminya yang seorang guru mengaji.
Tentang masa lalunya. Akan tetapi, mendadak dia merasakan seember penuh air comberan seperti barusan diguyurkan ke tubuhnya. Dia bau busuk. Tak pantas mengaku cucu seorang ulama terpandang. Apalagi, bukankah dia turut andil dalam sebuah peristiwa kelabu yang justru menjadi akhir dari kehidupan kakeknya sendiri"
Air mata kembali menetes di pipi Sekar Ayu. Saya& saya ingin tobat. bisik Sekar. Namun saya tak tahu, apa yang harus saya lakukan& saya terlalu kotor. Bayangan sosok bocah hangus itu berkelindan di depan matanya.
Sersan Mayor Sujarwanto tampak diam berpikir sejenak. Baiklah! Tentu saya belum percaya seratus persen bahwa kamu ini benar-benar serius ingin bertobat. Tetapi, ayo, ikut salat di masjid! Bangunkan pula teman-temanmu untuk salat bersama. Nanti, setelah salat, ada pengajian, dan dilanjutkan dengan pelajaran membaca Al-Quran. Kau bisa membaca Al-Qur an"
Seraut wajah teduh milik Ahmad Al-Faruk melintas di wajah Ayu. Lelaki yang pernah menjadi suaminya itu adalah seorang penghapal Al-Quran. Tetapi, dia sendiri hanya mampu membaca sepatah dua patah kalimat dalam kitab suci. Pelajaran mengajinya baru mulai memasuki pengenalan tanwin tatkala dia memutuskan untuk
melarikan diri dari pondok pesantren yang dia rasa sangat membelenggu kebebasannya saat itu.
Tetesan air wudhu yang kemudian membasahi tangan, muka, dahi, telinga dan kakinya, terasa begitu menyegarkan. Seperti ada setetes embun yang mulai membasahi sahara yang kerontang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sekar Ayu salat dengan sepenuh jiwa dan raganya.
Usai salat, seperti ada ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Maka dia pun dengan ringan melakukan aktivitas rutin yang dilakukan para tahanan. Mendengarkan ceramah, melakukan apel pagi, senam pagi, mandi, dan bekerja di kebun.
Baiklah& mungkin tahanan merupakan salah satu cara bagi dia untuk banyak merenung dan berkontemplasi tentang jalan hidup yang telah dia pilih, baik secara sengaja maupun tak sengaja.
*** Suasana sore yang hening, seperti kompak menggulung segala bentuk hasrat saat hawa dingin dan kabut tebal turun perlahan menyelimuti persada. Sekar Ayu masih termangu menatap aliran Kali Lampir dari balik jendela Gedung Blok A yang sama tuanya dengan gedung-gedung lainnya. Tatapannya menyapu sungai yang mengular, dengan air jernih dan batu-batu kali yang tersusun secara acak, namun
indah. Sayangnya, pagar kawat berduri yang berada tepi aliran sungai itu tak hanya merusak keindahan sungai, tetapi juga selalu menyadarkan akan posisinya saat ini.
Tahanan. Ya, dia seorang tahanan kini. Tahanan politik. Meski dia tak tahu pasti, mengapa mendadak dia menjadi sosok sepenting ini. Ya, bukankah hanya orang penting yang harus dikurung dalam sebuah kamp bersama ratusan tahanan lain, karena jika tak dikurung, dia akan membahayakan yang lain"
Panji Sakti 7 Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno Lembah Kodok Perak 2

Cari Blog Ini