Saman Karya Ayu Utami Bagian 2
Siapa dia" Anak transmigrasi Sei Kumbang. Dulu biasa main ke sini. Agak begini& Rogam menyilangkan telunjuk di dahinya.
Wis menatap gadis itu dengan gelisah. Rogam melanjutkan ceritanya. Tidak ada yang tahu namanya. Orang-orang menyapa dia sesuka hati: Eti, Ance, Yanti, Meri, Susi, apapun. Dia akan menoleh seperti seekor anjing kesepian yang dipanggil dengan sembarang nama berakhiran i : Pleki, Boni, Dogi. Gadis itu dikenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda tonggak, pagar, sudut tembok seperti binatang yang merancap. Tentu saja beberapa laki-laki iseng pernah memanfaatkan tubuhnya. Konon, anak perempuan ini menikmatinya juga. Karena itu, kata orang-orang, dia selalu saja kembali ke kota ini, mencari laki-laki atau tiang listrik. Dan ia selalu mendapatkan keduanya: tiang listrik yang pasif dan lelaki yang agresif. Tapi, kata orang dia gila! Wis berbisik dengan terkesiap. Rogam terkekeh. Katanya: lubang tembok pun bisa enak, apalagi yang dari daging. Wis terdiam. Ia tidak berhubungan seks. Rogam tidak tahu itu.
Petugas rumah sakit tidak mau merawat gadis itu lamalama, sebab tak ada yang bisa menjamin ongkosnya. Karena itu, dengan jip dinas Ichwan, mereka memulangkan perem?"" puan yang masih lemas itu, yang tertidur saja sepanjang perjalanan. Trooper kemudi empat roda melaju ke arah selatan, melewati tikungan-tikungan, kedai-kedai melon, membelah kebun-kebun nanas, kelapa sawit, lalu pepohonan liar. Aspal minyak bumi yang licin mulai berganti jalan bebatuan di tanah terbis. Di jurus itu tidak ada perusahaan minyak yang biasanya merintis jalan. Mereka berhenti di mana jalan roda terhenti, di tengah hutan karet yang sedang dalam akhir musim gugur daun, tak jauh dari Sei Kumbang yang kalinya mengalir ke arah Ogan. Percik jeram-jeram kecilnya terdengar dari sela-sela gesek ilalang terhembus angin. Lambung jalan itu merupakan semacam lapangan untuk kendaraan pengangkut panen. Di seputarnya berserak rumah-rumah petak, agak berjarangan satu sama lain. Rogam turun menemui orang-orang yang membawa pisau sadap dan berbicara dengan bahasa Komering. Lalu salah satunya memanggil-manggil sembari
berlari ke suatu arah, dan seorang wanita agak tua muncul dari sebuah rumah yang jauh, di belakang rimbun pohon-pohon. Dua pemuda dua puluh tahun mengikutinya. Ketika mereka telah dekat dan bayang daun-daun tertinggal, Wis bisa melihat salah satunya berwajah rusak. Sisi kiri mukanya seperti pernah meleleh, meninggalkan kulit dan telinga yang memuai kaku seperti boneka plastik mengering setelah terbakar. Merah dadu dan tak lagi berpori-pori.
Mak, sapa Rogam pada wanita itu. Kami antar anak Mak. Dia jatuh di sumur. Semalam menginap di rumah sakit.
Wis bersiap membantu gadis itu turun dari jok. Tetapi perempuan itu menjerit dan menendang dengan sebelah kakinya, menumpahkan kotak perkakas. Wis tidak tahu apa yang dikatakannya, namun nyata sekali bahwa ia menolak keluar. Anak itu meringkuk di sudut seperti pelanduk yang terkepung. Ia menyimpan tangan dan lutut pada dada agar orang tak bisa menyeretnya. Wis terpana, tetapi dua pemuda tadi segera masuk ke dalam mobil dan menjinjing si gadis bagai sebuah koper, seolah mereka begitu terbiasa melakukannya. Ketika sampai di tanah, perempuan itu bertahan dalam posisi jongkok, menggulung seperti seekor landak dalam bahaya. Ibunya meminta dia bangkit, tapi si anak tetap meringkuk. Hanya kepalanya saja yang mendongak, dengan mata terancam ia menatap orang-orang yang berdiri. Wis sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Tanpa terlalu berpikir, dihampiri?" nya si gadis. Ia membungkuk, mengulurkan tangan, mencoba membantu anak itu bangun. Tapi perempuan itu mendorong Wis hingga terjengkang, lalu mencoba kabur. Kakinya yang cedera segera membikin ia tersungkur. Dua pemuda tadi
menyeret perempuan itu melalui jalan setapak, tak peduli pada lolongan dan rontaannya. Rogam dan Wis, yang masih mengangkang di tanah, menatap tiga sosok yang menjauh itu dengan bimbang. Lalu mereka melihat gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah bilik semacam kandang di belakang rumah. Wis mendengar raungan yang menyayat ketika dua lelaki tadi menggembok rantai pintu. Sementara orang-orang lain menyaksikan dengan membisu. Bocah-bocah berhenti dari permainan adu biji karet, lalu tertawa-tawa.
Stop! Stop! Apa yang kalian lakukan! Wis berlari menghampiri dua pemuda yang baru menarik anak kunci dari gemboknya.
Kami terpaksa, Bang. Adik kami ini gila. Dia kesetanan. Kalian tidak bisa memasungnya begitu& .
Bilik itu terbuat dari kayu dan bambu berukuran satu setengah kali dua meter. Berdiri sebagai bangunan panggung dengan kaki pendek. Dari dalam dan bawah tercium pesing serta bau lembab. Dan banyak lalat. Perempuan itu berjongkok di balik ruji-ruji sambil terisak, tak lagi melolong.
Lepaskan! Dia cuma anak perempuan! Wis mengguncang bahu salah satu lelaki itu.
Tapi ibunya menghampiri Wis. Pak, panggilnya dengan hormat, seperti orang desa yang merendahkan diri terhadap pendatang dari kota. Kami bukan tak sayang padanya. Kami ini tak tahu cara lain. Suara itu lemah dan Wis jadi melongo. Tak terlihat kebengisan di wajah wanita empat puluhan itu. Ia memandang putrinya yang dikerangkeng dengan tatapan kosong.
Nama gadis itu Upi. Kemudian si ibu bercerita tentang anak perempuannya yang gila. Ketika lahir kepalanya begitu
kecil sehingga ayahnya menyesal telah membunuh seekor penyu di dekat tasik ketika istrinya hamil muda. Dan anak itu akhirnya tak pernah bisa bicara, meski tubuhnya kemudian tumbuh dewasa. Barangkali karena dia tak menguasai bahasa manusia maka setan mengajaknya bercakap-cakap. Di usia remaja ia mulai kesambet dan menjadi beringas. Semula, ketika orang-orang menyadap karet, dia malah suka merancap dengan pohon-pohon itu, menggosok-gosok selangkangannya, untungnya tanpa membuka celana. Orang-orang menonton laki-laki merasa asyik dan perempuan-perempuan menjadi malu tapi kami tetap memelihara dia. Namun setan pun terus memelihara dia. Lama-kelamaan, ia juga tertarik pada binatang-binatang, terutama kambing. Setiap kali, ia juga menganiaya hewan-hewan itu, kadang sampai mati. Karena ia juga memperkosa dan menyiksa ternak tetangga, kami terpaksa memasungnya. Semula dengan balok kayu yang mengapit pergelangan kakinya. Tetapi karena itu membuat dia tak bisa beranjak dan menderita, kami membangun bilik kecil ini dan mengunci dia di dalam. Setan agaknya menyukai darah haid. Ia biasanya menjadi ganas seminggu menjelang darah kotor itu datang. Jika kelihatan tabiatnya membaik, biasanya seminggu setelah selesai haid, kami melepasnya. Ketika bebas, ia suka berkelana ke dusun dan kota lain. Kami biarkan saja, sebab dari sana tak ada laporan bahwa ia mengganggu. Tapi suatu kali ia kumat tanpa terduga. Di dapur, ia mengempit seekor bebek di pangkal pahanya sambil mencekik leher binatang itu. Anson, abangnya, memarahinya dan mencoba menyelamatkan bebek itu. Tetapi Upi mengambil asam sulfit untuk mengencerkan karet, dan menyiramkan ke wajah kakaknya sendiri sehingga rusak dan buta matanya yang kiri. Gadis itu amat
berbahaya. Kami khawatir kelak ia membikin celaka orang lagi. Karena itu kami mengurung dia. Kemarin dulu ia berhasil memutus rantai yang telah berkarat dan kabur.
Wis setengah tak percaya, tapi tak putus asa. Katanya: Kalau begitu, apa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit jiwa"
Tapi ibu itu menghela nafas. Di Palembang" Dari mana uangnya" Sudah Mak katakan pada Bapak, bukannya kami jahat pada dia& .
Wis pun tercenung. Dia cuma bisa termenung mendengarnya. Ia menatap perempuan muda dalam kandang itu, namun segera membuang muka karena tak tahan melihat penyiksaan. Tapi dunia yang hadir mengepung mereka di sana membuatnya tersadar. Dusun itu rumpang. Sekitar se ratus rumah petak tiga kali enam meter berserakan di daerah itu. Namun lebih dari sepertiganya telah ditinggalkan. Ilalang dan perdu tumbuh di ruang-ruangnya, ujung-ujungnya menyembul dari jendela dan pintu yang tak lagi berdaun kayunya sudah lapuk dimakan ngengat dan pengabaian. Semak rambat menjebol atap seperti rambut. Dan lahan pohonpohon karet yang berjajar hingga ke ujung pandangan nampak seperti lelaki yang tak bercukur, penuh dengan gulma yang tak terpangkas. Beberapa pokok telah roboh, seperti hutan yang liar. Orang-orang pergi, kata Anson yang buta sebelah, sebab harga karet jatuh hingga begitu murah, dan kebun kami terusmenerus diserang cendawan putih ataupun merah. Orangorang tak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil panen karet. Kami berdua serta Ibu masih menderes getah, tetapi ayah dan abang sulung pergi menjadi buruh. Tak ada uang untuk mengobati Upi.
Sekali lagi Wis menatap gadis di dalam kurungan. Perempuan itu tak berdaya.
Ia tak berdaya untuk menolong.
Malam harinya, di kamar tidur pastoran, kegelisahan membolak-balik tubuhnya di ranjang seperti orang mematangkan ikan di penggorengan. Ia telah melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia saksikan keterkebelakangan seperti tadi siang. Di Bantargebang manusia hidup bersama sampah-sampah Jakarta yang kaya dan rakus, dan orang-orang gila bisa berjalan-jalan di Taman Suropati yang rapih dan teduh. Tetapi hanya tujuh puluh kilometer dari kota minyak Perabumulih, seorang gadis teraniaya, bukan sebagai ekses keserakahan melainkan karena orang-orang tak mampu mencapai kemodernan. Sementara itu aku hanya bisa berbaring di kasur ini"
Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta ijin dari pastor kepala, Pater Westenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang kembali Sabtu pagi. Kali ini ia membawa gergaji rantai. Juga segulung kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar seng yang didapatnya dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan cuma-cuma. Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan abon. Sekali lagi Rogam meng?"" antarnya dengan jip Ichwan. Mereka membawa seorang dokter muda dari puskesmas. Tengah hari Rogam dan dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di Lubukrantau, dusun tempat tinggal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang
lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cucakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka. Mak Argani, ibu gadis itu, serta dua abangnya menyilakan dengan agak bingung. Sisa siang itu Wis membawa gerobak, berkeliling dusun mengangkuti bongkah-bongkah batako yang tergeletak dari rumah-rumah transmigran yang ditinggalkan. Jika tak ada yang melihatnya, dia juga mencungkili batu yang masih menempel pada tembok serta papan dari pintu yang masih bisa digunakan.
Lapar datang lebih cepat di perutnya, sebab telah lama tubuhnya tidak bekerja seperti itu. Ia merebus dua mi instan dan menyodorkan setengahnya pada Upi. Gadis itu nampak bersemangat, tapi tak segera makan. Ia mengulang-ulang sesuatu dengan nada pertanyaan. Wis baru bisa menduga maknanya ketika malam itu si ibu menanak nasi dengan sayur daun talas rebus dan mi instan yang ia serahkan tadi pagi. Sebungkus supermi untuk lauk berlima. Tidak dimakan sebagai menu utama karbohidrat. Malam itu ia tidur di rumah keluarga Argani yang nyaris tak bersekat. Cuma ada satu bilik di sana, dua kali tiga meter, kamar tidur orang tua. Abangadik Anson dan Nasri, juga Wis, tidur bergeletakan di serambi, tiga kali tiga meter saja luas lantainya. Bau jelantah, asam, dan amonia yang disimpan di lorong kadang terhembus angin. Namun sepotong langit mampir lewat jendela sebagai kejutan yang segar. Nampak biru bercahaya seperti safir sebab hutan dan dinding kelam. Tak ada listrik hingga puluhan kilometer.
Pagi-pagi sekali, setelah berbilas di sungai, ia mulai bekerja. Matahari telah mencapai pucuk-pucuk hutan karet, sebab bumi selatan memasuki musim panas. Daun-daunnya mulai bertunas, tanda hujan mulai kerap turun, biasanya setelah pukul tiga. Karena itu Wis ingin Upi mendapat rumah baru sebelum musim hujan betul-betul menyiram. Hari itu Nasri membantunya sementara Anson dan Mak Argani menakik di kebun. Wis menunjukkan rancangan yang ia gambar di atas selembar kertas minyak. Kerangkeng itu akan terdiri dari tiga bagian utama. Sebidang halaman terbuka pada cahaya dan air hujan yang ditutup pagar kawat. Sebuah bilik dari tembok dengan jendela dan ventilasi yang sehat. Serta sebuah WC dan tempat mandi yang terpisah dari kamar. Keduanya mulai dengan menggali jugangan untuk kakus kira-kira sedalam satu setengah meter, menanam pasak dan menutup sebagian permukaannya dengan papan pijakan, serta membikin sekat bambu. Hanya itu yang mereka selesaikan saat petang naik dari timur. Esoknya, Wis hampir tidak sanggup bangkit. Seluruh ototnya serasa berpilin kaku, sebab meski ia belajar menyupir traktor dan membiak tanaman di institut pertanian, ia tak pernah sungguh-sungguh membuka lahan. Ia tidak membawa balsam analgesik karena yakin dirinya cukup tangguh, ternyata pagi itu tubuhnya sungguh nyeri. Wis bekerja sembari terus-menerus meringis menahan ngilu, sementara Upi menonton dari kandangnya yang bau. Kadangkadang si gadis mengatakan sesuatu dalam bahasanya sendiri. Bunyi-bunyi lidah itu akan menarik mata Wis kepadanya. Pemuda itu nyengir dan menyahut dengan cerita berbagai hal. Wis terus saja mengajak Upi bercakap-cakap, meski gadis itu tak mengerti bahasanya, seperti Wis juga tidak mengerti bahasa gadis itu. Namun dengan cara demikian mereka menjalin komunikasi. Dengan nada dan intonasi mereka saling membaca perasaan. Lama-kelamaan, ketika
mata mereka bertatapan, Wis merasa bahwa ia menyayangi gadis ini. Terkadang dipandanginya anak itu, dan dengan heran menyadari bahwa kasih datang dengan cara yang aneh setelah kita terlibat dalam suatu kesedihan.
Rumah baru Upi belum usai pada hari keempat sementara esoknya Wis harus pulang. Namun tembok bilik dan pagar kawat telah terpasang, sehinga pemuda itu cukup puas. Sore itu, seusai menata perkakas, ia menghampiri kandang si gadis dan melongok ke dalam. Setelah empat hari bersamasama, anak itu sudah menghapus rasa curiganya. Ia bangkit mendekati Wis yang berpegangan pada jeruji.
Lihat, Upi! Sangkar emasmu sebentar lagi jadi. Minggu depan kubikinkan juga amben dan meja makan, katanya dengan bangga.
Si gadis menjawab sambil tersenyum, lalu mengelus bukubuku jari Wis yang berada di sisi dalam kandang. Menyentuh kapal-kapal kasar yang mulai terbentuk akibat mencangkul. Wis terdiam sebab belum pernah ada perempuan yang mengelus jarinya, sehingga ia tak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia ingin menarik tangannya, tetapi khawatir itu menyinggung perasaan Upi. Dengan ragu dibiarkannya perempuan itu meraba, menjulurkan tangan keluar untuk menyentuh lengannya yang berlumur tanah dan peluh. Perempuan itu, tatapan sepasang matanya yang tidak seragam lalu meluncur ke bawah; dari wajah pemuda itu, ke perutnya, dan berhenti di pangkal paha si lelaki; seraya tangannya menjamah gumpalan di sana sebelum Wis sempat menyadari. Pastor muda itu berteriak kaget dan melompat ke belakang. Wis meninggalkan tempat itu dan si gadis memanggil-manggil.
Malam itu Wis mendengar si anak mengerang-ngerang di kandangnya. Suaranya samar-samar sampai ke rumah petak bersama bunyi tonggeret dan orong-orong. Saat itu Wis belum tidur, ia sedang terpekur memikirkan si gadis, yang mentalnya tersendat namun fisik dan estrogennya tumbuh matang. Gadis itu masih belia, masih akan hidup lama. Wis telah berusaha membangun penjara yang lebih baik, tapi bagaimana masa depan anak itu di hutan karet yang ranggas ini" Empat hari di desa ini, Wis mencatat beberapa hal yang dilakukan petani. Mereka pergi menyadap setiap hari sebab hanya dengan begitu mereka bisa menjual lebih banyak getah dan berharap lebih banyak penghasilan. Tapi pohon-pohon itu menjadi lekas tua seperti buruh yang diperah melebihi jam kerja. Umurnya menjadi pendek dan pembuluhnya meneteskan lateks yang letih. Tengkulak dan PTP lalu membeli karet mutu rendah itu dengan harga murah, satu kilo lateks tak selalu cukup untuk membeli satu kilo beras. Apa yang terjadi pada si Upi jika keluarganya memutuskan pergi dari lahan ini" Akankah mereka tetap membangun kurungan yang besar buat dia" Di mana tanahnya" Saat itulah Wis mendengar suara gadis itu. Ada erangan, juga krit-krit bambu, dengan ritme yang seragam. Ia berjalan ke pintu belakang dan melongok ke arah kandang. Bulan terang dan langit cerah. Wis bisa melihat siluet gadis itu bergoyang-goyang. Kakinya yang telanjang menyembul dari antara jeruji batang-batang bambu, lembut keemasan tertimpa cahaya berlatar biru. Tungkai itu melipat, mengepit betung yang besar, dan pinggulnya menggesek-gesek. Dua menit kemudian perempuan itu menjerit lalu bilik itu tak lagi berderit. Wis menutup pintu dan berbaring.
Senin pekan berikutnya Wis kembali ke Lubukrantau untuk menyelesaikan rumah Upi. Sejenak gadis itu kesilauan karena curah cahaya yang berlimpah, yang tak ia dapat dalam bilik lamanya yang pengap. Lalu ia mondar-mandir seperti hewan menyesuaikan diri dengan kandang baru di taman safari. Dari sisa kerangkeng lama, Wis mengambil pokok kayu yang paling besar. Tingginya sekitar 1,8 meter, garis tengahnya dua puluh senti. Diamplasnya kulit batang itu hingga cukup halus. Diseretnya gelondong tadi ke sebuah ceruk yang teduh. Lalu ia duduk mengamati secarik sobekan majalah yang ia kantongi dari Perabumulih. Wis meraut secuil kayu berbentuk limas, lalu menempelkannya pada batang tadi. Dikeratnya juga sepasang mata dan sebuah mulut di sekitar hidung limas itu, mencoba meniru patung kayu Sigalegale yang gagah yang fotonya ada dalam potongan majalah, sedang ditarikan di muka rumah adat Toba. Ia juga membuat sepasang tangan dari dahan-dahan kokoh yang diikat dengan ijuk sehingga bisa berayun-ayun. Patung seadanya itu dipanggulnya ke bilik Upi yang baru, dan ia tegakkan dengan patri semen.
Upi! Kenalkan, ini pacarmu! Namanya Totem. Totem Phallus. Kau boleh masturbasi dengan dia. Dia lelaki yang baik dan setia.
Upi memandangi patung itu, mengatakan sesuatu, lalu kembali menatap Wis. Lelaki itu tertawa riang, bangga dengan karyanya, lalu menggamit tangan Totem Phallus sambil menggerak-gerakkannya. Ini Abang, Upi. Tabik! Salam! katanya. Namun anak itu berdiri untuk meraih tangan Wis dan menggenggam pergelangannya, tak peduli lagi pada pria kayu berkumis tipis. Pemuda itu menjadi bimbang. Si gadis membawa telapak tangan itu merapat pada payudaranya. Wis
menarik lengannya cepat-cepat. Tidak, Upi! Jangan pada saya. Dengan galau ia meninggalkan kandang, serta perempuan yang berseru-seru di belakangnya. Ia merasa amat pedih ketika harus menggembok kembali pintu, memasung si gadis yang menatap matanya persis di hadapannya. Salahkah aku" Apakah aku tidak menghina dengan membikin patung tadi" Saya sungguh hanya ingin menyenangkan kamu, Upi, dalam penjaramu. Saya ingin kamu kecukupan. Sebab saya tak kuasa membebaskan kamu dari sana.
Di pintu belakang rumah petak langkahnya berhenti. Ia menoleh dan melihat gadis itu telah membuka kancing bajunya. Andaikan aku ini perempuan, atau kamu yang lakilaki, barangkali kita lebih gampang bersahabat dan aku bisa meringankan kesepianmu.
S emakin aku terlibat dalam penderitaanmu, semakin aku ingin bersamamu. Dan Wis selalu kembali ke sana. Kian ia mengenal perkebunan itu, kian ia cemas pada nasib si gadis. Terutama ketika ia tiba suatu hari, ada keributan kecil di dusun. Anson dan dua pemuda lain duduk di bale-bale dengan muka berdarah. Beberapa ibu mengompres wajah mereka yang lebam dengan rebusan daun sirih. Ada operasi mendadak, kata orang-orang. Penjaga kebun memergoki ketiganya menjual getah kepada tengkulak. Ember-ember dirampas dan mereka dipukuli karena dianggap mencuri lateks milik PTP X.
Wis duduk di antara mereka dengan gelisah. Ia telah mencatat cukup banyak. Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun.
Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan, pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang. Namun, belakangan ini harga karet turun sehingga yang mereka terima kadang tak sampai lima ratus perak per kilo getah cair. Maka mereka memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan datang sambil mengutangi beras serta kebutuhan tani. Tapi kini ia mendengar orangorang itu mengeluh karena penjaga kebun PTP mulai beroperasi sampai areal karet mereka yang terpencil. Semoga saja patroli ini cuma angin-anginan, kata seseorang.
Tatkala kerumunan mulai berpencar, Wis pergi ke kandang Upi. Sudah lama ia tidak masuk ke dalam. Ia ingin, tetapi gadis itu nampak masih birahi padanya. Pemuda itu lalu berdiri di luar saja, dekat bilik, dan memanggil namanya. Perempuan itu muncul dari balik korden kumal yang menutup pintu, senyumnya lebar. Wis menyodorkan sekardus biskuit. Mereka bercakap-cakap, seperti biasa, masing-masing dengan bahasanya sendiri. Ia menjadi amat muram sebab gadis itu sama sekali tidak mengerti bahwa keluarganya sedang tersuruk makin jauh dalam kemiskinan. Apa yang bisa kulakukan, Upi, supaya kamu tidak pergi ke tempat yang lebih jelek daripada penjaramu ini"
Wis membantu Anson dan Nasri mengumpulkan mangkok-mangkok sadapan waktu mendung mulai membayang di ujung hutan. Sudah tiga bulan ia berkenalan dengan perkebunan karet ini. Ia telah merasa menjadi salah satu dari pohon-pohon yang berjajar condong itu, yang di balik kulit kayunya mengalir nadi-nadi lateks, yang menetes dari batang-batang coklat keputihan yang bercarut dan tersayat.
Kerap ia memproyeksikan dirinya sebagai pokok karet yang dilukai, dan lukanya yang perih mengalirkan getah, dan getah itu menghidupi orang-orang yang mengambilnya. Getah penebusan. Setidaknya bagi Upi.
Musim hujan telah datang, seperti berlari-lari dari timur lalu mengguyur perkebunan. Di balik air-air yang jatuh berpuntir di muka pintu belakang, ia melihat Upi meneduh ke dalam bilik.
P ater W estenberg memanggilnya begitu ia tiba di pas?" toran. Wajah pemuda itu masih berdebu karena angin mengepulkan butir-butir tanah sepanjang jalan. Hari itu terik, namun sebelumnya hujan deras selama tiga hari berturutan telah melongsorkan jalur Baturaja-Tanjungagung, meski bronjongan dipasang pekerja DPU di sisi-sisi jalan. Travel yang ia tumpangi terjebak bersama-sama kendaraan lain sehari semalam. Ia tahu, pimpinannya gusar atas keterlambatannya, dan akan menegur dia perihal kepergiannya yang terlalu sering ke Sei Kumbang.
Keduanya duduk berhadapan, namun yang senior menguasai percakapan. Pria Belanda tua yang ahli bahasa-bahasa Melayu itu berbicara dengan runtut tentang tugas parokial. Wis mendengarkan dengan patuh sambil mengetahui bahwa ia akan dipersalahkan karena acap meninggalkan kewajiban itu. Sedikitnya, kerap tidak ada di tempat ketika dibutuhkan.
Saya tahu, kamu punya rencana-rencana untuk memperbaiki keadaan petani di sana. Itu baik. Tetapi melayani dan memelihara iman umat di sini juga bukan panggilan yang remeh, ujarnya menutup introduksi.
Wis terdiam. Lalu ia meminta maaf. Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan, rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia dapat diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon diberi kesempatan melakukan itu.
Pater Westenberg lalu melipat tangan dan menghembus panjang, kebiasaannya jika sedang berpikir. Katanya kemudian: Kamu anak muda dan bersemangat. Itu bagus. Tetapi kita berada dalam suatu organisasi. Kita masingmasing, kamu dan saya, menyerahkan diri kepadanya, supaya ada pembagian kerja. Memang, konsekuensinya kita tidak selalu bisa memilih sesuka hati. Ada hirarki untuk mengambil keputusan.
Wis menghela nafas, sebab itu berarti ia harus menghubungi Bapa Uskup dan meminta izinnya. Biasanya Uskup tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Apalagi untuk persoalan yang tak ada hubungannya dengan Gereja. Selain itu, itu juga berarti ia membutuhkan rekomendasi dari Pater Westenberg sendiri. Ditatapnya pria itu, dengan matanya ia memohon dukungan untuk menghadapi Uskup, seperti ketika ia meminta tolong pada Romo Daru untuk melobi agar ia ditempatkan di kota ini.
Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerah kepada harapan pemuda itu. Apa yang bisa saya lakukan untukmu" Tanpa restu Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-rencanamu. Uang sakumu amat kecil, saya
kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu memilih menjadi imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo. Jika kamu bisa mengusahakan dana sendiri, saya bersedia memberi kamu tiga minggu dalam satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus di ada paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani mengusulkan agar Uskup memberimu pekerjaan kategorial di perkebunan.
Wis begitu berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal, sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya. Ia sendiri bukan orang yang berani berutang pada bank. Lagi pula, pikirnya, ia anak tunggal sehingga ayahnya yang tidak kawin lagi tak akan punya cucu. Tak ada gunanya menyimpan warisan banyak-banyak. Esoknya ia juga menghubungi Pak Sarbini. Teman lampau ayahnya itu kini juga menjadi tengkulak karet di Sukasari, kawasan transmigran Jawa yang letaknya bersebelahan dengan Sei Kumbang yang dihuni transmigran lokal. Lelaki itu keturunan buruh Jawa yang dibawa Belanda ke perkebunan karet daerah Deli tahun 1930-an. Dia ikut pendidikan bintara, namun kemudian bertugas dalam Bimas desa-desa transmigrasi. Pak Sarbini begitu berpengalaman dengan jalur jual-beli dan pengolahan getah lateks. Wis membutuhkan jaringan itu.
Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis segera kembali ke Lubukrantau. Upi menjerit-jerit senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia hendak membicarakan sesuatu yang serius dengan ibu dan abangnya.
Sambil mencampur amonia ke dalam tangki penam?" pungan, Wis menawarkan kerja sama di lahan keluarga Argani yang luasnya dua hektar. Empat bulan ia telah mempelajari perkebunan itu. Proyek PIR yang dibuka tahun 1976 di sini tidak terlalu sukses. Agaknya pembukaan lahan kurang bersih sehingga sisa-sisa tunggul pepohonan hutan masih menyimpan kapang akar putih. Kini, lebih dari seperempat tanaman karet telah roboh karena tunggangnya melunak dihisap cendawan itu, busuk seperti kaki yang melonyoh dimakan gangren. Petani yang semakin miskin menanam ketela di antara jajaran karet untuk tambahan makanan sebab mereka tak selalu bisa membeli beras, tetapi umbiumbian itu malah menjadi perantara penyebaran kapang. PTP sendiri kehabisan dana untuk menyehatkan plasmanya. Apalagi cicilan utang dari petani selalu seret. Dan translok Sei Kumbang begitu terpencil sehingga pasokan pupuk dan obat tanaman tak selalu sampai. Jarak yang panjang dan berbatu-batu ke KUD maupun rumah asap membuat getah lateks kerap bereaksi karena terkocok-kocok dan terpanggang udara panas sebelum tiba ke pembeli. Karena itu Wis bercitacita membangun pengolahan sederhana di dusun itu sambil memperbaiki kebun.
Keluarga itu telah amat percaya pada Wis, meski mereka tidak mengerti bagaimana si pemuda bisa begitu memberi perhatian pada Upi. Dengan heran mereka melihat Wis berwajah riang menghampiri kurungan setelah Mak Argani dan dua putranya menyatakan setuju pada rencananya. Apa kabar, Upi" Saya akan lebih sering tinggal besama abangabangmu di sini. Gembirakah kamu" Doakan saja, supaya kebunmu bisa subur kembali dan kamu bisa mendapat rumah yang lebih baik.
Wis serta kedua abang adik itu mulai dengan menyelamatkan pohon-pohon yang belum terserang jamur. Lalu membersihkan akar yang mulai digerayangi benang-benang hifa yang menempel kuat-kuat. Setelah itu, memusnahkan tanaman yang tak bisa diselamatkan. Sama sekali bukan pekerjaan mudah. Mereka harus menebang hampir seratus batang dan mencungkil akarnya sampai habis dari tanah, lalu membakarnya, sebab di situlah kapang jahat itu bersembunyi. Rigidoporus lignosus. Bonggol mudanya berwarna jingga. Tapi, Wis tidak bisa hanya bekerja pada ladang Argani. Kebun tetangga mereka juga mesti diperbaiki sebab rumah asap yang ia cita-citakan tidak efisien jika cuma ada sedikit pasokan lateks. Karena itu ia juga berjalan jauh, memeriksa penyakit pohon, hingga ke perkebunan yang ditinggalkan. Ia pun sampai di sepetak lahan yang berbatasan dengan belukar dan hutan. Nampaknya celeng sering menerobos daerah itu. Ia melihat bekas kotak jebakan yang kini sudah dijalari sembung rambat, kotak jebakan dari bambu, mirip dengan kandang Upi yang dulu.
Tiba-tiba ia merasa amat lemah. Ia pun duduk bersandar pada sebuah pohon tumbang, dan mengambil veldples dari sabuknya tangannya tremor. Tapi kantong air itu telah kosong. Ia merebahkan kepalanya sesaat, sambil mencoba mendengarkan adakah suara tasik di dekat sana. Ketika terdengar percik-percik dari sebuah arah, Wis bangkit dengan tungkai gemetar. Terasa darah tertinggal di tubuh bagian bawah, tak segera terpompa ke kepalanya, sehingga pandangannya tertutup bintik-bintik gelap, sepertinya titik-titik saraf mata yang belum berfungsi karena belum terisi cairan darah. Ia berpegangan pada cabang karena limbung. Namun, ketika
berintik keunguan itu pudar, dilihatnya seekor kobra di dekat kakinya. Kepalanya yang segitiga itu telah ditegakkan dan lehernya dikembangkan. Sepasang mata perunggunya menatap lutut Wis.
Pemuda itu begitu gentar, ia belum pernah berhadapan begitu dekat dengan ular yang marah. Dan ia tak ingin mati, sebab pekerjaannya baru dimulai. Kobra itu menegakkan taringnya yang semula terlipat pada rahang, mengancam atau siap menerkam. Tatkala Wis mengira bahwa ular itu tak mengampuninya, ia mendengar suara-suara itu kembali. Suara-suara yang dikenalnya, suara-suara yang sudah lama tidak datang dan tidak ia perhatikan, yang selalu hadir dari belakang. Sayup-sayup makin keras, meski Wis tidak mengerti maknanya. Namun dilihatnya leher kobra itu lalu menguncup dan kepalanya tak lagi bergerak-gerak. Kemudian ular itu menggelesar pergi.
Ketakutan yang tersisa membuat kepalanya begitu pening. Titik-titik nila itu mulai datang lagi di matanya seperti semut. Sebelum pandangannya betul-betul habis, ia melihat tiga sosok berdiri di sekitarnya. Tapi beberapa detik kemudian matanya gelap. Ia terjatuh.
P emuda itu baru siuman empat hari kemudian. Selangselang infus menusuk lengannya, mengalirkan cairan dan sari makanan ke tubuhnya yang kurus dan tak bertenaga. Ia merasa malu karena tidak berdaya. Perawat yang datang mengatakan bahwa ia mengalami dehidrasi hebat dan malnutrisi. Terlalu banyak bekerja dan kurang gizi. Bapak hilang selama dua hari di hutan, kata suster itu. Orang-orang mencari tapi tidak ketemu. Apakah Bapak tersesat" Untung
sekali Bapak bisa mencari jalan pulang dan baru pingsan di dekat rumah. Harimau memang hampir punah, tapi bukannya tidak ada sama sekali. Anak perempuan yang dikurung berteriak-teriak memberi tahu abang-abangnya waktu melihat Bapak tergeletak di pekarangan belakang. Orang-orang lalu membawa Bapak ke rumah sakit ini kemarin sore.
Wis termenung. Sekali lagi ia menyimpan sendiri persoalan itu. Sebab ia percaya, ia sungguh-sungguh telah menemukan yang dulu hilang. Yang pernah selalu menggetarkan dirinya untuk kembali ke daerah itu. Meskipun kini ia juga menemukan sesuatu yang memanggil dia lebih kuat lagi: pohon-pohon karet, dan Upi.
1990. Sesuatu terjadi pada Upi.
Waktu itu petani Lubukrantau sudah mulai menakik getah karet muda yang mereka tanam enam tahun lalu, sebagai ganti pohon-pohon yang tumbang dimakan kapang. Bibitbibit PR dan BPM itu sebagian dibeli Wis dan dibiakkannya sendiri. Sebelumnya, ketika pohon-pohon belum siap disadap, orang-orang menderes tanaman tua serta memanen kedele dan tumbuhan tumpang sari. Lalu, berkat bantuan Pak Sarbini, bundel-bundel smoked sheet yang diproduksi rumah asap sederhana di dusun itu cukup mendapatkan pasarnya. Saat malam, Wis suka berdoa diam-diam agar Tuhan tetap memelihara perkebunan itu, sambil ia menatap ujung-ujung hutan karet, tempat bintang-bintang yang paling rendah tersangkut. Juga burung-burung yang beristirahat. Bunyi hutan malam-malam. Lalu sebentar ia menengok Upi yang
lebih senang tetap tinggal di sana ketimbang di rumah sakit jiwa.
Uskup telah mengabulkan proposalnya untuk berkarya di perkebunan. Namun satu pekan dalam sebulan ia tetap kembali ke Perabumulih, membantu Pater Westenberg yang ia anggap berjasa. Suatu kali, ia pergi ke kota itu dua minggu lamanya, sebab pria Belanda itu sakit demam. Ketika ia kembali ke Lubukrantau, Ibu Argani menceritakan satu hal yang begitu mengejutkan dia. Dua laki-laki menjebol rantai pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah dua puluh satu tahun. Mereka meninggalkan pagutan-pagutan merah di dadanya.
Wis menelan ludah dan menggigit bibirnya hingga hampir berdarah. Bagaimana keadaannya" tanyanya sambil bergegas ke tempat perempuan muda itu, meninggalkan ibunya yang belum selesai bercerita. Ia merasa lemas sebab tidak tahu harus berbuat apa, sebab barangkali si gadis malah menyukai pemerkosaan itu. Dan ia tak pernah tahu bagaimana menyelesaikan persoalan ini.
Upi baik-baik saja, sahut Anson yang mengiringi. Wis memang menemukan gadis itu tertawa-tawa saja di dalam kandang, menyapa dengan riang melihat dia kembali.
Bagaimana kalau dia hamil" kata Wis dengan getir pada Anson kemudian.
Tak tahulah, Bang. Kalau dia punya anak, biar istriku yang merawat. Dulu belum pernah sampai hamil. Anson telah kawin tiga tahun lalu. Pemuda itu selalu heran kenapa Wis yang lebih tua tujuh tahun tidak juga mau menikah, dan Wis selalu malas menjelaskan. Anson memperhatikan adiknya sesaat, lalu menatap Wis seperti ada yang hendak dilaporkan. Ada yang lebih gawat, Bang, katanya kemudian.
Wis menoleh dengan dahi semakin berkerenyit. Dengan tegang ia mendengarkan lelaki tadi bercerita. Anson yakin bahwa pemerkosaan itu adalah salah satu bentuk teror dari orang-orang yang hendak merebut lahan itu. Orangorang itu sengaja melakukanya untuk mengancam kita agar menyerahkan kebun. Lalu, ia mengajak Wis meninggalkan pekarangan, untuk melihat rumah kincir dekat bendungan rawa yang mereka bangun sebagai pembangkit listrik mini buat rumah asap. Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt. Dusun yang kini terdiri dari sekitar delapan puluh rumah dan sebuah langgar itu telah diterangi lampu dan diramaikan bunyi radio. Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini menara kincir itu dirobohkan.
Wis menyaksikan pemandangan itu dengan hampir tidak percaya bahwa orang-orang itu tega melakukannya. Biar kuperiksa kerusakannya. Kau pulanglah! katanya pada Anson dengan suara bergetar. Pulanglah! Tolong bereskan pupuk yang tadi kubawa. Ada urea dan KCl. Nadanya menegas ketika Anson tidak juga beranjak. Ia ingin menyendiri. Saat lelaki itu telah menghilang, ia masuk ke rumah kincir itu, yang dulu ia bangun dengan bersemangat. Turbin telah dihancurkan orang, sepertinya menggunakan kapak. Untuk memperbaikinya, ia mesti membeli generator baru. Ia menghela nafas, menyandarkan dahinya pada tembok yang lembab. Sesuatu seperti tertahan di pangkal tenggoroknya. Ia membiarkan airmatanya menitik, lalu mengalir tanpa suara.
Ia ingat orang-orang yang datang tahun lalu. Kini ia mengenang wajah-wajah itu sebagai babi hutan: rakus, bengis,
dengan rambut tegak kaku. Mereka, empat laki-laki berpakaian safari, masuk ke rumah asap ketika Wis dan Anson sedang menyortir lembar-lembar karet.
Siapa Bapak-Bapak" tanya Wis. Petugas.
Petugas dari mana" Petugas ya petugas. Tidak usah dari mana-mana, salah satunya menyahut.
Ada perlu apa" Kami perlu dengan Bapak& , sejurus orang itu melihat catatannya, Argani.
Saya orangnya. Anson bin Argani. Pemuda itu me?" langkah maju, tanpa melepas rokok dari bibirnya. Wajahnya yang agak rusak belakangan ini ia juga mulai menutupi mata kirinya yang buta dengan kain hitam membuat ia nampak seperti seorang jagoan. Orang-orang itu mundur sedikit.
Lalu mereka berbicara singkat saja. Kami menjalankan tugas dari Bapak Gubernur. Salah satunya mengacungkan selembar kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya Anson. Menurut SK beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur. Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok keluar dari jendela, dan menoleh lagi pada Anson. Kami melihat bahwa dusun ini saja yang belum patuh untuk menandatangani kesepakatan dengan perusahaan.
Harap Bapak-Bapak ketahui, kami belum pernah sepakat untuk mengganti karet kami dengan kelapa sawit. Dan kebun ini bukan milik perusahaan, Wis menyela.
Tapi orang itu menyahut lebih keras. Kami perlu dengan Pak Argani. Bukan dengan Bapak!
Anson segera bersuara, mengulangi jawaban Wis dengan kegeraman yang sama. Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini, lalu menyerahkannya kepada perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit. Tapi sebetulnya tidak seluruh lahan karet di Sei Kumbang gagal. Kebun kami menghasilkan dan kami tak alpa mengangsur utang. Pohon-pohon baru yang kami tanam telah bisa disadap. Desa ini maju. Kalau kini perusahaan hendak mengubah kebun karet yang rusak menjadi kebun sawit, silakan.Tapi jangan pada lahan karet kami yang subur. Bukankah transmigrasi ini dibuka untuk petani"
Persoalan itu Bapak tanyakan saja pada Bapak-Bapak di perusahaan. Kami cuma bertugas menjalankan perintah Bapak Gubernur.
Lalu keempat lelaki itu pergi setelah meninggalkan pilihan ini: orang-orang Lubukrantau harus menandatangani kertas kesepakatan dan menebang pohon-pohon karetnya. Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanamnya. Jika dalam sebulan mereka tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu. Terpaksa, kata mereka menekankan. Lalu menghilang dengan kijang berlogo ALM yang bergambar siluet sawit dan matahari oranye pada pintu supir dan kap mesin.
Setelah mobil itu tak kedengaran lagi bunyinya, Wis segera menyuruh beberapa pekerja mencari informasi ke desa-desa tetangga. Anak-anak muda itu lalu kembali dengan berita bahwa para kepala keluarga di dusun sekitar memang telah membubuhkan tanda tangan pada lembaran kertas. Dan apa
isi kertas itu" tanya Wis. Kertas kosong saja, sahut mereka. Bagaimana orang-orang bersedia menandatangani blanko kosong" Sebab mereka mendapat pembagian bibit sawit. Lagi pula, alasan petugas supaya praktis saja, karena perusahaan kerepotan jika harus menyertakan seluruh isi perjanjian. Apalagi tidak semua orang juga bisa membaca. Untuk apa menyerahkan kertas perjanjian kepada orang yang buta huruf" Wis pun terhenyak. Bagaimana jika otograf itu disertakan pada pernyataan penyerahan hak milik petani kepada perusahaan, atau pada para petugas itu"
Anson, saya curiga pada mereka, kata Wis. Apa beratnya sebuah perusahaan besar mengkopi perjanjian untuk masingmasing orang" Lalu ia meminta Anson agar mengumpulkan penduduk. Sejak mereka membangun rumah asap di lahan Argani yang dipimpin Anson, pemuda itu mulai dianggap sebagai salah satu tetua di Lubukrantau. Dalam rapat di rumah asap itu Wis mengingatkan orang-orang agar jangan sekali-sekali mau tanda tangan pada lembaran kosong. Jika kita harus sepakat, biarlah kita tahu dulu apa perjanjian itu.
Tiga minggu kemudian, waktu empat orang dengan kijang bercap ALM itu kembali, terjadi pertengkaran. Orang-orang itu memaksa penduduk berkumpul. Wis, Anson, dan tiga pria lain, penatua desa yang usianya empatpuluhan, berkeras bahwa warga telah mengangkat mereka sebagai wakil untuk berunding. Tapi salah satu pria itu mendekati Wis dan agak membentak: Kami sudah menyelidiki desa ini. Kamu bukan warga! Mana KTP-mu!
Dia abang saya! kata Anson melihat Wis agak terkejut. Dan tiga pria yang lain juga membela dia.
Empat tamu itu lalu bersungut-sungut sambil menerangkan isi perjanjian: penduduk menanam dan memelihara bibit dari perusahaan dengan upah seribu enam ratus perak sehari, lalu ada bagi hasil saat panen. Tapi Wis, Anson, dan yang lain memberi syarat: Kami hanya mau merundingkannya dengan warga jika perusahaan menyertakan kertas perjanjian bagi setiap kepala keluarga. Kami juga mau merundingkannya langsung dengan perusahaan. Sebab ia curiga petugas pelaksana itu mencari untung sendiri. Lalu empat orang itu pergi dengan wajah marah. Wis merasa melihat orang-orang itu berbicara dalam mobil sambil menunjuk dirinya. Tak lama setelah peristiwa itu, ia mendengar beberapa orang dari desa lain di sekitar mulai menuduh dia mengkristenkan orang Lubukrantau dan mengajari keluarga Argani berburu dan makan babi hutan.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa, datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.
Tetapi kini Wis menyadari. Orang-orang itu menggunakan cara lain. Lubukrantau terletak di tengah desa-desa yang telah menyetujui konversi ke kelapa sawit. Di sana sini buldozer
mulai merobohkan pohon-pohon karet. Kering dan bau asap menyengat ketika pekerja-pekerja perkebunan menghanguskan tunggul-tunggul yang tersisa. Mereka terkucil. Teror pun mulai hinggap di dusun itu. Semula, pada pagi hari semakin sering orang menemukan pohon karet muda roboh seperti diterjang celeng. Kemudian ternak hilang seekor demi seekor. Jalur kendaraan dihalangi gelondong-gelondong. Kini, rumah kincir dirusak dan Upi diperkosa. Agaknya orang-orang itu tidak akan berhenti. Sampai kapan kami sanggup bertahan"
Wis menyadari airmatanya telah mencetak dua lingkaran di dada bajunya. Ia sungguh gentar pada nasib desa ini, yang juga berarti nasib Upi. Ia seperti kota gurun yang terkepung, mata airnya telah dikuasai musuh. Tuhan, kau biarkan ini terjadi" Lalu ia menyeka wajahnya yang basah dan berjalan kembali ke rumah. Hari mulai gelap dan listrik tak lagi menyala. Tapi Anson telah mengumpulkan orang-orang dewasa di rumah asap, dan menyuruh beberapa pemuda berjaga-jaga di luar. Ia mencari Wis, meminta dia bergabung.
Di bangsal yang bau karetnya menusuk, sekitar enampuluh pria dan sepuluh wanita tua bersila atau bersimpuh, membentuk lingkaran seputar dua petromaks yang menggumam. Mereka belum menanggalkan pisau sadap dan kerat mal dari pinggang. Ibu-ibu muda tinggal di rumah menjaga anak-anak. Wis duduk di salah satu sudut dengan lunglai sebab ia merasa sedang tak sanggup berpikir tenang. Ia menunduk, tangannya yang bertumpu pada lutut memijat-mijat dahi. Dinyalakannya sebatang rokok. Namun Anson memintanya membuka rapat mendadak itu.
Wis menolak. Kau sajalah! Aku baru tiba, tak begitu
tahu kejadian. Ia mencoba membangkitkan gairahnya, yang kini hampir punah, ketika dilihatnya mata orang-orang yang berharap. Dalam remang kekuningan, mata-mata itu nampak hitam seperti relung yang dalam. Semakin jauh orang dari bohlam, semakin gelap relung matanya.
Lalu didengarnya Anson berpidato. Dilihatnya lelaki itu, yang lebih muda daripada dia, dengan berapi-api menjelaskan bahwa perusahaan kelapa sawit yang kini menggantikan PTP dimiliki oleh pengusaha Cina. Orang Cina kini menjajah kita. Orang pribumi disuruhnya menjadi buruh miskin saja. Dan Wis pun menyadari, betapa kepedihan orang-orang itu telah menjadi kemarahan yang begitu rumit dan merambat pada syakwasangka yang juga sengkarut. Ia teringat Kong Tek yang dengan senang hati menolongnya mendapatkan bahan bangunan. Juga dua wartawan tionghoa yang datang ke dusun itu. Ia teringat pula bahwa orang-orang Cina selalu membayar lebih mahal untuk mendapat paspor atau KTP. Kini, di hadapannya Anson berujar dengan begitu menyederhanakan. Wis merasa terpaksa menyela. Tolong, Anson! Ia mengacung?" kan tangan. Saya cuma mau mengingatkan bahwa material untuk rumah asap ini kita dapat dengan harga murah sekali dari pedagang Cina di Perabumulih. Sebagian malah gratis. Kedua, saham-saham Anugrah Lahan Makmur tidak cuma dimiliki oleh Cina satu itu, tapi juga kongsi dengan orang Jawa dan satu raja kebun Batak. Ketiga, bos-bos perusahaan sawit juga membayar penjaga orang-orang pribumi orangorang yang hitam seperti kita, untuk mendesak kita. Merusak, mencuri, memperkosa. Mereka anjing pribumi! Babi hutan lokal! Ia terdiam sebentar menyadari bahwa suaranya juga dikuasai amarah.
Dilihatnya reaksi penduduk. Mereka masih mendengarkan, sebagian dengan wajah heran. Ia melanjutkan dengan suara yang didatarkan: Kukira persoalannya bukan soal Cina. Tapi apa yang mau kita buat dengan kebun kita.
Terdengar dengung di bangsal itu, naik turun nadanya, yang diakhiri dengan suara lantang Anson: kita harus mempertahankan kebun karet kita! Gemuruh orang-orang memberi persetujuan, menggetarkan emosi ke tembok-tembok. Wis melihat wajah-wajah itu, dan ia teringat bahwa kebun karet yang mereka perbaiki bersama-sama pelan-pelan telah menjadi satu-satunya kenyataan bagi petani. Ia juga teringat pertemuannya dengan Upi sudah enam tahun lalu yang menyeretnya hingga begitu terlibat di perkebunan. Namun, kini sanggupkah mereka mempertahankan pohon-pohon itu dari kekuatan yang begitu besar" Haruskah kita bertahan" Dan mengundang teror lebih lama" Bukankah yang kita inginkan adalah sebuah desa yang makmur" Tidakkah sebaiknya kita setuju mengubah pohon karet dengan sawit, asalkan perjanjiannya tidak merugikan" Kelapa sawit juga sudah bisa dipanen pada umur lima tahun&
Ketika Wis mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, bangsal kembali dipenuhi gaung. Mereka berdebat hebat. Ia melihat wajah-wajah yang marah pada sesuatu yang tak tampak. Ini soal kehormatan. Mereka sama saja dengan Belanda. Kita disuruhnya menanam apa yang mereka suka! Kita harus mempertahankan hak kita! Orasi itu keluar dari mulut lelaki yang belum lagi berkumis. Dengan takjub Wis menatap Seruk, pemuda itu, yang selama ini ia kenal sebagai pekerja bagian penggilingan yang penurut. Dari mana ia mendapatkan katakata itu" Wis terdiam mengamati orang-orang yang bergulat
untuk sebuah keputusan. Meski enam tahun hidup bersama, sungguh banyak pikiran mereka yang tidak ia duga.
Mak Argani tiba-tiba membuyarkan keheranannya dengan berseru: Apa pendapat Bapak Wis" Sebaiknya kita bertahan atau berunding" Setelah sekian lama Wis tinggal di rumahnya, di muka umum wanita itu selalu saja memanggilnya Bapak .
Apa pendapat kau, Bang" Anson mengulangi ketika lelaki itu tak juga menjawab.
Untuk pertamakalinya Wis tidak ingin mengambil keputusan bagi perkebunan itu. Betapa berbeda. Dulu ia begitu keras dan yakin, ia rintis harapan yang hampir habis, ia tak pernah lelah. Tapi kini ia sungguh-sungguh tidak pasti dengan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi pada orangorang itu. Ia menjadi begitu sedih sebab untuk pertamakalinya ia merasa bukan merupakan bagian dari orang-orang di dekatnya. Lihatlah, aku tak akan kekurangan apa-apa sekalipun kebun ini dimusnahkan. Aku bisa kembali ke gereja di mana ibu-ibu paroki merawatku dengan aten untuk mengkhotbahi mereka dan memberi sakramen. Atau membimbing retret dan rekoleksi di sekolah-sekolah Katolik di kota, di mana muridmurid perempuan kerap menggemariku dan mengirimi surat serta puisi. Tetapi, kebun ini adalah hidup para petani. Apapun yang kulakukan, aku tak pernah sungguh-sungguh memanggul penderitaan yang mereka tanggung. Wis menjadi teramat takut untuk mengambil keputusan yang bukan menjadi taruhannya. Sementara orang-orang itu tetap menunggu jawabannya. Ia pun mendongak dan menjawab dengan amat letih: Kalian rapatkanlah! Aku akan dukung apapun keputusan kalian. Sebab pertaruhan ini bukanlah pertaruhanku.
Lalu ia menghitung-hitung berapa jumlah penduduk di sana. Yang berkumpul kira-kira tujuh puluh. Berarti semuanya ada sekitar seratus lima puluh sampai dua ratus. Apa yang bisa kulakukan untuk mereka" Barangkali menyelamatkan aset rumah asap ini dan membangunnya di tempat lain" Misalnya di Sukasari yang tak terlalu jauh dari sini, dengan minta bantuan Pak Sarbini"
Sedang ia merenung-renung, tiba-tiba ia mendengar lagi suara-suara dari belakangnya. Kali ini tidak sayup-sayup, melainkan teramat jelas di telinganya, seperti menghentak. Suara-suara itu bagai memberitahu sesuatu tanpa menjabarkan. Dan ia melompat, bergegas keluar, sambil berseru: Anson! Istrimu! Istrimu!
Jarak rumah asap ke tempat tinggal Anson sekitar tujuh puluh meter, namun terhalang bedeng lain sehingga anakanak yang berjaga di luar tidak bisa melihatnya. Tetapi dengan pasti Wis berlari ke sana. Anson yang terkejut segera mengikuti. Kerumunan buyar ke satu arah. Sebagian tiba lebih dulu di rumah itu. Sisanya menyusul dengan obor-obor. Ketika rombongan yang pertama tiba, mereka melihat bayangan berkelibat keluar, kabur ke pepohonan. Beberapa orang memburunya, meski malam terasa begitu pekat sebab listrik tak lagi mengalir. Anson menerobos ke dalam rumah, dengan sorotan senter ia dapati istrinya yang telanjang serta pantalon satpam kebun yang terserak di lantai. Perempuan itu menangis sambil terbatuk hebat, seperti sesuatu baru saja menyedak lehernya. Mereka berdua, kata wanita itu tersendat-sendat. Di dapur terdengar suara kaleng jatuh. Seseorang yang bersembunyi mencoba lari, tetapi penduduk telah mengepung rumah itu. Beberapa detik saja mereka meringkus lelaki yang
belum sempat bercelana dan menyeretnya ke rumah asap. Wis melihat Anson menghapus sisa sperma di paha istrinya, dan ia menjadi begitu gundah.
Dusun itu segera menjadi gaduh. Perempuan-perempuan dan anak-anak dikumpulkan di surau. Mak Argani serta beberapa ibu merawat istri Anson di sana, yang lain mengabsen gadisgadis. Wis menjenguk Upi dan meminta seorang anak muda menjaganya, lalu ia kembali ke rumah asap. Dari ambang pintu dilihatnya lelaki itu tak lagi berbentuk. Kemeja birunya menghitam oleh darah. Tungkainya tak lagi lurus, seperti telah dislokasi, ujung telapak yang satu ke samping, yang lain melenceng agak ke belakang. Selangkangannya tertutup warna merah yang kental. Wis tidak bisa melihat wajahnya sebab orang-orang sedang menendangi. Di tangan-tangan mereka ia melihat pisau-pisau mal yang dari ujungruncingnya menetes warna saga. Orang itu mati.
Yang satu belum kena! terdengar seseorang yang baru kembali dari pepohonan.
Kita kejar saja sampai posnya! Bakar pos jaganya!
Kerumunan itu berpindah lagi, seperti semut yang telah menghisap gula lalu menemukan manisan lain. Anson kelihatan begitu geram, sehingga ia memutuskan untuk memimpin orang-orang menyerbu pos polisi penjaga kebun. Wis merasa begitu galau. Ia ingin mencegah Anson, tetapi tibatiba ia tak punya nyali itu. Ia kehilangan keyakinan dirinya. Sebab ia bukan mereka. Salib mereka bukan salibku. Ia bukan perempuan sehingga tidak tahu bagaimana terhinanya diperkosa, dan ia tak punya istri sehingga tak yakin bisa sungguh mengerti kemarahan lelaki itu. Tiba-tiba ia merasa bukan
siapa-siapa. Tiba-tiba ia merasa tak punya suara.
Anson! panggilnya dengan sisa-sisa bunyi tenggorokannya. Sisakan beberapa orang untuk menjaga kampung.
Setelah rombongan lelaki itu menghilang ke dalam bayangan hutan, Wis terpaku di tangga surau, menghadap ke dalam di mana ibu-ibu mendekap bocah-bocah mereka di atas tikar hijau. Baru ia sadari, ia ditinggalkan bersama tujuh atau delapan pemuda tanggung untuk menjaga perempuan dan anak-anak ini. Ia merasa sunyi dan gentar melihat mata-mata mereka menatap dirinya, satu-satunya pria dewasa di situ, orang yang selama ini bisa mereka andalkan mengurus kebun. Tapi sanggupkah aku melindungi mereka dalam situasi begini" Apa artinya seorang lelaki"
Semua sudah di sini, Ibu-Ibu" Ia mencoba mengendalikan diri.
Mereka mengiya. Lalu Wis meminta wanita-wanita itu bersalawat. Berdoalah yang lantang, selantang mungkin. Insyaallah, doa kita meredakan kemarahan orang-orang. Semoga Tuhan melembutkan hati orang-orang yang mungkin akan mengepung.
Kemudian ia berbalik, keluar, berjaga-jaga di muka surau. Disuruhnya seorang anak menutupi mayat lelaki tadi dengan sarung yang dibuka jahitannya, dan membersihkan darah yang berceceran. Sisanya ia perintahkan untuk berkeliling dua-dua. Setelah mereka pergi, ia memandang arah menghilangnya Anson dan rombongannya, seperti gelisah agar mereka segera kembali. Lantunan salawat perempuan-perempuan dari dalam surau sayup-sayup menentramkan hatinya, tapi ia merasa Tuhan sedang menjauhi tempat itu.
Sampai lewat tengah malam, tak satupun lelaki yang tadi pergi kembali. Wis semakin gentar. Ia mengabsen anakanak muda yang berpatroli setiap kali sepasang lewat di dekatnya. Lalu ia berpikir untuk menggabungkan Upi bersama perempuan yang lain di langgar. Tak baik dalam kondisi begini membiarkan dia sendirian. Ia masuk ke surau untuk menanyakan kesanggupan Mak Argani menjaga putrinya.
Ketika baru membuka mulut, didengarnya deru rem kendaraan. Mestilah sejenis trooper atau kijang, sebab suara dentum pintunya berulang-ulang. Bunyi beberapa pasang langkah sepatu bot mendekat. Wis merasa darahnya berhenti sebentar, sebab ia tahu itu bukan Anson.
Mak, jangan henti berdoa, ujarnya dengan lemas. Dan ia tidak sempat bertanya tentang Upi. Lalu ia melangkah ke luar, dan menemui lima lelaki tegap yang telah berjajar di muka langgar. Mereka mirip satu sama lain: memakai bandana hitam, kaos-T ketat hitam, celana bersaku banyak hitam, lars hitam. Kelimanya berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dan tangan mengepal. Wis dan mereka bertatap-tatapan, saling menunggu pembuka percakapan.
Bapak-Bapak perlu apa" akhirnya ia memulai setelah membaca gelagat sosok-sosok itu, yang sengaja menerornya dengan mata dingin mereka. Kelima pria itu tetap beku, solid seperti pahlawan revolusi. Tapi dari arah rumah-rumah petak terdengar seruan, serak dan lantang seperti orang memimpin barisan: Keluar! Semua keluar! Wis menduga ada sepuluh orang lagi yang berkeliling menggedor pintu-pintu. Ke mana anak-anak yang tadi berjaga-jaga"
Sejenak ia melirik, tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka dengan bangku tengah terparkir di lambung jalan. Salah
satu lelaki di hadapannya melangkah maju, seakan hendak menerobos langgar. Wis mencoba menghalangi. Tolong, jangan ganggu ibu-ibu dan anak kecil!
Kami pantang menyakiti wanita dan bocah-bocah, sahut orang itu sambil menjejak anak tangga.
Ini surau. Harap buka sepatu jika mau masuk! Ibu-ibu bersalawat semakin nyaring.
Saya cuma mau memeriksa. Pria itu tidak membuka larsnya yang penuh temali hingga lutut. Ia melongok saja dari pintu, seperti menghitung, lalu menoleh kepadanya. Jadi semua sudah di sini"
Wis diam saja, namun pria itu berhasil mencuri jawaban ya dari matanya. Ia mengangguk kepada empat temannya. Dan terdengar aba-aba. Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia menjerit teringat Upi yang belum sempat ia gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya. Tapi dua orang berseragam hitamhitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada serta pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangannya sebelum ia sempat mengerang nyeri. Mereka begitu gesit dan terlatih. Ia sempat melihat tiga yang lain menjaga pintu masjid, melarang ibu-ibu keluar, sebelum secarik kain hitam menutup matanya, dan sebuah gumpalan menyumbat mulutnya. Wis merasa beberapa orang menyeret dan melempar tubuhnya ke dalam mobil yang mesinnya segera bergemuruh meninggalkan tempat itu. Ia mencium percik api dan bau karet terbakar. Dan suara salawat semakin sayup, semakin jauh, akhirnya tak terdengar.
Lelaki itu meronta dan mencoba berteriak sepanjang jalan, menendangi sosok-sosok dalam mobil, sebab ia ingin memberitahu bahwa seorang gadis tertinggal di kampung yang kobong. Lalu seseorang menarik tutup matanya dan bertanya dengan jengkel: Mau apa kamu! Tetapi orang itu tidak membuka sumbat di mulutnya. Mobil itu berhenti dan dua laki-laki yang tadi duduk mengapit menjejak dia keluar. Lalu Wis merasa sesuatu menghantam tengkuknya.
I a merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan tinggi. Ngilu di sekujur badannya. Tangannya sulit digerakkan seperti telah lama terbujur kaku, meski tak lagi terbelenggu. Waktu pupil matanya telah menyesuaikan kadar cahaya, ia melihat sebuah ruangan empat kali empat meter. Ada sebuah pintu dan dua celah angin yang tinggi, tetapi di luar gelap. Warna malam. Dan ia hanya mengenakan cawat yang terasa bukan miliknya. Waktu ia teliti, itu celana dalam perempuan berwarna biru muda dengan renda. Maka ia pun tahu bahwa orang-orang sedang menyiksa dan memperolok dia. Di dekatnya ada sepotong roti dan segelas air. Ia makan dan minum sebab amat lapar. Ia tahu bahwa prosesnya masih panjang dan tak seorang pun bisa menolongnya, sebab ini merupakan penangkapan gelap. Tak bakal ada surat kabar yang tahu karena dialah satusatunya penduduk Lubukrantau yang mempunyai lobi dengan dunia luar. Gereja barangkali akan mencari dia, tapi tak tahu harus bertanya ke mana. Pater Westenberg tak punya akses
ke penduduk. Ia sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya dan di mana ia disekap. Ini pasti bukan penjara resmi. Lalu ia teringat Upi, dan airmatanya kembali mengalir. Kali itu ia biarkan dirinya terhisak sampai tangisnya habis.
Lalu, kematian gadis itu terasa mengubah segalanya: ia tak lagi gentar menghadapi apapun yang akan terjadi padanya, sebab ia merasa tak ada lagi yang perlu dipertahankan.
Tapi, bagaimanapun penyiksaan yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup. Kadang mereka menyundut tubuhnya dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau cuma menggunakan kepalan dan tendangan. Tak ada yang lebih nyaman daripada yang lain. Ia belum pernah merasa lebih kesakitan daripada saatsaat ini. Wis betul-betul tidak tahu, apakah orang-orang itu melakukannya karena dendam atau karena mereka sungguhsungguh tidak percaya pada pengakuannya. Nampaknya, tak satupun dari mereka bisa faham bahwa keterlibatannya di Lubukrantau berpusat pada rasa sayangnya kepada Upi, gadis gila dan cacat, yang juga tak ia jamah. Tidak masuk akal, kata mereka. Kamu pasti mau membangun basis kekuatan di kalangan petani! Kamu mau menggulingkan pemerintah yang sah! Dan mereka terus menganiaya dia agar mengaku, meskipun pengakuannya sudah habis. Jepitan pada tangan dan kakinya kadang membuat Wis sendiri kehilangan keyakinan diri bahwa ia memang membangun kebun itu demi Upi, lalu ia menyetujui tuduhan-tuduhan mereka. Rasa
sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang cerita yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya sesunguhnya adalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang ataupun republik ananas, ia mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya. Ia sedang membangun kekuatan massa petani untuk sebuah revolusi demi negara sosialis Sumatera. Sebab kerajaan Allah sudah waktunya datang. Dan republik yang korup ini harus dibuang ke dalam api yang menyala-nyala. Di sepetak hutan lindung yang belum ditrabas menjadi kebun industri, di balik kebun-kebun kopi yang harum karena luak memberakkan bijibiji robusta, tepatnya di plateu Pasemah, ia telah membangun kubu dan merakit senjata bersama petani dan orang-orang Kubu. Juga Lubu. Mereka telah dikristenkan, setelah itu akan dikomuniskan. Jumlahnya sekitar seribu. Mereka akan membangun kerajaan sorga di bumi, mengganti presiden, terutama pangdam. Utopia. Lama-kelamaan ia sendiri menikmati kebohongan-kebohongannya. Sebab hanya dengan cara itu ia bisa mentertawakan dirinya dan orang-orang itu, kebodohan dan kegilaan mereka. Dan ia menemukan itu sebagai satusatunya hiburan baginya. Setiap kali ada kesempatan, ia selalu mengubah rasa sakit menjadi humor di kepalanya sendiri. Seperti ketika orang-orang itu memindahkah kutub-kutub setrum dari belakang telinga ke penisnya. Ia tertawa-tawa sesaat setelah terjengat ke belakang. Biarpun kau potong, aku tak akan sedih. Karena benda itu cuma kupakai untuk kencing. Tak perlu panjang-panjang. Tapi jangan potong kelingkingku,
sebab aku perlu untuk ngupil. Orang-orang menganggapnya gila karena kesakitan.
Ia telanjang. Orang-orang bisa melihat titit serta luka.
Ia terbangun dan merasa dirinya sebesar kepala. Hanya kepala. Tanpa badan. Dia tidak eksis di luar kepalanya. Tak ada jari-jari, tak ada jantung. Lindap. Warna malam ataukah aku berada dalam rahim" Sebab hangat dan berair. Lalu ada cahaya sebuah bintang jatuh. Itulah yang penglihatan awal yang ia dapat. Tapi sinar itu bukan asteroid, ataupun meteor, melainkan langit-langit ketuban yang telah bocor. Ia tersedot bersama pusaran air, juga gelembung keloid. Lalu, ketika langit telah robek seluruhnya, yang pertama-tama terlihat adalah wajah Ibu di balik sepasang gunung dada. Salju di putingnya. Tetesan susu. Ibu seperti baru saja melahirkan adik. Titik-titik peluh serta kesakitan yang telah berubah menjadi kebahagiaan. Yang kedua, ia melihat bambu-bambu betung dan pepohonan, yang semakin jauh semakin kelam, tempat tinggal ribuan ular dari ratusan jenis yang ganas, juga jin dan peri. Lela lela ledhung& yen ing tawang ana lintang... Maka tampaklah sebuah tanda lain di awan-awan, dan lihatlah, seekor naga kesumba padam berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh dan ekornya menghempas sepertiga dari seluruh bintang di langit ke atas bumi. Mereka menyebutnya Iblis, si ular tua. Dan makhluk itu merebut bayi yang baru dilahirkan ke dalam hutan tadi dan perempuan itu lari ke padang gurun, di mana telah disediakan tempat oleh Allah bagi dia agar dipelihara seribu dua ratus enam puluh hari lamanya. Wis memukuli ibunya karena membiarkan itu terjadi. Sebab Adik masih hidup meskipun sudah mati, tapi kenapa orangorang memasukkannya ke dalam peti. Sebab ia merasakan
sesuatu yang lain yang begitu dekat dengan Ibu yang Bapak tidak tahu, amat dekat, amat bersatu, ada cinta di sana. Ada mimpi, dan para penyiksa. Serdadu, paku-paku, mesin penyetrum.
Ada satu hal yang membuat Wis merindukan saat-saat interogasi. Lewat pertanyaan-pertanyaan mereka ia mencoba membaca apa yang terjadi di luar, terhadap kampung itu, Anson dan orang-orang. Sedikit-sedikit ia mengerti bahwa Anson dan kelompoknya menghanguskan pos satpam kebun dan markas polisi sektor, membunuh satu petugas lagi, lalu berpencar. Agaknya mereka belum tertangkap sehingga orang-orang itu terus menyesah Wis untuk menunjukkan tempat-tempat persembunyian. Dusun kini telah ditutup, penduduk tak boleh masuk, sementara ibu-ibu dan anak-anak dipindahkan ke suatu penampungan. Beberapa pasti diperiksa tentang kegiatan dia. Lalu Upi, gadis itu mesti sudah mati. Ia tidak berhasil mendapat jawaban, sebab orang-orang itu hanya menanyakan hal-hal yang mereka anggap besar dan penting. Dan mulutnya terlalu sakit untuk menanyakan sesuatu dengan jelas sebelum kesabaran mereka habis untuk mendengarkan yang tak mereka butuhkan.
Ada perasaan lega jika ia sedang disiksa untuk mengakui di mana Anson, sebab berarti pemuda itu belum tertangkap. Dan ketika kembali dalam selnya sendirian, ia berharap supaya temannya tidak tertangkap. Tapi ia tak bisa lagi berdoa untuk itu. Setelah semua kepedihan ini, agaknya Tuhan memang tak menyelamatkan mereka. Tak mau, atau tak sanggup. Atau Dia memang tidak ada. Ia amat kesepian.
Lalu, telah tiga hari mereka tidak menyakiti Wis dengan alat-alat. Ia hanya dipukul dan ditendang seperti bola. Kadang disundut. Saat ada jeda dari rasa sakit untuk berpikir, ia menjadi cemas. Jangan-jangan peralatan itu sedang digunakan untuk menganiaya Anson yang tertangkap. Lalu ia menyadari bahwa ada kepedihan yang lebih ketimbang disiksa; yaitu melihat teman-temannya dianiaya. Ia takut sekali membayangkan orang-orang itu membawa masuk Anson, lalu meremukkan tubuh sahabatnya di hadapannya. Ia mulai kehilangan rasa humornya. Tapi ia merasa lega ketika pertanyaan-pertanyaan interogatornya mengarah kepada suatu gerakan di Lampung, yang menggunakan senjata api rakitan. Pasti bukan Anson. Dan ia mencuri dengar bahwa perangkat penyiksaan itu sedang dipinjam untuk mereka.
Wis menghitung hari dari celah angin sempit di dekat langit-langit. Hanya dari sana ia bisa mengenali malam dan siang. Kalau tak salah hitung, sudah empat belas hari dia disekap. Kapan orang-orang itu bosan menyiksanya, apalagi ia mulai kehabisan cerita" Akan diapakan dirinya jika mereka telah jemu dan tak punya pertanyaan" Kemarin ia mendengar seseorang yang terkesan lebih terpelajar mengatakan kepada yang lain bahwa pengakuannya bullshit belaka. Memang! Agaknya orang yang baru datang itu cukup rasional. Hari ini ia belum dibawa ke luar. Padahal telah cukup lama rasanya ia tergeletak. Ia menduga pemeriksaan terhadap dirinya sudah ditutup setelah kedatangan orang itu. Tiba-tiba ia merasa semakin merana. Interogasi itu, meskipun pedih luar biasa, membuat dia berhubungan dengan orang lain dan mendapat informasi. Ia juga bisa menertawakan kesintingan diri dan mereka. Di sel ini cuma tubuh yang remuk dan
dirubung nyamuk. Penyakit kecil, seperti masuk angin dan kepala pening, jadi terasa. Ia rindu orang lain. Rindu semua orang. Ibu dan ayahnya. Bagaimana Bapak jika tahu aku begini" Barangkali sakit dan terhinanya melebihi aku sendiri. Semoga Bapak tak mendengar kabar apa-apa. Ia rindu Pater Westenberg, Mak Argani, Anson yang bersemangat, Upi. Kebun karet sehabis hujan. Bunyi orang bekerja di rumah asap. Ia tak bisa menangis lagi.
Tapi ia merindukan orang lain. Ke mana suara-suara itu" Suara-suara yang selalu menggetarkanku, yang membuatku kembali ke tanah ini" Mereka memang biasa datang tiba-tiba, tidak selalu pada kali aku inginkan. Saat-saat ini Wis berharap betul mereka menemaninya. Datanglah, tolong, datang! Namun, hingga cahaya muncul dari celah angin dan akhirnya hilang lagi, tak ada suara menemaninya. Hanya orang yang menyodorkan makanan, dan ia kepingin sekali mengajaknya bercakap-cakap.
Malam hari nyamuk selalu lebih banyak. Sudah dua hari ia tidak tidur, mengharapkan orang-orang membawanya untuk ngobrol, meski sambil dipukuli. Kini ia merasa amat letih dan mengantuk. Nyamuk-nyamuk itu mulai tak terasa. Tapi nafasnya kemudian sesak. Dengan matanya yang telah terbiasa pada kegelapan, ia melihat asap kehitaman menyusup dari sela-sela pintu. Makin lama makin tebal. Tercium bau karbondioksida. Setengah sadar ia menduga ada kebakaran. Ia terjaga sesaat, tapi tubuhnya begitu lemah dan sakit. Dan ia berkata pada dirinya sendiri: Biar saja. Aku mau tidur. Mungkin selamanya. Dilihatnya percik-percik api mulai menggerogoti dasar daun pintu. Ia tahu ia mulai keracunan asap. Ia akan mati sebelum terbakar.
Tapi didengarnya suara-suara itu. Betul, suara-suara yang dirindukannya, yang meninggalkan dia sejak dipenjara. Makin lama makin ramai di sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti membangunkan atau membingungkannya. Lalu ia merasa ada energi menyusup ke dalam tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu ringan, seperti ia bayangkan pada orang yang sedang trans, seperti kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah menjadi kurus. Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah keropos oleh api, lalu berlari di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai di pintu terakhir, yang mengantarnya ke alam terbuka. Sebentang lahan yang ditumbuhi pohon-pohon sawit muda. Bintang-bintang dan udara segar. Ia masih berlari, sampai terdengar teriakan: Ya, Allah! Abang! Abang Wis! Suara Anson. Allahu Akbar.
Wis merasa seseorang menangkap tubuhnya yang mau rubuh. Dilihatnya wajah Anson dan beberapa pemuda Lubuk rantau. Kemudian ia merasa seluruh tubuhnya amat letih, amat pedih. Tenaga-tenaga itu seperti pergi meninggalkan dia. Melayang menjauh.
Mereka meninggalkan tempat itu cepat-cepat. Masuk ke jajaran pokok-pokok sawit muda yang ujung daun-daun bawahnya masih menyentuh tanah. Dari belakang terdengar palang-palang kayu berjatuhan dimakan api, juga letup tabung gas.
Anak-anak muda itu membopong Wis bergantian. Dalam perjalanan Anson bercerita bahwa ia memang telah berencana membakar pabrik sawit yang baru dibangun itu, tanpa tahu
bahwa Wis disekap di dalamnya. Ia juga mengabarkan, beberapa lelaki yang menyerang markas polisi tertangkap dan ditahan. Tapi sebagian besar, yang dipimpin Anson, bersembunyi di hutan dan perkebunan. Kaum mudanya nampak tetap bersemangat. Wis bertanya: bagaimana istrimu dan ibu-ibu" Mereka juga ditahan di kantor polisi. Kelihatannya mereka aman. Ada pengacara dari lembaga bantuan hukum. Karena kebakaran itu, kasus ini ditulis di koran-koran. Jadi orang-orang dari bantuan hukum itu tahu dan menemani mereka.
Mereka berjalan semakin lama makin tertatih. Kau sendiri, apa yang kau rencanakan, Anson"
Tapi pemuda itu lalu termenung. Wis juga terdiam, kejadian telah begitu ruwet. Siapapun yang memulai, merekalah yang tetap dipersalahkan oleh hukum. Status mereka kini buron. Orang-orang yang membakar Upi, menggagahi istri Anson, merusak rumah kincir, mencabuti pohon-pohon karet muda, menjadi tidak relevan untuk dibicarakan hakim. Orangorang itu tidak dipersalahkan. Wis menghela nafas. Ia menyesal menanyakan itu, sebab pemuda-pemuda itu baru saja mendapat sedikit kegembiraan atas kemenangan membakar pabrik. Pikiran tentang masa depan terasa menghapus kejayaan yang barusan menghibur. Balas dendam itu jadi tak berarti apa-apa. Bersembunyilah dulu, Anson. Kalau aku sembuh nanti, aku akan bergabung dengan kau.
Wis tidak mau ke Perabumulih, sebab ia khawatir orangorang yang menyelidiki dirinya mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson, kawanannya, dan dia sendiri, serta Gereja. Ia minta diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di
sana, ia berpisah dari Anson dan teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur.
Jangan sampai tertangkap, Anson. Aku akan mencarimu begitu aku keluar. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kelak; apa yang akan terjadi pada Anson juga orangorang yang ditahan, ibu-ibu selama ia hanya berbaring di rumah sakit.
Abang pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan Abang berkali-kali, pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi.
Tapi Wis diam saja. Ia hanya berpikir. Tidak, Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi&
Dokter yang memeriksa memperkirakan dia mesti istirahat dua atau tiga bulan. Ada gegar kepala, kandung kemihnya luka, beberapa organ tubuh memar, selain pelipis dan hidung hampir semua tulang jemari retak, dan sarafnya terganggu akibat penyetruman di belakang telinga, sehingga kepala dan tubuhnya kadang mengejut di luar kehendaknya.
Suster Marietta yang bawel selalu membawakan dia koran, juga beberapa kliping dari pekan lalu. Wanita itu lama menjadi guru SMA sehingga kerap menganggapnya anak-anak. Dari surat kabar itu ia membaca tuduhan-tuduhan terhadap dirinya. Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbagsel menyebutnyebut aktor intelektual di belakang perlawanan warga Sei Kumbang: Ada indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi pandangan-pandangan kiri. Ia dituduh menghasut penduduk Lubukrantau untuk menghalangi pembangunan pembangunan perkebunan sawit harus diutamakan karena merupakan komoditi utama ekspor nonmigas. Ia juga dituduh mengajarkan teologi pembebasan, dan mengadu domba perusahaan dengan petani untuk mengacaukan stabilitas. Meskipun namanya cuma disebut dengan inisial saja: AW.
Pater Westenberg menjenguknya diam-diam, tapi tak bisa sering. Sebab ia percaya orang-orang memata-matai dia. Kirakira setelah sepekan, waktu tubuh pemuda itu beranjak segar, ia bicara dengan suara yang dikendalikan dan mata hijau yang diteduhkan. Pria itu menceritakan, sehari sebelum ia mendengar Wis telah berada di Lahat, datang surat panggilan ke pasturan dari polisi. Athanasius Wisanggeni dijadikan salah satu saksi dan tersangka penyerbuan dan pembakaran kantor polisi dan pabrik. Apa komentarmu, Wis"
Pemuda menatap lelaki itu sesaat lalu beralih pada daundaun dibingkai jendela. Kenapa baru sekarang surat itu datang" Setelah kebakaran" Kenapa tidak sejak serangan pertama saya dituduh" ujarnya lirih. Ia berpikir-pikir sejenak, lalu bertanya: Apa jawaban Pater waktu itu"
Saya tidak tahu kamu di mana. Sebab saya memang tidak tahu.
Apakah sekarang mereka sudah diberitahu" Pater Westenberg menggeleng. Saya kira apa yang terjadi pada kamu sungguh tidak wajar. Lagipula, kamu masih sakit. Saya belum memberitahu siapapun. Suster-suster juga tutup mulut.
Menurut Pater, kelihatannya mereka sudah tahu saya selamat, atau justru hendak konfirmasi secara tak langsung bahwa saya hilang, mati terbakar di bunker pabrik" Sebab malam itu saya tak melihat orang tahu saya kabur. Bahkan aku sendiri tak mengerti bagaimana aku bisa keluar.
Pater Westenberg masih menggeleng. Tapi, mereka sopan dan tidak memaksa memeriksa kamarmu.
Wis terdiam lagi. Apakah Bapa Uskup sudah dengar"
Ya, Bapa Uskup sudah dengar. Beliau membuat tim khusus untuk meneliti perkara ini.
Apa kira-kira kemungkinannya, Pater"
Pater Westenberg menghela nafas, seperti berat ia menjawab: Jika tim yakin kamu memang tidak bersalah, kamu harus memenuhi panggilan polisi. Jika kamu merasa bersalah, saya kira kamu harus mengundurkan diri dari tugas pastoral. Selanjutnya, menjadi tanggung jawabmu sendiri untuk menyerahkan diri atau tidak.
Itu tidak adil, Pater. Kedua-duanya adalah hukuman buat saya- Tapi lehernya mengejang sebelum ia selesai bicara dalam suaranya yang tegang. Kini, sedikit emosi saja membuat tubuhnya mengejut.
Rekan seniornya segera mengelus kepalanya, tertegun melihat keadaan pemuda itu. Jangan terlalu tegang, Nak. Akan saya pikirkan sesuatu untukmu. Tapi kamu, atau kita, tidak bisa terlalu berharap pada hirarki. Gereja sendiri dalam posisi terjepit. Tuduhan kita disusupi komunis menimbulkan ketakutan umat. Tuduhan melakukan kristenisasi membuat kita dibenci. Dan pada dirimu ada semua sangkaan itu.
Lalu keduanya sama-sama terdiam. Juga Suster Marietta yang datang.
Wis memanggil kedua orang itu. Saya kira, mereka tidak betul-betul tahu bahwa saya masih hidup.
B eberapa hari kemudian, sebuah mobil membawa Wis pergi dari rumah sakit itu, ke sebuah tempat yang hanya diketahui lima orang suster dan seorang dokter. Uskup tidak dikabari. Hirarki Gereja hanya dengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagian orang mengira dia mati ketika disekap di pabrik. Dan Pater Westenberg memilih tidak tahu, sebab orang-orang pasti mencecar dia. Di sana Wis dirawat sampai sembuh, kira-kira tiga bulan lamanya.
Dan ia mengganti kartu identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas di benaknya.
N ew Y ork , 28 M ei 1996
N amaku Shakuntala. Ayah dan kakak-perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka.
Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh. Seperti Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang kepada tubuh.
Tubuhku menari. Sebab menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. Dan kelak ajal.
Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang Sublim. Libidinal. Labirin.
Namaku Shakuntala. Aku melihat temanku Laila, lewat jendela. Ia muncul dari balik kabut debu yang ditiup angin jalanan. Ia menyembul dari bawah trotoar. Kepalanya lebih dulu, lalu tubuhnya, terakhir kakinya, seperti bayi dilahirkan, dari stasiun metro bawah tanah. Ia melangkah lekas-lekas, tetapi daun-daun kering yang lelarian menyusulnya lalu menari berputar-putar di kavling pasar loak meskipun para pedagang tengah berkemas-kemas pulang. Sudah sore. Lima menit kemudian ia masuk dari balik pintu apartemenku tanpa bunyi lonceng. Lift bobrok itu masih rusak juga. Tak ada belnya. Ia pasti naik tangga.
Aku melihat wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening. Aku tidak bertanya ada apa, sebab sesaat lagi ia pasti akan cerita.
Ia melempar tasnya ke atas babut, dan kertas-kertas di dalamnya bertaburan. Terbang di muka lampu dan membikinnya sesaat redup. Sketsa. Puisi.
Dia mati. Dia mati. Wajahnya seperti lilin yang leleh, sehingga aku khawatir dia akan menjadi lempengan yang segera kembali beku. Aku akan tak bisa menemukan di mana mulut dan bola matanya untuk berkomunikasi.
Jadi Sihar tidak datang"
Dia dibunuh. Aku takut dia dibunuh. Apa"
Lalu ia mengungkapkan satu teori bahwa kekasihnya ditikam oleh pembunuh suruhan seorang pejabat. Tukang jagal imbalan atau sekadar prajurit. Sulit buatku untuk percaya. Bukan karena itu mustahil. Aku pernah membaca tentang Dietje, peragawati yang dibunuh dekat pagar kawat kebun karet Kalibata. Juga Marsinah, buruh yang dirajam hingga tulang dalam rahimnya retak. Cuma, selama ini aku selalu merasa bahwa kekejaman tak akan terjadi pada orangorang di sekitarku. Pembunuhan adalah seperti malaikat: dia ada tapi sungguh jauh, tak akan datang kepadaku, atau orangorang di dekatku. Tapi, apa yang membuatnya mustahil" Kemudian aku mulai percaya, sebab belum pernah kulihat temanku segetas itu. Badannya menggigil. New York di bulan Mei memang masih dingin. Tapi ia pucat bagai cicak, yang tak hidup di kota ini. Kuseduhkan sekantong Starbuck Jamaica dengan susu nonfat encer. Aku percaya kafein memompa darah dan susu menenangkan kegelisahan. Aku juga percaya pada usia tiga puluh orang harus mulai menghindari lemak. Temanku itu harus berdiet. Ia mulai gemuk. Lehernya mulai berlipat. Ia tak boleh minum susu fulkrim.
Kamu sudah pastikan beritanya"
Ia menggeleng. Orang di kantornya tidak mau cerita. Mungkin mereka khawatir untuk menyampaikan kabar begitu. Lagipula, masih terlalu pagi di sana&
Tala, ia panggil aku lagi, Tolong aku, dong! Tolong teleponkan rumahnya, ke Jakarta, ada kabar apa&
Aku mahir mengubah suaraku. Kadang aku ini kera Sugriwa dengan geram egresif maupun ingresif dalam trakhea. Kali lain aku adalah Cangik yang suaranya yang klemakklemek seperti kulit ketiaknya yang lembek. Ketika remaja aku
selalu menari sebagai Arjuna dalam Wayang Orang, dan gadisgadis memujaku sebab tanpa sadar mereka tak menemukan sisa-sisa femininiti dalam diriku. Tapi aku juga Drupadi, yang memurubkan gairah pada kelima pandawa. Selama di New York, aku pernah mendapat cukup uang tambahan dari mengisi suara film animasi eksperimental. Lantas, jika orang sanggup menyetel rongga artikulasinya seperti memutar kanal radio, apa sulitnya menjadi laki-laki" Meskipun yang menerima telepon bukan istrinya, aku sudah telanjur menjadi pria Amerika. Setelah itu kuhampiri temanku yang telungkup di sofa dengan dua lembar sketsa dan gurat-gurat yang teracak seperti sia-sia: Kuinginkan mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/ di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus.
Sihar tidak mati, kataku agak kecewa. Ya, aku kecewa. Laila menatapku, lega dan berharap.
Aku melanjutkan: Dia ada di hotel Days Inn. 57 th Street, West. Sama istrinya.
Mukanya berubah, seperti semangkuk sup panas dan sepotong kerupuk dicemplungkan ke sana. Ada energi yang bertubrukan, lalu layu. Temanku itu memang cuma punya dua tawaran yang tak enak: kematian atau pengingkaran. Kenyataan menyodorkan yang kedua.
Apa bedanya kenyataan dengan impian"
Waktu itu tahun 1975. Ayah membuangku ke sebuah kota asing. Kota itu begitu besar seperti belantara sehingga jika aku berangkat sekolah ibu selalu membekali dua tangkup
roti. Yang satu untuk kumakan. Yang sepotong lagi untuk kusobek kecil-kecil. Kutaburkan sepanjang jalan agar aku bisa menemukan rute pulang seusai pelajaran. Aku belajar dari Hansel dan Gretel. Mereka juga mempunyai ayah yang jahat.
Sekolah tempat aku dijebloskan adalah sebuah gedung yang amat aneh, dikitari sungai yang dalam. Begitu dalamnya sehingga ikan purba hidup di dasarnya. Tak ada yang tahu berapa jumlahnya sebab telah ratus-ratus tahun mereka di sana, dan tak satupun bangkainya pernah mengapung. Siripsirip ikan itu bercahaya fosfor jika berada di relung-relung dasar sungai yang pekat tak tertembus siang. Tapi begitu mereka ke permukaan, sisik-sisiknya dicantoli ganggang yang luyu dan legam karena purbanya, seperti rambut gombak. Mereka jarang dan hanya satu dua detik saja muncul, mengelibatkan bayangan gelap dan ombak. Air hijau. Lumut hijau. Gerbang sekolah bisa diturunkan dan dinaikkan dengan rantai besi berlumas oli. Jika diturunkan, kayu berpaku-paku baja itu menjadi jembatan. Setelah semua murid berbaris masuk, kepala sekolah memutar tuas hingga gerbang menutup dengan bunyi dentum yang menerbangkan rambut. Murid yang kabur akan terjatuh ke dalam sungai dan ikan purba akan melahapnya lebih rakus daripada lele menyantap tinja. Tinja yang gemuk dan hangat sekalipun. Yang belum mengering susut.
Aku menangis karena aku ingin kembali ke kotaku yang teduh. Tapi mustahil melarikan diri. Mustahil.
Karena itu aku menari. Tubuhku menari. Berputar-putar dan meliuk-liuk, seperti kuntum yang dipatah anak-anak lalu dialirkan di parit. Kulihat mereka mengikuti ke mana aku bergerak: bocah-bocah lari membuntuti kuncup yang menari dari pematang. Ketika aku selesai mereka bertepuk tangan.
Dari mana asalmu, anak baru" Aku keturunan peri.
Mereka ketawa begitu keras sehingga aku terjerembab oleh anginnya.
Aku keturunan peri. Aku tinggal di sebuah keputrian di mana semua anak menari. Di sekeliling kompleks itu terbentang bukit-bukit yang ditinggali raksasa: buta cakil, buta rambut geni, buta ijo, buta terong, buta wortel, buta lobak. Buta-buta galak. Mereka adalah musuh dan olok-olok para satria, yang mengatai mereka sebagai buron aneh dan remeh. Tapi aku jatuh cinta pada salah satunya.
Karena raksasa akan dibunuh seperti wirok jika memasuki keputrian yang terletak di belakang kesatrian, akulah yang mengunjunginya di bawah pohon-pohon kepuh. Belit-membelit seperti Nagagini dengan seekor ular domestik. Tetapi tukang kebun melaporkan kami pada ayahku. Ia menyuruh para satria memburu kekasihku, sementara aku dibuangnya ke kota ini. Di sini, di kota ini, malam hari ia mengikatku pada tempat tidur dan memberi aku dua pelajaran pertamaku tentang cinta. Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit.
Di kota asing ini, setiap kali matahari telah tenggelam ayah menyuruh orang memasung aku pada ranjang. Sebab aku ini keturunan peri. Tapi, tanpa dia tahu, pada malam hari aku belajar menikmati rasa sakit. Pada pagi hari aku belajar menghayati tubuhku menggeliat ketika rantai dilepas. Pada
siang hari aku belajar di sekolah. Matematika, ilmu alam dan sosial, juga Pancasila atau prakarya.
Murid-murid tertawa dan meninggalkan aku satu per satu. Cuma seorang anak perempuan yang mendengarkan aku sampai selesai. Adakah ia percaya padaku atau sekadar menyukai ceritaku, aku tak tahu. Tapi ia menemaniku. Namanya Laila. Sejak itu ia menjadi sahabatku.
Kupandangi temanku Laila. Hatinya seumpama bawang merah: ketika ketegangan telah kelupas seperti kulit ari yang garing, terbukalah lapisan lain di bawahnya, yang panas memerahkan mata. Kini matanya merah seperti mau menangis.
Kenapa sih istrinya harus ikut-ikut terus, ia seperti menahan guruh dalam dadanya.
Aku menghiburnya: Wajar saja. Ini kesempatan berlibur berdua ke Amerika dengan beli satu tiket.
Ia menghela nafas: Betul juga, sih.
Tapi aku tidak ingin menambah alasan untuk Laila memaafkan Sihar terlalu cepat, seperti yang biasa ia lakukan di Jakarta. Seharusnya dia memberi kabar. Kamu kan sudah kasihkan alamatku. Apa susahnya menelepon"
Mm, iya sih& Tapi bagaimana mau telepon kalau istrinya di samping terus"
Istrinya itu kalau berak juga minta ditunggui, ya" Mungkin beraknya cepat.
Untung sekali dia, ya. Aku harus nongkrong sepuluh menit sampai taikku keluar. Padahal aku sudah makan sayur
dan buah-buahan. Tapi, seharusnya Sihar bisa pura-pura menelepon kantor, padahal menelepon ke sini.
Tapi nomor kamu akan tercatat di rekening hotel. Dari angkanya saja istrinya bakal tahu kalau itu telepon lokal, bukan ke Odessa. Kalau dia cek ke sini gimana"
Telepon dari luar, dong! Orang biasa begitu, karena telepon umum selalu lebih murah daripada telepon hotel. Masa begitu saja tidak punya akal" Dia itu bodoh apa tidak serius!
Tapi Laila menghela nafas lebih panjang, lebih keras. Ia melengos ke pantri dan mencuci cangkir sebelum kopinya tandas. Aku menyesal terlalu menekankan kesalahan Sihar, sebab itu berarti mengatakan bahwa ia kurang mencintai Laila. Siapa tahu lelaki itu seperti yang diharap temanku: cuma belum sempat menelepon karena dalam kondisi terjepit. Terjepit istri. Agak kikuk kuambil Tickle-me Elmo dari bawah bantal dan kugelitik perutnya. Boneka berbulu merah itu terkikik kegelian dengan suaranya yang serak kekanakan. Tahu enggak, Elmo yang ini ludes dalam sebulan. Aku untung bisa dapat. Sekarang, di toko-toko adanya Elmo yang biasa. Laila hanya berdehem sambil mengeringkan cangkir dengan lap dan menggantungnya di rak. Ia bahkan tak peduli pada Elmo. Sayang ya, Jim Henson sudah mati. Tapi, kenapa tidak ada yang meneruskan Muppet Show, ya" Aku menirukan suara leher Kermit si Katak. Mulut temanku tersenyum tapi matanya tidak. Akhirnya aku diam. Kunyalakan teve, dan Rosie O Donnell muncul di tabung kaca seperti sulap. Kali ini perempuan gendut itu mewajibkan semua hadirin di talkshow-nya, termasuk dirinya, memakai celana dalam tali. Orang-orang itu duduk gelisah seperti terkena wasir. Oh,
akting, siapa yang bisa membuktikan" Barangkali mereka malah tidak pakai celana dalam sama sekali. Apakah Sihar suka kalau cewek pakai cawat tali begitu, thong cut" Tahu, ah! Gua enggak pernah mikirin begituan! Tapi ia nyengir, meski masih nyinyir. Setelah mengambil secawan kimchi dari kulkas ia panggil aku, Tala! Mungkin enggak, sebetulnya dia tidak datang sama istrinya" Ia menyuap sesumpit acar lobak seperti merindukan rujak. Kamu yakin yang menerima teleponmu tadi bukan istrinya"
Laki-laki, kok! Aku pasti, tapi kemudian tak pasti. Kecuali kalau istrinya juga bisa mengubah-ubah suara kayak aku. Tapi, kenapa dia harus bohong"
Siapa tahu istrinya tahu rencana kami. Terus"
Terus& dia mencoba menggagalkan. Atau, cuma mau menjebak.
Untuk apa" Lagi pula, kalau begitu, kalau istrinya tidak di sini, malah tidak ada alasan Sihar untuk tidak menelepon kamu.
Laila termanyun. Betul juga, ya& Kenapa sih dia takut sekali" Aku tidak akan mengganggu istrinya. Aku cuma ingin ketemu dia. Aku tak akan mengganggu keluarganya... Aku pun termangu.
Atau, kataku menghiburnya, mungkin dia justru tak mau merugikan kamu.
Kamu masih perawan. Ketika umurku sembilan tahun, aku tidak perawan. Orangorang tidak menyebut begitu sebab buah dadaku belum tumbuh. Tetapi ada yang kurahasiakan dari orangtuaku:
Waktu mereka mulai mendengar bahwa aku suka sembunyisembunyi menemui seorang raksasa, ibuku membuka satu rahasia besar: bahwa aku ini ternyata sebuah porselin cina. Patung, piring, cangkir porselin boleh berwarna biru, hijau muda, maupun cokelat. Tapi mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya ke tempat sampah, atau merekatkannya sebagai penghias kuburan. Ibuku berkata, aku tak akan retak selama aku memelihara keperawananku. Aku terheran, bagaimana kurawat sesuatu yang aku belum punya" Ia memberitahu bahwa di antara kedua kakiku, ada tiga lubang. Jangan pernah kau sentuh yang tengah, sebab di situlah ia tersimpan. Kemudian hari kutahu, dan aku agak kecewa, bahwa ternyata bukan cuma aku saja yang sebenarnya istimewa. Semua anak perempuan sama saja. Mereka mungkin saja teko, cawan, piring, atau sendok sup, tetapi semuanya porselin. Sedangkan anak laki-laki" Mereka adalah gading: tak ada yang tak retak. Kelak, ketika dewasa, kutahu mereka juga daging.
Waktu orangtuaku mendengar bahwa aku pacaran dengan seorang raksasa di dalam hutan, mereka memberi nasihat kedua. Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau cuma punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan pernah diberikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah. Tapi, sehari sebelum aku dibuang ke kota asing tempat aku tinggal saat ini, aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kukasihi.
Malam terakhir itu, di bawah bulan warna jambon, aku berjingkat ke pawon, dan kurenggut ia dengan sendok teh. Ternyata cuma sarang laba-laba merah. Kusimpan ia dalam kotak perak Jepara dan kuberikan kepada anjing. Dia memang pengantar pesan-pesan rahasia antara aku dan si raksasa.
Kayak apa sih rasanya waktu pertama kali" Enggak ada rasanya.
Enggak sakit" Aku enggak. Kok bisa enggak sakit"
Enggak tahu. Mungkin karena aku tak pernah punya trauma.
Saman Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Trauma apa" Sejak lama kutemukan hidupku adalah menari. Bukan di panggung melainkan di sebuah ruang dalam diriku sendiri. Entah berdinding atau tanpa batas, tempat itu suwung tanpa pengunjung. Di sana aku menari tanpa musik mengiringi. Musik itu ada, aku bisa mendengar roceh dan rebab. Tapi ia bermain sendiri-sendiri, seperti aku: menari sendiri. Kami penuh dalam diri masing-masing, tidak mengisi satu sama lain, apalagi melengkapi upacara penyambutan tamu-tamu sultan atau turis keraton. Di luar sana barangkali ada penonton yang datang sedikit demi sedikit demi sedikit; apa peduliku dan para penabuh gamelan itu" Aku menari sebab aku sedang merayakan tubuhku. Tetapi kelimun itu mengira aku adalah bagian dari perayaan bagi mereka. Ini menimbulkan persoalan. Mereka bertepuk dan menamai aku: si Penari. Lalu orang-orang menegakkan panggung di alun-alun serta menggantung petromaks tinggi-tinggi, dan menafsirkan bahwa si Penari haruslah sintal dan lentur supaya geraknya menjadi indah bagi hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin, tidak boleh terlalu lambat biar tak mengundang kantuk. Maka, di pentas ramai itu ia pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton tayub yang menuntut. Ronggeng. Gandrung. Si Penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh itu bukan miliknya lagi. Seperti seorang istri yang tidak memiliki badannya. Karena itu aku selalu kembali ke ruang di dalam diriku sendiri, di mana penari dan penabuh bermain sendiri-sendiri.
Vaginismus. Aku pernah dengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada seksualitasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di ekstrim lain.
Laila tertawa keras-keras. Wah, bagaimana kalau ternyata aku juga trauma, ya"
Aku tertawa juga. Bayangkan kalau dia sudah susah payah curi-curi kesempatan lepas dari istrinya untuk kencan dengan kamu. Terus, kamu juga sudah kepingin. Tapi ternyata tidak bisa ditembus. Laila, Kamu pernah dengar anekdot tentang pengantin baru yang bodoh" Mereka main tanpa lampu. Si suami setengah mati berusaha memperawani. Waktu akhirnya dia berhasil dengan penuh keringat dan lega karena istrinya ternyata masih perawan tulen, ternyata si istri belum buka celana dalam dan yang ditembusnya adalah celana dalam&
Tapi temanku malah berhenti tertawa. Kamu yakin dia di sini dengan istrinya" Aku berhenti tertawa juga.
Kamu yakin akan begituan kalau betul-betul ketemu Sihar"
Ia menggeleng. Enggak tahu, deh. Menurutmu bagaimana"
Menurutku jangan. Kenapa"
Lebih baik jangan. Aku tidak suka pada Sihar.
Saat karibku pulang dari Sumatera dua tahun lalu, ia menelepon bahwa hatinya sedang terisi. Dan jin macam apakah yang kali ini menghuni botol jantungmu" aku bertanya. Rupanya jin yang telah beristri. Itu segera menjadi bahan diskusi aku dan dua karib kami yang lain, Cok dan Yasmin. Laila bukanlah aku atau Cok, orang-orang dari jenis yang tak peduli betul pada pernikahan atau neraka, selain berpendapat bahwa keduanya adalah himpunan dan di antaranya ada irisan. Laila sedang dalam perjalanan mencari seorang lelaki yang pantas untuk membangun keluarga dan membahagiakan orangtua. Keduanya adalah sebuah ibadah yang mendatangkan pahala. Indahnya. Aku pun ingin.
Tapi mencari suami memang seperti melihat-lihat toko perabot untuk setelan meja makan yang pas buat ruangan dan keuangan. Kita datang dengan sejumlah syarat geometri dan bujet. Sedangkan kekasih muncul seperti sebuah lukisan yang tiba-tiba membuat kita jatuh hati. Kita ingin mendapatkannya, dan mengubah seluruh desain kamar agar turut padanya.
Laila selalu jatuh cinta pada lukisan, bukan pada meja makan. Ketika remaja ia tertarik pada seorang pemuda Katolik. Lakilaki itu menjadi pastor dan pergi mengembara. Sepuluh tahun temanku tak bisa melupakannya, ia kirimi pemuda itu puisi-puisi, padahal orang itu mungkin sedang asyik menggembalakan domba-dombanya. Kini, ia memulai cerita dengan pria beristri. Kamu juga tak akan bisa menikah dengannya, kami menasehati. Tapi aku cinta, katanya. Ya sudah.
Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong.
Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu. Aku tak pernah tahu apakah pada temanku Laila ada birahi. Ketika berhubungan dengan si frater dulu, kasih platonis agaknya yang ia punya. Pada semester kelima kuliah baru ia mendapat teman kencan yang mengelus-elus tengkuk dan telinganya. Aku selalu bertanya apa yang dia lakukan. Aku dicium, jawabnya satu pagi. Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-besok kamu harus ciuman. Suatu siang ia laporan: semalam aku ciuman. Dan apakah kamu basah" tanyaku. Tidak tahu, katanya, apa bedanya dengan keputihan"
Sekarang dia pacaran dengan suami orang. Laki-laki yang biasa dengan hubungan seks. Aku dan Cok bertaruh melawan Yasmin bahwa pria ini tak akan tahan hanya ciuman terusterusan. Taruhan kami adalah membeli kondom berbintilbintil seperti buah pare di apotek Sogo saat pengunjung sedang ramai. Harus ketika banyak orang, biar malu. Yasmin percaya bahwa pria bisa mencintai tanpa seks. Tentu saja, kujawab,
tapi pada anak atau anjing sendiri. Dan pasti bukan pria yang ini, sebab dia tak punya anak ataupun anjing sendiri. Betul juga, lelaki itu akhirnya membawa temanku ke sebuah motel. Laila meneleponku sebelum berangkat. Kayaknya dia akan cari kamar, tapi belum tahu di mana. Kasih kabar temanteman. Kalau ada apa-apa, aku bergantung pada kalian. Oke, jawabku agak stres, segera kontak lagi setelah tiba di tempat. Aku menghubungi telepon genggam Yasmin dan Cok. Kami mulai tegang seperti intelejen menyusun perang.
Lima belas menit kemudian teleponku berdering. Aku sudah sampai Copa Cabana, suaranya berbisik. Sihar lagi di kamar mandi. Nanti kutelepon lagi. Dia enggak mau kalau aku bilang-bilang teman. Telepon ditutup sebelum aku sempat pesan: hati-hati. Kami sayang padamu.
Aku langsung menelepon Yasmin dan Cok. Dan kami berdebar-debar, bukan tentang siapa yang harus membeli kondom beruntus itu tentu, melainkan takut sesuatu terjadi pada Laila. Apakah sesuatu itu, aku pun tak jelas. Aku tidak beranjak dari telepon sampai kira-kira dua jam kemudian. Tala" suaranya masih lirih.
Laila! Hai& Sudah"
Sudah apa" Begitu& Enggak. Enggak sampai beneran. Tapi sampai"
Dia sampai. Kamu" Enggak tahu& Kasih kabar yang lain aku baik-baik. Klik.
Kami bertiga betul-betul lega. Lalu tinggal persoalan kondom. Yasmin ngotot bahwa ia bebas dari kewajiban mem?"" belinya karena tidak terjadi persetubuhan. Tidak bisa, aku berkeras, Taruhan kita adalah ada seks atau tidak. Mereka tidak berhubungan seks! tukas Yasmin. Siapa bilang" Pokoknya, semua tindakan saling merangsang atau menimbulkan rangsangan pada organ-organ seks adalah hubungan seks. Apalagi sampai orgasme. Soal masuk atau tidak, itu cuma urusan teknis. Tak ada yang bisa membantahku bahwa masturbasi adalah tingkah laku seks. Dan siapa bilang yang dikerjakan Laila dan Sihar tak mungkin menjadi kehamilan"
Belum sebulan temanku sudah mengeluh terlambat bulan. Aku ikut tegang sebab pada masa ini tak ada lagi begawan yang menolong Kunti melahirkan Karna lewat telinga agar selaput daranya tidak tersayat, meskipun aku selalu heran bagaimana rupa Kunti ketika bayi itu sedang melewati lehernya. Aku takut, kata Laila dengan wajah lesi. Tapi kamu tahu kan kalau pembuahan tidak terjadi di lambung atau di usus sehingga tertelan itu tidak apa-apa" Aku takut. Sudah bilang Sihar" Menurut dia tidak mungkin. Sudah minta Sihar mengantarmu tes kandungan" Menurut dia tidak mungkin. Kalau ternyata betul" Menurut dia tidak mungkin. Ya sudah. Kami menginterogasi, posisi apa yang mereka lakukan waktu itu. Tetapi Laila malu bercerita dengan detil. Dia juga malu untuk memeriksakan air kencing ke laboratorium. Akhirnya, Yasmin menawarkan diri membawa ampul urin atas namanya. Dalam mobil kami menunggu seraya menghidupkan AC sebab kelenjar keringat Laila terus saja berproduksi. Setengah jam kemudian Yasmin datang bersama kertas transkripsi dengan hasil negatif. Kelegaan itu dirayakan dengan makan
bakmi sorong yang mangkal di samping SMA kami berempat dulu, Tarakanita Puloraya, mengingat-ingat bahwa kami pernah remaja, pernah perawan. Dan Laila masih perawan. Tapi setelah dewasa, bakmi itu kini terasa jorok.
Jika sekali atau dua kali lagi kalian kencan, sanggupkah kamu tetap bertahan" Entah, ya. Harus bisa, ah, jawabnya. Tapi, setelah itu tak pernah lagi kudengar kabar tentang Sihar selama berbulan-bulan. Apa yang terjadi, Laila, adakah sumbat kau buka dan jin biru dalam botol itu melesat sebelum mengabulkan tiga permintaan"
Dia membelikan tiga buku yang kuminta di Singapura. Dan kamu telah memberinya lima kaset CD, buku melatih intelegensia anak, buku ginekologi umum, dan tiga kali mengirimi makan siang ke kantornya: Pizza Hut, Hoka-hoka Bento, Bakmi GM.
Gila! Kamu pelit banget. Semuanya dihitung. Kamu terlalu baik. Aku takut kamu terlalu baik untuk orang macam dia.
Tapi begitulah Laila, pada siapapun dia memberi. Dia sahabat terbaik yang pernah kudapat. Karena itu aku takut dia disakiti. Barangkali aku terlalu protektif"
Aku tidak suka Sihar. Aku cuma bertemu tiga kali di Jakarta, sebelum aku mendapat grant untuk pergi ke Amerika Serikat. Lelaki itu memang selera temanku: atletis, tidak putih, berkacamata, kalem, beberapa helai uban telah tumbuh, dan ada odor yang khas tembakau atau keringat. Buatku, dia terlalu serius, kurang imajinasi, lambat mengolah humor sehingga
selalu terlambat tertawa kadang sama sekali tak paham apa yang kami luconkan. Berhubungan seks dengannya pasti tidak imajinatif dan tak ada pembicaraan post-orgasme yang menyenangkan. Tapi bukan itu yang membuatku keberatan, meski aku tak tahu apakah aku punya hak untuk keberatan. Aku tahu mereka terlibat sebuah petualangan yang romantis di Perabumulih: Laila, Sihar, Yasmin, dan Wisanggeni, lelaki yang kemudian menjadi pastor itu. Kudengar ia kemudian mengganti namanya. Siapa, aku lupa. Namun, setelah Rosano akhirnya terpojok, aku menangkap kesan Sihar tak terlalu peduli lagi pada Laila. Tidak sesering dulu ia menelepon atau mengajak jalan-jalan. Tak juga mudah menerima telepon dan undangan minum kopi. Aku khawatir dia memanfaatkan temanku yang baik itu untuk proyek balas dendamnya. Kini, Sihar meninggalkan Laila dalam kebingungan atas sensualitas yang baru dia alami dengan lelaki itu. Aku tahu Laila mulai penasaran dengan kenangan erotisnya yang mengambang. Cumbuan tanpa orgasme.
Tapi tidak. Laki-laki itu tidak menghilang begitu saja. Ia muncul tiba-tiba, seperti bocah pemain layang-layang yang tahu bahwa angin barat mulai surut dan kupu-kupu kertas itu perlu dihidupkan lewat gelasannya. Ia akan menelepon lagi tatkala Laila telah lelah gagal menghubungi. Lalu membikin janji bertemu, tetapi pada saat-saat akhir dibatalkan dengan alasan yang selalu ada tiba-tiba. Lalu tertinggal temanku dengan kangen yang telah disentuh hingga bangkit. Jika telah begitu, kerap Laila meminta aku, atau Cok dan Yasmin, menelepon Sihar. Tentu saja ia paling sering menyuruh aku karena kemahiranku menyamarkan suara. Dari sana, kutangkap kesan pria itu suka menghindar. Suatu hari, resepsionis
di kantornya menyahutku seperti ini: Ini Pak Agus yang dari asuransi atau yang temannya Laila" Aku marah sekali. Bagaimana operator telepon sampai tahu bahwa aku mencari Sihar demi Laila! Mestilah dia sudah meraholkan hubungannya dengan temanku pada para pegawai administrasi, resepsionis, operator, sekretaris. Barangkali dia bercerita tentang seorang gadis bernama Laila Gagarina yang mengejar-ngejarnya, dengan menghapus cerita bahwa lelaki itu sendiri juga suka menelepon. Dan, sepulang dari rig di laut Cina Selatan itu, dia berkata pada teman-temannya dengan gaya anteng tetapi mengandung kebusukan, Kalian ingat, cewek fotografer yang waktu itu ke sini" Dan ia bercerita tentang tubuh temanku Laila ketika ia menelanjanginya seperti menceritakan bonus prestasi karena menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline, sambil mereka menatap gadisgadis bar seolah semua bisa ditaklukan oleh uang dan otot-otot yang jantan, tanpa berpikir bahwa perempuan-perempuan itu juga telah menaklukan mereka dengan bokong dan tetekbengeknya. Asu.
Aku tak suka Sihar. Tapi temanku suka padanya. Lupakan dia, Laila. Tapi dia tidak mau melupakannya. Ya sudah.
Kamu ingin aku meneleponnya ke hotel" Sebab telepon tak juga berdering.
Ia nampak bimbang, seperti orang jelata yang hendak menyeberang jalan di Jakarta. Jika aku meneleponnya berarti aku tak lagi memberi kesempatan lelaki itu untuk
menghubungi Laila lebih dulu, memupuskan harapan Laila untuk ditelepon lebih dulu. Itu bisa dibaca sebagai tanda bahwa Sihar mengingkari Laila. Dan itu akan menyesakkan hati temanku, seperti membangunkan dia dari tidur untuk memberitahu bahwa tahi cicak yang jatuh di bibirmu itu bukan cuma mimpi yang asam. Aku terdiam. Kubiarkan dia mengambang.
T elah sering aku curiga bahwa kebanyakan raksasa bukan berasal dari India, melainkan menumpang kapal-kapal Eropa yang mencari rempah-rempah ke Hindia. Mereka berambut gimbal dan berkulit matang sebab matahari telah memanggang tubuh mereka pada geladak dari Barat. Dan uap asin. Para raksasa kafir itu datang bersama pendeta mereka, yang juga raksasa dan kafir, dan menemukan di kepulauan Jawa dan Bali perempuan-perempuan coklat menari-nari telanjang di kali. Gadis-gadis dan ibu-ibu tua mandi dan mencuci. Sebetulnya lelaki coklat bertubuh langsing juga mandi dan telanjang di sungai, tetapi mata hanya melihat apa yang dipilih oleh bukan mata. Aku tak akan pernah tahu apa yang dipikirkan para raksasa itu seandainya aku tidak berkenalan dengan salah satunya, yang masuk lebih jauh ke pedalaman dan mengintip aku menari tanpa kain pada dadaku di sebuah parit pegunungan. Tapi aku tahu ada yang mengintaiku karena itu aku duduk di atas batu. Lalu ia keluar dari semak keladi tua dan menatapku dengan heran sebab aku tidak mengambil kain penutup payudaraku.
Hijaunya Lembah Hijaunya 17 Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah Mengganasnya Siluman Gila Guling 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama