Ceritasilat Novel Online

Sekar 2

Sekar Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


Hei, Ibu Guru. Kenapa tersenyum-senyum sendirian" sapanya.
Sekar tersipu. Dia tidak ingin menceritakan pembicara"annya dengan Ibu Suryokusumo tadi. Jadi, pertanyaan Joko tidak dijawabnya. Sebagai gantinya, ia menunjuk bung"kusan hadiah yang ada dalam pelukan Joko.
Den Bagus ketinggalan kereta, katanya. Saya sudah lebih dulu masuk ke kamar Ndoro Den Ayu. Begitu pulang mengajar, saya langsung ke sana.
Kuakui, aku memang kalah dibanding kereta api eks"presmu, sahut Joko sambil tertawa. Hari ini aku si"buk sekali dan baru ingat ulang tahun Ibu saat ponsel"ku mengingatkannya. Bahkan membeli kado juga baru sejam yang lalu sebelum menuju ke rumah. Kaum perem"puan memang lebih sentimentil untuk mengingatSentimental tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan saja, Den Bagus.
Oh ya" Ya. Sentimental itu bersifat individual dan menyangkut perasaan lembut di saat-saat tertentu, Den Bagus. Tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Begitukah"
Ya. Nah, apakah Den Bagus selalu ingat ulang tahun seisi rumah dan keponakan-keponakan, di luar kepa"la" Sekar menantang.
Wah, tahu sih tahu hari ulang tahun mereka. Tetapi soal teringat atau tidak, tepat pada hari H-nya, memang belum tentu. Joko menyeringai.
Tetapi kalau ulang tahun sendiri selalu ingat, kan"
Ya, dengan sendirinyalah.
Sekar tersenyum sambil menelengkan kepalanya, mel"irik ke arah Joko dengan tatapan mengejek.
Dengan sendirinyalah, katanya kemudian menirukan perkataan Joko tadi. Tidak sadar kan, Den Bagus, bah"wa itu membuktikan ego kita" Kalau kita mencintai sese"orang, dalam hal ini Ndoro Den Ayu, pasti apa pun yang berkaitan dengan beliau, akan selalu kita ingat. Hari ulang tahunnya, kebiasaannya, kesukaannya, apa-apa yang tidak disukainya, dan seterusnya serta sete"rusnya lagi. Nah, saya tidak ingin berdebat dengan Den Bagus. Pikirkan sajalah apa pendapat saya ini.
Joko tertegun. Sekar betul, pikirnya. Tetapi dia tidak mau kalah.
Tentu saja saya tahu. Kecuali ulang tahun Lik Tinah karena katanya orangtuanya tidak mencatatnya.
Kalau begitu, kapan aku berulang tahun" Hmm... tiga bulan mendatang... kurang dua hari. Nah, betul kan saya"
Hebat. Lalu kau juga akan memberiku hadiah seba"- gus Ibu"
Ah, seperti Den Bagus tahu saja apa hadiah saya untuk Ndoro Den Ayu"
Tentu saja aku tahu. Bukankah membelikan sesuatu yang istimewa untuk Ibu merupakan kebiasaanmu" Apa"lagi hari ulang tahunnya, pasti hadiahmu istimewa un"tuk beliau. Kau tidak tahu kan kalau Ibu selalu memu"ji pilihan-pilihanmu sampai-sampai beliau sering men"cela apa saja yang kubeli dan membandingkannya de"ngan pilihanmu.
Itu karena kebetulan selera kami sama. Atau lebih te"patnya, selera dan penilaian milik saya itu kan hasil di"dikan dan pengaruh dari Ndoro Den Ayu. Jadi ya tentu saja cocok, kata Sekar dengan suara lembut.
Ah, entahlah mana yang benar. Tetapi yang jelas, kau sekarang pandai sekali mendebat bicara orang, sahut Joko sambil mengangkat kedua belah bahunya. Ge"rak"annya sungguh enak dilihat. Tidak seperti orang lain yang dengan gerakan seperti itu tampak menyebalkan karena mengesankan sikap acuh tak acuh dan masa bodoh. Jangan-jangan, seperti itulah yang kauajarkan kepada murid-muridmu.
Sudahlah, saya tidak mau berdebat lagi. Sekarang se"baiknya Den Bagus masuk ke kamar Ndoro Den Ayu dulu, katanya kemudian. Mudah-mudahan kali ini pilihan Den Bagus cocok dengan beliau. Joko mengangguk seraya tersenyum.
Sejak pilihanmu menjadi nomor satu, aku selalu ber"hati-hati kok kalau membelikan sesuatu untuk Ibu. Ini tadi pun aku minta bantuan Dewi untuk memilihkan"nya, katanya sambil mengayunkan kembali langkah kakinya.
Di belakang punggung Joko, senyum Sekar langsung le"nyap begitu nama Dewi masuk ke telinganya. Sejak Joko kembali di rumah, nama Dewi semakin sering berkumandang di sekitar udara rumah. Tetapi dari mu"lut Joko sendiri baru kali itu Sekar mendengar nama Dewi disebut dan dari kata-kata itu ia mengetahui bah"wa sepagi hingga siang ini Joko ada bersamanya. Sebelum izin praktik yang katanya sebentar lagi akan keluar, waktu Joko memang agak longgar meskipun setiap hari dia per"gi ke klinik tempat ia nanti akan berkarya. Klinik itu dibelinya bersama beberapa temannya sesama dok"ter dan sudah selesai direnovasi sesuai kebutuhan. Izin-izin yang diperlukan juga sudah keluar. Kecuali Joko, beberapa dokter lain sudah mulai beraktivitas di tem"pat itu.
Selama Sekar berada di Yogya untuk menyelesaikan ku"liahnya beberapa tahun lalu, ia tidak pernah melihat Dewi yang pernah dikenalnya ketika mereka masih kecil. Kata Mbok Kromo, kalau Joko datang berlibur ke Jakarta, barulah gadis itu datang bersama kedua
un"tuk seterusnya, Dewi dan kedua orangtuanya semakin sering datang berkunjung. Namun Sekar tidak per"nah berjumpa dengan mereka karena sering bertepatan dengan waktunya mengajar atau jam-jam kuliahnya. Jadi, dia tidak bisa menggambarkan seperti apa Dewi seka"rang setelah dewasa. Pasti cantik, pikirnya. Dewi ga"dis yang modis. Sejak kecil, gadis itu suka memakai pa"kaian bagus dan rambutnya selalu rapi dengan berbagai bando atau pita yang serasi dengan pakaiannya. Yang diingat Sekar juga, wajahnya seperti wayang. Ser"- ba"runcing dan aristokrat. Keluarga Dewi memang berdarah ningrat. Gadis itu bukan tandingannya.
Secara rasional, sebetulnya Sekar sadar bahwa cara peni"laian dirinya terhadap keberadaan seseorang masih bias karena menempatkan kaum ningrat lebih tinggi dari orang kebanyakan. Dia juga sadar bahwa sudah terla"lu dalam akar-akar penilaian yang telah telanjur terta"nam dan terinternalisasi dalam dirinya. Masih saja sulit baginya membuang penilaiannya bahwa segala sesua"tu yang berasal dari keraton, bernilai tinggi dan mu"lia. Sudah terlalu lama dan terlalu sering pula ia meny sikan serta mengamati cara hidup para bangsa"- wan yang hampir-hampir tidak didapatinya pada orang keba"nyakan, seperti cara mereka mempertahankan tradisi dan ajaran para leluhur. Di antaranya adalah pemakaian bahasa yang runut, jelas, dan tepat pada tempatnya. Terhadap orangtua atau yang dituakan, bahasa dan si"kap kita harus begini. Terhadap yang sebaya dan setara kedudukannya, bahasanya mesti begitu. Terhadap
ti demikian. Begitu pula aturan sebutan atau panggilan ant"ara yang satu dengan yang lain, harus dikaitkan dengan silsilah keturunan dan disesuaikan dengan tingkat abu"nya . Misalnya, adik bungsu ibunya meskipun lebih muda umurnya, sang keponakan harus bersikap sesuai de"ngan abunya . Jadi, harus menyebut adik ibunya itu de"ngan sebutan paman atau bibi, plus sikap yang semesti"nya karena abunya lebih tua. Selain itu masih ada seri"bu satu tata aturan lainnya dalam keluarga bangsawan yang menurut Sekar meskipun rumit tetapi positif dam"paknya. Satu sama lain jadi berusaha untuk saling meng"hargai, tahu pula di mana tempatnya, dan samasama menjaga agar jangan sampai terjadi konflik terbuka. Karenanya setiap orang juga berusaha mengenda"- likan egonya demi kedamaian dan kenyamanan hidup bersa"ma. Setiap orang harus sadar bahwa keberadaan diri"nya tidak mungkin terlepas dari keberadaan orang lain.
Sementara dalam dunia batin, ada seperangkat upaya yang diharapkan akan memperhalus budi pekerti, misalnya berpuasa penuh setiap hari-hari tertentu. Atau ber"puasa dengan cara tertentu. Misalnya mutih , yaitu ha"nya makan nasi dan air putih saja selama empat puluh hari lamanya. Atau pula puasa ngrowot , hanya ma"kan buah-buahan, dan seribu satu macam mati raga lain"nya, seperti bermati raga dengan tidur di muka pintu hanya beralas tikar. Atau tidak tidur sebelum jam dua belas malam dan bangun sebelum matahari terbit. Atau pula bertapa melakukan refleksi dan introspeksi
Me"mang semua itu ajaran budaya Jawa. Namun jika itu bisa memperkaya penerapan religiositas agamanya, rasanya ajaran-ajaran itu akan lebih memperkuat pengha"- yat"an baktinya kepada Tuhan.
Bagi Sekar pribadi, seluruh ajaran, wejangan, pepatah-petitih yang disampaikan Ibu Suryokusumo pada anak-anak, cucu-cucu, dan pada keponakan-keponakannya di antara obrolan mereka, terdengar dan diserap de"ngan baik olehnya. Meskipun orang bilang itu semua feo"dalis, kolot, dan sudah tidak sesuai zaman, Sekar bisa memilah dan memilih mana-mana yang bisa mengasah kepekaan dan memperkaya dunia batinnya, serta mana-mana yang tidak masuk akal. Paling tidak mengenai sikap hidup orang Jawa yang menggarisbawahi prinsip hormat dan rukun dengan segala penerapan, penyam"paian, dan penalarannya. Sebab ternyata banyak seka"li ajaran lama yang masih tetap relevan dengan kehi"dup"an masa kini.
Dilandasi oleh prinsip itulah, sejak kecil seorang anak Jawa sudah diajar untuk mengerti makna malu dan jika perlu menyangkal kehendak diri atau egonya, yang intinya adalah menjaga keselarasan. Selaras dengan diri sendiri, selaras dengan lingkungan hidupnya ter"masuk sesamanya, serta selaras dengan Tuhan Sang Pen"cipta. Maka, jika sekarang orang Jawa mudah terbang"kit emosinya lalu menjadi agresif, atau melanggar M-5 yaitu Maling, Madat, Madon (main perempuan), Minum, Main (berjudi), itu bukanlah karena ajar"an luhur Jawa sudah menipis, tetapi karena manuSekar tahu bahwa di Indonesia ini ada ratusan suku yang semuanya juga memiliki keluhuran ajaran dan kein"dahan budaya masing-masing. Namun lagi-lagi manu"sia"nyalah yang telah mengabaikan dan melupakannya. Seakan kacang lupa akan kulitnya. Padahal an"daikata seluruh komponen bangsa mau mengembalikan lagi kearifan lokal dari masing-masing budaya dan suku"nya, hidup ini pasti akan menjadi lebih indah. Ti"- dak ada tawuran, tidak ada kekerasan, tidak ada tindak kor si yang merugikan banyak orang, tidak ada agresivi"tas yang ngawur, tidak mudah terbawa arus mau"pun terprovokasi. Maka yang ada adalah sikap gotong-royong, budaya musyawarah, mengedepankan keru"kunan, mendahulukan hati dan otak daripada otot. Di sinilah makna kebangsawanan harus dipahami sebagai sikap batin dan prilaku yang luhur, yang tidak terkait dengan darah biru atau keturunan seseorang.
Dengan kata lain, Sekar tidak terlalu memedulikan apa"kah orang mau menilai keluarga Joko dan kerabatnya sebagai kaum feodal, borjuis, atau apa pun. Kalau ada orang yang tersenyum miring saat mendengar dia dan simboknya menyebut keluarga Joko dengan Den Ba"gus, Ndoro Den Ayu, Ndoro Kakung, Ndoro Tumenggung, Den Roro, dan seterusnya, itu karena lidah dan pikiran mereka sudah telanjur memanggil demi"kian. Jadi sebutan itu hanyalah sebagai penamaan bela"ka, karena kebetulan keluarga mereka keturunan bang"sawan tinggi dan sang kepala keluarga mempunyai kedu"dukan penting di keraton. Itu saja. Tidak untuk
nya cuma mau mempertahankan suatu tradisi tertentu. Justru karena itulah mereka sering risi kalau ada majikan yang dipanggil Ndoro Anu atau Den Polan oleh para pembantu rumah tangganya atau oleh mereka yang status sosialnya dianggap sebagai orang kecil atau orang kebanyakan seperti penjual di pasar, tukang batu, tu"kang sampah, pedagang keliling dan semacamnya. Pada"hal sang majikan yang dipanggil Ndoro dan seterus"nya itu juga orang kebanyakan. Artinya, tidak ada sete"tes pun darah bangsawan mengalir dalam tubuh mere"ka. Hanya kebetulan saja mereka orang gedongan yang berharta atau mempunyai kedudukan atau jabatan. Jadi, sebutan yang dipakai oleh Mbok Kromo, Lik Tinah, dan Sekar untuk majikan mereka adalah sebutan yang sah karena memang begitulah gelar atau panggil"an untuk para bangsawan. Bukan karena harta dan jabatan. Itulah yang dipikirkan oleh Sekar ketika itu.
Sebenarnya sejak pindah ke Jakarta, keluarga Bapak Suryokusumo sudah meminta Mbok Kromo dan Lik Tinah menyebut mereka Bapak atau Ibu . Tetapi mereka tidak mau. Bagi mereka, aneh dan asing rasanya ka"lau sebutan atau panggilan yang biasa mereka pakai itu diubah. Alasannya, sebutan-sebutan itu sudah melekat kuat di lidah mereka. Keluarga Bapak Suryokusumo se"ring kesal melihat kedegilan mereka. Apalagi setelah Sekar bersekolah. Keluarga Bapak Suryokusumo bersikeras agar anak itu menuruti keinginan mereka dengan menyebut Bapak dan Ibu Sepuh, lalu kepada Joko dan Endang, menyebut Bapak dan Ibu. Tetapi seperti simmere"ka dan tetap bersikeras pula mempertahankan sebut"an kebangsawanan para majikan simboknya itu.
Lha Ndoro-Ndoro di sini ini kan memang bangsawan, katanya memberi alasan. Lagi pula sebutan-sebutan itu lebih cocok dan pas di lidah saya. Toh bukan ber"arti saya menganggap diri sebagai hamba sahaya atau semacamnya.
Ah, terserahlah apa maumu, Sekar, Akhirnya Ibu Suryokusumo menjawab dengan jengkel dan membiarkan orang-orang belakang tetap memanggil dengan sebut"an-sebutan yang mereka anggap sudah seharusnya itu. Asal kau harus ingat, panggilan itu hanya terbatas di dalam tembok dan halaman rumah ini. Itu pun ka"- lau tidak ada tamu. Aku tidak suka dianggap kurang meng"hargai orang-orang sebangsa dan setanah air yang mem"punyai derajat sama dengan kalian semua. Paham, Sekar"
Sekar hanya mengiyakan saja. Tetapi Bapak Suryokusumo yang tidak ingin Sekar mempertahankan kebia"saan itu, mengeluarkan pendapatnya.
Sekar, kau harus sadar kedudukanmu sebagai seorang guru. Gu itu digugu (dipercaya) dan Ru ditiru. Sebutanmu kepada kami sangat tidak baik untuk dunia pendidikan. Apalagi di dalam alam kemerdekaan sebagai negara yang bebas dari penjajahan fisik maupun men"tal. Sebutan kalian kepada kami bisa menimbulkan kesan adanya penindasan dari pihak kami.
Lagi-lagi Sekar hanya tersenyum saja sehingga majikan simboknya merasa kewalahan sampai akhirnya memSekar. Mereka juga sadar, sebutan itu sudah ada di dalam mulut Sekar ketika gadis itu baru belajar bicara di masa kanak-kanaknya.
Seperti kedua orangtuanya, Joko juga merasa keberatan jika Sekar ikut-ikutan simboknya memanggilnya de"ngan sebutan Den Bagus .
Aku malu didengar orang, Sekar. Dikira aku masih mem"pertahankan sebutan feodal yang sudah ketinggalan
man itu. Aku juga tidak mau dikira suka mengagulkan gelar kebangsawanan yang semestinya hanya berada di lingkungan keraton saja. Itu kan sebutan intern di sana. Tidak di luar, apalagi di Jakarta. Lebih-lebih lagi di"ucapkan oleh seorang gadis muda seperti dirimu. Be"gitu Joko pernah marah kepada Sekar. Saat itu dia su"dah berstatus sebagai mahasiswa ITB di Bandung semen"tara Sekar duduk di akhir SMP. Tetapi Sekar betul-betul keras kepala, tidak mau menurut.
Lantas saya harus memanggil apa kepada Den Bagus" Kakangmas atau Kokoprabu seperti di wayang itu" Sudahlah, Den Bagus, jangan meributkan masalah sepele begitu. Panggilan itu sudah melekat kuat di lidah saya. Jadi selama ini saya menganggap sebutan Den Bagus itu sebagai bagian dari nama penjenengan (Anda). Bukan dalam arti saya ini sebagai hamba saha"- ya terhadap tuan majikan junjungannya, begitu Sekar memberi alasan.
Begitulah akhirnya karena orang-orang belakang itu tetap bergeming, akhirnya semuanya membiarkan saja. Tetapi tetap dengan syarat, jika tidak ada orang lain.
guru yang harus mendidik para muridnya untuk berpikir lurus dan benar. Apalagi Joko tidak ingin ditertawakan oleh teman-temannya. Bahkan lebih dari itu, Joko tidak ingin orang memandang rendah terhadap Sekar kare"na panggilan atau sebutan yang diberikan gadis itu kepadanya,
Kembali pada hari ulang tahun Ibu Suryokusumo, keti"ka Sekar baru saja selesai mencuci piringnya sendiri seha"bis makan siang, Joko masuk ke dapur sambil tersenyum-senyum.
Sekar, kali ini Ibu tampak gembira menerima ha"- diah"ku. Tidak dicela dan dibanding-bandingkan dengan ha"diah atau pemberianmu sebagaimana biasanya, katanya. Pilihan Dewi cocok juga untuk Ibu.
Sekar menelan napasnya yang nyaris tersangkut di leher ketika mendengar lagi nama gadis itu, dan ia mencoba tersenyum wajar.
Syukurkah, sahutnya sambil meletakkan piringnya di atas rak piring. Tetapi apa sih hadiahnya kalau saya boleh tahu, Den Bagus"
Tas. Satu tas tangan biasa, satu tas malam. Ibu suka kedua-duanya, sahut Joko.
Bentuk, macam-macam fungsi dan warna tas sekarang bagus-bagus, Den Bagus. Apalagi tas malamnya. Mungil, mewah, dan manis.
Kau suka tas malam seperti itu, Sekar" Joko bertanya seperti itu sambil berpikir untuk membelikan Sekar apabila gadis itu berulang tahun nanti. Wah, saya memakai tas malam, Den Bagus" Sekar
saya sempat memakainya, wong saya tidak pernah dan tidak suka pergi ke pesta-pesta.
Mendengar perkataan itu dahi Joko berkerut. Mengapa kau berkata seperti itu, Sekar" Tidak pernahkah kau diundang ke pesta. Pernikahan teman, misal"nya" tanyanya.
Pernah. Tetapi kami datang ramai-ramai serombongan.
Ke pesta lainnya" Ah, untuk apa" Masa iya saya keluyuran malam-malam ke suatu pesta seperti di rumah tidak ada pekerjaan lain saja, Sekar menjawab sambil menyenyumi diri"nya sendiri. Pesta-pesta itu kan bukan untuk orang-orang seperti saya, Den Bagus.
Kerut di dahi Joko semakin dalam. Dia mulai me"- nya"dari pikiran Sekar yang lugu dan apa adanya. Tanpa ber"niat merendahkan diri dan tanpa berniat menyesali diri, gadis itu mengatakan bahwa pesta-pesta bukan ba"gian dari kehidupannya. Tetapi justru di situlah hati Joko tersentuh. Gadis yang malang, pikirnya. Dengan ber"bagai pengetahuannya, dengan lingkup pergaulan yang lebih beragam, dengan wawasannya yang luas dan de"ngan derap langkah kemajuan yang berhasil dicapainya, semestinya Sekar hidup dan bergaul seperti gadisga"dis lain sebayanya. Tetapi tidak. Sekar lebih suka ber"ada di rumah untuk membaca, bekerja, dan palingpaling menonton televisi di kamarnya yang kecil.
Lalu untuk siapa, kalau begitu" tanya laki-laki itu, ingin mengetahui pendapat Sekar.
ber"pesta. Mereka yang temannya berulang tahun, misalnya. Atau jamuan makan, pertunangan, perkawinan teman, naik pangkat, merayakan wisuda... pokoknya sega"la macam kegembiraan berikut gemerlapnya pakaian dan lezatnya hidangan.
Kau tidak mempunyai kesempatan untuk itu atau kau tidak suka" Joko memancing lagi.
Keduanya. Apa tidak khawatir dianggap gadis kuper, kurang per"gaulan"
Tidak, Den Bagus. Saya mempunyai banyak teman, laki-laki maupun perempuan. Kami sering mendiskusikan macam-macam hal, termasuk tentang mode, musik, dan seni, termasuk para artisnya, luar maupun dalam ne"geri. Juga tentang trend zaman menyangkut berbagai kejadian dunia seperti kerusakan lingkungan hidup, krisis global yang diawali dengan krisis finansial di Amerika yang merambah ke Eropa dan berpengaruh ke se"luruh dunia. Begitupun tentang krisis pangan dunia. Jadi, Den, kalau saya dianggap kurang pergaulan hanya ditinjau dari tidak sukanya pergi ke pesta, wah, saya kira itu pemikiran yang sangat keliru.
Yah, kau benar. Joko mengangguk. Tetapi tidak per"nah dan tidak suka ke pesta sama sekali juga kurang bagus, Sekar. Di sana kita bisa melihat berbagai macam gaya dan mode pakaian. Di sana kita bisa melihat macam-macam kebiasaan dan tingkah laku orang. Di sana kita bisa menikmati makanan yang tidak setiap hari kita temui. Di sana pula kita berkenalan dengan
Yah, kapan-kapan saya pasti akan pergi juga ke pes"- ta. Sekar tertawa manis. Kalau soal mode pakaian, ja"ngan khawatir. Saya juga mempunyai beberapa koleksi pa"kaian untuk kesempatan-kesempatan tertentu kok.
Wah, ternyata boleh juga kau, Sekar. Tetapi omongomong nih, kapan ujian semestermu"
Bulan mendatang, Den Bagus.
Wah, diam-diam uangmu sudah banyak dan bisa mem"biayai kuliah sendiri, ya" Joko tertawa senang. Sekar memang pandai berhemat.
Boleh dicicil kok, Den Bagus.
Kau betul-betul penuh semangat dan sangat ener"- gik, Sekar.
Cuma itu kelebihan saya. Mbok Kromo di mana, Sekar" Joko mengalihkan pembicaraan.
Den Bagus mencari saya" Mbok Kromo muncul dari belakang, membawa panci tak bertelinga berisi beras.
Sekarang sedang sibuk apa, Mbok"
Ini mau membuat nasi buat makan malam nanti, sahut yang ditanya.
Kenapa, Den Bagus" Ibu menunggumu di teras samping, Mbok. Beliau ingin membicarakan hidangan untuk tamu-tamu, malam nanti.
Hidangan untuk tamu-tamu malam nanti" Mbok Kromo membelalakkan matanya. Kok mendadak sekali dan saya tidak diberitahu sejak tadi"
meng"ingatkan bahwa ulang tahun ini ulang tahun tumbuk, genap delapan windu. Delapan kali delapan, enam puluh empat tahun. Jadi harus diperingati sebagai rasa syukur pada Sang Pencipta. Maka begitulah, Mbok, malam nanti ada beberapa tamu yang akan ikut bergembira bersama Ibu. Mbak Endang sekeluarga dan kedua mertuanya akan datang ke sini. Juga keluarga Bapak Haryosumitro.
Sekar tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan. Apa"lagi karena nama keluarga Haryosumitro disebut. Itu artinya Dewi akan datang bersama orangtuanya. Me"nilik undangan yang mendadak dan terbatas itu menyertakan keluarga Dewi, mudah ditebak olehnya bahwa memang ada hubungan khusus di antara kedua keluarga itu.
Wah, kalau begitu beras ini harus ditambah. Tetapi, Den Bagus, bagaimana mengenai hidangannya" Kita tidak mempunyai simpanan apa-apa di lemari es. Sekar men"dengar simboknya berkata lagi.
Justru karena itulah Ibu memanggilmu, Mbok. Ibu akan merundingkan masakan apa yang sebaiknya kita pe"san dari rumah makan langganan kita. Jangan melalui tele"pon, tetapi Mbok Kromo melihat langsung saja ke ru"mah makan itu. Lihat gambarnya baik-baik, mana yang layak dijadikan hidangan. Tetapi untuk sayurannya, Ibu ingin Mbok Kromo yang memasak sendiri. Jadi setelah memilih dan memesan masakan, Mbok Kromo mampir ke supermarket untuk membeli bahanbahan mentah yang bisa Mbok Kromo masak dengan
Baiklah, Mbok akan menemui Ndoro Den Ayu. Ah, lha kok sudah delapan windu to ya usia beliau" Keli"hatannya masih muda dan masih kinclong, sahut Mbok Kromo sambil tertawa.
Ibu memang awet muda, Mbok. Soalnya tidak pernah memanjakan tubuh. Selain sering tirakat, beliau hati-hati memilih makanan. Apalagi di rumah ada Mbok Kromo yang tahu memilih masakan buat para lan"sia, tetapi yang juga bisa menggoyang lidah buat yang muda-muda. Ayamnya selalu memilih ayam kampung. Ah, tahu sajalah kita kalau Mbok Kromo yang me"masak, pasti begini. Joko menunjukkan jempol tangannya sehingga Mbok Kromo tertawa mengikik.
Senangnya kok merayu Simbok to, Den Bagus, kata Mbok Kromo, masih sambil tertawa. Tetapi eh, Den Roro Dewi si manis itu harus makan yang banyak lho malam nanti. Katakan padanya, Den Bagus, jangan boleh terlalu sering berpuasa. Berpuasa untuk tirakat itu baik-baik saja. tetapi kalau tujuannya hanya supaya tetap langsing, wah, ya jangan to. Belum tentu kalau ibu"nya gemuk anak gadisnya juga akan gemuk kok.
Yah, nanti akan kusampaikan padanya, Mbok. Joko ter"senyum, menepuk-nepuk lembut bahu Mbok Kromo sebentar, kemudian meninggalkan dapur.
Mbok Kromo menatap punggung asuhannya dengan pan"dangan sayang, kemudian bergumam pelan.
Kelihatannya akan jadi juga..., katanya. Kedua belah pihak keluarga tentu senang sekali kalau bisa menya"tukan persahabatan yang sudah dimulai sejak muda
sepadan. Den Bagus Joko ngganteng, Den Roro Dewi sangat manis.
Ya..., sahut Sekar yang sejak tadi hanya diam saja. Ber"beda dengan simboknya yang merasa gembira, hati gadis itu sedang tercabik-cabik. Pedih hatinya membayangkan Joko nanti akan bersanding dengan Dewi di atas kursi pengantin dalam pesta yang meriah. Perih pula batinnya karena semakin menyadari bahwa ia memang benar-benar sangat mencintai Joko dan tak lama lagi akan kehilangan dia. Kenyataan ini adalah malapetaka baginya. Jikalau cinta itu tidak segera terhapus dari hatinya, maka kehidupannya di masa mendatang pasti akan terasa sangat berat.
Mbok Kromo yang sama sekali tidak tahu-menahu menge"nai perasaan anaknya, meletakkan panci berisi beras yang sejak tadi dipeluknya ke atas meja dapur. Kemu"dian dia menoleh ke arah Sekar yang sedang pura-pura sibuk membereskan letak gelas di atas rak piring.
Sekar, ambilkan satu setengah liter beras lagi, katanya kepada anak gadisnya itu. Kemudian dicuci dan lang"sung dimasak di rice cooker yang besar, ya" Lalu m in"talah bantuan Lik Tinah untuk menyiapkan piring, mang"kuk lauk, dan piring kue untuk tamu-tamu kita. Aku mau menemui Ndoro Den Ayu.
Sekar mengangguk. Ketika langkah kaki Mbok Kromo berada di ambang pintu dapur, gadis itu menarik napas dalam-dalam. Tahu betul dia bahwa dirinya me"mang bagai burung pungguk merindukan rembulan.
ru"mah besar ini untuk membentuk keluarga sendiri di tem"pat lain. Tetapi bahwa tanda-tanda ke arah sana su"dah mulai tampak di depan mata, Sekar tidak menyang"kanya. Rasanya terlalu cepat. Joko masih dua tahun lagi baru menginjak tiga puluh tahun.
Mbok Kromo mendengar helaan napas panjang dan da"lam itu. Ia menghentikan langkah kakinya kemudian me"noleh ke arah Sekar.
Kenapa kamu menarik napas panjang sekali, Nduk" Sebagai seorang ibu, Mbok Kromo tahu betul bah"wa Sekar belum pernah berpacaran. Apakah anak ga"disnya itu tidak ingin merasakan kehidupan yang wajar sebagaimana halnya gadis-gadis muda lainnya" Umur Sekar sudah lebih dari cukup untuk berpacaran se"rius. Jangan-jangan anak itu merasa kesepian. Janganja"ngan pula berita tentang keseriusan hubungan keluarga Joko dan keluarga Bapak Haryosumarto membuat Sekar menyadari bahwa ada yang kurang dalam kehidup"annya"
Aku hanya berpikir tentang waktu yang sedemikian ce"patnya berlalu. Tahu-tahu saja Den Bagus Joko sudah men"jadi dokter dan pantas berumah tangga, sahut Sekar, mengelakkan jawaban yang sebenarnya..
Dalih Sekar justru semakin memperkuat dugaan Mbok Kromo bahwa hati gadis itu merasa sepi dan ham"pa karena belum ada seorang laki-laki yang bisa mem"berinya kehangatan dan kehidupan yang lebih mapan sehingga tidak harus tetap tinggal di rumah majikan"nya.
pu"nya istri. Tetapi, Nduk, kamu pun sudah waktunya me"mikirkan berumah tangga. Umurmu sudah hampir dua puluh lima dan terus akan berjalan. Tetapi satu kali pun Simbok tidak pernah melihatmu mempunyai te"man akrab laki-laki. Jangan memilih-milih, Nduk. Ingat, masa muda seorang perempuan itu tidak lama. Jadi jangan menyia-nyiakan diri.
Ah, kok larinya ke sana sih, Mbok. Sekar mengeluh. Simbok membuatku jadi merasa amat tua.
Bukan begitu, Sekar. Simbok cuma mengingatkan saja. Jangan terlalu tenggelam dalam pekerjaan dan buku-buku yang setumpuk banyaknya itu. Apa pun yang keterlaluan itu tidak baik, Nduk.
Tetapi bukankah Simbok juga yang menyebabkan aku jadi takut berhubungan akrab dengan laki-laki. Hati-hati lho Sekar, hati-hati jangan sampai begitu atau begini, dan seterusnya. Begitu kan Simbok sering me"nasehatiku" Sekar tersenyum, menantang.
Memang. Simboknya, juga tersenyum. Namun senyum itu senyum masam. Tetapi Simbok tidak bermak"sud menjauhkanmu dari pergaulan yang wajar dengan banyak lelaki. Kau tahu kan, wajahmu jelita, se"men"tara dirimu bukan seperti golongan kebanyakan teman-temanmu itu. Simbok tidak ingin melihatmu di"permainkan orang karena kedudukan kita. Itu saja.
Sekar diam saja dan membiarkan Mbok Kromo per"- gi meninggalkan dapur. Ia tersenyum pahit, tahu apa yang dimaksud simboknya mengenai kecantikan dan latar belakangnya yang tidak seperti kebanyakan temanmang cantik. Bahkan banyak yang mengatakannya seba"gai gadis jelita, gadis yang rupawan, dan sejenisnya. Meng"ingat dirinya hanya anak seorang pembantu rumah tangga, bahaya dipermainkan laki-laki yang merasa status sosialnya lebih tinggi, cukup besar. Bukankah jika ada ketidaksetaraan antara seseorang dengan yang lain, kondisi semacam itu rentan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan" Acap kali, pihak yang merasa lebih ting"gi akan mendominasi pihak yang lebih lemah. Tidak jarang pula mereka yang berada pada tataran yang lebih tinggi memperlakukan pihak yang ada pada tatar"- an subordinat dengan sewenang-wenang. Hal-hal seperti itulah yang selalu dihindari oleh Sekar.
Sebagai ibunya, sedikit atau banyak Mbok Kromo bisa menangkap apa yang ada di hati anak gadisnya itu. Apa"lagi kegagalan perkawinannya dengan ayah Sekar dulu merupakan contoh konkret yang begitu dekat dengan kehidupan mereka berdua. Tetapi meskipun demikian, Mbok Kromo tidak suka melihat Sekar terlalu ber"lebihan dengan kekhawatirannya itu. Di luar latar bela"kang statusnya itu, Sekar mempunyai banyak kelebihan yang bisa menaikkan nilainya di mata laki-laki.
Memang betul, kita harus berhati-hati dalam pergaulan di sekitar kehidupan kita. Tetapi, Nduk, kehatihatian yang sudah berlebihan juga tidak baik. Jadi, ber?"gaul"lah secara wajar. Kalau sikapmu selalu mengam"- bil jarak dan langsung menutup diri, bahkan menjadi din gin apabila ada pemuda yang ingin menjalin hubungan lebih dari sekadar teman denganmu, tentu saja melagi. Me"reka akan takut atau malah akan menilaimu som"bong.
Iya, Mbok. Aku tahu. Tetapi aku memang tidak ingin... jatuh cinta, Mbok. Cinta akan merusak pikiran dan bisa-bisa menyebabkan aku lupa melanjutkan studiku. Repot, jadinya..., sahut Sekar dengan pipi agak me"rona merah. Dia tahu, apa yang dikatakannya itu tidak sesuai dengan kenyataan. Dia sudah jatuh cinta. Dan memang, repot jadinya. Baru membayangkan Joko akan menikah dengan Dewi saja hatinya sudah terca"- bik-cabik seperti ini. Ah...
Pokoknya Simbok sudah mengatakan padamu, jangan terlalu ketat menjaga diri dan jangan terlalu rapat menutup pintu hatimu. Tidak ada pemuda yang berani mendekatimu nanti. Yakinlah, tidak semua lakilaki seperti... maaf... almarhum bapakmu.
Iya, Mbok, aku tahu. Mbok Kromo menatap wajah cantik Sekar, kemudian meninggalkan dapur sambil berharap agar anaknya segera mendapatkan jodoh yang baik, yang sungguh men"cintainya apa adanya. Bukan karena kecantikannya atau hal-hal lain yang bersifat jasmaniah belaka. Dia tahu Sekar seperti apa. Dia gadis yang baik, sabar, lembut, murah hati, setia, tulus, penuh semangat hidup, tidak gentar memperjuangkan apa pun cita-citanya, dan ter"tata baik perilaku dan sikapnya. Pasti laki-laki yang ingin menjalin cinta murni dengannya akan berbahagia mem"punyai istri seperti anak gadisnya itu. Ada rasa puas dalam hati Mbok Kromo karena ia telah berhasil
tahu bagaimana menjadi manusia bermartabat. Satusatu"nya kekurangan Sekar adalah status sosial dan latar belakang keluarganya. Pikirnya, jangan-jangan karena hal itulah maka pintu hati Sekar tertutup rapat. Dia takut jatuh cinta karena tidak ingin latar belakang keluarganya diketahui orang"
Mbok Kromo sama sekali tidak tahu bahwa sesungguhnya pintu hati Sekar telah terbuka dan cinta sudah pula masuk ke dalam hatinya. Bahkan merajai seluruh du"nia batinnya. Tetapi bagaimana mungkin simboknya mem"punyai dugaan pada apa yang dialami Sekar jika gadis itu sendiri pun baru menyadarinya saat Joko mene"muinya setelah tujuh tahun mereka tidak berjumpa" Sebab, menurut pemikirannya dan pasti juga pemikiran sim"boknya, jatuh cinta pada putra majikannya adalah sesuatu yang mustahil terjadi.
Sebenarnya, sejak Sekar memasuki masa remaja hingga menjadi mahasiswa di Yogya, bahkan juga sekarang sete"lah ia menjadi guru, tidak sedikit pemuda yang ja"- tuh cinta kepadanya. Bukan melulu karena kecantikan fisik"nya, tetapi terutama karena sifa-sifatnya yang menawan. Namun tak seorang pun berhasil menjadikannya seba"gai kekasih. Satu kali pun hati Sekar tak pernah tersen"tuh. Semula, Sekar menyangka hal itu disebabkan si"kapnya yang terlalu berhati-hati atau kecemasannya yang berlebihan akibat hasil internalisasi dari berbagai ajaran, peringatan, dan nasehat dari simboknya.
Ingat ya, Nduk, asal-usulmu. Orang mudah sekali ja"tuh cinta kepadamu karena keelokan rupa dan tingbela"kang keluargamu, nilaimu bisa turun di mata mereka, begitu simboknya selalu mengingatkannya. Lebihlebih jika perempuan itu memergoki surat-surat cinta di tangan Sekar.
Tetapi bertahun-tahun sesudah itu, saat ia berjumpa kem"bali dengan Joko di dapur setelah tujuh tahun tak ber"temu, tahulah Sekar bahwa perkiraannya selama ini salah. Ajaran-ajaran Mbok Kromo yang telah terinterna"lisasi dan kemudian menjadi norma dan tolok ukur da"lam pergaulannya, ternyata dikalahkan oleh kenyataan yang ada. Pintu hatinya tertutup bukan karena hal-hal semacam itu, melainkan karena telah terisi oleh Joko. Suatu kenyataan yang sangat menyakitkan karena ia sadar betul siapa dirinya. Dibanding Joko, dirinya ha"nyalah seekor katak yang merindukan matahari. Tak lebih dari itu.
Sejak sudah bisa berpikir, Sekar sering terlibat dalam ambiguitas yang tak pernah usai. Ia sadar, dirinya ter"masuk orang kecil, kelas kebanyakan, yang berbeda jauh dengan kelas keluarga majikan simboknya yang meru"pakan keturunan bangsawan tinggi, memiliki jabatan dan kedudukan tinggi pula dalam pemerintahan Soeharto ketika itu. Bahwa dirinya hadir di tengah-tengah mereka dan menyerap banyak hal pula dari mere"- ka, itu karena suatu keberuntungan. Kalau tidak, bagai"- mana mungkin dirinya bisa seperti sekarang ini"
Dari cerita simboknya, Sekar tahu bahwa bahwa ka"- kek buyutnya dulu seorang petani biasa dengan kondisi ekon"omi yang cukup baik karena memiliki tanah yang
pada"nya. Justru karena itulah, istri dan anak-anak perem"puannya tidak perlu harus ikut campur dalam urus"an pertanian. Hanya anak-anak lelakinya saja yang bo"leh ikut mengotori tangan dan kakinya di sawah serta ladang mereka.
Pada masa itu, saat bangsa kita masih belum merdeka dan keraton-keraton Yogya dan Solo masih menjadi satu-satunya orientasi berbagai nilai-nilai kehidupan yang dianggap luhur oleh bagi orang Jawa, banyak sekali orang desa yang berharap anak-anaknya mendapat kehi"dup"an yang lebih baik dan terhormat dengan membawa mereka untuk di-suwitokan (mengabdikan diri) ke balik tem"bok keraton. Entah menjadi abdi dalem, penari, pena"buh gamelan, sinden (penyanyi Jawa) atau apa saja, po"koknya mengabdi di keraton. Syukursyukur kalau anak perempuannya bisa menjadi selir raja atau salah satu putra raja. Kalaupun tidak, ya menjadi selir bangsa"wan yang sedikit lebih rendah derajatnya kebangsawan"an"nya. Apalagi kalau sampai mempunyai anak. Derajat ke"luarga, akan naik karenanya.
Pikiran picik seperti itu terus hidup di alam pikiran orang-orang di masa itu. Konon akibat pola pikir semacam itu, dulu, puluhan tahun yang lalu sebelum Indonesia merdeka, terbetik cerita bahwa jika para pange"ran sedang berjalan-jalan dengan menunggang kuda ke kampung demi kampung bersama pengiringnya, para orang"tua yang mempunyai anak perempuan, berusaha memajang si gadis di halaman depan. Gadis-gadis itu pura-pura sibuk melakukan sesuatu di depan. Momong
keli"hatan mencolok mata, namun para bangsawan muda itu mengetahuinya karena sesungguhnya mereka tak sekadar mencari angin dan berjalan-jalan saja, tetapi juga melemparkan lirikan matanya ke kiri atau ke ka"nan. Kalau kebetulan ada gadis yang menarik hatinya, maka tak lama kemudian rumah gadis itu akan dida"tangi utusan untuk mematangkan cinta kilat itu dan menjadikannya sebagai selir sebelum sang bangsawan mempunyai istri sah yang sederajat .
Memang, praktik seperti itu melanggar nilai-nilai lu"hur martabat manusia, khususnya martabat perempuan. Seakan, nilai dan harga diri mereka terletak pada ke"berhasilannya menjadi selir atau abdi dalem keraton. Se"akan pula mereka yang memiliki darah bangsawan diang"gap berada pada tataran yang jauh lebih tinggi. Teta"pi di zaman itu, pada saat masih banyak orang yang buta huruf dan jendela wawasan mereka belum ter"buka lebar, sementara segala sesuatu yang berasal dari tembok-tembok keraton Surakarta dan Yogyakarta diang"gap paling bernilai tinggi, sulit mengubah pola pikir seperti itu. Saat itu semua hal yang menyangkut kehi"dupan orang Jawa memiliki titik orientasi penilaian yang berasal dari kerajaan-kerajaan tersebut. Mulai dari trad"isi, adat-istiadat, berbagai kesenian, kesusastraan dan bahasa, tata-nilai pergaulan, spiritualitas, mode, gaya hidup seperti hobi dan kesenangan, sampai perkem"bangan peradaban, semuanya mengakar dari sana.
Begitu juga kakek buyut Sekar yang menginginkan anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang lebih berbe"berapa anaknya yang kurang suka menjadi petani, ke balik dinding keraton dan menjadi abdi dalem di sana. Ter"masuk ibu Mbok Kromo yang kemudian menjadi pelayan pribadi kesayangan salah satu putri raja, yang kemu"dian dinikahkan dengan sesama abdi dalem, prajurit keraton. Mereka mempunyai tiga anak. Anak lelaki me"reka lebih suka memilih menjadi petani, membantu paman-pamannya menggarap sawah warisan kakek mere"ka yang semakin luas. Kedua anak perempuan mere"ka, tetap mengabdi di balik tembok keraton. Bahkan si bungsu Umi atau yang sekarang disebut Mbok Kromo, diminta salah seorang kerabat keraton untuk m jadi pelayan istrinya. Karena kerabat keraton itu beker"ja sebagai tentara di zaman Indonesia telah merdeka, maka Mbok Kromo yang saat itu masih sebagai ga"dis belasan tahun, mengikuti mereka tinggal di luar kera"ton. Bahkan kemudian juga ikut mereka ke Jakarta. Ha"sil internalisasi, penglihatan, dan wawasan yang se"- ring dilihat Mbok Kromo sejak kelahirannya di balik kera"ton adalah pengabdian para pelayan yang nyaris total terhadap majikan. Maka begitulah Mbok Kromo pun menjadi bagian dari keluarga Bapak Suryokusumo hing"ga sekarang. Dengan demikian, Sekar, anak tunggal Mbok Kromo juga ikut terbawa masuk ke dalam lingkup kehidupan keluarga Bapak Suryokusumo dan menja"di bagian di dalamnya. Bedanya, keberuntungan Sekar me"lebihi apa yang pernah didapat oleh simboknya yang tak ingin bersekolah terlalu lama. Sebaliknya, gadis itu men"dapat kesempatan bersekolah setinggi mungkin dan
gi apa pun yang telah berhasil diraih oleh Sekar, dia ha"nyalah anak Mbok Kromo, seorang pelayan keluarga de"ngan status atau latar belakang keluarga kebanyakan yang masih melekat dan terpancang pada dirinya. Sekar ba"gai sebuah benda yang terlontar jauh sekali, namun tali"nya tak bisa terlepas dari tonggaknya.
Tidak dapat disangkal, di alam kemerdekaan bangsa dan perkembangan peradaban di zaman ini, masih banyak orang Jawa yang memiliki pola pikir seperti nenek mo"yang mereka. Feodalisme dalam bentuk yang lebih kom"pleks masih terlihat di sana-sini, bahkan juga di ling"kup pemerintahan daerah. Ada banyak contoh yang dengan mudah bisa kita lihat. Di antaranya adalah menyu"guhkan upeti untuk atasan dan rasa bangga jika mam"pu mengadakan upacara perkawinan ala kerajaan un"tuk anaknya.
J AMUAN makan untuk memperingati hari ulang tahun Ibu Suryokusumo malam itu cukup meriah. Keluar"ga Haryosumitro dengan putri tunggal mereka, hadir. Endang datang bersama suami dan anak-anaknya serta ibu mertuanya. Hadir juga adik perempuan Bapak Suryokusumo yang sama-sama tinggal di Jakarta, ber"- sama suaminya. Begitupun kakak lelaki Ibu Suryokusumo juga datang dalam peringatan ulang tahun adiknya itu bersama sang istri.
Dewi, si gadis tunggal keluarga Haryosumitro, malam itu tampak semakin manis. Ia memakai gaun berwar"na merah bata. Di lehernya tergantung kalung dengan liontin bertatah berlian yang tampak berkilauan di bawah siraman cahaya lampu. Rambutnya yang berom"bak dibiarkannya terurai menyentuh bahu. Sungguh, ia tampak menarik malam itu.
Lima Joko juga tampak lebih menarik dan ganteng. Pakaian"nya serasi dan rapi melekat pada tubuhnya yang ga"gah. Joko memang mempunyai selera yang bagus dalam hal mematut diri. Meskipun pilihannya bukan dari jenis yang mahal, tetapi selalu pantas untuknya. Menurut cerita Mbok Kromo, Joko lahir dengan kalung usus. Ko"non kata orang, mereka yang lehernya dililit usus saat lahir, apa saja yang dikenakannya akan selalu pantas untuknya. Benar atau tidak, yang jelas malam itu Joko tampak menarik.
Sementara itu di belakang, Mbok Kromo dan Lik Tinah, bahkan juga Sekar, sibuk menyiapkan dan mena"ta hidangan. Baik yang dimasak sendiri maupun yang di"beli di rumah makan. Semuanya diatur di atas pinggan dan piring lauk yang khusus dikeluarkan dari lemari perabot apabila rumah ini mengundang tamu. Khusus kepada Sekar, Ibu Suryokusumo memberi tugas un"tuk membawa kue-kue dan minuman ke atas meja di ruang tamu. Begitupun dalam hal pengaturan hidangan di atas meja panjang. Sesekali Endang dan anak perem"puannya yang sudah berumur sebelas tahun, ikut membantu Sekar.
Jika ada di rumah, Sekar selalu mengenakan gaun ru"mah yang dijahitnya sendiri. Modelnya unik-unik teta"pi pantas dikenakan olehnya. Begitu juga malam itu ia memakai gaun rumah berwarna dasar putih berbunga-bunga warna-warni. Sementara rambutnya yang ter"jalin, dibiarkannya meluncur di sepanjang punggungnya. Ia betul-betul tampak cantik dan segar seperti gamemberi bayangan yang menghidupkan warna pipinya yang halus. Bulu matanya seakan menyapu-nyapu pipinya saat matanya bergerak-gerak ketika sedang mengatur meja hidangan. Anak-anak rambut yang terjuntai ke dahinya membingkai wajah ovalnya.
Cantik sekali dia! cetus Dewi yang sejak Sekar mun"cul di ruang tengah tadi memperhatikannya dengan sepenuh kejelian matanya, mencari-cari kalau-kalau ada kekurangan yang terlihat pada gadis itu. Tetapi se"makin ia memperhatikan Sekar, semakin terlihat betapa cantiknya anak Mbok Kromo itu meskipun seluruh pe"nampilannya serbasederhana.
Siapa" tanya Joko tanpa mengerti siapa yang dipuji Dewi, yang sejak tadi terus-menerus duduk di sampingnya itu.
Anak pengasuhmu itu lho, Dewi menjawab pendek. Ada semacam impuls yang tiba-tiba datang mengganjal pera"saannya dan memberi bibit-bibit ketidaksukaannya ter"hadap Sekar. Entah apa alasan tepatnya, ia tidak bisa memastikannya. Pokoknya ia merasa tidak suka melihat ga"dis cantik itu. Lebih-lebih ketika kenangannya melayang ke masa kecil mereka dulu. Ia ingat, Joko selalu membela dan melindungi Sekar. Sekarang, saat teringat kembali betapa eratnya hubungan Joko dan Sekar waktu mereka kecil, perasaan Dewi mulai terganggu. Seakan mereka bukan sebagai anak majikan dengan anak pengasuhnya, tetapi lebih sebagai kakak-beradik. Dan itu menyebalkan hatinya.
Mendengar jawaban Dewi, Joko langsung melemparbe"kerja tanpa mengetahui dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan pasangan itu. Apa yang dikatakan Dewi tadi tidak salah. Bahkan ia yang hampir setiap hari melihat Sekar, agak terkejut saat menemukan kecan"tikannya yang lebih menonjol malam itu. Padahal apa yang dikenakan oleh Sekar malam itu, sederhana dan apa adanya.
Ya, Sekar memang cantik, Joko menjawab perkataan Dewi tadi secara spontan, tetapi ketika melihat air muka Dewi tampak kurang suka mendengar pujiannya ter"hadap Sekar, lekas-lekas ia melanjutkan bicaranya. Tetapi menurutku, orang yang paling cantik di dunia ini adalah dirimu, Wi!
Mendengar perkataan Joko, hati Dewi yang terganjal oleh perasaan tak sukanya terhadap Sekar tadi, berkurang. Bahkan hatinya berbunga-bunga saat mendengar pernyataan Joko bahwa di dunia ini dia yang paling can"tik
Kau pandai merayu rupanya, sahutnya agak tersipu. Te"tapi Sekar memang sangat cantik untuk menjadi anak seorang pembantu rumah tangga.
Mbok Kromo bukan pembantu rumah tangga biasa, Wi. Dia pengasuhku. Bahkan penyelamat nyawaku saat aku hampir terbakar.... Seperti biasanya, secara otomatis, Joko selalu membantah apa pun yang mengurangi nilai Mbok Kromo atau Sekar di mata siapa pun. Terma"suk mata Dewi.
Iya, iya, aku tahu. Perasaan Dewi yang berbungaSekar, apakah betul dia sedang melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi"
Ya, betul. Mengambil S2 kan biayanya tidak sedikit. Romomu su"dah pensiun kan, Mas, Dewi menyuarakan komentarnya lagi.
Sekar membiayai kuliahnya sendiri kok, Wi. Dia su"dah lama sekali menabung dari gajinya. Gadis itu tahu diri, otaknya cemerlang dan semangat belajarnya sa"ngat tinggi, tanpa sadar Joko memuji Sekar lagi.
Hm, sungguh kombinasi yang jarang ada. Cantik, pin"tar, dan penuh semangat juang, komentar Dewi lagi. Kini dengan disusupi rasa cemburu yang tiba-tiba me"nguasai perasaannya.
Joko merasakannya. Dia menoleh ke arah Dewi. Ya, tetapi apa pun kelebihannya, kau mempunyai tempat sebagai nomor satu, katanya, mencoba menenangkan perasaan Dewi. Tetapi di dalam hati, Joko merasa kesal karena dia tidak menyukai perempuan yang pencemburu.
Seperti yang diharapkannya, Dewi merasa senang. Rupanya di Jerman sana, kau juga belajar merayu ya, Mas" katanya sambil tersenyum manis. Memangnya kenapa"
Dari suara dan caramu bicara, aku yakin kau biasa me"lemparkan rayuan. Kepada Lisa, kepada Mutia, dan en"tah siapa lagi.... Suara yang mengandung kecemburuan itu mulai terdengar lagi.
Siapa mereka" Joko menaikkan alis matanya deAku cuma menyebut nama saja. Soal kebenarannya kan kau sendiri yang mengetahuinya. Ya, kan" Mengaku sa"jalah....
Joko mulai merasa terganggu. Bukan karena perkataan Dewi yang jelas-jelas menunjukkan rasa cemburunya saja, tetapi juga karena Dewi mengetahui nama-nama bekas teman terakrabnya di zaman kuliah di ITB dulu. Dewi tidak tahu bahwa Joko paling tidak suka terhadap perempuan yang cemburuan, seolah dirinya tidak bisa dipercaya dan mudah tertarik oleh gadis lain.
Dari mana kau mengetahui mereka" tanyanya terus te"rang.
Dari mana aku mengetahui mereka, tidak penting kare"na bagiku yang lebih penting adalah mengetahui kebe"narannya. Kau sering mengobral pujian kepada mereka, kan"
Aku memang sering memuji mereka. Kalau melihat me"reka tampak cantik, secara spontan aku akan mengata"kannya. Apakah itu salah"
Salah sih tidak. Tetapi ini Indonesia lho, Mas. Bukan Jerman. Kurangi caramu yang mudah memuji orang, karena bisa menyebabkan mereka besar kepala dan mengira kau menyukainya.
Ya ampun, Wi. Kenapa kau senaif itu sih" Pujian atau yang semacam itu juga bagian dari basa-basi. Memang"nya kalau memuji orang, berarti aku menyukai"- nya" Joko mulai memperlihatkan rasa kesalnya. Ketika aku menjalin hubungan akrab dengan mereka, tidak
dengan Lisa maupun dengan Mutia waktu itu, lebih sebagai persahabatan.
Begitu, ya" Dewi menjelingkan matanya ke arah Joko. Sungguh, Mas"
Terserah kau mau percaya atau tidak. Tetapi aku ti"dak ingin berbantah kata denganmu. Setidaknya un"- tuk malam yang istimewa ini.
Tadi kau bilang, memuji seseorang itu sebagai bagian dari basa-basi. Kalau begitu, jangan-jangan pujianmu untukku tadi tidak tulus, kata Dewi lagi.
Menurutmu, tulus atau tidak sih kalau tadi aku me"ngatakan malam ini kau tampak cantik karena memang seperti itu yang terlihat olehku" Joko menjawab apa adanya.
Mendengar arti yang tersirat dari perkataan Joko, Dewi merasa senang. Dengan perasaan gairah, tangannya langsung mencubit lengan Joko yang langsung me"- nangkap tangan si gadis. Tepat pada saat itu mata Sekar yang sedang mengisi gelas di tangan salah seorang anak Endang, membentur pemandangan mesra di sofa yang terletak di sudut ruang tengah. Seketika itu juga darahnya seperti terisap entah ke mana. Dadanya terasa sakit. Suatu rasa sakit yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Tersiksa rasanya.
Setengah tak sadar, kakinya yang melangkah keluar ruang"an menuju ke dapur agar terhuyung saat membayang"kan adegan tadi. Ia menyandarkan tubuhnya ke tem"bok dapur untuk menenangkan diri. Lama sekali sesudah itu baru ia bisa menguasai perasaannya.
ma"suk dapur dan melihat Sekar sedang menyandar ke tem"bok. Ia merasa heran karena tidak biasanya anak gadis"nya seperti itu. Apalagi sedang ada banyak pekerjaan di rumah induk, dan gadis itu malah bersembunyi di dapur.
Capek sekali, Mbok. Sejak pagi buta aku belum beristirahat barang semenit pun, sahutnya, mencari dalih yang paling masuk akal. Kalau nanti para tamu sedang makan, ingin sekali aku berbaring-baring sekitar sepuluh menit di kamar. Malam nanti, aku masih harus memeriksa pekerjaan murid-murid.
Mbok Kromo menatap anaknya dengan pandangan pe"nuh kasih sayang, kemudian tersenyum menenangkan.
Baiklah. Tetapi seharusnya kau lebih menjaga dirimu sendiri dengan baik, Sekar. Terutama makananmu, katanya kemudian. Kulihat tadi pagi kau hanya makan se"tangkap roti, sisa sarapan dari rumah induk. Lalu pulang dari mengajar tadi, makanmu juga tidak banyak. Bagaimana tubuhmu bisa mempunyai kekuatan kalau caramu makan seperti itu. Lihatlah, Simbok. Setua begi"ni masih mempunyai kekuatan yang patut kubanggakan. Nah, kenapa bisa begitu" Itu karena simbokmu ini selalu memerhatikan makanan dengan baik. Tidak berlebihan tetapi juga tidak kekurangan. Belum lagi Simbok selalu menyisakan segelas untuk sendiri kalau membuatkan jamu untuk Ndoro Den Ayu. Ayo ah, masa kalah sama orang yang sudah setua ini.
Sekar tidak menjawab. Dia lebih tahu keadaan diriorang mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Bahkan ada yang mengatakan, kesehatanmu adalah apa yang engkau makan. Sering mengkonsumsi makanan junk food , maka tubuh juga akan menjadi rongsokan sam"pah. Namun ada satu hal lagi yang berpengaruh bu"ruk pada kekuatan dan kesehatan tubuh, yaitu pikiran, kata Sekar dalam hatinya. Banyak pikiran, tekanan perasaan, rasa sedih, kecewa, putus asa, patah hati, dan semacamnya juga bisa menyebabkan tubuh yang semula kuat dan sehat, menjadi sebaliknya. Jumlah makanan yang semestinya mencukupi kebutuhan tubuh, terisap oleh pikiran-pikiran demikian. Nyatanya tubuhnya tadi langsung menjadi lesu, lemas, dan kehilangan semangat hanya karena melihat Joko tersenyum sambil menangkap tangan Dewi saat gadis itu mencubit lengannya dengan bergairah.
Sementara Sekar berdialog dengan dirinya sendiri, Mbok Kromo menatap lagi wajah Sekar yang tampak lesu, kemudian menambahi kata-katanya tadi.
Wajah cantikmu memang kelihatan lesu, Nduk. Su"dahlah, istirahatlah sana. Biar aku dan Lik Tinah yang akan membereskan bekas-bekas pesta nanti, katanya. Tetapi sebelum kau masuk ke kamarmu, bawa dan letakkan buah-buahan ini ke atas meja panjang lebih dulu.
Baik, Mbok. Aku cuma mau tiduran sebentar saja kok. Nanti kalau tamu-tamu sudah pulang, biar aku yang mencuci piring dan perabot makan lainnya, sahut Se"kar sambil mengambil tempat buah yang sudah dita"Bapak Suryokusumo, dan juga tamu-tamunya, tidak mempunyai kebiasaan minum kopi sesudah makan. Jadi selama mereka makan dan sesudahnya nanti, tidak banyak lagi yang perlu disiapkan. Ia bisa tiduran beberapa saat lamanya untuk menenteramkan hatinya yang sedang galau.
Dengan menguatkan hati, Sekar membawa tempat buah ke ruang makan. Pandang matanya sempat melirik ke arah sofa. Tetapi tempat itu kosong. Tidak ada Joko maupun Dewi. Entah ke mana pasangan itu. Di teras belakang pun keduanya tidak kelihatan.
Dengan perasaan kacau dan menindas rasa ingin tahu"nya yang begitu menggebu, lekas-lekas Sekar masuk ke kamarnya. Dia tidak ingin memergoki mereka. Hatinya seperti dibebani besi berton-ton beratnya. Tanpa semangat apa pun, sebelum membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur, Sekar menutup tirai jendela kamar"nya yang menghadap ke arah taman belakang. Pada saat itulah pandang matanya membentur sesuatu yang bergerak-gerak di balik batang bunga ceplok piring. Ketika ia menyadari apa yang tengah dilihatnya, tibatiba saja prahara datang memorak-porandakan hatinya yang sudah lemah sejak tadi. Ia melihat tubuh Joko se"dang merapat ke arah Dewi sementara lengan gadis itu melingkari leher sang pemuda. Keduanya sedang berciuman dengan mesra, menyangka tidak ada orang yang menyaksikan perbuatan mereka.
Pada saat itulah Sekar baru tahu bahwa rasa sakit yang dialaminya tadi bukan apa-apa dibanding apa yang
berguncang bagai gempa hebat sedang terjadi. Dengan susah payah, ia menyeret kakinya yang terasa lemah dan gemetar itu menuju ke tempat tidurnya. Dan dengan meraih sisa-sisa kekuatannya yang masih ada, Sekar mengempaskan tubuhnya ke atas tempat ti"dur. Dipejamkannya matanya yang terasa berkunang-kunang.
Seperti orang mengalami demam tinggi, tubuh Sekar menggigil. Panas dan dingin bergantian menyerang tubuhnya. Bibirnya yang gemetar berulang kali menyebut nama Tuhan agar ia diberi kekuatan untuk menerima ke"nyataan ini. Benar-benar Sekar tersiksa karena sema"- kin sadar bahwa masa depannya suram. Tidak mungkin ia menjalin hati dengan Joko. Mustahil itu terjadi. Bah"- kan andaikata pun ia jatuh cinta kepada pemuda lain, akankah sang kekasih dan keluarganya mau menerima mertua dan besan yang statusnya pembantu rumah tangga" Itulah realita yang ada. Sama sekali Sekar tidak merasa malu mempunyai seorang ibu seperti Mbok Kromo. Sama sekali pula ia tidak menyesali nasibnya. Tetapi sebagai manusia biasa, ia ingin mempunyai kehi"- dupan yang tenang, aman, nyaman, dan menikah dengan seorang pria yang dicintai dan mencintai dirinya apa adanya tanpa melihat hal-hal lainnya. Dan kehidupan yang seperti itu pasti sulit diraih olehnya. Mengingat kenyataan yang tampaknya sulit terelakkan olehnya itu, berbagai pikiran mulai lagi mengharu-biru hati Sekar. Apakah selama ini langkah kaki yang menapaki jalan kehidupan pilihannya ini tak keliru"
Mungkin seharusnya dia jangan bersekolah terlalu
bar seperti sekarang. Bukan dengan maksud merendahkan seseorang, tetapi ia yakin hidupnya pasti tidak akan bahagia apabila menikah dengan petani biasa atau dengan pedagang di pasar karena latar belakang pen"- didikan yang dimilikinya, sebesar apa pun cinta mereka. Kehidupan bersuami-istri tidak cukup cuma dengan cinta. Perbedaan visi, minat, pendidikan, dan lingkungan tempat dibesarkan pasti akan mengganggu kelancaran komunikasi mereka. Namun sekarang, dirinya sudah telanjur menjejak bumi. Sulit menyurutkan langkahnya untuk kembali. Maka begini inilah yang terjadi.
Memang, sekarang ini banyak anak-anak desa, anak pe"tani, bahkan anak pengamen yang berhasil menjadi sar"jana. Tetapi, ada di manakah mereka dan terutama, bisakah ia jatuh cinta kepada salah seorang di antara mereka" Begitulah Sekar berpikir, bertanya, dan berdialog dengan diri sendiri sampai akhirnya ia merasa bagai hi"dup di antara dunia yang saling bertolak-belakang. Rasanya, kakinya sedang berada di antara bumi dan langit. Meraih bulan tak mampu, namun menapak ke bumi pun ia tak berdaya. Tersiksa. Lebih-lebih lagi, baru sekarang ia mengerti seperti apa sakitnya patah hati. Ia baru memahami pula apa arti pedihnya hati yang merindu. Ia juga baru sadar betapa sesaknya dada oleh api cemburu. Terutama ia baru menginsafi kebodoh"annya, jatuh cinta pada seorang pria yang berada di atas awan. Ah, kenapa ia harus jatuh cinta kepada Joko dan bukannya pada laki-laki lain"
Air mata yang panas bersimbah di pipi Sekar ketika
mesra yang dilihatnya tadi. Untuk itu, ia berusaha meng"ha"dirkan seseorang yang lebih nyata dan realistis untuk memasuki kehidupannya. Seseorang itu adalah Pak Hendra, rekannya sesama guru yang belum lama ini di"angkat menjadi kepala sekolah di tempat mereka meng"ajar. Di antara sekian banyaknya laki-laki yang mencoba meraih perhatian dan cintanya, hanya Pak Hendra sajalah yang memiliki latar belakang mirip dengan dirinya. Lelaki yang berusia sepuluh tahun di atas usia Sekar itu berasal dari keluarga sederhana. Ibunya se"orang pedagang bumbu-bumbu di pasar. Ayahnya pensiunan pesuruh di suatu universitas. Sejak muda hingga pensiun, ayahnya telah bekerja di sana dengan sepenuh dedikasi dan loyalitasnya sehingga mereka yang berwewenang di universitas itu memberi beasiswa kepada Pak Hendra, anaknya yang kebetulan memiliki ke"cerdasan dan daya juang tinggi. Tidak sia-sia sang ayah memotivasi sang anak untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Ya, sang ayah yang setiap hari melihat dan bergaul dengan para mahasiswa yang datang silih berganti dari generasi ke generasi berikutnya, mengetahui betul kehidup"an mereka. Kebanyakan di antara mereka yang telah lulus, kini hidup dengan mapan. Tidak ada lagi istilah ngebon ke kantin. Bahkan sebagian ada yang da"tang dengan mobil mewah. Mereka sering datang ke kam"pus hanya untuk sekadar bernostalgia, menatapi kampus tempat mereka belajar dulu. Atau datang bertemu mantan dosennya untuk kangen-kangenan. Bahkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau kebetulan mereka melihat keberadaan ayah Pak Hendra , selalu saja ada uang yang mereka selipkan ke tangan lelaki te"ngah baya itu. Namun apa pun itu, ayah Hendra melihat bahwa mencapai ilmu sekuat mungkin adalah upaya yang paling realistis untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas. Itulah mengapa ket"ika Pak Hendra mendapat beasiswa, sang ayahlah yang merasa paling bahagia. Begitulah yang pernah diceritakan Pak Hendra kepada Sekar, beberapa waktu kemudian sesudah cintanya ditolak.
Sebagaimana yang dialami Sekar, Pak Hendra juga su"lit menemukan gadis yang bisa dibawanya memasuki gerbang kehidupan perkawinan dengan mulus. Mencari gadis-gadis yang berasal dari lingkungan keluarganya, Pak Hendra merasa agak keberatan. Bukan karena merasa kebih tinggi, namun karena tahu dunianya sudah berbeda dengan mereka. Ada banyak pandanganpandangan mengenai kehidupan yang sudah tidak sama lagi dengan mereka karena ia kenal dan tahu betul kehidupan mereka. Namun, karena dunia pendidikan yang dimasukinya dan lingkup pergaulan lain yang telah diakrabinya, ada banyak tata nilai dan pandangan hidup yang mengubah pola pikirnya. Karenanya, dia sadar akan sulit baginya mendapatkan pendamping hidup yang tepat untuknya. Seperti Sekar, ia ada di antara dua dunia. Langit dan bumi.
Ketika akhirnya ia mengenal Sekar dan melihat perilaku dan kepribadiannya yang matang, hati Pak Hendra
fe"si"nya sebagai guru dan pendidik. Sederhana, lembut namun tegas, memiliki emosi yang stabil, mau mendengar"kan pendapat siapa pun, bahkan pendapat murid yang paling dianggap ketinggalan sekalipun. Terlebih, apa pun yang mereka diskusikan selalu cocok dan tidak ribet. Karena hal itulah ia memberanikan menyatakan pe"rasaannya kepada gadis itu. Pikirnya, orang yang jalan pikirannya sederhana dan lurus-lurus saja seperti Sekar, pasti bisa memahami keadaannya. Lagi pula kalau perasaan itu hanya disimpan saja, bagaimana ia bisa mengetahui apa perasaan Sekar terhadapnya. Paling tidak, jawaban Sekar akan menentukan titik kepastian yang penting baginya. Ditolak, atau diterima. Kalau dite"rima, mudah-mudahan pula orangtua Sekar tidak merasa malu berbesanan dengan pensiunan pesuruh kan"tor. Kalau ditolak, yah... apa boleh buat. Berarti, Sekar bukan jodohnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Hendra saat mendengar penolakan Sekar berikut alasan yang diucapkannya dengan bibir bergetar.
Mas... aku... aku... tidak bisa menerima kasihmu... Maafkanlah aku. Bukan hanya karena hatiku tertutup un"tuk menerima perasaan cinta dari siapa pun, tetapi juga karena aku ingin menjalani kehidupanku dengan te"nang dan aman.... Begitu waktu itu Sekar menanggapi pernyataan cintanya.
Alasan apa yang menyebabkan Sekar mengatakan ke"inginannya untuk hidup tenang dan aman" Apa mak"- sudnya" Begitu Pak Hendra bertanya sendiri dalam
Kenapa, Dik" Apa kaitan pernyataanku tadi dengan ke"inginanmu untuk menjalani kehidupan yang tenang dan aman" tanya laki-laki itu.
Mas... kita ini kan hidup dalam budaya Timur... buda"ya Jawa yang mengedepankan bobot, bibit dan bebet dalam hal perjodohan. Perkawinan antara sepasang kekasih juga merupakan perkawinan antara dua keluarga. Nah, aku tidak ingin ada pertentangan atau yang se"macam itu dari pihak keluarga yang diakibatkan oleh masalah latar belakang keluarga. Sebab, pasti akan meru"sak rasa nyaman dan kedamaian batinku..., jawab Sekar.
Pak Hendra menelan napasnya, yang seperti me"nyangkut di lehernya. Rupanya, dia telah keliru menilai Sekar. Gadis itu pasti telah mendengar bahwa ayahnya dulu bekerja sebagai pesuruh kantor sementara ibunya berdagang bumbu-bumbu dapur di pasar. Ada rasa kecewa yang mendalam begitu mendengar jawaban gadis itu.
Dik Sekar... apakah latar belakang keluarga begitu penting bagimu" tanyanya kemudian.
Bagiku" Tidak, Mas. Tetapi bagi keluarga masingmasing pihak, pasti masalah latar belakang keluarga itu penting.
Apa sebenarnya yang Dik Sekar ingin katakan" Mas, seperti diriku, mungkin Mas Hendra tidak terlalu mempersoalkan latar belakang keluargaku. Tetapi pasti tidak demikian halnya dengan orangtua dan kerabat Mas Hendra.
Tolong katakan apa konkretnya, Dik" Aku... masih
Mas, aku yakin keluargamu pasti akan menentang hubungan kita... ini andaikata aku membalas cintamu lho. Kalau saja mereka mengetahui bahwa ibu kandungku seorang pembantu rumah tangga, pasti sedikit atau ba"nyak akan ada penentangan ini dan itu dari pihak keluar"gamu. Bahwa aku berhasil menjadi sarjana, itu kare"na kebaikan majikan ibuku....
Pak Hendra melongo sesaat lamanya. Jadi penilaiannya belakangan tadi, juga keliru. Ternyata Sekar belum me"ngetahui siapa ayah dan ibunya. Pelan-pelan laki-laki itu mulai menyibak kenyataan yang dihadapinya. Ia tersenyum manis. Senang hatinya bahwa dia dan Sekar memiliki banyak kesamaan.
Dik, ternyata kita ini mempunyai latar belakang seru"pa..., katanya kemudian. Ayahku adalah pensiunan pesuruh universitas dan ibuku berjualan bumbu dapur di pasar. Bahwa aku berhasil menjadi sarjana dan sebentar lagi akan melanjutkan ke jenjang studi yang lebih tinggi, itu adalah karena nasib baikku. Aku mendapat beasiwa karena loyalitas dan dedikasi ayahku yang telah puluhan tahun bekerja sebagai pesuruh, sementara pihak universitas menilaiku mempunyai semangat juang yang tinggi. Maka begini inilah yang terjadi pada diriku....
Kemudian laki-laki itu menceritakan berbagai konflik batin dan komunikasi yang sering macet jika ia bergaul dengan gadis-gadis dari kalangannya dan bahwa tidak mudah baginya menjalani kehidupan di antara dua kelas sosial yang berbeda.
oleh Pak Hendra itu, Sekar merasa senang. Ia telah mene"mukan permasalahan serupa di antara dua orang yang berada di kandang yang sama. Dan itu jarang terja"di. Tetapi, tidak. Sekar justru merasa sedih karena apa pun persamaan latar belakang yang ada di antara diri"nya dengan Pak Hendra, sama sekali tidak menimbul"kan kedekatan hatinya pada lelaki itu. Apalagi perasa"an kasih dan cinta. Jauh sekali. Sungguh sedih hatinya karena tidak bisa membalas perasaan Hendra. Ma"rah dia pada dirinya sendiri karena kesempatan yang benar-benar jarang terjadi dan sekarang ini ada di de"pan mata, ia abaikan begitu saja. Padahal andaikata ia menikah dengan Pak Hendra, mereka berdua bisa sama-sama menurunkan kaki yang semula ada di antara bumi dan langit, agar menapaki realitas yang konkret.
Sekar tidak ingin Pak Hendra patah hati. Oleh se"- bab itu sebelum perasaan laki-laki itu semakin mendalam, lekas-lekas ia menjawab dengan lebih jelas dan pasti.
Jadi maaf sekali lagi, Mas, hatiku benar-benar tertutup untuk menerima cinta dari siapa pun, termasuk diri"mu. Kuakui, aku memang bodoh. Aku memang tidak tahu berterima kasih atas nasib baikku, bertemu de"ngan laki-laki yang sepadan dengan diriku. Tetapi, Mas, hati ini tidak bisa diajak kompromi. Carilah gadis lain yang aku yakin... pasti ada di antara mereka yang men"cintai dirimu apa adanya tanpa melihat latar belakang keluarga..., katanya.
Baiklah, Dik, aku memahami dirimu..., Pak Hendra
Sekar. Mudah-mudahan aku masih bisa berharap adanya perubahan entah esok, lusa, atau tahun depan... dan hatimu yang tertutup itu akan terbuka....
Sekar semakin sedih mendengar perkataan Hendra. Saat itu air matanya hampir tumpah begitu mendengar harapan yang masih tergenggam di hati laki-laki itu. Tetapi demi kebaikan Pak Hendra sendiri, ia harus bersikap tegas.
Mas, jangan berharap apa pun atas diriku. Jangan, ya" katanya.
Aku menduga... hatimu sudah kauberikan kepada pria lain.
Yah, memang betul..., Sekar mengakui kebenaran yang ada demi tidak menimbulkan salah pengertian.
Mendengar jawaban itu, Pak Hendra tidak pernah lagi menyinggung masalah hubungan pribadi di antara mereka. Tetapi sepanjang ia melihat Sekar tidak pernah hadir bersama laki-laki lain, ia masih tetap menyimpan harapan yang disembunyikannya rapat-rapat di dalam hati"nya. Dan Sekar bukannya tidak tahu akan hal itu. Ka"renanya dia selalu mencoba untuk mengambil jarak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu. Apalagi Pak Hendra adalah atasannya. Ia tidak ingin Hendra mengalami apa yang sedang dirasakannya selama ini, yaitu ja"tuh cinta pada orang yang salah.
Kini dengan air mata yang terus saja membanjiri ban"talnya, di saat Sekar merasakan betapa hancur hatinya melihat kemesraan di antara Joko dengan Dewi, so"sok Pak Hendra diraihnya ke dalam pikirannya. Haterbius oleh perasaan cintanya terhadap Joko sehingga tak seorang lelaki pun berhasil masuk ke hatinya. Baru sekarang setelah dia benar-benar yakin bahwa cintanya tak mungkin berpadu, ia mencoba melihat keberadaan Pak Hendra secara objektif. Ya, laki-laki itu juga memiliki daya tarik yang cukup kuat. Wajahnya memang tidak seganteng Joko, tetapi ia memiliki tubuh atletis, tinggi, dan gagah karena terbiasa membantu pekerjaan orang"tuanya. Gerak-gerik fisiknya enak dilihat. Cekatan dan tangkas. Sedang pribadinya, baik. Hatinya lembut, sa"bar, tetapi juga tegas dan menuruti tata aturan yang berlaku. Kemauan belajarnya tinggi. Singkat kata, Sekar melihat laki-laki itu memiliki banyak persamaan seperti dirinya. Jika menikah dengan laki-laki itu, segalanya pasti akan berjalan dengan baik, nyaman, lancar dan me"nye"nangkan. Memang, sepertinya hanya bersama laki-laki itu saja Sekar tidak akan sulit menghadapi ba"nyak persoalan seperti kalau ia menikah dengan lelaki lain, entah siapa pun dia. Simboknya juga akan hidup nyaman karena berbesanan dengan orang-orang dari kalangan yang sama.
Tetapi ketika bayangan Pak Hendra semakin berseliweran di kepalanya, tiba-tiba saja perasaannya yang ter"dalam menolaknya mentah-mentah. Bukan Pak Hendra yang bisa menggenggam cintanya, begitu kata hati"nya. Bukan Pak Hendra yang bisa membuat perasaan"nya bahagia. Cintanya hanya milik Joko. Laki-laki itulah yang terus bermain di dalam bayangannya, menggan"tikan keberadaan Pak Hendra. Joko yang adatnya
rah, tetapi juga mudah sekali bersikap baik dan manis. Joko yang enak diajak bicara dan berdiskusi tentang ba"nyak hal. Joko yang keseluruhan dirinya begitu menarik dan begitu amat dikenal dan diakrabinya. Bukan hanya sekarang saja, tetapi juga ketika mereka masih kecil.
Setiap ingatan masa lalu menggenangi perasaan Sekar, setiap itu pula mengalir di hatinya tetesan-tetesan manis yang terserap ke seluruh serat daging tubuhnya. Ada semacam kemesraan yang begitu intens dalam dirinya setiap nama dan bayangan Joko hadir dalam pi"kirannya. Dan yang seperti itu tidak mungkin terganti"kan oleh siapa pun. Tidak Pak Hendra dan tidak pula laki-laki lain sehebat apa pun dia. Terhadap laki-laki lain, pasti akan ada rasa asing yang mengganjal perasaannya. Terhadap laki-laki lain, pasti akan ada rasa gen"- tar dan kehilangan rasa nyaman karena mereka tidak saling mengenal dengan baik sebelumnya, sebagaimana ia mengenal Joko dan sebagaimana Joko mengenal dirinya. Memang itulah kenyataan yang sebenarnya.
Yah... baginya, Joko adalah segala-galanya dan bagian dari kehidupannya. Joko yang selalu membela dan melin"dunginya dari kenakalan anak lain. Joko yang selalu menempatkannya setinggi mungkin agar ia tidak diren"dahkan orang. Joko yang pandai membalikkan penghinaan orang terhadapnya, termasuk pelecehan Dewi kecil dulu. Joko yang meletakkannya di tempat yang lebih terhormat jika ada orang yang menyinggungnya. Joko yang menjadi tameng baginya agar jangan ada
me"nyakitinya. Tetapi.... juga Joko yang baru saja dipergoki"nya sedang mencium Dewi dengan mesra....
Air mata Sekar tumpah lagi. Sia-sia saja dia menghadir"kan Hendra ke dalam ingatannya. Sia-sia saja ia menghadirkan Dewi agar ia menyadari bahwa seperti gadis itulah istri yang setara dan sepadan dengan Joko. Se"bab, masih saja Joko dan Joko saja yang berdiri begitu megahnya di tengah hati dan jantung kalbunya, dan yang sekaligus juga menyiksa hati dan melukai batinnya ter"amat dalam. Luka yang sepertinya tak tersembuhkan.
R UMAH besar itu telah sunyi. Siaran dari beberapa
sta"siun televisi telah mengumandangkan lagu-lagu penutup. Biasanya, meskipun sebagian besar stasiun teve te"lah menghentikan siaran mereka dan meski lampulam"pu rumah telah dipadamkan, dari kamar Joko masih terdengar sayup-sayup suara dari stasiun teve yang tetap mengudara sampai jauh hari menjelang pagi. Kalaupun bukan dari stasiun teve, pasti dari teve berlanggan"an. Tetapi malam itu, tidak terdengar suara apa pun dari kamar-kamar tidur di rumah induk. Tidak juga terli"hat cahaya yang mengintip lewat tirai jendela kaca dari kamar-kamar itu. Cahaya di rumah itu hanya didapat dari lampu-lampu teras, lampu-lampu sudut rumah, dan lampu-lampu taman.
Setelah tidur sekitar satu setengah jam lamanya, Sekar terjaga. Seluruh tubuhnya terasa letih, terserap
Enam oleh banyaknya pekerjaan yang belakangan ini harus ia selesaikan. Memeriksa hasil ulangan murid-murid dari se"kian kelas, setelah itu ikut menyiapkan pesta perpisah"an untuk anak-anak kelas tiga yang baru saja lulus. Mereka akan meninggalkan sekolah, meninggalkan guru-guru, meninggalkan adik-adik kelas, dan berpisah de"ngan teman-teman akrab mereka. Seperti tahun yang lalu, Sekar juga duduk di seksi acara. Ia diminta melatih murid-murid yang mendapat tugas bermain drama. Atas permintaannya, Sekar juga membantu seksi dekorasi. Semakin banyak pekerjaan, semakin hatinya senang. Kesibukan akan mengurangi waktu dan pikirannya yang sedang gundah akhir-akhir ini.
Sejak dengan mata kepala sendiri memergoki Joko dan Dewi berciuman, hati Sekar tidak pernah lagi bisa te"nang. Adegan yang dilihatnya itu merupakan tandatanda jelas atas keseriusan hubungan mereka ke arah yang lebih pasti. Karenanya setiap terdengar dering tele"pon di rumah induk, setiap itu pula hati Sekar berdebar sakit. Jangan-jangan Dewi menelepon Joko, mengajak laki-laki itu jalan-jalan dan makan di luar un"tuk kemudian mencicipi madunya berpacaran. Begitu juga setiap terdengar suara mobil masuk ke halaman, hati Sekar bagai diganduli beban yang teramat berat. Ja"ngan-jangan Dewi datang untuk memuaskan kerinduannya terhadap Joko. Dan jangan-jangan jika memang demikian halnya, Sekar akan melihat lagi adegan mesra yang akan menyiksa hatinya sampai luluh lantak seperti ini.
nama Dewi disebut orang, entah dari rumah induk, en"tah dari simboknya atau dari mulut Lik Tinah, jantung Sekar langsung seperti direndam air es yang sa"- ngat dingin sehingga menggigilkan seluruh isi dadanya. Dan kalau ada yang membicarakan atau malahan cuma me"nyinggung hubungan di antara dua insan itu, Sekar ti"dak tahan mendengarnya. Tak terbayangkan seperti apa hancur hatinya nanti kalau berita tentang lamaran, pertunangan, dan perkawinan mereka berkumandang di seluruh penjuru rumah. Ke manakah ia bisa melarikan diri agar telinganya tak mendengar sepatah kata pun yang mengarahkan pikirannya pada acara-acara se"ma"cam itu sementara dirinya terikat kuat dengan rumah besar beserta seluruh penghuninya ini" Mustahil bagi"nya bisa melepaskan diri dari semua hal yang tidak ingin ia lihat dan dengar, karena pasti akan ada saja tugas-tugas yang harus diembannya di setiap acara keluarga.
Sekar memejamkan matanya yang terasa panas. Jam du"duk yang terletak di atas meja tulisnya yang menunjuk ke angka satu kurang sepuluh menit, terus berjalan berdetak-detak, menodai keheningan malam yang sepi. De"ngan perasaan tertekan, Sekar membalikkan tubuhnya mencoba melanjutkan tidurnya. Tetapi meskipun malam semakin merangkak, Sekar belum juga bisa tertidur kembali. Padahal telah berminggu lamanya ia menca"ri kesibukan agar tubuhnya yang lelah cepat tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Namun ternyata, tidak demikian yang terjadi. Jadi, bohong kalau ada
dur lebih cepat. Nyatanya ia tak bisa tidur meskipun tu"buhnya terasa letih. Bahkan matanya tetap saja nyalang menatap langit-langit kamar meskipun malam terus saja bergulir dan bergulir. Pikirannya selalu saja kembali kepada Joko dan Dewi, seakan tidak ada pi"- kiran lain yang jauh lebih penting untuk dipikirkan. Se"kar sering marah pada dirinya sendiri karena hal itu. Tetapi malam yang sedang mulai menggelincirkan diri memasuki dini hari itu telah mengembalikan lagi pasangan itu ke dalam pikiran Sekar yang sedang mengalami sulit tidur. Tak heran jika matanya semakin sulit terpejam.
Sekar tahu bahwa dibanding Dewi, ia mempunyai otak yang lebih cemerlang dan daya juang yang lebih tinggi. Kedua orangtua Dewi tidak menganggap sekolah tinggi-tinggi itu penting bagi anak tunggal mereka yang pada dasarnya memang kurang berminat mencari ilmu dan enggan pula melakukannya. Untuk apa, mungkin begitu pemikiran mereka. Kekayaan yang dimiliki tu"- run-temurun tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Di Solo, mereka memiliki perusahaan batik yang terus berkembang. Terutama beberapa tahun terakhir ini. Ketika Dewi duduk di bangku kuliah saat memasuki se"mester empat dan merasa enggan berpikir terlalu keras, kedua orangtuanya tidak merasa keberatan ketika si putri manja itu ingin menghentikan kuliahnya. Bagi mereka, yang penting Dewi mau mempelajari seluk-beluk usaha batik mereka dan mau belajar berbagai hal yang perlu untuk hidup berumah tangga. Itulah sistem
bahwa perempuan harus pandai memasak, menjahit, me"nyu"lam, merawat diri, dan hal-hal seputar tiga M: Macak (berhias), Manak (mempunyai anak) dan Masak. Atau ahli menguasai Sumur, Dapur, dan Kasur. Begitulah yang diajarkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Sekar tidak merasa keberatan terhadap sistem nilai tersebut, sejauh perempuan yang bersangkutan merasa itu adalah pilihan hidup mereka dan berbahagia karenanya. Tetapi, kalau karena hal-hal seperti itu lalu perempuan dibatasi kegiatan dan minat pribadinya yang paling mendasar, itu adalah sesuatu yang tidak adil. Begitu Sekar berpendapat. Perempuan juga harus memiliki dirinya sendiri sebagai subjek yang bisa mengaktualisasi potensinya, minatnya, bakat-bakatnya, dan merealisasikan eksistensinya sebagai pribadi otonom. Bukan sebagai istri si A atau istri si B saja.
Sekar juga tahu, Dewi tidak menyukai hal-hal yang me"nantang kemampuan dan bakat-bakat alamnya. Ia le"bih suka mendapat segala sesuatu tanpa harus ber"- juang terlalu keras karena begitulah yang selalu diterimanya sejak masih kecil. Kelihatannya Dewi tidak menyadari bahwa Joko bukan jenis laki-laki yang akan merasa puas dengan istri yang hanya tahu Tiga M. Sekar yang lebih mengenal Joko daripada Dewi, tahu betul bagaimana senangnya Joko membahas dan mendiskusikan hal aktual yang terjadi di dunia bersamanya. Padahal Sekar tahu, membaca koran saja pun Dewi enggan. Paling banter berbagai berita yang didengarnya
briti dan gosip mengenai mereka yang diterimanya begitu saja, karena demikianlah yang dilihat dan didengarnya seketika itu. Nyaris sering tidak ada ke"sem"patan untuk mencerna dan menganalisa sebagai"ma"na jika seseorang membaca suatu berita dari koran yang pemaparannya lebih luas dan lebih mendalam. Karenanya, Sekar berpikir, mudah-mudahan kekhawa"tirannya tidak terbukti karena Joko bisa menerima Dewi apa adanya.
Yah, dirinya memang lain daripada Dewi. Bukan ha"nya karena sifat dasar mereka yang bertolak belakang, saja tetapi juga karena latar belakang keluarga mereka berbeda. Sekar yang sadar masa depannya ha"- nya ada pada dirinya sendiri, menganggap bahwa pendidikan merupakan jalan keluar yang paling bisa diandalkan. Ia tidak ingin seperti kakek dan paman-pamannya, men"jadi petani, karena bukan di situ bakat dan kemampuan"nya. Ia tidak ingin menjadi pembantu rumah tangga seperti Lik Tinah dan simboknya karena bukan di situ pula tempat yang tepat baginya. Betapapun enaknya dan betapapun baiknya keluarga sang majikan yang menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka, na"mun Sekar tidak akan melanjutkan kehidupan sebagaimana yang dijalani simboknya. Di negara ini belum ada jaminan hari tua, khususnya bagi para pekerja informal. Padahal waktu akan terus berlalu, dari hari ke minggu, dari minggu ke bulan dan dari bulan ke tahun. Sim"boknya akan terus bertambah tua dan tenaganya akan semakin berkurang dan berkurang. Sementara dari pihak sang majikan pun demikian pula. Mereka
De"ngan begitu Joko dan Dewi-lah yang kelak menjadi majikan utama mereka.
Tanpa sadar, Sekar menggelengkan kepala sampai air ma"tanya tepercik ke mana-mana. Tidak, pikirnya. Mu"lai sekarang ia sudah harus memikirkan masa depan diri"nya bersama simboknya. Kalau simboknya sudah tua nanti, dia yang akan menjaga dan membahagiakannya. Meskipun ia yakin sepenuhnya, keluarga Suryokusumo akan merawat dan memberinya kehidupan yang layak di hari tua simboknya, Sekar ingin mengambil alih kebaikan itu. Terutama kalau Dewi yang nantinya akan menjadi nyonya rumah di tempat ini. Sekar tahu betul, keluarga Dewi masih sangat feodal dan menilai seseorang dari latar belakang keluarga dan status sosialnya. Sekar tidak ingin simboknya diperlakukan sebagai babu seperti yang dila"kukan oleh nyonya-nyonya Belanda di zaman penjajah"an. Ini negara Indonesia, di mana setiap warga negaranya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.


Sekar Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berpikir tentang masa depan, Sekar yang sudah sejak lama bercita-cita menjadi dosen, akan segera merea"lisasikannya setelah studinya meraih gelar S2 selesai. Selama ini, ia sudah banyak menyerap berbagai ma"cam pengetahuan dari bangku kuliahnya dan dari bacaan-bacaan yang dibeli atau dipinjamnya. Namun masih saja ia merasa kurang. Terutama jika tanpa sengaja mendengar Joko berdiskusi dengan teman-temannya sesama dokter di teras belakang. Menarik juga mende"- ngar pendapat mereka, baik yang lulusan luar negeri maupun yang lulusan universitas dalam negeri. Antara
ber"bagai penyakit yang banyak ditemui di negara tropis, se"suatu yang kurang dipelajari oleh dokter-dokter lulusan luar negeri. Sekar senang sekali mendengar berbagai pendapat dan debat mereka, karena teras belakang tem"- pat mereka mengobrol itu terletak tak begitu jauh dari ka"marnya. Tetapi ia juga mendengar banyak istilah dan hal-hal asing yang tidak diketahuinya. Karena merasa pe"nasaran, begitu gajian ia langsung membeli beberapa buku-buku tentang kesehatan dan dunia medis. Ia juga mem"beli kamus istilah kedokteran dan pengetahuan yang membahas psikiatri (ilmu penyakit jiwa) dan psiko"logi (ilmu mengenai jiwa). Rupanya ada kaitan erat antara penyakit fisik dan mental. Psikosomatik misal"nya, yaitu penyakit-penyakit yang disebabkan oleh masa"lah-masalah kejiwaan seperti amnesia yang disebabkan trauma psikis, asma, tukak lambung, darah tinggi, dan lain sebagainya. Sekar senang sekali mempelajarinya.
Benarlah kata orang, tak ada ilmu pengetahuan yang sia-sia dipelajari. Itulah yang juga dialami Sekar. Ilmu pe"dagogi dan psikologi pendidikan yang dipelajarinya di bangku kuliah menjadi lebih lengkap karenanya. Di se"kolah tempatnya mengajar, beberapa kali ia menangani kasus kenakalan anak remaja. Bahkan di antaranya telah menyebabkan pihak sekolah angkat tangan dan memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah. Tetapi berkat pendekatan Sekar dengan berbagai pengeta"huan yang diserapnya dan juga dari berbagai pengalam"an konkret yang pernah dilihat dan bahkan dialamiia berhasil memotivasi murid tersebut untuk kembali men"jadi murid yang baik. Bahkan berkat dirinyalah maka ada pelajaran ekstrakurikuler khusus yang memberi kesempatan para murid untuk mengekspresikan diri melalui bakat, minat, dan cita-cita mereka. Ada dra"ma, musik, lukis, sastra, bahasa asing, dan lain sebagainya. Atas usahanya pula, ia bisa mendatangkan pakar dan praktisi terkait. Ia pernah mengundang pengarang untuk membagikan ilmu tentang bagaimana cara menga"rang. Ia juga pernah mengundang artis dan sutrada"ra terkenal dengan mengadakan semacam lokakarya untuk penulisan skenario dan semacamnya. Singkat kata, karena usianya yang tidak terpaut banyak dengan para muridnya, Sekar mengetahui apa yang mereka butuhkan. Karenanya, ia berhasil membawa anak-anak yang semula dikategorikan tak berpengharapan, termasuk mereka yang ketinggalan dalam pelajaran di sekolah, menjadi yang sebaliknya. Bahkan pernah pula dia me"nangani beberapa kasus anak yang mengkonsumsi nar"koba yang bisa kembali menjadi murid yang baik, karena belum telanjur parah. Ibu murid itu yang semula sudah putus asa, berulang kali menyatakan terima kasih kepadanya dengan berlinang air mata. Kepercayaan murid-murid kepadanya yang melebihi kepercayaan mereka kepada dokter dan ahli terkait, merupakan salah satu kunci keberhasilan Sekar.
Salah satu kasus yang cukup menantang kemampuan"nya untuk mengatasi permasalahan adalah kasus mu"rid perempuan yang ketahuan hamil. Pihak sekolah
suai dengan peraturan yang ada. Dalam hal ini Sekar tahu, banyak sekolah yang tidak menerima murid yang sudah pernah mengalami kecelakaan dengan berbagai alas"an yang cukup masuk akal sebenarnya. Tetapi ada keti"dakadilan dalam hal ini, karena murid laki-laki yang meng"hamili pacarnya masih tetap boleh bersekolah dengan alasan anak laki akan menjadi kepala keluarga nantinya. Semestinya demi keadilan dan demi memberi efek jera, kalau mengeluarkan murid perempuan yang hamil dari sekolah, maka si anak lelaki juga harus sama-sama dikeluarkan.
Saya kira yang penting dalam kasus ini bukan ha"nya mengeluarkan pihak yang hamil dari sekolah begitu saja, seolah itu merupakan hukuman atas perbuatannya. Tetapi memberi pengertian pada pasangan remaja itu meng"- a"pa tindakan mengeluarkannya dari sekolah itu diberlakukan. Mereka harus disadarkan bahwa jika ter"jadi ke"hamilan di saat masih duduk di SMU, studi yang menyangkut masa depan mereka akan terhambat. Dan bahwa aborsi bukanlah suatu penyelesaian karena ada nya?"wa tak berdosa di dalamnya. Bukan hak orang lain, ter"masuk sang ibu yang mengandungnya, untuk menghen"tikan pertumbuhannya. Dalam hal ini, pendekatan"- nya bukan hanya melalui agama saja, tetapi juga pendekatan moralitas dan berbagai akibat yang me"nyang"kut kehidupan konkret yang akan mereka hadapi. Antara lain, keharusan merawat dan membesarkan si bayi padahal kedua orangtuanya masih belum berpeng"ha"silan dan pas"ti akan sangat mengecewakan keluarga masing-maAda banyak pendapat Sekar yang kemudian didiskusikan oleh pihak sekolah dan yang pada tahap ber"- ikutnya juga menyertakan orangtua murid terkait untuk mencari jalan keluar yang paling baik. Sekar juga menga"takan untuk tidak mengambil suatu keputusan atas dasar hitam dan putih, maupun atas dasar tata pe turan yang baku dengan menyamakan suatu kesalah"an tanpa melihat latar belakang dan masalah-masalah lain yang mengiringinya.
Singkat kata, Sekar telah menangani berbagai masalah dengan baik dan menginsafkan para orangtua murid bahwa peran mereka sungguh penting dalam kehidupan anak mereka. Menyerahkan pada pihak sekolah atau memberi kesibukan dengan berbagai kursus ini dan itu, tidak cukup bagi si anak. Kalau ada orangtua mengatakan mereka tidak mempunyai kesempatan dan wak"tu yang cukup untuk memperhatikan anak-anak mereka, Sekar selalu mengatakan bahwa masih ada ba"nyak celah-celah untuk mengatasinya. Dan, bahwa bukan masalah jumlah banyaknya waktu yang bisa mereka berikan kepada anak-anaknya, tetapi kualitas kebersamaan di antara orangtua dan anak itulah yang jauh le"bih penting untuk diupayakan. Berdekatan dengan anak tetapi tidak ada situasi ada bersama harus diperbaiki. Rasa disa?"yangi, rasa nyaman, rasa damai, rasa aman, rasa hangat, dan semacamnya merupakan kebutuhan da"sar ma"nu"sia. Jika kebutuhan dasar itu terpenuhi, Sekar yakin tidak akan ada anak-anak yang mencari hi"buran di luar rumah. Termasuk berpacaran kelewat batas.
guru, telah berhasil merintis jalan ke arah kesukesan. Peringkat popularitas sekolahnya juga meningkat karena dukungan rekan-rekan sesama guru yang memiliki idealisme dan dedikasi yang sama tingginya bagi dunia pendidikan. Puaskah dia"
Tidak. Jauh di lubuk hatinya, ia sering menegur dirinya sendiri karena sadar bahwa belakangan ini kesukses"annya tidak melulu seratus persen karena dorongan idealismenya, tetapi juga karena pelarian hatinya yang pa"tah. Dan itu perlu diluruskan. Karenanya, untuk me"- mur"nikannya kembali ia harus melupakan urusan priba"dinya dan berpikir realistis bahwa menjolok rembulan hanyalah sesuatu yang sia-sia dan merugikan dirinya sendiri. Tetapi ah... betapa sulitnya menyingkirkan mimpi-mimpinya itu.
Suara anjing melolong di sudut halaman, mengusik la"munan Sekar. Tangisan anjing itu meraih seluruh perhatian Sekar dan melepaskannya dari pusaran pikirannya ke alam nyata kembali. Ah, kenapa pula si Brino melolong seperti itu" tanyanya dalam hati. Laparkah" Te"tapi bukankah petang tadi anjing itu sudah diberi makan" Ada apa"
Untuk menghilangkan gangguan suara anjing dan juga untuk melepaskan perziarahan pikirannya yang ke mana-mana, Sekar membalikkan tubuhnya sambil menutupi telinganya dengan bantal. Tanpa sadar, matanya menatap ke arah dipan satunya dalam kamar ini. Simbok"nya tetap tidur dengan nyenyak. Gerakan napas yang teratur dan wajah yang tenang menunjukkan suara
Se"dang mimpi apakah simboknya" Apakah sedang memim"pikan bekas anak asuhan kesayangannya bersanding dengan Dewi di atas kursi pengantin"
Sekar mengeluh. Kenapa sih lagi-lagi nama Dewi melintasi pikirannya" Mengganggu tidurku saja, gerutu Sekar dalam hati. Dan ah... suara Brino mulai berisik lagi. Kali itu Sekar terpaksa mengangkat bantal yang menutupi telinganya dan mempertajam pendengarannya. Tangis Brino terdengar lagi. Apa yang terjadi" Tidak biasanya Brino serewel itu. Atau jangan-jangan Lik Tinah lupa melepaskan rantainya dan anjing itu menagih kebebasannya"
Berpikir seperti itu, Sekar segera membuang selimut yang menutupi kedua kakinya. Pelan-pelan ia keluar dari kamarnya sambil sedikit mengangkat gaun tidur pan"jang pemberian Endang. Dengan agak berjingkat ia menuju ke halaman untuk melihat keadaan Brino. Rambutnya yang terlepas dari ikatannya, tergerai menyentuh bahu dan punggungnya.
Ketika Sekar tiba di dekat Brino, anjing itu mengubah lolongan tangisnya menjadi salak kecil bernada gem"bira sembari mengibas-ngibaskan ekornya. Benarlah, rupa"nya Lik Tinah lupa melepaskan rantai Brino. Sekar men"ggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa sendiri.
Aduh, Brino... kasihan kamu. katanya sambil melepaskan rantai dari leher Brino. Nah, lari-larilah sana. Tu"buhmu pasti terasa kaku, kan" Lebih dari seharian kau dibelenggu rantai, pasti tidak enak rasanya. Lik
Seolah mengerti apa yang dikatakan oleh Sekar, Brino langsung berlari-lari ke sekeliling halaman. Ke sana dan kemari, berputar-putar dan sedikit melonjaklonjak sehingga Sekar tertawa melihat ulahnya.
Kamu sedang latihan dansa, ya" katanya kemudian. Tetapi ini sudah menjelang pagi. Ayo ah, jangan ribut. Nanti membangunkan orang tidur.
Lagakmu seperti seorang ibu sedang memandangi anaknya yang nakal dengan penuh pengertian, kata suara yang tiba-tiba terdengar di belakang Sekar.
Sekar tersentak kaget. Wajahnya agak memucat, namun begitu melihat sosok tubuh Joko yang begitu dikenal"nya muncul dari balik kerimbunan pohon bunga menur (melati susun), hatinya menjadi lega.
Aduh, Den. Mengejutkan orang saja..., katanya. Saya kira maling atau sebangsanya.
Joko tersenyum. Ia kini berdiri di dekat temaramnya lam"pu taman, tak jauh dari pohon bunga menur yang menyembunyikan tubuhnya tadi.
Aku terganggu suara Brino, sahutnya kemudian. Ru"panya rantainya lupa dilepas, ya"
Ya. Ini tadi saya baru melepaskannya. Lik Tinah lupa dan saya tidak tahu kalau Brino masih dirantai.
Pantas sejak tadi meringik saja. Sambil berkata se"- perti itu, mata Joko memandang ke arah Brino yang ma"sih berlarian dengan gembira. Setelah kelincahan Brino semakin berkurang dan kemudian binatang itu me"milih duduk di atas bebatuan jalan setapak, Joko meng"alihkan pandang matanya ke arah Sekar yang ber"Gadis itu berdiri dengan gaun tidur yang meskipun warnanya mulai pudar namun sangat pantas dikenakan oleh"nya sehingga menyajikan pemandangan yang indah. Gaun tidur berwarna biru lembut berbunga-bunga putih itu terbuka di bagian atas dan lengannya. Di kiri dan kanan bahunya, hanya terdapat kain selebar jari yang disimpulkan di atas bahunya. Di bawah temaramnya bias lampu teras, Sekar tampak amat menawan. Bahu dan lengannya yang kuning mulus itu terlihat jelas. Gaun tidur yang terbuat dari bahan agak tipis dan berwarna biru lembut itu mengirimkan lekuk liku tu"buhnya yang indah saat temaramnya lampu mengirimkan bayangan langsing tubuhnya. Sementara itu rambutnya yang terurai, terbagi menjadi dua bagian. Separo ter"gerai di punggungnya dan separonya lagi menyelimuti salah satu dadanya.
Untuk beberapa saat Joko terpana menatap pemandangan yang begitu memesona di malam hari itu. Duh, beta"pa cantik dan menawannya Sekar, sementara yang ber"sangkutan tidak menyadarinya.
Untuk mengusir pesona yang mencekam hatinya, cepat-cepat Joko mengalihkan perhatiannya dengan melon"tarkan pertanyaan pada gadis itu.
Kok belum tidur, Sekar" tanyanya.
Ya..., Sekar menjawab sekenanya. Tak mungkin mengatakan bahwa dia baru saja terjaga dan sulit tertidur kembali. Saya baru saja mengoreksi hasil ulangan murid,
Banyak ya yang harus kauperiksa"
pat mengerjakannya pada malam hari. Tetapi buat saya tidak masalah kok, Den. Saya sudah terbiasa tidur sampai larut malam.
Tetapi apakah selalu sampai jam setengah dua pagi begini dan apakah harus diselesaikan malam ini" Joko ber"tanya.
Ti... tidak, Den Bagus. Malam ini... saya memang terlalu asyik bekerja... sampai lupa melihat jam, sahut Sekar, agak gugup.
Joko terdiam. Dia telah menangkap kegugupan Sekar yang begitu kentara. Tetapi, kenapa ditanya begitu saja mesti gugup"
Sekar tahu, Joko sedang memperhatikannya. Pasti laki-laki itu menangkap kegugupan yang seharusnya tidak perlu. Bukankah pertanyaan yang dilontarkan Joko itu suatu pertanyaan yang wajar" Bukankah pula Joko tidak tahu bahwa malam ini ia tidak bisa tidur karena memikirkan cintanya yang tak terbalas"
Kalau tidak ada ulangan atau yang semacam itu, pa"ling lama jam sebelas malam saya sudah naik ke atas tem"pat tidur kok, sambungnya cepat-cepat, memperbaiki jawabannya tadi.
Tetapi kali itu Joko tidak memperhatikan apa yang di"ucapkan Sekar. Dia lebih tertarik pada gerakan bibir dan kepala Sekar serta tangannya yang sedang memilinmi"lin rambut di dadanya. Luar biasa cantik dan menawan"nya gadis ini. Joko tahu, Sekar memang cantik. Tetapi ia baru melihatnya secara jelas dan cermat malam ini. Sekar jauh lebih cantik daripada Dewi, pikiroleh rias wajah dan pakaiannya. Ah, betapa tak terbayangkan olehnya, anak Mbok Kromo bisa sedemikian menawan.
Ingatan Joko langsung terkait pada apa yang dikatakan beberapa temannya saat mereka datang ke rumah dan melihat Sekar sedang menyiram bunga di kejauhan.
Siapa gadis cantik itu, Jok" tanya mereka, hampir bersamaan. Rupanya perhatian mereka terserap oleh pemandangan indah di halaman rumah Joko itu.
Joko melayangkan pandangannya ke tempat Sekar se"dang membetulkan letak selang air yang melibat kakinya. Gerakan gadis itu memang menarik. Semenarik wajah cantiknya yang memiliki ekspresi tenang, seakan menyatu dengan keseluruhan cuaca sore yang lembut, cerah, dan berangin sepoi-sepoi segar waktu itu.
Oh, itu sepupu jauhku, Joko menjawab dengan singkat dan berharap tidak ada pertanyaan lain yang sulit dijawab olehnya. Mau mengatakan gadis itu anak Mbok Kromo, tak sampai hati. Teman-temannya pasti akan bertanya macam-macam karena seluruh penampilan Sekar tidak menunjukkan bahwa gadis itu anak pengasuhnya.
Wah, punya saudara secantik itu itu kok tidak dikenal"kan kepada kami, Jok" Sofyan yang paling ganteng di antara mereka dan paling banyak digandrungi gadisgadis, berseru spontan. Dia belum lama pulang dari Nusa Tenggara Timur, memenuhi tugas dinasnya. Menu"rut yang pernah didengar Joko, Sofyan sedang men"tuk dikenalkan pada Sekar membuat perasaan Joko tidak enak. Jadi ia menjawab sekenanya saja.
Dia agak pemalu, Yan. Maklum, dia lama tinggal di daerah..., sahutnya.
Wah, itu yang aku cari.... Tanpa sadar Sofyan menepuk pahanya sendiri. Cantik, sederhana, polos, dan pemalu....
Joko yang merasa telah keliru melontarkan jawaban, lekas-lekas membetulkannya.
Jangan coba-coba mendekatinya, Yan, katanya sambil menyeringai. Sebentar lagi dia akan menikah.
Maka berhentilah pembicaraan tentang Sekar. Tetapi sela"ma mereka membahas macam-macam di teras waktu itu, Joko tahu betul pandang mata teman-temannya sering melayang ke arah Sekar. Padahal gadis itu hanya me"ngenakan celana tiga perempat dan blus kaos longgar berwarna kuning gading, sementara rambut hitam le"batnya cuma diekor kuda. Tetapi meskipun penampilannya sederhana, kecantikannya memang tampak menco"lok karena kulitnya yang kuning mulus itu seperti me"nyatu dengan tanaman hias di sekitarnya.
Sejak saat itu Joko sering bertanya sendiri di hatinya, kenapa selalu saja ada yang mengusik hatinya setiap ada yang menanyakan Sekar. Begitu juga waktu rom"bongan teman-temannya lain datang. Ketika mereka sedang asyik mengobrol di teras sambil tertawatawa, tiba-tiba saja semua terdiam saat melihat Sekar turun dari bajaj di muka pintu pagar. Gadis itu baru saja pulang mengajar. Pipinya memerah karena kepanaskar-lingkar di dahinya. Dengan penuh tanda tanya, pandang mata mereka mengikuti Sekar yang berjalan melalui pintu pagar samping dengan kepala tertunduk itu.
Buset, cantik sekali, komentar salah seorang di antara mereka.
Siapa, Jok" tanya yang lain. Kenalkan pada kami dong.
Saudara jauhku, baru datang dari Solo. Jangan coba-coba mendekati dia lho. Sebentar lagi dia akan me"nikah jawab Joko. Dari pengalamannya yang lalu, jawaban seperti itu telah menyebabkan teman-temannya tak lagi menaruh perhatian pada Sekar.
Jawaban jitu itu memang menghentikan pertanyaan teman-temannya seputar diri Sekar. Tetapi tidak pada Joko. Pertanyaan lain justru muncul dalam dirinya. Meng"apa perasaannya tidak enak setiap ada temannya ber"kata bahwa Sekar cantik dan ingin berkenalan dengan gadis itu"
Yah, Joko sadar bahwa laki-laki selalu menaruh perha"tian pada gadis-gadis yang cantik dan menarik. Begitu juga teman-temannya yang jumlahnya tidak sedikit itu. Tetapi kenapa harus kepada Sekar" tanyanya dalam hati. Bukankah ada banyak gadis cantik di sekitar kehidupan mereka" Bukankah kota Jakarta ini dipenuhi ga"dis cantik" Begitu Joko sering bertanya dalam hatinya. Tetapi malam ini ketika ia menatap Sekar yang tertimpa cahaya lampu teras dan lampu taman, ia menjadi sadar sesadar-sadarnya bahwa Sekar memang mega"dis-gadis cantik lainnya. Matanya yang besar berbulu len"tik, rambut hitamnya yang lebat, kulitnya yang mulus, dan caranya menatap dengan malu-malu merupakan suatu keseluruhan yang memesona. Tangan Joko te"rasa gatal saat hatinya dipenuhi keinginan untuk menye"ntuh rambut hitam Sekar yang terjuntai mesra mele"wati salah satu gunung kembarnya itu. Bahkan keti"ka membayangkan betapa lembutnya rambut itu ada di tangannya, hati Joko tiba-tiba saja berdesir. Ah, tidak seharusnya itu terjadi, bentaknya dalam hati.
Den Bagus sendiri kenapa belum tidur" Suara Sekar yang memasuki pendengaran Joko, membantunya meng"usir pesona yang mengganggunya tadi.
Aku... aku... memang belum tidur, jawabnya. Pertanyaan Sekar telah melecut perasaan Joko bahwa akhirakhir ini ia memang mengalami sulit tidur. Lho, kenapa" Ada yang dikerjakan"
Ya. Menerjemahkan artikel mengenai kesehatan dari bahasa Jerman, jawab Joko. Itu tidak betul. Pekerjaan itu sudah dikerjakannya minggu-minggu yang lalu. Belakangan ini ia sedang mengalami sulit tidur.
Wah, saya tidak bisa berbahasa Jerman. Kalau arti"- kel itu dalam bahasa Inggris, saya mau membantu Den Bagus.
Oke. Janji lho, ya" Ya. Sekar tersenyum. Tetapi kalau saya sedang tidak banyak pekerjaan lho.
Beres. Joko membalas senyum Sekar. Dia telah tidak jujur kepada Sekar. Tidak ada pekerjaan, malam
dur karena pelan-pelan ada yang mulai bergeser di hati"nya. Pergeseran itu bukan sesuatu yang ringan karena menyangkut keyakinan dan kemantapannya menikah de"ngan Dewi. Sejak hubungannya dengan Dewi semakin rapat dan mereka mempunyai banyak kesempatan un"tuk jalan berduaan, Joko mulai melihat adanya sesuatu yang rumit di antara hatinya dengan gadis itu. Semakin ia bergaul akrab dengan Dewi, keraguan atas langkah kakinya untuk mengikatkan diri dengan Dewi, sema"kin dalam. Ternyata tidak mudah mengikuti jalan pi"kiran gadis itu. Kadang-kadang bahkan Joko merasa ga"dis itu cenderung mau menang sendiri dan menganggap diri selalu benar.
Sebetulnya Joko sudah tahu sejak mereka masih ke"- cil dulu bahwa Dewi sangat dimanja dan karenanya ga"dis itu tumbuh menjadi orang yang ingin selalu diperha"tikan, tidak ingin disaingi oleh apa pun dan oleh sia"pa pun. Semula, Joko menyangka sifat-sifat yang tidak menyenangkan itu akan berkurang seiring bertambah"nya usia dan kematangan berpikirnya. Dan, karena su"dah mengenal Dewi sejak kecil, Joko mau menerima gadis itu apa adanya. Baginya yang penting, Dewi mempu"nyai tempat yang layak untuk dijadikan istri. Kedua belah keluarga sudah pula saling mengenal puluhan tahun lamanya. Latar belakang keluarga mereka serbase"tara. Penampilannya juga bagus. Manis dan cantik, men"jadi satu. Tetapi belakangan ini Joko melihat Dewi ma"sih sama seperti Dewi kecil dulu. Apa yang diharapkannya meleset. Bahkan meleset jauh. Gadis itu penMas, kalau memeriksa pasien perempuan, jangan sam"pai menyentuh kulit mereka pada bagian-bagian yang biasanya tertutup lho, ya. Begitu antara lain yang dikatakan Dewi padanya. Entah di mana pikiran gadis itu, Joko tidak mengerti. Bagaimana mungkin meme"- riksa pasien tanpa menyentuh kulitnya"
Tetapi acap kali dokter kan ingin tahu suhu tubuhnya atau kelenturan kulitnya kalau-kalau si pasien meng"alami dehidrasi untuk penyakit-penyakit tertentu, muntaber misalnya, bantah Joko waktu itu.
Pokoknya aku tidak rela. Terserah Mas Joko bagaimana mengaturnya, yang jelas aku tidak rela tangan Mas menyentuh kulit perempuan lain.
Kalau saja Joko waktu itu tidak menguatkan hati, ingin sekali ia menyuruh Dewi mencari calon suami lain yang bukan dokter. Ketika hal-hal sepele seperti itu semakin sering dipersoalkan oleh Dewi, lama-kelama"an Joko merasa lelah. Apalagi menunjukkan sikap se"akan tidak ada apa-apa di antara mereka berdua hanya demi menjaga perasaan kedua belah pihak keluarga. Me"mang, ia telah berusaha menjaga perasaan orang lain, tetapi perasaannya sendiri terabaikan. Ia telah meng"ikuti cara Dewi berpikir dan mencoba memahami serta mengenali dunia perbatikan yang digeluti gadis itu. Ia juga telah belajar menerima gadis itu apa adanya. Tetapi sebaliknya, gadis itu sama sekali tidak memedulikan apa yang diinginkannya. Dewi tidak bisa diajak bi"cara, tidak juga menyadari bahwa menjadi dewasa dan kemudian menikah haruslah belajar mengenali du"apa kenyataannya" Joko merasa dirinya diperbudak dan me"rasa khawatir kalau-kalau hubungan baik kedua be"- lah pihak keluarga akan rusak jika ia bersikap keras ter"hadap Dewi, sebab tidak mudah baginya untuk tetap menjaga hubungan yang tak seimbang itu. Tetapi hal itu juga tidak bisa dibiarkan begitu saja seakan segalanya baik-baik saja. Dengan berbagai masalah itulah Joko sering bertanya sendiri di dalam hatinya, itukah yang namanya cinta"
Tanpa sadar, Joko mengembuskan keluhan sehingga Sekar memandang ke arahnya dengan dahi berkerut.
Lho, katanya beres. Kok malah mengeluh" Saya betul-betul mau membantu Den Bagus menerjemahkan artikel atau bahkan buku dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia kok. Bukan basa-basi.
Apa senangnya buatmu, Sekar" Tentunya tidak melulu karena ingin menyenangkan hati bekas asuhan simbokmu, kan" Joko menyeringai lagi.
Itu juga termasuk, Den Bagus. Tetapi sebenarnya... saya ingin mengintip seperti apa dunia kedokteran, khusus"nya di dunia Barat. Kedua, saya ingin memperlancar bahasa Inggris saya. Terutama berkaitan dengan istilahistilah kedokteran. Ketiga... ah... itu urusan saya pribadi... Cepat-cepat Sekar menghentikan bicaranya. Hampir saja ia mengungkapkan perasaannya, bahwa baginya, semakin banyak pekerjaan akan semakin baik, sehingga ia bisa melupakan kegalauan hatinya.
Ah, kau sudah telanjur mengatakannya Sekar. Ayo lan"jutkan, apa alasanmu yang ketiga" Bersikap jujurlah
Tidak penting, Den Bagus. Sekar!
Sekar melengos. Tetapi Joko tetap mengejarnya dengan pertanyaan yang sama. Kini dengan desakan yang semakin kentara.
Sekar, jawablah. Ini sudah menjelang pagi. Orang lain sedang nyenyak-nyenyaknya tidur kok kita berdebat di sini. Ayolah sebelum kita masuk ke kamar masing-masing, jawablah pertanyaanku tadi.
Sekar menyadari kebenaran perkataan Joko. Ia menarik napas panjang. Dia kenal sifat Joko. Kalau tidak dipe"nuhi keinginannya, ia akan terus mendesaknya. Jika demikian, kapankah mereka tidur"
Yah... terus terang saya suka bekerja karena dengan be"kerja, pikiran saya bisa lebih terkendali, sahutnya ter"paksa.
Joko menatap Sekar, penuh rasa ingin tahu. Memangnya kenapa" tanyanya. Apakah ada sesuatu yang sedang kaupikirkan, Sekar"
Setiap manusia tentu mempunyai pikiran kan, Den" Be"gitu juga saya. Jadi, itu bukan hal aneh dan Den Bagus tak usah menanyakannya. Saya juga tidak akan men"jawabnya kok.
Oke, kau tidak mau menjawab. Tetapi aku boleh menebak, kan"
Menebak apa" Sebagai gadis muda, mempunyai pergaulan yang luas, pastilah pikiran itu berkaitan dengan cinta. Ya, kan" Joko bertanya dengan maksud tertentu. Secara
paling pribadi. Sudahkah gadis itu mempunyai kekasih" Menilik daya tariknya yang luar biasa, mustahil tidak ada pemuda yang jatuh cinta kepadanya. Dan menilik usia"nya, mustahil pula Sekar tidak pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan khusus dengan salah seorang penga"gumnya.
Ketika mendengar pertanyaan Joko yang mengarah pada urusannya yang paling pribadi, pipi Sekar langsung memerah. Dengan sikap canggung dan tersipusipu gadis itu membuang pandang matanya ke tempat lain. Meli"hat itu Joko semakin dipenuhi rasa ingin tahu mengenai kehidupan cinta Sekar. Hal itu begitu gelap bagi"nya. Dalam hal-hal tertentu, Sekar memang sangat pan"dai menutupi perasaannya. Hal itu diketahui Joko de"ngan baik.
Aduh, Sekar, ceritakan padaku siapa laki-laki yang ber"untung itu, kata Joko begitu melihat sikap Sekar yang menjadi salah tingkah itu.
Sekar tidak mau menjawab sehingga Joko semakin pe"na"saran. Ingin sekali ia mengetahui kehidupan priba"- di gadis itu. Aneh rasanya, sebab selama ini ia tidak terlalu memperhatikan hal-hal semacam itu. Sekar ada"- lah bagian dari rumah ini. Sekar adalah bagian dari keluarga ini. Maka dengan pemikiran itu, Joko tidak memperhatikan bahwa Sekar juga mempunyai privacy dan kehidupan pribadi sendiri. Karenanya, ia ingin me"nyi"bak apa isi dada gadis itu. Entah di mana letak alas"annya, ia merasa berhak untuk mengetahuinya. Bu"kankah Sekar merupakan bagian dari keluarga dan ru"mah ini"
Dari mana asalnya" Ayolah, aku ingin mengetahui seperti apa kehidupan cintamu. Aku minta maaf karena selama ini tak pernah memperhatikanmu, tanyanya.
Den Bagus tidak perlu minta maaf. Saya kan sudah dewasa dan bahkan dewasa matang. Den Bagus tidak perlu menjaga saya, kalau itu yang Den Bagus maksud. Kehidupan pribadi saya adalah tanggung jawab saya sendiri.
Joko tertegun beberapa detik lamanya. Sekar betul. Kini mereka berdua telah dewasa dan memiliki kehidup"an sendiri-sendiri. Tidak ada keharusan untuk menja"ga Sekar seperti ketika mereka masih kanak-kanak. Jadi berarti, pertanyaan yang dilontarkannya tadi pastilah berasal dari lubuk hatnya sendiri karena ingin mengetahui sejauh mana Sekar telah menjalani kehidupan cintanya.
Bukan begitu, Sekar, sahutnya kemudian. Aku cuma ingin mengetahui pengalaman cintamu. Bukankah kau dulu sering menceritakan pengalaman-pengalamanmu dan mencurahkan isi hatimu kepadaku kalau ada se"suatu yang tak bisa kauselesaikan sendiri" Nah, sekarang aku juga masih ingin menjadi tempatmu mengadu. Apakah kau sering mengalami rasa rindu dan yang semacam itu" Ceritakan padaku, siapa lelaki yang beruntung itu, Sekar"
Tidak bisa, Den Bagus. Tidak bisa..., Sekar memotong perkataan Joko dengan cepat. Itu rahasia hati saya.
Kok begitu" Aku tulus, Sekar. Kalau kau bahagia,
Sekar menatap mata Joko. Perkataan Joko mengait emosinya. Mana mungkin mereka akan ikut bahagia andai"kata ia mengatakan kebenarannya bahwa cintanya hanya untuk Joko" Sakit rasanya memikirkan hal itu. Tanpa sadar tangannya mengepal.
Den Bagus... bagiku, jatuh cinta itu sama sekali ti"- dak ada sedikit pun rasa bahagianya. Jatuh cinta itu justru sangat menyiksa..., katanya kemudian dengan su"sah payah. Matanya yang bulat dan sedang menatap Joko, tampak berkilauan oleh air mata yang ditahannya agar tidak bergulir jatuh.
Joko terkejut. Suara Sekar bukan hanya terdengar pa"hit saja, tetapi juga menyiratkan kepedihan yang begitu mendalam. Dengan dahi berkerut dan mata me"- nyipit agar dapat melihat wajah Sekar dengan jelas, laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang terasa meng"- ganjal hatinya.
Tidak ada rasa bahagia, Sekar" Bahkan justru sangat menyiksa..." tanyanya mengulangi perkataan Sekar tadi. Tetapi... kenapa"
Karena semua serba menyakitkan, tentu saja. Semua"nya, tak ada satu pun yang terasa menyenangkan. Nye"ri, pahit, pedih, perih... pokoknya seribu satu macam derita, Sekar menjawab dengan penekanan atas se"mua yang dirasakannya.
Sekali lagi Joko terkejut. Kenapa gadis satu ini" Patah hati atau semacamnya" Tetapi apa yang terjadi" Kekasihnya berselingkuh" Atau apa"
Kenapa, Sekar" Ceritakanlah kepadaku. Kalaupun
nuh"an isi dadamu akan berkurang karenanya. Aku yakin, pasti Mbok Kromo tidak tahu-menahu mengenai apa yang kaualami. Karena itu kutawarkan diriku, kau boleh mengadu dan mencurahkan kepenuhan hatimu kepadaku.
Sekali lagi Sekar menatap wajah Joko dengan matanya yang lebar dan berkaca-kaca. Perkataan laki-laki itu menyengat perasaannya lagi. Mana bisa ia menjadi tempatnya mengadu" Dan secara tak terduga sebelum Joko me"lanjutkan bicaranya, Sekar tersenyum sekilas. Senyum yang sama pahitnya dengan suara dan isi bicaranya tadi.
Sudah semakin menjelang pagi, Den Bagus. Tidurlah, katanya, tanpa sepatah kata pun menyinggung apa yang sedang mereka bicarakan. Saya juga akan beristirahat di sisa-sisa waktu yang masih ada supaya be"- sok tidak kesiangan dan tidak terlalu mengantuk saat mengajar.
Tanpa menanti reaksi Joko, Sekar segera membalikkan tubuhnya dan dengan setengah berlari, ia masuk ke kamar tidurnya dan meninggalkan sang majikan muda dalam keadaan tertegun di taman belakang.
Bukit Siluman 2 Pendekar Bloon 18 Batu Lahat Bakutuk Api Di Bukit Menoreh 8

Cari Blog Ini