Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra Bagian 4
Orang penting" Hampir saja Sekar Ayu terbahak disebabkan tersedak oleh pemikiran itu. Jadi, hal membahayakan apa sebenarnya yang telah dia lakukan" Mengapa mendadak dia digelandang dari rumah Prakoso di Jebres, lalu dipindah ke kamp khusus wanita ini" Yang sebagian besar dihuni eks Gerwani"
Konon perubahan besar telah terjadi di negeri ini. Bung Karno tak lagi menjadi presiden. Jakarta bergolak setelah peristiwa G 30 S PKI yang menempatkan mereka menjadi pesakitan. Jenderal Suharto, kini memegang tampuk kekuasaan setelah menghabisi seluruh antek-antek PKI. Semua ormas underbouw PKI pun dihabisi. Termasuk Gerwani. Hal tersebut terjadi, konon karena PKI telah berkhianat. PKI melakukan gestapu dengan menculik para jenderal dan menganiaya di Lubang Buaya.
Tetapi, siapa jenderal-jenderal itu" Mengapa mereka dibunuh" Dan apa kaitannya dengan dia" Dia tak pernah tahu. Apakah pembunuhan para jenderal itu kemudian bisa menjadi alasan legal untuk membunuhi ribuan manusia, dan menyeret ratusan ribu lainnya ke penjara-penjara tanpa proses pengadilan"
Di sini, di kaki Gunung Prahu, di bekas rumah sakit khusus penderita lepra, Sekar Ayu masih kesulitan mengurai benang kusut. Apakah dia telah berbuat kesalahan" Ya, itu pasti. Dia meninggalkan anak dan suaminya, lalu diajak Prakoso untuk membuat sedikit pelajaran kepada orang-orang di pesantren kakeknya yang sebelumnya bentrok dengan para petani yang dibina oleh mereka. Prakoso dan PKI telah menanamkan keyakinan tentang setan desa yang menjadi musuh petani. Barisan Tani di bawah binaan Prakoso pun merebut tanah milik pesantren. Akan tetapi para santri yang mahir bela diri itu berhasil menghajar para petani. Dendam bergumpalgumpal, membersitkan tekad kuat untuk memberi pelajaran kepada para santri itu. Akan tetapi, jika pelajaran itu ternyata bermakna kehancuran, dan bahkan dia juga harus kehilangan nyawa anaknya, kepada siapa dia menegaskan bahwa sejak saat itu dia telah mulai linglung dan tak lagi memikirkan apapun kecuali dosa yang terus membayang" Pasca kebakaran besar itu, dia bahkan menolak terlibat
dalam gerakan-gerakan ofensif yang dilakukan PKI dan segenap ormasnya. Seringkali dia bahkan pergi diam-diam menuju Dusun Murong, dan mengintip bangunan yang telah berubah menjadi onggokan arang itu dengan pilu. Dia mendatangi acara-acara Gerwani yang tak ada hubungannya dengan doktrin-doktrin ke-PKI-an. Itu pun dengan separuh hati. Jerat cinta Prakoso terlalu kuat untuk membuatnya benar-benar memiliki keberanian untuk berlari darinya.
Jadi, selama ini dia sebenarnya hanya seorang perempuan yang kebetulan menjadi teman hidup Prakoso. Teman hidup tanpa nikah. Dia tahu, itu sangat terkutuk dalam ajaran agama. Tetapi, bukan berarti dia terlibat dalam upaya makar apalagi coup d etat.
Namun, namanya telah tercatat sebagai orang yang terlibat dalam usaha-usaha penggulingan kekuasaan. Maka, siapa yang bisa membela ketika dia termasuk dalam ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dikejar-kejar dan bahkan sebagian dibantai dengan penuh murka" Para santri, yang merasa telah menjadi sasaran tembak selama ini, membalas dendam dan mengamuk sehebat-hebatnya. Darah membanjir di bumi pertiwi!
Prakoso sendiri, dia tertembak saat berusaha melarikan diri dari kejaran tentara. Jasadnya dibuang entah di mana. Dia, dengan jerit tangis memelas, berusaha mencari simpati tentara bersama gabungan rakyat yang anti
komunis, tetapi, tetap saja dia digiring ke kamp ini bersama ratusan tahanan wanita yang lain.
Suara teriakan kesakitan terdengar dari arah Gedung Blok C, blok yang disebut sebagai Kandang Babi atau blok isolasi. Blok itu terdiri dari dua gedung sempit yang dijejali puluhan tahanan kelas berat. Sekar sempat ternganga tatkala mengetahui bahwa banyak tokoh termahsyur yang ditahan di sana. Ada para dosen, sarjana, seniman, bahkan juga dokter. Mereka adalah dedengkot Gerwani yang selama ini sering dia dengar namanya.
Jeritan itu mengiris hati, menimbulkan semacam teror yang menggelantang hatinya. Mereka, para perempuan bermental cadas, seperti tengah dikumpulkan dan dibiarkan mati perlahan-lahan dalam ruangan yang sempit. Apakah betul mereka adalah orang-orang yang berdosa" Atau mereka hanya sekadar tumbal perubahan"
Entahlah& meski kuliah di sosial-politik, berteman dengan Prakoso, dia sebenarnya tak mengerti apa-apa tentang politik. Akan tetapi, seandainya boleh memilih, tentu dia akan mengulang peristiwa yang telah lampau. Dia akan tetap berada di pesantren, menjadi istri Ahmad Al-Faruk yang saleh, menjadi ibu yang baik untuk Khairul Annam. Teringat sang bocah, mata Sekar Ayu kembali gerimis.
Jakarta, 1977 Suara cempreng mesin 2 tak bajaj berwarna oranye
itu berkompetisi dengan teriakan keras penumpangnya. Berhenti, Bang!
Somad, si sopir bajaj yang betawi asli melirik wajah penumpangnya itu, dan untuk kesekian kalinya dia menelan ludah. Gile& meski penampilan sebagaimana ibu-ibu pada umumnya, yakni berkebaya kuning, berkain batik, serta selendang kuning yang menutupi sebagian rambut tersanggul rapinya, wajah sang penumpang itu benar-benar tak kalah menawan dibanding perawan usia 17 tahun.
Tujuhbelas Mpok, emang mau ke Monas ye"
Iya, Monas. Ini sudah sampai Monas, kan" Makanya saya minta berhenti. Berapa bayaran bajajnya"
Mpok, bukannya ngelarang, tetapi di Monas sedang ada kampanye.
Memang kenapa kalau ada kampanye"
Takutnya rusuh, nanti Mpok jadi korban. Mending sama aye saja yok, jalan-jalan keliling Jakarte. Kalau Mpok mau, semua biaya naik bajaj-nya gratis deh. Plus bonus bakso sama es jeruk, aye yang bayarin!
Enggak deh& orang saya ke Monas pengin lihat kampanye. Pengin lihat yang pada pidato. Dengar-dengar partai yang sedang kampanye ini menjanjikan perubahan ya"
Bilangnye sih begitu. Nggak tahu deh, nantinye. Rakyat kecil kayak kita, nggak usah bicara politik. Nurut aje sama penguasa. Atau gini aje, Mpok! Mpok kan perempuan. Bahaya kalau pergi nonton kampanye sendirian. Gimane kalau aye temenin" Nanti kalau ada apa-apa, bisa langsung kabur sama bajaj! Wuuusss!
Perempuan separuh baya berpakaian merah itu tersenyum sinis. Para lelaki, di mana-mana sama saja. Sangat senang bermain-main di areal terlarang. Sopir bajaj
ini, barangkali sedang ditunggu oleh anak istrinya. Dinanti kehadirannya dengan sepenuh kerinduan.
Alaaah, siapa sih yang mau gangguin saya. Wong saya ini sudah tua, Bang. Sudah hampir 40 tahun, ujar si perempuan.
Eeeh& jangan salah! Meski usia sudah 40, tampang Mpok ini kayak artis remaja saja. Bener, aye kagak boong! Boleh kenalan" Name aye Somad. Asli Jakarte. Kampung aye di Kramat Sentiong. Name Mpok siape"
Retno Kusumawardani. Tentu saja dia berbohong. Nama aslinya adalah Sekar Ayu Kusumastuti, atau biasa dipanggil dengan nama. Akan tetapi, nama yang tertera di dalam KTP-nya memang Retno Kusumawardani.
Waaah, bagus amat. Pasti Mpok ini orang Jawa ya" Ningrat ya"
Sudah tahu, nanya" Ayu melempar senyum mautnya. Senyum yang senantiasa mampu membuat jantung lelaki manapun berdetak lebih cepat. Telah banyak kaum Adam yang bertekuk lutut karena senyumnya itu. Mulai dari Prakoso Wardhana, Purnomo& hingga Sersan Mayor Sujarwanto.
Ya, Sersan Mayor Sujarwanto. Seorang tentara yang disiplin namun sedikit lugu itulah yang telah memainkan peranan penting dalam proses kebebasannya. Memori tentang lelaki itu mendadak berkumpul, menggumpal, dan
pelan-pelan ingatannya melayang pada peristiwa beberapa tahun silam.
*** Sebenarnya, perwira berkumis dan cambang lebat itu bukan tipe lelaki yang senang membelot. Dia juga bukan lelaki mata keranjang. Dia bahkan terkenal sangat dingin, tegas dan penuh disiplin. Sebelum mengenal diri Sekar Ayu, kesetiaannya kepada korps yang menaungi tak perlu diragukan. Dia bergabung dalam kesatuannya saat revolusi fisik berkecamuk, saat pembentukan TKR saat itu dia masih remaja dengan pangkat yang sangat tidak bergengsi, kopral. Konon karena pendidikannya hanya sampai sekolah ongko loro, meski sebenarnya dia juga belajar belasan tahun di pesantren-pesantren. Namun dia tak pernah merasa rendah diri dengan pangkatnya itu. Setiap tugas yang diberikan komandan senantiasa dia jalankan dengan sepenuh rasa tanggung jawab serta kebanggaan sebagai prajurit sejati. Selalu ada perasaan megah saat mengenakan seragam lengkap dengan tanda pangkatnya. Bahkan ketika dia bermaksud melamar anak seorang juragan batik, dengan sepenuh rasa percaya diri, dia mendatangi sang juragan dengan seragamnya itu. Dan meskipun sang juragan justru memicingkan mata melihat tanda pangkat yang melekat di lengannya, rasa percaya diri tetap melekat begitu kuat.
Kopral" Jadi kau hanya kopral"
Ya. Saya adalah Kopral Satu Sujarwanto yang telah menembak mati 10 tentara Belanda! jawabnya, bangga.
Saya memang menginginkan anak saya punya suami tentara. Tetapi, paling rendah, tentara yang berpangkat letnan.
Meski lamarannya ditolak mentah-mentah, Sujarwanto tidak lantas terbanting dalam kehancuran perasaan. Dia tetap bangga dengan dirinya dan mengimplementasikan kebanggaannya itu dengan bekerja sebaik mungkin. Dia tak pernah mengeluh, meskipun hasil pekerjaannya itu sering diklaim oleh atasannya sebagai prestasi sang atasan. Sebagai contoh, dia pernah menembak mati seorang gembong pemberontak di hutan lebat Sumatera. Tanpa dinyana, sang atasan membuat pengakuan bahwa penembak jitu itu adalah dirinya sendiri. Pengakuan itu membuahkan hasil yang lumayan manis, yakni pangkat sang atasan dinaikkan dan namanya tercatat dalam sejarah sebagai tokoh peredam pemberontakan tersebut.
Prajurit sejati adalah yang senantiasa mengabdi tanpa pamrih, Jar! ujar sang atasan, tanpa rasa malu. Meskipun kau tidak mendapat kenaikan pangkat, kau telah benarbenar menjalankan kewajibanmu dengan baik. Ibu pertiwi bangga terhadapmu.
Uniknya, ucapan sang atasan itu dengan seketika mampu menghilangkan rasa kecewa yang sempat mampir dalam benaknya. Dia bahkan lantas memuji sang atasan yang dia anggap sebagai perwira jempolan.
Meskipun lesatan pangkat Sujarwanto tidak sepesat teman-temannya yang satu angkatan, bukan berarti dia terpaku sebagai kopral macet. Meskipun lambat, akhirnya dia pun bisa menikmati empuknya kursi atasan. Pangkatnya naik setingkat demi setingkat sampai pada sersan setelah 27 tahun mengabdi dengan berlimpah dedikasi.
Lima hari setelah dilantik menjadi Sersan Mayor, dia langsung ditempatkan di Kamp Plantungan, bagian Bintal Bimbingan Mental. Mungkin karena dia memang berasal dari kalangan santri, bacaan Al-Qur annya bagus, dia terpilih menjadi petugas yang menangani tahanan yang beragama Islam, dan bahkan menjadi iman di bangsal yang digunakan sebagai masjid.
Dedikasi kepada korps serta sumpah yang terluncur dari hati nuraninya lantak oleh senyum itu. Senyum seorang narapidana politik yang berparas jelita, Sekar Ayu Kusumastuti.
Usai peristiwa di subuh itu, Sersan Mayor Sujarwanto yang setelah menduda akibat istrinya meninggal tanpa meninggalkan seorang keturunan pun, mengaku selalu teringat kepada sosok Sekar Ayu. Dan entah mengapa, selalu
saja dia mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan sosok itu. Dia berusaha agar Sekar Ayu luput dari keisengan sebagian oknum tentara yang suka melecehkan para tahanan wanita. Dan berhadapan dengan Sujarwanto, meski hanya berpangkat Sersan Mayor, siapa yang berani berurusan" Dia hanya dua tingkat di bawah komandan besar yang mengepalai seluruh kamp.
Kalau kau ingin segera bebas dari tempat ini, kau harus menuruti apa kata-kataku, ujar Sersan Mayor Sujarwanto. Kau harus rajin ke masjid dan terlihat sungguh-sungguh ingin berubah.
Mengapa hanya terlihat" Aku memang benar-benar ingin bertobat.
Itu bagus. Dan percayalah, kalau kau memang serius, aku akan terus berusaha melindungimu!
Perlindungan itu memang terlihat berlebihan. Seringkali, di tengah para tahanan yang kelaparan dengan jatah ransum yang kurang, diam-diam Sujarwanto memberikan porsi lebih kepada Sekar Ayu. Kerap pula Sujarwanto memanggil Sekar Ayu ke kantor untuk berbincang-bincang di sana hingga berjam-jam. Awalnya, sebagai petugas Bintal, Sujarwantolah yang banyak menceramahi Ayu. Akan tetapi, lama-lama justru Sujarwanto yang dengan senang hati mencurahkan isi hati dan menceritakan latar belakangnya tanpa diminta.
Kisah hidup Anda membuat saya benar-benar bersimpati kepada Anda, ujar Ayu sesaat setelah Sujarwanto menceritakan panjang lebar seluruh perjalanan hidupnya, terutama setelah bergabung di dalam korpsnya. Saat itu mereka tengah menghabiskan sore yang indah di tepi sungai seraya memandang indahnya Gunung Perahu yang terlihat dari jendela. Belakang ruang kantor telah ditata sedemikian rupa oleh Sujarwanto, sehingga meskipun mereka sering berada di tempat itu berdua, tak ada seorang tapol atau petugas lain yang bisa melihat. Meski hanya seorang sersan mayor, Sujarwanto memang terlihat sangat berkuasa. Akan tetapi, lambat laun, para tentara pun mengetahui kedekatan mereka, dan mereka mulai menghormati Sekar Ayu. Sementara, di kalangan para tapol, tersiar gosip bahwa Ayu adalah kekasih Sersan Mayor Sujarwanto. Beberapa Gerwani Senior pernah meneror Ayu dan memintanya memutuskan hubungan secepatnya dengan Sersan Mayor itu. Akan tetapi, Ayu memilih bergeming.
Simpati" Ya. Di mata saya, Anda benar-benar seorang prajurit sejati. Namun kesejatian Anda telah dimanfaatkan para begundal itu untuk mencari enaknya sendiri. Begundal" Siapa yang kau katakan sebagai begundal itu" Siapa lagi kalau bukan atasan-atasan Anda yang
terhormat itu" Menurut saya, Anda telah dimanfaatkan oleh mereka. Tak hanya dimanfaatkan, lebih dari itu, Anda telah dibodohi.
Jadi kesetiaan dan kepatuhan saya kepada mereka kau nilai sebagai tindakan bodoh"
Maaf, jangan salah paham. Tentu saja jika atasan Anda pun menunjukan keteladanan dan sikap kepemimpinan yang baik, kesetiaan dan kepatuhan itu merupakan keharusan.
Anda anggap para atasan saya tidak bisa memberikan keteladanan dan kepimpinan yang baik"
Justru yang bisa menilai dengan lebih adil adalah Anda sendiri. Cobalah Anda merenung dan bersikap jujur terhadap diri sendiri, apakah para atasan Anda itu seorang dewa yang tak pernah salah, atau justru iblis bertopeng malaikat yang siap merancah apapun, dengan cara halal atau haram, demi kemuliaan yang hendak mereka peroleh"
Sersan Mayor Sujarwanto terlihat gelisah usai mendengar uraian Ayu. Ucapan yang terlontar dari mulut perempuan itu benar-benar memiliki daya magic yang membuat dia terpaksa memutar memori, meraba byte demi byte data yang tersimpan. Hasilnya tercermin dari desahan berat yang keluar dari mulutnya.
Tampaknya Anda benar!! Selama ini, saya memang
terlalu bodoh. Saya mengabdi dengan setulus hati, siap memberikan seluruh jiwa raga saya demi ibu pertiwi, akan tetapi, apa balasan yang saya terima" Karir saya termasuk macet. Sementara orang-orang di sekitar saya, yang saya tahu sangat senang menjilat dan sering tak serius dalam mendarmabaktikan jiwa raganya, justru dengan mudah berhasil mendapatkan pangkat yang baik. Ada seorang teman, yang sama-sama beranjak dari kopral, sekarang sudah menjadi kapten. Padahal, saat revolusi fisik, hampir saja saya menembaknya hingga mati saat saya memergoki dia menjadi mata-mata Belanda.
Oh, begitukah" Akan tetapi, dia memohon-mohon kepada saya agar saya tidak membocorkan rahasia itu kepada teman-teman. Dia berjanji akan meninggalkan aktivitasnya sebagai cecunguk Belanda dan kembali setia kepada merah putih. Apakah dia benar-benar menepati janjinya" Entahlah. Beberapa bulan setelah peristiwa itu, dia dipindah ke kesatuan lain. Usai KMB di Den Hag, dengardengar dia dipindah ke Kalimantan. Baru dua tahun yang lalu saya bertemu dia, dan pangkatnya sudah sersan, sedangkan saya masih saja kopral.
Anda kecewa" Saat itu tidak. Sekarang" Sujarwanto termangu. Entah. Sebentar lagi saya sudah harus pensiun, dan saya merasa belum mendapatkan penghargaan apapun.
Kalau Anda tak bisa mendapatkan penghargaan yang memadai dari negara, maukah paling tidak anda mendapatkan penghargaan dari seorang perempuan seperti saya" Perempuan yang diam-diam mengagumi Anda. Anda seorang pria yang gagah. Dan saya tahu, Anda tak memiliki istri. Mungkin& mungkin saya akan sangat bersedia jika Anda meminang saya menjadi istri Anda. Sekar Ayu tertunduk, sebenarnya hanya sebuah kepurapuraan belaka. Dia memang suka kepada sersan mayor itu dan bahkan pernah berhutang budi padanya, tetapi untuk sebuah kekaguman& tampaknya tidak. Hanya ada 2 orang lelaki yang berhasil membuatnya kagum: Yasashi Kotaro, yang kini tinggal menyisakan luka di hati, dan Prakoso, yang sejak peristiwa penyerbuan di Pesantren Murong malam itu, juga telah tereliminasi dalam hidupnya.
Lelaki itu tergagap. Tidak mungkin! Kau seorang tapol. Kau Gerwani, saya tentara. Tak mungkin!
Tetapi suara itu terdengar dilepaskan dengan segenap keraguan. Maka dengan cepat Sekar menyerangnya. Biarlah disebut perempuan genit dan penggoda. Bukankah dia memang tak lebih dari itu selama ini" Setelah aku bebas,
saya bukan lagi seorang tapol. Jadi& .
Bantulah aku, Mas& aku ditahan di sini tanpa pengadilan. Pasti aku juga bisa dibebaskan tanpa melihatkan pengadilan.
Perubahan kata saya menjadi aku , dan sebutan Mas , membuat Sersan Mayor Sujarwanto kian gugup. A-Apa yang bisa aku lakukan"
Kau bisa melakukan apa yang kau mau, Mas ... menjadi mata-mata Belanda tak membuat seorang tentara dipecat, bahkan pangkatnya sekarang lebih tinggi darimu. Mengakui jasa orang lain sebagai jasanya, juga bukan sesuatu yang tabu dilakukan atasanmu. Mengapa kau tak mau sedikit melakukan hal yang sama, membebaskan perempuan yang kau cintai"
Ss-siapa yang mencintaimu"
Jangan membohongi dirimu sendiri! Sekar Ayu bangkit, mendekat, meraih jemari tangan Sersan Mayor Sujarwanto.
Lelaki itu dengan cepat menarik tangannya, lalu dengan gugup beranjak pergi. Tetapi, bermalam-malam dia tak bisa memejamkan mata. Lalu, di hari ketujuh pasca perbincangan itu, di malam pekat mendadak Sujarwanto mengutus anak buahnya untuk memanggil Sekar Ayu.
Anda dipanggil Sersan Mayor Sujarwanto. Sekar Ayu yang baru terbangun dari tidur mencoba menetralisir rasa kantuknya. Dia berjalan sempoyongan, menembus malam yang disapu gerimis. Rasa heran menyapu perasaannya, karena dia ternyata tidak diarahkan ke bangunan kantor, namun justru beranjak pintu belakang kamp, dan menyusuri jalan setapak yang membelah tegalan dan ladang. Beberapa jam mereka berjalan, mereka sampai di tepi jalan raya. Sebuah jeep menunggu mereka. Sersan Mayor Sujarwanto yang mengemudikannya. Mereka meluncur ke kota Kendal, dan menjelang subuh sampai di kota Semarang.
Aku telah membeli tiket naik kereta ke Jakarta. Maaf, hanya kelas ekonomi. Bukan karena saya tak mampu membeli yang lebih baik. Namun di kelas ekonomilah kau bisa dengan aman menumpang kereta. Ada seorang petugas di kereta yang akan mengawasi dan melindungimu. Namanya Parto. Ikuti setiap perintah dan petunjuknya. Nanti kau akan sampai di Stasiun Senen malam hari, sudah ada yang akan menjemputmu.
Aku tahu, apa yang harus aku lakukan untuk membalas budi baikmu, Mas& Ayu menatap Sujarwanto dengan pesona gumintangnya.
Ada satu alamat yang akan kau datangi di Jakarta. Tepatnya di Pasar Minggu. Saya memiliki satu rumah
sederhana di sana. Saya telah menyuruh salah seorang anak buah yang sangat setia kepadaku, namanya Ramlan, sekarang sudah pensiun dan menjadi satpam di sebuah kantor, untuk mengurus segala keperluanmu, termasuk menyamarkan identitasmu. Dia telah membuat sebuah KTP untukmu. Mulai saat ini, namamu bukanlah Sekar Ayu Kusumastuti, akan tetapi Retno Kusumawardani. Retno Kusumawardani" Bagus sekali nama itu& Jagalah rumah itu, Ayu& suatu saat, saya pasti akan mendatangimu di sana. Usia saya sudah 45 tahun, 3 tahun lagi pensiun. Jika sebelum mengenalmu saya tak tahu hendak pergi ke mana saat telah purna tugas di korps ini, sekarang saya benar-benar telah memiliki sebuah harapan. Maukah kau bersanding sebagai Nyonya Sujarwanto" Tentu Mas! Aku akan menantimu&
Sebenarnya, ketika mengucapkan kalimat tersebut, tak ada sedikit pun lintasan pikiran yang berlawanan di sanubari Ayu. Dia tulus dengan janji hendak menanti Sujarwanto. Usianya sudah hampir 40 tahun, dan kehidupan yang keras telah mengombang-ambingkannya tiada henti. Dia letih, dan membutuhkan peristirahatan yang menentramkan.
Akan tetapi, nasib baik rupanya belum berpaling kepadanya. Beberapa saat setelah dia berhasil melarikan diri, dia membaca berita di surat kabar bahwa Sujarwanto
diadili di Pengadilan Militer dan mendapatkan hukuman 10 tahun penjara. Peristiwa kaburnya Ayu dari kamp menjadi sebab penting jatuhnya hukuman itu. Status Ayu pun ditetapkan sebagai buron.
Untung orang-orang Sujarwanto masih melindunginya dengan baik. Hingga detik ini, dia masih bisa berkeliaran dengan bebas, meski dengan identitas palsu. Akan tetapi, keresahan membayangi hari-harinya. Ketika diam-diam mengunjungi keluarga para anggota PKI, dia melihat perlakuan penguasa yang baru telah melampaui batas toleransi. Mereka diperlakukan sebagaimana para pengidap virus ganas yang harus terus menerus dipantau agar tidak menularkan virusnya kepada orang lain.
Dalam hati kecil, Ayu sebenarnya memahami mengapa masyarakat merasa begitu dendam terhadap PKI dan segala jenis ormasnya. Dipikir-pikir, gerakan ofensif yang mereka lakukan memang begitu keterlaluan. Contohnya, penyerangan dan pembakaran pesantren itu& yang bahkan telah membunuh kakek dan nenek, serta Khairul Annam.
Ya, sangat kejam! Tetapi, sebagian dari eks pengikut PKI saat ini sudah mulai bertobat, termasuk dia. Jika Allah saja mau membukankan pintau tobat, mengapa manusia tidak" Atau, mungkinkah cara berpikir dia yang keliru" Justru karena bukan Allah, manusia tak memiliki sifat maha pengampun" Dan karena itu, maka apa yang telah dia
lakukan di masa itu, akan menjadi dosa yang harus dia tanggung seumur hidup di mata manusia"
Berminggu-minggu Ayu berpikir keras. Meskipun Ramlan selalu melindunginya sehingga dia hingga saat ini masih lolos dari jerat, dia tak tahu pasti hingga kapan dia bisa menikmati masa-masa kebebasannya. Dia harus mendapatkan perlindungan dari orang yang jauh lebih berkuasa dari Sujarawanto, apalagi Ramlan.
Maka, mendatangi kampanye sebuah organisasi peserta pemilu yang anehnya keberatan disebut sebagai parpol, dia anggap sebagai sebuah jawaban yang cemerlang.
Eh, Mpok& kok diem aje! Mana bengong lagi" Janganjengen ente kesurupan roh Si Manis Jembatan Ancol, celoteh Somad, si sopir bajaj, membuyarkan lamunan panjang Ayu, alias Retno Kusumawardani.
Kagak! Si abang ini ada-ada saja. Bukannya kesurupan si manis Jembatan Ancol, tapi Nyai Roro Kidul! Sembari tersenyum manis, Ayu pun melenggang. Somad begitu terpesona, sampai-sampai dia terlupa bahwa penumpangnya yang jelita itu, belum membayar ongkos bajajnya. Akan tetapi, Somad memang telah berniat untuk menggratiskan ongkos penumpang yang satu ini, meskipun misalnya dia menaiki bajajnya untuk berkeliling kota Jakarta. ***
Lapangan Monas telah dipenuhi oleh ribuan manusia, lelaki-perempuan, tua-muda, bahkan anak-anak, yang dengan bangga mengenakan kaos dengan warna dan simbol organisasi politik penyelenggara kampanye tersebut. Sambil menunggu juru kampanye utama, yakni seorang tokoh nasional yang kabarnya doktor lulusan Perancis itu mempromosikan kehebatan program-programnya, para pengunjung kampanye dihibur dengan lagu-lagu Melayu. Seorang artis dangdut papan atas, dengan pakaian yang indah namun tetap sopan, tengah menyanyikan lagu Boneka dari India . Ribuan penontonnya pun duduk dengan tertib di depan panggung sembari sesekali menganggukanggukkan kepala mengikuti irama musik dangdut yang dimainkan dengan sempurna oleh grup orkes Melayu terbaik di Indonesia itu.
Ayu menyibak kerumunan para penonton, dan ikut duduk dengan manis di atas hamparan hijau rumput Monas. Seorang pemuda berkumis tipis dan berkacamata menyodorkan selembar koran untuk alas duduk, dan dia terima dengan anggukan manis.
Mpok kok duduk di lapangan sih" Mestinya di sana tuh! Di bawah tenda. Ada kursinye. Kalau di sini, nanti baju Mpok kotor gimane" ujar pemuda itu.
Alaah, baju kotor kan bisa dicuci, jawab Ayu kenes. Ekor mata wanita itu melirik ke arah kokard yang dikenakan
oleh pemuda itu. Dia seorang panitia rupanya! Abang panitia ya" tanyanya lagi.
Eh& i& iye! pemuda itu tampak gugup. Tampaknya dia tengah terpesona melihat keelokan senyum Ayu. Tak ada orang yang bisa lolos dari jerat terluar yang dia miliki itu. Kok kelihatan gugup"
Eh& enggak& eh, iye! Soalnye kagak pernah liat perempuan secantik Mpok sih& ujar pemuda itu, jujur. Tuh, yang sedang nyanyi di panggung aje kalah cantik dibanding Mpok.
Masak sih" Apa iya saya ini cantik. Wah, bikin saya tersanjung saja. Saya ini sudah tua lho. Usia aja hampir 40.
Busyeeet& 40! Itu sih sebaya emak aye. Kirain baru 20 tahun! Udah emak-emak aje cantiknya ngalahin Elvy Sukaesih, gimane pas masih mudanya ye"
Ayu memamerkan barisan giginya yang cemerlang. Alaaah, Abang ini sukanya memuji. Eh, ngomong-ngomong saya dengar, yang mau jadi jurkam utama, lulusan perancis ya"
Bener, Mpok! Namanya Doktor Purnomo Wardoyo. Dia itu orangnya canggih. Taruhan ni ye, kalau seumpamanye kite menang, die pasti jadi menteri, Mpok.
Apakah Doktor Purnomo Wardoyo itu punya tahi lalat
di pipi" Rambutnya agak ikal dan tubuhnya tinggi langsing, kira-kira 175 sentian"
Tahi lalat, iye. Rambut ikal, iye. Tinggi iye, tapi kalau langsing& kayaknya kagak. Die itu rada gendutan dikit.
Tentu saja. Ayu bertemu dengan pemuda itu saat masih berstatus mahasiswa. Masih langsing. Sekarang dia sudah jadi orang penting. Jika tidak bertambah gemuk, justru aneh. Dia itu teman saya waktu kuliah di UGM. Oh, betul! Doktor Purnomo itu dulu kuliah di UGM. Jadi& "
Dia kakak kelas saya. Wah, jangan-jangan mantan pacar juga ya" Sudah tahu, nanya& eh, Bang& mau ya mempertemukan saya dengan Pak Purnomo" Situ kan panitia.
Bisa-bisa aje sih. Tapi, kalau istri Pak Purnomo marah, gimane"
Istri" Tentu saja Purnomo berengsek itu telah beristri. Hampir 20 tahun mereka tak bertemu. Persuaan terakhir adalah saat dia meminta tanggungjawab pemuda itu di losmen Mas Surya, yang ternyata ditolak mentah-mentah.
Maaf, Ayu& bagaimana aku yakin jika bayi yang ada dalam kandunganmu itu anakku" Bukankah tak hanya dengan aku kau melakukan hubungan itu&
Pur, sudah lama aku tidak menjajakan cinta secara obral. Terakhir ini, aku hanya melayanimu seorang& Bagaimana dengan Prakoso"
Sudah 3 bulan kami tak bertemu. Sedang umur kehamilanku, baru sebulan. Aku yakin, bapak bayi dalam kandungan ini adalah kau!
Tetapi, aku masih sangat muda, Ayu. Dan aku & aku diterima kuliah di Perancis. Ini bukan main-main, Ayu. Kau harus memahami aku!
Purnomo muda pun mengeluarkan segepok rupiah dan memintanya menggugurkan kandungan. Setelah itu, dia pergi dan tak pernah kembali lagi.
Ayu tentu saja sakit hati. Akan tetapi, dia tak mau berlama-lama berkubang dalam keterlunta-luntaan. Dan dia hampir saja mendatangi seorang dokter yang diam-diam membuka praktik aborsi, jika saja lelaki berjubah putih itu tak memaksanya pulang. Kyai Murong, dia sangat murka melihat dia hamil, akan tetapi dia jelas tak setuju jika janin itu digugurkan.
Janin itu pun akhirnya terlahir sebagai Khairul Annam, seorang bocah tampan yang cerdas. Sebagai seorang ibu, Ayu menyayanginya setulus hati. Akan tetapi, keinginan untuk bebas benar-benar menjadi candu yang memabukkan. Dia pergi, mendatangi Prakoso, menjadi
gundiknya, dan kembali ke pesantren, untuk menyaksikan anaknya terpanggang menjadi arang.
Ayu tergugu. Untuk beberapa saat dia termangu, membayangkan raut wajah tak berdosa putera semata wayangnya. Jika Annam masih hidup, tentu saat ini dia telah menjelma sebagai pemuda remaja yang rupawan. Sayang, ambisi-ambisi politik telah menjadikannya sebagai tumbal. Tumbal revolusi.
Wah, kok jadi keliatan sedih" Patah hati ya, aye bilang Pak Purnomo udah punya bini"
Ayu tersentak. Ssst& nggak sopan amat. Istri! Bini& " Bibir Ayu mengerucut. Saya tidak sedih. Justru seneng. Mas Purnomo akhirnya bisa melupakan saya dan mau menerima wanita lain sebagai pasangan hidupnya.
Wah, jadi bener dong, Pak Purnomo itu mantan pacar Mpok! Keren banget aye, bisa kenalan sama mantan pacar orang besar.
Siapa nama istri Mas Purnomo"
Namanye" Kalau kagak salah, Maria Yuliana Sondakh. Orang Manado"
Iye. Cakep die, soalnye, mantan peragawati. Akan tetapi, kalau menurut aye sih& lebih cakepan Mpok! Huu& ngerayu! Ditimpuk suami saya baru tahu rasa!
Suami" Jadi Mpok sudah punya suami" Ah& tentu saja. Masak orang secakep Mpok belum punya pasangan. Eh, ngobrol mulu! Yuk, aye anter ke panggung kehormatan aje. Jangan di sini. Panas, kotor. Nggak selevel ame baju Mpok. Tapi janji ya, nanti saya dipertemukan dengan Mas Pur. Nanti aye bilang ke ketua panitia deh&
Ssst, jangan! Jangan bilang siapa-siapa, nanti jadi kacau deh. Saya sih ndak ada maksud apa-apa, tapi kalau Nyonya Purnomo sampai tahu, bisa gawat darurat.
Baiklah Mpok. Eh, kenalin, name aye Bahrun. Jelekjelek gini, aye wartawan, lho. Aye juga mantan aktivis mahasiswa dulu, tahun 66. Jarang ada orang Betawi bisa kuliah apalagi punya profesi intelek. Kalau Mpok punya anak cewek, mau kan terima aye jadi menantu"
Kebetulan saya tidak punya anak perempuan. Wah, gagal deh, punya mertua cakep seperti Mpok! Bahrun tersenyum kocak.
Memang usia ente berapa sekarang" Tahun 66 udah jadi mahasiswa, dan sampai sekarang masih melajang"
Yee, tahu aja klo aye bujang lapuk. Gak lapuk-lapuk amat, sih Mpok. Belum ada 30 tahuuuun! Maklum, sibuk kerja. Pengin ngejar posisi pimred.
*** Lelaki itu terpana sesaat ketika sepasang matanya bertatapan dengan sosok Ayu. Bahrun mempertemukan mereka saat sang lelaki tergesa-gesa masuk ke kamar kecil. Sebuah kerja yang sempurna, karena tak ada yang melihat peristiwa itu selain Bahrun sendiri.
Sekar Ayu& " Kau& Ayu"
Betul, Pur! Tak disangka, bertemu denganmu setelah menjadi orang besar.
Purnomo memaksa tersenyum. Ini& ini semua tak lepas dari pengertianmu saat itu. Jika& jika kau memaksa, aku tak akan bisa kuliah di Perancis dan&
Aku mengerti. Apakah, kau jadi menggugurkan dia" Anak kita" Ayu menggeleng. Akan tetapi, dia telah tiada. Api telah menghanguskannya.
Purnomo justru terlihat lega. Kau senang" tuduh Ayu.
Eh& tidak. Tentu saja tidak. Akan tetapi& lelaki itu gugup.
Ya, aku tahu maksudmu. Kau tentu tak mau karirmu yang cemerlang itu ternodai karena ternyata kau memiliki seorang anak dari anggota Gerwani, bukan"
Ayu& maafkan aku. Aku telah melupakan semuanya. Akan tetapi, aku dalam kesulitan yang besar, Pur. Kau punya kekuasaan. Maukah kau menolongku"
Menolong apa" Kau tentu tahu, pasca G 30 S, aku ikut ditahan di Kamp Plantungan. Atas kebaikan Sersan Mayor Sujarwantolah akhirnya aku bisa melarikan diri. Akan tetapi, Sersan itu telah dipenjara, dan statusku sekarang buron. Aku harus menggunakan penyamaran yang entah sampai kapan bertahan.
Lelaki itu mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ya& ya, Ayu! Aku memahami.
Jangan hanya memahami, kau harus menolongku. Menolong bagaimana"
Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Jangan berlagak bingung.
Nanti, nanti aku akan menghubungimu, Ayu. Tentu saja. Tapi& .
Kita akan sangat sulit bertemu. Jadi, pikirkan saja sekarang. Ingat, kalau aku nekad, aku akan membocorkan siapa aku ke media-media, termasuk hubunganku denganmu, dan kehamilan itu. Kau tahu, itu akan sangat
membahayakan karir politikmu.
Ancaman Ayu tampaknya direspon dengan sangat serius oleh Purnomo. B-baik, Ayu. Tentu saja, aku akan menolongmu. Aku akan membawamu pergi ke luar Pulau Jawa. Makasar atau Manado mungkin bagus untukmu. Kau aman di sana. Aku akan persiapkan segalanya. Sekarang, di mana kau tinggal"
Meski tak yakin dengan ketulusan lelaki itu, Sekar Ayu memberikan sebuah alamat. Dia memang sudah tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan selain mempercayai Purnomo.
Persiapkan dirimu. Mungkin lusa akan ada anak buahku yang akan menjemputmu ke bandara. Baiklah. Aku akan mempersiapkan diri.
Sekarang, biarkan aku pergi. Maafkan jika aku tampak tidak mengenalimu saat berada di muka umum. Aku&
Ya, aku tahu. Kau tentu harus menjaga citra bukan" Tidak mungkin seorang calon pejabat memiliki mantan kekasih seorang Gerwani. Ayu tersenyum getir.
Purnomo menatap Ayu dengan gelisah. Begitu Ayu mempersilahkan dia pergi, Purnomo pun melangkah dengan cepat, separuh berlari. Tampaknya, dia benar-benar ingin menghindarkan diri dari Ayu sejauh mungkin.
Bahrun yang diam-diam menguping pembicaraan itu, mengerutkan kening. Ada sesuatu yang berputar-putar di kepala dan memancing naluri investigasinya. Sebagai wartawan, sebenarnya dia agak malas ikut-ikutan dalam kepanitiaan acara seperti ini. Tetapi, bosnya, yang juga salah satu pendiri partai, setengah memaksa seluruh anak buahnya untuk terlibat dalam kampanye akbar ini.
Diam-diam Bahrun terus mengamati Sekar Ayu dari kejauhan. Ada teka-teki yang harus dia pecahkan. Dan dia sangat menyenangi hal-hal seperti ini. Dia tak menyadari, bahwa apa yang dia lakukan hari itu, ternyata menjadi sebuah awal petaka dalam hidupnya.
*** Ayu membuka pintu rumah milik Sujarwanto yang telah berbulan-bulan dia tempati dengan penuh was-was tatkala sebuah sedan berwarna hitam memasuki halamannya. Seorang lelaki bertubuh tegap turun dari mobil mewah itu dan mengucapkan salam.
Betulkah ini rumah Nyonya Retno Kusumawardani" tanyanya.
Betul. Saya diutus oleh Bapak Purnomo untuk menjemput Nyonya.
Dada Ayu terasa sedikit lega. Rupanya Purnomo benarbenar serius. Awalnya sebenarnya dia tak terlampau yakin bahwa lelaki itu betul-betul hendak menolongnya. Ya. Tolong barang-barang saya diangkatkan. Banyakkah barang-barang Nyonya" Hanya satu kopor dan tas jinjing kecil. Baiklah!
Ketika memasuki sedan, seorang lelaki berkacamata hitam yang duduk di samping sopir mengangguk sopan kepadanya. Ada 3 lelaki yang mengawalnya, yakni lelaki yang membawakan barang-barang, si kacamata hitam dan sang sopir. Ayu masuk ke dalam mobil, menempatkan diri di atas jok empuk berpelapis beludru warna merah hati itu.
Sudah tak ada lagi yang akan di bawa" tanya si lelaki berkacamata hitam kepada Ayu.
Tidak ada. Baiklah. Jalan, Pir! Lelaki yang membawa barang-barang itu duduk di samping Ayu. Mobil itu pun beranjak. Awalnya pelan, semakin cepat dan melaju kencang setelah memasuki jalan besar. Suara musik mengalun. Suara serak-serak basah seorang penyanyi Amerika Serikat yang zaman Lekra dulu
dilarang masuk ke Indonesia, membawakan sebuah lagu pop yang sedang ngetop.
Siapa nama Anda" tanya Ayu, kepada lelaki yang ada di sampingnya.
Saya Fajar, Bu. Nah, itu yang di depan, yang memakai kacamata hitam, namanya Hendra. Dia yang nanti akan mengantar ibu ke Manado. Dan sopir itu, namanya Cak Amran.
Suara Fajar terdengar ramah. Rasa tegang di benak Ayu sedikit meluntur.
Jadi, kita akan pergi ke Manado"
Iya, Bu! Hendra yang menyahut. Di sana, Pak Purnomo punya sebuah rumah yang kosong. Nanti Ibu akan diperkenalkan sebagai adik Pak Purnomo.
Ayu menyandarkan kepala seraya membayangkan keindahan kota Manado yang selama ini hanya dia lihat di koran-koran serta televisi.
Kalian siapanya Pak Purnomo" selidik Ayu. Saya stafnya di perusahaan Pak Pur, Bu, jawab Fajar. Bagian keuangan. Bisa dikatakan, saya tangan kanan Pak Pur. Selain berkarir di politik, Pak Pur juga pengusaha sukses. Nah, kalau Hendra itu, dia keponakan Pak Purnomo.
Sikap sopan Fajar benar-benar melucuti ketegangan
Ayu. Minum, Bu! Fajar mengulurkan sebuah minuman dalam kaleng. Ayu yang tenggorokannya mulai terasa kering mengangguk dan menerima kaleng itu. Sekali teguk, isi kaleng minuman soda itu tinggal separuh.
Wah, maafkan saya karena membiarkan Nyonya kehausan, ujar Fajar. Ayu hanya tersenyum tipis karena sepasang matanya mendadak terasa berat. Dia pun memejamkan pelupuknya. Dalam hitungan tak sampai lima menit, dia pun telah pulas di atas joknya. Suara penyanyi Amerika yang merdu itu semakin meninabobokannya.
Sukses, dia sudah tertidur! ujar Hendra. Sekarang ikat tubuhnya supaya ketika dia tersadar dia tak mencoba menyelamatkan diri. Kata Pak Pur, dia mahir berenang.
Fajar bekerja cepat. Dia mengikat kaki dan tangan Ayu, membekap mulut serta menutup mata perempuan itu dengan kain. Setelah lebih dari 6 jam mereka mengendarai mobil sedan itu, akhirnya mereka sampai di pesisir laut selatan. Di dekat sebuah pantai yang bertebing curam, mobil itu berhenti. Para lelaki itu mengangkat tubuh Ayu yang masih tak sadarkan diri dan membawanya ke tebing tepi laut.
Satu& dua& tiga!
Tubuh Ayu meluncur turun dengan kecepatan tinggi. Tak ada suara yang ditimbulkan ketika tubuhnya menghujam ke perairan dalam karena debur ombak yang bergemuruh saat membentur-bentur dinding tebing mengalahkannya. Pelan-pelan tubuh itu pun terseret hingga ke tengah lautan.
Sebentar lagi, tubuhnya akan menjadi santapan ikan hiu, desis Hendra.
*** Motor yang dinaiki Bahrun mendadak macet ketika sampai di tepi hutan pinus yang sepi. Dia telah mengikuti laju sedan itu sejak dari Pasar Minggu. Keberadaan sosok Hendra, atau yang sebenarnya bernama Rambo, yang dia kenali sebagai salah seorang gembong preman di Pasar Senen membuat dia curiga dan memutuskan untuk membuntuti mobil sedan itu.
Perbincangan yang dia curi dengar saat kampanye di monas itu benar-benar telah membetot rasa ingin tahunya. Sepulang Ayu dari Monas, diam-diam dia menguntit perempuan itu. Beberapa kali dia mengamati rumah Ayu. Dan ketika suatu saat dia ternyata melihat sosok Rambo membawa perempuan itu pergi, dia pun mengikutinya dengan motor.
Akan tetapi, baru sekitar tiga jam dia memacu kuda
besinya, mendadak sang kendaraan ngadat. Cepat pemuda berambut cepak itu pun memeriksa tangki bensinnya.
Yaaah, pantesan! Bensinnya abis! gerutunya. Sesaat dia tengak-tengok dan mendapati dirinya telah berada di tepi hutan daerah puncak yang agak jauh dari pemukiman.
Ini namanye apes! Rumah penduduk aje kagak ade, apalagi pom bensin.
Nyaris putus asa Bahrun menuntun motornya. Sebuah senyum seketika tersungging ketika sebuah jeep terlihat meluncur dari arah yang sama. Spontan dia berdiri dan melambai-lambaikan tangan. Jeep itu berhenti. Sang sopir membuka jendela dan menoleh ke arahnya.
Tolong, Pak! Aye kehabisan bensin& bisakah Bapak mengangkut motor aye sampai pom bensin, atau Bapak masih punya persediaan bensin"
Bukannya menjawab, sang sopir justru mencabut sesuatu dari pinggangnya. Sebuah pistol. Moncongnya teracung ke pelipis Bahrun yang disusul dengan ledakan keras.
Sebutir pelor menancap di kening Bahrun. Kepala itu nyaris pecah, dan sang pemuda malang pun tersungkur mencium bumi.
Peristiwa kematian Mletho yang tragis itu telah
mengguncangku. Dan benturan di kepalaku barangkali telah menggoncangkan saraf-saraf di enchepalon-ku. Berharihari aku merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Seakan sepasang palu tengah bergantian memukuli kepalaku sembari menirukan ritme cepat yang dimainkan oleh drummer kelompok musik cadas Heavy Metal atau Sepultura. Aku bahkan tak mampu lagi mengepakkan sayap karena terasa begitu lemas. Aku pun hanya bisa terbaring di atas dipan reot milik perempuan separuh kayu itu. Perempuan yang melahirkan simpati begitu mendalam dalam hatiku. Meskipun dia pemurung dan jarang
Delapanbelas berbicara, aku merasakan sentuhan kasih yang tulus dari setiap desah napasnya.
Kapas, aku bawakan bubur beras merah. Kali ini, kau harus makan. Sudah dua hari kau tak mau makan. Sakitmu bisa semakin parah, ujarnya.
Aku meringis menahan rasa sakit di kepalaku. Namun aku menurut juga ketika perempuan separuh kayu itu menyuapiku. Sesaat, rasa panas bersirobok di pelupuk mataku, yang diikuti dengan genangan air mata. Sentuhan lembut Mbah Murong membuatku rindu kepada seorang perempuan, Mama Elena, ibuku.
Jika pun aku mati, tak akan ada yang merasa kehilangan. Siapa yang menganggap berharga keberadaan seekor burung hina sepertiku" bisikku, lemah.
Mbah Murong menatapku, prihatin. Aku pun dulu pernah mengatakan hal itu kepada seseorang yang telah menyelamatkanku dari sebuah penderitaan yang mengerikan. Tak akan ada seorang pun yang peduli dengan hidupnya aku. Akan tetapi, justru di ujung usiaku ini, aku menyadari bahwa aku harus mempertahankan sisa hidupku yang mungkin tinggal menunggu waktu.
Tetapi, aku tidak memiliki apapun yang akan membuatku menikmati hidup ini. Papaku gila, Mama bunuh diri, dan kedua abangku pergi entah ke mana. Mungkin dia
ikut-ikutan eksodus ke luar negeri, karena negeri ini sudah tak aman lagi untuk orang-orang China seperti kami. Entah mengapa, saat mengucapkan kalimat itu, saya merasakan paruh dan sayap-sayapku telah mereduksi, dan aku benarbenar telah kembali menjadi manusia.
Jangan terlalu berputus-asa, Kapas. Hubungan antara bangsa Tionghoa dengan kaum pribumi memang pernah mengalami masa-masa suram, tetapi masa yang penuh dengan keindahan, jauh lebih panjang.
Akan tetapi, selalu saja panas setahun terhapus oleh hujan sehari. Atau rusak susu sebelanga karena setitik tuba.
Sebenarnya tak banyak penduduk negeri ini yang senang mengobarkan api kebencian, ujar Mbah Murong. Hanya segelintir. Hanya saja, yang segelintir itu ternyata mampu menjadikan percikan api yang semula kecil menjadi kobaran neraka dunia yang meluluhlantakkan segalanya. Termasuk nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kesetiaan. Orang menjadi takut untuk berkorban, karena tanpa berkorban pun, mereka telah menjadi korban. Korbankorban ketidakadilan, kezaliman, kebengisan...
Aku menatap wajah tua yang penuh keriut itu sepenuh perhatian. Ada kilatan-kilatan misterius berloncatan di sepasang matanya yang nyaris rabun tertutup katarak. Perempuan ini tampaknya bukan perempuan biasa. Dia sangat cerdas. Tak mungkin dia adalah pengamen jalanan
yang tak makan sekolahan. Aku ingin menelisik lebih jauh, apakah gerangan adegan-adegan yang tengah bermain di mata batinnya. Akan tetapi, kepalaku kembali berdenyut kencang. Sepasang palu itu kembali memainkan musik cadas dengan menjadikan kepalaku sebagai drum.
Aku berteriak kencang, mencoba mengalahkan bunyi lonceng yang dipukul keras-keras dari arah gereja. Kiranya teriakanku itu mengundang perhatian para tetangga yang mendiami petak-petak sumpek yang berhimpitan di dekat rel kereta api. Satu persatu kepala tersembul dari pintu yang sengaja dibuka, dengan wajah menyiratkan rasa prihatin. Aku meyakini, keprihatinan itu adalah jujur adanya. Aku hanya seorang China yang tergeletak tanpa daya. Tak ada gemerlap dunia menempel di tubuhku, karena aku pun hanya mengenakan baju loakan yang dibelikan Jepri, sama dengan mereka. Jikalau mereka memberikan simpati, aku meyakini simpati itu benar-benar tanpa pamrih.
Mbah, dibawa ke rumah sakit saja. Tampaknya Mbak Cantik benar-benar sakit.
Mbak Cantik" Para penduduk liar di kawasan yang sebenarnya tak boleh ditinggali itu lebih senang meniru panggilan Jepri kepadaku, yakni Mbak Cantik, dibandingkan apa yang sering diucapkan Mbah Murong, Kapas. Mereka tak tahu, mengapa aku dipanggil kapas. Mbah Murong pun tak mencoba menjelaskan. Maka, bagi mereka aku lebih
pantas dipanggil sebagai mbak cantik. Karena aku memang cantik, kata mereka. Keterjelmaanku sebagai burung membuat aku nyaris lupa bahwa nama lengkapku adalah Suryani Cempaka Ongkokusuma alias Ong Mei Hwa.
Rumah sakit" wajah Mbah Murong yang selalu muram bertambah muram. Saat ini, saya tak punya uang.
Soal uang gampang! tiba-tiba Jepri menyeruak kerumunan orang-orang dan duduk di samping tempat tidurku. Tangannya yang mungil membelai andamku yang telah menjadi gimbal karena lama tak tersentuh sampo. Ketika hendak berkencan dengan Jepri, yakni di malam yang tragis itu, hampir sejam aku mencoba bersisir dan si gimbal itu tak mau juga enyah.
Gampang piye, Jep" seru seorang lelaki berkepala botak. Memangnya kamu bisa mencari yang uang banyak buat membiayai Mbak Cantik" Biaya rumah sakit itu tidak sedikit lho. Kemarin saja anaknya Mbakyu Karni yang jualan jamu di pasar Ledoksari masuk rumah sakit selama seminggu. Habisnya hampir 400 ribu. Padahal sudah minta keringanan. Kita, gimana mau dapat keringanan, wong KTP saja tidak punya. Kita ini dianggap sebagai penduduk liar.
Ya gampang. Bisa dicari. Nanti aku akan ngamen terus menerus, biar dapat banyak. Jika perlu sepanjang Solo Jakarta.
Alaaah, paling-paling bapak sama ibumu ndak mengizinkan.
Sakit di kepalaku semakin tak tertahankan. Pada saat itulah sesosok tubuh jangkung menyeruak masuk ke gubuk yang sempit.
Masya Allah, Cempaka& kau Cempaka, bukan" Aku tertegun. Aku mengenali suara itu. Juga sosok yang berdiri tegak dengan tatapan sayunya.
Kau& " Cempaka& aku mencarimu kesana kemari sejak kau melarikan diri dari rumah sakit. Nyaris saja aku putus asa, ketika Daud, seorang teman memberi tahu, bahwa dia melihatmu di daerah ini.
Mas Daud" celetuk Jepri. Aku kenal dia. Dia kan mahasiswa yang sering mengajari para pengamen membaca dan menulis. Banyak teman-temanku yang putus sekolah karena ndak ada biaya.
Aku memejamkan mata. Terus terang, dalam kemanusiaan yang tiba-tiba menghinggapiku kembali, aku merasa girang dengan kemunculan lelaki itu, Firdaus. Akan tetapi, bayang-bayang kerusuhan beberapa bulan silam, yang telah menghancurkan kehidupanku, kembali menarinari. Andai saja para mahasiswa tidak berulah, kerusuhan
itu tidak akan pernah ada. Aku tak harus berpisah dengan Mama, Papa tidak harus sakit jiwa dan yang terpenting, aku tidak kehilangan kehormatan yang sebelumnya matimatian aku pertahankan.
Siapa namamu" tanya Jepri dengan gaya sok dewasa. Saya Firdaus. Teman Mas Daud, juga Mbak Cempaka. Sejenak aku tertegun. Mengapa Firdaus menyebutku Cempaka" Bukan Mei Hwa" Rasa kecewa menelusup di dalam hatiku. Firdaus sudah tak menganggapku istimewa" Karena aku hanya seorang korban pemerko& . Kukepalkan jemariku.
Jadi, namamu Cempaka" Bagus juga. Seperti nama bunga. Jepri tertawa.
Ya, dia Cempaka. Atau & Mei Hwa.
Mei Hwa" Mbah Murong seperti kaget. Jadi namamu aslinya Mei Hwa" Perempuan tua itu menatapku.
Itu nama asli pemberian orangtua saya. Mei Hwa, artinya bunga cantik.
Dan Sekar Ayu, artinya juga bunga cantik& bisik perempuan itu. Mengapa banyak kebetulan terjadi di sekitar kita"
Siapa Sekar Ayu itu, Mbah" Namanya indah sekali.
Tidak, lupakan& lupakan saja nama itu, ujar Mbah Murong, gugup.
Aku lebih suka nama Cempaka daripada Mei Hwa, ujar Jepri. Mas Firdaus, Mbak Cempaka ini sakit keras. Tapi kami ndak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit. Sampeyan kelihatannya orang kaya. Pasti duit sampeyan banyak. Ayo, bawa Mbak Cempaka ke rumah sakit. Jepri! tegur Mbak Murong. Bersikaplah sopan. Tak apa, Mbah. Berminggu-minggu saya mencari Mei Hwa yang melarikan diri. Sekarang, saya menemukannya dalam keadaan sakit. Tentu saya akan membawanya ke rumah sakit. Firdaus meraih sebuah telepon genggam, memencet beberapa nomor.
Tolong, Jep! Kamu menunggu di depan gang sana ya, kalau taksinya datang, kabari kami!
Jadi, sampeyan memanggil taksi" Aku boleh ya, ikut naik taksi" cengir Jepri. Firdaus mengangguk. Taksi, taksi& aku juga mau ikut! teriak Deva, adik Jepri. Aku ikut! sebuah kepala menyembul.
Aku juga. Aku& . Aku melongo ketika para tetangga di pemukiman kumuh itu ternyata ingin beramai-ramai mengantarku ke
rumah sakit. Tetapi Firdaus tak terlihat keberatan. Dengan ringan, dia memesan 3 buah taksi sekaligus untuk mengangkut para pengiringku.
*** Sepasang mata sipit itu berkaca-kaca ketika memasuki ruang di mana aku dirawat. Aku sendiri tak mampu menahan buncahan rasa bahagia melihat sosok yang sangat kurindukan itu mendadak muncul dari balik pintu. Zak"
Mei! Lelaki itu menghambur kepadaku, meraih tanganku, mendekapnya ke dada. Mei adikku, ke mana saja kau selama ini" Aku dan Leo mencarimu ke mana-mana, tetapi tak ada satupun petunjuk. Aku tahu kau berada di sini setelah dihubungi Firdaus dan beberapa temanmu yang menjadi dokter muda di rumah sakit ini.
Aku menghela napas panjang. Firdaus yang membawaku ke sini.
Firdaus" Zak melirik ke arah pintu yang separuh terbuka. Seorang lelaki tengah pulas tertidur di bangku depan ruangku. Firdaus memang selalu setia menungguiku. Tetapi dia tak selalu berada di kamar. Dia lebih banyak di depan, duduk-duduk di bangku. Hanya sesekali dia masuk, berbincang-bincang, khususnya jika ada orang lain berada di ruangan. Sinar matanya tak bisa menipu, dia
Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyayangiku. Tetapi tak ingin berduaan di kamar ini. Aku suka dengan cara dia memperlakukanku. Aku merasa terhormat.
Ya. Firdaus. Zak tentu tahu siapa Firdaus. Kepada kakakku itulah selama ini aku selalu menceritakan segala isi hatiku.
Dia menemukanmu berada di sebuah pemukiman kumuh, dalam keadaan sakit parah" Begitu yang dia ceritakan padaku tadi.
Ya, begitulah. Entah& usai peristiwa terkutuk itu, aku seperti kehilangan seluruh kesadaranku. Aku mendadak merasa telah berubah menjadi seekor burung yang ingin bebas terbang berkelana ke mana pun aku suka. Aku pergi dan bertemu dengan orang-orang yang tulus menyayangiku. Aku bertemu Mbah Murong, manusia separuh kayu yang mau menampungku meskipun dia sendiri hidup dalam belitan kemiskinan. Aku bertemu Jepri yang begitu lucu dan penuh persahabatan. Aku menyenangi pengelanaan itu& , bisikku dengan pelupuk tergenang air mata. Koko sendiri, ke mana setelah peristiwa hitam itu"
Zak tertunduk seraya menghela napas berat. Saat itu aku berada di toko elektronik Papa di Glodok ketika orangorang itu dengan beringas menyerbu. Mereka membakar toko, menjarah isinya. Aku terkepung dalam api yang menggila. Nekad, aku berlari ke lantai dua dan terjun ke
bawah. Akan tetapi, orang-orang beringas itu mengejarku. Aku terus berlari dengan nekad, menuju jalanan yang penuh dengan mobil-mobil yang juga terbakar. Saat itu, sebuah motor berhenti. Seorang lelaki yang kemudian kukenal bernama Ustadz Romli seorang tokoh muslim Betawi, menyelamatkanku. Berhari-hari aku tinggal di rumah beliau di Kramat Jati dalam kondisi trauma. Sama seperti kau, aku menjerit-jerit ketakutan, dan nyaris gila. Untung Ustadz Romli selalu menenangkan hatiku. Beberapa hari kemudian, setelah suasana mereda, aku berani keluar dan melihat betapa toko-toko, kendaraan, serta rumah yang kita miliki, semua telah hangus. Yang tersisa hanya sebuah kios kosong di daerah Bintaro yang semula akan dijadikan sebagai toko buku oleh Leo. Di situlah Mama mengakhiri hidupnya dengan menenggak sekaleng baygon.
Tangisku pecah mendengar cerita Zak, abangku yang sulung.
Dari Aki Jayus, penjaga kios, aku tahu bahwa kau dirawat di rumah sakit& rumah sakit jiwa. Aku tak membayangkan sebelumnya& Zak terlihat begitu kacau. Namun ketika aku pergi kesana, aku mendapat laporan bahwa kau telah melarikan diri.
Kugenggam tangan abangku erat-erat. Bagaimana dengan Leo"
Leo, saat terjadi kerusuhan dia tengah berada di
Surabaya. Begitu mendengar orang-orang keturunan China menjadi sasaran amuk massa, dia langsung membeli tiket pesawat ke Singapura. Sebulan lebih dia tinggal di rumah Joe, teman satu almamater saat masih kuliah di Nan Yang.
Nasib yang menimpa kita benar-benar mengenaskan. Hal itu membuat aku sering bertanya-tanya, apa sebenarnya kesalahan kita" Kalaupun semua itu terjadi karena kita keturunan China juga sama sekali tidak tepat, karena kita juga memiliki darah Jawa serta Minahasa. Akan tetapi, pengembaraanku selama berminggu-minggu, meskipun dalam kesadaran yang tak total, membuatku memiliki gambaran lain, bahwa tak semua penduduk asli Indonesia menolak kehadiran kita&
Ya, selama kita juga bisa membawa diri dengan baik. Haji Romli telah mengajariku banyak hal.
Aku dan Zak sama-sama terdiam, membuat ruangan berasa hening. Aku memejamkan mata dan nyaris terbang ke alam mimpi ketika Zak kembali bersuara.
Apakah kau sudah cukup lama dekat dengan lelaki bernama Firdaus itu"
Aku menatap wajah Zak sesaat. Kira-kira setahun. Kami sering berdiskusi bersama.
Kau jatuh cinta kepadanya"
Hampir& , ujarku, tawar. Ya, hampir saja aku melabuhkan harap kepadanya, jika saja kerusuhan itu tidak terjadi.
Kau menyalahkan Firdaus dengan adanya kerusuhan itu"
Aku bahkan hampir menempatkan Firdaus sebagai salah satu musuh besarku, jika saja dia tak terlihat begitu serius mengurusi pengobatanku di rumah sakit ini. Kulirik sesaat sosok yang tengah tertidur pulas di atas bangku depan kamarku itu.
Jika mahasiswa tidak berulah, tak mungkin semua ini terjadi. Aku benci reformasi jika hasilnya adalah kematian Mama, sakitnya Papa dan kehancuran hidup kita&
Mahasiswa tidak bersalah apapun. Semua ini telah dirancang sedemikian rupa oleh tangan-tangan keji yang tak bertanggungjawab. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa orang-orang yang menjarah dan membakari toko-toko itu adalah orang-orang yang terlalu dewasa untuk ukuran seorang mahasiswa, apalagi SMA. Teman-teman di Trisakti sendiri menampik keras tuduhan bahwa mereka sengaja membalas dendam atas tertembaknya Elang dan teman-temannya.
Aku terdiam. Sungguh, aku pun sebenarnya tidak meragukan ucapan Zak, karena aku juga ikut menjadi saksi
mata peristiwa terkutuk itu. Akan tetapi, gara-gara mahasiswa pulalah berbagai kehancuran yang menimpa bumi pertiwi ini, di mana keluarga kami ikut menjadi korban, tergelar bak drama kolosal yang super tragis.
Berpikirlah dengan hati yang jernih, Mei Hwa. Jika kau menyalahkan mahasiswa, sesungguhnya kau telah menyalahkan diri sendiri, karena bukankah kau juga seorang mahasiswa" Bahkan sebelum kerusuhan itu terjadi, bukankah kau pun ikut dengan lantang menyerukan reformasi" Papa sempat marah kepadamu saat melihat gambarmu muncul di TV saat terjadi demo di kampusmu.
Aku masih terdiam. Namun diamku kali ini diikuti dengan tetesan air yang membasahi pipiku.
Dan mengapa aku menanyakan kedekatanmu dengan Firdaus, sesungguhnya ini terkait dengan perkataannya semalam.
Semalam" Jadi kau sudah ada di sini semalam" Lewat telepon. Begitu aku menerima telepon darinya, aku langsung meluncur ke stasiun dan membeli tiket kereta malam.
Perkataan" Dia mengatakan apa" Dia& dia bermaksud melamarmu.
Melamar" Kalimat yang terucapkan oleh Zak melebihi
suara petir yang bergelegar di siang hari. Beberapa saat aku pun hanya bisa menatap kakakku itu dengan sepasang mata terbelalak. Firdaus melamarku" Mimpikah aku"
Begitu banyak perbedaan antara aku dengan dia. Pertama, masalah perbedaan keyakinan. Aku Kristen, dia Islam. Sebenarnya, bagiku agama tak terlampau penting. Aku siap berpindah keyakinan ke agama manapun yang kupandang mampu menentramkanku, termasuk Islam yang selama ini menjadi keyakinan Firdaus dan keluarganya. Akan tetapi, keluarga Firdaus yang terkenal kuat memegang ajaran agama, mana mungkin mereka mau memiliki menantu sepertiku. Mereka pasti lebih menginginkan sosok seperti Aisyah, temanku satu angkatan di kedokteran yang berkerudung panjang dan pintar membaca Al-Quran, untuk menjadi pendamping hidup Firdaus. Dari cerita lelaki muda itu, aku tahu bahwa kakek dan ayah Firdaus adalah seorang ulama yang cukup terpandang di daerahnya.
Kedua, aku China meskipun tak seratus persen, dan dia Jawa. Di saat suhu politik memanas seperti saat ini, pernikahan lintas etnik tentu akan menimbulkan kegemparan tersendiri. Ketiga, saat ini keluargaku dalam keadaan terpuruk. Ayah sakit jiwa, dan aku pun sempat tercekam trauma yang akut. Dalam kondisi semacam itu, mana mungkin aku mampu menjadi seorang istri yang
baik baginya. Apalagi, aku terlanjur menganggap dia sebagai orang yang harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa terkutuk itu.
Jikapun kondisi kedua orangtuaku masih seperti sebelum kerusuhan, aku tak pernah mengkhawatirkan jika mereka tak menyetujui pilihanku. Asal aku yakin dengan keputusan yang kuambil, bisa membedakan antara yang buruk dan yang baik, baik Papa dan Mama akan setujusetuju saja. Aku memahami mengapa mereka bersikap seperti itu. Dulu, pernikahan mereka juga tidak disetujui oleh keluarga dari pihak Mama. Alasannya, Papa hanyalah seorang pemuda China yang tak jelas asal-usulnya. Sementara Mama adalah puteri seorang pejabat tinggi di masa awal-awal orde baru. Saat ini, Opaku dari Mama memang bukan lagi pejabat, tetapi dia menjadi guru besar di salah satu kampus swasta favorit di Manado.
Mereka bertemu di Hongkong. Saat itu, Papa yang lahir dan besar di Macao, berprofesi sebagai penjual donat di salah satu sudut kota Hongkong. Papa yang telah yatim piatu sejak umur 16 tahun, bekerja keras membuat aneka jenis donat dan membuka kiosnya dari pukul 08.00 hingga 21.00. Saat itu dia hanya memiliki 2 orang karyawan. Akan tetapi, Ruddy s Donut, demikian dia menamai produknya, terkenal lezat dan sangat laris. Mama yang tengah berlibur ke Hongkong bersama teman-temannya pun
menyempatkan diri untuk menikmati kelezatan Ruddy s Donut. Saat itulah, menurut pengakuan mereka, Papa dan Mama mulai jatuh cinta.
Perasaan cinta itu semakin menggebu, sampai akhirnya Papa memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan banting setir dengan membuka toko barang-barang elektronik di Glodok. Setelah merasa sukses, dia pun dengan percaya diri melamar Mama. Sayangnya, jangankan dikabulkan, tidak diusir dari rumah sang mertua yang megah pun sudah cukup baik. Opa, menolak mentah-mentah pinangan itu. Namun karena sudah terlanjur tak bisa berpindah ke lain hati, akhirnya Papa mengajak Mama kawin lari.
Sukabumi adalah kota kecil yang kemudian menjadi tempat tinggal mereka. Di kota itu, Papa Ruddy merintis bisnis yang baru, jual beli besi tua. Di kota itu pulalah satu persatu anaknya lahir. Baru ketika bisnisnya kembali berjalan pesat, Papa Ruddy membawa seluruh keluarganya ke Jakarta. Baru setelah belasan tahun berpisah, Opa dan Oma akhirnya memaafkan mereka dan merestui hubungan mereka.
Mungkin karena telah merasakan pahit getir saat pernikahan tidak direstui orangtua itulah, Papa dan Mama memberi kebebasan kepada anak-anaknya dalam memilih pasangan. Papa juga tak pernah menunjukkan respon negatif saat aku mencoba memancing-mancingnya,
misalnya dengan pertanyaan, bagaimana jika aku dapat suami orang Jawa dan muslim"
Asal kau kuat dengan konsekuensi yang muncul, why not" begitu jawab Papa. Aku memang tak pernah bercerita tentang Firdaus saat itu. Tetapi aku merasa cukup tenang dengan pernyataan itu.
Dia seorang pemuda yang baik, bisik Zak. Dalam kondisi jiwa yang labil seperti saat ini, kau membutuhkan seorang pendamping yang sanggup menuntunmu menghilangkan trauma itu, sebagaimana aku pun membutuhkan sosok seorang istri yang mampu mengembalikan senyumku&
Jadi& " Ya, aku telah menikah seminggu yang lalu. Mungkin aku buru-buru. Tetapi aku yakin, pilihanku tak keliru.
Dengan Sonya" Atau Fransisca" tebakku seraya membayangkan sosok-sosok gadis yang selama ini kulihat dekat dengan abangku yang satu ini. Gadis-gadis cantik, centil, dan modis. Maklum, Zak memang tampan dan juga gaya.
Bukan. Dengan siapa" Farihah binti Romli, anak bungsu Haji Romli.
Aku pun hanya bisa ternganga saat Zak menyodorkan foto pernikahannya. Farihah, gadis yang sangat sederhana, dengan wajah yang tak terlampau menarik, meski cukup manis dan karismatik. Bagaimana mungkin Zak yang dandy menyukai gadis semacam Farihah"
Aku telah memiliki keyakinan baru, Mei& mengikuti keyakinan mertua dan istriku.
Tak apa, Zak. Karena hidup adalah pilihan, bisikku.
Pesisir Pantai Cilacap, 1977
Aki Jaya berjalan tertatih menyusuri pantai berpasir
kehitaman di dusun Widarapayung. Jejak-jejak kakinya membentuk garis putus-putus sepanjang hampir lima ratus meter. Dia telah melempar jala ke laut, memancangkan tali yang panjangnya berpuluh-puluh meter ke patok kayu yang dia tancapkan di pantai dan kini saatnya dia menarik tali yang dihubungkan dengan jala itu. Saat ombak tengah besar, hanya semacam itu yang bisa dia lakukan. Dia tak mau bermain-main melawan maut jika harus mengarungi samudera Hindia hanya menggunakan perahu layar kecilnya. Jika dia beruntung, maka jalanya akan dipenuhi dengan beberapa ikan tongkol, tengiri, udang serta puluhan remis alias kerang kecil yang lezat jika dimasak sebagai sup.
Sembilanbelas Sayangnya Sumirah, istri Aki Jaya telah setahun yang lalu meninggal karena sakit campak. Jika wanita yang sangat dia cintai itu masih hidup, tentu dia akan menyulap remis itu menjadi hidangan yang mampu membuatnya menghabiskan tiga piring nasi sekaligus, tentu saja jika dia mampu membeli beras, tidak mengandalkan bulgur jatah pemerintah yang diekspor dari luar negeri. Makanan yang di negeri asalnya berstatus sebagai pakan ternak itu, di bumi pertiwi yang kaya, justru dijejalkan di mulut manusia.
Aki Jaya melepaskan belitan tali di atas patok kayu dan menarik tali itu. Terasa sangat berat, lebih berat dari biasanya. Mungkin seekor anak hiu sebesar sapi telah masuk dalam jeratnya. Meski tampaknya hampir mustahil ada hiu berenang hingga tepian, toh nyatanya jaring itu memang telah dimasuki sesuatu yang sangat berat. Meskipun lelaki berusia 60 tahun itu telah mengeluarkan seluruh tenaga, jaring yang berada di perairan pantai itu tak juga berhasil dia tarik.
Kepriben, Ki" Abot banget apa 25 " Warmin, pemuda yang tengah sibuk mengumpulkan keping demi keping rupiah untuk biaya nikah itu mendekat. Bahasa Banyumas logat pesisir Cilacapnya terdengar sangat medok.
Kawus! gerutu Aki Jaya. Pagi tadi aku hanya sarapan bulgur. Ora duwe beras yang bisa diliwet. Biasanya kuat, tapi ini lain. 25 Bagaimana, Ki" Apa berat sekali"
Jangan-jangan anak buahnya Nyi Roro Kidul nyantol neng jaringe rika 26 , Ki!
Huss, ngawur. Tidak boleh ngomong seperti itu. Kualat! Kalau Nyi Roro Kidul marah, kowe bisa ditelan ombak dan dijadikan budaknya.
Warmin mendekati Aki Jaya, ikut menarik tali milik lelaki tua itu. Siji, loro, teluuu!
Mereka berdua mengeluarkan segenap tenaga yang dimiliki. Pelan-pelan jaring itu pun tertarik menuju darat. Namun alangkah kagetnya mereka ketika melihat sebuah benda besar teronggok di dalam jaring.
Ki, manusia. Ada manusia di jaringe rika! Apa" Manusia"
Dengan langkah tertahan dua lelaki berbeda generasi itu mendekati sosok yang tergeletak di dalam jaring, bercampur dengan beberapa ekor ikan tongkol serta belasan remis berukuran sedang. Sosok itu tampaknya perempuan, karena memiliki rambut panjang yang terlihat sangat kusut. Wajah dan tubuhnya penuh goresan luka. Bajunya pun telah sobek di sana-sini. Sepasang matanya terpejam, namun masih ada napas satu-satu.
Warmin meraih tangan perempuan itu, menekan urat nadinya. Masih ada detak. Ki, tampaknya masih hidup. 26 Nyantol di Jaring Anda
Temenan" 27 Warmin meraba urat nadi perempuan itu. Iya. Ada detakannya, tapi lemah sekali. Ndang dibawa ke Pak Mantri, yuk!
Walah, kepriben kiye 28 , nanti kita bayarnya pakai apa" Inyong ora duwe duwit babar blas 29 .
Masalah duit gampang. Nanti aku yang membayar. Nanti kalau orang ini meninggal, arwahnya bisa gentayangan mengganggu kita jika kita ndak mencoba menolongnya.
Apa iya" Mas Joko pernah bertemu orang yang kecelakaan tertabrak truk. Karena buru-buru Mas Joko tidak menolongnya. Ternyata korban kecelakaan itu mati. Berkalikali Mas Joko didatangi oleh sosok berlumur darah yang menangis menggerung-gerung minta tolong.
Tanpa banyak komentar, kedua orang itu pun mencoba mengeluarkan sosok itu dari dalam jaring, lalu mereka menggotongnya ke jalan besar. Sebuah dokar yang lewat mereka hentikan.
Tolong antarkan kami ke Puskesmas Kroya, ya"! Siapa yang sakit" kusir dokar menatap tubuh basah
27 Apa benar" 28 Wah, bagaimana ini"
29 Saya tidak punya uang sama sekali
kuyup yang digotong Warmin dan Aki Jaya.
Dudu urusane rika 30 ! ujar Warmin, tegas. Ayo, antarkan ke Puskesmas!
Kusir dokar mengangguk. Silakan naik! ***
Awal tahun 1978 Sebelum matahari menyembul di ufuk timur, perempuan itu telah menyeret kaki kiri mengikuti laju kaki kanannya yang masih normal menuju sumur yang berjarak sekitar seratus meter dari rumah Aki Jaya. Dia membawa keranjang berisi pakaian kotor, serta kendil berukuran sedang yang akan dia isi dengan air bersih. Selama kurang lebih dua jam, dia akan bergelut dalam busa sabun lotek yang baunya agak sengir, maklum sabun cuci murahan. Suara timba yang berdecit akan menjadi laras nada yang lumayan beraturan, karena dia menggerakkan tambang dengan menyenandungkan sebuah nyanyian dalam hati. Ya, hati. Karena mulutnya telah kehilangan beberapa buah gigi serta bibir bagian atas terkoyak sebagian. Saluran pernapasannya juga telah tak normal sehingga suara merdu yang semula menjadi bagian dari penampilan menawannya, kini telah menghuni jagad memori. Lantas dia akan membasuh tubuhnya yang juga telah kehilangan kemulusannya karena 30 Bukan urusan Anda!
keganasan laut telah mengoyak-ngoyaknya, tanpa melepas belitan kain kumal dan kebaya yang dikenakannya. Bukan takut jika ada lelaki iseng yang mengintipnya dari balik batang-batang bambu yang memagari perigi, justru dia merasa khawatir jika orang justru terbirit-birit menyaksikan ekshibisi sekujur tubuhnya yang kini menyerupai kulit jeruk purut yang telah terlepas butir-butir klorofilnya.
Dia sungguh tak mirip sebagai manusia, melainkan mayat hidup yang bergentayangan dalam keputusasaan. Tak ada lagi kejelitaan yang telah begitu banyak memikat hati berpuluh-puluh kaum Adam. Kejayaannya telah malap. Kini, dia tak lebih seorang budak yang mengabdi kepada seorang majikan yang tak lebih miskin darinya. Bukan masalah balas budi jika dia menerima tawaran Aki Jaya untuk tinggal bersamanya. Menjadi rewang pembantu yang tak dibayar kecuali dengan sepiring dua piring bulgur sehari. Atau jika Aki Jaya berhasil mendapatkan tangkapan yang lumayan, maka dia akan merasakan lezatnya butiran-butiran nasi putih. Fasilitas di rumah itu pun hanya selembar tikar rombeng di atas risban yang selalu berderit jika dinaiki saking reotnya. Tempat berteduh yang mereka tempati tak lebih sebuah gubuk yang disekat menjadi dua, satu untuk tidur Aki Jaya dan satu untuk dirinya.
Saat dia terbangun, siuman dari pingsannya dan
menemukan bahwa dia tak mati, rasa kecewa seperti menampar-namparnya tiada henti. Aki Jaya telah menyelamatkannya, dan itu berarti dia telah melanggengkan penenggakan pahitnya kopi kehidupan.
Akan tetapi, dia tak akan berani marah kepada Aki Jaya karena membiarkan dia tetap hidup, bahkan merawatnya hingga dia kembali bisa menegakkan tulang punggungnya dan berjalan menyusuri bait-bait kehidupannya yang sama sekali baru. Dia juga tak akan sanggup marah, ketika Aki Jaya memilih membawanya pulang dari rumah sakit ketika satu tim dokter menawarkan bedah plastik pada mukanya, bukan untuk membuatnya kembali cantik, akan tetapi paling tidak menghindarkannya dari muka seseram topeng reog Ponorogo, karena biaya yang harus dibayarnya bahkan dalam mimpi pun tak pernah dilihat oleh sang Aki.
Aki Jaya orang baik. Tulus. Selama hidup, dia nyaris tak pernah bertemu dengan orang sebaik Aki Jaya. Itulah yang membuatnya memutuskan diri untuk selamanya mengabdi kepada lelaki itu
Sudah selesai mandi, Yu" teriak seseorang. Warmin. Selain Aki Jaya, pemuda yang baru-baru saja patah hati karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh ayah sang pujaan hati, adalah orang yang mau mendekatinya karena kecerahan hati yang dimilikinya.
Perempuan itu mengangguk. Dia memang lebih senang menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi. Dia tak bisu, hanya sulit mengucapkan kata-kata. Selain itu, kediaman akan membuat masa lalu yang ingin dia kubur dalam-dalam itu tak terkorek oleh orang-orang yang kini dekat dengannya. Dia tak mau ada seorang pun yang tahu siapa dirinya.
Bagi Aki Jaya dan Warmin, kebisuan sang perempuan telah menggenapkan kesan misterius yang mereka dapatkan darinya. Akan tetapi, mereka mengakui, bahwa kehadiran sang perempuan, telah membuat hidup mereka lebih teratur. Mereka tak lagi mengenakan baju-baju dekil bau keringat karena jarang dicuci. Rumah-rumah gubuk mereka yang berdampingan pun selalu bersih. Dan yang lebih istimewa, selain bulgur jatah pemerintah, mereka juga sering menyantap berbagai sayur mayur yang dimasak sang perempuan. Bayam, kacang panjang, singkong serta kenikir sengaja ditanam oleh Warmin di halaman belakang, dan dirawat secara telaten oleh sang perempuan. Seringkali, baik Warmin maupun Aki Jaya, menyisakan hasil tangkapan mereka, ikan, udang atau kerang dan menyerahkan kepadanya untuk dimasak menjadi hidangan yang memanjakan papilla lidah nelayan-nelayan yang menempati strata terbawah pengkelasan kehidupan itu.
Bagi mereka, kemunculan sang perempuan misterius
itu, yang jarang sekali berbicara, menangis, apalagi tertawa, adalah anugerah.
Angger wis rampung, gentenan, ya& . 31 teriak Warmin lagi. Aki Jaya tadi mencari rika. Katanya dia masuk angin, ingin dikeroki.
Sang perempuan kembali mengangguk. Lalu meraih keranjang berisi cucian yang telah bersih, serta kendi berisi air untuk minum dan memasak makanan. Dia sengaja tak melepas pakaian basah yang melekat dan membiarkan tubuhnya menjadi jemuran, karena setelah dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya, dia seperti kebiasaannya akan membakar dirinya di bawah terik matahari seraya memandang lautan lepas, seakan tengah menunggu sebuah kapal yang akan menjemputnya dan membawanya pergi menuju tempat yang jauh.
Dia melangkah dengan kepala tertunduk. Tapak-tapak terbentuk di tanah bertekstur pasir saat sepasang kakinya yang basah dan telanjang menekannya. Dia sengaja menghitung jumlah tapak, dan mendapatkan bilangan yang tetap dari hari ke hari, yakni 300 tapak. Dari jumlah tapak itulah dia memperkirakan bahwa jarak rumah gubuk Aki Jaya dengan sumur adalah sekitar 100 meter.
Pintu terbuat dari anyaman bambu di belakang rumah Aki Jaya berderit ketika dia membukanya. Seorang lelaki 31 Kalau sudah selesai, gantian, ya"
tua tertidur dalam posisi tengkurap di atas bale-bale. Dia hanya mengenakan celana pendek dan kaos dalam yang telah sobek di beberapa tempat. Perempuan itu berencana akan pergi ke pasar Kroya besok-besok di pagi buta, berjalan kaki sejauh 8 kilometer, membeli benang dan jarum untuk menambal sobekan itu. Uangnya dia dapat dari menjual beberapa ikat bayam, kacang panjang serta keripik singkong yang dia buat sendiri.
Sang perempuan berdehem. Biasanya, mendengar suara deheman itu, Aki Jaya akan menoleh. Akan tetapi, lelaki itu tetap terbaring di atas bale-bale. Sang perempuan pun mendekat, meraih sekeping uang logam dan minyak kelentik yang sepertinya telah disiapkan sebelumnya oleh Aki Jaya. Tanpa berkomentar, dia pun mencelupkan uang logam itu ke dalam minyak dan mengerokkan ke punggung Aki Jaya. Namun, sejurus kemudian, dia merasakan ada yang aneh dari lelaki tua itu.
Aki Jaya! untuk pertama kalinya perempuan itu memanggil nama sang lelaki. Aki Jaya!
Tak ada jawaban. Sang perempuan membalikkan tubuh itu, menekan urat nadi dan meraba dadanya. Tak ada detak, tak ada napas. Wajah sang perempuan pias. Lantas dia pun membuka kelopak mata Aki Jaya. Ketika masih sekolah, guru ilmu hayatnya pernah mengatakan, bahwa orang yang telah meninggal, pupil matanya akan membesar. Setelah
menyaksikan bahwa pupil mata itu telah melebar sekitar setengah sentimeter, sang perempuan pun jatuh terduduk. Gemetar...
*** Awal Tahun 1980 Ketika mengulurkan selembar rupiah yang semula tersimpan di dalam sapu tangannya kepada kusir dokar yang dinaiki, perempuan itu menyadari, bahwa sejak itu, dia sama sekali tak memiliki lembar penukar yang gencar diburu manusia itu. Akan tetapi, dia mencoba untuk melawan deraan rasa cemas dengan mencoba membayangkan para manusia yang hidup jauh sebelumnya, yang belum mengenal lembaran-lembaran uang, akan tetapi tetap mampu bertahan hidup, beranak pinak, dan bahkan menghasilkan karya-karya besar yang ditinggalkan sebagai jejak sejarah, penghubung generasi mereka dengan ratusan generasi sesudahnya.
Sebenarnya sampeyan mau ke mana" tanya kusir, sembari mengamati sosok sang perempuan yang terlihat begitu dekil dengan kain serta kebaya penuh tambalannya. Perempuan itu naik dokar dari Sragen dan tak menyebut asal tujuannya. Ketika berkali-kali sang kusir menanyakan tujuannya, entah tak mendengar atau memang tuli, perempuan itu tak menjawab.
Sang perempuan terdiam sesaat. Kemudian jemari tangannya yang telah tak genap karena jari manis dan jari kelingking sebelah kanannya telah patah saat membenturbentur karang laut selatan, teracung ke sebuah tempat, sekitar satu kilometer dari tempat berhentinya dokar itu. Jalan menuju tempat itu telah terkelupas aspalnya, dan ditumbuhi dengan semak-semak lebat. Imperium semak itu pula yang telah menutup onggokan bangunan yang menghitam sebab jelaga pekat akibat kebakaran dahsyat beberapa tahun silam.
Sampeyan mau ke sana" Sang kusir mencoba mencari keyakinan. Mau ke pesantren Murong"
Sang perempuan mengangguk.
Mau apa" Pesantren itu telah lama hancur. Tahun 65, orang-orang PKI membakar gedung dan membunuh para santri, termasuk Kyai Murong.
Sang perempuan termangu. Wajahnya terlihat sedih, namun tak ada air mata mengalir, karena kelenjar air matanya pun telah rusak.
Peristiwa sadis itu memang telah lama berlalu. Akan tetapi, para penduduk di sini tak ada yang berani datang ke sana. Banyak roh yang bergentayangan. Seringkali terdengar suara teriakan-teriakan dari tempat itu, sepertinya, itulah hantu-hantu yang mati penasaran. Pasti hantu PKI, karena
ada juga PKI yang terbakar di sana saat ada perlawanan dari santri.
Sang perempuan diam membisu. Jadi, buat apa sampeyan datang kesana" Tobat! jawab sang perempuan, dengan suara sengau. Tobat"
Ya. Saya adalah pembunuh. Pembunuh kakek dan anak saya sendiri.
Sang perempuan bermaksud menangis, namun yang terdengar hanyalah suara gerungan yang membuat bulu kuduk sang kusir merinding. Jangan-jangan perempuan yang baru saja menaiki dokarnya ini adalah salah satu hantu jadi-jadian. Dia pun buru-buru menarik kekang kudanya, memacu keretanya dengan kecepatan tinggi.
Satu jam kemudian, sang perempuan telah tersungkur di depan sebuah makam yang tak terurus. Gerungannya melengking, menggetarkan hawa di sekitar. Beberapa burung palatuk yang tengah mencari makan seketika mengepakkan sayap dan terbang menjauh. Demikian juga sekerajaan semut merah yang mendadak bertebaran bercerai-berai begitu tapak telanjang sang perempuan menginjak areal kekuasaannya tersebut.
*** Awal Tahun 1981 Semua berawal dari seorang anak lelaki bernama Dono yang berkali-kali mengintip aktivitasnya. Tubuhnya yang kurus kering, pakaiannya yang hanya celana pendek tanpa penutup tubuh bagian atas serta tatapannya yang selalu ingin tahu, menarik hati sang perempuan. Maka, ketika suatu hari dia bangun dari tidurnya, keluar dari salah satu bangunan yang masih berdiri di antara sisa-sisa reruntuhan pesantren, dan dia melihat sosok itu tengah mengintip dari balik batang pohon Mahoni yang berdiri rimbun, perempuan itu mendekatinya.
Dono, bocah itu melangkah mundur.
Kesini, Nak! panggilnya, dengan suara sengau. Apa betul, kau jin penunggu makam Kyai Murong" tanya Dono.
Jin" Tak mungkin ada jin bisa keluar di siang hari bukan"
Jadi, kau ini siapa" Namaku, Nyai Murong.
Nyai Murong" Kau siapanya Kyai Murong" Aku cucunya.
Bohong! teriak Dono. Kata bapakku, Kyai Murong
tidak punya anak dan cucu. Satu-satunya cucu telah diusir karena menjadi Gerwani.
Bapak" Siapa bapakmu"
Tarno. Dulu, sebelum ontran-ontran bapak bekerja di Pesantren Murong.
Tarno. Dia tentu masih teringat dengan lelaki itu. Baru dia sadari bahwa beberapa rumah yang dulu berdiri di sekitar pesantren ternyata telah tak ada. Entah mengapa. Mungkin keangkeran tempat itu membuat para penduduk tak betah dan akhirnya pindah. Jarak sisa-sisa bangunan dengan rumah terdekat kini hampir setengah kilo meter. Perempuan itu terdiam. Sepasang matanya menatap langit biru yang tengah menjadi latar eksibisi beberapa burung muda yang baru saja belajar terbang.
Kau bisa membaca" tanyanya kemudian. Dono menggeleng sedih. Aku ingin sekolah, tetapi tak punya uang. Bapakku buntung karena kaki kanannya tertembak peluru nyasar saat ABRI membunuhi PKI. Saat itu kau sudah berapa tahun"
Masih dalam kandungan. Jadi umurmu sekarang sekitar 15 atau 16 tahun" Tetapi kau terlihat masih seperti anak kecil.
Aku tak tahu tanggal dan tahun kapan aku lahir. Dan mengapa tubuhku kecil" Mungkin karena aku selalu kekurangan makan. Anak itu tertunduk.
Maukah kau belajar baca tulis kepadaku" Dono mengangkat wajahnya, mencoba memandang paras penuh keriut menyeramkan di depannya itu. Apa kau bisa"
Ya. Aku akan mengajarmu jika kau mau. Aku mau.
Bawa juga teman-temanmu yang lain, yang tak bersekolah. Aku mau menjadi guru untuk kalian.
Maka, pesantren yang remuk itu kini menjadi ramai setiap pagi. Selain Dono, ada 5 anak sebaya dengannya. Lewat suaranya yang sengau, sang perempuan yang dipanggil dengan nama Nyai Murong itu mengajarkan alpabhet serta hitung-menghitung sederhana. Dia menulis di atas lembaran daun pisang menggunakan sebatang lidi yang ujungnya telah dilancipkan. Demikian juga muridmuridnya, menyalin pelajaran dengan media yang sama.
Gairah kehidupan pun mulai menyelimuti reruntuhan bangunan yang semua senantiasa sunyi itu. Perlahan, sebuah senyum mulai tersungging di bibir Nyai Murong. Meskipun senyum itu justru lebih mirip sebuah seringai, anak-anak yang tulus itu menyenanginya.
Nyai Murong tak hanya mengajar baca tulis serta berhitung. Dia juga membawa anak-anak ke sungai kecil dekat gubuk. Dia mengajarkan ekosistem, keseimbangan alam dan bahayanya jika manusia mengoyak keseimbangan tersebut. Usai mengajar ekosistem, anak-anak pun mencoba menangkap beberapa ekor ikan dengan kail.
Tak boleh menangkap ikan dengan racun, karena anak-anak ikan serta telurnya pun akan mati, ujar Nyai Murong.
Beberapa ekor ikan hasil pancingan kemudian dimasak dengan sapuan bumbu racikan Nyai Murong yang lezat bukan main. Anak-anak merasa bahagia tinggal bersama Nyai Murong.
Akan tetapi, kebahagiaan itu ternyata mengusik hati beberapa orang yang merasa terganggu dengan kehadiran perempuan itu. Hanya seminggu setelah anak-anak belajar di gubuk itu, seregu pasukan militer dengan senjata lengkap mendatangi Nyai Murong.
Gerwani busuk, jangan coba-coba pengaruhi anakanak!
Gerwani" Saya bukan Gerwani lagi. Saya sudah bertobat!
Tapi kau tetap buronan. Kau harus ditangkap.
Anak-anak mencoba mempertahankan gurunya. Akan tetapi, tenaga kecil mereka tak ada artinya dibandingkan dengan kekuatan para tentara.
Sang perempuan pun mendekam di balik jeruji besi. Kiranya dosa masa silam, serta status buron yang melekat padanya, belum juga sirna. Keadaannya yang nyaris 180 derajat berbeda dengan beberapa tahun silam pun, tak membuat aparat kehilangan jejaknya.
Kali ini, dia tak mampu mempengaruhi sipir penjara untuk menolongnya, karena senyum pemikat itu telah malap. Lebih dari itu, dia telah mulai menyadari, bahwa dia tak akan menempuh hal-hal yang nista hanya demi kebebasannya.
Kebebasan yang akhirnya dia dapatkan sepuluh tahun kemudian!
Aku serius, Mei! ujar Firdaus, beberapa hari
kemudian, setelah aku keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumahku di dekat kampus. Aku sudah mulai menjalankan aktivitasku, meski belum mulai melanjutkan kuliahku. Aku sudah terlalu banyak ketinggalan pelajaran, dan mungkin aku akan mencoba mengajukan cuti.
Mbah Murong, meski kupaksa, tak mau menuruti keinginanku untuk tinggal di rumah ini. Kenyataan ini membuat aku merasa bersedih dan kehilangan. Karena itu, aku lebih memilih mendatangi pemukiman liar itu daripada tinggal di rumahku yang indah. Aku mencoba mengajari anak-anak putus sekolah itu membaca dan menulis. Aktivitas itu telah berjalan sekitar dua minggu, dan aku
Duapuluh menyenanginya. Rumah, pemukiman liar, sekolah anak jalanan. Sepertinya, itulah yang menjadi fokus kegiatanku saat ini.
Karena itu, aku hanya bisa ternganga saat suatu sore Firdaus mendatangiku, dan membincangkan permasalahan serius itu bersamaku dan Zak.
Mengapa kau meragukan Firdaus, Mei" tanya Zak. Firdaus ingin membuat hubungan kalian menjadi halal dan diridhoi-Nya.
Memangnya selama ini aku memiliki hubungan apa dengannya" kulirik Firdaus dengan gundah. Kami tak ada hubungan apa-apa.
Tetapi, tetap saja pernikahan itu bukan sebuah perkara main-main.
Justru karena bukan main-main itulah, saya memberanikan diri untuk mengungkapkan hal itu. Sebentar lagi saya wisuda, dan saya sudah memiliki pekerjaan yang cukup baik. Dan saya merasa cocok dengan Mei, ujar Firdaus, tenang.
Tetapi aku China! ujarku sembari berdiri. Dan aku telah dihinakan bangsamu! Jika kau memang serius, jangan hanya kau sendiri yang datang. Yakinkan kepadaku, bahwa keluargamu yang ulama terpandang itu mau menerima calon menanti korban pemerkosaan dari kaum minoritas seperti aku.
Jika semula aku menduga Firdaus hanya bermodal nekad saat melamarku, ternyata dugaanku itu salah. Aku tak tahu apa yang dilakukan Firdaus untuk meyakinkan orangtuanya. Nyata-nyatanya, seminggu setelah percakapan itu, dia datang ke rumahku bersama keluarganya. Mereka melamarku lewat Zak yang mendampingiku bersama istrinya, Kak Farihah. Dan aku terpana melihat kehangatan yang diperlihatkan orang-orang terhormat itu kepadaku.
Ibu Firdaus, seorang muslimah berjilbab rapi, bahkan mencium keningku dengan lembut, membuat bulir-bulir air mata menetes dari pelupukku. Aku teringat kepada Mama yang kini terbaring di liang lahat. Dokter gagal menyelamatkan jiwanya saat sekaleng racun serangga itu memasuki saluran pencernaannya dan mengkudeta semesta keseimbangan yang membangun kesatuan organorgan tubuhnya.
Saya berharap, kau mau menjadi pendamping hidup anakku, Mei, ujar wanita itu, dengan senyum lembut, selembut warna merah hati pada kerudung yang dikenakannya.
Akan tetapi, saya hanya seorang China&
Mengapa pula jika kau China" ayah Firdaus, seorang lelaki tampan bersurban putih menatapku dengan tatapan simpati. Yang harus kita pandang, bukanlah China, Jawa, Arab ataupun Eropa. Hati, ya& kecemerlangan kalbulah
yang membuat seseorang layak dikatakan sebagai sosok mulia ataupun hina.
Bagaimana, Mei" tanya Zak padaku. Firdaus serius, ayah dan ibunya juga telah hadir di sini. Sekarang, kita semua menunggu jawabanmu.
Aku tertunduk. Ada serangkum rasa haru yang menguasai jiwaku. Pelan aku mengangguk, dan mereka menghela napas lega.
Tanggal pernikahan pun ditetapkan, sebulan setelah lamaran itu. Dan tepat pada saat itu, saat lamaran, aku memutuskan untuk menjadi seorang mualaf.
*** Dan, hari pernikahan pun tiba. Pesta sederhana diselenggarakan di rumahku, di Solo. Sengaja. Karena rumah di Jakarta masih menorehkan trauma yang mendalam bahkan untuk sekedar mengingatnya. Tenda dipasang di depan rumah, kursi-kursi ditata, dan hidangan disiapkan. Beberapa hiasan dipasang, bunga-bunga, janur kuning, dan aneka hiasan lainnya.
Cempaka& ini sebuah keajaiban! Oma dan Opa akan datang dalam pesta pernikahanmu! teriak Zak, sehari sebelum pesta. Tadi Leo mengabariku, bahwa mereka dalam perjalanan menuju Solo.
Oma" Opa" bisikku, pelan. Terbayang di benakku sosok seorang perempuan cantik bertubuh tinggi langsing asli Minahasa, Omaku, dan seorang lelaki gagah dan tampan, Opaku. Pasangan terhormat yang telah melahirkan sosok Mama.
Semburat kebahagiaan kurasakan sesaat. Aku merasa lega. Di hari terpentingku, aku masih memiliki keluarga yang mendampingiku selain Zak, Kak Farihah, dan Leo. Papa Ruddy tak bisa hadir, karena masih dirawat di rumah sakit jiwa.
Inilah yang akan kau kenakan besok, Nak& ! Ibu Firdaus mendekatiku dan menyodorkan satu set pakaian muslimah berwarna ungu muda dengan kemasan yang sangat indah kepadaku. Bunda Fatimah, begitu aku memanggil calon mertuaku, memiliki hati selembut sutra. Selama sebulan dia tinggal di rumahku, dan dengan penuh kasih sayang mengajariku salat dan mengaji. Pada minggu kedua, meski Bunda Fatimah tak memaksa, dengan kesadaran sendiri aku memilih menutup auratku dengan hijab. Aku tahu persis, apa konsekuensi dari selembar kain itu saat melekat di atas kepalaku. Tetapi aku bukan tipe orang yang setengah-setengah. Saat aku memilih sebuah keyakinan, aku akan mencoba konsisten dan berusaha mengamalkan apa yang bisa aku lakukan.
Cantik sekali pakaian ini, Bunda& ujarku senang.
Tak lebih cantik dari yang memakainya, Sayang! ujar Bunda Fatimah, sembari tersenyum. Cepat aku memeluk wanita yang dengan seketika membuatku jatuh hati itu. Bunda Fatimah membalas pelukanku dan menepuk-nepuk pundakku dengan lembut.
Opa dan Oma kami akan datang di hari pernikahan Firdaus dan Mei Hwa, Bunda, kata Zak, kepada Bunda Fatimah. Besok pagi-pagi sekali mereka akan sampai di Solo. Merekalah yang akan mewakili pihak pengantin wanita.
Aku menggeleng. Aku tidak pernah mengenal Opa dan Oma. Aku tak ingin pada hari yang penuh sejarah itu, aku didampingi oleh orang-orang yang tak memiliki ikatan hati denganku, meskipun mereka adalah kakek dan nenekku sendiri.
Zak terpana sesaat. Tetapi, bagaimanapun juga, mereka Opa dan Oma kita, Mei.
Tentu aku tak akan menolak kedatangan mereka, Zak. Aku hanya tak mau mereka yang mendampingiku di pelaminan.
Jadi, siapa yang akan kau minta mendampingimu, Nak" tanya Bunda Fatimah, bijak.
Seraut wajah melintas di benakku. Dan aku mengangguk yakin. Mbah Murong, ya, manusia separuh
kayu itu. Aku ingin dia ada di sampingku saat akad nikah& , desahku.
Zak termangu. Aku akan pergi ke rumah Mbah Murong, memintanya datang dan mendampingiku.
Biar Firdaus saja yang datang kesana, Mei& kau calon pengantin, sebaiknya tak bepergian sehari sebelum hari terpentingnya. Nanti biar Bunda yang menelepon Firdaus. Baik, Bunda.
*** Jadi, dia masih hidup"
Perempuan itu mendadak surut ke belakang. Bulirbulir keringat dingin mengucur dari kulitnya yang penuh keriut. Goncangan dahsyat dalam jiwanya, membuat badannya bergetar hebat.
Kenapa, Mbah" tanya Jepri yang hari itu sangat necis dengan celana panjang warna hitam, kemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam. Rambutnya disisir rapi, lengkap dengan minyak rambut. Dari tubuhnya yang kecil, menguar aroma parfum yang sangat menyengat.
Ketika mendengar berita bahwa Cempaka hendak menikah, semalam suntuk Jepri tak dapat tidur. Dia patah hati, dan sangat menyesal karena tidak dari dulu
mengungkapkan perasaannya kepada gadis cantik itu. Namun, menjelang pagi dia baru menyadari, bahwa dia masih terlampau kecil untuk menjadi pendamping Mbak Cantik. Hanya saja, dia kemudian bertekad untuk tampil habis-habisan, dengan target mampu mengalahkan saingan terberatnya, yakni calon suami Mbak Cantik dalam hal penampilan.
Kepalaku pusing, Jep& , desis perempuan itu dengan suara sengaunya. Aku pulang saja!
Lho, jangan begitu, nanti Mbak Cantik marah& ayo, Mbah! Jepri menarik lengan Mbah Murong. Meskipun masih bocah, tenaga Jepri termasuk kuat. Tertatih-tatih, Mbah Murong pun mengikuti langkah Jepri memasuki halaman depan rumah Cempaka yang telah disulap menjadi tempat upacara pernikahan yang indah dan beraroma wangi.
Cempaka yang terlihat sangat cantik dengan abaya dan kerudung ungu mudanya, duduk bersanding di samping Fidaus yang juga tampak gagah dengan setelan jas warna hijau tua, serta kemeja putihnya.
Namun yang membuat perempuan itu seakan kehilangan seluruh tenaga yang dimiliki adalah & kehadiran manusia-manusia yang ternyata merupakan bagian dari masa lalunya.
Bagaimana mereka bisa hadir di sini"
Lelaki berjas biru yang duduk di sudut kanan, adalah sosok yang telah menyekenario pemusnahan dirinya di Samudra Hindia, yang telah membuat dia kehilangan segenap kecantikan dan kemerduan suaranya. Dia sungguh tak percaya, bahwa lelaki bedebah itu, ternyata ada di tempat ini. Ketika dia bertanya pada seorang tamu, dengan cepat tamu itu memperkenalkan lelaki itu sebagai Opa Cempaka. Seorang mantan pejabat tinggi di negara ini. Titelnya profesor doktor. Guru besar di sebuah kampus swasta favorit di Manado.
Doktor dari Perancis itu& .
Gempa di dalam hatinya semakin menggila begitu dia menyadari, bahwa lelaki berkopiah putih, dengan jenggot lebat berwarna putih yang tengah asyik dengan tasbihnya, yang diperkenalkan sebagai kakek Firdaus& adalah orang yang pernah mencintainya dengan tulus, namun cinta itu dia koyak dengan semena-mena. Ustadz jurusan ilmu tafsir dari Universitas Al-Azhar yang pernah dia kira jongos eyangnya.
Akan tetapi, yang membuatnya benar-benar terguncang adalah sosok dengan bibir penuh senyum yang tengah menatap pasangan pengantin itu dengan mata berbinarbinar. Dia sangat mengenali tahi lalat di bawah bibir lelaki itu. Tahi lalat yang seringkali dia belai dengan segenap "lan
keibuannya. Dia ingat, betapa dia merasakan dunia telah kiamat saat mendapati sesosok tubuh tengah terpanggang menjadi arang. Betapa hancur sanubarinya ketika mendapati buah hatinya ikut menjadi korban kesemenamenaannya.
Jadi, tubuh hangus itu bukanlah Khairul Annam. Sesaat dia teringat pada bocah penggembala yang sering menginap di pesantren. Postur tubuh si penggembala itu begitu mirip dengan bocah itu. Bocah yang kini telah menjadi manusia dewasa. Khairul Annam adalah lelaki yang tengah tersenyum lembut saat anak lelakinya, Firdaus Yusuf bin Khairul Annam, bersimpuh di depannya& .
Mengapa semua terasa begitu kebetulan" Tahukah Annam, bahwa lelaki mantan pejabat tinggi itu adalah ayah kandungnya" Tahukah mereka, bahwa Firdaus dan Mei Hwa adalah saudara sepupu" Tetapi, bukankah sesama saudara sepupu diperbolehkan untuk menikah" Ya, biarlah mereka hidup berbahagia.
Perempuan itu, Sekar Ayu, alias Mbah Murong, alias manusia separuh kayu, mendadak tergugu. Ya, biarlah mereka hidup berbahagia. Dan dia tak berhak menikmati kebahagiaan itu, karena dosa yang dia lakukan di masa lalu begitu pekat. Dia menyadari, bahwa kehadirannya, justru akan membuat benang-benang kasih yang telah terajut di
antara manusia-manusia yang menjadi bagian dari masa lalunya itu, akan terkoyak kembali.
Ketika Jepri kehilangan konsentrasi akibat terpikat meja bundar yang penuh aneka hidangan lezat, buru-buru perempuan itu pun beringsut, keluar dari ruangan dan beranjak pergi& melangkah, sejauh-jauhnya.
Saat itulah dia merasakan dadanya mendadak begitu perih. Namun dia terus melangkah dan berusaha kerasa menahan serangan sakit yang kian dahsyat mendera.
Dia terus melangkah. Sampai sepasang kakinya benarbenar tak mampu lagi menyangga tubuhnya, dan dia pun terjatuh& dan tak bangun lagi.
Seminggu kemudian& Perempuan bermata sipit itu menangis semakin
keras di depan Sutoyo dan istrinya yang hanya mampu termangu. Sementara, lelaki yang berada di sampingnya tampak sibuk menenangkan perempuan itu.
Di mana... di mana kau mengubur kayu itu" Saya tidak mengubur kayu, akan tetapi mayat. Mayat seorang perempuan tua yang kami temukan di tumpukan sampah, jelas Sutoyo.
Bawa saya ke kuburnya! Saya akan bongkar kuburnya& saya akan bongkaar& saya akan mengubah
Epilog kayu itu menjadi manusia baru.
Sabarlah, Mei Hwa& semua yang terjadi itu di luar kehendak kita. Allah, Allah Subhanahu Wata ala yang telah mengatur itu semua, bisik lelaki yang dengan setia mendampingi perempuan itu.
Tetapi, aku telah kehilangan segalanya. Mamaku meninggal, Papaku masuk rumah sakit jiwa& dan perempuan separuh kayu itu& .
Masih ada aku, yang akan terus berada di sampingmu, mencintaimu tanpa syarat& masih ada keluarga kita yang akan mendukung dan menyayangimu, dan lebih dari itu, ada Allah yang akan terus melimpahkan berkah-Nya yang tiada tara. Mengapa kau merasa putus asa"
Mei Hwa memeluk suaminya dengan erat. Air matanya tumpah di dada bidang lelaki itu& .
Polling Pembaca Indiva 2014
Untuk meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, PT Indiva Media Kreasi, sebuah penerbit yang berlokasi dengan Solo, menyelenggarakan Polling Pembaca Indiva 2014. Mohon partisipasinya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik. Jawaban bisa dikirim ke email publish.indiva@gmail.com
Tersedia paket hadiah menarik bagi 100 pengirim jawaban yang beruntung.
IDENTITAS ANDA Nama : ............................................................................ Alamat : ............................................................................ Email : ............................................................................ No. HP : ............................................................................ Twitter : ............................................................................ FB : ............................................................................ URL/Blog/Website : ............................................................................ Pendidikan Terakhir : ............................................................................ Usia : ............................................................................ Pekerjaan : ............................................................................ PERTANYAAN
1. Berapakah kisaran besar dana khusus yang Anda alokasikan untuk berbelanja buku setiap bulan"
a. < Rp 50.000,- 363 b. Rp 50.000 s.d. < Rp 100.000,- c. Rp 100.000 s.d. < Rp 200.000,- d. > Rp 200.000,2. Di manakah Anda biasa membeli buku" (boleh pilih lebih dari satu jawaban).
a. Penerbit langsung d. Bazzar, Book Fair dll. b. Toko buku e. Lainnya & & & & & & & & & & c. Toko buku online
3. Jika Anda membeli di toko buku, toko buku manakah yang paling sering Anda datangi" (boleh pilih lebih dari satu jawaban). a. TB Gramedia d. TB Gunung Agung b. TB Toga Mas e. Lainnya & & & & & & & & & & c. TB Karisma
4. Apa alasan yang membuat Anda memutuskan untuk membeli sebuah buku" (boleh pilih lebih dari satu jawaban). a. Isinya menarik d. Cover menarik b. Pengarangnya terkenal e. Endorsement/testimoni c. Judulnya menarik f. Lainnya & & & & & & & & & &
5. Menurut Anda berapa harga buku yang ideal" a. Rp 25.000 s.d. < Rp 50.000 d. > Rp 100.000 b. Rp 50.000 s.d. < Rp 75.000
c. Rp 75.000 s.d. < Rp 100.000
6. Menurut Anda berapa ketebalan buku yang ideal" a. 100 s.d. < 200 hal
b. 200 s.d. < 300 hal c. 300 s.d. < 400 hal d. 400 hal ke atas
7. Jenis buku apa yang paling Anda minati" (boleh pilih lebih dari satu jawaban).
a. Non Fiksi d. Komik b. Kumpulan Cerpen e. Lainnya, silakan diisi c. Novel
8. Genre novel apa yang paling Anda minati" (boleh pilih lebih dari satu jawaban).
a. Thriller d. Sejarah b. Romance/drama e. Lainnya & & & & & & & & & & c. Komedi
9. Tema buku non fiksi apa yang paling Anda minati" (boleh pilih lebih dari satu jawaban).
a. Motivasi/how to b. Rumah tangga dan pernikahan c. Remaja
d. Marketing & Kewirausahaan e. Lainnya & & & & & & & & & &
10. Jenis cover buku seperti apa yang Anda minati" a. Sederhana, simpel
Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
b. Ramai, ngejreng, provokatif c. Klasik, realis
p u s 11.Darimana Anda mendapatkan informasi tentang perbukuan" a. Facebook e. Blog
b. Twitter f. Media Elektronik (radio, TV) c. Goodreads g. Lainnya & & & & & & & & & & d. Iklan majalah/Koran
12.Apakah metode promosi penerbit yang menurut Anda paling menarik"
a. Pengoptimalan Akun Socmed b. Bedah buku / Jumpa penulis c. Iklan di media
d. Lomba-lomba e. Lainnya & & & & & & & & & &
13.Siapa pengarang yang selalu Anda nantikan buku-bukunya" a. Asma Nadia
b. Andre Hirata c. Habiburahman El-Shirazy d. Tere Liye
e. Affah Afra f. Salim A Fillah
g. Lainnya, silakan diisi
14.Berikan saran dan kritik untuk peningkatan mutu produk dan pelayanan kami.
.......................................................................................................................... .......................................................................................................................... ..........................................................................................................................
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : .................................................................... Tempat/Tanggal Lahir : .................................................................... Pendidikan Terakhir : .................................................................... Asal Sekolah/PT : .................................................................... Alamat Rumah : .................................................................... No. Handphone : .................................................................... Email : .................................................................... Judul Novel : .................................................................... Dengan ini bermaksud mengikuti Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva 2014 Penerbit Indiva. Bersama ini saya sertakan kelengkapan persyaratan untuk mengikuti Lomba Novel Islam tersebut.
1. Tiga jilid novel. 2. Sinopsis karya. 3. Surat keterangan tentang keaslian karya disertai dengan materai Rp 6000.
Demikian surat pendaftaran ini saya buat.
.........................., .................. 2014 Tertanda
(...................................................)
FORMULIR PENDAFTARAN LOMBA MENULIS NOVEL INSPIRATIF INDIVA 2014
Kabut Di Bumi Singosari 4 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Meraba Matahari 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama