Ceritasilat Novel Online

Noda Tak Kasat Mata 1

Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica Bagian 1


Prolog Tenang. Aku akan membereskan urusan ini sekarang. Setelah beres, aku akan kembali pada kalian. Kau jaga Dewi dan anak dalam kandunganmu, ya, kata sang suami.
Sang istri mengangguk dengan wajah bersimbah air mata. Dalam hati ia merasa inilah pertemuan mereka yang terakhir. Tidak ada yang beres kalau yang berbicara adalah celurit dan parang. Suami-suami yang lain, semuanya tidak ada yang kembali& . Tidak ada yang berhasil pulang.
Bapak mau ke mana" tanya Dewi. Bapaknya tidak menjawab. Biasanya tidak begini. Dewi memandang bapaknya dengan bingung.
Sang bapak bangkit dari tempat duduknya, mengelus kepala anak perempuannya dan menatap istrinya sekali lagi. Kemudian suara-suara berisik dari depan rumah membuatnya bergerak ke arah pintu. Ia membukanya, keluar, dan langsung menutup pintu lagi. Bila ini harus terjadi, ia tidak mau anak-istrinya menyaksikannya. Ia harus menghadapi hal ini dengan tabah. Setidaknya, ia bisa melewatinya dengan kehormatan diri.
Lelaki itu menunduk dan berdoa, sementara orangorang yang sudah siap di luar pintu langsung mengikat tangannya dan mendorongnya. Lelaki itu pun berjalan dalam kegelapan.
* * * Dewi memandang bapaknya yang menghilang di balik pintu. Ia ingin bertanya pada ibunya mengapa bapaknya pergi, tapi wajah ibunya tertelungkup di meja. Bahunya berguncang-guncang. Ibunya menangis, padahal selama ini Dewi tidak pernah melihat ibunya menangis.
Dewi memandang pintu rumah yang sudah tertutup. Bapaknya tadi keluar lewat situ, pasti masih ada di balik pintu itu. Ia pun membuka pintu.
Di luar gelap dan hening. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan katak. Dewi merasakan hawa dingin malam menerpa wajah dan tubuhnya. Tapi ia tidak peduli. Ia menyipitkan mata dan melihat cahaya obor yang membentuk sebuah garis panjang di kejauhan. Bapak pasti ikut barisan itu. Ia ingin memanggil Bapak karena Ibu menangis. Pasti ada sesuatu yang dirasakan Ibu. Mungkin adik kecil membuat ibunya sakit. Bapak pasti tahu apa yang harus dilakukan. Dewi pun berlari mengejar barisan itu.
Dewi berteriak-teriak memanggil bapaknya, tapi suaranya kalah oleh teriakan orang-orang berbaju hitam di depannya yang menyanyikan sebuah lagu yang belum pernah didengarnya. Orang-orang itu hanya berjalan, tapi kaki kecil Dewi yang berlari tidak dapat mengejar mereka. Ia selalu tertinggal.
Setelah sepuluh menit berlari, Dewi merasa kakinya sangat lelah dan tidak kuat lagi berjalan. Apalagi rombongan itu membelah ladang tebu sehingga Dewi sukar mengikuti jejak mereka. Tubuhnya berdarah karena terbeset daun tebu yang tajam, tapi ia tak peduli. Sekarang hatinya diliputi rasa takut, bukan lagi karena memikirkan ibunya, tapi karena memikirkan bapaknya. Ke mana orang-orang ini membawa bapaknya"
Rombongan lelaki itu berhenti. Dewi juga ikut berhenti karena kakinya tak kuat lagi. Ia bersembunyi di balik rumpun tebu yang menjulang. Barisan itu berhenti di tengah ladang. Mereka berteriak-teriak dan Dewi tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Ia merasa takut. Ia ingin berbalik, tapi takut pada kegelapan di belakangnya. Ia berpikir, mungkin ia bisa menunggu bapaknya di sini dan mereka bisa pulang bersamasama.
Rombongan lelaki berbaju hitam itu berjumlah sepuluh orang. Mereka mendorong lima lelaki yang matanya ditutup kain hitam, termasuk ayah Dewi. Kedua tangan kelima lelaki itu terikat di belakang tubuh dengan tali dadung, tali yang terbuat dari kulit pohon.
Jadi kowe semua PKI, ya" Kowe pikir hebat ya, jadi orang PKI" Coba sekarang aku mau lihat, apa hebatnya orang PKI! kata salah seorang di antara mereka yang berkumis hitam dan mengenakan ikat kepala warna hitam. Ia memegang sebatang pipa besi panjang dan menunjuk-nunjuk kelima orang itu dengan mimik wajah menyeramkan dan ganas.
Bunuh PKI! Ganyang PKI! teriak yang lain riuh.
Jakarta, 13 September 1998
M ATAHARI bersinar cukup terik, tapi siang itu
banyak pengunjung lalu-lalang di Dufan. Kota besar dengan segala kesibukannya membuat rekreasi bergeser menjadi kebutuhan utama. Di antara pengunjung arena bermain terbesar di Jakarta itu, ada yang datang bersama keluarga, ada yang bersama teman, bahkan bersama kekasih.
Seorang gadis sedang berjalan bersama kekasihnya. Gadis itu cantik kulitnya putih dan rambutnya panjang tapi pakaiannya terlalu sederhana dibandingkan pemuda di sebelahnya. Sambil berjalan, gadis itu menikmati es krimnya.
Pemuda itu memerhatikan pasangan lain yang laluBab Satu tuh, es krimmu menetes ke bajumu. Kenapa sih kau tidak pernah memerhatikan penampilan" tegurnya.
Sarah tersenyum. Kenapa" Kau tidak suka ya, lihat aku pakai kaus belel" katanya sambil menunjuk bajunya yang warnanya sudah pudar. Tapi ini kaus kesayangannya, sebab bahannya halus dan enak dipakai. Lagi pula mereka hanya berjalan-jalan, tidak sedang menghadiri pesta atau pertemuan resmi.
Gunawan memandang kaus itu sambil mengernyitkan kening. Setidaknya kau tidak membuatku malu. Kalau kau memakai baju bagus lalu aku cuma memakai celana pendek, kau senang tidak"
Senang aja tuh, jawab Sarah tak acuh. Ia memerhatikan pemandangan sekelilingnya dengan gembira. Ia tak pernah mengerti mengapa Gunawan selalu mempersoalkan hal-hal remeh seperti penampilan fisik. Ia sendiri tidak pernah merasa terganggu dengan penampilan Gunawan selama ini.
Gunawan menghela napas. Untung kau tidak satu kampus denganku, gumamnya.
Sarah mendadak teringat sesuatu. Omong-omong soal kampus, aku sudah menemukan bahan untuk skripsiku lho, Gun.
Apa" Peristiwa pembantaian anggota PKI di tahun 1965.
Oh& Komentar Gunawan hanya terdengar seperti dengusan.
Dan aku akan mengadakan penelitian di desa kecil di Jombang, Jawa Timur. Dosen pembimbingku yang menyuruhku ke sana. Beliau bilang dia punya kawan baik yang tinggal di Jombang. Aku bisa menginap di sana selama aku mengumpulkan data. Yah, kira-kira seminggu. Asyik, kan" ujar Sarah.
Gunawan melotot. Sama sekali tidak! Untuk apa meneliti langsung begitu" Kenapa tidak lewat buku atau internet"
Tidak bisa, Sayang. Kau kan tahu sendiri, data-data tentang PKI sulit sekali didapat di buku. Aku sudah mencarinya ke seluruh perpustakaan, baik umum maupun nasional, tapi hasilnya minim. Kalau mau akurat, aku memang harus mengadakan penelitian sendiri, jelas Sarah.
Tapi kau perempuan. Sendirian, lagi.
Aku bisa jaga diri kok, jawab Sarah tenang. Lalu dengan sabar ia mengalihkan pembicaraan sehingga Gunawan tidak lagi marah-marah.
* * * Jakarta, 19 September 1998
Jadi kau tetap akan pergi" tanya Gunawan pada Sarah yang sedang berlutut dan memasukkan barangbarang ke dalam tas besar di hadapannya. Sarah mengangguk tegas. Yup!
Tapi keadaan sedang dalam bahaya. Sejak kerusuhan Mei lalu, orang-orang makin gila saja. Mereka bisa melakukan apa saja, tahu tidak" Gunawan nyaris berteriak.
Ya, aku tahu. Memangnya aku tidak baca koran dan nonton televisi" jawab Sarah tenang.
Dan pada masa pergantian presiden seperti ini, banyak&
Aku tahu. Justru karena era Orde Baru sudah berganti dengan era Reformasi, maka sekarang kita tidak perlu takut lagi mengungkapkan hal ini& .
Jadi kau tetap akan mengangkat topik ini sebagai judul skripsimu" tanya Gunawan heran.
Ya iya dong! Kepergianku ke Jombang buat apa kalau bukan untuk itu" jawab Sarah sambil tertawa. Mata Sarah agak sipit karena ayahnya masih keturunan Cina, dan wajah Sarah tampak eksotis karena ibunya berdarah Jawa. Perkawinan campuran memang menghasilkan keturunan yang unik.
Gunawan bertolak pinggang dan menghela napas seolah sedang berusaha menelan kemarahannya. Lalu apa yang akan kaulakukan di sana"
Kan sudah kubilang, aku akan mencari data, melakukan wawancara, meninjau tempat kejadian& Pokoknya aku ingin mengungkap kasus pembantaian anggota PKI ini dengan tuntas, tegas Sarah. Kau kan bisa mencari di internet, di perpustakaan,
dian ia berkata, Gun, kau ini memang kekanakkanakan!
Kau juga. Kalau kau mencintaiku, letakkan koper itu dan jangan pergi!
Sarah mengerutkan keningnya. Kau serius" Tentu saja aku serius. Kau tinggal pilih, pergi atau aku.
Omong kosong! Kok tega sih, kau berbuat begini" Ini benar-benar tidak masuk akal. Sarah berdiri dan terdiam beberapa saat, menunggu Gunawan menarik kembali ucapannya, tapi pemuda itu diam saja.
Hati Sarah terasa sakit. Ia merasakan ketidakadilan. Kenapa Gunawan harus membuat pilihan seperti ini" Mengapa pria itu tidak membiarkannya menenangkan diri sejenak" Bagaimanapun, penyebab pertengkaran mereka beberapa hari yang lalu kan kesalahan Gunawan juga. Siapa suruh dia terlalu dekat dengan Nuning" Padahal Gunawan bilang Nuning hanya teman SMA, bukan siapa-siapa. Tapi kenapa mereka berdansa sampai berpelukan segala" Sekarang, setelah memaafkan Gunawan, Sarah kembali dipaksa untuk membuat pilihan yang tidak adil. Semena-mena. Khas Gunawan.
Tapi Gunawan sempat berseru keras, Kalau kau pulang nanti, jangan sesali keputusanmu ini! Kau tidak usah memintaku kembali, karena&
Kau mau menang sendiri, kata Sarah pendek. Ia lalu berbalik dan mengangkat kopernya, kemudian cepat-cepat pergi dari hadapan Gunawan.
Sarah menebalkan telinga, tidak mau mendengarnya. Selamat tinggal, Gunawan, katanya dalam hati. Seminggu lagi baru kita bicarakan hal ini. Seminggu lagi pasti semuanya sudah berubah. Kau pasti sudah tidak marah dan aku pun sudah tidak lagi sakit hati. Biar waktu yang meredakan semuanya.
* * * Desa Karya, Jombang 20 September 1998
Sarah menatap pemandangan di hadapannya. Benarbenar indah dan memesona, pikirnya sambil tersenyum. Ia tersenyum pada Lastri, gadis di sampingnya.
Indah ya, pemandangan di sini" ujar Sarah pada Lastri.
Lastri tersenyum. Kalau menurutku sih biasa saja, tapi menurut orang Jakarta yang baru pertama kali ke sini mungkin memang indah. Ayo masuk. Ehm& . aku manggilnya Mbak atau Kakak, ya" tanyanya ragu.
Mbak saja. Aku juga orang Jawa kok, kata Sarah. Mata sipitnya ini memang membuatnya lebih kelihatan Cina daripada Jawa. Apalagi kulitnya yang putih, siapa yang percaya ia orang Jawa" Di Jakarta ia tidak pernah memedulikan hal itu. Aku orang Indonesia! begitu kata dirinya setiap kali orang memanggilnya Cina. Tapi di sini, di tanah Jawa, ia mau menonjolkan
ke-Jawa-annya, bahwa ia juga orang Jawa, ia orang Indonesia, bukan orang asing seperti lazimnya keturunan Cina di era orde baru.
Lastri hanya tertawa. Menurutnya, gadis Jakarta ini menarik dan bicaranya begitu terus terang. Sebenarnya ia agak bingung tentang maksud kedatangan Sarah. Katanya mau meneliti. Tapi di desa kecil ini yang cuma ditinggali belasan kepala keluarga penelitian apa yang mau dilakukan"
Kamarmu sudah disiapkan, Mbak. Begitu mendapat telepon dari Bu Asih, Bapak langsung menyuruhku mempersiapkan keperluan Mbak, kata Lastri.
Terima kasih. Untung ada Bu Asih. Kalau tidak, aku akan bingung mau tinggal di mana. Kalian mau menerimaku selama seminggu, aku sangat sangat berterima kasih, kata Sarah sambil menganggukkan kepalanya sedikit.
Bu Asih adalah dosen pembimbing Sarah yang kebetulan punya kenalan ayah Lastri. Ayah Lastri kepala desa di desa Karya, tempat Sarah berada saat ini. Dan selama seminggu ini untuk mencari data skripsinya yang bertajuk Peristiwa Pembantaian Besar-besaran Anggota PKI pada Tahun 1965 Sarah tinggal di desa ini.
Sebenarnya menginap di hotel tidak masalah bagi Sarah. Ia punya cukup uang. Ia cuma takut sendirian di hotel. Sedangkan kalau Sarah menginap di rumah kepala desa yang hanya tinggal berdua dengan anak
perempuannya, kehadiran Sarah tentu tidak akan dicurigai dan bisa diterima dengan baik oleh penduduk. Dan yang paling penting, Sarah merasa aman.
Lastri membawa Sarah ke kamar di rumahnya. Di dalam ruangan itu ada sebuah dipan dan sebuah meja. Ada juga kursi plastik dan rak rotan. Rupanya itu kamar tamu. Sarah menatap sekelilingnya dengan gembira, seakan-akan ia berada di kamar hotel yang mewah. Kesederhanaan kamar itu membuatnya nyaman. Ia memang menyukai hal-hal yang tidak biasa dirasakannya di Jakarta.
Ini bekas kamar adikku. Sekarang dia sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya, jadi kamar ini tidak terpakai. Kuharap Mbak bisa betah. Yah, memang tidak memadai sih&
Kamar ini sangat nyaman kok, potong Sarah. Senyum mengembang di wajah Lastri. Ia senang dengan ketulusan dalam ucapan Sarah.
Katanya kau guru, ya" tanya Sarah.
Benar. Tapi cuma guru SD, Mbak. Tidak istimewa, tutur Lastri merendah. Aku mengajar di SD Negeri tidak jauh dari sini.
Sarah memandangnya penuh rasa ingin tahu. Lastri cukup cantik. Adiknya sudah menikah, tapi Lastri sendiri belum, padahal orangnya ayu dan manis. Setahu Sarah, orang desa biasanya menikah pada usia muda. Bila ia tidak memilih jodoh sendiri, tentu orangtuanya yang akan menjodohkan.
Tapi& kurasa itu agak sulit, Mbak, kata Lastri perlahan.
Kenapa" Di desa ini banyak keluarga atau keturunan anggota PKI, tapi mereka kebanyakan sudah pindah ke daerah lain, atau& mengucilkan diri.
Mengucilkan diri" Mungkin karena mereka dicap sebagai anggota PKI jadi tidak diterima bekerja di mana-mana" tebak Sarah.
Lastri mengangguk. Ia lalu berkata ragu-ragu, Aku kenal seseorang. Aku tidak tahu apakah dia mau berbagi cerita atau tidak, tapi akan kucoba memperkenalkan Mbak padanya. Saat mengucapkan hal itu, wajah Lastri memerah. Sarah tidak tahu kenapa, tapi ia cukup senang karena Lastri berniat membantunya.
Baiklah, terima kasih, kata Sarah. Ia melanjutkan mengeluarkan barang-barangnya. Sebentar lagi ia harus mandi dan makan. Ia orang yang tertib dan tidak suka lewat dari jadwal. Mudah-mudahan pengumpulan data untuk skripsinya berjalan lancar dan sesuai dengan jadwal yang sudah dicanangkannya.
* * * Sarah terbangun, ia melihat jam tangannya. Baru jam lima kurang sepuluh. Ternyata karena tidur lebih awal tadi malam, sekarang ia jadi bangun lebih pagi. Ia bangkit dari tempat tidur dan mengambil handuk.
Hawa pagi terasa dingin, tapi tidak menghalanginya untuk mandi. Ia keluar kamar dan menuju kamar mandi.
Ketika Sarah mengintip ke dapur, ternyata Lastri sudah bangun dan sedang memasak air. Gadis rajin, pikirnya sambil tersenyum. Sarah tidak mau mengganggu Lastri. Ia akan mandi dulu, baru menyapa Lastri.
Selesai mandi, ia mengganti bajunya dengan T-shirt dan celana sport, serta memakai sepatu kets. Sarah pun keluar rumah. Ia ingin melihat-lihat keadaan di sekitar sini dan merasakan udara pagi pedesaan yang menyegarkan.
Kebun ayah Lastri ditanami berbagai tanaman palawija seperti jagung, ubi, singkong, dan sayur-sayuran. Khas orang desa. Sebagai orang kota, Sarah ingin sekali bisa tinggal di tempat seperti ini. Bertani, berkebun, dan hidup tenang, tidak seperti hidup di kota yang sesak dan ramai. Tapi itu cuma keinginan, tidak tahu apakah ia bisa menjalaninya atau tidak. Kalau cuma tinggal selama seminggu tentu bisa-bisa saja, tapi kalau seumur hidup ia tak tahu bisa betah atau tidak.
Jalan di depan rumah Lastri cuma jalan setapak. Dan itu satu-satunya jalan. Bila menyusuri jalan ini, tentu aku takkan tersesat, pikir Sarah. Maka ia berjalan-jalan sambil menghirup udara pagi yang segar. Semakin ke pelosok, ia semakin sering menjumpai pohon tebu yang lebat dan menutupi sisi jalan. Tak heran, desa
Karya adalah penghasil tebu. Di sini ada pabrik gula, sumber penghasilan bagi penduduknya.
Pohon tebu itu menghalangi pemandangan. Untung matahari sudah semakin tinggi sehingga sudah tidak terlalu gelap lagi. Sarah memetik bunga liar berwarna ungu yang tumbuh di pinggir jalan. Setelah pulang nanti, ia akan meminta gelas pada Lastri dan mengisinya dengan air. Gelas itu berfungsi sebagai jambangan bunga, dan akan ditaruhnya di meja kamarnya. Sarah memang menyukai bunga, jenis apa saja.
Teringat bunga, Sarah jadi ingat Gunawan. Pria itu suka memberinya bunga, tentu saja bukan bunga liar seperti ini. Kebanyakan dia membeli bunga di floris, dan bunganya sudah dirangkai dalam bentuk buket yang indah. Gunawan memang pria yang menarik dan tingkah lakunya pun menawan hati tapi itu bila mood-nya sedang baik. Mereka sudah berhubungan dua tahun lamanya, tapi terkadang Sarah merasa belum mengenal Gunawan dengan baik.
Contohnya saat kali terakhir mereka bertemu. Sebelumnya Sarah pernah mengutarakan rencana kepergiannya ke Jombang ini. Waktu itu Gunawan hanya tertawa dan menanggapinya dengan negatif. Dia bilang Sarah takkan berhasillah, usahanya takkan ada gunanyalah, terlalu berlebihanlah, tapi dia tidak pernah melarangnya secara langsung. Ketika Sarah benarbenar akan pergi, Gunawan malah menyuruhnya memilih: pergi atau tetap bersamanya.
Tidak masuk akal, pikir Sarah. Aku kan hanya pergi selama seminggu. Kenapa Gunawan tidak mau mengerti keinginanku" Kenapa dia tidak mau mendukungku agar skripsiku mendapat nilai baik" Kenapa dia harus menyuruhku memilih" Apakah dia hanya mencari alasan agar kami putus saja" Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati Sarah.
Sarah benar-benar sedih memikirkan hubungannya dengan Gunawan. Kalau sedang kesal, kemarahan Gunawan hanya sebentar. Tapi marahnya itu sering. Itulah yang mengganggu pikiran Sarah. Mereka sudah sama-sama dewasa, kenapa harus bersikap kekanakkanakan" Bahkan orangtua Sarah tidak melarang kepergian putrinya ke Jombang ini. Sarah hanya satu kali menelepon mereka untuk memberitahukan ia akan pergi seminggu dan mereka langsung setuju, itu saja.
Orangtua Sarah memang tidak tinggal di Jakarta. Sejak kerusuhan Mei mereka tinggal di Bali. Mereka bersikeras mengajak Sarah, tapi Sarah lebih keras lagi menolak. Ia mau menyelesaikan kuliahnya dulu. Ia percaya ajal di tangan Tuhan. Jangankan kerusuhan, sedang tidur saja manusia bisa meninggal. Akhirnya orangtuanya bisa menerima argumennya dan mereka percaya putri mereka tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan mereka.
Sarah melihat seekor kupu-kupu bersayap hitamungu yang sangat indah. Ia melihat kupu-kupu itu terbang dan hinggap di serumpun bunga ungu di seberang jalan. Ia tersenyum gembira dan menyeberang tanpa memerhatikan jalan. Sebuah sepeda yang meluncur cepat ke arahnya ingin menghindarinya, tapi sang pengendara tidak bisa mengendalikan keseimbangan. Akibatnya, sepeda tetap mengarah ke Sarah dan gadis itu terjatuh, begitu pula sang pengendara sepeda.
Aduh! rintih Sarah. Bunga-bunga yang sudah dipetiknya berserakan di tanah. Ia buru-buru bangkit dan melihat telapak tangannya yang tergores batu. Untung cuma lecet sedikit. Ia melihat ke arah pengendara sepeda yang terjatuh bersama sayuran yang dibawanya. Sarah langsung menghampiri pengendara sepeda itu.
Anda tidak apa-apa kan, Mas" tanya Sarah khawatir.
Lelaki itu bangkit dan mendirikan sepedanya. Sarah membantunya memunguti ikatan-ikatan bawang merah yang terjatuh dan memasukkannya kembali ke peti di boncengan sepeda itu.
Tidak usah! kata lelaki itu kasar. Sarah jadi merasa tidak enak. Lelaki itu pasti marah karena Sarah berdiri di tengah jalan.
Maaf, saya menyeberang tiba-tiba tadi, katanya. Ia melihat lengan lelaki itu tergores cukup dalam. Secara refleks Sarah memegang tangan lelaki itu. Kau berdarah.
Tiba-tiba lelaki itu menarik tangannya dengan kasar
sehingga Sarah menatapnya dengan bingung. Ditatapnya lelaki berkulit legam dan bertubuh kekar di hadapannya itu. Lelaki itu hanya mengenakan kaus tipis serta celana panjang komprang. Sarah terpesona. Ada sesuatu pada diri lelaki ini yang menyebabkan Sarah tak dapat melepaskan pandangannya.
Lelaki itu juga memandangnya. Sedetik mereka bertatapan, lalu keduanya saling memalingkan wajah ke arah lain.
Sarah mengambil sehelai saputangan dari kantong celana sportnya dan memberikannya pada lelaki itu. Bersihkanlah lukamu dengan ini, katanya.
Tidak usah! kata lelaki itu sambil memunguti bawang merah yang berjatuhan.
Sarah menatapnya dengan bingung. Kenapa lelaki ini begitu kasar" Kesalahan toh bukan terletak pada Sarah saja. Lelaki ini seharusnya juga berhati-hati. Atau setidaknya mau menerima bahwa ini cuma kecelakaan biasa.
Sarah melihat darah yang mengalir di lengan lelaki itu semakin banyak. Ia merasa ngeri sendiri. Rupanya lengan pria itu robek karena tergores batu tajam di tanah. Maka Sarah memberanikan diri menarik tangan lelaki itu. Lelaki itu terkejut, tapi tak berkata apa-apa. Sarah membalutkan sapu tangannya di lengan yang luka itu dan mengikatnya kuat-kuat.
Supaya perdarahannya berhenti, katanya. Lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya menatap Sarah
T IDAK ada yang tahu para jenderal itu dibunuh
oleh siapa pada tanggal 30 September, apakah oleh PKI atau oleh pihak lain yang ingin mengambinghitamkan PKI. Semua itu mengundang banyak pendapat. Saya tidak akan meneliti siapa yang bersalah dan siapa yang benar, tapi hanya ingin mengungkap peristiwa pembantaian anggota PKI setelah kejadian G30S/PKI yang menelan banyak korban, tutur Sarah kepada ayah Lastri di sela-sela suapannya.
Sayang Bapak tidak tahu banyak tentang hal itu karena sewaktu peristiwa itu terjadi, Bapak masih kecil, ujar Suprapto, ayah Lastri.
Bapak waktu itu masih berusia& sekitar delapan tahun ya, Pak" kata Lastri menghitung-hitung. Mereka bertiga sedang sarapan di ruang makan.
Bab Dua dibuat Lastri. Tapi Sarah menghabiskannya dengan lahap, walaupun tak begitu cocok dengan lidahnya. Ia ingin menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara itu.
Jadi Bapak tidak bisa menceritakan apa-apa" tanya Sarah sedikit kecewa.
Suprapto menggeleng. Ia lalu berkata, Bapak hanya pernah melihat mayat-mayat tanpa kepala di Sungai Brantas, waktu sedang main waktu kecil dulu. Pertama-tama Bapak takut melihatnya, lama-lama jadi biasa.
Mayat tanpa kepala" tanya Sarah heran. Benar. Kadang-kadang di mayat itu ada bendera merah bertuliskan PKI . Orangtua-orangtua kami hanya bilang bahwa mayat itu adalah mayat orang jahat. Itu saja. Saat itu saya masih kecil, jadi hanya menelan informasi itu bulat-bulat. Baru sekarang terungkap bahwa itu mayat orang-orang tak bersalah, yang mati akibat pergolakan politik, cerita Pak Suprapto.
Sarah menganggukkan kepala. Benar. Lepas dari masalah komunis atau bukan, mereka tidak mengerti apa-apa selain menjadi anggota suatu partai. Mungkin mereka malah tidak mengerti komunis itu apa. Sejak pembunuhan para jenderal yang entah dilakukan siapa, isu bahwa PKI itu kejam memang sudah disebarkan sehingga pembunuhan terhadap mereka pun tidak mendapat perlawanan dari rakyat. Banyak rakyat yang percaya bahwa PKI punya banyak lubang buaya yang
sudah disiapkan untuk menangkapi tokoh agama, juga bahwa PKI sudah punya alat penyiksaan yang mengerikan untuk menyiksa korban mereka. Tentu saja itu hanya isu yang disebarkan oleh pihak yang punya kepentingan politik, tutur Sarah. Sebagian hal itu memang sudah diketahuinya.
Rupanya kau memang sudah mendalami hal ini. Waktu itu rakyat kecil tidak tahu apa-apa. Kebanyakan orang desa bodoh dan tidak sekolah. Melihat mayat terapung di sungai atau tergeletak di ladang mereka jadikan tontonan. Masing-masing bersyukur karena bukan anggota PKI. Tetapi& memang agak ngeri. Pernah dengar cerita tentang ikan yang memakan jari manusia" tanya ayah Lastri.
Jari" Ya. Mayat itu membusuk di sungai dan jadi makanan ikan. Ketika ikan ditangkap dan dipotong, di dalamnya ditemukan potongan jari manusia. Tidak mustahil potongan badan lainnya juga, cuma mungkin tidak sejelas potongan jari. Kuku kan termasuk bagian yang agak lama membusuk, jelas pria itu.
Untung saya sudah selesai makan, kata Sarah tertawa saat melihat Lastri menyilangkan sendok-garpu di atas nasinya yang belum habis.
Ya. Cuma cerita seperti itu yang saya ketahui sebagai orang awam. Oh ya, kalau boleh saya tahu, Nak Sarah dari jurusan apa"
Jurusan Pendidikan Sejarah, Pak. Di IKIP Jakarta.
Oh, guru juga toh. Sarah tersenyum. Benar. Saya calon guru, sama seperti Lastri.
Lastri menunduk malu. Ah, mana bisa guru SD di desa dibandingkan dengan calon guru SMA dari Jakarta"
Sama saja, kata Sarah tenang. Gaji guru SD maupun SMA sama. Sama-sama kecil.
Pak Suprapto dan Lastri tertawa mendengar katakata Sarah.
* * * Selesai sarapan, Lastri mengantarkan Sarah menemui orang yang ia katakan tadi mungkin bisa membantu penelitian Sarah. Hari itu hari Minggu, jadi Lastri bisa sekalian memperkenalkan Sarah pada penduduk desa di sepanjang jalan setapak yang mereka lewati.
Selamat pagi, Bu Lastri, sapa seorang wanita muda berusia tiga puluhan. Lastri tersenyum.
Pagi. Iwan dan Hardi sudah bangun, Bu Dahlia" tanya Lastri ramah.
Oh, sudah. Pagi-pagi mereka sudah mabur. Mau mancing di sungai katanya. Bagaimana dengan les tambahannya, Bu"
Mereka hanya berbicara di pagar, tapi langkah Lastri terhenti. Jadi Sarah ikut berhenti dan mendengarkan pembicaraan itu selayaknya tamu Lastri.
Nanti saya beritahu lagi. Pak Surya sudah setuju kok. Cuma tinggal penentuan harinya saja, kata Lastri. Oh ya, perkenalkan. Ini Mbak Sarah. Dari Jakarta.
Sarah tersenyum dan mengulurkan tangan. Dahlia menjabat tangan Sarah dengan hangat. Famili Bu Lastri"
Oh, bukan. Saya ingin mengadakan penelitian di sini, jawab Sarah.
Penelitian" Penelitian apa"
Tentang pembantaian anggota PKI di desa ini tahun 1965, ujar Sarah penuh harap, berharap Dahlia tahu sedikit tentang itu.
Oh, saya tidak begitu tahu kejadian itu. Saya baru beberapa tahun tinggal di desa ini. Jawaban Dahlia membuat harapan Sarah pupus. Ternyata memang tak mudah mengorek informasi.
Dahlia mengajak mereka mampir, tapi Lastri menolak. Ia memang ingin memperkenalkan Sarah pada sebagian warga desa. Makanya mereka berhenti bila kebetulan ada satu orang yang berdiri di pagar dan bisa disapa Lastri.
Mereka keluarga muridku, jelas Lastri ketika mereka melanjutkan perjalanan.
Oh, pantas tadi kalian membicarakan les tambahan.
Di rumah berikutnya, Sarah melihat seorang lelaki tua sedang duduk diberanda. Lastri menyapa.
Selamat pagi, Pak Jandi! Lelaki tua itu hanya mengangguk-angguk. Lastri masuk pagar dan memperkenalkan Sarah. Ini Mbak Sarah dari Jakarta, menginap di rumah saya. Ibu ada, Pak"
Lelaki itu diam saja. Seorang pemuda yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek berkalungkan handuk keluar. Ia menyeringai pada Sarah dan Lastri. Sarah memerhatikan wajah Lastri yang berubah antipati saat melihat pemuda itu.
Halo, Las! Bidadari dari mana nih" tanya pemuda itu sambil melirik Sarah. Ia mengulurkan tangannya. Sarah tersenyum dan menyambutnya.
Ini Mbak Sarah dari Jakarta, Mas Dirman. Hari ini tidak bekerja" pertanyaan Lastri terdengar sinis.
Kau seperti ibuku saja, selalu bertanya begitu. Sekarang kan hari Minggu"
Lastri terlihat agak malu. Ia memang lupa hari ini hari Minggu. Oh ya, kami permisi dulu, Mas. Buruburu, kata Lastri seraya mengajak Sarah pergi.
Setelah mereka jauh, Sarah bertanya, Sepertinya kau tidak suka pada orang itu. Kenapa"
Lastri menjawab, Oh, tadi itu Sudirman, panggilannya Dirman, anaknya Pak Jandi. Dia tukang buat onar dan genit pada gadis-gadis. Aku tak suka padanya. Dia pernah mempermainkan temanku di desa lain sehingga hamil, tapi dia tidak mau bertanggung jawab. Sejak itu aku tak pernah mau berbaik-baik dengannya.
Kalau hamil kenapa tidak dinikahi saja" tanya Sarah.
Itulah Sudirman. Dia memang suka memacari wanita tapi tak mau menikahi. Umurnya sudah tiga puluh tahun tapi belum menikah. Oh ya, Pak Jandi itu ayahnya, kabarnya dulu pernah menjadi anggota PKI. Tapi aku kurang begitu jelas, hanya kata orang, kata Lastri.
Sarah mengangguk-angguk dan mencatat nama itu di otaknya.
Mereka meneruskan perjalanan sampai rumah berikutnya. Sang pemilik rumah sedang memberi makan ayam. Lastri berhenti. Sarah ikut berhenti juga.
Selamat pagi, Mas Arif. Ayamnya semakin banyak saja.
Pagi. Mau ke mana, Las" Mau ke rumah Mas Surya.
Oh& Sepatah kata yang diucapkan Arif membuat wajah Lastri memerah. Sarah jadi menduga orang yang mereka ingin kunjungi punya hubungan pribadi dengan gadis itu.
Dan Mbak ini temanmu" tanya Arif, menatap Sarah dengan ramah.
Benar. Mbak Sarah dari Jakarta, sedang mengadakan penelitian di desa kita.
Oh ya" Penelitian tentang apa"
Lastri tersenyum. Nanti saja tanyakan sendiri pada Mbak Sarah. Hari mulai panas, kami buru-buru, Mas.
Oh ya, Mas Arif mau titip salam buat Mbak Dewi, tidak" tanya Lastri. Sekarang gantian Arif yang salah tingkah.
Boleh. Kami permisi dulu ya, Mas!
Setelah berlalu dari rumah itu, mereka melewati pematang sawah dan ladang tebu, dan tidak menemui rumah lagi. Sepanjang jalan Lastri banyak bercerita.
Mas Arif yang tadi adalah anak Pak Sanip. Setahuku, Pak Sanip dulunya ikut andil dalam pemberantasan anggota PKI di desa kami.
Oh ya" Termasuk algojo pembunuh" kata Sarah, mengistilahkan pembantai itu dengan algojo. Seperti istilah di sebuah buku yang pernah dibacanya.
Seram amat istilahnya" Algojo" Tapi kalau soal bunuh-membunuh, aku tidak tahu, Mbak. Salah-salah aku dianggap memfitnah, lagi, ujar Lastri.
Sarah tertawa. Sepatunya menginjak tanah becek. Untung ia sudah menyiapkan sepatu kets butut yang khusus digunakan untuk berjalan di tanah berlumpur.
Sekarang kita akan pergi ke rumah temanmu yang katanya bisa membantu kita, kan" Sebenarnya Pak Surya itu sekadar teman atau kekasihmu sih, Las" tebak Sarah, karena dilihatnya air muka Lastri selalu memerah bila menyebutkan nama itu.
Wajah Lastri kembali memerah. Ah, cuma teman.
mengasingkan diri karena tidak bisa bekerja di instansi pemerintah, tutur gadis itu.
Sarah menghampiri Lastri dan menepuk-nepuk bahunya. Aku turut prihatin. Ia lalu berkata, Apakah itu sebabnya dia memberikan les tambahan bagi anakanak Bu Dahlia yang tadi"
Lastri mengangguk. Benar. Mas Surya guru matematika dan punya beberapa murid. Dia melakukannya bukan karena uang. Kebanyakan muridnya tidak membayar uang les. Mas Surya melakukannya supaya pelajaran yang sudah didapatkannya waktu kuliah tidak terlupakan, katanya. Wajah Lastri lalu berubah berseri. Suami Bu Dahlia orang kaya. Aku akan memasang tarif yang pantas untuknya sebagai biaya les tambahan. Kasihan Mas Surya, harus bekerja keras dan hidup pas-pasan dari hasil tani padahal dia bisa menyumbangkan ilmunya.
Jangan kecil hati. Dari ceritamu tentang kedermawanannya, sepertinya dia orang yang sangat hebat dan langka. Mungkin setelah keturunan anggota PKI tidak lagi dipermasalahkan, dia bisa kembali bekerja menjadi guru.
Mudah-mudahan, gumam Lastri.
Kau ingin dia punya pekerjaan tetap agar ayahmu mengizinkan pernikahan kalian" tanya Sarah maklum.
Benar. Tapi sebenarnya bukan hanya itu yang menjadi beban pikiranku. Kurasa lama-lama Bapak akan
luluh juga. Tapi Mas Surya orang yang sulit. Walaupun dia baik dan suka menolong, harga dirinya sangat tinggi. Kuharap kau juga bisa membantu, Mbak, karena aku juga ingin meminta bantuan Mbak Sarah. Bantuan apa" tanya Sarah heran.
Bujuklah dia agar mau menikah denganku secepatnya. Bila dia meminangku pada Bapak secara terbuka, tentu Bapak tidak enak hati menolak.
Sarah mengerutkan keningnya. Baiklah, aku akan lihat apa yang bisa kubantu.
Lastri tersenyum. Ia melanjutkan langkah dengan wajah berseri-seri diikuti Sarah di belakangnya. * * *
Lastri berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terletak di tengah-tengah kebun sayur yang luas. Rumah itu sangat sederhana dibandingkan rumah Lastri yang sudah modern dan berdinding tembok. Rumah ini boleh dibilang sebuah gubuk yang cukup rapi, walaupun Sarah bisa menilai seberapa miskin Mas Surya-nya Lastri itu. Rumah ini juga terletak agak terpencil dan di ujung desa. Sarah jadi ingin melihat seberapa besar kekuatan pesona yang dimiliki pria itu yang telah memikat Lastri.
Lastri gadis yang cantik dan cerdas. Dia juga masih muda. Mengapa dia memilih pria yang berusia dua belas tahun lebih tua" Sudah miskin, keturunan anggota PKI pula. Maksudnya, sisa-sisa peninggalan Orde Baru yang mengasingkan keturunan anggota PKI akan membuat derajat orang ini jatuh. Meskipun Mas Surya guru, seberapa hebat sih guru itu"
Guru bukanlah profesi yang hebat, seperti yang banyak diagungkan orang. Guru adalah profesi yang miskin. Itulah yang dikatakan ayahnya ketika Sarah memutuskan untuk mengambil jurusan pendidikan sejarah di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Jakarta. Memang pekerjaan yang mulia, tapi miskin sudah tentu. Sarah hanya bisa berkata pada ayahnya bahwa ia suka sejarah. Ia juga suka mengajar, walau belum tentu ia menjadi guru kelak. Ia tidak tahu lagi mau masuk ke mana ketika lulus SMA. Ia tidak suka jadi dokter, insinyur, ataupun pengacara, apalagi ekonom. Jadi ia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya, menjadi peneliti sejarah. Tidak buruk, kan" Ia tidak perlu menjadi guru kalau ayahnya tidak mengijzinkan, yang penting ia dibiarkan mengembangkan minatnya.
Pagar rumah mungil itu terbuat dari potongan bambu yang ditancap ke tanah. Lastri membuka pintu pagar dan masuk ke pekarangan. Sebelum Lastri sempat mengetuk pintu, seorang pria muncul dari samping rumah sambil membawa sebuah bakul berisi sayuran hijau. Senyum Lastri mengembang.
Mas Surya! panggilnya. Pria itu menoleh.
Sarah menatapnya terpesona. Tangan kanan pria itu terbalut kain putih bernoda kecokelatan. Itu saputangannya. Lelaki itu adalah lelaki yang dijumpainya tadi pagi.
* * * Mbak Dewi, ada tamu! teriak Lastri ketika mereka berdua sudah berada di dalam rumah. Rumah yang terlihat dari luar bagaikan gubuk yang reyot ternyata di dalamnya tampak kokoh. Walaupun berdinding gedek, ruangan di rumah itu tampak rapi dan bersih. Sarah memandang sekelilingnya dengan kagum. Baru pertama kali ini ia melihat rumah sesederhana ini.
Seorang wanita keluar. Usianya sudah tidak muda lagi, yang pasti lebih tua daripada Bu Dahlia tadi. Tapi ia terlihat sederhana dan cantik. Wajahnya mirip Surya. Sinar matanya begitu lembut dan& anggun. Mungkin itulah istilah yang tepat untuknya, nilai Sarah.
Dewi menggerak-gerakkan tangannya. Sarah mengenalinya sebagai bahasa isyarat. Ia pernah belajar sedikit dari kawannya yang kuliah di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP. Artinya kira-kira Apa kabar" .
Mbak Dewi dapat salam dari Mas Arif, kata Lastri.
Wajah Dewi memerah, tapi ekspresinya berubah murung. Ia tidak gembira mendengar salam itu. Gayung tak bersambut" pikir Sarah heran.
Oh ya, Mbak. Perkenalkan dulu, ini Mbak Sarah, dari Jakarta. Dia kemari untuk penelitian. Sekarang menginap di rumahku, kata Lastri pada Dewi.
Rupanya meskipun bisu, Dewi bisa mendengar. Kombinasi yang jarang terjadi, pikir Sarah. Sarah mengulurkan tangannya yang disambut dengan senyum ramah Dewi.
Dewi menggerakkan tangannya ke arah kursi, mempersilakan mereka duduk.
Bulik Ayu mana, Mbak Dewi" tanya Lastri. Dewi menangkupkan kedua tangannya dan menempelkannya di telinga kanannya sambil agak menelengkan kepala. Maksudnya sedang tidur . Sarah tidak jelas siapakah Bulik Ayu itu, jadi ia bertanya pada Lastri.
Di rumah ini hanya tinggal tiga orang. Bulik Ayu dan kedua anaknya, Mas Surya dan Mbak Dewi, jawab Lastri. Ia lalu menoleh pada Dewi. Apakah Bulik Ayu sakit lagi"
Dewi menjawab dalam bahasa isyarat bahwa ibunya memang sedang sakit.
Ketika Dewi masuk ke belakang untuk mengambil minuman, Lastri menjelaskan bahwa ibu Dewi yang sudah berusia enam puluh tahun memang menderita paru-paru basah dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Ada cairan dalam paru-parunya. Tapi karena keluarganya tidak mampu, jadi penyakit itu dibiarkan saja.
Kasihan, pikir Sarah. Ini akibat kasus PKI yang masih tersisa sampai sekarang. Kalau saja Surya boleh bekerja, tentu dia akan mampu membiayai ibunya berobat. Biarpun gaji guru kecil, setidaknya masih lebih baik daripada tidak bekerja sama sekali dan harus menjual sayur ke pasar.
Dewi keluar dan membawa dua cangkir teh hangat serta sepiring ubi rebus. Piring itu sudah retak di bagian tepinya. Ia memberi isyarat agar Sarah dan Lastri memakannya. Lastri mengambil sepotong ubi, Sarah mengikutinya walau perutnya masih kenyang.
Sarah dan Lastri duduk diam sambil menikmati teh hangat, sementara Dewi sibuk memasak untuk makan siang. Ketika seperempat jam sudah berlalu dan teh Sarah sudah habis, Dewi mengangkat cangkir kosong itu untuk mengisinya kembali. Dengan bahasa isyarat, Dewi bertanya penelitian apa yang sedang dikerjakan Sarah. Sarah memandang Lastri untuk meminta saran jawaban apa yang harus diberikannya.
Akhirnya Lastri yang menjawab, Mbak Sarah berada di sini untuk mengumpulkan data-data mengenai PKI, Mbak.
Wajah Dewi memucat. Cangkir yang dipegangnya jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Sarah buru-buru membantu memunguti pecahan cangkir itu. Dewi memberi isyarat agar Sarah tidak usah membantunya. Ia lalu pergi ke belakang.
Sarah menatap Lastri dengan bingung. Apakah kita sudah menyinggung perasaannya, Las" Mungkin karena ayahnya dulu&
Aku tidak tahu, Mbak. Selama ini aku belum pernah membicarakan masalah PKI di depan Mas Surya ataupun Mbak Dewi. Perasaanku juga jadi tidak enak. Lebih baik kita langsung ke Mas Surya saja, mungkin dia bisa lebih banyak membantu.
Mereka keluar dari rumah itu. Rumah kecil itu berada di dataran yang cukup tinggi, seperti sebuah bukit kecil, jadi pemandangannya indah sekali. Sarah bisa melihat pegunungan yang tampak biru dari kejauhan. Teriknya matahari membuatnya menudungi matanya dengan telapak tangan kanan.
Lastri dan Sarah melihat Surya sedang berjongkok di depan tanamannya. Matahari sudah tinggi, memancarkan sinarnya yang terik. Pantas saja kulit Surya tampak legam, dijemur matahari setiap hari, pikir Sarah.
Mas Surya sedang sibuk" tanya Lastri sambil berjongkok di dekat lelaki itu.
Surya sedang memanen bawang merahnya. Ia mencabutnya langsung dari tanah begitu saja. Sarah mendekatinya dari belakang dan memerhatikan umbi berwarna merah itu menyembul dari tanah. Ia senang sekali melihatnya. Baru kali ini ia melihat orang memanen bawang. Ternyata begitu repot membuat bawang itu tumbuh, padahal di Jakarta satu kilo tidak sampai empat ribu rupiah harganya.
Surya mengangguk dan bangkit berdiri. Karena tidak melihat Sarah yang berdiri tepat di belakangnya, ia hampir saja terjatuh karena berusaha menghindari Sarah.
Oh, maaf! Maaf! ujar Sarah cepat-cepat. Ia merasa tidak enak. Dalam satu hari ia sudah membuat pria ini hampir celaka dua kali.
Lelaki itu memandang Sarah dengan tatapan tajam. Beberapa saat ia tidak berbicara. Sarah merasa Surya tidak begitu menyukai kedatangannya.
Kenapa kau berdiri di belakang situ" Ini bukan tontonan untuk orang Jakarta, katanya kemudian dengan nada datar. Ia meninggalkan Sarah dan Lastri lalu pergi ke pancuran untuk membasuh tangannya.
Sarah memandang Lastri seolah ingin meminta penjelasan atas sikap Surya.
Mas Surya memang tidak begitu suka orang asing. Dia jadi begitu karena latar belakangnya. Dia jadi tidak suka bersosialisasi. Kuharap kau mengerti, Mbak, bisik Lastri merasa tidak enak.
Sarah menggeleng. Tidak apa-apa. Aku hanya tidak enak sudah datang ke sini. Mungkin dia tidak senang dengan kedatangan kita. Apalagi jika dia tahu maksud kedatangan kita.
Sejujurnya, di desa ini tidak ada seorang pun yang akan senang dengan maksud kedatangan Mbak, kata Lastri kemudian. Melihat kening Sarah yang berkerut, Lastri melanjutkan, Semua tidak senang membicarakan
topik PKI. Bagi orang awam, mereka tidak mengerti permasalahannya. Sedangkan yang mengalaminya langsung pasti tidak mau membicarakannya dengan orang asing. Bahkan mereka akan marah jika ditanya. Tapi bagiku, daripada diketusi orang lain, lebih baik sama Mas Surya saja. Setidaknya aku tahu benar bahwa hatinya sebenarnya baik, kata Lastri.
Sarah mendekati gadis itu dan menepuk bahunya. Aku sangat berterima kasih karena bantuanmu, Las. Bila memang sulit, kau tak usah membantuku. Nanti hubunganmu dengan Mas Surya jadi terganggu garagara kau ingin membantuku.
Tidak, Mbak. Mas Surya memang begitu, tapi hatinya sangat baik. Kalau tidak, mengapa aku bisa mencintainya" kata gadis itu polos.
Sarah tersenyum. Karena ketampanannya, mungkin" Walaupun sikapnya jauh dari sopan, penampilan Surya sangat menarik. Wajahnya tampan walau kulitnya agak legam terbakar matahari. Tapi kalau dipikir-pikir, hubungan cinta Lastri dan Surya sungguh aneh. Biasanya sekaku apa pun sang pria, pasti dia tidak akan begitu tidak memedulikan kekasihnya. Apa begini dua orang yang saling mencintai" Kalau melihat hubungan mereka yang begitu kaku, rasanya hubunganku dengan Gunawan bisa dibilang baik sekali, pikir Sarah hiperbolis.
Lastri mengajak Sarah menghampiri Surya. Sejak kedatangan mereka di sini, sedikit pun Surya belum bertanya apa maksud kedatangan mereka, dan itu sangat mengganggu Sarah. Tapi bila lelaki itu satu-satunya sumber yang bisa memberikan infomasi, maka apa pun yang terjadi, Sarah akan tetap memilih Surya daripada harus menggali sendiri di tempat lain.
Mas Surya. Boleh kita bicara sebentar" tanya Lastri.
Surya memandang Sarah dengan wajah antipati. Kemudian ia menatap Lastri dan mengangguk, lalu duduk di balai-balai depan rumahnya. Lastri duduk di sebelahnya dan Sarah duduk tak jauh dari situ di sebuah tunggul pohon yang permukaannya sudah halus mungkin karena sering dipakai sebagai pengganti bangku.
Mbak Sarah datang kemari karena ingin mengadakan penelitian untuk skripsinya, Mas, kata Lastri.
Oh ya, tentang apa" Menanam bawang" ujar Surya tak acuh.
Lastri tersenyum, seolah menganggap Surya benarbenar tidak mengerti.
Mbak Sarah bukan dari IPB, Mas. Dia dari jurusan Pendidikan Sejarah di IKIP Jakarta. Dasar Lastri, dia menanggapi dengan serius ucapan sinis Surya, pikir Sarah.
Surya tidak menjawab. Ia hanya memandang ke depan seperti orang sedang melihat pemandangan. Kelihatannya ia sama sekali tidak ingin menanggapi pernyataan Lastri. Lebih-lebih memberi sedikit perhatian
Sarah memutuskan untuk mendapat jawaban sekarang apakah Surya mau bekerja sama atau tidak. Ia orang yang sabar, tapi bukan orang yang suka memaksa. Karena itu ia berkata, Saya membuat skripsi dengan judul Peristiwa Pembantaian Besar-besaran Anggota PKI pada Tahun 1965 , Mas Surya. Tentu saja saya tidak berpihak ke golongan mana pun. Skripsi yang saya tulis adalah murni penjelasan sejarah. Saya ingin tahu apakah Mas Surya mengetahui sesuatu atau bisa merujuk orang-orang yang mengetahui tentang peristiwa itu&
Karena saya keturunan anggota PKI" sela Surya. Tidak, tapi&
Atau karena orangtua saya pernah dibantai lantaran dianggap anggota PKI" sela pria itu lagi. Sarah memandang Lastri. Wajah gadis itu pucat. Atau karena kakak saya jadi bisu sejak melihat ayah saya dibantai" lanjut Surya.
Sarah dan Lastri terperanjat dan bertatapan dengan wajah pucat. Mbak Dewi ternyata&
Nah, semua bisa jadi alasan, kan" Saya orang yang tepat untuk sumber penelitianmu. Tapi& Ia berdiri dan mendekati Sarah. Gadis itu heran dan duduk dengan kaku karena merasa sedikit takut menghadapi apa yang akan dilakukan Surya terhadap dirinya. Surya membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Sarah.
S EPANJANG perjalanan pulang, Sarah merenungkan
perjumpaannya dengan Surya. Ternyata kata-kata Gunawan benar, sangat sulit membuat orang berbicara tentang masa lalu, apalagi bila masa lalunya tidak menyenangkan. Lalu apa yang bisa ia lakukan sekarang"
Sebuah sepeda motor lewat di sampingnya dan ia menyingkir, tak mau kejadian seperti tadi pagi terulang lagi. Tapi motor itu berhenti di depannya. Pengemudinya melepaskan helm dan menaruhnya di setang motor. Sarah mengenali lelaki itu. Dia Sudirman, pemuda mata keranjang yang ditemuinya tadi pagi bersama Lastri. Dengan sekali lirik, orang bisa tahu Sudirman pemuda bergajulan.
Halo, Manis. Pulang sendirian" tanyanya.


Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab Tiga pada preman kota, apalagi kalau hanya playboy kampung.
Mau kuantar" Aku mau ke kota, lewat rumah Pak Suprapto. Kau tinggal di sana, kan" tanyanya menawarkan.
Tidak, terima kasih. Aku lebih senang berjalan sendiri sambil melihat pemandangan, kata Sarah.
Sudirman meninggalkan motornya di jalan kemudian menjejeri langkah Sarah.
Apakah kau akan lama di sini" tanyanya. Seminggu, jawab Sarah pendek. Dalam rangka apa"
Sarah mulai merasa terganggu diikuti Sudirman. Ia berhenti berjalan dan berkata, Mas Dirman, kenapa motornya ditinggal di situ"
Dirman tertawa. Di sini tidak ada pencuri. Biar saja di situ, semua orang juga tahu itu motorku, katanya bangga.
Tapi katanya tadi Mas mau ke kota"
Nanti saja. Bisa ditunda kok. Eh, tadi pertanyaanku belum kaujawab. Kau kemari dalam rangka apa"
Sarah mengerutkan kening. Ia masih berjalan pelanpelan dengan Dirman di sisinya. Kenapa lelaki ini mengikutinya" Apakah dia punya maksud tidak baik" Lalu ia teringat ucapan Lastri yang mengatakan bahwa ayah Dirman adalah bekas anggota PKI. Mungkin dari Dirman ia bisa mengorek sedikit cerita.
Aku sedang mengadakan penelitian untuk bahan
Skripsi" Calon sarjana, ya" Hebat juga. Tentang apa"
Tentang pembantaian anggota PKI pada tahun 1965.
Oh, itu kan sudah lama. Kenapa dikorek lagi" Kenapa skripsi menggunakan bahan yang sudah basi begitu" katanya santai.
Memang sudah lama. Tapi selama Orde Baru berkuasa, hal ini selalu ditutup-tutupi dan banyak rakyat yang tidak tahu apa yang terjadi. Padahal pembantaian anggota PKI memakan korban ratusan ribu jiwa. Sebagai generasi muda, aku merasa terpanggil untuk mengungkap kejadian sebenarnya. Rakyat berhak tahu kebenaran. Tapi sayangnya&
Kenapa" Agak sulit menggali cerita dari orang sekitar sini. Aku tidak memperkirakan kejadian itu merupakan masa lalu yang kelam bagi sebagian orang yang mengalaminya. Apalagi aku orang asing, agak sukar melakukan pendekatan.
Ya, benar juga. Siapa yang mau berterus terang mengenai kejadian mengerikan itu" Sayang sekali, pada masa pembantaian aku belum lahir. Kalau tidak, aku saja yang menceritakan semua hal yang ingin kauketahui, Sarah, kata Dirman sambil tersenyum-senyum.
Sarah tersenyum hambar. Sebenarnya ia tidak suka Dirman. Sudah banyak ia menemui orang seperti ini,
di mana saja, tidak di kota tidak di desa. Semuanya sama. Ugal-ugalan, semaunya, malas, tidak punya daya juang, dan hanya mau bersenang-senang. Apalagi kata Lastri, Sudirman mata keranjang. Sarah juga bisa melihat kenyataannya sendiri, Dirman kelihatannya betah menemaninya. Sarah berpikir sebaiknya ia berhati-hati. Tapi mungkin ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya.
Mungkin Mas Dirman bisa membantuku. Oh, ya"
Kabarnya ayah Mas Dirman bekas anggota PKI waktu itu. Berarti beliau salah seorang yang selamat dari pembantaian. Apa ada yang Mas Dirman ketahui" Mungkin ayah Mas pernah bercerita sedikit"
Ng& mungkin pernah, tapi aku tak pernah menyimak, katanya sambil menyeringai.
Sarah mulai tak sabar. Ia merasa pemuda ini hanya mempermainkannya. Ia mempercepat langkah, tapi tampaknya usahanya sia-sia belaka.
Tunggu dulu, Sarah! Kau jangan marah. Aku memang pernah mendengar sedikit tentang pemuda-pemuda tak sekolah yang direkrut untuk membunuhi anggota PKI. Mungkin kau tertarik untuk mendengar ceritanya"
Sarah berhenti. Baiklah, aku mendengarkan. Begini, katanya sejak G30S/PKI terjadi, militer merekrut pemuda-pemuda belasan tahun untuk membantai anggota PKI. Mereka diberi kesempatan untuk
memuaskan hawa nafsu muda mereka. Saat itu PKI adalah pihak yang bersalah dilihat dari kacamata agama maupun dasar negara kita, jadi para pemuda itu mau saja. Membunuh orang tanpa dihukum, kapan lagi" ujar Dirman seenaknya.
Mereka diberi daftar anggota dan menjemput orang-orang itu dari rumah, setelah jam malam dimulai. Kira-kira pukul sembilan mereka berangkat dan bersama calon korban mereka pergi ke ladang sepi, lalu membantai mereka satu per satu.
Dibantai" seru Sarah sedikit ngeri.
Ya, dibantai! Dibunuh, maksudku, jawab Dirman. Melihat ekspresi Sarah, ia menambahkan, Sebelumnya orang-orang itu disuruh menggali kuburan mereka sendiri, lalu mereka pun dikubur di kuburan yang mereka gali. Kabarnya ada yang belum mati, tapi dikubur hidup-hidup juga. Aku tidak tahu kebenarannya, tapi kudengar begitu. Oh ya, bahkan para pembunuh itu membawa potongan jari kelingking atau telinga untuk ditunjukkan pada orang-orang sebagai bukti keberanian.
Sarah terdiam mendengar kata-kata Dirman, walau lelaki itu sudah berhenti berbicara. Ia merasa ngeri dan mual, apalagi nada bicara Dirman sewaktu bercerita enteng sekali, seakan-akan dia menyesal tidak hidup di zaman itu. Kalau tidak, dia bisa membunuhi orang tanpa masuk penjara.
Mengerikan, desah Sarah.
Benar, bahkan ada yang memotong alat vital korban dan disimpan untuk ditunjukkan pada pelacur-pelacur di rumah pelacuran.
Sarah berjalan pelan-pelan. Dirman menjejeri langkahnya.
Apakah orang-orang itu tidak merasa berdosa" Sekarang, setelah kebenaran terungkap, tidakkah nurani mereka dihinggapi rasa bersalah"
Tentu saja tidak! Itu kan terjadi di masa mereka muda" Mereka juga cuma menuruti perintah kok, bela Dirman.
Apakah Mas Dirman mengenal sebagian dari mereka"
Ya. Di desa ini ada orang-orang yang mengalami langsung peristiwa itu, maksudku, mereka saksi mata.
Oh ya" Mas Dirman bisa mengantarku ke mereka" Kalau ada yang mengantar tentu akan lebih baik. Mas bisa menjelaskan bahwa tujuanku bukan ingin mengorek masa lalu orang lain, melainkan hanya ingin menuliskan kebenaran sejarah.
Dirman terlihat agak ragu-ragu.
Aku bisa menunjuk orangnya, tapi mengantarmu kepada mereka, aku tidak mau. Ada bekas pembantai yang masih hidup, yaitu Pak Sanip. Dia hidup baikbaik dan pernah menjabat kepala desa dua kali sebelum ayah Lastri. Dia orang terhormat. Aku tidak tahu apakah dia mau bercerita padamu.
Sarah mengangguk. Lastri sudah pernah mengatakan hal itu padanya.
Lalu ada juga bekas korban pembantaian. Dia dulu anggota PKI, berdua dengan adiknya. Dalam pembantaian, dia selamat karena pura-pura mati. Sedangkan adiknya mati, kata Dirman lagi.
Sarah bersemangat. Bekas korban" Tentunya saksi mata yang sangat penting dalam peristiwa ini. Siapa dia" tanyanya penasaran.
Dirman menjawab tak acuh. Lastri bisa mengantarkanmu pada mereka. Dia kenal baik dengan Surya. Yang meninggal itu adalah ayah Surya, sedangkan yang selamat dari pembantaian itu adalah kakak ayahnya.
* * * Malam itu, Sarah dan Lastri makan berdua karena Pak Suprapto harus menghadiri rapat desa. Sarah membahas apa yang dikatakan Sudirman tadi siang.
Lastri menanggapi, Mengerikan, Mbak! Tapi apakah yang dikatakan Sudirman itu dapat dipercaya" Takutnya dia hanya mengarang-ngarang cerita bohong.
Tidak mungkin. Walaupun pemuda bergajulan, kelihatannya dia bukan pembual. Apa untungnya dia mengarang-ngarang cerita macam itu" Lagi pula, aku ingin mengecek sendiri kebenarannya pada dua orang yang berhubungan langsung: Pak Sanip yang mewakili para algojo, dan pakde Mas Surya selaku saksi mata yang mewakili korban pembantaian, sahut Sarah mantap.
Pakde Mas Surya tinggal di desa sebelah, dua jam perjalanan dari sini. Aku tidak kenal dengannya. Coba nanti kutanyakan lagi pada Mas Surya, kata Lastri.
Sarah jadi merasa tidak enak. Lastri, maaf, sepertinya aku terlalu banyak melibatkanmu dalam masalahku, ya" Kau jadi repot deh. Oh ya, tentang kejadian tadi, apakah Mas Surya marah"
Lastri mengambil gelas dari hadapannya dan meneguk isinya. Tidak. Jangan dipikirkan, Mbak. Dia memang seperti itu. Tapi kurasa&
Apa" Bulik Ayu, ibunya Mas Surya, pasti sedikit-banyak tahu tentang hal ini. Sayang dia sedang sakit, jadi mungkin tidak etis bila kita mengganggunya. Mengenai Mbak Dewi, aku juga baru tahu bahwa dia bisu karena melihat pembantaian saat usianya baru empat tahun.
Kau baru tahu tentang hal itu" tanya Sarah kaget.
Lastri mengangguk. Ya, tadi Mas Surya bercerita. Katanya pada waktu pembantaian itu, Mbak Dewi menghilang dari rumah. Keesokan harinya dia ditemukan di balik rumpun tebu sedang menangis ketakutan. Seseorang menemukannya dan membawanya pulang. Kabarnya sejak itu dia tidak bisa berbicara. Semua
orang memperkirakan itu terjadi karena dia menyaksikan ayahnya dibunuh&
Berarti sebenarnya dia bisa berbicara, kalau dia mau, kata Sarah.
Aku tidak tahu tentang hal itu, Mbak. Mbak Dewi tidak tamat SD, hanya sampai kelas empat, karena tidak mau melanjutkan sekolah. Sedangkan Mas Surya sangat berprestasi sehingga mendapatkan keringanan biaya dari sekolah, bahkan dia bisa kuliah sampai D3 jurusan Matematika.
Hebat juga, ya. Tidak sangka kekasihmu itu orang pintar, puji Sarah.
Lastri tersenyum bangga. Oh ya, kalau Mbak Dewi tidak sekolah, dari mana dia menguasai bahasa isyarat" tanya Sarah ingin tahu.
Oh, begini ceritanya. Sewaktu kuliah, teman Mas Surya ada yang bisa bahasa isyarat dan mengajarkannya pada Mas Surya. Mas Surya lalu mengajari Mbak Dewi sehingga mereka bisa berkomunikasi lancar. Tadinya Mbak Dewi hanya menunjuk-nunjuk atau kadang menulis di kertas bila ingin sesuatu. Sekarang sudah gampang karena bisa berbahasa isyarat.
Sarah mengangguk-angguk dengan tatapan menerawang. Tapi& memikirkan ceritamu tadi, kalau begitu Dewi juga salah satu saksi mata"
Ya, tapi apakah dia mau berbicara" Dengan bahasa isyarat pun kurasa dia belum tentu mau, ucap Lastri.
Iya ya. Lagi pula tidak jelas apa yang diketahuinya. Dia baru berusia empat tahun saat itu, sahut Sarah sambil mengaduk-aduk sisa gula pasir di dasar cangkir tehnya.
Oh ya, tentang luka Mas Surya dan saputangan itu, berarti Mbak Sarah pernah ketemu Mas Surya sebelumnya" tanya Lastri tiba-tiba.
Oh, iya. Waktu pagi-pagi aku keluar untuk menghirup udara segar, aku bertemu dengannya. Ehm, tepatnya, kami bertabrakan di dekat rumpun bambu. Lengannya berdarah karena tergores batu. Lalu aku membebat lukanya dengan saputanganku. Sarah tidak bilang bahwa sikap Surya sangat tidak ramah padanya. Ia tidak mau menyakiti hati Lastri.
Pantas dia tidak berkomentar apa-apa waktu kita menemuinya.
Sarah tersenyum. Saputangan itu sudah dicucinya dan darahnya sudah hilang walau masih ada sedikit noda berwarna cokelat. Sekarang saputangan itu sudah kering dan terlipat rapi di saku celananya. Sarah hanya membawa satu saputangan dari Jakarta.
Aku sama sekali tidak tahu bahwa dia bernama Surya dan kita akan ke rumahnya. Apalagi ternyata dia kekasihmu, kata Sarah sambil bangkit berdiri dan membawa piring kotor ke belakang.
Lastri tersenyum. Mbak sendiri sudah punya kekasih di Jakarta"
Ya. Oh ya" Sudah berhubungan berapa lama" Dua tahun, jawab Sarah. Ia jadi teringat pada Gunawan dan pertengkaran mereka yang belum terselesaikan. Sudah ah, aku tidak mau membicarakannya. Kita bicara yang lain saja.
Lastri menurut. Matanya tampak menerawang. Kalau dipikir-pikir, kisah cinta kedua kakak-beradik itu tidak lancar. Aku dan Mas Surya, juga Mbak Dewi dengan Mas Arif.
Arif yang anaknya Pak Sanip" tanya Sarah. Daya ingatmu sungguh hebat, Mbak. Sarah tertawa mendengarnya.
Benar. Mas Arif bekas teman SD Mbak Dewi. Dia sudah lama menyukai Mbak Dewi, sekarang usia mereka sudah sama-sama 37 tahun, tapi kisah cinta mereka tidak berlanjut, cerita Lastri.
Apa karena Arif adalah anak pembantai anggota PKI"
Lastri memandang Sarah dengan heran. Ya, benar! Memang. Semua orang desa menggunjingkan bahwa mungkin dulu yang membunuh ayah Mbak Dewi adalah Pak Sanip sendiri. Karena itu Mbak Dewi tidak mau menikah dengan Mas Arif. Kasihan, sekarang dua-duanya tidak menikah. Jelas karena mereka masih saling mencintai. Kalau ada pertemuan desa atau kendurian, keduanya hanya saling pandang dan tidak berbicara.
Ternyata kau memerhatikan sampai sekecil-kecilnya, ujar Sarah.
Sebab aku penasaran. Kenapa karena masa lalu, dua orang harus menderita seumur hidup akibat menahan perasaan sendiri" Bukankah lebih baik mereka menikah saja"
Merencanakan pernikahan tidak semudah itu, Lastri. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Kalau di Jawa, kita juga harus memikirkan keluarga dan tetangga, sebab di dunia ini kita tidak hidup sendirian. Benar, kan" Sarah menjelaskan falsafah Jawa yang diketahuinya.
Benar juga sih. Tapi aku masih penasaran. Sebab kalau kupikir-pikir lagi, apa hanya karena keturunan anggota PKI, maka Mbak Dewi tidak mau menikah" Bukankah itu membuat diri sendiri lebih menderita" bantah Lastri.
Lalu& apakah kaupikir Mbak Dewi tidak bahagia" Kulihat wajahnya berseri-seri dan bahagia tadi pagi waktu kita baru datang. Tampaknya tidak ada kesusahan yang ditanggungnya, ujar Sarah.
Lastri merenung. Iya juga. Siapa yang tidak bahagia hidup damai dalam lindungan Mas Surya" Semua wanita merasa aman bersama lelaki itu. Tapi apakah Mas Surya bisa menjaga Mbak Dewi seumur hidup" Bagaimana jika dia menikah kelak"
Sarah menggoda Lastri. Rupanya itu yang menjadi pikiranmu.
Lastri tersenyum malu-malu. Aku kan tidak sejahat itu. Aku hanya ingin semua orang bahagia.
Bahagia atau tidak, bukan diukur dari menikah atau tidak. Yang penting hati damai dan tenang. Lagi pula, kau kan tidak bisa mengukur kebahagiaan Mbak Dewi" Lebih baik kau cepat-cepat merencanakan pernikahan dengan Mas Surya-mu daripada dia keburu menikah dengan bawang-bawangnya.
Lastri tertawa. Ah, Mbak!
* * * Sarah memberanikan diri mengetuk pintu rumah Pak Sanip setelah beberapa menit berdiri di depan rumah. Perutnya terasa sakit, entah karena gugup atau karena maagnya sedang kambuh. Beberapa saat kemudian seorang lelaki keluar. Sarah mengenalinya sebagai Arif. Pertemuan kedua membuatnya bisa melihat pria itu dari dekat.
Seperti kata Lastri, Arif mencari nafkah dengan beternak ayam di sebuah peternakan di Jombang yang dikelolanya bersama temannya. Karena itu rumahnya lebih besar dan lebih bagus dibandingkan rumah kepala desa. Tentu saja, perekonomian peternak memang lebih baik dibandingkan petani.
Arif memandang Sarah dengan bingung, tapi beberapa saat kemudian ia mengenali gadis itu sebagai gadis yang ditemani Lastri kemarin.
Mbak yang dari Jakarta, kan" Yang tinggal bersama Pak Suprapto" Silakan masuk, Mbak, katanya.
Sarah masuk dan bersyukur pria itu bersikap ramah padanya. Sebenarnya tujuannya datang kemari adalah menemui Pak Sanip, sehubungan dengan peristiwa pembantaian PKI itu. Tapi ia tidak tahu apakah Pak Sanip seramah anaknya.
Maaf, kedatangan saya mungkin mengganggu. Apakah Pak Sanip ada"
Bapak" Wah, Bapak sedang berobat ke puskesmas kota, Mbak. Ada perlu apa, ya" tanya Arif.
Sarah menelan kekecewaan. Ia sudah mempersiapkan mental sejak semalam, dan sekarang harus mempersiapkan mental lagi untuk kedatangan berikutnya.
Sebenarnya Mbak ke sini untuk penelitian apa sih" tanya Arif lagi.
Akhirnya Sarah memutuskan untuk berterus terang. Saya mau menggali peristiwa pembantaian PKI di masa lampau, Mas Arif. Tujuannya hanya untuk penelitian sejarah, tidak lebih. Masalahnya, rakyat tidak tahu apa-apa tentang pembantaian itu karena dilarang oleh rezim Orde Baru. Harus ada yang mengungkapkan kebenarannya. Orang itu tidak harus saya, tapi hal ini sudah berlangsung 33 tahun tanpa ada yang mengusiknya.
Wajah Arif berubah, ia kelihatan agak muram. Sarah teringat tentang hubungan lelaki ini dengan Dewi, yang mungkin terganjal karena hal itu.
Mengapa Mbak pikir ayah saya bisa tahu" Dengar dari mana" Dari Lastri" katanya perlahan.
Maaf, saya tahunya bukan dari orang tertentu. Saya hanya ingin mengunjungi orang yang agak tua yang pernah hidup di masa itu. Mungkin orang yang berusia sampai 60 tahun. Secara acak saja, kata Sarah menutup-nutupi. Ia tidak ingin menyinggung Arif.
Tidak usah ditutup-tutupi, Mbak. Saya tahu semua orang sudah tahu. Arif mengangkat wajah dan memandang Sarah. Mungkin Mbak tidak harus bicara dengan Bapak. Beliau agak sulit kalau membuka diri di hadapan orang lain, apalagi tentang masalah sepeka ini. Mbak tidak akan mencantumkan nama, kan" Beliau suka bercerita pada anak-anaknya, kami pasti tahu sedikit-banyak. Mbak mau tahu yang mana"
Senyum Sarah mengembang mendengar Arif mau membantunya.
Terima kasih, Mas Arif. Panggil saya Sarah saja. Saya sangat senang kalau ada orang yang mau membantu seperti Mas. Saya tidak akan mengungkap nama. Begini, Mas. Saya dengar ayah Mas ikut membantai anggota PKI. Maaf sekali lagi, bukan berarti saya menuduh ayah Mas pembunuh. Saya tahu itu bukan kesalahan mereka. Mereka semua, pelaku dan korban, adalah korban pergolakan politik, kata Sarah jujur.
Benar. Aku mau membuka diri karena kau orang luar, bukan berasal dari desa kami. Semua orang desa mungkin diam-diam membicarakan ayahku, tapi mereka tak pernah tahu kejadian yang sebenarnya. Aku ingin kau memegang janji untuk tutup mulut. Pada Lastri pun jangan kauceritakan.
Tentu saja. Arif terlihat lega. Ia berkata, Baiklah, kurasa aku bisa memercayaimu. Sekarang, silakan wawancarai aku. Apakah kau membawa alat-alat wawancara seperti wartawan" Kebetulan saat ini di rumah tidak ada orang yang bisa mendengar pembicaraan kita.
Sarah tersenyum, ia mengeluarkan tape genggam yang biasa dipakai untuk merekam. Ia juga mengeluarkan daftar pertanyaan yang sudah disiapkannya.
Ceritakan dulu apa yang Mas ketahui tentang peristiwa pembantaian anggota PKI tahun enam lima..., Sarah memulai.
Arif mengambil sikap santai, lalu berkata, Setahuku, sejak terjadi peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal tanggal 30 September, diambil keputusan untuk membunuhi para pengikut PKI. Pembantaian yang banyak terjadi adalah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Perintah itu turun langsung dari penguasa militer, seperti korem, kodim, dan staf lainnya yang punya kedudukan strategis hingga tingkat desa. Soal siapa yang menyuruh mereka, aku tidak tahu. Dalam hal ini, kita tidak boleh sembarangan bicara. Mungkin berpraduga boleh, tapi tidak boleh menuduh. Pokoknya, pada masa itu kebetulan Jombang merupakan salah satu basis PKI. Banyak penduduk Jombang yang
menjadi anggota PKI. Karena itu pembantaian dipusatkan di sini.
Apakah militer turun langsung dalam pembantaian itu" tanya Sarah lagi.
Tidak. Mereka bekerja sama dengan penduduk desa yang bergabung dalam kelompok ronda. Saat itu jam malam sudah ditetapkan dan daftar anggota PKI sudah dipegang oleh kelompok ronda tersebut. Bapak memimpin kelompok ronda pada masa itu dan beliau ikut membantai anggota PKI. Tapi perlu kauketahui, pada masa itu PKI dianggap partai yang kejam setelah terjadi pembunuhan para jenderal. Dan kabarnya, para jenderal itu mengalami penyiksaan yang mengerikan. PKI dianggap partai yang tidak beragama dan tidak ber-Pancasila, jadi pembantaian terhadap mereka dianggap kesetiaan terhadap negara. Kau mengerti maksudku" Pada masa itu, pembantaian anggota PKI dianggap benar. Bila pada masa kini dianggap salah, itu hal yang lain lagi. Benar atau salah relatif, tapi yang pasti, membunuh adalah perbuatan dosa. Itu menurutku.
Sarah mengangguk membenarkan. Tapi mengapa mereka tidak dibawa saja ke pengadilan" Atau ke penjara"
Sebab yang ditangkap terlalu banyak. Ratusan ribu orang itu banyak sekali. Lagi pula tuntutan terhadap mereka tidak jelas dan banyak di antara korban sama sekali tidak tahu bahwa ada rencana untuk membunuh
jenderal. Sekali lagi, aku juga tidak tahu siapa yang membunuh para jenderal. Sampai sekarang itu masih diperdebatkan, kan" kata Arif.
Menurut saya, mungkin pembantaian ini memang disengaja untuk memperlemah mental lawan penguasa saat itu. Mas setuju, tidak"
Mungkin saja. Di semua negara, pada setiap pergantian penguasa, pasti terjadi pertumpahan darah. Di negara kita sama saja.
Oh ya, Mas Arif, apakah benar, para pembantai itu kebanyakan pemuda desa yang tidak sekolah"
Benar. Usia muda adalah usia di saat emosi sedang bergolak hingga mencapai puncaknya. Pada masa seperti ini, sifat memberontak keluar. Mereka perlu penyaluran untuk mengekspresikan diri. Mungkin juga dorongan dari kawan-kawan ada pengaruhnya. Dari ikut-ikutan, akhirnya jadi membunuh sungguhan. Para pemimpin mereka biasanya memberikan wejangan bahwa sikap mereka itu benar, mereka membela negara. Sama seperti pasukan kamikaze Jepang pada masa Perang Dunia II, yaitu pasukan berani mati yang terkenal itu. Mereka diindoktrinasi bahwa bila mereka mati, mereka berkorban untuk negara. Mati menurut mereka itu benar, padahal menurut kita salah. Jadi kebenaran itu relatif, kan"
Sarah mengangguk-angguk. Ia senang pada Arif penjelasan Arif memperlihatkan bahwa pengetahuan lelaki itu lebih banyak daripada Sarah. Para dosen di
kampus Sarah juga tidak mendalami benar hal itu. Nyata bahwa ulasan orang awam yang mengalaminya langsung lebih baik daripada ulasan dosen yang tidak tahu.
Berarti kebanyakan pengikut PKI dibantai oleh orang sekampung mereka sendiri. Apakah timbul dendam di antara mereka" tanya Sarah.
Arif terdiam. Wajahnya murung. Banyak sekali. Tapi dengan berlalunya waktu, peristiwa itu lama-lama dilupakan. Bila generasi ayahku sudah meninggal semua, mungkin akhirnya dendam itu akan terlupakan.
Perasaan Sarah jadi tidak enak karena ia telah menyinggung topik yang peka bagi Arif. Kalau ada pertanyaan yang kurang berkenan di hati, maafkan saya, Mas.
Tidak apa-apa. Sejauh ini kehidupanku baik-baik saja. Bapak juga tidak pernah mendapatkan masalah apa-apa, walau mungkin hati beliau pun sedih, karena secara tak langsung telah membunuh orang tak bersalah. Percayakah kau, bahwa beliau tidak turun tangan sendiri dalam membunuh anggota PKI" tanyanya.
Sarah mengangguk tegas. Percaya.
Terima kasih. Arif memandang ke jam dinding, tanda bahwa dia sudah ingin mengakhiri tanya-jawab mereka. Sudah tidak ada lagi yang bisa kuceritakan. Pengetahuanku hanya segitu. Aku tidak tahu jelas apa
yang terjadi pada saat pembantaian, karena Bapak tidak pernah memberitahukan secara detail, mungkin beliau takut nantinya aku berpikiran negatif. Tapi mungkin ada satu orang yang bisa kaumintai bantuan. Siapa"
Surya. Sarah menghela napas. Jadi kembali lagi ke dia, ya" gumamnya.
Kenapa" Tidak apa-apa. Terima kasih atas bantuannya, Mas Arif. Kalau skripsi saya sudah jadi kelak, saya akan memberikan satu kopiannya kepada Mas. Saya permisi dulu.
Arif tersenyum. Baiklah. Terima kasih kembali. * * *
Sarah menekan perutnya yang perih. Tak salah lagi. Penyakit maagnya pasti kambuh, apalagi sejak pagi ia belum sarapan. Sarah masuk ke bilik wartel dan menelepon nomor handphone Gunawan. Sedang apa pria itu sekarang" Apakah sedang memikirkan Sarah di sini" Khawatirkah dia"
Nada sambung berbunyi, lalu diangkat. Halo"
Gunawan& Sarah" Kau sudah tiba di sana" Apakah kau baikbaik saja"
Sarah agak senang mendengar Gunawan masih mengkhawatirkannya. Kedengarannya pria itu sudah tidak marah lagi.
Aku baik-baik saja. Kau gimana" Aku juga baik. Kapan kau pulang"
Hari Minggu. Aku akan mengabarimu lagi nanti. Bagaimana kemajuan penelitianmu"
Lumayan, seperti katamu, memang agak sulit menyuruh orang berbicara. Tapi aku mendapat banyak cerita dari orang-orang lain yang bukan saksi mata. Kurasa itu sudah cukup. Lebih bagus lagi kalau aku bisa mendekati si saksi mata dan mendengarkan kisahnya langsung, kata Sarah antusias.
Bagus, kata Gunawan. Tapi nada suara pria itu terkesan tidak peduli.
Sarah kembali merasa sedih. Apakah ia bersalah jika pergi tanpa persetujuan Gunawan"
Gunawan, apakah kau masih marah dengan kejadian waktu itu"
Tidak. Aku ingin kau mengerti. Suatu hubungan dibangun atas dasar kepercayaan dan penghargaan. Kau harus percaya padaku aku bisa menjaga diri. Sebagai kekasih, kau mestinya menghargai keinginanku. Kecuali kalau keinginanku tidak masuk akal.
Boleh juga, kalau keinginan pergi seminggu ke Jombang sendirian itu masuk akal buat seorang gadis, jawab Gunawan sinis.
Rupanya kau masih marah. Untuk apa marah" Toh kau sudah memilih salah satu dari dua pilihan, tegas Gunawan.
Sarah kaget mendengarnya. Pilihan apa" Jadi itu serius"
Tentu saja. Apa aku pernah mengatakan bahwa aku main-main"
Gun& , aku ke sini untuk belajar, bukan bersenangsenang. Mengertilah!
Bukan itu masalahnya. Kau juga harus ingat untuk menghargai kata-kata kekasihmu, kalau kau masih menganggapku kekasih.
Tentu saja kau kekasihku! Apa aku pernah menyangkal"
Kau sudah menyangkalnya ketika kau memaksa untuk pergi! Sudah dulu, aku sibuk!
Gunawan! Tut tut tut& Hubungan terputus.
Sarah meletakkan gagang telepon dengan putus asa. Ternyata Gunawan sungguh-sungguh dengan katakatanya. Jadi, hubungan mereka putus begitu saja"
Tapi ini tidak adil! Perjalanan ini belum membawa hasil yang nyata. Bagaimana kalau ia buntu sampai di sini" Hasil skripsi tidak dapat, kekasih pun hilang dari genggaman. Tiba-tiba perut Sarah terasa sakit lagi. Ia menelungkupkan kepala ke meja telepon.
Tok tok tok! Pintu bilik wartel diketuk dari luar. Sarah tersadar. Ini tempat umum, banyak orang ingin
Maaf, saya tidak tahu kalau ada yang ingin pakai telepon, katanya perlahan pada orang yang mengantre itu. Ketika mengangkat wajah, ia memandang sorot mata yang dikenalnya. Mata yang menatapnya tajam.
Mas Surya& mau nelepon" kata Sarah mencoba ramah, walau pria itu sudah berkata bahwa dia tidak berharap akan bertemu lagi dengan Sarah.
Surya mengangguk kaku, lalu bergegas masuk ke bilik wartel. Sarah mengabaikan sikap Surya dan berjalan gontai keluar. Perutnya sakit, tapi rasanya ia masih bisa bertahan sampai ke warung depan untuk membeli air mineral dan obat maag.
S URYA menutup telepon dengan kesal. Tidak ada
di tempat! Sudah jauh-jauh ke wartel, ternyata orang yang ditelepon tidak ada di tempat. Alangkah enaknya kalau ia punya telepon. Tentu ia tidak akan pergi jauh hanya untuk menelepon. Kalau saja ini bukan masalah pekerjaan, ia takkan mau menempuh perjalanan satu jam dari rumah ke wartel ini.
Tapi ia butuh pekerjaan, dan yang terutama, ia butuh uang. Ibunya semakin parah, harus segera diobati. Rumahnya harus dibetulkan, perabotan rumah banyak yang harus dibeli dan Dewi butuh baju baru. Baju yang biasa dipakainya sudah tidak pantas dilihat. Warnanya sudah lusuh karena terlalu sering dicuci. Banyak tambalan, lagi. Kainnya sudah lapuk, gampang robek.
Bab Empat impian. Hanya sebagai tenaga administrasi di sebuah tempat kursus. Tapi lumayan, mungkin ia juga bisa mengajar di sana. Tentu saja ia harus lolos tes di bagian administrasi dulu.
Surya keluar dari bilik telepon dan melihat Sarah berjongkok di depan wartel. Gadis dari Jakarta itu, pikirnya. Sedang apa dia" Surya ingin melewatinya saja. Ia tidak mau berurusan dengan orang-orang seperti ini. Generasi muda kaya yang hanya tahu enaknya saja. Tidak pernah bekerja untuk menghidupi diri sendiri, malah mencari kegiatan yang aneh-aneh. Penelitian tentang PKI, huh! Kalau saja bukan Lastri yang membawa, sudah diusirnya gadis itu begitu mengatakan akan meneliti PKI.
Surya melihat Sarah mengernyit kesakitan. Tangan gadis itu memegangi perut. Surya terpaksa mendekati gadis itu. Ia berjongkok.
Kau sakit" tanyanya.
Sarah tidak menjawab. Butir-butir keringat menetes di dahinya. Kemudian ia menggeleng.
Apa yang sakit" Perut" tanya Surya lagi. Sarah mengangguk.
Surya menghela napas panjang dan menarik tangan gadis itu hingga berdiri. Ia memapah Sarah sampai ke rumah dokter yang buka praktik pribadi. Rumah dokter itu tidak jauh dari wartel.
* * * Sakit maag, Pak. Perut kosong, jadi masuk angin juga, dokter menjelaskan sewaktu dilihatnya Surya memandangnya penuh tanya.
Sarah yang tampak pucat terbaring di ranjang periksa. Ia menatap Surya dengan pandangan berterima kasih.
Ini saya kasih obat maag. Obatnya ada yang diminum sebelum makan, dan ada yang sesudah makan, kata dokter sambil menyerahkan obat itu pada Sarah. Dan jangan telat makan ya, sarannya. Ya, Dok, ujar Sarah patuh.
Memang kau punya penyakit maag" tanya Surya. Sarah mengangguk.
Kenapa belum makan" Apa Lastri tidak menyediakan makan"
Tidak. Aku saja yang lupa sarapan, kata Sarah buru-buru.
Kalau dibiarkan, penyakit maag bisa berbahaya. Lambung yang luka akan mudah terluka lagi, jadi jangan sampai telat makan, sambung dokter.
Surya merogoh kantong celananya. Berapa biayanya, Dok"
Sepuluh ribu saja. Sarah berusaha bangkit dari ranjang. Biar aku yang bayar&
Surya tetap mengeluarkan selembar sepuluh ribuan dan memberikannya pada dokter. Kemudian ia menoleh pada Sarah. Apa kau bisa pulang sendiri" Atau
Tadinya Sarah ingin menolak, tapi ia jadi merasa tidak enak ketika mendengar kata-kata Surya. Baiklah, aku ikut saja diantar sampai rumah. Kebetulan lewat, kan" tanyanya.
Surya mengangguk tak acuh.
Mereka berjalan keluar. Surya duduk di sadel dan menyuruh Sarah duduk di boncengan. Sarah duduk menyamping. Mulanya ia ragu-ragu. Tapi saat sepeda mulai meluncur, ia bisa membiasakan diri. Mereka pulang tanpa banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing-masing.
* * * Pegunungan berwarna biru tampak jauh di batas cakrawala. Terguncang-guncang di boncengan sepeda Surya, Sarah menikmati pemandangan alam yang masih asri khas pedesaan. Ia merasa sejuk, nyaman, dan menyatu dengan alam. Sudah lama ia tidak naik sepeda, apalagi membonceng orang lain.
Dalam perjalanan mereka berdua diam, seolah takut pembicaraan akan merusak suasana intim yang telah tercipta di antara mereka. Setelah beberapa kali bentrok dengan Surya, hari ini Sarah baru membuktikan kebenaran ucapan Lastri bahwa Surya memang pria yang baik. Tapi Sarah tetap tidak mengerti mengapa sejak perjumpaan mereka yang pertama Surya selalu bersikap antipati terhadapnya.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di rumah Pak Suprapto.
Terima kasih, kata Sarah ketika ia turun di depan rumah Lastri. Apa kau mau masuk dulu" Mungkin Lastri sudah pulang.
Belum, dia baru pulang jam dua, kata Surya. Sarah tersenyum. Baiklah, sampai jumpa! katanya. Padahal ia juga tidak tahu apakah mereka akan berjumpa lagi atau tidak.
Surya tidak menjawab dan mengayuh sepedanya melewati jalan setapak. Ia masih memikirkan pekerjaan yang akan didapatnya nanti. Otaknya sibuk menghitung berapa banyak uang yang bisa ia hasilkan dalam satu bulan, satu tahun, sepuluh tahun. Ia merasa gembira membayangkan akhirnya akan bekerja.
Setelah sekian lama lulus kuliah, ia belum pernah merasakan bekerja di mana pun. Semua perusahaan menolaknya. Setiap perusahaan selalu meminta surat keterangan bahwa dirinya bersih dari G30S/PKI. Tentu saja itu tidak bisa dipenuhinya. Tidak bisa, karena ia memang keturunan anggota PKI. Hal itu membuatnya sedih. Bukan karena ia menyesal sang ayah menjadi anggota PKI meskipun kadang-kadang itu tebersit juga dalam pikirannya tapi karena tidak masuk akalnya peraturan pemerintah penguasa.
Semula ia ingin menjadi guru. Biaya kuliah di IKIP paling murah dibandingkan biaya kuliah di perguruan tinggi lain yang diminatinya. Tapi ia tidak tahu, ternyata keturunan anggota PKI tidak bisa bekerja, terutama menjadi guru, wartawan, pegawai negeri, dan tentara yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalau saja ia tahu, ia tidak akan kuliah. Tapi tidak ada yang memberitahunya.
Ibunya tidak pernah keluar rumah kecuali ke pasar. Kakaknya, Dewi, tidak sekolah, jadi otomatis tidak bekerja. Laki-laki di rumahnya hanya ia sendiri. Ada Pakde, kakak ayahnya, tapi tinggalnya jauh. Lagi pula, sepertinya pakdenya itu jarang berhubungan ataupun mengunjungi ibunya. Mungkin karena Bapak sudah meninggal.
Tidak ada yang bisa memberitahu mengapa hidup mereka bisa seperti ini. Waktu Surya masih sekolah, ibunya masih kuat bekerja dan berdagang di pasar. Kehidupan mereka lumayan. Kakaknya yang bisu tak pernah menuntut apa-apa, malah sangat rajin mengurus rumah bila Ibu tidak ada di rumah. Tapi semuanya berubah tepat setelah Ibu sakit. Mula-mula dikira Ibu hanya sakit biasa. Ternyata setelah diperiksa, Ibu mengidap paru-paru basah. Paru-parunya harus disedot karena ada cairan di dalamnya, atau alternatif lain: harus dioperasi. Tapi mereka tidak punya uang untuk biaya operasi. Terpaksa Ibu hanya minum obat. Setelah itu kehidupan mereka semakin parah. Ibu tidak bisa lagi bekerja dan malah harus minum obat mahal setiap hari. Surya menggantikan ibunya menanam dan berdagang bawang di pasar, dan tidak ada jalan keluar
dari masalah mereka karena Surya pun tidak berhasil mendapatkan pekerjaan.
Sepanjang hidup Surya, tak pernah terbetik dalam pikirannya niat untuk menikah. Teman-teman gadisnya banyak yang tertarik padanya, tapi ia tidak pernah tertarik untuk berkeluarga. Ia tak ingin menyeret keluarganya terpuruk lebih dalam. Kalau ia menikah, sudah tentu ia harus memikirkan istrinya. Sedangkan saat ini hidup ibu dan kakaknya ada di tangannya. Kemudian& hadirlah Lastri dalam kehidupannya. Pertemuan pertama mereka adalah ketika gadis itu datang untuk meminta les tambahan bagi anak-anak di desanya. Lastri mendengar bahwa Surya lulusan matematika dan punya banyak waktu luang. Anak-anak itu membayar semampunya, tapi Surya senang melakukannya. Ia jadi bisa mengasah otak dan tidak lupa dengan pelajaran yang diterimanya di bangku kuliah. Itu terjadi dua tahun yang lalu dan selama itu Lastri telah menunjukkan ketertarikannya pada Surya.
Surya bukan orang bodoh. Ia tahu hubungan ini tidak akan berhasil. Lastri masih muda, cantik, anak kepala desa, dan punya karier yang bagus sebagai guru SD. Surya tidak sebanding dengan Lastri. Ia takkan bisa membelikan baju indah untuk Lastri, walau Surya tahu gadis itu selalu memakai pakaian yang paling sederhana bila datang ke rumahnya. Karena itulah Surya tidak mau menerima cinta Lastri. Lagi pula, manusia kan tidak harus menikah, pikirnya.
Tapi Lastri berhasil mengambil hati ibunya dan Dewi. Akibatnya, sebulan lalu, ketika Lastri bertanya apakah Surya ingin menikah dengannya, Surya lantas berpikir panjang. Ibunya tentu ingin menimang seorang cucu. Lagi pula, kalau Surya melewatkan kesempatan ini, belum tentu ia akan mendapatkan kesempatan kedua. Akhirnya ia bersedia, asalkan ayah Lastri bersedia juga. Surya tahu ayah Lastri tidak akan mengabulkan keinginan putrinya. Tidak apa-apa. Setidaknya Surya punya alasan untuk terus menunda, sampai Lastri sadar sendiri bahwa Surya bukan pria yang pantas untuknya.
Sebenarnya kalau ingin seorang cucu, Ibu bisa mendapatkannya dari Dewi. Dewi cantik, juga ada seorang pria yang selalu menunggunya, yaitu Arif anak Pak Sanip. Tapi Ibu tidak mengizinkan Dewi bersama Arif. Alasannya sudah diketahui semua orang. Arif adalah anak bekas pembantai PKI, sedangkan ayah mereka adalah korban pembantaian. Kalau Dewi menikah dengan Arif, ia sama saja menikahi pembunuh ayah mereka, begitu kata ibunya. Jujur, Surya kasihan melihat Dewi melewatkan kesempatan yang mungkin sebentar lagi akan berlalu. Arif juga anak tunggal. Pasti ia ingin cepat menikah juga. Menyedihkan.
Surya sudah sampai di depan rumah. Ia senang melihat rumahnya. Perasaan itu selalu dirasakannya bila ia tiba di pagar rumah sehabis bepergian ke suatu tempat. Inilah tempat yang akan selalu menjadi pelabuhan
hidupnya sampai ia tua dan meninggal nanti. Hanya di sinilah tempatnya.
* * * Lastri, kau kenapa" Sarah melihat wajah Lastri yang sangat pucat ketika gadis itu pulang mengajar. Ia buru-buru membuatkan teh manis dan memberikannya pada gadis itu. Lastri meminumnya sampai habis.
Rasanya aku terkena flu, Mbak, kata gadis itu. Sarah menatapnya prihatin. Masuk angin" Ya, ketularan temanku. Dari Sabtu dia sudah flu, tapi tetap mengajar. Sekarang aku jadi ketularan. Sebenarnya sejak tadi pagi aku sudah tidak enak badan, tapi kupikir siangnya pasti sembuh. Eh, malah makin parah.
Sudah minum obat" Sudah. Aku mau istirahat sebentar, besok juga sembuh, kata Lastri lemah. Ia berjalan sempoyongan ke kamarnya. Sarah mengikutinya dengan khawatir sampai gadis itu berbaring di tempat tidur.
Ada yang mau kuambilkan"
Tidak, terima kasih. Tiba-tiba Lastri bangkit dan duduk di tempat tidurnya. Ia berseru, Oh ya, aku baru ingat!
Apa" tanya Sarah. Nanti jam tiga, anak-anak Bu Dahlia harus kuantarkan ke rumah Mas Surya untuk les tambahan. Bagaimana ya" Yang jadi masalah bukan anak-anak itu, tapi Mas Surya. Dia pasti butuh uang untuk beli obat.
Sarah berpikir sejenak. Aku saja yang mengantarkan mereka.
Benar" Tidak merepotkanmu, Mbak"
Sarah menggeleng. Tidak sama sekali. Aku akan mengantarkan anak-anak itu ke rumah Mas Surya. Jam tiga ya" Mereka datang ke sini atau aku ke rumah mereka"
Mereka akan datang ke sini. Terima kasih, Mbak. Aku sangat menghargai bantuanmu.
Sama-sama, Lastri. Sekarang kamu istirahat saja. Sarah menyelimuti tubuh Lastri dengan kain batik dan menungguinya sampai gadis itu tertidur.
* * * Satu jam kemudian Dahlia datang bersama kedua anaknya, Iwan dan Hardi. Iwan sudah kelas 4 SD dan Hardi kelas 3 SD. Sarah berkata ia yang akan mengantar kedua anak itu karena Lastri sedang sakit.
Apakah Bu Lastri perlu dibawa ke dokter" tanya Dahlia khawatir.
Oh, tidak usah, dia sedang istirahat. Hanya flu biasa, jawab Sarah.
Lalu anak-anak ini" Apa saya perlu juga mengantar mereka"
Tidak usah, saya tahu jalannya. Nanti akan saya antar kembali pulang ke rumah.
Dahlia kelihatan lega. Baiklah, terima kasih banyak. Soalnya saya belum memasak untuk makan malam. Kalau saya harus mengantar anak-anak sendiri, lebih baik les tambahannya diundur saja.
Sarah teringat ucapan Lastri bahwa Surya sedang butuh uang, jadi ia cepat-cepat berkata, Tidak apaapa. Percayakan saja pada saya.
Terima kasih, Mbak Sarah. Tolong katakan pada Pak Surya bahwa besok mereka ulangan matematika, tambah Dahlia.
Sarah mengangguk. Mereka pergi melewati jalan setapak menuju rumah Surya. Dalam hati Sarah merasa kasihan pada Surya. Seharusnya dia bisa menjadi guru SMP atau SMA, tapi malah mengajar les tambahan untuk anak SD. Seandainya Surya ke Jakarta, tentu lebih banyak peluang baginya di sana. Di Jakarta banyak sekolah swasta, mungkin Surya bisa mengajar di sana. Atau mencari mata pencaharian lain. Dalam menghadapi keturunan anggota PKI, masyarakat Jakarta tidak sekolot masyarakat desa.
Tiba di rumah Surya, Sarah membuka pintu pagar dan masuk ke rumah. Ia melihat tiga orang anak sebaya Iwan duduk di ruang tamu yang dialasi tikar. Rupanya ini memang waktu Surya untuk memberikan les tambahan bagi mereka. Surya agak kaget melihat Sarah.
Kau yang mengantarkan" tanyanya.
Sarah tersenyum dan menjawab, Ya, Lastri sakit flu, sedangkan aku punya waktu luang. Jadi aku yang mengantar mereka. Tapi aku harus menunggu di sini dan mengantar mereka pulang. Berapa lama mereka di sini"
Satu jam. Kalau kau malas bolak-balik, kau bisa mengobrol dengan Dewi& Sesaat Surya tampak bingung. Ia baru menyadari bahwa Sarah tidak bisa bahasa isyarat. Kau bisa menunggu di dapur atau di depan, terserah.
Sarah menyadari Surya tidak ingin diawasi saat memberikan les tambahan, jadi ia berkata akan menemani Dewi di dapur. Ia pun masuk ke bagian belakang gubuk.
Maaf, Mbak Dewi, mengganggu sebentar. Mas Surya menyuruhku menunggu di sini, kata Sarah. Dewi melihatnya dan mengangguk. Ia sedang menumbuk bumbu dengan alu.
Sarah memerhatikannya penuh ingin tahu. Sedang masak apa, Mbak"
Dewi menunjuk ke arah kentang yang sudah dihaluskan.
Perkedel" tanya Sarah lagi. Dewi mengangguk.


Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biar kubantu, kata Sarah.
Dewi tersenyum dan menunjuk kentang yang sudah dihaluskan. Setelah itu ia mencampurnya dengan bumbu halus. Sarah membantu memulung perkedel yang sudah dibumbui sementara Dewi menggoreng. Dalam hati Sarah turut prihatin melihat kondisi Dewi. Seandainya Dewi tidak bisu, tentu Sarah dapat mengorek sedikit informasi tentang peristiwa pembantaian itu. Tapi mungkin lebih baik begini. Walau tujuan penelitiannya baik, tampaknya mengorek keterangan dari korban psikologis kejadian secara langsung ini tidak manusiawi.
Apakah ibu Mbak masih sakit" tanya Sarah. Dewi menggeleng dan menunjuk ke arah kamar. Sedang tidur" tanya Sarah.
Dewi menggeleng lagi. Apakah beliau tidak bisa bangun dari tempat tidur"
Wajah Dewi muram. Ia menunjuk dadanya sendiri dan menampakkan mimik seperti orang sakit. Dadanya sakit"
Dewi mengangguk. Apakah dia sudah minum obat"
Dewi menggerak-gerakkan tangannya yang menyatakan bahwa obat sudah habis. Sarah jadi teringat ketika kemarin Surya membayarkan biaya pengobatan untuknya, padahal pria itu tidak punya uang untuk membeli obat bagi ibunya. Kasihan sekali.
Sarah mengeluarkan sepuluh lembar sepuluh ribuan dari dompetnya dan memberikannya pada Dewi. Kening Dewi berkerut.
Kemarin aku bertemu Mas Surya di kota dan aku berutang uang padanya. Mau kukembalikan, tapi dia tidak mau. Mbak Dewi saja yang simpan untuk membeli obat Ibu, kata Sarah.
Pertama-tama Dewi menolak, tapi karena Sarah memaksanya, ia menerima uang itu dan meletakkannya di bawah kaleng kerupuk kemudian mengucapkan terima kasih dalam bahasa isyarat. Ia lalu mengambil selembar kertas dan menuliskan Bagaimana penelitianmu" dengan huruf-huruf besar yang kaku. Ia memberikannya pada Sarah.
Sarah membaca tulisan itu dan tersenyum. Kupikir Mbak tidak mau membicarakannya. Penelitianku agak tersendat-sendat karena aku tidak begitu mengenal orang-orang di sini. Tadinya aku ingin bertanya pada Mas Surya, tapi tanggapannya kurang sesuai dengan harapanku. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah pergi ke rumah Pak Sanip untuk bertanya sesuatu, lalu aku malah mendapatkan cerita dari anaknya, Mas Arif. Mbak Dewi kenal, kan"
Dewi mengangguk. Dia ramah dan baik hati. Dia bersedia diwawancarai mewakili ayahnya. Apakah aku tidak apa-apa membicarakan hal ini, Mbak" tanya Sarah lagi. Dewi menggeleng.
Ayahnya mewakili sosok pembantai pada masa itu, tapi Mas Arif mengatakan hal-hal yang sangat penting tentang pergolakan politik yang membuat militer membantai anggota PKI. Kurasa ayahnya juga tidak bersalah karena pada masa itu rakyat tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Entah hal apa yang mendorong Sarah mengatakan hal itu. Mungkin karena kisah asmara Dewi dan Arif yang mengusik Lastri juga ikut mengusiknya.
Dewi diam saja dan menyusun perkedel yang sudah matang di piring.
Oh ya, Mas Arif juga memberitahu aku. Katanya Mbak punya pakde yang selamat dari pembantaian. Apakah aku bisa menemuinya, Mbak" tanya Sarah.
Dewi mengangkat wajah, lalu menuliskan sesuatu di kertas dan memberikannya pada Sarah. Ternyata sebuah alamat.
Alamatnya di sini" tanya Sarah. Dewi mengangguk.
Wajah Sarah berseri-seri. Ia memasukkan secarik kertas itu ke dompetnya. Ia membantu Dewi memotong-motong labu dan tidak membicarakan lagi soal PKI dan Arif, melainkan mengobrol tentang memasak dan pekerjaan rumah tangga. Dewi pun kembali ceria. * * *
Ketika les selesai diberikan, waktu sudah menunjukkan pukul enam dan jalanan mulai gelap. Rupanya Iwan dan Hardi akan ulangan besok, jadi Surya memberikan latihan ekstra untuk mereka.
Sudah gelap. Apakah kau mau kuantar saja" tanya Surya.
Sarah sebenarnya agak takut karena daerah itu belum dikenalnya dengan baik. Apalagi ia harus melewati pematang sawah. Tapi ia berkata, Tidak apaapa. Kami kan bertiga, tentu tidak takut jika ada setan yang mengejar kami. Sarah tersenyum, tapi Iwan dan Hardi tidak tertawa.
Surya melihat ekspresi anak-anak itu dan berkata, Aku akan mengantar kalian.
Tanpa menunggu jawaban Sarah, ia mengambil senter dan berganti baju. Mereka berjalan berempat dalam kegelapan. Surya di depan dengan senternya, diikuti Iwan dan Hardi, dan Sarah paling belakang.
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di rumah Dahlia. Surya dan Sarah mengantarkan kedua anak itu sampai di depan pintu. Dahlia mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan mereka.
Kau tidak perlu mengantarku. Sudah dekat, kata Sarah ketika Surya masih mengikutinya dari rumah Dahlia.
Tidak apa-apa. Kau sudah begitu baik mau mengantarkan mereka. Sudah sampai di sini. Berjalan sedikit lagi baik untuk kesehatan, katanya sedikit ramah. Dalam hati Sarah terkejut mendengar perubahan sikap Surya. Mungkin pria ini sudah merasa sedikit mengenal pribadi Sarah, jadi tidak bersikap kasar lagi. Sarah tersenyum. Aku mau berterima kasih padamu karena kejadian tadi siang. Kalau saja kau tidak menolongku, mungkin aku sudah masuk rumah sakit.
Ah, aku hanya kebetulan lewat. Sebenarnya aku juga mau minta maaf atas kekasaranku pada pertemuan awal kita. Terus terang saja, sebelumnya aku sudah punya prasangka buruk. Kupikir kau gadis manja dari Jakarta yang hanya tahu bersenang-senang dan menghabiskan uang orangtua, kilah Surya.
Sarah memandang pria di sampingnya. Tidak seburuk itu, kan" Kalau aku gadis manja, buat apa aku ke sini" katanya.
Surya tersenyum. Benar. Kau telah bersusah payah kemari. Keadaan di sini tentu tidak memadai dibandingkan tempat asalmu. Menelepon pun harus jauhjauh pergi ke wartel di kota.
Sarah tertawa. Kau sudah tahu kesusahanku. Kalau begitu, kau harus membantuku. Sarah senang, kali ini sinar mata Surya memancar ramah.
Masih tentang pembantaian PKI" tanya Surya. Sarah mengangguk.
Tapi aku bahkan belum lahir waktu itu. Wajah Surya berubah sendu. Ayahku dibantai waktu aku masih dalam kandungan. Aku tak pernah melihatnya. Aku tidak tahu apa yang lebih menyedihkan, tidak punya ayah atau punya ayah bekas anggota PKI, jawabnya.
Tapi ayahmu hanyalah korban politik. Kau tahu
sendiri kan, peristiwa itu sedang diekspos besar-besaran oleh pengamat politik dan sejarah. Bahkan ada pendapat, anggota PKI bahkan tidak tahu apa itu komunis, ujar Sarah.
Bagaimana kalau ayahku mengerti apa itu komunis"
Tidak apa-apa. Setiap orang toh punya hak untuk memilih ajaran tertentu. Sama seperti memilih agama.
Kau cerdas dan cepat tanggap. Terima kasih atas pujianmu.
Lalu Surya menceritakan penderitaannya sebagai keturunan anggota PKI yang tidak bisa bekerja dan mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Juga tentang masalah lain dan pendapatnya pribadi. Sarah menyimak dengan baik sambil sesekali menimpalinya.
Akhirnya mereka sudah sampai di depan pintu rumah Lastri, tapi Sarah tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia enggan masuk. Benar-benar perasaan yang tidak masuk akal. Entah mengapa ia tidak mau cepat berpisah dari Surya. Ia masih ingin berbincang, meskipun orang itu adalah pria yang kasar dan tidak ramah padanya sejak pertama kali bertemu. Sarah mulai bingung. Namun, ia menginterpretasikan perasaannya itu sebagai kerinduan pada Gunawan. Walaupun sifat Gunawan banyak yang tidak cocok dengannya, Sarah tetap merasa aman bila berada di sisi pria itu. Maaf sebelumnya, aku telah mendapatkan alamat
pakdemu. Aku akan mewawancarainya sehubungan dengan selamatnya beliau dari pembantaian, kata Sarah.
Surya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kau benarbenar gigih! Apakah kau mau pergi ke sana sendirian" Rumahnya lumayan jauh dari sini.
Kalau memang harus begitu, apa boleh buat. Apa kaupikir dia akan mau bicara padamu, orang asing yang tiba-tiba muncul di rumahnya"
Bila ada yang mengantarku, apalagi keponakannya sendiri, beliau pasti tidak akan keberatan.
Surya tertawa. Kaupikir aku akan mau mengantarmu"
Melihat kebaikanmu padaku siang tadi, juga terhadap anak didikmu, kurasa kau bersedia mengantarku.
Apa alasannya" Karena itulah karakter aslimu. Kau selalu menutupinya dari orang lain, tapi aku bisa merasakannya, kata Sarah tenang.
Wajah Surya berubah muram. Kau tidak usah menilai diriku. Aku tidak perlu penilaian orang lain, tapi aku akan mengantarmu hari Rabu. Besok aku harus melamar pekerjaan.
Sarah tertawa girang karena Surya menyatakan kesediaannya.
Oh ya" Kudoakan semoga sukses.
Mereka berdiri canggung. Kehabisan bahan pemSarah memutuskan untuk masuk, lagi pula ia haus setelah berjalan cukup jauh.
Teh manis satu, Bu, katanya pada ibu penjaga warung.
Dari Jakarta, Mbak" tanya ibu itu ramah. Sarah mengangguk. Benar. Saya tinggal di rumah Pak Suprapto.
Saya juga baru dengar sedikit tentang gadis dari Jakarta yang mau mengadakan penelitian tentang PKI. Apa benar, Mbak" Ibu penjaga warung memberikan segelas teh manis hangat pada Sarah.
Sarah agak kaget mendengarnya. Apa seluruh penduduk desa sudah tahu kedatangannya" Ibu dengar dari mana" tanyanya.
Saya sih dengar dari orang yang makan di sini. Orang itu dengar dari Sudirman. Katanya ada seorang gadis yang datang dari Jakarta, cantik katanya. Mau cari tahu tentang PKI. Katanya Sudirman kenal dengan Mbak, tutur ibu itu.
Sarah mengerutkan kening. Sejak awal ia sudah tak senang dengan Sudirman. Mau apa dia bilang-bilang pada semuanya" Apa pemuda itu mau Sarah dimusuhi satu desa"
Memang benar, Bu. Tapi penyelidikan saya agak buntu karena tidak banyak orang yang tahu. Apa Ibu tahu tentang PKI" katanya sekalian.
Tidak. Waktu itu saya masih belasan tahun. Kalau jam malam sudah mulai, saya tidak boleh ke luar rumah. Memang pernah dengar ada pembantaian, tapi orang yang mati saya juga tidak kenal. Saya cuma tahu mereka orang jahat yang dicari pemerintah, itu saja.
Sarah mengangguk kecewa. Sudah diduganya, orang awam tidak tahu tentang masalah ini. Ia meneguk teh manisnya. Setelah habis, ia membayar tehnya dan ingin pulang saja. Tapi baru saja ia hendak meninggalkan warung, Sudirman datang.
Tuh, dia datang. Saya mau masuk dulu, Mbak. Anak muda itu kalau ngopi selalu bilangnya ngutang, tapi tak pernah bayar, keluh si ibu dan buru-buru masuk ke rumahnya.
Sudirman melihat Sarah yang keluar dari warung, lalu menghampiri gadis itu.
Halo! Ketemu lagi! katanya.
Mau ke mana" tanya Sarah mencoba ramah, padahal dalam hati ia tidak suka dengan ulah Sudirman yang menyebarkan maksud kedatangannya pada orang-orang di desa ini.
Cuma jalan-jalan. Kau di sini begitu lama, apa tidak bosan berkeliling di dalam desa saja" Mau kuantarkan jalan-jalan ke kota" tanya Sudirman sambil mengangkat-angkat alisnya.
Sarah tidak menyukai lagak Sudirman yang sok kenal sok dekat. Ia menggeleng dan berjalan kembali ke arah rumah Lastri.
Tunggu! panggil lelaki itu.
Sarah menoleh ke belakang.
Apa kau ingin mengetahui sesuatu" Ayahku juga bisa diwawancarai kalau kau mau, kata Sudirman.
Sarah tertarik. Benarkah" Kapan beliau mau kutemui" tanyanya.
Sudirman tersenyum. Sekarang juga boleh. Sarah mengikuti Sudirman menuju rumahnya. Ia tidak percaya dengan keberuntungannya. Walaupun Pak Jandi tidak termasuk saksi mata, Sarah tetap ingin tahu kenapa ayah Mas Dirman itu bisa selamat dari pembantaian, padahal dia dulu juga anggota PKI.
Silakan masuk, anggap saja rumah sendiri, kata Sudirman ramah.
Sarah memasuki rumah itu. Luasnya kurang-lebih sama dengan rumah Lastri, hanya rumah Lastri lebih rapi. Mungkin karena ada anak perempuan yang membereskan. Sarah ragu apakah Sudirman mau membantu ibunya membereskan rumah.
Silakan duduk. Sudirman menunjuk bangku di ruang tamu. Sarah duduk di situ.
Ketika Sudirman ikut duduk di situ juga dan tidak ada tanda-tanda ingin memanggil ayahnya, Sarah bertanya tidak sabar, Ayahmu mana"
Oh ya, aku akan memanggilnya sebentar. Ia masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian ia keluar lagi dan berkata, Aku tidak tahu dia ke mana. Sepertinya sedang pergi, katanya dengan ekspresi menyesal. Tapi Sarah sadar lelaki ini hanya ingin menahannya lebih lama.
Gadis itu bangkit berdiri. Aku akan kembali nanti sore.
Eits, nggak usah buru-buru. Duduk saja dulu. Aku kan tidak menggigit" kata Sudirman.
Sarah merasa tak enak hati. Ia duduk lagi di bangku itu dengan enggan.
Kau tinggal dengan siapa saja" tanya Sarah berbasa-basi.
Bertiga dengan ibu-bapakku. Mereka sudah tua, menikah terlambat, melahirkan anak juga terlambat, katanya sambil tertawa, menganggap ucapannya itu lucu.
Kenapa bapakmu bisa selamat dari pembantaian" Apakah waktu itu beliau mengungsi ke tempat lain" tanya Sarah, berharap bisa mendapatkan sesuatu dari lelaki ini.
Tidak, kami tak punya saudara di tempat lain. Kurasa saat itu Bapak cerdik, itu saja. Siapa cerdik akan selamat, siapa yang bodoh akan tumbang, tandas Sudirman tertawa bangga.
Sarah menggelengkan kepala tak setuju. Bagaimana caranya bersikap cerdik di masa itu" Bukankah militer punya daftar anggota"
Sudirman mendekati Sarah sambil berkata, Bagaimana seandainya ayahku yang memegang daftar itu" Atau bisa saja ayahku punya kenalan orang-orang militer" Sudah kubilang, ini soal adu kecerdikan. Sarah memandang Sudirman yang menyeringai. Lelaki itu mendekatkan wajahnya. Sarah merasa jengah. Lebih baik ia pamit saja dan kembali lain waktu. Ia berdiri, tapi Sudirman menekan bahunya sehingga ia terduduk kembali.
Kenapa" Takut" Tidak ada siapa-siapa kok! Gadis cantik sepertimu berani datang dari Jakarta sendirian ke sini, kenapa takut padaku" katanya.
Sarah merasakan tanda bahaya berbunyi di kepalanya. Tiba-tiba ia merasa takut dan keringat dingin keluar dari tubuhnya. Ia merengket dan berpaling jijik karena wajah Sudirman hampir menyentuh wajahnya.
Kau mau apa" tanya Sarah.
Sudirman tertawa. Di telinga Sarah tawa itu terdengar berbahaya dan mengerikan. Mau apa lagi" Gadis sepertimu pasti sudah tahu apa yang diinginkan seorang lelaki. Bukankah gadis kota besar biasanya sudah berpengalaman kalau soal urusan itu& hm& "
Ia mendekatkan bibirnya ke bibir Sarah, tapi gadis itu mengelak sehingga bibir Sudirman hanya menyentuh pipinya. Ketika Sarah ingin mendorongnya, Sudirman menahan tubuh gadis itu dengan tubuhnya sendiri. Sarah ketakutan, ia tidak pernah merasa seperti ini seumur hidupnya.
Lepaskan aku! Ia meronta, tapi tubuhnya kalah kuat.
Sudirman menciumi wajahnya dan menekan tubuhnya. Sarah semakin panik. Apalagi ketika Sudirman
mulai membuka kancing blusnya dengan paksa, sehingga kancing di bagian dadanya terlepas.
Lalu, dengan sisa kekuatan, Sarah meronta sekuat tenaga dan menggigit pipi pria itu. Sudirman mengaduh, dan Sarah mempergunakan kesempatan itu untuk keluar rumah. Ia menerjang pintu rumah dan berlari menuju pagar. Tanpa melihat ke depan, ia berlari sekencang-kencangnya hingga ia menubruk seseorang.
Sarah! Kau kenapa" Sarah mengangkat wajah dan melihat Surya di depannya. Surya melihat penampilan Sarah yang acakacakan. Blusnya robek dan kancingnya terlepas, serta rambutnya awut-awutan.
Ia berseru kaget, Astaga! Kau kenapa" Sarah tidak menjawab. Ia memeluk Surya erat-erat dan bersandar di bahu lelaki itu. Surya menenangkannya dengan mengelus-elus punggungnya. Mereka berpelukan di jalan yang sepi itu. Kebetulan tidak ada orang yang lewat. Kenapa bisa Surya yang lewat di situ" Apakah ini sudah takdir" pikir Sarah. Tapi ia merasa aman karena Surya ada di situ.
Sekarang jelaskan kau kenapa, kata Surya. Sarah tidak menjawab. Ia cuma menggelengkan kepala. Rasa malu membuatnya tidak ingin bicara apa-apa.
Baiklah, kalau kau tidak mau bicara, akan kuantar kau ke rumah Lastri, katanya.
Tidak, aku tidak mau pulang ke sana. Di sana aku
sendirian. Dia akan mengejarku ke sana, kata Sarah panik.
Siapa" Katakan siapa! tanya Surya. Lalu ia melihat Sudirman muncul dari rumahnya dan memandang mereka. Surya langsung tahu apa yang terjadi pada Sarah.
Tunggu di sini. Ia melepaskan gadis itu dari pelukannya dan menghampiri Sudirman. Dirman memerhatikan Surya dengan tatapan yang tajam dan menantang. Tanpa bicara, Surya langsung melayangkan tinju kanannya ke rahang pria itu.
Kurang ajar! desis Surya dengan wajah murka. Dirman meraba darah yang keluar dari sudut bibirnya. Ia bangkit berdiri, lalu melayangkan tinjunya untuk membalas. Tapi Surya cepat-cepat mengelak. Ia malah melayangkan satu tendangan ke dada Dirman. Lelaki itu terkapar di tanah dan tak berani bangun.
Bila kau sentuh dia lagi, kau akan menyesal! geram Surya. Lalu ia kembali ke tempat Sarah dan membawa gadis itu ke rumahnya.
* * * Sarah menerima gelas berisi teh manis dari tangan Surya dengan tangan gemetar. Ia meminumnya perlahan-lahan. Bajunya sudah diganti dengan baju Dewi yang sudah lusuh, tapi lebih baik begini daripada memakai baju robek. Rambutnya sudah disisir sehingga
tidak acak-cakan lagi. Tapi ia masih gemetar karena ulah Sudirman tadi. Bagaimana kalau ia tidak berhasil melepaskan diri" Bagaimana kalau ia diperkosa"
Surya memandang Sarah dengan sorot mata yang tak bisa ditafsirkan apa artinya. Mereka bertatapan sejenak, lalu Sarah menunduk. Tubuh Surya yang tinggi menjulang di depannya merendah, kemudian lelaki itu duduk di sebelahnya.
Mengapa kejadian tadi bisa terjadi" tanya Surya. Aku diajak ke rumahnya karena dia bilang ayahnya mau diwawancarai. Ayah Mas Dirman kan bekas anggota PKI yang selamat, kata Sarah dengan suara gemetar.
Surya menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata lugas, Kau gadis yang bodoh! Mengapa kau mau saja dibawa ke rumahnya" Rumah Dirman itu agak jauh dari rumah tetangga. Walaupun kau berteriak sekencang-kencangnya, tidak akan ada yang mendengar suaramu bila tidak kebetulan lewat di sana. Kupikir gadis kota sepertimu punya otak.
Surya diam karena melihat Sarah diam saja. Ia melihat bahu gadis itu masih bergetar. Tebersit rasa iba di hati Surya. Ia berkata perlahan, Dirman itu sudah beberapa kali melakukan hal seperti itu terhadap gadis di desa ini maupun desa lain. Selama ini tak ada yang menolak, mungkin karena takut atau memang mau sama mau. Tapi yang dikatakannya padamu itu bohong besar. Ayah Dirman itu sudah pikun. Dia tidak akan bisa bercerita apa-apa tentang masa lalu. Pikun" Sarah menegaskan.
Ya. Dia sering berobat di kota. Karena itu rumahnya sering kosong. Kurasa saat-saat sepi itulah yang digunakan Sudirman untuk melakukan hal-hal tidak senonoh pada para wanita, jawab Surya.
Sarah terdiam. Ia merasa begitu bodoh. Mestinya ia bertanya dulu pada Lastri apa yang sebaiknya dilakukan. Lastri pasti tahu bahwa Pak Jandi itu pikun, tapi tidak menceritakannya karena mungkin ia berpikir hal itu tidak relevan dengan penelitian Sarah.
Pak Jandi itu dulu anggota PKI, jabatannya cukup tinggi. Tapi pada masa pembantaian, dia malah ikut membunuhi anggota PKI dan bekerja sama dengan militer untuk menyediakan daftar anggota, kata Surya lagi.
Sarah mengangkat wajah dan menatap Surya. Ia melihat kilatan di mata pria itu. Tampaknya Surya sangat membenci keluarga Pak Jandi. Sarah memandangnya. Mungkin kebencian itu adalah sisa-sisa kebencian di masa lalu. Keluarga terbunuh membenci keluarga pembunuh.
Bunga Pedang Embun Hujan 2 Harry Potter And The Order Of The Phoenix Karya J.k. Rowling Cheng Hoa Kiam 10

Cari Blog Ini