Ceritasilat Novel Online

Via 1

Via Karya Dirgita Devina Bagian 1


KONYOL BAB 1 "Toilet! Toilet!"
Begitu Pak Rustam mengakhiri kuliah Akutansi
Manajemen, Danti melejit menerobos rekanrekannya di pintu kelas. Seraya setengah berlari, ia
terus mengipas wajah dan lehernya dengan potongan
kardus mi instan. Ia peroleh kertas tebal itu dari
seorang rekan yang iba. Iba karena melihat wajah
Danti kuyup berpeluh-peluh. Pendingin ruangan di
kelas mereka lagi-lagi tidak berfungsi. Cuaca cerah
nan terik di siang bolong praktis mengubah kelas
kuliah menjadi kukusan sauna. Yang putih jadi
merah, yang hitam tambah matang, lalu mereka siap
ditiriskan. Kira-kira lima puluh meter berlari, Danti
menemukan toilet dan segera masuk. Keran dibuka
lebar-lebar. Air yang mengucur deras segera ditadah
dan dipulaskan ke muka. Berkali-kali, hingga ia
merasa lapisan minyak bercampur garam di kulit
wajahnya menggelontor jatuh wastafel, menyisakan sensasi dingin yang membuatnya
menghela karena lega. Sembari kemudian ia mengelap wajah dengan
saputangan, Danti pun sadar bahwa kamar mandi
sejak semula sudah terlihat kosong. Tidak tampak
mahasiswi lain, selain dirinya yang berdiri
celingukan dengan wajah separuh basah. Meski
terasa janggal, Danti mencoba untuk cuek. Ia anggap
rekan-rekan satu kelasnya mungkin lebih senang
berkipas di lorong kampus, ketimbang buru-buru
masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan wajah.
Namun, bunyi gerendel yang diputar membuat
Danti batal mendeklarasikan bahwa dirinyalah satusatunya orang di dalam kamar mandi. Tampak dari
kaca rias, pintu toilet paling ujung mulai membuka.
Danti kembali cuek karena merasa tidak perlu tahu
siapa yang nantinya akan keluar. Prioritasnya
sekarang adalah rambutnya yang sepunggung itu.
Ikatannya sudah tidak berbentuk. Kepalanya berkalikali dikucek sepanjang jam kuliah.
"Tapi, tunggu...!" Danti urung mengikat
rambutnya setelah digerai. Pelan ia menoleh pada
pintu yang tadi sudah membuka. Jika tidak salah
ingat, sudah hampir satu menit sejak gerendelnya
diputar. Namun hingga sekarang, sama sekali ia tidak
melihat seseorang keluar dari kamar kecil itu. "Ada
apa gerangan?" gumamnya dengan kening berkerut.
Sepintas, Danti teringat rumor yang beredar.
Seorang mahasiswi pernah ditemukan tewas di
kamar toilet paling ujung. Nadinya tersayat. Banyak
versi tentang kematiannya, mulai dari masalah
asmara, keluarga, hingga ancaman DO karena telah
berkali-kali gagal dalam sidang karya tulis. Namun
yang pasti, semenjak kejadian tiga tahun lalu itu,
beberapa mahasiswi mengaku kamar mandi ini
adalah kamar mandi paling angker di kompleks
universitas. Sebisa mungkin mereka menghindar,
kecuali dalam situasi "tanggap darurat".
"Angker...?" gumam Danti. Sekarang, ia paham
mengapa sekelompok mahasiswi modis di kelas
Manajemen tidak memperbaiki make-up mereka di
sini. Cerita seram itu telah meracuni pikiran generasi
intelek seisi kampus. Meski mencibir, Danti tetap waspada memperhatikan pintu tersebut. Baginya, tidak ada
makhluk yang bernama hantu. Terlebih-lebih,
sekarang ini siang bolong. Ini pasti perbuatan orang
usil. Danti ingin tahu siapa yang berani
mengisenginya sekarang. Tapi bicara tentang orang usil, Danti tiba-tiba
tercekat. Putaran memorinya terseret pada kejadian
tadi pagi, ketika setangkai mawar merah untuk
kesembilan kalinya tergeletak di atas meja kuliahnya.
Tidak ada yang mengaku melihat pelakunya, terlebih
mengaku menjadi orang yang melakukannya.
Beberapa teman kuliah meyakinkan bahwa
pemberian misterius tersebut adalah hal yang
romantis. Namun bagi Danti, semenjak pemberian
bunga yang kelima, rasa romantis itu hanya tinggal
sepah. Ia justru merasa diawasi. Setiap gerakgeriknya seolah dipantau seseorang.
Dan jangan-jangan, orang iseng itu juga ingin
mengintipnya di kamar mandi" Sungguh perbuatan
yang sangat rendah! Danti pun mengendap-endap. Didekatinya pintu
dengan menahan napas. Ia baru menghela pelan
begitu hanya tinggal satu langkah untuk menyergap.
Selanjutnya, ia mulai menghitung di dalam hati.
"Satu..., dua...." Namun, hitungannya terhenti
sebelum mencapai angka ketiga. Danti membatalkan
niatnya untuk melompat ke depan pintu dan
berteriak untuk membuat siapa saja yang ada di
baliknya terkaget. Urung melakukan demikian, ia
malah menaikkan kaki kanannya. Sebelah sepatunya
ia lepas dan digenggam erat sebagai senjata. Baru
kemudian, ia kembali menghitung.
"Satu..., dua..., tiga!"
Kali ini, Danti benar-benar melompat. Seketika
itu, ia berdiri di depan pintu dengan tangan siap
mengayunkan sol sepatu. Seketika itu pula, ia
disambut pekikan histeris seorang gadis berambut
pirang di dalam toilet. Sebuah benda mungil
berwarna hitam terlepas dari tangannya. Nyaris
benda itu menghempas lantai jika ia tak refleks
menangkapnya kembali. "Danti! Apa kau buat?" omel gadis Tionghoa itu
dengan jemari gemetar. "Kau buat aku kaget!"
lanjutnya. Ia nyaris kehilangan jantung dan
Blackberry dalam waktu bersamaan. Danti yang
menerima omelan itu hanya mengernyit. Alisnya
meliuk dan keningnya berlekuk-lekuk.
"Linda?" Bisa dibilang, Danti tak kalah kaget.
Karena ketika gadis itu menjerit, ujung kakinya juga
ikut disodok hingga melonjak. "Maaf...! Aku pikir
siapa berlama-lama di toilet."
"Lain kali tanya dulu. Aku tadi pipis, tapi dapat
BBM. Makanya, aku balas dulu!" Wajah sewot Linda
masih terukir tebal. Danti membalas dengan
tersenyum kecut. "Sana! Minggir!"
Danti melangkah mundur dua kali. Linda segera
ngeloyor. Pintu kamar mandi ia buka lalu ditutup
dengan kencang. Setelah gadis itu tak terlihat, Danti
pun tersandar. Dipandanginya sisa kamar toilet yang
masih tertutup. Benar-benar sepi sekarang"
Insiden di toilet tak hanya menelan korban
seorang gadis Tionghoa, putri pengusaha komputer di
Pontianak. Tapi, Danti yang semula hanya berwajah
bengong karena salah terka, beberapa menit
kemudian keluar dari toilet dengan ikut bertekuk
wajah. Sepanjang jalan hingga pelataran parkir di
depan kampus, ia memajang wajah kecut meski telah
dibasuh berkali-kali. Di dalam hati, ia terus
mengomel pada "seekor" kambing hitam.
Gara-gara orang iseng itu, yang selalu
mengiriminya bunga, ia jadi selalu merasa diawasi.
Entah itu di kelas, di lorong kampus, di jalan, bahkan
di toilet. Gara-gara orang iseng itu, yang selalu
mengiriminya bunga, ia jadi selalu waspada. Dan
waspada itu telah merenggut satu korban. Ia salah
terka dan hampir membawa Linda ke rumah sakit,
serta mengirim Blackberry gadis itu ke tukang
service. Gara-gara orang iseng itu, yang....
Danti melongo lagi setelah duduk di dalam
mobil. Ada secarik kertas merah muda terjepit manis
oleh sweeper jendela depan. Kepalanya otomatis
didorong maju untuk memindai tulisan rangkai yang
tercoret di sana. Dan justru karena tulisan itu, ia
merasa seolah isi kepalanya mendidih.
Lekas-lekas Danti keluar, menarik kertas itu
dari sweeper, membacanya lagi dengan jarak
superdekat dan mata terbelalak, dan akhirnya
menjerit. "Aziz Gagaaap!" Sejumlah mahasiswa di
pelataran parkir menoleh, bahkan ada yang menutup
kupingnya. Kertas itu ia remas, lalu dibuang, dilumat
lagi dengan sepatu, dan akhirnya ditendang jauhjauh.
Matanya berair setelah membaca sederet puisi
di kertas itu. Rasanya panas dan gatal. Cepat-cepat ia
kembali ke mobil dengan napas berkejar-kejar.
Dinyalakannya mesin dan dihentaknya pedal gas
dalam-dalam. *** "Hari ini memang..., memang..., aaaaargh!"
Danti meremas setir mobil sekeras-kerasnya. Bahkan,
ia ingin sekali menggigit serta membenturkan
kepalanya pada roda kemudi jika ia tidak ingat itu
akan membuatnya celaka di jalan raya. Ia sangat
ingin menggambarkan bahwa hari ini adalah hari
yang sangat buruk di antara hari yang paling buruk,
namun dirinya merasa sulit untuk memilih kata-kata
buruk yang paling tepat. Via yang tengah mengetik SMS terlonjak dan
menoleh. Ia menggeleng-geleng. Danti yang telah ia
kenal semenjak berkuliah di Universitas Pontianak
itu sepertinya masih menyimpan kenangan pahit di
hari ini. Saking ingatnya, hingga meresap ke sumsum tulang belakang. Dan, lihatlah! Matanya sampai
menyipit, bibirnya maju, dan gurat-gurat kasar
seolah berkumpul di tengah alis dan batang
hidungnya. Sungguh pemandangan yang membuat
mata Via perih, seakan-akan tengah mengiris bawang
merah. "Aku sudah tidak tahan! Aku harus tahu siapa
orang itu! Dia sudah keterlaluan!" Ubun-ubun Danti
nyaris mengepulkan asap. Via memintanya untuk
menarik napas dan menghela perlahan, sebelum
terlambat Danti justru menghentikan napas mereka
dengan menabraki kendaraan lain.
"Dia hanya menulis puisi, kan?" lanjut Via
setelah Danti terlihat mulai fokus pada jalan raya.
"Hanya?" seruduk Danti lekas-lekas. "Gara-gara
dia, hidupku jadi tak tenang! Ke mana-mana, seolah
diawasi. Kemarin-kemarin, mungkin ia cuma
mengirim bunga dan kado. Hari ini, ditambah puisi.
Besok, mungkin ia juga mengirim lamaran. Kalau aku
tolak, aku akan diculik atau disantet. Ini tipe-tipe
psikopat! Psikopat, Via! Psikopaaaaat!"
Via merenung sedetik, lalu menyahut, "Lalu,
kau mau apa?" Ucapan itu segera dibalas Danti
dengan sedikit menyungging senyum.
"Begitu aku tahu siapa orangnya, akan
kupastikan batang leher orang itu tidak lagi utuh."
Sebelah tangan Danti mengepal.
Via tersandar. Dipandanginya wajah purut
Danti yang lebih parah ketimbang minggu kemarin.
Matanya menyorot iba pada Danti, sementara
bibirnya malah menyungging senyum. Ia sadar
betapa jengkelnya gadis yang tengah mengemudi
dengan bibir sedikit maju itu terhadap orang yang ia
sebut misterius nan iseng. Sosok yang masih belum
diketahui bentuk dan namanya itu tiba-tiba hadir di
kehidupan Danti beberapa bulan lalu dalam bentuk
sekotak coklat yang dibungkus rapi oleh kertas kado.
Di atasnya, setangkai mawar merah tergolek masih
segar. Isi kado memang bukan coklat mahal impor
dari luar negeri, melainkan coklat industri kuliner
rumah tangga dari daerah Pemangkat. Serasa
dikaruniai durian rubuh, Danti merasa harus tahu
siapa pengirim paket tersebut.
Namun sepertinya, mereka belum berjodoh
untuk bertemu. Danti tidak pernah berhasil melacak
si pembawa paket. Hingga akhirnya, kiriman bunga
yang kedua kembali muncul. Kali ini, disertai
gantungan kunci berbandul tokoh kartun Micky
Mouse. Bentuknya sama persis seperti gantungan
kuncinya yang telah lama hilang. Andai tampilannya
tidak mencerminkan barang baru, Danti sudah pasti
menyangka sang pengirim telah mencuri gantungan
kunci kesayangan miliknya.
"Aku bersedia menjadi Micky Mouse untuk selalu
di dekatmu," menggantung secarik kertas warna
merah muda pada gantungan kunci itu.
Orang baik, pikir Danti. Namun, ia tidak tahu
seberapa baiknya orang itu hingga bisa melihatnya
secara langsung. Minggu ketiga, bunga yang ketiga.
Tetap tidak bisa ditemukan. Minggu keempat, bunga
keempat. Kondisi masih tidak berubah. Hingga
minggu kelima, bunga kelima. Sebuah bola basket
muncul di dekat pintu mobilnya di pelataran parkir
kampus. Lagi-lagi ada secarik kertas di sana.
"Aku rela menjadi bola basket yang kau mainkan
tiap hari." Tunggu.... Danti merenung. Orang

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini memberikan coklat yang hanya bisa ia nikmati dua
kali dalam satu tahun. Ia juga mempertemukan
dirinya dengan sosok gantungan kunci yang telah
lama Danti cari. Begitu pula dengan minggu ketiga,
ketika seuntai gelang tangan bermanik-manik dari
suku Dayak tiba-tiba saja sudah terkait manis pada
tas yang ia jinjing di kampus. Gelang tersebut pernah
ia intai di etalase toko cinderamata, namun rupanya
sudah dipesan oleh orang lain. Kemudian seminggu
setelahnya, ia mendapat kiriman sabuk hitam karate,
bertepatan dengan hari perdananya mengikuti
kegiatan bela diri tersebut. Dan sekarang..., bola
basket" Semua bisa saja kebetulan, tetapi kenapa harus
benda-benda itu" Harganya memang tidak seberapa,
ukurannya memang kecil, tetapi artinya begitu besar
bagi Danti. Termasuk bola basket yang baru saja ia
terima. Bukankah baru kemarin bola basket yang
sering ia mainkan tidak bisa lagi dipakai karena
bocor" Beberapa masalah itu tidak ada orang luar
yang tahu. Tapi mengapa, orang yang satu ini bisa
mengetahuinya" Apa yang ia lakukan"
Dan semenjak itulah, Danti tidak lagi menaruh
respek terhadap kiriman-kiriman orang asing yang ia
panggil iseng. Beberapa bahkan dioper ke orang lain,
atau langsung dibuang ke tempat sampah. Mengingat
orang itu, otomatis Danti merasa hidupnya seolah
dimata-matai. Tidak lagi tenang seperti sedia kala.
Dan puncaknya, adalah hari ini. Via terpaksa harus
mendengar Danti mengomel sepanjang perjalanan
dari kampus menuju tempat Via bekerja paruh
waktu. Haduh.... Bicara soal tempat kerja paruh waktu, setelah
kembali menatap jalan raya, Via mengernyit.
Punggungnya dibawa agak condong menjauhi jok
mobil. Pada saat itu, mobil memasuki sebuah
bundaran. Di tengah bundaran, berkumpul beberapa
bangunan serupa bambu runcing. Beberapa detik
setelah melewati monumen itu, Via kembali
menyandar dan menimbang-nimbang.
"Ng..., bukankah itu Tugu Digulis?" ujarnya
setelah ingat. Tugu Digulis adalah monumen yang
terletak di depan kompleks utama Universitas
Tanjungpura. Berdiri di tengah taman bundaran
yang menghubungkan tiga jalan raya di Kota
Pontianak, Jalan Ahmad Yani I, Jalan Ahmad Yani II,
dan Jalan Daya Nasional. "Yang mana?" sambut Danti ketus.
"Barusan...." "Lalu?" Via mendesah. "Danti...," sapanya dengan nada
disabar-sabarkan. "Aku ingin kerja, bukan ingin
pulang." Seketika itu, Danti menginjak rem. Mobil
berhenti mendadak tepat di tengah jalan. Via dibuat
nyaris tersungkur pada dasbor. Beberapa kendaraan
yang berada di belakang mereka ikut kaget dan
terpaksa banting haluan untuk tidak menabrak.
Salah satu pengendara menyempatkan dirinya
memaki Danti sembari melintas.
Namun percuma, Danti seolah tak mendengar
kata-kata kotor itu. Ia keburu menoleh Via dengan
wajah pucat. "Ya, Tuhan!" ucapnya tersadar. Lalu
tiba-tiba, ia melepaskan setir dan memukul
kepalanya berkali-kali seraya menjerit, "Ini gara-gara
orang iseng ituuuuu!"
Via kaget. Selekas mungkin ia melerai kedua
tangan Danti yang meliar. Danti yang telah merasa
pening dengan jidat memerah akhirnya tertunduk.
Kepalanya dilabuhkan pada setir dengan rambut
menggerai tak teratur. Sekarang, tidak hanya
hidupnya yang terasa tak tentram. Orang iseng itu
juga telah membuat isi kepalanya galau, membuat ia
hilang konsentrasi. Seharusnya, ia sudah menginjak rem sekitar
lima menit yang lalu. Akibatnya, ia melewati sebuah
kafe yang masih berada di seputar Jalan Ahmad Yani
hingga lebih dari enam ratus meter. Di bawah
terpaan mata iba dari Via, Danti kemudian
menegakkan kepalanya dan menarik napas. Setelah
merasa agak mendingan, barulah ia menginjak pedal
gas kembali untuk menemukan tempat memutar
arah mobil. "Kau yakin tidak apa-apa?" Via tampak
khawatir. Nyaris dua tahun berteman, ini pertama
kalinya Danti terlihat kacau hanya karena satu
masalah. Sementara keinginan ayahnya untuk
menikah lagi beberapa bulan lalu, yang sempat ia
protes, tidak sampai membuatnya seperti cacing
berjemur di tepi pantai. Danti menggeleng-geleng. Tak jelas apa yang ia
maksud. Entah memberi tahu ia tidak apa-apa, atau
justru memberi tahu sedang menggeleng-geleng
karena jengkel. Yang pasti, kedua mata gadis itu tetap
fokus ke depan, meskipun sesekali isi kepalanya
masih dilintasi sosok gelap yang ingin ia sibak.
"Kau yakin...?" usut Via untuk memastikan.
Danti akhirnya menyahut, dengan nada penuh
serius, "Jangan ganggu! Kau ingin sampai di tempat
kerja dalam kondisi utuh, bukan?"
Via menelan ludah. Kembali ia menyandar dan
dibiarkannya Danti sibuk mengomandoi setir.
Tak seberapa lama, mobil memasuki pelataran
parkir sebuah kafe. Warna merah yang diusung
hampir setiap sudut bangunan itu menyambut
kedatangan mereka penuh semarak. Meski demikian,
Danti tidak terlalu sulit mencari tempat untuk
mematikan mesin. Di siang ini, pengunjung Mirna
Resto 'n Cafe masih belum begitu ramai. Hanya ada
lima sepeda motor yang berbaris rapi di salah satu
sudut lain lapangan parkir. Sepertinya, itu adalah
sepeda motor milik mahasiswa-mahasiswi beberapa
perguruan tinggi di sekitar kafe tersebut.
Dan, inilah tempat Via bekerja paruh waktu
hingga nanti pukul sembilan malam. Danti mendesah
karena bersyukur bisa sampai dengan selamat.
Setelah beberapa detik kembali meletakkan
keningnya di atas setir, cepat-cepat ia turun dan
disusul oleh Via. "Aku harus mendinginkan kepalaku. Buatkan
aku jus apel!" Danti menyeloros mendaki anak
tangga di depan pintu masuk kafe. Via memandangnya heran dari belakang setelah
menutup pintu mobil. Ia bertambah heran ketika
tiba-tiba Danti berbalik setelah menerima sebuah
telepon, tepat selangkah lagi melewati pintu kafe.
"Jus apelnya batal!" Danti membuka pintu
mobil. "Kau mau ke mana" Tampak buru-buru?"
Derita Danti pelan-pelan menular kepada Via.
Kepalanya sakit melihat tingkah karibnya itu di siang
ini. Danti menghela. "Aku punya teman satu kelas
yang seharusnya kubawa serta kemari. Aku sudah
janji akan memberinya tumpangan, karena kami
akan berlatih karate satu jam lagi. Dan hebatnya...,
aku lupa!" Ia pun menutup ucapannya dengan
mengerang sebelum masuk ke dalam mobil. Pintu ia
tutup dengan sedikit tambahan rasa jengkel, hingga
berdentam mengagetkan Via.
Mesin mobil menyala. Persneling mundur
dimasukkan. Namun belum satu meter roda-rodanya
bergulir, Danti sudah menginjak rem. Ia turun lagi
dari mobil untuk menghampiri Via.
"Malam ini perlu aku jemput?"
Via mengernyit. Danti rupanya turun hanya
untuk menanyakan hal itu. Meski terdengar remeh di
telinga Via, Danti masih menganggapnya sebagai hal
yang penting sehingga perlu menunda kepergiannya
kembali ke kampus. "Ng..., aku rasa itu tidak perlu," jawab Via.
"Andre sudah SMS akan menjemputku malam ini.
Kau tenang saja." "Oh iya..., Andre...." Danti pun mengingat satu
hal lagi. Tidak seperti dirinya yang masih jomblo,
meskipun mereka satu angkatan, Via sudah menjalin
hubungan asmara. Tidak tanggung-tanggung, pemuda yang ia ikat adalah senior pada fakultas yang
sama. Maka, setelah mengingat itu, Danti pun
berbalik. Ia menggaruk-garuk kepala sembari
meratap. Entah dosa apa yang pernah ia lakukan,
hingga harus menemui hari ini, di mana ia merasa
sebagai orang paling bego sedunia.
"Oh iya!" Dan, lagi-lagi gadis itu mengingat hal
lain sebelum membuka pintu mobil. Via yang sudah
berbalik untuk memasuki tempat kerja, dibuatnya
tertahan. "Kalau Andre tidak muncul lagi seperti
kemarin..., jangan sungkan untuk meneleponku. Jam
satu pagi pun akan kujemput."
Setelah Via mengangguk agak ragu melihat
tingkahnya, barulah Danti menarik pintu dan masuk
ke dalam mobil. BAB 2 Suara khas lenting bola basket kembali
terdengar dari pekarangan rumah. Tetapi, ini sudah
pukul lima sore dan terlalu telat dari biasanya.
Permainan Danti pasti sudah berakhir ketika Eldien
memarkir mobil. Sedangkan tadi, sedikit pun ia tidak
melihat sosok gadis itu di pekarangan rumah.
Mobilnya pun tak nampak di garasi.
"Danti mungkin baru pulang...," simpul Eldien.
Dirinya yang baru tiba dari kantor segera bangkit
dari istirahat di ruang tengah. Ia turun dari sofa
untuk keluar memeriksa. Benar saja, putri dari atasan sekaligus suaminya
itu tengah asyik membuat tembakan-tembakan jauh.
Hampir semua besutan bola basket itu berhasil
dengan mulus menerobos keranjang. Eldien sendiri
tidak kaget atas bakatnya. Hanya saja, seragam yang
melekat di tubuh Danti membuat ia sedikit tergelitik.
Eldien tersenyum. Sepertinya benar, seragam karate
tidak cocok untuk bermain basket.
Danti terus membuat tembakan-tembakan jauh.
Sesekali, mahasiswi Fakultas Ekonomi semester
empat itu terlihat agak emosi. Ia menambah
dorongan pada bola. Dan pada suatu kesempatan,
bola gagal menerobos keranjang yang berjarak
hampir dua puluh meter dari tempat ia berdiri. Bola
malah terpental balik. Dan dengan sigap pula, ia
menadah bola itu dengan jotosan khas karate.
Bola melesat lurus. Tak diduga, sebuah ayunan
tangan yang lentik menepis benda bundar tersebut.
Alhasil, lesatannya membelok ke atas, membuat
lintasan melengkung, dan berhasil meloloskan bola
melewati keranjang. "Ibu Eldien?" Danti tercekat. Ia sungguh tak
menduga. Wanita yang tiba-tiba sudah berdiri di
hadapannya kini berhasil menepis bola yang ia
luncurkan. "Sudah berkali-kali kuingatkan, jangan panggil
aku "Ibu Eldien". Panggil aku "Mama". Atau paling
tidak, panggillah dengan sebutan "Ibu" saja." Wanita
itu mengipas-ngipas tangan kanannya yang nyeri.
Kulit putih khas wanita eksekutif miliknya memerah.
Berkali-kali ia tiup dan elus.
"Seingatku, Ayah yang sering berkata begitu...,"
Danti menyahut. Matanya masih lekat menyisir
tubuh Eldien yang masih bersetel pakaian kerja.
Bagus, sekarang ada dua orang berpakaian aneh
sedang bermain basket. Edien pertama melongo. Lalu senyum dan
mengangguk-angguk sendiri. "Itu artinya, ini
pertama kali aku ikut mengingatkanmu."
"Maaf..., aku perlu waktu...," jawab Danti
kemudian. Ujung matanya lalu beralih pada bola
basket yang masih memantul usai menerobos
keranjang di belakang Eldien. Hingga sekarang,
lidahnya masih sulit beradaptasi untuk menyapa
Eldien dengan panggilan yang lebih dekat.
"Tapi, ini sudah lima bulan, kan?" ingat Eldien
lagi. Bola yang sempat ia tepis dan masuk melewati
keranjang di belakangnya, jatuh ke tanah dan
bergulir mendekat. Ia ambil, lalu dilempar kembali
menuju keranjang. Sayangnya, kali ini meleset.
"Kita tidak punya waktu untuk bersama." Anak
tunggal Tuan Atmadja itu melewati Eldien. Ia
menyusul bola yang masih bergulir lalu membentur
sisi pekarangan. Segera ia pungut begitu bola
berbalik arah. Sebelum Eldien menikah dengan pemilik


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perusahaan kontraktor alat berat di mana ia bekerja,
Danti hanyalah anak pimpinannya, yang kadangkadang terlihat iseng bermain di kantor atau garasi
alat-alat berat. Namun semenjak Danti menjadi
putrinya, gadis hiperaktif itu bagai ditelan bumi. Ia
tidak terlihat lagi bercanda dengan para karyawan.
Ia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah,
ikut latihan bola basket dan karate. Eldien merasa,
Danti masih belum dapat menerima dirinya sebagai
ibu, meskipun sama sekali tidak ada penolakan atas
pernikahan lima bulan lalu tersebut. Hanya ada
sedikit protes, mengapa harus menikahi Eldien yang
selama ini sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
"Maaf, Dan.... Aku tidak bermaksud memaksa.
Mungkin, ada baiknya juga kita terus seperti ini.
Daripada kau panggil aku "Ibu", tetapi ada beberapa
hal yang tidak dapat kulakukan sebagai ibu."
Danti hanya diam. Ia tidak dapat berkonsentrasi
apabila harus memikirkan dua hal berbeda sekaligus.
Bukan masalah Eldien yang kini menumpuk di
kepalanya. Oleh karena itu, ia melanjutkan melontar
bola melewati keranjang. Kali ini, dari jarak dekat.
"Ah, tidak!" batin Eldien. Rasanya, ia baru
menyentuh sesuatu yang tidak sepatutnya diperbincangkan. "Maafkan kata-kataku tadi, Dan. Aku tidak
bermaksud...." Lemparan kedua kembali berhasil. Melihat
gelagat Danti tidak berubah, Eldien buru-buru
mengganti topik. "Hei, kau baru pulang latihan karate, kan"
Biasanya langsung ke kamar mandi."
Lemparan ketiga melewati keranjang dengan
mulus. "Kau sedang jengkel" Ada orang yang
membuatmu tidak senang" Mm..., sepertinya iya.
Tapi kuharap, itu bukan aku."
Mendengar kata "jengkel" disebut-sebut oleh
Eldien, Danti terpaksa mengingat berbagai kejadian
tak sedap sepanjang hari ini. Dimulai dari kuliah
siang dengan kelas tanpa AC, hingga harus menerima
kenyataan bahwa ia telah membuat cecer seorang
teman kuliah yang seharusnya dibawa serta saat
mengantar Via ke tempat kerja.
Dan..., oh iya. Bunga dan puisi itu. Sekarang,
kedua benda itu tidak hanya muncul di kampus.
Status langka dan endemiknya dicabut karena sore
ini turut menampakkan diri di tempat latihan karate.
Sepulang latihan, setangkai bunga terjepit di ujung
sweeper mobilnya, diselipi secarik kertas merah
muda dengan tulisan tangan merangkai puisi. Meski
sekilas, sebelum dibuat ronyok dan dimakan, kedua
mata nanar Danti yakin bahwa tulisan jelek itu
berasal dari orang yang sama mengirim puisi tadi
siang. Lemparan berbalik. keempat berakhir gagal. Danti "Ibu Eldien pernah punya pengagum rahasia?"
Danti frustasi. Via tidak dapat diandalkan dalam
masalah ini. Gadis itu terlalu lurus. Ia memperoleh
kekasihnya yang sekarang adalah tanpa embel-embel
"dikuntit" saat pedekate. Semuanya berjalan normal.
Mungkin, Eldien bisa membantu"
"Maksudmu?" Orang yang ia harapkan justru
melongo. Eldien tidak mengerti dengan pertanyaan
yang baru saja dilontar Danti.
Memperoleh balasan tersebut, Danti kontan
memelas. Bagaimana mungkin wanita tipikal
kembang kampus semasa kuliah yang tengah berdiri
di hadapannya itu tidak mengerti ucapannya
barusan" Danti pun bersiap untuk memberi sedikit
petunjuk tentang masalah yang ia hadapi. Namun
pada detik terakhir, kata-kata yang meluncur dari
bibirnya justru, "Ah..., sudahlah. Aku ingin mandi.
Dan semoga, malam ini kita punya waktu."
Danti melintas begitu saja. Ia mengambil tasnya
yang tertinggal di mobil. Selebihnya, gadis itu
menghilang memasuki rumah.
Eldien menanggapi kalimat
dengan hati berbunga-bunga.
terakhir Danti *** Pintu itu bertuliskan "Staff Only". Ruang di
baliknya adalah dapur, toilet khusus bagi pegawai
kafe, serta sebuah ruangan serbaguna 5 x 3 meter.
Kadang, ruangan itu menjadi tempat tidur bagi
beberapa karyawan yang kelelahan, kadang pula
menjadi tempat menggosip, ruang ibadah, bahkan
gudang. Via yang notabene harus berjaga di dekat meja
kasir, hampir lima belas menit lalu justru memasuki
ruangan tersebut. Katanya, ia pamit untuk pergi
salat. Begitu melihatnya keluar, rekan kerjanya yang
tengah asyik mengisi TTS sembari menunggu
pelanggan datang membayar, cepat-cepat melompat
dari kursinya. Gadis berwajah Timur Tengah namun bertubuh
mungil itu, rupa-rupanya menyambut hanya ingin
berbisik, "Cowok yang kemarin datang lagi...!"
"Yang kemarin?" Via mengernyit heran. "Yang
kemarin mana?" "Itu, lho, Kak. Yang tiap tiga hari sekali pasti ke
sini. Sukanya nyariin Kakak. Di Meja 8."
Via menoleh-noleh. Ditemukannya sebuah meja
di dekat jendela. Hanya di tempat itulah yang diisi
oleh satu orang. Sementara meja-meja yang lain,
paling tidak diisi tiga atau empat pengunjung.
Sebagian besar muda-mudi yang saling asyik
bercengkrama. Berhubung pemuda itu hanya
seorang diri, maka ia lebih asyik memutar-mutar
sedotan di dalam gelas jus jeruk yang masih penuh.
"Oh...," ujar Via begitu mengenali wajah
pemuda tersebut. Anak Fisipol itu ternyata muncul di
hari yang tak terduga. Biasanya tiga hari sekali, tetapi
malam ini ia muncul lagi setelah kemarin malam
baru saja muncul mencari-cari Via.
"Kok, cuma "oh?" Samperin, Kak! Dia lagi-lagi
nyariin Kakak, tuh!"
Via menggeleng-geleng. Di dalam hati, ia
bersungut, "Anak Fisipol, jurusan Ilmu Komunikasi,
tetapi tidak dapat menyampaikan pesannya sendiri
dengan benar. Dasar mahasiswa tidak berguna!"
Oleh karena ketidakbergunaannya itulah,
pemuda yang baru dikenal Via beberapa minggu
belakangan tersebut, dan selalu mencari-cari dirinya
jika bertandang ke kafe, secara teratur menemui Via
di tempat kerjanya setiap tiga hari sekali. Pada
dasarnya, ia datang karena ada masalah. Masalahnya
sendiri sangatlah sederhana. Pemuda itu jatuh hati
pada seorang gadis. Karena tidak berpengalaman
mendekati seorang gadis pun, maka dirinya memilih
Via untuk memberikan informasi serta saran.
Meski dadanya mengomel, Via melangkah juga
menuju meja nomor delapan. Sekalian ia ingin
bertanya, mengapa pemuda itu tiba-tiba malam ini
kembali muncul" Padahal, baru kemarin malam
mereka berbincang. Adakah sesuatu sehingga
jadwalnya berubah" Melihat Via mendekat, pemuda itu menyambut
dengan menyunggingkan senyum. Via terpaksa
membalas dengan wajah yang ramah. Tidak mungkin
baginya di depan pengunjung yang masih ramai, ia
memasang raut muka berkerut-kerut karena heran.
"Selamat malam, Kakak Senior!" pemuda itu
berdiri. Disambutnya Via penuh hormat, bagai
seorang bawahan menemui direktur utama tempat ia
bekerja. "Jangan terlalu formal," sahut Via. Barulah ia
berani mengecutkan wajah. Pura-puranya, ia sedang
jengkel. "Duduk saja dulu, Kakak Senior! Duduk dulu."
Dipintanya Via menempati kursi di sisi meja yang
berseberangan. Via menurut tanpa embel-embel.
"Oke, ada apa tiba-tiba malam ini kau
mencariku?" Via pun bertanya setelah pemuda itu
kembali duduk. Ngomong-ngomong, namanya adalah
Alwi. Meski berasal dari fakultas berbeda, ia selalu
menyapa Via dengan sebutan "Kakak Senior". Sedikit
membuat telinga Via terasa gatal. Sudah berkali-kali
dilarang, tetap saja dipakai.
Dua detik, pemuda itu justru membulatkan
bibir. Tampak berpikir sejenak, mungkin juga kaget
karena Via bertanya demikian. Setelahnya, ia justru
cengengesan. "Maaf saja kalau kedatanganku malam
ini mengganggu Kakak. Seperti biasa, aku kemari
untuk meminta bantuan. Tentang...."
"Danti?" Via memotong. Ya, pemuda inilah yang
telah mengubah hidup rekan karibnya beberapa
bulan terakhir. Seorang pemuda cengengesan, tak
jelas asal-usulnya, tapi tergolong pemuda lurus. Dan
menurut beberapa dosen, ia pelajar yang tekun serta
santun. Mendengar nama gadis yang tengah mendongkol itu disebut, wajah Alwi merona. Cepat ia
mengangguk-angguk. Via mendesah, lalu melanjutkan, "Ini saran
terakhirku. Sebaiknya, kau sudahi semuanya.
Berterus teranglah pada Danti sebelum ia bertambah
jengkel. Rencana ini sudah keluar dari jalur. Aku juga
sudah kehabisan amunisi untuk memberitahumu apa
yang ia suka." Bukannya terlihat kecewa, senyum Alwi justru
tambah mengembang. Disalaminya Via dengan erat.
"Kakak hebat! Kakak hebat! Aku memang berpikiran
untuk itu, Kakak Senior! Pikiran kita ternyata sama!"
Saking kencang ia berkata-kata, hampir semua
pengunjung dan karyawan kafe menoleh. Gadis
berwajah Arab di meja kasir menggeleng-geleng,
mengira Via tengah dirayu.
"Baguslah...." Via menyeringai ngeri. Tangannya yang telah dilepas segera ditarik dan
disembunyikan jauh-jauh di bawah meja. "Lalu,
kapan" Kapan kau akan berterus terang pada Danti?"
"Besok!" jawab kampus." Alwi semangat. "Besok di
Via mengangguk-angguk. Lebih cepat lebih baik.
Dan semoga saja, melihat ketampanan Alwi yang paspasan, niat Danti untuk mencakar wajah pemuda itu
menjadi luntur. "Tapi...." Via menjeling. "Tapi apa?"
"Sesuai agendaku kemari. Aku perlu saran
Kakak Senior. Apa yang harus kulakukan besok
supaya Danti tidak mematahkan leherku?"
"Oh?" Via sedikit kaget. Kali ini, ia tidak pernah
memberi tahu Alwi bahwa Danti akan mematahkan
batang lehernya jika bertemu.
"Apa yang harus kulakukan, Kakak Senior?"
ulang Alwi dengan mimik panik.
Via berpikir sejenak, lalu berucap, "Sebaiknya,
kau yang menentukan sendiri. Sudah saatnya kau
lakukan semuanya tanpa bantuan orang lain."
Mendengar kata-kata tersebut, kontan wajah
pemuda yang ada di hadapannya melusuh.
Kesegarannya hilang bagai dibawa angin gurun
pasir. "Yah..., mengapa begitu, Kak?" keluhnya
kecewa. Via tak kalah ikut mendesah. Bahkan, lebih
panjang ketimbang Alwi. Bagaimana mungkin ia bisa
membimbing pemuda itu, sedangkan dirinya saja
tidak berpengalaman dalam hal rayu-merayu.
Lihatlah! Dirinya saja dicomblangi, bagaimana
mungkin ia membantu menulis kisah cinta orang
lain" Padahal, niat pertamanya memberikan saran
serta informasi kepada Alwi semata-mata untuk
membukakan jalan. Sedangkan untuk langkah yang
lebih lanjut, ia berharap Alwi mampu mencari
jalannya sendiri. Cukup! Via tidak ingin campur tangan lagi lebih
dalam. Ia juga tidak ingin sok pintar dengan terus
memberikan nasihat. Maka, jadilah ia kemudian
menyahut, "Seperti yang sudah kubilang, sudah
saatnya kau berjuang sendiri. Ini cintamu, kau yang
harus memperjuangkannya. Jika kau memang perlu
bantuan, aku hanya bisa membantu lewat doa."


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alwi terlihat manyun. Via cepat-cepat berdiri.
"Maaf, aku harus kembali bekerja. Aku doakan
usahamu berhasil. Jangan lupa untuk memberitahuku besok."
Tanpa menunggu Alwi mengangguk, Via
berputar. Langkahnya cepat-cepat untuk kembali ke
meja kasir. Sama sekali, Via tidak menoleh ke
belakang. Dirinya takut. Apabila menoleh, maka
hatinya bisa saja luluh. Dan, percuma sajalah
usahanya untuk tidak lagi ambil bagian dalam
masalah asmara pemuda itu.
Langkah Via disorot terus oleh Farah. Gadis
berwajah Arab itu menyambut dengan leher
menggeleng-geleng setibanya Via di meja kasir. Via
jelas menjadi risih. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
"Pemuda yang malang...," sahut Farah membuat
Via mengernyit. "Jangan bicara yang tidak-tidak!" tegur Via.
Farah justru cengengesan.
"Kakak mengusirnya. Tuh, dia pulang."
Via terkhilaf lupa. Berputar tubuhnya untuk
melihat pelanggan di Meja 8. Benar Farah tak
bohong. Meja itu sudah tidak ada siapa-siapa. Tinggal
gelas jus jeruk pesanannya yang sisa setengah. Alwi
yang semula duduk di tempat itu, sekarang berjalan
gontai menuju pintu kafe.
"Dia belum bayar, Kak. Seperti biasa, kan?"
"Lagi?" Via terperanjat dalam hati. Namun,
jengkelnya menghilang beriring punggung Alwi
lenyap dari pandang matanya. Pada saat itu, Via
malah bersyukur. Beruntung ia baru menoleh kini.
Jadi, ia hanya kehilangan isi dompet lima ribu
rupiah. Bayangkan apabila ia terus meladeni anak
muda itu. Patut diingat, Via pernah mentraktir Alwi
makan besar, karena ia begitu senang ada yang
dengan tulus menyukai Danti.
Giliran Via bertampang lesu. Ia mendekati kursi
dan menemani Farah duduk di belakang meja kasir.
Karena belum ada pengunjung yang datang memesan
atau membayar, Via mencari kesibukan lain dengan
memperhatikan Farah mengisi buku TTS. Wajah
gadis di sampingnya ini kadang tampak lucu ketika
bingung. Keningnya berkerut dengan pipi mengembung bagai buntal. Via merasa geli dan
tersenyum tipis. Beruntung, Farah tidak sadar tengah
menjadi bahan hiburan. Asyik memperhatikan Farah, Via tiba-tiba
mengingat sesuatu. Bukankah, seharusnya ia berjaga
seorang diri" Lalu, mengapa ada..."
"Farah?" "Iya?" Gadis yang
mengerjakan buku TTS. sapa tetap asyik "Bukannya shift-mu sudah selesai jam enam
sore tadi" Ini sudah jam delapan."
"Memang," jawab Farah pendek.
"Kau tidak pulang?"
Memperoleh pertanyaan itu, Farah bagai
kehilangan semangat. Wajahnya memelas sembari
menurunkan buku TTS. Selanjutnya, ia menghela
napas panjang. "Jam tujuh tadi sebenarnya aku sudah turun
untuk pulang. Tapi, anak-anak dari kompleks
tetangga sudah keburu ngumpul di depan gang. Aku
takut, jadi balik lagi ke sini." Jarak dari kafe menuju
kediaman Farah hanya berkisar empat ratus meter.
Dengan jarak sedemikian, gadis mungil ini lebih suka
berjalan kaki, ketimbang ikut memadati jalan raya
dengan sepeda motor. Seorang pengunjung mendekati meja kasir. Via
segera menyambut dengan ramah, serta memberitahukan jumlah uang yang harus ia bayar.
"Mengapa takut?" tanggap Via sembari
menekan beberapa tombol mesin kasir. Farah
menggeser kursinya, sehingga Via bisa leluasa
bekerja. Posisi duduk Farah tepat di depan mesin
kasir. "Kakak belum ketemu mereka, ya" Sewaktu
sadar saja mereka suka usil sama cewek-cewek yang
lewat, apalagi kalau sudah mabuk." Farah takkan
lupa kejadian tiga minggu lalu. Karena aksi sok
nekadnya pulang kerja seorang diri, ia harus
menderita shock seharian penuh. Ia digodai, dicoleki,
kemudian hendak dipeluk beramai-ramai oleh para
pemuda yang ia ceritakan. Beruntung, ada polisi
patroli baru pulang dari razia. Para pemuda kurang
kerjaan itu pun kocar-kacir, bagai anak ayam
dihentak penyapu. Masalahnya sekarang, apakah ia masih
bernasib baik seperti kejadian tempo hari" Andaikan
ia tetap nekad melintasi pemuda-pemuda itu, dengan
taruhan akan kembali dicoleki, apakah akan ada
orang yang berani menghentikan perbuatan
tersebut" Dari pada menimbang-nimbang sesuatu
yang tidak pasti, Farah memutuskan putar balik lalu
menelepon kakaknya yang masih berada di kampus.
Mahasiswa Universitas Tanjungpura itu berjanji akan
menjemput Farah begitu acara di kampus telah
selesai. Mungkin, sekitar pukul sembilan malam.
*** "Ayahmu mungkin tidak pulang. Ada pertemuan di luar kota." Eldien menghampiri Danti
yang tengah asyik dengan ponselnya di teras
belakang rumah. Ia muncul membawa nampan berisi
dua cangkir kopi panas dan sepiring biskuit.
"Malam-malam begini?" Danti meletakkan
ponsel. Ia menyambut cangkir dan piring biskuit
yang diturunkan oleh Eldien. Pantas saja ia ditinggal
sendiri hampir separuh jam di teras. Ternyata, ada
agenda lain selain menerima panggilan telepon dari
ponselnya yang tengah di-charge.
"Mungkin, dengan klien yang sangat penting,"
terka Eldien. Saat menelepon, Tuan Atmadja tidak
menyinggung secara detail siapa yang ingin ia
jumpai. Dari perusahaan mana, untuk keperluan apa.
Ia hanya memberi tahu tiba-tiba salah satu klien
meminta bertemu di luar kota. Jika bukan urusan
tingkat pelik, ia mungkin tidak akan menerima begitu
saja permintaan tak beragenda itu.
Eldien duduk. Ia lalu menyeka separuh
wajahnya yang basah oleh butir-butir air yang halus.
Mulai dari menyeduh, bahkan hingga membawa
kedua cangkir kopi ke teras, wajahnya selalu
dikerubuti uap air panas. Ia sebenarnya tidak perlu
repot andai sang pembantu tidak pulang kampung
karena urusan keluarga. Tapi, toh..., sebelum
menikah, pekerjaan kecil seperti ini sudah tidak asing
ia lakukan ketika teman-teman kerjanya bertandang
di rumah yang ia kontrak.
"Ayo, diminum," tawar Eldien. Dilihatnya Danti
hanya tercenung usai semua yang ia bawa tertatak di
atas meja. Danti sendiri masih menyimpan sungkan.
Terlebih, ia tahu bahwa Eldien mau repot-repot
membuatkannya kopi. Seandainya Eldien memberi
tahu akan ke dapur, tidak disuruh pun ia akan
membantu. Namun, lidahnya masih kelu untuk sedikit
mengucapkan terima kasih. Jadi, ia hanya diam, lalu
menyambar kopinya. Ia rasai sedikit. Dan dengan
cepat, bibirnya pun menjauhi cangkir. Tak lupa
ditambahi aksi batuk-batuk.
"Kenapa" Panas?" Eldien terlihat kaget atas
reaksi Danti. Kopinya memang diseduh dari air yang
baru saja mendidih. "Tidak...!" Danti menggeleng-geleng dengan
suara serak. Ia terbatuk-batuk. "Kopinya... pahit.
Kurang gula." "Oh.... Aku pikir, yang biasa kau minum malammalam adalah kopi pahit. Jadinya, hanya kuberi
sedikit gula." Wajah Danti berkerut, persis jeruk purut.
"Akan kubuatkan yang lebih manis." Eldien
bersiap membawa cangkir kopi milik Danti.
"Tidak!" tahan Danti. Ia sudah merasa tak enak
" tidak enak hati maupun tidak enak lidah " karena
telah dibuatkan kopi. Jadi, ia tidak ingin bertambah
tak nyaman jika harus ibu barunya dibuat repot
hanya untuk menambah gula. "Tidak usah. Biar saja.
Mungkin, aku bisa lebih begadang. Setelah
merasainya, aku agak merasa segar." Memang benar.
Kelopak matanya seolah ditarik begitu pekat kopi
menusuk pangkal lidahnya.
"Besok kau tidak kuliah?"
"Masuk siang," jawab Danti. Ia sedikit
menyimpan gundah akan jawaban tersebut. Apabila
AC di kelas belum diperbaiki, maka ia harus rela
untuk sekali lagi bagai lontong yang dikukus.
Ruangan kelas yang tertutup, dengan daya tampung
hanya dua puluh orang, namun diisi hampir dua kali
lipatnya, menjadikan kelas Manajemen B tempat
yang sungguh-sungguh sempurna untuk "mematangkan" para mahasiswa. Karena masalah itu
jugalah, ponsel Danti semenjak sore sudah dihujani
SMS dari rekan-rekan sekelas, meminta partisipasinya untuk memboikot kuliah besok siang.
Eldien manggut-manggut. Ia menikmati kopinya
dua hisapan, lalu mengingat kejadian beberapa jam
lalu, ketika Danti dengan wajah kaku bermain basket.
"Oh iya, soal tadi sore. Maksudmu apa" Kau
ingin cerita?" Danti menyetop bibirnya menghembus permukaan kopi yang masih mengepul. Ia melirik
Eldien beberapa detik, lalu menjawab, "Mm...,
sudahlah. Masalah itu sudah tidak perlu. Hanya
orang iseng." "Orang iseng?" Alis sebelah mata Eldien
melentik. Ia siap mengorek. Sementara Danti yang
merasa telah bicara terlalu banyak, bergegas
mengatupkan mulut meski terlambat. Ia menggelenggeleng.
"Kau dibuntuti seorang pemuda, ya" Pengagum
rahasia yang kau bicarakan tadi sore?" pancing
Eldien. Alis matanya kian jadi meliuk-liuk.
"Bukan, bukan aku!" Danti menyahut bergagap.
"Tapi, temanku. Dia selalu diikuti oleh orang yang
memberikannya bunga dan puisi."
Meski malam ini lebih cair ketimbang malammalam yang lain, Danti masih belum yakin untuk
mengumbar rahasia pribadi kepada Eldien. Ditambah pula, setelah tinggal bersama kurang lebih
lima bulan, baru kali ini mereka duduk satu meja.
Danti masih memegang teguh tradisi yang disebut
"jual mahal". "Ou..., temanmu?" Eldien masih memainkan alis
dengan nakal. Ia mencoba menghilangkan tembok
yang selama ini membuat Danti seolah menjauh.
"Kalau begitu, beritahukan temanmu untuk berhatihati. Orang seperti itu biasanya nekad."
"Nekad" Tuh, kan?" gumam Danti seolah
mengiyakan ucapannya tadi siang ketika mengantar
Via. Ini ulah psikopat yang mampu melakukan apa
saja agar ambisinya tercapai. Hari ini ia mengirim
puisi dan bunga, besok mungkin mengirim lamaran.
Jika tidak diterima, dirinya mungkin akan diculik.
"Tidak!" Danti tiba-tiba menggebrak meja dan
berdiri. Eldien dibuat mendelik kaget. Diperhatikannya Danti yang tengah menggigit bibir
serta mengepal keras. Lalu mendadak, gadis itu
tersenyum bengis dengan kepala mengangguk35


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angguk. Danti berpikir, dengan latihan karatenya
yang baru dua bulan ini, ulah orang iseng yang selalu
memgekorinya tidak perlu dibawa khawatir.
Terlalu asyik menyeringai, ia tak sadar Eldien
menatap takjub dengan tampang melongo. "Ada
apa?" tanya Eldien, dan barulah ia tersadar. Sedetik
pertama, Danti terlihat serba salah. Sedetik
kemudian, ia malah beranjak pergi.
"Aku kebelet. Mau ke kamar kecil!"
Belum tiga langkah ia menjauhi meja,
ponselnya yang tertinggal tiba-tiba bergetar panjang.
Eldien menaikkan leher untuk mengintip. Sekilas
sebelum ponsel ditarik, ia melihat nama seseorang
yang menelepon. "Via?" Danti lekas menerima sang penelepon.
"Ada apa" Kau tidak dijemput Andre" Baiklah. Tapi,
kau sekarang ada di mana" Iya. Iya. Aku ke sana."
Hubungan diputus. Danti menoleh Eldien.
"Sepertinya, acara kita harus disambung lain
kali. Temanku perlu bantuan."
Eldien diam sejenak, lalu mengangguk pelan
dan menyahut, "Iya...."
BAB 3 Ponsel dari produsen negeri tirai bambu itu
tergeletak di aspal. Keberadaannya menarik
perhatian seorang petugas forensik. Ia pasang sarung
tangan, lalu menjongkok memungut ponsel itu. Ia
periksa kotak masuknya karena ada pesan baru yang
belum dibaca. Daftar panggil pun tak luput untuk
ditelusuri. Usai memeriksa, ponsel ia masukkan ke
kantong plastik transparan. Seorang polisi berseragam lengkap kemudian menghampirinya
ketika ia mulai berdiri. "Dapat petunjuk siapa pelakunya, Dos?" tanya
polisi itu. Disambut oleh petugas forensik dengan
menggeleng. "Masih gelap." "Itu?" tunjuk sang polisi pada ponsel.
"Dari SMS yang ada, aku rasa milik salah satu
korban. Tapi aku yakin, ponsel ini juga dipakai untuk
menelepon crisis center."
"Kata operator, yang menelepon adalah
perempuan," ingat sang polisi. "Tidak ada korban
perempuan di sini." "Bisa jadi korban selamat. Atau.... Aku tidak
mau berandai-andai. Aku akan menelitinya lebih
lanjut di laboratorium."
Polisi itu hanya mengangguk-angguk, sementara
petugas forensik yang ia tanyai mengayunkan
langkah menuju sebuah mobil kijang. Polisi itu lalu
mendekati seorang pemuda yang tampak menggigil
di dalam sebuah ambulans.
Ada tiga ambulans di lokasi. Satu di antaranya
sudah siap berangkat ketika seorang pemuda lain
telah dinaikkan ke dalamnya. Pemuda itu tidak
sadarkan diri, dengan tubuh terikat sabuk pada
tandu beroda, dilengkapi penyangga leher. Sementara itu, satu ambulans lain baru saja datang.
Petugasnya turun untuk menjemput seorang pemuda
lagi. Pemuda itulah yang terakhir dari belasan
pemuda yang tanpa sebab polisi temukan telah
terkapar di jalan raya dengan beberapa tulang di
tubuh mereka patah dan remuk.
Pemuda yang terakhir itu masih sadar. Hanya
saja, matanya sama sekali tidak membuka. Ia
mengerang lemah dengan tubuh tengkurap. Dari
mulutnya, sesekali keluar darah kental. Cairan itulah
yang memenuhi batang tenggorokannya, membuat ia
bernapas tersendat-sendat. Sementara dirinya diurus
oleh petugas medis, petugas polisi tadi menanyai
rekannya yang duduk menggigil di dalam ambulans.
"Kau lihat siapa yang melakukan ini?" Polisi itu
tetap bertanya, meski sudah diberi tahu petugas
medis bahwa pemuda itu dalam kondisi mabuk. Lihat
saja matanya, sayu merah. Belum lagi napas mereka
yang diisi aroma menyengat alkohol. Di sekitar
mereka, juga ditemukan sepuluh botol miras.
Delapan di antaranya telah kosong. Dari pemuda
yang tengah mabuk itu, sang polisi mendapat
informasi bahwa benar orang yang menelepon
petugas medis adalah seorang wanita. menggunakan ponsel salah satu rekannya yang
terjatuh. Setelah menelepon, wanita itu pergi entah
ke mana. "Pak Polisi...!" Dalam kondisi mabuk, pemuda
itu berani menunjuk langsung wajah sang petugas.
Kedua tangannya sudah diborgol untuk mencegahnya melarikan diri atau berbuat yang
tidak-tidak. "Sudah dibilang, kan" Kami tadi sedang
asyik-asyik sama cewek. Tiba-tiba, ceweknya teriak
lalu kami sudah begini...." Hanya pemuda yang
bercerita itulah yang tidak mengalami patah tulang.
Hanya jidatnya yang sedikit memar karena tiba-tiba
merasakan tubuhnya terpental dengan kening lebih
dulu mencium bumi. Meski demikian, seluruh
tubuhnya serasa ambruk. Dan tiba-tiba, ia kini
menggigil entah karena apa.
Sang polisi menggeleng-geleng. Orang mabuk
memang susah diajak bicara. Jadi, ia pun menarik
pistol, membuat petugas medis yang menangani luka
memar pemuda itu bergidik ngeri. Lantas, ia
kemudian menggenggam laras pistol, sementara
gagangnya ia ketuk di ubun-ubun sang pemuda
karena geram. "Cepat tobat habis ini!"
Beberapa ratus meter dari sana, Via
mendudukkan tubuh di atas tembok rendah di depan
lapangan parkir Ahmad Yani Mega Mall. Lututnya
gemetar seolah tak sanggup lagi menjauh dari tempat
para pemuda itu ditemukan terkapar. Sementara
telapak tangannya yang mendingin, terus mengepal
erat ponsel yang baru saja ia pakai untuk
menghubungi Danti. Sekali lagi ia mendongak, memperhatikan para
medis dan tim forensik yang sibuk. Pemuda terakhir
yang tengkurap di jalan akhirnya diangkat. Lengan
kanannya kemudian jatuh menjuntai di bibir tandu
dengan aliran darah tiba-tiba deras mengucur.
Petugas-petugas itu melonjak kaget. Sebelumnya,
mereka tidak mengetahui akan adanya luka separah
itu. Via yang masih mampu menangkap keganjilan
tingkah mereka dari jauh, kian cemas dengan wajah
memucat. Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya sendiri
hingga nyaris terluka. Pemuda-pemuda itu. Merekalah yang diceritakan oleh Farah. Sekelompok pemuda
berkumpul di depan gang. Mereka tertawa terbahakbahak, seraya menyulang minum-minuman keras.
Gaduh yang mereka buat kemudian terhenti ketika
Via melintas. Masing-masing mata mereka mengikuti
langkah Via yang terburu-buru menyusuri trotoar.
Via harus mencari bis antarkota yang masih
beroperasi untuk tiba di rumahnya sebelum dini
hari. Atau jika tidak, maka ia harus berjalan kaki
sejauh dua jam. Memperoleh tatapan seolah dirinya makanan
yang lezat, Via terus berlalu tanpa gentar. Isi
kepalanya sudah terlanjur diisi rasa kecewa terhadap
Andre, sehingga keselamatan dirinya tidak lagi ia
pikirkan. Lagi pula, ini bukanlah kali pertama ia
harus melewati pemuda-pemuda kurang kerjaan
tersebut. Bahkan, sudah berkali-kali pula ia harus
berhadapan langsung dengan mereka dan terpaksa
bertindak kasar. Namun rupanya, otak laki-laki itu terlalu kecil
untuk berpikir. Sedangkan syahwat mereka terlalu
besar untuk dibendung. Setelah puas hanya
membiarkan Via melintas, mereka kemudian kembali
kompak membuntuti langkah gadis tersebut dan
mencegatnya. Via mencoba memperingatkan. Tetapi
seperti biasa, pemuda-pemuda itu tidak mau
mendengar. Mulut mereka meracau kotor dengan
bau alkohol menyembur. Tangan-tangan mereka
menjalar untuk menjamah tubuh Va yang kelelahan.
Via mencoba menepis, namun mereka kian menjadi.
Salah satunya malah sempat mencubit lengan kiri Via
dengan cukup kencang. Via melejit menjauhi trotoar,
namun seorang lainnya merangkul dari belakang.
"Cukup!" Via menjerit. Perlakuan mereka kali
ini lebih keterlaluan. Berbareng dengan suara jeritan
itu, angin kencang tiba-tiba berhembus, mematahkan
ranting-ranting bahkan dahan pohon di sekitarnya,
serta menyapu pemuda-pemuda itu. Mereka
terlontar, lalu bergeletakan bagai susunan kaleng
minuman soda yang telah kosong kemudian
dilempari batu dengan sangat kuat.
Mereka tergolek. Mengerang lemah tak
bergerak. Dua di antaranya memuntahkan darah
dengan mata terbuka lebar.
*** "Jadi, kau mengeluarkannya lagi?" Danti
menyetirkan Via pulang. Suara sahabatnya yang
tersendat-sendat di ujung telepon memberi inisiatif
baginya untuk memacu mobil secepat mungkin.
Hanya perlu lima belas menit, dan ia pun kini sudah
membawa Via pergi menuju rumah.
Via yang ia jemput, terus berwajah cemas.
Dadanya masih menyimpan getar. Sudah melewati
Tugu Digulist, ia tetap saja diam seraya meremas
jemari di kedua tangannya yang mendingin bagai es.
Saat dijumpai di depan Ahmad Yani Mega Mall pun,
gadis itu tak banyak menyahut. Ia tak memberikan
waktu untuk mobil Danti berdiam sejenak. Melihat
kedatangan Danti, langsung ia menyambar pintu
depan dan masuk. Gelagat yang kaku, mendadak bungkam. Danti
mengenal ciri-ciri itu. "Katakan bahwa aku salah. Apa kau berbuat
sesuatu dengan telekinetismu" Kau menghajar
preman-preman itu lagi?" Dua tahun berteman, Danti
hanya melihat sedikit sekali hal baik dari
kemampuan menggerakkan benda-benda dari jauh
milik Via. Setidaknya, ia pernah tiga kali melihat Via
"meledak" akibat ulah gerombolan pemuda yang
sama. Salah satunya, masih tercatat jelas di ingatan
Danti karena terjadi di awal-awal perjumpaan.
Seperti malam ini, dua tahun lalu pun Via sudah
terbiasa pulang larut malam seorang diri. Begitu pun
pemuda-pemuda yang mengganggunya telah memulai kebiasaan buruk menenggak miras. Merasa
sesama perempuan, serta dikaruniai jiwa tomboi,
Danti menghentikan mobil dan turun berniat
membantu Via. Sayangnya, ia salah perhitungan. Ia
tak melihat enam pemuda lain yang bersembunyi di
dalam gang, tengah bermain gaplek. Hanya tiga yang
ia lihat menggodai Via. Begitu Danti ikut campur,
keenam sisanya bangkit menyusul.
Posisi pun berpindah. Via menarik Danti untuk
kembali ke mobil, namun kesembilan laki-laki yang
ia hadapi sudah terlanjur terpancing. Danti diseret
mundur, mereka kian maju. Melihat itu, Danti ikutikutan pasang badan. Via terpaksa menjadi
penengah, namun kian terdesak. Tiba-tiba saja, Via
berteriak meminta mereka mundur seraya mendorong dada salah satu di antara mereka.
Bersamaan dengan itu, kaca-kaca mobil Danti
berhamburan. Pemuda yang ia dorong terhuyung
mundur, begitu pun rekan-rekan di belakangnya
maupun Danti nyaris terjengkang walau tak
tersentuh. Pemuda-pemuda itu mundur. Via berdiri
mematung dengan napas turun naik. Tatapan
matanya bagai orang kebingungan. Setelah Danti
menyapa, barulah ia menoleh. Namun, hanya
sebentar. Via keburu ngeloyor pergi dengan wajah


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertunduk. Danti sempat mendengar bahwa gadis itu
meminta maaf. "Hei! Kau mau ke mana?" Danti mengejar. Via
makin cepat melangkah. "Kau pergi begitu saja
setelah merusak kaca mobilku?" Danti belum sadar
bahwa Via memiliki telekinetis. Yang ia yakin, Via
menguasai olah tenaga dalam.
Via berhenti dan berputar. Diamatinya kondisi
mobil Danti dari jauh. Parah. Semua kaca jendela
hancur, begitu pun kaca lampu depan. Apabila
ditotal, kerusakannya mungkin lebih dari satu juta
rupiah. Terbersit angka sedemikian besar, membuat
Via buru-buru merogoh tas selempang miliknya. Ia
mengeluarkan ponsel, baterainya dipereteli, kartu
SIM-nya dicabut, lalu ditutup seperti sedia kala.
Setelah Danti berdiri tepat di hadapannya, ponsel itu
pun ia unjukkan. "Apa ini?" Danti berpura-pura tidak tahu.
"Aku hanya pegawai kafe biasa. Aku tidak bisa
mengganti kerusakan mobilmu," Via menyahut
dengan wajah agak tertunduk.
"Kau menghinaku?"
Via mendongak gamang. "Kau menghinaku?" ulang Danti lebih jelas.
"Aku tak perlu handphone-mu. Kau ikut aku. Aku
akan mengantarmu pulang."
Danti meminta Via ikut bersamanya karena
ingin mengorek di padepokan mana ia menuntut
ilmu bela diri. Namun di sepanjang jalan, Via lebih
banyak bungkam dan terlihat gelisah. Sama sekali
tidak tampak sebagai orang dengan keahlian bela diri
yang tinggi. Hingga pada akhirnya, Danti menebak
asal-asalan. "Kau anak indigo, ya" Kau punya kemampuan
telekinetis?" Secepat itu Via terjebak. Pikirannya yang
berputar tak jernih membuat dirinya kontan
menyahut, "Aku mohon kau tidak memberi tahu
orang lain!" "Apa?" Danti refleks menginjak rem. Keduanya
terhuyung nyaris menyungkuri dasbor mobil andai
tak terikat pada sabuk pengaman. Tak disangka
Danti, tebakannya tetap sasaran.
Sejak itulah, mereka kini berkarib. Danti tak
ambil pusing soal kemampuan merusak Via. Toh,
kemampuan itu baru akan keluar jika ada yang
mengganggu. Seperti beberapa bulan kemudian, lagilagi gerombolan pemuda itu berbuat ulah. Via pun
kembali tak sengaja mengeluarkan kemampuannya.
Tapi yang aneh, mereka tetap tidak jera meski sudah
dibuat biru lebam. Malah, kadang berganti dengan
orang lain atau bertambah banyak.
*** "Kau sudah menghajar mereka cukup sering, Vi.
Tidak ada yang perlu kau risaukan. Tiga atau empat
bulan nanti, kau pasti akan menghajar mereka lagi."
Via menggeleng-menggeleng. Ia kemudian
menyahut, "Aku rasa tidak. Kau lihat ambulansambulans tadi...?" Via jelas khawatir. Ia hampir
mermbunuh belasan orang hanya dalam hitungan
detik. Atau jangan-jangan, ada di antara mereka yang
tidak lagi tertolong. "Iya, aku lihat. Sepertinya, ada kecelakaan
besar. Lalu?" Danti curiga Via akan mengubah topik.
"Itu... bukan kecelakaan jalan raya...," Via
menyanggah dengan suara tersendat. Seolah apa
yang ingin ia ucapkan begitu sulit terlontar. "Itu..., itu
aku...!" Danti menginjak rem. Pelan-pelan, roda mobil
melambat, hingga akhirnya berhenti berputar.
"Kau tidak bercanda, kan, Vi?" Di sana ada
polisi dan petugas medis. Beberapa tubuh
bergelimpangan berlumur darah. Tak pernah selama
ini Danti melihat hal sedemikian sebagai akibat
kemampuan Via. Via pasti mengada-ada.
Lagi, Via menggeleng. Kepalanya makin
menunduk. "Aku hampir membunuh mereka...."
"Ya, Tuhan. Via.... Maafkan aku...."
"Antarkan saja aku pulang, Dan.... Aku takut
jika harus berlama-lama di luar rumah."
*** Sejenak, mereka hening. Deru mobil Danti yang
halus terdengar begitu jelas. Kelebatan beberapa
kendaraan lain juga sesekali mengisi suara di jalan
yang terlihat lengang. Danti mencuri pandang ke
arah Via. Gadis ini masih mempertahankan air
mukanya semenjak awal Danti menjemput.
"Hei, jangan cemas. Untuk apa preman-preman
itu diperhatikan?" Danti mencoba menegur.
"Mereka manusia, Danti.
kulakukan itu pada mereka."
Tak sepatutnya "Cepat atau lambat, mereka pantas mendapatkannya. Lagi pula, kau tidak sengaja, kan?"
Via diam. Ia tak menyahut.
"Baiklah.... Aku akan bantu cari kabar mereka
besok. Kau tenangkan saja dirimu. Jika kau terus
begini, aku khawatir kau bisa mengacaukan seisi
rumahmu lagi." Kejadiannya hampir satu tahun lalu.
Danti menjenguk Via yang tidak seperti biasa
membolos kuliah. Ia dapati perabot pecah-belah
berserakan di lantai, kaca-kaca jendela hancur, serta
dinding batako berlapis semen hampir semuanya
mengalami retak. Danti sendiri yang mengantar
pulang Via pada malam sebelumnya. Kondisi Via
kurang lebih seperti sekarang, lebih banyak diam dan
merenung. Salah seorang rekan kerjanya yang
berhati dengki, mengungkit-ungkit kehidupan masa
lalu keluarga Via. "Satu lagi!" sambung Danti. "Jika kau belum
merasa baikan, lebih baik kau tidak usah pergi
kuliah." Sisa-sisa perbuatan Via di malam ini
berpuluh-puluh kali lebih besar dibandingkan yang
pernah ia lihat. Danti pun tersadar, memporakporandakan seisi kampus pun pasti Via mampu.
Semua orang akan sadar apa yang selama ini dimiliki
oleh Via. Dan akibatnya akan sangat tidak baik.
"Kau sudah tahu, Danti. Aku sengsara karena
kemampuan ini. Aku tidak bisa mengendalikannya
dan orang-orang juga tidak suka. Untuk apa aku
miliki" Jika memang dapat dilepas, akan kubiarkan ia
lepas. Aku ingin hidup normal. Hidup normal seperti
kau dan yang lain." Danti menghela. "Sudahlah. Tenangkan saja
perasaanmu. Sebentar lagi, kita akan sampai."
Setelah beberapa menit, mobil benar-benar
telah parkir di depan sebuah rumah yang tampak
lengang. Hanya lampu di depan jalan masuk
pekarangan dan di teras yang menyala. Menurut Via,
rumah yang hanya ditinggali olehnya itu tidak
banyak berubah dari ia kecil. Tetap semungil dahulu.
Hanya cat tembok yang sedikit berubah ketika Via
merasakan cat rumah itu telah kusam.
"Kau yakin, tidak ingin ditemani malam ini?"
Danti mengantar Via hingga ke pintu. Via terlihat
mencari-cari sesuatu di dalam tas selempang
berwarna hijau kelabus yang selalu menjadi
temannya. "Tidak usah. Aku justru semakin khawatir jika
kau menemaniku." "Ya. Bisa-bisa, kau melemparku ke luar kamar,
karena bermimpi buruk," sambung Danti.
Via menemukan seuntai kunci. Segera ia
masukkan ke dalam slot dan diputar dua kali. Begitu
gagang pintu ikut diputar, pintu berhasil dibuka.
"Kalau begitu, selamat malam. Jika ada sesuatu,
jangan sungkan menelepon."
Via berputar. "Terima kasih."
Danti memasuki mobil. Mesin segera menyala.
"Jangan ngebut...!" Via memperingatkan.
"Sebelum tidur, jangan lupa berdoa!" balas
Danti. Mobilnya kemudian berjalan mundur
meninggalkan pekarangan. Melewati jalan masuk, ia
segera melesat menjauh. BAB 4 Via terduduk di atas tempat tidur. Sebuah
tarikan dan helaan napas agak panjang, ia rasa perlu
untuk sedikit melapangkan isi dadanya. Ia juga
sempat mengguyur tubuhnya dengan air dingin
setengah jam lalu, meski di luar pada saat yang sama
tengah turun hujan yang lebat.
Namun, mendung yang menyingkir dari hatinya
hanya sedikit. Suhu tubuhnya pun kembali naik
beberapa selsius. Via yakin dirinya tidak terserang
demam karena ulahnya bermandikan air dingin
meski udara sudah benar-benar menusuk bagaikan
jarum. Ia telah hapal. Jika kemampuannya muncul
tanpa disengaja seperti malam ini, maka tubuhnya
akan terasa panas seolah terbakar hingga berjamjam. Ditambah lagi, ia masih mengingat apa yang
baru saja ia lakukan pada pemuda-pemuda itu.
Mereka..... Dering ponsel mendadak terdengar. Bergegas,
Via menarik ponselnya dari atas meja di samping
tempat tidur. Danti menelepon.
"Ada apa, Dan?" sambut Via.
"Kau belum tidur?"
Tak perlu dijawab. Danti pasti tahu.
"Aku sekarang ada di rumah sakit," lanjut Danti.
Via jelas kaget. "Kau kenapa?"
"Aku tidak kenapa-napa. Aku di rumah sakit
tempat orang-orang yang tadi kau hajar."
"Bagaimana langsung. kondisi mereka?" tanya Via Danti terdengar mendesah. "Kabar dari orang
dalam. Tujuh orang yang luka parah sudah lewat
masa kritis. Tinggal satu lagi yang masih koma."
"Ada yang koma...?"
"Bagaimana tidak" Kau mematahkan lehernya,
kau mematahkan kakinya, kau juga meremukkan
tulang rusuknya. Ia gegar otak." Danti lupa kondisi
Via yang sekarang. Mendengar itu, Via merasakan
dadanya bagai ditusuk seribu pedang. Perih tak
terperi, hingga sulit bernapas.
Setelah berkata demikian, barulah Danti
menyesal. "Maaf, Via.... Aku tak bermaksud...."
Tangan Via gemetar. Ia tak mampu memegangi
ponsel lebih lama lagi. Ia turunkan beberapa saat
untuk menarik napas. "Via...?" Danti khawatir. "Kau di sana...?"
Via menaikkan ponsel. "Maaf, Danti...,"
balasnya agak tertahan. "Aku ingin tidur...."
Dan, sambungan diputus. Danti di ujung telepon
sontak menunduk seraya memegangi kening. Ia
meratap, "Bodohnya aku...."
Sementara itu di kamar, Via merasa kepalanya
ikut memberat. Pelan-pelan, tubuhnya yang dibalut
piyama bermotifkan bunga sakura itu merebah.
Matanya yang memerah menatap langit-langit kamar
yang temaram. Seolah, sangat ingin ia bertanya pada
susunan plavon itu tentang nasibnya. Mengapa
dirinya bisa sampai seperti ini"
Namun, sama seperti penghuni kamar yang
lain. Langit-langit itu tidak akan menjawab atau
menyahut. Membiarkan ia hanyut dalam situasi yang
bisu. Membiarkan aliran hangat mulai mengalir dari
sudut kedua matanya. Meski sudah lewat hampir tiga jam, Via masih
bisa merasakan saat-saat semua yang ada di depan
matanya dibalut warna merah menyala. Tubuhtubuh pemuda yang mengganggunya di saat pulang
bekerja, bagai bulu-bulu itik yang dicabuti dari sang
itik lalu tertiup angin puyuh. Mereka tercerabut.
Mereka melesat ke berbagai arah dan berdebam di
jalan raya. Ini bukan kali pertama pemuda-pemuda itu ia
hajar tanpa sengaja dengan kemampuan telekinetis
yang ia miliki. Namun, ini kali pertama kemampuan
itu keluar bagai bom yang meledak. Kejadian yang
tidak pernah ia bayangkan dapat terjadi. Sama tak
menduganya ia tujuh tahun yang lalu, bahwa
kemampuan itu akan membuatnya ingin terus
bersembunyi dari mata dunia.
*** Sebuah rekaman masa lalu seseorang tertayang
di ujung matanya. Ia seorang gadis dengan kemeja
putih dan rok biru. Ia menerobos pintu rumah dan
menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Bunyi pintu
yang dibanting membuat sang ibu mengalihkan
perhatiannya dari kegiatan di dapur.
"Ada apa, Via?" Sang ibu menyusul ke kamar.
Pelan-pelan, ia mendekat. Tubuh putrinya tampak
menelungkup di atas tempat tidur, dengan kepala
diselamkan di bawah tindihan bantal. Sama sekali ia
tidak menyahut ketika ditanya. Sama sekali tangisnya
tidak mereda. Tubuh putrinya malah kian


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berguncang. Getarannya terasa oleh sang ibu yang
kini telah duduk di bibir tempat tidur.
Mendapati demikian, wanita paruh baya itu
akhirnya menarik diri. Ia biarkan Via remaja
memuaskan hatinya menangis di kamar. Tak ada
yang dapat diperbuat Mesti selain menjauh.
Begitulah apabila sepulang sekolah Via dalam
keadaan yang tidak begitu baik. Jika tidak ingin
bicara, maka akan Mesti tunggu hingga malam.
Namun seingat Mesti, itu adalah kebiasaan yang
cukup berumur. Terakhir kali Via lakukan lebih dari
dua tahun yang lalu. "Ya, Tuhan.... Apa yang terjadi pada Via" Anak
itu kenapa" Apakah ada yang kembali mengungkitungkit masa laluku?"
Latar belakang Mesti sangat jauh dari putih.
Orang-orang di tempat tinggalnya dulu mengenal
Mesti sebagai wanita tunasusila. Profesi tersebut
telah ia jalani sejak usia belasan tahun, setelah
dirinya terjebak sebagai korban traficking. Hingga
suatu saat, seorang pria encoba menarik dirinya
keluar dari dunia yang telah lama ia geluti. Atas
nama cinta, Mesti rela mengandung buah hubungan
di luar nikah bersama pria itu.
Sang pria muda berjanji akan meminang Mesti.
Namun, janji yang terlontar tak pernah tersampai.
Tiba-tiba saja, ia menghilang saat hubungan mereka
sudah berjalan setengah tahun. Ada yang berkata
bahwa pria itu pergi bersama wanita lain. Ada pula
yang memberi kabar bahwa ayah dari anak yang ia
kandung telah tewas dalam kecelakaan kerja di
sebuah proyek bangunan. Mesti tak pernah tahu,
bahkan hingga sekarang. Yang ia tahu, pria itu
berbeda dari pria hidung belang lain. Laki-laki
pertama yang membuatnya yakin, yakin untuk
meninggalkan kehidupannya yang sekarang, serta
yakin untuk mempertahankan Via hingga lahir.
*** Ditinggalkan menangis kamar, Via mengurung diri hingga makan malam. Kamar hanya
diterangi cahaya lampu dari lorong saat Mesti
kembali untuk menjenguk. Pada saat itu, Via tidak
lagi memendam tubuhnya di dalam kasur. Bantal
yang menindih kepalanya, kini berpindah dalam
pelukan. Samar-samar, ia terlihat duduk di tempat
tidur. Temaram suasana menyembunyikan matanya
yang sembab. Namun, pecahan-pecahan cahaya putih
menunjukkan garis-garis air mata yang masih
mengalir. "Kau kenapa, Nak?" Mesti menemaninya lagi di
tubir ranjang. "Tidak ada lagi yang mau menjadi teman Via...,"
Via remaja terisak. Suaranya terkesan habis. Ia telah
menangis hampir delapan jam. Bantal yang ia peluk
telah meredam suara tangisnya yang seharusnya
terdengar keras. "Ada apa, Via" Bukankah, temanmu sudah
banyak" Bahkan tadi pagi, Ibu lihat kalian berangkat
sekolah bersama-sama."
"Mereka sudah membenci Via...! Via anak
setan...!" "Via!" Mesti terkaget setengah membentak.
Istilah berdarah itu baru ia dengar sekarang. Apaapaan lagi ini" Setelah Via anak haram, sekarang Via
adalah anak setan" "Siapa yang mengajarimu" Siapa yang
mengajarimu berkata seperti itu?" Mesti tak sadar
menangkap pundak putrinya. Ia guncang walau tak
kuat. "Siapa?" desaknya lagi.
Lekuk-lekuk cahaya putih di kedua pipi Via
mengalir semakin deras. Mesti tersadar. Segera ia
menyingkirkan tangannya. "Via berbeda dari mereka, Bu...."
"Berbeda apa" Bukankah sudah Ibu bilang, kita
semua sama?" "Via tidak pernah tahu siapa ayah Via. Dan
sekarang, Via...." Ucapannya diputus oleh tangis.
Wajahnya menunduk menutupi isakan yang menjadi.
"Via...?" Mesti menunggu penuh cemas.
"Via..., Via...." Gadis remaja itu semakin erat
memeluk bantalnya. Isak tangisnya kembali tak
tertahan. Pada saat itu pulalah, Mesti terkaget oleh
beberapa perabot yang jatuh dari meja belajar putri
semata wayangnya. Mesti mendelik. Meja itu bergetar. Begitu pula
tempat tidur yang ia duduki dan semua benda di
dalam kamar ikut berguncang. Seolah ada gempa
bumi yang terjadi. Kian kencang dan kian kencang.
Lampu di dalam kamar yang padam pun tiba-tiba
ikut berkedip. Semula hanya perlahan, namun
selanjutnya bagai berdenyut sangat cepat.
Guncangan yang kian menjadi itu merobohkan
beberapa keping plavon. Mesti sigap memeluk Via
untuk melindunginya dari reruntuhan. Namun
beruntung, tidak ada satu pun plavon yang jatuh di
atas tempat tidur. Dan sebelum semuanya bertambah
parah, sebuah guncangan besar tiba-tiba menghentak, nyaris melambungkan seisi kamar
termasuk Mesti dan Via. Bertepatan pula dengan itu,
pintu terbanting menutup dan bola lampu pecah
berderai. Hening.... Perlahan-lahan, pintu kembali terbuka.
Hanya terdengar isak tangis Via yang mulai
memelan. Mesti membuka mata. Didapatinya kondisi
kamar yang semula rapi, kini tampak berserakan di
bawah cahaya lampu dari ruang tengah. Debu
menyeruak di mana-mana, menghalangi pandangan
bagai iring-iring kabut di pagi hari.
"Cepat, Via!" Mesti melepas pelukannya. Ia
bersiap turun dari tempat tidur. "Kita harus keluar
sebelum gempa susulan!"
"Itu bukan gempa!" Via menjerit. Mesti
terperangah menyaksikan emosi putrinya yang baru
kali ini dapat meledak. Setelah berteriak sedemikian
rupa, barulah Via berujar lirih, "Itu bukan gempa...,
itu bukan gempa.... Itu Via...!"
Kalimat terakhir yang terlontar menohok dada
Mesti begitu keras. Seketika itu ia menjadi sesak.
"Via" Apa yang kau katakan...?"
"Via bisa menggerakkan apa saja dari jauh,
Bu.... Via minta maaf tidak mengatakannya pada
Ibu...!" "Se..., sejak kapan, Via?" Mesti terbata. Belum
mampu ia percaya, bahwa Via-lah yang baru saja
melakukan demostrasi kecil barusan.
"Sebelum kita pindah..., sebelum Via lulus
SD...." "Ya, Tuhan...?" Mesti gemetar. Tatapan matanya
berkaca-kaca. "Sebelum pindah" Dua tahun yang
lalu?" Via mengangguk tanpa berani menengadah.
"Selama itu" Mengapa mengatakannya pada Ibu?"
kau tidak "Via tidak ingin Ibu khawatir. Via sudah sering
lihat Ibu sedih. Via pikir kemampuan ini juga dapat
membantu Via. Tapi..., tapi tadi pagi...." Pundak itu
kembali berguncang. "Via melukai teman Via...!"
Tangisnya kembali meledak. Bayang tubuhnya
terlihat berguncang lebih dahsyat dari gempa lokal
yang telah reda. Dengan cekatan, Mesti merangkul
tubuh putrinya. Ia juga merasakan perih yang
mendalam. Semenjak hari itu, Via harus mengulang harihari kelamnya bersama orang lain. Hanya setahun
terakhir ia berhasil menikmati ketika orang-orang
bisa menerima dirinya sebagai bagian dari mereka.
Namun setelah kemampuan itu datang, semua seolah
lenyap. Ia harus mulai dari awal.
Bayang-bayang buruk yang terus bergulir
setelahnya, kemudian menyentak Via terbangun dari
tidur. Napasnya memburu. Tubuhnya basah oleh
keringat dingin. Seisi kamar berserakan bagai
terkena puting beliung. BAB 5 Suara khas lenting bola basket kembali
terdengar dari pekarangan rumah. Akan tetapi, ini
baru pukul setengah enam pagi dan terlalu awal dari
hari-hari sebelumnya. Lagi pula, orang yang selalu
bermain di pekarangan rumah tersebut saat ini
masih terbuai di sisi tempat tidur. Sepulang
mengantarkan Via dan dari rumah sakit, Danti
kesulitan untuk memejamkan mata. Ia sendiri
bingung, apakah itu efek dari kopi pahit buatan
Eldien, atau karena mengetahui Via yang sedang
dalam kondisi buruk"
Yang mana sajalah! Danti pun mencoba untuk tidak terkatungkatung di tempat tidur dengan wajah melongo
menunggu kantuk. Maka, diambilnya beberapa buku
tentang teori ekonomi. Sengaja ia pilih bab-bab yang
penuh tabel dan rumus. Sehingga telah satu jam
membaca, ia pun tergolek tak sadarkan diri. Saking
pulasnya, ia tak sadar telah berbaring di bibir
ranjang, dengan tubuh bergulung selimut persis kue
dadar. Begitu tubuhnya berputar, tanpa penghalang
sedikit pun Danti meluncur jatuh menghempas ubin.
Buku-buku tebal yang sempat ia baca ikut terseret
dan mendarat tepat di atas kepalanya. Bagaikan
disiram seember air, Danti tergopoh-gopoh membuka
mata. Ia terduduk dengan wajah kaget seakan telah
mengalami mimpi yang naas.
Perlu waktu kurang lebih lima detik bagi sistem
saraf di kepala gadis enerjik itu untuk kembali online.
Begitu kesadaran yang ia miliki berangsur pulih,
sayup-sayup gendang telinganya menangkap fibrasi
yang cukup familiar. "Basket" Siapa yang bermain basket?" Danti
membuka mulutnya lebar-lebar untuk menguap,
sebelum akhirnya bangkit berdiri.
Sedikit banyak, ia belum mampu lepas dari
virus-virus kantuk yang masih menggelayut. Kelopak
matanya terasa berat, sehingga langkah-langkah yang
terayun diseret bagai orang kelaparan. Namun
karena didorong oleh rasa penasaran yang begitu
kuat akan suara lenting bola basket yang terdengar
riang dari pekarangan, Danti akhirnya menyibak
tirai dan mendorong pintu di balkon agar terbuka.
Sosok tubuh dibalut busana atasan tanpa lengan
dan celana panjang, terlihat mahir beratraksi dengan
bola. Drible-nya mengagumkan, bahkan sesekali ia
terlihat bagai memutar bola dunia di ujung jarinya,
kemudian disusul tembakan dua angka dengan
sangat mulus. "Siapa itu?" Danti menjeling dengan kelopak
mata yang masih lengket. Perlu dikucek beberapa
kali untuk mampu melihat lebih jernih. Danti baru
menjumpai wanita dengan tubuh seatletis demikian.
Mungkin, setara dengan dirinya yang sudah
tergolong aktif berolah raga. Mungkin, wanita yang
tengah asyik bermain bola basket di sana adalah
saudara tiri Danti" Atau jangan-jangan, ia adalah
saudaranya saudara tetangga"
Ah, nekad sekali kalau memang benar
saudaranya saudara tetangga. Untuk saudara tiri,
juga tidak masuk akal. Dari mana Ibu Eldien
mempunyai anak, sedangkan sebelum menikah
status wanita itu adalah lajang yang dapat
dipertanggungjawabkan. Suatu ketika, wanita di pekarangan mendongak.
Hampir saja Danti menebak bahwa ia adalah anak
gadis Bi Ijah, pembantunya yang sedang cuti. Jika
bukan karena senyum itu, senyum khas dari lesung
pipi ibu barunya. Eldien benar-benar membelalakkan kelopak kedua matanya.
Masih dengan pakaian tidur, ia menyusuri anak
tangga. Karena bagai diburu hantu, nyaris ia
terguling-guling hingga ke lantai ketika kakinya
sedikit melintir di sebuah anak tangga. Sesampai di
muka rumah, napasnya pun berlomba turun naik.
"Pagi, Dan...." Eldien menyapa sembari
melempar bola ke keranjang. Masuk dengan mulus.
"Pagi...." Danti mencoba mengatur irama
napasnya yang setengah-setengah. Begitu agak
mendingan, baru ia berujar, "Ibu Eldien tidak ke
kantor hari ini?" "Baru setengah enam. Kantor mana yang buka"


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagi pula, hari ini aku libur. Jadi, sedikit bisa
bermain." Danti mana?" memperhatikan sekelilingnya. "Ayah "Dia tidak pulang. Mobilnya masuk bengkel di
Singkawang. Jadi, ia menginap di hotel."
"Masuk bengkel" Lagi?"
"Ayahmu itu sudah kuperingatkan. Untuk
perjalanan jauh, lebih baik ia membawa mobilku.
Tapi, kau tahu sendiri. Ayahmu tetap ngeyel."
"Ibu Eldien tidak ingin menjemput Ayah?"
Eldien menggeleng-geleng. "Ia sudah menelepon
ajudannya untuk itu. Jadi, tidak perlu dijemput. Dan
karena aku hari ini tidak ada kerja, bagaimana kalau
kau menemaniku saja" Kita jalan-jalan bareng."
Sebuah tembakan jauh, melesat mulus
menerobos keranjang di tiangnya. Eldien menoleh
Danti usai membuat atraksi itu. Bukannya mendapat
jawaban, ia malah disodori wajah Danti yang
bengong. "Halo?" sapa Eldien menyadarkan Danti. "Kau
kenapa?" Danti salah tingkah untuk beberapa detik. Ia
kemudian menyahut, "Aku rasa, aku hanya sedikit
shock melihat Ibu Eldien berdandan seperti ini. Ibu
Eldien bisa bermain basket?"
Eldien menghampiri handuk kecil di sisi
pekarangan dan menyambar sebuah botol berisi air.
"Dulu, di SMA aku adalah ketua tim basket siswi.
Semasa kuliah, aku juga aktif dalam perkumpulan
basket kampus. Tapi rupanya, panah nasib
membuatku harus betah duduk di kursi sekretais."
Danti mendekat perlahan. Seolah ia masih
belum dapat menerima. Seorang wanita yang ia
anggap gila, karena mau menikah dengan pria lima
belas tahun lebih tua dari usianya itu, kini
berpenampilan lain dari hari yang lain.
"Eh, dipikir-pikir, jalan ceritaku hampir sama
denganmu. Hanya saja, aku berasal dari keluarga
yang tidak berlebih sepertimu sekarang."
"Dan aku harap, aku tidak akan berakhir di
pelaminan bersama pria yang belasan tahun lebih
tua dariku." "Ayahmu adalah orang yang baik, sulit mencari
pria seperti dia. Ya, kuakui ia memang kadangkadang terlalu sibuk. Janji meeting dengan klien,
bahkan beberapa kali dengan perampok."
"Aku pikir, alasan utamanya adalah uang,"
komentar Danti dengan enteng.
"Sedikit banyak," sahut Eldien tak kalah ringan.
"Harta ayahmu bisa membantu setengah lusin
saudaraku." Danti terus memindai dari ujung sepatu wanita
itu hingga ujung rambut. "Aku takkan pernah mempermasalahkan itu.
Tapi kurasa, harta ayahku tidak bisa melakukan hal
yang sespektakuler demikian." Danti akhirnya
menyentuh bola basket di sisi Eldien. Sebuah
dorongan tangan menjebloskan bola dengan mulus
melewati keranjangnya. "Bagimu memang rasanya tidak ada yang aneh,
tapi bagi banyak orang di luar sana, kau memiliki
sesuatu yang kami sebut "sudah lebih dari cukup"."
"Begitu, ya?" Danti berputar.
"Ah, rasanya tidak bijak membicarakan itu pagipagi begini." Eldien berdiri.
"Siapa yang mulai...?" pancing Danti.
Eldien balas tersenyum. Ia lalu meliuk-liukkan
tubuhnya. Suara gemeretak tulang belakang pun
terdengar. "Hei, anak muda! Bermain basket seorang diri
sepertinya tidak asyik. Mau melawanku?"
Danti sedikit tersentil oleh tantangan suara dari
belakang. Ia berputar. "Berani...?" "Siapa takut?" *** Bibir mulut Andre yang termonyong-monyong,
seperti hendak diadu dengan bumper sebuah jip. Dua
mahasiswi cekikikan melihat polahnya di lapangan
parkir kampus. Terusik, Andre pun menoleh. Matanya
membuka lebar. Gadis-gadis itu segera menyingkir,
takut Andre akan mengigit.
Tak berapa lama, Andre kembali manyun.
Namun, sebuah getaran ponsel menyentak dirinya
untuk segera berdiri. Sebuah benda berwarna hitam
ia rogoh dari saku celana. Sebuah nama yang ia kenal
terpampang jelas di LCD ponsel.
Andre menyapa panggilan telepon yang masuk.
"Halo, ada apa, Sayang?"
"Andre.... Tidak.... Aku hanya ingin memastikan,
apakah acara nanti malam tetap jadi?"
"Oh..., pasti. Memangnya, kenapa" Kamu tidak
sempat?" "Justru, aku sangat ingin pergi. Aleks baru saja
menemuiku. Ia ingin aku pergi bersamanya malam ini.
Aku tidak ingin bersamanya lagi, Andre."
"Tenang..., tenang.... Selama ada aku, preman
kampung itu tidak akan dapat mendekatimu."
"Preman kampung mana?" Suara usil memutar
leher Andre. Wiwid, mahasiswi adik kelasnya itu
memainkan alis dengan nakal. Via yang kebetulan
bersamanya, segera menegur.
"Tidak baik menyela telepon orang."
Wiwid malah menyeringai. Melihat kedatangan Via, Andre bergegas
menurunkan ponsel. Jari jempol kanannya refleks
menekan tombol putus. "Aku yakin, yang ia telepon itu selingkuhannya.
Hat-hati, Kak," ingat Wiwid.
"Apa-apaan, sih?" balas Via. Ia tidak ingin
percaya. "Sekadar jaga-jaga. Dari sini, aku sudah melihat
kumis kucing garong di wajah Andre."
"Sekali lagi ngomong aku lempari ponsel!"
Andre mengancam. Tangan kanannya sudah siap
melempar benda yang ia genggam.
"Hu, sewot!" "Kamu yang sewot!"
"Sudah, sudah. Kenapa ribut" Kalau ribut lagi,
aku ingin bukunya kembali. Kamu yang mulai, Wid."
Via turut mengancam, dengan maksud menjadi
penengah. Sontak, Wiwid menyatukan dua telapak tangan
dan memohon, "Please..., jangan. Aku sangat perlu
buku itu. Baiklah, lebih baik aku pergi dulu. Jaga
Andre baik-baik. Kalau kumis kucing garongnya
muncul, cepat-cepat digunting."
Wiwid memperagakan sebuah gunting dengan
dua jari mengatup. Mata Andre pun melebar.
Bibirnya mengernyit seperti ada sepotong kumis
yang lentik. "See you!" Wiwid melejit. Setelah sepuluh meter,
ia malah menubruk seorang pemuda yang membawa
setangkai bunga mawar hingga tergolek naas. Mawar
yang ia bawa terjatuh dan rusak. Wiwid ditodong
untuk mengganti. Andre menggeleng. mendekati Via. Perlahan, langkahnya "Sejak kapan gadis sewot itu dekat denganmu?"
"Sejak mendapat tugas tambahan dari Pak Arif,
dosen Ekonomi Makro. Ia mendapat tugas dengan
bahan yang tidak ia miliki, tetapi aku punya."
Andre menatap monitor ponsel beberapa detik.
Usainya, alat komunikasi tersebut masuk ke dalam
saku. "Maaf...," sela Via.
Andre menoleh. "Maaf.... Wiwid tadi menyela. Pasti telepon yang
penting." "Ng..., sudahlah. Bukan masalah besar. Aku
nanti bisa menelepon balik."
"Aku juga minta maaf sebelumnya, karena
menanyakan ini." "Apa?" "Tadi malam, aku pikir kau akan menjemputku.
Kau sudah berjanji...."
Air muka Andre sontak berubah. Secepat kilat,
ia memelas. "Ya, Tuhan. Via..., aku minta maaf. Aku
sungguh-sungguh minta maaf soal ini. Tadi malam,
aku mendapat musibah. Mobilku mogok. Dan
sekarang, ia mogok lagi. Jangan-jangan, untuk malam
ini, aku tidak dapat menjemputmu."
"Lebih baik, kau tidak berjanji. Sehingga aku...,
tidak menunggu." "Gadis pintar...," batin Andre. Ia sedikit
menyeringai. Malam ini, ia memang tidak berniat
untuk menjemput Via pulang dari kerja paruh waktu
di kafe, seperti beberapa malam sebelumnya, ketika
ia juga tidak datang menjemput.
"Oh iya, aku pergi dulu." Via beranjak.
Wajahnya mendung, karena ia masih merasakan
aura yang tidak enak. Tubuhnya panas dan perutnya
sedikit mual. Rasa nyeri serasa memijit-mijit isi
kepalanya. Melihat mendung itu, Andre sedikit merasa
tidak enak. Buru-buru ia mencegat Via.
"Aku sungguh menyesal. Bagaimana kalau aku
mentraktirmu" Sebagai permintaan maaf."
"Tidak perlu." "Ayolah, jangan buat kekasihmu ini tidak enak
perasaan. Wajahmu terlihat sedikit kusam, dan harus
disiram dengan sesuatu yang segar. Ayo, kita cari es
krim di sekitar sini!"
Andre menyeret Via menjauh dari lapangan
parkir. Kurang dari lima menit, mereka telah
menemukan apa yang Andre cari. Dan tak perlu
waktu lama bagi Andre untuk mencairkan perasaan
Via yang membeku. Dasar playboy kelas wahid.
*** "Aku baru saja mendapat telepon dari kantor.
Katanya, dua jam lagi aku harus berhadapan dengan
klien yang cerewet."
Eldien mencoba mengikuti langkah Danti di
pelataran parkir. Agenda jalan-jalan bersama sudah
berakhir siang ini. Danti ada kuliah. Dan secara
menakjubkan, Eldien juga harus pergi ke kantor,
meski sudah bermaksud untuk libur.
"Sudahlah...!" Eldien membatin. Yang penting,
sudah memiliki waktu untuk kembali mendekatkan diri pada Danti. Walau, waktu yang
ada tidak seberapa banyak. Mau atau tidak mau, suka
atau tidak suka, Danti sekarang telah menjadi
putrinya, bagian keluarga yang tidak mungkin lepas
dari kehidupan kesehariannya. Sebelum menjadi
keluarga mereka pernah sangat akur, mengapa
sekarang tidak" Usai menjelajahi beberapa tempat hiburan
keluarga, Danti kini terlihat mengincar sebuah mobil
sedan hitam metalik di pelataran parkir sebuah pusat
perbelanjaan. Sebuah tombol di gantungan kunci ia
tekan. Alarm singkat terdengar dari mobil yang ia
hampiri. Bergegas ia mengambil tempat di belakang
setir, disusul Eldien di kursi samping.
"Kenapa berkeras ikut denganku ke kampus"
Aku bisa mengantar Ibu Eldien ke kantor." Berpikir
tidak akan ke mana-mana, Eldien meninggalkan
mobnilnya di garasi rumah. Praktis, kegiatan hari ini
bergantung pada kemurahan hati Danti yang
dermawan. "Apa aku belum pernah cerita, ya?" Eldien
malah ikut bertanya. "Cerita apa?" Danti menoleh dengan kening
berkerut. Eldien balas menatap matanya. Untuk beberapa
detik, mereka hanya saling pandang, dengan wajah
melongo. "Oh iya, aku lupa...." Eldien akhirnya memutar
wajah ke dasbor. "Nyalakan saja mobilnya. Akan
kuberi tahu sembari jalan."
"Baiklah...." Danti memutar starter. Persneling
ditarik, dan mobil bergerak meninggalkan parkir.
Setelah mobil meluber masuk jalan raya, Eldien
pun membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan,
"Apakah di universitasmu ada dosen baru?"
"Mm...?" Danti sedikit mengingat-ingat. Jumlah
dosen di tempat ia berkuliah tidaklah sedikit.
Sebagian di antaranya sama sekali belum pernah ia
lihat, karena tidak membimbing mata kuliah di
jurusan yang ia ambil. Membedakan antara dosen
baru dan dosen lama adalah pekerjaan yang penuh


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

trik. Tapi jika mengingat-ingat rumor..., "Setahuku
memang ada. Sekitar tiga atau empat orang. Tapi, aku
sama sekali belum pernah melihat dosen-dosen baru
itu. Memangnya, kenapa?" lanjut Danti.
"Bisa jadi, salah satunya adalah adikku. Adik
kandungku. Sudah hampir dua tahun kami tidak
pernah berjumpa. Lalu lima hari yang lalu,
mendadak ia menelepon. Katanya, ia menjadi dosen
di sini. Kalau tidak salah, di Universitas
Tanjungpura," Eldien menjelaskan panjang lebar.
"Jadi, bibiku seorang dosen" Tapi, di Untan"
Mengapa mencari di kampusku?"
"Dia juga menjadi dosen honorer di Universitas
Pontianak. Siapa tahu, dia hari ini ada jadwal di
tempatmu berkuliah."
"Oh...." Danti manggut-manggut. "Silakan saja
Ibu Eldien cari. Siapa tahu memang benar."
"Kalau pun nanti tidak ketemu, kau tenang saja.
Aku sudah meminta Sari untuk menjemput di
kampusmu." Untuk beberapa menit selanjutnya, mereka
terlibat percakapan kecil. Eldien menyinggung
masalah kemarin sore, ketika tiba-tiba Danti pulang
dengan wajah yang mendung. "Kelelahan atau
pelatihnya orang iseng" Kamu sering di...?"
"Bukan...!" Danti menggeleng cepat. Tidak
begitu membuat gerakan yang besar, untuk menjaga
fokusnya ke jalan. "Lalu?" telusur Eldien.
"Ada pemuda gila. Sudahlah! Jika ingat dia, aku
jadi tidak bisa berkonsentrasi. Ibu Eldien ingin
sampai di kampusku dengan selamat, bukan?"
"Aduh" Sampai sebegitunya?" Eldien tertawa
kecil. Tak disadarinya Danti merasa tersinggung.
"Jangan tertawa...!" pinta gadis itu, yang segera
dibalas Eldien dengan permintaan maaf.
Tak seberapa lama setelahnya, mobil yang
mereka kendarai kembali memasuki lapangan
parkir. Tanpa pikir pajang, Danti mengambil tempat
antara dua mobil lain. Eldien akhirnya mengomel,
karena mereka sekarang tidak dapat keluar, terjepit
oleh kedua mobil dari dua arah.
BAB 6 Tiga jam lalu, setangkai mawar merah
tergeletak tenang di atas meja kerja Mita. Satu jam
kemudian, sebuah vas bertengger di dekat bunga itu.
Dan kini, ketika Mita kembali dari ruang kelas
menyampaikan materi kuliah, mejanya yang rapi
telah berubah menjadi taman kota.
"Aku rasa, aku mendapat meja yang salah.
Mejaku sepertinya dahulu adalah tempat bercocok
tanam...." Gumaman Mita ternyata terdengar. Seorang
dosen wanita lain menegurnya, "Kau tidak salah
mendapat meja. Yang salah adalah dirimu sendiri."
"Aku...?" "Di universitas ini, ada sekitar dua puluh dosen
pria yang masih lajang. Beginilah jadinya jika ada
seorang dosen wanita lajang lainnya yang cukup
bening." Mita menghela. Ia malah lunglai di depan
warna-warni kelopak bunga.
"Apa yang harus kulakukan pada bunga-bunga
ini?" "Buang saja," komentar rekannya yang sebaya
itu. Ia telah duduk di kursinya, menyalakan laptop,
dan memeriksa e-mail. "Dibuang?" Keberadaan bunga-bunga itu malah
membuat Mita tidak sanggup duduk di kursi. Ia
masih berdiri di depan meja kerjanya.
"Jangan memberi harapan jika kau memang
tidak suka. Jadi, buang saja."
"Jika nanti aku diculik, bagaimana?"
Ucapan Mita membuat sang rekan berhenti
mengetik. Ia terbatuk-batuk, lalu cepat menyambar
segelas teh hangat yang sudah ada di atas mejanya.
"Jadi orang, kok, polos banget" Setidaknya, mereka
orang terpelajar, Mita. Meski masalah hati akan
membutakan mereka, kemungkinannya sangat kecil.
Nol koma nol nol nol noooool satu persen."
Mita memutar sekeliling. Hanya ada beberapa
dosen di meja mereka masing-masing. Mereka pun
sepertinya tidak ingin ambil peduli, tampak sibuk
dengan pekerjaan mereka, persis seperti rekannya
itu yang bernama Yasmine Anugrah, S.E. Dosen
wanita tersebut sekarang malah memasuki halaman
depan situs jejaring Facebook.
Mita menghela, kemudian merangkul bungabunga itu.
*** "Jadi, nama bibiku adalah Rimita Rivani?" Danti
membimbing Eldien menyusuri koridor. Ibu tirinya
langsung menodong untuk diantar ke ruang dosen
begitu keluar dari mobil.
"Dan ingat, nama panggilannya adalah Mita,
bukan Rimi. Ia benci panggilan itu. Entah kenapa."
"Tapi, aku sangsi. Siapa tahu Bibi tidak ada di
kampus sekarang." Eldien berhenti. Danti menyusul.
"Benar juga. Lalu, harus bagaimana?"
"Ibu Eldien bilang, Bibi pernah menelepon.
Mengapa tidak ditelepon saja?"
"Benar juga...!" Eldien merogoh tas kecil yang ia
sandang. Sebuah ponsel ia ambil. Dan jemarinya
bermain lincah menyentuh layar. "Bodoh sekali tidak
kutelepon dari tadi," ratapnya kemudian.
Danti menggeleng-geleng. Seandainya Eldien
belum menjadi ibu tirinya, mungkin sudah ia ejek
habis-habisan. "Semoga nomornya masih ada. Nah, ini dia!"
Eldien memencet sebentuk tombol berwarna hijau.
Ponsel ia dekatkan ke telinga sembari menunggu
hubungan tersambung. *** Sekitar dua tikungan koridor dari mereka,
seorang wanita terlihat ramah membagi-bagikan
banyak tangkai bunga. Mita merasa sayang untuk
membuang bunga-bunga itu. Mereka masih terlihat
segar. Dari pada jatuh ke tong sampah, lebih baik
jatuh ke tangan para mahasiswa. Hitung-hitung,
sebagai salah satu metode pendekatan.
Hanya bertingkah beberapa puluh meter, ada
Wiwid yang melangkah tersendat-sendat. Sesekali ia
berputar ke belakang, untuk memastikan kondisi
wajah Alwi yang sedari tadi menjadi ekor. Tahu
bahwa semua bunga yang ada di toko sekitar
universitas diborong beberapa dosen, menjadikan
Alwi jengkel setengah mati. Bunga terakhir yang ia
miliki telah rusak dilindas Wiwid di halaman parkir.
"Jangan menatapku terus seperti itu...!" Wiwid
terdengar merengek. Alwi menatap dengan sorot
tajam. Mukanya bertekuk-tekuk bagai papan
penggilasan. "Aku berjanji akan mengganti bunga itu. Tapi,
tidak sekarang. Kau lihat sediri, bukan" Stok bunga
yang ada di toko habis diborong dosen di kampus ini.
Aku rasa, bunga-bunga itu untuk Ibu Mita. Dia, kan,
masih lajang. Dan penampilannya..., kurasa cukup
menarik." Wiwid lagi-lagi berputar. "Menurutmu, Ibu Mita
wanita yang bagaimana?"
Wajah Alwi semakin semraut, mirip kondisi lalu
lintas di Jalan Ahmad Yani pada jam masuk dan
pulang kantor. "Jangan mengalihkan tujuan...!"
gerutu Alwi. "Oke..., oke.... Tapi, kau harus sabar!"
"Tidak!" Alwi membalas singkat. "Jika kau tidak
mengganti dalam hari ini juga, kau akan kucekik.
Aku tidak main-main."
Wiwid memegang batang lehernya sendiri. "Iya,
aku paham. Aku sudah merasakannya tadi."
"Lalu, kau mau ke mana sekarang?"
"Aku tidak tahu! Ini gara-gara muka jerukmu
itu, aku sendiri sampai tidak tahu mau ke mana!"
Giliran Wiwid yang terlihat marah. Wajahnya
kini tak kalah ribet dengan alur-alur jengkel di wajah
Alwi. Mita yang hanya tahu mereka belum mendapat
bunga, bergegas menghampiri mereka. Setangkai
bunga mawar akhirnya meredakan wajah ribet milik
Wiwid. "Salam dosen baru Informasi." terbengong, bersahabat. kenal, nama saya Rimita Rivani. Saya
di sini. Mata kuliah Analisis Sistem
Mita begitu ramah. Wiwid sempat
dan akhirnya menyahut tak kalah
"Senang bertemu dengan Ibu. Saya Wida
Safrina. Dan sahabat saya yang cemberut itu
namanya Alwi Awalan."
"Alwalan...," geram Alwi, meralat namanya
yang dikorupsi satu huruf oleh Wiwid.
"Kalau begitu, mohon maaf jika saya
mengganggu. Saya permisi dulu untuk membagikan
bunga kepada yang lain."
"Terima kasih, Bu."
Mita beranjak. Bunga-bunga di pelukannya
masih ada sekitar dua puluh batang. Wiwid yang
segera menyadari sesuatu, bergegas mengejar Mita.
Mita berhenti dan menoleh. "Ada apa, Wida?"
"Hehe...," Wiwid nyengir dahulu dengan napas
kembang kempis. "Maaf, Bu. Jika tidak keberatan,
boleh saya minta lima tangkai bunga lagi?"
"Untuk apa?" Mita malah sempat melongo.
"Ng..., itu...."
Belum sempat Wiwid berbohong, bahwa ia
meminta bunga untuk membantu Mita menyebarkan
bunga, lima batang bunga yang ia pinta telah
tersodor. "Ambil saja...."
"Terima kasih...!"
Wiwid kembali ke Alwi. Dengan bangga, ia
menyerahkan bunga hasil meminta pada sang dosen
baru. "Lain kali, kalau lari, jangan jelalatan!" Alwi
sedikit masih merasa kesal.
"Oke...," Wiwid mencoba mengalah. Ia bisa saja
menyahut, tetapi belajar dari pengalaman, sikap
ceplosnya itu malah dapat menambah masalah.
Mereka kembali menyusuri lorong. Kali ini,
dengan langkah lebih santai.
"Hei, bunga itu sebenarnya untuk siapa?"
Giliran Wiwid menjadi ekor. Pertanyaannya sama
sekali tidak disahut oleh Alwi. "Pasti untuk Danti,
ya?" Wiwid mencoba menebak.
"Memangnya, kenapa?"
"Aku heran, bagaimana kau bisa jatuh hati pada
gadis itu" Danti tomboi, ia kasar terhadap pemuda."
"Yang penting, aku suka."
"Ayolah, bukannya aku tidak tahu. Selama ini
kau selalu memantau Danti, bukan" Bahkan, kau ikut
semua kegiatan yang ia ikuti. Tapi, apa yang kau
dapat" Kau dilempari saat bermain basket, ditendang
saat latihan karate. Mengapa kau tidak memilih...
yang itu saja?" Keduanya kembali berhenti. Dalam dua detik,
dua pasang mata tersebut bertumpu pada suatu
sosok gadis dari lorong di depan.
"Putri?" Alwi cukup mengenalnya. Mereka satu
kelas. "He-e. Ratu kampus itu. Dia cantik."
"Danti juga cantik."
"Dia kaya." "Danti juga kaya."
"Dia pintar." "Danti juga pintar."
"Dia lembut." "Ng...." "Mengapa tidak dia, Al?"
Alwi menarik napas. Kerutan di wajahnya telah
cukup banyak hilang sekarang.
"Aku akan menghitung sampai tiga. Seorang
pemuda pasti akan menghampiri Putri. Satu...,
dua...." Belum sampai pada angka tiga, seorang
mahasiswa benar-benar menyapa putri. Mereka pun
terlibat percakapan. Sesekali tertawa kecil dan
terlihat begitu akrab. "Putri sudah menjalin hubungan dengan
pemuda lain. Dan menurut surveiku, masih banyak
mahasiswa di kampus ini yang menanti dirinya. Aku
tidak ingin mengambil resiko. Aku tidak ingin
bersaing dengan mereka."
"Jadi, alasanmu menjadi ekor Danti, adalah
karena mencari aman?" simpul Wiwid.
"Bukan hanya itu, aku memang benar-benar
menyukai Danti." "Ya, Tuhan. Ternyata, masih ada pemuda bodoh
yang hidup di dunia ini," sindir Wiwid. "Mengapa


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak Engkau musnahkan saja pemuda bodoh ini,
Tuhan?" "Apa pedulimu" Kau bukan kakakku!" sambut
Alwi. "Bagaimana menyukaimu?" jika kukatakan bahwa aku "Hehe...," Alwi nyengir kuda. "Itu tidak akan
pernah masuk akal..."
*** "Maaf, Kak. Waktu itu, aku hanya sempat
menelepon. Aku sibuk pindahan."
"Mengapa tidak pindah ke rumah kami?"
"Sempat terpikir, sih. Tapi, aku terlanjur
membeli rumah di kawasan itu. Ingin batal, rasanya
tidak etis. Pemilik semula rumah tersebut pun kini
sudah di luar kota."
"Setidaknya, jika kau di rumah, Danti punya
teman." "Sekali lagi lagi, aku minta maaf."
"Sudah, tidak apa."
"Oh iya, Kak. Sedari tadi kita megobrol, kau
masih belum memperkenalkan gadis manis di
sampingmu itu. Apakah dia putrimu?"
"Oh, ini Danti. Putri suamiku."
"Putrimu juga, kan?"
Eldien tersenyum tipis. Di hadapannya, tangan
Mita dan Danti berjabat erat.
"Sepertinya, giliranku untuk meminta maaf,"
sela Eldien mendadak. Mita menoleh heran. "Maaf
jika aku mengganggu jadwalmu. Aku akan kembali
kantor. Jadilah dosen yang baik. Assalamualaikum...."
"Walaikum salam...." keduanya menyahut
bersama, dengan arah mata yang mengikuti putaran
tubuh Eldien. Setelah Eldien menghilang di ujung
koridor, Mita mengawasi Danti dengan senyum di
bibir merahnya. "Kau seharusnya menjadi adikku, bukan
keponakanku." Mita seakan menjawab tatapan heran
dari Danti. "Ibu Eldien bilang, dengan menikah dengan
Raja Naga 7 Bintang 6 Aerial Karya Sitta Karina Berburu Monster 1

Cari Blog Ini