Sekar Karya Maria A. Sardjono Bagian 1
Satu B AYANG-BAYANG itu lama menimpa pekerjaan
Sekar sehingga gadis itu merasa terganggu. Kepalanya me"noleh ke arah ambang pintu, bermaksud menegur sia"pa pun yang berdiri di sana karena bayangannya meng"ganggu pekerjaannya. Tetapi jangankan mampu me"ngeluarkan kata-kata teguran, memegang piring yang se"dang dicucinya saja pun tangan Sekar gemetar, sampai kehilangan kekuatan.
Cepat-cepat ia meletakkan piring yang berlumur busa sabun itu ke bak cuci piring kembali. Setelah mema"tikan keran air, tangan kirinya yang basah menyibak ram"but yang terjuntai ke dahinya dan tangan kanannya yang masih penuh busa sabun diusapkannya kuat-kuat ke atas celemek yang melingkari perutnya. Matanya di"ke"dipkannya berulang kali, hampir-hampir ia tidak me"mercayai penglihatannya. Bahkan nyaris mengira
Halo, Ibu Guru" Laki-laki yang bayangan tubuhnya menimpa bak cuci piring itu mulai menyapa dengan senyum lebarnya yang simpatik. Kaget melihatku kem"bali"
Mendengar suara dan senyum itu hati Sekar bergetar hebat, sebab apa yang sedang dilihatnya itu benarbe"nar berbentuk seseorang yang berdarah dan berdaging. Bukan khayalan seperti sangkaannya semula.
Apa kabar, Bu Guru" Laki-laki yang belum mendapat tanggapan itu mengulangi sapaannya. Begitupun se"nyum lebarnya yang simpatik itu terkuak kembali, se"makin mengganggu perasaan Sekar, sampai tiba-tiba ga"dis itu merasakan ada sesuatu yang meledak di balik da"danya. Dengan seketika, ia mulai memahami dirinya sen"diri mengapa selama ini hatinya begitu tegar dan tak pernah tergoyahkan oleh panah asmara yang dilontar"kan para pemuda yang menaruh hati kepadanya.
Bagai air bah yang mengepung dan menyergapnya, sega"la bayangan masa lalu yang selama ini tersimpan di re"lung hati Sekar tiba-tiba saja berhamburan ke dalam otak"nya dan sekaligus mengait pemahaman baru pada diri"nya bahwa apa yang meledak di dadanya tadi adalah suatu kenyataan. Dan bahwa laki-laki di hadapannya, yang telah mengisi setiap pengalaman hidup pribadinya dan yang tidak mungkin tersingkir dari ingatannya, mem"punyai tempat istimewa dan khusus di hatinya. Ter"lalu banyak yang membekas dan terlalu menukik ke da"lam. Terlalu banyak pula kenangan yang pernah diladak selalu manis sebagaimana yang terjadi di masa kecil"nya dulu.
Bermula, di suatu saat beberapa belas tahun lalu keti"ka Sekar duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Waktu itu ia sedang bingung menghadapi pekerjaan rumahnya. Sama sekali dia tidak tahu bagaimana mengerjakan soal-soal hitungan yang harus diselesaikannya hari itu. Pa"dahal, esok pagi pekerjaan rumah itu harus dikumpul"kan di sekolah.
Sebagaimana biasanya jika mengalami kesulitan belajar, ia akan pergi ke rumah induk dan langsung menemui Joko di kamarnya. Laki-laki remaja yang saat itu ma"sih duduk di kelas dua SMP memang mendapat perin"tah dari kedua orangtuanya untuk membantu Sekar dalam mengerti pelajaran sekolahnya.
Tetapi sayangnya malam itu Joko sedang tidak dalam ke"adaan siap membantu. Dia sendiri pun sedang menger"jakan pekerjaan rumah yang dirasanya kelewat banyak. Sulit pula soal-soalnya. Hatinya sedang kesal, sehing"ga ketika melihat kedatangan Sekar ke kamarnya, pera"saan buruknya itu semakin menjadi-jadi.
Ada apa lagi" tanyanya dengan suara ketus dan kedua belah alis mata nyaris bertaut menjadi satu. Hmm, ada orang yang bisa dijadikan tempat pelampiasan rasa ke"salnya.
Sekar mundur dengan hati mulai menciut. Buku yang ada di tangannya disembunyikannya ke balik punggung"nya. Kepalanya langsung menggeleng dengan seketika.
laki-laki berdarah bangsawan) tidak sedang belajar..., sa"hut gadis cilik itu agak terbata.
Joko tidak menyahut. Ditekuninya kembali pelajaran yang ada di bawah hidungnya itu dengan sikap acuh tak acuh. Baru kemarin sore Sekar menanyakan pelajaran yang dirasanya sulit. Kalau tidak salah ingat, pela"jaran tata bahasa Indonesia. Sekarang entah apa lagi yang hendak ditanyakannya. Mengganggu saja.
Sekar yang menyadari ia datang bukan pada saat yang tepat, pelan-pelan mulai menarik kedua belah kaki"nya, bermaksud mundur untuk kemudian pergi men"jauh dari tempat yang suhu udaranya sedang me"- ngan"dung arus listrik itu. Matanya yang besar dan bagus itu berlumur kekecewaan yang amat kentara. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana mengerjakan pekerjaan rumahnya. Percuma saja ia bertanya kepada ibunya, sebab Mbok Kromo tidak banyak mengingat pela"jaran sekolah yang pernah diterimanya. Perempuan jebol"an kelas dua SMP itu kalau ditanya Sekar tentang hal-hal yang terkait dengan apa yang pernah dipelajarinya dulu, jawabnya pasti demikian, Wah, Simbok sudah lupa. Tanyakan pada Den Bagus Joko saja.... Teta?"pi sekarang, Den Bagus Joko sedang tidak ingin digang"gu olehnya.
Gerakan Sekar menyebabkan Joko melirik ke arah am"bang pintu kamarnya. Mata besar yang biasanya indah namun sekarang tampak sarat kekecewaan itu tertang"kap oleh penglihatannya. Serta-merta kegalakannya run"tuh. Pada dasarnya dia menyayangi Sekar, sebab
kah dan meninggalkan rumah, boleh dikata Joko bagaikan anak tunggal. Kehadiran Sekar di rumah ini sedikit mengi"kis perasaan kesepiannya sebagai anak tunggal. Apa"lagi Joko sudah melihat Sekar sejak anak itu masih bayi. Bahkan bersama Mbak Endang, kakak perempuannya yang kini telah menikah, Joko ikut menjaga dan meng"asuh Sekar jika Mbok Kromo sedang sibuk bekerja di dapur. Sejak bayi, gadis kecil itu telah mengisi ru"mah ini dengan keberadaannya berikut berbagai kelucuan, celoteh, serta suara nyanyiannya. Melihat tubuh Sekar yang pelan-pelan sedang bergerak pergi itu Joko se"gera memanggilnya.
Sekar... Sekar menghentikan langkah kakinya, kemudian meno"leh ke arah anak remaja itu.
Ya... Den Bagus" Soal apa yang ingin kautanyakan kepadaku" tanya Joko. Walaupun dia berbicara dengan bersungut-sungut teta"pi Sekar mulai berbesar hati. Dia tahu betul, meski"pun Joko kadang-kadang agak galak, tetapi sebenarnya hati anak itu baik. Karenanya ia melangkah masuk ke dalam kamar kembali dan meletakkan bukunya ke atas meja tulis Joko.
Soal berhitung, Den... Ditunggunya Joko melihat buku pelajarannya, menung"gu reaksinya, dan mengatakan pekerjaan rumahnya itu memang sulit. Tetapi, tidak. Dahi anak remaja itu ma"lah berkerut kembali.
Lho, ini kan gampang! kata Joko sesudah memperlama"nya. Kalau tidak salah, di kelas empat dulu kan sudah pernah dipelajari. Masa tidak bisa mengerjakannya"
Ya, waktu guru menerangkannya, saya sedang sakit dan tidak masuk sekolah, Den. Apalagi sekarang banyak pecahannya dan membingungkan sekali. Angkanya besar-besar. Susah, jawab Sekar.
Joko mendesahkan rasa jengkelnya.
Dulu kan sudah pernah kuterangkan mengenai soal-soal pecahan. Sudah kukatakan pula kalau angka pe"cahannya ditambah atau dikurangi, samakan lebih dulu angka penyebutnya. Nah, misalnya " ditambah ". Penyebut angka " kan angka 2. Maka kita samakan dulu dengan angka penyebut yang lebih besar yaitu ang"ka 4 pada pecahan ". Jadi 2/4 ditambah ", sama de"ngan ". Kamu masih ingat apa yang kujelaskan setahun yang lalu itu, kan" sambil menjelaskan, Joko menulis"kan apa yang dikatakannya itu dengan gerakan kasar. Keh"adiran Sekar benar-benar telah mengganggu kesibuk"annya.
Sekar yang merasa bahwa Joko masih merasa kesal, diam saja. Matanya nyalang ke arah tulisan Joko tanpa mam"pu menangkapnya. Dulu sewaktu Joko menerang"- kan soal yang sama di ruang keluarga, mata Sekar lebih ter"tuju ke arah televisi berlayar lebar yang sedang menya"jikan film anak-anak. Sekar memang tidak selalu men"dengar sepenuhnya semua yang dijelaskan oleh Joko kepadanya.
Sekar yang dibesarkan dalam keluarga berada deter"goda untuk tidak terlalu menaruh perhatian pada pela"jarannya. Kalau Joko menjelaskan pelajaran di ruang keluarga, ia lebih tertarik pada film atau pada per"mainan piano Den Roro Endang, kakak perempuan Joko yang sering datang berkunjung ke rumah ini. Atau kalau Joko sedang menerangkan cara mengerjakan peker"jaan rumah di teras, mata Sekar lebih tertarik pada kupu-kupu indah yang beterbangan ke sana kemari dengan lincahnya. Atau pada burung liar mungil berbulu warna-warni yang sering datang ke halaman samping yang tertata indah dan dipenuhi tanaman bunga. Begitu juga kalau Joko menjelaskan apa pun yang ditanyakannya di kamar, Sekar lebih memperhatikan buku ko"mik yang terkembang di atas meja tulis pemuda rema"ja itu. Atau pada lagu-lagu gembira yang sedang dipu"tar Joko. Atau pula pada koleksi mobil-mobilan yang tertata rapi di rak kaca. Singkat kata, rasa tanggung jawab di hati gadis kecil itu belum tumbuh sempur"na. Masih mudah terbelah.
Sekarang ditanya oleh Joko tentang apa yang pernah dije"laskannya, Sekar diam saja. Tidak berani menjawab. Dia sadar, selama ini perhatiannya sering terpecah ke mana-mana kalau Joko sedang menjelaskan pelajaran yang tak dipahaminya. Kadang-kadang, Joko kehilangan rasa sabarnya kalau Sekar hanya diam saja dengan air muka tidak mengerti. Lebih-lebih jika kedatangan gadis ci"lik itu mengganggu urusan dan kesenangan hatinya.
He... kamu mengerti atau tidak, Sekar" tanya Joko lagi dengan perasaan semakin kesal. Kok diam saja"
me"mang belum memahami apa yang diterangkan oleh Joko tadi.
Apa maksudmu menggelengkan kepala begitu" Jawab yang jelas! Joko mulai membentak.
Saya... masih belum mengerti mengapa angka penyebut"nya disamakan dengan angka empat dan bukan ang"ka yang lain" Akhirnya dengan suara lirih Sekar ter"paksa mengungkapkan apa yang masih mengganjal pe"mikirannya.
Tentu saja kita harus menyamakan angka penyebut yang bisa dipakai kedua-duanya. Kan tadi sudah kujelas"kan. Angka penyebut " dan " ya harus disamakan de"ngan angka terbesarnya yaitu 4. Tetapi tidak asal yang paling besar saja, melainkan harus angka penyebut yang bisa dipakai oleh kedua pecahan itu. Angka 4 kan bisa dipakai untuk angka 1/2. Jadi berarti angka 4 itulah yang kita pakai untuk angka penyebutnya. Nah, se"karang mengerti, kan"
Sekar menggelengkan kepalanya lagi. Cara Joko mene"rangkan hitung-hitungan itu tidak mudah ditangkap. Apa"lagi dengan terburu-buru dan sepertinya juga dengan ogah-ogahan.
Melihat gelengan kepala Sekar, Joko mengembuskan na"pas kesal. Dengan gerakan kasar, dia mulai menulis lagi.
Nah, perhatikan baik-baik, dengusnya. 1/8 + 1/3, ba"gaimana cara menjawabnya. Ingat, ambil angka penyebut yang bisa dipakai oleh kedua angka pecahan ini. Baru nanti angka pembilangnya dikalikan. Nah, angka
Sekar terdiam berpikir sebentar. Seperdelapan, sahutnya kemudian.
Salah, Sekar! Joko menggerutu. Mengapa kamu me"milih angka delapan sebagai penyebutnya" Apa alasan"nya"
Tadi kan Den Bagus memberi contoh, jika " + ", pa"kailah angka penyebut terbesar. Lalu Den Bagus me"- nga"takan angka empat. Sekarang saya ya mengambil ang"ka penyebut yang besar, yaitu 8. Begitu, kan"
Huh, bodoh betul sih kamu. Kuambil angka penyebut 4 karena kedua pecahan itu bisa memakai penyebut yang sama dengan angka terbesarnya, yaitu 4. Bukan"- kah pecahan " sama dengan pecahan 2/4. Ya, kan" Joko mulai bersungut-sungut. Tadi kan sudah kujelas"- kan.
Sekar terdiam lama, baru kemudian mengangguk pelan. Melihat itu Joko menyodorkan soal yang dibuatnya tadi.
Nah, jadi bagaimana cara mengerjakan 1/8 ditambah 1/3"
Sekar membacanya dengan mengeja perlahan angka pe"cahan yang disodorkan oleh Joko itu.
1/8 ditambah 1/3 sama dengan... Sekar tidak melan"jutkan. Dia mulai bingung lagi. Dahinya berkerinyut lama, tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang mungil sehingga Joko menarik napas panjang dengan perasaan semakin jengkel.
Tadi katanya mengerti, sekarang melongo lagi. Apa sih yang ada di dalam pikiranmu" ia mulai membenSusah sekali, Den, Sekar mengeluh dengan suara sum"bang, menahan tangis yang sudah mulai naik ke le"hernya.
Melihat itu lekas-lekas Joko meredam kejengkelannya. Ka"lau Sekar menangis, pasti kedua orangtuanya akan me"marahinya. Semua orang di rumah ini tahu, dia se"- ring memperlakukan Sekar dengan agak galak. Semua orang di rumah ini juga tahu, betapa lembut dan halus pe"rasaan Sekar.
Ya sudah. Nanti kamu pelajari sendiri dengan cermat. Ini kuberi contohnya. Penyebut 8 kan tidak bisa di"pakai oleh penyebut 3 untuk bisa ditambahkan. Maka kalikan saja angka penyebut yang bisa dipakai oleh kedua pecahan itu. 1/8, penyebutnya menjadi 24. Pe"nyebut 1/3 menjadi 24 juga. Maka yang 1/8 menjadi 3/24 dan yang 1/3 menjadi 8/24 baru ditambahkan. Hasi"lnya, 11/24. Mengerti..."
Sekar menggeleng lagi sehingga Joko menyemburkan ke"marahan yang sejak tadi ditahannya.
Kamu itu payah sekali. Sudah, nanti pelajari dan cer"mati contoh-contoh lain yang akan kutulis di kertas ini. Sekarang pekerjaan rumah yang tentang persen-persenan itu dulu. Kalau tidak, bisa-bisa aku terpaksa harus tidur larut malam gara-gara mengajari kamu.
Ya..., Sekar menjawab pelan. Kalau tidak, gelombang suaranya yang mulai diwarnai tangis, bisa ter"dengar oleh telinga Joko. Dia tidak ingin pemuda tanggung itu melihat tangisnya.
Satu persen, berarti 1/100 bagian. Itu kamu pasti
Ya, saya tahu... Jadi, kalau 10 % berarti 10/ 100 bagian. Disingkat atau dikecilkan angkanya menjadi 1/10 bagian. Itu juga su"dah kauketahui, kan"
Sekar menganggukkan kepalanya. Joko merasa lega. Ia melanjutkan lagi penjelasannya.
Nah, sekarang perhatikan apa yang ditanyakan dalam soal PR-mu ini yaitu " bagian dari 100 % ditambah " bagian. Nah, jadi berapa persen jumlahnya" Sekar berpikir sebentar.
3/4 bagian berarti 40 % dan " bagian... Tunggu dulu, dari mana 40 % yang kaudapatkan itu" Tolol dan ngawur saja kamu itu! Joko mulai memben"tak keras.
Semakin dibentak, Sekar menjadi semakin kalut dan otak"nya tidak bisa diajak berpikir. Air mata yang sempat mengering tadi, datang lagi dan mulai menggenangi mata"nya. Tetapi kali itu Joko tidak peduli. Biar saja ka"lau Sekar mau menangis. Dia mempunyai alasan. Diri"nya sendiri pun sedang menghadapi soal-soal PR yang bukan saja dirasa terlalu banyak, tetapi juga sulit. Su"dah begitu, Sekar sulit diajari. Entah ada di mana daya tangkapnya. Jadi Joko berani melampiaskan kejengkel"annya.
Jawab pertanyaanku, Sekar. Dari mana kamu menda"pat angka 40 % itu. Aku harus tahu supaya bisa meng?"ikuti jalan pikiranmu yang salah itu, Joko memben"tak lagi.
Sekar masih tetap membisu. Dia tidak ingin bersuayang lebih dulu keluar. Padahal ia tidak ingin menangis di hadapan pemuda remaja yang hari ini tampak galak sekali. Sayangnya, Joko tidak memaklumi perasaan Sekar. Melihat Sekar tidak mau menjawab pertanyaan"- nya, pemuda itu menggebrak meja tulisnya.
Heran aku, Sekar! bentaknya kemudian. Masa soal semudah ini kamu tidak bisa menjawabnya. Dulu aku juga mendapat PR yang seperti ini. Tetapi semuanya kukerjakan sendiri tanpa minta bantuan siapa pun. Mbak Endang dulu tidak pernah kuganggu. Apalagi kalau dia juga sedang belajar. Tetapi nilai pelajaranku sela"lu tinggi. Raporku bagus. Tetapi kau yang sering ku"bantu dan kuajari, tidak juga bisa menangkap pelajaran yang kuberikan. Apa yang kuterangkan cuma masuk ke ujung telingamu saja. Kau seperti orang dungu. He"- ran aku. Otakmu sebesar apa sih kok goblok betul kamu ini.
Sepanjang pengalamannya belajar dengan Joko, baru seka"rang pemuda remaja itu mengeluarkan kata-kata hina"an seperti itu. Karenanya tangis Sekar lenyap dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya langsung menguap. Harga diri gadis kecil itu tersentuh seca"ra telak. Dia tidak bisa menerima kata-kata kasar Joko tadi. Apalagi tidak pernah sebelum ini Joko melontar"kan perkataan setajam itu. Meskipun sering bersungut-sungut dan tidak sabaran, Joko tidak pernah menga"ta-ngatainya seperti apa yang baru saja didengarnya tadi. Maka Sekar menatap mata Joko dengan tatapan ta"jam dan api amarah yang membakar dadanya.
dia melupakan kedudukannya. Dengan gerakan kasar, buku"nya yang masih terletak di atas meja tulis Joko, dita"riknya. Mata yang semula digenangi air mata, kini ter"isi api yang tampak berkilat-kilat. Dengan api itulah Sekar menatap mata Joko untuk kemudian bergegas pergi meninggalkan kamar pemuda remaja itu. Dengan na"pas terengah-engah menahan perasaan, gadis cilik itu me"langkah keluar dan menyeberangi taman di halaman bela"kang.
Kamu seperti orang dungu. Otakmu sebesar apa sih, go"blok amat. Otakmu sebesar apa sih, goblok betul kamu itu. Otakmu sebesar...
Kata-kata itu seperti lecutan di kepala Sekar dan te"rus terngiang-ngiang di telinganya saat dia berlari-lari ke"cil menuju ke bagian belakang rumah besar itu, sampai akhirnya gadis kecil itu merasa tidak tahan lagi. Lang"kah kakinya langsung terhenti. Matanya yang besar semakin tampak besar. Perkataan Joko seperti menyung"kup kepalanya. Ingin sekali ia mengibaskannya. Teta"pi alangkah sulitnya. Kata-kata hinaan itu bahkan sema"kin kuat berdengung di telinga dan kepalanya, berulang-ulang sehingga menyiksa perasaannya. Ia harus me"lakukan sesuatu untuk melawan perkataan yang menying"gung harga dirinya itu. Begitulah Sekar terus ber"gulat dengan pikirannya sambil berdiri tegak di atas ja"lan setapak yang terbuat dari batu-batu alam.
Setelah membulatkan tekad, akhirnya Sekar memba"- lik"kan tubuhnya. Digerakkan oleh api amarah dan har"ga dirinya yang terluka, bergegas ia kembali ke kaitu, Sekar mendesiskan kemarahannya sehingga pemilik ka"mar yang sedang menekuni pekerjaan rumahnya itu me"noleh ke arahnya.
Den Bagus... Sebelum Joko sempat berkata apa pun, cepat-cepat Sekar mendahuluinya bicara. Saya tidak goblok. Mulai sekarang, saya tidak akan bertanya apa pun mengenai pelajaran pada Den Bagus. Tetapi saya bersumpah, tahun ini akan menjadi salah satu jua"- ra kelas lima pada kenaikan kelas nanti. Akan saya tunjukkan bahwa saya tidak goblok seperti perkataan Den Bagus tadi.
Joko ternganga beberapa saat lamanya. Baru kali itu ia melihat Sekar memperlihatkan kemarahannya. Maka be"gitu menyaksikan wajah Sekar dengan matanya yang be"sar dan berkilat-kilat itu menatap sengit ke arahnya, sa"darlah Joko bahwa sikapnya tadi sudah melewati ambang kewajaran bagi Sekar yang perasa dan lembut hati itu. Ia telah menyinggung harga diri gadis cilik itu. Ba"- gai"kan seekor kucing lembut yang tiba-tiba ekornya di"injak, Sekar telah memperlihatkan taring-taringnya.
Namun Joko yang selalu ditempatkan di atas angin itu mana mau mengakui kesalahannya" Pantang baginya me"nunjukkan rasa sesalnya. Malahan dengan kepala menge"dik dan air muka yang menyiratkan tantangan, ia membalas perkataan Sekar tadi.
Coba saja. katanya. Aku ingin melihat bukti bicaramu. Kita taruhan"
Sekar mengetatkan bibirnya beberapa detik lamanya, baru kemudian menjawab tantangan yang dilontarkan
Baik. Jangan sebut namaku Sekar lagi kalau tidak ber"hasil menunjukkan bukti pertaruhan, sahutnya, me"- ni"ru perkataan salah satu tokoh cerita yang pernah diba"canya. Ia sudah nekat. Apa pun yang akan terjadi, dia harus naik ke kelas enam dengan nilai tinggi yang layak untuk menjadi salah satu bintang kelas.
Di balik jawaban atas tantangan Joko malam itu, sebe"narnya Sekar juga berpegang pada apa yang bisa ditiru"nya dari tokoh cerita yang dikaguminya. Dia su"- dah membacanya beberapa kali dan setiap selesai mem"- ba"ca kisah tokoh tersebut, setiap kali pula tumbuh sema"ngat juangnya. Kini semangat itu harus diper"li"hatkannya secara nyata agar kata-kata yang diucap?"kannya kepada Joko tadi tidak hanya sekadar katakata belaka, tetapi terbukti secara nyata. Maka seperti kese"tanan, Sekar mulai belajar mati-matian dan mencoba memahami pelajaran yang diterimanya di sekolah, meng"apa ini begini jadinya dan mengapa itu begitu hasil"nya. Tanpa kenal putus asa, Sekar belajar dengan giat. Di sekolah, semua pelajaran diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Kalau ada hal-hal yang kurang di"mengerti, tidak segan-segannya ia datang ke gurunya dan menanyakannya sampai mengerti betul. Di rumah, dia mengulang dan mempelajarinya kembali. Melihat sema"ngat gadis kecil itu, gurunya merasa senang dan de"ngan gembira memberinya tambahan-tambahan penge"tahuan yang berkaitan dengan pertanyaan yang diaju"kan Sekar. Setiba di rumah, semua pelajaran yang dida"patnya di sekolah itu diulangi oleh Sekar hingga ia
he"ran sendiri bahwa ternyata semakin banyak pengeta"- huan yang diserapnya, semakin ia ingin mengetahui lebih banyak lagi. Di sekolah, ia sering meminjam bukubuku dari perpustakaan yang sekiranya dapat me?"nam"bah pengetahuannya. Kalau ingin meminjam buku cerita, ia selalu memilih buku yang memberi tambah"an wawasan, sebab ternyata dari buku cerita pun ada banyak pengetahuan baru yang bisa diserapnya. Mi"salnya tentang budaya atau sejarah tertentu yang mela"tarbelakangi ceritanya. Maka kalau semula dia belajar demi menunjukkan kepada Joko bahwa ia tidak bo"doh seperti apa katanya, namun lama-kelamaan timbul rasa senang dan keasyikan dalam dirinya setiap otak"nya terisi pengetahuan yang semula tidak diketahuinya. Begitupun pengetahuan yang diterimanya di sekolah tidak sekadar dihafal hanya demi mencari nilai ting"gi, namun untuk memenuhi keingintahuannnya.
Ketika kenaikan kelas tiba, Sekar merasa dialah satu-satunya anak yang paling berbahagia di dunia ini. Ia menjuarai seluruh kelas lima yang jumlahnya ada tiga kelas. Waktu dengan tangannya sendiri Sekar menye?"rahkan rapornya kepada kedua orangtua Joko saat me"reka sekeluarga sedang duduk di teras samping, ia me"rasa bagaikan pahlawan menang perang. Apalagi ada Endang yang datang berkunjung bersama kedua anaknya. Dada Sekar seperti mau meledak ketika menyaksikan betapa kedua orangtua Joko mengagumi nilai-nilai yang tercantum di dalam rapornya.
Pak Suryokusumo, ayah Joko, memuji Sekar dengan wa?"jah ramai terhias senyum.
Aduh, juara kelas. Luar biasa kamu, Nduk, Ibu Suryokusumo menyambung komentar sang suami sambil tertawa gembira.
Seluruh jerih-lelah Sekar serasa terusap melihat betapa gembiranya kedua majikan ibunya itu. Apa yang diucap"kannya kepada Joko bahwa ia akan menjadi juara ke"las, melebihi apa yang diharapkannya. Ia menjadi juara pertama seluruh kelas lima yang ada di sekolahnya.
Dengan penuh rasa ingin tahu karena melihat kegembira"an kedua orangtuanya, Joko mengambil rapor yang terle"tak di atas meja. Dengan rasa bangga, Sekar berkata kepada pemuda remaja itu.
Saya menjadi juara seluruh kelas lima di sekolah yang jumlahnya ada tiga kelas, katanya.
Mendengar suara Sekar yang bergelombang penuh rasa bangga namun malu-malu itu, Joko menatap wajah ga"dis cilik itu. Seketika itu juga ia teringat pada wajah sama yang matanya berkilat-kilat mengucapkan sumpah di ambang pintu kamarnya, tujuh bulan yang lalu. Sumpah itu telah terbukti. Bahkan melebihi apa yang bisa dica"painya.
Untuk sesaat lamanya pipi Joko merona merah. Tetapi jauh di dalam hatinya ia menaruh penghargaan tinggi kepada gadis kecil yang mempunyai tekad besar itu. Anak perempuan pengasuhnya itu bukan hanya cantik wa"jahnya saja, tetapi juga memiliki harga diri yang tinggi dan kemauan yang kuat. Berbulan-bulan sebelum ini
me"nurun dan lalu tidak naik kelas, karena selama ini tak pernah lagi anak itu datang mencarinya untuk minta diajari. Kalau sampai Sekar tidak naik kelas, pasti ke"dua orangtuanya akan memarahinya karena tidak memperhatikan pelajaran anak itu. Namun di balik kece"masan itu Joko juga ingin memenangkan pertaruhan, melihat Sekar tidak mampu memenuhi sumpahnya. Teta"pi kenyataannya, dirinyalah yang kalah. Kalah total pula. Bukan Sekar, yang dianggapnya bodoh.
Sekarang Joko merasa malu sebab mengira dirinya akan menang taruhan (Meskipun jika menang, ia pasti akan mendapat jeweran dan teguran keras dari kedua orang"tuanya.) Dengan rasa malu yang hanya bisa dimenger"ti oleh Sekar, Joko meletakkan kembali rapor Sekar ke atas meja. Tetapi Endang memintanya. Coba kulihat rapor itu, Dimas, katanya. Joko mengambil kembali rapor itu dari atas meja dan menyerahkan kepada sang kakak. Ketika melihat angka-angka pada rapor Sekar, Endang langsung mendecak"kan lidahnya berulang-ulang.
Ini sungguh hebat, pujinya. Sekar harus diberi hadiah, Bu.
Itu pasti. Ibunya tersenyum.
Sekar hanya tertawa saja. Baginya hadiah sehebat apa pun tidak sama nilianya dengan rasa bangga dan keme"nangan yang sejak tadi memenuhi rongga dadanya. Ter"utama saat rapornya dilihat Joko. Terlebih-lebih lagi karen"a kemenangannya hari itu menjadi tonggak sejarah perjuangan Sekar di masa-masa berikutnya dan
pela"jar. Dia lulus SD dengan nilai tinggi sekali. Di SMP menjadi bintang pelajar. Di SMU menjadi murid tela"dan, karena hampir selalu menduduki juara pertama. Beberapa kali pula mewakili sekolahnya dalam lom"ba pengetahuan dan menjadi juara sehingga sekolahnya mendapat nama yang harum.
Melihat prestasi Sekar, kedua orangtua Joko ingin me"nyekolahkannya ke jenjang lebih lanjut. Bahkan Endang menyediakan diri untuk ikut menyumbang bia"- ya kuliahnya agar tidak terlalu memberatkan kedua orang"tuanya yang saat itu masih membiayai Joko yang baru mulai kuliah di luar negeri.
Kamu ingin kuliah di mana" Mereka bertanya pada yang bersangkutan begitu Sekar lulus SMU, bertahun-tahun yang lalu.
Saya ingin menjadi guru, sahut Sekar dengan suara pas"ti.
Aduh, apa tidak sayang" Kamu sangat pandai, Sekar. Kenapa tidak memilih menjadi ekonom atau insi"nyur" Endang langsung bereaksi. Kami senang dan ikh"las membiayai kuliahmu sampai selesai.
Sekar tersenyum. Itulah perkataan yang juga sering dilon"tarkan oleh para orangtua jika anaknya ingin menja"di guru.
Den Roro, kalau setiap orang berpikir seperti itu, mau dibawa ke mana mutu pendidikan di Indonesia ini" Justru mereka yang memiliki otak cemerlang harus men"jadi guru, karena merekalah yang akan mendidik dan mentransfer pengetahuan kepada para anak didik
ini gaji guru sudah lebih baik daripada kemarin-kemarin. Saya ingin menjadi guru dan kalau memungkinkan, saya akan melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih ting"gi untuk nantinya menjadi dosen, kata Sekar, penuh keyakinan.
Ketiga orang yang mendengar pendapat Sekar itu ti"dak bisa membantah. Alasan yang dikatakannya, tidak sa"lah. Apalagi cita-cita gadis itu sungguh mulia. Ke mana kau akan kuliah nanti"
Saya ingin kuliah di Yogya. Ada universitas pendidik"an guru yang bagus di sana, Sekar menjawab dengan pasti. Dia sudah mencari informasi.
Maka begitulah, dengan mulus Sekar diterima kuliah di Yogya. Ia tinggal di rumah keluarga almarhum ayahnya, seorang pensiunan pegawai bank yang menyewakan ka"mar-kamarnya untuk mahasiswi dari luar kota. Empat tahun kemudian, Sekar kembali ke Jakarta, menyandang gelar sarjana pendidikan dengan nilai suma cum laude. Seluruh keluarga merasa puas. Sayangnya Joko yang sedang menyelesaikan kuliahnya di luar negeri tidak mengetahuinya.
Apa rencanamu setelah keberhasilanmu itu, Sekar" ta"nya Pak Suryokusumo setelah menerima berita baik itu.
Saya akan mengajar di SMU selama beberapa ta"- hun lebih dulu, baru nanti melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, sahutnya. Pertama, untuk men"cari pengalaman. Kedua, supaya saya mempunyai uang untuk membiayai kuliah selanjutnya nanti. Saya
Kini telah dua tahun lebih lamanya Sekar, yang sekarang hampir berusia seperempat abad, menjadi guru di SMU swasta terkenal. Seiring dengan bertambahnya umur dan pengetahuan serta pengalaman yang diserapnya di sepanjang kariernya sebagai guru, Sekar tumbuh men"jadi gadis yang matang, bijak, dan menjadi guru favo"rit yang tak hanya dicintai para muridnya, tetapi juga menjadi tempat mereka bertanya. Bahkan juga tem"pat bertanya bagi para orangtua jika anak mereka meng"alami kesulitan dalam studi mereka atau menghadapi hal-hal lain yang perlu penanganan serius.
Setiap menyadari keberuntungan dan sukes yang telah dicapainya, Sekar selalu teringat kepada Joko. Kalau bu"kan karena hinaannya: otakmu sebesar apa kok goblok amat sih kamu , belum tentu ia berhasil mencapai kesukses"an yang sekarang diraihnya. Karena Joko-lah maka tim"bul daya juang yang sedemikian besar dan tekad yang begitu bulat untuk menunjukkan kemampuannya. Ka"lau bukan karena tantangan Joko yang ingin melihat buk"ti keberhasilannya, belum tentu pula Sekar ingin meng"gali ilmu sebanyak-banyaknya. Sejauh ini, dia telah berhasil meskipun masih selangkah lagi yang harus diraih"nya, yaitu mencapai gelar Magister Pendidikan. Ti"dak bisa dipungkiri, cita-cita itu belum tentu ia mili"- ki kalau Joko dulu tidak menantangnya dengan katakata: Coba sajalah. Aku ingin melihat bukti bicaramu itu!
D EN BAGUS JOKO! Akhirnya terurai juga nama
itu dari bibir Sekar sesudah ia berhasil mengenyahkan ser"gapan kenangan masa lalunya dari ingatan.
Joko tertawa. Kedua belah tangannya dilipat ke dadanya dan dengan sikap santai ia menyandarkan tubuhnya ke bingkai pintu dapur tempat Sekar sibuk mencuci piring.
Kau tampak kaget melihatku, Sekar! katanya. Tentu saja. Bertahun-tahun lamanya saya tidak pernah melihat Den Bagus, sahut Sekar, tersenyum. Seka"rang, tahu-tahu muncul begitu saja di muka saya tan"pa terduga sama sekali. Siapa yang tidak terkejut.
Kira-kira tujuh tahun kita tidak bertemu ya, Sekar"
Barangkali, Sekar menjawab dengan suaranya yang lem"but namun hangat. Tetapi yang jelas, Den Bagus
Dua Dan kau sekarang telah menjadi sarjana pendidikan, Joko menyambung dengan tertawa lagi.
Sekar tersipu. Ah, jangan disamakan. Den Bagus kan dokter lulusan luar negeri, katanya kemudian.
Dengan perkataan lain, kau lebih menghargai sarjana yang dicetak oleh universitas luar negeri, Sekar" Nah, bagaimana pendapatmu mengenai hal ini. Benar atau salah"
Sekar tersenyum lagi. Saya salah, harus saya akui itu. Siapa yang menghargai sarjana-sarjana keluaran universitas atau perguruan ting"gi dalam negeri, kalau bukan kita sendiri. Bangsa kita sekarang ini selalu saja lebih menghargai apa pun yang datang dari negara lain. Mulai dari buah dan makan"an, sampai sepatu, pakaian, dan gelar kesarjanaan. Di mana letak kedaulatan pikir dan kemandirian bangsa kita jika terus-menerus begini pola pandangnya"
Apakah kau mau menyindirku karena memilih kuliah di luar negeri" Joko memancing.
Tidak. Kan saya tahu alasannya.
Yah, memang. Aku enggan kuliah di tempat temante"man seangkatanku ketika di SMU dulu karena mereka sudah semester enam dan aku baru mau mulai masuk. Yah, begitulah pikiranku beberapa tahun lalu keti"ka aku masih belum sematang sekarang. Itu kalau aku memang bertambah matang lho. Joko tersenyum.
Sudahlah, tidak perlu dibahas. Sekar membalas senyum Joko. Setiap orang pasti mempunyai alasan terBagi kita, yang paling penting adalah melihat ke depan dan berusaha agar hari ini lebih baik daripada kemarin. Dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Begitu seterusnya dan jangan pernah mandeg di jalan. Setidak"nya dalam proses kematangan batin, pola pikir, dan ke"pribadiannya.
Itulah kata-kata bijak seorang guru! Joko tersenyum.
Sekar tersipu lagi. Pemikiran seperti itu bukan dari diri saya sendiri kok, gadis itu menjawab pelan untuk kemudian mengalih"kan bahan pembicaraan. Terus terang saya tidak tahu kalau Den Bagus akan pulang hari ini. Begitu tiba-tiba.
Aku memang ingin memberi kejutan pada Ibu dan Romo.
Den Bagus sudah berjumpa dengan beliau" Sudah.
Saya kok sama sekali tidak mendengar suara ribut di dalam.
Kedatanganku bukan sesuatu yang istimewa bagi me"reka, Sekar. Beberapa kali mereka menjengukku di Jerman. Sudah begitu setiap tahun aku selalu pulang, ke"cuali dua tahun terakhir ini karena ada banyak ujian dan urusan yang harus kuselesaikan untuk mengakhiri stu"diku. Jadi Ibu dan Bapak yang datang ke sana. Bagimu memang mengejutkan karena setiap aku berlibur ke sini, kau masih ada di Yogya. Sebaliknya kalau kau berlibur ke Jakarta, aku masih berkutat dengan studiku di
Yah, memang. Simbok juga bercerita begitu pada saya. Jadi ceritanya nih Den Bagus sudah tidak akan kem"bali ke Jerman"
Begitulah. Nah, sekarang ganti topik pembicaraan, ya" Setelah tujuh tahun lebih berpisah, apakah Bu Guru masih melihat kegalakanku" Joko memancing lagi, sambil tertawa lebar.
Sejauh yang saya lihat dari luar, kegalakan Den Bagus sepertinya sudah menghilang. Bahkan sejak di SMU pun Den Bagus sudah tidak galak lagi. Tetapi saya kan tidak tahu bagaimana kenyataan yang tidak saya lihat, sahut Sekar apa adanya.
Itu aku berani menjamin, Bu Guru. Joko terbahak. Se"karang aku sudah tidak galak lagi. Nah, apa lagi peni"laianmu tentang diriku sesudah kita lama tidak per"nah berjumpa"
Terus terang kalau berjumpa sepintas lalu di jalan de"ngan Den Bagus, saya pasti tidak akan segera mengenali. Pangling lho, saya.
Apa yang menyebabkanmu pangling padaku" Den Bagus sekarang memelihara kumis tipis, bertubuh tinggi kekar, berkulit bersih, dan berpakaian rapi se"perti penampilan pengusaha kelas kakap. Pokoknya tam"pak keren, sahut Sekar sesuai dengan penilaian objek"tifnya. Ketika masih remaja, bahkan di tahun-tahun pertama menjadi mahasiswa, Den Bagus kan lebih suka memakai celana jins yang warnanya tidak jelas. Joko terbahak lagi. Kedua tangannya yang semula
ta"ngannya dipindahkan, masuk ke dalam saku kiri dan ka?"nan pantalonnya.
Satu kalimat pujian lagi darimu, Sekar, aku khawa"- tir kemejaku akan robek, sahutnya masih tertawa. Lihat, dadaku jadi gembung oleh pujianmu. Sekali lagi, Sekar juga tersenyum.
Saya berkata apa adanya kok, Den Bagus, katanya. Tu"juh tahun telah membuat Den Bagus berubah. Dari ma"hasiswa ITB yang murung dan ogah-ogahan, menjadi dok"ter yang matang dan bersemangat tinggi.
Matamu sungguh tajam, Bu Guru. Sebelum akhirnya menemukan jalan yang memang kuinginkan, aku dulu memang merasa tertekan saat kuliah di ITB sebab ter"nyata teknik bukan bidangku, gumam Joko. Tetapi tiba-tiba kedua alis matanya terangkat dan dengan mata"nya yang tajam ia menatap lawan bicaranya. Sekar, apakah kau tidak ingin mengetahui pendapatku mengenai dirimu sesudah tujuh tahun lamanya aku tidak melihatmu"
Tidak. Saya tak ingin mendengar basa-basi sebagai ba"lasan atas pujian saya tadi, sahut Sekar tertawa lebar sam"bil mengibaskan tangannya ke udara. Kemudian ia mem"balikkan tubuhnya, membelakangi Joko. Sekarang ting"galkan saya, Den. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya lebih dulu supaya kalau Simbok dan Lik Tinah pu"lang dari belanja, dapur ini sudah bersih. Kalau masih berantakan, telinga saya pasti akan dijewer Simbok.
Ah, alasan saja, Joko menggerutu. Tetapi terserah
me"nga"takan pendapatku mengenai dirimu meskipun kau tak mau mendengarkan. Dan jangan sekali-kali me"ngira ini basa-basi. Awas, bukan hanya kau saja yang da"pat menilai sesuatu menurut kenyataan yang ada.
Sekar menggelengkan kepalanya. Tangannya mulai me"mutar keran air sampai pol agar suara air yang mengalir keras menutupi pendengarannya. Tetapi dengan ce"pat Joko maju dan mematikannya kembali sambil ter"ta"wa.
Dengar kata-kataku lebih dulu, Bu Guru. Kau jangan hanya bisa menyuruh murid-muridmu mendengar suar"amu saja, tetapi juga berilah kesempatan orang bicara dan kau ganti mendengarkannya, katanya kemudian.
Sekar terpaksa membalikkan tubuhnya lagi dan mena"tap mata Joko sambil tersenyum kewalahan.
Sejak dulu saat saya masih kecil, mana saya bisa me"nang menghadapi Den Bagus, kan" gerutunya.
Joko tertawa lagi. Sekar memperhatikan laki-laki itu. Se"su"dah mematikan keran air, laki-laki itu tidak kembali berdiri di tempatnya semula, di ambang pintu da"- pur. Samar-samar Sekar mencium aroma harum tersiar dari tubuh laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya itu. Aro"ma harum yang terasa lembut dan menyegarkan, me"rasuk ke hati Sekar sehingga jantungnya berdetak tak beraturan. Ia menyadari kedekatan di antara mereka berdua. Akibatnya, ia merasa malu. Amat malu. Meng"apa ia membiarkan hatinya bergetar" Mengapa pula dia membiarkan hidungnya menangkap aroma se"laki itu bernama Joko, putra majikan ibunya. Memangnya siapa dirinya, berani-beraninya membiarkan pera"saannya bergolak hanya karena kedekatan fisik di anta"ra mereka berdua"
Sekar berkacalah. Begitu suara hatinya berteriak. Kamu itu tak lebih dari anak perempuan pelayan keluar"ga Joko, pelayan yang waktu dia masih muda dan belum menikah, menjadi pengasuh Joko yang saat kecilnya sangat lasak dan bandel. Pengasuh yang sangat disa"yangi oleh Joko itu sempat tinggal di rumahnya sen"diri ketika menikah dengan ayah Sekar. Namun perni"kahan yang hanya bertahan satu tahun lamanya itu te"lah membawa pelayan kesayangan keluarga itu kembali ke rumah sang majikan dengan membawa bayi me"rah dalam gendongannya. Panggilannya pun berubah. Kalau sebelum menikah dipanggil Yu Umi sesuai namanya sendiri, sekarang menjadi Mbok Kromo , ka"rena suaminya bernama Kromowiyudo. Meskipun keha"diran Mbok Kromo sangat disukai dan dibutuh"- kan, namun kehadiran Sekar di rumah besar ini lebih ba"nyak disebabkan oleh kebaikan orangtua Joko. Tidak ba"nyak majikan mau menerima pelayan yang membawa ba"yinya ikut tinggal bersama. Mengingat hal itu, sungguh tidak patut rasanya kalau ia membiarkan dadanya ber"getar karena keberadaan Joko di dekatnya. Begitulah Sekar memarahi dirinya sendiri.
Ditegur oleh dirinya sendiri, Sekar semakin menyadari kedudukannya dalam keluarga ini. Dengan aroma se"gar, penampilan rapi, dan pakaian terbuat dari bahan
sta"tus sosial dan kedudukannya di rumah ini. Sementara Sekar dengan pakaian sederhana, memakai celemek di pinggangnya, dan mungkin juga berbau keringat karena sejak tadi sibuk di dapur, orang yang melihatnya akan tahu bahwa dia hanyalah anak pembantu rumah tang"ga keluarga ini. Kesadaran seperti itu mendorong kaki Sekar mundur dan menjauhi tempat Joko berdiri. Akan tetapi Joko tidak memperhatikannya. Ia masih ter"obsesi keinginan untuk mengatakan penilaiannya ter"hadap Sekar, sebagaimana yang tertangkap oleh pandang matanya saat melihat gadis itu kembali setelah tu"juh tahun berpisah.
Sekar, semula aku menyangka akan bertemu dengan se"orang gadis kurus, bermata besar, dan berbuntut kuda lebat di kepalanya. Dalam ukuran yang lebih besar atau lebih dewasa tentunya, katanya sambil tersenyum. Tetapi apa yang kusaksikan sekarang" Ternyata aku berhadapan dengan seorang gadis cantik bermata in"dah dengan bulu mata lentik, berkulit kuning langsat, ber"tubuh langsing namun berisi dan dengan rambut indah yang...
Berantakan! Sekar merebut pembicaraan. Pipinya lang"sung merona merah begitu mendengar Joko meni"lainya setinggi itu. Apalagi rambutnya saat itu memang se"dang berantakan. Pulang dari mengajar tadi, ia hanya meng"ganti gaunnya tanpa membetulkan letak sanggulnya yang melorot agar bisa segera membenahi dapur. Ia melihat di meja dapur dan bak cucian piring penuh perabot masak dan tumpukan piring kotor. Pasti Simbok
memasak dan mengangkati peralatan makan yang kotor bekas santap siang di rumah induk. Dahi"nya berkeringat sehingga anak-anak rambut menempel ber"lingkaran di tepi dahinya dan lipstik yang memulas bibirnya sejak berangkat mengajar pagi tadi sudah pula pu"dar warnanya. Singkat kata ia merasa malu karena pe"nam"pilannya yang bagai bumi dan langit dibanding Joko.
Sekar yang menganggap dirinya sedang jelek tidak menge"tahui bahwa ia justru tampak cantik alami dengan keseluruhan yang ada padanya saat itu. Lingkaran anak-anak rambut yang menempel di tepi dahinya menam"bah kecantikannya. Wajahnya yang berkeringat dan me"ngilat justru memperjelas kemulusan kulitnya yang ha"lus dan segar. Begitupun warna lipstik yang memudar justru memperlihatkan kesegaran warna bibirnya yang asli. Dan Joko menangkap itu semua dengan ketajaman pan"dang matanya.
Ya, memang rambutmu tampak agak berantakan. Teta"pi justru itu menambah kecantikanmu, Bu Guru. Ti"dak adakah di antara para muridmu yang pernah menga"takan: g uruku cantik sekali atau yang semacam itu kepadamu"
Aduh, Den Bagus, jangan membuat saya jadi bingung, sahut Sekar, salah tingkah. Ia tertawa kemaluma"luan dengan pipi merona merah. Saya tidak biasa di"puji secara terang-terangan begini.
Kalau begitu mulai sekarang biasakanlah. Joko me"- ner"tawakan Sekar yang sedang salah tingkah itu. Supaya kalau nanti ada pemuda ganteng yang mengatakan
Mendengar itu Sekar semakin tersipu dan pipinya se"makin merona merah tanpa menyadari bahwa wajahnya tampak semakin jelita dan gerakan tubuhnya kelihat"an menarik sehingga memerangkap tatapan Joko. Un"tuk beberapa detik lamanya laki-laki itu terpesona.
Kening Joko langsung berkerut ketika menyadari daya tarik yang tiba-tiba dirasakannya saat melihat Sekar seperti itu. Di dalam pergaulannya selama ini, apa"lagi di luar negeri, hampir-hampir ia tidak pernah meli"hat sikap kemalu-maluan, pipi merona merah, dan bulu mata bergetar seperti yang sekarang ia saksikan. Ia sadar, selama ini telah kehilangan pemandangan khas mi"lik gadis-gadis Timur, khususnya gadis Jawa, seperti yang pernah dilihatnya semasa kecil di kota Solo. Sungguh, dia baru menyadari betapa kuat pesona Sekar bagi pandang mata para lelaki. Hm, apakah kedua orang"tuanya menyadari anak perempuan pembantu ru"- mah tangga mereka itu akan menjadi perhatian banyak pe"muda yang sedikit atau banyak bisa mengganggu ke"- te"nangan hidup mereka"
Dulu semasa masih bocah kecil, Joko memang sering me"mikirkan keadaan Sekar. Menurut perasaannya, untuk menjadi anak seorang pembantu rumah tangga, Sekar terlalu cantik. Joko ingat benar bagaimana dengan diam-diam ia sering membandingkan Sekar dengan anak-anak perempuan tetangga yang tinggal di seki"tar rumahnya, baik ketika masih di Solo maupun sete"lah orangtuanya dipindahtugaskan ke Jakarta. Tidak ada di antara anak-anak perempuan itu memiliki kecanme"reka mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Sekar yang memakai pakaian sederhana, masih saja tampak le"bih menonjol dibanding mereka semua. Terutama ma"ta"nya yang besar dengan bulu matanya yang lentik itu. Begitu juga dengan kulitnya yang kuning langsat, wa"risan dari Mbok Kromo. Mbok Kromo memang tidak cantik, tetapi perempuan itu memiliki kulit kuning yang mulus dan rambut hitam tebal yang menurun pada Sekar. Ketika perbandingan yang diperhatikan Joko kecil itu dikatakannya kepada ibunya, perempuan itu tertawa.
Apakah kaupikir anak-anak perempuan yang cantik ha"nya lahir dalam keluarga berada atau dari kalangan ning"rat saja, Joko" Begitu dulu sang ibu meluruskan pen"dapat Joko. Pada dasarnya semua manusia di dunia ini sama. Baik dari keluarga miskin atau dari keluarga kaya raya, baik dari keluarga orang kebanyakan atau dari kalangan priyayi seperti kita ini. Baik dari keluarga peda"gang, ilmuwan, atau kalangan pemerintahan, pasti ada yang cantik, ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang kurang cantik, dan seterusnya. Jadi, jangan menilai sese"orang hanya dari bentuk lahiriahnya saja. Itu semua cuma tempelan belaka. Bukan inti kemanusiaan yang me"nyangkut martabatnya.
Tetapi yang sering saya lihat, mereka yang cantik dan ganteng biasanya berasal dari keluarga bangsawan atau kalangan orang berada. Justru karena itulah saya he"ran Sekar yang anak Mbok Kromo kok bisa secantik itu.
mang punya pengaruh terhadap penampilan seseorang. Sese"orang yang sedang hamil, kalau uangnya banyak, maka ia akan mencari makanan bergizi dan vitaminvita"min yang bagus sehingga anaknya lahir sehat, bersih, dan bagus. Tetapi bagi orang yang tidak mampu ja"ngan"kan untuk membeli makanan bergizi, untuk meng"isi perut supaya kenyang saja pun mereka harus ber"juang mati-matian dengan risiko si bayi lahir kurang sem"purna.
Iya, memang... Nak, apa yang Ibu ingin katakan di sini adalah, kese"hatan dan pola hidup seseorang tentu ada pengaruh"nya terhadap pertumbuhan fisik dan kecantikan sese"orang sejak masih di dalam rahim. Mereka yang hi"dup dengan berbagai kemudahan, pasti fisiknya berbeda dengan mereka yang harus berjuang di sawah, di ba"wah terik matahari, dan lain sebagainya. Orang yang ba"nyak uang biasanya akan lebih memperhatikan pe"- nam"pilannya. Berpakaian bagus, rambut ditata apik, rias"an sempurna, makanannya bergizi, jarang kena debu dan sengatan sinar matahari, kesehatan terjaga, dan lain se"bagainya.
Itu saya tahu, Bu. Tetapi Sekar dengan pakaian seder"hana dan rambut dikepang begitu saja, tetap saja kecan"tikannya tampak menonjol. Begitu juga sikapnya yang sopan dan sabar, menunjukkan bahwa dia termasuk anak berkelas, kata Joko lagi.
Tadi sudah Ibu katakan bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama. Keadaan dan kondisilah yang meting"gal orangtua bekerja sejak pagi hingga malam, tentu tidak banyak pelajaran yang bisa mereka ambil dari orang"tua mereka. Mengenai sopan-santun, etiket, budipe"kerti dan kesenian, misalnya. Sebaliknya anak-anak yang lahir dalam keluarga berada, disekolahkan di sekolah yang bagus, dididik dan mendapat peragaan nyata da"lam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya tata aturan yang bagus-bagus. Masih pula dikursuskan musik atau yang lain. Itu salah satu penyebab daya tariknya. Akan halnya Sekar, ayahnya seorang prajurit meskipun pang"katnya rendah. Tetapi Ibu tahu laki-laki itu memiliki latar belakang keluarga yang baik dan masih ada sedi"kit percikan darah priyayinya. Sudah begitu, orangnya ganteng. Sementara Mbok Kromo meskipun tidak can"tik tetapi berkulit bersih, rapi, tahu adat-istiadat, dan tata aturan pergaulan yang baik. Dia juga mahir ber"bahasa Jawa berikut tingkat-tingkat pemakaiannya de"ngan cara yang benar karena sejak kecil tinggal di ka"lang"an bangsawan. Ibunya adalah pelayan kesayangan sa"lah satu putri Raja. Nah, itu semua pasti diajarkan dan diturunkannya kepada Sekar.
Kalau orang tidak tahu, mereka pasti mengira Sekar itu datang dari keluarga berada atau setidaknya tidak ada orang menyangka bahwa dia sebenarnya anak Mbok Kromo. Bahkan ada yang mengira, Sekar itu ma"sih sanak keluarga kita, Bu. Saya mengiyakannya saja daripada memberi penjelasan panjang-lebar.
Asal kausadari bahwa kita tidak boleh menilai sese"- orang dari luarnya atau dari segi lahiriahnya saja. Entah
sanya, entah sopan santunnya, entah pula caranya bersikap dan bertindak. Sebab ada orang berdarah ningrat tet"api kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan asal-usulnya. Sebaliknya, ada orang gunung yang masih to"tok tetapi tindak-tanduk, sikap dan budi pekertinya se"perti priyayi, kata ibunya lagi. Tetapi ingat, Nak, se"mua itu hanya tempelan belaka
Tempelan apa maksudnya"
Tempelan atau atribut belaka. Orang yang cantik je"lita, sikapnya sangat santun, tutur bahasanya bagus se"kali, dan kariernya sukses, memang hebat. Tetapi itu se"mua cuma atribut yang bisa berubah begitu saja, en"- tah disebabkan karena sakit, entah karena kecelakaan, en"tah karena tekanan mental atau sebab yang lain. Tetapi inti kemanusiaannya yang paling hakiki, yang memiliki moralitas tinggi, tidak akan hilang darinya.
Sekarang beberapa belas tahun kemudian, percakap"- an"nya dengan sang ibu terngiang kembali di telinga Joko saat menatap pesona yang memancar dari keseluruh"an diri Sekar. Kata ibunya, jangan menilai seseorang dari apa yang tampak di permukaan. Sederhana memang kata-kata itu. Tetapi ternyata tidak mudah untuk me"nerapkannya. Setiap saat, selalu saja ada patokan ni"lai dari luar yang masuk ke otak Joko. Disadari atau ti"dak, hal itu sering memengaruhi, bahkan menjadi ba"- gian dari sistem penilaiannya. Apalagi ketika hal itu di"kenakan pada diri Sekar.
Tadi sewaktu ibunya bercerita bahwa Sekar sudah men"jadi sarjana dan kini menjadi guru SMU swasta
naik. Ketika ibunya meneruskan ceritanya bahwa saat ini Sekar sedang mengumpulkan biaya untuk melanjut"- kan studinya ke jenjang berikutnya pada semester depan, penilaian Joko terhadap gadis itu melonjak semakin tinggi. Seorang anak pembantu rumah tangga se"dang menyiapkan diri untuk kuliah S2, masih langka di negara ini. Mengingat ajaran ibunya, Joko bingung sen"diri karenanya. Dulu ibunya mengatakan agar kita ja"ngan menilai seseorang dari luar, yang sebetulnya hanya tempelan saja. Hanya atribut saja. Joko sangat setu"ju. Tetapi terhadap Sekar" Rasanya apa yang secara la"hiriah tampak pada Sekar, seperti kecantikannya, atau si"kap dan tutur-bahasanya, tidak bisa diabaikannya begi"tu saja. Terutama keberhasilannya di bidang studi dan daya juangnya meraih ilmu. Sulit untuk memisah"- kan kelebihan-kelebihan lahiriah Sekar dengan sesuatu yang kasat mata. Sebab apa yang tertangkap oleh pandang mata Joko telah menampilkan keseluruhan diri ga"dis itu. Lahiriah maupun batiniahnya. Joko mengenal ga"dis itu dengan baik. Sekar yang pemalu. Sekar yang pena"kut. Sekar yang pengalah. Sekar yang tahu menempat"kan diri. Tetapi juga Sekar yang memiliki harga diri yang kuat, daya juang yang hebat, dan prinsip hidup yang jelas. Semua itu begitu nyata tertangkap oleh mata hati Joko. Bahwa Sekar berhasil di bidang studinya, pasti bukan hanya tempelan saja. Juga bukan kare"- na kebetulan belaka. Tetapi karena ada kekuatan batin yang mendorongnya. Hal itulah yang tiba-tiba meloncat ke dalam ingatan Joko saat memperhatikan Sekar. Mata
kecerdasan, semangat, dan rasa percaya diri. Gadis itu me"mang memiliki daya pesona yang baru sekarang disadari oleh Joko. Seluruh gambaran tentang Sekar yang ku"rus, bermata besar, dan sering membelalak ketakutan saat dibentak olehnya, luruh dengan seketika.
Maka tahun-tahun yang telah lewat jauh di belakang Joko pun datang silih berganti membanjiri kenangannya. Ma"sih ingat olehnya betapa tajam lirikan mata Sekar ke"cil saat membawa rapor yang menjelaskan bahwa ia men"jadi juara pertama seluruh kelas lima yang terdiri atas tiga kelas. Itulah tonggak kemenangan Sekar, yang juga menjadi tonggak perjuangan berikutnya karena sete"lah peristiwa itu Sekar selalu menjadi bintang pelajar.
Tetapi dalam perjalanan waktu berikutnya, nyaris saja Joko tidak pernah lagi memperhatikan keberadaan Sekar. Anak itu sudah bisa belajar sendiri dan bahkan jauh lebih berprestasi daripada ketika sering diajari oleh"nya. Rasanya, tidak ada lagi urusannya dengan Sekar yang sudah lebih mandiri itu. Lebih-lebih setelah Joko semakin besar dan dewasa, ada banyak hal lain yang digelutinya. Ia juga lebih banyak menaruh perha"- tian pada kegiatan-kegiatan yang ada di luar rumah. Di se"kolahnya misalnya, atau di klub olahraga, atau pula di kegiatan lain yang menyangkut hobinya. Dia memang menyukai pergaulan yang luas, sebab di rumah, ke"cuali ayahnya yang sudah pensiun, semuanya perempuan. Bahkan kalau Mbak Endang datang berkunjung, bagi Joko juga tidak ada sesuatu yang istimewa karena
bab itulah Joko lebih suka berkumpul dengan temante"mannya.
Dengan berbagai kegiatan di luar rumah, terutama sete"lah ia kuliah di Bandung, perhatiannya kepada Sekar memang semakin menghilang. Lebih-lebih setelah ia memutuskan menghentikan kuliahnya di ITB dan memilih kuliah kedokteran di luar negeri. Setiap li"buran ke Indonesia, Joko tidak pernah bertemu dengan Sekar. Begitu juga sebaliknya, jika Sekar liburan ke Jakarta, Joko masih berkutat dengan studinya di Jerman. Bagi Joko, hal itu bukan sesuatu yang perlu di"per"soalkan. Baginya, yang penting Sekar dalam keadaan baik-baik dan sedang menuntut ilmu di Yogya. Apakah gadis itu akan pulang dengan mengantongi gelar kesar"janaannya atau tidak, Joko tidak begitu peduli. Tan"pa disadarinya, telah terpola di dalam pikirannya bah"wa Sekar dan keberadaannya hanyalah bagian dari isi rumah ini. Bahkan bagian dari keluarganya. Tidak le"bih dan tidak kurang.
Tetapi sekarang Joko baru sadar bahwa Sekar adalah sese"orang yang perlu diperhitungkan keberadaannya. Dia mempunyai kehidupan sendiri. Meskipun menjadi ba"gian dari rumah ini, Sekar adalah seorang pribadi oto"nom yang berhak menentukan dirinya sendiri. Daya pe"sona yang baru dilihat Joko tadi pasti akan meraih per"hatian banyak pemuda. Maka di suatu saat nanti Sekar akan pergi meninggalkan rumah ini untuk menapaki jalan hidupnya sendiri, menikah dengan salah seorang dari para pemuda itu. Tak seorang pun di rumah
rasa"nya agak aneh bagi Joko. Selama ini ia hanya tahu bah"wa Sekar merupakan bagian dari kehidupan yang ada di dalam rumah ini sampai waktu yang tak terbatas. Kepergiannya pasti menimbulkan kekosongan di tem"pat ini. Ah, kenapa Sekar begitu cantik dan menarik sih" pikir Joko. Setiap saat, bisa saja dia dibawa per"gi dan meninggalkan rumah besar ini dan menjadi ba"gian dari kehidupannya yang baru bersama orang lain dan membentuk keluarga sendiri.
Merasa terlibat pikiran seperti itu, Joko cepat-cepat mengi"baskan pesona Sekar dari dirinya. Sekuat apa pun pesona itu, ia berada di ruang kelas yang berbeda de"ngan gadis itu. Pesona itu bukan untuk dirinya.
Yah, betapapun indah dan luhurnya berbagai ajaran yang pernah diterima Joko dari orangtua dan dari keluar"ga lainnya mengenai keberadaan manusia bahwa se"tiap orang mempunyai harkat dan martabat sama, na"mun dalam hal-hal tertentu pandangan budaya ningrat telah mewarnai pola pikir Joko. Khususnya yang ter"kait dengan perasaan halus antara perempuan dan laki-laki. Joko telah telanjur mengenakan kacamata yang tan"pa sengaja telah diberi warna oleh keluarga besarnya. Ia lahir di Solo dan dibesarkan dalam lingkup kerabat dan orang-orang yang menempatkan asal-usulnya sebagai bangsawan pada posisi tinggi, yang harus diberi peng"hormatan. Darahnya darah biru. Kental pula. Maka meskipun Joko hidup di masa kini dan berusia muda, kacamata yang dikenakannya masih saja tetap bias oleh pengaruh lingkungannya. Apalagi didukung
jika mereka berhadapan dengannya atau dengan keluar"- ga besarnya.
Karena sejak kecil sudah terbiasa menerima perlakuan semacam itu, Joko sering menganggap penghormat"an itu seakan sudah dengan sendirinya dan sewajarnya ia terima. Dia memang tidak pernah memandang sebe"lah mata terhadap mereka yang dianggap bukan ke"lasnya . Ia juga suka bergaul dengan siapa pun tanpa meli"hat latar belakang mereka dalam kesehariannya. Prinsip hormat yang diajarkan orangtua dan keluarga besar"nya ia kenakan terhadap mereka yang lebih tua atau mereka yang dituakan karena kedudukan atau ja"- bat"annya, melampaui keturunan darahnya. Bangsawan atau bukan, tidak masalah baginya. Namun meskipun be"gitu, dalam hal khusus menyangkut kehidupan pribadi"nya, Joko belum bisa melepaskan diri dari tolok ukur dan nilai-nilai ajaran keluarga yang sudah telanjur terinter"nalisasi dalam dirinya. Baik yang diserapnya me"- la"lui peragaan dan keteladanan konkret sehari-hari dalam pergaulan bersama orang-orang sekitarnya, maupun me"lalui nilai yang diterimanya dari banyak pihak, ter"- ma"suk pepatah petitih dan berbagai wejangan yang dida"pat dari para sesepuh keluarganya. Pendek kata ada seperangkat kriteria dan penilaian yang sengaja atau tidak telah tertanam dalam dirinya sehingga berpeng"aruh pada cara pandangnya terhadap keberadaan perem"puan yang kelak akan mendampingi hidupnya. Bibit, bebet, dan bobot masih belum terlepas dari pola pikir"nya. Tanpa disadari Joko, itulah rupanya yang terjaba"gaikan rasa kagumnya terhadap kesegaran dan keindah"an bunga mawar besar yang terbalut kilau embun pagi. Mengaguminya sejenak dan lalu sudah, hanya sam"pai di situ saja.
Setidaknya itulah yang dialami Joko saat bertemu kem"bali dengan Sekar setelah tujuh tahun mereka tidak pernah bertemu. Akan halnya Sekar yang sudah ter"biasa menerima tatapan kagum dari mata para lelaki, sem"pat menangkap siratan yang sama dari bola mata Joko meskipun hanya sedetik atau dua detik lamanya, se"hingga akhirnya ia merasa tidak begitu yakin atas daya tangkap penglihatannya tadi. Bahkan ia mengira sa"lah tangkap. Sebab siapalah dirinya di mata laki-laki itu" Dipandang dari berbagai sudut pandang mana pun, Joko memiliki tempat yang jauh melampaui pijakan tem"pat kakinya menapak. Suatu cara pandang yang sebe"narnya juga tidak jauh dari warna kacamata yang dipa"kai Joko karena keduanya hidup dalam lingkungan dan tata nilai yang sama.
Memang cara pandang Sekar kurang tepat, namun begi"tulah yang terlihat dan diserapnya sejak bayi merah, ken"dati dalam pergaulan sehari-hari dengan banyak orang di luar keluarga besar Joko, penilaian semacam itu tak pernah dipakainya. Hanya khusus terhadap Joko dan keluarga besarnya sajalah sistem nilai itu telanjur tercetak sebagai pola pikir, bahwa mereka yang ber"darah ningrat itu memiliki derajat lebih tinggi. Mes"- ki"pun akal sehatnya berkata bahwa penilaian semacam itu amat keliru, namun sulit bagi Sekar untuk mengkan berbagai kelebihan-kelebihan mereka. Mulai dari adat-istiadat, tradisi, berbagai upacara keraton, sopan san"tun, pemakaian tingkat bahasa yang runtut dan rapi, lalu berbagai ajaran yang bagus-bagus, sampai pada kese"nian yang menampilkan keindahan dan keluhuran budi pekerti. Sekar lupa bahwa semua itu bisa dipelajari oleh siapa pun. Bukan datang dengan sendirinya. Arti"nya, jika ada keturunan ningrat yang dibesarkan orang desa di pucuk gunung yang lugu, lalu hidup apa ada"nya dan kurang memakai tata aturan sebagaimana yang ada dalam kalangan bangsawan, maka dia akan tum"buh seperti orang-orang di lingkungan tempat ia dibe"sarkan. Lugu, apa adanya karena kurang mengerti tata aturan pergaulan, berpikir lurus dan sederhana. Seba"lik"nya anak pelosok desa yang biasanya kurang men"dapat kesempatan untuk menerapkan ajaran-ajaran lu"hur budaya, jika dibesarkan dan dididik di lingkungan keraton, maka ia akan menjadi orang yang memiliki keha"lusan sikap dan tata aturan pergaulan priyayi. Arti"- nya, yang membedakan elok tidaknya seseorang dalam berbudi bahasa dan aturan pergaulan bersama orang lain, bukan karena darahnya biru atau tidak. Melainkan kare"na pendidikan, ajaran, dan budaya yang diserapnya sejak lahir.
Begitulah, Sekar yang sudah telanjur menempatkan ke"luarga besar Joko di tempat yang tinggi, menatap laki-laki itu sesaat lamanya dan melanjutkan percakapan mere"ka. Joko tadi mengatakan bahwa sebaiknya ia membia"sakan diri mendengar pujian untuknya sehingga di
pu"jian untuknya, ia tidak akan bingung lagi. Tetapi Sekar tidak mau menerima pendapat itu.
Tidak, Den Bagus, begitu ia menjawab setelah mengua"sai dirinya agar tidak tersipu-sipu lagi. Saya tidak akan memberi kesempatan pada pemuda mana pun un"tuk mengatakan pujiannya pada saya.
Sekarang mungkin tidak. Besok atau lusa, siapa tahu kan..."
Ah, sudahlah. Saya tidak mau membicarakan hal se"perti itu! Sekar mengibaskan tangannya ke udara dan cepat-cepat mengubah bahan pembicaraan. Nah, sete"lah kembali tinggal di Jakarta ini, apakah Den Bagus akan praktik di sini"
Tidak semudah itu, Sekar. Aku masih harus meng"- urus berbagai hal untuk mendapatkan izin praktik di Indonesia, sahut Joko.
Saya dengar prosedurnya cukup sulit, Den Bagus. Bah"kan harus mengikuti ujian kesetaraan lebih dulu dan hal-hal lain semacam itu. Apa betul"
Memang betul begitu. Nah, kau sendiri bagaimana" Apa"kah sudah senang menjadi guru"
Yah, senang. Walaupun banyak tantangannya, tetapi saya menjalaninya dengan senang hati sambil mencoba meng"atasinya.
Tantangannya apa saja, Sekar"
Banyak, Den Bagus. Antara lain menghadapi kenakal"an dan agresivitas anak remaja sekarang, yang seperti"nya tidak pernah kehabisan energi. Lalu juga semakin ma"raknya bermacam kasus karena narkoba, berikut berperkelahian, bahkan juga hubungan seksual yang seharusnya tidak boleh terjadi. Termasuk pesatnya ke"ma"juan teknologi informasi global yang berpengaruh pada pola pikir para remaja kita. Bahkan juga dalam pro"ses pembentukan konsep diri mereka yang rentan meng"alami disintegrasi pribadi, bahkan disintegrasi bang"sa. Belum lagi hal-hal lain seperti misalnya masa"lah-masalah sosial, eko"nomi, politik, sampai terkikisnya kesa"daran berbangsa dan bernegara. Itu semua akan membentuk perilaku yang sulit ditoleransi masyarakat pada umumnya.
Ya, aku tahu itu. Joko menatap mata Sekar. Mata in"dah itu berkilauan saat berbicara mengenai sesuatu yang tampaknya sedang menjadi fokus perhatiannya. Can"tik sekali wajahnya. Meskipun tidak berada di Indonesia, tetapi aku selalu mengikuti apa pun yang terja"di di tanah air. Begitu banyak permasalahan yang terja"di dan harus diatasi bersama oleh semua pihak. Ti"dak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah saja. Se"tiap komponen bangsa dan seluruh lembaga pemerintah dan nonpemerintah di negara ini harus berjuang ber"sama-sama dan bahu-membahu.
Memang harus begitu. Lalu bagaimana menurutmu, adakah pemikiran-pemi"kiran tertentu yang sekiranya bisa mengurangi berbagai masalah yang dihadapi oleh anak-anak muda generasi penerus bangsa ini"
Tergantung situasi, kondisi, dan latar belakang mereka, Den Bagus. Tidak semua kenakalan anak remaja bisa ditangani dengan cara yang sama. Jadi harus diliMisalnya" Zaman sekarang ini kan banyak anak-anak remaja yang kurang perhatian dan kehangatan dari keluarga. Mi"salnya karena orangtua yang hidupnya banyak di luar rumah akibat situasi dan kondisi yang tak terelakkan. Berangkat pagi-pagi sekali, pulang malam hari. Be"lum kalau masih harus mencari tambahan dengan lem"bur atau pekerjaan sampingan lainnya. Masih ditambah pula dengan lamanya waktu di jalan akibat kemacet"an lalu-lintas. Akibatnya anak-anak yang kurang per"hatian dan kesepian itu mencari kesibukan atau hibur"an di luar rumah yang belum tentu positif. Nah, pe"nanganannya agak berbeda dengan kenakalan remaja lain"nya.
Hal-hal semacam itu sudah menjadi masalah umum di kota-kota besar. Nah, apa lagi latar belakang lainnya"
Sudah saya katakan tadi, ada banyak akar masalah yang menjadi pemicu. Misalnya masalah ekonomi yang diper"buruk oleh iklan-iklan yang menyebabkan anakanak itu menjadi konsumtif dan mengejar berbagai kese"nang"an, sampai-sampai melupakan tugas pokok mereka sebagai pelajar. Tetapi kalau itu kita bahas sekarang, wah... bisa berjam-jam lamanya waktu yang akan kita pa"kai. Pekerjaan saya bisa terbengkalai, Den Bagus. Sekar tersenyum.
Oke. Tetapi katakanlah satu saja akar masalah lain"- nya yang kaulihat. Aku ingin tahu apa pendapatmu me"nge"nai kehidupan anak muda di zaman yang tak
Me"nangani penyakit seseorang kan tak hanya dilihat dari kondisi fisik belaka.
Baik. Saya ambil dari pengalaman konkret yang saya alami selama beberapa tahun menjadi guru, ya" sa"hut Sekar.
Justru itu yang bagus, Sekar.
Baiklah. Dari menangani berbagai kasus yang terjadi di sekolah, saya mengambil kesimpulan bahwa akar ma"salah terbesar yang menyebabkan anak remaja sering ber"sikap menantang, agresif, terlibat tawuran, mudah me"lakukan kekerasan dan lain sebagainya, berasal dari masa kanak-kanak mereka.
Bisa kaujelaskan" Joko memotong.
Ketika di taman kanak-kanak dan terutama di sekolah dasar sampai awal SMP, mereka mengalami tekanan kumulatif dari pihak sekolah maupun dari keluarga. Ba"nyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari, banyaknya PR dari masing-masing mata pelajaran, tuntutan un"tuk mengejar ranking, lalu ekstra kurikuler yang harus diikuti, itu semua menimbulkan bisul stres yang ber"kepanjangan. Belum lagi harus ikut kursus ini-itu yang diwajibkan orangtua mereka, seperti kursus bahasa asing, komputer, musik, balet, dan lain sebagainya. Akibatnya, ledakan tekanan itu muncul saat mereka di SMU bahkan di universitas.
Aku bisa melihat itu. Kita dulu juga mengalaminya, kan" Lalu apa yang harus dilakukan untuk menetralisasi"
Pemerintah perlu memperbaiki kurikulum dengan
log, para sarjana pendidikan, dan sebagainya. Kemudian sekolah-sekolah menjalankannya dengan menempatkan masing-masing murid sebagai seorang pribadi. Bukan se"kadar anak didik yang harus bisa mengharumkan nama sekolah atau menjadikannya sebagai sekolah favorit, misalnya. Apa pun alasannya. Juga bukan pengejar nilai bagus demi mendapat ranking sebagai kebanggaan dan tolok ukur prestasi.
Betul itu, Sekar. Aku setuju. Bagaimana dengan para guru dan orangtua murid" Joko menyela.
Para guru dan terutama orangtua, harus bisa memahami apa yang sungguh-sungguh diinginkan, diminati oleh masing-masing anak, dan bersama-sama menggali apa saja potensi serta bakat anak-anak mereka. Jangan me"maksakan kehendak sendiri. Jangan membebani anak de"ngan PR dan keharusan-keharusan yang menekan pera"saan. Jangan pula menjadikan anak sebagai tempat per"panjangan cita-cita orangtua yang dulu tak kesampaian, sahut Sekar. Apalagi mengarahkan anak untuk men"jadi pemenang dalam persaingan tidak sehat dengan antara lain membanding-bandingkan dengan sauda"ranya atau dengan anak lain. Semua itu merupakan te"kanan berat yang semakin lama semakin menumpuk dalam hidup mereka dan menjadi frustrasi kumulatif yang bisa meledak sewaktu-waktu. Atau menyebabkan anak menjadi apatis, lalu mencari pelarian yang keliru.
Yah, itu benar. Ada banyak anak dikursuskan ini dan itu yang sebetulnya merupakan cita-cita orangtua
anak yang dituntut orangtua agar bisa menjadi pemenang dan menempati peringkat tinggi agar menjadi tum"puan kebanggaan mereka.
Betul, Den Bagus. Akibatnya timbul semacam keterasing"an anak pada dirinya sendiri, yang bisa menyebabkan mereka kehilangan pegangan akibat baurnya kon"sep diri karena sudah diarahkan oleh orang-orang dewa"sa. Apalagi ditambah dengan membanjirnya ber"- bagai informasi dan budaya bangsa lain yang begitu san"ter, yang dengan mudah memasuki alam pikiran dan bah"kan kehidupan anak-anak itu, sambung Sekar. Jadi jangan salahkan mereka jika rasa kebangsaan anak muda sekarang meluntur. Apa-apa yang dari luar negeri dianggap lebih baik.
Rupanya berbagai kemajuan dunia, termasuk ilmu pe"ngetahuan, perkembangan teknologi, dan derasnya arus informasi global bisa berpengaruh buruk pada anak-anak kita, ya..., sahut Joko.
Tidak semuanya negatif kok, Den Bagus, katanya kemu"dian. Apalagi kalau anak-anak sering diajak untuk bisa bersikap kritis dan objektif setiap menghadapi ma"- sa"lah, termasuk cara menyiasati perkembangan tekno"- logi yang sedemikian gencarnya, yang menyebarkan ber"ba"gai informasi dari mana-mana. Biarkan mereka me"nilai dengan bimbingan guru atau orangtua atau pula orang yang mereka percayai. Kalau keliru langkah, ja"ngan disalahkan atau disudutkan. Tetapi diajak meng"- analisa secara dewasa. Singkat kata, kelebihan energi anak-anak itu perlu disalurkan. Jangan hanya dijejali
Te"tapi perlu pemahaman dan pengertian yang menye"- luruh.
Apa hasilnya" Biasanya mereka menjadi lebih kritis, berani mengemu"kakan pendapat, kreatif, memiliki pemikiran yang ma"tang dengan argumentasi yang objektif. Mereka bisa ber"diskusi secara sehat sehingga memperkaya mereka sen"diri. Sekar tersenyum lagi. Itulah sedikit pengalaman saya. Dengan perkataan lain, sekarang ini sebaiknya me"reka yang berwewenang, para stake holder dan para pe"nanggung jawab keselamatan bangsa harus memikir"- kan masa depan generasi muda kita. Pembangunan apa pun di negara ini harus dibarengi dengan pembangunan mo"ral dan mental anak bangsa, termasuk melestarikan ke"arifan lokal sebagai penerus kita nantinya.
Itu aku setuju sekali. Tetapi sepertinya dunia pendidik"an kita juga sudah mulai melakukan berbagai pem"- be"nahan-pembenahan...
Belum mencukupi, Den Bagus, Sekar memotong. Ma"sih saja sering ketinggalan dengan iklan-iklan dunia dan kesenangan yang lebih memanjakan segi jasmaniah. Li"hat saja di pertokoan dan mal-mal, banyak pelajar yang tidak langsung pulang ke rumah setelah sekolah bu"bar. Jajan ini dan itu. Jalan-jalan dan membeli ini dan itu bagi mereka yang orangtuanya berlebih. Mereka men"jadi konsumtif. Bagi yang tidak, iklan-iklan dunia itu bisa menjerumuskan mereka. Mulai dari yang ringan seperti mengasingkan diri sampai mencuri, menjual diri pada oom-oom atau tante-tante yang bisa meMestinya yang berwajib melarang anak-anak bersera"gam berkeliaran di mal-mal pada jam-jam sekolah, ko"men"tar Joko. Ia melihat betapa mata lebar yang indah di hadapannya itu semakin bercahaya saat membica"rakan dunia yang digelutinya.
Tidak efektif, Den Bagus. Harus dicari pemecahan yang tepat guna, kata Sekar tanpa menyadari bahwa Joko sedang mengaguminya.
Mbak Endang pernah bercerita, dulu di tahun delapan puluhan ketika dia masih di SD, ada beberapa gelang"gang remaja tempat anak-anak berkumpul, berolah"- raga, beraktivitas, berkreasi, dan lain sebagainya. Tetapi se"karang tempat-tempat seperti itu entah masih difungsi"kan atau tidak, aku tak tahu. Tetapi kelihatannya, anak-anak remaja kurang tertarik untuk datang ke sana, kata Joko lagi.
Saya rasa, perlu penanganan yang lebih serius. Tempat"nya diperbanyak supaya tidak jauh-jauh dari tempat ting"gal mereka dan dibuat semenarik mungkin, dileng"- kapi berbagai fasilitas seperti perpustakaan dan peralatan olahraga, komputer, alat-alat musik, dan sebagainya. Ti"dak se"mua anak mempunyainya di rumah. Lalu dibuat aca"ra-acara yang lebih memenuhi kebutuhan anakanak muda untuk menyalurkan bakat dan kesenangan mere"ka. Misalnya bedah buku, lomba-lomba, atau pelatihan dra"ma. Pokoknya dibangun situasi yang bisa menyala"kan semangat positif mereka.
Ya, saya rasa begitu. Diadakan kursus ini dan itu se"mu"rah mungkin, seperti kursus bahasa, seni, kompunya, agar mereka yang tidak mampu kursus di tempattem"pat yang mahal bisa memenuhi kebutuhan mereka un"tuk merealisasikan potensi dan bakat-bakat mereka.
Ya, ya... Sekar tertawa. Tetapi hentikan dulu pembica"raan ini ya, Den Bagus. Kalau tidak, saya bisa melan"tur ke mana-mana. Padahal saya harus memberes"kan da"pur. Simbok pasti marah kalau belum saya selesaikan.
Baiklah, baiklah... Joko menyeringai. Dibiarkannya Sekar membalikkan tubuhnya kembali ke arah bak cu"- cian piring untuk melanjutkan pekerjaannya yang ter"- tun"da karena obrolan mereka tadi. Kemudian pelan-pelan ia melangkah keluar. Tetapi di ambang pintu dapur ia menoleh ke arah Sekar kembali. Sekar, berbicara pan"jang-lebar denganmu, aku jadi sadar bahwa kau seka"rang sudah dewasa dan berpengetahuan luas. Padahal kalau kuingat dulu di masa kecilmu, kau begitu pe"nakut dan kurang percaya diri... wah... beda sekali.
Sekar Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lain dulu lain sekarang, Den Bagus. Sekar tertawa lem"but.
Kau memiliki bekal yang amat baik sebagai guru, Sekar.
Oh ya" Apa itu, Den Bagus" Saya kok malah tidak tahu. Lagi-lagi Sekar menertawakan Joko.
Ilmu pengetahuan yang luas, pengamatan yang ta"- jam. Tentu saja juga kesabaran dan pengertian.
Setidaknya, saya lebih berpengertian dan lebih sabar jika dibanding Den Bagus andaikata ada di tempat saya
Joko terbahak. Mereka berdua teringat kembali betapa seringnya Joko dulu kehilangan rasa sabar jika sedang mengajari Sekar.
Aku dulu nakal sekali ya..."
Sangat, sahut Sekar, tersenyum. Apalagi terhadap saya.
Sebaliknya, kau sangat sabar.
Tidak selalu. Sekar mulai tertawa. Ada rekan guru mengatakan pada saya bahwa saya ini seperti kucing. Kelihatannya lembut, sabar, dan penurut, tetapi jika ekornya diinjak, bisa mencakar. Entahlah soal kebe"narannya, karena yang bisa menilai kan orang lain.
Mungkin ada benarnya, sahut Joko, juga tertawa. Teta"pi apa pun itu, mudah-mudahan kelembutan, kesabar"an, dan mudahnya kau memahami orang lain itu ti"dak disalahgunakan oleh murid-muridmu. Seorang guru juga harus tegas , jangan terlalu sabar dan lembut hati.
Sekar menanggapi perkataan Joko dengan senyum yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri. Joko pasti lupa bahwa di balik kelembutan, kesabaran, dan mudahnya memahami orang lain, ia juga memiliki kemauan yang keras dan keteguhan hati. Apalagi jika berada di jal"ur yang benar.
S EJAK Joko hadir kembali di tengah keluarganya, rumah besar itu terasa menjadi lebih hidup. Suara tawanya yang hangat, nyanyiannya, atau pula siulannya sering memenuhi udara sekeliling rumah. Begitu juga per"mainan jemarinya pada tuts organ, atau cerita-ceritanya yang lucu acap kali mengisi seluruh penjuru rumah. Be"lum lagi teman-temannya yang datang silih berganti, memb"eri warna-warna yang berbeda daripada hari-hari sebe"lumnya. Sudah begitu, di mana-mana terlihat be"- kas-bekas jamahan tangannya yang masih sama lasaknya seperti ketika masih kecil dulu. Buku-buku atau ma"jalah berserakan di mana-mana, pakaian kotor sering dilem"par sembarangan ke keranjang cucian, gelas bekas mi"num ditaruh di mana saja dia mau, dan banyak lagi. Be"lum lagi caranya yang kurang sabar saat memasukkan mo"bil ke garasi.
Tiga Namun demikian, tak seorang pun di rumah itu menge"luhkan sikap dan perbuatannya. Di balik kelakuannya yang seenaknya itu, ia juga memperlihatkan kelebihan-kelebihan, kebaikan, kehangatan, dan perhatiannya pada seluruh isi rumah, tanpa kecuali. Ada-ada saja yang dibawanya untuk menyenangkan mereka semua. Ka"lau melihat sesuatu di jalan, meskipun hanya martabak manis atau tahu sumedang panas-panas, pasti dibeli"nya untuk oleh-oleh. Mulai dari ayahnya sampai Lik Tinah, tidak ada yang tidak kebagian.
Sekar melihat simboknya tampak lebih bergairah se"menjak bekas asuhannya itu kembali ke rumah. Seluruh keahliannya memasak, dikeluarkannya. Menu-menu ma"sakannya selalu ganti-berganti. Ia tahu, anak majikannya itu menyukai masakannya dan selalu mengobral pu"jian untuknya. Bahkan tak segan-segan mencium pipi"nya, seperti yang dulu sering dilakukannya ketika ma"sih kecil.
Sekar tahu, hubungan antara simboknya dengan Joko memang melebihi hubungan antara pengasuh dan anak asuhannya. Di masa bayinya dulu, Mbok Kromolah yang lebih banyak merawat Joko daripada ibu kan"- dung"nya, yang agak sakit-sakitan dan mudah lelah keti"ka itu. Waktu Joko sudah menjadi anak lelaki yang la"sak dan nakal, simboknya pulalah tempat pelarian anak laki-laki itu jika dimarahi oleh kedua orangtuanya. Bah"kan menurut cerita yang pernah didengar Sekar, sim"boknya pernah menyelamatkan Joko dari maut ketika bermain korek api di atas tempat tidur dan kasurYa, Sekar mengetahui betapa simboknya sangat meny yangi Joko sebagaimana Joko juga menyayanginya. Selu?"ruh isi rumah juga tahu itu. Bahkan Ibu Suryokusumo sendiri pernah mengutarakan hal tersebut saat perempuan setengah baya itu memergoki Sekar sedang memperhatikan Joko yang memeluk simbok"nya dengan sayang.
Sekar, kau tidak usah iri, kata Ibu Suryokusumo wak"tu itu sambil tersenyum lembut.
Tidak, Ndoro Den Ayu, saya tidak merasa iri. Cuma merasa agak risi. Den Bagus Joko itu kan sudah de"wasa dan sudah menjadi dokter. Masa sih sikapnya se"perti anak kecil kalau di dekat Simbok..., sahutnya. Ibu Suryokusumo tertawa.
Biar sajalah. Mereka suka kok, sahutnya kemudian. Su"dah sejak lama kami tidak menganggap Mbok Kromo sebagai pelayan, Sekar. Bukan saja karena Joko per"nah berutang nyawa kepadanya, tetapi kami sekeluarga juga pernah berutang kehidupan pada simbokmu itu.
Sekar menatap wajah Ibu Suryokusumo. Cerita se"- per"ti itu baru kali itu didengarnya. Simboknya tak per"nah bercerita apa pun.
Berutang hidup bagaimana, Ndoro Den Ayu..." tanya"nya kemudian. Saya tidak mengerti.
Dulu ketika pecah revolusi berdarah di tahun 1965 oleh Gerakan 30 September yang ingin menggulingkan pe"merintahan yang sah, kerusuhan terjadi hampir di selu"ruh nusantara. Penculikan dan pembunuhan terhamana. Di Yogyakarta Komandan Korem Kolonel Katamso dan kepala stafnya, Letkol Sugiono, diketemukan sudah menjadi mayat. Setiap hari selalu saja ditemu"kan mayat-mayat tentara dan sipil mengambang di su"ngai. Ketika kerusuhan mulai terjadi di Solo, aku sa"ngat ketakutan. Ndoro Tumenggung kan tentara dan mes"kipun saat itu masih muda belia, tetapi beliau sudah menduduki jabatan yang lumayan bagus sehingga aku takut sekali kalau-kalau beliau juga jadi sasaran pem"bu"nuhan. Maklum, saat itu mana musuh dan mana te"man, sulit diketahui.
Perang saudara memang lebih mengerikan, Ndoro.
Ya. Terkadang demi mencari keselamatan sendiri, orang tega menjual teman. Fitnah ini dan itu, sering kali terjadi. Tahu-tahu saja ada orang diciduk dan dibawa ke penjara atau ke mana, tidak ada yang tahu. Hilang begitu saja.
Kondisi negara pada waktu itu bagaimana, Ndoro"
Wah, ya kacau, sehingga jam malam diberlakukan, mulai jam enam sore hingga jam enam pagi. Salah satu akibatnya, ekonomi bangsa terhambat sehingga kacau. Ter"masuk ekonomi keluarga kami. Sudah begitu, Ndoro Tumenggung harus ke Jakarta untuk membantu mengem"balikan keamanan di Ibukota sementara kerusuhan di daerah-daerah masih sering terjadi, yang justru bersifat sporadis dan merupakan bahaya laten yang le"bih sulit ditangani. Apalagi setiap ada kerusuhan selaras"an, pencurian, perampokan, dan bahkan perkosaan se"ring terjadi sehingga menyebabkan orang takut mela"- kukan kegiatan ekonomi. Nah, pada saat itulah sim"bokmu menjadi malaekat penolong kami. Padahal usianya saat itu baru belasan tahun tetapi tanpa takut, setiap pagi begitu usai jam malam dia berjualan pecel dan ma"cam-macam getuk, keliling kampung yang dekat-dekat. Masakannya kan enak. Jadinya ya lumayan laris, Nduk. Padahal saat itu tidak mudah mencari uang lho. Sung"guh, kami berutang banyak padanya.
Den Roro Endang saat itu sudah, lahir" tanya Sekar.
Belum. Waktu itu aku masih pengantin baru. Umurku belum lagi delapan belas tahun, baru saja lulus SMU. Mungkin akibat kerusuhan yang membuatku se"ring merasa ketakutan, sembilan tahun lebih sesudah aku menikah, baru Endang lahir. Sepanjang masa kerusuh"an itu, sering kali di malam hari terdengar suara senap"an di kejauhan yang menyebabkan aku sangat keta"kutan. Simbokmulah yang menemani dan membesar"kan hatiku. Aku sangat berutang budi padanya.
Sekar terdiam. Ia tahu, simboknya memang pemberani dan teguh hati. Dari berbagai cerita yang didapatnya, Sekar juga tahu bahwa simboknya bertekad untuk ti"dak mudah jatuh cinta. Oleh karena itulah ia baru me"nikah ketika sudah termasuk perawan tua. Itu pun ber"kat campur tangan kedua majikannya yang mengingin"kan simboknya hidup lebih baik.
Mbok Kromo memang berwajah biasa-biasa saja.
pa cacat dan rambut lebat berwarna hitam legam berom"bak, yang sangat kontras dengan warna kulitnya itu. Kom"binasi semacam itu merupakan daya tariknya. Sudah ada beberapa lelaki, anak buah majikannya yang meli"rik padanya setiap ia menghidangkan minuman. Teta"pi perempuan yang dibesarkan di lingkungan bangsa"wan itu tidak mudah menjatuhkan pilihannya. Bibit, bebet, dan bobot sudah telanjur masuk dalam kriterianya dalam mencari jodoh. Bapak Raden Mas Tumenggung Suryokusumo, sang majikan, bukannya tidak tahu itu. Mbok Kromo pantas untuk bersikap hati-hati. Ajaranajar"an kepriyayian yang pernah diterima dan didengarnya telah menjadikannya perempuan yang berbudi ba"- ha"sa santun dan halus. Berhadapan dengannya, orang akan menaruh respek karena pembawaannya itu. Dengan pengenalan itulah majikannya memilihkan jodohnya, Kromowiyudo. Laki-laki itu adalah anak buah aju"dan Bapak Suryokusumo. Saat itu Endang, putri sang majikan sudah mulai memasuki awal remaja, semen"tara Joko masih kecil.
Mbok Kromo yang lahir di kalangan bangsawan kare"na ibunya sudah menjadi abdi di lingkungan keraton, memiliki jiwa pengabdian yang telah berurat akar da"lam sanubarinya. Meskipun sudah menikah, ia tidak ingin meninggalkan rumah majikannya begitu saja. Dia ti"dak sadar bahwa suaminya merasa malu dan tertekan ka"renanya. Walaupun pangkatnya rendah, laki-laki itu me"miliki kebanggaan sebagai prajurit. Bahkan meskipun su"dah jauh ikatannya, ia masih memiliki percikan daanggap diri memiliki derajat lebih tinggi menyebabkan Kromowiyudo belum mengenalkan istrinya pada sanak ke"luarganya di kota lain. Ketika Mbok Kromo mengadu"kan hal itu kepada Ibu Suryokusumo, majikannya itu hanya bisa menghiburnya. Dia merasa tak berhak ikut campur urusan tumah tangga orang.
Bersabarlah, katanya. Biarkan suamimu mengatur hati dan pikirannya lebih dulu. Untuk saat ini, sebaik"- nya kau tidak usah bekerja di sini dulu. Ikutlah suamimu dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Mbok Kromo menurut. Meskipun dengan berat hati, diting"galkannya keluarga yang telah diikutinya semenjak dia masih kanak-kanak, berharap sang suami akan ber"- ubah sikap. Namun sampai Sekar lahir dan masih saja diri"nya belum diperkenalkan oleh sang suami pada keluar"ganya, Mbok Kromo mulai kehilangan rasa sabarnya. Saat itulah baru ia mengetahui bahwa ternyata diri"nya hanyalah istri sampingan. Orang dulu menyebutnya sebagai selir. Selir bisa dinikahi sebelum mempunyai istri utama atau sesudahnya. Dinikahi secara sah, na"mun tidak mempunyai hak penuh sebagai istri.
Mbok Kromo yang sudah menyimpan seperangkat sis"tem nilai dalam memandang hubungan suami-istri, ti"dak bisa menerima hal tersebut. Sekarang zaman sudah berubah. Perseliran sudah usang dan merobek har"kat-martabat kaum perempuan. Maka Mbok Kromo pun memilih bercerai dari Kromowiyudo. Bapak dan Ibu Suryokusumo yang juga baru mengetahui status per"nikahan mereka, tidak bisa berbuat apa pun untuk
telan"jur terluka. Dibawanya bayi merah dalam pelukannya kembali ke rumah keluarga Bapak Tumenggung Suryokusumo. Akan halnya Kromowiyudo, ia menikah lagi ketika Sekar berumur satu tahun. Ketika Sekar ber"umur tiga tahun, laki-laki itu meninggal dunia akibat sakit. Maka Sekar pun menjadi hak simboknya sera"tus persen. Sejak saat itu pula, Mbok Kromo semakin mengabdikan dirinya kepada sang majikan dan me"ni"tipkan seluruh hidupnya dan juga hidup anaknya, kepa"da mereka. Bahkan ia merasa amat beruntung karena Sekar kecil sangat disayangi oleh seisi rumah.
Kini setelah Sekar menjadi dewasa dan sudah menjadi guru, seisi rumah masih tetap menyayanginya dan meng"anggapnya sebagai bagian dari isi rumah ini. Bah"- kan bagian dari keluarga. Meskipun waktu terus berlalu dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, seakan-akan segala sesuatunya tidak ada yang berubah di rumah besar ini. Namun tidak demikian halnya dengan Sekar. Pandangan dan pera"saannya terhadap Joko tidak lagi sama seperti dulu. Ti"dak ada lagi pandangan seorang anak perempuan ke"cil terhadap anak majikan simboknya, yang walaupun disa"yanginya tetapi juga ditakutinya karena galak dan pema"rah. Kini pandangannya terhadap laki-laki itu meru"pakan pandangan seorang gadis dewasa terhadap laki-laki yang dikaguminya, laki-laki satu-satunya yang bisa menyebabkan jantungnya berdebar keras dan hatinya berbunga-bunga. Penilaiannya yang semula mengang"gap Joko sebagai laki-laki yang serbabisa dan serbaseba"gai anak majikan, kini bergeser jauh. Berkat pendi"- dik"an formal yang didapatnya dan berkat sejumlah besar buku yang dibacanya, Sekar tidak lagi menganggap Joko sebagai laki-laki serbabisa, serbakuasa, dan menempati kedudukan istimewa. Ia kini memandangnya sebagai laki-laki ganteng dan hangat, yang mampu menggetar"kan seluruh jiwa dan raganya.
Satu-satunya yang masih belum berubah adalah kesadaran Sekar bahwa dia dan Joko memiliki tempat yang ti"dak setara. Ada berbagai kesenjangan yang terentang di antara mereka berdua, tidak peduli apa pun latar bela"kang pendidikan dan luasnya pengetahuan yang te"lah dimilikinya. Seperti simboknya yang selalu mendidik dan mengajari banyak hal mengenai kehidupan ini, Sekar juga memiliki seperangkat penilaian yang menempat"kan dirinya tidak sekelas dengan Joko dan keluarga"nya. Ada sejumlah besar perbedaan derajat di antara mere"ka berdua yang menurutnya tak sebanding. Keluarga Joko memiliki darah ningrat yang amat kental. Ditinjau dari berbagai sudut pandang, keluarga besar Joko meru"pakan keluarga terpandang. Keluarganya rata-rata ter"masuk orang berpangkat dan berharta. Ayahnya, pen"siunan mayor jenderal, mantan pejabat di zaman Presiden Suharto yang disegani orang karena kebijakan, keju"juran, dan ketegasannya dalam menangani berbagai masa"lah. Masih ditambah kekayaan keluarga yang memang sudah dimilki secara turun-temurun dari kakek dan neneknya.
Ditinjau dari berbagai sudut pandang, Sekar menyaruh latar belakangnya itu. Acap kali Sekar terpaksa meng"hadapi kenyataan semacam itu dengan perasaan ter"amat pahit. Dirinya bagai seekor burung pungguk yang merindukan rembulan. Namun meskipun demikian, tidak pernah sekali pun Sekar menyesali nasib yang memberinya kedudukan dan status sosial yang tidak setara dengan Joko. Pendidikan yang diterimanya me"nyadarkan dirinya bahwa kehidupan ini baru sempur"na justru karena adanya perbedaan. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang berpangkat tinggi, ada ba"- wah?"an. Ada gunung, ada jurang. Ada panas, ada dingin. Ada terang, ada gelap. Sebab, apa jadinya dunia ini jika se"mua serbasama dan sewarna" Apa jadinya pula jika se"mua orang berdarah ningrat"
Sekar yang memiliki wawasan luas dan semakin bijak oleh banyaknya pengetahuan yang ia serap dan penga"lamannya sebagai guru, tahu bahwa jurang-jurang per"bedaan yang menyangkut status, kelas sosial, dan ke"bang"sawanan tidaklah muncul atau lahir begitu saja. Dan bukan pula sudah tercipta demikian atau dengan sen"dirinya. Sekar juga tahu bahwa semua itu buatan manu"sia dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Buda"ya, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi, tata nilai, pandang"an manusia, dan semacamnya merupakan pengkristalan dari suatu proses perjalanan kehidupan manusia yang amat panjang dan memakan waktu berabad-abad la"manya sehingga membentuk pengertian bahwa itulah ba"gian dari kebenaran. Bahwa itulah hukum yang harus dipegang dan dijadikan sebagai tolok ukur penilainger"tian Sekar tentang itu semua, tetap saja ada sejum?"lah nilai yang sudah telanjur berkarat dalam benak"nya. Terutama jika ia teringat pada penggalanpenggalan peristiwa yang pernah ia alami di sepanjang hi"dupnya menjadi bagian dari keluarga berdarah ningrat ini.
Masih tersimpan dalam ingatan Sekar pada kejadiankeja"dian kecil yang berdampak luas di hatinya. Terlebih sete"lah ia menjadi dewasa, sebab dari peristiwa semacam itulah ia disadarkan kembali di mana tempatnya bera"da dan apa kedudukannya. Contohnya ketika ada sela"matan di rumah keluarga Bapak Suryokusumo, berta"hun-tahun lalu. Endang, putri mereka sedang dise"- lamati kandungan pertamanya yang memasuki bulan ke"tujuh. Banyak keluarga, kerabat dan handai tolan yang hadir dalam selamatan itu. Merasa tertarik oleh peris"tiwa yang baru pertama kali dilihatnya, Sekar yang saat itu berumur sembilan tahun, duduk di salah satu de"retan kursi yang diletakkan di depan kamar mandi be"sar tempat Den Roro Endang dimandikan dengan air bunga rampai. Di dekat kaki Den Roro Endang dan terletak di atas baki, ada sepasang kelapa muda yang digam"bari wayang. Melihat keberadaan Sekar di situ, sa"lah seorang tamu berbisik pada kenalannya. Karena mer"eka duduk tidak jauh dari tempat Sekar, telinga anak itu mendengar pembicaraan yang dilakukan dengan berbisik dan memakai bahasa Jawa itu. Meskipun lahir dan dibesarkan di Jakarta, Sekar bisa berbahasa Jawa. Baik bahasa Jawa sehari-hari, bahasa pertengahan
ia dapat mengikuti pembicaraan tamu yang duduk agak di belakangnya itu.
Bukankah itu anaknya Mbok Kromo" kata orang itu kepada temannya.
Sekar ingin menoleh ke arah bisikan-bisikan di belakang"nya, tetapi ia tidak punya keberanian untuk melaku"kannya. Karenanya, hanya daya pendengarannya saja"lah yang ia pertajam.
Ya, anak itu memang anaknya Mbok Kromo. Cantik dan bersih, ya" sahut yang diajak bicara. Rasanya un"tuk menjadi anak seorang pelayan, dia terlalu bagus.
Ya, memang. Cantik sekali. Tetapi meskipun begitu, seha"rusnya Mbok Kromo tidak membiarkannya berkum"pul dengan tamu-tamu majikannya. Ibu kandung Kamas (kakak lelaki) Suryokusumo itu kan keluarga de"kat Gusti Mangkunegoro, sedangkan ayahnya dari Kasunanan. Begitu juga Mbakyu Suryokusumo, berdarah bangsawan tinggi Yogyakarta. Semestinya Mbok Kromo memberi pengarahan dan pengertian pada anaknya untuk bisa membawakan diri dengan baik, benar dan tepat.
Itulah kalau Mas dan Mbakyu Suryokusumo terlalu mem"beri kebebasan pada para abdinya. Sayang sekali....
Apanya yang sayang sekali..."
Itu lho anaknya Mbok Kromo. Cantik-cantik begitu kok tidak mengerti tata-krama.
Masih amat muda ketika Sekar tanpa sengaja mekeluar"ga besar majikan ibunya itu. Tetapi ia bisa menang"kap realita yang dialaminya bahwa di mana pun ia berada, selalu ada saja orang yang mengingatkan adanya ju"rang perbedaan kelas antara dirinya dengan keluarga besar majikannya. Seakan, kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat itu memberi harga dan nilai-nilai tertentu untuk memandang dan menempatkan manusia. Pada"hal ajaran agama yang diserapnya mengatakan bahwa se"mua insan yang ada di dunia ini sama nilai dan har"- ga"nya bagi Allah. Semua diciptakan-Nya setara.
Goresan hati seperti itu bukan cuma sekali atau dua kali saja dialami oleh Sekar karena keberadaannya dalam keluarga ini. Pernah di suatu ketika, putri kenalan de"kat keluarga Suryokusumo yang umurnya sedikit le"- bih tua daripada Sekar, dititipkan di rumah selama bebe"rapa jam. Kedua orangtuanya sedang menghadiri ja"muan makan sementara keluarga lainnya juga sedang ti"dak ada di rumah. Oleh Ibu Suryokusumo, Joko kecil diminta untuk ikut menemani Dewi. Meskipun dengan pera"saan terpaksa, Joko menemani tamu kecilnya itu de"ngan menceritakan kembali tentang gunung berapi yang dibacanya dari ensiklopedia anak-anak. Mereka ber"dua duduk bersisian di atas sofa. Dewi merasa senang mendengar penjelasan-penjelasan Joko yang lebih leng"kap daripada apa yang terdapat dalam buku yang se"dang terkembang di pangkuan pemuda remaja itu. Sekar yang sedang berdiri tidak jauh dari mereka ikut men"dengarkan. Bahkan lebih tertarik daripada ketertarik"an Dewi. Sedemikian tertariknya Sekar pada apa
tuk tidak bergabung dengan keduanya. Bahkan duduknya merapat ke arah Dewi karena besarnya rasa ingin ta"hunya itu. Semakin besar anak itu semakin besar pula minatnya terhadap berbagai pengetahuan yang ada.
Merasakan kehadiran Sekar di sisinya, Dewi kecil menge"rutkan dahinya sambil menatap ke arah anak itu de"ngan sikap melecehkan.
Lho, kamu kok duduk di kursi ini sih" katanya de"ngan suara ketus.
Joko menghentikan penjelasannya, kemudian mengang"kat wajahnya untuk melihat wajah kedua anak pe"- rem"puan di dekatnya itu, ganti berganti. Air muka Dewi tampak galak dengan dahi dan hidung berkerinyut. Bahkan kedua alis matanya nyaris bertaut menjadi satu. Sedangkan wajah Sekar yang cantik, mulai me"nyiratkan keraguan dan dengan mata lebarnya yang ber"lumur rasa cemas, membalas pandang mata Joko. Hati pemuda remaja itu tersentuh karenanya. Ia menatap Dewi kembali.
Kenapa kalau Sekar duduk di kursi ini, Wi" tanyanya kepada anak itu.
Seharusnya dia tidak boleh duduk di sini, jawab yang ditanya. Di rumahku, para pelayan tidak boleh du"duk di kursi, kecuali kursi yang ada di dapur. Apalagi duduk di dekat-dekat tamu.
Lalu duduk di mana, kalau begitu" Ya duduk di lantai dong. Masa di kursi kita" Mendengar jawaban itu, Sekar merasa amat malu.
mata Joko lurus-lurus. Melalui tatapan mata itu ia me"- min"ta pendapat sang majikan muda mengenai apa yang se"baiknya ia lakukan. Tetap duduk di kursi ataukah du"duk di lantai.
Tetapi Joko tidak membalas pandangan Sekar ken"- dati ia ingin membela anak pengasuhnya itu. Dengan sikap acuh tak acuh, remaja tanggung itu menanggapi per"kataan Dewi.
Wi, kita kan tidak tinggal di keraton, katanya. Ini Jakarta dan kita hidup di alam kemerdekaan di mana se"tiap anggota masyarakat entah tua, muda, besar, kecil, kaya, miskin mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Apa"lagi kita berada di negara yang menjunjung demokra"si....
Baik Dewi maupun Sekar tidak mengerti apa yang di"mak"sud Joko dengan kata demokrasi itu. Tak terpikir"kan oleh kedua anak itu bahwa Joko sendiri pun ku"rang jelas mengartikan makna demokrasi. Ia mengambil kata tersebut karena kata itulah yang sering diucapkan seseorang jika membicarakan keadilan.
Namun, meskipun Sekar tidak tahu persis apa yang dika"takan oleh Joko, jauh di relung hatinya yang perasa, dia tahu bahwa pemuda itu membelanya. Apalagi sete"- lah berkata seperti itu, Joko melanjutkan ceritanya tanpa menyinggung masalah yang dilontarkan oleh Dewi tadi. Bahkan beberapa kali remaja tanggung itu mengajak Sekar membahas topik yang sedang dibicarakan.
Apa yang kauketahui tentang gunung berapi di ne"- ga"ra kita ini, Sekar" begitu antara lain yang ditanyakanAda banyak gunung berapi di negara kita ini, Den Bagus. Beberapa di antaranya termasuk sangat aktif. Gu"nung Merapi di Jawa Tengah, Gunung Kelud dan Gu"nung Semeru di Jawa Timur, Gunung Gamalama di Maluku Utara, misalnya. Bahkan letusan beberapa gu"- nung di negara kita pernah mengganggu perubahan iklim di Eropa dan Asia. Gunung Krakatau dan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang meletus dua ra"tus tahun lalu itu, misalnya. Korban jiwa pun puluh"- an ribu banyaknya.
Sok tahu kau, Dewi memotong sengit. Betul begitu, Mas Joko"
Apa yang dikatakan oleh Sekar betul. Kau harus me"niru kesukaan Sekar membaca, Wi. Pengetahuan kita akan semakin bertambah dengan banyak membaca. Buku adalah guru, sahut Joko.
Sekar merasa senang dibela lagi oleh Joko. Apalagi Dewi tidak lagi menaruh perhatian pada keberadaan Sekar yang masih duduk bersamanya. Anak itu lebih ter"tarik pada jawaban-jawaban Sekar yang bagus-bagus. Mes"kipun tidak mau mengakuinya, pengetahuan Sekar telah menambah wawasannya.
Peristiwa serupa juga pernah terjadi di dapur belasan ta"hun yang lalu. Ketika itu serombongan anak-anak ma"suk ke dapur minta minum sesudah bermain kasti di lapangan dekat rumah. Mereka berebut gelas. Sekar ada bersama mereka. Seorang anak perempuan yang ber"diri di muka rak piring sambil memegang gelas, ber"- tanya kepada Joko.
Kami tidak membedakan gelas. Kecuali untuk Romo dan Ibu yang memakai gelas besar, jawab Joko. Mengapa kau bertanya seperti itu, Indah"
Karena di rumah kami, gelas pembantu rumah tangga, dibedakan. Kalau gelas ini punya Mbok Kromo atau punya orang belakang lainnya, aku tidak mau mema"kainya, jawab yang ditanya.
Mengapa" tanya Joko dengan perasaan kesal. Mbok Kromo justru lebih pembersih daripada Mbak Endang, pikirnya.
Jijik. Jawaban anak itu membuat Joko bertambah marah. Mbok Kromo dan Lik Tinah, apalagi Sekar, adalah orang-orang yang pembersih dan sehat. Bahkan Mbok Kromo-lah yang sering mengejar-ngejar ketika Joko ma"sih kecil supaya menggosok gigi kalau mau tidur siang maupun malam. Kalau Joko sakit gigi, langsung saja Mbok Kromo mengingatkan bahwa menggosok gigi itu harus begini dan begitu sehingga sisa-sisa makan"an di mulut, hilang. Kalau tidak, selain bisa menyebab"kan penyakit, juga menyebabkan bau tidak sedap. Jadi, bagaimana bisa Indah mengatakan gelas pembantu ru"mah tangga menjijikkan.
Pembantu rumah tanggaku bersih-bersih, katanya de"ngan nada marah sambil mengerutkan dahi. Mereka tiga kali menggosok gigi. Gelas-gelas dan piring semuanya dicuci bersih. Tidak ada yang menjijikkan. Pakaian me"reka bersih-bersih dan sama seperti kita, mandi dua kali. Malah Mbok Ktomo kalau habis masak, mandi
orang jorok atau alat-alat makan yang dicuci dari satu ember yang airnya sudah keruh dan kotor. Biarpun be"- kas minum dan makan raja atau presiden sekalipun, aku jijik memakainya.
Sekar yang hatinya semula panas karena penghinaan Indah, merasa terhibur oleh jawaban Joko. Dia tahu be"tul apa yang dikatakan oleh Joko tidak salah. Pem"- be"laannya didasari kenyataan yang ada dan beranjak dari kebenaran. Tidak berlebihan dan tidak menambahnam"bahinya. Keluarganya memang tidak pernah merasa jijik pada para pembantu. Joko sering mencium pipi sim"boknya kalau merayu minta dibuatkan sesuatu. Nasi goreng, misalnya. Bahkan ketika Sekar masih kecil, ia sering melihat Joko tidur di kamar simboknya jika dima"rahi orangtuanya atau jika merasa sedih seperti keti"ka sahabat karibnya meninggal dunia ditabrak mo"- bil.
Dalam segala hal, Mbok Kromo memang pembersih. Pa"kaiannya selalu rapi dan bersih meskipun warnanya sudah pudar. Dia tidak suka berbau keringat. Dialah yang mengajari Joko untuk selalu bersih, rapi, dan tidak bo"leh bau keringat. Kamarnya juga bersih dan wangi kare"na ia selalu menyimpan bunga melati di dalam mang"kuk kecil yang ditaruh di atas meja di kamarnya. Perem"puan itu sengaja menanam sejumlah pohon melati di sudut halaman belakang dan merawatnya dengan baik sehingga bergantian pohon melati itu memberikan bunga-bunganya yang wangi. Kebiasaan itu ditirunya dari ibu kandung Bapak Suryokusumo. Mbok Kromo
berbau harum alami dari bunga melati yang disisipkan di sanggulnya.
Yah, ada banyak peristiwa kecil yang menunjukkan ba"gaimana Joko selalu membela para pembantu rumah tang"ga orangtuanya dan terutama Sekar yang sering dina"kali tetangga karena statusnya sebagai anak pembantu rumah tangga. Anak-anak itu menganggap anak pem"bantu rumah tangga boleh disuruh-suruh untuk meng"ambilkan ini dan itu atau diminta membawakan ba"rang ini dan itu. Kalau Joko memergoki yang seperti itu, ia marah sekali.
Biarkan Sekar ikut bermain bersama. Dia bukan pela"yan, hardiknya dengan berapi-api. Bawa sendirisen"diri barang kalian. Ambil sendiri bola yang kalian lem"parkan terlalu jauh itu. Awas, kalau aku melihat Sekar disuruh ini atau itu, kuamuk kalian semua.
Kepada Sekar, Joko juga marah-marah kalau melihat anak itu mau saja diperlakukan tidak adil.
Kau itu punya derajat yang sama dengan mereka. Sama-sama bangsa Indonesia. Sama-sama anak sekolah. Bah"kan kau jauh lebih pandai daripada mereka. Jangan mau diperlakukan tidak adil, katanya. Kecuali kalau kau ingin membantu mereka yang memang perlu dibantu. Teman yang sakit, misalnya. Atau anak kecil yang be"lum kuat membawa banyak barang.
Hal-hal kecil seperti itulah yang sedikit demi sedikit me"rasuk ke dalam pikiran dan hati Sekar. Pembelaan dan perlakuan Joko yang selalu adil dan tahu men"duduk"kan sesuatu pada tempatnya, terasa menyentuh
Teta"pi dia tidak rela, bahkan marah besar, kalau ada anak lain yang menggalaki Sekar.
Ketika usia Sekar semakin bertambah, pandangannya ter"hadap Joko yang semula bagai pahlawan baginya, mu"lai bergeser menjadi pemujaan. Bahkan akhirnya keti"ka ia sudah menjadi gadis dewasa yang jelita dan mem"buat banyak pemuda menaruh hati kepadanya, hati Sekar bergeming karena baginya laki-laki lain tidak menarik hatinya. Satu-satunya pemuda yang ada di dalam hatinya hanyalah Joko. Dan ia baru menyadari sungguh-sungguh bahwa perasaan itu adalah cinta as"- mara ketika jantungnya berdegup kencang dan seluruh tubuhnya bergetar saat melihat Joko kembali setelah ham"pir tujuh tahun lamanya mereka tak berjumpa. Seka"ligus ia juga mengerti kenapa sampai seumur ini hatinya tidak pernah tergerak oleh pemuda-pemuda lain, sehebat apa pun dia.
Dulu ketika masih kecil, Sekar memang sering kesal dan tersinggung jika diperlakukan tidak adil oleh Joko. Ka"lau Joko disuruh orangtuanya membeli sesuatu di wa"rung atau di toko kecil yang letaknya di ujung jalan, sel"alu tugas itu dioperkannya pada Sekar dengan diamdiam. Tak peduli meskipun saat itu Sekar sedang bermain atau belajar. Kalau yang dibeli Sekar salah, Joko akan memarahinya.Tetapi lucunya, kalau Sekar dimarahi orang, bahkan oleh Mbok Kromo sekali pun, Joko ti"dak rela. Seakan hanya dia sendiri yang boleh memarahi"nya.
Terkadang kalau sudah keterlaluan, Sekar mengadunya tak memberinya jalan keluar sebagaimana yang diingin"kannya.
Den Bagus Joko itu manja, mau menangnya sendiri dan suka menggerutu panjang-pendek. Tetapi hatinya sa"ngat baik, Nduk. Jadi, jangan dimasukkan hati. Percaya"lah, dia sayang kok kepada kita, begitu antara lain yang diucapkan Mbok Kromo. Jadi percuma saja mengadu kepadanya.
Tetapi kalau Sekar mengadu pada Ibu Suryokusumo, pasti Joko akan semakin menekannya karena sang ibu pasti akan memarahinya habis-habisan. Jadi, juga akan per"cuma saja mengadukan Joko pada ibunya. Maka akhir"nya Sekar membiarkan saja Joko dengan sikapnya itu. Bagaimanapun ia tahu pemuda tanggung itu menyayanginya.
Jadi begitulah, semakin bertambah umurnya, semakin Sekar tahu bahwa sikap Joko yang beraja di mata dan bersultan di hati itu pada dasarnya karena kemanjaan dan kenakalannya saja. Dia terlalu dimanja dan diper"lakukan istimewa oleh seisi rumah. Jadi, bukan kare"na Joko menganggap diri sebagai anak majikan. Bu"kan pula karena dirinya merasa lebih tinggi derajatnya. Sekar tahu betul mengenai hal itu sehingga lamakela"maan dibiarkannya saja kelakuan Joko itu. Jika ada anak tetangga yang menakali Sekar, Joko-lah yang berada paling depan, menjadi pembela dan perisainya. Ka"renanya, Sekar sering memakai hal itu untuk menakut-nakuti anak yang jail terhadapnya.
Kalau kamu terus menakali aku, kuadukan kau
anak-anak yang menakalinya. Dan ia berhasil. Anakanak itu takut kepada Joko.
Begitulah semua penggalan peristiwa semasa ia ma"- sih kecil dan akhirnya menjadi dewasa seperti sekarang ini telah membentuk semacam penyatuan potongan-po"- tong"an mozaik yang begitu jelas terpeta dalam kenangan"nya. Setiap pandang matanya membentur sosok Joko, set"iap itu pula kenangan masa lalunya bersama laki-laki itu menyajikan gambar yang semakin lama semakin utuh dan memberinya kesadaran akan perasaan yang baru dipahaminya. Bahwa ia mencintai laki-laki itu dengan seluruh kebulatan hatinya. Namun juga sekaligus menyadari bahwa perasaan itu akan menjadi awal dari penderitaannya di masa-masa mendatang. Joko berada di tempat yang terlalu jauh di atas awan, yang tidak mung"kin terjangkau olehnya.
I BU SURYOKUSUMO membelalakkan kedua belah
ma"tanya, menatap ke arah dua helai bahan batik tulis ha"lus yang tergeletak di hadapannya.
Ini sudah keterlaluan, Sekar! katanya kepada gadis yang sedang tersenyum di ujung tempat tidur, tempat Ibu Suryokusumo sedang duduk. Harganya pasti lebih dari setengah gajimu.
Saya akui, dugaan Ndoro Den Ayu tidak salah, sa"hut Sekar, masih tersenyum lembut, selembut suaranya. Tetapi memangnya, kenapa"
Tetapi memangnya kenapa, katamu" Ibu Suryokusumo menjinjitkan alis matanya. Itu banyak se"ka"li artinya, Nduk. Uang untuk membeli kain semahal ini kan bisa kaubelikan untuk kebutuhanmu sendiri. Pakaian, minyak wangi, sepatu, atau apa sajalah yang jadi kesukaan anak-anak gadis zaman sekarang. Kalau
Empat Ah, hal-hal lain gampang dipikirkan, Ndoro Den Ayu. Hayo, hari ini hari apa, Ndoro"
Hari ini hari gajianmu, tentu saja. Karena setiap ga"jian selalu saja kau memborong ini dan itu untuk selu"ruh isi rumah, bahkan juga untuk Endang dan kedua anaknya, sehingga mau tak mau aku jadi seperti di"ingatkan pada hari gajianmu. Apa-apaan itu semua, Sekar" Uang itu kan hakmu sepenuhnya, kok dihambur-hamburkan.
Dihamburkan untuk keluarga ini kan sudah sepantas"nya to, Ndoro Den Ayu, bantah Sekar.
Kamu itu kalau diberitahu selalu saja membantah. Kami sekeluarga sudah tahu kalau kau sangat berterima ka"sih karena disekolahkan sampai menjadi sarjana. Tetapi apa ya harus begini caramu berterima kasih. Kedua lemb"ar kain batik tulis ini kan mahal sekali harganya, Sekar, Ibu Suryokusumo menggerutu lagi.
Ah, Ndoro Den Ayu masih juga belum sadar. Sekar tersenyum miring, sedikit kesal. Hari ini memang hari gajian saya. Tetapi ada yang jauh lebih istime"wa pada hari ini. Hari ini kan hari ulang tahun Ndoro to"
Ya ampun, aku sampai lupa ulang tahunku sendiri sa"king seringnya berulang tahun. Enam puluh empat ta"hun umurku. Padahal kemarin aku ingat terus lho, tawa Ibu Suryokusumo dengan suaranya yang renyah mer"du. Lha kok kamu malah ingat. Tetapi meskipun begi"tu, tidak seharusnya kau membelanjakan gajimu sam"pai sedemikian banyaknya.
saya bebas untuk membelanjakannya. Apalagi untuk ulang tahun Ndoro Den Ayu.
Sekar, Sekar. Kau sungguh anak yang manis sekali. Sela"lu saja ingat hari ulang tahunku. Ketika kau masih ku"liah di Yogya dan belum bisa mencari uang, kau selalu mengirimiku kartu bergambar yang indah di setiap hari ulang tahunku. Sungguh, Sekar, aku sangat berterima kasih atas perhatianmu dan juga hadiahmu ini. Teta"pi aku akan lebih berterima kasih kalau kau tidak terla"lu memanjakanku secara berlebihan begini.
Tetapi Ndoro Den Ayu boleh memanjakan Sekar, kan" Sekar menantang sambil tertawa. Kedua lesung pipi"nya tampak manis sekali menghiasi wajahnya yang cantik. Itu tidak adil, namanya.
Tetapi itu lain, Sekar. Lain apanya to, Ndoro" Tidak bolehkah saya memba"las kemanjaan dan kasih Ndoro Den Ayu yang begitu bertumpuk dan yang telah saya peroleh di sepanjang hidup saya ini"
Kalau kau selalu bicara seperti itu, ambil kain-kain ha"diahmu ini, Sekar. Aku enggan menerimanya. Sejak dulu selalu itu-itu saja yang kaubicarakan. Balas budilah, balas kebaikanlah, balas kemanjaanlah, dan entah apa lagi yang kauributkan itu. Kalau bicara soal utang budi, keluarga kamilah yang lebih banyak berutang pada simbokmu. Berapa tahun lamanya dia tidak menerima gaji dan malahan ikut membantu di setiap kesulitan kami tanpa pamrih sedikit pun. Kasih dan pengabdian"nya benar-benar luar biasa...
ta"an Ibu Suryokusumo sambil tersenyum manis. Saya kan mempunyai utang budi sendiri kepada Ndoro se"- ke"luarga. Pandanglah saya, siapa saya ini" Cuma anak se"orang pembantu rumah tangga, kan" Tetapi saat ini saya seorang sarjana yang sedang melanjutkan studi ke jen"jang selanjutnya. Saya seorang guru di SMU swasta favorit dengan gaji yang lumayan besar. Murid-murid meng"hormati saya. Rekan-rekan, menghargai saya. Padahal, Ndoro, anak-anak pembantu rumah tangga lain, apa"kah ada yang seberuntung saya" Barangkali lulus SMP saja pun sudah bagus dan...
Stop pidatomu itu, Sekar! Ibu Suryoksumo menyeri"ngai kesal.
Belum, Ndoro. Belum selesai pidato saya, Sekar juga menyeringai. Saya ingin mengatakan suatu realita yang sungguh saya alami, bahwa kalau bukan keluarga Ndoro yang menaikkan nilai saya di masyarakat, bagaima"na mungkin saya bisa seperti sekarang" Memiliki penge"tahuan luas, memiliki keahlian sebagai guru, memi"liki status sosial yang cukup terhormat, dan banyak lagi. Nah, apakah saya tidak boleh mengurangi gaji saya untuk menunjukkan rasa syukur saya. Dua pu"luh empat tahun lebih lamanya saya mengecap berbagai kemudahan dan kesenangan dalam kehidupan yang be"lum tentu akan saya rasai jika tinggal di desa Simbok.
Ah, sudahlah. Kembalilah ke kamarmu sana. Kalau tidak, kain batikmu ini kuberikan kepada simbokmu. Da"sar ibu guru, bukan main fasihnya lidahmu menariSekar tertawa-tawa sambil lekas-lekas berlalu dari hadap"an Ibu Suryokusumo. Dan yang ditinggal tersenyum sendirian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekar memang gadis yang memikat hati, pikirnya. Ren"dah hati, tahu menghargai dan mensyukuri apa-apa yang diperolehnya, tidak suka berfoya-foya dan tidak pula lupa diri.
Sementara itu, masih dengan meninggalkan secercah tawa, Sekar keluar dari kamar Ibu Suryokusumo, melang"kah menuju ke belakang. Di ruang tengah, ia berpapas"an dengan Joko. Lelaki muda itu baru saja pulang. Ia membawa bungkusan besar dengan kertas kado warna-warni meriah. Melihat keberadaan Sekar, ia meng"- hen"tikan langkah kakinya.
Lembah Merpati 8 02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Utusan Dari Negeri Leluhur 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama