Ceritasilat Novel Online

Pertama Kalinya 2

Pertama Kalinya Karya Sitta Karina Bagian 2


Baju-baju selanjutnya dibawakan model-model tanpa
hambatan. Sampai baju ke-45 akhirnya Arkanda keluar dari balik panggung. Ia berjalan sampai ke tengah panggung sambil bergandengan dengan salah satu model, melambaikan tangan, menerima beberapa karangan bunga, kemudian berbalik lagi menuju belakang panggung.
Seperti yang sudah diduga, peragaan busana barusan mendapat sambutan meriah dari semua penonton, bahkan dari semua fotografer yang sibuk mengabadikan setiap detail acara itu. Dan yang membuat Keyko memekik girang adalah saat melihat idolanya, Dian Sastrowardoyo, melakukan standing applause kala Arkanda muncul di panggung!
Di belakang panggung Arkanda memberi aba-aba kepada seluruh tim termasuk para model untuk berkumpul membentuk lingkaran. Acara belum selesai, karena sesaat lagi acara yang tak kalah penting akan dimulai. Peluncuran parfum Ruby.
Seperti biasa, sifat Arkanda yang serbaeisien membuat instruksi sesi kedua berlangsung cepat. Keyko menyingkir untuk memberi jalan yang lebih luas kepada para model itu. Terus terang saja, Keyko sempat meringis kasihan melihat model-model itu harus berjalan di atas kaca dengan hak sepatu mirip tiang listrik!
Keyko melihat Arkanda membisikkan sesuatu ke telinga Mas Bruno. Ia lalu mengambil segelas hot latte untuk menenangkan hatinya. Sebentar lagi parfum yang namanya berasal dari idenya, akan segera diluncurkan!
Concerto karya Mozart yang terdengar dari grand piano putih di sudut panggung mulai bergema. Beberapa model keluar menuju runway sambil memegang parfum Ruby sejajar dengan dagu mereka. Semua model memperlakukan Ruby seolah itu adalah mahakarya Michelangelo.
Arkanda muncul dari balik panggung bersama dua balerina yang memakai tutu berwarna merah. Dua balerina yang bagai peri dalam mimpi itu menyemprotkan parfum ke udara dan sambil berjinjit membagikan tester parfum kepada tamu-tamu yang duduk di barisan depan. Arkanda berdeham, iringan piano dipelankan volumenya, dan para model berhenti, mereka membentuk formasi simetris di bagian kanan dan kiri panggung.
Dengan bangga, saya Arkanda Balesa, meluncurkan produk parfum pertama saya bernama&
Keyko yang berada di balik panggung berdoa supaya semua berjalan lancar.
A fascinating Ruby perfume by Arkanda Balesa and Keykoeva Satwika.
Iringan piano kembali terdengar, kini memainkan nada yang lebih playful dari sebuah mahakarya J.S. Bach. Tepuk tangan meriah bersambut dari barisan penonton. Keyko yang masih tidak memercayai pendengarannya hanya bisa terperangah.
Please welcome a super fabulous girl. My partner, Keykoeva Satwika.
A-APAAA"!! Tiba-tiba Mas Bruno mendorong Keyko keluar ke atas panggung. Keyko yang tidak siap dan tidak menyangka sama sekali berusaha tersenyum di depan semua orang yang hadir di sana. Ia melemparkan tatapan tak percaya ke arah Arkanda.
Ini semua berkat kerja kerasmu. Kau pantas mendapatkannya, bisik Arkanda ke telinga Keyko.
Ia kemudian mengangkat tangan Keyko dan membungkukkan tubuhnya bergantian; ke para tamu dan ke arah Keyko. Gadis yang memakai gaun semata kaki bergradasi oranye biru itu masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Fire and blood. Implying warmth and life for mankind. So Ruby-red is not just like any perfume, no, it is absolutely undiluted, hot, passionate, powerful perfume. Like no other perfume, the Ruby is the perfect way to express powerful feelings. Instead of symbolising a calm, controlled affection, a perfume with a precious ruby bears witness to that passionate, unbridled love that people can feel for each other.
Arkanda mengecup punggung tangan Keyko. Keyko tersenyum dan akhirnya bisa meresapi momen yang tengah ia alami. Ia melemparkan senyum termanisnya kepada semua penonton dan menatap ke depan dengan penuh percaya diri.
Saat ini, baru kali ini tepatnya, Keyko merasa inilah awal dari masa depannya. ****
Sudah hampir jam dua belas malam, namun mataku masih segar. Sunyi sekali. Hanya terdengar alunan napas Lila dan samar-samar bunyi jangkrik. Ranjang kapuk ukuran single ini membuatku pegal. Ranjang ini terlalu sempit untuk ditiduri kami berdua.
Aku mengedarkan pandang. Dinding kamar ini diplester namun tidak dicat. Dari jendela kayu yang hanya ditutupi tirai tipis, bayangan pepohonan pisang meliukliuk seperti menari. Langit-langit kamar tidak berplafon, hingga aku dapat melihat susunan genteng, kayu-kayu yang menjadi penopang atap, dan juga debu yang menempel di kayu-kayu tersebut.
Bagaimana jika debunya jatuh ke wajahku" Aku ingin Facebook-an, tetapi tidak ada sinyal di sini. Padahal aku kebelet ingin meng-update status yang bunyinya, @kampung. Nggak bisa tidur.
Aku, Awan, dan Kerlip Seribu Bintang
Maria Christina Michaela Pertama kali aku harus tinggal di sebuah desa di kaki gunung.
Beginilah. Aku terjebak bersama Lila di sebuah desa di Klaten, Yogyakarta. Setiap siswa kelas sebelas di sekolahku wajib mengikuti program Live-in sebagai bagian dari pelajaran Sosiologi. Selama seminggu kami akan tinggal bersama keluarga setempat. Ini pertama kalinya aku harus tidur di sebuah desa di kaki gunung. Belum apa-apa aku sudah kangen rumahku, televisiku, dan komputerku.
Kami tinggal di rumah Bapak Setyo. Beliau dan istrinya orang yang ramah. Tapi bukan berarti itu bisa membuatku betah. Sebaliknya, kurasa ini akan menjadi minggu penuh derita bagiku.
Ayam jantan yang ribut berkokok sebelum fajar membuat aku dan Lila terbangun. Kami tidak dapat tidur lagi, namun kami segan untuk keluar kamar. Sekitar pukul setengah enam, saat matahari mulai mengintip dari balik jendela, dan kami yakin Ibu Setyo sudah bangun, barulah kami memutuskan untuk keluar.
Lila baru berjalan dua langkah ketika tiba-tiba ia melangkah mundur dan menabrakku. Masuk kembali ke dalam kamar.
Oi, ada apa" aku berbisik memprotes.
Lila balas berbisik, Ada cowok lagi tidur di depan& . Aku melongok keluar seperti kura-kura. Di bale-bale di ruang tengah tergolek seorang cowok. Cowok itu meringkuk dan menjadikan sarungnya sebagai selimut. Tidurnya
begitu nyenyak. Ia tampak tidak terganggu oleh semburat cahaya mentari yang menimpa wajahnya.
Jadi bagaimana" Lila berbisik lagi.
Pelan-pelan saja. Tidak enak kalau dia sampai bangun. Pak Setyo sedang duduk di ruang makan dan Ibu Setyo sibuk menyiapkan sarapan. Pak Setyo adalah seorang guru SD. Sebentar lagi beliau akan pergi untuk mengajar.
Pagi, Mbak Aurel, Mbak Lila, Pak Setyo menyapa kami dengan ramah. Di sini mereka selalu memanggil kami dengan sapaan Mbak . Lila bilang itu memang kebiasaan sebagian besar masyarakat di Yogyakarta. Pagi, Pak, Bu, kami menyapa bersamaan. Bagaimana" Tidurnya nyenyak" tanya Pak Setyo. Oh, nyenyak sekali, Pak! Lila menjawab cepat. Aku hanya memamerkan senyum. Tadi malam aku hanya tidur sekitar empat jam.
Sarapan dulu, Mbak& . Bu Setyo menyiapkan piringpiring di hadapan kami. Bu Setyo tidak terlalu banyak berbicara. Bukan apa-apa, beliau memang tidak lancar berbahasa Indonesia.
Bu Setyo menyajikan wajik, penganan dari ketan dan gula merah yang dikukus. Di rumahku, aku nyaris tidak pernah memakan jajanan pasar seperti ini. Jujur saja, aku kurang selera. Namun, aku tidak ingin menyinggung perasaan Bapak dan Ibu Setyo dengan menolak makanan ini. Lebih daripada itu, aku tidak mau nilai Sosiologi-ku jelek.
Selesai sarapan, aku dan Lila memaksa Bu Setyo membiarkan kami membantunya menyapu. Saat melewati ruang tengah, aku melihat sinar matahari menyorot deras ke bale-bale yang telah kosong.
Mbak berdua mau ikut Ibu ke pasar" tanya Ibu Setyo setelah kami beres menyapu. Kami baru selesai menyapu setelah setengah jam. Seharusnya paling hanya sekitar lima belas menit lima belas menit selebihnya kami berkutat mengeluarkan serat bambu dari gagang sapu yang menancap di telunjuk Lila.
Kami pergi dengan berjalan kaki. Dari Bu Setyo kami tahu kalau jarak pasar kurang-lebih sekitar dua kilometer. Jalanannya belum beraspal. Debu tanah menyelimuti kaki kami dan matahari mulai bersinar terik. Anehnya, aku tidak merasa kepanasan. Pepohonan yang rindang menaungi kami dan minimnya jumlah kendaraan bermotor di sini membuat hawa terasa segar. Para ibu mengendarai sepeda ontel melewati kami. Mereka semua tersenyum ramah, menyapa kami dan Bu Setyo.
Baru jam sepuluh pagi ketika kami kembali ke rumah. Sambil berlama-lama mandi, aku menghitung apa saja yang akan kulewatkan dalam minggu ini. Dua kali pertemuan les bahasa Inggris, dua kali pertemuan les Mandarin, satu kali pertemuan les piano, dan tiga kali pertemuan les MaFiKi (Matematika, Fisika, Kimia) yang terakhir ini aku tidak
terlalu menyesal melewatkannya. Aku menghitung lagi. Masih lima setengah hari sebelum aku bisa pulang ke Bandung.
Malam yang gerah. Aku iri pada Lila. Ia selalu dapat tidur nyenyak kapan pun dan di mana pun. Aku meraih ponsel E71-ku. Benda secanggih ini tidak banyak gunanya di kampung sini. Tapi siapa tahu di dekat jendela ruang depan sinyalnya lebih kuat. Aku kepingin Facebook-an.
Aku mengendap-endap keluar kamar dan& cowok itu sedang asyik membaca di bale-bale. Aku belum sempat melarikan diri tatkala ia mendongak lalu tersenyum menyapaku, Hai...
Hai... Kakiku membeku di depan pintu kamar. Saya Awan, putranya Bu Setyo. Ia tersenyum lagi. Senyumnya manis.
Aku teringat. Pada hari pertama kami di sini, Pak Setyo bercerita bahwa beliau punya dua anak lelaki. Si sulung sudah bekerja dan yang bungsu masih kuliah di kota Yogyakarta.
Saya Aurel, Mas. Kami bersalaman dan Mas Awan mempersilakanku duduk di kursi di samping bale-bale. Kami mulai berbincang dengan menanyakan hal-hal standar. Apa nama sekolahmu, sekarang sudah kelas berapa, seperti apa kota Bandung" Hingga kemudian Mas Awan bertanya padaku, Bagaimana" Kamu kerasan ndak di sini"
Mas Awan memancarkan karisma yang membuatku merasa nyaman berbincang dengannya. Aku memutuskan untuk tidak berbohong namun tetap sopan, Di sini sangat berbeda dibandingkan Bandung.
Ia tertawa, memamerkan sederetan gigi yang putih dan rata. Ya iya! Namanya juga kampung! Di sini semuanya serbasederhana. Hampir semuanya harus dikerjakan dengan tangan sendiri. Tapi aku selalu senang setiap kali pulang ke sini. Di sini tidak hiruk-pikuk seperti di kota. Kita bisa lebih dekat dengan alam. Alam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kita.
Aku tidak mampu berkomentar apa-apa. Aku tidak pernah memikirkan soal kedekatan dengan alam. Yang kubayangkan tentang alam adalah gunung, pohon, laut, sungai, dan danau. Dan di kota tidak ada semua itu. Besok aku mau ke ladang. Mbak Aurel mau ikut"
Nggak salah nih" Aurel mau diajak ke ladang" Rel, kamu pasti udah kepincut sama Mas Awan! Lila menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menanggapi dengan cuek. Jangan mikir anehaneh ah!
Kami berjalan beriringan menapaki pematang. Bapak dan Ibu Setyo, Lila, dan aku. Kami menunggu Pak Setyo selesai mengajar, sementara Mas Awan sudah pergi duluan ke ladang. Kupikir mereka menanam padi, tapi ternyata
bukan. Warga di sini kebanyakan bercocok tanam jagung dan sayur-sayuran.
Dari kejauhan mataku menangkap sosok Mas Awan. Ia sedang mencangkul, menggemburkan tanah di sekitarnya.
Mas Awan! tanpa sadar aku berseru memanggil. Lila berdecak dan melihatku penuh curiga. Aku pura-pura sibuk memperhatikan betapa birunya langit hari ini.
Selain Mas Awan, tampak beberapa orang pria dan wanita yang juga sibuk mengerjakan ladang. Pak Setyo pun ikut mencangkul.
Untuk mengairi ladang, para petani itu harus mengumpulkan air dari sumur yang ada di dekat ladang. Kebetulan Mas Awan sedang mencangkul tak jauh dari sumur tersebut.
Mbak mau ikut menimba" tanya Bu Setyo. Tapi berat lho!
Sumurnya hanya berupa sebuah lubang yang dilengkapi dengan tiang kerekan dan ember. Tanah di sekitarnya becek dan berlumpur. Baru menimba beberapa ember, Lila memutuskan untuk membantu menyiram saja. Penuh semangat, aku mulai menimba seorang diri. Terlalu bersemangat sehingga aku lupa tanah di sekitar sumur licin dan& syuuuut! Aku terpeselet, jatuh terduduk, dan tubuhku meluncur menuju lubang sumur.
Aaaa& ! aku memekik. Lila yang mendengar teriakanku menoleh dan ikut berteriak ngeri, Waaaa& !
Tiba-tiba aku merasa ada yang menarik kausku, menghentikan tubuhku yang meluncur ke dalam sumur. Mas Awan telah melompat dan menyelamatkan aku.
Aduh, Mbak, hati-hati! Bu Setyo berlari panik menghampiriku.
Aku membeku. Selama beberapa detik aku hanya mampu mencengkeram dadaku, merasakan jantungku yang bergemuruh.
Kaget& ., akhirnya aku menemukan suaraku lagi. Aku mengusap pipiku, tak sadar tanganku penuh lumpur. Kini pipiku pun berlepotan tanah lembek itu.
Aurel, kamu nggak apa-apa" Duh, kamu kotor deh! Lila mencerocos khawatir.
Ah, nggak apa-apa. Cuma kotor sedikit. Aku tertawa santai.
Lila semakin melongo dan tawaku pun semakin keras. Tentu saja. Aku sendiri tidak menyangka bakalan bisa sesantai ini. Selama ini aku bahkan enggan berjalan di tengah hujan karena tidak suka berbecek-becekan. Detik ini aku berkubang lumpur seperti kerbau dan aku malah tertawa.
Mungkin insiden berkubang di lumpur itulah yang telah mengubah pandanganku. Atau entahlah, namun kini semuanya terasa menyenangkan. Setiap subuh, ayam jantan Pak Setyo membangunkan kami dengan kokoknya. Aku
pasti tidak dapat melanjutkan tidurku, namun akibatnya aku dapat melihat keindahan fajar saat merekah.
Selain menyapu, aku dan Lila membantu Bu Setyo memasak. Aku belajar memasak dengan menggunakan tungku batu bata dan kayu bakar. Di sini tidak ada kompor gas. Aku pun mulai menikmati masakan yang dihidangkan. Masakan Bu Setyo yang menjadi favoritku adalah gulai daun pepaya. Rasanya enak, gurih, dan sama sekali tidak pahit karena dimasak dengan tanah liat. Tak ketinggalan belut goreng. Walau saat hidup wujudnya membuatku jijik, namun rasanya lezat!
Mas Awan rupanya sedang libur semester. Aku senang karena ia jadi bisa menemani kami berjalan-jalan ke banyak tempat di desa ini. Melihat sungai, jalan-jalan di ladang, melihat sekolah sederhana tempat Pak Setyo mengajar, hingga pergi mengunjungi Keraton Ratu Boko (sebelumnya kami harus menunggu kendaraan umum selama setengah jam di pinggir jalan).
Nanti aku mau ke rumah temanku, Gading. Kalau tidak salah, rumahnya juga kebagian jadi tempat Live-in. Ikut"
Mana mungkin aku menolak"
Kami berjalan cukup jauh. Agak mendaki ke pegunungan. Rumahnya Gading masih terbuat dari bilik. Penerangannya hanya dari lampu pijar yang tergantung. Namun orangtuanya memelihara beberapa ekor sapi Brahman yang besar-besar.
Rendy! Alvin! aku berseru tatkala melihat kedua teman sekelasku. Kedua cowok itu pun melambai gembira pada kami. Mas Awan memperkenalkan kami pada Gading (yang kulitnya legam, tidak sesuai dengan namanya). Lalu kami semua mengobrol sembari memandangi sapisapi yang terus melenguh.
Betah nggak" tanya Lila.
Rendy berbisik di telingaku, Di sini makannya sehari cuma dua kali. Seringnya makan jagung pula& .
Hari pertama mereka tidak bisa tidur karena kamarnya bersebelahan dengan kandang sapi. Gading tergelak.
Tapi asyik kok! Di rumah harus bangun subuh supaya nggak kena macet ke sekolah. Di sini bangun pagi untuk nyari rumput buat makan sapi. Seru! Alvin mengacungkan jempolnya.
Tapi kamu kelihatannya ngantuk banget, Vin" tanya Lila.
Gading dan Rendy menyemburkan tawa. Dia kurang tidur. Semalaman ketakutan ada wewe gombel 2 . Wewe gombel kan senangnya sama yang ganteng, olok Rendy.
Wewe gombel juga doyan tuh sama yang ini! Gading menyikut Mas Awan yang hanya tersipu.
Mas Awan memang lumayan tampan. Kulitnya bersih. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun atletis hasil dari
2 Wewe gombel: sejenis hantu perempuan yang berambut panjang. Dikenal suka mengusili pria tampan.
menimba berember-ember air dan mencangkul ladang (bukan hasil nge-gym seperti cowok-cowok kota). Ia pasti kumbang desa di sini (tidak mungkin istilahnya kembang desa , kan").
Tanpa sengaja pandangan kami bersirobok. Matanya yang penuh senyum berpapasan dengan mataku. Seulas perasaan sedih pun menyeruak di dadaku. Nantinya, aku pasti akan merasa kehilangan.
Malam terakhir sebelum kepulanganku, aku kembali tidak dapat tidur. Bukan. Bukan karena gerah, namun karena gelisah.
Aku sedih karena besok harus pulang.
Aku ingin melihat Mas Awan. Kembali, aku mengendap-endap keluar kamar. Bale-bale itu kosong.
Mas Awan sedang berdiri di sisi jendela, memandang ke luar.
Mas" panggilku lirih.
Ia menoleh dan tersenyum. Mbak Aurel" Pasti nggak bisa tidur, ya"
Aku hanya tersenyum. Tidak semuanya perlu dijelaskan dengan kata-kata.
Kita duduk di depan yuk! Nggak dingin kok udaranya& . Tanpa menunggu jawabanku, Mas Awan membuka pintu depan dan melangkah keluar. Aku pun membuntutinya.
Kalau aku lagi resah, aku suka duduk-duduk di depan sini dan mengamati bintang-bintang, Mas Awan bercerita.
Apakah yang membuatmu resah malam ini, Mas Awan" Aku menengadah dan menatap seribu bintang berpendar di langit malam yang cerah. Kerlipnya menyejukkan hatiku. Untuk beberapa lama kami tidak berbicara. Hanya mendongak dan menikmati pemandangan langit malam.
Di rumah kamu suka lihat bintang" Mas Awan bicara lebih dulu.
Hah" Aku berpikir sejenak. Lalu meringis malu, Tidak. Di Bandung aku tidak punya waktu untuk melihat bintang. Pulang sekolah masih harus les ini dan itu. Malamnya sibuk mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan. Kalau ada waktu senggang pun aku pergi main dengan teman-teman. Waktu luang lainnya kugunakan untuk internetan. Mana ada waktu untuk melihat bintang"
Aku mengusap wajahku, mendadak merasa malu. Aku merasa hidupku sempit dan menjemukan. Prioritas hidupku hanya sekolah dan eksistensi di tempat hang out. Aku tidak peduli pada kicau burung di pagi hari, terlalu sibuk untuk mengamati kilau embun di dedaunan yang bak intan. Hujan kuanggap sebagai penghambat kegiatanku, sampai aku tidak sadar betapa harumnya tanah sehabis tersiram hujan.
Mbak mikirin apa" Mas Awan menatapku penuh keingintahuan.
Selama beberapa detik, lidahku sibuk merangkai katakata. Aku berdeham, Seminggu ini aku senang sekali, Mas. Awalnya aku memang tidak betah. Tapi kemudian aku sadar, betapa menyenangkannya kehidupan di sini, begitu dekat dengan alam. Sudah seminggu aku tidak Facebook-an, tapi aku tidak peduli. Itu tidak penting lagi& .
Mas Awan tertawa. Aku juga punya Facebook. Tapi memang sinyal di sini jelek. Minta alamat e-mail-mu ya! Nanti aku add.
Mas Awan tentu melihatku kebingungan, karena ia tertawa lagi. Aku ini mahasiswa. Bagaimana nasibku kalau aku tidak punya alamat e-mail dan dosen menyuruh mengumpulkan tugas via e-mail"
Aku senang sekali Mbak Aurel betah di sini. Karena kenyataannya, banyak anak muda di sini yang tidak sabar ingin segera pindah ke kota. Kenapa" Ya karena memang manusia seperti itu. Selalu merasa rumput tetangga lebih hijau....
Teman-temanku saja menganggap aku aneh, karena aku punya keinginan untuk menetap di kampung dan bertani selepas kuliah nanti.
Oh, ya" Aku terkejut. Tapi itu cita-cita yang mulia. Kalau semua maunya bekerja di kota, nanti siapa yang akan membangun desa"
Itulah yang selalu aku pikirkan, Mbak& . Kami saling bertatapan. Karena gugup, aku memainkan
jemariku. Terima kasih banyak ya, Mas, sudah menemani kami seminggu ini. Aku belajar banyak hal dari Mas. Aku terkekeh. Minggu ini benar-benar menyenangkan lho& .
Mas Awan mengangguk puas. Aku pun senang ada kalian di sini. Nanti kalau ada kesempatan, main-mainlah lagi ke sini& .
Kita tetap berteman ya, Mas"
Pastinya& , Mas Awan menjawab lembut. Sebelum rasa sedih menyeruak keluar menjadi air mata, aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. Alamat e-mailnya dong, Mas"
Waktu berangkat kamu cemberut, sekarang pulang pun kamu cemberut.
Aku tersenyum lesu pada Lila lalu kembali menatap ke luar jendela. Suasana bus hiruk-pikuk. Banyak yang merasa puas dan mendapatkan pengalaman berharga selama seminggu ini. Banyak juga yang bersyukur karena akhirnya bisa pulang. Aku hampir saja masuk ke dalam kategori kedua. Sekarang aku merasa kasihan pada mereka. Rugi sekali mereka hanya mengumpulkan keluhkesah dan gerutu selama seminggu ini.
Lila" Kita tidak akan kembali lagi ke sini, kan" tanyaku mengawang.
Lila menegakkan tubuhnya, keningnya bertaut. Entahlah. Suatu hari nanti mungkin" Tapi dalam waktu dekat ini, ia mengerucutkan bibirnya, kurasa tidak. Aku ngantuk.
Tidur saja. Semalam kamu bergadang, kan" Aku nyengir. Aku dan Mas Awan memang mengobrol sepanjang malam. Setelah gemintang memudar dan berganti dengan merahnya fajar, barulah kami pergi tidur. Rasanya aku baru tidur sekitar sepuluh menit sewaktu Lila membangunkanku untuk berkemas dan sarapan.
Aku memejamkan mata. Bus merangkak pelan. Lalu bertambah cepat. Bayang-bayang pegunungan, aliran sungai, dan ladang jagung menari-nari di benakku. Kapan lagi aku akan mendengar nyanyian jangkrik" Rasa-rasanya aku mulai terbang ke alam mimpi. Rasarasanya aku melihat Mas Awan di tengah ladang. Aku merasa melihatnya melambai sembari tersenyum manis padaku.
Mas Awan, di kota nanti aku pasti meluangkan waktu untuk mengamati indahnya bintang di langit malam. Karena hal itu akan mengingatkanku kepadamu. ****
Rumor has it that L is a noone without the shiny A.
Maybe it s not just a rumor.
Liv. Betapa kerennya panggilan Livia kini. Sebelum masuk SMP Pelita Bangsa, sebelum ia kenal Ayumi dan geng Sun-Diva, ia bukanlah siapa-siapa.
Nama lengkap Liv juga so-so banget. Malah terkesan Tionghoa banget. Gemarani Livia. Kalau diabsen guru terdengar seperti bukan nama seorang... cheerleader.
Padahal Liv adalah salah satu pemegang pom-pom tersebut.
Entah apa yang Ayumi lihat dari Liv sehingga mau menariknya masuk ke tim, ehm, populer. Apakah karena mata kucing Liv yang seksi seperti Lucy Liu atau rambut bergelombang hitam legamnya yang selalu dibiarkan tergerai seperti cewek hippie" Sampai sekarang semua itu masih tanda tanya besar bagi Liv, tapi yang jelas Ayumi
L tanpa A Sitta Karina Pertama kali Liv menjadi the mean girl.
melihat potensi dalam dirinya. Dan Liv bangga karenanya. Sejak kecil Liv nggak pernah merasa dirinya it girl , tapi Ayumi sukses mengubah paradigma itu. Liv suka banget kehidupan barunya kini.
Sayangnya bergabung dengan Sun-Diva membebani Liv dengan konsekuensi tak terduga lainnya; ia jadi terikat oleh banyak peraturan Ayumi padahal selama ini ia tidak pernah merasa menandatangani kontrak kesepakatan apa pun. Makin lama peraturan-peraturan itu juga makin nggak masuk akal, seperti memakai kaus kaki merah muda tiap hari Jumat. Hello" Mereka kan anak SMP, bukannya TK lagi!
Menurut Liv, hanya karena tren kaos kaki dipadu dengan high-heels di Paris Fashion Week sedang in, nggak berarti mereka harus ikut-ikutan jadi model wannabe ke sekolah, kan" Ke sekolah harusnya pake sneakers. Paling banter jelly shoes. Itu pun kalau nggak ketahuan Ibu Puput si Pembina BP atau Miss Coates yang walau mengajar bahasa Inggris tapi suka berpihak pada kubu Ibu Puput; mendamprat anak-anak yang tidak memakai seragam sebagaimana mestinya.
Kaos kaki merah muda cuma satu dari sekian peraturan konyol yang Ayumi buat. Yang paling membuat Liv tersentak adalah peraturan yang tercetus kemarin, saat timeout latihan cheers.
Peraturan #23: Tidak boleh berpartisipasi dalam ekskul 4LaY.
Sebelah alis Liv terangkat ketika mendengar peraturan ini. Terus, yang termasuk ekskul alay apa aja emangnya"
Ayumi tidak menengok, ia tetap sibuk menggambar formasi cheerleader kreasi terbarunya. Semua selain cheerleader.
Oh. Liv tidak melanjutkan lagi.
Bella mengambil tempat di antara mereka, menanyakan apakah mereka jadi karaokean di Ruang Musik setelah sekolah usai. Ini salah satu kegiatan seru mereka untuk melepas lelah dan bosan curi-curi tentunya di area sekolah. Biasanya ini dilakukan setelah ekskul choir selesai. Liv yang bertanggung jawab menyediakan minuman ringan, snack, sampai froyo segala untuk camilan mereka.
Karaokean adalah kegiatan lain yang tidak pernah Liv absen lakukan, selain cheerleading. Bukannya ia stres sama pelajaran sekolah seperti yang lain, melainkan karena Liv suka musik. Dan makin hari, ia merasa menyanyi jauh lebih menyenangkan daripada membuat piramida tinggi. Apalagi Jumat lalu Liv mendengar bahwa Trey salah satu cowok cool di sekolah sedang membentuk band. Walaupun namanya masih dirahasiakan, ingin sekali rasanya Liv ikutan audisi jadi vokalis. Tapi apa isi peraturan nomor 23 tadi" Ekskul selain cheerleader termasuk alay" Nggak banget deh kalau dia dicap alay!
Liv. Suara khas Ayumi membuatnya waspada seperti 3 [singkatan dari] frozen yoghurt; yogurt dingin berbentuk mirip es krim.
anak buah dipanggil bosnya. Snack-nya cuma ini aja" Kan tadi gue minta ada Pringles juga.
Spontan Liv naik pitam mendengar intonasi tenang tapi nyelekit itu. Di kafetaria abis. Suaranya bergetar menahan marah.
Ayumi terlihat heran. Di sebelah sekolah kita ada minimarket, kan"
Liv mencibir gondok. Enak saja menyuruhnya seperti kacung! Apa jadinya kalau Ayumi tahu ia setengah mati kepingin bergabung dengan ekskul band"
APA" Liv melengos pelan, memutar kedua mata, dan kedua tangannya hanya terangkat sedikit. Ingin bersikap ekspresif tapi tertahan; ternyata nyalinya belum begitu besar untuk berhadapan dengan Ayumi dan temper panasnya.
Gue mau ikut audisi Super-Soda, kata Liv lagi, berusaha terdengar lebih mantap.
Ayumi memandangi Liv kayak cewek ini makhluk asing, alias berasal dari tim nonpopuler. Trey emang cute, tapi cuma untuk jadi pacar. Bukan band partner.
Pengakuan Ayumi kontan bikin Liv kaget. Wow, jadi selama ini selera cowok favoritnya dan Ayumi sama!
Tapi gue suka nyanyi! Liv berkata lagi, lebih ngotot. Dan elo tau kan... selama karaoke... Ia ragu dan akhirnya nggak jadi meneruskan ucapannya. Selama karaoke suara gue sebenarnya bagus, ia memilih membatin.
Seseorang dengan semangkuk mi bakso di tangan tibatiba mendekati mereka. Ia memakai kacamata bingkai tebal yang membuatnya terlihat 100% nerdy.
Hai, Liv. Tim choir kurang satu orang untuk pentas Sound of Music. Lo ikut, ya" si nerdy bernama Ebit bertanya dengan wajah ceria.
Ayumi yang menoleh duluan ke arah cowok kurus tersebut menjawab sengit, Elo. Kira. Elo. Siapa"
Ebit kebingungan dengan reaksi angkuh nan ketus ini. Ia mundur sebelum Liv sempat memberi jawaban dan pembelaan kepada Ebit. Ya, pembelaan& .
Ternyata Liv tidak sesombong itu.
Ternyata Liv belum sepenuhnya bertransformasi jadi personel Sun-Diva.
Ternyata... selama ini hati Liv masih berdiri gundah di persimpangan jalan.
Ebit nanya baik-baik, jadi bukannya elo harusnya menjawab baik-baik juga, ya" akhirnya Liv bersuara walau tatapannya jatuh ke lantai. Ia tidak sanggup berlama-lama beradu mata dengan Ayumi. Rasanya cewek di depannya ini kayak mau menelan dirinya hidup-hidup. Tapi itu tidak mungkin, kan" Ayumi cuma keras gonggongannya saja, tapi tidak pernah menggigit. Dan kalaupun ia menggigit, paling separah apa sih" Liv pun bisa menggigit balik!
Tunggu! Gue dan Ayumi..." Liv tertegun. Seumur-umur, baru kali ini ia membayangkan dirinya bertengkar dengan Ayumi. Sekesal-kesalnya ia pada Ayumi, tidak pernah rasanya semendidih ini.
Benci. Gue salut sama Ebit. Suaranya kayak Pavarotti, tibatiba Liv menyahut pelan. Nadanya terdengar iri, tapi nggak dengki. Ia kepingin kayak Ebit.
Ayumi bergidik jijik. Tadi Ebit ngomongnya kedeketan. Napasnya bau naga. Dasar geek!
Oke, selain seorang cheerleader, rupanya Ayumi punya kehidupan lain di negeri dongeng hingga tau kayak apa bau naga itu. Baru sekarang celaan Ayumi terasa menyentak hati Liv juga. Ke mana saja ia selama ini"
Anak-anak terlihat menyemut di kantin. Semua memiliki teritori sendiri-sendiri. Ada sekumpulan anak yang duduk diam, kepala menunduk, dengan sebuah buku di tangan masing-masing. Suasananya tampak sesunyi dan sedingin kuburan. Liv memang tidak ingin merasa kesepian di tengah keramaian seperti itu, karena ia kan berada di sekolah bukannya kuburan. Karena itulah ia bergabung dengan tim populer yang rame dan keren.
Dilihatnya satu per satu teman segengnya itu Ayumi, Bella, Kisa, Lauren, dan Sandra mereka semua lagi asyik ngobrolin hal-hal seru kayak single terbaru Justin Bieber (walau Liv nggak ngefans) dan sale-nya Forever 21 di Sunway Square. Liv mendesah, bersama mereka hidup
LV di sekolah memang terasa lebih seru. Tapi, apa benar begitu"
Dua hari berlalu dan saat ini Liv sedang mengintip audisi vokalis untuk band Super-Soda. Vokalis cowok sudah terpilih yaitu Ujo. Lucky you, Jo, batin Liv antara senang dan sedih.
Dua orang memergoki Liv secara bersamaan di situ. Ebit dan Ayumi.
Liv pun terlonjak saking kagetnya. Kepalanya tak sengaja terantuk pintu Ruang Musik sehingga orang-orang di dalamnya, termasuk Trey, Vega, dan Ujo, menengok ke arahnya.
Liv! pekik Ebit girang. Tawaran buat Sound of Music masih dibuka lho. Ayo dong. Sayang tau, suara bagus kayak elo
Back off, geek, Ayumi memotong dengan nada melecehkan. Kalo Liv udah nggak mau, ya nggak mau. Kok elo sampe kepikiran sih ngajak ngobrol Liv ngajak ngobrol kita"! Elo tuh bukan siapa-siapa!
Ucapan Ayumi bener-benar membuat hati siapa pun sakit. Tak terkecuali Ebit.
Apa yang Ebit rasakan menular ke hati Liv. Walau Ebit cowok... walau Ebit selalu terlihat lebih ceria dan lepas daripada Liv, siapa sangka ia sekarang terlihat hampir menangis"
Memang ucapan Ayumi sangat pedas ketika menyerang orang lain, terutama mereka yang nggak tergabung dalam tim populer. Mereka yang hidup jadi anak biasa dan nyaman saja dengan itu. Tidak seperti Liv yang butuh embel-embel bernama popularitas demi bisa eksis. Gue mau ikut pentas Sound of Music, Liv berujar. Tak hanya Ayumi dan Ebit, Liv juga kaget dengan ucapannya sendiri.
Excuse-moi, cheerleader" Kedua mata Ayumi menyipit dengan gaya yang baru Liv sadari sekarang sangat dramatis galaknya. Sinetron abis.
Yeah, you heard me, Captain, Liv mengulangi. Gue mau ikut paduan suara. Gue berhak untuk menentukan ekskul yang gue suka.
Ayumi tersenyum lebar, sangat manis, hingga menyiratkan beribu konspirasi. Oh ya, silakan. Gue juga berhak mengeluarkan lo dari Sun-Diva. Cukup sampe hari ini aja... LIVIA.
Suara Ayumi sangat keras. Semua orang di situ mendengar seruan lantang Ayumi, bahwa Liv dikeluarkan dari Sun-Diva.
Dan drama itu masih berlanjut.
Kenapa sih elo segitu ngototnya pingin main musik" Super-Soda nggak ada apa-apanya. Itu cuma impian Trey. Kalaupun elo gabung, paling elo cuma pingin jadiin band itu batu loncatan aja. Iya, kan" Kasihan dong Treynya!
DIAM! Liv sangat marah mendengar perkataan Ayumi. Batu loncatan" Apa yang Ayumi tahu tentang dirinya& tentang impiannya& bahkan juga impian Trey"
Kenapa sih lo sewot banget kalo gue pengen gabung sama band-nya Trey atau choir bareng Ebit" Gue nggak ganggu elo gue bahkan nggak pernah nyakitin elo!
Tapi kelakuan sembarangan lo itu bisa bikin nama Sun-Diva jelek, Bodoh.
I. Hate. Sun-Diva, tegas Liv dengan nada pedas. Orang yang cuma mikirin diri sendiri kayak Ayumi, mana pernah bisa mengerti orang lain"
Jangan pernah ikut latihan cheerleader lagi, ancam Ayumi lugas. Ayumi jelas tidak suka dengan gagasan Liv dan Trey berada dalam grup yang sama. Ia lalu melihat ke sekeliling bangga menjadi pusat perhatian. Kecuali kalo lo memohon ke gue, mungkin akan gue pertimbangkan.
Setelah Ayumi melenggang pergi dengan langkah ringan, terdengar suara Bam! keras. Liv menendang pintu Ruang Musik hingga Trey bergegas keluar, diikuti Ujo. Raut mereka berdua terlihat cemas.
Liv" Trey memperhatikan wajah Liv dengan khawatir.
Liv ingin menangis karena kesal dan malu. Ia telah dipermalukan oleh sahabatnya sendiri. Ingin rasanya Liv lenyap saat itu juga.
SMS gue aja, Bit, kapan latihan choir-nya. Liv meninggalkan koridor tanpa melihat sedikit pun ke arah Ebit atau teman-teman lain yang berada di dekatnya.
Tapi gue nggak punya nomor hape elo dan Ebit terlihat kelabakan.
Trey menahan bahu si anak paduan suara untuk tidak menyusul Liv. Gue punya.
Kalau Ayumi tega berbuat sejauh itu, maka Liv pun bukan anak baik-baik yang akan diam saja ketika ditindas. Sorenya Liv mengecek situasi Ruang Musik. Yak, semua camilan dan beberapa CD lagu sudah siap sedia di tempat, pertanda rutinitas karaoke akan berjalan seperti biasanya.
Ruang Musik kosong melompong. Liv sempat berdiri lama, mematung di situ. Ia membayangkan Trey duduk di bangku di depannya dengan ekspresi serius dan menggebu-gebu. Suaranya lantang memberi pengarahan seperti apa konsep band Super-Soda di kepalanya. Sesekali kakinya mengetuk-ngetuk lantai, terutama saat gemas ketika anak lain tidak menangkap maksudnya.
Seharusnya Liv juga berada di situ! Dia tahu seperti apa versi band Super-Soda yang keren. Dia tahu banyak tentang band lokal dan luar negeri yang bagus, jauh dari perkiraan Trey selama ini yang cuma melihatnya sebagai cheerleader. Bahkan Liv merasa lebih cocok disebut sebagai anak band! Baru kali ini ia merasa 100% yakin passion-nya adalah di bidang musik.
Kabel speaker disatukan ke sini.... Liv ingat step by step menyambung beberapa kabel di Ruang Musik karena ia pernah membantu kakak kelas 9 dan tim dari Radio Prambors menyiapkan on air edisi khusus radio sekolah mereka.
Menjelang sore, Sekolah Pelita Bangsa jadi lebih ramai dari biasanya. Banyak klub menggelar kegiatan ekskul tambahan karena beberapa hari yang lalu vakum sementara, tergusur pekan ulangan. Radio sekolah pun akan mengudara sampai pukul enam.
Biar tau rasa lo! maki Liv setelah berhasil menyambungkan kabel terakhir ke mic. You may be the queen bee, but be careful with people you think as the wannabes.
Gila, gue berani banget.... Sesaat Liv merasa deg-degan. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Bagaimana kehidupannya besok tanpa Ayumi, tanpa Sun-Diva" Ia main dengan siapa" Ia ngobrol dengan siapa selama jam istirahat" Saat akhir pekan, dengan siapa ia akan hang out"
Apa sebaiknya kabel itu dicabut saja sebelum karaokean dimulai" Liv hampir tidak jadi membuka kenop pintu. Tapi kebimbangan itu hanya berlangsung sesaat. Sebelum keluar, Liv memutuskan mencomot seplastik besar keripik kentang Lay s dari meja yang penuh makanan ringan. Kalau Sun-Diva tidak kehilangan dirinya, maka kehilangan secuil snack begini tentu tidak ada artinya bagi mereka.
Liv berjalan keluar gerbang sekolah dengan langkah pelan dan hati berdebar-debar.
Kok dari tadi nggak ada suaranya" Apa ia gagal" Apa ia salah menyambung kabel" Yang terdengar hanya suara Banyu si penyiar radio dari kelas 8. Mana suara yang ditunggu-tunggunya"
...Double R Request Row kali ini dari band Metro Station, buat nyemangatin tim basket yang lagi latihan Suara Banyu tiba-tiba menghilang.
Terpotong. Tergantikan oleh suara baru.
CLOSED OFF FROM LOVE, I DIDN T NEED THE PAIN. ONCE OR TWICE WAS ENOUGH AND IT WAS ALL IN VAIN!!!
Beberapa anak tim sepak bola dan basket mengira ada boikot radio dadakan karena tiba-tiba terdengar seseorang menyanyikan lagu Bleeding Love-nya Leona Lewis dengan suara... menyayat hati.
Eh, gila... siapa yang nyanyi nih"! Suaranya mo ngebunuh gue apa, ya"
Ya, saking menyayat hati sampai-sampai Jamie, si bule bermulut pedas, langsung nyeletuk begitu.
Kayaknya gue kenal suara ini deh, tambah Musa.
Yoi. Suaranya familier banget! Jamie meletakkan bola basket di dekat kaki, berkonsentrasi. Woo-hoowww! Ini kan suara Ayumi! Gila... cantik-cantik suaranya kayak kucing kejepit pintu! Parah, parah!
Riuh-rendah derai tawa membahana di seluruh area sekolah. Si pemilik suara, sesuai dugaan Liv, berlari keluar Ruang Musik menuju gerbang sekolah diikuti anggota gengnya. Sayangnya mereka harus melewati lapangan yang jutru sedang ramai oleh anak-anak berlatih ekskul.
Senangnya Liv kini sudah bukan bagian dari mereka lagi.
Namun, dia juga sangat kaget ketika menyadari Ayumi berlari keluar dengan wajah basah oleh air mata.
Dan suara tawa anak-anak yang lain tidak juga berhenti, malah kian keras melihat si penyanyi muncul di situ. Kebanyakan yang tertawa adalah cowok, yang Liv yakini merupakan mimpi buruk bagi ratu jaim kayak Ayumi. Liv jadi iba. Mendadak ia merasa bersalah. Liv tidak jadi cabut ke 7-Eleven dekat sekolah untuk mereguk segelas soda es Slurpee demi merayakan kemenangannya. Ia mencari pembenaran bahwa dirinya berbeda dengan Ayumi bahwa Ayumi layak dipermalukan seperti itu, tapi tak ada satu pun alasan kuat muncul di kepalanya!
Pada kenyataannya ia sama saja dengan Ayumi. Ketika Liv hampir berpapasan dengan Ayumi, ia pun menyetopnya. Mi...
Bella dan Sandra ikut berhenti di belakang si queen bee. Mata Ayumi bengkak karena kelamaan menangis. Ayumi menoleh ogah-ogahan ke arah Liv. Liv memandang Ayumi sesaat sebelum buka mulut, Sori... gue yang nyambungin itu ke radio sekolah.
Apa elo bilang" Entah suara Liv yang kurang keras, atau kondisi Ayumi yang terlalu gusar sehingga tidak responsif dengan keadaan di sekitarnya. Yang jelas raut cewek ini benar-benar terlihat bingung, bahkan tidak percaya diri! Ke mana Ayumi si dominan yang Liv kenal selama ini"
Itu... kabel mic karaoke.... Liv jadi gugup. Kata-kata yang sudah terangkai di otaknya kini buyar total.
Don t waste my stupid time, Liv. Suara ketus Ayumi membuat nyali Liv makin terbang. Ada orang yang sengaja mau menjebak gue..., ujarnya kini dengan sedikit terisak, tapi tadi Trey nggak ikut ngetawain. Trey memang baik.
Trey baik. Liv setuju itu. Makanya ia ingin sekali bergabung dengan Super-Soda. Digawangi orang seperti Trey, Super-Soda pasti bisa jadi band yang superkeren.
Baiklah, sekarang Liv sudah memantapkan hatinya. Setelah menghela napas sekali dengan keras, sebuah kalimat meluncur secepat roller coaster dari mulut Liv.
GUE YANG NYAMBUNGIN KABEL MIC KE RADIO SEKOLAH!
Ayumi ternganga. Tubuhnya seolah beku.
Sandra dan Bella juga menatap ngeri. Seakan-akan
yang berdiri di depan mereka bukan Liv, melainkan hantu.
Gue salah, Mi. Gue minta maaf, lanjut Liv, menelan segala gengsi dan ketakutannya.
Dasar jahat! Backstabber brengsek!
Dengan emosi Ayumi langsung melayangkan tangannya ke pipi Liv, tapi Liv berhasil menahannya.
Gue salah, gue jahat, dan gue punya alasan melakukan itu. Liv masih mencengkeram pergelangan tangan Ayumi. Gue muak dengan sikap seenak jidat lo ke semua orang... ke Ebit... juga ke gue sendiri.
Perselisihan antara Liv dan Ayumi kontan menjadi tontotan seru satu sekolahan. Bahkan sesi Request Row di radio yang biasanya ditunggu anak-anak, sekarang malah dikacangin abis-abisan.
Ayumi melepaskan tangannya dengan kasar. Beraniberaninya Liv melawannya seperti ini. Melihat kelakuan Liv, Ayumi merasa memecat Liv dari Sun-Diva adalah keputusan tepat. Apa gunanya pesuruh kalau tidak bisa disuruh-suruh lagi"
Sekarang puas kan, lo udah balas dendam kayak gini"! Anehnya, Liv malah menggelengkan kepala. Ia tersenyum prihatin. Nggak. This is a stupid ight I don t even feel like winning at all. Gue nggak puas. Nggak juga merasa menang. Yang gue rasakan sekarang justru penyesalan. Ternyata gue sama mean girl-nya seperti elo, Mi.
Oh, ya" Jangan harap itu bikin gue berubah pikiran menerima elo balik di Sun-Diva. In your dream. Elo sekarang bukan siapa-siapa lagi... Livia! Ayumi bernafsu banget memakinya sampai-sampai Sandra dan Bella kewalahan memegangi kedua sisi tubuhnya.
Liv tidak membalas. Tidak hari ini. Tidak juga harihari esoknya.
Ternyata lepas dari Sun-Diva membuat Liv tetap bisa bernapas, yang kini bahkan terasa lebih lega. Liv tidak lagi megap-megap atau tersiksa karena tekanan yang begitu besar untuk bisa tetap eksis dan populer.
Bahagianya lagi, Liv diterima jadi vokalis Super-Soda. Trey memang super duper-keren dan seperti yang Ayumi bilang potensial untuk dijadikan gebetan. Tapi ada hal yang lebih penting bagi Liv, yakni membangun kariernya di Super-Soda. Bersama teman-temannya.
Eh, Kui... Jenar! Orang kayak elo-elo ngapain duduk di sini" Ngerasa jadi cheerleader"!
Liv tersenyum kecut melihat pemandangan itu dari sudut lain di kafetaria yang mulai hari ini menjadi tempatnya bersama kalangan nonpopuler lainnya.
Ayumi nggak akan berubah. Some people simply don t. Tapi Liv bahagia; dirinya telah berani membuat perubahan itu.****
A month passed by and L is happier as a band player than a cheerleader.
She s deinitely a survivor. Her life with A is a history.
Ayah& , rengekku setengah memaksa, izinin Vanya bawa mobil dong, Ayah& .
Ayah yang sedang membaca koran di ruang rekreasi menggeleng tanpa melirikku yang sudah berakting memelas.
Aku langsung cemberut.

Pertama Kalinya Karya Sitta Karina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk kesekian kalinya oh, bukan untuk kesejuta kalinya aku meminta Ayah untuk mengizinkanku membawa mobil ke kampus. Namun, tetap ditolak. Huhu, malangnya nasibku. Masa tiap pulang kuliah aku mesti naik bus kota sampai terminal. Kemudian dari sana aku masih harus naik angkot lagi. Capek banget, kan"
Kenapa Vanya nggak boleh bawa mobil sendiri, Yah" Ayah sama sekali tak mendongak.
Vanya kan udah delapan belas tahun. Vanya juga udah bisa nyetir. Mobil di rumah ini juga ada dua.... Mobil yang satu lagi kan dipakai ibumu& . Akhirnya
Aku dan Mental Bersyukur Natalia Galing Pertama kali aku merasa harus mensyukuri hidupku.
Ayah menoleh dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa disebut alasan.
Ibu kan jarang ke luar, elakku sambil menoleh pada Ibu yang sedari tadi diam saja.
Pokoknya Ayah belum mengizinkan kamu bawa mobil ke kampus, kata Ayah.
Kenapa" tanyaku setengah emosi.
Ayah melirikku tajam. Waktu Ayah seumuran kamu, Ayah jalan kaki ke kampus...
Itu kan dulu, potongku sebelum Ayah menceritakan kembali masa lalunya yang sudah sering kudengar. Aku juga sudah bosan dengan petuah-petuah yang selalu mengiringi kisah masa muda Ayah. Sekarang zamannya ke mana-mana naik mobil. Vanya nggak kuat, Yah, kalau tiap hari naik bus kota. Kemarin saja Vanya hampir muntah karena duduk di sebelah bapak-bapak yang dekilnya minta ampun! Mana ada penumpang yang merokok dalam bus kota yang sesaknya minta ampun itu! Baju Vanya jadi bau asap rokok deh....
Ayah memijat-mijat dahinya. Dan sebelum beliau berbicara, aku kembali mengutarakan alasan-alasanku, Vanya malu sama temen-temen Vanya. Kayak orang miskin saja, ke kampus naik bus kota.
Ayah melotot. Pokoknya tidak ada alasan lagi. Ayah tetap tidak izinkan kamu bawa mobil.
Tapi kenapa, Yah" Mental kamu perlu diubah.
Aku mendengus kesal, melirik Ibu yang sepertinya juga berpihak pada Ayah.
Oke, mental apa lagi sekarang" Apa maksud Ayah aku harus sama seperti Ayah, jalan kaki ke kampus. Duuh, ini zaman apa sih memangnya" Zaman purba" Kalau punya mobil pribadi, ngapain mesti naik bus kota"!
Aku memalingkan muka dengan sebal lalu pergi ke kamar meninggalkan orangtuaku yang pikirannya kolot.
Ya, aku tahu kalau dulu kehidupan Ayah sebelum menikah sangat sulit. Ayah sering menceritakan masa lalunya sampai aku hafal betul alur dan kata-katanya. Tapi sekarang kan beda! Ayah sudah mapan, dan masa aku sebagai anak tunggalnya tak diizinkan bawa mobil sendiri" Apa kata dunia"!
Aku berjalan lesu. Here we go again& .
Aku berhenti dan melihat terminal bus yang berada beberapa meter di depanku. Dengan malas kutatap bus kota yang akan kunaiki. Aku merenung, satu jam ke depan aku akan terperangkap di bus itu. Astaga, aku harus melakukan apa" Alternatif lain dan satu-satunya adalah naik angkot, tapi itu akan menghabiskan waktu dua kali lipat belum kalau angkotnya ngetem. Hhh& . Aku berjalan tak semangat, masuk ke dalam bus. Sampai di dalam, aku langsung memilih-milih bangku. Ck... aku lupa, tak ada bangku empuk di sini. Aku pun
duduk di sebelah seorang gadis seumuranku. Belum apa-apa, aku sudah mencium asap rokok yang benar-benar pekat.
Aku menoleh ke belakang, hendak melihat siapa orang yang begitu tega merokok di bus kota yang memang sudah pengap. Ternyata seorang om-om, ia tampak begitu nikmat menumpuk racun di paru-parunya. Kalau aku Cat Woman, pasti sudah kulibas om-om itu. Tau nggak sih, kalau perokok pasif lebih dirugikan dibandingkan perokok aktif" Ah, sudahlah& .
Bus akhirnya berjalan dan kondektur mulai menagih ongkos. Suasana makin berisik, beberapa orang tampak mengobrol yang di telingaku lebih terdengar seperti suara teriakan orang-orang di pasar.
Huh! Kalau begini, kenapa mentalku yang harus diubah"
Beberapa menit selanjutnya cewek yang duduk di sebelahku tertidur pulas. Astaga, kok bisa sih tidur sambil duduk, di tempat sesak begini" Kalau aku sih takkan pernah bisa tidur dalam kondisi seperti itu.
Sambil mengisi waktu luang, aku memutuskan untuk Facebook-an saja sekalian ganti status. Hmm, enaknya status apa, ya" Tiap aku naik bus kota, aku pasti ganti status yang isinya kekesalanku di bus. Dan statusku itu menarik perhatian banyak teman sehingga mereka memberikanku bermacam-macam comment ada yang prihatin, ada yang bilang supaya aku sabar, tapi ada juga yang bilang itu sudah nasibku.
Aku pun menulis status: Hari kesebelas dalam bus kota, sama menyebalkannya.
Setelah kutunggu beberapa menit, Laras memberikan comment untuk statusku: Masih juga naik bus kota" Naik angkot aja, Non& atau naik motor& .
Aku membalas comment itu: Naik angkot lebih lama lagi. Naik motor apaan" Aku kan nggak punya motor.
Dengan secepat kilat, ratu Facebook itu membalas: Makanya pacaran dong! Cari cowok yang punya mobil atau motor! Kayak gue....
Hahaha cari cowok. Memangnya segampang itu" Aku hanya akan pacaran dengan pria yang benar-benar belum terkontaminasi dengan free sex, rokok, minuman keras atau narkoba. Pria itu juga harus romantis, pintar, dan tampan seperti Kevin Zeagers.
Aku membalas dengan comment: Haha, thanks banget buat sarannya.
Aku menatap layar terpaku. Teman-temanku tak ada yang online dan aku mulai bosan. Dengan kecewa aku pun logout.
Beberapa penumpang mulai turun. Sabar, Vanya, dua puluh menitan lagi bus ini akan sampai di terminal. Sabar& .
Saat berhenti di lampu merah, seorang pedagang tahu sumedang naik ke dalam bus. Wajahnya kucel dan kelelahan. Dengan suara yang serak, ia menyeru-nyerukan dagangannya.
Tahu-tahu& Bacang-bacang& . Ia menghampiriku yang lagi bengong. Tahunya, Non" Seribu aja....
Aku menggeleng tak bernafsu melihat enam buah tahu yang dikemas dalam plastik.
Dia kembali menjajakan barang dagangannya dan tak ada satu orang pun yang membeli. Lelaki setengah baya penjual tahu itu lalu berdiri di dekat pintu. Mungkin ia akan menumpang bus ini sampai terminal. Siapa tahu di terminal dagangannya itu lebih laku. Yah, ini sih pikiranku saja.
Lamat-lamat aku perhatikan bapak itu. Beliau merapikan tahu-tahunya supaya mungkin sedikit terlihat menarik di mata pembeli. Entah mengapa lama-lama aku jadi kasihan. Tatapan matanya terlihat kosong, penampilannya juga sangat memprihatinkan. Aku kembali menatap barang dagangannya yang masih banyak. Aku jadi berpikir, apa bapak itu sedang memikirkan istri dan anaknya yang sedang di rumah" Yang sedang menunggu beliau pulang dengan membawa rezeki untuk biaya hidup mereka" Atau mungkin, bapak itu sedang memikirkan bagaimana caranya membiayai uang sekolah anaknya"
Kali ini aku benar-benar iba. Kalau tahu-tahunya itu tak laku bagaimana" Apa dia dan keluarganya bisa makan" Lagian, berapa sih untung dari jualan tahu yang dijual seribu perak" Oke, anggap saja untungnya dua ratus rupiah tiap satu bungkus. Kalau dikalikan tiga belas bungkus diam-diam aku menghitung barang dagangan bapak itu maka untungnya... cuma dua ribu enam ratus!
Aku menelan ludah. Uang jajanku sehari saja dua puluh lima ribu rupiah. Itu pun aku masih mengeluh pada Ayah untuk minta uang jajan tambahan.
Kembali aku berpikir, kalau misalnya Bapak itu mendapatkan untung anggap saja lima belas ribu sehari, apakah itu cukup untuk biaya hidup keluarganya"
Aku terenyak. Hidupku benar-benar lebih beruntung dibandingkan yang lain. Dan tidak sepatutnya aku mengeluh.
Karena tak tahan, aku memandang ke jalanan yang sedikit macet. Di depan, tiga anak kecil memandang bus dengan semangat. Kemudian dua orang anak lelaki berumur enam tahun dan gadis kecil berumur delapan tahunan itu berlarian masuk ke dalam bus.
Aku mengira anak-anak itu akan mengamen. Nyatanya tidak. Mereka hanya berdiri diam di mulut pintu. Pak supir lalu memarahi mereka dan menyuruh mereka supaya duduk di dalam. Rupanya pak sopir tidak ingin ketiga anak kecil itu celaka. Ketiganya pun duduk di depanku.
Aku memperhatikan tiga anak itu. Mereka pasti sudah selesai mengamen di jalanan. Dan sekarang ikut menumpang bus sampai terminal, kembali ke rumah. Yeah, mungkin....
Penampilan mereka kumal dan kotor. Salah seorang dari anak laki-laki itu bahkan ada yang ingusan dan tidak dilap, sedangkan yang perempuan rambutnya berantakan. Kemudian si anak perempuan mengeluarkan bungkus
permen bekas yang di dalamnya terdengar suara koin. Dengan cekatan ia menghitung uang hasil mengamen hari itu. Karena aku duduk di belakang mereka, aku bisa mendengar dengan jelas gumaman si anak perempuan yang mengatakan dengan semangat kalau mereka berhasil mengumpulkan delapan ribu empat ratus rupiah. Gadis kecil yang punya lesung pipi itu lalu memasukkan uanguangnya ke dalam saku dengan hati-hati.
Duh, kepalaku jadi pusing. Aku mulai menghitung kembali. Wah, berarti tiap anak mendapat bagian dua ribu delapan ratus perak. Apa itu cukup"
Seperti apa ya, kehidupan mereka"
Ketiganya lalu tertawa. Mereka sama sekali tidak mengeluhkan uang hasil jerih payah seharian yang cuma kurang dari tiga ribu perak.
Mengamen& kelihatannya mudah, tapi mungkin juga tidak. Selain isik yang kuat, mental juga harus tahan banting.
Lagi-lagi aku dihadapkan pada kata itu. Mental. Tiba-tiba salah satu anak memanggil bapak penjual tahu. Kelihatannya ia akan membeli tapi sedikit ragu karena harganya yang seribu perak. Anak itu malah menawar, Delapan ratus, ya"
Bapak itu hanya mengangguk dan langsung memberikan sebungkus tahu walau dengan bayaran delapan ratus. Mungkin bapak itu juga merasa iba dengan kondisi mereka bertiga.
Sang kakak perempuan mengambil alih bungkusan itu dan dengan adil membagi-bagikan isinya. Tahu-tahu itu yang tidak menimbulkan selera bagiku mereka habiskan dengan lahap.
Inikah hidup" Duh& kenapa aku jadi sentimental begini"
Kata-kata Ayah yang mengatakan kalau mentalku harus diubah, terngiang di benakku. Mungkin mentalku yang angkuh, sombong, dan selalu mengeluhlah yang Ayah maksud. Sepatutnya aku bersyukur dengan semua kelebihan yang aku miliki. Kalau diingat-ingat, memalukan sekali aku bersungut-sungut di Facebook hanya gara-gara naik bus kota. Padahal banyak yang perlu disyukuri dalam hidupku. Orang yang hidupnya pas-pasan saja tak pernah lupa bersyukur.
Hhh& . Kejadian hari ini meninggalkan kesan yang mendalam di hatiku.
Terima kasih, Tuhan. Sampai detik ini aku masih bisa merasakan hidup yang berkecukupan. Dan tolonglah tiga anak dan bapak itu supaya mereka juga tetap bisa menjalani hidup dengan semangat.
Aku tersenyum sendiri. Ayah memang benar, ada mental yang harus kuubah dalam diriku. Dan beliau berhasil menunjukkannya padaku lewat cara yang sama sekali tak kuduga.
Aku tersenyum kembali. Aku berjanji, sesampaiku di
rumah aku akan langsung memeluk Ayah dan Ibu berterima kasih karena telah mengajariku untuk bersyukur.
Aku mendongak melihat jalanan. Sebentar lagi aku akan turun, seperti biasa di luar terminal. Dengan cepat aku mengeluarkan dua lembar uang lima ribu. Yang satu aku berikan pada ketiga pengamen cilik dan yang selembar lagi aku berikan pada bapak penjual tahu. Yah, aku tak perlu membeli tahu atau mendengarkan nyanyian tiga pengamen cilik itu untuk sedikit membantu mereka, bukan"
Aku turun dari bus kota dengan kelegaan yang bukan main. Hari ini memang luar biasa.
Sambil berjalan masuk ke dalam angkot, aku mengeluarkan ponsel. Aku ingin mengganti status Facebook-ku segera. Kali ini dengan status yang lebih oke.
Naik bus memang tak mengenakkan bagiku. Tapi lamakelamaan aku belajar sesuatu. Ya, berada dalam bus akan mengSelama ini aku menganggap apa-apa bermula dari dan untuk uang. Tapi ternyata aku, bagian dari klan Hanaiah, tergerak untuk melakukan sesuatu yang tidak hanya dinilai dengan nominal angka.
Pertama kali aku mengenal Kendra adalah ketika Hanaiah Group, perusahaan keluarga kami, menjadi sponsor sebuah acara sekolah bernama FrontStage sebulan yang lalu. Sebenarnya bukan Hanaiah Group yang menginginkan kerja sama ini, melainkan aku yang mengusulkan ke Papa, si anak tertua di klan Hanaiah keluarga yang menurut beliau ibarat Zeus di Olympus.
Hanaiah bukanlah orang-orang moralis. Hidup kami serbacepat, berpacu dengan perguliran waktu, dan sangat setuju dengan ungkapan Waktu adalah uang .
Para Hanaiah tidak punya waktu membicarakan moral dan kata-kata mutiara sejenisnya yang melankolis. Moral yang masih tersisa dan menonjol selama ini mungkin
Mata Hati Sitta Karina Kegiatan sosial pertamaku.
adalah kebiasaan menyayangi keluarga lebih dari segalanya. Ya, mengasihi orang-orang terdekat kami dengan segenap perasaan yang ada. Hanya itu saja. Aku yakin hal itu sudah sangat biasa di keluarga lain keluarga yang normal. Dan khusus untuk Hanaiah, menurutku rasa sayang terhadap keluarga ini ibarat kekerabatan yang terjalin di antara keluarga besar sebuah maia.
Minggu lalu, aku, Alif Agasthya Hanaiah, melihat tayangan berita di televisi yang ditinggalkan Papa menyala begitu saja karena ada panggilan meeting mendadak di Hong Kong. Jadi Papa langsung melakukan penerbangan dengan salah satu kendaraaan operasional HG, alias jet pribadi.
Aku sendiri tidak pernah menonton saluran televisi lokal sebelumnya. Jadi cukup mencengangkan rasanya menyaksikan liputan ibu-ibu menangis saat antre membeli sembako atau sekumpulan anak kecil bermain air kotor saat rumah mereka terendam banjir. Awalnya semua itu terasa berlebihan di mata. Kayak dipaksa melototin ilmilm India. Terlalu vulgar dan kontroversial. Tapi ternyata drama ini nyata adanya hidup orang-orang ini benarbenar susah!
Karena tayangan singkat itulah terlintas hal lain di kepalaku selain pertandingan rugby besok lusa. Aku ingin membantu orang lain. Aku ingin melakukan sesuatu tanpa dibayar. Mr. Hicks di kelas Social Studies SMA-ku mengatakan kegiatan macam ini disebut kegiatan sosial.
Dan kegiatan sosial adalah sesuatu yang tidak mungkin seorang Hanaiah lakukan karena dianggap nggak akan mendongkrak nilai saham perusahaan. Papa adalah orang yang sangat sibuk, living in a very fast lane. Jadi hal remeh, nggak penting seperti ini, seharusnya takkan menarik perhatiannya.
Tapi ternyata aku salah. Salah besar.
Karena lo udah bantu banyak di FrontStage, sekarang apa yang bisa gue bantu buat lo, Alif" Kendra terlihat cerah dan bersemangat seperti biasa berkata setelah menyeruput DQ Original Blizzard cokelat yang kubelikan untuknya.
Hari ini kami berdua nongkrong di Dairy Queen, tempat yang menurutku sangat commoner-like, sangat normal. Jujur, tidak seperti anak Jakarta lainnya atau bahkan teman-temanku di Jakarta International School frekuensiku ke Dairy Queen sangat jarang. Aku terbiasa nongkrong di tempat membosankan macam Peacock Cafe di Hilton atau Restoran Singosari-nya Hotel Borobudur.
Aku juga tidak sedang berlagak mengajak Kendra diskusi soal proyekku padahal sebenarnya ingin PDKT. Menjadi pengecut bukan ajaran keluargaku. Namun, tak kumungkiri saat ini aku berusaha keras untuk lebih berkonsentrasi pada proyekku dan bukan pada Kendra. Aku lebih mementingkan profesionalisme daripada perasaan kekanak-kanakan sesaat saja, perasaanku pada Kendra. Proyek ini harus berjalan apa pun yang terjadi. Lagi pula kalau ini cuma naksir nggak sampai seminggu perasaan tersebut akan pudar dengan sendirinya, bukan" Seperti yang selama ini kurasakan ke Laila Adhyaksa, Larissa Soi, maupun Edith Lavishire (yang terakhir ini anak seorang Count dari Inggris!).
Aku kembali menatap Kendra intens, mendengarkan pendapatnya atas usulan Rice for Life-ku. Kalau Mama melihatku duduk sedekat ini, menatap cewek selekat ini cewek yang bukan Larissa atau Edith she will deinitely freak out. Jadinya pasti lucu banget. Mama paling tidak suka aku berteman dekat dengan cewek yang kasarnya tidak berada dalam kelas sosial yang sama seperti kami. Blunt and rude as she always be, but the woman is still my mom.
Yup, seperti yang kukatakan sebelumnya, Kendra bukan Larissa maupun Edith. Mama dan papa Kendra adalah pegawai kantoran biasa, bukan pengusaha, pejabat, atau duta besar. Kakek dan neneknya tidak tinggal di area Menteng, jadi Kakek dan Nenek Hanaiah pasti tidak kenal siapa mereka.
Tapi Kendra memiliki sorot mata tajam dan membara. Seperti matahari hari ini yang sinarnya mengalahkan awan mendung. Aku mulai dekat dengannya sejak proyek FrontStage dimulai. Acara sekolah itu sebenarnya nggak untung-untung banget, tidak juga seakbar PL Fair yang
sensasional. Tapi untuk ukuran kesuksesan sebuah pergelaran perdana, Kendra tidak hanya bekerja keras, tapi juga telah menunjukkan bahwa ia leader yang oke.
And I like that kind of girl, pikirku. Aku memperhatikan siluet setengah badan cewek ini. Kendra will look striking in Chanel, pikirku. Mother should know that as well. If only...
Aku ngoceh sendiri, Alif. Muka Kendra cemberut lantaran merasa dicuekin.
Rupanya aku kelamaan melamun. Sori, tadi sampai mana kita" Aku tidak ingin Kendra mengira aku tidak tertarik kepada pembicaraan kami kepadanya.
Rice for Life sendiri adalah proyek kemanusiaan yang datang dari pemikiranku. Dalam proyek tersebut, tiap satu helai pakaian bekas yang disumbangkan ke kotak donasi akan kunilai setara dengan satu karung beras untuk disumbangkan ke keluarga kurang mampu di pinggiran wilayah Jakarta. Puluhan karung beras tersebut akan kubeli dengan uang tabunganku sendiri. Sedangkan tumpukan baju dan celana bekas akan kusumbangkan langsung ke panti asuhan yang sudah Kendra data sebelumnya.
Cara merealisasi Rice for Life... teman-teman gue dan teman-teman elo bisa membentuk tim untuk turun ke lapangan.
Panas-panasan" Nggak. Taman Chitrakala kan ber-AC. Mataharinya kayak di Kutub Utara, Kendra menyindir.
Gantian aku yang cemberut. Kendra mengejekku. Huh, jadi ia menganggapku cowok manja yang akan meleleh di bawah sinar matahari langsung"!
Sayangnya rasa sombong itu nggak bisa lama-lama menetap di hati karena apa yang Kendra kira kemungkinan besar benar adanya.
Aku. Memang. Anak. Manja.
Memang tidak ada yang mengatakan itu, bahkan chef di rumah sekalipun. Tidak ada yang berani. Tapi aku cukup mengenal diriku sendiri.
Yuk, kita diskusi di rumah gue saja. It s too crowded here, akhirnya aku memutuskan.
Wow, wow. Look who s daring enough to jump to the next step! Aku hampir tidak percaya aku ngomong begitu. Para sepupu, Ruiz dan Taba, pasti akan berhenti mengejekku lame ass (lantaran dianggap penakut di depan cewek) kalau mendengar ini.
Kendra mengangguk walau heran. Blizzard di depannya belum juga habis. Kalau itu minumanku, pasti akan aku tinggalkan begitu saja. Tapi Kendra merasa sayang. Cepatcepat ia raih gelas plastik itu dan mengikutiku. Aku mengulum senyum. Kendra tidak bersikap malu-malu di depanku dan aku sangat menyukai itu.
Di rumah ternyata ada Papa. Untungnya Mama masih sibuk jadi social-butterly. Papa pasti baru kembali dari Hong Kong siang ini. Ia terlihat lelah tapi sorot matanya berubah jadi penasaran agak gelap mendapati Kendra
berdiri di sebelahku. Apakah kedatangan aku dan Kendra jadi masalah baginya" Kukira Mama saja yang akan bereaksi kalau aku bergaul dengan cewek dari kalangan biasa .
Pap, ini Kendra. Aku menelan ludah sesaat. Kendra Fahmizin.
Jeda lama. Selamat sore, Oom. Kendra terdengar santun, apa adanya, dan yang terpenting: percaya diri. Awal yang bagus.
Aku akan pakai study room, Pap. Pengecut! Bahkan saat mengatakan ini aku tidak berani melihat langsung mata Papa.
Membicarakan kegiatan nonproit itu, ya" Kami sudah berjalan beberapa langkah, tapi tatapan mata Papa seperti menusukku dari belakang.
Aku pun berbalik badan. Kali ini gesturku tegas. Setidaknya aku berusaha terlihat begitu. Ya. Namanya Rice for Life. Tidak ada nama Hanaiah terlibat di dalamnya.
Tapi kau seorang Hanaiah, Papa tersenyum senyuman yang aneh, tentunya nama itu jadi terlibat juga.
Aku tidak menanggapi lagi dan menggiring Kendra pergi dari situ.
Dua jam kemudian aku sudah lupa akan sikap dingin Papa. Berdiskusi bareng Kendra di study room ruang kerja pribadiku yang menurut Kendra bisa dijadikan lapangan basket benar-benar pengalaman berbeda. Aku tidak pernah membawa cewek ke sini. Tidak selain Mama.
Dan aku yakin Kendra pasti heran banget melihat ruangan ajaib ini; penuh perabot kayu jati, chandelier, lengkap dengan wallpaper motif classic french chateau. Seandainya ia tahu bukan aku yang mendesain kamar aneh ini. Yah, Papa-Mama memang bukan orang yang fun. Aku sendiri sebenarnya menginginkan ruang belajar yang didesain funky, penuh graiti. Kamar normal buat cowok usia 17 tahun. Tapi, lagi-lagi apa sih yang normal kalau berhubungan dengan nama Hanaiah"
Kendra benar-benar berpengalaman soal mengorganisir sebuah kegiatan dan realisasinya di lapangan . Berbeda dengan diriku yang cuma kenal rugby di lapangan. Dia menjabarkan secara detail apa saja yang harus dilakukan. Semuanya terorganisir, sistematis, dan nggak bertele-tele. Dari sini justru ketahuan bahwa pengalamanan berorganisasiku malah nol. Padahal nanti, kalau tiba saatnya aku berkecimpung di Hanaiah Group, skill ini katanya sangat dibutuhkan. Jadi tidak sekadar pintar di atas kertas atau nilai rapor bagus yang dibutuhkan. Hal tersebut aku dengar langsung dari Papa.
Jadi Rice for Life bisa jalan mulai minggu depan" Mataku membelalak girang.
Kenapa tidak" Kita sudah punya semuanya: rencana matang dan SDM-nya.
Wow, tapi Alif! Aku terkejut tapi Kendra lebih terkejut lagi mendengar
interupsi bernada tinggi itu. Kaleng soda yang dipegangnya sampai terjatuh, mengenai karpet persia di bawah kakinya.
Suara Mama. Dan aku tidak pernah mendengar Mama berkata seketus itu. Aura dinginnya seolah mampu membekukan ruang yang sudah dingin ini. Sialnya, aku terjebak di dalamnya.
Jangan bermain-main di sini. Mama melirik tajam ke arah Kendra. Jelas Kendra penyebab dan sasaran kemarahannya. Bagaimana tidak, sebelumnya aku tidak pernah mengajak Larissa maupun Edith sekali pun ke rumahku. Sementara Kendra langsung bisa memasuki teritoriku yang paling pribadi, di kesempatan pertama kunjungannya! Mama pasti benar-benar murka.
Dan yang kulakukan berikutnya membuat ekspresi Mama semakin membara. Karena bingung, aku malah menggandeng tangan Kendra keluar ruangan.
Wajah Mama memerah, Kendra pun demikian. Oke, dalam satu hari ini aku sukses membuat dua wanita merasa gusar. Sial.
Hari yang kutunggu-tunggu untuk kegiatan amal Rice for Life berubah jadi mimpi buruk. Pada hari H itu hanya Kendra dan sahabatku di JIS, Wes Rooney, yang datang ke Taman Chitrakala taman kota yang hari Minggu ini
padat karena sedang ada bazar menjelang liburan sekolah. Aku benar-benar tidak mengerti. Seharusnya ada beberapa sahabat Kendra Moza, Ganesh, dan Andien dan beberapa teman rugby-ku berkumpul di kios kecil di Taman Chitrakala ini. Tapi yang ada malah petugas pamong praja, lengkap dengan pentungan dan muka masam mereka.
Kok cuma ada kita berdua" Ke mana yang lainnya" Aku menoleh ke Kendra.
Kendra terlihat sama bengongnya, sama bingungnya, dan sama terkejutnya seperti diriku.
Maaf, Dik, kami harus membongkar kios tanpa izin ini. Kalau dibiarkan, bisa-bisa menjamur seperti warungwarung liar di pinggir taman.
Aku menarik Kendra ke belakangku, berusaha melindunginya. Aku tidak suka cara mereka memandangi kami, terutama Kendra. Dan lebih tidak suka lagi cara brutal mereka membongkar kios kayu yang sudah siap dengan beberapa kardus kosong untuk menampung baju bekas.
Beberapa anak sekolah yang tengah mengantre dengan baju bekas bawaan mereka diusir oleh para petugas. Sebelumnya, proyek Rice for Life sudah disiarkan di sebuah stasiun radio remaja, jadi beritanya buzzing banget di seantero Jakarta. Ironisnya, kini Alif dan Kendra bahkan kekurangan orang untuk mengepak barang. Ditambah gubuk mereka akan segera dibongkar.
Kita punya izin untuk menggelar acara ini selama seminggu. Aku menunjukkan kertas dari saku dengan agak kasar.
Resmi" Dari sekolah" Itu...
Si pemimpin pamong praja menaikkan sebelah alis melihat tak ada kata keluar dari mulutku.
Tentu aku sudah punya izin dari panitia bazar yang sah. Tapi, izin dari sekolah" Memangnya harus" Atau sekalian izin dari Pemda setempat" Serumit itukah" Lalu, tiba-tiba sebuah pertanyaan yang mengganjal melintas di kepalaku.
Dari mana kalian tahu proyek ini dan kenapa langsung ingin merobohkannya" Mataku menatap curiga ke orang-orang berseragam di depanku.
Tidak ada yang menjawab. Mereka malah jadi rikuh. What the heck is happening here" Aku merasa dipermainkan oleh keadaan.
Sigh... sebenarnya bukan keadaan. Tapi, orang... Ya, satu orang.
Siapa lagi yang mampu mengerahkan sepasukan pamong praja yang bahkan sama sekali tak dapat menjawab pertanyaan simpelku"
Tiba-tiba aku merasa kuat. Bisa melawan balik. Aku melirik sedikit ke samping, ke arah Kendra. Kendra, baca perjanjian kerja sama ayat 5! Gue yakin semua ada di situ.
Entah karena suaraku yang terdengar membentak atau
saat itu, Kendra memang ketakutan. Kendra tidak juga mulai membacanya. Ia malah tergagap. Membuatku semakin kesal dan tidak sabar.
Kendra! bentakku. P-Pihak permata pertama! dibebaskan dari... Kendra mendekatkan kertas ke matanya, padahal aku tahu ia tidak berkacamata, segala... tunggang jawab mengenai
Apa sih yang elo baca, Ken" Cepetan! Aku memotongnya kesal. Sempat-sempatnya Kendra bercanda di saat seperti ini" Sama sekali tidak lucu!
Sini! Aku langsung merampas kertas tersebut hingga tak sengaja mencakar punggung tangan Kendra. Tersentak, Kendra pun berlari pergi dari situ. Bagus. Bagus! Sekarang aku kerja sendirian di saat antrean anak sekolah yang membawa pakaian semakin panjang dan berjejalan. Mereka mulai gerah, marah, dan beberapa cacian terdengar di telingaku, sementara aku bekerja sendirian.... PADAHAL INI BARU HARI PERTAMA!
Para petugas pamong praja langsung pergi begitu aku selesai membaca perjanjian kerja sama di tanganku. Aku merasa sedikit lega, setidaknya proyekku masih bisa berjalan.
Wes menjulurkan teh dalam botol ke arahku aku bahkan hampir lupa, selain Kendra, Wes ada di sini juga. Jadilah kami berdua kerja rodi mengumpulkan semua pakaian bekas sekaligus mendatanya satu per satu. Belum sampai sepuluh menit, aku sudah mengusap
Blind Date 3 Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan Setan Harpa 7

Cari Blog Ini