Ceritasilat Novel Online

Sekar 3

Sekar Karya Maria A. Sardjono Bagian 3


Joko yang ditinggal secara mendadak oleh Sekar, menatap gaun tidur dan rambut yang melambai-lambai itu dengan beribu macam perasaan dan pertanyaan. Sekar me"mang misterius dalam hal-hal tertentu, pikirnya. Gadis itu memang memiliki pesona yang sedemikian me"- mu"kau, pikirnya pula. Sulit membuang bayangan yang tercetak di kepalanya, sesuatu yang baru malam ini
Wajah yang jelita, tubuh yang langsing, padat, dan berlekuk-liku indah. Rambut hitam lebat dan panjang yang me"nyebabkan tangannya sampai saat ini masih terasa ga"tal, ingin menyentuh dan bahkan ingin membelainya. Ter"utama karena mata lebarnya yang indah dan ber"- kaca-kaca itu bagai lautan duka tatkala dengan bibir men"desis tadi mengungkapkan kehidupan cintanya yang tidak bahagia, yang bahkan menyebabkannya menderita. Ingin sekali ia menghiburnya, sebab di sepanjang pengenalannya terhadap Sekar, Joko tidak pernah melihat gadis itu dalam keadaan menderita batin seperti itu. Ah, siapa laki-laki yang telah membuatnya menderi"ta" Kalau boleh, ingin sekali ia menghajarnya.
Tanpa sadar, Joko mengeluh sendirian. Rupanya banyak juga percintaan antara sepasang kekasih yang tak bahagia, pikirnya. Sekar tersiksa batinnya. Dan dia sendiri sedang meragukan kelanjutan hubungannya dengan Dewi yang menyebabkannya bagai berdiri di persimpang"an jalan selama. Berminggu-minggu ia dalam keadaan galau. Padahal sebentar lagi acara lamaran akan di"langsungkan. Bagaimana mungkin kehidupan perkawin"annya dengan Dewi akan bahagia jika baru mau la"maran saja hatinya sudah terasa berat dan enggan me"mikirkannya. Setiap ingatan tentang lamaran itu me"nyusup ke hatinya, setiap itu pula perasaannya langsung tidak enak. Gamang rasanya.
Sambil berjalan perlahan-lahan dengan kedua belah ta"ngan tersembunyi di saku jas kamarnya, Joko menyesali sikapnya yang kurang tegas waktu itu. Ketika kebermenantukan Dewi, ia mengiyakannya saja. Kedua orangtuanya tahu, ketika masih remaja, dia pernah mem"punyai hubungan yang sangat akrab dengan Dewi. Ke"akraban itu bermula ketika teman kuliah Joko di ITB menaruh hati kepada Dewi yang kenes dan berwajah amat manis itu. Waktu mengetahui hal tersebut, ce"pat-cepat Joko mendahuluinya dengan pemikiran bahwa Dewi memiliki kedekatan keluarga dengan keluarganya. Jadi, jangan sampai pemuda lain menjadikannya pacar. Maka begitulah, Joko dan Dewi menjadi akrab. Joko sering menjemput Dewi pulang dari sekolah kalau ke"betulan sedang ada di Jakarta. Tetapi sayangnya, sebelum hubungan itu meningkat menjadi pacaran yang se"sungguhnya, Joko harus meninggalkan Indonesia untuk kuliah di luar negeri. Maka hubungan mereka berdua pun mulai seperti permainan yoyo, naik dan turun mengikuti permainan nasib. Apalagi mereka hanya bisa bertemu satu tahun sekali dan teman-teman mereka datang silih berganti dalam kehidupan masing-masing. Baru sekarang hubungan mereka menjadi lebih serius, seiring dengan bertambahnya usia keduanya. Tetapi itulah yang sekarang disesali Joko.
Ketika tiba di kamarnya kembali dan membaringkan tu"buhnya ke atas tempat tidur, Joko ingin meraih bayangan Dewi agar timbul rasa rindunya terhadap gadis itu. Dia berharap bisa mengembalikan rencana hidupnya seperti semula, yaitu melamar Dewi dan meningkatkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih terarah. Lebih-lebih karena belakangan ini hatinya menjadi kerin"dunya terhadap gadis itu, memikirkannya saja pun malas rasanya. dan seperti kemarin-kemarin juga, Joko gagal lagi menghadirkan Dewi si manis dan kenes itu ke dalam telaga hatinya. Bahkan malam ini ada sosok lain yang tiba-tiba muncul di sana. Sosok itu adalah Sekar. Terbayang olehnya betapa gadis itu begitu menarik. Seluruh gerak-gerik dan isi bicaranya selalu terkendali, mencerminkan kematangan jiwanya. Sikapnya lem"but dan hangat, namun jika perlu bisa bersikap tegas, sesuai dengan profesinya sebagai guru. Itu jika bica"ra tentang apa yang ada di dalam diri Sekar. Bicara ten"tang penampilannya, Sekar juga membuktikan seca"- ra jelas daya tariknya yang begitu kuat. Kecantikannya tak hanya terbatas pada fisiknya saja, tetapi juga pada batinnya. Singkat kata, Sekar mempunyai banyak kelebih"an yang jarang dimiliki gadis lain. Jadi, siapakah laki-laki tolol yang menyebabkan gadis itu menderita" tanya Joko dalam hatinya.
Malam ini Joko semakin sadar bahwa Sekar benarbe"nar telah dewasa dan mempunyai kehidupan pribadi sen"diri. Meskipun secara fisik dan mental masih menjadi bagian dari keluarganya dan juga masih menjadi bagian dari rumah ini, tetapi secara personal gadis itu tidak memiliki kaitan dengan keluarga maupun rumah ini. Suatu saat nanti, cepat atau lambat, Sekar akan per"gi dari rumah ini untuk membentuk keluarga sendiri. Maka dia akan lepas dari ikatan dengan keluarga dan rumah ini. Kalaupun masih ada, itu karena Sekar lahir dan besar bersama keluarga ini. Akan halnya
ta"kan bahwa hidup dan matinya ada bersama keluarga ini, akan tetapi dengan adanya Sekar yang nantinya men"jadi dosen dan mungkin juga suaminya memiliki profe"si sama, mereka pasti tak akan merelakan Mbok Kromo tetap menjadi pasukan belakang di rumah orang. Membayangkan keadaan itu, perasaan Joko semakin tidak nyaman. Ada rasa kehilangan yang begitu menyentak batinnya. Baginya, Mbok Kromo dan Sekar adalah bagian dari kehidupan keluarga ini, bagian dari kehi"dupannya. Tanpa mereka dalam keluarga ini, pastilah ada yang terasa amat kosong. Kekosongan yang tak mung"kin tergantikan oleh siapa pun.
Untuk mengusir bayangan mengenai Sekar dengan berba"gai kemungkinan yang mengganggu perasaannya itu, Joko menutupi wajahnya dengan guling, berharap ba"yangan Dewi akan menggantikannya. Tetapi ternyata bu"kan gadis itu yang muncul, melainkan Sekar lagi dan Sekar lagi. Sekar yang memakai gaun tidur berwarna biru berbunga putih yang memperlihatkan lengan, bahu, dan lehernya yang kuning mulus. Sekar yang memi"liki bentuk tubuh indah dengan lekuk-liku proporsional, yang tertangkap oleh matanya melalui cahaya lampu yang menembus bahan tipis gaun tidurnya. Sekar yang rambutnya begitu menggoda tangannya sehingga hampir saja terulur untuk menyentuh dan membelainya, bah"kan juga menyentuh bahunya yang tampak kuning langsat dan mulus. Sekar yang...
Ah, sialan. Joko memaki dirinya sendiri. Mengapa bu"kan Dewi yang datang ke dalam pikirannya" Mengpa harus Sekar" Ya, mengapa harus gadis itu" Bukankah yang akan dilamar oleh keluarganya nanti bukan Sekar"
S EKAR mematut gaunnya sekali lagi di muka cermin.
Gaun itu terbuat dari bahan yang terasa lembut di ta"- ngan"nya. Dengan warnanya yang juga lembut namun ma"nis seperti warna ice cream kombinasi dengan domina"si warna dadu muda, Sekar tampak amat cantik dan sa"ngat pantas mengenakannya. Itulah bahan yang diberi"kan oleh Joko sebagai oleh-oleh ketika ia baru pulang ke Indonesia tahun lalu. Baru sekarang Sekar mempunyai kesempatan untuk memakainya setelah ia menja"hitkannya pada tukang jahit langganan Ibu Suryokusumo. Memang mahal, tetapi hasilnya sangat me"muaskan. Sekar benar-benar tampak luar biasa.
Simboknya yang sedang duduk menjahit celemek yang lepas jahitannya, bertanya sambil lalu tanpa me"noleh ke arah Sekar.
Jam berapa nanti Nak Hendra akan menjemputmu,
Tujuh Jam enam lebih sedikit, Mbok, Sekar juga menjawab tanpa menoleh ke arah simboknya. Ia sedang sibuk mem"beri bayangan di kelopak matanya dengan warnawar"na yang senada dengan warna gaunnya. Samar saja teta"pi hasilnya tampak bagus sekali. Begitupun ketika ia menyentuhkan perona pipi yang cuma disapukannya se"kilas. Ia berpendapat bahwa alat-alat kecantikan hanya berfungsi untuk menyamarkan yang kurang dan me"nonjolkan yang perlu ditonjolkan. Bukan mengubah wa"jah aslinya.
Ketika Sekar mulai membubuhkan beberapa tetes mi"nyak wangi ke belakang telinga dan nadi pergelangan ta"ngannya, simboknya menoleh sambil mengatakan aroma"nya sungguh enak. Lembut tetapi menyegarkan. Teta"pi belum selesai perempuan itu bicara, matanya lang"sung membesar saat melihat penampilan Sekar.
Astaga, Sekar. Kau tampak sangat cantik dan ang"gun sekali. Wah, kalau kita jalan bersama, pasti orang yang melihat kita akan menyangka aku sedang ikut ndoro putriku. Kau benar-benar tidak pantas menjadi anak"ku, Sekar. Sungguh! katanya dengan berbagai ma"cam perasaan. Antara bangga, cemas bercampur rasa syu"kur, dan juga rasa khawatir karena timbul rasa asing yang baru saja melintasi hatinya. Gadis ini benar-benar tam"pak se"perti putri priyayi. Ia memiliki cita rasa yang ha"lus dan tinggi dalam memilih apa saja. Suatu kemam"puan dan cita rasa yang diajarkan keluarga Suryokusumo, khusus"nya oleh Ibu Suryokusumo kepa"da"nya. Masih pula di"tambah dengan lingkup pergaulannya dan juga kepeDunia seperti itu adalah dunia yang asing bagi Mbok Kromo. Dilihat, diakrabi, tetapi tidak pernah dimasukinya.
Meskipun Sekar juga menyadari kelebihannya, tetapi ia tidak mau memperlihatkannya. Ia masih memiliki rasa malu untuk tampil sesuai dengan cita rasanya teruta"ma jika mengingat siapa simbok yang melahirkannya ke dunia ini. Ada semacam batas atau patokan baginya un"tuk bersikap, bertutur-bahasa, bertindak, dan berpenam"pilan yang tak terlalu jauh dari asal-usulnya. Setidak"nya, selama ia berada di dalam lingkup keluarga Ba"pak Suryokusumo. Dia tidak ingin menjadi sebab tim"bulnya rasa canggung dan risi mereka seperti pengalam"an yang sering dihadapinya selama ini. Sebab, mema"kai pakaian biasa saja pun kalau ia pergi dengan Ibu Suryokusumo atau mengantar Bapak Suryokusumo ke dok"ter misalnya, orang selalu mengiranya sebagai putri me"reka. Tak jarang pula masih ditambah pujian yang menye"babkan pipi gadis itu kemerahan karena merasa sangat tidak enak.
Putri Mbakyu yang membukakan saya pintu tadi, sung"guh cantik sekali. Di zaman gadis-gadis lebih suka be"rambut pendek, putri Mbakyu membiarkan rambut"- nya yang bagus tetap panjang. Beruntung lho Mbakyu mem"punyai putri seperti itu, begitu antara lain pengalam"an tidak enak itu.
Kalau sudah seperti itu yang didengarnya, Sekar pura-pura tidak mendengar dan cepat-cepat menyelinap per"gi. Ia tidak ingin melihat majikan simboknya merasa
se"perti itulah setiap diajak pergi oleh Ibu Suryokusumo, Sekar selalu memilih gaun yang sederhana. Tetapi, meski"pun demikian masih saja orang keliru sangka, mengi"- ra"nya sebagai putri atau sanak keluarga Suryokusumo se"hingga akhirnya Ibu Suryokusumo melarangnya mema"kai pakaian sederhana.
Aku tahu betul maksud baikmu dengan mengenakan pa"kaian sederhana seperti itu, Sekar, begitu perempuan paro baya itu menegurnya. Tetapi toh orang tetap saja keli"ru sangka. Daripada aku dikira hanya mementingkan pe"nampilan sendiri dan mengabaikan anaknya, lebih baik kau memakai pakaianmu yang bagus. Jangan dengan pakaian rumah seperti itu. Apa kau tidak khawatir ketemu muridmu"
Mendengar teguran itu Sekar hanya tersenyum simpul. Yah, bukan salahnya kalau dirinya menerima semua warisan yang terbaik dari fisik ayahnya maupun sim"boknya. Sekar tahu dari foto yang disimpan Mbok Kromo, ayahnya termasuk pria ganteng.
Sekarang mendengar perkataan Mbok Kromo yang me"nyatakan dengan terus terang bahwa ia tidak pantas men"jadi anak simboknya, Sekar tertegun. Semakin sadar dia, bahwa memang tidak mudah baginya menjalani ke"hidupan seperti ini. Ibu kandungnya sendiri mengatakan dirinya tak pantas menjadi anaknya. Lalu dirinya pan"tas menjadi anak siapa" Ibu Suryokusumo atau simbok"nya"
Mbok. Jangan mengada-ada, ah. Kadang-kadang, pa"kaian seseorang bisa mengubah pandangan orang,
Hanya kulit luarnya saja, Sekar. Mbok Kromo terse"nyum, menatap Sekar dengan penuh kasih sayang. Si"kap priyayi yang lebih menyangkut dunia batin seseorang kan bisa terlihat sesudah kita bicara selama lima me"nit saja dengannya. Tetapi kau, Nduk, kau memiliki ke"duanya. Ya kulit, ya isinya. Tidak sia-sia Simbok mem"berimu berbagai ajaran. Tidak sia-sia Ndoro Den Ayu Suryo memberimu contoh-contoh nyata dan didikan langsung.
Aduh, Mbok, Sekar berseru sambil tertawa. Laut"- an, siapa sih yang menggarami. Tidak malu ya memuji anak sendiri"
Ini bukan sekadar memuji anak sendiri, Nduk. Apa yang Simbok katakan adalah suatu kenyataan. Dan itu me"lalui sekolahan yang teramat panjang.
Sekolahan yang teramat panjang" Misalnya, Mbok" Sam"bil bertanya, Sekar mengambil tas dan mengeluarkan sepatu dari kotaknya. Gadis itu rajin menyimpan har"ta miliknya. Sepatu yang khusus dipakai untuk acara-acara tertentu selalu dibersihkannya sampai ke ba"gian telapak bawahnya, sebelum disimpan ke dalam dos"nya. Di sela-selanya, ia masukkan kapur barus.
Ya, kita ini kan belajar banyak hal tentang kepriyayian dan keluhuran budi pekerti, sahut Mbok Kromo. Ter"utama dirimu, Nduk. Sejak bayi merah sampai seka"rang ini, tanpa disadari, kau telah menyerap bukan saja ajaran-ajaran yang diberikan dari para majikan kita, teta"pi juga dari contoh nyata hidup keseharian beliaube"liau. Seperti misalnya bagaimana cara menahan emotata-cara bergaul dengan melihat usia dan kedudukan, ter"masuk dalam hal pemakaian tingkat bahasa, bagai"- ma"na pula bersikap sedemikian rupa agar tidak sampai mem"permalukan diri sendiri maupun orang lain. Dan ba"nyak lagi. Itu semua kan kita pelajari di sepanjang kehi"dupan ini" Itu lho, Nduk, yang Simbok maksud de"ngan sekolah yang amat panjang.
Sekar terseyum mendengar pendapat simboknya. Mes"kipun diucapkan dengan cara yang polos, tetapi dia me"lihat kebenaran kata-katanya.
Ya, Mbok. Aku tahu, katanya kemudian sambil menge"nakan sepatu tingginya. Sayangnya, ada banyak pan"dangan dan nilai-nilai baru yang membanjiri dunia ba"tin anak bangsa ini melalui buku-buku, radio, televisi, film, internet, dan lain sebagainya. Kearifan lokal kita se"ring terkoyak karenanya.
Betul itu, Nduk. Sebagai guru, kau harus bisa ikut me"nyelamatkan... apa tadi katamu, anak bangsa" Hehe... maksud Simbok, para muridmu untuk tetap ber"pikir dan bertindak sebagai bangsa Indonesia.
Itu pasti, Mbok. Nah... sekarang Simbok lihat diriku. Tolong katakan, apakah ada yang kurang padaku" Sekar berdiri tegak di hadapan Mbok Kromo.
Mbok Kromo memandang Sekar beberapa saat lama"nya baru kemudian menjawab pertanyaan gadis itu.
Semua sudah sempurna, kecuali satu hal. Tetapi Sim"bok tak ingin mengatakannya. Takut kau tersinggung.
akan tersinggung. Malam ini malam istimewa sekolahan kami, Mbok. Semua murid kelas tiga, lulus. Nilai-nilai"- nya tinggi pula.
Kalau soal penampilanmu, sudah sempurna kok, Nduk.
Tadi Simbok bilang masih ada yang kurang. Apa itu, Mbok"
Mbok Kromo tertawa pelan, kemudian membalikkan tu"buhnya dan menekuri jahitannya kembali, baru kemudian menjawab lagi pertanyaan Sekar.
Kekurangan itu... belum adanya seorang pendamping di sisimu. Alias, seorang suami. Tetapi... mudahmu"dah"an saja mulai malam ini Simbok boleh berharap..., katanya dengan suara yang sama pelannya de"ngan suara tawanya tadi. Kurasa, Nak Hendra menaruh perasaan khusus terhadapmu. Aku sudah melihat pan"dang matanya setiap menatapmu.
Sekar tertegun. Simboknya betul. Kekurangan dirinya adalah belum adanya seorang pedamping, padahal dua bulan lagi usianya sudah seperempat abad. Tetapi ah, menerima Hendra sama mustahilnya dengan mengharapkan cinta Joko. Sampai detik ini, ia tidak ingin men"jalin hubungan dengan laki-laki mana pun selama cin"tanya terhadap Joko masih memenuhi isi dadanya.
Ah, Simbok. Mas Hendra hanya teman biasa kok. Be"gitu Sekar menanggapi kata-kata simboknya. Kemudian, agar masalah itu tidak diperpanjang, lekas-lekas ia ke"luar dari kamarnya.
Malam ini adalah malam perpisahan dengan muridtiap tahun acara perpisahan selalu disiapkan dan dimeri kan oleh para murid sendiri, dengan bimbingan dan pendampingan guruguru mereka. Tujuannya antara lain adalah memberi pengalaman bagi mereka untuk bisa berorganisasi, bekerja sama, memunculkan ide-ide dan kreativitas untuk tampil di muka umum. Khusus ma"lam perpisahan kali ini diselenggarakan lebih meriah de"ngan beberapa alasan. Pertama, karena murid kelas tiga lulus seratus persen. Kedua, sekolah mereka mendapat tempat kedua dari sekolah-sekolah SMU se-Jakarta da"lam lomba paduan suara lagu-lagu nasional saat memperingati Hari Kemerdekaan. Ketiga, dalam lomba gerak jalan, mereka juga menempati urutan kedua. Keempat, atas usulan beberapa guru termasuk Sekar, pada ma"lam itu akan diberikan penghargaan dan kenang-kenang"an bagi tiga murid yang yang paling berprestasi. Mu"lai dari yang lulus, lalu mereka yang naik ke kelas tiga, dan mereka yang naik ke kelas dua. Jadi, ada sembil"an murid jumlahnya. Para guru berharap, penghargaan itu akan memacu para murid untuk lebih berprestasi lagi. Pada acara tersebut pula, para guru akan datang de"ngan pasangan masing-masing. Suami atau istri bagi me"reka yang sudah menikah.
Semula, Sekar akan pergi bersama Bu Tina, guru baha"sa Inggris yang usianya sebaya dengan dirinya. Ke"- dua"nya sama-sama belum menikah dan keduanya sama-sama pula menjadi panitia dalam acara malam per"pisahan itu. Tetapi menjelang sore tadi ketika mere"- ka berdiri mengagumi hasil para murid yang bertugas
ka. Seseorang yang semula berhalangan mendampinginya, bisa mengatasi halangan tersebut.
Aku minta maaf, Sekar, kata Bu Tina dengan suara me"nyesal. Teman dekatku ternyata bisa menjemput dan mendampingiku. Nanti kusuruh Wati menjemputmu, ya" Dia diantar sopirnya dan kebetulan arah rumah"nya sejalan dengan tempat tinggalmu.
Ah, tidak apa-apa, Tin. Aku tidak ingin merepotkan mu"rid. Barangkali saja Wati sudah mempunyai janji dengan teman-temannya. Aku akan berangkat sendiri. Pu"langnya, gampang. Pasti ada banyak nunutan.
Biar aku saja yang menjemput Ibu Sekar, kata sua"ra di belakang mereka. Suara Pak Hendra, kepala seko"lah mereka. Laki-laki itu ingin mengetahui seperti apa ha"sil pekerjaan para murid menyiapkan panggung. Maka percakapan antara Tina dan Sekar, terdengar olehnya.
Ah, jangan, Mas Hendra. Aku biasa kok pergi sendirian. Nanti aku naik taksi saja, Sekar menolak.
Tetapi Pak Hendra tetap mendesaknya sehingga akhir"nya Sekar menyetujuinya karena merasa tidak enak kepada Tina. Temannya yang merasa bersalah itu te"rus membujuknya agar mau dijemput Hendra. Kalau dia terus menolaknya, pasti perasaan Tina akan tertekan. Jadi begitulah, Pak Hendra akan menjemput Sekar sore nanti. Laki-laki itu sudah mengetahui tempat tinggal majikan simbok Sekar karena pernah mengantarkan ga"dis itu pulang ke rumah ketika Sekar tiba-tiba sakit. Mbok Kromo menaruh harapan besar saat melihat beta?"pa telaten dan sabarnya pemuda itu ketika meno"long
Tadi sore, Sekar sudah mengatakan kepada Bapak dan Ibu Suryokusumo mengenai rencana kepergiannya. Kebe"tulan ada Joko yang sama-sama sedang menikmati mi"num teh sore di teras belakang.
Saya akan dijemput oleh Pak Hendra, rekan sesama guru yang menjabat sebagai kepala sekolah, begitu antara lain ia menjelaskan kepada majikan simboknya. Boleh kan, Ndoro"
Kenapa tidak boleh" sahut Bapak Suryokusumo sam"bil tertawa. Lain kali kalau soal-soal sepele seperti itu, kau tidak usah minta izin kepada kami.
Sekar memang terlalu sungkan, sang istri menyambung, juga sambil tertawa. Kau kan sudah dewasa, su"dah tahu pula mana yang baik dan mana yang tidak. Kami sekeluarga percaya penuh padamu.
Terima kasih, Ndoro. Cuma... rasanya tidak enak... kok saya dijemput dan nantinya diantar teman lelaki sam"pai malam.
Kedua suami-istri itu tertawa lagi.
Sekar, sekali lagi kukatakan, untuk hal-hal seperti itu kau tidak perlu minta izin dan tidak perlu menje"- laskannya kepada kami, kata Bapak Suryokusumo lagi. Per"tama seperti kata ibunya Joko tadi, kami percaya pe"nuh padamu. Kedua, menilik usiamu, sudah semes"tinya kau mempunyai teman lelaki. Itu wajar, Nduk. Kami bukan saja tidak keberatan, tetapi juga mendo"- ron u untuk melangkah ke arah sana.
Ah... saya belum memikirkan hal itu, Ndoro.... Tetapi Pak Hendra yang akan menjemputmu itu
Ya, masih.... Nah, apa lagi!
Sekar tertawa dengan tersipu-sipu. Pipinya merona me"rah sehingga Joko menertawakannya.
Sekar, kamu itu kok masih seperti gadis pingitan yang hidup seratus tahun yang lalu, katanya. Mukamu se"perti kepiting rebus. Merah semua.
Joko, jangan menggoda Sekar, Ibu Suryokusumo mene"gur anak lelakinya sambil tersenyum. Apa yang dika"takan Joko tidak salah. Sekar memang seperti hidup di masa lalu. Sebentar-sebentar wajahnya memerah dan salah tingkah kalau diajak bicara mengenai kehidup"an pribadinya. Selama ini, hampir-hampir tidak per"nah ada teman lelaki Sekar yang datang berkunjung dan hampir-hampir pula Sekar tidak pernah pergi un"- tuk bersenang-senang sendirian. Memang, dia seperti ga"dis pingitan yang hidup seratus tahun lalu.
Begitulah sore itu Sekar yang tampak cantik menawan sudah siap untuk dijemput pergi. Ia sedang mengam"bil air minum ketika bel pintu depan berbunyi nyaring. Mendengar itu, lekas-lekas Sekar menyeruput air dan meletakkan gelasnya ke bak cucian. Pasti Pak Hendra sudah datang. Laki-laki itu sangat cermat terhadap waktu.
Mbok, sepertinya aku sudah dijemput. Titip cucian satu gelas, ya"
Ya. Hati-hati di jalan ya, Nduk. Ya, Mbok.
Dari sisi teras, Sekar berhenti sejenak untuk melihat
si"la"kan duduk oleh Ibu Suryokusumo di teras. Diamdiam dari tempatnya berdiri, Sekar menatap penampil"- an Pak Hendra yang agak berbeda daripada biasanya. Laki-laki itu mengenakan kemeja batik Madura lengan pan"jang berwarna senada dengan pantalonnya. Rambutnya yang hitam lebat, tersisir rapi. Ia tampak gagah dan me"narik malam itu.
Hm... mengagumi pemuda idaman, ya" Suara bisikan dari balik jendela di dekat tempat Sekar berdiri, menga"getkannya. Suara Joko.
Selebar wajah Sekar langsung memerah. Ia menoleh ke arah asal suara. Dari balik tirai jendela, ia melihat laki-laki itu sedang mengintip.
Idih, seperti anak perawan mengintip tamu lakilaki, Sekar membalas bisikan Joko.
Joko tertawa meringis sambil menutupkan jari telunjuknya dengan cepat.
Sssst... aku cuma mau melihat seperti apa pemuda yang akan menjemputmu. Ternyata... ganteng juga dia. Co"cok sekali untukmu!
Den Bagus! Sekar melengos.
Joko bermaksud menggodanya lagi, tetapi karena pandang matanya membentur penampilan Sekar, apa yang sudah ada di ujung lidahnya tertelan kembali. Menurutnya, menjelang senja itu Sekar tampak luar biasa. Dia betul-betul sangat menawan, pikirnya. Apa saja yang dikenakannya, pantas membalut tubuh indahnya. Gaun yang terbuat dari bahan yang dibawanya dari luar negeri, oleh-olehnya untuk gadis itu menam"bah daya tariknya.
Sudah, sana. Segera berangkat..., katanya cepat-ce"- pat, mengusir pesona dari hatinya dengan menggoda Sekar lagi. Kalian benar-benar serasi segala-galanya. Terus"kanlah. Kurestui kalian berdua untuk...
Jangan ngawur! Sekar memotong perkataan Joko un"tuk kemudian lekas-lekas melangkah menuju ke teras. Sementara itu yang ditinggal, memarahi dirinya sen"diri. Tidak seharusnya ia mengagumi Sekar sebagaima"na laki-laki mengagumi perempuan.
Melihat kehadiran Sekar, Pak Hendra yang baru saja du"duk di kursi teras berdiri lagi dan langsung pamit kepa"da Ibu Suryo. Kemudian bersama-sama, mereka ma"suk ke dalam mobil tua yang masih rapi karena terawat baik itu. Di teras, Ibu Suryokusumo sedang mengagumi pasangan itu. Mereka cocok satu sama lain, pikirnya. Mudah-mudahan Pak Hendra mau menerima Sekar apa adanya. Bahwa, ibunya seorang pembantu ru"mah tangga. Begitu, pikirnya.
Seperti yang diharapkan, pesta perpisahan malam itu berjalan lancar dan sukses. Acara-acara yang disuguh"kan, cukup bagus. Kreatif juga anak-anak sekarang, pi"kir Sekar dengan senang. Makanannya juga enakenak dan suasana keakraban terasa sekali karena sekatse"kat yang biasanya ada di kelas, luruh. Karena senang, rasa"nya waktu berjalan cepat sekali. Tahu-tahu, pesta pun berakhir. Sebagai panitia, Sekar bersama panitia lain"nya tidak segera pulang tetapi menyelesaikan apa yang bisa dicicil malam ini. Terutama menyimpan ba"- rang-barang yang berharga seperti sound system, taplakmem"bantu. Tetapi ketika malam sudah semakin larut, ia menyuruh mereka semua segera pulang. Apalagi sudah tidak ada barang berharga yang mengandung risiko di"curi orang.
Biarkan barang-barang lainnya itu, katanya kepada para guru dan murid-murid yang masih mengurusi bekas-bekas pesta. Biar besok diurus pesuruh dan penjaga sekolah.
Sekar yang merasa tidak enak terhadap keluarga Suryokusumo kalau pulangnya terlalu malam, segera meng"iyakan. Tetapi waktu mereka tiba di rumah, ruang tamu sudah gelap dan tirai-tirai sudah menutupi seluruh jendelanya. Tampaknya seluruh penghuni rumah, su"dah tidur. Sesampai di halaman, Pak Hendra langsung mengajak Sekar bicara sehingga gadis iu tidak jadi turun dari mobil.
Dik Sekar, aku berterima kasih kepadamu dan juga kepa"da kelompokmu atas penyelenggaraan pesta perpisah"an yang meriah tadi. Drama karyamu, bagus sekali, kata laki-laki itu dengan suara lembut. Pestanya suk"- ses.
Kesuksesan tadi bukan hanya karena aku dan kelom"pokku saja, Mas Hendra. Tetapi semua orang yang ikut terlibat di dalamnya. Murid-murid juga tampak ber"usaha keras untuk mensukseskannya. Aku terharu meli"hat semangat mereka, sahut Sekar.
Ya, memang. Aku juga merasa terharu. Terutama keti"ka melihat air mata murid-murid yang akan meningme"nyalamimu. Aku tahu betul bahwa mereka sangat me?"nya"yangimu.
Jangan terlalu berlebihan memujiku, Mas. Kalau di"dengar rekan-rekan sesama guru, aku merasa tidak enak. Lagi pula seperti yang sudah kukatakan tadi, semuanya mempunyai andil mengapa sekolah kita menja"- di sekolah favorit dan murid-muridnya berprestasi. Ke"pala sekolahnya juga patut diacungi jempol. Pak Hendra tersenyum.
Kau selalu saja bisa membuat orang jadi bersemangat, sahutnya kemudian. Tetapi untuk malam ini aku ingin mengucapkan terima kasihku secara khusus kepada"mu karena boleh menjemput dan mengantarmu pu"- lang.
Mas Hendra, aku juga mengucapkan terima kasih kare"na Mas Hendra mau menjemput dan mengantarku se"hingga aku tidak harus pulang malam-malam sendi"- rian.
Tetapi bolehkah di lain kesempatan, aku menjemput"mu lagi dan mengajakmu jalan-jalan" Pak Hendra ber"kata lagi. Suaranya terdengar mesra.
Sekar menundukkan kepalanya dengan perasaan sedih. Rupanya Pak Hendra masih tetap menyimpan ha"rapan untuk meraih hatinya. Menghadapi laki-laki se"perti itu, Sekar merasa harus bersikap tegas.
Mas... maafkanlah aku, katanya kemudian. Sebaiknya hubungan baik kita sebagai rekan sekerja, jangan di"warnai hal-hal lainnya.
Aku mengerti..., sahut Pak Hendra dengan perasase"mula. Tertutup baginya. Tetapi tentunya kau tidak me"nolak keakraban yang kutawarkan padamu, kan"
Selama keakraban itu juga kauberikan kepada rekan-rekan guru lainnya, aku tidak keberatan. Maaf, aku tidak ingin menjadi orang yang khusus bagimu.
Pak Hendra menganggukkan kepalanya. Entah mengapa ketika Sekar menyebut tentang rekan-rekan guru lain"nya , tiba-tiba saja dia teringat pada Bu Ida, guru fisika yang kelihatannya menaruh hati padanya. Gadis ma"nis berlesung pipi yang berasal dari desa dengan orang"tua yang berprofesi petani itu mirip Sekar dalam hal-hal tertentu. Sederhana, polos, cerdas, tidak mem"beda-bedakan latar belakang seseorang, dan mempunyai se"mangat tinggi untuk menjadikan para muridnya men"- ja"di orang yang berhasil. Kekurangannya, hanya satu. Yaitu, ia tidak mencintai gadis itu. Tetapi kalau Sekar te"tap tidak bisa mencintainya, barangkali saja ia bisa men"jalin hubungan dengan Bu Ida dan mencoba untuk me"mindahkan hatinya dari Sekar kepada gadis itu. Bukan"kah ia mencari istri dan bukannya seorang kekasih"
Ketika Pak Hendra teringat pada Bu Ida, Sekar juga me"mikirkan hal yang sama. Dia tahu, temannya itu men"cintai Pak Hendra dengan diam-diam. Tadi ketika ga"dis itu melihatnya datang dan pulang bersama Pak Hendra, pandang matanya tampak sedih. Kalau ada ke"sem"patannya, Sekar ingin sekali bercerita pada Bu Ida bahwa antara dirinya dengan Pak Hendra tidak ada apa-apa. Bahwa dia datang dan pulang bersama Pak Hendra, itu karena Tina yang mendorongnya gara-gara
Kurasa yang bisa kutawarkan padamu hanyalah persa"habatan yang tulus, Mas, Sekar mengulangi lagi apa yang diharapkannya dari hubungan antara dirinya dengan Pak Hendra.
Baiklah, Dik Sekar. Mungkin itu akan lebih baik, sa"hut Pak Hendra. Nah, karena malam semakin larut, aku pamit pulang. Apakah perlu kuserahkan dirimu pada Bapak dan Ibu Suryokusumo dulu"
Sekar melayangkan pandang matanya ke rumah besar di hadapannya. Rumah itu sudah gelap dan sepi. Sepertinya semua sudah tidur, Mas.
Ibumu, Dik" Apalagi Simbok. Jam sepuluh pasti sudah berbaring di atas tempat tidur dan tak sampai lima menit, sudah ber"mimpi, sahut Sekar tersenyum.
Kalau begitu, sampaikan salam hormat saya kepada me"reka semua.
Akan kusampaikan. Terima kasih. Sambil berkata se"perti itu, Sekar membuka pintu mobil dan turun. Begi"tu kakinya menapak pelataran beraspal yang menghu"bungkan tempat itu dengan garasi di samping rumah, ia menutup pintu mobil dengan hati-hati. Jangan sam"pai ada orang terbangun di rumah itu.
Tetapi tepat pada saat Pak Hendra mau memundurkan mobil dan keluar dari halaman rumah, pintu ruang tamu terbuka lebar dan Joko muncul di ambang pintu. Me"lihat itu Pak Hendra lekas-lekas menyusul Sekar tu"run dan langsung menghampiri tuan rumah, entah sia"pa pun laki-laki yang tak dikenalnya itu. Tetapi pasti
Maaf, Pak. Saya mengganggu, katanya. Tadinya saya mau menyerahkan Dik Sekar kepada Bapak atau Ibu Suryokusumo tetapi kelihatannya beliau-beliau sudah tidur. Jadi, saya serahkan Dik Sekar kepada Bapak. Se"kali lagi, maaf. Pulangnya terlalu malam karena pestanya baru saja bubar.
Mewakili kedua orangtua, sayalah yang seharusnya meng"ucapkan terima kasih karena Anda telah mengantar Sekar pulang dengan selamat.
Sama-sama, Pak. Nah, saya mohon pamit. Baik, terima kasih.
Pak Hendra ganti menoleh ke arah Sekar dan tersenyum lembut.
Dik Sekar, sampaikan salam hormat saya kepada Ba"pak dan Ibu Suryokusumo dan kepada ibumu juga, ya.
Akan saya sampaikan kepada Ndoro sekaliyan. Teri"- ma kasih, sahut Sekar. Kemudian ia mengantar Pak Hendra dan mobil tuanya sampai di pintu pagar dan lang"sung menggemboknya begitu laki-laki itu lenyap dari pandangannya.
Ketika Sekar kembali dan masuk ke rumah lewat pin"tu depan, Joko menghadangnya. Wajahnya cemberut.
Sudah berulang kali aku, juga Romo dan Ibu, ber"- ka"ta padamu bahwa di depan orang di luar rumah ini, kau tidak boleh menyebut kami dengan sebutan kebangsa"wanan kami. Bandel sekali sih kamu itu, gerutunya. Aku malu sekali, Sekar.
Saya lupa, Den Bagus. Sungguh, sahutnya acuh tak acuh sambil tangannya mengunci pintu depan.
Itulah kalau sudah jadi kebiasaan yang melekat di lidah"mu. Disangka orang, kami ini masih menjunjung feo"dalisme yang sudah amat basi.
Tidak usah khawatir, Den Bagus. Dia sudah tahu kok status saya di rumah ini. Pak Hendra yang juga orang Jawa itu tahu bahwa keluarga ini masih termasuk bang"sawan tinggi. Jadi dia pasti mengerti berbagai sebut"an kebangsawanan. Sekar tersenyum lagi. Masih acuh tak acuh.
Mendengar jawaban Sekar, Joko tersenyum menggoda.
Wah, rupanya kalian mempunyai hubungan yang su"dah sedemikian lekat seperti prangko dan amplop, kata"nya kemudian. Tentu saja masing-masing sudah sa"ling bercerita tentang latar belakang keluarga. Senang ya, Sekar, setiap hari bisa bertemu di tempat kerja.
Pipi Sekar langsung memerah. Tetapi matanya tam"- pak berapi-api.
Dari mana Den bagus mempunyai dugaan semacam itu" tanyanya dengan suara tajam.
Karena malam ini kau berdandan sedemikian cantik"nya dan baru sekali ini pula kau dijemput dan diantar oleh seorang pria. Lalu ketika aku mendengar suara mo"bil masuk tetapi kau tidak segera turun, aku jadi men"duga-duga, tentunya ada sedikit kemesraan yang ter"jadi di dalamnya.
se"makin berkilat. Lupa dia pada kedudukannya di rumah ini.
Den Bagus keterlaluan. Ia mendesiskan kemarahan"- nya, tidak terima disangka berpacaran dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Saya tidak serendah itu. Mana mung"kin saya berpacaran dengan laki-laki yang tidak saya cintai. Kami tadi mengobrol sebentar, bukan pacaran. Jadi jangan menyamakan orang lain seperti penga"- lam"an Den Bagus sendiri.
Joko kaget, tidak menyangka Sekar akan semarah itu. Apalagi gadis itu tidak pernah memperlihatkan emo"si"- nya secara terang-terangan seperti malam itu. Kecuali keti"ka masih kecil karena tersinggung disebut bodoh. Mengapa Sekar semarah itu" Ada apa sebenarnya"
Jadi, aku keliru sangka ya, Sekar" tanyanya, mencoba memperbaiki kekeliruannya.
Ya, keliru besar. Sekar menjawab pendek. Berarti tidak ada cinta di antara kalian" Sekar melirikkan matanya ke arah Joko, sejenak lama"nya.
Cinta" Tentu saja ada. Tetapi bukan seperti yang Den Bagus kira, Sekar menjawab sengit.
Apa maksudmu" Cinta yang ada itu berlingkar-lingkar. Alias tidak ada ujung-pangkalnya.
Joko tertegun. Dia teringat pada cetusan hati Sekar pada malam hari ketika Lik Tinah lupa melepas rantai an"jing. Jatuh cinta buat saya sama sekali tidak ada baha"gianya. Bahkan tersiksa, rasanya, begitu Sekar
Apakah Pak Hendra tidak... maaf... mencintaimu..." tanya Joko hati-hati berbaur rasa heran. Padahal ia su"- dah menangkap betapa pandang mata Pak Hendra tadi tak lepas-lepasnya menatap Sekar.
Sekar menatap mata Joko. Matanya yang mulai ba"- sah, tampak berkilauan.
Dia mencintai saya, tetapi ada rekan sesama guru yang mencintai dia. Nah, itu kan tidak ada ujung dan pang"kalnya..., sahutnya kemudian.
Kau sendiri mencintainya, kan" Joko memancing. Tidak, sahut Sekar tanpa sadar. Terlalu cepat dia men"ja"wab pertanyaan Joko sehingga ketika hal itu disadari"nya, cepat-cepat pula ia mengelakkan pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan oleh Joko. Eh... sekarang saya mau tidur dan tidak akan menjawab pertanyaan apa pun dari Den Bagus. Permisi.
Tetapi baru beberapa langkah Sekar berjalan ke arah bela"kang, Joko cepat-cepat menahannya. Ia tidak menyang"ka Sekar akan menjawab tidak atas pertanyaannya tadi.
Kau tidak kuizinkan tidur dulu sebelum menjawab per"tanyaanku, katanya dengan nada perintah.
Sekar menoleh dengan keengganan yang tak disembu"nyikannya.
Pertanyaan yang mana lagi, Den Bagus" sahutnya. Seper"ti"nya semua pertanyaan Den bagus tadi sudah saya jawab.
Belum semua. Kalau memang kau tidak mencintai Pak Hendra, itu kan berarti kau mencintai laki-laki
Tidak berarti demikian, Den Bagus. Tidak mencintai Pak Hendra kan bukan berarti saya mencintai lakilaki lain" Sekar mengelak.
Betul perkataanmu. Tetapi dalam kasusmu, itu jelas ya.
Kesimpulan dari mana itu" Jangan mengada-ada, Den Bagus.
Aku tidak mengada-ada. Aku ingat apa yang pernah kau"ucapkan pada malam-malam ketika kita terbangun oleh tangis Brino. Ingat, kan" Waktu itu kau bilang bah"wa jatuh cinta itu tidak bahagia, bahkan membuatmu tersiksa. Nah, tadi kau juga mengatakan bahwa cin"ta yang ada di antara dirimu dengan Pak Hendra itu ber"lingkar-lingkar karena tidak ada ujung dan pangkal"- nya. Berarti tidak ada titik temunya. Jadi, salahkah kalau aku menduga bahwa kau mencintai seseseorang teta"pi orang itu mungkin mencintai gadis lain. Begitu kan kira-kiranya"
Sekar menghela napas panjang. Kemarahannya tadi ber"ganti menjadi kepedihan hati. Tebakan Joko tepat.
Maaf... saya tidak akan menjawab pertanyaan Den Ba"gus. Itu adalah rahasia batin saya... katanya kemudian.
Rasanya dugaanku, benar. Joko menatap Sekar yang meskipun rambutnya sudah tidak rapi seperti tadi, na"mun justru tampak memesona karena kecantikan ala"minya semakin nyata. Sungguh tolol, goblok bahkan idiot"lah laki-laki yang tidak membalas perasaanmu itu.
nas seperti diusap air sejuk sebab di balik perkataan Joko terkandung penghargaannya yang tinggi terhadap"- nya. Namun ketika ia ingat bahwa Joko memang selalu mem"belanya terhadap siapa pun yang menyakitinya, pera"saan Sekar kembali gerah. Bahkan timbul rasa se"- dih karena Joko tidak mengerti apa yang sedang dirasakan"nya.
Sudahlah, Den Bagus. Ini semua adalah masalah yang sangat pribadi. Saya tidak ingin memperpanjang soal ini. Apalagi dalam kondisi lelah begini. Maafkanlah, katanya dengan suara pelan.
Joko menatap wajah Sekar yang tampak muram. Mata"nya yang berkilat-kilat tadi telah berlumur duka, per"sis seperti yang pernah dilihatnya ketika malam-ma"- lam mereka mengobrol di taman belakang beberapa wak"tu yang lalu. Tetapi kini dengan pakaian yang bagus dan make up yang tinggal sama-samar namun justru me"nonjolkan keaslian wajahnya, gadis itu benar-benar tampak luar biasa saat kecantikan itu berpadu dengan bola mata yang tampak sendu. Padahal biasanya, keindah"an yang berpadu dengan kepiluan bukanlah kom"- bi"nasi yang mengagumkan. Tetapi apa yang terlihat pada Sekar merupakan kekecualian. Joko sampai terpana beberapa saat lamanya. Inikah Sekar yang dulu bertu"buh kurus, bermata besar, dan berkepang dua" Sekar kecil yang meski sudah memperlihatkan kecantikan, tetapi yang tidak disangkanya sama sekali bahwa kecantikan itu bisa sedemikian luar biasanya karena men"cakup keseluruhan diri gadis itu.
bi"ngung, mulai menyergap hatinya sehingga akalnya tak bisa diajak bekerja dengan normal. Ini bukanlah kebiasa"annya. Berpuluh bahkan beratus kali ia menyaksikan ke"cantikan perempuan, mulai dari yang masih muda be"lia hingga yang usia matang dengan kecantikan mereka masing-masing. Berpuluh bahkan beratus kali pula Joko menyaksikan kecantikan unik para perempuan dari berbagai bangsa yang membuatnya merasa kagum. Teta"pi, kekaguman yang mencengkeram hati dan pikiran"nya sekarang baru sekali inilah ia alami karena seluruh dirinya, badan dan hatinya ikut terbawa. Sampaisam"pai kalau dia tidak mengepalkan tangannya kuat-kuat, tangannya itu pasti sudah terjulur menyentuh wajah dan rambut Sekar untuk menghiburnya, entah apa pun yang sedang menyengsarakan hati gadis itu. Ingin sekali ia menolong dan mengangkatnya dari lem"bah duka.
Sekar, katanya kemudian dengan sepenuh hatinya. Ka"lau kau merasa tak mampu menguasai kesedihanmu, atau kalau kau merasa tidak tahu harus ke mana melari"kan dukamu, datanglah padaku. Ingatlah, aku masih se"perti Joko yang dulu, Joko yang ingin menolongmu, Joko yang ingin melihatmu bahagia.
Suara Joko yang lembut dan penuh keinginan untuk meng"usap hatinya yang lara itu bisa mendorong Sekar un"tuk lari ke dalam pelukannya andai dari balik katakata itu tidak tersirat pengertian lain. Bahwa Joko hanya ingin menolongnya lepas dari kesedihan dan melihat"nya bahagia. Bukan memberinya kebahagiaan.
Sekar sangat memahami kedudukannya. Dia bukan Dewi atau gadis-gadis lain yang setara dengan Joko. Ke"inginan Joko untuk melepaskannya dari kesedihan, ber"asal dari tataran yang tidak setara di antara mereka ber"dua. Karena mengganggap diri berada pada tataran yang lebih tinggi maka Joko merasa wajib untuk meno"- long dan mengentaskannya dari situasi yang membuatnya susah.
Lintasan pikiran itu menyebabkan Sekar juga menger"jap-ngerjapkan matanya. Tetapi kalau Joko tadi me"ngerjap-ngerjap karena bingung pada hatinya sendiri yang sedang jungkir-balik, Sekar karena menahan ta"- ngis. Ia tidak ingin dikasihani oleh siapa pun. Terutama oleh Joko.
Terima kasih atas perhatian Den Bagus, katanya de"ngan suara pelan. Ia tidak ingin menangis di hadapan Joko. Itulah hukum alam. Apa saja yang sudah amat pe"nuh, pasti akan tertumpah.
Aku tidak mengerti apa maksud bicaramu itu, Sekar.
Gamblangnya begini, sahut Sekar, masih sambil me"nahan runtuhnya air mata. Karena Den Bagus sudah mengecap penuhnya rasa bahagia, maka Den Bagus ingin membagikannya kepada Sekar yang malang ini. Ka"renanya... saya mengucapkan terima... kasih.
Kamu itu sedang bicara omong kosong apa" Joko lang"sung menjawab dengan sengit. Kalau aku tadi menga"takan ingin melihatmu bahagia, itu karena dari lubuk hati yang terdalam aku memang sungguh-sungguh
ku. Sama sekali aku tidak mengingat apakah aku sudah hidup bahagia atau tidak, Sekar. Tetapi supaya kau memer"cayaiku, perlu kau ketahui bahwa sampai saat ini aku belum merasakan apa yang namanya bahagia.
Apa yang dikatakan oleh Joko memang demikian. Se"makin ia mengenal Dewi dan keluarganya, semakin ia menyadari ada yang sulit dijangkau olehnya. Jarak di anta"ra dirinya dengan Dewi rasanya semakin melebar saja. Komunikasi di antara mereka juga terasa semakin tidak nyambung. Namun, Joko adalah orang yang ber"- tang"gung jawab dan memiliki komitmen tinggi terhadap apa yang telah dipilih atau diputuskannya. Itulah menga"pa semakin ia mengenal Dewi, keraguan atas rencana pribadinya bersama gadis itu juga semakin menebal, se"bab kalau sudah telanjur salah pilih, ia tidak akan mem"biarkan dirinya mundur. Apalagi mengelak. Namun disebabkan oleh hal tersebut, belakangan ini ia meng"alami sulit tidur. Dan karena tidak bisa tidur itu"- lah mengapa ia tadi menyuruh Mbok Kromo kembali ke kamarnya agar perempuan itu bisa segera beristirahat. Maka dialah yang mengambil alih tugasnya menung"gu pintu untuk Sekar, karena gadis itu tidak mem"punyai kunci duplikat.
Maafkan saya, Den Bagus... Terdengar oleh Joko Sekar menanggapi perkataannya tadi. Dilihatnya, gadis itu sedang menundukkan kepalanya. Ujung hidungnya me"merah, menahan tangis yang kini juga dibauri oleh rasa iba terhadap laki-laki pujaannya itu, sebab begitu men"dengar pengakuan Joko tadi, perasaannya amat ter"laki itu. Ia sedang menunggu izin praktik di klinik yang baru saja dibukanya bersama rekan-rekannya. Ia juga se"dang menunggu waktu yang tepat untuk menentukan acara lamaran kepada Dewi. Dan bukan tidak mungkin Joko merasa tertekan oleh sikap Dewi yang kurang simpa"tik. Beberapa kali Sekar melihat Dewi marah-marah ha"nya karena masalah sepele. Misalnya saat gadis itu da"tang ke rumah dan Joko belum pulang karena urus"- an"nya belum selesai.
Joko yang sangat mengenal Sekar, mengerti bahwa ga"dis itu sedang mati-matian menahan tangis. Entah apa pun penyebabnya, dia tahu bahwa di antara kepiluan"nya, perasaan gadis itu juga terbawa oleh pengakuan"- nya tadi. Hati gadis itu sangat lembut dan mudah jatuh iba. Oleh karenanya, perasaan Joko amat tersentuh, tak ta"han melihat betapa sulitnya Sekar menahan turunnya air mata yang telah terkumpul di pelupuk matanya itu. Bi"birnya bergetar dan ujung hidungnya memerah, se"- men"tara kepalanya yang menunduk dan tangannya yang me"meluk tas mungilnya, tampak agak bergetar. Ingin se"kali Joko menuruti keinginannya, menyentuh wajah duka di hadapannya itu. Seluruh lengan dan jari-jemarinya dialiri hasrat yang begitu kuat untuk menurutinya. Ka"renanya, untuk mengurangi hasrat itu lekas-lekas Joko mengalihkan perhatiannya kepada hal lain yang tak ada relevansinya.
Sekar, aku senang sekali melihat bahan oleh-olehku kau"buat gaun dengan model seperti itu. Bagus sekali dan sangat cocok untukmu. Kau tampak cantik sekali.
Juga sepatumu. Nah, apa kubilang waktu itu, kan" Sua"- tu saat kau pasti akan memakai tas malam yang cantik, kata"nya, cepat-cepat. Suaranya terdengar lembut dan ha"ngat.
Sekar tidak menjawab. Dia tahu, Joko sedang membe"lokkan pikirannya. Tetapi saat itu ia hanya mengingin"kan satu hal saja, yaitu lekas-lekas pergi menjauhi Joko. Kalau tidak, air mata yang masih bisa ditahannya itu pasti akan bobol. Dia tidak ingin Joko melihatnya me"nangis. Laki-laki itu tahu betul, ia bukan gadis yang ce"ngeng. Maka kalau ada air mata yang ikut bicara, itu arti"nya ia sudah berada di ambang batas kekuatannya. Sekar juga tahu, Joko pasti menaruh rasa iba terhadap"- nya kalau tangis itu terlihat olehnya. Padahal, justru itu"lah yang tidak dia inginkan. Jadi, dia harus segera me"ninggalkan tempat ini sehingga dapat menangis sepuas-puasnya di tempat yang jauh dari lelaki itu. Sema"- kin cepat ia menjauhi Joko, akan semakin baik untuknya.
Den Bagus, saya tidak mempunyai waktu untuk meng"obrol... saya... mengantuk. Permisi..., katanya cepat-cepat, nyaris tanpa menarik udara ke paru-parunya. Dan secepat itu pula kakinya bergerak meninggalkan ruang tamu. Tetapi matanya yang buram oleh air mata meng"halangi pandang matanya. Ia tidak melihat Joko yang sejak tadi berdiri dengan kaki agak melebar. Akibat"nya, Sekar tersandung dan kehilangan keseimbangan se"hingga tubuhnya oleng. Beruntung tubuhnya tidak ter"jatuh ke lantai, tetapi terempas ke arah tubuh Joko
nya. Harum tubuh Sekar dan kehalusan kulit lengan"- nya terasa oleh laki-laki muda itu sehingga untuk bebe"rapa saat lamanya ia menikmati kedekatan dan kein"timannya dengan tubuh yang sejak tadi menawan hati"nya. Suatu getar aneh yang belum pernah dirasa"- kannya terhadap Sekar yang selama ini hanya dipandang"nya sebagai bagian dari penghuni rumah ini, mulai me"nguasai dirinya. Hal itu sungguh mengejutkan pera"- sa"annya sendiri sehingga untuk beberapa saat lamanya ke"dua belah kakinya terasa lemas. Akibatnya, ia lupa un"tuk bergerak. Untungnya, Sekar yang sesungguhnya mera"sakan hal sama, lebih dulu mampu menguasai keada"an. Ia melepaskan tubuhnya yang gemetar dari rengkuh"an tangan Joko.
Ma... maaf... Den Bagus. Saya... saya tidak hati-hati. Teta"pi kaki Den Bagus nakal sih, mestinya kalau ada orang mau lewat, ya... ditarik mundur. Saya... saya sampai gemetar kaget. Sudah saya bayangkan tadi, kepala saya akan membentur lantai, katanya dengan suara gemetar. Bagi telinga Joko yang cukup peka, ia dapat me"nangkap bahwa getar suara itu bukan karena kaget seperti pengakuan Sekar baru saja tadi.
Joko berusaha mengatur napasnya yang tersendatsen"dat tak terkendali itu. Kata-kata Sekar jelas sekali cuma kamuflase dari kenyataan sebenarnya. Tidak mung"kin gadis itu kaget sampai suaranya segemetar itu hanya karena hampir jatuh. Jadi rupanya, gadis itu pun meng"alami getaran hati yang aneh seperti yang di"- alaminya ketika tubuh mereka begitu melekat satu
Ya... aku yang salah, Sekar. Meletakkan kaki sem"- ba"rangan saja. Maaf... maafkan aku, sahutnya sambil me"nahan agar suaranya tidak sampai terdengar gemetar se"perti suara Sekar tadi. Nah, sudahlah. Kalau kau me"ngan"tuk, istirahatlah.
Tanpa disuruh sampai dua kali, Sekar langsung mening"galkan Joko dengan cepat. Diam-diam dia bersyukur bisa menguasai keadaan kendati suara dan tubuhnya masih terasa gemetar. Oh, betapa gaduh dan riuh pera"saannya saat ia tadi berada dalam pelukan lelaki yang dicintainya setengah mati itu. Sampai-sampai air mata yang tergenang di matanya tadi menguap entah ke mana. Bahkan sebagai gantinya, terbayang olehnya bagai"mana Joko tadi meraih tubuhnya yang hampir ja"- tuh terpelanting ke lantai dan memeluknya sampai bebe"rapa saat lamanya.
Duh, betapa nyaman pelukan tangan Joko tadi. Alang"kah manis dan hangatnya dekapan lengan lakilaki itu. Seluruh dirinya sampai bergetar hingga ke relung-relung hatinya. Bahkan timbul suatu bisikan halus nun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, bahwa sebenarnya Joko tadi masih belum ingin melepaskan tu"buhnya dari pelukannya. Tetapi... apa penyebabnya, dia tidak bisa menduganya.
Dengan tergesa-gesa dan sambil menyeret kedua be"- lah kakinya yang masih gemetar dan terasa lemas, Sekar melangkah menuju ke kamarnya. Dan, begitu sam"pai di sana, tanpa mengganti gaunnya, ia langsung me"ngem"paskan tubuhnya ke atas tempat tidur untuk
po"ran"da seperti sedang mengalami gempa bumi hebat. Ingat"annya terus-menerus tertuju pada pengalamannya ber"ada di dalam pelukan lengan kokoh yang selama ini sela"lu dirindukannya. Namun kemudian, ketika terbayang betapa getar-getar hatinya juga menangkap getarge"tar sama dari tubuh Joko, ia merasa seperti sedang ber"khianat. Tetapi berkhianat kepada siapa dan mengapa, ia tidak bisa menjawabnya. Semuanya begitu baur dan campur aduk di dalam pikirannya. Sepanjang hayatnya, baru sekali ini ia mengalami hal yang mengheboh"- kan hati seperti ini.
B ERMINGGU-MINGGU sesudah kejadian malam
itu, di suatu hari Minggu menjelang siang hari, udara mu"lai tampak cerah kendati menjelang dini hari sampai jam sepuluh pagi tadi hujan turun tak henti-hentinya, se"akan hendak menguras seluruh air dari langit. Joko ber"jalan dengan langkah lebar-lebar dari rumah induk ke kamar di sebelah dapur. Keringat bermanik-manik di wajahnya. Ia mencari Mbok Kromo karena di dapur mau"pun di belakang, perempuan itu tidak terlihat olehnya.
Mbok Kromo di mana, Sekar" tanyanya begitu ber"henti di ambang pintu kamar Sekar, yang juga kamar simboknya. Di dapur tidak ada, di belakang tidak ada, di rumah induk juga tidak ada.
Sekar, yang sedang membaca di meja tulis yang dibeli"nya sendiri, langsung mengangkat wajahnya. Matanya
Delapan me"nangkap keringat di dahi dan di atas bibir laki-laki itu, padahal udara kota Jakarta saat itu cukup dingin sete"lah turun hujan berjam-jam lamanya.
Simbok dan Lik Tinah sedang pergi belanja bulanan ke supermarket. Kenapa mencari Simbok, Den Bagus"
Pergi" Sudah lama perginya"
Baru saja. Kita kan sudah tidak punya persediaan apa pun. Baik untuk keperluan dapur maupun untuk ru"mah induk seperti pembersih lantai, sabun mandi, odol, syampo, dan...
Wah, payah. Tentu lama sekali perginya. Aku sudah tidak tahan lagi nih..., Joko memotong perkataan Sekar, mulai menggerutu.
Lho, memangnya kenapa, Den Bagus" Aku masuk angin, sahut Joko sambil menyeka keringatnya dengan telapak tangan. Kemudian dengan ber"sungut-sungut ia melanjutkan bicaranya. Tadi pagi Mbok Kromo bilang mau mengerokku ketika kukatakan padanya, aku sudah tidak tahan merasakan punggung"ku yang terasa kaku-kaku dan pegal ini. Benar-benar tak enak rasanya. Padahal dia sendiri yang berjanji pa"daku lho.
Pasti Simbok lupa sebab tadi berangkatnya terburuburu. Saya disuruh mencuci piring bekas sarapan dari da"lam karena Simbok tidak sempat mengerjakannya. Ma"lahan saya juga disuruh meneruskan masakannya ka"lau mendekati waktu makan siang nanti dia belum sam"pai ke rumah. Mmm, apakah punggung Den Bagus
Ya belum, tentu saja, Joko bersungut-sunggut lagi. Jus"tru karena itulah aku datang ke sini. Tanganku kan sama panjangnya dengan tangan-tangan orang lain yang tidak bisa dipakai untuk menggosok seluruh punggung sen"diri.
Sekar tertawa geli. Saat itu Joko yang bertubuh tinggi tegap itu mengingatkan Sekar pada orang yang sama de"ngan postur tubuh masih kecil, bertahun-tahun yang lalu. Joko kecil yang sangat manja terhadap simboknya itu sering bersungut-sungut di hadapannya. Seakan Mbok Kromo itu miliknya, Bukan milik Sekar.
Kok malah tertawa sih..., Joko menggerutu lagi. Apa"nya yang lucu" Aku benar-benar merasa tak enak ba"dan nih.
Soalnya Den Bagus lucu. Seperti anak kecil saja. Ka"lau memang tangan tidak bisa menggosok punggung kan masih bisa menggosok dada, leher, dan punggung ba"gian atas, sahut Sekar, masih tertawa. Paling tidak kan bisa mengurangi rasa tidak enak.
Mbok Kromo dan Lik Tinah tadi naik apa" Tanpa me"nanggapi perkataan Sekar, Joko melanjutkan bicaranya lagi.
Mereka tadi nunut Ndoro Den Ayu dan Ndoro Kakung. Pak sopir menurunkan Simbok dan Lik Tinah di supermarket dan nanti pulangnya, mereka akan naik tak"si. Hari ini kan minggu pertama to, Den, Ndoro ber"dua arisan keluarga di rumah Ndoro Den Ayu Aris.
Aduh, artinya mereka semua akan lama perginya
long. Kau kan tahu sendiri, Ibu dan Romo senang seka"li berlama-lama dengan keluarga besar hanya untuk meng"obrol yang tidak penting, lagi-lagi Joko menggerutu.
Aduh, Den Bagus. Jangan dilihat dari isi obrolannya dong, Sekar mengingatkan Joko sambil tertawa lagi. Bagi mereka-mereka yang sudah memasuki masa pensiun, saling berkabar dan mengobrol ini dan itu yang mung"kin kedengarannya tidak penting adalah merupa"- kan cara untuk melepas rasa kangen dan merasakan keha"ngatan keluarga besar. Nanti Den Bagus kalau su"- dah tua pasti juga begitu.
Iya sih. Tetapi... menunggu mereka pulang, aku ti"- dak akan tahan....
Habis, bagaimana lagi, Den Bagus" Jadi, bersabarlah, hibur Sekar. Tiduran di kamar dulu sambil me"- nung"gu Simbok pulang.
Malas, ah. Kau saja yang mengerok punggungku, ya" Aku pernah melihatmu mengerok punggung Ibu de"ngan gerakan yang mantap. Tolonglah aku, Sekar. Badan"ku benar-benar tidak enak nih. Sambil berkata se"perti itu Joko meraih handuk kecil yang tersampir di pung"gung kursi. Kemudian dengan handuk itu ia mengusap keringatnya.
Melihat itu, cepat-cepat Sekar melarangnya. Aduh, Den Bagus, jangan memakai handuk Simbok. Itu bekas mengeringkan rambutnya waktu keramas kema"rin sore. Kotor, Den.
Kau selalu saja merendah begitu. Ini handuknya
Joko. Handuk Mbok Kromo itu lebih bersih daripada han"dukku, tahu"
Itu memang benar. Mbok Kromo selalu mengajari putra-putri majikannya, dan kemudian juga Sekar, un"- tuk selalu mementingkan kebersihan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya demi kesehatan dan demi rasa nya"man. Baik kenyamanan untuk diri sendiri mapun ke"nyamanan bagi orang-orang yang berada di dekat"- nya.
Ingat-ingat, kebersihan itu harus mendarah daging, men"jadi kebiasaan, karena merupakan cermin dari keber"sihan batin kita, begitu Mbok Kromo sering mena"sehati anak-anak muda itu. Jangan sampai orang ti"dak suka bergaul dengan kita karena kurang menampil"kan kebersihan. Rambutnya bau apek, kukunya hi"- tam-hitam, malas gosok gigi, dan lain sebagainya. Se"cantik dan seganteng apa pun orang itu, tak ada yang mau ber"dekatan dengannya.
Sementara Sekar masih belum berkata apa pun lagi, Joko mengeluarkan uang benggol yang terbuat dari temba"ga dari saku bajunya. Uang itu buatan Belanda di za"man penjajahan. Kata Ibu Suryokusumo, uang itu pa"ling enak dipakai untuk mengerok tubuh. Mantap dan tidak tajam pinggirnya. Oleh sebab itu, uang yang dida"patnya dari eyangnya tersebut disimpannya baikbaik hingga sekarang. Mbok Kromo juga mempunyai bera"pa uang sen semacam itu untuk alasan yang sama. Sese"kali uang sen itu dicuci dan disimpan di tempat ke"ring.
mi"nyak kayu putih atau semacam itu untuk mengerok pung"gung. Nah, tolong kaukerok punggungku, ya" Tanpa menunggu sahutan Sekar, Joko membuka kancing ke"meja kaosnya.
Apa yang dilakukan oleh Joko itu bukan hal yang baru bagi Sekar. Di masa kecilnya, lelaki bandel itu se"ring bertelanjang dada di bawah curahan air hujan, ber"main bola dengan teman-temannya di halaman depan yang luas tanpa mengindahkan larangan Mbok Kromo. Ketika sudah dewasa, beberapa kali Sekar melihat laki-laki itu bertelanjang dada di samping meja setrikaan, menunggu Lik Tinah menyeterikakan kemeja ke"sayangannya yang kusut. Tetapi berada di kamar dan mereka hanya berduaan saja sementara perbuatan Joko me"lepas pakaian itu terasa begitu akrab, Sekar menjadi malu. Pipinya merona merah. Untungnya, Joko tidak meli"hatnya, karena begitu kemejanya terlepas, laki-laki itu langsung duduk di tepi tempat tidur Sekar, memung"gunginya.
Den Bagus, masa di sini sih. Kita pindah di ruang te"ngah saja yuk, kata Sekar dengan perasaan malu. Tem"pat Joko duduk itu adalah tempat tidurnya.
Di sini juga bisa, kenapa harus jauh-jauh masuk ke ruang tengah" Untuk ke sekian kalinya, Joko mengge"- ru"tu sambil mengambil guling di dekatnya yang kemudian diletakkan ke atas pangkuannya untuk tempat siku"nya bersetumpu.
Tetapi di sini kotor, kata Sekar, merasa tak enak. Su"dah hampir satu minggu seprai dan sarung gulingnya
hu"jan begini, pakaian yang belum kering masih banyak me"nempati tali jemuran di selasar belakang.
Sekali lagi kau bilang ini kotor itu kotor, kupelintir ta"nganmu sampai putus, Sekar. Kamar ini memang ti"- dak bagus seperti kamarku. Tetapi lebih apik, rapi, dan le"bih bersih seperti penghuninya. Jadi, ayo mulailah menge"rok, Joko mengulangi ancaman yang semasa kecil"nya dulu sering dilontarkannya kepada Sekar se"- hingga gadis itu tertawa karena mendengar lagi ancaman gertak kosong yang sudah lama sekali menghilang dari rumah ini. Betapapun galaknya Joko semasa kecilnya dulu, ia tak pernah tega menangani Sekar kendati cuma cubitan kecil sekali pun.
Ingatan yang menyebabkannya tertawa itu agak mengu"rangi rasa jengah Sekar saat tangannya yang te"- lah diberi minyak gosok itu menyentuh kulit punggung Joko dan mulai mengeroknya.
Sepertinya suhu tubuh Den Bagus agak naik, komen"tarnya saat hatinya mulai terpengaruh oleh kedekatan di antara mereka.
Ya, memang. Sudah kuukur tadi, tiga puluh delapan cel"sius kurang dua derajat. Aku sudah minum obat. Te"tapi entahlah, biarpun sudah minum obat kalau pung"gungku belum dikerok kok rasanya kurang man"- tap. Dan kalau sudah begini, rasanya ilmu kedokteran yang kupunyai, sepertinya kurang berarti. Di Jerman sana kalau udara sedang bersalju dan badan terasa masuk angin, aku selalu merasa rindu pada kerokan Mbok Kromo. Rasanya tak ada obat semujarab tangannya.
Dasar dokter Jawa, godanya kemudian. Itulah ka"- lau sejak kecil terbiasa dikerok. Tidak baik lho. Jadi ke"tagihan. Tetapi apakah kerokan begini tidak bertentang"an dengan ilmu yang Den Bagus pelajari"
Sejauh yang kuketahui, tidak. Asal jangan berlebih"- an sehingga menipiskan kulit ari. Malahan ada yang me"ngatakan, dengan mengerok begini peredaran darah men"jadi lebih lancar dan membantu pula pengeluaran ampas-ampas tubuh dan pernapasan kulit.
Kemudian secara tiba-tiba sambil tetap mengerok pung"gung Joko, mereka berdua terlibat pembicaraan yang mengasyikkan mengenai dunia medis. Sekali-sekali juga mendiskusikan pengobatan tradisional dan obatobat herbal yang belakangan ini menjadi trend sebagian ma"syarakat. Mereka mengupas apa kelebihan dan apa ke"kurangannya. Sedemikian jauhnya mereka bicara sampai tiba-tiba Joko menyadari sesuatu.
Hei... latar belakang pendidikanmu kan bukan dunia medis, Sekar. Dari mana kau mengetahui banyak hal tentang itu" tanyanya.
Belajar sendiri dari buku-buku, jawab yang ditanya de"ngan kalem.
Joko melemparkan pandang matanya ke atas meja tu"lis Sekar. Dia melihat banyak sekali buku-buku penge"tahuan yang berjajar dan bertumpuk di atasnya. Dari kulit punggung buku-buku tersebut, ia melihat ber"macam-macam topik.
Banyak juga pengetahuan yang kaupelajari, Sekar, Joko memuji dengan tulus.
penge"tahuan yang ada di alam semesta ini begitu luar biasa banyak dan begitu luas jangkauannya. Jadi, saya ha"rus belajar banyak untuk bisa mempelajari sebagian ke"cil di antaranya, jawab Sekar.
Kau luar biasa, Sekar. Aku kagum pada semangat dan tekadmu, Joko berkata lagi dengan sama tulusnya. Hal seperti itu tidak perlu dikagumi, Den Bagus. Apalagi hasrat saya agar menjadi pintar ini kan ada andil Den Bagus di dalamnya. Kalau dulu saya tidak dianggap goblok oleh Den Bagus, mana bisa saya begini" sa"hut Sekar apa adanya.
Aku dulu galak sekali terhadapmu, ya" Kau pasti se"ring sakit hati karena sikapku itu.
Sekarang juga masih galak, Sekar menggoda. Masa" Kenapa kau tidak mengingatkan atau menegurku" Aku cukup menyadari akibat buruk dari kemanjaan-kemanjaan yang diberikan seluruh isi rumah ini, ter"masuk simbokmu. Joko tertawa.
Lho, kan ada yang lebih berhak menegur Den Bagus. Bukan saya.
Siapa, menurutmu" Den Roro Dewi.
Mendengar nama Dewi disebut, Joko langsung terdiam. Ah, Dewi. Belakangan ini apabila nama itu me"- ma?"suki pikirannya, bukan kehangatan dan keakraban yang terasa olehnya. Apalagi kemesraan. Melainkan kera"guan dan kegalauan hati yang menghilangkan kedamai"an hidupnya.
Melihat Joko terdiam dengan tiba-tiba, Sekar merasa
Kok diam sih, Den Bagus" Apakah karena mendengar nama Den Roro Dewi, hati Den Bagus jadi rin"du kepadanya" pancingnya. Joko tidak ingin perasaannya diketahui oleh siapa pun. Oleh sebab itu, cepatce"pat ia mengalihkan pembicaraan.
Aku terdiam karena sedang menikmati kerokan ta"- ngan"mu, Sekar. Lembut tetapi mantap rasanya. Tampak"nya kau mewarisi keahlian Mbok Kromo. Bahkan le"bih dari itu, karena ada kelembutan dalam gerak tanganmu itu. Sekarang aku mengerti kenapa Ibu selalu men"carimu kalau masuk angin. Bukan mencari Mbok Kromo dan bukan datang kepadaku untuk minta obat. Mes"kipun mengelakkan pertanyaan Sekar, namun Joko menga"takan kebenaran yang ada.
Tetapi, bukan itu yang ingin diketahui oleh Sekar. Bah"kan mendengar pujian Joko, hatinya merasa tidak enak. Dalam waktu yang singkat sejak Joko masuk ke ka"marnya tadi, sudah beberapa kali laki-laki itu melon"- tar"kan pujian untuknya. Oleh sebab itu, seperti Joko tadi, cepat-cepat Sekar juga mengalihkan pembicaraan.
Den Bagus sih enak, bisa menikmati pijatan. Lha, saya"
Memangnya kau kenapa"
Punggung Den Bagus kan lebar dan panjang. Pegal ta"ngan saya. Sekar menjawab sekenanya saja. Tetapi Joko tertawa.
Nanti kuurut tanganmu, ya Sekar" Aku baru saja bela"jar dari teman yang mengambil spesialisasi akupun"ke"dok"teran, sahut laki-laki itu. Tetapi hanya untuk ka"langan terbatas dulu. Nah, aku ingin mencoba memprak"tikkannya padamu. Nanti rasakan hasilnya. Seka"- rang selesaikan dulu kerokan di punggungku.
Sudah selesai, Den. Tidak ada lagi bagian yang ko"- song. Semuanya sudah seperti macan loreng besar, sahut Sekar.
Pantaslah punggungku terasa jauh lebih enak dan su"dah tidak ada keringat dingin lagi. Sekarang ganti ba"gian depan. Sambil berkata seperti itu, Joko langsung mem"balikkan tubuhnya, menghadap ke arah Sekar. Hal se"perti itu sudah biasa ia lakukan jika Mbok Kromo yang mengerok tubuhnya.
Tetapi kali itu Joko lupa. Tangan yang mengerok pung"gungnya tadi bukan tangan Mbok Kromo yang su"dah mulai memperlihatkan tanda-tanda keriput, melain"kan tangan mulus milik anaknya. Dan wajah yang ber"dekatan dengan mukanya bukan wajah Mbok Kromo yang juga telah memperlihatkan tanda-tanda ke"tua"annya, melainkan wajah jelita dengan anak-anak ram"but berjuntaian. Dan samar-samar dari blus longgar yang dikenakan Sekar, ia melihat belahan dada yang mem"bukit dengan warna kulit yang kuning langsat. Sekar memang mewarisi kulit Mbok Kromo yang kuning bersih. Sungguh memesona. Perasaan Joko mulai ter"ganggu. Persis seperti yang dirasakannya ketika meli"- hat Sekar merias diri, pergi bersama Pak Hendra ber"- minggu-minggu yang lalu.
Terlambat bagi Joko untuk membatalkan keinginan"nya-tanya kenapa ia membatalkannya. Apalagi dilihatnya Sekar sudah mulai mengambil minyak kayu putih dan menuangkannya ke telapak tangannya yang kemudian digosokkannya ke bagian dada Joko. Laki-laki itu me"nahan napas saat jemari Sekar menyentuh ujung da"danya.


Sekar Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Joko tidak tahu apa perasaan Sekar saat mulai menge"rok bagian dadanya. Lewat bulu matanya, Joko mena"tap wajah Sekar yang menunduk itu dengan diam-diam. Dan dia terkejut saat melihat pipi gadis itu mero"na kemerahan dan hidungnya yang mungil tetapi man"cung itu bergerak turun-naik mengikuti irama gerak"an tangannya yang sedang mengerok. Menyaksikan rona merah dan bulu mata Sekar yang bergetar, Joko me"ngerti, gadis itu mengetahui bahwa dirinya sedang diper"hatikan. Tanpa diketahui apa sebabnya, kenyataan itu menimbulkan getar aneh di dada Joko. Aduh, kena"- pa bisa begini" Joko mengeluh diam-diam.
Untuk tidak semakin terpengaruh oleh suasana yang tiba-tiba terasa aneh itu, Joko memindahkan pandang mata"nya ke rambut Sekar yang hitam, panjang, dan lebat, yang sekarang sedang dijepit dengan jepitan besar di sisi kepalanya. Samar-samar Joko menangkap aroma ha"rum segar. Kalau bukan tadi pagi, pasti sore kemarin Sekar keramas dan memberinya harum hair tonic yang dike"nalnya, hair tonic kesayangan ibunya, yang tampaknya juga menjadi kesukaan Sekar. Ia sempat melihat bo"tolnya di atas meja kecil yang merapat pada cermin pan"jang di sisi tempat tidur Sekar. Kebersihan adalah
keha"ruman dan seleranya adalah bagian dari hasil didikan Ibu Suryokusumo.
Menyadari itu, getaran yang tadi sempat melewati hati Joko dan juga getaran yang pernah dialaminya saat Sekar nyaris jatuh karena tersandung kakinya beberapa wak"tu yang lalu, datang lagi memenuhi perasaannya. Dada Joko sampai sesak rasanya. Ini adalah sesuatu yang tidak wajar karena ia tidak bisa mencegahnya. Bah"kan semakin terlihat betapa menariknya Sekar, se"- ma"kin pula tangannya mulai lagi ingin menyentuh wajah dan rambut Sekar yang jarang sekali dimiliki oleh pe"rempuan-perempuan zaman sekarang. Sialnya, semakin keinginan itu ditindasnya, semakin pula isi dadanya ber"getar dan napasnya terasa seperti tersangkut-sangkut.
Merasa sangat tidak enak karena apa yang dialaminya, Joko mencoba menganalisa dan mengenali kembali diri"nya secara diam-diam. Mengapa isi dadanya bisa ber"getar sedemikian rupa hanya karena berdekatan dengan gadis yang sudah sejak bayi merah dikenalnya itu" Ada apa sebenarnya" Mengapa bisa begini" Apakah ia mata keranjang" Kalau ya, mengapa kedekatan fisiknya de"ngan Astuti, dengan Winda atau Lisa, tidak menimbul"kan getaran dada seperti ini" Bahkan dengan Dewi saja pun tidak, padahal kedua belah keluarga sudah se"ma"kin sering membicarakan langkah-langkah yang le"bih pasti bagi mereka berdua.
Merasa jengkel terhadap apa yang terjadi, Joko berku"tat dengan dirinya sendiri dan berusaha mengenyahmen"coba mempelajari kehidupan pribadi Sekar. Dari Sekar sendiri, Joko tahu bahwa bagi gadis itu cinta ti"- dak pernah membuatnya merasa bahagia. Bahkan menye"babkan hatinya tersiksa. Tetapi ketika ditanya lebih lan"jut, gadis itu tidak mau mengatakannya dengan te"- rus terang. Dikorek dengan segala daya oleh Joko, tetap saja tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya se"hingga laki-laki itu tidak pernah mengetahui rahasia pa"ling pribadi dalam kehidupan Sekar. Sejauh yang dike"tahuinya, hanya Pak Hendra seorang sajalah lakilaki yang pernah jalan bersamanya. Namun menurut penga"kuan Sekar beberapa waktu yang lalu, tidak ada apa-apa di antara mereka. Kalaupun ada cinta, itu ha"- nya sepihak. Cinta yang melingkar-lingkar tanpa ada ujung dan pangkalnya, begitu Sekar menyebutnya. Tetapi, apakah keadaan seperti itu bisa tetap demikian meng"ingat mereka berdua bekerja di tempat yang sama dan menggeluti persoalan yang sama pula"
Hmm, Hendra. Baru sekarang Joko menyadari bahwa nama itu pernah beberapa kali menimbulkan perasaan kurang enak dalam hatinya. Setiap teringat wajahnya yang lumayan ganteng, tubuhnya yang atletis, sikapnya yang tertata tetapi enak dilihat, setiap itu pula perasaan"nya langsung tak enak. Terutama saat membayangkan se"luruh penampilan Hendra yang mencerminkan jiwa yang matang dan bisa dipercaya. Perasaan tak enak yang dirasakannya itu sama seperti perasaannya saat be"be"rapa temannya menanyakan kepadanya secara se"- rius siapa Sekar, si gadis jelita itu. Terutama ketika
nya"kan hal sama kepadanya mengenai keberadaan Sekar. Sedemikian tidak enak perasaannya sampai ia meng"hentikan keinginan mereka berkenalan dengan Sekar, dengan berkata bohong: Dia akan segera menikah atau Dia sudah ada yang punya.
Ketika Sekar masih di SMU, Joko tahu bahwa ada ba"nyak surat-surat cinta, entah cinta monyet entah pula cin"ta sejati, yang diterima oleh Sekar dengan bermacam cara. Dititipkan teman. Melalui surat pos. Diselipkan ke dalam tas dengan diam-diam. Diselipkan di antara buku-buku, dan lain sebagainya. Joko pernah memergoki Sekar tersenyum-senyum sendiri saat membaca sa"lah satu surat-surat itu. Ia juga pernah mendengar ba"gaimana Mbok Kromo menegur Sekar karenanya.
Nduk, kau tidak boleh menertawakan mereka apa pun isi suratnya. Kau juga tidak boleh membalas pernya"taan cinta mereka dengan cara dan kata-kata yang mem"buat mereka sakit hati.
Iya, Mbok, aku tahu. Simbok tidak usah khawatir. Di depannya tentu aku tidak akan menertawakan dia. Apa"lagi kalau pemudanya ganteng, gagah, pandai, dan baik hati.
Sekar! Mbok Kromo berseru. Kau tidak boleh mem"beda-bedakan seseorang dengan melihat hal-hal yang menyangkut penampilan luarnya maupun hal-hal yang bersifat duniawi belaka.
Tentu saja, Mbok. Simbok seperti tidak mengenali diri"ku saja sih.
Syukurlah, kalau begitu. Lalu bagaimana dengan
Ter"nyata Mbok Kromo masih ingin mengetahui siapa pe"muda ganteng yang menulis surat kepada Sekar.
Ih, Simbok. Sekar tertawa. Itu kan rahasia pribadi"ku.
Sekar! Simbok tidak usah khawatir. Kan sudah kukatakan tadi. Sekar tertawa lagi. Orangnya lembut, baik hati, dan kocak. Pokoknya, aman bersamanya.
Joko yang kebetulan mendengar pembicaraan antara ibu dan anak itu, merasa tak nyaman saat mendengar pe"muda yang disebut-sebut Sekar. Ada banyak percinta"an yang diawali di SMU, bisa langgeng sampai mereka dewasa dan meningkat ke pernikahan. Tetapi Joko ti"dak tahu bahwa saat itu Sekar hanya ingin menggoda sim"boknya saja. Di kamar ketika mereka sudah berba"- ring dan Mbok Kromo mempersoalkannya lagi, baru Sekar mengakui bahwa baginya yang paling utama adalah studinya.
Aku tidak mau pacaran sebelum berhasil menjadi orang, Mbok, begitu katanya dengan suara meyakinkan. Teta"pi Joko tidak mengetahui itu. Perasaannya tetap ti"dak nyaman mengetahui Sekar berteman dan merasa aman bersama pemuda ganteng yang baik hati dan ko"- cak itu.
Pada mulanya, Joko menyangka rasa tak nyaman itu ba"gian dari rasa tak relanya. Sama seperti rasa tak rela hati"nya ketika pertama kalinya Mbakyu Endang ber"- dua"an dengan calon suaminya. Joko tidak suka orangorang di rumah ini mempunyai kehidupan pribadi yang
Endang adalah milik keluarga dan merupakan bagian dari seisi rumah. Lama kemudian, terutama setelah Joko keluar negeri untuk kuliah di sana, pikiran-pikiran ku"rang nyaman itu pelan-pelan menghilang seiring pula de"ngan bertambahnya usia dan kematangan jiwanya.
Oleh sebab itulah Joko sering merasa kesal pada dirinya sendiri ketika perasaan tak nyaman yang dulu per"- nah menghuni hatinya itu datang lagi setiap ada lakilaki yang memperhatikan Sekar secara serius. Dia sadar be"tul, perasaan semacam itu sangat kekanakan dan harus dibuangnya jauh-jauh.
Tetapi kini saat Joko merasakan tangan Sekar yang ha"lus, lembut, namun yang dengan gerakan mantap itu menge"rok punggungnya sambil membahas banyak hal yang bisa menambah wawasannya, ia mulai lagi didatangi rasa tak rela jika gadis yang enak diajak berdiskusi itu akan menjadi milik laki-laki lain. Namun kesadaran bahwa pemikiran itu kekanakan dan bahkan kurang wa"jar, membuat Joko tidak berani melanjutkan ziarah akal sehatnya sebab rasa-rasanya ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kepemilikan dan tak rela, atau yang sema"cam itu. Terutama sekarang ini, di saat getar-getar di balik dadanya mulai mengganggunya. Memang, boleh jadi itu hanya semacam ilusi belaka, namun ketika tiba-tiba Dewi masuk ke dalam ingatannya dan tanpa se"ngaja ia membandingkannya dengan Sekar, hatinya lang"sung menjadi resah. Dewi lebih suka membicarakan ten"tang pabrik batiknya dan cara bagaimana mencari un"tung sebanyak-banyaknya. Kalau tidak, ya tentang
ten"tang pejabat yang selingkuh dan yang semacam itu. Dan yang paling menyebalkan, jika gadis itu mulai mem"persoalkan rasa kepemilikan atas dirinya. Sudah begi"tu kecemburuannya agak berlebihan.
Tidak jarang Joko berpikir tentang kenyataan bahwa se"cantik apa pun seorang gadis jika memiliki sifat-sifat yang tidak menarik, daya pesonanya akan lenyap dengan sendirinya. Malahan memuakkan. Apalagi jika otak"nya tidak pernah diisi dan hanya itu-itu saja yang jadi pembicaraannya, yaitu dunia yang cuma sebatas pan"dang matanya. Tidak mau mengerti bahwa di balik batas pandang matanya, ada dunia yang begitu luas yang bisa dipelajari dan dijadikan bahan perbincangan tan"pa ada habisnya. Dewi jauh berbeda dengan Sekar.
Joko tahu, membandingkan dua gadis itu dan membe"ri mereka penilaian, sungguh tidak adil karena terbaur oleh pemikiran subjektif. Bukankah masing-ma"- sing orang mempunyai minat, bakat, dan selera hati yang berbeda-beda" Tetapi memang tidak mudah untuk ber"sikap objektif, terutama karena belakangan ini ia se"ring merasa kecewa terhadap sikap dan kelakuan Dewi sehingga nilai Sekar jadi melambung tinggi. Suatu penilaian yang dianggapnya aneh karena sebelumnya hal-hal seperti itu tidak pernah memasuki pemikirannya. Bahkan terpikirkan pun tidak.
Padahal, Sekar yang hari ini mengerok punggungnya de"ngan enak adalah juga Sekar yang selama ini sudah dike"nalnya dengan baik. Keberadaannya di rumah ini se"akan sudah dengan sendirinya. Bukan sesuatu yang
ini Sekar adalah juga sosok yang sering menyebabkan Joko kaget dan merasa terheran-heran. Betapa banyak hal yang bisa digali dari dalam gadis itu sehingga kecantik"an fisiknya mekar dalam suatu keseluruhan yang mem"buatnya terpesona. Hal itulah yang mengejutkannya karena daya pesona itu telah menyebabkan Joko mem"punyai perasaan yang asing terhadap Sekar sampai-sampai tidak memercayai dirinya sendiri. Bagaimana tidak" Kedekatan fisik di antara mereka berdua sekarang ini telah menimbulkan debar-debar di jantungnya dan menggetarkan seluruh isi dadanya.
Di mana lagi yang dikerok, Den Bagus" Suara Sekar yang lembut dan agak bergetar itu meraih kembali pikiran Joko dari lamunannya. Ah, kenapa suara gadis itu bergetar"
Cukup, Sekar. Terima kasih, sahut Joko agak tergagap. Ia menatap dadanya sendiri. Penuh belang-belang se"perti milik macan loreng di kebun binatang. Rasa tu"buhnya pun sudah jauh lebih enak.
Sekar mengambil kemeja kaos milik Joko yang tadi disam"pirkan ke sandaran kursinya, kemudian diulurkannya kepada sang pemilik.
Pakailah kembali, Den. Tidak baik terlalu lama berte"lanjang dada sesudah dikerok, katanya. Lalu beristi"rahatlah sana di kamar. Mau dibuatkan wedang jahe atau teh hangat, barangkali"
Tawaran yang menyenangkan. Aku memang mem"butuhkan minuman hangat seperti itu, sahut Joko sam"bil mengenakan kemejanya kembali dan mengan"cing"kannya
Sekar. Pikirnya, gadis itu benar-benar me"nge"tahui apa yang dibutuhkannya. Beristirahat dan mi"numan hangat. Mana Dewi pernah berpikir sampai ke sana"
Sekar yang masih duduk berjuntai di tepi tempat ti"dur meraih handuk yang tadi dipakai oleh Joko untuk me"nyeka wajahnya yang berkeringat. Kali itu handuk ter"sebut dipakai untuk menyeka telapak tangannya yang berbau minyak. Satu per satu jemarinya ia bersih"- kan dengan kepala tertunduk. Dia mengetahui, Joko se"dang menatapnya sehingga pelan-pelan pipinya mulai me"rona merah lagi. Bahkan semakin lama semakin rona merah itu melebar ke seluruh wajahnya sehingga Joko sadar bahwa Sekar tahu sedang dipandangi. Kesa"- dar"an itu membawa Joko pada kesadaran baru bahwa be"lum tentu wajah Sekar akan semerah itu jika dipan"- dangi laki-laki lain. Ilusikah itu" Atau kenyataan"
Kesadaran itu menyebabkan dada Joko dipenuhi gejolak-gejolak yang sulit ditenangkan. Otak warasnya mu"- lai tergelincir jatuh. Maka tanpa mampu menahan diri"nya, tangan Joko meraih telapak tangan Sekar yang ma"sih sibuk dengan handuk kecilnya tadi.
Sekarang giliranku memijat tanganmu seperti yang ku"janjikan tadi, katanya dengan suara parau yang tak bisa dikendalikannya.
Kemudian sebelum Sekar sempat mengatakan ya atau tidak, Joko sudah langsung duduk kembali di tepi tem"pat tidur Sekar dan mulai mengurut tangan Sekar, mu"lai dari telapak, pergelangan, siku, dan lengannya. Ge"rakannya menuruti apa yang pernah dipelajarinya
Bagaimana rasanya" tanya Joko pelan. Ia malu kalau-kalau getar suaranya terdengar oleh Sekar.
Nyaman rasanya, sahut yang ditanya. Juga dengan sua"ra perlahan dan dengan alasan yang sama pula seperti Joko. Lebih-lebih karena lama-kelamaan, gerakan tangan yang katanya mengurut sesuai apa yang dipelajarinya itu mulai bergerak tanpa arah. Bahkan kemudian le"bih sebagai elusan yang mesra daripada pijatan yang ha"nya bisa dirasai oleh yang bersangkutan.
Tentu saja Sekar yang masih belum hilang rasa terke"jutnya oleh perbuatan Joko yang tiba-tiba meraih dan meng"urut tangannya itu, mulai kehilangan kata-kata. Ia ti"dak mampu bersuara apa pun. Apalagi menggerakkan tu"buh. Bahkan berpikir saja pun ia tak sanggup. Kedua be"lah matanya yang indah itu membesar dan membesar, me"natap Joko dengan napas tersangkut-sangkut sehingga dadanya naik dan turun tak beraturan.
Pemandangan di hadapannya itu membuat kepala Joko terasa pusing. Luar biasa pesona gadis di hadapannya itu. Belum pernah ia mengalami yang seperti ini. En"tah apakah penilaian itu akurat ataukah cuma ilusi, dia tidak tahu dan tidak peduli. Ketika itu rambut Sekar agak berantakan karena jepitannya mulai melorot, sementara mata yang indah dan besar itu menatap"- nya dengan bingung. Bibirnya yang indah dan lembut itu bergetar, merekah seperti agar-agar lembut yang enak dikulum. Maka pertahanan hati Joko pun bobol. Dia tak mampu lagi menahan diri. Tangan Sekar disentak"kannya sehingga tubuh gadis itu terjatuh ke atas
nya. Dan sebelum Sekar memperlihatkan reaksi apa pun, Joko mengecup bibirnya yang sudah sejak tadi begi"tu mengganggu akal sehatnya itu.
Sekar yang tidak mempunyai pengalaman apa pun da"lam percintaan, menggigil. Tanpa mampu berbuat dan berpikir apa pun, ia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam pesona yang tidak pernah ia sangka akan dialami"nya. Maka alam pun mengajarinya cara bagaimana mem"balas pelukan dan ciuman laki-laki yang dicintai"- nya. Dengan sepenuh kepasrahannya, Sekar membalas dan memberikan seluruh kemanisan bibirnya kepada Joko, sang pujaan hatinya. Lupa hal-hal lainnya sampai ke"mudian ketika tangan Joko mengelusi rambutnya, ke"mudian turun ke leher, bahu, dan mengelusi lekuk ba"gian atas dadanya, gadis itu tersentak kaget dan menya"dari apa yang terjadi. Direnggutkannya tubuhnya dari pelukan Joko dengan tubuh gemetar. Air matanya lang"sung bercucuran.
Den Bagus... Den Bagus... sadar... sadar..., katanya ngan suara terbata-bata. Sakit dadanya tak terkatakan. Jangan biarkan setan menunggangi hatimu. Ingat... saya ini siapa dan Den Bagus itu siapa..." Ingat... ingat di mana tempat dan kedudukan kita masing-masing....
Joko menatap wajah Sekar yang merona merah pa"- dam dan bersimbah air mata dengan pandangan nanar, se"tengah mimpi. Ia tidak menyangka sama sekali adanya ledakan di balik dadanya saat bibirnya mengulum bi"bir Sekar dan mereguk kemanisannya. Seakan tubuh"me"nyangka Sekar akan membalas ciuman-ciumannya de"ngan sedemikian pasrah, seolah bibir itu hanya untuknya saja. Begitu jelas dan segar dalam bayangannya sehingga rasanya bibir gadis itu seperti masih berada dalam kecupannya. Joko tercenung seperti pemuda remaja yang baru pertama kalinya berciuman. Ini sungguh luar biasa, pikirnya. Mengapa bisa seperti ini rasanya"
Den Bagus... mengapa membiarkan nafsu menung"- gangi"mu... Terdengar olehnya Sekar terisak-isak sambil menutupi wajahnya yang basah kuyup dengan kedua be"lah telapak tangannya yang tampak bergetar.
Perkataan Sekar seperti pukulan di kepala Joko. Nafsu?"kah yang menungganginya, tadi" Jika ya, mengapa diri"nya bisa mengalami rasa takjub hingga seperti orang ma"buk rasanya. Mengapa pula Sekar yang begitu naif tan"pa pengalaman bisa begitu pasrah total seperti itu" Seperti apakah perasaan gadis itu" Aduh, ingin sekali ia mengetahui apa perasaan Sekar.
Tiba-tiba Joko teringat bagaimana gemetarnya Sekar saat terjatuh tanpa sengaja ke dalam pelukannya waktu kaki"nya tersandung beberapa waktu lalu. Meskipun gadis itu mengatakan tubuhnya gemetar karena takut ter"pe"lanting ke lantai, Joko tahu betul, itu cuma dalihnya saja. Hanya alasan belaka. Joko juga teringat bagaimana mudahnya pipi Sekar menjadi merah padam hanya karena dipandangi olehnya. Terutama ketika ia men"cium bibirnya dan tubuhnya berada dalam pelukannya tadi. Ia merasakan betul getar seluruh dirinya, tubuh dan jiwanya, saat menyambut kemesraannya. Hal
baik dengan ilmu pengetahuan yang luas dan menggenggam gelar kesarjanaan dengan nilai tinggi. Sekar selalu me"nerima dan menyerap seluruh ajaran dan didikan dari Mbok Kromo serta dari orang-orang serumah lainnya seperti busa menyerap air. Rasanya mustahil jika Sekar membalas kemesraan tadi hanya karena dorongan ber"sifat jasmaniah belaka. Akal sehat dan budi pekertinya begitu tajam. Didasari oleh pemikiran seperti itu"- lah Joko dapat menyimpulkan bahwa Sekar pasti tidak akan membalas kemesraan seperti itu andaikata yang me"meluk dan menciumnya tadi laki-laki lain. Bukan mus"tahil pula, pipi orang itu akan ditamparnya keraskeras sebelum bibirnya menyentuhnya.
Kesimpulan itu menyentuh relung-relung hati Joko yang terdalam dan terlembut. Apalagi saat ia menangkap betapa dalam duka di mata Sekar ketika berulang kali menegurnya dengan penuh rasa sesal agar tidak ter"perosok pada nafsu rendah. Ada jeritan yang keluar dari hatinya yang terluka saat kata-kata semacam itu di"ucapkannya.
Joko menarik napas panjang, mengerti sungguh perasa"an Sekar yang terluka. Padahal, ia tidak merasa di"tunggangi setan. Apalagi setan rendah. Ia benar-benar ya"kin pada dirinya sendiri bahwa getar-getar dan rasa puas atas penerimaan dan sambutan Sekar itu belum per"nah dirasakannya ketika Dewi berada dalam peluk"an"nya. Bahkan hatinya juga tidak pernah tergerak mes"ki"pun Wenny yang cantik dan seksi itu selalu bersikap agre"sif terhadapnya. Juga tidak ketika ia tahu Lisa dan Astuti
secara bebas dalam hubungan intim tanpa ikatan, yang bagi laki-laki lain pasti merupakan undangan yang sangat menyenangkan. Dalam keadaan-keadaan terten"tu, Joko hanya bisa menatap gadis-gadis seperti itu ba"gaikan segumpal daging. Tubuh-tubuh sama seperti pasienpa"siennya saat ia memeriksa penyakit mereka. Tak ada ero"tisme yang mewarnai dirinya. Tetapi tidak de"mikian halnya ketika Sekar berada dalam pelukannya tadi.
Melihat Joko masih saja terdiam mematung di tempat"nya, Sekar semakin terisak-isak. Perih hatinya. Menga"pa Joko melampiaskan asmara rendah itu pada diri"nya" Atau jangan-jangan dirinya hanya dijadikan seba"gai pengganti saat laki-laki itu merindukan gadis lain" Duh, betapa tak berharganya diri ini.
Den Bagus... sadar... sadar... ya" Jangan lagi melaku"- kan hal seperti itu lagi. Itu tadi cuma nafsu... nafsu yang rendah..., katanya di sela isaknya yang semakin men"jadi-jadi.
Joko tersadar dari cengkeraman pikirannya. Melihat ke"ada"an Sekar, ia merasa cemas. Jika luapan perasaan di"biar"kan saja, bukan tidak mungkin gadis itu akan ter"se"ret arus perasaan yang tampaknya sulit dikendali"- kan. Sebagai dokter, Joko sudah melihat tanda-tanda ada"nya kemungkinan Sekar mengalami histeria. Dia me"mahami, Sekar pasti merasa amat kecewa dan sedih kare"na mengira dirinya hanyalah tempat pelampiasan naf"su dari seseorang yang disayanginya.
Den Bagus... mengapa nafsu kotor itu dibiarkan me"ngua"sai diri..." Sekar berkata lagi dengan suara terJoko merasa tidak tahan melihat keadaan Sekar. Dengan kedua belah tangannya yang kokoh, ia menceng"- ke"ram bahu gadis itu. Air muka dan gerak-geriknya tan"pak begitu lembut dan mesra. Dan dengan bisikan yang sama mesranya namun sama mantapnya dengan ceng"keraman tangan di bahu Sekar, lekas-lekas ia men"- ja"wab pertanyaan yang sejak tadi belum dijawabnya.
Sekar, dengar perkataanku. Itu tadi bukan nafsu ren"dah. Bukan nafsu kotor. Percayalah kepadaku.
Bukan..." Sekar mendesis dan menatap mata Joko de"ngan matanya yang besar dan basah itu. Lalu... apa ka"lau begitu..."
Pertanyaan itu seperti melecut kesadaran Joko. Yah, ka"lau bukan nafsu rendah, bukan nafsu kotor, lalu apa" Apa yang tadi mendorongnya untuk memeluk dan menge"cup bibir gadis itu" Apakah itu ciuman persaudara"an" Pasti bukan. Ia yakin itu. Ataukah ciuman persaha"batan" Jelas itu juga bukan karena tadi ia merasakan gejo"lak di dalam dadanya, gejolak yang didorong oleh se"suatu yang mengandung erotisme yang teramat mesra. Dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaikannya begitu saja. Maka tiba-tiba saja sesuatu yang datangnya bagai air deras yang memancar di dalam hatinya dan yang ke"mudian menyebar dan merembesi seluruh dirinya hing"ga ke serat-serat tubuhnya yang paling lembut, Joko merasakan seluruh hatinya, perasaan, emosi, dan bah"kan akal budinya bagai menemukan kejelasan yang terang-benderang. Maka tanpa berpikir lagi dan terdo"- rong oleh pancaran dan cahaya terang dari dalam diride"ngan erat-erat sambil mengucapkan perkataan yang tiba-tiba sudah ada di ujung lidahnya.
Memang bukan nafsu, Sekar. Apalagi nafsu yang ren"dah dan kotor. Karena apa yang kulakukan itu merupa"kan dorongan dari lubuk hatiku yang paling dalam, ya"itu cinta!
B AGI Sekar, dunia seperti berubah corak dan warnanya setelah kejadian minggu siang di kamarnya waktu itu. Setiap saat apabila tidak ada orang lain, gadis itu pas"ti berdiri lama-lama di muka cermin di kamarnya ha"nya untuk sekadar mengamati wajahnya sendiri. Sering kali pula di hadapan kaca itu Sekar bertanya-tanya sen"diri apakah gadis yang ada di dalam cermin itu ga"- dis yang sama seperti sebelumnya" Dan apakah bibir yang dicium mesra oleh Joko itu betul-betul bibir yang ini, bibir miliknya"
Pada awalnya, Sekar hampir tidak memercayai bahwa ciuman yang diberikan oleh Joko waktu itu betulbe"tul bukan ciuman yang diwarnai nafsu. Tetapi akhirnya, ia memercayainya ketika dengan kejujurannya yang be"gitu nyata, Joko berkata bahwa ia tidak pernah mengalami bagaimana seluruh tubuh dan jiwanya ikut lebur
Sembilan Aku sendiri terkejut, Sekar. Sama sekali aku tidak me"nyangka akan merasakan suasana yang sedemikian meng"gugah diriku, lahir maupun batinku, sehingga lama sekali aku tertegun untuk bisa menerima itu sebagai kenyataan sebenarnya. Bukan ilusi. Bukan mimpi, be"gitu Joko menjelaskan perasaannya kepada Sekar saat me"reka berdua berpegangan tangan dengan penuh rasa tak"jub, masih di atas tempat tidur Sekar, beberapa hari yang lalu.
Sekar ingat betul, Joko memang lama termangu-mangu sesudah ia merenggutkan diri dari pelukannya. Air muka"nya berubah-ubah. Tampak jelas laki-laki itu sedang terperangkap di dalam percakapan batinnya sendiri. Meskipun saat itu Sekar sedang menangis, ia masih bisa melihat pemandangan yang sampai sekarang tak bisa hilang dari pikirannya karena apa yang dilihatnya itu merupakan bukti bahwa Joko memang terkejut atas apa yang mereka alami berdua. Lebih-lebih setelah sadar dari situasi yang membuatnya termangu-mangu itu, Joko cepat-cepat merengkuh bahu Sekar dan dengan sua"ra bergetar menyatakan perasaan. Ini bukan nafsu, Sekar. Apalagi nafsu rendah dan kotor. Ini adalah cinta!
Sejak perkataan itu diucapkan Joko, berubahkah hubun"gan mereka berdua" Ada jurang lebar terbentang di anta"ra mereka, namun ada jembatan yang terajut indah, ter"buat dari benang sutera halus namun teramat kuat dan liat, yang sangat sulit putus.
Sejak perkataan itu diucapkan oleh Joko pula, Sekar
nya"ring kebenarannya. Maka indra keenamnya berbisik ke telinganya bahwa Joko memang benar-benar mencintai"nya. Laki-laki yang dikenalnya sejak dirinya masih bayi merah, laki-laki yang disayangi simboknya, pasti ti"dak akan mempermainkan perasaannya. Maka ketika Joko mengulurkan lengannya lagi untuk kemudian mereng"kuhnya ke dalam pelukannya, keraguan yang semula masih terselip di hati Sekar pun lenyap. Dengan kepas"rahan dan ketulusan hatinya, ia segera merebahkan ke"palanya ke dada Joko yang bidang, yang memberinya rasa nyaman.
Merasakan kepasrahan itu, hati Joko menjadi besar. Ram"but Sekar yang harum itu diciuminya, sementara ta"ngan"nya mengelusi lengan dan leher gadis itu sehingga pemiliknya bergetar.
Wah... kau terlalu peka, Sekar, bisiknya. Tubuh mau"pun hatimu.
Wajah Sekar memerah. Ia menanggapi perkataan laki-laki itu dengan memeluk lehernya dan menciumi
lit leher yang masih berbau minyak kayu putih itu de"ngan sepenuh kasih.
Joko mengeratkan pelukannya. Dadanya mulai bertalu-talu lagi sampai rasanya seperti bergemuruh di sisi te"linganya.
Aneh..., gumamnya di dalam kerimbunan rambut Se"kar yang kini terurai karena jepitnya terlepas entah ke mana. Baru kali ini kusadari perasaanku yang sebenar"nya. Seolah aku baru saja bepergian jauh sekali dan sing"gah di suatu tempat yang kukira merupakan tempat
pat tinggalku yang sebenarnya, aku mengalami keresah"- an yang luar biasa. Sering kali aku sulit tidur memikirkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hidup pribadiku di hari esok. Tetapi tadi ketika aku memeluk dan mencium"mu dan merasakan balasan dari pihakmu, tiba-tiba aku sadar sesadar-sadarnya bahwa inilah rumahku yang se"sungguhnya, suatu tempat yang nyaman, hangat, damai, dan menenangkan jiwaku. Rasanya aku seperti pu"lang kembali dari perantauanku yang sangat lama, jauh, dan meletihkan. Sekar... kau bisa memahami perum"pamaanku ini, kan"
Sekar menganggukkan kepalanya. Ia tidak mampu be"rbicara. Suaranya tersekat di leher. Mengapa" Karena ia sangat memahami curahan hati Joko, sebab seperti itu jugalah yang dialaminya. Perkembangan baru dalam kehi"dupannya yang terasa mendadak dan tak tersangkasang"ka itu terlalu mengejutkan dirinya. Seakan dirinya se"perti katak merindukan bulan nun jauh tinggi di awan, dan secara tidak terduga tiba-tiba saja bulan itu su"dah berada di atas haribaannya. Rasanya terlalu berlim"pah-limpah apa yang didapatnya pada hari itu. Maka dipejamkannya matanya untuk meresapi perkataan Joko.
Padahal, Sekar, setiap hari kaukulihat. Sudah sejak dari bayi kau menjadi bagian dari keluarga ini dan menjadi bagian dari penghuni rumah ini pula. Terlalu dekat ke"hadiranmu di dalam kehidupanku sehingga aku tidak mem"punyai kesempatan mengambil jarak untuk melihat bah"wa dirimu adalah seorang subjek otonom yang me"ke"beradaanmu sehingga pandang mataku lebih terlontar ke tempat yang jauh, lupa menatap apa yang ada di de"katku. Baru ketika kusadari bahwa semua yang ku"- pan"dangi itu bukan dambaan dan hasrat jiwaku yang pa"ling dalam, aku merasa jemu. Bahkan jiwaku mulai tera"sa letih. Oleh karena itulah, aku sungguh terkejut se"waktu menemukan kenyataan bahwa dambaan dan has"rat jiwa itu justru berada di dekatku sendiri. Di mana pula telah kutemukan rasa kerasan yang tidak bisa kudapatkan dari mana-mana. Sekar, apakah katakata"ku yang ini juga bisa kaupahami"
Sekar menganggukkan kepalanya lagi. Masih saja lidah"nya terasa kelu dan suaranya tersekat di leher. Mema"hami apa yang dirasakan oleh Sekar, Joko meraih wajah gadis itu. Matanya yang sembap bekas tangis, dike"cupnya.
Kenapa diam saja, Sekar" tanyanya.
Sekar mencoba mengukir senyum di bibirnya. Joko meme"jamkan matanya sejenak, takut tidak kuat melihat pe"mandangan menggairahkan yang ada di hadapan mata"nya itu. Saat itu, wajah Sekar memang tampak sa"ngat memesona. Rambutnya berantakan sementara anak-anak rambut melekat di dahi dan pelipis oleh air mata"nya tadi. Ujung hidungnya yang mancung, masih tam"pak memerah akibat tangisnya. Semua itu menyatu da"lam dua kata : kecantikan alami. Kepala Joko sampai pu"sing menahan gairah. Cepat-cepat ia meraih kewarasan otaknya agar jangan lupa diri, terutama karena mereka hanya tinggal berdua saja di rumah besar ini. Setan
meng"alami hasrat yang sedemikian menggebunya seperti saat ini.
Untuk tidak semakin terpengaruh oleh keadaan, lekas-lekas Joko memindahkan pikirannya dari pesona yang menjerat seluruh dirinya itu. Ia tidak ingin menodai sesuatu yang indah menjadi sebaliknya.
Sekar... apakah kau pernah dipeluk begini oleh lakilaki lain" Ah, memindahkan pikiran pun masih saja ada di seputar diri Sekar karena besarnya keinginan hati"nya untuk mengetahui kehidupan cinta gadis itu le"bih dari yang sudah-sudah.
Kepala Sekar tersentak demi mendengar pertanyaan yang menyentuh harga diri dan kebanggaannya. Sampai umur"nya yang seperempat abad, ia mampu mempertahan"kan bukan saja cinta sejatinya, tetapi juga seluruh tu"buhnya yang masih tetap perawan. Tak seorang lelaki pun pernah menyentuh sehelai rambutnya sekali pun. Tidak pernah, sahutnya.
Tidak pernah" Joko mengulangi pernyataan Sekar itu.
Ya, belum pernah. Baru sekali ini saya dipeluk oleh se"orang laki-laki. Bahkan tidak seorang pun laki-laki per"nah menyentuh ujung rambut saya.
Hati Joko berbunga. Tepat seperti dugaannya. Sekar me"mang masih murni seutuhnya. Belum seorang pun me"nyentuhnya.
Berarti baru kali ini kau dicium laki-laki" Joko meng"ajuk lagi.
Ya. memang baru kali ini..., Sekar menjawab de"Joko tersenyum manis dengan hati semakin berbunga-bunga. Ia telah menjadi yang utama bagi Sekar. Teta"pi bagaimanakah isi hati gadis itu" Mengingat apa yang pernah dikatakan Sekar, tampaknya gadis itu mena"ruh rasa cinta kepada laki-laki yang tidak membalas pera"saannya. Ah, siapakah laki-laki beruntung itu"
Aku memercayai pengakuanmu itu, Sekar. Tetapi bagai"mana dengan hatimu" Kau pernah mengatakan bah"wa bagimu cinta itu menyakitkan dan membuatmu ti"dak bahagia. Siapakah laki-laki itu, Sekar" tanyanya ingin tahu.
Pipi Sekar merona merah. Ya... saya memang mencintai seseorang... sampai seka"rang. Hanya satu kali saya jatuh cinta dan untuk sela"manya. Tidak ada istilah jatuh cinta untuk kedua kali"nya atau seterusnya, sahutnya dengan suara perlahan. Mudah-mudahan begitu selamanya....
Untuk sesaat lamanya Joko seperti disadarkan oleh se"suatu, tetapi kemudian menghilang dari pikirannya kare"na tiba-tiba muncul bayangan lelaki bertubuh ga"- gah, berwajah cukup ganteng. Laki-laki itu amat menarik karena sikapnya yang kalem, matang, dan menyirat"- kan kebaikan dan kelurusan hatinya.
Apakah laki-laki itu Pak Hendra, Sekar" tanyanya. Rasa tak rela langsung muncul di hatinya.
Bukan. Kan saya sudah mengatakannya waktu itu"
Kalau begitu, siapakah laki-laki itu"
Saya berada di dalam pelukanmu, Den Bagus, ja"itu, bagai orang yang berusaha menyalakan obor di siang hari yang terang-benderang"
Ya ampun, Sekar. Kau mencintaiku" Joko berseru se"hingga bayangan Hendra atau laki-laki mana pun yang disangkanya pernah ada di hati Sekar, lenyap be"- rantakan.
Masih saja bertanya! Sekar menggerutu sambil menyu"supkan wajahnya yang semakin memerah ke dada Joko. Berapa lama saya menderita siksa batin karena hal itu.
Joko memejamkan matanya. Rasa haru membersit pera"saannya sebab dengan seketika ia dapat memahami ba"gaimana penderitaan batin Sekar ketika menahan pera"saan cintanya. Terpeta jelas dalam kenangannya bagai"mana sinar mata duka yang begitu mendalam sering melumuri bola mata Sekar. Pasti tidak mudah bagi"nya saat melihat dan mendengar kisah cintanya bersa"ma Dewi yang semakin mendekat ke arah perni"- kah"an itu.
Aku... selalu menyakitimu, bukan" bisiknya kemudian.
Ya.... Kau pernah merasa sakit hati dan marah karenanya, Sekar"
Sedih dan duka mendalam, ya. Batin tersiksa, ya. Teta"pi sakit hati dan marah, tidak. Saya mencintai Den Bagus seutuhnya. Kebaikannya, kejelekannya. Ya perhatia"nnya kepada saya, ya ketidakacuhannya terhadap saya. Bagi saya sesudah mengetahui Den Bagus juga
mu"lai menghilang sebab kebahagiaan Den Bagus dan Den Roro Dewi adalah juga kebahagiaan saya. Nada sua"ra Sekar yang terdengar mantap namun diwarnai getar-getar yang menyiratkan rasa pilu itu menyentuh telak relung hati Joko. Sakit rasanya.
Tetapi Sekar sadar, ada kemunafikan di dalam per"- ka"taannya kendati bukan demikian maksudnya. Di ma"nakah ada perempuan yang merasa bahagia melihat laki-laki yang dicintainya hidup bersama perempuan lain" Namun Sekar merasa harus mengatakannya agar tidak menghambat seluruh rencana keluarga Bapak Suryokusumo untuk menikahkan Joko dengan Dewi. Ia tidak ingin merusak hubungan baik dua keluarga itu. Ka"lau itu sampai terjadi, ia tidak akan pernah mengampuni dirinya sendiri. Namun, apa perkataan Joko"
Tetapi, Sekar, aku tidak mencintainya, Joko me"- nang"gapi perkataan Sekar tadi dengan sepenuh kesadarannya. Sesudah mengerti bahwa cintanya tertuju kepada Sekar, timbullah pengertian lain di balik kesadaran itu bahwa sesungguhnya selama ini ia tidak pernah men"cintai Dewi.
Sekar tidak begitu terkejut mendengar pernyataan Joko karena ia sudah meramalkan, cepat atau lambat, Joko akan menyadarinya bahwa Dewi bukan perempuan yang cocok untuknya. Mereka tumbuh dan besar de"ngan berbagai kemanjaan yang diberikan oleh seluruh isi rumah masing-masing. Bedanya, Dewi tumbuh menjadi gadis yang agak egoistis dan bahkan egosentris dengan sudut pandang yang menempatkan dirinya sebagai
kin dewasa dia, sikapnya yang bagai raja di mata dan sul"tan di hati , menghilang. Terutama setelah merasakan hi"dup sendiri di luar negeri, jauh dari keluarga dan dari ke"manjaan mereka.
Sekar melepaskan tubuhnya dari pelukan Joko, menatap laki-laki itu dan dengan pandangan tajam menanggapi perkataan Joko tadi.
Tetapi, Den Bagus, katanya dengan suara pelan na"mun jelas. Meskipun Den Bagus tidak mencintai Den Roro Dewi, janganlah perasaan itu dibiarkan me"- ngua"sai diri. Bahkan bangkitkanlah perasaan cinta Den Bagus terhadapnya dan tetaplah melanjutkan rencana ke"dua belah pihak keluarga untuk meningkatkan hubung"an. Memang betul, saya mencintaimu dan Den Bagus juga mencintai saya. Namun ada jurang teramat da"lam dan luas yang terbentang di antara kita berdua. Den Bagus tidak boleh memikirkan Sekar. Den Bagus ti"dak boleh memanjakan perasaan cinta Den Bagus kepa"da saya. Orang yang bernama Sekar ini tidak ingin me"langgar aturan main yang ada dan tidak ingin pula me"rusak tatanan yang ada. Saya tidak suka membuat hati keluarga ini terluka karena cinta Den Bagus kepa"- da saya. Paham"
Sulit... Sekar... sulit. Kenapa" Karena Sekar ya, Den Bagus" tanya Sekar agak menggerutu. Karena Den Roro Dewi tidak mempu"nyai beberapa kelebihan yang ada pada diri Sekar ya, Den Bagus"
Joko tahu, Sekar sedang mengingatkannya bahwa tak
di"kaitkan dengan soal perasaan cinta dan semacamnya.
Jangan salah mengerti, Sekar. Sebelum hari ini sebetul"nya aku sudah sangat meragukan apakah aku dan Dewi bisa hidup searah dan sejalan dengan banyaknya per"bedaan pandangan dan cara berpikir kami, sahutnya ke"mudian. Pertama karena aku semakin sadar bahwa ti"dak ada cinta di hatiku terhadapnya. Kedua, aku telah ke"liru mengartikan kasih persaudaraan dengan cinta asma"ra. Ketiga, ketika aku mulai menyadarinya, lang"- kah kaki kami sudah telanjur basah karena kedua belah pihak keluarga sudah melangkah jauh.
Tetapi hari ini, saya yakin bahwa sedikit atau ba"- nyak pastilah Sekar telah ikut ambil bagian di dalam pera"saan dan pemikiran Den Bagus. Jadi, tolong Den Bagus lepaskan Sekar dari cara pandang Den Bagus jika itu berkaitan dengan urusan Den Roro Dewi.
Aku akan mencoba untuk bersikap objektif dalam hal ini, Sekar. Justru karena itulah aku akan tetap berusa"ha menahan diri sambil berharap mudah-mudahan sifat"nya yang kekanakan dan mau menang sendiri itu bisa berubah. Ini demi hubungan baik kedua belah pi"- hak keluarga.
Syukurlah, kalau begitu. Den Bagus tidak boleh ter"pengaruh oleh apa yang baru saja terjadi di antara kita. Saya tidak akan memaafkan andaikata Den Bagus me"mutuskan hubungan dengan Den Roro Dewi karena ke"beradaan saya, sahut Sekar, penuh harap. Ya. Joko menganggukkan kepalanya. Dia memahami
de"ngan Dewi putus, gadis itulah yang paling merasa ber"salah dan paling disalahkan. Aku tidak ingin me"- nem"patkanmu dalam kesulitan yang kuakibatkan.
Sekar menganggukkan kepalanya. Joko meraih kembali tubuh gadis itu dan menempatkannya ke dalam de"kapannya yang nyaman.
Sekar, lupakan sejenak tentang Dewi dan tentang hal-hal lainnya, katanya. Pikirkan saja tentang kita ber"dua dan izinkan aku menciummu lagi dan lagi..., bisik"nya dengan suara mesra.
Sekar tidak menjawab. Tetapi dengan tubuh yang mu"lai melentur dan kepala ditengadahkan, Joko tahu ja"wabannya. Wajahnya segera menyentuh wajah Sekar un"tuk kemudian dengan sepenuh hasrat dan cinta, ia men"cium bibir Sekar. Mula-mula ciumannya terasa lem"but, namun ketika merasakan betapa jemari Sekar mu"lai memainkan anak-anak rambut di kuduknya dan men"ciumi leher dan dagunya yang mulai ditumbuhi ram"but, Joko merasa ada ledakan yang mengguncang dada"nya. Didorongnya tubuh Sekar sehingga kepala
dis itu terjatuh di atas bantalnya. Kemudian dikecupinya apa saja yang bisa dicium olehnya. Rambutnya, matanya, pipinya, bibirnya, dagunya, sisi telinganya, dan bah"kan juga bahunya. Sekar yang belum pernah dimesrai seintim itu merasa jiwanya bagai terbang di awan, sementara tubuhnya yang masih di dalam pelukan Joko mu"lai begetar dan menggelinjang oleh hasrat yang dia ti"dak ketahui apa itu, namun rasanya ingin sekali dia me"nyatukan diri dengan tubuh sang kekasih untuk
Merasakan gairah Sekar mulai naik, Joko semakin bera"ni memesrainya. Dengan jemarinya, dia mulai menelusuri dada Sekar melalui sela-sela blusnya. Keduanya pun menjadi lupa diri. Mereka saling bergulingan sehing"ga bantal dan guling Sekar terlempar ke lantai tan"pa mereka sadari. Pada saat yang mereka hampir tiba pada situasi yang kritis, tiba-tiba terdengar suara sa"lak Brino yang ramai. Joko dan Sekar tersentak dan lang"sung memisahkan diri, sebab dari salak dan dari ri"butnya suara anjing itu, mereka tahu bahwa Brino mera"sa senang. Artinya, yang baru datang itu bukan tamu. Tetapi orang sendiri.
Dengan wajah merah padam sampai ke telinga-telinga"nya cepat-cepat Sekar membetulkan letak blusnya yang berantakan. Jemarinya bergetar hebat. Kemudian, de"ngan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, didorongnya dada Joko sementara dadanya sendiri tampak naik-turun.
Se... sepertinya Simbok pulang. Lekaslah masuk ke ru"mah induk, katanya dengan suara sama gemetarnya. Oh, tidak pernah ia menyangka, bahkan membayang"- kannya pun tidak, bahwa perasaan cinta bisa sedemikian berapinya sehingga bisa mendidihkan darahnya se"demikian rupa dan nyaris menghilangkan rasa malunya. Seluruh ajaran mengenai sopan santun dan bagai"- mana menjaga diri, hampir-hampir terlempar jauh dari ke"palanya. Untunglah Brino menyalak.
Tetapi rupanya, apa yang dialaminya itu sama persis se"perti apa yang juga dialami oleh Joko. Mata dan wage"me"tar ketika membetulkan pakaiannya, lalu sambil me"nyeret sandalnya, dia keluar dari kamar Sekar dengan tergesa. Itulah kenangan pertama kedua insan yang saling jatuh cinta itu.
Beberapa hari kemudian tanpa sengaja mereka bertemu empat mata lagi di samping rumah tanpa kehadiran peng"huni lainnya. Saat itu Sekar sedang menyiram ta"- naman dan Joko baru saja tiba dari kliniknya. Dengan le"bih dulu menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan se"perti maling takut ketahuan, Joko mengecup pipi Sekar sehingga gadis itu menegurnya, meskipun hatinya ber"bunga-bunga.
Hati-hati, Den Bagus. Jangan sampai cinta mengabur"kan kewarasan otak kita. Kalau kemesraan kita diper"goki orang, akan kelihatan sangat memalukan dan bisa merendahkan nilai hubungan kita ini sebab biasanya orang hanya menilai apa yang kelihatan dari luar saja. Saya tidak ingin cinta kita berdua direndahkan orang, katanya dengan berbisik.
Aku juga, balas Joko, juga dengan berbisik. Kau be"nar, Sekar.
Bagus. Apanya yang bagus" Tidak tahukah kau bahwa dirimu telah membuatku jadi gila. Kau juga telah membuat"ku terkejut setengah mati.
Tidak..., sahut Sekar dengan pipi mulai merona me"rah. Pasti laki-laki itu teringat pada cumbuan mereka di hari minggu, beberapa hari yang lalu. Nah, kau harus tahu bahwa belum pernah aku
pa hari yang lalu, kata Joko lagi. Bisa-bisanya kau mem"buatku lupa diri. Kau benar-benar telah mengejut"- kan diriku. Ternyata kau begitu.... wah, pokoknya luar bia"sa. Aku jadi mengerti bahwa rupanya kita berdua ini seperti sudah diciptakan untuk saling melengkapi. Se"- perti panci yang menemukan tutupnya.
Wajah Sekar semakin memerah.
Kalau Den Bagus masih berpidato di sini, saya siram dengan air ini, katanya sambil mengacung-acungkan selang air.
Masih satu hal lagi yang kau harus tahu, Joko ti"- dak memedulikan ancaman kosong Sekar. Aku jadi se"perti orang ketagihan, ingin merasakan pelukan dan cium"anmu lagi. Semua itu, kaulah penyebabnya, Sekar!
Ada-ada saja! Wajah Sekar semakin memerah. Ayo, ma"suklah ke rumah. Tidak tahu malu!
Joko tertawa, kemudian melanjutkan langkahnya, ma"suk ke rumah, sementara yang ditinggal masih berdi"ri terpaku, menyirami lagi tanaman-tanaman yang sudah disiramnya tadi tanpa sadar. Oh, alangkah baha"- gia"nya dia bisa menyebabkan Joko jadi tergila-gila. Alang"kah hangat hatinya dapat menyentuhkan kemesra"an di hati laki-laki itu. Alangkah senang batinnya, da"pat menggugah perasaan cinta laki-laki itu. Alangkah ter"harunya dia, dicintai laki-laki satu-satunya yang sejak ia memasuki masa remaja telah menggenggam kalbunya itu. Alangkah...
Begitulah, dunia memang telah berubah bagi Sekar.
ser"baindah dan menyegarkan. Matanya semakin bersinar dan wajahnya tampak berseri sehingga betullah ko"non kata orang bahwa perempuan yang sedang jatuh cin"ta dengan hatinya, akan tampak lebih cantik dan ber"seri. Rasanya memang lebih tepat kalau dikatakan bah"wa jiwa yang segar dan sehat akan membentuk badan atau tubuh yang sehat pula, karena penuh semangat, optimis, positive thinking, yang menjauhkan seseorang dari penyakit psikosomatik. Jadi, bukan seba"liknya, sebab di dalam tubuh yang sehat belum ten"tu ada jiwa yang sehat.
Memang, bagi Sekar tiba-tiba saja udara di rumah be"sar itu terasa menyegarkan. Tiba-tiba saja pula udara di rumah besar itu mengandung rahasia yang begitu meng"asyikkan. Kalau orang serumah sedang lengah dan tidak ada yang memperhatikan mereka, Joko sering men"curi-curi menciumnya seraya mengucapkan katakata cinta di telinga Sekar. Tetapi Sekar yang takut seka"li dipergoki oleh salah seorang penghuni rumah ini atau oleh keluarga Den Roro Endang yang sering tibatiba datang berkunjung, acap kali menegur Joko.
Jangan sembrono, Den Bagus. Nanti ada yang meli"- hat, begitu katanya mengingatkan Joko.
Tetapi Joko merasa tidak puas. Jadi, dia mencari kesem"patan lain. Kadang-kadang kalau ada waktu, tibatiba saja dia menjemput Sekar di tempatnya mengajar sete"lah menelepon gadis itu lebih dulu. Mereka tidak lang"sung pulang, tetapi makan siang di suatu tempat atau sekadar berciuman saat berhenti di perempatan
meng"asyikkan. Untuk itu Joko telah memaksa Sekar mene"rima pemberiannya, sebuah telepon genggam. Kare"na dengan benda itu dia bisa berhubungan dengan Joko, Sekar menerimanya dengan gembira. Malam-malam kalau Mbok Kromo sudah tidur, dia bisa asyik ber"mesraan dengan sang kekasih melalui SMS. Kadang-kadang cuma untuk mengucapkan selamat tidur dan menyatakan cintanya. Tetapi senangnya bukan main.
Tidak jarang kalau ada kesempatan libur sekolah, Sekar yang sekarang jadi ahli berbohong, pamit kepada orang serumah, bahwa ia mengadakan darmawisata dengan murid-muridnya. Atau mengatakan ada studi ban"ding di kota-kota terdekat seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Begitupun Joko. Ada saja alasannya untuk tidak segera pulang ke rumah, karena dia sudah berjanji pada Sekar untuk mengajaknya jalan-jalan ke tempattem"pat yang menyenangkan di mana ia bisa memeluk dan menciumi Sekar dengan lebih bebas di balik perdu atau di balik pohon. Misalnya di Kebun Raya Bogor, atau di Ancol, atau di mana saja. Namun masih saja Sekar mengingatkan Joko untuk tidak terlalu memperlihat"kan hubungan mereka secara mencolok.
Rantau Satu Muara 3 Fear Street - Bayangan Maut Sunburn Suramnya Bayang Bayang 33

Cari Blog Ini