Ceritasilat Novel Online

Saman 1

Saman Karya Ayu Utami Bagian 1


D i taman ini, saya adalah seekor burung.
Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya.
Aroma kayu, dingin batu, bau perdu dan jamur-jamur adakah mereka bernama, atau berumur" Manusia menamai mereka, seperti orang tua memanggil anak-anaknya, meskipun tetumbuhan itu lebih tua. Rafflesia arnoldi, memang tidak mekar di Central Park, melainkan di hutan tropis dataran tinggi Malaya, tetapi kita tahu laki-laki Inggris kemudian menjadi ayah bunga itu. Orang-orang berbicara tentang segala yang tumbuh, yang ditanam maupun liar, seolah mengenal
mereka lebih daripada pokok-pokok itu sendiri mengenal dingin dan matahari, ataupun hangat bumi. Namun binatang tidak menghafal pohon-pohon karena namanya, seperti seekor induk atau sepasang tidak memanggil tetasannya atau susuannya dengan nama. Mereka mengenal tanpa bahasa.
Di taman ini hewan hanya bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan perlu dinamai"
Pukul sepuluh pagi. Meski hari masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut, sebab setiap tahun di akhir semi siang sudah semakin lama. Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa, yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini. Seperti sepasang mungil yang berdada putih itu. Yang jantan bermantel coklat tua, yang betina coklat muda. Kita pun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu, mereka bahagia. Adakah keindahan perlu dinamai"
Seorang gelandangan yang berbaring di bangku menggeliat dalam selimut yang berdebu. Kita tidak tahu siapa dia, apa warna kulitnya. Tapi kita tahu, dia menikmati tidur. Saya sedang berbahagia, begitu saya akan menjawab jika ia bangun dan bertanya apa saja. Bahkan jika ia bertanya dari dalam mimpi. Saya akan pacaran, seperti burung berbusung bersih di ranting tadi. Saya akan pelukan, ciuman, jalan-jalan, dan minum di Russian Tea Room beberapa blok ke barat daya. Mahal sedikit tidak apa-apa. Sebab hari ini cuma sekali.
Sebab saya sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorang pun tahu, kecuali gembel itu. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada hakim susila atau polisi.
Orang-orang, apalagi turis, boleh menjadi seperti unggas: kawin begitu mengenal birahi. Setelah itu, tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa.
Dan kalau dia datang ke taman ini, saya akan tunjukkan beberapa sketsa yang saya buat karena kerinduan saya padanya. Serta beberapa sajak di bawahnya. Kuinginkan mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/ di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus. Saya tulis demikian pada sebuah gambar cat air. Barangkali sebuah kilang minyak di tengah ombak, entahlah. Gambar dan sajak tak perlu definisi dan tak perlu diterangkan. Mereka cuma menyimpan perasaan. Barangkali juga keindahan.
Dan kalau dia datang dan melihatnya, dia akan tahu sudah terlalu kangen saya pada bau pelukannya, pada hangat lidahnya yang harum tembakau Skoal. Sebetulnya ia senang merokok, tetapi ia tidak menghisapnya karena ia menimbang perasaan orang-orang yang tak suka asap rokok. Kini ia hanya mengunyah biji-biji hitam tembakau, menyedot tanpa asap. Ia sopan dan pagi ini sudah empat ratus dua hari setelah ciuman kami yang terakhir pertemuan terakhir kami juga. 402 hari. 22 April tahun lalu. Saya selalu ingat dan berulangkali menghitung tanggal. Sebab siang itu menyisakan kegetiran, seperti biji duku yang tergigit lalu tertelan, juga kerinduan akan kesempatan lain yang mungkin. Yang barangkali juga tidak mungkin. (Semoga hari ini menjadi mungkin.)
Kami berada di sebuah kamar hotel. Saya hampir-hampir gemetaran karena malu dan berdebar. Saya belum pernah sekamar dengan seorang laki-laki sebelumnya. Dia diam, tidak bercerita apakah dia pernah membawa perempuan seperti ini. Tetapi dia adalah seorang lelaki yang bekerja di kilang minyak,
yang menghabiskan beberapa bulan di tengah hutan atau lautan, dari sana kehidupan terdekat hanyalah warung-warung kecil dengan pelacur di biliknya yang muram dan berlumut pada dinding, atau perkampungan yang banyak gadis-gadis ranumnya senang dikawini oleh para buruh perminyakan. Dan di kamar itu, dia nampak sedikit gugup, saya kira, tetapi jauh dari kalut seperti yang saya rasakan sehingga saya bersembunyi di kamar mandi ketika pelayan masuk membawa pesanan. Sebab saya ini orang yang berdosa.
Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan, sebab kami memang tak hendak tidur siang. Dia katakan, dada saya besar. Saya jawab tidak sepatah kata. Dia katakan, apakah saya siap. Saya jawab, tolong, saya masih perawan. (Adakah cara lain.) Dia katakan, bibir saya indah. Ciumlah. Cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun masih perawan.
Di perjalanan pulang dia bilang, sebaiknya kita tak usah berkencan lagi (saya tidak menyangka). Saya sudah punya istri.
Saya menjawab, saya tak punya pacar, tetapi punya orang tua. Kamu tidak sendiri, saya juga berdosa.
Ia membalas, bukan itu persoalannya. Orang yang sudah kawin, tidak bisa tidak begitu.
Saya mengerti. Meskipun masih perawan.
Esoknya dia telah menghilang. Barangkali ke lautan, ba?" rangkali ke hutan, tempat para pemilik modal menambang uang dari minyak yang ditimbun alam dalam lekuk-lekuk
antiklinal. Barangkali ke sebuah rig yang pernah saya datangi, tempat kami pertama bertemu, yang lautnya membuat kita merasa akan tenggelam, dan bintang-bintang di langitnya membuat kita merasa akan tersesat. Seperti saya tersesat mencari jejaknya. Berbulan-bulan, barangkali lima. Hingga suatu hari, tiba-tiba saja dia kembali menelepon saya di tempat kerja.
Kenapa kamu tidak pernah menelepon lagi, katanya. Saya mencoba tetapi kehilangan jejak, saya jawab. Saya masih di sini, terdengar suaranya. Dan saya berdebar, entah kenapa, barangkali karena ia sedang di Jakarta.
Bisakah kita ketemu" saya berharap. Makan siang" Terus, setelah makan siang"
Setelah itu& barangkali hari sudah sedikit sore. Bagaimana kalau makan malam"
Istri ke luar kota" Dari mana kau tahu" Kau telepon ke rumah, ya! Sihar, kamu tidak pernah mengajak makan malam sebelum ini&
Ia terdiam. Saya juga terdiam.
Lalu ia bertanya, apakah kita juga bisa sarapan bersama esok harinya jika kita makan berdua malam harinya. Saya menyahut, saya masih tinggal bersama orang tua. Mereka akan bertanya-tanya jika saya tidak pulang. Meskipun kamu sudah dewasa dan sering bepergian" ujarnya. Saya mengiya. Di pesawat telepon terdengar ia mengeluh. Lagi pula, kamu juga masih perawan. Malam itu kami tak jadi berkencan. Begitu terjadi berulang kali, lebih dari enam belas. Sampai suatu kali dia bilang, jangan menelepon lagi. Lebih baik jangan. Kenapa,
kubertanya. Saya punya istri, jawabnya. Kubertanya, kenapa.
Istriku sering menerima telepon yang dimatikan begitu dia angkat.
Bukan aku, saya berbohong. Tidak sesering itu. Barangkali orang lain"
Tapi dia bilang itu firasat.
Nah, kini kamu merasa berdosa. Padahal kita belum berbuat apa-apa.
Sejak itu kami tetap tidak bertemu. Saya selalu ingin meneleponnya. Apa perasaannya" Bagaimana wajahnya" Dua tiga bulan setelah itu, saya masih berharap jika telepon berdering, di rumah atau di meja kantor. Bulan keempat saya menyadari, dia memang menahan diri. Entah untuk alasan apa. Mungkin menjaga perasaan istri. Mungkin menjaga perasaan diri. Dia pernah berkata, pertemuan dengan saya hanya akan menyisakan ngilu karena menyimpan sesuatu yang mestinya dikeluarkan. Mungkin nafsu. Sebab orang yang sudah kawin tidak bisa tidak begitu. Saya sendiri, barangkali harus menjaga perasaan istrinya, atau dirinya. Sebab saya belum kawin, sehingga tak harus begitu. Meski sebetulnya, saya terlalu rindu. Tapi, siapa yang harus menimbang perasaan itu di antara kami" Akhirnya saya yang harus menanggungnya. Sebab saya belum kawin. Sebab saya yang datang terakhir. Tiga tahun lalu.
L aut C ina S elatan , F ebruari 1993
Dari ketinggian dan kejauhan, sebuah rig nampak seperti kotak perak di tengah laut lapis lazuli. Helikopter terbang mendekat dan air yang semula nampak tenang sebetulnya terbentuk dari permukaan yang bergolak, kalem namun perkasa, seperti menyembunyikan kekuatan yang dalam. Perem?" puan itu memberi isyarat agar pilot berputar hingga sudut yang baik bagi dia untuk memotret tiang-tiang eksplorasi minyak bumi di bawah mereka. Ia telah menggeser daun jendela hingga lensa telenya menyembul kepada udara tekanan rendah yang sebagian menerobos lekas-lekas mengibarkan rambutnya yang lepas. Potongannya bob, tapi perias di salon membujuk agar dia juga memberi highlight warna chestnut. Dan ia menurut. Angin di langit deras, bising mesin pekak. Tiga orang dalam tabung heli tak bisa saling bercakap. Perempuan tadi mengacungkan jempolnya yang telah jadi dingin setelah merekam beberapa gambar. Pesawat merendah ke laut sesaat sebelum mendarat, membuat pusaran ombak yang memantulkan cahaya langit, pecah kecil-kecil seperti titik-titik pigmen dalam lukisan Seurat. Chopper oleng dan akhirnya berparkir di landasan heli.
Terik. Angin kencang, datang dari laut dan baling-baling. Seorang lelaki muncul dari tubir pangkalan; ada sebuah tangga di sana, seperti timbul dari tengah-tengah air. Bangunan di bawah landasan tidak terlihat dari tempat itu. Sosok yang mendekat itu pasti bukan pekerja di rig ini. Sebab dia necis dan tercukur. Namun terutama karena kemejanya yang sejuk dan celana pendek katunnya yang kasual. Ia tidak mengenakan overal. Orang itu memperkenalkan diri. Rosano.
Cano, panggilan pendeknya. Ia di sini sebagai representatif Texcoil, perusahaan minyak yang mendapat konsesi menggali di perairan kepulauan Anambas, sehingga bisa dibilang bahwa dialah tuan rumah bangunan ini. Lalu dijabatnya tangan lelaki dan perempuan yang baru datang dengan bertenaga, tersenyum singkat namun matanya tidak menatap wajah tamunya, seolah berhenti di sebuah ruang di antara mereka berdua dan dia, dan segera beralih kepada seseorang yang masih jauh tetapi berjalan mendekat. Lalu ia meminta masing-masing mengenakan helm pengaman yang dibawakan pemandu landasan itu. Tempat ini tenang, tetapi seekor camar bisa saja menjatuhkan tahinya ke rambut kita, atau sesuatu tiba-tiba membenturkan kepala kita pada tiang, atau tiang pada kepala kita. Itu tentu bukan ancaman, tetapi sebuah pedoman. Seperti juga papan-papan safety first .
Perempuan itu dipanggil Laila. Lelaki itu Toni. Keduanya datang setelah rumah produksi kecil yang mereka kelola CV, bukan PT mendapat kontrak untuk mengerjakan dua hal yang berhubungan. Membuat profil perusahaan Texcoil Indonesia, patungan saham dalam negeri dengan perusahaan tambang yang berinduk di Kanada. Juga menulis buku tentang pengeboran di Asia Pasifik atas nama Petroleum Extension Service. Namun tuan rumah nampak sedang tergesa, seperti ada yang tidak beres, ketika ia menjelaskan sumur itu. Mereka berbincang sambil melangkah agak gegas di atas konstruksi baja dan besi yang terpacak begitu saja di tengah laut, bertopang pada empat kerangka menara jackup. Pekerja dengan seragam montir mengangguk, seperti hormat, jika berpapasan dengan pria pertengahan tiga puluh ini. Tapi terdengar orangorang bersiul ketika mereka sudah lewat. Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada satu perempuan. Saya.
Di sisi utara rig, nampak sebuah perahu pasok berayunayun hebat karena arus musim timur laut yang sedang besar. Gemuruh ombak kadang menelan teriakan sahut-menyahut antara orang-orang yang di perahu dengan yang di atas platform. Semuanya berkulit hitam seperti buruh-buruh pelabuhan. Mereka baru saja menaikkan bongkah-bongkah peralatan ke atas sebuah gondola yang bergelantung pada tangan besi yang dari anjungan menjulur ke atas geladak. Burung-burung berteriak, seperti hendak mampir di ujung tiang-tiang. Dua pria dari perahu berusaha melompat ke dalam gondola tadi. Beberapa awak kapal menahan wadah itu agar stabil. Yang seorang berhasil, yang lain berancang-ancang. Ia hampir jatuh ke air karena ombak tak juga teduh. Pasangannya merangkul punggungnya ketika ia selamat. Lengan raksasa itu berputar mendatar seratus delapan puluh derajat, membawa perangkat dan kedua orang tadi kembali ke anjungan yang hiruk-pikuk dengan mesin-mesin.
Itu orang Seismoclypse, oil service yang kami kontrak untuk logging, ujar Cano sambil berjalan menuju orang-orang yang kini sedang membenahi alat sensor yang baru diturunkan dari crane. Ia menyebut mereka orang servis , mereka menyebut dia company man atau orang perusahaan . Yang terakhir, yang boleh berpakaian sesukanya, umumnya dihormati, sebab ia berasal dari perusahaan yang membiayai eksplorasi ini. Laila dan Toni mengikuti langkahnya ke arah mereka.
Orang-orang yang kami hampiri segera menatap saya dengan mempertontonkan semangat. Sebab saya satu-satunya perempuan.
Tetapi salah satunya, yang tadi menepuk pundak temannya, nampak tidak peduli. Ia mendongak ke arah Laila selintas saja, mengelibatkan pantulan cahaya dari kacamatanya, lalu kembali membungkuk, memeriksa mesin tadi. Laki-laki itu telah melepaskan bagian atas bajunya dan membiarkannya bergantung lepas dari pinggangnya, sehingga kita bisa melihat tengkuknya yang gosong, lebih gelap dibanding lengannya yang terbentuk oleh otot-otot yang terlatih karena pekerjaannya.
Saya bisa mencium bau keringatnya.
Bagaimana, Sihar" Lambat sekali pekerjaan ini, tegur Rosano seolah tak peduli kehadiran tamu-tamunya di antara mereka.
Lelaki yang diajak bicara menggumam, entah apa, sebelum akhirnya menjawab. Alat ini masih harus dicek, sebentar. Sepertinya kita juga belum bisa kerja, Pak. Analisa mud logger, tekanan gas di bawah naik. Kita memang harus menunggu dulu& Pak. Laki-laki itu terdengar sengaja memberi tekanan pada Pak , bukan dengan hormat, melainkan seperti mempermainkan kesombongan Rosano yang agaknya senang jika orang-orang di sana memanggilnya begitu. Keduanya sebetulnya seusia, sekitar tiga puluh lima. Barangkali Rosano lebih muda.
Si company man menggoyangkan kepala dan berdecak, seperti tidak sreg dengan jawaban itu. Bukan tugas kamu untuk memutuskan menunggu atau tidak. Saya yang akan cek dengan dia. Tim kamu harus siap dalam satu jam ini.
Lalu ia memperkenalkan orang-orang servis itu kepada kedua tamunya. Yang pertama adalah Sihar Situmorang, insinyur analis kandungan minyak, orang yang membuat Laila tertarik karena ketidakacuhannya dan posturnya yang liat. Juga rambutnya yang terlihat kelabu karena serat-serat putih mulai tumbuh berjarakkan. Yang kedua juga telah mulai kelabu rambutnya, namun matanya nakal dan ada sikap bahasanya yang terasa kurang terpelajar, setidaknya bagi prasangka Laila. Hasyim Ali, operator mesin, kelihatannya tujuh tahun lebih tua daripada Sihar. Kemudian, seorang anak muda pertengahan dua puluhan, nampak sedikit gugup dengan pekerjaannya. Iman, seorang insinyur yunior di bawah bimbingan Sihar. Rosano menyebutkan tamunya pendek, Laila, fotografer. Toni, penulis. Pertemuan itu singkat saja.
Ketika kami meninggalkan tempat itu, saya melihat si lelaki berkacamata mencopot singletnya, dan memakainya untuk melap keringat. Mula-mula di leher, lalu di ketiak, dan di dadanya yang telanjang.
Tapi rig adalah sebuah tempat yang sempit. Mereka bertemu lagi di bangsal makan pada tengah hari. Lelaki itu telah mengenakan kembali sisi atas overal kelabunya yang bergaris oranye dan biru pada keliman lengan dan tungkai. Rosano memanggil ketika dia muncul di pintu. Ia datang setelah menyendok nasi dan lauk yang munjung pada piring di atas nampan. Laila memperhatikan sosok yang mendekat itu.
Ia menatap saya. Kali ini ia menoleh ke mata saya yang duduk di samping Rosano. Meski hanya sebuah kontak psikis yang singkat. Seperti orang malu-malu, seperti orang sombong, seperti cowok cuek. Ia beralih ke baki saya, dan
menyapa. Makannya sedikit sekali. Sihar Situmorang. Dia senyum.
Setelah itu, dia tidak berbicara lagi padanya. Cuma pada Cano, tentang pekerjaan mereka. Ia tidak melihatnya lagi. Kecuali jika wanita itu menyela. Tetapi Laila terus memperhatikan dia, yang duduk di hadapan mereka. Sihar bicara dengan tutur rata-rata orang perkotaan Jakarta. Tetapi logat Bataknya muncul sesekali, terutama jika sedang berdebat. Dan itu terdengar nyaman di telinga perempuan itu. Barangkali karena ia telah tertarik kepadanya. Barangkali juga karena ia tumbuh dari ayah-ibu yang tak pernah betul-betul menyukai orang Jawa yang dirasa dominan. Laila Gagarina, dari nama panjangnya orang Indonesia bisa menduga bahwa ia lahir dari orang tua Minang setelah tahun enam puluhan. Ayahnya pasti mengagumi Yuri Gagarin. Ibunya wanita Sunda yang selalu merasa sepertiga dibanding dua pertiga terhadap Jawa. Laila percaya bahwa logat Batak yang keras mengandung suatu kualitas kejujuran dan keberanian. Atau, barangkali ia sedang memproyeksikan harapannya kepada pria yang ia sudah terlanjur terpikat. Dan di meja makan, ia terjebak di antara Sihar dan Rosano yang kembali beradu pendapat. Kenapa kedua laki-laki ini selalu nampak tidak rukun" Sihar mencari-cari kelemahan pendapat Rosano. Si company man juga selalu mengungkit-ungkit keterlambatan kerja tim Seismoclypse. Laila sendiri sudah terlanjur tertarik pada Sihar, sehingga cenderung berpihak pada lelaki itu.
Setelah makan, mereka masing-masing bekerja. Laila berkeliling untuk menemukan sudut gambar yang unik, atau yang menunjukkan kerasnya pekerjaan di rig. Tetapi, ia tidak bisa menyangkal dorongan matanya, yang bergerak
mencari-cari Sihar. Ditemukannya lelaki itu di depan salah satu kontainer kerja. Yuniornya bersama dia. Mereka sedang menyetel tegangan kabel kawat yang centang-perenang dari jendela kecil wagon itu hingga ke dekat sumur bor.
Di atas platform, orang-orang dengan pakaian berlumpur dan helm yang seragam berjalan dan bergerak-gerak menurut pekerjaan masing-masing, seolah-olah rig ini adalah sebuah teater dan sosok-sosok itu adalah bagian dari instalasinya. Laila memotret pekerjaan itu.
Ini bukan foto untuk kampanye perburuhan, kan" Rosano menyapa dengan gayanya yang khas: ramah, manis, angkuh. Belakangan Laila mendengar dari Sihar, bahwa lelaki itu adalah putra seorang pejabat Departemen Pertambangan. Dia disekolahkan oleh Texcoil ke Amerika dan dititipkan, dengan imbalan permohonan konsensi di Natuna dilicinkan, kata Sihar. Tapi Laila tidak tahu apakah ia berpendapat begitu untuk mengejek Rosano. Ia tak bisa lagi menilai dengan obyektif. Ia juga tidak begitu peduli.
Perempuan itu mencukupkan pekerjaannya setiba asar, meski tak ada adzan. Cuma camar yang sesekali berseru dari langit. Ketika kecil sampai remaja ia biasa sembahyang dan pembagian lima waktu menetap dalam kesadarannya seperti jam matahari. Ia bisa merasakan condong cahaya. Toni masih ngobrol dengan beberapa orang. Mereka akan menginap di rig karena heli baru datang besok dari Matak. Pesawat propeler dari pulau kecil itu ke Jakarta pun belum tentu setiap hari ada. Barangkali harus dari Natuna. Tapi ia sama sekali tidak menyesal seandainya pun mereka terjebak di sana lebih lama lagi, sebab ia telah menemukan keasyikan baru: memperhatikan Sihar yang keluar masuk gerbong, tanpa
ia berani mendekati karena dia nampak amat sibuk. Sambil mencuri-curi, ia arahkan zoom agar bisa melihatnya lebih jelas. Kadang lelaki itu memarahi si anak magang. Pemuda itu lalu memperbaiki sesuatu dengan wajah tegang.
Kemudian, ia melihat Rosano menghampiri kedua insinyur itu, seperti tanda-tanda persoalan bakal berlangsung. Ia segera mendengar mereka berdebat lagi, dengan suara yang lantang dan terbawa angin ke arah dia berdiri.
Bagaimana, Sihar" Kami ingin pekerjaan ini cepat selesai.
Kami tak berani mulai sekarang. Risikonya cukup tinggi. Rosano langsung membantah: Sekali lagi, bukan tugas kamu memutuskan. Hubungi mud logger.
Mereka berbicara lewat telepon dengan mud logger, yang pekerjaannya menganalisa kondisi tanah sumur. Lalu berargumen lagi. Masa peralatan Seismoclypse tidak bisa bekerja dalam tekanan tinggi seperti ini" Oil service yang lain bisa! terdengar suara Rosano meninggi. Laila mengintip dengan asyik, tetapi cekcok itu semakin sengit. Dilihatnya Rosano menuding-nuding, tapi Sihar balas mengacungkan telunjuk ke dada lawan bicaranya, dan Laila menjadi tegang. Ia mendengar suara Sihar: Saya tidak mau menjalankan alat sampai tekanan turun. Dengar, Cano"
Mestilah mereka berselisih hebat, sebab Sihar kini tak lagi berbicara dengan Bapak Rosano. Tetapi saya mulai merasa tidak nyaman. Sebab saya khawatir ia akan menghadapi masalah yang bertambah. Lalu saya bisa mendengar suaranya, kali ini dalam logat Batak yang mulai keluar.
Sekali lagi, risikonya tinggi. Kau boleh coret namaku dari kontrak ini kalau mau terus!
Ia menyebut dia kau . Rosano menatap tajam-tajam, mencoba mengendalikan diri. Oke! katanya setelah mengontrol nafasnya. Saya coret nama kamu. Akan saya laporkan itu pada Seismoclypse sebagai permintaan kamu sendiri. Ia menoleh kepada Iman yang ternganga di antara mereka berdua, lalu menunjuk anak itu. Sekarang kamu yang in charge di sini. Run alat itu! Kalau tidak, Seismoclypse terpaksa bayar ganti rugi.
Tapi Sihar menjadi agak gemetar menahan geram pada rahangnya. Dadanya naik turun. Ia menatap si yunior yang lidahnya telah jadi kelu. Bocah itu nampak gugup sekali karena tanggung jawab yang tiba-tiba menimpa dia. Ia menatap supervisornya seperti minta dikasihani. Lelaki itu tidak tega memberi beban berat pada anak latihnya. Terdengar suaranya sekali lagi, kali ini tidak begitu keras, seperti sedikit menyerah: Beri aku waktu menelepon head office.
Tidak. Rosano menyergap gagang telepon. Nama kamu sudah dicoret. Kamu sudah tidak punya hak untuk kasih perintah. Kamu masih boleh makan dan tidur, kalau mau, sebelum chopper datang besok pagi. Kalau tidak mau, silakan puasa. Rosano menoleh lagi pada Iman dengan wajah seorang komandan. Run tool itu!
Kau gila, Cano! Sihar berlari ke tempat lain, mencari telepon. Saya tidak tahu betul apa yang sedang berlangsung. Saya tak mengerti detil pekerjaan mereka.
Sementara Sihar menghilang, orang-orang pun tunduk pada Rosano. Si yunior itu. Hasyim sedikit masam mukanya, seperti berpihak pada atasannya, tetapi ia berjalan juga ke
mulut lubang sambil menurunkan alat sensor ke liang sumur yang ratusan meter kedalamannya telah dilapisi pipa besi, sumur yang menggerus kerak lempung tempat minyak bumi terjebak, juga gas yang eksplosif karena tekanan tinggi. Iman berteriak-teriak menyuruh si operator mengulur tambang kawat sampai dasar lorong vertikal itu, sambil bersiap-siap menyalakan mesin. Mesin itu menyala.
Tiba-tiba, terdengar dentuman.
Anjungan bergoncang hebat. Laila jatuh berlutut dan terguling beberapa meter. Orang-orang berpegangan pada lantai. Perempuan itu tak melihat Sihar. Apa yang terjadi"
Katup-katup peredam ledak di mulut sumur di bawah platform tak mampu menahan sebagian tenaga yang luar biasa, yang tiba-tiba menjebol ke atas. Alas besi tempat para buruh berdiri terlontar, dan tiga orang yang sedang bekerja di kaki rig terpental ke udara seperti boneka plastik prajurit perang-perangan, bersamaan dengan terkulainya menara itu. Mereka bahkan tak sempat berteriak. Belum habis satu nafas yang ditahan Laila ketika tubuh Hasyim dan dua yang lain berjatuhan membentur landasan, lalu terlontar lagi ke laut. Juga sebuah papan bertuliskan safety first . Lindu. Api. Suara alarm.
Analisa Sihar betul. Gas dan zat alir di bawah padat sekali, sehingga merambat ke dalam sumur dan segera mendesak dengan energi yang perkasa dan kecepatan yang ajaib. Orangorang berlarian. Perahu dan kapsul darurat disiapkan, tetapi kilang itu kembali stabil beberapa menit kemudian. Setelah itu, Laila bisa mendengar teriakan Sihar, begitu panjang. Fuu-ucked u-u-up! Serak, dari dasar kerongkongannya.
Lelaki itu ada di sebuah ambang pintu. Matanya penuh kesia-siaan.
Tapi laut kemudian tenang. Arus bercahaya karena jutaan plankton yang tubuhnya mengandung fosfor terapung di permukaannya. Tak ada jejak atau sisa-sisa ke mana tiga tubuh itu terbawa. Cuma darah pada geladak. Uap garam. Laut itu, barangkali seekor makhluk cair raksasa, yang menelan manusia, dan tersenyum manis setelahnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
P ulau M atak , esok harinya
Tanganmu luka. Sihar terus memukuli bangku mika di bandara yang kecil, sehingga kulit ari di buku jarinya lecet. Berdarah jingga tua. Aroma asin laut meraupi pulau sempit itu, dari sisi satu ke sisi yang lain. Ia begitu marah dan menyesal karena tidak menghajar Rosano hingga pingsan untuk mencegah kecelakaan yang sudah dia perkirakan. Kini dan karena itu jasad sahabatnya hilang. Sementara Rosano cuma mengatakan, Kami juga menyesal. Tetapi mereka juga ceroboh. Dan kecelakaannya tidak terlalu besar. Kita tidak sampai evakuasi. Ini sudah untung. Inilah risiko pekerjaan. Serta beberapa potong pembenaran yang menunjukkan bahwa ia menganggap ringan kecelakaan itu. Lelaki ini mengutuki dirinya. Ia menyakiti dirinya ketika sendiri.
Karena itu Laila pindah ke sebelahnya. Ia mendapat alasan untuk duduk di sebelahnya. Mereka berhadapan di dua tempat di antara bangku-bangku yang tidak seragam. Toni dan Iman
sendiri-sendiri, agak berjauhan. Mereka muram. Pemuda dua puluhan itu tidak bicara selama berjam-jam sejak kecelakaan dan begitu dia membuka mulut, yang keluar adalah keputusan berhenti bekerja dari Seismoclypse. Itu adalah pengalaman pertamanya bekerja sebagai insinyur, dan ia tidak menginginkan yang kedua. Perempuan itu juga menyimpan marah pada Rosano, yang menasehati agar dia dan Toni tidak ikut campur. Kalian ke sini cuma untuk mengerjakan company profile yang kami pesan. Tak perlu menjadi wartawan, ujarnya sebelum heli berangkat ke pelabuhan Matak, sebab mereka berdua bertanya-tanya bagaimana musibah itu bisa sampai terjadi. Dan Laila menyaksikan perdebatan terakhir pria itu dengan Sihar. Kesukaannya pada Sihar menambah rasa sebalnya, dan ia mengingat mulut Rosano yang congkak sebagai moncong yang dipotret dengan lensa bulat sehingga orang bisa melihat kerongkongan dan kata-kata busuk di dalamnya. Tapi kini di depannya adalah tangan Sihar yang luka, yang membukakan afeksi di antara mereka berdua.
Jangan lakukan itu lagi. Dan laki-laki itu berhenti.
Dia sahabat saya. Kami selalu berpasangan ke manamana.
Sihar, nyawa manusia di tangan Tuhan.
Tetapi ia khawatir saat ini kata-kata itu sama sekali bukan hiburan yang simpatik. Dan ia tertarik pada pria itu. Ia tidak ingin dianggap menggurui.
Saya punya Betadine. Biar saya bersihkan dulu luka kamu. Dan lelaki itu menjulurkan tangannya. Laila mencucinya dengan Aqua dan tisu yang selalu ia sediakan dalam tas
untuk berbasuh setelah buang air. Lalu mencucukkan obat cair kecoklatan. Bau yodium povidon.
Sihar menatap ke arah air ketika tangannya tengah dibalut. Ia selalu menyenangi laut, tetapi makhluk itu menelan teman terbaiknya, dan menyendawakan trauma. Ia takut ia akan membenci laut setelah ini. Kelak kepada Laila ia bercerita tentang masa kecilnya di pantai-pantai, di antara suara arus. Ayahnya seorang syahbandar. Keluarga itu pindah beberapa kali, tetapi mereka selalu tinggal dekat pelabuhan. Mula-mula di Gunungsitoli, lalu Kijang, Mentok, Biliton, Sibolga. Ayahnya berasal dari pulau Samosir yang ciri-ciri fisiknya amat mudah ditebak sebagai stereotip komikal suku. Garis rahangnya kokoh dan hidungnya tebal. Ibunya dari keturunan yang berwarna agak lebih terang, rambut maupun kulitnya. Tulang wajah Sihar keras seperti ayahnya, tapi hidungnya agak ramping seperti ibunya. Kulitnya gelap, barangkali menurun ayahnya, barangkali juga karena ia terlalu banyak bermain di pesisir. Waktu kecil ia ingin menjadi pelaut, karena ia tidak bisa menjadi Deni manusia ikan ia masih menyimpan komik itu hingga sekarang, meskipun tak berhasil memperoleh akhir ceritanya. Setelah besar ia tidak mendaftar ke akademi pelayaran, sebab menjadi insinyur selalu lebih didambakan di sebuah negeri yang tengah membangun. Dan selalu mendapat lebih banyak pilihan kerja. Bagi orang tua, mempunyai anak seorang insinyur atau dokter lebih membanggakan daripada titel sarjana yang lain. Juga ketimbang jadi pelaut. Ia masuk fakultas teknik Universitas Veteran Negara yang dalam pembicaraan perpetaan Yogyakarta atau Jakarta dikenal sebagai UPN. Ia menemukan kembali lautnya, pulau-pulau kecilnya, setelah bekerja pada Seismoclypse. Banyak orang stres setelah
berminggu-minggu di tengah laut, tetapi saya tidak Sihar kelak berkata kepada Laila setelah mereka menjadi begitu dekat. Saya senang berbaring di landasan sebelum pergi tidur, sesaat melihat laut dan langit dan mendengar desau ombak dan angin. Kelap-kelip bintang juga kilang-kilang yang berte?" baran di perairan ini. Sesekali menyetel film porno bersama beberapa teman. Setelah itu, masing-masing biasanya masturbasi.
Tapi itu sebelum ini. Sebelum laut menghapus Hasyim Ali dari panca indera. Ia segera membuang muka, tak bisa lagi menikmati lidah-lidah ombak yang putih menyambar pasir. Hasyim Ali bekerja sebagai operator, membereskan pekerjaan berat sementara ia melakukan analisa atau menyetel mesin. Mereka partner yang cocok, dan karena tak pernah ada masalah jika mereka dipasangkan, telah tujuh tahun Seismoclypse selalu mengirim keduanya bersama. Bagi Hasyim, pekerjaan itu merupakan berkah. Ia berasal dari lingkungan petani kecil kelapa di Sumatera Selatan sehingga dengan penghasilannya sebagai buruh minyak, sekitar satu setengah sampai dua juta rupiah sebulan, dia adalah penopang utama ekonomi keluarga.
Saya ikut sedih biarpun tidak sempat kenal dia. Kasihan keluarganya. Apakah dia suami yang setia"
Dia bukan orang yang secara seksual setia pada istri, seperti enam puluh persen lelaki di sini. Tetapi ia tidak pernah menyia-nyiakan keluarga. Istri dan anak-anaknya, ayah-ibu dan mertua. Saya tidak tahu siapa yang menghidupi mereka setelah ini.
Tapi ada asuransi, kan" Meskipun uang tak pernah bisa menggantikan manusia.
Dan mereka terdiam. Dari langit terdengar deru. Itukah propeler yang akan menjemput kamu, Sihar" Mereka menunggu kapal terbang sewaan beberapa perusahaan minyak yang menggali di laut sekitar. Jadwal mereka berbeda. Sihar akan ke Palembang. Laila ke Jakarta. Pesawatnya akan datang belakangan, dan ia merasakan perpisahan yang terlalu cepat. Ia mulai sedih karena akan segera melihat lelaki itu memasuki badan pesawat, pintunya tertutup, roda-rodanya terangkat, dan kapal itu terbang meninggalkan dia di antara orang-orang yang duduk menunggu di bangku bandara pulau yang kecil dan nampak gersang ini. Bau terasi dan bawang putih, oleholeh yang paling banyak dibawa orang yang melewati bandar ini. Bukan. Pesawatku masih satu jam lagi.
Tiba-tiba Sihar melanjutkan, seperti mendapatkan kembali semangatnya.
Kamu tahu, saya bawa mesiu di tas. Buat apa!
Ia agak berbisik: Untuk ngebom kepala Rosano. Tak seorang pun bisa tahu apakah Sihar sungguh-sungguh atau main-main. Saya tidak tahu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Eksplosif memang bagian dari pekerjaannya, yang digunakan untuk menembak lapisan batu. Seandainya dia serius, betapa cerobohnya ia menceritakannya kepadaku, yang baru kenal tadi pagi. Tapi, tapi bagaimana kalau dia memang percaya kepadaku karena aku memang tidak akan mencelakakan dia" Saya mulai cemas jika ucapan itu bukan sebuah canda. Saya tidak tahu siapa dia. Saya tidak kenal dia. Bukankah kami baru bertemu beberapa jam lalu, dan berbicara lebih dekat beberapa menit lalu" Aduh, bagaimana jika Sihar sungguh-sungguh mengerjakannya, lalu ia ketahuan
dan dipenjara" Melakukan pembunuhan berencana dan menyimpan mesiu tanpa izin&
Kenapa kasus ini tidak diajukan pengadilan saja" Kelalaian yang menyebabkan kematian juga termasuk pidana.
Tapi lelaki itu tertawa sinis. Kamu pikir Rosano itu siapa" Saat itulah ia menceritakan bahwa Rosano punya ayah seorang pejabat. Texcoil punya uang lebih dari yang diperlukan untuk membungkam keluarga Hasyim dan polisi. Lalu harus bagaimana, dong"
Saya ledakkan kepalanya. Sihar, apakah kamu sudah gila" Kamu betul-betul membikin saya ketakutan. Mungkinkah ia cuma marah saja"
Apa salahnya usul saya dicoba" Saya punya teman pengacara. Dia pasti mau bantu. Paling tidak, kalau kita bikin tekanan, Texcoil harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membungkam orang-orang. Itu membuat dosa Rosano pada Texcoil lebih besar. Kalau dia tidak masuk penjara, sedikitnya dia harus dipecat&
Dan perempuan itu merasa lega ketika ditangkapnya Sihar tertarik pada usulnya. Lelaki ini tidak gila. Ia nampak ingin mengeksplorasi ide yang dia lontarkan. Sihar mendekatkan wajahnya ke wajah Laila, memperkecil volume suaranya.
Tetapi hangat nafasnya jadi terasa di bibir saya. Bau tembakau hisapnya membangkitkan sesuatu, entah apa. Dari dekat ia tampan, seperti kayu resak tembaga yang terplitur, coklat keras berkilat.
Sesekali, dari balik lensa matanya, dia melirik sekitar, adakah yang mendengarkan pembicaraan ini. Tapi orang-orang asyik dengan bacaan mereka, serta dengan kantong-kantong garlik yang perlu dirapikan agar isinya tidak bertumpahan.
Apa strategi kamu" Laila seperti tertular kekhawatirannya, menengok sekeliling, melihat orang-orang yang terkantuk oleh panas, sebelum melanjutkan. Di samping menggugat Texcoil, kasus ini harus dibuka dan dikampanyekan di media massa. Harus ada orang-orang yang mau mendukung keluarga korban jika terjadi tekanan-tekanan. Harus ada LSM-LSM yang memprotes dan mengusiknya terus. Dan saya punya teman yang bisa mengerjakan itu.
Siapa dia" Tapi pertanyaan itu membuat si perempuan tiba-tiba termenung.
Sebab lelaki yang saya maksud berasal dari masa lalu. Seseorang yang juga pernah begitu lekat di hati saya ketika remaja, lalu menghilang bertahun-tahun, dan muncul kembali sebagai aktivis perburuhan dan lingkungan di Sumatera Selatan, tanah masa kanak-kanaknya. Waktu kecil saya sempat memujanya. Seperti apa wajahnya kini, saya tidak tahu. Baru setahun ini surat-surat saya dibalas lagi. Kami tetap tak pernah bertemu sejak berpisah lebih dari sepuluh tahun lalu.
Dia& dia orang yang banyak ide dan berani. Namanya& Saman. Dulu namanya bukan Saman.
Bisakah kamu ikut ke Palembang dan menghubungkan saya dengan teman-teman kamu itu" Sihar meminta dengan antusias, tidak membaca kegelisahan wanita itu, betapapun selintas.
Laila mengangguk. Ia segera melupakan kerinduan kecilnya, sebab pria di hadapannya kini memintanya untuk bersama-sama dia. Dia menenami ia yang segera mengurus
perubahan jadwal yang mendadak itu. Kami tidak jadi berpisah.
Pukul dua belas: Saya teringat, setelah pertemuan pertama itu, tiga tahun lalu, kami punya banyak alasan untuk bertemu. Dari Palembang, saya menghubungi kedua teman saya. Yasmin Moningka adalah perempuan yang mengesankan banyak lelaki karena kulitnya yang bersih dan tubuhnya yang langsing. Sempat saya khawatir jika Sihar melihatnya ia akan tertarik padanya. Tapi Sihar tidak melirik dia seperti ia tidak melirik saya pada pertemuan pertama, dan itu membuat saya semakin menyukai lelaki yang tak peduli ini. Yasmin adalah yang paling berprestasi dan paling kaya di antara teman terdekat saya. Kami menjulukinya the girl who has everything. Ia kini menjadi pengacara di kantor ayahnya sendiri, Joshua Moningka & Partners. Namun ia kerap bergabung dalam tim lembaga bantuan hukum untuk orang-orang yang miskin atau tertindas. Ia juga sudah mendapat izin advokat yang tak semua lawyer punya. Sedang teman saya yang seorang lagi ia kini bernama Saman. Ia mengganti namanya, ia mengganti penampilannya, ia kini mengelola sebuah LSM. Ia mencoba menukar dirinya, tapi saya percaya ia masih sosok yang dulu, yang baik hati, meskipun organisasinya dianggap amat kiri. Seorang perwira Puspen ABRI pernah menyebut bahwa namanya, Saman, pun sudah terasa kiri, seperti nom de guerre orang-orang komunis, terdiri dari dua suku kata: Lenin,
Stalin, Hitler, Trotsky, Nyoto, Nyono, Aidit, (Saman) saya selalu mengira bahwa orang-orang Indonesia itu memakai nama pemberian orang tua mereka. Saya juga tak tahu bahwa Hitler seorang komunis. Pengetahuan sejarah saya memang tidak bagus. Saya tak mengerti kenapa teman saya memilih nama yang merugikan itu. Saya menelepon lembaganya, dia tak mengenali suara saya sama sekali. Saya tidak kecewa. Barangkali hampir sepuluh tahun kami tidak bertemu. Ada perasaan geli namun rindu mengingat bahwa saya pernah begitu menyukai dia. Tapi itu sudah lalu. Dan hati saya kini terarah kepada Sihar.
Banyak hal perlu dibenahi untuk membuat kasus ini maju sidang, yang menyebabkan kami berempat sering bertemu. Tapi kemudian, lebih sering lagi kami berdua, saya dan Sihar, berjumpa untuk hal-hal lain, yang perpisahannya lamakelamaan selalu dengan ciuman panjang.
Sejak berkenalan saya tidak melupakannya. Saya meng ingat namanya begitu Rosano menyebutnya pertama kali. Sihar orang yang bisa bicara dengan kata kasar kepada atasan atau dalam pekerjaan, seperti kepada Rosano. Tetapi dengan perempuan tak ada satu patah omongan kotornya keluar. Tidak juga canda yang cabul. Tak ada lirikan genit dari balik kacamata silindernya yang membuat laki-laki ini kelihatan seperti penikmat buku jika berada di rumah atau dalam perjalanan. Ia cenderung nampak tak peduli pada wanita. Anehnya, itu malah membuat dia begitu menarik, seperti seekor kuda liar yang berkelana, tak peduli pada kehidupan yang beres di peternakan, yang membikin manusia yang melihatnya gemas untuk menjinakkan, dari waktu ke waktu, hingga binatang itu akhirnya mulai mencicipi bongkah jerami
yang diletakkan orang di pinggir ladang. Tapi ternyata ia sudah kawin.
Seorang laki-laki seperti dia mestinya menikah dengan perawan yang manis, tetapi dia mengawini seorang janda beranak satu, anak perempuan. Suatu hari, di sebuah restoran, ketika kami sudah sering bertemu, dia seperti mengeluh kepada saya. Keluarga besar Batak mengharapkan anak lakilaki, katanya. Saya tahu. Kamu akan menunggu sampai muncul bayi lelaki" Ia menggeleng. Istriku, agaknya, tidak bisa hamil lagi. Lalu dia bercerita tentang semacam kista yang mengganggu di kedua indung telur istrinya. Saya cuma menjawab: Oh.
(Jadi dia tak akan punya keturunan.)
Tapi hari itu kami jadi berciuman. Ketika dia mengantar saya pulang, dia bilang ingin mengecup kening saya, yang ternyata akhirnya adalah pagutan.
Hubungan kami tentu bukan hal yang indah bagi orangorang terdekat kami. Istri dan anaknya. Orang tua saya. Ia menelepon dengan nama samaran yang berganti-ganti (Ayah selalu ingin bertemu dengan laki-laki yang dia anggap sering mencari saya). Saya menelepon hanya ke kantornya (di rumah istrinya yang sering mengangkat). Tak ada surat menyurat, karena itu hanya akan meninggalkan jejak bagi orang lain (kadang, sebetulnya, saya menginginkan satu atau dua jejak untuk dikenang ketika sendiri). Kami bertemu, makan atau minum, menonton di tempat yang jauh dari istrinya atau keluarga saya, lalu ciuman di dalam mobil. Sepanjang jalan. Tapi kami juga sering batal berkencan, sebab tiba-tiba istrinya minta diantar berbelanja, atau anaknya mengambil rapor sekolah. Dan saya harus menunggu. Sebab saya yang datang
belakangan. Kami juga kerap berjalan berjauhan, sebab ia merasa ada teman istrinya di sekitar. Namun, kami selalu berpisah dengan kecupan panjang, dan nafasnya semakin keras. Setelah itu ia biasa berkata, Rasanya menyesal karena telah menikah. Tapi saya punya tanggung jawab. Apakah kita bersalah" Kadang saya merasa bersalah.
Lalu cinta menjadi sesuatu yang salah. Karena hubungan ini tidak tercakup dalam konsep yang dinamakan perkawinan. Ia sering merasa berdosa pada istrinya. Semakin lama itu seperti makin menghantuinya, sehingga suatu hari saya begitu kesal sebab beberapa kali ia membatalkan janji karena rasa bersalahnya, dan saya berkata, Ternyata kamu laki-laki Batak yang takut istri. Sihar, apakah kamu tidak memikirkan bahwa aku juga punya rasa bersalah pada orang tua" Tapi aku tak pernah membatalkan janji karenanya. Ia terkena dan menjawab dengan nada yang agak menggoda, Kamu menantang" Apa kamu berani kalau aku teruskan hubungan ini" Saya terdiam beberapa saat. Barangkali saya memang menantang kejantanannya, dan itu berarti membuktikan bahwa ia bisa ditaklukkan (atau ditegakkan, menurut istilah salah seorang teman, Cok). Padahal saya tidak punya keberanian untuk melakukan yang lebih daripada ciuman.
Akhirnya ia membawa saya ke sebuah hotel di tepi pantai. Sebab ternyata ia masih mencintai laut. Tanggal 22 April 1995 itu. Tapi itu justru menjadi klimaks pertemuan-pertemuan kami. Setelah hari itu, saya merasa sedikit demi sedikit ia menjauhi saya. Hingga akhirnya, dia pikir lebih baik kami tidak ketemu. Dan kami tak lagi akrab. Itu, anehnya, bukan menimbulkan kebencian melainkan kehilangan yang semakin minta ditebus. Sebab, ia tak pernah berbuat kejahatan. Ia
tidak mencoba memperkosa, atau sekadar memaksa, bahkan ketika kami berdua terlentang di satu ranjang. Saya kira, jika ia menjauh, itu semata-mata karena tak tahan, sementara ia ingin menjaga saya. Ia tak mau merusak saya. Sebab saya masih perawan. Saya percaya, ia masih menyayangi dan menginginkan saya. Hampir setahun berlalu.
Suatu hari, kira-kira dua bulan sebelum hari ini, saya dengar ia akan ke Amerika. Saya memberanikan diri memutar nomornya.
Saya baru mau menelepon, terdengar suaranya cerah. Katanya kamu mau ke Amerika.
Saya baru mau memberi tahu. Ngapain ke sana"
Seismoclypse mau mengganti peralatan dengan teknologi baru. Saya diminta mempelajari.
Aku juga akan ke sana. Aku punya teman di New York, saya memutuskan tiba-tiba. Tak saya pikir, tapi putusan itu bulat.
Ia terdiam. New York jauh dari Odessa, Sayang, katanya lagi. Hampir dua ribu mil.
Berapa kilometer itu"
Lebih dari tiga ribu, atau seperti Jakarta-Biak. Tidakkah kamu ingin melihat New York, saya bertanya. Kita bisa ketemu di sana.
Tidakkah kamu ingin melihat Odessa, dia bertanya. Kita juga bisa ketemu di sana.
Tapi akhirnya kami sepakat untuk melihat New York, sebelum dia berangkat ke Texas. Saya tidak tahu, kenapa
saya bisa begitu cepat mengambil keputusan. Barangkali saya terobsesi pada dia, yang bayangannya selalu datang dan jarang pergi. Barangkali saya letih dengan segala yang menghalangi hubungan kami di Indonesia. Capek dengan nilai-nilai yang kadang terasa seperti teror. Saya ingin pergi dari itu semua, dan membiarkan hal-hal yang kami inginkan terjadi. Mendobrak yang selama ini menyekat hubungan saya dengan Sihar. Barangkali.
Dia sudah memastikan tanggal berangkat, 29 Juni, tapi belum tahu di mana akan menginap. Saya bilang, saya akan sudah tiba sebelumnya. Sehari setelah ia sampai kelak, kami akan bertemu di sisi selatan Central Park: sebuah arsitektur yang dibangun orang dari pepohonan dan danau buatan di tengah kota New York.
Dan hari itu datanglah, setelah kami terbang beribu-ribu mil, seperti burung. Pagi ini saya duduk di pelataran itu, tem?" pat orang dan satwa berbahagia. Orang-orang lari atau bersepeda. Tupai dari ranting-ranting meluncur ke tanah, seperti tikus cecurut, ke dekat kaki kita, dan mengendus-endus. Mereka mengumpulkan biji-bijian: kacang, kapsul, atau cerucut, lalu melesat kembali ke ranting-ranting. Cepatlah datang dan lihatlah, Sihar, mereka begitu halus dan hidup. Tak ada anakanak kampung yang membawa katapel untuk membunuhnya sambil iseng-iseng, dan meninggalkan mayatnya di tepi jalan, atau membawanya pulang tanda ketangkasan. Barangkali inilah sebuah negeri di mana tak ada bahaya buat tupai di kota. Juga buat kita. Lihatlah, mereka beristirahat di balik daun-daun berbentuk telapak tangan.
Kalau Sihar datang, akan saya katakan, Kita juga bisa beristirahat di sini. Marilah kita beristirahat dari rasa takut
dan salah, atau keluarga di rumah, seperti seorang musafir yang boleh berhenti berpuasa. Tidak letihkah kamu menjadi suami" Saya sendiri sudah lelah untuk takut pada ayah. Saya ingin istirahat sejenak. Tidakkah taman ini indah sekali" Saya memang baru sekali ke luar negeri.
Kalau kekasihku muncul dari gerbang itu, saya akan katakan padanya, kita sudah tidak berjumpa empat ratus dua hari lamanya. Dan ia akan tertegun akan penantian saya. Dan ia akan terharu. Ia akan mengecup dahi saya. Lembut, seperti orang yang menyayangi, yang tak melulu birahi. Tapi akan saya katakan bahwa kali ini saya telah siap. Dan saya telah memilihnya sebagai lelaki yang pertama. Dia akan bertanyatanya, kenapa dia. Saya akan menjawab, teman-teman saya bilang, pengalaman pertama jauh lebih indah dengan pria yang matang. Lelaki perawan, begitu kata mereka, tak pernah tenang. Selalu gugup dan terburu-buru.
Dia akan terheran dan bertanya, dari mana kini saya mendapat keberanian itu. Juga dari teman-teman" Saya akan katakan, kita ini seperti burung yang bermigrasi ke musim kawin. Sihar, umurku sudah tiga puluh. Dan kita di New York. Beribu-ribu mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling mencintai" Atau pernah saling mencintai" Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin" Rasanya tidak.
Lalu ia akan berkata, Sudah lama saya menunggu saat ini, dan mengecup bibir saya. Dan saya akan membalasnya dengan gemas sampai ia tak sanggup menahan lagi. Barangkali, kami melakukannya di taman ini, di sini, di bangku sebelah gelandangan yang tidur nyenyak, di antara biji-biji kitiran yang diterbangkan angin. Kami melakukannya tanpa melepaskan seluruh pakaian, sebab hari masih terlalu dingin untuk telanjang. Setelah itu, mengulanginya di kamar hotel, tanpa berlekas-lekas, di mana kulit saya bisa menikmati kulitnya, dan kulitnya menikmati kulit saya, sebab kami telah menanggalkan semua pakaian. Dan kami berkeringat. Lalu, setelah usai, kami akan bercerita satu sama lain. Tentang apa saja.
Setelah itu, Sayang, kita tertidur. Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tak lagi perawan.
P erabumulih , 1993 Ketika saya sadar, ternyata saya lelap di bahunya, di bawah matanya yang terpejam. Ia begitu kelelahan. Sesaat saya lupa di mana kami berada. Mobil panther kami terparkir di ceruk jalan yang menembus tengah-tengah kebun kelapa sawit berhektar-hektar. Mereka berbaris lurus-lurus di antara gawangan, tak habis-habis, hanya menyisakan pokok-pokok yang semakin gelap dan rapat di sebelah barat, tanpa kita bisa melihat lagi pelepah-pelepahnya yang kokoh bersusun-susun.
Angin menggesek beribu-ribu helai daun palma itu menjadi ombak yang bersahutan, dari jauh, lalu mendekat. Menjauh lagi. Datang lagi dari arah yang sama, dari sana. Saya lalu teringat, kami sedang di perjalanan ke rumah keluarga Hasyim Ali, di dusun Talangrajung, menjelang sungai Lematang. Berangkat pukul tiga pagi dari Perabumulih. Sihar kelelahan karena di kantor cabang Seismoclypse di kota itu ia mesti menyelesaikan beberapa pekerjaan yang membuatnya tak tidur semalam. Saya tak tahu jalan, sehingga kami terpaksa berhenti. Kini, selarit matahari mengejutkan mata saya.
Saya tadi bermimpi, Sihar. Kita berada di sebuah pesta. Ternyata perkawinan kita. Ada penghulu, juga korden. Seperti pernikahan rahasia. Tapi kemudian, di balik tirai itu, masih agak jauh tetapi menuju kemari, saya melihat ayah. Ya, Ayah berjalan terburu-buru. Sihar masih tertidur. Ia letih betul.
Kira-kira pukul sepuluh pagi kami sampai. Sebuah rumah yang terbangun dari kayu dan beratap rumbia. Di serambi muka, saya melihat dia: Saman, yang saya telepon dari Palembang dua hari lalu, telah duduk-duduk minum kopi bersama dua pria, yang kemudian saya tahu sebagai ayah dan abang Hasyim. Seekor beruk pemetik kelapa, terikat dekat tiang serambi, menandak-nandak dan menjerit kepada orang-orang itu. Tiga pria itu sudah kelihatan akrab. Baru saya sadari bahwa Saman, lelaki itu, sudah begitu lama hidup di perkebunan di sana. Sudah begitu panjang perpisahan kami. Karena suatu peristiwa, beberapa tahun dia menghilang dan surat saya tak pernah dibalasnya. Baru setahun lalu kami saling berkirim kabar lagi. Saya hampir tak mengenalinya. Ia begitu hitam dan kurus, seperti petani. Rambutnya yang dulu hampir sebahu kini terpangkas. Dagunya tak tercukur rapi.
Saya ingin merengkuhnya sebagai tanda persahabatan lama. Tapi sesuatu seperti menghalangi. Lalu saya memperkenalkan Sihar kepadanya.
Kedua lelaki itu berhasil meyakinkan keluarga Hasyim untuk mengadukan kasus ini. Kelak, sepulang dari sini, Saman bersama Yasmin juga membujuk keluarga dua korban yang lain untuk mendukung gugatan keluarga Hasyim. Kami kem bali ke Perabumulih bertiga. Suasana sudah menjadi riang. Sihar dan Saman segera berkawan. Saya kira keduanya mem?" punyai kemiripan, entah apa saya tak tahu persis. Barangkali ketakacuhannya pada wanita. Saman tidak banyak bercerita tentang dirinya. Dia lebih banyak bertanya tentang kami. Lalu padanya saya mengulangi cerita tentang kecelakaan itu, juga tentang mesiu yang dibawa Sihar untuk meledakkan kepala Rosano. Saya setuju, orang itu memang menyebalkan. Kalau Cano tidak masuk penjara, barangkali kita memang perlu membunuh dia, saya menambahkan dalam kegembiraan perjalanan
Ada satu hal yang mengherankan dan tidak menyenangkan saya dalam perjalanan itu. Di sebuah restoran di Perabumulih, Saman meminta saya masuk ke dalam lebih dulu. Saya menolak, tetapi ia terkesan agak memaksa, sebab mereka perlu berbicara berdua saja..
Urusan laki-laki, kata Saman. Itu membuat saya tersinggung, tetapi juga heran. Dulu Saman tidak begitu. Malah, cenderung ada kesadaran dalam dirinya untuk menghapuskan kelas-kelas urusan lelaki dan perempuan. Adakah kini dia sudah berubah" Urusan apa gerangan yang mengecualikan saya dari dalamnya" Tak mungkin persoalan seks, kecuali
jika Saman telah menjadi orang yang sama sekali lain dengan yang kukenal dulu. Sambil bersungut-sungut, saya masuk ke ruang makan, tetapi mencari tempat duduk yang baik agar bisa mengintip. Terlihat keduanya ngobrol. Sihar tetap duduk di kursi kemudi. Saman bersandar pada pintu. Selama beberapa menit, nampak wajah mereka serius. Ada gerak tangan seperti orang sedang berargumen. Pasti bukan soal ke pelacuran. Mereka lalu mengangguk, kemudian tertawa. Seperti kelegaan setelah sebuah keputusan tercapai. Pasti perkara yang agak menegangkan.
Tiba-tiba saya jadi menduga-duga. Adakah itu berhubungan dengan mesiu yang saya ceritakan" Dunia ini penuh dengan orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum atau aparat. Begitu Saman pernah dengan yakin menulis dalam sebuah surat balasannya kepada saya. Mungkin Rosano akan menjadi salah satu manusia kebal hukum itu. Saya dengar, beberapa tahun lalu Saman pernah dituduh ikut merencanakan pembakaran sebuah pabrik. Waktu itu saya tidak percaya, sebab dulu ia begitu halus. Tapi, mungkinkah kini itu benar" Mungkinkah dia meminta mesiu yang disimpan Sihar untuk suatu hari membom pabrik sebagai barter atas usaha menyeret Rosano ke muka hakim" Atau, apakah Sihar sendiri yang sungguh-sungguh berniat menghabisi Rosano jika pengadilan tidak menjebloskan dia ke penjara, dan meminta bantuan Saman" Lalu, kedua orang itu tidak mau melibatkan saya dalam urusan berbahaya ini" Atau, semua itu cuma khalayan saya saja"
Ketika kami makan bersama, saya tak tahan untuk tidak menanyakan kembali perihal amunisi itu. Sihar menjawab,
Sebetulnya saya kepingin sekali merobek moncong Rosano. Tapi, akan saya kembalikan. Pengawasannya ketat sekali. Waktu menakar kita dijaga oleh petugas. Setelah itu mereka tak pernah membicarakan lagi. Padahal, padaku Sihar pernah menceritakan idenya untuk menyimpan sendiri mesiu itu; yaitu dengan pura-pura menembakkannya di dasar sumur, dan mengatakan tembakan itu gagal.
Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya, kami mengurus perkara ini. Saman dan Yasmin berhasil mengorganisasi teman-temannya di media massa untuk membongkar persoalan ini. Memang tidak mudah. Kami semua menduga, pada permulaan Texcoil berusaha menutupi kasus ini dengan menyogok polisi dan jaksa agar perkara ini tidak diusut. Tetapi, karena surat kabar terus menulis dan gugatan perdata keluarga korban diterima pengadilan, Rosano akhirnya diperiksa dan disidangkan. Sihar menjadi salah satu saksi yang memberatkan. Tetapi, seseorang yang berpengaruh barangkali ayahnya dan teman-teman pejabat itu menjamin Rosano, sehingga dia bisa menjadi tahanan luar. Dia tetap bekerja, mewakili Texcoil di beberapa rig, seolah kecelakaan adalah suatu kebiasaan, dan kebiasaan adalah sebuah kewajaran.
Kemudian sesuatu terjadi pada Rosano.
Ketika persidangan tengah berlangsung sekitar tiga bulan, Rosano tetap bertugas di sebuah rig di Talangatas, kira-kira lima belas kilometer ke utara dari daerah tempat tinggal keluarga Hasyim. Terjadi keributan besar karena ratusan penduduk mendatangi lokasi eksplorasi pada suatu malam hari. Mereka membawa obor dan lampu minyak, yang biasa
membuat bayang-bayang pada dinding, menara, dan pada pepohonan, menjadi besar dan bergoyang-goyang. Mereka berteriak-teriak, mengancam akan membakar rig itu jika Rosano tidak diserahkan. Orang-orang itu menuduh lelaki yang kubenci itu menggagahi seorang perawan kampung, lalu membunuh dan membuang mayatnya di parit di pinggir jalan kontrol pada kebun kelapa sawit. Ada mayat perempuan di sana, dan ada dua saksi yang melihat gadis itu terakhir kali pergi dengan Rosano.
Kepungan itu menimbulkan kepanikan yang besar di rig. Rosano berteriak-teriak bahwa itu fitnah, tetapi ia begitu gugup sehingga orang lain meneleponkan bantuan. Helikopter pasukan antiteroris Linud datang beberapa waktu kemudian dan membawa Cano terbang. Sebagian petugas bernegosiasi dengan penghuni kampung yang marah. Rig akhirnya tidak dibakar, dan orang-orang itu dibubarkan setelah ada janji bahwa kasus ini akan diusut oleh polisi. Orang-orang pergi tanpa bisa mengganyang si company man. Tetapi peristiwa ini berakhir dengan hal yang menyenangkan kami: Rosano kehilangan status tahanan bebasnya. Ia masuk penjara sebagai tahanan pengadilan.
Saya bertanya-tanya kepada Sihar dan Saman, apa yang sebetulnya terjadi. Betulkah Rosano sekeji itu, memperkosa dan membunuh" Dia memang menyebalkan, tapi sungguhkah dia sekejam itu" Tapi, mereka cuma menjawab, Kami juga tidak menyangka. Tapi, kalau tidak begitu, dia tidak akan masuk penjara.
Namun, sejak mereka berbicara empat mata dulu dan meninggalkan saya di restoran, saya merasa mereka bersekongkol. Kali ini saya juga merasa ada sesuatu yang mereka
tutupi. Lebih dari lima mayat tak dikenal ditemukan setiap minggu di daerah Sumatra Selatan, barangkali. Dua atau tiga adalah perempuan. Di antaranya sering ada yang telah diperkosa. Apa sulitnya mencari mayat yang sudah rusak dan meletakkannya di parit" Apa sulitnya, misalnya bagi Saman yang cepat merebut hati penduduk kampung, untuk meyakinkan orang-orang yang tinggalnya saling berjauhan di perkebunan bahwa sebuah pembunuhan terhadap warga mereka telah dilakukan oleh seorang pekerja rig yang dikenal congkak" Sihar tak mampu melakukan itu, pasti. Saman mampu. Tapi, tapi saya juga tidak terlalu yakin dia sampai hati. Dia yang dulu begitu lembut hatinya. Dia yang dulu begitu jujur. Atau kini saya tak mengenalnya lagi sejak ia mengganti namanya menjadi Saman. Atau, semua itu hanya imajinasi" Lalu apa yang sebenarnya terjadi"
Peristiwa itu menyisakan kegelisahan yang mengganggu, sebab saya tak tahu lagi apakah saya mesti curiga atau bersyukur. Akhirnya saya juga berkata pada diri sendiri, Saya tidak menyangka. Tapi, kalau tidak begitu, dia tidak masuk penjara.
Pukul tiga: Tapi, kini siang sudah terlewat! Siang sudah terlewat, gembel itu telah pergi, dan Sihar belum juga ada di taman ini" Sihar, di mana kamu"
Saya mulai tidak berbahagia. Saya tidak bahagia, seperti
burung hitam, mungkin gagak, yang sendiri itu. Ke mana pasanganmu" Di mana burung-burung yang tadi bermigrasi ke musim kawin" Dan makhluk malam itu seperti menjawab dalam benak saya: perjalanan, kawan, tidak seindah yang dibayangkan. Burung-burung harus terbang tanpa jeda, rendah di antara samudra dan hawa dingin, dari benua ke benua. Sebab, pada lautlah kita mencari kehangatan dari suhu di atas yang beku. Pada laut, yang tak menyediakan tempat berteduh. Tak seluruhnya bisa kembali ke musim semi. Sebagian jatuh ke air, seperti juga kapal yang diciptakan manusia. Saya tibatiba khawatir. Saya mulai cemas, yang membuat lutut terasa kosong seperti rumah keong yang ditinggalkan setelah daging siputnya melisut terkena racun yang mengeringkan lendir. Apakah pesawatnya tiba dengan selamat" Jangan-jangan tidak. Saya harus mencari berita, saya harus mendapat berita. Bukankah saya belum membaca koran sejak kemarin lusa"
Dekat kaki lima penjual pretzel dan roti bagel di tepi taman, ada mesin surat kabar. Saya berlari ke sana dengan tungkai ngilu. Koin saya berulang-ulang tergelincir ketika saya masukkan ke selot untuk selembar USA Today. Adakah berita kecelakaan kapal" Tidak di halaman muka. Tidak juga di halaman dalam.
Tapi, saya belum pantas merasa lega. Saya buang koran yang sia-sia itu. Sudah satu minggu saya di New York. Tak ada berita tentang Indonesia. Kita tahu, banyak hal bisa terjadi dalam sepekan. Seorang guru membunuh polisi yang menampar supir bajaj, babu dibunuh karena mencuri arloji, kawan usaha dibunuh dan mayatnya dilebur dalam makanan babi! Semua orang bisa dibunuh dalam tujuh hari. Sihar, saya cemas! Cemas sekali. Masih hidupkah kamu" Beberapa waktu
sebelum saya berangkat, pengadilan memang memutuskan Rosano bersalah. Tetapi, keluarganya tetap berada di luar, bukan" Dan mereka orang-orang yang punya kuasa. Bukan mustahil mereka membongkar keberanian keluarga Hasyim untuk menuntutnya. Dia mengancam istri Hasyim sehingga menyebut nama Sihar dalam kegentarannya. Belum lagi soal perawan yang mati itu. Bagaimana, aduh, bagaimana kalau mereka berganti membalas" Kita tidak tahu orang-orang macam apa kerabat si Cano. Mereka menyewa tukang pukul agar membonceng diam-diam dalam jip ketika Sihar menyetir sendirian di hutan, lalu muncul ketika kekasihku itu sedang beristirahat kerena kelelahan, dan menikam dia yang sedang tidur. Atau, barangkali algojo itu telah menyiksanya lebih dulu. Lalu, membuang tubuhnya begitu saja, di balik semak pakis tropis yang basah dan tinggi. Orang-orang tak dapat menemukannya, sebab lumut begitu lembab dan penuh dengan organisme pengurai. Dan tubuh lelaki yang kucintai itu tergeletak, seperti spora yang jatuh di tanah subur, yang segera berubah menjadi tunas-tunas baru dalam dua minggu saja. Dan kami tak akan ketemu selama-lamanya. Sihar&
Saya harus mencari kabar. Saya harus mendapat kabar. Dari tempat saya berdiri, terlihat telepon umum di seberang dua jalan raya yang mengitari sirkel Columbus: sebuah dunia ramai seperti sirkus yang mengepung taman dengan erat. Kelibat mobil dan truk lalu lalang, juga bus dan taksi. Orangorang asyik sendiri. Ada yang bergegas, ada yang menonton papan-papan iklan dan lampu-lampu reklame. Kapan tibanya sinyal bagi pejalan kaki agar saya bisa menyeberang ke telepon di sana"
Hijau. Saya berlari. Di boks telepon itu, saya putar sambungan internasional ke Jakarta, ke kantornya. Delapan belas dering. Sembilan belas dering&
Bisa bicara dengan Sihar" Dari mana, Bu"
Dari Amerika. Maaf, sekarang jam empat pagi. Besok saja telepon lagi. Terima kasih. Dan telepon ditutup.
1983. D ia belum memakai nama itu: Saman.
D ia adalah satu di antara tiga lelaki yang
berada dalam cahaya yang masuk dari tiga jendela di atas altar.
Terang yang lain menerobos lewat fragmen kaca patri yang berjajar sepanjang dinding gereja. Bayangan-bayangan pun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru dari kaki pilar-pilar korintia. Juga dari kaki patung para sanctus. Terang yang paling kecil datang dari lilin-lilin yang dinyalakan koster sebelum misa pentahbisan dimulai. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapa Uskup dengan mitra keemasan memanggil nama mereka satu per satu. Juga namanya: Athanasius Wisanggeni.
Sakramen presbiterat. Tiga lelaki tak berkasut itu lalu te?" lungkup mencium ubin katedral yang dingin. Mereka telah mengucapkan kaulnya. Pada mereka telah dikenakan stola dan kasula. Sejak hari itu, orang-orang memanggil mereka pater. Dan namanya menjadi Pater Wisanggeni, atau Romo Wis.
Sehabis misa, ada pesta kecil yang akrab di balai pastoran untuk merayakan ketiga pastor baru itu. Anak-anak muda anggota koor dan misdinar menyalami dengan kagum, sebab setiap kali seorang frater mentas menjadi pater, orang menyambut seperti kelahiran: ada kegembiraan, ada keheranan, juga kekhawatiran. Bapak ibu tua meletakkan harapan seperti kuk dan salib, namun pastor diosesan muda itu kini merasa sebagai seorang prajurit dalam sebuah legiun. Tugasnya akan ditentukan oleh Bapa Uskup.
Ketika tamu-tamu sudah menyalaminya, Wisanggeni mendekati seseorang di antara para pastor senior yang hadir, seseorang bertubuh kecil dengan mata sempit yang tatapannya dalam. Seseorang yang dia cari. Di rautnya terdapat kerut yang menggurat kuat tepat di pangkal hidung, seperti gambar huruf U di antara sepasang alis pertapa pada lukisan Hindu- Budha, tanda pada begawan yang banyak merenung atau menjauhkan diri dari yang karnal. Romo Daru, pastor agak tua yang suaranya selalu didengar dalam rapat-rapat keuskupan. Namun, lebih dari itu bagi Wis, Romo Daru yang banyak menghabiskan waktunya di persemadian Ordo Karmel di lereng gunung Sindangreret dikenal karena kesanggupan khusus. Roh Kudus memberinya satu dari tujuh karunia; yaitu mata untuk berhubungan dengan dunia yang tak nampak serta iman sebiji sawi untuk mengusir roh-roh jahat. Wisanggeni menghampiri Romo Daru dengan hati-hati, tetapi lelaki tua itu
memberikan salam sebelum Wis sempat menyapa. Anak muda itu jadi agak tersipu.
Terima kasih banyak. Romo masih ingat saya" Keduanya pernah bertemu kira-kira empat tahun lalu. Ketika itu Wis baru saja menamatkan pendidikan teologinya di Driyarkara, dan belajar di Institut Pertanian Bogor. Ia sengaja mengunjungi pastor pertapa itu untuk menceritakan suatu kisah aneh pada masa kecilnya, suatu pengalaman yang tidak ia bagikan kepada pater maupun frater yang lain. Bahkan tidak pada ayahnya.
Yang ditanya mengangguk-angguk ramah sambil meng?" iya. Bagaimana kabarmu" Ingin berkarya di mana setelah ini"
Sesungguhnya, persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan. Saya mengenal betul daerah itu, katanya. Waktu kecil, kerap Ayah membawa saya turne ke perkebunan. Lagipula, bukankah pastor di sana sudah tua-tua" Namun, Romo Daru membalas hanya dengan menatap mata Wis sesaat. Itu memupuskan keteguhan si lelaki muda untuk menya?" markan alasan yang sebenarnya sebab sebetulnya keduanya membicarakan sesuatu yang tasit.
Saya memang punya ikatan dengan tempat itu, Romo tahu, akhirnya ia mengaku.
Lalu diam sesaat. Romo Daru: Kamu hendak mencari yang dulu hilang" Saya juga membawa kabar bahwa Ibu telah meninggal. Kalau cuma untuk itu, kamu bisa pergi berlibur ke sana. Pria itu menatap ke pucuk lengkung jendela.
Wisanggeni tercenung. Romo, kalau saya punya kepentingan pribadi, bukan berarti saya tidak layak bekerja di sana, bukan"
Jika Uskup memutuskan lain, mintalah ijin cuti ke Perabumulih satu atau dua bulan.
Wisanggeni ingin sekali bicara berdua, tentang roh-roh yang pernah ada di sekitar mereka, roh yang pernah mereka rasakan kehadirannya, melayang-layang atau menapak tanah, tetapi Romo Daru tak memberinya waktu. Entah kenapa, ia menyudahi percakapan sampai di situ.
Ketika malam turun, Wisanggeni menumpu punggung pada sandaran tempat tidur. Di balik pintu kamarnya, lorong telah digelapkan. Sesekali ia mendengar suara daun pintu dan langkah kaki seperti orang pergi ke kamar mandi. Lampu ruang tidurnya sendiri masih menyala. Ia bisa mendengar sepi ketika getaran neon dari langit-langit pun terasa mendengung di gendang kupingnya. Juga tetes-tetes air kran dari WC yang jauh. Ia menatapi foto ibunya di atas meja konsol. Ibu. Ibuku.
P erabumulih 1962 Barangkali dia beruntung. Dia adalah satu-satunya anak yang berhasil lahir dari rahim ibunya dan hidup. Dua adiknya tak pernah lahir, satu mati pada hari ketiga.
Ibunya yang masih raden ayu adalah sosok yang tak selalu bisa dijelaskan oleh akal. Ia sering nampak tidak berada di tempat ia ada, atau berada di tempat ia tidak ada. Pada saat begitu, sulit mengajaknya bercakap-cakap, sebab ia tak mendengarkan orang yang berbicara di dekatnya. Kadang kebisuannya diakhiri dengan pergi ke tempat yang tidak diketahui orang, barangkali suatu ruang yang tidak di mana-mana: suatu suwung. Tetapi jika ia sedang berada di tempat ia ada, maka dia adalah wanita yang amat hangat dan membangkitkan rasa sayang, sehingga suaminya dan orangorang lupa pada sisi lain dirinya yang sulit dipahami. Di tempat tidur, ia akan mendengarkan suaminya yang bersandar di dadanya yang empuk sepanjang apapun laki-laki itu bercerita dalam suara yang terdengar seperti gumam di tengah malam, yang mendengung lewat ventilasi di atas pintu. Pagi harinya ia akan menembang tentang kepodang bagi si Wis kecil, juga bagi anak-anak tetangga, burung-burung dan margasatwa di sekitarnya. Wis akan melingkar di pangkuannya, seperti anak kucing yang menyusu. Jika ia sedang berada di tempat ia ada, di tempat Anda melihatnya, dia menjadi seperti matahari. Planet-planet akan terhisap dan berkeliling di seputarnya dengan aman. Begitulah Wis mengenang ibunya.
Bapaknya tak punya darah ningrat dan memilih nama Sudoyo ketika dewasa. Lelaki itu berasal dari Muntilan dan beragama dengan ketat, agak berbeda dari sang ibu, yang
meskipun ke gereja pada hari Minggu, juga merawat keris dan barang-barang kuno dengan khidmat. Sudoyo anak mantri kesehatan. Ia menjadi pegawai Bank Rakyat Indonesia di Yogyakarta sejak masih kuliah ekonomi di Universitas Gadjah Mada. Wisanggeni lahir di sana. Saat umurnya empat tahun, bapaknya dipindahkan ke Perabumulih, sebuah kota sabrang yang panjang jalan utamanya kira-kira cuma lima kilometer.
Perabumulih masih kota minyak di tengah Sumatera Selatan yang sunyi masa itu. Cuma ada satu bioskop, sehingga orang-orang biasa membawa anakanak bertamasya ke rig di luar kota, melihat mesin penimba minyak mengangguk-ang?"" guk seperti dinosaurus. Hiburan menegangkan lain adalah lutung atau siamang yang mendadak turun dari pepohonan. Bank di sana belum panjang usianya. Ayahnya menjadi kepala cabang. Mereka menempati lantai atas sebuah rumah kayu yang cukup besar hampir di ujung jalan Kerinci, rute utama kota itu. Lantai bawahnya berfungsi sebagai kantor. Selain beberapa karyawan yang datang pada jam kerja, ada seorang bujang di rumah itu. Somir, begitu ayah Wis memanggil pemuda itu.
Di belakang rumah ada kebun yang berbatasan dengan pepohonan yang semakin jauh menjadi semakin rapat. Bapak melarang Wis bermain jauh ke dalam. Apakah ada hantu, ia bertanya. Tidak, jawab si Ayah. Ada yang lebih menakutkan daripada hantu, yaitu ular. Si Iblis. Lucifer. Belzebul. Leviatan, ular yang meluncur, ular yang melingkar. Pada masa lampau, serpent membujuk Hawa sehingga memakan buah pohon pengetahuan yang dilarang Tuhan. Manusia jatuh ke dalam dosa. Itulah mula permusuhan kita dengan hewan jahanam yang dikutuk Allah hingga melata. Dan di dalam hutan itu
ada seratus ular. Sanca akan mencekik lehermu yang mungil. Beludak menyemburkan racun dari mulutnya. Ular anang hidup di sekitar pekarangan dan menggigitmu meski hari siang. Jika malam tiba, welang berjaga-jaga. Dan ular bungka bersembunyi di bawah bangkai kayu. Bisa mereka merusak sarafmu atau membekukan darahmu. Kau akan gila dan mati. Dan di dahan-dahan pohon besar yang jalin-menjalin, yang tertutup benalu serta anggrek liar putih dan ungu, seekor ular pithon raksasa mengintai. Barangkali dua ekor, sepasang jantan dan betina. Dengan gesit ekornya akan membelit tubuhmu, dan rahangnya menyergap kepalamu, lalu menghisap sampai ujung kaki ke dalam kerongkongannya yang seperti lorong menuju kegelapan. Rusuknya yang kuat akan meremukkan seluruh tulang sehingga tubuh yang dia telan menjadi empuk seperti ulat, kulitnya utuh tapi dalamnya lumat. Dialah yang paling berbahaya. Sebab, ular berbisa mematuk karena merasa terancam, tetapi ular pithon memangsa manusia karena lapar. Sebab ular berbisa meninggalkan jasad korbannya, tetapi pithon tak menyisakan apa-apa. Dan ia tidak akan kenyang hanya memakan badanmu yang kecil.
Karena itu Wisanggeni tak pernah melanggar pagar pring apus yang dipasang bapaknya di halaman belakang. Ia hanya bermain-main di lahan yang mereka tanami singkong serta sayuran. Juga rumpun tebu di pojok kiri kanan. Jika pokoknya yang berbuku-buku itu telah cukup tua, warnanya seperti abu, sebelum bunga gelagahnya muncul, Ibu dan Somir menyabit beberapa buluhnya serta memotongnya persegi kecil-kecil. Wis mencecapnya dengan asyik sebagai ganti kembang gula, sampai sepahnya tak lagi meneteskan cairan manis. Selagi bapaknya ngantor di bagian depan rumah, Wis dan ibunya
kerap mengaso di teras belakang sambil memandang ke arah pepohonan, yang semakin jauh semakin rapat.
Yang paling dekat adalah rumpun-rumpun pisang dan bambu betung yang begitu tuanya sehingga merunduk membikin lorong satu dengan yang lain. Jika didekati, kelopak di ruas-ruasnya adalah sebuah dunia lain di mana semut dan kutu putih berteduh dari matahari dan air hujan tropis. Setelah itu, pohon-pohon kelapa, yang jangkung maupun yang genjah, yang memberi makan kumbang badak dengan bunga dan tunasnya. Lalu, tanaman buah: durian, nangka, lengkeng. Dan di belakang semua itu, hidup pohon-pohon yang semakin tua, semakin kekar batangnya, semakin lebar dan panjang tangan-tangannya, dan semakin sulit dibedakan jenisnya. Tetapi, Ibu seperti mengenal pohon-pohon itu secara pribadi, dari kejauhan. Jika ia menunjuk sebuah pokok, esok hari dan selamanya ia tidak lupa. Lihatlah pohon itu, tangannya menuding ke timur laut, di lekuk cabang-cabangnya ada seekor lutung betina dengan anaknya. Mereka mendengar suaranya menyalak dan salaknya bergaung sehingga terdengar seperti ada beratus-ratus ekor. Lusanya Wis bertanya lagi, mana pohon yang menjadi rumah lutung betina dan anaknya. Itu, Ibu menunjuk ke arah yang sama. Pohon yang kehitaman itu. Dari sini kelihatan persis di belakang kelapa yang itu. Kalau kamu bergeser sedikit, kemari, dia kelihatan persis di kiri pohon lontar. Bagi Wis, ada puluhan kelapa dan lontar, serta ratusan bayangan hitam. Ia tak sanggup membedakannya. Tapi ia percaya ibunya bisa. Wis percaya, seandainya Ibu masuk ke hutan (mungkin sekali perempuan itu memang pernah ke sana), Ibu tidak akan tersesat. Namun, Ibu menasihati dia agar jangan bermain terlalu jauh ke dalam. Karena ada seratus ular
di sana, ia bertanya. Bukan, jawab ibunya. Karena jin dan peri hidup di sana. Seperti apakah mereka" Mereka hampir seperti kita. Tapi Wis tidak melihat apa-apa.
Suatu hari Bapak kelihatan gembira ketika Ibu mualmual. Kamu akan punya adik, kata bapaknya. Di dalam perut ibumu ada bayi yang masih lembut, yang masih bernafas dalam air ketuban, yang makan sari-sari lewat tali ari-ari yang bersambung dengan ususnya karena dia belum punya geligi. Wis belum pernah melihat bayi selain bayi kucing, yang juga begitu lembut dan menimbulkan bau khas yang berasal dari campuran air susu basi dengan kotoran mereka yang begitu halus sehingga hampirhampir tak bertilas. Bapak dan Ibu mengatakan, mempunyai bayi itu membahagiakan, dan Wis suka dengan takjub memandangi ibunya yang semakin hari semakin besar perut dan payudaranya. Ibunya kelihatan makin cantik, tetapi perempuan itu makin sering termenung, makin kerap memasuki suwung.
Lalu sesuatu terjadi. Tatkala ibunya pulang, entah dari mana, wanita itu tak lagi mengandung. Perutnya tak lagi besar. Ia nampak kelelahan. Ia rebah pada dipan di teras belakang, lalu menatap pepohonan, yang semakin jauh semakin rapat. Wis tidak tahu betul apa yang terjadi, tetapi ia merasa sesuatu telah terjadi. Dicarinya ayahnya ke ruang kerja. Lelaki itu tergopoh-gopoh menemui istrinya yang perutnya telah kempes. Ke mana bayi kita" Tetapi istrinya tercenung saja. Manusia berasal dari kosong dan kembali kepada kosong. Siang itu juga Sudoyo membawa istrinya ke rumah sakit, sebuah klinik milik Pertamina. Dokter dan bidan mengatakan, tidak ada lagi bayi dalam
rahim istrimu. Tetapi tidak juga ada pendarahan. Berapa usia kehamilannya" Enam atau tujuh bulan, jawab Sudoyo. Barangkali cuma hamil anggur" Barangkali keguguran" Tetapi di mana bayi itu jatuh" Mana darahnya" Di hutan"
Sudoyo meminta bantuan semua kenalan dan tetangga untuk mencari bayi yang jatuh di hutan. Tapi tak seorang pun menemukan. Bapak, Bapak, barangkali adik dimakan pithon" kata Wisanggeni.
Pekan itu juga, si suami meminta misa requiem untuk bayinya yang hilang. Sejak itu, ia mengambil seorang pembantu perempuan untuk menjaga Ibu. Lik Dirah datang dari Jawa. Ia masih kerabat jauh Bapak, dari keluarga miskin dan tak terpelajar, yang sebagian saudaranya menjadi jongos atau buruh tani. Anaknya belajar montir, Bapak yang membiayai.
Empat bulan kemudian, Ibu hamil lagi. Sudoyo wantiwanti pada Lik Dirah agar istrinya itu tidak pergi sendirian. Dia membujuk si istri supaya jangan melamun, apalagi berjalan-jalan ke pepohonan dengan jiwa kosong. Banyaklah berdoa rosario, juga litani. Sebulan berlalu, dua, tiga. Bidan mengatakan kandungan itu normal. Melewati bulan kelima, peristiwa itu terulang. Padahal Ibu tidak lagi pergi ke pepohonan. Hari itu Ibu terbaring saja di tempat tidur. Aku ingin istirahat sendiri, katanya pada Lik Dirah. Perempuan tua itu lalu memasak di dapur, juga mengantar makan siang Sudoyo di ruang kantor. Somir menjemput Wis dari sekolah dasar yang jaraknya sekitar lima ratus meter. Ketika Wis turun dari sepeda di samping rumah, inilah yang didengarnya: tangisan bayi dari jendela kamar ibunya di lantai dua. Ia menatap ke arah suara dan menajamkan telinga. Itu pertama kali ia mendengar suara orok, yang jeritnya terpotong-potong. Sayup-sayup ia dengar
Ibu menembang, tembang yang biasa mendamaikan hati Wis: lela lela ledhung... Bagaimana keadaan Ibu sehabis melahirkan Adik" Seperti apa bayi itu dan dari mana keluarnya"
Tetapi Somir cuma membenahi rantai sepeda. Dekat perigi Lik Dirah menggosok pantat panci yang hitam kena jelaga dengan abu dan sabut kelapa. Bapak masih di kantor. Tak ada yang peduli pada semangatnya.
Adik laki atau perempuan" Tak seorang pun menyahut. Somir! Adik laki atau perempuan"
Bujang itu menoleh. Wisanggeni kepinginnya punya adik laki atau perempuan"
Enggak tahu. Yo, kita lihat adik! Ia menggandeng Somir sambil melompat-lompat.
Dengan bertenaga ia berlari menaiki tangga kayu. Dibukanya pintu kamar Ibu.
Namun kamar itu menjadi senyap begitu pintu menganga. Tak ada bayi, tak ada bunyinya lagi. Hanya sepi serta Ibu yang terbaring di ranjang besi. Ia tertidur dengan senyum lega dan peluh yang melekatkan kain pada tubuhnya, sehingga orang bisa melihat perutnya yang tak lagi menggembung. Tapi tak ada bayi dalam kamar yang diterangi cahaya pukul sebelas yang sayup menembus korden jendela. Hanya sunyi. Lalu suara Somir berteriak-teriak. Dengan panik pemuda itu memanggil Bapak dan Lik Dirah. Dokter diundang, dan Sudoyo mendapatkan jawaban yang sama: tidak ada lagi bayi dalam kandungan istrinya. Jabang itu lenyap tanpa tetesan darah, seperti dihirup oleh atmosfir. Dari percakapan orangorang dewasa yang takjub dan sedang berada dalam suatu kengerian, Wis mendapati bahwa tak seorang pun mendengar
bayi menangis. Tak seorang pun mendengar bahwa anak itu telah lahir. Namun, ada yang menghalangi Wis untuk bersaksi.
Keluarga itu mengadakan misa arwah, dan ibunya meng?" ikuti prosesi seperti pendosa yang menyesal. Sambil airmatanya menitik, ia menciumi tangan suaminya yang tak pernah kehilangan cinta padanya meskipun dia tidak pernah menceritakan apa yang terjadi. Tetapi orang-orang mulai percaya bahwa bayi-bayi itu diambil oleh jin yang menempati daerah itu. Beberapa kenalan Sudoyo menganjurkan dia memanggil orang pintar untuk mengusir roh dan demit yang mengganggu, yang barangkali juga dikirim oleh orang yang tidak menyukainya. Lelaki itu selalu menolak karena ia tidak mau percaya takhayul. Meski dokter tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, Sudoyo menganggapnya sebagai suatu anomali pada tubuh manusia. Ketika bawahannya menawarkan diri mencarikan dukun, ia cuma berucap terima kasih. Tapi aku hanya percaya pada Gusti Allah dan kekuatan doa. Misa arwah tanpa jenazah yang kedua kali.
Setelah requiem itu usai, Somir mengantar Pater pulang. Ayah kembali ke meja kerja untuk membereskan berkas-berkas yang terabaikan karena peristiwa tadi siang. Sebelumnya, ia meminta Wis dan Lik Dirah menemani Ibu di kamar. Ruang tidur itu cukup luas, sekitar enam kali enam meter persegi. Ranjang besi bercat hijau telur bebek terletak mepet ke dinding kanan, tempat Bapak dan Ibu tidur. Di sisi kiri, mereka membentang selembar kasur pada lantai untuk Wis dan Lik Dirah, sebab Bapak tidak mau Ibu ditinggal sendirian. Malam itu Wis berbaring menyamping menghadap tembok kiri. Lik Dirah mengipasinya hingga terlelap, sebab udara agak panas.
Tetapi tengah malam ia terbangun karena orok yang menangis dari tempat tidur. Lalu didengarnya Ibu terjaga sambil menyapa bayinya yang lapar. Bed besi berderit ketika Ibu beranjak untuk menyusui. Ibu mendendang nina bobok dengan suara lembut sekali: lela lela ledhung...
Wis terduduk dan menoleh ke belakang, ke arah ranjang. Tetapi suara itu hilang begitu ia melihat ibunya sedang ter?" duduk pada kasur. Lampu yang buram menampakkan wajahnya yang rileks dan tersenyum. Wis seperti terjaga dari mimpi. Ditatapnya perempuan tua di sebelahnya. Lik Dirah tidur nyenyak. Mulutnya menganga, mengeluarkan dengkur lembut. Ia pasti tak mendengar apa-apa. Bapak belum naik. Ia agak heran, tetapi kembali merebahkan diri.
Tatkala matanya berat karena ia memasuki ambang tidur, suara tadi datang lagi. Dari belakangnya, dari arah ranjang. Semula sayup-sayup oleh dengung yang kemudian menipis. Peristiwa di belakang tengkuknya terasa nyata. Ibu mencoba menenangkan oroknya yang merengek. Lalu terdengar suara lelaki, tiba-tiba berada di ruang itu. Ia bercakap-cakap dengan Ibu, tetapi Wis tidak mengerti bahasa mereka. Ia hanya menangkap intonasi yang melantun dalam gelombang tenang seperti angin yang bertiup malam itu. Rasanya mereka sedang memomong si bayi dengan bahagia. Lelaki itu mendengarkan ibu menggumam: lela lela ledhung... Lelaki itu bukan Bapak.
Wis menoleh dengan cepat karena terkejut dan takut. Tapi, sekali lagi, suara-suara itu hilang begitu ia berbalik. Mimpi melekat pada belakang kepalanya, sehingga matanya tak pernah bisa mencapai dunia itu. Yang ia lihat cuma ibunya berselonjor di ranjang.
Ibu! Wanita itu diam saja. Seperti jika ia sedang berada di tempat ia tak ada.
Ibu! Setelah berulang-ulang memanggil tanpa dijawab, Wis beranjak ke luar kamar. Ibunya tetap tak terusik, seperti arca batu di sebuah candi yang purba. Wis menuruni tangga kayu yang tanpa penerang, mencari Ayah di ruang bawah dengan cemas. Ia menemukan lelaki itu masih bekerja dengan lampu baca yang pangkal bohlamnya sudah menghitam, tanda hampir padam. Bapaknya menoleh. Ada apa, Nak" Dan Wis merasa lega sekali. Tiba-tiba ia merasa sangat merindukan ayahnya. Dipeluknya lelaki itu, ia menangis tersedu-sedu. Ada apa, Nak" Namun Wis tetap tidak bisa menceritakan apa yang ia alami. Dia tak pernah bisa. Malam baru pukul sebelas.
Peristiwa itu pelan-pelan dilupakan orang, sebab selama tiga tahun setelahnya Ibu tidak mengandung. Tetapi Wis masih sering mendapat pendengaran itu. Suara anak-anak balita serta lelaki di belakang tengkuknya, dekat sekali, alam yang nyata di balik wajahnya. Jika suara itu datang dari arah depan, maka itu berasal dari kamar yang ia tidak sedang di sana. Mereka kadang datang, siang atau malam, pagi atau sore. Lama-lama Wis terbiasa dengan anak-anak dan lelaki yang menjumpai ibunya tanpa sepengetahuan bapaknya. Yang tak pernah ia lihat sosoknya. Apalagi wajahnya.
Wis tak pernah mendengar bapaknya mengeluh. Lelaki itu bekerja tanpa pernah meminta pada atasannya agar dipindahkan dari tempat yang melibatkan mereka pada kejadian tak mengenakkan yang sulit dipahami. Ia berdoa tanpa pernah mempedulikan akankah Tuhan mengabulkan permintaannya
atau tidak. Lelaki itu tak pernah mengungkit-ungkit perilaku istrinya. Pada perempuan itu, hanya kasih yang dia miliki.
Tiga tahun lewat, Ibu mengandung lagi. Kali ini Sudoyo mulai dijangkiti kecemasan. Dia mulai berpikir untuk memulangkan istrinya ke Yogyakarta sampai bayi mereka lahir. Keluarga istrinya telah setuju. Tetapi wanita yang mengandung itu berkata, Apa Mas membiarkan bayi ini lahir tanpa melihat bapaknya" Akhirnya, Sudoyo meminta ibu mertuanya datang ke Perabumulih untuk menjaga, bergantian dengan Lik Dirah, sehingga istrinya tak pernah sendirian sedetik juga. Bahkan jika pergi ke kamar kecil. Rumah itu semakin hangat. Eyang mengerenceng minyak dari kelapa dan Ibu meminumnya agar kelak bayi lahir dengan lancar. Lik Dirah menggodok kacang hijau agar si jabang lebat rambutnya.


Saman Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu datanglah saat bersalin. Seluruh keluarga berbahagia. Sudoyo mengambil cuti dan berkeras menunggu di ruang kelahiran, sambil terus berdoa untuk meredakan jantungnya yang berdebar paling keras sepanjang hidupnya. Lelaki itu duduk di samping istrinya yang terbaring dengan kaki terbuka saat kontraksinya mulai datang. Nafas perempuan itu dihitung bidan-bidan. Dokter mencubit selaput ketuban hingga pecah di dalam rahim yang mulai membuka, dan kepala bayi itu muncul beberapa detik kemudian. Anak perempuan. Jeritnya keras sekali. Air mata Sudoyo mengalir, lambat-lambat dari dua ujung matanya, seperti jika ia mencapai orgasme dengan teriakan yang ditahan. Suatu kelegaan yang luar biasa.
Pada hari ketiga, Sudoyo membawa pulang bayi itu, sebab lebih mudah bagi mertuanya menjaga dan merawat anak dan cucu di rumah. Tetangga dan kenalan datang mengucapkan selamat sambil membawa oleh-oleh: buah-buahan, aparel
bayi, selimut flanel yang hangat, popok. Mereka ngobrol hingga larut, dan ketika pulang, di lantai tertinggal sepi dan sampah kecil kulit kacang. Juga cangkir-cangkir kotor oleh tetesan teh dan kopi. Tetapi keluarga itu begitu bahagia sehingga ceceran tadi akan dibersihkan esok saja. Lik Dirah dan Somir boleh langsung tidur karena keduanya telah lelah bergembira sepanjang siang.
Tetapi malam betul-betul datang.
Setelah puas memandangi istri dan bayinya yang pulas, Sudoyo turun untuk kembali bekerja. Wis, Ibu, Mbah Putri, dan Adik tidur sekamar. Mereka tidur sampai Wisanggeni terjaga lagi. Malam kira-kira pukul satu. Wis terbangun oleh bulu tengkuknya yang menegang. Kulit di leher dan bahunya mengerisut seperti tersentuh dingin. Rambut-rambut halus di sana berdiri, seperti pada seekor kucing yang siaga di awal perkelahian, sehingga sentuhan paling lembutpun terasa oleh bulu-bulu yang telah menjadi waspada, yang akan memberitahukan padanya bahaya dalam geraknya yang paling mula. Ia mendengar langkah-langkah. Masih jauh, dari arah hutan, di atas tanah yang becek oleh sisa hujan. Langkah itu menuju rumah. Wis dijangkiti perasaan tidak enak yang luar biasa, menyerap dari udara lewat pori-pori tengkuknya lalu mengalir melalui darah ke jantung dan pembuluh. Dia bangkit dan duduk di kasur, memandangi ibu dan neneknya yang tidur. Juga adiknya yang masih merah. Wajah ibunya berkerut, seperti sedang dalam mimpi buruk. Tapi Wis justru teringat Bapak. Sejak Ibu kehilangan bayi yang kedua, sejak ia merasakan kehadiran sesuatu yang lain yang mengunjungi ibunya, Wis semakin dekat pada ayahnya. Karena itu ia segera terbayang bapaknya yang masih bekerja di ruang bawah.
Cepat-cepat ia turun, sebab ia merasa ada bahaya. Air matanya menyembul di ujung kelenjar matanya yang telah memerah. Ia memanggil, Bapak" Bapak"
Dilihatnya lelaki itu telungkup pada meja. Wis menjerit. Ayahnya terbangun. Ada apa, Nak" Wis minta dipeluk dan ia hanya menangis.
Beberapa detik kemudian, terdengar adiknya menjeritjerit. Dan inilah yang kemudian diceritakan Mbah Putri:
Ketika cucunya yang baru lahir menangis dengan suara dari urat-urat leher yang mengejang, wanita itu terbangun. Tapi dilihatnya ibu si bayi nyenyak tak bergerak. Barangkali keletihan. Ia berusaha bangun untuk membantu orok yang mungkin terganggu karena pipisnya membasahi kasur. Tapi sesuatu terasa memaku tubuhnya pada tempat tidur, seperti ketindihan: keadaan di ambang tidur dan sadar, di mana imajinasi menjadi liar seperti mimpi tetapi terasa oleh indra seperti nyata, ketika otak hidup tapi tak sanggup memerintah saraf untuk menggerakkan tubuh. Perempuan tua itu mengejan dan bergulat. Dengan tenaga yang bisa terkumpulkan, akhirnya ia berhasil bangkit. Tetapi, sesuatu menendang dadanya hingga ia terjatuh ke ubin. Lalu bayi itu berhenti menangis.
Nafas bayi itu juga berhenti, seperti ketika Wis dan Bapak menemukannya.
Ibu baru terjaga ketika suaminya mendobrak pintu, sebab pegangannya, entah kenapa, sulit dibuka dari luar. Perempuan itu terbelalak dengan mata berair, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk dan mendapati kenyataan yang sama. Mbah Putri masih terkulai pada lantai. Wis tercenung, sebab ia tetap mendengar sedu bayi dari belakang tengkuknya.
Dan ia menjadi begitu gelisah. Sebab Adik masih hidup meskipun sudah mati. Sebab ibunya membiarkan itu terjadi. Sebab ia merasakan ada sesuatu yang lain yang begitu dekat dengan Ibu, amat dekat, amat bersatu, ada cinta di sana. Tiba-tiba, ia merasa begitu kasihan pada ayahnya. Dihampirinya ibunya. Dipukulnya wanita itu dengan tangis kemarahan, sampai Bapak membopongnya dari belakang. Itulah tangis Wis yang paling keras sejak ia menjerit saat dilahirkan.
Sepanjang malam itu Sudoyo mendekap istrinya di dadanya. Keringatnya mengalir seperti butir-butir darah. Misa arwah ketiga diadakan setelah keluarga itu puas menatapi bayi yang mati, sehari semalam. Itu merupakan misa requiem pertama mereka dengan jenazah, tersimpan dalam peti mungil di atas meja tamu, peti kayu kecil seperti kotak musik Eropa abad lampau, yang kemudian dibawa oleh mobil hitam untuk ditanam dalam-dalam di tanah makam. Requiem. Requiem aeternam.
In paradisum deducant te angeli.
Tapi Adik tidak beristirahat. Aku yakin.
1984. Akhirnya ditempuhnya perjalanan itu. Usianya kini dua puluh enam. Ia telah menyeberangi selat Sunda dengan kapal feri yang sesak dan pikuk oleh orang dan kendaraan, dari Merak, turun di Bakauheuni, lalu naik kereta ke arah utara. Di Perabumulih stop.
Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan cuma mengabulkan harapannya. Uskup menugaskan dia sebagai pastor paroki Parid, yang melayani kota kecil Perabumulih dan Karang Endah, wilayah Keuskupan Palembang. Umat di daerah itu sekitar lima ratus saja. Barangkali Romo Daru melobi untuk dia (Wis belum berhasil menemui dia untuk berterimakasih atau konfirmasi), agar ia bisa mencari yang dulu hilang, yang dia tinggalkan sekitar sepuluh tahun lampau, saat ayahnya dipindahkan ke Jakarta. Masih teringat oleh Wis bagaimana Ibu meratap seperti seorang janda kematian anak tunggal. Ibu menangis tanpa suara, sebab suaranya habis, tetapi nafasnya dan tubuhnya bergetar, rahangnya gemeretuk. Ibu tidak bicara apa-apa, tidak membantah, tidak merengek, ia hanya gemetar. Waktu itu Wis sudah cukup besar untuk mengerti dengan intuisinya bahwa kepergian itu menceraikan ibunya dengan sesuatu yang dikasihinya, yang juga mengasihinya. Setelah dewasa kini, setelah kecemburuan dan amarahnya reda, setelah ibunya meninggal, Wis bisa merasakan betapa pahit perpisahan itu bagi Ibu.
Namun banyak yang harus ia kerjakan sebelum dapat memuaskan kegelisahannya di rumah itu, tempat Ibu dulu melahirkan adik-adiknya. Jalan itu telah berganti nama, Kerinci menjadi Sudirman. Paroki terletak 30 km di luar kota, di jalan Tasik, ke arah Palembang. Tapi ada gereja yang dibangun Pertamina di Perabumulih, yang digunakan bergantian dengan orang-orang Protestan. Wis biasa pergi ke sana dengan motor. Selain pekerjaan di paroki, Wis juga menyusun jadwal sendiri untuk sowan pada kenalan dia dan ayahnya dulu. Ia tak cuma hendak bersilaturahmi, tetapi juga karena ia membutuhkan mereka untuk menyusun kembali peta daerah
itu di kepalanya yang sempat hilang selama sepuluh tahun, meski Perabumulih tak banyak berubah. Bekas pembantunya, Somir, sudah pergi dari kota itu entah ke mana. Wis amat menyesalinya, sebab lelaki itu tentu bisa bercerita banyak. Namun beberapa kenalan menetap. Pak Sarbini, bekas kepala Bimas untuk desa transmigrasi kini menjadi pedagang dan tengkulak. Kong Tek begitu dulu ia menyebut orang Cina yang membuka warung dekat rumahnya kini telah mengganti nama jadi Teki Kosasih dan menjadi supplier perusahaan minyak. Bisnisnya maju. Dari pedagang ini, Wis tahu bahwa bekas rumahnya tak lagi digunakan BRI sebagai kantor. Kini, rumah itu dipakai sebuah perusahaan pertambangan untuk tempat tinggal manajer areanya. Kerap Wis melalui jalan di muka rumahnya dulu dan selalu ia menatapnya dengan gelisah. Bangunan kayu itu masih berdiri, tetapi tak ada lagi plang nama yang dulu sering ia panjati. Pintu rumah itu tertutup, terkunci seperti layaknya rumah pribadi.
Waktu ia akhirnya pergi ke sana dengan agak ragu, seorang perempuan muda yang tengah mengandung muncul membukakan pintu. Wis terkejut, tak siap menghadapi orang lain di rumah masa kecilnya, tak siap menjadi asing di bekas tempat-tinggalnya. Dan wanita itu hamil tua, seperti Ibu ketika hidup di situ. Untuk beberapa detik, Wis tak bisa berkata-kata.
Maafkan saya, datang siang-siang begini, kemudian dia agak tergagap. Rumah itu tampak kosong, dan perempuan itu enggan menerima orang asing. Saya pastor baru di daerah ini. Bukan mau mengajar agama. Cuma mau menengok. Waktu kecil saya tinggal di sini. Kira-kira sepuluh tahun lamanya. Mereka lalu berbicara di luar, Wis dengan sangat
santun. Ketika berpamitan, ia minta izin untuk kembali, jika suami perempuan itu sedang di rumah. Asti, atau Astuti namanya, ia tak terlalu memperhatikan. Sebab kehamilan perempuan itu meresahkan dia, meski ia tak berani bertanya.
Kali kedua ia ke sana, pada hari libur Nyepi, ia bertemu dengan si suami. Dan ia merasa lega, sebab lelaki itu sama sekali tidak mirip ayahnya. Tinggi, berkulit kuning, tulang wajah kearab-araban. Ichsan, atau Ichwan namanya, tak terlalu diperhatikannya juga. Pasangan itu sopan dan baik hati. Mereka ikut senang karena bisa memberi kegembiraan anakanak pada seseorang, tamu yang tak mereka kenal, dengan membolehkan dia kembali ke masa kecilnya. Tapi Wis tidak sebegitu riang karena kesempatan itu. Semacam rasa haru begitu kuat ketika ia mencium bau kayu yang menyedotnya kembali ke waktu kanak-kanak. Ia seperti bisa melihat dirinya yang kecil berlari sepanjang tangga ke loteng, ke kamar-kamar mereka. Lalu turun ke beranda belakang yang menghadap hutan, yang semakin jauh semakin rapat, semakin tak terlihat. Masih suka ada suara lutung" ia bertanya. Kadang-kadang saja, sahut suami istri itu. Lalu Wis bercerita tentang lutunglutung yang dulu sering turun dari dahan-dahan, dari balik daun-daun, begitu cekatan menghampiri anak-anak yang sedang melihat-lihat kilang minyak. Anak-anak akan takut dan terbirit-birit ke dalam mobil. Oh ya, kalau di kilang kami lebih sering bertemu lutung, kata si suami. Hitam dan kakinya seperti tangan. Dia bukan sebagaimana hewan, berkaki empat. Lutung bertangan empat. Sebetulnya Wis lebih terbayang langkah-langkah yang pernah ia dengar dari arah hutan. Juga tawa anak-anak. Ke mana suara-suara itu kini" Masihkah aku bisa mendengarnya setelah Ibu pergi" Tetap bocahkah suara
yang dulu kukenal" Kami sedang menunggu anak pertama, terdengar suara Ichwan, riang, optimistis. Wis terkesiap: Jangan dilahirkan di sini!
Tentu saja. Lho, kenapa" (Ia merasa tolol dengan pertanyaannya sendiri.)
Kantor mau membiayai. Kenapa tidak di Pondok Indah" Ichwan masih riang. Biar Yayang dekat dengan orang tuanya.
Wis lega. Mereka menjadi akrab. Setiap kali ada waktu yang layak, Wis menyempatkan diri mampir, tanpa mengakui yang sebetulnya ia rindukan. Dua bulan sebelum saat melahirkan, Asti pulang ke Jakarta. Barulah Wis bercerita kepada Ichwan tentang adiknya yang terakhir, yang lahir dan mati pada hari ketiga. Barangkali, itu karena klinik di sini kurang steril, mereka menyimpulkan. Ia tetap menyimpan kisah dua adiknya yang hilang dalam kandungan. Seminggu menjelang persalinan, Ichwan menyusul istrinya. Lelaki yang baik itu telah begitu percaya pada Wis sehingga ia menitipkan kunci rumah supaya Wis bisa tetap memutar ulang kenangan kanakkanaknya. Selain dia, supir kantor, Rogam, juga memegang kunci-kunci rumah.
Petang itu, sepulang dari memberi sakramen minyak suci pada seorang yang tertabrak, ia mampir ke tempat itu. Rogam sudah pulang, biasanya dia pergi menjelang maghrib. Wis menyalakan lampu di sudut yang dulu tempat meja kerja ayahnya dan kini terletak kursi serta meja telepon. Ia rebah di sana dan membaca. Namun, kata-kata dalam koran itu selalu saja membukakan jalan bagi memorinya tentang
rumah itu. Sesekali ia melipatnya untuk berdoa, doa yang tak ia tahu bedanya dari sekadar harap-harap cemas, agar ia bisa berhubungan dengan suara-suara itu. Doa itu, jika dikabulkan, tak membawa kebaikan bagi orang banyak, hanya memberi kelegaan untuk diri sendiri. Apakah permintaan semacam pantas disebut doa" Layakkah meminta Tuhan memuaskan penasaran pribadi" Ia membuka kembali bacaannya tetapi hanya mengulang-ulang paragraf yang sama. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke pastoran. Malam baru pukul setengah delapan.
Ketika bohlam dipadamkan, ia merasakan sesuatu. Bukan suara, bukan pula bunyi, tetapi perasaan ambang inderawi bahwa ada orang lain di ruang itu, di dekatnya. Saraf-saraf refleksnya mencuatkan cemas, jari-jarinya kembali menyalakan lampu. Tapi dalam terang ia tak melihat siapa-siapa. Syukurlah bukan rampok atau maling. Namun jantungnya berdegup-degup. Takutkah aku" Barangkali ia gentar karena harapannya, karena pengalamannya, dan karena ia tak tahu apa yang sebentar lagi ada, atau jangan-jangan tak akan terjadi apa-apa. Tapi perasaan itu semakin akut. Ada orang di dalam udara ruang, masuk bersama molekul angin. Wis menghanyutkan diri dalam sensasi itu. Dari arah belakang ia mulai mendengar suara, perempuan, terkadang lelaki, lebih sering perempuan, berbicara bukan dalam bahasa apapun yang ia kenal, namun ia merasa orang itu menyapanya. Wis menoleh ke belakang cepat-cepat seperti hendak menyergap suara itu dengan matanya. Ia tak melihat apapun. Suara itu tetap di balik tengkuknya, hangat menghembus leher dan bahunya, membuat kulit arinya mengejang. Kamu adikku& " Wis berkata dengan intonasi kabur, antara menanyakan
dan menyatakan, meminta jawaban atau memohon jangan diserang. Tuhanlah gembalaku, takkan ketakutan aku.
Ia berdebar. Ia tetap mendengar bunyi bahasa yang asing dari dekat punggungnya. Wis mematikan lampu, memejamkan mata, menyerahkan diri serta kegentarannya ke dalam alam yang seperti memanggil dari belakang, yang ia rindukan dengan aneh selama sepuluh tahun lebih. Ibu telah meninggal karena kanker rahim, ujarnya lirih. Ia amat kehilangan kalian, aku tahu. Dan suara itu seperti menyahut, bukan dalam bahasa yang pernah ia pelajari, tetapi pada suatu titik Wis merasa sanggup memahami. Mereka bertiga. Mereka juga telah dewasa, seperti dirinya. Wis menjadi takjub karena dapat mengerti kalimat-kalimat yang tadi begitu asing, yang tak bisa dia jabarkan. Pelan-pelan ia membuka mata, sambil menjaga agar kesadarannya tetap berada pada gelombang itu, gelombang di mana ia bisa berkomunikasi dengan suarasuara itu. Adik" Seperti apa rupa kalian" Sekali lagi Wis memberanikan diri menoleh ke belakang. Ia tetap tak melihat apa-apa. Ia berputar lagi. Dan tetap tak mendapatkan siapasiapa. Tetapi di dinding utara ia menemukan sebuah cermin hias tergantung, yang jika ia menggeser posisi sedikit saja, ia dapat berkaca. Tanpa berpikir terlalu panjang, ia melangkah ke dekat pengilon itu lalu mencari refleksi dirinya, juga ba?" yangan orang-orang yang berada di belakangnya.
Cermin itu menghadap ke jendela. Jendela itu terbuka. Seperti apa wajahmu"
Ia melihat dirinya memantul pada permukaan kaca. Di tengkuknya tak ada siapa-siapa. Tetapi, dari tubir jendela yang menganga, seseorang berdiri menatap ke ruang, di balik warna temaram. Wis mengalihkan fokus pandangannya ke
jarak itu. Sosok itu barangkali manusia yang telah diberi materai merah pada dahinya oleh binatang yang keluar dari perut bumi, atau oleh bala tentara Gog dari tanah Magog, negeri Mesekh dan Tubal, pasukan kuda berzirah warna biru api dan kuning belerang, dan materai itu adalah enam ratus enam puluh enam bilangannya. 666. Dia, barangkali bekas manusia yang telah tersiram belerang mendidih oleh si Iblis yang baru dilepaskan dari penjara di jurang maut seribu tahun lamanya, sehingga matanya yang sebelah seakan hendak mencelat keluar dan yang sebelah lagi membelesak ke dalam. Mulutnya terbuka, lidahnya bergerak-gerak.
Wis hampir tak bisa bernafas. Ia tak bisa bergerak. Sepasang mata makhluk itu, sepasang yang tidak kongruen, menatap dirinya tajam-tajam, mengawasinya dengan kepala kaku seakan reptil yang siaga. Lalu tersenyum. Ia mengeluarkan suara seperti erangan yang terpatah-patah. Suara perempuan, tangannya melambai-lambai. Memanggilkukah" Tapi itu bukan suara yang didengar Wis sebelumnya. Ia baru menyadari, punggungnya telah merapat pada dinding kayu yang jadi terasa hangat karena jari-jarinya telah menjadi dingin dan berembun. Makhluk itu tersenyum lagi. Kali ini seperti tertawa ramah sehingga ia nampak bagai orang tak bersalah yang terkena tulah Allah, seperti Ayub yang terkena bisul dan kusta meski tak berdosa, seperti anak-anak sulung yang terlahir sebagai orang Mesir ketika Tuhan sedang berpihak pada bani Israil. Rasa takutnya perlahan-lahan berubah menjadi iba. Kamu& adik"
Sosok itu mengerang lagi, agaknya mengatakan apa atau siapa . Suaranya hanya terbentuk dari bunyi-bunyi lateral yang lamban.
Dengan gemetar dan ragu Wis melangkah, mendekati dia yang sedari tadi mengintainya. Ia berhenti sekitar satu meter dari jendela. Dilihatnya seorang gadis. Rupanya buruk, namun Wis bisa melihat buah dadanya menggantung dari balik singletnya yang suram. Komposisi rautnya seakan orang yang tumbuh dengan tingkat kecerdasan anak-anak: tempurung otaknya pipih dan tulang hidungnya pendek. Mulutnya sulit ditutup, seperti bayi yang masih mencari susu. Berapa umurnya" Barangkali lima belas. Tetapi ia seperti bocah lima tahun yang sulit bicara. Siapa kamu" Siapa namamu" dengan wajah prihatin ia bertanya. Gadis itu menyahut dalam bahasanya sendiri. Wis tidak mengerti namun percaya bahwa anak itu tidak berbahaya. Gadis yang malang.
Ia menghampiri. Ia tersenyum. Ia iba.
Tapi tangan perempuan itu menyambar lehernya, tibatiba.
Makhluk itu seperti hendak melahapnya. Mulutnya yang tadi kekanakan kini nampak bergigi-gerigi seperti seekor piranha, memperlihatkan pangkal tenggorok yang siap menyedot hidung dan mata korbannya. Saraf-saraf refleks Wis menyengat tangannya menghentakkan sosok itu kuat-kuat. Gadis itu terlontar ke tanah berkerikil akibat tamparan yang sepenuh tenaga. Terdengar ia mengerang kesakitan. Terdengar isak tangisnya. Si lelaki muda melongok dari jendela dan menyesali kepanikannya, meskipun peristiwa itu begitu tibatiba. Maafkan saya& maafkan saya, ujarnya berulang-ulang sambil melompat ke luar untuk menolong anak tadi. Ia melihat ekspresi ketakutan pada wajah si gadis yang cepat-cepat bangkit lalu berlari, berlari ke arah hutan, yang semakin jauh, semakin rapat, tempat hidup jin dan peri, juga beribu-ribu
ular dari seratus jenis yang ganas. Jangan! Jangan terlalu jauh ke dalam! Hari juga sudah malam.
Wis berhasil menangkap lengan anak itu. Tapi gadis itu meronta-ronta dengan hebat. Raungannya semakin keras sehingga Wis melepaskan genggamannya sebab ia khawatir mengundang orang-orang yang menyangka ia hendak memperkosa seorang wanita muda yang cacat dan tak berdaya. Perempuan itu terus berlari. Di dalam kegelapan, lebih kurang lima belas meter di depannya, Wis menyaksikan sosok itu ditelan bumi, masuk ke dalam tanah, dan menghilang tanpa asap, meninggalkan dia dalam kebimbangan hebat. Apa yang baru terjadi padaku" Tidakkah Iblis yang baru saja menggoda dengan halusinasi"
Namun, lamat-lamat didengarnya suara dari arah gadis itu menghilang. Panjang-panjang, dengan vokal bulat dan bunyi diphtong yang sengau. Bukankah itu teriakan minta tolong" Ataukah jebakan peri jahanam" Namun suara itu menyirapnya untuk menghampiri. Wis melangkah menuju bunyi, dengan terpukau dan ngeri. Beberapa saat kemudian ia menemukan sebuah sumur, yang dari dalamnya keluar rintihan. Tapi gadis itu tidak terlihat sama sekali karena malam dan karena lorong yang sempit lagi panjang menuju dasar tanah. Lelaki itu merasa begitu lemas karena tak tahu harus berbuat apa, bahkan untuk sejenak tak yakin dengan apa yang sedang terjadi. Akhirnya ia berteriak memanggil bantuan, sambil berlari ke pintu belakang tetangga terdekat. Tolong! Seorang anak kecemplung di sumur.
Sekitar lima laki-laki lalu berkumpul. Beberapa perempuan kemudian menyusul dengan senter, petromaks, dan lilinlilin. Juga gulungan tambang. Mereka berkerumun di sekitar
liang yang kelam, menyorongkan cahaya ke bawah, membuat bayang-bayang jatuh ke sebelah atas lekuk bibir, hidung, dan ceruk mata sehingga mereka nampak seperti barongbarong yang berpesta mengelilingi unggun. Suara anak itu tak terdengar lagi. Sumur mati, kata seseorang. Dalam sekali. Tiga tahun lalu ada anak terjerumus. Dia tewas bersama seorang penolongnya yang masuk dengan tali. Ada gas beracun, hidrogen sulfida. Jika kadarnya tinggi bisa membunuh dalam satu dua menit saja. Siapa yang jatuh" Seorang gadis, tak begitu bisa bicara. Oh, anak gila itu, kata seseorang. Dia" Aduh, kasihan& terdengar suara salah seorang perempuan. Jadi Ibu kenal dia" tanya Wis antusias namun gelisah karena orangorang itu seperti lambat mengambil keputusan. Identitas si gadis gila seperti membuat kerumunan itu jadi malas bertindak.
Wis meminta selendang untuk menutup hidung dan mulutnya. Tolong ikatkan tali ke tubuh saya. Ia juga menyuruh salah satu menyusul Rogam, sebab pemuda itu tentu bisa mencarikan topeng gas yang biasanya dimiliki perusahaan penggalian. Setelah orang-orang menjalin tambang melingkar di pinggang dan pundaknya, mereka menjulurkan lelaki itu meninggalkan tubir, bersama seutas tali lain. Wis menapaki dinding perigi yang telah kering dan ditinggalkan orang bertahun-tahun. Disorotkannya senter ke arah bawah. Dia tak banyak bicara, dia hendak menghemat oksigen. Makin lama, makin ke dalam, dadanya terasa makin sesak. Sekitar dua puluh meter dari mulut sumur, dilihatnya gadis itu telah terkulai dengan tubuh tertekuk. Ia sendiri merasa lunglai. Cepat-cepat diambilnya tambang yang kedua dan dijalinnya simpul kursi terhadap perempuan itu. Ia memberi tanda pada
orang-orang agar segera menarik mereka. Tetapi sentolopnya jatuh. Wis tak sadarkan diri.
W isanggeni terbangun oleh suara-suara yang dikenalnya. Tapi ketika matanya terbuka, ia hanya menemukan Rogam yang duduk di samping brankar. Mana gadis itu" Dia masih pingsan di bed sebelah. Kemudian hari orang-orang bercerita bahwa tubuh Wis dan anak perempuan itu begitu ringan ketika ditarik dari sumur, seperti diangkat oleh kekuatan alam. Wis menyimpan sendiri persoalan itu.
Di bangsal klinik yang terang oleh lampu TL, ia mengamati makhluk yang sebelumnya mengejutkan dia di kegelapan. Gadis itu sama sekali tidak rupawan, namun tidak seburuk saat ia melihatnya pertama kali dalam keadaan shok. Wajahnya tidak simetris. Kulit pipinya yang lembut menunjukkan bahwa anak itu masih belasan tahun. Beberapa bisul nampak mengotori. Tubuhnya kurus meski payudaranya mulai matang. Tapi kepala itu tentu menyimpan sedikit saja volume otak. Dahinya yang pendek merah oleh luka yang sedikit bernanah, luka yang telah lama infeksi. Kini tulangkeringnya juga patah. Dokter telah membungkusnya dengan gips.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 3 Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan Seandainya Mereka Bisa 1

Cari Blog Ini