Ceritasilat Novel Online

Si Midah Bergigi Emas 1

Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 1


LENTERA DIPANTARA Midah, Simanis Bergigi Emas
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia.
Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara-sebuah wajah semesta yang
paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1
tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965 "
Juli 1969, pulau Nusa Kambangan Juli 1969 " 16 Agustus 1969, pulau Buru Agustus
1969"12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses
pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat
pembebasan secara hokum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi
masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan Negara sampai tahun 1999
dan wajib lapopr ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2
tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, diantaranya Tetralogi Buru
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)
Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Baginya, menulis
adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang
ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan
diterjemahkan ke dalam lebih dari 39 bahasa asing. Karena kiprahnya di
gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai
penghargaan internasional, diantaranya; THE PEN Freedom-to-write Award pada
1988, Ramon Magsaysay Award pada 1955 dan The Norwegian Authours Union, pada
tahun 2004. Sampai kini, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya
berkali-kali massuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Dari Lentera Dipantara "Ah, sudara, manusia ini kenal satu sama lain, tetapi tidak dengan dirinya
sendiri". Memang tidak ada hasilnya untuk kemakmuran kita hendak mengenal diri,
karena dia takkan menghasilkan kekayaan." "Pramoedya Ananta Toer
Ini adalah novel ringan. Ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada warsa 50an dengan seting tempat: DJAKARTA. Novel ini seperti nafas novel-novel lainnyamenjadikan perempuan sebagai tokoh utamanya. Nama tokoh utama itu Midah. Pendek
sekali namanya. Hanya Midah. Kulitnya kuning. Wajahnya gaka bulat. Kalau
tersenyum, ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya, kuat hatinya.
Midah dilahirkan di tengah keluarga yang ta"at beragama. Hadji Abdul nama
bapaknya. fanatik terhadap musik-musik berbau Arab. Umi Kalsum-bukan Inul-yang
menjadi penyanyi favoritnya. Sampai ketika usia 9 tahun kehidupan Midah sangat
enak. Ia dimanja dan dipangku-pangku. Karena memang ia anak tunggal. Situasi
berubah ketika Midah mempunyai adik yang mulai membanyak. Dirumah ia sudah mulai
disepelekan. Perhatian bapaknya sudah sepenuhnya kepada adik-adiknya. Ia tak
lagi dipangku-pangku. Ia tak lagi ditemani ayahnya untuk mendengarkan lagu Umi
Kalsum. Midah sekarang seperti terkucil di rumahnya. Adik-adiknya telah merampas
semuanya. Karena tidak betah, Midah sering keluar rumah dan biasanya pulang sore
atau bahkan malam hari. Begitu seterusnya. Tetapi bapaknya cuek saja. Apalagi
ibunya. Situasi tidak berubah sama sekali. Ini makin membetahkan Midah untuk
bermain-main di jalanan. Di jalanan itulah Midah kena pikat dengan pengamen
keliling. Terutama lagu-lagu keroncong yang mereka bawakan. Midah senang sekali
dengan kroncong. Ia ternyata sudah bosan dengan Umi Kalsum. Dibelinya beberapa
piringan hitam kroncong. Sesingkat itu, Midah sudah hafal semua isinya. Saat
itulah ia kepergok bapaknya. Ia dihajar habis-habisan gara-gara mendengarkan
lagu haram di rumah. Diantara rasa taut berkecamuk di hati, Midah menyimpan
benci kepada ayahnya ini. Ibunya juga tak bisa berbuat apa-apa. Di hadapan
bapaknya, ibunya tak memiliki kekuatan.
Sampailah suatu hari ketika ayahnya ingin menikahkan Midah dengan lakilaki pilihan ayahanya. Dan syaratnya: laki-laki itu berasal dari Cibato, desa
ayahnya, berharta, dan ta"at kepada agama. Setelah tiga bulan perkawinan, Midah
lari dari lakinya, Hadji Terbus, dengan membawa beban hamil karena tahu Hadji
Terbus memiliki banyak bini. Ia terseret ditengah rimba jalanan kota Jakarta
tahun 50-an. Dalam fase peralihan iniah Pramoedya menggambarkan perempuan muda ini
begitu kuatnya untuk bertahan hidup. Midah dituturkan sebagai orang yang tak
mudah menyerah dengan nasib hidup. Walaupun ia hanya menjadi penyanyi dengan
panggilan simanis bergigi emas dalam kelompok pengamen keliling dari satu resto
ke resto lainnya, bahkan dari pintu ke pintu rumah warga. Dengan kandungan yang
makin membesar dari hari ke hari, Midah memang tampak kelelahan. Tapi manusia
tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas
harus diarungi. Dan kita tahu Midah memang kalah (secara moral) dalam pertaruhan
hidup itu: menjadi penyanyi sekaligus pelacur.
Pram, lewat novel ringan ini, memperlihatkan ketegangan antara jiwa
seorang humanis dan moralis. Di satu sisi Pram ingin menegaskan kekuatan seorang
perempuan berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Seorang
perempuan yang tak mudah ditaklukan oleh apapun. Tapi di sisi lain ingin
memperlihatkan kebusukan kamum moralis-lewat tokoh Hadji Terbus, juga Hadji
Abdul-yang hanya rajin zikir, tapi miskin citarasa kemanusiaan. Dan juga
serakah. Toer. Sebuah novel ringan yang elegan citarasa bahasa khas Pramoedya Ananta
Bagian Pertama Kalau mereka kelak pulang ke Cibatok, semua kawan-kawannya yang dahulu
begitu penakut tak berani merantau ke Jakarta. Pasti akan datang berjejal di
rumah dan mengagumi mereka. Apalagi! Kerja di Jakarta. Kumpul-kumpul uang, dan
akhirnyta terbeli juga rumah di Cibatok. Bukan rumah bambu seperti kawankawannya punya. Kayu, setengah tembok! Itu belum lagi. Cita-citanya yang
terbesar sudah terkabul pula, dan sekarang kawan-kawannya akan menyebut Hadji
Abdul. Ah, hidup ini alangkah manis kalau cita demi cita terampas ditangan kiri
dan kebesara dikuasai ditangan kanan.
Itupun belum seluruhnya. Midah begitu manis dan montok dan tujuh atau
delapan tahun lagi dia akan menguasai seluruh hati-muda di seluas daerah
Ciabtok. Dan ia tinggal pilih saja siapa pemuda yang bakalnya bisa jadi haji,
bisa mengaji begitu mengharukan seperti Syeh Ali Mubarrak, yang dikenalnya di
Kairo. Kairo! Siapa pula diantara kawan-kawannya yang penakut itu pernah dengar
nama itu. Itupun belum lagi habis. Masih ada kebesaran yang tidak terlawankan:
bisa bercerita sambil berbisik tentang Umi Kalsum-itu biduan Mesir yang menawan
hati penduduk di kampung-kampung Jakarta.
Dan Hadji Abdul tidaklah merugi tiap hari mengucapkan syukur kepada
Tuhannya yang telah begitu murah terhadapnya- memberinya segala kesenangan dan
kenikmatan yang sejak kecil didambakannya. Dan ia yakin, apabila seluruh umat
seibadah dirinya, tidak lama lagi-dan dunia benar-benar akan berubah menjadi
surga. Tiap hari ia bawa tubuhnya yang mulai menggemuk itu pergi ke tookkulitnya. Dan disepanjang jalan ia pandangi lalu lintas yang begitu gelisah,
begitu pontang-pantingdalam keterbanan nasib manusia, -ia menggeleng-gelengkan
kepala sambil berjalan kaki, mendoa dengan sejujur hatinya.
Sudi kiranya Tuhan mengampuni kemurtadan mereka. Berilah mereka bimbingan,
dan cairkan panasnya hawa nafsu mereka. Tidakkah engakaulepaskan mereka dari
siksaan tunggang-langgang tiap hari di jalan-jalan besar yang begitu ramai"
Dan dengan sikapnya yang tenang, ia anggukkan kepala kepada buruhnya yang
telah sedia menungggu di depan toko kulitnya. Ia perlakukan snua mereka dengan
lemah lembut dan ia beri mereka upah yang patut. Dalam hal ini semua tingkah
lakunya ikut menggantungkan jalannya perusahaannya. Ia tak perlu takut
menghadapi persaingan dari pihak pengusaha asing mapun sebangsanya. Ia tetap
percaya kepada kemurahan Tuhannya dalam usaha yang baik dan jujur.
Sore hari ia pulang kembali ke rumah diantara anaknya si Midah dan
bininya. Sudah dapat ditentukan ia duduk di kursi goyang sambil mendengarkan
piring hitam yang membawakan suara Umi Kalsum kepadanya. Juga sudah dapat
ditentukan Midah duduk di pangkuannya, dan ia mengelus-elus pipinya yang montok
sambil merestui selamat dalam hatinya.
Keyakinannya kepada Tuhannya telah menyediakan jalan-jalan yang tegas dan
menuju kearah yang pasti bagi Hadji Abdul. Ketegasan, kepastian, ditambah dengan
keyakinan pada kebaikan menyebabkan ada sesuatu kekuatan padanya yang sanggup
menundukkan daerah selingkungannya. Dan karena keimanannya juga ia tak pernah
mencurigai siapapun. Ia bahkan tidak mau-sekalipun hanya dalam otak belaka
berpiir jahat kepada orang lain. Jiwanya tidak pernah tersiksa oleh kekusutan
dan kekotoran pikirannya. Hatinya selalu aman.
Keinginannya untuk mempunyai anak lagi, selalu ditindasnya. Apabila Tuhan
telah menakdirkan, demikian selalu ia berpendapat, pada suatu kali yang baik dia
akan dating kerumah kami utuk menjadi anak kami.
Hingga Midah berumur sembilan tahun, anak baru itu tak juga datang. Dan
sewaktu umur Midah bertambah setahun lagi, anak baru itu tak juga dating. Mulai
saat itu kebimbangan merayap dalam hatinya. Bahkan sekali ia pernah mengucapkan
kata-kata: Biarlah semua aku kurbankan, asalkan mendapat anak lagi-terutama lelaki.
Dan sehabis mengucapkan kata-kata itu ia menyebut lagi beberapa kali. Ia
kaget. Ia merasa dirinya murtad dan ingkar janji terhadap kehendak Tuhanya. Ia
berpuasa. Ia bersedekah. Tetapi kata-kata itu terlepas dan takdir Tuhannya itu
merupakan dua kekuatan yang berperang dalam sanubarinya. Ia menyesal terus.
Berkali-kali sembahyangnya gagal dan terpasa ia ulangi dari permulaan, apabila
seperti kilat kata-kata terlepas itu menyambut hatinya. Dan ia menggigil takut
pada murka Tuhannya. Ia merasa sudah menerima sebagian terbesar dambaannya dari
Tuhan. Dan kini ia syukur sepenuh hatinya. Beberapa malam ia tidak bisa tidur,
dan untuk membohongi tuntuan keimanannya dari kemungkinan murka Tuhannya, ia
terus-menerus berzikir. Kadang-kadang hingga matahari yang kemarin telah datang
lagi di ufuk timur. Pada suatu hari isterinya datang kepadanya dan berbisik: Tuhan telah
mengabulkan permintaanmu. Aku mengandung.
Sedekah besar-besaran diadakan. Dan waktu bang Sarean siap hendak
mengumumkan hajat Hadji Abdul, yang akhir ini belum juga berani menambahkan
kepada bang Sarean, bahwa sedekah itupun dimaksudan untuk mengucapkan syukur
bukan saja karena kehendaknya terkabul tetapi juga karena Tuhan telah mengampuni
kemungkirannya. Kembali Hadji Abdul memperoleh kepercayaan-dirinya, sekalipun belum lagi
seratus persen. Kandungan isterinya menyebabkan ia memperbuat sesuatu yang
sangat dilebih-lebihkan tidak lain daripada imbangan pada kegoyahan hati
kecilnya. Tapi walau bagaimana juga, keteguhan yang dahulu-dahulu telah hilang
dari jiwanya. Kini ia menjadi makhluk, yang setiap sadar merasa celaka, diganggu
oleh penyesalan yang tidak habis-habisnya.
Waktu anak kedua lahir, sekali lagi diadakan pesta besar yang menyita
banyak sekali dana persediaan uangnya. Tamu datang dari mana-mana. Bahkan kawankawannya sepermainan di Cibatok ia undangi belaka. Seluruh biaya perjalanan
ditanggung. Ke sana ke mari ia memperlihatkan tertawanya, cerutu dan makanan
yang paling malah beredar. Lampu menghiasi seluruh sudut pekarangannya, dan
malam dibuat menjadi siang. Ia sambut semuanya dengan senyum berdaulat.
Tetapi waktu pesta telah habis, kegelisahannya kembali mengamuk.
Sesalannya karena ucapan yang mengingkari takdir Tuhannya mengintip tiap saat ia
miliki kesadaran budinya. Akhirnya anak kedua menjadi sasaran kegelisahannya. Ia
lebihkan segala-galanya dariapa yang ia pernah sediakan untuk Midah.
Belum setahun kemudian Hadji Abdul mendapat anak kembar lelaki. Setahun
kemudiannya lagi ia memperoleh anak perempuan. Terus menerus.
Bagian Kedua Kelahiran si adik bukan saja menggoncangkan iman bapak! Juga hati Midah
goncang karenanya. Tak cukup kata-kata padanya untuk mengucapkan itu. Hanya
dalam hatinya timbul perasaan yang tidak enak. Sejak kelahiran si adik, ia tidak
mendapatkan perhatian dari bapak. Juga tidak dari emak. Berbagai lagak dan lagu
ia perlihatkan, tapi semua luput.
Semingu kemudian ia demam. Bapak hanya datang sebentar membawakan kue. Dan
emak masih terbujur saja di ranjang di dekat siadik. Midah harus memulai yang
baru memulai tanpa dimanjakan, tanpa duduk di pangkuan bapak mendengarkan Umi
Kalsum. Tanpa segala-galanya. Ia terlepas seorang diri. Ia hendak kembali ke
suasana manis yang bertahun-tahun dihirupnya. Tapi suasana itu bukan miliknya
lagi-milik adiknya. Waktu ia sembuh dari sakitnya, dengan pipi kempot dan kaki gemetar
melangkah, ia melihat si adik di sisi emak. Emak tertawa kepadanya. Tapi mata
Midah terbuka lebar kosong dari segala kesan. Dan bibirnya tidak terbuka. Cuma
dalam hatinya terasa: itu dia merampas segala-galanya yang menjadi milikku. Ia
masih juga mencoba memikat perhatian emak. Tetapi tak ia peroleh apa yang ia
harapkan. Bapak pun tak sanggup ia pikat lagi. Sehabis pulang kerja segera ia
menggendong adik. Tidak mendengarkan Kalsum lagi, tetapi mondar-mandir di kamar
emak sambil menyanyi. Kebiasaan telah menyebabkan Midah sering memutar gramapun sendiri.
Kebiasaan ini menyebabkan ia tidak dapat menikmati seni suara Mesir itu. Hadji
Abdul tak tahu bahasa Arab, dan Midah apalagi. Sekalipun yang akhir ini sudah
tujuh tahun belajar mengaji pada ustazah Mariamah, belum lagi sanggup ia
terjemahkan satu kalimat Arab yang sederhana pun.
Sehabis mengaji, atau apabila suara Kalsum tak menarik hatinya lagi, ia
tak senang lagi tinggal di rumah. Ia tak mendapat sesuatu lagi dari emak dan
bapaknya- sesuatu yang dahulu indah dan nikmat. Ia mencari yang indah dan nikmat
itu di luar rumahnya. Demikianlah kesukaannya pada lagu Mesir pada suatu hari menemui
perubahannya. Dala pengembaraannya di sekitar Kampung Duri--di mana ia tinggal
sejak dilahirkan-- ia temui satu rombongan pengamen kroncong, karenanya tidak
heran mendengar lagu yang berlainan dengan yang dating dari Mesir itu. Namun
sekali ini memperhatikan dan menikmatinya"dengan kata-kata yang ia mengertiakhirnya ia tertawan olehnya. Begitu langsung sampai kehatinya. Begitu tepat
menterjemahkan perasaan dan kemauannya. Dan ia jatuh cinta padanya.
Hingga berkilo-kilo jauhnya ia ikuti rombongan pengamen itu. Bahkan dia
sendiri, banyak lagi pemuda dan pemudi kecil berbuat seperti dirinya. Dan dengan
diam-diam mereka ini meneguk habis seluruh rangkaian suara yang keluar dari
rombongan pengamen itu. Bahkan canda sindiran anggota-anggota rombongan satu
sama lain seakan member silaan yang lepas dari segala kesulitan: hidup yang
hanya dipergunakan untuk mengabdi pada kesukaan: kesukaan menyanyi, kesukaan
membagi kesukaan dengan para pendengarnya.
Tidak disadari betul oleh Midah betapa kehidupan rombongan ini. Midah
belum lagi dirusakkan oleh kehidupan . Dan hidupnya masih bersih belum dikotori
oleh masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan. Dan kehidupan rombongan pengamen
terlepas dari kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah seperti diri Midah. Mereka
merasa pennuh apabila telah dapat menciptakan rangkaian suara yang memikat hati.
Mereka tidak mengeluh mendapat derma sedikit. Adanya kesamaan itu mungkin
yang menyebabkan Midah telah merasa bersatu dengan merea. Dan pergaulan yang
bgeitu bebas antara satu-sama-lain membangkitkan perasaan-perasaan baru dihati
Midah. Dirumah ia selalu berada dalam kemanisan-kemanisan antara orang tua dan
anak, dan bukan antara sesama. Sedang ia menghendaki yang akhir.
Midah tidak ada niat untuk melawan ikatan rombongan pengamen. Ia terus
mengikuti, dari Kampung Duri hingga Glodok dan dari Glodok ke Pasar Baru. Waktu
matahari telah tenggelam, baru ia merasa takut pada orangtuanya. Sesegera ia
melompat ke atas trem dan pulang ke rumah.
Emak dan bapak tidak marah oleh keterlambatannya.
Bahkan bapak tak bertanya sama sekali ke mana saja ia pergi sehari-harian
itu. Dan keesokan harinya Midah mencoba mencari rombongan itu, tetapi tidak
didapatnya. Di Glodok dibelinya piringan-piringan hitam lagu-lagu kroncong dan
dibawanya pulang. Waktu ia memutar Jali-jali, emak tidak menegur. Bahkan babu
dan jongos kegirangan dan merubungi gramapun itu. Satu-demi-satu dari piringan
hitamnya ia putar. Dan tiap kali lagu kroncong membumbung dari pesawat itu
terasa kembali suasana mereka yang begitu manis, begitu langsung, begitu khas
dari rombongan pengamen. Dikala orang lain telah merasa bosan, ia masih tinggal
seorang diri, menirukan lagu-lagu itu. Apabila benar bahwa tiap orang dilahirkan
kedunia dengan hadiah bakat, Midah ternyata mempunyai bakat juga. Dan bakatnya
adalah menyanyi. Empat piringan ia beli dan sehari itu ia telah hafal delapan
buah lagu dengan tidak menyalahi irama.
Sedang ia asyik bernyanyi mengikuti megikuti gramapun, tiba-tiba bapak
pulang dari took. Mendengar Moresko melayang-layang dirumahnya, jauh-jauh bapak
sudah berteriak dengan suara kejam:
Haram! Haram! Siapa memutar lagu itu di rumah"
Dan waktu dilihatnya Midah masih asyik mengiringi lagu itu, ia tampar
gadis itu pada pipinya. Midah terjatuh di lantai. Kekagetan lebih terasa padanya
daripada kesakitan. Ia pandangi bapaknya yang bermata merah didepannya, kemudian
dengan ketakutan ia bangun. Ia menangis perlahan. Dan waktu dilihat mata
bapaknya masih mendelikinya, ia menjerit ketakutan.
Siapa mengajari engkau menyanyi lagu haram ini" Tangannya telah melayang
untuk sekali lagi mendarat di kepala Midah.
Midah tak menjawab. Ia lari mencari perlindungan pada emaknya. Bapak
memburunya ke kamar emak dan berteriak:
Siapa yang mengajar" Jawab! Kalau tidak, aku banting kau dilantai.
Emang tidak melindungi Midah, hanya memandangi dua orang itu dengan mata
kosong dari segala kesan. Akhirnya gadis itu mencari jalan dari pintu lain dan
melarikan diri ke dapur mencari perlindungan pada babu. Tapi bapak belum lagi


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reda dari amarahnya. Ia buru Midah. Tapi babu member perlindungan anak itu satu
perlindungan yang kuat. Kau yang mengajari" Teriaknya pada babu.
Tidak bang Hadji. Dia sendiri.
Haram! Haram! Pasti ada yang mengajari.
Tidak ada orang yang bisa menjawb tuduhan bang Hadji. Dan karena amarahnya
tidak dapat ditahannya lagi, semua orang yang bekerja di dapur diusirnya hari
itu juga. Peristiwa itu ditutup oleh kegoncangan baru yang terjadi dalam sanubari,
harapannya dan keyakinannya akan kebesarannya. Bayangan sambutan kawankawannyakelak bila mereka pulang ke Cibatok ikut tergoncang. Malam itu sehabis
bersembahyang ia terus menerus berzikir hingga subuh tiba dan ia bersembahyang
isya. Sebelum pergi bekerja dipesannya bininya agar menjaga Midah.
Peristiwa itu, buat Midah, telah menggoncangkan anggapannya selama ini
terhadap ayah dan emaknya. Ia menyaksikan betapa amarah bapak telah menyebabkan
piringan-piringan yang begitu ia cintai, baru kemarin pula dibeli dan menjadi
miliknya, pecah belah tak tertolong lagi. Sekali hentak ia telah menjadi gadis
kecil liar. Beberapa hari itu ia mengurung diri di dalam kamarnya. Ia malu pada
emaknya. Ia malu pada tetangganya. Ia malu pada segala-segalanya.
Dan juga yang lebih hebat daripada itu: ia takut pada bapak. Bapak yang
beberapa tahun yang lalu masih membelai-belai pipinya di kursi goyang sambil
mendengarkan Umi Kalsum. Bertambah banyak adi gadis Midah, bertambah jauh dia tercerai dari kedua
orang tuanya. Kadang-kadang ia dengar ia dilamar. Kemudian setelah terbetik
berita penolakan lamaran, ia tak dengar apa-apa tentang dirinya melalui pendapat
orang lain. Suatu malam emak datang ke kamarnya dan bercerita dengan irama
rendah tenang. Midah, sekarang engkau sudah besar. Sebentar lagi kawin. Jangan kira
engkau tidak cantik. Sudah banyak bapakmu menerima lamaran. Tapi bapakmu hanya
mau menerima lamaran kalau ada Hadji dari Ciabtok yang mengerjakannya.
Tentu saja cerita seperti itu tidak patut dijawab bagi seorang seperti
Midah yang telah menjadi liar oleh perasaan malu dan takut.
Sekarang hadji yang diharapkan itu dating melama pada bapakmu. Ia punya
sawah banyak, kerbau berpuluh-puluh, ibadatnya kuat. Ah, engkau akan mendapat
suami yang baik, yang takut pada Tuhan.
Demikian pada suatu hari yang mendung, Midah dikawinkan dengan hadji
Terbus dari Cibatok-seorang yang berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan
langkahnya yang tidak pernah berisi kebimbangan, menandakan ia seorang lelaki
yang mahir dalam memerintah, dan biasa hidup dalam kekayaan.
Di tangan lelaki ini Midah tak ubahnya dengan sejumput tembakau. Ia bisa
dipilin pendek dipilin panjang-- dipilin dalam berbagai bentu. Di daerah, dimana
dahulu bapaknya dilahirkan, ia merasa sebagai sebatang tunggul terpancang di
tengah-tengah padang. Apalagi setelah diketahuinya bahwa Hadji Tebus bukan
bujang dan bukan muda. Ini diketahuinya waktu ia mengandung tiga bulan.
Waktu ia tidak sanggup lagi menanggung segalanya, dengan diam-diam ia
kembali ke Jakarta. Tetapi tak berani ia terus langsung kerumah orang tuanya.
Mula-mula sekali ditujunya adalah umah babu yang pernah memberinya perlindungan
terhadap pukulan bapaknya.
Mengapa engaku tak langsung pulang kerumah orangtuamu" Riah- bekas babunya
itu- bertanya. Takut. Ia menjawab. Riah sejak dahulu kasih kepadanya. Dipandanginya Midah lama "lama dengan
rasa kasihan memancar-mancar pada matanya.
Seganas-ganas macan, dia takkan memakan anaknya sendii. Mari aku antarkan.
Aku takut Engkau begitu kurus dan hijau. Engkau mengandung"
Midah mengangguk. Apa pendapatmu kalau aku sendirian datang kerumah orang tuamu"
Dan Midah tak dapat memilih mana yang harus dsetujuinya.
bale. Baiklah. Sebentar aku pergi ke sana. Midah, tidur-tiduranlah engkau di
Dan setelah menyediakan kopi, Riah pergi kerumah orang tua Midah.
Sebelumnya sudah tahulah Riah bahwa bang Hadji takkan mungkin bisa
menerimanya dengan baik, apalagi berterimakasih. Ia tahu kegarangan orang itu di
hari-hari belakangan. Perdagangannya yang mundur, anaknya yang bertambah banyak
juga, hutangnya yang mulai meningkat- semua itu menyebabkan orang itu seakan
pisau cukur yang kehilangan sarungnya dan tiap waktu bisa melukai orang.
Mula-mula Riah disambut dengan sikap tidak peduli. Kemudian mulailah
perempuan itu memperkenalkan maksud-maksudnya:
Bang Hadji, anak bang Hadji- si Midah- sekarang ada di Jakarta.
Kurang ajar! Mengapa tidak terus pergi ke rumah orangtuanya"
Takut, Takut" Mengapa takut"
Karena seorang diri. Minggat dari lakinya"
itu. Riah tidak menjawab. Dan pembisuannya adalah pengiaannya atas pertanyaan
Anak Hadji Abdul tidak bakal lari dari rumah akinya. Anak Hadji Abdul
dididik baik. Engkau yang jadi biang keladi kalau terjadi seperti ini.
Baiklah, aku sampaikan kepadanya apa yang bang Hadji katakana kepadaku.
Dimana dia sekarang"
Ada di Jakarta Di rumahmu" Tidak. Di Jakarta. Awas! Engkau yang bakal ditankap polisi kalau ada apa-apa. Suruh dia
kemari, biar dia kenal siapa bapaknya.
Riah segera pulang. Didapatinya Midah sedang menyapu. Ia tak tahu apa yang
harus dikatakannya. Berulang-ulang Midah bertanya kepadanya bagaimana pendapat
bapaknya. Waktu dilihatnya perempuan itu berdiam diri terus, tahulah ia bahwa
keadaanya telah tentu. Namun sementara itu ancaman bang Hadji Abdul tidaklah
menimbulkan kegentaran dalam hatinya. Ia patah hati karena kepercayaannya pada
kebaikan diremukkan oleh orang lain.
Baiklah, kalau begitu aku mencoba mencari kerja, kata Midah malam itu.
Seperti aku tak pernah bunting. Midah, bantah Riah. Baru saja engkau
bangun dari jongkok matamu berkunang-kunang Kalau tak ada benda tempat engkau
berpegangan engkau rubuh ditanah. Dan kalau engkau muntah- ah, aku kira segera
tuanmu akan mengusir. Tapi mesti kucoba. Apa yang engkau bisa"
Midah kaget. Ia memikir dan mencoba mengerti sesungguhya yang bisa ia
kerjakan. Jadi babu aku bisa, akhirnya dengan suara rendah ia menjawab.
Itu tidak baik bagi dirimu. Engkau cantik, lagipula tidak bisa diperintah
orang. Engkau gampang tersinggung dan tidak cekatan.
Mereka tidak mendapatkan kata sepakat. Akhirnya Riah bercerita:
Bertahun-tahu aku membujang pada bapakmu. Begitu baik tadinya. Aku masih
ingat bagaimana engkau dimanjakan. Bagaimana ia berbangga kian-kemari, engkau
adalah anak yang paling sempurna diantara semua anak-anak yang ada. Ia bangga
karena tidak ada anak lain yang begitu dimanjakan seperti engkau.
Mudah mendengarkan. Ia mencoba mencari dirinya sendiri dalam cerita itu.
Yang ditemuinya hanyalah masa manis yang telah habis direguknya"dahulu. Antara
sebentar Riah bercerita tentang kekayaan orangtuanya"juga kekayaan itu juga yang
kian lama kian susut. Tapi itu tidak menarik perhatian Midah. Ia telah biasa
hidup dalam kemewahan baik di tempat orangtuanya sendiri maupun di tempat
suaminya, dan kini kekayaan dan kemewahan itu bukan barang yang menarik hatinya.
Akhirnya cerita itu sampai pada babak lain:
Dan sekarang anak manis yang dahulu dimanjakan begitu rupa menjadi"ia
pandangi Midah, tetapi Midah tersenyum menghiburnya"aku tak tahu apa harus
kunamai keadaanmu sekarang ini!
Akhirnya cerita itu sampai pada babak lain:
Baik" Begini baik"
Setidak-tidaknya ada kekayaan yang terbawa olehku.
Engkau" Membawa kekayaan"
Ya, dalam kandunganku. Midah! Midah! Lebih baik kuatkan hatimu, dan mari aku antarkan kepada
orangtuamu. Itu jalan yang paling gampang dan selamat. Engkau takkan mungkin
hidup di tempatku ini, engkau yang biasa hidup gampang.
Orang sebagai Riah yang tak ada lain modalnya daripada kejujurannya
sendiri, selalu mencoba berbuat baik untuk orang lain, tidak bisa mengerti
apabila Midah akan mengambil jalan yang lebih susah untuk penghidupannya sendiri
dan bakal anaknya. Riah, jangan engkau kuatir-aku tidak akan memberatkan tanggunganmu. Untuk
beberapa hari ini biarlah aku coba-coba mencari pekerjaan.
Kalau ketemu orangtuamu"
Emak tidak pernah keluar rumah kalau tidak pergi ke peralatan. Dan bapak
selalu ada di tokonya. Matamu bersinar-sinar. Engkau punya jalan sendiri nampaknya.
Dan Midah terkenang pada rombongan kroncong. Kini tarikan untuk memasuki
kehidupan tanpa kesulitan itu makin terasa. Kehidupan yang hanya mengabdi kepada
kenikmatan, kegirangan, dan keriaan ditingkah kroncong.
Setidak-tidaknya orang yang kenal padamu akan bertanya pada orangtuamu.
Sinar di mata Midah sekaligus padam. Tapi tarikan itu masih begitu terasa.
Jadi, apa nasihatmu, Riah"
Sesungguhnya, apa yang akan engkau kerjakan"
Tapi Midah tidak berani memperkenalkan niatnya. Ia tahu dengan pasti,
bahwa juga Riah akan mencemoohkan pilihannya. Karena itu ia beranikan diri.
Mengapa tidak engkau jawab" Ah, Midah, aku takut"takut sekali kalau engkau
sampai tergelincir di dalam kehinaan.
Kehinaan" Menjual diriku"
Ya. Midah tersenyum. Giginya putih gemerlapan.
Ah-ah, itulah yang aku takuti. Dengan senyummu itu runtuhlah iman lelaki
yang melihatmu. Midah menyeka senyumnya dengan tangan. Dan ia menggelengkan kepala.
Itu tidak akan terjadi atas diriku.
Kalau begitu, apa yang hendak kau kerjakan"
Besok atau barangkali lusa, atau barangkali juga engkau takkan mengetahui
apa yang hendak kukerjakan.
Midah, orangtuamu adalah orang-orang yang menaati perintah Tuhan. Dan aku
harap engkau takkan menjauhi jalan mereka.
Sekali lagi Midah tersenyum. Dan hatinya pun tersenyum menghadapi hari
besok, harapannya pun tersenyum. Dan kalbunya berbisik padanya:
Untuk anak ini"biar dia pilih sendiri kelak apa dikehendakinya.
Ia masih ingat betapa sakit hatinya terhadap ayahnya atas tindakannya
dahulu: piring-piringan hitam kroncong yang dicintainya ditarik dengan kasarnya
kemudian dibantingkan ke lantai: pecah belah.
Dan untuk engkau katanya kepada makhluk yang bersanggar di bawah
jantungnya, segala-galanya tersedia untuk memilih sendiri yang kau kehendaki.
Dengan keputusan itu hilang lenyap seluruh kesedihannya, perasaannya akan
kegoyahan nasibnya, ketakutan dan keliarannya. Ia sendiri kini telah memilih
yang dianggapnya sebaik-baiknya untuk dirinya sendiri. Rerak kebimbangannya. Dan
ia merasa di depannya telah tersedia jalan yang akan dilaluinya.
Bagian Ketiga Dengan semua uang yang dibawanya dari rumah suaminya, dengan mengatasi
kemualan perut dan pening kepalanya, sejak pagi ia telah minta diri dengan Riah.
Berulang-ulang ia mengucapkan terimakasihnya atas pertolongan perempuan yang
hanya percaya kepada kebaikan itu. Dan Riah berulang-ulang pula berpesan bila
terjadi halangan hendaknya segera datang kepadanya.
Mula-mula ia jalan kaki. Bila capek ia mengasoh atau naik trem. Matanya
menjalang memandangi kelilingnya. Tetapi yang dicarinya belum tersua jua. Tidak
banyak yang dipinta oleh hatinya, juga tidak banyak rencana yang terentang dalam
kepalanya. Hanya satu: hendaknya hari ini ia dapat menemui rombongan kroncong,
atau rombongan lain yang sejiwa dengan itu.
Glodok, Pasar Baru, Jatinegara, Senen, Sawah Besar, Tanah Abang, Priok.
Berjam-jam ia mondar-mandir. Tetapi rombongan yang sesuai dengan hatinya belum
juga ditemuinya. Lebih dari empat kali ia minum es di pinggir jalan. Hari
semakin habis dimakan kegiatannya. Tetapi yang dicarinya masih juga belum
tersua. Waktu malam tiba, ia mulai ragu. Ia tak ingin secepat itu kembali ke rumah
Riah. Ia malu. Ia merasa belum lagi mencoba segala-galanya. Akhirnya ia
memberanikan diri masuk ke dalam hotel kecil.
Ia banyak mendengar cerita tentang kemesuman di hotel-hotel. Karena itu
tidak henti-hentinya ia mendoa. Tiap kali ia dengar langkah kaki di depan
pintunya ia mencepatkan doanya. Dan waktu tak tertahankan lagi kantuknya, ia
tepuk perutnya lambat-lambat, berbisik:
Dihindarkanlah engkau hendaknya dari segala bencana. Ia ulang-ulangi
bisikannya itu untuk memperoleh keyakinan lebih banyak. Akhirnya ia jatuh
tertidur. Pagi-pagi benar ia telah bangun dan segera lari ke kamar mandi untuk
membuang muntahnya. Dan setelah berpakaian, terasa olehnya betapa pegal semua
anggota tubuhnya. Kembali ia usap perutnya, berbisik:
Kita sekarang berjalan lagi, Nak. Engkau adalah makhluk yang membawakan
kejayaan bagi orangtua. Engkau membawakan keselamatan, rejeki, dan kebahagiaan.
Barulah ia mulai dengan usahanya.
Di Senen ia temui rombongan kroncong yang agak besar. Ia mulai mengikuti.
Ia mencoba-coba hendak menegur dan menyatakan keinginannya, tetapi keberaniannya
tidak cukup untuk itu. Ia hanya mengikuti dari belakang ke mana pun rombongan
itu bergerak. Kadang-kadang ia lihat salah seorang di antara mereka memasuki
restoran dan mengulurkan pecinya meminta sedekah. Mula-mula jijik melihat
perbuatan itu. Tapi akhirnya ia menyadari kesombongan yang tidak lagi berlaku
dalam keadaannya seperti sekarang. Sekali ia lihat betapa rombongan itu diusir
dengan ganasnya oleh seorang yang sedang makan besar di restoran. Ia sangat
terkejut dan takut. Begitu dihinakan! Teriak hatinya. Sedang mereka tidaklah mengemis. Mereka
membagi keriangannya kepada pendengarnya dan minta perhatian dari si pendengar
dengan sekedar penghargaan.
Kemudian ia mengerti, bahwa tidak semua orang sudi beriang dengan
rombongan orang asing yang tidak dikenalnya.
Pengertian itu membuat ia memaafkan. Dan ia ingat dirinya sendiri. Mungkin
aku pun sering menyinggung perasaan orang karena tak adanya pengertian padaku.
Ia mulai mengingat-ingat. Akhirnya yang mula-mula teringat adalah bapaknya
sendiri yang untuk selama-lamanya takkan dilupakannya: tindakan yang satu itu!
tindakan yang merampas kesenangan daripadanya. Dan apa yang diperbuatnya sendiri
hingga menyinggung perasaan orang lain lain tak dapat ia mengenangkannya
kembali. Berkali-kali ia mencoba, tetapi tidak bisa. Kemudian ia menghibur
dirinya dengan ucapan yang biasa itu: kekhilafan sudah sifatnya manusia. Dan
dengan itu selesailah pemikirannya. Kembali perhatiannya tetuju pada rombongan
kroncong yang ada di depannya.
Ah itu musik! Itu lagu! Itu keindahan! Itu kebebasan, keriangan,
kebahagiaan"terkurung dalam ketumpulan manusia yang tergilas nafsu-nafsunya.
Barangkali cuma aku dapat menghargai. Barangkali aku cuma dapat
merasakannya. Aku dan anakku. Kembali ia pegang perutnya. Midah ingin jadi musik
itu sendiri, yang membubung dan melajang kea rah tiada terartikan.
Tetapi tambah siang hari, tambah jauh rombongan itu menghindari tempattempat ramai. Ia tak mengerti alasan-alasan untuk itu. namun ia tetap mengikuti.
Dan waktu sampai di tempat sepi, mereka berhenti. Ia tak berani mendekat. Ia
bediri di kejauhan sambil meneliti apa yang hendak mereka perbuat.
Hitung, Min, perintah seorang yang mengepalaimereka.
Seorang pemuda kurus mengeluarkan kantong dari sakunya. Uang dituangkan di
atas tanah. Mereka merubung. Dan uang pun dihitung bersama-sama.
Seorang perempuan setengah tua bergigi emas menganjurkan:
Sekarang kita makan di warung sana, tangannya menunjuk ke suatu arah.
Orang-orang bangun setelah mendapat bagiannya masing-masing. Dan waktu
rombongan berangkat lagi ke arah yang dituding oleh perempuan itu, Min masih
tinggal berdiri di tempatnya sambil memandangi Midah. Kedua-duanya berpandangpandangan. Tapi Min kemudian berjalan lagi megikuti rombongannya.
Midah mencoba tersenyum oleh pandangan itu. Tetapi pikatannya belum lagi
berhasil. Dan dalam hatinya ia berjanji akan memperbaiki usahanya. Kembali ia
mengusap perut dan berbisik penuh kepercayaan:
Tidak, Nak. Engkau tidak akan emak rusakkan. Tidak, raja, tidak.
Dengan kepercayaan diri ia melangkah lambat-lambat mengikuti rombongan
itu. di warung tempat mereka makan, ia segera masuk dan memesan makan. Ia lihat
mata pemuda Min, yang juga kurus seperti tubuhnya itu, tak lepas-lepas


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandanginya. Sekali ia tersenyum, dan senyum itu disambut oleh Min dengan
wajah merah membera. Tetapi pemuda itu tak juga mendekatinya untuk membuka
percakapan. Akhirnya keduanya berpandang-pandangan begitu lama, sehingga pemuda
Min lupa pada makanan yang ada di depannya.
Tiba-tiba pecah ketawa girang. Terdengar seorang:
Burung pipit hinggap di kawat
Hinggap di kawat di atas rumput.
Perempuan bergigi emas pun meneruskan dengan suara genitnya:
Kalau hati telah terpikat
Kemana lagi kalau tak ikut.
Tertawa pecah kembali. Sebagian mata memandang pada Min sebagian pada
Midah. Kedua-duanya membera. Min malu karena tahu ada wanita jatuh cinta
padanya. Dan Midah malu karena diperolokkan orang di depan umum. Tapi ia
berpendapat, inilah jalan satu-satunya yang ramah yang memberinya kesempatan
untuk menjadi sebagian dari mereka. Ia tak merasa adanya sakit hati oleh olokan
itu. ia rasai kebebasan pantun yang segera mengena diperasaannya. Tangannya
diangkatnya dari meja dan diturunkan di atas perutnya. Pada anak di bawah
jantung itu ia mencari kekuatan dan keimanan.
Jawab, Min, jawab! Tukang gendang menganjurkan.
Min bergulat melawan kemalu-maluannya. Wajahnya yang mebera-bera, tetapi
ia mulai berdiri dan mencari kata-kata. Kemudian:
Surabaya ada di Wetan, Pasar Turi nama pasarnya.
Mana ada hati yang tahan, kalau si dia gini manisnya.
Waktu tertawa pecah kembali sudah berkali-kali Midah mencari kekuatan pada
anaknya. Sekarang saatnya, pikirnya. Dan setelah tersenyum memandangi rombongan itu
seorang demi seorang ia pun menyanyilah dalam pantun jawaban:
Petir Cibatok menyambar tiang, tiang besi di tengah bolong.
Pikir-pikir habis dipikir, memang diri dimabuk kroncong.
Dalam menyanyi itu ia merasa dirinya telah ada di depan khalayak. Ia telah
merasa diri jadi sripanggung. Orang mendengarnya dengan penuh kecucukan.
Kefasihannya dalam berpantun membangkitkan keheranan mereka. Waktu pemimpin
rombongan datang menghampirinya, nampak seri cemburu memancar di wajah Min dan
perempuan bergigi emas. Kalau kacang jatuh di lumpur, seorang mulai berdendang.
Diam dulu, perintah kepala rombongan. Dan pada Midah ia bertanya:
Pernah ikut main kroncong sesindiran"
Midah menggeleng. Bagaimana bisa bersindiran"
Midah mengusap-usap perutnya. Menjawab sejadi-jadinya:
Begitu saja. Suaramu begitu bagus. Setelah menunjuk perempuan setengah tua bergigi
emas, ia meneruskan: Dia sudah tua, tidak menarik pendengar lagi. Suaranya pun
tak sebagus engkau. Apa" Habis manis sepah dibuang! Teriak wanita bergigi emas itu.
Nanti dulu, Nini. Biar aku bicara sama orang ini.
Kalau engkau ambil dia dalam rombongan, sekarang juga aku pergi.
Sabar, Nini. Kalau engkau begitu cemburuan, aku takut engkau jatuh jadi
pengemis di Pasar Senen. Biola itu aku punya, bantah bantah Nini. Sonder biola, kalian boleh
merengek-rengek minta hujan!
Jangan dengarkan dia, orang itu menasehati Midah. Mau engkau ikut
rombongan" Midah mengangguk, dan dalam hatinya ia bersyukur kepada Tuhannya"Tuhan
bapaknya juga. Kapan mau mulai ikut"
Sekarang juga. Bangsat! Kau kira apa aku ini" Teriak wanita itu. Cuma satu perempuan
boleh ikut dalam rombongan. Tidak boleh lebih.
Nini! Di sini aku kepalanya. Bukan engkau!
Sini biolaku! Teriak Nini. Dan setelah mendapat barangnya ia pergi
meninggalkan rombongan. Suasana yang terpecah belah timbul dalam rombongan itu.
Dan dia belum lagi bisa main biola, keluh Min dan meneruskan makannya.
Yang tinggal tak membuka mulutnya.
Akhirnya kepala itu berbisik setengah mengeluh:
Kalau lusa dia kelaparan, dia akan cari kita lagi. Kan kalian setuju kalau
ada yang baik suaranya"
Yang lain-lain mengangguk. Hanya Min mengangguk lebih dalam.
Babi-babi itu tidak mengerti musik. Baru kalau ada yang manis dia
mengerti. Bagaimana pendapatmu semua"
Setuju, suara berbareng yang lesu.
Aku tahu kalian kehilangan sedikit dari semangat kalian karena kepergian
Nini. Tapi yakinlah, lusa dia akan mencari kita.
Tapi apa kata keluarganya" Tanya seseorang.
Ya, bagaimana pendapat keluargamu nanti, tanya kepala itu.
Tidak punya keluarga. Tapi pakaianmu begitu baik. Engkau masih bercincin emas. Tasmu dari kulit
baik dan tidak begitu jelek.
Aku sendiri punya Kalau ada yang mengadukan kami pada polisi"
Mengapa" Melarikan orang. Biarlah aku sendiri yang cerita pada itu polisi.
Diam-diam mereka meneruskan makan lagi. Tiba-tiba:
Aku" Ah. Midah tidak bisa meneruskan. Sekaligus terbayang segala-galanya,
dan terutama yang tidak menyenangkan, dalam sanubarinya. Tak pernah kegarangan
dan kekerasan bapaknya nampak begitu jelas pada waktu itu. Dan ketakpedulian
emaknya melela membabi buta. Kemudian kelunakan sikapnya sendiri terhadap si
anak yang ada di bawah jantungnya kini. Berbagi kenangan yang tak sedap datang
sekaligus. Riah pun muncul dalam ingatannya. Dan segala pesannya kembali
memperingatkan dirinya agar jangan sampai tergelincir.
Ah. Mengapa malu menyebut nama" Seorang tukang gitar yang bermata satu
mencoba menolong kebingungan Midah. Lihatlah aku sebagai contoh. Mataku Cuma
sebelah, dan di rombongan ini aku disebut Mak Pecak. Dan itu, tangannya menunjuk
pada pemuda yang disebut Min, di sini dia disebut Mimin Kurus. Perempuan yang
pergi itu Gobang Bolong. Apalagi. Si tukang gendang yang ada di sampingmu itu
Dul Gendang,. Habis perkara. Dan karena engkau begini manis"memang cocok pantun
Min tadi. Engkau memang manis. Jadi kami sebut saja Si manis.
Sehabis makan mereka mengobrol tentang berbagai hal. Tetapi selamanya
percakapan tidak pernah memanjang bertele-tele seperti biasanya. Obrolan-obrolan
terus-menerus diputuskan oleh perhatian mereka kepada Si manis.
Midah tahu ia menjadi pusat perhatian. Dalam kesadarannya ia berniat
hendak mempergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk merebut tempat dalam
rombongan. Ia sebarkan senyum manisnya. Dan dengan menelan segala perasaan
malunya ia mencoba ikut mengobrol tentang berbagai hal.
Tiba-tiba Rois, kepala rombongan, memperhatikannnya lagi, bertanya:
Lagu apa saja engkau bisa"
Jali-jali, Kicir-kicir, Moresko, Telemoyo, Roda Dunia....
Itu sudah cukup banyak. Bengawan Solo" Tanya Min mencoba-coba mematahkan cemburu hatinya.
Kan tiap orang bisa menyanyikannya"
Ya, semua bisa menyanyikannya.
Sudah engkau pikirkan betul-betul hendak ikut rombongan kami" Tanya Rois.
Tentu saja sudah. Sudah bertahun-tahun.
Jadi sudah kau pertimbangkan bagaimana kita ini begitu hina di mata orang"
Ya, sudah kupertimbangkan.
Apa engkau harapkan keuntungan ikut dengan rombongan ini"
Simanis tidak bisa menjawab.
Engkau melarikan diri dari rumah"
Sekali lagi Simanis tidak dapat menjawab.
Apalagi gunanya bertanya tentang dirinya" Min menyuarakan pendapatnya.
Lebih baik sekarang juga kita berangkat.
Mereka berangkat. Kini Simanis mendapat kesempatan bernyanyi di depan
umum. Dengan peci Mimin Kurus ia memasuki restoran-restoran, melemparkan senyum
ke kiri dank e kanan. Bukan tidak jarang ia mendapat usapan mesra pada pipinya.
Bahkan sekali ia ditarik oleh seorang untuk ikut duduk sebentar menemaninya
makan. Ia tidak membantah, dan musik berjlan terus. Waku ia bernyanyi untuk
seorang itu ia mendapat lembaran-lembaran kertas yang tidak sedikit. Ada timbul
hidup dalam jiwa Midah. Ada terbit suasana hati yang baru, yang belum pernah
dialaminya selama ini"kebebasan tanpa ikatan apapun jua dalam pengabdian pada
kroncong. Juga ikatan susila sejenak yang begitu berpengaruh dalam keluarga
orang, yang menamai dirinya baik-baik, lenyap mendadak. Bagaimanapun juga ia
bergerak, betapapun jua ia bertingkah, yang ada hanya kebebasan, kegairahan yang
tak terartikan. Demikian rombongan itu mengembara dari restoran ke restoran. Dan hari itu
habis pula dimakan kegiatan manusia. Sekarang datanglah kesulitan bagi Simanis
dengan kesederhanaan hatinya. Satu pertanyaan telah membuat perasaannya tunggang
langgang tak menentu: Di mana engkau tidur mala mini" Mimin bertanya.
Dan engkau" Simanis bertanya,
Kamu tidur dalam rombongan, mencari penginapan murah. Kami sudah punya
penginapan sendiri"di Jatinegara. Engaku"
Simanis menghitung-hitung uang yang ada padanya. Untuk menginap di hotel
terus-menerus sudah pasti dalam beberapa bulan ini ia akan ambruk sebagai orang
yang miskin. Dan sebelum habis menghitung-hitung telah menyerang lagi satu
persilaan: Tidur saja dengan kami. Masih ada satu kamar untukku"
Selamanya kami tidur di satu kamar.
Kembali tangan Midah meraba perutnya dan meminta kekuatan dari anaknya.
Terbayang dalam kepalanya segala yang akan diperbuatnya oleh bapak dan ibunya
apabila seluruh diri dan jiwanya ia serahkan kepada kehidupan rombongan ini.
Bapak akan berteriak dan menyumpah-nyumpah dan berzikir bermalam-malam memohon
kepada Tuhan agar ia segera ditumpas habis daripada memalukan dirinya. Dan emak
akan menangis bebrapa menit lamanya, kemudian menyebut tiada habis-habisnya dan
tidak keluar-keluar dari kamar, akhirnya lupa lagi akan segala-galanya yang
terjadi. Ya, engkau tidur dengan kami, dengan aku, Mimin Kurus menguatkan ucapan
keinginannya. Tak pernah aku melihat perempuan semanis engkau ini.
Engkau begitu muda"masih kanak-kanak.
Tiap orang dalam rombongan kami sudah dewasa, Simanis!
Engkau juga harus menganggap aku demikian.
Tiba-tiba Hadji Terbus datang ke dalam ingatannya. Begitu perkasa. Begitu
berdaulat, dan perutnya yang menonjol ke depan itu begitu menantang berisi daya.
Sekarang didekatnya mengembik-ngembik kuda kacang ingin menggantikan benteng
liar. Ia tersenyum seorang diri.
Mari kita tidur berdua, Mimin Kurus mengacarai.
Dan malam itu untuk pertama kali Simanis tidur di samping lelaki yang
tidak diikat oleh peraturan agam. Kadang-kadang ia merasa kuatir akan akibat
selanjutnya dari perbuatannya itu. Tetapi kembali ia meminta kekuatan pada
makhluk belum dilahirkan yang ada dalam perutnya. Kadang-kadang ia teringat pada
Riah. Ah, orang-orang miskin itu miskin pula. Kepalanya, juga hatinya, juga
pengertiannya. Sedikit kesulitan telah dianggapnya kebaikan, dan mereka gampang
percaya. Sekarang ia berpikir apa jadinya dunia ini apabila tidak ada orang miskin,
dan semuanya orang kaya: penduduk dunia berisi orang yang juga kaya kecurigaan
dan kegiatan memperebutkan keuntungan. Ah, dalam tiga hari dunia demikian akan
kembali mempunyai orang-orang miskin lagi, dan kembalilah semuanya pada keadaan
yang sebermula. Sekarang ia berpikir, adakah dirinya kini miskin atau kaya. Tiba-tiba
tergelimang senyum pada bibirnya yang menggairahkan lelaki itu. Sesungguhnya
pengertisn miskin itu telah hilang lenyap setelah ia meninggalkan suaminya.
Kemiskinan baru ada setelah ada perbandingan dengan keliling, kemiskinan hanya
ditentukan oleh kebutuhan. Dan anakku in, anak yang tidak akan kunodai dengan
kesalahan susila ini, dia tidak akan miskin, karena ia tidak lari pada
kebutuhan, tetapi kebutuhan yang lari kepadanya. Dia tidak akan kaya, karena
kekayaan dilahirkan oleh kemiskinan keliling, dan dia tidak akan memiskinkan
kelilingnya. Dia akan jadi sebagai aku, jadi penyanyi yang mengajak semua orang
ikut girang, ikut merasa apa yang dirasakan juga oleh orang lain"perasaan yang
murni. Ia tertidur. Siapa yang tidak akan merenung-renung dalam memasuki dunia baru yang tidak
dikenalnya sebelumnya" Dan Midah bukanlah orang yang luar biasa. Ia yang selalu
hidup di antara kekayaan, baik orangtuanya sendiri maupun suaminya"kekayaan"yang
begitu biasa dengan kegampangan hidup"kekayaan itu pula yang menerbitkan
pikiran-pikiran baru padanya. Dan ia tidak menyesal meninggalkan kekayaan itu.
dalam terlelap itu ia bertemu sebentar dengan anaknya sendiri yang belum ia
lahirkan. Ia bercakap sebentar dan kemudian tersentak bangun.
Jangan ganggu aku, katanya berbisik.
Dari pojok-pojok kamar yang gelap, terdenagr tertawa senang. Dan ia
menjadi jaga benar. Ia ingat keadaannya sekarang.
Mengapa takut padaku" Suara lelaki di sampingnya. Aku sudah dewasa seperti
yang lain-lain. Berapa umurmu" Dari pojok-pojok terdengar tertawa senang.
Tujuhbelas. Engkau masih kambing kacang.
Tertawa dari pojok-pojok menderu-deru. Juga Midah ikut tertawa dalam
hatinya. Tetapi tidaklah lama karena dari pojok-pojok itu lahir berbagai macam
ucapan yang memberangsangkan hati sikambing kacang.
Ah, si kurus masih dianggap kacang!
Kurus! Kalau kalah minggir saja, aku bisa menggantikan!
Tertawa mengisi udara kamar gelap itu.
Mulai Midah merasa takut. Ia lindungi perutnya dari segala kemungkinan.
Tidak! Makhluk kecil di dalam ini tidak boleh dinodai. Ia merasa air asam telah
naik di leher dan telan kembali sehingga panas dan getir rasa tenggorokannya.
Tetapi gangguan di tenggorokannya dan perut itu terasa benar sebagaimana
biasanya. Perhatiannya hanya tertuju pada keselamatannya. Kalau saja Nini tidak
meninggalkan rombongan..........
Mimin Kurus menjadi panas oleh suara-suara itu dan tubuhnya diterkamnya
mentah-mentah. Kini ia menghadapi kenyataan sebagai wanita dalam kerumunan pria
gelap kamar. Kini ia berhadapan dengan tenaga gila yang dibuat darah yang sedang
mendidih. Ia melawan, tetapi percuma. Akhirnya berbisik lemah:
Jangan ganggu aku. Aku sedang mengandung.
Tetapi Mimin tidak peduli. Tubuhnya telah terguncang-guncang oleh terkaman
itu. Jangan ganggu aku! Simanis mengeraskan cegahannya.
Aku sedang mengandung. Keriuhan dalam kamar lenyap. Tetapi Mimin tetap mengamuk. Ia dengar orang
melangkah dan lampu listrik dinyalakan. Bersama dengan itu lenyaplah keedanan
Mimin. Ia terjatuh di sampingnya. Tak ada suara memanaskan lagi. Kepala
rombongan mendekatinya dan bertanya:
Beginilah kehidupan kami, Manis. Dan selamanya begini.
Semua mata memandang pada Midah. Hanya Mimin Kurus tak berani
memperlihatkan tampang dan terengah-engah di tempatnya. Suasana canda lalu
menjadi kesungguh-sungguhan. Midah hanya menunduk sambil memegang perutnya.
Tetapi, aku sudah bilang aku bunting.
Karena itu aku datang menolongmu. Kepala rombongan itu duduk di dekatnya,
jangan takut. Aku juga punya anak. Dan tiap lelaki yang tidak menghormati
makhluk yang masih dikandungkan tidak patut lebih lama hidup di atas dunia ini.
Mengapa kehidupan kalian mesti begini"
Bagaimana aku tahu, selamanya memang begini. Sejak kecil aku hidup dalam
rombongan seperti ini. Kan masih ada cara lain yang lebih baik"
Tentu saja, tetapi yang lebih baik tidaklah ikut dalam rombongan
penggelandang demikian. Kalau engkau menghendaki cara kehidupan yang baik, tentu
saja rombongan ini bukan tempatmu, Manis, tetapi engkau harus kembali ke rumah
suamimu, atau orang-orang yang engkau cintai. Mengerti engkau, Manis"


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Midah mengangguk. Tapi aku sedang bunting, katanya lagi.
Karena itu tidurlah di dekatku, dan tidak seorang pun akan berani
mengganggu. Tetapi engkau juga satu bagian dari mereka.
Manis, dalam rombongan seperti ini selamanya ada yang mesti dipercaya. Dan
orang itu adalah kepalanya. Kalau tidak dapat dipercaya, dia sudah lama diusir
dari rombongan. Jadi" Tidurlah bersama aku, dan engkau akan selamat. Kepala rombongan itu
merenung-renung sebentar. Kemudian perlahan-lahan bercerita.
Waktu ia masih muda ada perawan yang jatuh cinta kepadanya dan
mengikutinya ke mana pun juga ia pergi mengamen. Dan perawan itu akhirnya
dibuntinginya. Karena anak itu masih di bawah umur, suatu kali perkara itu
mempunyai akibat yang panjang. Ia ditangkap polisi. Tetapi orangtua anak itu
menghendaki ia kawin dengan anaknya. Jadi ia terlepas dari hukuman dan kawin.
Setelah anak itu lahir"seorang lelaki yang memikat hati barang siapa yang
memandangnya"mertuaku menjatuhkan perintah: ia harus bercerai. Dan bercerailah
mereka. Isterinya tinggal di rumah orangtuanya sedang ia sendiri meneruskan
kehidupannya sebagai pengembara yang selalu diganggu oleh ingatan dan perasaan
kangen pada anaknya-anaknya sendiri.
Kalian tahu Simanis sedang mengandung, akhirnya suaranya ditujukan kepada
anak buahnya. Barang siapa mengganggu Simanis berarti mengganggu anaknya. Dan
barang siapa berani berbuat demikian, aku patahkan batang lehernya.
Akhirnya kepala rombongan itu bertanya padanya.
Siapa lelaki yang membuntingi engaku"
Suamiku. Suamimu! Mengapa dia engkau tinggalkan" Kembalilah kepadanya.
Midah tidak dapat meneruskan ceritanya.
Rumah baik-baik adalah tempat yang paling aman buat wanita, bukan
kehidupan rombongan pengamen seperti ini. Mau engkau aku antarkan pulang"
Midah menggeleng. Kemudian:
Biarlah aku bawa hidupku sendiri.
Engkau akan menyesal. Biarlah kucoba dahulu. Kepala rombongan kini mendadak menjadi takut. Ia ingat pengalamannya
dengan polisi dahulu. Tetapi tidak berkata apa-apa. Ia padamkan lampu. Midah
tidur dengannya. Malam kembali aman. Midah terus-menerus memohon kepada Tuhannya
agar selalu selamat, agar anak yang dikandungnya tidak diganggu oleh siapapun
juga. Dan waktu temgah malam telah lama lewat dan kepala rombongan itu jatuh
tertidur sambil merangkulnya ia masih tetap mendoa, dan terus mendoa sehingga
akhirnya pun jatuh tertidur pula.
Dalam tidurnya pun ia merasa aman dalam rangkulan lelaki yang asing
baginya itu"lelaki yang kehangatan hatinya terasa olehnya. Pikiran-pikiran
tentang dosa hilang dari pikirannya. Bahkan juga dalam mimpi ia tidak merasa
berdosa dalam keadaan seperti itu. Antara lelaki dan wanita kadang-kadang tiada
sesuatu yang menggoncangkan iman, dan tidak tiap lelaki berbahaya bagi
keselamatan, kesusilaan dan anak yang tidur nyenyak dalam kandungannya.
Pagi-pagi waktu ia terbangun, tergelincir saja ucapan syukur dari hati dan
bibirnya. Engkau memang dapat dipercaya, ia menyinarkan pandang pada kepala
rombongan. Lelaki itu hanya mengangguk.
Bagian Keempat Mereka bergerak dari jalan ke jalan, dari restoran ke restoran. Dan pada
suatu kali Nini tua bergigi emas kembali menggabungkan diri. Hal itu
menggirangkan hati Midah, karena setidak-tidaknya ada wanita yang menyalurkan
hawa nafsu rombongan itu.
Kandungannya kian lama kian besar juga. Tetapi uang penghasilannya sendiri
telah terkumpulkan dan tersimpan rapi-rapi. Suatu kali ia bisa bersalin
melahirkan di rumah sakit dengan tidak kuatir ataupun menyusahkan siapapun juga.
Di malam hari dikala anggota-anggota gerombolan mengembara mencari saluran hawa
nafsunya, atau sedang bergulat mesra dengan Nini atau sedang berjudi di bawah
lampu listrik yang redup itu, ia berdoa di pojok-pojok kamar, moga-moga Tuhan
mengaruniainya seorang anak yang sempurna, yang tidak cacat baik jasmani maupun
rohaninya. Sering ia berangan-angan apa yang hendak diperbuatnya di bulan-bulan
sehabis melahirkan itu. ia tahu tak mungkin ia ikut bergerak dengan rombongan.
Dan ini berarti ia takkan memperoleh penghasilan lagi. Ia menjadi takut. Dan
apabila ketakutan itu tak bisa dilawannya dengan alasan apapun juga, ia
menyanyi"bukanlah menyanyi untuk orang banyak, tetapi menyanyikan keadaan
dirinya sendiri dengan tiada memperhitungkan upah yang bakal diterima. Dan
sering ia bernyanyi demikian dengan tiada disadarinya melatih menyanyi
bersungguh-sungguh. Nyanyianmu begitu baik dan suaramu begitu bagus, suatu kali kepala
rombongan memberinya perhatian. Sebenarnya engkau bisa juga menyanyi di radio.
Aku bisa menyanyi di radio, katanya pada diri sendiri. Dan sejak itupun ia
bercita-cita menyanyi di depan corong.
Banyakkah nafkah yang bisa diterima kalau menyanyi di radio"
Kepala rombongan itu menggelengkan kepalanya.
Tetapi keuntungannya banyak sekali, akhirnya lelaki itu meneruskan. Di
sana engkau bisa terkenal, dan rombonganmu tiap kali mendapat panggilan dari
orang-orang yang berpesta. Di situlah baru engkau terima uang banyak.
Selanjutnya Midah tak punya perhatian lagi.
Perhatian Midah lebih-lebih condong kepada makhluk kecil yang akan menjadi
anaknya"menjadi anaknya untuk selama-lamanya.
Tambah lama kekuatannya tambah habis. Ia tak sanggup lagi ikut mengembara,
ia tak sanggup lagi menggetarkan pita suaranya selama delapan jam sehari.
Terpaksalah ia pada suatu hari berkata kepada kepala rombongan:
Kandunganku bertambah tua. Tenagaku tambah habis. Ijinkanlah aku tidak
bekerja sehingga melahirkan.
Aku mengerti juga, Mnis. Tetapi engkau harus pula ingat, tiada bekerja
engkau pun tiada menerima nafkah.
Berita itu menggoncangkan hati Midah. Ia tidak menyangka akan terjadi yang
demikian. Namun ia lebih memihak kepada anaknya, karena itu disampaikannya juga:
Biarlah. Tapi toh aku usahakan agar engkau tetap menerima nafkah sekalipun tidak
mungkin sebanyak yang biasa engkau terima.
Malam itu diadakan perundingan. Mimin Kurus, yang dihembalang oleh
kekecewaannya dahulu dan lambat laun menyimpan dendam dalam hati, tidak akan
menyetujui pengurangan nafkahnya sendiri demi dia yang tidak bekerja. Juga Nini,
yang memandang Simanis sebagai saingannya, berpihak kepadanya.
Dua orang lagi, yang juga mengalami kegagalan dalam percobaannya untuk
mempergunakan jenis Midah, berpihak belaka pada Nini dan Mimin. Dan kepala
rombongan yang selalu mengingat pentingnya keutuhan rombongannya, mengambil
putusan yang tidak menguntungkan Midah. Dan Midah mengikuti jalannya persetujuan
itu dengan harapan hendaknya orang mengerti keadaannya. Tetapi orang tak mau
mengerti. Waktu kamar telah digelapkan, dan hanya ia sendiri tinggal jaga di samping
kepala rombongan, ia teringat segala-galanya yang telah terjadi. Juga ia ingat
pada Riah. Sekilas ingin ia mengunjungi perempuan miskin yang baik hati itu,
tetapi niat itu ditelan bersama ludahnya. Ia merasa terpencil. Ia raba perutnya
dan ia merasa lebih kaya dari semua orang di atas dunia ini. Ia ingat pada kedua
orangtuanya yang tidak pernah ia dengar kabar beritanya lagi. Ia pun ingat pada
suaminya yang menjadi raja di kampungnya. Akhirnya barulah ia ingat pada dirinya
dan keadaannya. Kakinya berdenyut-denyut, tenggorokkannya kering dan nafasnya
terengah-engah. Sudah lama ia membutuhkan dua atau tiga bantal karena anak yang
ada dibawah jantungnya kini kian lama kian menyempitkan rongga pernafasannya.
Tambah malam hari tambah berat seluruh anggota tubuhnya dipergunakan untuk
bergerak. Ia tak tahu lagi apakah di dalam kegelapan itu ia menangais atau
tidak. Yang ia ketahui: Ia tetap berdoa dan memohon agar anaknya kelak dapat berbuat sekehendak
hatinya tanpa halangan dari siapapun yang tidak menyetujui. Dan agar anaknya
hidup berbahagia terlepas dari tindasan orang lain.
Aanakku harus jadi manusia bebas! Bebas dan lebih bebas daripada aku
sendiri. Ia dengar keruh di samping-menyamping. Tangan kepala rombongan yang
merangkul dadanya terasa hangat. Perlahan ia cium tangan itu, tapi orangnya
tidak merasa, bahkan tidak bergerak dalam tidurnya.
Waktu pagi-pagi bangun ia merasa sangat lelah. Sejak hari itu ia tidak
ikut bekerja dan mencoba menghemat simpanannya sedapat mungkin. Ia kurangi
makannya. Kemudian diketahuinya bahwa empat hari kemudian kedua kakinya menjadi
bengkak. Ketakutan pada kematian menyebabkan ia menjadi kebingungan. Dan untuk
mendapatkan nasihat tak ada orang demikian di dekatnya. Barulah hatinya merasa
lega, apabila malam datang pula dan rombongan itu pulang ke penginapan.
Waktu sakit pertama menyerang perutnya, buru-buru ia pergi ke rumah sakit.
Tetapi alangkah kagetnya waktu diketahuinya, bahwa tidak segampang yang dikirakirakannya untuk dapat melahirkan di situ. Dengan menahan sakit pertutnya ia
jawab segala pertanyaan. Berkali-kali ia bilang, bahwa ia sanggup membayar biaya
perawatan melahirkan, tetapi segala usahanya tidak berhasil.
Kami tidak terima orang. Semua tempat sudah dipesan.
Dimana aku harus melahirkan"
Pulang saja. Kan ada dukun kampung disana"
Kami juga bisa kirim bidan
Mudah menagislah sekarang. Ia tak bisa kembali lagi. Ia tak kuat pulang ke
penginapan lagi. Perutnya terlampau sakit. Dan orang yang melayani itu kemudian
melayani orang lain. Ia rebahkan tubuhnya di lantai.
Pulang buruan! Seru orang yang melayani tadi.
Dalam hatinya. Midah masih sempat mendoa, bukan untuk keselamatan dirinya,
tetapi untuk keselamatan anak-anaknya yang hampir datan. Kemudian ia tak kuasa
bergerak lagi. Waktu ada dirasainya kainnya mulai basah ia jatuh tak sadarkan
diri.............. Waktu ia bangun kembali ternyata ia telah terbujur diatas ranjang. Di
samping-menyampingnya terlentang wanita-wanita yang hendak melahirkan seperti
dirinya sendiri. Suara orang kesakitan dan sebutan pada segala-galanya
membumbung ke udara, bahkan ada pula antara sebentar terdengar tangis yang
menghiba-hiba. Seorang bidan berdiri di dekatnya. Ia memandanginya lama-lama. Kemudian:
Siapa nama" Midah-kalau boleh berilah aku minum
Di mana tinggal" Di Penginapan. Suami" Ah, berilah aku minum. Midah tak kuasa menjawab. Sakit perutnya mulai mengaduk kembali.
Aku di sini kerja, bukan main-main.
Midah namaku. Hanya itu saja. Yang lain-lain aku tak tahu.
O, mengertilah aku. Mengerti benar.
Berilah aku minum. Dan Midah mendapat minum air dingin. Kemudian datang bidan lain lagi,
memandanginya lama-lama, kemudian:
Memang manis. Patut tak tak tahu lakinya.
Midah tidak menyambut. Sakit dalam perutnya berlumba dengan teriak anakanak yang baru datang mengunjungi dunia. Ada ia rasa perutnya pecah dan anaknya
akan datang. Ia berzikir. Dalam zikir ia minta ampun pada Tuhannya, pada kedua
orang tuanya, juga pada suaminya. Dalam hatinya ia terus-menurus berseru bahwa
ia tidak pernah berdosa. Dan waktu anak itu tak dapat ia tahan lagi, ia pun
berteriak sekuat tenaganya:
Nona, anakku........ anakku........
Kenapa anakmu" Sambut seorang bidan sambil tersenyum mengejek.
Anakku datang. Berteriak: anak....ku, da.....tang......
Dan dengan bersamaan dengan akhir teriakan itu datangalah anak itu di
bawahnya. Ia mengucapkans syukur. Ia melahirkan tanpa pertolongan siapapun jua.
Dan barulah datang bidan mengambil anak itu setelah menyelesaikan pusar. Anak
itu diambil oleh bidan dan dimandikan. Ia dengar anaknya menangis, begitu sehat,
begitu keras. Airmatanya kembali mengalir.
Anakku, bisiknya. Seakan tak percaya bahwa pun mempunyai anak, ia berbisk
lagi: Anakku, dia anaakku.
Ia terlampau capek dan lemah. Diminumnya kopi panas seteguk-kopi yang
disediakan disampingnya, kemudian ia jatuh tertidur dengan senyum yang lebih
memaniskan bibitnya. Waktu ia bangun lagi ternyata olehnya, bahwa ruangan di mana ia tidur
banyak terdapat kaum ibu yang baru saja melahirkan. Pada paras mereka
tergambarkan perasaan-perasaan yang tidak sama. Dan di antara mereka semua itu.
Midahlah yang menyadari keuntungannya.
Tiba-tiba ia teringat pada anaknya. Ia tegakkan kepala sambil dengan
tangannya meraba-raba sampingnya, tetapi anak itu tak ada di dekatnya.
Dikumpulkannya tenaga untuk memanggil bidan, tetapi suara yang keluar dari
kerongkongan tidak sebanyak yang ia harapkan. Kekuatiran mengamuk dalam dadanya.
Kini anak itu merupakan satu-satu pegangan baginya. Karena anak itulah ia
sanggup meninggalkan segala galanya yang ia selama itu telah biasa.
Matanya jalang berkeliaran. Akhirnya bertanya ia pada perempuan
tetangganya: Dimana anakku, nyonya"
Di kamar bayi. Anak nyonya" Di sana juga tentuu. Hatinya agak lega. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dan kala ingatannya
sampai pada mereka yang menetakinya dengan berbagai pertanyaan hatinya kembali
menjadi muram. Ia ingin beristirahat. Dan bila mereka menghendaki ongkos-ongkos yang
diperlukan segera ia dapat memberikan. Ia tak ingin mendapat pertanyaan
sepatahpun jua. Tetapi seorang bidan datang kepadanya dan mengulangi tetakannya.
Kami harus tahu suami empok. Bukan hendak menyiksa empok, tapi semua harus
ditulis dalam daftar. Aku tak sudi menyebut nama suamiku lagi.
O, jadi empok bercerai"
Midah mengangguk. Tetapi kami tetap ingin mengetahuinya.
Aku takkan mengatakannya.
Jadi harus anak empok dianggap anak haram"
Merahpadam muka Midah. Ia takkan sanggup mendengar perkataan itu diulangi
lagi. Mengapa marah" Tanya bidan itu. Empok bisa menulis"
Dengan mata berkaca-kaca. Midah menganggukkan kepalanya sedikit.
O, jadi bukan buta huruf!
Bisa bicara asing" Midah mengangguk lagi. saja. Jadi nyonya terpelajar" Ah, kalau begitu nama suaminya nyonya tuliskan
Tak perlu dikatakan. Itu lebih aman, bukan"
Tapi. Midah menolak potlot dan kertas yang disodorkan kepadanya.
Kalau sekarang tidak suka, baik nanti kuulangi lagi.
Di mana tempat tinggal sebenarnya"
Tidak punya. Tidak punya" Mana bisa nyonya tiap hari mengembara"
Ya, tiap hari aku mengembara.
Bidan itu memandanginya lama-lama. Tertawa tidak percaya, kemudian
meneruskan: Ini tidak bisa jadi, nyonya. Nyonya harus sebutkan dimana nyonya tinggal.
Jangan aku ditanyai lagi. Katakan saja berapa aku harus bayar sampai
sembuh. Bidan itupun pergi dengan paras muram.
Dan siang itu ibu-ibu yang baru melahirkan itu mendapat nasi dengan sayur
kangkung. Dari sana-sini terdengear keluhan. Dan waktu Midah melihat tida ulat mati
dalam kangkungnya, ia letakkan kembali makanan itu di mejanya. Perutnya terasa
lebar oleh sebab banyaknya tenaga yang ia keluarkan sehari itu.Tak pernah
terbayang sebelumnya bahwa beginilah keadaan rumah sakit bersalin.
Ia tutup kembali matanya dan mengenang-ngenang segala-galanya. Kemudian ia


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertidur lagi. Di malam hari sebuah tangan membangunkannya. Dan di sampingnya menangis
dan meronta-ronta seorang bayi.
Anakku, bisiknya. Sudah waktunya diberi minum, nyonya.
Midah membuka dadanya, dan waktu dada itu hendak diberikan kepada bayi itu
ia berteriak terkejut: Ini bukan anakku! Bukan" Mana anakku" Mana anakku"
Itulah anak nyonya. Tak mungkin anakku begitu sipit! Ini anak Tionghoa. Anak Tionghoa" Seru
perempuan itu. Sebentar terjadi keributan di bangsal itu. Dan waktu di sebuah pokok ada
terdengar seruan kaget: Ini bukan anakku. Selesailah keribuatan itu dengan kepuasan di pihak-pihak yang
berkepentingan. Tetapi untuk Midah sendiri semua belum selesai.
Malam itu juga seorang datang kepadanya dan mendesaknya untuk mengetahui
nama suaminya dan di mana tinggalnya.
Bukankah nyonya tidak suka anak ini menjadi anak haram"
Dan Midah meraba kening merah anaknya dan berbisik:
yang" Biarlah mereka menamai engkau anak haram. Nama apa yang engkau pinta,
Bukan maksudku menghina anak itu dan nyonya sendiri.
Jangan coba menanyainya lagi . Midah ingin berada disamping anaknya terusmenerus. Tetapi ia tidak membantah bila anak itu diambil dari sampingnya dan
diletakkan di kamar bayi. Dalam waktu-waktu hatinya maera sunyi, ia ingin
menyanyikan kesunyian hatinya. Tetapi itu tidaklah pernah diiperbuatnya. Dan ia
hanya menyanyi dalam batinnya.
Nyonya, tempat ini akan dipergunakan orang lain, suatu hari seorang bidan
berkata kepadanya. Aku mesti pergi dari sini"
Ya. Tapi aku belum lagi sehat.
Kami kekurangan tempat, nyonya.
Midah bangkit. Matanya berkunang-kunang. Ia bergiri, tetapi kakinya
gmeetar. Kuatkah aku menggendong anakku" Bisiknya.
Nyonya tak perlu menggendong. Di luar banyak baca, nyonya.
Mana anakku" Dengan kaki gemetar. Midah mengikuti bidan itu pergi ke kamar bayi. Ia
tersenyum melihat anaknya yang merah sehat.
Biarlah aku bayar biaya perawatan dulu, katanya kemudian. Maukah Nona
mengantarkan aku ke tempat pembayaran"
Ia diantarkan ke kantor, dan paras-paras masam menrimanya dengan dingin.
Ia diharuskan membayar seratus dua puluh lima rupiah. Ia ambil uang simpanannya
dari balik kutangnya dan kembalilah ia ke kamar bayi. Dan alangkan terkejutnya
ia waktu melihat anaknya ditelanjangi bulat bulat.
Mengapa anakku ditelanjangi" Kan bisa masuk angin"
Po dan pakaian bayi ini kepunyaan rumahsakit, nyonya.
Tak tahan lagi. Midah melihat anak itu. Sambil bercucuran airmata
dibawahnya makhluk yang baru beberapa hari datang itu keluar dari rumahsakit.
Dipanggilnya sebuah beca. Dan dalam berjalan ditutupnya anak itu dengan sebagian
dari bajunya. Tak henti-hentinya ia ciumi anaknya itu-anak sendiri.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya airmata mengucur dari matanya. Dan tak
henti-hentinya anak kecil itu menangis kedinginan kena angin.
Bagian Kelima Midah tak tahu benar kemana seharusnya ia pergi. Ia tahu rombongan
pengamen keroncong itu akan bersikap lain terhadapnya setelah ia harus
memelihara seorang bayi yang tidak berguna apa apa bagi mereka. Di atas beca itu
ia teringat kembali pada kedua orangtuanya, pada Riah, pada suaminya. Dalam
kebingungannya, ia hanya dapat menangis.
Ke mana" Tukang beca bertanya.
Pertanyaan itu menambah kebingungannya.
Mengapa menangis terus. Akhirnya Midah minta diantarkan kembali ke penginapannya yang dahulu. Dan
samapi di sana ia disambut oleh pintu terkunci. Malam hari waktu rombongan
pulang, baru ia dapat masuk. Ia disambut dengan bibir-bibir yang diberengutkan.
Mana bisa kita tidur di samping orok ini. Nini melepeaskan perasaannya.
Lebih baik dia pergi dari rombongan. Minmin menyambung. Dengan orok itu
dia takkan bisa kerja apa-apa.
Aku bisa kerja sambil menggendong anak ini, bantah Midah.
Omong kosong, seru yang lain. Yang kedengaran bukan nyaniyanmu, tapi
tangis si orok jahanam itu!
Jahanam" Engkau jahanam anakku"
Akhirnya kepala rombongan menengahi:
Biarlah kita kawin saja. Manis. Engkau tinggal dirumah merawat anak ini,
dan bila aku pulang makan sudah sedia.
Tidak mungkin! Tidak mungkin!
Aku belum begitu tua. Tidak mungkin! Mengapa tidak mungkin" Manis" Nama sebutan. Midah diucapkan kepala
rombongan itu dengan perasaan kasih dan berahi sekaligus.
Aku masih punya laki. Dan anak ini punya bapa yang sah.
Apa salahnya" Engkau bisa minta cerai.
Ah, Midah tak berani lagii muncul pada suami atau orangtuannya untuk minta
diceraikan. Iah anya dapat menangis dalam kebingunannya.
Baiklah. Engkau tidak berani minta cerai, kepala romobongan meneruskan.
Kita bisa kawin dengan wali hakim.
Itupun hanya menambahi kebinguannya. Dan arimatanya menderas. Tindakantindakan yang menurut saluran-saluran sah itu menakutkan hatinya. Ia takut
kehilangan kebebasannya yang hanya bisa diperolehnya dengan menghindari jalanjalan yang sah itu.
Anaknya menjerit. Dia sudah mulai! Teriak Nini. Mestilah kita tidur disamping anjing
kesakitan ini" Anakku bukan anjing, bangsat! Midah meneriakkan kesakitan hatinya.
Kalau bukan anjing singkirkan dia dari sini.
Kepala romobongan itu melompat ke depan Nini, dan ditamparnya mulut
perempuan itu. Menggerutu: Engkau bisa bertngkah lebih sopan lagi.
Nini menangis. Kami menginap di sini. Kami bukan datang mendengarkan orang berkelahi!
Seru beberapa orang di depan pintu.
Bahkan orang-orang disamping menyampingi penginapan memerlukan datang
untuk menyaksikan jalannya pertandingan mulut. Kemudian muncul pula seorang
polisi lalu lintas. Penuh sesak rumah itu oleh penonton-penonton prodeo.
Jangan bikin ribut, ya" Polisi lalulintas memperingatkan. Nanti
kupanggilkan polisi. Ayo, pulang semua orang-orang luaran ini.
Dengan susahpayah saja polisi lalulintas itu dapat mengusir mereka. Pintu
depan penginapan terpaksa dikunci. Dan akhirnya ia minta penjelasan. Kepala
rombonganlah yang memberikan penjelasan.
Akhirnya polisi itu memandani. Simanis yang tersedan-sedan dan menunduk
dalam tangisnya. Mengusulkan:
Biarlah dia ikut menyanyi sambil menggendong anaknya, katanya. Baik ada
yang menyanyi atau tidak, atau teriak anak kecil, orang-orang itu toh tidak
mendengarkan kalian. Mereka tak menghargai musik kalian sama sekali.
Tidak bisa! Tidak bisa! Teriak kepala rombongan yang tersinggung
kerhormatannya. Ah, saudara, aku sendiri tukang musik juga.
Tuan" Tentu saja. Di radio" Kadang-kadang di radio juga.
Bawalah aku ke radio. Nini mengusulkan.
Polisi lalulintas itu tertawa.
Suaraku bagus juga. Nini mendesak.
Kami sudah punya penyanyi.
Jadi serap juga boleh, desak Nini terus.
Diamlah. Aku sedang dinas sekarang. Dan jangan bikin ribut lagi. Aku harap
rombongan kalian tidak pecah karena dia, dan ia memandang Simanis. Terimalah dia
dalam rombonganmu. Dia juga butuh hidup, dan anak kecil itu juga butuh hidup.
Berilah kami jalan agar bisa main di radio, kepala rombongan itu
mengusulkan. Baiklah, baiklah. Lain kali aku datang kemari. Kulihat dulu bagaimana
kalian main. Setuju" Ah, alat-alat kami tidak lengkap, kepala rombongan mengeluh.
Bukan soal alat, tapi soal kebisaan kalian. Setuju"
Setuju, tentu kami setuju, seru Nini.
Baiklah. Sekarang aku pergi. Lain kali aku datang kemari. Dan sebelum
pergi diangkatnya dagu Simanis. Ia tertegun melihat kemanisan wanita itu. Ia
memandanginya lama-lama. Ah, tuan polisi ini nanti bisa kena bujuknya, Nini mengejek.
Jangan menangis-siapa namamu"
Panggil dia Simanis, tuan polisi! Sambut kepala rombongan. Ia tak pernah
membilangkan namanya yang sesungguhnya.
Simanis. Ya, sesungguhnya engkau memang manis.
Midah menundukkan kepalanya lagi.
Jangan takut. Besok aku datang kemari lagi untuk melihat.
Kalau hanya datang untuk dia, tuan tidak perlu datang, teriak Nini.
Diam! Gertak kepala rombongan. Tuan bisa datang kemari tiap waktu. Tapi
kami ada di sini kalau sudah malam.
Baiklah. Baiklah. Harap dia jangan banyak diganggu. Dia baru melahirkan
dan sebaiknya mendapat perawatanyang baik. Tetapi sebagaian dari kalian
memusuhinya. Itu aku tidak setuju.
Kemduian ia pergi. Di pintu ia menengok lagi melihat Simanis, kemudian
terus pergi. Dan campur tangannya menyebabkan Midah mendapat tempat lagi dalam
rombongan itu. Dan sejak itu pula ia ikut menyanyi lagi. Irirsan-irisan mendalam di
hatinya menyebabkan nyanyiannya begitu mengiris bagi yang mendengarkannya. Dan
nyanyian-nyanyian gembira melahirkan suara yang cynis. Dan tempatnya di
rombongan lebih banyak merupakan bisul dalam tubuh.
Kepala rombongan sekali-dua kali mengulangi lamarannya. Tetapi Simanis
tetap menolak. Kegagalan perkawinannya merupakan sebab utama mengapa ia
menjijiki jenis lelaki, dan mengapa ia tidak punya perhatian lagi untuk menjadi
isteri orang. Sebaliknya sikap yang keluar dari alasan-alasan itu menjengkelkan
kepala rombongan-dan dari jengkel akhirnya berubah menjadi benci.
Midah sadar akan kecantikannya. Midah mengetahui, bagaimana lelaki-lelaki
itu tiada ubahnya dengan kuping dombak lembeknya bila mencari saluran nafsunya
pada wanita. Dan waktu menyelamatkan tempatnya di rombongan, harapan kepala
rombongan itu dibangunkannya kembali. Tapi kepala rombongan yang sudah banyak
makan garam itu tidak bisa dibohongi.
Tiap kali bila rombongan itu makan di sebuah warung kecil, Midah tidaklah
mendapat teguran. Ia makan seorang diri di tempat yang seakan-akan sudah
diasingkan baginya. Di sana pula ia kembali menyusui anaknya. Dan di waktu-waktu kerja, kala
anaknya menangis, ia berhenti sebentar untuk menyusui, sedang rombongan itu
berjalan terus seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Kelemahan hati kadang-kadang mengajaknya kembali kepada orangtuanya, atau
ke rumah Riah. Tetapi keberanian untuk itu tidak ada padanya.
Kemudian datanglah hari yang memperhebat penanggungannya:
Pada suatu hari waktu ia tertinggal oleh rombongan dan sedang menyusui
anaknya di sebuah gang kecil-dengan mendadak saja Riah telah ada di depannya.
Tak dapat ia menyembunyikan kekagetannya.
Midah, anakku! Suara itu memberi belaian yang manis di hatinya yang diperkeras oleh
keadaannya selama itu. Menitik airmatanya.
Anakku! Anakku! Di mana engkau tinggal sekarang"
Midah menutup dadanya dan beridri.
Di mana saja aku tinggal, Riah. Engkau mau ke pasar"
Dan anakmu itu! Alangkah sehat. Engkau bawa-bawa kemana-mana juga dia.
Ya. Mari pulang. Mari aku antarkan pulang ke rumah orang tuamu.
Biarlah aku hidup begini.
Kalau begitu pulanglah ke rumahku.
Biarlah. Mau kemana lagi engkau ini"
Meneruskan perjalanan. Riah memegangi lengan bajunya.
Jangan halangi aku. Biarlah aku pergi.
Setidak-tidaknya ia merasa aman dalam gendongan emaknya.
Ia pun berjalanlah. Tapi Riah mengikutinya.
Jangan aku diikuti. Lain kali aku datang ke rumahmu.
Ia percepat memburu rombongan.
Riah mengikuti perlahan-lahan dari belakang. Dan ia lihat betapa anak
majikannya, yang dahulu dimanjakan itu, menyanyi di depan restoran. Ia lihat
betapa perempuan itu, mempermain-mainkan bibirnya membuat senyum pemikat. Dan ia
lihat juga betapa orang-orang di restoran yang memandanginya menyinarkan
pandangannya yang jijik. Tapi Midah menyanyi terus. Selama ada anak dalam kandungannya, setidaktidaknya ia menyanyi untuk dirinya sendiri untuk hatinya sendiri, dan untuk
anaknya. Dengan diam-diam Riah kembali pulang. Midah tak mengetahui, sekalipun
dalam menyanyi matanya jalang mencari-cari kalau-kalau Riah mengikutinya dan
kala ia yakin menatanya, kembali mata itu menjadi tenang sebagai biasa.
Ketenangan untuk sementara waktu. Ia yakin perempuan itu akan bercerita ke kiri
dan ke kanan tentang dirinya. Ia tahu pula itu akan dikerjakannya bukan untuk
maksud-maksud jahat, bahkan sebaliknya. Bahkan, Midah telah dapat membayangkan,
bahwa Riah segera akan datang ke rumah orangtuanya dan bercerita panjang tentang
dirinya. Sejak pertemuan itu, Jakarta mulai terasa tidak aman baginya. Dan
keadaannya tidak tertanggungkan lagi. Kini ia sering tak ikut bekerja dengan
rombongan untuk menghindarkan diri dari orangtuannya, dari Riah dan dari semua
orang yang disuruh orangtuanya untuk mencarinya.
Suatu kali, untuk mengimbangi kekuasaan Nini, pergilah ia ke tukang gigi
dan memasangkan sebuah gigi emas pada gigi taringnya. Dan kejadian itu disambut
dengan ejekan yang lebih hebat oleh Nini. Midah mengharapkan kedatangan polisi
lalulintas dahulu, tetapi ia tak lagi muncul.
Dia ikut-ikut bergigi emas! Teriak Nini dengan sengitnya.
Pengetahuan bahwa kepala rombongan tak lagi melindunginya lagi,
menyebabkan perempuan itu kian berani terhadapnya.
Apa alat kau di rombongan ini! Apa! Cuma itu anak anjing, yang cuma
menyusahkan kita semua. Penghinaan terhadap anaknya yang tidah berdosa menyebabkan Midah bangkit
amarahnya. Untuk anaknya ia berani berbuat segala-galanya bahkan ynag tidak mungkin
pun. Jangan kau hina lagi anakku.
Dan seluruh rombongan tertawa.
Aku bisa tusuk perutmu. Kerjakan sekarang juga kalau berani!
Sebuah tempeleng melayang pada pipi Midah. Ia terjatuh di samping anaknya.
Tiru-tiru pakai gigi emas. Tidak laku gigimu itu! Teriak Nini.
Mengapa dia juga tidak diusir" Tanya orang-orang lain pada kepala
rombongan. Aku punyab iola, Mimin punya gendang, semua orang di romobngan punya
alatnya sendiri-sendiri. Punya apa kau" Betina begini mesti diusir.
Manis, kata kepala rombongan itu akhirnya. Dengan gigi emasmu itu engkau
bertambah manis. Sayang tak mau jadi biniku. Jadi.......


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baiklah. Baiklah.Aku mengerti, kata Midah akhirnya.
Dan sambil membawa anak dan buntalan po serta pakaiannya ia tinggalkan
penginapan itu. Ia sendiri tak tahu ke mana harus pergi. Tapi ia harus pergi. Dan ia pun
pergilah. Bagian Keenam Berita tentang midah itu mengencangkan keluarga Hadji Abdul. Antara
sebentar terdengar haji itu menyebut dan mengeluh-ngeluh;
Tuhan. Tidak habis-habisnya cobaan yang Kautimpakan kepadaku.
Dan isterinya yang tidak pernah memberikan suara dalam berbagai urusan
antara sebentar memperdengarkan sebutan-sebutan yangtak ketentuan maksudnya.
Anakku yang paling manis! Anakku yang keras hati! Sampai begitu engkau.
Anak-anak lain antara sebentar kena bentak bapaknya. Kemudian mereka
mendapat perintah untuk mencari kakaknya. Haji Abdul sendiri memerlukan ikut
campur tangan dalam mencari anaknya. Ia terus berjalan kaki dari kampung ke
kampung, dari jalan ke jalan. Ia bukanlah orang mampu lagi sebagaimana dahulu.
Untuk beca atau trem apa pula taksi tak ada lagi uang tersedia untuk itu. Mulamula ia pergi ke rempat d mana Riah bertemu dengan anaknya. Tetapi tempat itu
kosong saja. Ia teliti tiap-tiap gerombolan pengamen kroncong. Begitu banyak
gerombolan kroncong. Tetapi anaknya sendiri tak didapatkannya di sana.
Perusahannya dibiarkannya terlantar. Tiap hari kerjanya hanya mencari
anaknya. Orang yang dahulu selalu merasa puas akan dirinya, akan kejayaan dan
kebenaran dirinya ini kini mengalami ketumbangan segala: perusahaan, iman, hari
depan, dan kebesaran yang hendak dipamerkannya dikampung asalnya-Cibatok.
Dahulu ia yakin, bahwa semua anaknya takluk dan taknim padanya, selalu
siap menjunjung namanya terutama dimasa-masa genting. Tapi kini:
Midah! Midah! Ampunilah aku karena telah mengejami engkau. Tapi itu aku
pun bermaksud baik. Apakah layak kau balas aku dengan ikut mempercepat
kehancuranku" Jadi pengamen kroncong" Jadi doger. Anakku! Anakku!
Hampir-hampir Hadji Abdul tak mampu bersembahyang lagi. Segala
percobaannya selamanya gagal, karena pikirannya terus mengembara mencari
anaknya. Walau bagaimana juga, akhir-akhirnya dia anakku sendiri. Walau doger-walau
lebih buruk dari itu, dia harus kubawa pulang dan kuperbaiki.
Dan pagi-pagi benar ia telah turun jenjang memulai pekerjaan barunya
mencari anaknya sendiri, anak yang dianggapnya tersasar.
Segala orang yang layak ditanyainya, diminta keterangannya. Terutama di
restoran-restoran. Dan pada suatu kali ia mendapat keterangan sedikit dan tukang
This Love Is Kill Me 3 Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa Karya Unknown Pedang Langit Dan Golok Naga 42

Cari Blog Ini