Ceritasilat Novel Online

Sunset Bersama Rosie 5

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Bagian 5


sudah masuk musim penghujan. Mungkin tahun ini musim penghujan terlambat.
Kami sempurna memutari Gili Trawangan. Dari satu ujung ke ujung lainnya.
Berjalan di sepanjang bibir pantai. Sakura memaksa memutarinya sekali lagi.
Aku menunjuk Lili yang sudah menguap. Lagi pula Lili baru sembuh. Besok
pagi juga sibuk, pasti lelah. Aku menyuruh anak-anak tidur. Entahlah apa
mereka bisa tidur secepat itu. "Uncle, Sakura belum ngantuk. Nggak bisa tidur
kayaknya. Sakura nggak sabaran gini nunggu besok." Aku tertawa. Kebahagiaan
dan rasa sedih itu terkadang tidak ada bedanya. Sama-sama membuat tidak bisa
tidur Hanya saja rasa bahagia tidak membuat tubuh melakukan gerakan resah
atau helaan napas panjang. Rasa gembira hanya membuat sesak.
Sendirian, aku duduk menghabiskan malam di bebatuan depan resor setelah
menyelimuti Lili di kamar besar mereka. Sama. Aku juga tidak bisa tidur.
Sempat membuka internet di ruang kerja, cek email dan sebagainya, tidak ada
kabar penting dari Made. Urusan enam belas bungalow lancar. Tiga hari lagi,
investor dari Sydney akan berkunjung ke dreamland. Mereka ingin menjajaki
kemungkinan ikut menanamkan uang mereka di proyek itu.
Setengah jam lengang di depan hutan buatan resor.
Tidak ada kunang-kunang. Suara debur ombak memecah pantai terdengar
memesona. Lampion yang bergelantungan membuat terang sekitar. Hutan ini
bertambah lebat dua tahun terakhir. Semak-belukar tumbuh rapat dan tinggitinggi. Pohon-pohon menjulang. Akar-akaran merambat. Selang-seling dengan
perdu dan pakis. Aku merapatkan sweater. Angin malam bertiup semakin
kencang. Mendongak, menatap langit mendung,
"Kau tidak bisa tidur, Tegar?"
Aku menoleh. Tersenyum. Oma melangkah mendekat. Suara ketukan tongkatnya yang menjejak tanah
tidak terdengar. Ia beranjak duduk pelahan di salah-satu serakan batu besar.
Menatapku tajam. "Bagaimana kabar Sekar?"
Benar-benar langsung ke pokok pemasalahan. Aku menelan ludah. Mengusap
wajah. Sudah lama sekali aku tidak bercakap serius dengan Oma. Malah setahun
terakhir jarang bicara dengannya. Hanya menegur. Dua-tiga kalimat. Bertanya
apa yang bisa kulakukan. Dan Oma lebih banyak tersenyum tipis. Bilang dia
baik-baik saja. Hanya anak-anak yang rajin menemani Oma. Bercengkerama di
teras resor. Di antara hamparan bantal-bantal. Aku juga ikut. Tapi kalau Oma
sedang bicara dengan mereka aku lebih banyak diam memperhatikan.
"Baik. Sekar baik-baik saja." Aku menjawab pelan.
"Kau sebenarnya sama sekali tidak tahu, bukan?" Oma menatapku prihatin,
suara tuanya terdengar ganjil.
Aku menelan ludah. Mengangguk.
"Besok resor ini akan utuh kembali, Oma. Besok Rosie pulang. Benar-benar
tidak terasa. Dua tahun. Dan semuanya kembali pulih. Terlihat lebih
menyenangkan. Aku tidak pernah menyangka kita semua bisa melalui masamasa menyakitkan itu. Anak-anak tumbuh tanpa perlu membenci masa lalu.
Mereka malah tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan. Dan Oma,
lihatlah, Oma semakin cantik." Aku berkata pelan, bergurau, berusaha
mengalihkan pembicaraan. Aku tahu persis apa yang ingin dibicarakan Oma.
"Ya. Kau selalu melakukan hal baik, Tegar. Kau baik kepada Rosie, kau baik
kepada anak-anak, kau baik kepadaku. Kau selalu baik ke keluarga ini. Bahkan
waktu kecil, sebelum semua perasaan itu menelikungmu, sebelum kau memiliki
banyak keinginan atas perasaan itu, kau sudah baik dengan keluarga ini." Oma
diam sejenak. Aku urung memotongnya. Biarlah Oma menyelesaikan
kalimatnya. "Tetapi pernahkah kau berpikir. Keluarga ini tidak pernah membalas
perbuatan baikmu dengan pantas. Bahkan sebaliknya, menukar semua perbuatan
baikmu dengan racun. Rosie menikah dengan lelaki lain yang baru dikenalnya
dua bulan. Dan kau harus melalui masa-masa getir lima tahun. Sesak dengan
semua perasaan." Aku menatap Oma. Tidak patut membicarakan ini. Sama sekali tidak patut. Itu
masa lalu. Dulu aku memang tersungkur meminta penjelasan ke senyapnya
kamar tentang apakah semuanya adil, apakah seluruh kebaikan itu harus dibayar
dengan kenyataan menyakitkan" Tapi hubungan pertemananku dengan Rosie
adalah tulus. Akulah yang menanam perasaan itu. Bukan salah siapa pun.
"Seharusnya pernikahan itu tidak pernah terjadi, Tegar. Enam bulan
menunggu yang sia-sia. Dan aku malah membalas seluruh kebaikan kau dengan
tidak pernah menceritakan bagian itu. Berpikir itu akan menjadi pilihan terbaik
bagi kalian. Berpikir itu akan selalu menjadi pilihan terbaik bagi kalian." Oma
mendesis pelan, meski getar suara tuanya tidak seyakin lazimnya.
Aku tersenyum, mendekap bahu Oma. Sudahlah. Apa pun yang terjadi di
malam pernikahan itu, ketika aku menelepon dan Oma akhirnya mengatakan
perasaanku ke Rosie, semua sudah tertinggal di belakang, lima belas tahun lalu.
Aku tidak perlu tahu detailnya. Itu tidak akan merubah apa pun.
"Pulanglah ke Jakarta, Nak. Bukankah kau pernah bilang hanya akan ada di
sini sampai Rosie pulih. Besok Rosie kembali. Dia bisa mengurus anak-anak.
Mengurus resor. Mengurus segalanya. Kau pulanglah ke Jakarta.
Melanjutkan kehidupanmu yang enam tahun terakhir sudah berjalan damai
dan tenteram. Kau hanya terjebak di sini. Untuk kedua kalinya. Dan itu suatu
saat nanti pasti akan berakhir". Berakhir lebih menyakitkan." Aku menatap
Oma lamat-lamat. Menggeleng. "Kau punya janji kehidupan di sana, Nak.
Mungkin tidak dengan Sekar. Mungkin dengan gadis lain. Apa yang sering Oma
bilang dulu" Kau bisa mendapatkan gadis yang lebih cantik, lebih baik, dan lebih
pintar dibandingkan Rosie, bukan?" Oma tertawa getir.
Aku ikut tertawa. Tidak menjawab. Sudahlah, Oma. Aku tidak terjebak.
Semua perasaan itu sudah berlalu. Aku mencintai Rosie, tapi itu dalam bentuk
yang berbeda. Sahabat dekat. Sahabat yang selalu berbuat baik tanpa berharap
apa pun darinya. Langit semakin gelap. Petir menyambar. Satu tetes air jatuh menimpa
kepalaku yang mendongak. Akhirnya hujan turun setelah terlambat dua minggu.
Pukul 08.15, pesawat kecil berkapasitas sepuluh orang yang dikemudikan
Smith terlihat di kejauhan. Awalnya titik kecil, semakin lama semakin terlihat
jelas. Sakura yang berdiri tegang di dermaga sejak pagi buta, berseru-seru
senang. Anggrek tersenyum lebar. Jasmine bertepuk-tangan riang. Lili
mengerjap-ngerjapkan mata, tangannya mencengkeram celanaku. Penduduk Gili
Trawangan berkerumun, ikut bertepuk-tangan. Turis yang menghabiskan liburan
di resor juga ikut menyambut.
Lima menit, pesawat itu mendarat elok di atas hamparan biru lautan.
Kemudian merapat pelan ke dermaga. Aku melangkah mendekat. Smith
mengangkat tangannya, memberikan hormat militer kebanggaannya. Clarice
membuka pintu, melambaikan tangan. Rosie beranjak turun di belakangnya.
Tersenyum. "Selamat datang, Ros. Selamat datang kembali." Aku tertawa.
Rosie loncat memelukku, hampir jatuh terjerembab.
"Ibu. Ibu." Sakura mendekat, tertawa.
"Hore, Ibu pulang!" Jasmine berlarian.
Anak-anak berkerumun. Rosie memeluk mereka satu per satu. Jasmine
menangis dalam seruannya, tangisan senang, menyeka ujung-ujung matanya.
Hanya tinggal hitungan detik, kakaknya Anggrek ikut menangis. Disusul Sakura.
Lili hanya menyeringai. Bola matanya berkerjap-kerjap lagi. Rosie menciumi
wajah anaknya satu per satu. Mendekap mereka erat-erat, menyeka pipi mereka
dengan ujung baju. Aku mendongak, menahan air mata tumpah.
"Jangan malu, Tegar, menangis saja. Tak ada salahnya anak-anak melihat kau
menangis. Mereka akan tetap menganggap kau Paman paling hebat, keren, dan
super." Seseorang menyikutku, Ayasa yang mengenakan syal putih baru loncat
dari atas pesawat. Ia ternyata ikut mengantar.
Aku tertawa kecut, menyeka sudut-sudut mata. Semua ini sungguh
mengharukan. Oma tertatih dengan tongkatnya mendekat. Rosie berdiri,
memeluknya erat-erat. Lebih dari dua tahun Rosie tidak bertemu dengan Oma.
Hanya melalui layar-layar televisi itu. Oma tersenyum takzim, mengusap rambut
panjang Rosie. Berbisik tentang selamat datang, Anakku. Penduduk Gili
Trawangan ikut berkerumun, beberapa orang maju mendekat, menyalami dan
memeluk Rosie. Lian membantu Smith menurunkan barang bawaan. Aku membimbing lengan
Rosie menuju resor. Cahaya matahari pagi membungkus seluruh pulau. Lembut.
Langit cerah tidak tersaput awan, mungkin seluruh gumpalan awan tebal sudah
habis setelah semalaman hujan deras. Bunga mawar yang diletakkan di setiap
jengkal halaman resor terlihat berkilauan oleh sisa air hujan semalam. Rosie
tersenyum lebar menatapnya. Menggenggam jemariku, "Terima kasih, Tegar.
Terima kasih." Aku selalu suka pagi, bagiku pagi adalah waktu terbaik. Rosie menyalami satu
per satu pelayan resor di ruang depan. Menerima ucapan selamat dari turis.
Wajahnya riang. Anak-anak berdiri di sekitarnya. Aku membiarkan ia menjejak
waktunya. Berdiri menatapnya di bawah daun pintu ruang tengah. Tersenyum.
Lihatlah, wajah itu kembali sumringah. Tidak ada lagi sisa-sisa kesedihan
kejadian Jimbaran dua tahun silam. Wajah riang itu menyemburat segar.
Rosie sudah pulang. Clarice dan Ayasa masih tinggal di resor hingga senja hari. Sempat makan
siang bersama. Lian menghidangkan menu spesial. Ayasa mengomentari betapa
indahnya resor. Clarice menceritakan sepotong risetnya di Kepulauan Raja
Ampat. Tetapi meja makan sempurna diambil-alih oleh celoteh anak-anak dan
Rosie. Sakura ribut membanggakan rapornya. Memperkenalkan satu demi satu
anak-anak si Putih, yang semuanya dinamai berdasarkan warna bulu mereka,
jadi sedikit lucu karena ada yang bernama: belangtamtih (belang, sedikit-hitam,
sedikit-putih). Jasmine membantu menuangkan sup jagung ke mangkuk ibunya.
Lili menyeringai di kursinya, yang ditambal beberapa buku agar tubuh kecil Lili
bisa nyaman duduk di atasnya. Anggrek menceritakan apa yang telah, sedang,
dan belum dikerjakan, seperti seseorang yang sedang menyampaikan laporan
rutin. Aku tersenyum. Clarice dan Ayasa berpamitan saat matahari siap tenggelam di kaki langit,
"Ayasa ingin melihat sunset dari atas pesawat." Clarice menjelaskan. Aku
mengangguk. Itu sungguh pemandangan yang hebat, tidak kalah hebatnya
dengan sunset dari tubir cadas shelter milik Ayasa. Rosie memeluk Clarice dan
Ayasa. Mereka akan selalu menjadi bagian penting keluarga resor. Clarice
sempat menuangkan beberapa bungkus cokelat besar ke dalam saku baju Sakura
sebelum berangkat. Rosie kali ini hanya tertawa melihatnya. Ayasa gesit hendak
menaiki pesawat. "Bibi, Bibi Ayasa tunggu." Jasmine berseru pelan.
Ayasa menghentikan gerakannya, menoleh.
Jasmine melangkah mendekat. Berdiri persis di depan Ayasa. Mata hijau gadis
kecil itu terlihat memesona.
"Dulu. Waktu Jasmine datang mengantar Ibu. Bibi Ayasa bertanya apa Bibi
boleh memeluk Jasmine. Sekarang, sekarang bolehkah Jasmine yang memeluk
Bibi?" Gadis kecil itu menatap lamat-lamat.
Ayasa jongkok, mengangguk, "Kau selalu boleh memeluk Bibi, Jasmine."
Jasmine tersenyum. Loncat ke tangan Ayasa yang terjulur. Memeluk penuh
penghargaan. "Dulu. Dulu waktu Bibi Ayasa bertanya apakah Ibu boleh tinggal di shelter,
Jasmine amat takut. Jasmine tidak percaya pada Bibi. Sekarang, sekarang
Jasmine senang sekali. Paman Tegar benar, Bibi Ayasa dokter yang hebat. Nanti
kalau Jasmine sudah besar, Jasmine akan menjadi dokter yang hebat seperti Bibi.
Sama baiknya seperti Bibi, meski Jasmine tidak ingin jahil seperti Om Mitchell."
Jasmine menyeringai kecil, menyeka ujung matanya.
Ayasa tersenyum, memeluk sekali lagi Jasmine. "Tentu. Nah, Jasmine bisa
datang kapan saja ke shelter. Cokelat panas Bibi Ayasa selalu yang terbaik.
Tidak ada yang pernah mengalahkannya, bukan?"
Jasmine tertawa, mengangguk.
Ayasa naik ke atas pesawat setelah juga memeluk Anggrek, Sakura, dan Lili.
Melambaikan tangan. Smith mengangkat tangannya. Tak pernah bosan dengan
hormat militer itu. Sekejap berlalu, pesawat itu sudah bergerak cepat di atas
hamparan biru lautan, kemudian melesat menuju langit yang terlihat kemerahmerahan.
Sunset siap menghujam kaki cakrawala.
Makan malam. Lian lagi-lagi mengeluarkan menu spesial. Meja-meja di
sepanjang pantai dipenuhi orang. Turis-turis, juga penduduk Gili Trawangan.
Aku mengundang banyak tetangga. Anak-anak kecil penduduk pulau berlarian.
Bermain kembang api. Sakura, Jasmine, dan Lili bergabung dengan mereka.
Mendekap telinga saat bujang membakar kembang api roket, apalagi Lili
langsung lari terbirit-birit ke meja. Berdentum. Kembang api itu mekar
memesona di langit gelap. Malam ini sebenarnya langit lagi-lagi mendung.
Tetapi itu tidak mengurungkan segala keriangan.
Rosie duduk bersebelahan dengan Anggrek. Berbincang tentang apa saja.
Terputus beberapa kali oleh Lili yang menghampiri meja, karena takut dengan
dentuman kembang api, tapi setelah kembang apinya melesat justru kembali lagi
menonton dari jarak dekat. Sakura yang sibuk bolak-balik mengambil minuman,
dan Jasmine yang membawa piring-piring berisi makanan. Perbicangan lebih
banyak diisi tentang resor dan pulau. Lampion-lampion memenuhi pantai. Dua
bangunan baru. Renovasi gedung utama. Anggrek juga bercerita tentang buku
baru yang hendak ditulisnya.
Pukul 21.30 keramaian mulai berkurang. Anak-anak sudah mulai menguap,
lelah dengan segala keriangan sepanjang hari. Lian dan beberapa pelayan lain
membereskan meja-makan. Satu-dua turis dan penduduk pulau berpamitan.
Melanjutkan aktivitas malam masing-masing. Anggrek membawa adik-adiknya
kembali ke bangunan utama resor. Tidur. Malam ini setelah dua tahun, mereka
mendapatkan ciuman selamat tidur dari Ibu. Rosie menemani mereka beberapa
saat di kamar. Tidak ada cerita. Rosie tidak sepandai aku bercerita. Tetapi
kebersamaan dengan Ibu mereka sendiri beberapa menit sebelum tidur di ranjang
besar itu lebih bernilai dibandingkan seratus cerita yang baik.
Aku masih duduk-duduk di pantai bersama turis lainnya lima belas menit
kemudian. Langit semakin mendung. Petir merobek langit. Di Gili jarang ada
guntur membahana yang membuat ngilu kuping pendengarnya. Hanya suara
bergemeletukan. Hilang kelebatan petir, lepas suara pelan guntur, satu tetes air
dari langit jatuh di atas meja makan. Tanpa banyak menunggu lagi, ribuan bulir
air lainnya turun menyusul. Pelayan tergopoh-gopoh membereskan meja dan
peralatan. Keramaian itu benar-benar terhenti. Aku berlari-lari kecil menuju
halaman resor. Menerobos hujan yang cepat sekali membesar.
Berdiri di atas teras yang menghadap hutan buatan. Mengibaskan rambut yang
basah. Kemeja yang basah. Hujan deras dalam hitungan detik sudah membuncah
Gili Trawangan. Suara bulir air besar-besar menerpa atap resor, tanah, rumput,
bebungaan, dan pohon. Terdengar kencang berderak. Lampion yang tergantung
bergerak-gerak diterpa air. Cahayanya berpendar-pendar indah. Kemilau yang
menenteramkan. Aku menyeringai. "Kau butuh handuk?"
Aku menoleh. Tersenyum melihat yang barusan menegur.
Rosie menjulurkan handuk kering.
"Hanya basah sedikit. Hujan di sini sejak kita kecil selalu saja tidak pernah
bilang-bilang. Tanpa ba-bi-bu, langsung tumpah. Dan kita selalu saja basah,
terlambat berteduh". Bebal tidak pernah belajar dari pengalaman." Aku
tertawa, menerimanya. "Kita" Sepertinya hanya kau yang bebal selalu kehujanan." Rosie tersenyum,
bergurau. Berdiri di sebelahku. Berpegangan pada kayu pembatas teras yang
berplitur dan berukiran. Lampion yang dulu digantungkan Jasmine di ujung atap
teras membuat terang sekitar. Aku tertawa. Mengelap wajah.
Tangan Rosie terjulur ke depan. Menyentuh air yang jatuh dari atap resor.
Percikan air yang mengenai telapak tangannya mengenai muka dan baju.
Tertawa riang. Persis seperti Lili yang suka menjulurkan tangannya ke mana
saja. Entah air lautan. Cipratan kapal cepat, dan sebagainya.
"Melakukan hal ini sepertinya tak pantas lagi untuk orang-orang seumuran
kita, bukan?" Rosie menoleh, mukanya dipenuhi bintik air.
Aku mengangkat bahu. Berlagak, well, syukurlah kalau kau sudah
menyadarinya. Rosie demi melihat ekspresi mukaku jahil mengibaskan
tangannya yang basah. Aku mengangkat handuk membuat tameng. Tertawa.
Rosie menarik handuk itu. Lantas mencipratkan lagi tangannya yang
menggenggam air. Aku merunduk. Air mengenai bantal-bantal yang tersusun
rapi di dinding teras. "Kalau ketahuan Anggrek, kau akan dimarahinya, Ros. Membuat basah teras.
Sakura saja sempat dijewer Anggrek karena minum di atas bantal-bantal." Aku
tertawa. Rosie ikut tertawa, menghentikan gerakan tangannya. Sejenak, kembali
memandang ke hutan buatan. Aku ragu-ragu mendekat. Bersiap dengan handuk
di tangan. Rosie dulu amat penipu. Sering pura-pura tidak akan jahil lagi, tapi
meleng sedikit tangannya yang super-iseng kembali beraksi. Kami berdiri
bersebelahan menatap ke depan. Menyimak air hujan yang membungkus


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lampion-lampion. "Aku hari ini amat senang, Tegar. Semalam tidak sabar menunggu pagi
datang. Tidak sabar menunggu Clarice dan pesawatnya. Tidak sabar sepanjang
perjalanan. Apa kata Ayasa di pesawat, "Clare, seharusnya kau membawa
concorde untuk menjemput Rosie, biar wusss sedetik langsung tiba.?" Rosie
berkata pelan. "Tidak aneh, sih, bukannya kau sejak dulu selalu saja begitu" Tidak sabar
menunggu bujang yang akan membawa perahu hingga nekad mengemudikannya
sendiri. Tidak sabar menunggu bel sekolah hingga iseng menabuhnya sendiri.
Tidak sabar mendaki Rinjani hingga tak hentinya memaksaku segera
menyelesaikan kegiatan di kampus." Aku nyengir.
Rosie ikutan nyengir, tangannya terjulur lagi. Aku ikut menjulurkan tangan ke
bawah sisi-sisi atap, ikut menyiapkan amunisi. Bersiap berperang, kalau
terpaksa. Rosie tertawa, menarik lagi tangannya. "Aku senang kau tetap di sini,
Tegar. Amat senang saat kau menyambutku di dermaga tadi. Tersenyum hangat,
tidak berubah sedikit pun dengan senyummu dulu." Rosie menatapku lamatlamat, suaranya entah mengapa bergetar, "Padahal, padahal kau sudah
sepantasnya membenciku."
Aku mengusap rambutku dengan telapak tangan yang basah, menggeleng,
"Tidak akan ada yang bisa membencimu, Ros. Tidak akan ada yang bisa
membenci Ibu dengan anak-anak yang hebat sepertimu. Bahkan kalau kau
berbuat kejahatan, misalnya mencuri, demi anak-anakmu yang riang dan
membanggakan, mungkin saja petugas akan mengampuni. Dulu saja Sakura bisa
menipu penjaga bandara dengan wajah polosnya, menyelundupkan si Putih
masuk ke pesawat, dia dimaafkan. Kau bisa bayangkan apa yang dapat
dilakukan Lili dengan wajah cubby-nya." Aku tertawa, bergurau. Rosie ikut
tertawa. Malam ini terlalu indah untuk dipotong oleh percakapan itu. Aku tahu, Oma
mungkin benar, esok-lusa kebersamaan ini bisa membuatku terjebak. Untuk
kedua kalinya. Tapi itu semua sudah jauh tertinggal. Aku tidak mengharapkan
apapun dari kedekatan ini. Jadi bagaimana aku akan terjebak" Lihatlah, umurku
dan Rosie sudah tiga puluh tujuh tahun. Tadi meski menyenangkan bermain
dengan cipratan air hujan itu, bukankah semua terasa berbeda. Kami sudah jauh
dari pantas melakukannya, bukan" Kalau dilihat Sakura, pasti ia akan sibuk
mengolok-olok. Entahlah. "PYARS!" Telak sekali air dari genggaman tangan Rosie menghantam wajahku. Aku
yang melamun barusan gelagapan. "ROS, kau curang!" Berteriak. Rosie sudah
berlari ke dalam resor. Aku mengejar setelah menggenggam air hujan banyakbanyak dari pancuran atap. Terhenti. Rosie ternyata berdiri nyengir di belakang
kursi goyang Oma, mengangkat bahunya, pura-pura menggerakkan kursi Oma,
yang sedang tertidur. Mendapatkan benteng perlindungan yang baik. Aku
mendesis sebal. Selalu begitu sejak dulu. Membiarkan tetes air merembes keluar
dari mangkuk tangan. Apakah kami masih pantas bergurau seperti anak-anak"
Tapi ini menyenangkan. Apalagi menatap wajah Rosie yang nyengir lebar penuh
kemenangan. Hujan deras terus membuncah Gili Trawangan hingga esok hari.
Hari-hari melesat tanpa terasa.
Anak-anak kembali merasakan sensasi dibangunkan pagi-pagi oleh ibu
mereka. Meski menguap, sibuk menarik selimut kembali, "Kan masih libur, Ibu.
Nggak pa-pa kan kalau kita kesiangan dikit." Sakura nyengir, membenamkan
kepalanya di bawah bantal. Rosie tertawa, menarik bantal Sakura. Lili malah
ikut menggelitiki kaki kakaknya biar bangun. Sakura melempar Lili dengan
bantal. Tertawa. Justru tanpa bandel Sakura dan seruan anak-anak, keseharian di
rumah menjadi hambar. Anak-anak kembali merasakan meja makan yang utuh. Ada Ibu yang
menyiapkan piring-piring. Anggrek yang selama ini mengambil tanggung-jawab
itu duduk memperhatikan. Sarapan berlangsung menyenangkan. Makan siang.
Apalagi makan malam, kalau hujan tidak turun lebih cepat. Anak-anak ramai
bercerita di meja makan. Kali ini tidak hanya didominasi seruan, Uncle, Paman,
atau Om. Kali ini ada banyak seruan Ibu. Ibu. Seluruh kebahagiaan itu akhirnya
kembali, dengan bonus-bonusnya.
Menghabiskan hari bercengkerama di teras resor sambil memandangi air
hujan. Berjalan mengelilingi Gili Trawangan, Sakura menjadi pemandu yang
baik bagi ibunya yang dua tahun tidak menjejak sudut pulau. Saking
berkualitasnya, Sakura bisa menjelaskan kuda mana saja yang sudah beranak,
jumlah kerbau penduduk, dan sebagainya, ini sih seruan Jasmine yang sebal
melihat kakaknya mendominasi pembicaraan. Sakura dan Jasmine jahil saling
melempar ranting pohon. Baru berhenti saat Anggrek melotot.
Meski aku dekat dengan mereka, ada banyak yang tidak pernah bisa aku
berikan kepada anak-anak yang bisa disediakan seorang ibu langsung, Rosie.
Semua terasa berbeda. Lili paling suka berjalan di antaraku dan Rosie. Memegang tangan-tangan.
Sekali-dua bergelayutan. Tertawa. Ada banyak yang berubah di Gili Trawangan.
Rumah penduduk bertambah. Satu-dua digantikan bangunan baru yang lebih
kokoh. Jalanan di tengah pulau jauh lebih rapi, bukan dibuat dari tumpukan batu
koral. Sekarang dibuat dari balok-balok beton, "Ini proyek pertama Kepala Desa
baru, Ibu." Sakura menjelaskan, tertawa.
Dua hari berjalan tanpa terasa. Rabu pagi, aku harus berangkat ke Denpasar,
menemui calon investor bungalow. Anak-anak ikut mengantar hingga pelabuhan
nelayan Bangsal selepas sarapan. Kembali bersama bujang setelah menyebutkan
belasan oleh-oleh yang harus kubeli, Anggrek banyak menitipkan buku. Aku
akan menginap semalam. Tiba di Denpasar siang hari, memastikan banyak hal di kantor pembangunan
enam belas bungalow. Made menyerahkan berkas-berkas yang kubutuhkan.
Melaporkan keterlambatan konstruksi fondasi. Pukul 16.30 aku menjemput dua
investor itu dari penginapan. Made sengaja menyewa mobil yang layak pakai
untuk menjemput mereka. Aku tahu salah seorang dari mereka menyukai balap mobil. Jadi kesan
pertama yang hebat saat mereka naik ke atas mobil, saat aku langsung
menggebah mobil sport itu melesat di jalan lingkar luar kota Denpasar. Meliuk
di antara lengangnya jalanan menuju lokasi pembangunan bungalow. "Well,
Mister Tegar, kami tidak tahu kau ternyata pembalap yang hebat. Semoga kau
berbisnis sama baiknya dengan menyetir." Aku tertawa, membanting stir ke kiri,
mulus menyalip mobil di depan.
Kunjungan senja ini juga disengaja. Agar mereka, yang sialnya sama sekali
belum pernah datang ke Bali, melihat sunset di tubir cadas dreamland. Setelah
menjelaskan banyak hal, membentangkan kertas-kertas di bangunan kecil lokasi
pembangunan, membiarkan mereka bertanya apa saja tentang bisnis resor, aku
mengajak mereka berdiri persis di atas cadas. Sunset yang memesona
membungkus kaki langit. Ini semua menjelaskan banyak hal. Jauh lebih
menjelaskan dibanding perhitungan investasi, tingkat suku-bunga, risiko dan
sebagainya. Kedua investor itu saling melirik. Aku tersenyum menilik ekspresi
wajah mereka, kontrak kerja sama itu hanya tinggal menunggu waktu
ditandatangani. Mereka bahkan mengambil keputusan lebih cepat, menyampaikan
kesepakatan di atas mobil saat melesat menuju Pantai Jimbaran untuk makan
malam. Kadek sudah menyiapkan meja spesial di kafenya. Dengan kesepakatan
di mobil, saat menemani mereka menikmati Pantai Jimbaran yang ramai, tidak
ada lagi pembicaraan mengenai investasi. Hanya diisi percakapan hangat.
Purnama menghias angkasa, bintang-gemintang membentuk formasi indah. Live
music mendendangkan lagu yang amat kukenal, lagu favorit Clarice dan Ethan,
suaminya. Let it be me. Aku tersenyum.
Pukul 21.00, aku mengantar mereka kembali ke penginapan. Dua investor itu
berjanji akan mengurus dokumen investasi secepat mungkin.
Aku melajukan mobil melewati jalanan Denpasar. Melihat keramaian. Masih
terlalu dini untuk kembali ke rumah Made. Kembali mengarahkan mobil ke
parkiran Jimbaran. Malam ini aku ingin duduk menghabiskan waktu di sana, di
kafe milik Kadek. Menatap keramaian, mendengarkan debur ombak yang
menerpa pantai. Merasakan atmosfer kesenangan para pengunjung. Aku ingin
mengenang banyak potongan kejadian masa lalu.
Duduk kembali, kali ini di meja yang persis dekat pantai. Memandang sisi-sisi
lautan yang bemandikan cahaya lampu kota. Pelayan kafe Sea-fud memberikan
minuman gratis dari Kadek. Aku melambaikan tangan kepada Kadek yang
sedang sibuk melayani pengunjung. Jimbaran pulih sejak setahun lalu, termasuk
bisnis yang dikelola Kadek.
Menatap ombak bergulung. Satu-dua anak-anak berlarian, ibu mereka
kesulitan mengendalikan anak-anaknya. Aku nyengir. Anak-anak itu tidak
pernah perlu dikendalikan. Anak-anak itu hanya memerlukan pengertian.
Lihatlah Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Mereka juga bandel, tapi mereka
mengerti apa yang diharapkan dari mereka. Anggrek tumbuh menjadi remaja
yang bertanggung-jawab. Sakura tumbuh dengan banyak bakat besar, minggu
depan ia akhirnya ikut resital biola di Jakarta bersama salah satu pemain biola
ternama. Jasmine tumbuh menjadi anak yang bahkan bisa menerjemahkan
perasaan orang lain dengan baik. Memandang masalah dari sudut pemahaman
yang terkadang amat mengejutkan. Bagi Jasmine hidup adalah kepolosan yang
baik. Lili" Aku tidak tahu akan seperti apa ia kelak. Dengan wajah cubby, dengan
segala keriangan, Lili akan menutup empat kuntum bunga Rosie dengan baik.
Suatu saat ia pasti bicara. Minggu-minggu ini saja, Lili sekali-dua sudah mulai
mau patah-patah menyebut kalimat, kebersamaan bersama ibunya akan membuat
ia bicara. "Mas Tegar?" Seseorang menegur.
Aku menoleh. Tertawa, berdiri menjulurkan tangan.
"Linda" Astaga, benar-benar kejutan. Kita bertemu di tempat yang sama untuk
kedua kalinya dua minggu terakhir."
Linda ikut tertawa. Menjulurkan tangan. Bersalaman.
"Gabung" Aku kebetulan sendirian. Awalnya sih memang ingin sendiri.
Melamun melihat lautan. Mendengar live music. Tetapi setelah setengah jam
terasa membosankan juga. Dan aneh, aneh sekali kalau kita hanya bengong di
tengah ramainya Jimbaran, bukan?"
Linda tertawa, menarik kursi di depanku, "Melamun" Mas Tegar benar-benar
berubah dua tahun ini. Tidak pernah terbayangkan, Tegar Karang, karyawan
paling sibuk, paling serius dan juga paling melesat karirnya, punya hobi baru,
melamun." "Kau sendirian juga?" Aku bertanya.
"Begitulah, menghabiskan cuti. Harusnya minggu lalu sekalian saja berlibur
dua minggu. Tetapi ekspat dari Singapura itu amat menyebalkan. Memaksaku
pulang untuk urusan sepele." Linda mengangkat bahu.
Aku bersimpati, melambaikan tangan memanggil pelayan.
"Anak-anak tidak ikut, Mas Tegar?"
"Mereka di resor, Gili Trawangan. Aku ada keperluan sedikit di Denpasar."
"Sedikit" Bagi Tegar Karang sedikit itu berarti, ya mungkin kapitalisasi saham
senilai sekian ratus miliar." Linda tertawa, "Ah iya, salam balik dari Frans. Dia
bertanya apa Mas Tegar terlihat berubah banyak. Maksudnya bentuk fisik. Tentu
saja tidak. Aku bilang Mas Tegar tetap sama atletisnya dibandingkan dulu. Justru
dialah yang terlihat semakin buncit. Siapa pun yang melihat Frans, pasti akan
mengasihaninya." Aku nyengir, berusaha membayangkan tubuh tambun Frans.
"Bagaimana kabar Sekar?" Aku bertanya. Memotong tawa Linda.
"Baik. Dia baik-baik saja."
"Tidak ada salam balik darinya."
"Loh" Bukannya Mas Tegar bisa menelepon Sekar langsung?" Kening Linda
sedikit terlipat, menatapku tidak mengerti.
Aku tertawa kecil. Seharusnya Linda tahu ceritanya, bukan"
Pelayan datang mengantarkan minuman, "Gratis. Dari Pak Kadek." Aku
menoleh, Kadek melambaikan tangan. Waktu kami makan malam setelah
festival layang-layang, Kadek juga enggan menerima kartu kreditku.
"Kapan kalian terakhir kali bicara?" Linda bertanya.
"Bicara dengan siapa?"
"Sekar. Siapa lagi?"
"Eh, dua tahun silam aku rasa."
Linda menepuk jidatnya. "Dua tahun silam" Ya ampun."
Aku tertawa getir. Bagaimana mau bicara lagi" Suara Sekar selalu bergetar
saat ditelepon. Mengeluarkan kalimat-kalimat tidak nyaman. Memintaku
berhenti menelepon, membiarkan ia melanjutkan hidup tanpaku. Merasa
semakin lama ia membiarkan dirinya memendam pengharapan, maka dia
semakin terluka. Jadi bagaimanalah aku harus menghubunginya"
"Kau sempat bertemu dengannya beberapa hari terakhir?" Aku bertanya,
memainkan pipet di gelas minuman.
"Sempat. Hanya sebentar."
"Apa yang dikatakannya saat kau bilang bertemu denganku di Jimbaran.
Maksudku apa ekspresi mukanya mendengar aku bertanya" Apa dia senang"
Apa dia hanya diam?"
"Aku belum sempat bilang." Linda nyengir. Aku menatap tajam, belum
sempat" "Aku lupa cerita padanya, Mas Tegar." Linda tertawa kecut.
"Kau memang salah-satu stafku yang paling pelupa sejak dulu."
"Maaf." Linda nyengir, "Tapi kupikir, sejak dulu, hubungan Mas Tegar dan
Sekar terlihat ganjil sekali."
Aku urung mendelik melihat Linda yang sedikit pun tidak merasa berdosa
bilang belum sempat cerita barusan.
"Apa Mas Tegar masih mencintainya?" Linda bertanya lebih dulu.
Aku terdiam. Linda menunggu, matanya menyelidik. "Aku tidak tahu." Aku
menggeleng. "Tidak tahu?" "Entahlah. Yang pasti aku pernah mencintainya. Kami sempat bersama lebih
dari empat tahun. Aku mencintainya meski itu dengan pengertian dan
pemahaman cinta yang berbeda." Aku menjawab pelan, menatap debur ombak di
kejauhan. Buih bergulung di atas pasir. Pecah berdebam menjilati kaki-kaki turis
yang berjalan rileks. Linda mengangguk-angguk pelan, "Sepertinya itu tidak mudah dipahami, Mas
Tegar. Mencintai dengan pengertian dan pemahaman cinta yang berbeda."
Linda tentu saja tahu banyak potongan masa laluku. Bukan dari aku, tapi dari
Sekar. "Ah iya, bagaimana kabar Mbak Rosie" Kalau tidak salah, sudah kembali
bersama anak-anaknya di Gili Trawangan, bukan?"
Aku mengangguk. "Anak-anak yang hebat. Aku sempat menonton siaran langsung saat vonis itu
dibacakan. Tepatnya, aku sekeluarga sengaja menonton. Mas Tegar tahu,
ruangan itu senyap seketika saat Jasmine menjulurkan setangkai mawar biru itu.
Kamera menangkap wajahnya yang menahan tangis. Kalimatnya yang begitu
indah. Ya Tuhan, Ibu dan Papa sampai menangis. Anak yang hebat, amat
membanggakan. Mas Tegar pasti mendidiknya dengan baik."
Aku tertawa kecil, melambaikan tangan.
Diam sejenak. Kami sibuk menatap beberapa anak-anak bule yang masih
berlarian di atas buih ombak.
"Sepertinya Mas Tegar tidak akan pernah kembali lagi ke Jakarta?"
"Aku menyukai tinggal di sini, Lin."
"Bukankah Mas Tegar pernah bilang hanya akan ada di Lombok hingga
semuanya pulih. Bilang seperti itu ke Frans dan Eric Theo. Mbak Rosie sudah
kembali, bukan?" Aku tersenyum, mengangguk.
"Apakah Mas Tegar masih mencintai Sekar?"
"Bukankah kau sudah bertanya tadi?" Aku tertawa, "Dan, hei, alangkah
banyak tanya kau malam ini" Tidak ada turis yang kepalanya dipenuhi
pertanyaan saat di pantai Jimbaran."
Linda mengangkat bahunya, menyeringai.
"Hubungan kalian memang aneh sekali. Dan Sekar gadis malang yang bodoh.
Seharusnya dia justru datang ke sini, menikah dengan Mas Tegar apa pun
harganya. Kalau aku dalam posisinya, jangankan Lombok yang memang
menyenangkan setiap hari, tinggal di gunung bersalju penuh badai pun oke."
Linda tertawa. Aku ikut tertawa.
"Sekar tidak akan pernah menyukai sepotong masa lalu itu."
"Ya karena itulah, dia gadis malang yang bodoh." Linda nyengir.
Malam beranjak naik. Pantai Jimbaran tidak akan sepi sebelum tengah malam.
Turis-turis yang beranjak pergi digantikan oleh pengunjung-pengunjung baru.
Aku mengantar Linda ke penginapannya satu jam kemudian. Ada banyak yang
aku bicarakan di sisa pertemuan. Kabar relasi lama, kolega, teman-teman di
perusahaan sekuritas. Tentang anak-anak. Tentang rencana pembangunan enam
belas bungalow. Tentang apa saja. Tetapi yang tidak kusadari, seharusnya bagian
terpenting dan kehadiran Linda malam itu adalah tentang Sekar.
16. RESITAL BIOLA SAKURA

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Besok pagi-pagi Made mengantarku ke pelabuhan. Aku kembali ke Gili
Trawangan. Hari ini ombak selat Lombok sedang tinggi-tingginya, musim
penghujan dan siklus rutin bulan purnama. Kapal cepat dari Marina dilarang
berlayar, terlalu berbahaya. Aku akan naik ferry dari Pelabuhan Padang Bai,
Bali. Made memasukkan buku-buku titipan Anggrek, juga oleh-oleh lainnya
dalam kantong plastik besar.
Tujuh jam perjalanan. Ombak besar membuat kapal merangkak satu setengah
kali lebih lambat. Tiba di pelabuhan Lembar, Lombok menjelang sore. Langsung
menuju Mataram menumpang kendaraan umum. Meneruskan perjalanan ke
pelabuhan nelayan Bangsal.
Bujang kapal cepat senang melihatku. Sudah bosan menunggu berjam-jam.
Matahari sudah lama tenggelam. Langit remang, hamparan air terlihat tenang.
Kapal cepat anggun membelah laut. Kali ini aku benar-benar terlambat.
Perjalanan yang panjang. Hampir dua belas jam hanya untuk menempuh jarak
Denpasar-Gili Trawangan yang dengan penggaris di atas peta hanya berjarak
seratus kilometer. Suatu saat, mungkin menyenangkan kalau resor punya kapal
kecil seperti sewaan tim riset ekologi Clarice.
Atau punya helikopter. Anak-anak berseru ramai menyambutku di halaman resor. Pukul 20.15,
mereka sengaja menungguku sambil bercengkerama di teras. Melempar bantal
saat melihatku masuk ke halaman, juga tidak sengaja melempar si Putih.
Anggrek, Sakura, dan Jasmine berebut kantong plastik yang kubawa. Plastik itu
terjatuh, isi dalamnya berserakan. Berebut mengambil oleh-oleh. Lili mendekat.
Gadis kecil itu tidak pernah memesan sesuatu setiap perjalananku. Hanya
menatap kakak-kakaknya yang sibuk berebut dengan seringai riang.
Aku tersenyum, jongkok. "Sini". Paman punya hadiah untuk Lili."
Mata hijau Lili mengerjap-ngerjap. Hadiah untuk Lili"
Aku mengangguk. Rosie yang berdiri di belakangnya tersenyum, mendekat.
Aku mengeluarkan sesuatu itu dari saku kemeja. Bungkusan kecil. Merobek
plastiknya. Melepas tutup kotaknya. Jepit rambut. Itu asli dari kerang, dengan
taburan mutiara kecil di atasnya. Kecil bentuknya, tapi terlihat kokoh. Mahal
sekali aku membelinya. Tetapi jepit rambut itu akan terlihat indah di kepala Lili.
Sakura yang sibuk menumpuk komik pesanan menghentikan gerakan tangan,
menoleh. Menyelidik jepit rambut di tanganku, berpendar cantik di bawah sinar
lampion. "Itu jepit rambut untuk Lili?" Sakura mendesis, merangkak mendekat.
Aku mengangguk. "Punya Sakura mana?" Sakura bertanya.
Aku tertawa, "Uncle hanya beli untuk Lili. Cuma beli satu. Lili kan nggak
suka pakai topi. Rambutnya suka menganggu ujung mata". Sini, Lili, biar
Paman pakaikan." Lili riang mendekat, tersenyum lebar, bola matanya semakin memesona.
Aku menyibak rambutnya. "Yee, Uncle curang. Masa yang dibeliin cuma Lili?" Sakura mulai protes.
Berseru, "Mana jepit rambutnya bagus lagi. Uncle diskri, diskri apa Kak
Anggrek" Ah iya diskriminatif."
Aku tertawa. Kan, Sakura sudah dapat tumpukan komik"
Lili memelukku. Mengangguk-angguk menggemaskan. Terima kasih.
"Nggak mau, Sakura juga pengin jepit rambutnya." Sakura bersiap merajuk.
"Sakura tuh aneh. Jasmine saja nggak ngiri lihat Lili dapat jepit rambut.
Lagian oleh-oleh Sakura lebih banyak tahu." Anggrek melotot, membuat wajah
Sakura yang menggelembung siap mengamuk kapan saja sedikit tertahan.
Aku menyeringai, mengacak-acak rambut Sakura, "Ya sudah, nanti Paman
beliin untuk Sakura setelah resital biola di Jakarta. Itu pun kalau resitalnya
bagus." Cemberut di wajah Sakura sedikit berkurang, ia berhitung cepat dengan
situasi, melihat Anggrek yang melotot di sebelahnya.
"Uncle janji?" Aku mengangguk. "Ayo semua masuk, makan malam." Rosie mengajak anak-anak.
"Kalian belum makan?"
"Kan Paman belum pulang. Biar bareng." Jasmine yang menjawab.
Aku mengangguk, ikut melangkah masuk bersama anak-anak.
Makan malam seperti biasa, meski Sakura masih rada-rada rese. Anak-anak
sibuk berceloteh diiringi suara sendok. Rosie bertanya tentang calon investor,
"Semua lancar. Mereka bahkan tertarik membangun resor di Kute tahun depan,
Ros. Seperti dulu yang selalu direncanakan Opa." Rosie mengangguk. Pantai
Kute di Lombok maksudnya, bukan Pantai Kuta di Bali. Tempat itu juga indah,
ombaknya cocok untuk peselancar. Lanskapnya menawan. Tepat untuk lokasi
pembangunan resor baru. Sakura mulai riang saat kami membicarakan tentang resital biolanya minggu
depan. Sakura akan memainkan dua lagu. Ia ikut resital itu tidak sengaja.
Setahun silam salah seorang pengunjung yang adalah pencinta musik berlibur di
resor. Sakura yang menjadi pemandu sok nyeletuk, bilang kalau ia pandai
memainkan biola. Pengunjung itu tertawa, memintanya memainkan satu lagu.
Dibandingkan dua tahun silam, Sakura memang jauh lebih pandai. Dulu saja
ia pernah akan ikut resital biola amatir di Jakarta. Dua tahun berlatih, tangan
kirinya sekarang lincah menggesek. Sakura kidal, jari tengah tangan kirinya
tidak pernah bisa digerakkan normal. Jadi ia memegang biola dengan tangan
kanan, menggesek dengan tangan kiri.
Pencinta musik itu terpesona. Berjanji memberinya kesempatan ikut resital.
Setelah hampir sepuluh bulan sejak kepulangan tamu itu ke Jakarta, kabar baik
akhirnya tiba. Tidak tanggung-tanggung. Salah satu pemain biola terkenal yang
sempat mendengarkan kaset demo Sakura memberikan kesempatan dalam
pertunjukan besar. Konser.
"Sakura akan memainkan lagu apa saat resital?" Rosie bertanya, makan
malam sudah selesai, menyisakan hidangan penutup, potongan buah semangka.
"Aduh! Ibu seharian ini saja sudah bertanya lima kali. Nggak boleh tahu,
rahasia. Uncle Tegar saja nggak nanya-nanya, kok."
Rosie menatap anaknya sebal, aku tertawa. Hingga hari ini Sakura tidak
pernah bilang akan membawakan lagu apa. Dia sengaja berlatih di sekolahnya.
Maestro biola ternama itu memberikan Sakura kesempatan memilih lagunya
sendiri. "Ibu, Jasmine tahu kok lagunya. Kemarin Jasmine?" Belum habis kalimat
Jasmine, Sakura sudah melompat, berusaha menutup mulut adiknya.
Jasmine tertawa, berkelit menghindar. "Jasmine sudah janji nggak akan
bilang-bilang." Sakura melotot.
"Iya, Jasmine sudah janji. Lagian ngapain pula bilang-bilang. Biar surprise.
Tapi upah tutup mulut untuk malam ini mana?" Jasmine nyengir, menjulurkan
tangan. Sakura melotot. Rosie menarik baju Sakura.
"Anggrek juga tahu sih." Anggrek ikut nyeletuk.
Sakura sekarang melompat ke kursi kakaknya. Pegangan Rosie terlepas.
"Yee, kok marah." Anggrek menghindari tangan Sakura.
"Kalau Kak Anggrek bilang, surat yang dulu Sakura masih simpan nanti
Sakura lihatin ke Ibu." Sakura menatap jahat.
"Coba saja." Anggrek melotot, wajahnya memerah.
"Beneran" Sakura ambil sekarang dari kamar, ya."
Anggrek terdiam. Aku tertawa melihatnya. Rosie menatapku, surat apa" Aku
mengangkat bahu. Nanti-nanti juga Rosie akan tahu urusan cinta monyet
Anggrek. Sakura kembali duduk di kursinya setelah Anggrek urung membuka
mulut. Lili sibuk menghabiskan buah semangka, tidak terlalu peduli dengan
pertengkaran kakaknya. Lili kan sedang senang. Punya jepit rambut baru. Yang
terlihat pas benar di rambutnya.
Ada kejutan kecil esok pagi-pagi.
Pasangan turis dari Hongkong yang dulu dikerjai Mitchell datang kembali ke
resor. "Seharusnya kalian memberitahu sebelumnya, biar kami bisa menyiapkan
sambutan yang lebih baik." Aku tertawa menerima mereka di halaman depan
resor. "Ah, resor ini juga tidak bilang-bilang kalau ada welcome games. Kami cemas
jangan-jangan dijahili lagi, jadi sengaja tidak bilang. Apalagi pesan jauh-jauh
hari. Tapi masih ada kamar kosong, kan?" Istrinya yang menggendong bayi
tertawa. Bayi" Itulah kejutan kecilnya. Mereka membawa bayi kecil yang berumur
sebelas bulan. Wajah lucu khas oriental. Anak-anak senang sekali, apalagi Lili.
Ia berkali-kali menjulurkan tangan ingin menggendong. Pasangan dari
Hongkong itu tidak keberatan. "Ini Lili, bukan?" Suaminya tertawa, lantas
menyerahkan bayinya pada Lili, "Dulu Jasmine juga pandai mengurus adiknya,
Lili pasti pandai." Mereka belum pernah melihat Rosie, dulu Rosie dibawa ke shelter persis saat
mereka datang, jadi sedikit bingung, "Nyonya Tegar" Aduh cantiknya, mirip
sekali dengan anak-anak." Istrinya memuji. Aku dan Rosie tertawa. Pasangan itu
nanti mendapatkan cerita lengkapnya dari guide mereka, Sakura.
Satu minggu dihabiskan anak-anak bersama bayi imut. Anak-anak ikut
pasangan itu menyelam di terumbu karang. Rosie akrab dengan istrinya. Aku
tidak pernah berbakat belajar bahasa Mandarin, meski kerap berinteraksi dengan
pengunjung dari Hongkong atau China. Jadi hanya menjadi penonton yang baik
saat Sakura dan Rosie berbicara.
Kepulangan mereka ke Hongkong persis dengan jadwal keberangkatan kami
ke Jakarta, resital biola Sakura. Jadi pagi itu, kapal cepat yang dikemudikan
bujang penuh sesak. Anak-anak berceloteh sepanjang perjalanan ke Mataram.
Lian sudah menyiapkan tiket-tiket dan bagasi. Sayang, ada masalah teknis,
membuat kami menunggu dua jam di bandara. Sakura bolak-balik protes soal
keterlambatan ke loket petugas bandara. Dengan gayanya yang sok-dewasa,
bilang ini, itu. Aku tertawa melihatnya, sebenarnya lebih karena melihat petugas
yang bingung berdebat dengan Sakura.
Pasangan dari Hongkong itu mengucapkan banyak terima-kasih setiba di
Jakarta, pindah ke pesawat yang akan membawa mereka ke Hongkong. Anakanak berebut mencium pipi tembam bayi mereka, lantas melambaikan tangan.
Kami menuju lobi kedatangan, penjaga rumah di Jakarta yang menjemput,
membawakan mobilku dulu. Aku memutuskan untuk tidak menjual rumah itu
meski dua tahun terakhir tidak pernah kukunjungi. Rumah itu disewakan.
Anak-anak sibuk menunjuk gedung tinggi sepanjang perjalanan menuju hotel.
"Uncle, aduh jalannya jangan ngebut. Kita kan mau lihat-lihat." Sakura protes.
Lili mengangguk-angguk setuju, mereka ingin menikmati perjalanan. Aku
tertawa, mengurangi kecepatan kendaraan. Sama seperti anak-anak, aku
sebenarnya terpesona melihat ibukota. Lama sekali tidak ke Jakarta. Ada banyak
yang berubah dua tahun terakhir, bahkan bandara terlihat berbeda.
Jasmine dan Sakura menunjuk apa saja yang menarik perhatian. Lili yang
dipangku Rosie berkerjap-kerjap mengikuti gerakan tangan kakak-kakaknya.
Kiri-kanan. Depan-belakang. Berputar. Aku menatap langit kota yang cokelat.
Dulu juga selalu terlihat cokelat. Antrian mobil. Dulu juga selalu macet. Kacakaca gedung pencakar langit. Tiang-tiang beton dan lempengan baja. Terlihat
kokoh. Gedung-gedung yang menjanjikan banyak mimpi bagi penghuninya,
pekerja-pekerja keras yang sibuk dengan rutinitas.
"Itu dulu kantor Uncle." Aku menunjuk salah satu gedung tinggi.
Kepala anak-anak mendekati jendela mobil. Menatap ingin tahu.
"Yang mana" Yang mana?" Jasmine berseru-seru.
"Yang atapnya runcing, warna biru."
"Oo." Mereka menyeringai, mengangguk-angguk, menyimak setiap
jengkalnya. Tiga belas tahun aku tinggal di Jakarta. Bekerja delapan belas jam per hari.
Menjadi mesin uang yang efektif dan produktif. Semuanya berlalu tanpa terasa.
Seperti baru kemarin saat aku sedikit kaku dengan pakaian rapi mulai masuk
kerja di perusahaan sekuritas ternama itu. Terlihat berbeda dibandingkan pekerja
lainnya, junior associate. Seperti baru kemarin, minggu-minggu pertama kerjaku
yang diisi dengan banyak pertanyaan. Aku dulu haus dengan segala informasi.
Bertanya sebanyak mungkin. Belajar secepat mungkin. Tidak peduli tatapan risih
dan terganggu orang yang kutanyai.
Aku mengenali gaya mereka dengan cepat. Mengenali cara bicara yang efektif
dengan baik. Belajar menyusun waktu sebaik mungkin. Bekerja secepat dan
secerdas mungkin. Satu bulan berlalu, Tegar Karang mulai menanam satu demi
satu reputasinya. Di akhir bulan kedua, aku bahkan mulai dilibatkan dalam
proyek yang serius. Frans sebenarnya dua tahun lebih dulu dibandingkanku.
Tegar Karang menyalip karirnya tiga tahun kemudian.
"Ah ya, Anggrek ingat, itu kan, itu kan apartemen Om Tegar dulu." Anggrek
yang duduk di depan nyeletuk, kami sudah memasuki pusat kota.
Sakura dan Jasmine sibuk berseru-seru, yang mana, Kak" Yang mana, Kak"
Rosie yang menunjukkan. Sakura masih terlalu kecil waktu mengunjungi
apartemen, jadi ia tidak ingat lagi. Jasmine dan Lili malah belum lahir. Aku ikut
menatap gedung apartemen itu, tersenyum. Gedung itu masih sekokoh saat
pertama kali aku menginjakkan kaki menjadi penghuninya.
Aku membeli apartemen dua kamar tidur itu setelah lima tahun menabung.
Pindah dari kamar kontrakan di gang kecil. Waktu pindah aku senang sekali.
Setelah sekian lama memutuskan, akhirnya bisa mengubur kenangan malammalam sesak di kamar kontrakan. Saat pindah, lama sekali berdiri di bawah
bingkai pintu, menatap seluruh sudut kamar kontrakan yang akan kutinggalkan.
Menatap gurat bekas tampias air di langit-langit kamar. Pojok kamar. Ada
banyak sekali helaan napas yang membuat malam terasa lebih panjang di kamar
ini. Memeluk lutut, merintih di remangnya cahaya lampu. Tersedu menatap
keluar jendela, melihat sepotong bulan di langit sana.
Aku memutuskan membeli apartemen, setelah lima tahun sejak kejadian di
puncak Gunung Rinjani. Sudah saatnya membuat perubahan besar dalam hidup.
Lagi pula kondisi hatiku jauh lebih membaik. Berkemas, mengangkut barangbarang, menjemput janji kehidupan yang lebih tenang, damai. Masa-masa
penerimaan. Malamnya aku bahkan memberanikan diri menelepon resor. Setelah lima
tahun gemetar tidak-kuasa menekan nomor telepon resor, malam itu aku bisa
dengan rileks melakukannya. Kesempatan pertama, dering pertama, ternyata
langsung Oma yang menerimanya. Hening. Oma berkali-kali berseru "Halo",
senyap. "Mau bicara dengan siapa?" Aku tetap diam. "Halo, ini siapa?" Oma
bertanya jengkel. Lengang. Aku mengusap wajah kebasku. Apakah aku akan bicara" Apakah
aku akan menyapa Oma" Setelah sekian lama apakah aku akan mengabarkan
banyak hal" Setengah menit berlalu hanya denging pelan.
Ajaib, Oma tiba-tiba berbisik pelan, "Tegar. Kaukah di sana, Anakku?"
Suara tua Oma bergetar pelan sekali.
Aku hampir menangis mendengar tebakan Oma. "Benar. Ini Tegar, Oma. Ini
Tegar." Aku rindu Oma. Rindu seluruh masa lalu itu. Rindu Gili Trawangan.
Aku sungguh rindu. Tidak ada keinginan lain. Hanya ingin melepaskan
kerrinduan. Oma membiarkan waktu berlalu begitu saja. Senyap hingga lima
menit kemudian, tanpa percakapan. Hingga aku mulai merasa nyaman berbicara.
Aku menceritakan baru saja membeli apartemen. Tidak besar.
Pemandangannya indah. Menghadap persis ke pantai kota. Seperti resor yang
menghadap lautan. Oma bertanya apa alamatnya. Aku ringan-hati menyebutkan.
Oma bertanya apa kabarku, apa yang aku lakukan sekarang. Oma bergurau
tentang pekerjaan, dan aku tertawa. Balas bergurau. Oma tahu aku rindu
segalanya. Aku rindu. Aku ingin sekali bertanya tentang Rosie malam itu. Tetapi
kalimat itu tersumpal di bibir ketika hendak dikeluarkan. Aku belum sempurna
berdamai, meski kondisi hatiku jauh lebih baik. Lima tahun yang panjang dan
berat. Aku ingin bertanya tentang Nathan. Apakah keluarga mereka baik-baik
saja. Tetapi hingga percakapan selesai, tidak ada kalimat tentang Rosie dan
Nathan. Oma menutup pembicaraan dengan kalimat yang akan selalu kukenang,
"Malam ini Oma bahagia sekali, Tegar. Oma senang sekali kau akhirnya
menelepon. Meski Oma pikir seharusnya kau tidak pernah melakukan itu. Oma
cemas telepon ini akan mengembalikan seluruh masa lalu itu. Seharusnya kau
tidak pernah memberinya kesempatan untuk kembali, anakku. Sedetik pun tidak.
Entahlah Oma tidak tahu apa ini baik atau buruk. Jaga dirimu baik-baik,
Anakku." Aku terdiam, saat itu tidak pernah mengerti apa maksudnya. Hingga satu
bulan kemudian. Saat itu pagi yang indah, pagi selepas aku berlari mengelilingi
kompleks apartemen lima kali, Rosie dan Nathan tiba-tiba datang mengetuk
pintu apartemenku. Rosie menemukan catatan alamat apartemenku, dan ia
memaksa datang ke Jakarta saat itu juga.
"Uncle, sekarang yang tinggal di apartemen itu siapa?" Kepala Sakura tibatiba menyelinap di antara kursi depan, bertanya.
"Eh, disewakan. Uncle sewakan sejak punya rumah." Aku menjawab, sedikit
kaget. Pertanyaan Sakura memutus kenangan lama itu.
"Rumah yang di Kemang juga disewakan?" Sakura bertanya lagi.
Aku mengangguk. Mobil hampir mendekati hotel. Panitia resital biola
menyediakan hotel untuk pendukung acara, biar dekat dan praktis dari lokasi
konser. Tinggal jalan kaki melalui lorong basement yang menghubungkan hotel


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan convention center. Sakura juga lebih mudah mengikuti gladi resik nanti
sore. "Rumah yang di Kemang besar ya, Paman?" Jasmine bertanya.
"Rumahnya kecil, halamannya yang luas." Aku menjawab.
Jasmine ber-oo. Mengangguk-angguk.
Aku membeli rumah itu setahun sebelum kejadian di Jimbaran. Ketika
hubunganku dengan Sekar memasuki fase yang serius. Aku berpikir tentang
keluarga kecil bersamanya. Menghabiskan hari demi hari. Sekar, gadis cantik
yang baik. Aku membayangkan memiliki anak-anak yang membanggakan
dengannya. Anak-anak yang riang bermain. Maka aku membeli rumah dengan
halaman luas. Sekar ikut membantu mencari. Ia menatapku amat bahagia saat
kami mengunjunginya pertama kali. Senang dengan janji-janji masa depan itu.
Saking senangnya mata Sekar berkaca-kaca.
Aku mencintai Sekar. Itu tidak bisa dipungkiri. Sekar pilihan yang baik.
Mungkin pilihan terbaik yang pernah ada yang bisa dimiliki oleh seorang lelaki.
Aku beruntung mendapatkan cinta teramat besar darinya.
Rosie dan Nathan juga tahu rencanaku dengan Sekar. Mereka hanya tidak
pernah melihat Sekar. Rosie tahu persiapan pernikahanku, kami membeli rumah
di Kemang, termasuk rencana tunangan yang hanya beda sehari dengan acara
makan malam mereka di Jimbaran. Rencana tunangan dan pernikahan yang
musnah dalam sekejap karena kejadian itu.
"Paman besok kita jadi jalan-jalan, kan?" Giliran kepala Jasmine sekarang
menyelinap ke depan, memotong kenangan.
Aku mengangguk. Seharian besok mereka akan berkeliling kota, sebelum
malamnya kembali ke Denpasar dengan penerbangan terakhir.
"Asyik. Asyik." Jasmine berseru riang.
Aku berbelok di putaran depan, mobil yang kukemudikan memasuki lobi
hotel, penjaga depan memberikan hormat, mengeluarkan alat detektor logam.
Memintaku membuka pintu. Mereka sigap memeriksa, di bawah tatapan ingin
tahu anak-anak. Dua tahun waktuku dihabiskan di Gili Trawangan. Jauh dari segala keramaian,
hiruk-pikuk kehidupan kota. Mengasuh anak-anak Rosie dan Nathan. Tidak
pernah terbayangkan itu akan terjadi setelah tiga belas tahun karir yang
cemerlang di Jakarta. Hari ini aku kembali mengunjungi Jakarta. Rasa-rasanya,
tidak ada yang hilang dari dua tahun itu. Aku justru menemukan banyak hal
baru. Keriangan anak-anak, wajah-wajah mereka yang bandel. Benar, boleh jadi
aku sudah di posisi penting saat ini, mungkin CEO. Bukankah Eric Theo sudah
jadi bos di Singapura" Tapi aku juga sudah menjadi bos bisnis resor keluarga
Rosie yang semakin besar. Tidak ada sepotong kehidupanku yang hilang.
Sekar" Itu mungkin yang hilang.
Mobil yang kukemudikan merapat mulus, anak-anak menyeringai riang,
berloncatan turun. Beberapa pelayan hotel berseragam rapi membantu
menurunkan ransel anak-anak. Sakura membawa sendiri kotak biolanya. Di
resor, dan juga di mana pun resor keluarga Rosie nanti didirikan, tidak akan
pernah ada seragam kerja bagi pelayan. Mereka semua berpakaian lazimnya di
rumah yang nyaman dan menyenangkan.
Sorenya kami beramai-ramai mengantar Sakura mengikuti gladi resik konser
di covention center. Aku menatap panggung pertunjukan yang luar biasa.
Jangan pernah membayangkan resital biola umumnya, yang dekorasi
panggungnya kaku serta monoton. Lampunya remang, tidak menggairahkan. Ini
lebih menyerupai konser seorang diva. Dan memang seorang diva pemain biola
yang akan melakukan konser malam ini. Tepatnya legenda. "Sang Maestro. 50
Years Celebration. Consistency. Creativity." Tulisan tersebut berpendar-pendar
indah di atas panggung, dibuat dari ribuan lampu-lampu kecil gemerlap seperti
ornamen yang terus bergerak. Ini panggung pertunjukan dengan sentuhan seni
berkelas internasional. Ada satu group orkestra di atas panggung, mereka juga group ternama.
Beberapa penyanyi latar dengan pakaian baik berjejer. Ada juga seperangkat alat
band di sayap kanan panggung. Akan ada banyak kolaborasi malam ini.
Beberapa penyanyi terkenal ikut menyumbangkan suara mereka dalam
peringatan lima puluh tahun karir musik Sang Maestro. Aku dan Rosie sempat
bersalaman dengannya. Sakura riang menyapa. Mereka cepat akrab, meski baru
pertama kali ini bertatap muka. "Persis seperti yang kuduga, kau memiliki energi
yang luar biasa untuk menjadi pemain biola hebat, Sakura." Sang mestro tertawa
lebar memuji. Yang dipuji merah ujung hidungnya.
Mereka latihan sepanjang sore. Anak-anak menonton dari kursi, sebenarnya
lebih banyak tertarik menonton kesibukan persiapan di atas panggung. Rosie
menjawab banyak celetukan anak-anak.
Aku tahu, ada alasan tersendiri mengundang Sakura, menyangkut sejarah
Jimbaran. Lihatlah buku kecil panduan konser yang kupegang, Sakura disebutsebut pemain biola berbakat, gadis kecil yang selamat dari tragedi. Memaksa
merubah tangan kanannya yang selama ini menggesek biola menjadi kidal. Tapi
apa pun alasannya, Sakura lebih dari layak menjadi bagian pertunjukan. Latihan
itu berjalan lancar. Kami bergegas kembali ke kamar hotel, anak-anak berebut kamar mandi,
berseru-seru, membuat lantai becek. Makan malam di kamar, juga berebut,
membuat Rosie berkali-kali mengingatkan jangan sampai pakaian rapi mereka
kotor. Setengah jam sebelum konser dimulai, kami bergegas menuju panggung.
Sudah ramai, penonton sudah memadati setiap kursi, belum lagi kamera televisi
yang terus menangkap gambar. Siaran langsung.
Sakura menuju belakang panggung, aku, Rosie dan yang lain duduk di kursi
yang disediakan panitia. Baris kesepuluh dari depan, persis di sebelah lorong
antar kursi. Anak-anak duduk dengan manis. Tanpa Sakura mereka memang
lebih manis. Lima menit menjelang konser dimulai, lampu dengan kekuatan ribuan watt
dinyalakan. Sistem pencahayaan yang memesona. Lampu terlihat di mana-mana,
bahkan di lantai panggung, seolah ditanamkan di dalamnya, menyeruak ke atas
seperti lampu mercu suar. Layar televisi raksasa berpendar membuat rangkaian
ornamen indah. Sound-system panggung juga mantap, berdentum merdu.
Panggung itu dibelah menjadi dua tingkat. Tingkat paling atas diisi oleh grup
pemusik. Ada tiga formasi bintang raksasa yang terbuat dari kristal di bagian
bawah. Berputar pelan. Pukul 19.30, konser itu dimulai. Pertunjukan yang mengesankan. Semua
pertunjukkan memang berpusat pada Sang Maestro, tetapi dengan kolaborasi,
resital biola itu seperti menjadi pertunjukan hiburan musik yang lengkap.
Mereka memainkan lagu pop, jazz hingga rock and roli. Mengagumkan. Terlebih
dari setiap lagu itu, ada sepotong jeda saat Sang Maestro menggesek senar
biolanya dengan gerakan lincah. Mendengking-dengking naik-turun. Merambat
menggetarkan seluruh ruangan. Aku tidak pernah menyangka biola bisa
mengeluarkan nada sehebat itu. Menusuk saat lagunya sendu. Menghentak saat
musiknya bersemangat. Menyenangkan saat musiknya mengalir cepat.
Penonton memberikan applaus.
Satu jam berlalu tidak terasa. Rosie terlihat semakin tegang, lima menit lagi
Sakura akan keluar. Aku mendekap bahunya, berbisik tentang, di antara seluruh
pengisi acara malam ini, kalau ada yang bertanya siapa paling percaya diri, maka
itu tentulah Sakura. Rosie tertawa pelan. Mengusap wajahnya yang berkeringat.
Jasmine dan Anggrek tidak henti melotot menatap ke atas panggung. Sibuk
menjepretkan kamera yang mereka bawa. Lili menyeringai, matanya mengerjapngerjap. Jepit rambutnya serasi benar dengan gaun yang dipakainya.
Pembawa acara menyebutkan nama Sakura. Mengenalkan gadis kecil itu
dengan sejarah itu. Aku menggeleng pelan, malam ini semua orang akan tahu,
Sakura datang ke sini bukan karena masa lalu menyakitkan itu. Sakura datang
karena ia berbakat. Sang Maestro mengambil alih lagi konser setelah dijeda
pembawa acara. Bercerita kejadian saat ia pertama-kali menerima kaset demo
dari teman dekatnya. Sang Maestro bilang tentang keinginannya menghadirkan
salah-satu anak berbakat memainkan biola. Berbulan-bulan mengaudisi banyak
sekolah musik, putus asa, tidak ada yang memenuhi syarat. Hingga kaset demo
itu datang di atas meja kerjanya.
Maestro tertawa, karena ternyata isi kaset demo itu lebih banyak tentang si
Putih, Oma, Kak Anggrek, Jasmine, Lili, Ibu, Uncle Tegar, Uncle Tegar, dan
Uncle Tegar. Aku tersenyum mendengar cerita Sang Maestro di atas panggungjuga penonton lainnya. Aku tidak tahu kapan persisnya Sakura membuat kaset
demo itu dan juga tidak tahu detail isinya. Maestro melanjutkan cerita, panjang
kaset demo itu hampir setengah jam, tapi hanya lima menit Sakura memainkan
biola di dalamnya. "Bayangkan, hanya lima menit." Maestro terdiam sejenak, "Tetapi malam ini
kalian akan merasakan betapa mencengangkan lagu yang dimainkannya. Kalian
akan merasakan betapa terpesonanya saat aku mendengarnya pertama kali.
Namun sebelum gadis kecil kita yang berbakat memainkan lagu itu, dia akan
berkolaborasi bersamaku, memainkan lagu penuh semangat. Lagu yang terlihat
bercahaya melalui gesekan biolanya. Sambutlah, Sakura."
Rosie menggenggam jemariku.
"Ya Tuhan, lindungilah Sakura." Rosie berbisik pelan.
Aku menoleh, "Sakura akan menyanyi, bukan berperang, Ros."
Rosie tertawa gugup, menyeka ujung matanya.
Lampu di atas panggung dimatikan. Satu lampu sorot mengarah ke Sang
Maestro. Sang Maestro mengangkat biolanya ke bahu, memberikan tabik ke
penonton. Penonton bertepuk tangan. Lantas perlahan dia mulai menggesek.
Tepukan terhenti. Intro yang hebat. Group orkestra mengikuti bagai dengung
indah, membuat latar-musik. Awalnya pelan, semakin meninggi. Aku mengenal
lagu itu. Lagu yang penuh semangat, lagu yang memberikan kesenangan. Cocok
benar dengan Sakura Satu lampu sorot tiba-tiba menyala.
Menyinari gadis kecil itu.
Rosie menggenggam jemariku semakin kencang.
Dan Sakura mengambil alih intro persis ketika tubuhnya disinari. Aku
menelan ludah. Amat impresif. Sungguh mengesankan. Sakura dengan lincah
menyulam nada-nada tinggi penuh liukan. Final Countdown. Lagu yang hebat
grup orkestra berdentum mengiringi gerakan tangan Sakura. Sakura-ku
mengambil alih perhatian seluruh penonton. Lihatlah, malam ini ia mengenakan
gaun kartunnya. Rambutnya dikepang berdiri. Pita-pita melambai. Bajunya
persis seperti tokoh kartun favoritnya. Khas pakaian samurai abad dua puluh satu
yang ringkas, modis dan ultra-modern.
Reffrein lagu itu terdengar bertenaga. Memberikan nuansa tak-terkatakan.
Enam menit berlalu tanpa terasa. Menyihir seluruh ruangan. Sakura melepas
gesekannya. Selesai. Seluruh ruangan membahana oleh tepuk tangan. Rosie
menghela napas. Aku tersenyum, bukankah sudah kubilang, gadis kecil itu
mengerti betul apa yang harus dilakukannya.
"Well, kalian lihat, dia jauh lebih pandai memainkan biolanya dibandingkan
aku. Padahal kita semua tahu, dia baru menggunakan tangan kirinya" Sang
Maestro bergurau, mengisi jeda antar lagu. Seluruh ruangan tertawa. Sakura
mengangguk, membungkuk, ikut tertawa. Konser itu sejak awal berjalan
komunikatif. Setiap lagu diselingi dengan dialog Sang Maestro ke penonton,
mulai dari kisah karirnya, asal-muasal sebuah lagu tercipta, serta pernak-pernik
lucu lainnya. Di tengah gelak tawa itulah, seseorang mendekatiku.
Petugas konser. Aku menoleh saat tangannya pelan menyentuh bahu. "Maaf, Bapak Tegar?"
Aku mengangguk. Menatap tidak mengerti.
"Ada pesan penting." Petugas itu menyerahkan lipatan kertas putih.
Aku mengernyitkan dahi. Bingung.
Maestro di atas panggung masih melanjutkan kisahnya. Bercerita tentang
masa kecilnya saat pertama kali belajar bermain biola. Harus menabung
bertahun-tahun. Dan saat biolanya sudah terbeli, biola itu digunakan ayahnya
untuk memukul ibunya. Perceraian. "Kita selalu ingat dengan masa kanakkanak. Kenangan buruk, kenangan baik. Seperti gadis kecil berbakat di
sebelahku ini"."
Aku membuka lipatan kertas dengan penuh tanda tanya, tidak memperhatikan
panggung. Menatap petugas itu. Dari siapa" Penting" Apa maksudnya" Rosie di
sebelahku sedang asyik menyimak cerita Sang Maestro yang mengharukan. Juga
anak-anak. Juga seluruh penonton di convention center. "Well, itu semua tinggal
masa lalu. Tidak pantas bersedih, bukan" Apalagi, malam ini, kita ditemani
seorang samurai. Aku benar-benar tidak pernah menyangka, seorang samurai
ternyata bisa memainkan biola, aku pikir mereka hanya pandai memainkan
pedang." Penonton tertawa.
"Mas Tegar, aku tidak punya banyak waktu, aku harus bergegas, petugas tidak
mengizinkanku masuk, aku menunggumu di pintu depan convention center, ada
yang harus kusampaikan. Ini tentang Sekar. Maaf mengganggu kebersamaamu
dengan anak-anak. Linda"
Aku menelan ludah. Linda" Sekar" Penting" Mengangkat kepala menatap
sekitar. Petugas yang mengantarkan pesan sudah pergi. Apa maksudnya" Linda
tidak pernah bergurau soal skala penting atau tidak selama ia menjadi
sekretarisku di perusahaan sekuritas. Terminologi biasa atau sedikit penting
baginya saja itu berarti penting. Ia belajar itu dariku, dan Linda mengerti benar
tentang itu. "Ros, aku harus keluar sebentar." Aku berbisik.
"Ke mana?" Rosie menoleh, masih menyisakan senyum melihat Sakura yang
tersipu dikomentari gaya berpakaiannya oleh Sang Maestro.
"Pintu depan. Hanya sebentar." Aku berdiri.
"Jangan lama-lama. Kau tidak ingin ketinggalan melihat Sakura memainkan
lagunya sendirian, bukan?"
Aku mengangguk, bergegas melangkah di lorong antar kursi.
"Well, inilah dia lagu yang aku sebutkan tadi. Gadis kecil ini berbaik hati akan
memainkannya untuk kita semua. Sambutlah, hadiri, Sakura." Sang Maestro
melambaikan tangannya. Memberikan seluruh panggung kepada Sakura.
Lampu-lampu dimatikan. Menyisakan satu lampu sorot ke tubuh Sakura. Aku
sudah melangkah sepuluh meter, hampir tiba di pintu depan.
Layar televisi raksasa berpendar-pendar, membentuk ornamen kupu-kupu.
Berterbangan dalam lukisan artistik. Seperti kupu-kupu dalam gelas. Seperti
kupu-kupu dalam embun. Cahaya mengambang di atas panggung, entah
bagaimana tim artistik konser membuatnya. Menerabas lembut kabut yang
sekarang disemburkan dari sisi-sisinya. Benar-benar brilian. Tubuh sakura
seperti dibungkus oleh indahnya pagi.
Cahaya yang terperangkap dalam kabut.
Aku sudah di pintu depan. Sakura mengangkat biola ke pundak. Tangan
kirinya pelahan mulai menggesek senar. Nada pertama terdengar, langkahku
yang persis keluar dari pintu depan seketika terhenti.
Sakura-ku menyanyikan lagu itu. Lagu yang dilantunkan sambil menangis
oleh Jasmine di pemakaman Nathan. Laguku selama lima tahun itu. Saat-saat
tersungkur. Masa-masa sendirian. Berharap esok pagi ketika matahari datang
menjejak bumi semua kesedihan akan berkurang sedikit. Laguku. Tentang janji.
Kebahagiaan. "Kupu-kupu berterbangan.
Melintas di bebungaan. Semerbak wangi melambai. Menjanjikan kebahagiaan."
Gesekan biola Sakura bertenaga. Menghipnotis seluruh ruangan.
Aku hendak membalik badan.
Linda di depanku melambai, "Mas Tegar, di sini!"
Aku serba-salah, Linda sudah mendekat. Itulah lagu vang dinyanyikan Sakura
dalam kaset demonya. Itulah lagu yang disembunyikannya selama ini.
"Kabut memenuhi langit-langit.
Putih-indah memesona. Embun merekah kemilau. Menjanjikan kebahagiaan."
Tidak ada lirik yang dinyanyikan, tetapi gesekan biola Sakura membuat liriklirik itu mengambang di langit convention center. Membuat penonton
menerjemahkan dengan tepat apa maksudnya.
"Aku tidak bisa berlama-lama, Mas Tegar. Semakin lama aku mengatakan ini,
maka perasaan bersalahku semakin besar. Aku sudah berjanji, Mas Tegar.
Bahkan bersumpah kepada Sekar. Tetapi aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan
untuk tidak mengatakannya." Linda mengusap wajah tegangnya, kelu dengan
kalimatnya. Kalimat tentang Sekar berpilin dengan separuh otakku yang mengikuti
gerakan tangan Sakura melantunkan lagu itu. Lagu yang membuat seluruh
ruangan konser seperti dipindahkan ke pulau kecil kami.
Ketika matahari pagi menjanjikan kebahagiaan. "Aku selama ini bohong, Mas
Tegar. Pertemuan di festival layang-layang, pertemuan di pantai Jimbaran untuk
kedua kalinya, semua disengaja. Masalahnya aku tidak kunjung berani
mengatakannya. Aku takut aku akan merenggut janji kebahagiaan banyak orang.
Aku takut apa yang aku lakukan dengan mengatakan itu akan membuat semua
berantakan. Ya Tuhan, aku tidak tahu dari mana harus menceritakan ini." Linda
mengusap wajahnya untuk ke sekian kali.
"Cahaya matahari pagi. Melintas di sela dedaunan. Berlarik-larik
mengambang. Menjanjikan kebahagiaan."
"Mas Tegar mungkin tidak tahu, Sekar sempurna menunggu selama dua tahun


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terakhir. Menunggu kesempatannya akan datang. Mas Tegar mungkin tidak tahu
itu. Tetapi yang aku tahu, malam-malamnya terasa amat panjang. Dia
memendam harapan, menyulam mimpi, menjahit janji-janji masa depan dengan
Mas Tegar. Aku tidak bisa melupakan betapa bahagianya wajah itu saat pulang
dari melihat rumah yang Mas Tegar beli. Sekar berkali-kali tersenyum riang."
"Dan aku juga tidak bisa melupakan betapa terpukul wajahnya saat
pertunangan itu tiba-tiba batal. "Linda, aku tidak akan pernah punya kesempatan
itu. Tidak pernah. Saat semuanya tiba, malam ini Tuhan menghukumku dengan
kejadian di Jimbaran. Mengambil seluruh kehidupan cintaku. Ini semua sudah
jadi takdirku." Dia sering menangis sejak Mas Tegar pergi ke Lombok hari itu.
Apalagi sepulang dari Bali setelah membicarakan hubungan kalian. Dia
mengeluh tentang kau dan Rosie. Aku, aku sebenarnya sebal sekali saat itu,
berteriak seharusnya dia memutuskan untuk menikah dan ikut dengan Mas Tegar
ke Gili Trawangan." "Sekar tidak akan pernah bisa menguatkan hatinya, dia tidak akan pernah bisa
memaksa diri untuk mendapatkan kesempatan itu, tinggallah dia berharap
sendiri. Omong-kosong kalau dia ingin Mas Tegar berhenti meneleponnya. Dia
selalu gemetar saking riangnya setiap kali suara telepon berbunyi. Dia tidak akan
pernah bisa melepaskan janji-janji masa depan itu. Dua tahun berlalu, harapan
itu tumbuh semakin tinggi. Lebat daunnya, mekar bunganya. Dia memang
kembali ke rutinitas harian, terlihat seperti apa-adanya, tapi itu dibangun dengan
kalimat, "Nanti suatu saat Rosie sembuh, Tegar pasti akan kembali?"
"Tiga minggu lalu saat Rosie benar-benar sembuh. Mas Tegar tidak pernah
sekalipun meneleponnya, bukan. Sekar yang tahu kabar itu benar-benar gemetar
ingin menelepon, bertanya langsung. Bukankah Mas Tegar sudah berjanji soal
itu. Bukankah Mas Tegar sudah berjanji akan kembali, tapi dia tidak berani.
Maka Sekar terbenam dalam harapan yang dipupuknya. Mimpi-mimpi itu malah
memerangkapnya. Aku menemani Sekar tiga minggu terakhir, menyaksikan dia
berkali-kali bilang tentang dia tidak pernah punya kesempatan mendapatkan Mas
Tegar." "Astaga, Sekar gadis yang bodoh. Aku tidak kenal lelah membujuknya untuk
merebut Mas Tegar dari Rosie, dari masa lalu itu. Bukankah Mas Tegar pernah
mencintai Sekar, meski dengan pemahaman dan pengertian cinta yang baru, itu
cukup untuk menjadi amunisi peperangan. Tapi gadis itu bodoh. Benar-benar
bodoh. Di tengah keputus-asaannya, di tengah tersungkur tak berdayanya, Sekar
justru memutuskan untuk menerima cinta orang lain." Linda tercekat sejenak.
Mengusap dahinya yang berkeringat.
"Tidak penting siapa lelaki itu. Dia teman baik Sekar. Lelaki itu mencintai
Sekar. Tetapi semua detail ini tidak penting. Yang penting adalah Sekar. Sekar
mengambil keputusan itu tanpa berpikir panjang. Aku lelah mengajaknya bicara.
Percuma, dia justru memutuskan mencari kantong minyak dan pemantik api
untuk mengubur perasaannya ke Mas Tegar. Dia memutuskan untuk membakar
perasaan itu." Linda terhenti lagi.
Aku menunggu dengan tatapan bingung. Membakar apanya"
"Mas Tegar, Sekar memutuskan, Sekar memutuskan menikah dengan lelaki
itu. Besok pagi Sekar akan bertunangan, minggu depan mereka segera menikah."
Aku terdiam, bagai disiram seember es.
"Sekar tidak peduli lagi. Sekar, " Linda tersengal dengan penjelasannya.
"Besok pagi bertunangan?" Aku menyentuh lengan Linda, menenangkan.
Linda mengangguk, menghela napas.
"Minggu depan menikah?"
Linda mengangguk lagi. "Aku tidak tahu apakah Mas Tegar masih mencintai Sekar. Aku tidak tahu.
Aku juga tidak tahu apakah Rosie dan Mas Tegar." Linda menelan ludah, urung
melanjutkan kalimat, "Tapi yang aku tahu, Sekar tidak mencintai lelaki itu. Dia
hanya ingin membakar semuanya. Perasaan itu terlalu besar hingga Sekar tidak
peduli lagi dengan hidupnya."
Aku menelan ludah. Ruangan covention center ramai oleh tepuk tangan. Sakura selesai memainkan
lagunya. "Aku tidak bisa lama-lama. Sekar pasti mencariku sepanjang sore. Kau tahu,
aku akan menjadi pendampingnya saat dia bertunangan besok pagi. Sama seperti
saat kalian dulu akan bertunangan. Tolong jangan pernah bilang ke Sekar tentang
pertemuan kita, gadis itu bisa membunuhku kalau dia tahu. Maafkan aku kalau
semua ini mengganggu, aku sudah tidak tahan lagi untuk tidak bilang, semua
rahasia, semua cerita tentang Sekar. Aku tahu ini tidak berarti lagi, Mas Tegar
bisa melupakan pertemuan ini. Aku pamit pergi, Mas Tegar." Linda tertawa getir,
memperbaiki posisi tas kecil di pundak, menatapku dengan tatapan prihatin,
lantas terburu-buru keluar dari covention center.
Aku terdiam. Menatap kosong pintu ruangan.
Sakura di atas panggung menatap kosong kursiku yang kosong.
17. KENAPA KAU HARUS DATANG"
Aku terdiam. Lama. Menatap punggung Linda yang menghilang di antara
petugas convention center.
Mengusap wajah kebasku. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi" Apa yang
sesungguhnya telah aku lakukan" Apa yang seharusnya aku lakukan"
Malam itu, tanpa kusadari, bagai sebuah kapal yang berbalik arah seratus
delapan puluh derajat, roda kemudiku selama dua tahun terakhir mulai berputar
haluan. Berita Linda sungguh mengejutkan, menohok hati. Tapi yang lebih menohok
lagi, aku baru menyadari kalau aku dulu pernah berjanji! Kalimat itu mungkin
tidak penting saat itu. Sejatinya mungkin tidak diikrarkan sungguh-sungguh, tapi
bagi Sekar" Yang memupuk harapan bertahun-tahun sejak perkenalan kami,
masa-masa saling menyatakan perasaan, fase komitmen hubungan yang lebih
serius, hingga janji-janji pernikahan. Kalimat itu tidak pernah sederhana.
Apa yang Linda katakan tadi" Sekar ingin membakar seluruh perasaan itu
dengan api yang berkobar, tidak peduli itu akan sekaligus membuat hangus
dirinya. Apa yang Linda katakan tadi, Sekar merasa tidak pernah punya
kesempatan. Tidak pernah.
Lututku gemetar. Aku mengenal kata kesempatan, meski tidak pernah
mengerti arti hakikinya. Apa yang Linda katakan tadi" Malam-malam yang
terasa lebih panjang karena helaan napas" Malam-malam sesak. Gerakan tubuh
resah. Aku mencengkeram pelan rambutku. Mendesiskan masa-masa getir itu.
Aku dulu juga tidak punya kesempatan. Aku dulu juga ingin membakar habis
perasaan itu. Tetapi Sekar sungguh masih punya kesempatan.
Janji yang kukatakan itu sebuah kesempatan. Aku berjanji akan kembali ke
Jakarta setelah Rosie pulih. Bukankah itu berkali-kali kukatakan lewat telepon"
Di Bali" Kepada Oma" Apa yang telah kulakukan" Apa yang selama ini
kupikirkan" Hubungan kami tidak pernah putus begitu saja, bukan" Sekar
memang menghindar setiap kali kuhubungi, memang tidak ada pembicaraan
apalagi tatap muka dua tahun terakhir, tapi perasaan itu tetap ada, bukan"
Daunnya semakin lebat, bunganya semakin mekar, dan Sekar memutuskan untuk
membumihanguskan semuanya dalam satu tepukan. Pertunangan besok.
Aku menggigit bibir. Menatap lalu-lalang pengunjung.
Baiklah, aku melangkah pelan masuk kembali ke ruangan konser. Masih
dengan posisi berdiri, berbisik pelan ke Rosie lewat tatapan mata, aku harus
pergi segera, Ros. Rosie yang sejak lima menit lalu menoleh ke sana kemari mencariku menatap
bingung. Aku harus pergi, Ros. Ke mana" Rosie bertanya melalui tatapan matanya. Tidak banyak yang bisa
kujelaskan malam itu. Kau temani anak-anak kembali ke kamar selepas
pertunjukan. Aku tidak tahu jam berapa baru bisa kembali. Menyentuh pelan
lengan Rosie, mengangguk berpamitan, sebelum Jasmine sempat bertanya,
sebelum Anggrek sempat membuka mulut, aku sudah membalik badan.
Malam ini juga aku harus menemui Sekar. Anak-anak sibuk bertanya kepada
Rosie saat aku sudah di lobi covention center. Sakura sudah kembali ke belakang
panggung lima menit lalu. Disalami hangat oleh Sang Maestro dan pendukung
konser lainnya. Sakura hanya menyeringai tipis. Tidak riang menanggapi tangantangan terjulur, mukanya menggelembung. Uncle Tegar pergi saat ia memainkan
lagu itu, ia sedang sedih.
Rosie berkali-kali menggeleng menjawab pertanyaan Jasmine dan Anggrek. Ia
tidak tahu mengapa aku mendadak meninggalkan ruang konser tanpa penjelasan.
Itu pasti penting, Jasmine. Hanya itu jawabnya kepada anak-anak.
Aku menghentikan taksi, bergegas naik, menyebutkan alamat rumah Sekar.
Tanpa banyak bicara sopir taksi menekan pedal gas dalam-dalam.
Sepanjang perjalanan mengusap wajah.
Aku sungguh tak punya ide akan seperti apa pertemuanku dengan Sekar
malam ini. Aku tidak sempat merencanakan dialog yang kuinginkan. Percakapan
apa yang ingin kulakukan. Otakku telanjur dipenuhi potongan masa lalu, dan
Sekar memenuhi setiap jengkalnya. Wajahnya yang terharu saat kami
mendatangi rumah baru untuk pertama kalinya. Aku waktu itu bergurau, "Kau
akan terlihat gendut setelah punya anak nanti. Jadi halaman rumah sengaja
dibuat bertingkat-tingkat, biar kau lebih banyak berolahraga."
Dua tahun masa-masa perkenalan. Kami dipertemukan oleh acara sosial.
Sekar yang sejak pertemuan pertama sudah menjadi pendengar yang baik. Sekar
yang menatap sopan ingin tahu. Mendengarkan seluruh potongan ceritaku,
bersimpati. Sekali-dua memotong dengan ucapan itu, "Aku tidak pernah
merasakan bagaimana indahnya dicintai seorang lelaki seperti kau mencintai
Rosie. Entahlah apa itu menyenangkan atau menakutkan." Lantas kami tertawa
kecil. Kebersamaan kami di setiap akhir pekan. Aku lama tidak melakukan aktivitas
yang pernah kulakukan di Gili Trawangan dulu. Menyelam misalnya, bersama
Sekar aku akhirnya pergi ke terumbu karang Kepulauan Seribu. Membakar cumi
raksasa di halaman rumahnya, duduk di hamparan rumput terpotong rapi
menatap purnama, meski sisanya gelap oleh kotornya langit ibukota. Aku mulai
mengenal keluarga Sekar, Mama-Papa, kerabat dekatnya, tetangga rumah.
Dua tahun, perasaan itu mulai muncul. Kalimat-kalimat serba tanggung Sekar.
Wajahnya yang tersipu saat ketahuan mencuri pandang. Dia mulai merajuk,
mulai bertingkah seperti lazimnya seorang gadis yang menuntut perhatian lebih.
Aku sungguh menyukai perubahan itu. Merasa senang setiap melihat Sekar purapura marah. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku senang
menghabiskan waktu bersamanya. Aku senang memandangi wajahnya yang
cantik. Bersemu malu setiap kali dipuji. Aku senang berada di dekatnya. Sekar
memberikan energi positif. Dan saat gadis itu mengatakan perasaannya, aku
menatapnya lama sekali, tersenyum lebar. Benar-benar momen yang hebat.
Bagaimana tidak" Waktu itu kami sedang di atas roller-coaster, liburan akhir tahun di luar negeri.
Wahana baru yang menakjubkan sekaligus menegangkan. Aku menarik
lengannya untuk naik, Sekar berseru-seru tidak mau. Aku tertawa, memaksa.
Dan saat kami persis berada di atasnya, ada masalah teknis serius yang terjadi,
kereta luncur itu berhenti mendadak. Berderit melamban persis ketika relnya
sempurna terbalik. Membuat aku dan Sekar, juga penumpang, lain tergantung.
Kepala di bawah, kaki di atas.
"Aku takut kereta ini akan jatuh, Tegar. Aku takut sekali." Sekar berseru-seru
cemas. Tangannya gemetar memegang palang pengaman.
"Tidak akan jatuh, Sekar. Rodanya terkunci. Lagi pula kalau jatuh pasti ke
bawah kan, bayangkan kalau jatuh ke atas, entah sampai ke mana jatuhnya."
Aku nyengir, mencoba membuat rileks. Tidak membantu banyak, Sekar malah
melotot ketakutan. Penumpang lain mulai menjerit-jerit, pengunjung wahana itu
berkerumun, membentuk semut, menunjuk-nunjuk empat puluh meter di bawah
sana. "Aku, aku ingin kau tahu sebelum kereta ini jatuh, TEGAR." Sekar masih
berseru-seru panik. Wajahnya memerah, satu karena takutnya, dua karena posisi
kami terbalik, kepala di bawah, membuat wajah memerah.
"Apa?" Aku memegangi tangan Sekar.
Ia mengatakan kalimat itu. Aku menatapnya, tersenyum. Sekar mengatakan
kalimat itu sambil berteriak, persis ketika Sekar mengatakan kalimat itu, kereta
luncur berderit pelan, membuatnya pias dan tidak sengaja berteriak. Aku juga
membalasnya dengan berteriak. Membuat wajah-wajah super-tegang penumpang
yang sunsang tertoleh. Menatap kami setengah ingin tahu, setengah sebal.
Saat kami berhasil di evakuasi, Sekar menatapku lamat-lamat, mata itu tibatiba berkaca-kaca. Perubahan yang kontras. Panik berubah menjadi terharu. Aku
tahu Sekar ingin memelukku. Berbisik tentang perasaannya. Ingin
menumpahkan kalimat-kalimat itu. Ingin menatap wajahku dengan segenap
perasaan, tapi yang keluar hanya desis pelan, "Aku kebelet pipis, Tegar."
Aku tertawa. Siapa pun pasti kebelet pipis setelah tergantung dengan posisi
terbalik selama sepuluh menit di atas ketinggian empat puluh meter.
"Maaf, Pak, kita lewat jalan depan atau memutar?" Sopir taksi bertanya.
Aku mengangkat kepala, melihat keluar, macet. Di depan sana pasti lebih
macet lagi. Pasar ini selalu ramai. Berputar, lebih jauh, tapi lebih cepat. Rumah
Sekar hanya beberapa ratus meter. Sopir taksi gesit memutar moncong mobil,
berputar berlawanan arus, mencoba lewat di antara angkutan perkotaan yang
menyemut. Aku menghela napas. Roller-coaster itu ditutup untuk umum selama
seminggu. Dan akan selalu menjadi simbol penting hubunganku dengan Sekar.
Dua tahun berikutnya dihabiskan dengan kebersamaan yang berbeda. Aku
mencintai gadis itu, menyempatkan waktu setiap petang menjemputnya dari
kantor. Menghabiskan malam-malam bersama, antre di loket bioskop untuk
menyimak film baru. Tertawa saat menyadari kalau kami satu-satunya yang
berbeda di antrian itu. Sisanya masih remaja.
Lebih banyak lagi aktivitas luar kota yang kami lakukan bersama. Mendaki
gunung, menyelam, mengenal keluarganya lebih baik lagi. Sekar anak tunggal.
Papa dan Mamanya menyenangkan. Aku mulai mengenali kehidupan Sekar,
sama seperti ia mengenali seluruh potongan masa laluku.
Aku sungguh menyukai kemajuan hubungan kami. Sekar pilihan yang baik.
Umurku saat itu tiga puluh tiga tahun. Berhubungan dengan seorang gadis untuk
orang seumuranku berarti hubungan yang serius. Meski aku tidak kunjung bisa
memutuskan. Dua tahun berikutnya fase-fase komitmen jangka panjang mulai
terbentuk. Aku mengangguk atas permintaan Sekar. Komitmen yang lebih serius.
Kami merencanakan banyak hal, termasuk membeli rumah. Orang tua Sekar
senang dengan kabar baik itu. Merasa beruntung anaknya mendapatkan jodoh
yang tepat. Akulah yang justru beruntung, mendapatkan cinta teramat besar dari
Sekar. Aku melamarnya di meja makan, gadis itu menangis terharu.
Teman-teman kantor tahu. Frans setiap hari bergurau soal itu. Linda akan
menjadi pendamping Sekar di acara tunangan. Sayang, kejadian di Jimbaran
merenggut banyak hal. Meluluh-lantakkan rencana besar. Tapi bukan berarti
sejak pembicaraan tanpa kesimpulan di dreamland itu hubungan kami selesai
begitu saja, bukan" Sekar tetap wanita yang ingin kunikahi, bukan" Aku
menjanjikan banyak hal kepadanya. Aku berkali-kali menyebutkan akan kembali
sesegera mungkin setelah Rosie sembuh dan bisa mengurus anak-anaknya.
Bagaimana mungkin aku tidak menyadari hal itu selama ini"
"Raflesia Satu atau Dua, Pak?" Sopir taksi bertanya, memastikan.
Memutus lamunan. Taksi sudah melewati pasar, berputar. Rumah Sekar masih
belasan meter di depan. Aku menatap jalanan, mengenalinya meski ada beberapa
bangunan baru. Terus lurus. Mengusap dahi yang berkeringat. Apa yang akan
aku lakukan saat bertemu Sekar nanti" Apa yang akan kukatakan pada MamaPapa yang sudah menganggapku seperti anak sendiri" Ya Tuhan, ini malam
pertunangannya. Itu artinya akan ada keramaian di rumah Sekar.
Aku menelan ludah. Apa aku siap bertemu dengannya" Apa yang kuharapkan
dari pertemuan ini" Memintanya membatalkan pertunangan" Lantas kenapa"
Aku belum menyiapkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa kuambil. Sama
sekali belum. Aku hanya merasa perlu menemuinya. Gadis itu selalu punya
kesempatan. Lagipula setidak-siap apa pun, sudah terlambat. Aku tidak bisa
mengurungkan pertemuan ini, taksi sudah berhenti persis di depan rumah Sekar.
Rumah itu terlihat bercahaya. Ada tenda kecil di depannya, dengan kursi-kursi
berbaris. Lampu menyala lebih terang dari biasanya. Rumput halaman
terpangkas rapi. Pot bunga berjejer. Hiasan teras depan bertambah. Malam ini
rumah Sekar sudah siap menyambut acara penting besok.
Aku melangkah kebas. Melewati gerbang yang terbuka. Melangkah di atas hamparan rumput, tempat
kami dulu biasa duduk berdua menatap langit kotor Jakarta. Melewati teras
rumah. Beberapa orang yang tidak kukenali mengerjakan sesuatu. Masuk ke
ruang depan, masuk melalui bingkai pintu yang terbuka lebar-lebar, dan langkah
kakiku terhenti seketika.
Ruangan itu tidak terlampau ramai, tidak pula sepi, hanya ada beberapa orang.
Orang-orang yang kukenali. Mama-Papa, beberapa kerabat dekat dan tetangga
sebelah rumah. Aku menelan ludah. Semua mata memandangku. Awalnya
terkejut. Sekejap mengenali, berubah menjadi tatapan yang amat ganjil. Suasana
yang tidak-menyenangkan. Senyap. Ruangan yang tadi ramai oleh percakapan
dan tawa kecil mendadak lengang. Mulut yang membuka terhenti, dahi terlipat,
dengusan pelan mulai keluar.
Mukaku entah sudah tak tahu seperti apa. Mulutku tersumpal. Menatap


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar. Lamat-lamat bersitatap dengan Mama. Semua ini sungguh terasa tak
nyaman. Mama terlihat menghela napas panjang.
"Mas Tegar" Itu benar Mas Tegar" Akhirnya, ada kapal laut yang berhasil
menemukanmu terdampar di pulau terpencil itu. Kami pikir kau tidak akan
pernah kembali, Mas Tegar. Selamat datang." Linda menyeruak dari ruangan
pintu tengah, tertawa, pura-pura terkejut. Mencoba mengambil alih-situasi.
"Malam, Lin." Aku kebas menerima lambaian tangan Linda.
"Lihatlah, Mas Tegar tidak terlihat seperti tidak terurus. Maksudku kalau
melihat di film-film itu seharusnya Mas Tegar berjenggot panjang, cambang.
Mas Tegar masih terlihat seperti dua tahun silam, tetap charming. Atau janganjangan waktu berhenti di pulau itu?" Linda mendekatiku, bergurau, mengajak
berjabat-tangan. Aku ikut tertawa kecut. Orang-orang masih menatap ganjil.
"Di mana Sekar?" Suaraku bergetar, bertanya.
Linda belum sempat menjawab, dan aku belum sempat peduli atas ekspresi
muka orang-orang saat aku mengatakan pertanyaan itu, yang kutanyakan sudah
melangkah keluar dari bingkai pintu ruang tengah.
"Ada siapa, sih?" Kalimat Sekar menggantung.
Menggantung seketika di langit-langit ruangan saat melihatku.
Waktu sempurna terhenti. Aku bersitatap dengannya. Sedetik. Dua detik. Tiga
detik. Sekar mendadak membalik badannya. Lari. Aku refleks berseru memanggil.
Tubuhnya sudah menghilang di balik tirai. Mengabaikan semua tatapan orang di
sekitarku, tidak peduli, aku melewati Linda yang berdiri di depanku, melangkah
cepat di tengah ruangan, berusaha mengejar.
Sekar berlari ke pintu samping. Aku mengikutinya. Berlari ke taman sebelah
rumah. Aku mengikutinya. Ia tersudut, tembok rumah membatasi langkahnya.
Berdiri membalik badan, menatapku dengan tatapan yang tidak akan pernah bisa
kulupakan. Langkah kakiku terhenti demi menyimak ekspresi wajah itu. Aku
bergetar menatap wajah itu, wajah yang disinari dua lampu taman, tubuh Sekar
gemetar berpegangan ke pohon palem.
"Kau". Buat apa kau datang kemari."
Ruangan convention center ramai oleh tepuk-tangan, standing ovation.
Bahkan Lili ikut-ikutan berdiri, sok-gaya ikut bertepuk-tangan. Konser itu
selesai, Rosie membawa anak-anak menuju belakang panggung. Melangkah di
antara pengunjung, susah-payah tiba di sana. Sakura sedang bicara dengan
seorang penyanyi terkenal pendukung konser saat Rosie mendekat. Rosie
memeluk Sakura, Jasmine berceloteh, bertanya banyak hal ke Sakura. Lili
mengerjap-ngerjap. "Ini Mamanya Sakura?" Penyanyi itu bertanya.
"Benar. Keluarga yang hebat, bukan?" Sang Maestro yang menjawab sambil
mendekat. Menyeka dahinya dengan handuk kering.
"Tadi sore saat gladi resik aku juga terpesona dengan anak-anak ini. Kenalkan
ini Rosie, Ibu Sakura. Anggrek. Ergh, Jasmine, ya Jasmine, dan Lili." Sang
Maestro mengingat-ingat. Daya ingatnya memang luar biasa. Konon Sang
Maestro hanya perlu melihat selintas satu lembar not lagu yang harus
dimainkannya, dan ia bisa mengingatnya.
Anak-anak menjulurkan tangan, berkenalan. Juga ke beberapa pendukung
acara lainnya yang ikutan mendekat. Seorang penonton memberikan buket
bunga untuk Sakura, "Lagu yang indah, saya terharu mendengarnya. Terima kasih banyak."
"Well, memang lagu yang indah, Sakura bahkan jauh lebih banyak
mendapatkan bunga dari penonton malam ini." Sang Maestro bergurau.
Kerumunan tertawa. "Aku ingin Sakura memainkan satu-dua lagu dalam album terbaruku, Ros.
Kalau kau mengizinkan, mungkin dua bulan lagi kalian harus datang ke Jakarta.
Rekaman. Kau tidak keberatan, kan?" Sang Maestro bertanya.
Rosie dan Sakura menggeleng. Sang Maestro tertawa senang.
Seseorang memanggil Sang Maestro, konferensi pers, wartawan sudah
menunggu. Sang Maestro melangkah ke ruang tunggu, "Sakura mau ikut?"
Sakura menggeleng. Ia tidak berminat, wajahnya sejak tadi sibuk mencari.
Beberapa pendukung acara mengikuti langkah Sang Maestro, meninggalkan
mereka berlima di sudut ruangan.
Sakura menatap ibunya, "Di mana Uncle Tegar?"
"Kau". Buat apa kau datang?" Sekar menatapku gemetar.
Aku mendekat, mengusap wajah. Buat apa aku datang" Aku benar-benar tidak
tahu harus mengatakan apa sekarang. Aku tidak tahu kenapa aku datang.
"Pergilah, Tegar". Aku mohon. Pergilah." Sekar berkata serak.
"Aku tidak akan pergi."
"Pergilah, biarkan aku memilih jalan hidupku." Sekar mencengkeram pohon
palem lebih kencang, kakinya bergetar menahan tubuhnya berdiri.
Aku menelan ludah. Menatap wajah lelah dengan malam-malam
menyesakkan. Wajah yang kalah. Tidak kunjung bisa membujuk hati untuk
melupakan. Aku mengenalinya. Karena ekspresi muka seperti itulah yang
terlihat di cermin kamar kontrakanku selama lima tahun. Wajah yang tidak
pernah bisa membujuk hati untuk berdamai.
"Aku, aku tidak akan pernah punya kesempatan memilikimu, Tegar. Kau
sudah dimiliki wanita lain. Aku tidak pernah menyadari kalau aku hanya
menjadi tempatmu bercerita."
"Kau tidak pernah hanya menjadi tempatku bercerita, Sekar. Hentikan semua
omong-kosong itu." Aku memotong.
Sekar tertunduk, hendak menangis. Ia mudah sekali menangis, apalagi dalam
situasi rumit seperti ini.
"Tetapi kau tidak pernah ingin pulang, bukan. Kau tidak pernah ingin kembali.
Karena, karena aku tidak pernah menjadi tempat kau pulang."
Aku menghembuskan napas perlahan, kalimat tidak pernah ingin kembali
yang dikatakan Sekar menusuk hatiku. Sekar benar, seharusnya dari dulu aku
menyadarinya. Urusan ini bukan karena Sekar menghindari teleponku selama
dua tahun terakhir. Bukan karena waktu. Apa yang telah kulakukan di Gili
Trawangan" Oma jangan-jangan benar, aku terlalu mencintai anak-anak. Aku
melupakan sepotong janji kehidupanku bersama Sekar. Oma benar, janganjangan aku kembali menyulam harapan itu. Padahal, apa lagi yang ingin
kulakukan setelah Rosie sembuh" Anak-anak sudah mendapatkan ibunya.
Tugasku sudah selesai. Apa aku menginginkan hal lain" Menginginkan
kesempatan itu" Bukankah berkali-kali aku bilang itu semua tinggal masa lalu, dan aku
mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Bukankah minggu-minggu sebelum
pertunanganku dengan Sekar aku senang menatap janji kehidupan bersamanya.
Waktu itu sama sekali tidak pernah lagi terpikirkan tentang Rosie. Tetapi setelah
dua tahun. Ya Tuhan, Oma jangan-jangan benar. Aku terjebak, untuk kedua-kalinya.
Aku mendongakkan kepala, menatap pelepah pohon palem. Bulan menyabit
seperti tersangkut di selanya. Malam yang indah. Halaman samping yang indah.
Seharusnya semua ini menyenangkan.
"Pergilah, Tegar. Kau pasti tahu apa maksud semua keramaian ini". Kau
pasti datang karena mendengar kabar itu. Semua sudah terlambat. Aku tahu aku
tidak akan pernah punya kesempatan memilikimu. Jadi biarkan aku melanjutkan
hidup dengan pilihanku. Aku tidak tahu apakah esok semua beban terasa lebih
ringan. Aku tidak punya lagu itu"." Sekar tertawa getir, menangis sambil
tertawa, "Aku tidak punya lagu itu". Aku tidak tahu apakah esok pagi semua
akan terasa sedikit lebih lega."
Aku menggigit bibir, melangkah mendekat.
Gadis itu masih menunduk.
"Kau masih punya kesempatan, Sekar."
Sekar tersenyum pahit, menggeleng.
"Kau masih punya kesempatan," Aku membimbingnya berdiri lebih baik.
"Berikan aku waktu seminggu, Sekar."
Sekar menggeleng. "Aku mohon berikan aku waktu seminggu."
"Buat apa, buat menambah rasa sakit?" Aku menghela napas pelan. Diam
sejenak. "Apakah kau mencintai calon tunanganmu?" Sekar tertunduk, deru
napasnya terdengar olehku.
"Apakah kau mencintainya?"
"Bagi kami jauh lebih baik menikah dengan orang yang mencintai, bukan
dengan orang yang dicintai." Sekar menjawab pelan.
"Kau keliru, Sekar, kalimat itu dusta. Berikan aku waktu seminggu, kau masih
punya kesempatan, asal kau memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki
kesalahan ini. Aku mohon, percayalah."
Sekar mengangkat kepalanya.
"Aku akan memperbaiki semuanya, Sekar. Aku berjanji."
Tubuh Sekar bergetar, ia hendak menangis lagi.
Aku mengusap bulir air di pipinya.
Senyap. Malam itu aku mengambil keputusan penting.
Aku kembali ke hotel setelah Sekar hanya diam lima menit. Berbisik pelan
sekali lagi sebelum beranjak pergi, memohon ia mau memikirkan janjiku. Aku
meninggalkan Sekar yang berdiri kaku di bawah pelepah palem dengan sinar
lembut rembulan. Linda membimbing Sekar masuk. Aku melewati ruang depan.
Menatap Mama sekilas. Semua ini keliru. Mama Sekar balas menatapku
prihatin, menghela napas.
Kembali ke hotel. Tiba di kamar setengah jam sebelum tengah malam.
Menggulung lengan kemeja yang basah oleh keringat, mengusap dahi yang kotor
oleh debu jalanan. Lift berdesing pelan, senyap, koridor hotel lengang. Aku
mengetuk kamar Rosie dan anak-anak. Ingin memastikan apa mereka sudah
kembali. Pintu kamar dibuka oleh Anggrek.
Mereka ternyata belum tidur. Hanya Lili yang tidur-tiduran.
Aku melangkah masuk. Sakura sedang menatap buket bunga di atas meja.
Jasmine duduk menyimak hamparan kota Jakarta dari ketinggian lantai empat
belas. Tirai jendela kamar dibuka lebar-lebar. Rosie duduk di pinggir ranjang
sambil membelai rambut Lili, yang sibuk menguap.
"Kalian belum tidur?"
Anggrek menggeleng. "Paman dari mana saja?" Jasmine loncat dari kursi, mendekat.
"Eh, ada sesuatu yang penting."
"Saking pentingnya sampai Uncle nggak merasa perlu menonton Sakura."
Sakura mendesis, memotong kalimatku. Wajahnya terangkat dari buket bunga,
menuntut penjelasan. Aku menelan ludah, mendekati Sakura.
"Bunga yang indah. Dari penonton, ya?"
"Kenapa Uncle pergi?" Sakura tidak menjawab pertanyaanku, ia justru
menatap galak sekaligus sedih, terlihat sekali wajah gadis kecil itu terluka.
"Ada urusan penting yang harus Uncle kerjakan, Sakura." Aku kehabisan kata
untuk menjelaskan. Bagaimanalah" Aku belum siap dengan sebuah penjelasan
meski hanya sepotong kalimat.
"Apanya yang lebih penting dibandingkan melihat Sakura memainkan lagu itu
untuk Uncle. Padahal, padahal Sakura ingin" Sakura ingin bilang setelah
memainkan lagu itu. Kalau lagu itu Sakura mainkan untuk Uncle. Tapi Sakura
tidak bisa mengatakannya di atas panggung". Karena Uncle tidak ada di sana
saat Sakura menyelesaikannya. Bahkan Uncle pergi ketika Sakura mulai
memainkannya. Sakura hanya bisa menatap punggung Uncle yang keluar."
Sakura berteriak, suaranya serak.
"Uncle minta maaf, Sakura. Uncle minta maaf." Aku berusaha membelai
rambut Sakura yang masih dikepang.
Gadis kecil itu mengibaskan tanganku. Terisak berlari ke atas ranjang. Loncat
di sebelah Lili. Menangis. Membenamkan mukanya di atas bantal. Aku menelan
ludah. Jasmine mendekat, ingin memegang tanganku, mukanya terangkat ingin
bertanya. "Tidur, Jasmine. Waktunya tidur." Rosie berkata tegas.
"Yaa Ibu, Jasmine kan pengin tahu Paman Tegar dari mana."
"Tidur! Besok pagi Paman Tegar akan menjawabnya."
Jasmine menyeringai sebal. Anggrek menatapnya tajam. Demi melihat tatapan
Anggrek, Jasmine melepaskan pegangannya. Balik kanan. Patah-patah naik ke
atas tempat tidur, bergabung di sebelah Sakura dan Lili. Aku menghela napas.
"Malam, Om." Anggrek berkata pelan, ikut naik ke atas tempat tidur.
"Malam Anggrek," aku mengangguk. Menatap Rosie. Rosie balas menatapku
dengan tatapan lamat-lamat, tidak usah cemas, semua akan baik-baik saja, anakanak hanya merajuk. Diam sejenak, baiklah, saatnya anak-anak tidur, aku pelan
melangkah ke pintu kamar. Besok lusa, entah kapan aku bisa menjelaskan
kepada mereka. Dua jam berlalu. Pukul 01.30. Aku tidak bisa tidur. Selepas mandi, berendam
di bak air hangat setengah jam, berganti pakaian, aku hanya duduk-duduk
menatap keluar jendela. Menyimak hamparan ribuan lampu, yang justru
membuatku susah tidur. Keluar kamar. Duduk di koridor hotel. Bersandarkan
pintu kamar. Menatap langit-langit rendah koridor. Hotel yang mewah, dinding
koridornya berplitur dan berukiran, karpetnya tebal dan mahal.
Mengusap wajah. Malam ini setelah sekian lama tidak bertemu, Sekar terlihat
berbeda. Ia lebih kurusan. Dulu ia sedikit gendut. Dua tahun berlalu. Bertemu
lagi dalam kondisi yang benar-benar tidak nyaman. Menangis. Memintaku pergi.
Aku tertunduk. Aku tahu sekali, semakin kencang Sekar melafalkan kata pergi,
maka semakin sesak hatinya. Aku tahu persis itu. Ya Tuhan, apa yang telah
kulakukan selama ini. Oma benar, aku memiliki janji kehidupan bersama Sekar.
Gadis itu mencintaiku, amat mencintaiku.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Kesempatan. Aku benar-benar
tidak mengerti kata itu. Apa kami harus membuat kesempatan itu dengan tangantangan ini. Atau kami harus menunggu Kau memberikan kesempatan itu dari
langit" Aku dulu tidak pernah punya kesempatan. Atau jangan-jangan maksud
kalimat itu, aku tidak pernah punya keberanian untuk membuat kesempatan itu.
Aku tidak pernah sanggup mengatakan perasaan itu ke Rosie. Seharusnya aku
tetap bilang. Merebut Rosie dari Nathan. Apa pun caranya.
Aku menghela napas. Aku justru pergi. Membawa seluruh kesedihan,
mengutuk langit-langit kamar. Lima tahun hanya bisa bertanya apa aku harus
melawan kenyataan itu" Kembali ke Gili Trawangan. Berteriak"
Pintu di sebelah kamarku terbuka. Memutus lamunan. Rosie.
Aku tersenyum tanggung melihatnya. Rosie ikutan tersenyum tanggung.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Apa pula yang akan kau lakukan di sini?" Aku balik bertanya.
Tertawa kecil satu sama lain. Rosie duduk di sebelahku.
"Kau tidak bisa tidur?" Aku bertanya.
"Tidak bisa. Mungkin terlalu gembira setelah melihat Sakura memainkan
biolanya tadi, bukan main. Sayang, yang mengajarinya pertama kali dulu untuk
menyukai musik hanya bisa memainkan ukelele." Rosie bergurau.
Aku tertawa kecil. Ukelele. Itu hanya kulakukan di saat-saat tertentu, di
puncak Gunung Rinjani, di tepi danau Segara Anakan. Mencoba mengusir
Tembang Tantangan 19 Bukan Impian Semusim Karya Marga T Hafalan Shalat Delisa 4

Cari Blog Ini