Ceritasilat Novel Online

Noda Tak Kasat Mata 2

Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica Bagian 2


Benarkah begitu" tanya Sarah.
Ya. Pak Jandi itu orang yang tidak tahu malu, munafik. Demi keselamatannya sendiri, dia malah membunuh orang tak berdosa untuk menutupi identitas dirinya sendiri. Kupikir dia lebih jahat daripada para
pembantai. Dia pengkhianat, lebih buruk daripada orang komunis atau pembantai berdarah dingin! kata Surya geram.
Sarah sudah tidak gemetar lagi. Ia sudah melupakan kejadian tadi karena mendapatkan semangatnya kembali untuk menggali hal yang ditelitinya. Mendapatkan kembali tekadnya yang tadinya hampir pudar. Dari mana kau tahu"
Aku tahu saja. Orang-orang seperti kami tahu karena kami selalu bertanya-tanya mengapa nasib kami seperti ini. Orang awam tidak tahu; mereka hanya membicarakan bagian-bagian yang mengerikan tanpa melihat apakah yang mereka bicarakan itu benar atau tidak. Kami tahu kebenaran tapi tidak suka membicarakannya, tutur Surya.
Sarah berpikir bahwa yang dimaksud Surya dengan kami adalah para keturunan PKI yang mendapatkan diskriminasi dalam masyarakat.
Maafkan aku. Kedatanganku ke desa ini telah meresahkan kalian. Kupikir semua orang pasti tak senang membeberkan masa lalu mereka yang kelam. Kalau kau tidak suka, kau tidak usah mengantarku ke rumah pakdemu besok, kata Sarah, walau hatinya lebih berharap Surya mengantarnya.
Tidak apa-apa. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak enak, tapi begitulah kenyataannya. Aku hanya akan mengantarkanmu besok. Bila pakdeku tidak mau berbicara, aku tidak bisa membantumu lebih
Sarah menatap wajah di depannya dengan pandangan penuh terima kasih. Pria yang kasar dan tertutup ini ternyata telah menyelamatkannya dua kali. Surya memalingkan wajahnya.
Ada lagi yang ingin kukatakan. Nada bicara Surya sekarang lebih dingin. Dewi memberitahuku bahwa kemarin kau memberinya uang. Aku sudah bilang uang itu akan kukembalikan padamu, tapi dia keburu membelanjakannya untuk obat ibuku. Bila aku sudah punya uang, uangmu akan kuganti.
Tidak usah, Mas Surya. Uang itu kuberikan dengan ikhlas. Apalah artinya uang dibandingkan dengan pertolonganmu" pinta Sarah. Lalu dilihatnya bibir pria itu terkatup.
Aku tidak suka dengan orang yang sedikit-sedikit membayar dengan uang. Aku bukan menolongmu karena uang. Terus terang saja, tadinya aku sangat marah karena kau memberi uang pada Dewi. Tapi karena hari ini kau mengalami kejadian yang tidak enak, maka aku tidak akan mempermasalahkannya. Mengenai uang itu, akan kuganti bila aku sudah punya. Kau tidak usah berkata apa-apa lagi, kata Surya.
Sarah terdiam. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa uang saja bisa menjadi masalah. Tapi ia menghargai lelaki seperti Surya. Harga diri lelaki itu pasti terluka karena ingin membayar tapi tidak punya uang. Lalu Sarah teringat sesuatu.
Oh ya, bagaimana dengan lamaran pekerjaanmu" tanya Sarah.
Aku tidak mau membicarakannya, kata Surya pendek.
Sarah mengerti, Surya pasti tidak berhasil memperoleh pekerjaan. Dalam hati ia merasa kasihan. Hanya karena masih keturunan anggota PKI, Surya dipersulit. Walaupun Orde Baru telah berganti dengan era reformasi, pada praktiknya keturunan PKI tetap tidak mendapatkan keadilan. Sebenarnya apa salah mereka" pikir Sarah sedih. Tragis. Mereka tidak tahu apaapa dan harus menanggung seumur hidup kesalahan yang tidak diperbuatnya.
* * * Setelah Sarah sudah tidak shock lagi, Surya mengantar gadis itu pulang. Mereka berjalan dalam kegelapan. Malam itu sinar bulan cukup terang sehingga Surya tidak menyalakan senter yang dibawanya. Sarah senang Surya berjalan pelan-pelan, karena dengan begitu ia bisa berlama-lama dengan lelaki itu. Ia tadi membantu Surya memetik bawang dan membantu Dewi memasak. Bahkan ia bertemu dengan ibu Surya untuk yang pertama kalinya. Wajahnya sangat mirip dengan Surya dan Dewi, tapi tubuhnya sangat kurus dan sedikit-sedikit ia mengernyit menahan sakit sehingga Sarah miris melihatnya.
Kalau ada pekerjaan di Jakarta, apakah kau mau ke sana" tanya Sarah.
Surya sedang menuntunnya ketika mereka melewati pematang sawah. Kalau jatuh, mereka bisa berlepotan lumpur, kata lelaki itu. Sarah merasakan tangannya lembap, tapi Surya tidak peduli. Tangan Surya hangat dan kering. Tiba-tiba Sarah menyadari, ada perasaan aneh yang menyusup ke hatinya, yang ia sendiri tidak mengerti apa artinya. Entah mengapa, di sudut hatinya ia merasa senang.
Entahlah. Ibuku sedang sakit dan Dewi tidak mampu menjaga diri. Kalau ada apa-apa terhadap mereka, aku akan merasa bersalah seumur hidup.
Jawaban Surya membuyarkan lamunan Sarah. Hening sejenak. Sarah juga turut memikirkan nasib keluarga Surya. Ia lalu berkata, Bagaimana kalau kau mengajak mereka semua ke Jakarta"
Tidak bisa. Mereka terbiasa hidup di sini. Aku juga begitu. Sejak lahir aku di sini, jadi tidak tahu apakah bisa betah hidup di Jakarta.
Tapi di sini kau tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Apakah kau mau selamanya begini" Bagaimana jika kau menikah dengan Lastri" Ups, Sarah menyesal mengucapkan kalimat terakhir itu, karena wajah Surya berubah suram. Tentu Surya tak senang orang lain mencampuri kehidupan pribadinya.
Pertanyaan terakhirmu itu tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Dan seandainya aku akan menikahi
Lastri, dia harus menerimaku apa adanya. Aku tak ingin menjadi suami yang mengikuti istri, kata Surya dengan rahang mengeras.
Sarah terdiam. Sesuatu dalam ucapan Surya membuatnya merasa tak enak. Tapi& kalau ada pekerjaan di Jakarta untukmu, apakah kau mau menerimanya" tanyanya lagi.
Kenapa kau bertanya begitu" tanya Surya masih dengan nada dingin.
Aku punya banyak teman di Jakarta yang menjadi pengajar. Kalau kau mau, aku akan bertanya-tanya pada mereka apakah ada lowongan untukmu. Kalau kau bekerja di Jakarta, kau bisa mengirimkan uang ke sini dan menghidupi ibumu serta Mbak Dewi. Kau juga bisa mengobati Ibu sampai sembuh, jawab Sarah.
Mereka sudah melewati pematang sawah dan tiba di jalan setapak. Surya melepaskan tangannya dari Sarah tiba-tiba.
Surya berkata sinis, Apakah kau memang terbiasa mengatur-atur orang lain"
Sarah sadar telah menyinggung perasaan Surya. Maaf, aku tidak bermaksud begitu&
Baiklah, kukatakan saja sekarang. Bila aku mau mencari pekerjaan di Jakarta, atau di mana saja, aku tidak akan memintanya dari orang lain, melainkan mencarinya sendiri!
Sarah terdiam. Kenapa Surya selalu salah sangka terhadap niat baiknya" Apakah sikap ini sudah berurat akar dalam diri lelaki ini karena latar belakangnya" Kenapa ia begitu keras" Mereka berdua terdiam dalam sisa perjalanan, sampai di depan rumah Lastri.
Besok aku akan menjemputmu jam tujuh pagi. Kita akan sampai di rumah pakdeku jam sembilan. Mudahmudahan beliau tidak ke mana-mana, ujar Surya.
Mas Surya& Sarah tidak tahu mau berkata apa, tapi ia tidak ingin lelaki itu pergi. Ia ingin menahan waktu lebih lama. Surya memandangnya dengan tatapan bertanya. Kemudian Sarah berkata, Apakah kau tidak ingin masuk" Tentu Lastri akan senang jika kau datang&
Tidak. Kami sering bertemu. Lain waktu saja, kata Surya.
Ia berbalik dan menghilang dalam kegelapan. Sarah mendesah dan menghela napas dalam-dalam. Mengapa hatinya sekonyong-konyong merasa sedih" * * *
Rumah Lastri tampak sepi dari luar. Tentu saja sepi, pikir Sarah, keluarga mereka cuma dua orang. Ketika masuk, Sarah bertemu dengan Pak Suprapto di ruang tamu. Beliau sedang membaca koran. Beliau tersenyum melihat Sarah.
Bagaimana kemajuan penelitianmu" Sampai gelap begini baru pulang.
Lumayan, Pak, jawab Sarah dengan senyum penuh terima kasih. Pertanyaan Pak Suprapto tadi dianggapnya sebagai perhatian. Sejauh ini ia hanya menemui kekecewaan dan kegagalan, bahkan nyaris diperkosa.
Syukurlah. Aku senang kalau kau berhasil. Nanti cantumkan namaku di daftar terima kasih, ya" guraunya.
Sarah tertawa. Tentu saja. Saya permisi ke dalam dulu, Pak.
Saat melewati kamar Lastri, Sarah menyempatkan diri masuk ke kamar gadis itu. Dilihatnya Lastri sedang duduk tepekur di mejanya sambil memandang halaman, lewat jendela. Entah apa yang dipikirkannya.
Lastri& , panggil Sarah perlahan, takut mengagetkan Lastri dari lamunannya.
Oh, Mbak Sarah. Baru pulang, Mbak" Tapi Lastri tidak menoleh memandang Sarah, dan nada suaranya berbeda dari biasanya. Agak dingin.
Sarah berpikir mungkin Lastri tidak senang ia pulang terlalu malam. Ia berkata, Maaf, Lastri. Malam begini aku baru pulang.
Tidak apa-apa, yang penting selamat. Kulihat Mas Surya mengantarmu pulang.
Sarah melihat ke arah jendela di depan wajah Lastri. Rupanya Lastri bisa melihat keluar dari situ. Berarti Lastri melihat mereka tadi. Ya. Aku ke rumahnya untuk mencari keterangan dan cerita yang mereka ketahui, kata Sarah lagi. Ia tidak mau menceritakan masalah tadi siang dengan Sudirman. Selain jengah, ia merasa malu kalau orang sampai tahu tentang kejadian itu.
Sarah kemudian berpikir, sebaiknya Lastri tahu tentang rencananya besok. Maka ia berkata, Besok Mas Surya akan mengantarku ke rumah pakdenya untuk wawancara.
Ehm& rupanya kau sudah menaklukkannya, ya" gumam Lastri.
Sarah tersenyum mendengar istilah yang dipakai Lastri.
Ya, begitulah. Oh ya, kau sudah sembuh" Badanku masih demam sedikit.
Kalau begitu aku tinggal dulu ya, mau mandi, kata Sarah meninggalkan kamar Lastri.
Sepeninggal Sarah, Lastri mengusap pipinya yang basah, kemudian menghampiri tempat tidurnya. Ia berbaring dan menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan hampa.
* * * Keesokan paginya, pukul setengah tujuh, Sarah bersiap-siap dijemput Surya. Lastri sudah berangkat mengajar sejak pukul enam. Setiap hari ia memang berangkat sepagi itu. Pukul tujuh tepat, Surya datang. Mereka segera berangkat. Untuk sampai ke desa tempat tinggal
pakde Surya, mereka harus naik angkot tiga kali. Dalam perjalanan selama dua jam itu Sarah dan Surya banyak mengobrol. Keduanya merasa cocok. Dua jam kemudian mereka tiba di rumah pakde Surya.
Rumah pakde Surya ternyata sama sederhananya dengan rumah-rumah di desa pada umumnya. Letaknya tidak terlalu jauh dari jalan raya. Untunglah, pikir Sarah. Tidak terbayang betapa sulitnya bepergian dengan kendaraan umum dari desa ke desa. Apalagi kalau kendaraan umum itu tak selalu ada karena tidak melewati rute rumah yang mereka tuju. Kelihatannya pakde Surya mencari nafkah dari beternak ayam, dilihat dari beberapa kandang yang terletak di depan rumah.
Surya dan Sarah masuk ke halaman dan mengetuk pintu rumah. Pintu membuka, dan tampaklah seorang balita menatap mereka dengan mata yang bulat dan lucu.
Pak Urip ada" tanya Surya. Kentara sekali ia jarang mengunjungi pakdenya, dilihat dari anak itu tak mengenalnya, begitu pun sebaliknya.
Anak itu berlari ke dalam dan berteriak. Eyang! Eyang!
Rupanya itu keponakanmu, ujar Sarah. Surya diam saja. Hari ini penampilan lelaki itu berbeda. Ia memakai kemeja putih lengan pendek dan celana panjang hitam. Tampak tampan dan rapi. Tapi keceriaan mereka saat mengobrol selama perjalanan
kini menguap begitu saja. Raut wajah Surya kembali murung dan dingin seperti diselimuti awan mendung.
Beberapa saat kemudian seorang pria berusia enam puluhan keluar. Ia menyipitkan mata, rupanya tidak mengenali Surya. Tapi berikutnya ia berkata, Surya, ya"
Wajah Surya kental oleh rasa haru saat ia menyahut, Ya, Pakde. Pakde masih mengenaliku"
Pria tua itu tertawa. Tentu saja. Lama kita tidak bertemu. Ayo masuk! Bagaimana keadaan ibumu"
Kurang sehat, Pakde. Paru-paru basahnya kambuh lagi, jawab Surya.
Pak Urip mengangguk dengan wajah prihatin. Oh. Lain kali aku akan menjenguknya.
Mereka bertiga dipersilakan duduk di ruang tamu yang kecil namun nyaman. Anak kecil tadi berdiri di samping kakeknya.
Apakah ini anak Mbak Wati" tanya Surya. Benar. Cucuku satu-satunya. Wati tidak mau lagi punya anak sebelum suaminya punya rumah sendiri katanya. Anak sekarang memang aneh-aneh. Aku dulu hanya punya satu anak karena budemu tidak bisa punya anak lagi. Si Wati bisa punya anak malah tidak mau.
Surya tersenyum dan menunjuk Sarah. Oh ya, Pakde. Perkenalkan, ini Sarah, temanku dari Jakarta. Apakah kedatanganmu kemari mau mengundangku
karena kau mau menikah" tanya Pak Urip. Wajah Sarah memerah. Pakde Surya ini pasti salah paham. Ini calon istrimu"
Wajah Surya tampak canggung saat ia berkata, Tidak, Pakde. Ini temanku. Aku tidak ada rencana menikah.
Pak Urip juga tampak salah tingkah karena perkiraannya salah. Kalau begitu kedatanganmu kemari membawa berita apa" Mudah-mudahan bukan berita buruk.
Tidak, Pakde. Yang punya kepentingan temanku ini. Dia mau mengadakan penelitian mengenai pembantaian anggota PKI. Pakde kan salah satu korban yang selamat, jadi dia mau mendengar cerita Pakde.
Ekspresi wajah Pak Urip seketika berubah. Tapi Surya buru-buru melanjutkan, Semula aku juga tidak mau membantunya, tapi setelah kulihat dia cukup bertanggung jawab dan tidak akan merugikan orang lain, kuharap Pakde mau membantunya. Aku tidak tahu apa-apa, jawab Pak Urip pendek. Sarah memandang Surya dengan kecewa, tahu bahwa hari ini hari kegagalan mereka. Bahkan mungkin ia telah memperburuk hubungan Surya dan pakdenya yang tidak terlalu dekat itu.
Tapi Surya tidak putus asa. Aku tahu Pakde pasti tidak suka mengungkit-ungkit masa lalu. Tapi sejak penguasa Orde Baru diganti, PKI tidak lagi menjadi momok, Pakde. Banyak yang tahu bahwa pembantaian
itu terjadi karena pergolakan politik, bukan kesalahan korban.
Sarah merasa terharu mendengarnya. Ternyata Surya membelanya.
Tiba-tiba Pak Urip berdiri sehingga mengejutkan mereka berdua.
Kau tahu apa"!!! bentak Pak Urip. Kau sendiri merasakannya, kan" Kau tidak bisa bekerja di manamana dan ijazahmu yang didapat dengan susah payah hanya teronggok di rumah. Untung anakku perempuan, kalau tidak, dia pasti akan mengalami kejadian yang sama denganmu!
Sarah kaget mendengar bentakan orang tua itu. Rupanya masalah ini bukan main-main. Bila cuma mendengar, tidak terasa. Tapi untuk yang mengalaminya, sangat menyakitkan.
Pak Urip duduk kembali. Setelah menenangkan diri, ia berkata dengan suara perlahan, Bertahun-tahun masalah ini membuatku terkucil dari pergaulan sosial. Aku tidak bisa ikut pemilu, tidak bisa bekerja. Banyak orang mencaci di belakangku, bekas PKI! Bekas PKI! Hatiku sangat sakit. Meskipun sekarang penguasa sudah berganti, tetap saja luka itu tak bisa hilang begitu saja. Sekarang kau minta aku bercerita pada perempuan dari Jakarta ini. Buat apa" Mempermalukan diri sendiri" Kau sudah kepincut gadis kota, jadi kurang ajar pada pakde sendiri. Apa kau tidak berpikir, menceritakan pengalamanku itu sama saja dengan meSurya terdiam mendengar kata-kata pamannya. Sarah merasa tidak enak hati. Ini semua gara-gara dirinya. Maafkan saya, Pak Urip, ucapnya. Sebenarnya saya tidak berpihak pada siapa-siapa, tidak pada PKI, tidak juga pada pembantai, tapi saya ingin mengungkap sejarah. Banyak orang tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak tahu ada pembantaian. Mereka tidak tahu ada sandiwara politik, mereka tidak tahu betapa menderitanya keturunan anggota PKI. Tidak ada yang tahu bahwa pengikut PKI kebanyakan tidak mengerti komunis itu apa, mereka hanya berpikir PKI itu orang jahat, pembunuh para jenderal. Semua orang yang belajar sejarah sejak tahun 1 telah belajar sejarah yang salah. Telah belajar sejarah yang ditutup-tutupi.
Saya ingin mengungkap semuanya. Saya ingin Pak Urip bersedia memberikan informasi pada saya, karena semua orang yang saya tanya tidak ada yang mau buka mulut, tidak ada yang mau angkat suara. Semuanya diam. Kalau begitu, selamanya bangsa Indonesia tidak akan tahu kejadian yang sebenarnya karena tidak ada satu pun bukti yang ada di Indonesia. Semua koran ataupun buku yang berhubungan dengan PKI sudah dimusnahkan.
Pak Urip membuang muka, tanda bahwa ia tidak peduli pada apa pun yang dikatakan Sarah.
Akhirnya Sarah memutuskan untuk menyudahi pertemuan ini. Kalau datang sendirian, ia pantang menyerah. Bahkan kalau perlu, sedikit memaksa. Tapi kali ini berbeda. Ia datang bersama Surya, tidak enak rasanya memaksa Pak Urip bicara.
Kalau Bapak tidak mau bicara, tidak apa-apa. Saya akan mencari dari sumber lain. Kalaupun tidak ada, terpaksa saya tuliskan hal-hal yang sudah saya ketahui saja, walaupun tidak lengkap. Rakyat terpaksa akan tetap buta selamanya dan sejarah yang sudah diputarbalikkan akan terukir terus di hati mereka, karena tidak ada yang membantahnya. Terima kasih atas waktu Bapak.
Gadis itu berdiri. Surya memandangnya, lalu ikut berdiri. Maafkan saya, Pakde. Lain kali saya akan datang lagi menjenguk Pakde, katanya.
Mereka menuju pintu keluar dengan langkah yang tidak segagah saat datang.
Terima kasih sudah membantuku, kata Sarah ketika mereka sudah berada di luar pagar.
Tapi ternyata tidak berhasil, ujar Surya. Kau kan sudah bilang, pakdemu belum tentu mau bicara. Aku tetap berterima kasih kau sudah mengantarkanku sampai di sini. Hari ini kau tidak bisa berjualan di pasar. Kau mau berkorban demi hal yang sia-sia untukku. Suatu hari aku akan membalas budimu, kata Sarah.
Tidak usah, aku tidak berharap apa-apa. Lagi pula aku berutang uang padamu.
Sarah menghela napas. Masalah itu lagi. Sudahlah, lupakan saja& Kata-kata Sarah terpotong oleh panggilan anak kecil keponakan Surya.
Paklik! Dipanggil Eyang, disuruh masuk ke dalam! serunya.
Surya memandang Sarah sambil tersenyum. Kelihatannya kedatangan kita hari ini tidak sia-sia, katanya.
Bab Enam A KU ikut partai itu karena mereka bilang komunis
akan membuat rakyat sejahtera. Tidak ada orang kaya maupun orang miskin, semua sama. Berkecukupan dan tidak ada yang kekurangan. Teman-temanku semua ikut. Kebanyakan petani dan buruh miskin. Mereka berharap bisa hidup sejahtera. Belakangan, orang bilang kami tidak beragama. Itu tidak benar. Kami semua beragama. Beberapa pemimpin yang sudah mendalami ajaran ini memang tidak beragama, tapi itu urusan mereka. Tanggung jawab mereka pribadi pada Tuhan. Partai itu semakin lama semakin besar, dan kami senang karena bisa ikut partai besar, kata Pak Urip.
Sarah menyimak baik-baik kata-kata Pak Urip. Ia segera menyalakan tape recorder dan meletakkannya di
pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, bahkan oleh anggota keluarga di rumah itu. Wati sudah membawa anaknya masuk kamar supaya tidak mengganggu. Istri Pak Urip, setelah menghidangkan tiga cangkir teh manis buat mereka, segera keluar dari ruangan itu.
Lalu terjadilah gerakan 30 September itu. Kami semua bingung karena tidak pernah tahu partai akan mengadakan kudeta dan membunuh para jenderal.
Pak Urip diam sejenak. Surya dan Sarah menatapnya lekat-lekat. Pria tua itu seolah sedang menarik ingatannya dari sudut otaknya yang bertahun-tahun jarang tersentuh. Mereka berdua tahu, itu kenangan yang menyakitkan.
Lalu kami dimusuhi. Semua anggota partai tidak ada yang berani keluar rumah. Hanya anggota tingkat tinggi yang mengadakan pertemuan, itu pun bukan membicarakan pemberontakan, melainkan membicarakan isu bahwa partai kami akan dilarang dan anggotanya ditangkapi. Ternyata bukan hanya ditangkapi, anggota PKI dari yang tertinggi sampai terendah ditangkap dan dibunuhi. Satu demi satu menghilang dari peredaran. Ada yang tidak diketahui keluarganya, ada yang diambil secara baik-baik dari rumah lalu tidak pernah kembali lagi. Kami diliputi ketakutan. Kami merasa sebentar lagi pasti giliran kami. Ada yang mengungsi yaitu mereka yang punya keluarga di tempat lain, ada juga yang pergi dan tidak pulangpulang, bahkan ada yang bunuh diri lebih dulu karena takut dibunuh.
Pak Urip berhenti untuk minum, melancarkan tenggorokannya. Sarah dan Surya tidak bersuara. Mereka mendengarkan dengan serius.
Lalu, Surya, tibalah giliran ayahmu. Kudengar dari ibumu bahwa ayahmu sudah dijemput dan tidak pulang-pulang. Kakakmu Dewi ditemukan orang di ladang dalam keadaan pingsan. Di ladang itu ada gundukan tanah merah yang diyakini sebagai kuburan ayahmu dan beberapa orang yang ikut dibantai waktu itu. Dewi yang sebelumnya bisa bicara, bahkan suka bernyanyi lagu dolanan, menjadi bisu. Untung hanya bisu, tidak gila. Barangkali dia menyaksikan waktu ayahmu dibantai. Dia tidak bisa bicara sampai sekarang.
Sarah memandang Surya yang mengusap matanya. Mungkin lelaki itu menangis.
Aku pasrah. Aku tidak bisa ke mana-mana, dan aku tidak mau ke mana-mana seperti buronan. Aku merasa tidak bersalah. Kalau sudah waktuku untuk mati, aku pasrah saja. Aku rajin berdoa dan tak lupa salat, supaya jalanku ke akhirat lancar. Kemudian tibalah malam itu. Waktu itu aku belum menikah dan tinggal bersama eyangmu. Beliau meninggal beberapa bulan setelah kau lahir. Malam itu aku sudah merasa tak enak. Sejak sore aku terus berdoa agar diberikan kekuatan. Lalu pintu rumah diketuk.
Sarah tanpa sadar mencondongkan tubuhnya ke depan dengan perasaan tegang.
Aku dan eyangmu langsung tahu bahwa inilah saatnya. Saat itu sudah jam setengah sepuluh, lewat dari jam malam. Jam malam yang dicanangkan sejak G30S diadakan mulai jam sembilan malam sampai jam lima pagi. Kami hanya boleh keluar bila ada urusan penting, seperti ke rumah sakit, itu pun harus membawa obor.
Ketukan di pintu terdengar perlahan, tidak seperti ketukan orang yang tergesa-gesa karena takut jam malam. Aku mengintip dari celah dinding. Kulihat sekitar dua puluh orang ada di luar sambil membawa obor dan senjata. Ada tentara yang bersenjata, ada juga penduduk biasa yang membawa parang, celurit, pipa panjang, dan pedang.
Aku berpelukan dengan eyangmu. Eyangmu menangis, padahal sebelumnya dia tidak pernah menangis. Dia sempat bilang agar aku keluar lewat pintu belakang saja, tapi aku tidak mau. Kalau saja aku menurut, aku pasti takkan selamat. Sudah ada orang yang menunggu di pintu belakang juga. Sebagian dari mereka adalah tentara, tapi sebagian lagi orang-orang di desa ini juga, jadi sudah tahu seluk-beluk rumah kami. Aku lalu keluar dan ditangkap. Tidak seperti ayahmu yang langsung dibantai, aku ditahan di kantor polisi, dipenjara di sana satu hari.
Sementara Pak Urip berbicara, Sarah merekamnya
nya nanti. Ia sadar, inilah saat yang ia tunggu-tunggu, mendengarkan kejadian sebenarnya dari saksi langsung.
Keesokan malamnya, aku bersama sembilan orang lainnya dibawa ke suatu tempat. Di sana sudah menunggu sekitar tiga puluh orang bersenjata. Mereka mengenakan baju hitam dan topeng, sepertinya penduduk biasa. Tapi aku tak bisa mengenali mereka. Tangan kami terikat. Kami disuruh berlutut dan mereka mulai membunuhi satu per satu. Aku bersiap-siap menyambut maut, menanti giliranku.
Sarah menahan napas karena tegang.
Ada yang berteriak mohon ampun, tapi tidak digubris. Ada yang minta diizinkan berdoa dulu, juga tidak dipenuhi. Ketika tubuhku ditebas pedang, aku langsung pingsan. Esok paginya, aku sadar dan bersyukur aku masih hidup. Aku hanya luka di punggung. Di sampingku mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan mengerikan. Kurasa aku beruntung, atau belum waktunya mati. Aku langsung lari pulang ke rumah dan tidak keluar rumah selama satu tahun, eyangmu yang mengurusku sampai dia meninggal.
Setelah eyangmu meninggal, aku terpaksa keluar rumah. Situasi sudah mereda dan semua orang kampung takut padaku. Mereka pikir aku punya ilmu kebal. Padahal aku hanya diberi kesempatan hidup kedua oleh Tuhan. Lalu aku menikah dengan budemu dan memutuskan pindah. Aku tinggal di desa ini. Aku
mencoba beternak ayam sampai sekarang, karena aku tahu pekerjaanku yang lama sebagai buruh pabrik tidak akan kudapatkan kembali. Semua anggota PKI yang selamat maupun keturunannya tidak bisa mendapatkan pekerjaan, jadi mereka semua berwiraswasta. Begitulah ceritanya, Pak Urip mengakhiri penuturannya.
Sarah masih tercengang dan tidak bisa berkata apaapa.
Itu kisah yang menakjubkan, desahnya kemudian.
Ya. Kalau dipikir-pikir aku masih hidup setelah ditebas pedang, itu benar-benar keajaiban. Sampai sekarang bekas sabetan pedang itu masih ada.
Ia membuka bajunya dan terlihat goresan cokelat yang cukup tebal melintang dari pundak kanan sampai punggung. Itu bekas luka yang dalam, yang tidak akan hilang selamanya. Begitu pula dengan luka batin yang tertinggal, yang akan teringat setiap kali melihat luka itu.
* * * Pulang dari rumah Pak Urip, Sarah mengajak Surya makan siang di sebuah rumah makan.
Aku akan mentraktirmu karena kau telah menolongku, katanya cepat-cepat, takut Surya menolak. Sarah tahu Surya tak punya uang. Tapi Sarah senang karena
Surya bersedia. Mereka memesan ayam goreng utuh dan sebakul kecil nasi putih.
Banyak sekali. Apa kau mau menghabiskan semuanya" tanya lelaki itu.
Sarah tersenyum dan bergurau, Tentu saja. Aku sanggup menelan sebuah meja. Perutku sangat lapar.
Surya tertawa. Kau pasti tidak makan pagi ini, karena cemas memikirkan pertemuan dengan pakdeku.
Benar. Sekarang rasanya bahanku sudah cukup untuk membuat skripsi, tinggal menambahkan dasar-dasar peristiwa pendukung yang sudah ada dalam sejarah.
Kenapa kau memilih jurusan sejarah" tanya Surya tiba-tiba.
Sarah terdiam. Gunawan yang memilih jurusan teknik sipil juga bertanya seperti ini saat mereka bertemu pertama kali. Gunawan tidak bisa mengerti mengapa Sarah yang sewaktu SMA mengambil jurusan IPA mau masuk jurusan Sejarah. Hal ini membuat Sarah teringat pada pria itu.
Sejarah adalah pelajaran yang kusenangi. Tidak hanya dari biologi saja kita mengenal keajaiban Tuhan. Dari sejarah umat manusia juga bisa, katanya. Benar. Dari matematika juga.
Sarah tertawa. Matematika" Kalau itu sih terlalu dipaksakan.
Kau tidak percaya, ya" Dari mana asalnya bilangan
prima" Dan berapa bilangan prima terbesar yang bisa ditemukan saat ini" Betapa hebatnya Tuhan menganugerahkan sel-sel otak di kepala kita sehingga manusia bisa menghitung. Kalkulator, sang penghitung cepat juga diciptakan oleh otak manusia, jadi manusia lebih hebat daripada kalkulator, lebih hebat daripada komputer yang diciptakannya. Berarti pencipta manusia lebih hebat lagi, kan" Nah, dari matematika kita juga bisa mengenal keajaiban Tuhan.
Mereka berbincang-bincang sambil makan. Sarah bercerita tentang orangtuanya yang tinggal di Denpasar. Ayahnya pengusaha tekstil yang kini sudah pensiun. Perusahaannya kini dipegang oleh orang lain dan beliau tinggal bersenang-senang dan menikmati hidup saja.
Jadi kau orang kaya, ya" tanya Surya. Ah, biasa saja. Kaya-miskin sama saja. Kebahagiaan tidak bisa dinilai dari uang.
Mungkin, tapi tanpa uang orang juga tidak bahagia, renung Surya.
Tapi aku senang melihat kehidupanmu. Tinggal di desa yang tenang, bertani, dan berdagang di pasar. Bekerja tanpa batas waktu. Begitu capek langsung tidur sampai pagi. Hidup sehat karena tidak terkena polusi seperti di kota. Aku juga mau hidup seperti itu di gubukmu, ujar Sarah. Tapi wajahnya langsung memerah ketika menyadari ia berbicara seolah-olah ingin hidup bersama Surya.
Surya mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia kurang suka topik yang dibicarakan Sarah. Waktu kita bertemu di wartel tempo hari, ruangannya tidak kedap suara, jadi aku bisa mendengarmu.
Oh ya" Kau menguping, ya"
Surya tersenyum. Aku tidak sengaja. Kau bertengkar dengan kekasihmu"
Sarah agak kaget. Ia tidak ingin Surya tahu bahwa ia sudah punya kekasih. Entah mengapa. Lagi pula, ia sedang berselisih paham dengan Gunawan dan tidak tahu bagaimana akhirnya. Sarah berusaha mengingatingat apa yang dibicarakannya dengan Gunawan tempo hari, dan bagian mana yang kira-kira didengar Surya.
Bertengkar" Ya& kira-kira begitulah. Dia tidak senang aku pergi kemari, kata Sarah perlahan.
Ya wajarlah. Aku juga tidak akan mengizinkan kekasihku pergi begitu jauh untuk waktu yang lama, kata Surya.
Tapi, bukankah itu terlalu berlebihan" Bagaimana jika kekasihmu itu pergi bukan untuk bersenang-senang, melainkan karena ada urusan penting" Bagaimana jika dia pernah minta izin padamu tapi kau tidak pernah menanggapinya"
Apakah itu yang terjadi padamu" tanya Surya. Sarah mengangguk.
Surya melanjutkan, Tapi di sini kau mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan bersama Dirman. Itu berbahaya bagimu. Lalu kau juga berada di sini
bersamaku. Mungkin itulah yang menyebabkan kekasihmu cemburu.
Tapi hubungan harus dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghargai. Bukan hanya cinta.
Tapi cinta itu egois. Kecuali cinta sejati, dan itu tidak ada, jawab Surya. Kau mencintainya" tanyanya tiba-tiba.
Sarah terdiam. Apakah ia mencintai Gunawan" Bila pertanyaan itu muncul sebelum keberangkatannya kemari dan sebelum mereka bertengkar, ia pasti akan menjawab ya tanpa ragu. Tapi sekarang, terus terang saja ia tidak tahu.
Sarah mengelak, Aku tidak mau membicarakannya. Lebih baik kita bicara tentang dirimu saja. Sudah berapa lama kau dan Lastri berhubungan"
Ekspresi wajah Surya berubah. Tampaknya ia juga tak menyukai topik itu. Tapi Sarah sungguh ingin tahu.
Kami akrab selama dua tahun ini. Dia pernah bilang ingin menikah denganku, tapi aku tidak pernah bilang ingin menikah dengannya. Pernikahan kami tidak mungkin terjadi karena ayahnya pasti takkan mengizinkan. Tapi aku tidak pernah berkata tidak. Kupikir lama-lama dia akan sadar sendiri, kata Surya akhirnya.
Entah mengapa Sarah senang mendengar hal itu. Jadi sebenarnya kalian tidak berpacaran"
Sarah mengenali ekspresi tidak senang di wajah Surya. Aku tidak tahu. Sama sepertimu, aku juga tak
Baiklah, sudah waktunya kita pulang, kata Sarah. Ia tidak menghabiskan nasi dan ayamnya. Rupanya ia tidak terlalu lapar seperti yang dikiranya. * * *
Karena terjadi kemacetan akibat ada truk terbalik, mereka tertahan di jalan. Ketika mereka tiba di rumah Lastri, hari sudah gelap. Sudah pukul enam lewat. Sarah sama sekali tidak merasa lelah. Ia sangat senang hari itu. Bukan hanya karena perjalanannya berhasil dan ia mendapatkan sesuatu untuk bahan skripsinya, tapi ia juga senang karena bisa bersama Surya. Ia tidak tahu kenapa, dan ia tidak mau tahu kenapa. Telinganya ditutup erat-erat dari suara hatinya yang terus berbicara. Ia tidak mau mendengar pendapat apa pun. Ada sesuatu yang tidak benar, ia tahu itu. Tapi ia tidak peduli.
Di depan rumah Lastri yang lampunya masih belum dinyalakan, mereka berdua berdiri dan berpandangan. Tanpa kata-kata mereka bicara lewat sorot mata. Keduanya tidak ingin berpisah. Mereka sama-sama tahu, kalau mereka berpisah sekarang, esok mereka tidak akan punya alasan untuk bertemu kembali.
Sarah menyadari ia telah jatuh cinta pada Surya. Perasaan itu begitu kuat sehingga hatinya melambung tinggi dan ia sangat bahagia bisa memandang pria itu dari dekat. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Surya
terhadapnya, tapi ia yakin ada sesuatu di antara mereka.
Sebenarnya perasaan ini amat ganjil, dan tidak boleh muncul ke permukaan. Ia sudah punya Gunawan dan Surya sudah punya Lastri. Bila mereka berhati-hati, mereka bisa menahan perasaan masing-masing. Tapi sayang, mata mereka tak bisa berdusta. Sarah pernah melihat sorot itu di mata Gunawan, sesekali, pada saat awal-awal pertemuan mereka. Ia juga pernah merasakan kebahagiaan ini, dulu, pada saat hubungannya dengan Gunawan baru bersemi. Baru disadarinya sekarang ia sudah tidak lagi mencintai Gunawan. Entah sejak kapan, mungkin sejak ada orang lain yang mengisi hatinya, yaitu Surya.
Kepribadian lelaki ini begitu kuat, dan betapapun banyaknya perbedaan serta lebarnya jurang di antara mereka, ia tidak akan bisa menghindar dari jatuh cinta padanya. Kini Surya memandangnya, lama sekali, membuat Sarah bergetar. Merasakan pandangan Surya membelainya, menyentuh rambutnya, pipinya, dan bibirnya, hanya lewat getaran yang terasa pekat di udara.
Ternyata itu bukan sekadar lamunan. Surya memang mendekatkan bibirnya ke bibir Sarah dan sedetik kemudian bibir mereka bersentuhan. Tubuh Sarah gemetar ketika Surya meraihnya ke dalam pelukannya dan tubuh mereka saling merapat.
reka saling melepaskan diri dan menoleh. Lastri berdiri di belakang mereka dan baru menyalakan lampu depan. Kini tempat mereka berdiri sudah agak terang dan tidak gelap seperti tadi.
Aku pulang dulu, kata Surya pada Sarah. Kemudian pada Lastri ia berkata, Lastri, aku pulang dulu. Dan tanpa menunggu jawaban, Surya berlalu dari situ.
Lastri menatap kepergian Surya dengan hampa. Sarah berdiri dengan perasaan malu. Apakah Lastri tadi melihat mereka" Mustahil kalau tidak, sebab mereka dekat sekali dengan rumah. Tolol sekali, berciuman di depan rumah orang lain, pikir Sarah. Tapi ini di luar rencana, lagi pula ini bukan perselingkuhan, bela Sarah pada dirinya sendiri. Ia tahu masalahnya bukan itu. Ini masalah etis. Surya sudah menjadi milik Lastri dan mereka sudah membicarakan pernikahan. Lagi pula ia menumpang tinggal di rumah Lastri. Sungguh seperti pagar makan tanaman saja.
Lastri berbalik dan menghadap Sarah. Ia berkata perlahan, Ternyata aku sudah salah menilai Mbak. Kemudian ia masuk ke rumah.
Sarah diam saja, tetap berdiri di tempatnya. Ia merasa sangat bersalah dan malu pada dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya" Sedangkan ia sendiri masih berstatus kekasih Gunawan! Berarti ia tak setia. Sarah melangkah masuk ke rumah. Pintu kamar
Lastri tidak ditutup. Ia memberanikan diri masuk ke kamar dan melihat gadis itu sedang duduk di depan meja, menghadap ke jendela, persis seperti kemarin. Lastri, maafkan aku, kata Sarah perlahan. Hanya ada keheningan di antara mereka. Tapi ketegangan merebak di udara. Lastri berkata perlahan, Mbak sudah menghancurkan masa depanku. Apakah kalian berdua saling jatuh cinta" tanyanya. Aku tidak tahu, kata Sarah pelan.
Tiba-tiba Lastri berdiri dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya penuh air mata. Kalian berdua mengkhianatiku hanya untuk cinta yang kalian sendiri tidak tahu ada atau tidak. Aku cinta dia, Mbak. Aku mengharap cintanya selama dua tahun ini! Aku rela menjadi perawan tua demi dia! Aku menunggu sampai dia sendiri lelah dan akhirnya mau menikah! Tapi Mbak sudah menghancurkan hidupku hanya dalam waktu tiga hari. Apakah itu adil" serunya.
Maafkan aku, Lastri. Aku benar-benar khilaf. Mbak sendiri sudah punya kekasih di Jakarta, kan" Kenapa Mbak harus merusak semuanya" Mbak sudah membuat dua orang sakit hati, aku dan kekasih Mbak. Lagi pula, apa Mbak sudah berpikir matang-matang" Denganku saja yang tinggal di desa Mas Surya masih pikir-pikir untuk menikah karena dia merasa tidak sanggup bersanding dengan anak kepala desa. Tidakkah perbedaan Mbak dengan dia lebih banyak lagi" Yang satu di kota, satunya di desa, apakah dia mau
ikut Mbak ke kota atau Mbak yang pindah ke desa" Berarti Mbak sudah membuat empat orang menderita, aku, kekasih Mbak, Mas Surya, dan Mbak sendiri!
Sarah mendekati Lastri dan memegang bahu gadis itu. Lastri, sudahlah& Aku menyesal. Besok kita bicarakan lagi semuanya. Sekarang kau masih emosi. Aku pun sudah lelah.
Lastri menepis tangan Sarah. Keluarlah, Mbak! Aku sudah muak melihat wajahmu, kata Lastri perlahan.
Sarah terdiam dan keluar dari kamar itu. Setelah kepergian Sarah, Lastri melemparkan tubuhnya ke ranjang. Ia menangis. Hatinya sangat sedih, bagaikan melihat bunga yang sudah ditanamnya bertahun-tahun diinjak-injak orang dalam sekejap.
* * * Dewi berjalan menuju pasar. Biasanya Surya yang membawa hasil panen bawang mereka. Tapi karena hari ini Surya berhalangan, Dewi-lah yang membawanya dengan sepeda. Nanti dia akan menitip jual bawang-bawang itu pada Pak Ahmad, pedagang sayur di pasar.
Semalam ia melihat adiknya itu tidak tidur sampai larut malam. Surya hanya termenung sambil duduk di ruang tamu, tidak tahu apa yang dipikirkannya. Ketika Dewi bangun jam empat pagi, dilihatnya adiknya masih berada di situ. Ia lalu menyuruh Surya tidur dan
ia yang akan pergi ke pasar. Adiknya tidak menolak, kelihatannya ada beban berat yang sedang ditanggungnya. Apakah karena masalah Lastri" Atau... Dewi menduga-duga, mungkinkah karena gadis cantik dari Jakarta itu" Sejak awal Dewi sudah melihat ada sesuatu yang terjadi antara Surya dan gadis itu. Sarah gadis yang menarik dan tampaknya tertarik pada adiknya. Jangan-jangan Surya juga tertarik pada gadis itu. Hubungan mereka tidak akan bisa berhasil, terlalu banyak perbedaan.
Dewi memikirkan hubungan adiknya dengan Lastri. Pribadi adiknya terlalu kuat untuk bisa bersatu dengan Lastri. Surya tidak mencintai Lastri. Hal itu sudah diketahuinya sejak Surya mengulur-ulur masalah pernikahan dan enggan membicarakannya. Terkadang Dewi berharap Surya mencari kerja di kota, Madiun, Surabaya, Jakarta, atau ke mana saja. Dia siap mengurus Ibu sendiri. Pokoknya kepandaiannya jangan terkubur di sini. Dewi sedih melihat Surya harus menjadi petani serta menyia-nyiakan ijazah dan otaknya. Tapi Surya terlalu bertanggung jawab kepada Dewi dan Ibu. Ia tidak bisa meninggalkan mereka.
Kalau saja aku tidak bisu, pikir Dewi. Tapi sejak berusia empat tahun dan menyaksikan pembantaian ayahnya, ia tidak bisa bicara walaupun ingin. Pita suaranya seakan terputus dan tenggorokannya tersumbat. Ia menerima nasibnya ini dan tidak menyesalinya. Dunia tanpa suara lebih baik baginya. Ia tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, baik dari orang lain maupun dari dirinya sendiri.
Ia sudah tiba di pasar. Cepat-cepat ia menemui Pak Ahmad dan menyerahkan karung bawang yang dibawanya. Ketika Pak Ahmad bertanya berapa banyak, Dewi mengacungkan kedelapan jarinya, semuanya delapan kilo. Ia mengambil sayur labu dan kacang panjang, lalu cepat-cepat permisi. Uangnya akan diambil Surya besok. Ia tidak suka berada di tengah keramaian. Keramaian membuatnya gugup dan tidak percaya diri. Tapi langkahnya terhalang oleh seseorang. Orang itu tidak mau minggir. Dewi menatap orang itu dengan marah, tapi kemudian ia terkejut. Labu dan kacang panjangnya jatuh ke tanah.
Arif memungut labu dan menyerahkannya pada Dewi yang menundukkan wajahnya yang memerah. Dewi menerima labu itu dan langsung berlari keluar pasar. Arif mengejarnya.
Dewi, tunggu! panggilnya.
Arif berhasil mengejar Dewi. Mereka berjalan bersama di jalan setapak menuju desa.
Kenapa kau selalu menghindar kalau bertemu denganku" tanya lelaki itu.
Dewi menggeleng. Ia mengatakan dalam bahasa isyarat bahwa ia buru-buru karena Surya sedang sakit. Arif sedikit-sedikit mengerti bahasa isyarat karena mempelajarinya dari buku.
Sakit apa" Parah tidak" tanyanya lagi.
Dewi menggeleng. Sebenarnya Surya memang tidak sakit, itu hanya alasannya saja.
Tidak parah" Kalau begitu kau masih punya waktu berbicara denganku.
Dewi memandang Arif penuh tanya.
Orang tuaku akan menjodohkanku dengan putri kenalan mereka.
Dewi diam saja. Kau keberatan"
Dewi menjawab dengan gelengan kepala. Kau akan sendirian, dan aku akan menikahi gadis yang tidak kucintai. Kau tahu aku hanya mencintaimu. Sekarang aku punya dua pilihan: menikah denganmu atau menikah dengan gadis itu. Usiaku sudah hampir 38 tahun. Apakah kau mau melewatkan satu-satunya kesempatan untuk berkeluarga" Apa kau mau seumur hidup membebani adikmu dengan menjadi perawan tua" tanya Arif berusaha menggugah hati Dewi.
Dewi menatap Arif dengan marah. Ini bukan urusanmu, katanya dengan bahasa isyarat.
Arif berhenti, ia menghadapkan Dewi ke arahnya. Aku mencintaimu, aku tahu kau juga mencintaiku. Kita telah sama-sama menunggu lama untuk satu hal yang tidak berarti. Kau pasti pernah bertemu Sarah, gadis Jakarta itu. Dia sedang melakukan penelitian tentang pembantaian anggota PKI. Dia akan membuktikan bahwa kedua belah pihak tidak bersalah. Ayahku dan
dakkah kau sadar" Kau menyia-nyiakan hidupmu dengan mengorbankan diri untuk sesuatu yang kini sudah bukan masalah lagi. Bukan ayahku yang membunuh ayahmu, tapi mengapa kau menganggapnya seolah-olah begitu"
Dewi menjawab dalam gerakan-gerakan tangan yang cepat. Kalau kau mau menikah, silakan saja. Aku tidak mau menikah untuk selamanya. Seandainya pun ayahmu dan ayahku bukan dari golongan yang berlawanan, aku tetap tak mau menikah. Aku gadis cacat, kau normal. Menikahlah dengan gadis yang dipilihkan orangtuamu. Kau pasti akan bahagia bersamanya.
Lalu ia meninggalkan Arif yang terpaku memandang kepergiannya.
* * * Sarah berdiri ragu-ragu di depan pagar rumah Surya. Semalam ia tidak bisa tidur, tapi sekarang ia tidak mengantuk. Hanya matanya tampak layu dan ada lingkaran hitam di bawahnya. Ia ingin menjernihkan persoalan dengan Surya, melihat dampak yang sudah terjadi, dan apa yang masih bisa diselamatkan. Katakata Lastri semalam benar, ia keterlaluan.
Seseorang menyentuh bahunya. Sarah terlonjak kaget dan menoleh ke belakang. Ia melihat Dewi.
Apakah kau mau bertemu Surya" tanya Dewi sambil menggerakkan tangan.
Sarah tersenyum dan berkata, Ya. Apakah dia ada"
Dewi mengangguk. Ia membuka pintu pagar dan mengajak Sarah masuk. Ia menyuruh Sarah duduk di balai-balai depan rumah lalu masuk. Beberapa saat kemudian ia kembali, tapi tidak bersama Surya. Ia membawa sehelai kertas dan bolpoin. Sarah mengerti bahwa Dewi ingin berbincang-bincang dengannya melalui tulisan.
Kemarin Surya tidak tidur semalaman. Apa terjadi sesuatu di antara kalian" tulis Dewi.
Sarah menjawab ragu-ragu, Kira-kira begitu, Mbak. Kemarin& Lastri melihat kami berdua dan dia cemburu. Mungkin Mas Surya memikirkan hal itu.
Lastri orangnya pemaaf dan tidak cepat marah. Surya tidak mungkin memikirkan hal itu. Mungkin dia malah memikirkanmu.
Wajah Sarah berubah merah. Sekelebat ia teringat kejadian kemarin ketika mereka berciuman. Tiba-tiba wajahnya menghangat. Tidak mungkin, Mbak. Mm& bolehkah aku bertemu dengannya sekarang" Surya sedang tidur, tulis Dewi.
Sarah menampakkan ekspresi kecewa. Kalau begitu aku akan kembali nanti. Permisi, Mbak.
Sarah bangkit dari tempat duduknya dan pergi keluar. Dewi mengejarnya dan meletakkan tangannya di bahu Sarah. Ia menulis lagi. Aku bisa melihat telah terjadi sesuatu di antara kalian. Tapi apa pun itu, sebaiknya
kau melupakannya. Lastri lebih tepat untuknya. Kau jangan mengganggu hubungan mereka.
Sarah merasa tidak enak hati. Ia berkata, Mbak, sejujurnya kedatanganku hari ini adalah ingin menjernihkan persoalan di antara kami. Aku tahu maksud Mbak dan aku mengerti. Kalau Mbak memanggilkan Mas Surya keluar, persoalan ini akan cepat selesai dan aku tidak akan muncul lagi di hadapan kalian.
Dewi mengangguk dan masuk ke rumah. Beberapa saat kemudian Surya keluar sambil menyipitkan matanya karena sorot matahari. Kelihatannya ia baru bangun tidur.
Sarah& , panggilnya sedikit terkejut melihat kehadiran gadis itu di hadapannya.
Mas Surya& Mereka berpandangan beberapa saat, dan kata-kata yang sudah disiapkan Sarah terlupakan semuanya.
Kau datang ke sini pagi-pagi, ada sesuatu yang penting" tanya Surya berusaha menjaga jarak.
Semalam& Surya dan Sarah mengucapkan kata itu berbarengan. Dalam keadaan biasa, mereka tentu akan tertawa. Tapi kali ini mereka jadi tahu bahwa yang mereka pikirkan sama.
Semalam adalah kesalahan, kata Sarah cepat-cepat. Aku minta maaf karena telah merusak hubungan Mas Surya dan Lastri. Kurasa kalau kau memberitahukannya sekarang pada Lastri, dia akan mengerti bahwa kita berdua hanya terbawa suasana&
Surya terdiam, lalu berkata, Aku juga mau mengatakan hal yang sama. Semalam adalah kesalahan. Kau sudah punya kekasih di Jakarta, kau pasti terbawa suasana. Tapi aku tidak akan mengatakan apa-apa pada Lastri. Dia pasti mengerti bahwa aku tidak mencintainya.
Sarah menatap Surya dengan seribu satu perasaan bergumul di hatinya, tapi tak bisa terucapkan. Lalu ia berkata, Besok aku akan kembali ke Jakarta. Penelitianku sudah selesai. Kemudian ia berbalik dan keluar dari pagar dengan setengah berlari, seolah berusaha menjauhi sesuatu yang terus mengejarnya. Kebenaran yang disangkalnya.
* * * Arif termenung di ruang tamu dan tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan ayahnya. Arif! Kau dengar kata-kataku" seru Pak Sanip.
Arif tersentak. Pak Sanip mengulangi.
Aku ingin kau cepat menikah, Nak. Kau sudah tua. Aku tahu kau mencintai gadis bisu itu, tapi mau sampai kapan" Dia juga sudah tua. Kau mungkin tidak bisa punya anak darinya. Dia juga bisu. Bagaimana orang bisu bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik" Aku tahu tentang cinta. Tapi cinta yang kau punya ini benar-benar keterlaluan. Apa kau tidak mau meneruskan garis keturunan keluarga kita"
Pak, bisakah kita bicarakan ini lain kali" elak Arif.
Pak Sanip terlihat jengkel menghadapi anaknya. Kau selalu mengatakan begitu. Tapi Ratna tidak bisa menunggu lama-lama. Dia harus menerima jawaban secepatnya. Kalau tidak, dia akan menikah dengan orang lain. Kaupikir kau satu-satunya bujangan yang ada di desa ini" Sudah bagus ada yang mau menikah dengan bujangan berusia 38 tahun! Apalagi dengan gadis sebaik dan secantik Ratna.
Kalau begitu biar saja dia menikah dengan orang lain, sahut Arif pendek.
Pak Sanip menghela napas. Ia berkata dengan nada yang lebih sabar, Baiklah, aku mengalah. Kalau kau mau kawin dengan si bisu itu, aku akan melamarnya. Tapi kalau ibunya menolak, kau harus berjanji untuk menikah dengan Ratna. Aku ingin tahu& Ia tak melanjutkan perkataannya.
Arif memandang ayahnya dengan terkejut. Tapi ia lalu berkata, Baiklah, aku setuju.
S IANG itu juga, ditemani Arif, Pak Sanip mengunjungi rumah Surya. Istrinya tidak mau ikut campur karena takut terbawa suasana tidak enak. Sudah lama mereka tahu bahwa ibu Surya tidak senang pada Pak Sanip. Tapi Pak Sanip tidak peduli, ia merasa persoalan ini terlalu lama dibiarkan berlarut-larut. Bila ia tidak menyelesaikannya sekarang juga, seumur hidup Arif tidak akan menikah dan larut dalam impian cintanya yang tidak masuk di akal. Ia sudah siap mental untuk mendapatkan penolakan, sebab memang itulah tujuannya. Arif harus dihadapkan pada kenyataan.
Permisi! panggilnya. Dewi keluar dan langsung ternganga kaget melihat siapa yang datang. Ia buruburu memanggil ibunya dari kamar tanpa mempersilakan tamunya masuk lebih dulu.
Bab Tujuh dengan wajah lesu dan pucat karena tidak terbiasa bangun dari tempat tidur. Selama ini sakitnya tidak terlalu terasa bila ia berbaring setengah duduk di tempat tidur. Bila ia berjalan, napasnya akan terengah-engah, seolah-olah paru-parunya hanya setengah dari ukuran normal dan tidak bisa menampung banyak oksigen.
Pak Sanip& ! katanya agak terkejut. Ia mempersilakan Pak Sanip dan Arif duduk di ruang tamu. Dewi menghidangkan dua cangkir teh dengan tangan gemetar, lalu ia masuk kembali ke dalam.
Boleh saya tahu, ada perlu apa, ya" tanya Bu Ayu dengan nada dingin.
Pak Sanip menghela napas seolah ingin menghimpun kekuatan sebelum berbicara.


Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mbakyu, kedatangan saya hari ini adalah untuk membicarakan masalah kedua anak kita. Saya ingin tahu apakah Mbakyu memperbolehkan Dewi menjadi istri anak saya, kata Pak Sanip langsung.
Arif sedikit tidak setuju dengan ucapan ayahnya yang terlalu cepat, seolah-olah memang mengharapkan jawaban yang negatif saja. Tapi ia tak punya pilihan lain. Mumpung ayahnya mau melakukan hal ini.
Bu Ayu terkejut. Ia mencari-cari sosok anaknya di belakangnya, tapi Dewi entah berada di mana.
Anak saya bisu, dia tidak akan menjadi istri yang baik, kata Bu Ayu dengan nada yang masih sama dinginnya dengan tadi.
Pak Sanip berkata tidak sabar, Saya tahu itu. Seandainya saya tidak mempersoalkannya, apakah Mbakyu mengizinkan"
Kini nada suara Bu Ayu mulai ketus. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menikahkan anakanak kita. Kalau saya setuju, sudah sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu saya suruh Dewi menikah dengan Arif. Jika Arif sudah pantas menikah, mengapa dia tidak menikah dengan gadis lain saja"
Sekarang Pak Sanip sudah tidak dapat menahan penghinaan ini. Saya juga bermaksud begitu, tapi apa daya anak saya hanya mencintai Dewi. Kalau Mbakyu tidak memperbolehkannya, dia akan saya nikahkan dengan gadis lain.
Bu Ayu menjawab sarkastis, Kalau begitu silakan saja. Saya tidak akan mengizinkan anak saya menikah dengan anak pembunuh suami saya.
Pak Sanip berdiri dari bangku. Tubuhnya bergetar menahan marah.
Mbakyu jangan sembarangan ngomong, ya! Suami Mbakyu dibunuh siapa, Mbakyu saja tidak tahu! Jangan sembarangan menuduh orang. Saya tahu pembunuh sebenarnya, dia orang desa ini juga. Selama ini saya tidak mengatakannya karena saya menjaga reputasi orang itu. Terserah Mbakyu mau percaya atau tidak. Walaupun memimpin pemberantasan PKI, saya tidak pernah membunuh dengan tangan saya sendiri! Permisi! serunya.
Pak Sanip keluar dari rumah itu dengan wajah garang. Arif memandang ayahnya yang berlalu dari rumah itu. Ia lalu memandang Bu Ayu dan berkata, Maafkan Bapak, Bulik. Dia memang cepat marah. Saya mewakili Bapak untuk minta maaf pada Bulik. Lalu ia juga keluar dari rumah itu.
Bu Ayu bergeming. Ia tidak peduli seandainya keluarga mereka tidak akan saling bicara lagi seumur hidup sekalipun. Tapi Dewi keluar dari ruangan dan mengejar Arif keluar rumah.
Dewi! panggil ibunya, tapi Dewi itu tidak mendengarnya.
Bu Ayu geleng-geleng kepala dan meneteskan air mata. Hidup ini memang menyakitkan. Ia sudah pasrah bila Tuhan mencabut nyawanya. Ia lebih senang itu terjadi daripada melihat kejadian ini. Mengapa Dewi harus jatuh cinta pada Arif" Ada banyak pria, mengapa harus Arif"
* * * Arif tidak tahu Dewi mengejarnya. Ia terus berjalan menjauhi rumah gadis itu. Sambil berlari, Dewi berusaha meneriakkan nama Arif, tapi suaranya tidak keluar. Akhirnya ia sampai juga di pematang sawah, persis di belakang lelaki itu. Digapainya pundak Arif, tapi Dewi kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke lumpur.
Arif menoleh, dan terkejut melihat Dewi terjatuh di
belakangnya. Cepat-cepat diulurkannya tangannya pada gadis itu. Pegang tanganku!
Dewi berusaha bangkit dan menangkap tangan Arif. Kemudian ia merasa tubuhnya tertarik ke atas hingga ia bisa berpijak di pinggiran pematang. Ia tersenyum. Arif juga.
Saat Dewi membersihkan bagian belakang roknya yang berlepotan lumpur, Arif membantu membersihkannya dengan daun pisang yang dirobeknya dari pohon di dekat situ. Mereka lalu mencari tempat teduh dan duduk bersisian.
Maaf, Dewi menggerakkan tangannya.
Tidak apa-apa. Aku tidak tahu ternyata ibumu begitu membenci keluargaku.
Dewi diam saja dan memandang ke depan, ke arah sawah yang panas terik.
Apakah itu sebabnya kau tidak mau menerima cintaku" Karena ibumu"
Bukan karena itu, jawab Dewi. Tapi karena aku bisu. Arif menggelengkan kepala agak kesal. Sudah kubilang, cacatmu tidak menjadi masalah bagiku. Kalau kita sudah saling mencintai, kenapa kita tidak berani mencoba" Kau bisa mulai membujuk ibumu untuk menyetujui pernikahan kita. Bagaimana"
Dewi diam. Lalu ia mengangguk perlahan. Arif tersenyum dan memegang tangan Dewi. Ia hanya mencintai gadis itu. Ia tahu mengapa, karena Dewi-lah yang memikat hatinya sejak pertama benih
cinta itu tumbuh. Sejak mereka remaja. Kelembutan Dewi, kebaikannya, hatinya yang bersih, semua terpancar di wajahnya yang bening.
* * * Sarah membereskan barang-barangnya. Saat itu sudah sekitar jam sebelas siang. Tadi pagi ia sudah bangun sepagi mungkin agar bisa berbicara dengan Lastri, tapi Lastri menghindarinya dan berangkat mengajar tanpa sarapan lebih dulu. Pak Suprapto bersikap biasa saja karena tidak tahu apa yang terjadi. Tapi terus terang, Sarah jadi resah menghadapi sikap diam Lastri. Apa pendapat gadis itu tentang perbuatan Sarah" Air susu di"balas air tuba"
Saat menyusun pakaiannya ke dalam tas, Sarah menemukan saputangannya yang dulu dipinjamkannya pada Surya. Saputangan itu sudah dicucinya, tapi noda darahnya tak bisa hilang sempurna. Ia mencium saputangan itu sepenuh hati dan menempelkannya ke pipi. Ia sangat mencintai Surya, dan itu sangat menyakitkan hatinya, karena ia tahu cinta mereka takkan bisa bersatu sampai kapan pun.
Terdengar ketukan di pintu. Siapa, ya" pikir Sarah. Pak Suprapto dan Lastri tidak ada di rumah. Ia malas membuka pintu. Lebih baik dibiarkan saja. Bila orang itu mengira di rumah ini tidak ada orang, nanti juga pergi sendiri, pikir Sarah. Tapi ketukan itu berbunyi
terus, hingga akhirnya Sarah mengintip lewat jendela. Dilihatnya Surya berdiri di depan pintu. Hatinya berdebar-debar melihat lelaki itu. Buru-buru ia membuka pintu.
Mas Surya! Mas ingin bertemu Lastri" Tapi Lastri sudah berangkat mengajar, katanya. Sebenarnya Sarah tahu, tak mungkin Surya mencari Lastri pada jam seperti ini.
Aku ingin bertemu denganmu, kata lelaki itu. Sarah bimbang sejenak. Ia lalu berkata, Masuklah. Setelah Surya masuk, mereka duduk di ruang tamu. Sarah membiarkan pintu depan terbuka.
Ada apa, Mas" Apakah kau ingin memintaku mencarikan pekerjaan di Jakarta" Atau kau khawatir di Jakarta tidak punya tempat tinggal" Aku bisa mencarikan tempat kos yang bagus tapi tidak begitu mahal, kata Sarah panjang-lebar. Ia sengaja mulai bicara lebih dulu karena takut Surya berbicara tentang hal yang tak ingin didengarnya.
Aku sama sekali tidak tertarik hidup di Jakarta, kalau kau ingin tahu, kata Surya. Bila kausangka aku akan mengikutimu ke Jakarta dan menggantikan tempat kekasihmu, kau salah. Aku tidak ada niat untuk pindah rumah.
Sarah cepat-cepat berujar, Kau salah sangka, Mas! Aku tidak bermaksud begitu&
Surya mengubah nada suaranya, berusaha lebih lembut. Aku mengerti maksudmu. Niatmu baik, supaya
aku punya pekerjaan, tapi bagiku hidup seperti ini sudah cukup.
Sarah terdiam. Lebih baik ia mendengarkan Surya bicara, daripada pembicaraan mereka melantur ke mana-mana.
Surya berkata ragu-ragu, Aku hanya ingin mengatakan bahwa& kejadian kemarin, bukan salahmu sepenuhnya. Aku& belum pernah mencium wanita mana pun. Tidak Lastri, tidak juga lainnya.
Sarah hanya mendengarkan. Hatinya bergetar menatap mata Surya. Kalau mau jujur, benih cinta terhadap Surya juga mulai bersemi di hatinya. Ia belum pernah merasakan perasaan sedalam ini, bahkan pada Gunawan. Anehnya, sepotong hatinya juga terasa sakit, seiring dengan tumbuhnya cinta itu.
Aku& mencintaimu, tegas Surya. Mas&
Aku hanya ingin mengatakan hal itu. Aku ingin berterus terang. Aku tidak berharap lebih dari sekadar jatuh cinta. Aku tahu kita tak bisa bersatu. Aku tahu kau tidak mungkin pindah ke sini, atau aku pindah ke tempatmu. Terlalu banyak perbedaan di antara kita, dan kita tidak harus memaksakan diri.
Mas Surya& Aku juga tidak mau menjalin hubungan sesaat, yang tidak ada akhir yang jelas. Bagiku itu cuma buang-buang waktu, kata Surya cepat.
Sarah menggelengkan kepalanya. Mas Surya, dengarkan aku! Aku juga mencintaimu, Mas! Kita berdua sama.
Surya terdiam dan menatap Sarah.
Sarah melanjutkan, Kenapa perasaan di antara kita begitu kuat" Karena kita berdua merasakannya. Tapi mengapa&
Mengapa ini bisa terjadi" gumam Surya. Ya. Mengapa terjadi pada kita" Mengapa aku tidak lahir di desa ini atau kau lahir di Jakarta" Mengapa harus ada Lastri" Mengapa&
Mengapa kau juga sudah punya kekasih" Sarah menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak, Mas. Itu bukan masalah bagiku. Aku sadar selama ini aku tidak mencintai Gunawan. Mungkin dulu pernah, tapi perasaan itu hilang begitu kami menyadari banyak ketidakcocokan di antara kami.
Surya tersenyum hambar. Begitulah. Itulah yang kutakutkan. Sekarang kita merasakan cinta, tapi begitu terbentur banyak perbedaan dan ketidakcocokan, kita akan berpisah. Tidakkah sebaiknya kau dan aku berpisah saja sekarang" Sebelum semuanya berkembang lebih jauh" katanya.
Dari mana kau tahu kita tidak cocok" Kita belum mencoba&
Surya tertawa sumbang. Sudah jelas banyak ketidakcocokan yang akan timbul. Kau takkan tahan hidup susah bersamaku. Aku juga tak bisa hidup mengandalkan uang orang lain.
Sarah menatap Surya. Bisa, asal ada kemauan. Kau bisa bersamaku jika kau mau mengalah dan tidak gengsian. Aku juga bisa bersamamu, aku bersedia hidup prihatin. Kita berdua bisa mencoba kalau kita mau.
Tidak. Untuk saat ini aku belum berpikir sejauh itu.
Sarah terdiam. Lalu, mengapa barusan kaubilang cinta padaku" Kenapa kita tidak pura-pura tidak tahu saja dan membiarkan semua ini berlalu" katanya perlahan. Mas Surya, aku juga memikirkan Lastri. Dia mengharapkanmu. Kalau saja kau mau bersamanya, aku bersedia mengalah. Bukan karena perasaanku terhadapmu tidak kuat, tapi karena aku merasa dia bisa menjadi istri yang baik bagimu&
Aku tidak mencintainya, itu saja sudah cukup sebagai alasan, sela Surya.
Sesosok tubuh muncul dari balik pintu. Mereka terkejut memandang gadis yang baru masuk. Lastri& ! Saking seriusnya berbicara, mereka tak sadar sekarang sudah waktunya Lastri pulang dari mengajar.
Lastri berkata dengan wajah pucat, Aku sudah mendengarnya, Mas Surya. Hentikanlah, aku tak tahan bila kau meneruskan kata-katamu.
Surya dan Sarah berkata berbarengan, Lastri& Sudahlah, jangan katakan apa-apa. Aku mau ke kamar saja. Bila kalian ingin melanjutkan pembicaraan, usahakan supaya tidak terdengar olehku. Maaf, tadi aku bukan bermaksud menguping. Tapi pintu pagar
tidak ditutup dan& Lastri tidak melanjutkan katakatanya. Ia terlihat seperti akan menangis. Ia masuk ke kamarnya.
Sarah menoleh pada Surya dengan wajah pucat. Bagaimana, Mas" Aku jadi tidak enak. Biarkanlah. Lebih baik dia mengetahui kebenarannya sejak dini. Usianya masih muda, dia bisa mencari pria lain, kata Surya. Besok kau pulang" Sarah mengangguk.
Aku ingin mengajakmu menemui ibuku sebelum kita berpisah. Bisa sekarang"
Sarah mengangguk dan mengikuti Surya. * * *
Pak& Arif menghampiri Pak Sanip yang sedang duduk dan membaca koran.
Apa lagi" Sekarang sudah jelas kan, keinginanmu tidak akan disetujui" Kau tidak boleh ingkar janji. Kau harus menikahi Ratna, kata sang ayah tanpa menurunkan koran yang menutupi wajahnya.
Aku ingin bertanya satu hal pada Bapak. Hmm" gumam Sanip, tidak mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya.
Siapa pembunuh ayah Dewi" Kenapa Bapak tidak pernah cerita bahwa Bapak tahu siapa pembunuhnya" tanya Arif.
Pak Sanip meletakkan korannya ke meja. Mengapa
aku harus memberitahumu hal-hal seperti itu" Itu rahasia jabatan!
Tapi sekarang Bapak tidak lagi menjadi ketua keamanan, juga tidak menjadi pemimpin gerakan pemberantasan PKI. Aku ingin tahu&
Untuk apa" Untuk kauberitahukan pada perempuan itu sebagai maskawinmu" bentak Sanip. Tidak tahu malu! Bapak malu punya anak sepertimu. Sudah ditolak masih memaksa. Lagi pula kau ingkar janji. Kaubilang setelah kau ditolak kau mau menikah dengan Ratna. Apa semuanya jadi mentah lagi" Kalau begitu, sia-sia saja Bapak datang ke sana dan dicaci maki sebagai pembunuh oleh ibunya! Keterlaluan!
Brak! Pak Sanip menggebrak meja. Wajahnya merah padam.
Arif bertanya dengan lebih halus, Aku hanya bertanya siapa pembunuhnya, Pak. Aku sudah dewasa, masa Bapak tidak percaya pada anak sendiri"
Pak Sanip menghela napas. Aku akan memberitahumu. Tapi kau tidak usah datang lagi ke rumah perempuan tua itu. Bapak tidak habis pikir, mengapa perempuan itu begitu keras kepala" Ia menarik napas sejenak. Dulu Bapak memang jadi kepala keamanan desa. Waktu itu ada perintah dari pihak militer bahwa mereka akan bekerja sama dengan keamanan dalam membasmi PKI. Bapak harus merekrut anak muda untuk menjadi pembantai karena militer tidak mau memasukkan segitu banyaknya orang dalam penjara dan
harus memberi makan mereka. Bukan& bukan itu masalahnya. Sebenarnya mereka juga bingung apa tuntutan terhadap anggota PKI, padahal tidak semuanya mengerti persoalan. Bahkan mereka tidak mengerti komunis itu apa, hanya ikut-ikutan. Memang agak kejam, tapi karena perintah dari atas begitu, ya Bapak ikuti saja daripada dianggap membelot dan dibantai sekalian.
Waktu itu Bapak berteman baik dengan Usman, bapaknya Dewi. Walaupun dia pengikut PKI dan aku sendiri pengikut partai yang berbeda, aku tetap menjalin hubungan baik dengannya. Bahkan kami pernah membicarakan akan menjodohkan kau dan Dewi, tapi Usman cuma bilang, terserah anaknya nanti. Kalau memang jodoh, nanti juga jadi, katanya waktu itu. Tak kusangka kau dan Dewi memang saling mencintai, keluh Pak Sanip.
Arif mendengarkan dengan serius. Tidak disangka ayahnya dan ayah Dewi berteman dekat. Mestinya hubungan mereka berjalan baik bila tidak ada peristiwa yang membuat prinsip hidup mereka berbeda. Yang lebih buruk lagi, Bu Ayu juga tahu bahwa suaminya dan Pak Sanip bersahabat. Akibatnya, ia merasa dikhianati dan sekarang mereka malah jadi musuh.
Nama ayah Dewi ada dalam daftar yang kupegang. Aku mencari jalan agar dia tidak ikut dibantai dengan menghapus namanya dari daftar itu. Waktu itu aku tidak bilang padanya. Kupikir setelah semuanya berlalu, aku baru memberitahukan padanya. Saat itu mungkin dia akan berterima kasih padaku, tapi sebelum semuanya usai, aku tidak mau memberi harapan padanya. Siapa sangka ada seseorang yang mengetahui hal itu dan diam-diam menuliskan nama Usman kembali dalam daftar kami.
Arif bertanya tegang, Kenapa" Siapa orang itu" Karena dia punya dendam pribadi pada Usman. Beberapa tahun sebelumnya, orang itu menaruh hati pada Ayu, tapi Ayu malah menikah dengan Usman. Ternyata dia dendam hanya gara-gara masalah cinta. Siapa orang itu, Pak" ulang Arif.
Sanip menghela napas. Orang itu tetangga kita juga, satu desa. Dia Jandi, bapaknya Sudirman, pemuda ugal-ugalan yang sering mencari gara-gara denganmu itu.
Arif kaget. Ayah Sudirman" Dia kenal Sudirman, sangat kenal. Arif kesal pada Dirman karena lelaki itu pernah memimpin preman untuk mencuri ayam-ayamnya dari peternakan. Dirman mempelajari kapan Arif ada di lokasi, kapan tidak. Waktu pelakunya tertangkap, Arif kaget sekali karena pencuri ayamnya tidak lain adalah tetangganya sendiri. Ia tidak melaporkan hal itu pada polisi dan menghajar Dirman dengan tangannya sendiri, mengingat mereka adalah tetangga. Sejak itu mereka tidak saling bertegur sapa.
Pak Jandi" Bukankah& dia juga bekas anggota PKI"
Ya, benar. Jandi memang pengkhianat. Dia berpaling dan bergabung dengan pasukan keamanan untuk membantai teman-temannya. Alasannya, dia lebih tahu siapa yang anggota dan bagaimana kegiatan mereka sehari-hari. Tentara setuju karena mereka memang butuh orang seperti itu. Tapi aku benar-benar muak padanya, geram Pak Sanip.
Bagaimana dia bisa membunuh ayah Dewi" Dia melakukannya diam-diam tanpa sepengetahuanku. Dia tahu aku telah mencoret nama Usman dari daftar karena aku berteman baik dengan Usman. Dia tidak berani membongkar perbuatanku karena dia tahu jika ia melakukannya, aku akan membeberkan semua kebusukannya. Dia paling suka membual bahwa dirinya pejabat tinggi dalam partai dan akan menyejahterakan rakyat. Nyatanya, ketika PKI akan dibantai, dia malah berkhianat.
Suatu malam, dia mengajak beberapa orang untuk membantai lima anggota PKI, salah satu di antaranya adalah Usman. Tentu saja empat korban lainnya hanya kamuflase. Dia sebenarnya mengincar Usman. Aku tidak tahu operasi yang dilaksanakannya karena tidak terjadwal. Tapi memang kebanyakan operasi waktu itu tidak terjadwal, jadi aku tak bisa menyalahkannya. Keesokan harinya, aku hanya tahu Usman telah terbantai dan Dewi menjadi bisu.
Sejak itu Bulik Ayu marah pada Bapak" Ya. Dia menuduh aku yang membunuh suaminya.
Hal itu diucapkannya di depan penduduk desa sambil menangis histeris sehingga aku menjadi gunjingan sepanjang masa. Orang-orang menuduhku sebagai pembunuh, padahal aku tidak melakukannya. Pelaku sebenarnya malah enak-enakan di rumah tanpa dihukum atas perbuatannya.
Kenapa Bapak tidak bilang siapa pelaku sebenarnya pada Bulik Ayu" kata Arif menyesalkan.
Untuk apa" Kau juga tahu bahwa si pembantai tidak akan mendapat hukuman apa-apa karena tidak ada bukti. Apalagi Jandi kena penyakit pikun belakangan ini. Keluarganya saja tidak diingatnya, bagaimana dia bisa mengakui pembunuhan yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu"
Arif duduk dengan wajah geram. Dia penasaran, karena mestinya ini tidak terjadi. Kesalahpahaman ini harus diluruskan, tapi ia juga tidak tahu bagaimana caranya.
* * * Mbak keluar saja. Mau tinggal di hotel terserah, mau pulang juga terserah. Aku tidak mau tinggal satu atap lebih lama lagi denganmu, kata Lastri ketika Sarah pulang dari rumah Surya. Lastri sudah menaruh koper yang sudah dibenahi Sarah siang tadi di ruang tamu.
Lastri, jangan begitu! tegur Pak Suprapto yang tidak mengerti apa yang terjadi. Ia baru pulang dan bingung mendengar kata-kata yang diucapkan anaknya.
Sarah terpaku di tempatnya berdiri, tak tahu harus bilang apa. Ia menyesal, tapi juga tak menyangka tindakan Lastri bisa seekstrem ini. Cinta memang bisa mengacaukan logika, padahal Lastri orang terpelajar. Lagi pula besok Sarah akan pulang dan takkan bertemu Surya lagi.
Tadi ketika Sarah ke rumah Surya, ternyata penyakit Bu Ayu kambuh lagi sehingga Surya terpaksa mengantar ibunya ke rumah sakit dengan sepeda. Sarah langsung pulang ke rumah Lastri. Rencananya ia juga mau menunggu kabar dari Surya, bagaimana keadaan ibunya. Ia juga mau mengambil uang dari ATM terdekat untuk bersiap-siap seandainya Surya kekurangan uang. Ketika ia pulang, ia malah dihadapkan dengan peristiwa ngamuknya Lastri.
Lastri& , kata Sarah pelan, berusaha menenangkan gadis itu.
Lastri menyela ketus, Jangan panggil aku. Aku berharap kita tidak pernah saling kenal. Aku benci padamu!
Pak Suprapto langsung menegur kelancangan anaknya, Lastri, Sarah kan tamu! Kau kenapa sih" Sebenarnya ada masalah apa, Sarah" tanya Pak Suprapto.
Bapak tanya saja sendiri sama orangnya. Lain kali kalau terima tamu mesti lihat-lihat dulu, Pak. Daripada
begini, terima lonte di rumah sendiri! ucap Lastri pedas.
Hati Sarah begitu pedih mendengarnya. Mengapa Lastri ingin menyakiti perasaannya" Ia memang baru berkenalan beberapa hari dengan gadis itu, tapi selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Mereka cocok kalau mengobrol, bahkan bisa menjadi sahabat kental.
Pak Suprapto terlihat kesal. Lastri! Jaga mulutmu! Guru kok bicaranya begitu" Lagi pula dia bukan sekadar tamu. Dia kenalan Bu Asih, sahabat Bapak!
Sarah semakin tidak enak melihat Pak Suprapto memarahi anaknya. Tidak apa-apa, Pak. Saya kebetulan juga mau pulang ke Jakarta. Saya ada urusan sebentar. Tas akan saya titip dulu di sini, nanti malam saya ambil. Saya pamit dulu, katanya.
Sarah mengambil kartu ATM-nya, teringat akan Bu Ayu yang kini sedang masuk rumah sakit. Rumah sakit di Jakarta tidak menerima pasien kalau belum memberi uang muka, mudah-mudahan di sini tidak begitu.
Pak Suprapto bingung dan tak bisa berkata apa-apa melihat Sarah keluar dari rumahnya.
Sarah bergegas ke jalan raya. Sesampainya di sana ia naik ojek menuju rumah sakit yang dituju Surya tadi. Sesampainya di rumah sakit, ia menanyakan pada bagian informasi mengenai pasien yang baru masuk. Ternyata dugaannya benar, Bu Ayu belum dirawat
karena tidak ada uang muka. Setelah membayar biaya yang dibutuhkan, Sarah mencari Surya.
Mas Surya! panggilnya ketika melihat lelaki itu. Sarah! Ibu belum bisa masuk karena uangku tidak cukup, katanya lesu.
Aku sudah mengatakan pada mereka agar biaya dibayar belakangan, Mas. Sekarang bawa Ibu masuk dulu, kata Sarah.
Buru-buru mereka melapor pada suster dan membawa Bu Ayu menuju kamar rawat. Setelah Bu Ayu ditangani dokter dan diperiksa, mereka menunggu di depan. Sarah melihat jam, sudah jam lima sore. Ia harus mencari tempat menginap karena malam ini ia tidak mungkin tinggal di rumah Lastri. Perjalanan dari rumah sakit sampai desa lamanya satu jam. Bila ia berangkat sekarang, ia bisa tiba jam enam, tepat saat hari mulai gelap.
Mas Surya, apakah Mas akan menunggu di rumah sakit malam ini" tanya Sarah ketika mereka sedang duduk di ruang tunggu.
Tentu saja. Apakah aku boleh menemani di sini, Mas" Tidak usah, nanti tidak enak dengan keluarga Lastri, dikiranya kau menginap di sembarang tempat.
Mmm& sebenarnya aku sudah tidak tinggal lagi di sana, Mas.
Melihat Surya memandangnya dengan bingung, Sarah buru-buru menjawab, Tidak apa-apa, aku juga
akan pulang besok. Tergantung keadaan ibumu juga. Bila sudah tidak mengkhawatirkan, aku akan pulang. Lastri mengusirmu" tanya Surya perlahan. Sarah berusaha menutupi. Tidak, aku saja yang tidak enak tetap tinggal di sana setelah dia memergoki kita.
Surya terdiam. Sepertinya ia tahu, walau Sarah berusaha menutup-nutupi.
Kalau begitu kautemani Dewi saja, menginap di rumahku. Bilang padanya, besok dia harus ke sini, bergantian denganku menjaga Ibu. Malamnya aku ke sini lagi, putus Surya.
Sarah mengangguk. Baiklah, Mas. Aku pulang dulu.
* * * Sarah tiba di rumah Lastri tepat pukul enam sore, seperti yang diperkirakannya. Ia mengambil tasnya dan berpamitan pada Pak Suprapto yang masih tidak mengerti apa yang terjadi, tapi Sarah juga tidak mau menjelaskannya. Ia berjalan cepat-cepat menuju rumah Surya. Saat itu hari mulai gelap dan ia tidak punya senter. Tapi apa boleh buat, pikirnya.
Tasnya yang berat agak menghambat perjalanannya. Namun di tengah jalan, ia bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak diharapkannya.
Sudirman. Mau ke mana, Nona Manis" tanya pemuda itu menyeringai.
Sarah ketakutan, tapi berusaha tak memperlihatkannya. Ia berhenti dan berpikir bagaimana caranya agar bisa lolos dari pemuda ini tanpa banyak keributan. Tolong beri aku jalan, aku sedang buru-buru.
Sudirman melihat ke arah tas besar yang dibawa Sarah. Bawa tas" Mau menginap di mana" Apa di rumah laki-laki itu" Hubungan kalian sudah diketahui Lastri, jadi sekarang kau mau pindah ke rumahnya"
Melihat Sarah terdiam, Sudirman semakin berani. Apakah bukan munafik namanya, kalau kau menolak ajakanku kemarin dan bersikap seperti gadis baik-baik sedangkan sekarang kau menginap di rumah lelaki itu dengan sukarela" Apa bayarannya" Tubuhmu"
Sarah tak tahan lagi mendengar kata-kata ngawur yang menghambur dari mulut Dirman. Jangan keterlaluan! Mas Surya sedang di rumah sakit menunggui ibunya, aku akan menemani kakaknya, kata Sarah. Lalu ia berpikir bahwa ia salah bicara. Sekarang Sudirman tahu bahwa mereka hanya berdua, dua orang gadis dalam sebuah rumah yang jauh dari rumah lainnya.
Bagus. Sekarang aku bisa bebas melanjutkan niatku yang kemarin tertunda. Satu malam toh tidak apa-apa. Tubuhmu tetap utuh, kan" kata lelaki itu dengan kilatan berbahaya di matanya.
Sudirman mendekatinya. Sarah berjaga-jaga, siap memukul lelaki itu dengan tasnya, tapi ia kalah cepat.
Dalam satu gerakan saja Sudirman sudah melumpuhkannya dan menggumulinya di balik rumpun bambu yang lebat.
Lepaskan! Lepaskan! teriak Sarah. Ia menendang, meronta, dan memukul bagian tubuh Sudirman yang mana saja. Tapi kali ini posisinya tidak menguntungkan. Mereka berdua terbaring di tanah dan hari sudah malam. Jalanan sepi karena dekat dengan pematang sawah dan tidak ada orang yang lewat.
Pukulan Sarah mengenai pipi Dirman. Pria itu jadi kalap dan menamparnya keras-keras. Sarah menangis ketika pria itu menekan tubuhnya. Lalu, dengan satu gerakan keras, ia menendang selangkangan pria itu. Dirman mengaduh kesakitan.
Sarah langsung melepaskan diri dan lari ke arah berlawanan dari rumah Surya. Tidak ada gunanya ke sana. Dirman pasti mengejarnya dan di sana tidak ada Surya yang akan menolongnya.
Sarah lari ke rumah terdekat dan menggedor-gedor pintunya. Ia tidak peduli rumah siapa, yang penting bisa menolongnya. Seorang pria keluar. Ternyata Arif. Sarah" seru Arif kaget.
Sarah langsung masuk ke rumah Arif, tak peduli bila dianggap tidak sopan.
Arif bertanya, Kenapa" Ada apa"
Tapi pertanyaan itu tak perlu di jawab karena detik berikutnya Sudirman sudah sampai di hadapan Arif. Jangan ikut campur! ujar Dirman garang. Ia hendak menerobos ke dalam karena ingin menghajar Sarah.
Sudirman! Apa kau tidak bisa berlaku beradab" bentak Arif. Ia mendorong Sudirman keluar dari rumahnya. Kini kedua lelaki itu berdiri berhadapan di jalanan.
Dirman berdalih, Perempuan itu kurang ajar! Dia yang genit duluan, tapi aku malah dipukulnya! Malam ini aku harus bikin perhitungan dengannya!
Tunggu dulu! Aku ingin tahu masalahnya dengan jelas! ujar Arif.
Sekonyong-konyong Sudirman melayangkan satu pukulan ke wajah Arif hingga pria itu sempoyongan dan jatuh ke tanah. Ia langsung menerobos masuk dan menarik sebilah pisau dari kantong celananya.
Sarah menjerit-jerit ketakutan melihat Sudirman masuk ke rumah. Apalagi di tangannya ada pisau. Arif bangkit dan mengejar Sudirman. Ia mencoba melumpuhkan pria itu dan merebut pisaunya. Ayah dan ibu Arif keluar rumah. Mereka ingin tahu apa yang terjadi. Betapa terkejutnya mereka menyaksikan anak mereka sedang bergulat dengan Sudirman.
Bangsat! Lepaskan aku! teriak Dirman. Kau yang bangsat! Kau keturunan bangsat! Ayahmu pembunuh! Ayahmu yang membunuh ayah Dewi! Aku harus menuntut balas! teriak Arif.
Pak Sanip kaget mendengar kata-kata anaknya, begitu pula Sudirman. Sudirman tertegun sesaat, dan
kesempatan itu digunakan Arif untuk meninju rahangnya.
Arif! teriak Pak Sanip. Arif menoleh, dan saat itulah Sudirman menancapkan pisaunya ke perut Arif. Darah merah segar mengalir membasahi lantai. Suara jeritan terdengar dari mulut Sarah dan orangtua Arif. Sudirman mengangkat pisau yang berlumuran darah di tangannya dengan pandangan kosong.
* * * Malam itu, untuk kedua kalinya, Sarah berada di rumah sakit. Kali ini ia bersama Dewi berlari-lari di lorong untuk mencari tempat Arif dirawat. Pisau tajam menusuk perut Arif dan darah mengalir banyak. Mudah-mudahan ia tidak kehabisan darah, pikir Sarah cemas. Setelah Arif dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil pick-up pengangkut ayam, Sarah menjemput Dewi karena Arif terus-menerus menyebutkan namanya.
Ketika Sarah tiba, orangtua Arif sedang menunggu di luar kamar operasi. Luka di lambung Arif cukup parah sehingga perlu dijahit, juga sobekan di perutnya. Bu Sanip tak henti-hentinya menangis, begitu pula Pak Sanip. Sarah mengajak Dewi duduk di samping mereka. Wajah Dewi sangat pucat dan ia juga menangis. Sarah hanya bisa berdoa, semoga Arif selamat. Ini
semua gara-gara dirinya, dan ia tak sanggup menanggung kesalahan ini terhadap keluarga Arif yang tidak tahu apa-apa.
D EWI melemparkan tanah merah ke atas jenazah
ibunya yang diturunkan ke liang lahat. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Di sampingnya, Surya menepuk-nepuk pundaknya untuk memberikan kekuatan. Di samping Surya berdiri Sarah, yang juga menangis. Penduduk desa yang lain hadir di situ, termasuk Pak Sanip dan istrinya, Pak Suprapto, Lastri, Dahlia dan suaminya, juga Pak Jandi dan istrinya. Wajah mereka tampak muram dan sedih.
Sudahlah, Dewi, relakan kepergiannya. Dewi menangis dan tetap berdiri sementara petugas menaruh tanah merah sampai onggokannya penuh menutupi jenazah. Surya bergeser dan berdiri di samping Sarah.
Terima kasih atas bantuanmu, katanya pada
Bab Delapan Ah, bantuan uang adalah jenis bantuan terendah yang bisa diberikan manusia, Mas. Aku turut berdukacita, jawab gadis itu.
Dokter bilang paru-paru Ibu sudah berisi banyak air. Kita terlambat membawanya ke rumah sakit. Oh ya, bagaimana kabar Arif" tanya Surya.
Masa kritisnya sudah lewat. Tapi dia masih tidak bisa ke mana-mana. Sudirman sudah ditahan polisi dengan tuduhan penganiayaan dan membawa senjata tajam. Kurasa dia bisa mendekam beberapa tahun di sana. Maksimal hukumannya dua tahun enam bulan.
Tidak apa-apa. Itu pantas baginya. Siapa tahu dia bisa menjadi manusia yang baik sekeluarnya dari penjara nanti, ujar Surya.
Kasihan Arif. Gara-gara menolongku dia jadi terluka parah, tutur Sarah.
Hari itu dua hari setelah insiden berdarah antara Arif dan Sudirman. Kemarin Bu Ayu mengembuskan na"pas terakhir dalam pelukan kedua anaknya. Sayang Sarah tidak sempat mengatakan pembunuh ayah Surya kepada beliau. Tapi sebelum mengembuskan napas terakhir, Bu Ayu meminta Dewi agar menerima pinangan Arif. Dia juga berkata agar Surya cepat-cepat menikah dengan Lastri. Itulah yang membuat Sarah jadi merasa tidak enak. Seandainya ia tidak datang ke desa ini, tentu kedua pasangan itu sudah berbahagia. Kau akan pulang hari ini" tanya Surya.
Sarah mengangguk pelan. Ya. Aku sudah memesan tiket kereta api dari Jombang. Sore nanti berangkat. Sampai di Jakarta mungkin besok.
Kau tidak ingin menginap semalam lagi" Walaupun Surya berusaha mengucapkannya dengan nada biasa, dari matanya Sarah tahu lelaki itu masih ingin mengulur waktu kebersamaan mereka. Sarah paham. Surya masih berkabung, butuh dukungan dari siapa pun.
Sarah menggeleng. Ia tidak ingin merusak nama baik Surya dengan menginap semalam lagi di rumah lelaki itu. Sejak Lastri mengusirnya, Sarah menginap di rumah sakit dan malam berikutnya ia tidur di rumah Surya sambil membantu Dewi melayani orang yang datang melayat jenazah ibunya. Sarah kurang tidur dan lelah, baik lahir maupun batin. Hari ini ia harus pulang.
* * * Lastri mendekati Surya. Ia harus mengatakan sesuatu pada lelaki itu. Sudah lama mereka tidak berbicara dan ia tak dapat menahan rasa rindunya. Ia memang melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ada sesuatu di antara Surya dan Sarah. Tapi ia tak yakin kedua orang itu menjalin hubungan, sebab didengarnya Sarah sebentar lagi akan pulang.
Mas Surya, boleh aku bicara sebentar" tanyanya.
Surya mengangguk. Ia pun mengikuti Lastri menuju tempat yang agak sepi di pekuburan itu. Semua orang masih menunggu tanah merah selesai dipadatkan dan papan nisan dipasang.
Mas& maafkan aku karena beberapa hari ini aku&
Tidak apa-apa, Lastri. Mestinya aku yang minta maaf padamu, sela Surya. Ia tahu ia telah mengecewakan gadis itu. Tapi ia juga tak tahu bagaimana harus bersikap.
Masalahmu dan Sarah& Tidak akan ada apa-apa di antara kami, potong Surya.
Mata Lastri menyorotkan secercah sinar harapan, tapi Surya langsung berbicara lagi.
Aku dan Sarah terlalu banyak perbedaan, kami tidak akan bisa bersatu. Tapi apa yang terjadi di antara kami sekaligus telah membuka pikiranku bahwa selama ini aku salah. Seharusnya aku tak memberi harapan padamu. Aku tidak mencintaimu, Lastri. Kau gadis yang cantik dan cerdas, kau bisa mendapatkan pria lain yang seribu kali lebih baik dariku, katanya.
Tapi& jika Mas Surya tidak ingin bersama Sarah, Mas bisa menikah denganku walaupun Mas tidak mencintaiku. Aku bisa menerimamu, Mas. Dalam pernikahan yang penting bukan cinta&
Tapi pernikahan mesti dilakukan bila dua orang
merasa cocok, Lastri. Aku tidak pantas untukmu. Mengertilah.
Lastri terdiam. Ia jelas sudah mengerti, Surya bukan lagi miliknya.
* * * Sarah membenahi barang-barangnya yang berada di rumah Dewi. Mereka baru pulang dari pemakaman dan empat jam lagi ia harus berada di Stasiun Jombang. Selagi memasukkan barang-barangnya ke tas, lamunannya melayang. Ia sudah seminggu di sini, banyak hal yang didapatnya dan disaksikannya. Rasanya pengalaman seminggu di sini lebih banyak daripada pengalaman satu tahun di rumah sendiri. Ia jadi semakin dewasa dan lebih memahami arti hidup.
Lastri masih tak mau berbicara dengannya. Mereka bertemu di pemakaman tadi, dan ia sempat melihat gadis itu berbicara dengan Surya.
Saat pulang dari pemakaman menuju rumah, Sarah menyempatkan diri berbicara dengan Lastri. Aku akan pulang ke Jakarta hari ini, kata Sarah. Lastri diam saja. Bukan sinyal yang baik. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak merebut Mas Surya, kami berdua sudah sadar ini suatu kesalahan, jadi& aku titip Mas Surya padamu.
Lastri memandang Sarah dan berkata, Bila kaupikir
mu, kau salah. Aku sudah tidak ingin lagi melihat wajah kalian berdua. Hubunganku dengan Mas Surya sudah berakhir, aku yang memutuskan begitu.
Sarah mengerutkan keningnya. Tapi, Lastri& sebelum Bu Ayu meninggal, dia berpesan bahwa Mas Surya harus menikah denganmu.
Sudahlah, Mbak. Tidak ada lagi yang bisa kaulakukan untuk memperbaiki keadaan yang sudah terjadi, katanya pahit.
Sarah menatapnya dengan pandangan menyesal. Lalu Lastri meninggalkan Sarah dan pulang dengan ayahnya.
Teringat hal itu, Sarah menggelengkan kepalanya lagi. Ia telah merusak masa depan Surya. Menikah dengan Lastri adalah satu-satunya kesempatan yang bisa didapat lelaki itu dalam kehidupan ini, mengingat sifatnya yang begitu sulit dan betapa Lastri sangat memahaminya dan bersedia menerima Surya apa adanya. Sekarang Sarah telah menghancurkannya. Jam berapa kau berangkat"
Sarah tersentak dari lamunan. Ia melihat Surya di depannya.
Beberapa jam lagi. Tapi satu jam lagi aku harus berangkat ke stasiun. Lebih baik aku lama menunggu di stasiun daripada terlambat.
Aku mau bicara denganmu sebentar, ujar Surya serius.
Sarah mengikuti Surya yang membawanya keluar
Aku akan merindukanmu, kata Surya. Aku juga. Apakah kau tidak berniat pergi ke Jakarta bersamaku" Mungkin Dewi akan menikah dengan Arif setelah pria itu keluar dari rumah sakit. Sedangkan Lastri& Sarah tidak sampai hati untuk berkata bahwa Lastri sudah memutuskan tidak mau menikah dengan Surya.
Sejak awal aku tahu aku tidak dapat menikah dengan gadis itu, kata Surya seolah dapat membaca isi hati Sarah.
Jadi, apakah hubungan kita& dapat berlanjut" kata Sarah perlahan.
Surya menggeleng. Aku tidak berani mencoba. Kurasa hubungan jarak jauh tidak mungkin terjadi. Aku sudah bukan kanak-kanak lagi yang bisa menahan rindu lewat berkirim surat, atau pembicaraan di telepon dan pertemuan sebulan sekali.
Sarah kecewa, tapi ia sudah tahu hal ini akan terjadi. Lalu apa rencanamu"
Aku akan mengadu nasib di kota. Mungkin di Jombang, Madiun, atau Surabaya, setelah Dewi menikah. Mungkin seperti katamu, latar belakangku kini tidak lagi menjadi masalah. Lagi pula Ibu sudah meninggal. Bila Dewi menikah, aku sudah tidak punya beban lagi, katanya.
Bagaimana kalau aku yang ke sini" tanya Sarah nekat.
Tapi Surya hanya tertawa. Jangan berpikir macammacam. Kau masih punya orangtua yang mengharapkanmu. Kau kan anak tunggal. Apa kau mau menjadi petani di sini"
Sarah menunduk sambil menendang kerikil di halaman. Jadi& pertemuan kita& sampai di sini saja" Ya. Sampai di sini saja.
Aku mencintaimu. Mas. Aku juga mencintaimu, kata Surya pelahan, sambil meraih tangan Sarah dan menggenggamnya. Sarah!
Panggilan itu membuat mereka berdua mengangkat wajah dan melihat ke arah asal suara.
Gunawan"! gumam Sarah heran. Ia bangkit berdiri dan menyongsong kekasihnya itu. Penampilan Gunawan sangat dandy, kontras sekali dengan penampilan Surya yang khas lelaki desa.
Aku sudah tiba pagi tadi dan harus bertanya-tanya pada orang sekampung baru bisa bertemu denganmu di sini! Demi Tuhan, terpencil sekali tempat penelitianmu ini! Tidak sekalian di hutan saja" serunya dengan suara yang terdengar ceria.
Sarah jadi salah tingkah. Ia memperkenalkan Gunawan kepada Surya.
Mas Surya& ini& mmm& Gunawan. Gunawan, ini Surya. Pemilik rumah ini, kata Sarah.
Kedua lelaki itu berjabat tangan dengan kaku. Tampaknya Surya tidak menyukai Gunawan, begitu pula
Gunawan. Ia tampak kesal dipelototi orang desa di hadapannya. Sarah memandang keduanya dan menghela napas. Mengapa Gunawan bisa ke sini" tanyanya dalam hati.
Ini rumah kepala desa" tanya Gunawan. Sarah hanya menggeleng, malas menjelaskannya di depan Surya.
Omong-omong, Gun, kau datang untuk menjemputku" Tapi aku sudah membeli karcis kereta.
Aku bawa mobil. Kuparkir di jalan raya. Aku ke sini naik ojek. Kurasa kita berdua harus ke depan berjalan kaki, keluhnya. Ia tidak memedulikan kata-kata Sarah tentang karcis kereta. Tidak peduli masalah orang lain memang khas Gunawan.
Sarah menegur dirinya sendiri. Ia tidak pantas menilai negatif Gunawan. Tapi ironisnya, hal itu memang terlihat jelas, terlebih-lebih saat ini.
Jadi kau membawa mobil sendirian dari Jakarta" tanya Sarah.
Ya, tentu saja. Aku kan setia. Betul, tidak" kata Gunawan sambil tersenyum lebar. Sarah, mana barang-barangmu" Kita berangkat sekarang saja. Itu pun kalau kemalaman, kita harus bermalam di jalan, katanya ceria, seolah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka.
Sarah hendak mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Ia pun melangkah dengan enggan ke dalam rumah dan mengambil tasnya. Ketika ia menoleh ke arah Surya,
lelaki itu diam saja dan sedang menatap kejauhan. Entah apa yang dipikirkannya.
Sebelum pergi, Sarah menghampiri Surya lagi. Ia menyerahkan sesuatu ke tangan pria itu. Saputangan putih yang bernoda kecokelatan.
Simpanlah. Ingatlah aku selalu, bisiknya dengan suara bergetar.
Surya menerima saputangan itu kemudian masuk ke rumah. Ia tidak sanggup melihat kepergian gadis yang akan membawa pergi hatinya.
* * * Sebenarnya lelaki tadi siapa sih" Sekilas kayaknya kau punya hubungan erat dengan dia, kata Gunawan dengan nada cemburu ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Sarah tidak mendengarkan kata-kata Gunawan, ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sarah!
Sarah tersentak. Apa, Gun"
Kau melamun, ya" Aku bicara padamu tadi! tegur Gunawan kesal.
Ng& semua data skripsi sudah terkumpul, tinggal dituangkan saja di komputer, gumam Sarah. Bukan itu yang kutanyakan!
Lalu apa" Lelaki tadi itu siapa" Apakah kau selingkuh dengannya"
Pertanyaan Gunawan membuat Sarah kaget. Kenapa kaget" Jangan-jangan dugaanku benar, ujar Gunawan sambil tersenyum melihat ekspresi kaget Sarah. Sekarang Sarah sadar Gunawan hanya bergurau.
Gadis itu berkata perlahan, Dia orang yang membantuku mengumpulkan data-data dari orang-orang yang terlibat pembantaian itu.
Begitu" Lalu mengapa barang-barangmu ada di rumahnya" Bagaimana dengan rumah kenalan dosenmu"
Ceritanya panjang. Perjalanan kita juga panjang. Ceritakan saja! Gunawan mulai kesal.
Sarah mengalihkan pembicaraan.
Gun, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu. Waktu aku meneleponmu, kenapa kau bilang sudah tidak mau bertemu denganku lagi" Lalu mengapa sekarang kau malah menjemputku"
Sarah ingin tahu kenapa Gunawan tidak konsisten dengan kata-katanya dan membuatnya terombangambing di antara dua pria. Terus terang saja, setelah mencintai Surya, perasaannya terhadap Gunawan sudah tidak ada lagi. Sudah mati rasa.
Kau tidak senang dijemput" Suara Gunawan terdengar kesal.
Senang sih. Itu menandakan kau masih memikirkanku. Tapi pembicaraan terakhir kita&
Aku berubah pikiran. Kau senang kan, aku sudah tidak marah lagi padamu"
Maksudmu"

Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudahlah, lupakan saja pertengkaran kita. Aku menarik kembali kata-kataku.
Sarah terdiam. Bukankah seharusnya ia merasa senang" Tapi ia sama sekali tidak senang. Dan ia tahu kenapa.
Sudah kemalaman. Lebih baik kita bermalam dulu, kata Gunawan sambil membelokkan mobilnya ke halaman sebuah losmen di perbatasan Semarang.
Sewa satu kamar, Pak! kata Gunawan pada penjaga losmen.
Sarah memandang Gunawan dengan bingung. Kenapa tidak dua kamar" protesnya.
Kita menyewa kamar cuma untuk tidur malam ini. Besok pagi kita sudah jalan lagi. Sayang kan kalau sewa dua kamar" Atau kau sudah tidak percaya lagi padaku" tanyanya.
Sarah tidak bisa menjawab. Ia pun mengikuti penjaga losmen itu menuju kamar mereka.
* * * Sarah keluar dari kamar mandi dengan tetap mengenakan baju yang sama. Ia malas membongkar barang lagi. Kalau ingin berhemat, ia lebih senang tidur dalam mobil saja di pinggir jalan. Ia tidak punya mood untuk
bersantai. Saat ini yang diinginkannya hanyalah pulang ke rumah dan menyendiri.
Tidak ganti baju" tanya Gunawan. Ia sudah duduk di tempat tidur sambil membaca koran. Ia sudah mandi dan mengenakan celana pendek yang dibawanya.
Malas. Biar saja pakai baju ini, jadi tidak usah repot-repot ambil baju di dalam tas, jawab Sarah enggan.
Ia berbaring di ranjang, menarik selimut hingga menutupi dadanya. Sebenarnya Sarah ingin Gunawan memesan kamar dengan dua tempat tidur, atau Gunawan tidur di sofa saja, tapi ia merasa sungkan mengusir pria itu. Ia juga tidak enak kalau ia sendiri yang tidur di sofa, kesannya ia tidak percaya pada Gunawan. Padahal mereka sudah berpacaran dua tahun.
Sarah mematikan lampu tidur yang ada di sisi ranjangnya dan tidur menghadap ke lampu. Selamat malam! katanya.
Gunawan juga mematikan lampu tidur di meja di sampingnya, tapi kemudian ia berbalik dan mendekati Sarah. Dipeluknya bahu gadis itu, dan dielusnya punggungnya. Apakah kau lelah" Mau kupijat"
Seperti tersengat aliran listrik, Sarah langsung bangkit berdiri.
Aku lebih baik tidur di sofa saja. Ia mengambil bantal dan beranjak ke sofa di ujung kamar. Kenapa" Hari ini sikapmu sungguh aneh. Apakah
kau masih marah dengan kata-kataku di telepon waktu itu" Baiklah, aku minta maaf. Oke"
Kau tidak salah, cetus Sarah. Ia bergelung di sofa dan mencoba tidur.
Kau kenapa" Kita sudah pacaran dua tahun. Sebentar lagi kau lulus, aku pun juga. Lalu apa" Kita akan menikah, kan" Kenapa tidur seranjang saja tidak boleh" tanya Gunawan. Suaranya mulai terdengar kesal.
Sarah hanya bisa menjawab, Aku tidak mau melakukannya sebelum menikah. Dan aku juga tidak ingin menikah denganmu, karena di hatiku ada pria lain, batinnya sedih.
Apa salahnya" Sekarang atau nanti sama saja. Semua temanku sudah melakukannya dengan kekasih mereka. Apa kau mau aku berhubungan dengan gadis lain" tanya Gunawan.
Terus terang saja, kali ini Sarah tidak peduli. Maka ia berkata, Terserah kau.
Gunawan menghampiri Sarah. Ia berkata dengan lembut, Aku tahu kau lelah, dan aku tahu kau masih marah.
Ia berjongkok di hadapan Sarah dan mendekatkan wajahnya, tapi Sarah memalingkan mukanya. Gun, tolong jaga sikapmu. Aku ingin beristirahat dan tak ingin bertengkar denganmu, oke"
Gunawan kesal. Dipegangnya wajah Sarah dengan kedua tangannya, dan diciumnya bibir gadis itu dengan paksa. Seketika Sarah teringat akan perlakuan Sudirman di desa waktu itu. Ia pun meronta dan cepat-cepat bangkit dari sofa.
Kau benar-benar keterlaluan! serunya marah. Kau anggap aku ini apa"!
Sarah meraih dompetnya di meja dan berlari keluar.
Gunawan memandang Sarah, bingung dengan sikap gadis itu. Lalu ia berpikir Sarah mungkin ingin mencari angin di luar losmen, jadi ia tidak mengejar gadis itu.
Di luar, Sarah berdiri di tepi jalan raya. Ia melihat bus malam dengan tujuan Jakarta. Ia melambai-lambaikan tangan, dan beruntung sekali bus itu berhenti. Ia pun masuk ke bus itu. Lebih baik tidur di bus daripada bermalam di hotel ini sampai pagi, pikirnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam waktu tujuh jam berduaan di kamar bersama Gunawan. Barang-barangnya akan diurusnya nanti. Soal hubungannya dengan Gunawan" Sudah tamat.
Jakarta, 19 Juli 1999 S ELAMAT pagi. Guru baru, ya"
Sarah mengangguk. Benar. Ini hari pertama saya. Kabarnya Anda pengarang buku tentang pembantaian anggota PKI itu, ya"
Benar. Hebat sekali. Biasa saja. Permisi. Sarah melangkahkan kakinya menuju lapangan upacara. Hari pertama mengajarnya di sekolah ini dimulai dengan perkenalan pada saat upacara. Buku sejarah yang ditulisnya berdasarkan skripsi yang diajukannya sudah terbit, dan ia senang cita-cita luhurnya untuk
Bab Sembilan capai. Tapi ia tidak terlalu senang. Entah mengapa. Ada sesuatu yang didapatkannya di Jombang dan ada juga sesuatu yang direnggut darinya dan tak bisa diperolehnya kembali.
Tadinya ia tidak ingin menjadi guru. Apalagi ayahnya terus menghubunginya agar ia ikut saja ke Denpasar. Hal itu mudah karena ayahnya punya jaringan usaha di sana. Tapi Sarah enggan meninggalkan Jakarta. Ia tidak akan bisa meninggalkan Jakarta, terutama karena cintanya pun berawal di sini dan berakhir di sini.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengisi waktu dengan mengajar dan sisa waktunya digunakan untuk mengarang karya nonfiksi jenis sejarah. Sekali sudah mulai mengarang, ia tidak bisa berhenti. Ia merasa telah menemukan sesuatu untuk dilakukannya, pekerjaan yang dicintainya. Itu lebih berharga daripada apa pun.
Buku karangannya sudah banyak diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka di Jakarta dan disebarkan di seluruh Indonesia sampai orangtuanya pun bisa merasa bangga padanya.
Hubungannya dengan Gunawan berakhir sejak perpisahan terakhir mereka di sebuah losmen di Semarang. Ketika mereka tiba di Jakarta, Gunawan sangat marah dan memaki-makinya dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan pria terpelajar seperti dirinya. Tapi Sarah lega karena akhirnya semuanya berakhir.
Ia tidak pernah melupakan Surya. Lelaki itu telah memenuhi seluruh ruang di hatinya dan Sarah tak tahu apakah ia bisa menggantikan Surya dengan lelaki lain. Sejak perpisahan mereka tahun lalu, ia tidak pernah menghubungi lelaki itu, juga tak pernah mendapat kabar dari Surya. Benar kata Surya, sebaiknya semua dilupakan saja dan mereka lebih baik putus hubungan. Sarah tidak akan tahan menulis surat. Apa yang akan ditulisnya" Kata-kata kaku dengan menghindari kata cinta, rindu, dan sejenisnya" Akhirnya ia pun sudah menerima bahwa hubungan mereka juga telah berakhir.
Lapangan upacara penuh dengan murid-murid berseragam putih abu-abu. Sarah melangkah ke podium ketika acara perkenalan dimulai.
Ini guru sejarah kalian yang baru& Ibu Sarah, Kepala Sekolah memperkenalkan Sarah. Beliau menulis buku sejarah yang diterbitkan baru-baru ini. Tepukan riuh dan sorakan jail khas anak SMA terdengar. Sarah hanya tersenyum maklum sambil mengangguk.
Sarah tidak terlalu memerhatikan saat dirinya diperkenalkan dengan guru-guru lainnya. Pikirannya melayang entah kemana. Sekarang cita-citanya menjadi guru telah tercapai. Selanjutnya apa"
Kemudian terdengar lagi suara Kepala sekolah. Berikutnya adalah guru matematika kalian yang baru& Pak Surya&
Sarah kaget mendengar kata-kata Kepala Sekolah. Ia
menoleh, terpaku dan memandang guru matematika itu. Surya" batinnya.
Sarah menyipitkan mata dan berkonsentrasi memandang lelaki yang berdiri tegak di depan podium. Benar. Itu Surya! Sarah memandang sosok Surya yang sama persis seperti yang diingatnya. Malah kini terlihat lebih tampan. Tubuhnya lebih kurus dibandingkan terakhir kalinya mereka bertemu. Surya mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dan kulitnya lebih bersih dibandingkan dulu.
Wajah tampan itu tersenyum dan mengangguk ke arah murid-murid. Jantung Sarah berdebar-debar, merasakan sensasi yang sama seperti yang dirasakannya ketika mereka bertemu satu tahun silam. Betapa rindu Sarah pada Surya, pada senyumnya, pada sorot matanya yang tajam, dan pada semua yang ada dalam diri lelaki itu.
Sarah tidak sabar menunggu. Begitu upacara selesai, ia langsung menghampiri Surya.
Mas Surya! panggilnya. Surya menoleh kemudian tersenyum menatapnya. Kau ada di sini, Mas" Apakah ini keajaiban" tanya Sarah.
Boleh juga dianggap begitu, kata Surya tenang. Sarah melihat binar-binar yang sama di mata Surya. Lelaki itu juga merindukannya. Sarah yakin Surya juga masih mencintainya. Hatinya senang luar biasa.
Bagaimana kau bisa mengajar di sini" tanya gadis itu.
Surya menarik tangan Sarah dan mengajaknya keluar dari kerumunan guru-guru yang sibuk bersalaman. Mereka melangkah ke koridor sekolah. Bagaimana kabar Mbak Dewi" tanya Sarah. Dia sudah menikah dengan Arif. Putra pertama mereka baru saja lahir.
Bagus sekali! Oh ya, dia juga sedang menjalani terapi bicara. Dia sudah bisa berbicara sedikit-sedikit, tambah Surya.
Oh ya" Aku senang sekali mendengarnya, kata Sarah.
Aku juga senang, akhirnya Mbak Dewi dan Mas Arif bisa menikah.
Sarah mengerutkan keningnya lagi. Tapi bagaimana kau bisa berada di sini, Mas"
Ceritanya panjang. Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan kok! tukas Sarah tak sabar.
Surya tertawa. Baiklah. Setelah kau pergi waktu itu, Dewi menikah. Aku kan sudah bilang bahwa aku ingin pergi ke kota" Dan aku memutuskan, aku pergi ke Jakarta. Aku ingin bertemu denganmu, kata Surya mantap.
Lalu mengapa kau tidak langsung menemuiku" Aku tidak suka menghadapi orang saat aku sendiri sedang susah. Jadi aku mencari pekerjaan. Aku mendapat pekerjaan di tempat kursus, sebagai pengajar matematika. Benar katamu, sekarang orang sudah tidak meminta surat bersih PKI lagi. Aku mengajar di sana, tapi hidupku sangat pas-pasan dan aku tidak ingin kau melihatku dalam keadaan menyedihkan.
Mengapa kau berpikir begitu" Aku kan bisa membantumu"
Itulah yang tidak kuinginkan. Jangan sela dulu sebelum aku selesai bicara.
Baiklah, ujar Sarah mengatupkan mulutnya sambil tersenyum.
Aku mencari data tentang dirimu dari IKIP Jakarta. Aku mendapatkan alamatmu dari seseorang di sana, orang yang kenal denganmu. Aku mengamatimu dan melihatmu dari jauh. Aku tahu kau sudah menyelesaikan skripsimu dan diwisuda pada semester berikutnya. Lalu aku juga tahu kau sudah menerbitkan buku pertamamu. Aku sudah membacanya, kau menulisnya dengan bagus sekali.
Terima kasih, jawab Sarah bangga. Lebih bangga daripada dipuji orang lain.
Lalu tahun ajaran ini aku memutuskan untuk mengajar di sekolah. Tapi aku tidak mau mengajar di sembarang sekolah. Aku mencari keterangan di mana kau akan mengajar.
Sarah menatap Surya. Jadi lelaki ini memang mencarinya! Selama ini tidak pernah dibayangkannya Surya akan mengikutinya ke Jakarta dan mencarinya.
Lalu Sarah bertanya heran, Lalu, bagaimana kau bisa tahu"
Aku tahu dari temanmu Lia.
Sarah kaget. Lia, teman seangkatannya yang belum lulus" Kau kenal Lia"
Surya tertawa. Hanya untuk mencari tahu tentangmu.
Jahat! Kau mengamatiku dari jauh seperti detektif saja. Memangnya aku binatang buruan" kata gadis itu merajuk.
Jangan marah. Kalau kau tak suka, katakan saja. Aku akan menghentikannya.
Kau pikir aku bodoh, Mas" Kau sudah bertemu denganku di sini, kan" Kau sudah berhasil mengajar di sekolah yang sama denganku. Lalu sekarang bagaimana" Mengapa kau ingin mengajar satu sekolah denganku"
Aku ingin mengembalikan sesuatu padamu, kata Surya.
Sarah menunggu ingin tahu. Dari saku kemejanya, Surya lalu mengeluarkan saputangan bernoda cokelat yang terlihat lusuh dan dekil. Mungkin tidak pernah dicuci sejak Sarah memberikannya setahun lalu.
Sarah mengerti, Surya selalu menyimpan saputangan itu untuk mengingatnya dan tidak mau mencucinya karena kenangannya ada di saputangan itu.
Sarah menerimanya dengan gembira. Terima kasih kau telah susah payah mencariku hanya untuk mengembalikan ini.
Bukan hanya itu, ada juga sesuatu yang ingin kukatakan padamu, ujar Surya.
Apa" Aku akan menikah. Sarah merasa dirinya yang sudah melambung tinggi terjatuh di tempat yang keras. Sakit sekali. Kenapa Surya bertemu dengannya hanya untuk memberitahukan bahwa ia akan menikah"
Oh. Sarah berusaha tampak gembira. Akhirnya kau mau menikah juga, Mas Surya. Dengan siapa" Dengan seseorang yang kaukenal.
Lastri" Bukan. Siapa" tanya Sarah heran. Kau&
Sarah ternganga dan tak bisa berkata apa-apa. Surya keterlaluan! Mempermainkannya seperti ini!
Ia memukul dada lelaki itu. Kau keterlaluan, Mas! Keterlaluan! Lalu ia menangis.
Surya bingung. Jangan menangis, Sarah! Maafkan aku, bercandaku kelewatan. Jangan marah!
Sarah menghapus air matanya. Tidak, Mas. Aku hanya kaget. Tentu saja aku bersedia menikah denganmu. Kalau kau berjanji padaku dua hal.
Apa" Pertama, kau harus menganggap uangku adalah uang kita, jadi hal itu tidak akan membuat kita berTentang pengarang Agnes Jessica, mantan guru matematika SMUK 1 Penabur ini su"dah melahirkan 28 novel. Di antaranya yang diterbitkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama adalah: Tunangan" Hmm..., Three Days Cinderella, Jejak Kupu-kupu, Debu Bintang, Rumah Beratap Bugenvil, Dongeng Sebelum Tidur, Piano di Kotak Kaca, Peluang Kedua, Bidadari Bersayap Biru, Antara Aku dan Dia, dan Sepatu Kaca.
Kini ia mulai merambah dunia sinetron dengan menulis skenario beberapa serial dan FTV. Tapi menulis novel akan selalu menjadi prioritas utamanya di samping mengurus suami dan kedua anaknya.
Kalau mau tahu lebih banyak tentang Agnes, silakan kunjungi website-nya di www.agnesjessica.com
Noda J E S I C Sarah mahasiswi jurusan Sejarah yang sedang menyusun skripsi ingin menyelidiki peristiwa pembantaian anggota PKI tahun 1965. Untuk itu ia datang ke desa Karya di daerah Jombang, Jawa Timur. Ia tidak tahu bahwa penelitiannya selama seminggu di sana akan mengubah hidupnya. Semua penduduk desa yang diajaknya bicara tentang topik yang peka itu diam seribu bahasa. Hambatan utama penelitian Sarah datang dari Surya, anak anggota PKI yang terbantai. Masa lalu yang kelam membuat Surya berwatak keras. Ia menganggap Sarah hanyalah gadis kaya yang cuma tahu bersenang-senang dan menghabiskan uang
orangtua. Ketika penelitiannya hampir berakhir, Sarah menyadari dirinya telah jatuh hati pada Surya, padahal pria itu kekasih orang yang memberinya tumpangan selama
seminggu berada di desa itu. Apakah Sarah sanggup menghancurkan kebahagiaan orang lain demi kebahagiaannya sendiri"
NOVEL DEWASA T a k a s a t m a t a Noda Tak Kasatmata AGNES JESSICA
Api Di Bukit Menoreh 13 Pendekar Rajawali Sakti 154 Pangeran Dari Kegelapan Sepasang Walet Merah 2

Cari Blog Ini